!
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH TERAPI KOMBINASI AKUPUNKTUR TANAM BENANG DAN MEDIKAMENTOSA TERHADAP INDEKS BODE PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
TESIS
PUTU BAGUS SURYA WITANTRA GIRI 1206237012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI SPESIALIS-1 AKUPUNKTUR MEDIK JAKARTA DESEMBER 2014
!
!
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH TERAPI KOMBINASI AKUPUNKTUR TANAM BENANG DAN MEDIKAMENTOSA TERHADAP INDEKS BODE PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Dokter Spesialis Akupunktur Medik
PUTU BAGUS SURYA WITANTRA GIRI 1206237012
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM STUDI SPESIALIS-1 AKUPUNKTUR MEDIK JAKARTA DESEMBER 2014
!
! ! KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya maka tesis ini dapat terselesaikan dengan baik, tepat pada waktunya. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Dokter Spesialis Akupunktur Medik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tesis ini mengangkat judul “Pengaruh Terapi Kombinasi Akupunktur Tanam Benang dan Medikamentosa terhadap Indeks BODE Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik.” PPOK hingga saat ini masih merupakan epidemi global yang menempati urutan keempat penyebab kematian terbanyak di dunia. Berbagai tantangan dalam menyediakan suatu bentuk tatalaksana PPOK yang lebih efektif dan paripurna serta didorong oleh fakta-fakta yang mengemuka mengenai peran akupunktur khususnya tanam benang pada kasus-kasus inflamasi kronik, maka uji klinis mengenai pengaruh akupunktur tanam benang pada kasus PPOK ini dilakukan. Penyusunan tesis ini berlangsung selama kurang lebih satu tahun, dimulai dari penyusunan proposal penelitian awal hingga laporan akhir. Dalam masa-masa tersebut, penulis sangat menyadari bahwa tesis ini akan sulit terwujud tanpa bantuan dan bimbingan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Dokter Adiningsih Srilestari, M.Epid, M.Kes, SpAk (K); dr. Kemas Abdurrohim, MARS, M.Kes, Sp.Ak; Prof. Dr. Faisal Yunus, Ph.D, Sp.P (K) selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan saran dan bimbingan demi penyelesaian dan penyempurnaan tesis ini.
2.
Dokter Adiningsih Srilestari, M.Epid, M.Kes, SpAk (K) selaku Kepala Departemen Medik Akupunktur FKUI-RSCM yang telah mendidik dan memberikan bimbingan selama masa pendidikan, memberikan dukungan penuh dalam penyusunan tesis ini.
3.
Dokter Christina Simadibrata, M.Kes, Sp.Ak (K) selaku Ketua Program Studi Departemen Medik Akupunktur FKUI-RSCM yang senantiasa
!
iv
Universitas Indonesia
! ! memberikan bimbingan, pengarahan selama masa pendidikan yang juga memberikan dukungan penuh dalam penyusunan tesis ini. 4.
Dokter Hasan Mihardja, M.Kes, Sp.Ak; dr. Fransiskus Kristanto, M.Kes,Sp.Ak (alm.); dr. C. Pramono, M.Kes, Sp.Ak; dr. Dharma Kumara Widya, M.Kes, Sp.Ak; dr.Kiswojo, M.Kes, Sp.Ak (alm.); dr. Yvonne Siboe, Sp.Ak; dr. Ratnawati Latief, Sp.Ak; dr. Shinta Sukandar, MM, Sp.Ak; sebagai staf pengajar Departemen Medik Akupunktur FKUI-RSCM yang telah dengan sabar mendidik dan mengarahkan selama menjalani pendidikan hingga penyusunan tesis ini.
5.
Seluruh sejawat Peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Akupunktur Medik, PPDS Paru khususnya yang bertugas di poli Asma RS Persahabatan periode September hingga November 2014, Paramedik dan tata usaha Poli Asma RS Persahabatan dan Poli Akupunktur RSCM yang selalu membantu dengan
tulus
dan
memberikan
semangat
serta
dukungan
selama
menyelesaikan penelitian ini. 6.
Seluruh pasien PPOK yang telah bersedia dan bekerja sama menjadi subyek penelitian hingga penelitian berakhir.
7.
Orang tua dan istri tercinta yang selalu memberikan doa, dukungan dan semangat sehingga saya dapat menjalani pendidikan dan hingga menyelesaikan penelitian tahap akhir.
8.
Segenap pihak yang telah terlibat selama penyusunan tesis ini, namun tidak dapat disebutkan satu per satu.
Sebagai akhir kata, semoga Tuhan yang Maha Kuasa berkenan membalas kebaikan dan ketulusan hati semua pihak yang telah membantu. Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi penyempurnaan tesis ini. Besar harapan bahwa tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu kedokteran khusunya Ilmu Akupunktur Medik di Indonesia. Jakarta, 17 Desember 2014 Penulis
!
v
Universitas Indonesia
! ! ABSTRAK Nama : Putu Bagus Surya Witantra Giri Program Studi : Akupunktur Medik Judul : Pengaruh Terapi Kombinasi Akupunktur Tanam Benang dan Medikamentosa terhadap Indeks BODE Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) kini telah menjadi penyebab kematian terbanyak keempat di dunia. Masih tingginya angka mortalitas pada tatalaksana PPOK mengharuskan pengembangan modalitas terapi yang terus-menerus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa terhadap indeks BODE pasien PPOK. Uji klinis acak tersamar ganda dengan pembanding dilakukan terhadap 48 pasien yang dialokasikan ke dalam kelompok kasus (kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa) atau kelompok kontrol (kelompok akupunktur sham dan medikamentosa). Akupunktur tanam benang dilakukan pada titik BL13 Feishu, BL43 Gaohuangshu, BL20 Pishu, BL23 Shenshu dan ST40 Fenglong sebanyak 2 kali dengan interval 15 hari. Indeks BODE sebagai keluaran primer dinilai pada hari ke-1 dan hari ke-30. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik maupun klinis antar kedua kelompok. Rerata penurunan indeks BODE 1,83 lebih rendah pada kelompok kasus dibandingkan dengan kelompok kontrol (p =0,000). Disimpulkan bahwa terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa lebih efektif menurunkan Indeks BODE dibandingkan dengan medikamentosa saja. Kata kunci : penyakit paru obstruktif kronik, akupunktur tanam benang, indeks BODE
!
vii
Universitas Indonesia
! ! ABSTRACT Name Study program Title
: Putu Bagus Surya Witantra Giri : Medical Acupuncture : Effect of Acupoint-catgut Embedment Combined with Medical Treatment on BODE Index of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Patients
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is now becoming the fourth leading cause of death in the world. Since high level of mortality following COPD medication, continous research to improve treatment modalities keeps on progressing. This study aimed to establish the effect of acupoint-catgut embedment combined with medical treatment on BODE index of COPD patient. A double blind randomized controlled trial has been conducted on 48 patient allocated into acupoint-catgut embedment with medication group (case group) or sham acupuncture with medication group (control group). Acupoint-catgut embedment was done on BL13 Feishu, BL43 Gaohuangshu, BL20 Pishu, BL23 Shenshu and ST40 Fenglong, 2 times with interval 15 days. BODE index as primary outcome was assessed on day-1 and day-30. The result shown statistically and clinically important difference between groups. BODE index was reduced 1,83 point lower in case group (p = 0,000). By that result, acupointcatgut embedment combined with medical treatment is concluded more effective than medical treatment solely in reducing BODE index. Keywords : Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD), acupoint-catgut embedment, BODE Index
!
viii
Universitas Indonesia
! ! DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI………………......vi ABSTRAK ........................................................................................................... vii ABSTRACT .......................................................................................................... viii DAFTAR ISI ........................................................................................................ ix DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………........ xii DAFTAR TABEL DAN GRAFIK …………………………………………...... xiii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………….. xv 1. PENDAHULUAN …………………………………………………………......1 1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………………………....... 1 1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………........ 3 1.3 Hipotesis ………………………………………………………………....... 4 1.4 Tujuan Penelitian …………………………………………………......…… 4 1.5 Manfaat Penelitian ……………………………………………………........ 4 2. TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………..…….......... 5 2.1 Definisi …………………………………………………....…………….… 5 2.2 Epidemologi ……………………………………………….....…………… 5 2.3 Patofisiologi …………………......…………………………………………6 2.3.1 Inflamasi pada PPOK …….....……………………………………… 6 2.3.2 Stress Oksidatif ………………......………………………………….9 2.3.3 Ketidakseimbangan protease-antiprotease …………...…………… 10 2.4 Diagnosis dan Klasifikasi ……………………………………...………… 10 2.5 Tata Laksana ……………………………………………………...………11 2.6 Indeks BODE ……………………………………………………....……. 19 2.7 Keterbatasan dalam Penanganan PPOK ……………………………....…. 20 2.8 Terapi Akupunktur pada PPOK ………………………………………..... 20 2.8.1 Akupunktur Tanam Benang ………………………………....…… 21 2.8.2 Karakteristik Material Benang Catgut…………………………...... 21 2.9 Mekanisme Kerja Akupunktur pada PPOK ………………………...…… 22 2.9.1 Peran Akupunktur sebagai Antiinflamasi......................................... 22 2.9.2 Peran Akupunktur dalam Bronkodilatasi ......................................... 24 2.9.3 Peran Akupunktur dalam Menekan Stress Oksidatif ....................... 27 2.9.4 Peran Akupunktur dalam Menekan Proses Fibrosis ........................ 27 2.10 Penelitian Akupunktur ………………………………………………..... 28 3. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP …………...……….. 32 3.1 Kerangka Teori …………………………………………………....……... 32 3.2 Kerangka Konsep …………………………………………………...…… 33
!
ix
Universitas Indonesia
! ! 4. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………...…………. 34 4.1 Desain Penelitian ……………………………………………....…........... 34 4.2 Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………....……… 34 4.3 Populasi ……………………………………………….............................. 34 4.3.1 Kriteria Inklusi ……………..…………………………………....... 34 4.3.2 Kriteria Eksklusi ………………………………………………....... 34 4.3.3 Kriteria Drop Out ………………………………………………..... 35 4.4 Besar Sampel dan Cara Pengambilan sampel ………………………........ 35 4.5 Kerangka Alur Penelitian ……………………………………...………... 36 4.6 Definisi Operasional ……………………………………………...…....... 37 4.7 Cara Kerja Penelitian ……………………………………………....…..... 39 4.8 Titik Akupunktur Tanam Benang …………………………………....…. 43 4.9 Titik Akupunktur Sham …………………………………………….....…. 46 4.10 Pengumpulan dan Penilaian Data ……………………………………..... 47 4.13 Pengolahan dan Analisis Data …………………………………....…….. 47 4.14 Penyajian Data ……………………………………………….................. 47 4.15 Kajian Etik ………………………………………………........................47 5. HASIL PENELITIAN……………………………..………………...……… 48 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian …………………………………....……. 48 5.2 Perbedaan Hasil Kedua Kelompok Setelah Intervensi ……………....…... 51 5.3 Efek Samping yang Timbul Selama Penelitian ………………………...... 52 6. PEMBAHASAN …………………………………………………………..… 53 7. SIMPULAN DAN SARAN …………………………………...…………...... 61 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………...…... 62 LAMPIRAN ………………………………………………………………......... 70
!
x
Universitas Indonesia
! ! DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Peran Sentral Makrofag dalam PPOK ……………………….....……7 Gambar 2.2 Mediasi Respons Inflamasi pada PPOK oleh TRPV4………......……8 Gambar 2.3 Stress Oksidatif pada PPOK ………………………………….....…. 9 Gambar 2.4 Mekanisme Bronkodilatasi Akupunktur melalui Mediasi Adrenoseptor β2 .................................................................................. 26 Gambar 3.1 Lokasi Titik BL 13 Feishu dan BL 43 Gaohuangshu …………....…44 Gambar 3.2 Lokasi Titik BL 20 Pishu dan BL 23 Shenshu …………………...... 45 Gambar 3.3 Lokasi Titik ST 40 Fenglong ………….……………………...…… 46
!
xi
Universitas Indonesia
! ! DAFTAR TABEL DAN GRAFIK Tabel 2.1 Obat-Obatan yang Digunakan pada PPOK ………………..……....…. 17 Tabel 2.2 Medikamentosa PPOK Berdasarkan Derajat Penyakit……………...... 18 Tabel 2.3 Cara Penghitungan Skor Indeks BODE…………………………....…. 19 Tabel 2.4 Probabilitas Kesintasan Penderita PPOK ……………………….....….20 Tabel 5.1 Data Dasar Demografi Subyek Penelitian …………………………....48 Tabel 5.2 Data Dasar Profil Penyakit Subyek Penelitian ……………………......49 Tabel 5.3 Dara Dasar Indeks BODE Subyek Penelitian …………………...…… 50 Tabel 5.4 Perbedaan Perubahan Indeks BODE Kelompok Kasus dan Kontrol Setelah Intervensi ………………………………………………...….. 51 Grafik 5.1 Perbedaan Perubahan Indeks BODE Kelompok Kasus dan Kontrol Setelah Intervensi …………………………………………………..... 52
!
xii
Universitas Indonesia
! ! DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Keterangan Lolos Kaji Etik ……………………………………...... 70 Lampiran 2. Penjelasan Mengenai Penelitian ……………………………….….. 71 Lampiran 3. Surat Persetujuan Penelitian ………………………………….….... 75 Lampiran 4. Status Penelitian ……………………………………........................76 Lampiran 5. Cara Penghitungan Indeks BODE ………………………………… 78 Lampiran 6. Data Induk Subyek Penelitian ……………………………….……. 83 Lampiran 7. Hasil Uji Statistik ……………………………………..................... 90
!
xiii
Universitas Indonesia
! ! DAFTAR SINGKATAN ACh
acetylcholine
AC
adenyl cyclase
ACTH
adrenocorticotropic hormone
ATP
adenosine triphosphate
AECOPD
acute exacerbation on chronic obstructive pulmonary disease
BALF
bronchoalveolar lavage fluid
B-cun
Bone cun
BODE
body mass index, degree of airflow obstruction, dyspneau and exercise capacity
BDNF
Brain-derived Neurotrophic Factor
cAMP
cyclic-adenosine monophospate
cGMP
cyclic-guanine monophospate
CaM
calmodulin
CAT
COPD assessment test
CCL
chemokine (C-C motif) ligand
CD
cluster of differentiation
CGRP
calcitonin gene related peptide
COX
cyclooxygenase
CRH
corticotrophin releasing hormone
CXCR
chemokine (C-X-C motif) receptor
CXCL
chemokine (C-X-C motif) ligand
DRG
dorsal root ganglion
EA
elektroakupunktur
GOLD
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
GPCR
G-protein-coupled receptor
GPx
glutathione peroxidase
HDAC
histone deacetylase
HNE
Human Neutrophil Elastase
HPA
hipotalamus pituitari adrenal
IL
interleukin
!
xiv
Universitas Indonesia
! ! IMT
indeks masa tubuh
IP3
inositol triphospate
IP3R
inositol triphospate receptor
KVP
kapasitas vital paksa
LABACS
long acting β2 agonist with corticosteroid
LAMA
long acting anti muscarinic
mAChRs
muscarinic acethylcholine reseptors
MAPK
mitogen-activated protein kinase
MCID
minimum clinically important difference
MDA
malonaldehyde
MLC
myosin light chain
MLCK
myosin light chain kinase
MMP
matrix metalloproteinases
MMRC
modified medical researach council on dyspneu
NADPH
nicotinamide adenine dinucleotide phosphate oxidase
NANC
non adrenergic non cholinergic
NF-kB
nuclear factor-KB
NGF
nerve growth factor
NK
natural killer
NO
nitric oxide
NOX
NADPH oxidase
Nrf
nuclear factor erythroid
PAR-2
proteinase activated receptor - 2
PDE
phospodiesterase
PGC-1α
PPAR-γ coactivator 1α
PGE
Prostaglandine E
PKA
protein kinase A
PKC
protein kinase C
PKG
protein kinase G
PIP2
phosphatidylinositol 4,5 – biphosphate
PPAR-γ
peroxisome proliferator activated receptor – γ
PPEFR
Predicted Peak Expiratory Flow Rate
!
xv
Universitas Indonesia
! ! POMC
proopiomelanocortin
PPOK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
PVN
paraventricular nucleus
ROS
reactive oxygen species
SABA
short acting β2 agonist
SAMA
short acting anti muscarinic
SOD
superoxide dismutase
SIRT
sirtuin
SP
substance P
TGF
transforming growth factor
Th
T helper
TNF
tumor&necrosis&factor&
Treg!
regulatory&T&cell!
TRPV
Transient Reseptor Potential Vanilloid
UJ6M
uji jalan 6 menit
VEP1
volume ekspiratori paksa dalam 1 detik
VIP
vasointestinal peptide
WHO
World Health Organization!
!
xvi
Universitas Indonesia
1" " " BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.1,2 PPOK saat ini tergolong epidemi global yang merupakan penyebab kematian terbanyak keempat di dunia dan menyebabkan kerugian ekonomi dan sosial yang sangat besar.2 Data World Health Organization (WHO) tahun 2004 menunjukkan sekitar 64 juta orang menderita PPOK, dan 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2005 (5 % dari seluruh kematian pada tahun tersebut). Pada laporan tahun 2007, WHO bahkan menyebutkan jumlah penderita PPOK mencapai 210 juta orang diseluruh dunia. Sebanyak 90 % kasus PPOK terjadi pada negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah.3 Penurunan kualitas hidup yang dialami penderita tidak hanya disebabkan oleh gangguan paru-paru, namun seringkali disertai manifestasi sistemik. Inflamasi sistemik yang terjadi pada PPOK diasosiasikan dengan meningkatnya kejadian kardiovaskuler, hipertensi, penyakit metabolik, osteoporosis, cachexia, hingga kelainan psikologis seperti depresi.4 Di Indonesia pada tahun 2006 diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita PPOK. Menurut riset kesehatan dasar Indonesia pada tahun 2013, prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 3,7 %.5 Jumlah penderita PPOK ini diperkirakan terus meningkat mengingat peningkatan usia harapan hidup penduduk Indonesia, kebiasaan merokok yang masih tinggi terutama pada populasi laki-laki diatas 15 tahun yang mencapai 60-70 %, industrialisasi dan polusi udara yang semakin meningkat terutama di kota-kota besar.1 Penelitian mengenai PPOK terus menerus dilakukan diseluruh dunia terkait upaya penegakan diagnosis dini, tatalaksana individual dan prevensi efektif PPOK yang dinilai masih belum cukup memuaskan.6 Pedoman klasifikasi dan
"
11
Universitas Indonesia
2" " " tatalaksana PPOK juga terus mengalami penyempurnaan sejak klasifikasi GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease) pertama kali dikeluarkan tahun 2001. Pada GOLD 2014, rekomendasi tatalaksana tidak hanya berdasarkan atas nilai VEP1 (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik) pada spirometri, namun juga mempertimbangkan penilaian simptom dispneu, limitasi aktivitas, eksaserbasi dan gangguan status kesehatan. Sistem skoring multidimensional seperti Indeks BODE (Body mass index, Degree of airflow obstruction, Dyspneau and Exercise Capacity) dinilai sebagai prediktor yang lebih baik terhadap derajat keparahan penderita PPOK.7 Pada penelitian Liu et al. (2012), Indeks BODE juga terbukti lebih superior dibandingkan pemeriksaan VEP1 semata dalam memprediksi mortalitas, eksaserbasi dan derajat keparahan penderita PPOK.8 Indeks BODE juga menunjukkan korelasi yang kuat dengan berbagai parameter prognostik, follow up dan penanda inflamasi sistemik penderita PPOK.9 Zusuki et al. (2012)10 melakukan suatu penelitian acak terkontrol yang mempelajari pengaruh akupunktur pada pasien PPOK yang menerima pengobatan standar, dengan luaran utama berupa skala Borg termodifikasi yang diukur setelah tes UJ6M. Subyek dibagi secara random kedalam kelompok perlakuan yang menerima akupunktur dan pengobatan standar serta kelompok kontrol yang menerima akupunktur sham dan pengobatan standar. Akupunktur dilakukan sekali dalam seminggu selama 12 minggu pada titik LU1 Zhongfu, LU9 Taiyuan, LI18 Futu, CV4 Guanyuan, CV12 Zhongwan, ST36 Zusanli, KI3 Taixi, GB12 Wangu, BL13 Feishu, BL20 Pishu, dan BL23 Shenshu. Didapatkan perbaikan skor Borg secara signifikan dalam kelompok akupunktur dibanding plasebo. Perbedaan mean sebesar -3,58; 95% IK (interval kepercayaan) -4,27 s/d -2,90.10 Akupunktur tanam benang merupakan salah satu metode rangsang akupunktur melalui penanaman benang catgut pada titik akupunktur. Keunggulan metode ini dibanding teknik akupunktur manual dengan jarum filiformis terletak pada penggunaan titik akupunktur yang lebih sedikit, frekuensi terapi yang lebih jarang namun dengan efek rangsang yang" bertahan lebih lama.11 Li et al.(2011) 12 melakukan penelitian acak terkontrol akupunktur tanam benang pada pasien PPOK pada 60 orang subyek penelitian yang secara random dibagi menjadi
Universitas Indonesia
"
3" " " kelompok kontrol dan perlakuan. Pada kelompok kontrol hanya diberikan pengobatan standar PPOK, pada kelompok perlakuan diberikan pengobatan standar PPOK ditambah dengan akupunktur tanam benang. Parameter yang diukur adalah frekuensi terjadinya eksaserbasi akut (AECOPD / Acute Exacerbation on Chronic Obstructive Pulmonary Disease) sebelum dan 6 bulan setelah terapi. Titik akupunktur yang digunakan adalah EX-B1 Dingchuan, BL13 Feishu, BL23 Shenshu, ST40 Fenglong, ST36 Zusanli. Terjadi penurunan frekuensi AECOPD pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol (p < 0,05).12 Jaroensuk dan Sittimart (2013)13 melaporkan sebuah serial kasus penanaman benang catgut (2/0) di titik BL12 Fengmen dan BL13 Feishu sebanyak 2 kali dengan interval 3 bulan, pada 50 orang penderita PPOK. Dilaporkan 58% kasus (29 kasus) mengalami peningkatan nilai Predicted Peak Expiratory Flow Rate (PPEFR) sebesar 11,07 % dari nilai prediksi 197,62+62 L/m, 70 % kasus (35 kasus) mengalami peningkatan 31,9 % dari evaluasi tes uji jalan 6 menit (UJ6M) yaitu 235+75 meter. 25 kasus dilaporkan memperoleh skor COPD Assessment Test (CAT) lebih tinggi.13 Berdasarkan atas tingginya prevalensi kasus PPOK serta dampak negatif yang luas pada penderitanya, tatalaksana PPOK yang belum mencapai hasil yang memuaskan dan ditunjang data-data hasil penelitian sebelumnya mengenai efek akupunktur tanam benang pada PPOK, peneliti bermaksud melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa pada indeks BODE pasien PPOK. 1.2. Masalah Penelitian Jumlah penderita PPOK saat ini terus meningkat dan berdampak luas pada penderita secara fisik, psikologis, sosial dan ekonomi. Tatalaksana PPOK yang dinilai belum cukup memuaskan dan disatu sisi potensi akupunktur tanam benang untuk dikembangkan dalam tatalaksana PPOK. Berdasarkan latar belakang diatas, masalah yang dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah apakah terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa dapat berpengaruh terhadap indeks BODE penderita PPOK?
Universitas Indonesia
"
4" " " 1.3. Hipotesis Terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa dapat menurunkan indeks BODE penderita PPOK lebih besar dibandingkan hanya menggunakan terapi medikamentosa 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Mengetahui efektifitas terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa dibandingkan dengan terapi medikamentosa terhadap indeks BODE penderita PPOK 1.4.2. Tujuan Khusus Mengetahui perbedaan rerata indeks BODE penderita PPOK setelah mendapat terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa dibandingkan dengan terapi medikamentosa. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Pendidikan Melatih kemampuan dan ketrampilan untuk menelliti dan mengembangkan teknik akupunktur tanam benang sebagai modalitas terapi yang aman dan bermanfaat khususnya sebagai terapi penunjang pada tatalaksana PPOK. 1.5.2. Pelayanan Data)data" yang" didapat" dari" hasil" penelitian" dapat" dipergunakan" untuk" meningkatkan" kualitas" pelayanan" Poliklinik" Akupunktur" Medik" dengan" menjadikan" akupunktur" tanam" benang! sebagai" salah" satu" modalitas" terapi" penunjang"pada"pasien"PPOK." 1.5.3. Penelitian Menghasilkan data dasar rerata perubahan Indeks BODE pada pasien PPOK yang memperoleh terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa untuk dijadikan acuan bagi penelitian selanjutnya.
