UNSUR PENGGUGAH ASA DALAM KUMPULAN PUISI “LAGU PEMACU OMBAK” KARYA SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA (Nur Chorimah Bayu Tri Purnaningsih | PBSI B 2015/15201241058)
ABSTRAK Sultan Takdir Alisjahbana adalah salah satu tokoh utama dari sastra Pujangga Baru. Ia hidup di tengah-tengah pergolakan bangsa yang penuh dengan tekanan dan ancaman nyata dari penjajah. Ia tak bisa dengan terangterangan melawan penjajah. Namun, bukan berarti semangatnya sirna. Semua semangatnya yang berkobar dan harapannya ia tuangkan ke dalam setiap bait-bait puisinya yang indah. Dalam diksinya yang tampak lembut dan bernuansa alam, berisikan semangat yang besar dan berkobar-kobar. Seseorang yang membaca puisi-puisinya tentu bisa merasakan semangat menggelora yang mendambakan kebebasan dan kemenangan tersembunyi dalam bait-bait puisinya, dan merasa termotivasi atau bersemangat setelah membaca puisi-puisinya. Unsur penggugah asa tersebut banyak terkandung dalam puisi-puisinya.
A. PENDAHULUAN Sutan Takdir Alisjahbana, lahir di Natal, Tapanuli, 1908. Ia adalah tokoh utama sastra Pujangga Baru, yang terkenal karena daya kerja dan daya kreatifnyan yang luar biasa. St. Takdir aktif diberbagai kegiatan kebudayaan dan kebahasaa. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di Balai Pustaka dan kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru. St. Takdir pernah menyatakan bahwa meskipun usianya tujuh puluh tahun, tetapi jiwanya tetap tujuh belas tahun, artinya tetap muda dan bersemangat. Namun juga di usia tujuh belas tahun dia telah berjiwa tujuh puluh tahun, artinya sejak muda telah matang sebagai manusia (Sumardjo, 1992: 84). St. Takdir hidup dan mengharum di angkatan Pujangga Baru yang lahir ditengahtengah pergolakan kebangsaan. Hal ini memberi pengaruh terhadap para sastrawannya. Dalam Pujangga Baru banyak dijumpai masalah cinta tanah air dan
dambaan terhadap persatuan bangsa. Namun sejak tahun 1930 Gubernur Jendral B.C. de Jonge (1931-1936) banyak melakukan tekanan terhadap kaum nasionalis. Dan kaum nasionalis sendiri akhirnya bersikap moderat terhadap penjajah. Masa radikal yang berkobar-kobar sejak tahun 1920 berakhir. Karena kaum Pujangga Baru banyak yang aktif dalam bidang politik dan mengalami gejolak masa radikal, makan tekanan bidang politik gubernur jenderal ini membawa pengarahu juga terhadap sifat sastranya. Nasionalisme Pujangga Baru menjadi moderat. Merka tidak mau terang-terangan mengungkapkan nasionalisme secara radikal. Mereka menggunakan lambang dan kiasan. Penggunaan lambang ini menunjukkan hasrat kebebasan dan nasionalismenya dengan cara-cara tersembunyi, tidak mau terang-terangan. Lambang-lambang yang banyak digunakan oleh kaum Pujangga Baru kebanyakan diambil dari alam (Sumardjo, 1992: 80-82). Meskipun mereka mendapat tekanan dan ancaman yang nyata dari penjajah Belanda, semangat mereka tidaklah pudar, hanya saja penyampaian tersebut tidak secara terang-terangan. Semangat mereka, Sutan Takdir Alisjahbana, diungkapkan melalui sajak-sajak atau puisi-puisi yang indah berupa lambang dan kiasan.
B. PUISI PENGGUGAH ASA Secara ringkas, Tarigan (1985:8) menyampaikan bahwa setiap puisi merupakan ekspresi dari pengalaman imajinatif manusia. Maka pertama sekali yang diperoleh setelah membaca suatu puisi adalah pengalaman. Semakin banyak seseorang membaca puisi serta menikmatinya maka semakin banyak pula pengalaman yang diperoleh dan dinikmatinya, terlebih pula pengalaman imajinatif. Puisi merupakan karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna (Pradopo, 2012: 2). Puisi itu mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi itu merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam bentuk yang paling berkesan (Pradopo, 2012: 7).
