UNIVERSITAS INDONESIA UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH KORBAN DAN PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA PIDANA DIKAJI DARI PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA
TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
MUHAMAD FAUZAN HARYADI NPM. 1106031601
FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA JAKARTA 2013
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH KORBAN DAN PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA PIDANA DIKAJI DARI PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
MUHAMAD FAUZAN HARYADI NPM. 1106031601
FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI PASCA SARJANA KEKHUSUSAN PRAKTIK PERADILAN JAKARTA JANUARI 2013
i Universitas Indonesia Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Muhamad Fauzan Haryadi
NPM
: 1106031601
ii Universitas Indonesia Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh : Nama
: Muhamad Fauzan Haryadi
NPM
: 1106031601
Program Studi
: Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Korban dan Penuntut Umum Dalam Perkara Pidana Dikaji Dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Studi Pasca Sarjana Kekhususan Praktik Peradilan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal
: 21 Januari 2013 iii Universitas Indonesia Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, karena atas perkenanNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Korban dan Penuntut Umum Dikaji Dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana”, sebagai syarat akhir studi pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan-kekurangan dalam penulisan tesis ini dan besar harapan penulis agar penelitian-penelitian lain yang akan datang dapat memperkaya tulisan ini. Masukan dan kritikan juga akan sangat bernilai bagi penulis untuk perbaikan karya ini. Perkenankan kami untuk menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga atas segala perhatian, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat kami selesaikan. Ungkapan rasa hormat dan terima kasih pula kami haturkan kepada semua pihak yang tidak mungkin kami sebut satu persatu, yang telah membantu serta memberikan dorongan dan semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Pada kesempatan ini izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing. 2. Segenap Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 3. Prof. Dr. Rosa Agustina, S.H., M.H., selaku Ketua Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 4. Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., selaku Ketua Jurusan Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 5. Bapak dan Ibu Dosen Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 6. Pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah memberikan kesempatan tugas belajar pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. iv Universitas Indonesia Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
7. Pihak sponsor yakni USAID pada proyek C4J. 8. Kedua orang tua, Bapak Suhartoyo dan Ibu Siti Maryani, Bapak H. Musa Rebangun dan Ibu Hj. Rodiah (Mertua) yang telah banyak berkorban sehingga penulis dapat meraih sukses saat ini maupun pada masa yang akan datang. 9. Istri tercinta, Novrida Diansari, S.H., atas kesabaran dan dukungannya serta kedua buah hati tersayang Khalid Muhammad Rizki dan Khansa Fauziah yang telah memberikan pengertian dan motivasi yang teramat besar hingga penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dengan tepat waktu. 10. Rekan-rekan seperjuangan kelas C4J Mahkamah Agung yang telah bersama-sama melalui suka dan duka selama proses belajar di Universitas Indonesia. 11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan baik dalam doa maupun perbuatan selama penulis mengikuti pendidikan Program Pascasarjana Fakultas Hukum di Universitas Indonesia. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini dapat berguna dan membawa manfaat bagi pengembangan studi ilmu hukum.
Jakarta, 21 Januari 2013
Muhamad Fauzan Haryadi
v Universitas Indonesia Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ========================================================== Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama NPM Progam Studi Fakultas Jenis Karya
: : : : :
Muhamad Fauzan Haryadi 1106031601 Pasca Sarjana Kekhususan Praktik Peradilan Hukum Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : “Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Korban dan Penuntut Umum Dalam Perkara Pidana Dikaji Dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
:
Jakarta
Pada tanggal : 21 Januari 2013
vi Universitas Indonesia Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
ABSTRAK Nama : Muhamad Fauzan Haryadi Program Studi : Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia Judul : Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban dan Penuntut Umum Dalam Perkara Pidana Dikaji Dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana Tesis ini membahas tentang upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum. Praktik peradilan terkait upaya hukum peninjauan kembali telah dilakukan oleh korban baik dalam kualitasnya sebagai saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan maupun Penuntut Umum yang mewakili korban dan negara. Perbedaan dalam penafsiran ekstensif dari pemberian hak peninjauan kembali oleh MA khususnya terhadap upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban yang dinyatakan tidak dapat diterima mendorong penulis untuk melakukan penelitian terkait permasalahan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, alasan apa yang mendasari Mahkamah Agung menyatakan permohonan upaya hukum peninjauan kembali oleh saksi korban tidak dapat diterima serta bagaimana peluangnya di masa mendatang. Hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa secara teoritis dan praktik kedudukan korban masih sangat terasing dan diasingkan dalam sistem peradilan yang kita anut sekarang. Terhadap upaya hukum oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban Mahkamah Agung belum menerima secara formal atas dasar korban tidak mempunyai legal standing dalam perkara pidana. Berdasarkan atas pertimbangan rasa keadilan dan asas keseimbangan dengan menggunakan landasan perspektif posisi sentral korban dan pergeseran sistem peradilan pidana seharusnya selain Penuntut Umum dalam kapasitasnya mewakili korban, masyarakat umum, bangsa dan negara, serta korban dalam kualitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, maka korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban juga beralasan untuk diberikan hak mengajukan peninjauan kembali. Guna memberi landasan yang kuat bagi korban agar dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali dikemudian hari, ketentuan Pasal 263 KUHAP sebagai dasar pengajuan permintaan peninjauan kembali perkara pidana perlu direvisi dan dilenturkan sedemikian rupa sehingga juga bisa memberikan hak kepada korban kejahatan maupun keluarganya untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Kata kunci: Upaya Hukum, Peninjauan Kembali, Korban, Penuntut Umum, Sistem Peradilan Pidana.
vii Universitas Indonesia Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
ABSTRACT
Name : Muhamad Fauzan Haryadi Study Program : Post Graduate University of Indonesia Title : Review Appeals by Victim and Prosecutor In Criminal Case Studied From the Perspective of the Criminal Justice System
This thesis discusses review appeals by victims and prosecutors. The practice of judicial review appeals have been made by the victim both in quality as witnesses, interested third parties and the public prosecutor representing the victims and the state. Differences in interpretation of the extensive granting review appeals by the Supreme Court in particular to effective judicial review appeals of the victim in the victim's quality as a witness cannot be accepted encourage writers to do some research problems related to the position of the victim in the criminal justice system in Indonesia, what is the underlying reason for the Supreme Court request review appeals of legal action by the victims cannot be accepted and how the chances in the future. The results concluded that the theoretical and practical position of the victim is very isolated and ostracized in the justice system that we embrace today. Against legal action by the victim in the victim's quality as a witness Supreme Court has not received a formal on the basis of the victim haven’t a legal standing. According to the sense of justice and the principle of balance by using runway perspective of the central position of victims and the criminal justice system should shift other than prosecution General in his capacity representing the victims, the general public, state and nation, as well as victims in quality as an interested third parties, the victim in the victim's quality as a witness was also given the right reasons to submit a review. In order to provide a strong foundation for victims to apply for review appeals in the future, the provision of Article 263 of the Criminal Procedure Code as the basis for reconsideration filing criminal cases need to be revised and bent in such a way that it can also give rights to victims of crime or their families to apply for review appeals.
Keywords : Review appeals, victims, prosecutors, the criminal justice system
viii Universitas Indonesia Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ...................................................................................
i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS...............................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ..........................................................................
iii
KATA PENGANTAR .................................................................................
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ......................
vi
ABSTRAK ..................................................................................................
vii
ABSTRACT .................................................................................................
viii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
ix
1. PENDAHULUAN ................................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................
1
1.2. Pernyataan Permasalahan ...............................................................
8
1.3. Pertanyaan Penelitian .....................................................................
9
1.4. Tujuan Penelitian ...........................................................................
9
1.5. Manfaat Penelitian ..........................................................................
10
1.6. Kerangka Teori ...............................................................................
10
1.7. Kerangka Konseptual .....................................................................
17
1.8. Metode Penelitian .........................................................................
19
1.9. Sistematika Penulisan .....................................................................
21
2. UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA .............................
22
2.1. Upaya Hukum dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
3.
di Indonesia.....................................................................................
22
2.2. Latar Belakang dan Perkembangan Lahirnya Peninjauan Kembali ..
33
2.3. Syarat-syarat dalam Mengajukan Peninjauan kembali ....................
38
2.4. Acara Peninjauan Kembali ..............................................................
41
UPAYA HUKUM DAN KEDUDUKAN KORBAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA .............................................
45
3.1. Pengertian Korban...........................................................................
45
3.2. Hak-Hak Korban dan Kedudukan Korban dalam Perspektif
ix Universitas Indonesia Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
Sistem Peradilan Pidana Indonesia ..................................................
50
3.3. Upaya Hukum sebagai Bentuk Perlindungan bagi Korban dalam Sistem Peradilan Pidana..............................................................................
62
4. PENINJAUAN KEMBALI OLEH KORBAN DAN PENUNTUT UMUM DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA ....................................................................................
66
4.1. Upaya Hukum Peninjauan Kembali Oleh Korban dan Penuntut Umum Dalam Praktik Peradilan di Indonesia ..............................................
66
4.2. Peninjauan Kembali Oleh Korban dan Penuntut Umum Sebagai Suatu Penemuan Hukum .................................................................
87
4.3. Pergeseran Perspektif Peninjauan Kembali Oleh Korban dan Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ........................
92
PENUTUP ..........................................................................................
108
5.1. Kesimpulan ....................................................................................
108
5.2. Saran .............................................................................................
111
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
112
5.
x Universitas Indonesia Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
1
BAB 1 PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan UndangUndang dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1 Oleh karena itu, penyusunan dan penerapan tata hukum di Indonesia sejak berlakunya UUD 1945 harus dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila termasuk dalam menciptakan peraturan-peraturannya, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 2 Berlakunya KUHAP telah menimbulkan perubahan mendasar baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana
Indonesia.
KUHAP
merupakan
peraturan
yang
mengatur,
menyelenggarakan dan mempertahankan eksistensi ketentuan hukum pidana guna mencari,
menemukan, dan mendapatkan kebenaran materiil atau yang
sesungguhnya. 3 Sifat hukum acara pidana itu haruslah memberikan kepastian prosedur dan rasa keadilan baik dari anasir yang dituntut maupun dari kepentingan masyarakat itu sendiri, karena keadilan adalah hak semua orang dan tidak dikecualikan dari hal-hal apa pun sebagai bagian dari hak dasar yang tidak boleh diganggu karena bertujuan untuk menciptakan suasana damai dikalangan masyarakat yang dapat diperoleh lewat panggung peradilan. 4 Peradilan pidana asasnya lebih mengutamakan perlindungan kepentingan pembuat kejahatan (offender centered) karena sistem peradilan pidana
1
Lihat bab menimbang sub a Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 2 Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, (Bandung : Refika Aditama, 2009), hlm. 8-9. 3 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 4. 4 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung : Alumni, 1978), hlm. 19.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
2
diselenggarakan untuk mengadili tersangka dan bukan untuk melayani kepentingan korban kejahatan. 5 Mudzakir menyebutkan kejahatan adalah melanggar kepentingan publik (hukum publik), maka reaksi terhadap kejahatan menjadi monopoli negara sebagai representasi publik atau masyarakat. Pandangan tersebut mendominasi praktik peradilan pidana, akibatnya orang yang terlanggar haknya dan menderita akibat kejahatan diabaikan oleh sistem peradilan pidana. 6 Pembahasan posisi korban dalam sistem peradilan pidana telah dimulai sewaktu pembahasan tentang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Pada waktu itu ada dua anasir perbedaan eksistensi korban. Pertama, menginginkan posisi korban kejahatan menjadi pusat perhatian karena korban adalah “pencari keadilan” dalam hukum pidana, pihak yang melaporkan tindak pidana kepada kepolisian, pihak yang dirugikan dan menderita akibat tindak pidana sehingga kebijakan terhadap keadilan dalam hukum pidana juga harus diupayakan baik kepada pelaku maupun kepada korban kejahatan. Kedua, korban kejahatan juga menjadi perhatian tetapi perhatian tersebut tidaklah harus merubah sistem peradilan pidana yang berlaku sekarang karena tindakan Polisi dan Jaksa terhadap tersangka sesungguhnya untuk melindungi kepentingan korban kejahatan. Konkritnya, sistem yang ada diasumsikan relatif cukup representative sebagai bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat yang menjadi korban kejahatan. Dimensi kedua inilah yang mendominasi pembentukan RUU KUHAP sebagaimana kita ketahui sekarang sebagai hukum positif yaitu Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981.7 Pada hakekatnya walau korban dinafikan dalam sistem peradilan pidana akan tetapi peran dan fungsi korban tidaklah sedikit dalam proses peradilan pidana. Kalau boleh dikatakan dengan bahasa sederhana sebenarnya “nadi” dari peradilan pidana tersebut berada ditangan korban, entah kualitasnya sebagi
5
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum pidana Dalam perspektif Teoritis Dan praktik Peradilan, (Bandung : Mandar Maju, 2010), hlm. 176 6 Mudzakkir, Posisi Hukum Korban Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : disertasi, Program Pasca Sarjana fakultas Hukum UI, 2001), hlm. 10. 7 Ibid. hlm. 130
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
3
pelapor, saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan atau pihak ketiga yang dirugikan dan lain sebagainya. 8 Suatu lembaga peradilan disebut baik, bukan saja jika prosesnya berlangsung jujur, bersih dan tidak memihak. Namun di samping itu ada lagi kriteria yang harus dipenuhi, yakni prinsip-prinsip yang sifatnya terbuka, korektif dan rekorektif. Dalam kriteria ini, salah satu sisi yang patut menjadi perhatian manajemen peradilan adalah adanya sistem upaya hukum yang baik sebagai bagian dari prinsip fairness dan trial independency yang menjadi prinsip-prinsip diakui secara universal. 9 Prinsip universal mengakui bahwa semua orang sama dan mempunyai hak sama di hadapan hukum serta berhak atas perlindungan hukum tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi apapun. Setiap orang berhak atas peradilan yang efektif dari pengadilan nasional jika ada pelanggaran hak-hak yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. Para pihak yang mengalami proses peradilan, termasuk dalam upaya Peninjauan Kembali, diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengajukan koreksi dan rekoreksi terhadap putusan yang dipandang tidak adil. Sebagai negara hukum, Indonesia sudah sejak lama konsisten mengarahkan sistem hukum acara peradilannya ke arah demikian. Mengenai upaya hukum, di dalam KUHAP dibagi menjadi upaya hukum biasa (banding dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa (kasasi demi kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali). Khusus mengenai Peninjauan Kembali, juga telah lama diterapkan di Indonesia dan telah mengalami perkembangan demi perkembangan mengingat bahwa aparatur hakim sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kesilapan dan kekurangan. Dalam KUHAP, Peninjauan Kembali diatur dalam Pasal 263 ayat (1) yang mengatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali 8
Lilik Mulyadi, Kompilasi hukum pidana,…, op.cit.hlm. 178 Lihat Pasal 10 The Universal Declaration of Human Rights, United Nations General Assembly, December, 10th, 1948. 9
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
4
kepada Mahkamah Agung. Sehingga dari bunyi Pasal 263 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:10 1.
Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan pemidanaan saja;
2.
Permintaan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
3.
Permintaan Peninjauan Kembali dapat diajukan hanya oleh terpidana atau ahli warisnya saja. Sejak diberlakukannya KUHAP yang menampung lembaga Peninjauan
Kembali, terlihat kasus demi kasus yang dimintakan Peninjauan Kembali dan diselesaikan oleh Mahkamah Agung telah menunjukkan suatu benang merah dalam kaitannya kepada kepentingan para pencari keadilan. 11 Seperti halnya kasus Sengkon dan Karta yang dihukum oleh Pengadilan Negeri Bekasi pada tanggal 20 Oktober 1977 dan kasus Devid Eko Priyanto dan Imam Chambali, yang dihukum oleh Pengadilan Negeri Jombang pada tanggal 20 Mei 2008 dan 17 April 2008 merupakan kasus di mana mereka setelah di vonis terbukti oleh hakim pengadilan negeri, kemudian mereka mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung dengan alasan adanya bukti baru yang menunjukkan bahwa mereka bukanlah pelaku kejahatan sebagaimana yang telah di tuduhkan dan akhirnya mereka pun di bebaskan dari tahanan. Namun
dalam
perkembangannya,
Peninjauan
Kembali
sebagai
extraordinary remedy, telah mengalami pergeseran paradigma terutama dari segi pemohonnya. Di samping pihak terpidana yang merasa tidak “berdosa” melakukan tindak pidana, yang selanjutnya berhak mengajukan Peninjauan Kembali, tercuat adanya keinginan pihak lain di luar terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Pihak tersebut adalah jaksa, korban, keluarga korban, dan pihak ketiga yang berkepentingan, yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah suatu putusan yang salah.
10
Adami Chazawi, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana (Penegakan Hukum Dalam Penyimpangan Praktik Dan Peradilan Sesat), (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 7-8. 11 Parman Soeparman, Op.Cit, hlm. 6.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
5
Berulang kali Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Kejaksaan sebagai pemohon antara lain (1) kasus Muchtar Pakpahan (1996), (2) kasus Ram Gulumal (2001), (3) kasus Praperadilan IKBLA melawan Kejaksaan Negeri Samarinda (2002), (4) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir atas nama terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto (2008), dan yang terakhir adalah (5) kasus pidana cessie Bank Bali atas nama terdakwa Joko Tjandra (2009).12 Di satu sisi, kasus tersebut memunculkan pandangan bahwa tidak diaturnya suatu masalah dalam undang-undang bukan berarti tidak dimungkinkannya untuk mengajukan Peninjauan Kembali, kesempatan itu harus diberikan, karena di lihat dari sisi kepentingan korban, hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali sudah sepantasnya diberikan pula kepada jaksa penuntut umum. Di sisi lain ada pandangan yang mengatakan bahwa kesempatan tersebut tidak bisa diberikan kepada siapapun termasuk kepada jaksa penuntut umum, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan kecuali kepada terpidana dan ahli waris, karena dasar logika hukum yang dikandung Pasal 263 KUHAP adalah kepentingan dari terpidana sendiri. 13 Praktik
Peninjauan
Kembali
kemudian
melangkah
jauh,
seakan
meninggalkan tujuannya yang hakiki. Itulah yang kini terjadi dalam praktik, yaitu pengajuan Peninjauan Kembali oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas, bahkan putusan Peninjauan Kembali terhadap Peninjauan Kembali. Untuk itulah praktik penerapan ketentuan tentang Peninjauan Kembali perlu dikaji secara mendalam dari sudut ilmu hukum acara pidana karena jika dilihat dari sudut pengaturan hukum acara pidana yang ada terutama KUHAP, tidak memberikan kesempatan mengajukan Peninjauan Kembali bagi jaksa penuntut umum atau pihak korban, keluarga korban, dan pihak ketiga secara eksplisit. 14 Maraknya pengabulan permohonan Peninjauan Kembali dari Kejaksaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung menggambarkan bahwa dalam perkembangannya peninjauan kembali telah mengalami pergeseran fungsi. Pada 12
Aflin Sulaiman, “Pergeseran Fungsi PK Sebagai Offender Oriented Ke Arah Victim Oriented”, Suara Pembaca, 29 Juli, 2009. 13 Parman Soeparman, Op.Cit, hal 7. 14 Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
6
awal pengaturannya ditujukan untuk kepentingan terpidana semata (offender oriented) selanjutnya juga bergeser ke arah kepentingan pihak korban (victim oriented). Guna mendapatkan kebenaran materiil dalam realitas perkembangan permasalahan hukum pidana yang semakin dinamis, bentuk
interprestasi
normatif yang memberi peluang dilakukannya peninjauan kembali oleh kejaksaan sebagai wakil pihak korban menjadi suatu keniscayaan. Apalagi
terhadap
perkara-perkara pidana yang membawa impact luas terhadap masyarakat selaku korban seperti korupsi, HAM, dan terorisme. 15 Namun dalam praktiknya seringkali aspirasi korban kurang diperhatikan sehingga menimbulkan ketidakpuasan dari korban itu sendiri atau keluarganya terhadap tuntutan jaksa dan putusan hakim. Aspek ini salah satunya dipicu karena secara prosedural korban tidak mempunyai peluang untuk menyatakan ketidakpuasannya terhadap tuntutan jaksa dan putusan hakim. 16 Dengan titik tolak kelemahan tersebut, maka perlindungan korban di Indonesia haruslah berimbang antara kepentingan pelaku, masyarakat, negara dan kepentingan umum sebagaimana disebutkan oleh Muladi sebagai berikut: 17 “Yang kita anut mestinya adalah model realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan. Model yang tertumpu pada konsep daad-dader-strafrecht ini saya sebut Model Keseimbangan Kepentingan.” Dengan titik tolak model keseimbangan tersebut maka sanksi pidana haruslah mencerminkan harmonisasi antara kepentingan individu dan kepentingan umum (asas monodualistik)18 sebagaimana perspektif Herbert L. Pecker sanksi pidana dapat berupa compensation, regulation, punishment dan treatment.19
15
Aflin Sulaiman, Op.Cit. Parman Soeparman, Op.Cit, hal 63. 17 Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1995), 16
hlm.5. 18
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 54. lebih lanjut menyatakan padangan monodualistik inilah yang biasanya dikenal dengan istilah “daad-dader-strafrecht” yaitu hukum pidana yang memperhatikan segi-segi objektif dari “perbuatan” (Daad) dan juga segi-segi subjektif dari “orang/pembuat” (Dader). 19 Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanctions, (California: Stanford University Press, 1968), hlm. 251 sebagaimana yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, Ibid., hlm. 55.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
7
Selain itu keterasingan korban juga dapat dirasakan dalam sistem peradilan pidana Indonesia saat ini, dimulai dengan masih kurangnya pembahasan terhadap korban, peraturan hukum pidana yang belum sepenuhnya mengatur tentang korban beserta haknya sebagai pihak yang dirugikan. Untuk itu perlindungan korban kejahatan dalam melakukan upaya hukum sangat penting eksistensinya, berhubung banyak korban yang bereaksi terhadap putusan pengadilan yang dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan sedangkan korban tidak dapat berbuat sesuatu untuk menguji putusan, karena hukum yang ada tidak memberikan peluang untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan. Secara tersirat dalam praktik ada upaya hukum yang dilakukan oleh korban kejahatan salah satunya adalah terhadap upaya hukum Peninjauan Kembali.20 Sebagai contoh upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh “korban kejahatan” (saksi korban Prof. DR. Dr. Ida Bagus Gede Manuaba, SP.OG) terhadap Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 1991 K/Pid/2003 tanggal 02 Juli 2002 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dimana Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor: 11 PK/PID/2003 tanggal 6 Agustus 2003, menyatakan permohonan Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat diterima. Sedangkan korban kejahatan dalam kapasitasnya sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan” dalam kasus H. Iskandar Hutualy selaku Ketua DPD I IKBLA Arif Rahman Hakim Exponen 66 Samarinda melakukan upaya hukum peninjauan kembali dan diputus oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 4 PK/PID/2000 tanggal 28 November 2001, dimana formalitas korban sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan” secara formal diterima. Penulis melihat bahwa perlindungan korban kejahatan dalam melakukan upaya hukum eksistensinya sangat penting mengingat reaksi korban terhadap putusan pengadilan yang dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan ternyata korban sendiri tidak dapat berbuat sesuatu untuk menguji putusan karena hukum yang ada tidak memberikan peluang untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan. Sementara dalam praktiknya sebagaimana telah diuraikan di atas upaya hukum berupa permohonan Peninjauan Kembali pernah dilakukan oleh
20
Lilik Mulyadi, Kompilasi hukum Pidana…, Op. cit. . hlm. 153
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
8
“korban kejahatan” dengan kualitas sebagai saksi korban dan pihak ketiga yang berkepentingan, yang termaktub dan diputus oleh Mahkamah Agung RI. Atas dasar pertimbangan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis yang berjudul “Upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum dalam perkara pidana dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana.” 1.2. Pernyataan Masalah Dalam praktiknya upaya hukum peninjauan kembali telah mengalami pergeseran fungsi. Pada awal pengaturannya ditujukan untuk kepentingan terpidana semata (offender oriented) selanjutnya juga bergeser ke arah kepentingan pihak korban (victim oriented). Secara teoritis dan praktik perhatian terhadap korban kejahatan relatif kurang sehingga konsekuensi logisnya menyebabkan perlindungan untuk korban kejahatan menjadi bersifat abstrak. Perlindungan korban kejahatan untuk melakukan upaya hukum eksistensinya menjadi penting ketika putusan pengadilan dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan sedangkan ternyata korban sendiri tidak dapat berbuat banyak untuk menguji suatu putusan
karena hukum yang ada tidak memberikan peluang
melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan. Dalam praktik upaya hukum Peninjauan Kembali pernah dilakukan oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban dan pihak ketiga yang berkepentingan. Mahkamah Agung sendiri selaku lembaga peradilan tertinggi telah memberikan putusan yang berbeda terkait pengajuan upaya hukum tersebut. Harapan memperoleh rasa keadilan bagi masyarakat terutama korban sangat kuat tatkala mereka mempercayakan penyelesaian perkara (perkara pidana) pada lembaga peradilan. Dengan tugas dan kewenangan yang dimiliki, lembaga peradilan tetap diharapkan dapat memenuhi harapan masyarakat dalam memberikan rasa keadilan tersebut. Oleh karena itu, berkaitan dengan persoalan hak peninjuan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tersebut pada latar belakang masalah di atas, kajian dan penelitian terhadap fungsi lembaga peninjauan kembali terutama bagi
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
9
korban kejahatan dalam mewujudkan rasa keadilan dan kepastian hukum masih menarik untuk dilakukan. 1.3. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pernyataan masalah tersebut di atas maka, dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut : a.
Bagaimanakah kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?
b.
Bagaimanakah pandangan Mahkamah Agung dalam putusannya terhadap upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dalam praktik peradilan pidana di Indonesia?
c.
Apakah pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh korban masih mempunyai peluang untuk diberlakukan dalam sistem peradilan pidana Indonesia di masa mendatang ?