Universitas Indonesia
"
"""5" " " BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.1, 2 2.2 Epidemologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik saat ini tergolong epidemi global yang merupakan penyebab kematian terbanyak keempat di dunia.2 Data WHO tahun 2004 menunjukkan sekitar 64 juta orang menderita PPOK, dan 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun 2005 (5 % dari seluruh kematian pada tahun tersebut). Pada laporan WHO mengenai penyakit paru kronik tahun 2007, penderita PPOK bahkan telah dilaporkan berjumlah 210 juta orang. WHO menyebutkan bahwa PPOK menyebabkan kematian rata-rata 1 orang tiap 10 detik.14 Sebanyak 90 % kasus PPOK terjadi pada negara dengan pendapatan per kapita rendah dan menengah.3 Merokok masih dilaporkan sebagai faktor risiko utama, namun penggunaan bahan bakar padat (solid) untuk memasak atau memanaskan dalam ruangan juga merupakan faktor risiko mayor.14 Kemiskinan yang masih banyak melanda negara berkembang dan ekonomi lemah ditemukan sebagai salah satu penyebab tingginya angka mortalitas PPOK.15 Data di Amerika Serikat menunjukkan bahwa PPOK telah menjadi penyebab penyebab kematian terbesar ketiga. Sekitar 12 juta warga Amerika saat ini terdiagnosa PPOK dan 24 juta orang mengalami gangguan fungsi paru dan sangat mungkin menderita PPOK namun belum terdiagnosa. Pada tahun 2010, anggaran yang dikeluarkan pemerintah Amerika untuk menangani kasus PPOK mencapai 50 milyar USD, yang terdiri dari pengeluaran biaya kesehatan sebesar 30 milyar USD dan biaya tidak langsung yang mencapai 20 milyar USD.16
"
51
Universitas Indonesia
6" " " Penderita PPOK di Indonesia pada tahun 2006 tercatat sebanyak 4,8 juta jiwa. Menurut riset kesehatan dasar (riskesdas) Indonesia pada tahun 2013, prevalensi PPOK di Indonesia mencapai 3,7 %.5 Data riskesdas 2013 juga menyebutkan bahwa saat ini angka kejadian PPOK lebih tinggi di pedesaan dibandingkan dengan perkotaan. Berdasarkan jenis kelamin, penderita PPOK lakilaki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah dan kuintil indeks kepemilikan terbawah. PPOK sering terjadi pada rentang usia 55-64 tahun, 65-74 tahun dan terbanyak pada usia diatas 75 tahun.5 Jumlah penderita PPOK ini diperkirakan terus meningkat seiring peningkatan usia harapan hidup penduduk Indonesia, kebiasaan merokok yang masih tinggi terutama pada populasi laki-laki diatas 15 tahun yang mencapai 60-70 %, industrialisasi dan polusi udara yang semakin meningkat terutama di kota-kota besar.1 Data di RS Persahabatan Jakarta menunjukkan kunjungan pasien PPOK cederung mengalami peningkatan dari 616 kunjungan pada tahun 2000 menjadi 1735 pada tahun 2007 (Wiyono, 2009)."17 2.3 Patofisiologi Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi disaluran napas dan paru penderita PPOK. Respons inflamasi abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema, dan mengganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara terperangkap dan keterbatasan aliran udara yang bersifat progresif. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK.1 2.3.1 Inflamasi pada PPOK Amplikasi abnormal dari respons inflamasi yang terjadi pada PPOK hingga saat ini masih dianggap sebagai patogenesis utama, sementara mekanisme yang mendasarinya masih terus diteliti.1 Karakteristik pola inflamasi pada PPOK meliputi meningkatnya jumlah makrofag, limfosit T, limfosit B bersama dengan neutrofil dalam lumen saluran nafas. Respons inflamasi pada PPOK meliputi
Universitas Indonesia
"
7" " " respons imun innate dan adaptif.18 Peningkatan neutrofil yang terjadi pada PPOK mengikuti tingkat keparahan derajat penyakit dan diduga berhubungan dengan hipersekresi dan pelepasan protease. Mediator inflamasi dan protease yang diproduksi makrofag alveolar meningkat sebagai respons terhadap asap rokok dan menunjukkan fagositosis yang tidak sempurna. Terkait peningkatan limfosit T, sel CD8+ meningkat dengan rasio lebih besar daripada CD4+. Peningkatan sel T CD8+ dan sel Th1 yang mensekresikan interferon-γ akan meningkatkan aktivasi reseptor kemokin CXCR3 yang bersifat sitotoksik untuk sel-sel alveolar.1,2 Berbagai macam indikator inflamasi yang terlibat pada patogenesis PPOK meliputi faktor kemotaktik, sitokin proinflamasi dan fator pertumbuhan (growth factor). Faktor kemotaktik terdiri atas lipid mediator, seperti misalnya leukotriene B4 (LTB4) dan kemokin seperti interleukin-8 (IL-8). Sitokin proinflamasi seperti Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α), IL-1β, dan IL-6 berperan dalam inflamasi sistemik pada PPOK. Faktor pertumbuhan seperti TGF-β dapat menyebabkab fibrosis pada saluran napas perifer.1,2 " " Makrofag(
Gambar 2.1. Peran Sentral Makrofag dalam PPOK Sumber : Barnes PJ. Cellular and Molecular Mechanisms of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Clin Chest Med. 2014; 35: 71-86 Catatan : Telah diolah kembali
Universitas Indonesia
"
8" " " Pada Gambar 2.1 telihat bahwa makrofag alveolar memiliki peran sentral dalam proses inflamasi pada kasus PPOK. Makrofag mensekresikan berbagai protein inflamasi yang dapat mengkoordinasikan berbagai proses inflamasi. Neutrofil ditarik dengan CXCL8, CXCL1, dan leukotriene B4 (LTB4); Monosit oleh CCL2 dan Tc1; limfosit Th1 oleh CXCL10, CXC11, and CXCL12. Pelepasan Enzim Elastolitik meliputi matrix metalloproteinases (MMP) dan cathepsins
serta
bersama dengan sel T sitotoksik menyebabkan elastolisis yang berkontribusi terhadap terjadinya emfisema. Pelepasan TGF-"β 1 dapat menginduksi terjadinya fibrosis pada saluran nafas kecil. Makrofag menghasilkan reactive oxygen species (ROS) and nitric oxide (NO), yang bersama-sama dapat membentuk peroxynitrite (ONOO-) yang dapat berkontribusi terhadap terjadinya resistensi kortikosteroid. Terganggunya kemampuan fagositosis makrofag terhadap bakteri dapat mengarah pada terjadinya kolonisasi bakteri."18
Gambar 2.2 Mediasi Respons Inflamasi pada PPOK oleh TRPV4 Sumber : Li J, et-al. TRPV4-Mediated Calcium Influx into Human Bronchial Epithelia upon Exposure to Diesel Exhaust Particles. Environ Health Perspect. 2011;119: 784-93
Universitas Indonesia
"
9" " " Proses Inflamasi pada PPOK juga melibatkan TRPV4 (transient receptor potential vanilloid – 4)
yang memediasi influks kalsium ke dalam epitel
bronkus.19 Sel epitel saluran napas manusia (human respiratory epithelial – HRE) memiliki sistem sinyal proteolitik, PAR-2 (proteinase activated receptor - 2) yang dapat teraktivasi oleh
paparan polusi udara (diesel exhaust particle – DEP)
(Gambar 2.2 A). Selanjutnya PAR-2 ini akan mengaktivasi Ca2+-permeable TRPV4 yang menyebabkan influks kalsium yang terus menerus dalam waktu yang lama. Hal ini menginduksi protease seperti MMP-1 (gambar 2.2 B).19 Polimorfisme genetik pada TRPV4 menyebabkan respons inflamasi dan extracelular matrix remodelling yang tidak sempurna dan memperparah proses aktivasi protease, sehingga laju penghancuran elastin paru semakin cepat (gambar 2.2 C).19 2.3.2 Stres Oksidatif Reaksi"inflamasi"yang"terjadi"pada"PPOK"diperberat"oleh"stres"oksidatif"yang ditimbulkan melalui aktivasi faktor transkripsi proinflamasi, seperti nuclear factor-KB (NF-kB), p38 mitogen-activated protein kinase (MAPK), pengurangan sirtuin-1 (SIRT1), kerusakan DNA dan penurunan histone deacetylase (HDAC)-2 (mekanisme epigenetik), berkurangnya antiprotease dan meningkatkan TGF-"β. 18 "
Gambar 2.3 Stres Oksidatif pada PPOK Sumber : Barnes PJ. Cellular and Molecular Mechanisms of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Clin Chest Med. 2014; 35: 71-86
Universitas Indonesia
"
10" " " Biomarker" stres" oksidatif" seperti" peroksida" hidrogen," 8)isoprostan" terbukti" meningkat"dalam"sputum,"kondensat"hembusan"napas"dan"sirkulasi"sistemik" pada"pasien"PPOK. 2 2.3.3 Ketidakseimbangan protease-antiprotease Terdapat bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease dan antiprotease pasien PPOK. Protease memecah komponen jaringan ikat dan antiprotease yang melindunginya. Beberapa protease, berasal dari sel inflamasi dan sel epitel yang meningkat pada pasien PPOK. Perusakan elastin yang merupakan komponen jaringan ikat utama parenkim paru dalah gambaran penting pada emfisema dan bersifat ireversibel.2 2.4 Diagnosis dan Klasifikasi PPOK Diagnosis PPOK menurut GOLD 2014 adalah adanya gejala klinis seperti kesulitan bernapas, batuk kronik, terbentukya sputum dan riwayat terkena faktor risiko penyakit ini disertai spirometri pasca bronkodilator menunjukkan VEP1/KVP < 0,70, yang mengindikasikan adanya keterbatasan aliran udara.2 Dalam menetapkan derajat keparahan PPOK, GOLD 2014 memperhatikan berat ringannya simptom yang ada pada pasien, tingkat obstruksi saluran napas yang tercermin dari hasil spirometri, risiko eksaserbasi, serta ada tidaknya faktor komorbiditas. Berdasarkan hal tersebut klasifikasi PPOK dibedakan menjadi 4 kelompok : • Kelompok A Derajat obstruksi saluran napas ringan atau sedang (GOLD 1 – VEP 1 ≥ 80% prediksi, GOLD 2 – 50% ≤ VEP 1 < 80 % prediksi); dan/atau 0-1 kali eksaserbasi pertahun dan tidak memerlukan hospitalisasi; skor CAT < 10 atau derajat mMRC (modified medical research council on dyspneau) 0 – 1 • Kelompok B Derajat obstruksi saluran napas ringan atau sedang (GOLD 1 – VEP 1 ≥ 80% prediksi, GOLD 2 – 50% ≤ VEP 1 < 80 % prediksi); dan/atau 0-1 kali eksaserbasi pertahun dan tidak memerlukan hospitalisasi; skor CAT ≥10 atau derajat mMRC ≥ 2
Universitas Indonesia
"
11" " " • Kelompok C Derajat obstruksi saluran napas berat atau sangat berat (GOLD 3 – 30% ≤ VEP 1 < 50 % prediksi, GOLD 4 - VEP1 < 30% prediksi atau VEP 1 < 50 % prediksi + gagal nafas); dan/atau ≥ 2 kali eksaserbasi pertahun dan memerlukan hospitalisasi ≥ 1; skor CAT < 10 atau derajat mMRC 0 – 1 • Kelompok D Derajat obstruksi saluran napas berat atau sangat berat (GOLD 3 –
30% ≤
VEP 1 < 50 % prediksi, GOLD 4 - VEP1 < 30% prediksi atau VEP 1 < 50 % prediksi + gagal nafas); dan/atau ≥
2 kali eksaserbasi pertahun dan
memerlukan hospitalisasi ≥ 1; skor CAT ≥10 atau derajat mMRC ≥ 2 2.5 Tata Laksana" Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang bersifat kronik progresif. Adapun tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu : 1,2 !
mengurangi gejala
!
mencegah progesivitas penyakit
!
meningkatkan toleransi latihan
!
meningkatkan status kesehatan
!
mencegah dan menangani komplikasi
!
mencegah dan menangani eksaserbasi dan menurunkan kematian.
Penatalaksanaan PPOK meliputi : edukasi, upaya berhenti merokok, obat-obatan, rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis dan rencana perbaikan nutrisi.1,2 Terapi medikamentosa pada PPOK secara garis besar terdiri dari : 2.5.1 Bronkodilator Bronkodilator diartikan sebagai sebuah pengobatan yang meningkatkan VEP1 atau memperbaiki parameter spirometri dengan cara merubah tonus otot polos saluran napas.2 Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Jenis bronkodilator ini meliputi gologan antikolinergik, golongan agonis β2, kombinasi antikolinergik dan agonis β2 serta golongan xantin.1,20,21
Universitas Indonesia
"
12" " " 2.5.1.1 Golongan Anti Kolinergik Efek terpenting dari pengobatan anti kolinergik pada PPOK adalah blokade akses asetilkolin pada reseptor muskarinik. Anti kolinergik kerja cepat (ipratropium) yang tersedia saat ini bekerja untuk menghambat reseptor muskarinik M2 dan M3 dan memodifikasi transmisi pada junction pre-ganglionik, walaupun efek ini terlihat kurang penting pada PPOK. Anti kolinergik kerja lama (tiotropium) secara selektif meghambat reseptor M1 dan M3. Efek bronkodilasi anti muskarinik kerja cepat bertahan lebih lama dibanding beta2 agonis kerja cepat, yang mencapai 8 jam setelah penggunaan sedangkan Tiotropium mencapai lebih dari 24 jam. Tiotropium mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi, memperbaiki simptom, status kesehatan dan meningkatkan efektivitas dari rehabilitasi paru.2 Digunakan pada PPOK derajat ringan hingga berat sebagai bronkodilator dan mengurangi produksi mukus.1 Dalam sebuah
kajian sistematik, tujuh uji klinis membandingkan
efektifitas ipratropium dan tiotropium, didapatkan bahwa angka eksaserbasi lebih rendah pada penggunaan tiotropium. Dari hasil kalkulasi dihasilkan data number needed to treat (NNT) yaitu 9 pasien harus dirawat dengan tiotropium selama satu tahun untuk mencegah 1 eksaserbasi, dan 8 pasien harus dirawat dengan tiotropium untuk mencegah 1 hospitalisasi.20 Penggunaan bronkodilator jenis antikolinergik dinilai cukup aman. Dilaporkan efek samping yang paling sering muncul dalam penggunaan obat ini adalah mulut kering. Walaupun gejala prostatik sewaktu pernah dilaporkan, namun hubungan kausalitas belum dapat dibuktikan. Beberapa pasien yang menggunakan ipratropium melaporkan rasa pahit dan metal.2 Efek samping lainnya meliputi konstipasi, penglihatan yang samar, peningkatan denyut jantung, retensi urin, angioedema dan dalam bentuk yang berat dapat terjadi bronkospasme paradoks, glaukoma dan reaksi hipersensitivitas.20,21 2.5.1.2 Golongan Agonis β2 Prinsip kerja golongan agonis β2 adalah merilekskan otot polos dengan menstimulasi reseptor adrenergik β2 yang akan meningkatkan cAMP sehingga menghasilkan efek bronkodilatasi.2 Efek bronkodilator dari agonis β2 kerja cepat
Universitas Indonesia
"
13" " " bertahan selama 4 – 6 jam. Agonis β2 kerja lama memiliki durasi kerja 12 jam atau lebih. Formoterol dan salmeterol dapat meningkatkan VEP1, volume paru, dipsneau, kualitas hidup dan eksaserbasi, tetapi dilaporkan tidak berefek pada mortalitas dan laju penurunan fungsi paru. Efek bronkodilasi Indicaterol dikatakan lebih besar dibanding formoterol dan salmeterol dan menyerupai tiotropium. Data uji klinis menunjukkan 24% pasien yang menggunakan inhalasi indicaterol mengalami batuk dibandingkan 7 % pada plasebo. 2 Dalam sebuah penelitian uji klinis mengenai agonis β2 kerja lama (Salmeterol) dikatakan terjadi sedikit penurunan rerata eksaserbasi (dari 1,3 menjadi 1,0 per tahun) tetapi dinyatakan tidak meningkatkan kualitas hidup penderita. Penggunaan agonis β2 dikaitkan dengan risiko peningkatan kejadian kardiovaskuler, terutama tachyarrhythmia dan pengurangan konsenstrasi potasium (number needed to harm dalam 6 bulan = 200).20 Efek samping lain yang mungkin muncul adalah tremor somatik terutama pada pasien usia lanjut, angioedema, aritmia, bronkospasme paradoks, hipertensi dan spasme laring. 20,21 2.5.1.3 Golongan Xantin Mekanisme kerja xantin dalam memberikan efek bronkodilatasi hingga saat ini masih menjadi kontroversi. Beberapa studi mengarahkan perhatian pada efek xantin yang bekerja sebagai inhibitor fosfodiesterase non selektif.2 Dibuat dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Penggunaan jangka panjang memerlukan pemeriksaan aminofilin darah.1 Teofillin merupakan jenis metil xantin yang paling banyak digunakan, dimetabolisme oleh sitokrom P450 (CYP450) sehingga clearance obat ini menurun seiring usia. Perubahan pada fungsi otot inspirasi dilaporkan pada penggunaan Teofilin, namun keterkaitan hal ini terhadap perbaikan parameter spirometri masih belum jelas.20 Teofilin
kurang
efektif
dan
kurang
dapat
ditoleransi
daripada
bronkodilator inhalasi kerja lama. Teofilin dosis rendah mengurangi eksaserbasi tetapi tidak meningkatkan fungsi paru pasca bronkodilasi.2 Sebuah kajian sistematik mengenai teofilin menganalisa 20 uji klinis dan menemukan tidak terdapat perubahan pada gejala penyakit PPOK.20 Hasil observasi terhadap VEP1,
Universitas Indonesia
"
14" " " KVP menunjukkan sedikit perubahan (mendekati 13%) pada rentang dosis yang menginduksi kondisi stabil serum teofilin 5-10, 10-15 dan 15-20 mg/l.21 Toksisitas teofilin tergantung dosis. Permasalahan utama pada penggunaan xantin adalah rasio terapeutik yang kecil dan hampir semua manfaat klinis dari xantin muncul pada dosis yang mendekati dosis toksiknya. Efek samping meliputi aritimia atrium dan ventrikel serta konvulsi grand mal. Efek samping lain meliputi nyeri kepala, insomnia, nausea dan rasa terbakar di dada. 2 2.5.2 Antiinflamasi Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat peningkatan VEP1 pascabronkodilator sebesar
> 20% dan minimal 250 ml.
