UNIVERSITAS INDONESIA
Ragam Akulturasi Seni Bangunan Tradisional Jawa Barat dan Belanda Pada Masjid Besar Cipaganti Karya Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker
Makalah Non-Seminar
Muhammad Armedi Eka Purdini Harahap 1206270981
Pembimbing: Barbara Elisabeth Lucia Pesulima S.S., M.Hum. 196407081994032001
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Belanda Depok 2016
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Ragam Akulturasi Seni Bangunan Tradisional Jawa Barat dan Belanda pada Masjid Besar Cipaganti Karya Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker Muhammad Armedi Eka Purdini Harahap, Barbara Elisabeth Lucia Pesulima Program Studi Belanda, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Perkembangan seni bangunan di kota Bandung tidak terlepas dari campur tangan arsitek ternama asal Belanda, Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker. Ada sejumlah karya yang dihasilkan oleh Wolff Schoemaker, salah satunya adalah Masjid Besar Cipaganti. Masjid Besar Cipaganti merupakan salah satu bangunan yang dibangun pada masa kolonial Belanda tahun 1933 dan terletak di Jalan Raden AA Wiranatakusumah No 85, Bandung, Jawa Barat. Wolff Schoemaker membangun masjid ini dengan mengkombinasikan unsur seni bangunan khas Jawa Barat dan Belanda. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan unsur seni bangunan Jawa Barat dan unsur seni bangunan Belanda yang terdapat pada Masjid Besar Cipaganti. Unsur seni bangunan Jawa Barat terdapat pada atap bangunan, tiang saka guru, dan ragam hias. Unsur seni bangunan Belanda pada masjid ini dapat terlihat dari bentuk bangunan, material bangunan, lampu gantung, dan sekat pada teras utama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif Kata kunci: Wolff Schoemaker; Masjid Besar Cipaganti; unsur seni bangunan Jawa Barat; unsur seni bangunan Belanda;
Variation of Acculturation in Art building of Traditional West Java and Dutch Building on Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker’s Work: Masjid Besar Cipaganti Abstract The development of art building design in Bandung never stray far from the involvement of a famous Dutch architect, Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker. Among many of Wolff Schoemaker’s notable works, Masjid Besar Cipaganti is one of them. Masjid Besar Cipaganti is one of the buildings constructed in Dutch colonization period in 1933 and is located in Jalan Raden AA Wiranatakusumah No 85, Bandung, West Java. Wolff Schoemaker built this mosque by combining traditional West Java architecture with Dutch styles. This research aims to describe West Java art building elements and Dutch art building elements that contained in Masjid Besar Cipaganti. The characteristic of West Java art building upon Masjid Cipaganti Bandung can be identified through the roof, tiang saka guru, and decorative patterns. Whereas the elements of Dutch characteristics characteristics can be identified from its construction, construction material, chandelier, and the separator between the main terrace. This research using qualitative method with aims to elaborate any specific elements of art buildings that founded within. Keywords: Wolff Schoemaker; Masjid Besar Cipaganti; West Java art building element; Dutch art building element
v Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
1. Pendahuluan Kependudukan Belanda selama kurang lebih 350 tahun di Indonesia (yang dahulu bernama Hindia Belanda) secara konkret meninggalkan banyak hal. Peninggalan tersebut dapat berbentuk benda maupun bangunan. Kedatangan Belanda di Nusantara tak lepas dari usaha adaptasi kebudayaan yang mereka bawa dengan lingkungan barunya. Proses usaha tersebut dapat terlihat dalam bentuk seni bangunan yang telah mereka ciptakan di Nusantara. Perkembangan suatu bangunan didukung oleh tradisi dari unsur kebudayaan daerah tersebut dan didalam proses pembentukannya tidak terpisah dari pengaruh kebudayaan asing, yang dalam hal ini merupakan pengaruh dari pihak kolonial. Terdapat sejumlah bangunan yang didirikan oleh pemerintah Belanda selama kependudukannya, mulai dari gedung pemerintahan, institusi pendidikan tinggi, rumah sakit, museum, hingga tempat ibadah. Salah satu arsitek ternama asal Belanda yang ikut serta membangun Nusantara adalah Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker. Charles Prosper Wolff Schoemaker lahir di Banyubiru 25 Juli 1882. Schoemaker memulai karirnya di bidang militer dan menjalani pendidikan di sebuah akademi militer di Belanda hingga lulus dengan pangkat letnan. Setelah selesai dengan pendidikan militernya di Belanda, Ia kembali ke Hindia Belanda pada tanggal 7 Oktober 1905 dan menjadi letnan dua di Koninklijk Nederlands-Indisch Leger atau disebut juga KNIL. Setelah itu ia menjabat sebagai arsitek militer untuk pemerintah Hindia Belanda. Nama Charles Prosper Wolff Schoemaker memiliki peranan penting tersendiri bagi pembangunan kota Bandung. Seorang pakar arsitek Belanda, H.P. Berlage, mengatakan bahwa kota Bandung seolah-olah milik Schoemaker karena terdapat sejumlah karya yang diciptakan oleh Wolff Schoemaker (C.J. van Dullemen, 2008: 33). Tahun 1922, Wolff Schoemaker diangkat sebagai professor di Technische Hogeschool Bandoeng yang sekarang disebut Institut Teknologi Bandung. Wolff Schoemaker telah mencetak beberapa karya seperti Villa Isola, Gedung Merdeka, Bioskop Jalan Braga, Gedung Asia Afrika, Aula Barat - Timur ITB, dan salah satu masjid yang terkenal, yaitu Masjid Besar Cipaganti. Masjid Besar Cipaganti merupakan salah satu bangunan peninggalan terpenting karya Prof. Charles Prosper Wolff Schoemaker. Masjid ini adalah satu-satunya masjid yang pernah dibuat oleh Schoemaker (C.J. van Dullemen, 2008). Pada tahun 1933, Schoemaker dipercaya untuk membangun masjid yang bersejarah di kota Bandung. Dengan latar belakang budaya yang ia miliki, Schoemaker mengakulturasikan ciri khas bangunan Jawa Barat dan Eropa. Unsur-unsur bangunan Jawa Barat dan Belanda yang terdapat di masjid ini menjadi ketertarikan penulis
1
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
