UNSUR-UNSUR ARSITEKTUR KOLONIAL PADA MASJID CIPARI GARUT Tawalinuddin Haris, M.S. dan Dimas Seno Bismoko S.Hum Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok 16424
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Masjid Cipari merupakan bangunan pada masa periode kolonial yang ada di kota Garut yang berasal dari awal abad 20 atau tepatnya tahun 1936 yang terelatak dikawasan Pesantren Cipari. Metode yang digunakan adalah membandingkan bangunan ini dengan bangunan yang memiliki arsitektur, fungsi dan masa yang sama. Berdasarkan hasil analisis dapat diketahui bahwa bangunan masjid ini memiliki berbagai macam bentuk gaya lokal dan asing yang ada pada bentuk bangunannya. Pengaruh unsur arsitektur kolonial pada bangunan ini lebih dominan dibandingkan dengan unsur lokalnya. Unsur arsitektur kolonial yang berpengaruh adalah nieuwe bouwen. Dengan demikian dari analisis diperoleh bahwa bangunan Masjid Cipari merupakan salah satu bangunan berarsitektur kolonial pada abad ke 20.
Architectural Elements of Colonial At Masjid Cipari Garut Abstract Cipari mosque is a building during the colonial period in the city of Garut derived from the early 20th century, or rather the 1936 at Pesantren Cipari region. The method used is to compare this building with a building that has the architecture, functionality and the same period. Based on the results of the analysis can be seen that the building of this mosque has various forms of local and foreign styles that exist in the form of the building. Influenced by the colonial architecture in this building is more dominant than the local elements. Influential elements of colonial architecture is nieuwe bouwen. Thus from the analysis is that the building is a mosque Cipari buildings colonial architecture in the 20th century. Keywords: Cipari Mosque, Colonial Architectural Elements, Nieuwe Bouwen
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Di beberapa tempat di Nusantara, dapat kita temukan benda-benda tinggalan arkeologis yang telah ada sejak lama. Benda-benda tinggalan tersebut merupakan hasil budaya bangsa, salah satu hasil budaya bangsa tersebut terwujud dalam sebuah bangunan. Bentuk bangunan yang ada di Nusantara jenisnya beranekaragam, salah satunya adalah bangunan sakral atau bangunan yang digunakan sebagai tempat peribadahan masing-masing penganutnya yaitu masjid. Bangunan sakral yang akan di bahas pada tulisan ini adalah bangunan Masjid Cipari.
Masjid Cipari merupakan salah satu bentuk bangunan dari periode Kolonial yang terletak di Kampung Cipari Desa Babakan Cipari Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut. Secara keseluruhan masjid terbuat dari beton dan pada bagian bawah masjid terbuat dari batu kali. Memiliki denah persegi panjang. Pada bagian belakang masjid (timur) terdapat sebuah menara yang menempel langsung dengan bangunan induknya. Masjid ini menggunakan atap berbentuk limasan pada bangunan induknya, sedangkan pada menara masjid menggunakan atap
1 Universitas Indonesia Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
2 kubah. Pada bagian dalam bangunan, berbentuk memanjang seperti ruang kosong dan sebuah mimbar yang terdapat di bagian barat ruangan. Pada bagian dalam tidak terdapat tiang-tiang/kolom penyangga atap. Tidak terdapat pembatas ruang shalat antara pria dan wanita. Masjid tidak memiliki serambi di kanan dan kiri bangunan. Pada sisi Timur masjid terdapat ruang tambahan yang digunakan sebagai ruangan serbaguna. Di sebelah timur ruangan serbaguna, terdapat sebuah kelas Pondok Pesantren. Kedua ruangan yang berada di sebelah timur masjid, merupakan bangunan baru. Keunikan dari Masjid Cipari ini terletak pada bentuknya yang berbeda dari Masjid Jawa Kuno umumnya. Masjid Jawa kuno umumnya memiliki bentuk. Ciri-ciri tetap yang terdapat pada bangunan masjid adalah, Masjid itu memiliki bentuk dasar denah persegi; Tidak berdiri di atas tiang-tiang seperti langgar di Jawa, rumah tinggal di Indonesia yang kuno, tajug di daerah Sunda, dan bale di daerah Banten, tetapi berdiri diatas fondasi padat yang agak tinggi; mempunyai atap meruncing, yang terdiri dari 2 sampai 5 tingkat yang meruncing ke atas; Di sisi Barat atau Barat Laut ada bangunan menonjol untuk mihrab; Di bagian depan dan kadang-kadang di kedua sisinya, ada serambi yang terbuka atau tertutup; Halaman sekitar masjid dikelilingi oleh tembok dengan satu atau dua pintu gerbang. Sedangkan ciri khas bangunan masjid Jawa ialah bahwa masjid tersebut dibangun di sebelah Barat alun-alun, sebuah lapangan persegi. Salah satu dari enam ciri yang khas masjid Jawa adalah sebuah lapangan terbuka di sekeliling masjid yang dibatasi tembok, dengan pintu gebang di bagian depan. Temboknya selalu rendah, terkadang tidak lebih tinggi dari setengah meter, pada masjid baru pagar tembok biasanya diubah dengan menggunakan pagar besi atau batu (Pijper, 1984: 15-16). Alasan membandingkan Masjid Cipari dengan Masjid Jawa Kuno adalah karena pada umumnya masjid yang ada di Indonesia dibangun dengan mengacu kepada bentuk Masjid Jawa Kuno, namun berbeda halnya dengan Masjid Cipari yang tidak mengacu kepada bentuk Masjid Jawa Kuno. Masjid Cipari lebih mengacu kepada gaya bangunan kolonial dibandingkan dengan bangunan masjid umumnya. Masjid ini bukanlah sebuah bangunan alih fungsi dari bangunan lain, yang fungsinya benar-benar digunakan sebagai bangunan peribadatan masyarakat muslim yang memiliki bentuk yang berbeda.
1.2 Permasalahan Penelitian Dari penjelasan di atas mengenai perbedaan serta keunikan yang terkandung pada Masjid Cipari, dapat diambil sebuah permasalah penelitian mengenai bentuk dan gaya yang terdapat pada Masjid Cipari memperlihatkan adanya unsur asing pada bentuk bangunanya. Unsur-unsur tersebut tidak hanya terpaut
oleh satu unsur bangunan saja, bahkan sebuah bangunan bisa memiiki lebih dari satu unsur bangunan. Unsur-unsur tersebut membentuk suatu kesatuan yang menjadikan sebuah bangunan menjadi terlihat indah. Dengan mengetahui bentuk Masjid Cipari secara keseluruhan, kita dapat melihat unsur-unsur yang berbeda dengan masjid pada umumnya. Masjid Cipari memiliki unsur kebudayaan eropa dengan bentuk dan material yang dimilikinya, maka dengan demikian dapat diambil permasalahan penelitian sebagai berikut: Apa saja pengaruh kebudayaan kolonial dan lokal yang ada di Masjid Cipari ?.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh-pengaruh unsur-unsur arsitektur Kolonial yang terdapat pada bangunan Masjid Cipari ini. sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa Masjid Cipari lebih mengarah kepada kebudayaan kolonial atau lokal dengan unsur-unsur budaya yang terkandung di dalamnya dan bermanfaat sebagai tambahan pengetahuan atau masukan ilmu pengetahuan baru mengenai Masjid Cipari serta unsur-unsur asing atau kolonial yang terdapat di dalam bangunan masjidnya dan juga dapat dijadikan sebagai sumber referensi bagi peneliti yang ingin melakukan penelitian sejenis.
