UNIVERSITAS INDONESIA MENGGUGAT NALAR TEKNOLOGIS, MEMULIHKAN KEPELAKUAN MANUSIA Pemikiran Andrew Feenberg Mengenai Demokratisasi Teknologi
DISERTASI
IKBAL MAULANA 12 06 31 0165
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT DEPOK Juni, 2015
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA MENGGUGAT NALAR TEKNOLOGIS, MEMULIHKAN KEPELAKUAN MANUSIA Pemikiran Andrew Feenberg Mengenai Demokratisasi Teknologi
DISERTASI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Filsafat yang dipertahankan di hadapan Sidang Akademik Universitas Indonesia di bawah pimpinan Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Dr. Adrianus L.G. Waworuntu, M.A. pada 11 Juni 2015
IKBAL MAULANA 12 06 31 0165
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT DEPOK Juni, 2015
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
i
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
ii
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Disertasi ini saya persembahkan kepada Pakde Prof. Dr. Achmad Khusyairi, M.A. dan Bude Dra. Rosyidah Terimakasih yang tak terhingga atas tauladan dan segenap budi baik kepada saya, adik-adik dan ibu.
iii
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
KATA PENGANTAR
Selepas SMA saya menempuh pendidikan di bidang teknik, kemudian bekerja di bidang teknik pula, mulai dari mengembangkan perangkat lunak komputer sampai melakukan kajian terhadap pengelolaan teknologi. Namun, pada saat mendaftar S3 di Program Studi Ilmu Filsafat, sama sekali tak terbayangkan bahwa saya akan menulis disertasi tentang filsafat teknologi. Ini bukan berarti saya tidak memiliki kegelisahan terhadap teknologi, justru sebaliknya. Hanya saja waktu itu saya tidak mengetahui adanya bidang yang disebut filsafat teknologi, sehingga saya menganggap kegelisahan saya sama sekali bukan persoalan filosofis. Sebagai orang yang sudah belasan tahun bekerja di lingkungan teknologi, saya juga terpengaruh pandangan instrumentalis yang diyakini kebanyakan perekayasa, bahwa teknologi adalah netral, tidak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh norma, budaya atau pun kuasa. Teknologi hanyalah alat untuk mempercepat pencapaian tujuan, tetapi tidak mempengaruhi tujuan manusia sama sekali. Baik buruknya teknologi sepenuhnya ditentukan oleh baik buruk manusia yang menggunakannya. Sebenarnya, pekerjaan saya sebagai pengembang dan pengkaji teknologi telah membenturkan saya pada fakta-fakta yang menyanggah pandangan netralitas teknologis tersebut. Misalnya, permainan komputer di masa lalu – yang masih belum memiliki kemampuan berhubungan dengan pemain lain melalui jaringan Internet – telah menyebabkan anak-anak terisolasi dari lingkungan sosialnya. Komputer, yang nampak lugu dan sepenuhnya dalam kendali kita tersebut, telah mengubah perilaku jutaan atau pun ratusan juta anak di dunia, yang nantinya ini akan mempengaruhi pola hubungan dan budaya masyarakat di masa depan. Pengaruh teknologi tidak hanya akan terlihat di masa depan, tetapi juga bisa kita saksikan di masa kini. Di lingkungan perumahan yang warganya memiliki sarana hiburan (televisi, pemutar musik dan video, komputer, permainan video), iv
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
komunikasi, dan angkutan (mobil) sendiri, interaksi antar-tetangga cenderung lebih rendah dibandingkan di masyarakat tradisional yang tidak memiliki saranasarana tersebut. Sebelum saya mulai menulis disertasi ini pun banyak orang sudah menggunakan, atau bahkan kecanduan, berkomunikasi melalui media sosial. Media sosial membuka kemungkinan-kemungkinan komunikasi dan pergaulan yang sebelumnya tak terbayangkan. Para pengguna media sosial dengan mudah menemukan teman-teman lama mereka, dan memulihkan keakraban yang telah tergerus waktu. Mereka juga dengan mudah meluaskan jejaring pertemanan dengan orang-orang yang sama sekali tidak mereka kenal secara fisik. Mereka bisa saling memantau dan memamerkan kegiatan mereka tanpa dibatasi jarak. Namun sebaliknya, keasyikan dengan media sosial tersebut menurunkan interaksi mereka dengan orang-orang di sekitarnya yang secara fisik justru lebih dekat. Penggunaan media sosial yang cenderung makin tinggi ini menyebabkan kesenjangan antara hubungan secara maya dengan hubungan secara fisik. Pengaruh pandangan instrumentalisme teknologis yang demikian kuat telah menahan langkah saya untuk tidak melakukan eksplorasi filosofis terhadap teknologi. Kesadaran bahwa persoalan tersebut bisa dieksplorasi secara filosofis baru saya dapatkan setelah bersinggungan karya-karya Teori Kritis, yang kemudian mengantarkan saya pada pemikiran Andrew Feenberg yang menjadi pokok bahasan dari disertasi ini. Syukur alhamdulillah, atas izin Allah s.w.t akhirnya saya bisa bisa menyelesaikan disertasi ini dalam waktu yang saya rencanakan. Saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada promotor, Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet, Ph.D., yang sangat berjasa dalam memungkinkan saya menyelesaikan disertasi ini tepat waktu. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Dr. Akhyar Lubis selaku kopromotor, yang selalu membuka pintu diskusi dan mendukung penulis sejak awal mendiskusikan proposal penelitian sampai rampungnya disertasi ini.
v
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Selain karena peran promotor dan kopromotor, disertasi ini juga mendapatkan bentuk akhirnya berkat kritik dan saran dari para penguji pada tiap tahapan program doktor ini. Draf disertasi, yang setebal seratusan halaman pada saat seminar hasil penelitian, telah berkembang menjadi dua kali lipatnya setelah merespon kritik dan saran para penguji. Karena itulah saya mengucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada Dr. Gadis Arivia, Prof. Dr. A. Agus Nugroho, Dr. Karlina Supelli, Dr. Embun Kenyowati, Dr. LG Saraswati, Dr. Naupal, dan Dr. Donny Gahral Adian. Secara khusus saya juga mengucapkan terimakasih kepada Dr. Karlina Supelli yang telah secara teliti membaca keseluruhan draf disertasi, menandai mulai dari kesalahan penulisan sampai argumen yang masih lemah, dan terutama dalam mempertanyakan kontribusi penelitian dari penulis. Pertanyaan Bu Karlina ini telah mendorong penulis untuk lebih berani menggagas teori yang berbeda yang memberikan penjelasan yang lebih luas dari teori Andrew Feenberg. Disertasi ini juga bisa diselesaikan berkat dukungan dan keleluasaan yang diberikan oleh rekan-rekan sekantor. Karena itulah saya menghaturkan ucapan terima kasih yang setulusnya kepada Dr. Trina Fizzanty, Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (Pappiptek – LIPI), yang memberi saya keleluasaan untuk menempuh program S3 ini; juga kepada Dra. Wati Hermawati, M.B.A., Dra. Hartiningsih, M.A., Dra. Ishelina Rosaira, Lutfah Ariana, S.T.P., M.P.P., M.S.E., yang telah menjadi rekan satu tim penelitian dan membantu mengurangi beban pekerjaan sehingga saya bisa memiliki waktu yang cukup untuk berkonsentrasi pada penulisan disertasi; kepada Purnama Alamsyah S.E. yang telah menjadi mitra diskusi sehari-hari; kepada Sigit Setiawan S.T., M.Si. dan Tri Handayani, S.Kom. yang telah menjadi rekan yang sangat bisa diandalkan terutama pada saat genting-gentingnya penyelenggaraan Forum Iptekin dan LIPI Science Based Industrial Innovation Award pada tahun 2013; dan juga rekan-rekan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu di sini. Saya juga mengucapkan terima kasih pada rekan-rekan dari SatuDunia yang telah memfasilitasi saya dengan diskusidiskusi yang mengasah gagasan dalam disertasi ini.
vi
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Ucapan terimakasih terbesar tentu harus saya sampaikan kepada Retno Dumilah, istri tercinta, dan dua buah hati kami, Rafida Adawiyah dan Jalaluddin Rumi. Disertasi ini adalah juga buah dari pengorbanan mereka yang telah mengizinkan saya untuk mengalihkan perhatian dari mereka kepada disertasi ini. Sampai-sampai pada tiap akhir pekan pun mereka harus mengalah membiarkan disertasi ini merampas perhatian saya pada mereka. Harapan saya, mudah-mudahan disertasi ini bisa menjadi awal bagi berkembangnya minat terhadap filsafat teknologi di Indonesia.
Depok, 29 Mei 2015 Ikbal Maulana
vii
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
viii
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
ABSTRAK
Nama
: Ikbal Maulana
Program Studi
: Ilmu Filsafat
Judul
: Menggugat Nalar Teknologis, Memulihkan Kepelakuan Manusia: Pemikiran Andrew
Feenberg Mengenai
Demokratisasi Teknologi Teknologi bisa memiliki dampak terhadap masyarakat setara dengan pengaruh undang-undang atau kebijakan pemerintah, karena itu keputusan teknis, menurut Andrew Feenberg, harus masuk dalam ranah demokrasi. Yang menjadi perintang demokratisasi teknologi adalah pandangan bahwa pengembangan teknologi sepenuhnya mengandalkan nalar tanpa pengaruh faktor-faktor sosial, sehingga teknologi dianggap mempengaruhi tetapi tidak dipengaruhi nilai dan budaya masyarakat. Kajian teknologi dan pemikiran konstruktivisme sosial membuktikan bahwa teknologi dan masyarakat memiliki hubungan saling mempengaruhi. Feenberg berusaha memadukan esensialisme teknologis dan konstruktivisme sosial dalam teori dua-tingkat. Namun, disertasi ini berargumen bahwa esensialisme
teknologis
tidak
perlu
dipertahankan
karena
peristiwa
dekontekstualisasi yang mengambil obyek alam dari konteksnya untuk menjadi obyek teknis tetap mempengaruhi lingkungan manusia, dan dalam reduksionisme yang memangkas sifat-sifat yang tidak diperlukan suatu obyek teknis menghasilkan limbah yang bisa berbahaya bagi manusia. Sebagai gantinya penulis mengajukan teori yang menjelaskan perkembangan teknologi secara serentak dipengaruhi oleh susbistem teknologis, ekonomi dan sosial, yang masing-masing memiliki dualitas
struktur-kepelakuan dan semua subsistem ini saling
mempengaruhi yang menyebabkan spiral perubahan teknologi, ekonomi dan masyarakat. Kata kunci: teknologi, nalar, esensialisme teknologis, konstruktivisme sosial.
ix
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
ABSTRACT
Name
: Ikbal Maulana
Study Program
: Philosophy
Title
: Questioning Technological Rationality, Recovering Human Agency: The Thought of Andrew Feenberg on Democratization of Technology
Technology may have a significant impact comparable to the impacts of regulations or policies of a government, therefore technical decision, according to Andrew Feenberg, should belong to the democratic sphere. The constraint to democratization of technology is the thought that technology is fully developed based on reason, without experiencing the influence of social factors. It implies that technology is influencing but not being influence by society. The field of technology studies and social constructivism prove that technology and society are constituting each other. Feenberg has reconciled technological essensialism and social constructivism in his two-level theory. But, the dissertaion argues that we should not keep technological essentialism because the moment of decontextualization, which takes object from its natural context, influences the environment, and the moment of reductionism, which strips technically useless qualities of technical object, disposes wastes that may be harmful to human beings. Therefore the dissertation suggest an alternative theory that explains that the development of technology is simultaneously influenced by technological, economic and social subsystems each of which has the duality of structure-agent and all subsystems are influencing each other which in turn cause the spiral of the development of technology, economy and society.
Keywords: technology, reason, technological essentialism, social constructivism. x
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Daftar Isi HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.......................................................i HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii KATA PENGANTAR..............................................................................................iv HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.............................viii ABSTRAK..............................................................................................................ix ABSTRACT............................................................................................................xi BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1 1.1. Pendahuluan...........................................................................................1 1.1.1 Kemajuan di Bawah Bayang-Bayang Risiko...............................4 1.1.2 Kepentingan di Balik Teknologi...................................................7 1.1.3 Demokratisasi Lawan Nalar Teknologis.....................................11 1.1.4 Determinisme Teknologis...........................................................13 1.2. Filsafat Teknologi................................................................................18 1.3. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian...................................20 1.4. Pernyataan Tesis...................................................................................22 1.5. Kerangka Kerja Teoretis......................................................................22 1.6. Metode Penelitian................................................................................26 1.7. Posisi Penelitian...................................................................................28 1.8. Tujuan Penelitian.................................................................................32 1.9. Sistematika...........................................................................................33 BAB 2 POSISI FILSAFAT TEKNOLOGI FEENBERG.................................35 2.1. Andrew Feenberg sebagai Penerus Tradisi Teori Kritis.......................35 2.2. Kritik Herbert Marcuse terhadap Nalar Teknologis.............................43 2.3. Esensialisme Teknologis Martin Heidegger........................................49 2.4. Kritik Jürgen Habermas terhadap Herbert Marcuse............................53 2.5. Konstruktivisme Sosial Teknologi.......................................................57 2.6. Kesimpulan..........................................................................................62 xi
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
BAB 3 MEMBEDAH NALAR TEKNOLOGIS................................................64 3.1. Asal Pengutamaan Nalar Teknologis...................................................66 3.2. Pemahaman tentang Nalar...................................................................71 3.3. Teknologi sebagai Penyingkapan Nalar...............................................75 3.4. Pengaruh Nalar Teknologis pada Masyarakat......................................85 3.5. Mengembalikan Daya Kritis Nalar......................................................95 3.6. Kesimpulan........................................................................................102 BAB 4 MENCARI RUANG BAGI DEMOKRATISASI TEKNOLOGIS....104 4.1. Akar Determinisme Teknologis.........................................................104 4.2. Menyanggah Keabsahan Determinisme Teknologis..........................108 4.3. Pandangan Konstruktivisme Teknologis............................................113 4.4. Model Perkembangan Teknologi.......................................................118 4.5. Perluasan Teknokrasi.........................................................................126 4.6. Pemulihan Kepelakuan......................................................................129 4.7. Kepelakuan dari Perspektif Kajian Budaya.......................................132 4.8. Teknologi Lahir dari Kepelakuan Manusia.......................................143 4.9. Demokratisasi Teknologi...................................................................147 4.10. Kesimpulan......................................................................................152 BAB 5 REKONSTRUKSI TEORI PERKEMBANGAN TEKNOLOGIS....155 5.1. Rekonstruksi Teori Kritis Teknologis................................................156 5.2. Keterkikisan Makna oleh Teknologi Modern....................................169 5.3. Teori Instrumentalisasi Dua-Tingkat.................................................173 5.3.1 Instrumentalisasi Primer: Fungsionalisasi................................174 5.3.2 Instrumentalisasi Sekunder: Perwujudan.................................175 5.3.3 Kritik Terhadap Teori Instrumentalisasi Dua Tingkat..............177 5.4. Teori Perkembangan Teknologi.........................................................183 5.4.1 Pembingkaian...........................................................................197 5.4.2 Pengarusutamaan Teknologi Hijau...........................................198 5.5. Kesimpulan........................................................................................200 BAB 6 KESIMPULAN......................................................................................204 xii
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................215 DAFTAR ISTILAH..............................................................................................222
DAFTAR GAMBAR Gambar 5.1: Kerangka dua tingkat perkembangan teknologi..............................187 Gambar 5.2: Interaksi antara teknologi, kebutuhan, ekonomi dan ilmu pengetahuan..........................................................................................................192 Gambar 5.3: Hubungan saling memicu antara teknologi dan kebutuhan............195
Daftar TABEL Tabel 3.1: Ragam Teori Teknologi.........................................................................87 Tabel 5.1: Perbandingan Tiga Media....................................................................164 Tabel 5.2: Matra Teknis, Ekonomi dan Sosial dari Instrumentalisasi Primer......180 Tabel 5.3: Matra Teknis, Ekonomi dan Sosial dari Instrumentalisasi Sekunder..182
xiii
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Pendahuluan Disertasi ini merupakan analisis kritis atas pemikiran Andrew Feenberg mengenai demokratisasi teknologi dengan tujuan menghasilkan pemahaman baru mengenai kepelakuan manusia dalam pengendalian teknis. Feenberg mendasarkan gagasan demokratisasi teknologi di atas kritiknya terhadap nalar teknologis yang tidak mengakui kepelakuan manusia dan juga kritiknya terhadap teknokrasi yang memberi autonomi operasional pada sekelompok pakar untuk mengambil putusan yang berdampak luas tanpa harus mempertanggungjawabkan kepada masyarakat sepanjang putusannya didasarkan pada prinsip-prinsip teknis. Pandangan tentang nalar teknologis maupun teknokrasi sama-sama tidak membuka ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengendalian teknis. Argumen utama dari tesis ini adalah bahwa nalar dan prinsip efisiensi tidak sepenuhnya menentukan tindakan teknis (baik pengembangan maupun penerapan teknologi), karena tindakan ini dilakukan di dalam dan sekaligus dipengaruhi subsistem teknologi, ekonomi dan sosial secara bersama-sama dan sekaligus saling mempengaruhi satu sama lain. Meskipun subsistem teknologi dan ekonomi didasarkan pada kriteria efisiensi, tetapi subsistem sosiallah yang menentukan konteks tujuan dan pilihan di mana efisiensi diukur. Penentuan konteks inilah yang bisa diarahkan melalui demokratisasi teknologi. Demokratisasi teknologis diperlukan karena dalam masyarakat modern teknologi adalah kuasa yang bisa lebih besar dari sistem politis yang ada. 1 Pandangan ini memang belum diterima secara luas, namun tidak ada yang menyangkal bahwa masyarakat modern tidak bisa melepaskan ketergantungannya pada teknologi, bahkan keberadaannya sendiri ditopang oleh teknologi. Masyarakat modern muncul bersama dengan munculnya teknologi modern. Teknologi memungkinkan mereka menduduki wilayah yang lebih luas, dengan jumlah anggota yang lebih besar, dan tetap bisa mengelola kepentingan kolektif mereka tanpa harus mendasarkannya pada hubungan1 Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge, 1999), 131.