untuk mendalami lebih lanjut hasil akulturasi seni bangunan yang terdapat pada bangunan Masjid Besar Cipaganti. Dengan mengamati secara saksama, kita dapat melihat dan mengetahui unsur seni bangunan Jawa Barat dan Belanda yang membedakan antara Masjid Besar Cipaganti dengan masjid lainnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, Masjid Besar Cipaganti memiliki dua unsur seni bangunan, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah apa saja unsur seni bangunan tradisional Jawa Barat dan unsur seni bangunan Belanda yang terdapat pada Masjid Besar Cipaganti. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memaparkan ciri khas unsur seni bangunan Jawa Barat dan Belanda yang terdapat pada Masjid Besar Cipaganti. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2004: 4) metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa data yang bersifat kata-kata tertulis atau lisan, gambar-gambar, dan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sumber data yang tersedia membutuhkan pemahaman yang mendalam mengenai objek yang diteliti. Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini melalui observasi dan dalam pengerjaannya dibagi atas tiga tahap, seperti dibawah ini. 1. Tahap pertama, penulis melakukan observasi kepustakaan. Observasi kepustakaan diawali dengan pengumpulan data pustaka mengenai ragam seni bangunan Jawa Barat dan kolonial Belanda di Indonesia. Data-data historis yang menyangkut Masjid Besar Cipaganti juga dikumpulkan untuk mendukung penelitian ini. 2. Tahap kedua, penulis melakukan observasi lapangan yaitu melakukan pengamatan langsung kepada objek yang diteliti, langkah yang diambil di dalam tahap ini adalah pengambilan beberapa data pendukung (pengamatan spesifik pada bangunan dan pengambilan gambar pada bangunan) sehingga data yang didapat tidak hanya dari sumber cetak, melainkan pengamatan langsung. 3. Tahap ketiga, penulis mengolah seluruh data. Dalam tahap ini, data-data yang didapatkan dari tahap-tahap sebelumnya disatukan yang kemudian dipaparkan dan dideskripsikan secara terstruktur untuk menghasilkan kesimpulan berdasarkan kepada permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai. Di dalam penelitian ini penulis antara lain menggunakan teori akulturasi Koentjaraningrat, teori unsur bangunan tradisional Jawa Barat Dasum Muanas, dan teori unsur seni bangunan Belanda Handinoto. Teori akulturasi ini digunakan untuk melihat sejauh mana pengaruh dua unsur seni
2
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
bangunan yakni Jawa Barat dan Belanda yang terkandung di dalam Masjid Besar Cipaganti. Teori kedua yang digunakan adalah teori arsitektur Jawa Barat. Teori arsitektur Jawa Barat digunakan untuk memaparkan semua unsur-unsur bangunan Jawa Barat yang terkandung dalam bangunan ini .Teori ketiga yang dipakai adalah teori unsur seni bangunan Belanda. Teori ini digunakan untuk melihat apa saja unsur bangunan kolonial Belanda yang terkandung dalam bangunan ini, dari periode waktu, bentuk bangunan, hingga unsur interior dan eksterior kolonialnya.
2. Tinjauan Teoritis Bentuk dan gaya yang terkandung pada Masjid Besar Cipaganti menunjukkan adanya unsur seni bangunan kolonial. Unsur yang terkadung tidak hanya satu unsur saja, melainkan lebih dari satu unsur bangunan. Unsur-unsur yang terkandung di dalam Masjid Besar Cipaganti menyatu sehingga masjid tersebut tampak lebih indah. Tidak terlepas dari penyatuan unsur tersebut, maka teori akulturasi sangat berperan dalam pembentukan Masjid Besar Cipaganti. Setelah itu akan diperdalam dengan konsep unsur seni bangunan Jawa Barat dan unsur seni bangunan Belanda, sehingga akan terlihat jelas dimana letak-letak dari kedua unsur tersebut dalam Masjid Besar Cipaganti. 2.1 Akulturasi Menurut Koentjaraningrat (1996: 155) akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul apabila sekelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur kebudayaan asing yang berbeda, sehingga kedua unsur tersebut seiring dengan berjalannya waktu diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan unsur budaya sendiri atau kebudayaan asing tersebut. Akulturasi juga dapat dikatakan sebagai proses kontak dari satu atau lebih kebudayaan asing dengan suatu kebudayaan yang lambat laun kebudayaan asing tersebut diserap ke dalam kebudayaan asli, namun hasil dari interaksi tersebut tidak menghilangkan nilai-nilai asli kebudayaan penerima. Akulturasi yang terdapat pada Masjid Besar Cipaganti adalah bertemunya dua unsur seni bangunan antara seni bangunan Jawa Barat dan Belanda. Kedua unsur tersebut membentuk satu kesatuan sehingga menjadi suatu bangunan masjid yang berbeda dari masjid yang ada di Indonesia.
3
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
2.2 Seni Bangunan Jawa Barat Arsitektur bangunan Jawa Barat banyak dipengaruhi oleh adat istiadat dan tradisi budaya Sunda. Adapun bahan bangunan rumah tradisional Jawa Barat banyak menggunakan bahan dari alam. Unsur pembentuk bangunan seperti atap, tembok, dan lantai pun terbuat dari bahan-bahan alam yang diolah oleh manusia. Karakter seni bangunan di tanah Jawa memiliki keunikan tersendiri, yaitu bangunannya tidak semata-mata didesain untuk pribadi, melainkan berfungsi sebagai fungsi sosial, seperti ciri khas masyarakat Jawa yang mengedepankan hubungan sosial (Santosa, 2000). Di dalam tulisan ini, penulis hanya membatasi dua unsur seni bangunan Jawa Barat yaitu atap dan ragam hias. 2.2.1 Atap Di dalam buku Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat (Muanas dkk, 1998) secara konsep, perbedaan atap bangunan khas Sunda terbagi atas delapan bentuk yang terdiri antara lain: A. Suhunan Jolopong (suhunan lurus) Menurut Gatot Suharjanto (2014) bentuk suhunan jolopong merupakan bentuk atap tertua yang ada di tanah Sunda. Bentuk Jalopong memiliki dua sisi bidang atap dan dipisahkan oleh jalur atap ditengahnya. Kedua sisi dari atap ini merupakan sisi yang sama rata. B. Julang Ngapak (burung yang sedang merentangkan sayap) Bentuk atap julang ngapak adalah bentuk atap melebar di kedua sisi bidang atapnya. Dua bidang pertama merupakan kelanjutan dari bidang-bidang dengan membentuk sudut tumpul. Dua atap lainnya lebih landai dari dua atap utamanya. C. Parahu Kumureb (perahu tengkurap) Bentuk atap ini memiliki empat buah bidang atap penuh. Sepasang bidang atap sama luas berbentuk trapesium, dan sepasang lagi sama kaki. Jika diperhatikan, atap parahu kumureb bentuknya seperti perahu yang terbalik. D. Tagog Anjing (sikap anjing yang sedang duduk) Bentuk atap rumah tagog anjung menyerupai anjing yang sedang duduk. Atap ini memiliki dua bidang atap yang berbatasan pada garis batang segi atap. Bidang atap bagian depan lebih lebar dibandungkan dengan atap bidang lainnya.
4
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
E. Badak Heuy (bentuk badak yang sedang menguap) Bentuk atap badak heuy sangat mirip dengan atap tagog anjing, namun perbedaannya terletak pada bidang atap belakang atap. Bidang atap ini langsung lurus ke atas melewati garis atap. F. Buka Palayu (menghadap ke bagian panjang) Bentuk atap ini menunjukan letak pintu muka dari rumah menghadap ke arah satu sisi dari bidang atapnya. Bentuk atap buka palayu pada umumnya mempergunakan bentuk atap dengan garis panjang, yang biasanya disebut rumah jure. G. Buka Pongpok (menghadap ke bagian pendeknya) Atap buka pongpok adalah bentuk rumah yang memiliki pintu masuk pada arah yang sejajar dengan atap di ujung batang garis atap, sehingga jika dilihat dari muka rumah, garis atap ini tampaknya tidak kelihatan H. Capit Gunting Bentuk atap capit gunting adalah bentuk atap yang memiliki bagian yang setiap ujungnya dihiasi oleh kayu atau bambu yang menyilang layaknya gunting.