1.3 Metode Menurut Sharer dan Ashmore untuk mempelajari masa lalu, arkeologi mencoba untuk menjawab sebuah masalah penelitian dengan menggunakan beberapa tahapan metode yakni pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data dari rekaman data arkeologi yang digunakan untuk menjawab sebuah permasalahan arkeologi (Sharer, 2003: 15). Tahap pengumpulan data dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan melakukan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka dilakukan dengan cara mengumpulkan data baik yang berhubungan langsung dengan objek maupun data yang tidak berhubungan langsung dengan objek. Melakukan studi lapangan dengan cara meninjau secara langsung bangunan masjid. dalam peninjauan secara langsung kelapangan dilakukan deskripsi secara menyeluruh. Pendeskripsian secara menyeluruh dimulai dengan mendeskripsikan bangunan induk serta komponen-komponen yang terdapat didalamnya. Langkah selanjutnya adalah tahap pengolahan data. Dalam tahap ini, seluruh data yang didapatkan dari data kepustakaan maupun data yang didapatkan dari studi lapangan disatukan. Dari data yang terkumpul ini dicoba untuk melakukan pendeskripsian secara menyeluruh dan lebih detail mengenai komponen-komponen bangunan yang ada pada Masjid Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
3 Cipari sehingga didapatkan data yang lebih akurat yang berupa denah, foto/gambar, ukuran dan kondisi. Setelah melakukan pendeskripsian dan penganalisisan tahap selanjutnya adalah tahap penafsiran. Penafsiran dilakukan dengan cara membandingkan bangunan Masjid Cipari dengan bangunan Masjid Agung Manojaya yang berada di Tasikmalaya yang sama-sama memiliki arsitektur kolonial. Sehingga dari persamaan-persamaan maupun perbedaan antara kedua bangunan tersebut dapat diketahui unsur-unsur budaya pada bangunan Masjid Cipari. Selain itu Masjid Cipari dibandingkan pula dengan bangunan kolonial, yaitu Gereja Santo Yosef. Gereja ini dipilih karena memiliki kemiripan bentuk dengan Masjid Cipari sehingga dapat diambil perbandingan. Setelah membandingkan Masjid Cipari dengan kedua bangunanan tersebut, tahap selanjutnya adalah melihat unsur lokal dan asing yang ada pada Masjid Cipari, sehingga dapat diketahui gaya yang membentuk Masjid Cipari. Alasan diambilnya kedua bangunan tersebut sebagai data pembanding adalah karena kedua bangunan tersebt memiliki zaman/periode yang sama yaitu pada awal abad ke-20, selain itu memiliki fungsi yang sama sebagai tempat peribadahan dan kedua bangunan ini memiliki komponen-komponen bangunan yang hampir serupa dengan Masjid Cipari.
2. Sejarah Masjid Cipari berdiri pada tahun 1936 dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda atas prakarsa K.H. Yusuf Taudziri, seorang ulama besar di daerah Garut. Didirikan oleh tokoh-tokoh Pesantren Cipari dan Syarikat Islam. Arsitek bangunan masjid ini adalah seorang Belanda yang tidak disebutkan namanya dan perancang bangunan ini adalah Ir. Abikoesno. Abikoesno merupakan salah satu anggota Syarikat Islam. Masjid ini didirikan sebagai pelengkap Pesantren Cipari yang sudah ada sejak 1895. Selain fungsi utamanya sebagai bangunan peribadatan, Masjid Cipari juga memiliki fungsi lainya. Masjid ini pernah dijadikan sebagai tempat pendidikan santri sebagai pejuang kemerdekaan. Masjid ini digunakan sebagai tempat berdirinya Partai Syarikat Islam (PSII) cabang Garut. Setelah berdirinya PSII masjid ini digunakan sebagai tempat latihan berperang dan pertahanan. Pada masa kemerdekaan, fungsi dari bangunan masjid ini digunakan sebagai basis latihan tentara pejuang. Pada zaman pembrontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) masjid ini dijadikan sebagai tempat perlindungan para pengungsi dan perawatan bagi pasukan yang terluka. Pada masa G30S/PKI masjid ini digunakan sebagai tempat perjuangan melawan PKI, pertahanan dan perlindungan dan dapur umum (Nuralia, 2008: 31-32).
3. Deskripsi Masjid Cipari Masjid Cipari terletak di Kampung Babakan Cipari Desa Cipari Kecamatan Pangatikan Kabupaten Garut. Secara astronomis terletak pada koordinat 07°09'10,3" dan 107°59'40,8" BT. Bangunan masjid tepatnya terletak di tengah-tengah pemukiman penduduk. Kampung Cipari berbatasan dengan daerah-daerah lainya yaitu, pada sisi Utara berbatasan dengan Kampung Pinggirsari dan Kampung Tegalkiang Kecamatan Sukawening, Sebelah Selatan berbatsana dengan Kampung Babakan Cipari dan Kampung Cileuwi Kecamatan Pangatikan, Sisi Barat berbatasan dengan Pasar Karangsari Kampung Cimaragas dan persawahan Kecamatan Pangatikan dan sisi Timur berbatasan dengan Persawahan dan makam Kecamatan Sukawening (Nuralia, 2008: 23). Masjid ini dikelilingi oleh Rumah-rumah penduduk pada bagian Utara, Selatan dan Timurnya sedangkan pada sebelah Barat dengan bangunan Sekolah. Pintu gerbang atau pintu masuk Pesantren Cipari ini berada di sebelah barat. Lingkungan pesantren ini dibatasi dengan persawahan di sebelah Utara dan Selatanya, di sebelah Barat berbatasan dengan jalan. Letak Pesantren Cipari berada di sebelah Utara bangunan masjidnya sedangkan rumah para kiyai menyebar di sebelah Utara, Selatan dan Barat bangunan masjid.
Gambar 1 Denah keletakan Masjid Cipari terhadap kompleks pesantren
Kondisi masjid masih utuh, terdapat beberapa bagian yang telah diubah maupun ditambah sesuai dengan kebutuhan. Beberapa bangunan tambahan pada masjid ini, seperti tempat wudhu yang berada pada sisi Utara masjid, ruang serbaguna dan ruang kelas yang berada pada sisi Timur. Pintu masjid ini sudah di ubah karena pintu lamanya sudah lapuk. Kaca nako pada bagian menara yang terdapat di lantai dua pecah di Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
4 bagian bawahnya, selebihnya bangunan masjid ini masih sama. Perubahan atau perenofasian hanya sebatas pengecetan ulang bangunan, penggantian kaca jendela, penambahan kanopi pada jendela bagian bawah dan penggantian pintu. Namun beberapa bagian belun mendapatkan perbaikan seperti kaca nako yang terletak di menara lantai dua. Masjid ini memiliki beberpa bagian ruangan. Ruang utama atau ruang yang dipakai buat shalat, sebuah mimbar yang letaknya berada pada bagian Barat masjid yang menjorok keluar, tempat wudhu yang letaknya berada di bagian utara bangunan, letaknya menempel pada bagian luar bangunan induk.. Kemudian pada bagian menara yang letaknya menempel pada bagian Timur bangunan masjid, terdapat dua buah ruangan yang terletak di sebelah Utara dan Selatan menara, kedua bangunan ini menempel pada menara dan bangunan induk. Pada sisi Timur masjid terdapat bangunan serbaguna dan ruang kelas, namun kedua bangunan ini tidak akan dibahas dalam tulisan, sebab kedua bangunan ini merupakan bangunan yang baru, tidak sekuno bangunan masjidnya.
belakang dengan Masjid Jawa Kuno yang menggunakan tembok sebagai pagar kelilingnya. Pada Masjid Cipari ini, terdapat tiga buah bangunan yang letaknya saling menempel. Bangunan masjid digunakan sebagai tempat untuk sarana beribadah dan kegiatan keagamaan lainya. Pada sisi Timur terdapat bangunan serbaguna. Sesuai dengan namanya bangunan ini hanya digunakan jika sewaktuwaktu ada acara maupun hal lainnya yang berhubungan dengan keagamaan. Di sisi Timur bangunan serbaguna terdapat sebuah kelas bagi para santri. Bangunan ini digunakan para santri untuk memperdalam ilmu agama. Bentuk bangunan induk ini berbeda dengan bentuk masjid pada umumnya. Bangunan ini menyerupai sebuah benteng pertahanan yang memanjang dari Barat ke Timur. Awalnya masjid ini dibangun sebagai sebuah bangunan pelengkap pesantren, namun pada kenyataanya bangunan ini dijadikan sebuah benteng pertahanan warga sekitar dari bangsa kolonial. Tidak diketahui secara pasti apa yang menyebabkan terbentuknya bangunan masjid yang memiliki bentuk yang berbeda.