1.4. Tujuan Penelitian Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Selain itu dari penelitian juga ingin diketahui pandangan Mahkamah Agung dalam pertimbangan putusannya terhadap upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dalam praktik peradilan pidana di Indonesia. Selanjutnya melalui penelitian ini juga ingin dilihat apakah pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum masih mempunyai peluang untuk diberlakukan dalam sistem peradilan pidana Indonesia di masa mendatang. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah Secara teoritis untuk memberikan sumbangsih pemikiran untuk pengembangan teori dalam bidang ilmu hukum umumnya dan khususnya dalam ilmu hukum pidana yang menyangkut masalah upaya hukum peninjauan kembali oleh korban. Di samping itu secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak legislatif sebagai pembuat peraturan perundang-undangan, pihak yudikatif sebagai penerap hukum dan pihak eksekutif sebagai pelaksana Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
10
hukum khususnya mengenai upaya pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh korban. 1.6. Kerangka Teori Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas, penelitian ini akan merujuk pada satu kerangka teori sebagaimana diuraikan di bawah ini. Substansi teori ini berhubungan dengan pemikiran atas tugas utama pengadilan pidana yakni satu lembaga hukum yang memutuskan apakah keadilan itu dan bagaimanakah keadilan itu dapat dicapai dimana hal tersebut berkaitan dengan teori tentang keadilan dan teori tentang tujuan hukum. Berkaitan dengan prinsip keadilan, John Rawls dalam teorinya yang disebut sebagai keadilan prosedural murni, menyebutkan : The procedure for determining the just result must actually be carried out; for in these cases there is no independent criterion by reference to which a definite outcome can be know to be just. Clearly we cannot say that a particular state of affairs is just because it could have been reached by following a fair procedure. This would permit far too much and would lead to absurdly consequences.21 Menurut John Rawls, bahwa prosedur untuk menentukan hasil yang adil harus benar-benar dijalankan. Sebab dalam hal ini tidak ada kriteria independen yang bisa dijadikan acuan agar hasil nyata bisa adil. Lebih lanjut disebutkan John Rawls, kita tidak bisa mengatakan bahwa kondisi tertentu adalah adil karena ia bisa dicapai dengan mengikuti prosedur yang fair. Hal ini akan terlampau banyak membiarkan dan secara absurd akan mengarah pada konsekuensi-konsekuensi yang tidak adil. 22 Melalui teori John Rawls di atas, ingin dijelaskan bahwa penerapan Pasal 263 KUHAP secara tekstual tidaklah menjamin akan mendatangkan nilai adil dalam penyelesaian suatu perkara yang diajukan peninjauan kembali. Oleh karenanya, pencarian prosedur yang adil perlu diupayakan, yaitu ketika ditemukan adanya unsur ketidakadilan.
21
John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts :Harvard University Press, 1971), hlm.
86 22
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan (Terjemahan A Theory of Justice yang ditulis oleh John Rawls), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 102-102
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
11
Selain itu John Rawls juga menegaskan, bahwa The minimum capacity for the sense of justice insures that everyone has equal rights. The claims of all are to be adjudicated by the principle of justice. Equality is supported by the general facts of nature and not merely by a procedural rule without substantive force.23 Untuk menjamin pencapaian keadilan prosedur di atas, menurut John Rawls, setiap orang harus mempunyai hak yang setara. Kesetaraan tersebut didukung oleh fakta-fakta alamiah umum, bukan sekedar dengan sebuah aturan prosedur tanpa kebenaran substantif. Dalam ilmu hukum terdapat berbagai aliran pemikiran yang berbeda dalam memandang sifat hukum beserta unsur-unsur yang ada dalam hukum tersebut, dan diantara aliran-aliran pemikiran tersebut yang lebih berkaitan dengan hukum dan proses peradilan adalah aliran positivis, aliran realisme Amerika Serikat dan aliran rechtsvinding (penemuan hukum)24, yaitu: 1)
Aliran positivisme/aliran legisme Di antara aliran postivisme yang terpenting adalah ajaran hukum positif
yakni analytical jurisprudence (ajaran hukum analitis) oleh John Austin. 25 Positivisme adalah aliran yang sejak awal abad 19 amat mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia, terutama dalam kajian bidang hukum. 26 Dalam perkembangannya, ilmu hukum mengklaim dirinya sebagai ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas). Oleh karena itu, kaum positivisme ini mencoba menuliskan kausalitas-kausalitas dalam bentuk perundang-undangan. 27 Legal positivisme memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tidak ada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis legalisme menganggap bahwa hukum identik 23
Ibid., h. 510 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hlm. 87. 25 Ahmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta : BP. Iblam, 2004), hlm. 36. 26 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, Cetakan keempat, 2005), hlm.60. 27 Soetandyo Wignjosoebroto, “Positivisme dan Doktrin Positivisme Dalam Ilmu Hukum dan Kritik Terhadap Doktrin Ini”, Materi Kuliah Teori Hukum Program Doktor Ilmu Hukum UII, 2007, hlm. 1-2. 24
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
12
dengan undang-undang. Hukum dipahami dalam perspektif yang rasional dan logik. Keadilan hukum bersifat formal dan prosedural. 28 Keburukan yang mengancam bagi mereka yang tidak taat adalah berwujud sanksi dari perintah itu. Dalam dunia peradilan, pengaruh pandangan positivis melahirkan aliran legisme, dimana hakim hanya dipandang sebagai “terompet undang-undang” atau sebagai “bouche de la loi” saja.29 Jadi inti pandangan aliran ini adalah bahwa hakim tidak boleh berbuat selain menerapkan undang-undang secara tegas. Penganut aliran ini memandang bahwa undang-undang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur segala persoalan.30 2)
Aliran Realisme Amerika Serikat Realisme hukum adalah suatu aliran pemikiran yang dimulai di Amerika
Serikat yang dipelopori oleh tokohnya adalah Karl Llewellyn dan Olive Wendell Holmes (hakim agung Amerika Serikat). Aliran ini menganut paham bahwa hukum sebagai sesuatu yang benar-benar dilaksanakan, ketimbang sekedar serentetan aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan, tetapi tidak pernah dilaksanakan sebagaimana yang dianut dalam aliran positivisme. Aliran ini mendasarkan pemikirannya kepada suatu konsepsi radikal mengenai proses peradilan, hukum adalah apa yang dibuat oleh hakim melalui putusannya dan hakim lebih banyak disebut membuat hukum dari pada menemukan hukum. 31 Pada prinsipnya aliran ini diwujudkan berdasarkan penerimaan secara umum terhadap “realisme filsafat”, yang mempengaruhi para hakim, sehingga berpikiran “realisme”. Esensi dari ajaran realisme hukum dari Holmes dapat dijelaskan sebagai berikut:32 1.
Perkembangan ilmu hukum itu terletak pada pengujian fakta-fakta.
2.
Kehidupan hukum pada dasarnya bukan logika, melainkan pengalaman (the life of the law has been not logic, but experience).
3.
Yang dianggap sebagai hukum adalah ramalan, dan tidak ada yang lebih penting dari itu.
28
Halim, Teori-Teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan Kritik-Kritiknya, (Jurnal Asy-syir’ah Vol.42 No.11, 2009), Hlm. 387. 29 Parman Soeparman, Op.Cit, hal 30. 30 Ibid, hal 31. 31 Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 221. 32 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 129.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
13
3)
Aliran penemuan hukum (rechtsvinding) Aliran ini berada diantara aliran positivisme dan aliran realisme. Aliran ini
berpendapat bahwa hakim terikat pada undang-undang, tetapi tidak seketat sebagaimana aliran positivisme, sebab hakim juga mempunyai kebebasan. Dalam hal ini kebebasan hakim juga tidaklah seperti aliran realisme, sehingga hakim didalam melaksanakan tugasnya mempunyai kebebasan yang terikat (gebonden vrijheid), atau keterikatan yang bebas (vrije gebondenheid). Jadi tugas hakim merupakan upaya melakukan rechtsvinding, yakni menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman.33 Kebebasan yang terikat dan keterikatan yang bebas terbukti dari adanya beberapa kewenangan hakim, seperti penafsiran undang-undang, menentukan komposisi yang terdiri dari analogi dan membuat pengkhususan dari suatu asas undang-undang yang mempunyai arti luas. Selain itu menurut aliran ini, yurisprudensi sangat penting untuk dipelajari di samping undang-undang, karena di dalam yurisprudensi terdapat makna hukum yang konkret diperlukan dalam hidup bermasyarakat yang tidak ditemui dalam kaedah yang terdapat dalam undang-undang.34 Dengan demikian memahami hukum dalam perundang-undangan saja, tanpa mempelajari yurisprudensi tidaklah lengkap. Namun demikian, hakim tidaklah mutlak terikat dengan yurisprudensi seperti di negara Anglo Saxon, yakni hakim secara mutlak mengikuti yurisprudensi. Ketiga aliran dalam hukum ini sangatlah berpengaruh dalam pembentukan hukum, penemuan hukum dan penerapan hukum. Dalam teori hukum pidana, agar hakim secara khususnya dan penegak hukum pada umumnya dapat menerapkan undang-undang sesuai dengan kenyataan sosial, maka hakim memerlukan suatu penafsiran karena pada dasarnya undang-undang yang tertulis itu sifatnya statis, sulit diubah serta kaku, walaupun undang-undang telah tersusun secara sistematis dan lengkap, namun tetap juga kurang sempurna dan masih banyak terdapat banyak kekurangan, sehingga
33 34
Ishaq, Op.Cit, hlm. 117. Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
14
menyulitkan dalam penerapannya. Di dalam praktiknya kita mengenal ada beberapa penafsiran, sebagai berikut:35 1. Penafsiran menurut tata bahasa; 2. Penafsiran secara sistematis; 3. Penafsiran mempertentangkan (argentum acontrario); 4. Penafsiran memperluas (extensieve interpretatie); 5. Penafsiran mempersempit (restrictieve interpretatie); 6. Penafsiran historis; 7. Penafsiran teleologis: 8. Penafsiran logis: 9. Penafsiran analogi; 10. Penafsiran komparatif; 11. Penafsiran futuristis; Selanjutnya kita mengenal bahwa hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasikan kepentingan anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah mencapai keadilan, yaitu keserasian antara nilai kepentingan hukum (rechtszekerheid).36 Berkaitan dengan tujuan hukum tersebut kita mengenal adanya tiga teori tentang tujuan hukum, yaitu:37 1)
Teori etis (ethische theori) Teori ini memandang bahwa hukum ditempatkan pada perwujudan keadilan
yang semaksimal mungkin dalam tata tertib masyarakat. Dalam arti kata, hukum semata-mata bertujuan untuk keadilan. Menurut Hans Kelsen bahwa suatu peraturan umum adalah “adil” jika benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang menurut isinya, peraturan ini harus diterapkan. Suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan kepada suatu kasus dan tidak diterapkan kepada kasus lain yang sama. 38
35
Ibid. hlm. 255. Saut P. Panjaitan, Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Asas, Pengertian dan Sistematika), (Palembang : Universitas Sriwijaya, 1998), hlm.57. 37 Ishaq, Op.Cit, hlm.7-9. 38 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni (Asli: General Theory of Law and State). Alih Bahasa: Somardi, (Jakarta : Rindi Press, 1955), hlm. 11-12. 36
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
15
2)
Teori Utilistis (utiliteis theori) Teori ini dipopulerkan oleh Jeremy Bentham yang berpendapat bahwa
tujuan hukum adalah untuk memberikan kepada manusia kebahagiaan yang sebesar-besarnya. Pandangan teori tersebut bercorak sepihak karena hukum barulah sesuai dengan daya guna atau bermanfaat dalam menghasilkan kebahagiaan dan tidak memperhatikan keadilan. Padahal kebahagiaan itu tidak mungkin tercapai tanpa keadilan. 3)
Teori Gabungan/Campuran (verenigings theori/gemengde theori) Teori ini merupakan gabungan dari teori etis dan teori utilistis. Menurut
teori ini tujuan hukum adalah bukan hanya keadilan semata, tetapi juga kemanfaatannya (kegunaannya). Selanjutnya mengenai sistem peradilan pidana, Muladi menegaskan bahwa makna integrated criminal justice system adalah sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dapat dibedakan dalam: 39 1)
Sinkronisasi Struktural, adalah keserampakan dan keselarasan dalam kerangka hubungan antar-lembaga penegak hukum.
2)
Sinkronisasi Substansial, adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horisontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3)
Sinkronisasi kultural, adalah keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu: 40
1)
Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata.
2)
Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik
39
Muladi, Op.Cit, hlm. 1-2; Geoffrey Hazard Jr., dalam Sanford Kadish, Encyclopedia of Crime and Justice, Vol. 2 hlm. 450, sebagaimana yang dikutip oleh Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung : Bina Cipta, 1996), hlm. 17. 40
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
16
hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang dipergunakan adalah sistem administrasi 3)
Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidak berhasilan dari keempat
aparatur
penegak
hukum
tersebut
dalam
melaksanakan tugasnya. Sistem yang dipergunakan adalah sistem sosial. Berkaitan dengan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana, secara mendasar dikenal adanya dua model dalam rangka pengaturan hukum pidana terhadap korban kejahatan, yakni: 41 1)
Model hak-hak prosedural (the Procedural Rights Model) Pada model ini penekanan diberikan pada dimungkinkannya si korban
untuk memainkan peranan aktif di dalam proses kriminal atau di dalam jalannya proses peradilan. Dalam hal ini si korban kejahatan di beri hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau untuk membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar di setiap tingkatan sidang pengadilan di mana kepentingannya terkait di dalamnya, termasuk hak untuk diminta konsultasi oleh lembaga pemasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya hak untuk mengadakan perdamaian atau peradilan perdata. Di Perancis, hal ini disebut “partie civile model” (civil Action Model). Pendekatan semacam ini lebih mengedepankan posisi korban sebagai subyek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar kepentingan-kepentingannya. 2)
Model pelayanan (the Service Model) Pada model ini penekanan diletakkan pada perlunya diciptakan standar-
standar baku bagi pembinaan korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh polisi, misalnya, dalam bentuk pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban dan atau kejaksaan dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai
41
Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Universitas Diponegoro, 2002), hlm. 178.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
17
sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum lainnya. 1.7. Kerangka Konseptual Dalam penelitian ini ada beberapa hal yang perlu dijelaskan secara singkat, sehingga dapat memberikan pemahaman terhadap masalah yang akan diteliti tentang Upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan Penuntut Umum dalam perkara pidana dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana. Mengenai Upaya hukum, adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan,42 (Pasal 1 butir 12 KUHAP) sehingga dengan adanya upaya hukum ini ada jaminan baik bagi terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam. 43 Dalam KUHAP diatur dalam Bab XVII yaitu upaya hukum biasa dan Bab XVIII upaya hukum luar biasa yang pada waktu berlakunya HIR diatur diluar HIR. Selanjutnya tentang pengertian Peninjauan Kembali agak sulit ditemukan dalam peraturan perundangan. KUHAP sendiri, tidak memuat pengertian tentang Peninjauan Kembali. Demikian juga dalam UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No. 4 Tahun 2004 jo UU No. 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UUPKK). Demikian juga dalam UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2004 jo UU No. 3 Tahun 2009. Hal serupa juga tidak ditemukan dalam PermaPerma yang berlaku sebelum KUHAP. Bahkan dalam Sv sendiri, pengertian itu tidak didapatkan secara jelas. Hal ini diakui oleh Seno Adji sebagai pakar hukum pidana. 44 Istilah hukum “Peninjauan Kembali” ini semula dimaksudkan untuk menggantikan istilah “herziening” dalam bahasa Belanda walaupun pada akhirnya kedua istilah itu mengandung arti yang tidak sama. 45 Secara harfiah, kata meninjau berarti “melihat sesuatu yang jauh dari tempat yang ketinggian”, dalam bahasa Inggris adalah observe at a distance sedangkan dalam bahasa Belanda 42
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hlm. 4. 43 Djoko Prakoso, Upaya Hukum Yang Diatur Didalam KUHAP, (Jakarta : Aksara Persada Indonesia, 1986), hlm. 51. 44 Oemar Seno Adji, Herziening Ganti Rugi Suap Perkembangan Delik, (Jakarta : Erlangga, 1981), hlm. 22-30. 45 Mangasa Sidabutar, Hak Terdakwa, Terpidana, Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 151.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
18
adalah observeren atau waarneming, jadi sebenarnya, kata meninjau kembali itu tidak identik dengan makna kata herziening tempo dulu yang secara harfiah berarti perbaikan atau perubahan. Jadi kata “meninjau kembali” dalam konteks proses penyelesaian perkara tingkat upaya hukum luar biasa dapatlah diartikan melihat atau mengamati, apakah hal-hal tertentu yang dirumuskan secara konkret oleh undang-undang dapat dijumpai atau tidak dalam uraian alasan yang dijadikan dasar permintaan peninjauan kembali yang bersangkutan. 46 Sementara pengertian Korban, berkaitan erat dengan sifat kejahatan itu sendiri. Berbicara mengenai korban meliputi pula pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia, yang bersumber dari illegal abuses of economic power dan illegal abuses of public power.47 Siapa yang menjadi korban dari suatu kejahatan atau pelanggaran hukum pidana merupakan persoalan dalam hukum pidana yang sulit untuk diberikan batasan secara pasti, karena kejahatan atau pelanggaran hukum pidana dapat menimbulkan dampak yang luas, materiil dan immateriil, baik langsung maupun tidak langsung. Hukum pidana tidak memberikan penjelasan tentang siapa yang menjadi korban dari suatu kejahatan atau pelanggaran hukum pidana. meskipun demikian, dalam beberapa Pasal hukum pidana disebutkan beberapa istilah yang secara langsung atau tidak langsung ditujukan kepada korban kejahatan dalam konteks yang berbeda-beda, yaitu sebagai ‘pengadu’, ‘pelapor’, ‘saksi’, atau ‘saksi korban’,’pihak ketiga yang berkepentingan’, dan ‘pihak yang dirugikan’ sebagai penggabung dalam prosedur pidana. Semua istilah tersebut tidak ada yang menjelaskan eksistensi dan posisi hukumnya sebagai korban dari pelanggaran hukum pidana (kejahatan). Selanjutnya yang dimaksud dengan Penuntut Umum, adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. 48 Adapun mengenai Sistem Peradilan Pidana atau criminal justice system, adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga
46
Ibid. hlm. 153. Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban di dalam J.E Sahetapy, Viktimologi : Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 96. 48 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit, hlm. 3. 47
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
19
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. 49 Adapun tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan : (a) mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan (b) menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan (c) mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. 1.8. Metode Penelitian 1.8.1. Metode Pendekatan Untuk mendapatkan bahan hukum dalam menguraikan kajian hukum yang sesuai dengan perumusan masalah dan objek yang diteliti yaitu berkaitan dengan upaya hukum Peninjauan Kembali, maka metode pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau melakukan kajian pustaka sebagai tumpuan utamanya, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain, yang mana penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Pelaksanaan penelitian hukum normatif ini secara garis besar ditujukan kepada asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan sejarah hukum serta perbandingan hukum. 50 Sedangkan penelitian lapangan hanya digunakan sebagai bahan pelengkap yang operasionalisasinya dilakukan dalam bentuk wawancara secara purposive dengan narasumber sebagai responden yang mempunyai kapasitas dalam bidang penelitian ini. 1.8.2. Metode Pengumpulan data Dalam penelitian hukum normatif ini, Selain data primer yang diperoleh dari hasil wawancara, penulis memperoleh data dari bahan-bahan 49
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana (Melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi, (Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993), hlm. 1. 50 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,2001), hlm. 13-14.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
20
pustaka yang lazimnya disebut dengan data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier yang selanjutnya penulis mempelajari, dan mendalami bahan-bahan hukum tersebut serta mengutip teori-teori atau konsep-konsep dari sejumlah literatur baik buku-buku, jurnal, makalah, koran atau karya tulis lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, kemudian penulis mengumpulkan bahan hukum tersebut dalam lembaranlembaran yang disediakan. Adapun sumber-sumber bahan hukum yang terdiri dari data sekunder, adalah:
51
1) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti Undang-Undang Dasar 1945, peraturan perundangundangan, Yurisprudensi, Putusan Pengadilan, Traktat, KUHAP dan sebagainya. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan sebagainya.. 3) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan ensiklopedia. 1.8.3. Metode Analisa Data Setelah bahan hukum primer, sekunder dan tersier terkumpul dan dirasa telah cukup lengkap, kemudian diolah secara kualitatif. Teknik analisis kualitatif dilakukan dengan cara menganalisa bahan hukum berdasarkan konsep, teori, peraturan perundang-undangan, pandangan pakar ataupun pandangan penulis sendiri, kemudian dilakukan interprestasi untuk menarik suatu kesimpulan dari permasalahan penelitian ini.
51
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 116.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
21
1.9. Sistematika Penulisan Secara sistematis penulisan tesis ini akan dibagi ke dalam lima bab, yang mana tiap bab berisi hal-hal yang dapat dijelaskan sebagai berikut : BAB 1
: merupakan bab pendahuluan yang menjelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teoritis dan konseptual.
BAB 2
: menjelaskan tentang upaya hukum peninjauan kembali dalam perspektif KUHAP. Dalam uraian tersebut akan mencakup mengenai latar belakang lahirnya peninjauan kembali, syaratsyarat dalam mengajukan peninjauan kembali maupun acara peninjauan kembali putusan peninjauan kembali.
BAB 3
: menguraikan tentang upaya hukum dan kedudukan korban dalam perspektif sistem peradilan pidana Indonesia. Di dalamnya dibahas tentang pengertian dan pengaturan korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia, Hak-hak korban dan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana Indonesia, serta upaya hukum sebagai bentuk perlindungan bagi korban
BAB 4
: membahas tentang upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum
dikaji dari perspektif sistem peradilan
pidana Indonesia. Di dalamnya diuraikan tentang upaya hukum korban dan Penuntut Umum dalam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dalam beberapa contoh kasus, peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum sebagai suatu penemuan hukum dan pergeseran perspektif peninjauan kembali dalam sistem peradilan pidana indonesia. BAB 5
: merupakan bab penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
22
BAB 2 UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 2.1. Upaya Hukum dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Dalam pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa pengertian upaya hukum itu adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan. Adapun maksud dari upaya hukum itu sendiri pada pokoknya adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya dan untuk kesatuan dalam peradilan. Dengan adanya upaya hukum ini, ada jaminan bagi terdakwa maupun masyarakat bahwa peradilan, baik menurut fakta dan hukum adalah benar dan sejauh mungkin seragam. Sedangkan menurut pandangan doktrina untuk melaksanakan hukum yaitu hak terpidana atau jaksa penuntut umum untuk tidak menerima penetapan atau putusan pengadilan karena tidak puas dengan penetapan atau putusan tersebut.52 Menurut pandangan doktrina upaya hukum pada pokoknya bertujuan : 1. Diperolehnya kesatuan dan kepastian dalam hal menjalankan peradilan (operasi yustitie). 2. Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenangwenang dari hakim. 3. Memperbaiki kealpaan-kealpaan dalam menjalankan peradilan. 4. Usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun Jaksa memberikan keteranganketerangan baru (Novum).53 Secara profesional upaya hukum di sediakan oleh hukum acara sebagai institusi yang dapat menguji suatu putusan pengadilan. Dalam penanganan perkara pidana, baik putusan pengadilan maupun upaya hukum, keduanya merupakan bagian/instrumen dalam sistem peradilan pidana. Pemahaman
52
A. Hamzah dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987), hlm. 3 53 Djoko Prakoso, Upaya Hukum yang diatur di dalam KUHAP, ( Jakarta : Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm. 53
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
23
mengenai keduanya tidak dapat dilepaskan dari desain sistem peradilan pidana itu sendiri. Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan sebagai padanan dari criminal justice system. Definisi criminal justice system dalam Black’s Law Dictionary disebutkan sebagai “The system typically has three components: law enforcement (police, sheriffs, marshals), the judicial process (judges, prosecutors,defense lawyers), and corrections (prison officials, probation officers, parole officers)”.54 Pengertian tersebut lebih menekankan pada “komponen” dalam sistem penegakan hukum, yang terdiri dari polisi, jaksa penuntut umum, hakim, advokat dan lembaga pemasyarakatan. Disamping itu pengertian di atas juga menekankan kepada fungsi komponen untuk ”menegakkan hukum pidana”, yaitu fungsi penyidikan, proses peradilan dan pelaksanaan pidananya. Berbeda dengan pengertian dalam Black’s di atas, pengertian sistem peradilan pidana seperti dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. 55 Pengertian yang dikemukakan Muladi tersebut, disamping memberi penekanan pada suatu ”jaringan” peradilan, juga menekankan adanya penggunaan hukum pidana oleh jaringan dalam melaksanakan tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum acara pidana maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut, sedangkan dalam pengertian Black’s terlihat lebih menekankan pada kelembagaannya (komponen). Pemahaman pengertian “sistem” dalam pendapat yang lain menurut Gordon B. Davis sebagaimana dikutip Muladi, dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti
54
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul, MN : West Group,2004) , hlm. 403 55
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 4
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
24
gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu sama lain berada dalam ketergantungan. 56 Dari pemahaman tersebut, pengertian “sistem” dalam sistem peradilan pidana meliputi keterpaduan bekerjanya elemen-elemen pendukung peradilan pidana maupun gagasan-gagasan yang tersistimatis. Definisi yang lain seperti dikemukakan
Remington
dan
Ohlin
sebagaimana
dikutip
oleh
Romli
Atmasasmita, bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. 57 Pengertian tersebut memberi pemahaman bahwa sistem peradilan pidana merupakan proses interaksi secara terpadu antara peraturan perundang-undangan pidana, praktik administrasi yang dijalankan lembaga peradilan pidana dan pelaksananya. Terkait dengan pengertian di atas, oleh Hagan seperti dikutip Romli Atmasasmita, membedakan pengertian antara criminal justice system dan criminal justice process. Menurut Hagan, criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan pidana baginya. Sedangkan criminal justice system adalah interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana.58 Peradilan pidana sebagai ”proses” menurut pengertian Hagan, didalamnya terdapat pentahapan penanganan oleh komponenkomponen terkait yang masing-masing memberikan suatu keputusan hingga ada penentuan status hukum bagi tersangka/terdakwa. Sedangkan peradilan pidana sebagai ”sistem” didalamnya terdapat keterkaitan hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam prosesnya kearah suatu tujuan.