Gambar 1. Bentuk Atap Palayu (Sumber: Drs. Dasum Muanas dkk, 1998)
Gambar 2. Bentuk Atap Buka Pongpok (Sumber: Drs. Dasum Muanas dkk, 1998)
Gambar 3. Bentuk Atap Jolopong, Julang Ngapak, Tagog Anjing, Parahu Kumureb, Badak Heuay, dan Capit Gunting (Sumber: http://bit.ly/1Xy4gCH, diakses 10 Maret 2016)
5
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
2.2.2 Ragam Hias Ragam hias yang terdapat di daerah Jawa Barat sangat bermacam-macam dan mayoritas memperoleh pengaruh dari alam. Di dalam buku Arsitektur Tradisional Jawa Barat (Muanas dkk, 1998) terdapat beberapa kategori ragam hias. Berikut adalah bentuk-bentuk ragam hias yang terdapat pada seni bangunan Jawa Barat. A. Flora Ragam hias flora adalah ragam hias bermotif tumbuh-tumbuhan. Motif flora pada unsur seni bangunan Jawa Barat adalah sebagai berikut. a. Kawung Ragam hias kawung terdiri dari lengkungan-lengkungan yang dijajarkan sedemikian rupa sehingga lingkaran yang satu menutup sebagian lingkaran lainnya. Motif kawung sekarang lebih beragam bentuknya. b. Rucuk Bung Ragam hias rucuk bung adalah ragam hias berbentuk tumbuhan muda yang baru tumbuh dan meruncing ke atas. c. Keliangan Bentuk ragam hias keliangan merupakan ragam hias yang diambil dari bentuk daun keliangan. Liang berarti daun kering yang sisinya sudah tidak rata lagi (menyusut dan bergelombang). d. Kangkungan Ragam hias kangkungan adalah ragam hias yang berbentuk melingkar dan terlihat sangat rumit, bentuk kerumitan inilah yang menjadi keindahan dalam ragam hias kangkungan. e. Simbar Ragam hias simbar terdiri dari dua bentuk, yang pertama simbar kadaka yang berbentuk kelopak bunga mekar. Kedua adalah simbar menjangan yang berbentuk seperti tanaman simbar menjangan, bentuknya seperti daun yang menjulur ke bawah. B. Pola Geometris Ragam hias Pola Geometris merupakan ragam hias yang banyak menggunakan unsur – unsur garis lurus atau melintang, sehingga menghasilkan dekorasi unik yang membedakan ragam hias Jawa Barat dengan ragam hias yang ada di Indonesia. Bentuk pola geometris tersebut antara lain:
6
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
a.
Swastika Ragam hias swastika adalah bentuk pola geometris garis yang antar ujung saling menyatu sehingga membentuk tepi keliling. Ragam hias swastika melambangkan peredaraan bintang-bintang.
b. Angen Ragam hias angen merupakan potongan-potongan kayu yang disusun menjadi pola garis lurus dan melintang sebagai pengisi lubang-lubang angina di pintu atau jendela rumah tempat tinggal. c.
Wajikan Pola ini memiliki bentuk seperti wajik (jajaran genjang).
Gambar 5. (Kiri ke kanan) Ragam hias Pola Geometris khas Jawa Barat; Swastika, Angen, Wajikan. (Sumber: Drs. Dasum Muanas dkk, 1998)
Gambar 4. (Kiri ke kanan) Ragam hias flora khas Jawa Barat; Kawung, Rucuk Bung, Keliangan, Kangkungan. (Sumber: Drs. Dasum Muanas dkk, 1998)
2.3 Seni Bangunan Belanda Pemerintah Belanda membangun sebagian besar bangunan di Hindia Belanda dengan menerapkan arsitektur Eropa, namun pada penerapannya kondisi geografis Indonesia tidak sesuai dengan konsep bangunan Eropa (Yudianto, 2002). Berdasarkan keadaan tersebut maka bentuk seni bangunan Belanda di Indonesia memiliki karakteristik tersendiri. 2.3.1 Gaya Bangunan Belanda di Nusantara Hellen Jessup dan Handinoto (1996: 129-130) membagi periode waktu perkembangan seni bangunan kolonial Belanda di Nusantara dari abad 16 hingga tahun 1940 menjadi empat bagian. A. Abad 16 hingga tahun 1800-an Pada periode waktu ini, arsitektur Belanda masih kokoh terlihat dan bangunan tradisional cenderung memudar identitasnya. Bentuk bangunan pada saat itu bergaya Eropa yang memiliki banyak tiang dan bangunannya yang tinggi. Bangunan ini tidak
7
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
mengadaptasi bangunan tradisional sama sekali sehingga tidak sesuai dengan iklim di lingkungan setempat. B. Tahun 1800-an hingga tahun 1900 Bentuk arsitek pada masa ini berbentuk Empire Style yaitu bentuk bangunan yang bagian terasnya memiliki kolom ionic dan bentuk denah yang simetris. Bentuk bangunan ini diprakarsai oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Contoh bangunan tersebut yang ada di Nusantara adalah museum Nasional dan Gereja Immanuel. C. Tahun 1900 hingga tahun 1920 Handinoto (1996: 163) mengatakan bahwa bentuk arsitektur kolonial Belanda setelah tahun 1900 memiliki bentuk yang lebih spesifik. Bentuk bangunannya sudah mulai memasuki kategori modern dan disesuaikan dengan iklim tropis di Nusantara. Elemen tradisional juga diikutsertakan ke dalam pendirian bangunan. Handinoto (1996: 151163) menyebutkan bahwa kebangkitan seni bangunan Belanda dimulai oleh arsitek Neo-Gothik, yang kemudian muncul beberapa aliran yang populer, antara lain: a. Art Nouveau dan Amsterdam School Art Nouveau adalah gaya seni bangunan yang diterapkan pada seni dekoratif. Popularitas gaya seni bangunan ini mencapai kejayaannya pada pergantian abad 20 (Hadinoto, 1996: 131). Gaya art nouveau merupakan aliran seni bangunan yang banyak menggunakan unsur garis lengkung dan begelombang. Pada tahun 1920, lahir versi sederhana dari gaya seni bangunan Art Nouveau yang disebut Amsterdam School. Di Indonesia, gaya Amsterdam School dapat ditemui pada bangunan hotel, bioskop, dan toko yang dibangun sekitar tahun 1920. Seiring dengan berjalannya waku, Art Nouveau merupakan pelopor bagi lahirnya Art Deco. b. De Stijl Gaya seni bangunan De Stijl muncul di Belanda tahun 1920. Gaya ini kerap dikaitkan dengan aliran kubisme. Ciri-ciri bangunan in adalah penggunaan bentuk-bentuk yang geometris seperti kubus dan anti naturalis (Handinoto, Soehargo, Paulu, 2007: 131-249). c. Nieuwe Bouwen Gaya seni kolonial modern setelah tahun 1920 di Hindia Belanda pada saat itu sering disebut dengan Nieuwe Bouwen yang disesuaikan dengan iklim dan teknik bangunan di Hindia Belanda dimana sebagian besar ciri-ciri yang
8
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