1
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
hubungan kekerabatan. Topangan teknologi terhadap masyarakat modern ini ditunjukkan oleh Hans Harbers. Tanpa jaringan listrik yang berfungsi dengan baik tidak ada ikatan sosial; televisi dan teknik-teknik komunikasi lainnya telah menjadi kondisi bagi kewarganegaraan dalam demokrasi media; dan perkembangan dalam ilmu dan teknologi biomedis telah membentuk cara kita mendefinisikan kesehatan dan penyakit, atau bahkan kehidupan dan kematian; dan lain-lain.”2
Satuan sosial di bawah masyarakat, yakni keluarga, juga menjaga kelangsungan keberadaannya dan mengatur peran-peran anggota-anggotanya dengan topangan teknologi. Rumah adalah teknologi yang melindungi dan membantu menjaga keutuhan keluarga. Ada ruang keluarga beserta berbagai kelengkapannya, mulai dari lampu sampai televisi, yang memungkinkan keluarga menjaga keakraban di antara mereka. Norma-norma keluarga juga dimaterialisasikan dengan adanya pemisahan kamar-kamar menjadi kamar orang tua, kamar anak lelaki dan kamar anak perempuan. Dapur beserta seluruh peralatannya menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, dan kadang kala menjadi ruang tempat pengetahuan memasak seorang ibu dialihkan pada anaknya. Meskipun ketergantungan pada teknologi jauh lebih menonjol pada masyarakat modern, namun sejak awal keberadaannya, teknologi sudah menjadi bagian dari identitas kemanusiaan. Ini ditunjukkan oleh bagaimana para arkeolog memahami peradaban manusia yang belum mengenal tulisan dengan mengkaji teknologi (peralatan sederhana) yang mereka tinggalkan. Karena itulah, bagi David E. Nye, lebih sulit membayangkan manusia dari masa pra-teknologi, daripada dari masa pra-tulisan. 3 Di masa lalu atau pun kini, teknologi tetaplah perluasan diri manusia untuk menaklukkan alam dan manusia lain. Perbedaannya hanyalah kecepatan perkembangan dan kompleksitasnya. Di masa lalu teknologi berkembang lamban sekali, perkembangan dari peralatan batu kasar ke peralatan batu halus saja membutuhkan waktu ribuan tahun. Sementara kini teknologi berkembang sangat kompleks dengan kecepatan perubahan 2 Hans Harbers, “Introduction: Co-Production, Agency, and Normativity,” dalam Inside the Politics of Technology Agency and Normativity in the Co-Production of Technology and Society, ed. Hans Harbers (Amsterdam: Amsterdam University Press, ), 11: Without a properly functioning electricity network there is no social cohesion; television and other communication techniques have become conditions for citizenship in a media democracy; and developments in biomedical sciences and technologies are constitutive for the way we define health and disease, or even life and death; etc. 3 David E. Nye, Technology Matters: Questions to Live With (Cambridge, MA: The MIT Press, 2006), 5.
2
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
yang tinggi sehingga manusia tidak bisa benar-benar memahami dan menyesuaikan diri dengannya. Ketergantungan masyarakat yang semakin besar pada teknologi tidak dianggap sebagai kelemahan. Bahkan peningkatan ketergantungan ini mereka maknai sebagai penanda kemajuan. Lebih-lebih saat ini diakui secara luas bahwa penguasaan masyarakat atas teknologi – mampu mengembangkan teknologi atau memanfaatkannya untuk keperluan produktif – menjadi penentu utama keunggulan dalam persaingan ekonomi global. Kesejahteraan masyarakat modern tidak bisa dicapai tanpa penguasaan teknologi.4 Dengan teknologi manusia bisa mendapatkan jauh lebih banyak dari apa yang diperolehnya dengan hanya mengandalkan tangannya sendiri. Teknologi telah memberi manusia kuasa atas alam. Teknologi mengubah manusia dari yang tergantung pada alam menjadi yang mampu memanipulasinya. Penguasaan teknologi memang hanya merupakan salah satu dari ciri-ciri masyarakat sejahtera, namun ciri-ciri lain yang banyak disebut – berjalannya praktik demokrasi dan ekonomi pasar (kapitalisme)5 – masih kerap menjadi kontroversi. Sebagian orang, seperti Sung-Hee Jwa & Yong Yoon, bahkan menganggap hal tersebut sebagai mitos.6 Meskipun banyak yang setuju bahwa demokrasi merupakan cara mewujudkan keadilan politik, tetapi mereka tidak menjamin bahwa demokrasi akan mengantarkan masyarakat pada kesejahteraan. Bahkan pada banyak kondisi, demokrasi bisa memperlambat proses kemajuan karena untuk bergerak dari satu tahap ke tahap kemajuan berikutnya demokrasi mensyaratkan konsensus banyak orang yang tak mudah dicapai. Demikian juga dengan kapitalisme, meskipun bisa meningkatkan tingkat pendapatan rata-rata suatu masyarakat, kapitalisme sering dituding sebagai penyebab ketimpangan ekonomi dalam masyarakat, yang bisa menyebabkan kerawanan sosial. Jadi, dibandingkan dengan ciri-ciri lainnya, penguasaan teknologilah yang paling diterima luas sebagai penentu kemakmuran masyarakat. 4 Simpulan ini juga bisa ditarik dari pendapat Ortega y Gasset dalam Toward a Philosophy of History (New York: W.W. Norton & Company, 1941), hal. 98-99, bahwa manusia mengembangkan teknologi bukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi untuk mencapai hidup sejahtera. 5 Hubungan antara kemajuan teknologi, demokrasi dan kapitalisme bisa dilihat dalam Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy (London: Routledge, 1976). 6 Sung-Hee Jwa & Yong Yoon, “Economic Development and Institutions,” dalam Institutional Economics and National Competitiveness, ed. Young Back Choi (New York, NY: Routledge, 2012).
3
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
1.1.1 Kemajuan di Bawah Bayang-Bayang Risiko Teknologi menawarkan banyak janji. Terlepas janji tersebut bisa terpenuhi atau tidak, masyarakat terus menyesuaikan konsumsinya dengan perkembangan teknologi yang mereka anggap sama dengan kemajuan itu sendiri. Karena menganggap konsumsi teknologi sebagai ukuran kemajuan, mereka pun membiarkan selera dan kebutuhannya dibentuk oleh perkembangan teknologi tersebut.7 Ini terlihat pada masyarakat yang terus mengonsumsi produk-produk baru tanpa mempertanyakan lagi apakah produk-produk tersebut memang mereka butuhkan. Teknologi memang membuat manusia bisa mendapatkan lebih banyak, lebih cepat atau lebih mudah dari sebelumnya. Tak jarang teknologi juga menawarkan sesuatu yang sama sekali baru, yang tak terbayangkan manusia sebelumnya. Sekian abad yang lalu, kisah manusia yang terbang melintasi samudra adalah dongeng anak-anak. Bahkan komunikasi melalui media sosial dengan menggunakan ponsel yang bisa dilakukan di mana pun dan kapan pun, tiga puluh tahun yang lalu sama sekali tak terbayangkan. Dengan menguasai teknologi, masyarakat tidak perlu lagi mengkhawatirkan pemenuhan kebutuhan dasarnya. Banyak penyakit yang dulu jadi wabah mematikan, kini bisa ditaklukkan melalui inovasi di bidang kedokteran. Ilmu pengetahuan telah membukakan mata manusia betapa bumi yang mereka huni hanyalah titik kecil di tepian galaksi Bima Sakti. Namun, dengan teknologi manusia terus mengembangkan harapan untuk lepas dari kungkungan keterbatasan tersebut. Teknologi yang menjanjikan banyak hal, merangsang manusia untuk mengonsumsi banyak pula. Manusia dibuat membutuhkan hal-hal baru yang sebelumnya tak terpikir mereka bakal membutuhkannya. Teknologi tidak hanya membuka
dunia
baru,
tetapi
juga
membentuk
manusia
baru.
Manusia
mengidentifikasikan diri dengan teknologi yang dikonsumsinya, tanpa sempat lagi berpikir apakah ini memang betul-betul diinginkannya. Banyak orang memperlakukan ponsel sebagai bagian dari identitasnya sehingga mereka akan kembali ke rumah jika ponselnya tertinggal. Teknologi juga membuat orang mengada-adakan kebutuhan yang sebelumnya tidak jadi masalah. Banyak orang menggunakan pendingin udara atau air conditioner (AC) untuk mendinginkan kamarnya, lalu menggunakan selimut tebal untuk 7 Cara berpikir seperti ini, yang mengikuti nalar teknologis, dikritik Marcuse dalam One-Dimensional Society (New York: Routledge Classics, 2002) sebagai cara berpikir yang berada di bawah hegemoni.
4
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
mengatasi udara dingin yang dibuatnya sendiri. Kapitalisme yang lebih mementingkan sisi pasok terus memproduksi barang dan mendorong konsumsi tanpa memperdulikan apakah kualitas hidup masyarakat meningkat karena konsumsi tersebut. Persoalan yang diakibatkan oleh penerapan teknologi produksi, seperti pemangkasan keterampilan (deskilling) dan keterasingan (alienation), relatif mudah diabaikan dengan menganggapnya sebagai harga kemajuan yang harus dibayar masyarakat. Kalaupun persoalan ini dianggap sebagai pelemahan posisi tawar pekerja ketika berhadapan dengan pemilik modal dan manajemen, tetapi sistem produksi secara keseluruhan menjadi lebih efisien. Dan efisiensi ini diperlukan agar perusahaan bisa bersaing dengan perusahaan lain yang menggunakan sistem produksi yang sama, yang pada gilirannya bisa mempertahankan lapangan kerja yang dibutuhkan pekerja juga. Sementara persoalan risiko, yang bisa muncul kemudian akibat penerapan teknologi, bisa dikecilkan atau bahkan dihilangkan dengan cara ditafsir ulang, 8 sehingga kekhawatiran akan persoalan bisa dihilangkan dari pikiran orang, meskipun kenyataan dari persoalan tersebut tetap ada. Namun, persoalan lingkungan tidak bisa diabaikan dengan menganggapnya sebagai harga yang harus dibayar bagi kemajuan, lebih-lebih kalau sudah menjadi bencana, seperti kebocoran reaktor nuklir di Fukushima, Jepang, pada tahun 2011, atau pun kebocoran gas pada pabrik Union Carbide India Limited (UCIL) di Bhopal India pada tahun 1984 yang menelan lebih dari tiga ribu jiwa. Persoalan yang sudah menjadi bencana adalah persoalan yang sudah terlanjur memakan korban. Kerugiannya pada manusia dan alam sering tidak bisa dipulihkan kembali ke semula. Persoalan tidak langsung menjadi bencana, tetapi terlebih dulu menjadi risiko, yakni kemungkinan (bukan kepastian) terjadinya bencana atau bahaya. Risiko adalah probabilitas atau tingkat kemungkinan sesuatu menjadi membahayakan. Pada hal-hal yang umum dilakukan, seperti perjalanan dengan mobil, kereta api atau pesawat terbang, risikonya bisa dikuantifikasi dari data kecelakaan yang sudah terjadi. Namun, untuk hal-hal yang tidak lazim, risiko ini sulit dikenali.9 8 Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity, diterjemahkan oleh Mark Ritter (London: Sage, 1992), 75. 9 Misalnya, Daniel A. Vallero & Trevor M. Letcher, Unraveling Environmental Disasters (Amsterdam: Elsevier, 2013), hal. 238, menceritakan bagaimana gangguan keracunan senyawa air raksa (merkuri) yang diderita warga Kota Minamata, Jepang, tidak langsung dikenali ketika “penyakit aneh” mulai
5
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Meski sulit dikenali risiko adalah bagian tak terpisahkan dari penggunaan teknologi. Risiko memang tidak selalu berubah menjadi bencana di masa depan. Namun, risiko yang diabaikan – karena ketidaktahuan atau pun kelengahan manusia – bisa menjadi bencana yang lebih menyengsarakan daripada bencana alam. Ketakterpisahan teknologi dari risiko membuat masyarakat modern menjadi apa yang disebut Ulrich Beck sebagai masyarakat risiko.10 Pada masyarakat tradisional, risiko berasal dari luar mereka, dari alam, seperti gempa bumi atau pun wabah penyakit menular. Pada masyarakat risiko, risiko muncul dari putusan, tindakan dan apa yang dibuat oleh masyarakat. Dengan mengambil putusan untuk menggunakan reaktor nuklir, maka masyarakat harus siap menghadapi risiko kebocoran reaktor nuklir. Dengan mengganti kereta kuda dengan mobil, masyarakat juga harus siap dengan risiko kecelakaan mobil yang lebih parah dibandingkan kecelakaan kereta kuda. Risiko ini tidak bisa dihilangkan, kecuali kita kembali menjadi masyarakat tradisional. Bahkan upaya menghilangkan risiko suatu teknologi dengan bantuan teknologi lain lagi, akan mengakibatkan risiko yang berbeda lagi.11 Karena itulah tantangan utama umat manusia tidak hanya bagaimana mengeskploitasi alam, atau membebaskan manusia dari keterbatasan tradisionalnya, tetapi juga dan utama adalah mengatasi masalah yang diakibatkan pembangunan tekno-ekonomi.12
dilaporkan warga pada pertengahan 1950-an. Karena itulah pemerintah Jepang membiarkan satu pabrik kimia melepaskan kurang lebih 27 ton senyawa air raksa ke Teluk Minamata sejak tahun 1932 sampai 1968. Hubungan “penyakit aneh” yang menyengsarakan warga Minamata dengan limbah kimia ini tidak langsung dikenali, karena limbah ini terlebih dahulu terakumulasi dalam tubuh ikan yang tak tampak mengalami gangguan. Butuh waktu cukup lama bagi senyawa kimia ini untuk mengakumulasi dan menjadi racun yang membahayakan tubuh orang-orang yang secara rutin mengkonsumsi ikan-ikan dari teluk Minamata ini. 10 Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity, diterjemahkan oleh Mark Ritter (London: Sage, 1992). Beck tidak menggunakan istilah teknologi tetapi ilmu alam (science) dalam merujuk penyebab risiko. Namun, penulis meyakini bahwa yang dimaksud Beck dengan science adalah teknologi (penerapan ilmu alam), bukan ilmu alam sebagai pengetahuan tentang alam yang diperoleh melalui pengamatan dan percobaan. 11 Misalnya, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pemerintah membutuhkan pasokan energi. Jika menggunakan energi fosil, maka ini akan menimbulkan pencemaran lingkungan. Untuk mendapatkan pasokan energi yang tidak berpolusi, pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA), tetapi ini membutuhkan pembangunan waduk yang akan merendam habitat flora dan fauna yang dampak buruknya pada lingkungan tidak bisa diketahui dengan pasti dari awal. Pilihan lain adalah pembangkit listrik tenaga nuklir yang tidak menimbulkan polusi atau pun membutuhkan waduk, tetapi jika terjadi kebocoran reaktor akibatnya bisa fatal. 12 Beck, Risk, 19.