56
Ibid, hlm. 15 Romli Atmasasmita, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung : Binacipta, 1996), hlm. 14 57
58
Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
25
Dari definisi-definisi di atas, terlihat adanya beberapa penekanan, yaitu : Pertama, adanya sistem dari suatu proses yang merupakan proses pelaksanaan tanggung jawab yang terdapat dalam suatu lembaga peradilan pidana. Jadi
terdapat
tahapan-tahapan
yang
berjalan
secara
sistematis
dalam
melaksanakan peradilan pidana. Kedua, adanya fungsi komponen-komponen yang berperan menjalankan proses tersebut. Komponen-komponen tersebut dengan mengambil batasan yang diberikan Mardjono Reksodiputro, bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan di mana komponen-komponen yang bekerjasama dalam sistem ini adalah terutama instansi atau badan yang kenal dengan Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan (lembaga) pemasyarakatan. 59 Jadi komponen dimaksud adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Apabila dilihat dari fungsi masing-masing komponen tersebut, yaitu kepolisian yang berfungsi melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang berfungsi melakukan tugas mengadili, dan fungsi lembaga pemasyarakatan yang bertugas menjalankan putusan penghukuman dan pemasyarakatan narapidana,
urutan tersebut
menunjukkan rangkaian proses yang harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan tertentu. Dalam kenyataan keharusan keempat komponen di atas untuk bekerja secara terpadu (integrated) mencapai tujuan sistem lebih mudah dikatakan daripada dilaksanakan.60 Ketiga, adanya penekanan bagaimana tiap-tiap komponen menjalankan tugasnya. Meskipun setiap komponen peradilan pidana dalam menjalankan tugasnya sebagai institusi yang berdiri sendiri dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, namun dalam menjalankan fungsinya tersebut semua komponen harus bekerja secara terpadu.61
59
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga( Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia,2007), hlm. 84-85 60 61
Ibid. Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
26
Keempat, adanya tujuan dari proses bekerjanya komponen-komponen dalam sistem tersebut. Tujuan disini dipandang sebagai tujuan secara keseluruhan atas hasil bekerjanya seluruh komponen. Tugas yang sering kurang diperhatikan adalah yang berhubungan dengan mencegah terjadinya korban kejahatan dan mencegah pelaku untuk mengulangi kejahatannya.62 Oleh karenanya pemahaman tiap komponen dari seluruh tahapan mengenai tujuan tersebut menjadi penting dan menjadi peran yang sangat besar dalam mewujudkan tujuan atas proses yaitu dalam rangka penanggulangan kejahatan. Terkait dengan pemahaman atas tujuan dari sistem peradilan pidana, oleh Alan Coffey sebagaimana dikutip Mardjono Reksodiputro, dikemukakan bahwa : peradilan pidana hanya dapat diberfungsi secara sistimatis apabila setiap bagian sistem tersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh keseluruhan bagian lainnya. Dengan kata lain, sistim tersebut tidak akan sistimatis jika hubungan antara polisi dan penuntut umum, polisi dengan pengadilan, penuntut umum dengan lembaga pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan dan hukum dan seterusnya, tidak harmonis. Diabaikannya hubungan fungsional diantara bagianbagian tersebut menyebabkan sistim peradilan pidana rentan terhadap perpecahan (fragmentasi) dan tidak efektif. 63 Pemahaman di atas menegaskan bahwa proses bekerjanya peradilan pidana baru dapat terbentuk sebagai suatu proses yang sistematis apabila ada pemahaman yang sama diantara komponen-komponen peradilan pidana tentang tujuan sistim peradilan pidana. Apabila tidak tercipta pemahaman yang sama diantara komponen, peradilan pidana berpotensi akan terfragmentasi dan berjalan sendiri-sendiri,
sehingga
akan
menyebabkan
penegakan hukum
dengan
menggunakan sistem ini tidak akan berhasil dengan baik. Oleh Mardjono Reksodiputro, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
2.
Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.
62
Ibid Mardjono Reksodiputro, Bahan Bacaan Wajib Mata kuliah Sistim Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Hukum UI,1983), hlm. 82 63
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
27
3.
Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.64 Atas tujuan tersebut, Mardjono Reksodiputro mengemukakan bahwa
empat komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu ”integrated criminal justice system”. 65 Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, oleh Mardjono Reksodiputro diperkirakan akan terdapat tiga kerugian, yaitu : 1.
Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama.
2.
Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masingmasing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana).
3.
Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana.66 Dirangkaikannya istilah “integrated” terhadap criminal justice system,
menurut
Muladi
dipandang
sebagai
suatu
keputusan
yang
berlebihan
(overboding), sebab tidak ada sistem yang tidak terintegrasi atau terpadu.67 Hal itu apabila ditarik dari pengertian system menurut Muladi, karena dalam istilah system
seharusnya
sudah
terkandung
keterpaduan
(integration
and
coordination).68 Keterpaduan tersebut didasarkan atas indikator-indikator sebagai berikut : 1. Berorientasi pada tujuan (purposive behaviour). 2. Menyeluruh dari pada sekedar penjumlahan bagian-bagiannya (wholism). Sistim selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openness). 3. Operasionalisasi
bagian-bagiannya
menciptakan
sistim
nilai
tertentu
(transformation). 4. Antar bagian sistem harus cocok satu sama lain (interrelatedness).
64
Mardjono Reksodiputro, Op.cit., hlm. 84-85 Ibid 66 Ibid. 67 Muladi, Op.cit., hlm. 119 68 Ibid. hlm. 1 65
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
28
5. Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu (control mechanism).69 Meskipun demikian Muladi setuju apabila penyebutan istilah tersebut diarahkan untuk lebih memberi tekanan agar integrasi dan koordinasi lebih diperhatikan, sebab fragmentasi dalam sistem peradilan pidana nampaknya merupakan disturbing issue. 70 Kiranya pelaksanaan sistem peradilan pidana yang tidak dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi dengan baik, menurut pandangan para ahli hukum dimungkinkan tercipta fragmentasi yang dapat menghambat tercapainya tujuan sistem tersebut dalam penegakan hukum. Adanya wewenang diskresi juga dapat memicu timbulnya fragmentasi dalam sistem peradilan pidana tersebut. Jika tidak ada rasa saling pengertian dan kerjasama diantara subsistem-subsistem peradilan pidana, dapat menimbulkan berbagai kecurigaan yang tidak perlu, dan juga dapat berdampak negatif terhadap pencapaian tujuan sistem peradilan pidana. Keserempakan dan keselarasan sebagai kandungan makna dari sinkronisasi sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem, menurut Muladi dapat besifat : sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserempakan dan keselarasan dalam administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum, dapat pula bersifat sinkronisasi substansial (substancial syncronization), yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif, dan dapat pula bersifat sinkronisasi kultural (cultural
syncronization),
yaitu keserempakan dan
keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 71 Pendapat yang lain sehubungan dengan tujuan sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan oleh Herbert L. Packer, bahwa a pragmatic approach to the central question of what the criminal law is good for would require both a general assessment of whether the criminal process is a high speed or a lows peed
69
Ibid. hlm. 119 Ibid. hlm. 1 71 Ibid. hlm. 1-2 70
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
29
instrument of social control and a series of specific assessment of its fitness for handling particular kinds of antisocial behavior.72 Menurut Packer, bahwa suatu pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuan baik dari adanya hukum pidana memerlukan suatu penyelidikan secara umum tentang apakah suatu proses pidana merupakan suatu kendali sosial yang memiliki kecepatan tinggi atau rendah dari penyelidikan lanjutan dan bersifat khusus mengenai kemampuannya untuk mengantisipasi perilaku anti sosial. Satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut di atas menurut Packer adalah dengan mengabstraksi kenyataan dan membangun sebuah model. One way to do this kind of job is to abstract from reality, to build a model.73 Model yang hendak dibangun adalah : 1.
It has considerable utility as an index of current value choices........about how the system actually operates (yang memiliki kegunaan sebagai indeks dari suatu pilihan nilai masa kini tentang bagaimana suatu sistem diimplementasikan).
2.
The kind of model that might emerge from an attempt to cut loose from the law on the books and to describe, as accurately as possible, what actually goes on in the real life (sebuah model yang terbentuk dari usaha untuk membedakan secara tajam hukum dalam buku teks dan mengungkapkan seakurat mungkin apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata seharihari).
3.
The kind of model we need is one that permits us to recognize explicitly the value choices that underlie the details of the criminal process (sebuah model yang dapat dipergunakan untuk mengenali secara eksplisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu proses pidana). 74 Bentuk model yang cocok untuk mencapai hal di atas menurut Packer adalah
model-model normatif, dan dari beberapa model normatif yang ada, tidak akan
72
Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, (California : Stanford University Press, 1986), hlm. 152 73 74
Ibid. Ibid. hlm. 152-153
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
30
lebih dari dua model saja yang cocok, yaitu the due process model dan the crime control model.75 Terhadap model-model yang dibangun oleh Packer tersebut, Muladi berpendapat terdapat kelemahan atas model-model itu, yaitu : 76 1.
Crime control model, sebagaimana digambarkan oleh John Griffiths sebagai model yang bertumpu pada the proposition that the repression of criminal conduct is by far the most important function to be performed by the criminal process. Model ini berpandangan tindakan
yang
bersifat
represif
sebagai
terpenting
dalam
melaksanakan proses peradilan pidana. Menurut Muladi, model ini merupakan bentuk asli dari adversary model dengan ciri-ciri penjahat dilihat sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi atau diasingkan, efisiensi, ketertiban umum berada di atas segalanya, tujuan pemidanaan adalah pengasingan. 2.
Due
process
model,
menurut
Muladi
tidak
sepenuhnya
menguntungkan, sebab meskipun model ini diliputi oleh the concept of the primacy of the individual and the complementary concept of limitation on official power dan bersifat anti outhoritarian values, namun tetap berada dalam kerangka adversary model. Konsep due process model menempatkan individu pada kedudukan yang istimewa dan pembatasan kekuasaan aparat dan bersifat anti nilai-nilai kepatuhan yang mutlak. Dalam pandangan Muladi, hal tersebut jelas tidak sesuai dengan falsafah Pancasila, yang melihat pelaku tindak pidana baik sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial. 3.
Family model dari Griffiths dinilai juga kurang memadai, karena masih terlalu offender oriented, padahal disisi lain masih terdapat korban (the victim of crime) yang memerlukan perhatian serius.
Berdasarkan penilaian tersebut menurut Muladi, dengan mendasarkan diri pada konsep equal justice, model yang sesuai dengan sistim peradilan pidana Indonesia adalah model yang realistik yang memperhatikan pelbagai kepentingan 75 76
Ibid. Muladi, op.cit., hlm. 5
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
31
yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.77 Model tersebut oleh Muladi disebut sebagai model keseimbangan, yaitu model yang bertumpu pada konsep daad-daderstrafrecht. Model keseimbangan kepentingan yang bertumpu konsep daad-daderstrafrecht tersebut terlihat belum terakomodir dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, yaitu UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang bertumpu pada konsep daderstrafrecht yang lebih memberi penekanan pada pelaku tindak pidana. Keberpihakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada pelaku tindak pidana, terlihat dari sepuluh asas yang terkandung didalamnya, yaitu : 1. Perlakuan yang sama dimuka hukum, tanpa diskriminasi apapun. 2. Praduga tidak bersalah. 3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi. 4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum. 5. Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan. 6. Peradilan yang bebas dilakukan dengan cepat dan sederhana. 7. Peradilan yang terbuka untuk umum. 8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan,
penahanan,
penggeledahan dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis). 9. Hak seseorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan pendakwaan terhadapnya. 10. Kewajiban putusannya.
pengadilan
untuk
mengendalikan
pelaksanaan
putusan-
78
Penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana di Indonesia yang sampai saat ini masih melandaskan diri pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), memang dirasakan belum mewakili berbagai kepentingan. Sebagai contoh, mengenai kepentingan korban dalam proses peradilan pidana yang diwakili oleh Jaksa 77 78
Ibid. Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia…, op.cit. hlm. 32-33
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
32
Penuntut Umum, juga masih ada perbedaan yang menyolok dengan kepentingan pelaku tindak pidana. Oleh karenanya tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan Mardjono Reksodiputro, yaitu antara lain menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan, agaknya tidak akan terlaksana secara baik. Dengan selarasnya tindakan antara komponen penegak hukum secara terstruktur, substansial maupun kultural sebagai suatu sistem sebagaimana dikemukakan Muladi di atas dengan bertumpu pada konsep keseimbangan, maka penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia diharapkan dapat mencapai keinginan sesuai hukum. Hukum pidana sebagai hukum materiil, dalam penegakannya dilakukan berdasarkan hukum acara sebagai hukum formil. Hukum acara merupakan urat nadi kehidupan hukum materil yang memberikan tuntunan atau pedoman dalam pelaksanaan hukum materil sehingga dapat memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terkait dalam rangka menegakan hukum dan keadilan, kalau tidak akan terjadi eigenrichting. 79 Sebagaimana telah diuraikan di atas, upaya hukum dalam penegakan hukum pidana merupakan salah satu hal yang diatur dalam KUHAP yang merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur tentang hukum formil di Indonesia. Berdasarkan ketentuan KUHAP, upaya hukum dapat dibagi menjadi : 80 1. Upaya hukum biasa (Gewone Rechtsmiddelen) terhadap putusan pengadilan pada tingkat pertama, yaitu : a. Perlawanan (verzet) b. Banding (revisi/Hoger Beroep) c. Terhadap putusan putusan peradilan tingkat banding (revisi/hoger beroep) dapat diajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung. 2. Upaya hukum luar (Buitengewone Rechtsmiddelen) biasa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, berupa:
79
H.A.S. Natabaya, Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm.. 9-10. 80
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, teoritis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung : PT. Alumni, 2011), hlm. 328-329.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
33
a. Pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum (Cassatie in het belang van het recht) atau kasasi jabatan. b. Peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. 2.2. Latar Belakang dan Perkembangan Lahirnya Peninjauan Kembali Lembaga Peninjauan Kembali yang meliputi herziening dan reques civiel (rekes sipil) merupakan keturunan sistem hukum Prancis. Namanya berturut-turut revision dan requite civile. Lembaga ini dimasukkan dalam hukum acara di Belanda dengan nama herziening dan request civiel.81 Herziening itu merupakan aspek hukum pidana dari lembaga hukum Peninjauan Kembali di samping aspek hukum perdata dalam request civil sebagai upaya hukum luar biasa. 82 Peninjauan Kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu telah lama ada. Setidak-tidaknya telah ada sejak Tahun 1848 pada saat diundangkannya Reglement op de Strafordering (RSv) pada tanggal 1 Mei 1848. Pada waktu itu Peninjauan Kembali dikenal dengan istilah herziening yang dalam RSv termuat dalam titel 18 tentang herziening van arresten an vonnissen pada Pasal 356 sampai dengan Pasal 360. 83 Ketentuan acara herziening dalam RSv yang
berlaku di Indonesia tersebut,
konkordan dengan
Wetboek van
Strafvordering (WSv) titel 18 pada Pasal 457 sampai Pasal 481. Sedangkan request civiel dalam Reglement op de rechtvordering (RRv) pada buku 1, titel XI, Pasal 385- Pasal 401 yang sesuai dengan Wetboek van Rechtvordering pada buku I, titel XI, Pasal 382-396.84 Dalam kebiasaan, Reglement of de strafvordering merupakan reglement tentang cara beracara perdata dan beracara pidana dimuka peradilan-peradilan untuk golongan pribumi disebut inlands reglement.85
81
Soedirjo, Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, Arti dan Makna, (Jakarta : Akademika Pressindo,1986), hlm.14 82 Oemar Seno Adji, Herziening, Ganti Rugi,Suap, Perkembangan Delik, (Jakarta: Erlangga,1989 ) hlm. 13 83 Hadari Djenawi Tahir, 1982, Bab Tentang Herziening Di Dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana ,(Bandung : Alumni, 1982) hlm. vi 84 Soedirjo, op.cit. 85 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan hukum di Indinesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,1994 ) hlm. 35
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
34
Dalam hukum acara yang berlaku saat itu, dua lembaga hukum baik herziening maupun request civiel ternyata tidak terdapat ketentuannya dalam HIR/RBG. Tidak diaturnya ketentuan tentang herziening dan request civiel dalam HIR/RBG tersebut, karena kedua reglement itu hanya mengatur tata cara beracara pada peradilan landraad (pengadilan negeri sekarang) dan pengadilan bumi putra lain yang lebih rendah (inlands rechtbanken). Untuk beracara pada peradilan banding dalam perkara pidana (revisi) maupun dalam perkara perdata (appel) yang menjadi wewenang Raad van Justitie (RvJ) atau Pengadilan Tinggi sekarang, aturannya termuat dalam RSv untuk perkara pidana dan RRv untuk perkara perdata. Setelah kemerdekaan, ketentuan Peninjauan Kembali di atur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 (Perma No. 1 Tahun 1969) tentang Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap. Latar belakang dikeluarkannya Perma ini, dapat diketahui dari dasar pertimbangannya sebagai berikut:86 1. Lembanga PK menjadi kebutuhan hukum yang mendesak. Terbukti banyak sekali para pencari keadilan mengajukan permohonan PK kepada Pengadilan Negeri atau secara langsung ke Mahkamah Agung. Banyak di antara permohonan PK tersebut mempunyai dasar-dasar yang kuat. Sementara belum ada hukum acara mengenai PK, Mahkamah Agung memberanikan diri untuk menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang PK tersebut. 2. Untuk mengisi kekosongan hukum dan bersifat sementara sebelum adanya undang-undang yang mengatur tentang PK, agar dapat menampung kebutuhan hukum bagi pencari keadilan untuk mengajukan PK. 3. Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan tersebut dengan maksud untuk menambah hukum acara Mahkamah Agung dengan hukum acara pidana PK yang telah terdapat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Selain itu, alasan tindakan Mahkamah Agung mengeluarkan Perma tersebut diperkuat dengan ketentuan Pasal 131 Undang-Undang No. 1 Tahun 1950 tentang Susunan, Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia 86
Lihat Perma No. 1 Tahun 1969 (Lampiran).
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
35
yang menyebutkan bahwa jika dalam jalan pengadilan ada soal yang tidak di atur dalam Undang-Undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan. Namun Perma No. 1 Tahun 1969 tidak berlaku lama dengan keluarnya Perma No. 1 Tahun 1971 yang mencabut Perma No. 1 Tahun 1969 dengan alasan telah keluarnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 21 yang berbunyi: “Apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan undang-undang terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kemali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata maupun pidana”. 87 Ketentuan
pada
Pasal
21
tersebut
semula
dimaksudkan
untuk
menggantikan Perma Nomor 1 Tahun 1969 yang ternyata tidak dapat dilaksanakan karena tidak dilengkapi dengan peraturan pelaksanaannya, sehingga Pasal 21 tersebut dapat dikatakan hanyalah kata-kata indah yang tidak dapat dilaksanakan, hal mana berarti sama saja dengan adanya kekosongan hukum mengenai peninjauan kembali. 88 Hingga akhirnya muncul kasus “Sengkon dan Karta”, dua terpidana yang telah menjalani hukuman sejak Tahun 1977 tapi sudah di tahan sejak Tahun 1974. Kasus tersebut adalah sebagai berikut:89 “Sengkon dan Karta ditahan dan diperiksa oleh Pengadilan Negeri Bekasi dengan tuduhan telah merampok dan membunuh suami isteri Suleman, dan berdasarkan alat bukti yang dianggap sah oleh Pengadilan Negeri Bekasi, keduanya di jatuhi hukuman masingmasing 10 dan 7 Tahun penjara. Tetapi tiba-tiba pada Tahun 1980 Pengadilan Negeri yang sama menjatuhkan pula hukuman penjara kepada Gunel, Siih dan Waslita masing-masing 10, 8 dan 6 Tahun penjara dengan tuduhan terbukti bersalah merampok dan membunuh suami isteri Suleman juga.” Jelas di sini telah terjadi kesalahan di dalam menjatuhkan putusan terhadap Sengkon dan Karta, sehingga untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut dibutuhkanlah upaya hukum Peninjauan Kembali.
87
Hadari Djenawi Tahir, op.cit, hlm. 10. Hadari Djenawi Tahir, Ibid, hlm. 7. 89 Hadari Djenawi Tahir, Ibid. 88
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
36
Kemudian tepat pada tanggal 1 Desember 1980, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Yang Tetap” yang sebenarnya materi dari Perma tersebut hampir sama dengan Perma No. 1 Tahun 1971, perbedaannya hanyalah terletak pada Perma No. 1 Tahun 1980 tidak mencantumkan “kekhilafan hakim dan kekeliruan yang mencolok” sebagai salah satu dari alasan yang daat dijadikan dasar untuk minta “peninjauan kembali” (Pasal 9). 90 Perma No. 1 Tahun 1980 hanya menempatkan 2 (dua) alasan yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk minta “Peninjauan Kembali” yaitu: 91 1. Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan; 2. Apabila terdapat sesuatu keadaan, sehingga menimbulkan persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum, atas dasar bahwa perbuatan yang dituduhkan itu tidak dapat dipidana, pernyataan tidak dapat diterimanya tuntutan Jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau penetapan ketentuan-ketentuan pidana lain yang lebih ringan. Adanya Perma No. 1 Tahun 1980, maka sangat diharapkan agar masalah “Sengkon dan Karta” dapat terselesaikan, namun kenyataannya tidak sesuai dengan harapan. Tindakan Mahkamah Agung yang mengambil jalan pintas untuk mengatasi masalah “Sengkon dan Karta” dan yang lainnya banyak menimbulkan reaksi dan tanggapan dari para praktisi hukum dan ilmuwan hukum yang cukup keras di samping ada juga yang memahami tindakan yang telah di ambil oleh Mahkamah Agung itu. Pada umumnya reaksi dan tanggapan tersebut didasarkan pada suatu pola pemikiran yang legistik dimana segala sesuatu harus didasarkan pada ketentuan yang yuridis formal dan konstitusional. Hal demikian memang di anggap sangat ideal, namun dalam menghadapi kasus “Sengkon dan Karta”, maka jika kita 90 91
Hadari Djenawi Tahir, Ibid. Hadari Djenawi Tahir, Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
37
mengharapkan suatu saluran yang formal normatif mungkin sudah akan sangat terlambat. Oleh sebab itu dianggap bijaksana jika melihat Peraturan Mahkamah Agung pada itikad dan tujuan hukum yaitu memberikan keadilan. Keadilan yang hendak dicapai oleh Peraturan Mahkamah Agung tentulah lebih dari segalagalanya jika dibandingkan dengan sekedar formalitas, apalagi sifat dari pada Peraturan Mahkamah Agung adalah temporer dan insidentil yaitu di buat sematamata karena adanya kebutuhan mendesak pada suatu kondisi tertentu, sedangkan sarana hukum untuk itu belum ada. 92 Satu bulan setelah diberlakukannya, dengan menggunakan dasar Perma No. 1 Tahun 1980 tersebut, tanggal 31 januari 1981 Terpidana Sengkon dan Karta di bebaskan melalui putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung. Tidak lama kemudian, tertanggal 24 September 1981 Perma No. 1 Tahun 1980 tersebut tidak berlaku lagi dengan disyahkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku sampai dengan sekarang.
93
Dalam perkembangannya, Peninjauan Kembali sebagai extraordinary remedy, telah mengalami pergeseran terutama dari segi pemohonnya. Di samping pihak terpidana yang merasa tidak “berdosa” melakukan tindak pidana, yang selanjutnya berhak mengajukan Peninjauan Kembali, tercuat adanya keinginan pihak lain di luar terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali. Pihak tersebut adalah jaksa, korban, keluarga korban, dan pihak ketiga yang berkepentingan, yang merasa bahwa putusan pengadilan terhadap terdakwa adalah suatu putusan yang salah. Berulang kali Mahkamah Agung mengabulkan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Kejaksaan sebagai pemohon antara lain (1) kasus Muchtar Pakpahan (1996), (2) kasus Ram Gulumal (2001), (3) kasus Praperadilan IKBLA melawan Kejaksaan Negeri Samarinda (2002), (4) kasus pembunuhan aktivis HAM Munir atas nama terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto (2008), dan yang terakhir adalah (5) kasus pidana cessie Bank Bali atas nama terdakwa Joko Tjandra (2009).94 92 93 94
H. Oemar Seno Adji, Op.Cit, hlm. 13. Hadari Djenawi Tahir, Op.Cit, hlm. 5. Aflin Sulaiman, op.cit.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
38
Di satu sisi, kasus tersebut memunculkan pandangan bahwa tidak diaturnya
suatu
masalah
dalam
undang-undang
bukan
berarti
tidak
dimungkinkannya untuk mengajukan Peninjauan Kembali, kesempatan itu harus diberikan, karena di lihat dari sisi kepentingan korban, hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali sudah sepantasnya diberikan pula kepada jaksa penuntut umum. Di sisi lain ada pandangan yang mengatakan bahwa kesempatan tersebut tidak bisa diberikan kepada siapapun termasuk kepada jaksa penuntut umum, korban, keluarga korban dan pihak ketiga yang berkepentingan kecuali kepada terpidana dan ahli waris, karena dasar logika hukum yang dikandung Pasal 263 KUHAP adalah kepentingan dari terpidana sendiri. 95 Praktik
peninjauan
kembali
kemudian
melangkah
jauh,
seakan
meninggalkan tujuannya yang hakiki. Itulah yang kini terjadi dalam praktik, yaitu pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa penuntut umum terhadap putusan bebas, bahkan putusan peninjauan kembali terhadap peninjauan kembali. 96 2.3. Syarat-Syarat dalam Mengajukan Peninjauan Kembali Peninjauan Kembali di dalam KUHAP di atur dalam BAB XVIII di bawah judul : upaya hukum luar biasa, pada bagian kedua “peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang terdiri dari 7 pasal yaitu Pasal 263 sampai dengan Pasal 269. Pasal 263 KUHAP merumuskan sebagai berikut:97 1)
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2)
Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a.
Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
95
Parman Soeparman, Op.Cit, hal 7. Ibid. 97 Lihat Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; 96
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
39
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. b.
Apabila dalam pelbagai putusan, terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan tetap terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
c.
Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
3)
Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Ketentuan Pasal 263 ayat (1) merupakan syarat formil dalam mengajukan
permintaan upaya hukum peninjauan kembali, yaitu:98 1. Dapat dimintakan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde); Peninjauan kembali hanya dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, apakah itu putusan pengadilan negeri, putusan pengadilan tinggi atau terhadap putusan tingkat kasasi selama putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. 2. Diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya; Menurut pasal ini, yang dapat mengajukan peninjauan kembali hanyalah terpidana atau ahli warisnya, sedangkan mengenai pihak lain apakah itu penuntut umum, saksi korban ataupun pihak ketiga yang berkepentingan tidak ada diatur dalam KUHAP. 3. Hanya terhadap putusan yang menghukum/memidana saja. Meskipun KUHAP membolehkan untuk mengajukan peninjauan kembali terhadap semua putusan pengadilan, namun KUHAP mengecualikan terhadap putusan bebas (vrijspraak) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum 98
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali),( Jakarta : Sinar Grafika,2003), hlm. 613-614.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
40
(onslag rechts vervolging). Hal ini memang logis, karena tidak mungkin terdakwa yang sudah di putus bebas atau lepas akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Selanjutnya mengenai syarat materil terdapat dalam ayat (2) yaitu sebagai berikut: 1. Apabila terdapat keadaan baru atau “novum”; Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan adalah keadaan baru atau novum yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat”:99 a. Jika seandainya keadaan baru itu diketahui atau ditemukan dan dikemukakan pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi factor dan alasan untuk menjatuhkan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau b. Keadaan baru itu jika ditemukan dan diketahui pada waktu sidang berlangsung, dapat menjadi alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan yang menyatakan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima, atau c. Dapat dijadikan alasan dan faktor untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. 2. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan, yakni apabila dalam pelbagai putusan terdapat:100 a. Pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti; b. Kemudian pernyataan tentang terbuktinya hal atau keadaan itu dijadikan sebagai dasar dan alasan putusan dalam suatu perkara; c. Akan tetapi dalam putusan perkara lain hal atau keadaan yang dinyatakan terbukti itu saling bertentangan antara putusan yang satu dengan yang lainnya. 3. Apabila terdapat kekhilafan yang nyata dalam putusan. Hakim sebagai manusia tentunya tidak luput dari kekhilafan dan kekeliruan, kekhilafan dan kekeliruan itu bisa saja terjadi dalam semua tingkat pengadilan. Kekhilafan yang diperbuat Pengadilan Negeri sebagai peradilan pertama, bisa berlanjut pada tingkat banding dan kekhilafan dalam tingkat 99
M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 619. M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 621.
100
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
41
pertama dan tingkat banding itu tidak tampak dalam tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Padahal tujuan tingkat banding dan tingkat kasasi untuk meluruskan dan memperbaiki serta membenarkan kembali kekeliruan yang diperbuat pengadilan yang lebih rendah. 101 Ada dua alasan penting secara doktriner yang tidak dapat ditinggalkan dalam pembahasan mengenai peninjauan kembali, dan hal demikian telah dimuat dalam KUHAP, yakni conflict van rechtspraak dan novum. Hal yang pertama adalah terdapatnya putusan-putusan yang berlainan dengan keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti. Hal yang disebut berikutnya ialah adanya suatu keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika diketahui keadaan itu, pada waktu sidang masih berlangsung hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima dan juga terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.102 2.4. Acara Peninjauan Kembali Sebagaimana yang telah diuraikan di atas bahwa syarat-syarat formil dan materil pengajuan Peninjauan Kembali dicantumkan dalam Pasal 263 KUHAP. Selanjutnya mengenai prosedur pengajuan peninjauan kembali dimuat dalam Pasal 264 dan 265 KUHAP. Selengkapnya Pasal 264 KUHAP merumuskan sebagai berikut: 1)
2) 3) 4)
5)
Permintaan Peninjauan Kembali oleh Pemohon sebagaimana di maksud dalam Pasal 263 ayat (1) diajukan kepada panitera pangadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya. Ketentuan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 245 ayat (2) berlaku juga bagi permintaan Peninjauan Kembali. Permintaan Peninjauan Kembali tidak dibatasi dengan suatu jangka waktu. Dalam hal pemohon Peninjauan Kembali adalah terpidana yang kurang memahami hukum, panitera pada waktu menerima permintaan Peninjauan Kembali wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permintaan tersebut dan untuk itu panitera membuatkan surat permintaan peninjauan kembali. Ketua pengadilan segera mengirimkan surat permintaan Peninjauan Kembali beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung, disertai suatu catatan penjelasan. 101 102
M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 622. Oemar Seno Adji, Herziening Gantirugi Suap…, op.cit., hlm. 38-29
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
42
Sementara Pasal 265 merumuskan sebagai berikut: 1)
2) 3)
4)
5)
Ketua Pengadilan setelah menerima permintaan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak memeriksa perkara semula yang dimintakan Peninjauan Kembali itu untuk memeriksa apakah permintaan Peninjauan Kembali tersebut memenuhi alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (2). Dalam pemeriksaan sebagaimana tersebut pada ayat (1), pemohon dan jaksa ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya. Atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara itu dibuat berita acara pendapat dan ditandatangani oleh hakim dan panitera. Ketua pengadilan segera melanjutkan permintaan Peninjauan Kembali yang dilampiri berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan dan berita acara pendapat kepada Mahkamah Agung yang tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan jaksa. Dalam hal suatu perkara yang dimintakan Peninjauan Kembali adalah putusan pengadilan banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan berita acara pemeriksaan serta berita acara pendapat dan disampaikan kepada pengadilan banding yang bersangkutan. Dari bunyi kedua Pasal tersebut di atas dapat diketahui bahwa tata cara
mengajukan permintaan Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut:103 1. Permintaan diajukan kepada Panitera; 2. Panitera membuat akta permintaan peninjauan kembali; 3. Ketua Pengadilan Negeri menunjuk hakim yang akan memeriksa; 4. Hakim yang ditunjuk melakukan pemeriksaan sidang yang difokuskan kepada objek Peninjauan Kembali (keadaan baru) dan hanya berwenang menilai secara formal belaka dan akan dituangkan dalam “berita acara pendapat”; 5. Hakim yang memeriksa tidak berwenang menilai alasan yang diajukan secara materiil, karena yang berwenang menilai secara materiil adalah Mahkamah Agung; 6. Sifat pemeriksaan persidangan adalah resmi dan terbuka untuk umum dan dihadiri oleh pemohon dan jaksa; 7. Semua pendapat dan keadaan yang timbul dalam pemeriksaan sidang dicatat oleh panitera dalam berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera; 103
M. Yahya Harahap, Ibid, hlm. 624-634.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
43
8. Pengadilan Negeri kemudian melanjutkan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung, dengan mengirimkan hal-hal sebagai berikut: a.
Surat permintaan peninjauan kembali;
b.
Berkas perkara semula selengkapnya, termasuk berita acara pemeriksaan penyidikan, berita acara pemeriksaan sidang, segala surat-surat yang berhubungan dengan perkara serta segala putusan yang berhubungan dengan perkara tersebut;
c.
Berita acara pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali;
d.
Berita acara pendapat.
9. Oleh Mahkamah Agung kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pada berkas perkara semula, berita acara pemeriksaan permintaan peninjauan kembali dan berita acara pendapat; 10. Kemudian Mahkamah Agung menjatuhkan putusan Peninjauan Kembali. Dalam hal alasan Peninjauan Kembali tidak memenuhi ketentuan yang disyaratkan oleh perundang-undangan, maka Mahkamah Agung akan menyatakan permintaan Peninjauan Kembali tidak dapat diterima. Dengan demikian putusan Mahkamah Agung dalam hal permintaan peninjauan kembali akan berupa : 1.
Pernyataan tidak dapat diterimanya permintaan peninjauan kembali untuk diperiksa;
2.
Menolak permintaan peninjauan kembali;
3.
Membatalkan putusan sebelumnya dan menjatuhkan putusan berupa : a.
Putusan bebas;
b.
Lepas dari segala tuntutan hukum;
c.
Tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
d.
Menerapkan pidana yang lebih ringan. Hal-hal yang diuraikan di atas diatur dalam Pasal 266 ayat (1) dan (2)
KUHAP, sedangkan ayat (3) nya berbunyi : ”pidana yang dijatuhkan dalam putusan peninjauan kembali tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam pidana semula”. Ketentuan ini menjadi berlebihan karena permintaan peninjauan kembali hanya dimaksudkan untuk meringankan atau membebaskan terpidana dari pidana yang berat bukan sebaliknya.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
44
Pemeriksaan dan putusan yang diambil Mahkamah Agung dalam perkara peninjauan kembali, hakekatnya bukanlah merupakan pemeriksaan tingkat ketiga, tetapi untuk memeriksa apakah pengadilan bawahan telah salah menerapkan hukum
atau
tidak
dilaksanakannya
hukum
ataupun
melampaui
batas
wewenangnya. Demikian juga Mahkamah Agung tidak akan memeriksa judex factie karena merupakan wewenang Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tetapi karena ada alasan-alasan yang baru diketahui sesudah putusan menjadi tetap ataupun putusan itu bertentangan satu dengan dengan lainnya, ataupun putusan pengadilan sebelumnya mengandung kesilapan yang dengan sendirinya akan memengaruhi penerapan hukum atau tidak dilaksanakannya hukum sebagaimana mestinya. 104 Uraian tentang upaya hukum peninjauan kembali dalam perspektif sistem peradilan pidana di Indonesia pada bab ini dirasa sudah cukup untuk memberikan gambaran mengenai upaya hukum peninjauan kembali. Pada bab selanjutnya akan dibahas tentang upaya hukum dan kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
104
Parman Soeparman, op.cit. hlm. 88
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
45
BAB 3 UPAYA HUKUM DAN KEDUDUKAN KORBAN DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
3.1. Pengertian Korban Korban adalah sebuah konsepsi mengenai realitas sebagaimana juga halnya obyek peristiwa-peristiwa. Konstruksi sosial hukum sendiri menyatakan bahwa semua kejahatan mempunyai korban. Adanya korban adalah indikasi bahwa ketertiban sosial yang ada terganggu, oleh karena itu dari sudut pandang legalitas, korban seringkali secara jelas diperinci. 105 Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang membahas mengenai korban kejahatan, sebagian diantaranya adalah sebagai berikut : Menurut Arief Gosita, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. 106 Menurut Ralp de Sola, Korban (victim) adalah “…person who has injured mental or physical suffering, loss of property or death resulting from an actual or attampted criminal offens committed by another…”.107 Menurut Cohen, korban (victim) adalah “…whose pain and suffering have been neglected by the state while it spends immense resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering..108 Menurut Muladi korban adalah orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang
105
Mulyana W. Kusuma, Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung: Alumni, 1981), hal 109 106 Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan,(Jakarta : Universitas Trisakti, 2009), hlm. 90 107 Ralp de Sola, Crime Dictionary (New York : Facts on File Publication, 1998), hlm. 188 sebagaimana dikutip dari Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 46 108 Cohen dalam Romli Atmasasmita, Masalah Santunan Korban Kejahatan, (Jakarta : BPHN, tanpa Tahun) hlm. 9
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
46
fundamental, melalui perbuatan yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan. 109 Menurut Mardjono Reksodiputro, ada 4 (empat) macam pengertian korban yaitu :110 1. Korban
kejahatan
konvensional
seperti
pembunuhan,
perkosaan,
penganiayaan, pencurian. 2. Korban kejahatan
non konvensional
seperti
terorisme,
pembajakan,
perdagangan narkotika secara tidak sah, kejahatan terorganisasi dan kejahatan melalui computer. 3. Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power) seperti pelanggaran terhadap peraturan perburuhan, penipuan konsumen, pelanggaran terhadap peraturan lingkungan, penyelewengan di bidang pemasaran dan perdagangan oleh perusahaanperusahaan trans- nasional, pelanggaran peraturan devisa, pelanggaran peraturan pajak dan lain sebagainya. 4.
Korban penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum (illegal abuses of public power) seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan wewenang oleh alat penguasa, termasuk penangkapan serta penahanan yang melanggar hukum dan lain sebagainya. Sedangkan Deklarasi PBB dalam The Declaration of Basic Principles of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power 1985, korban (victims) di artikan sebagai persons who, individually or collectively, have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, economic los sor substansial impairment of their fundamental rights, through acts or omission of criminal laws proscribing criminal abuse of power “…through acts or omissions that do not yet constitute violations of national criminal laws but of internationally recognized norms relating to human rights.111
109
Muladi, HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Bandung : Refika Aditama, 2005), hlm. 108 110 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan, Buku Kedua), (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007), hal 85-86 111 Arif Gosita, op.cit., hlm. 46
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
47
Secara luas, pengertian korban diartikan bukan hanya korban yang menderita secara langsung, akan tetapi juga korban yang tidak langsung mengalami penderitaan. Korban tidak langsung disini seperti isteri kehilangan suami, anak yang kehilangan bapak, orang tua yang kehilangan anaknya dan lain sebagainya. 112 Sedangkan menurut Mandelson, berdasarkan derajat kesalahannya korban dibedakan menjadi lima macam, yaitu:113 1. Yang sama sekali tidak bersalah 2. Yang jadi korban karena kelalaiannya 3. Yang sama salahnya dengan pelaku 4. Yang lebih bersalah daripada pelaku 5. Yang korban adalah satu-satunya yang bersalah (dalam hal ini pelaku dibebaskan) Selanjutnya mengenai hak-hak korban diatur dalam Pasal 5 UndangUndang No 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan bahwa korban berhak untuk:114 1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. 2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanan. 3. Memberikan keterangan tanpa tekanan. 4. Mendapat penerjemah. 5. Bebas dari pertanyaan yang menjerat. 6. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus. 7. Mendapatkan informasi mengenai keputusan pengadilan. 8. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. 9. Mendapat identitas baru. 10. Mendapatkan tempat kediaman baru. 112
Rena Yulia, Viktimologi : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010), hlm. 5. 113 Ibid. hlm. 6. 114 Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
48
11. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. 12. Mendapat nasihat, dan/atau 13. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Adapun hak-hak para korban menurut van Boven adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan dan hak atas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan, baik material maupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrument-instrumen hukum mengenai hak asasi manusia yang berlaku dan juga terdapat dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia. 115 Dalam Kajian teoritik melalui pandangan doktrin dari Arief Gosita, disebutkan bahwa adanya hak-hak korban dapat berupa : a.
Korban berhak mendapatkan konpensasi atas penderitaannya sesuai dengan kemampuan
memberi
konpensasi
si
pembuat
korban
dan
taraf
keterlibatan/partisipasi/peranan si korban dalam terjadinya kejahatan, dengan likuensi dan penyimpangan tersebut. b.
Berhak menolak konpensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi konpensasi karena tidak memerlukannya).
c.
Berhak mendapat konpensasi untuk ahli warisnya bila si korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.
d.
Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
e.
Berhak mendapatkan kembali hak miliknya.
f.
Berhak mendapatkan bantuan Penasihat hukum, dan
g.
Berhak mempergunakan upaya hukum. 116 Dalam aspek yang sama, J.E. Sahetapy juga menentukan hak-hak korban
berupa : a. Mendapatkan pelayanan (bantuan, restitusi, konpensasi) b. Menolak pelayanan untuk ahli warisnya. c. Mendapatkan kembali hak miliknya. 115
Ibid.
116
Arif Gosita, op.cit. hlm. 105
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
49
d. Menolak menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap dirinya e. Mendapat perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila pelapor menjadi saksi. f. Mendapat informasi mengenai permasalahan yang dihadapinya. g. Dapat melangsungkan pekerjaannya. h. Mendapat pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan, selama persidangan dan setelah persidangan. i.
Mendapat bantuan penasihat hukum.
j.
Menggunakan upaya hukum. 117 Dalam hal ilmu yang mempelajari tentang korban, pengkajian ilmu tentang
korban saat ini telah semakin luas, sehingga dirasakan perlu untuk mempelajari secara mandiri (selain kriminologi) melalui ilmu pengetahuan yang dinamakan viktimologi
(victimology).
Pendekatan
yang
dewasa
ini
yang
banyak
mempengaruhi pemikiran dalam viktimologi ini adalah pendekatan kriminologikritis; critical criminology, yaitu aliran pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan pendekatan positivis (yang mencari sebab-musabab kejahatan; etiologi kriminal) dan lebih memperhatikan proses-proses yang terjadi dalam sistem peradilan pidana dan struktur masyarakatnya. Fokus pandangan ini adalah pada proses-proses dengan mana manusia membentuk dunia sosial dimana dia hidup.118 Lebih lanjut Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa pendekatan tersebut di atas masih harus dibedakan antara yang mempelajari “arti” yang diberikan oleh suatu masyarakat pada kejahatan yang terjadi (pendekatan interaksionis), dan
yang menitikberatkan pada masalah “kekuasaan” dalam
pengertian kejahatan itu (pendekatan konflik). 119 Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban hingga kemudian munculah berbagai jenis korban, yaitu :120 1.
Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan. 117
J.E. Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 189 118 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem peradilan Pidana…, Ibid. 119 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem peradilan Pidana…, Ibid. 120 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit, hal 49
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
50
2. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban. 3.
Procative victims, yaitu mereka yang menimbulkan rangsangan terjadinya kejahatan.
4.
Participating victims, yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban.
5.
False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.
3.2. Hak-hak Korban dan Kedudukan Korban dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Dalam proses pengadilan perkara pidana yang berupaya maksimal untuk menemukan dan mewujudkan kebenaran materiel, sering muncul keluhan ketidakadilan dari pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam perkara tersebut. Perkara pidana stakeholdernya tidak seperti dalam perkara perdata yaitu penggugat dan tergugat, tetapi lebih luas yaitu korban, pelaku dan masyarakat banyak terutama komunitas sekitar di mana kejahatan itu terjadi. 121 Proses mengadili dalam perkara pidana merupakan proses interaksi nalar hukum dan batin untuk mencapai puncak kearifan dalam memutus suatu perkara. Putusan pengadilan dalam perkara pidana harus didasarkan atas fakta-fakta yang sah muncul di persidangan dan meyakinkan bagi hakim yang memutus perkara. Namun sering tidak semua pihak merasa puas atas suatu putusan pidana tersebut, khususnya korban dari suatu tindak pidana. 122 Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, kepentingan korban kejahatan diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum. Hal ini merupakan bagian perlindungan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari teori kontrak sosial (social contract argument) dan teori solidaritas sosial (social solidary argument). 123 Sebagai lembaga yang mewakili korban, seharusnya jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan pidananya lebih banyak menguraikan penderitaan korban 121
Artidjo Alkostar, Restorative Justice, (Jakarta : Varia Peradilan No. 262 September, 2007, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)), Hlm. 7. 122 Ibid. 123 Muladi dan Barda Nawai Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : PT. Alumni, 1984), Hlm. 131
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
51
akibat tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dengan tolak ukur tersebut, pengajuan tuntutan pidana hendaknya harus didasarkan pada keadilan yang di tinjau dari kaca mata korban. Dengan demikian Jaksa Penuntut Umum cenderung menuntut hukuman yang relatif tinggi, sedangkan terdakwa dan atau Penasihat Hukumnya berhak memohon hukuman yang seringan-ringannya. Bahkan kalau memungkinkan mohon agar terdakwa dibebaskan dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Paralel dengan dimensi di atas, maka putusan hakim yang berupa pemidanaan (veroordeling) haruslah mengandung anasir yang bersifat kemanusiaan, edukatif dan keadilan sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief dari Simposium pembaharuan hukum pidana Nasional Tahun 1980, yaitu sebagai berikut : 1. Kemanusiaan, dalam arti bahwa persidangan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang. 2. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan kontruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan. 3. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil, baik oleh terhukum, korban ataupun masyarakat.124 Dalam proses pengadilan pidana kepentingan korban seolah-olah telah terwakili atau direpresentasikan oleh Negara cq pemerintah cq kejaksaan dan kepolisian. Namun seberapa efektif dan representatif pemerintah dapat mewakili kepentingan korban kejahatan secara utuh. Untuk itu diperlukan cermin besar guna melihat kepentingan korban kejahatan, karena menyangkut hak, martabat dan kemampuan insani dari korban selaku manusia yang berdaulat. Begitu pula hak dan kepentingan masa depannya. Apalagi kalau korban yang berstatus kepala keluarga yang mempunyai tanggungan anggota keluarga. 125 Proses peradilan pidana terlalu menyederhanakan masalah hak, martabat dan kepentingan korban serta masyarakat terkait (stakeholder). Seolah-olah kasus dan penderitaan yang menimpa diri korban kalau telah ditangani oleh kepolisian dan/atau kejaksaan, maka korban-korban, keluarga korban dan masyarakat 124
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1996), Hlm. 82 125 Ibid, Hlm. 8.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
52
(stakeholder) tidak perlu ikut campur tangan lagi serta menyerahkan nasibnya kepada penegak hukum. Padahal, kalau pelaku kejahatan dihukum penjara atau denda, kepentingan moril dan materil dari korban dan stakeholder tidak terpenuhi. 126 Kedudukan korban dalam suatu tindak pidana mengandung masalah hukum yang tidak selalu mudah dipecahkan dari sudut hukum, oleh karenanya seorang korban tindak pidana dapat mengalami korban berikutnya yang disebut dengan secondary victimization, disebabkan adanya penolakan secara sistematis oleh sistem peradilan pidana. 127 Masalah kepentingan korban dari sejak lama kurang begitu mendapat perhatian, tetapi obyek perhatian ternyata masih lebih terfokus kepada bagaimana memberikan hukuman kepada pelaku tindak pidana dan hal ini masih melekat dari fenomena pembalasan belaka. Dilihat dari sudut ideologi negara kita yang berdasar hukum, negara kita memandang komitmen bahwa setiap orang harus diperlakukan baik dan adil, apakah ia seorang tersangka atau korban tindak pidana, Perikemanusiaan sebagai salah satu sendi nilai falsafah negara Pancasila menjiwai seluruh keberadaan hukum di negara kita, mulai dari UUD 1945 hingga peraturan perundangundangan ke bawahnya. 128 Akan tetapi tidak seluruh sistem penyelenggaraan hukum melalui produk peraturan perundang-undangan sudah benar-benar melakukan hal demikian khususnya terhadap KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) sebagai landasan dasar dari penyelenggaraan sistem peradilan pidana di Indonesia. Seorang korban tindak pidana akan menderita pula kembali sebagai akibat dari sistem hukum itu sendiri. Korban tindak pidana tidak bisa dilibatkan secara aktif, karena dalam sistem peradilan pidana Indonesia kepentingan korban tindak pidana telah diwakili oleh alat negara yakni polisi dan jaksa sebagai penyelidik, penyidik, penuntut umum, akan tetapi hubungan antara korban tindak pidana di satu pihak dengan polisi dan jaksa di pihak lain adalah bersifat simbolik, sementara itu 126
Ibid. Parman Soeparman, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi, (Jakarta : Varia Peradilan No. 260 Juli, 2007, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)), Hlm. 48. 128 Arif Gosita, Viktimologi dan KUHAP, (Jakarta : Akademi Presindo,1986), hlm. 14. 127
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
53
hubungan antara terdakwa dengan penasehat hukumnya secara prinsip adalah murni dalam hubungan hukum antara pengguna jasa dan pemberi jasa. Polisi dan jaksa bertindak untuk melaksanakan tugas Negara sebagai wakil korban tindak pidana dan atau masyarakat, sedangkan penasehat hukum bertindak atas kuasa langsung dari terdakwa yang bertindak mewakili terdakwa sendiri. Dilihat dari sudut Hak Asasi Manusia (HAM), masalah kepentingan korban tindak pidana merupakan bagian dari persoalan hak asasi manusia pada umumnya. Prinsip universal sebagaimana termuat dalam The International of Human Rights (10 Desember 1948) dan The International Covenant on Civil and Political Rights (16 Desember 1966) mengakui bahwa semua orang adalah sama terhadap undang-undang dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa perlakuan atau sikap diskriminasi apapun. Setiap orang berhak atas peradilan yang efektif dari pengadilan nasional atas tindakan pelanggaran hak-hak asasi yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. 129 Prinsip HAM sebagaimana yang digariskan di atas mempunyai nilai yang dapat mendukung aspek viktimologis, terlebih dapat berfungsi sebagai landasan kuat bagi perumusan hukum kelak bagi kepentingan korban-korban tindak pidana dalam perumusan-perumusan tata pengaturan bagi setiap negara mengenai hakhak korban dari tindakan perlakuan pelanggaran hukum. 130 Perkembangan masalah viktimologi secara nasional tergantung dari ketanggapan suatu negara merespons hukumnya kepada kepentingan-kepentingan HAM dari korban tindak pidana. Dalam sistem peradilan pidana yang lebih mendapatkan perhatian adalah terpidana (offender oriented) sehingga wajar jika di dalam KUHAP pengaturan tentang hak-hak korban sangat sedikit jika dibandingkan dengan hak-hak pelaku tindak pidana (tersangka/terdakwa/terpidana). Dengan perkataan lain bahwa perlindungan hukum lebih banyak diatur untuk pelaku tindak pidana dibandingkan dengan kepentingan korban yang mengalami penderitaan dari perbuatan tindak pidana itu. Melalui optik KUHAP perlindungan korban ternyata
129
Pasal 8-10 The Universal Declaration of Human Rights, United Nations General Assembly, Desember, 10th, 1948, yang lazim disebut dengan Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia. 130 Arif Gosita, Op.Cit, hlm. 16.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
54
dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Konkretnya, korban belum mendapat perhatian secara proporsional. 131 Pada dasarnya hak-hak korban dalam KUHAP meliputi tiga dimensi, yaitu Pertama, hak untuk melakukan kontrol terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum, yakni hak mengajukan keberatan atas tindakan penghentian penyidikan dan / atau penuntutan dalam kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Ini diatur dalam Pasal 77 dan 80 KUHAP. Kedua, hak korban dalam kedudukannya sebagai saksi, yakni hak mengundurkan diri sebagai saksi, sebagaimana dijumpai dalam Pasal 168 KUHAP dan hak bagi keluarga korban dalam hal korban meninggal dunia, untuk mengijinkan atau tidak atas tindakan polisi melakukan bedah mayat atau penggalian kubur untuk otopsi. Hak demikian diatur dalam Pasal 134 sampai 136 KUHAP. Ketiga, hak menuntut gantirugi atas kerugian yang diderita dari akibat tindak pidana dalam kapasitasnya sebagai pihak yang dirugikan, sebagaimana di atur dalam Pasal 98 sampai 101 KUHAP.: 132 Diluar ketentuan KUHAP perlindungan korban juga dapat ditemukan dalam peraturan hukum lain yang berlaku di Indonesia seperti dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal tersebut mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban, yang meliputi: 133 a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; 131 132
J.E. Sahetapy, Op.Cit. hlm. 39 Parman Soeparman, op.cit. (Lihat Catatan Kaki No. 135) Hlm. 82.