Sementara, menurut Sayuti (2010: 3-4), puisi dapat dirumuskan sebagai sebentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnya; yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar-pendengarnya. Asa secara sederhana diartikan sebagai harapan atau semangat (KBBI). Asa sebagai harapan, berarti asa merupakan bentuk dasar dari kepercayaan akan sesuatu yang diinginkan untuk didapatkan atau suatu kejadian yang akan berbuah kebaikan di waktu yang akan datang. Asa sebagai semangat, berarti kekuatan batin atau roh kehidupan yang menjiwai segala makhluk untuk berjuang atau bekerja keras demi mencapai suatu tujuan (wikipedia.com). Dalam hal ini, puisi penggugah asa, berarti sebuah puisi, ekspresi pengalaman imajinatif sesorang yang dirumuskan dengan pengucapan bahasa tertentu dan memiliki nilai estetis, yang mengandung makna yang membangkitkan harapan, semangat, dorongan untuk berjuang, agar mencapai suatu tujuan bagi orang yang membacanya. Puisi-puisi Sutan Takdik Alisjahbana yang lahir di tengah pergolakan kebangsaan dan masa penjajahan, memiliki ciri sebagai puisi penggugah asa, yaitu mengandung semangat serta harapan dari kaum Pujangga Baru, khususnya St. Takdir sendiri, yang diungkapkan melalui bahasa yang indah dan penuh dengan lambang serta kiasan. Puisi-puisi St. Takdir merupakan ekspresi jeritan dari dalam dirinya yang mendambakan kebebasan, pembangkit semangat, sekaligus kritik sosial terhadap keadaan di masa itu, yaitu di mana para kaum nasionalis dan sastrawan mendapatkan tekanan dan ancaman nyata dari para penjajah. Khususnya pada kumpulan puisinya yang berjudul “Lagu Pemacu Ombak” C. UNSUR PENGGUGAH ASA DALAM “LAGU PEMACU OMBAK” Kumpulan puisi “Lagu Pemacu Ombak” karya Sutan Takdir Alisjahbana terdiri dari sembilan belas puisi di dalamnya, namun hanya diambil sembilan puisi untuk dianalis, yaitu “Nikmat Nahkoda Menuju Pelabuhan”, “Seindah Ini”, “Selalu Hidup”, “Jangan Tanggung Jangan Kepalang”, “Kalah dan Menang”, “Buah Karet”, “Menuju
ke Laut”, “Pemacu Ombak”, dan “Hidup di Dunia Hanya Sekali”. Sembilan puisi ini mengandung unsur penggugah asa di dalamnya, makna yang terkandung di dalamnya memberikan kesan yang membangkitkan semangat atau motivasi pembacanya, serta berisikan harapan dari kaum Pujangga Baru, khususnya St. Takdir. Berikut penjabarannya: Nikmat Nahkoda Menuju Pelabuhan Lang putih jauh sayup menyisir awan. Dari kapal beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan. Wahai Tuhan, tiadakan lagi kapalku dengan bendera girang berkibar di-iramakan ombak masuk pelabuhan. Dengan layar compang-camping dan kemudi gila serupa ini, pastilah kapalku akan terkandas di gosong atau di karang. * Biarlah, biarlah! Tariklah beta, gosong, pada pasirmu yang liat! Hancurkanlah beta, karang, pada batumu yang keras! Tetapi selama pengembaraanku ini sejenak lagi beta hendak bertangas dalam harapan. Sekali lagi beta hendak mengecap nikmat nahkoda menuju pelabuhan. * Lang putih jauh sayup menyingsir awan Dari kapal beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan. Tampak pada puisi di atas, khusunya pada bait kedua dan ketiga. Di situ diungkapkan seakan-akan penulis menantang untuk menghancurkan dirinya sendiri, namun penulis juga masih memiliki harapan dan tetap bersemangat dalam berjuang, penggugah asa. Hal tersebut terlihat pada kalimat “Tetapi selama pengembaraanku ini sejenak lagi beta hendak bertangas dalam harapan; Sekali lagi beta hendak mengecap nikmat nahkoda menuju pelabuhan; Dari kapal beta tahulah beta, bahwa masih ada tanah daratan”. Penulis percaya dan berharap bahwa ia bisa kembali ke dalam kebebasan yang didambakannya (daratan), tidak selalu terombang-ambing di atas kapal oleh laut, yang berarti tidak selalu mengikuti perintah dan kemauan dari penjajah atau siapapun itu yang mengatur dan mengekang segalanya.
