UNIVERSITAS INDONESIA
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN SEBAGAI BENTUK KEJAHATAN KORPORASI DALAM PELAKSANAAN OTONOMI PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA (STUDI KASUS PENYELENGGARAAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS X)
SKRIPSI
MUHAMMAD RIDHA INTIFADHA 1006693211
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI DEPOK 2015
UNIVERSITAS INDONESIA
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN SEBAGAI BENTUK KEJAHATAN KORPORASI DALAM PELAKSANAAN OTONOMI PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA (STUDI KASUS PENYELENGGARAAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS X)
SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
MUHAMMAD RIDHA INTIFADHA 1006693211
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI DEPOK 2015
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar
Nama
: Muhammad Ridha Intifadha
NPM
: 1006693211
Tanda Tangan :
Tanggal
: 28 Juli 2015
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Depok, 28 Juli 2015
Muhammad Ridha Intifadha
iii
Universitas Indonesia
iv
Universitas Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH
Kepada Sang Penguasa semesta, Allah SWT, peneliti ingin mengukir rasa syukur dan sabar melalui proses penyusunan skripsi ini, sejak ia masih embrio dalam pikiran sederhana seorang mahasiswa hingga akhirnya berbuah menjadi sebuah gelar sarjana. Biarkan karya ilmiah ini berlabuh dalam bentuk pewarisan ingatan dan ilmu yang bermanfaat bagi dunia pendidikan Indonesia. Dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang menyelimuti diri peneliti, peneliti menyadari bahwa skripsi ini tidak akan pernah mencapai garis finis tanpa kehadiran pihak-pihak yang membantu peneliti dalam proses penyelesaiannya. Untuk itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Drh. Wawan Sutian, M.Si dan Drh. Asmiaty, orang tua peneliti. Atas segala hal yang tidak bisa diungkapkan melalui kata, terima kasih dan maaf belum menjadi yang terbaik. Juga, Rifa Alfalah Mustaqim, Rizki Muzakkir Rusydi dan Rais Aqmaril Abdurrasyid. Ketahuilah, diam-diam kakak sulung kalian ini sangat mengagumi sekaligus iri kepada kalian; 2. Prof. Dr. Muhammad Mustofa, M.A. yang sudah bersedia menjadi dosen pembimbing
peneliti.
Kesabaran
dan
keluasan
samudera
ilmu
pengetahuannya semoga menjadi ladang amal kebaikan yang senantiasa hidup dalam diri peneliti; 3. Dr. Mohammad Kemal Dermawan M.Si selaku penguji ahli yang telah meluangkan waktunya untuk dapat menyempurnakan skripsi ini ke tahap yang lebih baik dari sebelumnya; 4. Dra. Mamik Sri Supatmi, M.Si. selaku ketua sidang yang telah mengupayakan perhatian dan motivasi yang terbaik kepada peneliti; 5. Drs. Eko Hariyanto M.Si. selaku sekretaris sidang yang memberikan saran dan kritik yang membangun kepada peneliti; 6. Para dosen maupun staf administrasi Departemen Kriminologi FISIP UI, khususnya Arief Effendy yang telah mengajarkan dan membantu banyak hal selama peneliti merasakan dunia perkuliahan ini; 7. Para narasumber maupun pihak-pihak yang telah bersedia memberikan ilmu, pengetahuan dan informasi demi keperluan data dalam skripsi ini;
v
Universitas Indonesia
8. Mereka yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu namanya, dikarenakan lengah, lupa ataupun alpa saat peneliti menuliskan lembaran terima kasih ini. Bagi kalian yang termasuk dalam kelompok ini, peneliti secara pribadi memohon maaf dan berterima kasih. Semoga tidak mengurangi nilai keikhlasan dan pahala kebaikan yang senantiasa mengalir kepada kalian atas doa maupun kontribusi yang kalian berikan; 9. Keluarga, sahabat dan kawan-kawan seperjuangan dalam bingkai kriminologi FISIP UI 2010 dan mahasiswa kriminologi pada umumnya. Kalian adalah kepingan puzzle berharga dari kehidupan peneliti; 10. Seluruh sahabat yang terdapat dalam berbagai perkumpulan, komunitas, kepanitiaan, organisasi, institusi dan berbagai wadah di mana peneliti mampu belajar untuk mengembangkan diri secara baik: SIAGA FISIP UI, PDKT FISIP UI 2010, BEM FISIP UI 2011, FSI FISIP UI 2011, Pemira FISIP UI 2012, OIS FISIP UI 2012, Salam UI 2012, OKK UI 2012, Gerakan 9cmID, Himakrim 2013, WePreventCrime, BK MWA UI UM 2013, Pemira UI 2013-2015, PSAK FISIP UI 2014, SEMAR UI, UI LDSC, SGRC UI, Penggenggam Hujan UI, CIPS UI, UI Islamic Sphere, Selasar.com, ICW, Shafa Community, Iluna, IAIC dan Nozomi Hikari; 11. Mereka yang tidak dapat bersua dengan peneliti secara langsung dan hanya berkenalan melalui dunia maya, baik di twitter, tumblr, ask.fm, facebook, path, instagram, line, maupun whatsapp. Terima kasih atas pertanyaan dan pernyataan kalian yang menjadi cambuk pengingat bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga di masa depan, kita dapat dipertemukan untuk saling bertukar sapa secara langsung; dan 12. Terakhir, kepada Augita Putri Roadiastuty dan keluarga, serta para sahabatnya. Terima kasih telah melengkapi kompleksitas dunia buku, pesta dan cinta dari kampus bermakara jingga Universitas Indonesia
Depok, 2015
Peneliti
vi
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NPM Program studi Departemen Fakultas Jenis Karya
: Muhammad Ridha Intifadha : 1006693211 : Kriminologi : Kriminologi : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non-ekslusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Komersialisasi Pendidikan sebagai Bentuk Kejahatan Korporasi dalam Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi di Indonesia (Studi Kasus Penyelenggaraan Program Pascasarjana Universitas X) beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmediakan atau memformatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di : Depok Pada tanggal : 28 Juli 2015 Yang menyatakan,
Muhammad Ridha Intifadha
vii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Muhammad Ridha Intifadha Program Studi : Kriminologi Judul : Komersialisasi Pendidikan sebagai Bentuk Kejahatan Korporasi dalam Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi di Indonesia (Studi Kasus Penyelenggaraan Program Pascasarjana Universitas X) Pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia membuka ruang bagi terjadinya komersialisasi pendidikan yang berujung pada pelanggaran etika nirlaba sebagai salah satu prinsip dalam otonomi perguruan tinggi. Skripsi ini membahas komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia melalui studi kasus penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. Skripsi ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi deskriptif menggunakan konsep-konsep yang berkaitan antara otonomi perguruan tinggi, pelanggaran etika dan kejahatan korporasi di sektor pendidikan. Skripsi ini melihat bagaimana implementasi otonomi perguruan tinggi tidak hanya terjadi secara akademik, namun juga secara tata kelola khususnya keuangan melalui perguruan tinggi berstatus badan hukum, salah satunya Universitas X. Pemerintah tidak mampu menjamin anggaran yang cukup untuk memenuhi hak atas pendidikan bagi warga negaranya, sehingga Universitas X dapat mencari dana yang berasal dari mahasiswa secara berlebihan melalui biaya kuliah maupun penyelenggaraan program tertentu, salah satunya program pascasarjana. Meskipun hasil penelitian ini masih bersifat tentatif, namun telah memiliki kesimpulan tertentu bahwa program pascasarjana Universitas X lebih memandang dirinya sebagai suatu korporasi dibandingkan sebagai institusi pendidikan, sehingga akhrinya melakukan komersialisasi pendidikan di dalam penyelenggaraannya. Kata Kunci: Desentralisasi Perguruan Tinggi, Hak Asasi Manusia, Kejahatan Korporasi, Komersialisasi Perguruan Tinggi, Korupsi, Nirlaba, Otonomi Perguruan Tinggi, Pendidikan, Privatisasi Perguruan Tinggi, White Collar Crime
viii
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name Course Title
: Muhammad Ridha Intifadha : Criminology : Commercialization of Education as a Form of Corporate Crime within the Implementation of Higher Education Autonomy in Indonesia (Case Study: The Implementation of Graduate Program of X University)
‘Commercialization of Education as a Form of Corporate Crime within the Implementation of Higher Education Autonomy in Indonesia (Case Study: Implementation of Graduate Program of X University)’ is a minithesis which talks about the autonomy system of higher education in Indonesia which may form the commercialization of education and culminates with a white collar criminal phenomenon using the case study of the implementation of graduate programs of X University. This minithesis employs qualitative research methods in a descriptive study, involving related concepts to the autonomy of higher education and corporate crime in the education sector. This minithesis also analyzes how the implementation of higher education autonomy in X University was not only applied academically but also for the financial management of the university itself, which adopts the form of legal entity. The government was unable to vouch enough budgets in order to fulfil education rights for the citizens, giving authority for X University to gain excessivelly from its students as another fund resource by the mechanism of expense or implementation some study programs such as graduate programs. Even though this minithesis’s conclusion is still tentative, it has a conclusion that the graduate program of X University views itself more as a corporation than an institute of education, resulting in commercialization in its implementation. Keywords: Decentralization of Higher Education, Human Rights, Corporate Crime, Commercialization of Higher Education, nonprofit, Higher Education Autonomy, Education, Privatization of Higher Education, White Collar Crime
ix
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................. ii HALAMAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................... iii HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iv UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................... v HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI .................................................. vii ABSTRAK ...................................................................................................... viii DAFTAR ISI ................................................................................................... x DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiv DAFTAR GRAFIK ......................................................................................... xv DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xvi DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xvii BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1.2. Masalah Penelitian ....................................................................... 1.3. Pertanyaan Penelitian ................................................................... 1.4. Tujuan Penelitian ......................................................................... 1.5. Signifikansi Penelitian ................................................................. 1.5.1. Signifikansi Akademis ........................................................ 1.5.2. Signifikansi Praktis ............................................................. 1.6. Sistematika Penulisan ..................................................................
1 1 9 10 11 11 11 11 12
BAB 2 KAJIAN KEPUSTAKAAN .............................................................. 2.1. Definisi Konseptual ...................................................................... 2.1.1. Pendidikan ........................................................................... 2.1.2. Otonomi Perguruan Tinggi ................................................. 2.1.2.1. Desentralisasi Perguruan Tinggi ............................. 2.1.2.2. Privatisasi Perguruan Tinggi ................................... 2.1.2.3. Komersialisasi Perguruan Tinggi ............................ 2.1.3. White Collar Crime ............................................................. 2.1.4. Otonomi dan Korupsi dalam Pendidikan Tinggi ................ 2.2. Landasan Teori .............................................................................. 2.2.1. Teori Anomi Institusional ................................................... 2.2.2. Shareholder-Stakeholder Theory ........................................ 2.2.3. Kejahatan dan Etika Korporasi ........................................... 2.2.4. Komersialisasi Pendidikan sebagai Pelanggaran Etika ....... 2.2.5. Kejahatan Korporasi dalam Perguruan Tinggi.....................
14 14 14 16 19 20 23 24 26 30 30 32 35 37 39
x
Universitas Indonesia
2.3. Kajian Kepustakaan dengan Isu Sebidang ................................... 2.4. Kerangka Pikir .............................................................................
41 45
BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................. 3.1. Pendekatan Penelitian .................................................................. 3.2. Jenis dan Manfaat Penelitian ........................................................ 3.3. Teknik Pengambilan Data ............................................................ 3.3.1. Studi Dokumen ................................................................... 3.3.2. Wawancara .......................................................................... 3.3.3. Penelusuran Data Sekunder ................................................ 3.4. Waktu Penelitian .......................................................................... 3.5. Hambatan Penelitian ....................................................................
49 49 49 50 51 52 56 57 57
BAB 4 SEJARAH KEBIJAKAN OTONOMI PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA ................................................................................. 4.1. Orientasi Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia ........................ 4.1.1. Periode Orde Lama (1945 – 1965) ...................................... 4.1.2. Periode Orde Baru (1966 – 1998) ....................................... 4.1.3. Masa Pasca Reformasi (1998 – sekarang) .......................... 4.2. Landasan Hukum Kebijakan Otonomi Pendidikan Tinggi di Indonesia ....................................................................................... 4.2.1. Undang Undang Dasar (UUD) 1945 ................................... 4.2.2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 ............................ 4.2.3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 ..................... 4.2.4. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 ..................... 4.2.5. Keputusan Dirjen Dikti Nomor 28 Tahun 2002 .................. 4.2.6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ............................ 4.2.7. Peraturan Mendiknas Nomor 2 Tahun 2005 ....................... 4.2.8. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 ..................... 4.2.9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 ............................ 4.2.10. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 ..................... BAB 5 TEMUAN DATA ............................................................................... 5.1. Gambaran Umum Universitas X .................................................. 5.2. Sejarah Perubahan Status Universitas X ...................................... 5.3. Sumber Penerimaan Universitas X (2002 – 2012)........................ 5.4. Gambaran Umum Program Pascasarjana Universitas X .............. 5.5. Penyelenggaraan Program Pascasarjana Universitas X ............... 5.5.1. Ketidakjelasan Kurikulum .................................................. 5.5.2. Tenaga Pengajar dari Fakultas Lain maupun Pihak Eksternal ............................................................................. 5.5.3. Disparitas Honor Tenaga Pengajar ......................................
xi
59 59 59 60 60 65 65 65 66 66 66 67 68 68 68 69 73 73 73 77 80 82 84 85 91
Universitas Indonesia
5.5.4. Kesulitan dalam Memperoleh Dana yang Berasal dari Peserta Didik dan Riset (Unit Ventura) ............................... 5.5.5. Indikasi Korupsi dan Wacana Pembubaran Program Program Pasca Sarjana ....................................................... BAB 6 ANALISIS .......................................................................................... 6.1. Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia ...................................... 6.2. Transformasi Status Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum sebagai Implementasi Otonomi Perguruan Tinggi di Indonesia .................................................... 6.3. Komersialisasi Pendidikan Universitas X sebagai Bentuk Pelanggaran Etika (White Collar Crime) ...................................... 6.4. Penyelenggaraan Program Pascasarjana Universitas X sebagai bentuk Kejahatan Korporasi dalam Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi di Indonesia .....................................................
90 93 100 100
102 108
112
BAB 7 PENUTUP .......................................................................................... 120 7.1. Kesimpulan .................................................................................. 120 7.2. Saran ............................................................................................ 122 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 124 LAMPIRAN ................................................................................................... 131
xii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Empat Model Tata Kelola Perguruan Tinggi ..................................
19
Tabel 2.2 Perbedaan antara PTN non BHMN dan BHMN .............................
20
Tabel 2.3 Privatisasi Pendidikan Tinggi ..........................................................
22
Tabel 2.4 Hubungan antara Pelanggaran Pemberian Resep dan Peran Pekerjaan dalam Lembaga Farmasi .................................................
41
Tabel 4.1 Perubahan Orientasi dan Kebijakan Pendidikan Tinggi di Indonesia ..........................................................................................
64
Tabel 4.2 Perbedaan Otonomi Perguruan Tinggi di Indonesia........................
70
Tabel 4.3 Perkembangan Landasan Hukum Perguruan Tinggi di Indonesia ..
71
Tabel 5.1 Sejarah Perjalanan Status Universitas X .........................................
77
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 2.1 Kejahatan Koorporasi Pendidikan Tinggi di Amerika Serikat ...
29
Diagram 2.2 Transformasi Hubungan antara Pasar dan Perguruan Tinggi kepada Komersialisasi maupun Penyimpangan di Amerika Serikat ........................................................................................
30
Diagram 2.6 Skema Alur Pikir ........................................................................
48
xiv
Universitas Indonesia
DAFTAR GRAFIK
Grafik 5.1 Sumber Penerimaan Universitas X tahun 2002-2006 ....................
78
Grafik 5.2 Sumber Penerimaan Universitas X tahun 2008-2012 ....................
79
Grafik 5.3 Sumber Penerimaan Universitas X tahun 2009 .............................
80
Grafik 6.1 Persentase Sumber Pendanaan Universitas X (2008-2012) .......... 110
xv
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Transkrip Wawancara Narasumber B ......................................... 131 Lampiran B Transkrip Wawancara Narasumber C ......................................... 146 Lampiran C Transkrip Wawancara Narasumber D ......................................... 162 Lampiran D Transkrip Wawancara Narasumber E ......................................... 163 Lampiran E Transkrip Wawancara Narasumber F ......................................... 180 Lampiran F Transkrip Wawancara Narasumber G ........................................ 192 Lampiran G Dokumen Laporan Perkembangan Program Pascasarjana Universitas X (sampai tahun 2014) ............................................ 198
xvi
Universitas Indonesia
DAFTAR SINGKATAN
APBN
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBD
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BAI
: Badan Audit Internal
BAK
: Badan Audit Keuangan
BAKN
: Badan Akuntabilitas Keuangan Negara
BAN-PT
: Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
Bappenas
: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BHMN
: Badan Hukum Milik Negara
BHP
: Badan Hukum Pendidikan
BLU
: Badan Layanan Umum
BOP
: Biaya Operasional Pendidikan
BOPTN
: Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri
BPK
: Badan Pemeriksa Keuangan
Depag
: Departemen Agama
DGHE
: Directorate General for Higher Education (Dirjen Dikti)
Diknas
: Pendidikan Nasional
Dikti
: Dinas Pendidikan
DIPA
: Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran
Dirjen
: Direktorat Jenderal
Disdik
: Dinas Pendidikan
DPR
: Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ECS
: Economic, Social and Cultural
EKOSOB
: Ekonomi Sosial dan Budaya
G 30 S/PKI
: Gerakan 30 September/ Partai Komunis Indonesia
GATS
: General Agreement on Trade in Services
xvii
Universitas Indonesia
GATT
: General Agreement on Tariffs and Trade
HAM
: Hak Asasi Manusia
HEI
: Higher Education Institution
ICW
: Indonesia Corruption Watch
IKIP
: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
IMF
: International Monetary Fund
IP
: Indeks Prestasi
IPB
: Institut Pertanian Bogor
ITB
: Institut Teknologi Bandung
Kanwil
: Kantor Wilayah
Kemendikbud : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemendiknas : Kementerian Pendidikan Nasional KepPres
: Keputusan Presiden
LAKIP
: Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
MK
: Mahkamah Konstitusi
MWA
: Majelis Wali Amanat
NUS
: National University of Singapore
NTU
: Nanyang Technological University
Ormas
: Organisasi Masyarakat
Permendikbud : Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Permendiknas : Peraturan Menteri Pendidikan Nasional PNS
: Pegawai Negeri Sipil
PP
: Peraturan Pemerintah
Prodi
: Program Studi
PT
: Perguruan Tinggi
PTN
: Perguruan Tinggi Negeri
PTN BH
: Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum
xviii
Universitas Indonesia
PTP
: Perguruan Tinggi Pemerintah
PTS
: Perguruan Tinggi Swasta
Renstra
: Rencana Strategis
RKA
: Rancangan Kerja Anggaran
SAP
: Satuan Acara Perkuliahan
Satker
: Satuan Kerja
SDM
: Sumber Daya Manusia
Sisdiknas
: Sistem Pendidikan Nasional
SK
: Surat Keputusan
SKS
: Sistem Kredit Semester
SMA
: Sekolah Menengah Atas
TAP MPRS RI: Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia TI
: Transparency International
UGM
: Universitas Gadjah Mada
UI
: Universitas Indonesia
UKT
: Uang Kuliah Tunggal
UNAIR
: Universitas Airlangga
UNESCO
: United Nations Organizations
UNPAD
: Universitas Padjajaran
UU
: Undang Undang
UUD
: Undang Undang Dasar
WTO
: World Trade Organization
Educational,
xix
Scientific
and
Cultural
Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Secara historis, pengembangan kualitas pendidikan bangsa Indonesia telah diperjuangkan oleh para founding father sejak awal kemerdekaan pada tahun 1945 (Djojonegoro, 1996). Dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 telah jelas disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia adalah untuk “memajukan kesejahteraan umum, (dan) mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bahkan dalam perkembangannya, amanat konstitusi dalam perubahan IV pada 10 Agustus 2002 diperinci menjadi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” (Pasal 31 ayat 2) dan “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) serta anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional” (pasal 31 ayat 4). Amanat dari UUD dalam bidang pendidikan tersebut setidaknya dapat dilihat dari dibentuknya UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan UU nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (dikti). Dalam pendidikan tinggi, unit khusus untuk penyelenggaraannya dikenal dengan istilah perguruan tinggi. Perguruan tinggi merupakan sebuah wadah yang menampung insan-insan dengan kemampuan akademik di atas rata-rata setelah mereka menempuh pendidikan menengah, hingga bagi para alumni yang telah berhasil melewati jenjang studi tertentu di dalamnya akan diberikan gelar di belakang atau di depan namanya (Fadjar dan Effendy, 1998). Namun sebagai hilir dari sistem pendidikan nasional, tugas perguruan tinggi tidak sekadar meluluskan para mahasiswanya saja. Berbeda dengan SMA atau lembaga sejenis lainnya, perguruan tinggi harus menjadi tempat memelihara dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan oleh masyarakat luas (Sudiarja, 2014). Di sinilah terdapat istilah yang dikenal dalam menggambarkan hal tersebut, yaitu tridharma perguruan tinggi. Sesuai dengan namanya, tridharma perguruan tinggi berjumlah tiga, yaitu
1
Universitas Indonesia
2
(1) pendidikan artinya perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan pengajaran (transfer ilmu); (2) penelitian artinya sebagai pengembangan kebudayaan khususnya ilmu pengetahuan, teknologi dan seni; serta terakhir (3) pengabdian kepada masyarakat sebagai aplikasi dari kedua dharma sebelumnya yang ditujukan kepada masyarakat luas. Dalam perguruan tinggi dikenal berbagai bentuk yang menjalankan fungsi dari perguruan tinggi tersebut, yaitu universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik, akademi dan akademi komunitas (UU nomor 12 tahun 2012). Dalam hal ini, universitas dianggap sebagai bentuk perguruan tinggi yang paling besar dan luas cakupannya, karena berbagai jenis program studi termasuk profesi dapat disubordinatkan di dalamnya nyaris tanpa batasan. Irianto (2012) menyebutkan atas dasar inilah, universitas dianggap sebagai kekuatan moral, tempat produksi sekaligus reproduksi ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh ilmuwan dalam universitas masing-masing. Para ilmuwan ini kemudian membutuhkan suatu kebebasan akademik untuk dapat berkarya dan berinovasi, agar dapat seluasluasnya menyumbangkan dirinya kepada kemajuan ilmu, berkontribusi kepada kemanusiaan,
sekaligus
menegakkan
martabat
bangsa
dalam
pergaulan
masyarakat dunia. Kebebasan akademik hanya didapatkan dalam universitas yang memiliki otonomi, karena makna otonomi bagi perguruan tinggi bersifat kodrati dan menjadi roh bagi ilmuwan dalam menghasilkan puncak puncak karyanya. Otonomi
dalam
perguruan
tinggi
dianggap
sebagai
keseluruhan
kemampuan institusi untuk mencapai misinya berdasarkan pilihannya sendiri, baik dalam otonomi dalam bidang akademis dan otonomi dalam bidang non akademis khususnya keuangan (Irianto, 2012). Dalam hal ini, otonomi perguruan tinggi dimaknai sebagai upaya mandiri bagi institusi perguruan tinggi dengan ciriciri terbebas dari otoritas politik dan kekuasaan ekonomi. Otonomi sendiri bukanlah konsep baru yang muncul pada perguruan tinggi. Konsep ini telah diperlihatkan pada Magna Charta Universitatum pada tahun 1988, yaitu The university is an autonomous institution at the heart of societies differently organized because of geography and historical heritage; it produces, examines, appraises and hands down culture by research and teaching. To meet the needs of the world around it, its research and
Universitas Indonesia
3
teaching must be morally and intellectually independent of all political authority and economic power. (Magna Charta Universitatum, 1988) Terjemahan bebas: Universitas adalah institusi otonom yang terdapat di jantung masyarakat, diatur secara berbeda dikarenakan geografi dan warisan sejarah. Mereka memproduksi, menguji, menilai dan budaya untuk turun tangan melalui penelitian dan pengajaran. Untuk memenuhi kebutuhan dari dunia sekelilingnya, penelitian maupun pengajaran sudah seharusnya secara moral dan intelektual independen dari segala otoritas politik dan kekuasaan ekonomi. (Magna Charta Universitatum, 1988) Konsep otonomi di sektor pendidikan tinggi ini dianggap sebagai kiblat dari bagaimana perguruan tinggi seharusnya dibentuk. Negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat dan Inggris sudah terlebih dahulu menerapkan konsep otonomi dalam sektor pendidikan tingginya pada tahun 1980-an. Selanjutnya, diikuti oleh negara-negara maju lainnya, seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina. Di Jepang, pemerintahnya mengeluarkan kebijakan National University Corporation Act pada tahun 2004 yang bertujuan untuk mengubah perguruan tinggi menjadi perguruan tinggi negeri korporasi yang otonom. Sedangkan, di Singapura pemerintahnya melakukan korporatisasi terhadap NUS dan NTU di bawah the Companies Act pada tahun 2006, dengan tujuan memberikan kedua perguruan tinggi tersebut otonomi yang lebih luas (Putra, 2012). Indonesia sendiri sebenarnya telah mengenal konsep otonomi ini jauh sebelum Magna Charta Universitatum tersebut dibuat. Dalam pidato Dies Natalis Universiteit Indonesia keempat pada tahun 1953, seperti yang diuraikan Somadikarta dkk. (2000), Soepomo (Presiden kedua Universitas Indonesia) saat itu telah menyebutkan bahwa: “Sifat dan fungsi perguruan tinggi di dalam negara dan masyarakat memang
tidak
memperkenankan
suatu
bentuk
organisasi
yang
menempatkan Universitet hanya sebagai suatu jawatan belaka di bawah administrasi Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Susunan
demikian
hanya
dengan
sendirinya
akan
menyerahkan
Universitet kepada formalism birokrasi dari suatu Kementerian, akan membinasakan
semangat
akademik
dan
menghalang
kehidupan
Universitas Indonesia
4
Unversitet. Oleh sebab itu saya mengulangi seruan W.Z. Johannes (Dekan Fakultas Kedokteran masa bakti tahun 1950 – 1952), supaya pemerintah memberi autonomi di dalam lapangan administratie dan perbendaan kepada Universitet Indonesia, di samping geestelijke autonomi (kebebasan mimbar akademik) yang sudah semestinya dimiliki oleh perguruan tinggi”. (Soepomo sebagaimana dikutip oleh Somadikarta dkk, 2000) Konsep otonomi ini kemudian termanifestasi dalam berbagai peraturan yang ada di Indonesia setelah reformasi politik-sosial-ekonomi yang dilakukan pemerintah pada tahun 1998. Di titik inilah, Indonesia mulai mengenal adanya perguruan tinggi dalam bentuk badan hukum yang terlihat pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 1999 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum, kemudian pada UU Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (SK Dirjen Dikti) No. 28/DIKTI/Kep/2002 tentang penyelenggaraan program non-reguler di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang penerapan pola keuangan Badan Layanan Umum (BLU) untuk PTN, Permendiknas Nomor 2 Tahun 2005 tentang Subsidi Silang Biaya Operasional Pendidikan Tinggi, PP Nomor 48 2008 tentang Pendanaan Pendidikan dan terakhir UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (Putra, 2012). Kebijakan-kebijakan di atas membuat beberapa PTN di Indonesia mulai mengimplementasikan konsep otonomi dalam perguruan tinggi. PTN seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Pertanian Bogor (IPB) yang dianggap sudah siap diberikan otonomi manajemen dan keuangan diberikan status BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Otonomi tersebut membuat mereka dapat lebih leluasa dalam menentukan jalur masuk, menetapkan biaya masuk dan kuliah, membuka program non-subsidi, mengadakan kerjasama dengan industri, menyewakan lahan dan aset kampus, serta mekanisme lainnya untuk meningkatkan sumber pendanaan dari masyarakat. Setelah keempat kampus tersebut dianggap sukses oleh pemerintah, terdapat PTN lain yang diberikan status BHMN, seperti Universitas Sumatera Utara (USU) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, serta terdapat juga PTN yang diberikan status pola keuangan BLU
Universitas Indonesia
5
(Badan Layanan Umum), seperti Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan Universitas Sebelas Maret (UNS). Selain PT BHMN dan PT BLU, masih terdapat PTN
yang
berstatus
satuan
kerja
(konvensional)
yang
juga
dapat
mengimplementasikan beberapa pola kebijakan berdasarkan konsep otonomi perguruan tinggi (Putra, 2012). Secara umum, konsep otonomi perguruan tinggi mulai menuai pro-kontra karena tidak dikenalnya batasan yang jelas dalam mengelola sektor akademik dan tata kelola. Osipian (2008) sedikit menyinggung permasalahan ini dengan melihat sistem pendidikan di negara-negara dalam wilayah Uni Soviet dan Ukraina. Negara, menurut Osipian, terlalu mengintervensi apa yang terjadi di universitas melalui standar kurikulum, ideologi politik hingga tingkah laku. Hal inilah yang menyebabkan konsep otonomi menjadi hal yang muncul di perguruan tinggi, yaitu otonomi akademik. Akan tetapi, konsep otonomi perguruan tinggi yang awalnya bersifat akademik menjadi tata kelola lembaga atas dirinya sendiri. Di Indonesia, perguruan tinggi yang diberikan status sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH) tidak lagi harus bertanggungjawab penuh kepada negara, khususnya dari tata kelola. Hal ini dikarenakan fungsi negara mulai direduksi oleh fungsi organ Majelis Wali Amanat (MWA) di internal PTN BH sebagai penerapan check and balance dalam pengelolaan akademik maupun tata kelola. Walaupun di dalam Majelis Wali Amanat terdapat unsur menteri sebagai representasi dari pemerintah, namun tugas dan wewenangnya tetap setara dengan orang-orang lainnya di dalam MWA seperti unsur dosen, masyarakat, mahasiswa, maupun rektor dalam perguruan tinggi itu sendiri. Otonomi tata kelola perguruan tinggi merupakan kebijakan yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas pendidikan, karena akan mengurangi intervensi pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Susanti (2012) mengungkapkan bahwa institusi pendidikan yang secara administratif semakin otonom, maka mereka akan semakin cenderung untuk melakukan komersialisasi, privatisasi ataupun marketisasi. Proses itulah yang akhirnya memberikan kontribusi positif untuk menjadikan perguruan tinggi yang semakin baik, yaitu lebih efisien, lebih akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan) dan berkurangnya alur birokrasi yang menghambat. Terkait hal ini, pemerintah mengeluarkan
Universitas Indonesia
6
beberapa peraturan yang menegaskan bahwa beberapa perguruan tinggi di Indonesia didorong untuk melaksanakan otonomi perguruan tinggi. Salah satunya adalah adalah PP Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. PP ini menegaskan Perguruan Tinggi memiliki
otonomi
untuk mengelola sendiri
lembaganya sebagai
pusat
penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Berdasarkan peraturan tersebut, otonomi yang dimaksud terdiri atas otonomi di bidang akademik (meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat); dan Otonomi di bidang non-akademik (meliputi penetapan norma dan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagakerjaan, dan sarana prasarana). Berdasarkan pasal 63 UU Pendidikan Tinggi, konsep otonomi yang diterapkan oleh Indonesia didasarkan pada prinsip akuntabilitas, transparansi, nirlaba, penjaminan mutu, serta efektivitas dan efisiensi. Peneliti menyoroti prinsip nirlaba pada otonomi perguruan tinggi, bahwa yang dimaksud dengan “prinsip nirlaba” adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan (penjelasan pasal 63 huruf c UU Pendidikan Tinggi). Mengacu pada hak ekosob internasional yang kemudian diratifikasi dalam UU 11 tahun 2005, hak atas pendidikan tinggi bersifat dapat diakses oleh semua pihak, namun tidak bisa digratiskan dan diwajibkan begitu saja sebagaimana pendidikan dasar. Hak atas pendidikan tinggi haruslah secara progresif menuju pendidikan gratis. Atas dasar tersebut, penyelenggaraan pendidikan tinggi pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh kemampuan keuangan negara dalam alokasi dana pendidikan. Peserta didik dapat dibebankan biaya atas pendidikan atas dasar nirlaba dan hanya untuk menutupi biaya operasional yang tidak bisa dipenuhi oleh alokasi keuangan negara. Prinsip nirlaba dalam otonomi perguruan tinggi ini menjadi dasar bahwa peserta didik haruslah dilindungi dalam pembebanan biaya pendidikan yang tidak mampu dipenuhi oleh negara, khususnya pada perguruan tinggi berstatus PTN BH. Hal ini dijelaskan dalam peraturan terbaru mengenai PTN BH, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud)
Universitas Indonesia
7
Nomor 97 Tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis Penetapan Tarif Biaya Pendidikan pada PTN BH. Pada pasal 2 Permendikbud tersebut, disebutkan bahwa PTN BH menetapkan tarif biaya pendidikan dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi: 1) mahasiswa; 2) orang tua mahasiswa; atau 3) pihak lain yang membiayai mahasiswa. Perlindungan atas pembiayaan yang diperoleh dari peserta didik ini diperkuat dengan hasil judicial review UU BHP yang menjadi dasar pendirian status badan hukum pendidikan di Indonesia. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya saat itu menyebutkan bahwa: “Dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik.” (Putusan MK nomor 11-14-21-126-136/PUUVII/2009) Sekalipun demikian, semua peraturan yang telah disebutkan sebelumnya tidak dapat menjelaskan penetapan persentase dari sumber-sumber penerimaan yang diperolehnya, baik dari pemerintah maupun masyarakat termasuk peserta didik. Ketidakjelasan persentase sumber penerimaan pada perguruan tinggi otonom ini kemudian berpotensi menimbulkan komersialisasi pada pendidikan, yaitu penyelenggaraan pendidikan berorientasi pada profit (Hill, 2006). Dalam hal ini, institusi pendidikan tinggi yang otonom berusaha menutupi kekurangan pendanaan yang didapatkan dari pemerintah dengan membebankannya pada peserta didik secara berlebihan. Berdasarkan hal tersebut, komersialisasi pendidikan pada dasarnya dilegalkan dalam peraturan dan undang-undang terkait yang kemudian dibatasi oleh prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Akan tetapi, ketika surplus yang didapatkan dalam komersialisasi pendidikan tersebut melebihi dari anggaran penerimaan yang didapatkan dari negara (APBN), maka hal tersebut dapat dilihat sebagai pelanggaran etika yang dilakukan oleh institusi pendidikan. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan salah satu hak yang dijamin oleh negara. Selain itu, berdasarkan prinsip nirlaba dalam otonomi perguruan tinggi, maka pencarian pendanaan melalui sumber lain,
Universitas Indonesia
8
termasuk peserta didik semata-mata dilakukan untuk menutupi biaya pendidikan yang tidak dapat dipenuhi bila hanya bergantung pada alokasi yang diberikan oleh negara. Komersialisasi pendidikan secara berlebihan inilah yang bertentangan dengan prinsip nirlaba dalam penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi di Indonesia, yaitu pembiayaan pendidikan yang didapatkan peserta didik tidak digunakan untuk menutupi kekurangan alokasi dana pemerintah, melainkan sebagai sarana pencarian keuntungan (surplus) semata. Pelanggaran etika secara implisit disebutkan Sutherland dalam membahas terminologi white collar criminal (Mustofa, 2010). Pelanggaran etika ini pun dapat didefinisikan sebagai kejahatan secara sosiologis karena Sutherland mengatakan bahwa white collar criminal adalah pelanggaran hukum yang mengatur pekerjaan seseorang. Hukum yang dijelaskan bukan hanya hukum legal formal, namun juga pengaturan etika yang ada dalam profesi seseorang ataupun orientasi suatu institusi (Mustofa, 2010). Terkait hal tersebut, prinsip nirlaba digunakan sebagai etika dalam penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Ketika negara tidak bisa memberikan pendidikan tinggi secara gratis, institusi pendidikan tinggi berhak membebankan peserta didik dalam biaya pendidikan untuk menutupi biaya operasional yang tidak dapat ditanggung seluruhnya oleh negara. Akan tetapi, ketika dalam pelaksanaannya orientasinya menjadi mengejar keuntungan atau surplus secara berlebihan, maka hal tersebut dianggap sebagai komersialisasi yang melanggar etika pendidikan dan dapat digolongkan sebagai white collar crime. Pada dasarnya, konsep white collar crime saat pertama kali diperkenalkan oleh Sutherland, sebagaimana dituliskan oleh Mustofa (2010) sebagai upaya menjelaskan pelaku dengan menggunakan istilah white collar criminal, yaitu orang-orang terhormat dengan ciri sosial ekonomi tinggi di masyarakat. Namun dalam usaha menjelaskan tipe pelaku kejahaan kelas atas tersebut, hal yang dianalisis oleh Sutherland adalah korporasi. Ketidakkonsistenan Sutherland antara konsep dengan analisis, justru merupakan berkah dalam perkembangan kajian white collar crime (Mustofa, 2010), yaitu adanya kategori occupational crime (kejahatan okupasional) yang mengatur pada etika pekerjaan seseorang dan corporate crime (kejahatan korporasi) yang mengatur pada etika suatu
Universitas Indonesia
9
organisasi/korporasi. Berdasarkan hal tersebut, peneliti secara khusus melihat bahwa intitusi pendidikan tinggi yang melakukan komersialiasi pendidikan sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat dikategorisasikan sebagai kejahatan korporasi sebagai bagian dari tipologi white collar crime, yaitu pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan kegiatan sah organisasi, di mana pelanggaran tersebut dapat dilakukan oleh badan usaha (korporasi) dapat juga oleh lembaga-lembaga pemerintahan (Mustofa, 2010). Sebagai salah satu perguruan tinggi negeri berstatus PTN BH di Indonesia, Universitas X tidak bisa dilepaskan dalam pelaksanaan konsep otonomi tata kelola perguruan tinggi. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, terdapat prinsip nirlaba sebagai salah satu etika dalam melaksanakan otonomi perguruan tinggi yang diharapkan dapat melindungi peserta didik dari komersialisasi pendidikan dengan surplus berlebihan yang diperoleh oleh institusi pendidikan tinggi bersangkutan. Peneliti kemudian mengkhususkan diri kepada komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia dengan menggunakan studi kasus penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. Hal ini dikarenakan untuk Indonesia sendiri masih sedikit literatur dan kajian ilmiah terkait dengan komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi yang secara umum dapat dilihat sebagai bentuk white collar crime di sektor pendidikan tinggi. Berdasarkan hal tersebut, Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui bagaimana sebenarnya praktek komersialisasi pendidikan tinggi yang terjadi di Indonesia melalui penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X dan berusaha menganalisisnya menggunakan konsep-konsep dalam kriminologi, khususnya white collar crime. 1. 2. Masalah Penelitian Otonomi perguruan tinggi merupakan suatu konsep yang seharusnya dapat berlangsung baik, karena setiap lembaga pendidikan tinggi akan lebih mudah mengendalikan dirinya sendiri dan menjalankan visinya secara maksimal (Irianto, 2014). Dalam UU Pendidikan Tinggi telah disebutkan bahwa konsep otonomi perguruan
tinggi
di
Indonesia
menggunakan
prinsip
nirlaba.
Artinya,
Universitas Indonesia
10
komersialisasi pendidikan sebenarnya diperbolehkan (legal) secara UU, hanya saja tidak boleh bertujuan untuk mengejar keuntungan pribadi, namun bertujuan bagi perkembangan institusi (tata kelola) maupun kualitas dari pendidikan itu sendiri (akademik). Atas dasar hal itu prinsip nirlaba menjadi etika yang terdapat dalam penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Di sisi lain, komersialisasi pendidikan akan menjadi pelanggaran etika apabila surplus yang berlebihan sehingga membebankan peserta didik. Institusi pendidikan akan berusaha mengejar keuntungan secara berlebihan, untuk menutupi kekurangan alokasi dana yang didapatkan dari pemerintah dengan menerapkan komersialisasi pendidikan. Hal ini pun bertentangan dengan pendidikan sebagai hak ekosob dalam UU nomor 11 tahun 2005 maupun jaminan atas pendidikan oleh negara berdasarkan amanat konstitusi. Perbuatan yang tidak etis atau pelanggaran etika inilah yang dijelaskan oleh Sutherland secara implisit untuk menyebutkan istilah white collar crime (Mustofa, 2010). Secara peraturan perundang-undangan maupun pemerintah, Universitas X termasuk dalam perguruan tinggi berstatus badan hukum yang memiliki pengelolaan lebih atas dirinya sendiri (otonom) dibandingkan perguruan tinggi negeri lainnya. Hal inilah yang menimbulkan potensi terjadinya komersialisasi pendidikan di dalamnya sebagai salah satu bentuk kejahatan korporasi di institusi pendidikan, karena institusi pendidikan menganggap dirinya sebagai suatu korporasi atau organisasi bisnis dibandingkan suatu lembaga penyelenggara pendidikan. Studi kasus penyelanggaraan program pascasarjana Universitas X diharapkan dapat menggambarkan komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. 1. 3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa pokok permasalahan yang diteliti adalah bagaimana komersialisasi penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X?
Universitas Indonesia
11
1. 4. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan bagaimana penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X sebagai salah satu bentuk komersialisasi pendidikan dalam sektor pendidikan tinggi di Indonesia. Selain itu, penelitian ini pun menggambarkan komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Melalui konsep white collar crime khususnya corporate crime, konsep-konsep terkait komersialisasi dan teori yang berusaha menjelaskan orientasi profit, maka penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan komersialisasi pendidikan sebagai bentuk pelanggaran etika atas prinsip nirlaba yang merupakan kejahatan korporasi yang terdapat dalam institusi pendidikan tinggi otonom. 1. 5. Signifikansi Penelitian 1. 5. 1. Signifikansi Akademis Dalam bidang akademis, penelitian ini menambah pemahaman dan implementasi ilmu kriminologi dalam meneliti permasalahan penegakan hukum, khususnya konsep white collar crime dalam wilayah pendidikan. Penelitian ini juga berusaha memperkaya penelitian mengenai kejahatan korporasi yang kurang tersentuh hukum dalam institusi pendidikan, khususnya pelanggaran etika dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Penelitian ini pun diharapkan menambah perspektif baru dan menjadi refesensi dalam memahami fenomena komersialisasi pendidikan yang terjadi di perguruan tinggi di Indonesia, maupun di tempat lainnya, khususnya yang berstatus PTN BH sebagai institusi pendidikan tinggi yang secara khusus mengalami otonomi pendidikan tinggi. 1. 5. 2. Signifikansi Praktis Hasil penelitian ini akan menawarkan penjelasan untuk memahami komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi, sehingga akan menjadi evaluasi atas kebijakan pihak pemerintah maupun perguruan tinggi yang selama ini telah berjalan dalam sistem pendidikan nasional. Penelitian ini juga diharapkan menjadi referensi untuk kebijakan yang aplikatif dalam mencegah praktek pelanggaran etika nirlaba yang
Universitas Indonesia
12
sama ke depannya. Solusi yang diberikan diharapkan dapat menjadi acuan bagi aparat penegak hukum, birokrat perguruan tinggi maupun masyarakat untuk meningkatkan kualitas pendidikan tanpa adanya praktek-praktek yang melanggar etika maupun hukum di Indonesia. 1. 6. Sistematika Penulisan BAB 1 Pendahuluan Bab ini berisi gambaran umum mengenai konsep otonomi perguruan tinggi di Indonesia diterapkan oleh institusi pendidikan tinggi dengan menggunakan konsep nirlaba, khususnya pada perguruan tinggi berstatus PTN BH. Melalui studi kasus penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X, penelitian ini berusaha menggambarkan komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Pada bab ini pula tercantum pertanyaan, tujuan dan signifikansi penelitian. BAB 2 Kajian Kepustakaan Bab ini berisi berbagai konsep penting dan landasan teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Berbagai konsep ini menjadi batasan bagi istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Sedangkan teori akan digunakan dalam menjelaskan fenomena yang terdapat dalam penelitian. Selain itu, dalam bab ini terdapat juga kajian, publikasi lembaga dan berbagai penelitian terkait sebelumnya yang digunakan peneliti untuk menyusun kerangka pikir. BAB 3 Metode Penelitian Bab ini berisi gambaran jenis metode yang peneliti gunakan dalam pencarian data dan menyusun penelitian, khususnya dalam langkahlangkan dan alasan dalam pencarian dokumen maupun pemilihan informan. Di dalam bab ini pula dijelaskan hambatan yang peneliti temui dan rasakan di dalam menyusun penelitian.
Universitas Indonesia
13
BAB 4 Sejarah Kebijakan Otonomi Perguruan Tinggi di Indonesia Bab ini berisi rangkuman atas sejarah kebijakan otonomi perguruan tinggi di Indonesia yang menjadi salah satu landasan analisis atas temuan data penelitian. Secara umum, peneliti kemudian membahasnya dalam dua sisi, yaitu 1) sejarah orientasi sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang dimulai sejak kemerdekaan hingga rencana pembangunan jangka panjang nasional periode 2005-2025; dan 2) landasan hukum kebijakan otonomi perguruan tinggi, baik di tingkat UUD 1945, Undang-Undang sampai tingkat peraturan pemerintah dan surat keputusan BAB 5 Temuan Data Bab ini berisi temuan dan interpretasi atas data yang peneliti dapatkan selama melakukan penelitian, yaitu berupa transkrip wawancara, studi dokumen dan penelurusan berbagai literatur. Sebagian data yang peneliti anggap penting dan relevan dalam penelitian disusun dalam bab ini, dimulai dari gambaran umum dan sejarah umum Universitas X, hingga gambaran umum atas studi kasus penelitian, yaitu penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. BAB 6 Analisis Bab ini berisi analisa dari temuan data yang disusun dalam bab 4 maupun bab 5. Analisis yang dilakukan mengacu pada kerangka pikir yang telah peneliti buat dalam bab 2. Analisis secara umum berusaha menjawab pertanyaan penelitian yang terdapat dalam bab 1. BAB 7 Penutup Bab ini berisi kesimpulan dari hasil temuan data yang telah analisa oleh penliti. Selain itu, bab ini juga berisi saran yang peneliti berikan terkait dengan komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia.
Universitas Indonesia
BAB 2 KAJIAN KEPUSTAKAAN
2. 1. Definisi Konseptual 2. 1. 1. Pendidikan Pendidikan
merupakan
suatu
proses
interaksi
manusia
dengan
lingkungannya yang berlangsung 1) secara sadar dan terencana dalam rangka mengembangkan segala potensinya yang menimbulkan perubahan positif dan kemajuan; 2) secara terus menerus guna mencapai tujuan hidupnya. (Ahmadi, 2014). Berdasarkan rumusan tersebut, pendidikan dapat dipahami sebagai entitas yang bergantung pada proses (dilakukan secara sengaja dan terus menerus) dan hasil (perubahan dan peningkatan potensi demi mencapai tujuan hidup). Dalam hal ini, salah satu tujuan negara Republik Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945, adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini menegaskan bahwa salah satu tujuan dari negara adalah menyelenggarakan dan membuat kebijakan tentang pendidikan. Pendidikan dianggap suatu kebutuhan pokok bagi setiap warga negara yang wajib dipenuhi negara dan termasuk dalam hak asasi manusia (Ihsan, 2012). Pendidikan sebagai hak asasi manusia dituangkan dalam kovenan internasional mengenai hak ekonomi, sosial dan kultural (ekosob) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU nomor 11 tahun 2005. Hak atas pendidikan secara spesifik dijelaskan berdasarkan jenjang, yaitu 1. Pendidikan dasar harus diwajibkan dan bebas dari biaya; 2. Pendidikan lanjutan dalam berbagai bentuknya, termasuk pendidikan teknik dan kejuruan, harus dibuat secara umum tersedia dan dapat diakses oleh semua orang dengan segala cara yang layak, serta khususnya melalui pengadaan pendidikan gratis; 3. Pendidikan tinggi harus dibuat sama agar dapat diakses oleh semua orang atas dasar kapasitas, oleh setiap cara yang tepat dan khususnya melalui pengadaan secara progresif menuju pendidikan gratis
14
Universitas Indonesia
15
Khusus pada pemenuhan hak atas pendidikan tinggi, negara tidak dituntut untuk memberikan pendidikan gratis sebagaimana jaminan atas pendidikan dasar, namun tetap harus menjamin adanya aksesbilitas yang sama kepada warga negaranya.
Atas
dasar
tersebut,
hak
atas
pendidikan
tinggi
haruslah
memperhatikan kemampuan negara dalam membiayai sistem pendidikan nasional. Jika memang negara tidak mampu untuk membiayai secara gratis atas biaya operasional pendidikan tinggi, maka perguruan tinggi berhak mencari sumber pendanaan lainnya dari masyarakat, khususnya peserta didik. Hal yang menjadi catatan penting di sini adalah tujuan dari pembayaran biaya pendidikan oleh peserta didik untuk menutupi biaya operasional yang tidak bisa ditanggung sepenuhnya oleh negara. Artinya, pembiayan pendidikan tinggi bersifat tidak untuk mencari keuntungan (nirlaba) dan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan ataupun institusi pendidikan. Selain itu, hak atas pendidikan tinggi ditekankan atas perlindungan peserta didik dari beban untuk mengejar surplus berlebihan yang diterima oleh institusi pendidikan, karena kekurangan dana alokasi yang diberikan oleh negara atau pemerintah. Kemudian dalam perspektif kritis, pendidikan pada hakikatnya merupakan pencerminan kondisi negara dan kekuatan sosial-politik yang tengah berkuasa. Pendidikan dengan sendirinya merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada (Tilaar, 2003). Hal ini diakui oleh Freire (2007), salah seorang filsuf pendidikan kritis dunia, bahwa institusi pendidikan merupakan alat kendali sosial yang efisien bagi upaya menjaga status quo. Dalam karya sebelumnya, Freire (2008) menegaskan masyarakat seharusnya memiliki otoritas untuk menyusun program pendidikannya sendiri (otonom), agar mereka menjadi “tuan” bagi pemikirannya sendiri. Dalam hal ini, hubungan negara dan masyarakat secara khusus dibedah melalui kerangka teoritis yang ditawarkan Michel Foucault, sebagaimana dikutip Suharto (2012) bahwa kebenaran selalu terkait dengan kekuasaan. Kebenaran bukan terletak di luar, tetapi di dalam kekuasaan. Ia adalah produk dari kekuasaan itu sendiri. Foucault kemudian menegaskan bahwa pengetahuan (knowledge) bagaimanapun juga berdimensi kekuasaan (power). Berkenaan dengan itu, dibentuklah suatu sistem pendidikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraannya. Terdapat sistem pasar yang kental dengan
Universitas Indonesia
16
perspektif liberalisme, sistem komando dengan peran negara yang begitu besar, dan ada jua sistem humanis populis atau sistem yang menempatkan masyarakat sebagai tujuan utama (humanisme, memanusiakan manusia), namun tidak bersifat ekslusif melainkan menjangkau semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, termasuk dari mereka yang terpinggirkan secara ekonomi. Dalam sistem pendidikan
humanis
populis,
negara
dapat
bercampur
tangan
dalam
penyelenggaraan pendidikan, tetapi tidak lebih sekadar fasilisator, yaitu dari segi keuangan, nilai-nilai kemanusiaan dan penegak keadilan sosial. Sebaliknya, masyarakat sebagai warga negara diharapkan mencari jati diri kemanusiaannya dan akhirnya menuntut kesetaraan (keadilan), yaitu hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama (Wahono, 2001). 2. 1. 2. Otonomi Perguruan Tinggi Otonomi dapat dipandang sebagai berbagai kemampuan dari institusi pendidikan tinggi guna mencapai visi-misinya secara mandiri berdasarkan pilihannya masing masing. Sebagaimana dinyatakan dalam Magna Charta Universitatum, otonomi membutuhkan kesempurnaan dalam bidang akademik, tata kelola dan manajemen keuangan. Lebih khusus lagi, Irianto (2012) menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 4 prinsip dasar dari otonomi, yaitu: 1. universitas harus otonom secara moral dan intelektual, terbebas dari otoritas politik dan kekuasaan ekonomi. 2. pengajaran dan riset universitas tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kebutuhan dan panggilan masyarakat serta kemajuan ilmu pengetahuan 3. kebebasan dalam riset dan pengajaran adalah prinsip dasar kehidupan universitas yang harus dihormati 4. universitas berada di garis depan dalam pengembangan tradisi memuliakan kemanusiaan Otonomi merupakan suatu konsep yang berusaha mejadikan suatu sistem desentralisasi antara perguruan tinggi dan pemerintah. Menurut Djoko Suharto dan Ignatius Pulung Nurprasetio dalam Irianto (2012), perguruan tinggi yang tidak memakai otonomi hanya akan menjadi lembaga pendidikan yang diberlakukan sebagai bawahan suatu institusi pemerintahan dan cenderung
Universitas Indonesia
17
tumbuh dengan tingkat ketergantungan yang besar terhadap lembaga asuh (pemerintah) dan akan tumpul kreativitasnya. Selanjutnya, Eko Prasojo dalam Irianto (2012) memperlihatkan bahwa otonomi perguruan tinggi dapat dikembangkan menjadi empat, yaitu: 1) otonomi dalam bidang akademik; 2) otonomi dalam bidang keuangan; 3) otonomi dalam bidang sumber daya; dan 4) otonomi dalam bidang keorganisasian. Menurutnya lagi, salah satu rumusan pokok konsep otonomi ini adalah terbentuknya perguruan tinggi berbadan hukum. Berdasarkan UU nomor 12 tahun 2012, disebutkan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi keilmuan untuk mengatur dirinya sendiri sebagai tanggung jawab pribadi sivitas akademika, yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan Perguruan Tinggi (rektor). Artinya otonomi akademik (keilmuan) bersifat kodrati bagi ilmuwan atau perguruan tinggi sebagai bagian dari proses reproduksi ilmu pengetahuan. Sebagaimana disebutkan Stoica dan Safta (2013) bahwa universitas yang independen dan otonom menjamin terjadinya adaptasi terus menerus dan tuntutan sistem penelitian yang lebih tinggi, sesuai dengan perubahan kebutuhan, tuntutan masyarakat dan kemajuan/perkembangan dalam pengetahuan ilmiah. Selain itu, Okai (2014) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara kebebasan akademik dan otonomi, yaitu tidak ada kebebasan akademik tanpa otonomi kelembagaan (institusional). Hal ini dikarenakan otonomi kelembagaan telah dianggap secara esensial sebagai kebebasan akademik. Kebebasan akademik berkaitan dengan kebebasan individu dari setiap akademisi untuk memberikan pengetahuan tanpa hambatan dan kebebasan bagi peserta didik untuk memilih apa yang mereka inginkan untuk dipelajari. Dalam Magna Charta Universitatum (1988) ditegaskan bahwa universitas merupakan institusi otonom yang independen dari segala otoritas politik dan kekuasaan ekonomi. Di Indonesia, kebebasan akademik dari segala otoritas politik dapat dilihat dalam TAP MPRS RI nomor 25 tahun 1966. Dalam TAP bersangkutan, terdapat larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran komunis/marxisme-leninisme sebagai akibat kondisi politik saat itu, namun hal tersebut mendapatkan pengecualian dalam
Universitas Indonesia
18
ranah akademik. Pada pasal 3 peraturan ini disebutkan bahwa “khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitasuniversitas,
faham
Komunisme/Marxisme-Leninisme
dalam
rangka
mengamankan Pancasila dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan”. Dari sisi otonomi atas kekuasaan ekonomi, otonomi perguruan tinggi di Indonesia mengandung konsep nirlaba, yaitu prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan Pendidikan. Prinsip ini tertuang dalam pasal 63 Undang-Undang Pendidikan Tinggi sebagai jaminan bahwa komersialisasi pendidikan untuk mendapatkan surplus secara berlebihan tidak seharusnya dilaksanakan di dalam pendidikan Indonesia. Meski demikian, otonomi akademik tidak sepenuhnya bebas karena masih dibatasi oleh etika. Adanya pembatasan atas dasar etika ini dapat ditemui dari pelarangan kloning manusia yang secara ilmiah dapat dilakukan di makhluk hidup lainnya (UNESCO, 2004). Selain itu, Social Research Association (2003) menuliskan petunjuk etis bagi akademisi dalam melakukan melakukan penelitian sosial, yaitu narasumber/klien haruslah dirahasiakan identitasnya apabila informasi yang dikeluarkannya bersifat rahasia. Penggunaan inisial nama dan perizinan dalam melakukan penelitian (kejelasan tujuan penelitian) pun menjadi etika yang membatasi otonomi akademik bagi peneliti/akademisi. Otonomi perguruan tinggi kemudian bila dilihat dalam banyak literatur dikaitkan dengan konsep desentralisasi, privatisasi, dan komersialisasi perguruan tinggi. Hal ini sebagaimana diungkapkan Putra (2012) bahwa ketiga konsep tersebut adalah bentuk dari liberalisasi pendidikan tinggi yang mengubah perspektif perguruan tinggi yang seharusnya berbasis pada publik bergeser pada basis swasta.