133
Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan…, op.cit., hlm. 153-155
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
55
h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i.
mendapatkan identitas baru;
j.
mendapatkan tempat kediaman baru;
k. memperoleh pennggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l.
mendapatkan nasihat hukum; dan/atau
m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Penjelasan dari Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kasus-kasus tertentu”, antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Jelaslah, berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) Undangundang Nomor 13 Tahun 2006, tidak setiap saksi atau korban yang memberikan keterangan (kesaksian) dalam suatu proses peradilan pidana, secara otomatis memperoleh perlindungan seperti yang dinyatakan dalam undang-undang ini. 134 Khusus untuk korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, tidak hanya berhak atas perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5, tetapi juga berhak untuk mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial, yaitu bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulkihkan kembali kondisi kejiwaan korban (Penjelasan Pasal 6 huruf b).135 Dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tidak tertutup kemungkinan bagi korban untuk menuntut hak atas kompensasi dan hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7 ayat (1)). Perlindungan lain yang juga diberikan kepada saksi atau korban dalam suatu proses peradilan pidana, meliputi: 136 134
Ibid. Ibid. 136 Ibid. 135
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
56
a. Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut diperiksa, tentunya setelah ada ijin dari hakim (Pasal 9 ayat (1)). b. Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Hak-hak korban juga dapat ditemukan dalam ketentuan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Sebagaimana termuat dalam bab V tentang perlindungan saksi dan korban dari Pasal 43 sampai dengan Pasal 55 yang mana dalam pasal-pasal tersebut menguraikan tentang hak-hak dari korban yang berupa :137 a. Hak kerahasiaan identitas korban tindak pidana perdagangan orang dan keluarganya sampai derajat kedua. (Pasal 44) b. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya (Pasal 47) c. Hak untuk mendapat restitusi (Pasal 48) d. Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah. (Pasal 51) e. Korban yang berada di luar negeri berhak dilindungi dan dipulangkan ke Indonesia atas biaya negara. (Pasal 54) Kemudian dalam Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, masyarakat sebagai korban dari adanya pencemaran lingkungan dan/atau kerusakan lingkungan hidup juga diberikan hak mengajukan gugatan atas dasar perwakilan yang dalam hukum lingkungan disebut class action sebagaimana di atur dalam Pasal 91 yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :138 (1)
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau yntuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
137
Lihat ketentuan bab V Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pemberantasan Orang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 58 138 Lihat ketentuan Pasal 91 Undang-unUdang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
57
(2)
(3)
Gugatan dapat diajukan apabila terdapat kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum serta jenis tuntutan diantara wakil kelompok dan anggota kelompoknya. Ketentuan mengenai hak gugat masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya terhadap perlindungan kepada masyarakat yang menjadi korban tindak pidana lingkungan berdasarkan ketentuan pasal 119 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Perlindaungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa :139 a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan; c. Perbaikan akibat tindak pidana; d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau e. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) Tahun. Pada dasarnya bentuk-bentuk atau model perlindungan terhadap korban kejahatan apabila mengacu pada kasus kejahatan yang pernah terjadi, maka terdapat beberapa bentuk atau model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban yaitu : 140 a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi Pengertian restitusi dan Kompensasi merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun menurut Stephen Schafer, perbedaan antara kedua istilah itu adalah konpensasi lebih bersifat keperdataan. Konpensasi timbul dari permintaan korban
dan
dibayar
oleh
masyarakat
atau
merupakan
bentuk
pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan pengadilan
139
Lihat ketentuan Pasal 119 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindnugan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 140 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan…, op.cit., hal. 166-172
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
58
pidana dan dibayar oleh terpidana atau merupakan wujud pertanggungjawaban terpidana (the responbility of the offender).141 b. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis Pada umumnya perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai akibat dari munculnya dampak negatif dapat bersifat fisik maupun psikis. Akibat yang bersifat psikis lebih lama untuk memulihkan daripada akibat yang bersifat fisik. Misalnya Pengaruh akibat tindak pidana perdagangan orang dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan berTahun-Tahun. Untuk sebagian korban pengaruh akibat itu tidak sampai mencapai situasi yang stabil dimana ingatan akan kejadian dapat diterima dengan satu cara atau cara lain. 142 Bagi sejumlah korban pengaruh akibat itu tidak mendapat jalan keluar yang baik seperti tenggelam dalam penderitaan yang disebut Psikotrauma. Oleh karena itu diperlukan pendampingan atau konseling untuk membantu korban dalam rangka memulihkan kondisi psikologisnya seperti semula. Sebagai pendamping korban harus bisa mengusahakan agar dirinya tetap berpihak kepada korban dan tidak menghakiminya. Prinsip-prinsip dalam pendampingan korban harus benar-benar dikuasai pada saat mendampingi korban. Korban dalam keadaan trauma diperlukan seseorang yang dipercaya dan dapat menimbulkan rasa aman terhadap dirinya. Di beberapa negara bantuan yang berbentuk konseling disediakan oleh negara atau lembaga independen yang mempunyai kegiatan khusus dalam menangani
korban kejahatan.
Konseling
bagi korban di Indonesia
dikembangkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pelayanan medis diberikan kepada korban yang menderita secara akibat suatu tindak pidana. Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan laporan tertulis atau visum atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan alat bukti. Keterangan medis ini
141
Stephen Schafer, The Victim and Criminal (New York : Random House, 1968), hal. 112 sebagaimana dikutip oleh Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan…,Ibid. hal. 167 142 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan…,Op.Cit.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
59
di perlukan terutama apabila korban hendak melaporkan kejahatan yang dialaminya ke aparat kepolisian untuk ditindak lanjuti. c. Bantuan Hukum Korban tindak pidana hendaknya diberikan bantuan hukum Ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan kasusnya melalui jalur hukum, maka negara wajib menfasilitasinya. Negara dalam hal ini mewakili korban untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana. Lembaga Swadaya Masyarakat juga mempunyai peran dalam pendampingan hukum terhadap korban tindak pidana termasuk korban tindak pidana perdagangan orang. Hal ini disebabkan banyak dari korban yang tidak mengetahui hakhaknya dan langkah-langkah hukum apa saja yang bisa mereka tempuh untuk menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Prosedur pelaporan ke pihak POLRI kemudian bagaimana mendapatkan visum agar dapat dijadikan sebagai barang bukti serta langkah-langkah hukum lain yang tidak diketahui oleh korban karena tidak mempunyai pengetahui khusus untuk itu. Dengan demikian pemberian bantuan hukum terhadap korban diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh korban karena masih banyak korban yang rendah tingkat kesadaran hukum. Membiarkan korban tindak pidana tidak memperoleh bantuan hukum yang layak dapat berakibat semakin terpuruknya kondisi korban tindak pidana.143 d. Pemberian Informasi Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami korban. Pemberian informasi ini memegang peranan dalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat berjalan dengan efektif. Salah satu uapaya yang dilakukan oleh kepolisian dalam memberikan informasi kepada korban atau keluarganya melalui web sites dibeberapa kantor kepolisian, baik yang sifatnya kebajikan maupun operasional. 144
143 144
Ibid. Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
60
Pembahasan mengenai korban, seyogyanya harus mengarah kepada penemuan, pengertian-pengertian, pencarian dan pengumpulan bahan untuk dijadikan dasar pertimbangan menyusun undang-undang mengenai kedudukan korban, serta hal-hal yang bersangkutan dengan tindak pidana. 145 Tujuan pengkajiannya, tidak saja memandang korban sebagai individual, namun juga kelompok harus diperhatikan. Dari perspektif normatif, korban kejahatan memerlukan perlindungan dalam ranah ketentuan hukum. Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa pengertian “perlindungan korban” tindak pidana dapat dilihat dari dua makna, yaitu : a. Dapat dilihat sebagai “ perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana” (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang). b. Dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan/ santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana” (identik dengan penyantunan korban). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemaafan), pemberian
ganti
rugi
(restitusi,
kesejahteraan sosial) dan sebagainya.
konpensasi,
jaminan/santunan
146
Menurut Mardjono Reksodiputro, dari pendekatan kriminologi ada beberapa alasan mengapa korban kejahatan perlu mendapatkan perhatian, yaitu : a.
Sistem peradilan pidana dianggap terlalu banyak memberi perhatian kepada permasalahan dan peranan pelaku kejahatan (offender centered).
b.
Terdapat potensi informasi dari korban kejahatan untuk memperjelas dan melengkapi penafsiran kita atas statistik kriminal (terutama statistik yang berasal dari kepolisian), ini dilakukan melalui survey tentang korban kejahatan (victim surveys).
145
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Lembaga Kriminologi UI, 1994), hlm. 88. 146 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta : Prenada Media Group, 2007), Hlm. 61
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
61
c.
Makin disadari bahwa disamping korban kejahatan konvensional (kejahatan jalanan), tidak kurang pentingnya untuk memberikan perhatian kepada korban kejahatan non-konvensional (antara lain kejahatan korporasi dan kejahatan kerah putih) maupun korbankorban dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of economic power and/or public power).147
Sementara, Muladi menyebutkan ada beberapa argumentasi mengapa korban kejahatan perlu dilindungi. Pertama, proses pemidanaan dalam hal ini mengandung pengertian, baik dalam arti umum maupun arti konkrit. Dalam arti umum, proses pemidanaan merupakan wewenang pembuat undang-undang, sesuai dengan asas legalitas, yang menegaskan bahwa baik “poena” maupun “crimen” harus ditetapkan terlebih dahulu apabila hendak menjatuhkan pidana atas diri seorang pelaku tindak pidana. Dalam arti konkrit, proses pemidanaan berkaitan dengan penetapan pidana melalui infrastruktur penitensier (hakim, petugas lembaga pemasyarakatan dan sebagainya). Disini terkandung di dalamnya tuntutan moral, dalam wujud keterkaitan filosofis pada satu pihak dan keterkaitan sosiologis dalam kerangka hubungan antara manusia dalam masyarakat pada pihak lain. 148 Secara sosiologis, semua warganegara harus berpartisipasi penuh di dalam kehidupan kemasyarakatan, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga. Tanpa kepercayaan ini, kehidupan sosial tidak mungkin berjalan dengan baik, sebab tidak ada pedoman atau patokan yang pasti dalam bertingkah laku. Kepercatyaan ini terpadu melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan (organisasional) seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga koreksi dan sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri korban, akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut, pengaturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut masalah korban, berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut. 149
147
Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta : Pusal Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia,2007), Hlm. 102. 148 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradian Pidana, ( Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro,2002), Hlm. 176 149 Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
62
Kedua, argumentasi lain yang mengedepankan perlindungan hukum bagi korban kejahatan adalah argumen kontrak sosial dan argumen solidaritas sosial. Argumentasi kontrak sosial menyatakan bahwa Negara boleh dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakantindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, bila terjadi kejahatan dan membawa korban, Negara harus bertanggungjawab untuk memperhatikan kebutuhan para korban tersebut. Argumen solidaritas sosial, menyatakan bahwa Negara harus menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhannya atau apabila warganegaranya mengalami kesulitan, melalui kerja sama dalam bermasyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana-sarana yang disediakan oleh Negara. Hal ini bisa dilakukan baik melalui peningkatan pelayanan maupun melalui pengaturan hak. 150 Ketiga, perlindungan korban kejahatan biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yang dewasa ini banyak dikedepankan yakni penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.151 Dari uraian di atas dapat diketahui bahwasannya keterasingan korban dalam proses peradilan pidana menunjukkan perhatian terhadap korban kejahatan terasa begitu minim sehingga perlindungannya menjadi bersifat abstrak/semu dan relatif merupakan perlindungan tidak langsung. Sementara dari dimensi teoritis hak-hak Korban menurut pendapat Arif Gosita dan J.E Sahetapy sebagaimana diuraikan di atas, salah satunya berupa hak untuk melakukan upaya hukum. 152 3.3. Upaya Hukum sebagai Bentuk Perlindungan bagi Korban dalam Sistem Peradilan Pidana Dalam mengedepankan
penyelesaian hak-hak
perkara
pidana,
tersangka/terdakwa.
seringkali Sementara
hukum
terlalu
hak-hak
korban
diabaikan. Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang
150 151 152
Ibid. Hlm. 176-177 Ibid. Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana…., op.cit., hlm. 151
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
63
berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban.153 Usaha untuk memberdayakan korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana dihadapkan pada problem yang mendasar, yakni eksistensi dan posisi hukum korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Jika disebut bahwa korban hanya sebagai saksi, yakni saksi pelapor atau korban, berarti bahwa korban bukan sebagai bagian dari unsur yang terlibat dalam sistem peradilan pidana, seperti halnya terdakwa, polisi dan jaksa. Akibatnya korban tindak pidana tidak mempunyai upaya hukum apabila ia keberatan terhadap suatu putusan pengadilan yang dipandang tidak adil atau merugikan dirinya sedangkan penuntut umum tidak merespon ketidak puasan korban tindak pidana tersebut dengan mengajukan sesuatu upaya hukum. 154 Salah satu upaya hukum yang dapat diajukan oleh korban adalah mengajukan tuntutan ganti rugi dalam perkara pidana. Dari sudut mekanisme peradilan pidana masalah kepentingan korban tindak pidana masih mendapat tantangan terutama mengenai masalah ganti rugi karena korban tindak pidana. Pendapat yang menentang menyatakan bahwa masuknya kepentingan korban dalam proses pidana akan mempersulit proses pidana dan tidak sesuai prinsip keadilan yang cepat, murah dan sederhana. Di dalam lapangan hukum dibedakan antara hukum publik dan hukum privat dimana hukum pidana dan hukum acara pidana adalah urusan negara bukan individu-individu. Tuntutan ganti rugi karena tindak pidana diajukan melalui proses perdata. Sementara pendapat yang setuju menyatakan bahwa masuknya kepentingan pihak yang dirugikan dalam proses pidana merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi semua pihak masyarakat, bukan hanya mereka yang dituduh melanggar hukum pidana, tetapi masyarakat yang menjadi korban karena pelanggaran hukum pidana. 155 Untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat yang yang menjadi korban karena pelanggaran hukum pidana maka diberikan kesempatan 153
Andi hamzah, Perlindungan Hak-hak Asasi Manusia Dalam Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana (Bandung : Binacipta, 1986), hlm. 33 154 Parman Soeparman, 2007, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi..., Op.Cit. 155 Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
64
untuk mengajukan tuntutan ganti rugi dalam proses pidana sebagaimana terdapat dalam Pasal 99 KUHAP. Namun demikian tuntutan ganti rugi tersebut hanya terbatas kepada kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang dapat dituntut melalui prosedur pidana, yakni hanya kerugian yang diderita korban yang sifatnya perdata berupa biaya dan ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan oleh korban, sedangkan kerugian lainnya harus diajukan melalui gugatan biasa. Hal ini sesungguhnya tidak layak dibandingkan dengan penderitaan korban. Kerugian materil lainnya yang bukan biaya yang dikeluarkan untuk pemulihan dan kerugian immateriil yang justru lebih berat dialami oleh korban tidak dapat dimintakan ganti rugi melalui prosedur pidana. Ketegasan tidak dapatnya penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana yang menyangkut kerugian di luar kerugian materiil di sebutkan oleh Yahya Harahap sebagai berikut : “…putusan hakim hanya terbatas tentang pengabulan yang menetapkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan. Hal ini berarti besarnya ganti kerugian hanyalah sebesar jumlah kerugian nyata atau kerugian materiil saja. Di luar kerugian nyata, seperti kerugian yang bersifat immaterial tidak dapat diajukan dalam penggabungan perkara. Seandainya ganti kerugian immaterial ada diajukan oleh pihak yang dirugikan hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet onvankelijke).”156 Seperti telah dikemukakan di atas, perlindungan korban melalui optik KUHAP memang dibatasi, relatif kurang sempurna dan kurang memadai. Aspek ini dapat terlihat dari ketentuan Pasal 100 (2) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut : “Apabila terhadap suatu perkara pidana yang tidak diajukan permintaan banding, maka ganti rugi tidak diperkenankan” Apabila dijabarkan maka ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP telah membatasi korban dalam hal sebagai berikut :157 1.
Ditinjau dari anasir prosesnya, maka tidak ada aturan atau pedoman yang harus dilakukan korban apabila merasa tidak puas atas putusan hakim tentang besarnya ganti kerugian yang dijatuhkan. Konkretnya, korban tidak
156
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), hlm. 82. 157 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana…, op.cit. hlm. 28-29
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
65
mempunyai proses langsung untuk melakukan upaya hukum banding. Karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 100 ayat (2) KUHAP maka permintaan banding putusan ganti kerugian baru dapat diajukan apabila perkara pidananya dilakukan upaya hukum banding. Konkretnya jika korban berkeinginan untuk mengajukan banding, jalurnya hanya melalui penuntut umum yang belum tentu menyetujui kehendak korban dimaksud karena jalur tersebut bukan merupakan ketentuan undang-undang, melainkan berdasarkan pendekatan persuasive antara korban dengan penuntut umum sehingga dapat dikatakan bahwa perlindungan korban yang diberikan melalui ketentuan Pasal 99 ayat (1) KUHAP belum sepenihnya menjamin kepentingan korban dalam upaya mencari keadilan. 2.
Perlindungan korban dengan melalui upaya hukum banding tergantung kepada penuntut umum. Tegasnya besar kemungkinan terjadi perbedaan pandangan dan kepentingan antara korban dengan penuntut umum. Jika korban berkeinginan mengajukan banding akan tetapi penuntut umum menerima putusan maka keinginan korban untuk melakukan upaya hukum banding terhadap putusan ganti kerugian telah tertutup. Dengan adanya pembatasan tersebut, maka perlindungan terhadap upaya
hukum yang diberikan kepada korban ternyata relatif kurang sempurna dan memadai.
Oleh
karena
itu
jikalau
hukum
acara
benar-benar
hendak
memperhatikan kepentingan korban maka diperlukan adanya penyempurnaan dalam KUHAP itu sendiri dengan memberikan peran lebih besar kepada korban dalam mengajukan upaya hukum jika korban tidak merasa puas atas putusan hakim, baik menyangkut pemidanaan maupun terhadap tuntutan ganti kerugian. Eksistensi Perlindungan korban untuk melakukan upaya hukum sangat penting karena ketika putusan pengadilan dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan sementara korban sendiri tidak dapat berbuat banyak untuk menguji suatu putusan karena hukum yang ada tidak memberikan peluang untuk melakukan upaya hukum terhadap putusan pengadilan. Berkaitan dengan hal tersebut maka pada bab selanjutnya akan dibahas tentang upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dan penuntut umum dikaji dari perspektif sistem peradilan pidana Indonesia.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
66
BAB 4 PENINJAUAN KEMBALI OLEH KORBAN DAN PENUNTUT UMUM DALAM PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA
4.1. Upaya Hukum Peninjauan Kembali oleh Korban dan Penuntut Umum dalam Praktik Peradilan Pidana Di Indonesia Pada hakekatnya, walaupun hanya secara tersirat ada upaya hukum yang dapat dilakukan oleh korban kejahatan. Salah satu upaya hukum tersebut adalah upaya hukum peninjauan kembali di mana dalam praktiknya relatif telah dilakukan. Khusus terhadap upaya hukum Peninjauan Kembali, dalam praktiknya telah dilakukan korban baik dalam kualitasnya sebagai saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan maupun oleh Penuntut Umum yang mewakili korban dan Negara. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, diperoleh data berupa beberapa putusan Mahkamah Agung mengenai Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh Saksi Korban, pihak ketiga yang berkepentingan dan Penuntut Umum sebagai berikut : 4.1.1. Putusan Nomor : 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008 Putusan ini merupakan putusan terhadap permohonan Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1185K/Pid./2006 tanggal 3 Oktober 2006 atas nama terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto dimana Mahkamah Agung dalam putusan Peninjauan kembali Nomor 109 PK/Pid/2007 memberikan pertimbangan sebagai berikut : Bahwa terlebih dahulu perlu dipertimbangkan apakah permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum secara formal dapat diterima, mengingat pasal 263 ayat 1 KUHAP menentukan yang berhak mengajukan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
67
warisnya dan putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali tidak boleh merupakan putusan bebas atau putusan dilepaskan dari segala tuntutan hukum; Bahwa
mengenai
hal
tersebut
Mahkamah
Agung
akan
memperhatikan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, yang secara formal telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan bebas, yang telah diikuti oleh putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001, berdasarkan pertimbangan pertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut : · Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana. Dalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut maka Mahkamah Agung meneliti dan menafsirkan beberapa peraturan Undangundang sebagai dasar pertimbangan yuridisnya, yaitu : 1.
Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat
dimintakan
kasasi
dan
penafsiran
ini
lalu
menjadi
yurisprudensi tetap Mahkamah Agung; 2.
Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dimana ketentuan Pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
68
ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung; 3.
Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemindanaan dapat dirubah dengan diikuti pemindanaan terhadap terdakwa;
4.
Berdasarkan asas Legalitas serta penerapan asas keseimbangan Hak Asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan kembali (PK);
5.
Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat, adil, karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum;
6.
Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor: 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga dapat diperiksa kembali; Bahwa untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung
(consistency in Court decision), maka Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
69
Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 tersebut di atas, yang secara formal telah mengakui hak/wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali; Bahwa pendirian Mahkamah Agung tersebut
selain untuk
memelihara keseragaman putusan, karena menurut pendapat Mahkamah Agung dalam putusan putusan Mahkamah Agung tersebut, terkandung “penemuan hukum” yang selaras dengan jiwa ketentuan perundangundangan, doktrin dan azas-azas hukum, sebagaimana dapat disimpulkan dari hal-hal sebagai berikut : 1.
Bahwa Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi : “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang” tidak menjelaskan tentang “siapa saja yang dimaksud pihak-pihak yang bersangkutan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” tersebut . Demikian juga Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 yang berbunyi : ”Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat
dimintakan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan”, tidak menjelaskan “tentang siapa-siapa yang dimaksud dengan pihakpihak yang berkepentingan yang dapat mengajukan peninjauan kembali” dan terhadap ketidak jelasan tersebut, putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 telah memberikan jawaban dengan menggunakan penafsiran ekstensif,
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
70
bahwa yang dimaksud “fihak-fihak yang berkepentingan dalam perkara pidana” selain terpidana atau ahli warisnya adalah Jaksa; 2.
Bahwa Pasal 263 KUHAP yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 mengandung hal yang tidak jelas, yaitu: a. Pasal 263 ayat 1 KUHAP tidak secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, sebab logikanya terpidana /ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP ; b. Bahwa konsekwensi logis dari aspek demikian maka pasal 263 ayat 3 KUHAP yang pokoknya menentukan “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak
diikuti oleh suatu
pemidanaan” tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya sebab akan merugikan yang bersangkutan, sehingga logis bila kepada Jaksa Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan peninjauan kembali; 3.