Digunakan pada PPOK stabil mulai derajat III dalam bentuk inhalasi glukokortikoid dikombinasi dengan β2 agonis kerja lama dan inhibitor fosfodiesterase-4.1 Hubungan respon-dosis dan keamanan penggunaan jangka panjang kortikosteroid pada PPOK belum diketahui. Pengobatan regular dengan kortikosteroid inhalasi memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup, mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK dengan VEP1 < 60% prediksi. Penghentian mendadak dapat menyebabkan eksaserbasi pada beberapa pasien. Pemakaian reguler inhalasi kortikosteroid tidak merubah laju penurunan VEP1 atau mortalitas pada penderita PPOK. 2 Sebuah kajian sistematik oleh Cochrane membandingkan agonis b2 kerja lama dan kortikosteroid inhalasi menyimpulkan bahwa kedua jenis terapi tersebut memberikan manfaat yang serupa.22 Sebuah uji klinis bernama TRISTAN membandingkan efektivitas fluticasone (1000 µg/hari), salmeterol, dan kombinasi salmeterol/fluticasone selama jangka waktu 1 tahun. Ditemukan semua regimen dapat menurunkan angka eksaserbasi dibandingkan kelompok plasebo. Akan tetapi secara spesifik laju eksaserbasi pada penggunaan salmeterol adalah 1,04 eksaserbasi/tahun dan kombinasi salmeterol/fluticasone menunjukkan laju eksaserbasi 0,97 eksaserbasi/tahun (tidak berbeda bermakna). Pada laporan
Universitas Indonesia
"
15" " " sebuah uji klinis mengenai mortalitas penderita PPOK bernama TORCH, efek dari kombinasi salmetrol/fluticasone terhadap angka mortalitas menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna, 12,6% dibandingkan 15,2 % pada plasebo. Penambahan komponen kortikosteroid dinilai tidak bermakna pada penurunan angka mortalitas karena penggunaan β2 agonis kerja lama sendiri menunjukkan angka mortalitas 13,5 %.22 Uji klinis TORCH juga mempelajari peran dari inhalasi kortikosteroid pada laju penurunan fungsi paru (VEP1) pada PPOK. Ditemukan perbedaan yang tidak bermakna antara penggunaan β2 agonis kerja lama (- 42 ml/tahun), inhalasi kortikosteroid (-42 ml/tahun) dan kombinasi β2 agonis kerja lama dan inhalasi steroid (-39 ml/tahun). 22 Mengingat risiko efek samping dan nilai terapeutik yang kurang signifikan pada kasus PPOK, penggunaan inhalasi kotikosteroid harus dilakukan dengan hati-hati. Efek samping yang dilaporkan pada penggunaan kortikosteroid adalah supresi adrenal, angioedema, aritmia ventrikel, chusing syndrome, perlambatan pertumbuhan anak, hipokalemia berat dan spasme laring.20 Berapa laporan juga menyebutkan bahwa penggunaan inhalasi steroid jangka panjang dapat memicu terjadinya pneumonia, meningkatkan risiko tuberkulosis, osteoporosis dan patah tulang, bruising, katarak, diabetes dan kandidiasis orofaring.22 2.5.3 Antibiotika - hanya diberikan pada kondisi eksaserbasi. 1 2.5.4 Antioksidan - Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin. 1 2.5.5 Mukolitik- Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang kental (misalnya ambroksol, erdostein dan N-asetilsistein). Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetepi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin. Efek samping yang dilaporkan berupa reaksi hipersensitifitas hingga anafilaksis serta bronkospasme paradoks."1,20
Universitas Indonesia
"
16" " " 2.5.6 Antitusif - diberikan dengan hati-hati1 2.5.7 Inhibitor fosfodiesterase-4 Prinsip kerja
Inhibitor fosfodiesterase-4 adalah mereduksi inflamasi dengan
menghambat degradasi cAMP. Inhibitor fosfodiesterase-4 tidak memiliki efek bronkodilator secara langsung dan menunjukkan peningkatan VEP1 pada pasienpasien yang telah dirawat rutin dnegan salmeterol atau titropium. Roflumilast mereduksi eksaserbasi sedang hingga berat sebesar 15-20 % pada pasien yang mengkonsumsi kortikosteroid.2 Diberikan pada pasien dengan derajat III atau derajat IV yang memiliki riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronik. Inhibitor fosfodiesterase-4, roflumilast dapat
mengurangi
eksaserbasi
dan
diberikan
secara
oral
dengan
glukokortikosteroid. Roflumilast juga dapat mengurangi eksaserbasi jika dikombinasikan dengan LABA. Sejauh ini belum ada penelitian yang membandingkan roflumilast dengan glukokortikosteroid inhalasi. Efek samping yang dilaporkan pada penggunaan Inhibitor fosfodiesterase-4 adalah mulut kering, mual, diare, sakit kepala, berkurangnya nafsu makan, penurunan berat badan dan gangguan tidur.23 Penggunaan Roflumilast juga tidak dianjurkan pada penderita depresi."2
Universitas Indonesia
"
17" " " Tabel 2.1 Obat-Obatan yang Digunakan pada PPOK Obat
IDT/ISK (µgr)
Nebulizer (mg)
Oral (mg)
Vial Injeksi
Lama Kerja (jam)
Ipratropium
40 – 80
0,25 – 0,50
-
6–8
Tiotropium
18
-
24
Antikolinergik
Agonis β2 kerja singkat Fenoterol
100 – 200
0,5 – 2,0
-
4–6
Salbutamol
100 – 200
2,5 – 5,0
2–4
4–6
Terbutalin
250 – 500
5 – 10
2,5 – 5
4–6
Prokaterol
10
0,03 – 0,05
0,25 – 0,5
6–8
Formoterol
4,5 – 12
-
-
12
Indacaterol
150 – 300
-
-
24
Salmeterol
50 – 100
-
-
12
-
4–8
-
4–8
Agnois β2 kerja lama
Terapi Kombinasi Fenoterol +
200 + 20
Ipratropium Salbutamol +
75 +15
2,5 + 0,5
Ipratropium Flutikason +
50/125 +
Salmeterol
25
Budesonid +
80/160 +
Formoterol
4,5
12 12
Metilxantin Aminofillin
-
-
200
Teofillin
-
-
100 – 400
240
4–6 Bervariasi, s/d 24 jam
Sumber : Antariksa B, Yunus F, et al. Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); 2011
Universitas Indonesia
"
18" " " Tabel 2.2 Medikamentosa PPOK berdasarkan Derajat Penyakit Derajat Penyakit
Pilihan Pertama
Pilihan Alternatif
Terapi lainnya
A
SAMA atau SABA
LAMA atau LABA atau SABA dan SAMA
Teofilin
B
LAMA atau LABA
LAMA dan LABA
SABA dan/atau SAMA Teofilin
C
ICS + LABA atau LAMA
LAMA dan LABA atau LAMA dan PDE4 inhibitor atau LABA dan PDE4 inhibitor
SABA dan/atau SAMA
ICS + LABA dan LAMA atau ICS+LABA dan PDE4 Inhibitor atau LAMA dan LABA atau LAMA dan PDE4 Inhibitor
Karbosistein
D
ICS + LABA dan/atau LAMA
Teofilin
SABA dan/atau SAMA Teofilin
Sumber : Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2014
Keterangan singkatan : SAMA : Short actinng antimuscarinic/anticholinergic (anti kolinergik kerja cepat) SABA : Short acting beta2 agonist (beta2 agonis kerja cepat) LAMA : Long acting antimuscarinic/anticholinergic (anti kolinergik kerja lama) LABA : Long acting beta2 agonist (beta2 agonis kerja lama) ICS : Inhaled corticosteroid (kortekosteroid inhalasi) PDE4 Inhibitor : Phosphodiesterase-4 inhibitor (inhibitor fosfodiesterase-4)
Universitas Indonesia
"
19" " " 2.6 Indeks BODE Indeks BODE terdiri dari pemeriksaan indeks masa tubuh (IMT), derajat obstruksi yang ditunjukkan dengan nilai % VEP1 (volume ekspirasi paksa dalam 1 detik), derajat sesak napas yang dinilai dengan skor MMRC (modified medical research council on dyspneau) dan kapasitas latihan yang dinilai dengan tes uji jalan 6 menit. Indeks BODE sebagai sebuah sistem skoring multidimensional dinilai lebih superior daripada pemeriksaan VEP1 semata, dalam memprediksi mortalitas, eksaserbasi dan derajat keparahan penderita PPOK.8,24 Indeks BODE juga menunjukkan korelasi yang kuat dengan berbagai parameter prognostik, follow up dan penanda inflamasi sistemik penderita PPOK.9,25
Tabel 2.3 Cara Penghitungan Skor Indeks BODE VARIABEL
POIN INDEKS BODE 0
1
2
3
≥ 65
50-64
36-49
≤ 35
≥ 350
250-349
150-249
≤149
0-1
2
3
4
>21
≤21
%VEP 1 (%prediksi) Uji Jalan 6 Menit / UJ6M (Meter) Skor Dispneu MMRC Indeks Masa Tubuh (Kg/M2)
Sumber : Celli BR, et al. The Body-Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity Index in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med. 2004;350(10) :1005-11 Keterangan : Indeks BODE memiliki rentang nilai 1 – 10
Universitas Indonesia
"
20" " " Tabel 2.4 Probabilitas Kesintasan Penderita PPOK BODE/
Probabilitas Kesintasan % 12 bulan
60 bulan
Kuartil 1
101
84
Kuartil 2
154
112
Kuartil 3
125
91
Kuartil 4
50
27
Sumber : Cote C, Plata V, Nekach J, Dordelly L. The modified BODE index: validation with mortality in COPD. Eur Respir J. 2008;32:1269-74" Keterangan : Kuartil 1 Kuartil 3
: skor 0-2 : skor 5-6
Kuarti 2 : skor 3-4 Kuartil 4 : skor 7-10
2.7 Keterbatasan dalam Penanganan PPOK Keterbatasan dalam penanganan PPOK saat ini masih terdapat pada upaya penegakan diagnosis dini dan tata laksana. Berbagai biomarker baru untuk mendiagnosis PPOK sedini mungkin masih terus dikembangkan. Saat ini di Amerika diperkirakan dari 24 juta orang yang menderita gangguan fungsi paru sangat mungkin terdapat penderita PPOK yang berlum terdiagnosa.16 Dengan dikembangkannya berbagai bentuk obat inhalasi dalam penanganan PPOK tentunya dapat meminimalisir efek samping sistemik yang timbul pada pemberian obat oral. Penggunaan Long acting β2 agonists (LABA) dan long acting anticholinergics/anti muscarinic (SAMA) dapat meningkatkan fungsi paru dan kualitas hidup penderita PPOK, sementara pemberian steroid inhalasi dapat menurunkan frekuensi dan derajat keparahan eksaserbasi walaupun memiliki efek yang minimal pada laju penurunan fungsi paru. Namun, dilaporkan banyak pasien yang sudah mendapatkan LABA dan steroid inhalasi masih mengalami morbiditas dan frekuensi eksaserbasi yang cukup sering."26 2.8 Terapi Akupunktur pada PPOK Akupunktur merupakan tindakan medik yang sudah dikenal sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Saat ini akupunktur telah dipraktekkan di banyak negara di dunia Universitas Indonesia
"
21" " " dan diajarkan pada berbagai fakultas kedokteran. Akupunktur Medik merupakan cabang Ilmu Kedokteran Fisik dan berlandaskan pada neuroscience, mengobati pasien berdasarkan prinsip medik dan evidence based.27 2.8.1 Akupunktur tanam benang Akupunktur tanam benang adalah salah satu metode rangsang akupunktur dengan cara penanaman benang catgut di titik akupunktur tertentu. Keunggulan akupunktur tanam benang diantaranya adalah penggunaan titik yang lebih sedikit, frekuensi terapi lebih jarang, dan perangsangan yang bertahan lebih lama.11 2.8.2 Karakteristik Material Benang Catgut Sistem klasifikasi pharmacopeia Amerika Serikat membedakan bahan benang menjadi 3 kelompok, yaitu bahan kolagen, bahan sintetis yang dapat diserap, dan bahan sintetis yang tidak dapat diserap.28 Benang catgut tergolong ke dalam kelompok pertama yaitu bahan benang yang terbuat dari jaringan ikat (terutama tersusun atas kolagen) yang berasal dari lapisan serosa usus sapi (bovine). Benang catgut dikemas dalam formulasi larutan yang mengandung isopropanol, air dan diethanolamine. Penggunaan benang ini diindikasikan untuk ligasi jaringan lunak termasuk
operasi
oftalmologi
namun
tidak
ditujukan
untuk
prosedur
kardiovaskular atau neurologis. Benang catgut akan menimbulkan reaksi inflamasi akut yang minimal sebagai respons tubuh terhadap adanya benda asing. Hal ini berlangsung secara terus menerus dan secara bertahap berkurang hingga kekuatan tegangan benang dan massa benang diserap sempurna melalui proses enzimatik dalam tubuh.29 Terdapat dua jenis benang catgut yang digunakan secara luas saat ini, plain catgut dan chromic catgut. Perbedaan antara plain dan chromic catgut ini terletak pada pemberian larutan garam chromium pada chromic catgut. Hal ini menyebabkan terhambatnya proses enzimatik yang mendegradasi benang chromic catgut sehingga absorbsinya dalam tubuh menjadi lebih lama.29 Plain catgut memiliki tensile strength yang bertahan 7 - 10 hari dan massa benang terdegradasi sempurna oleh enzim proteolitik dalam 70 hari. Chromic catgut memiliki tensile strenght 18-21 hari dan dan massa benang terdegradasi sempurna oleh enzim
Universitas Indonesia
"
22" " " proteolitik dalam 80-90 hari.30 Kepustakaan lain menyebutkan bahwa tensile strenght chromic catgut adalah 10-14 hari.28 Laju penyerapan benang meningkat apabila digunakan benang dengan diameter lebih kecil, benang terpapar dengan enzim proteolitik seperti pada daerah gastrik, serviks dan vagina, dalam kondisi infeksi jaringan, dan pada regio tubuh yang kaya vaskularisasi.30 Sebaliknya laju penyerapan menurun pada orang tua, penderita malnutrisi, pasien yang menderita suatu kondisi yang mengganggu penyembuhan luka. 29 Sebagai protein asing dalam tubuh, catgut dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada pasien yang alergi terhadap kolagen atau chromium dan dapat menimbulkan reaksi imunologis yang memicu proses inflamasi berlebih, granulasi jaringan atau fibrosis, wound suppuration, perdarahan dan pembentukan sinus.29,31 2.9 Mekanisme Kerja Akupunktur pada PPOK 2.9.1 Peran Akupunktur sebagai Antiinflamasi Amplifikasi respons inflamasi abnormal merupakan inti patogenesis pada PPOK yang menyebabkan kerusakan parenkim paru dan mengakibatkan emfisema, menggangu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil.2 Akupunktur dapat berperan sebagai antiinflamasi pada PPOK melalui beberapa jalur regulasi.32-35 Mekanisme antiinflamasi akupunktur melalui modulasi aksis HPA (hipotalamus-pituitari-adrenal) terbukti pada penelitian Li et al.36 Dalam penelitian tersebut diketahui akupunktur dapat meningkatkan CRH (corticotrophin releasing hormone) pada PVN (paraventricular nucleus) hipotalamus, yang selanjutnya menginduksi produksi ACTH (adrenocorticotrophic hormone)
pada
pituitari
anterior.
ACTH
akan
merangsang
pelepasan
glukokortikoid dari kelenjar adrenal yang memiliki efek antiinflamasi yang luas. serta berperan menyeimbangkan kembali rasio limfosit Th1/Th2 dan limfosit Th17/Treg.37 Peran akupunktur dalam menyeimbangkan kembali rasio limfosit Th1/Th2 ini juga terbukti pada penelitian Gui J, Xiong F, Li J dan Huang G.38 Berubahnya keseimbangan Th1/Th2 kearah Th2 meningkatkan produksi sitokin antiinflamasi. Produksi Th17 yang berperan penting dalam produksi sitokin
Universitas Indonesia
"
23" " " proinflamasi juga dilaporkan dapat ditekan dengan elektroakupunktur secara invitro. Sel Treg memiliki fungsi imunologi yang luas meliputi proliferasi dan aktivasi sel T, modulasi fungsi makrofag, sel B, sel dendritik, fungsi sel NK, degranulasi sel mast, proliferasi sel dan pelepasan sitokin.37 Efek antiinflamasi akupunktur pada kasus PPOK juga terjadi melalui peningkatan produksi β-endorfin.39,40 Saat ini telah diketahui bahwa sel imun seperti limfosit B, limfosit T, sel natural killer (NK), granulosit, monosit dan trombosit memiliki reseptor opioid. Interaksi β-endorfin dengan sel imun memperbaiki keseimbangan sitokin proinflamasi dan antiinflamasi. Terungkapnya fakta mRNA proopiomelanocortin (POMC) yang ternyata juga terdapat pada leukosit, memberikan pemahaman bahwa leukosit dapat mensintesis ACTH dan β-endorfin dari promolekul, sehingga β-endorfin dapat bekerja secara autokrin dan parakrin dalam mempengaruhi sel imun lainnya. Peningkatan CRH oleh stimulasi akupunktur juga dapat meningkatkan produksi β-endorfin.36 Penelitian yang dilakukan Chen et al.41 menunjukkan bahwa elektroakupunktur berperan dalam menurnkan aktivasi TRPV1" dan TRPV4 yang sebelumnya
meningkat
pada
PPOK
karena
respons
inflamasi.
Dalam
penelitiannya disebutkan terjadi pelepasan ATP setelah penusukan titik ST36 Zusanli. ATP selanjutnya dimetabolisme menjadi adenosin
yang
mengaktivasi AIR, suatu protein yang tergolong GPCR (G-protein-coupled receptor).
Peningkatan ekspresi AIR ini akan menurunkan aktivasi TRPV1
dengan mengurangi produksi PIP2, (phosphatidylinositol 4,5 – biphosphate) yang merupakan substansi penting dalam aktivasi TRPV1.41 Peningkatan β-endorfin disatu sisi juga dapat berperan dalam menurunkan ekspresi TRPV1.42 Aktivasi adrenoseptor β2 pada perangsangan akupunktur juga dapat menekan proses inflamasi yang tejadi pada PPOK. Efek agonis adrenergik β2 dilaporkan meliputi perannya pada kerusakan sel epitel yaitu meningkatkan frekuensi gerakan ciliary, meningkatkan mucocilliary clearance, menurunkan elastase, meningkatkan clearance cairan alveolar, menurunkan pelepasan chemotaxin; perannya pada remodelling yang diinduksi fibroblast yaitu menurunkan proliferasi jaringan; perannya pada inflamasi yang diinduksi neutrofil yaitu menurunkan aktivasi, menghambat adhesi, kemotaksis dan
Universitas Indonesia
"
24" " " akumulasi, meningkatkan apoptosis, menurunkan pelepasan mediator dan mengurangi produksi oksidan.43 Pada penelitian Kim H, et al.44 diketahui bahwa elektroakupunktur (EA) frekuensi rendah (1Hz, 1-3 mA) dapat menekan proses inflamasi melalui mediasi aktivasi adrenoseptor β2 pada neutrofil oleh norepinefrin yang dilepaskan dari neuron simpatetik post-ganglionic, yang menyebabkan inhibisi migrasi neutrofil.44,35 Peran mediasi adrenoseptor β2 juga terlihat pada penelitian Zhang XY, et al.45, akupunktur tanam benang terbukti mengurangi proses inflamasi yang terjadi dengan meningkatkan ekspresi adrenoseptor β2. serta menurunkan ekspresi IL-17 dan NF-κB. Dalam modulasi neuropeptida, akupunktur bekerja dengan menekan substance P (SP), calcitonin gene related peptide (CGRP), vasointestinal peptide (VIP). Pengurangan neuropeptida ini menyebabkan penurunan degranulasi sel mast, vasodilatasi dan ekstravasasi plasma, sehingga terjadi penurunan inflamasi khususnya pada mukosa saluran napas. Modulasi neurotopin melibatkan penekanan Nerve Growth Factor (NGF) dan Brain-derived Neurotrophic Factor (BDNF). Hal ini menyebabkan penurunan kelangsungan hidup sel mast, ekspresi dan sensitivitas Transient Reseptor Potential Vanilloid-1 (TRPV1).35,46 2.9.2 Peran Akupunktur dalam Bronkodilatasi Sesak napas merupakan gejala utama pada penderita PPOK yang sangat mengganggu kualitas hidup penderita.1 Regulasi inervasi saluran napas diatur oleh persarafan eksitatorik kolinergik, inhibitorik adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik (NANC).21 Persarafan eksitatorik kolinergik menggunakan asetilkolin (ACh) sebagai neurotransmiternya. ACh beraksi melalui aktivasai reseptor muskarinik (mAChRs) atau reseptor nikotinik, namun dalam hal regulasi saluran napas, reseptor muskariniklah yang memegang peran utama. Reseptor muskarinik memiliki 5 subtipe, yaitu M1-M5. Masing-masing subtipe akan mengkopel protein G yang berbeda. mAChRs diekspresikan hampir pada semua tipe sel penyusun jaringan paru dan saluran napas, sel endotel dan beragam sel inflamasi. Pada manusia, M1 mAChRs diekspresikan secara khusus pada jaringan paru dan alveolus namun tidak terdapat pada saluran napas yang lebih besar dimana M2 dan M3 mAChRs merupakan subtipe mayor. M3 mAChRs juga
Universitas Indonesia
"
25" " " merupakan reseptor yang dominan berperan dalam sekresi mukus. Perlekatan ACh pada mAChRs akan mengkopel protein Gi yang bersifat inhibisi dan bertentangan dengan kerja adrenoseptor β2 yang meningkatkan cAMP dan menyebabkan bronkodilatasi.21, 47 Peran akupunktur dalam proses relaksasi otot polos saluran napas dimediasi oleh aktivasi adrenoseptor β2 melalui sekresi norepinefrin pada neuron simpatetik post-ganglionic.44 Adrenoseptor secara garis besar dibedakan menjadi dua subtipe, yaitu α dan β . Subtipe α dikode oleh 5 gen berbeda yang terdiri dari α1A, α1B, α1D, α2A, α2B, α2C. Subtipe β dikode oleh 3 gen berbeda yang terdiri dari β1, β2, dan β3. Adrenoseptor yang terdapat pada otot polos saluran napas sebagian besar mengekspresikan subtipe β2 yang berperan dalam proses bronkodilatasi. Ekspresi dalam jumlah kecil adrenoseptor α1 dan α2 yang berperan dalam kontraksi otot polos juga dilaporkan di sejumlah literatur, namun perannya dalam mengatur tonus otot polos saluran napas kurang signifikan.48 Sekresi norepinefrin oleh neuron simpatetik post-ganglionic pada stimulasi EA menyebabkan aktivasi adrenoseptor β2 yang menginduksi kopel protein G stimulatory (Gs) ke adenyl cyclase (AC). Hal ini menyebabkan peningkatan biosintesis cAMP yang meningkatkan PKA yang pada akhirnya menyebabkan proses relaksasi otot polos saluran napas.44 Rangsangan pada beta-adrenoreceptor yang terdapat pada saluran napas juga terjadi akibat refleks kutaneoviseral yang menjelaskan regulasi organ pada neurotom yang sama dengan segmen titik akupunktur yang distimulasi.49,50 Proses relaksasi otot polos yang terjadi karena peningkatan cAMP ini terjadi melalui beberapa mekanisme.48 Mekanisme pertama adalah reduksi sensitivitas protein kontraktil terhadap kalsium. Proses kontraksi otot polos memerlukan peningkatan ion Ca2+ yang berasal dari ion Ca2+ ekstraseluler yang dimasukkan via saluran Ca2+ membran plasma atau ion Ca2+ yang berasal dari depot persedian intraseluler (retikulum endoplasma). Peningkatan ion Ca2+ ini menyebabkan perlekatannya ke calmodulin (CaM) yang bergabung dengan myosin light chain kinase (MLCK) menjadi kompleks (Ca2+)4-CaM-MLCK. Kompleks (Ca2+)4-CaM-MLCK ini selanjutnya memfosforilasi myosin light chain (MLC20) pada serine (Ser)19 sehingga kontraksi otot polos dapat terjadi.
Universitas Indonesia
"
26" " " Peningkatan produksi PKA menyebabkan fosforilasi pada MLCK sehingga sensitivitasnya terhadap Ca2+ menurun. 48
℗
" cAMP
Aktivasi adrenoresptor β2
Akupunktur
Gambar 2.4 Mekanisme Bronkodilatasi Akupunktur melalui Mediasi Adrenoseptor β2 Sumber : Giembycz M dan Newton R. Beyond the dogma: novel b2-adrenoceptor signalling in the airways, Eur Respir J 2006, 27, 1286-1306. Catatan : telah diolah kembali
Mekanisme kedua adalah aktivasi saluran kalium dan hiperpolarisasi membran. Pada saluran napas proses hiperpolarisasi ini terjadi melalui fosforilasi saluran K yang teraktivasi Ca2+. Terbukanya saluran K+ ini bekerja berlawanan dengan eksitasi elektris yang memasukkan Ca2+ kedalam sel yang menginisiasi proses kontraksi otot polos saluran napas.48 Mekanisme ketiga terjadi melalui modulasi konsentrasi kalsium bebas di sitosol. PKA yang diinduksi dengan peningkatan cAMP dapat memfosforilasi inositol 1,4,5-triphosphate receptor (IP3R) sehingga mengurangi pelepasan Ca2+ dari retikulum endoplasma karena stimulasi IP3. 48
Universitas Indonesia
"
27" " " Peran akupunktur dalam mengurangi gejala PPOK khususnya sesak napas melalui mekanisme bronkodilatasi juga diduga melibatkan mediasi nitric oxide (NO).51 Nitric Oxide merupakan neurotransmiter inhibitorik pada persarafan NANC (iNANC) yang menginervasi saluran napas. Efek bronkodilatasi yang dihasilkan NO dimediasi oleh cGMP yang selanjutnya mengaktivasi PKG yang akan mereduksi Ca2+ intraseluler, atau mengurangi sensitivitas jaringan kontraktil terhadap Ca2+ sehingga menyebabkan relaksasi otot polos.52 Selain melalui mediasi NO, peran akupunktur dalam mekanisme bronkodilatasi juga melibatkan pelepasan endorfin. Stimulasi reseptor mu oleh peningkatan produksi β-endorfin yang dihasilkan pada perangsangan akupunktur juga dilaporkan meningkatkan potensi relaksasi yang dimediasi oleh adrenoseptor β2.53 Stimulasi endorfin pada reseptor µ (mu) dapat mengurangi frekuensi napas, menumpulkan respons persepsi sehingga mengurangi intensitas sesensasi sesak napas, dan modulasi dispneu yang disertai bronkokonstriksi akut.39,54 2.9.3 Peran Akupunktur dalam Menekan Stres Oksidatif Kondisi stres oksidatif yang meningkat atau penurunan antioksidan endogen pada penderita PPOK, memperparah kondisi inflamasi kronik yang telah terjadi. Selain mengaktifkan gen inflamasi, inaktivasi antiprotease, stimulasi sekresi mukus dan stimulasi eksudasi plasma.1 Berkurangnya proses inflamasi yang terjadi akibat rangsang akupunktur melalui modulasi ekspresi NF-!B yang dimediasi oleh p38MAPK, secara tidak langsung menyebabkan penekanan rantai stres oksidatif.55 Selain itu akupunktur sendiri dapat menginduksi peningkatan aktivitas antioksidan endogen seperti superoxide dismutase (SOD) dan glutathione peroxidase (GPx).56 Sebuah penelitian ekxperimental melaporkan bahwa peningkatan cAMP meningkatkan pembentukan SOD dan GPx.57 2.9.4 Peran Akupunktur dalam Menekan Proses Fibrosis Ketidakseimbangan antara protease dan antiprotease pasien PPOK menyebabkan rusaknya elastin yang merupakan jaringan ikat utama pada parenkim paru.1 Peroxisome proliferator activated receptor – γ atau PPAR-γ merupakan suatu reseptor hormon inti sel yang dahulu dikenal berperan penting pada metabolisme
Universitas Indonesia
"
28" " " lipid, glukosa, regulasi sel mesenkimal, dan kini terbukti memiliki efek antiinflamasi, imunomodulasi dan dapat menekan proses fibrosis jaringan pada PPOK.58,59" Pada penelitian Li dan Zhang60, akupunktur terbukti memiliki efek penurunan kolestrol yang dimediasi PPAR-γ. Penelitian Liang F et al.61 juga membuktikan peran akuppunktur dalam meningkatkan aktivitas SIRT1 yang memicu aktivasi PGC-1α (PPAR-γ coactivator 1α) sebagai koaktivator transkripsi PPAR-γ.62 PPAR-γ dapat menghambat pelepasan sitokin proinflamasi dari makrofag yang teraktivasi, sel epitel saluran nafas, regulasi produksi mukus pada kondisi hipersekresi mukus saluran napas yang sering terjadi pada PPOK." 63 Peningkatan cAMP dan NO yang terjadi pada rangsangan akupunktur terbukti sinergis dengan peningkatan PPAR-γ dalam jaringan.64, 65 Peran akupunktur dalam kondisi ketidakseimbangan protease dan antiprotease terlihat pada penekanan aktivasi TRPV4 yang dapat memediasi influks kalsium kedalam saluran nafas yang selanjutnya akan mengaktivasi Matrix metallo proteinase-1 (MMP-1). Dengan berkurangnya MMP-1 diharapkan aktivitas protease akan menurun sehingga laju penghancuran elastin akhirnya dapat ditekan.19 Proses menuju keseimbangan proteinase dan antiproteinase juga dimediasi oleh aktivitas anti fibrosis yang dihasilkan pada peningkatan ekspresi PPAR-γ.63 2.10 Penelitian Akupunktur Geng et al.66 melakukan penelitian mengenai efek elektroakupunktur (EA) titik ST36 Zusanli terhadap sitokin inflamasi pada tikus model PPOK yang diinduksi dengan asap. Kelompok penelitian terdiri dari 28 tikus yang dialokasikan secara acak menjadi 4 kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol (1), sham (2), PPOK (3) dan PPOK+EA (4). Tikus pada kelompok 3 dan 4 diberikan paparan asap rokok selama 1 jam, 2 kali sehari selama 12 minggu. Tikus pada kelompok 1 dan 2 tidak diberikan paparan asap. Fungsi paru dan perubahan patologis dianalisa pada keempat kelompok tersebut. EA pada kelompok 2 dan 4 dilakukan di titik ST 36 Zusanli, dengan frekuensi 60 Hz, gelombang kerap jarang (dense-disperse), intensitas disesuaikan hingga menginduksi kontraksi otot ringan pada kaki belakang tikus. Perlakuan diberikan selama 30 menit per hari selama 14 hari pada
Universitas Indonesia
"
29" " " kelompok sham dan PPOK. Bronchoalveolar lavage fluid (BALF) digunakan untuk mengukur tingkat tumor necrosis factor-α (TNF-α), interleukin-1β (IL-1β), dan malonaldehyde (MDA). Dibanding tikus kelompok 1, tikus pada kelompok 3 dan 4 mengalami perubahan siginifikan pada lung resistance
(RL) dan lung
compliance (CL), obstruksi bronkus dan bronkiolus, peningkatan kadar TNF-α, IL-1β dan MDA. Di akhir penelitian, tikus kelompok 4 (PPOK+EA) mengalami penurunan RL dan peningkatan RC (p < 0,05), pengurangan derajat obstruksi bronkus dan bronkiolus, dan pemeriksaan BALF menunjukkan penurunan level TNF-α, IL-1β dan MDA (p <0,05)."66 Tai et al.67 melakukan penelitian elektroakupunktur untuk mempelajari mucocilliary clearance pada burung quails yang dianastesi. Kondisi inflamasi pada saluran napas diinduksi dengan menyuntikkan HNE (Human Neutrophil Elastase) pada trakea burung quail. Kecepatan mucocilliary transport diukur dengan mengamati optimal pathway, fucose dan kandungan protein pada tracheal lavage ditentukan dengan metode biokimia. EA dilakukan pada titik LU1 Zhongfu dan CV22 Tiantu, dengan frekuensi 100 Hz, intensitas 2 mA selama 60 menit. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa EA menormalkan kembali kondisi inflamasi yang disebabkan HNE yang terlihat dari peningkatan kecepatan mucocilliary transport dan penurunan kandungan protein pada tracheal lavage dibandingkan dengan kelompok kontrol. 67 Chen et al.41 mempelajari ekspresi TRPV1 dan TRPV4 dalam mekanisme antiinflamasi dan anti nosisepsi EA. Studi eksperimental ini menggunakan tikus model inflamasi yang disuntik dengan carrageenan atau complete Freund’s adjuvan hingga tikus model inflamasi ini memperlihatkan kondisi hiperalgesia termal maupun mekanis. Level protein TRPV1 dan TRPV4 ditemukan meningkat pada dorsal root ganglion (DRG) 4 hari setelah inisiasi proses inflamasi dilakukan. EA dilakukan pada titik ST36 Zusanli, frekuensi 2 Hz, 2 mA, selama 15 menit. Dari hasil analisis imunhistokimia dan western blot, ditemukan bahwa EA menurunkan aktivasi TRPV1 dan TRPV4. Pemeriksaan elektrofisiologi dari DRG menunjukkan ambang aksi potensial, rise time, fall time, persentase dan amplitudo TRPV1 dan TRPV4 dirubah oleh EA. Hal ini
Universitas Indonesia
"
30" " " menunjukkan bahwa EA berperan dalam regulasi ekspresi protein TRPV1 dan TRPV4 dan menekan nosisespsi pada nyeri inflamasi. 41 Suzuki et al." 68 melakukan serial kasus pada 26 pasien PPOK. Subyek penelitian tetap mendapatkan pengobatan standar PPOK dan dilakukan akupunktur manual pada titik LU1 Zhongfu, LU9 Taiyuan, LI18 Futu, CV4 Guanyuan, CV12 Zhongwan, ST36 Zusanli, KI3 Taixi, GB12 Wangu, BL13 Feishu, BL20 Pishu, dan BL23 Shenshu. Perangsangan manual dilakukan dengan merotasi jarum searah dan berlawan arah jarum jam hingga diperoleh sensasi penjaruman (de qi) selama 3-4 menit, untuk masing masing titik selama 50 menit sesi terapi. Terapi dilakukan sekali seminggu selama 10 minggu. Luaran primer yang dianalisa adalah derajat sesak setelah dilakukan UJ6M yang dinilai dengan skor Borg. Indeks BODE diperiksa sebagai luaran sekunder. Dilaporkan dalam studi ini perbedaan rerata sebelum dan setelah intervensi untuk parameter : 0,94 kg/m2; % VEP1 : 3,90; UJ6M= 48,81 meter, MMRC = -0,85 unit dan indeks BODE = -1,54 (p <0,05). 68 Li et al. (2011) melakukan penelitian acak terkontrol akupunktur tanam benang pada pasien PPOK pada 60 orang subyek penelitian yang secara random dibagi menjadi 2 kelompok, kontrol dan perlakuan. Pada kelompok kontrol hanya diberikan pengobatan standar PPOK, pada kelompok perlakuan diberikan pengobatan standar PPOK ditambah dengan akupunktur tanam benang. Parameter yang diukur adalah frekuensi terjadinya eksaserbasi akut (AECOPD / Acute Exacerbation on Chronic Obstructive Pulmonary Disease) sebelum dan 6 bulan setelah terapi. Titik akupunktur yang digunakan adalah EX-B1 Dingchuan, BL13 Feishu, BL23 Shenshu, ST40 Fenglong, ST36 Zusanli. Disebutkan terjadi penurunan frekuensi AECOPD pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol (p < 0,05)."12 Serial kasus oleh Jaroensuk dan Sittimart (2013) melaporkan penanaman cat gut (2/0) yang dilakukan pada titik BL12 Fengmen dan BL13 Feishu sebanyak 2 kali dengan jarak terapi 3 bulan. Jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 50 orang. Dilaporkan 58 % kasus (29 kasus) mengalami peningkatan nilai Predicted Peak Expiratory Flow Rate (PPEFR) sebesar 11,07 % dari nilai prediksi 197,62+62 L/m, 70 % kasus (35 kasus) mengalami peningkatan 31,9 % dari
Universitas Indonesia
"
31" " " evaluasi UJ6M yaitu 235+75 meter. Sebanyak 25 kasus dilaporkan memperoleh skor COPD Assessment Test (CAT) lebih tinggi."13. Zusuki et al. (2012) suatu penelitian acak terkontrol yang mempelajari pengaruh akupunktur pada pasien PPOK yang menerima pengobatan standar, dengan luaran utama berupa skala Borg termodifikasi yang diukur setelah tes UJ6M. Subyek dibagi secara random kedalam kelompok perlakuan yang menerima akupunktur dan pengobatan standar serta kelompok kontrol yang menerima akupunktur sham dan pengobatan standar.
