UNIVERSITAS INDONESIA
PERSEPSI PUSTAKAWAN MENGENAI PERGESERAN PERAN PUSTAKAWAN DI ABAD ELEKTRONIK: STUDI KASUS PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora Program Studi Ilmu Perpustakaan pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Depok
RIBKA PRIMA SETYANTY 0706291905
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA DEPARTEMEN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN DEPOK JULI 2012
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Bekasi, 3 Juli 2012
Ribka Prima Setyanty
ii
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Ribka Prima Setyanty
NPM
: 0706291905
Tanda Tangan : …………………… Tanggal
: 3 Juli 2012
iii
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi yang diajukan oleh Nama NPM Program Studi Judul Skripsi
: : Ribka Prima Setyanty : 0706291905 : Ilmu Perpustakaan : Persepsi Pustakawan mengenai Pergeseran Peran Pustakawan di Abad Elektronik: Studi Kasus Perpustakaan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta
ini telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Ilmu Perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI Ketua Sidang : Taufik Asmiyanto M.Si 197507122009121002
(……………)
Pembimbing : Dra. Indira Irawati M.A., M.Lib 196010201988112001
(……………)
Penguji
: Utami Budi Rahayu Hariyadi S.S., M.Lib., M.Si. (……………) 131950282
Panitera
: Margareta Aulia Rachman S.Hum 071003005
Ditetapkan di : Depok Tanggal : 5 Juli 2012 oleh Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Dr. Bambang Wibawarta, S.S., M.A. 196510231990031002 iv
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
(……………)
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yesus, atas hikmat dan penyertaan-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tanpa kekurangan suatu apapun. Penulisan skripsi ini dilangsukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Humaniora pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, mulai masa perkuliahan sampai pada terselesaikannya skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, terima kasih dari hati yang terdalam saya haturkan kepada: (1) Ibu Indira Irawati, selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini; (2) Ibu Utami Budi Rahayu Hariyadi, selaku dosen pembaca dan penguji yang telah banyak memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini; (3) Ibu Diao Ai Lien, selaku Koordinator Perpustakaan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya atas dukungan dan masukannya yang menambah cukup semangat, wawasan, dan pemahaman saya mengenai dunia perpustakaan sehingga penelitian ini terasa semakin mudah, terimakasih juga atas kesediaan beliau dalam menjadi informan kunci dalam penelitian ini; (4) Mama, Papa, dan Dek Priska, yang senantiasa sabar menanti penyelesaian skripsi ini. Tidak cukup kata terimakasih untuk mengungkapkan betapa bersyukurnya saya dapat memiliki mereka yang telah dengan penuh cinta memahami dan mendorong saya untuk maju dan tidak patah arang. Kepada Bude Ita, Pakde Jo, Embah-embahku di Yogya, sepupu-sepupu tercinta: Mba Vita, Sisca, Mas Amier, Yowel, Andreas, Lila, Agnes, kalian adalah motivasiku untuk terus menang; (5) Teman-teman SIP 2007, terutama Dini Aryani, Nuria Prasanti, Riska Pujianti, dan yang lainnya yang telah banyak mengisi hari-hariku yang kelam menjadi lebih berwarna, perjuangan kita bukanlah sampai disini, masih banyak gunung yang mau kita daki, bukan?? Untuk Ka Rani dan Ka Early 2006 juga. Tetaplah semangat hai wanita-wanita perkasaku; v
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
(6) Teman-teman di Perpustakaan Unika Atma Jaya Jakarta, yang telah memberikan layanan prima saat saya menjadi pemustaka di Perpustakaan Pusat Unika Atma Jaya Jakarta, terkhusus untuk Pak Niko, Bu Bida, Pak Ali yang telah menerima saya dengan tangan terbuka dan mau membantu saya di sela-sela padatnya kegiatan mereka, sehingga menambah motivasi saya untuk terus berkontribusi bagi dunia perpustakaan; (7) Semua yang membantu dalam pembuatan skripsi saya, Bu Luki yang telah menginspirasi saya dalam mencetuskan topik ini, Bu Laksmi yang membantu saya dalam mencetuskan judul dari penelitian ini, Pak Sumar yang telah memberikan ide-ide dalam pengembangan topik skripsi ini; (8) Teman-teman Laskar Timur: Ria darling, Anggitang, Yosua Uwa, Pak Jo, Mba Aree, atas doa, kesabaran, dan semangatnya. Mungkin aku tak akan bisa bangkit jika tak ada kalian. Tak lupa juga teman jauh di mata, dekat di hati, Feri, Nova, Lestari, Ribka bu pendeti, Yesus berkati kalian semua selamanya. Amiiin; Akhir kata, saya berharap Tuhan penuh kasih berkenan memberikan kebahagiaan dan kesehatan pada semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu, khususnya Ilmu Perpustakaan.
Depok, 5 Juli 2012
Penulis
vi
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ribka Prima Setyanty NPM : 0706291905 Program Studi : Ilmu Perpustakaan Departemen : Ilmu Perpustakaan dan Informasi Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya Jenis karya : Skripsi demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Persepsi Pustakawan mengenai Pergeseran Peran Pustakawan di Abad Elektronik: Studi Kasus Perpustakaan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis /pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Pada tanggal : 5 Juli 2012 Yang menyatakan
(Ribka Prima Setyanty)
vii
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
ABSTRAK
Nama : Ribka Prima Setyanty Program Studi : Ilmu Perpustakaan Judul : Persepsi Pustakawan mengenai Pergeseran Peran Pustakawan di Abad Elektronik: Studi Kasus Perpustakaan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta
Skripsi ini membahas tentang persepsi pustakawan mengenai pergeseran peran pustakawan di abad elektronik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi pustakawan Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya Jakarta dan mengetahui apa saja strategi yang dimiliki pustakawan Unika Atma Jaya dalam menghadapi pergeseran perannya di abad elektronik. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Data penelitian diperoleh dengan cara memeriksa dokumen terkait, wawancara, dan observasi. Hasil penelitian ini juga dikaitkan dengan kompetensi pustakawan abad 21 oleh American Library Association.
Kata kunci: Persepsi, Peran Pustakawan, Abad Elektronik
viii Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
ABSTRACT
Name : Ribka Prima Setyanty Study Program : Library Science Title : Librarian’s Perception about Librarian’s Shifting Role in Electronic Era: A Case Study in Atma Jaya Catholic University of Indonesia’s Library
This undergraduate thesis discusses the librarian perception about librarian’s shifting role in electronic era. This research aims to determine perception of Unika Atma Jaya Jakarta’s librarian about their shifting role and to get overview about their strategy so they can survive in electronic era. This study was a qualitative research with case study method. The research data obtained by examining relevant documents, interviews, and observation. The results of this study was also associated with the 21th century competencies of librarian by American Library Association.
Key words: Perception, Librarian’s Role, Electronic Era
ix Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Akademis 1.4.2 Manfaat Praktis 1.5 Metode Penelitian BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi 2.2 Perpustakaan Perguruan Tinggi Abad 21 2.3 Pustakawan Perguruan Tinggi Abad 21 2.3.1 Peran Pustakawan Perguruan Tinggi Abad 21 2.3.2 Kompetensi Pustakawan Perguruan Tinggi Abad 21 2.4 Situasi Abad Elektronik BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian 3.2 Strategi Penelitian 3.3 Pemilihan Informan 3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.5 Teknik Pengumpulan Data 3.5.1 Wawancara 3.5.2 Observasi 3.6 Teknik Analisis Data BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persepsi Pustakawan UAJ Jakarta… 4.1.1 Perpustakaan Abad Elektronik 4.1.1.1 Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah... 4.1.1.2 Lebih fokus ke pengguna 4.1.2 Pustakawan Abad Elektronik 4.1.2.1 Dimudahkan dengan adanya TIK 4.1.2.2 Penekanan pada pengajaran 4.2 Strategi Pustakawan UAJ Jakarta dalam…
x Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
i ii iii iv v vii viii ix x xii xiii 1 4 5 5 5 5 5 6 7 9 11 15 18 22 22 23 24 24 24 25 25 27 28 28 34 36 37 39 42
4.2.1 Adanya Tim Training 4.2.2 Kolaborasi 4.2.3 Strategi Pembagian Kerja BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA
xi Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
43 44 46 49 50 52
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pergeseran Paradigma Perpustakaan
19
Tabel 2 Profil Informan
23
Tabel 3 Waktu Penelitian
24
xii Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Tampilan ruang dalam Perpustakaan Pusat UAJ Jakarta
56
Lampiran 2 Denah Kampus Semanggi
58
Lampiran 3 Tampilan luar Perpustakaan Pusat UAJ
59
Lampiran 4 Tampilan Perpustakaan PKPB dan PKPM
60
Lampiran 5 Tampilan situs Atmalib
61
Lampiran 6 Tampilan situs Aptik
62
Lampiran 7 Tampilan situs Informan AN
63
Lampiran 8 Panduan Wawancara
65
Lampiran 9 Hasil Transkrip Wawancara
67
xiii Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pada abad ke-21, Teknologi Informasi dan Komunikasi (selanjutnya disingkat TIK) mengalami perkembangan yang amat pesat dan membawa perubahan di segala bidang kehidupan. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dalam proyek pendidikan masa depannya mendefinisikan: “Information and communications technologies (ICTs) are technologies used to communicate and to create, manage and distribute information. A broad definition of ICTs includes computers, the Internet, telephones, television, radio and audiovisual equipment.” (UNESCO, 2004: 12). bahwa TIK adalah teknologi yang digunakan untuk berkomunikasi dan untuk menciptakan, mengelola dan mendistribusikan informasi. Internet, telepon, televisi, radio yang merupakan beberapa wujud dari TIK dapat memudahkan kegiatan berkomunikasi dengan meniadakan jarak. TIK dengan teknik audiovisual-nya membuka kesempatan baru dalam penciptaan suata hasil karya intelektual dengan output yang sedemikian rupa menarik sehingga mempermudah masyarakat dalam memahami suatu informasi. Komputer membuat pengelolaan informasi menjadi lebih praktis dari segi waktu, tenaga, dan tempat. TIK dengan berbagai
wujud
yang
telah
disebutkan
sebelumnya
dapat
membantu
penyebarluasan informasi dengan lebih efektif dan efisien. Alvin Toffler, seorang penulis dan futuris berkebangsaan Amerika, mengistilahkan era perkembangan ini sebagai Abad Informasi, Abad Elektronik, Desa Global, dan masyarakat superindustrial yang di dalamnya terdapat sejumlah gejala yang dipandang Toffler sebagai "dunia yang dengan cepat bertumbuh dari benturan nilai-nilai dan teknologi baru, hubungan geopolitik baru, gaya hidup, dan cara komunikasi baru." (Toffler, 1980: 10).
1
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
2
Peran pustakawan di abad elektronik ramai diperbincangkan sehubungan dengan serbuan TIK yang menembus demarkasi praktik kepustakawanan konvensional. Salah satu pernyataan yang patut direnungkan, dikutip Abbas dari pernyataan Zink berikut: “... there will be no place (if there is now) for librarians who are not willing to interact with technology ..... To many librarians do not realize that the period of late 1980’s and 1990’s is one of unprecedented change, not only in the library profession but in society as a whole.” (Abbas, 1997). Menurut Abbas, tidak akan ada tempat bagi pustakawan apabila tidak dari sekarang memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan teknologi. Dikatakan Abbas juga, banyak pustakawan yang tidak menyadari bahwa pada awal 1990 merupakan awal dari perubahan yang dampaknya tidak hanya mengenai perpustakaan namun keseluruhan masyarakat. Istilah seperti perpustakaan elektronik, perpustakaan maya, perpustakaan tanpa dinding, perpustakaan hibrida, perpustakaan digital dan lain-lain akan menjadi jargon yang kosong tanpa peran pustakawan. Pustakawan dapat menyertakan pemahaman mendalam dibandingkan search engine dalam menentukan konsep yang tepat terkait dengan kebutuhan informasi penggunanya. Tidak hanya itu, produk kemas ulang informasi cukup menggambarkan kemampuan pustakawan dalam memanipulasi data dari berbagai sumber di internet agar suatu informasi baru menjadi mudah dipahami dan diterima oleh pengguna.
Dengan
demikian,
perpustakaan
melalui
pustakawan
yang
mengelolanya harus senantiasa siap menyesuaikan diri dalam lingkungan serba elektronik dan jaringan global yang sebenarnya mempermudah kerja pustakawan asalkan pustakawan mau berpikiran kreatif dan terbuka. Hal yang paling umum dilakukan oleh pustakawan ialah mengalokasikan sebagian besar dananya untuk pengadaan perangkat keras dan lunak komputer, peralatan jaringan dan peralatan pendukung lainnya, dengan asumsi bahwa hal-hal tersebut akan menyelesaikan semua permasalahan perpustakaan. Komponen lain yang tak kalah penting lainnya seperti content, sumber daya manusia, kebijakan berupa prosedur, peraturan dan tata kerja perpustakaan menjadi terabaikan. TIK
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
3
yang selayaknya merupakan kebutuhan sekunder/tersier semua hal tersebut malah berbalik jadi prioritas utama. Perpustakaan perguruan tinggi, seperti Perpustakaan Universitas Katolik Indonesia (Unika) Atma Jaya, sebagai ujung tombak kemajuan bidang pendidikan telah menerapkan TIK sejalan dengan kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Perwujudan dari penerapan TIK ini, yaitu Perpustakaan Unika Atma Jaya (UAJ) telah mampu menampilkan informasi koleksi dan layanannya secara on-line dalam rangka memenuhi kebutuhan penggunanya. Dengan aplikasi sistem informasi perpustakaan AtmaLib-nya, perpustakaan UAJ terus berupaya agar sejalan dengan abad elektronik dan selaras dengan visinya, yaitu “Menjadi mitra strategis bagi civitas akademika, dalam pengembangan masyarakat ilmiah yang efektif dan efisien dalam hal pengelolaan pengetahuan, di tengah-tengah perkembangan pesat teknologi komunikasi dan informasi”. Perpustakaan ini tergabung dalam Indonesian Digital Library Network (IndonesiaDLN); jaringan perpustakaan digital pertama di Indonesia guna mendukung misinya, yaitu “Mengembangkan sistem perpustakaan digital yang efektif dan efisien dalam memfasilitasi pengelolaan pengetahuan individu dan organisasi” (Butir ke-1 Misi Perpustakaan UAJ). Di samping itu, Perpustakaan UAJ juga “Mengembangkan program peningkatan keterampilan informasi (information literacy) civitas akademika dalam konteks pengelolaan pengetahuan” (Butir ke-3 Misi Perpustakaan UAJ) sebagai penunjang pengembangan sistem digitalnya. Peneliti terinspirasi dari tema seminar sehari yang diselenggarakan Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, 2 Juni 2000, “Peran Pustakawan di Abad Elektronik: Impian dan Kenyataan”. Mengawali mimpi tentang peran pustakawan di masa mendatang, Creth mengutip mimpi Stanley Chodorow tentang peran pustakawan di tahun 2090 yang disampaikan dalam Symposium on scholarship in the new information environment di Universitas Harvard pada tahun 1995: “Today, in the 2090s, no individual scholar or research group can work without a librarian as a collaborator. Library science is now a track of the advanced degree in every discipline. It is a track taken by people very much like those who once migrated from academic fields into librarianship, but the name librarian now designates not so much a Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
4
separate profession as a type of scholar. While every scholar and scientist learns how to use information in the creation of new ideas and new information and while each masters a very substantial body of information, the librarian-scholar or scientist is the disciplinary information specialist. [The librarian] is the eyes and ears of the research community, constantly surveying and mapping the information universe for colleagues. Librarians are the ones who know how to find and use the most up-to-date version of scholarly resources, how long these resources are likely to maintain their current shape and content, and how the process of change works. . . . the corps of librarians . . . live in departments and research laboratories and have absorbed many of the duties that used to be performed by computer consultants as well as reference librarians. Their names are to be found among the authors of most publications.“ (Sheila D. Creth, 1996). bahwa di masa 2090, tidak ada seorang ahli ataupun kelompok penelitian dapat bekerja tanpa seorang pustakawan sebagai kolaborator. Pustakawan dipercaya para peneliti dapat dengan mudah memetakan informasi. Pustakawan adalah orang-orang yang tahu bagaimana menemukan dan menggunakan sumber daya ilmiah yang paling up-to-date. Pustakawan-pustakawan ditempatkan di setiap departemen dan laboratorium-laboratorium penelitian, melakukan pekerjaannya sebagai konsultan komputer sebaik pustakawan rujukan. Begitulah kiranya harapan tersebut dapat menjadi acuan dalam pengembangan kepustakawanan Indonesia di masa mendatang.
1.2 Perumusan Masalah Perpustakaan perguruan tinggi seperti Perpustakaan UAJ Jakarta, sebagai ujung tombak kemajuan bidang pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan kebutuhan informasi dalam kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Di abad elektronik, mungkin masih banyak pustakawan yang tidak paham akan perannya. Agar dapat terus mempertahankan perpustakaan sebagai jantung universitas, pustakawan UAJ hendaknya memiliki kemampuan di luar ilmu perpustakaan. Pustakawan harus memiliki sesuatu yang unik agar tidak ‘tertendang’ dengan pesatnya perkembangan teknologi. Maka dari itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1) Apa persepsi pustakawan UAJ Jakarta mengenai pergeseran peran pustakawan di abad elektronik? Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
5
2) Bagaimana strategi pustakawan UAJ Jakarta dalam menghadapi pergeseran perannya di abad eletronik?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Mengetahui persepsi pustakawan UAJ mengenai pergeseran peran pustakawan di abad elektronik. 2) Mendapatkan gambaran mengenai strategi pustakawan UAJ Jakarta dalam menghadapi pergeseran perannya di abad eletronik.
1.4 Manfaat Penelitian Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi bagi kemajuan ilmu perpustakaan dan informasi dengan menyadarkan pelayan informasi di Indonesia agar menaruh perhatian terhadap pergeseran dan penghidupan peran pustakawan di abad elektronik. Secara praktis, karena penelitian kualitatif menitikberatkan bukan pada hasil melainkan pada proses, penulis harapkan dengan penelitian ini dapat membangkitkan kesadaran pustakawan UAJ
terhadap
pergeseran peran
pustakawan di abad elektronik, sehingga pustakawan UAJ dapat terus meningkatkan perannya dalam mempertahankan keeksistensian perpustakaannya sebagai jantung universitas sampai masa mendatang.
1.5 Metode Penelitian Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus dalam mempelajari, menerangkan, dan menginterpretasi kasus dalam konteks profesionalisme pustakawan. Informan utama dalam penelitian ini adalah pustakawan profesional UAJ yang terdaftar sebagai pengelola perpustakaan UAJ sebelum tahun 2000. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah wawancara; melakukan tanya-jawab dengan informan. Selain wawancara,
dilakukan
juga
observasi;
mengamati
kondisi
dan
situasi
perpustakaan, menelusur produk-produk perpustakaan (pamphlets, AtmaLib). Setelah data yang dibutuhkan terpenuhi, tahap terakhir adalah menganalisis data. Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan teori dan pendapat para ahli terkait dengan konsepkonsep masalah penelitian. Tinjauan pustaka ini berfungsi sebagai landasan teori yang nantinya akan digunakan dalam proses analisis data.
2.1 Persepsi Persepsi adalah kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu perception. Dalam Oxford advanced learner’s dictionary of current English, kata ini diberi arti sebagai “proses yang membuat manusia tanggap terhadap perubahan-perubahan di sekelilingnya (melalui penglihatan, pendengaran, dan sebagainya)” (Homby, 1992: 631). Selaras dengan itu menurut McShane (2000: 23), persepsi adalah proses dimana seseorang menyeleksi, mengolah dan menafsirkan informasi yang diterimanya dari lingkungan melalui indera sehingga memiliki arti tertentu. Menurut Biever dan Griffith (dalam Nurjani, 1998: 12) pembentukan persepsi dimulai dengan pemilihan atau penyaringan informasi, kemudian informasi yang masuk disusun menjadi kesatuan yang bermakna lalu terjadilah interpretasi mengenai fakta keseluruhan informasi. Pada fase ini pengalaman masa silam memegang peranan penting. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Kertapati (1981: 162) yang menyatakan bahwa pengalaman masa lalu berfungsi sebagai kerangka berpikir yang berpengaruh dalam menerima pengalaman dan kesankesan baru. Pengalaman masa lalu yang erat kaitannya dengan rangsangan yang diterima sekarang, sangat mempengaruhi persepsi seseorang. Mangkunegara (dalam Arindita, 2002) berpendapat bahwa persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau makna terhadap lingkungan. Dalam hal ini persepsi
mencakup
penafsiran
obyek,
penerimaan
stimulus
(input),
pengorganisasian stimulus, dan penafsiran terhadap stimulus yang telah diorganisasikan dengan cara mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap.