menonjol adalah atap datar, gevel horizontal, volume bangunan yang berbentuk kubus, serta berwarna putih (Handinoto, 1996: 25). 2.5 Masjid Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata masjid berarti rumah atau bangunan tempat bersembahyang orang Islam. Kata masjid berasal dari kata pokok dasar “sujud”. Sedangkan pengertian sujud dalam Islam adalah kepatuhan atau ketundukan yang dilakukan dengan penuh suka cita sebagai seorang muslim atau hamba Tuhan. Selain itu, masjid juga bisa diartikan sebagai suatu bangunan yang berfungsi untuk melakukan ibadah bagi orang Islam baik itu dilakukan secara sendiri maupun berkelompok (Rochym, 1983). Berdasarkan dari penjelasan tersebut masjid dapat pula diartikan lebih spesifik, bukan hanya tempat sholat, namun juga sebagai tempat melaksanakan segala aktivitas kaum muslimin berkaitan dengan kepatuhan kepada Allah SWT (Yulianto 2006: 1). Fungsi pokok dari sebuah masjid adalah sebagai tempat beribadah umat muslim. Tidak hanya itu, masjid bukan hanya semata digunakan sebagai tempat ibadah-sosial semata, melainkan juga merupakan salah satu simbol eksistensi peradaban Islam (Heuken, 2003). Dalam perkembangannya, bentuk masjid beraneka ragam dan tergantung dengan kondisi daerah letak masjid itu sendiri. Di dalam Al-Quran maupun Hadist juga tidak disebutkan aturan-aturan khusus dalam pembuatan sebuah masjid, yang utama adalah fungsi dan kegunaan masjid itu sendiri sebagai tempat ibadah (Bismoko, 2013), namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pembangunan masjid, yaitu masjid sebaiknya dibangun dekat dengan perumahan warga atau di dekat jalan raya agar dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Masjid harus menghadap kiblat karena hukumnya sholat menghadap ke kiblat yaitu Masjidil Haram adalah wajib. Jika bangunan masjid tersebut tidak persis menghadap ke Masjidil Haram, sebaiknya posisi masjid harus menyesuaikan paling tidak satu arah dan satu kordinat ke arah Masjidil Haram. Masjid juga harus memiliki tempat sholat khusus untuk pria dan khusus untuk wanita. Kemudian, adanya penanda tempat sholat antara imam dengan ma’mum atau jemaah yaitu bagian imam harus berada di depan dan bagian imam terdapat mimbar untuk memberi khotbah atau tempat untuk mengumandangkan adzan. Masjid yang ideal juga harus memiliki tempat wudhu dan toilet yang terpisah dan tertutup sehingga tetap suci dari kotoran dan najis. Tempat wudhu tersebut juga harus dipisahkan antara pria dan wanita (Hidayat, 2012). Sebenarnya dalam pembangunan sebuah masjid, masyarakat maupun arsitek diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk berkreasi dalam membuat sebuah masjid, asal tidak
9
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
menghilangkan unsur-unsur Islam didalamnya (Tjandrasasmita, 2009). Unsur-unsur pembentuk masjid yang ideal seperti yang dituliskan di atas juga harus ada dalam sebuah masjid.
3. Analisis 3.1 Masjid Besar Cipaganti Masjid Besar Cipaganti merupakan masjid bersejarah yang terletak di Jalan Cipaganti No. 85 Bandung Jawa Barat, yang sekarang menjadi Jalan Raden AA Wiranatakusumah No 85. Pada masa kolonial Belanda, daerah tersebut dinamakan Nijlandweg, yaitu daerah di Bandung bagian
utara yang dahulu merupakan daerah kompleks permukiman bangsa Eropa dan
bangsawan pribumi. Secara astronomis, masjid ini terletak di 6°53'40"S dan 107°36'8"E (Gunawan, 2010). Masjid ini merupakan karya Wolff Schoemaker yang dibantu oleh Het Keramische Laboratorium Bandung (sekarang bernama Balai Besar Keramik, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia). Sebagaimana dalam prasasti berbahasa Sunda yang terpampang di tembok masjid Besar Cipaganti, masjid ini dibangun pada 7 Januari 1933 yang bertepatan dengan 11 Syawal 1351 Hijriah. Setahun kemudian, tepatnya pada 27 Januari 1934 masjid ini diresmikan. Sejak berdiri, Masjid Cipaganti telah menjadi cikal bakal penyebaran dan pusat studi Islam di kawasan Bandung utara. Pada awal pembangunan masjid, kondisi kawasan Cipaganti dan Bandung utara belum seramai sekarang, sehingga keindahan panorama dan alam Bandung Utara dan Gunung Tangkuban Perahu dapat terlihat dengan jelas dari Masjid Raya Cipaganti. Masjid Besar Cipaganti mengalami perubahan nama sebanyak tiga kali, sebelumnya bernama Masjid Kaum Cipaganti, pada tahun 90-an bernama Masjid Raya Cipaganti, dan pada akhirnya tahun 2010 diubah menjadi Masjid Besar Cipaganti (Ahmad, 2015). Masjid Besar Cipaganti berdiri di atas lahan seluas 2.025 meter. Peletakan batu pertama pembangunan masjid dilakukan oleh Bupati Bandung, Raden Temenggung Hassan Soemadipradja bersama sama dengan Patih Bandung, Raden Rc Wirijadinata dan Penghulu Bandung, Reden Hadji Abdoel Kadir (Ahmad, 2015). Masjid Besar Cipaganti memiliki satu gerbang utama di bagian tengah dan satu gerbang berpagar panjang di sisi kiri sebagai tempat masuknya mobil.
10
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
3.2 Unsur Seni Bangunan Jawa Barat yang terdapat pada Masjid Besar Cipaganti Jika dilihat secara langsung, masjid ini memiliki dua unsur seni bangunan yaitu unsur seni bangunan Jawa Barat dan unsur seni bangunan Belanda. Adapun unsur-unsur seni bangunan Jawa Barat yang paling terlihat adalah bentuk atap masjid ini. Bentuk atap Masjid Besar Cipaganti memiliki tiga lapis bersusun tiga. Unsur seni bangunan khas Jawa Barat pada masjid ini masih kental terasa karena berbentuk tajug namun jika dilihat secara bentuk yang lebih spesifik, atap masjid ini mengadaptasi dari unsur seni bangunan Jawa Barat yaitu atap berbentuk parahu kumureb. Atap masjid ini memanjang ke sisi kanan dan ke sisi kiri. Bagian paling atas atap terdapat hiasan bulan sabit yang terbuat dari keramik yang tingginya kurang lebih limapuluh sentimeter. Filosofi di balik atap yang bersusun tiga tersebut diasosiasikan sebagai jemaah yang bersaf-saf memadati masjid untuk beribadah kepada Allah SWT. Selain itu atap bersusun tiga atap tajuk masjid ini memiliki arti kepada 3 dasar kepribadian muslim yakni : Iman, Islam dan Ikhsan (Nugroho, 2012: 5). Atap masjid ini berwarna coklat tua dan tidak menggunakan genteng tetapi menggunakan ijuk. Ijuk dipilih sebagai komponen pembentuk atap karena disesuaikan dengan iklim di Bandung, sehingga ijuk dapat menyerap angin dan kondisi di dalam ruangan menjadi sejuk (Anwar, 2013). Garis konstruksi pada atap masjid ini berwarna merah muda.