Foto 1 Bangunan Masjid Cipari
Gambar 2 Denah Masjid Cipari
Masjid ini tidak memiliki halaman atau pagar keliling yang melindunginya. Pagar keliling bangunan ini adalah perumahan penduduk yang berada di sebelah Utara, Selatan dan Timur sedangkan pada bagian Barat bangunan sekolah seperti yang terlihat pada gambar 1. Dengan kata lain halaman masjid ini langsung berhubungan dengan bangunan-bangunan yang mengelilinginya. Betuk pagar seperti ini bertolak
Denah pada Masjid Cipari berbentuk persegi panjang yang memanjang dari Barat ke Timur. Bangunan masjid memiliki ukuran 30x10m dengan ketinggian 8m yang keseluruhan berupa tembok beton. Ruang shalat, memiliki bentuk yang memanjang tanpa sekat atau pawestern sebagai pembatas antara ruang shalat pria dan wanita. Pada sisi Barat terdapat bangunan yang menjorok keluar yang digunakan sebagai mihrab. Masjid ini menggunakan fondasi masif yang mengelilinginya. Atap masjid ini tidak ditopang dengan tiang-tiang melainkan dengan tembok-tembok keliling yang tinggi dan tebal. Fondasi masif pada masjid Cipari terbuat dari batu kali yang disusun yang mengelilingi seluruh bagian masjid. Susunan batu kali ini memiliki ketinggian dari permukaan tanah 170cm yang mengelilingi bangunan masjid. Kaki pada bagian Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
5 Timur bangunan menempel langsung dengan ruang serbaguna, tinggi susunan batu kali pada bagia timur 70cm. pada bagian timur ini ketinggian masjid ditinggikan 1m. Di sekeliling tembok bangunan masjid terdapat pelipit geometris yang sangat banyak yang menyebar hampir di seluruh bagian bangunan. pada bagian atas dinding bangunan terdapat bagian-bagian yang ditinggikan dan direndahkan sebagai hiasan, yang diberi pelipit yang mengikuti naik turunya tembok seperti yang terlihat pada foto1. Ruang dalam pada masjid ini berbentuk persegi panjang yang berorientasi dari Barat-Timur. Tidak terdapat sekat pada ruangan ini, hanya berupa ruangan besar seperti ruangan kelas yang pada bagian Baratnya terdapat Mihrab sebagai tempat imam memimpin shalat. Ruangan ini dapat dimasuki dari tiga buah pintu yang terdapat pada masjid ini. Ruangan ini cukup luas yang dapat menampung banyak orang pada bagian dalamnya. Tidak terdapat tiang-tiang penopang langit-langit pada bangunan ini, bangunan ini hanya ditopang dengan tembok-tembok masjid yang mengelilinginya. Bentuk mihrab pada masjid ini sangat sederhana dan kecil berdenah persegi panjang yang memang hanya difungsikan sebagai tempat imam shalat. Mihrab pada bangunan masjid ini hanya berukuran 3x1,5m dengan ketinggian 3m. Pada bagian tengah dinding mihrab terdapat sebuah ventilasi kecil. Di bagian kiri mihrab terdapat mimbar berupa bangku dan meja yang terbuat dari kayu yang dapat dipindah sewaktu-waktu. Pada bagian bagian kanan dan kiri mihrab tidak terdapat ruangan yang biasanya digunakan sebagai tempat pengurus masjid beristirahat. Atap pada bangunan Masjid Cipari ini memiliki bentuk limasan. Atap limasan merupakan atap dengan empat bidang miring yang pada bagian atasnya saling bertemu. Bentuk seperti ini banyak digunakan pada rumah-rumah tinggal. Atap seperti sangat cocok digunakan pada wilayah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Dengan atap seperti ini, air hujan yang turun otomatis akan langsung turun kebawah dan tidak tertahan pada bagian atas. Atap masjid ini memiliki empat sisi, dengan sisi utara dan selatanya lebih panjang daripada sisi bagian barat dan timur. Atap masjid ini terbuat dari genteng berwarna oranye, dan disekeliling atap ini dikelilingi tembok beton. Atap seperti ini ditopang oleh kerangka atap membentuk kuda-kuda sebagai penahan atap yang terbuat dari kayu. Tembok beton tidak terlalu besar hanya terlihat sebagai penghalang air hujan. Hujan yang turun tidak langsung jatuh kebawah melalui genteng, air hujan akan tertahan diatas untuk selanjutnya mengalir melalui pipa pembuangan. Tinggi tembok beton 30cm dengan panjang temboknya sekitar 1,5m, yang bentuknya selang seling naik dan turun setiap 2m, yang membuat masjid ini terlihat seperti sebuah kastil. Kondisi atap pada bangunan masjid ini masih tampak bagus dan tidak terdapat kerusakan
walaupun hanya terbuat dari genteng, sedangkan atap bagian menara memiliki bentuk kubah, yang terbuat dari beton dengan warna emas. Bentuk atap kubah pada menara masjid ini hampir sama dengan bentuk-bentuk atap kubah masjid lainya hanya terdapat sedikit tambahan ornamen pada bagian badanya. Salah satu masjid yang menggunakan atap kubah di Garut adalah Masjid Agung Garut. Pada bagian dalam atap kubah ini hanya berupa ruangan kosong yang terdapat tangga terbuat dari kayu untuk menuju lantai paling atas. Terdapat empat buah jenis jendela, jendela dengan bingkai kayu serta panil-panil kaca, fixed window, jendela tanpa kaca dan jendela nako. Pada bangunan induk secara keseluruhan terdapat 44 buah jendela, yang disetiap bagian Utara dan Selatannya terdapat 20 buah sedangkan pada bagian Barat terdapat 4 buah. Sedangkan untuk masing-masing barisnya terdapat 10 jendela. Beberapa jendela pada bagian bawah diberikan kanopi yang terbuat dari besi dengan atap asbes. Jendela bagian bawah memiliki ukuran 120x60 cm sedangkan pada bagian atas memiliki ukuran 100x60 cm. Jendela pada bangunan induk dan pada bangunan menara juga memiliki ukuran yang berbeda. Sedangkan pada menara, jendela pada masingmasing lantai memiliki ukuran dan jumlah yang berbeda-beda. Letak jendela pada bagian menara hanya berada di lantai satu hingga lima. Pada lantai satu terdapat dua buah Jendela yang bentuknya serupa dengan kaca pada bangunan induk dengan ukuran 120x60 cm dengan bingkai dan panil-panil kaca. Pada lantai dua terdapat tiga buah jendela. satu buah jendela nako pada bagian tengah yang mengarah kebagian Timur masjid yang terhalang oleh bangunan serbaguna dengan ukuran 132x80cm. Kondisi jendela nako ini sudah mengalami kerusakan yang pada beberapa bagian kacanya telah pecah. Pada ruang istirahat dan gudang lantai dua terdapat jendela kecil berukuran 60x50 cm, kedua kaca ini terbuat dari kaca dan kusen kayu serta dua panil horizontal pada bagian kacanya yang memiliki satu daun jendela. Pada lantai tiga terdapat tiga buah jendela, Jendela pada dinding Utara dan Selatan memiliki ukuran yang sama dengan ukuran 140x125cm namun tidak terdapat kaca pada jendela ini dan bagian luarnya tertutup oleh genteng, sedangkan jendela pada dinding Timur memiliki ukuran yang lebih kecil dan memiliki kaca dengan ukuran 132x80cm. Pada lantai empat terdapat empat buah jendela yang masing-masing memiliki ukuran yang sama dengan ukuran 132x80cm yang merupakan jendela mati. Jendela dinding Utara, Selatan dan Barat memiliki balkon kecil. Pada lantai kelima terdapat empat buah jendela yang memiliki ukuran yang sama dengan lantai empat, namun tidak terdapat balkon pada bagian luarnya. Bentuk lobang angin yang terdapat pada Masjid Cipari memiliki bentuk yang serupa dengan cara kedua. Bentuk lobang angin seperti ini terdapat Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