Universitas Indonesia
19
2. 1. 2. 1. Desentralisasi Perguruan Tinggi Dave Hill (2006) secara jelas memperlihatkan bagaimana keterkaitan antara desentralisasi ini dengan otonomi. Menurutnya, kebijakan desentralisasi adalah upaya memperkecil tanggung jawab pemerintah pusat, agar pemerintah provinsi/ regional dan sektor privat terlibat/ bertanggung jawab juga di dalam pendidikan. Sedangkan, desentralisasi di dalam pendidikan menurut Joseph Zajda (2006) ialah terkait dengan pembuatan dan pengambilan kebijakan, distribusi kekuasaan dan pendanaan. Secara garis besar, dampak dari desentralisasi di dalam pendidikan ialah meningkatnya otonomi dan kekuasaan lembaga pendidikan, meningkatnya kualitas pendidikan dan keleluasaan mencari pendanaan secara mandiri (Putra, 2012). Bila dilihat dari pengertian otonomi yang mengharuskan bahwa terdapat keterkaitan yang jelas antara status dari perguruan tinggi dengan sejauh mana dari otonomi perguruan tinggi yang ada dibentuk, maka berdasarkan variabel tersebut, kemudian terdapat 4 hubungan antara kekuasaan negara dengan tingkat otonomi yang dilakukan oleh perguruan tinggi sebagaimana dijelaskan dalam tabel 2.1 berikut: Tabel 2.1 Empat Model Tata Kelola Perguruan Tinggi Model Tata Kelola Perguruan Tinggi Kontrol Negara Penuh Semi otonomi
Semi Independen
Independen
Status dari Universitas Negeri Bisa merupakan agen dari Kementrian Pendidikan Nasional, atau korporasi milik negara (state-owned corporation) Bisa merupakan agen dari Kementrian Pendidikan Nasional, atau korporasi milik negara (state-owned corporation) Mempunyai status badan hukum, korporasi non-profit di bawah tata kelola dari Kementrian Pendidikan Nasional Mempunyai badan hukum, korporasi nonprofit, tanpa partisipasi pemerintah dan kontrol berhubungan dengan strategi nasional dan hanya berhubungan dengan Kementrian Pendidikan Nasional terhadap pendanaan Publik
Contoh Negara Malaysia Selandia Baru, Perancis Singapura
Australia, Inggris
Sumber: Unit Pendidikan World Bank (HDNED) di dalam John Fielden. 2008. “Global Trends in University Governance”, Washington D.C. – USA: World Bank, hlm 9
Universitas Indonesia
20
Indonesia sendiri mengadopsi beberapa hal dari model tata kelola Perguruan Tinggi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari posisi Perguruan Tinggi Negeri yang dapat dibedakan menjadi 3 status yang berbeda, yaitu PTN BH yang secara keuangan maupun akademik otonom, PTN dengan pola keuangan BLU (semi otonom) dan PTN satuan kerja, khususnya keuangan yang masih konvensional (pengolalaan negara penuh). Di dalam UU Pendidikan Tinggi kemudian dijelaskan lebih lanjut bahwa status perguruan tinggi dapat berpengaruh ke dalam beberapa hal. Status perguruan tinggi yang secara umum hanya dibagi dua, yaitu perguruan tinggi yang cenderung otonom (berstatus perguruan tinggi negeri badan hukum) dan perguruan tinggi yang masih tunduk pada negara (berstatus perguruan tinggi negeri). Terkait hal ini, Gadis Arivia dalam Irianto (2012) secara jelas membandingkan kedua jenis perguruan tinggi tersebut sebagaimana dijelaskan dalam tabel 2.2 berikut Tabel 2.2 Perbedaan antara PTN non BHMN dan BHMN Dimensi Pertanggungjawaban Pengangkatan Rektor
PTN non-BHMN Kepada Menteri Oleh Presiden atas dasar rekomendasi Anggota Senat Akademik Guru Besar secara otomatis masuk ke dalam senat universitas Kepentingan “kaki tangan” birokrasi pemerintah (politikekonomi) Anggaran Anggaran diatur sesuai dengan kepentingan pemerintah Akuntabilitas dan Akuntabilitas minim dan Aksesbilitas aksesbilitas terbatas
PTN BHMN Kepada MWA Diangkat dan diberhentikan oleh MWA Terdapat mekanisme khusus dalam pemilihan anggota senat Otonomi dan kebebasan akademik dijamin. Kepentingan internal Anggaran dirancang secara mandiri Akuntabilitas dan aksesbilitas adalah sesuatu yang wajib
Sumber: Gadis Arivia, dalam Sulistyowati Irianto. (2012). Otonomi Perguruan Tinggi-Suatu Keniscayaan”. Jakarta, Indonesia: Yayasan Obor, hlm 118
2. 1. 2. 2. Privatisasi Perguruan Tinggi Menurut Henry M. Levin di dalam penelitiannya untuk UNESCO (2001), privatisasi pendidikan adalah sebuah proses di mana lembaga pendidikan yang Universitas Indonesia
21
seharusnya menjadi tanggung jawab negara sedikit demi sedikit maupun secara cepat tidak akan dikelola lagi oleh pemerintah, baik dengan tujuan profit maupun tidak profit. Levin menambahkan arah menuju privatisasi dalam pendidikan dapat dilihat dalam pembiayaan pendidikan, sponsor sekolah, operasionalisasi sekolah dan lembaga pendidikan yang bertujuan profit. Levin (2001) menambahkan, tren privatisasi sangat kuat di dunia, meliputi berbagai negara dan berbagai sektor. Dalam sektor pendidikan, kecenderungannya privatisasi disebabkan oleh ketidakcukupan anggaran negara untuk mendanai penyelenggaraan pendidikannya. Secara garis besar privatisasi dapat terjadi ke dalam tiga bentuk, seperti: meningkatnya lembaga pendidikan yang disediakan oleh sektor swasta, pendanaan pendidikan mayoritas dari ditanggung sektor swasta (masyarakat dan sumbangan) dibanding dari pemerintah (APBN), serta meningkatkan monitor (check and balances) dari masyarakat terhadap lembaga pendidikan dan regulasi pemerintah. Sementara itu privatisasi pendidikan tinggi menurut Philip Albatch, Lis Reisberg, dan Laura Rumbley (2009) adalah kebutuhan perguruan tinggi dan sistem untuk mendapatkan pendanaan dalam membiayai (minimal sebagian) kegiatan operasionalnya. Bentuk privatisasi pendidikan tinggi adalah membebani peserta didik tanggung jawab pendanaan pendidikan, dengan bayaran (biaya kuliah setiap semester) dan biaya pendidikan lainnya. Mereka kemudian menambahkan bahwa penyebab privatisasi adalah minimnya anggaran negara dalam mendanai pendidikan tingginya, seiring meningkatnnya permintaan masifikasi pendidikan tinggi. Hal tersebut kemudian semakin dilegitimasi dengan perdebatan pendidikan tinggi sebagai barang publik atau privat. Negara-negara yang dianggap telah maju seperti Australia dan Cina telah secara terbuka meminta perguruan tingginya untuk menambah sumber pendanaan sendiri di luar pemerintah. Sedangkan, di negara negara lain privatisasi terjadi secara tidak langsung, sehingga perguruan tinggi mencari sumber pendanaan alternatif di luar pemerintah, karena desakan kebutuhan pendanaan yang dibutuhkan guna tetap menjalankan kegiatan akademis sekaligus memajukan kualitas perguruan tinggi nya (Putra, 2012).
Universitas Indonesia
22
Konsep privatisasi ini kemudian dijelaskan juga oleh Syamsul Hadi dkk (2007) bahwa terdapat 3 jenis privatisasi yang dapat dilaksanakan secara sekaligus atau menggunakan beberapa unsurnya secara seimbang, yaitu: 1) meningkatkan jumlah dan proporsi sekolah atau sekolah swasta; 2) meningkatkan jumlah dan pembiayaan pendidikan oleh peserta didik sendiri; 3) memperkuat pemantauan sekolah secara mandiri (otonom) di samping adanya pengawasan dari pemerintah. Untuk memudahkan, Bruce Johnstone (1999) kemudian menggambarkan dalam bentuk tabel untuk memperlihatkan bagaimana perubahan tren saat privatisasi perguruan tinggi berlangsung, sebagaimana diperlihatkan dalam tabel 2.3 berikut: Tabel 2.3 Privatisasi Pendidikan Tinggi Dimensi
Sangat Publik (tradisional)
Misi dan
Menyediakan pendidikan tinggi sebagai misi public yang jelas, seperti ditentukan oleh Pemerintah
Secara terbuka misinya untuk publik dan privat
Sebagian besar merespon kepentingan pribadi peserta didik
Misi melayani kepentingan pribadi dari peserta didik, klien, dan pemilik
Milik public (public owned)
Korporasi publik atau kesatuan / entitas yang konstitusional
Privat (swasta) non-profit; akuntabilitas publik terbuka
Privat (swasta), untuk mencari profit / keuntungan
Publik (pemerintah) / Pajak
Sebagian besar publik, tetapi peserta didik juga membayar biaya pendidikan / (cost sharing) Beberapa dikontrol oleh pemerintah
Tujuan
Kepemilikan
Sangat Privat (Modern)
Sebagian besar Semuanya privat privat, tetapi ada (swasta), bantuan public sebagian (untuk besarnya dari mahasiswa yang biaya pendidikan membutuhkan) Kontrol dari Tingkat otonomi Hampir tidak Kontrol pemerintah tinggi yang tinggi; ada kontrol dari Pemerintah kontrol pemerintah pemerintah terbatas dalam mengatur Norma akademik, Norma Terbatas pada Beroperasi Norma tata kelola berbagi, akademik, tetapi norma-norma seperti bisnis, Manajemen antiautoritarianisme mulai akademik, norma menggunakan kontrol manajemen pola manajemen manajemen / tata bisnis (profit) efektif kelola (otonomi) tinggi Sumber: Bruce Johnstone (1999) di dalam Tilak. (2004). Higher Education Between the State and the Market, Delhi: National Institute of Educational Planning and Administration, hlm. 14. Sumber Pendapatan
Universitas Indonesia
23
2. 1. 2. 3. Komersialisasi Perguruan Tinggi Komersialisasi menurut Dave Hill (2006) adalah penyelenggaraan pendidikan dengan tujuan komersil atau profit. Fokus utama Hill adalah liberalisasi pendidikan yang terjadi di seluruh dunia, di mana pendidikan sebagai hal yang tidak lagi universal atau bukan lagi dianggap sebagai barang publik. Hill kemudian berpendapat bahwa dampak dari liberalisasi pendidikan menjadikan human capital atau dengan kata lain komersialisasi pendidikan yang akhirnya memberatkan peserta didik melalui pembiayaan yang berlebihan. Dampak lainnya adalah jaminan pekerja dalam institusi pendidikan, khususnya kesejahteraan dan profesionalitas, termasuk tenaga pengajar atau dosen. Terkait peserta didik, Hill menyebutkan bahwa terdapat korelasi antara liberalisasi dengan kurikulum, yaitu adanya redefinisi dan standarisasi konsep pendidikan dalam perspektif ekonomi dibandingkan menggunakan perspektif pendidikan. Hill mencontohkan bagaimana pengajaran atau pendidikan atas perkuliahan dianggap sebagai pemberian produk; atau bagaimana peserta didik dianggap sebagai konsumen. Kebijakan liberalisasi dan menjadikan institusi pendidikan semakin otonom, menurut Hill membuka jalan untuk terjadinya privatisasi, komersialisasi dan marketisasi. Bila komersialisasi sebatas pada nirlaba yang pada akhirnya memperlihatkan hal yang tidak etis dengan membebankan peserta didik secara berlebihan dan mengabaikan tujuan utama pendidikan, Hills memandang marketisasi secara lebih jauh menjadikan pendidikan atau institusi pendidikan sebagai barang dagang yang punya nilai jual dan bersifat kompetitif. Hill mencotohkan bagaimana lulusan universitas tertentu lebih terpandang dan dihargai dibanding universitas lainya. Kemudian menurut Molnar, seperti yang dikutip oleh Dave Hill (2006), terdapat 8 tipe praktek komersialisasi di Amerika Serikat, yakni 1. pemberian sponsor kepada aktivitas dan program dari lembaga pendidikan. 2. pemberian izin ekskusif kepada pasar untuk menjual barang dan jasa di lembaga pendidikan atau di sekitarnya. 3. adanya program insentif terhadap barang dan jasa komersial untuk mendorong prestasi akademik. 4. pemberian lokasi untuk iklan di wilayah lembaga pendidikan. 5. adanya sponsor secara material dari korporasi.
Universitas Indonesia
24
6. penggunaan media elektronik untuk menjaring target peserta didik. 7. penggunaan manajemen swasta dan bertujuan profit. 8. fundraising. Komersialisasi pendidikan sendiri menurut Philip Albatch, Lis Reisberg, dan Laura Rumbley (2009) adalah salah satu bentuk dari privatisasi, seperti mendapatkan pendanaan dari kegiatan konsultasi, lisensi, penjualan kekayaan intelektual, mendapatkan keuntungan dari hasil kolaborasi dengan industri, menyewakan aset perguruan tinggi dan sumber sumber pemasukan lainnya untuk meningkatkan pendapatan. Sedangkan menurut Irawaty A. Kahar (2007), komersialisasi pendidikan mengacu pada dua pengertian yang berbeda, yaitu 1. Komersialisasi pendidikan yang mengacu lembaga pendidikan dengan program serta perlengkapan mahal. Pada pengertian ini, pendidikan hanya dapat dinikmati oleh sekelompok masyarakat yang memiliki ekonomi kuat. Selain itu, pengertian ini dapat menimbulkan pendiskriminasian dalam pendidikan nasional. 2. Komersialisasi pendidikan yang mengacu kepada lembaga pendidikan yang hanya mementingkan uang pendaftaran dan uang kuliah saja, tetapi mengabaikan kewajiban-kewajiban pendidikan. Komersialisasi pendidikan ini biasanya dilakukan oleh institusi pendidikan yang menjanjikan pelayanan pendidikan, tetapi tidak sepadan dengan uang yang mereka pungut dari peserta didik. Selain itu, laba atau selisih anggaran yang diperoleh tidak ditanam kembali ke dalam infrastruktur (sarana penunjang) pendidikan, melainkan dipergunakan untuk memperkaya atau menghidupi pihak-pihak yang tidak secara langsung bekerja menyajikan pelayanan di institusi tersebut. 2. 1. 3. White Collar Crime Istilah white collar cime menunjukkan secara khusus pembagian kejahatan dari segi pelaku, sebagaimana disebutkan Mustofa (2010), bahwa Sutherland pertama kali memberikan definisi atas white collar criminal sebagai orang dari kelas sosial ekonomi tinggi yang melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hukum yang dibuat untuk mengatur pekerjaannya. White collar crime atau
Universitas Indonesia
25
kejahatan kerah putih sendiri adalah kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki status dan kehormatan yang tinggi dan berhubungan dengan pekerjannya, termasuk di dalamnya dilakukan oleh korporasi atau badan hukum lainnya (Strader, 2002). Dari definisi tersebut, dapat dilihat bahwa white collar crime mempunyai tiga ciri utama, yaitu, perilaku tersebut merupakan suatu bentuk kejahatan atau pelanggaran, pelakunya merupakan seseorang dari status sosial yang tinggi, dan kejahatan tersebut berhubungan dengan pekerjaan seseorang. Dalam penelitiannya, Sutherland sebagaimana dikutip oleh Mustofa (2010) kemudian menggunakan teori asosiasi yang berbeda-beda (differential association) untuk dapat menjelaskan berbagai kejahatan baik konvensional maupun white collar crime. Pada umumnya, para pelaku kejahatan konvensional ditemukan keburukan-keburukan yang mempengaruhi patologi individual, seperti keterbelakangan mental dan tekanan hidup, maupun patologi sosial, seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan rendah. Namun, hal tersebut dikritik oleh Sutherland melalui penelitian yang dilakukannya bahwa para pelaku white collar crime bercirikan sehat secara mental, hidup berkecukupan, tingkat sosial yang lebih tinggi ataupun kaum terpelajar. Selanjutnya, Sutherland mengungkapkan bahwa white collar crime terjadi pada pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya, di mana mereka kerapkali menggunakan cara-cara curang dan menipu konsumen demi mengejar keuntungan semata. Di sinilah secara implisit, Sutherland memperlihatkan bahwa konsep white collar crime yang diungkapkannya berkaitan dengan etika pelaku secara individu, khususnya dalam ranah profesional seperti bisnis ataupun profesi sosial (dokter, pengacara atau apoteker). White collar crime memperlihatkan bahwa definisi kejahatan secara sosiologis bukan sekadar pelanggaran atau perbuatan yang melawan hukum, namun juga pelanggaran etika di masyarakat. Dalam hal ini, konsep white collar crime dapat digunakan dalam menjelaskan konsep komersialisasi perguruan tinggi karena pendidikan sebagai hak dan barang publik dianggap sebagai barang yang diperjualbelikan melalui logika pasar (ekonomi), serta dapat digunakan untuk mendapatkan keuntungan lebih bagi penyelenggaranya.
Universitas Indonesia
26
2. 1. 4. Otonomi dan Korupsi dalam Pendidikan Tinggi Peneliti merasa perlu memasukkan konsep korupsi dalam sektor pendidikan, khususnya dalam pendidikan tinggi. Hal ini dikarenakan ketika komersialisasi pendidikan berdampak pada surplus institusi, ada kecenderungan bahwa surplus tersebut digunakan demi keuntungan individu atau kepentingan pribadi (Osipian, 2009), bukan bertujuan untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun pembangunan institusi pendidikan. Ketika hal tersebut terjadi, maka hal itu dapat digolongkan sebagai korupsi dalam sektor pendidikan, sebagaimana dijelaskan oleh Anechiarico dan Jacobs (1996) bahwa definisi korupsi pendidikan meliputi penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan materi. Heyneman menambah definisi ini dengan menyatakan bahwa karena pendidikan merupakan barang (milik) publik yang penting atau sektor dengan standar profesional yang meliputi lebih dari barang-barang material; maka definisi korupsi pendidikan meliputi penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi maupun material (Heyneman, 2004). Miller, Roberts dan Spence (2005) menunjuk ke istilah korupsi pendidikan lebih relatif ke definisi demikian seperti yang diterapkan ke dunia akademis, seperti adanya plagiarisme yang dilakukan peserta didik. Sedangkan menurut International Institute for Educational Planning sebagaimana dikutip oleh Osipian (2009), definisi korupsi pendidikan adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi yang mempengaruhi akses, kualitas dan kesetaraan dalam pendidikan. Secara umum, terdapat 5 bentuk korupsi di sektor pendidikan, sebagaimana disebutkan dalam publikasi Chr. Michelsen Institute (2006) yang dilakukan oleh U4 Anti-Corruption Resource Centre, yaitu 1. korupsi pendidikan dalam bentuk perencanaan dan manajemen institusi pendidikan .Penyimpangan dapat terjadi dalam penyalahgunaan dana yang diperoleh dari pemerintah. Hasilnya dapat dilihat dari bangunan yang tidak diperlukan untuk kepentingan akademis atau dengan kata lain hanya murni proyek yang menguntungkan segelintir orang. 2. korupsi pendidikan dalam bentuk seleksi masuk dan penerimaan peserta didik. Terdapat nepotisme dan pembayaran uang muka dengan jumlah
Universitas Indonesia
27
tertentu, agar calon peserta didik dapat mudah diterima di institusi pendidikan terkait. 3. korupsi pendidikan dalam bentuk akreditasi. Penyuapan dari institusi pendidikan seringkali dilakukan kepada departemen/kementerian negara terkait. Hasilnya adalah lulusan dari dengan kemiskinan kualifikasi profesional dalam dunia kerja. 4. korupsi pendidikan dalam bentuk manajerial tenaga pendidik dan tingkah laku professional. Bentuk ketimpangan antara pengajar dan peserta didik disinyalir menjadi bentuk umum dari korupsi ini. Nepotisme pun kerap terjadi, belum lagi terdapat beberapa pengajar yang mendapatkan pendapatan lebih dibandingkan yang seharusnya diperoleh. 5.
korupsi pendidikan dalam bentuk usaha pengadaan barang atau jasa, penyimpangan dapat terjadi dalam materi terkait pendidikan, makananminuman, bangunan dan peralatan atau perlengkapan yang menunjang aktifitas pendidikan. Selain itu, potensi penyuapan dan ketidaksesuaian hasil dengan perjanjian seringkali mewarnai penyimpangan di sektor ini. Dalam menjelaskan hubungan antara privatisasi sebagai bagian dari
otonomi dan kejahatan korupsi, Celarier (1997) mengatakan bahwa dalam era privatisasi disusun dan dimulai melalui pemerintahan Thatcer yang lahir dari gerakan politik yang menentang statisme. Selama lebih dari satu dekade, privatisasi telah menjadi salah satu unsur penting dari agenda pasar bebas yang mengasumsikan bahwa sektor swasta (privat) akan menciptakan perusahaan yang lebih efisien daripada pemerintah (publik). Awalnya, potensi terjadinya korupsi dalam privatisasi diabaikan dan terus menerus diremehkan, karena dinilai sektor privat tidak mungkin melakukannya. Namun, pandangan tersebut ternyata salah. Hal ini terlihat dari banyaknya lonjakan korupsi di banyak negara—yang secara ekonomi masih—berkembang. Tidak adanya sistem peraturan pemerintah yang jelas membuat proses privatisasi ini menjadi sarang dan lahan korupsi baru. Masalah tersebut setidaknya ditunjukkan lebih jauh dalam bentuk bentuk tekanan lembaga lembaga multilateral, seperti IMF dan Bank Dunia, kepada negara negara berkembang untuk melakukan privatisasi sebagai bagian dari transformasi pasar dan sebagai prasyarat untuk dukungan keuangan.
Universitas Indonesia
28
Secara khusus, hubungan korupsi dalam otonomi perguruan tinggi dijelaskan Osipian (2009) bahwa reformasi substansial dalam pendidikan tinggi di Rusia membuka potensi terjadinya korupsi. Reformasi itu adalah privatisasi dalam pendidikan tinggi ditandai dengan pada tahun 2007 persentase pendapatan pendidikan tinggi di Rusia sebanyak 54% berasal dari masyarakat, sedangkan sisanya akan ditanggung pemerintah. Osipian kemudianmenemukan beberapa bentuk korupsi dalam pendidikan tinggi yang terjadi di Rusia antara lain suap dalam penerimaan dan penentuan grade, les privat yang ilegal, penggelapan, penipuan, nepotisme, suap, plagiarisme, kesalahan dalam penelitian, pelanggaran etika, pelanggaran kontrak, penyediaan informasi palsu kepada publik, diskriminasi, penyalahgunaan properti universitas, monopoli dalam penerbitan akademik dan distribusi buku teks, serta ketidaksesuaian alokasi dana publik. Osipian (2009) kemudian secara khusus mencoba mengaitkan konsep komersialisasi yang terdapat di perguruan tinggi hingga dapat meyebabkan penyimpangan (korupsi). Dalam penelitiannya kali ini, Osipian berusaha melihat perkembangan pendidikan tinggi di negara Amerika Serikat dengan berbagai kompleksitas dalam hal bentuk organisasi, sistem manajemen, keterlibatan pemerintah, keuangan/finansial, hingga kepemilikan. Osipian kemudian melihat adanya kecenderungan bahwa institusi pendidikan tinggi menjalin suatu hubungan kerja sama dengan industri. Hal inilah yang menurutnya menyebabkan perguruan tinggi memfokuskan diri kepada bisnis dibandingkan kepada pengembangan penelitian (research). Osipian kemudian mengambil model yang dijelaskan dalam penelitian Woshburn (2005) untuk menggambarkan hal tersebut, yang kemudian dipaparkan dalam bentuk alur yang dapat dilihat dari diagram berikut:
Universitas Indonesia
29
Diagram 2.1 Kejahatan Koorporasi Pendidikan Tinggi di Amerika Serikat Perumusan masalah
Substansi Permasalahan
Sejarah
Konsepsialisasi (Model Pasar)
Fokus dalam 2 Industri (Sains dan Kesehatan)
Generalisasi (Bisnis VS Tujuan)
Pengembangan Generalisasi (Masalah)
Pengembangan Generalisasi (Solusi)
Ketentuan (Dunia Ideal)
Sumber: Ararat L. Osipian (2009) di dalam “Investigating Corruption in American Higher Education: The Methodology”, The Federation of Universities Journal of Eduction, hlm. 60
Osipian kemudian menunjukkan wacana bagaimana peran dari industri maupun pendidikan tinggi dalam dunia modern dan pengaruh hubungan keduanya atas terjadinya korupsi. Dorongan berbasis pasar dalam sistem dunia, termasuk perguruan tinggi, mengarahkan tingkah laku rasional para pelaku administrasi, yang akhirnya mengarahkan kepada marketisasi atau komersialisasi institusi pendidikan tinggi. Proses transformasi ini menyebabkan adanya permintaanpenawaran baik dari pihak industri maupun pendidikan tinggi. Logika ini pun akhirnya menyebabkan orientasi pasar dalam pelaksanaan perguruan tinggi, yang dikenal dengan komersialisasi dan di jalan yang berbeda menyebabkan penyimpangan (korupsi sektor pendidikan tinggi). Osipian akhirnya mampu merumuskan bagaimana transformasi hubungan pasar dan perguruan tinggi sehingga menimbulkan komersialisasi maupun penyimpangan dan korupsi di Amerika Serikat sebagaimana diperlihatkan dalam diagram berikut ini:
Universitas Indonesia
30
Diagram 2.2 Transformasi Hubungan antara Pasar dan Perguruan Tinggi kepada Komersialisasi maupun Penyimpangan di Amerika Serikat
Komersialisasi Pasar
Industri
Insentif
Perilaku Rasional Penyimpangan
Sumber: Ararat L. Osipian (2009) di dalam “Investigating Corruption in American Higher Education: The Methodology”, The Federation of Universities Journal of Education, hlm. 72
2. 2. Landasan Teori 2. 2. 1. Teori Anomi Institusional Teori anomi institusional (institutional anomie theory) merupakan salah satu perkembangan terbaru dari teori anomi (keadaan tanpa norma) yang dijelaskan Durkheim dalam karyanya berjudul suicide pada tahun 1951. Sebagaimana dikutip oleh Schoepfer (2004), Durkheim menjelaskan bahwa tingkat bunuh diri dan kondisi ekonomi memiliki hubungan antara satu sama lainnya, di mana tingkat bunuh diri yang merupakan sebuah tolak ukur dari anomi cenderung lebih tinggi pada masa-masa kemunduran ekonomi maupun kemakmuran pada seseorang. Durkheim akhirnya mampu menjelaskan bahwa angka bunuh diri yang tinggi pada masa-masa kemakmuran adalah karena hasrat manusia yang tidak dapat dipuaskan. Artinya, meskipun kebutuhan ekonomi sudah terpenuhi secara sosial, manusia akan selalu berhasrat atau bernafsu menginginkan hal yang lebih dibandingkan sebelumnya. Dalam hal ini, masyarakat adalah satu-satunya mekanisme yang sanggup mengontrol hasrat tersebut dengan membuat ‘hukum moral akan apa yang dapat diekspektasikan orang pada berbagai posisi sosial yang berbeda’. Mustofa (2010) pun menjelaskan bahwa Durkheim memakai konsep anomi untuk menjelaskan suatu keadaan gagalnya masyarakat dalam mengatur hasrat dan nafsu alamiah individu. Dalam bidang kriminologi, istilah anomi kemudian diadopsi dan direvisi oleh Robert K. Merton untuk menganalisa kondisi masyarakat Amerika. Sebagaimana dijelaskan oleh Schoepfer (2004), Merton akhirnya secara khusus
Universitas Indonesia
31
memperlihatkan budaya (ideologi) Amerika mendorong orang untuk meraih kesuksesan finansial. Dorongan ini dapat menimbulkan perasaan tertekan, gelisah dan frustrasi yang dapat berujung pada tindakan kriminal. Ketika Durkheim berupaya menjelaskan kondisi sosial pada masa-masa perubahan sosial, Merton melihat angka kriminalitas yang tetap tinggi pada kondisi sosial yang stabil. Selanjutnya, Merton dalam karyanya Social Theory and Social Structure, 1938, sebagaimana dikutip oleh Mustofa (2010) secara umum menyatakan bahwa banyak dari nafsu alami individu tidak bersifat alamiah, tetapi secara budaya ditawarkan. Pada waktu yang bersamaan, struktur sosial dapat membatasi kemampuan kelompok sosial tertentu (kelas bawah) untuk memuaskan nafsunya. Ini berarti bahwa struktur sosial itu sendiri akan secara pasti berusaha memaksa orang-orang tertentu dalam masyarakat untuk terlibat dalam tingkah laku yang tidak selaras daripada tingkah laku yang selaras. Keadaan ini menjelaskan bahwa kejahatan lebih terkonsentrasi pada beberapa kelompok saja. Untuk kelompok tertentu, terdapat ketegangan yang serius atas nilai-nilai budaya, sebab 1) kebudayaan tidak secara proporsional menekankan pencapaian tujuan kebudayaan sebagai hal yang bernilai, yakni mengumpulkan kekayaan dan memelihara bahwa tujuan budaya dapat diterapkan pada setiap orang; dan 2) struktur sosial secara efektif membatasi kesempatan individu dari kelompok tersebut di muka untuk mencapai tujuan budaya melalui cara-cara yang melembaga (legal). Kontradiksi antara kebudayaan dan struktur sosial inilah yang oleh Merton disebut sebagai anomi (Merton, 1968: 216 sebagaimana dikutip oleh Mustofa, 2010) Teori Merton yang juga dikenal sebagai “teori struktur sosial dan anomi” kemudian dikembangkan lagi oleh Messner dan Rosenfeld pada tahun 1994, sebagaimana dijelaskan oleh Schoepfer (2004), menjadi teori anomi institusional dengan beberapa batasan, yaitu 1. Sumber daya yang diperebutkan untuk mencapai kesuksesan terbatas, sehingga upaya untuk meraih kesuksesan tersebut menjadi kompetisi. 2. Ketika negara memusatkan perhatian pada sektor ekonomi, sektor-sektor kontrol sosial (keluarga, pendidikan dan agama) menjadi terbengkalai sehingga meningkatkan angka kriminalitas.
Universitas Indonesia
32
3. Teori anomi institusional dirancang khusus untuk menjelaskan tingkah laku yang mengejar keuntungan finansial, baik kejahatan biasa ataupun white collar crime. Bernbug (2010) kemudian menjelaskan bahwa teori anomi institusional tidak terlepas dari pengaruh konsep ekonomi pasar yang menjadi orientasi negara Amerika, di mana teori ini dibuktikan. Schoepfer (2004) dalam tesisnya Exploring White-Collar Crime and The American Dream menunjukkan bahwa ada hubungan antara teori anomi institusional dengan white collar crime, khususnya dalam kejahatan penggelapan, penipuan dan pemalsuan. Schoepfer kemudian membuktikan dalam sektor pendidikan, tingkat white collar crime akan lebih rendah apabila pemerintah dapat memfokuskan diri kepada pemenuhan hak atas pendidikan hingga ke pendidikan tinggi. Dalam hal ini, peneliti menganggap teori anomi institusional mampu menjelaskan studi kasus penelitian ini. Pertama, teori ini mampu menjelaskan mengapa pelaku termotivasi untuk melakukan white collar crime di institusi pendidikan, yaitu dengan adanya komersialisasi melalui konsep nirlaba dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Pelaku akan berusaha mencari keuntungan secara finansial, meskipun berada di dalam sektor yang bersifat publik, yaitu pendidikan. Kedua, teori ini mampu memperlihatkan hubungan bahwa ketika fokus atau orientasi dari suatu institusi adalah untuk profit, maka kecenderungan untuk terjadinya white collar crime menjadi besar. Hal ini dikarenakan, prioritas keuntungan menjadi hal yang utama dan mengabaikan fokus lainnya. Dalam pendidikan, fokus lainnya ini dapat dilihat dari kurikulum, ketersediaan sumber daya manusia seperti tenaga pengajar maupun tenaga administasi dan hasil dari lulusan peserta didik yang telah memperoleh pendidikan di institusi bersangkutan. 2. 2. 2. Shareholder dan Stakeholder Theory Menurut Milton Friedman (1962) dalam bukunya Capitalism and Freedom, sebuah korporasi tidak mempunyai kewajiban apapun selain untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Dalam teori yang ia sebut
Universitas Indonesia
33
shareholder theory, Friedman mengatakan bahwa korporasi dimiliki oleh shareholder yang memperkerjakan manajer-manajer dan pekerja di bawahnya dengan hanya satu tujuan, yaitu memperoleh keuntungan. Shareholder sendiri diartikan sebagai pemegang saham atau pendiri yang berada dalam puncak struktur suatu korporasi/ institusi tertentu. Berdasarkan teori ini, sebuah korporasi tentu memiliki batasan-batasan yang diatur dalam hukum. Akan tetapi, selama tidak melanggar hukum, sebuah korporasi tidak memiliki kewajiban apapun selain memperoleh keuntungan. Pada perkembangannya, Snoeyenbos, Almeder dan Humber dalam Business Ethics (1992) mengkritik konsep shareholder theory Friedman dengan menyatakan bahwa apa yang diperbolehkan secara hukum belum tentu diperbolehkan secara moral dan etika. Sebagai contoh, ketika tidak ada hukum yang melarang pembunuhan, maka sebuah korporasi boleh saja membunuh untuk memperoleh keuntungan. Namun tindakan tersebut tentu tidak bermoral. Contoh lainnya adalah memperkerjakan pekerja di luar batas kemampuannya atau tidak terjamin dan terpenuhinya hak-hak dasar pada pekerja, seperti pemecatan sepihak dari perusahaan. Selanjutnya, terdapat stakeholder theory yang dikembangkan Edward R. Freeman, Andrew C. Wicks dan Bidhan Parmar (2004) sebagai negasi dari logika shareholder theory. Freeman sebagai orang yang pertama kali menggunakan konsep stakeholder pada tahun 1984 menyebutkan bahwa pihak yang dipengaruhi oleh pengambilan keputusan saham sebuah perusahaan bukanlah hanya para shareholder, namun juga para pekerja, pemasok, konsumen, hingga masyarakat setempat. Contoh yang terjadi adalah sebagai berikut: 1) Para shareholder akan kehilangan uang jika korporasi tidak mendatangkan keuntungan; 2) Para pekerja dapat kehilangan sumber pemasukan mereka ketika korporasi tidak berjalan dengan baik, bahkan dengan adanya pemecatan; 3) Para pemasok sangat dipengaruhi oleh korporasi yang menghasilkan produk yang mereka jual; 4) Para konsumen membutuhkan perusahaan untuk menghasilkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan mereka, dan tidak menghasilkan produk yang dapat merugikan; dan 5) Masyarakat setempat mengambil keuntungan dari pajak serta lapangan pekerjaan dari perusahaan
Universitas Indonesia
34
Hasnas (2005) kemudian menggunakan konsep bipolar shareholderstakeholder dalam menjelaskan hubungan antara etika dan white collar crime pada berbagai institusi di Amerika. Ia memperlihatkan fakta bahwa hukum dan etika tidak selamanya sejalan dan beriringan satu sama lain. Sebagai contoh, terdapat hukum diskriminatif pada ras kulit hitam yang secara hukum diperbolehkan, namun sejatinya adalah suatu perbuatan yang tidak etis atau bermoral. Dalam hal ini, hukum dijelaskan sangat tegas pada kejahatan konvensional, namun sulit dalam menindak white collar crime, khususnya pada pelaku shareholder-stakeholder. Pandangan hukum atas white collar crime menurut
Hasnas
adalah
ketidaksanggupan
negara
dalam
menekan
korporasi/institusi tertentu untuk memperhatikan etika, ketika melakukan perbuatan mencari keuntungan yang di mata hukum sebagai sesuatu yang legal, namun tidak etis di sisi yang lainnya. Dalam pandangan stakeholder theory, shareholder merupakan salah satu bagian dari stakeholder yang akan mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu korporat (Heath dan Norman, 2004). Sayangnya, shareholder seringkali mengabaikan stakeholder lainnya, dikarenakan kekuasaan yang dimilikinya dalam modal. Hal inilah yang menyebabkan adanya penyimpangan dan kejahatan, termasuk white collar crime. Hal ini sesuai dengan konsep white collar crime yang dikembangkan oleh Sutherland sebagaimana disebutkan Mustofa (2010) bahwa kejahatan bukanlah semata-mata pelanggaran hukum pidana, tetapi juga tindakan-tindakan lain yang walaupun tidak dilarang dalam hukum pidana atau tidak diancam dengan sanksi pidana, namun tindakan tersebut sangat merugikan masyarakat atau bertentangan secara etika pada umumnya. Kejahatan dalam definisi secara sosiologis bukan hanya pelanggaran atas hukum dan norma yang ada di masyarakat, namun juga pelanggaran atas etika. Selain itu, Sutherland sebagaimana dikutip Mustofa (2010) pun memperlihatkan bahwa ketika para pelaku pelanggaran tersebut belajar bisnis, mereka sekaligus belajar teknik-teknik khusus untuk melanggar hukum, termasuk definisi terhadap situsi dan teknik yang dapat digunakan. Konsep bisnis harus dihayati sebagai sikap bahwa menjalankan bisnis adalah untuk mencari keuntungan.
Universitas Indonesia
35
Peneliti kemudian menggunakan teori shareholder-stakeholder dalam melihat pelaku korupsi pendidikan dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini dikarenakan para pelaku dalam penelitian ini memandang institusi pendidikan seolah-olah menjadi korporasi pada umumnya yang diperbolehkan secara hukum untuk mengejar keuntungan melalui komersialisasi pendidikan, asalkan masih memegang konsep nirlaba. Padahal di sisi lain, perbuatan tersebut bertentangan dengan etika bahwa pendidikan sebagai hak warga negara yang tidak sepantasnya dianggap sebagai barang atau jasa yang diperjual-belikan. Hal yang memperburuk situasi ini adalah dorongan mencari keuntungan pada diri sendiri (korupsi) yang akhirnya disalurkan melalui perbuatan legal komersialisasi pendidikan. Para pelaku dapat menarik profit yang seharusnya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun institusi pendidikan menjadi
milik pribadi
atau sekelompok orang saja tanpa
memperhatikan etika bahwa pendidikan adalah hak. 2. 2. 3. Kejahatan dan Etika Korporasi Sebagaimana
disebutkan
Mustofa
(2010),
ketika
Sutherland
memperkenalkan konsep white collar crime, ia lebih fokus kepada tipe pelaku yaitu orang-orang terhormat dengan ciri kelas sosial ekonomi tinggi dengan menggunakan istilah white collar criminal. Namun dalam usaha menjelaskan tipe pelaku kejahatan kelas atas tersebut, hal yang dianalisis Sutherland adalah korporasi. Ketidakkonsistenan Sutherland antara konsep dan analisis justru merupakan berkan dalam perkembangan kajian white collar crime, yaitu adanya kategori occupational crime dan corporate crime. Dalam subbab ini, peneliti secara lebih khusus membahas corporate crime atau kejahatan korporasi. Kejahatan korporasi secara umum dijelaskan Clinard dan Yeager (1980) sebagaimana dikutip oleh Mustofa (2010) sebagai kejahatan yang dilakukan organisasi dan tidak bisa dijelaskan dengan teori penyimpangan atau kejahatan yang menjelaskan tingkah laku individual. Hal ini dikarenakan tingkah laku organisasi memiliki kompleksitasnya tersendiri dibandingkan tingkah laku individu. Dengan merujuk pada Reiss (1978), Clinard dan Yeager (1980) sebagaimana disebutkan dalam Mustofa (2010) mengatakan bahwa kejahatan
Universitas Indonesia
36
korporasi dapat dipahami melalui teori organisasi untuk menjelaskan korporasi sebagai organisasi yang secara kodrati memiliki ciri khas, yaitu tujuan untuk mendapatkan keuntungan (profit). Orientasi profit dalam suatu korporasi inilah yang menurut Clinard dan Yeager merupakan ciri iklim sosial industri yang pada akhirnya dapat mendorong tindakan pelanggaran hukum dan tindakan yang mendekati pelanggaran hukum. Selanjutnya, Clinard dan Yeager kemudian menjelaskan bahwa salah satu faktor terjadinya kejahatan korporasi adalah budaya di dalam internal korporasi. Budaya korporasi ini membentuk norma dalam menjalankan bisnis yang mungkin bertentangan dengan norma etika dan hukum. Perusahaan yang lebih mengutamakan keuntungan dengan mengabaikan etika dan mengelak tanggung jawab korporasi kepada masyarakat, konsumen maupun komunitas akan sulit mengikuti hukum yang berlaku. Pada akhirnya Clinard dan Yeager sebagaimana dijelaskan Mustofa (2010) menyimpulkan bahwa kebijakan korporasi dapat mendorong kecenderungan kejahatan dari beberapa eksekutifnya. Dalam hal ini, pelanggaran hukum dapat menjadi pola normative dalam korporasi dengan atau tanpa tekanan untuk memperoleh keuntungan maupun lingkungan ekonominya. Clinard kemudian secara khusus melakukan penelitian mengenai hubungan antara kejahatan dan etika korporasi, sebagaimana dituliskan oleh Mustofa (2010), dengan melakukan wawancara terhadap 500 orang pensiunan manajemen madya yang dipilih secara random berdasarkan data catatan pelaku bisnis yang tergabung dalam suatu organisasi pelayanan pensiunan eksekutif (Service Corps of Retired Executive). Dalam analisisnya, Clinard kemudian membagi adanya faktor internal dan faktor eksternal atas pelanggaran etika yang terjadi di korporasi. Dalam faktor internal, disimpulkan bahwa pada berbagai korporasi terdapat tekanan dari tingkat manajemen yang lebih tinggi terhadap manajemen madya yang menjadi faktor utama bagi dilakukannya pelanggaran etika maupun tingkah laku tidak sah yang dilakukan oleh korporasi. Etika bisnis yang dilanggar adalah ketidakadilan dan ketidakjujuran terhadap publik, konsumen, pesaing maupun kepada pemerintah. Di sisi lain, batas antara pelanggaran etika dan tindakan sah seringkali tidak jelas, karena sesuatu yang
Universitas Indonesia
37
dianggap legal di hadapan hukum belum tentu secara etika diizinkan. Sedangkan faktor eksternal yang dianalisis Clinard adalah kesulitan korporasi dalam hal keuangan ataupun praktik persaingan yang tidak jujur sehingga merugikan masyarakat, khususnya konsumen. 2. 2. 4. Komersialisasi Pendidikan sebagai Pelanggaran Etika Chorney (2008) memandang bahwa komersialisasi pendidikan tinggi adalah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan orientasi dan praktek yang meningkatkan hubungan antara perguruan tinggi dan sektor ekonomi. Istilah tersebut juga menggambarkan proses penyelenggaraan institusi pendidikan publik secara privat, dimana motif utama dalam penyelenggaraannya adalah keuntungan finansial. Komersialisasi pendidikan bukan hanya proses ekonomi yang berkaitan dengan pengaturan dan struktur pada institusi pendidikan tinggi, namun juga proses simbolik atas perspektif dan nilai mengenai pasar dan kepemilikan privat mulai menggantikan nilai tradisional yang dikaitkan dengan pendidikan, yaitu pendidikan sebagai kepentingan publik dan ditujukan untuk bermanfaat bagi semua anggota masyarakat. Dalam sebuah negara di mana seluruh aspek kehidupan termasuk pendidikan dikomodifikasi secara bertahap dan mengikuti hukum pasar, Chorney kemudian melihat beberapa bahaya komersialisasi pendidikan yaitu 1) kesadaran sosial dan politik atas kesamaan aksesbilitas yang berganti dengan kompetensi; 2) moralitas digantikan oleh penilaian atas untung-rugi; dan 3) warga negara atau peserta didik secara khusus berganti menjadi tidak lebih dari konsumen dari jasa pendidikan. Komersialisasi yang mempengaruhi seluruh area kehidupan secara perlahan-lahan mengubah pandangan masyarakat mengenai pendidikan, yaitu sebuah entitas yang memungkinkan seseorang untuk dapat memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dan dapat bersaing dalam dunia kerja. Tanda perubahan ini adalah perubahan penggunaan bahasa, seperti peserta didik yang kemudian dipandang sebagai “pelanggan” atau “konsumen” dan institusi pendidikan yang dipandang sebagai “penyedia jasa”. Chorney kemudian melihat bahwa penurunan alokasi dana dari pemerintah terhadap institusi pendidikan tinggi telah mengakibatkan banyak universitas
Universitas Indonesia
38
semakin
memandang
penyelenggaraan
institusi
mereka
sebagai
upaya
memperoleh keuntungan finansial demi menutupi kekurangan dana. Ketika pembiayaan dari pemerintah untuk biaya pendidikan berkurang, biaya pendidikan akan naik. Kenaikan biaya ini dapat memberi justifikasi oleh institusi pendidikan tinggi bahwa pendidikan adalah komoditas yang diperjual-belikan. Di sisi lain, peserta didik menjadi konsumen pasif yang hanya menunggu produk berupa jasa pendidikan dan menuntut kualitas dari jasa pendidikan tersebut karena menganggap telah melakukan transaksi (pembayaran). Kontribusi peserta didik untuk menentukan kualitas dari produk tersebut hanya sebatas survei kepuasan atas jasa yang telah diberikan. Cara pandang utilitarian ini menyebabkan mahasiswa hanya memikirkan pendidikan sebagai sarana untuk mencapai keuntungan pribadi dan tidak melihat dampaknya bagi masyarakat luas. Selain peserta didik, dampak lain dari komersialisasi pendidikan menurut Chorney adalah perubahan cara institusi pendidikan untuk memperlakukan pekerjanya dengan lebih banyak menggunakan pekerja paruh-waktu (kontrak) dengan bayaran maupun tunjangan yang lebih sedikit dan kemungkinan yang lebih kecil untuk para pekerja berserikat, baik tenaga pengajar maupun tenaga administratif. Implikasi dari perlakuan ini adalah terbatasnya kebebasan akademis bagi tenaga pengajar dan hanya mengajarkan mata kuliah yang diinginkan para pelajar maupun sesuai kepentingan industri atau pihak lainnya yang mempunyai kekuasaan lebih dalam penyelenggaraan pendidikan. Chorney kemudian mengaitkan fenomena komersialisasi pendidikan tinggi dengan konsep etika kewarganegaraan, dimana warga negara yang menjunjung nilai etika seharusnya memiliki keberanian dan visi untuk melawan ketidakadilan atau hal yang dianggap melanggar etika, bahkan ketika penyebab ketidakadilan tersebut legal secara hukum. Institusi pendidikan, dengan demikian, seharusnya mengajarkan etika yang steril dari nilai politik, ekonomi, ataupun ideologi tertentu. Namun, Chorney pun menunjukkan fakta bahwa konteks sosio-kultural yang menumbuhkan orientasi pendidikan sebagai hasil (gelar) pada akhirnya mengesampingkan manfaat-manfaat lain dari pendidikan yang tidak dapat diukur secara material. Pemahaman ini dapat mengaburkan etika institusi pendidikan,
Universitas Indonesia
39
sebagai representasi dari negara dalam menjalankan hal atas pendidikan, untuk bertanggungjawab kepada masyarakat. Kesimpulan yang disampaikan Chorney adalah komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi merupakan hal yang bertentangan dengan etika dan hal tersebut berdampak pada peserta didik dan pengurus institusi (baik pengajar maupun administrasi) yang akhirnya mengukuhkan sistem pendidikan yang tidak etis juga. 2. 2. 5. Kejahatan Korporasi dalam Perguruan Tinggi David O. Friedrichs (2010) dalam buku Trusted Criminal: White Collar Criminal in Contemporary Society berusaha menjawab pertanyaan dasar mengenai kejahatan korporasi dalam perguruan tinggi, yaitu “Are Universities and Colleges Corporate Criminals?”. Menurut Friedrichs, universitas sebagaimana lembaga/ organisasi lainnya memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan yang dapat digolongkan sebagai corporate crime. Friedrichs kemudian menjelaskan bahwa corporate crime adalah salah satu bentuk umum dari white collar crime dan bentuk spesifik dari organizational crime. Definisi dari corporate crime sendiri adalah kejahatan yang dilakukan oleh pejabat tinggi dari suatu lembaga/institusi maupun kejahatan yang dilakukan oleh lembaga/institusi itu sendiri, khususnya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi Secara khusus, Friedrich melihat kecenderungan terjadinya kejahatan korporasi pada perguruan tinggi dengan banyaknya universitas besar di Amerika Serikat diorganisir atau diselenggarakan dengan cara-cara yang tidak terlalu berbeda dari perusahaan besar pada umumnya, meskipun mereka tidak terfokus pada menghasilkan keuntungan (profit). Mengacu atas apa yang ditulis Brown (2004), Friedrich menuliskan kembali bahwa beberapa lembaga pendidikan tinggi yang memakai konsep nirlaba dituduh dituduh menggelembungkan angka pendaftaran dan kegiatan yang tidak etis lainnya untuk meningkatkan pendapatan yang diperoleh dari peserta didik. Selain itu, berdasarkan apa yang dituliskan Croissant (2001) dan Washburn (2005), Friedrichs mengungkapkan bahwa universitas
di
Amerika
dalam
beberapa
tahun
terakhir
telah
dituduh
mengorbankan integritas dan independensi mereka dengan menerima dana sponsor perusahaan dalam melakukan berbagai penelitian, di mana perusahaan
Universitas Indonesia
40
sponsor tersebut terkadang menentukan syarat untuk penelitian, bahkan mencoba untuk mengontrol publikasi atas hasil penelitiannya. Secara keseluruhan, Friedrichs menyimpulkan bahwa hubungan perusahaan dengan universitas besar khususnya telah meningkat di Amerika dan dalam keadaan seperti itu, berbagai konflik kepentingan dapat timbul antara etika akademik yang ada dalam universitas dan tujuan khusus dari pemberi dana (perusahaan). Selain itu, Friedrichs pun mencatat bahwa beberapa kritikus pendidikan tinggi (Anderson, 1992; Sykes, 1988; Washburn, 2005) memperlihatkan kejahatan korporasi yang terjadi di universitas dan perguruan tinggi (college) melakukan penipuan terhadap peserta didik dengan tidak memberikan kualitas pendidikan yang dijanjikan. Berdasarkan temuan Applebome (1992), Friedrichs menuliskan kembali bahwa institusi pendidikan tinggi telah membuat berbagai kekeliruan, seperti penyimpangan yang terjadi dalam proses penerimaan, pemberian fasilitas, penyusunan program dan penempatan karir kepada calon peserta didik, dengan hanya memiliki fokus utama pada menghasilkan laba (profit). Dengan merujuk pada Jaschik (1990) dan Leslie (1989), Friedrichs menilai indikasi kejahatan korporasi terjadi pula atas tuduhan penetapan harga biaya kuliah yang dilakukan oleh perguruan tinggi secara otonom. Secara umum, Fredrichs (2010) mengambil banyak studi kasus dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (McMillen 1992; Monaghan 1991; Sperber 2000) dalam melihat kejahatan korporasi dalam pendidikan tinggi, salah satunya bagaimana program atletik dalam perguruan tinggi maupun universitas yang mengeksploitasi peserta didik mereka atas dasar keuntungan ekonomi semata, tanpa menghadirkan kebutuhan pendidikan mereka sebagai bentuk timbal balik atas apa yang telah mereka bayarkan. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa kejahatan dalam perguruan tinggi dikarenakan institusi pendidikan lebih memperlihatkan dirinya sebagai sebuah korporasi dibandingkan lembaga pendidikan yang menjalankan fungsinya untuk memberikan dan mengembangkan (reproduksi) ilmu pengetahuan.
Universitas Indonesia
41
2. 3. Kajian Kepustakaan dengan Isu Sebidang Penelitian Quinney dalam Geis (2007) dan dikutip oleh Mustofa (2010), mengungkapkan adanya personal dilemma (conflict of interest) dalam apoteker melakukan pekerjaannya sebagai seorang profesional (ahli farmasi) atau bisnis (pedagang obat). Hal yang mendasari dilema tersebut adalah desakan sosial dan adaptasi atas peran pekerjaannya di dalam organisasi/lembaga tempatnya bekerja. Penelitian Quinney menggunakan metode kuantitatif melalui kuosioner terhadap responden terkait yang telah dipilih sebelumnya. Quinney kemudian menemukan bahwa terdapat korelasi positif antara pelanggaran pemberian resep dan peran pekerjaan dalam organisasi tempat farmasi itu berada, sebagaimana dapat dilihat dari tabel di bawah ini Tabel 2.4 Hubungan antara Pelanggaran Pemberian Resep dan Peran Pekerjaan dalam Lembaga Farmasi Pelanggaran Pemberian Resep Pelanggar Bukan Pelanggar Total
Tuntutan Peran Pekerjaan dalam Lembaga Farmasi ProfesionalBiasa | Profesional Bisnis Bisnis Indifferent N % N % N % N % 0 0 5 14 3 20 12 75 13 100 31 86 12 80 4 25 13 100 36 100 15 100 16 100
Sumber: Richard Quinney dalam Gilbert Geis. (2007). White Collar Criminal: the Offender in Business and the Professions. New Jersey: Transaction Publishers, hal 214
Hasil penelitian itu menyimpulkan bahwa apoteker yang melakukan pelanggaran, dengan menjual obat kepada pelanggan tanpa adanya resep dokter sebelumnya, cenderung melihat dirinya sebagai pelaku bisnis daripada seorang yang ahli/professional. Hal ini disebabkan adanya perbedaan orientasi dikarenakan tuntutan dari organisasi tempat mereka bekerja. Apoteker yang melakukan pelanggaran tersebut lebih menjalani peran sebagai pebisnis daripada seorang ahli farmasi atau profesional. Penelitian yang dilakukan Quinney ini dapat menjadi dasar dalam melihat pola kejahatan white collar crime yang dilakukan oleh praktisi dalam ranah publik, seperti kesehatan ataupun pendidikan. Selanjutnya, Prasad (2005) berusaha menjawab pertanyaan mengenai konsep komersialisasi pendidikan tinggi dengan memperlihatkan ‘otonomi keuangan’ (komersial) yang mendapatkan tempat tersendiri sebagai langkah
Universitas Indonesia
42
praktis untuk menanggapi kondisi kontemporer (terkini) dari fenomena ekonomi yang berkiblat pada pasar (market). Pendidikan tinggi pun tidak terlepas dari konsep ini dan berusaha beradaptasi dalam perspektif pasar ini. Staf pengajar dan administratif beradaptasi dengan menyatakan dirinya sebagai provider (penyedia) sedangkan murid atau peserta didik dianggap sebagai konsumen, dengan komoditas yang disebut sebagai ‘pengetahuan’. Tenaga sosial lainnya yang berkontribusi untuk mendukung sistem ini (pemerintah, komunitas, orang tua, dan lain sebagainya), dianggap sebagai stakeholder atau pemangku kepentingan, yang mana mereka akan mendapatkan keuntungan, baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang sebagai hasil dari investasi mereka atas pendidikan. Penelitian hubungan antara komersialisasi pendidikan, otonomi perguruan tinggi dan kejahatan korporasi sebelumnya telah digambarkan oleh beberapa akademisi di berbagai negara dunia. Di negara Vietnam, perubahan besar-besaran pendidikan tinggi di negara ini sejak tahun 1980 telah menyebabkan korupsi di berbagai universitas (McConac, 2012). Perubahan itu sendiri dapat dilihat dari bagaimana sistem keuangan publik menjadi sistem hibrida yang menggabungkan antara penyedia pendidikan berbasis negara dan non-negara (swasta), serta tanggung jawab pembiayaan pendidikan yang terdiri atas publik dan privat. Selain itu, adanya perubahan pembiayaan dari mayoritas ditanggung oleh negara menjadi ditanggung oleh mahasiswa (peserta didik). Selain itu, Osipian (2009) mengungkapkan bahwa pendidikan negara Ukraina sedang mengalami transformasi besar dan inilah yang menjadi bagian yang difokuskan pada pemberantasan korupsi di kalangan akademisi. Privatisasi secara terus menerus dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi kemungkinan akan menghasilkan tingkat korupsi yang rendah dalam relasi antara perguruan tinggi dengan pemerintah, serta terjadi dalam sistem yang didanai negara secara terpusat. Di sisi lain, dengan adanya privatisasi, korupsi dalam hubungan pelanggan dan penyedia tender dapat meningkat, seperti antara pihak perguruan tinggi dengan peserta didik maupun pihak eksternal lainnya di luar pemerintah (negara). Dalam penelitian lainnya, Osipian (2009) menemukan komersialisasi pendidikan tinggi di Rusia yang ditandai dengan pada tahun 2007 persentase
Universitas Indonesia
43
pendapatan pendidikan tinggi sebanyak 54% berasal dari peserta didik, sedangkan sisanya akan ditanggung pemerintah, pihak internal institusi ataupun masyarakat melalui hibah dan pinjaman. Selain penelitian Vietnam, Ukraina dan Rusia, salah satu negara yang menjadi studi kasus dalam menggambarkan hubungan antara otonomi perguruan tinggi dan kejahatan korporasi adalah India (Singh dan Purohit, 2011; Putra, 2012; Chandwani dan Bhome, 2013). India adalah salah satu dari sistem pendidikan tinggi terbesar di dunia dengan adanya 430 universitas dan 22.000 institusi pendidikan tinggi. Sayangnya, privatisasi pendidikan tinggi telah muncul dalam beberapa bentuk dan jenis dalam beberapa dekade terakhir di India. Pendidikan akhirnya hanya sebagai obyek bisnis di mana memiliki pengaruh serius dan buruk bagi masyarakat. Semakin banyak mereka mampu membayar, maka semakin tinggi pula tingkat pendidikan yang akan mereka peroleh. Beberapa institusi di India pada akhirnya memperlihatkan bagaimana orientasi dari pendidikan adalah soal kuantitas (khususnya jumlah orang-orang yang berhasil menyelesaikan pendidikannya), dibandingkan kualitas dari peserta didiknya. Belum lagi terdapat pula fakta sekalipun biaya kuliah dari beberapa perguruan tinggi termasuk mahal, fasilitas yang ada ternyata masih di bawah rata-rata. Putra (2012) kemudian melakukan studi komparasi tentang kebijakan yang berasaskan liberalisasi pada pendidikan tinggi di India dan Indonesia. Putra melihat bahwa kebijakan liberalisasi pendidikan tinggi di Indonesia terlihat di kampus-kampus BHMN yang dapat digolongkan menjadi universitas sentral, sedangkan di India lebih terlihat pada universitas negara bagian dan IIT’s. Hal ini dikarenakan subsidi pemerintah yang besar terhadap universitas sentral seperti JNL dan University of Delhi. Putra akhirnya menyimpulkan bahwa liberalisasi pendidikan tinggi memang tidak bisa dihindari dari negara-negara di dunia, termasuk Indonesia dan India. Namun, liberalisasi pendidikan tinggi yang dilakukan Indonesia maupun India, bukanlah semata karena mengikuti ideologi negara-negara neoliberal, tetapi lebih karena minim komitmen untuk memberikan pendanaan yang maksimal.