Akupunktur dilakukan
sekali dalam seminggu selama 12 minggu pada titik LU1 Zhongfu, LU9 Taiyuan, LI18 Futu, CV4 Guanyuan, CV12 Zhongwan, ST36 Zusanli, KI3 Taixi, GB12 Wangu, BL13 Feishu, BL20 Pishu, dan BL23 Shenshu Didapatkan perbaikan skor Borg secara signifikan dalam kelompok akupunktur dibanding plasebo. Perbedaan rerata sebesar -3,58; 95% IK (interval kepercayaan) -4,27 s/d -2,90."10
Universitas Indonesia
"
25# # #
BAB#3# KERANGKA#TEORI#DAN#KERANGKA#KONSEP# #
#
Akupunktur
3.1#KERANGKA#TEORI# Faktor Risiko Internal
#
Inflamasi kronis
Eksternal Perubahan Patologis Paru Air Trapping
!CRH
!β-Endorfin
!cAMP (melalui aktivasi adrenoseptor β2)
!cNOS
Keterbatasan aliran udara
PPOK
! PPARy
!ACTH
Berhenti merokok
Edukasi
Rehabilitasi
Nutrisi
NO
!SOD !GPx !Glukokortikoid Harmonisasi Th1/Th2
Terapi oksigen Ventilisasi mekanis Medikamentosa PPOK Keterangan :
#
Menginduksi Menginhibisi
Inflamasi
Mempertahankan faal paru Meningkatkan kualitas hidup Mencegah Eksaserbasi
32#
Bronkokontriksi
Stress Oksidatif
Fibrosis
Universitas Indonesia
33" " " 3.2 Kerangka Konsep
Akupunktur"tanam"benang" dan"medikamentosa"
Perubahan"Indeks" BODE"*"
Akupunktur"sham"dan" medikamentosa"
Perubahan"Indeks" BODE"*"
PPOK"
Keterangan : *) Indeks BODE : Body mass index, Degree of airflow obstruction, Dyspneau and Exercise Capacity
Universitas Indonesia
"
34" " " " BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah uji klinis tersamar ganda dengan kontrol. 4.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan, Jakarta pada tahun 2014. 4.3 Populasi Populasi terjangkau penelitian ini
adalah penderita PPOK yang berobat ke
poliklinik Paru, RS Persahabatan, Jakarta, yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi. 4.3.1 Kriteria Inklusi a. Subjek berusia antara 40 sampai 75 tahun, laki-laki maupun perempuan b. Subjek didiagnosa PPOK oleh dokter spesialis paru serta memenuhi kriteria PPOK kelompok B, C dan D munurut GOLD 2014 c. Subjek merupakan penderita PPOK yang stabil d. Bersedia
mengikuti
jadwal
penelitian
dan
menandatangani
informed consent 4.3.2 Kriteria Eksklusi a. PPOK eksaserbasi akut atau memerlukan oksigen suplemental secara teratur, ventilasi mekanis atau kasus yang memerlukan pembedahan b. Menggunakan medikamentosa PPOK diluar standar GOLD 2014 c. Pasien dengan infeksi saluran nafas atas, komplikasi kor pulmonal, penyakit jantung atau memiliki diabetes mellitus yang tidak terkontrol (gula darah acak saat dilakukan penelitian > 200 mg/dl) d. Memiliki riwayat akupunktur tanam benang sebelumnya e. Kontraindikasi tindakan akupunktur tanam benang, yaitu : adanya luka di titik akupunktur yang akan ditusuk, kasus gawat darurat medik, gangguan pembekuan darah, konsumsi obat anti koagulan, kehamilan, keganasan, riwayat alergi terhadap protein hewani 34" Universitas Indonesia
"
35" " " 4.3.3 Kriteria Gugur/ Drop Out Pasien tidak menyelesaikan prosedur penelitian.
• 4.4
Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel
Perkiraan besar sampel mempergunakan rumus perhitungan besar sampel untuk penelitian analitik numerik tidak berpasangan. n1 = n2
= 2
!"!!" !" ! !!!!!
Keterangan : n1
= besar sampel kelompok akupunktur tanam benang
n2
= besar sampel kelompok akupunktur sham
Zα
= 1,64 (tingkat kemaknaan α = 0,05)
Zβ
= 0,84 (power penelitian = 80%)
S
= 2 (simpang baku dari penelitian sebelumnya) 68
X1 – X2 = 1,5 (selisih minimal rerata yang dianggap bermakna) n1 = n2
=2
n1 = n2
= !22
!,!"!!,!" ! ! !,!
Antisipasi drop out : N’ =
! !!!
(f = persentase jumlah sampel yang kemungkinan drop out/gugur
ditetapkan 10 % (0,1)) Dari perhitungan dengan rumus diatas dan penyesuaian dengan antisipasi drop out, didapatkan jumlah sampel untuk masing-masing kelompok adalah 24 orang. Subjek penelitian dialokasikan dengan metode blok random terstratifikasi berdasarkan derajat penyakit, menggunakan program komputer. Dilakukan prosedur concealment dan menghindari bias seleksi. Kriteria inklusi dan eksklusi diterapkan dengan ketat dan dilakukan upaya untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya drop out dengan cara menelpon pasien sesuai dengan jadwal penelitian yang telah ditetapkan.
Universitas Indonesia
"
36" " " 4.5 Kerangka Alur Penelitian
Penderita"PPOK"yang"datang"ke"poli"Paru"RS"Persahabatan" Memenuhi"kriteria"seleksi" Informed,consent, Randomisasi"
Kelompok"Akupunktur"tanam" benang"+"medikamentosa" "(n"="24)"
Kelompok"Akupunktur"sham""""""""""" +"Medikamentosa" ("n"="24)"
Pengukuran"Awal"Indeks"BODE"" Akupunktur"tanam"benang"I""
Hari"ke@1"
Pengukuran"Awal"Indeks"BODE" Akupunktur"Sham,I"
Akupunktur"tanam"benang"II"
Hari"ke@15"
Akupunktur"sham"II"
Pemeriksaan"akhir"Indeks"BODE"" "
Hari"ke@30"
Pemeriksaan"akhir"Indeks"BODE" "
Analisis"Data"
Penyajian"dan"pelaporan" data"
Universitas Indonesia
"
37" " " 4.6 Definisi Operasional a. Subyek penelitian adalah pasien PPOK yang berobat jalan di poliklinik Paru RS Persahabatan Jakarta, yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi b. Definisi PPOK menurut GOLD 2014 adalah penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya, disertai efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit c. Diagnosis PPOK menurut GOLD 2014 adalah adanya gejala klinis seperti kesulitan bernapas, batuk kronik, terbentukya sputum dan riwayat terkena faktor risiko penyakit ini disertai spirometri pasca bronkodilator menunjukkan VEP1/KVP < 0,70 yang mengindikasikan adanya keterbatasan aliran udara. d. Definisi PPOK Stabil adalah PPOK dengan kriteria sebagai berikut : • Tidak dalam kondisi gagal nafas akut pada gagal nafas kronik • Dapat dalam kondisi gagal nafas kronik stabil, yaitu hasil analisa gas darah menunjukkan PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg • Dahak jernih tidak berwarna • Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK • Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan • Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan e. Klasifikasi PPOK berdasarkan GOLD 2014 : • Kelompok B Derajat obstruksi saluran napas ringan atau sedang (GOLD 1 – VEP 1 ≥ 80% prediksi, GOLD 2 – 50% ≤ VEP 1 < 80 % prediksi); dan/atau 0-1 kali eksaserbasi pertahun dan tidak memerlukan hospitalisasi; skor CAT ≥10 atau derajat mMRC ≥ 2 • Kelompok C Derajat obstruksi saluran napas berat atau sangat berat (GOLD 3 – 30% ≤ VEP 1 < 50 % prediksi, GOLD 4 - VEP1 < 30% prediksi atau VEP 1 < 50 % prediksi + gagal nafas); dan/atau ≥ 2 kali eksaserbasi
Universitas Indonesia
"
38" " " pertahun dan memerlukan hospitalisasi ≥ 1; skor CAT < 10 atau derajat mMRC 0-1 • Kelompok D Derajat obstruksi saluran napas berat atau sangat berat (GOLD 3 – 30% ≤ VEP 1 < 50 % prediksi, GOLD 4 - VEP1 < 30% prediksi atau VEP 1 < 50 % prediksi + gagal nafas); dan/atau ≥ 2 kali eksaserbasi pertahun dan memerlukan hospitalisasi ≥ 1; skor CAT ≥10 atau derajat mMRC ≥ 2 f. PPOK eksaserbasi akut adalah kondisi pasien PPOK yang mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil dan dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan pengobatan standar dalam penelitian ini. g. Spirometri adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara obyektif kapasitas/fungsi paru dengan menggunakan alat spirometer. h. VEP 1 adalah volume ekspirasi paksa per satu detik, yaitu volume udara yang dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam satu detik pertama waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal. i. Indeks BODE merupakan sistem skoring multidimensional yang dinilai lebih superior dibanding VEP1 dalam menilai derajat keparahan dan urgensi hospitalisasi penderita PPOK. Indeks BODE mengevaluasi Indeks Masa Tubuh (IMT), obstruksi jalan napas, derajat dispneu dan kapasitas latihan penderita PPOK. j. Indeks Brinkman adalah jumlah batang rokok yang diisap, dihitung sebagai lama merokok (dalam tahun) dikalikan dengan jumlah batang rokok yang diisap per hari. k. Akupunktur tanam benang adalah tindakan penanaman benang catgut chromic 3.0 steril berukuran 1 cm dengan menusukkan needle ukuran 21 G sedalam 1,5 cm ke dalam titik BL13 Feishu, BL43 Gaohuangshu, BL20 Pishu, BL23 Shenshu dan ST40 Fenglong. Akupunktur tanam benang dilakukan 2 kali dengan interval 15 hari. l. Akupunktur sham adalah tindakan penekanan dangkal menggunakan needle ukuran 21 G yang dilakukan pada segmen yang sama tetapi pada lokasi yang
Universitas Indonesia
"
39" " " bukan titik akupunktur, tanpa melukai pasien dan tanpa dilakukan penanaman benang. Akupunktur sham dilakukan 2 kali dengan interval 15 hari. m. Kelompok kasus adalah penderita PPOK yang memenuhi kriteria inklusi, mendapatkan medikamentosa dan akupunktur tanam benang. n. Kelompok kontrol adalah penderita PPOK yang memenuhi kriteria inklusi, mendapatkan medikamentosa dan akupunktur sham. o. Terapi medikamentosa adalah terapi farmakologi sesuai standar GOLD 2014 yang telah diterima oleh penderita PPOK sebelum mengikuti penelitian dan tetap dilanjutkan selama penelitian berlangsung. • PPOK kelompok B sebagai lini pertama diberikan obat anti kolinergik kerja lama (long-acting) atau golongan Agonis Beta2 kerja lama. Pilihan alternatif adalah agonis beta2 kerja cepat (short acting) dan/atau anti kolinergik kerja cepat serta teofilin. • PPOK kelompok C sebagai lini pertama diberikan kortikosteroid inhalasi + agonis beta2 kerja lama dan/atau antikolinergik kerja lama. Pilihan alternatifnya adalah inhibitor fosfodiesterase-4 dan kombinasi agonis beta2 kerja cepat dan/atau anti kolinergik kerja cepat serta teofilin. • PPOK kelompok D sebagai lini pertama diberikan kortikosteroid inhalasi + agonis beta2 kerja lama dan/atau antikolinergik kerja lama. Pilihan alternatifnya adalah inhibitor fosfodiesterase-4 dan kombinasi agonis beta2 kerja cepat dan/atau anti kolinergik kerja cepat serta teofilin dan karbosistein 4.7 Cara Kerja Penelitian 4.7.1 Alat dan bahan yang disediakan: • Jarum
akupunktur
sekali
pakai
(Huangqiu®,
Suzhou
hangqiu
acupuncture medical appliance Co.Ltd, China) ukuran 0,30 x 50 mm. • Jarum (needle) disposable ukuran 21 G • Cawan petri steril • Benang chromic catgut steril 3.0 berukuran 0,5 cm dan 1 cm • Pinset anatomis steril • Sarung tangan (handschoen) steril
Universitas Indonesia
"
40" " " • Gunting • Povidon iodine 10% • Alkohol 70% • Swab alkohol • Povidone iodine 10% • Krim anastesi merk EMLA ® • Tegaderm • Antibacterial,gauze,dressing"merk"Sofra@tulle® • Wound,dressing"merk"Hypafix® 4.7.2. Persiapan subjek penelitian a. Menentukan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi b. Mengisi dan menandatangani lembar informed consent c. Mengisi status penelitian d. Menghitung indeks BODE yang dilakukan oleh evaluator indenpenden yang kompeten (dokter spesialis paru RSUP Persahabatan) !"#$%!!"#"$!(!")
• IMT dihitung dengan menggunakan rumus : !"#$$"!!"#"$!(!)! • Obstruksi jalan napas dievaluasi menggunakan spirometri yang dikerjakan oleh evaluator independen (%VEP1) • Derajat dispneu dievaluasi menggunakan skala mMRC • Kapasitas latihan dievaluasi menggunakan uji jalan 6 menit e. Alokasi subjek kelompok kasus atau kelompok kontrol sesuai dengan urutan dalam amplop tertutup yang telah ditentukan sebelumnya dengan metode randomisasi blok terstratifikasi menggunakan program komputer 4.7.3. Tindakan akupunktur tanam benang 4.7.3.1 Persiapan alat dan bahan untuk tindakan akupunktur tanam benang •
Jarum akupunktur disposable ukuran 0,30 x 50 mm ditumpulkan untuk digunakan sebagai pendorong benang
•
Benang chromic catgu ukuran 3.0 dipotong menjadi berukuran 0,5 cm dan
Universitas Indonesia
"
41" " " 1 cm dan diletakkan di dalam cawan petri steril yang telah berisi alkohol 70%. •
Benang yang telah dipotong diambil menggunakan pinset anatomis dan dimasukkan ke dalam needle berukuran 21 G. Benang berukuran 0,5 cm digunakan pada subyek yang memiliki masa tubuh kurang dari 55 kg.69
4.7.3.2 Tindakan akupunktur tanam benang •
Pasien dalam posisi berbaring telungkup (pronasi).
•
Posisi titik akupunktur yang akan ditanam benang ditandai dengan tinta untuk operasi.
•
Krim anestesi dioleskan pada lokasi titik akupunktur yang akan dilakukan penanaman benang dengan diameter 1 cm dari pusat titik dan dibalut oklusif menggunakan Tegaderm®. Perban oklusif dilepaskan setelah 30 menit.
•
Operator menggunakan sarung tangan steril.
•
Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis di tempat yang akan dilakukan tindakan tanam benang dengan alkohol dan povidon iodine 10%.
•
Needle ukuran 21 G ditusukkan sedalam 1,5 cm ke titik akupunktur kemudian benang didorong masuk dengan menggunakan jarum pendorong
•
Needle ditarik keluar dan dilakukan penekanan di tempat penusukan hingga perdarahan berhenti dan dipastikan tidak terdapat ujung benang catgut yang mencuat keluar.
•
Tempat penusukan ditutup dengan antibacterial gauze dressing (Sofratulle®) dan wound dressing (Hypafix®)
•
Tindakan penanaman benang catgut ke titik akupunktur dilakukan secara satu persatu. Pada tindakan akupunktur tanam benang I, penanaman benang dilakukan pada sisi kiri tubuh, pada tindakan akupunktur tanam benang II penanaman dilakukan pada sisi kanan tubuh.
4.7.4 Tindakan akupunktur sham Tahapan tindakan sama dengan pada akupunktur tanam benang, namun pada ujung needle 21 G tidak disisipkan benang catgut dan penusukan dilakukan di titik sham yang telah ditentukan.