6 pada tiap deretan jendela bagian atas yang masingmasing jendela tersebut terdapat lubang angin yang berada pada bagian atasnya. Selain itu lubang angin seperti ini juga terlihat pada dinding sebelah timur yang posisinya berada di kanan dan kiri pintu masuk. Lubang angin ini juga terdapat pada lantai dua bangunan menara. Lubang angin pada bagian ini berhubungan langsung dengan bagian dalam bangunan masjid. Pada masjid ini, terdapat tiga buah pintu masuk. pintu utama letaknya terdapat pada bagian Utara dan Selatan bangunan, sedangkan pintu lainya berada pada bagian timur bangunan yang letaknya menempel dengan bangunan menara. Ketiga pintu terbuat dari kayu dan kaca. Ketiga pintu ini langsung berhubungan dengan ruangan utama masjid. Ketiga pintu memiliki ukuran yang sama dan letaknya menjorok kedalam. pintu masuk utama (Utara dan Selatan) diapit oleh dua buah pilar di bagian kanan dan kirinya yang terbuat dari beton. Pada bagian atas pintu terdapat plafon yang terbuat dari beton. Ketiga pintu ini terbuat dari bahan kayu dan kaca yang masing-masing memiliki ukuran 2x1m. Pintu pada bagian Timur berhubungan lansung atau menempel dengan menara. Pada ketiga pintu ini, tidak terdapat ornamen atau hiasan, ornamen garis-garis horizontal hanya terdapat pada tembok-tembok luar pintu. Untuk memasuki ruangan masjid melalui pintu Utara dan Selatan terdapat lima buah anak tangga yang terbuat dari tegel berwarna abu-abu. Lantai anak tangga memiliki bentuk yang serupa dengan lantai bagian dalam masjid dengan ukuran 20x20cm. Lantai pada bagian dalam dilapisi dengan karpet masjid. Pada Masjid Cipari lantai tidak memiliki motif hias. Kondisi keseluruhan lantai pada masjid ini tidak terlihat sepenuhnya karena tertutup oleh karpet masjid, yang terlihat hanya sebagian kecil di dekat pintu dan anak tangga. Plafon merupakan sebuah bagian langit-langit dari sebuah ruangan yang berhubungan langsung dengan atap. Plafon pada Masjid Cipari ini berbentuk datar dengan warna putih pada plafon ini terdapat ornamen berbentuk garis-garis tibul dengan pembagian yang simetris yang membentuk persegi merupakan ciri lokal. Pada plafon masjid tidak terdapat hiasan dan hanya terdapat dua buah lampu gantung. Plafon pada ruangan lain masjid ini hanya merupakan plafon biasa yang tidak terdapat motif hias. Ornamen yang menonjol pada Masjid Cipari lebih berbentuk pelipit pipih geometris. ornamenornamen seperti ini dapat dilihat pada bagian bangunan induk masjid pada sisi tembok luar, pada menara dan pada plafon ruang dalam. Pada bagian dinding elemen geometris ini sangat terlihat dominan karena ornamen ini hampir terdapat diseluruh bagian dinding yang bisa dilihat pada foto 1. Menara pada masjid ini terdiri dari tujuh lantai dan masing-masing lantai memiliki ruangan dan fungsi yang berbeda-beda. Menara berbentuk segi delapan
yang tegak lurus ke atas. Pada setiap lantai terdapat tangga yang terbuat dari kayu, tangga ini berukuran kecil hanya dapat dilewati satu orang. Di setiap lantai dilapisi dengan karpet bewarna hijau. Beberapa lantai memiliki jendela yang memiliki ukuran yang berbedabeda. Pada menara terdapat atap berbentuk kubah yang terbuat dari beton dengan warna emas, seperti kubahkubah pada masjid lainya. pada bagian kemuncak diberi hiasan bulan sabit dan bintang yang terbuat dari aluminium, bertangkai besi berbentuk memanjang vertikal.
Foto 2 Menara Masjid Cipari
Lantai pertama hanya merupakan sebuah ruangan dengan lebar sebesar 4x3m dengan ketinggian sekitar 2,5m. pada ruangan ini terdapat sebuah tangga untuk menuju kelantai dua. Ruangan ini digunakan sebagai gudang, hampir sama dengan ruangan yang ada di sebelahnya namun ruangan yang satu tidak terdapat tangga untuk mencapai lantai selanjutnya.
Gambar 3 Denah lantai satu
Lantai kedua terdapat tiga ruangan, ruangan pertama adalah sebuah ruangan yang digunakan sebagai tempat barang, ruangan ini juga berhubungan langsung dengan ruangan di sebelahnya. Ruangan ini berukuran 3x2,5m dengan ketinggian 2m. Lantai pada ruangan ini lebih rendah ruangan disebelahnya. Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
7
Gambar 4 Denah lantai dua
Lantai ketiga hanya berupa ruangan kosong dengan tangga untuk menuju lantai selanjutnya yang berukuran 3x4m. Pada lantai tiga ini terdapat tiga buah jendela. Dua buah jendela dengan ukuran yang cukup besar yang pada bagian Utara dan Selatannya yang pada bagian luarnya ditutupi oleh genteng atap masjid. Ukuran jendela ini 140x125cm, jendela dengan ukuran seperti ini hanya terdapat di lantai ketiga. Tidak terdapat kaca pada jendela ini, hanya kusennya saja yang terbuat dari kayu. Pada bagian Timur terdapat jendela yang memiliki ukuran lebih kecil yang terbuat dari kusen kayu dan kaca yang memiliki ukuran 132x80cm yang dapat dibuka maupun ditutup. Dari hasil wawancara dengan pengurus masjid, pada masa perjuangan jendela ini digunakan sebagai tempat untuk membidik musuh dari balik genteng yang menutupi jendela.
Ruang pada lantai lima memiliki denah berukuran 2x2,5m. pada lantai ini terdapat tangga yang terbuat dari kayu untuk menuju lantai selanjutnya. lantai ini hanya merupakan ruangan kosong. Pada dinding lantai lima ini terdapat empat buah jendela berbentuk persegi panjang yang memiliki ukuran yang sama. Jendela pada dinding lantai ini sama dengan jendela pada ruang lantai empat yaitu 132x80cm yang terbuat dari kaca dan kusen beton yang merupakan jendela mati.
Gambar 7 Denah lantai lima
Lantai enam memiliki ukuran 2x2m. Pada lantai ini terdapat tangga naik yang terbuat dari bambu untuk menuju lantai tujuh. Lantai ini merupakan ruangan kubah. tidak terdapat apa-apa pada ruangan ini dan hanya merupakan ruangan kosong. Tidak terdapat jendela pada ruangan ini sebagai keluar masuknya cahaya, hanya terdapat fentilasi kecil pada bagian dinding-dindingnya.
Gambar 5 Denah lantai tiga
Lantai keempat hanya berupa ruangan kosong dengan tangga untuk menuju lantai berikutnya dengan 2,5x3m. terdapat empat buah jendela yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran 132x80cm yang tidak dapat dibuka dan ditutup karena merupakan jendela mati. Letak jendela ini berada pada masing-masing tembok yang berbentuk persegi. Pada dinding lantai empat terdapat jendela yang memiliki balkon yang dibatasi pagar pembatas yang terbuat dari baja. ukuran balkon ini tidak terlalu besar dan tidak dapat dimasuki orang.
Gambar 8 Denah lantai enam
Lantai ketujuh merupakan puncak dari menara dengan ukuran kecil hanya muat untuk satu-dua orang dengan ukuran sekitar 1x1m. Untuk memasuki lantai ini terdapat sebuah pintu kecil yang terbuat dari baja, pintu ini bisa dibuka maupun ditutup agar pada musim hujan air tidak dapat masuk. Pada lantai tujuh, lantai/pijakan terbuat dari plat baja yang dikelilingi balkon untuk duduk yang terbuat dari plat baja. Pada lantai ini terdapat pengeras suara yang berfungsi untuk mengumandangkan adzan maupun pemberitahuan mengenai sesuatu.
Gambar 6 Denah lantai empat
Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
8
Gambar 9 Denah lantai tujuh
Hampir setiap ruangan yang terdapat pada masing-masing lantai tidak memiliki fungsi, hanya ruangan pada lantai satu dan ruangan pada lantai dua saja yang memiliki fungsi. Pada lantai satu terdapat dua buah ruangan yang fungsi dari masing-masing sebagai gudang. Pada lantai dua ruangan paling Selatan memiliki fungsi sebagai tempat beristirahat. Sedangkan fungsi ruangan pada lantai-lantai dan ruangan selanjutnya tidak jelas dan kebanyakan hanya digunakan sebagai ruangan kosong. Lantai pada menara terbuat dari kayu sehingga langit-langit pada menara berupa sebuah barisan kayu. Tangga naik terbuat dari kayu yang memiliki pegangan sedangkan pada tangga lantai enam menuju lantai tujuh tidak memiliki pegangan.