Universitas Indonesia
44
Khusus untuk negara Indonesia, Ihsan (2012) menunjukkan bahwa ketidakmerataan akses pendidikan di Indonesia ditandai dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu kebijakan RSBI dan SBI. Ihsan mencoba mengambil konsep komersialisasi pendidikan yang ada dalam kebijakan RSBI dan SBI ini, khususnya terkait permasalahan biaya dan kualitas yang akhirnya diperoleh peserta didik. Diskriminasi dan intimidasi yang timbul sebagai dampak kebijakan ini pun ternyata membuat bertambahnya angka anak yang putus sekolah. Selain itu, terdapat penyelewengan dana sekolah yang terdapat dalam kebijakan ini memperlihatkan bahwa terdapat potensi korupsi yang timbul akibat bentuk komersialisasi di bidang pendidikan. Di tingkat pendidikan tinggi Indonesia, Januardy (2014) mengambil teori korporatisasi
universitas
yang
dicetuskan
oleh
Henry
Giroux
dan
menghubungkannya dengan perubahan status Universitas Indonesia selama 13 tahun sejak tahun 2000. Dalam penelitiannya, ia menunjukkan bagaimana neoliberalisme mempengaruhi Indonesia semenjak era Orde Baru dengan membuka gerbang masuknya aktor-aktor neoliberalisme, misalnya WTO, IMF dan World Bank untuk mengintervensi kebijakan nasional di Indonesia. Gerbang neoliberalisme yang dibuka oleh Orde Baru dan amandemen UUD 1945 berhasil mengubah kebijakan nasional Indonesia, salah satunya adalah kebijakan pendidikan. Pada tahun 1994, Indonesia tergabung menjadi anggota WTO dengan meratifikasi WTO Agreement yang kemudian disusul dengan penandatanganan GATS (General Agreement on Trade in Services). Akibat dari kesepakatan ini adalah Indonesia harus meliberalisasi 12 sektor jasa yang salah satunya adalah sektor jasa pendidikan. GATS merupakan awal dari privatisasi yang terjadi di universitas publik di Indonesia. Akibat keputusan pemerintah saat itu, Universitas Indonesia juga mengalami perubahan menjadi badan hukum berdasarkan PP Nomor 152 Tahun 2000 hingga implementasi UU Nomor 12 Tahun 2012 melalui PP Nomor 68 Tahun 2013. Semenjak institusi pendidikan menjadi badan hukum, Januardy menilai bahwa pemerintah memperlakukan pendidikan sebagai unit usaha dan sumber dana primer yang membuatnya berjalan layaknya sebuah korporasi. Hal ini juga berimplikasi terhadap peningkatan tren sumber pendapatan UI sebesar 1 Triliun hanya dalam waktu 5 tahun antara tahun 2008 – 2012. Akibat Universitas Indonesia
45
dari korporatisasi UI, terjadi lonjakan kebutuhan anggaran yang mengakibatkan komersialisasi bagi peserta didik. Berdasarkan temuan data yang ada, terjadi peningkatan signifikan sumber pendapatan UI yang berasal dari peserta didik, namun terjadi pengurangan dari pos pendapatan Negara dan juga universitas. Selain itu, penelitian yang dilakukan Susanti (2011) mengungkapkan bahwa semakin otonom administrasi dari institusi perguruan tinggi, maka akan timbul kecenderungan terjadinya komersialisasi. Susanti kemudian mengambil studi kasus Universitas Pelita Harapan (UPH) sebagai salah satu universitas privat yang dibangun sejak tahun 1994 oleh Lippo Group, salah satu kelompok konglomerat di Indonesia. Pada Juli 2009, beberapa mahasiswa UPH melaporkan Rektor mereka atas penyelenggaraan Teachers College ke pihak kepolisian. Hal ini dilakukan setelah Teachers College tersebut muncul dan beroperasi sejak tahun 2006, beberapa program studi yang terdapat di dalamnya belum didaftarkan dan diakui secara legal oleh direktorat jenderal pendidikan tinggi (Dirjen Dikti). 2. 4. Kerangka Pikir Pendidikan merupakan salah satu hak yang dijamin oleh negara Indonesia berdasarkan amanat konstitusi maupun ratifikasi atas hak ekosob melalui UU 11 tahun 2005. Khusus pada pendidikan tinggi, negara tetap menjamin aksesbilitas yang sama untuk setiap calon peserta didik maupun adanya aloksi dana dengan tujuan menuju pendidikan gratis. Akan tetapi, dikarenakan keterbatasan negara dalam dana pendidikan tinggi, maka perguruan tinggi diberikan otonomi dalam penyelenggaraannya untuk dapat mencari kekurangan biaya operasional pendidikan yang tidak dapat dipenuhi negara, khususnya penerimaan yang diperoleh dari peserta didik. Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi secara non akademik tersebut kemudian termanifestasikan melalui PP 61 tahun 1999 hingga UU nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi, melalui konsep badan hukum. Secara umum, otonomi perguruan tinggi ini sendiri bisa dikenali dari 3 proses, yaitu (1) desentralisasi melalui pembagian wewenang atas pendidikan kepada pihak privat, pemerintah daerah, maupun institusi perguruan tinggi itu sendiri; (2) privatisasi melalui berkurangnya porsi pemerintah (negara) dalam membiayai institusi
Universitas Indonesia
46
perguruan tinggi, sehingga salah satu konsekuensinya adalah meningkatnya biaya pendidikan dari peserta didik; dan (3) komersialisasi yang mengubah orientasi pendidikan tinggi untuk mengejar profit atau keuntungan semata. Dalam hal ini, otonomi perguruan tinggi (non-akademik) di Indonesia terlihat dalam perubahan status beberapa perguruan tinggi di Indonesia, dari perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi perguruan tinggi negeri badan hukum (PTN BH). Dalam konsep otonomi perguruan tinggi terdapat prinsip nirlaba sebagai etika dalam pelaksanaannya. Artinya, komersialisasi pendidikan dalam batasan tertentu diperbolehkan dan dilegalkan ketika pembayaran biaya pendidikan oleh peserta didik bertujuan untuk menutupi biaya operasional, mengembangkan ilmu pengetahuan maupun tata kelola institusi pendidikan; bukan untuk mencari keuntungan secara berlebihan (surplus). Ketika surplus atau keuntungan dari hasil komersialisasi itu berlebihan maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran etika, karena pendidikan merupakan hak yang dijamin oleh negara di jenjang manapun termasuk pendidikan tinggi. Di sisi lain, saat surplus hasil komersialisasi pendidikan tersebut hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, maka hal tersebut dapat digolongkan sebagai korupsi dalam sektor pendidikan. Secara sosiologis, pelanggaran etika merupakan salah satu definisi kejahatan yang dikemukakan oleh Sutherland sebagai white collar crime. Secara lebih khusus, konsep white collar crime berkembang menjadi 2 kategori besar, yaitu occupational crime (kejahatan okupasional) yang mengatur pada etika pekerjaan seseorang dan corporate crime (kejahatan korporasi) yang mengatur pada etika suatu organisasi/korporasi. Dalam hal ini, ketika perguruan tinggi melakukan komersialisasi pendidikan secara berlebihan, maka hal tersebut dapat digolongkan sebagai kejahatan korporasi karena institusi pendidikan menganggap dirinya layaknya organisasi bisnis (korporat) pada umumnya yang berorientasi profit dibandingkan lembaga pendidikan yang berorientasi pada penyelenggaraan pendidikan atau pengembangan ilmu pengetahuan. Sebagai salah satu PTN BH di Indonesia, Universitas X tidak lepas dari pelaksanaan konsep otonomi perguruan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku di Indonesia. Atas dasar tersebut, PTN BH dapat melakukan
Universitas Indonesia
47
komersialisasi pendidikan dengan batas etika nirlaba sebagai salah satu prinsip dalam otonomi perguruan tinggi. Jika prinsip nirlaba tersebut tidak dipenuhi seperti perolehan dana pendidikan yang berlebihan dari peserta didik, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu pelanggaran etika. Komersialisasi pendidikan secara berlebihan (pelanggaran etika) inilah yang pada akhirnya dapat dilihat sebagai salah satu bentuk kejahatan korporasi dalam institusi pendidikan tinggi, khususnya PTN BH. Hal ini dikarenakan Universitas X sebagai PTN BH dituntut untuk dapat mencari sumber pendanaan lain secara mandiri untuk menggapai visinya dengan maksimal. Sumber pendanaan tersebut dapat diterima dari masyarakat dalam bentuk hibah atau pinjaman, unit usaha Universitas seperti melakukan riset ataupun retribusi maupun peserta didik melalui biaya pendidikan yang dibebankan kepadanya. Atas dasar tersebut, institusi pendidikan tidak lagi memandang dirinya sebagai penyelenggara pendidikan atau tempat reproduksi ilmu pengetahuan, namun sebagai korporasi pada umumnya untuk menutupi kekurangan alokasi dana dari negara. Pemenuhan kekurangan tersebut salah satunya dilakukan melalui komersialisasi pendidikan. Ketika komersialisasi pendidikan ini terjadi, maka hal tersebut akan berdampak secara sistemik, khususnya kepada kurikulum pendidikan, sumber daya manusia/penyelenggara (tenaga pendidik maupun administrasi), maupun kepada peserta didik. Dengan berdasarkan kerangka konsep, landasan teori dan penelitian lain dengan isu sebidang yang terdapat dalam Bab 2, penelitian ini berusaha menggambarkan salah satu bentuk komersialisasi pendidikan dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia, melalui studi kasus studi kasus penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. Secara sederhana, skema alur pikir penelitian ini bisa dilihat dari diagram di bawah ini.
Universitas Indonesia
48
Diagram 2.3 Skema Alur Pikir Amanat Konstitusi Hak Ekosob Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Tinggi Kemampuan Keuangan Negara Biaya Operasional Perguruan Tinggi Kebijakan Otonomi Perguruan Tinggi Prinsip Nirlaba sebagai Etika Penerimaan Perguruan Tinggi dari Peserta Didik dan Sumber Penerimaan Lainnya Ketidakmampuan Manajerial Komersialisasi Pendidikan Surplus yang Berlebihan
Keuntungan bagi Individu
Keuntungan bagi Institusi
Korupsi Sektor Pendidikan
Pelanggaran Etika (White Collar Crime) Kejahatan Korporasi
Sumber: Olahan pribadi, 2015
Universitas Indonesia
BAB 3 METODE PENELITIAN
3. 1. Pendekatan Penelitian Berdasarkan pendekatan penelitian, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pemilihan pendekatan ini dikarenakan metode ini sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti, yaitu mampu mendeskripsikan komersialisasi pendidikan yang terjadi di Universitas X melalui studi kasus penyelenggaraan program pascasarjana. Penelitian kualitatif menuntut hubungan dua arah (interaksi) yang mendalam antara peneliti dengan subyek penelitian atau narasuber terkait dengan maksud agar mendapatkan pemahaman yang mendalam atas penelitian tersebut (Merriam, 2009). Melalui pendekatan ini, peneliti akan mudah untuk memberikan gambaran atas komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia, melalui studi kasus penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. Penelitian kualitatif pun menghasilkan penemuan yang tidak dapat dikuantifikasikan atau diperoleh melalui proses dan prosedur statistik (Strauss dan Corbin, 2003), seperti data mengenai komersialisasi pendidikan yang diperoleh melalui studi dokumen maupun wawancara dalam penelitian ini. 3.2 Jenis dan Manfaat Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui strategi studi kasus, yaitu penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. Menurut Yin (2003), penelitian melalui pendekatan studi kasus dapat digunakan apabila (1) pertanyaan penelitian menggunakan kata tanya ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’; (2) peneliti tidak bisa memanipulasi (mengubah) fenomena yang terjadi meskipun peneliti terlibat di dalamnya; (3) peneliti bermaksud untuk memperlihatkan kondisi kontekstual karena kepercayaan peneliti bahwa kondisi tersebut relevan dengan fenomena yang diteliti; atau (4) adanya batas-batas yang tidak jelas antara fenomena dan konteks. Penelitian ini berusaha menghubungkan antara fenomena komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi
49
Universitas Indonesia
50
dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia, melalui kasus penyelenggaraan program pascasarjana di Universitas X. Penelitian ini juga berusaha menjawab deskripsi atau gambaran umum penyelenggaraan program pascasarjana di Universitas X melalui kata tanya ‘bagaimana’. Selain itu, penelitian ini pun tidak dapat mengubah atau memanipulasi fenomena yang terjadi, meskipun dalam proses penelitian, peneliti berusaha terlibat aktif dan memahami konteks yang terjadi. Strategi studi kasus sendiri dipilih peneliti karena merupakan strategi penelitian yang (1) berfokus untuk memahami dinamika yang hadir dalam pengaturan tunggal; (2) umumnya menggabungkan metode pengumpulan data seperti arsip, wawancara, kuesioner maupun observasi; dan (3) dapat digunakan untuk menyelesaikan berbagai tujuan, khususnya untuk memberikan deskripsi (Eisenhardt, 1989). Penelitian ini secara umum memberikan salah satu representasi atas fenomena yang terjadi, yaitu penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X sebagai studi kasus untuk menggambarkan fenomena komersialisasi pendidikan dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Penelitian ini juga bersifat deskriptif karena bertujuan untuk menggambarkan (deskriptif) komersialisasi pendidikan sebagai kejahatan korporasi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemaparan mengenai bagaimana kejahatan secara sosiologis digambarkan sebagai pelanggaran etika dalam konsep white collar crime, yaitu kejahatan korporasi dalam institusi pendidikan tinggi yang menerapkan konsep otonomi perguruan tinggi dengan berprinsip nirlaba sebagai etika di dalamnya. Penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan permasalahan pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia yang berpotensi menimbulkan kejahatan korporasi yang khas dalam bidang pendidikan, yaitu pelanggaran etika atas prinsip nirlaba. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan di dalam penelitian ini terbagi dalam dua bagian, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui studi dokumen dan wawancara. Sedangkan data sekunder dalam
Universitas Indonesia
51
penelitian ini adalah sumber tambahan yang bertujuan untuk memahami lebih dalam permasalahan penelitian, yaitu buku, skripsi, berita dan jurnal online yang berhubungan dengan korupsi bidang pendidikan, komersialisasi, otonomi perguruan tinggi maupun kasus-kasus korupsi yang terjadi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. 3.3.1. Studi Dokumen Penelusuran dokumen yang peneliti butuhkan adalah laporan keuangan Universitas X khususnya alokasi pendapatan sebagai bentuk komersialisasi pendidikan, berbagai peraturan terkait perubahan status Universitas X, maupun berbagai peraturan pendukung lainnya yang berkaitan dengan pengadaan program pascasarjana Universitas X. Studi dokumen ini bertujuan untuk melihat isi kandungan dan penulisan yang menunjukkan kebijakan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Dalam hal ini, peneliti mendapatkan berbagai dokumen terkait laporan keuangan dan alokasi pendapatan Universitas X antara lain: 1. Dokumen momerandum akhir jabatan rektor Universitas X periode 20022007 yang diperoleh melalui penelusuran internet. Dokumen ini menjadi acuan peneliti dalam melihat tren penerimaan dana pendidikan yang didapatkan Universitas X pada periode tersebut, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat secara umum. 2. Laporan Bappenas mengenai Kajian Strategi Pendanaan Pendidikan Tinggi di Indonesia pada tahun 2010 yang diperoleh melalui penelusuran internet. Kajian ini dipergunakan dalam melihat sejarah dan orientasi pendidikan tinggi di Indonesia. 3. Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah Universitas X periode 2008-2012 yang diperoleh melalui salah satu pejabat Universitas X. Laporan ini menjadi acuan peneliti dalam melihat tren penerimaan dana pendidikan yang didapatkan Universitas X pada periode 2008-2012 secara lebih rigit, yaitu peserta didik, pemerintah, unit ventura, maupun masyarakat secara umum 4. Dokumen keuangan perguruan tinggi Indonesia yang disusun oleh Bank Dunia dan dipublikasikan pada tahun 2010. Peneliti memperolehnya
Universitas Indonesia
52
melalui penelusuran internet. Dokumen ini dipergunakan sebagai data komparasi
untuk
melihat
persentase
penerimaan
yang
diperoleh
Universitas X khusus pada tahun 2009 5. Laporan Perkembangan Program Pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014) yang diperoleh melalui salah satu narasumber saat peneliti melakukan wawancara. Laporan ini merupakan salah satu bahan yang dibahas dalam rapat internal MWA Universitas X. Laporan ini menjadi salah satu dasar dalam menggambarkan studi kasus penelitian. 3.3.2. Wawancara Peneliti menggunakan wawancara sebagai teknik pengumpulan data untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan penelitian yang tidak bisa didapatkan melalui studi dokumen. Wawancara bersifat mendalam dan menggunakan metode purposive. Dengan metode ini, peneliti berusaha mencari narasumber berdasarkan kedekatan peneliti dengan narasumber dan anggapan subyektif peneliti atas informasi narasumber yang akan menjadi data penelitian. Pemilihan narasumber dilakukan dengan sengaja, yaitu terdapat narasumber yang telah dipilih dan ditentukan sebelumnya. Meskipun terdapat beberapa narasumber yang didapatkan melalui ketidaksengajaan, namun peneliti anggap mengetahui informasi mengenai studi kasus penelitian. Ketidaksengajaan dalam melakukan wawancara pada beberapa narasumber dikarenakan tema penelitian yang bersifat sensitif dan sulit untuk mendapatkan data dari sumber asal atau narasumber yang benar-benar dianggap peneliti mampu menjelaskan studi kasus penelitian secara utuh dan dapat dipertanggungjawabkan. Metode wawancara memudahkan peneliti untuk memperoleh jawaban atas proses penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X, pemahaman lebih mendalam tentang konsep komersialisasi pendidikan dari para pemangku kebijakan
terkait,
pelanggaraan
etika
dalam
penyelenggaraan
program
pascasarjana Universitas X, hingga perkembangan kasus terbaru dari studi kasus yang ditemukan peneliti pada awal tahun 2015. Hal yang perlu menjadi catatan penting bagi penelitian ini adalah informasi yang didapatkan narasumber dapat saling mendukung antara satu dengan yang lainnya, meskipun narasumber
Universitas Indonesia
53
dianggap tidak memiliki kapasitas terkait status dan jabatannya di dalam Universitas X. Meskipun terdapat informasi yang masih harus dibuktikan dan dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun, hal tersebut secara umum telah memiliki arah tertentu yang dapat menjelaskan studi kasus penelitian. Data yang bersumber dari wawancara inilah yang berguna untuk melakukan analisis kritis sehingga memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian. Secara umum, alasan pemilihan narasumber dalam penelitian ini didasarkan pada beberapa kriteria, yaitu (1) merupakan seseorang yang memiliki jabatan tertentu dan mengetahui alur birokrasi ataupun administrasi program pascasarjana Universitas X; (2) adalah seseorang yang mengetahui keseluruhan ataupun sebagian penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X, mulai dari pendirian hingga adanya rencana untuk dihilangkan; dan (3) merupakan orang-orang yang dapat mendukung penelitian dengan memberikan keterangan ataupun perspektif mengenai studi kasus. Atas dasar tersebut, peneliti melakukan wawancara kepada 7 narasumber berbeda, yaitu: 1. Narasumber A. Peneliti memilih narasumber A sebagai narasumber dikarenakan narasumber A adalah salah satu rektor pada masa Universitas X berstatus badan hukum yang diharapkan mengetahui administrasi dan hal-hal yang berkaitan dengan tema penelitian. Pembangunan rapport sejak Februari 2014 dengan melakukan beberapa kali pertemuan untuk sekadar diskusi, hingga peneliti menginap di kediaman narasumber untuk membantu narasumber dalam hal teknologi informasi. Pada saat wawancara yang berkaitan dengan tema penelitian pada 1 September 2014, narasumber merasa tidak mengetahui informasi apapun mengenai hal tersebut. Narasumber mengakui bahwa sebagai rektor yang ia penting untuk ketahui adalah bagaimana proses administrasi yang jelas dan lancar. Narasumber mengakui bahwa secara substansi, ia tidak mengetahui penyelenggaraan program pascasarjana. Peneliti pada akhirnya merasa gagal dalam memperoleh informasi yang mungkin saja dapat diperoleh dari narasumber terkait penelitian. Dari narasumber A, peneliti mendapatkan keterangan untuk mendatangi langsung narasumber lainnya,
Universitas Indonesia
54
yaitu ketua program pascasarjana Universitas X yang kemungkinan besar mengakui hal yang berkaitan dengan tema penelitian. 2. Narasumber B. Narasumber B diwawancara oleh peneliti atas faktor ketidaksengajaan. Sebelumnya, peneliti telah berhubungan baik dengan narasumber B setelah dikenalkan oleh salah seorang teman peneliti yang menceritakan bahwa narasumber kemungkinan mengetahui studi kasus penelitian, sekalipun tidak mendalam. Narasumber B merupakan salah seorang staf administrasi senior di salah satu fakultas Universitas X dan dikenal sebagai seorang yang aktif di kalangan karyawan Universitas. Peneliti merasa dapat memperoleh informasi mengenai studi kasus penelitian dikarenakan hubungan baik narasumber dengan beberapa pejabat terkait di tingkat Universitas X. Peneliti melakukan wawancara mendalam kepada narasumber B pada 4 September 2014. Wawancara dilakukan secara mendadak dikarenakan narasumber baru saja kembali dari luar kota dan mengkonfirmasi untuk dapat melakukan wawancara pada malam hari itu juga. Dari narasumber B, peneliti mendapatkan gambaran umum penyimpangan administrasi yang terjadi pada program pascasarjana di tingkat fakultas, bukan sebagai program tersendiri dan sedikit informasi mengenai gambaran studi kasus penelitian. 3. Narasumber C. Hampir sama seperti narasumber sebelumnya, peneliti mewawancarai narasumber secara kebetulan atas dasar kedekatan peneliti dengan narasumber C dalam beberapa diskusi mengenai pemikiran kritis dalam ilmu sosial. Narasumber C merupakan salah satu dosen Universitas X yang dikenal cukup aktif di kalangan karyawan dan peneliti anggap mampu memahami hubungan struktur yang ada dalam universitas X secara umum, berdasarkan status, basis keilmuan maupun perspektif yang dimilikinya. Wawancara dilakukan pada 2 Oktober 2014 secara tiba-tiba ketika narasumber membalas pesan yang dikirimkan peneliti pada pagi hari dan bersedia untuk diwawancarai pada siang hari itu juga. Secara umum, peneliti mendapatkan pandangan narasumber mengenai privatisasi pendidikan tinggi, komersialisasi pendidikan, hak atas pendidikan tinggi
Universitas Indonesia
55
dan penyelenggaraan program pascasarjana yang menurut narasumber terindikasi korup melalui pembayaran gaji yang tidak sesuai. 4. Narasumber D. Peneliti memilih D sebagai salah satu narasumber dikarenakan hubungan dekat narasumber D dengan narasumber lain yang berkaitan dengan tema penelitian, yaitu narasumber E. Melalui pertemuan singkat pada 6 Oktober 2014, narasumber D kemudian memberikan akses dan bantuan kepada narasumber E yang diketahui sebagai ketua program pascasarjana Universitas X terbaru. Dari narasumber D, peneliti memperoleh informasi bahwa program pascasarjana Universitas X diketahui memiliki banyak kendala dan sedang berusaha dibenahi oleh narasumber E sebagai ketua program pascasarjana Universitas X pada saat periodenya menjabat. 5. Narasumber E. Peneliti memilih narasumber E sebagai salah satu narasumber atas dasar rekomendasi narasumber sebelumnya, yaitu narasumber D. Narasumber E sendiri merupakan ketua program pascasarjana Universitas X yang sebelumnya telah berusaha peneliti hubungi melalui media sosial facebook sejak April 2014, namun tidak mendapatkan tanggapan. Akan tetapi, setelah mendapatkan rekomendasi dari narasumber D, maka peneliti pun dapat menemuinya secara langsung dan melakukan wawancara. Wawancara narasumber E dilakukan pada 13 Oktober 2014. Dari narasumber E, peneliti mendapatkan banyak pandangan
umum
mengenai
komersialisasi
pendidikan,
berbagai
penyimpangan yang terjadi di institusi pendidikan, menegani kondisi dari program pascasarjana Universitas X secara khusus. 6. Narasumber F. Peneliti memilih narasumber F sebagai salah satu narasumber penelitian dikarenakan jabatan F sebagai salah satu anggota MWA Universitas X pada tahun 2014. Peneliti telah mengenal narasumber F sebelumnya dalam forum diskusi mengenai kebijakan pendidikan di Indonesia. Wawancara dilakukan secara kebetulan ketika peneliti menceritakan tema penelitian kepada narasumber. Tema penelitian ternyata merupakan salah satu pembahasan yang saat itu sedang
Universitas Indonesia
56
didiskusikan di tingkat MWA Universitas X pada November 2014. Pembahasan mengarah kepada berbagai penyimpangan yang terdapat dalam program pascasarjana Universitas X sehingga terdapat evaluasi khusus dalam menentukan kebijakan di tingkat MWA. Evaluasi sendiri mengarah kepada wacana pembubaran program pascasarjana Universitas X sebagai satu wadah atau organisasi struktural otonom. Narasumber F cukup menjelaskan apa yang terjadi di MWA mengenai pembahasan tema penelitian. Wawancara dilakukan pada 17 Desember 2014. Dari narasumber F, peneliti mendapatkan informasi dan perspektif mengenai komersialisasi pendidikan dan permasalahan program pascasarjana Universitas X yang dibahas dalam rapat tingkat MWA. 7. Narasumber G. Peneliti memilih narasumber G sebagai salah satu narasumber dikarenakan jabatan narasumber sebagai salah satu anggota MWA Universitas X pada tahun 2015. Peneliti menganggap bahwa keteranagn dan narasumber G bermanfaat karena pembahasan mengenai studi kasus masih dalam tahap pembahasan di tingkat MWA, meskipun telah mengarah ke arah pembubaran program pascasarjana secara wadah dan organisasi struktural otonom. Dalam pertemuan yang dilakukan pada 12 Februari 2015, peneliti mendapatkan dokumen terbaru terkait Laporan Perkembangan Program Pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014). Dokumen tersebut merupakan laporan narasi yang disertai laporan keuangan, SDM dan berbagai kegiatan yang dibuat terpisah mengenai studi kasus penelitian. Dokumen tersebut disusun oleh pihak rektorat Universitas X dan menjadi salah satu bahan dalam rapat antar organ di tingkat Universitas, yaitu dewan guru besar, senat akademik, rektorat dan majelis wali amanat (MWA). 3.3.3. Penelusuran Data Sekunder Pencarian data sekunder dilakukan peneliti sebagai sumber tambahan dalam memahami permasalahan dalam penelitian. Peneliti melakukan pencarian dari berbagai sumber untuk mendapatkan data yang tepat. Peneliti mendapatkan satu rekomendasi buku dari dosen pembimbing, yaitu melalui penelitian yang
Universitas Indonesia
57
dilakukan Quinney terhadap pelanggaran apoteker dalam menjalankan profesinya dikarenakan conflict of interest. Peneliti pun memperoleh banyak pemahaman mendalam mengenai berbagai konsep penelitian ini dari jurnal-jurnal yang dibuat oleh Ararat L. Osipian. Selain itu, peneliti telah mendapatkan data-data dari berbagai buku maupun berita di media online. 3.4. Waktu Penelitian Proses pengambilan data untuk penelitian ini dimulai sejak peneliti melakukan magang sekaligus merancang proposal penelitian. Kegiatan magang dilakukan sejak 17 Juni sampai 29 Agustus 2013 di Indonesia Corruption Watch. Peneliti saat itu membantu dalam pembuatan laporan tren korupsi pendidikan selama satu dasarwa sejak 2003-2013. Data yang peneliti dapatkan selama kegiatan magang pada awalnya menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian ini, yaitu korupsi dalam pendidikan tinggi. Namun seiring perjalanan, penelitian berusaha difokuskan khusus kepada komersialisasi pendidikan sebagai salah satu pelanggaran etika dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Pengambilan data baik dokumen dan wawancara sebagai data primer penelitian dilakukan oleh peneliti sejak bulan Oktober 2013 hingga 12 Februari 2015. Peneliti memakan waktu lama dalam melakukan pembangunan rapport, adanya narasumber yang sulit ditemui, hambatan birokrasi, ketidakhadiran narasumber yang telah membuat janji untuk bertemu sebelumnya dan studi kasus dalam penelitian yang terus berkembang hingga awal tahun 2015. 3.5 Hambatan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini mempunyai beberapa hambatan. Pertama, tema penelitian bersifat baru atau kekinian dan peneliti sempat merasa kesulitan dalam mencari kata kunci yang tepat untuk menelusuri penelitian sebelumnya yang berkaitan. Tema penelitian yang baru pun menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti untuk berusaha membahas penelitian ini secara spesifik dan mendalam. Kedua, tema penelitian ini sempat beberapa kali berganti sebelum akhirnya mendapatkan persetujuan dan kesepahaman dengan dosen pembimbing maupun
Universitas Indonesia
58
penguji ahli dalam penelitian ini. Hal tersebut membuat peneliti harus mencari literatur yang sesuai dengan tema yang baru. Selain itu, hambatan lainnya adalah pergantian tema hingga pergantian fokus penelitian merupakan salah satu konsekuensi atas tema yang bersifat sensitif dan sulit untuk menemukan data dari sumber utama yang dapat dipertanggungjawabkan. Ketiga, narasumber dari penelitian ini adalah orang-orang dengan tingkat mobilitas yang cukup tinggi. Kesibukan para narasumber harus membuat peneliti mengatur janji untuk bertemu beberapa hari sebelumnya. Terdapat pula salah satu calon narasumber yang sulit dihubungi dan baru dapat melakukan satu kali pertemuan. Setelah pertemuan tersebut, calon narasumber sulit untuk dihubungi dan baru diketahui sedang berada di luar kota. Akhirnya calon narasumber tersebut pun tidak menjadi salah satu narasumber dari penelitian ini. Beberapa narasumber dapat bekerja sama dalam menyusun penelitian ini, walaupun peneliti merasa bahwa terdapat narasumber yang tidak mau memberikan informasi sama sekali terkait studi kasus penelitian. Terdapatnya faktor ketidaksengajaan dan kebetulan
dalam
menemui
hingga
akhirnya
mewawancarai
narasumber
merupakan salah satu hambatan penelitian agar data dan informasi yang didapatkan bisa dipertanggungjawabkan dengan baik, sehingga hasil penelitian ini masih dapat dikatakan bersifat tentatif meskipun telah memiliki arah tertentu. Sekalipun demikian, peneliti merasa informasi yang didapatkan dari narasumber cukup mendukung antar satu sama lain dan dapat menjelaskan studi kasus. Keempat, studi kasus yang menjadi berkembang dan menjadi pembahasan di tataran pejabat kampus Universitas X pada akhir tahun 2014 hingga awal tahun 2015. Dengan adanya perkembangan kasus, maka peneliti merasa perlu mencari tahu lebih lanjut tentang keterkaitan antara perkembangan tersebut dengan studi kasus yang menjadi fokus penelitian. Perkembangan kasus ini pula yang menjadi titik untuk melakukan proses triangulasi atau wawancara baru guna membuktikan data penelitian berupa keterangan dan informasi yang telah dikumpulkan sebelumnya melalui naraumber lain. Kelima, peneliti memiliki keterbatasan dalam memahami literatur berbahasa asing, sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengerti dan dapat menyusunnya dalam penelitian ini
Universitas Indonesia
BAB 4 SEJARAH KEBIJAKAN OTONOMI PERGURUAN TINGGI DI INDONESIA
4. 1. Orientasi Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia 4. 1. 1. Periode Orde Lama (1945 – 1965) Mochtar Buchori dan Abdul Malik (dalam Albatch dan Umakoshi, 2004) menuliskan proses evolusi pendidikan tinggi di Indonesia yang digolongkan menjadi 4 bagian, yaitu masa prakolonial, masa koloni Belanda, penjajahan Jepang dan era postindependence. Peneliti, dalam hal ini, akan membahas secara khusus masa setelah kemerdekaan yang dimulai dari masa orde lama (1945-1965) hingga pascareformasi. Pendirian institusi pendidikan tinggi mulai banyak terjadi pada masa orde lama. Menurut laporan Bappenas (2010), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, kemenangan Indonesia atas Belanda dalam memperebutkan Irian Jaya yang berimplikasi pada kebijakan Belanda untuk menarik semua guru besar atau profesor dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Menyikapi kebijakan pemerintah Belanda tersebut, pemerintah Indonesia mengirimkan banyak mahasiswa ke Rusia dan Amerika yang dianggap maju berdasarkan dua kutub perspektif keilmuan yang ada saat perang dingin. Sayangnya, mahasiswa yang berangkat ke Rusia dan telah menyelesaikan studinya tidak dapat kembali ke Indonesia setelah peristiwa G 30S/PKI. Sementara, mahasiswa yang belajar di Amerika dapat kembali dan mengembangkan berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Kedua, disahkannya UU nomor 22 pada tahun 1961 mengenai Perguruan Tinggi sehingga setiap provinsi diwajibkan mendirikan setidaknya satu perguruan tinggi negeri. Oleh karena itu, terdapat 23 Universitas, institut, dan sekolah tinggi pelatihan guru pada periode tersebut. UU pendidikan ini juga membolehkan masyarakat untuk berperan serta dalam pendidikan tinggi untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta baru.
59
Universitas Indonesia
60 4. 1. 2. Periode Orde Baru (1966 – 1998) Sekalipun dua dekade pasca kemerdakaan telah berlangsung, orientasi pendidikan tinggi di Indonesia masih belum terarah dengan baik. Ini terjadi karena pemerintahan orde lama Indonesia lebih berfokus pada masalah politik dibandingkan pendidikan tinggi, seperti pembentukan negara, perumusan berbagai UU dan mempertahankan kemerdekaan. Oleh karena itu, pada periode orde baru, dirumuskanlah Kebijakan Dasar Pengembangan Pendidikan Tinggi Nasional (KDPPT I 1975-1985) yang mencakup sektor publik dan privat. Secara umum, kebijakan ini memperkenalkan tiga level program untuk pendidikan tinggi: program Diploma, program Sarjana, dan program Politeknik setingkat sarjana. KDPPT I memuat tujuan pengembangan, peran dan fungsi pendidikan tinggi, dasar dan arah pembinaan dan pengembangan, langkah pembinaan, kelembagaan pendidikan tinggi, serta pembiayaan dan alokasi anggaran (Bappenas, 2010). Kebijakan ini pun mengatur aspek organisasi dan managerialnya, terutama pada perkenalan sistem kredit semester (SKS), evaluasi akademik mahasiswa, beban mahasiswa dan sistem promosi staf (Jalal dan Bachrudin, 2001). Kebijakan tahap berikutnya, KDPPT II (1985-1995), pengembangan pendidikan tinggi diarahkan pada hasil konsolidasi yang telah diperoleh selama periode pengembangan sebelumnya. Pengembangan yang dilakukan pada tahap ini ialah di sektor kapasitas kelembagaan, infrastruktur, manajemen, produktivitas, relevansi dan mutu (Bappenas, 2010). Pada periode ini, melalui Keputusan Mentri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0326 tahun 1994, pemerintah membentuk Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT). 4. 1. 3. Masa Pasca Reformasi (1998 – sekarang) Pada tahap selanjutnya, pemerintah membuat Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPT-JP 1996-2005), yang bertujuan untuk menjawab kebutuhan dan permintaan di masa depan dengan memperbaiki sistem melalui 3 program induk, yaitu: penataan sistem dengan paradigma baru, peningkatan relevansi dan mutu; serta pemerataan. Pada periode ini, Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) sudah dibentuk pemerintah lewat Keputusan Menteri No. 0121/U/1996. Selanjutnya, empat perguruan tinggi negeri pertama diberikan
Universitas Indonesia
61
status otonomi melalui PP 61 tahun 1999 (Bank Dunia, 2010). Pemberian status badan hukum milik negara (BHMN) terhadap empat perguruan tinggi negeri tersebut adalah bentuk privatisasi yang dilakukan pemerintah di dalam dunia pendidikan tinggi (Putra, 2012). KPPT-JP tidak berjalan mulus akibat peristiwa 1997-1998, hingga mendesak pemerintah Indonesia mengeluarkan rencana kebijakan lain yang dikenal sebagai Higher Education Long Term Strategy (HELTS) 2003-2010, dua tahun sebelum berakhirnya KPPT-JP. Kebijakan baru ini berfokus terhadap tiga strategi utama, yakni: meningkatkan daya saing nasional dengan menghasilkan relevansi dan kepekaan terhadap lingkungan alam dan sosial; mempromosikan desentralisasi dan meningkatkan kesehatan organisasi lewat peningkatan manajemen internal dan pengembangan otonomi sebagai landasan dari strategi; kondisi kesehatan organisasi untuk desentralisasi dan otonomi yang sukses (Dikti, 2003). Pada periode ini, tiga perguruan tinggi negeri lainnya menyusul diberikan status otonomi (BHMN) pada tahun 2003, 2004, dan 2006. Selain itu, mekanisme pendanaan inovatif, seperti dana hibah kompetitif dan dana hibah berdasarkan prestasi, telah diperkenalkan kepada perguruan tinggi negeri dan swasta. Periode ini diawali dengan perubahan UU Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas) pada tahun 2003, adanya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) pada tahun 2009 dan diakhiri dengan dicabutnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2010 karena dinilai bertentangan dengan konstitusi. Akan tetapi, menurut narasumber E, pada periode itulah beberapa universitas kehilangan payung hukum dalam melaksanakan kegiatan otonomi akademiknya, sehingga masih terlibat dalam urusan birokrasi pemerintah yang dinilai rumit. Berikut pernyataan narasumber: “Nah, di UU BHP tu memang ada pasal yang seolah-olah kalau dibaca nanti semua universitas akan begitu.. jadi dimintakan judicial review oleh pak rektornya Universitas Atmajaya, lalu dia bawa pasal itu ke judicial review. Tapi oleh mahkamah konstitusi yang sok tau itu, dibubarin semua undang-undangnya itu. Jadi kita kehilangan pegangan, gitu. Padahal undang-undang itu sangat bagus ya, mengatur pemerintah sangat membebaskan gitu. Nah sebetulnya, dimana-mana di seluruh dunia
Universitas Indonesia
62
universitas itu adalah universitas otonom gitu lho, sama sekali pemerintah itu tidak turut campur, tapi pemerintah mendanai, tidak ada hubungannya otonom itu dengan tidak mendanai, itu yang sama sekali salah orang berpikir. Jadi universitas otonom itu tetap harus didanai oleh pemerintah.” (Wawancara dengan narasumber E di ruang rapat gedung pascasarjana Universitas X, 13 Oktober 2014) Pada tahap yang selanjutnya, seiring dengan meningkatnya peran ilmu pengetahuan sebagai basis perekonomian dan pembangunan negara, semakin meningkatnya permintaan pendidikan tinggi dari masyarakat, serta dicabutnya UU BHP yang mengatur perguruan tinggi negeri dan swasta otonom, pemerintah akhirnya mengeluarkan Rencana Strategis Dikti (2010-2014). Tujuan strategisnya berfokus kepada lima pilar (Dikti, 2003), yakni: 1) perbaikan sistem di Dikti untuk menjalankan tugas secara efektif dan efisien, dengan lebih menjadi fasilitator bagi pengembangan pendidikan tinggi dan fungsi regulator harus sejalan dengan prinsip otonomi perguruan tinggi; 2) ketersediaan pendidikan tinggi yang bermutu dan relevan terhadap daya saing bangsa; 3) kesetaraan, keterjangkauan dan keterjaminan akses untuk memperoleh pendidikan tinggi; 4) perguruan tinggi yang otonom dan akuntabel sesuai dengan UU Sisdiknas tahun 2003; dan 5) interaksi hubungan antara perguruan tinggi dan masyarakat. Kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah tersebut tidak dapat dilepaskan dari desain besar arah pembangunan Indonesia, sebagaimana tertulis dalam RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) 2005-2025. Dari dokumen tersebut, pemerintah membuat RPPNJP (Rencana Pembangunan Pendidikan Nasional Jangka Panjang) 2005-2025. Periode 20 tahun dalam rencana pembangunan pendidikan nasional tersebut akhirnya dibagi menjadi empat periode, yaitu: 1. Peningkatan kapasitas dan modernisasi (2005-2010) 2. Penguatan layanan pendidikan (2010-2015) 3. Penguatan daya saing regional (2015-2020) 4. Penguatan daya saing internasional (2020-2025)
Universitas Indonesia
63
Bila pemerintah berpegang teguh pada RPPNJP, maka terlihat jelas bahwa tujuan dan orientasi pendidikan nasional –setidaknya hingga tahun 2025– yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah ke luar, yakni mengikuti arus globalisasi dengan menyepakati persaingan bebas melalui istilah “daya saing”, pasar bebas, dan lain sebagainya (Darmaningtyas dan Subkhan, 2012). Dalam hal ini, narasumber E mengungkapkan orientasi pendidikan tinggi Indonesia yang dikomparasikan dengan negara-negara lain. Berikut pernyataan narasumber: “Founding father kita itu sudah melihat jauh kedepan ya untuk bisa dapetin (otonomi pendidikan). Seperti biasa, sejarah kita itu kan sangat buruk dituliskan, gak pernah ada catatan baik. Jadi sejak dari Ki Hajar Dewantara bahkan ada Soekarno gitu gtu gitu ya, bisa lihat di buku putih itu, ya sudah lama.. itu Mr Soepomo terutama, beliau mengatakan bahwa universitas itu harus jauh sekali pandangannya ya, universitas itu harus tidak menjadi djawatan pemerintah, sehingga mereka bisa maju pesat. Tidak dikungkung-kungkung. Seperti sekarang ini kita disuruh bikin rancangan tahunan Universitas X misalnya atau ITB, UGM, itu udah ada borang-borangnya. Jadi mimpi-mimpi kita mau bikin apa, bikin apa itu susah. Gak bisa. Makanya kita selalu ketinggalan sama Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, apalagi Jepang dan apa dan apa gitu, jauh (tertinggal). Karena kungkungan (jeratan) pemerintahnya (Indonesia) itu besar banget.” (Wawancara dengan narasumber E di ruang rapat gedung pascasarjana Universitas X, 13 Oktober 2014) Pernyataan di atas semakin menegaskan orientasi pendidikan Indonesia adalah mempersiapkan kompetisi tingkat global. Untuk mendorong percepatan itu, narasumber E menekankan pentingnya otonomi pengelolaan non-akademik pendidikan tinggi untuk mengurangi intervensi pemerintah. Perubahan orientasi dan kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia dapat dilihat dari tabel berikut:
Universitas Indonesia
64
Tabel 4.1 Perubahan Orientasi dan Kebijakan Pendidikan Tinggi Indonesia Periode Masa Orde Lama (1945-1965) Masa Orde Baru KDPPT I (1975-1985) Masa Orde Baru KDPPT II (1986-1995) Masa Transisi Orde Baru dan Pasca Reformasi KPPT-JP (1996-2005) Masa Pasca Reformasi Renstra DIKTI (2010-2014)
Masa Pasca Reformasi
RPPNJP (2005-2025)
Fokus Pengembangan pendidikan sebagai pusat reproduksi ilmu pengetahuan. Penyamarataan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia. Pendirian universitas privat Menyusun hubungan (relevansi) antara pendidikan tinggi dan program pembangunan nasional.
Kunci Reformasi Kebijakan Pembiayaan mahasiswa Indonesia yang melanjutkan studi ke Rusia dan Amerika. Disahkannya UU 22/1961 mengenai Perguruan Tinggi Pengaturan pendidikan akademik dan professional; Dikenalnya lulusan sarjana, diploma, Politeknik; SKS
Konsolidasi pencapaian pada periode sebelumnya dan peningkatan kualitas pendidikan tinggi. Diperbolehkannya investasi asing dalam pengembangan pendidikan tinggi Fokus terhadap tiga program utama: implementasi paradigma baru di dalam manajemen pendidikan tinggi; peningkatan relevansi dan kualitas; promosi kesetaraan geografi dan sosial.
Didirikannya Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT) melalui Keputusan Mentri No. 0326/U/1994.
Fokus pada efisiensi dan efektivitas output pendidikan tinggi; ketersediaan pendidikan yang bermutu dan relevan; pemerintah lebih berperan sebagai fasilitator; mendorong perguruan tinggi lebih otonom dan akuntabel sesuai UU Sisdiknas 2003; meningkatkan interaksi perguruan tinggi dan masyarakat. Fokus pada penguatan untuk mempersiapkan daya saing (kompetisi) yang berawal dari tinggal regional, hingga internasional
Sumber: Putra, 2012 dan telah diolah kembali, 2015
Universitas Indonesia
Paradigma baru dan akhirnya mendefinisikan kembali peran dari pusat dan lembaga pendidikan tinggi; Berdirinya Dewan Pendidikan Tinggi (DPT) melalui Keputusan Mentri No. 0121/UU/1996. Pengembangan pendidikan Vokasi jangka pendek (D1 dan D2); mengembangkan alternatif dana pendidikan bagi masyarakat kurang mampu, selain beasiswa; meningkatkan jumlah beasiswa (dari APBN dan kerjasama dengan swasta); Menyiapkan kerangka legal PT menjadi lembaga otonom dan akuntabel (UU PT). Perubahan status dari PTN menjadi PTN BH yang lebih otonom. Ditetapkannya sitem keuangan baru di tiap PTN melalui uang kuliah tunggal
65
4. 2. Landasan Hukum Kebijakan Otonomi Pendidikan Tinggi di Indonesia 4. 2. 1. Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pada tahun awal Agustus 2002, UUD 1945 mengalami amandemen keempat yang secara eksplisit menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Terkait alokasi dana perguruan tinggi yang diperoleh dari negara, pasal 31 ayat 4 UUD 1945 menegaskan bahwa negara wajib memprioritaskan dan mengalokasikan anggaran pendidikan di semua tingkatan pemerintah sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%), yakni melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini menjelaskan bahwa negara bertanggungjawab atas pembiayaan sektor pendidikan di semua jenjang, termasuk pendidikan tinggi. 4. 2. 2. Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 Mengenai pembiayaan pendidikan, peguruan tinggi secara legal boleh menerima dana dari masyarakat, dengan syarat tidak untuk mencari keuntungan (nirlaba). Terkait hal ini, dalam UU nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pasal 2, ayat 1 poin c, dinyatakan bahwa penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan termasuk ke dalam kelompok penerimaan negara bukan pajak. Sedangkan menurut PP 61 Tahun 1999, perguruan tinggi yang sudah berstatus badan hukum, kekayaan awalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN. Jika melihat kedua peraturan tersebut, maka dapat dilihat bahwa penerimaan yang diperoleh dari masyarakat dalam perguruan tinggi berstatus badan hukum dikategorisasikan sebagai PNBP. Besarnya dana yang diperoleh dari masyarakat untuk keperluan perguruan tinggi setidaknya harus mempertimbangkan tiga aspek, yaitu 1) dampak kepada masyarakat dan kegiatan usahanya, yaitu pelaksanaan kegiatan pendidikan; 2) Biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah; dan 3) aspek keadilan (Bappenas, 2010). Di sisi lain, pemisahan kekayaan dan adanya sumber pendanaan
yang
diperoleh
masyarakat
tersebut
memperlihatkan
adanya
perpindahan aset dari milik negara kepada perguruan tinggi BHMN.
Universitas Indonesia
66
4. 2. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 PP nomor 60 tahun 1999 tentang Pendidikan tinggi menunjukkan adanya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, khususnya dalam pendanaan. Pada Bab XII tentang pembiayaan, pasal 114 ayat 1 ditunjukkan bahwa adanya pembagian atas pihak-pihak yang secara legal formal diperbolehkan dalam membiayai perguruan tinggi, yaitu pemerintah melalui APBN/APBD; masyarakat; dan pihak luar negeri. Sekalipun sumber-sumber pendanaan yang diperoleh tersebut dibatasi, namun nominal besarannya ataupun persentase atas sumber penerimaan perguruan tinggi sendiri tidak dijelaskan secara baik. Hal yang menjadi batas dari usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari masyarakat, sebagaimana pasal 114 ayat 5 PP 60/1999 tersebut adalah didasarkan atas pola prinsip tidak mencari keuntungan (nirlaba). Pada pasal selanjutnya, kemudian disebutkan bahwa otonomi dalam bidang keuangan bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah
mencakup
kewenangan
untuk
menerima,
menyimpan
dan
menggunakan dana yang berasal secara langsung dari masyarakat. 4. 2. 4. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 Pada Juli tahun 1999, pemerintah mengesahkan PP No. 61 tahun 1999 tentang penetapan PTN sebagai badan hukum. Kebijakan ini memungkinan PTN berubah status menjadi badan hukum yang otonom (Bappenas, 2010). Di bawah regulasi ini, perguruan tinggi yang ingin mengubah statusnya harus memberikan proposal rencana otonominya. Peraturan Pemerintah ini juga mengatur pemisahan aset dari kekayaan negara. Selanjutnya, empat PTN (UI, IPB, ITB dan UGM) diundang oleh pemerintah untuk menyiapkan proposal rencana otonomi untuk institusi mereka. Hal ini dikarenakan keempatnya telah dirasa siap menjadi perguruan tinggi BHMN (Putra, 2012). Keempat perguruan tinggi itulah yang menjadi cikal bakal status badan hukum di dunia pendidikan tinggi Indonesia. 4. 2. 5. Keputusan Dirjen Dikti Nomor 28 Tahun 2002 Terbatasnya dana dari pemerintah, sedangkan kebutuhan yang begitu besar dalam mengembangkan perguruan tinggi akhirnya membuat pemerintah
Universitas Indonesia
67
memperbolehkan PTN membuka program non reguler, dengan dikeluarkannya Keputusan Dirjen Dikti No 28/DIKTI/Kep/2002 tentang Penyelenggaraan Program Reguler dan Non Reguler di Perguruan Tinggi Negeri Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Hal ini agar sumber pendanaan dari masyarakat bisa bertambah dan membantu penyelenggaraan pendidikan di PTN (Putra, 2012). Biaya yang dikenakan kepada peserta didik dari program non reguler lebih tinggi daripada biaya yang dikenakan kepada peserta didik program reguler, karena program non reguler tidak mendapatkan “subsidi” dari pemerintah. Untuk penetapan biaya pendidikan dan tata cara seleksi peserta didik non reguler ditetapkan oleh Senat Perguruan Tinggi. Selanjutnya, perencanaan dan penggunaan dana yang diperoleh dari penyelenggaraan program reguler maupun non reguler, serta pengalokasiannya dilakukan sepenuhnya oleh Pimpinan Universitas (Putra, 2012). 4. 2. 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pada tahun 2003, perubahan atas UU Sisdiknas terjadi setelah berjalan selama 14 tahun (sejak tahun 1989). Secara khusus, pendidikan tinggi mulai dijelaskan secara rinci atas dasar amanat UUD 1945 dalam UU ini. Terkait dengan permasalahan pendanaan perguruan tinggi, pasal 46 ayat 1 ditegaskan kembali bahwa “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat”. Akan tetapi, hal yang perlu digarisbawahi adalah tidak adanya kejelasan persentase dari masing-masing pihak yang mendanai pendidikan tinggi, sehingga apabila jumlah proporsi yang ditanggung masyarakat lebih besar dibandingkan pemerintah maupun pemerintah daerah, maka hal tersebut tidak menyalahi (bertentangan) dengan UU. Otonomi perguruan tinggi sendiri dapat dilihat dalam pasal 50 ayat 6 yang menyatakan bahwa perguruan tinggi menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Konsep otonomi perguruan tinggi sendiri kemudian semakin ditegaskan dengan adanya bentuk badan hukum pendidikan (BHP) pada pasal 53, khususnya pada ayat 4 yang mengamanahkan terbentuknya UU baru yang mengatur hal tersebut. Atas dasar itu, pemerintah menyusun UU BHP yang disahkan pada tahun 2009. Sayangnya, UU BHP sendiri
Universitas Indonesia
68
tidak berumur lama dan akhirnya dibatalkan seluruhnya keputusan MK pada bulan Maret tahun 2010. Mahkamah Konstitusi menilai UU BHP menjadikan pendidikan nasional diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar tanpa ada perlindungan dari negara (hukumonline.com, 2010). 4. 2. 7. Peraturan Mendiknas Nomor 2 Tahun 2005 Pada tahun 2005, pemerintah melalui Menteri pendidikan nasional (Mendiknas) mengeluarkan kebijakan untuk melakukan subsidi silang sebagai mekanisme perolehan dana yang didapat dari mahasiswa (atau pihak yang menanggungnya). Peraturan Menteri No. 2 tahun 2005 tentang Subsidi Silang Biaya Operasi Perguruan Tinggi merupakan kebijakan yang menunjukkan jumlah anggaran
yang
dialokasikan
dari
pemerintah
tidak
mencukupi
biaya
penyelenggaraan perguruan tinggi. Adapun tujuan dari kebijakan ini adalah menambah sumber pendanaan yang diperoleh dari masyarakat dengan adanya perbedaan interval biaya yang dibebankan kepada masyarakat (Putra, 2012). 4. 2. 8. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 Otonomi pendidikan tinggi melalui desentralisasi dan privatisasi selanjutnya dapat dilihat dalam peraturan Pemerintah nomor 48 tahun 2008 tentang pendanaan pendidikan. Kebijakan ini secara lebih rinci menjelaskan mengenai tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Masyarakat dianggap harus turut serta berperan aktif dalam pelaksanaan pendidikan, khususnya pendanaan atau biaya pendidikan. Biaya pendidikan yang dimaksud adalah kategori sesuai dengan pasal 3, adalah 1) Biaya satuan pendidikan; 2) Biaya penyelenggaraan dan/ atau pengelolaan pendidikan; dan 3) biaya pribadi peserta didik. 4. 2. 9. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 Pada pertengahan tahun 2012, pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang menjadi payung hukum bagi pelaksanaan perguruan tinggi di Indonesia, yaitu UU nomor 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi yang tidak terlepas dari konsep otonomi pendidikan tinggi. Pada pasal 63 dijelaskan 5 prinsip pelaksanaan
Universitas Indonesia
69
otonomi perguruan tinggi, yaitu akuntabilitas; transparansi; nirlaba; penjaminan mutu; serta efektivitas dan efisiensi. Terkait bentuk perguruan tinggi yang otonom, maka peraturan ini mengenalkan istilah baru yaitu PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum). Istilah ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bentuk BHMN ataupun BHP yang peraturannya telah dibatalkan oleh MK pada tahun 2010. Hal tersebut dipertegas dengan pernyataan narasumber C, yaitu: “Kan saya sudah bilang, bahwa (PTN BH) itu brand saja. BHMN, PTN BH atau apalah itu namanya. Kita lihat praktek. Gitu saja, simpel.” (Wawancara dengan narasumber C di salah satu kantin fakultas Universitas X, 2 Oktober 2014) Terkait keuangan dapat dilihat dalam pasal 83 sampai 87 yang secara khusus memperlihatkan adanya pembagian tanggungjawab atas pendanaan pendidikan tinggi dan terkait hal ini, masyarakat diminta turut terlibat aktif di dalamnya,
sekalipun
seperti
peraturan-peraturan
sebelumnya,
persentase
pembagiannya masih bias antara masyarakat dan negara. 4. 2. 10. Peraturan Pemerintah nomor 4 tahun 2014 Pada Februari 2014, pemerintah mengeluarkan PP nomor 4 tahun 2014 mengenai Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. Peraturan ini secara umum membahas peran pemerintah dalam penyelenggaraan perguruan tinggi, pengelolaan perguruan tinggi baik PTN, PTN BH maupun PTS, serta hasil (output) dari perguruan tinggi, yaitu gelar, sejarah dan sertifikat profesi. Otonomi perguruan tinggi kemudian dibahas secara khusus dalam bab III peraturan ini sebagai salah satu lingkup pengelolaan perguruan tinggi. Peraturan ini kembali menegaskan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi. Secara umum, otonomi perguruan tinggi di Indonesia berdasarkan PP nomor 4 tahun 2014 dapat dilihat dari tabel berikut.