Gambar 6. Atap Masjid Besar Cipaganti berbentuk Parahu Kumureb yang berbentuk tajug bersusun tiga (Sumber: http://bit.ly/1S6uDOz, diakses 10 Maret 2016)
Pada bagian dalam, Masjid Besar Cipaganti memiliki empat tiang sakaguru di bagian tengah masjid. Di depan tiang sakaguru tersebut terdapat mimbar. Sakaguru merupakan salah bentuk fondasi tiang yang khas pada seluruh bangunan tradisional di pulau Jawa, khususnya bangunanbangunan keraton (Rozana, 1997). Empat tiang sakaguru ini berfungsi sebagai penopang bagi atap dan meyangga suatu bangunan sehingga atapnya dapat berdiri tegak dan tidak rubuh, namun secara filosofis Jawa Barat, keempat tiang sokoguru ini melambangkan api, angin,
11
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
tanah, dan air, sebagai unsur-unsur pembentuk alam karena sejatinya Tuhan menciptakan alam semesta dengan keempat unsur elemen tersebut (Rozana, 1997). Jika berada di dalam Masjid Besar Cipaganti, kita akan tahu persis posisi tiang sakaguru ini karena perbedaannya dengan tiang fondasi lainnya adalah empat tiang sakaguru di masjid ini berwarna hijau muda dan memiliki ukiran tulisan Hamdallah. Tiang sakaguru di masjid ini memiliki luas ukuran sekitar 20 x 20 centimeter. Keempat tiang sakaguru ini masih kokoh dan kuat menopang inti bangunan masjid ini. Tiang sakaguru di masjid ini tidak sebesar tiang-tiang yang ada pada bangunan eropa karena memang disesuaikan dengan ukuran masjid ini. Mayoritas warna hijau mendominasi dari unsur seni bangunan Masjid Besar Cipaganti karena pada dasarnya warna hijau ini memiliki filosofi sendiri bagi agama Islam seperti yang terdapat pada surat Al-Insan ayat 21 yang berbunyi “Mereka di dalam surga memakai pakaian hijau yang terbuat dari sutera halus dan sutera tebal, serta mereka dihiasi dengan gelang-gelang tangan dari perak dan mereka diberi minum oleh Tuhan mereka dengan sejenis minuman (yang lain) yang bersih suci.” (Hudri, 2013)
Gambar 7. Empat tiang sakaguru yang ditandai dengan lafadz Hamdallah di bagian tengah Masjid Besar Cipaganti. (Sumber: Koleksi Pribadi, 2016)
Masjid Besar Cipaganti juga memiliki ornamen khas Jawa Barat. Ragam hias yang terdapat pada Masjid Besar Cipaganti yaitu ornamen ragam hias flora kangkungan yang terdapat di seluruh pintu dan jendela masjid serta pada bagian tembok masjid yang terletak di bagian jemaah. Di dalam kepercayaan masyarakat Jawa Barat, kangkungan melambangkan tumbuhan di atas air yang berarti kesucian yang sama layaknya teratai atau lotus (Sasmita, 2008). Ragam hias kangkungan sendiri memiliki makna tumbuhan kangkung karena bentuknya persis dengan tanaman kangkung. Ragam hias kangkungan ini berbentuk seperti melingkar dan tampak memiliki batang yang saling menyatu, dan di dalamnya juga terdapat ukiran bunga. Ukiran kangkungan ini dipahat di kayu jati dan dicat dengan warana kayu, karena pada umumnya
12
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
ragam hias tidak memiliki warna yang mengikat jadi tidak harus sesuai dengan warna yang ditetapkan, contohnya jika dipahat di kayu, warna ukirannya harus warna coklat kayu. Tidak hanya ragam hias kangkungan, Masjid Besar Cipaganti juga memiliki ragam hias pola geometris swastika yang terdapat di sekat pembatas teras masjid. Di dalam buku Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat (Muanas dkk, 1998), dijelaskan bahwa pola geometris swastika bergaris lurus yang seluruhnya membentuk tepi keliling. Pola swastika yang terdapat di sekat teras masjid terdiri dari lima susun. Pola swastika yang terdapat pada sekat masjid ini sedikit berbeda yakni di setiap ujung swastika berbentuk patah sehingga menyatu dengan swastika lainnya. Motif ini berbentuk ukiran menonjol sehingga akan terasa jika disentuh. Warna yang mendasari motif ini sama dengan warna cat papan sekat teras yaitu hijau. Kedua ragam hias ini memperindah masjid karena komposisi dan keberadaannya sangat terasa ketika masuk ke dalam masjid ini.
Gambar 8. Ukiran motif kangkungan yang terdapat di setiap pintu dan jendela masjid (kiri) dan tembok masjid yang berfungsi sebagai hiasan (kanan). (Sumber: koleksi pribadi, 2016)
Gambar 9. Ragam hias pola geometris “Swastika” yang terpadat pada di sekat teras utama masjid (Sumber: koleksi pribadi, 2016)
3.3 Unsur Seni Bangunan Belanda yang terdapat pada Masjid Besar Cipaganti Setelah menelusuri seluruh aspek unsur seni bangunan Jawa Barat, Pengaruh unsur seni bangunan Belanda dalam Masjid Besar Cipaganti juga tampak jelas, yang paling utama adalah dalam hal pemakaian material bahan bangunan. Masuknya pengaruh Belanda dan berkembangnya unsur seni bangunan mempengaruhi gaya bangunan di Nusantara dan juga bahan-bahan bangunan diubah dengan menggunakan batu-batuan yang dicampur oleh adukan semen, pasir, dan kapur. Bentuk bangunannya pun berubah dengan bercampurnya gaya Eropa dan tradisional (Wijayanti 1989: 154). Adapun bahan bangunan rumah tradisional Jawa Barat
13
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
lebih banyak menggunakan bahan dari alam seperti kayu, bambu ijuk, dan pelepah daun kelapa namun masjid ini menggunakan material bangunan seperti batu bata, beton, dan besi. Penggunaan batu bata dan genteng sesungguhnya bertentangan dengan adat masyarakat Jawa Barat zaman dulu dengan tidak menggunakan materi dari tanah, hal ini bermaksud untuk menghormati orang yang telah meninggal dunia yang dikubur di dalam tanah (Anwar, 2013: 84). Pada tembok luar, Masjid Besar Cipaganti menggunakan batu bata yang dicat dengan warna yang menyerupainya yaitu merah bata dan untuk tembok dalam dicat warna krem. Pada bagian depan bangunan, masjid ini dicat dengan warna krem, pada bagian ukiran dicat dengan warna hijau agak gelap dan potongan surat Al-Quran dicat dengan warna keemasan. Unsur seni bangunan Belanda dalam penggunaan bahan material juga terlihat pada lantai masjid ini juga menggunakan keramik marmer berwarna putih gading.