4. Analisis 4.1 Gaya Bangunan Asing Pada awal abad 20 di Hindia Belanda muncul berbagai gaya arsitektur modern yang di bawa dari Eropa diantaranya Imperium, Art Deco, Art Nouveau, De Stijl dan Amsterdam School. Gaya-gaya ini memiliki cirinya masing-masing. Imperium memiliki ciri gaya arsitektur Eropa yang dipadukan dengan arsitektur Yunani dan Romawi klasik. Bentuknya digambarkan dengan penggunaan tiang-tiang seperti ionik dan hiasan-hiasan yang rinci pada bangunanya (Nas, 2009: 173). Art Deco menunjukan kesan mewah dan romantisme pada bentuk bangunannya, pemakaian bahan dasar yang langka serta mahal yang jarang digunakan pada gaya lain, memiliki bentuk yang masif, kuat dan kokoh yang dapat bertahan lama, menggunakan atap datar dan lain-lain yang menggambarkan kemegahan dari sebuah bangunan. Art Nouveau ditandai dengan hiasan organik yang berbentuk sulur-suluran, tanaman maupun bunga yang menggambarkan bahwa seni menjadi bagian kehidupan sehari-hari. Intinya seni ini lebih menekankan pada bentuk organik dengan dekorasi yang berlebihan (Calloway, 1996: 336). De Stijl memiliki bentuk yang sederhana yang menggunakan garis lurus horizontal maupun vertikal dan bentuk-bentuk persegi panjang pada arsitekturnya.
Menggunakan teknologi-teknologi canggih yang menggunakan mesin sebagai penghasil karyanya. Para arsitek gaya ini menganggap hasil karya mereka sebagai estetika publik atau estetika universal yang siapa saja dapat memilikinya (Handinoto, 2007: 48). Selain itu ciri gaya bangunan ini berdiri di atas lahan luas terbuka, yang menerapkan konsep kesederhanaan, kemurnian, keseimbangan dan keselarasan (Sumalyo, 1997: 184). Pengaruh Amsterdam School bisa dibilang tidak terlalu besar di Nusantara. Amsterdam School menekankan kepada keorisinilan dari sebuah arsitektur, yang berarti ide atau pkiran seorang arsitek harus terlihat didalam bentuk bangunan. Selain itu mengekspresikan ide dari suatu gagasan lebih penting dibanding suatu studi rasional atas kebutuhan perumahan. Para arsitektur Amsterdam School juga lebih memperhatikan bentuk interior agar seimbang dengan bentuk eksteriornya. Bangunan jenis ini biasanya dibuat dari susunan bata yang dikerjakan dengan keahlian yang tinggi (Handinoto, 2007: 51-53). Selain gaya-gaya tersebut pada tahun 1920 muncul sebuah gaya yang disebut Nieuwe Bouwen. Gaya ini mencoba untuk memperlihatkan bentuk sederhana tanpa hiasan yang tidak seperti gaya-gaya bangunan yang ada sebelumnya yang menggunakan kemegahan dalam bentuk bangunan. Gaya ini mencoba untuk memperlihatkan bahwa dengan kesederhanaan dapat membentuk sebuah bangunan yang lebih baik. Karakteristik dari gaya bangunan ini adalah memiliki warna putih yang dominan diseluruh bagian, menggunakan atap datar, gevel horizontal dan volume bangunan berbentuk kubus (Hardinoto, 1993:13). Ciri-ciri dari bangunan Nieuwe Bouwen, memiliki bentuk bangunan yang masif dan kokoh yang dibangun dengan alat-alat modern, bentuk bangunan sederhana dengan keterbatasan lahan dan beradaptasi dengan gaya setempat, sekala yang digunakan lebih manusiawi dan tidak terlalu tinggi, dinding di plester dan di cat putih, detail bangunan diperhatikan, beratap datar, volume bangunan berbentuk kubus, penggunaan material modern seperti beton, baja dan lain-lain. Tidak seperti gaya-gaya bangunan sebelumnya yang memperlihatkan kemegahan dan keagungan sebuah bangunan yang terkesan pamer. Arsitektur Indis pada awal abad ke-20 menyatakan sebuah gambaran realitas, atas keterikatannya dengan adat istiadat "lokal" dan juga sebagai ungkapan status translokal. Gaya indis merupakan gaya percampuran antara kebudayaan lokal dengan kebudayaan asing. Kebudayaan Indis mencangkup kehidupan sehari-hari masyarakat. Nieuwe Bouwen di sisi lain juga mengajukan penegasan yang sama dengan tradisi para pendukung modernisme yang lebih bersifat "formalistik", lebih "otonom" dan "Universal". Indis dan Nieuwe Bouwen sama-sama berusaha untuk menyingkirkan kebudayaan imperium (Nas, 2009:180). Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
9 Gaya-gaya tersebut merupakan gaya murni yang dibawa oleh arsitek-arsitek Belanda, dengan bercampurnya kebudayaan asing dengan kebudayaan lokal menghasilkan sebuah kebudayaan perkawinan atau kebudayaan campuran yang disebut dengan kebudayaan Indische.
4.2 Masjid Agung Manonjaya Masjid Manonjaya memiliki arsitektur kolonial namun dalam bentuk bangunanya tetap menggunakan ciri masjid kuno Jawa berbeda dengan Masjid Cipari yang hampir secara keseluruhan berbentuk bangunan kolonial.
Gambar 10 Denah Masjid Agung Manonjaya
Foto 3 Masjid Agung Manonjaya
Perbandingan antara Masjid Cipari dengan Masjid Agung Manonjaya yang pertama terletak pada bentuk denah. Seperti yang telah dijelaskan pada bab 3, denah Masjid Cipari berbentuk persegi panjang dengan ukuran 30x10m yang pada tembok bagian Barat terdapat bangunan yang menjorok yang merupakan sebuah mihrab. Pagar keliling masjid ini berupa perumahan penduduk pada arah Utara, Selatan dan timurnya, sedangkan pada arah Barat pagar keliling berupa bangunan sekolah (lihat gambar 3.1) . Sedangkan denah pada Masjid Agung Manonjaya berbentuk bujur sangkar berukuran 22,85x24,40 m yang pada tembok bagian Barat terdapat bangunan mihrab yang merupakan salah satu ciri penting bangunan masjid. Memiliki pagar tembok disekeliling masjid. Terdapat beberapa ruangan pada masjid ini yang terdiri dari ruang shalat, perpustakaan, serambi, gudang dan pawestern. Pada bagian sebelah Timur masjid terdapat bangunan tambahan yang terdiri dari penampil serambi Timur, koridor dan menara.
Fondasi pada Masjid Cipari berbentuk persegi panjang yang mengikuti bentuk denahnya sedangkan pada Masjid Agung Manojaya berbentuk bujursangkar. Bentuk dari kedua fondasi ini mengikuti bentuk bangunan masjidnya. Kedua masjid ini menggunakan pondasi masif yang merupakan tembok pejal dengan tinggi 1 m di atas permukaan tanah. Ketinggian pondasi ini merata keseluruh komponen bangunan. Pada Masjid Cipari bagian kaki dilapisi dengan susunan batu kali sedangkan pada Masjid Agng Manonjaya hanya berupa tembok biasa. Masjid Cipari dan Masjid Agung Manonjaya menggunakan tegel pada lantainya. Pada Masjid Cipari lantai tegel berwarna abu-abu berukuran 20x20cm yang terdapat disemua sisi bangunan dan dilapisi oleh karpet masjid. Pada bagian menara, lantai satu dilapisi dengan tegel yang sama dengan yang ada di ruang shalat, sedangkan pada lantai dua hingga lantai enam menggunakan lantai kayu yang dilapisi dengan karpet berwarna hijau. Sedangkan pada lantai tujuh dilapisi dengan plat baja. Pada Masjid Agung Manonjaya Lantai permukaan dilapisi oleh tegel warna merah dengan ukuran 30x30. Pada lantai diruangan mihrab tegel dilapisi dengan karpet yang berwarna hijau. Dinding pada Masjid Cipari secara keseluruhan terbuat dari dinding beton. Selain dinding yang terbuat dari beton, dinding ini juga dilengkapi dengan motif hias berupa pelipit-pelipit yang ada diseluruh bagian tembok. Dinding juga dilengkapi dengan lubang angin dan berbagai macam bentuk jendela. Pada bagian menara secara keseluruhan terbuat dari beton yang dilengkapi dengan lubang angin dan jendela. Hampir sama dengan Masjid Cipari dinding pada Masjid Agung Manonjaya juga terbuat dari beton.
Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
10 Penggunaan material beton pada dinding, membuat bangunan terlihat lebih kokoh. Ruangan pada Masjid Cipari memiliki ukuran 29x9 meter. Berdenah persegi panjang yang dibentuk oleh empat buah dinding berbentuk siku-siku. Dilapisi lantai tegel berwarna abu-abu dengan ukuran 20x20 cm yang dilapisi dengan karpet masjid. Tidak terdapat tiang-tiang sebagai penopang atap, atap hanya di tahan oleh tembok keliling bangunan. Pada Masjid Agung Manonjaya memiliki denah ruang shalat yang sama yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran 22,8x16,70 meter yang dibentuk oleh sudut siku-siku. Pada masjid Agung Manonjaya dilapisi lantai tegel berwarna merah yang hampir keseluruhan lantai ditutupi dengan karpet masjid. Bentuk atap Masjid Cipari memiliki perbedaan bentuk dengan bentuk atap Masjid Agung Manojaya. Atap Masjid Cipari berbentuk limasan dengan sisi Utara dan Selatan lebih panjang dibandingkan sisi Barat dan Timur, berbahan tanah liat dengan warna oranye. Atap pada masjid ini di topang oleh susunan kuda-kuda yang terbuat dari kayu yang diperkuat dengan paku. Bentuk atap pada bagian menara Masjid Cipari berbentuk kubah. Sedangkan bentuk atap pada masjid Agung Manonjaya berbentuk tumpang, yang lazim digunakan pada masjid Kuno Jawa. Atap ini juga menggunakan kuda-kuda kayu sebagai penahan atap yang direkatkan dengan paku. Sedangkan bentuk atap pada bagian menara masjid memiliki bentuk meruncing. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab deskripsi sebelumnya, menara Masjid Cipari terletak pada bagian Timur masjid yang menempel dengan dinding masjid. Denah menara berbentuk segi delapan berjumlah satu yang terbuat dari tembok beton dan terdiri dari 7 lantai yang masing-masing lantai dihubungkan dengan tangga kayu. Pada setiap lantainya terdapat sebuah ruangan kosong, pada lantai satu dan dua ruangan tersebut memiliki fungsi yang jelas, yaitu lantai satu digunakan sebagai gudang sedangkan lantai dua digunakan sebagai tepat beristirahat pengurus masjid sedangkan pada lantai selanjutnya banyak ruangan yang tidak memiliki fungsi dan dibiarkan kosong. Atap menara masjid ini berbentuk kubah yang terbuat dari beton. Menara pada masjid Agung Manonjaya berjumlah dua buah yang terletak pada bagian Timur masjid yang berhubungan langsung dengan koridor, dengan kata lain letak menara ini menempel dengan bangunan masjidnya. Selain itu, menara pada masjid ini keseluruhan terbuat dari tembok beton dengan denah berbentuk segi delapan. Terdiri dari beberapa lantai, yang setiap lantai memiliki fungsi yang berbedabeda dan masing-masing lantai di hubungkan dengan tangga kayu. Atap menara berbentuk kerucut yang meruncing.
Ragam hias pada Masjid Cipari hanya terdiri dari satu jenis saja. Jenis ornamen yang ada pada masjid ini berupa pelipit-pelipit geometris memanjang yang hampir terlihat diseluruh dinding masjid. Jenis seperti ini merupakan ciri khas dari ragam hias jenis Art Deco yang menunjukan kemegahan dan keindahan dari sebuah bangunan. Pada Masjid Agung Manonjaya terdapat berbagai macam bentuk ragam hias, seperti pelipit, pilaster, lengkungan, tunas, antefiks dan lainlain. Ragam hias yang diambil sebagai perbandingan adalah pelipit. Jenis pelipit yang terdapat pada Masjid Cipari merupakan jenis pelipit penyangga, sedangkan pada Masjid Agung Manonjaya terdapat dua jenis pelipit penyangga dan setengah lingkaran. Pagar keliling masjid ini terbentuk dari bangunan-bangunan pemukiman yang ada disekelilingnya sehingga membentuk pagar keliling (Lihat ganbar 1). Pada sisi Utara, Selatan dan Timur pagar masjid ini berupa perumahan penduduk sedangkan pada sisi Barat pagar masjid berupa bangunan sekolah. Pada Masjid Agung Manonjaya pagar keliling berupa tembok seperti pada masjid umumnya yang memiliki dua buah pintu untuk masuk kedalam lingkungan masjid.Walaupun memiliki jenis bentuk pagar keliling yang berbeda, namun kedua masjid ini sma-sama dibatasi oleh pagar yang merupakan ciri khas dari masjid kuno yang ada di Jawa.
Tabel 1 Persamaan dan perbedaan bentuk, bahan dan kondisi Masjid Cipari dan Masjid Agung Mannojaya
Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
11
4.3 Gereja Santo Yosef Selain Masjid Agung Manojaya, data pembanding juga diambil dari bangunan kolonial lain yang memiliki bentuk yang sama. Data pembanding yang digunakan adalah Gereja Santo Yosef. Gereja ini terletak di Jalan Matraman Raya, Nomor 127, Jakarta Timur, yang berdiri pada tahun 1923. Gereja ini diambil sebagai data pembanding dengan Masjid Cipari karena memiliki kemiripan bentuk.
Foto 4 Gereja Santo Yosef
Jika dilihat secara langsung, Gereja Santo Yosef ini memiliki bentuk denah yang memanjang seperti bentuk persegi, namun kenyataanya gereja ini memiliki denah berbentuk salib. Bentuk salib tersebut tidak terlalu menonjol pada bentuk denahnya, sehingga bentuk denah pada gereja ini terlihat seperti bentuk persegi panjang. Fondasi pada Gereja Santo Yosef merupakan fondasi masif begitu juga dengan Masjid Cipari. Persamaan yang lebih mencolok terlihat pada susunan batu kali yang terletak pada bagian kaki bangunan. Kedua bangunan ini menggunakan susunan batu kali pada bangunanya. Dinding pada Gereja Santo Yosef ini secara keseluruhan terbuat dari dinding beton yang pada bagian kakinya terdiri atas susunan batu kali. Bentuk dinding gereja ini sama dengan bentuk dinding Masjid Cipari yang secara keseluruhan yang terbuat dari beton. Selain itu terdapat deretan jendela pada dinding bagian kanan dan kiri bangunan yang terdiri dari dua tingkat. Bentuk jendela pada bangunan gereja ini memiliki bentuk yang cukup besar yang menunjukan bahwa bangunan tersebut merupakan bangunan sakral dengan gaya ghotic. Pada bangunan Gereja Santo Yosef terdapat tiga buah atap yang berbentuk limasan dengan genteng berwarna oranye yang terbuat dari tanah liat. Atap pada sisi kanan dan kiri sekarang ditinggikan dibandingkan
dengan atap yang ada pada bagian tengah, bentuk ini berbeda dengan bentuk awal yang ketiganya memiliki ketinggian yang sama. Terdapat tiga buah menara pada Gereja Santo Yosef. Terdapat satu buah menara utama yang tinggi serta dua buah menara samping yang lebih pendek. Setiap menara ditutupi dengan atap kubah. Pada bagian puncak menara terdapat lambang salib. Terdapat hiasan dekoratif pada bagian menara berbentuk pelipit yang dipadukan dengan jendela bulat. Terdapat jendela kurus panjang pada bagian tengah menara (Heuken, 2002: 213-214). Bentuk hiasan pelipit pada gereja ini memiliki bentuk hiasan yang hampir sama pada Masjid Cipari. Menara pada kedua bangunan ini lebih di dominasi dengan hiasan-hiasan pelipit pada bangunanya. Hiasan pelipit seperti ini merupakan ciri dari gaya art deco. Ragam hias pada Gereja Santo Yosef hanya berupa pelipit pada bagian menara dan dibeberapa kolom dinding bangunan. Bentuk pelipit seperti ini merupakan bentuk pelipit penyangga. Pelipit-pelipit ini terletak pada bagian pondasi pejal, siku luar kolom bangunan gereja serta pada bagian menara. Bentuk ragam hias pelipit ini memberikan kesan romantisme pada bangunan yang merupakan ciri khas dari gaya art deco, namun demikian bentuk ragam hias yang sederhana dan tidak berlebihan merupakan ciri dari gaya nieuwe bouwen
Tabel 2 Persamaan dan perbedaan bentuk, bahan dan kondisi Masjid Cipari dan Gereja Santo Yosef
Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
12 Denah pada bangunan Masjid Cipari ini berbentuk persegi panjang memanjang dari Barat ke Timur. Denah masjid seperti ini banyak digunakan pada masjid-masjid Kuno Jawa. Dengan denah berbentuk persegi panjang ini diharapkan masjid dapat menapung jumlah orang lebih banyak walaupun dengan ukuran yang kecil. Masjid Cipari menggunakan fondasi masif yang merupakan tembok pejal dengan tinggi satu meter di atas permukaan tanah. Namun pada bagian fondasi ini disusun oleh susunan batu kali yang umum digunakan pada bangunan pemukiman kolonial belanda. Hampir di seluruh Indonesia letak mihrab pada bangunan masjid memang terletak pada bagian Barat atau Barat Laut. Letak ini merupakan sebuah keharusan bagi setiap masjid yang ada di Indonesia untuk shalat menghadap ke ka'bah. Ketentuan itu berlaku bagi setiap warga muslim yang ada di dunia untuk shalat menghadap ka'bah. Dengan kata lain letak mihrab pada bangunan Masjid Cipari tidak di pengaruhi oleh faktor lain melainkan memang sebuah keharusan bangunan masjid. Sehingga ciri ini merupakan ciri khas bangunan masjid di Indonesia. Pada Masjid Cipari letak mihrab berada pada sisi bagian Barat masjid. Pada masjid Cipari pagar keliling bukan dibatasi dengan tembok, melainkan dengan perumahan penduduk pada sisi Utara, Selatan dan Timur bangunan sedangkan pada sisi Barat di batasi oleh sekolah. Pagar pada masjid ini tidak seperti masjid Kuno Jawa yang berbentuk tembok keliling, namun memanfaatkan bangunan sekitar menjadi tembok keliling masjid sehingga masjid tetap terlihat memiliki tembok keliling.