Universitas Indonesia
"
42" " " 4.7.5 Efek samping Efek samping yang mungkin timbul akibat tindakan akupunktur tanam benang dan cara mengatasinya : 1. Rasa nyeri dan tidak nyaman saat/setelah penusukan Rasa nyeri dan tidak nyaman saat/setelah penusukan dapat diminimalkan dengan teknik penusukan yang tepat dan terlatih. Dengan penggunaan anastesi topikal, diharapkan rasa nyeri dan tidak nyaman ini akan jauh berkurang.70 2. Hematom Hematom bersifat sementara dan dapat terjadi karena penusukan yang mengenai pembuluh darah. Hematom akan diserap tubuh secara spontan dalam waktu 3-7 hari dan tidak berbahaya. Cara mencegahnya adalah dengan menentukan lokasi titik akupunktur secara tepat dan menghindari tertusuknya pembuluh darah yang terdapat/terlihat di daerah sekitar titik tersebut. Cara mengatasi digunakan heparin topikal (Thrombophob) untuk mempercepat hilangnya hematom.70 3. Acushock Acushock umumnya dialami oleh individu yang pertama kali menjalani tindakan akupunktur atau sedang berada dalam kondisi lemah (sakit berat, kurang istirahat). Cara mencegah timbulnya hal ini ialah dengan memberikan penjelasan yang baik pada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan dan rasa nyeri/tidak nyaman yang mungkin akan ditimbulkan sehingga pasien tidak merasa takut berlebihan karena membayangkan hal yang belum diketahui. Pasien yang sedang berada dalam kondisi lemah tidak dianjurkan menjalani tindakan akupunktur. Jika terjadi acushock, cara mengatasinya ialah tindakan dihentikan, pasien dibaringkan dengan tungkai dielevasikan setinggi 30°, dilakukan pemeriksaan tanda vital secara berkala, pasien diberikan minuman yang hangat dan manis. Penekanan pada titik akupunktur GV 26 Renzhong dapat dilakukan untuk mempercepat pemulihan pada pasien.70
Universitas Indonesia
"
43" " " 4. Infeksi Infeksi dapat terjadi akibat tindakan asepsis dan antisepsis yang tidak baik dan penggunaan alat yang tidak steril. Jika dilakukan tindakan a/antisepsis yang baik dan digunakan peralatan tanam benang yang steril, risiko infeksi pada tindakan tanam benang bersifat minimal. Jika hal ini terjadi, cara mengatasinya ialah dengan pemberian antibiotik topikal pada tempat penusukan yang mengalami infeksi lokal.70 5. Reaksi alergi Reaksi alergi akibat tindakan tanam benang jarang terjadi dan pada penelitian ini dicegah melalui diterapkannya kriteria eksklusi pada subjek yaitu terdapatnya riwayat alergi sebelumnya. Apabila hal ini terjadi, dapat diatasi dengan pemberian obat anti-alergi yaitu obat golongan penghambat reseptor H2 atau kortikosteroid.29 4.8 Titik Akupunktur 4.8.1 BL13 Feishu • Lokasi
: Pada punggung bagian atas setinggi batas inferior
prosesus spinosus vertebra thorakal III, 1.5 B-cun lateral garis tengah posterior.71 • Inervasi
: Cabang kutaneus medial dari ramus posterior nervus
Thorakalis III. 72 • Vaskularisasi : Cabang posterior arteri dan vena Interkostalis III. 72 4.8.2 BL43 Gaohuangshu • Lokasi
: Pada punggung bagian atas setinggi batas inferior
prosesus spinosus vertebra Thorakal IV, 3 B-cun lateral garis tengah posterior.71 • Inervasi
: Cabang medial dari ramus dorsalis nervus Thorakalis II
dan cabang lateral nervus Thorakalis III.!72 • Vaskularisasi : Cabang posterior Arteri dan vena Interkostalis IV serta arteri dan vena Servikalis Transversal Desenden.!72
Universitas Indonesia
"
44" " " 4.8.3 BL20 Pishu • Lokasi
: Pada punggung bagian atas setinggi batas inferior
prosesus spinosus Thorakal XI, 1,5 B-cun lateral garis tengah posterior."71 • Inervasi
: Cabang medial ramus posterior nervus Thorakalis XI-XII 72
• Vaskularisasi : Cabang posterior arteri dan vena Interkostalis XI."72 4.8.4 BL23 Shenshu • Lokasi
: Pada bagian belakang tubuh setinggi batas inferior
prosesus spinosus vertebra Lumbal II, 1,5 B-cun lateral garis tengah posterior.71 • Inervasi
: Cabang lateral dari ramus posterior nervus Lumbalis I,
secara dermatomal diinervasi segmen saraf LI-III."72 • Vaskularisasi : Cabang posterior arteri dan vena Lumbalis II."72
Gambar 3.1 Lokasi Titik BL13 Feishu dan BL43 Gaohuang Shu Sumber: World Health Organization. WHO standard acupuncture points locations in the Western Pasific region. 2008
Universitas Indonesia
"
45" " "
Gambar 3.2 Lokasi Titik BL20 Pishu dan BL23 Shenshu Sumber: World Health Organization. WHO standard acupuncture points locations in the Western Pasific region. 2008
4.8.5 ST40 Fenglong • Lokasi
: Pada bagian anterolateral tungkai bawah, batas lateral
muskulus Tibialis Anterior, 8 B-cun di atas puncak malleolus eksternus dan satu jari tengah lateral ST38 Tiaokou.71 ST38 Tiaokou terletak pada bagian anterior tungkai bawah pada garis yang mengubungkan ST35 Dubi dengan ST41 Jiexi, pada muskulus Tibialis Anterior 8 B-cun dibawah ST35 Dubi, pada ketinggian yang sama dengan ST40 Fenglong.71 ST35 Dubi terletak di bagian anterior lutut pada lekukan sisi lateral dari ligamentum patella. 71 ST41 Jiexi terletak pada bagian anterior pergelangan kaki, dalam lekukan di tengah permukaan anterior sendi pergelangan kaki, antara tendon Ekstensor Halusis Longus dan Ekstensor Digitorum Longus. 71 • Inervasi
: Pada lapisan superfisial diinervasi nervus Gastroknemius
Kutaneus Lateralis dan pada lapisan dalam terdapat percabangan dari nervus Peroneus Superfisial.72
Universitas Indonesia
"
46" " " • Vaskularisasi : Arteri dan vena tibialis anterior.71
Gambar 3.3 Titik ST40 Fenglong Sumber: World Health Organization. WHO standard acupuncture points locations in the Western Pasific region. 2008
4.9 Titik Akupunktur Sham Akupunktur sham adalah tindakan penekanan dangkal menggunakan needle ukuran 21 G yang dilakukan pada segmen yang sama tetapi pada lokasi yang bukan titik akupunktur, tanpa melukai pasien dan tanpa dilakukan penanaman benang. Adapun lokasi titik sham yang digunakan dalam penelitian ini : 4.9.1 Titik Sham I Lokasi titik sham I terletak di punggung bagian atas setinggi titik BL13 Feishu, 5 B-cun lateral garis tengah tubuh. 4.9.2 Titik Sham II Lokasi titik sham II terletak di punggung bagian atas setinggi titik BL43 Gaohuangshu, 5 B-cun lateral garis tengah tubuh. 4.9.3 Titik Sham III Lokasi titik sham III terletak pada punggung bagian atas setinggi titik BL20 Pishu , 5 B-cun lateral garis tengah tubuh. 4.9.4 Titik Sham IV Lokasi titik sham IV terletak pada bagian belakang tubuh setinggi titik BL23 Shenshu, 5 B-cun lateral garis tengah tubuh
Universitas Indonesia
"
47" " " 4.9.5 Titik Sham V Lokasi titik sham V terletak 2 B-cun lateral titik ST40 Fenglong 4.10 Pengumpulan dan Penilaian Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah indeks BODE kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Penilaian dilakukan di awal dan hari ke 30 (akhir penelitian) oleh evaluator independen. 4.11 Pengolahan dan Analisis Data Analisis statistik data luaran penelitian dilakukan dengan menggunakan program SPSS 11.5. Uji statistik data yang dilakukan bergantung pada variabel yang dinalisis. Uji hipotesis komparatif variabel numerik berdistribusi normal dua kelompok yang tidak berpasangan menggunakan uji T tidak berpasangan. Apabila ditemukan distribusi data yang tidak normal dilakukan uji Mann-Whitney. Nilai P < α (p < 0,05) menunjukkan perbedaan bermakna dari variabel yang dibandingkan. Sebaliknya bila nilai P > α (p > 0,05) dapat diartikan tidak terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok yang sedang dibandingkan. 4.12 Penyajian Data Data disajikan secara tekstular dan tabular 4.13 Kajian Etik Penelitian ini dilaksanakan setelah lolos kajian etik dan mendapat persetujuan dari Komite Etik FKUI-RSCM dengan surat keterangan lolos kaji etik nomor 553/UN2.F1/ETIK/2014. Partisipan yang mengikuti penelitian ini telah setuju berpartisipasi dengan menandatangani informed consent yang dijamin kerahasiaannya dan bersifat sukarela tanpa paksaan
Universitas Indonesia
"
48" " "
BAB 5 HASIL PENELITIAN Penelitian ini dilakukan terhadap 48 pasien penyakit paru obstruksi kronik yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Kelompok penelitian dibagi secara acak menjadi dua kelompok yaitu kelompok akupunktur tanam benang dan medikamentosa (kelompok kasus) dan kelompok akupunktur sham dan medikamentosa (kelompok kontrol). Masing-masing kelompok terdiri dari 24 subyek penelitian yang mengikuti penelitian sesuai dengan protokol penelitian selama 30 hari. Dilaporkan tidak ada subyek yang gugur hingga penelitian berakhir. 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Tabel 5.1 Data Dasar Demografi Subyek Penelitian Karakteristik
Kelompok Kasus (n=24)
Kelompok Kontrol (n=24)
64,71 (7,09)
63,88 (6,81)
0,340
Jenis Kelamin Laki-laki, n (%) Perempuan, n (%)
22 (91,7) 2 (8,3)
21 (87,5) 3 (12,5)
0,500
Pendidikan SD, n (%) SMP, n (%) SMU, n (%) Diploma, n (%) Sarjana, n (%)
5 (20,8) 6 (25) 12 (50) 0 (0 ) 1 (4,2)
4 (16,7) 10 (41,7) 9 (37,5) 1 (4,2) 0 (0,0)
0,496
Pekerjaan Pedagang, n(%) IRT, n(%) Karyawan, n(%) Pensiun, n(%)
4 (16,7) 1 (4,2) 3 (12,5) 16 (66,7)
4 (16,7) 2 (8,3) 2 (8,3) 16 (66,7)
0,500
Kepemilikan Jamkesa n (%)
24 (100)
24 (100)
Usia (tahun) Rerata (SD)
P
"
a
"
) Jamkes : Jaminan Kesehatan
48
Universitas Indonesia
49" " " Rerata usia subyek penelitian ini adalah 64 (6,71) tahun dan sebagian besar adalah laki-laki (89,6%). Sebesar 43,8% subyek penelitian berpendidikan menengah dan hanya 4,2 % yang meneruskan hingga pendidikan tinggi. Walaupun 66,7 % subyek penelitian saat ini sudah tidak aktif bekerja (pensiun). Seluruh subyek dalam penelitian ini dilaporkan telah memiliki jaminan kesehatan. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kelompok kasus dan kontrol dalam karakteristik profil subyek penelitian. Tabel&5.2& Data Dasar Profil Penyakit Subyek Penelitian Karakteristik
Kelompok Kasus
Kelompok Kontrol
(n=24)
(n=24)
Indeks Brinkman Rerata (SD)
689,50 (308,61)
690,42 (310,78)
0,497
Derajat Penyakit 1. PPOK B, n(%) 2. PPOK C, n(%) 3. PPOK D, n(%)
8 (33,3) 6 (25) 10 (41,7)
9 (37,5) 7 (29,2) 8 (33,3)
0,418
Lama Menderita PPOK
4 (1 – 12)
2,5 (1 – 13)
0,272
5 (20,8)
5 (20,8)
0,500
7 (29,2)
8 (33,3)
8 (33,3)
7 (29,2)
4 (16,7)
4 (16,7)
Jenis Obat PPOK 1. LAMA + SABA dan/atau SAMA, n(%) 2. LAMA + SABA dan/atau SAMA + Teofillin, n(%) 3. LABACS/ICS + LAMA + SABA dan/atau SAMA, n(%) 4. LABACS/ICS + LAMA + SABA dan/atau SAMA + Teofillin + Karbosistein, n(%)
p
Keterangan Singkatan : SAMA, Short acting anti muscarinic/anticholenergic; LAMA, Long acting anti muscarinic/anticholenergic; SABA, Short acting β2 agonist; LABACS, Inhaled corticosteroid + long acting β2 agonist; ICS, Inhaled corticosteroid.
Universitas Indonesia
"
50" " " Rata-rata subyek penelitian tergolong perokok berat (indeks Brinkman > 600). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada derajat penyakit PPOK, lama menderita PPOK dan jenis obat-obatan PPOK yang digunakan antara kelompok kasus dan kontrol. Tabel 5.3 Data Dasar Indeks BODE Subyek Penelitian Variabel
Kelompok Kasus
Kelompok Kontrol
(n=24)
(n=24)
IMT awal Rerata (SD)
22, 82 (3,60)
22,38 (3,20)
0,349
%VEP1 awal Rerata (SD)
46,98 (15,87)
49,99 (15,87)
0,258
2 (0-4)
2 (0-4)
0,374
313,79 (58,78)
308,88 (52,98)
0,381
4,08 (2,08)
3,75 (1,85)
0,204
MMRC awal Median (min. – maks.) UJ6M awal Rerata (SD) Indeks BODE awal Rerata (SD)
p
Keterangan Singkatan : IMT, Indeks Masa Tubuh; VEP1, Volume Ekspirasi Paksa 1 detik; MMRC, Modified Medical Research Council for Dyspneau; UJ6M, Uji Jalan 6 Menit
Keempat variabel penyusun Indeks BODE yang terdiri dari IMT, %VEPI, MMRC, UJ6M tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok kasus dan kontrol. Rerata Indeks BODE kelompok kasus adalah 4,08 (2,08) dan kelompok kontrol 3,75 (1,85) serta tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok kasus dan kontrol.
Universitas Indonesia
"
51" " " 5.2 Perbedaan Hasil Kedua Kelompok Setelah Intervensi Pengukuran indeks BODE dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu pada hari ke-1 atau awal penelitian, sebelum kedua kelompok mendapat intervensi dan hari ke-30 atau setelah kedua kelompok mendapat intervensi. Tabel 5.4 Perbedaan Perubahan Indeks BODE Kelompok Kasus dan Kontrol Setelah Intervensi Rerata Perubahan (SD)
Perbedaan Rerata (IK 95%) a Median (min. – maks.) b
p
Δ IMT (Kg/m2) • Kasus • Kontrol
0.18 (0,27) -0,02 (0,05)
0,00 (0,00 – 0,93) b 0,00 (-0.19 – 0,00) b
0,0005**
Δ %VEP1 (%) • Kasus • Kontrol
1,45 (3,51) -1,53 (2,03)
2,98 (1,31 sampai 4,64)a
0,0005*
Δ MMRC • Kasus • Kontrol
-1,67 (0,56) -0,42 (0,50)
-2,00 (-2,00 – 0,00) b 0,00 (-1,00 – 0,00) b
0,000**
66,40 (21,51) - 5,08 (23.40)
70,00 (35,00 – 135,00) b 0,00 (-40 – 35) b
0,000**
-1,96 (1,04) -0,13 (0,68)
-2,00 (-4 – 0)b 0,00 (-1 – 1)b
Variabel
Δ UJ6M (m) • Kasus • Kontrol Δ Indeks BODE • Kasus • Kontrol
Keteranagan
:
a
0,000**
sebaran data normal; b sebaran data tidak normal
* uji T tidak berpasangan; ** uji Mann-Whitney
Setelah dilakukan intervensi pada kedua kelompok ditemukan pada kelompok kasus terjadi perubahan IMT dengan rerata peningkatan 0,18 Kg/m2, sementara pada kelompok kontrol terjadi penurunan dengan rerata 0,02 Kg/m2. Perbedaan rerata Peningkatan %VEP1 antara kelompok kasus dan kontrol adalah 2,98 %
Universitas Indonesia
"
52" " " lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Pada kelompok kasus median penurunan skor MMRC sebesar 2 unit dan sebesar 0 unit pada kelompok kontrol. Peningkatan variabel UJ6M menunjukkan median 70 m dan kelompok kontrol justru menunjukkan penurunan sebesar median 5,98 m.
Grafik 5.1 Perbedaan Perubahan Indeks BODE kelompok Kasus dan kelompok Kontrol setelah Mendapat Intervensi Median penurunan Indeks BODE kelompok kasus setelah mendapat intervensi adalah 2 unit, sedangkan kelompok kontrol menunjukkan median penurunan sebesar 0 unit. Perbedaan rerata penurunan indeks BODE 1,83 unit lebih besar pada kelompok kasus dibandingkan kelompok kontrol. (p = 0 ,000).
5.3 Efek Samping yang Timbul Selama Penelitian Efek samping yang ditemukan selama penelitian adalah nyeri di tempat penusukan pada 2/24 (8,33 %) subyek penelitian dan pegal di tungkai bawah pada 4/24 (16,67%) subyek penelitian. Efek samping lain berupa hematom, acushock, infeksi atau reaksi alergi tidak ditemukan selama penelitian. Nodul subkutan non inflamasi pada 1/24 (4,17%) subyek penelitian. Universitas Indonesia
"
53" " " BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian mengenai pengaruh terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa terhadap Indeks BODE pasien PPOK dilakukan terhadap 48 orang subyek penelitian. Dalam pelaksanaan penelitian ini telah dilakukan kontrol yang ketat terhadap seleksi subyek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Subyek penelitian dialokasikan secara random menjadi dua kelompok, yaitu kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kasus menerima medikamentosa dan akupunktur tanam benang sedangkan kelompok kontrol menerima medikamentosa dan akupunktur sham. Sebagai upaya untuk mempertahankan ketaatan (compliance) subyek penelitian, peneliti memberikan nomor telepon yang bisa dihubungi kapanpun subyek penelitian memiliki keluhan atau pertanyaan seputar penelitian yang sedang berlangsung. Sehari sebelum jadwal tindakan akupunktur tanam benang ataupun akupunktur sham, peneliti menghubungi subyek penelitian dan mengingatkan jadwal penelitiannya. Interval waktu tindakan akupunktur tanam benang/sham pertama dan kedua ditetapkan 15 hari dan tindakan dilakukan hanya pada satu sisi bagian tubuh pada setiap sesinya. Hal tersebut dilakukan karena mempertimbangkan karakteristik benang chromic catgut yang memiliki tensile strenght 14-21 hari dan kecepatan degradasi masa benang secara sempurna yang mencapai 80-90 hari.28,30 Diharapkan dengan penanaman unilateral, stimulasi berlebih akibat penanaman catgut pada lokasi dengan benang yang belum habis terserap dapat diminimalkan. Penilaian indeks BODE dilakukan di awal penelitian dan pada akhir penelitian (hari ke-30). Perbedaan indeks BODE yang ditemukan kemudian dibandingkan antara kedua kelompok dan dianalisis secara statistik. Data awal kedua kelompok yang meliputi profil subyek penelitian (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan), profil penyakit penderita (indeks Brinkman, derajat penyakit, lama menderita PPOK dan jenis obat PPOK yang digunakan) serta data dasar indeks BODE dan variabelnya, diuji secara statistik dan ditemukan tidak
"
53
Universitas Indonesia
54" " " terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) sehingga kedua kelompok bisa dibandingkan. Keterbatasan alat spirometri yang tersedia pada lokasi penelitian sementara frekuensi utilisasi alat yang sangat padat, terkadang membuat jadwal pemeriksaan spirometeri harus dimundurkan sehari setelah jadwal yang ditetapkan. Pengunduran jadwal sehari tersebut secara klinis dianggap tidak menyimpang dari protokol penelitian dan tidak mempengaruhi hasil penelitian. Seluruh subyek mengikuti penelitian selama 30 hari sesuai protokol penelitian dan tidak ditemukan subyek yang gugur dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian pertama di Indonesia yang menerapkan akupunktur tanam benang pada penderita PPOK dan menggunakan Indeks BODE sebagai luaran / outcome yang dianalisa. Penelitian ini berbeda dengan penelitian akupunktur tanam benang pada PPOK oleh Li et al.12 dan Jaroensuk dan Sittimart13 dalam hal pemilihan titik akupunktur, interval terapi, dan luaran yang dianalisa. Terkait dengan hasil penelitian sebuah penelitian klinis, selain kemaknaan secara statistik perlu kiranya diperhatikan kemaknaan secara klinis dari luaran yang dianalisa.73, 74 Perbaikan klinis minimum yang dianggap bermakna secara klinis dikenal dengan istilah MCID (minimum clinically important difference score), yang pertama kali diperkenalkan oleh Jaeschke et.al. pada tahun 1989.7 Data MCID indeks BODE pada kasus PPOK yang didapatkan dari beberapa sumber untuk variabel UJ6M = 54-80 m; MMRC = 1 unit, Indeks BODE = 1 unit; MCID untuk variabel %VEP 1 dan IMT belum dapat ditentukan.7 Hasil penelitian ini menunjukkan rerata penurunan skor Indeks BODE pada kelompok kasus setelah intervensi adalah 1,96 (1,04) unit. Secara lebih rinci untuk masing-masing variabel indeks BODE : rerata peningkatan IMT sebesar 0,18 (0,27) kg/m2; rerata peningkatan %VEP1 sebesar 1,45 (3,51)%; rerata peningkatan UJ6M adalah 66,40 (21,51) meter; rerata penurunan skor MMRC adalah 1,67 unit. Berdasarkan atas nilai MCID indeks BODE pada PPOK7 maka perubahan rerata untuk indeks BODE serta variabel UJ6M dan MMRC pada penelitian ini bermakna secara statistik sekaligus memiliki arti penting secara klinis.
Universitas Indonesia
"
55" " " Dalam penelitian ini, perubahan pada variabel IMT dan %VEP1 dinilai paling rendah dibandingkan variabel penyusun indeks BODE lainnya. Hal serupa juga terjadi pada serial kasus yang dilakukan oleh Suzuki et al. (2012)68 dan uji klinis oleh Suzuki et al. (2012).10 Meninjau uji klinis yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh medikamentosa pada perubahan fungsi faal paru, studi UPLIFT (Umderstanding Potential Long-Term Impact on Function with Tiotropium) yang dilakukan selama 4 tahun dan melibatkan 5993 responden, bersifat multicentre dan multi negara (37 negara) menunjukkan bahwa penggunaan tiotropium dapat meningkatkan fungsi paru, kualitas hidup dan pengurangan frekuensi eksaserbasi tetapi tidak secara signifikan menghambat laju penurunan VEP1. Dilaporkan bahwa besar peningkatan VEP1 yang terjadi setelah 4 tahun masa studi adalah 87 hingga 103 ml (p<0,001). 75,76 Pada studi TORCH (Toward a Revolution on COPD Health), sebuah uji klinis, multicentre dan berlangsung selama 3 tahun dan melibatkan 6112 responden, tercatat perubahan nilai VEP1 pada penggunaan bronkodilator kombinasi LABA dan ICS selama 3 tahun sebesar 93 ml (p < 0,001).75 Lamanya waktu terapi yang diperlukan untuk meningkatkan nilai VEP1 diperkirakan karena kerusakan parenkim paru yang telah terjadi dan fibrosis yang mengakibatkan airway remodelling pada saluran napas penderita PPOK.58 Keunggulan teknik tanam benang dibandingkan akupunktur manual terletak pada penggunaan titik akupunktur yang lebih sedikit, perangsangan yang bertahan lebih lama sehingga frekuensi terapi menjadi lebih jarang.11 Suzuki et al.68 melakukan serial kasus pada 26 pasien PPOK. Subyek penelitian tetap mendapatkan pengobatan standar PPOK dan dilakukan akupunktur manual pada titik LU1 Zhongfu, LU9 Taiyuan, LI18 Futu, CV4 Guanyuan, CV12 Zhongwan, ST36 Zusanli, KI3 Taixi, GB12 Wangu, BL13 Feishu, BL20 Pishu, dan BL23 Shenshu. Terapi dilakukan sekali seminggu selama 10 minggu. Dilaporkan dalam studi ini rerata penurunan skor indeks BODE setelah intervensi adalah sebesar 1,54 unit (p <0,05) sedangkan dalam penelitian ini yang hanya dilakukan dalam periode 30 hari dengan dua kali tindakan akupunktur tanam benang unilateral dihasilkan penurunan skor indeks BODE setelah intervensi sebesar 1,96 unit (p = 0,000).
Universitas Indonesia
"
56" " " Pemilihan titik akupunktur pada penelitian ini dilakukan berdasarkan pendekatan neuroanatomi, bukti klinis yang didapatkan dari penelitian klinis maupun eksperimental terhadap titik yang diketahui memiliki efek antiinflamasi dan regulasi imunitas, bermanfaat pada kasus fibrosis paru dan saluran napas, meningkatkan mucocilliary clearance serta memiliki efek antioksidatif.10, 12, 32, 67, 77
Pemilihan titik juga didasarkan atas kecocokan lokasi titik dengan teknik
akupunktur tanam benang yang akan dilakukan. 11,69 Perangsangan titik akupunktur pada permukaan tubuh (kulit ataupun otot) melalui mekanisme refleks kutaneoviseral dapat meregulasi organ yang terletak pada neurotom yang bersesuaian.49,50 Paru-paru secara dermatom terletak pada thorakal II-VIII.49 Rangsangan akupunktur pada titik BL13 Feishu yang diinervasi oleh cabang kutaneus medial dari ramus posterior nervus thorakalis III72 dan Titik BL43 Gaohuangshu yang diinervasi oleh cabang medial dari ramus dorsalis nervus Thorakalis II dan cabang lateral nervus Thorakalis III72, akan diteruskan ke sel marginal di kornu posterior medula spinalis lamina I - VI. Impuls saraf kemudian dilanjutkan melalui serabut intrasegmental ke kornu anterior yang bertanggung jawab dalam persarafan motorik otot rangka (lamina IX) dan kornu lateralis yang merupakan awal persarafan otonom (lamina VII dan VIII). Rangsangan akupunktur ini akan memicu sistem saraf simpatis bronkus yang diatur oleh serabut-serabut saraf postganglionic setinggi thorakal II - V.78 Terjadi pelepasan norepinefrin yang akan mengaktivasi adrenoseptor β2 dan terjadi kopel protein Gs ke adenyl cyclase yang akan meningkatkan produksi cAMP. Aktivasi PKA oleh cAMP melalui beberapa mekanisme akan menurunkan kadar Ca2+ sitoplasmik sehingga menyebabkan relaksasi otot polos saluran napas.79 Alasan lain dipilihnya BL43 Gaohuangshu adalah terbuktinya efektifitas titik ini pada penelitian Rong L, et al.77 dalam mengurangi proses fibrosis saluran napas yang terjadi pada kasus PPOK. Titik BL20 Pishu diinervasi cabang medial dari ramus posterior nervus Thorakalis XI-XII dan titik BL23 Shenshu dipersarafi oleh cabang lateral dari ramus posterior nervus Lumbalis I, secara dermatomal diinervasi segmen saraf LI-III.72 Secara segmental Titik BL20 Pishu dan BL23 Shenshu memiliki segmen
Universitas Indonesia
"
57" " " yang
sama
dengan
kelenjar
adrenal.80
Melalui
refleks
kutaneoviseral
perangsangan di titik ini dapat meningkatkan produksi norepinefrin dan ACTH yang berperan dalam menyeimbangkan kembali rasio Th1 dan Th2, sehingga produksi sitokin proinflamasi dapat ditekan.38 Titik BL13 Feishu, BL20 Pishu, BL23 Shenshu juga merupakan titik yang paling sering digunakan pada berbagai penelitian terkait dengan peranan akupunktur pada PPOK dan terbukti dapat meningkatkan β-endorfin dalam darah serta menekan proses inflamasi melalui berbagai jalur signaling.7,35 Secara sentral rangsang akupunktur akan diteruskan oleh sel marginal ke nukleus ventroposterior talamus lalu diproyeksikan ke korteks serebri. Pada midbrain terdapat cabang kolateral ke periaquaductal grey matter (PAG). PAG memproyeksikan ke bawah ke nukleus raphe magnus dan nukleus retikularis paragigantoselularis
di
medula
oblongata.