6
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
7
Baron dan Byrne, juga Myers (dalam Gerungan, 1996) menyatakan bahwa sikap itu mengandung tiga komponen yang membentuk struktur sikap, yaitu: 1) Komponen kognitif (komponen perseptual), yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan bagaimana orang mempersepsi terhadap objek sikap. 2) Komponen afektif (komponen emosional), yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. 3) Komponen konatif (komponen perilaku, atau action component), yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap objek sikap. Komponen ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku seseorang terhadap objek sikap. Atau dapat dikatakan, perilaku konatif merupakan perilaku yang berhubungan dengan motivasi atau faktor penggerak perilaku seseorang yang bersumber dari kebutuhan-kebutuhannya. Menurut Azwar (1998), bahwa nilai, persepsi/pendapat berkaitan erat dengan sikap. Bahkan kedua konsep tersebut sering kali dipergunakan dalam definisi-definisi sikap walaupun pada hakikatnya ketiga istilah tersebut tidak sama persis maknanya. Persepsi terbentuk dengan didasari oleh sikap yang sudah mapan, akan tetapi persepsi lebih bersifat situasional dan komtemporer, lebih mudah berubah sesuai dengan kondisinya. Sedangkan nilai lebih luas dan sifatnya mendasar. Nilai berakar lebih dalam dan karenanya lebih stabil dibandingkan sikap individu. Lebih dari pada itu sikap dan nilai dianggap sebagian
dari
kepribadian
individu
yang
dapat
mewarnai kepribadian
kelompok atau kepribadian bangsa.
2.2 Perpustakaan Perguruan Tinggi Abad 21 Keberadaan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari peradaban dan budaya umat manusia. Penemuan mesin cetak, pengembangan teknik rekam, dan pengembangan teknologi digital yang berbasis teknologi informasi dan
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
8
komunikasi mempercepat tumbuh-kembangnya perpustakaan. (UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan). Sebelum abad 21, pada umumnya perpustakaan menggambarkan model tradisional yang terakomodasi dengan revolusi teknologi yang mana merupakan transformasi dari model arsip dan skrip yang berasal dari “collections of clay tablets, papyrus scrolls, and illuminated manuscripts” (Beagle, 2006). Sedangkan pada abad 21, konsep perpustakaan berubah. Pemustaka dapat belajar bersama-sama secara kolaboratif dengan memanfaatkan fasilitas teknologi sementara sumber-sumber infomasi dan ilmu pengetahuan terwadahi secara digital, sehingga ruang di perpustakaan dapat dimanfaatkan untuk pemustaka. Dengan demikian terjadi pergeseran fungsi dari collectioncentric yang memfokuskan pada koleksi perpustakaan ke user-centric yang memfasilitasi
para
pengguna
layanan
perpustakaan.
Pustakawan
perlu
mengembangkan diri berdasarkan kebutuhan dan perilaku baru para pemustaka guna mengantisipasi minat baca masyarakat yang berubah tetapi juga harus menjaga agar pengguna lama tetap nyaman dengan suasana perpustakaan tradisional. Seperti dikatakan oleh Laura Bott dan Kata: “Librarians and staff can ease anxiety and increase the comfort level of their Immigrant users by providing instruction for new features while also retaining some elements of traditional library services” (Botts & Kata, 2006). Berdasarkan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan pasal 24 butir ke-3, perpustakaan perguruan tinggi mengembangkan layanan perpustakaan berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Pada era informasi abad 21, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan global. Oleh karena itu, setiap institusi, termasuk perpustakaan berlomba untuk mengintegrasikan TIK guna membangun dan memberdayakan sumber daya manusia berbasis pengetahuan agar dapat bersaing dalam era informasi global. Perkembangan TIK ini akhirnya melahirkan sebuah perpustakaan berbasis elektronik atau lebih dikenal dengan sebutan perpustakaan digital. Komponen penting dalam perpustakaan di samping pustakawan adalah content atau koleksinya. Demikianlah perpustakaan digital tidak lepas dari koleksi
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
9
digitalnya. Dalam Dictionary for Library and Information Science koleksi digital didefinisikan sebagai: ”a collection of library or archival materials converted to machinereadable format for preservation or to provide electronic access… Also library materials produced in electronic formats, including e-zines, ejournals, e-books, reference works published online and on CD-ROM, bibliographic database and other web-based resource…” (Joan M. Reitz, 2004). Artinya, kolesi digital adalah koleksi perpustakaan atau arsip yang dikonversikan ke dalam format yang terbacakan mesin (machine-readable format) untuk tujuan pelestarian atau penyediaan akses elektronik. Termasuk juga materi yang diproduksi dalam bentuk elektronik, mencakup e-zines, e-journals, e-books, karya referensi yang dipublikasikan secara online dan dalam CD-ROM, database bibliografi, dan sumber-sumber berbasis web lainnya. Seperti yang tercantum dalam UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, perpustakaan sebagai sistem pengelolaan rekaman gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia, mempunyai fungsi utama melestarikan hasil budaya umat manusia tersebut, khususnya yang berbentuk dokumen karya cetak dan karya rekam lainnya, serta menyampaikan gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia itu kepada generasi-generasi selanjutnya. Sasaran dari pelaksanaan fungsi ini adalah terbentuknya masyarakat yang mempunyai budaya membaca dan belajar sepanjang hayat.
2.3 Pustakawan Perguruan Tinggi Abad 21 Berdasarkan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Menurut Kode Etik Ikatan Pustakawan Indonesia, yang disebut pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu perpustakaan yang diperolehnya melalui pendidikan.
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
10
Sedangkan menurut kamus istilah perpustakaan susunan H. S. Lasa, pustakawan yang sebagai penyaji informasi adalah tenaga profesional dan fungsional di bidang perpustakaan, informasi, maupun dokumentasi. Dari ketiga pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pustakawan adalah orang yang memiliki pendidikan perpustakaan atau ahli perpustakaan atau tenaga profesional di bidang perpustakaan dan bekerja di perpustakaan. Jadi, pustakawan adalah seseorang yang profesional atau ahli dalam bidang perpustakaan (Samuel Ramdan, 2005). Sudarsono mengemukakan pada Seminar Sehari Peran Pustakawan di Abad Elektronik: Impian dan Kenyataan, Jakarta, PDII-LIPI, 2 Juni 2000, bahwa pustakawan adalah praktisi yang dalam kerjanya sehari-hari menghadapi gencarnya serbuan perangkat elektronik, di samping aneka ragam tuntutan para pengguna jasa perpustakaan, agar layanan informasi menjadi semakin mudah dan cepat. Selain seringnya didengungkan bahwa pustakawan dapat memberikan layanan berupa informasi yang tepat (right information for the right user), kini mungkin perlu ditambahkan variabel “waktu yang tepat dan cepat”. Dengan itu, menjadi “right information, right users, and the right time, right now!” Sebenarnya tuntutan akan kecepatan dalam ketepatan layanan bukanlah suatu hal baru. Variabel waktu ini justru makin menjadi fokus utama dikarenakan dampak aplikasi TI dalam kehidupan masyarakat secara luas memungkinkan penyebaran informasi yang serta-merta (real-time). Perpustakaan harus mengimplementasikan TI agar layanannya tidak tertinggal oleh tuntutan abad 21 yang serba cepat dan tepat. Berkaitan dengan pengembangan perpustakaan digital, England dan Shaffer (1994: para. 1) menyebutkan bahwa pustakawan mempunyai peluang untuk meluncur dari stereotip masa lalu dan menetapkan mereka dalam lingkungan informasi dan pelayanan masa depan. Peran pustakawan akan beralih dari penekanan pada pengadaan, preservasi, dan penyimpanan ke penekanan pada pengajaran, konsultasi, penelitian, preservasi akses demokratis terhadap informasi, dan kolaborasi dengan profesional komputer dan informasi dalam perancangan dan pemeliharaan sistem akses informasi.
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
11
Rader (1999: 210) menyatakan bahwa pustakawan sudah seharusnya muncul sebagai pemimpin dalam lingkungan informasi digital di mana format baru informasi dan pengetahuan mulai berpengaruh terhadap proses belajar mengajar dan penelitian. Bahkan pustakawan sudah seharusnya aktif dan terlibat dalam upaya mengubah strategi pembelajaran. Keterlibatan tersebut memberikan peluang kepada pustakawan untuk memfasilitasi keterpaduan informasi digital kedalam kurikulum, menawarkan keahliannya dalam mengajarkan keahlian informasi kepada mahasiswa, membantu dosen menjadi cakap dalam hal format informasi digital, dan menyediakan fasilitas fisik belajar kepada mahasiswa. Fasilitas fisik tersebut termasuk: laboratorium komputer, ruang belajar kelompok, studio belajar kolaboratif, dan studio telekonferens interaktif. Masih berkaitan dengan peran pustakawan, Meyer (Rader, 1999: 210) memperkirakan di masa depan, kualitas pustakawan perguruan tinggi akan diukur dengan basis bagaimana mereka menghubungkan pelanggan dengan informasi dan pengetahuan yang mereka butuhkan, tanpa memperdulikan di mana muatan (contents) dapat ditemukan. Pustakawan akan diukur dalam hal bagaimana mereka memenuhi kebutuhan informasi dan kebutuhan belajar mahasiswa. Pustakawan akan dilihat sebagai mitra pengajar dengan dosen untuk membantu mahasiswa berkembang ke arah konsumen informasi yang efektif.
2.3.1 Peran Pustakawan Perguruan Tinggi Abad 21 Komalasari (2006: 4) menyatakan bahwa peran pustakawan selama ini membantu pengguna untuk mendapatkan informasi dengan cara mengarahkan agar pencarian informasi dapat efisien, efektif, tepat sasaran, serta tepat waktu. Dengan perkembangan teknologi informasi maka peran pustakawan harus lebih ditingkatkan sehingga dapat berfungsi sebagai mitra bagi para pencari informasi. Sebagaimana fungsi tradisionalnya, pustakawan dapat mengarahkan pencari informasi
untuk
mendapatkan
informasi
yang
sahih
dan
dapat
dipertanggungjawabkan. Pustakawan dapat pula menyediakan informasi yang mungkin sangat bernilai, namun keberadaannya sering tersembunyi seperti
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
12
literatur kelabu (grey literature). Bahkan pustakawan dapat berfungsi sebagai mitra peneliti dalam melakukan penelitian. Merujuk hal tersebut, jelas terlihat kaitan yang erat antara pustakawan sebagai pengelola informasi dengan perannya dalam menunjang tridharma perguruan tinggi. Selain melakukan layanan sirkulasi, pengadaan dan pengolahan bahan pustaka, pustakawan juga harus mampu mengelola laporan administrasi, mengelola Web-OPAC, melakukan pelestarian dokumen (diantaranya mengolah dokumen menjadi bentuk digital), mengelola layanan pinjam antar perpustakaan (PAP), melakukan kontrol keamanan bahan pustaka, mengelola layanan multi media (CD/DVD/audio kaset/sinar X, dll.), mengelola dan mencetak barkod, mengelola keanggotaan pengguna, melakukan penyusunan anggaran, melakukan katalogisasi (pra dan pasca katalog), melakukan layanan SDI, melakukan konversi data, mengelola e-mail, membuat laporan, mengelola terbitan berseri, dan melakukan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan TI. Dalam melakukan tugas kesehariannya, pustakawan dituntut bekerja secara professional, jujur, berdedikasi tinggi, kreatif, dan inovatif. Sebagai tolok ukur profesionalisme, semua bukti kegiatan sepatutnya dituangkan dalam lembar kinerja yang menggambarkan produktivitas dan kinerjanya dari waktu ke waktu; setiap hari, setiap minggu, dan setiap bulannya. Peran pustakawan di abad elektronik sudah sering disebut dalam berbagai terbitan ataupun artikel. June Abbas (1997) membahas secara komperehensif dalam artikel berjudul: The library profession and the internet: implications and scenarios for change. Disebut dalam artikel ini beberapa peran pustakawan, antara lain: 1.
Pustakawan sebagai gerbang menuju masa depan maupun masa lalu;
2.
Pustakawan sebagai guru atau yang memberdayakan;
3.
Pustakawan sebagai pengelola pengetahuan;
4.
Pustakawan sebagai pengorganisasi jaringan sumber daya informasi;
5.
Pustakawan sebagai pengadvokasi pengembangan kebijakan informasi;
6.
Pustakawan sebagai mitra masyarakat;
7.
Pustakawan sebagai kolaborator dengan penyedia jasa TI;
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
13
8.
Pustakawan sebagai teknisi kepustakawanan;
9.
Pustakawan sebagai konsultan informasi. Pembahas
lain
yang
mengungkapkan
tentang
pergeseran
peran
pustakawan ini adalah Fytton Rowland (1998). Dia melihat peran ini bertolak dari fungsi yang secara tradisional dimiliki oleh perpustakaan. Secara umum fungsi tersebut dibedakan menjadi lima fungsi yang sangat tradisional, yaitu: 1)
Pengembangan koleksi dan pengadaan;
2)
Katalogisasi dan klasifikasi;
3)
Sirkulasi;
4)
Referensi;
5)
Preservasi, konservasi dan pengarsipan.
Fungsi tersebut dibahas satu-persatu dan dibandingkan pelaksanaannya antara sebelum adanya internet dan kini, sejak internet marak dipakai oleh perpustakaan. Menurutnya keterampilan dan keahlian pustakawan tetap relevan dengan semua fungsi tersebut. Dalam era internet pengembangan koleksi dan pengadaan dilaksanakan sebagai upaya untuk mengidentifikasi situs yang sesuai dengan kebutuhan pemustaka dan bagaimana mengaksesnya. Katalogisasi sekarang disetarakan dengan pembuatan metadata dari berbagai situs dengan harapan mempermudah pemustaka dalam temu kembali informasi. Fungsi referensi tetap sebagai titik pusat kegiatan dalam arti tetap menyimak kebutuhan pemustaka. Di samping itu layanan referensi dapat difungsikan untuk memberikan nasihat atau saran menuju sumber informasi terbaik, bagaimana mengaksesnya, dan bagaimana pula merumuskan strategi pencarian. Preservasi tetap merupakan masalah penting yang belum terjawab sepenuhnya, tetapi baik dalam era sebelum dan sesudah internet upaya ini bertujuan untuk mempertahankan keberadaan sumber daya informasi selama mungkin. Hal yang bergeser dan tidak dapat lagi dilakukan adalah sirkulasi. Namun fungsi ini menjadi kegiatan baru dalam arti membimbing pemustaka dalam menggunakan perangkat TI secara optimal untuk menemukan informasi yang dicari. Sudarsono (2006) menyatakan bahwa banyak artikel lain yang membahas pergeseran fungsi pustakawan di abad elektronik. Dengan pergeseran fungsi
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
14
tersebut dapat disimpulkan bahwa diperlukan kemampuan baru dalam diri pustakawan. Dalam kaitan ini, pada tahun 1996, FID (The International Federation for Information and Documentation) melakukan survei dengan tujuan antara lain untuk: menginventarisasi pengetahuan pengetahuan, kompetensi dan keterampilan profesi informasi modern, termasuk analisis atau fungsinya. Di samping itu FID juga ingin memakai fakta yang diperoleh dari kajian ini guna membangun masa depan profesi informasi. Survei tersebut disebarkan pada 6 daerah meliputi 31 negara dengan jumlah responden 2.618. Sejalan dengan tugas dan tanggung jawab responden diperoleh jenis tugas dan peran responden sebagai berikut: (1)
Penelusur literatur;
(2)
Manajemen perpustakaan;
(3)
Referensi dan referal;
(4)
Seleksi dan pengadaan;
(5)
Perencanaan sumber daya informasi;
(6)
Perencanaan informasi;
(7)
Pendidikan pengguna;
(8)
Pengolahan bibliografis;
(9)
Perencanaan dan analisis sistem informasi;
(10) Pengkajian atas kebutuhan pengguna; (11) Manajemen dan administrasi pangkalan data. Diperoleh juga masukan jenis tugas lain yang sering dikerjakan pustakawan antara lain: (12) Analisis kompetitif (intelijen); (13) Penyampaian dokumen; (14) Manajemen internet; (15) Pemasaran; (16) Manajemen sumber daya manusia; (17) Akuntansi dan penganggaran; (18) Pelestarian bahan pustaka; (19) Penelitian dan pengembangan dan;
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
15
(20) Mengajar. Sedang tugas lain yang hanya dilakukan sebagian kecil responden antara lain: (21) Mikrografi; (22) Dukungan untuk mengambil keputusan; (23) Intelegensia artifisial; (24) Transfer teknologi; (25) Jasa terjemahan dan; (26) Melakukan survei. Dengan adanya lembar kinerja yang rutin diisi oleh pustakawan setiap harinya, mau tak mau, pustakawan terpacu untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Laporan tersebut dapat menjadi indikator kinerja, produktifitas, dan peran pustakawan dalam menjalankan profesinya. Peran pustakawan sebagai mitra bagi mahasiswa, dosen, dan masyarakat sekitarnya, diakui semakin baik dari tahun ke tahun. Hal ini tercermin dari semakin banyaknya pengguna yang memanfaatkan konten perpustakaan, baik dokumen tercetak maupun elektronik, secara langsung datang ke perpustakaan ataupun tidak langsung (mencari literatur via e-mail atau menelusuri katalog online).