4.5 Unsur Bangunan Kolonial
Tabel 3 Foto Persamaan dan perbedaan Masjid Cipari, Masjid Agung Manonjaya dan Gereja Santo Yosef
4.4 Unsur Bangunan Lokal Komponen bangunan yang menggambarkan ciri dari pengaruh lokal yang ada pada Masjid Cipari dapat dilihat pada komponen-komponen bangunan yaitu denah persegi panjang, pondasi masif, mihrab di sisi Barat atau Barat Laut dan pagar keliling.
Komponen bangunan yang menujukan pengaruh asing atau kolonial yang bukan berasal dari kebudayaan tradisional atau lokal pada Masjid Cipari dapat dilihat dari komponen bangunan yaitu denah, fondasi, dinding, pintu, jendela, lantai, atap, menara dan komponen penunjang. Pembentukan denah biasanya dipilih menurut jenis dan fungsi dari sebuah bangunan. Sebagai contoh bangunan perumahan pada periode kolonial menggunakan denah persegi atau bujursangkar sedangkan pada bangunan perkantoran maupun sekolah yang membutuhkan kapasitas ruangan yang cukup besar menggunakan bentuk persegi panjang. Jadi dapat dikatakan bahwa bentuk denah mengikuti fungsi bangunan itu sendiri. Fondasi Masjid Cipari terdapat susunan batu kali yang merupakan ciri has dari bangunan kolonial. Bangunan kolonial dengan fondasi seperti ini dapat kita jumpai di rumah-rumah tinggal di sekitar kawasan Menteng. Penggunaan batu kali sangat cocok pada Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
13 bangunan yang berada pada iklim tropis yang berguna sebagai tampiasan air hujan. Dinding dengan material beton merupakan ciri dari bangunan kolonial. Selain itu dinding yang tebal dapat memperlihatkan kekokohan dan kemegahan dari bangunan itu sendiri. Pada dinding bangunan kolonial biasanya terdapat jenis-jenis ornamen yang menghiasinya. Jika dilihat dari bentuk dan jenisnya pintu pada Masjid Cipari ini merupakan pintu yang mendapat pengaruh asing atau kolonial dalam pembentukanya karena menggunakan material kaca. Jendela dikenal pada saat kedatangan bangsa kolonial. Jendela dapat berfungsi sebagai keluar masuknya udara maupun sebagai pencahayaan terhadap sebuah bangunan. Pada Masjid Cipari terdapat banyak jendela sehingga bangunan ini memperhatikan unsur pencahayaan dan udara pada waktu pembuatanya. Selain itu jenis kaca pada Masjid Cipari terdiri dari tiga jenis fixed window, casement window dan nako. Atap limasan terdapat pada bangunan inti masjid yang hampir menutupi seluruh bagian masjid. jenis atap seperti ini menggunakan struktur kuda-kuda pada bagian dalamnya sebagai penahan atap-atap tersebut. jenis konstruksi ini merupakan konstruksi modern. Atap berbentuk kubah berada pada bagian menara masjid. Kubah pada bangunan masjid ini terbuat dari material beton. Beton dan jenis atap seperti ini baru masuk ke Indonesia pada saat kedatangan oran-orang Eropa. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, menara pada Masjid Cipari terbuat dari beton. Selain itu pada menara ini dapat terlihat bentuk ornamen geometris seperti pelipit-pelipit pada bagian tembok masjid. Bentuk kokoh seperti ini merupakan ciri bangunan kolonial berjenis Art deco. Salah satu ciri dari art deco adalah, sebuah bangunan yang dibentuk mewah dengan kemegahan dari material-material modern yang terlihat kokoh. Bentuk lubang angin yang sederhana dan dengan hanya berbentuk garis mendatar yang panjang tanpa membentuk motif hias merupakan ciri dari gaya nieuwe bouwen yang memperlihatkan ciri kesederhanaan. Bentuk plafon langit-langit pada Masjid Cipari berwarna putih dengan motif pelipit yang membentuk kotak-kotak. Plafon yang memiliki pola hias mulai terlihat pada periode kolonial. Bentuk sederhana seperti ini merupakan ciri dari gaya nieuwe bouwen. Ragam hias pada masjid ini hanya satu jenis berbentuk pelipit geometris. Bentuk pelipit pada masjid ini cukup banyak terutama pada dinding luar bangunan masjid yang menunjukan kesederhanaan merupakan ciri dari gaya nieuwe bouwen. Tabel 4.6 Tabel analisis gaya pada bagian-bagian bangunan Masjid Cipari
Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
14 Jika dilihat dari tabel diatas dapat dilihat gaya yang mempengaruhi pembentukan Masjid Cipari. Masing-masing elemen gaya tersebut mewakili bagianbagian bangunan masjid dari bentuk fisik hingga ornamen-ornamen yang melekat pada Masjid Cipari.