Seindah Ini Tuhan, Terdengarkah kepadamu himbau burung di hutan sunyi meratapi siang di senja hari? Remuk hancur rasa diri memandang sinar lenyap menjauh di balik gunung. Perlahan lahan turun malam menutupi segala pandangan. * Menangis, menangislah hati! Wahai hati, alangkah sedap nikmatnya engkau pandai menangis! Apa guna kutahan, apa guna kuhalangi? * Aku terima kasih kepadamu, Tuhan, memberiku hati tulus-penyerah seindah ini: Sedih pedih menangis, waktu menangis! Girang gembira tertawa, waktu tertawa! Marak mesra bercinta, waktu bercinta! Berkobar beryala berjuang, waktu berjuang! Pada bait terakhir, bait ketiga, tampak bahwa penulis berusaha untuk melepas segalanya, tanpa menahan bagaimana perasaanya. Jika perlu sedih, maka menangis. Jika senang, maka tertawa. Jika mencintai, maka bercinta. Dan jika waktunya berjuang, maka berjuang. Unsur penggugah asa tercermin pada bait ketiga ini, yaitu bersemangat sekaligus berharap, tanpa perlu menahan apapun, melepas semua perasaan, dan melakukan sesuatu sesuai dengan perasaan tersebut. Pada kalimat terakhir, “Berkobar bernyala berjuang, waktu berjuang!” menegaskan bahwa penulis akan berjuang untuk apapun yang diinginkan, tanpa memperdulikan yang lainnya. Selalu Hidup Dan ketika aku melihat dari kebunku ke bawah, ke sawah tunggul jerami di tanah yang rekah, dan dari sana memandang ke bukit kering merana, terus ke hutan hijau dibaliknya, sampai ke gunung yang permai bersandar di langit biru,
maka masuklah bisikan ke dalam hatiku: Hidup ialah maju bergerak, selalu, selalu maju bergerak, gembira berjuang dari tingkat yang satu ke tingkat yang lain. .................................................. Topan, datanglah engkau menyerang! Malang, datanglah engkau menghalang! Kecewa, engkaupun boleh datang mendera! Badanku boleh terhempas ke bumi! Hatiku boleh hancur terbentur! Wahai, teman, besi baja yang keras hanya dapat ditempa dalam api yang panas. Dan Tuhan, berikan aku api senyala-nyalanya! Tiap-tiap beta keluar dari nyalamu, terlebur dalam bakaran apimu, nampak kepada beta: Dunia bertambah jelita! Diriku bertambah terkarunia! Dan engkau, Tuhan, bertambah mulia!. Pada bait pertama, pada kalimat “Hidup ialah maju bergerak, selalu, selalu maju bergerak” tampak kesan penggugah asa, harapan dan juga semangat. Hidup ialah maju bergerak, artinya menuju masa depan yang lebih baik dengan bergerak atau berusaha, dengan berjuang. Pada bait kedua, penulis seakan-akan menantang bahaya, dengan kata topan, malang, kecewa, yang boleh datang, serta jiwa dan raganya boleh hancur. Penulis tidak merasa takut pada apapun. Ia akan menghadapi apapun masalah yang akan datang padanya, tanpa takut dan gentar. Selain itu, pada kalimat “Dan Tuhan, berikan aku api senyala-nyalanya!” menandakan bahwa penulis menginginkan sebuah kekuatan besar, semangatnya bergelora, untuk melawan apapun yang menjadi musuhnya. Kata api yang sering muncul di akhir bait kedua, identik dengan sebuah semangat yang menyala-nyala, semangat yang besar, semangat yang berkobar.