2.3.2 Kompetensi Pustakawan Perguruan Tinggi Abad 21 Diharapkan pustakawan perguruan tinggi pada perspektif pembelajaran abad 21 perlu dibekali berbagai keterampilan-keterampilan. Berikut ini adalah 12 kompetensi dalam Standards for Proficiencies for Instruction Librarians and Coordinators menurut Association of College and Research Libraries (ALA, 2008: 5): 1. Administrative skills, 2. Assessment and evaluation skills, 3. Communication skills, 4. Curriculum knowledge, 5. Information literacy integrated skills, 6. Instructional design skills, 7. Leadership skills (situational, transactional, transform),
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
16
8. Planning skills, 9. Presentation skills, 10. Promotion skills, 11. Subject expertise dan 12. Teaching skills. Dalam perspektif lain, The Special Library Association membedakan kompetensi menjadi kompetensi profesional dan kompetensi personal/individu (Kismiyati, 2008). Kompetensi profesional adalah kompetensi yang berkaitan dengan pengetahuan pustakawan di bidang sumber-sumber informasi, teknologi, manajemen, penelitian, dan kemampuan menggunakan pengetahuan sebagai dasar untuk menyediakan layanan perpustakaan dan informasi. Sedangkan kompetensi personal adalah kompetensi yang membentuk satu kesatuan keterampilan, perilaku, dan nilai yang dimiliki pustakawan agar dapat bekerja secara efektif, menjadi komunikator yang baik, selalu meningkatkan pengetahuan, dapat memperhatikan nilai lebihnya, serta dapat bertahan terhadap perubahan dan perkembangan dalam dunia kerjanya. Untuk dapat melaksanakan peran atau fungsi baru tersebut pustakawan perlu memiliki kemampuan khusus. Dewan direktur Special Libraries Association (SLA) dalam sidang tahunan 1996 membahas laporan tentang kompetensi yang perlu dimiliki pustakawan khusus abad 21. Ada dua jenis kompetensi yang dimaksudkan oleh SLA, yaitu kompetensi profesional dan kompetensi personal. Yang dimaksud dengan kompetensi profesional menyangkut pengetahuan yang dimiliki pustakawan khusus dalam bidang sumber daya informasi, akses informasi, TI, manajemen dan riset, serta kemampuan untuk menggunakan bidang pengetahuan sebagai basis dalam memberikan layanan perpustakaan dan informasi. Sedang kompetensi personal adalah keterampilan atau keahlian, sikap, dan nilai yang memungkinkan pustakawan bekerja secara efisien, menjadi komunikasi yang baik, memusatkan perhatian pada semangat belajar sepanjang kariernya, dapat mendemonstrasikan nilai tambah atas karyanya, dan selalu dapat bertahan dalam dunia kerja yang baru. Kompetensi profesional mensyaratkan pustakawan hal-hal berikut:
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
17
a)
Mempunyai pengetahuan atas isi sumber daya informasi, termasuk kemampuan mengevaluasinya secara kritis, apabila perlu dilakukan penyaringan;
b)
Memiliki pengetahuan subjek khusus yang cocok dan diperlukan oleh organisasi induk atau pengguna jasa;
c)
Mengembangkan dan mengelola jasa informasi yang nyaman, mudah diakses dan hemat biaya (cost effective) sejalan dengan arahan strategis organisasi;
d)
Menyediakan pedoman dan dukungan untuk pengguna jasa;
e)
Mengkaji kebutuhan informasi dan nilai tambah jasa informasi dan produk yang memenuhi kebutuhan;
f)
Menggunakan TI yang sesuai untuk mengadakan, mengorganisasikan dan memencarkan informasi;
g)
Menggunakan
pendekatan
manajemen
dan
bisnis
dalam
mengkomunikasikan pentingnya jasa informasi bagi manajemen senior; h)
Menghasilkan produk informasi khusus untuk digunakan baik di dalam maupun di luar organisasi, atau oleh pengguna perorangan;
i)
Mengevaluasi hasil penggunaan informasi dan melakukan riset yang berhubungan dengan permasalahan manajemen informasi;
j)
Secara terus-menerus meningkatkan jasa informasi untuk menjawab tantangan dan perkembangan;
k)
Merupakan anggota dari tim manajemen senior atau konsultasi bagi organisasi tentang masalah informasi. Sedang kompetensi personal menuntut pustakawan agar dapat:
(a)
Melakukan layanan prima;
(b)
Mencari tantangan dan melihat peluang baru baik di dalam maupun di luar perpustakaan;
(c)
Melihat dengan wawasan yang luas;
(d)
Mencari mitra kerja;
(e)
Menciptakan lingkungan yang saling menghargai dan memepercayai;
(f)
Memiliki keterampilan berkomunikasi;
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
18
(g)
Bekerja baik dengan sesama anggota tim;
(h)
Memberikan kepemimpinan;
(i)
Merencanakan, membuat prioritas, dan fokus pada hal-hal yang kritis;
(j)
Setia dalam belajar sepanjang hidup dan perencanaan karir pribadi;
(k)
Memiliki keterampilan bisnis dan menciptakan peluang baru;
(l)
Mengakui nilai profesional kerjasama dan kesetiakawanan;
(m) Luwes dan bersikap positif dalam masa yang selalu berubah. Kompetensi pustakawan, akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan, khususnya dari para praktisi perpustakaan. Masalah ini menjadi
semakin
mendesak
karena
tuntutan kebutuhan pengguna
dan
perkembangan teknologi informasi yang cepat dan dinamis. Pada kenyataannya, kompetensi pun selalu berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Special Libraries Association (SLA) pada tahun 1996 merumuskan dua jenis kompetensi di abad 21 yang harus dimiliki para pendidik, mahasiswa, praktisi dan pegawai, yaitu kompetensi professional dan kompetensi individu. Namun pada Juni 2003 (SLA, 2003) rumusan ini direvisi dan ditambah satu kompetensi inti atau core competence, yang merupakan pengait kompetensi profesional dan kompetensi individu: I.
Profesional informasi berkontribusi pada basis pengetahuan profesi dengan memberikan pengalaman dan kinerja terbaik, serta terus mempelajari produk-produk informasi, layanan, dan praktik manajemen sepanjang kehidupannya/ karirnya.
II.
Profesional informasi berkomitmen pada keunggulan profesional, etika, dan nilai-nilai serta prinsip-prinsip profesi.
2.4 Situasi Abad Elektronik Luki Wijayanti (dalam Sudarsono, 2006) melihat bahwa peran dan kompetensi yang seharusnya dimiliki pustakawan seperti disebut terdahulu, rasanya menjadi pustakawan itu kian sulit. Pustakawan layaknya manusia super. Padahal, banyak di antara pustakawan di Indonesia dalam meniti karir bukanlah merupakan cita-cita sejak kecil. Apakah pada waktu kecil dahulu kita sudah
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
19
mengenal perpustakaan? Adakah upaya orang tua kita mengenalkan perpustakaan sejak dini? Berapa persen di antara kita para pustakawan yang membawa anaknya ke perpustakaan dalam rangka mencari informasi yang mereka perlukan? Begitu banyak pertanyaan mendasar yang seharusnya ada jawabnya, sehingga dapat dipakai dalam menerangkan keadaan perpustakaan saat ini. Teknologi telah banyak mengubah tata cara manusia dalam melakukan kegiatannya. Waktu dan letak geografis tidak lagi membatasi aktivitas dunia usaha, dunia pendidikan, bahkan kehidupan keseharian manusia. Jaringan komunikasi
global
mendukung
terlaksananya
konferensi
jarak
jauh
(telekonferensi) yang tidak lagi mewajibkan pesertanya berkumpul di suatu tempat. Perkembangan internet membuka cakrawala pengetahuan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Rachmananta (2006)
merunut
sejarah panjang perpustakaan dan
kepustakawanan ditandai dengan tiga peristiwa besar yaitu: penemuan aksara, penemuan alat cetak yang mengakibatkan ledakan informasi, serta perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang memungkinkan penyimpanan dan pemencaran pengetahuan secara digital dan terpasang (online). Secara garis besar perkembangan perpustakaan telah melalui enam kelompok konsep tentang perpustakaan. Enam kelompok konsep itu adalah:
Gudang pengetahuan purba
Akuisisi naskah pada masa klasik
Pelestarian literatur klasik (pada abad pertengahan)
Lembaga sosial yang melayani kebutuhan budaya masyarakat (abad ke-18 dan ke-19)
Penerapan teknologi canggih untuk aspek fisik pustaka (paruh pertama abad ke-20)
Manajemen pengetahuan (akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21)
Enam konsep itu mengakibatkan pergeseran paradigma perpustakaan. Tabel berikut menunjukkan pergeseran paradigma itu.
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
20
Tabel 1. Pergeseran Paradigma Perpustakaan MASA
TUJUAN
Abad 17 - 18
Abad 18 - 19
Abad 19 - 20
Abad 20 – 21
Mendorong kebiasan membaca
Mendorong peningkatan pendidikan
Menghubungkan dengan sumber informasi lain
Mengelola pengetahuan
Ketersediaan dan kegunaan informasi untuk berbagai tujuan
Informasi adalah kekuatan
KEBIJAKAN DASAR
Ketersediaan bacaan
Kegunaan informasi
KEGIATAN UTAMA
Pengadaan dan penyimpanan koleksi pustaka
Kerjasama Pengorganisadan sian koleksi pemanfaatan pustaka secara dengan pihak internal lain
Kerjasama dan pemanfaatan melalui jaringan global
TANGGAPAN MASYARAKAT
Toleransi atas keberadaan perpustakaan
Penerimaan atas keberadaannya
Partisipasi dalam kegiatan perpustakaan
Membangun koleksi pribadi (kelompok) secara maya
PERSEPSI ATAS PERPUSTAKAAN
Sebagai hiasan
Sebagai kemudahan
Sebagai alat
Sebagai modal/asset
Di Indonesia, keadaan yang ideal bagi tumbuh-kembangnya perpustakaan belum tercapai. Dapat dikatakan bahwa Indonesia tertinggal dibanding kebanyakan negara maju, bahkan di kawasan Asia Tenggara sekalipun. Adalah tugas bangsa Indonesia untuk mengejar ketertinggalan ini. Upaya ini dapat dimulai dengan bentuk yang paling sederhana yaitu memperkenalkan arti sebenarnya dari suatu perpustakaan, mendorong tumbuh-kembangnya kebiasaan membaca dan menulis di kalangan masyarakat luas, menghargai karya tulis, dan mendorong
tumbuh-kembangnya
perpustakaan
masyarakat.
Perpustakaan
hendaknya menjadi tempat bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan dengan membaca berbagai bahan perpustakaan yang dikoleksikan, guna
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
21
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan kata lain perpustakaan menjadi tempat belajar secara mandiri dan berkelanjutan. Melalui membaca berbagai bahan perpustakaan, dapat dilakukan kontak dengan para jenius dari berbagai negara, dapat dilakukan ’perantauan mental’ ke berbagai macam pemikiran dengan ’perjalanan lewat bacaan’ (Anwar Arifin, 2006). Dady P. Rachmananta dalam Naskah Akademis RUU Perpustakaan 2006 menyatakan bahwa perkembangan TI ternyata malah menjadi beban bagi sebagian perpustakaan. Banyak perpustakaan yang merasa hanya diberi kesempatan untuk melihat semua perkembangan yang canggih, namun belum dapat menerapkannya. Keadaan ini dapat berdampak negatif terhadap praktik pengelolaan perpustakaan. Misalnya, perpustakaan merasa tersaingi oleh perkembangan media elektronik. Budaya baca dan tulis di masyarakat kita yang belum begitu dijunjung tinggi, membuat niat masyarakat untuk berkunjung ke perpustakaan masih perlu digalakkan. Namun sebelum melakukan itu, kebanggaan pustakawan pada tempatnya bekerja yakni perpustakaan, pun masih perlu dipupuk. Dibutuhkan upaya dan kerja keras semua pihak untuk memberdayakan perpustakaan di masyarakat. Di sisi lain, perpustakaan perguruan tinggi dan perpustakaan khusus berpotensi terbesar dalam implementasi TI guna mendukung seluruh aspek substansial perpustakaan. Menurut Luki Wijayanti (dalam Sudarsono, 2006), perpustakaan perguruan tinggilah yang paling berpotensi menjadi ujung tombak perkembangan perpustakaan di Indonesia. Perpustakaan perguruan tinggi diharapkan mampu mendongkrak posisi perpustakaan di tingkat nasional. Hal tersebut dikarenakan perguruan tinggi memiliki kemampuan yang memadai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat menunjang aplikasi dan pengembangan TI. Kunci yang sangat penting untuk menuju harapan tersebut adalah kolaborasi. Kolaborasi dapat dilakukan dalam kalangan sendiri, pustakawan, yang juga perlu berkolaborasi dengan profesi lain, bersama-sama mendukung pengelolaan perpustakaan, pusat informasi, atau lembaga penyedia jasa informasi. Dengan begitu, semua pihak berkepentingan dalam mengelola lembaga informasi.
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
BAB 3 METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai penelitian yang dilakukan secara rinci, yaitu mengenai tipe penelitian, subjek dan objek penelitian, lokasi dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
3.1 Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan penelitian yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, kepercayaan orang yang akan diteliti dan kesemuanya itu tidak dapat diukur dengan angka. Dengan penelitian ini, teori yang digunakan dalam penelitian ini tidak dipaksakan untuk memperoleh gambaran seutuhnya mengenai suatu hal menurut pandangan manusia yang diteliti (Sulistyo-Basuki, 2006: 24). Penelitian kualitatif menerjemahkan pandangan-pandangan dasar interpretif yaitu bahwa realitas sosial adalah suatu yang subjektif dan diinterpretasikan; manusia menciptakan rangkaian makna dalam menjalani hidupnya, bersifat induktif, geografis, dan tidak bebas nilai. (Poerwandari, 2007: 42). Dalam penelitian ini peneliti berusaha menggambarkan pergeseran peran yang dialami pustakawan perpustakaan perguruan tinggi di abad elektronik.
3.2 Strategi Penelitian Strategi penelitian yang dipakai sebagai pendekatan dalam penelitian kualitatif ini adalah studi kasus. Studi kasus merupakan strategi penelitian di mana di dalamnya peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan (Stake, 1995). 22
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
23
Sesuai dengan pernyataan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemahaman pustakawan UAJ mengenai pergeseran peran pustakawan di abad eletronik. Kemudian dengan pemahaman mereka yang demikian, strategi apa yang merupakan upaya pustakawan UAJ dalam memenuhi tuntutan pustakawan abad 21.
3.3 Pemilihan Informan Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling. Peneliti menggunakan teknik ini untuk meningkatkan kegunaan informasi yang diperoleh dari sample yang sedikit. Informan pun didapat berdasar pada kriteria berikut: “Informan tersebut sudah terdaftar sebagai staf perpustakaan UAJ sebelum memasuki abad 21 (sebelum tahun 2000). Atas pertimbangan, karena mereka telah mengalami sendiri proses pergeseran dari abad 20 ke abad 21. Selain itu, dibutuhkan informan yang mengerti benar akan kebijakan perpustakaan dan kalender kegiatan pustakawan agar memudahkan dalam memperoleh gambaran umum mengenai strategi UAJ dalam memenuhi tuntutan pustakawan abad 21.” Informan terdiri dari 4 orang pustakawan Unika Atma Jaya Jakarta Kampus Semanggi. Untuk memudahkan penulisan, peneliti berikan nama samaran yang mewakili tiap informan. Tabel 2. Profil Informan Kategori
Asai
Dana Perempuan
Udin
Jenis Kelamin
Laki-laki
Lulusan
S1 Ilmu S1 Ilmu S1 Ilmu S3 Ilmu Perpustakaan Perpustakaan Perpustakaan Perpustakaan YARSI UI YARSI & Informasi Loughborough University of Technology
Bekerja di UAJ sejak
1991
1997
Laki-laki
Olin
1999
Perempuan
1999
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
24
3.4 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Perpustakaan Pusat UAJ yang berada di Gedung E (Leo Soekoto), Perpustakaan PKPM, Perpustakaan PKPB, Kampus Semanggi, Jl. Jenderal Sudirman 51, Jakarta 12930. Jangka waktu peneliian adalah dari pertengahan April 2011 sampai Nopember 2011. Tabel 3. Waktu Penelitian April 2011 Pengumpulan literatur Mei 2011 Observasi objek penelitian secara online Juni 2011 Observasi lapangan (kondisi dan situasi) Juli 2011 Observasi subjek penelitian Agustus 2011 Pendekatan ke pustakawan September 2011 Wawancara Informan (tidak terekam) Oktober 2011 Pendekatan ke subjek penelitian Nopember 2011 Wawancara Informan (terekam) Pemilihan perpustakaan ini dilandaskan atas dasar bahwa perpustakaan tersebut merupakan perpustakaan perguruan tinggi yang memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Terdapat pustakawan yang berlatar belakang Sarjana Ilmu Perpustakaan, 2. Memiliki koleksi dalam bentuk digital/elektronik. 3. Merupakan perpustakaan pusat universitas.
3.5
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
melalui wawancara dan observasi.
3.5.1 Wawancara Menurut Prabowo (1996) wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seorang informan; bercakap-cakap secara tatap muka (face-to-face interview). Dengan informan, peneliti melakukan wawancara semi-struktur, sambil mencatat hal-hal penting. Sebelumnya dibuat Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
25
dulu susunan daftar pertanyaan untuk ditanyakan kepada informan kunci, namun peneliti tidak menutup kemungkinan untuk mengimprovisasi daftar pertanyaan tersebut agar didapat informasi yang lebih mendalam dalam mempelajari makna yang disampaikan informan mengenai peran pustakawan di abad elektronik. Untuk memudahkan pengumpulan dan peningkatan keakuratan data, peneliti menggunakan alat perekam dari telepon genggam (sound recorder Nokia E63) sebagai alat penunjang wawancara. Peneliti melakukan wawancara selama kurang lebih 45 (empat puluh lima) menit untuk menghindari kejenuhan informan. Wawancara non-formal (tidak terekam) beberapa kali dilakukan sesuai hari buka perpustakaan untuk mempererat rasa percaya dengan informan sehingga didapat data yang penuh dan berkesinambungan sampai informasi menjadi jenuh. Setelah hasil rekam wawancara didapat, pada hari itu juga peneliti akan menuangkannya kata demi kata sehingga menghasilkan transkrip wawancara.
3.5.2 Observasi Dalam
penelitian,
dibutuhkan
observasi
atau
pengamatan
untuk
memperoleh gambaran secara utuh dan kontekstual terkait dengan masalah penelitian. Cara pengamatannya adalah peneliti menempatkan diri sebagai partisipan utuh (peneliti menyembunyikan perannya sebagai observer, peneliti membaur dengan mahasiswa dan menjadi pengguna perpustakaan UAJ). Pilihan ini bertujuan agar peneliti mendapatkan pengalaman langsung dari situasi dan kondisi di lapangan, peneliti pun akan berusaha tidak tampak sebagai pengganggu. Untuk mendapatkan gambaran nyata mengenai peran pustakawan UAJ dalam memenuhi tuntutan pustakawan abad 21, kegiatan-kegiatan pustakawan UAJ sehubungan dengan TIK juga peneliti amati.
3.6 Teknik Analisis Data Setelah wawancara dan observasi dilakukan, peneliti mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat lalu dibaca berulang-ulang sampai peneliti mengerti benar akan isi dari hasil wawancara dan observasi tersebut. Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
26
Analisis data dapat dilakukan saat pengumpulan data berlangsung ataupun setelahnya dalam kurun waktu yang ditentukan. Mengenai teknik analisa data kualitatif, Miles dan Huberman mengajukan tahapan-tahapan yang perlu dilakukan (Sugiyono, 2005: 91): 1. Reduksi Data Reduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya (Sugiyono, 2005: 92). Dalam menyusun rangkuman tersebut peneliti juga melakukan pengkategorian (kategorisasi). Pengkategorian tersebut merupakan pengategorian peran pustakawan, yaitu peran pustakawan sebelum abad 21 dan peran pustakawan di abad 21 (abad elektronik). 2. Penyajian Data Setelah direduksi, langkah selanjutnya adalah menyajikan data. Sajian data merupakan suatu rakitan informasi dalam bentuk narasi lengkap, sehingga selanjutnya dapat dilakukan penarikan kesimpulan. 3. Kesimpulan dan Verifikasi Langkah terakhir adalah membuat kesimpulan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah temuan yang sebelumnya belum pernah ada. Namun, temuan baru tersebut perlu diverifikasi agar dihasilkan suatu kesimpulan yang benarbenar dapat dipertanggungjawabkan dengan mengecek dan menanyakan lagi hal-hal yang kurang jelas kepada informan. Dalam analisisnya, peneliti memaparkan jawaban yang diutarakan informan beserta interpretasi peneliti mengenai masalah, kemudian meninjaunya kembali dengan landasan teori yang telah dijabarkan di Bab 2. Beberapa teori yang dipakai oleh peneliti dalam proses analisis data, antara lain: teori mengenai persepsi yang membantu peneliti dalam pemetaan masalah, teori mengenai perpustakaan perguruan tinggi abad 21, pustakawan perguruan tinggi abad 21 yang mencakup peran dan kompetensi pustakawan abad 21, dan yang terakhir adalah situasi abad elektronik itu sendiri yang dihubungkan dengan peran pustakawan.
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Peneliti mewawancarai empat (4) orang informan untuk memperoleh data mengenai persepsi mereka mengenai pergeseran peran pustakawan di abad elektronik: 1).
Asai, lulusan S1 Ilmu Perpustakaan YARSI yang diterima kerja di
Perpustakaan UAJ pada tahun 1991 dan sekarang bertanggung jawab di bagian karya tulis ruang Perpustakaan Pusat lantai 2, 2).
Dana, lulusan S1 Ilmu Perpustakaan UI tahun 1984 yang sudah
bekerja di UAJ sejak tahun 1997 dan sekarang menjabat sebagai Kepala Perpustakaan PKBB (Pusat Kajian Bahasa dan Budaya), 3).
Udin, lulusan S1 Ilmu Perpustakaan YARSI tahun 2011 yang
mulai bekerja di UAJ tahun 1999, 4).
Olin, tahun 1988 mengambil program master perpustakaan di
University Sheffield, United Kingdom dan lulus pada tahun 1989. Kemudian, pada tahun 1990, ia belajar S3 ke Loughborough University of Technology, United Kingdom dan meraih gelar Doktor bidang Ilmu Perpustakaan dan Informasi pada tahun 1995.
Saat mahasiswa, beliau pernah menjadi asisten
peneliti dan mengawali kariernya sebagai koordinator perpustakaan UAJ pada tahun 1999. Sekarang beliau menjabat pula sebagai kepala Perpustakaan UAJ Jakarta yang mengkoordinir 4 perpustakaan: Perpustakaan Pusat, Perpustakaan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM), Perpustakaan Pusat Kajian dan Pengajaran Bahasa (PKPB), dan Perpustakaan Kedokteran di Kampus Pluit.