Rangsang" penusukan" akan"
mengaktivasi" hypothalamus:pituitary" sehingga" melepaskan" β@endorfin" ke" dalam" darah" dan" cairan" serebrospinalis.50 Pelepasan β-endorfin
akan
menstimulasi reseptor µ (mu) yang dilaporkan dapat mengurangi frekuensi napas, menumpulkan respons persepsi sehingga mengurangi intensitas sesensasi sesak napas, dan modulasi dispneu yang disertai bronkokonstriksi akut melalui mediasi beta-adrenoceptor.39,54 Penelitian yang dilakukan Tai et al.67 membuktikan peran akupunktur dalam meningkatkan mucocilliary clearance dan berperan dalam menormalisasi inflamasi yang terjadi pada saluran napas. Saat ini diketahui bahwa regulasi produksi mukus yang terkait dengan mucocilliary clearance dipengaruhi oleh PPAR-γ yang juga disebutkan berperan sebagai antiinflamasi, imunomodulasi dan menekan fibrosis paru. Titik ST40 Fenglong dipilih karena terbukti pada beberapa penelitian berperan dalam metabolisme lipid yang melibatkan regulasi PPAR-γ.60,61 Patofisiologi PPOK bersifat kompleks dan hingga saat ini masih belum diketahui secara lengkap. Amplifikasi respons inflamasi yang abnormal di saluran nafas dan paru sebagai akibat paparan asap rokok dan partikel berbahaya lainnya dianggap sebagai patogenesis utama. Namun hingga saat ini, mekanisme yang mendasari respons inflamasi abnormal tersebut masih terus dipelajari, terutama
Universitas Indonesia
"
58" " " inflamasi paru yang terjadi pada pasien PPOK yang tidak merokok. Inflamasi ini selanjutnya dapat diperberat oleh stres oksidatif yang memicu aktivasi proteinase berlebih. Inflamasi sendiri dapat juga menginduksi timbulnya stres oksidatif ini sebagai akibat menurunnya anti oksidan endogen pada pasien PPOK.1 Hingga saat ini penelitian untuk menemukan antiinflamasi yang cukup efektif namun aman bagi penderita PPOK dalam jangka panjang, masih terus dilakukan. Berbagai jalur inflamasi yang meliputi beragam sel inflamasi dan mediator inflamasi (lipid mediator, sitokin, kemokin, growth factor, protease) terlibat dalam inflamasi perifer di jaringan paru dan saluran nafas maupun inflamasi sistemik yang terjadi pada penderita PPOK. Hal ini menyebabkan pendekatan medikamentosa yang hanya mentarget suatu sitokin individual atau reseptor kemokin tertentu saja, menunjukkan hasil klinis yang kurang memuaskan.18 Respons penggunaan steroid pada PPOK berbeda dengan asma. Penggunaan steroid inhalasi sebagai monoterapi ataupun dalam bentuk kombinasi harus dilakukan secara hati-hati pada PPOK karena berbagai efek samping yang dapat ditimbulkan.22 Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan steroid inhalasi dalam mengurangi frekuensi eksaserbasi menunjukkan efektifitas kerja yang tidak berbeda bermakna dengan obat inhalasi beta-2 agonis kerja lama. Steroid inhalasi juga dilaporkan tidak berperan dalam menurunkan angka mortalitas" secara" bermakna.22 Lingkungan oksidatif pada jaringan dan sistem organ penderita PPOK serta beragamnya jalur inflamasi yang aktif pada PPOK juga diduga sebagai salah satu faktor penyebab resistensi glukokortikoid yang terjadi pada PPOK.81 Inhibitor Fosfodiesterase-4 (roflumilast) merupakan antiinflamasi spektrum luas yang sedang dikembangkan untuk PPOK, namun beberapa efek samping seperti mual yang sangat mengganggu pendertia membatasi dosis yang bisa diberikan secara oral.23 Inhibitor Fosfodiesterase-4 inhalasi kini sedang dikembangkan untuk mengurangi efek samping tersebut namun tentunya dengan biaya yang cukup tinggi terlebih apabila digunakan jangka panjang.18 Fakta dari hasil penelitian yang dilakukan Laforest et al.82 mengenai kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat-obatan PPOK menunjukkan bahwa 45% pasien lupa akan obat-obat PPOK rutin yang harus diminum sehari-hari, dan
Universitas Indonesia
"
59" " " sebanyak 30% menghentikan konsumsi obat karena merasa tidak menerima manfaat secara klinis. Risiko penghentian obat-obatan ditemukan meningkat ketika pasien mengeluh terlalu banyak obat yang dikonsumsi dalam sehari.
82
Hal ini tentunya menambah deretan masalah yang harus dipecahkan dalam tatalaksana PPOK dalam rangka upaya menurunkan mortalitas dan progresivitas penyakit ini. Menyikapi kondisi ini dan berdasarkan data hasil penelitian ini yang menunjukkan rerata penurunan indeks BODE 1,83 unit lebih besar pada kelompok kasus yang menerima terapi kombinasi medikamentosa dan akupunktur (p = 0,000), dan efek samping minimal yang ditujukan dari data pencatatan efek samping yang ditimbulkan selama penelitian, maka utilisasi akupunktur sebagai terapi penunjang tatalaksana PPOK dapat dipertimbangkan. Akupunktur memiliki efek antiinflamasi yang bekerja dalam berbagai jalur, seperti modulasi neuropeptida, sitokin dan neurotropin yang terkait inflamasi, menekan aktivasi TRPV1 dan TRPV4, modulasi ekspresi NF-! B, meningkatkan aktivitas PPAR-γ, dan juga melalui mediasi β-endorfin akupunktur menyeimbangkan rasio Th1 dan Th2.
30-41
Selain itu akupunktur juga memiliki
efek antioksidan yang dihasilkan secara tidak langsung melalui penekanan sitokin proinflamasi yang dimediasi MAPK p3855 dan juga efek sitmulasi antioksidan endogen seperti superoxide, dismutase" (SOD)" dan" glutathione, peroxidase" (GPx).56" Dengan" berkurangnya" inflamasi" dan" kondisi" oksidatif" stres" yang" terjadi,"produksi"proteinase"seperti"matrix metallo proteinase-1 (MMP-1) juga dapat ditekan.19 Selain itu, stimulasi PPAR-γ juga berkontribusi dalam menekan laju fibrosis yang terjadi pada PPOK."63 Peran akupunktur dalam mengurangi gejala PPOK khususnya sesak napas melalui mekanisme bronkodilatasi diduga melibatkan peran nitric oxide (NO).51 Kontroversi peran NO pada PPOK muncul karena kondisi stres oksidatif dan amplikasi respon inflamasi yang terjadi pada PPOK menyebabkan perubahan -
NO menjadi peroxynitrite anion (ONOO ) yang merupakan molekul sitotoksik yang kuat. Enzim pembentuk NO dikenal dengan NOS (nitric oxide synthase). Secara fungsional NOS dibedakan menjadi bentuk constitutive (nNOS dan eNOS) dan inducible (iNOS). Meningkatkan berbagai mediator inflamasi pada PPOK seperti TNF-α, interferon-γ dan IL-1β dan reactive oxygen species (ROS) akan
Universitas Indonesia
"
60" " " menginduksi terbentuknya NO proinflamasi yang berperan ganda, yaitu pertahanan tubuh, vasodilatasi tapi dilain pihak bersifat genotoxicity, nekrosis, apoptosis dan inhibisi dari enzim seluler. 52 Pada penelitian Li et al (2011)12, Suzuki et al (2012) Jaroensuk dan Sittimart (2013)13 dan juga dalam penelitian ini, akupunktur tanam benang terbukti dapat mengurangi gejala sesak napas dan meningkatkan kapasitas latihan fisik penderita PPOK. Akupunktur pada berbagai penelitian juga terbukti meningkatkan produksi NO endogen. Penusukan akupunktur akan merangsang vlPAG (ventro-lateral periaqueductal gray) sebagai sebuah regio penting di otak yang meregulasi outflow saraf otonom yang selanjutnya akan mengirimkan impuls ke rVLM (rostral ventrolateral medulla) yang merupakan regio integrasi dari luaran simpatis dan merangsang pembentukan cNOS.83 Berdasarkan analisa terhadap peran NO yang cukup kompleks dalam kondisi PPOK, dan peran akupunktur dalam PPOK yang dapat berperan sebagai antiinflamasi antioksidan
56
30-41
,
dan antifibrosis63, proses pembentukan iNOS dapat ditekan dan
sebaliknya produksi nNOS dan eNOS dapat ditingkatkan. Dengan menormalisasi keseimbangan antara sel Th1 dan Th230-41, akupunktur dapat menekan produksi berbagai sitokin inflamasi seperti
TNF-α, interferon-γ dan IL-1β dan
meningkatkan mediator antiinflamasi seperti IL-6 dan Il-10 serta menstimulasi antioksidan endogen, SOD dan GPx.56 Kondisi ini menguntungkan dalam metabolisme NO karena mengarahkan terbentuknya eNOS dan nNOS yang berperan positif dalam terbentuknya NO yang dapat berperan dalam bronkodilatasi, menurunkan sekresi mukus, airway remodelling, dan vasodilatasi pembuluh darah paru dan bronkial.52 Keterbatasan penelitian ini adalah waktu penelitian yang cukup singkat sehingga tidak dapat dilakukan pemantauan klinis mengenai lama efek tanam benang dapat bertahan pada subyek penelitian. Hal ini menyebabkan belum dapat ditentukannya jumlah dan frekuensi optimal terapi akupunktur tanam benang yang dibutuhkan oleh pasien PPOK. Waktu penelitian yang lebih panjang juga dibutuhkan untuk mengamati pengaruh akupunktur tanam benang terhadap keempat variabel indeks BODE terutama VEP1 dan IMT dengan lebih baik.
Universitas Indonesia
"
61" " " BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN
7.1 SIMPULAN 1. Terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa lebih efektif menurunkan indeks BODE penderita PPOK dibandingkan dengan medikamentosa saja. 2. Terdapat perbedaan bermakna rerata penurunan skor Indeks BODE, yaitu 1,83 unit lebih besar pada kelompok kasus dibandingkan kelompok kontrol. (p = 0 ,000). 7.2 SARAN 1. Melakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui berapa lama efek akupunktur tanam benang dapat bertahan pada kasus PPOK. 2. Melakukan penelitian akupunktur tanam benang dengan jenis benang yang berbeda yaitu benang yang diserap lebih lama oleh tubuh sehingga dapat memiliki efek terapeutik yang lebih lama dan mengurangi frekuensi kunjungan yang dibutuhkan pasien PPOK. 3. Penelitian lanjutan dengan jangka waktu penelitian yang lebih lama diperlukan untuk melihat pengaruh akupunktur tanam benang terutama pada faktor obstruksi saluran napas yang diperiksa dengan spirometri. 4. Akupunktur tanam benang dapat digunakan sebagai salah satu modalitas terapi penunjang pada tatalaksana PPOK.
61 "
Universitas Indonesia
62" " " DAFTAR PUSTAKA 1.
Antariksa B, Yunus F, et al. Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI); 2011.
2.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Updated 2014.
3.
Media centre WHO. Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Fact Sheet Geneva 2013. Diunduh pada tanggal 20 April 2014 . Disitasi dari Http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs315/en/.
4.
Barnes PJ. Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Effects beyondthe Lungs. PLoS Med.7(3 ):e1000220.
5.
Badan-penelitian-dan-pengembangan-kesehatan. 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.
6.
Lan LTT, Dinh-Xuan AT. Pathophysiology Updates for Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Curr Respir Care Rep. 2013;2:139-44.
7.
Fu P, Hsieh C. Acupuncture for attenuating dyspnea in patients with chronic obstructive pulmonary disease. OA Evidence-Based Medicine. 2013;1(1):1-8.
8.
Liu SF, et al. The Clinical COPD Questionnaire Correlated with BODE Index-A Cross-Sectional Study. The ScientificWorld Journal. 2012;Article ID 361535.
9.
Sarioglu N, et al. Relationship between BODE index, quality of life and inflammatory cytokines in COPD patients. Multidisciplinary Respiratory Medicine. 2010;5(2):84-91.
Riset
Kesehatan
Dasar
10. Suzuki M, et al. A Randomized, Placebo-Controlled Trial of Acupuncture in Patients With Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) - The COPDAcupuncture Trial (CAT). Arch Intern Med. 2012;172(11):878-86. 11. Kang S, et al. Exploration to the disease spectrum of acupoint catgutembedding therapy. WJAM. 2012;22(1):53-8 12. Li J, Zhou Y, Tang J, Yang P, Huang H, Shen Y, et al. Efficacy observation of chronic obstructive pulmonary disease due to lung and kidney deficiency treated with acupoint-catgut-embedding therapy combined western medication. Zhongguo Zhen Jiu / Acupuncture and Moxibustion. 2011;31(1):26-30.
"
62
Universitas Indonesia
63" " " 13. Jaroensuk C, Sittimart P. Catgut Embedding Technique at Selected Acupoints in Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of Thai Traditional & Alternative Medicine. 2013;11(2):152-61. 14. World Health Organization. Global surveillance, prevention and control of chronic respiratory diseases : a comprehensive approach. Bousquet J, Khaltaev N, editors. Geneva: World-Health-Organization; 2007. 15. Burney P, et al. Chronic obstructive pulmonary disease mortality and prevalence: the associations with smoking and poverty—a BOLD analysis. Thorax. 2013;0:1-9. 16. Guarascio AJ, Ray SM, Finch CK, Self TH. The clinical and economic burden of chronic obstructive pulmonary disease in the USA. Clinico Economics and Outcomes Research. 2013;5:235-45. 17. Hanif MA. Skor gabungan CURB-65 dan rasio kapasitas inspirasi / kapasitas paru total sebagai prediktor mortalitas satu tahun pada PPOK. Jakarta: Program Studi Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi. Universitas Indonesia 2013. 18. Barnes PJ. Cellular and Molecular Mechanisms of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Clin Chest Med. 2014;35:71-86. 19. Li J, et al. TRPV4-Mediated Calcium Influx into Human Bronchial Epithelia upon Exposure to Diesel Exhaust Particles. Environ Health Perspect. 2011;119(6):784-93. 20. Grimes GC, Manning JL, Patel P, Via RM. Medications for COPD: A Review of Effectiveness. Am Fam Physician. 2007;76:1141-8. 21. Cazzola M, PagE CP, Calzetta L, Matera MG. Pharmacology and Therapeutics of Bronchodilators. Pharmacol Rev. 2012; 64:450-504. 22. Price D, Yawn B, Brusselle G, Rossi A. Risk-to-benefit ratio of inhaled corticosteroids in patients with COPD. Prim Care Respir J. 2012; 21. 23. Jin C, Ding SL, Lin SC. Phosphodiesterase 4 and Its Inhibitors in Inflammatory Diseases. Chang Gung Med J. 2012;35:197-210. 24. Cote C, Plata V, Nekach J, Dordelly L. The modified BODE index: validation with mortality in COPD. Eur Respir J. 2008;32:1269-74. 25. Celli BR, et al. The Body-Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity Index in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N ENGL J MED. 2004;350(10):1005-11. 26. Banerjee A, Koziol-White C, Panettieri R. p38 MAPK inhibitors, IKK2 inhibitors, and TNFa inhibitors in COPD. Current Opinion in Pharmacology. 2012;12: 287-92. Universitas Indonesia
"
64" " " 27. Perhimpunan Dokter Spesialis Akupunktur Medik Indonesia. Akupunktur medik dan perkembangannya. Jakarta: Kolegium Akupunktur Indonesia; 2009. 28. Demetech. Surgical Suture Information. Diunduh pada tanggal 13 Desember 2014 . Disitasi dari : http://www.demetech.us/sutures.php. 29. Gut Suture - Absorbable Surgical Suture (plain and chromic). Diunduh pada tanggal 12 Desember 2014. Disitasi dari : http://rpmed.com/ifus/sutures_" ifu_chromicgut.pdf. 30. Suture materials. Diunduh pada tanggal 12 Desember 2014. Disitasi dari : http://www.uobabylon.edu.iq/uobcoleges/ad_downloads/6_17543_197. pdf. 31. Chuang YT, Li TS, Lin TY, Hsu CJ. An unusual complication related to acupuncture point catgut embedding treatment of obesity. Acupunct Med. 2011; 29: 307-8. 32. Kavoussi B, Ross BE. The Neuroimmune Basis of Anti-inflammatory Acupuncture. Integrative Cancer Therapies.6(3):251-7. 33. Fang JQ, Du JY, Liang Y, Fang JF. Intervention of electroacupuncture on spinal p38 MAPK/ATF-2/VR-1 pathway in treating inflammatory pain induced by CFA in rats. Molecular Pain. 2013;9(13):1-14. 34. Zhang ZJ, Xiao-MinWang, M.McAlonan G. Neural Acupuncture Unit: A New Concept for Interpreting Effects and Mechanisms of Acupuncture. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. 2012;Article ID 429412:1-23. 35. McDonald JL, et al. The Anti-Inflammatory Effects of Acupuncture and Their Relevance to Allergic Rhinitis: A Narrative Review and Proposed Model. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. 2013;Article ID 591796:1-12. 36. Li A, et al. Electroacupuncture activates corticotrophin-releasing hormonecontaining neurons in the paraventricular nucleus of the hypothalammus to alleviate edema in a rat model of inflammation. BMC Complementary and Alternative Medicine. 2008;8(20):1-8. 37. Coutinho AE, Chapman KE. The anti-inflammatory and immunosuppressive effects of glucocorticoids, recent developments and mechanistic insights. Mol Cell Endocrinol. 2011;335(1):2-13. 38. Gui J, Xiong F, Li J, Huang G. Effects of Acupuncture on Th1, Th2 Cytokines in Rats of Implantation Failure. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. 2012:1-10.
Universitas Indonesia
"
65" " " 39. Ngai SP, et al. An Adjunct Intervention for Management of Acute Exacerbation of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (AECOPD). The Journal Of Alternative And Complementary Medicine. 2013;19(2):178-81. 40. Lin JG, Chen WL. Acupuncture Analgesia: A Review of Its Mechanisms of Actions. The American Journal of Chinese Medicine. 2008;36(4):635-45. 41. Chen WH, et al. Attenuation of TRPV1 and TRPV4 Expression and Function in Mouse Inflammatory PainModels Using Electroacupuncture. EvidenceBased Complementary and Alternative Medicine. 2012; Article ID 636848:1-12. 42. Becker JE, et al. Mu Opiod Receptor Activation Modulates Transient Receptor Potential Vanilloid 1 (TRPV1) Currents in Sensory Neurons in a Model of Inflammatory Pain. Molecular Pharmacology. 2007;7(1):12-8. 43. Johnson M, Rennard S. Alternative Mechanism for Long Acting Beta adrenergic Chest. 2001;120:258-70. 44. Kim H, et al. Low-frequency electroacupuncture suppresses carrageenaninduced paw inflammation in mice via sympathetic post-ganglionic neurons, while high-frequency EA suppression is mediated by the sympathoadrenal medullary axis. Brain Res Bull. 2008;75(5):698-705. 45. Zhang X, Shen L, Fan H, Liao Y, Liang L. Molecular mechanism of acupoint catgut-embedding for experimental colitis in rats. Zhongguo Zhen Jiu / Acupuncture and Moxibustion. 2011;10:913-8. 46. Wu SY, Chen WH, Hsieh CL, Lin YW. Abundant expression and functional participation of TRPV1 at Zusanli acupoint (ST36) in mice: mechanosensitive TRPV1 as an “acupuncture-responding channel”. BMC Complementary and Alternative Medicine. 2014;14(96):1-15. 47. Hall JE. The Autonomic Nervous System and the Adrenal Medulla. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology Twelfth Edition. USA: Saunders Elsevier. p. 729-41. 48. Giembycz M, Newton R. Beyond the dogma: novel b2-adrenoceptor signalling in the airways. Eur Respir J 2006;27:1286-306. 49. Medical Acupuncture A Western Scientific Approach. Filshie J, White A, editors. Philadelphia, USA: Churchill Livingstone; 2004. 50. An Introduction to Western Medical Acupuncture. White A, Cummings M, Filshie J, editors. Philadelphia USA: Churchill Livingstone; 2008. 51. Kimura K, et al. Effects of nitric oxide synthase inhibition on cutaneous vasodilation in response to acupuncture stimulation in humans. Acupunct Med. 2013;31:74-80.
Universitas Indonesia
"
66" " " 52. Fabio L, et al. Nitric Oxide in Health and Disease of the Respiratory System. Physiol Rev. 2004;84:731-65. 53. Tagaya E, Tamaoki J, Chiyotani A, Konno K. Stimulation of Opioid MuReceptor Potentiate Beta Adrenoceptor-Mediated Relaxation of Canine Airway Smooth Muscle. The Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics. 1995;275:1288-92. 54. Ngai SP, Jones AY, Hui-Chan CY. Acu-TENS and Postexercise Expiratory Flow Volume in Healthy Subjects. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. 2011;Article ID 726510:1-7. 55. Zeng XH, Li QQ, Xu Q, Li F, Liu CZ. Acupuncture Mechanism and Redox Equilibrium. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. 2014;Article ID 483294:1-7. 56. Wang H, et al. The Antioxidative Effect of Electro-Acupuncture in a Mouse Model of Parkinson’s Disease. Plos One. 2011;6(5):e19790. 57. Biswas A, Bhattacharya A, Das PK. Role of cAMP Signaling in the Survival and Infectivity of the Protozoan Parasite, Leishmania donovani. Molecular Biology International. 2011;Article ID 782971:1-9. 58. Wei J, Bhattacharyya S, Jain M, Varga J. Regulation of Matrix Remodeling by Peroxisome Proliferator-Activated Receptor-y: A Novel Link Between Metabolism and Fibrogenesis. The Open Rheumatology Journal. 2012;6 (Suppl 1 : M6): 103 - 15. 59. Belvisi MG, Mitchell JA. Targeting PPAR receptors in the airway for the treatment of inflammatory lung disease. British Journal of Pharmacology. 2009;158:994-1003. 60. Li M, Zhang Y. Modulation of gene expression in cholesterol-lowering effect of electroacupuncture at Fenglong acupoint (ST40): A cDNA microarray study. International Journal Of Molecular Medicine. 2007;19:617-29. 61. Liang F, et al. Low-Frequency Electroacupuncture Improves Insulin Sensitivity in Obese DiabeticMice through Activation of SIRT1/PGC-1 in SkeletalMuscle. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine. 2011;Article ID 735297,:1-9. 62. Liang H, Ward WF. PGC-1a: a key regulator of energy metabolism. Advan in Physiol Edu. 2006;30:145-51. 63. Shen Y, Chen L, TaoWang, Wen F. PPAR as a Potential Target to Treat Airway Mucus Hypersecretion in Chronic Airway Inflammatory Diseases. PPAR Research. 2012;Article ID 256874:1-6.