Gambar 10. Material bahan bangunan tradisional Jawa Barat awalnya menggunakan bahan dari alam (Sumber: http://bit.ly/1RiIt1w, diakses 20 Maret 2016)
Gambar 11. Material bahan bangunan Masjid Besar Cipaganti menggunakan batu bata, beton dan besi (Sumber: koleksi pribadi, 2016)
Konsep seni bangunan Belanda pada Masjid Besar Cipaganti menggunakan arsitektur kolonial. Arsitektur kolonial diartikan sebagai perkembangan arsitektur di suatu negeri ketika masih berstatus koloni negara asal atau masih merupakan negeri jajahan lain. Seni bangunan kolonial antara lain meliputi rumah tinggal, gedung-gedung pemerintahan atau umum, perkantoran, benteng, monumen, bangunan keagamaan dan sebagainya khususnya yang mempunya nilai keindahan dan nilai sejarah (Soekiman: 1980: 667). Jika ditinjau dari pembagian periode aliran seni bangunan di bab sebelumnya, menurut observasi penulis, bangunan Masjid Besar Cipaganti merupakan salah satu bangunan yang beraliran Nieuwe Bouwen. Tidak seperti bangunan tradisional khas Jawa Barat pada umumnya yang berbentuk segi empat, bentuk masjid ini memanjang ke kanan dan ke kiri. Hal ini diperkuat karena masjid ini dibangun pada masa ketika aliran seni bangunan nieuwe bouwen berkembang.
14
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Bentuk bangunan nieuwe bouwen sangat cocok untuk iklim Indonesia karena bentuk nieuwe bouwen memiliki jendela atau pintu yang banyak sepanjang bangunan, hal ini juga terjadi dalam bentuk Masjid Besar Cipaganti yang memiliki jendela besar sebanyak 10 buah dan tiga buah pintu. Tampak depan masjid ini juga sepadan dengan bentuk nieuwe bouwen bagian pada tengah bangunannya yang berfungsi sebagai tanda tampak depan bangunan. Bentuk bangunan nieuwe bouwen juga akan menyerap cahaya banyak jadi tidak akan menggunakan banyak listrik untuk penggunaan lampu. Konstruksi bangunan nieuwe bouwen juga mengutamakan kesetaraan dan simetris sehingga tidak banyak mengonsumsi lekukan seperti gaya art deco.
Gambar 12. Gaya Arsitektur Nieuwe Bouwen (Sumber: Handinoto, 1996)
Gambar 13. Masjid Besar Cipaganti yang berbentuk Nieuwe Bouwen (Sumber: http://bit.ly/1MDUw3W, diakses 10 Maret 2016)
Unsur seni bangunan Belanda pada Masjid Besar Cipaganti juga terdapat pada penggunaan lampu gantung khas Eropa yang hingga saat ini masih berfungsi dengan baik. Lampu gantung khas Eropa sebenarnya sudah dikenal sejak abad lima belas dan sangat populer di Belanda dan penggunaan lampu gantung semakin terkenal dan banyak digunakan di rumah-rumah para bangsawan. Fungsinya selain sebagai penerang ruangan, tetapi juga sebagai penanda status si pemilik rumah. Bentuknya bervariasi, misalnya berbentuk mahkota dan pengembangan bentuk dan modelnya terbuat dari bahan kristal yang lebih rumit dan kompleks baru dimulai di abad ke18 dan 19 (Suryani, 2013). Lampu ini terletak di bagian tengah masjid, berwarna emas gelap yang hampir mendekati perunggu, dan memiliki empat susun. Lampu gantung tersebut biasanya terbuat dari kuningan atau perunggu. Pada umumnya lampu kristal khas Belanda ini terdapat di gereja-gereja, namun Schoemaker menggantungkan lampu tersebut di dalam Masjid Besar Cipaganti. Lampu ini dirancang oleh Wolff Schoemaker dan dibuat oleh para siswa GIVA (Gemeentelijke Instelling voor Ambachtsonderwijs) yang merupakan salah satu sekolah kejuruan desain yang ada di Nusantara pada saat itu (C.J. van Dullemen, 2008). Bagian bawah lampu gantung ini memiliki wadah berbentuk setengah lingkaran yang berfungsi sebagai pemantul cahaya yang dipancarkan dari bohlam-bohlam lampu. Bagian bawah ini seolah-olah bagian yang memiliki sinar sendiri padahal cahaya yang dihasilkan adalah pantulan dari bohlam-bohlam di atasnya.
15
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Gambar 14. Lampu gantung buatan GIVA masih tergantung dan berfungsi di dalam Masjid Besar Cipaganti. (Sumber: Koleksi Pribadi, 2016)
Unsur seni bangunan Belanda juga terletak pada bagian depan dari bangunan masjid atau sering disebut fasad. Fasad bangunan dikenal juga dengan istilah muka bangunan atau wajah hadap suatu bangunan. Bagi para arsitek ataupun masyarakat awam, bagian fasad bangunan adalah unit bangunan yang paling mudah dikenali. Melalui fasad bangunan dapat dikenali identitas suatu bangunan berdasarkan kulit luar atau dinding yang nampak (Prijotomo 1987: 3). Melalui fasad kita bisa mendapat gambaran tentang fungsi-fungsi bangunan, selain itu fasad juga berfungsi sebagai alat perekam sejarah peradaban manusia (Kamurahan, 2014). Fasad bangunan merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dari suatu produk desain arsitektur dan bahkan merupakan bagian terpenting, karena elemen tampak inilah yang diapresiasi atau dilihat pertama kali. Sekat pembatas menjadi salah satu unsur arsitektur kolonial karena biasanya dapat dijumpai di dalam gereja-gereja di Eropa. Sekat pembatas pada Masjid Besar Cipaganti terletak di teras utama yang memiliki motif bulat dan dihiasi dengan ragam pola hias geometris swastika. Sekat pembatas tersebut berwarna hijau muda yang terbuat dari bahan kayu jati dan berfungsi sebagai perantara bagian tengah masjid dengan bagian luar masjid. Sekat ini sangat menarik karena menjadi daya tarik sendiri ketika kita melihat masjid dari luar.