4.1
Persepsi Pustakawan UAJ Jakarta mengenai Pergeseran Peran
Pustakawan di Abad Elektronik Untuk mengetahui persepsi mengenai sesuatu dari suatu kelompok sosial, perlu ditilik juga perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkup di mana kelompok tersebut berinteraksi (Hornby, 1992: 631). 27 Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
28
Oleh karena itu, lebih dulu akan peneliti paparkan pengalaman pustakawan UAJ Jakarta selama bekerja di Perpustakaan UAJ. Dari situ, akan terlihat perubahanperubahan apa saja yang terjadi saat masa peralihan ke abad elektronik, sehingga menghasilkan pemahaman mereka tentang perpustakaan abad elektronik itu sendiri seperti apa.
4.1.1 Perpustakaan Abad Elektronik Menurut Toffler, dalam buku Zulkarnain Nasution (1989), peradaban manusia terdiri dari tiga zaman. Pertama adalah zaman pertanian, zaman industri, dan yang ketiga adalah zaman informasi. Zaman informasi ini, ungkap Wawan Wardiana dalam makalah Seminar dan Pameran Teknologi Informasi, UNIKOM berjudul "Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia" Yogyakarta, 9 Juli 2002, menegaskan bahwa jarak geografis tidak lagi menjadi faktor penghambat dalam hubungan antara manusia atau antar lembaga usaha. Berbagai informasi dapat diakses dengan mudah sekaligus cepat. Setiap perkembangan dapat diikuti dimanapun berada. Istilah "jarak sudah mati" atau "distance is dead" makin lama makin nyata kebenarannya. Zaman informasi yang sudah berkembang sedemikian rupa seperti sekarng ini, hanya mungkin dengan adanya dukungan teknologi. Teknologi inilah yang menyampaikan beragam dan banyak informasi. Toffler lah yang menciptakan istilah Abad Elektronik bagi hadirnya teknologi yang memungkinkan seseorang bekerja dari rumah. Dan di abad 21 ini pun kita rasakan bagaimana teknologi informasi mengubah kehidupan kita. 4.1.1.1
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Menurut Prof. Dr. H. Mohamad Surya dalam makalah Seminar
”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pendidikan Jarak Jauh dalam Rangka Peningkatan Mutu Pembelajaran” yang diselenggarakan oleh Pustekkom Depdiknas, tanggal 12 Desember 2006 di Jakarta, satu bentuk produk TIK adalah internet yang berkembang pesat pada penghujung abad 20 dan di ambang abad 21. Kehadirannya telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan umat manusia dalam berbagai aspek dan dimensi. Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
29
Dalam kurun waktu yang amat cepat beberapa dasawarsa terakhir telah terjadi revolusi internet di berbagai negara serta penggunaannya dalam berbagai bidang kehidupan. Keberadaan internet pada masa kini sudah merupakan satu kebutuhan pokok manusia modern dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan global. Kondisi ini sudah tentu akan memberikan dampak terhadap corak dan pola-pola kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Dalam kaitan ini, setiap orang atau bangsa yang ingin lestari dalam menghadapi tantangan global, perlu meningkatkan kualitas dirinya untuk beradaptasi dengan tuntutan yang berkembang. Setiap institusi, termasuk perpustakaan berlomba untuk mengintegrasikan TIK guna membangun dan memberdayakan sumber daya manusia berbasis pengetahuan agar dapat bersaing dalam era informasi global. Perkembangan TIK ini akhirnya melahirkan sebuah perpustakaan berbasis elektronik. Revolusi teknologi memungkinkan penyebaran informasi yang serta-merta (real-time). Hal itu merupakan dampak dari sistem online yang merupakan kecanggihan dari TIK. Segala bentuk informasi dapat dikonversikan ke dalam format yang terbacakan mesin (machine-readable format) untuk tujuan pelestarian atau penyediaan akses elektronik yang lebih cepat dan up-to-date. “Tahun 99. Baru masuk sudah mulai beralih ke elektronik sih. Tahun 2001 masih ada katalog kartu. 2002-2003 lah. Sistem yang pas saya masuk belum seperti sistem yang sekarang tuh. Masih sistem CDS/ISIS, hanya offline, belum bisa online. Tahun 2004 itu baru ada sistem yang online.” (Udin) Internet merupakan salah satu instrumen dalam era globalisasi yang telah menjadikan dunia ini menjadi transparan dan terhubungkan dengan sangat mudah dan cepat tanpa mengenal batas-batas kewilayahan atau kebangsaan. Melalui internet setiap orang dapat mengakses ke dunia global untuk memperoleh informasi dalam berbagai bidang dan pada gilirannya akan memberikan pengaruh dalam keseluruhan perilakunya.
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
30
“... kalau dulu belum ada e-mail, mau beli buku ke Belanda itu nunggu responnya bisa sampai 6 bulan. Kirim-kirimannya lewat surat, transport-nya pakai kapal kan lama. Itu aja belum tentu yang dipesan available. (Dana)
Sebelum abad 21, pemanfaatan TIK dalam kegiatan operasional perpustakaan belum begitu berkembang. Sejak TIK mulai berkembang dan diterima masyarakat Indonesia, perpustakaan pun turut merasakan kemudahan-kemudahan yang menyertainya. “Kelebihannya ya memudahkan semuanya kan. Kalau dulu kartu katalog manual harus mencari, tidak tahu yang minjem siapa. Kalau sekarang kan dari segi penelusurannya aja udah canggih lah, tinggal ketik satu kata, satu huruf sudah keluar di searching-nya kan. Begitu juga dari segi pengelolaannya, pengelolaan perpustakaan itu sendiri. Sangat membantu lah, mempermudah dibanding dengan sistem konvensional.” (Udin) “Ya memang sudah berubah, kalau dulu pekerjaan itu kan terpisah-pisah. Pengadaan sendiri, bahkan pengadaan ada yang di luar perpustakaan, di luar unit perpustakaan, pengadaan terpisah dengan pengolahan, pengolahan terpisah dengan sirkulasi. Kalau sekarang dengan adanya sistem perpustakaan digital itu, hal itu bisa dikerjakan sekaligus, bahkan oleh satu orang.” (Olin) Selain memberikan dampak positif dengan menghemat waktu, tenaga, dan biaya, kemajuan TIK pun menghantar pada sistem kerja mandiri yang mempermudah jaringan suatu lembaga ke lembaga lain tanpa adanya suatu hambatan yang berarti. “Dari segi pengolahan, dulu kita ngga bisa proaktif karena harus nunggu katalog penerbit dari penerbit itu. Sekarang, kalau kita ragu-ragu buat metadata, bisa langsung lihat di web OCLC atau MARC.” (Dana) TIK juga membawa budaya praktis dalam arti yang baik, yaitu meniadakan jarak dalam berinteraksi satu sama lain antarpegawai. “Tapi untuk prosedur kerja, semuanya itu sudah lewat AtmaLib, usulan-usulan, pemesanan dan pembelian buku, Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
31
reminder keterlambatan pengembalian buku ke pemustaka.” (Dana) “Misalnya, kita bisa cari tahu sendiri, pertanyaan user, kebutuhan user, lalu bisa kita langsung kasih tanggapan ke user. Siapapun di perpustakaan bisa jawab pertanyaan referensi, siapa aja bisa menyebarkan informasi. Kalau dulu kan serba susah, di dalemnya aja ngga ada intranet. Jadi karyawan satu ngga tau karyawan lain lagi ngerjain apa, hasilnya apa, kalau sekarang kan transparan. Dan dari sisi user, digital itu mempercepat, usulan saya sudah sampai mana, booking-an saya sudah sampai mana.” (Olin) “Udah peralihan sih. Udah keliatan. Sistem yang manual sudah tidak terlihat lagi. Paling peminjaman koleksi yang masih pakai kartu buku. Kalau yang pengolahan dan pengadaan udah online semua. Dari yang pemesanan sampai buku datang, lalu diserahkan ke bagian sirkulasi itu sudah online. Buku tamu, feedback-nya dari pengguna sudah online.” (Udin) Menurut Udin, kartu buku masih terlalu ribet, tidak praktis, dan menjadi pemicu kerusakan buku. Pada kenyataannya, kartu buku sering hilang, robek, lapuk yang nantinya akan menjadi pemicu kerusakan buku itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Prof. Dr. H. Mohamad Surya, TIK berkembang pesat pada penghujung abad 20 dan di ambang abad 21. Sebelumnya Udin juga berpendapat bahwa sistem online ada di Perpustakaan UAJ sekitar tahun 2004. Saat ditanya tentang perkiraan pada tahun berapa Perpustakaan UAJ ini mengalami peralihan ke abad elektronik dengan menerapkan TIK, Dana, Udin, dan Olin menetapkan perkiraan tahun yang sama pula. “taun.. mulai 2000an lah. Saya 2004 di lantai 1, eh 2004 di lantai 2. Ya taun 2000an lah kurang lebih. Pokonya di era taun 2000an udah peralihan tu.” (Asai) “Kira-kira beralihnya tahun 2004. Itu yang udah bener-bener TIK banget ya menurut saya. Kita kan dulu manual, terus pake ISIS, terus AtmaLib versi 1. Yang melatarbelakangi peralihan itu berawal dari pustakawannya loh, Bu Ai Lien itu punya pandangan ke depan kalau nanti itu bakal seperti ini ini ini dan kita pikir ada benarnya, jadi ya mulai dikembangkanlah itu AtmaLib.” (Dana) Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
32
“Peralihannya sih sekitar 2004 ya, dulu kan sempet pake Oracle, karena mahal, kita ngga bisa pake banyak, sumber daya manusia yang menguasai Oracle masih sedikit, yaudah deh kita buat AtmaLib.” (Olin) Dalam isu komunikasi, yaitu interaksi sosial satu sama lain, beberapa pendapat di luar sana tidak setuju dengan mengatakan “teknologi kan malah mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Tapi ternyata itu semua kembali lagi pada pribadi masing-masing orang mengenai kesiapannya menghadapi TIK. “...kalau kita pakai telpon saja ya susah. Apalagi lewat surat, tertinggal kita. Pustakawan harus mengutamakan pemustakanya. Kita berikan pelayanan prima.” (Udin) Udin pun menanggapi lagi dengan memberikan gambaran mengenai apa yang ia maksud dengan pelayanan prima. “Misalkan di bagian sirkulasi, kalau ada yang terlambat mengembalikan, kita harus kejar baik itu lewat Facebook, Twitter, e-mail. Tanggapan mahasiswa malah lebih positif lewat internet. Itu saya terapkan berhasil. Paling cepat ditanggapinya itu kalau lewat Facebook, jadi nggak harus lewat telpon.” (Udin) Dapat dikatakan, pelayanan prima itu pelayanan yang diberikan secara maksimal dengan memanfaatkan seluruh fasilitas yang memungkinkan untuk dipakai agar pelayanan tersebut mendapatkan hasil atau tanggapan yang diharapkan. Mengingat hal itu, ternyata Perpustakaan UAJ memiliki tim training yang bertugas merancang jadwal pelatihan-pelatihan bagi pustakawan UAJ mengenai isu-isu baru yang muncul dalam dunia perpustakaan. Perpustakaan tidaklah disebut demikian kalau tidak ada pustakanya yang dikenal dengan itilah content atau koleksi. Demikian jugalah perpustakaan elektronik tidak lepas dari koleksi digitalnya. Pergeseran abad ke abad elektronik lalu dipahami sebagai beralihnya perpustakaan dari model tradisional ke model digital: dari katalog kartu ke katalog electronik (OPAC), dulu hanya ada koleksi tercetak, sekarang mencakup juga koleksi digital. Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
33
“Kalo yang katalog kartu itu saya juga pernah alami. Susahnya, sulitnya, istilahnya jaman jadul ya yang harus ngetik kartu, satu buku banyak kartunya. Katalog kartu ada yang berdasarkan nama pengarang, berdasarkan tanggal kembalian, tanggal 1 hingga tanggal 31. Saya ni kerja pernah ngalamin mengenai itu. Kalo ada orang nyari buku, bukunya nggak ada, dicari-cari dulu di kartu, udah dibalikin apa masih dipinjem bukunya.” (Asai) “Kalau dari koleksi digital, kita mungkin sudah 50% digital,...” (Dana) Walaupun demikian, bukan berarti perpustakaan abad elektronik harus meninggalkan koleksi lamanya, baik itu tertulis maupun yang tercetak. “Tapi kadang pemustaka butuh juga yang tercetak atau bentuk aslinya yah. Bukan berarti sudah digitalisasi lalu yang lama diabaikan tuh enggak. Karena terkadang, pemustaka ingin lihat bentuk aslinya, nggak bentuk digital-nya aja.” (Asai) “Sewaktu-waktu, pengguna harus melihat fisiknya. Perpustakaan yang benar-benar digital ada sih..tapi saya lebih pilih yang hibrida.” (Asai) Karena perpustakaan perguruan tinggi kental dengan proses pembelajaran,
indikator-indikator
perpustakaan
elektronik
yang
diungkapkan pustakawan UAJ pun menjadi senada dengan pendapat Rosenberg; seorang pakar dakam bidang e-learning. Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1). dari pelatihan ke penampilan, (2). dari ruang kelas ke di mana dan kapan saja; (3). dari kertas ke online atau saluran; (4). fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja; (5). dari waktu siklus ke waktu nyata. Di masa-masa mendatang, arus informasi akan makin meningkat melalui jaringan internet yang bersifat global di seluruh dunia dan menuntut siapapun untuk beradaptasi dengan kecenderungan itu kalau tidak
mau
ketinggalan
jaman.
Dengan kondisi
demikian
maka
perpustakaan khususnya perpustakaan perguruan tinggi cepat atau lambat
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
34
tidak dapat terlepas dari keberadaan komputer dan internet sebagai alat bantu utama. “Ya bagaimana pun kalau saya lihat ya, teknologi itu alat, tetep hanya tool. Jadi kita tu musti punya sikap bahwa tool itu merupakan sarana untuk memperbesar peluang. Teknologi itu peluang. Dan karena itu tool, ya pustakawan jaman sekarang ngga bisa lepas dari teknologi.” (Olin) 4.1.1.2
Lebih fokus ke pengguna. Pada abad 21, pemustaka dapat belajar bersama-sama secara
kolaboratif dengan memanfaatkan fasilitas teknologi sementara sumbersumber infomasi dan ilmu pengetahuan terwadahi secara digital, sehingga ruang di perpustakaan dapat dimanfaatkan untuk pemustaka. “Ini dulu ceritanya gini. Sebelum ada komputer, mahasiswa tidak menyerahkan skripsi beserta softcopy-nya, jadi skripsi itu numpuk semua di lantai 2 ini. Nah sekarang udah diwajibin ngumpulin softcopy-nya, skripsi yang 5 tahun ke bawah jadi bisa kita ancurin terus kita pelihara baik-baik softcopy-nya. Menghemat tempat juga kan jadinya.” (Asai) Dengan demikian terjadi pergeseran fungsi dari collectioncentric ke user-centric, yang dulunya memfokuskan pada koleksi menjadi bagaimana memfasilitasi para pengguna layanan perpustakaan. “Sekarang enak ada digitalisasi, kalau ada mahasiswa mau cari skripsi orang lain tinggal ketik di AtmaLib terus dibaca, atau bisa juga baca nomer raknya terus datengin raknya. Dulu nih ruangan ini isinya skripsi semua kayak gudang. Sekarang cuma dipajang skripsi yang belum masuk masa wedding aja yang ditaruh di rak. Kan jadi luas sekarang bisa ditaruh mejameja, kursi-kursi buat mahasiswa yang mau ngeliat skripsi” (Asai) Senada dengan pernyataan Laura Bott dan Kata, pustakawan UAJ mengatakan bahwa perpustakaan perlu berkembang berdasarkan kebutuhan dan perilaku baru para pemustakanya. “Kalo diliat sekarang, kebutuhan pengguna akan informasi semakin banyak tapi terbatas waktu untuk berkunjung ke perpustakaan, apalagi bagi yang sedang meneliti kan suka ngga sempet bolak-balik perpustakaan nah itu bisa lewat digital. Apalagi seiring berjalannya waktu, banyak feedback positif yang kita dapat, nah itu buat kita lebih semangat dan mantap untuk membuka diri bagi abad elektronik ini.” (Dana) Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
35
“Nggak usah capek-capek dateng. Nggak usah capek-capek dah.. misalkan mahasiswa ngomong: ‘ah saya udah cukup lelah nih.. Wah mana kampusnya tutup lagi jam segini, cuma buka sampe jam sekian.’ Nah kalo sekarang kan lebih enak. Ngga ada waktu atau tenaga untuk cari-cari buku di perpus tinggal ketik-ketik cari di internet, di AtmaLib, dari rumah atau tempat lain.” (Asai) “Sekarang nilai utama perpustakaan bukan hanya dilihat dari jumlah koleksi yang dimilikinya, melainkan juga bagaimana perpustakaan tersebut mampu memberikan akses ke berbagai macam informasi.” (Olin) Olin
pun
mengungkapkan
dalam
tulisannya
berjudul
“Transformasi Perpustakaan Perguruan Tinggi: Customer-Focused” bahwa perguruan tinggi harus customer focused, artinya memudahkan civitas akademika mendapatkan sumber daya yang dibutuhkannya dalam proses pembelajaran sebagai mahasiswa, dosen, peneliti, dan sebagainya. Guna mengantisipasi minat baca masyarakat yang berubah perlu adanya pendigitalisasian, tetapi juga harus menjaga agar pengguna lama tetap nyaman dengan suasana perpustakaan tradisional. “Mengenai digitalisasi koleksi, apakah itu akan 100 persen digital, harus kita lihat lagi. Karena pernah kita survei, pembaca banyak yang lebih suka bentuk buku, karna bisa leyeh-leyeh, kan kalau digital ngga kuat lama-lama menjaga postur tubuhnya. Masalah koleksi sih kita lihat juga, semisal sudah jarang dipakai pengguna, kita bisa alihkan ke bentuk digital, kalau memang lebih minat ke digital ya kita harus ikuti cara mereka. Itu semua biar kita tidak tertinggal dan ditinggalkan.” (Dana) Secara umum, menilik dari kacamata pustakawan UAJ tentang peralihan perpustakaan ke arah elektronik terkait dengan kegiatan oprasional yang nantinya akan berdampak pada interaksi ke pengguna, perpustakaan UAJ hampir sepenuhnya beralih. “Saya rasa hampir lah 90%. Ini nanti juga elektronik semua. Digitalisasi. Emang di era taun jadul, perubahan perpustakaan di Indonesia nih sangat besar. Cepat. Komputerisasi, masukin data-data yang ada di rak buku, lebih mudah untuk ke depan semua tu elektronik. Lebih enak sih. Jadi tanpa kita dateng ke kampus udah
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
36
bisa. Kita langsung buka website Atmajaya, website masing-masing perguruan tinggi bisa.” (Asai) “Sudah 99% lah. Manual itu udah nggak kelihatan. Kalo 100% saya kira tetap saja dua-duanya harus saling mendukung.” (Olin)
4.1.2 Pustakawan Abad Elektronik Perpustakaan sudah ada koleksi dan fasilitas yang memadai adalah percuma apabila tidak ada sumber daya manusianya yang dapat mengelola dengan baik. Perpustakaan UAJ Jakarta yang berada di Kampus Semanggi memiliki empat (4) orang pustakawan yang merupakan lulusan Ilmu Perpustakaan: Pada awalnya Asai ditugaskan di bagian sirkulasi. “Dulu waktu saya di bagian sirkulasi, saya nggak mau cuma diem nungguin orang dateng. Paling saya baca-baca, beres-beres, nanti kalo ada mahasiswa celingak-celinguk ya disamperin, ditanyain keperluannya apa. Nah, karena sering baca, saya kan jadi banyak wawasan, jadi bagian sirkulasi nggak diem aja. Wawasan kita harus luas.” (Asai) Kemudian pada tahun 2000, beliau dipindah ke bagian karya tulis. Di situ beliau benar-benar merasakan dampaknya perkembangan TIK di perpustakaan karena kegiatan beliau yang berikutnya tidak lepas dari digitalisasi koleksi. Dana merupakan kepala Perpustakaan Pusat Kajian dan Pengajaran Bahasa (PKPB) UAJ Jakarta. Perhatian beliau lebih kepada layanan. Di situ beliau benarbenar merasakan bagaimana berkolaborasi dengan ahli dari bidang lain, khususnya ilmu bahasa dan budaya. Beliau sangat terbantu, karena kolaborasi tersebut semakin memaksimalkan layanan ke pemustakanya. Pustakawan sebagai mitra peneliti pun jadi dapat direalisasikan dengan baik. Udin merupakan pustakawan profesional yang bertanggung jawab atas bagian sirkulasi. Beliau merupakan wajah awal dari suatu perpustakaan; bagian sirkulasi adalah yang pertama kali berinteraksi dengan pengguna. Untuk dapat sejalan dan sepikir dengan penggunanya, bagian sirkulasi harus benar-benar paham cara kerja pemustaka. Kita tahu sendiri bahwa generasi sekarang adalah generasi platinum yang sudah sedari kecil terbiasa dengan perangkat elektronik. Tak awam Udin harus up-to-date mengenai perkembangan teknologi yang Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
37
mempengaruhi cara kerja pemustakanya itu. Melihat bagian sirkulasi dikerjakan oleh mayoritas pegawai yang masih muda-muda umurnya untuk mengantisipasi adanya gap dalam berinteraksi dengan pemustaka. Udin pun tidak mau ketinggalan dengan memiliki akun Facebook dan Blogger untuk berinteraksi dengan pemustakanya. Tidak hanya itu, beliau juga aktif meng-update konten Wordpress dan Twitter-nya. “Umur ngga jadi batasan. Kan belajar itu seumur hidup ya. Jadi jangan mau kalah juga sama yang muda-muda. Ya biar ngga tertinggal dan ditinggal pemustaka juga” (Udin) Olin sebagai kepala perpustakaan memiliki pandangan luas ke depan tentang bagaimana jadinya nanti perpustakaan di masa yang akan datang. Dari mimpi-mimpinya tersebut, beliau mulai menggerakkan para pegawai untuk bersama-sama mewujudkan impiannya itu, yaitu perpustakaan yang dekat dengan pemustakanya sekarang dan di masa depan. Sebagai jantung perpustakaan, impiannya yang ingin ia wujudkan masih banyak. “Saya tu yang belum tercapai ini, misalkan orang cari tentang statistik, lalu yang muncul tidak cuma koleksi tapi juga link ke ahli-ahli statistik. Lalu saya belum dapet tim training yang tangguh.” (Olin) Olin juga mengungkap harapannya tentang AtmaLib. “Latar belakang dibentuk AtmaLib tu berdasarkan PIPE: Participative, Integrated (ke semua bagian bisa pake AtmaLib, Proactive (bisa liat order, block user yg belum mengembalikan buku), Efficient (kalau orang udah ngetik di komputer mana pun di Atmajaya, kita tau dia akses kemana, interest-nya dimana). Nah.. ke depannya tuh saya harap AtmaLib bisa seperti tubuh manusia. Tanggep, secara cepat bereaksi. Intinya dengan AtmaLib kita bisa lakukan seluruh operasional perpustakaan mulai dari pengadaan sampai penyebaran, kita mau cari di OCLC, bisa lewat AtmaLib, dsb.” (Olin) 4.1.2.1
Dimudahkan dengan adanya TIK. Ketika pustakawan ditanya mengenai perbedaan apa yang
dirasakan
mereka
sebelum
dan
sesudah
diterapkannya
TIK
di
perpustakaan, mereka serempak mengatakan bahwa TIK mempercepat kerja mereka. Pustakawan mengaku model digital membawa kemudahan dan amat sangat membantu kerja mereka.
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
38
“Wah, capek banget deh dulu. Makan banyak waktu. Lebih repot. Semenjak masuk abad elektronik kan sudah ada AtmaLib, itu bikin kerjaan jadi kerasa jauh lebih enteng.” (Asai) “Kalo yang katalog kartu udah ngga kita pake, orang baru mau cari udah males. Saya inget waktu itu saya memperingati keterlambatan, amplop-amplop berserakan, butuh banyak perangko. Belum nunggu biar sampe ke user tu bisa berminggu-minggu.” (Olin) “kalau menurut saya ya, amat sangat membantu kinerja pustakawan. Sangat menghemat waktu, jadi bisa ngerjain yang lain.” (Dana) “Kelebihannya ya memudahkan semuanya kan. Kalau dulu kartu katalog manual harus mencari, tidak tahu yang minjem siapa. Kalau sekarang kan dari segi penelusurannya aja udah canggih lah, tinggal ketik satu kata, satu huruf sudah keluar di searching-nya kan. Begitu juga dari segi pengelolaannya, pengelolaan perpustakaan itu sendiri. Sangat membantu lah, mempermudah dibanding dengan sistem konvensional.” (Udin) TIK juga membawa semangat baru bagi pustakawan dalam memaksimalkan potensi dirinya. “Di samping itu, saya jadi bisa belajar yang lain, seperti digitalisasi. Dulu saya mana bisa ngoperasiin scanner. Tapi sekarang sudah serba elektronik, saya juga ingin maju. Jangan bosen belajar terus, belajar terus.” (Asai) Dimudahkan kerjanya dengan TIK bukan berarti pustakawan tunduk atau bergantung pada teknologi, tetap pustakawan lah yang pegang kendali atas teknologi itu dalam perpustakaan. “Dahulu pustakawan dikenal sebagai penjaga buku, berkutat dengan buku-buku tebal yang dianggap sebagai pekerjaan statis dan kaku. Namun sekarang, seorang pustakawan memiliki tugas berbeda, yaitu sebagai tulang punggung pusat informasi, pustakawan tak lagi hanya berkutat pada bukubuku, tetapi juga menguasai teknologi informasi, data digital, audiovisual, dan internet.” (Olin)
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
39
4.1.2.2
Penekanan pada pengajaran. Dalam abad yang penuh dengan gencarnya serbuan perangkat
elektronik, pustakawan dituntut untuk semakin cepat dan tepat dalam memberikan layanan pada pemustakanya. Implementasi TIK sungguh penting dalam perpustakaan agar layanannya tidak tertinggal dan ditinggalkan. England dan Shaffer menyebutkan bahwa peran pustakawan akan beralih menjadi penekanan pada pengajaran, konsultasi, penelitian, preservasi akses demokratis terhadap informasi, dan kolaborasi dengan profesional komputer dan informasi dalam perancangan dan pemeliharaan sistem akses informasi. “Tapi dengan perkembangan teknologi, peran pustakawan jadi bergeser juga kan. Terutama itu dari segi layanan, bagaimana kita bisa fokus untuk memandaikan pemustakanya, dalam artian dia bisa secara mandiri mendapatkan informasinya.” (Dana) Rader menyatakan bahwa pustakawan sudah seharusnya muncul sebagai pemimpin dalam lingkungan informasi digital di mana format baru informasi dan pengetahuan mulai berpengaruh terhadap proses belajar mengajar dan penelitian. Bahkan pustakawan sudah seharusnya aktif dan terlibat dalam upaya mengubah strategi pembelajaran. “Kalau saya lihat ya, generasinya memang canggih, tapi kalau dari segi kualitas nggak sebagus orang-orang dulu dalam mendapatkan informasi. Nah.. di situ kita sebagai pustakawan harus menjadi mitra user. User harus bisa lihat, mana informasi yang bisa dipercaya, jangan asal percaya gitu aja. Informasi terpercaya juga belum tentu berasal dari sumber yang bagus. Yang baik tu ditilik lagi sumbernya, kepengarangannya. Nanti nggataunya tu sumber ditulis sama pengarang asal yang ngga ngerti ilmu yang sebenarnya lagi. Misalkan pengarangnya siapa, teorinya sih keren, tapi ketika ditelusur nggataunya pernyataan pengarang tersebut berdasar dari opini publik. Jadi gitu, bagusnya kita telusur terus sampai dapet sumber pertamanya dari suatu teori biar benerbener kuat dan dapat dipertanggungjawabkan” (Olin) Seperti yang diungkapkan sebelumnya oleh Olin, Dana menyatakan hal yang kurang lebih sama. “Dengan perkembangan informasi dan teknologi itu juga berdampak pada pergeseran fungsi perpustakaan itu sendiri Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
40
termasuk pustakawannya, untuk layanannya yang tadi hanya peminjaman buku, sekarang menjadi memandaikan pemustakanya agar dapat mendapatkan sendiri informasi yang dia butuhkan secara tepat dan akurat. Dari segi pengembangan koleksi, sistemnya sama, yang sumber elektronik juga harus di-seleksi.” (Dana) Keterlibatan tersebut memberikan peluang kepada pustakawan untuk memfasilitasi keterpaduan informasi digital kedalam kurikulum, menawarkan keahliannya dalam mengajarkan keahlian informasi kepada mahasiswa, membantu dosen menjadi cakap dalam hal format informasi digital, dan menyediakan fasilitas fisik belajar kepada mahasiswa. “Core-business kita kan ujung-ujungnya menbuat user itu menjadi pemakai informasi yang cerdas. Jadi, teknologi itu kita pakai untuk menyampaikan itu, mengajarkan itu, untuk mempermudah hal itu terjadi. Bisa dipake untuk bikin bahan belajar online, bisa untuk konsultasi online.” (Olin) Bahkan Olin menambahkan bahwa selain mengajar, pustakawan juga harus mampu dalam bidang ilmiah lain. “...tugas pustakawan sekarang tak hanya mengelola perpustakaan berkutat dengan buku-buku. Pustakawan harus mampu menulis, mengajar, melakukan penelitian, dan publikasi.” (Olin) Peran pustakawan selama ini membantu pengguna untuk mendapatkan informasi dengan cara mengarahkan agar pencarian informasi dapat efisien, efektif, tepat sasaran, serta tepat waktu. Dengan perkembangan teknologi informasi maka peran pustakawan harus lebih ditingkatkan sehingga dapat berfungsi sebagai mitra bagi para pencari informasi. Hal ini senada dengan visi perpustakaan UAJ: “Menjadi mitra strategis bagi civitas akademika, dalam pengembangan masyarakat ilmiah yang efektif dan efisien dalam hal pengelolaan pengetahuan, di tengah-tengah perkembangan pesat TIK” Sebagaimana fungsi tradisionalnya, pustakawan dapat mengarahkan pencari informasi untuk mendapatkan informasi yang sahih dan dapat dipertanggungjawabkan.
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
41
“Lalu kita ingin user jadi pengguna informasi mandiri dan cerdas berarti kitanya dulu dong yang harus mulai. Kita ngerti ga cara mengevaluasi sumber, mengevaluasi konten, itu semua biar kita bisa liat kelemahan pengguna. Pustakawan juga harus memiliki kemampuan penelitian, dari situ kita bisa banyak membantu user agar mereka mendapat sumber yang benar.” (Olin) Merujuk hal tersebut, jelas terlihat kaitan yang erat antara pustakawan sebagai pengelola informasi dengan perannya dalam menunjang tridharma perguruan tinggi. Selain melakukan layanan sirkulasi, pengadaan dan pengolahan bahan pustaka, pustakawan juga harus mampu mengelola laporan administrasi, mengelola Web-OPAC, melakukan pelestarian dokumen (diantaranya mengolah dokumen menjadi bentuk digital), mengelola layanan pinjam antar perpustakaan (PAP), melakukan kontrol keamanan bahan pustaka, mengelola layanan multi media (CD/DVD/audio kaset/sinar X, dll.), mengelola dan mencetak barkod, mengelola keanggotaan pengguna, melakukan penyusunan anggaran, melakukan katalogisasi (pra dan pasca katalog), melakukan layanan SDI, melakukan konversi data, mengelola e-mail, membuat laporan, mengelola terbitan berseri, dan melakukan tugas-tugas lainnya yang berkaitan dengan TI. “Itu memang harus belajar, tapi ngga harus technical banget. Justru disitulah ajang dibinanya kerjasama antara pustakawan dengan bidang TI. Itu kan kebutuhan pustakawan yang direalisasikan oleh bidang TI. Kalau masalah diakali, ya itu harus modal percaya, dan kita harus pakai logika juga, seandainya di tempat lain bisa, dan di kita nggak bisa tu kenapa. Bidang TI-nya harus punya jawaban yang jelas.” (Dana) Dalam melakukan tugas kesehariannya, pustakawan dituntut bekerja secara professional, jujur, berdedikasi tinggi, kreatif, dan inovatif. Sebagai tolok ukur profesionalisme, semua bukti kegiatan sepatutnya dituangkan dalam lembar kinerja yang menggambarkan produktivitas dan kinerjanya dari waktu ke waktu; setiap hari, setiap minggu, dan setiap bulannya. Memandang lurus jauh ke depan, saat telah ada robot-robot dan sistem automasi telah diterapkan, pustakawan UAJ memiliki pendapatnya masing-masing. “Secara logikanya ya, kita manusia, pustakawan tu ga bakal pernah tersingkir. Karena robot kan juga pasti ada yang ngelolanya ya kan. Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
42
Nah yang ngelola pasti ujung-ujungnya manusia juga. Ngga mungkin sistem automasi ga butuh manusia. Suatu saat rusak, kalau ga ada manusia, percuma. Ga ada yang back-up.” (Asai)
4.2
Strategi Pustakawan UAJ Jakarta dalam Menghadapi Pergeseran
Perannya di Abad Elektronik. Melihat peran dan kompetensi yang seharusnya dimiliki pustakawan seperti disebut terdahulu, rasanya menjadi pustakawan itu kian sulit. Pustakawan layaknya manusia super. Hal ini pun disadari oleh pustakawan UAJ Jakarta. Namun suatu profesi akan jadi sebagaimana harapan individu tersebut bagi kelangsungan profesionalitasnya. “Ya kalo saya pribadi ya ingin menjadi pustakawan terbaik ya. Dan yang namanya pustakawan harus proaktif. Proaktif ‘jemput bola’. Dari hal kecil aja deh, kalau ada mahasiswa yang masuk ke perpustakaan, celingak-celinguk, kita samperin dia, kita tanya, ada perlu apa? Ada yang bisa dibantu? Seperti itu.” (Asai) Padahal, banyak di antara pustakawan di Indonesia dalam meniti karir bukanlah merupakan cita-cita sejak kecil. Apakah pada waktu kecil dahulu kita sudah mengenal perpustakaan? Adakah upaya orang tua kita mengenalkan perpustakaan sejak dini? Berapa persen di antara kita para pustakawan yang membawa anaknya ke perpustakaan dalam rangka mencari informasi yang mereka perlukan? Begitu banyak pertanyaan mendasar yang seharusnya ada jawabnya, sehingga dapat dipakai dalam menerangkan keadaan perpustakaan saat ini. “Ini aja istri saya ngelarang saya jadi pustakawan.” (Asai) Menurut Luki Wijayanti, perpustakaan perguruan tinggilah yang paling berpotensi menjadi ujung tombak perkembangan perpustakaan di Indonesia. Perpustakaan perguruan tinggi
diharapkan mampu
mendongkrak
posisi
perpustakaan di tingkat nasional. Hal tersebut dikarenakan perguruan tinggi memiliki kemampuan yang memadai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga dapat menunjang aplikasi dan pengembangan TI. “Teknologi udah berkembang ya kita jangan di jaman jadul mulu. Kita lihat perkembangan di luar. Jangan lupa penunjangnya, yaitu dana. Selain itu sumber daya manusianya. Semisal ada komputer tapi ga pada ngerti itu buat apa kan percuma.” (Asai) Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
43
“Ya setiap kita harus menguasai teknologi itu biar nggak tertinggal. Harus mengikuti lah perkembangan teknologi. Dengan mengembangkan diri. Kalau di kita kan ada training. Secara rutin kalau di Atmajaya kan sering pelatihan aplikasi. Terjadwal dari tim training kita. Pelatihan jurnal online juga ada. Bagaimana cara mengoperasikan ProQuest, EBSCO, AtmaLib, bagaimana menanggapi respon dari user, feedback. Harus ada kebanggaan sebagai pelayan informasi. Mengikuti perkembangan informasi. Jangan terbatas umur, saya tua-tua gini juga belajar Facebook, email, Twitter buktinya berhasil, kalau kita pakai telpon saja ya susah. Apalagi lewat surat, teringgal kita. Pustakawan harus mengutamakan pemustakanya. Kita berikan pelayanan prima. Jadi dari dia datang sampai dia pergi lagi ada yang dia dapat, ada hasilnya.” (Udin) “Kan sekarang user maunya cepat ‘i want it now’ katanya. Pustakawan harus bisa interaktif, musti bisa TI, musti bisa apa, nah..kalo kita ga ikuti, kita bisa ditinggal.” (Olin)
Berikut ini menurut pustakawan UAJ Jakarta merupakan kunci yang sangat penting untuk menuju harapan tersebut.
4.2.1
Adanya Tim Training. Dalam kebijakan Perpustakaan UAJ Jakarta sendiri secara rutin
diterapkan pelatihan-pelatihan bagi pustakawan agar tidak tertinggal dengan perkembangan jaman. “Yang lagi diusahakan di UAJ itu pembagian tim training.” (Olin) “Pelatihan pasti ada. Kalau ada perkembangan jaman dan kita ngga bisa gimana. Pasti ada itu training. Saya lupa setahun berapa kali tapi tiap tahun pasti ada” (Asai) “Kompetensi kita harus benar-benar baik ya dalam abad sekarang ini. Salah satu caranya ya dengan mengikuti pendidikan formal dan nonformal. Makanya di Perpustakaan UAJ ada bagian training. Untuk meng-update kompetensi kita. Kalau ada hal-hal baru, bagian training akan menerapkan pada pustakawan. Dan nggak hanya training TI, ada training bahasa. Sekarang ini pustakawan secara rutin ada kursus bahasa Inggris di pusat bahasa. Seminggu sekali. Pernah juga pelatihan team building, service excellent.