6
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
1.1.2 Kepentingan di Balik Teknologi Risiko yang selalu membayangi setiap penggunaan teknologi tidak menghalangi manusia untuk terus mengembangkan teknologi. Justru sebaliknya, banyak orang percaya bahwa risiko bisa terus dikurangi dengan kemajuan perkembangan teknologi. Demikian juga kepercayaan masyarakat awam semakin besar terhadap keandalan teknologi yang kecanggihannya sebenarnya semakin tak mereka pahami. 13 Di masa lalu Amerika dan Uni Soviet berlomba mengembangkan teknologi angkasa luar, yang membawa mereka memasuki wilayah risiko yang baru. Kini sejumlah negara juga berlomba menantang risiko dengan membuat bangunan tertinggi di dunia. Toleransi tiap orang atau masyarakat terhadap risiko berbeda-beda tingkatnya. Apa yang dihindari oleh sebagian orang, ternyata menantang sebagian yang lain untuk menaklukkannya. Teknologi menjadi cara orang untuk menaklukan risiko yang ada, sekaligus memasuki wilayah risiko baru. Sebagian orang sangat optimis bahwa risiko yang diakibatkan oleh suatu teknologi bisa dikurangi dengan penerapan teknologi yang lain lagi. Kalangan yang memiliki pandangan determinisme teknologis menganggap bahwa teknologi akan semakin maju, yang berarti semakin besar manfaat dan sekaligus semakin berkurang risikonya. Optimisme ini menyembunyikan efek samping dari kegiatan rekayasa (engineering): "dalam upaya meningkatkan produktivitasnya, risiko yang bersangkutan telah selalu dan masih diabaikan. Prioritas pertama dari keingintahuan tekno-ilmiah adalah penggunaan bagi produktivitas, dan bahaya yang berhubungan dengannya hanya dipertimbangkan kemudian dan sering tidak (dipertimbangkan) sama sekali."14 Secara normatif, menurut Beck, sikap abai terhadap risiko adalah adalah sikap yang tidak bisa diterima. Namun, ketika berhadapan dengan kebutuhan-kebutuhan yang mendesak, sebagaimana yang kerap terjadi di negara berkembang, pengabaiannya ini dianggap sah. Logika peningkatan kesejahteraan sering mengalahkan pertimbangan risiko, khususnya risiko yang sulit dikenali kemungkinan bahayanya dalam waktu 13 Sebagai contoh, berita tentang kecelakaan pesawat yang kadang-kadang terjadi tidak menghalangi banyak orang untuk bepergian dengan pesawat yang semakin besar dengan mekanisme pengamanan yang sebenarnya tak mereka pahami. 14 Beck, Risk, 60: in the effort to increase productivity, the associated risks have always been and still are being neglected. The first priority of techno-scientific curiosity is utility for productivity, and the hazards connected with it are considered only later and often not at all.
7
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
dekat. "Kemendesakan kebutuhan menekan persepsi mengenai risiko, tetapi (yang dihilangkan) hanya persepsinya, bukan realitas atau akibatnya; risiko yang disangkal tumbuh dengan cepat dan subur... prapenguasaan dari logika dan konflik produksi kesejahteraan, dan oleh karenanya ketidaknampakan sosial dari masyarakat risiko, bukanlah bukti dari ketidaknyataannya; justru sebaliknya, merupakan motor bagi asal dari masyarakat risiko dan oleh karenanya bukti ia menjadi nyata."15 Masyarakat menjadi lebih terpapar pada risiko ketika berbagai kepentingan cenderung mengabaikannya. Namun, menurut Beck, keterpaparan pada risiko yang sudah terlihat dampaknya sekalipun tidak serta merta membuat masyarakat sadar akan dampak tersebut, bisa juga yang muncul justru penyangkalan yang berasal dari ketakutan. Apa lagi pihak yang paling bertanggung jawab, yang harus membayar paling mahal dari penanganan risiko tersebut, akan cenderung menyangkalnya. Pertimbangan risiko sering dikalahkan oleh kebutuhan material. Kebutuhan material menghasilkan pengalaman subyektif berupa rasa sakit atau tidak nyaman jika tidak terpenuhi. Sementara kesadaran akan risiko membutuhkan pengetahuan tentang kemungkinan di masa depan. Dan karena pengetahuan mengenai risiko ini juga dikonstruksi secara sosial, sehingga kekhawatiran akan risiko bisa diperbesar dan diperkecil, atau pun dihilangkan sama sekali dengan penafsiran tertentu. Karena itu proses menyadari risiko, menurut Beck, bersifat bolak-balik (reversible).16 Dengan penafsiran tertentu risiko disadari keberadaannya, dan dengan penafsiran yang lain, bisa dihilangkan keberadaannya. Keterkaitan antara risiko dengan tanggung jawab membuat sering terjadi pertarungan wacana tentang ada-tidaknya atau besar-kecilnya risiko tersebut. Pengakuan akan risiko dari limbah industri akan menuntut pemilik pabrik untuk memasang instalasi pengolah limbah, yang ini berarti beban biaya tambahan. Manfaat maupun risiko teknologi tidak tersebar merata. Ada pihak yang lebih diuntungkan atau lebih terpapar pada risiko dibandingkan yang lain. Penggantian suatu teknologi dengan teknologi lain untuk memenuhi kebutuhan yang sama, bisa mengubah sebaran manfaat dan risiko yang ditanggung masyarakat. Perbedaan sebaran manfaat 15 Beck, Risk, 45: The tangibility of need suppresses the perception of risks, but only the perception, not their reality or their effects; risks denied grow especially quickly and well....the predominance of the logic and conflicts of wealth production, and thus the social invisibility of the risk society, is no proof of its unreality; on the contrary, it is a motor for the origin of the risk society and thus a proof that it is becoming real. 16 Beck, Risk, 75.
8
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
dan risiko yang diterima masyarakat ini sebagian ditentukan oleh rancangan teknologis, dan karena itulah sebagian pemikir, mulai dari Herbert Marcuse,17 Langdon Winner,18 sampai Andrew Feenberg,19 menganggap bahwa teknologi merupakan bentuk terselubung dari kepentingan. Pandangan bahwa kemajuan tekno-ekonomi dianggap non-politis didasarkan pada penyamaan antara kemajuan teknis dan kemajuan sosial, serta asumsi bahwa arah pembangunan dan transformasi teknologis mengikuti batasan-batasan obyektif teknoekonomi.20 Penekanan pada pertimbangan tekno-ekonomi membuat berbagai akibat negatif teknologi – pemangkasan keterampilan, risiko pengangguran atau pengalihan, ancaman terhadap kesehatan dan kerusakan alam – selalu dimaklumi. Pandangan ini juga menyangkal konsekuensi sosial dari teknologi sebagai sesuatu yang bersifat politis, tetapi hanya menganggapnya sebagai akibat tak terelakkan dari perkembangan teknologi. Karena itulah proses tekno-ekonomi dibiarkan atau bahkan dijaga agar tetap tak membutuhkan legitimasi politis. Bukti kemajuan teknologi sudah cukup jadi alasan untuk mengesampingkan pemungutan suara. Kemajuan menjadi pengesah “tujuantujuan dan konsekuensi-konsekuensi yang tak bernama dan tak diketahui."21 Kajian teknologi menunjukkan bahwa teknologi mengubah relasi kuasa antar berbagai pihak yang terlibat dengan teknologi tersebut. Bagi pemilik modal, teknologi adalah pendorong peningkatan efisiensi yang pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan. Namun, teknologi yang sama juga bisa memangkas keterampilan pekerja, yang mengakibatkan pelemahan posisi tawar mereka terhadap manajemen atau pemilik modal. Sementara dalam kegiatan produksi masa lalu pekerja menempati posisi utama, yang berwewenang mengatur urutan dan kecepatan kerja dan berkuasa atas perkakas yang mereka gunakan; di masa kini justru mesin mengambil peran utama yang menentukan lingkup tugas dan kecepatan pekerja menyelesaikan tugasnya. Pekerja turun posisinya menjadi pelengkap mesin. 17 Herbert Marcuse, One-Dimensional Society (New York: Routledge Classics, 2002). 18 Langdon Winner, The Whale and the Reactor (Chicago: The University of Chicago Press, 1986). 19 Pemikiran Feenberg ini tertuang dalam berbagai karyanya antara lain Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford Universty Press, 2002) dan Questioning Technology (London: Routledge, 1999). 20 Beck, Risk, 183-4. 21 Beck, Risk, 184: goals and consequences that go unnamed and unknown.
9
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Di luar sistem produksi teknologi juga bisa dirancang untuk mengatur atau membatasi pihak lain. Sebagai contoh, di New York terdapat banyak lintas atas (overpass) dibuat rendah sehingga tidak bisa dilewati bis. Robert Moses, pengembang jalan, jembatan, taman dan fasilitas umum lainnya yang ada di New York mulai dari tahun 1920-an sampai 1970-an sengaja membangun sekitar 200 lintas atas yang rendah di Long Islands untuk mendapatkan efek sosial tertentu, yakni agar masyarakat kelas bawah atau kulit hitam yang mengandalkan bis sulit mendatangi kawasan pantai di Long Islands.22 Dalam kasus ini mobilitas suatu kelompok sosial dihambat bukan dengan penjagaan polisi tetapi dengan rancangan teknologi. Teknologi juga bisa digunakan untuk memaksakan suatu norma. Dengan teknologi pengawasan (surveillance technology), sebagaimana yang dipasang di penjara, pabrik sampai pasar swalayan, perilaku manusia yang diawasi bisa dikendalikan. Kalaupun perilaku tidak bisa dikendalikan, setidak-tidaknya teknologi ini bisa merekam pelanggaran dan mengidentifikasi pelakunya. Teknologi bisa lebih konsisten dalam memaksakan norma dibandingkan manusia. Bukankah keberadaan polisi tidur lebih memastikan orang memperlambat kendaraannya dibandingkan penjagaan oleh satpam? Polisi tidur hanya satu contoh kecil bagaimana manusia menggunakan teknologi untuk membangun tatanan normatif di antara mereka. “Banyak peralatan dan sistem teknis yang penting dalam kehidupan sehari-hari mengandung kemungkinan bagi banyak cara berbeda untuk menata kegiatan manusia. Sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, masyarakat memilih struktur bagi teknologi yang mempengaruhi bagaimana
orang-orang
akan
bekerja,
berkomunikasi,
melakukan
perjalanan,
mengkonsumsi, dan lain-lain dalam waktu yang panjang.”23 Teknologi menjadi semacam undang-undang, yang menjadi bingkai kerja bagaimana masyarakat menyelenggarakan berbagai kegiatannya. Karena itulah, menurut Winner, perhatian seksama yang orang berikan pada aturan, peran dan hubungan politik harus pula diberikan pada hal-hal seperti pembangunan jalan bebas hambatan, penciptaan jaringan televisi, dan penyesuaian fungsi-fungsi yang nampak tak penting pada mesin 22 Langdon Winner, The Whale and the Reactor (Chicago: The University of Chicago Press, 1986), 23. 23 Winner, Whale, 28: Many technical devices and systems important in everyday life contain possibilities for many different ways of ordering human activity. Consciously or unconsciously, deliberately or inadvertently, societies choose structures for technologies that influence how people are going to work, communicate, travel, consume, and so forth over a very long time.
10
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
baru. Persoalan-persoalan yang memisahkan atau menyatukan orang dalam masyarakat diselesaikan tidak hanya dalam lembaga-lembaga dan praktik-praktik politik yang layak, tetapi juga, dan lebih kurang nampak, dalam pengaturan baja dan beton, kabel dan semikonduktor, mur dan baut.24
Konsekuensi dari pandangan Winner ini, dan yang juga sudah disadari Feenberg adalah perlunya demokratisasi teknologi.
1.1.3 Demokratisasi Lawan Nalar Teknologis Menurut Langdon Winner, inovasi teknologis mirip tindakan legistatif karena ia bisa membingkai tatanan publik selama beberapa generasi.25 Pembingkaian terjadi begitu komitmen penggunaan atau pengembangan teknologi tersebut dibuat melalui investasi ekonomi, penyiapan sumber daya manusia, dan setelah sekian waktu hal ini menimbulkan keakraban dengan teknologi dalam bentuk pengetahuan, keterampilan maupun perilaku tertentu. Feenberg menyetujui pandangan Winner ini dengan menyatakan bahwa apa dan akan menjadi apa manusia juga dipengaruhi oleh teknologi sebagaimana ia juga ditentukan oleh gerakan dan putusan politis. 26 Pernyataan ini, jika didasari anggapan determinisme teknologis, memiliki implikasi yang mengkhawatirkan. Sementara undang-undang mempengaruhi namun bisa diubah masyarakat, teknologi mempengaruhi tetapi tidak dipengaruhi mereka. Bagi pendukung teknokrasi dan pendukung determinisme teknologis, hal ini bukan persoalan. Intervensi masyarakat awam, yang tidak memahami hukum-hukum alam dan efisiensi teknologi, hanya akan menghambat pengembangan teknologi, dan juga bisa meningkatkan risiko teknologi. Jadi sudah sewajarnya teknologi menjadi urusan para pakar yang patuh pada hukum-hukum pengembangan teknologi. Dalam semesta teknokrasi, tidak ada ruang bagi demokratisasi teknologi karena teknologi bekerja bukan mengikuti selera masyarakat tetapi mengikuti hukum alam yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang menggelutinya. Teknologi adalah 24 Winner, Whale, 29: the same careful attention one would give to the rules, roles, and relationships of politics must also be given to such things as the building of highways, the creation of television networks, and the tailoring of seemingly insignificant features on new machines. The issues that divide or unite people in society are settled not only in the institutions and practices of politics proper, but also, and less obviously, in tangible arrangements of steel and concrete, wires and semiconductors, nuts and bolts. 25 Winner, Whale, 29. 26 Saduran bebas dari Feenberg, Transforming, 3: What human beings are and will become is decided in the shape of our tools no less than in the action of statesmen and political movements.
11
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
penerapan prinsip-prinsip ilmiah dan efisiensi. Penerapan prinsip ilmiah untuk memastikan teknologi bisa berjalan, dan penerapan prinsip efisiensi untuk menghasilkan teknologi yang terjangkau pasar. Kedua prinsip ini, ilmiah maupun efisiensi, sama-sama dianggap universal, yang berarti keduanya berlaku di mana pun dan kapanpun tanpa tergantung dari
pengaruh nilai-nilai
masyarakat yang mengembangkan atau
memanfaatkannya. Teknologi yang sama bisa meningkatkan produktivitas masyarakat manapun, komunis atau kapitalis, Barat atau Timur, Kristen atau Islam atau apa pun kepercayaannya. Kepercayaan pada prinsip-prinsip nalar teknologis yang universal menjadi pengesahan bagi para pakar teknologi untuk bekerja mandiri terbentengi dari intervensi siapa pun. Putusan para pakar, asal sesuai dengan nalar teknologis, dianggap tidak bisa disalahkan, sama seperti tidak bisa disalahkannya putusan politis yang sesuai dengan undang-undang. Teknokrasi, menurut Feenberg, menjadi perintang demokrasi teknis, karena ia memberikan argumen yang kuat untuk membuat masyarakat menjadi pasif. 27 Dan teknokrasi tidak menghentikan lingkup kewenangannya hanya pada pengembangan teknologi, tetapi juga memasuki berbagai bidang yang bisa diperdebatkan kemurnian teknisnya, seperti kedokteran, transportasi, tata kota, dan komputerisasi di tempat kerja. Teknokrasi berseberangan dengan demokrasi, karena di dalam teknokrasi, "debat publik akan digantikan oleh kepakaran teknis; penelitian sebagai ganti pendapat masyarakat tanpa informasi akan menentukan arah tindakan yang paling efisien." 28 Walaupun masih memiliki pengaruh besar sampai saat ini, teknokrasi mulai dipertanyakan pada akhir tahun 1960-an ketika antuasiasme terhadap teknologi nuklir dan program penerbangan angkasa luar beralih menjadi sikap antipati. Kritik terhadap teknologi – yang menunjukkan sikap antipati atau berpandangan distopian terhadap teknologi – yang antara lain dipelopori Martin Heidegger dan Jacques Ellul 29 mulai mendapatkan perhatian luas, walaupun tidak sampai menggusur pandangan arus utama, yakni pandangan instrumentalisme teknologis. Herbert Marcuse yang pengaruhnya cukup luas di kalangan Kiri Baru pada tahun 1960-an menuduh bahwa kemajuan teknis 27 Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge, 1999), 131. 28 Feenberg, Questioning, 2: public debate will be replaced by technical expertise; research rather than the uninformed opinion of the voters will identify the most efficient course of action. 29 Jacques Ellul, The Technological System, diterjemahkan oleh Joachim Neugroschel (New York: The Continuum Publishing, 1980)
12
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menjadi “alat penguasaan dan eksploitasi yang karenanya membatasi nalarnya; teknologi akan menjadi subyek permainan bebas dari kekuatan-kekuatan dalam pertarungan untuk menundukkan alam dan masyarakat.”30 Berbeda dengan para kritikus pendahulunya, Feenberg tidak menganggap fitrah teknologi bersifat negatif terhadap manusia. “Saya berpendapat bahwa kemerosotan kerja, pendidikan dan lingkungan tidak berakar pada teknologi semata tetapi pada nilai antidemokratis yang mengatur perembangan teknologis.”31 Jadi, yang diupayakan Feenberg bukanlah menolak teknologi, tetapi melawan teknokrasi. Karena itu masyarakat tidak bisa lepas dari teknologi, dan tidak perlu lepas, bahkan bisa memanfaatkannya tanpa membiarkan kebutuhan dan hasratnya didikte oleh teknologi. Keberadaan masyarakat modern memang disangga oleh teknologi yang telah berkembang demikian kompleks sehingga sulit dipahami perorangan. Namun, manusia tidak boleh melepaskan pengendaliannya terhadap teknologi.