Universitas Indonesia
70
Tabel 4.2 Perbedaan Otonomi Perguruan Tinggi di Indonesia No
Bidang Akademik
1.1
Pendidikan a. Persyaratan akademik calon mahasiswa baru b. Pembukaan, perubahan dan penutupan program studi c. Kurikulum Bidang Studi d. Proses Pembelajaran e. Penilaian Hasil Belajar f. Persyaratan Kelulusan g. Wisuda Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat
1.2 No
Bidang Non-akademik
2.1
Organisasi a. Renstra dan rencana kerja tahunan b. Struktur organisasi dan tata kerja c. Sistem pengendalian dan pengawasan internal d. Sistem penjaminan mutu internal Keuangan a. Perencanaan dan pengelolaan anggaran jangka pendek dan jangka panjang b. Tarif setiap jenis layanan pendidikan c. Penerimaan, pembelanjaan, dan pengelolaan uang d. Melakukan investasi jangka pendek dan jangka panjang e. Memiliki utang dan piutang jangka pendek dan jangka panjang f. Perjanjian dengan pihak ketiga dalam lingkup tridharma perguruan tinggi g. Sistem pencatatan dan laporan keuangan Kemahasiswaan Ketenagaan a. Persyaratan dan prosedur penerimaan sumber daya manusia b. Penugasan, pembinaan, dan pengembangan sumber daya manusia c. Penyusunan target kerja dan jenjang karir sumber daya manusia d. Pemberhentian sumber daya manusia Sarana Prasarana a. Pemilikan b. Penggunaan c. Pemanfaatan d. Pemeliharaan
2.2
2.3 2.4
2.5
Sumber: olahan pribadi, 2015
Universitas Indonesia
PTN
PTN BH
-
PTN
PTN BH
-
-
-
-
-
-
-
-
-
PTS Otonomi pengelolaan pada PTS diatur oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan PTS
Otonomi pengelolaan pada PTS diatur oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
Otonomi pengelolaan pada PTS diatur oleh Badan Penyelenggara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
71
Selanjutnya, perkembangan landasan hukum kebijakan otonomi perguruan tinggi di Indonesia secara umum dapat digambarkan melalui tabel berikut Tabel 4.3 Perkembangan Landasan Hukum Perguruan Tinggi Indonesia Landasan Hukum UUD 1945
UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi.
Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 tentang perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
Keputusan Dirjen Dikti No. 28/2002 tentang Penyelenggaraan Program Reguler dan Non Reguler di PTN Dirjen Dikti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003.
Fokus
Kunci Reformasi Kebijakan
Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan sebagai hak warga negara yang dijamin oleh pemerintah. Alokasi dana pendidikan yang jelas. Hasil penerimaan yang berasal dari pengelolaan kekayaan negara yang telah dipisahkan masuk ke dalam kelompok PNBP. Menjelaskan secara detail definisi, tujuan, penyelenggaraan, kurikulum, penilaian, hasil belajar, kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, gelar, dan sebutan lulusan, sampai pembiayaan perguruan tinggi. Meningkatnya permintaan akan transparansi dan akuntabilitas dari perguruan tinggi
Anggaran untuk Pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari total APBN
Keleluasaan otonomi akademik dan non-akademik; manajemen dan pendanaan secara mandiri, Pertanggungjawaban terhadap MWA langsung. Perubahan status ketenagakerjaan dari PNS menuju Memaksimalkan aset kekayaan PTN dan menambah sumber pendanaan dari masyarakat.
Menjelaskan amanat UU 1945 setelah amandemen secara rinci. Dalam hal pengelolaan diatur bahwa perguruan tinggi dapat menentukan kebijakan dan otonomi dalam mengelola lembaganya. Mengatur agar dibuat Undang-Undang sendiri untuk membentuk Badan Hukum Pendidikan.
Kekayaan awal perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dipisahkan dari aset kekayaan negara. Pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari pemerintah, masyarakat, dan pihak luar negeri.
Penetapan beberapa perguruan tinggi negeri menjadi BHMN: PP 152/2000 (UI), PP 153/2000 (UGM), PP 154/2000 (IPB), PP 155/2000 (ITB), PP 56/2003 (USU), PP 6/2004 (UPI), dan PP 30/2006 (UNAIR). Pemisahan aset kekayaan negara dari APBN yang menjadi awal kekayaan PT BHMN Pembukaan program non reguler di PTN. Pelaksanaannya diserahkan kepada PTN
Terkait dengan pendanaan, perguruan tinggi boleh mendapatkan sumber pendanaan dari masyarakat. Lembaga pendidikan tinggi asing diperbolehkan menyelengarakan pendidikan tinggi di Indonesia.
Sumber: Putra, 2012 dan telah diolah kembali, 2015
Universitas Indonesia
72
Tabel 4.3 Perkembangan Landasan Hukum Perguruan Tinggi Indonesia (lanjutan) Landasan Hukum
Fokus
Kunci Reformasi Kebijakan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2005 tentang Subsidi Silang Biaya Operasi Perguruan Tinggi. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan
Menambah sumber pendanaan dari masyarakat dan menetapkan besaran biaya pendidikan sesuai dengan kemampuan peserta didik.
Implementasi sistem Besaran Operasional PendidikanBerkeadilan (BOP-B) di UI.
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat turut bertanggung jawab terhadap pendanaan pendidikan tinggi.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Tanggung jawab Menteri dalam hal pengawasan sampai koordinasi, mengatur pendidikan jarak jauh.
Masyarakat yang dapat berperan di dalam pendanaan pendidikan adalah penyelenggara atau satuan pendidikan swasta, peserta didik, dan siapapun yang mempunyai perhatian dan peranan di bidang pendidikan Menteri yang menetapkan status perguruan tinggi antara PTN BLU atau PTN Badan Hukum berdasarkan evaluasi kinerja
Perguruan tinggi dapat menggalang kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri.
PTN memiliki otonomi dalam manajemen dan pendanaan. Perguruan tinggi diberikan otonomi PTN BLU masih di bawah akademik dan non-akademik. Menteri, PTN Badan Hukum bertanggung jawab kepada Status perguruan tinggi dapat MWA dan aset kekayaannya berbentuk PTN BLU atau PTN Badan dipisahkan dari kekayaan Hukum sesuai dengan evaluasi negara. kinerja dari Menteri. PTN dapat menentukan Penerimaan mahasiswa baru melalui besaran biaya pendidikan, jalur nasional dan bentuk lain PTN dapat menjalankan praktek usaha, perguruan Sumber pendanaan dari pemerintah, tinggi asing dapat membuka pemerintah daerah, dan masyarakat cabang di Indonesia. Akomodasi globalisasi.
PP nomor 4 tahun 2014 mengenai Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi
Peran pemerintah dalam penyelenggaraan perguruan tinggi, pengelolaan perguruan tinggi baik PTN, PTN BH maupun PTS, serta hasil (output) dari perguruan tinggi, yaitu gelar, sejarah dan sertifikat profesi
Sumber: Putra, 2012 dan telah diolah kembali, 2015
Universitas Indonesia
UI, ITB, UGM, IPB, USU, UPI, dan UNAIR ditetapkan menjadi PTN Badan Hukum Pembagian otonomi perguruan tinggi berdasarkan statusnya sebagaimana dijelaskan tabel 4.2
BAB 5 TEMUAN DATA
5. 1. Gambaran Umum Universitas X Secara historis, Universitas X merupakan salah satu perguruan tinggi negeri tertua di Indonesia yang didirikan atas dasar politik etis ketika zaman kolonial Belanda. Pendirian beberapa sekolah kejuruan saat itu menjadi embrio dari perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia hingga akhirnya sekarang menjadi Universitas X (Albatch dan Umakoshi, 2004). Berdasarkan situs resminya, Universitas X mengalami perkembangan cukup pesat sejak perubahan status menjadi BHMN pada tahun 2000 dan PTN BH pada tahun 2012. Perubahan signifikan Universitas X berupa otonomi yang lebih besar dalam pengembangan akademis dan pengelolaan keuangan, sehingga Universitas X tumbuh menjadi universitas berkelas dunia. Saat ini, Universitas X memiliki belasan fakultas dengan puluhan program studi untuk tingkat sarjana reguler dan nonreguler, program vokasi, program kelas internasional, serta program pascasarjana yang terdiri atas magister, spesialis, profesi dan doktor. Di tingkat pascasarjana inilah terdapat program pascasarjana interdisiplin atau multidisiplin ilmu, yang dianggap tidak dapat berada di bawah fakultas tertentu dan berdiri sendiri (otonom). Program pascasarjana interdisiplin tersebut menjadi studi kasus dalam penelitian ini. 5. 2. Sejarah Perubahan Status Universitas X Peneliti merasa perlu memasukkan sejarah perubahan status hukum Universitas X seiring dengan perkembangan kebijakan pendidikan nasional. Hal ini dikarenakan status hukum ini berkaitan erat dengan otonomi perguruan tinggi, khususnya tata kelola keuangan yang akan dijelaskan dalam subbab 5.3 mengenai sumber penerimaan Unversitas X. Selain itu, perubahan status hukum ini pula akan mampu menjelaskan studi kasus yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X.
73
Universitas Indonesia
74
Berdasarkan UU nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional yang kemudian melahirkan PP nomor 30 tahun 1990 tentang pendidikan tinggi, Universitas X berstatus perguruan tinggi negeri atau dikenal juga sebagai PTN SatKer (Satuan Kerja) di bawah tanggung jawab pemerintah melalui menteri pendidikan nasional. Atas dasar status ini, pemerintah merupakan sumber pendanaan primer bagi berlangsungnya kegiatan dalam Universitas X. Pada tahun 1999, secara berturut-turut pemerintah mengeluarkan kebijakan baru mengenai pendidikan tinggi, yaitu PP 60 tentang pendidikan tinggi dan PP 61 tentang penetapan perguruan tinggi negeri sebagai badan hukum. Dampaknya pada satu tahun setelahnya, PP tentang Penetapan Universitas X sebagai Badan Hukum Milik Negara pun disahkan. Salah satu dasar pertimbangannya
antara
lain
disebabkan
Universitas
X
membutuhkan
kemandirian agar dapat berperan sebagai kekuatan moral yang memiliki kredibilitas untuk mendukung pembangunan nasional. Selain itu, pemerintah menilai Universitas X telah memiliki kemampuan pengelolaan yang cukup untuk dapat memperoleh kemandirian, otonomi, dan tanggung jawab yang lebih besar. Menurut Januardy (2014), PP nomor 61 tahun 1999 dan PP mengenai penetapan Universitas X sebagai BHMN memiliki cacat formil dikarenakan bentuk badan hukum memiliki sumber peraturan yang tidak tepat, yaitu KUHPer sebagai sumber atribusinya. Di dalam KUHPer sendiri tidak dikenal konsep Badan Hukum Milik Negara. Selain itu, Undang-Undang baru pun diperlukan apabila pemerintah ingin memperkenalkan bentuk badan hukum baru. Atas dasar kelemahan tersebut, pemerintah segera merumuskan Undang-Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Akan tetapi, pada bulan Maret 2010, UU BHP dibatalkan seluruhnya oleh MK melalui proses judicial review. Setidaknya, terdapat lima alasan Mahkamah Konstitusi mencabut UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (Pangky Febriantanto, dalam Kompas.com, 2010), yaitu 1) UU BHP mempunyai banyak kelemahan baik secara yuridis, kejelasan maksud, maupun keselarasan dengan UU lain; 2) UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Namun, realitanya kesamaan PTN tak berarti semua PTN mempunyai kesamaan yang sama; 3) Pemberian otonomi kepada PTN berakibat
Universitas Indonesia
75
beragam. Lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena keterbatasan pasar usaha di tiap daerah. Hal ini akan menyebabkan penyelenggaraan pendidikan terganggu; 4) UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan ketidakpastian hukum. UU BHP bertentangan dengan Pasal 28D Ayat 1 dan Pasal 31 UUD 1945; dan 5) Prinsip nirlaba tak hanya bisa diterapkan dalam BHP, tetapi juga dalam bentuk badan hukum lainnya. Akibat dari pembatalan UU BHP, terjadilah kekosongan hukum bagi Universitas X. Hal ini diperkuat oleh pernyataan narasumber E: “Nah, di UU BHP tu memang ada pasal yang seolah-olah kalau dibaca nanti semua universitas akan gitu.. jadi dimintakan judicial review oleh pak rektornya Universitas Atmajaya, lalu dia bawa pasal itu ke judicial review. Tapi oleh mahkamah konstitusi yang sok tau itu, dibubarin semua undang-undangnya itu. Jadi kita (universitas) kehilangan pegangan, gitu.” (Wawancara dengan E di ruang rapat gedung pascasarjana Universitas X, 13 Oktober 2014) Untuk menyikapi hal tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan PP terbaru pada tahun 2010 yang salah satu pasalnya turut mengubah bentuk Universitas X menjadi Perguruan Tinggi Negeri milik Pemerintah (PTP) dengan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU). Peraturan ini sendiri kembali disandarkan pada UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Bentuk PTP-BLU bagi beberapa universitas otonom di Indonesia ditujukan untuk mengisi masa transisi menuju bentuk badan hukum lainnya. Status baru ini sendiri disebutkan dalam dokumen rencana strategis (renstra) Universitas X periode 2012-2017: “Universitas X sedang dalam masa transisi menuju bentuk yang sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Setelah menjadi PT BHMN selama 10 tahun (2000-2010), Universitas X kembali lagi menjadi PTN dengan pengelolaan keuangan menerapkan PPK BLU dengan status BLU secara penuh.” (SK Rektor nomor 0958 tahun 2013 tentang Penetapan Renstra 2012-2017 Universitas X) Selama satu dasawarsa (sejak tahun 2000), perspektif pengelolaan pendidikan Universitas X, khususnya dalam keuangan telah diubah menjadi
Universitas Indonesia
76 perspektif komersil yang diberi nama ‘unit usaha akademik’ berdasarkan pasal 12 PP yang menetapkan Universitas X sebagai BHMN (Januardy, 2014). Sekalipun status Universitas X adalah PTP-BLU, organisasi yang dibentuk pada saat berstatus BHMN masih dipertahankan keberadaannya, salah satunya adalah majelis wali amanat (MWA). Masa transisi ini tidak berlangsung lama karena pada tahun 2012, UU pendidikan tinggi disahkan oleh pemerintah sebagai payung hukum bagi penyelenggaraan perguruan tinggi di Indonesia. Berdasarkan pasal 97 UU pendidikan tinggi, Universitas X yang sebelumnya berbentuk PTP-BLU ditetapkan sebagai PTN Badan Hukum (PTN BH) dan harus menyesuaikan dengan ketentuan UU tersebut paling lambat 2 (dua) tahun. Oleh karena itu, Universitas X kemudian membentuk tim internal yang bertugas membuat draf peraturan mengenai statuta Universitas X untuk diserahkan ke pemerintah. Akhirnya, pada tahun 2013 PP tentang Statuta Universitas X disahkan oleh pemerintah. Berdasarkan peraturan ini, Universitas X berstatus sebagai PTN BH sejak tahun 2013 hingga sekarang. Secara umum, perjalanan sejarah perubahan status Universitas X dapat dilihat di tabel berikut:
Universitas Indonesia
77
Tabel 5.1 Sejarah Perjalanan Status Universitas X Status dan Landasan Hukum PTN UU 2/1989 PP 30/1990
Sumber Pendanaan APBN (primer) Masyarakat (sekunder)
Keuangan Negara
Pelaksana Audit
Pengawasan
Tidak dipisahkan
Tanah: Hak pakai atas tanah negara Bangunan: Milik negara
Badan Pemeriksa Keuangan (lembaga negara)
Akademik: Mendikbud Pengelolaan: Menkeu Kepegawaian: Menpan
Dipisahkan
Tanah: Hak pakai atas tanah negara Bangunan: dapat dimiliki oleh pihak lain atas persetujuan Universitas X
Kantor akuntan publik (swasta)
Broad of Trustee (Majelis Wali Amanat)
Dipisahkan
Tanah: Tanah Negara yang diserahkan ke BHP Bangunan: dapat dimiliki oleh pihak lain atas persetujuan Universitas X
Kantor akuntan publik (swasta)
Broad of Trustee (Majelis Wali Amanat)
Badan Pemeriksa Keuangan (lembaga negara)
Menteri Keuangan
Kantor akuntan publik (swasta)
Broad of Trustee (Majelis Wali Amanat)
BHMN
KUHPerdata PP 152/2000
BHP
UU 9/2009 PP17/2010
PTP-BLU UU 20/2003 PP 66/2010 PTN BH
UU 12/2012 PP 68/2013
Masyarakat (primer) APBN (sekunder)
Masyarakat (primer) APBN (sekunder)
APBN (primer) Masyarakat (sekunder)
Masyarakat (primer) APBN (sekunder)
Kepemilikan Tanah dan Bangunan
Tidak dipisahkan
Dipisahkan
Tanah dan bangunan BLU disertifikatkan atas nama Pemerintah RI atau Pemda yang bersangkutan Tanah: Hak pakai atas tanah negara Bangunan: dapat dimiliki oleh pihak lain atas persetujuan Universitas X
Sumber: Dokumen Badan Kelengkapan MWA Unsur Mahasiswa Universitas X, 2013
5. 3. Sumber Penerimaan Universitas X (2002 – 2012) Dalam dokumen memorandum akhir jabatan rektor Universitas X periode 2002-2007 disebutkan bahwa otonomi perguruan tinggi yang terjadi di Universitas X telah berdampak bertambahnya dana yang diperoleh dari masyarakat, dibandingkan dana yang diperoleh dari pemerintah yang cenderung tetap atau tidak berubah secara drastis. Dana masyarakat dalam penerimaan Universitas X merupakan total dari dana yang diperoleh dari mahasiswa, unit
Universitas Indonesia
78
usaha universitas (ventura) dan juga masyarakat secara umum, antara lain dalam bentuk hibah ataupun pinjaman. Sedangkan dana dari pemerintah diberikan melalui mekanisme DIPA dan BOPTN. Untuk lebih menggambarkan, hal tersebut dapat dilihat dari grafik 5.1. berikut: Grafik 5.1. Sumber Penerimaan Universitas X tahun 2002-2006
Sumber: Dokumen Memorandum Akhir Jabatan Rektor Universitas X, 2007
Sumber penerimaan Universitas X yang berasal dari masyarakat justru semakin terlihat ketika masa kepemimpinan rektor 2007-2012, setelah adanya kebijakan subsidi silang (permendiknas nomor 2 tahun 2005) yang mulai diimplementasikan pada tahun 2008 melalui sistem pembayaran BOPB dan dibukanya program non reguler (SK MWA Universitas X nomor 005/2009) yang mulai diimplementasikan pada tahun 2010 melalui kelas paralel dan kelas khusus internasional. Sistem subsidi silang dan program non reguler itulah yang menjadi sarana komersialisasi pendidikan tinggi yang terjadi di Universitas X (Januardi, 2014). Hal tersebut dapat dilihat dalam LAKIP Universitas X yang dikeluarkan pada tahun 2012. Untuk lebih jelasnya dapat melihat grafik 5.2 berikut:
Universitas Indonesia
79
Grafik 5.2. Sumber Penerimaan Universitas X tahun 2008-2012
Sumber: LAKIP Universitas X tahun 2012
Perlu diketahui bahwa data untuk tahun 2012 pada grafik 5.2. tersebut belum dilakukan audit, sehingga masih dimungkinkan terjadinya perubahan. Akan tetapi, peneliti merasa data sumber pendanaan Universitas X periode 2002-2012 di atas cukup menggambarkan bahwa sumber pendanaan Universitas X yang diperoleh dari masyarakat, termasuk dari mahasiswa dalam bentuk BOP (Biaya Operasional Pendidikan) terus meningkat dan lebih tinggi dibandingkan sumber pendanaan lainnya. Peneliti kemudian berusaha membandingkannya dengan dokumen Indonesia: Higher Education Financing (Indonesia: Pendanaan Pendidikan Tinggi) yang dikeluarkan oleh Bank Dunia (2010). Dokumen ini membahas secara umum persiapan penerapan UU BHP pada perguruan tinggi di Indonesia hingga akhirnya dibatalkan oleh MK. Salah satu hal yang menjadi evaluasi dari penerapan UU BHP adalah universitas yang otonom secara signifikan memperoleh pendanaan dari sumber lainnya, selain pemerintah melalui APBN (alokasi Dirjen Dikti) dan biaya perkuliahan yang dibayarkan oleh mahasiswa. Bank Dunia kemudian melihat kecenderungan tersebut dalam 7 perguruan tinggi yang berbentuk badan hukum di Indonesia. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari grafik 5.3 berikut.
Universitas Indonesia
80
Grafik 5.3. Sumber Penerimaan Universitas X tahun 2009 Universitas A Universitas B Rata-rata 75 PTN lain Universitas G Universitas D Universitas X Universitas S Universitas P
Sumber: Laporan audit dan neraca keuangan Dirjen Dikti untuk universitas otonom, sebagaimana diolah oleh Bank Dunia, 2010
Bila melihat data di atas, maka sumber penerimaan terbesar Universitas X pada tahun 2009 adalah dari mahasiswa, sebesar 59%. Sedangkan untuk alokasi Dirjen Dikti sendiri hanya sebesar 21% yang tidak berbeda jauh dari sumber pendanaan lainnya (dari masyarakat ataupun unit ventura universitas), yaitu sebesar 20%. Data pembanding ini menegaskan kembali bahwa sumber pendanaan Universitas X setelah berbentuk badan hukum didominasi oleh biaya pendidikan yang dibayarkan oleh mahasiswa. 5. 4. Gambaran Umum Program Pascasarjana Universitas X Berdasarkan dokumen yang peneliti dapatkan dari narasumber G berisi laporan perkembangan program pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014), cikal bakal program pascasarjana Universitas X adalah Fakultas Pascasarjana yang didirikan pada tahun 1982 melalui PP nomor 44/1982 dan menyelenggarakan
pendidikan
S2
maupun
S3.
Kedudukan
pendidikan
pascasarjana mengalami perubahan sejak terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 1990 yang berimplikasi mengubah nama Fakultas Pascasarjana menjadi Program Pascasarjana. Dalam ketentuan itu juga dinyatakan bahwa program pascasarjana terdiri atas beberapa program studi pascasarjana dan tidak selalu merupakan kelanjutan searah program pascasarjana. Regulasi ini ditindaklanjuti
Universitas Indonesia
81
melalui Kepmendikbud nomor 3111/0/1991 yang menyatakan bahwa fakultas pascasarjana ditutup dan diganti dengan program pascasarjana di beberapa universitas, antara lain salah satunya adalah Universitas X. Di tingkat Universitas X dikeluarkan SK Rektor nomor 313/1999 tentang kedudukan program pascasarjana Universitas X, setelah berlakunya PP nomor 60 tahun 1990 atau dengan kata lain saat berstatus BHMN. Dalam SK tersebut dinyatakan bahwa program pasccasarjana tetap sebagai organisasi yang merupakan unit kerja dalam organisasi Universitas X. Demikian pula pemimpin masih tetap sebagai pejabat di lingkungan pascasarjana. Akan tetapi, berdasarkan SK Rektor nomor 312/1999, Universitas X melakukan pengalihan sebagian penyelenggaraan pendidikan program studi tingkat Magister dan Doktor dari program pascasarjana ke jurusan (departemen) di fakultas lain di lingkungan Universitas X. SK Rektor ini menandai pengalihan program pascasarjana ke fakultas masing-masing yang linier secara keilmuan. Dengan demikian, program pascasarjana
Universitas
X
hanya
menyisakan
dan
menyelengggarakan
pendidikan multidisiplin di tingkat Magister dan Doktor. Perubahan dan pengalihan program pascasarjana ini pun diakui oleh narasumber G dengan menambahkan bahwa salah satu hal yang melatarbelakangi perubahan tersebut adalah sulitnya penyesesuaian jadwal dari dosen yang mengajar di program sarjana (S1) di fakultas lainnya maupun program pascasarjana. Berikut adalah pernyataan narasumber: “Sebenarnya bila dilihat dari sejarahnya juga kan, awalnya program pascasarjana ini satu tempat. Tidak hanya yang ada sekarang, tetapi seluruh pascasarjana, baik S2 maupun S3. Awalnya seperti itu, namun itu tidak ideal karena biasanya dosen yang mengajar S1 aakan mengajar S2 jua. Nah, dia akan kebingungan dari segi jadwal yang berpindah-pindah dan mahasiswa atau peserta didiknya akhirnya bingung. Jadi ujungujungnya, S2 dan S3 nya dikembalikan ke fakultas terkait. Nah, ketika itu terjadi, ada beberapa program yang tidak bisa dikembalikan, karena dianggap multidisiplin. Ketika ada yang tidak bisa dikembalikan ini yang masih diperdebatkan, seperti kajian kewilayahan. Corong ilmunya itu tidak
Universitas Indonesia
82 ketahuan.” (Wawancara dengan narasumber G di salah satu kantin fakultas Universitas X, 12 Februari 2015) Selanjutnya, pihak rektorat Universitas X dalam dokumen laporan yang sama menuliskan bahwa perubahan yang terjadi sejak dikeluarkannya PP nomor 30 tahun 1990 yang diikuti oleh berbagai peraturan lain dianggap telah mengerdilkan fakultas pascasarjana yang diubah menjadi program pascasarjana Universitas X. Sejak mendapatkan kedudukan sebagai ‘program’, maka program pascasarjana Universitas X mengalami beberapa kendala dan kesulitan untuk mengembangkan diri, baik secara akademik maupun kelembagaan. Kesulitan pengembangan kelembagaan juga terjadi karena sejak 2008 sampai 2013, program pascasarjana Universitas X tidak memiliki ketua yang definitif, yang berakibat pada keterbatasan wewenang dan ketidakjelasan tata kelola. 5. 5. Penyelenggaraan Program Pascasarjana Universitas X Berdasarkan dokumen yang peneliti dapatkan dari narasumber G berisi laporan perkembangan program pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014), pimpinan program pascasarjana yang baru terpilih mengajukan permohonan audit kepada rektor Universitas X pada awal tahun 2014, kemudian rektor menginstruksikan Badan Audit Internal (BAI) Universitas X untuk melakukan audit organisasi dan keuangan (hanya) tahun 2013. Audit dilakukan kepada program pascasarjana Universitas X, juga pusat riset dan pusat penelitian pranata sebagai unit ventura yang berada di bawah Universitas X. BAI telah mengadakan kegiatan audit dalam beberapa bulan dan hasilnya berupa notisi audit internal telah disampaikan kepada program pascasarjana Universitas X pada Agustus 2014, antara lain: 1. Perangkapan
jabatan
antara
manajer
umum/
keuangan
program
pascasarjana dan asisten direktur keuangan Universitas X yang menunjukkan adanya conflict of interest, di mana seseorang mengelola keuangan dan membuat rencana maupun laporan atas pengelolaan keuangan tersebut terhadap dirinya sendiri pada posisinya di tingkat yang lebih tinggi; yang seharusnya melakukan fungsi pengawasan. Hal ini tidak
Universitas Indonesia
83
dibenarkan dalam tata kelola universitas, apalagi berjalan sampai bertahun-tahun. 2. Adanya double charging, yang bahkan terjadi berlapis-lapis yang dinyatakan dalam notisi audit, di mana pimpinan (ketua dan manajer keuangan saat itu) nampak mendapatkan berbagai tunjangan, honor, insentif, terkait berbagai kegiatan yang seharusnya secara otomatis menjadi tanggungjawabnya sesuai dengan tupoksinya sebagai pimpinan, yang sudah mendapat honor tetap terkait jabatannnya. 3. Banyaknya alokasi dana untuk berbagai macam honor, tunjangan, insentif, ini mengambil porsi yang besar dari 80% alokasi dana rutin program pascasarjana Universitas X. Berdasarkan
hal
tersebut,
program
pascasarjana
Universitas
X
mendapatkan beberapa catatan penting terkait masalah penyelenggaraannya selama ini. Permasalahan penyelenggaraan program pascasarjana sebelum dilakukannya audit tersebut diungkapkan oleh narasumber D yang menjadi gatekeeper untuk narasumber E. Berikut pernyataan narasumber: “Oh. Begini, coba saya bantu (menghubungi narasumber E). Dan dia (narasumber E) lagi sebal juga dengan program pascasarjana. Karena sekarang kan dia yang memegang program pascasarjana. Ternyata yang lama
(periode
sebelumnya)
itu
banyak
sekali
borok-boroknya.”
(Wawancara dengan narasumber D di salah satu kantin fakultas Universitas X, 6 Oktober 2014) Terkait hal ini, peneliti kemudian membagi beberapa permasalahan dalam penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. Pembagian ini berdasarkan dokumen laporan perkembangan program pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014) yang menjadi bahan rapat di tingkat MWA. Laporan narasi tersebut disertai laporan keuangan, akademik, SDM dan berbagai kegiatan yang dibuat terpisah dan dapat dibuat dalam laporan tahunan 2014. Sebagaimana disebutkan dalam metode penelitian, dokumen tersebut peneliti dapatkan dari narasumber G saat peneliti melakukan wawancara. Selain itu, sebagian dari permasalahan dalam penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X pun akan didukung oleh pernyataan narasumber terkait.
Universitas Indonesia
84
5. 5. 1. Ketidakjelasan Kurikulum Berdasarkan dokumen laporan perkembangan program pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014) yang peneliti dapatkan dari narasumber G, disebutkan bahwa sebelum di antara berbagai peminatan dalam salah satu program pascasarjana terdapat satu peminatan yang benar-benar nampak berdiri sendiri, karena ketua peminatan tersebut memiliki SK Rektor periode sebelumnya untuk dapat menyelenggarakan kegiatan pendidikan. Peminatan ini memiliki kesekretariatan sendiri yang terpisah dari program studi (prodi) yang secara struktural berada di atasnya. Perkuliahannya tidak terkait dengan kuliah yang ada dalam prodinya. Akibatnya terjadi overlapping dalam keorganisasian dan substansi akademiknya. Padahal, keberadaan peminatan tersebut sebenarnya by project, tetapi struktur-struktur itu membuatnya menjadi baku. Konsekuensi selanjutnya adalah program pascasarjana Universitas X harus secara tetap membayar keberadaan fungsionaris di dalam struktur yang ada, sebagai akibat inefisiensi dalam keuangan. Berdasarkan isi dokumen tersebut dapat dilihat bahwa terdapat peminatan dalam salah satu program pascasarjana yang memiliki otoritasnya sendiri dan tidak terikat dengan program studi di atasnya. Hal ini mengakibatkan adanya perkuliahan dalam peminatan tertentu yang tidak terkait dalam prodi yang berada di atasnya. Dokumen tersebut mengindikasikan bahwa adanya intervensi lebih yang dapat dilakukan oleh ketua peminatan atas dasar kekuasaan legal yang dimilikinya. Secara umum, permasalahan ketidakjelasan kurikulum ini disebutkan saat peneliti melakukan wawancara kepada narasumber F sebagai akibat intervensi dari pihak-pihak yang bekerja sama dalam penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X, khususnya pihak pengajar (dosen) dari luar. Berikut adalah pernyataan narasumber: “(ketidakjelasan kurikulum) ini juga disampaikan secara lisan dalam rapat antar organ di tingkat Universitas X. Kalau tidak salah disampaikan oleh salah satu wakil rektor bagian riset dan inovasi. Akhirnya kurikulum yang dibuat bukanlah dibuat oleh Universitas X. Tapi memang diusulkan oleh pendiri program pascasarjana tersebut. Dan peran eksternal dalam pendirian kurikulum ini begitu besar. Artinya dalam pendirian program
Universitas Indonesia
85
yang bekerjasana dengan pihak eksternal misalnya, peran eksternal tersebut besar dalam hal ini. Bukan atas koorkompetensi keilmuan yang ada di Universitas X. Jadi, ini menjadi dilema: ‘apakah ini program pascasarjana Universitas X atau program pascasarjana yang menumpang nama Universitas X?’ Lalu bagaimana kurikulum itu dibuat, bagaimana pengajar yang ada di internal Universitas X? Itu juga yang dibicarakan saat rapat antar organ di tingkat universitas.” (Wawancara dengan narasumber F di perpustakaan salah satu fakultas Universitas X, 17 Desember 2014) Keterangan dari narasumber F di atas memperlihatkan bahwa salah satu pembahasan mengenai penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X adalah ketidakjelasan kurikulum dikarenakan intervensi pihak eksternal yang begitu besar dalam awal pendirian suatu peminatan atau program. Ketidakjelasan kurikulum ini ditunjukkan melalui adanya kurikulum yang tidak didasarkan pada koorkompetensi keilmuan yang ada di Universitas X. Selain itu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, terdapat peminatan yang berdiri sendiri secara otonom dan terpisah dari prodi yang ada di atasnya secara kurikulum, sehingga terdapat perkuliahan yang tidak berkaitan dengan prodinya. Setelah proses verifikasi internal pada bulan Agustus 2014, terdapat rekomendasi dari sisi kurikulum untuk mengalami perbaikan. Hal ini perlu dilakukan untuk memastikan rumusan profil kompetensi lulusan yang tepat, serta penyusunan kurikulum sesuai dengan peraturan nasional maupun aturan internal melalui SK Rektor. Bila ada kelompok peminatan harus dipastikan tetap mengikuti kurikulum prodi induknya. Perbaikan kurikulum juga sekaligus dapat diarahkan untuk 1) mengundang minat yang lebih besar dari masyarakat; serta 2) memastikan bahwa dengan jumlah mahasiswa yang tidak terlalu besar, prodi dapat mendanai diri sendiri dan tetap dapat memenuhi kebutuhan minat yang berbeda-beda dari mahasiswa (peserta didik). 5. 5. 2. Tenaga Pengajar dari Fakultas Lain maupun Pihak Eksternal Berdasarkan dokumen laporan perkembangan program pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014) yang peneliti dapatkan dari narasumber G, disebutkan bahwa setelah setahun terakhir telah dilakukan penataan tenaga
Universitas Indonesia
86
pengajar (dosen) yang berjumlah sekitar 684 orang menjadi sekitar 250 orang. Perlu diketahui bahwa dosen dalam penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X berasal dari fakultas dan lembaga di lingkungan Universitas maupun pihak eksternal di luar lingkungan Universitas X. Di antara tenaga pengajar tersebut adalah mereka yang belum memiliki status kepegawaian tertentu, padahal mereka sudah mengabdi dalam kurun waktu yang lama dan dibutuhkan oleh lembaga. Ketiadaan status ini disebabkan perangkat administrasi maupun regulasi yang belum memungkinkan. Sementara itu di antara SDM yang mengalami penataan dan jumlahnya banyak adalah mereka yang mengajar hanya sesekali saja; atau tidak mengajar tetapi mendapatkan honor sebagai dosen dengan diberi status sebagai ‘narasumber’. Berdasarkan dokumen tersebut, peneliti melihat bahwa terdapat tenaga pengajar yang berlebihan secara jumlah dalam penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. Hal ini mempengaruhi penyelenggaraan akademik, yaitu efektifitas kegiatan belajar-mengajar dengan adanya tenaga pengajar yang hanya mengajar sesekali, karena tidak semua tenaga pengajar pada akhirnya dapat menjalankan fungsinya secara utuh. Setelah adanya restrukturalisasi organisasi dan administrasi dalam penyelenggaraan program pascasarjana universitas X, maka dapat dilihat bahwa tenaga pengajar yang dianggap aktif kurang dari setengahnya yaitu sekitar 250 dari 684 orang. Hal ini hampir serupa dengan apa yang dinyatakan oleh narasumber C bahwa jumlah tenaga pengajar yang ada dalam pascasarjana Universitas X tidak sesuai dengan jumlah gaji yang dibayarkan untuk mereka, baik tenaga pengajar yang berasal dari internal universitas maupun dari pihak luar. Narasumber C kemudian mengatakan bahwa jumlah dari tenaga pengajar yang dianggap aktif adalah sekitar 300 dari 600 orang. Menurut narasumber C, adanya perbedaan antara jumlah tenaga pengajar dan jumlah gaji yang dibayarkan disebabkan sisa uang yang surplus tersebut kemudian digunakan sebagai suap untuk mempertahankan program pascasarjana tertentu. Berikut pernyataan narasumber mengenai hal tersebut: “Total itu Pasca Sarjana ada 300 pengajar. Kurang lebih sekitar itu. Tetapi uang untuk membayar yang namanya upah mereka, itu untuk 600 orang.
Universitas Indonesia
87
Tiga ratusnya gimana? Tiga ratus sisanya: rente, suap. Pascasarjana itu… hanya dalam contoh kasus pascasarjana (universitas X) ya? Pascasarjana itu banyak “raja-raja” kecilnya. Kamu mesti bayar setoran, aturan klien. Perlindungan terhadap eksistensi keberadaan program itu. Yang patron ini tidak harus dia menjadi pengurus, (atau) jabatan struktural, tidak harus. Dia dosen biasa saja, tapi karena ‘saya yang ikut buka’. Begitu loh. ‘Kalau saya ikut buka di program pasca berarti saya harus dapat rente. Terlepas saya megang jabatan apa enggak nantinya.’ Iya. ‘Jadi saya udah ga kerja, saya ga megang jabatan, saya tetap dapet duit’.” (Wawancara dengan narasumber C di salah satu kantin fakultas Universitas X, 2 Oktober 2014) Berdasarkan pembahasan dalam
rapat
di
tingkat
MWA terkait
penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X, Narasumber F kemudian menjelaskan mengenai adanya pengajar dari pihak eksternal (luar) tersebut dan gaji yang diperolehnya lebih tinggi dibandingkan dosen pada umumnya, khususnya dosen dari pihak internal Universitas. Menurutnya, salah satu permasalahan yang kemudian dibahas di tingkat MWA adalah mayoritas tenaga pengajar yang berasal dari luar dalam penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. Berikut pernyataan narasumber: “Nah, pengajar dari 12 program pascasarjana yang berdiri dalam satu wadah pascasarjana ini 80% berasal dari luar. Dan bayarannya (gaji yang diperolehnya) jauh lebih mahal dibandingkan membayar dosen dari pihak universitas X sendiri. Ini sebetulnya dikhawatirkan oleh pihak Universitas sendiri ada permainan antara para pengurus program pascasarjana dengan para pengajar ini. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena yang mendapati keuntungan di sini adalah para pendidik (pengajar) dan para pengurus program pascasarjana. (Wawancara dengan narasumber F di perpustakaan salah satu fakultas Universitas X, 17 Desember 2014) Selain mayoritas tenaga pengajar dari pihak eksternal, hal yang kemudian dipermasalahkan dalam penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X adalah adanya tenaga pengajar yang masih berasal dari fakultas lain. Hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan besar dalam proses akreditasi BAN PT terhadap beberapa prodi di program pascasarjana sejak akhir tahun 2013 dan
Universitas Indonesia
88
visitasi dari aksesor pada bulan Maret-April 2014. Berdasarkan dokumen laporan perkembangan program pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014) yang peneliti dapatkan dari narasumber G, disebutkan bahwa dalam proses visitasi yang dilakukan, hal yang paling mengemuka adalah mengenai dosen atau tenaga pengajar, karena program pascasarjana Universitas X sampai saat ini dianggap tidak memiliki dosen tetap sendiri di kalangan internal Universitas. Akan tetapi, dalam proses visitasi, faktor tersebut tidak dianggap terlalu signifikan dalam penilaian BAN PT dengan anggapan bahwa dosen tetap adalah dosen internal yang berasal dari Universitas X. Artinya dalam perspektif BAN PT, dosen tetap adalah dosen yang tercatat di Universitas X dan mendapatkan surat dari rektor untuk mengajar di program pascasrjana, meskipun homebase-nya berasal dari fakultas lain. Sementara itu, bagi tenaga pengajar yang mengajar di program pascasarjana, namun belum menjadi pegawai Universitas X ditetapkan melalui diberikannya NIP (nomor induk pegawai) dan statusnya adalah pekerja kontrak melalui PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Namun di sisi lain, dalam dokumen yang sama disebutkan bahwa terdapat sistem dan mekanisme kepegawaian di Universitas X yang mengacu pada sistem EPSBED/PDPT (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri/Pangkalan Data Perguruan Tinggi) sesuai ketentuan Dikti yang mengharuskan program pascasarjana Universitas X memiliki tenaga pengajar sendiri. Tenaga pengajar sendiri yang dimaksud terdiri atas 6 orang prodi S2 (4 Doktor dan 2 Master) dan 6 orang prodi S3 (4 Doktor dan 2 Profesor). Dalam artian ini, program pascasarjana Universitas X menerima dampak dari adanya inkonsistensi dalam pengaturan soal SDM, yaitu tenaga pengajar. Permasalahan mengenai SDM tenaga pengajar yang masih berasal dari fakultas lain di Universitas X tersebut sempat disinggung dalam wawancara yang dilakukan peneliti kepada narasumber B. Narasumber menyampaikan bahwa terdapat permasalahan dalam penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X dari segi tenaga pengajar, yaitu mereka yang dianggap sebagai dosen tetap dan berasal dari program pascasarjana secara langsung, bukan dari tenaga pengajar yang berasal dari fakultas lain maupun pihak eksternal. Berikut adalah pernyataan narasumber mengenai hal tersebut:
Universitas Indonesia
89 “Yang pasti kan dari segi SDM, mereka menggunakan orang-orang Fakultas. Lalu, dari segi administratif pelaporan penyelenggaraan program, dia akan jelek nilainya. Ini kita bicara di ranah akademik dulu ya. Karena dia, pertama, tidak punya dosen tetap. Kan harus jelas homebase nya di mana. Orang-orang yang mengajar itu homebase nya pasti orang orang fakultas. Sekarang tanya saja: Orang pascasarjana itu dari banyak itu, berapa sih dosen tetapnya? Yang homebasenya dari pascasarjana langsung? Dan kita juga tidak tahu rekrutmen pengajarannya seperti apa? Kalau orang orang dari universitas, oke lah. Tapi ada juga orang-orang dari luar universitas. Rekrutmennya seperti apa. Karena mungkin karena pendekatan, ‘deal-deal’-annya karena dia ngajar. Ada privasi, lalu menarik dan menggelontorkan dana ke program pascasarjana kan bisa aja: ‘untuk saya dapat privasi, tapi lu bisa dapat anggaran kan?’ ” (Wawancara dengan narasumber B di ruang kerja narasumber salah satu fakultas di Universitas X, 4 September 2014) Pernyataan berbagai narasumber sebelumnya, maupun temuan data dalam dokumen dijelaskan kembali secara lebih khusus oleh narasumber G bahwa adanya dosen program pascasarjana yang berasal dari fakultas, namun tidak sesuai dengan kompetensi keilmuan yang dimilikinya. Narasumber G kemudian menjelaskan bahwa hal tersebut menjadi salah satu kasus yang dibahas dalam rapat MWA dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak ideal atau tidak seharusnya terjadi di institusi pendidikan. Berikut pernyataan lengkap narasumber: “(Dosen yang di program pascasarjana itu sendiri) masih aktif di fakultas. Bahkan riset-risetnya itu riset fakultas bukan riset sebagian dosen pascasarjana. Jadi misalnya ada dosen yang mengajar di MIPA. Kemudian disuruh ditarik ke pascasarjana bagian lingkungan atau environment. Hanya saja nanti pas bahas lingkungan sosial kan bukan keMIPAan banget kan? Tapi dia disuruh ngajar itu. Contoh tidak idealnya seperti itu. Jadi sampai benar-benar ini itu, apa namanya, sesuatu yang ‘ngotot’ lah. Dipaksakan pascasarjananya.” (Wawancara dengan narasumber G di salah satu kantin fakultas Universitas X, 12 Februari 2015)
Universitas Indonesia
90
Setelah mengalami proses verifikasi internal pada bulan Agustus 2014, terdapat catatan bahwa secara umum kendala utama prodi-prodi di program pascasarjana Universitas X adalah ketiadaan dosen tetap. Akan tetapi, keadaan ini merupakan
dampak
dari
kebijakan
Universitas
sendiri
yang
tidak
memperbolehkan program pascasarjana merekrut dosen sendiri. Sementara, kondisi nyatanya adalah program pascasarjana tidak mudah meminjam dosen dari fakultas yang dapat sementara waktu menjadi dosen tetap/inti. Hal ini dikarenakan dosen-dosen tersebut tidak mendapat izin dari fakultas karena fakultas sendiri mengalami kekurangan dosen. Dosen pinjaman dari fakultas lain yang bersedia mengajar atau membantu pengembangan prodi pascasarjana Univeristas X tidak dapat dianggap sebagai dosen tetap. Sementara itu, dosen yang telah pensiun tidak akan dimasukkan oleh Dikti dalam Forlap Dikti, sehingga untuk memperoleh dosen tetap tetap mempekerjakan dosen PNS/Universitas/BHMN. 5. 5. 3. Disparitas Honor Tenaga Pengajar Dalam subbab sebelumnya, terdapat pernyataan dari narasumber C dan narasumber F yang menyatakan bahwa terjadi perbedaan gaji untuk tenaga pengajar program pascasarjana Universitas X. Narasumber C secara umum menjelaskan bahwa bahwa jumlah tenaga pengajar yang ada dalam pascasarjana Universitas X tidak sesuai dengan jumlah gaji yang dibayarkan untuk mereka. Sedangkan berdasarkan keterangan narasumber F, tenaga pengajar dalam penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X mayoritas merupakan dosen dari luar dengan gaji yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dosen dari internal Universitas. Pernyataan kedua narasumber tersebut secara umum dapat mendukung dokumen laporan perkembangan program pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014) yang peneliti dapatkan dari narasumber G mengenai disparitas honor mengajar bagi tenaga pengajar di dalam program pascasarjana. Dalam dokumen tersebut, permasalahan ini dijelaskan sebagai salah satu langkah kebijakan dalam restrukturisasi organisasi program pascasarjana Universitas X adalah menghapuskan disparitas honor tenaga pengajar dalam prodi besar termasuk peminatan yang berdiri sendiri maupun prodi kecil. Sebelumnya honor mengajar dosen ada yang Rp 1.000.000, Rp 700.000, tetapi ada yang hanya
Universitas Indonesia
91
Rp 300.000. Akan tetapi, semenjak kepengurusan ketua program pascasarjana tahun 2014, honor mengajar dosen diperhitungkan berdasarkan SKS mengajar, yaitu Rp 450.000 bagi kelas reguler dan Rp 550.000 bagi kelas khusus. Secara khusus, narasumber F menjelaskan bahwa terdapat dua alasan utama atas perbedaan pemberian gaji bagi tenaga pengajar yang berasal dari pihak eksternal, yaitu keahlian pengajar yang berpengalaman secara praktek (dunia praktisi) dan sebagai bentuk penghargaan atas status atau jabatan mereka di tengah masyarakat. Akan tetapi, terdapat cataan penting bagi narasumber F adalah sebagian dari dosen yang berasal dari pihak eksternal tersebut merupakan orangorang yang berperan serta dalam pendirian ataupun mempertahankan program tersebut.
Informasi
tersebut
didapatkan
narasuber
selama
mengikuti
perkembangan pembahasan mengenai program pascasarjana Universitas X di tingkat MWA. Berikut adalah pernyataan narasumber: “Ada dua alasan (atas gaji tenaga pengajar yang lebih besar tersebut). Pertama, alasan expertise di bidang praktisi. Alasan yang kedua, penghargaan kepada mereka karena dosen atau pengajar yang dari luar ini bukan orang-orang yang biasa-biasa saja. Alih-alih sebagian dari mereka yang mengajar adalah orang-orang mempunyai andil dalam program bersangkutan, atau mempertahankan program-program itu. Yang lain, sebetulnya tidak ada sebetulnya. Kira-kira itu. Bahkan mungkin secara akademis, mereka tidak bisa dibandingkan dengan dosen dari universitas, namun karena alasan bahwa mereka turut serta dalam prakteknya. Dari kalangan praktisi, maka mungkin itu menjadi alasan tersendiri mengapa gaji mereka lebih besar.” (Wawancara dengan narasumber F di perpustakaan salah satu fakultas Universitas X, 17 Desember 2014) 5. 5. 4. Kesulitan dalam Memperoleh Dana yang Berasal dari Peserta Didik dan Riset (Unit Ventura) Dalam temuan data mengenai sumber penerimaan Universitas X terlihat bahwa terdapat 4 sumber penerimaan yang tertulis dalam memorandum akhir jabatan rektor maupun laporan akuntabilitas, yaitu biaya pendidikan dari mahasiswa, alokasi anggaran dari pemerintah, hibah atau pinjaman dari
Universitas Indonesia
92
masyarakat dan unit ventura dari internal Universitas seperti melalui riset maupun unit usaha lainnya. Akan tetapi, dalam salah satu kutipan wawancara kepada narasumber E, peneliti mendapatkan informasi bahwa program pascasarjana Universitas
X
tidak
mendapatkan
uang
dari
pemerintah
dalam
penyelenggaraannya. Artinya, sumber penerimaan yang dapat dikelola untuk penyelenggaraan program pascasarjana bersumber dari penerimaan lainnya secara mandiri, yaitu dana dari mahasiswa yang dipengaruhi oleh jumlah mahasiswa yang ada di dalamnya maupun dana dari unit usaha dan ventura yang salah satunya diperoleh dari pengembangan riset. Berikut pernyataan narasumber: “Pascasarjana sama sekali gak ada uang pemerintah. Satu sen pun gak ada uang pemerintah di sini. Pascasarjana ini direkturnya aku, satu sen pun gak ada uang pemerintah di sini. Jadi kita biaya sendiri dalam penyelenggaraan pendidikan di sini.” (Wawancara dengan E di ruang rapat gedung pascasarjana Universitas X, 13 Oktober 2014) Selain itu, berdasarkan dokumen laporan perkembangan program pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014) yang peneliti dapatkan dari narasumber G, disebutkan bahwa setelah diadakan akreditasi dan verifikasi internal, terdapat catatan penting mengenai kendala penyelenggaraan program pascasrjana Universitas X dalam hal penerimaan mahasiswa. Salah satu kendala penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X yaitu masih ada prodi-prodi yang kesulitan mendapatkan mahasiswa. Akan tetapi, beberapa prodi tersebut masih aktif dalam menghasilkan penelitian, seminar dan pengabdian masyarakat sebagai hasil dari berjejaring dengan lembaga universitas, nasional dan regional. Dalam dokumen yang sama disebutkan bahwa cukup banyak prodi di program pascasarjana Universitas X yang perlu meningkatkan jumlah mahasiswanya agar dapat menghindari defisit atau memenuhi kepentingan pendanaan mandiri. Atas dasar tersebut, program pascasarjana Universitas X telah melakukan berbagai kegiatan dalam satu tahun terakhir (2014) yang bertujuan menarik minat mahasiswa untuk masuk dan berbagai lembaga untuk bekerjasama dengan program pascasarjana Universitas X, antara lain: 1. mengadakan kegiatan promosi dengan mengadakan acara terbuka untuk umum; menjajaki kerjasama dengan lembaga-lembaga yang memiliki
Universitas Indonesia
93
potensi mengirim mahasiswa, sambil mempertahankan kerjasama yang sudah ada selama ini; memberikan beasiswa (pengurangan 30% uang kuliah) pada proci kecil, meskipun masih dalam jumlah yang terbatas. 2. menjalin kerjasama dengan lembaga pemerintah, lembaga masyarakat, komunitas ilmuwan, universitas mitra termasuk universitas asing utnuk menyelenggarakan seminar dan konferensi bersama maupun penelitian 3. restrukturalisasi organisasi dengan adanya jabatan manajer riset yang bertugas untuk mencari partner riset (pemberi dana), membuat proposal riset untuk dapat dikerjakan di tingkat program pascasarjana dan prodi, mengkoordinasi berbagai kegiatan terkait riset termasuk publikasi, serta pelatihan penulisan jurnal ilmiah di tingkat program pascasarjana maupun di tingkat prodi 4. mengadakan kerjasama dengan lembaga baik yang ada di dalam Universitas maupun lembaga luar untuk membuka prodi-prodi baru yang potensial dalam rangka merespon kebutuhan atau prioritas pembangunan nasional 5. melakukan proses pembentukan S3 bagi prodi-prodi di lingkungan program pascasarjana Universitas X yang belum memiliki S3. Hal ini penting dilakukan karena untuk dapat mewujudkan universitas berbasis riset, maka segala upaya harus diarahkan pada penelitian yang berkualitas dan penting. Penelitian semacam ini paling besar kemungkinan dalam pembuatan disertasi S3. 5. 5. 5. Indikasi Korupsi dan Wacana Pembubaran Program Pascasarjana Pada akhir tahun 2014 hingga awal 2015, penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X menjadi salah satu pembahasan di rapat tingkat MWA, maupun rapat antar organ di tingkat Universitas yang terdiri atas rektor, senat universitas, dewan guru besar maupun MWA. Secara khusus, peneliti mendapatkan pernyataan dari narasumber F mengenai indikasi penyalahgunaan wewenang
dalam
penyelenggaraan
program
pascasarjana.
Narasumber
mengungkapkan bahwa kasus penyelenggaraan program pascasarjana sedang
Universitas Indonesia
94
dibahas dalam rapat di tingkat MWA Universitas X pada akhir 2014. Berikut pernyataan narasumber: “Hmm.. mungkin kalau dari bidang akademik, ini memang yang lagi hangat-hangatnya sebetulnya. Ada dugaan praktek korupsi itu di pascasarjana di antaranya. (dikarenakan) 80% pengajar di program pascasarjana itu bukan dari Universitas. Pascasarjana ini diartikan sebagai program yang hanya berisi 11-12 jurusan itu. Jadi yang bukan di bawah fakultas. Mereka dianggap sebagai ilmu multidisipliner” (Wawancara dengan narasumber F di perpustakaan salah satu fakultas Universitas X, 17 Desember 2014) Berdasarkan pernyataan narasumber F pada akhir tahun 2014 tersebut, peneliti kemudian mengkonfirmasi dengan narasumber G sebagai salah satu anggota MWA pada tahun 2015. Peneliti menemukan bahwa program pascasarjana dianggap memiliki permasalahan dalam posisi atau strukturnya di Universitas X. Pembahasan mengenai program pascasarjana di tingkat MWA terus berlanjut di awal 2015 dan mulai muncul wacana untuk melakukan pembubaran program pascasarjana secara wadah (institusi tersendiri), namun hal itu tidak diikuti dengan pembubaran program studi yang terdapat di dalamnya. Berikut pernyataan narasumber: “Jadi permasalahan (program pascasarjana) di MWA, yang diperdebatkan itu sebenarnya kondisinya sekarang program pascasarjana dikembalikan kembali ke fakultas atau masih di bawah universitas. Saat ini masih di universitas yang program pascasarjana multidisiplin ilmu. Ada kepala programnya tersendiri. Nah, (dalam rapat antar organ tingkat Universitas) hal tersebut dianggap oleh beberapa organisasi di Universitas X itu tidak ideal.” (Wawancara dengan narasumber G di salah satu kantin fakultas Universitas X, 12 Februari 2015) Perlu diketahui bahwa pembahasan di tingkat MWA maupun rapat antar organ Universitas mengenai penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X tersebut tidak lepas dari beberapa evaluasi yang terjadi selama satu tahun pada tahun 2013, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya yaitu:
Universitas Indonesia
95
1. pada bulan Januari 2014, pimpinan program pascasarjana Universitas X yang baru terpilih mengajukan permohonan audit kepada Rektor. Setelah itu, Rektor mulai menginstruksikan Badan Audit Internal untuk melakukan audit organisasi dan keuangan program pascasarjana Universitas X per tahun 2013. Hasil audit tersebut adalah notisi audit internal yang telah disampaikan kepada program pascasarjana Universitas X pada bulan Agustus 2014 2. pada akhir tahun 2013, BAN PT melakukan proses akreditasi atas beberapa program studi dalam program pascasrjana Universitas X. hal tersebut kemudian dilanjutkan melalui proses visitasi oleh aksesor yang dilakukan pada bulan Maret dan April 2014. Hasil akreditasi dan visitasi tersebut sudah dikeluarkan pada bulan Agustus 2014 3. pada bulan Agustus 2014, terjadi verifikasi prodi yang ada di dalam program pascasarjana Universitas X secara berkesinambungan, atas dasar surat yang ditandatangani langsung oleh Rektor. Verifikasi dilakukan terkait data SDM (tenaga pengajar dan tenaga administrasi), data mahasiswa dan lulusan, serta kurikulum Berdasarkan dokumen laporan perkembangan program pascasarjana Universitas X (sampai akhir tahun 2014), salah satu kendala yang dihadapi oleh program pascasarjana untuk mengembangkan dirinya secara maksimal adalah “di kalangan staf tenaga kependidikan belum sepenuhnya tumbuh budaya kerja yang mengutamakan organisasi, tidak semata keuntungan finansial bagi diri sendiri, pentingnya kerjasama dan kebersamaan demi tercapainya tujuan bersama”. Secara eksplisit, kalimat tersebut mengindikasikan terdapat staf tenaga kependidikan program pascasarjana Universitas X yang bekerja untuk kepentingan dan keuntungan pribadi dibandingkan demi kepentingan organisasi (program pascasarjana) secara khusus maupun perkembangan akademis atau ilmu pengetahuan secara umum. Selain itu, narasumber F kemudian mengungkapkan bahwa pembahasan di tingkat MWA secara khusus dan rapat antar organ Universitas X pada bulan November 2014 menunjukkan adanya indikasi korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan program pascasarjana. Indikasi korupsi tersebut mengemuka
Universitas Indonesia
96
terutama dengan adanya pembahasan jumlah dan gaji pengajar yang berasal dari pihak eksternal yang lebih tinggi dibandingkan dosen internal universitas, sebagaimana disebutkan sebelumnya. Narasumber F menyebutkan bahwa indikasi korupsi pun terlihat dari keuntungan yang diperoleh para pendiri atau pengusung prodi tertentu dalam program pascasarjana Universitas X. Berikut pernyataan narasumber mengenai hal tersebut: “Nah, pengajar dari 12 program pascasarjana yang berdiri dalam satu wadah: pascasarjana ini 80% berasal dari luar. Dan bayarannya (gaji yang diperolehnya) jauh lebih mahal dibandingkan membayar dosen dari pihak Universitas X sendiri. Ini sebetulnya dikhawatirkan oleh pihak Universitas sendiri ada permainan antara para pengurus program pascasarjana dengan para pengajar ini. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena yang mendapati keuntungan di sini adalah para pendidik (pengajar) dan para pengurus program pascasarjana (dan) kemungkinan pendirinya juga. Pendiri dari program yang diadakan ya? Itu sangat mungkin dan sebagian besar di antaranya itu memang, pendiri atau pengusung program-program pascasarjana itu akhirnya mendapati porsi yang cukup besar. Faktanya seperti itu. Ini disampaikan dalam rapat antar organ, yaitu 4 organ tingkat universitas (pada awal bulan November tahun 2014): MWA, Dewan Guru Besar (DGB), Rektorat, dan Senat Akademik.” (Wawancara dengan narasumber F di perpustakaan salah satu fakultas Universitas X, 17 Desember 2014) Selanjutnya dalam wawancara kepada narasumber G, peneliti menemukan perkembangan baru dari penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X, yaitu adanya wacana pembubaran secara organisasi atau institusi, namun tidak dengan program studi yang terdapat di dalamnya. Program studi di dalamnya kemudian direncanakan berdiri sendiri dalam wadahnya masing-masing dalam bentuk sekolah (school), tidak dalam satu wadah organisasi tersendiri seperti fakultas lainnya di Universitas X yang memiliki prodi dan peminatan sendiri di dalamnya. Berikut pernyataan narasumber: “Ini semua organisasi selain MWA berkeinginan agar program pascasarjana dikembalikan ke fakultas atau diubah bentuknya. Semua
Universitas Indonesia
97
organisasi universitas selain MWA sudah sepakat bentuknya terpisah menjadi school-school saja, tidak semacam program tersendiri yang setara dengan dekan di fakultas. Tapi school itu sendiri per bidang ilmunya masing-masing. Jadi bentuknya sekolah-sekolah bukan disatukan menjadi satu program tersendiri. Nanti pun pengelolaannya saja langsung dari universitas. Untuk perkuliahan akan dikembalikan ke fakultas masingmasing.” (Wawancara dengan narasumber G di salah satu kantin fakultas Universitas X, 12 Februari 2015) Ketika peneliti berusaha mencari tahu lebih lanjut mengenai proses berjalannya kasus program pascasarjana dalam rapat di tingkat universitas, narasumber G kemudian memberikan keterangan bahwa ada orang-orang yang berusaha mempertahankan program pascasarjana, yaitu dari pihak MWA, sedangkan organ Universitas lainnya (rektorat, dewan guru besar maupun senat akademik) merasa program pascasarjana sebagai wadah dapat dihilangkan, namun tetap mempertahankan program studi yang terdapat di dalamnya. Berikut adalah pernyataan narasumber: “Sebenarnya ini, bila saya mendengarkan dan mungkin kabarnya belum terlalu valid, gosip-gosipnya sendiri ya kalau di internal MWA sendiri ada yang mengajar di pascasarjana, sehingga mungkin itulah alasan mengapa program pascasarjana masih ingin dipertahankan. Kemudian, dekan atau ketua program pascasarja periode sebelumnya sendiri itu ada di jajaran MWA. Nah, dia yang menyayangkan kenapa program pascasarjana ini dibubarkan. Padahal Universitas X ini kan multidisiplin. Tingkat multidisiplinnya harus ditingkatkan sebagai universitas berbasis riset. Tapi kemungkinan ditabrakan lagi pernyataan tersebut dengan melihat kondisi SDM-nya (jumlah dosen internal yang sedikit dan tenaga pengajar yang kurang terkontrol, khususnya dosen yang berasal dari luar universitas) yang seperti itu.” (Wawancara dengan narasumber G di salah satu kantin fakultas Universitas X, 12 Februari 2015) Secara umum, indikasi korupsi yang terdapat dalam program pascasarjana dijelaskan lebih lanjut oleh narasumber F. Ia menyatakan bahwa indikasi korupsi yang terdapat dalam program pascasarjana Universitas X antara lain: 1)
Universitas Indonesia
98
pengadaan program studi yang dijadikan sebagai proyek dan akhirnya menguntungkan pihak pihak tertentu, khususnya pendiri yang kemudian dapat menjadi tenaga pengajar; 2) adanya pembagian keuntungan (sharing profit) antar tenaga pengajar yang diundang atau dosen luar dengan program pascasarjana; dan 3) usaha pihak-pihak yang berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan program pascasarjana sebagai wadah (organisasi otonom), sekalipun program studi yang terdapat di dalamnya akan tetap ada bila nantinya program pascasarjana Universitas X secara organisasi akan dibubarkan. Berikut adalah pernyataan lengkap narasumber mengenai hal tersebut: “Indikasi korupsi dalam program pascasarjana adalah pertama pengadaan program yang dijadikan sebagai project. Jadi kalau ada ide, maka dia jadikan program itu dan mendapatkan bagian adalah dia. Bahkan, ini seperti adanya pusat kajian di fakultas-fakultas. Yang pertama mengadakan pusat kajian, otomatis akan mendapatkan uang. Karena itulah, bisa jadi gaji dari mereka yang bekerja di pusat kajian akan lebih besar dari gaji seorang dekan. Ini yang terjadi di salah satu fakultas di Universitas X. Hal ini saya ketahui melalui informasi lisan dalam rapat tingkat MWA. Kemudian yang kedua, hal yang menjadi praktek korupsi di program pascasarjana adalah pengajar yang diundang menjadi pengajar atau dosen yang dijadikan menjadi pengajar itu adalah orang-orang yang tidak dimungkinkan, bahwa mereka dipertahankan karena ada profit sharing di program pascasarjana ini. Hal yang justru menguatkan program pascasarjana ini ada indikasi korupsinya adalah tidak mau diganggu gugat tentang keuangan, tentang keberadaan. Ketika ada yang membicarakan mengenai hal tersebut meskipun sepintas, dia seperti sensitif merasa bahwa ini penting untuk ada. Ini penting untuk dipertahankan. Bahkan, ketika ditawarkan bahwa programnya tetap ada, tapi wadahnya tidak ada. Mereka tetap bersikeras tidak mau dengan alasan-alasan yang harusnya dengan sangat mudah bisa diselesaikan. Ini program tetap dipertahankan namun wadahnya tidak ada, sayangnya dari pihak pascasarjana sendiri tidak menginginkan hal demikian. Apalagi yang memungkinkan terjadi di program pascasarjana ini kalau bukan ada kepentingan yang akhirnya
Universitas Indonesia
99
hilang, terambil kalau itu digabungkan ke fakultas. Karena boleh jadi, hubungannya bukan lagi untuk program pasca sarjana, namun ke fakultasfakultas yang memang menaungi. Dan boleh jadi, gaji dosen yang di luar akan tidak jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Atau bisa jadi akan digantikan oleh dosen-dosen
yang ada di internal universitas.”
(Wawancara dengan narasumber F di perpustakaan salah satu fakultas Universitas X, 17 Desember 2014)
Universitas Indonesia
BAB 6 ANALISIS
6. 1. Pendidikan sebagai Hak Asasi Manusia Dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 secara eksplisit disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya pemerintah negara Indonesia adalah untuk “memajukan kesejahteraan umum, (dan) mencerdaskan kehidupan bangsa”. Bahkan dalam perkembangannya, amanat konstitusi dalam perubahan IV pada 10 Agustus 2002 diperinci menjadi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” (Pasal 31 ayat 2) dan “negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional” (pasal 31 ayat 4). Berdasarkan hal ini, pendidikan menjadi salah satu hak konstitusi setiap warga negara di Indonesia termasuk pendidikan tinggi. Selain itu, dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ekosob) yang diratifikasi oleh Indonesia melalui UU nomor 11 tahun 2005 menyatakan bahwa pendidikan merupakan hak dari setiap orang dan negara wajib untuk mengakuinya. Dalam pasal 13 disebutkan lebih jauh bahwa negaranegara yang meyetujui kovenan ini harus memberikan kebijakan pengembangan penuh atas kepribadian dan martabat manusia; memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia; dan kebebasan fundamental. Selanjutnya, negara yang meratifikasi kovenan ini telah menyutujui bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat yang bebas. Secara khusus, pendidikan tinggi wajib memiliki aksesbilitas yang setara dan secara terus menerus (progresif) menuju gratis atau free education. Apa yang tertulis dalam UUD 1945 maupun kovenan hak-hak ekosob tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan humanis populis (Wahono, 2001) merupakan sistem yang menjadi dasar orientasi pendidikan Indonesia. Pemerintah berusaha tetap menjaga sistem pendidikan agar dapat diakses oleh setiap orang
100
Universitas Indonesia
101
tanpa melihat latar belakangnya, termasuk ekonomi. Dalam sistem pendidikan humanis populis, arah pendidikan ditentukan oleh rakyat dan untuk tujuan memanusiakan manusia. Sistem ini akan menjadikan pendidikan sebagai isntrumen untuk memanusiakan manusia sehingga kegunaan, kurikulum dan penyelenggaraan pendidikan diukur dari kemampuan rakyat dan kebutuhan pemanusiaan, diisi dengan hal-hal yang mengangkat derajat manusia dan memberdayakan rakyat; dan diarahkan sehingga memenuhi kebutuhan dasar manusia hidup dan cita-cita ekonomi sosial rakyat jelata. Hal ini pun sesuai dengan salah satu butir dalam pancasila, yaitu sila kelima: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Ihsan, 2012). Dalam UUD 1945 yang kemudian diturunkan dalam UU nomor 20 tahun 2003, pemerintah memperlihatkan peran sebagai fasilisator dengan keterlibatan lebih kepada masyarakat. Pemerintah tetap menyediakan sejumlah keuangan dan anggaran untuk menjamin aksesbilitas yang sama kepada seluruh warga negara dalam memperoleh pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Akan tetapi dengan adanya otonomi penyelenggaraan (tata kelola) perguruan tinggi, pengelolaan keuangan bagi perguruan tinggi berstatus badan hukum diserahkan sepenuhnya kepada institusi bersangkutan sebagaimana terlihat dalam tabel 4.2. Di sisi lain, otonomi tata kelola pada perguruan tinggi menunjukkan ketidakmampuan negara untuk memenuhi hak atas pendidikan tinggi di Indonesia melalui alokasi anggaran yang cukup dalam biaya operasional perguruan tinggi. Oleh karena itulah, dalam UU nomor 12 tahun 2012, salah satu prinsip dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia adalah nirlaba. Prinsip nirlaba menjadi batasan etika bagi perguruan tinggi yang secara otonom mengelola keuangannya agar keuntungan yang diperoleh dari peserta didik atau unit usaha lainnya dipergunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan atau pembangunan institusi pendidikan; bukan untuk keuntungan pribadi. Berdasarkan PP nomor 4 tahun 2014, perguruan tinggi berstatus PTN BH secara otonom dapat menentukan tarif biaya setiap jenis layanan pendidikan. Artinya, dengan berpedoman pada prinsip nirlaba, institusi pendidikan secara legal dapat menarik biaya pendidikan yang diperoleh dari peserta didik tanpa batasan persentase yang jelas, bila dibandingkan dengan sumber penerimaan
Universitas Indonesia
102
lainnya termasuk dana alokasi dari negara. Hal inilah yang membuat komersialisasi pendidikan secara legal diperbolehkan dalam batasan tertentu berasaskan prinsip nirlaba. Akan tetapi, bila melebihi batas dari kebutuhan biaya operasional pendidikan yang tidak dapat ditanggunng sepenuhnya oleh pemerintah, maka hal tersebut dapat menjadi pelanggaran etika. Hal ini dikarenakan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi merupakan salah satu hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi melalui UUD 1945 maupun ratifikasi hak ekosob dalam UU nomor 11 tahun 2005. 6. 2. Transformasi Status Perguruan Tinggi Negeri menjadi Perguruan Tinggi Badan Hukum sebagai Implementasi Otonomi Perguruan Tinggi di Indonesia Secara historis, pergantian masa orde lama kepada orde baru memberi dampak bagi mahasiswa Indonesia yang yang berangkat ke Rusia dan telah menyelesaikan studinya, sehingga mereka tidak dapat kembali ke tanah air akibat peristiwa G 30S/PKI. Sementara, mahasiswa Indonesia yang belajar di Amerika dapat kembali dan mengembangkan berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Peneliti melihat dampak atas kejadian historis inilah yang menunjukkan orientasi yang kemudian menjadi dasar kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia. Hal ini dikarenakan pada masa perang dingin, yang bertepatan dengan masa awal kemerdekaan, Rusia sangat dilirik dengan perspektif sosialisme (komunisme) dan Amerika menjadi kiblat dari paham liberalisme di sisi lain. Logika liberalisme inilah yang menjadi dasar bagi perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia, melalui mahasiswa-mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya di Amerika dan akhirnya menjadi pondasi utama dalam sistem pendidikan di Indonesia. Jika dikomparasikan antara kebijakan perguruan tinggi di Indonesia dan Amerika Serikat, maka konsep privatisasi sektor pendidikan sebagai bagian dari otonomi perguruan tinggi pun telah dilakukan oleh Amerika Serikat dengan mengubah bentuk universitas publik menjadi badan hukum dan memberikannya wewenang otonomi pengelolaan. Pola yang terjadi di Amerika hampir sama, yaitu didahului dengan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1970-1980, lalu dilanjutkan dengan melakukan privatiasi secara masif, salah satunya adalah sektor
Universitas Indonesia
103
pendidikan tinggi yang dimulai pada tahun 1990 (Geiger dan Heller, 2011). Dampak selanjutnya adalah komersialisasi pendidikan tinggi. Bloomberg mencatat terjadi lonjakan biaya pendidikan di tingkat pendidikan tinggi sebesar 120% semenjak universitas di Amerika dijadikan badan hukum pada tahun 1970 hingga tahun 2012 (Januardy, 2014). Di Indonesia, kebijakan perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi BHMN yang diterapkan pada 4 universitas di Indonesia diawali pada tahun 1999. Perubahan status ini dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa krisis moneter global pada tahun 1997-1998. Sebelumnya, Indonesia sendiri Indonesia bergabung menjadi anggota World Trade Organization (WTO) dengan meratifikasi WTO Agreement melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Partisipasi Indonesia dalam organisasi internasional tersebut juga melahirkan perjanjian-perjanjian lain. Salah satunya adalah General Agreement on Trade in Services (GATS). Melalui GATS, Indonesia menyepakati untuk mengadakan liberalisasi terhadap 12 sektor jasa yang salah satunya adalah sektor jasa pendidikan. Kebijakan liberalisasi ini juga didukung oleh International Monetary Fund yang menjadi pencetus konsep deregulasi dan privatisasi sektor pendidikan di Indonesia setelah era reformasi. Hal ini diakui sebagai salah satu strategi negara-negara maju untuk menyebarluaskan sistem ekonomi kapitalis dan melancarkan perdagangan bebasnya, yaitu dengan membentuk lembaga-lembaga internasional, seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia dan General Agreement of tariff and trade (GATT)/World Trade Organization (WTO). Sesuai dengan Konsensus Washington, ketiga lembaga tersebut sangat berperan dalam menyebarluaskan paham neoliberalisme dan mempercepat globalisasi, dengan mendorong tiap negara yang terkena krisis ekonomi untuk melakukan kebijakan liberalisasi, privatisasi dan deregulasi termasuk di sektor pendidikan tinggi (Winarno, 2010). Di Indonesia, implementasi kebijakan tersebut dapat dilihat dari produk hukum setelah reformasi 1998, yaitu transformasi 4 perguruan tinggi negeri menjadi BHMN melalui PP 61 tahun 1999. Perguruan tinggi BHMN menunjukkan
Universitas Indonesia
104
kemandirian (otonomi) tidak hanya dari sisi akademik, namun juga dari sisi nonakademik yang secara umum dapat dilihat di tabel 2.2, tabel 4.2 dan tabel 4.3. Status BHMN pada perguruan tinggi inilah yang menurut Zajda (2006) dapat digolongkan sebagai bentuk dari desentralisasi pendidikan, yaitu proses delegasi (pemindahan kekuasaan) dan pertanggungjawaban, khususnya dalam distribusi dan penggunaan sumber daya. Diskursus mengenai desentralisasi pendidikan sendiri mempertanyakan peran sentral dari negara atas sektor pendidikan, khususnya dalam administrasi, keuangan dan perencanaan kurikulum. Perguruan tinggi berstatus badan hukum milik negara memperlihatkan hal tersebut dengan adanya perbedaan peran negara dalam menyelenggaraan kebijakan pendidikan, yaitu pemindahan asset milik negara (pusat atau sentral) kepada lembaga perguruan tinggi bersangkutan (lokal). Melalui peraturan mengenai status badan hukum pada pendidikan tinggi di Indonesia, maka beberapa perguruan tinggi mulai dikenal beberapa unsur baru dalam struktur organisasi internalnya, antara lain 1) Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organisasi tertinggi di perguruan tinggi yang salah satu tugasnya memilih dan mengawasi jajaran eksekutif rektorat; 2) Dewan Audit sebagai pihak independen yang melakukan evaluasi hasil audit atas penyelenggaraan perguruan tinggi; dan 3) Senat Akademik sebagai pihak yang merencanakan pembangunan kurikulum/pendidikan.
Lahirnya
lembaga-lembaga
inilah
yang
menandai
terjadinya desentralisasi perguruan tinggi. Hal tersebut dipertegas dengan pengubahan status ketenagakerjaan, yaitu pada pasal 24 ayat 3 PP 61 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa “dosen, tenaga administrasi, pustakawan, dan teknisi di Perguruan Tinggi yang pada saat pendirian Perguruan Tinggi berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) secara bertahap dialihkan statusnya menjadi pegawai Perguruan Tinggi”. Pasal inilah yang memperlihatkan bahwa negara mengalihkan beban gaji dan tunjangan pegawai yang sebelumnya berada di bawah tanggung jawabnya dengan status sebagai PNS menjadi tanggung jawab perguruan tinggi dengan status pegawai perguruan tinggi. Setelah kebijakan desentralisasi perguruan tinggi dengan adanya pemberian status badan hukum, kebijakan otonomi berikutnya memperlihatkan
Universitas Indonesia
105
adanya privatisasi perguruan tinggi, yaitu melalui keputusan Dirjen Dikti nomor 28 tahun 2002 yang mengizinkan dibukanya program non reguler. Dengan berlandaskan hal ini, perguruan tinggi negeri berstatus badan hukum diperbolehkan menyediakan kursi bagi calon peserta didik tanpa mendapatkan dana alokasi dari pemerintah atau dengan kata lain: semua biaya ditanggung sepenuhnya oleh peserta didik atau pihak yang membiayainya. Terbentuknya program non reguler adalah salah satu bentuk privatisasi perguruan tinggi. Hal ini sesuai dengan pengertian privatisasi pendidikan oleh Levin di dalam penelitiannya untuk UNESCO (2001), yaitu sebuah proses di mana lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara sedikit demi sedikit maupun secara cepat tidak akan dikelola lagi oleh pemerintah, baik dengan tujuan profit maupun tidak profit. Program non reguler memiliki ciri khas tidak adanya alokasi pembiayaan dari pemerintah (subsidi) untuk program tersebut menyelenggarakan pendidikannya. Selain itu, privatisasi pendidikan tinggi pun dapat dilihat dari kewenangan pihak penyelenggara perguruan tinggi untuk menetapkan secara otonom jumlah maupun persentase, biaya yang dibayarkan dan proses seleksi dari peserta didik non reguler. Kecenderungan privatisasi ini pun diperkuat dengan alasan pendirian dari program non reguler, yaitu ketidakcukupan anggaran negara untuk mendanai penyelenggaraan pendidikan (Levin, 2001). Kebijakan lainnya yang menunjukkan privatisasi perguruan tinggi di Indonesia adalah status Badan Hukum Pendidikan sebagai amanah UU sisdiknas pada tahun 2003 yang kemudian menjadi UU tersendiri pada tahun 2009. Sayangnya UU BHP sebagaimana dijelaskan di Bab sebelumnya, tidak berumur panjang karena menuai kritik dari berbagai pihak dan akhirnya dibatalkan seluruhnya oleh MK pada tahun 2010. Menurut narasumber berinisial E, akibat keputusan MK atas UU BHP ini, beberapa universitas kehilangan payung hukum dalam melaksanakan kegiatan otonomi akademiknya, sehingga akan kembali terlibat dalam urusan birokrasi pemerintah yang dinilai rumit. Peneliti melihat bahwa pernyataan narasumber E tersebut menunjukkan bahwa otonomi perguruan tinggi adalah suatu kewajiban, bukan hanya dari segi
Universitas Indonesia
106
akademik namun juga dari tata kelola keuangan dan UU BHP menjamin terjadinya itu semua. Otonom dalam segi keuangan dapat berarti bahwa pemerintah hanya menjadi salah satu sumber penerimaan dari perguruan tinggi yang kemudian dapat digunakan sebebas-bebasnya. Logika ini dapat digolongkan sebagai bentuk privatisasi pendidikan tinggi. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Hadi dkk (2007) bahwa privatisasi dapat dilihat dari diperkuatnya pemantauan sekolah atau institusi pendidikan secara mandiri (otonom) di samping adanya pengawasan dari pemerintah. Kurangnya pengawasan pemerintah dan peran negara yang sebatas pendanaan ini pun diamini oleh Tilak (2004) sebagai bentuk privatisasi pendidikan tinggi. Masih terkait pendanaan, berbagai peraturan yang telah dijelaskan dalam bab 4 sebelumnya tidak dapat merinci secara pasti pembagian (persentase) dari sumber-sumber penerimaan perguruan tinggi, yaitu negara, masyarakat, unit ventura maupun peserta didik. Perguruan tinggi diharapkan mampu mencari sumber pendanaan lainnya di luar dana alokasi dari pemerintah, jika ingin mengembangkan dirinya sendiri untuk mencapai visinya masing-masing. Pada titik inilah, peneliti memandang adanya kecenderungan untuk membebankan kekurangan dana yang dibutuhkan perguruan tinggi tersebut kepada peserta didik maupun masyarakat secara umum, khususnya terjadi pada perguruan tinggi dengan status badan hukum (BHMN, BHP maupun PTN BH) Adanya kecenderungan agar masyarakat dapat berperan lebih dalam pendanaan perguruan tinggi memperlihatkan pemerintah yang mulai memperkecil tanggungjawabnya atas sektor pendidikan melalui otonomi tata kelola. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan Dave Hill (2006) yang memberikan pengertian desentralisasi sebagai upaya memperkecil tanggung jawab pemerintah pusat, agar pemerintah provinsi/ regional, dan sektor privat terlibat dan bertanggung jawab juga dalam sektor pendidikan. Di Indonesia, otonomi melalui desentralisasi
ini
dapat
dilihat dengan
pemerintah daerah
yang
turut
menganggarkan melalui APBD untuk sektor pendidikan. Selain itu, adanya keterlibatan lebih masyarakat dalam bentuk hibah dan biaya pendidikan yang dibayarkan mahasiswa (atau pihak yang menanggungnya) turut menegaskan terjadinya desentralisasi dan privatisasi sektor pendidikan di Indonesia.
Universitas Indonesia
107
Selanjutnya,
bentuk
dari
privatisasi
yang
dapat
berujung
pada
komersialisasi dapat dilihat pada kebijakan UU Dikti dengan dimunculkannya lagi status PTN BH pada perguruan tinggi negeri yang otonom. Berdasarkan peraturan ini, bentuk privatisasi yang terjadi pada perguruan tinggi berstatus PTN BH dapat diketahui dengan ciri adanya penguatan dalam pemantauan lembaga pendidikan secara mandiri (otonom) di samping adanya pengawasan dari pemerintah (Hadi dkk, 2007), yaitu dibentuknya MWA sebagai lembaga tertinggi di luar pemerintahan (negara) dengan keterlibatan lebih dari masyarakat ataupun internal perguruan
tinggi
bersangkutan.
Sebagaimana
dijelaskan
sebelumnya,
komersialisasi pendidikan memperlihatkan adanya kecenderungan institusi pendidikan untuk mencari keuntungan semata, yaitu guna menutupi biaya operasional yang tidak bisa ditanggung secara penuh oleh alokasi dana negara. Jika melihat secara utuh, maka status badan hukum pada perguruan tinggi tidak terlepas dari adopsi konsep otonomi yang dibawa pada masa orde baru oleh para mahasiswa setelah menyelesaikan studinya dari Amerika. Setelahnya, pada masa reformasi, pemerintah melakukan kesepakatan dengan lembaga-lembaga internasional untuk melakukan liberalisasi sektor-sektor publik, termasuk pendidikan. Transformasi perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi berstatus badan hukum dapat dilihat dari istilah BHMN pada tahun 1999, BHP pada tahun 2009 dan PTN BH pada tahun 2012. Sekalipun terdapat perbedaan istilah, namun pada prakteknya ketiga status perguruan tinggi tersebut berakar pada praktek otonomi yang di dalamnya terdapat proses desentralisasi dan privatisasi. Narasumber C pun menegaskan bahwa status BHMN, BHP maupun PTN BH pada dasarnya sama, karena terlihat dari praktik atau tata kelola yang diterapkannya memiliki kesamaan sebagaimana dapat dilihat dalam tabel 5.1 tentang sejarah perjalanan status Universitas X. Secara umum, status badan hukum mencerminkan adanya desentralisasi dan privatisasi perguruan tinggi, yang dapat dilihat dari sumber pendanaan, keuangan negara, kepemilikan tanah dan bangunan, pelaksana audit serta organisasi yang menjalankan fungsi pengawasan.
Universitas Indonesia
108
6. 3. Komersialisasi Pendidikan Universitas X sebagai Bentuk Pelanggaran Etika (White Collar Crime) Pada hakikatnya, komersialisasi bukanlah hal yang dilarang dalam perguruan tinggi. Sebagaimana disebutkan dalam subbab sebelumnya bahwa berdasarkan pasal 63 UU Pendidikan Tinggi, salah satu prinsip dalam menerapkan konsep otonomi yang diterapkan oleh Indonesia adalah nirlaba. Prinsip nirlaba adalah prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba atau keuntungan, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke Perguruan Tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan (penjelasan pasal 63 UU Dikti). Dalam peraturan sebelumnya (PP 60 dan 61 tahun 1999), disebutkan bahwa terkait permasalahan pembiayaan pendidikan, perguruan tinggi secara legal diperbolehkan menerima dana dari masyarakat, termasuk di antaranya adalah peserta didik, namun didasari untuk tidak mencari keuntungan (nirlaba). Sayangnya, prinsip nirlaba inilah yang menjadi salah satu alasan MK mencabut UU BHP pada tahun 2010 (Pangky Febriantanto, dalam Kompas.com, 2010), yaitu bahwa prinsip nirlaba tak hanya bisa diterapkan dalam BHP, tetapi juga dalam bentuk badan hukum lainnya. Salah satu alasan pencabutan UU BHP adalah penerimaan dari peserta didik yang secara berlebihan sehingga melebihi alokasi negara atas pendidikan. Hal inilah yang dianggap sebagai dasar prinsip nirlaba diterapkan, yaitu untuk melindungi peserta didik dari tujuan profit dari institusi pendidikan. Dana yang didapatkan dari peserta didik bertujuan untuk menutupi dana operasional pendidikan tinggi yang tidak mampu dipenuhi pemerintah.
Berdasarkan hal tersebut, komersialisasi perguruan tinggi pada dasarnya diperbolehkan, hanya saja ketika ia mengalami surplus berlebihan maka hal tersebut dianggap tidak etis (pelanggaran etika) dikarenakan pendidikan adalah hak yang harus diperjuangkan pemerintah kepada warga negaranya, berdasarkan amanat konstitusi dan hak ekosob. Masalah etika inilah yang secara implisit disebutkan Sutherland dalam membahas terminologi white collar criminal (Mustofa, 2010), yaitu bagaimana para pelaku bisnis menyampaikan informasi yang menyesatkan dalam iklan untuk memasarkan produknya, supaya masyarakat umum lebih tertarik pada produknya (meningkatkan keuntungan). Hal ini pulalah
Universitas Indonesia
109
yang disebutkan Quinney dalam Geis (2007) sebagaimana dikutip oleh Mustofa (2010) dalam profesi apoteker yang sekaligus merupakan pedagang obat. Quinney menemukan bahwa apoteker yang melakukan pelanggaran menjual obat pada pelanggan yang tidak berdasarkan resep dokter, lebih cenderung melihat dirinya sebagai
pelaku
bisnis
dibandingkan
profesional.
Selanjutnya,
Quinney
menyimpulkan keadaan tersebut merupakan masalah perbedaan orientasi (conflict of interest) bahwa apoteker yang melakukan pelanggaran lebih memandang dirinya sebagai pebisnis dibandingkan seorang apoteker. Jika dikomparasikan dengan apa yang terjadi di dunia pendidikan tinggi, komersialisasi pendidikan memperlihatkan bahwa institusi pendidikan memandang dirinya sebagai organisasi bisnis (korporat) yang mencari keuntungan dibandingkan lembaga pendidikan yang berfungsi untuk pengembangan ilmu pengetahuan atau institusinya secara kelembagaan. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana perguruan tinggi berstatus badan hukum diharapkan untuk mencari sumber dana lainnya selain alokasi dana dari pemerintah. Komersialisasi pendidikan tinggi yang terdapat dalam Universitas X pun dapat ditunjukkan dari berkurangnya persentase alokasi penerimaan yang didapatkan dari negara, sehingga mencari sumber pendapatan lain untuk meningkatkan pendapatan (Albatch, Reisberg dan Rumbley, 2009). Hal tersebut dilihat dari grafik 5.1 dan 5.2 pada bab sebelumnya yang menunjukkan adanya kenaikan penerimaan Universitas X yang cukup signifikan yang berasal dari biaya operasional mahasiswa (mahasiswa) sejak tahun 2002 hingga 2013 dibandingkan dana alokasi dari pemerintah (APBN). Selain itu, proporsi APBN atau dengan kata lain setiap tahunnya, dana yang didapat dari pemerintah selalu lebih kecil bila dibandingkan dari pendapatan biaya kuliah yang didapatkan dari mahasiswa atau masyarakat pada umumnya. Selain itu, jika melihat data yang diperoleh dari sumber berbeda (Bank Dunia, 2010) pada grafik 5.3, dapat dilihat bahwa sumber penerimaan Universitas X yang diperoleh dari peserta didik hampir mencapai 3 kali lipat dibandingkan dana alokasi dari pemerintah melalui dirjen dikti, yaitu 59% berbanding 21%. Hal ini menegaskan bahwa salah satu bentuk komersialisasi pendidikan tinggi pada Universitas X adalah berkurangnya kontribusi negara dalam penyelenggaraan
Universitas Indonesia
110
pendidikan bila dilihat dari persentase keseluruhan, bukan sekadar angka-angka nominal. Selain itu, dengan melihat sumber penerimaan Universitas X melalui persentase, peneliti melihat bahwa Universitas X memposisikan pendidikan menjadi sama dengan ventura (unit usaha), karena pendapatan asli yang diperoleh dari ventura mengalami penurunan persentase secara drastis, sebaliknya pendapat yang didapatkan dari peserta didik terus mengalami peningkatan. Terkait ini, dapat dilihat dari grafik 6.1 berikut
Pers entase
Grafik 6.1 Persentase Sumber Pendanaan Universitas X (2008-2012)
7.18
7.14
7.55
30.73
27.31
24.67
7.39 16.33 30.07
13.74
23.44
23.98
48.35
42.11
43.8
46.22
2008
2009
2010
2011
4.26 13.94
24.62
57.17
2012
Ta hun
Peserta Didik
APBN
Ventura
Hibah
Sumber: olahan pribadi, 2015
Dapat dilihat dari grafik di atas bahwa prinsip nirlaba tidak diterapkan dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi, yaitu Universitas X. Proporsi penerimaan peserta didik yang lebih besar dibandingkan dana alokasi dari pemerintah dan terus mengalami peningkatan merupakan salah satu indikator bahwa Universitas X sebagai salah satu PTN BH memandang dirinya layaknya suatu korporasi. Hal ini pun tidak terlepas dari anggapan bahwa negara tidak mampu memenuhi kebutuhan perguruan tinggi berstatus badan hukum untuk mencapai visinya, termasuk Universitas X. Kesulitan korporasi dalam hal keuangan inilah yang kemudian dijelaskan Clinard dalam Mustofa (2010) sebagai salah satu faktor eksternal dari pelanggaran etika yang dilakukan suatu korporasi, sehingga akhirnya merugikan masyarakat khususnya konsumen. Dalam hal ini, kesulitan keuangan yang dialami Universitas X dalam menggapai visinya
Universitas Indonesia
111
diperoleh dari faktor eksternal, yaitu alokasi dana yang disediakan negara dan akhirnya merugikan konsumen yaitu peserta didik. Selanjutnya, pelanggaran etika yang terjadi adalah komersialisasi pendidikan dengan surplus berlebihan, yaitu jumlah penerimaan yang didapatkan dari peserta didik selalu lebih tinggi dari penerimaan
dari
sumber-sumber
penerimaan
lainnya
khususnya
negara
(pemerintah). Pendapat Clinard sebelumnya pun diperkuat dengan pendapat Chorney (2008) yang mengatakan bahwa penurunan alokasi dana dari pemerintah terhadap institusi pendidikan tinggi telah mengakibatkan banyak universitas semakin
memandang
penyelenggaraan
institusi
mereka
sebagai
upaya
memperoleh keuntungan finansial demi menutupi kekurangan dana. Ketika pembiayaan dari pemerintah untuk biaya pendidikan berkurang, biaya pendidikan akan naik. Kenaikan biaya ini dapat memberi justifikasi oleh institusi pendidikan tinggi bahwa pendidikan adalah komoditas yang diperjual-belikan. Dalam temuan data mengenai sumber penerimaan Universitas X, dapat dilihat bahwa sekalipun secara jumlah penerimaan dari negara melalui APBN mengalami peningkatan, namun ternyata secara persentase cenderung mengalami penurunan jika melihat pada grafik 6.1 di atas. Sebaliknya secara persentase, penerimaan yang diperoleh dari peserta didik terus mengalami peningkatan secara drastis dan hal ini diperkuat dengan dokumen pembanding yang ditunjukkan pada grafik 5.3. Selain itu, berdasarkan teori anomi institusional yang dinyatakan oleh Messner dan Rosenfeld pada tahun 1994, sebagaimana dijelaskan oleh Schoepfer (2004) menunjukkan bahwa struktur sosial atau kebudayaan yang ada dalam masyarakat sudah menetapkan tujuan budaya yang harus dicapai dengan cara-cara yang juga sudah ditentukan, baik secara norma (etika) maupun secara hukum. Dalam hal ini, perguruan tinggi harus menyelenggarakan pendidikan tinggi dengan cara-cara yang melembaga yaitu mengenai konsep otonomi perguruan tinggi dengan salah satunya prinsipnya adalah nirlaba. Di sisi lain, terdapat kecenderungan dari perguruan tinggi untuk mencari profit dikarenakan tidak tercukupinya alokasi dana yang diperoleh dari pemerintah. Temuan data menunjukkan bahwa Universitas X diberikan beban untuk melaksanakan otonomi perguruan tinggi, namun tidak mempunyai kemampuan manajerial yang baik untuk melaksanakannya, yaitu berusaha mencari dana dari sumber penerimaan
Universitas Indonesia
112
selain mahassiwa. Selanjutnya, ketika kemampuan untuk memenuhi cara-cara melembaga tidak dapat mencapai harapan yang ingin dicapai, maka timbullah anomi. Dalam hal ini, Universitas X tidak memiliki kemampuan manajerial yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sisa dana yang dibutuhkan dalam penyelenggaraannya. Anomi pun terjadi ketika prinsip nirlaba dalam perguruan tinggi bertentangan dengan kemampuan untuk mengejar profit dengan melakukan komersialisasi pendidikan secara berlebihan sehingga membebani peserta didik. Ketika anomi terjadi inilah, Merton menyebutkan istilah inovasi agar kebutuhan dari tujuan itu tercapai walau dengan cara-cara yang tidak melembaga atau disebut pula sebagai pelanggaran etika menurut Sutherland sebagaimana disebutkan oleh Mustofa (2010). Universitas X dalam hal ini melakukan inovasi dan pelanggaran etika dengan melakukan komersialisasi pendidikan dengan surplus berlebihan kepada peserta didiknya. Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa adanya pelanggaran etika nirlaba sebagai salah satu prinsip dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia yang dilakukan oleh Universitas X. Dengan konsep nirlaba, perguruan tinggi sebenarnya dapat mencari sumber penerimaan lain selain dana yang diperoleh dari peserta didik, seperti dari unit usaha Universitas (ventura). Sayangnya, seperti dilihat pada grafik 6.1 di atas, penerimaan yang diperoleh Universitas X dari unit usaha (ventura) selalu mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa komersialisasi menjadi pelanggaran etika atas dasar prinsip nirlaba dalam otonomi perguruan tinggi. Selain itu, hal ini pun bertentangan dengan hak atas pendidikan, termasuk pendidikan tinggi yang menjadi amanat dari konstitusi dan termasuk dalam hak ekosob yang telah diratifikasi oleh Indonesia. 6. 4. Penyelenggaraan Program Pascasarjana Universitas X sebagai bentuk Kejahatan Korporasi dalam Pelaksanaan Otonomi Perguruan Tinggi di Indonesia Sebelum menjelaskan lebih lanjut mengenai studi kasus sebagai bentuk kejahatan korporasi, peneliti merasa perlu menjelaskan dasar dari studi kasus itu sendiri yaitu sebagai bentuk dari komersialisasi pendidikan yang merupakan
Universitas Indonesia
113
pelanggaran etika sebagaimana dijelaskan dalam subbab sebelumnya. Secara khusus, Chorney (2008) berusaha menjelaskan komersialisasi pendidikan sebagai pelanggaran etika dengan melihat bahwa penurunan alokasi dana dari pemerintah terhadap institusi pendidikan tinggi telah mengakibatkan banyak universitas semakin
memandang
penyelenggaraan
institusi
mereka
sebagai
upaya
memperoleh keuntungan finansial demi menutupi kekurangan dana. Pada temuan data subbab 5.5.4, hal tersebut dapat diperlihatkan bahwa salah satu permasalahan penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X adalah kesulitan dalam penerimaan dana yang berasal dari peserta didik maupun riset sebagai unit ventura. Penurunan alokasi dana pemerintah diakui oleh narasumber E sebagai direktur program pascasarjana per tahun 2014 bahwa alokasi dana yang berasal dari pemerintah sangat sedikit atau bahkan tidak ada untuk penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. Hal inilah yang membuat program pascasarjana Universitas X melihat diri mereka layaknya suatu korporasi sebagai upaya untuk memperoleh keuntungan finansial demi menutupi kekurangan dana untuk memenuhi kebutuhan anggaran di dalamnya. Sebagaimana disebutkan pula Clinard yang dikutip oleh Mustofa (2010) bahwa salah satu faktor dari suatu korporasi melakukan pelanggaran etika adalah kesulitan korporasi dalam memperoleh finansial. Dalam hal ini, berdasakan pada temuan data, beberapa prodi dalam program pascasarjana Universitas X mengalami kesulitan dana, khususnya alokasi dari pemerintah sehingga harus bisa meningkatkan jumlah mahasiswanya agar dapat menghindari defisit atau kepentingan pendanaan mandiri. Selain dari peserta didik, sumber penerimaan lainnya adalah melalui kerja sama riset sebagai unit ventura. Selanjutnya, Chorney (2008) pun menambahkan bahwa dampak dari komersialisasi pendidikan adalah perubahan cara institusi pendidikan untuk memperlakukan pekerjanya dengan lebih banyak menggunakan pekerja paruhwaktu (kontrak) dengan bayaran maupun tunjangan yang lebih sedikit dan kemungkinan yang lebih kecil untuk para pekerja berserikat, baik tenaga pengajar maupun tenaga administratif. Pada temuan data subbab 5.2.2, disebutkan bahwa salah satu masalah utama dari penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X adalah sebagian besar dosen yang berasal dari pihak eksternal maupun dari
Universitas Indonesia
114
fakultas lain, sehingga berdasarkan hasil verifikasi internal, program pascasarjana Universitas X masih dianggap tidak memiliki dosen tetap dan benar-benar berasal dari dalam program pascasarjana. Atas dasar itu pula, terdapat beberapa tenaga pengajar yang telah mengajar di program pascasarjana Universitas X namun belum terdaftar sebagai pegawai Universitas maupun PNS, sehingga tenaga pengajar tersebut akan diberikan NIP dan statusnya adalah pekerja kontrak melalui PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Sementara itu, terjadi pula restrukturalisasi organisasi dengan adanya penataan tenaga pengajar dari 684 orang menjadi 250 orang dan dihapuskannya disparitas honor tenaga pengajar yang sebelumnya tidak dapat dipertanggungjawabkan menjadi dapat dihitung secara akuntabel berdasarkan SKS mengajar. Adanya penarikan dosen dari fakultas lain maupun pihak eksternal maupun adnaya disparitas honor yang begitu besar sebagaimana terdapat dalam temuan data menunjukkan adanya indikasi dari dampak komersialisasi pendidikan yang terjadi pada studi kasus penelitian. Terkait pelanggaran etika yang terdapat dalam korporasi, Clinard dan Yeager (1980) sebagaimana disebutkan dalam Mustofa (2010) mengatakan bahwa salah satu faktor terjadinya kejahatan korporasi adalah budaya di dalam internal korporasi. Budaya korporasi ini membentuk norma dalam menjalankan bisnis yang mungkin bertentangan dengan norma etika dan hukum. Perusahaan yang lebih mengutamakan keuntungan dengan mengabaikan etika dan mengelak tanggung jawab korporasi kepada masyarakat, konsumen maupun komunitas akan sulit mengikuti hukum yang berlaku. Dalam hal ini, program pascasarjana Universitas X terikat norma etika dan hukum yaitu sebagai salah satu institusi pendidikan yang menjalankan amanat konstitusi dan hak atas terpenuhinya pendidikan bagi warga negara. Pada temuan data, dapat dilihat bahwa ketidakjelasan kurikulum sebagai pengabaian etika secara akademik dan tangungjawab program pascasarjana Universitas X dalam menyelenggarakan pendidikan di dalamnya. Terdapat indikasi bahwa adanya peminatan yang lebih mengutamakan keuntungan dirinya sendiri, sehingga mampu berdiri dan menyelenggarakan kegiatan akademik tanpa perlu terikat dengan prodi yang secara struktural beradal di atasnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Clinard dan Yeager sebelumnya, bahwa perusahaan
Universitas Indonesia
115
yang lebih mengutamakan keuntungan dengan mengabaikan etika dan mengelak tanggung jawab korporasi kepada masyarakat, konsumen maupun komunitas, akan sulit mengikuti hukum yang berlaku. Dalam hal ini, program pascasarjana Universitas X memandang dirinya layaknya koporasi yang mengutamakan keuntungan demi menutupi alokasi dana yang kurang dari pemerintah. Kondisi tersebut
kemudian
mengakibatkan
program
pascasarjana
Universitas
X
mengabaikan etika nirlaba sebagai salah satu prinsip dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia dan mengelak tanggung jawab sebagai institusi pendidikan kepada konsumennya, yaitu peserta didik dengan ketidakjelasan kurikulum pendidikan. Secara sosiologis, kejahatan bukan hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum dan norma yang disepakati dalam masyarakat, namun sebagai pelanggaran atas etika atau seperti dikatakan Sutherland sebagaimana dituliskan Mustofa (2010) sebagai white collar crime. Secara lebih khusus, Friedrichs kemudian memperlihatkan bahwa universitas sebagaimana lembaga/organisasi lainnya memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan yang dapat digolongkan sebagai corporate crime (kejahatan korporasi). Friedrichs kemudian menjelaskan bahwa kejahatan korporasi adalah salah satu bentuk umum dari white collar crime dan bentuk spesifik dari organizational crime, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh pejabat tinggi dari suatu lembaga/institusi maupun kejahatan yang dilakukan oleh lembaga/institusi itu sendiri, khususnya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Dalam hal ini, institusi pendidikan tinggi memandang dirinya seperti suatu korporasi untuk mencari keuntungan dibandingkan sebagai lembaga yang mengembangkan ilmu pengetahuan. Dalam studi kasus, pelanggaran atas etika ini ditunjukkan dalam bentuk komersialisasi pendidikan dengan mengabaikan etika nirlaba sebagai salah satu prinsip dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari 80% alokasi dana rutin yang dipergunakan untuk berbagai macam honor, tunjangan dan insentif. Penggunaan alokasi dana rutin yang begitu besar tidak terlepas dari 1) disparitas honor dari tenaga pengajar sebelum dilakukan restrukturalisasi; 2) banyaknya tenaga pengajar dari pihak eksternal yang hanya mengajar sesekali dan diberi status ‘narasumber’ maupun 3) adanya indikasi
Universitas Indonesia
116
korupsi yaitu pengambilan dana untuk kepentingan pribadi atas nama pendiri dan status sebagai pengajar luar atau pihak eksternal dari program pascasarjana Universitas X. Penggunaan dana yang seharusnya dapat digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun pembangunan institusi pendidikan, namun ternyata dipergunakan untuk kepentingan pribadi merupakan salah satu pelanggaran atas etika nirlaba. Hal ini dikarenakan prinsip nirlaba menjamin pencarian dana yang dibutuhkan institusi pendidikan selama hal tersebut dipergunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan secara surplus tidak berlebihan sehingga menimbulkan beban lebih banyak bagi peserta didik dari segi biaya. Pada studi kasus, alokasi dana yang dikeluarkan secara berlebihan untuk honor (gaji) tenaga pengajar merupakan salah satu bentuk dari pengabaian atas etika nirlaba bahwa dana yang didapatkan dari sumber-sumber penerimaan selain alokasi dana negara dipergunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan maupun institusi pendidikan. Dalam kerangka anomi institusional, suatu lembaga akan cenderung melakukan kejahatan ketika dibenturkan dengan orientasi mengejar keuntungan, sedangkan cara-cara legal atau melembaga untuk mencapai hal tersebut sangat terbatas, khususnya faktor internal yaitu sumber daya manusia. Pada studi kasus penelitian, program pascasarjana Universitas X cenderung memandang dirinya sebagai
korporasi
untuk
mencari
keuntungan
guna
menutupi
biaya
penyelenggaraan yang tidak bisa dipenuhi sepenuhnya oleh pemerintah. Untuk itulah, ditetapkan cara-cara yang melembaga dan legal untuk mencapainya dengan batasan etika, yaitu prinsip nirlaba dalam otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Prinsip tersebut untuk membatasi institusi perguruan tinggi untuk mencari dana dari mahasiswa maupun sumber penerimaan lainnya secara berlebihan, sehingga mengabaikan penyelenggaraan pendidikan dan fokus dalam pencarian sumber penerimaan lainnya untuk menutupi kekurangan alokasi dana pemerintah. Dalam pelaksanaannya, terdapat permasalahan kemampuan manajerial untuk mencapai hal tersebut dalam program pascasarjana sebagai studi kasus dalam penelitian ini. Kurangnya manajerial untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan pada studi kasus diperlihatkan dampak yang ditimbulkannya, yaitu disparitas honor dan jumlah dari tenaga pengajar yang
Universitas Indonesia
117
berujung pada alokasi pengeluaran yang besar. Selain itu, hal ini dapat dilihat dari masih terdapat prodi yang memiliki kekurangan dalam jumlah mahasiswa, sebagai salah satu sumber penerimaan dana untuk penyelenggaraan program pascasarjana. Kekurangan dalam jumlah mahasiswa sendiri dalam temuan data diperlihatkan sebagai salah satu kendala yang berdampak pada defisit anggaran untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X. Di sisi lain, kurangnya alokasi dana dari pemerintah yang diungkapkan oleh narasumber E memperlihatkan bahwa penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X harus membiayai dirinya sendiri secara otonom dengan mencari sumber-sumber pendanaan lainnya. Hal ini pula yang kemudian menjadi salah satu rekomendasi setelah dilakukannya verifikasi internal, agar program pascasarjana Universitas X menambah jumlah mahasiswa untuk prodi tertentu dan dapat menjalin kerjasama dalam riset untuk menambah pemasukan. Kurangnya kemampuan manajerial dalam menerapkan etika nirlaba sebagai salah satu prinsip otonomi perguruan tinggi, pada akhirnya mencari sisa kebutuhan dana untuk penyelenggaraan dengan membebankannya ke peserta didik secara berlebihan. Unit ventura maupun unit usaha lainnya, seperti kerja sama riset (penelitian) sejatinya bertujuan agar perguruan tinggi dapat memanfaatkan asetnya secara maksimal untuk dapat menambah penerimaan guna penyelenggaraan pendidikan, tanpa harus membebankannya kepada peserta didik. Namun, dikarenakan kurangnya kemampuan manajerial untuk memenuhi kebutuhannya melalui unit lain tanpa harus membebankan secara lebih ke mahasiswa, maka ha itulah yang menyebabkan program pascasarjana Universitas X membutuhkan lebh banyak mahasiswa guna mengurangi deficit anggaran dalam penyelenggaraannya. Ketidaksesuaian antara kemampuan manajerial, yaitu dalam menutupi kekurangan dana sehingga melakukan komersialisasi dan harapan akan prinsip legal, yaitu etika nirlaba dalam otonomi perguruan tinggi di Indonesia inilah yang menyebabkan anomi. Ketika terjadi anomi, maka Merton sebagaimana disebutkan dalam Mustofa (2010) mengatakan bahwa individu akan melakukan inovasi, yaitu perbuatan yang secara tujuan sesuai dengan keinginan masyarakat, namun melalui cara-cara yang tidak melembaga (ilegal atau melanggar etika). Di
Universitas Indonesia
118
sisi lain, pelanggaran etika inilah yang dijelaskan oleh Sutherland sebagaimana ditulis oleh Mustofa (2010) sebagai salah satu definisi kejahatan secara sosiologis. Untuk menjelaskan indikasi korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan program pascasarjana, maka peneliti menggunakan kerangka shareholder dan stakeholder theory, di mana para shareholder selaku pendiri dari suatu korporasi dan menjadi bagian dari stakeholder memiliki kecenderungan untuk mengejar keuntungan semata (profit oriented), sehingga mengabaikan stakeholder lainnya. Teori ini mampu menggambarkan indikasi korupsi yang terjadi dalam studi kasus bahwa terdapat pengaruh ke penyelenggara dari program pascasarjana Universitas X untuk meningkatkan keuntungan pribadi atas dasar status dan kekuasaan yang dimilikinya, yaitu sebagai pendiri dari peminatan atau prodi tertentu dalam program pascasarjana Universitas X. Adanya orientasi untuk mengejar keuntungan sebenarnya dijelaskan pula oleh Quinney dalam Geis (2007) dan ditulis pula oleh Mustofa (2010) melalui konsep conflict of interest yang dialami oleh apoteker dalam melihat orientasi dari institusi di mana mereka bekerja. Quinney menemukan bahwa ketika apoteker berada dalam institusi farmasi yang mengedepankan keuntungan dan berorientasi bisnis (korporasi), maka apoteker cenderung untuk melakukan kejahatan melalui pelanggaran dalam pemberian obat yang tidak sesuai resep dokter. Sebaliknya, Quinney menemukan bahwa apoteker yang bekerja dalam institusi farmasi yang lebih mengedepankan profesionalitas, maka kecenderungan untuk terjadinya pelanggaran yang dilakukan apoteker menjadi berkurang atau tidak ada sama sekali. Dalam hal ini, para penyelenggara dari program pascasarjana Universitas X yang terindikasi melakukan korupsi lebih memandang institusi pendidikan sebagai
organisasi
bisnis
(korporasi)
pada
umumnya,
dengan
adanya
komersialisasi untuk mencari sumber penerimaan lain untuk menutupi kekurangan alokasi dana yang didapatkan dari pemerintah. Ketika dana hasil komersialisasi tersebut berlebihan dan dinikmati oleh institusi, maka hal tersebut dapat dikategorisasikan sebagai pelanggaran etika dan dapat didefinisikan sebagai kejahatan secara sosiologis sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi, di sisi lain, ketika surplus tersebut digunakan untuk kepentingan individu, maka hal ini dapat diindikasikan sebagai kejahatan korupsi, karena seorang individu atau
Universitas Indonesia
119
kelompok menggunakan kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya untuk kepentingan materi (Heyneman, 2004) Pada temuan data, para penyelenggara program pascasarjana Universitas X terindikasi melakukan korupsi atas dasar wewenang secara administrasi dan kekuasaan yang dimilikinya atas dasar statusnya sebagai pendiri. Dalam kerangka shareholder-stakeholder theory, status sebagai pendiri ini yang kemudian dijelaskan sebagai shareholder dengan orientasi mengejar keuntungan semata. Selanjutnya, kekuasaan shareholder atas orientasi untuk mengejar profit secara berlebihan berpengaruh pada pengabaian stakeholder lainnya. Pada studi kasus, hal tersebut diindikasikan terjadi dalam intervensi dari pihak luar yang merupakan bagian dari pendiri dan mendapatkan keuntungan lebih dari hasil komersialisasi pendidikan yang melanggar etika nirlaba. Pengabaian atas stakeholder lainnya dapat dilihat dari disparitas honor tenaga pengajar (dosen) yang dapat dianggap sebagai pekerja dan ketidakjelasan kurikulum yang berpengaruh pada peserta didik yang dapat dianggap sebagai konsumen. Pengabaian tersebut yang dijelaskan oleh shareholder-stakeholder theory sebagai pelanggaran etika dan dapat berujung kepada kejahatan, karena para pendiri berusaha mencari keuntungan pribadi dengan cara-cara yang legal namun seringkali secara moral tidak diizinkan. Pada studi kasus, hal tersebut diperlihatkan pada komersialisasi pendidikan sebagai bentuk pencarian profit yang seharusnya dapat digunakan untuk kepentingan institusi untuk menutupi kekurangan alokasi dana dari pemerintah, namun akhirnya hal tersebut digunakan jua untuk keuntungan segelintir orang, yaitu pendiri dari beberapa prodi tertentu dalam program pascasarjana Universitas X.
Universitas Indonesia
BAB 7 PENUTUP
7. 1. Kesimpulan Pendidikan merupakan salah satu hak yang wajib dipenuhi oleh pemerintah kepada warga negaranya. Dalam UUD 1945 maupun kovenan mengenai hak ekosob yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU nomor 11 thaun 2005, pendidikan menjadi salah satu hak yang harus diperjuangkan oleh negara. Hal tersebut dilakukan, agar pendidikan dapat dinikmati oleh setiap orang dengan kesempatan aksesbilitas yang sama untuk memperolehnya, termasuk sektor pendidikan tinggi sebagai muara dari sistem pendidikan nasional. Unit dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi disebut sebagai pendidikan tinggi. Dalam Magna Universitatum (1988), universitas sebagai salah satu bentuk perguruan tinggi memiliki otonomi yang harus independen dari segala otoritas politik dan kekuasaan ekonomi. Di Indonesia, otonomi perguruan tinggi dari otoritas politik dapat ditunjukkan dari paham komunis/marxisme-leninisme yang dilarang penyebarannya berdasarkan TAP MPRS nomor 25/1966, namun paham dan ideologi tersebut masih dapat dikembangkan secara akademis di tingkat universitas. Di sisi lain, otonomi atas kekuasaan ekonomi dapat dilihat dari konsep nirlaba yang tertuang dalam UU 12 tahun 2012 mengenai pendidikan tinggi. Nirlaba sebagai konsep dalam otonomi perguruan tinggi memiliki pengertian prinsip kegiatan yang tujuannya tidak untuk mencari laba, sehingga seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan harus ditanamkan kembali ke perguruan tinggi untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan. Atas dasar tersebut, otonomi pendidikan pada hakikatnya adalah kebebasan dalam ranah akademis. Sekalipun demikian, kebebasan itu tetap dibatasi oleh etika, seperti pelarangan dalam melakukan kloning terhadap manusia (UNESCO, 2004), ataupun menjaga kerahasiaan identitas narasumber (Social Research Association, 2003). Secara umum, konsep otonomi ini mulai menuai pro-kontra karena tidak dikenalnya batasan yang jelas dalam mengelola sektor
120
Universitas Indonesia
121
akademik dan keuangan, dengan adanya proses desentralisasi, privatisasi dan komersialisasi pendidikan dalam prakteknya. Di Indonesia, konsep otonomi perguruan tinggi pada sektor keuangan ini dapat dilihat dari status badan hukum (PTN BH) yang berbeda dengan status perguruan tinggi negeri (PTN). Dengan dalih kurangnya alokasi anggaran yang diperoleh dari negara, perguruan tinggi yang berstatus PTN BH melakukan komersialisasi pada peserta didiknya. Komersialisasi pada dasarnya bukanlah sesuatu yang dilarang dengan adanya konsep nirlaba, artinya selama untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh negara, institusi pendidikan berhak mencari sumber penerimaan lain, termasuk dari peserta didik. Komersialisasi pendidikan pada batas tertentu diizinkan selama tidak membebankan peserta didik secara berlebihan, sehingga mengabaikan peran negara dalam melaksanakan hak atas pendidikan. Atas dasar tersebut, komersialisasi pendidikan secara berlebihan dapat dikategorikan sebagai salah satu pelanggaran etika atas nirlaba sebagai salah satu prinsip dalam otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Pelanggaran etika inilah yang dapat didefinisikan sebagai kejahatan secara sosiologis menurut Sutherland sebagaimana dijelaskan oleh Mustofa (2010) melalui istilah white collar crime. Melalui studi kasus penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X, penelitian ini membuktikan salah satu praktek komersialisasi pendidikan dan korupsi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi terjadi di Indonesia. Universitas X sendiri merupakan salah satu perguruan tinggi berstatus PTN BH di Indonesia. Secara umum, komersialisasi pendidikan yang terjadi dapat dilihat tren komposisi sumber penerimaan Universitas X selama tahun 2000-2012 yang mayoritas diperoleh dari mahasiswa (masyarakat) dibandingkan negara maupun unit ventura (usaha dari internal universitas). Secara khusus, penyelenggaraan program pascasarjana Universitas X sebagai studi kasus penelitian ini telah memiliki arah tertentu yang dapat menunjukkan komersialisasi pendidikan dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Akan tetapi, tema penelitian yang bersifat sensitif dan keterbatasan penelitian dalam memperoleh data penelitian membuat kesimpulan penelitian ini masih bersifat tentatif. Secara singkat, komersialisasi pendidikan
Universitas Indonesia
122
sendiri dapat digolongkan sebagai pelanggaran etika, yaitu bila surplus yang dihasilkan berlebihan sehingga melanggar etika nirlaba sebagai salah satu prinsip dalam otonomi perguruan tinggi. Selain itu, komersialisasi pendidikan pun dapat disebut sebagai salah satu kejahatan korporasi dikarenakan institusi pendidikan memandang dirinya layaknya korporat, dibandingkan lembaga penyelenggara pendidikan yang berdasarkan amanat konstitusi maupun hak ekosob. Dengan memandang dirinya sebagai suatu korporasi, maka ada orientasi mencari keuntungan atau profit, sehingga menimbulkan potensi terjadinya komersialisasi pendidikan dan akhirnya berdampak pada proses penyelenggaraan pendidikan, seperti ditunjukkan dalam sudi kasus yaitu ketidakjelasan kurikulum maupun disparitas honor dari tenaga pengajar program pascasarjana Universitas X. Ketika surplus berlebihan dari komersialisasi pendidikan tersebut ternyata digunakan
untuk
kepentingan
dan
keuntungan
pribadi,
bukan
untuk
pengembangan ilmu pengetahuan maupun pembangunan dari institusi pendidikan, maka hal tersebut dapat diindikasikan sebagai korupsi. Pada studi kasus, indikasi terjadinya korupsi tersebut dapat dilihat dari banyaknya alokasi dana untuk berbagai macam honor, tunjangan, insentif dan hal tersebut mengambil porsi yang besar dari 80% alokasi dana rutin program pascasarjana Universitas X. Selain itu, hal tersebut dapat dilihat dari disparitas honor tenaga pengajar, di mana dosen yang berasal dari pihak eksternal (luar) program pascasarjana Universitas X dapat memperoleh gaji yang lebih besar dibandingkan dosen pada umumnya. 7. 2. Saran Dalam hak asasi warga negara atas pendidikan, pemerintah Indonesia harus dapat memastikan tidak adanya diskriminasi bagi setiap calon peserta didik, khususnya dalam aksesbilitas setiap jenjang pendidikan, termasuk pendidikan tinggi. Dengan dasar demikian, pendidikan tinggi melalui konsep otonomi haruslah tetap dalam kendali dan pengawasan pemerintah, khususnya terkait pendanaan. Peneliti melihat hal ini dari bagaimana praktek komersialisasi yang terjadi di perguruan tinggi didasarkan pada kurangnya alokasi dana yang diperoleh dari pemerintah dibandingkan sumber-sumber penerimaan lainnya. Pada akhirnya, hal inilah yang menyebabkan peserta didik menjadi korban dengan
Universitas Indonesia
123
logika bahwa pendidikan layaknya barang yang diperjualbelikan dan peserta didik tak ubahnya konsumen yang harus membayar sejumlah uang tertentu untuk memperoleh pendidikan yang diinginkannya. Negara pada akhirnya terlihat lepas tangan atas pemenuhan hak atas pendidikan dengan adanya komersialisasi pendidikan khususnya pada perguruan tinggi berstatus badan hukum di Indonesia. Di sisi lain, pihak perguruan tinggi pun seharusnya dapat memaksimalkan prinsip nirlaba dalam otonomi perguruan tinggi untuk membangun institusi maupun mengembangkan ilmu pengetahuan secara lebih luas, yaitu salah satunya dengan konsep penelitian dan pengabdian kepada masyarakat sebagai bentuk tridharma perguruan tinggi Indonesia. Prinsip nirlaba yang terjadi justru dimanfaatkan dalam komersialisasi pendidikan sehingga membebankan peserta didik secara berlebihan, demi menutup alokasi dana dari pemerintah yang dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan dari institusi pendidikan dalam menyelenggarakan fungsinya. Selain itu, peneliti menyarankan adanya penelitian lebih lanjut yang mampu menjelaskan fenomena otonomi perguruan tinggi, komersialisasi pendidikan dan korupsi. Hal ini dikarenakan penelitian ini masih berangkat dari studi kasus di salah satu universitas dan tidak melakukan komparasi dengan perguruan tinggi lainnya. Selain itu, keterbatasan peneliti dalam melakukan aksesbilitas dalam pencarian data, berdampak pada data yang masih berupa dugaan. Hasil penelitian ini masih bersifat tentatif walau telah memiliki arah tertentu untuk menjelaskan komersialisasi pendidikan sebagai bentuk kejahatan korporasi dalam pelaksanaan otonomi perguruan tinggi di Indonesia. Dalam upaya melakukan penelitian serupa, aspek filosofi-hukum maupun sejarah-studi kebijakan diharapkan mampu menjelaskan tema penelitian serupa secara lebih komprehensif untuk dapat menjawab tantangan pendidikan tinggi di Indonesia.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Buku Altbac, Philip G., dan Umakoshi, Toru. (2004). Asian Universities: Historical Perspectives and Contemporary Challenges. US: John Hopkins University Press Ahmadi, Rulam. (2014). Pengantar Pendidikan: Asas dan Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: ArRuzz Media Anechiarico, F. dan Jacobs, J.B. (1996.) The Pursuit of Absolute Integrity: How Corruption Control Makes Government Ineffective. Chicago: University of Chicago Press Darmaningtyas dan Subkhan, Edi. (2012). Manipulasi Kebijakan Pendidikan. Jakarta: Resist Book Djojonegoro, Wardiman. (1996). Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Fadjar, A. Malik dan Effendy, Muhadjir. (1998). Dunia Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan. Malang: Pusat Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang Friedrichs, David O. (2010). Trusted Criminals: White Collar Crime in Contemporary Society. Wadsworth, USA: Cengage Learning Friedman, Milton. (1962). Capitalism and Freedom. Chicago: University of Chicago Press Freire, Paulo. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta : LP3S ------------. (2007). Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Geiger, Robert L dan Heller, Donald E. (2011). Financial Trends in Higher Education: The United States. Pennsylvania: Center for the Study of Higher Education Geis, Gilbert. (2007). White Collar Criminal: the Offender in Business and the Professions. New Jersey: Transaction Publishers Hadi, Syamsul dkk. (2007). Post Washington Consensus dan Politik Privatisasi di Indonesia. Jakarta: Marjin Kiri Hamzah, Andi. (2007). Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
124
Universitas Indonesia
125
Hill, Dave. (2006). Education Services Liberalization. dalam E. Rosskam (Ed) Winners or Lossers? Liberalizing Public Service. Genewa: International Labour Organisation. Irianto, Sulistyowati. (2012). Otonomi Perguruan Tinggi: Suatu Keniscayaan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia Jalal, Fasli dan Musthafa, Bachrudin. (2001). Education Reform in the Context of Regional Autonomy: The Case of Indonesia. Indonesia: Kemendiknas, Bappenas, dan World Bank Johnston, Michael. (2005). Syndromes of Corruption. Cambridge: Cambridge University Press Merriam, S.B. (2009). Qualitative Research. San Francisco: Josey-Bass. Miller, S., Roberts, P., dan Spence, E. (2005). Corruption and Anti-Corruption: An Applied Philosophical Approach. Upper Saddle River, New Jersey: Prentice Hall. Milovanovic, Michael. (2001). Endogenous Corruption in Emerging Industrial Relations. Budapest: The Hungarian Academy of Sciences. Mustofa, M. (2010). Kriminologi: Kajian Sosiologi, Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Bekasi: Sari Ilmu Pratama. -----------------. (2010). Kleptokrasi: Persekongkolan Birokrat-Korporat sebagai Pola White Collar Crime di Indonesia. Jakarta: Kencana Pranoto, S. W. (2008). Bandit Berdasi: Korupsi Berjamaah: Merangkai hasil Kejahatan Pasca-Reformasi . Yogyakarta: Kanisius. Santoso, Ibnu. (2011). Memburu Tikus-Tikus Otonom: Gerakan Moral Pemberantasan Korupsi. Yogyakarta: Penerbit Gava Media Snoeyenbos, M., Almeder, R. F., & Humber, J. M. (1992). Business Ethics. Buffalo, N.Y: Prometheus Books. Somadikarta, S., dkk. (2000). Tahun Emas Universitas Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Strader, J. K. (2002). Understanding White Collar Crime. San Fransisco: LexisNexis. Strauss, A dan Corbin, J. (2003). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sudiarja, A. (2014). Pendidikan dalam Tantangan Zaman. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Suharto, Toto. (2012). Pendidikan berbasis Masyarakat: Relasi Negara dan Masyarakat dalam Pendidikan. Yogyakarta: LKiS
Universitas Indonesia
126
Tilaar, H.A.R. (2003). Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Studi Kultural. Magelang: Indonesiatera Tilak, Jandhyala B. G. (2004). Higher Education between the state and the Market. Delhi: National Institute of Educational Planning and Administration Transparency International. (2006). Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik. Jakarta: Transparency International Indonesia Wahono, Francis. (2001). Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarta: Insist Press, Pustaka Pelajar Wattimena, Reza A.A. (2012). Filsafat Anti Korupsi: Membedah Hasrat Kuasa, Pemburuan Kenikmatan dan Sisi Hewani Manusia di Balik Korupsi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Winarno, Budi. (2010). Melawan Gurita Neoliberalisme. Jakarta: Erlangga Yin, R. K. (2003). Case Study Research: Design and Methods. California: Sage Publishing Zajda, Joseph. (2006). Decentralisation and Privatisation in Education: The Role of the State. Dordreecht, Belanda: Springer
Jurnal Amiruddin, Bima. (2012). Analisis Pola Pemberantasan Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol. 8 No.1, 26-37 Azra, A. (2002). Korupsi Dalam Perspektif Good Governance. Jurnal Kriminologi Indonesia. Vol. 2 No.1, 31-36 Bernburg, J. Gunnar. (2002). Anomie, Social Change and Crime: A Theoretical Examination of Institutional‐Anomie Theory, The British Journal of Criminology, vol. 42 (4), 729-742. Celarier, Michelle. (1997). Privatization: A case study in corruption. Journal of International Affairs; winter 1997; 50, 2; ProQuest, 531-543 Chandwani, Vinod S. dan M.Bhome, Shraddha. (2013). A Study of Impact of Commercialization of Education In India. Episteme: an online interdisciplinary, multidisciplinary & multi-cultural journal, Volume 1, Issue 5, 29-32 Chorney, T. T. (2008). The commercialization of higher education as a threat to the values of ethical citizenship. Ethical Citiz. Post-Secondary Educ, 2(1)
Universitas Indonesia
127
Eisenhardt, Kathleen M. (1989). Building Theories from Case Study Research. The Academy of Management Review, Vol. 14, No. 4, 532-550 Freeman, R. Edward., Wicks, Andrew C., dan Parmar, Bidhan. (2004). Stakeholder Theory and “The Corporate Objective Revisited”, Organization Science, Vol. 15, No. 3, 364–369 Graaf, Gjalt de. (2007). Causes of Corruption: Towards a Contextual Theory of Corruption, Public Administration Quarterly, vol. 31, No 1/2, 39-86 Hasnas, John. (2005). Ethics and the Problem of White Collar Crime, American University Law Review, Vol. 54, 579-660 Heat, Joseph dam Norman, Wayne. 2004. Stakeholder Theory, Corporate Governance and Public Management: What can the History of State-Run Enterprises Teach us in the Post-Enron era?, Journal of Business Ethics, 53: 247–265 Heyneman, Stephen P. (2004). Education and Corruption. International Journal of Educational Development, Vol.24, No. 6, 637-648 Johnston, Michael. (1996). The Search for Definition: The Vitality of Politics and the Issue of Corruption. International Social Science Journal 149, 321-336 Kahar, Irawaty A. (2007). Komersialisasi Pendidikan di Indonesia: Suatu Tinjauan dari Aspek Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Jurnal RAGAM No. 23, 49-53 McCornac, Dennis C. (2012). The Challenge of Corruption in Higher Education: The Case of Vietnam, Asian Education and Development Studies, vol 1 no 3, 262-275 Okai, Ndubusis Okai. (2014). University Autonomy and Academic Freedom: Implication for Nigerian Universities, International Journal of Scientific Research in Education, Vol. 7(2), 191-201 Osipian, Ararat L. (2008). Corruption and Coercion: University Autonomy versus State Control. Europian Education, vol 40, no 3, 27-48 -----------------. (2009). Vouchers, tests, loans, privatization: Will they help tackle corruption in Russian higher education?. UNESCO IBE: Prospects, Springer 39, 47–67 -----------------. (2009). Corruption and Reform in Higher Education in Ukraine. Canadian and International Education, vol 38 no 2, 104-122 -----------------. (2009). Investigating Corruption in American Higher Education: The Metodology. The Federation of Universities Journal of Higher Education, 49-81 -----------------. (2012). Economics of Corruption in Doctoral Education: the Dissertations Market. Economics of Education Review 31, 76-83
Universitas Indonesia
128
Prasad, Madhu. (2005). Autonomy and Commercialization of Higher Education. Social Scientist, Vol. 33, No. 11/12, 43-48 Rumyantseva, Nataliya L. (2005). Taxomony of corruption in Higher Education. Peabody Journal of Education, 80(1), 81-92 Singh, Abhinav dan Bharathi Purohit. (2011). Reconsidering Privatisation for Corruption Free Administration in Indian Higher Education. Education Research Journal Vol. 1(7), 128 – 134 Stocia, Camelia Florentina dan Marieta Safta. (2013). University Autonomy and Academic Freedom - Meaning and Legal Basis. Perspectives of Business Law Journal. Volume 2, Issue 1, 192 – 199 Susanti, Dewi. (2012). Privatisation and Marketisation of Higher Education in Indonesia: The Challenge for Equal Access and Academic Values. High Education 61, 209–218
Publikasi Lembaga Albatch, Philip G., Reisberg, Liz., dan Rumbley, Laura E. (2009). Trends in Global Higher Education: Tracking an Academic Revolution: A Report Prepared for the UNESCO 2009 World Conference on Higher Education. France: UNESCO Bank Dunia/ World Bank. (2010). Indonesia: Higher Education Financing. Jakarta: Bank Dunia Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. (2010). Laporan Kajian Strategi Pendanaan Pendidikan Tinggi di Indonesia. Jakarta: Bappenas Chr. Michelsen Institute. (2006). Corruption in Education. Bergen, Norwegia: U4 Anti-Corruption Resource Centre Dikti. (2003). Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi (HELTS) 2003-2010: Menuju Sinergi Kebijakan Nasional. Jakarta: Dikti Levin, Henry. M. (2001). Privatizing Education: Can the Marketplace Deliver Choice, efficiency, equity, and Social Cohesion?. New York: UNESCO Publishing Organisation for Economic Co-Operation and Development. (2007). Integrity in Public Procurement: Good Practice from A to Z. Prancis: OECD Publishing Social Research Association. (2003). Ethical Guidelines. United Kingdom: The Social Research Association Transparency International. Corruption Perception Index 2011. Berlin, Jerman: Penerbit Transparency International
Universitas Indonesia
129
Transparency International. Corruption Perception Index 2012. Berlin, Jerman: Penerbit Transparency International Unit Pendidikan World Bank (HDNED) di dalam John Fielden. (2008). Global Trends in University Governance. Washington D.C., USA: World Bank UNESCO. (2004). Human Cloning: Ehical Issues. Perancis: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
Skripsi-Tugas Karya Akhir Hana, Hutomo Zulfikar Y. (2014). Tinjauan Kriminologis terhadap Kejahatan Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa bagi Kepentingan Pemerintah (Studi Kasus di Kota Makassar Tahun 2011-2013). Makassar, Indonesia: Universitas Hasanuddin Ihsan, Arif Fuad Nur. (2012). Tinjauan Kriminologi Kritis terhadap Kebijakan Pendidikan Negara dengan Membentuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan Sekolah Bertaraf Internasional. Depok, Indonesia: Universitas Indonesia Januardy, Alldo Fellix. (2014). Pengaruh Neoliberalisme terhadap Korporatisasi dan Komersialisasi Universitas Publik: Studi Kasus Universitas Indonesia. Depok, Indonesia: Universitas Indonesia Putra, Galih Ramadian Nugroho. (2012). Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi Periode 2000-2012 (Studi Komparasi: Indonesia dan India). Depok, Indonesia: Universitas Indonesia
Tesis Schoepfer, Andrea. (2004). Exploring White Collar Crime and the American Dream. Amerika: University of Florida
Artikel Internet Detik.com. (2013, 1 Januari). Dosen UNJ Didakwa Korupsi Proyek Laboratorium. Diakses 1 September 2014, dari Detiknews: http://news.detik.com/read/2013/01/21/161021/2148565/10/dosen-unjdidakwa-korupsi-proyek-laboratorium Hukumonline.com. (2010, 31 Maret). MK Batalkan UU Badan Hukum Pendidikan. Diakses 29 Maret 2015, dari Hukumonline: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bb37a39de6cc/mk-batalkanuu-badan-hukum-pendidikan
Universitas Indonesia
130
Kompas.com. (2010, 8 April). Perguruan Tinggi Setelah UU BHP Dibatalkan. Diakses 2 April 2015, dari Edukasi.kompas.com: http://edukasi.kompas.com/read/2010/04/08/14584263/Perguruan.Tinggi.S etelah.UU.BHP.Dibatalkan Kompas.com. (2013, 19 April). Mantan Rektor Unsyiah Tersangka Korupsi Beasiswa. Diakses 1 September 2014, dari Edukasi.kompas.com: http://edukasi.kompas.com/read/2013/04/19/18555641/Mantan.Rektor.Uns yiah.Tersangka.Korupsi.Beasiswa -----------------. (2013, 29 April). Apa Kabar Penyelidikan Perpustakaan UI di KPK?. Diakses 1 September 2014, dari Nasional.kompas.com: http://nasional.kompas.com/read/2013/04/29/17060784/policy.html -----------------. (2014, 11 Juli). Banding, Hukuman Eks Rektor Unsoed Bertambah Jadi 4 Tahun. Diakses 1 September 2014, dari Regional.kompas.com: http://regional.kompas.com/read/2014/07/11/21262881/Banding.Hukuman .Eks.Rektor.Unsoed.Bertambah.Jadi.4.Tahun Merdeka.com. (2012, 29 Agustus). DPR terima audit BPK soal dugaan korupsi 16 universitas. Diakses 1 September 2014, dari Merdeka.com: http://www.merdeka.com/peristiwa/dpr-terima-audit-bpk-soal-dugaankorupsi-16-universitas.html Metrotvnews.com. (2013, 13 Februari). Mantan Rektor Universitas Jambi Jadi Tersangka Korupsi. Diakses 1 September 2014, dari microsite.metrotvnews.com: http://microsite.metrotvnews.com/indonesiamemilih/video/2013/02/13/31/ 171115/Mantan-Rektor-Universitas-Jambi-Jadi-Tersangka-Korupsi Republika.co.id. (2012, 7 Februari). ICW: Sektor Pendidikan Terbanyak Kasus Korupsi. Diakses 1 September 2014, dari Republika.co.id: http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/06/lyyvkt-icwsektor-pendidikan-terbanyak-kasus-korupsi Solopos.com (2013, 3 Januari). Korupsi di Bidang Pendidikan Masih Tinggi, Capai Rp 138 Miliar. Diakses 1 September 2014, dari Solopos.com: http://www.solopos.com/2013/01/03/korupsi-di-bidang-pendidikan-masihtinggi-capai-rp138-miliar-364029
Universitas Indonesia
Lampiran A: Transkrip Wawancara B Verbatim Wawancara Narasumber B Staf senior administrasi salah satu Fakultas Universitas X Pukul 19.05 WIB, Tanggal 4 September 2014
Nah, sebenarnya kan gini. Saya ingin mempertanyakan khusus mengenai korupsi di universitas X ini. Soal korupsi ya? Nah, ada korupsi yang berdasarkan suatu legalitas yang dibangun untuk mengeluarkan anggaran kan sebenarnya. Terus ada pula perencanaan yang sudah direncanakan sejak awal untuk dikorup kan? Contoh kecil mau ga? Wah, boleh. Apa? Misal gini: dengan maraknya beberapa rumah sakit di universitas universitas, yang paling terbelakang kan universitas X ini. Di universitas lain, seperti UGM atau Unair, mereka sudah berdiri sejak lama, mendirikan rumah sakit kan? Akhirnya ini kan masalah. Nah, yang saya dengar ya. Itu ada tarik-menarik di (pembangunan) rumah sakit yang terlalu lambat ya? Kenapa? Karena ada juga: kalau saya tanda tangan sekarang, yang dapat tuh bukan hanya dia saja. Ada segelintir orang yang (berperan) sebagai mafia di situ kan? Orang orang kita juga. Godfather kalau saya kenal tuh. Para dewanya universitas juga. Sebagai penghubung antara Universitas dan diknas. Dan dia diberikan kepercayaan gitu oleh diknas. Ini kan politis banget ya, kalau saya lihat. Nah itu sejarahnya, waktu itu ketika rektor sebelumnya tanda tangan, yang dapat ‘berkah’ tuh banyak. Mantan rektor dan sebagainya. Kan sebenarnya ga ada hubungannya bukan? Yang tanda tangan siapa, kok yang dapat malah dia? Ya karena itu. Itu bagian dari, kalau saya sih mengenal bahwa bohong kalau dunia pendidikan itu ga ada politis, atau dunia pendidikan itu ga ada mafia. Itu ada semua. Cuman dia selalu terlihat di masyarakat kan intelektual. Ah, capek saya lihatnya. Kalau saya kan udah tahu lubangnya. Kapan dia ngumpul setiap hari apa, tahu saya tempatnya.
131
Universitas Indonesia
132
Oh gitu. Kalau saya kan mencoba memfokuskan diri ke korupsi di program pascasarjana. Khususnya yang saya dengar bahwa ada beberapa program yang sifatnya ‘diada-adakan’ sama pemerintah… Nah, itu... Kalau menurut saya itu tumpang tindih ya… Artinya, buat apa ada prodi tertentu misalnya. Padahal di sini, universitas sudah punya namanya (departemen) lain yang bisa membahas itu di bawah fakultas. Kenapa itu saja ga dibesarkan? Kenapa ga dibesarkan departemen tersebut? Dan itu jelas penanggungjawabnya. Tidak langsung universitas, tapi fakultas kan di situ ada dekan bukan? Dan pengembangannya semakin jelas. Kalau di pusat kajian, pengajarnya banyak yang tidak tetap. Kalau dilihat, kalau menurut saya, lebih banyak mudaratnya. Jadi, memang kurikulumnya saja tidak jelas ya? Ga jelas. Sekarang dasar kurikulum kan program studi kan 60:40. Nah, dia (program pascasarjana) itu pakai standar apa? Dasar hukumnya apa? Program studi. Yang disebut program studi kan dengan kurikulum kan pure murni dengan keilmuan 60 persen, 40 persen itu bisa terapan dan sebagainya. Tapi kalau pusat kajian dasarnya apa. Terus proses belajarnya apa. Terus berarti ga perlu penekanan teori dong. Hanya observasi, kajian literatur doang. Ya, maaf-maaf saja, bukan maksudnya ingin ‘menyentil’ tapi di situ saja sudah terlihat. Kira-kira uang yang sudah dikasih ke universitas secara langusng, tidak di bawah fakultas atau di bawah apa-apa, dalam hal ini akan dipakai buat apa saja ya? Soalnya kan (berdasarkan keterangan) tadi, landasannya bukan karena keilmuan. Tapi kayak memang ya udah, terlihat ‘diada-adakan’. Landasan hukumnya kurang jelas juga. Pertama, yang pasti kan dari segi SDM, mereka menggunakan orang-orang Fakultas. Lalu, dari segi administratif pelaporan penyelenggaraan program, dia akan jelek nilainya. Ini kita bicara di ranah akademik dulu ya. Karena dia, pertama, tidak punya dosen tetap. Kan harus jelas homebase nya di mana. Orangorang yang ngajar itu homebase nya pasti orang orang fakultas. Sekarang tanya saja deh. Orang pascasarjana itu dari banyak itu, berapa sih dosen tetapnya? Yang
Universitas Indonesia
133
homebasenya dari pascasarjana langsung. (saya yakin) dia tidak bisa jawab. Iris kuping saya! Jadi memang seperti diada-adakan saja. Ditambah-tambahkan saja atau bagaimana? Dan kita juga tidak tahu rekrutmen pengajarannya seperti apa. Kalau orang orang dari universitas, oke lah. Tapi ada juga orang-orang dari luar universitas. Rekrutmennya seperti apa. Karena mungkin karena pendekatan, ‘deal-deal’-annya karena dia ngajar. Ada privasi, lalu menarik dan menggelontorkan dana ke program pascasarjana kan bisa aja. Untuk saya dapat privasi, tapi lu bisa dapat anggaran kan? Kalau yang saya dengar juga ada program program yang satu dua kali, namun di tahun depannya tidak ada Oh.. Banyak…. Oh banyak? Contohnya apa? Ya, tanya saja kajian eropa dan sebagainya. Ada ga? Sekarang tanya kajian kepolisian. Kalau kepolisian punya anggaran. Kalau ga? Oh, jadi itu di bawah kepolisian langsung ya? Ga, misalkan ada kajian kepolisian. Kan ga mungkin orang yang di luar kepolisian mengambil kajian kepolisian. Untungnya apa? Pertanyaan dasar saya: ini ada pusat kajian kepolisian, kan core nya sudah jelas. Alangkah baiknya yang ngambil pasti aparatur oknum kepolisian. Kalau di luar itu, apa untungnya? Terus security ngambil, apa untungnya? Dia bukan bagian dari kajian kepolisian. Kan dia bagian dari satuan keamanan lokal. Ga mungkin dia ngambil itu dong. Nah sekarang pertanyaannya. Kalau kepolisian masih dengan konsisten menganggarkan. Sekarang pertanyaan dasar lagi: polisi kan juga punya PTIK. Kenapa dia menggelotorkan anggaran juga untuk mereka di luar PTIK untuk mengambil di luar. Sudah begitu bukan program studi lagi, pusat kajian.. Sedangkan PTIK jelas punya program studi.
Universitas Indonesia
134
Dan ya, dosennya juga ada di sana Ya, dan ini sebenarnya cara berpikir sederhana dan masuk akal. Kalau saya orang kepolisian, saya gelontorin dana buat kepolisian aja. Saya besarin PTIK nya. Ngapain saya buat ngasih beasiswa ke luar. Kalau di luar itu, boleh. Misalkan bukan buat kepolisian. Tapi berarti kan: ga logis kalau universitas X ini, maaf ya, membuka kepolisian. Sepertinya tuh ada ‘deal-deal’an. Ini buka sini ya, nanti lu siapin. Ya sih katanya yang saya dengar ada program dari pemerintah begitu, kalau ga salah dari ketahanan nasional Ya. Ketahanan nasional juga kan ada dua. Ketahanan nasional muatannya lokal tapi juga yang terorisme. Yang saya dengar juga. Ada dosen dari program pascasarjana itu yang akhirnya dapat uang sendiri yang bisa buat digunakan untuk kepentingan pribadi atau keluarga. Kalau saya ga pernah dengar (soal itu). Tapi sangat logis kali ya. Seorang oknum kepolisian kan yang penting saya beres. Dengan dia ingin beres, dia diservis kan sah sah saja, ya kan? Dan begitu orangnya (oknum bersangkutan) ga pernah jalanjalan, jadi enak saja. Kalau menurut Mas sendiri, komersialisasi di PT itu kan menganggap universitas layaknya pasar, mahasiswa itu seperti konsumen, dan lain sebagainya. Menurut Mas sendiri bagaimana komersialisasi di universitas X ini? Terlalu kebablasan. Itu juga karena sejarah, tekanan dari peristiwa 97/98. Lalu muncul IMF, restrukturalisasi. Kan ada TOR mereka. Target di dalam IMF itu juga mereka kan menargetkan: akan melakukan perubahan UU yang sekarang dilakukan oleh DIKNAS. Sampai keluar UU nomor 12 tahun 2012. Itu kan bagian dari target tahun 1997 untuk melakukan mengubah, restrukturalisasi pendidikan ini. Padahal, yang menjadi pertanyaan saya gini: Oke, kita lagi bangkrut. Maka kita ngikutin. Tapi ketika saya udah bayar lunas, terus kenapa saya harus masih ngikutin? Saya heran gitu loh. Iya ga sih?
Universitas Indonesia
135
Kembali lagi tadi, menurut mas, ternyata banyak program pasca sarjana yang ga terlalu bermanfaat (secara signifikan) secara akademis Tidak karena ada corenya sendiri sebenarnya di fakultas. Jadi menurut saya, tinggal ini tutup, kalau butuh… Jadi begini, tidak juga Universitas X ini membuka begitu saja apa yang negara inginkan. Jadi tidak (berpikir) ke depan. Jadi lebih banyak titipan (dan) pesanan. Ya kan? Jadi, artinya Universitas X ini sendiri ga mau percaya diri : jadi bahwasanya ini bisa loh dipercaya orang orang di Fakultas untuk ngembangin ilmu. Kalau menurut mas sendiri, ini ada.. maaf, Ada pengelolanya yang membuat MoU antara Universitas X Ini dan Negara atau pemerintah, lembaga…. Ya, kalau Universitas X ini nya juga sendiri pertama.. Jadi begini, Universitas X ini memaksakan tetap ada, jadi orang orang yang di dalam harus berpikir keras kan? Agar dia tetap punya mahasiswa. Kalau dia ingin punya mahasiswa, cara kotornya adalah dia harus dekatin para aparatur. Misalkan departemen hukum dan HAM, dia sering kan sama Universitas X ini kan (mengadakan kerja sama)? Mau tidak mau orang orang yang ini harus dekati anggarannya yang ada di departemen Hukum dan HAM. Kadang ‘nitip untuk tahun depan ya..’ sehingga orang-orang (yang menjadi) pengelola tuh tahu punya duit sekian, skornya sekian. Karena terkadang kalau dengan pemerintah ga murni hanya bayar biaya pendidikan kan? Di situ ada uang buku, dan sebagainya yang dikeluarkan, digelontorkan oleh APBN kan? Kayak gitu kan? Contoh-contoh kecil kayak begini nih. (Informan menunjukkan beberapa dokumen dalam bentuk hardcopy). Saya lagi periksa ini. Jadi dia buka (departemen baru).. misalkan orang ini seharusnya sudah selesai 4 semester. Tapi ternyata dia belum bisa selesai sesuai dengan waktu yang ditugaskan oleh Negara. Masih dalam Negeri, terus lampirannya (diperlihatkan) dia ditugasin di mana. Jadi ini seperti perintah bahwa yang bersangkutan harus selesai, mau ga mau.. atau bagaimana?
Universitas Indonesia
136
Ya, kalau tidak, dia harus balikin uangnya. Tapi masalahnya, apakah ada orang yang di lapangan yang mengembalikan uangnya? Jadi misalkan saya tidak lulus 4 semester, padahal perintah amanatnya (dari Negara), saya harus lulus 4 semester. Saya baru lulus 5 semester. Nah, kan kalau kontrol dari Negara itu disiplin, maka dia harus bayar dong. Artinya, staf yang telah diuntungkan dan diberi kesempatan harusnya juga seperti itu. Dari awal, dia itu sudah tidak tepat, terus dia ga bayar. Maka itu sudah menjadi indikasi bahwa ke depannya, dia akan menjadi tidak baik, karena dia tidak disiplin. Kira-kira, sebenarnya penyelenggaranya tuh kementerian-kementerian atau lembaga-lembaga di bawah kementerian itu sendiri sih? Kementerian. Nih kayak ini nih, contohnya kementerian sosial. Diknas juga.. Saya masih berpikir bahwa banyak izin yang tidak ada, namun kok Universitas X ini masih mau ngeluarin program-program bersangkutan sih? Kadang begini, mas. Program studi satu, mas, tapi untuk mengakamodir itu dia pecahin beberapa peminatan. Misalkan contoh: program studi ilmu adminisrasi, peminatan pendidikan, manajemen pendidikan. Ada administrasi publik, pajak, dan lain sebagainya. Ketika dia tidak dapat gelontoran dana dari kemendiknas, kerja sama.. dia nih akan tutup, mas. Iya dong? Karena tidak ada uang. Tapi kalau ada uang maka akan dibuka lagi. Udah ada dananya. Tutup-buka gitu. Tapi disiapkan dulu kerangka hukumnya. Jadi ini udah sistematis gitu. Jadi terlihatnya itu seolah olah… Yang sangat aneh logikanya gini, mas. Ketika pembukaan, misalkan apabila dia ada kerja sama dengan diknas. Misalkan administrasi pendidikan. Analoginya yang sederhana adalah apabila dalam tahap itu terpublish, maka itu yang diisi kan dari orang-orang yang mendapatkan dana (beasiswa) dari diknas. Artinya bukan dia aja kan yang baca, dari yang lain juga. Itu ga bisa masuk yang lain itu. Misal: kuotanya itu hanya untuk 20 orang. Nah, ketika sudah dipublish, ada publik yang ingin masuk, katakanlah urutan 21. Maka yang dilulusin tetap 20. Nanti yang ini akan dianggap kesannya tidak lulus, illegal.
Universitas Indonesia
137
Dan itu terjadi? Ada? Itu bisa terjadi, sangat mungkin. Karena kalau dia membuka di luar itu akan merepotkan. Tapi apakah kejadian yang seperti itu pernah ada atau tidak? Ada orang yang mau daftar itu tidak bisa. Kadang dia bukanya itu satu hari menjelang tutup pendaftaran. Baru mau tutup, barulah dia daftarnya secara kolektif Oh, ada yang seperti itu? Ada dong, dan itu terjadi Jadi emang cuma untuk keuntungan semata? Ya, cuma menyenangkan satu departemen kan? Kadang alasannya.. wah ini mendadak baru turun (dananya) setelah ini. Wah ga enak loh ini, perintah Negara. Apalagi kerja sama misalkan dengan Diknas. Powernya kan kuat. Nah, masa universitas X ini menolak diknas, bapaknya. Nah gitu kan? Jadi bahasa kasarnya seolah memanfaatkan nama universitas X? Bukan, malah Negara memanfaatkan kenegaraannya untuk mem-press-ing institusi universitas. Ambil contoh, pendaftaran universitas X sudah tutup kemarin. Lalu karena baru ditandatangani oleh Pak Dirjen, baru sore ini ditandatangani, disetujui. Dan nama-nama peserta yang akan ikut serta tes kita sudah ada dan tesnya dua minggu lagi. Sekarang daftarnya sudah terlambat. Dan akhirnya ketika dibuka, publik (lainnya) kan tidak bisa melihat. Jadi memang seperti dikhususkan, seolah pesanan . . Iya, ya begitulah. Seperti yang saya bilang, ini jadi siapa yang jadi mafia dan dimafiakan, siapa yang memanfaatkan dan dimanfaatkan menjadi semakin ga jelas juga Karena hitam diatas putihnya juga tidak ada jangan-jangan
Universitas Indonesia
138
Ada, inikan seperti ini ada. (membuka berkas-berkas sambil menunjuk) inikan pemberian tugas pengajar, ini juga. Dasar hukumnya pasti dia sudah menguasai, tidak mungkin tidak. Dan surat perintah belajarnya ini . . Ini kan setelah dinyatakan lulus baru lah dia…. Kalo belum lulus gimana? Jadi gini, misal departemen membuka kesempatan untuk 30 orang. Lalu peserta ikut tes dimana-mana. Lalu setelah sudah dinyatakan lulus, barulah nama-nama itu dikumpulkan menjadi satu. Jadi, seperti ini (sambil menunjuk berkas). Misal kamu ikut dimana? Di ilmu kesejahteraan sosial. Kamu dari unit kerja mana? Misalkan direktorat penelitian pedesaan. Oke, nama PNS ini kamu disini, nanti kita keluarkan hasilnya. Jadi seperti ini bentuknya (sambil menunjuk berkas). Ini permohonan surat rekomendasi (sambil menunjuk surat). Surat rekomendasi untuk? Kalo dia itu lebih dari 4 semester belum lulus Jadi seperti itu ya, surat rekomendasi untuk minta lebih/ nambah semester? Bukan. Jadi seperti ini mas, harusnya kan orang tahu. Seperti “Saya tetap kuliah, tapi saya harus bayar dong ke Negara”. Artinya kan ada satu sisi Negara dirugikan. Contoh; jika dia harus lulus 4 semester. Dan saat dia tidak kuliah, seperti saat ini, bikin tesis. Dia seharusnya sudah kerja dong, dia mengabdi lagi ke masyarakat dong. Seperti mengabdi kembali ke Negara ya Iya. Yang dirugikan pertama adalah anggaran Negara. Oh anggarannya akan naik lagi? Kalau dia mengajukan, karena kedekatan satu hal, dikasihlah. Tapi ada juga yang tidak dikasih?
Universitas Indonesia
139
Ada juga. Tapi, kita tidak tau dilapangan karena itu kan ranah mereka. Tapi dari sisi etika saja, seharusnya kan dia kembali Negara, mengabdi ke Negara, bekerja untuk masyarakat. Namun akhirnya dia tidak kan. Uang yang dibayarkan lewat pajak lalu diolah jadi pendanaan-pendanaan seperti ini kan semua uang masyarakat. Ketika uang masuk ke Negara, itu kan uang pajak masyarakat, sehingga harus benar digunakan. Nah, kesadaran sampai situ tidak ada. Aparataparat negara itu. Bahwasanya yang dibayarkan itu bukan uangnya departemen, tapi departemen mendapat uang dari pajak rakyat. Seperti itu loh. Nah itu tidak ada kesadaran disitu. Jadi akhirnya kita menjadi tameng. Saya tidak mau. Jadi akhirnya kampus jadi tameng bahwa . . Dan saya tidak mau. Karena ini kan, ketika diaudit. Misal; Pak Dirjen bilang “Inikan saya ngasih karena ada pengajuan dari lembaga universitas X, sehingga kami kasih aja”. Dan ketika diaudit, dasarnya apa universitas X meminta. Masalah dia dapat beasiswa, itu kan universitas X cukup menerima dan mendidik. Bukan ketika masuk ke administrasi malah ikut-ikut. Sehingga akhirnya digelontorkan penambahan APBN untuk penambahan satu semester atau dua semester kan. Oh iya iya. Iya dong. Nah, kalau diaudit dipenjara ini semua. Saya bilang “Wah Saya tidak mau”. Saya keras. Saya bilang “Anda harusnya selesai semester 4, ketika anda tidak lulus anda minta surat ke saya. Hubungan anda. Anda dapat beasiswa. Hubungan anda pegawai dengan Negara. Tidak ada hubungan sama saya”. Kasarnya, kita hanya mendidik gitu ya. Kita tidak ada kontrak apapun dengan dana-dana segala macam Iya. Tidak ada. Itu hubungan Anda. Kalau saya bikin surat, pastiin, kalau BPK kerjanya bener masuk penjara ini. Siapa? Yang memberikan rekomendasi. Yang memberikan rekomendasi. Kementrian ya berarti?
Universitas Indonesia
140
Tidak, kita dong. Kita? Universitas X maksudnya? Iya. Kata Negara “Oke saya menggelontorkan tambahan biaya beasiswa ini atas dasar adanya surat rekomendasi.” Rekomendasi memang apa sih definisinya? Dia minta surat keterangan sebagai mahasiswa tidak ada hubungan apa-apa malah. Tapi secara logis, universitas X juga akan diuntungkan dong dengan adanya penambahan semester ini? Sebenarnya menurut saya, dari sisi keuangan Iya. Tapi dari sisi administrasi akademik kan buruk. Ketidaktepatan waktu orang lulus itu bukan baik, buruk. Dari segi jaminan mutu ya ? Apalagi karena ini kontrak dengan Negara juga. Iya, kan kita selalu melihat tidak satu sisi uang. Kalau saya sih tidak melihat sisi uang, tapi bagaimana jaminan mutu itu berjalan. Berarti kalau orang diluar 4 semester. Itu pertanyaan besarnya, apa yang gagal? Gagal orangnya yang diberikan pendidikan. Atau memang karena S1 nya kan kita tidak tahu sebelumnya dimana. Oh iya iya. Iya kan. Intake itu mempengaruhi. Makanya Intake Entake S1 reguler akan berbeda dengan Intake yang paralel. Agak oon. Apalagi orang yang S2. Yang kita tidak tahu S1 nya disekolah mana. Iya bisa saja dia seperti cuci kan, “money laundry ijazah” lah bahasanya. Kalau oknum di universitas X sendiri kira-kira ada juga? Kalau oknum secara eksplisit sih tidak. Artinya seperti ini. Misal saya sebagai ketua program pusat kajian kepolisian. Terus fokus pikiran saya kan bagaimana saya kerjasama dengan polisi. Artinya saya harus mendekat dengan kapolri, mendekat juga dengan yang membuat anggaran, lalu nitip “Pak kalau bisa besok Pak” minta ke kepolisian, kajian. Nanti di luar PTIK bapak mengirim misalkan
Universitas Indonesia
141
dalam tahun ini 40 orang. Kalau 40 orang klaster pembiayaan perorangnya membesar gimana? Kalau klaster . . gimana? Misalkan 40 ya. Kita minta “Pak kalau bisa biar BEP nya jalan” Break Event Point. Misal satu pendidikan berjalan minimal 30 orang. Berarti kalau punya 30 mahasiswa, saya bisa bayar (gaji) bulanannya ketua program, bisa bayar dosen, bisa bayar staf, bisa bayar listrik. Kalau 40 ya lumayan tarik nafas, jadi diluar itu saya bisa jalan-jalan, dengan bahasanya misalkan teambuilding atau apalah. Oh tapi itu benar-benar ada ya? Ya kan analogikanya kalau saya dapat sedikit saya penyesuaiannya anggaran yang biasanya. Cuma khusus pendidikan doing pada akhirnya. Tapi kalau lebih, bisa buat . . Iya kan harus dihabiskan anggarannya itu. Analogika yang sederhana, kalau semua dana tidak terserap artinya anda tidak benar juga. Jadi memang agak dilematis ya? Dilematis iya. Ini tarik menarik gitu. “Yah Anda ini bagaimana, uang yang harus Anda habiskan tidak bisa terserap, padahal Anda tinggal menikmati”. Seperti itu. Oh iya. Apa lagi ya? Ini jadi contoh kecil kok. Korup yang ada di dalam misalkan begini. Pembangunan rumah sakit. Coba anda cek, kapan panitianya berdiri dan apakah setiap bulannya dapat biaya dari kepanitiaan itu. Kan yang harumnya terdengar adalah rumah sakitnya belum apa-apa tapi pembiayaan untuk rapat-rapat sudah selangit gitu loh. Karena apa? Karena dia menganggarkan kan? Ketika menganggarkan misal besok kita ingin pembangunan itu ada padahal tidak ada. Tapi duit sudah tersedia. Akhirnya dihabiskan. Ya kan? Itukan sejak tahun 1999. Berarti molor berapa tahun?
Universitas Indonesia
142
Intinya bagaimana caranya ketika katakanlah kita pertanggungjawaban ke Negara atau masyarakat adalah anggaran itu harus terserap penuh juga atau sesuai rencana. Atau ditengah jalan bisa ada rencana-rencana dadakan? Yaitulah kelemahan universitas X. Yang terjadi di universitas X kan semuanya RKAT. Rencana Kegiatan Awal Tahun? Bukan. Rencana Kerja Anggaran Tahunan. Jadi selama Januari sampai November itu rencana terus. Kalau rencana kan artinya bisa berubah-ubah. Kenapa tidak ada ‘Kegiatan Tetap Anggaran’ misalnya. Artinya jika sudah tetap itu tidak boleh dialihkan. Misal, saya ingin beli sepatu. Lalu saya siapkan anggaran sepatu baru tahun 2015. Wah ternyata sepatu saya masih bagus, dan saya tidak perlu beli sepatu lagi. Lalu saya beli sandal. Kan kalau seperti itu jenisnya berbeda anggarannya. Sepatu dan sandal. Nah di universitas X, pengalihan anggaran tersebut diperbolehkan, itu masalahnya. Lalu pertanggungjawabannya gimana? Saya tidak tau. Karena saya bukan di bidang itu. Dan itu semua di fakultas mangalami hal itu. Perpindahan anggaran itu ada benar-benar terjadi. Sampai tingkat jurusan (departemen) atau hanya tingkat universitas? Semua fakultas ada pasti apalagi universitas Dan pada akhirnya ketika anggaran itu sudah mengucur jadi bingung juga. Pertanggungjawabannya ya. Iya, pertama pertanggungjawabannya. Kedua, ketika mendekati tutup buku. Iya semua akhirnya saling tabrak-tabrak. Yang tidak etis jadi etis terkesannya. Padahal tidak etis. Mengadakan seminar atau hal lain misalnya?
Universitas Indonesia
143
Ada sesuatu yang tidak logis. Aparat ini mengjambur-hamburkan anggaran. Artinya kalau bisa dilakukan . . Aparatnya? Aparat di universitas. Analogikan, hotel dibuat di universitas X tujuannya apa sih? Hotel universitas X itu pusat pendidikan dan latihan kan. Iya kan? Iya. Maksud saya adalah, kalau sivitas universitas X sendiri tidak aware dengan hotelnya. Lalu kenapa hotel tersebut dibangun? Kenapa tidak dibuat ketetapan “Semua penyelenggaraan tidak boleh di luar universitas X, harus di hotel universitas X”. Atau seperti wisma Universitas X keadaanya seharusnya. Kenapa kalau univeristas X ingin membuat kegiatan-kegiatan malah ke Hotel Santika bogor? Alasannya adalah kalau di sana, uangnya lebih banyak, sedangkan di hotel universitas X sekian. Jadi yang pertama kali dipikirkan adalah uangnya dulu baru output yang akan dihasilkan. Bukan outputnya dahulu baru turunannya ke hak-hak. Jadi tujuannya belakangan, tapi pencapaian yang ingin didapatkan dulu, uang. Jadi terbalik ya. Iya logikanya bukan apa yang harus dihasilkan, tapi apa yang didapat. Iya seperti itu. Yang terjadi adalah malah di wisma makara berdatangan dari departemen kehutanan, dan departemen lainnya. Jadi tidak logis saja. Buat apa hotel yang ada di universitas, yang dibangun dengan jerih payah, yang disebut hotel yang tidak pure bisnis lebih cenderung ke hotel pendidikan, seperti pusdiklat, tapi kenapa tidak dimanfaatkan. Kan kalau itu dimanfaatkan maka pendapatan wisma masuk. Jadi kan uangnya masuk bisa menjadi pendapatan dan tidak malah memberi keluar kan. Tidak diberikan ke hotel Santika kan? Dari situ, akibatnya kesejahteraan terbangun. Jadi jangan dilihat seperaknya. Namun kalau ini rutin, seperak ini bisa menjadi banyak. Saya bukan ingin idealis, tapi kadang kita diperlihatkan ketidakkonsistenan. Dulu ada kebijakan kegiatan-kegiatan tidak
Universitas Indonesia
144
diadakan diluar kota tapi di sini saja, tapi kebijakan tersebut kendor kembali. Jadi kadang kebijakan itu kata orang emang benar: hangat-hangat tahi ayam. (Contoh lainnya) Statement universitas X “Tidak ada mahasiswa yang akan putus studi karena uang”. Namun perlahan terlupakan, lalu dibalut dengan biaya berkeadilan yang akhirnya di“perkosa” juga untuk membayar uang variabel-variabel tadi: listrik dan lain lain. Dan kadang merendahkan martabat orang, surat miskin dari RT/RW. Artinya, untuk meng-nolkan (biaya pendidikan) saja institusi pendidikan sampai merendahkan harkat martabat orang. Maaf bahasanya. Iya bisa dimengerti. Analoginya, tidak ada orang yang ingin miskin. Hanya keadaan yang membuat dia miskin. Tapi tidak perlu di eksplisitkan, surat miskin dari RT RW itu kan sudah merendahkan harkat martabat. Jadi nilai-nilai hak asasi itu seharusnya universitas X sebagai contoh malah menjadi pihak yang justru “memukul” masyarakat. Ini pendapat dari saya dan saya mencoba share. Pada akhirnya seperti tadi. Malah menjadi korporat, bisnis. Iya. Belum banyak jadi dari kompredor-kompredor kan macem-macem tuh. Kompredor? Iya, dan akhirnya merusak tatanan birokrasi untuk kepentingan komunitas/grup. Kan ada kan? Kan keliatan kan. Iya kemarin bahas sidang tipikor lagi universitas X. Kalo yang hari ini itu demo karyawan. Iya, ya itu kan karena universitas X sejak tahun 1999 saat Negara bangkrut, Negara membuat yang namanya BHMN. Itu kan karena Negara bangkrut, jujurnya. Bukan sebuah kebanggan, universitas X sebagai PTN BH itu bukan kebanggaan. Negara membalut dengan bahasa yang indah, PTN BH. Padahal intinya adalah Negara saat itu sedang bangkrut. “Saya tidak bisa memberi Anda uang, cari sendiri ya”. Tapi seharusnya ketika sudah masuk kepada normal, seharusnya ditarik lagi dong. Stabil gitu. Tapi ini tidak, malah dilanggengkan
Universitas Indonesia
145
dengan bahasa-bahasa apa. Terus dengan satu ayat syarat kepentingan. Karena kalau normal (PTN), keuangannya sulit. Hal itu hanya masalah administratif saja. Dan juga karena di universitas X ini kadang tenaga pendidik sebagai tenaga administratif. Tenaga pendidik sebagai tenaga administratif? Iya, di luar negeri kan ada pembagian. Kalau anda akademik ya akademik. Kalau anda sebagai pemimpin administratif dalam kefakultasan, anda hanya melakukan kebijakan-kebijakan administratif. Tidak anda yang berhitung, ada orang-orang tenaga administratif dengan karir yang jalan, ini yang akan membantu. Namun di universitas X kan tidak demikian. Semua jadi tenaga pendidik yang sok ‘shahih’ di administratif. Seperti itu. Dan itu yang terjadi. Begitulah kalau awalnya salah melihatnya, ke sananya pasti salah. Jadi sebenernya universitas X ini mau kemana sih, jadi tidak jelas kan ? Universitas X harusnya menjadi projek bagaimana pengelolaan universitas yang baik dan benar. Dengan cara membangun karir yang baik dan sebagainya. Makanya saya bikin spanduk “mari membiasakan yang benar, bukan mebenarkan yang biasa”. Itu kan sudah saya tempel beberapa tahun lalu. Sekarang tulisan itu ditarik oleh pimpinan untuk ditulis besar-besaran kan. Intinya, saya mau membangun gambaran. Ayo deh apapun Anda kalau diawali dengan benar. Saya ingin melunturkan kebiasaan-kebiasaan yang menurut anda benar, saya tidak mau. Disini saya akan menjadi benteng, saya tidak mau. Hmmm. Saya secara umum sih sudah dapat. Nanti mungkin saya akan wawancara yang lain. Oke terima kasih Mas.
Universitas Indonesia
146
Lampiran B: Transkrip Wawancara C Verbatim Wawancara Narasumber C Dosen salah satu fakultas Universitas X Pukul 11.14 WIB, Tanggal 2 Oktober 2014
Saya sedang mengadakan penelitian mengenai korupsi pendidikan tinggi. Karena itulah saya memilih saudara menjadi salah satu narasumber. Mau ngomongin korupsi? Iya. Betul Ini yang paling penting yang kamu harus periksa (memperlihatkan berkas): konsep privatisasi. Usul saya sih kamu jangan ngomong korupsi. Artinya itu kan spesifik kan. Kalau mau ambil aman dikit, kamu mau abuse. Kalau abuse kan bisa macem-macem tu artinya. Ada korupsi, ada macem-macem. Dan kalau kamu ga dapet satu, kamu bisa mendapatkan yang lain. Kalau kamu ngomong korupsi, pertama. Eh ini fokusnya kemana? Kejahatan atau penyimpangan? Penyimpangannya sih Kalau penyimpangan, abuse, kalau kejahatan, korupsi. Kan korupsi udah di atur di UU tipikor kan. Jadi kamu harus membuktiin. Paling tidak mendekati pembuktian. Pertanyaan saya simpel, akses data kamu gimana? Kurang sih untuk saat ini Kalau kurang, mendingan pakai abuse. Jadi kalau riset, kamu pasti akan tanyakan disitu, akses data kamu gimana. Kalau kamu ga sanggup masuk ke akses data itu, ambisi kamu mesti dikurangin. Abuse lebih aman. Nah, privatisasi disini itu apa? Apa itu privatisasi. Pertanyaan kedua, turunannya. Dari sini, baru kamu ngomong macem-macem itu. Privatisasi yang dimaksud adalah ‘menjadikan hal-hal publik, barang-barang publik itu menjadi milik privat. Termasuk pendidikan.’ Pendidikan
Universitas Indonesia
147
kenapa di privat? Ya karena itu dianggap sebagai investasi individu. Kan gitu kan? Iya. Orang ngomong. Orang-orang tua kamu kan ngajarin investasi. Yuk kita investasi: S2 S3, terserahlah. Investasi di pendidikan, sumber daya manusia. Jargonnya begitu. Pertanyaannya kemudian, kalau memang privatisasi ini, Investasi di pendidikan tinggi itu untuk mendorong investasi sumber daya manusia. Maka apa resikonya? Investasi itu selalu ngomong resiko. Resikonya apa dari privatisasi itu? Kalau pendidikan dianggap sebagai barang ekonomis milik privat, milik masingmasing individu, maka resikonya apa? Peserta didik jadi dianggap menjadi konsumen. Ya kayak gitu-gitu. Pengetahuan hanya milik individu, peserta didik. Dan untuk mendapatkan pengetahuan, dia harus bayar. Membeli bukan bayar, membeli pengetahuan
itu.
Sehingga
kemudian
nanti
kamu
ngomong
abuse,
penyimpangannya. Bahwa privatisasi itu membuka jenis-jenis penyimpangan seperti satu, apa. Pendidikan tinggi ya? abuse. Terutama karena kajiannya dalam hal ini misalnya penyimpangan. Gitu. Saya pernah riset korupsi di empat sektor. SIM kepolisian, pajak, PAM, PLN. Tahun 1999 sampai 2002 di ICW. Nah disitu kalau kamu ga punya akses siapa informan yang kredibel yang punya informasi banyak, kamu ga bisa ngakses itu, kamu ga punya kontak ke arah sana, mendingan kamu urungkan. Karena saya tau betul kesulitannya, bro. Saya bukan bermaksud melemahkan semangat kamu, (tapi) saya tau betul kesulitannya. Makanya kemudian usul saya, ngomong abuse. Karena dari abuse, lalu disini ada korupsi. Apa yang kamu bahas itu sebutannya itu sudah terkenal. Namanya Disposable Faculty. Fakultas-fakultas yang disposable bisa bongkar pasang. Wah peminatnya sedikit, bubarin. Oh bikin lagi ini banyak, adain. Disposable Faculty. Oh istilahnya itu. Apa implikasinya Disposable Faculty ini? Implikasi, dampak, konsekuensi. Selain korupsi apa lagi? Misalnya penyimpangan lainnya adalah manipulasi karya
Universitas Indonesia
148
akademik. Manipulasi akademik ini datanya lalu bagaimana? Gampang, kamu ambil aja sampel. Kamu kumpulin makalah temen-temen kamu, kamu ambil beberapa kalimat, kamu googling. Copy paste pasti. Cara ambil datanya ya, kalau untuk kasus manipulasi karya akademik ya. Saya ambil 10 makalah dari berbagai jurusan, atau 20 makalah lah. Saya googling semua tuh. Nanti kelihatan, misalnya kita bikin angka statistik tu untuk bidang. Untuk studi bidang ini berapa paragraf, atau berapa kalimat yang dicuri dari google. Misalnya gitu, dari makalah lain. Tanpa menyebutkan sumbernya misalnya. Nah, apa hubungannya dengan abuse dan privatisasi ini? Kan gini. Hubungannya adalah tekanan yang begitu besar terhadap pencapaian akademik masing-masing mahasiswa yang didorong oleh kompetisi, itu akan melahirkan pencurian. Iya dong kamu kompetisi dengan teman-teman angkatan kamu untuk dapet IP tinggi bagaimana caranya? Itu ada tekannnya. Misalnya gitu. Sekarang masih 144 sks untuk lulus? Untuk lulus 144. 144 kan? 144 itu untuk kamu kuliah 7 tahun bos, bukan 5 tahun. Artinya yang tadinya bebannya itu cukup beban waktu yang sks-nya cukup panjang itu di-press. Yang namanya di-press kayak kamu kejar setoran. Tekanannya tinggi ya. Tekanannya tinggi. Kalau kamu kejar setoran, tekanannya tinggi, kamu akan melakukan apa saja supaya setoran itu bisa terpenuhi. Setoran sks itu. Begitulah. Cara-cara mendeteksi manipulasi karya-karya akademik itu bagaimana? Yang waktu sidang outline sih, Bab 1 sampai Bab 3 ini waktu yang Disfusable Faculty ini. Saya mendapatkan kabar bahwa ada seseorang pernah ketemu orang yang. orang Pasca Sarjana dan dia bisa ikut jalan-jalan dari uang hasil itu”. Itu dia bilang. Oh saya tau pasca sarjana banyak korupnya saya tau. Total itu Pasca Sarjana ada 300 pengajar. Kurang lebih sekitar itu. Yang tetap atau yang tidak tetap?
Universitas Indonesia
149
Ya semua total. Tetapi uang untuk membayar yang namanya upah mereka, itu untuk 600 orang. Tiga ratusnya gimana? Tiga ratus sisanya. Rente, suap. Pasca Sarjana itu hanya dalam contoh kasus Pasca Sarjana ya. Iya. Pasca Sarjana itu banyak “raja-raja” kecilnya. Kamu mesti bayar setoran, aturan klien. Perlindungan terhadap eksistensi keberadaan program itu. Yang patron ini ga harus dia jadi pengurus, jabatan struktural, ga harus. Dia dosen biasa saja, tapi karena ‘saya yang ikut buka’. Gitu loh. Kalau saya ikut buka di program pasca berarti saya harus dapat rente. Terlepas saya megang jabatan apa enggak nantinya. Sampai sebegitunya ya? Iya. Jadi saya udah ga kerja, saya ga megang jabatan, saya tetap dapet duit. Karena turut membuka. Kayak Founding Father gitu. Iya. Itu untuk Pasca Sarjana ya. Saya terinspirasi dari skripsinya Galih si ya, kenapa pada akhirnya ngambil ini. Karena Galih kan membahas perbandingan politik antara India-Indonesia. Liberalisasi pendidikan tingginya. Terus saya terinspirasi. Oya bagaimana kalau saya kaitkan dengan di Kriminologi, bagaimana penyimpangan gara-gara ini. Dan ternyata nemu jurnalnya juga, jadi pas. Tinggal pembuktiannya. Untuk yang logika privatisasi segala macam, saya sempat masuk MWA sih. Staff nya Alldo tahun lalu, jadi sempet mengerti logikanya. Makanya saya kayaknya pernah liat kamu tuh. Ya kayak gitu sih usul saya. Cari yang mudah, yang ini yang abuse. Jangan langsung kamu tembak ke korupsi. Kalau kamu ga punya bukti dan apalagi akses kamu terhadap data itu juga ga kuat. Terlebih juga ketika ada narasumber juga ga terlalu cooperative untuk membuka jalur informasinya. Kamu cari gara-gara namanya. Maksud saya cari gara-gara: kamu mempersulit diri kamu sendiri. Ketika saya bertanya ke narasumber sebelumnya terkait hal ini: banyak program pascasarjana yang emang ga jelas kayak studi kepolisian.
Universitas Indonesia
150
Itu banyak (korupsinya) program-program pascasarjana. Misal kamu sama saya nih. Misal kamu pejabat negara, nongkrong-nongkrong ni kita di kafe mana. Saya bilang sebagai pejabat negara: yuk bikin yuk. Saya pinjem nama kampus kamu deh, ntar kamu dapet komisi segala macem. Bikin aja program nanti saya menangin di departemen. Saya ambil duit APBN, bikin program itu kan. Saya jadi pengajar juga disitu, Saya dapet rente dari situ. Wah tahun depan APBN nya udah ga ada. Ya bubarlah, ngapain (dilanjutkan)? Dan itu beneran terjadi? Ya iyalah, itu sebabnya sekarang banyak pejabat juga jadi dosen. Kamu perhatiin di daerah-daerah itu, kepala dinas apa menjadi dosen. Banyak itu, bro. Itu sebabnya kenapa kemudian juga banyak perguruan-perguruan tinggi swasta misalnya, itu di PTN-kan. Saya hanya sedikit tau soal ekonomi politik pendidikan tinggi di Indonesia. Nah, itu tidak ada urusannya dengan pemerataan pendidikan. Tidak ada urusan. Tidak ada juga untuk peningkatan kurikulum segala macam . . Tidak ada. Ya gitu gitu aja. Untuk dapat duit dari APBN. Kalo narasumber sebelumnya kemarin ceritanya dia nunjukin data ada orangorang yang pada akhirnya memperpanjang masa studi padahal harusnya masa studinya sudah abis. Dan pada akhirnya menjurus APBN juga. Maksudnya gimana? Jadi kan biasanya diberi ke Negara. Ke departemen mana gitu mensekolahkan mahasiswanya seharusnya untuk 2 tahun tapi karena dia memperlama masa studinya jadi APBN nya mengucur lagi untuk dia. Nah itu. APBN gitu-gituan jangan dianggap sebagai hibah. Itu hutang. Hutang luar negeri. Oh masuknya hutang luar negeri?
Universitas Indonesia
151
Hutang luar negeri, bro. Saya jadi bohir ni internasional ni ya. Sebut saja saya World Bank atau apa. Internasional Education atau apalah. Saya titipin duit ke APBN. Itukan KMPM begitu logikanya. Misalnya kalau kita pakai logika yang sama ya. Yang kenal sebagai KMPM mandiri atau apalah gitu. Itu hutang kan. Saya titipin ke anggaran Negara. Anggaran Negara, kamu bikin tu program apalah, penuntasan kemiskinan kamu atur aja gimana brengseknya gitu. Kemudian itu turun kan ke daerah kan. Di daerah misalnya KMPN ni ada 100 juta. Kan si penerima bantuan ga dapat 100 juta dapatnya 50 juta. Sisanya untuk siapa 50 juta? Ya macem-macem tuh. Dinas koperasi lah, Kepala Dinas Koperasi, termasuk juga Kepala Desa. Jadi KMPM tu ngebayarin “raja-raja” kecil. Gitu. Dan dalam hal pendidikan tinggi, beasiswa-beasiswa atau anggaran-anggaran semacam itu. Itu digunakan untuk membiayai “raja-raja” kecil di departemendepartemen. Kementrian-kementrian. Kalau pejabat tinggi tingkat kampus tidak tau hal ini atau tau? Kayak misalnya jajaran rektorat gitu. Ya tau, tapi kan mereka sama saja. “Saya ga mau konflik”. Menghindari konflik. Padahal tu tau, itu ga bener gitu. Padahal masuk dewan guru besar juga ya itu. Harus menjaga kepentingan akademik, tapi pada akhirnya…. Iya kalau saya berantem dengan dewan guru besar, kekuatan politik pendukung saya yang banyak gimana. Politik pendukung secara akademis? Iya. Di universitas kan juga ada politik, bro. Iya, baca bukunya ini. Politik pendidikannya Paulo Freire Iya. Indonesia itu pake modelnya bukan privatisasi dalam pengertian Amerika ya. Bukan ala washington. Enggak, pakenya model Eropa. Makanya kamu tulis disitu goalnya proses. Sejarahnya goalnya proses itu adalah mengimpor birokrasi pendidikan ala Uni Soviet. Terukur itu semua tuh. Pendidikan ala Uni Soviet dulu
Universitas Indonesia
152
itu terukur semuanya. Berapa jurnal yang kamu hasilkan, berapa jumlah ini. Terukur statistik dibuat. Gitu ya. Ya keterukuran itu kemudian digunakan sebagai instrumen untuk me-manage universitas. Gitu ya. Ukuran-ukuran itu bagus bagus aja dong ada ukurannya. Iye, masalahnye itu ukuran yang netepin siapa? Akedemisi? Bukan. Ekonomi. Nah ini logika ekonomi. Logika managerial, logika profit. Makanya kamu kalo ga ini, ya lu keluar. Gitu…. Dosen kontrak. Dosen kontrak 2 tahun. Dalam 2 tahun, kamu mesti menghasilkan sekian karya akademik. Ya kan. Ya bagus-bagus aja dong? Iye, masalahnya saya bilang tadi. Beban tekanan yang begitu besar untuk berkompetisi, yang kalo saya gak menghasilkan 10 karya akademik, posisi saya akan digantikan oleh orang lain. Itu kan kompetisi namanya. Iya. Ya saya akan melakukan apa aja lah supaya lapak saya, pekerjaan saya aman. Dan kontraknya dilanjutkan. Saya akan melakukan apa aja. Nah, cara melakukannya bagaimana? Ya menerbitkan, misalnya yang saya tau ya di Inggris. Di Inggris, tu banyak. Saya menerbitkan tema, tema tulisan yang sama di beberapa jurnal dengan ganti judul, ganti sedikit di otak-atik gitu. Itu banyak. Cuma ganti variable satu doang gitu. Itu satu. Kedua, tekniknya apalagi? Tekniknya bawa privatisasi. Pasti kalo kamu bawa konsep komersialisasi ditolak. Enggak, kita ga menjual ini ko. Kita ini Negara, APBN masih bantu ko. Gitu kan? He eh. Iya privatisasi kan ada banyak cara. Makanya saya usul privatisasi bukan komersialisasi. Karena kalo kamu komersialisasi, itu otak orangmya lari ke Amerika itu. Oh berati universitas itu.. Gitu loh. Di swastakan. Kaya harvard gitu. Logika persaingannya kentel banget.
Universitas Indonesia
153
Ya,. Kalo kita kan enggak. Negara masih bertanggung jawab dalam tanda kutip ya. Itu kan ngasih hibah grand segala macem. Iya, hibahnya utang bro. Gitu. Hutang itu dibayar dari apa kemudian? Dibayarnya dengan cara mengeluarkan jumlah lulusan yang begitu besar, supaya harga tenaga kerja tiap lulusan murah. Kamu stok barang ni, ibarat banyak barang kamu keluarin semua dari gudang. Murah lah. Karna banyak.. Oh iya. Kamu fresh graduate berapa sekarang, pasaran tenaga kerjanya? Pasar tenaga kerjanya. Gaji fresh graduate berapa? Tanya temen-temen kamu lah dari yang baru lulus. Diatas tiga juta. Empat juta, lima juta. Empat juta, lima juta? Kalo gak salah. Kalo diitung inflasi jadi berapa tuh. Setara berapa? Belum tahu, belum cek. Gitu. Nilai upahnya sama. Nominal upahnya gede, lima juta. Tapi nilai upahnya kalo dibanding misalnya tahun berapa, itu sama. Ga ada kenaikan nilai. Ukurannya gara-gara inflasi itu tadi? Iya. Yang membuat harga tenaga kerja turun, kan inflasi. Salah satunya inflasi ya. Yang sering itu. Misal 5 juta, kamu hidup di Jakarta 5 juta cukup ga? Kaga bos. Lah iya, karena ada inflasi harga barang, sewa rumah segala macem, transportasi gitu loh. Jadi nilai ril upahnya sama. Nah itu, konsekuensi dari privatisasi. Harga tenaga kerjanya murah. Logika Uni Soviet atau Eropa kontinental katakanlah, berarti lebih ke arah penyamarataan gitu? Enggak. Enggak ada urusan penyamarataan. Hanya menggunakan instrumeninstrumennya saja. Instrumen-instrumen manajerial. Ga ada urusan sama substansi Universitas Indonesia
154
pendidikan. Gitu loh. Contoh misalnya, Indonesia ini kan. Kalo orang studi suka dilupain. Banyak hal. Lupain konteks. Misalnya Galih kan. Belom baca saya skripsinya Galih. Tetapi apa yang mendorong misalnya, biaya pendidikan di India itu bisa diakses oleh banyak kasta gitu. Apa yang mendorong misalnya? Ya, gerakan rakyatnya. Konteksnya udah disitu. Naik turunnya harga BBM tu bukan karena DPR baik hati, kaga. Kalo gak ada aksi, gak ada mogok, gak ada ini ya mereka gak akan berubah. Gitu. Dan itu berlaku untuk banyak kebijakan di dunia lain. Kamu logikanya pakai logika ini. Privatisasi? Privatisasi itu bukan… Kalau komersialisasi itu kan kamu dagang yang pure jual beli. Kalau privatisasi kan tidak. Jadi pengelolaan ini. Bisa saja, kayak Universitas X. Ya, kita pakai saja nama universitas X, PTN gitu ya. Tapi manajemennya, pengelolaannya swasta. Lembaganya boleh saja pakai nama PTN. Brand gitu. Kalau anak-anak iklan, bilangnya brand produknya itu. Brandnya adalah negeri. Itu diselundupkan gitu. Kalau yang tadi terkait pascasarjana, kalau programnya hilang, maka dosennya tidak akan mengajar kembali? Dosennya akan pindah ke program yang lain. Berarti kayak lingkaran setan aja seperti itu? Nah, kalau program studinya hilang dan dosennya tidak dipecat tapi dipindah ke tempat lain. Itu artinya apa? Gaji ada, tetap. Tapi dia dipindahkan ke program lain Artinya tidak jelas kurikulumnya Dosen itu artinya tidak kompeten kan? Kalau kamu nanya dosen, maka ditanya: spesialisasi kamu apa? Spesialisasi si dosen itu apa? Nah, kalau keahliannya tidak dapat tempat dan dia dipindahkan ke tempat lain, Berarti tidak terpakai keahliannya. Kalau keahliannya tidak terpakai, maka kompetensinya tidak ada gunanya. Dengan kata lain, dipertanyakan. Tidak signifikan?
Universitas Indonesia
155
Kompetensinya tidak digunakan. Nah, kalau kalau kompetensinya tidak digunakan, berarti dia hanya pekerja saja. Dan ada dosen dosen yang tidak tetap itu di pascasarjana, banyak? Nah, itu juga satu. Penggunaan dosen-dosen honorer yang berlipat ganda dibandingkan dosen tetapnya. Dosen tetap ini maksudnya yang berstatus PNS? Biasanya
banyak
nih
abusenya.
Kamu
bisa
membahas
banyak
soal
ketenagakerjaan, segala macam, kalau ngomongin abuse ya. Kalau saya melihat proposal penelitian kamu dan mengambil tabel dari buku tentang otonomi perguruan tinggi. Itu kan ideal semua. Padahal kita bicara praktek. Makanya saya memakai jurnal yang membagas khusus privatisasi dengan korupsi. Dia mengambil studi kasus di Ukraina. Kalau tidak terjadi privatisasi, maka korupsi yang terjadi antara lembaga pendidikan dengan negara. Tetapi ketika ada privatisasi… Semua korup. Bahkan, peserta didiknya pun korup. Memang kamu kira apa yang disebut plagiasi bukan korupsi? Saya ada teks yang mudah, ringkas dan gampang untuk ngomongin korupsi. Bahwa korupsi itu satu bukan urusannya negara. Itu namanya state-sentris. Jadi orang melupakan kalau state-sentris. Itu orang kemudian mengabaikan bahwa perusahaan swasta misalnya itu aktif menyuap, bukan hanya pejabat negara memeras. Sekarang kan pejabat negara tidak ada. Boleh dibilang begitu ya. “Ya, sepengertian bapak lah”. “Atau tau sama tau”. Kalau ada istilah “sama-sama tau” ini berarti inisiatif pertama kan dari swasta. Itu kalau ngomongin state-sentris kelemahannya itu bahwa korupsi hanya berada di birokrasi atau pemerintahan. Dengan adanya privatisasi ini meluas. Plagiasi misalnya, yang dikorup apanya? HAKI? Tidak. Yang dikorup adalah integritas kelembagaan. Integritas tata kelembagaan yang dikorupsi.
Universitas Indonesia
156
Tidak hanya terjadi di Universitas X saja berarti? Iya. Implikasi perubahan status PTN BH pada akhirnya tidak jelas. Kan saya sudah bilang, bahwa itu brand saja. BHMN, PTN BH atau apalah itu namanya. Kita lihat praktek. Gitu saja simpel Bahkan yang PTN saja tidak jauh beda sebenarnya. Kemarin pun saya sempat magang di ICW dan membuat laporan tentang korupsi di bidang pendidikan. Untuk korupsi di universitas walaupun jumlah kasusnya sedikit, namun total indikasi kerugian negaranya sangat besar. Makanya, kalau mau pakai abuse, kamu pakai korupsi. Korupsinya apa? Misalnya manipulasi karya akademik. Itu sudah termasuk korupsi. Kenapa? Nah, itu ada argumennya, bos. Nyontek itu korupsi. Misalnya begitu. Jadi, konsep kuncinya itu diperluas. Memang masalahnya disempitin. Di pendidikan tinggi misalnya atau pascasarjana. Tapi konsep kuncinya diperluas. Supaya kalau kamu tidak dapat ini (soal korupsi di pascasarjana), kamu bisa dapat data yang lain. Itu namanya strategi untuk merumuskan riset begitu. Saya juga waktu riset korupsi kebingungan juga dahulu. Ini waktu pertama kali bikin riset soal korupsi. Ini definisi korupsi itu banyak banget kan? Si ini ngomong ini. Si itu ngomong itu. Tugas kita sebagai peneliti adalah bagaimana menemukan benang merah dari perbedaan definisi tersebut. Hipotesisnya sebenarnya simple untuk penelitian kamu: bahwa privatisasi justru membuka ruang dan peluang bagi terjadinya abuse yang lebih luas. Hubungannya dengan adanya ‘tekanan’ tadi? Korupsi akibat privatisasi, dorongan untuk mencapai profit. Kan di UndangUndang Dikti kan ga ditolak itu nyari untung. Universitas mencari keuntungan kan tidak dilarang. Disebutnya “tidak mengutamakan keuntungan” kan? Tapi bukan berarti tidak boleh mencari keuntungan bukan? Lalu harusnya bagaimana? Ya, namanya sektor publik di mana-mana itu rugi. Kesehatan dan pendidikan itu rugi kalau dari aspek ekonomi ya. Kenapa harus rugi? Ya, karena fungsi sektor
Universitas Indonesia
157
tersebut adalah mereproduksi. Namanya reproduksi itu tanggung jawab negara. Lalu bagaimana harus untung? Ya, kamu tekan pajak. Kamu membuat industrialisasi yang lebih besar. Supaya negara tidak rugi Atau jatah pemberian negaranya dikurangi? Tidak, justru harus naik. Jatahnya naik, tapi persentasenya berkurang. Tidak. Persentasenya harusnya juga naik. Kalau kamu lihat di saya lupa UU berapa tahun 2005 tentang ratifikasi hak ekosop itu. Untuk pendidikan kan jelas itu.
Pendidikan
tinggi
khususnya,
berkemajuan
menuju
gratis.
Berarti
persentasenya dibesarkan untuk anggaran harus tambah besar. Agar bisa gratis tujuannya. Bukan justru dikurangi. Ya, pendidikan kan sebelumnya dix APBN sekitar 6% menjadi 20% Harus tambah lagi. Jadi 30. 50. 100% kalau perlu. Begitu. Ada kecenderungan pada akhirnya 20% ini tidak jelas digunakan untuk apa 20% kan bukan untuk diknas saja. Untuk kementerian lain juga. Departemen pertahanan segala macam. Universitas itu hanya mendapatkan nol koma nol berapa gitu. Seluruh Indonesia? Ya. Di anggaran APBN. Nah, departemen dan kementerian itu kan membuat lembaga pendidikannya masing-masing. Kalau kamu memproduksi pegawai utnuk kementerian, bukan tugasnya kementerian bersangkutan untuk membuat lembaga pendidikan. Kementerian itu tugasnya teknis. Bukan di sektor pendidikan lah. Idealnya seperti itu. Kalau pengadaan barang untuk korupsi sendiri di Universitas X memang sulit? Itu yang saya katakan tadi. Pertanyaan saya simple: akses data. Kalau kamu tidak punya, jangan. Tapi pakai cara lain yang mendekati. Saya mengusulkan yang
Universitas Indonesia
158
mendekati ini dengan konsep abuse. Kalau kita pakai korupsi, maka masuk BUI semua profesor kita. Karena? Ya. Kalau kita pakai pengertian korupsi secara umum, termasuk korupsi akademik ya. Memakai HAKI. Masuk BUI semua itu. Kalau yang terjadi MIPA itu, yang sampai ada protes dengan guru besarnya? Ya. Itulah ini.. abuse. Universitas X ini profesornya semakin konservatif. Dalam artian? Baik dalam pengertian semua. Sikap politik. Ataupun keilmuan. Konservatif. Artinya tidak mau berubah. Kenapa hal itu bisa terjadi? Ada banyak. Kalau kamu mau periksa bukunya Daniel Davide, hasil risetnya yang dibukukan judulnya ‘cendekiawan dan kekuasaan di negara orde baru’ itu kelihatan, bos. Betapa konservatifnya. Ini mereka dapat dari proyek-proyek pemerintah dahulu. Apa salahnya dengan proyek pemerintah? Ya. Tidak ada yang salah. Jangan dicari kesalahannya dahulu. Benarnya di mana? Itu dulu. Pemerintah saat itu untuk mendukung pembangunan. Kalau kamu tidak mendukung pembangunan, maka kamu tidak akan mendapatkan proyek begitu kan? Itu saja simpel. Kalau kamu tidak dapat proyek, maka kamu tidak mendapatkan uang. Maka, kecenderungannya kamu harus kompromi bukan? Signifikansinya apakah jelas? Maksudnya, hasil penelitiannya dapat digunakan untuk pembangunan tadi? Iya. Pembangunan pemerintah. Sekarang, pembangunan korporat. Karena sekarang kerja sama dengan korporat itu menjadi mudah? Iya.
Universitas Indonesia
159
Hmmm. Menurut narasumber saya yang lain, karena itu saja, akhirnya sistem keuangan universitas X ini menjadi sentralisasi. Karena banyak rekening yang main seenaknya saja. Dan akhirnya tidak tercatat di bagian keuangan universitas Ya. Itulah yang saya katakan tadi katakan. Universitas X ini mempunyai raja-raja kecil. Bisa katakan bahwa rektor itu brengsek. Tapi sama saja dengan mereka yang berupaya menjatuhkannya. Karena merekalah yang mempunyai rekeningrekening kecil tersebut. Yang tidak mau dikontrol. Itulah yang saya katakana sebagai raja-raja kecil di fakultas. Yang sebagian sekarang justru sedang mencalonkan diri sebagai rektor ini. Makanya dulu pada saat di serikat pekerja dan karyawan, kita sering katakana bahwa ini maling teriak maling semuanya. Makanya kita dihajar dari kiri kanan. Baik dari yang anti rektor, kita dihajar. Sama yang pro juga kami dihajar. Maling teriak maling, dan kita tahu semua itu. Menurut anda, mereka yang mencalonkan diri sebagai rektor ini ada yang bagus atau tidak? Setahu saya tidak ada. Coba kamu bayangkan ya. Puluhan tahun, lebih dari 30 tahun, Universitas X ini ada. Tidak ada satupun dari profesor ini yang punya pengalaman mengelola universitas dengan gaya swasta. Manajemen swasta. Sekarang mau seperti itu. Ya, berjuang abis-abisan lah. “kita kekuasaan gede nih, bro” begitu kan? Bagusnya ini nih. Sekarang saya tanya kepada kamu, kalau mahasiswa atau siapapun peneliti itu berusaha mengeluarkan hasil riset yang merupakan terobosan, begitu ya, itu masuk tidak dalam strategi riset universitas? Tidak? Tidak! Inisiatif individu. Tidak ada semacam GBHN nya? Tidak ada. Tapi universitas kemudian dapat kreditnya bukan? Universitas mendapatkan nama baiknya? Iya yang seperti saya bilang: kreditnya. Seperti itu kan mencuri dari inisiatif orang (individu). Wong itu tidak punya dalam renstra. Renstra akademik khususnya. Di
Universitas Indonesia
160
eropa barat banyak itu khususnya, jadi pengelolaan universitasnya tuh begini: kamu pasti akan melakukan kegiatan yang seperti konser musik. Artinya apa? Kamu undang profesor-profesor yang telah memiliki nama besar bikin kuliah umum dan kita semua nonton. Panggil-lah siapa. Profesor yang luar biasa dan beliau memberikan kuliah umum. Satu tahun dua kali saja, tetapi bayarannya tinggi. Pinjam nama. Pertanyaan saya, salahnya di mana? Kontribusinya apa bagi pengembangan science di universitas itu? Kontribusinya apa dengan kamu menampilkan tokoh itu? Kontribusinya apa? Tidak ada. Cuma sekadar momental doing? Itu teknik periklanan. Iklan begitu. Kamu membuat korek ini, biaya pembuatannya tidak sampai 1000 perak, bos. Tetapi biaya iklannya bisa 100 kali lipat. Itu yang penting. Dalam kasus perguruan tinggi, seperti yang saya tadi telah bilang seperti itu. Kamu mengundang berbagai profesor ternama. Itu biaya iklan. Tetapi biaya pengembangan risetnya di dalam bagaimana? Sedikit. Begitu loh. Ironi dong kalau keadaannya seperti ini? Ya. Namanya ‘dagang’. Lalu, mahasiswa baru akan terpukau: oh, bagus universitas ini sering mengadakan seminar besar dengan mengundang ini. Contoh lainnya, berapa banyak sih dari sekian dosen yang akhirnya mengajak turut serta riset dengan mahasiswa? Bukan memanfaatkan tenaga mahasiswa ya, tetapi riset bersama. Kalau memanfaatkan tenaga mahasiswa, banyak. Tapi mengajak riset bersama? Sedikit Ya. Mulai dari bikin RD (Riset Design) itu semua. Tidak banyak sepertinya. Tidak sampai 10, yakin saya seluruh universitas X ini. Tapi kalau memanfaatkan tenaga mahasiswa, memperalat kalau dengan bahasa yang lebih jahat. Itu banyak. Mahasiswa sebagai tenaga saja? Ya. Tenaga pengumpul data. Seperti di komunikasi misalnya, yang saya tahu, mahasiswa melakukan skripsi. Lalu mereka kan mempunyai kewajiban untuk
Universitas Indonesia
161
menuliskan jurnal kan? Itu dosennya hanya mengedit saja. Jurnal yang dihasilkan dari skripsi mahasiswa tersebut atau dengan kata lain hasil riset mahasiswa, itu kemudian mahasiswanya menjadi nama kedua. Si dosen yang tidak ikut penelitian dan sebagainya, itu menjadi nama pertama. Dan itu diteruskan untuk masuk kumpulan jurnal sampai internasional? Saya kurang tahu. Tapi alasannya: namanya dosen pembimbing kan kita sudah ikutan menyumbang ide. Tapi, namanya kalau sudah ada ide biar ada barangnya (hasilnya) kan kita harus kerja. Apakah kamu sebagai dosen mengerjakan bersama dengan mahasiswa bersangkutan kah? Begitu. Apakah si dosen membantu penelitian sampai turun lapangannya? Barulah kamu bilang equal atau kesetaraan. Saya berhak nama saya masuk dalam hasil penelitian tersebut. Namanya pembimbing kan wajar. Lah itu kan tugas kamu sebagai pembimbing. Masa kamu memintakan return? Return itu kan sudah dalam bentuk upah. Begitu, bukan dalam bentuk kredit. Kalau kamu sudah meminta upah kamu dalam bentuk kredit, maka kamu harus bayar mahasiswanya. Kalau kita masih mau konsisten dalam logika dagang ya begitu. Seperti Adam Smith begitu, ambil untung sebesar besarnya? Adam Smith itu bagus. Saya sudah membaca Wealth of Nation yang dibuatnya. Dan yang paling penting adalah moral of sentiment. Itu hanya ingin berkata ‘pembagian kerja’. Tidak ada hubungan dengan pencarian keuntungan segala macam. Itu teori pembagian kerja. Kalau studi saya kan tentang perburuhan. Puluhan tahun saya studi perburuhan, titik pijaknya di situ. Makanya, kalau saya bertemu profesor-profesor itu, terserahlah kamu mau berkata demokrasi, HAM segala macam. Ini paling dasar: perburuhannya. Bagaimana kamu memperlakukan staf-staf di bawahmu. Bagaimana kamu memperlakukan mahasiswamu? Kerjakerja si mahasiswa, kamu perlakukan seperti apa?
Universitas Indonesia
162
Lampiran C: Transkrip narasumber D Verbatim Wawancara Narasumber D Salah satu dosen dan guru besar universitas X Pukul 13.03 WIB, Tanggal 6 Oktober 2014
Jadi bagaimana. Apa yang kamu ingin tanyakan? Ya. Jadi begini. Saya ingin menanyakan tentang korupsi di program pasca sarjana. Saat ini saya sedang mencari-cari orang yang kira-kira mengetahui informasi yang saya butuhkan Ada. Orang yang tepat membicarakan ini. Namanya narasumber E Kemarin saya coba kontak via media sosial facebook, belum ditanggapi Oh. Begini, coba saya bantu. Dan dia lagi sebal juga dengan program pascasarjana. Karena sekarang kan dia yang memegang program pascasarjana. Ternyata yang lama itu banyak sekali borok-boroknya. Kalau informasi yang lain, apakah tahu? Saya kurang mengikuti kalau pascasarjana. Coba nanti kamu tanya narasumber E. Okay. Terima kasih. Informasinya.
Universitas Indonesia
163
Lampiran D: Transkrip Wawancara E Verbatim Wawancara Narasumber E Ketua Program Pascasarjana Universitas X tahun 2014 (dilantik 2013) Pukul 13.14 WIB, Tanggal 13 Oktober 2014
Sebelumnya, saya menghubungi narasumber ini setelah mendapat kontak dari narasumber sebelumnya. Jadi udah beberapa tahun terakhir memang sering aktif di kampus, trus ikut-ikut organisasi dan mengetahui isu-isu kampus dan seputar pendidikan. Lalu ketika mengambil tema skripsi, saya mengambil tema korupsi di pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Cuma masalahnya saya ingin hubunginnya lebih ke arah metode atau kejahatannya, bukan mengungkapkan pelaku atau siapanya. Apa? Metode? Metode atau modus operandinya. trus fokusnya agak di spesifikin dihubungin sama privatisasi kampus. Apa? Topikny apa? Privatisasi kampus.. Iya, dengan? Dengan korupsi. Potensi koruspi dari privatisasi yang ada komersialisasinya. Dan saya sudah menemukan jurnal yang berkaitan dengan itu Jurnal yang dibikin oleh siapa? Namannya Ararat L Osipian? peneliti Jurnal internasional? Jurnal internasional, jurnalnya itu menganalisis.. investigating corruption in higher education in amerika. Dan dia bisa menghubungkan ada potensi korupsi yang timbul dari komersialisasi. Universitas Indonesia
164
Yang tadi kamu bilang komersialisasi.. kalau komersialisasi yang kamu maksud apa? komersialisasi itu apa? Sebenernya turun dari privatisasi perguruan tinggi dimana tujuan.. Privastisasi apa dulu? Privastisasi itu pemisahan, proses tadinya mungkin pendudukan itu dianggap sebagai barang publik jadi barang privat Pendidikan barang publik? Kapan pendidikan tinggi menjadi barang publik? Hm… Barang public itu kan, public goods, kayak ..air aja sekarang kamu mesti beli kan ya, gak public goods kan ya? Udara masih public goods, tapi beberapa puluh tahun lagi mungkin udah nggak. Kapan kamu bisa tahu perguruan tinggi adalah public goods? gimana? Basicnya sih pendidikan. Cuma mungkin untuk pendidikan tinggi khusus kurang, karena masih fokus ke pendidikan dasar. Tapi menurut konvensi internasional tentang hak-hak ekosospolbud itu salah satunya untuk pendidikan bagaimana caranya kedepannya bisa gratis untuk ke semua… Pendidikan sama pendidikan tinggi itu sangat berbeda. Yang bayar siapa kalau pendidikan tinggi disuruh gratis. Yang bayar penyelenggaraan kuliah itu siapa kalau semua itu gratis? Harusnya pemerintah. Pemerintah yang mana? Ada gak pemerntah di Indonesia yang memberi 100% gratis? Ada gak? Nggak.. faktanya sih nggak. Trus jadi disuruh apa penyelenggaraan pendidikan tinggi gak dikasih uang dari pemerintah cukup memadai, dikasih uangnya cuma 25% trus disuruh gratis gitu? Terus dosennya gimana? Disuruh apa? disuruh kere gitu?
Universitas Indonesia
165
Nggak sih.. Tapi kamu mesti mikir gitu, Karena aku melawan pandangan yang semacam itu. Karena misalnya di fakultas kedokteran itu untuk menjadi seorang dokter, satu semester satu semester butuh dana 52 juta. Untuk apa 52 juta? Reagen reagennya, untuk praktikum, obat-obatannya, karena mereka langsung ke rumah sakit kan… untuk belajar menyuntik, dan harus pakai kata yang benar, harus bikin boneka replika manusia dan sebagainya, maka semuanya menjadi mahal, dan itu dosendosennya tidak dibayar. Dosen –doennya itu dibayar kalau mereka dirumah sakit, jadi pasien yang bayar dosen. Nah, itu 52 juta. Lalu orangtuanya bayar berapa? 7,5 jta. Gitu kan? Pemerintah dengan 20% APBN itu dikasihnya kita 3 juta. Jadi orangtuanya bayar 7,5 juta, dari pemerintah 3 juta, padahal kebtuhannya 52 juta, dari mana tuh sisanya? Dosen-dosennya tidak dibayar. Dosen-dosennya dibayar oleh rumah sakit. Ilmu social tergantung kotanya, kalau Universitas X tuh bisa 20 atau 25 juta, bisa di cek ya… orang tua kamu bayar berapa? 5 juta.. Nah, 5 juta ya.. lalu dari pemerintah 3 juta, selebihnya apa? Dosen-dosen kamu itu adalah yang bersedia dibayar murah. Makanya kita dosen-dosen Indonesia itu kalau dibandingkan dengan Filipina, bahkan India itu dengan pangkat yang sama jauh lebih murah dosen Indonesia. Makanya saya marah sekali. Saya bilang itu sama mahasiswa di kelas. Kalian bisa duduk disini karena dosen-dosen seperti saya bersedia dibayar murah. Sudah begitu kenapa kalian mau bawa kami ke mahkamah konstitusi? Itu saya bilang.. kalian bawa kami ke mahkamah kontitusi kan… Karena pengen public goods, karena pengen murah. Saya tanya uangnya dari mana? Peyelenggaraan pendidikan tinggi itu mahal sekali apalagi pendidikan yang bagus. Apalagi kalau kamu bilang pasca sarjana korupsi gini gini gini… pascasarjana sama sekali gak ada uang pemerintah. Satu sen pun gak ada uang pemerintah di sini. Pascasarjana ini direkturnya aku, satu sen pun gak ada uang pemerintah di sini. Jadi kita biaya sendiri dalam penyelenggaraan pendidikan di sini . Kenapa 20% dana pendidikan tinggi itu cuma 3 juta jatohnya? Jadi misalnya yang saya
Universitas Indonesia
166
tahu sebesar 360 triluin itu 200 triliunnya udah pergi ke daerah untuk gaji guru apa apa apa gitu ya, jadi yang tinggal di kantongnya kementerian keuangan untuk masalah pendidikan itu tinggal 160 triluin. 160 triliun itu harus dibagi-bagi lagi ke departemen-departemen yang punya sekolah. Seperti departemen agama tuh, dia paling banyak dapatnya, karena punya madrasah punya ini punya itu gitu kan? lalu kalo gak salah tinggal 60 triliun sisanya. Itu dibagi ke perguruan tinggi yang ada di Indonesia, 96 PT. itu jatohnya pemerintah hanya bisa membiayai kita 30 %, 25%, 40% gitu kan? Bagaimana itu bisa public goods? Logikanya itu gimana gitu, meminta perguruan tinggi untuk jadi pubic goods. Itu sama sekali pandangan yang sangat tidak paham, pandangan yang sangat sombong. Kan saya pernah ketemu dengan mahasiswa yang… sebetulnya mahasiswa itu diperalat sama dosen-dosen yang ingin jadi PNS. Tujuan hidupnya cuma satu: jadi PNS. Tujuannya cuma satu, jadi PNS. Lalu dia kan dengan pandainya itu membuat gerakan-gerakan lalu… aku boleh gak ini gak direkam? Oh iya boleh… (JEDA) Founding father kita itu sudah melihat jauh kedepan ya untuk bisa dapetin.. seperti biasa, sejarah kita itu kan sangat buruk dituliskan, gak pernah ada catatan baik. Jadi sejak dari Ki Hajar Dewantara bahkan ada Soekarno gitu gtu gitu ya, bisa lihat di buku putih itu, ya sudah lama.. itu Mr Soepomo terutama, Rektor kita itu.. Ya, rektor kedua.. Iya, beliau mengatakan bahwa universitas itu harus jauh sekali pandangannya ya, universitas itu harus tidak menjadi djawatan pemerintah, sehingga mereka bisa maju pesat. Tidak dikungkung-kungkung. Seperti sekarang ini kita disuruh bikin rancangan tahunan Universitas X misalnya, atau ITB, UGM, itu udah ada borangborangnya. Jadi mimpi-mimpi kita mau bikin apa, bikin apa itu susah. Gak bisa, makanya kita selalu ketinggalan sama Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, apalagi Jepang dan apa dan apa gitu, jauh. karena kungkungan Pemerintahnya itu besar banget. Nah, jadi Universitas X waktu jamannya rektor sebelumnya ya, itu sudah memulai menjadi B…
Universitas Indonesia
167
BHMN Ya, BHMN ya, mau membebaskan diri dari pemerintah, membuat rancangannya sendiri gitu, tapi kan butuh UU-nya, lalu bikinlah UU BHP Ya, pada tahun 2009 Iya.. nah, di UU BHP tu memang ada pasal yang seolah-olah kalau dibaca nanti semua universitas akan gitu.. jadi dimintakan judicial review oleh pak rektornya Universitas Atmajaya, lalu dia bawa pasal itu ke judicial review. Tapi oleh mahkamah konstitusi yang sok tau itu, dibubarin semua undang-undangnya itu. Jadi kita kehilangan pegangan, gitu. Padahal undang-undang itu sangat bagus ya, mengatur pemerintah sangat membebaskan gitu. Nah sebetulnya, dimana-mana di seluruh dunia universitas itu adalah universitas otonom gitu lho, sama sekali pemerintah itu tidak turut campur, tapi pemerintah mendanai, tidak ada hubungannya otonom itu dengan tidak mendanai, itu yang sama sekali salah orang berpikir. Jadi universitas otonom itu tetap harus didanai oleh pemerintah. Di Singapura, NUS dan Nanyang itu didanai sampai 90%, 80% bahkan 100%, jadi mahasiswa seperti kalian itu punya dana 200 juta setiap tahun untuk boleh konferensi ke mana aja oleh univrsitasnya, sesuai dengan ilmu dan keahliannya. Itu sangat dimungkinkan karena pemerintah mendanainya, tapi mereka sama sekali otonom, pemerintah gak turut campur. Pemerintah udah bilang kan sudah ku kasih uang segini, apa hasilnya. Tapi mereka tidak sama sekali mengurus kurikulum, tidak mengurusi soal keuangannya. Keuangannya diberikan dalam bentuk block grant, cek gitu. Pertanggungjawabannya asal jelas. Terserah mau dibikin apapun, kayak sekarang itu. Semua universitas di dunia itu seperti itu. Mana universitas yang bagus di negara saya, lalu leading universities. Lalu dikasihlah status otonom, bahkan jepang yang pada tahun 2004 diberi ceramah oleh Prof Satrio Bojonegoro itu langsung jadi otonom sekarang. Banyak begitu ya. Nah, kita mau seperti itu. Karena kalau tidak kita akan semakin ketinggalan, seperti sekarang. Tapi masalahnya masyarakat itu kan melihat otonomi itu sama dengan privatisasi, sama sekali itu salah. Saya pernah membuat penjelasan ya, tapi ditentang oleh mahasiswa. Privatisasi itu kalau universitas itu
Universitas Indonesia
168
dijual. Dipindahtangankan. Nah itu yang namanya privatisasi. Kita kan sama sekali tidak menjual apa-apa. Komersialisasi? Apanya yang komersialisasi? Kalau kamu tadi sudah lihat datanya bahwa untuk menghasilkan seorang mahasiswa kedokteran harus membutuhkan dana sekian, mahasiswa sastra butuh dana sekian, orang tuamu membayar berapa, begitu kan? Nah, kemudian kita tidak memiliki payung hukum undang-undang karena sudah dibatalkan oleh MK. Itu namanya ultra petita. Memutuskan yang lebih dari yang diminta. Itu tidak boleh sebenarnya mahkamah konstitusi seperti itu. Dia itu hanya boleh memiliki tip-ex yang mana yang dihapuskan UU itu. Tapi dia tidak boleh memiliki ‘bolpoin’, menambahnambahkan sendiri. Itu di dalam sesuatu yang dianggap kesalahan ya. Lalu dirumuskan lagi UU pendidikan tinggi tahun 2012. Kita lihat semua isi draft nya itu. Dan kami itu membuat gerakan, yaitu 7 universitas yang BHMN itu, gerakan yang pertama kali berada di depan melawan pemerintah karena draftnya itu. Draftnya itu sangat memperlihatkan bahwa pemerintah itu mengukung kita. Ada 44 hal yang diatur, sampai KKN pun diatur. Sampai hasil penelitian pun harus dilaporkan ke DIKTI. Bayangkan, hasil penelitian dilaporkan. Masa kita sebagai ilmuwan kalau ingin punya penelitian harus dilaporkan, agar disetujui apa tidak. Mana boleh? Kita kan harus mempunyai otonominya sendiri. Nah itu yang kita lawan. Ada banyak, ada 44 hal itu dan kamu harus tanya sama Prof Yohanes Gunawan, kalau soal otonomi. Dia dosen UNPAD tapi dia memang dari pejabat yang ikut dalam merumus berbagai kebijakan, tapi akhirnya dia pun mengundurkan diri karena tidak setuju dengan yang mereka buat itu. Terus ada klousul yang mengatakan dosen itu harus mau dipindah ke mana-mana. Ya tetap sama dengan kalau rektor itu melihat orang tua saya yang suka ngelawan, dia bisa pindahin saya tiba-tiba. Ke papua, ke mana.. ke mana.. itu bisa. Itu kan seharusnya orang pindah karena kehendaknya sendiri, ke mana-ke mana. Bukan karena dia dianggap sebagai seseorang yang membahayakan kekuasaan. Itu ada pasal-pasal yang seperti itu. Nah, suatu hari sebelum itu di.. Di JR.
Universitas Indonesia
169
Iya, disahkan di DPR, ketua pansus nya di DPR itu ada bersama kami, para profesor di 7 universitas yang BHMN itu, kita bikin diskusi Kompas. Prof Emil Salim meminta ke Dirjen DIKTI untuk ditunda dulu, jangan langsung disahkan. Di.. Dirjen DIKTInya masih pak Emir Santoso? Iya.. Karena bila itu disahkan, maka kami akan coba ke MK. Terus ternyata tidak bisa. Akhirnya saya keluarkan itu buku putih, barulah dibilang: kenapa baru sekarang, coba dari satu tahun yang lalu, kita kan jadi paham. Ya udah jadilah UU DIKTI itu. Pas 2012… UU itu bagaimanapun juga masih buruk, tetapi ada beberapa pasal yang di situ dinyatakan otonomi universitas. Jadi tadinya sangat menentang UU itu, kami menjadi sangat membela UU itu. Karena kalian ingin menggugurkan kembali otonomi, jadi kami tidak mau. Kalian itu sama dengan mau membuat para dosen itu, membuat para ilmuan itu tenggelam lagi menjadi bala tentaranya pemerintah. Menjadi satuan kerjanya DIKTI dan itu akan menjadikan kita persis seperti birokrat kecamatan. Itu gak bisa gitu ya, perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu cepat, karena masyarakat yang berkembang cepat, jadi ada ilmu-ilmu baru yang muncul, itu ga bisa diakomodir oleh DIKTI. Misalnya DKTI itu punya ilmu apa, ilmu apa ya, sampai di trisakti ada ilmu lanskap tapi kok gak ada statusnya. Dimasukinnya ke mana? Ke pertanian. Cocok gak yang begitu? Lanskap itu kan ada ilmu arsitekturnya, ada ilmu kebudayaannya, ada ilmu tanamannya keteknikannya. Sama DIKTI dimasukinnya ke pertanian. Betapa DIKTI itu tidak memiliki wawasan yang sangat luas sangat maju sehingga ga bisa. Kenapa mesti dibikin peraturan kayak gitu? Kan banyak sekali orang-orang yang belajar di sana bilang tidak ada lagi ilmu yang tidak multidisipliner. Kan misalnya bicara tentang matkul-matkul itu. misalnya Law and technology. Law kan dari humaniora, tekhnologi dari teknik, itu law and technology. Kita butuh teknologi untuk membatu orang yang di kampung kampung yang punya masalah, dia butuh bantuan hukum, lalu dengan teknologi gadget itu dia bisa menghubungi lurahnya, lurahnya menghubungi Lembaga
Universitas Indonesia
170
Bantuan Hukum, atau polisi atau RS, gitu. Law and tehnologi sangat dibutuhkan. Lalu mathematic and politics misal, itu di pemilu kemarin, kalah pemilu coba liat, itu kan kuliah mathematix and politik. Kita Sangat dibutuhkan. Itu ga bisa diakomodir secara cepat kalau kita gak memiliki otonomi semacam itu dan DIKTI ga memberi kita dana untuk itu. Dia maunya ada kuliah ini kuliah ini. Saya aja punya prodi TBM (Tekonologi Bio MediK) ya, dia gak bisa visit, karena ga ada ahlinya. Jadi mereka (DIKTI) sangat gak siap dengan perkembangan ilmu yang baru, gitu. Nah di Pascasarjana ini adalah prodi-prodi yang ilmunya ga bisa dibuat difakultas, karena fakultas itu kan lambat, gebrongnya besar, sukar membuat perubahan secara cepat, gitu kan. Jadi otonomi itu tetap harus diperjuangkan, meskipun harus melawan mahasiswa sendiri, kita lakukan. Karena mereka nggak ngerti, nanti 10 tahun.. 20 tahun lagi baru mereka ngerti. Apa yang dulu diperjuangkan orang tua. Kenapa para profesor itu memilih jadi dosen, kalau mereka mau bisa aja mereka kerja di perusahaan yang membuat pesawat atau apa, kerja di perushaan dapet uang banyak. Tapi mereka meilih jadi dosen, memilih hidupnya susah gitu ya tapi kalian curigai sebagai privatisasi, itupun gak tepat istilahnya. Komersialisasi segala macem gitu gitu. Itu sih, kira kira. Terus kalau yang disebut korupsi aku gak ngerti, yang mana? Kalau korupsi yang dimaksud adalah yang sekarang menjadi kasus dimana-mana ya, di KPK, aku juga sangat sukar. Kamu masa memilihnya rektor, sebagai orang yang terkena pasti kamu gak akan dapat jawaban dari dia, mana mungkin mau diwawancara. “iya nih aku korupsi nih”, gak mungkin dong. Kan sebagai peneliti harus ini… kalau kita di antropologi belajar bulding etnografi, wawancara adalah metode yang sangat terakhir, jadi yang lebih diutamakan dengan pengamatan. Kamu pergi aja ke perpustakaan, kami lihat itu semua, 135 milyar biayanya, gedungnya kayak apa, bocor dimana mana gitu ya. Karena desainnya juga gak cocok dengan Indonesia yang panas.. 135 M itu bisa bikin bandara loh, saya sampai kaget. Kayak gitu sih, mas. Kalau korupsinya sendiri aku gak ahli ya soal kayak gitu. Tapi kalau soal universirtasnya kayak gitu.. jadi tuh hati-hati untuk mengatakan perguruan tinggi public goods, itu UU yang jelek yang kita hujat itu satu-satunya UU di Indonesia
Universitas Indonesia
171
yang mengatakan alokasi 20% untuk pendidikan buat orang yang tidak mampu, ga boleh ada orang yang pintar tidak bisa sekolah. Nah itu 20% di Universitas X untuk itu. Tapi kalau di ITB 0, IPB bisa 100% di kasih karena banyak mahasiswanya yang ga mampu. Di UPI Bandung, bisa sampai 50% lebih mahasiswanya gak mampu itu dikasih semua. Di UNAIR bisa 30% lebih. Di Universitas X ini 20% dikasihnya, saya gak tau kenapa. Katanya malah ga sampe 20%, itu aja udah 7 ribu mahasiswanya dikasih dari berbagai skema, dari BIDIK MISI dan BOPB. Jadi bagaimanapun uu itu kalau kalian bawa pergi ke MK mau menghapuskan UU itu, kemana lagi kalian mau berpijak? Harusnya kan kalian pelajari dulu, gitu ya.. Sekarang yang namanya PTNBH itu maksudnya adalah keadaan hukum publik, tidak seperti badan hukum privat seperti perusahaan. Akhirnya menjalankan fungsi publik, didanai penuh oleh negara gitu dan non profit. Jadi kuncinya ada 3: menjalankan fungsi publik, non profit dan didanai oleh negara. Itu badan hukum publik. Itu yang hakim MK juga ga terlalu ngerti soal ini. Lalu juga yang.. apa tuh, univ kenapa mesti otonom? Karena univ itu berbeda dengan lembaga manapun Termasuk lebaga pendidikan setingkat SD, TK? Nah kalo, SMA ke bawah itu dia tidak memproduksi ilmu pengetahuan tapi menggunakan ilmu pengetahun, jadi univ itu beda dengan lembaga politik, beda dengan lembaga bisnis, karena fungsinya adalah memproduksi ilmu pengetahuan. Jadi ke depan itu universitas otonom itu harus membiarkan penelitian-penelitian. Makanya cita-cita kita world class univesrsity tulang punggungnya nya ada di pascasarjana. Nah, universita otonom yang baik itu adalah yang ada di amerika, di mana, di mana gitu ya.. di amerika itu pasca sarjananya lebih banyak daripada S1nya. S1-nya kasih aja ke yang swasta. Itu sih secara umum.. kamu boleh bertanya, boleh gak setuju sama saya. Hehe.. gambarannya begitu. Dan kamu juga mesti buka juga magna charta universitatum. Iya, sudah baca.. Udah baca kan? Fungsi-fungsi dosen seperti apa, mahasiswa seperti apa harus bekerjasama seperti apa.. emang ada di negara Skandinavia bebas biaya
Universitas Indonesia
172
pendidikan, tapi pajaknya 60%. Tak ada satu manusiapun yang bebas pajak di negara negara itu,, tapi memang bisa jadinya, kedua mereka penduduknya sedikit, lalu bersih gak korupsi. Mereka bisa bebas uang kuliah, tapi di sini mau gak orang orang dipajakin sampe 60%? Sekarang aja di Inggris penduduknya gak semuanya masuk universitas karena mahal, jadi mereka memang sistem pendidikannya gak satu pintu kayak Indonesia .Kalau negara maju itu kan lebih relistis, mereka udah punya banyak kejuruan kejuruan dari SMA. Jadi gak semua orang ke universitas, hanya 10 atau 15 persen yang ke universitas karena mereka ingin jadi ilmuwan. Sisanya, mereka pergi ke kejuruan kejuruan dan mereka sangat menghargai dan menghormati orang lain, menganggap profesi itu gak ada yang rendah, semuanya sama. Dan negara itu, bangsa itu memiliki 100 keahlian.. 100 profesi ahli, yang sangat spesifik. Kevokasi-vokasian. Misal punya 1000 tukang yang pintar dan ahli, 1000 profesi kelautan, perikanan, kehutanan, apapun. Bahkan cleaning service-pun suatu profesi yang ada keilmuannya gitu. Sebetulnya bangsa kita harus begitu, gak semuanya masuk univ kecuali bidang-bidang tertentu. Kalau mau jadi dokter, insinyur, peniliti ya iya, harus ke universitas. lalu kalau teknik gitu ya masuk kejuruan teknik gitu. Jadi, di universitas yang bagus juga itu ada fakultas, ada sekolah. Jadi kalau ada ilmu baru yang gak ada di fakultas, masuknya ke sekolah. Universitas X ini sangat terbatas, ITB sudah punya sekolah-sekolah. IPB juga. Kita di Universitas X tak satupun ada sekolah. Ini pasca sarjana bentuknya program. Kenapa gak dikasih status hukum sebagai sekolah? Seperti itu. Ini program pascasarjana dipandang rendah sama orang. Apalagi dari Jepang dibilangnya kualitasnya jelek. Zaman saya tidak ada lagi. Saya babat semuanya itu. Ilmu multidisipliner itu harus merespon secara cepat apalagi untuk masyarakat zaman sekarang. Butuh energy misalnya, kita sudah 400 Triliun subsidinya. Energy kita itu untuk 11 tahun lagi, setelahnya kita habis. Tidak punya lagi itu BBM dari tanah kita. Nah itu butuh pengembangan energi-energi lain, seperti angina, bio apapun. Itu kemana dong mereka sekolahnya? Nah, mereka sekolahnya di tempat pascasarjana ini yang multidisiplin. Yang semua ilmu bisa menggarapnya begitu. Lalu misalnya tentang kemaritiman. Kita kan kelautan. Siapa orang yang mengemban itu. Apa itu ilmu kelautan di Maluku? Nah itu
Universitas Indonesia
173
kurang. Kita butuh ilmu kemaritiman yang ada ilmu hubungan internasionalnya, cultural studiesnya, tekniknya, dan lain sebagainya. Itu ilmu multidisiplin seperti di sini bisa merespon secara cepat. Nah itu tapi orang orang di DIKTI, orangorang di Universitas X ini tidak paham itu. Mereka bilang: mana pohon ilmunya? Ada ilmu, pohon ilmunya tidak ada. Wah, zaman sekarang tuh tidak relevan untuk menanyakan pohon ilmu. Tidak bisa lagi ilmu itu terpisah-pisah. Coba sekarang gadget yang kamu punya itu hasil dari ilmu apa? Secara bendanya itu teknologi, tapi secara penggunaannya ke sosial. Dampaknya bisa jadi ke kesehatan. Nah itu, segala macam kan ada di situ. Kemarin ada profesor dari ITB karena kita bikin seruan keilmuan, bilang bahwa 70% dari ilmu teknik itu sosial. Karena saat orang teknik itu membuat sesuatu, dia harus tahu sesuatu itu pas tidak, untuk siapa. Ruang budaya nya bagaimana. Nah orang teknik itu sangat membutuhkan orang sosial, pun juga dengan ilmu kesehatan. Percuma saja dibuat rumah sakit bagus, obat-obatan hebat, dengan riset-riset yang mahal. Karena riset-riset untuk obat itu bisa harganya 90% dari harga obat. Nah karena research itu mahal sekali. Tapi penduduk di sana takut, ah mending ke dukun saja. Kasus lain, aborsi untuk perempuan, mengapa perempuan itu tiap 30 menit sekali di Indonesia meninggal karena melahirkan? Itu tidak terjadi lagi di negara maju. Di Indonesia masih, padahal kita sudah tanda tangan MDGS yang salah satu poinnya adalah menurunkan angka kematian ibu. Nah, mengapa sebodoh itu bangsa kita? Karena itu tadi, permasalahan sosial, budaya begitu. Lihat saja budaya kekerasan pada perempuan, ada suatu suku yang ketika perempuan melahirkan sendiri, lalu malah disuruh ke ladang, lalu tidak boleh makan makanan yang sebenarnya dibutuhkan tubuhnya dan sebagainya. Mengerikan sekali, karena itulah ilmu kesehatan harus dibantu oleh ilmu sosial dan budaya. Maka dalam hal ini kita butuh otonomi universitas, jadi kalau kalian bawa ke MK kita tidak bisa berkembang, makanya melawan. Tapi sudah dibatalkan juga ‘kan itu
Universitas Indonesia
174
Iya, tapi bukan karena hakimnya mengerti, tapi karena hakimnya merasa kok tiap sidang banyak professor ya? Maka it must be something.. maka mohon kalian pahami saja. Salah besar ketika kalian katakan otonomi, sarana privatisasi, sama dengan komersialisasi, harus diberantas.. seperti itu. Jadi itu dua hal yang berbeda, otonomi universitas adalah tema tersendiri, korupsi juga tema tersendiri. (JEDA) Bikin penelitan apa, ternyata dia lihat tuh masukin uangnya ke sini. Terus saat uangnya ingin di pakai susah nih keluarnya, karena itu musti tiga hotel, tahap penawarannya mau beli apa, harus ada tiga penawar, gitu gitu, jadi itu menyebabkan susah banget. Kalau dosen gak ngerti itu menurut aku sebenarnya tidak bisa diterima, karena dia ada di sini. Tapi ternyata banyak dosen yang tidak mengertim tentang otonomi. Sama anakku itu mahassiswa juga. Bisa paham bahwa kalian heroic gini-gini. Paham juga esensinya, kamu juga bisa kaitkan ke depan soal bonus demografi Indonesia. Ya.. Tahun 2035 Kita akan punya 197 juta usia produktif. Nah kita harus bikin mereka pintar. Karena kalau tidak, mereka akan menjadi bencana demografi kan. Nanti orang tua dan orang muda banyak, sedangkan anak-anak dan bayinya sedikit. Dan kalau kita tidak kelola dengan baik itu, kita bisa jadi bangsa hancur. Tidak bisa memelihara orang tua dengan baik, lalu anak-anak mudanya tidak bisa dibikin pintar. Nah, universitas itu adalah tiangnya. Universitas adalah rodanya untuk membuat 197 juta penduduk ini pintar. Anak-anak muda ini pintar. Artinya universitas yang mengeluarkan hasil penelitian, temuan, dan lain-lain. Bahwa yang menggunakan itu masyarakat adalah iya, itu artinya bukan berarti 197 juta itu masuk universitas semua. Tidak cukup universitasnya. Daya tampungnya berapa. Kita kan 96 PTN, yang swasta 3000-an. Tidak cukup itu pun untuk 197 juta. Jadi, ide saya adalah sekolah-sekolah kejuruan itu dari tingkat SMP, dari setara SMA, bahkan kalau bisa dari SD. Dibuat sedekat mungkin ke kampung atau ke desa dan disesuaikan dengan desa tersebut. Misal desa di kepulauan maka sekolah kejuruannya itu difokuskan bagaimana mengelola hasil laut. Karena kita kalah
Universitas Indonesia
175
dari orang luar itu, karena kita menjual barang mentah. Sedangkan orang luar itu menjual barang yang sudah jadi, udah dipacking, memiliki nilai tambah. Jadi teman-teman IPB itu kalau ke kampung, maka menggerakkan bahwa beras itu tidak boleh beras ke luar. Tapi beras yang udah dipacking, yang sudah dijadikan apa. Jepang contohnya, mereka membuat kerupuk-kerupuk crackers dari beras, packingnya bagus, dijual mahal. Nah kita itu jualnya beras. Kita jualnya tambang. Atau kayu. Sampai kita habis. Kita jangan sampai bilang kaya raya dengan tambang dan hutan, kita tidak punya lagi. Kita penjual barang-barang ekstraktif, nanti barang-barang itu kembali lagi ke sini jadi pakaian-pakaian merek-merek hebat, sepatu merek-merek hebat. Kita dengan entengnya beli di mall-mall. Kan banyak tuh mall-mall, jangan bangga. Memang mall-mall tersebut menjual barang Indonesia, bukan… barang dari luar, barang dari bangsa orang asing kan? Dan kita membelinya, meskipun harganya mahal, kita beli. Jadi orang-orang kaya di negeri kita itu, emang sih dia kaya, tapi udah habis. Stop. Karena dia hanya bisa membeli barang-barang milik orang lain. Tidak bisa memproduksi. Jadi yang harus kita lakukan adalah memberi value edit. Nah itu dibuatlah sekolah-sekolah kejuruan yang menurut saya. Sekolah kejuruan itu harus sedekat mungkin ke kampung-kampung. Begitu. Jadi, kan selama ini kenyataannya, anak-anak SD dan SMP, orang tuanya mengirimnya ke kecamatan karena di kampungnya tidak ada SMP. Seperti itu kan? Tidak usah jauh-jauh, di lampung begitu. Dari SMP harus mengekos lagi. Kalau anak perempuan, orang tuanya khwatir begitu kan? Nah itu, jadi begitu. Orang lampung misalnya harus ada kejuruan yang sesuai dengan keadaannya. Misalnya diajarkan bagaimana mengelola nanas. Bagaimana mengolah pisang. Mengolah pariwisata. Kayak begitu loh. Itu cita-cita yang harus terjadi. Jangan semua orang masuk universitas. Nanti kalau universitas daya tampungnya tidak cukup, lalu universitasnya dibilang mahal, dibilang komersialisasi. Siapa yang bisa diajak ngomong soal itu. Bahwa yang dibutuhkan oleh kita itu kejuruan-kejuruan. Kalau seluruh Indonesia bisa seperti itu, maka saya yakin kita bangsa Indonesia dalam waktu singkat bisa jadi negara maju. Tapi kepada siapa kita mesti ngomong? Aku tidak kenal sama Jokowi.
Universitas Indonesia
176
Jadi kamu harus fokus, kalau bicara soal korupsi. Itu sesuatu hal yang beda banget. Dan kamu sangat mensimplifikasi saat bilang komersialisasi dan korupsi. Entar kamu tidak dapat datanya. Komersialisasinya apa di Universtias X? Lalu korupsinya apa? Tidak dapat kamu korupsi. Memang bisa kamu masuk ke wilayah-wilayah itu? Korupsi? Mesti fokus yang mana begitu. Mungkin kalau kamu menulis tantangan saat masa otonom, itu mungkin bagus ya. Tantangan untuk menjadi universitas otonom itu apa saja. Itu mungkin bagus juga. Kriminologi ya bisa melihatnya? Sebenarnya bisa ditarik ke HAM kalau kriminologi, kalau tidak fokus ke korupsinya, maka saya akan lihat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sih. Mulai dari plagiarisme, itu mungkin yang paling sederhananya. Sebenarnya kalau mau dikurangi standarnya, maka saya akan tarik ke penyimpangannya. Atau kamu juga bisa lihat di kampus ada kekerasan seksual terhadap mahasiswa. Kemarin aku pun di kapolda mengurus kasus ini mulai dari jam 9 malam. Cuma takutnya apa yang diketik berbeda dengan apa yang aku omong kan? Aku bilangnya pemerkosaan, mereka bilangnya perbuatan tidak menyenangkan. Aku bilang tidak, ini adalah pemerkosaan. Kalau di peraturannya dibilang harus ada ancaman kekerasan. Aku bilang namanya ancaman itu tidak melulu soal pukulan, tapi orang itu ingin menguasai. Dengan cara apa? Dengan menampilkan sosok bahwa dia hebat, dia tampil dikagumi. Berarti mahasiswa kan masih ga ngerti. Sementara orang tersebut dianggap dosen, dianggap orang yang dapat membantu tugasnya, lalu jatuh cinta, lalu apa.. mengagumi. Lalu dikuasai dengan cara itu. Kenapa pemerkosaan bisa berkali-kali. Ya bisa. Karena dalam penguasaan. (JEDA) Semua pengelolaan universitas itu prinsipnya dua, transparan dan akuntabel ya. Dia harus punya laporan keuangan yang bagus, karena itu uangnya masyarakat yang dikelola di situ, harus akuntabel. Makanya para rektor, dekan, pengelola universitas itu tugasnya adalah mengelola uang, bukan menghabiskan. Nah, kalian tuh yang saya minta kritik aja mereka. Kritis mengobservasi apakah para pemimpin universitas itu benar-benar mengelola uang atau menghabiskan uang.
Universitas Indonesia
177
Itu baru kalian kritik tuh, aku setuju. Dengan uang kuliah yang kalian bayar apa yang mereka buat misalnya jalan-jalan keluar negeri dengan uang mahasiswa itu yang ga boleh ya kan, bikin kegiatan-kegiatan apa kan itu, dengan uang mahasiswa itu kan ga boleh. Jadi, Sebesar-besarnya keuangan itu harus digunakan untuk kegiatan akademik, nah itu kalian boleh tanyakan. Di mana, terjadi di fakultas mana ada uang mahasiswa di jadikan begitu? Mungkin lah itu di sini sebelum saya datang ke sini ada dibuat untuk umroh berapa puluh orang lebih, gitu ya. Ya saya gimana ya.. ya udah lewat sih.. Hmm dosen atau karyawan itu umroh? Ada dosen ada karyawan.. Kan saya Kristen, kalau saya bilang untuk umroh gitu gitu kan.. Reaksinya bisa ‘waaah, karena lo Kristen bilang gitu’ gitu kan. Tapi ya sudah lah, itu kan sudah lewat, banyak lah yang gitu gitu. Atau apalagi ya.. amati aja. Itu boleh kalian watch. Kan transparan dan akuntabel. Musti diliat. Karena ya.. fakultas-fakultas itu aku kan sudah berteman dengan dekan-dekan itu misalnya, pemerintah itu tiba-tiba karena reformasi birokrasi menetapkan harus ada tunjangan kinerja bagi mereka yang PNS. Tidak PNS juga dapet tunjangan. Nah sementara 3 Universitas PTN BH sebelum itu sudah punya kebijakan yang bagus. Kebijakan remonerasi. Jadi gak ada lagi staff pendidikan itu yang dibayar murah sekarang ini, karena harus ngikutin itu. Lalu tiba-tiba datanglah kebijakan itu jadi kita harus membayar tukir (tunjangan kinerja). Dekan-dekan itu bilang, kita akan mampu sampai kapan? Berapa tahun lagi kita mampu? Abis itu kita collapse, gak mampu itu bayar tukir. Apalagi sekarang kan ada uang sekolah tunggal, UKT.. jadi kalau ngomong komersialisasi itu udah gak cocok lagi. Sama sekali udah gak cocok karena UKT dan dekan-dekan mengeluh. Gak cukup uang dari BOPTN. Jadi jangan bayangin kita kaya gitu, fakultas-fakultas ini. Jadi komersialisasi.. gak tau. Mungkin gak di universitas ini kali.. tapi universitas swasta-swasta itu kan statusnya beda sama Universitas X jadi gak dibiayai pemerintah, jadinya mahal. (JEDA) Trus kamu kenapa punya ide soal korupsi universitas?
Universitas Indonesia
178
Karena penasaran awalnya. Lalu magang di ICW dan ngeliatnya korupsi di universitas itu saya melihatnya unik dibandingkan di lembaga-lembaga lain karena harusnya tadi, universitas harusnya bisa memproduksi ilmu pengetahuan. Esesnsi dari universitas itu harusnya tempat di mana semua orang itu fokus. Yang mau kerja ya fokus ke pekerjaan yang mau jadi ilmuwan ya fokus ke keilmuan. Jadi yang tadinya terkotak-kotakknya mulai dari SD sampai SMA pada akhirnya mulai “terbebaskan” di universitas. Seperti dengan kata kunci multidisipliner ilmu saya melihatnya, katakanlah di FISIP begitu, saya anak kriminologi sya bisa gaul sama anak politik dan kita bisa nyambung diskusinya. Bahkan di tingkat universitas sekalipun berkali-kali ngobrol dengan fakultas lain ya kita bisa nyambung. Nah sebenernya tuh ya, yang namanya universitas itu idealnya kayak gitu. Kita belum ‘universitas’ loh, dinding antar fakultasnya masih tebal. Perhatiin gak misalnya mau ambil mata kuliah di fakultas lain, masih susah. Kalau di Amerika contohnya, orang lulus SMA masuk college, lalu disana dikasih liberal arts, artinya dia boleh ambil mata kuliah apa aja yang dia mau. Nantinya mungkin dia mau masuk kedokteran, hukum, atau apa atau apa, nanti di college itu dia boleh ambil apa aja. Jadi begitu dia selesai college dan mau fokus, kepalanya sudah penuh. Gak blank. Sementara di sini, anak SMA belum dikasih bekal yang cukup memadai tentang bangunan ilmu, belum mengerti konselasi ilmu, filsafat ilmunya belum ada tapi dijadikan tukang. Contohnya anak hukum tuh langsung disuruh menghapalkan undang-undang, lalu dia diajarkan untuk bisa membuat kontrak, legal drafting, jadi tukang. Makanya output (undang-undang)nya kacau seperti ini.. kita harus introspeksi, mungkin itu ada di kurikulum kita. Lihat tuh ngototngototnya anggota DPR, mereka melihat hukum seperti melihat teknik: 1 tambah 1 sama dengan 2, jadi teks itu ditafsirkan seperti teknik, padahal hukum itu adalah urusan manusia kan? Buat apa membuat hukum kalau tidak membahagiakan manusia, kan begitu. Untuk apa membuat hukum kalau tujuannya hanya untuk melancarkan kekuasaan, kan gitu. Makanya orang hukum itu harus belajar sosiologi, antropologi, harus belajar ilmu budaya. Supaya dia tahu masyarakatnya karena hukum itu ada di masyarakat. “di mana ada masyarakat, di situ ada hukum”. Tapi kan tidak ada di kurikulum. Aku saja tidak laku di fakultas hukum,
Universitas Indonesia
179
kuliahku ada dua dan selalu diminati oleh banyak mahasiswa: perempuan dan hukum, (suara tidak jelas). Tapi tidak dijadikan mata kuliah wajib. Bukannya aku pengen juga menunjukkan diri. Mereka menganggap itu penting, yang penting ya.. untuk perusahaan-perusahan itu (akhir dari wawancara)
Universitas Indonesia
180
Lampiran E: Transkrip Wawancara F Verbatim Wawancara Narasumber F Salah satu anggota MWA Universitas X tahun 2014 Pukul 14.00 WIB, Tanggal 17 Desember 2014
Posisinya sekarang narasumber adalah salah satu anggota MWA yang kemungkinan besar mengetahui isu-isu seputar kebijakan kampus. Nah, yang saudara tahu soal komersialisasi kampus atau mungkin bisa dapat kita katakan sebagai dampak dari otonomi universitas itu apa? Berat nih pertanyaannya (tertawa) Yah, namanya juga wawancara dan ini tergantung sama pengetahuan saudara juga sih. Okay, yang saya tahu soal komersialisasi, yang seharusnya kita bayar sekian untuk apa yang kita terima ya… sekian saja. Tidak perlu dilebih lebihkan untuk meningkatkan gaji, meningkatkan kesejahteraan dosen, karyawan ataupun yang lainnya. Apalagi dana itu diambil dari dana yang mahasiswa bayarkan. Kalau berdasarkan student unit cost nya, lima juta katakanlah yang dibayarkan mahasiswa, ya sudah sebesar itu pula yang dibayarkan mahasiswa. Ini terlepas dari ada atau tidaknya bantuan dari pemerintah. Jadi jangan pasang harga lebih untuk biaya pendidikan karena kita tidak mendapat nanggung dari kampus ini. Yang saya pahami ya.. sebatas itu saja. Komersialisasi pendidikan ya.. kampus mencari untung dari peserta didiknya. Atau kampus nyari untung dengan memanfaatkan peserta didiknya. Kalau dengan riset atau dengan yang lainnya dia mencari untung, itu bukan komersialisasi pendidikan. Jadi kalau ada dosen mengadakan riset segala macam bernilai jual itu bukan komersialisasi pendidikan? Sebenarnya wajar sih mahasiswa di perguruan tinggi, katakanlah universitas X ini membayar lebih mahal dengan konsekuensi fasilitas yang didapat juga sesuai? Logis ga sih artinya?
Universitas Indonesia
181
Kebutuhan mendasar bagi mahasiswa untuk belajar itu dijamin oleh anggaran dari pemerintah. Jadi, sebetulnya, terkait dengan fasilitas yang seperti toko itu tidak ada siginifikansinya bagi peserta didik. Bangunan dan yang lainnya itu dari pemerintah. Jadi, kalau dikatakan mahasiswa membayar untuk fasilitas yang bagus: tepat atau tidak, itu tidak tepat. Karena sebagian besar fasilitas utama kita disokong oleh pemerintah. Kita hanya membayar untuk fasilitas-fasilitas penunjang, seperti contoh hal-hal yang dekat dengan kita: kendaraan umum internal kampus, ataupun wifi internet. Itu sangat dimungkinkan anggaran dari mahasiswa. Karena itu memang fasilitas yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Sehingga kalau kita lihat apakah fasilitas utama itu harus dibiayai mahasiswa, maka kita harus lihat bahwa ada peran pemerintah yang besar dalam hal ini. Jadi sebenarnya bagaimana kalau uang yang mahasiswa bayarkan ternyata bukan untuk pengembangan pendidikan itu sendiri? Kurikulum atau semacamnya. Itu sebenarnya yang belum clear. Jadi kalau terjadi seperti itu, artinya ada kesalahan dalam penggunaan anggaran. Dan itu yang sebetulnya harus diawasi pelaksanaan dan penerapannya. Harusnya uang yang mahasiswa gunakan, yang mahasiswa bayarkan itu peningkatan kualitas pendidikan yang ada di Universitas X. dan kalau digunakan untuk yang lain, dalam hal ini bisa digunakan untuk fasilitas yang lain, seperti toko, atau bahkan digunakan untuk belanja harian rektorat. Itu menjadi salah kaprah penggunaan anggaran. Karena budget anggaran yang dipahami dari biaya pendidikan adalah apa yang kita bayarkan itu adalah apa yang hasilnya akan kembali ke kita. Jikalau bukan untuk itu, maka itu adalah penggunaan yang salah. Dan hal yang kembali langsung kepada mahasiswa di antaranya adalah peningkatan kualitas sebagaimana tadi saya sudah sampaikan. Terkait korupsi, apa yang saudara ketahui dari korupsi yang terdapat di univeristas ini? Di mana saja terjadinya? Baik akademik maupun non akademik, ternyata ini ada. Awalnya ini terlihat di sektor non akademik saja. Terkait hal ini, yang dapat terlihat jelas: bagaimana beberapa oknum mendapatkan sejumlah uang dari pengadaan-pengadaan barang atau bagaimana para pejabat di universitas X mendapatkan bagian dari
Universitas Indonesia
182
pembangunan-pembangunan yang terdapat di sini. Atau bahkan mungkin yang sudah terlihat di lapangan, seperti kita sama sama tahu bahwa pembangunan komplek rumah sakit dan rumpun ilmu kesehatan ini seharusnya sudah berjalan sejak tahun 2008. Tetapi karena ada permainan uang di sana, maka molor sehingga baru jadi (selesai) di tahun 2012 lalu. Ini di antaranya karena adanya praktek korupsi yang akan dilakukan, tapi ternyata tidak dihendaki oleh pejabat rektor saat itu. Dalam hal ini, beberapa oknum ada yang ingin meminta bagian dari pembangunan tapi tidak diberi, kemudian berakibat pada pembangunan yang tertunda. Nah, kemudian hal lain yang ada di non akademik, yang sama sama kita tahu, yang sangat nyata, ternyata diketahui di RKA Universitas X RKA itu… Rancangan Kerja Anggaran. Dibuatnya per tahun, di sahkan per akhir tahun dan berlaku dari 1 Januari hingga akhir Desember. Di dalam rencana kerja anggaran tersebut, dapat kita sama sama lihat bahwa pendapatan Universitas X dari retribusi itu kecil. Retribusi itu maksudnya unit ventura? Iya. Pokoknya pendapatan yang diperoleh dari izin sewa, dan yang lain-lain. Salah satunya di antaranya adalah biaya parkir: 300 juta itu pemasukan per tahun. Dan mulai dari tahun kemarin: itu berubah 2 koma sekian Milyar. Nah, sebelumsebelumnya ini terjadi di universitas X. Itu artinya selama beberapa tahun ke belakang, 1 koma sekian Milyar itu menghilang entah ke mana. Hal lain yang terlihat dari non akademik sebagaimana kita lihat dari temuan BPK yang sekarang sedang diproses. Bahkan bila mengacu pada laporan audit internal universitas X, ada banyak temuan janggal terkait non akademik. Banyak sekali. Termasuk bangunan-bangunan yang belum selesai karena dananya dianggap hilang. Padahal tidak demikian adanya. Ini termasuk salah satu gedung di FISIP Ya. Termasuk itu juga. Meskipun pendapat dari Rektor bahwa Rektor tidak tahu bahwa ada anggaran untuk itu. Ternyata ketika di crosscheck, anggaran untuk
Universitas Indonesia
183
salah satu gedung di FISIP itu diambil, digunakan untuk hal lain. Bukan untuk pembangunan gedung bersangkutan. Padahal sudah ada anggarannya? Ya. Padahal sudah ada anggarannya dari Dikti 7,5 Miyar. Hmm.. mungkin kalau dari bidang akademik, ini memang yang lagi hangat-hangatnya sebetulnya. Ada dugaan praktek korupsi itu di pascasarjana di antaranya. 80% pengajar di program pascasarjana itu bukan dari Universitas. Pascasarjana ini diartikan sebagai program yang hanya berisi 11-12 jurusan itu. Jadi yang bukan di bawah fakultas. Mereka dianggap sebagai multidisipliner ilmu. Nah, pengajar dari 12 program pascasarjana yang berdiri dalam satu wadah: pascasarjana ini 80% berasal dari luar. Dan bayarannya (gaji yang diperolehnya) jauh lebih mahal dibandingkan membayar dosen dari pihak universitas X sendiri. Ini sebetulnya dikhawatirkan oleh pihak Universitas sendiri ada permainan antara para pengurus program pascasarjana dengan para pengajar ini. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena yang mendapati keuntungan di sini adalah para pendidik (pengajar) dan para pengurus program pascasarjana. Atau jangan jangan pendirinya juga? Ya. Kemungkinan pendirinya juga. Pendiri dari program yang diadakan ya? Itu sangat mungkin dan sebagian besar di antaranya itu memang. Pendiri atau pengusung program-program pascasarjana itu akhirnya mendapati porsi yang cukup besar Ini faktanya memang seperti ini? Ya. Faktanya seperti itu. Ini disampaikan dalam rapat antar organ, yaitu 4 organ tingkat universitas. MWA, Dewan Guru Besar (DGB), Rektorat, dan Senat Akademik. Dalam pertemuan 4 organ itu pada akhirnya… Maaf, itu dilaksanakan kapan? Ini dilaksanakan bulan November tahun ini. Memang baru, walaupun isunya nampaknya sudah lama. Hingga saat ini, berada di dua kemungkinan yang akan
Universitas Indonesia
184
terjadi. Program pascasarjana ini wadahnya akan dihilangkan, namun programprogram yang di bawahnya tetap ada. Jadi, program-programnya akan dikembalikan ke fakultas-fakultas. Kemudian, kemungkinan yang kedua: program pascasarjana ini akan tetap ada dan tetap seperti ini. Pihak eksekutif dalam hal ini menginginkan program pascasarjana sebagai wadah yang ada saat ini menjadi tidak ada. Eksekutif dalam hal ini rektorat? Ya, dalam hal ini rektorat beserta senat akademik menginginkan demikian. Ini memang yang cukup diperdebatkan di internal MWA itu sendiri dan juga Dewan Guru Besar. Meskipun, pada pertemuan terakhir mulai mengerucut kepada ditiadakannya wadah pascasarjana ini. Jika memang itu terjadi, kemungkinan realisasi agar wadah dari program pascasarjana ini tidak ada itu kapan tepatnya? Ini akan dikukuhkan dalam Anggaran Rumah Tangga (ART) Universitas X. Jadi, kemungkinan realisasinya kapan? Adalah ketika ART Universitas X ini disahkan. ART sendiri selesai dan disahkan selambatnya tahun 2015. Saat ini masih dalam ART sementara. Dan di dalamnya, program pascasarjana ini ditiadakan. ART sementara ini akan dihilangkan wadah dari program pascasarjananya atau? Dihilangkan wadahnya, namun pascasarjananya dalam hal ini programprogramnya tetap ada. Kalau begitu, nanti pertanggungjawabannya ke mana? Dan yang mengurus? Kepada Universitas X secara langsung. Dan yang mengurus adalah fakultasfakultas terkait. Contoh, keilmuan tentang kepolisian, ini yang selalu dijadikan contoh. Ini dipegang oleh siapa dan bagaimana, maka ini akan dipegang oleh fakultas-fakultas terkait yang koordinasinya nanti langsung ke pihak Universitas. Meskipun sampai sejauh ini masih pada ngotot dari pihak pascasarjana karena, dengan alasan bahwa rumpun-rumpun baru yang multidisipliner itu tidak
Universitas Indonesia
185
mendapatkan wadah. Dan itu disampaikan oleh pihak pascasarjana, dalam hal ini ketua program pascasarjana. Berdasarkan informasi yang saya miliki, pihak pascasarjana sendiri tidak mengakui adanya korupsi tersebut. Sangatlah wajar ketika dosen harus mendapatkan penghasilan lebih karena dosen dianggap sukarela dalam hal ini untuk mengajar. Menurut saudara sendiri? Poin dosen harus dibayar lebih, saya sepakat terlebih untuk pascasarjana. Yang jadi masalah dalam kasus pascasarjana ini adalah sebagian pengajarnya dari luar dan pengajar dari luar ini bayarannya jauh lebih mahal. Kemudian orang-orang yang mengusulkan adanya program pascasarjana baru pun, seperti climate change (perubahan iklim). Jika ada wadah yang khusus seperti ini kan memungkinkan untuk diadakannya project-project baru. Bukan program-program baru yang memang dibutuhkan oleh pascasarjana ini. Alih-alih sebetulnya, banyak yang berpikir, kalau program pascasarjana ini sebagian besar itu dosennya dari fakultas dan akhirnya kembali ke fakultas, maka itu akan membantu keuangan fakultas. Sehingga program S1 tidak dibebani oleh anggaran yang besar. Itu pula yang motif lain adanya penghapusan program pascasarjana ini. Yang saya dengar juga bahwa penetapan kurikulum program pascasarjana ini tidak jelas Ah ya. Ini juga disampaikan secara lisan dalam rapat antar organ di tingkat Universitas X. Kalau tidak salah disampaikan oleh salah satu wakil rektor bagian riset dan inovasi. Akhirnya kurikulum yang dibuat bukanlah dibuat oleh Universitas X. Tapi memang diusulkan oleh pendiri program pascasarjana tersebut. Dan peran eksternal dalam pendirian kurikulum ini begitu besar. Artinya dalam pendirian kajian kepolisian misalnya, peran kepolisian besar dalam hal ini. Bukan atas koorkompetensi keilmuan yang ada di Universitas X. Jadi, ini menjadi dilema: apakah ini program pascasarjana Universitas X atau program pascasarjana yang menumpang nama Universitas X. Lalu bagaimana kurikulum itu dibuat, bagaimana pengajar yang ada di internal Universitas X. Itu juga yang dibicarakan saat rapat antar organ di tingkat universitas
Universitas Indonesia
186
Apakah ini karena ada MoU dengan lembaga di bawah kementerian katakanlah pemerintah untuk mengadakan profit sharing misalnya? Hmmm. Ini saya tidak mengetahuinya. Tetapi kalaupun ada, ini mungkin akan jadi masalah ketika pihak universitas harus membagi keuntungan dari apa yang didapatkannya kepada pihak eksternal dengan alasan: dosen atau pengajarnya berasal dari pihak eksternal tersebut, atau mungkin karena sebagian besar ide atau materi berasal dari pihak eksternal tersebut. Sebetulnya kita tidak siap mengadakan program ini, yang kita punya adalah tempat dan juga nama, sedangkan segala halnya kemudian diserahkan ke pihak universitas. Ini bukan hal yang sehat sebenarnya. Jadi menurut saudara sendiri, adakah manfaat program pascasarjana ini secara akademis? Sangat ada. Sangat signifikan. Karena sebenarnya riset-riset itu sebenarnya ada di program pascasarjana. Batasan permasalahan kita adalah program pascasarjana yang multidisiplin di 12 program yang ditampung dalam sebuah wadah. Karena pascasarjana yang ada di bawah fakultas terbukti sangat efektif untuk meningkatkan kualitas Universitas baik dalam produktivitas riset ataupun dalam hal keuangan. Adapun untuk program pascasarjana yang multidisiplin ini, apakah ada signifikansinya atau tidak secara akademis, sebetulnya tidak ada satupun fakultas yang dikuatkan oleh program-program tersebut. Program-program (pascasarjana) ini dihadirkan dengan mengatasnamakan dengan mengikuti perkembangan zaman dan juga tantangan bangsa yang sedang dihadapi. Sebetulnya pada dasarnya tidak ada satupun program yang fokus pada satu disiplin ilmu. Karena walau bagaimanapun fakultas ekonomi contohnya tidak satu disiplin ilmu saja, tetapi teman-teman ekonomi ini akan membuat hukum, dia akan mempelajari tentang kebiasaan manusia, sosiologi, atau yang lainnya. Makanya tidak ada namanya satu rumpun itu yang hanya membicarakan ilmunya sendiri. Jadi kalau membicarakan mungkin sebetulnya fakultas hukum tidak hanya satu disiplin karena hukum pun tidak hanya membicarakan hukum, tapi juga sosiologi hukum, bahkan kita juga mempelajari hukum pembangunan dan ekonomi. Artinya kita pun berbicara mengenai ilmu-ilmu lainnya. Nah, kalaupun
Universitas Indonesia
187
bisa dilakukan bahwa program multidisiplin itu bisa di bawah fakultas, lalu mengapa harus di bawah wadah yang khusus? Karena di fakultas-fakultas pun, kita sudah multidisiplin. Kalau menurut saudara sendiri, sebenarnya ada tidak keganjilan dalam masalah ini? Saya kurang tahu untuk hal ini. Namun, dalam laporan dari eksekutif yang dibuat dalam persiapan pembuatan RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang). Ada sekitar 7 program yang ada di Universitas X ini yang akan dihilangkan. Dan saya lupa apakah ada dari program pascasarjana atau tidak. Saya saat ini tidak memegang datanya. Tentu saja, saya pun lupa lagi apakah program yang dihilangkan itu di S1 atau di pascasarjana. Ada beberapa program yang dievaluasi, tidak efektif dan kemudian akan dihilangkan. Jadi karena dianggap tidak laku, pada akhirnya program-program tersebut hilang? Dan ini sebenarnya hal ini bukan evaluasi yang substantif karena yang dievaluasi adalah jumlah peminat. Bukan yang dievaluasi adalah apakah program tersebut masih dibutuhkan atau tidak. Lalu bagaimana kualitas dari dosen atau pengajarnya. Nah, bukan itu yang menjadi evaluasi. Lalu melihat hal ini, apa pendapat saudara. Mengingat pendidikan yang seharusnya bukan berdasarkan mekanisme pasar. Hal inilah yang bergeser di Universitas X. Hal ini pula yang perlu diingatkan untuk kembali ke tujuan adanya pendidikan di Indonesia yang seharusnya ini sudah diamanatkan untuk membuat kebijakan yang adil. Tentu seharusnya kita tidak memberikan pemakluman-pemakluman kepada diri sendiri. Karena ada atau tidaknya mahasiswa ini, bukan untuk pemakluman. Apabila universitas X ini ingin meningkatkan kualitas akademiknya, maka ia melakukannya tanpa harus melupakan, tanpa harus meninggalkan, keberpihakannya kepada bangsa ini. Dalam hal ini, universitas X ini seringkali mengatakan bahwa pendidikan itu mahal dan itu tidak murah. Sehingga kalau ingin pendidikan itu kualitasnya
Universitas Indonesia
188
bagus, maka salah satunya kita harus meningkatkan biaya pendidikan. Itu yang apabila kita menjadi pemimpin adalah logika yang seharusnya tidak dipilih oleh universitas X. Ini adalah dilema, apakah kita harus berlari kencang dengan segala sumber daya yang harus ditingkatkan. Atau kita harus berjalan pelan pelan menuntun orang-orang yang sedang menjalani pendidikan. Nah, menggabungkan kedua ide ini bukan hal yang mudah, meskipun sudah disampaikan ke tataran elit. Bagaimana seharusnya? Seharusnya kita tetap menunjukkan kualitas yang baik tanpa memotong akses, tidak memotong kepedulian ataupun keberpihakan kepada bangsa Indonesia sendiri. Kalau secara keseluruhan bagaimana pendidikan seharusnya di Indonesia? Ini sebenarnya yang belum sepaham antara keinginan DIKTI dengan keinginan pemerintah. Karena ketika kita memutuskan untuk meningkatkan kualitas SDM, menyekolahkan para dosen kita, ini tidak membutuhkan finansial yang kecil. Dan kalau hal ini dibebankan kepada mahasiswa atau peserta didik tentu akan menyulitkan pendidikannya. Makanya yang saat ini dipertanyakan oleh pihak MWA sendiri pun adalah di mana peran pemerintah dan di mana peran unit ventura universitas. Itu yang saat ini dipertanyakan karena ketika kita menginginkan kuaitas yang bagus dengan catatan kita harus menyekolahkan dan meningkatkan kualitas pendidikan, dengan diawali dengan meningkatkan dana untuk riset dan lainnya, mau tidak mau dana menjadi hal yang harus adanya. Namun apabila itu dibebankan kepada peserta didik, ini akan menjadi hal yang tidak sehat, karena akan menutup akses bagi mereka yang berada dalam kelas ekonomi menengah ke bawah. Nah, yang dipertanyakan saat ini adalah di mana peran serta pemerintah dan di mana peran serta dari ventura? Kalau terkait penerimaan Universitas sendiri dari program pascasarjana itu apakah langsung dari pascasarjana yang kemudian mengelola dirinya sendiri atau dibawa ke universitas dahulu, barulah nantinya ditransfer kembali ke program pascasarjana? Untuk semua pendidikan seperti itu. Karena sekarang kita sudah satu pintu. Semua anggaran yang ada masuk dahulu ke pihak universitas. Persentasenya 75% dikembalikan ke program, sisanya dikelola oleh universitas. Angka 25% itu akhirnya digunakan untuk apa saja? Untuk kepentingan apa?
Universitas Indonesia
189
Untuk kepentingan yang sifatnya umum. Seperti pemberian gaji dosen. Meskipun di program ataupun fakultas ada lagi. Tetapi karena memang gaji dosen di universitas ini berlapis. Karena ada dosen yang memang mendapatkan gaji karena sebagai dosen dengan gaji standar universitas dan ada pula gaji yang didapatkan dari indikator lainnya. Setiap dosen biasanya ada besaran standarnya masing masing, dihitungnya sama. Namun tambahan di fakultas ini yang berbeda-beda tergantung kebijakan fakultasnya masing-masing. Misalkan pengajar mata kuliah matematika di MIPA akan lebih kecil besaran penghasilannya dibandingkan pengajar mata kuliah yang sama di FT. Sekalipun pengajar atau dosen tersebut berasal dari MIPA. Karena itulah ada kasus di mana dosen ini lebih menyukai belajar di fakultas lain dibandingkan fakultasnya sendiri. Karena besaran gaji yang berbeda. Lalu, selain gaji, angka 25% tadi juga untuk hal-hal yang sifatnya operasional, seperti listrik, air, kemudian untuk hal-hal mendasar lainnya, seperti riset. Hanya sedikit dana di fakultas yang akhirnya dipergunakan untuk riset. Bahkan untuk tahun 2014 ini, MIPA menganggarkan 0 rupiah untuk risetnya. Jadi, kalau ada pertanyaan apakah dana itu dipergunakan untuk pembangunan program pascasarjana saja, itu betul. Jumlah persentasenya seperti itu. Tanpa melihat apakah fakultas atau program lain nantinya bagaimana. Jadi memang untuk dirinya sendiri. Lalu, berdasarkan keterangan tadi, mengapa dosen-dosen program pascasarjana yang dari luar universitas gajinya lebih besar dibandingkan dosen yang berasal dari internal universitas? Ada dua alasan. Pertama, alasan expertis di bidang praktisi. Alasan yang kedua, penghargaan kepada mereka karena dosen atau pengajar yang dari luar ini bukan orang-orang yang biasa-biasa saja. Alih-alih sebagian dari mereka yang mengajar adalah orang-orang mempunyai andil dalam program bersangkutan, atau mempertahankan program-program itu. Yang lain, sebetulnya tidak ada sebetulnya. Kira-kira itu. Bahkan mungkin secara akademis, mereka tidak bisa dibandingkan dengan dosen dari universitas, namun karena alasan bahwa mereka turut serta dalam prakteknya. Dari kalangan praktisi, maka mungkin itu menjadi
Universitas Indonesia
190
alasan tersendiri mengapa gaji mereka lebih besar. Alasan lainnya yang besar, kayaknya hanya dua hal tersebut saja. Jadi potensi atau indikasi korupsi dalam program pascasarjana ini sendiri kalau menurut saudara sendiri seperti apa? Indikasi korupsi dalam program pascasarjana adalah pertama pengadaan program yang dijadikan sebagai project. Jadi kalau ada ide, maka dia jadikan program itu dan mendapatkan bagian adalah dia. Bahkan, ini seperti adanya pusat kajian di fakultas-fakultas. Yang pertama mengadakan pusat kajian, otomatis akan mendapatkan uang. Karena itulah, bisa jadi gaji dari mereka yang bekerja di pusat kajian akan lebih besar dari gaji seorang dekan. Ini yang terjadi di salah satu fakultas di Universitas X. Hal ini saya ketahui melalui informasi lisan dalam rapat tingkat MWA. Kemudian yang kedua, hal yang menjadi praktek korupsi di program pascasarjana adalah pengajar yang diundang menjadi pengajar atau dosen yang dijadikan menjadi pengajar itu adalah orang-orang yang tidak dimungkinkan bahwa mereka dipertahankan karena ada profit sharing di program pascasarjana ini. Hal yang justru menguatkan program pascasarjana ini ada indikasi korupsinya adalah tidak mau diganggu gugat tentang keuangan, tentang keberadaan. Ketika ada yang membicarakan mengenai hal tersebut meskipun sepintas, dia seperti sensitif merasa bahwa ini penting untuk ada. Ini penting untuk dipertahankan. Bahkan, ketika ditawarkan bahwa programnya tetap ada, tapi wadahnya tetap ada. Mereka tetap bersikeras tidak mau dengan alasan-alasan yang harusnya dengan sangat mudah bisa diselesaikan. Ini program tetap dipertahankan namun wadahnya tidak ada, sayangnya dari pihak pascasarjana sendiri tidak menginginkan hal demikian. Apalagi yang memungkinkan terjadi di program pascasarjana ini kalau bukan ada kepentingan yang akhirnya hilang, terambil kalau itu digabungkan ke fakultas. Karena boleh jadi, hubungannya bukan lagi untuk program pasca sarjana, namun ke fakultas-fakultas yang memang menaungi. Dan boleh jadi, gaji dosen yang di luar akan tidak jauh lebih besar dibandingkan sebelumnya. Atau bisa jadi akan digantikan oleh dosen-dosen yang ada di internal universitas.
Universitas Indonesia
191
Apakah sama program pascasarjana multidisiplin yang ada wadahnya tersendiri ini dengan program pascasarjana di bawah fakultas dari segi pembayaran? Ini yang saya tidak ketahui apakah program pascasarjana itu sama semuanya baik yang ada di bawah fakultas atau wadahnya tersendiri tersebut. Tetapi, harusnya tidak sama. Karena, program pascasarjana yang ada di bawah fakultas dan program pascasarjana yang berdiri sendiri ini sama halnya dengan program S1 reguler yang berdiri di bawah fakultas dengan program vokasi yang berdiri sendiri di bawha vokasi dengan standar pembayarannya masing-masing. Sama-sama program, maka harusnya punya mekanisme pembayaran tersendiri dari masingmasing. Jadi, beban yang dia tanggung berbeda Secara umum saya sudah mendapatkan poinnya untuk pascasarjana. Untuk kebijakan keuangan universitas ini bagaimana, khususnya dari rencana pendapatan yang didapatkan dari biaya pendidikan? Iya. Secara pendapatan kita terus naik, terlepas dari adanya program pascasarjana atau bukan. 862 Milyar pendapatan 2014, sedangkan 196 Milyar yang berencana ditambahkan dalam tahun 2015 ini. Itu biaya pendidikan yang akan direncanakan diterima universitas dan sebagian besar dari program pascasarjana dan vokasi (diploma). Ini dikatakan oleh direktur keuangan di forum MWA. Lalu bagaimana menurut saudara sendiri bila target dalam perencanaan pendapatan itu tidak terpenuhi? Efeknya apa. Ada hal-hal yang harusnya bisa dilakukan ini menjadi terealisasi. Tapi jarang sekali terjadi, karena akan selalu ditargetkan tercapai, terutama dari S1, S2, dan S3. Jika ada faktor yang menyebabkan tidak terealisasi maka itu tidak signifikan. Karena orang-orang yang masuk kemudian keluar lagi, atau ada orangorang yang masuk kemudian tidak membayar, mencicil, atau bahkan dia cuti. Halhal itulah yang menyebabkan sumber pendapatan dari biaya pendidikan ini fluktuatif dan tidak tinggi. itu kecil sekali kemungkinannya terjadi Jadi, pasti lebih dari perencanaan? Ya pasti lebih.
Universitas Indonesia
192
Lampiran F: Transkrip Wawancara G Verbatim Wawancara Narasumber G Salah satu anggota MWA Universitas X tahun 2015 Pukul 09.03 WIB, Tanggal 12 Februari 2015, Depok
Yang saudara ketahui soal program pascasarjana ini apa dan permasalahannya di mana? Jadi permasalahan di MWA, yang diperdebatkan iitu sebenarnya kondisinya kan sekarang program pascasarjana mau dibagi bagi di fakultas atau masih di universitas. Saat ini masih di universitas. Saat ini masih di universitas yang program pascasarjana multidisiplin ilmu. Ada kepada programnya tersendiri. Nah hal tersebut dianggap oleh beberapa organisasi di Universitas X itu tidak ideal. Karena seperti tadi contohnya, dosen tetapnya tidak ada. Dosen tetapnya itu diambil dari dosen fakultas. Nah itu bahkan bisa sampai diakreditasi karena dosennya itu.. riset dosen-dosen dari fakultas, bukan sebagai dosen pascasarjana. Jadi, dapatlah akreditasi dari BNPT juga kalau tidak salah. Jadi program pascasarjana dapat akreditasi walaupun dosennya itu dosen yang ditarik dari fakultas dan dosen fakultas itu sendiri masih aktif di fakultas? Masih aktif di fakultas. Bahkan riset-risetnya itu riset fakultas bukan riset sebagian dosen pascasarjana. Jadi misalnya ada dosen yang mengajar di MIPA. Kemudian disuruh ditarik ke pascasarjana bagian lingkungan atau environment. Hnanya saja nanti pas bahas lingkungan sosial kan bukan keMIPAan banget kan? Tapi dia disuruh ngajar itu Oh.. Contoh tidak idealnya seperti itu. Jadi sampai benar-benar ini itu, apa namanya, sesuatu yang ngotot lah. Dipaksakan pascasarjananya.
Universitas Indonesia
193
Boleh dijelaskan tidak pihak-pihak mana saja yang pro dan kontra? Maksudnya siapa saja pihak yang berusaha mempertahankan. Satu lagi pihak yang tidak berusaha mempertahankan? Ini semua organisasi selain MWA berkeinginan agar program pascasarjana dikembalikan ke fakultas atau diubah bentuknya. Semua organisasi universitas selain MWA sudah sepakat bentuknya terpisah menjadi school-school saja, tidak semacam program tersendiri yang setara dengan dekan di fakultas. Tapi school itu sendiri per bidang ilmunya masing-masing, misalnya seperrti kajian teroris menjadi defence strategy. Jadi bentuknya sekolah-sekolah bukan disatukan menjadi satu program tersendiri. Nanti pun pengelolaannya saja langsung dari universitas. Untuk perkuliahan akan dikembalikan ke fakultas masing-masing. Wadahnya ingin dihilangkan? Iya. Mengapa MWA masih berusaha mempertahankan? Sebenarnya ini, bila saya mendengarkan dan mungkin kabarnya belum terlalu valid, gossip-gosipnya sendiri ya kalau di internal MWA sendiri ada yang ngajar di pascasarjana, sehingga mungkin itulah alasan mengapa program pascasarjana masih ingin dipertahankan. Kemudian, dekan atau ketua program pascasarja periode sebelumnya sendiri itu ada di jajaran MWA. Nah, dia yang menyayangkan kenapa program pascasarjana ini dibubarkan. Padahal universitas X ini kan multidisiplin. Tingkat multidisiplinnya harus ditingkatkan sebagai world class research university. Tapi kemungkinan ditabrakan lagi pernyataan tersebut dengan melihat kondisi SDM-nya yang seperti itu. SDM ini maksudnya secara kuantitas kurang? SDMnya kurang. Kurang banget. Katanya ada dosen yang dari luar juga? Nah. Kalau dosen atau pengajar dari luar ini semacam tidak terkontrol begitu. Pihak dari luar ini ingin menjalin kerja sama dengan siapa. Misalkan dalam
Universitas Indonesia
194
program defence strategy akan bekerja sama dengan pihak kepolisian misalnya, tapi itu tidak jelas akan menjalin kerja sama dengan siapa. Karena memang masih belum terkontrol dengan baik. Lalu soal gaji dari dosen dari luar itu bagaimana pengelolaannya? Itu saya kurang tahu. Jadi di rapat tertinggi di tingkat MWA sendiri. Ini masih diperdebatkan? Masih diperedebatkan. Tapi menurut saya pribadi, MWA telah masuk ke dalam ranah yang bukan wewenangnya. Karena MWA itu kan menyusun kebijakan yang bersifat non akademik. Harusnya akademik, SA (senat akademik) dan DGB (dewan guru besar)? Iya. Nah, ketika SA, rektor dan DGB sendiri sudah mengiyakan, tapi MWA sendiri banyak intervensi menurut saya. Kalau di MWA sendiri ada yang pro pembubaran ini juga tidak? Maksudnya, setuju untuk dikembalikan ke fakultas? Nah ada juga. Tapi bahasanya mungkin tidak seperti itu. Pengelolaannya di universitas, hanya saja untuk kurikulum dan akademiknya diserahkan ke fakultas terkait. Menyusunya bersama, namun terkait pengelolaan akan dikembalikan ke fakultas. Hanya saja secara pengelolaan dan administrasi akan melalui universitas. Kalau
menurut
saudara,
mengapa
ada
pihak-pihak
yang
berusaha
mempertahankan program pascasarjana ini? Kepentingan beberapa golongan atau kelompok yang menurut saya bukan kepentingan universitas secara keseluruhan. Saya khawatirnya ada indikasi kepentingan beberapa kelompok saja. Apakah orang-orang yang pro itu saling berkaitan? Iya. Tetapi secara umum, ketika SA, rektor dan DGB sudah mengatakan sesuai bahkan sudah ada kajiannya pula. Menurut saya, itu tidak ada alasan lagi bagi MWA untuk tetap bersikeras mempertahankan program ini. Sebenarnya bila Universitas Indonesia
195
dilihat dari sejarahnya juga kan, awalnya program pascasarjana ini satu tempat. Tidak hanya yang ada sekarang, tetapi seluruh pascasarjana baik S2 maupun S3. Awalnya seperti itu, namun itu tidak ideal karena biasanya dosen yang mengajar S1 aakan mengajar S2 jua. Nah, dia akan kebingungan dari segi jadwal yang berpindah-pindah dan mahasiswa atau peserta didiknya akhirnya bingung. Jadi ujung-ujungnya, S2 dan S3 nya dikembalikan ke fakultas terkait. Nah, ketika itu terjadi, ada beberapa program yang tidak bisa dikembalikan, karena dianggap multidisiplin. Ketika ada yang tidak bisa dikembalikan ini yang masih diperdebatkan, seperti kajian kewilayahan. Corong ilmunya itu tidak ketahuan. Nah, yang menjadi masalah kemudian adalah pengelolaannya itu. Apakah akan sebebas seperti sekarang dengan program tersendiri setingkat dekan di fakultas atau idealnya sih lembaga kajian itu akan dibuat sekolah atau kantor tersendiri di bawah direktorat pendidikan rektorat universitas. Awalnya satu di bawah wadah yang sama sebelum akhirnya dikembalikan ke universitas? Ya. Awalnya itu memang seperti itu. S2 dan S3 itu di bawah wadah yang sama. Pemindahan itu sejak kapan? Kurang tahu. Sepertinya ada di dokumen yang saya berikan tadi. Namanya itu dulu fakultas pascasarjana. Ini ada sejarahnya. Sampai sekarang masih dibahas di rapat MWA? Terakhir, arahnya sudah pembentukan kantor (office). Kesimpulan terakhir kemarin rapat adalah dibentuknya kantor sendiri. Hanya belum ketok palu (disahkan). Tetap ada hanya wadahnya dihilangkan akhirnya? Iya. Programnya akan tetap ada, hanya saja dikembalikan ke fakultas. Khususnya dari dosen terkait yang mengajarnya dan semacamnya. Akan berbentuk kantor nantinya. Jadi perbedaannya ketika nantinya berubah?
Universitas Indonesia
196
Ketika sebelumnya program pascasarjana ini bebas, seperti dekan di fakultas. Kalau nantinya berubah, dia akan di bawah langsung direktorat kemahasiswaan. Masih terkontrol sih nantinya. Tapi untuk ide-ide yang sekolah tadi sepertinya masih diakalin untuk dimasukkan ke dalam kebijakan, menurut SA, DGB maupun rektor, untuk program seperti gender, environment dan defence strategy. Tapi dari MWA sendiri, khawatirnya akan memakan biaya yang tidak sedikit bila nantinya terpisahkan menjadi sekolah-sekolah tadi. Jadi masih diperdebatkannya apakah berbentuk kantor di bawah direktorat kemahasiswaan atau sekolah-sekolah yang nantinya di bawah fakultas. Untuk program pascasarjana sendiri memang tidak diperdebatkan lagi untuk perubahannya. Kira kira nanti keputusannya kapan? Ini akan menyesuaikan ART Universitas. Mungkin akan selesai april dan tidak dalam waktu dekat ini. Apakah ada info lain tekait permasalahan pascasarjana ini? Secara umum itu sih. Fokus ke masalah SDM, khususnya tenaga pengajar dan pengelolaan administratif, khususnya keuangannya. Terkait keuangan, program pascasarjana sendiri mendapatkan dana dari mana saja? Yang saya tahu dari mahsiswanya. Apalagi dengan kondisi sekarang yang bebas itu. Mau mencari keuntungan pun tidak masalah. Jadi prinsipnya sekarang universitas akan menanggung biaya untuk S1 saja, untuk pascasarjana sendiri seperti dibebaskan. Hmmm. Ah ya, ketika pertama kali pembahasan mengenai ini tuh menyoroti apa? Pertama kali saya datang itu langsung dibahas apakah program pascasarjana ini di bawah universitas atau fakultas. Langsung diperlihatkan perbandingan dengan universitas luar. Saya lupa diperbandingkan dengan universitas apa saja. Kemudian, langsung diarahkan bahwa di bawah universitas akan lebih ideal. Karena dikhawatirkan di bawah fakultas akan tidak berkembang, tidak bebas.
Universitas Indonesia
197
Universitas dianggap mundur jauh ke belakang. Karena awalnya sudah ada lembaganya tersendiri, satu, fokus bernama pascasarjana lalu dikembalikan ke fakultas. Itu tanpa melihat SDM yang ada sekarang. Ini dokumen didapat dari mana? Waktu rapat dibagikan bahannya itu. Oh. Okay. Secara umum saya sudah dapat poinnya. Terima kasih.
Universitas Indonesia