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
44
Pelatihan menerima telpon, cara berkomunikasi, akhir-akhir ini pelatihan pendokumentasian arsip.” (Udin) Untuk penyemangat pustakawannya supaya terus bersemangat untuk memiliki kinerja
yang
bagus, Perpustakaan UAJ Jakarta
memberikan penghargaan pada karyawan teladan. “Penghargaan nggak hanya untuk pemustaka doang, kita lihat statistik peminjamannya, siapa yang paling sering minjem tapi juga pustakawannya ada pemilihan karyawan teladan. Jadi ada motivasi dong. Nah karyawan terbaik itu jadi penyemangat pustakawan yang lain.” (Asai)
4.2.2
Kolaborasi. Kolaborasi dapat dilakukan dalam kalangan sendiri. Secara
umum peta situasi perpustakaan Indonesia terbentang antara dua kutub. Di satu sisi adalah perpustakaan yang siap memasuki abad elektronik, di sisi lain adalah yang masih harus dipersiapkan agar dapat masuk ke dunia tersebut. Di situasi ini perlu dilakukan kerjasama antar pustakawan. “Untuk kerjasamanya, UAJ tergabung dalam Jaringan Perpustakaan APTIK.” (Olin) Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) adalah sebuah lembaga kerja sama antara pengelola Yayasan Pendidikan Katolik yang didirikan oleh empat Perguruan Tinggi Katolik (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta; Universitas Katolik Parahyangan, Bandung; Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya) pada tanggal 24 Februari 1984 sebagai pengganti Yayasan Kerjasama Perguruan Tinggi Katolik (YKPTK) dan Majelis Pendidikan Tinggi Katolik (MPTK). APTIK bertujuan untuk melaksanakan dan meningkatkan kerjasama diantara para anggota, membantu para anggota meningkatkan dan menyempurnakan sarana mereka serta membina kerjasama dengan perguruan tinggi dan lembaga lain baik di dalam maupun di luar negeri. Rapat Umum Anggota (RUA) APTIK 2011, memutuskan bahwa APTIK memiliki 3 jaringan yaitu: JLPMA (Jaringan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat), JAKA (Jaringan Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
45
Akademik dan Kemahasiswaan APTIK), dan JPA (Jaringan Perpustakaan APTIK). JPA sedang mengembangkan sebuah sistem yang diberi nama APTIK Digital Library (ADL). ADL (APTIK Digital Library) sendiri adalah layanan perpustakaan bersama dalam bentuk kerjasama antar perpustakaan jaringan perpustakaan APTIK dengan memanfaatkan teknologi informasi. Anggota ADL saat ini adalah seluruh perpustakaan dari 16 universitas katolik di seluruh Indonesia. Sesama pustakawan pun juga perlu berkolaborasi dengan profesi lain,
bersama-sama
mendukung
pengelolaan
perpustakaan,
pusat
informasi, atau lembaga penyedia jasa informasi. Dengan begitu, semua pihak berkepentingan dalam mengelola lembaga informasi. “Untuk bantu peneliti, supaya ngerti permasalahan penelitian user-nya tu pustakawan perlu kolaborasi sama dosen. Kalau dulu di perpustakaan tempat saya kuliah, perpustakaan tu ada lulusan dokternya, lulusan farmasi, karena informasi kan mencakup semua bidang ilmu.” (Olin) “Kalau menurut saya, orang kerja di perpustakaan bukan hanya ilmu perpustakaan aja. Harus banyak ilmu-ilmu yang lain. Kaya buku yang kita koleksi aja kan ada berbagai macam ilmu. Jadi butuh kerjasama sama sarjana bidang lain. Harus itu.” (Asai) “Mulai dari pemilihan buku kita harus berkolaborasi dengan orang-orang yang ahli di bidangnya. Apalagi di perpustakaan perguruan tinggi yang ilmunya macam-macam. Amat sangat perlu berkolaborasi dengan ahli di bidang lain. Apalagi untuk membantu para peneliti, di mana pustakawan itu harus membantu dalam penelusuran agar lebih mendalam. Kalau kita punya staf yang background-nya macam-macam itu akan menguntungkan perpustakaan. Karena, suatu istilah kan bisa jadi beda arti antar bidang ilmu satu dengan bidang ilmu lainnya. Tapi yang mempunyai kemampuan mengakomodir antar satu bidang ke bidang lain itu ya pustakawan.” (Dana) Saat Udin ditanyai mengenai kompetensi pustakawan, apabila pustakawan sudah kompeten dalam menjunjung tinggi perannya dalam masyarakat, bukankah itu cukup, pustakawan yang kompeten toh dapat berdiri sendiri, namun Udin menyanggah demikian: “Oh tidak. Walaupun misalnya kita sudah kompeten tapi dalam suatu organisasi, kita dan teman kerja kita harus saling Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
46
mendukung satu sama lain. Berkolaborasi sebenarnya lebih baik. Keahlian pustakawan disalurkan bersama unit-unit lain baru bisa bermanfaat. Kami menerima keahlian orang dari bidang lain juga ko.” (Udin) Kolaborasi antar pustakawan dengan bidang lain sudah berjalan dengan baik di perpustakaan UAJ. “Kaya semacem.. mm.. sarjana teknik, ditugaskan untuk penerimaan penyerahan papper mahasiswa by CD/DVD. Sirkulasi beda lagi, pengolahan, pengadaan, beda lagi. Ada teknik elektro di sini yang ngurusin IT-nya. Nanti kalau komputer rusak, panggil orang luar yang gak ngerti apa-apa kan bisa bahaya nanti isi AtmaLib-nya dia ga ngerti, malah bisa nimbulin masalah baru.” (Asai) “Mengenai kolaborasi, sekarang ini tidak hanya di Amajaya, di perpustakaan lain juga penting kolaborasi dengan bidang lain. Saya kira itu cukup membantu ya, melengkapi. Seperti di Atma ini kan ada lulusan komputer, bahasa, teknobiologi. Teknobiologi itu sangat membantu dalam preservasi, suhu yang tepat, fogging, untuk jamur-jamur di buku itu bagaimana menghilangkannya.” (Udin)
4.2.3
Strategi Pembagian Kerja. Sebelum merumuskan strategi, perlu dibuat terlebih dahulu peta
situasi. Dengan penempatan tenaga kerja yang ahli dan sesuai dengan bidang yang dibutuhkan pekerjaan dapat dilakukan dengan baik, efisien sehingga mempelancar jalannya usaha. “Strategi pembagian kerja sih ya. Tempatkan orang di bagian dimana dia enjoy dan terampil. Pertama-tama itu jangan dipaksa, kita juga harus peka sama teman sekerja kita, kalau dia kurang di satu bidang kita jangan malah kesel atau pikiran negatif, kita harus bisa pahami dia, nanti bisa dibicarakan kalau memang perlu ganti tugas dengan orang yang lebih enjoy dan terampil di bidang itu.” (Dana) Dana menambahkan, memang biasanya pegawai yang terampil di bidang TI itu adalah pegawai yang mayoritar berumur muda. Namun, saat Dana ditanyai lagi mengenai motto belajar seumur hidup (lifelong learning) Dana pun menjawab:
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
47
“Ya pada akhirnya, mau nggak mau, semua pustakawan harus belajar. Bagi pustakawan yang kurang terampil, biasanya diserahkan pada pustakawan yang lebih terampil di bidang elektronik ini dan kita harus lihat itu sebagai kebetulan bahwa biasanya pustakawan yang lebih terampil di bidang TI adalah yang muda-muda. Tapi tidak menutup kemungkinan bagi yang tua untuk biar ngga gaptek tu gimana.” (Dana) Kolaborasi antara pustakawan dan non-pustakawan adalah termasuk
kolaborasi
dengan
para
pengguna.
Kolaborasi
antar
perpustakaan dapat dilakukan dengan memodifikasi kerjasama antar perpustakaan yang sudah biasa terjadi. Bagaimana situasi kalangan internal perpustakaan sendiri? Yang dimaksud internal perpustakaan ialah kepustakawanan Indonesia. Apabila pernah disebut bahwa persepsi para pustakawan akan jatidirinya belum sama, maka yang terpenting dilakukan adalah menyamakan persepsi tersebut. Dalam hal ini interaksi individu dalam satu wacana untuk mencapai satu kesepakatan dan tujuan akan membentuk kelompok. Kelompok ini akan dapat berkembang menjadi organisasi pustakawan yang formal. Jika di Indonesia sudah ada organisasi pustakawan yang formal, maka organisasi tersebut selayaknya dapat memfasilitasi pencarian jatidiri pustakawan Indonesia. Dalam merumuskan jatidiri pustakawan harus terbuka pada pandangan pihak non-pustakawan. Pengalaman menunjukkan bahwa sering kita hanya berbicara dengan diri kita sendiri. Hingga pihak lain tidak pernah mengenal siapa kita. “Ya pustakawan Indonesia itu jangan terlalu cuek lah. Harus mencintai, harus punya jiwa memilki terhadap perpustakaan itu sendiri. Jangan jadi pustakawan ada buku ada orang dateng tu cuman bengang-bengong. Coba posisikan diri kita sebagai orang itu. Kalau udah memiliki rasa memiliki pasti ada yang bisa dikerjakan pustakawan entah itu bersih-bersih buku, ubah interior ruangan biar lebih menarik.” (Asai) “Sebagai mitra user itu kan harus paham benar perilaku user, kalau di luar negri kan ada tu kabinet bayangan, nah kalau perlu kita jadi user bayangan, peneliti bayangan. User online ya kita online juga, user 24 jam ya kalau perlu kita 24 jam juga.” (Olin) Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
48
Patrimonial sangat dekat dengan karakter masyarakat di Indonesia. Maka tak aneh jika terkadang upaya perpustakaan sering harus disetujui terlebih dahulu oleh pihak yang berkuasa. Walaupun demikian, situasi itu pasti akan berubah cepat atau lambat. Mengenai pembinaan perpustakaan di Indonesia, Perpustakaan Nasional RI diharapkan tanggap atas perkembangan tersebut. Akan sangat menguntungkan apabila aturan yang dipakai dalam pembinaan perpustakaan dan pustakawan selalu diperbaharui dengan sesekali mendengarkan masukan dari yang diatur. “Kalau masalah nanti pustakawannya bakal ngganggur ya enggak bakal yang namanya pustakawan tu nganggur selama dia nggak mau peduli sama penggunanya, dia butuh apa, bentuknya bagaimana, itu kan kalau kita ikuti nggak akan pernah ada habisnya. Pasti teknologi itu berkembang kan juga seiring perkembangan kebutuhan pengguna perpustakaan, nah.. kita harus ikuti itu. Pustakawan harus mempertahankan eksistensinya seiring perkembangan teknologi, misalkan kita nggak fasih banget dengan IT kan kita bisa alihkan ke strategi-strategi lain baik itu strategi pembagian kerja maupun promosi.” (Dana) Strategi promosi yang dimaksud oleh Dana di sini sebenarnya sudah dilakukan perpustakaan UAJ, yaitu dengan diadakannya IT4U. “Kalau kita, fasilitas sudah banyak, entah itu sarana berupa komputer, internet, maupun konten, tapi masih kurang diakses. Malah kalau saya lihat, user lebih sering cari-cari di GoogleDocs, Delicious. Mungkin kalau IT4U benar-benar dipahami user, baru deh fasilitas-fasilitas berbasis TIK yang kita punya bisa diakses sepenuhnya.” (Olin)
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Pergeseran peran pustakawan di abad elektronik merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh pustakawan perguruan tinggi manapun tidak terkecuali di Perpustakaan Unika Atma Jaya Jakarta. Pustakawan Perpustakaan Unika Atma Jaya Jakarta memaknai pergeseran perannya sebagai suatu masa di mana pustakawan harus mengembangkan peran-perannya agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi dan tidak ditinggalkan oleh pemustakanya. Pergeseran peran pustakawan ini dipahami dengan baik oleh pustakawan Perpustakaan Unika Atma Jaya Jakarta karena perpustakaan perguruan tinggi merupakan jantung universitas yang nantinya akan ikut mempengaruhi kualitas penerus bangsa. Perpustakaan Unika Atma Jaya dengan fasilitas memadai dituntut agar dapat menjadi pelopor bagi perpustakaan perguruan tinggi lainnya, minimal pelopor bagi perpustakaan yang berada dalam jaringan perpustakaan digitalnya, yaitu Jaringan Perpustakaan APTIK. Fasilitas berbasis elektronik yang melengkapi Perpustakaan Unika Atma Jaya Jakarta sendiri dapat dikatakan sudah cukup memadai, di situlah pustakawan dituntut agar tidak menjadi lengah dengan adanya kecanggihan teknologi, sehingga dapat mempertahankan perannya sebagai komponen utama perpustakaan abad elektronik ini. Segala kemudahan dibawa oleh perkembangan TIK dan itulah saat di mana pustakawan harus jauh lebih handal, jauh lebih pintar dalam mengelola perpustakaannya agar layanan perpustakaan dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh pemustakanya dan sejalan dengan fokus utama pustakawan yaitu mencerdaskan pemustakanya agar mereka dapat menjadi penelusur informasi yang handal dan pintar pula. Pergeseran peran pustakawan juga dimaknai oleh pustakawan sebagai suatu kesempatan bagi pustakawan untuk menyusun strategi agar kelak dapat siap menghadapi gejala-gejala baru yang merupakan dampak dari perubahan perilaku pemustaka abad elektronik ini. 49
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
50
Menurut pustakawan UAJ, strategi dalam menghadapi serbuan teknologi dalam perpustakaan abad elektronik ini adalah diadakannya tim training. Tim training ini dapat merupakan pihak eksternal maupun internal perpustakaan yang bertujuan untuk meng-update kemampuan pustakawan UAJ mengenai isu-isu baru yang terkait dengan pemustakanya. Kemampuan di sini tidak terbatas hanya pada kemampuan bidang perpustakaan, namun dapat mencakup semua bidang, misalnya mengenai team building dan collaborative learning. Setelah di-training, pustakawan dituntut untuk dapat mengaplikasikannya bagi diri sendiri dan orang lain. Untuk itu, strategi berikutnya adalah kolaborasi. Pustakawan harus mampu membuka diri untuk sama-sama berkolaborasi dengan pustakawan lain, bidang profesi lain, dan dengan pemustaka itu sendiri. Dalam kolaborasi ini dibutuhkan kepekaan dan rasa percaya antara individu satu dengan yang lain. Keegoisan dan sifat menutup diri harus ditepis karena pustakawan merupakan pelayan, pelayan informasi yang harus dengan tulus memberikan layanan yang terbaik bagi yang dilayaninya baik itu pustakawan lain, bidang profesi lain, dan pemustaka. Apabila strategi kolaborasi telah dijalankan namun tetap menemukan hambatan, saatnya memakai strategi pembagaian kerja. Terkadang kita tidak dapat memaksakan kemampuan dalam diri seseorang. Dan pastinya tiap orang memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Mungkin ada yang tidak terampil di bidang tertentu namun sangat terampil di bidang lain. Sebagai pustakawan kita juga harus dapat melihat kemungkinan itu. Jadi dapat dikatakan, jabatan dalam perpustakaan tidak lah statis. Mungkin suatu waktu orang tertentu perlu dipindah ke unit lain dalam perpustakaan. Itu semua guna mengaplikasikan budaya sama rata, seluruh pustakawan harus saling memahami antar unit satu dengan yang lain agar tercipta juga lingkungan kerja yang nyaman dan kondusif sehingga dapat melayani kebutuhan informasi pemustaka abad elektronik dengan baik. Dengan strategi pembagian kerja inilah pustakawan dapat menemukan dan mengembangkan kemampuan barunya.
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
51
5.2 Saran Saran yang dapat diberikan oleh peneliti, diantaranya adalah pustakawan memastikan kembali program IT4U memberikan hasil yang sesuai harapan, misalnya dengan mengadakan aksi tindak lanjut (follow-up). Sebab, peneliti pernah amati, terdapat beberapa mahasiswa pengguna AtmaLib yang tidak mengerti baik itu dalam pengoperasiannya maupun cara mengetahui apakah koleksi itu available atau tidak. Saran berikutnya adalah dengan menghidupkan suasana perpustakaan, misalnya dengan menyelenggarakan temu pengarang, tokoh penting dalam pendidikan, atau public figure dari dunia hiburan sampai keilmuan yang menceritakan buku-buku fiksi dan non-fiksi apa saja yang mereka gemari di perpustakaan. Mengikutsertakan mahasiswa dalam pembuatan program perpustakaan juga perlu, atau alangkah baiknya bila tim training yang dimiliki perpustakaan dibagi menjadi dua bagian, yang satu melakukan penelitian keluar dan yang satu ke dalam. Penelitian ke luar bertugas menemukan isu maupun fakta baru di luar lingkup Unika Atma Jaya yang berkaitan dengan kelangsungan hidup perpustakaan. Penelitian ke dalam bertugas mengidentifikasi isu atau fakta yang beredar di lingkungan Unika Atma Jaya mengenai perpustakaan. Dari situ, dapat dilakukan evaluasi untuk revisi-revisi program ke depannya. Akhir kata, dalam meminimalisir kegagalan-kegagalan yang mungkin terjadi dalam pergeseran peran ini adalah miliki semangat seorang pustakawan, di mana pustakawan itu lah yang sekarang merupakan pahlawan tanpa tanda jasa. Tidak hanya dituntut cakap dalam berpikir, pustakawan juga dituntut untuk cakap dalam bersikap dan berinteraksi dengan orang lain.
Universitas Indonesia
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, June. 1997. The Library Profession and The Internet: Implications and Scenarios for Change, (Online), (http://edfu.lis.uiuc.edu/review/5/, diakses pada 15 September 2010). American Library Association. 2008. Standards for Proficiencies for Instruction Librarians and Coordinators: A Practical Guide. (Online), (dapat diunduh di http://www.ala.org/acrl/sites/ala.org.acrl/files/content/standards/profstan dards.pdf). Arifin, Anwar. 2006. Format Baru Pengelolaan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Indonesia. Azwar, Saifuddin. 1998. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Badudu, J. S. 2003. Kamus: kata-kata serapan asing dalam bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Botts, L., & Kata, L. 2006. “Are the digital natives restless? Reaching out to the ne(x)t generation”. The Journal of the Society of Georgia Archivists, 24, 3-21. Creswell, J. W. 2007. Qualitative Inquiry and Research Design: choosing among five approaches (second edition). SAGE Publications Inc. Creth, Sheila D. 1996. The Electronic Library: Slouching Toward The Future or Creating a New Information Environment. London: Cavendish Conference Centre, 30 September 1996, (Online), (http://www.ukoln.ac.uk/services/papers/follett/creth/paper.html, terakhir diakses pada 9 Juli 2012). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud-Balai Pustaka. Dharma, Surya. 2005. Manajemen Kinerja. Jakarta: Pustaka Pelajar.
52
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
53
England, Mark and Melissa Shaffer. 1994. Librarians in the digital age. (Online), (http://www.jcdl.org/archived-conf-sites/dl94/position/england.html, terakhir diakses pada 09 Juli 2012) Gerungan, W. A. 1996. Psikologi Sosial (edisi kedua). Bandung : PT Refika Aditama. Hornby, A. S. 1995. Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English. Fifth Edition. Oxford University Press. Ikatan
Pustakawan Indonesia. Kode Etik, (Online), (http://www.ipikalbar.co.cc/kode-etik/, terakhir diakses pada 09 Juli 2012).
Kertapati, Ton. 1981. Dasar-dasar Publisistik. Jakarta: Bina Aksara. Kismiyati, Titik. 2008. Kompetensi Pustakawan Perguruan Tinggi. Makalah disampaikan pada Rapat Kerja Nasional FPPTI, Seminar Ilmiah, dan Workshop, tanggal 21 Agustus 2008, di Cibogo, Bogor. Komalasari, Rita. 2006. Kompetensi dan Peran Pustakawan dalam Mendukung Terwujudnya Perguruan Tinggi Bertaraf Internasional. (Online), (dapat diunduh di http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/32145/kompetens i%20dan%20Peran%20Pustakawan.pdf?sequence=2). Koswara, E. 1998. Dinamika Informasi dalam Era Global. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Lasa, H. S. 1998. Kamus istilah Perpustakaan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. McShane. 2000. Persepsi dalam Building Effective Work Team. Jakarta: Universitas Indonesia. Lembaga Psikologi Terapan. Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Nasution, Zulkarnain. 1989. Teknologi Komunikasi Dalam Perspektif Latar Belakang dan Perkembangannya, Buku Kesatu. Jakarta: FEUI. Nawawi, H. & Martini H. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Nurjani. 1998. Persepsi Pustakawan terhadap Profesi Pustakawan: Studi Kasus di Perpustakaan-Perpustakaan Kotamadya Medan. Tesis. Universitas Indonesia.
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
54
Poerwandari, E. Kristi. 1998. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: LPSP3 FP-UI. Presiden Republik Indonesia. 2007. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, (Online), (http://kelembagaanfiles.pnri.go.id/pdf/about_us/official_archives/public /normal/UU_43_2007_PERPUSTAKAAN.pdf, diunduh pada 21 Februari 2011). Rachmananta, Dady P. 2006. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Perpustakaan, (Online), (http://kelembagaan.pnri.go.id/Digital_Docs/homepage_folders/activities /highlight/ruu_perpustakaan/naskah_akademis.htm, diakses pada 25 April 2012) Rader, H.B. 1999. Faculty-librarian collaboration in building the curriculum for the millennium: the US experience. IFLA Journal, 25 No. 4, 209-213. Ramdan, Samuel. 2005. Pustakawan Idaman Masyarakat Pengguna Pada Badan Perpustakaan Propinsi Nusa Tenggara Timur. (Artikel Peserta Lomba Karya Ilmiah Bagi Pustakawan Tahun 2005). Media Pustakawan vol. 14 no. 2 (2007), halaman 20-26. Rowland, Fytton. 1998. The Librarian’s Role in The Electronic Information Environment. Paper presented to the JCSU Press Workshop, Keble College, Oxford, UK, 31 March to2 April 1998, (Online), (http://www.bodley.ox.ac.uk/icsu/rowlandppr.htm, diakses pada 17 Mei 2010). Rosenberg, M. J. 2001. E-learning: Strategies for delivering knowledge in the digital age. New York: McGraw-Hill. Siregar, A. Ridwan. 2004. Perpustakaan: Energi Pembangunan Bangsa. Medan: USUpress. SLA. 2003. Competencies for Information Professionals of the 21st Century Revised edition, June 2003. (Online), ( dapat diunduh di http://www.sla.org/PDFs/Competencies2003_revised.pdf). Stake, R. E. 1995. The Art of Case Study Research. Thousand Oaks, CA: Sage. Sudarsono, Blasius. 2006. Antologi Kepustakawanan Indonesia. Jakarta: Ikatan Pustakawan Indonesia.