1.1.4 Determinisme Teknologis Walaupun mayoritas negara yang teknologinya maju adalah negara demokratis, namun gagasan demokratisasi teknologi yang diusulkan Feenberg belum mendapatkan sambutan luas. Ini karena kuatnya anggapan bahwa teknologi merupakan urusan teknis semata sehingga terlepas dari demokrasi. Pengembangan teknologi adalah urusan para pakar yang sudah menekuninya secara mendalam. Memberi ruang untuk melibatkan masyarakat awam dalam pengembangan teknologi dianggap justru bisa mengganggu atau mengacaukan teknologi itu sendiri. Dan, masyarakat terbukti tidak keberatan untuk menyerahkan urusan teknis kepada para pakar. Demokratisasi teknologis akan dianggap sama dengan perlawanan terhadap teknokrasi, yang berarti juga perlawanan terhadap nalar teknologis. Dan, anggapan bahwa seseorang 'melawan nalar' di era modern ini adalah anggapan yang merendahkan, karena tindakan melawan nalar sama saja dengan tindakan bodoh. Bagi pendukung teknokrasi, karena artefak teknologi adalah rangkaian berbagai hal yang diolah dari 30 Marcuse, One-Dimensional, 18: the instrument of domination and exploitation which thereby limited its rationality; technology would become subject to the free play of faculties in the struggle for the pacification of nature and of society. 31 Feenberg, Transforming, 3: I argue that the degradation of labor, education, and the environment is rooted not in technology per se but in the antidemocratic values that govern technological development.
13
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
bahan baku yang berasal dari alam – alam yang memiliki hukum-hukumnya sendiri yang lepas dari pengaruh masyarakat – maka teknologi juga dianggap bekerja mengikuti hukum-hukum alam pula, karena itu teknologi juga lepas dari pengaruh masyarakat. Implikasi dari pandangan ini – menyamakan teknologi dengan ilmu alam – mengkhawatirkan Feenberg. “Nasib masyarakat nampak setidaknya sebagian ditentukan oleh faktor nonsosial yang mempengaruhinya tanpa mengalami pengaruh balik.”32 Dan faktor nonsosial ini adalah teknologi. Sementara nalar ilmiah sekuat apa pun diyakininya tidak memiliki dampak langsung pada masyarakat karena hanya berfungsi sebagai bingkai dalam memahami alam.33 Pandangan determinisme teknologis ini merupakan persoalan besar, karena teknologi kini telah menjadi bagian penting dari umat manusia, maka jika masyarakat menganggap diri mereka tidak memiliki kuasa apa pun atas teknologi, berarti mereka menyerahkan bagian penting dari hidup mereka terhadap sesuatu yang tidak bisa dikendalikannya. Lebih ironis lagi, sesuatu yang tak terkendali ini adalah buatan manusia sendiri. Sebenarnya masyarakat telah memiliki pengalaman serupa, menyerahkan nasibnya kepada buatannya sendiri, yakni kepada mekanisme pasar. Pasar dibuat sendiri oleh manusia, dan sesudah berjalan disepakati untuk tidak boleh diintervensi oleh para pembuatnya. “Kekuatan pasar dipercaya melampaui kehendak masyarakat atau bangsa. Ekonomi diperlakukan sebagai sebuah sistem yang nampak alamiah dengan hukum yang sepasti gerakan planet-planet.”34 Karena itulah banyak ekonomi yang mengakui bahwa hukum-hukum ekonomi harus ditemukan, dipatuhi dan tidak boleh ditundukkan oleh ideologi apa pun. Berbagai krisis ekonomi yang datanglah, dan bukan ideologi, yang berhasil mengingatkan mereka betapa “sangat janggal jika masyarakat modern menyerahkan kendali atas kehidupan ekonomi mereka sendiri kepada alam kedua yang mereka ciptakan sendiri.”35
32 Feenberg, Questioning, 77: Society’s fate seems to be at least partially dependent on a nonsocial factor which influences it without suffering a reciprocal influence. 33 Beberapa penulis, misalnya Ulrich Beck, tetap menggunakan istilah ilmu alam bagi penerapan ilmu alam. Padahal yang dimaksud mereka sama dengan yang dimaksud Feenberg sebagai teknologi. 34 Feenberg, Questioning, viii: The forces of the market were believed to transcend the will of peoples and nations. The economy was treated as a quasi-natural system with laws as rigid as the movements of the planets. 35 Feenberg, Questioning, viii: absurd that modern societies renounced control of their own economic life to a second nature they had themselves created.
14
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Sementara masyarakat sudah bersikap sangat kritis terhadap pasar, mereka masih belum meralat pandangannya mengenai teknologi kecuali yang terkait dengan masalah lingkungan. Masyarakat, tuduh Feenberg, masih memasrahkan diri pada teknologi, yang walaupun nampak sebagai lingkungan alam kedua namun sebenarnya tergantung pada tindakan manusia yang membuat dan menggunakannya. 36 Namun, Feenberg meyakini bahwa pembebasan dari pemujaan terhadap teknologi akan mengikuti pembebasan dari pemujaan terhadap ekonomi pasar. Feenberg telah melakukan pergulatan intelektual yang panjang untuk mengatasi determinisme teknologis dan teknokrasi. Kedua pandangan ini memiliki basis pendukung yang kuat, baik di kalangan filosof teknologi generasi awal maupun para perekayasa yang terlibat langsung dalam pengembangan teknologi. Penganut determinisme teknologis terbagi dua berdasarkan perbedaan keyakinan tentang ke arah mana teknologi akan membawa umat manusia. Kelompok pertama meyakini bahwa teknologi akan mengantarkan manusia pada masa depan yang sejahtera. Berbagai permasalahan yang dihadapi umat manusia, mulai dari kebutuhan dasar sampai wabah penyakit akan bisa diatasi dengan teknologi. Ini adalah pandangan utopian. Kelompok kedua menganggap teknologi akan mengantarkan manusia pada masa depan yang suram jika tidak mampu melepaskan diri dari ketergantungan pada teknologi. Ini adalah pandangan distopian, kebalikan pandangan utopian. Martin Heidegger dan Jacques Ellul adalah pelopor pandangan ini. Penggambaran masa depan distopian ini banyak dieksploitasi dalam budaya populer. Misalnya, film Mad Max menggambarkan dunia selepas perang nuklir; atau Waterworld yang menampilkan bumi yang sebagian besar permukaannya tenggelam akibat pemanasan global; atau novel George Orwell, 1984, yang juga telah difilmkan, di mana teknologi menjadi bagian penting untuk mengawasi dan menguasai masyarakat; atau film Terminator yang menceritakan robot yang dikirim dari masa depan untuk mencegah kelahiran manusia yang akan menjadi pemimpin pemberontakan terhadap robot (bukan lagi robot yang memberontak terhadap manusia!) di masa depan; dan film Matrix dengan imajinasi yang lebih liar lagi mengenai kecerdasan buatan yang tidak hanya memperbudak manusia, tetapi bahkan mampu memanipulasi kenyataan yang dialami manusia.
36 Feenberg, Questioning, vii.
15
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Orang bisa menyangkal kekhawatiran yang diangkat dalam film-film di atas dengan berargumen bahwa masa depan distopian memang lebih menarik untuk dieksploitasi dalam film, sebagaimana gambaran keluarga yang bermasalah atau hubungan cinta yang dipenuhi pengkhianatan lebih menarik untuk disinetronkan. Namun, benih-benih teknologi yang bisa menyeret umat manusia menuju masa depan distopian bisa juga ditemui saat ini. Marx termasuk yang paling awal mengungkapkan dampak teknologi yang memangkas keterampilan (deskilling) dan mengasingkan manusia. Penerapan teknologi ini membuat buruh kehilangan posisi tawarnya karena mereka jadi mudah diganti oleh siapa pun, karena sistem produksi yang ada membutuhkan tenaga kerja dengan keterampilan minimal. Teknologi juga dituding sebagai penyebab pencemaran lingkungan yang berujung pada perubahan iklim yang bisa mengancam kelangsungan hidup manusia. Meskipun, masyarakat menyadari persoalan ini, di tingkat politik putusan untuk mengatasinya tidak mudah diambil. Misalnya, Amerika Serikat tidak meratifikasi protokol Kyoto, karena komitmen terhadap protokol tersebut dianggap bisa menghentikan banyak industrinya, yang pada gilirannya akan melumpuhkan ekonominya. Umat manusia seolah terperangkap dalam pilihan-pilihan teknologis yang dibuat sebelumnya. Dan, sulitnya melepaskan dari perangkap ini karena manusia (atau pemimpin negara) lebih mempertimbangkan kepentingan jangka pendek dan lokal/nasional yang memang lebih relevan dengan wacana politik di mana mereka terlibat. Kapitalisme dianggap sebagai biang keladi dari persoalan ini karena terus memacu produksi menghasilkan barang-barang yang sebagian besar tidak dibutuhkan manusia, namun terus merayu mereka untuk mengonsumsi apa pun yang dihasilkannya. Kegiatan pemasaran menjadi kegiatan terpenting dalam bisnis, sehingga apa pun, dengan kampanye pemasaran yang intensif, bisa dijual. Dengan strategi pengembangan merek (brand), kapitalisme bisa membuat barang yang tidak penting menjadi sangat penting, menjadi penanda identitas dan status sosial seseorang. Inilah yang membuat masyarakat terus memburu barang baru, meskipun mereka tidak tahu persis apakah mereka benar-benar membutuhkannya, atau barang lamanya sebenarnya masih berfungsi dengan baik. Hal ini sangat membebani lingkungan, tetapi banyak orang
16
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
merasa tidak kuasa mencegah konsumsi yang tidak perlu ini, karena, banyak pula yang meyakini, hanya dengan cara inilah roda ekonomi bisa terus berputar. Pandangan utopian tentang teknologi semakin sulit dipertahankan seiring dengan semakin terungkapnya persoalan demi persoalan yang diakibatkan teknologi. Persoalan perubahan iklim telah menjadi keprihatinan internasional, namun masalahnya masih jauh dari selesai. Kemajuan teknologi juga tidak mengurangi kemiskinan di tingkat global, tetapi justru semakin meningkatkan kesenjangan kemakmuran antarbangsa. Sementara masa depan distopian sebagaimana yang digambarkan dalam film-film, bisa jadi dianggap tidak serius oleh orang-orang yang menggemari film-film tersebut, hanya dianggap sebagai karya fiksi belaka. Namun, baru-baru ini muncul berita bahwa ratusan ilmuwan dan intelektual ternama, termasuk Stephen Hawking37 dan Elon Musk38, telah menanda-tangani surat terbuka yang mendesak pengamanan bagi penelitian kecerdasan semu atau artifical intelligence (AI) dan perluasan upaya untuk memastikan bahwa pengembangan dalam bidang ini akan bermanfaat bagi kemanusiaan.39 Apa yang digambarkan dalam film-film distopian barangkali terlalu berlebihan. Namun dalam bentuknya yang lain atau lebih sederhana bisa saja terjadi. Manipulasi kenyataan yang digambarkan dalam film Matrix memang terlalu ekstrim, tetapi saat ini teknologi dan iklan telah memanipulasi cara pandang masyarakat tentang dunia dan dirinya sehingga mereka bisa digiring untuk mengonsumsi produk-produk yang tak dibutuhkannya. Bahkan, pengawasan melalui Internet yang dilakukan oleh Badan Keamanan Nasional atau National Security Agency (NSA), Amerika, sebagaimana yang dibocorkan oleh Edward Snowden jauh lebih canggih daripada yang digambarkan oleh George Orwell dalam 1984. Namun, apakah kelak umat manusia akan dibawa teknologi 37 Stephen Hawking adalah fisikawan ternama, yang sudah menjadi profesor selama 30 tahun di Universitas Cambridge. Karyanya A Brief History of Time bertahan dalam daftar buku terlaris British Sunday Times selama 237 minggu, dan dalam daftar buku terlaris New York Times selama 147 minggu (Stephen Hawking, “Stephen Hawking's Brief History of a Best Seller”, The Wall Street Journal, diakses pada 15 Januari 2015 dari http://www.wsj.com/articles/SB10001424127887324577304579054903119099932 . 38 Elon Musk adalah pendiri dan CEO dari SpaceX, perusahaan pembuat wahana luar angkasa, dan Tesla Motor, produsen mobil listrik ternama. 39 Victor Kotsev, “Stephen Hawking, Elon Musk Sign Open Letter On The Future Of Artificial Intelligence,” Fast Company, diakses pada 15 Januari 2015 dari http://www.fastcompany.com/3040853/fast-feed/stephen-hawking-elon-musk-sign-open-letter-on-thefuture-of-artificial-intelligenc.
17
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menuju masa depan utopian atau distopian, teknokrasi tetap perlu dilawan, karena membuat masyarakat tidak punya kendali atas penentu hidupnya.