Jangan Tanggung Jangan Kepalang Jangan tanggung jangan kepalang, Bercipta mencipta, Bekerja memuja, Berangan mengawan, Berperang berjuang. Mengapa bimbang berhati walang, Berhenti tertegun langkah tertahan, Takut percuma segala kerja, Sangsi berharga apa dipuja? Wahai teman, Merata buih di tepi pasir, Tetapi gelombang mengulang, Gairah menggulung menuju teluk Selera tua gugur di tanah, Pucuk muda tertawa mengorak sela, Keranda muram diusung ke makam, Jejaka muda bersumpah baka, Cinta gairah hati remaja. Lenyaplah sangsi, lenyaplah ngeri. Indah gelombang mengejar pantai, Indah pucuk menjelma rupa, Indah jejaka memuja cinta, Benar, indah segala hidup, Menyerah tenaga menurut hasrat, Tiada tanggung tiada kepalang. Pada bait pertama dan kedua, terdapat kesan penggugah asa. Penulis mencoba memotivasi atau memberikan semangat kepada pembaca untuk mewujudkan mimpi, dengan berusaha, dengan terus berharap, dan dengan yakin tanpa rasa bimbang dan takut. Selanjutnya, pada bait terakhir, penulis seakan-akan memberikan pencerahan positif yang mengungkapkan bahwa masa depan itu indah, hidup ini indah, maka
hilangkan rasa bimbang dan takut dan jangan menyerah, serta berjuanglah sepenuhnya, tanpa terhalang apapun. Pada judul puisi tersebut “Jangan Tanggung Jangan Kepalang”, juga sudah mencerminkan bahwa perjuangan atau berjuang harus secara totalitas, tanpa tanggung dan tanpa terhalang, yaitu dengan keyakinan yang teguh dan tanpa rasa bimbang, khawatir, atau takut, serta pantang menyerah. Kalah dan Menang Tidak, bagiku tidak ada kalah dan menang! Sebab sudah kuputuskan, bahwa kemenangan sudah pasti untukku saja. Kalah tinggal pada mereka yang lain: Yang mengeluh bila terjatuh, Yang menangis bila teriris, Yang berjalan berputar-putar dalam belantara. * Di padang lantang yang kutempuh ini, aku tak mungkin dikalahkan: Sebab di sini jatuh sama artinya dengan bertambah kukuh berdiri. Tiap-tiap pukulan yang dipukulkan berbalik berlipat ganda kepada si pemukul. Malahan algojoku sekalipun yang akan menceraikan kepalaku dari badanku, akan terpancung sendiri seumur hidupnya: Melihat mataku tenang menutup dan bibirku berbunga senyum. Pada bait pertama, jelas sekali mengandung penggugah asa. Penulis mencoba menyatakan bahwa sesorang harus bersikap optimis, seseorang pasti bisa menjadi pemenang. Namun, untuk itu, ia juga harus bertahan dan terus berjuang, tidak mudah mengeluh, tidak mudah menangis, dan tidak bimbang pada dirinya sendiri. Pada bait kedua, juga demikian, menggambarkan semangat berkobar dari penulis. Ia akan selalu menjadi pemenang dan menjadi semakin kuat. Setiap kali ia jatuh atau mengalami kegagalan, ia akan semakin kuat dan terus berjuang. Semakin ia disakiti, ia akan membalasnya dengan berlipat ganda. Bahkan, orang yang mencelakakannya sekalipun, akan menyesal dan bernasib lebih buruk darinya. Semua itu menggambarkan besarnya semangat dan tekad yang dimiliki penulis dalam perjuangannya.
Buah Karet Sekali aku duduk di bawah pohon karet dan terkejut mendengar letusan nyaring di atas kepalaku: biji matang menghambur dari batangnya. Ya, aku tahu, dimana-mana tumbuh menghendaki bebas dari ikatan! * Terdengarkah itu olehmu, wahai angkatan baru? Putuskan, hancurkan segala yang mengikat! Rebut gelanggang lapang di sinar terang! Tolak segala lindungan! Engkau raja zamanmu! * Biar mengeluh, biar merintih segala nenek moyang! Lagi pohon yang bisu insaf, bahwa biji yang sekian lama dikandungnya itu akan mati busuk di bawah lindungan. Bahwa bayangan rindang yang meneduhi itu menghalangi tumbuh. Pada bait kedua, tampak jelas terdapat kesan penggugah asa. Penulis yang hidup di masa penjajahan dan tertekan oleh penjajah, mencoba memberikan semangat pada generasi setelahnya untuk melawan penjajah, untuk menghilangkan kekang yang selama ini membatasinya, untuk merebut apa yang sebenarnya miliknya dan bangsanya, serta untuk menolak perlindungan semu yang diberikan penjajah. Pada bait ketiga, penulis menegaskan kembali untuk tidak berlindung pada perlindungan semu, ia ingin generasi baru setelahnya berjuang sendiri, tumbuh dan berkembang sendiri, dan melawan penjajah. Tak hanya berada ditempat yang tampak aman, namun hanya semu atau palsu belaka. Mereka harus berjuang, melawan, dan membebaskan diri mereka sendiri Menuju ke Laut Kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat: “Ombak ria berkejar-kejaran di gelanggang biru bertepi langit. Pasir rata berulang dikecup, tebing curam ditantang diserang, dalam bergurau bersama angin, dalam berlomba bersama mega.” Sejak itu jiwa gelisah, Selalu berjuang tiada reda, Ketenangan lama rasa beku, gunung pelindung rasa penghalang. Berontak hati hendak bebas, menyerang segala apa mengadang. Gemuruh berderau kami jatuh, terhempas berderai mutiara bercahaya, Gegap gempita suara mengerang, dahsyat bahna suara menang. Keluh dan gelak silih berganti pekik dan tempik sambut menyambut. Tetapi betapa sukarnya jalan, badan terhempas, kepala tertumbuk, hati hancur, pikiran kusut, namun kembali tiadalah ingin, ketenangan lama tiada diratap. ..................... ...... Kami telah meninggalkan engkau tasik yang tenang, tiada beriak, diteduhi gunung yang rimbun dari angin dan topan. Sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat.