16
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Gambar 15. Sekat pada Masjid Besar Cipaganti yang berada di teras depan. (Sumber: Koleksi Pribadi, 2016)
Kesimpulan Ciri khas yang terdapat pada suatu bangunan memang tidak akan pernah terlepas dari cita rasa pembuatnya. Masjid yang masih kokoh berdiri di tanah Bandung ini masih kental unsur seni bangunan Jawa Barat, namun apabila kita amati lebih dalam lagi, unsur seni bangunan khas Belanda juga menghiasi beberapa elemen di dalamnya. Dengan ditetapkannya Masjid Besar Cipaganti sebagai salah satu cagar budaya di Kota Bandung (berdasarkan Perda Kota Bandung No: 19/2009), menjadikan masjid ini memiliki nilai sejarah yang tinggi. Wolff Schoemaker di dalam buku Aesthetik en oorsprong der Hindoe koenst op Java (1924) mengatakan bahwa sudah mengenal budaya Jawa lebih dari dua puluh tahun. Menurutnya secara garis besar antara arsitektur Barat dan tradisional Indonesia terdapat perbedaan penting, yakni arsitektur Barat merupakan suatu konstruksi yang bersifat totalitas, sedangkan arsitektur tradisional Indonesia merupakan susunan yang subjektif, elementer, dengan mengutamakan wajah luar terutama wajah depan (Sumalyo, 1993: 69). Akulturasi antar dua unsur seni bangunan Jawa Barat dan Belanda terasa begitu nyata jika dilihat dengan saksama bentuk pada masjid tersebut. Dua unsur yang saling berdampingan tersebut menghasilkan suatu bentuk masjid yang berbeda dari masjid lainnya, sehingga proses akulturasi pada masjid ini berhasil dan dapat dirasakan. Perbedaan antara Masjid Besar Cipaganti dengan masjid-masjid yang ada antara lain adalah bentuk denah dari Masjid Besar Cipaganti berbentuk persegi panjang bukan bentuk persegi. Bentuk persegi panjang umumnya digunakan sebagai bentuk untuk bangunan perkantoran atau bangunan sekolah yang berguna untuk menampung orang banyak. Selain itu Masjid Besar Cipaganti tidak memiliki kubah namun masjid ini menggunakan atap segitiga parahu kumureb pada bangunanya.
17
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Sesuai dengan ketiga teori yang digunakan yaitu Akulturasi, teori arsitektur Jawa Barat, dan teori unsur seni bangunan Belanda, terlihat Masjid Besar Cipaganti ini memiliki kedua unsur bangunan yang berbeda namun saling berdampingan keberadaannya. Akulturasi kedua unsur seni bangunan pada masjid ini jika dilihat dengan kasat mata sangatlah terlihat, namun kita harus benar-benar mendalami elemen apa yang terdapat di dalam seni bangunan tersebut, contohnya adalah dekorasi dan bentuk bangunan. Untuk merangkum apa saja unsur seni bangunan Jawa Barat dan Belanda yang terkandung di dalam masjid ini, berikut tabel uraian: Unsur seni bangunan Jawa Barat yang terdapat pada Masjid Besar Cipaganti
Unsur seni bangunan Belanda yang terdapat pada Masjid Besar Cipaganti
Atap Perahu Kumureb Memiliki empat buah bidang atap penuh yang memanjang. Berbentuk sepasang bidang atap sama luas berbentuk trapesium, dan sepasang lagi sama kaki. Berwarna coklat tua dan terbuat dari ijuk.
Material bahan bangunan Menggunakan material bangunan seperti batu bata, beton, dan besi. Tembok luar dicat berwarna merah bata dan bagian dalam berwarna krem. Penggunaan keramik marmer pada lantai masjid.
Empat Tiang sakaguru Berfungsi sebagai penopang bagi atap dan meyangga suatu bangunan sehingga atapnya dapat berdiri tegak dan tidak rubuh. Berwarna abu-abu dan memiliki ukuran kurang lebih 20 cm x 20 cm.
Bentuk Bangunan Nieuwe Bouwen Masjid Besar Cipaganti berbentuk memanjang ke sisi kiri dan ke kanan, memiliki jendela yang banyak, dan masjid ini dibuat pada saat gaya nieuwe bouwen berkembang.
Ragam hias kangkungan Ragam hias kangkungan terdapat di seluruh pintu, jendela masjid, dan terdapat juga di tembok masjid yang terletak di bagian jemaah. Diukir pada kayu jati dan berwarna coklat tua.
Lampu Gantung Terletak di bagian tengah masjid, berwarna emas gelap yang hampir mendekati perunggu, dan memiliki empat susun. Memiliki bohlam berwarna putih kekuning-kuningan dan masih berfungsi sangat baik.
Ragam hias swastika Ragam hias swastika terdapat di sekat pembatas teras masjid. Setiap ujung pola swastika berbentuk patah sehingga menyatu dengan swastika lainnya. Warna yang mendasari motif ini sama dengan warna cat papan sekat pembatas teras yaitu hijau.
Sekat pada teras sebagai façade Fasad atau bentuk muka bangunan yang memiliki sekat pembatas berelief motif bulat dan swastika berwarna hijau. Terbuat dari bahan kayu jati yang berfungsi sebagai pembatas antara bagian tengah masjid dan luar masjid.
Tabel 1: Uraian unsur seni bangunan Jawa Barat dan unsur seni bangunan Belanda yang terdapat pada Masjid Besar Cipaganti
Penulis menyimpulkan bahwa unsur bangunan Jawa Barat dan Belanda yang terdapat pada seni bangunan Masjid Besar Cipaganti berjumlah empat buah. Dari sisi unsur seni bangunan Jawa Barat terdiri atas atap parahu kumureb yaitu berbentuk tajug segitiga yang memilik tiga lapis, berwarna coklat tua dan terbuat dari ijuk. Kemudian empat tiang sakaguru sebagai ciri khas identitas bangunan khas Jawa yang berfungsi sebagai fondasi bangunan serta memiliki makna unsur-unsur pembentuk alam. Untuk dekorasi ruangan terdapat ragam hias kawungan, dan ragam hias pola geometris swastika. Dari unsur seni bangunan Belanda, terlihat dari bentuk bangunan nieuwe bouwen khas kolonial Belanda, material bahan bangunan yang menggunakan
18
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
bata, beton, dan besi, kemudian lampu gantung khas Eropa dan façade yaitu sekat pada teras utama. Kedua unsur bangunan tersebut sangat memperkaya bangunan ini sehingga akulturasi seni bangunan antara budaya Jawa Barat dan Belanda sangat terasa dan menghasilkan suatu produk, yaitu Masjid Besar Cipaganti itu sendiri. Masjid Besar Cipaganti juga memenuhi kriteria sebagai masjid yang ideal karena mengikuti kaidah-kaidah masjid pada umumnya seperti menghadap kiblat, berada di tepi jalan, memiliki mimbar, terpisahnya tempat sholat pria dan wanita, dan fasilitas tempat wudhu. Dapat disimpulkan bahwa salah satu unsur kebudayaan yang bangsa Belanda tinggalkan di Nusantara adalah unsur bangunan yang diterapkan di berbagai bangunan lokal, salah satunya adalah yang terkandung dalam Masjid Besar Cipaganti. Charles Prosper Wolff Schoemaker selaku arsitek juga tidak meninggalkan unsur budaya setempat dan menggabungkan kedua unsur tersebut sehingga menghasilkan suatu masjid yang ideal secara kaidah Islam dan indah secara interior dan eksterior karena berhasil menggabungkan unsur seni bangunan tradisional Jawa Barat dan Belanda sehingga menjadikan Masjid Besar Cipaganti memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat.
Daftar Referensi Sumber Pustaka: Anwar, H., & Nugraha, H. A. (n.d.). Rumah Etnik Sunda. Jakarta: Griya Kreasi (Penebar Swadaya Grup).
Arum, A. M (2010). Gedung Batavische Kunstkring: Tinjauan Bentuk Arsitektur. Skripsi. Depok: Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. Bismoko, D. S (2013). Unsur-Unsur Arsitektur Kolonial pada Masjid Cipari Garut. Skripsi. Depok: Program Studi Arkeologi. Universitas Indonesia. Blijstra, R. (1966). Dutch Architecture after 1900. Amsterdam: Amsterdam, P. N. van Kampen & Zoon.
Dasum Muanas, d. (1998). Arsitektur Tradisional Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.
Nugroho, Y. A (2012). Mustaka Pada Bangunan Islam Kuna di Cirebon. Skripsi. Depok: Program Studi Arkeologi. Universitas Indonesia.
Rochym, A. (1983). Sejarah Arsitektur Islam: Sebuah Tinjauan. Bandung: Angkasa.
Rozana, I (1997). Joglo dan Kosmologi (Studi Kasus: Joglo di Kraton Yogyakarta). Skripsi. Depok: Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik. Universitas Indonesia. Samsudi (2000). Aspek-Aspek Arsitektur Kolonial Belanda Pada Bangunan Puri Mangkunegaran. Tesis. Semarang: Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik. Universitas Diponegoro.
19
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Silitonga, T. G (2011). Gaya Bangunan Gereja Pniel di Pasar Baru, Jakarta. Skripsi. Depok: Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. Sumalyo, Y. (1993). Arsitektur Kolonial Belanda di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sumalyo, Y. (2006). Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sutrisna, D (1996). Unsur-unsur Arsitektur Kolonial Pada Masjid Agung Manonjaya Tasikmalaya (Tinjauan Arsitektur dan Akulturasi). Skripsi. Depok: Program Studi Arkeologi, Fakultas Sastra. Universitas Indonesia. Yudianto, B (2002). Monograph Henri Maclaine Pont Bentuk Tradisional Pada Arsitektur Kolonial. Skripsi. Depok: Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik. Universitas Indonesia.
Sumber Elektronik: Jurnal: Dullemen, C. v. (2008). Op Zoek Naar de Tropenstijl. Leven en werk van Prof.ir. C.P. Wolff Schoemaker Indisch architect. Utrecht: Universiteit Utrecht.
Handinoto. (1996). Perkembangan Kota Malang Pada Jaman Kolonial (1914-1940). Dimensi 22.
Handinoto. (1996). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940. Surabaya: LPPM Univ. Kristen Petra Surabaya .
Handinoto. (1997, December). Studi Perbandingan Karya 3 Orang Arsitek Belanda Kelahiran Jawa di Indonesia. DImensi Volume 24.
Hartono, S., & Handinoto. (2007). 'Arsitektur Transisi' di Nusantara dari Akhir Abad 19 ke Awal Abad 20 (Studi Kasus Komplek Bangunan Militer di Jawa Pada Peralihan Abad 19 ke 20).
Jamaludin. (2011). Estetika Sunda dan Implementasinya dalam Desain Kontemporer. Konferensi Internasional Budaya Sunda II, Revitalisasi Budaya Sunda: Peluang dan Tantangan dalam Dunia Global. Yayasan Kebudayaan Rancagé.
Kamurahan, S. R., Waani, J. O., & Rogi, O. H. (2014, Agustus). Studi Persepsi Masyarakat Terhadap Estetika Desain Fasade Bangunan dengan Pendekatan Teori Subyektif Studi Kasus di Koridor Boulevard on Business (BoB) Jalan Piere Tendean Manado. Media Matrasain, 11, 82.
Kustianingrum, D., Sonjaya, O., & Ginanjar, Y. (2013, October). Kajian Pola Penataan Massa dan Tipologi Bentuk Bangunan Kampung Adat Dukuh di Garut, Jawa Barat. Jurnal Online Institut Teknologi Nasional.
Prijotomo, J. (1987). Komposisi Olah Tampang Arsitektur Kampung (Telaah Kasus Kampung di Surabaya).
Soekiman, D. (n.d.). "Seni Bangunan Kolonial di Indonesia" dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi ke II. Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala Jakarta.
Suharjanto, G. (2014, June). Konsep Arsitektur Tradisional Sunda Masa Lalu dan Masa Kini. ComTech Vol. 5 No. 1.
Drs. Taufik Hidayat, M. (2012). Bangunan Masjid Menurut Al-Quran dan Hadist.
20
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016
Sumber Website: Ahmad, T. (2015, Juni 30). Wisata Sejarah dan Religi, Masjid Besar Cipaganti. Retrieved Maret 05, 2016, from Info BDG: http://www.infobdg.com/v2/wisata-sejarah-dan-religi-masjid-besarcipaganti/
Gunawan, H. (2010, November 2010). Masjid Raya Cipaganti Bandung. Retrieved June 16, 2016, from Rindu Masjid: http://bujangmasjid.blogspot.co.id/2010/11/masjid-raya-cipagantibandung.html Hudri. (2013, November 11). Keistimewaan Warna Hijau dalam Islam Menurut Al-Qur'an. Retrieved June 10, 2016, from Sarana Berbagi Ilmu Agama dan Umum: https://alhudristai.wordpress.com/2013/11/11/keistimewaan-warna-hijau-dalam-islammenurut-al-quran/ Kania. (2009, September 29). Menelusuri Jejak Karya Schoemaker; Sang Arsitek Bandung. Retrieved December 15, 2015, from Institut Teknologi Bandung: http://www.itb.ac.id/news/2586.xhtml
Sasmita, M. (2008, November 17). Rumah Baca Buku Sunda. Retrieved from RAGAM HIAS PADA BEDOG: http://rumahbacabukusunda.blogspot.co.id/2008/11/ragam-hias-pada-bedog.html
Sebandung.com. (2015, Desember). Retrieved Maret 05, 2016, from Wisata Rohani di Bandung ke dalam Masjid Raya Cipaganti: https://sebandung.com/2014/12/wisata-rohani-di-bandung-kedalam-masjid-raya cipaganti/
Shihab,
M. Q. (n.d.). Retrieved November 26, 2015, from http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Quraish/Wawasan/Masjid.html
Wawasan
Al-Qur'an:
Soemitro, M. G. (2012, Oktober 11). Masjid Cipaganti, Perpaduan Seni Jawa dan Eropa yang Eksotis. Retrieved Februari 12, 2016, from Kompasiana: http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/masjid-cipaganti-perpaduan-seni-jawa-daneropa-yang-eksotis_55186084a333113107b665b7
Suryani, I. (2013, Maret 1). Rumah.com. Retrieved April 8, 2016, from Sejarah dan Ragam Bentuk Chandelier: http://bit.ly/1PXMrYe
21
Ragam akulturasi ..., Muhammad Armedi Eka Purdini H, FIB UI, 2016