1.2. Filsafat Teknologi Orang yang menganggap teknologi hanya sekadar alat tentu tidak akan memasukkannya dalam perbincangan filsafat, karena teknologi hanya sekadar sarana mencapai tujuan tanpa memberikan pengaruh apa pun pada manusia dan tujuannya selain mempercepat pencapaian tujuan. Filosof besar, yang memberikan perhatian paling awal dan serius terhadap teknologi, adalah Martin Heidegger. Heidegger menyingkapkan esensi teknologi yang tak terbayangkan orang sebelumnya. Teknologi bukan hanya sekadar alat, dan esensinya bahkan tidak bersifat teknologis, tetapi merupakan penyingkapan kebenaran. Heidegger menunjukkan bahwa teknologi yang menata alam sebagai bahan baku yang siap diolah, juga membingkai manusia untuk menjadi bagian dari proses penyingkapan kebenaran.40 Apa yang dinyatakan Heidegger ini merupakan bentuk ekstrim dari ketergantungan jejak teknologis (technological path dependency) dalam kajian teknologi, di mana pilihan-pilihan teknologis sebelumnya menentukan pilihan berikutnya. Namun, yang membedakan filsafat Heidegger dari kajian teknologi adalah Heidegger tidak memberikan ruang untuk membelokkan arah pembingkaian, sementara kajian teknologi menemukan saat ketika ketergantungan jejak ini dipatahkan dan teknologi baru berkembang mengikuti jejaknya yang baru. Sebelum Heidegger, kajian filsafat teknologi yang cukup mendalam sudah ditulis oleh Ernst Kapp dalam Grundlinien einer Philosophie der Technik pada abad 19. Bahkan, meskipun tidak menjadikannya sebagai perhatian utama, Aristoteles sudah membahas dan mengantisipasi perkembangan teknologi. Murid dari Plato ini sudah mengakui pentingnya teknologi atau perkakas, di samping pengetahuan, untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Dia membagi perkakas menjadi yang tak bergerak dan yang bisa digerakkan, dan memasukkan pembantu atau budak sebagai perkakas juga. 41 Meskipun perkakas atau pun teknologi jauh lebih sederhana dari sekarang, Aristoteles sudah mengantisipasi kemungkinan keberadaan perkakas sebagaimana yang ada di 40 Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, diterjemahkan oleh William Lovitt (New York: Garland Publishing, 1977), 12. 41 Aristotle, Politics - Book I and II, penerjemah Trevor J. Saunders (Oxford: Oxford University Press, 1995), I253b23-I254aI
18
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
zaman modern ini. Di masa Yunani kuno saat itu, meskipun teknologi masih sederhana, mereka sudah memiliki mitologi yang menceritakan versi kuno dari robot, yakni bendabenda buatan manusia yang bisa bekerja sendiri. Barangkali karena inilah Aristoteles bisa membayangkan tentang teknologi yang bekerja otomatis. Karena jika tiap perkakas bisa mengerjakan tugasnya sendiri atas permintaan kita atau mengantisipasinya sendiri, dan jika — sebagaimana patung-patung yang dibuat Daedalus atau tripod dari Hephaestus, yang oleh penyair dikatakan, ‘dengan bergerak mandiri mereka memasuki aula para dewa’ — angkutan hilir mudik atas kemauannya sendiri….. maka tuanpengrajin tidak akan membutuhkan pembantu atau tuan tidak membutuhkan budak.42
Jadi, dua ribuan tahun sebelum Marx, Aristoteles sudah mengantisipasi atau membayangkan keberadaan teknologi yang bisa menggantikan budak atau menggusur pekerja. Namun, baru Marx, dan kemudian Heidegger, Ellul, dan Marcuse, yang secara sistematis menegaskan bagaimana teknologi turut memberi bentuk pada masyarakat modern. Achterhuis membagi perkembangan filsafat teknologi menjadi dua periode. Periode pertama, sebagaimana yang ditunjukkan dalam buku yang diedit Achterhuis, De Maat van de Techniek, dipelopori oleh Günther Anders, Jacques Ellul, Arnold Gehlen, Martin Heidegger, Hans Jonas dan Lewis Mumford, yang memandang teknologi dari perspektif transendental yang sangat abstrak. Para filosof ini menggunakan filsafat untuk menjelaskan dunia modern di mana teknologi mengambil peran penting. Pada periode berikutnya, yang juga ditunjukkan oleh buku yang diedit oleh Acterhuis, American Philosophy of Technology: The Empirical Turn, filsafat teknologi mengalami peralihan menjadi lebih membumi, lebih mempertimbangkan pengalaman empiris sebagai bahan baku refleksi filosofis mereka. Filsafat yang didasari pembalikan empiris ini dipelopori oleh Albert Borgmann, Hubert Dreyfus, Andrew Feenberg, Donna Haraway, Don Ihde dan Langdon Winner.43 Mereka sama sekali tidak memisahkan diri dari para filosof periode pertama, tetapi mencoba mencari rekonsiliasi antara gagasan filosofis yang transenden dengan kenyataan empiris dari pemanfaatan teknologi.
42 Aristotle, Politics, I253b23-I254aI: For if each tool could perform its own task either at our bidding or anticipating it, and if - as they say of the statues made by Daedalus or the tripods of Hephaestus, of which the poet says, 'self-moved they enter the assembly of the gods' - shuttles shuttled to and fro of their own accord ….. then master-craftsmen would have no need of assistants nor masters any need of slaves. 43 Hans Achterhuis (ed), American Philosophy of Technology: The Empirical Turn, diterjemahkan oleh Robert P. Crease (Bloominton: Indiana University Press, 2001).
19
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
1.3. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Teknologi telah berkembang dan mempengaruhi hampir seluruh sendi kehidupan manusia, sehingga sulit membayangkan manusia bisa hidup tanpa teknologi. Keadaan ini sering dipahami sebagai ketergantungan manusia pada teknologi. Di sisi lain, teknologi telah berkembang sedemikian rumit, sehingga tidak bisa dipahami secara utuh oleh satu orang atau satu kesadaran tunggal. Ketidakpahaman ini memperparah ketergantungan manusia pada teknologi, karena ketidakpahaman menyebabkan ketidakberdayaan untuk memilih tindakan teknis yang tepat. Sebagian kalangan tidak mempermasalahkan ketergantungan pada teknologi karena menganggapnya konsekuensi dari kepatuhan terhadap nalar teknologis44 yang tidak berbeda dari nalar ilmiah. Bahkan mereka menganggap kepatuhan pada nalar teknologis ini merupakan syarat untuk mengejar kemajuan. Implikasinya, keberadaan nalar teknologis ini memberi hak, atau bahkan kewenangan, bagi pihak-pihak yang memahaminya untuk bekerja mandiri, lepas dari intervensi masyarakat awam yang menggunakan dan terkena dampak dari hasil kerja pihak-pihak tersebut. Jadi, pandangan ini memiliki implikasi anti-demokratis. Dan, karena itulah nalar teknologis merupakan sasaran pertama dari kritik disertasi ini. Sanggahan terhadap nalar teknologis bisa dilakukan dengan menunjukkan dua kemungkinan: (1) bahwa nalar teknologis bukanlah sesuatu yang universal yang lepas dari pengaruh sosial, dan (2) jika nalar teknologis benar-benar universal, maka rancangan teknologi tidak sepenuhnya ditentukan oleh nalar teknologis. Dalam menyangkal nalar teknologis, Feenberg memanfaatkan pemikiran Michel Foucault yang memahami bahwa nalar, atau lebih luas lagi “rezim kebenaran,” bukanlah sesuatu yang universal, tetapi merupakan konstruksi sosial.45
44 Istilah teknik biasa digunakan untuk merujuk pada pengetahuan untuk menggunakan atau mengembangkan teknologi, seperti pada frasa “teknik pemrograman” atau “teknik komputer,” sedangkan teknologi merujuk pada artefak atau proses yang terjadap dalam atau melalui artefak tersebut. Namun, sebagai kata sifat, teknis dan teknologis kerap dipertukarkan, termasuk oleh Feenberg. Dalam disertasi ini penulis menggunakan istilah “nalar teknologis” (technological rationality), sebagaimana yang digunakan oleh Marcuse, untuk lebih menekankan aspek teknologinya, sementara Feenberg menggunakan istilah “nalar teknis” (technical rationality). 45 Michel Foucault, Power/Knowledge, diedit oleh Colin Gordon (New York: Pantheon, 1980).
20
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Pandangan yang mengakui nalar teknologis sebagai dasar pengembangan teknologi tidak selalu meniscayakan determinisme teknologis, tetapi tetap melihat intervensi demokratis sebagai gangguan terhadap teknologi yang dikembangkan dengan mematuhi hukum alam dan pasar. Rintangan terbesar terhadap demokratisasi teknologi justru berasal dari esensialisme teknologis yang dipelopori Heidegger dan Ellul. Anggapan Heidegger – bahwa teknologi tradisional merupakan penyingkapan nalar atau pun teknologi modern sebagai pembingkaian segala hal menjadi bahan baku yang siap diolah – berimplikasi hilangnya kepelakuan manusia. Manusia hanya menjadi salah satu obyek yang diperalat dalam proses penyingkapan atau pun pembingkaian. Demokratisasi teknologis tidak bisa muncul tanpa kebangkitan kepelakuan manusia. Karena itulah esensialisme teknologis juga merupakan sasaran kritik utama dari disertasi ini. Hal mendasar lain di luar persoalan determinisme teknologis adalah apakah kepelakuan merupakan fitrah manusia. Karena itu perlu dicermati, apakah sebelum dibingkai oleh teknologi, manusia sudah terlebih dahulu dibingkai oleh kebutuhan dasar atau pun kerakusannya sendiri; ataukah manusia memang makhluk yang mandiri yang bisa membangun hubungan yang merdeka dengan apa pun, baik dengan kebutuhannya maupun dengan teknologi. Kalaupun determinisme dan esensialisme teknologis bisa disangkal, pandangan bahwa teknologi adalah kepanjangan kuasa manusia atas alam dan manusia lainnya tetap bisa dipertahankan. Namun, kita perlu memperhatikan perbedaan berikut. Di masa lalu umumnya teknologi hanya bekerja ketika pengguna mempekerjakannya46, di masa modern teknologi bisa bekerja sendiri (automatis), sehingga kuasa atau hegemoni teknis bisa bekerja tanpa henti sedetik pun. Dalam kondisi seperti ini, disertasi ini akan mengeksplorasi apakah masih ada ruang demokrasi teknologis, yang memberikan keleluasaan, bagi orang-orang yang berada di bawah pengendalian teknis. Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, maka saya mengajukan pertanyaan berikut sebagai pertanyaan utama penelitian ini. 46 Beberapa pengecualian, misalnya, gedung atau jembatan tetap memenuhi fungsinya meskipun tidak ada yang menjalankannya, demikian juga penggilingan padi yang yang digerakkan oleh aliran air sungai. Namun, ini adalah teknologi yang sederhana. Tidak ada bagian dari gedung atau jembatan yang bergerak ketika menjalankan fungsinya. Dan, proses dalam penggilingan padi juga relatif sederhana. Pada teknologi modern prosesnya lebih rumit. Teknologi memiliki sistem pengendalian yang membuatnya memilki percabangan proses untuk merespon masukan dari luar.
21
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Bagaimana
mendemokratiskan
teknologi
yang
telah
berkembang
sedemikian rumit sehingga semakin sulit dipahami, dan karena itu sering nampak tak terkendali namun mengendalikan alam dan manusia? Untuk menjawab pertanyaan di atas, secara bertahap harus dijawab pertanyaanpertanyaan pendukung berikut ini. 1.
Apakah perkembangan teknologi sepenuhnya ditentukan oleh nalar?
2.
Mengapa teknokrasi, yang didasari nalar teknologis, menguat padahal dukungan teoretisnya lemah?
3.
Bagaimana kepelakuan manusia bisa dibangkitkan di bawah hegemoni teknologis?
4.
Bagaimana demokratisasi teknologi dilakukan tanpa mengorbankan kemakmuran?
1.4. Pernyataan Tesis Disertasi ini hendak membuktikan pernyataan tesis: Tindakan teknis dibatasi dan dimungkinkan oleh struktur dari tiga subsistem (teknologis, ekonomi dan sosial) yang saling mempengaruhi satu sama lain, di mana dua subsistem pertama mengarahkan tindakan teknis dengan kriteria efisiensi, sedangkan subsistem sosial menentukan konteks tujuan dan pilihan teknis dari pelaku yang pada gilirannya menentukan bagaimana suatu efisiensi diukur.
1.5. Kerangka Kerja Teoretis Kerangka kerja teoretis (theoretical framework) atau kerangka kerja konseptual (conceptual framework) dalam penelitian empiris dibuat sebagai cara untuk memetakan apa saja, beserta berbagai hubungannya, yang akan dilihat di lapangan. Kerangka kerja ini memandu penelitian lapangan sehingga peneliti bisa menentukan apa saja yang perlu dicari dalam kerumitan kenyataan. Sebagaimana yang dinyatakan Porter, Kerangka kerja... meliputi banyak variabel dan berupaya menangkap kerumitan .... Kerangka kerja mengidentifikasi variabel yang relevan dan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dalam rangka membangun simpulan yang disesuaikan pada industri dan perusahaan tertentu... Sebagai tambahan, semua interaksi di antara variabel dalam
22
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
kerangka kerja tidak bisa secara tegas ditentukan. Namun, kerangka kerja berupaya membantu analis untuk memikirkan masalah secara lebih baik. 47
Namun, bagaimana dengan penelitian filsafat yang obyek penelitiannya adalah sesuatu yang teoretis, apakah bisa dikaji dengan cara yang sama dengan penelitian empiris? Bagaimana menentukan teori yang bisa kita gunakan untuk menilai teori lain? Jika suatu teori hendak dijelaskan dengan teori lain yang menjelaskan fenomena yang sama, maka ini adalah perbandingan teoretis; sedangkan jika teori dianalisis dengan suatu kerangka, maka yang digunakan haruslah meta-teori, dan untuk filsafat harus dianalisis dengan meta-filsafat. Tidak mudah menemukan atau pun membangun sendiri meta-teori atau meta-filsafat untuk menganalisis pemikiran filsafat yang rumit, lebihlebih pemikiran Feenberg yang merangkaikan pemikiran yang berasal dari berbagai bidang, tidak hanya yang murni filsafat, tetapi juga kajian teknologi, sosiologi, teori budaya, sampai teori demokrasi. Karena itulah disertasi-disertasi filsafat dari luar negeri yang bisa penulis unduh tidak mencantumkan baik kerangka kerja teoretis maupun metodologi penelitian.48 Disertasi ini mencoba mengajukan kerangka kerja teoretis untuk mengurai dan mengkritisi filsafat teknologi Feenberg. Pemikiran Feenberg merupakan respons terhadap filsafat dan pemikiran sosial mengenai teknologi, dan juga teknologinya sendiri, yang berkembang pesat di masa Feenberg mengembangkan filsafatnya. Perkembangan pesat tersebut juga terlihat pada perubahan pemikiran Feenberg dari murid Neo-Marxist yang patuh menjadi filosof yang lentur menyerap pemikiranpemikiran lain, terutama konstruktivisme sosial dan kajian teknologi, dan menghasilkan gagasan asli tentang kemungkinan-kemungkinan ambivalen dari budaya teknologis.49 47 Michael Porter, "Towards a dynamic theory of strategy," Strategic Management Journal 12 (Winter special issue) (1991): 98: A framework... encompasses many variables and seeks to capture much of the complexity... Frameworks identify the relevant variables and the questions which the user must answer in order to develop conclusions tailored to particular industry and company .... In addition, all the interactions among the variables in the frameworks cannot be rigorously drawn. The frameworks, however, seek to help the analyst to better think through the problem. 48 Sebagai contoh tiga disertasi filsafat dari tiga universitas yang berbeda ini tidak mencantumkan kerangka kerja teoretis maupun metodologi penelitian: Steven Dorrestijn, "The design of our own lives: Technical mediation and subjectivation after Foucault" (PhD diss., University of Twente, 2012), Jeffrey Carr, "Aristotle's Use of "Genus" in Logic, Philosophy and Science" (PhD diss., University of Edinburgh, 1997), dan Noëmi Huits, "Designing for Moral Identity in Information Technology" (PhD diss., Technische Universiteit Delft, 2010). 49 Hans Achterhuis, "Andrew Feenberg: Farewell to Dystopia," dalam American Philosophy of Technology: The Empirical Turn, diedit oleh Hans Achterhuis, diterjemahkan oleh Rober P. Crease (Bloomington: Indiana University Press, 2001).
23
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Meskipun sangat terbuka terhadap gagasan-gagasan baru, Feenberg tidak sepenuhnya menanggalkan pemikiran para pendahulunya, baik itu Heidegger dan lebih-lebih Marcuse. Dengan memanfaatkan dan mengembangkan filsafat teknologi yang baru Feenberg justru berusaha menjawab persoalan yang tidak tuntas dijawab oleh Marcuse, atau dihindari oleh Heidegger. Dalam upaya memahami pemikiran Feenberg, disertasi ini mencoba mendekati pemikirannya dari dua perspektif yang saling terkait. Pertama, pemikiran Feenberg sebagai proses perkembangan pemikiran yang merespons pemikiran lain maupun teknologi di mana Feenberg juga benar-benar melibatkan diri. Dia melakukan kajian teknologi sebagai seorang pengamat maupun melakukan kegiatan pengembangan sistem informasi baik untuk lingkungan akademis maupun untuk perusahaan. Kedua, disertasi ini juga akan menganalisis bangunan argumen dari pemikiran Feenberg yang bertolak dari kritiknya terhadap nalar teknologis sampai upayanya untuk membangun teori teknologi yang mengakomodasi demokratisasi teknologi. Untuk memahami proses perkembangan filsafat teknologi Feenberg, kita bisa meminjam lensa yang digunakan Thomas Kuhn50 dalam menganalisis perkembangan ilmu pengetahuan dengan dua perubahan pokok. Pertama, perubahan yang dilihat adalah perubahan teknologi yang hubungan saling pengaruhnya dengan masyarakat lebih besar daripada hubungan saling pengaruh ilmu pengetahuan dengan masyarakat. Kedua, pemikiran yang dilihat hanya dari satu orang filosof, bukan dari satu komunitas ilmiah, sehingga bisa diharapkan pemikirannya lebih koheren. Dari segi isi, perkembangan pemikiran Feenberg menunjukkan apa yang disebut Achterhuis sebagai, pembalikan empiris.51 Pembalikan empiris ini merupakan perubahan filsafat teknologi dari generasi pertama yang menekankan pemikiran filsafat yang abstrak menjadi pemikiran yang melakukan refleksi terhadap kenyataan empiris dari perkembangan teknologi. Karena mempertimbangkan kenyataan empiris, maka Feenberg juga menyerap pemikiran-pemikiran lain, dari kajian teknologi, sosiologi ilmu pengetahuan dan teknologi, kajian budaya sampai teori demokrasi. 50 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962). 51 Hans Achterhuis, “Introduction: American Philosophers of Technology,” dalam American Philosophy of Technology: The Empirical Turn, diedit oleh Hans Achterhuis, diterjemahkan oleh Rober P. Crease (Bloomington: Indiana University Press, 2001), 5.