Bahwa sehubungan dengan adanya ketidak jelasan dalam Pasal 263 KUHAP tersebut, perlu dikemukakan pendapat-pendapat sebagai berikut : a. Bahwa penganut Doktrin “Sens-clair (la doctrine du sensclair) berpendapat bahwa “penemuan hukum oleh hakim” hanya dibutuhkan jika : · Peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau · Peraturannya sudah ada tetapi belum jelas;
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
71
b. Bahwa Lie Oen Hock berpendapat : “ Dan apabila kita memperhatikan Undang undang, ternjata bagi kita, bahwa undang-undang tidak sadja menundjukkan banjak kekurangankekurangan, tapi seringkali djuga tidak djelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian undang-undang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri maknanja kententuan undangundang itu atau artinja suatu kata jang tidak djelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang setjara gramatikal atau historis, baik “recht maupun wetshistoris”; . c. Bahwa M. Yahya Harahap berpendapat : “… Akan tetapi sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum publik yang bersifat imperative, dimungkinkan untuk melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut according to the principle of justice “; Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan : tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan publik
memang
diakui
“imperative”, tetapi tidak seluruhnya absolute. Ada ketentuan yang dapat “ dilenturkan” (flexible) dikembangkan (growth) bahkan
disingkirkan
(overrule)
sesuai
dengan
tuntutan
perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep : to improve the quality of justice and to reduce injustice. Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, kasus Natalegawa dalam perkara No.275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993). Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
72
decisis melalui “extensive interpretation”. Dalam kasus ini, walaupun pasal 244 KUHAP “tidak memberikan hak” kepada penuntut umum mengajukan kasasi terhadap “putusan bebas” ( terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas). Akan tetapi, ternyata dalam kasus Natalegawa sifat imperative yang melekat pada ketentuan ini “dilenturkan”, bahkan disingkirkan (overruled) dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan pembebasan murni. Sejak saat itu, kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, berarti penerimaan kasasi yang diajukan penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas bersifat contra legem atau “ bertentangan dengan undangundang” (dalam hal ini bertentangan dengan pasal 244 KUHAP). Jika pertimbangan yang tertuang dalam putusan perkara ini diperas, intisari atau esensinya : to improve the quality of justice and reduce in justice yang terkandung dalam putusan bebas Natalegawa;
Motivasi
tersembunyi
yang
paling
dalam
mengcontra legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan, dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu menghukum orang yang bersalah. Sangat bertentangan dengan keadilan dan kebenaran apabila pembebasan terdakwa didasarkan pada alasan “non yuridis”. Dalam kasus yang seperti itu sangat beralasan untuk mengoreksinya dalam tingkat kasasi. Oleh karena itu dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan bebas demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran, dan keadilan semaksimal mungkin. Bertitik tolak pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong Majelis peninjauan kembali dalam
kasus
Muchtar
Pakpahan
melenturkan
atau
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
73
mengembangkan ketentuan pasal 263 KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada penuntut umum mengajukan peninjauan kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada penuntut umum membuktikan bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan “tidak adil” (in justice) karena didasarkan ada alasan “non yuridis” ; Bahwa doktrin-doktrin tersebut di atas adalah sesuai dengan tugas Hakim dalam menemukan hukum apa yang menjadi hukum berdasarkan pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan “bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada Hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, Hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut.Dalam hal ini Hakim harus berperan untuk menentukan apa yang
merupakan hukum
sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka menemukan hukum ini isi ketentuan Pasal 16 ayat 1 tersebut harus dihubungkan dengan ketentuan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Hal ini dalam yurisprudensi tersebut dapat disimpulkan antara lain dari pertimbangan hukum yang berbunyi “Berdasarkan azas legalitas serta penerapan azas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perorangan (termohon peninjauan kembali dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negaranya dilain pihak disamping
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
74
perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali (PK)); 4.
Bahwa pertimbangan tersebut di atas adalah sesuai dengan Model yang tertumpu pada konsep “daad – dader- strafrecht “ yang oleh Muladi disebut Model Keseimbangan Kepentingan, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun korban tindak pidana;
5.
Bahwa selain itu pertimbangan hukum tersebut adalah sejalan dengan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch, dimana “keadilan” selalu diprioritaskan. Ketika Hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan atau dan kepastian hukum, maka pilihan harus pada kemanfaatan. Ajaran “prioritas baku” tersebut dianut pula oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi “Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadiankejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.
6.
Bahwa karena berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman, “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati
kebenaran
materiil
ialah
kebenaran
selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
75
suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara
melakukan
penafsiran
ekstensif
terhadap
ketentuan
ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Jaksa Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum; Menimbang, bahwa sehubungan dengan permintaan peninjauan kembali yang dapat diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum tersebut, perlu dikemukakan sebagai bahan perbandingan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : 1.
Pasal 248 ayat 3 Undang-undang No.31 Tahun 1997, menentukan “Atas dasar alasan yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, Oditur dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan sudah dinyatakan terbukti tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan”;
2.
Article 84 Statute of International Criminal Court pada pokoknya menentukan “1. The convicted person or, after death, spouses, children, parents, or one person alive at the time of the accused”s death who has been given express written instructions from the accused to bring such a claim or the prosecutor on the person’s behalf, may apply to the Chamber to revise the final judgment of conviction or sentence on the grounds that………….”;
3.
Artikel 357 Reglement of de Straf Vondering (SV) (S.1847-40) menentukan
“De
aanvrage
tot
herzienning
wordt
bij
het
Hooggerechtshof aangebracht door het indienen van een vordering
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
76
door den procureur-generaal of door het indienen van een vorzoekschrift door een veroordeelde te wiens aanzien het arrest of vonnis in kracht van gewijsde is gegaan, door een bijzonder daartoe schriftelijk gemachtigde of door zijn raadsman. Het bepaalde bij art. 120 vindtovereenkomstige toepassing, met dien verstande dat de bemoeeienis, bedoeld bij het tweede lid van dat art, aan den president van het Hooggerechtshof is opgedragen. (Sv.3563, 358v.); 4.
Pasal 4 ayat 1 PERMA No.1 Tahun 1969 menentukan “Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh Jaksa Agung”;
5.
Pasal 10 ayat 1 PERMA No. 1 Tahun 1980 menentukan “Permohonan peninjauan kembali suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan”.
4.1.2. Putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 Putusan ini merupakan putusan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap Mahkamah Agung RI Nomor : 1688 K/Pid./2000 tanggal 28 Juni 2001 dengan terdakwa Djoko Candra dan terhadap formalitas permohonan Peninjauan Kembali tersebut Mahkamah Agung mempertimbangkan sebagai berikut : Bahwa terlebih dahulu perlu dipertimbangkan, apakah permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum secara formal dapat diterima, mengingat pasal 263 ayat 1 KUHAP menentukan yang berhak mengajukan peninjauan kembali hanya terpidana atau ahli warisnya dan putusan pengadilan yang dapat dimintakan peninjauan kembali tidak boleh merupakan putusan bebas atau putusan dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Bahwa
mengenai
hal
tersebut
Mahkamah
Agung
akan
memperhatikan yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 25 Oktober 1996
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
77
No.55 KK/Pid/1996, yang secara formal telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan bebas, yang telah diikuti oleh putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001, berdasarkan pertimbangan pertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut :
Dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana.
Dalam menyelesaikan problema yuridis hukum acara tersebut maka Mahkamah Agung meneliti dan menafsirkan beberapa peraturan Undangundang sebagai dasar pertimbangan yuridisnya, yaitu : 1. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas mumi tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak mumi dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. 2. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 dimana ketentuan pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana, selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (Negara). Oleh karena itu pihak yang berkepentingan yang disebut dalam pasal 21 UU 14/1970 tersebut ditafsirkan adalah, Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung. 3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar keputusan
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
78
hakim dirubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat dirubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa. 4. Berdasarkan asas Legalitas serta penerapan asas keseimbangan Hak Asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon PK) dengan kepentingan umum, Bangsa dan Negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula juga melakukan Peninjauan kembali (PK). 5. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar Semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat, adil, karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah peninjauan kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal.yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian hukum serta mengakomodir kepentingan yang belum diatur di dalam Hukum Acara Pidana. 6. Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas maka Mahkamah Agung berpendirian bahwa secara formal permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 395 K/Pid/1995 tanggal 29 September 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga dapat diperiksa kembali. Bahwa untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency in Court decision), maka Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili perkara peninjauan kembali terpidana tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 25 Oktober 1996 No.55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 No. 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 No. : 109 PK/Pid/2007 tersebut di atas, yang secara
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
79
formal telah mengakui hak/wewenang Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan permintaan peninjauan kembali. 4.1.3. Putusan Nomor 11 PK/PID/2003 tanggal 6 Agustus 2003 Putusan ini merupakan putusan Peninjauan kembali oleh saksi Korban Prof. DR. Dr. Ida bagus Gede Manuaba, Sp. OG. Terhadap putusan Mahkamah Agung RI nomor : 1991 K/Pid/2001 tanggal 2 Juli 2002 di mana Kasus Posisi Perkaranya adalah sebagai berikut : Bahwa pada tanggal 25 Agustus 1997 bertempat di jalan Bali Nomor 8, Kecamatan Denpasar Barat Kabupaten Dati II Denpasar propinsi Bali terdakwa Dr. Made Kornia Karkata, Sp. OG. Dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada Dekan Fakultas Kedokteran atau Rektor Uneversitas Udayana Denpasar. Pengaduan tersebut berisi tentang seseorang yaitu saksi Prof. DR. Dr. Ida Bagus Gede Manuaba, Sp. OG dan saksi Dr. ida Bagus Gede Fajar Manuaba dengan membuat surat dinas bersifat rahasia dari kepala laboratorium Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar dengan nomor 80/G/FK/III/1997 tanggal 1 April 1997 yang dibuat dan atau ditandatangani oleh Terdakwa. Oleh Terdakwa disampaikan kepada Dekan Fakultas Kedokteran atau rector Universitas Udayana dan akhirnya surat tersebut dikirim kepada Menteri Pendidikan dan kebudayaan RI dengan surat nomor 2090/J.14/KP.02.21/1997 tanggal 17 Mei 1997. Dengan tembusan pada instansi terkait di Jakarta, atas surat Rektor tersebut maka Koordinator Urusan Peraturan perundang-undangan dan disiplin Pegawai dari Departemen Pendidikan dan kebudayaan RI Jakarta mengirim surat no. 69664/A.211.1/KP/97 tanggal 22 Agustus 1997 kepada Rektor Universitas Udayana. Surat tersebut akhirnya dapat dibaca dan diketahui oleh pihak lain. Akibat isi surat yang telah dibuat dan atau ditandatangani oleh terdakwa menyebabkan kehormatan atau nama baik saksi Prof. DR. Dr. Ida Bagus Gede Manuaba, Sp. OG. Dan saksi Dr. Ida Bagus Gede Fajar Manuaba menjadi tercemar dan terdakwa didakwa Primair melanggar pasal 317 KUHP, subsidair melanggar Pasal 310 ayat (2) KUHP.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
80
Atas kasus tersebut, Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan putusan dengan putusan Nomor 105/Pid.B/PN.Dps. tanggal 16 Januari 2001 menyatakan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “mengadu secara menfitnah” dan menjatuhkan pidana selama 4 (empat) bulan dan menetapkan bahwa pidana tersebut tidak akan dijalankan kecuali apabila dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim karena terdakwa sebelum lewat masa percobaan selama 8 (delapan) bulan melakukan perbuatan yang dapat dipidana. Atas putusan tersebut Terdakwa mengajukan banding dan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar Nomor 41/Pid.B/2001/PT.DPS tanggal 1 Agustus 2001 tetap menguatkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar tersebut. Kemudian Terdakwa mengajukan kasasi pada Mahkamah Agung RI. Atas permohonan kasasi tersebut, melalui putusan Mahkamah agung Nomor : 1991 K.Pid./2001 tanggal 2 Juli 2002, maka Mahkamah Agung RI membatalkan putusan yudex factie dan mengadili sendiri perkara tersebut dengan dasar pertimbangan sebagai berikut : 1.
Bahwa terdakwa membuat surat Nomor 80/OG/FK/III/1997 tanggal 1 April 1997 adalah atas perintah atasannya (dekan Fakultas kedokteran) sebagai surat dinas yang bersifat rahasia dalam kapasitasnya sebagai kepala laboratorium Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.
2.
Bahwa oleh karena itu terdakwa dalam perbuatan surat tersebut (dalam perkara aquo) adalah atas dasar perintah atasannya, maka berdasarkan ketentuan Pasal 51 (1) KUHP, ia tidak dapat dipidana.
3.
Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, maka Mahkamah Agung berpedapat
putusan
Pengadilan
Tinggi
Denpasar
Nomor
41/Pid.B/2001/PT.DPS tanggal 1 Agustus 2001 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor 105/Pid.B/PN.Dps. tanggal 16 Januari 2001 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut dan menyatakan Terdakwa Dr. Made Kornia Karkata, SP. OG terbukti melakukan perbuatan sebagaimana
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
81
didakwakan dalam dakwaan primair, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan pidana dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum serta memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya. Atas putusan Mahkamah Agung tersebut maka saksi korban Prof. DR.Dr. I.B.G. Manuaba, Sp.OG. sebahai pemohon, meminta Peninjauan Kembali dengan alasan Peninjauan Kembali khusus terhadap formalitas Peninjauan Kembali dan kualitas pemohon Peninjauan Kembali dengan argumentasi-argumentasinya sebagai berikut : 1. Bahwa selaku saksi korban yang menderita lahir dan batin merasakan sangat dirugikan dengan putusan kasasi yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu sesuai tuntutan rasa keadilan, praktik peradilan dan doktrin Mahkamah agung RI yang dituangkan dalam buku “praktik acara perdata umum dan pidana dalam Tanya jawab, Mahkamah agung RI, 2001, halaman 93 butir 118.2 yang menegaskan : a. Permintaan
Peninjauan
Kembali
dapat
diajukan
diluar
terpidana/ahli waris yang dalam hal ini dapat diajukan oleh saksi pelapor atau jaksa; b. Dalam praktik peradilan pidana Indonesia, jaksa yang dalam KUHAP tidak mempunyai hak mengajukan Peninjauan Kembali, telah mengajukan Peninjauan Kembali dalam perkara Dr. Muchtar Pakpahan, SH, MA., dimana terobosan permohonan Peninjauan Kembali oleh Jaksa Agung dalam perkara tersebut dikabulkan oleh Mahkamah Agung RI. 2. Bahwa beranjak dari dasar acuan tersebut saksi korban memiliki ius standi atau legal standing sama seperti jaksa untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1991 K/Pid./2001. Karena itu permohonan Peninjauan Kembali dalam perkara ini harus dinyatakan telah sesuai dengan formalitas acara pidana dan diterima.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
82
Atas permohonan Peninjauan Kembali tersebut Mahkamah Agung RI melalui putusan Nomor 11 PK/Pid./2003 tanggal 6 Agustus 2003, menyatakan permohonan Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat diterima dengan dasar pertimbangan sebagai berikut : 1.
Bahwa keberatan-keberatan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pemohon peninjauan kembali Prof. DR.Dr. Ida Bagus Gede Manuaba, Sp.OG tersebut tidak dapat dibenarkan. Hal ini dikarenakan pemohon Peninjauan Kembali adalah sebagai pihak korban yang tidak diberikan wewenang mengajukan permohonan Peninjauan Kembali oleh Pasal 263 ayat (1) KUHAP, dimana permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan oleh terpidana atau wakilnya.
2.
Bahwa pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara ini adalah saksi pelapor
yang
tidak diberikan wewenang
untuk
mengajukan
Peninjauan Kembali bukan terpidana atau ahli warisnya. Dengan demikian alasan-alasan Peninjauan Kembali lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi. 3.
Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka permohonan Peninjauan Kembali tidak cukup beralasan. Oleh karena itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.
4.1.4. Putusan Nomor : 4 PK/Pid/2000 tanggal 28 November 2001 Putusan ini merupakan Peninjauan Kembali oleh korban yaitu pihak ketiga yang berkepentingan terhadap putusan Pengadilan Tinggi Samarinda Nomor 30/Pid./1999 yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam kasus ini H. Iskandar Hutualy sebagai Ketua DPD I IKBLA Arif Rahman Hakim Exponen 66 Samarinda mengajukan Peninjauan Kembali dan formalitas korban dipertimbangkan sebagai berikut : 1.
Formalitas permintaan peninjauan Kembali aquo diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang intinya, putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berupa putusan pemidanaan, hanya terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan Peninjauan Kembali. Sebelum ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP berlaku, sudah ada ketentuan pasal 9 ayat (1) jo Pasal 10 ayat (1)
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
83
peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali atau putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus diajukan oleh jaksa agung atau terpidana, atau pihak yang berkepentingan atau ahli warisnya. 2.
Permohonan Pra peradilan yang diajukan oleh pemohon sebagai pihak ketiga yang berkepentingan ex Pasal 80 KUHAP terhadap apakah dapat diterima maka pembentuk Undang-undang tidak memberi tafsiran otentik tentang pengertian pihak ketiga yang berkepentingan. Dalam Pasal 80 KUHAP, sebagai penafsiran otentik tentang penyidik (Pasal 1 angka 3 KUHAP) dan penuntut umum (Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP) maka secara a contrario interminis istilah penyidik dan penuntut umum dan atau orang yang memperoleh hak darinya termasuk pemohon praperadilan baik seorang warga Negara maupun ketua lembaga masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban untuk menegakkan
hukum,
keadilan
dan
kepentingan
masyarakat
luas/umum. 3.
Berdasarkan ketentuan asas legalitas dan asas pengawasan horizontal serta ketentuan Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, maka tentang cara menyelesaikan suatu soal yang tidak atau belum diatur oleh undang-undang. Untuk mengisi kekosongan, maka Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai pemohon Peninjauan Kembali hanya bisa dimohonkan oleh terpidana atau ahli warisnya. Dalam perkara ini perlu dilenturkan berdasarkan kekurangan dan kekosongan hukum sekaligus suatu kebutuhan dalam acara, sehingga mencakup juga pemohon Peninjauan Kembali oleh pihak ketiga yang berkepentingan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 80 KUHAP atau pihak ketiga yang berkepentingan dalam Pasal 26 Undang-Undang nomor 14 Tahun 1970 atau Jaksa agung atau pihak yang berkepentingan lainnya dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980.
4.
Berdasarkan asas legalitas dan asas pengawasan horizontal dalam Pasal 80 KUHAP serta ketentuan Pasal 79 Undang-undang Nomor 14
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
84
Tahun 1985 berikut penjelasan asasnya, maka dalam acara pemeriksaan Peninjauan Kembali untuk memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan permohonan praperadilan, Mahkamah Agung berlandaskan
kebutuhan
dan
kekosongan
hukum
sehingga
berakibatkan ketidak pastian hukum sekaligus merupakan suatu kebutuhan dalam acara pemeriksaan permintaan Peninjauan Kembali atas permohonan praperadilan, maka ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP mengenai istilah putusan pengadilan perlu dilenturkan kembali hingga mencakup keputusan pengadilan (dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP, Pasal 81 KUHP) serta putusan pra peradilan (pasal 77 sampai dengan 83 KUHAP) dan bukan sekedar putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap. Oleh karena itu permohonan Peninjauan Kembali H. Iskandar Hutualy sebagai pribadi maupun selaku Ketua DPD I IKBLA Arief Rahman Hakim Eksponen 66 Samarinda secara formal patut diterima. 5.
Bahwa kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan nyata (Pasal 263 ayat (2) huruf c KUHAP) juga terletak dalam pertimbangan hukum dari putusan praperadilan Pengadilan Tinggi (judex facti). Pasal tersebut antara
lain
menyatakan
pihak
ketiga
yang
berkepentingan
sebagaimana ditentukan dala Pasal 80 KUHAP adalah saksi korban dalam peristiwa pidana dirugikan langsung. Sebab sesuai dengan asas pengawasan horizontal dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP yang implikasinya untuk menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran dapat
dilaksanakan
secara
efektif
dengan
berperansertanya
(partisipasi) masyarakat luas maka istilah pihak ketiga yang berkepentingan tidak perlu dibatasi hanya kepada saksi korban dalam peristiwa pidana dan yang dirugikan secara langsung, melainkan setiap orang baik manusia pribadi (natuurlijke person, natural person) maupun badan hukum (rechterlijke person, legal person), kecuali penyidik dan penuntut umum (yang dalam teks Pasal 80 KUHAP penyidik dan penuntut umum ditempatkan sebelum istilah
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
85
pihak ketiga yang berkepentingan) sehingga termasuk pemohon praperadilan. Dalam Penelitian ini, di samping memperoleh putusan Peninjauan Kembali oleh Korban dan Jaksa Penuntut Umum, penulis juga melakukan wawancara dengan narasumber Hakim Agung pada MA RI dengan maksud untuk menjawab permasalahan tentang munculnya Peninjauan Kembali oleh Korban dan Jaksa Penuntut Umum bagaimana sikap Mahkamah Agung sebenarnya terhadap permohonan Peninjauan Kembali oleh Korban dan Jaksa Penuntut Umum tersebut. Dari hasil wawancara, diperoleh jawaban sebagai berikut : Dua orang Hakim Agung yang diwawancarai mengakui bahwa dalam praktiknya telah ada putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung yang telah menerima secara formal permohonan Peninjauan Kembali oleh Jaksa maupun pihak ketiga yang berkepentingan.158 Dalam putusan tersebut menurut Djoko Sarwoko, Mahkamah Agung telah melenturkan ketentuan Pasal 263 (1) KUHAP. Dengan demikian, putusan tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk perluasan dari pihak yang boleh mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang semula terbatas hanya merupakan hak terpidana atau ahli warisnya namun telah berkembang dengan diberikan hak kepada Jaksa maupun pihak ketiga yang berkepentingan. 159 Menurut Djoko Sarwoko maupun Andi Abu Ayyub Saleh dikalangan para Hakim Agung sendiri berkembang dua pemikiran tentang pemberian hak Peninjauan Kembali dalam perkara pidana kepada selain terpidana atau ahli waris ada yang setuju untuk diperluas ada yang tidak. 160 Menurut Andi Abu Ayyub Saleh mengatakan bahwa Pasal 263 (1) KUHAP hanya menyebutkan terpidana atau ahli warisnya saja yang berhak untuk mengajukan Peninjauan Kembali, sementara pendapat lain yang setuju mengatakan bahwa ketentuan Pasal 263 (1) 158
Hasil wawancara tanggal 22 dan 27 November 2012 dengan Hakim Agung Djoko Sarwoko dan Andi Abu Ayyub Saleh, di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. 159 Hasil wawancara dengan Hakim Agung Djoko Sarwoko tanggal 22 November 2012 di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia 160 Hasil wawancara tanggal 22 dan 27 November 2012 dengan Hakim Agung Djoko Sarwoko dan Andi Abu Ayyub Saleh, di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia.Hasil wawancara dengan Hakim Agung Djoko Sarwoko tanggal 22 November 2012 di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
86
KUHAP secara tegas melarang Jaksa Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Di dalam pasal tersebut tidak menyebutkan adanya hak Penuntut Umum untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. 161 Namun menurut Djoko Sarwoko bahwa dalam ketentuan Pasal 263 tidak secara tegas menyatakan bahwa Jaksa tidak boleh mengajukan Peninjauan Kembali, Pasal 263 (1) hanya menyebutkan bahwa terhadap putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali, logikanya terpidana/ahliwarisnya tidak akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan onslag van alle vervolging. Dalam konteks ini, maka yang berkepentingan adalah Jaksa Penuntut Umum atas dasar alasan dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 KUHAP .162 Dalam mengatasi perbedaan tersebut, menurut Djoko Sarwoko untuk menjaga keseragaman telah dilakukan kesepakatan kamar untuk menerapkan ketentuan Pasal 263 KUHAP sesuai bunyi ketentuan yang disebutkan dalam undang-undang.163 Namun menurut Andi Abu Ayyub Saleh kesepakatan tersebut tidak mengikat secara normatif karena hanya mengikat secara perdata bagi yang membuat kesepakatan. Sebagai solusi perbedaan pemikiran tersebut, seharusnya dikeluarkan suatu aturan yang mempertegas tentang pihak-pihak yang diberikan kewenangan untuk mengajukan Peninjauan Kembali supaya tidak terjadi interpretasi yang berbeda.164 Adapun menurut Djoko Sarwoko terhadap permohonan Peninjauan Kembali oleh saksi korban mengapa secara formal belum dapat diterima karena dianggap bahwa saksi korban tidak memiliki legal standing sebagai pihak dalam suatu perkara pidana sehingga akan terlalu jauh menyimpang jika diterima karena dalam proses pidana posisinya telah digantikan oleh penuntut umum. 165 161
Hasil wawancara dengan Hakim Agung Andi Abu Ayyub Saleh tanggal 27 November 2012 di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. 162 Hasil wawancara dengan Hakim Agung Djoko Sarwoko tanggal 22 November 2012 di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. 163 Ibid. 164 Hasil wawancara dengan Hakim Agung Andi Abu Ayyub Saleh tanggal 27 November 2012 di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia. 165 Hasil wawancara dengan Hakim Agung Djoko Sarwoko tanggal 22 November 2012 di Gedung Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
87
4.2. Peninjauan Kembali Oleh Korban dan Penuntut Umum sebagai suatu Penemuan Hukum Proses dan cara berpikir hakim untuk menemukan hukum, dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) aliran, yaitu aliran konservatif dan aliran progresif. 166 Kedua aliran tersebut pernah menjadi primadona pada jamannya masing-masing. 167 Sebagai reaksi terhadap tidak adanya kepastian hukum pada sekitar Tahun 1800, oleh karena penggunaan hukum kebiasaan yang beraneka ragam, muncullah gerakan-gerakan kodifikasi, disertai timbulnya aliran legisme yang tidak mengakui hukum diluar undang-undang. hukum dan undang-undang itu identik, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan diakui sebagai hukum apabila undang-undang menunjuknya. Sejak saat itu hingga sekarang, tanpa disadari, terdapat kelompokkelompok hakim, yang lebih mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber utama untuk memutus perkara. Kelompok-kelompok hakim yang berpikir secara demikian digolongkan kepada suatu aliran konservatif. Artinya hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara berusaha mempertahankan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Dari strukturnya, hukum terlihat sebagai hal yang cenderung mempertahankan status quo. Hukum berusaha untuk menghindar dari perubahan. Hukum menjaga stabilitas.168 Mereka tidak pernah berfikir bahwa dari putusan-putusannya, mereka dapat menciptakan nilai-nilai baru, atau mereka dapat merekayasa suatu masyarakat yang baru yang sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi masyarakat. Pada aliran konservatif, hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian hakim menerapkannya menurut bunyi undang-undang. Dengan demikian maka penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undnag-undang yang terjadi secara terpaksa atau 166
Sudikno Mertokusumo dan A. Pittlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 10. 167 Aliran konserfatif menjadi primadona pada zaman kodifikasi, zaman legisme, dimana ilmu pengetahuan hukum tidak mengakui hukum di luar undang-undang. Pandangan ini berkembang di Eropa sekitar Tahun 1930-1980 yang dipelopori ajaran Montesqiew. Setelah itu muncul aliran progresif, madzhab historis dan freirechtschule, yang berpendapat bahwa undangundang tidak lengkap. Di samping undang-undang masih ada sumber-sumber lain, yaitu: kebiasaan. Tokoh Von Savigni melahirkan sistem azas-azas hukum. Lihat: Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 8-11. 168 Sugijanto Darmadi, , Kedudukan Hukum Dalam Ilmu dan Filsafat, (Jakarta : CV. Mandar Maju, 1998), hlm. 5.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
88
silogisme. 169 Hakim hanya sekedar mulut atau corong undang-undang. Hakim tergantung pada bunyi undang-undang, hakim heterotonom, memutus berdasarkan peraturan-peraturan yang berada di luar dirinya. Perkembangan selanjutnya, sebagai reaksi dari cara berpikir di atas, pada sekitar Tahun 1850, muncul aliran progresif yang berpendirian bahwa hakim bukan lagi sekedar corong undang-undang. Hakim harus mandiri, atas apresiasi sendiri menemukan hukum. Pada aliran progresif ini diyakini bahwa undangundang tidak lengkap, hukum tertulis bukan satu-satunya sumber hukum. Undang-undang tidak identik dengan hukum, karena undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum, dan hakim harus mencari kelengkapannya dalam praktik memutus perkara.170 Hakim dalam memutus perkara, secara kasuistis selalu dihadapkan kepada tiga azas, yaitu azas kepastian hukum, azas keadilan, dan azas kemanfaatan. Dalam diktum putusannya, hakim harus memilih salah satu dari ketiga azas tersebut. Ibarat dalam sebuah garis, hakim dalam memeriksa dan memutus perkara berada diatara 2 (dua) titik pembatas dalam garis tersebut, yaitu titik keadilan dan titik kepastian hukum. Azas kemanfaatan berada diantaranya.