Universitas Indonesia
"
67" " " 64. Chen H, Liu Q, Salter M, Lomax M. Synergism between cAMP and PPARy Signalling in the Initiation of UCP1 Gene Expression in HIB1B Brown Adipocytes. PPAR Research. 2013;Article ID 476049. 65. Ptasinska A, Wang S, Zhang J, Wesley RA, Danner RL. Nitric oxide activation of peroxisome proliferator- activated receptor gamma through a p38 MAPK signaling pathway. The FASEB Journal 2007;21:950-61. 66. Geng Wy, et al. Effects of electroacupuncture at Zusanli (ST36) on inflammatory cytokines in a rat model of smoke- induced chronic obstructive pulmonary disease. Journal of Integrative Medicine. 2013;11(3):213-9. 67. Tai S, Wang J, Sun F, Xutian S, Wang T, King M. Effect of needle puncture and electro-acupuncture on mucocilliary clearance in anesthetized quails. BMC Complementary and Alternative Medicine. 2006;6(4):1-6. 68. Suzuki M, et al. Combined standard medication and acupuncture for COPD : a case series. Acupunct Med. 2012;30:96-102. 69. Yan L. Diagram of Acupuncture Manipulation. China: Shanghai Scientific and Technical Publishers; 2003. 70. WHO. Guidelines on Basic Training and Safety in Acupuncture 1999. Diunduh pada tanggal l2 September 2014. Disitasi dari: http://whqlibdoc." who.int/hq/1999/WHO_EDM_TRM_99.1.pdf. 71. World-Health-Organization. WHO Standard Acupuncture Point Location in The Western Pacific Region. Geneva: WHO office of publication; 2009. 72. O’Connor J, Bensky D. Acupuncture a comprehensive text. Chicago: Eastland Press; 1981. 73. Cook CE. Clinimetrics Corner: The Minimal Clinically Important Change Score (MCID): A Necessary Pretense. J Man Manip Ther. 2008;16(4): E82-E3. 74. Glaab T, Vogelmeier C, Buh R. Outcome measures in chronic obstructive pulmonary disease (COPD): strengths and limitations. Respiratory Research. 2010;11(79):1-11. 75. Miravitlles M, Anzueto A. Insights into interventions in managing COPD patients: lessons from the TORCH and UPLIFT® studies. International Journal of COPD. 2009;4:185-201. 76. Tashkin DP, et al. A 4-Year Trial of Tiotropium in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med. 2008;359:1543-54. 77. Rong L, et al. Effect of moxibustion at Feishu (BL13) and Gaohuang (BL43) on Bleomycin A5-induced interstitial pulmonary fibrosis in rats. New Journal of Traditional Chinese Medicine. 2005;11:1-12. Universitas Indonesia
"
68" " " 78. Cho Z, Wong E, Fallon J. Neuro-Acupuncture. Los Angeles CA: Q-Puncture; 2001. 79. Huang CS, Tsai YF. Somatosympathetic Refleks and Acupuncture-Related Analgesia. Chinese Journal of Physiology. 2009;52(5):345-57. 80. Silva MA. A Neurosegmental Perspective of the Classical Back Shu Points. Medical Acupuncture. 2010;22(4):257-64. 81. Koenderman L, Chilvers ER. Future treatment in patients with chronic obstructive pulmonary disease: To reverse or not to reverse steroid resistance—that is the question. J Allergy Clin Immunol. 2014;134(2):323-4. 82. Laforest L, et al. Correlates of adherence to respiratory drugs in COPD patients. Primary Care Respiratory Journal. 2010;19(2):148-54. 83. Stephanie C, et al. Medullary ventrolateral nitric oxide mediates the cardiac effect of electroacupuncture at “Neiguan” acupoint on acute myocardial ischemia in rats. Acta Physiologica Sinica. 2004;56(4):503-8.
Universitas Indonesia
"
"
69" " Etik Lampiran 1. Keterangan Lolos Kaji
Universitas Indonesia
"
70" Lampiran 2. Penjelasan Mengenai Penelitian "
"
PENJELASAN MENGENAI PENELITIAN Pengaruh Terapi Kombinasi Akupunktur Tanam Benang Dan Medikamentosa Terhadap Indeks BODE Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik PENDAHULUAN Peneliti dari Departemen Medik Akupunktur FKUI/RSCM bekerja sama dengan Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI/RSUP Persahabatan berencana melakukan penelitian berjudul Pengaruh Terapi Kombinasi Akupunktur Tanam Benang Dan Medikamentosa Terhadap Indeks BODE Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa dibandingkan dengan terapi medikamentosa terhadap indeks BODE pasien PPOK. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan apakah terapi kombinasi akupunktur tanam benang dan medikamentosa dapat berpengaruh terhadap indeks BODE pasien PPOK. Pasien PPOK yang memutuskan ingin mengikuti penelitian ini akan menjalani terapi akupunktur tanam benang sebagai terapi tambahan dari terapi standar yang sudah diterima. Diharapkan peserta penelitian mendapat manfaat berupa penurunan derajat sesak napas sehingga dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan lebih baik dan penurunan frekuensi kekambuhan PPOK (perburukan derajat sesak, peningkatan jumlah batuk dan dahak sehingga memerlukan pengobatan tambahan diluar obat standar). Anda diharapkan berpartisipasi penuh dalam penelitian ini. Keikutsertaan Anda bersifat sukarela dan Anda dapat mengundurkan diri dari penelitian ini setiap saat. Sebelum menyetujui untuk ikut serta dalam penelitian ini, Anda dapat membaca informasi berikut ini dan Anda dapat menanyakan langsung kepada peneliti apabila ditemukan hal-hal yang belum jelas atau tidak dimengerti.
Universitas Indonesia
"
71" " " Ringkasan Penelitian Pertama-tama Anda diminta kesediannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Apabila Anda bersedia maka Anda akan diseleksi dan diberi penjelasan lengkap mengenai penelitian ini termasuk surat persetujuan yang perlu Anda tangani. Setelah memenuhi persyaratan penelitian, secara acak Anda akan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok akupunktur tanam benang dan kelompok akupunktur sham. Anda tidak tahu apakah anda termasuk dalam kelompok akupunktur tanam benang atau sham, namun keduanya tidak memperburuk kondisi kesehatan anda saat ini. Akupunktur tanam benang merupakan terapi akupunktur dengan menggunakan benang yang dapat diserap sendiri oleh tubuh (umum Anda temukan untuk menjahit luka setelah melahirkan atau luka robek). Sebelum tindakan akan dilakukan pembiusan lokal dengan cara mengoleskan krim anestesi pada permukaan kulit untuk mengurangi kemungkinan timbulnya rasa nyeri. Benang tersebut berukuran 1 cm (0,5 cm apabila berat badan kurang dari 55 Kg) dan dimasukkan dengan bantuan jarum suntik. Pada sesi terapi pertama, benang dimasukkan pada 5 titik akupunktur di sebelah kiri tubuh. Pada sesi terapi kedua yang berjarak 15 hari dari sesi pertama, benang dimasukkan pada 5 titik akupunktur di sebelah kanan tubuh. Akupunktur Sham memiliki prosedur yang sama dengan akupunktur tanam benang namun tidak memasukkan benang dalam tubuh anda. Sebelum tindakan akupunktur tanam benang pertama dan 15 hari setelah tindakan akupunktur tanam benang kedua, dilakukan pemeriksaan untuk menentukan Indeks BODE yang mencakup 4 macam pemeriksaan. Pemeriksaan pertama untuk menentukan Indeks Masa Tubuh akan dilakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan Anda. Pemeriksaan kedua untuk mengetahui keparahan sumbatan jalan napas dilakukan dengan menggunakan alat spirometri. Pemeriksaan ketiga untuk menilai keluhan sesak napas Anda digunakan kuesioner (MMRC). Pemeriksaan keempat untk menilai kapasitas latihan akan dilakukan tes uji jalan 6 menit. Hasil dari keempat jenis pemeriksaan ini akan disatukan untuk menghitung total skor Indeks BODE anda. Total skor Indeks BODE Anda pada
Universitas Indonesia
"
72" " " awal penelitian kemudian akan dibandingkan dengan total skor Indeks BODE Anda pada akhir penelitian. Baik akupunktur tanam benang maupun sham pada umumnya tidak berbahaya. Ketika tindakan dilakukan anda dapat mengalami rasa nyeri ringan atau rasa tidak nyaman. Efek samping atau ketidaknyamanan yang dapat terjadi antara lain timbul kebiruan di tempat penusukan akibat perdarahan di bawah kulit, infeksi dan reaksi alergi. Efek samping berupa kebiruan bersifat tidak berbahaya dan dapat hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari. Risiko infeksi bersifat minimal karena dalam penelitian ini digunakan peralatan kerja yang steril dan sekali pakai buang demi menjaga keamanan dari tindakan akupunktur tanam benang. Reaksi alergi dapat dicegah dengan menanyakan riwayat alergi sebelumnya dan apabila ada, anda tidak diikutkan dalam penelitian ini. Semua efek samping diatas tidak mengancam nyawa dan apabila terjadi, Anda akan diberikan pertolongan dan dibebaskan dari biaya yang diperlukan untuk itu. KERAHASIAAN Nama dan identitas Anda akan dirahasiakan dan tidak akan muncul dalam publikasi apapun serta tidak diberikan kepada siapapun tanpa persetujuan Anda. MANFAAT Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa berkurangnya keluhan sesak napas dan meningkatkan kualitas hidup Anda. KOMPENSASI Anda tidak perlu mengeluarkan biaya apapun selama keikutsertaan dalam penelitian ini. Peneliti akan menanggung biaya pemeriksaan dan tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini. INFORMASI LAIN Partisipasi Anda bersifat sukarela. Setelah membaca penjelasan ini, Anda berhak menolak ikut sebagai peserta. Anda juga bebas untuk mengundurkan diri sewaktuwaktu. Anda berhak menanyakan semua hal yang belum jelas sehubungan dengan
Universitas Indonesia
"
73" " " penelitian ini. Bila Anda tidak menaati instruksi yang diberikan oleh peneliti, Anda dapat dikeluarkan dari penelitian ini. Bila sewaktu-waktu terjadi efek samping atau membutuhkan penjelasan, maka Anda dapat menghubungi peneliti: dr. Putu Bagus Surya Witantra Giri di nomor : 0821 1050 8838 Keikutsertaan Anda dalam penelitian ini telah menyumbangkan hal yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan. Peneliti mengucapkan terima kasih atas partisipasi Anda.
Universitas Indonesia
"
74" Lampiran 3. Surat Persetujuan Penelitian"
"
FORMULIR PERSETUJUAN Semua penjelasan di atas telah disampaikan kepada saya dan semua pertanyaan saya telah dijawab oleh dokter. Saya mengerti bahwa bila masih memerlukan penjelasan, saya akan mendapat jawaban dari dr. Putu Bagus Surya Witantra Giri Dengan menandatangani formulir ini, saya setuju untuk ikut dalam penelitian ini.
Tanda tangan pasien/subjek:
"
Tanggal:
"
(Nama jelas: ………………………………………)
Tanda tangan saksi
:
"
(Nama jelas: ………………………………………)
Universitas Indonesia
"
75" " "
Lampiran 4. Satuts Penelitian
STATUS PENELITIAN
Tanggal
: ……………………………………..
No. Urut Penelitian
: ……………………………………..
Kelompok
: ……………………………………..
IDENTITAS PASIEN Nama
: …………………………………………………….
No. Rekam Medik
: …………………………………………………….
Tempat/Tanggal Lahir
: …………………………………………………….
Umur
: …………………………………………………….
Jenis Kelamin
: …………………………………………………….
Pendidikan
: …………………………………………………….
Pekerjaan
: …………………………………………………….
Alamat
: …………………………………………………….
Nomor Telepon
: …………………………………………………….
1.
ANAMNESIS a. Keluhan Utama
: ………………………………………………..........
b. Keluhan Tambahan
: ……………………………………………………..
c. Riwayat Penyakit Sekarang • Lama menderita PPOK
: ……………………………………..
• Obat PPOK yang dikonsumsi : …………………………………….. d. Riwayat Penyakit Dahulu e. Riwayat alergi
: ……………………………………..
: ada / tidak ada Bila ada, sebutkan terhadap apa ………
f. Riwayat tanam benang sebelumnya : ada / tidak
Universitas Indonesia
"
76" " " g. Gula darah sewaktu : ……………….. mg/dL (diukur saat awal penelitian) h. Lama merokok : …… (tahun) Jumlah rokok per hari : ….. (batang) Indeks Brinkman : …….. 2.
DIAGNOSIS Kelompok PPOK berdasarkan GOLD 2014 : A / B / C / D
3.
SKOR INDEKS BODE VARIABEL
Nilai Hari ke-1
Poin Indeks BODE
Hari ke-30
Hari ke-1
Hari ke-30
VEP 1 (%prediksi) Tes Uji Jalan 6 Menit (Meter) mMRC IMT (Kg/M2) Total Skor Indeks BODE
4.
PENCATATAN EFEK SAMPING Hari ke-1
Hari ke-15
Hari ke-30
Efek Samping
" "
Universitas Indonesia
"
77" " " Lampiran 5. Cara Menghitung Indeks BODE dan Variabelnya
Indeks BODE merupakan sistem skoring multidimensional yang dinilai lebih superior dibanding VEP1 dalam menilai derajat keparahan dan urgensi hospitalisasi penderita PPOK. Indeks BODE mengevaluasi Indeks Masa Tubuh (IMT), obstruksi jalan napas, derajat dispneu dan kapasitas latihan penderita PPOK. Keterangan : !"#$%!!"#"$!(!")
• IMT dihitung dengan menggunakan rumus : !"#$$"!!"#"$!(!)! • Obstruksi jalan napas dievaluasi menggunakan spirometri (VEP1) • Derajat dispneu dievaluasi menggunakan skala MMRC (Modified Medical Research Council for Dyspneau) • Kapasitas latihan dievaluasi menggunakan uji jalan 6 menit (6 Minutes Walking Tes / UJ6M) • Rentangan Total skor Indeks BODE berkisar dari 0 – 10 VARIABEL %VEP 1 (%prediksi) Tes Uji Jalan 6 Menit / UJ6M (Meter) Skor Dispneu MMRC Indeks Masa Tubuh (Kg/M2)
0 ≥ 65 ≥ 350 0-1 >21
POIN INDEKS BODE 1 2 50-64 36-49 250-349 150-249 2 ≤21
3
3 ≤ 35 ≤149 4
Universitas Indonesia
"
78" " " Skor MMRC SKOR
KEGIATAN
0
Tidak bermasalah dengan sesak, kecuali dengan latihan berat
1
Sesak napas apabila terburu-buru pada lintasan datar atau berjalan pada lintasan yang sedikit menanjak
2
Berjalan lebih pelan dibanding orang yang seusia di jalan yang datar karena sulit bernapas atau berhenti sejenak untuk bernapas ketika berjalan dengan kecepatan standar diri sendiri pada lintasan datar
3
Berhenti untuk bernapas setelah berjalan selama 100 meter atau setelah berjalan beberapa menit pada lintasan datar
4
Terlalu sesak untuk beraktivitas meninggalkan rumah atau sesak saat berpakaian
Prosedur Uji Jalan 6 Menit (UJ6M) (American Thoracic Society - 2002) Prosedure Keamanan UJ6M 1. Prosedur tes ini harus dilakukan di lokasi dengan akses respons cepat dalam kondisi gawat darurat 2. Harus tersedia oksigen, nitrat sub lingual, aspirin, dan albuterol (nebulizer). Saluran telepon hendaknya tersedia untuk melakukan panggilan darurat 3. Petugas pengawas harus telah mendapat sertifikat dalam penangangan gawat darurat jantung paru setidaknya tingkat Basic Life Support ataupun ACLS. 4. Jika pasien sebelumnya dengan terapi oksigen, maka oksigen tetap harus diberikan sesuai dengan keadaan penyakitnya. 5. Pengawasan dari dokter umumnya tidak diperlukan, namun dalam kasus tertentu perlu didampingi oleh dokter sampai prosedur tes selesai.
Universitas Indonesia
"
79" " " Alasan untuk menghentikan tes sesegera mungkin adalah sebagai berikut: - Nyeri dada - Sesak nafas yang tidak dapat ditoleransi - Kejang otot kaki - Berjalan sempoyongan - Keringat dingin - Pucat Apabila tes dihentikan karena salah satu alasan diatas, pasien segera didudukkan atau dibaringkan dan diberi oksigen segera. Setelah itu segera lakukan pengukuran tekanan darah, hitung denyut nadi, saturasi oksigen, dan memanggil dokter pengawas. KONTRAINDIKASI UJ6M Menurut pernyataan dari American Thoracic Society (ATS) kontraindikasi absolut tes ini adalah: angina tidak stabil (UAP) dan infark miokardium akut. Kontraindikasi relatif adalah denyut jantung (HR) saat istirahat lebih dari 120 kali permenit, tekanan darah sistolik lebih dari 180 mmHg, dan diastolik lebih dari 100 mmHg. TEKNIS PELAKSANAAN UJ6M Lokasi. Tes ini hendaknya dilakukan dalam ruangan tertutup (indoor), dilakukan pada koridor yang panjang, datar dan lurus dengan permukaan yang keras dan jarang dilalui orang. Panjang rute jalan setidaknya 30 meter. Tiap 3 meter dari koridor hendaknya diberi tanda. Titik putaran biasanya ditandai dengan kerucut orange. Titik awal yang menandakan permulaan dan akhir yang mempunyai jarak 60 meter hendaknya ditandai dengan warna cerah. Peralatan Penununjang. Peralatan pendukung standar dalam pelaksanaan UJ6M yang disarankan : 1. Stopwatch 2. Mechanical lap counter 3. Dua buah pembatas/kerucut untuk menandai titik putar
Universitas Indonesia
"
80" " " 4. Kursi yang mudah dipindahkan sepanjang rute jalan 5. Worksheet 6. Sumber oksigen 7. Sphygmomanometer 8. Telepon Persiapan pasien. Tidak ada persiapan khusus terhadap pasien yang diperlukan dalam pelaksanaan uji ini. Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pasien sebelum pelaksanaan uji ini adalah sebagai berikut: 1. Pakaian yang nyaman 2. Sepatu/alas kaki yang sesuai 3. Obat-obatan yang biasa digunakan tetap dikonsumsi 4. Makan ringan pagi atau sore sebelum dilakukan tes 5. Pasien tidak melakukan aktifitas berat 2 jam sebelum memulai tes Prosedur Pelaksanaan UJ6M 1. Tidak perlu dilakukan periode warm-up sebelum memulai tes 2. Jika perlu dilakukan pengulangan latihan hendaknya dilakukan pada waktu yang sama dengan hari sebelumnya, untuk mengurangi intraday variability 3. Pasien hendaknya duduk dikursi yang dekat dengan titik awal selama 10 menit. Dilakukan pemeriksaan apakah ada kontraindikasi, pengukuran denyut nadi dan tekanan darah, pastikan bahwa pakaian dan sepatu sudah tepat bagi pasien. 4. Jika ada pulse oximetry ukur dan rekamlah denyut jantung dan saturasi O2 saat baseline. 6. Atur penghitung putaran pada posisi nol dan timer untuk 6 menit, dan bergeraklah ke posisi start. 7. Berikan instruksi pada pasien bahwa tes ini menilai seberapa jauh pasien dapat berjalan selama 6 menit dan tidak boleh berlari. Pasien dapat memperlambat jalannya, berhenti atau istirahat jika perlu. Contohkan pada pasien satu putaran. 8. Posisikan pasien pada garis start. Pengawas harus berdiri dekat garis start selama latihan. Jangan berjalan bersama pasien. Segera setelah pasien mulai berjalan hidupkan timer.