24
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Penyerapan Feenberg terhadap beragam pemikiran baru membuatnya harus kreatif dalam menentukan apa yang diterima dan ditolaknya. Dia tidak menggunakan kriteria atau prosedur tunggal dalam menerima atau menolak pemikiran lain. Pemikiran Heidegger tidak disangkal Feenberg secara filosofis, tetapi lebih pada kemampuannya menjelaskan fenomena empiris yang dilihatnya. Pemikiran-pemikiran konstruktivisme sosial diadopsi lebih karena bisa digunakan untuk mengesahkan demokratisasi teknologi yang diinginkan Feenberg. Jadi filsafat Feenberg adalah jalinan beragam pemikiran dari bidang yang berbeda-beda. Di sini Feenberg mencoba memadukan pemikirannya secara kreatif dengan berbagai arus utama pemikiran mengenai teknologi. Feenberg bertolak dari persoalanpersoalan yang diajukan oleh gurunya, Herbert Marcuse. Dia juga merespons filsafat teknologi Heidegger, yang menurut Feenberg harus dihadapi jika ingin mengenali kemungkinan-kemungkinan modernitas yang lain.52 Feenberg juga menggunakan pemikiran Foucault dan de Certeau untuk melihat ruang kemungkinan manusia membebaskan diri dari pengendalian teknis dan melaksanakan kepelakuannya. Dia juga menggunakan pemikiran Latour untuk menunjukkan ketidaknetralan teknologi, karena teknologi juga memiliki kepelakuan dan bisa menerima pendelegasian nilai dari manusia. Proses kreatif yang dilakukan Feenberg dalam menyintesakan berbagai pemikiran tersebut, membuat dia tidak bisa dinilai dari seberapa jauh kesesuaian hasil sintesanya dengan masing-masing pemikiran tersebut. Menurut penulis, sintesa pemikiran yang dilakukan Feenberg bisa dinilai menggunakan tiga kriteria: (1) kemampuannya dalam menjelaskan perkembangan teknologi, (2) koherensi antarargumen, dan (3) adanya ruang bagi kepelakuan manusia yang selanjutnya bisa memberi peluang bagi demokratisasi teknologi. Kriteria pertama menjadi dasar penilaian ketika Feenberg mempertentangkan filsafat teknologi Heidegger dengan kajian teknologi yang empiris. Melalui kajian empiris, baik yang dilakukan sendiri maupun orang lain, Feenberg bisa mengenali batas-batas instrumentalisasi dan pembingkaian. Kriteria kedua menjadi dasar penilaian ketika
Feenberg
tetap
mempertahankan
substantivisme
52 Feenberg, Questioning, 183.
25
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
teknologis
dan
menggabungkannya dengan konstruktivisme sosial melalui teori instrumentalisasi duatingkat. Feenberg mencoba menemukan keterpaduan ketika menggabungkan dua paradigma yang awalnya bertolak belakang. Dan, kriteria ketiga, merupakan motif ideologis Feenberg yang mendasari pengembangan filsafat teknologinya.
1.6. Metode Penelitian Disertasi ini menggunakan beberapa metode untuk menjelaskan sekaligus mengkritisi rangkaian argumen Andrew Feenberg mulai dari kritiknya terhadap nalar sampai pada bagaimana mewujudkan demokratisasi teknologi. Kritik Feenberg melanjutkan kritik Marcuse tentang nalar teknologis, dan dalam menggagas demokratisasi teknologi dia juga berusaha menyangkal pandangan substantivisme Heidegger yang menutup peluang kepelakuan manusia. Karena itulah disertasi ini melakukan analisis kritis terhadap pemikiran Heidegger, Marcuse dan sebagian dari pemikiran Feenberg sendiri yang menggunakan metode fenomenologi hermeneutik (hermeneutic phenomenology). Selain itu penulis juga menggunakan perspektif filsafat historis (historical philosophy)53 atau pendekatan sejarah (historicism), konstruktivisme sosial dan teori kritis. Masing-masing pendekatan tersebut merupakan tradisi filsafat yang memiliki sejarah perkembangannya sendiri-sendiri, tetapi bukan sesuatu yang bisa dengan tegas dipisahkan satu dari yang lain, bahkan banyak bagian masing-masing yang saling berkelindan dengan yang lainnya. Munculnya filsafat teknologi yang jauh sesudah bidang-bidang filsafat lainnya menunjukkan bahwa dulu teknologi dianggap tidak sepenting saat ini. Ini menunjukkan bahwa pemahaman filosof tentang teknologi juga dipengaruhi oleh sejarah perkembangan teknologi itu sendiri. Jadi ada argumen-argumen sejarah (historical arguments) yang membentuk filsafat teknologi. Berbeda dengan metafisika yang bisa dilakukan secara nonhistoris, misalnya dengan analisa konseptual, filsafat teknologi tidak mungkin bisa dipahami tanpa masuk dalam sejarah perkembangan teknologi. Menurut Piercey, berfilsafat secara historis adalah upaya menggapai pemahaman filosofis melalui atau dengan melibatkan diri dengan sejarah di mana pemikiran filsafat terjadi. “Ini menggunakan kajian sejarah sebagai metode filosofis, dan metode yang 53 Robert Piercey, The Uses of The Past From Heidegger To Rorty: Doing Philosophy Historically (Cambridge, MA: Cambridge University Press, 2009).
26
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
memberikan sejenis pencerahan yang sulit atau tidak mungkin didapat melalui cara lain.”54 Selain untuk melakukan refleksi terhadap teknologi, berfilsafat secara historis juga diperlukan untuk memahami pemikiran seorang filosof dalam konteks perkembangan pemikiran di masanya. Andrew Feenberg tidak hanya berusaha menjelaskan fenomena teknologi, tetapi juga merespons pemikiran-pemikiran tentang teknologi yang ada, mulai dari Martin Heidegger, Jacques Ellul sampai Herbert Marcuse.
Feenberg
melakukan
refleksi
atas
pemikiran
mereka
dengan
membandingkannya baik dengan perkembangan empiris teknologi maupun dengan gagasan ideal tentang masyarakat yang membuka ruang bagi kebahagian dan perkembangan perorangan. Perbandingan terakhir ini dilakukan karena arah perkembangan teknologi juga dipengaruhi oleh ragam gagasan masyarakat ideal dan persaingan di antara gagasan-gagasan tersebut. Karena itulah, tak bisa dihindari, pemikiran konstruktivisme sosial juga diperlukan untuk memahami perkembangan teknologi. Pemikiran ini sangat memberikan kekuatan pada argumen demokratisasi teknologi dari Feenberg. Pendekatan terakhir, sekaligus yang terpenting dalam pemikiran Feenberg, adalah pendekatan teori kritis yang memiliki dua aspek. Aspek pertama adalah adalah penjelasan-pemeriksaan masalah (explanatory-diagnostic) yang merupakan analisis terhadap kemungkinan krisis dari keadaan saat ini dengan cara mengungkapkan pertentangan (contradiction) dan ketidakberfungsian keadaan masa kini dan menjelaskan protes atau pun persoalan yang mungkin timbul dalam masyarakat.55 Aspek kedua, perhitungan akan masa depan yang indah (anticipatory-utopian) yang merupakan aspek normatif dari kritik. Ketika menjelaskan ketidakberfungsian masa kini, teori kritis membandingkannya dengan masa depan yang lebih baik dan manusiawi. Menurut Benhabib, “Tujuan teori kritis bukanlah pengelolaan krisis, tetapi mengungkapkan krisis sedemikian rupa untuk mendorong perubahan sosial.”56 Dengan 54 Piercey, The Uses of The Past, 1-2: It takes the study of history to be a philosophical method, and a method that offers a kind of illumination that is difficult or perhaps impossible to gain in any other way. 55 Seyla Benhabib, Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foudations of Critical Theory (New York: Columbia University Press, 1986), 226. 56 Benhabib, Critique, 226: The purpose of critical theory is not crisis management, but crisis diagnosis such as to encourage future transformation.
27
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
memperhitungkan masa depan yang lebih baik, teori kritis mendiskusikan kebutuhan dan tuntutan dari pelaku sosial saat ini dan menafsirkan potensinya untuk menuju masyarakat yang lebih baik dan lebih manusiawi. Aspek normatif inilah yang membedakan teori kritis dari teori sosial lainnya yang berusaha mengambil sikap netral, hanya menjelaskan fenomena sosial semata tanpa mengambil sikap normatif tertentu. Dua aspek tersebut menyebabkan teori kritis selalu berada dalam ketegangan di antara kenyataan masa kini dan masa depan yang diimpikan. Teori kritis berusaha menjembatani keduanya dengan mencari cara melakukan perubahan yang bisa mengantarkan masyarakat menuju masa depan yang lebih baik dan manusiawi. Pendekatan teori kritis yang membandingkan kekinian dengan harapan akan masa depan yang lebih baik ini muncul karena kekecewaan para pendiri Mazhab Frankfurt terhadap zaman mereka saat itu. Kekecewaan ini antara lain ditunjukkan oleh karya-karya mereka yang mendemonstrasikan melemahnya filsafat subyek. Pelemahan ini dipengaruhi oleh perkembangan sejarah yang menenggelamkan harapan terhadap subyek revolusioner. Namun, mereka juga tetap memelihara harapan tentang subyek yang kebutuhan dan minatnya melambangkan kemanusiaan, bukan kebutuhan dan minat yang diproduksi industri atau pun elit birokrasi. Secara teknis analisis filosofis, teori kritis juga berupaya menjembatani bahasa fungsional dari krisis yang diidentifikasi dengan bahasa pengalaman (experiential language) yang lahir dari kegundahan, ketertindasan, perlawanan sampai perjuangan. Lebih-lebih dalam membahas teknologi, meskipun pandangan instrumental tidak memadai, tetapi logika fungsional dari teknologi tetap tidak bisa sama sekali disingkirkan. Yang diperlukan adalah upaya untuk mengaitkannya dengan bagaimana masyarakat memaknainya, dan bagaimana makna ini turut menentukan perkembangan teknologi yang sudah terbukti menentukan hidup mereka.
1.7. Posisi Penelitian Disertasi ini hendak melakukan analisis kritis terhadap pemikiran Feenberg yang bertolak dari konsep mengenai nalar sampai demokratisasi teknologi. Untuk itu, penulis perlu melihat posisi penelitian ini di tengah karya-karya filsafat yang sudah terlebih dahulu membahas pemikiran Feenberg. Tidak ada satu tulisan yang membahas seluruh
28
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
rangkaian argumen Feenberg mulai dari kritik Feenberg terhadap konsep nalar sampai demokratisasi teknologi sebagaimana yang dilakukan disertasi ini. Masing-masing karya di bawah ini hanya mendiskusikan salah satu atau beberapa bagian dari rangkaian pemikiran Feenberg tersebut. 1.
Dana S. Belu, “Thinking Technology, Thinking Nature”, Inquiry: An Interdisciplinary Journal of Philosophy, 48:6 (2005): 572-591. Artikel ini mendiskusikan bagaimana Feenberg membantah pendekatan utilitarian terhadap teknologi, dan mengajukan nalar alternatif yang memfasilitasi bagaimana masyarakat bisa membentuk dunia teknologis yang sesuai dengan nilai-nilai kehidupan mereka. Nalar alternatif ini menganggap teknologi selalu sebagai kejadian politis, etis dan dan aestetis. Dalam hal inilah Feenberg berseberangan dengan Heidegger meskipun dia juga menggunakan pemikiran Heidegger untuk menyangkal netralitas teknologis. Dalam membangun hubungan yang bebas dengan teknologi, sebagaimana yang disarankan Heidegger, Feenberg tidak melihatnya sebagai keleluasaan untuk menggunakan atau menghindari teknologi, tetapi agar manusia bisa memanfaatkannya sesuai dengan nilai-nilainya, karena itulah Feenberg berusaha mengembalikan lagi peran dari kepelakuan manusia agar mereka tidak lagi menjadi obyek dari pembingkaian oleh teknologi.
2.
Tina Sikka, "Technology, Communication, and Society: From Heidegger and Habermas to Feenberg", Review of Communication, 11:2 (2011): 93-106. Artikel ini membandingkan pemikiran dari Heidegger, Habermas, dan Feenberg. Sementara Heidegger melihat ketidak-berdayaan manusia ketika berhadapan dengan teknologi dikarenakan oleh esensi teknologi itu sendiri, Habermas melihat sumber masalahnya berasal tenggelamnya tindakan komunikatif ke dalam tindakan ternalar-bertujuan (purposive-rational action), sedangkan Feenberg melihatnya karena nilai-nilai anti-demokratis yang digunakan.
3.
David J. Stump, “Socially Constructed Technology”, Inquiry: An Interdisciplinary Journal of Philosophy, 43:2 (2000): 217-224. 29
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Dalam
Questioning
Technology,
Feenberg
memanfaatkan
pendekatan
konstruktivis sosial untuk menyangkal pendekatan esensialis yang masih menguasai filsafat teknologi. Dari sudut pandang konstruktivis, autonomi teknologi, yang menjadi landasan teknokrasi jadi nampak sebagai mitos, karena faktor sosial dan politis selalu ikut mempengaruhi putusan teknis. Namun, persoalan yang digarisbawahi Stump, Feenberg menolak esensialisme tetapi masih ingin mempertahankan kerangka kerja analitis yang ada pada pendekatan esensialis. Esensialisme dianggap Feenberg menghalangi gagasan demokratisasi teknologi. Namun, Feenberg tetap mempertahankan kategori-kategori umum, yang seolah lepas dari pengaruh sosial, dalam memahami teknologi. Hal inilah yang disangkal oleh Stump. Misalnya, salah satu unsur instrumentalisasi primer yang diajukan Feenberg adalah dekontekstualisasi, di mana sesuatu yang akan dijadikan teknologi dipisahkan dari alam (batang pohon yang akan jadi meja dipotong diambil dari hutan). Namun, karena batang pohon ini tidak akan pernah ada tanpa tukang kayu dan pasar perumahan, maka faktor sosial tetap berpengaruh,
karena
itu
yang
terjadi
bukan
dekontekstualisasi
tetapi
rekontekstualisasi.
4.
Iain Thomson, “From the Question Concerning Technology to the Quest for a Democratic
Technology:
Heidegger,
Marcuse,
Feenberg”,
Inquiry:
An
Interdisciplinary Journal of Philosophy, 43:2 (2000): 203-215. Thomson mengungkapkan bahwa teori kritis teknologi yang dibahas dalam karya Feenberg, Questioning Technology, merupakan sintesis dan perluasan dari kritik teknologi yang dikembangkan oleh Heidegger dan Marcuse. Yang menjadi sasaran kritik Thomson di sini adalah bahwa Feenberg keliru dalam memahami Heidegger, sehingga menganggapnya esensialis yang berimplikasi pada pandangan fatalistik. Menurut Feenberg, Heidegger menganggap teknologi membingkai apa pun, termasuk manusia, sebagai sumber daya yang siap ditata dan diolah; teknologi merupakan mode penyingkapan kenyataan yang tidak bisa dikendalikan manusia. Thomson tidak sepakat bahwa Heidegger adalah fatalis, karena bagi Heidegger, pembingkaian (Enframing) adalah takdir (destiny) tetapi
30
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
tidak mesti menjadi nasib (fate) manusia. Bahkan, menurut Thomson, kalau tujuan akhir Feenberg tidak semata-mata pengendalian demokratis, tetapi membuka kemungkinan masa depan selain yang diakibatkan pembingkaian dan teknokrasi, maka pada akhirnya proyek Feenberg menjadi lebih dekat (bukan menjadi sama) dengan Heidegger daripada dengan Marcuse. Feenberg mengganti pandangan Heidegger tentang perubahan sejarah yang revolusioner dengan model progresif yang evolusioner.
5.