Puisi di atas terdiri dari enam bait yang tampaknya tidak memunculkan semangat atau gelora yang membara. Namun, sebenarnya puisi tersebut mengandung makna yang menggugah asa. Puisi di atas mengungkapkan bagaimana penulis meninggalkan generasi atau angkatannya yang selalu berada di dalam perlindungan semu, dan berpindah ke generasi atau angkatan baru yang berbahaya namun berjuang demi kebebasan. Pada bait kedua, tampak semangat yang tak gentar dari rasa takut. Penulis rela dan berani untuk berubah, ia akan berjuang. Hal tersebut tampak pada kalimat “tebing curam ditantang diserang”. Meskipun tahu bahwa bahaya akan menantinya, namun penulis tetap akan berjuang dan melawan. Karena ia telah bangun dari mimpinya, berhenti berada di tempat perlindungan semu. Ia akan keluar dan berjuang, demi mewujudkan kebebasan yang didambakannya selama ini. Pemacu Ombak Pemacu ombak di segara raya, Gelisah terapung berbuai-buai Di atas alun kecil-kecil, Menantikan ombak tinggi padu, Gairah menggulung menuju pantai. Di depan membentang samudra biru, Jauh menghabis di garis legkung, Tempat langit mantap bertahan, Dan awan tipis takjub tertegun. Di sini segalanya tiada berhingga: Ketinggian langit melingkungi semesta, Keluasan angin digelanggang biru, Kedalaman rahasia ombak bergolak. * “Datang, datanglah alun perkasa! Tinggi biru berpuncak putih, Saya lah di atas peluncur, Menanti anda menjulang tinggi.”
Meninggi, meninggi alun biru. Sejenak pendek: otot berseregang mata terpaku jantung terhenti Dan peluncur tangkas merebut ombak, Garang liar mengejar pantai. Cepat cergas pemacu gairah, Tangkas terpegas di papan peluncur, Menguakkan tangan meluruskan badan, Menegakkan kepala anggun bangga, Laksana dewa, muda ria Merangkum rahasia permainan abadi, Antara langit, air, dan angin. Pemacu ombak di segara raya, Gelisah terapung berbuai-buai Di atas alun kecil-kecil, Menantikan ombak tinggi padu, Gairah menggulung menuju pantai. Puisi di atas mengandung makna penggugah asa yang penyampaiannya melalui lambang dan kiasan. Unsur penggugah asa pada puisi di atas terdapat pada bait keempat dan kelima. Pada kalimat “Datang, datanglah alun perkasa! ……. Menanti anda menjulang tinggi.” seakan-akan menggambarkan penulis yang menantang datangnya musuh yang siap untuk ditaklukkan. Kemudian pada bait kelima, pada kalimat “otot berseregang……jantung terhenti” seakan-akan penulis merasa kaget dan agak takut, namun pada kalimat selanjutnya “Dan
peluncur
tangkas
merebut
ombak;
Garang
liar
mengejar
pantai”
menggambarkan bahwa penulis sudah bisa mengontrol dirinya kembali dan datang menyerang serta berjuang. Dalam hal ini penulis menyatakan agar jangan takut bagaimanapun musuhnya, agar tetap berjuang dan melawan, untuk mencapai kebebasan dan kemenangan.