Universitas Indonesia
"
81" " " 9. Jangan berbicara kepada siapapun selama tes. Perhatikan pasien dan jangan lupa untuk menghitung putaran yang telah dilalui. Pengawas dapat memberikan dorongan semangat pada pasien tetapi bukan dorongan untuk mempercepat langkahnya. Beritahu waktu tes setiap menit ke 2, 4 dan 6 (berhenti) 11. Jika memakai pulse oximeter, ukur SpO2 dan jumlah pulse dari oxymeter dan kemudian lepas sensor 12. Catat jumlah putaran dan berapa jauh jarak tempuh yang dicapai 13. Berikan ucapan selamat pada pasien atas usahanya dan tawarkan untuk minum segelas air putih
Universitas Indonesia
"
82#
Lampiran-6 Tabel Data Induk Demografi Subyek Penelitian Nomor Inisial Umur Urut 1 TB 65
Jenis kelamin laki-laki
PPOK B
kontrol
SD
Pensiunan
laki-laki
PPOK D
perlakuan
SMU
Pensiunan
kontrol
SD
perlakuan
SMU
Pedagang
kontrol
SMP
Pensiunan
Diagnosis Kelompok Pendidikan Pekerjaan
2
EJ
62
3
FB
57
4
AN
57
5
PA
75
6
SM
70
laki-laki
PPOK D
perlakuan
S1
Pensiunan
7
WA
73
laki-laki
PPOK B
kontrol
SMU
Pensiunan
8
AH
53
laki-laki
PPOK C
perlakuan
SMU
Karyawan
9
SN
58
laki-laki
PPOK D
perlakuan
SD
Karyawan
10
GB
66
laki-laki
PPOK D
kontrol
SMP
Pensiunan
11
DG
62
laki-laki
PPOK B
kontrol
SMU
Pensiunan
12
AR
55
laki-laki
PPOK D
perlakuan
SD
Pedagang
13
DA
75
laki-laki
PPOK D
kontrol
SD
Pensiunan
14
AS
65
laki-laki
PPOK B
perlakuan
SMP
Pensiunan
15
RO
61
kontrol
SMU
IRT
16
YA
62
laki-laki
PPOK C
perlakuan
SMP
Pensiunan
17
HJ
66
laki-laki
PPOK C
kontrol
SMP
Pensiunan
perempuan PPOK D laki-laki
PPOK B
perempuan PPOK D
perempuan PPOK D
IRT
Lama Indeks Obat_PPOK sakit Brinkman 2 444 LAMA + SABA and/or SAMA LAMA + SABA and/or SAMA + 5 540 Theophylline LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or 5 180 SAMA + Theophylline and/or Carbocysteine 2 888 LAMA + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or 4 720 SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or 1 1368 SAMA LAMA + SABA and/or SAMA + 10 1150 Theophylline LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or 1 240 SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or 1 528 SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or 6 960 SAMA + Theophylline and/or Carbocysteine 1 468 LAMA + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or 6 792 SAMA + Theophylline and/or Carbocysteine LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or 5 1200 SAMA 11 768 LAMA + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or 1 360 SAMA + Theophylline and/or Carbocysteine LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or 12 360 SAMA LAMA + SABA and/or SAMA + 13 564 Theophylline
Jaminan kesehatan ya
GDS 94
ya
88
ya
98
ya
107
ya
88
ya
81
ya
81
ya
86
ya
90
ya
104
ya
119
ya
85
ya
85
ya
87
ya
91
ya
109
ya
92
Nomor Inisial Umur Urut
Jenis kelamin
Diagnosis Kelompok Pendidikan Pekerjaan
Lama Indeks sakit Brinkman
18
SA
63
laki-laki
PPOK D
perlakuan
SMU
Pensiunan
5
888
19
SH
56
laki-laki
PPOK C
kontrol
SMU
Pensiunan
2
1188
20
ER
63
perlakuan
SMP
Pensiunan
5
180
21
MW
64
laki-laki
PPOK B
kontrol
SMP
Pedagang
2
528
22
KT
61
laki-laki
PPOK C
kontrol
Diploma
Pensiunan
3
984
23
KR
75
laki-laki
PPOK D
perlakuan
SMU
Pensiunan
4
480
24
SO
75
laki-laki
PPOK C
perlakuan
SMU
Pensiunan
7
936
25
PK
61
laki-laki
PPOK B
kontrol
SD
Pedagang
2
912
26
RA
66
laki-laki
PPOK B
perlakuan
SMU
Pensiunan
2
480
27
NG
73
laki-laki
PPOK C
perlakuan
SMP
Pensiunan
1
1200
28
SA
59
laki-laki
PPOK D
kontrol
SMP
Pedagang
8
600
29
SA
74
perlakuan
SD
IRT
3
660
30
SM
56
laki-laki
PPOK C
perlakuan
SD
Pedagang
7
384
31
ZU
63
laki-laki
PPOK B
kontrol
SMU
Pensiunan
3
384
32
GO
69
laki-laki
PPOK C
perlakuan
SD
Pensiunan
3
960
33
UN
64
laki-laki
PPOK C
kontrol
SMP
Pensiunan
2
180
34
MR
73
laki-laki
PPOK B
kontrol
SMP
Pensiunan
4
630
35
DD
61
laki-laki
PPOK D
perlakuan
SMU
Karyawan
5
720
36
SU
52
laki-laki
PPOK C
kontrol
SMU
Karyawan
1
840
perempuan PPOK D
perempuan PPOK B
Obat_PPOK LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA + Theophylline and/or Carbocysteine LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA LAMA + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA LAMA + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA + Theophylline and/or Carbocysteine LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline
Jaminan kesehatan
GDS
ya
83
ya
80
ya
108
ya
82
ya
107
ya
90
ya
87
ya
89
ya
105
ya
98
ya
83
ya
82
ya
104
ya
85
ya
100
ya
83
ya
90
ya
112
ya
110
Nomor Inisial Umur Urut
Jenis kelamin
Diagnosis Kelompok Pendidikan Pekerjaan
Lama Indeks sakit Brinkman
37
HS
64
laki-laki
PPOK D
perlakuan
SMU
Pensiunan
6
492
38
AW
64
laki-laki
PPOK B
perlakuan
SMU
Pensiunan
1
540
39
FU
71
laki-laki
PPOK D
kontrol
SMP
Pedagang
5
540
40
SU
67
laki-laki
PPOK B
perlakuan
SMP
Pensiunan
1
672
41
AS
61
laki-laki
PPOK D
kontrol
SMU
Pensiunan
1
768
42
DJ
58
laki-laki
PPOK B
perlakuan
SMU
Pedagang
4
372
43
AM
51
laki-laki
PPOK C
kontrol
SMP
Karyawan
8
432
44
SB
62
laki-laki
PPOK B
kontrol
SMP
Pensiunan
1
1014
45
CA
59
laki-laki
PPOK D
perlakuan
SMP
Pensiunan
8
1140
46
ST
74
laki-laki
PPOK C
kontrol
SMU
Pensiunan
1
1056
47
SM
75
laki-laki
PPOK B
perlakuan
SMU
Pensiunan
2
960
48
FE
61
laki-laki
PPOK B
kontrol
SMU
Pensiunan
2
468
Obat_PPOK LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA LAMA + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA + Theophylline and/or Carbocysteine LAMA + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA LAMA + SABA and/or SAMA LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA + Theophylline and/or Carbocysteine LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline LAMA + SABA and/or SAMA
Jaminan kesehatan
GDS
ya
105
ya
81
ya
102
ya
84
ya
101
ya
78
ya
97
ya
90
ya
124
ya
90
ya
93
ya
101
85# Lampiran Tabel Data Induk Indeks BODE dan Variabelnya Nomor Inisial Urut
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
TB EJ FB AN PA SM WA AH SN GB DG AR DA AS RO YA HJ SA SH ER MW KT KR SO PK RA
Diagnosis
PPOK B PPOK D PPOK D PPOK B PPOK D PPOK D PPOK B PPOK C PPOK D PPOK D PPOK B PPOK D PPOK D PPOK B PPOK D PPOK C PPOK C PPOK D PPOK C PPOK D PPOK B PPOK C PPOK D PPOK C PPOK B PPOK B
Kelompok
kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan perlakuan kontrol kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol kontrol perlakuan perlakuan kontrol perlakuan
%FEV1 %FEV1 awal akhir
84.00 41.50 29.00 84.60 44.00 35.00 76.20 40.00 28.60 25.00 78.00 31.00 40.00 68.50 30.00 32.00 36.00 30.00 53.00 43.00 64.00 54.00 44.00 50.40 58.00 60.00
83.00 44.00 29.20 83.00 40.00 39.00 77.00 42.00 39.60 26.00 74.00 30.00 35.00 71.00 28.00 29.68 32.31 32.00 48.00 39.90 63.00 51.00 45.00 50.00 56.00 63.54
Delta %FEV1
-1.00 2.50 0.20 -1.60 -4.00 4.00 0.80 2.00 11.00 1.00 -4.00 -1.00 -5.00 2.50 -2.00 -2.32 -3.69 2.00 -5.00 -3.10 -1.00 -3.00 1.00 -0.40 -2.00 3.54
6MWT SixMWT awal akhir
330 315 280 400 310 300 260 350 288 230 300 225 300 342 250 330 315 320 400 280 250 300 215 400 400 340
340 390 300 490 325 378 220 385 360 225 288 270 335 393 230 398 325 390 385 360 275 305 350 440 405 410
Delta 6MWT
10.00 75.00 20.00 90.00 15.00 78.00 -40.00 35.00 72.00 -5.00 -12.00 45.00 35.00 50.50 -20.00 68.00 10.00 70.00 -15.00 80.00 25.00 5.00 135.00 40.00 5.00 70.00
MMRC MMRC awal akhir
2 2 3 2 2 2 3 1 2 3 2 3 2 2 3 1 0 2 1 2 3 1 3 0 2 2
2 0 2 0 2 0 3 0 0 3 1 1 1 0 2 0 0 0 1 0 2 1 1 0 2 0
Delta MMRC
BMI awal
BMI akhir
Delta BMI
0.00 -2.00 -1.00 -2.00 0.00 -2.00 0.00 -1.00 -2.00 0.00 -1.00 -2.00 -1.00 -2.00 -1.00 -1.00 0.00 -2.00 0.00 -2.00 -1.00 0.00 -2.00 0.00 0.00 -2.00
25.39 25.95 21.97 20.32 26.67 24.61 17.47 23.03 23.83 18.29 21.48 18.59 24.17 23.59 19.74 27.39 25.89 23.51 28.65 18.22 20.70 21.88 16.53 21.78 22.72 31.64
25.39 25.95 21.97 20.32 26.67 24.61 17.47 23.03 23.83 18.29 21.48 19.18 24.17 23.77 19.74 27.39 25.89 23.51 28.65 19.15 20.70 21.88 16.90 22.02 22.72 31.64
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.59 0.00 0.18 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.93 0.00 0.00 0.37 0.25 0.00 0.00
Nomor Inisial Urut
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
NG SA SA SM ZU GO UN MR DD SU HS AW FU SU AS DJ AM SB CA ST SM FE
Diagnosis
PPOK C PPOK D PPOK B PPOK C PPOK B PPOK C PPOK C PPOK B PPOK D PPOK C PPOK D PPOK B PPOK D PPOK B PPOK D PPOK B PPOK C PPOK B PPOK D PPOK C PPOK B PPOK B
Kelompok
perlakuan kontrol perlakuan perlakuan kontrol perlakuan kontrol kontrol perlakuan kontrol perlakuan perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol
%FEV1 %FEV1 awal akhir
58.80 33.60 58.00 38.00 54.00 36.00 40.00 52.00 22.50 40.00 40.00 70.00 55.00 58.98 40.00 58.60 39.00 55.00 34.00 52.00 64.00 67.90
68.00 32.00 61.00 39.00 55.30 38.00 40.50 49.00 25.00 40.80 39.00 74.00 52.00 60.00 39.00 57.00 38.40 55.50 29.80 53.00 62.80 65.00
Delta %FEV1
9.20 -1.60 3.00 1.00 1.30 2.00 0.50 -3.00 2.50 0.80 -1.00 4.00 -3.00 1.02 -1.00 -1.60 -0.60 0.50 -4.20 1.00 -1.20 -2.90
6MWT SixMWT awal akhir
300 290 270 290 420 330 325 300 245 320 341 420 225 400 278 345 320 330 200 280 285 400
355 305 355 365 390 400 290 278 300 280 378 470 245 445 290 405 300 345 278 250 360 360
Delta 6MWT
55.00 15.00 85.00 75.00 -30.00 70.00 -35.00 -22.00 55.00 -40.00 37.00 50.00 20.00 45.00 12.00 60.00 -20.00 15.00 78.00 -30.00 75.00 -40.00
MMRC MMRC awal akhir
1 2 3 1 2 1 1 2 4 1 2 2 3 2 4 2 1 2 4 1 3 2
0 1 1 0 2 0 1 2 2 0 0 0 2 0 3 1 1 1 2 1 1 2
Delta MMRC
BMI awal
BMI akhir
Delta BMI
-1.00 -1.00 -2.00 -1.00 0.00 -1.00 0.00 0.00 -2.00 -1.00 -2.00 -2.00 -1.00 -2.00 -1.00 -1.00 0.00 -1.00 -2.00 0.00 -2.00 0.00
20.20 20.20 16.89 19.61 23.88 22.86 18.83 23.05 22.03 25.32 26.56 21.67 24.45 23.14 27.14 22.48 17.26 21.99 25.46 22.10 27.68 18.07
20.68 20.20 17.50 20.13 23.88 22.86 18.83 23.05 22.03 25.32 26.56 22.04 24.45 23.14 27.14 22.48 17.26 21.80 25.46 22.10 27.68 17.89
0.48 0.00 0.61 0.53 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.37 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 -0.19 0.00 0.00 0.00 -0.18
87#
Lampiran Tabel Data Induk Indeks BODE dan Variabelnya Nomor Inisial Urut
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
TB EJ FB AN PA SM WA AH SN GB DG AR DA AS RO YA HJ SA SH ER MW KT KR SO PK RA
Diagnosis
PPOK B PPOK D PPOK D PPOK B PPOK D PPOK D PPOK B PPOK C PPOK D PPOK D PPOK B PPOK D PPOK D PPOK B PPOK D PPOK C PPOK C PPOK D PPOK C PPOK D PPOK B PPOK C PPOK D PPOK C PPOK B PPOK B
Kelompok
kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan perlakuan kontrol kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol kontrol perlakuan perlakuan kontrol perlakuan
BODE BODE BODE BODE BODE BODE %FEV %FEV 6MWT 6MWT MMRC MMRC awal akhir awal akhir awal akhir 0 0 1 1 1 1 2 2 1 0 1 0 3 3 1 1 2 1 0 0 0 0 1 0 2 2 1 1 1 1 3 2 1 0 1 0 0 0 1 2 2 2 2 2 0 0 0 0 3 2 1 0 1 0 3 3 2 2 2 2 0 0 1 1 1 0 3 3 2 1 2 0 2 3 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 3 3 1 2 2 1 3 3 1 0 0 0 2 3 1 1 0 0 3 3 1 0 1 0 1 2 0 0 0 0 2 2 1 0 1 0 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 0 0 2 2 2 0 2 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 1 0
BODE BMI awal 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0
BODE BMI akhir 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 0 1 0 0 0
Indeks BODE awal 2 4 6 2 4 5 4 2 5 8 2 8 4 2 7 4 3 5 1 5 5 2 7 1 2 3
Indeks BODE akhir 2 2 5 1 4 2 5 2 2 8 1 5 4 0 7 3 4 3 2 3 4 2 3 1 2 1
Delta Indeks BODE 0 -2 -1 -1 0 -3 1 0 -3 0 -1 -3 0 -2 0 -1 1 -2 1 -2 -1 0 -4 0 0 -2
Nomor Inisial Urut
27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
NG SA SA SM ZU GO UN MR DD SU HS AW FU SU AS DJ AM SB CA ST SM FE
Diagnosis
PPOK C PPOK D PPOK B PPOK C PPOK B PPOK C PPOK C PPOK B PPOK D PPOK C PPOK D PPOK B PPOK D PPOK B PPOK D PPOK B PPOK C PPOK B PPOK D PPOK C PPOK B PPOK B
Kelompok
perlakuan kontrol perlakuan perlakuan kontrol perlakuan kontrol kontrol perlakuan kontrol perlakuan perlakuan kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol kontrol perlakuan kontrol perlakuan kontrol
BODE BODE BODE BODE BODE BODE %FEV %FEV 6MWT 6MWT MMRC MMRC awal akhir awal akhir awal akhir
1 3 1 2 1 2 2 1 3 2 2 0 1 1 2 1 2 1 3 1 1 0
0 3 1 2 1 2 2 2 3 2 2 0 1 1 2 1 2 1 3 1 1 0
1 1 1 1 0 1 1 1 2 1 1 0 2 0 1 1 1 1 2 1 1 0
0 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 0 2 0 1 0 1 1 1 1 0 0
0 1 2 0 1 0 0 1 3 0 1 1 2 1 3 1 0 1 3 0 2 1
0 0 0 0 1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 2 0 0 0 1 0 0 1
BODE BMI awal
BODE BMI akhir
Indeks BODE awal
Indeks BODE akhir
Delta Indeks BODE
1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
1 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1
3 6 5 4 2 3 4 3 8 3 4 1 5 2 6 3 4 3 8 2 4 2
1 5 2 3 2 2 4 4 5 3 2 0 4 1 5 1 4 2 5 2 1 2
-2 -1 -3 -1 0 -1 0 1 -3 0 -2 -1 -1 -1 -1 -2 0 -1 -3 0 -3 0
!
89!
Lampiran 7. Hasil Uji Statistik
1. Karakteristik Berdasarkan Usia
Tests of Normality
Umur pasien (tahun)
Kelompok
Kolmogorov-Smirnov
penelitian
Statistic
perlakuan
df
.129
kontrol
24
.128
24
a
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
.200
*
.927
24
.083
.200
*
.940
24
.162
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Independent Samples Test Levene's Test
t-test for Equality of Means
for Equality of Variances F
Sig.
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
95% Confidence
tailed)
Difference
Difference
Interval of the Difference Lower
Equal Umur pasien (tahun)
.305
.583
Upper
.415
46
.680
.833
2.006
-3.205
4.871
.415
45.927
.680
.833
2.006
-3.205
4.872
variances assumed Equal variances not assumed
!
90!
2. Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin * Kelompok penelitian Crosstabulation Kelompok penelitian perlakuan Count laki-laki
penelitian
kelamin
Count
kontrol
22
21
43
91.7%
87.5%
89.6%
2
3
5
8.3%
12.5%
10.4%
24
24
48
100.0%
100.0%
100.0%
% within Kelompok
Jenis
Total
perempuan % within Kelompok penelitian Count Total
% within Kelompok penelitian
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Asymp. Sig.
Exact Sig.
Exact Sig.
(2-sided)
(2-sided)
(1-sided)
a
1
.637
.000
1
1.000
.225
1
.636
.223 b
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
1.000 .219
1
.500
.640
Association N of Valid Cases
48
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.50. b. Computed only for a 2x2 table
!
91!
3. Karakteristik Berdasarkan Pendidikan
Pendidikan * Kelompok penelitian Crosstabulation Kelompok penelitian perlakuan Count SD
% within Kelompok
Total
kontrol 5
4
9
20.8%
16.7%
18.8%
6
10
16
25.0%
41.7%
33.3%
12
9
21
50.0%
37.5%
43.8%
0
1
1
0.0%
4.2%
2.1%
1
0
1
4.2%
0.0%
2.1%
24
24
48
100.0%
100.0%
100.0%
penelitian Count SMP
% within Kelompok penelitian Count
Pendidikan SMU
% within Kelompok penelitian Count
Diploma
% within Kelompok penelitian Count
S1
% within Kelompok penelitian Count
Total
% within Kelompok penelitian
Test Statistics
a
Pendidikan
Most Extreme Differences
Absolute
.125
Positive
.042
Negative
-.125
Kolmogorov-Smirnov Z
.433
Asymp. Sig. (2-tailed)
.992
a. Grouping Variable: Kelompok penelitian
!
92!
4. Karakteristik Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan * Kelompok penelitian Crosstabulation Kelompok penelitian perlakuan Count Pensiunan
Total
kontrol
16
16
32
66.7%
66.7%
66.7%
4
4
8
16.7%
16.7%
16.7%
1
2
3
4.2%
8.3%
6.3%
3
2
5
12.5%
8.3%
10.4%
24
24
48
100.0%
100.0%
100.0%
% within Kelompok penelitian Count
Pedagang
% within Kelompok penelitian
Pekerjaan
Count % within
IRT
Kelompok penelitian Count
Karyawan
% within Kelompok penelitian Count % within
Total
Kelompok penelitian
Test Statistics
a
Pekerjaan Most Extreme Differences
Absolute
.042
Positive
.000
Negative
-.042
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok penelitian
.144 1.000
!
93!
5. Karakteristik Berdasarkan Indeks Brinkman
Tests of Normality
Value Merokok
Kelompok
Kolmogorov-Smirnov
penelitian
Statistic
perlakuan
df
.144
kontrol
Sig.
24
.118
a
24
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
.200
*
.971
24 .700
.200
*
.948
24 .248
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Independent Samples Test Levene's
t-test for Equality of Means
Test for Equality of Variances F
Sig.
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
95% Confidence
tailed)
Difference
Difference
Interval of the Difference Lower
Equal
.082 .775
Upper
-.007
46
.994
-.667
89.363
-180.545
179.211
-.007
45.998
.994
-.667
89.363
-180.545
179.212
variances Value Merokok
assumed Equal variances not assumed
!
94!
6. Karakteristik Berdasarkan Diagnosis Penyakit
Diagnosis * Kelompok penelitian Crosstabulation Kelompok penelitian perlakuan Count PPOK B
% within Kelompok
Total
kontrol 8
9
17
33.3%
37.5%
35.4%
6
7
13
25.0%
29.2%
27.1%
10
8
18
41.7%
33.3%
37.5%
24
24
48
100.0%
100.0%
100.0%
penelitian Count Diagnosis
PPOK C
% within Kelompok penelitian Count
PPOK D
% within Kelompok penelitian Count
Total
% within Kelompok penelitian
Chi-Square Tests Value
df
Asymp. Sig. (2-sided)
a
2
.836
Likelihood Ratio
.359
2
.836
Linear-by-Linear
.252
1
.616
Pearson Chi-Square
.358
Association N of Valid Cases
48
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.50. Test Statistics
a
Obat PPOK Most Extreme Differences
Absolute
.042
Positive
.000
Negative
-.042
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok penelitian
.144 1.000
!
95!
7. Karakteristik Berdasarkan Lama Menderita PPOK
Tests of Normality Kelompok
Kolmogorov-Smirnov
penelitian
Statistic
df
a
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Lama Pasien
perlakuan
.146
24
.199
.891
24
.014
Menderita PPOK
kontrol
.217
24
.005
.828
24
.001
a. Lilliefors Significance Correction
Test Statistics
a
Lama Pasien Menderita PPOK Mann-Whitney U
259.000
Wilcoxon W
559.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok penelitian
-.606 .544
!
96!
8. Karakteristik Berdasarkan Jenis Obat PPOK
Obat PPOK * Kelompok penelitian Crosstabulation Kelompok penelitian perlakuan LAMA + SABA and/or SAMA
Count % within Kelompok
Total
kontrol
5
5
10
20.8%
20.8%
20.8%
7
8
15
29.2%
33.3%
31.3%
8
7
15
33.3%
29.2%
31.3%
4
4
8
16.7%
16.7%
16.7%
24
24
48
100.0%
100.0%
100.0%
penelitian
LAMA + SABA and/or SAMA + Theophylline Obat PPOK LAMA + LABACS/ICS + SABA and/or SAMA
Count % within Kelompok penelitian Count % within Kelompok penelitian
LAMA + LABACS/ICS Count + SABA and/or SAMA + Theophylline and/or Carbocysteine
% within Kelompok penelitian Count
Total
% within Kelompok penelitian
Test Statistics
a
Obat PPOK
Most Extreme Differences
Absolute
.042
Positive
.000
Negative
-.042
Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok penelitian
.144 1.000
!
97!
9. Data Dasar Indeks BODE hari ke-1 dan Variabelnya 9.1 Data Dasar Index Masa Tubuh (Body Mass Index/ BMI)
Tests of Normality Kelompok penelitian
Kolmogorov-Smirnov Statistic
BMI awal perlakuan (Kg/m2)
.098
kontrol
.078
df
a
Sig.
24 24
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
.200
*
.980
24 .903
.200
*
.973
24 .746
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Independent Samples Test Levene's
t-test for Equality of Means
Test for Equality of Variances F
Sig.
t
df
Sig. (2tailed)
Mean
Std. Error
Difference Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Equal
.049
.825
.435
Lower
Upper
46
.666
.42750
.98335
-1.55188
2.40688
.435 45.350
.666
.42750
.98335
-1.55264
2.40764
variances BMI Awal (Kg/m2)
assumed Equal variances not assumed
!
98!
9.1.2 Data Dasar %FEV1
Tests of Normality Kelompok
Kolmogorov-Smirnov
penelitian
Statistic
perlakuan
%FEV1
hari ke-1 kontrol
df
a
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
.158
24
.126
.944
24
.198
.152
24
.158
.952
24
.303
a. Lilliefors Significance Correction
Independent Samples Test Levene's Test
t-test for Equality of Means
for Equality of Variances F
Sig.
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
95% Confidence
tailed)
Difference
Difference
Interval of the Difference Lower
Equal
.091
.764
Upper
-.657
46
.515
-3.0092
4.5809 -12.2301 6.2118
-.657
46.000
.515
-3.0092
4.5809 -12.2301 6.2118
variances %VEP1 hari ke-1
assumed Equal variances not assumed
!
99!
9.1.3 Data Dasar MMRC
Tests of Normality
Skor MMRC hari ke-1
Kelompok
Kolmogorov-Smirnov
penelitian
Statistic
perlakuan kontrol
df
a
Shapiro-Wilk
Sig. Statistic
df
Sig.
.267
24 .000
.895
24
.017
.248
24 .001
.862
24
.004
a. Lilliefors Significance Correction
Test Statistics
a
Skor MMRC hari ke-1 Mann-Whitney U
273.500
Wilcoxon W
573.500
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok penelitian
-.321 .748
!
100!
9.1.4 Data Dasar Tes Uji Jalan 6 Menit (Six Minute Walking Test/ 6MWT)
Tests of Normality
6MWT hari ke-1 (m)
Kelompok
Kolmogorov-Smirnov
penelitian
Statistic
perlakuan kontrol
df
a
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
*
.968
24
.610
.925
24
.075
.102
24
.200
.178
24
.047
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Independent Samples Test Levene's Test
t-test for Equality of Means
for Equality of Variances F
Sig.
t
df
Sig. (2tailed)
Mean
Std. Error
Difference Difference
95% Confidence Interval of the Difference Lower
Equal 6MWT hari ke-1 (m)
.455
.503
.304
Upper
46
.762
4.917
16.154
-27.599 37.433
.304 45.513
.762
4.917
16.154
-27.609 37.442
variances assumed Equal variances not assumed
!
101!
9.1.5 Data Dasar Indeks BODE
Tests of Normality
BODE_awal
Kelompok
Kolmogorov-Smirnov
penelitian
Statistic
perlakuan
.163
24
kontrol
.162
24
df
a
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
.097
.918
24
.054
.106
.920
24
.057
a. Lilliefors Significance Correction
Independent Samples Test Levene's Test
t-test for Equality of Means
for Equality of Variances F
Sig.
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
95%
tailed)
Difference
Difference
Confidence Interval of the Difference Lower
Equal
.096
.758
Upper
.586
46
.560
.333
.568
-.811
1.477
.586
45.351
.560
.333
.568
-.811
1.478
variances BODE _awal
assumed Equal variances not assumed
!
102!
10. Perubahan Nilai Indeks BODE Sebelum dan Setelah Perlakuan 10.1 Perubahan BMI Kelompok Kasus dan Kontrol Setelah Intervensi
Tests of Normality Kelompok penelitian
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
a
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Delta_
perlakuan
.371
24
.000
.714
24
.000
BMI
kontrol
.533
24
.000
.318
24
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Test Statistics
a
Delta_BMI Mann-Whitney U
165.000
Wilcoxon W
465.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
-3.445 .001
a. Grouping Variable: Kelompok penelitian
!
103!
10.2 Perubahan %FEV1 Kelompok Kasus dan Kontrol Setelah Intervensi
Tests of Normality Kelompok
Delta
Kolmogorov-Smirnov
penelitian
Statistic
perlakuan
.151
%FEV1 kontrol
df
.137
a
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
24
.168
.917
24
.055
24
*
.929
24
.094
.200
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Independent Samples Test Levene's Test
t-test for Equality of Means
for Equality of Variances F
Sig.
t
df
Sig. (2tailed)
Mean
Std. Error
Difference Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Equal
2.588
.115
3.601
Lower
Upper
46
.001
2.98042
.82763
1.31448
4.64635
3.601 36.775
.001
2.98042
.82763
1.30313
4.65770
variances Delta_
assumed
% FEV1
Equal variances not assumed
!
104!
10.3 Perbedaan MMRC Kelompok Kasus dan Kontrol Setelah Intervensi
Tests of Normality Kelompok penelitian
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
a
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
Delta_
perlakuan
.431
24
.000
.621
24
.000
MMRC
kontrol
.401
24
.000
.616
24
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Test Statistics
a
Delta_MMRC Mann-Whitney U Wilcoxon W Z
43.500 343.500 -5.349
Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok penelitian
.000
!
105!
10.4 Perbedaan 6MWT Kelompok Kasus dan Kontrol Setelah Intervensi
Tests of Normality Kelompok penelitian
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
a
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
Delta_
perlakuan
.139
24
.200
*
.899
24
.020
6MWT
kontrol
.167
24
.083
.926
24
.079
*. This is a lower bound of the true significance. a. Lilliefors Significance Correction
Test Statistics
a
Delta_6MWT Mann-Whitney U Wilcoxon W Z
.500 300.500 -5.932
Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok penelitian
.000
!
106!
10.5 Perbedaan Perubahan Indeks BODE Kelompok Kasus dan Kontrol Setelah Intervensi
Tests of Normality Kelompok penelitian Delta_BODE
Kolmogorov-Smirnov Statistic
df
a
Sig.
Shapiro-Wilk Statistic
df
Sig.
perlakuan
.183
24
.037
.915
24
.046
kontrol
.281
24
.000
.800
24
.000
a. Lilliefors Significance Correctio
Test Statistics
a
Perubahan Indeks BODE awal-akhir Mann-Whitney U Wilcoxon W
48.000 348.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: Kelompok penelitian
-5.100 .000