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
55
Sulistyo-Basuki, dkk. (editor). 2002. Sekapur Sirih Pendidikan Perpustakaan di Indonesia 1952-2002: Kumpulan Artikel Alumni & Mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Depok: Alumni & Mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan PPS FIB-UI. Sulistyo-Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra bekerja sama dengan FIPB UI. Surya, Mohamad. 2006. Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Peningkatan Mutu Pembelajaran di Kelas. Makalah Seminar ”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pendidikan Jarak Jauh dalam Rangka Peningkatan Mutu Pembelajaran” yang diselenggarakan oleh Pustekkom Depdiknas, tanggal 12 Desember 2006 di Jakarta. (Online), (http://www.sman3kuningan.sch.id/?p=11, terakhir diakses pada 9 Juli 2012). Toffler, Alvin. 1980. The Third Wave. (Online), (http://www.amazon.com/ThirdWave-Alvin-Toffler/dp/0553246984#reader_0553246984, diakses pada 3 Juli 2012) UNESCO. 2004. Schoolnet toolkit. (Online), (dapat diunduh http://unesdoc.unesco.org/images/0013/001355/135564e.pdf)
di
Walgito, Bimo. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. Wardiana, Wawan. Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia, Makalah Disampaikan pada Seminar dan Pameran Teknologi Informasi, UNIKOM, Yogyakarta, 9 Juli 2002.
Universitas Indonesia Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
56
Lampiran 1
Tampilan ruang dalam Perpustakaan Pusat UAJ Jakarta (1)
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
57
Tampilan ruang dalam Perpustakaan Pusat UAJ Jakarta (2)
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
58
Lampiran 2
Denah Kampus Semanggi
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
59
Lampiran 3
Tampilan depan Perpustakaan Pusat UAJ Jakarta
Tampilan samping Perpustakaan Pusat UAJ Jakarta
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
60
Lampiran 4
Perpustakaan Pusat Kajian dan Pengajaran Bahasa (PKPB)
Tampilan luar Perpustakaan Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat UAJ Jakarta
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
61
Lampiran 5
http://lib.atmajaya.ac.id/
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
62
Lampiran 6
http://www.aptik.or.id/
http://adl.aptik.or.id/default.aspx?tabID=1
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
63
Lampiran 7
http://alinurdin-wongkitogalo.blogspot.com/
http://id-id.facebook.com/ankhani
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
64
http://alipulauberingin.wordpress.com/
https://twitter.com/aly_doang
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
65
Lampiran 8
PANDUAN WAWANCARA PUSTAKAWAN PERPUSTAKAAN UAJ JAKARTA
1] Bapak/Ibu, kalau kita lihat sekarang ini, beberapa perpustakaan perguruan tinggi sudah berubah dari model tradisional ke model digital; dulu hanya pakai katalog kartu, sekarang ada OPAC; dulu hanya buku-buku yang merupakan sumber informasi tercetak, sekarang sudah tersedia sumber digital (misal: e-book, e-journal, dalam media CD/ DVD/internet); dulu terbiasa lebih fokus pada pengembangan koleksi, sekarang fokusnya ke pengguna. Nah... Bagaimana pendapat Bapak/Ibu mengenai pernyataan tersebut ? ...
Kira-kira, harapan-harapan apa yang Bapak/Ibu miliki sebagai pustakawan dapat tetap bertahan di abad elektronik ini?
...
2] Bapak/Ibu, dari hasil observasi saya tempo hari, dapat dilihat bahwa Perpustakaan UAJ telah mampu menampilkan informasi koleksi dan layanannya lewat internet dalam rangka memenuhi kebutuhan penggunanya. Di samping itu, ditunjang dengan aplikasi sistem informasi perpustakaan Atmalib-nya, semakin mempertegas bahwa Perpustakaan UAJ telah berupaya untuk sejalan dengan abad elektronik. Dari visi-misinya pun tercantum bahwa Perpustakaan UAJ merupakan suatu perpustakaan digital dan dapat dibuktikan lewat tergabungnya Perpustakaan UAJ dalam IndonesiaDLN; jaringan perpustakaan digital pertama di Indonesia. Visi: “Menjadi mitra strategis bagi civitas akademika, dalam pengembangan masyarakat ilmiah yang efektif dan efisien dalam hal pengelolaan pengetahuan, di tengah-tengah perkembangan pesat TIK, Misi: “Mengembangkan sistem perpustakaan digital yang efektif dan efisien dalam memfasilitasi pengelolaan pengetahuan individu dan organisasi”.
Menurut Bapak/Ibu, bagaimana dalam realitanya? apakah Perpustakaan UAJ Jakarta telah benar-benar mengalami peralihan dari abad konvensional ke abad elektronik)? Apa-apa saja dampaknya bagi pustakawan?
...
Kira-kira, berapa persen peralihannya? pada tahun berapa dan apa yang melatarbelakangi peralihan itu ?
...
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
66
3] (Pewawancara menjelaskan tentang masyarakat yang lahir di abad elektronik ini yang bisa dibilang merupakan generasi platinum, yaitu generasi yang dari usia dini telah ‘melek’ teknologi, sudah terbiasa dengan perangkat-perangkat elektronik seperti komputer, telepon genggam, CD/DVD Player, dsb.)
Dengan realita seperti itu, bagaimana seharusnya peran pustakawan di abad elektronik ini agar tetap dapat mencukupi kebutuhan seluruh pemustakanya?
...
Bagi pustakawan Perpustakaan UAJ, strategi apa saja yang harus atau sudah ditempuh oleh pustakawan agar kebutuhan pemustaka akan informasi di abad elektronik ini tetap terpenuhi dengan baik sejalan dengan perkembangan TIK?
...
4] (Pewawancara menjelaskan tentang kompetensi, bahwa kompetensi adalah kecakapan/kemampuan individu baik yang berasal dari diri sendiri ataupun yang telah ditetapkan dalam kebijakan organisasional.)
Apakah Bapak/Ibu merasa perlu menguasai kemampuan-kemampuan baru: kemampuan selain pengolahan, pelayanan, peminjaman, rujukan, dsb?
...
Apakah cukup bagi seorang pustakawan kompeten hanya mengandalkan kompetensi yang dimiliki? Apakah ada kemungkinan untuk berkolaborasi dengan ahli dari bidang lain?
...
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
67
Lampiran 9
WAWANCARA INFORMAN 1 PUSTAKAWAN PERPUSTAKAAN UAJ JAKARTA Informan Tanggal Lokasi
: NS (Asai) : Jumat, 21 Oktober 2011; 11.45 WIB : Perpustakaan Pusat UAJ lantai 2, bagian karya tulis mahasiswa.
Peneliti: (Pewawancara paparkan mengenai peralihan yang umumnya terjadi pada perpustakaan abad elektronik.) Pak, kalau kita lihat sekarang ini kan dunia perpustakaan telah mengalami peralihan dari model tradisional ke model digital; dulu katalog kartu, sekarang OPAC; dulu hanya buku-buku (sumber informasi tercetak), sekarang sumber digital (yaitu e-book, e-journal, dalam media CD/ DVD/internet); dulu fokus pada pengembangan koleksi, sekarang fokus pada pengguna. Dengan realita seperti itu, bagaimana pendapat Bapak? NS:
Ya setuju banget. Karena saya pernah alami itu. Dari awalnya manual sampai digital saya pernah alami itu. Kalau yang fokus pada pengguna itu sebelum masuk abad elektronik, kita memang tujuan awalnya sudah fokus ke pengguna karena kalau kita nggak tahu kebutuhan pengguna, misalnya apa buku pegangannya, buku kuliahnya, kita mana bisa beli-beli buku. Kalo yang katalog kartu itu saya juga pernah alami, yang harus ngetik kartu, satu buku aja bisa banyak kartunya. Kalo ada orang nyari buku, bukunya nggak ada, dicari-cari dulu di kartu, udah dibalikin apa masih dipinjem bukunya. Wah, capek banget deh. Makan banyak waktu juga. Semenjak masuk abad elektronik kan sudah ada Atmalib, itu bikin kerjaan jadi kerasa jauh lebih enteng. Di samping itu, saya jadi bisa belajar yang lain, seperti digitalisasi. Dulu saya mana bisa ngoperasiin scanner. Tapi sekarang sudah serba elektronik, saya juga ingin maju. Jangan bosen belajar terus, belajar terus. Dulu waktu saya di bagian sirkulasi, saya nggak mau cuma diem nungguin orang dateng. Paling saya baca-baca, beres-beres, nanti kalo ada mahasiswa celingakcelinguk ya disamperin, ditanyain keperluannya apa. Nah, karena sering baca, saya kan jadi banyak wawasan, jadi bagian sirkulasi nggak diem aja. Wawasan kita harus luas.
Peneliti: Kalau boleh tahu, apakah Bapak lulusan Ilmu Perpustakaan? NS:
Betul. Lulusan S1 Ilmu Perpustakaan di Kampus YARSI.
Peneliti: Diterima kerja di Perpustakaan UAJ tahun berapa Pak? NS:
Tahun 91. Dan dulu saya tidak langsung di bagian karya tulis ini. Dulu saya mulai dari sirkulasi di lantai 1. Baru pas tahun 2000an, saya dipindahkan ke lantai 2, bagian karya tulis dan pendigitalisasiannya.
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
68
Peneliti: Apa harapan Bapak sebagai pustakawan agar Bapak dapat tetap bertahan di abad elektronik ini? NS:
Ya kalo saya pribadi ya ingin menjadi pustakawan terbaik ya. Dan yang namanya pustakawan harus proaktif. Proaktif ‘jemput bola’. Kalau ada mahasiswa yang masuk ke perpustakaan, celingak-celinguk, kita samperin dia, kita tanya, ada perlu apa? Ada yang bisa dibantu? Seperti itu.
Peneliti: Pak, berdasarkan hasil pengamatan saya, Perpustakaan UAJ telah mampu menampilkan informasi koleksi dan layanannya lewat internet dalam rangka memenuhi kebutuhan penggunanya. Lalu, ditunjang dengan aplikasi sistem informasi perpustakaan Atmalib-nya, semakin mempertegas bahwa Perpustakaan UAJ terus berupaya agar sejalan dengan abad elektronik. Tidak hanya itu, dari visimisinya pun sudah terbukti bahwa Perpustakaan UAJ merupakan suatu perpustakaan digital yang dibuktikan lewat tergabungnya Perpustakaan UAJ dalam IndonesiaDLN; jaringan perpustakaan digital pertama di Indonesia. Menurut Bapak, bagaimana dalam kesehariannya? apakah Perpustakaan UAJ Jakarta telah benar-benar mengalami peralihan? NS:
Ya sudah beralih lah. Saya juga yang alami itu soalnya. Kalo dulu itu harus susahsusah, sekarang udah ada komputer jadi cepat dan nggak seribet dulu sebelum ada komputer. Apalagi udah jaman internet. Mau minta tolong teman sekerja nggausah pusing nyari-nyari dulu dia dimana, tinggal tanya lewat internet, kan suka online.
Peneliti: Kira-kira, berapa persen peralihannya? pada tahun berapa dan apa yang melatarbelakangi peralihan itu? NS:
Menurut saya, 80% lah. Ini paling nanti juga bakal digital semua, soalnya suka banyak buku-buku yang nggak terawat karena jarang dicari pemustaka. Nah..subjek itu nanti yang diutamakan untuk dicari bentuk digitalnya
Peneliti: (Pewawancara menjelaskan tentang masayarakat yang lahir di abad elektronik ini yang bisa dibilang merupakan generasi platinum, yaitu generasi yang dari usia dini telah ”melek teknologi” (sudah terbiasa dengan perangkat-perangkat elektronik seperti komputer, telepon genggam, CD/DVD Player, dsb.) Dengan realita yang seperti itu, bagaimana seharusnya peran pustakawan di abad elektronik ini agar tetap dapat melayani kebutuhan akan informasi dengan baik? NS:
Ya kita harus menguasai itu. Sekarang kan udah ngga usah cape-cape dateng pemustakanya. Misalkan dia lagi di mana, misal di kelas, dia pengen nelusur ke perpustakaan udah ada AtmaLib, dimana pun dia berada, hemat waktu, biaya, tenaga udah langsung bisa ditemuin informasi yang dia butuhin.
Peneliti: (Pewawancara menjelaskan tentang kompetensi, bahwa kompetensi adalah kecakapan/kemapuan individu baik yang berasal dari diri sendiri ataupun yang telah ditetapkan dalam kebijakan organisasional.) Terkait dengan kompetensi per individu, agar pustakawan dapat terus mempertahankan posisinya sebagai komponen utama suatu perpustakaan, apakah Bapak merasa perlu menguasai
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
69
kemampuan-kemampuan baru seperti manajemen, akuntansi, pemasaran, atau mungkin kemampuan yang lain? NS:
Oh, iya dong. Kaya sekarang saya harus ngerti cara digitalisasi karya tulis, dulu saya mah ngga ngerti ngoperasiin komputer juga. Kemas ulang informasi tu saya juga suka buat sendiri. Misalkan kalo lagi iseng kan ngumpulin data tentang apa misalkan buah dari papua. Gitu. Sekaligus memenuhi rasa keingintahuan saya aja gitu. Kan berguna juga tu buat pemustaka. Itu kalo dari segi pemasaran ya menurut saya. Gimana buat pemustaka untuk berpikir kalo perpustakaan itu menati. Atau bisa juga belajar tata ruang atau desain ruang. Ini warna tembok harus diganti warna apa biar pemustaka nggak bosen, tata meja kursinya gimana yang bagus dan efisien. Gitu.
Peneliti: Apakah cukup seorang pustakawan yang kompeten hanya mengandalkan kompetensi yang dimiliki? Apakah ada kemungkinan untuk berkolaborasi dengan ahli dari bidang lain? NS:
Kerjasama gitu? Ya harus. Kita ngerti komputer tapi kalo ngga ada yang ngerti cara betulinnya kan, hayo. Trus kalo di Atma ni ada Mas Dharma yang ngurusin TI- nya. Ada dari teknik elektro. Kan macem-macem gitu, sama kaya buku kan nggak cuma satu bidang ilmu, nah.. yang ngelola juga gitu, harus ada kolaborasi dari bidang ilmu lain.
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
70
WAWANCARA INFORMAN 2 PUSTAKAWAN PERPUSTAKAAN UAJ JAKARTA Informan Tanggal Lokasi
: BK (Dana) : Rabu, 1 Nopember 2011; 10.37 WIB : PKPB lantai 4, bagian Kajian Bahasa & Budaya.
Peneliti: (Pewawancara paparkan mengenai peralihan yang umumnya terjadi pada perpustakaan abad elektronik.) Bu, kalau kita lihat sekarang ini kan dunia perpustakaan telah mengalami peralihan dari model tradisional ke model digital; dulu katalog kartu, sekarang OPAC; dulu hanya buku-buku (sumber informasi tercetak), sekarang sumber digital (yaitu e-book, e-journal, dalam media CD/ DVD/internet); dulu fokus pada pengembangan koleksi, sekarang fokus pada pengguna. Dengan realita seperti itu, pendapat Ibu terhadap pernyataan tersebut bagaimana? BK:
Dengan perkembangan informasi dan teknologi itu juga berdampak pada pergeseran fungsi perpustakaan itu sendiri termasuk pustakawannya, untuk layanannya yang tadi hanya peminjaman buku, sekarang menjadi memandaikan pemustakanya agar dapat mendapatkan sendiri informasi yang dia butuhkan secara tepat dan akurat. Dari segi pengembangan koleksi, sistemnya sama, yang sumber elektronik juga harus diseleksi.
Peneliti: Kalau boleh tahu, apakah Ibu lulusan Ilmu Perpustakaan? BK:
Lulusan S1 Ilmu Perpustakaan UI tahun 1984.
Peneliti: Diterima kerja di Perpustakaan UAJ tahun berapa Bu? BK:
Tahun 96, 97 lah.
Peneliti: Apa harapan Ibu sebagai pustakawan agar Ibu dapat tetap bertahan di abad elektronik ini? BK:
Itu memang harus belajar, tapi ngga harus technical banget. Justru disitulah ajang dibinanya kerjasama antara pustakawan dengan bidang TI. Itu kan kebutuhan pustakawan yang direalisasikan oleh bidang TI. Kalau masalah diakali, ya itu harus modal percaya, dan kita harus pakai logika juga, seandainya di tempat lain bisa, dan di kita nggak bisa tu kenapa. Bidang TI-nya harus punya jawaban yang jelas. Kalau masalah nanti pustakawannya bakal ngganggur ya enggak bakal yang namanya pustakawan tu nganggur selama dia nggak mau peduli sama penggunanya, dia butuh apa, bentuknya bagaimana itu kan kalau kita ikuti nggak akan pernah ada habisnya. Pasti teknologi itu berkembang kan juga seiring perkembangan kebutuhan pengguna perpustakaan, nah.. kita harus ikuti itu. Pustakawan harus mempertahankan eksistensinya seiring perkembangan teknologi, misalkan kita nggak fasih banget dengan IT kan kita bisa alihkan ke strategistrategi lain baik itu strategi pembagian kerja maupun promosi.
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
71
Peneliti: Ibu, menurut saya, Perpustakaan UAJ telah mengalami masa peralihan ke abad elektronik. Hal tersebut dapat dilihat dari Perpustakaan UAJ telah mampu menampilkan informasi koleksi dan layanannya lewat internet dalam rangka memenuhi kebutuhan penggunanya. Lalu, ditunjang dengan aplikasi sistem informasi perpustakaan Atmalib-nya, semakin mempertegas bahwa Perpustakaan UAJ terus berupaya agar sejalan dengan abad elektronik. Tidak hanya itu, dari visimisinya pun sudah terbukti bahwa Perpustakaan UAJ merupakan suatu perpustakaan digital yang dibuktikan lewat tergabungnya Perpustakaan UAJ dalam IndonesiaDLN; jaringan perpustakaan digital pertama di Indonesia. Menurut Ibu, bagaimana dalam kesehariannya? apakah Perpustakaan UAJ ini telah benar-benar mengalami masa peralihan? BK:
Sudah mengalami peralihan. Dan itu amat sangat membantu kinerja pustakawan. Sangat menghemat waktu, kalau dulu belum ada e-mail, mau beli buku ke Belanda itu nunggu responnya bisa sampai 6 bulan. Kirim-kirimannya lewat surat, transportnya pakai kapal kan lama. Itu aja belum tentu bukunya available. Dari segi pengolahan, dulu kita ngga bisa proaktif karena harus nunggu katalog penerbit dari penerbit itu, kalau sekarang kita ragu-ragu buat metadata, bisa langsung lihat OCLC, MARC, dsb.
Peneliti: Kira-kira, berapa persen peralihannya? pada tahun berapa dan apa yang melatarbelakangi peralihan itu? BK:
Tapi apakah itu 100% kita harus lihat lagi. Kalau dari koleksi digital, kita mungkin sudah 50% digital, karena setelah kita survei, pembaca banyak yang lebih suka bentuk buku, karna bisa leyeh-leyeh, kan kalau digital ngga kuat lama-lama menjaga postur tubuhnya. Masalah koleksi sih kita lihat juga, semisal sudah jarang dipakai pengguna, kita bisa alihkan ke bentuk digital, kalau memang lebih minat ke digital ya kita harus ikuti cara mereka. Itu semua biar kita tidak tertinggal dan ditinggalkan. Tapi untuk prosedur kerja, semuanya itu sudah lewat Atmalib, usulan-usulan, pemesanan dan pembelian buku, reminder keterlambatan pengembalian buku ke pemustaka. Kira-kira beralihnya tahun 2004. Kita kan dulu manual, terus pake ISIS, terus Atmalib versi 1. Yang melatarbelakangi peralihan itu berawal dari pustakawannya ya, Bu Ai Lien itu punya pandangan ke depan kalau nanti itu bakal seperti ini ini ini, lalu beliau lihat kebutuhan penggunanya yang terbatas waktu untuk berkunjung ke perpustakaan, apalagi bagi yang sedang meneliti kan suka ngga sempet bolak-balik perpustakaan nah itu bisa lewat digital. Apalagi seiring berjalannya waktu, banyak feedback positif yang kita dapat, nah itu buat kita lebih semangat dan mantap untuk membuka diri bagi abad elktronik ini.
Peneliti:
(Pewawancara menjelaskan tentang pemustaka di abad elektronik ini yang bisa dibilang merupakan generasi platinum, yaitu generasi yang dari usia dini telah ”melek teknologi” (sudah terbiasa dengan perangkat-perangkat elektronik seperti komputer, telepon genggam, CD/DVD Player, dsb.) Dengan realita yang seperti itu, bagaimana seharusnya peran pustakawan di abad elektronik ini agar tetap dapat melayani kebutuhan akan informasi dengan baik?
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
72
BK:
Ya mau nggak mau, pustakawan harus belajar. Bagi pustakawan yang sudah tua, nanti kan bisa diserahkan pada pustakawan yang lebih terampil di bidang elektronik ini dan itu kebetulan adalah pustakawan yang muda-muda.
Peneliti: Bagi para pemustaka Perpustakaan UAJ, bagaimanakah strategi yang harus ditempuh oleh pustakawan? BK:
Strategi pembagian kerja sih ya. Tempatkan orang di bagian dimana dia enjoy dan terampil. Pertama-tama itu jangan dipaksa, kita juga harus peka sama teman sekerja kita, kalau dia kurang di satu bidang kita jangan malah kesel atau pikiran negatif, kita harus bisa pahami dia, nanti bida dibicarakan kalau memang perlu ganti tugas dengan orang yang lebih enjoy dan terampil di bidang itu.
Peneliti:
(Pewawancara menjelaskan tentang kompetensi, bahwa kompetensi adalah kecakapan/kemapuan individu baik yang berasal dari diri sendiri ataupun yang telah ditetapkan dalam kebijakan organisasional.) Terkait dengan kompetensi per individu, agar pustakawan dapat terus mempertahankan posisinya sebagai komponen utama suatu perpustakaan, apakah Ibu merasa perlu menguasai kemampuan-kemampuan baru seperti manajemen, akuntansi, pemasaran, atau mungkin kemampuan yang lain Bu?
BK:
Tapi dengan perkembangan teknologi, peran pustakawan jadi bergeser juga kan. Terutama itu dari segi layanan, bagaimana kita bisa fokus untuk memandaikan pemustakanya, dalam artian dia bisa secara mandiri mendapatkan informasinya (literasi informasi).
Peneliti: Apakah cukup seorang pustakawan yang kompeten hanya mengandalkan kompetensi yang dimiliki? Apakah ada kemungkinan untuk berkolaborasi dengan ahli dari bidang lain? BK:
Mulai dari pemilihan buku kita harus berkolaborasi dengan orang-orang yang ahli di bidangnya. Apalagi di perpustakaan perguruan tinggi yang ilmunya macammacam. Amat sangat perlu berkolaborasi dengan ahli di bidang lain. Apalagi untuk membantu para peneliti, dimana pustakawan itu harus membantu dalam penelusuran agar lebih mendalam. Kalau kita punya staf yang background-nya macam-macam itu akan menguntungkan perpustakaan. Karna suatu istilah kan bisa jadi beda arti antar bidang ilmu satu dengan bidang ilmu lainnya. Tapi yang mempunyai kemampuan mengakomodir antar satu bidang ke bidang lain itu ya pustakawan.
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
73
WAWANCARA INFORMAN 3 PUSTAKAWAN PERPUSTAKAAN UAJ JAKARTA Informan Tanggal Lokasi
: AN (Udin) : Kamis, 9 Nopember 2011; 11.07 WIB : Perpustakaan Pusat UAJ lantai 1, bagian sirkulasi.
Peneliti: (Pewawancara paparkan mengenai peralihan yang umumnya terjadi pada perpustakaan abad elektronik.) Pak, kalau kita lihat sekarang ini kan dunia perpustakaan telah mengalami peralihan dari model tradisional ke model digital; dulu katalog kartu, sekarang OPAC; dulu hanya buku-buku (sumber informasi tercetak), sekarang sumber digital (yaitu e-book, e-journal, dalam media CD/ DVD/internet); dulu fokus pada pengembangan koleksi, sekarang fokus pada pengguna. Dengan realita seperti itu, pendapat Bapak terhadap pernyataan tersebut bagaimana? AN:
Ya memang benar sih, pergeseran. Tapi ada kekurangan dan kelebihan juga sebenarnya ya. Aplikasinya kan. Kelebihannya ya memudahkan semuanya kan. Kalau dulu kartu katalog manual harus mencari, tidak tahu yang minjem siapa. Kalau sekarang kan dari segi penelusurannya aja udah canggih lah, tinggal ketik satu kata, satu huruf sudah keluar di searching-nya kan. Begitu juga dari segi pengelolaannya, pengelolaan perpustakaan itu sendiri. Sangat membantu lah, mempermudah dibanding dengan sistem konvensional.
Peneliti: Kalau boleh tahu, apakah Bapak lulusan Ilmu Perpustakaan? AN:
Lulusan S1 Ilmu Perpustakaan YARSI tahun 2011. Sidangnya 2 Agustus 2011 kemarin.
Peneliti: Diterima kerja di Perpustakaan UAJ tahun berapa Pak? AN:
Tahun 99. Baru masuk sudah mulai beralih ke elektronik sih. Tahun 2001 masih ada katalog kartu. 2002-2003 lah. Sistem yang pas saya masuk belum seperti sistem yang sekarang tuh. Masih sistem CDS/ISIS, hanya offline, belum bisa online. Tahun 2004 itu baru ada sistem yang online.
Peneliti: Apa harapan Bapak sebagai pustakawan agar Bapak dapat tetap bertahan di abad elektronik ini? AN:
Ya setiap kita harus menguasai teknologi itu biar nggak tertinggal. Harus mengikuti lah perkembangan teknologi. Dengan mengembangkan diri. Kalau di kita kan ada training. Secara rutin kalau di Atmajaya kan sering pelatihan aplikasi. Terjadwal dari tim training kita. Pelatihan jurnal online juga ada. Bagaimana cara mengoperasikan ProQuest, Epsco, Atmalib, bagaimana menanggapi respon dari user, feedback. Harus ada kebanggaan sebagai pelayan informasi. Mengikuti perkembangan informasi. Jangan terbatas umur, saya tua-tua gini juga belajar Facebook, email, Twitter buktinya berhasil, kalau kita pakai telpon saja ya susah.
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
74
Apalagi lewat surat, teringgal kita. Pustakawan harus mengutamakan pemustakanya. Kita berikan pelayanan prima. Jadi dari dia datang sampai dia pergi lagi ada yang dia dapat, ada hasilnya. Peneliti: Bapak, menurut saya, Perpustakaan UAJ telah mengalami masa peralihan ke abad elektronik. Hal tersebut dapat dilihat dari Perpustakaan UAJ telah mampu menampilkan informasi koleksi dan layanannya lewat internet dalam rangka memenuhi kebutuhan penggunanya. Lalu, ditunjang dengan aplikasi sistem informasi perpustakaan Atmalib-nya, semakin mempertegas bahwa Perpustakaan UAJ terus berupaya agar sejalan dengan abad elektronik. Tidak hanya itu, dari visimisinya pun sudah terbukti bahwa Perpustakaan UAJ merupakan suatu perpustakaan digital yang dibuktikan lewat tergabungnya Perpustakaan UAJ dalam IndonesiaDLN; jaringan perpustakaan digital pertama di Indonesia. Peneliti: Menurut Bapak, bagaimana dalam kesehariannya? apakah Perpustakaan UAJ ini telah benar-benar mengalami masa peralihan? AN:
Udah peralihan sih. Udah keliatan. Sistem yang manual sudah tidak terlihat lagi. Paling peminjaman koleksi yang masih pakai kartu buku. Kalau yang pengolahan dan pengadaan udah online semua. Dari yang pemesanan sampai buku datang, lalu diserahkan ke bagian sirkulasi itu sudah online. Buku tamu, feedback-nya dari pengguna sudah online.
Peneliti: Kira-kira, berapa persen peralihannya? pada tahun berapa dan apa yang melatarbelakangi peralihan itu? AN:
Sudah 99% lah. Manual itu udah nggak kelihatan. Kalo 100% saya kira tetap saja dua-duanya harus saling mendukung. Sewaktu-waktu, pengguna harus melihat fisiknya. Perpustakaan yang benar-benar digital ada sih..tapi saya lebih pilih yang hibrida.”
Peneliti: (Pewawancara menjelaskan tentang pemustaka di abad elektronik ini yang bisa dibilang merupakan generasi platinum, yaitu generasi yang dari usia dini telah ‘melek’ teknologi (sudah terbiasa dengan perangkat-perangkat elektronik seperti komputer, telepon genggam, CD/DVD Player, dsb.) Dengan realita yang seperti itu, bagaimana seharusnya peran pustakawan di abad elektronik ini agar tetap dapat melayani kebutuhan akan informasi dengan baik? AN:
Kita harus mengikuti perkembangan TI tersebut. Pustakawan itu sendiri harus melek TI. Misalkan di bagian sirkulasi, kalau ada yang terlambat mengembalikan, kita harus kejar baik itu lewat Facebook, Twitter, e-mail. Tanggapan mahasiswa juga positif. Itu saya terapkan berhasil, nggak harus lewat telpon.
Peneliti: (Pewawancara menjelaskan tentang kompetensi, bahwa kompetensi adalah kecakapan/kemapuan individu baik yang berasal dari diri sendiri ataupun yang telah ditetapkan dalam kebijakan organisasional.) Terkait dengan kompetensi per individu, agar pustakawan dapat terus mempertahankan posisinya sebagai komponen utama suatu perpustakaan, apakah Bapak merasa perlu menguasai
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
75
kemampuan-kemampuan baru seperti manajemen, akuntansi, pemasaran, atau mungkin kemampuan yang lain Pak? AN:
Kompetensi kita harus benar-benar baik ya dalam abad sekarang ini. Salah satu caranya ya dengan mengikuti pendidikan formal dan nonformal. Makanya di Perpustakaan UAJ ada bagian training. Untuk meng-update kompetensi kita. Kalau ada hal-hal baru, bagian training akan menerapkan pada pustakawan. Dan nggak hanya training TI, ada training bahasa. Sekarang ini pustakawan secara rutin ada kursus bahasa Inggris di pusat bahasa. Seminggu sekali. Pernah juga pelatihan team building, service excellent. Pelatihan menerima telpon, cara berkomunikasi, akhir-akhir ini pelatihan pendokumentasian arsip.
Peneliti: Apakah cukup seorang pustakawan yang kompeten hanya mengandalkan kompetensi yang dimiliki? Apakah ada kemungkinan untuk berkolaborasi dengan ahli dari bidang lain? AN:
Oh tidak. Walaupun kita sudah kompeten tapi dalam suatu organisasi, kita dan teman kerja kita harus saling mendukung satu sama lain. Berkolaborasi sebenarnya lebih baik. Keahlian pustakawan disalurkan ke unit-unit lain baru bisa bermanfaat. Kami menerima keahlian orang lain juga. Ya seperti strategi pembagian kerja itu. Mengenai kolaborasi, sekarang ini tidak hanya di Amajaya, di perpustakaan lain juga penting kolaborasi dengan bidang lain. Saya kira itu cukup membantu ya, melengkapi. Seperti di Atma ini kan ada lulusan komputer, bahasa, teknobiologi. Teknobiologi itu sangat membantu dalam preservasi, suhu yang tepat, fogging, untuk jamur-jamur di buku itu bagaimana menghilangkannya.
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
76
WAWANCARA INFORMAN 4 PUSTAKAWAN PERPUSTAKAAN UAJ JAKARTA Informan Tanggal Lokasi
: DA (Olin) : Kamis, 9 Nopember 2011; 12.15 WIB : Perpustakaan Pusat UAJ lantai 1, ruang Koordinator Perpustakaan UAJ.
Peneliti: Ibu, kalau kita lihat sekarang ini perpustakaan perguruan tinggi sudah berubah dari model tradisional ke model digital; dulu katalog kartu, sekarang OPAC; dulu hanya buku-buku (sumber informasi tercetak), sekarang sumber digital (yaitu e-book, ejournal, dalam media CD/ DVD/internet); dulu fokus pada pengembangan koleksi, sekarang fokus pada pengguna. Dengan realita seperti itu, bagaimana pendapat Ibu mengenai pernyataan tersebut? DA:
Ya memang sudah berubah, kalau dulu pekerjaan itu kan terpisah-pisah. Pengadaan sendiri, bahkan pengadaan ada yang di luar perpustakaan, di luar unit perpustakaan, pengadaan terpisah dengan pengolahan, pengolahan terpisah dengan sirkulasi. Kalau sekarang dengan adanya sistem perpustakaan digital itu, hal itu bisa dikerjakan sekaligus, bahkan oleh satu orang. Misalnya, kita bisa cari tahu sendiri, pertanyaan user, kebutuhan user, lalu bisa kita langsung kasih tanggapan ke user. Siapapun di perpustakaan bisa jawab pertanyaan referensi, siapa aja bisa menyebarkan informasi. Kalau dulu kan serba susah, di dalemnya aja ngga ada intranet. Jadi karyawan satu ngga tau karyawan lain lagi ngerjain apa, hasilnya apa, kalau sekarang kan transparan. Dan dari sisi user, digital itu mempercepat, usulan saya sudah sampai mana, booking-an saya sudah sampai mana.
Peneliti: Apa harapan Ibu sebagai pustakawan agar Ibu dapat tetap bertahan di abad elektronik ini (teknologi yang bergantung pada pustakawan atau pustakawan yang bergantung pada teknologi)? DA:
Ya bagaimana pun kalau saya lihat ya, teknologi itu alat, tetep hanya tool. Jadi kita tu musti punya sikap bahwa tool itu merupakan sarana untuk memperbesar peluang. Teknologi itu peluang. Dan karena itu tool, ya pustakawan sekarang ngga lepas dari teknologi. Ada Twitter, ada Facebook. Nah kebetulan saya ngga pake itu, saya pernah belajar Facebook waktu libur tapi pada dasarnya saya kurang suka sama Facebook karena terlalu terbuka ya, perasaan orang lah ditaruh disitu, menurut saya agak aneh, akhirnya ya ga pernah saya update. Ya pokoknya ikuti perkembangan teknologi, kembangkan sistem digital itu sendiri. Kan sekarang user maunya cepat ‘i want it now’ katanya. Pustakawan harus bisa interaktif, musti bisa TI, musti bisa apa, nah..kalo kita ga ikuti, kita bisa ditinggal. Tapi kita sendiri juga jangan melupakan core-business kita. Core-business kita kan ujung-ujungnya menbuat user itu menjadi pemakai informasi yang cerdas. Jadi, teknologi itu kita pakai untuk menyampaikan itu, mengajarkan itu, untuk mempermudah hal itu terjadi. Bisa dipake untuk bikin bahan belajar online, bisa untuk konsultasi online. User online ya kita online juga, user 24 jam ya kalau perlu kita 24 jam juga.
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
77
Peneliti: Ibu, menurut saya, Perpustakaan UAJ telah mengalami masa peralihan ke abad elektronik. Hal tersebut dapat dilihat dari Perpustakaan UAJ telah mampu menampilkan informasi koleksi dan layanannya lewat internet dalam rangka memenuhi kebutuhan penggunanya. Lalu, ditunjang dengan aplikasi sistem informasi perpustakaan Atmalib-nya, semakin mempertegas bahwa Perpustakaan UAJ terus berupaya agar sejalan dengan abad elektronik. Tidak hanya itu, dari visimisinya pun sudah terbukti bahwa Perpustakaan UAJ merupakan suatu perpustakaan digital yang dibuktikan lewat tergabungnya Perpustakaan UAJ dalam IndonesiaDLN; jaringan perpustakaan digital pertama di Indonesia. Menurut Ibu, bagaimana dalam kesehariannya? apakah Perpustakaan UAJ Jakarta telah benarbenar mengalami peralihan? DA:
Kalau peralihan, iya, tapi kalau sudah selesai beralih, saya bilang belum karena masih ada yang perlu dikembangkan. Sebagai mitra user itu kan harus paham benar perilaku user, kalau di luar negri kan ada tu kabinet bayangan, nah kalau perlu kita jadi user bayangan, peneliti bayangan. Lalu kita ingin user jadi pengguna informasi mandiri dan cerdas berarti kitanya dulu dong yang harus mulai. Kita ngerti ga cara mengevaluasi sumber, mengevaluasi konten, itu semua biar kita bisa liat kelemahan pengguna. Pustakawan juga harus memiliki kemampuan penelitian, dari situ kita bisa banyak membantu user agar mereka mendapat sumber yang be nar.
Peneliti: Kira-kira, berapa persen peralihannya? pada tahun berapa dan apa yang melatarbelakangi peralihan itu? DA:
Kalau kita, fasilitas sudah banyak, entah itu dari konten, tapi akses masih kurang. Malah kalau saya lihat, user lebih gampang cari-cari di GoogleDocs, Delicious. Mungkin kalau IT4U benar-benar dipahami user, baru deh fasilitas-fasilitas berbasis TIK yang kita punya bisa diakses sepenuhnya. Kalo yang katalog kartu udah ngga kita pake, orang baru mau cari udah males. Saya inget waktu itu saya memperingati keterlambatan, amplop-amplop berserakan, butuh banyak perangko. Saya tu yang belum tercapai ini, misalkan orang cari tentang statistik, lalu yang muncul tidak cuma koleksi tapi juga link ke ahli-ahli statistik. Lalu saya belum dapet tim training yang tangguh. Peralihannya sih sekitar 2004 ya, dulu kan sempet pake Oracle, karena mahal, kita ngga bisa pake banyak, sumber daya manusia yang menguasai Oracle masih sedikit, yaudah deh kita buat Atmalib. Latar belakang dibentuk Atmalib tu berdasarkan Pipe: participative, integrated (ke semua bagian bisa pake Atmalib, proactive (bisa liat order, block user yg belum mengembalikan buku) efficient (kalau orang udah ngetik di komputer mana pun di Atmajaya, kita tau dia akses ke mana, interest-nya di mana). Atmalib sperti tubuh manusia (tanggep, secara cepat bereaksi). Intinya dengan Atmalib kita bisa lakukan seluruh operasional perpustakaan mulai dari pengadaan sampai penyebaran, kita mau cari di OCLC, bisa lewat Atmalib.
Peneliti: (Pewawancara menjelaskan tentang pemustaka di abad elektronik ini yang bisa dibilang merupakan generasi platinum, yaitu generasi yang dari usia dini telah ‘melek’ teknologi (sudah terbiasa dengan perangkat-perangkat elektronik seperti komputer, telepon genggam, CD/DVD Player, dsb.) Dengan realita yang seperti itu, bagaimana seharusnya peran pustakawan di abad elektronik ini agar tetap dapat melayani kebutuhan akan informasi dengan baik?
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012
78
DA:
Kalau saya lihat, generasinya memang canggih, tapi kalau dari segi kualitas nggak sebagus orang-orang dulu dalam mencari informasi. User harus lihat, mana informasi yang bisa dipercaya, jangan asal percaya gitu aja. Informasi terpercaya juga ngga gitu aja bagus, harus ditilik lagi sumbernya, siapa pengarangnya, nanti nggataunya pengarang asal yang ngga ngerti ilmu yang sebenarnya kan percuma. Misalkan pengarangnya siapa, teorinya sih keren, tapi ketika ditelusur nggataunya pernyataan pengarang tersebut berdasar dari opini publik. Bagusnya tu kita telusur sampai sumber pertamanya dari pernyataan yang dia dapet itu.
Peneliti: (Pewawancara menjelaskan tentang kompetensi, bahwa kompetensi adalah kecakapan/kemapuan individu baik yang berasal dari diri sendiri ataupun yang telah ditetapkan dalam kebijakan organisasional.) Terkait dengan kompetensi per individu, agar pustakawan dapat terus mempertahankan posisinya sebagai komponen utama suatu perpustakaan, apakah Ibu merasa perlu menguasai kemampuan-kemampuan baru seperti manajemen, akuntansi, pemasaran, atau mungkin kemampuan yang lain? DA:
Kemampuan TI jelas, misalkan saya tau ada ini ada itu, saya pengen itu tau, ngerti jalaninnya, cuma suka ga ada waktu. Pengen bisa semua microsoft office aja, itu kan harus berulang-ulang, skill, jadi harus ada waktu untuk terus berhadapan dengan sarana itu.
Peneliti: Apakah cukup seorang pustakawan yang kompeten hanya mengandalkan kompetensi yang dimiliki? Apakah ada kemungkinan untuk berkolaborasi dengan ahli dari bidang lain? DA:
Untuk bantu peneliti, supaya ngerti permasalahan penelitian usernya tu pustakawan perlu kolaborasi sama dosen. Kalau dulu di perpustakaan tempat saya kuliah perpustakaan tu ada lulusan dokternya, lulusan farmasi, karena informasi kan mencakup semua bidang ilmu.
Persepsi pustakawan..., Ribka Prima Setyanty, FIB UI, 2012