Hidup di Dunia Hanya Sekali Mengapa bermenung mengapa bermurung? Mengapa sangsi mengapa menanti? Menarik menunda badai dahsyat seluruh buana tempat ngembara Ria gembira mengejar berlari anak air di gunung tinggi memburu ke laut sejauh dapat Lihat api merah bersorak naik membubung girang marak mengutus asap ke langit tinggi! Mengapa bermenung mengapa bermurung? Mengapa sangsi mengapa menanti? Hidup di dunia hanya sekali Jangkaukan tangan sampai ke langit Masuk menyelam ke lubuk samudra Oyak gunung sampai bergerak Bunyikan tagar berpancar sinar Empang sungai membanjiri bumi Aduk laut bergelombang gunung Gegarkan jagat sampai berguncang Jangan tanggung jangan kepalang Lenyaplah segala mata yang layu Bersinarlah segala wajah yang pucat Gemuruhlah memukul jantung yang lesu Gelisahlah bergerak tangan Terus berusaha selalu bekerja Punah Punahlah engkau segala yang lesu Aku hendak melihat api hidup dahsyat bernyala, menyadar membakar segala jiwa.
Aku hendak mendengar jerit perjuangan garang menyerang langit terbentang hendak diserang. Aku hendak mengalami bumi berguncang orang berperang Urat seregang mata menantang Dari semua puisi yang dijabarkan, puisi ini merupakan puisi yang memiliki unsur penggugah asa paling besar. Dari bait pertama hingga bait terakhir berisikan motivasi, semangat, dan harapan yang berkobar-kobar. Pada bait pertama, penulis seakan-akan mengajak pembaca untuk ikut bergembira, menjelajah, dan mengembara. Pada bait kedua penulis mengajak agar pembaca memiliki mimpi yang besar dan berusaha mewujudkannya, tidak diam saja tanpa melakukan apa-apa. Pada bait ketiga penulis mengajak pembaca untuk bangkit dari kemalasan atau kesedihan, dan mengajak bekerja atau berjuang bersama. Pada bait terakhir, penulis menegaskan kembali untuk mengajak berjuang bersama, dengan semangat yang lebih besar dari sebelumnya. Ia ingin semua rakyat bangkit dan melawan penjajah, menghancurkan segala yang mengekang dan menuju kebebasan serta kemenangan. Secara umum, unsur penggugah asa pada kumpulan cerpen “Lagu Pemacu Ombak” karya Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan semangat perjuangan angkatan Pujangga Baru, khususnya St. Takdir sendiri, yang hidup di masa pergolakan bangsa yang penuh dengan tekanan dan ancaman dari penjajah, untuk melawan penjajah demi mencapai kebebasan dan kemenangan.
D. PENUTUP Sutan Takdir Alisjahbana adalah salah satu penyair utama pada angkatan Pujangga Baru yang hidup di tengah-tengah pergolakan bangsa, tekanan, dan ancaman dari penjajah. Ia tak bisa melakukan perjuangan secara terang-terangan, bahkan dalam karyanya sendiri, dalam mengungkapkan semangatnya, jeritan hatinya, serta protesnya kepada pemerintahan ia menggunakan lambang dan kiasan. Kebanyakan puisinya menggunakan diksi dari alam untuk menggambarkan semua itu. Namun, tetap saja, semangatnya yang berkobar, tercermin di dalam puisipuisinya. Unsur penggugah asa masih tercermin di setiap bait puisinya. Salah satunya
adalah pada kumpulan puisinya yang berjudul “Lagu Pemacu Ombak”. Secara umum, unsur penggugah asa pada kumpulan cerpen “Lagu Pemacu Ombak” karya Sutan Takdir Alisjahbana menggambarkan semangat perjuangan angkatan Pujangga Baru, khususnya St. Takdir sendiri, yang hidup di masa pergolakan bangsa yang penuh dengan tekanan dan ancaman dari penjajah, untuk melawan penjajah demi mencapai kebebasan dan kemenangan.
DAFTAR PUSTAKA
KBBI offline http://www.wikipedia.com Alisjahbana, Sutan Takdir. 1978. Lagu Pemacu Ombak. Jakarta: PT Dian Rakyat Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Sayuti, Suminto A. 2010. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media Sumardjo, Jacob. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern Jilid I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa