UNIVERSITAS INDONESIA
PANDANGAN PARADIGMA REALISME, LIBERALISME DAN KONSTRUKTIVISME TERHADAP COLLECTIVE SECURITY TREATY ORGANIZATION SEBAGAI ORGANISASI KEAMANAN KAWASAN ASIA TENGAH
TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial di Universitas Indonesia
M.MARDANI ARRAHMAN 0906553772
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JULI 2013
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PANDANGAN PARADIGMA REALISME, LIBERALISME DAN KONSTRUKTIVISME TERHADAP COLLECTIVE SECURITY TREATY ORGANIZATION SEBAGAI ORGANISASI KEAMANAN KAWASAN ASIA TENGAH
TUGAS KARYA AKHIR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial di Universitas Indonesia
M.MARDANI ARRAHMAN 0906553772
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL DEPOK JULI 2013
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
HALAMAN PERI\TYATAAN ORISINALITAS
Tugas karya Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
M.Mardani Arrahman
NPM
0906553',
Tanda Tangan Tanggal
;ffi, rr 20t3
ilt
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
HALA\IAN PENGESAHAN
Akhir ini
Tugas Karva
Nanra NPM
ciia-iukan oleh
:
Arrahrlan .0906s53772 : Ilmu Hubungan Intemasional : M.Marclani
Progran-r Studi
Judul Tugas Karya Akhir
:
Pandangan Paladigma
Realisrne,
Lib eral i sn-re. dan I(onstruktivi srne Ter'hadap
Collectiye Securitt Treah, Olgcutizcttion Sebagai Organisasi Keamanan Kall asarl Asia Tengah
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dervan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang
Dra. Nurul Isnaeni, M"A.
Pembimbing
Broto Wardoyo S.Sos, M.A
Penguji Ahli
Aninda Rahmasari S.Sos, M,Li
Sekretaris
Andrew Mantong, S.Sos, M.Sc
Ditetapkan di: Depok
Tanggal
: 12 Juli 2013
IV
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
KATA PENGANTAR Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini tepat pada waktunya. Penulisan Tugas Karya Akhir (TKA) ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Jurusan Ilmu Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Asia Tengah adalah salah satu kawasan yang memiliki banyak potensi seperti letak wilayah yang strategis maupun sumber daya alam yang melimpah. Namun, dibalik berbagai potensi yang dimiliki ini, Asia Tengah juga memiliki beragam masalah keamanan yang dapat menghambat kemajuan negara-negara yang ada di dalamnya. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah pengaturan keamanan regional untuk menciptakan stabilitas keamanan bersama negara-negara Asia Tengah. Collective Security Treaty Organization (CSTO) merupakan salah satu organisasi keamanan regional yang dibentuk dengan tujuan untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas keamanan di kawasan Asia Tengah. Tulisan ini menggunakan kerangka kerja Citra Nandini dalam TKA yang berjudul “Pandangan Paradigma Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme Terhadap African Union sebagai Institusi Keamanan Regional di Kawasan Afrika.” Elaborasi tulisan ini menggunakan tiga teori yaitu collective defense, collective security, dan security community. Melalui tiga teori ini, penulis membandingkan pandangan dari ketiga paradigm (realisme, liberalisme, dan konstruktivisme) terhadap CSTO sebagai organisasi keamanan regional di kawasan Asia Tengah. Piagam, traktat, dan program kerja organisasi akan menjadi instrumen analisa penulis untuk dapat melihat karakteristik dari ketiga teori di dalam organisasi CSTO. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kelemahan dan kekurangan dalam penulisan tugas karya akhir ini sehingga diharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dan memperkaya hasil karya akhir ini. Akhir kata, penulis berharap bahwa tugas karya akhir ini dapat membawa banyak manfaat bagi kajian Ilmu Hubungan Internasional maupun berbagai pihak dalam lingkup yang lebih luas.
V Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
UCAPAN TERIMA KASIH Dalam kesempatan ini, Penulis mengucapkan puji syukur dan terima kasih kepada Allah SWT; Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang. Atas berkat dan rahmatNya lah penulis bisa menyelesaikan tugas karya akhir ini. Penulis juga menyadari tugas karya akhir dapat selesai tepat pada waktu karena dukungan dari pihak-pihak maupun kerabat yang selalu memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. Oleh karena itu rasa terima kasih dari hati terdalam penulis ucapkan kepada : 1. Broto Wardoyo S.Sos, M.A selaku dosen pembimbing TKA dan dosen pengajar. Terima kasih atas kesediaan dan kesabarannya dalam
dalam membimbing dan
memberikan masukan terhadap karya tulis ini. Arahan dan masukan yang beliau berikan membantu penulis untuk terus memperbaiki tugas karya akhir ini sehingga mencapai hasil yang diinginkan. 2. Andi Widjajanto S.Sos, ph.D dan Aninda Rahmasari S.Sos, M,Litt selaku pengajar Colloqium. Atas bimbingan dari beliau-beliau ini penulis mendapatkan wawasan dan pengetahuan untuk menghasilkan tugas karya akhir yang baik. Matakuliah colloquium sangat membantu penulis untuk mempersiapkan diri dan mental sebelum menjalani masa-masa penulisan tugas akhir. 3. Dra. Nurul Isnaeni, M.A selaku Ketua Program Departemen Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Terima kasih atas doa dan dukungannya semoga Allah SWT membalas kebaikan ibu. 4. Semua dosen pengajar Hubungan Internasional terima kasih atas ilmu dan bimbingan yang selama ini telah kalian berikan semoga Allah SWT membalas jasa kalian semua. Ilmu pengetahuan yang kalian berikan insyaAllah akan mendatangkan manfaat bagi kemajuan diri pribadi penulis hingga manfaat pada semua orang. 5. Kedua orang tua penulis, terima kasih Abah dan Mamah telah senantiasa memberikan motivasi maupun dukungannya selama mengerjakan Tugas Karya Akhir ini. Terima kasih atas doa-doanya yang selalu menyertai saya dalam menyelesaikan tugas karya akhir ini. 6. Teman-teman HI UI 2009, teman seperjuangan selama kuliah Dicky Abdul Ghany (Adul Gundul), Yohanes Triponda Glory (Popon) dan Husni Mubarok yang selalu memberikan semangat kepada penulis. 7. Ryan Abraham, Arif, Mikha, Candini, Darang, Pandu, Alin, Pettisa, Lya, Hanna, Sandi, Vale, Iqbal,Diku, Dwinta, Fahmi, dan Gerry terima kasih banyak. vi Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
8. Teman-teman HI 2009 lainnya terima kasih banyak teman-teman seperjuangan semoga kelak kita semua menjadi orang yang sukses. 9. Teman - teman satu kos dan teman seperjuangan sejak MaBa Riyan Permana Putra, abang Rico, abang Rino, abang Pasman, dan abang Jimmy terima kasih atas dukungannya. Semoga Allah membalas kebaikan kalian Semua. 10. Terima kasih juga untuk Ferry, Dimas, Ade Rahmat, dan Japra Dayolla untuk semanagat dan dukungannya. 11. Terima kasih untuk Sally Joice Simanjuntak (Russia 2010) atas kebaikannya menterjemahkan bagan organisasi dalam bahasa Russia ke bahasa Indonesia. 12. Ibu dan bapak warteg, terima kasih atas dukungan dan doannya serta nasehat-nasehat bijaknya. Terima kasih atas makanan-makanan enaknya selama penulis mengerjakan TKA ini. 13. Citra Nandini senior 2008 tulisan dalam TKA beliau telah menginspirasi dan membantu penulis dalam pengerjaan tugas akhir ini. 14. Ibu dan bapak kos terima kasih atas dukungannya telah menyediakan tempat yang nyaman bagi penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Indonesia. 15. Nafees Pakistan, terima kasih atas doa dan dukungannya. Broo semoga
Allah
melimpahkan rahmat dan karunianya pada mu. 16. Engkong kober, semangat hari tuanya sudah memotivasi penulis untuk terus berjuang menyelesaikan tugak karya akhir ini. Terima kasih atas dukungan kalian semua, Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia pada kalian semua.
Depok, 12 Juli 2013
M.Mardani Arrahman
vii Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
IIALAMAN PERI\TYATAAN PERS ETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKIIIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
M.Mardani Arrahman
NPM
0906553772
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Departemen
Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jenis Karya
Tugas Karya Akhir
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia flak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Pandangan Paradigma Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme Terhadap C olle ctive S e curity Treaty Organization Sebagai Organisasi Keamanan Kawasan Asia Tengah beserta perangkat yang ada fiika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini, Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat
dan
mempublikasikan tugas karya akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis atau pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat Pada
di
: Depok
tanggal : 12 Juli 2013
Yang menyatakan
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
ABSTRAK Nama : M.Mardani Arrahman Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional Judul : Pandangan Paradigma Realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme Terhadap Collective Security Treaty Organization Sebagai Organisasi Keamanan Kawasan Asia Tengah Collective Security Treaty Organization (CSTO) merupakan sebuah pengaturan keamanan regional di kawasan Asia Tengah. Keberadaan CSTO diharapkan bisa menciptakan stabilitas maupun perdamaian bagi negara-negara anggotanya. Terdapat tiga paradigma utama dalam Ilmu Hubungan Internasional yaitu realisme, liberalisme dan konstruktivisme. Masing-masing paradigma memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu institusi pengaturan keamanan regional. Realisme dengan teori collective defense melihat suatu institusi pengaturan keamanan akan membentuk suatu aliansi militer sebagai bentuk pertahanan diri terhadap ancaman. Liberalisme dengan teori collective security melihat sebuah institusi pengaturan keamanan sebagai institusi yang dapat menjaga negara-negara anggotanya untuk tidak berkonfrontasi antara satu dengan yang lain. Konstruktivisme dengan teori security community memiliki pandangan bahwa suatu institusi pengaturan keamanan bisa membuat negara-negara anggotanya untuk tidak melakukan tindakan koersif dalam penangan konflik maupun reaksi terhadap ancaman. Karya tulis ini akan menganalisa karakteristik CSTO sebagai organisasi keamanan di kawasan Asia Tengah melalui tiga teori tersebut. Kata Kunci : Collective Security Treaty Organization, Asia Tengah, Organisasi keamanan, realisme, liberalisme, dan Konstruktivisme.
viii Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
ABSTRACT Name : M.Mardani Arrahman Study Program : International Relations Title : Realism, Liberalism, and Constructivism toward Collective Security Treaty Organization as Regional Security Organization in Central Asia
Collective Security Treaty Organization/ CSTO is a regional security arrangement in Central Asia. There is a hope that CSTO existence could take a role as security management, create peace and stability in Central Asia region. There are three major paradigms in International Relations, namely realism, liberalism and constructivism. All of paradigms have different views toward the security institution. Realism with collective defense theory believes that security arrangements will form a military alliance combination powers among state members. Liberalism with collective security theory believe that main purpose of security organization is to create peace among state members through nonconfrotative policy, mediate conflict, and etc. Constructivism paradigm with security community theory believes that security organization will bring the member states to use non coercive policy into conflict resolution process or reaction toward threat. This policy purpose to create peace and stability in the region. Key words: Collective Security Treaty Organization, Central Asia, Security Organization, Realism,Liberalism,Constructivism.
ix Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL................................................................................................................ i HALAMAN JUDUL...................................................................................................................ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................................................iii HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................................iv KATA PENGANTAR................................................................................................................ v UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................................................... vi HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR....................vii ABSTRAK............................................................................................................................... viii ABSTRACT................................................................................................................................ .ix DAFTAR ISI……….….............................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR DAN TABEL….....................................................................................xii BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1 I.1 Latar Belakang................................................................................................................... 1 I.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................. 3 I.3 Sejarah terbentuknya Collective Security Treaty Organization ....................................... 3 I.3.1 The Commonwealth Independent states (CIS) Sebagai Institusi Pertama Negara-Negara Eks- Uni Soviet.……………………………….......................................................................... 3 I.3.2 CSTO Sebagai Institusi Keamanan Regional Asia Tengah.......................................... ......8 BAB 2. ANALISIS PANDANGAN PERSPEKTIF REALISME DALAM PENGATURAN KEAMANAN CSTO……………………………………………………........................................................ 13 2.1 Teori Realisme Collective Defense…..................................................................................13 2.2 Realisme Collective Defense dalam CSTO......................................................................... 16 2.2.1 Identifikasi Ancaman Eksternal di Kawasan Asia Tengah ............................................ 17 2.2.2 Signifikansi Keberadaan CSTO dalam Menangani Ancaman Eksternal di Kawasan Asia Tengah....................................................................................................................................... 20 2.2.3 Identifikasi Karakteristik Pengaturan Keamanan Collective Defense dalam CSTO...... 22 BAB 3. ANALISIS PANDANGAN PARADIGMA LIBERALISME DALAM PENGATURAN KEAMANAN CSTO.................................................................................. 25 3.1 Teori Liberalisme Collective Security……......................................................................... 25 3.2 Liberalisme Collective Security dalam CSTO....................................................................28 3.2.1 Ragam Ancaman Internal di Kawasan Asia Tengah ...................................................... 28 3.2.2 Signifikansi Keberadaan CSTO dalam Menanggulangi Ancaman Internal Asia Tengah ................................................................................................................................................... 30 3.2.3 Identifikasi Karakteristik Pengaturan Keamanan Collective Security dalam CSTO.... 34 BAB 4. ANALISIS PANDANGAN PARADIGMA KONSTRUKTIVISME DALAM PENGATURAN KEAMANAN CSTO.................................................................................. 37 4.1 Teori Konstruktivisme Security Community/ Komunitas Keamanan................................. 37 4.1.1 Tipe Komunitas Keamanan……………………………………...................................... 39 4.1.2 Perkembangan Komunitas Keamanan………………..................................................... 40 4.2 Konstruktivisme Security Community dalam CSTO ........................................................40 4.2.1 Identifikasi Penggunaan Tindakan Koersif di Kawasan Asia Tengah............................. 41 4.2.2 Peranan CSTO dalam Mengurangi Penggunaan Tindakan Koersif................................ 43 4.2.3 Pandangan Konstruktivisme Security Community dalam CSTO.................................... 45 x Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
BAB 5.KESIMPULAN.…………………….………………….................................................. 48 5.1 Karakteristik Pengaturan Keamanan Realisme dalam CSTO.……….…..…………........ 48 5.2 Karakteristik Pengaturan Keamanan Liberalisme dalam CSTO.………………..……..... 49 5.3 Karakteristik Pengaturan Keamanan Konstruktivisme dalam CSTO……….……….. 50-52 DAFTAR REFERENSI.................................................................................................... 53-56
xi Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta Negara Anggota CIS………………………................................................... 5 Gambar 1.2 Bagan Strukrur Organisasi CSTO …….……..….………………………….….. 10 Gambar 1.3 Peta Negara Anggota CSTO………………..…….……………………..…….... 12
DAFTAR TABEL Tabel 1.1 Negara Anggota CIS……………………………………………….…………..….... 4 Tabel 1.2 Lembaga Dewan CIS……...……….…………………………………………..….... 7 Tabel 1.3 Negara Anggota CSTO……………………………...………………………..….... 11 Tabel 1.4 Kesimpulan…………………………..………………………………………….... 51
xii Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan sistem internasional pasca-Perang Dingin telah membuat teori maupun praktisi untuk kembali mengevaluasi sifat keamanan dalam analisis Hubungan Internasional. Peningkatan ancaman transnasional, serta adanya interdependensi keamanan, membuat negara-negara saling berinteraksi untuk menciptakan stabilitas keamanan.1 Oleh karena itu, muncul pandangan bersama yang mempercayai bahwa untuk mengejar stabilitas keamanan tidak akan dapat dicapai tanpa adanya kerja sama dari tiap-tiap negara di dalamnya.2 Kondisi dunia pasca-Perang Dingin juga diwarnai dengan munculnya isuisu keamanan yang semakin beragam. 3 Isu keamanan yang beragam inilah yang menjadi salah satu faktor yang mendorong negara-negara di berbagai kawasan untuk menciptakan sebuah pengaturan kerja sama keamanan regional. 4 Pandangan akan pentingnya sebuah kerja sama regional antarnegara sebenarnya telah lama menjadi agenda Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ketika dibentuk pada tahun 1945. Dalam piagam PBB disebutkan bahwa kerja sama organisasi regional maupun internasional dapat membawa tiap-tiap negara pada stabilitas keamanan dan perdamaian. 5 Melalui kerja sama regional dan internasional ini pula negaranegara akan terhindar dari kekacauan seperti yang terjadi pada Perang Dunia pertama dan kedua. Pentingnya sebuah kerja sama pengaturan keamanan regional ternyata juga menjadi perhatian negara-negara di kawasan Asia Tengah. Bila dilihat dari letak
1
Alvin LeRoy Bennet, International Organization: Principles and Issue (New Jersey: Prentice-Hall, 1995), 23. 2 Andrew Hurrell, “Regionalism in Theoretical Perspective,” dalam Regionalism in World Politics: Regional Organization and International Order, diedit oleh Andrew Hurrell dan Louise Fawcett (New York, Oxford University Press Inc, 1995), 38. 3 Ancaman keamanan semakin beragam meliputi isu-isu baru pasca-Perang Dingin (non-tradisional isues ) seperti terorisme, perdagangan manusia, narkoba, dan lain sebagainya. 4 Robert Jackson dan George Sorensen, Intoduction to International Relations (New York: Oxford University Press Inc, 1999), 120. 5 Pada pasal 1 dan 2 piagam PBB disebutkan bahwa tujuan utama dibentuknya organisasi adalah untuk menciptakan stabilitas keamanan dan perdamaian dalam bentuk kerjasama antarnegara.
1 Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
2
kawasan, Asia Tengah memiliki berbagai potensi yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan perekonomian negara-negara yang ada di dalamnya. Potensi yang ada di kawasan ini dapat dilihat dari banyaknya sumber daya alam (SDA) terutama pada sektor minyak dan gas bumi. 6 Selain memiliki potensi SDA yang begitu melimpah, Asia Tengah juga memiliki arti geopolitik dan geoekonomi karena letak strategisnya di antara beberapa negara besar yang berdekatan dengan kawasan ini seperti Rusia, Cina, dan Afganistan.7 Walaupun memiliki berbagai potensi, kawasan ini tidak lepas dari berbagai masalah keamanan yang dapat menciptakan instabilitas kawasan. Masalah keamanan di kawasan ini cukup beragam, tidak hanya masalah keamanan tradisional yang menekankan pada keamanan negara, perbatasan negara, dan perhatian terhadap ancaman militer dari agresi negara lain tetapi juga meliputi ancaman keamanan nontradisional seperti perdagangan obat-obatan terlarang, terorisme, ekstremisme, maupun konflik etnis.8 Kompleksitas masalah keamanan ini mendorong negara-negara yang ada di dalam kawasan untuk bekerja sama dalam suatu pengaturan keamanan regional. Pada dasarnya terdapat dua model pengaturan keamanan di kawasan Asia Tengah yaitu Sanghai Cooperation Organization (SCO) dan Collective Security Treaty Organization (CSTO) namun dalam Tugas Karya Akhir (TKA) ini saya hanya akan menitik beratkan pembahasan dalam organisasi keamanan CSTO. CSTO menjadi sangat menarik untuk diteliti karena organisasi keamanan ini merupakan satu-satunya orginisasi keamanan regional kawasan Asia Tengah yang menerapkan prinsip aliansi militer. Berbeda dengan SCO,9 CSTO menempatkan isu-isu keamanan sebagai agenda utama dalam organisasi. Selain itu, sebagai organisasi militer CSTO memiliki seperangkat aturan yang mengikat negara-negara anggotanya dalam bentuk piagam maupun traktat organisasi. 6
Hooman Peimani, Regional Security and The Future of Central Asia: The Competition of Iran,Turkey and Russia (United States of America: Greenwood Publishing Group. Inc, 1998), 65. 7 Ibid. 8 Ibid., 41. 9 SCO merupakan organisasi kerjasama antarnegara seperti kerjasama keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya. Penjelasan ini dapat dilihat dalam Osman Gokhan Yandas, “Emerging Regional Security Complexin Central Asia: Shanghai Cooperation Organization (SCO) and Challenges of the Post 9/11 World,” (Thesis, Middle East Technical University 2005), 83.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
3
1.2 Rumusan Masalah Melihat kompleksitas masalah serta organisasi keamanan yang ada di kawasan ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah: Bagaimana pandangan paradigma
Realisme,
Liberalisme,
dan
Konstruktivisme
terhadap
karakteristik CSTO sebagai salah satu Organisasi Pengaturan Keamanan di Asia Tengah?
1.3 Sejarah terbentuknya Collective Security Treaty Organization/CSTO Collective Security Treaty (CST) adalah sebuah aliansi militer Intergovermental yang ditandatangani pada 15 Mei 1992 oleh Armenia, Kazakhstan, Kirgistan, Federasi Rusia, Uzbekistan, dan Tajikistan, di kota Tashkent. CST kemudian bertransformasi menjadi Collective Security Treaty Organization (CSTO) pada tahun 2002. Subbab ini memaparkan secara singkat sejarah terbentuknya CSTO serta gambaran umum struktur, program kerja, dan peran CSTO sebagai pengaturan keamanan di kawasan Asia Tengah. 1.3.1 The Commonwealth of Independent States (CIS) Sebagai Institusi Pertama Negara-Negara Eks - Uni Soviet Langkah awal yang dilakukan oleh Rusia pasca-Uni Soviet dalam rangka memperkuat ikatan dengan negara-negara di kawasan Asia Tengah dan Eropa Timur adalah dengan menghimpun negara-negara tersebut ke dalam suatu perhimpunan yang disebut dengan persemakmuran negara-negara merdeka atau yang lebih dikenal dengan Commonwealth of Independent States (CIS). CIS adalah organisasi regional pertama negara-negara eks-Uni Soviet yang bertujuan untuk membentuk koordinasi kerja sama antarnegara di kawasan dalam berbagai bidang seperti ekonomi, politik, sosial, dan keamanan. Sebagai sebuah organisasi regional, CIS berperan mempromosikan kerja sama lintas perbatasan dalam upaya mencegah kejahatan seperti penyeludupan narkoba, terorisme, konflik antaretnis, gerakan pemberontakan dan lain sebagainya. CIS didirikan pada tanggal 8 Desember 1991 oleh Republik Belarus, Federasi Rusia, dan Ukraina. Pada saat dibubarkannya Uni Soviet, diumumkan pula akan dibentuknya sebuah aliansi baru yang terbuka bagi tiap-tiap negara eks-
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
4
Uni Soviet. Melalui piagam organisasi, CIS menghormati semua negara anggota sebagai negara berdaulat dan independen. 10 Pada tanggal 21 Desember 1991, sebagian besar para pemimpin dari delapan negara pecahan Uni Soviet bergabung dalam organisasi CIS negara-negara tersebut yaitu Armenia, Azerbaijan, Kazakhstan, Kirgistan, Moldova, Turkmenistan, Tajikistan, dan Uzbekistan. Status keanggotaan dalam CIS didefinisikan dengan negara-negara yang meratifikasi piagam CIS. Berikut tabel dan peta keanggotaan CIS: Tabel 1.1Negara Anggota CIS11
10
“Appendix C-Belarus and Moldova”, The Alma-Ata Declaration, diakses 15 Maret 2013, http://lcweb2.loc.gov/frd/cs/belarus/by_appnc.html. 11 Hasil elaborasi penulis.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
5
Tabel 1.1 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar negara-negara di kawasan Asia Tengah dan Eropa Timur memilih bergabung dalam organisasi CIS. Sebagai organisasi pertama pasca-Uni Soviet, CIS berhasil mempersatukan kembali Rusia dengan negara-negara pecahannya ke dalam organisasi antarnegara.
Gambar 1.1 Peta Negara Anggota CIS Sumber: http://eurodialogue.org/Commonwealth-of-Independent-States-Map.
Gambar 1.1 di atas menunjukkan letak strategis kawasan negara anggota CIS di antara beberapa negara besar seperti China, Afganistan, dan Iran. Letak kawasan yang strategis ini menunjukkan potensi sekaligus ancaman bagi negaranegara di kawasan Eropa Timur dan Asia Tengah.12 Oleh karena itu, fungsi dari sebuah kerja sama organisasi dibutuhkan untuk memaksimalkan potensi dan melindungi kawasan dari berbagai potensi ancaman. 12
Peimani, Regional Security, 91.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
6
Berdasarkan piagam CIS, tujuan dan fungsi utama dari organisasi ini adalah untuk menciptakan stabilitas dan kesejahtraan bersama
bagi tiap-tiap
negara anggota. Secara garis besar, CIS membentuk berbagai kerja sama yang sangat komprehensif antarnegara anggota seperti kerja sama ekonomi, politik, sosial, hukum, maupun pertahanan-keamanan. Dengan adanya kerja sama yang komprehensif tersebut, negara-negara anggota dapat memanfaatkan instrumen yang ada di dalam badan kerja sama CIS sebagai alat untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan stabil. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan utama dibentuknya CIS tidak hanya untuk mengharmoniskan kembali hubungan negara-negara eks-Uni Soviet dengan Rusia, tetapi juga memiliki tujuan lain yaitu menjalin kerja sama yang lebih komprehensif dengan menjunjung tinggi keberadaan negara-negara pecahan ini sebagai entitas yang berdaulat. Piagam organisasi CIS mengatur berbagai urusan yang bertujuan untuk menciptakan stabilitas dan kesejahtraan bagi tiap-tiap negara anggota. Keinginan untuk dapat hidup berdampingan dengan harmonis diwujudkan CIS dengan menciptakan sarana pencegahan dan penyelesaian konflik sampai dengan bantuan kekuatan militer bagi tiap negara anggota yang telah diatur dalam piagam organisasi.13 CIS memiliki beberapa lembaga dewan/council yang dibentuk untuk memaksimalkan upaya kinerja organisasi, berikut adalah perangkat pendukung CIS tersebut .
13
“Charter Establishing The Common Wealth of Indepemdent States,” Public International Law, diakses 2 Desember 2012, http://www.dipublico.com.ar/english/charter-establishing-the-commonwealth-ofindependent-states-cis/.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
7
Tabel 1.2 Lembaga Dewan CIS14
CIS memungkinkan terciptannya kerja sama antarnegara di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, dan militer. Salah satu cikal bakal organisasi militer bentukan CIS adalah Collective Security Treaty (CST) yang ditandatangani pada 15 Mei 1992. CST adalah sebuah traktat keamanan negara-negara anggota dalam organisasi CIS. Traktat CST dibentuk dengan tujuan untuk dapat menciptakan stabilitas keamanan negara-negara anggota dari berbagai potensi ancaman keamanan. Untuk mencapai tujuan organisasi ini, CIS menciptakan berbagai mekanisme penyelesaian maupun pencegahan konflik yang telah telah diatur dalam traktat keanggotaan CIS maupun CST. Sebagian besar negara-negara anggota dalam organisasi CIS
menandatangani traktat CST seperti Armenia,
Kazakhstan, Kirgistan, Rusia, Tajikistan, Uzbekistan, Georgia, dan Belarus. CIS membatasi jangka waktu traktat CST dalam lima tahun. 15 Setelah itu, traktat harus diperpanjang dengan menandatangani protokol dan memperbarui
14
Hasil elaborasi penulis.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
8
perjanjian oleh tiap negara. Dengan menandatangani traktat CST, negara-negara anggota harus mematuhi segala aturan yang telah diatur dalam traktat. Pada tanggal 2 April 1999, traktat CST diperpanjang dan hanya 6 negara anggota yang menandatangani perjanjian sementara Azerbaijan, Georgia, dan Uzbekistan menolak untuk menandatangani traktat dan memutuskan untuk menarik diri dari perjanjian kerja sama CST tersebut. Pada fase inilah, CIS dianggap tidak lagi produktif karena dinilai sebagai alat politik Rusia untuk menyaingi NATO dan European Union (EU). 16 1.3.2 CSTO Sebagai Institusi Keamanan Regional Asia Tengah Masalah keamanan merupakan salah satu agenda utama CIS. Karena itu, CIS membentuk traktat CST untuk menjawab tantangan keamanan bagi tiap negara anggota. Dengan dibentuknya traktat keamanan CST ini, negara-negara anggota dapat bekerja sama dalam menghadapi berbagai ancaman keamanan di kawasan. Kerja sama keamanan kawasan yang sebelumnya hanya dalam bentuk traktat terealisasi dalam bingkai kerja sama sebuah organisasi keamanan yaitu CSTO. Collective Security Treaty (CST) yang sebelumnya muncul sebagai traktat kerja sama dalam bidang keamanan negara-negara CIS bertransformasi menjadi Collective Security Treaty Organization (CSTO) pada tanggal 7 Oktober 2002. CSTO dibentuk untuk menghadapi situasi geopolitik dan dinamika ancamanan regional dan internasional yang semakin berkembang di mana ancaman keamanan tidak lagi harus dilakukan oleh aktor negara tetapi juga bisa dilakukan oleh aktor nonnegara seperti dalam kasus terorisme, obat-obatan terlarang, konflik etnis, dan lain sebagainya. CSTO dapat dikatakan sebagai successor dari traktat CST namun dalam bentuk organisasi keamanan antarnegara yang tetap menjunjung tinggi komitmen dalam piagam organisasi maupun traktat. Rusia adalah negara yang memprakarsai terbentuknya CSTO. CSTO dibentuk dengan tujuan untuk mengatasi masalah keamanan maupun konflik lokal yang masih terjadi di kawasan negara anggota CIS salah satunya di kawasan Asia 15
“Treaty on Collective Security,” Security Treaty Organization Official Site, diakses 12 Desember 2012, http://www.odkb.gov.ru/b/azbengl.htm. 16 “Collective Security Treaty organizations (CSTO),” Global Security, diakses 2 Desember 2012, http://www.globalsecurity.org/military/world/int/csto.htm.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
9
Tengah.17 Sebagai organisasi keamanan militer pertama pasca-Uni Soviet, CSTO memiliki piagam organisasi yang ditandatanagani oleh sebagian besar negaranegara di kawasan Asia Tengah. Piagam CSTO ini menegaskan kembali keinginan dari semua negara yang tergabung dalam organisasi untuk menjauhkan diri dari penggunaan senjata maupun ancaman kekerasan terhadap penyelesaian masalah atau sengketa antarnegara.18 Selain memiliki tujuan untuk menciptakan stabilitas keamanan dan perdamaian, CSTO juga merupakan sebuah aliansi militer yang akan mempersepsikan agresi dari negara lain terhadap salah satu anggota sebagai agresi militer terhadap semua anggota.19 Program kerja CSTO dalam membentuk sebuah aliansi militer yang kuat yaitu dengan melakukan latihan militer tahunan antarnegara anggota dan membuka kerja sama keamanan dengan organisasi internasional lainnya. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kerja sama keamanan dalam bentuk aliansi militer membuat CSTO mengadakan serangkaian latihan militer gabungan antarnegara angggota. Sejak tahun 2005, CSTO mulai melakukan latihan militer gabungan dalam skala besar seperti operasi latihan "Rubezh 2008.” Latihan yang dilakukan di Armenia ini merupakan latihan dengan jumlah pasukan terbanyak yaitu 4.000 tentara dari 7 negara anggota.20 CSTO, sebagai sebuah organisasi keamanan kawasan, juga memiliki pasukan militer, yaitu satuan reaksi cepat/Collective Rapid Reaction Force (CRRF) yang dibentuk pada tahun 2009 . CRRF memiliki peran untuk menangani masalah keamanan negara anggota seperti menangani konflik antaretnis, jaringan terorisme, gerakan ekstremis, dan lain sebagainya. Selain itu, Pasukan ini juga digunakan untuk menahan agresi militer dari negara lain di luar kawasan. Sebagai organisasi keamanan, CSTO juga membuka diri untuk melakukan kerja sama keamanan dengan organisasi internasional lain seperti menjalin kerja 17
Rogger Mc Dermott, “Rusia’s vision in crisis for CSTO military forces,” World Security Network, 7 Juli 2009, http://www.worldsecuritynetwork.com/Russia/McDermottRoger/Russias-Vision-in-Crisis-for-CSTO-Military-Forces . 18 Sergei Markedonov, “Post Soviet Integration: CIS,CST, CRRF, etc”, oD Russia, 20 Januari 2010, http://www.opendemocracy.net/od-russia/sergei-markedonov/post-sovietintegration-cst-csto-crrf-etc-2 . 19 “Treaty on Collective Security.” 20 Asbarez Post, “CSTO Rubezh War Games Begin In Armenia,” 22 Juli 2008, http://asbarez.com/57831/csto-rubezh-war-games-begin-in-armenia/.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
10
sama dengan SCO dalam penanganan kasus kejahatan kemanusiaan, perdagangan illegal, dan narkoba.21 Hal ini menegaskan bahwa CSTO adalah sebuah organisasi militer modern yang membuka kerjasama internasional dalam lingkup yang lebih luas. Berikut bagan organisasi dalam CSTO:
Gambar 1.2 Bagan Struktur Organisasi CSTO Sumber: data telah diolah kembali dari http://www.odkb.gov.ru/start/index_azbengl.htm.
Gambar 1.2 di atas, menunjukkan struktur organisasi CSTO meliputi dewan keamanan bersama dari negara-negara anggota hingga kawasan yang dilindungi oleh CSTO meliputi kawasan Kaukasus, Eropa Timur, dan Asia Tengah. Sebagai sebuah organisasi keamanan, CSTO memiliki lembaga-lembaga 21
Alexander Frost, “The Collective Security Treaty Organization, Shanghai Cooperation Organization, and Russia’s Strategic Goals in Central Asia,” China and Eurasia Forum Quarterly 7, no.29 (2009): 83-102.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
11
keamanan bersama, seperti kementrian pertahanan dan kementrian keamanan yang berperan untuk mendukung program kerja dari organisasi untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasan Asia Tengah dan negara anggota lainnya.
Tabel 1.3 Negara Anggota CSTO22
.
Negara
Bergabung
Armenia
2002
Belarus
2002
Kazakhstan
2002
Kirgistan
2002
Rusia
2002
Tajikistan
2002
Uzbekistan
2008 Keluar 2012
Berdasarkan tabel 1.3 di atas, dapat diketahui bahwa anggota dalam organisasi keamanan CSTO saat ini terdiri 6 negara anggota. Uzbekistan menjadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tengah yang keluar dari keanggotaan CSTO.
22
Hasil elaborasi penulis.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
12
Gambar 1.3 Peta Negara Anggota CSTO Sumber: http://www.globalresearch.ca/csto-a-nato-for-the-east/12198.
Peta 1.3 di atas menunjukkan kedekatan wilayah negara-negara di kawasan Asia Tengah. Ancaman keamanan di salah satu negara akan menjadi isu keamanan bersama dalam organisasi CSTO.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
BAB 2 ANALISIS PANDANGAN PERSPEKTIF REALISME DALAM PENGATURAN KEAMANAN CSTO Kerja sama CSTO, sebagai suatu institusi keamanan, dapat dipandang melalui perspektif realisme. Bab ini berisi analisis mengenai CSTO berdasarkan teori collective defense dan analisis tersebut terbagi ke dalam empat subbab. Subbab pertama berisi paparan singkat mengenai teori collective defense. Selanjutnya, subbab kedua berisi analisis mengenai CSTO berdasarkan karakteristik collective defense sebagai salah satu bentuk pengaturan keamanan. Subbab ketiga berisi analisis identifikasi ancaman eksternal di kawasan Asia Tengah. Sebagai penutup, subbab keempat berisi penjelasan mengenai signifikansi dari keberadaan CSTO sebagai suatu bentuk pengaturan keamanan di kawasan Asia Tengah.
2.1 Teori Realisme Collective Defense Dalam pemikiran kaum realis, manusia dicirikan sebagai makhluk yang selalu cemas akan keselamatan dirinya dan dalam hubungannya dengan pesaing lain. Mereka ingin berada dalam kursi pengendali, mereka tidak ingin diambil keuntungannya, dan mereka terus berjuang untuk menjadi „yang terkuat‟ dalam hubungannya dengan yang lain. Melalui pandangan ini kaum realis melihat pada dasarnya semua manusia memiliki sifat yang sama di belahan bumi ini yaitu ingin memperoleh keuntungan dari yang lain dan mencegah dominasi dari yang lain. 23 Ilustrasi pandangan realis di atas juga relevan dalam hubungan internasional antara satu negara dengan negara lainnya. Realisme melihat negara sebagai aktor utama dalam interkasi politik dunia yang anarki. Sebagai unit yang paling bertanggung jawab atas kehidupan rakyat, negara harus dapat menjaga eksistensinya dari berbagai kompetisi kepentingan dengan negara lain. Beragam kepentingan maupun tujuan untuk memperoleh kekuasaan yang dilakukan oleh negara seperti mencari keuntungan ekonomi, hegemoni kekuasaan, dan ekspansi militer dapat dilihat sebagai salah satu contoh usaha dari negara untuk menjaga eksistensinya dan diakui oleh negara 23
Jackson dan Sorensen, Intoduction to International Relations, 88.
13 Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
14
lain. Terkadang untuk mendapatkan kepentingan tersebut tak jarang masingmasing negara harus siap untuk berkompetisi dengan negara lain. 24 Semakin banyak kompetisi yang terjadi antarnegara, potensi rasa saling curiga maupun ketegangan antarnegara juga akan semakin besar. Apabila dibiarkan berlarut-larut, situasi seperti ini akan memicu terjadinya konflik terbuka antarnegara. Oleh karena itu, realisme sebagai sebuah paradigma dalam kajian ilmu Hubungan Internasional terus mengembangkan berbagai pemahaman mengenai pola prilaku dari negara ketika menghadapi ancaman terhadap stabilitas keamanannya. Dalam studi strategis terdapat dua
bentuk ancaman keamanan bagi
keberadaan dan stabilitas negara. Salah satu bentuk ancaman keamanan tersebut adalah ancaman yang datang dari luar atau external threat. Ancaman eksternal terbentuk dari prilaku negara lain yang menimbulkan ketidakamanan dan merubah pola hubungan yang pada awalnya stabil menjadi tidak stabil. 25 Dalam Tugas Karya Akhir (TKA) Citra Nandini, disebutkan bahwa ketika suatu negara mendeteksi adanya ancaman dari negara lain, negara tersebut akan mengeluarkan kebijakan sebagai usaha pertahanan diri dan melakukan persiapan untuk kemungkinan melakukan tindakan balasan.26 Pola interaksi seperti ini adalah pola yang secara alamiah terbentuk karena karakteristik suatu negara akan terus berusaha mengembangkan power agar tidak tersaingi oleh negara lain. Negara-negara yang ada di dalam satu kawasan secara alamiah akan saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Kedekatan wilayah secara geografis antarnegara di kawasan membuat masalah keamanan disalah satu negara akan dengan mudah berpengaruh ke negara lainnya. Oleh karena itu, negara-negara yang berada dalam satu kawasan yang sama akan membentuk suatu pemahaman yang sama mengenai ancaman eksternal yang mereka hadapi. Dalam menghadapi
24
Ibid. Emerson Niou and Goufu Tan, “External Threat and Collective Action,” Economy Inquiry 43, No. 3 (2005): 519-530. 26 Citra Nandini, “Pandangan Paradigma realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme terhadap African Union sebagai institusi keamanan regional di kawasan Afrika”, ( Tugas Karya Akhir, Universitas Indonesia, 2012), 3. 25
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
15
ancaman tersebut negara-negara ini juga harus dapat bekerja sama secara kolektif untuk mengatasi ancaman yang datang bagi stabilitas keamanan mereka.27 Teori collective defense
dalam paradigma
realisme
menjelaskan
bagaimana pola prilaku negara-negara dalam suatu kawasan ketika menghadapi suatu ancaman eksternal. Dalam teori collective defense, negara-negara yang berada dalam kawasan yang sama dapat membentuk suatu aliansi untuk proteksi diri terhadap ancaman keamanan secara militer dari negara lain.28 Aliansi ini muncul ketika ancaman tersebut tidak mampu diatasi ataupun dihadapi oleh satu negara/seorang diri. Aliansi dianggap mampu untuk mempertahankan distribusi kekuatan tertentu yang dinilai menguntungkan bagi anggota aliansi.29 Sehingga dapat dikatakan bahwa aliansi berfungsi untuk menangkal agresi dari kekuatan lain (external threat) yang dapat mengganggu stabilitas keamanan dengan pola ancaman balik, di mana external threat tersebut harus siap menghadapi kekuatan gabungan dari anggota aliansi. Salah satu karakteristik istimewa dalam teori collective defense adalah negara-negara yang tergabung dalam aliansi militer akan mempersepsikan ancaman bagi satu negara sebagai ancaman bersama bagi semua negara anggota. Letak geografis negara yang saling berdekatan, pola hubungan ekonomi, politik, dan sosial yang saling terhubung menjadi salah satu alasan sebuah aliansi militer dibentuk yaitu dengan tujuan menciptakan stabilitas keamanan bersama. Oleh karena itu, negara-negara yang tergabung dalam suatu aliansi tidak akan tinggal diam bila salah satu diantara mereka mengalami ancaman/agresi militer dari negara lain. Gabungan negara dalam aliansi ini akan saling membantu untuk menghilangkan ancaman keamananan tersebut.30 Salah satu contoh kasus dari tindakan kolektif dari aliansi militer negara-negara yang mengadopsi collective defense bisa dilihat dari kasus serangan gabungan North Atlantic Treaty
27
Sabi I. Sabev, European Security After Cold War, (Thesis, Air War Collage University,1994), 19. 28 lawrence Mwagwabi, “The Theory of Collective Security and Its Limitations in Explaining International Organization: A critical Analysis” (Draft only, 2010): 4, diakses 5 Maret 2013, http://uonbi.academia.edu/LawrenceMwagwabi/Papers. 29 Ibid. 30 Ibid., 5.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
16
Organization (NATO) ke Yugoslavia dalam perang Kosovo pada tahun 1999.31 Contoh lain yaitu serangan gabungan NATO di Afganistan pascaperistiwa 9/11 pada tahun 2001. Dalam kedua contoh kasus ini, kedua objek aksi kolektif aliansi dijadikan musuh/ancaman bersama negara-negara anggota sesuai dengan pasal 5 piagam NATO.32 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa bentuk aliansi dalam teori
collective defense memiliki beberapa kriteria khusus. Pertama,
ancaman yang didefinisikan oleh aliansi sesuai dengan pandangan realis yaitu dalam bentuk agresi militer oleh negara. Kedua, terdapat penggabungan kekuatan militer negara-negara anggota yang dapat digunakan ketika ancaman datang. Ketiga, aksi kolektif dari negara-negara anggota dalam bentuk penggunaan tindakan koersif bisa dilakukan tentunya dengan mekanisme yang telah diatur dalam aliansi.33 Terakhir dalam menentukan langkah yang akan diambil, suatu aliansi harus memikirkan dan mempertimbangkan secara matang langkah ataupun pilihan yang akan diambil karena berkaitan dengan beragam kepentingan negaranegara anggota yang ada di dalam aliansi tersebut. 2.2 Realisme Collective Defense dalam CSTO Berdasarkan pejelasan pada subbab 2.1 diatas, terdapat tiga poin utama dari teori collective defense yang penulis gunakan dalam proses analisis karya tulis ini. Pertama, sebuah organisasi yang mengadopsi karakteristik collective defense melihat ancaman eksternal/external threat sebagai ancaman utama yang harus dihadapi oleh tiap negara anggota aliansi. Kedua, melihat sumber ancaman eksternal yang ada di kawasan, organisasi yang mengadopsi collective defense akan membentuk sebuah aliansi militer untuk menangkal ancaman. Dengan adanya kerja sama gabungan antarnegara dalam sebuah aliansi, negara-negara anggota akan memiliki posisi kuat untuk menangkal ancaman yang muncul bagi keamanan mereka. Ketiga, prinsip organisasi keamanan yang mengadopsi karakter collective defense akan melihat ancaman terhadap salah satu anggota 31
“NATO role’s in Kosovo,” North Atlantic Treaty Organization, diakses 14 Mei 2013, http://www.nato.int/kosovo/history.htm. 32 “NATO Charter,” North Atlantic Treaty Organization, diakses 19 Mei 2013, http://www.nato.int/terrorism/five.htm. 33 Joshua Stern, “NATO Collective Security or Defense: The Future of NATO in Light of Expansion and 9/11.” Dusseldorfer Institut Fur Auseen-Und Sicherheits Politic, no.32 ( 2010): 1-22.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
17
aliansi sebagai ancaman terhadap seluruh anggota.34 Oleh karena itu, penggunaan tindakan kolektif dibenarkan oleh organisasi. 2.2.1 Identifikasi Ancaman Eksternal di Kawasan Asia Tengah Kawasan Asia Tengah adalah salah satu kawasan yang seringkali dipandang statis dalam percaturan politik internasional. Setelah mendapatkan kemerdekaan sebagai negara bedaulat pascaruntuhnya Uni Soviet, perekonomian dan politik negara-negara di kawasan ini bergerak cukup stagnan. Walaupun demikian, kawasan Asia Tengah menyimpan sebuah daya tarik tersendiri bagi negara-negara besar di luar kawasan. Secara historis, sejak abad ke-19, wilayah ini sudah menjadi wilayah yang diperebutkan oleh negara-negara besar (great powers). 35 Jika dilihat dari segi geografisnya kawasan ini memiliki letak yang strategis terutama dalam jalur perdagangan. Asia Tengah merupakan salah satu „jembatan‟ antara Eastern dan Western yang berbatasan langsung dengan China di sebelah barat dan Eropa di Timurnya sehingga selalu menjadi penting dan strategis sebagai jalur vital yang menghubungkan Eropa dan Asia. Jalur sutra di utara di era modern saat ini merupakan wilayah yang melewati Kirgistan, Kazakhtan, Uzbekistan, Turmeniztan, Iran, Iraq, Syria, Turki dan selanjutnya terus ke Benua Eropa.36 Letak kawasan yang strategis membuat beberapa negara besar (great powers) dapat menggunakan kawasan ini sebagai jalur strategis mereka dalam upaya perluasan pengaruh dan kepentingan. Tercatat pada kurun waktu 1813-1907 kawasan ini menjadi obyek persaingan dari dua kekuatan besar yaitu Inggris Raya dan kekaisaran Rusia. Persiangan Inggris Raya dan Russia ini dikenal sebagai „The Great Game’ atau „Turnamen bayangan‟ (tournament of shadows).37 Selain sebagai jalur strategis perdagangan, kawasan ini ternyata juga menyimpan cadangan energi alam yang begitu melimpah. Potensi wilayah
34
Sabev, European Security, 18 Eric Walberc, “Review of Post Modern Imperialism Geopolitics and the Great Games,” Iran Review, 22 Oktober 2011, http://www.iranreview.org/content/Documents/Post_Modern_Imperialism_Geopolitics_an d_the_Great_Games.htm. 36 Richard Giragosian, “The Strategic Central Asia Arena,” China and Eurasia Forum Quarterly 4, no.1 ( 2006): 133-153. 37 Walberc, “Review of Post Modern.” 35
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
18
maupun jalur strategis hingga saat ini masih menjadi daya tarik tersendiri negaranegara lain terhadap kawasan Asia Tengah. Dengan runtuhnya Uni Soviet, Kawasan Asia Tengah kemudian menjadi salah satu kawasan yang terdiri dari negara-negara merdeka. Potensi kawasan yang besar membuat negara-negara baru ini harus siap menghadapi berbagai ancaman yang muncul. Ancaman keamanan tersebut seperti ancaman dari negara lain dari luar kawasan maupun ancaman keamanan pasca-Uni Soviet seperti sengketa perbatasan, gerakan ektremis, dan terorisme. Kedekatan wilayah yang saling terhubung antarnegara Asia Tengah mewarnai kompleksitas keamanan antarnegara yang ada di dalamnya. Oleh karena kedeketan wilayah ini, apabila terjadi masalah atau ancaman keamanan di salah satu negara, permasalahan tersebut akan mudah menyebar ke negara lain. Masingmasing negara memiliki permasalahan keamanan secara internal maupun eksternal yang bisa saja memunculkan instabilitas kawasan. Salah satu ancaman yang terdapat di kawasan Asia Tengah adalah adanya ancaman eksternal. Ancaman eksternal dapat didefinisikan sebagai ancaman yang berasal dari luar kawasan (external threat). Ancaman eksternal bisa muncul dari adanya beragam kepentingan dari negara lain di luar kawasan. Ambil contoh seperti ekspansi kekuasan, pengaruh klaim wilayah, dan lain sebagainya. Ancaman keamanan eksternal juga bisa muncul dari adanya konflik internal dari satu negara di luar kawasan karena kedekatan wilayah maka konflik ini meluas ke kawasan lain. 38 Kawasan Asia Tengah memiliki ancaman eksternal yang potensial mengganggu stabilitas keamanan. Ancaman keamanan eksternal tersebut diantaranya merupakan salah satu warisan masalah pada masa pemerintahan Uni Soviet. Setelah menjadi negara-negara berdaulat, letak batas teritori negara-negara di kawasan Asia Tengah belum diatur dengan baik.
Belum diaturnya batas
wilayah ini, kemudian menjadi arena sengketa tiap-tiap negara secara internal maupun dengan negara lain di luar kawasan. Ancaman eksternal di kawasan Asia Tengah dapat terlihat dari sengketa wilayah dengan negara-negara yang berdekatan secara teritori seperti Afganistan dan China.
38
Peimani, Regional Security, 67.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
19
Dalam tulisan Hooman Peimani disebutkan bahwa konflik sipil yang terjadi di Afganistan dapat dikategorikan sebagai ancaman eksternal bagi negaranegara di kawasan Asia Tengah.39 Konflik sipil ini seperti perang saudara yang dinilai dapat meluas dan mempengaruhi stabilitas keamanan negara-negara Asia Tengah. Selain itu ancaman jaringan terrorisme dari Afganistan juga dapat didefinisikan sebagai salah satu sumber ancaman keamanan eksternal bagi negaranegara di kawasan ini. Setidaknya ada tiga negara di kawasan Asia Tengah yang berdekatan secara geografis dengan Afganistan yaitu Turkmenistan, Uzbekistan, dan Tajikistan. Negara-negara ini dikhawatirkan akan mendapat dampak dari adanya perang saudara, maupun jaringan terorisme yang terjadi di Afganistan. Potensi ancaman eksternal ini tidak hanya dapat mengganggu stabilitas negaranegara terdekat dengan Afganistan tetapi seluruh negara di kawasan Asia Tengah. Bentuk ancaman eksternal lain di kawasan Asia Tengah adalah sengketa perbatasan pasca-Soviet antara Cina, Kirgistan, Tajikistan, dan Kazakhstan.40 Lebih lanjut negara-negara di kawasan mulai melihat Cina sebagai ancaman eksternal bagi stabilitas keamanan mereka. Negara-negara di kawasan telah lama khawatir akan ekspansi Cina melalui klaim atas wilayah teritori negara–negara Asia Tengah dengan menggunakan dalil perjanjian pada masa kekuasaan Uni Soviet. Merujuk teori collective defense, ancaman eksternal akan didefinisikan sebagai ancaman keamanan dengan kekuatan militer.41 Bila melihat kasus yang terjadi di kawasan Asia Tengah, identifikasi ancaman keamanan yang ada di kawasan ini belum menunjukkan adanya skala ancaman yang berujung pada kekuatan militer dari negara lain di luar kawasan. Oleh karena itu, untuk saat ini ancaman keamanan eksternal di kawasan hanya teridentifikasi dalam bentuk ancaman eksternal seperti sengketa teritori, ancaman gerakan separatis, gerakan ektremis Islam, dan terorisme dari luar kawasan.
39
Ibid,. 69. “Central Asia Border disputes and Conflict Potential,” International Crisis Group, terakhir dimodifikasi 4 April 2002, diakses 13 Mei 2013, http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/Asia/centralAsia/Central%20Asia%20Border%20Disputes%20and%20Conflict%20Potential.pdf. 41 Stern, “NATO Collective Security,” 4- 5. 40
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
20
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa permasalahan keamanan di kawasan Asia Tengah begitu kompleks di mana ancaman eksternal ternyata tidak lagi harus dalam bentuk agresi militer negara melainkan dalam bentuk ancaman yang lebih luas seperti terorisme, perang sipil dan konflik perbatasan. Oleh karena ancaman eksternal ini, negara-negara di kawasan menjalin kerja sama dalam organisasi keamanan regional CSTO untuk menciptakan stabilitas keamanan dari berbagai ancaman eksternal tersebut. 2.2.2 Signifikansi Keberadaan CSTO dalam Menangani Ancaman Eksternal Asia Tengah. Seperti yang telah dijelaskan pada subbab 2.2.1, ancaman eksternal di kawasan Asia Tengah teridentifikasi dalam kategori ancaman keamanan yang beragam seperti persengketaan wilayah, terorisme, gerakan ekstremis, sengketa perbatasan, dan lain sebagainya yang datang dari luar kawasan. Walaupun terbilang
cukup
beragam,
ancaman
eksternal
di
kawasan
ini
belum
memperlihatkan adanya ancaman keamanan dalam bentuk serangan/agresi militer yang dilakukan oleh negara dari benua lain terhadap kawasan. Oleh karena itu, definisi ancaman eksternal dalam teori collective defense ternyata belum teridentifikasi di kawasan Asia Tengah. Walaupun untuk saat ini belum ada ancaman eksternal dalam bentuk kekuatan militer dari negara lain terhadap kawasan, CSTO sebagai pengaturan keamanan kawasan tidak berdiam diri terhadap segala potensi munculnya ancaman eksternal yang dapat menggangu stabilitas keamanan kawasan. Berikut dalam pasal 8 piagam CSTO disebutkan42: “The member States shall coordinate and harmonize their efforts in combating international terrorism and extremism, the illicit traffic in narcotic drugs, psychotropic substances and arms, organized transnational crime, illegal migration and other threats to the security of the member States. The member States shall carry out activities in these areas in close cooperation with all interested States and international intergovernmental organizations, and primarily under the auspices of the United Nations.”
42
“CSTO Charter,” Collective Security Treaty Organization , diakses 3 Februari 2013, http://www.ieee.es/Galerias/fichero/Varios/2002_Carta_de_la_OTSC.pdf.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
21
Merujuk pada pasal 8 dalam perjanjian CSTO di atas, dapat dilihat segala bentuk ancaman
keamanan bagi tiap negara anggota akan dilihat sebagai
ancaman keamanan bersama dan akan dilakukan tindakan kolektif dari tiap negara anggota untuk menghilangkan ancaman tersebut. Dalam kasus yang terjadi di Asia Tengah, ancaman eksternal yang dimaksudkan tidak harus dalam bentuk ancaman militer oleh negara tetapi juga datang dari aktor nonnegara seperti kelompok terrorisme dan gerakan ekstremis. Pertahanan kolektif berupa gabungan kekuatan militer dalam CSTO dapat dilakukan untuk meminimalisasi ancaman yang muncul bagi negara anggota. Peran dan kewajiban organisasi keamanan kawasan untuk menghadapi ancaman eksternal juga telah diatur dalam piagam CIS pada pasal 12 sebagai berikut: “In the event that a threat arises to the sovereignty, security or territorial integrity of one or several member states or to international peace and security, the member states shall without delay bring into action the mechanism for mutual consultations for the purpose of coordinating positions and for the adoption of measures in order to eliminate the threat which has arisen, including peacekeeping operations and the use, where necessary, of the Armed Forces in accordance with the procedure for exercising the right to individual or collective defense according to Article 51 of the UN Charter.” (article 12 CIS charter). Dalam pasal 4 traktat CST juga disebutkan: “If an aggression is committed against one of the States Parties by any state or a group of states, it will be considered as an aggression against all the States Parties to this Treaty. In case an act of aggression is committed against any of the States Parties, all the other States Parties will render it necessary assistance, including military one, as well as provide support with the means at their disposal through an exercise of the right to collective defense in accordance with Article 51 of the UN Charter.” (article 4 CST)43. Pasal 12 CIS dan pasal 4 traktat CST di atas menjelaskan bahwa ancaman kemanan terhadap salah satu negara anggota akan di persepsikan sebagai ancaman terhadap semua anggota. Aksi kolektif berupa pengerahan kekuatan militer untuk menghilangkan ancaman yang muncul bagi stabilitas keamanan bisa dilakukan dan telah diatur dalam dalam Piagam PBB pada pasal 51.
43
“Treaty on Collective.”
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
22
Signifikansi keberadaan CSTO dalam menjawab tantangan ancaman keamanan eksternal juga dapat dilihat dari peran pasukan reaksi cepat CSTO atau CRRF. CRRF setidaknya telah berkontribusi mengatasi ancaman keamanan eksternal seperti terorisme, gerakan ekstremis, dan lain sebagainya di kawasan Asia Tengah.44 Contoh kasus respon CSTO terhadap penarikan pasukan AS di Afganistan menunjukkan bagaimana peran dari organisasi ini dalam mengatasi ancaman yang potensial muncul bagi keamanan negara-negara di kawasan seperti terorisme, meluasnya perang saudara dari Afganistan dan lain sebagainya.45 Pascapenarikan pasukan AS dari Afganistan, kepala negara anggota CSTO menyetujui untuk melakukan tindakan kolektif dan sepakat mengirim pasukan reaksi cepat CSTO untuk menjaga perbatasan kawasan dari berbagai ancaman yang potensial muncul. Penerjunan pasukan reaksi cepat ini menunjukkan salah satu peran CSTO sebagai sebuah organisasi keamanan di kawasan Asia Tengah. Adanya pola ancaman dan tantangan baru saat ini membuat pengaturan keamanan CSTO menjadi lebih dinamis dalam mendefinisikan ancaman eksternal. Sebagai sebuah pengaturan keamanan, CSTO memiliki agenda utama dalam permasalahan keamanan kawasan baik itu dalam upaya memerangi terrorisme maupun bentuk ancaman nontradisional lainnya. Perhatian terhadap ancaman eksternal seperti terorisme, ekstremis agama, perdagangan narkoba, maupun sengketa teritori menunjukkan signifikansi peran CSTO
terhadap ancaman
eksternal di kawasan Asia Tengah. 2.2.3 Identifikasi Karakteristik Pengaturan Keamanan Collective Defense dalam CSTO Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa terdapat beberapa perbedaan karakteristik pengaturan keamanan dari teori collective defense dan CSTO. Karakteristik teori yang berbeda yaitu tentang definisi ancaman eksternal di kawasan Asia Tengah. Ancaman ekternal kawasan Asia Tengah dikategorikan dalam dua bentuk ancaman keamanan yaitu; ancaman eksternal tradisional dan nontradisional. Oleh karena itu, definisi ancaman eksternal dalam teori collective 44
J H. Saat, “The Collective Security Treaty Organization,” Conflict Studies Research Centre 5, no. 9 (2005): 1-12. 45 CA News, “CSTO Takes Measures to Enhance Security after Withdrawal of Troops from Afghanistan,” terakhir dimodifikasi 17 Agustus 2012, http://stratrisks.com/geostrat/7583.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
23
defense
yang sangat realis 46
tidak sesuai dengan definisi ancaman ekternal
CSTO. Bentuk ancaman yang muncul di kawasan ternyata tidak lagi dalam bentuk kekuatan ataupun agresi militer oleh negara tetapi juga bisa dalam bentuk ancaman yang dilakukan oleh aktor nonnegara. Karakteristik pengaturan keamanan teori collective defense yang sesuai dengan CSTO hanya dapat dilihat dari pola kerja sama organisasi yang dibangun negara-negara Asia Tengah. Pola organisasi dalam CSTO ini menunjukkan adanya suatu aliansi militer yang kuat dengan penggabungan kekuatan militer negara-negara anggota dalam aliansi dan membenarkan aksi kolektif dari organisasi. Jadi, dapat dipahami bahwa ancaman eksternal dalam CSTO tidak lagi sesuai dengan definisi ancaman eksternal dalam teori collective defense yang melihat ancaman eksternal sebagai ancaman utama dengan kekuatan militer yang dilakukan oleh aktor negara47. Definisi
ancaman eksternal dalam pandangan
CSTO yaitu ancaman dalam lingkup yang lebih luas seperti ancaman tradisional dan nontradisional dari luar kawasan yang bisa menciptakan instabilitas kawasan. Selain itu, tidak hanya aktor negara yang menjadi sumber ancaman tetapi juga aktor nonnegara. Dengan demikian, pandangan teori collective defense seperti hal yang berkenaan dengan musuh bersama (common enemy) dalam bentuk ancaman militer oleh negara ternyata memiliki definisi yang berbeda dalam organisasi keamanan CSTO. Namun pandangan akan military alliance dalam teori collective defense masih sesuai dengan CSTO sebagai salah satu aliansi militer. Pendapat ini dapat dibuktikan pada pasal 7 piagam CSTO yang berbunyi:48 “In order to attain the purposes of the Organization, the member States shall take joint measures to organize within its framework an effective collective security system, to establish coalition (regional) groupings of forces and the corresponding administrative bodies and create a military infrastructure, to train military staff and specialists for the armed forces and to furnish the latter with the necessary arms and military technology. The member States shall adopt a decision on the stationing of groupings of forces in their territories and of military facilities of States which are not members of the Organization after holding urgent consultations 46
Stern, “NATO Collective Security,” 6-7. Ibid., 5. 48 “CSTO Charter.” 47
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
24
(reaching agreement) with the other member States.” (CSTO charter Article 7) Pasal 7 di atas, menunjukkan bahwa organisasi keamanan CSTO adalah sebuah aliansi militer dengan penggabungan kekuatan militer dari negara-negara anggotanya. Sebagai institusi keamanan regional CSTO berusaha merangkul tiap-tiap negara anggota di kawasan untuk bersatu menjaga teritori, keamanan, dan mempertahankan kedaulatan. Tujuan ini dapat dilihat dari piagam CSTO pada pasal 3 yang berbunyi:49 “The purposes of the Organization are to strengthen peace and international and regional security and stability and to ensure the collective defence of the independence, territorial integrity and sovereignty of the member States, in the attainment of which the member States shall give priority to political measures” Pasal 3 di atas, memperlihatkan bahwa tujuan dari organisasi CSTO adalah untuk mempersatukan negara-negara di kawasan Asia Tengah dengan tujuan menciptakan pertahanan dan stabilitas keamanan kawasan bersama. Dengan adanya kerja sama keamanan ini, harapan akan stabilitas dan perdamaian kawasan akan semakin bisa diwujudkan. Poin-poin utama teori collective defense dalam CSTO diantaranya teraplikasi pada pasal 3,7 CSTO dan pada pasal 4 traktat CST di mana terdapat keinginan untuk menjaga stabilitas keamanan regional dan membenarkan tindakan kolektif melalui penggabungan kekuatan militer dari tiap negara anggota terhadap ancaman keamanan kawasan.
49
Ibid.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
BAB 3 ANALISIS PANDANGAN PARADIGMA LIBERALISME DALAM PENGATURAN KEAMANAN CSTO Kerja sama CSTO sebagai suatu institusi keamanan dapat dipandang melalui perspektif liberalisme. Bab ini berisi analisis mengenai CSTO berdasarkan teori collective security dan analisis tersebut terbagi ke dalam tiga subbab. Subbab pertama berisi paparan singkat mengenai teori collective security. Selanjutnya, subbab kedua berisi analisis mengenai CSTO berdasarkan karakteristik collective security sebagai salah satu bentuk pengaturan keamanan. Sebagai penutup, subbab ketiga berisi penjelasan mengenai signifikansi dari keberadaan CSTO sebagai suatu bentuk pengaturan keamanan di kawasan Asia Tengah. 3.1 Teori Liberalisme Collective Security Kajian keamanan mengenal dua jenis ancaman (threat) berdasarkan sumbernya, yaitu ancaman yang berasal dari dalam (internal threat) maupun ancaman yang berasal dari luar (external threat). Perspektif mengenai ancaman ini dapat digunakan untuk memandang ancaman baik dalam lingkup negara sebagai entitas tunggal maupun dalam lingkup kawasan. Suatu negara perlu membentuk dan mempertahankan kerja sama yang baik dengan negara tetangganya. Hal ini berfungsi untuk meminimalisasi ancaman eksternal yang mungkin datang dari negara tetangga. Kemudian, kerja sama yang baik dengan negara tetangga juga meminimalisasi kemungkinan munculnya
friksi antarnegara
yang dapat
menimbulkan ancaman internal bagi stabilitas kawasan. Selain itu, kerja sama yang baik antar-negara dalam suatu kawasan membuat kawasan tersebut dapat merespon ancaman dengan lebih baik. Miller dalam tulisannya, menjelaskan bahwa konsolidasi dan tindakan preventif perlu dilakukan untuk mencegah hubungan antarnegara yang saling berkompetisi yang dapat memicu terjadinya konflik fisik maupun ketegangan antara negara.50
50
Miller H. Lynn,“The Idea and reality of Collective Security” dalam Global Governance, Lynne Rienner Pulisher Vol.5 No.3, (1999): 303-332.
25 Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
26
Collective security merupakan bentuk pengaturan keamanan yang cenderung mengusung ide-ide liberalisme. Hal ini ditunjukkan dengan karakter pengaturan keamanan ini yang mengutamakan pembentukan konsolidasi dan penerapan prinsip pertahanan nonprovokatif. Oleh karena itu, negara-negara yang tergabung di dalamnya tidak memberikan ancaman antara satu dengan yang lain. Tidak seperti collective defense yang negara-negara anggotanya berkomitmen untuk menghadapi secara terbuka musuh yang telah disepakati atau diketahui bersama, collective security cenderung memandang ancaman/musuh sebagai sesuatu yang belum dapat dipastikan maupun belum diketahui tetapi akan melakukan tindakan untuk mendukung salah satu negara yang menjadi korban dari musuh yang juga belum diketahui tersebut.51 Contoh dari collective security adalah sistem keamanan kolektif yang terdapat di organisasi Perserikatan BangsaBangsa (PBB), di mana negara-negara anggota harus ikut serta dalam mencegah atau menyingkirkan ancaman-ancaman bagi stabilitas dan perdamaian.52 Karakter yang cukup istimewa dari collective security adalah adanya mekanisme untuk menyelesaikan permasalahan antarnegara dengan sebisa mungkin menghindari penggunaan kekuatan bersenjata atau kekerasan. Kerja sama keamanan yang mengadopsi pengaturan collective security dapat menjatuhkan sanksi bagi negara anggota yang melanggar perjanjian dalam kerja sama organisasi. Sejalan dengan pemikiran neoliberal institusionalis, dasar terjalinnya kerja sama antarnegara adalah kesadaran akan adanya kepentingan yang sama untuk menjaga dan menjamin keamanan negara. Aturan-aturan inilah yang menjadi pedoman bagi negara untuk menjalin kerja sama dan menanggulangi konflik internal. Pengaturan keamanan dalam bentuk collective security tidak hanya bertujuan untuk memunculkan efek gentar (deterrence) pada sumber ancaman, tetapi sekaligus mengubah sifat kompetitif negara menjadi lebih kooperatif. 53 Pengaturan keamanan collective security sama halnya seperti model pengaturan keamanan lainnya, terdapat
prosedur maupun aturan-aturan yang
51
“Collective Security,” Conflict Research Consortium, diakses 25 Januari 2013, http://www.colorado.edu/conflict/peace/treatment/collsec.htm. 52 “UN Charter,” United Nations, diakses 22 Maret 2013, http://www.un.org/en/documents/charter/chapter7.shtml. 53 Lynn,“The Idea and Reality,” 310.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
27
harus ditaati oleh tiap-tiap anggota. Aturan-aturan ini diantaranya juga mencakup pemberlakuan tindakan koersif dalam menangani suatu konflik. Penggunaan tindakan koersif dalam collective security sebisa mungkin akan selalu dihindari, namun hal tersebut dapat menjadi legal apabila tindakan koersif tersebut dilakukan atas dasar kesepakatan dari tiap-tiap elemen dalam institusi maupun dari negara anggota dalam kerja sama keamanan tersebut.54 Prosedur dan aturan dalam kerja sama ini bersifat mengikat, sehingga apabila terdapat negara anggota yang melanggarnya maka dapat dipastikan negara tersebut memperoleh sanksi sesuai ketentuan yang berlaku dalam kerja sama tersebut. Prinsip
pertahanan
dalam
collective
security
cenderung
bersifat
nonprovokatif (non-provocative defense), yang diwujudkan dengan adanya pengawasan terhadap peningkatan kapabilitas kekuatan militer tiap-tiap negara anggota. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberikan dampak positif bagi stabilitas keamanan negara dalam kawasan. Berdasarkan prinsip non-provocative defense tersebut, kerja sama keamanan yang mengadopsi karakteristik collective security akan berusaha menciptakan aturan-aturan untuk menjaga stabilitas serta keseimbangan kekuatan militer masing-masing negara anggotanya untuk menghindari situasi security dilemma antarnegara.55 Apabila terdapat salah satu negara yang melakukan peningkatan kekuatan militer dalam kapasitas yang dianggap melebihi batas yang wajar serta memperlihatkan kemungkinan mengancam negara tetangganya dalam kawasan, negara tersebut dapat dijatuhi sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.56 Pengaturan keamanan dengan karakteristik collective security menaruh perhatian utama terhadap proses penanganan/penyelesaian konflik internal. Telah disebutkan sebelumnya bahwa pengaturan keamanan dengan model ini akan berupaya untuk menyelesaikan konflik internal yang terjadi antarnegara dengan cara-cara damai dan diplomatik. Tindakan koersif adalah pilihan terakhir yang dilakukan apabila cara-cara damai melalui mediasi maupun hubungan diplomatik tidak lagi efektif. Oleh karena itu, untuk menghindari tindakan koersif pengaturan keamanan dengan karakteristik collective security harus memiliki ruang mediasi 54
Sabev, European Security, 20. Mwagwabi, “The theory of Collective,” 8. 56 Ibid., 9-10. 55
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
28
dan konsultasi untuk mencegah munculnya ketegangan baru antarnegara yang dapat menciptakan instabilitas kawasan. 57 3.2 Liberalisme Collective Security dalam CSTO Subbab ini berisi analisis mengenai adanya karakteristik collective security yang
sudah
dijelaskan
dalam
subbab
sebelumnya–pandangan
terhadap
kemungkinan sumber ancaman, mekanisme penyelesaian konflik, mekanisme penanganan terhadap ancaman, dan cooperative building-dalam kerja sama keamanan CSTO. Bagian pertama berisi uraian mengenai jenis-jenis ancaman yang ada di kawasan Asia Tengah, bagian kedua berisi analisis mengenai peranan CSTO dalam menanggulangi ancaman di Asia Tengah, sedangkan bagian ketiga berisi analisis terhadap kesesuaian karakteristik collective security terhadap kerja saman keamanan CSTO. 3.2.1 Ragam Ancaman Internal di kawasan Asia Tengah Seperti yang telah dijelaskan, Asia Tengah merupakan salah satu kawasan yang sangat strategis, kawasan ini juga memiliki berbagai potensi SDA seperti minyak, gas,dan air. Walaupun memiliki berbagai potensi, kawasan Asia Tengah juga tak dapat lepas dari berbagai masalah keamanan. Masalah keamanan yang dialami negara-negara di kawasan ini begitu kompleks seperti ancaman tradisonal hingga nontradisional yang sangat potensial menggangu stabilitas keamanan di kawasan. Secara umum, Hooman Peimani melihat ancaman keamanan di Asia Tengah tidak hanya terdiri dari ancaman keamanan eksternal namun juga secara internal. 58 Ancaman internal dapat didefinisikan sebagai ancaman yang berasal dari dalam kawasan. Jenis ancaman ini cenderung merujuk pada adanya potensi konflik dan sengketa antarnegara di kawasan contohnya sengketa perbatasan antarnegara, konflik etnis, gerakan ekstremis dan lain sebagainya. Dalam tulisan Hooman disebutkan bahwa ancaman internal di Asia Tengah dibagi dalam dua kategori ancaman yaitu intra-republic threat dan inter-republic threat. Intrarepublic threat merupakan ancaman yang bersumber pada konflik/sengketa yang terjadi di ranah domestik suatu negara tertentu, seperti pemberontakan maupun 57
Alexander Orakhelashvili, Collective Security (USA: Oxford University Press, 2011), 16. 58 Peimani, Regional Security, 69.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
29
konflik antarsuku. Inter-republic threat mengacu kepada ancaman yang bersumber pada konflik/sengketa yang melibatkan dua negara atau lebih dalam suatu kawasan, misalnya sengketa wilayah antara Uzbekistan dan Kazakstan. 59 Negara-negara di Asia Tengah memiliki beragam intra-republic threat yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan kawasan tersebut. Salah satunya adalah perang sipil yang terjadi antara pemberontak Tajik, yang merupakan penganut Islam dan cenderung liberal, dengan pemerintah Tajikistan yang masih bersifat komunis pada tahun 1991.60
Serangkaian perang sipil ini
sempat
menimbulkan keresahan/ketakutan diantara semua pemimpin di Asia Tengah manakala skala kekuatan oposisi Tajik semakin meningkat. Intra-republic threat lainnya yang turut berpotensi mengancam stabilitas kawasan Asia Tengah adalah konflik bersenjata antara pasukan Uzbekistan dengan ekstremis Islam. 61 Instabilitas keamanan yang terjadi di Uzbekistan dinilai dapat mengganggu stabilitas keamanan Asia Tengah secara keseluruhan. Seperti negara di kawasan lainnya, terdapat beragam permasalahan dan ancaman internal yang menghantui negara–negara di kawasan ini. Inter-republic threat di kawasan Asia Tengah muncul dalam bentuk aksi terorisme maupun aksi pemberontakan. Salah satu contoh inter-republic threat yang krusial di kawasan Asia Tengah adalah ancaman terorisme dari Islamic Movement of Uzbekistan (IMU) yang berlangsung antara akhir dekade 1990 hingga tahun 2000 serta pemberontakan oleh ekstremis Islam di Tajikistan. 62 Konflik-konflik ini menunjukkan bahwa ancaman internal yang ada di kawasan Asia Tengah, baik yang berupa intra-republic maupun inter-republic threat, sangat bervariasi, mulai dari konflik teritorial hingga konflik sipil. Keberagaman ancaman yang terdapat di kawasan Asia Tengah serta kapabilitas negara-negara di kawasan tersebut yang tergolong rendah untuk menghadapi ancaman membuat kemunculan kerja sama keamanan di tingkat regional menjadi penting adanya. Untuk itulah kemudian CSTO dimunculkan
59
Ibid. “Central Asia Border.” 61 Ibid. 62 Ibid. 60
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
30
dengan harapan dapat membantu negara-negara di Asia Tengah untuk menanggulangi dan menangani beragam ancaman keamanan yang selama ini mereka hadapi. CSTO sebagai pengaturan keamanan kawasan menempatkan isu ancaman internal sebagai isu utama yang harus di atasi oleh tiap negara anggota. Ancaman internal ini teridentifikasi dalam bentuk ancaman yang beragam seperti ancaman terorisme, jaringan narkoba, imigrasi ilegal maupun konflik sipil dan etnis yang ada di kawasan Asia Tengah. Berdasarkan penjelasan ragam ancaman internal di atas, dapat dipahami bahwa definisi ancaman internal dalam teori collective security ternyata juga diaplikasikan oleh negara-negara anggota CSTO. Poin terpenting dalam sebuah pengaturan keamanan yang mengadopsi karakteristik collective security adalah sebuah pengaturan keamanan organisasi harus memiliki ruang mediasi dan konsultasi bagi negara anggota. Oleh karena itu, pascakonflik internal di Kirgistan pada tahun 2010 CSTO mengupayakan untuk menciptakan ruang mediasi bagi tiap negara anggota dalam mengatasi konflik internalnya.63 Respon pembentukan badan mediasi pascakonflik ini menjadi langkah baru bagi CSTO untuk mengusahakan proses-proses dialog damai antarnegara. 3.2.2 Signifikansi Keberadaan CSTO dalam menanggulangi ancaman Internal Asia Tengah Kebutuhan akan adanya lembaga atau institusi yang dapat memfasilitasi konsolidasi dan kerja sama militer antarnegara di kawasan Asia Tengah setidaknya terjawab dengan dibentuknya CSTO. CSTO berfungsi sebagai ruang kerja sama keamanan dan juga sebagai ruang untuk mengkonsolidasikan kepentingan dari tiap-tiap negara di kawasan. CSTO memungkinkan negaranegara di kawasan untuk duduk bersama dalam upaya mencari solusi terbaik terhadap permasalahan keamanan yang sedang dihadapi. Walaupun upaya mediasi terhadap konflik antarnegara di kawasan belum menunjukkan
prestasi,
setidaknya
CSTO
telah
menunjukkan
beberapa
kontribusinya untuk menyatukan negara-negara di kawasan dalam situasi aman
63
The Diplomat, “Uzbekistan withdrawal CSTO,” 22 Maret 2013, http://thediplomat.com/2012/07/11/the-great-game-2-0/.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
31
dan damai seperti diantaranya yaitu kesuksesan CSTO dalam penerapan zona bebas nuklir kawasan bagi negara-negara anggota.64 Peran sentral CSTO dalam menjaga stabilitas keamanan kawasan juga dapat dilihat dari prestasi Collective Rapid Reaction Force (CRRF). CSTO memiliki peran untuk menerjunkan pasukan perdamaian CRRF ke medan konflik, maupun melakukan operasi kontra-terrorisme ke wilayah negara yang teridentifikasi mendapat ancaman keamanan.65 Tercatat serangkaian operasi kontra-terorisme telah dilakukan CSTO di negara-negara Asia Tengah seperti Kazakhstan, Uzbekistan dan Tajikistan. Menurut laporan Global Terrorism Index (GTI) negara-negara di kawasan Asia Tengah merupakan salah satu dari 156 negara yang mengalami dampak buruk dari aksi terorisme seperti Kazakhstan, Uzbekistan dan Tajikistan.66 Oleh karena itu, peran CSTO sangat dibutukan untuk meminimalisasi ancaman kawasan tersebut. CSTO memiliki wewenang untuk mengirim pasukan CRRF ke ranah konflik negara anggota. Dalam hal ini pasukan yang diturunkan di ranah konflik/ancaman didefinisikan oleh tiap negara anggota sebagai pasukan perdamaian dan bukan pula sebagai bentuk intervensi dari organisasi keamanan terhadap kedaulatan negara.67 Pengiriman pasukan CSTO ke ranah konflik seperti rapid reaction forces terlebih dahulu harus melalui suatu proses dialog yang melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan yang juga telah diatur dalam badan Council CSTO. Selain itu, pelaksanaan operasinya juga harus tetap dikontrol sesuai dengan tujuan awal pembentukan pasukan tersebut yaitu untuk menciptakan stabilitas dan perdamaian kawasan. Tindakan ini telah diatur dalam piagam CSTO pada pasal 5 berikut ini68:
64
Collective Security Treaty Organization, “The Final Document of International Conference Interaction of NGOs in the CSTO Member states in Strengthening Nonproliferation of Nuclear Weapons, the concept a Nuclear-Free Zone in Central Asia,” ( Final Document CSTO International Conference, Dushanbe, 17-18 Oktober 2009). 65 “Cooperation 2012 Joint Military Exercise Has Begun,” The Collective Rapid Reaction Force, diakses 28 Maret 2013, http://www.mil.am/1347701281/page/58. 66 Universal News wires, “Central Asia Rank Midway in Global Terrorism Index,” 5 Desember 2012, http://www.universalnewswires.com/centralAsia/Kirgistan/viewstory.aspx?id=13273. 67 “CSTO Charter.” 68 Ibid.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
32
“The Organization shall operate on the basis of strict respect for the independence, voluntary participation and equality of rights and obligations of the member States and non-interference in matters falling within the national jurisdiction of the member States.” Pasal 5 piagam CSTO di atas menunjukkan posisi CSTO sebagai pengaturan keamanan kawasan yang tetap menjunjung tinggi kedaulatan negara anggota dengan menerapkan prinsip nonintervensi. Penggunaan pasukan khusus bisa dilakukan apabila salah satu negara anggota tidak bisa lagi mengatasi ancaman yang muncul dari dalam negaranya. Melalu mekanisme konsultasi bersama dan disepakati oleh tiap negara anggota barulah operasi militer seperti komando reaksi cepat CSTO bisa diturunkan untuk menghilangkan ancaman keamanan.69 Keinginan untuk menciptakan stabilitas keamanan kawasan, telah terkonsep sejak awal organisasi ini dibentuk. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 8 piagam CSTO yang berbunyi: “The member States shall coordinate and harmonize their efforts in combating international terrorism and extremism, the illicit traffic in narcotic drugs, psychotropic substances and arms, organized transnational crime, illegal migration and other threats to the security of the member States.” Pasal 8 piagam CSTO di atas memperlihatkan bahwa CSTO menyadari bahwa masalah keamanan patut menjadi agenda utama dalam kerja sama keamanan. Oleh karena itu, CSTO memiliki kewajiban untuk memberikan rasa aman bagi setiap negara anggotanya. Apabila kebutuhan akan stabilitas dan keamanan tersebut gagal dipenuhi, maka dampak instabilitas secara ekonomi, keamanan, maupun politik akan menjadi konsekuensinya. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan organisasi CSTO menciptakan aturan-aturan, lembaga organisasi, dan instrumen keamanan untuk menghadapi ancaman keamanan yang ada di dalam kawasan. Selain pada pasal 8, perhatian CSTO terhadap masalah keamanan dan perdamaian juga tercantum dalam pasal 3 piagam CSTO70 yang berbunyi: 69
“The Concept of Collective Security,” Collective Security Treaty Organization Official Site, diakses 14 Maret 2013, http://www.odkb.gov.ru/b/azc.htm. 70 “CSTO Charter.”
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
33
“The purposes of the Organization are to strengthen peace and international and regional security and stability and to ensure the collective defence of the independence, territorial integrity and sovereignty of the member States, in the attainment of which the member States shall give priority to political measures.” Pasal 3 piagam CSTO di atas menunjukkan salah satu tujuan dibentuknya organisasi ini adalah untuk mengusahakan terciptanya perdamaian, keamanan, dan stabilitas tidak hanya dalam lingkup regional tetapi internasional. Tujuan inilah kemudian menjadi dasar dari segala kebijakan CSTO untuk mencapai tujuan organisasi dalam lingkup yang lebih luas. Oleh karena itu, CSTO membuka diri untuk menjalin kerja sama dengan organisasi keamanan internasional lainnya seperti SCO. Komitmen CSTO dalam permasalahan keamanan dalam ruang lingkup regional dan internasional ini juga dapat dilihat pada pasal 9 piagam CSTO sebagai berikut: “The member States shall agree upon and coordinate their foreign policy positions regarding international and regional security problems, using, inter alia, the consultation mechanisms and procedures of the Organization.” Berdasarkan pasal 9 di atas, negara anggota wajib menyetujui dan mengkoordinasikan posisi kebijakan luar negeri mereka terhadap masalah keamanan internasional dan regional dengan cara menggunakan mekanisme konsultasi dan prosedur organisasi. Bila salah satu negara anggota mendapat ancaman keamanan maka tiap negara anggota dalam organisasi harus melakukan konsultasi dan mediasi terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan secara kolektif
terhadap ancaman keamanan tersebut. Prosedur dalam organisasi
maupun piagam yang terdapat dalam kerja sama CSTO mengikat dan apabila terjadi pelanggaran terhadap perjanjian maka pemberian sanksi bisa dilakukan oleh organisasi.71 Sejauh ini CSTO telah berkontribusi terhadap stabilitas keamanan kawasan Asia Tengah, melalui Collective Rapid Reaction Force (CRRF) CSTO berhasil meminimalisasi aksi terorisme, gerakan ekstremis, dan konflik antaretnis 71
Ibid.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
34
di setiap wilayah negara anggota. CSTO juga berkontibusi dalam berbagai proses penyelesaian sengketa antarnegara anggota ambil contoh pascakrisis Kirgistan Selatan CSTO menciptakan ruang mediasi dan konsultasi konflik bagi tiap negara anggota. Oleh karena itu, kerja sama keamanan dalam CSTO dilihat dapat menciptakan stabilitas keamanan secara internal maupun eksternal kawasan Asia Tengah. 3.2.3 Identifikasi Karakteristik Pengaturan Keamanan Collective Security dalam CSTO Berdasarkan uraian yang diberikan pada bagian sebelumnya, dapat diketahui empat karakteristik utama dari CSTO sebagai suatu pengaturan keamanan di Asia Tengah. Pertama, CSTO tidak hanya berfokus pada ancaman eksternal, tetapi juga ancaman internal di kawasan Asia Tengah yang bentuknya beragam, seperti terorisme, konflik etnis, maupun konflik perbatasan antarnegara. Kedua, dalam menghadapi ancaman internal, CSTO sebagai organisasi keamanan kawasan menginginkan adanya komitmen dari tiap anggota untuk menciptakan stabilitas dan perdamain kawasan yaitu dengan menerapkan prinsip pertahanan nonprovokatif. Upaya menerapkan pertahanan nonprovokatif ini setidaknya bisa terwujud dengan kesuksesan CSTO dalam menerapkan zona bebas nuklir di kawasan Asia Tengah. Traktat maupun perjanjian yang telah disetujui oleh masing-masing negara anggota menjadi menjadi dasar untuk membina hubungan baik antarnegara di kawasan. Traktat dan piagam organisasi ini juga bisa digunakan sebagai petunjuk kerja organisasi dalam menghadapi ancaman keamanan kawasan. Ketiga, sebagai pengaturan keamanan kawasan CSTO
memiliki peran
sebagai fasilitator mediasi dan konsultasi sengketa maupun konflik antarnegara anggota.72
Oleh karena itu, CSTO tidak hanya dilihat sebagai kerja sama
keamanan dengan basis kekuatan militer antarnegara tetapi juga sebagai ruang mediasi dan konsultasi bagi konflik maupun sengketa yang terjadi di negara anggotanya. CSTO menyadari akan pentingnya perdamaian dan stabilitas bagi tiap negara-negara anggotanya. Oleh karena itu, CSTO mendorong negara-negara 72
The Diplomat, “Rusia’s Plan to use Regional Organizations,” 18 Mei 2013, http://thediplomat.com/2012/07/11/the-great-game-2-0/.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
35
anggotanya untuk saling menjaga satu sama lain dari berbagai ancaman yang dapat mengganggu stabilitas keamanan kawasan. Hal ini dapat kita lihat pada bagian pembukaan piagam CSTO yang berbunyi: “Seeking to establish favourable and stable conditions for the full development of the States Parties to the Treaty and to ensure their security, sovereignty and territorial integrity 73” Keempat bila ancaman internal/konflik domestik seperti konflik antaretnis, perdagangan narkoba, dan trorisme tidak bisa lagi di atasi oleh pemerintah negara anggota, maka pasukan CSTO bisa diturunkan untuk
menangani ancaman
tersebut tentunya dengan mengutamakan proses konsultasi antarnegara anggota sebelum memulai aksi kolektif ataupun pengiriman pasukan perdamaian ke arena konflik. Penerapan prinsip nonintervensi tetap berlaku oleh karena itu, CSTO tidak bisa secara sepihak melakukan pengerahan pasukan ke wilayah konflik. Prinsip ini telah diatur dalam piagam CSTO pada pasal 5 yang telah penulis jelaskan sebelumnya pada subbab 3.2.2. Merujuk pada teori collective security, terdapat 4 poin utama yang menunjukkan karakteristik sebuah institusi pengaturan keamanan dengan model pengaturan collective security. Pertama, terdapat ancaman internal yang menjadi perhatian dari tiap-tiap negara anggota dalam organisasi keamanan. Kedua terdapat suatu sistem yang mengikat dari pengaturan keamanan tersebut sehingga bisa memungkinkan diberlakukannya penjatuhan sanksi terhadap negara anggota yang melanggar aturan maupun perjanjian. Ketiga suatu institusi keamanan dengan karakteristik collective security memiliki fungsi sebagai ruang konsultasi maupun mediasi bagi negara-negara anggotanya. Salain itu, organisasi dengan karakteristik collective security akan memilih tindakan koersif sebagai opsi/pilihan terakhir apabila mediasi maupun konsultasi dengan cara-cara damai tidak lagi memungkinkan. Keempat, terdapat komitmen kuat dari tiap-tiap negara anggota untuk menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan maupun dalam ruang lingkup yang lebih luas yaitu keamanan dunia salah satunya dengan menerapkan prinsip pertahanan nonprovokatif. 73
“CSTO Charter.”
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
36
Jadi, dapat dipahami bahwa hampir semua elemen karakteristik pengaturan keamanan dalam teori collective security telah teradopsi dengan baik di dalam kerja sama keamanan CSTO. Karakteristik yang teradopsi dengan baik ini seperti Pertama, berkaitan dengan definisi dan persepsi terhadap ancaman internal. Kedua, berkaitan dengan prinsip pertahanan nonprovokatif. Ketiga, berkaitan dengan ruang mediasi/konsultasi74. Keempat, CSTO sebagai organisasi keamanan tidak hanya berperan sebagai ruang media dan konsultasi negara. CSTO juga bisa melakukan pengerahan kekuatan militer untuk mengatasi ancaman keamanan negara anggota tentunya dengan mekanisme konsultasi maupun konsensus yang telah diatur dalam piagam dan traktat organisasi.
74
Melalui badan council yang ada dalam organisasi, CSTO dapat membawa negaranegara anggota untuk duduk bersama dalam forum resmi organisasi untuk membicarakan masalah keamanan. Melalui forum diskusi dan konsultasi di dalam organisasi, CSTO berhasil melakukan kontrol kebijakan pertahanan dengan menerapkan zona bebas nuklir antarnegara di kawasan Asia Tengah.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
BAB 4 ANALISIS PANDANGAN PARADIGMA KONSTRUKTIVISME DALAM PENGATURAN KEAMANAN CSTO Kerja sama CSTO sebagai suatu institusi keamanan juga dapat dipandang melalui perspektif konstruktivisme. Bab ini berisi analisis mengenai CSTO berdasarkan teori security community dan analisis tersebut terbagi ke dalam empat subbab utama. Subbab pertama berisi paparan singkat mengenai teori security community. Selanjutnya, subbab kedua berisi analisis mengenai CSTO berdasarkan karakteristik security community sebagai salah satu bentuk pengaturan keamanan. Subbab ketiga berisi analisis identifikasi penggunaan tindakan koersif di kawsan Asia Tengah. Sebagai penutup, subbab keempat berisi penjelasan mengenai signifikansi dari keberadaan CSTO sebagai suatu bentuk pengaturan keamanan di kawasan Asia Tengah. . 4.1 Teori Konstruktivisme Security Community/Komunitas Keamanan Karl Deutschs mendefinisikan komunitas keamanan sebagai kelompok negara yang telah terintegrasi sedemikian rupa sehingga bisa dikatakan bahwa hubungan damai antarnegara di dalamnya telah terjalin dengan mapan dan dalam waktu yang cukup lama. Menurut Deutschs. 75 “A security community, therefore, is one in which there is real assurance that the members of that community will not fight each other physically, but will settle their disputes in some other way. If the entire world were integrated as a security community, wars would be automatically eliminated.”
Konsep ”komunitas”, dalam komunitas keamanan, bukanlah dibatasi oleh wilayah nasional, seperti halnya komunitas dalam suatu negara, namun dalam tataran internasional dan antarnegara. Sebuah komunitas keamanan dapat tercipta ketika sekelompok orang terintegrasi pada satu titik hingga mereka merasakan setiap anggota dalam komunitas tidak akan bertempur secara fisik satu sama lain untuk menyelesaikan masalah, tapi mencari cara lain untuk melakukannya. 76
75
Karl W. Deutsch, “Political Community And The North Atlantic Area,” dalam International political Communities, diedit oleh Karl W. Deutsch, et al. ( Princeton N.J: Princeton University Press, 1957), 2-5. 76 Ibid.
37 Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
38
Berakar dari ranah sosiologi, Deutsch menyebutkan pentingnya faktor kesamaan nilai-dan-norma, identitas, serta rasa saling percaya dalam membentuk suatu komunitas. Bagi Deutsch, komunikasi menjadi sarana penting dalam proses pembentukan rasa percaya antar-anggota. Jalinan kepercayaan dan kesamaan nilai yang berlaku pada komunitas sosiologis ini, yang kemudian dikembangkan oleh Deutsch dalam konteks politik internasional menjadi konsep komunitas keamanan.77 Bila dibandingkan dengan cara pandang realis atau liberalis yang melihat hubungan antar-negara dilakukan atas dasar kepentingan, komunitas keamanan melihat hubungan antar-negara atas dasar identitas yang dibagi bersama (shared identity). Kesamaan identitas dan rasa-percaya antar-negara akan timbul seiring dengan banyaknya ”transaksi” atau dalam bahasa lainnya interaksi antarnegara yang terus dibangun. Bila peran aliansi dalam collective defense hanya memberikan perhatian terhadap ancaman yang berasal dari luar, sedangkan peran collective security hanya menjaga stabilitas keamanan dari ancaman internal, komunitas keamanan memberi perhatian yang sama terhadap keduanya (internal dan eksternal) agar ancaman tersebut tidak berkembang menjadi konflik terbuka antarnegara. Komunitas keamanan menginginkan negara-negara yang tergabung untuk membentuk satu identitas yang sama yaitu non-coercive identity. Negara-negara didorong untuk membentuk pola prilaku yang sama di mana keamanan dan stabilitas dijadikan prioritas dan tujuan utama. Selain itu, seperti yang telah dijelaskan di atas, negara-negara dalam komunitas keamanan didodorong untuk menyelesaikan konflik dengan cara-cara damai. Citra Nandini dalam Tugas Karya Akhirnya melihat bahwa security community
sebagai konsep abstrak
menginginkan adanya identitas yang sama antarnegara.
78
yang
Walaupun demikian,
beliau berpandangan bahwa penerapan security community pada dasarnya dapat mendorong negara-negara untuk membentuk suatu komunitas yang disatukan oleh persamaan prinsip dan idealisme yang terjalin dalam rentan waktu yang cukup lama dari interaksi antarnegara di dalamnya yang dapat berujung pada suatu identitas tertentu.79 77
Ibid. Nandini, “Pandangan Paradigma,” 8. 79 Ibid. 78
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
39
Walaupun tidak memiliki kekuatan mengikat secara kuat/legal namun security community dinilai dapat mengikat negara anggotanya dengan cara-cara lain yaitu dengan adanya kesamaan prinsip dan identitas. Bila kesamaan nilai, norma, dan identitas bisa dibentuk dalam suatu komunitas maka stabilitas keamanan akan dengan mudah didapatkan. Prinsip non-coercive action dapat teraplikasi dalam suatu komunitas keamanan karena diadopsi secara sukarela oleh tiap negara. Hal ini terjadi karena adanya kesamaan nilai dan norma di mana negara-negara dalam komunitas sepakat untuk tidak menggunakan tindakan koersif sebagai instrumen dalam menciptakan perdamaian.
4.1.1 Tipe Komunitas Keamanan Sebagai tambahan, ada dua tipe komunitas keamanan yang dikemukakan oleh Deutsch. Pertama, tipe komunitas keamanan teramalgamasi (amalgamated security community) dan yang kedua, tipe komunitas keamanan pluralistik (pluralistic security community).80 Komunitas keamanan yang teramalgamasi merupakan penggabungan dua atau lebih unit-unit independen menjadi satu unit yang lebih besar, dengan satu pemerintahan bersama. Contohnya adalah Amerika Serikat, yang merupakan amalgamasi dari tiga belas koloni independen pada tahun 1776. Sementara komunitas keamanan pluralistik tetap memiliki pemerintahan sendiri-sendiri; contohnya, Organization for Security and cooperations in Europe (OSCE) dan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Masing-masing negara punya pemerintahan independen, namun sepakat untuk tidak menggunakan kekerasan bersenjata untuk menyelesaikan konflik baik di dalam maupun di antar-negara. Konsep yang kedua ini yaitu pluralistik yang lebih umum ditemui. Selanjutnya, Adler dan Barnett dalam mengartikan komunitas menemukan setidaknya 3 ciri yaitu:81 Pertama, adanya identitas, nilai, dan pengertian bersama di antara masing-masing anggota komunitas. Kedua, adanya hubungan langsung dalam berbagai dimensi. Ketiga adanya resiprositas untuk mewujudkan kepentingan jangka panjang. Ciri ini serupa dengan yang dikemukakan oleh 80
Deutsch, “Political Community,” 3-20. Emanuel Adler dan Michael Barnett, Security Communities (Cambridge: Cambridge University Press,1998), 31.
81
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
40
Deutsch di atas. Dengan adanya ciri ini, wilayah atau region dalam konteks komunitas keamanan regional diartikan bukan dalam dimensi ruang (kedekatan wilayah) tetapi lebih kepada kesamaan identitas, nilai, dan pengertian. 4.1.2 Perkembangan Komunitas Keamanan Adler dan Barnett mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga fase yang menentukan dalam perkembangan komunitas keamanan, yaitu: 82 Fase 1: permulaan, dalam fase ini, pemerintah tidak secara eksplisit berusaha untuk membuat komunitas keamanan. Namun pemerintah mulai menyadari untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah lain dalam mengusahakan keamanan bersama. Fase 2: fase ini ditandai dengan bertambahnya jaringan, institusi dan organisasi baru yang mencerminkan koordinasi dan kerja sama militer yang lebih erat; berkurangnya rasa takut ketika pihak lain menunjukkan ancaman; adanya struktur kognitif (knowledge) yang mendorong untuk bekerja sama yang kemudian berimbas pada semakin dalamnya tingkat rasa saling percaya (mutual trust). Fase 3: pada fase ini komunitas keamanan menjadi lebih matang dan lebih terinstitusionalisasi baik dalam tingkat domestik maupun tingkat supranasional. Perang di dalam region dapat dikatakan menjadi tidak mungkin (improbable). 4.2 Konstruktivisme Security Community dalam CSTO Terdapat 4 poin utama konstruktivisme dalam teori security community yang dapat dijadikan sebagai alat analisis dalam karya tulis ini. Pertama, security community menempatkan perhatian yang sama terhadap ancaman keamanan baik itu ancaman keamanan eksternal maupun internal. Kedua, security community menginginkan adanya sebuah pengaturan keamanan yang dapat menerapkan proses penyelesaian sengketa maupun konflik antarnegara dengan cara-cara damai sehingga tindakan koersif dapat diminimalisasi atau dihilangkan. Ketiga tindakan koersif/coercive action secara militer adalah tindakan yang paling tidak diinginkan oleh security community. Dan terakhir Interaksi/kerja sama antarnegara harus selalu dibangun. Bila interaksi harmonis antarnegara terus dibangun, maka dalam pandangan security community kesamaan nilai, norma dan identitas akan terwujud sehingga potensi konflik antarnegara akan semakin kecil. Selanjutnya, 82
Ibid., 50.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
41
dalam subbab ini akan dijelaskan pengaplikasian teori security community terhadap CSTO di kawasan Asia Tengah. 4.2.1 Identifikasi Penggunaan Tindakan Koersif di Kawasan Asia Tengah Kedekatan wilayah yang saling terhubung antarnegara Asia Tengah mewarnai kompleksitas keamanan negara-negara yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, apabila terjadi masalah keamanan di salah satu negara maka permasalahan tersebut akan mudah menyebar ke negara lain di kawasan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, masing-masing negara di kawasan ini memiliki permasalahan keamanan internal maupun eksternal yang bisa saja memunculkan instabilitas keamanan kawasan. Oleh karena itu, sebuah pengaturan keamanan sangat dibutuhkan untuk mencegah tindakan koersif antarnegara demi terciptanya stabilitas keamanan bersama di kawasan Asia Tengah. Negara-negara di kawasan Asia Tengah merupakan negara yang rawan konflik baik dalam ranah domestik negara maupun konflik antarnegara. Kemungkinan penggunaaan kekuatan militer maupun penggunaan senjata nuklir pun cenderung besar di kawasan ini. Ancaman keamanan seperti terorisme, gerakan ekstremis dan lain sebagainya memungkinkan negara-negara di kawasan untuk mengambil tindakan koersif untuk menghilangkan ancaman tersebut. Contoh kasus pada konflik di Kirgistan Selatan, pemerintah Kirgistan masih melakukan tindakan koersif dengan menerjunkan pasukan militer untuk membantai etnis Uzbek. Selain itu, konflik oposisi dan pemerintah Kirgistan juga diwarnai dengan tindakan koersif oleh negara. 83 Contoh lain adalah perang sipil yang terjadi di Tajikistan antara pemberontak dan pemerintah pada tahun 1992 di mana pemerintah Tajikistan melakukan serangan militer terhadap kelompok oposisi yang dianggap sebagai ancaman keamanan negara.84 Dari semua contoh kasus di atas, dapat diketahui bahwa tradisi negaranegara di kawasan Asia Tengah dalam menghadapi ancaman keamanannya adalah dengan menggunakan tindakan koersif. Penggunaan tindakan koersif adalah pilihan yang masih diterapkan masing-masing negara di kawasan terhadap
83
“ Kyrgyzstan,” Geshellschaff Fur Internationale Zusammenarbeit, diakses 19 Maret 2013, http://www.giz.de/en/worldwide/356.html. 84 “Tajikistan Civil War 1992-1994,” Wars of the World, diakses 19 Maret 2013, http://www.onwar.com/aced/data/tango/tajik1992b.htm.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
42
masalah keamanan yang mereka hadapi. Walaupun saat ini penggunaan cara-cara mediasi, konsultasi dan diplomasi mulai dilakukan, namun untuk mencapai keadaan kondusif bagi keamanan di kawasan bukanlah hal yang mudah. Beberapa negara Asia Tengah masih sulit diajak berunding untuk menghasilkan solusi damai terhadap sengketa yang terjadi ambil contoh pada kasus krisis di Kirgistan Selatan.85
Pemerintahan
lebih memilih opsi penggunaan tindakan
koersif terhadap oposisi akibatnya banyak pihak yang menjadi korban dalam konflik sipil ini. Terdapat beberapa penyebab tingginya potensi konflik fisik dan penggunaan tindakan koersif di negara-negara Asia Tengah. Pertama, negara di kawasan Asia Tengah ketika masih berada dibawah kekuasaan Uni Soviet memang telah lama memiliki latar belakang konflik internal seperti konflik etnis dan lain sebagainya. Penggunaan tindakan koersif pada saat itu adalah pilihan yang paling memungkinkan untuk menghilangkan ancaman yang muncul. Kedua, pascaruntuhnya Uni Soviet negara-negara di kawasan ini muncul sebagai negara baru, permasalahan yang muncul pun tidak serta merta bisa di atasi dengan jalan diplomasi dan mediasi. Menurut Martha Brill Olcott, negara-negara Asia Tengah adalah salah satu gambaran “keterpaksaan” di mana pascaruntuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, lima republik Uni Soviet ini muncul sebagai pemain baru dalam hubungan internasional dengan persiapan yang begitu minim dan tanpa pengalaman. 86 Dengan kata lain kemerdekaan yang diperoleh negara-negara ini menurut Martha sebagai “kejutan”
yang tidak mereka inginkan karena pada
dasarnya mereka menyadari permasalahan yang diwariskan pada era Uni Soviet tidak akan bisa diselesaikan dengan mudah. 87 Oleh karena itu tanpa pengalaman yang matang konflik-konflik yang terjadi di kawasan seperti konflik sipil Tajikistan pada 1992, konflik Kirgistan masih
diselesaikan dengan cara-cara
koersif oleh pemerintah.
85
Richard Weitz, “Why is the CSTO absent in the Kyrgyz crisis,” Central Asia-Caucasus Institute, 6 September 2010, http://www.cacianalyst.org/?q=node/5344. 86 Gleason Gregory, “Legacies of Central Asia,” dalam The Central Asian State: Discovering Independence, diedit oleh Gleason Glregory dan Martha Brill Olcott (Colorado: Westview Press, 1997), 27. 87 Ibid.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
43
Faktor lain yang memungkinkan negara untuk memilih menggunakan tindakan koersif terhadap ancaman keamanan di kawasan ini adalah keberadaan kekuatan militer dan fungsi dari kekuatan militer tersebut. Dapat dikatakan selama kekuatan militer masih digunakan sebagai instrumen untuk mengatasi ancaman keamanan kawasan, maka tidak ada jaminan bagi negara-negara di kawasan ini untuk tidak menggunakan tindakan koersif untuk menjaga stabilitas keamanannya dari ancaman dan konflik yang terjadi baik secara internal maupun eksternal. 4.2.2 Peranan CSTO Mengurangi Penggunaan Tindakan Koersif di Asia Tengah Salah satu tujuan dibentuknya CSTO sebagai pengaturan keamanan kawasan Asia Tengah adalah untuk menciptakan perdamaian dan keamanan di kawasan maupun dalam lingkup yang lebih luas yaitu perdamaian dunia. Upaya mediasi dan konsultasi dewasa ini mulai menjadi agenda utama CSTO untuk mulai menerapkan pengurangan tindakan koersif terhadap masalah keamanan yang dihadapi oleh masing-masing negara anggota di kawasan Asia Tengah. Tidak hanya sebagai aliansi keamanan bersama dalam bidang militer, CSTO mulai menginginkan adanya mediasi dan konsultasi terlebih dahulu sebelum melakukan tindakan kolektif terhadap masalah keamanan yang dihadapi oleh negara anggota. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selama masih ada instrumen kekuatan militer yang dimiliki oleh negara, tidak ada jaminan suatu tindakan koersif tidak dilakukan. Negara akan cenderung memilih tindakan koersif untuk menghilangkan ancaman yang muncul ambil contoh pada konflik sipil antara pemerintah dan oposisi di Kirgistan dan Tajikistan. Tindakan koersif adalah salah satu pilihan terbaik menurut pemerintah untuk menangkal kekuatan oposisi. Oleh karena itu, cita-cita tentang ketiadaan tindakan koersif di kawasan Asia Tengah seperti harapan security community belum bisa terwujud di mana masih terjadi serangkaian konflik etnis dan ancaman terorisme yang memerlukan tindakan koersif dari negara untuk mengatasinya. Karakter pengaturan keamanan CSTO memungkinkan tindakan koersif terjadi dalam upaya penanganan masalah maupun reaksi terhadap ancaman keamanan. Walaupun upaya mediasi dan konsultasi ada di dalam agenda dan
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
44
program kerja CSTO, namun hal tersebut tidak akan menghilangkan karakter dasar organisasi itu sendiri sebagai sebuah organisasi militer yang membenarkan dan melegalkan penggunaan tindakan koersif sebagai instrumen untuk menciptakan stabilitas keamanan. Sejauh ini organisasi keamanan CSTO belum bisa mencegah tindakan koersif dari negara-negara anggotanya. Masih adanya prinsip nonintervensi yang telah diatur dalam piagam maupun traktat membuat organisasi keamanan ini tidak bisa melakukan intervensi terhadap proses penyelesaian konflik internal negara anggotanya seperti dalam kasus krisis Kirgistan Selatan diatas. Upaya perdamaian yang dilakukan CSTO pun masih dalam bentuk pengerahan kekuatan militer seperti pasukan perdamaian dan pengerahan pasukan CRRF yang masih menggunakan cara-cara koersif untuk mengatasi ancaman keamanan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa upaya untuk menghilangkan tindakan koersif
negara di kawasan Asia Tengah seperti harapan komunitas
keamanan belum dapat diwujudkan oleh CSTO. Poin utama dalam teori security community yang tidak teradopsi oleh CSTO menunjukkan bahwa organisasi keamanan ini bukan merupakan sebuah organisasi dengan karakteristik yang terdapat dalam teori security community. Pengurangan tindakan koersif oleh CSTO hanya sebatas memberikan pilihan kepada negara anggota
melalui
mediasi, konsultasi terhadap sengketa maupun konflik yang terjadi antarnegaranegara anggotanya.88 Merujuk pada pasal pasal 7 piagam CSTO disebutkan89: In order to attain the purposes of the Organization, the member States shall take joint measures to organize within its framework an effective collective security system, to establish coalition (regional) groupings of forces and the corresponding administrative bodies and create a military infrastructure, to train military staff and specialists for the armed forces and to furnish the latter with the necessary arms and military technology. The member States shall adopt a decision on the stationing of groupings of forces in their territories and of military facilities of States which are not members of the Organization after holding urgent consultations (reaching agreement) with the other member States.
88 89
“Rusia's Plan.” “CSTO Charter.”
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
45
Pasal yang terdapat dalam piagam CSTO seperti pasal 7 di atas menunjukkan bagaimana organisasi keamanan ini adalah organisasi yang berbasiskan penggabungan kekuatan militer yang membenarkan tindakan kolektif secara militer dari tiap negara anggota. Dengan demikian harapan akan tidak adanya penggunaan tindakan koersif terhadap penyelesaian konflik maupun terhadap ancaman keamanan akan sangat sulit diwujudkan dalam kerja sama CSTO. Argumentasi akan sulitnya menghilangkan tindakan koersif negara di kawasan Asia Tengah juga dapat terlihat pada perjanjian CST pada pasal 4 traktat yang berbunyi90: “If an aggression is committed against one of the States Parties by any state or a group of states, it will be considered as an aggression against all the States Parties to this Treaty.In case an act of aggression is committed against any of the States Parties, all the other States Parties will render it necessary assistance, including military one, as well as provide support with the means at their disposal through an exercise of the right to collective defense in accordance with Article 51 of the UN Charter.”
. Traktat CST pada pasal 4 di atas kembali menegaskan bahwa harapan tidak adanya penggunaan tindakan koersif oleh negara seperti harapan security community semakin sulit terjadi di kawasan Asia Tengah. Sebagai pengaturan keamanan kawasan melalui piagam yang mengikat ternyata CSTO masih melegalkan penggunaan tindakan koersif untuk menghilangkan ancaman keamanan. 4.2.3 Pandangan Konstruktivisme Security Community dalam CSTO Sebagai organisasi keamanan kawasan CSTO berusaha ingin menciptakan perdamaian dan stabilitas keamanan kawasan
tanpa adanya kekerasan dan
tindakan koersif dari negara-negara anggotanya. Oleh karena itu, CSTO mulai mengusung beberapa agenda yang berkaitan dengan mediasi konflik maupun agenda perdamaian seperti zona bebas nuklir di kawasan untuk membatasi tindakan koersif negara. Namun, harapan untuk menghilangkan tindakan koersif di kawasan pada kenyataannya belum dapat terealisasi karena masing-masing
90
“Treaty on Collective.”
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
46
negara masih menggunakan tindakan koersif sebagai langkah efektif
untuk
menghilangkan ancaman. Karakteristik CSTO sebagai aliansi kerja sama militer dalam pasal 4 dan 6 traktat maupun pada pasal 3, 7 dan 8 piagam CSTO menegaskan kembali bahwa organisasi keamanan kawasan ini belum dapat merealisasikan ketiadaan tindakan koersif dalam penyelesaian konflik maupun sengketa antarnegara seperti harapan security community. Selain itu, CSTO juga tidak bisa mencegah negara anggotanya untuk tidak menggunakan tindakan koersif dalam mengatasi permasalahan domestik negara karena menerapkan prinsip nonintervensi yang telah diatur dalam piagam organisasi. 91 Salah satu poin utama dalam teori security community adalah organisasi yang memiliki karakteristik security community akan memiliki identitas, nilai, dan norma yang sama sehingga dari adanya nilai, norma dan identitas yang sama inilah potensi konflik dan ketegangan antarnegara dapat dikurangi. Dalam tulisan Emanuel Adler dan Michael Barnett disebutkan sebuah organisasi keamanan harus memiliki fungsi yang dapat menciptakan kesamaan identitas diantara negara anggotanaya baik itu melalui kerja sama, membangun rasa saling percaya dan intensnya interaksi. 92 Dengan adanya kesamaan identitas ini, negara-negara anggota akan berpegang pada prinsip yang sama yaitu menghindari penggunaan tindakan koersif untuk mendapatkan stabilitas keamanan dan perdamaian. Namun pada kenyataannya CSTO belum bisa memberikan ruang interaksi bagi tiap negara anggotanya di mana pada kenyataannya masing-masing negara anggota masih berkonflik antara satu dengan yang lain. Karakter security community dalam CSTO hanya teradopsi di dalam traktat kerja sama keamanan berkaitan dengan definisi ancaman eksternal dan internal yang sama-sama didefinisikan sebagai ancaman keamanan yang harus dihadapi oleh tiap negara. Elemen karakteristik pengaturan keamanan dalam teori security community yang tidak teradopsi oleh CSTO adalah berkaitan dengan pengurangan tindakan koersif dan pembentukan kesamaan identitas bagi tiap negara. 91 92
“CSTO Charter.” Adler dan Barnett, Security Communities, 50.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
47
CSTO sebagai pengaturan keamanan memiliki karakteristik yang berbeda dengan security community. Kerja sama keamanan dalam CSTO belum bisa menciptakan kesamaan identitas bagi negara-negara anggota di mana hingga saat ini masih terjadi beberapa sengketa/konflik antarnegara yang menggunakan tindakan koersif sebagai instrumen penyelesaian masalah. Kerja sama dalam CSTO hanya sebatas kerja sama keamanan antarnegara di kawasan yang belum mengarah pada suatu kerja sama yang dapat menciptakan kesamaan identitas dan we feeling antarnegara didalamnya.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
BAB 5 KESIMPULAN 5.1 Karakteristik Pengaturan Keamanan Realisme dalam CSTO Terdapat tiga poin utama yang dapat menjelaskan sebuah organisasi keamanan mengadopsi karakteristik pengaturan keamanan dalam teori collective defense. Pertama, organisasi dengan karakter collective defense akan melihat ancaman eksternal dalam bentuk agresi militer negara sebagai ancaman utama. Kedua dengan adanya ancaman eksternal ini, organisasi keamanan dengan karakteristik collective defense akan membentuk suatu aliansi militer. Ketiga, dalam aliansi militer inilah, sebuah organisasi dengan karakteristik collective defense akan membenarkan tindakan koersif terhadap ancaman dengan melakukan aksi kolektif dari tiap anggota aliansi. Sejauh ini ancaman eksternal di kawasan Asia Tengah teridentifikasi dalam
kategori
ancaman
keamanan
yang
lebih
komprehensif
seperti
persengketaan wilayah, terorisme, gerakan ekstremis yang datang dari luar kawasan. Walaupun terbilang cukup beragam, ancaman eksternal di kawasan ini belum memperlihatkan adanya ancaman keamanan dalam bentuk agresi militer yang dilakukan oleh negara lain dari luar kawasan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa definisi ancaman eksternal dalam pandangan collective defense ternyata tidak sesuai dengan definisi ancaman eksternal dalam pengaturan keamanan CSTO Definisi ancaman eksternal collective defense dalam CSTO menjadi tidak lagi sesuai karena negara-negara di kawasan ini sepakat melihat ancaman tersebut dalam ruang lingkup yang lebih luas. Ancaman eksternal didefinisikan CSTO dalam bentuk yang lebih kompleks di mana aktornya tidak lagi harus negara, bentuk ancamannya pun juga tidak lagi harus dalam bentuk agresi militer oleh negara. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pandangan akan common enemy dalam CSTO berbeda dengan definisi common enemy dalam teori collective defense. Elemen karakteristik teori collective defense yang teradopsi dalam CSTO hanya berkaitan dengan prinsip-prinsip organisasi keamanan seperti aliansi militer dan pengerahan pasukan militer/collective action. Aliansi militer dalam CSTO
48 Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
49
menegaskan bahwa organisasi keamanan ini memiliki beberapa karakter institusi keamanan yang sesuai dalam teori collective defense. Namun, terdapat pula beberapa karakteristik realisme yang tidak teradopsi dalam organisasi CSTO.
5.2 Karakteristik Pengaturan Keamanan Liberalisme dalam CSTO Negara-negara di kawasan Asia Tengah adalah negara yang tingkat potensi konfliknya paling tinggi. Masih terjadi beberapa konflik etnis, ancaman terorisme, dan gerakan ekstremisme yang dapat mengganggu stabilitas keamanan kawasan. Penyelesaian konflik internal di kawasan ini terbilang cukup sulit karena masingmasing negara masih menggunakan cara-cara tradisional (tindakan koersif) untuk menyelesaikan masalah keamanannya. Oleh karena itu, kawasan Asia Tengah membutuhkan pengaturan keamanan yang bisa memfasilitasi ruang mediasi maupun konsultasi bagi negara-negara untuk menyelesaikan masalah maupun ancaman keamanan yang terjadi di kawasan. Terdapat 4 poin utama yang dapat menjelaskan sebuah organisasi keamanan mengadopsi karakteristik pengaturan keamanan dalam teori collective security. Pertama, organisasi dengan karakter collective security akan melihat ancaman internal sebagai ancaman utama bagi negara anggota. Kedua, terdapat suatu aturan yang mengikat dari pengaturan keamanan tersebut sehingga bisa memberikan penjatuhan sanksi terhadap negara anggota yang melanggar traktat/perjanjian dalam organisasi. Ketiga suatu organisasi keamanan dengan karakter collective security harus memiliki fungsi sebagai ruang konsultasi maupun mediasi bagi negara-negara anggota. Keempat penggunaan tindakan koersif menjadi pilihan terakhir apabila proses mediasi/konsultasi dengan caracara damai tidak lagi memungkinkan. Melalui 4 empat poin utama dalam teori collective security di atas, dapat disimpulkan bahwa semua elemen karakteristik pengaturan keamanan collective security telah diadopsi oleh CSTO. Pertama, sebagai sebuah organisasi keamanan CSTO telah berperan memberikan ruang mediasi dan konsultasi bagi negara anggota untuk membicarakan isu-isu keamanan kawasan. Kedua, CSTO mengatur mekanisme yang berhubungan dengan pengerahan kekuatan militer dalam mengatasi masalah keamanan internal negara anggota. Ketiga, ancaman internal menjadi salah satu fokus utama CSTO. Dan terakhir traktat/perjanjian yang telah
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
50
disetujui oleh masing-masing negara anggota dalam organisasi menjadi dasar untuk membina hubungan baik antarnegara di kawasan dan dijadikan sebagai prosedur operasi dalam merespon
ancaman keamanan yang potensial
mengganggu stabilitas keamanan kawasan. 5.3 Karakteristik Pengaturan Keamanan Konstruktivisme Dalam CSTO Terdapat 3 poin utama yang menjelaskan sebuah organisasi keamanan mengadopsi karakteristik pengaturan keamanan security community. Pertama organisasi keamanan tersebut harus mengidentifikasi ancaman eksternal dan internal sebagai ancaman utama yang harus dihadapi negara-negara anggota. Kedua, negara dalam organisasi keamanan telah memiliki kesamaan identitas, nilai, dan norma yang memungkinkan interaksi antarnegara anggota terjalin harmonis. Ketiga, organisasi keamanan yang telah memiliki kesamaan identitas, nilai,dan norma ini sepakat untuk meninggalkan cara-cara koersif sebagai instrument perdamaian. Berdasarkan penjelasan penulis dalam bab 4 dapat disimpulkan bahwa karakteristik security community dalam CSTO hanya teradopsi pada poin utama dalam teori tersebut yaitu melihat ancaman keamanan secara eksternal dan internal sebagai ancaman utama yang harus dihadapi oleh organisasi. Elemen teori security community yang berhubungan dengan pembentukan kesamaan identitas maupun upaya untuk menghilangkan tindakan koersif, menunjukkan bahwa terdapat beberapa karakteristik security community yang tidak teradopsi di dalam organisasi CSTO.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
51
Tabel 1.4 Kesimpulan
Keterangan: -
Tabel kuning menunjukkan karakteristik pengaturan keamanan dari 3 teori yang sesuai dengan CSTO Tabel merah menunjukkan karakteristik pengaturan keamanan dari 3 teori yang tidak sesuai dengan CSTO
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa CSTO merupakan sebuah pengaturan keamanan regional yang banyak mengadopsi karakteristik organisasi dalam teori collective security (liberalisme). Walaupun demikian, CSTO juga memiliki beberapa karakteristik dari teori collective defense (realisme) dan security community (konstruktivisme) yang membuat pengaturan keamanan ini lebih dinamis dalam melihat berbagai ancaman keamanan dan penyelesaian masalah keamanan kawasan. Sumbangan pemikiran dari ketiga paradigma dalam sebuah pengaturan keamanan adalah meliputi identifikasi ancaman, karakter kerja sama, maupun upaya-upaya untuk menciptakan stabilitas keamanan dan perdamaian dunia. Bila pada masa Perang Dingin perspektif realisme lebih mendominasi karakteristik sebuah pengaturan keamanan melalui pola pengaturan keamanan tradisional (traditional security arrangement) dengan dominasi aktor negara, maka saat ini
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
52
liberalisme dan konstruktivisme juga memberikan kontribusinya dalam bentuk pengaturan keamanan yang lebih modern dan dinamis dengan melihat permasalahan keamanan secara luas.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
DAFTAR REFERENSI “Appendix C-Belarus and Moldova.” The Alma-Ata Declaration. Diakses 15 Maret 2013. http://lcweb2.loc.gov/frd/cs/belarus/by_appnc.html. “Central Asia Border disputes and Conflict Potential.” International Crisis Group. Terakhir dimodifikasi 4 April 2002. Diakses 22 Maret 2013. http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/Asia/centralAsia/Central%20Asia%20Border%20Disputes%20and%20Conflict%20Poten tial.pdf. “Charter Establishing The Common Wealth of Indepemdent States.” Public International Law. Diakses 2 Desember 2012. http://www.dipublico.com.ar/english/charter-establishing-the-commonwealthof-independent-states-cis/. “Collective Security Treaty organizations (CSTO).” Global Security. Diakses 2 Desember 2012. http://www.globalsecurity.org/military/world/int/csto.htm. “Collective Security.” Conflict Research Consortium. Diakses 25 Januari 2013. http://www.colorado.edu/conflict/peace/treatment/collsec.htm. “Cooperation 2012 Joint Military Exercise Has Begun.” The Collective Rapid Reaction Force. Diakses 28 Maret 2013. http://www.mil.am/1347701281/page/58. “CSTO Charter.” Collective Security Treaty Organization. Diakses 3 Februari 2013. http://www.ieee.es/Galerias/fichero/Varios/2002_Carta_de_la_OTSC.pdf. “Kyrgyzstan.” Geshellschaff Fur Internationale Zusammenarbeit. Diakses 19 Maret 2013. http://www.giz.de/en/worldwide/356.html. “NATO Charter.” North Atlantic Treaty Organization. Diakses 19 Mei 2013. http://www.nato.int/terrorism/five.htm . “NATO role’s in Kosovo.” North Atlantic Treaty Organization. Diakses 14 Mei 2013. http://www.nato.int/kosovo/history.htm. “Tajikistan Civil War 1992-1994.” Wars of the World. Diakses 19 Maret 2013. http://www.onwar.com/aced/data/tango/tajik1992b.htm. “The Concept of Collective Security.” Collective Security Treaty Organization Official Site. Diakses 14 Maret 013. http://www.odkb.gov.ru/b/azc.htm.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
“Treaty on Collective Security.” Collective Security Treaty Organization Official Site. Diakses 12 Desember 2012. http://www.odkb.gov.ru/b/azbengl.htm. “UN Charter.” United Nations. Diakses 22 Maret 2013. http://www.un.org/en/documents/charter/chapter7.shtml. Adler, Emanuel dan Michael Barnett. Security Communities. Cambridge: Cambridge University Press, 1998. Alvin LeRoy Bennet. International Organization: Principles and Issue. New Jersey: Prentice-Hall, 1995. Asbarez Post. “CSTO Rubezh War Games Begin In Armenia.” 22 Juli 2008. http://asbarez.com/57831/csto-rubezh-war-games-begin-in-armenia/. CA News . “CSTO Takes Measures to Enhance Security after Withdrawal of Troops from Afghanistan.” 17 Agustus 2012. http://stratrisks.com/geostrat/7583. Collective Security Treaty Organization. “The Final Document of International Conference Interaction of NGOs in the CSTO Member states in Strengthening Non-proliferation of Nuclear Weapons, The Concept a Nuclear-Free Zone in Central Asia.” ( Final Document CSTO International Conference, Dushanbe, 17-18 Oktober 2009). Deutsch, Karl W. “Political Community And The North Atlantic Area.” Dalam International Political Communities. Diedit oleh Karl W. Deutsch, et al, 2-20. Princeton N.J: Princeton University Press, 1957. Frost, Alexander. “The Collective Security Treaty Organization, Shanghai Cooperation Organization, and Russia’s Strategic Goals in Central Asia.” China and Eurasia Forum Quarterly 7, no. 3 (2009): 83-102. Giragosian, Richard. “The Strategic Central Asia Arena.” China and Eurasia Forum Quarterly 4, no.1 ( 2001): 133-153. Gregory, Gleason. “Legacies of Central Asia.” Dalam The Central Asian State: Discovering Independence, diedit oleh Gleason Glregory dan Martha Brill Olcott, 27-46. Colorado: Westview Press, 1997. Hooman, Peimani. Regional Security and The Future of Central Asia : The Competition of Iran,Turkey and Russia. United States of America: Greenwood Publishing Group.Inc, 1998.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
Hurrell, Andrew. “Regionalism in Theoretical Perspective.” dalam Regionalism in World Politics: Regional Organization and International Order. Diedit oleh. Andrew Hurrell and Louise Fawcett, 9-37. New York: Oxford University Press Inc, 1995. Jackson, Robert and George Sorensen. Intoduction to International Relations. New York: Oxford University Press Inc, 1999. Lynn, Miller H. “The Idea and reality of Collective Security” dalam Global Governance. Lynne Rienner Pulisher 5, no.3 (1999): 303-332. Diakses 3 Februari 2012. Markedonov, Sergei. “Post Soviet Integration: CIS,CST, CRRF, etc.” oD Russia, 20 Januari 2010. http://www.opendemocracy.net/od-russia/sergeimarkedonov/post-soviet-integration-cst-csto-crrf-etc-2. Mwagwabi, lawrence. “The Theory of Collective Security and Its Limitations in Explaining International Organization: A critical Analysis” (Draft only, 2010): 4. Diakses 5 Maret 2013. http://uonbi.academia.edu/LawrenceMwagwabi/Papers. Nandini, Citra. “Pandangan Paradigma realisme, Liberalisme, dan Konstruktivisme terhadap African Union sebagai institusi keamanan regional di kawasan Afrika.” Tugas Karya Akhir, Universitas Indonesia, 2012. Niou, Emerson and Goufu Tan. “External Threat and Collective Action,” dalam Economy Inquiry 43, no. 3 (2005): 519-530. Orakhelashvili, Alexander. Collective Security. USA: Oxford University Press, 2011. Osman Gokhan Yandas. “Emerging Regional Security Complexin Central Asia: Shanghai Cooperation Organization (SCO) and Challenges of the Post 9/11 World.” Thesis, Middle East Technical University, 2005. Rogger Mc Dermott. “Rusia’s vision in crisis for CSTO military forces.” World Security Network. 7 Juli 2009. http://www.worldsecuritynetwork.com/Russia/McDermott-Roger/RussiasVision-in-Crisis-for-CSTO-Military-Forces . Saat, J H. “The Collective Security Treaty Organization,” Conflict Studies Research Centre 5, no. 9 (2005): 1-12.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013
Sabev, Sabi I. European Security After Cold War. Thesis, Air War Collage University, 1994. Stem, Joshua. “NATO Collective Security or Defense: The Future of NATO in Light of Expansion and 9/11.” Dusseldorfer Institut Fur Auseen-Und Sicherheits Politic, no.32 ( 2010): 1-22. The Diplomat. “Rusia’s Plan to use Regional Organizations.” 18 Mei 2013. http://thediplomat.com/2012/07/11/the-great-game-2-0/. The Diplomat. “Uzbekistan withdrawal CSTO.” 22 Maret 2013. http://thediplomat.com/2012/07/11/the-great-game-2-0/. Universal News wires. “Central Asia Rank Midway in Global Terrorism Index,” 5 Desember 2012. http://www.universalnewswires.com/centralAsia/Kirgistan/viewstory.aspx?id =13273. Walberc, Eric. “Review of Post Modern Imperialism Geopolitics and the Great Games.” Iran Review, 22 Oktober 2011. http://www.iranreview.org/content/Documents/Post_Modern_Imperialism_G eopolitics_and_the_Great_Games.htm . Weitz, Richard. “Why is the CSTO absent in the Kyrgyz crisis.” Central AsiaCaucasus Institute, 6 September 2010. http://www.cacianalyst.org/?q=node/5344.
Universitas Indonesia
Pandangan paradigma ..., M. Mardani, FISIP UI, 2013