171
Manakala hakim memutus lebih dekat kearah titik kepastian hukum, maka secara otomatis dia akan jauh dari titik keadilan. Sebaliknya kalau dia memutus dekat dengan titik keadilan, secara otomatis dia juga akan jauh dari titik kepastian hukum, sedangkan azas kemafaatan bergerak diantara 2 (dua) titik tersebut, yang lebih melihat kepada tujuan atau kegunaan dari hukum itu kepada masyarakat.172 Penekanan azas kepastian hukum oleh seorang hakim, lebih cenderung untuk mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari hukum positif yang ada. Peraturan undang-undang harus ditegakkan demi kepastian hukum. Cara berpikir yang normatif tersebut akan mengalami kebuntuan manakala ketentuan-ketentuan tertulis tidak dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada. Dalam situasi yang
169
Sudikno Mertokusumo dan A. Pittlo, Op. Cit, hlm. 6. Sudikno Mertokusumo dan A. Pittlo, Ibid, hlm. 7-8. 171 Lintong O. Siahaan, Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Pada Era Reformasi Dan Transformasi, (Jakarta : Varia Peradilan No. 252 November, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2006), Hlm. 57. 172 Lintong O. Siahaan, Ibid. 170
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
89
demikian hakim harus menemukan hukum untuk mengisi kelengkapan hukum itu.173 Penekanan pada azas keadilan, berarti harus mempertimbangkan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan dan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Sosiologi hukum dan budaya hukum sangat berperan dalam bidang ini. Harus dibedakan antara rasa keadilan individu, kelompok dan masyarakat. Selain itu juga, rasa keadilan masyarakat tertentu belum tentu sama dengan keadilan dari masyarakat yang lain. Hakim dalam pertimbangan-pertimbangannya harus mampu menggambarkan hal itu semua. Manakala ia memilih azas keadilan sebagai dasar untuk memutus perkara yang dihadapinya.174 Penekanan pada azas kemanfaatan lebih bernuansa ekonomi. Dasar pemikirannya bahwa hukum adalah untuk manusia dan orang banyak. Oleh karena itu tujuan hukum harus berguna untuk manusia atau orang banyak tersebut. Dari mulai legislasi dan regulasi sudah ada penekanan-penekanan pada azas kemanfaatan tersebut.175 Putusan Mahkamah Agung yang telah menerima permintaan peninjauan kembali yang diajukan oleh Korban dan Jaksa dalam beberapa kasus yang telah ada, seperti Putusan Nomor : 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008, Putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan Putusan Nomor : 4 PK/Pid/2000 tanggal 28 November 2001 sebagaimana diuraikan di atas dapat dikatakan sebagai keputusan yang berani. Putusan-putusan tersebut oleh sebagian orang dianggap sebagai putusan yang kontroversial, karena dianggap tidak melaksanakan aturan formal atau telah bertindak melebihi ketentuan hukum acara mengenai hal pengaturan permintaan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Putusan-putusan Mahkamah Agung tersebut terlihat lebih memperhatikan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat daripada mengikuti ketentuan undang-undang. Mahkamah Agung terlihat tidak fanatik terhadap ajaran positivisme atau analytical positivism atau rechtsdogmatiek yang cenderung 173
Lintong O. Siahaan, Ibid, hlm. 67. Lintong O. Siahaan, Ibid, hlm. 68. 175 Lintong O. Siahaan, Ibid. 174
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
90
melihat bahwa hukum sebagai suatu yang otonom, yang tujuannya tidak lain sekedar mencapai atau terwujudnya kepastian hukum. Mahkamah Agung juga sepertinya telah berfikir sebagaimana aliran realisme hukum yang tidak hanya berkutat pada pengongkritan undang-undang, sebagaimana aliran realisme hukum Amerika ataupun realism hukum Skandinavia. Sesuai dengan tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, yaitu kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mengetahui pelaku yang sebenarnya, hal demikian memberi arti bahwa KUHAP harus digunakan secara maksimal guna mendapatkan kebenaran materiil dari suatu peristiwa pidana. Pasal 263 KUHAP sebagai acuan utama dalam proses pengajuan peninjauan kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap perkara pidana seperti telah diuraikan di atas, ternyata telah menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya, yaitu ketika korban atau jaksa yang mewakili korban ingin mengajukan peninjauan kembali atas perkara pidana, timbul berbagai pendapat pro dan kontra karena ketidakjelasan aturannya. Menghadapi masalah tersebut, Mahkamah Agung dalam putusannya baik dalam Putusan Nomor : 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008, Putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 dan Putusan Nomor : 4 PK/Pid/2000 tanggal 28 November 2001 sebagaimana diuraikan di atas telah melakukan penafsiran ekstensif terhadap pasal 263 KUHAP. Menurut pendapat Mahkamah Agung, jaksa termasuk sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal peninjauan kembali perkara pidana. Oleh karenanya, pengajuan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa diterima Mahkamah Agung. Penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran dengan cara memperluas berlakunya norma hukum kedalam peristiwa konkrit yang pada dasarnya tidak termasuk pada kejadian yang diatur suatu norma hukum. 176 Berkaitan dengan tugas hakim, yaitu mengadili perkara-perkara yang dihadapkannya, hakim akan selalu dihadapkan pada peristiwa-peristiwa konkrit.
176
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Penafsiran Hukum Pidana, Pemberatan & Peringanan, kejahatan Aduan, Pembarengan & Ajaran Kausalitas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 12
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
91
Peristiwa konkrit tersebut tidak jarang muncul tidak dapat diselesaikan oleh peraturan perundang-undangan yang telah ada, karena belum ada ketentuan yang mengaturnya. Bahkan dalam keadaan tertentu terjadi kekosongan hukum atau hukumnya tidak jelas. Menghadapi keadaan seperti itu hakim dituntut menemukan hukumnya, agar perkara yang dihadapannya itu dapat terselesaikan, tidak saja mewujudkan tetapi juga membentuk hukum secara in concreto. Maksud hukum in concreto adalah hukum dalam wujud putusan atau penetapan hakim. 177 Penemuan hukum dalam sistem hukum Indonesia, adalah suatu hal yang boleh dan sah dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, yaitu ketika hukumnya tidak ada atau tidak lengkap atau hukumnya tidak jelas. Adanya penemuan hukum tersebut, kasus yang tidak diatur dalam suatu regulasi tertulis dapat diselesaikan dan diputus dengan rasa keadilan. Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum kongkrit. 178 Sesuai dengan keadaan masyarakat yang selalu berkembang dan terus mengalami perubahan, maka kebutuhan hukum dan rasa keadilan juga ikut berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang tersebut, diperlukan penemuan hukum, yakni apabila hukum tertulis tidak memenuhi kebutuhan terhadap terjadinya perkembangan atau perubahan masyarakat. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya menyangkut pada penerapan peraturan perundangundangan terhadap peristiwa kongkrit, tetapi juga membentuk hukum bahkan menciptakan hukum. Hasil penemuan hukum oleh hakim merupakan hukum, karena mempunyai kekuatan hukum mengikat yang dituangkan dalam bentuk putusan, dan juga sekaligus sumber hukum, karena dapat diikuti oleh hakimhakim yang lain dalam memutus perkara yang sejenis.
177
Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), (Yogyakarta : FH UII Press, 2004), hlm. V 178 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 2004), hlm. 37
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
92
Sebagaimana pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut di atas dalam menghadapi problema yuridis hukum acara pidana ini dimana tidak diatur secara tegas pada KUHAP maka Mahkamah Agung melalui putusan dalam perkara ini berkeinginan menciptakan hukum acara pidana sendiri, guna menampung kekurangan pengaturan mengenai hak atau wewenang
Jaksa
Penuntut
Umum
untuk
mengajukan
permohonan
pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam perkara pidana. 4.3. Pergeseran Perspektif Peninjauan Kembali oleh Korban dan Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Sejak
lahirnya putusan-putusan
yang
“menerima secara
formal”
permintaan peninjauan kembali penuntut umum, telah menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Ada sementara kalangan yang ekstrem melindungi dan membela hak asasi terdakwa dengan berpendapat bahwa seseorang yang telah dijatuhi putusan bebas, harus dihormati dan dijunjung tinggi hak asasinya atas pembebasan kesalahan yang didakwakan kepadanya. Berdasar landasan Hak Asasi Manusia yang demikian, terhadap putusan pembebasan, penuntut umum tidak berhak mengajukan peninjauan kembali. Lagi pula Pasal 263 KUHAP, menutup pintu bagi penuntut umum untuk mengajukan peninjauan kembali. 179 Akan tetapi, pendapat yang ekstrem ini tidak konsisten dan konsekuen dipertahankan dalam semua upaya hukum. Pengajuan permintaan “kasasi” atas putusan pembebasan, ternyata “tidak dihujat” atau tidak menimbulkan “resistansi” yang keras. Padahal Pasal 244 KUHAP secara tegas menyatakan bahwa kasasi terhadap putusan bebas tidak dibenarkan. 180 Pranata Peninjauan Kembali diadakan sebagai upaya luar biasa untuk mengoreksi putusan hakim atau majelis hakim yang secara nyata salah atau keliru baik dalam penerapan hukum, atau karena ada fakta baru yang tidak terungkap dalam persidangan, atau karena subyek yang keliru. Salah satu dasar pemeriksaan Peninjauan Kembali, karena ternyata putusan judex facti atau judex juris
179 180
Ibid. Ibid, hlm. 643.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
93
didasarkan pada fakta yang kemudian yang ternyata salah atau keliru atau tidak benar. 181 Putusan semacam itu harus batal atau dapat dibatalkan karena tidak memiliki dasar fakta yang menjadi dasar pertama setiap perkara. Dalam keadaaan seperti ini, semestinya Peninjauan Kembali tidak semata-mata sekedar hak terpidana, keluarga atau ahli waris terpidana. Dalam hal ini Penuntut Umum pun wajib untuk mengajukan Peninjauan Kembali sebagai bentuk pertanggung jawaban negara dalam menegakkan hukum yang adil dan benar.
182
Tanggung jawab Penuntut Umum tidak semata-mata menuntut untuk menghukum, melainkan harus termasuk menuntut untuk membebaskan dan mengembalikan kehormatan seseorang yang ternyata tidak bersalah walaupun perkara telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bahkan telah dilaksanakan. Kasus Sengkon dan Karta di masa lalu yang nyata salah, seharusnya tidak perlu nunggu Peninjauan Kembali dari yang bersangkutan. Negara bertanggung jawab atas kesalahan yang terjadi , karena itu sudah semestinya Penuntut Umum yang mewakili negara diwajibkan melakukan tindakan mengoreksi kesalahan tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban negara dengan memulihkan kehormatan orang-orang yang bersangkutan. 183 Demikian pula dengan keadaan yang sebaliknya, apabila kemudian ternyata berdasarkan bukti-bukti yang sangat nyata orang yang dibebaskan ternyata bersalah, adalah bertentangan dengan hukum, kebenaran, dan keadilan apabila orang yang bersangkutan di biarkan bebas, semata-mata karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan putusan itu sangat nyata didasarkan pada fakta-fakta yang tidak benar pada saat yang bersangkutan di adili. 184
Demi hukum yang benar dan adil, dalam keadaan yang sangat nyata seperti itu, Penuntut Umum harus diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali. Menutup kesempatan Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali 181
Bagir Manan, , Sambutan Ketua Mahkamah Agung Pada Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI Dengan Pengadilan Tingkat Banding Dan Pengadilan Tingkat Pertama Ibu Kota Propinsi Di Makassar, 2-6 September, (Jakarta : Varia Peradilan No. 263 Oktober, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2007), hlm. 15. 182 Ibid. 183 Ibid. 184 Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
94
dapat diartikan sebagai suatu bentuk “obstruction of justice” yang bertentangan dengan kebenaran dan rasa keadilan. Asas “lebih baik membebaskan orang yang bersalah dari pada menghukum orang yang tidak bersalah” tidak boleh diartikan sebagai membiarkan orang yang bersalah tidak perlu memikul tanggung jawab semata-mata pada saat diadili yang bersangkutan bebas atas dasar fakta yang salah atau tidak lengkap. 185 Berdasarkan alasan tersebut, maka sangat beralasan apabila kebijakan hukum pidana dalam rangka perlindungan korban sudah selayaknya dilakukan pembaruan, khususnya dari konsep pemberian hak kepada penuntut umum dan korban dalam mengajukan Peninjauan Kembali, sehingga korban kejahatan mendapatkan pengakuan akan hak-haknya, sejajar dengan pelaku serta subjeksubjek hukum lainnya dalam proses peradilan pidana di negeri ini.186 Jaksa Penuntut Umum secara teori memang tidak memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Namun dalam praktik dunia peradilan di Indonesia, Mahkamah Agung pernah mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum melalui putusan Nomor : 109 PK/Pid/2007 tanggal 25 Januari 2008 diikuti pula oleh Putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 11 Juni 2009 sebagaimana diuraikan di atas. Dasar pertimbangan Mahkamah Agung dalam mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Penuntut Umum, saksi korban dan pihak ketiga yang berkepentingan adalah: 187 1.
Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas (vrispraak) dan melepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) dengan tegas tidak dapat dimintakan kasasi. Namun Mahkamah Agung melalui penafsiran terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung.
2.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman jo Pasal 23 Undang-Undang Nomor 185
Ibid, hlm. 16. Cahyono, Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian Terhadap Korban Kejahatan Dalam Perkara Pidana Di Masa Mendatang, (Jakarta : Varia Peradilan No. 282, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2009), hlm. 47. 187 Parman Soeparman, Supra (Lihat Catatan Kaki No. 1), hal 99-101. 186
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
95
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang terhadap putusan Pengadilan, yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkepentingan/pihak-pihak
yang
bersangkutan.
Mahkamah
Agung
melakukan penafsiran dalam perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentigan yaitu terdakwa atau kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (negara) yang tentunya kejaksaan juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) pada Mahkamah Agung. 3.
Dalam ketentuan Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut penafsiran Mahkamah Agung adalah ditujukan kepada Penuntut Umum, karena Penuntut Umum adalah pihak yang berkepentingan agar keputusan hakim di ubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan, dapat diubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa. Pasal 263 ayat (3) KUHAP tidak mungkin dimanfaatkan oleh terpidana atau ahli warisnya, karena jelas akan merugikan dirinya.
4.
Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (termohon PK) dan kepentingan umum, bangsa dan negara dilain pihak disamping perseorangan (terdakwa), juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan dapat pula melakukan Peninjauan Kembali. Oleh karena itu Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di Negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang diterapkan secara tepat dan adil. Maka dari itu Mahkamah Agung akan mengisi kekososngan hukum acara pidana tentang masalah peninjauan Kembali putusan kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi adanya kepastian hukum.
5.
Berdasarkan perspektif teoritik dari ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
96
hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Kemudian ketentuan teoritik tersebut dalam praktiknya dilenturkan, diperluas melalui penafsiran argumentum a contrario serta tidak diartikan secara letterlijke sehingga upaya melakukan Peninjauan Kembali tersebut tidak hanya terbatas kepada terpidana atau ahli warisnya. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara tegas melarang Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Logikanya tidak mungkin terpidana/ahli warisnya akan mengajukan Peninjauan Kembali atas putusan vrijspraak dan ontslag van alle rechtsvervolging. Sehubungan dengan ketidak jelasan dari Pasal 263 KUHAP tersebut, penganut doktrin “sens clair (la doctrine du sensclair)” berpendapat bahwa “penemuan hukum oleh hakim” hanya dibutuhkan jika peraturannya belum ada untuk suatu kasus in konkreto, atau peraturannya sudah ada tetapi belum jelas. Selanjutnya Lie Oen Hock berpendapat:188 “Dan apabila kita memperhatikan, ternjata bagi kita, bahwa undangundang tidak sadja menundjukkan banjak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali djuga tidak djelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian undangundang memberi kuasa kepada Hakim untuk menetapkan sendiri maknanja ketentuan undang-undang itu atau artinja suatu kata jang tidak djelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang setjara gramatikal atau historis, baik “recht maupun wetshistoris” Hal mana juga sesuai dengan pendapat M. Yahya Harahap yang menyatakan: 189 “Akan tetapi sebaliknya ada yang berpendapat, meskipun hukum acara tergolong hukum public yang bersifat imperative, dimungkinkan untuk 188
Lie Oen Hock, Jurisprudensi sebagai Sumber Hukum, pidato diucapkan pada pengresmian Pemangkuan Djabatan Guru Besar Luar Biasa dalam Ilmu Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia di Djakarta, pada tanggal 19 September 1959, hlm. 11 sebagaimana di kutip dalam Putusan No. 109 PK/Pid/2007, Varia Peradilan No. 268, Maret 2008, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, hlm. 70-71. 189 M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 651.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
97
melakukan penafsiran atau diskresi apabila hal itu dibutuhkan untuk mencapai proses penyelesaian yang lebih fair ditinjau dari aspek kepentingan umum dan tuntutan rasa keadilan yang lebih hakiki serta manusiawi atau disebut according to the principle of justice.” Bahkan berkembang pendapat umum yang mengatakan bahwa tanpa penafsiran atau diskresi dalam penerapan hukum acara, tidak mungkin aparat penyidik, penuntut dan peradilan dapat menyelesaikan kasus perkara pidana. Sifat hukum acara sebagai ketentuan public memang di akui “imperative”, tetapi tidak seluruhnya absolute. Ada ketentuan yang dapat “dilenturkan” (flexible) dikembangkan (growth) bahkan disingkirkan (ovverule) sesuai dengan tuntutan perkembangan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam satu konsep to improve the quality of justice and to reduce injustice.190 Salah satu bukti nyata yang tidak dapat dipungkiri dalam sejarah perjalanan KUHAP, kasus Natalegawa dalam perkara No. 275 K/Pid/1983 (10 Desember 1993). Dalam perkara ini Mahkamah Agung telah mewujudkan case law yang telah menjadi stare decisis melalui “extensive interpretation”. Dalam kasus ini, walaupun Pasal 244 KUHAP “tidak memberikan hak” kepada Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap “putusan bebas” (terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas), akan tetapi ternyata sifat imperative yang melekat pada ketentuan ini “dilenturkan”, bahkan disingkirkan dengan syarat apabila putusan bebas yang dijatuhkan bukan pembebasan murni.
191
Pengertian bebas murni memang tidak ditemukan di dalam KUHAP. Berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana dan yurisprudensi didapat suatu kesimpulan terkait dengan pengertian dari putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni dengan kriteria sebagai berikut :192 a. Suatu putusan bebas yang mengandung pembebasan yang tidak murni apabila pembebasan itu didasarkan pada kekeliruan penafsiran atas suatu istilah dalam
190
Putusan No. 109 PK/Pid/2007, Varia Peradilan No. 268, Maret 2008, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, hlm. 71. 191 Ibid. 192 Harun M. Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hlm. 130
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
98
surat dakwaan atau apabila dalam putusan bebas itu pengadilan telah bertindak melampaui batas wewenangnya. b. Suatu putusan bebas mengandung pembebasan yang murni apabila pembebasan itu didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur tindak pidana yang didakwakan. Menjadi pertanyaan ialah apakah yang dimaksud dengan bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) itu. Suatu pembebasan tidak murni ialah suatu putusan yang bunyinya bebas hukum (onstlag van rechtsvervolging), yang dinamai juga lepas dari segala tuntutan hukum terselubung (bedekt onstlag van rechtsvervolging).193 Jadi bebas tidak murni sama dengan lepas dari segala tuntutan hukum terselubung. Sebaliknya dapat juga terjadi, putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang didasarkan kepada tidak terbuktinya suatu unsur dari dakwaan, jadi seharusnya putusan bebas (vrijspraak). Sejak saat itu, kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas pada prinsipnya dibenarkan oleh Mahkamah Agung, berarti penerimaan kasasi yang diajukan oleh penuntut umum terhadap putusan bebas, merupakan bentuk penafsiran luas yang jelas-jelas bersifat contra legem atau “bertentangan dengan undang-undang” dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP. Motivasi tersembunyi yang paling dalam mengcontra legem Pasal 244 KUHAP, bertujuan untuk mengoreksi dan meluruskan putusan bebas atau kekeliruan yang terkandung dalam putusan, dianggap sangat tidak adil dan tidak bermoral, apabila pengadilan tidak mampu menghukum orang yang bersalah.
194
Oleh karena itu dianggap tidak adil untuk menutup upaya kasasi terhadap putusan bebas demi terwujudnya penegakan hukum, kebenaran dan keadilan semaksimal mungkin. Bertitik tolak pada pada motivasi yang seperti itulah yang mendorong Mahkamah Agung melenturkan dan mengembangkan ketentuan dalam Pasal 263 KUHAP. Demi untuk mengejar tercapainya kebenaran dan keadilan hakiki yang lebih maksimal, harus diberi hak kepada Penuntut Umum mengajukan Peninjauan
193
A. Minkenhof, De Nederlandse Strafvordering, (Haarlem :H.D. Tjeenk Willink &Zoon,1967), hlm. 289 sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia…, op.cit. hlm. 295 194 Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
99
Kembali terhadap putusan bebas, dengan cara memberi kesempatan kepada penuntut umum membuktikan bahwa pembebasan yang dijatuhkan pengadilan “tidak adil” (in justice) karena didasarkan ada alasan “non yuridis”. Hal mana sesuai dengan tugas hakim dalam menemukan hukum berdasarkan Pasal 16 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan:195 “bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalil bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Ketentuan tersebut mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan yang belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupak
hukum
sekalipun
peraturan
perundang-undangan
tidak
dapat
membantunya. 196 Perlu dikemukakan bahwa dalam rangka menemukan hukum, ketentuan Pasal 16 ayat 1 tersebut harus dihubungkan dengan Pasal 28 ayat 1 UndangUndang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa hakim sebagai penegak hukum wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perorangan dengan kepentingan umum, bangsa dan negara, dilain pihak disamping perorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula melakukan peninjauan kembali. 197 Hal tersebut juga sesuai dengan konsep “daad-dader-strafrecht” yang sering disebut juga dengan “model keseimbangan kepentingan” yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum
195
Undang-undang tersebut telah diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157 196 Putusan No. 109 PK/Pid/2007, Op.Cit, hlm. 72. 197 Ibid.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
100
pidana yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan 198 dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman di mana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana, maupun korban tindak pidana. 199 Sejalan juga dengan ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch, dimana keadilan selalu diprioritaskan. Ketika hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan atau kepastian hukum, maka pilihan harus ada pada kemanfaatan. Ajaran “prioritas baku” tersebut dianut juga oleh Pasal 18 RUU KUHP yang disusun oleh Panitia Penyusunan RUU KUHP 1991/1992 yang berbunyi: “keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”. Selanjutnya berdasarkan Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri Kehakiman :200 “Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”
198
Muladi, , Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1995),
hlm. 5. 199
Putusan No. 109 PK/Pid/2007, Op. Cit, hlm. 73. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, 1982, Departemen Kehakimana Republik Indonesia, Jakarta, hlm. 1. 200
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
101
maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya, dan dalam hal ini khususnya terhadap Pasal 263 KUHAP dengan memungkinkan Penuntut Umum dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, yang merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Berdasarkan uraian di atas, dari pertimbangan putusan Mahkamah Agung dalam praktiknya telah menunjukkan adanya pergeseran kualitas pemohon peninjauan kembali, terlepas bahwa aspek tersebut dalam dunia akademik telah menimbulkan silang pendapat yang sifatnya kontroversial. Di sisi lain dalam praktik sebagaimana telah diuraikan di atas, upaya hukum juga dilakukan oleh “korban” khususnya saksi korban yaitu Prof. Dr. Ida Bagus Gede Manuaba, Sp.OG. (putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 11 PK/Pid./2003 tanggal 6 Agustus 2003) dan pihak ketiga yang berkepentingan yaitu H. Iskandar Hutualy (putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 4 PK/Pid./2000 tanggal 28 November 2001). Pada tahap implementasinya, ternyata penerapan hukum dari Mahkamah Agung terhadap permohonan peninjauan kembali pada dua putusan tersebut menjadi bias. Di satu sisi Mahkamah Agung menerima permohonan peninjauan kembali yang dilakukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Akan tetapi di sisi lain Mahkamah Agung menyatakan pemohon peninjauan kembali yang berkualitas sebagai saksi korban dinyatakan tidak dapat diterima. Padahal pada dua putusan tersebut pemohonnya berkualitas sama sebagai korban.201 Hal itu menunjukkan bahwa dari dimensi teoritik dan praktik peradilan tersebut telah menjadikan adanya perbedaan perlakuan terhadap
pemohon
peninjauan kembali yang berkualitas penuntut umum dan saksi korban di mana sebenarnya hukum pidana haruslah memberi hak-hak korban dalam melakukan upaya hukum karena korbanlah sebenarnya yang terlibat langsung dan menderita akibat tindak pidana si pelaku. 201
Korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana Indonesia mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan KUHP menggunakan terminologi yang berbeda yaitu sebagai pelapor (Pasal 108 KUHAP), pengadu (Pasal 72 KUHP), saksi korban (Pasal 160 KUHAP), pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 80,81 KUHAP) dan pihak yang dirugikan (PAsal 98,99 KUHAP).
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
102
Keadaan seperti di atas mencerminkan terlanggarnya asas yang dianut dalam hukum acara pidana, yaitu perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan perlakuan (equality before the law). Perlakuan yang demikian menunjukkan rasa ketidakadilan terutama bagi korban. Hal itu terlihat pada fakta bahwa ternyata bukan hanya terpidana atau ahli warisnya saja yang memiliki kepentingan dalam penegakkan hukum untuk mengoreksi putusan pengadilan yang kurang tepat melalui kewenangan Mahkamah Agung. Korban atau masyarakat umum ternyata juga memiliki kepentingan disana. Apabila korban tidak diberi ruang yang sama dengan terpidana atau ahli warisnya untuk melakukan pengajuan peninjauan kembali, akan dapat merugikan bagi pihak korban atau masyarakat umum ketika ingin membuktikan kembali bahwa putusan pengadilan kurang tepat. Adanya kesalahan atau kekurangtepatan putusan pengadilan itu mungkin saja terjadi, kendati hukum telah diikuti dengan cermat dan prosesnya dilakukan dengan tepat dan fair. Hal tersebut juga seperti dikatakan John Rawls, even though the law is carefully followed, and the proceedings fairly and properly conducted, it may reach the wrong outcome.202 Melihat fakta pada kasus hukum mengenai pengajuan peninjauan kembali saksi korban pada kasus sebagaimana telah diuraikan di atas, perluasan terhadap hak peninjauan kembali semestinya juga diberikan kepada korban. Hal itu menurut John Rawls, jika kita menganggap keadilan sebagai sesuatu yang selalu mengekspresikan sejenis kesetaraan, maka keadilan formal mengharuskan dalam tatanannya hukum dan lembaga diperlakukan secara sama (yakni dengan cara yang sama) terhadap orang-orang yang berada dalam kelas yang ditentukan oleh keadilan formal. If we think of justice as always expressing a kind of equality, then formal justice require that in their administration laws and institutions should apply equality (that is, in the same way) to those belonging to the classes defined by them.203 Berkaitan dengan hal di atas, lebih lanjut John Rawls dalam teorinya menegaskan, Bentuk tegas dari keadilan prosedural murni menurut John Rawls, 202
John Rawls, A Theory of Justice, (Massachusetts : Harvard University Press, , 1971)
203
Ibid. hlm. 58
hlm. 86
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
103
bahwa prosedur untuk menentukan hasil yang adil harus benar-benar dijalankan, sebab dalam hal ini tidak ada kriteria independen yang bisa dijadikan acuan hasil nyata bisa adil. 204 Dari hal-hal tersebut John Rawls berkesimpulan, we can not say that a particular state of affairs is just because it could have been reached by following a fair procedure. Menurut John Rawls, kita tidak bisa mengatakan bahwa kondisi tertentu adalah adil karena ia bisa dicapai dengan mengikuti prosedur yang fair. 205 Adapun sebagai landasan pemikiran mengapa perlu upaya hukum peninjauan kembali bukan saja diperluas hanya kepada penuntut umum saja tetapi perlu juga diperluas dengan melakukan pergeseran pemikiran kepada korban, maka dapat dikaji dari dua perspektif yaitu posisi sentral korban dalam sistem peradilan pidana dan pergeseran perspektif sistem peradilan pidana Indonesia. Sthepen Schafer menyebutkan bahwa korban kejahatan di dalam ranah hukum sebagai “cinderella” dari hukum pidana. Selain itu Robert Reiff berasumsi relatif kurangnya perhatian korban dalam proses pidana karena hukum pidana hanya mereduksi apa yang dilakukan penjahat, tidak seorangpun bertanya apa yang dapat dilakukan korban dan menangkap penjahat untuk membantu korban kejahatan. Konkritnya, sistem peradilan pidana telah cukup lama melupakan kepentingan korban kejahatan, maka korban kejahatan dikatakan sebagai “forgotten people in the system”.206 Pembaharuan hukum pidana yang berorientasi kepada korban merupakan aspek yang esensial sifatnya. Pendapat ini ditegaskan oleh Mudzakkir lebih detail sebagi berikut :207 Kejahatan atau pelanggaran hukum pidana terjadi bukan terdiri dari satu pihak yang kemudian disebut “pelanggar” dengan hukum pidana, tetapi ada dua pihak yakni satu pihak disebut “pelanggar” dan dipihak lain disebut “korban”. Kemudian mengapa perhatian hanya ditujukan pada satu pihak yakni pelanggar saja dan bagaimana dengan korbannya? Sesuai dengan konsep hukum “pengayoman” bahwa hukum harus mengayomi 204
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan (Terjemahan A Theory of Justice yang ditulis oleh John Rawls),…Op.Cit 205 Ibid. 206 William F. MacDonald, The Role of The Victim in America, (1977), dalam Randy E Barnett dan John Hegel III, edts., Assesing The Criminal : Restitution, Retribution and The legal process (Cambridge : Ballinger Publishing Company, 1977), hlm. 17 sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana, Op. cit. Hlm. 176 207 Mudzakir, Op. Cit., Hlm. 295
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
104
semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana (pelanggar) maupun yang menjadi korbannya. Pelanggar hukum pidana dalam statusnya sebagai tersangka, terdakwa atau terpidana, sekarang telah memperoleh perlindungan hukum yang cukup, sedangkan korban kejahatan baik dalam statusnya sebagai pelapor, saksi dan pihak yang dirugikan dalam hukum pidana (korban kejahatan) belum memperoleh perlindungan hukum. Lebih lanjut Mudzakir, mengatakan bahwa : Pembaharuan hukum pidana yang berorientasi kepada korban (victim oriented) diperlukan sebagai perwujudan penyelenggaraan Negara hukum Indonesia dimana semua orang memperoleh akses keadilan (bukan hanya pelanggar) dan sebagai kebijakan yang seimbang (balance) dalam pembaharuan hukum pidana. Jadi pembaharuan hukum pidana tidak mengutamakan perlindungan kepentingan pelanggar, meminjam istilah Groenhuijsen, kebijakan terhadap korban tersebut bukan sebagai priority kepada korban saja tetapi juga kepada pelanggar dan korban. 208 Berdasarkan hal tersebut adanya kesadaran dan pengakuan secara jujur bahwa praktik hukum pidana dan sistem peradilan pidana sekarang telah melupakan kepentingan korban kejahatan adalah awal yang baik bagi kepedulian terhadap kepentingan korban. Problem korban kejahatan yang kompleks tersebut di atas mencakup bidang keilmuan, sesuai aspek hukum pidana dan sistem peradilan pidana. Tegasnya, problem internal dalam hukum pidana dan sistem peradilan itu sendiri, oleh sebab itu pemecahan problem korban melalui kerangka hukum pidana.209 Belakangan muncul kecenderungan untuk mempersoalkan hukum pidana dan penyelenggaraan peradilan pidana, karena apa yang dilakukan hukum pidana dan sistem peradilan pidana tidak memberikan keadilan yang langsung dirasakan bagi masyarakat yang menjadi korban kejahatan sebagai pencari keadilan. Bagian yang
membingungkan
dari
sudut
pandang
korban
adalah
Negara
bertanggungjawab untuk melindungi keamanan warga Negaranya dan telah memonopoli reaksi terhadap pelanggar hukum pidana, tetapi Negara tidak
208
Ibid. M.S Groenhuijsen, Recent Development in the Ducth Criminal Justice System Concerning Victims of Crime, (Jerusalem : 6th International Symposium on Victimology,1988) Hlm. 200, Sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana…, Op. Cit. hlm. 181 209
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
105
bertanggungjawab terhadap akibat yang diderita oleh anggota masyarakat yang menjadi korban dari pelanggaran hukum pidana. 210 Selain itu korban tidak ditempatkan sebagai pihak-pihak berkepentingan dalam tindak pidana, tetapi korban ditempatkan sebagai pelapor dan saksi jika diperlukan bagi penuntutan dan pemidanaan. Menurut Mudzakir, konsep kejahatan atau pelanggaran hukum pidana yang demikian itu memengaruhi keseluruhan cara kerja peradilan pidana, yang ditandai dengan hal-hal sebagai berikut : 1. Tidak dilibatkannya korban dalam proses peradilan pidana dan semua reaksi terhadap pelanggaran hukum pidana menjadi monopoli Negara dan kepentingan yang dilindungi adalah kepentingan umum/Negara. 2. Peradilan pidana diselenggarakan dalam rangka untuk mengadili tersangka karena pelanggaraan hukum pidana dan pidana dijatuhkan kepada pelanggar berupa derita sebagai balasan terhadap pelanggaran hukum pidana yang telah dilakukan berdasarkan pertanggungjawaban karena kesalahannya (kesalahan dari sudut moral). 3. Pidana (berat-ringannya) yang dijatuhkan kepada pelanggar sebagai parameter keadilan yang ditujukan kepada pribadi pelanggar. 4. Kerugian yang diderita oleh korban menjadi tanggungjawab korban sendiri, seperti layaknya orang yang terkena musibah bencana alam. Jika korban berkeinginan meminta ganti rugi kepada pelanggar harus ditempuh melalui prosedur perdata karena masalah kerugian masuk cakupan bidang hukum perdata. Berdasarkan hal tersebut di atas jelaslah diperlukan adanya pergeseran perspektif sistem peradilan pidana yang lebih berorientasi kepada korban, pelaku dan masyarakat. Tegasnya pergeseran tersebut merupakan pergeseran perspektif dari keadilan retributif (retributif justice) menuju keadilan restoratif (restoratif justice). Dengan pergeseran perspektif tersebut diharapkan kepentingan pelaku tindak pidana, korban kejahatan dan masyarakat relatif dapat diakomodir sehingga keadilan yang diterapkan hakim mengacu kepada keadilan restoratif. Konsekuensi logisnya maka model sistem peradilan pidana yang dianut adalah model yang 210
William F. MacDonald, edt., Op.cit. hlm. 19
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
106
realistik yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan yang oleh Muladi disebut model keseimbangan kepentingan yang bertumpu pada konsep daad-dader strafrecht.211 Melalui dua kajian perspektif di atas yaitu posisi sentral korban dalam sistem peradilan pidana dan pergeseran perspektif sistem peradilan pidana maka sudah selayaknya jika kebijakan formulatif mendatang (ius constituendum) memberikan pergeseran pemikiran untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana ketentuan Pasal 263 ayat (1), bukan saja diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya yang dalam praktik telah diperluas juga kepada Penuntut Umum, melainkan juga diperluas kepada korban. Sebagai perbandingan adalah sebagaimana dikenal di Negara Republik Rakyat China (RRC) dengan syarat limitatif secara ketat berupa adanya “Novum” yang lazim disebut dengan terminologi “Zheng Ju”.212 Dalam article 203 dan article 204 Criminal Procedure Law Of The People’s of China Nomor 64 yang mulai berlaku sejak tanggal 17 Maret 1996 menentukan : Ketentuan Pasal 203 : A party or His legal representative or his near relative may present a petition to a people’s Corut or a people’s Procurate regarding a legally effective judgement or order, how ever, execution of the judgement or order shall not be suspended. Ketentuan Pasal 204 : if a petition presented by a party or his legal representative his near relative conforms to any of the following conditions, the people’s Court shall retry the case. Bertitik tolak pada ketentuan di atas, hakikatnya korban dimungkinkan melakukan peninjauan kembali dengan adanya novum (zheng ju). 213Pemberian hak kepada korban untuk dapat mengajukan peninjauan kembali dalam perkara 211
Muladi, Op.cit. Parman Soeparman, Op.cit. hlm. 121-122 213 Ibid. 212
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
107
pidana, dipandang tidak berlebihan apabila diingat dari tujuan hukum itu sendiri, yaitu selain diharapkan mendapatkan kepastian hukum seperti dalam doktrin hukum positif normatif, juga mendapatkan kemanfaatan seperti dalam doktrin sosiologi hukum, dan terwujudnya rasa keadilan seperti dalam ajaran filsafat hukum. Ketiga tujuan hukum itu, seperti dikemukakan oleh Gustav Radbruch dengan istilah tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum, masing-masing adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. 214 Selain itu, uraian di atas kiranya juga tidak berlebihan, sebab menurut teori keadilan procedural sebagaimana dirumuskan John Rawls, yaitu : If we wish to hold a doctrine of equality, we must interpret it in another way, namely as a purely procedural principle. Thus to say that human beings are equal is to say that none have a claim to preferential treatment in the absence of compelling reasons.215 Menurut John Rawls, jika kita ingin memakai doktrin kesetaraan, kita harus menafsirkannya dengan cara sebagai sebuah prinsip yang murni prosedural. Jadi apabila mengatakan, bahwa manusia adalah setara, berarti mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang mempunyai klaim atas perlakuan istimewa tanpa adanya alasan yang memaksa.
214
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan ( Judicialprudence), (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 288 215 John Rawls, op.cit. hlm. 507
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
108
BAB 5 PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di atas maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 5.1.1.
Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana maupun dalam praktik peradilan relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukum Indonesia masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku (offender
oriented).
Kedudukan
korban
diwakili
atau
direpresentasikan oleh Negara cq pemerintah cq kejaksaan dan kepolisian maka korban-korban, keluarga korban dan masyarakat (stakeholder) tidak perlu ikut serta lagi dalam proses hukum si pelaku kejahatan sehingga korban tidak ditempatkan sebagai pihak-pihak berkepentingan dalam tindak pidana, tetapi korban ditempatkan sebagai pelapor dan saksi jika diperlukan bagi penuntutan dan pemidanaan yang hanya sebatas memberikan keterangan saksi selaku korban dari tindak pidana yang diperbuat oleh pelaku kejahatan. 5.1.2.
Dalam praktik ditemukan upaya hukum peninjauan kembali yang dilakukan oleh korban dalam kualitasnya sebagai saksi korban yaitu Prof. Dr. Ida bagus Gede Manuaba, Sp.OG. (putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 11 PK/Pid./2001 tanggal 6 Agustus 2003) dan pihak ketiga yang berkepentingan yaitu H. Iskandar Hutualy (putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 4 PK/Pid./2000 tanggal 28 November 2001) dan atas upaya hukum tersebut Mahkamah Agung memberikan putusan yang berbeda Di satu sisi Mahkamah Agung menerima permohonan peninjauan kembali yang dilakukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan. Akan tetapi di sisi lain Mahkamah Agung menyatakan pemohon peninjauan kembali oleh saksi korban dinyatakan tidak dapat diterima. Padahal pada dua putusan tersebut pemohonnya berkualitas sama sebagai
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
109
korban. Adapun pertimbangan Mahkamah Agung dalam menerima permohonan PK pihak ketiga yang berkepentingan dengan melenturkan penafsiran Pasal 263 KUHAP sebaliknya dalam putusan PK yang dimohonkan saksi korban tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 263 KUHAP. Permohonan Peninjauan Kembali oleh saksi korban mengapa secara formal belum dapat diterima karena dianggap bahwa saksi korban tidak memiliki legal standing sebagai pihak dalam suatu perkara pidana sehingga akan terlalu jauh menyimpang dari KUHAP jika diterima karena dalam proses pidana posisinya telah digantikan oleh penuntut umum. 5.1.3.
Sistem peradilan yang dianut di Indonesia adalah sistem yang berorientasi pada kepentingan pelaku (offender oriented), dalam sistem tersebut tidak mungkin ada peluang bagi korban untuk melakukan upaya hukum termasuk upaya hukum hukum peninjauan kembali, Namun dengan adanya pergeseran perspektif sistem peradilan pidana yang lebih berorientasi kepada korban, pelaku dan masyarakat maka kepentingan pelaku tindak pidana, korban kejahatan dan masyarakat relatif dapat diakomodir sehingga keadilan yang diterapkan hakim mengacu kepada keadilan restoratif. Konsekuensi logisnya maka model sistem peradilan pidana yang dianut adalah model yang realistik yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan yang oleh Muladi disebut model keseimbangan kepentingan. Dengan menerapkan konsep tersebut maka pada masa mendatang peluang korban untuk melakukan upaya hukum khususnya upaya hukum peninjauan kembali dapat dimungkinkan.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
110
5.2. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka berkaitan dengan upaya hukum peninjauan kembali oleh korban dapat diajukan saran-saran sebagai berikut : 5.2.1.
Korban kejahatan dalam kajian teoritis dan praktik peradilan pidana posisinya teramat asing dan diasingkan. Akan tetapi walaupun demikian korban kejahatan peranannya teramat penting dalam proses pidana. Bertitik tolak dari aspek tersebut, maka seharusnya sistem peradilan pidana pada umumnya dan peradilan pidana di Indonesia pada khususnya hendaknya memberikan peluang gerak yang cukup luas terhadap eksistensi korban yaitu salah satunya dengan memberdayakan korban kejahatan melalui pemberian hak untuk melakukan upaya hukum peninjauan kembali sebagaimana telah dikenal dalam praktik peradilan.
5.2.2.
Hendaknya dilakukan pembaruan kebijakan hukum pidana dalam rangka perlindungan korban, khususnya konsep pemberian hak kepada korban dalam mengajukan upaya hukum khususnya upaya hukum
peninjauan
kembali,
sehingga
korban
kejahatan
mendapatkan pengakuan akan hak-haknya, sejajar dengan pelaku serta subjek-subjek hukum lainnya dalam proses peradilan pidana di negeri ini. Dalam hal ini diperlukan peranan hakim dalam memeriksa dan mengadili serta
memutus
hendaknya
menggunakan
tidak
semata-mata
perkara pidana pendekatan
positivisme saja melainkan juga menggunakan pendekatan lainnya guna mendapatkan keadilan sehingga seharusnya Pasal 263 ayat (1) tidak diterapkan secara ketat melainkan juga harus dilenturkan sedemikian rupa sehingga korban kejahatan ataupun keluargannya dapat diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. 5.2.3.
Sebaiknya Peninjauan kembali sebagai hak terpidana atau ahli warisnya dan kepentingan korban sebaiknya harus seimbang. Dengan memperhatikan dua kajian perspektif yaitu posisi sentral korban dan pergeseran perspektif sistem peradilan pidana maka
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
111
wajar jika kebijakan formulatif mendatang memberikan peluang bagi korban dalam melakukan upaya hukum peninjauan kembali bukan saja hanya diberikan kepada terpidana atau ahli warisnya saja sebagaimana ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP akan tetapi diterapkan secara selektif dengan syarat limitatif secara ketat berupa adanya Novum.
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
112
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Adji, Oemar Seno, Herziening Ganti Rugi Suap Perkembangan Delik, (Jakarta : Erlangga, 1981). Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan ( Judicialprudence), (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2012). ___________, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta : BP. Iblam, 2004). Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1996). _____________________, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta : Prenada Media Group, 2007). _____________________, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002). Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana : Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung : Bina Cipta, 1996). Chazawi, Adam, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana (Penegakan Hukum Dalam Penyimpangan Praktik Dan Peradilan Sesat), (Jakarta Sinar Grafika, 2010). _____________, Pelajaran Hukum Pidana Penafsiran Hukum Pidana, Pemberatan & Peringanan, kejahatan Aduan, Pembarengan & Ajaran Kausalitas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002). Dimyati, Khudzaifah, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, Cetakan keempat, 2005). Darmadi, Sugijanto, , Kedudukan Hukum Dalam Ilmu dan Filsafat, (Jakarta : CV. Mandar Maju, 1998). Fauzan, Uzair dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan (Terjemahan A Theory of Justice yang ditulis oleh John Rawls), (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2011). Garner, Bryan A., Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul, MN : West Group,2004) . Gosita, Arif, Viktimologi dan KUHAP, (Jakarta : Akademi Presindo,1986). Gosita, Arief, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta : Universitas Trisakti, 2009). Hamzah, A. dan Irdan Dahlan, Upaya Hukum Dalam Perkara Pidana, (Jakarta : PT. Bina Aksara, 1987).
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
113
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali),( Jakarta : Sinar Grafika, 2003). Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008). Kelsen, Hans, Teori Hukum Murni (Asli: General Theory of Law and State). Alih Bahasa: Somardi, (Jakarta : Rindi Press, 1955). Kusuma, Mulyana W., Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi, (Bandung: Alumni, 1981). Manan, Bagir, Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), (Yogyakarta : FH UII Press, 2004). Mansur, Dikdik M. Arief & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007). Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004). Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 2004). Mertokusumo, Sudikno dan A. Pittlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti, 1993). M. Husein, Harun Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992). Minkenhof, A, De Nederlandse Strafvordering, (Haarlem :H.D. Tjeenk Willink &Zoon,1967). Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996). ____________, Kompilasi Hukum pidana Dalam perspektif Teoritis Dan praktik Peradilan, (Bandung : Mandar Maju, 2010), hal. 176 ____________, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Normatif, teoritis, Praktik dan Masalahnya, (Bandung : PT. Alumni, 2011). Muladi dan Barda Nawai Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung : PT. Alumni, 1984), Hal. 131 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Universitas Diponegoro, 2002). ______, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang : Universitas Diponegoro, 1995). ______, HAM dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, (Bandung : Refika Aditama, 2005) Natabaya, H.A.S., Menata Ulang Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008). Packer, Herbert L., The Limits of Criminal Sanctions, (California: Stanford University Press, 1968)
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
114
Panjaitan, Saut P., Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Asas, Pengertian dan Sistematika), (Palembang : Universitas Sriwijaya, 1998), hal.57. Prakoso, Djoko, Upaya Hukum Yang Diatur Didalam KUHAP, (Jakarta : Aksara Persada Indonesia, 1986). Rawls, John, A Theory of Justice, (Cambridge, Massachusetts : Harvard University Press, 1972) Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 2007). Reksodiputro, Mardjono, Bahan Bacaan Wajib Mata kuliah Sistim Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Dokumentasi Hukum UI,1983). Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan Karangan, Buku Kedua), (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007) Reksodiputro, Mardjono, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban di dalam J.E Sahetapy, Viktimologi : Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987). Sahetapy, J.E., Victimologi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987) Sasangka, Hari dan Lily Rosita, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (Bandung : Mandar Maju, 2003). Sidabutar, Mangasa, Hak Terdakwa, Terpidana, Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999). Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001). Soedirjo, Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana, Arti dan Makna, (Jakarta : Akademika Pressindo,1986). Soekanto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, (Bandung : Alumni, 1978). Soeparman, Parman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi Korban Kejahatan, (Bandung : Refika Aditama, 2009). Soeroso, R., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996) Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002). Tahir, Hadari Djenawi, 1982, Bab Tentang Herziening Di Dalam Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana ,(Bandung : Alumni, 1982) . Wignjosoebroto, Soetandyo, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional, Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan hukum di Indinesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1994 ). Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
115
Yulia, Rena, Viktimologi : Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010). B. Artikel Majalah Ilmiah/Makalah/Pidato Pengukuhan Alkostar, Artidjo, Restorative Justice, (Jakarta : Varia Peradilan No. 262 September, 2007, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)). Atmasasmita, Romli, Masalah Santunan Korban Kejahatan, (Jakarta : BPHN, tanpa Tahun) Cahyono, Kebijakan Pemberian Ganti Kerugian Terhadap Korban Kejahatan Dalam Perkara Pidana Di Masa Mendatang, (Jakarta : Varia Peradilan No. 282, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2009) Geoffrey Hazard Jr., dalam Sanford Kadish, Encyclopedia of Crime and Justice, Vol. 2 Halim, Teori-Teori Hukum Aliran Positivisme dan Perkembangan KritikKritiknya, (Jurnal Asy-syir’ah Vol.42 No.11, 2009). Manan, Bagir, 2007, Sambutan Ketua Mahkamah Agung Pada Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI Dengan Pengadilan Tingkat Banding Dan Pengadilan Tingkat Pertama Ibu Kota Propinsi Di Makassar, 2-6 September, (Jakarta : Varia Peradilan No. 263 Oktober, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)), Reksodiputro, Mardjono, Sistem Peradilan Pidana (Melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi, (Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993). Siahaan, Lintong O., Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Pada Era Reformasi Dan Transformasi, (Jakarta : Varia Peradilan No. 252 November, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2006). Sulaiman Aflin, “Pergeseran Fungsi PK Sebagai Offender Oriented Ke Arah Victim Oriented”, Suara Pembaca, 29 Juli, 2009. Soeparman, Parman, Kepentingan Korban Tindak Pidana Dilihat Dari Sudut Viktimologi, (Jakarta : Varia Peradilan No. 260 Juli, 2007, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)). Wignjosoebroto, Soetandyo, “Positivisme dan Doktrin Positivisme Dalam Ilmu Hukum dan Kritik Terhadap Doktrin Ini”, (Materi Kuliah Teori Hukum Program Doktor Ilmu Hukum UII, 2007). C. DISERTASI Mudzakkir, Posisi Hukum korban kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : disertasi, Program Pasca Sarjana fakultas Hukum UI, 2001). D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Perserikatan BangsaBangsa 10 Desember 1948
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013
116
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Nomor 8 Tahun 1981, LN RI Tahun 1981 Nomor 76, TLN RI No. 3209 Indonesia, Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU Nomor 48 Tahun 2009 LN RI Tahun 2009 Nomor 157, TLN RI No. 5076 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 32 Tahun 2009, LN RI Tahun 2009 Nomor 140, TLN RI No. 5059 Indonesia, Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pemberantasan Orang, UU Nomor 21 Tahun 2007, LN RI Tahun 2007 Nomor 58 Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU Nomor 13 Tahun 2006, LN RI Tahun 2006 No. 64, TLN RI No. 4635
Universitas Indonesia
Upaya hukum..., Muhamad Fauzan Haryadi, FH UI, 2013