5. Kesimpulan Masjid Cipari merupakan bangunan masjid yang memiliki bentuk berbeda dengan bangunan masjid kuno pada umumnya. Bentuk yang berbeda tersebut terlihat dari bentuk bangunan yang memanjang dengan menara yang menempel pada bangunan induknya. Selain itu sebagai sebuah bangunan masjid, masjid ini tidak memiliki serambi pada bagian luarnya. Masjid ini juga tidak memiliki pagar keliling seperti masjid kuno yang ada di pulau Jawa, melainkan menggunakan bangunan di sekitarnya sebagai pagar keliling. Secara keseluruhan masjid ini dibangun dari material beton yang baru dikenal sejak kedatangan bangsa Eropa. Selain itu pada bangunan masjid ini juga terdapat motif hias berupa pelipit-pelipit horizontal yang mengelilingi bangunan masjid. Ciri atau ornamen seperti ini sangat banyak ditemukan pada bangunanbangunan Eropa yang pada umumnya menggunakan ornamen-ornamen sebagai hiasan bangunannya. Dengan menggunakan ornamen-ornamen seperti ini sebuah bangunan akan terlihat megah dan berbeda dengan bangunan lainya. Jenis ornamen-ornamen pada bangunan kolonial berbeda-beda, salah satunya art deco yang memiliki ciri hiasan berupa bentukanbentukan garis atau balok yang tersusun secara berulang terus menerus secara teratur. Selain itu ada gaya art nouveau yang memiliki ciri berbentuk sulur atau motif flora yang mengambil dari bentuk alam. Secara keseluruhan bentuk bangunan ini merupakan percampuran kebudayaan antara kebudayaan Eropa dengan kebudayaan lokal. Salah satu bentuk percampuran bentuk bangunan yang terlihat pada masjid ini adalah pada bagian atap bangunan. Atap bangunan pada masjid ini berbentuk limasan yang terbuat dari genteng tanah liat yang menyesuaikan dengan iklim yang ada disekitar. Selain itu bentuk dinding yang terbuat dari beton merupakan ciri bangunan kolonial yang ada di Indonesia. Selain itu bentuk menara yang menjulang tinggi dengan bentuk megah dan kokoh merupkan bentuk menara dari kebudayaan Eropa. Dari ketiga ciri yang terdapat pada bangunan Masjid Cipari ini dapat dijelaskan bahwa bangunan ini merupakan bangunan yang memiliki percampuran kebudayaan. Permasalahan yang terdapat pada penulisan ini adalah " Apa saja pengaruh kebudayaan lokal dan kolonial yang ada di Masjid Cipari?”. Permasalahan tersebut dapat dijawab dengan melihat eterangan dan tabel 4.6 yang terdapat pada bab empat. Masjid Cipari dapat dibilang memiliki percampuran kebudayaan, percampuran kebudayaan tersebut dapat terlihat dari
kebudayaan lokal dan asing yang apa pada bentuk bangunanya. Kebudayaan lokal memang tidak terlalu dominan pada bangunan masjidnya, hanya terletak pada bagian fisik bangunan yang berarah hadap ke Barat, fondasi masif, atap yang berbentuk limasan serta ubin yang tidak memiliki motif hias yang terlihat sederhana. Sedangkan kebudayaan kolonial atau asing yang terdapat pada masjid ini cukup banyak. Kebudayaan asing hampir mendominasi seluruh bagian masjid. Kebudayaan asing pada masjid ini tidak hanya satu, namun ada beberapa gaya kebudayaan asing seperti art deco yang meliputi, dinding, menara dan ornamen pelipit; adapula gaya Indo-Eropa yang meliputi, fondasi yang menggunakan batu kali dan atap limasan yang merupakan percampuran kebudayaan; selain itu terdapat gaya arsitektur modern yaitu nieuwe bouwen yang meliputi bentuk dari transparasi ruangan dengan deretan jendela, bentuk dinding yang tebal dengan material beton, bagian atap yang menggunakan kuda-kuda, jendela yang menggunakan aluminium dengan bentuk sederhana, pintu berupa material kaca, langit-langit yang menggunakan ornamen garis timbul dan bentuk lubang angin yang sederhana berbentuk balok. Dapat dikatakan bahwa gaya yang dominan pada Masjid Cipari merupakan gaya asing yaitu nieuwe bowen yang merupakan arsitektur modern. Gaya nieuwe bouwen berkembang pada awal abad ke 20, sehingga tepat bila gaya ini mempengaruhi bentuk Masjid Cipari yang dibangun pada awal abad ke 20. Walaupun demikian, terdapat pula unsur-unsur lokal yang mempengaruhi bentuk masjid ini sehingga lebih tepat bila bangunan ini disebut sebagai bangunan yang memiliki kebudayaan indisch. Daftar Pustaka Anggapradja, Soelaeman. 1984. Sejarah Garut Dari Masa ke Masa dan Hari Jadi Garut, 17 Maret 1983. Garut Apipudin. 2010. Penyebaran Islam Di Daerah Galuh Sampai Dengan Abad Ke-17. Jakarta: Badan Litbang Dan Diklat Kementrian Agama RI Azyumardi Azra. Islam Nusantara: Jaringan Lokal dan Global. Bandung: Mizan, 2002. Calloway, Stephen. 1996. The Element Of Style A Practical Encyclopedia Of Interior Architectural Details From 1485 To The Present. New York: Rockefeller Center. Deetz, James. 1976. Invitation to Archaeology. New York: Garden City. Fanani, Achmad. 2009. Arsitektur Masjid. Yogyakarta: Bentang Anggota IKAPI. Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
15 Farouk, Omar. 1993. "Muslim Asia Tenggara dari Sejarah Hingga Menuju Kebangkitan Islam". Dlama Saiful Muzani (Editor) Pembangunan dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. 23-57. Furnivall, J.S. 1939. Netherlands Indie: A Study of Plural Economy. London: Cambridge University Press. Handinoto. 1993. Citroen dan Perkembangan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya (1919-1940). Dimensi Teknik Arsitektur No. 19 Agustus. Surabaya: Universitas Kristen Petra. 1-15. ------------. 1994. "Indische Empire Style" Gaya Arsitektur "Tempo Doloe" Yang Sekarang Hampir Punah. Dimensi Teknik Arsitektur No. 20 Desember. Surabaya: Universitas Kristen Petra. 1-12. ------------. 1998. Arsitektur Gaya "Indo Eropa" Tahun 1920an di Indonesia. Dimensi Teknik Arsitektur No 26 Desember. Surabaya: Universitas Kristen Petra. 1-8. ------------. 2007. "The Amsterdam School" Dan Perkembangan Arsitektur Kolonial di Hindia Belanda Antara 1915-1940. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35 No. 1 Juli. Surabaya: Universitas Kristen Petra. 46-58. Heuken SJ, A. 2001. Menteng 'Kota Taman' Pertama di Indonesia. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. ----------------. 2003. Mesjid-Mesjid Tua di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. ---------------. 2003. Gereja-Gereja Tua Di Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka. Hurgronje, Snouck. 1989. Islam Di Hindia Belanda. Jakarta: Bhratara. Juliadi. 2007. Masjid Agung Banten: Nafas Sejarah dan Budaya. Yogyakarta: Ombak. Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Ilmu Atropologi. Jakarta: Aksara Baru. Korver, A.P.E. Sarekat Islam, Gerakan Ratu Adil. Jakarta Kusno, Abidin. 2009. "Gaya Imperium Yang Hidup Kembali Setelah Mati". Dalam Peter J.M. Nas (editor). Masa Lalu Dalam Masa Kini. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Niel, Robert Van. 1984. Munculnya Elit Modern Indonesia, terjemahan Ny. Zahara Deliar Noer. Jakarta: Pustaka Jaya.
Nuralia, Lia. 2008. “Masjid Cipari Garut: Bangunan Kolonial Dalam Perspektif Arkeologi”. Dalam Supratikno Rahardjo (Editor). Penelitian Dan Pemanfaatan Sumberdaya Budaya. Bandung: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. 17-33. Pijper, G.F..1984. Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Diterjemahkan oleh Tudjimah dan Augusdin. Depok: Universitas Indonesia. Pringgodigdo, A.K. 1970. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: PT. Dian Rakyat. Ricklefs, M.C. 1991. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Rochym, Abdul. 1983. Masjid dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia. Bandung: Angkasa . Sharer, Robert dan Wendy Ashmore. 2003. Archaeology Discovering Our Past. New York: The McGraw Hill Companies, Inc. Sumalyo, Yulianto. 1995. Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. ------------. 2005. Arsitektur Modern: Akhir Abad XIX Dan Abad XX. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soekiman, Djoko. 2011. Kebudayaan Indis Dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi. Jakarta: Komunitas Bambu. Syafwandi. 1993. Estetika dan Simbolisme Beberapa Masjid Tradisional di Banten Jawa Barat: Cilegon. Direktorat pendidikan dan kebudayaan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai Budaya. Syalabi, A. 1973. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Jayamurni. Tjandrasasmita, Uka. 1974. Sejarah Jawa Barat Suatu Tanggapan. Bandung. ---------.1993. "Jaman Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia". Dalam Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia. Edisi ke-4. Cetakan ke-18. Jakarta: Balai Pustaka. --------, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG.
Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013
16 Yusuf, Mundzirin. 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka. 1993. Keanekaragaman Bentuk Masjid di Jawa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Masjid 2000, Pusat Studi dan Dokumentasi Masjid Nusantara Tropen Museum.com (diunduh pada tanggal 6 Juni 2013, pukul 10.30) jabarprov.go.id (diunduh pada tanggal 8 Juni 2013, pukul 20.10) skyscrapercity.com (diunduh pada tanggal 8 Juni 2013, pukul 20.25) Gereja-Katolik.net (diunduh pada tanggal 9 Juni 2013, pukul 15.10)
Universitas Indonesia
Unsur-unsur..., Dimas Seno Bismoko, FIB-UI, 2013