Tyler J. Veak, “Concretizing Sustainable Worlds: Environmentalism as a Politics of Technological Transformation” (Disertasi doktor, Virginia Polytechnic Institute and State University, 2003). Penalaran demokratis memungkinkan pihak yang dikuasai untuk mengintervensi proses perancangan untuk mencapai kepentingan mereka. Demokratisasi teknologis sangat terlihat pada gerakan lingkungan yang muncul akibat adanya masalah lingkungan yang diakibatkan teknologi. Dalam disertasi ini Veak menggunakan Teori Kritis Teknologi yang digagas Feenberg untuk mengkaji gerakan lingkungan. Berdasarkan kenyataan di lapangan ini Veak menemukan kekurangan teori Feenberg dan berusaha mengembangkannya. Jadi melalui disertasi ini Veak mengonfrontasikan filsafat Feenberg dengan realitas empiris, suatu cara yang juga dilakukan Feenberg dalam menilai filsafat Heidegger. Empat karya pertama merupakan artikel/makalah, sedangkan yang terakhir
merupakan disertasi. Karya-karya di atas membedah dan memetakan argumen Feenberg, serta mengonfrontasikan dengan pemikiran filosof lain, atau, sebagaimana disertasi Veak,
mengadunya dengan dengan kenyatan empiris. Tiga artikel
membandingkan pemikiran Feenberg dengan pemikiran Heidegger, filosof yang memang mendapatkan perhatian besar dalam sejumlah karya Feenberg. Feenberg berusaha mengatasi pemikiran Heidegger yang tidak memberi ruang kemerdekaan manusia dalam masa depan yang penuh teknologi, walaupun hal ini dibantah oleh Thomson, karena Heidegger masih menganjurkan agar manusia membangun hubungan yang merdeka dengan teknologi, sehingga manusia tidak harus menyerap setiap teknologi baru yang datang, atau pun pasrah pada pengendalian teknis. Feenberg sangat 31
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
terinspirasi oleh pemikiran gurunya, Marcuse, serta kritik Habermas terhadap Marcuse, untuk
membangkitkan
lagi
peran
kepelakuan
manusia.
Namun,
pendekatan
konstruktivis sosialah yang diyakini Feenberg berhasil menyangkal esensialisme, dan membuka kemungkinan bagi demokratisasi teknologi sebagaimana yang digambarkan dalam karya yang ketiga. Dalam membahas pemikiran Feenberg, disertasi ini tidak sepenuhnya berbeda dari ke lima karya di atas. Karena untuk menilai bangunan argumen demokratisasi teknologi yang utuh, harus dimulai dari hal yang dianggap paling mendasar, yakni tentang nalar teknologis. Di sini pandangan Feenberg tentang filsafat Heidegger menjadi sangat penting. Namun, perbedaan mendasar dari disertasi ini dengan kritikkritik lain terhadap Feenberg adalah disertasi ini mengungkapkan bahwa hal paling mendasar yang harus digali bukanlah dari nalar itu sendiri, tetapi dari fitrah manusia dan posisi teknologi dalam fitrah manusia tersebut. Pembahasan tentang fitrah manusia ini juga akan membawa pada simpulan yang berbeda tentang kepelakuan manusia. Perbedaan lainnya bersifat kurang mendasar, yakni mengenai bagaimana mengoperasionalisasikan demokratisasi teknologi yang memang belum banyak disinggung oleh Feenberg selain dengan beberapa contoh seperti perubahan yang dilakukan pengguna pada jaringan komputer Minitel di Perancis, atau tuntutan pasien AIDS untuk mendapatkan akses pada obat-obat yang tengah dikembangkan namun belum dilepas ke pasar.
1.8. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan-tujuan berikut: 1.
Memahami seberapa jauh nalar berperan dalam menentukan pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
2.
Memberikan kritik terhadap teknokrasi yang menganggap berhak atas pengambilan putusan teknis yang bebas dari intervensi masyarakat, meskipun putusan teknis tersebut berdampak pada kepentingan masyarakat luas.
3.
Membuka ruang demokrasi dalam perancangan teknologi yang menyangkut kepentingan masyarakat tanpa menjadikan upaya ini sebagai sikap menentang
32
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
efisiensi teknis atau ekonomis, tetapi lebih menjadikan teknologi bermanfaat bagi kemanusiaan yang kriterianya melampaui kriteria teknis-ekonomis.
1.9. Sistematika Bab-bab berikutnya dalam disertasi ini akan berisi pokok bahasan sebagai berikut. Bab 2. Posisi Filsafat Teknologi Feenberg Bab ini menjelaskan perkembangan dan posisi filsafat teknologi Feenberg di tengah arus pemikiran yang membentuk maupun yang diresponnya. Feenberg berupaya melanjutkan eksplorasi filosofis gurunya, Marcuse, dan merespons pemikir-pemikir lainnya, terutama Heidegger dan Habermas. Feenberg juga mengambil pemikiran konstruktivisme sosial baik untuk menyangkal determinisme teknologis maupun menjajaki dan membangun teori tentang demokratisasi teknologi. Karena itulah bab ini juga akan menjelaskan pemikir-pemikir teknologi yang berpengaruh besar pada perkembangan pemikiran Feenberg. Bab 3. Membedah Nalar Teknologis Bab ini akan membahas pengertian nalar, sebagai sesuatu yang mandiri, mekanis, yang tidak tergantung pada nilai atau budaya orang yang mengoperasikan dalam pikirannya. Bab ini juga membahas pandangan esensialisme teknologis dari Martin Heidegger yang menganggap bahwa esensi dari teknologi tidak bersifat teknologis, tetapi merupakan penyingkapan dari nalar. Bahkan, Heidegger melihat penyingkapan teknologi ini lebih luas lagi, dalam penyingkapan ini tidak hanya terjadi penataan dan pengaturan bahan baku yang berasal dari alam, tetapi juga manusia, termasuk pembuat teknologinya sendiri. Feenberg keberatan dengan simpulan dari pandangan Heidegger atau pun pemikir-pemikir lain yang menganggap teknologi sebagai sesuatu yang mandiri, yang memiliki dinamika internalnya sendiri, tanpa terpengaruh masyarakat, termasuk yang mengembangkannya. Pandangan ini, yang menjadi dasar teknokrasi, adalah penghambat upaya demokratisasi yang hendak mengakomodasi kepentingan masyarakat luas.
33
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Bab 4. Mencari Ruang bagi Demokratisasi Teknologi Bab ini membahas bagian utama pemikiran Feenberg, mulai dari bagaimana dia menelanjangi determinisme teknologis, sehingga terlihat kelemahan asumsi-asumsi yang
mendasarinya.
Sebagai
gantinya,
Feenberg
mengajukan
model
baru
pengembangan teknologi yang sangat dipengaruhi berbagai kepentingan dan kuasa dalam masyarakat. Dia juga mengusulkan perlunya pembangkitan kembali kepelakuan yang menjadi dasar demokratisasi teknologi. Bab 5. Rekonstruksi Teori Perkembangan Teknologis Bab ini menjelaskan teori instrumentaslisasi dua tingkat sebagai upaya Feenberg untuk mengakomodasi esensialisme teknologis dan konstruktivisme sosial. Penulis akan menjelaskan kritik terhadap teori ini dengan menunjukkan bahwa instrumentalisasi primer, yang merupakan penyesuaian Feenberg terhadap esensialisme teknologis, tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial. Sebagai gantinya, penulis mengajukan teori perkembangan teknologi yang mempertimbangkan, baik rezim teknologi, kekuatan pasar, maupun pengarus sosial. Bab 6. Simpulan dan Perumusan Ulang Demokratisasi Teknologi Bab ini berisi simpulan dari berbagai hal yang telah dibahas sebelumnya.
34
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
BAB 2 POSISI FILSAFAT TEKNOLOGI FEENBERG
2.1. Andrew Feenberg sebagai Penerus Tradisi Teori Kritis Andrew Feenberg adalah filosof teknologi generasi kedua, yang memahami bahwa teknologi berkembang bersama dan saling mempengaruhi dengan perubahan masyarakat. Artefak teknologis yang diperkenalkan pada masyarakat akan mengubah mereka secara tak terduga sekaligus membuat mereka tidak bisa mengembalikan diri seperti semula. Ini tidak berarti masyarakat kehilangan kepelakuannya, karena kebudayaan juga memberi bentuk perkembangan teknologi.1 Ini yang membedakan Feenberg dari filosof teknologi generasi pertama menghilangkan akar budaya dari perkembangan teknologi, dan menganggap teknologi memiliki kemandirian dalam mengarahkan perkembangannya sendiri.2 Perkembangan pemikiran Feenberg tentang teknologi bisa diikuti dari ketiga karyanya yang terkemuka di bidang filsafat teknologi, yakni The Critical Theory of Technology (1991) (yang direvisi menjadi Transforming Technology: A Critical Theory Revisited [2002]), Alternative Modernity: The Technical Turn in Philosophy and Social Theory (1995), dan Questioning Technology (1999). Melalui karya-karyanya tersebut Feenberg berhasil mengukuhkan diri sebagai salah satu filosof teknologi terpenting saat ini. Namun, dia juga menulis beberapa karya filsafat yang tidak terkait langsung dengan teknologi, misalnya mengenai pemikiran Herbert Marcuse, Martin Heidegger, Jürgen Habermas, Karl Marx, dan Georg Lukacs.
1 Ini merupakan saduran bebas dari Hans Achterhuis, “Introduction: American Philosophers of Technology,” dalam American Philosophy of Technology: The Empirical Turn, diedit oleh Hans Achterhuis, diterjemahkan oleh Rober P. Crease (Bloomington: Indiana University Press, 2001), 6: that the development of technology is accompanied by a transformation of society, but on the other hand that the process of technological development is determined by social-cultural factors. As technological artifacts are successfully introduced into society, society is tranformed in unpredictable and irrevocable ways; but technological developments are given their form by cultural determinants. 2 Achterhuis, “Introduction,” 7.
35
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Meskipun mengklaim karya filsafat teknologinya dibangun di atas landasan Teori Kritis, pemikiran Feenberg berbeda daripada karya para pendahulunya, baik para pendiri Mazhab Frankfurt, seperti Adorno, Horkheimer, dan Marcuse, maupun Habermas. Feenberg bisa menerima pandangan para pendiri Mazhab Frankfurt bahwa instrumentalitas teknologi adalah bentuk penguasaan atau pun pandangan Habermas mengenai ancaman teknisasi dunia kehidupan, namun dia memiliki pandangan yang positif terhadap teknologi. Dia mengakui adanya ambivalensi teknologi yang memungkinkan suatu teknologi dikembangkan ke berbagai arah, 3 meskipun teknologi secara keseluruhan – karena merupakan hasil upaya banyak pihak dan memiliki ketergantungan sejarah – tidak bisa sepenuhnya dikendalikan. Karena itulah, berbeda dari Heidegger maupun Ellul, Feenberg masih melihat peluang masyarakat atau siapa pun yang berada di bawah pengendalian teknis untuk turut mempengaruhi arah pengembangan atau penggunaan teknologi. Jika melihat perbedaan pandangan antara Adorno dan Horkheimer di satu sisi dan Marcuse di sisi yang lain, serta kritik Habermas terhadap Marcuse, maka Teori Kritis bisa bermakna banyak hal. Kesamaan yang bisa ditarik dari mereka adalah bahwa Teori Kritis merupakan pengembangan tafsir lain dari Marxisme di luar pengaruh Uni Soviet, dan mendasarkan gagasan filsafatnya pada tradisi filsafat Jerman dan cita-cita sosialis demokratis.4 Lepas dari berbedaan pandangan filosofis mereka mengenai teknologi, menurut Feenberg, “Teori kritis teknologi adalah kritik terhadap penguasaan yang dijalankan melalui pengorganisasian lembaga yang diperantarai teknologi. Tekanannya pada bagaimana kuasa dipusatkan, bagaimana orang-orang dikendalikan, dan pikiran mereka dibentuk oleh lembaga-lembaga teknis yang terpusat ini.”5 Pengaruh tradisi Teori Kritis pada Feenberg yang lahir pada tahun 1943 ini antara lain dikarenakan dia melakukan studi doktoralnya di bawah bimbingan Herbert Marcuse di Universitas Kalifornia, San Diego, sampai menyelesaikannya tahun 1972. 3 Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 15. 4 Mark Zachry, “An Interview with Andrew Feenberg, ” Technical Communication Quarterly, 16:4 (2007): 453-472. 5 Zachry, “Interview,” 459-460: Critical theory of technology is a critique of domination exercised through the organization of technically mediated institutions. The emphasis is on how power is centralized, how people are controlled, and their minds shaped by these centralized technical institutions.
36
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Pemikiran Marcuse tentang teknologi – terutama yang tertuang dalam One-Dimensional Man, yang oleh Feenberg dianggap sebagai puncak pencapaian Teori Kritis – telah menjadi titik tolak sekaligus turut menentukan arah eksplorasi filosofis dari Feenberg. Karya Marcuse ini memang tidak memberikan jawaban yang memuaskan, namun jika dilihat pada tahun 1964 ketika buku itu diterbitkan, pandangan umum mengenai teknologi masih sangat kaku dan teknokratis,6 sehingga gugatan Marcuse terhadap nalar teknologis bisa dikatakan cukup revolusioner. Marcuse mempengaruhi Feenberg tidak hanya secara intelektual, tetapi juga menginspirasinya untuk terlibat dalam gerakan sosial. Feenberg turut aktif dalam gerakan Kiri Baru (New Left), dan bahkan, sebagaimana gurunya, dia juga turut serta dalam demonstrasi besar-besaran yang melumpuhkan Perancis pada Mei 1968. Baik melalui kegiatan intelektual maupun gerakan sosial, Feenberg, sebagaimana Marcuse, berusaha memperjuangkan sosialisme, dalam arti perluasan demokratisasi ke berbagai wilayah urusan publik. Ini juga berarti mereka menolak setiap bentuk teknokrasi, yang memberi
hak
sejumlah
kecil
elit
untuk
membuat
putusan
publik
tanpa
mempertanggungjawabkannya pada masyarakat. Keterikatan Feenberg pada Teori Kritis baik dari segi isi maupun pendekatan terlihat pada buku pertamanya mengenai filsafat teknologi, Critical Theory of Technology (1991), sebelum direvisi menjadi Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (2002). Buku ini masih menunjukkan kesetiaan Feenberg pada Marxisme ortodoks, walaupun sudah mengadopsi analisis filosofis dan sosiologis terbaru mengenai perkembangan teknologis.7 Buku ini menunjukkan kepatuhan yang kaku pada kerangka kerja Neo-Marxisme, yang diturunkan dari Marx maupun Mazhab Frankfurt, yang kurang memberi ruang bagi Feenberg untuk mengungkapkan gagasannya yang menarik. Keseluruhan argumen Feenberg ini didasarkan asumsi bahwa adalah mungkin dan diinginkan untuk berubah dari masyarakat kapitalis yang ada saat ini menjadi masyarakat sosialis yang secara radikal berbeda dan lebih baik. Feenberg menolak kemungkinan reformasi teknologis dari dalam kapitalisme, dan menekankan
6 Zachry, “Interview,” 459. 7 Istilah “perkembangan teknologi” berarti perningkatan kemampuan dari artefak teknologi, sementara “perkembangan teknologis” berarti berbagai perkembangan sosial, ekonomi atau lainnya yang disebabkan atau diperantarai oleh teknologi.
37
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
pemutusan yang radikal dari logika kapitalisme dan kode teknologis yang ada untuk menuju masyarakat yang sama sekali baru secara mendasar.8 Melalui bukunya Alternative modernity (1995) Feenberg menunjukkan telah lebih membuka diri pada berbagai aliran pemikiran. Dia tidak lagi mempertentangkan secara tajam antara kapitalisme masa kini dengan masa depan sosialisme yang dia citacitakan. Argumen yang dikembangkan Feenberg justru menunjukkan keragaman perkembangan teknologis dan adanya berbagai kemungkinan modernitas. Teknologi tidak mendaki satu tangga perkembangan, tetapi pada tiap anak tangga selalu terbuka beberapa kemungkinan percabangan yang bisa dipilih. Dalam Questioning Technology (1999) Feenberg menunjukkan argumen yang lebih sistematis dan mendasar, mulai dari kritik terhadap konsepsi nalar sampai pada pengembangan Teori Kritis Teknologi. Di sini Feenberg memberikan basis filosofis bagi ruang-ruang beragam modernitas dan kemungkinan demokratisasi teknologi. Berbeda dengan para filosof teknologi generasi pertama yang memandang negatif teknologi, sehingga hanya mengajukan solusi membatasi teknologi atau menghindarinya, Feenberg menganggap masyarakat bisa mereformasi teknologi, dan bisa mengembalikan kepelakuannya tanpa harus meninggalkan teknologi.9 Sampai tingkat tertentu Feenberg menyetujui anggapan para pendahulunya mengenai dampak teknologi yang mengkhawatirkan. Dia juga menganggap sistem produksi yang ada telah “mengorbankan jutaan orang kepada (sistem) produksi dan merampas kuasa anggota-anggota (masyarakat) dalam setiap aspek kehidupan sosial, mulai dari penggunaan waktu senggangnya sampai pendidikan sampai layanan kesehatan hingga perencanaan kota.”10 Bahkan dia juga menganggap jika akar dari persoalan ini tidak diselesaikan maka kemajuan tidak akan bisa diraih, karena bagi Feenberg kemajuan adalah pencapaian keadaan di mana kemerdekaan individu diperluas sehingga mereka juga bisa turut serta secara aktif dalam beragam kegiatan
8 Hans Achterhuis, "Andrew Feenberg: Farewell to Dystopia," dalam American Philosophy of Technology: The Empirical Turn, diedit oleh Hans Achterhuis, diterjemahkan oleh Rober P. Crease (Bloomington: Indiana University Press, 2001), 66. 9 Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge, 1999). 10 Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford Universty Press, 2002), 3: the degradation of labor, education, and the environment is rooted not in technology per se but in the antidemocratic values that govern technological development.
38
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
publik. Puncak kemajuan adalah pencapaian masyarakat yang baik, yang memberikan pilihan-pilihan tentang makna menjadi manusia. Saat ini sebagian besar pemenuhan hasrat dan kebutuhan manusia telah dimediasi oleh teknologi. Dan, bahkan teknologi juga telah membentuk hasrat dan kebutuhan baru yang sebelumnya tak terpikirkan manusia. Kapitalisme telah berhasil membuat masyarakat menyerap hampir apa pun yang dihasilkannya. Karena itu “Apa itu manusia dan akan menjadi apa ditentukan dalam bentuk dari perkakas kita tidak kurang dari tindakan negarawan dan gerakan politik. Rancangan teknologi karenanya merupakan putusan ontologis yang penuh dengan konsekuensi politis.” 11 Yang menjadi masalah adalah dalam pengambilan putusan teknis yang mempengaruhi banyak orang ini, mayoritas justru tidak dilibatkan. Urusan teknis telah menjadi hak para pakar untuk memutuskannya secara mandiri. Karena itulah, bagi Feenberg, apa yang dicemaskan para pendahulunya, seperti “... degradasi pekerjaan, pendidikan dan lingkungan tidak berakar pada teknologi semata-mata tetapi pada nilai-nilai antidemokratis yang mengatur pengembangan teknologi.”12 Upaya memperbaiki keadaan di atas akan gagal jika mengabaikan fakta bahwa nilai-nilai antidemokratislah yang menjadi biang keladi penggusuran kepentingan sebagian anggota masyarakat. Solusi filosof generasi pertama, seperti anjuran untuk kembali hidup sederhana sebagaimana di masa lalu, atau pun mengembalikan kehidupan spiritual yang bisa meminimalkan ketergantungan pada teknologi, akan sulit dipenuhi oleh masyarakat. Baik dalam Questioning Technology (1999) maupun Transforming Technology (2002), Feenberg menunjukkan optimismenya tentang terbukanya peluang untuk mengembalikan kepelakuan manusia dan mereformasi teknologi. Harapan baik Feenberg terhadap teknologi dan demokratisasi teknologi barangkali dikarenakan dua hal berikut yang tidak diperoleh dan dialami oleh Marcuse atau pun Heidegger dan Ellul. Pertama, Feenberg memiliki pengalaman yang panjang 11 Feenberg, Transforming, 3: What human beings are and will become is decided in the shape of our tools no less than in the action of statesmen and political movements. The design of technology is thus an ontological decision fraught with political consequences. 12 Feenberg, Transforming, 3: I argue that the degradation of labor, education, and the environment is rooted not in technology per se but in the antidemocratic values that govern technological development.
39
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
dengan teknologi, baik dalam melakukan kajian terhadap praktik penggunaan teknologi maupun sebagai pelaku yang mengembangkan sistem teknologis. Sebagai pengkaji teknologi, Feenberg pernah melakukan penelitian terhadap sistem Minitel di Perancis. Ini adalah jaringan informasi dengan menggunakan terminal sederhana untuk mencari nomor telepon, mengecek jadwal kereta, atau informasi lainnya. Penyebaran informasi melalui Minitel ini awalnya dirancang searah, pengguna tetap pengguna, tidak bisa turut menjadi pemasok informasi sebagaimana pada Internet. Namun, jaringan Minitel ini kemudian diubah oleh para peretas (hacker) sehingga bisa digunakan untuk percakapan (instant messaging) di antara sesama pengguna. Di sini terlihat terbukanya peluang dari bawah untuk melakukan perlawanan terhadap pengendalian teknis, dan mendorong demokratisasi teknologi.13 Feenberg juga melakukan kajian terhadap penderita AIDS mengenai bagaimana pasien AIDS menuntut akses terhadap tindakan yang masih dalam tahap eksperimen, yang belum tersertifikasi untuk bisa dipraktikan secara luas. 14 Dalam kajian teknologi ini, hal yang hendak dieksplorasi adalah sesuatu yang kerap diabaikan dalam filsafat teknologi generasi pertama, yakni kepelakuan pengguna (user agency). “Kepelakuan pengguna adalah tema penting dalam kajian teknologi. Kami sangat tertarik dengan pengaruh pengguna dalam perancangan ulang teknologi. Tentu, jarang terjadi pengguna dipertimbangkan sebelum proses perancangan.”15 Namun, Feenberg tidak hanya mengamati apa yang dilakukan orang lain. Dia termasuk orang yang paling awal menggunakan komputer, setidak-tidaknya di lingkungan akademisi humaniora, yakni pada awal 1980an ketika komputer masih sangat mahal, hanya dimiliki kalangan bisnis dan perekayasa. Feenberg juga termasuk yang paling awal melakukan kajian dan pengembangan komunikasi yang diperantarai komputer (computer-mediated communication) atau kerja sama yang didukung komputer (Computer-Supported Cooperative Work). Feenberg juga merancang sistem komunikasi yang diperantarai komputer ini untuk Digital Equipment Corporation, yang waktu itu merupakan perusahaan komputer terbesar kedua atau ketiga. Feenberg juga menjadi perintis dalam pengembangan pendidikan daring (online education). Setelah 13 Andrew Feenberg, Alternative Technology (Berkeley: University of California Press, 1995), bab 7. 14 Feenberg, Alternative Technology, bab 5. 15 Zachry, “Interview,” 457: User agency is an important theme in technology studies. We are very interested in the impact of users on the redesign of technology. Of course, it is rare that users are included a priori in the design process.
40
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menyelesaikan kajian dan pengembangan praktis di dalam pendidikan daring dan komunikasi yang diperantarai komputer baik di Amerika maupun Perancis, Feenberg merasa “telah memperoleh semacam filsafat komunikasi melalui komputer dan tempatnya dalam pengembangan komputasi. Filsafat ini muncul dalam bab-bab buku dan artikel yang saya tulis.”16 Kedua, yang membedakan Feenberg dengan para pendahulunya, bidang kajian teknologi (technology studies) sudah sedemikian maju dalam mengungkapkan berbagai dampak dan proses pengembangan teknologi yang tidak lagi deterministik. Memang pada rentang periode tertentu, dalam teknologi juga berlaku ketergantungan jejak teknologis (technological path dependence), di mana putusan teknis sebelumnya akan menentukan putusan teknis berikutnya. Orang tidak mudah untuk beralih dari satu sistem teknologi ke sistem teknologi yang lain karena akan dituntut untuk menanggung biaya peralihan (switching cost) yang besar.17 Besarnya biaya peralihan ini yang membuat teknologi yang lebih baik sulit diterima oleh perusahaan yang sudah terlanjur mengeluarkan investasi besar dalam teknologi lama. Kajian mengenai ketergantungan jejak teknologis ini sepintas membuktikan adanya determinisme teknologis, namun ketergantungan ini pada saat tertentu akan dipotong oleh adanya teknologi yang menggusur (disruptive technology).18 Teknologi yang menggusur ini sulit dibendung oleh perusahaan besar, dengan kemampuan manajemen dan keuangan sekuat apa pun. Contohnya adalah setelah kamera digital memiliki resolusi yang cukup tinggi, industri kamera yang bertumpu pada film seluloid harus tutup. Perusahaan sebaik dan sebesar Kodak juga tidak bisa mempertahankan pabrik-pabrik film seluloidnya.
16 Zachry, “Interview,” 457: had acquired a sort of philosophy of computer-mediated communication and its place in the development of computing. This philosophy shows up in chapters of books and articles I have written. 17 Penggantian teknologi kerap membutuhkan biaya besar. Misalnya, selama ini transportasi antar-lokasi di Papua menggunakan pesawat terbang yang dilihat dari perspektif orang Jawa akan dianggap sebagai moda transportasi yang mahal. Namun, jika Papua mengganti moda transportasinya dengan kereta api, maka biaya peralihan yang harus ditanggung adalah pembuatan jalur kereta api, yang harus didahului dengan pembukaan hutan, atau bisa juga termasuk pemangkasan bukit atau pun membuat terowongan menembus gunung. Selain itu tentu dibutuhkan biaya untuk mendatangkan gerbong dan lokomotif, serta mendatangkan atau pun mendidik masinis dan teknisi. Besarnya biaya peralihan ini yang menyulitkan penggantian teknologi. 18 Clayton M. Christensen, The Innovator’s Dilemma (Boston, MA: HarperBusiness, 2000)
41
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Namun, munculnya teknologi yang menggusur ini juga tidak deterministik. Karena sebelum memiliki kemampuan menggusur, teknologi ini memiliki kemampuan yang masih lemah yang awalnya tidak dianggap mengancam teknologi yang ada. Dibutuhkan jumlah minimal tertentu (critical mass) dari perusahaan yang bersedia mengembangkan teknologi tersebut agar kemampuan dan harganya bisa bersaing dengan teknologi lama. Untuk masuk dalam teknologi baru, yang bukan kelanjutan dari teknologi lama, ini tidak mudah karena orang atau perusahaan biasanya sudah terbelenggu oleh pilihan sebelumnya. Karena itulah teknologi yang menggusur ini lebih sering dikembangkan oleh perusahaan-perusahaan baru, bukan perusahaan yang sudah mapan di teknologi lama. Hal ini menunjukkan faktor kepentingan – bukan semata-mata logikan fungsional – menentukan pilihan teknologi berikutnya. Selain kajian teknologi, Feenberg juga diuntungkan dengan perkembangan pendekatan konstruktivisme sosial teknologi atau pun konstruktivisme sosial secara umum, terutama yang dikembangkan oleh Bruno Latour 19, Michel Foucault dan Michel de Certeau. Teori Jaringan Pelaku (Actor Network Theory) di mana Latour merupakan salah satu penggagas utamanya, menyetarakan pelaku manusia dengan pelaku nonmanusia yang sama-sama memiliki kepelakuan, termasuk bisa menerima dan memaksakan
nilai-nilai
tertentu
pada
pelaku-pelaku
lain.20
Pandangan
ini
memungkinkan orang memahami bahwa teknologi bukanlah sekadar alat yang bebas nilai, tetapi juga dibentuk dan membentuk masyarakat, bahkan teknologi tidak terpisah dari masyarakat, tetapi merupakan bagian yang membentuk masyarakat. Sementara Foucault menunjukkan bahwa wacana, termasuk wacana teknologi, saling bertautan dengan kuasa. Jika kita menganggap teknologi sebagai kegiatan manusia, sebagaimana perkataan memiliki efek kuasa,21 pengoperasian teknologi juga memiliki pengaruh pada kuasa. Sementara de Certeau menunjukkan bahwa dalam setiap pengendalian teknis 19 Dalam disertasi ini konstruktivisme sosial teknologi diartikan bahwa teknologi juga dibentuk oleh masyarakat. Bruno Latour sendiri keberatan teorinya, Actor Network Theory (ANT), dimasukkan sebagai bagian dari teori konstruktivisme sosial sebagaimana yang ia diskusikan dalam Bruno Latour, Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theory (Oxford: Oxford University Press, 2005), 88-93. Ini lebih dikarenakan ketidaksetujuannya pada makna sosial dan konstruksi sebagaimana yang dipahami secara luas. Yang pasti dia bukanlah pendukung determinisme teknologis. 20 Bruno Latour, “Where Are the Missing Masses? The Sociology of a Few Mundane Artifacts,” dalam W. Bijker, dan J. Law (ed), Shaping Technology/Building Society: Studies in Sociotechnical Change (Cambridge, Mass: MIT Press, 1992), 229-234. 21 Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1. Diterjemahkan oleh Robert Hurley (New York: Vintage, 1980), 11.
42
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
tetap ada ruang untuk melakukan tindakan taktis yang bisa meredam atau melemahkan pengendalian teknis dari atas.22
2.2. Kritik Herbert Marcuse terhadap Nalar Teknologis Ketika masyarakat terpukau dengan kemajuan teknologi dan ekonomi, ketika demokrasi dipercaya telah berjalan dengan sempurna di Barat, Marcuse menerbitkan bukunya One-Dimensional Man pada tahun 1964 yang menegaskan bahwa masyarakat Barat sesungguhnya tidak merdeka. Melalui buku ini Marcuse berusaha membuktikan bahwa klaim masyarakat Barat tentang kemerdekaan yang mereka miliki sesungguhnya hanyalah ilusi belaka. Kritik ini tentu saja menentang pemahaman umum karena negaranegara Barat, terutama Amerika, dikenal sebagai negara yang demokratis, di mana warganya memiliki kebebasan untuk mengutarakan pendapat apa pun.23 Bagi Marcuse, ketidak-merdekaan ini tidak disadari karena mendapatkan bentuknya sebagai "ketidakmerdekaan yang demokratis, masuk akal, halus dan nyaman."24 Sementara banyak orang menganggap bahwa kemerdekaan masyarakat tidak mungkin dirampas selama demokrasi ditegakkan, kebebasan berbicara dijunjung tinggi, dan nalar dihormati, Marcuse justru berusaha menunjukkan kondisi tersebut bukanlah jaminan bahwa kemerdekaan tidak bisa disingkirkan. Menurut Marcuse, peradaban industri kontemporer telah sampai pada tahap di mana kemerdekaan atau masyarakat merdeka "tidak bisa lagi secara memadai didefinisikan dalam istilah-istilah tradisional dari kebebasan ekonomi, politis dan intelektual, bukan karena kebebasan ini telah menjadi tidak penting, tapi karena mereka (kebebasan-kebebasan tersebut - penulis) terlalu penting untuk dibatasi dalam bentukbentuk tradisional."25 Karena itulah, Marcuse menganggap perlunya definisi baru dari kemerdekaan yang lebih sesuai dengan kondisi peradaban saat ini.
22 Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge, 1999), 113. 23 Ini adalah penilaian Feenberg terhadap pandangan Marcuse, dalam Mark Zachry, “An Interview with Andrew Feenberg, ” Technical Communication Quarterly, 16:4 (2007): 453-472. 24 Herbert Marcuse, One-Dimensional Society (Boston: Beacon Press, 1964), 3: A comfortable, smooth, reasonable, democratic unfreedom. 25 Herbert Marcuse, One-Dimensional, 6: can no longer be adequately defined in the traditional terms of economic, political, and intellectual liberties, not because these liberties have become insignificant, but because they are too significant to be confined within the traditional forms.
43
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Bagi Marcuse, kemerdekaan bukan semata-mata ditandai oleh adanya kebebasan memilih bagi perorangan, karena apa yang nampak sebagai kebebasan (liberty) bisa saja merupakan alat penguasaan yang berkekuatan. Pilihan bebas terhadap beragam barang dan jasa tidak menandakan kebebasan jika barang dan jasa ini mempertahankan pengendalian sosial atas hidup yang sarat kerja keras dan ketakutan – yakni, jika mereka mempertahankan keterasingan. Dan reproduksi spontan dari kebutuhan individu yang ikut-ikutan tidak menetapkan kemandirian; ia hanya menunjukkan keefektivan pengendalian. 26
Ciri utama dari masyarakat industri maju, menurut Marcuse, adalah "pencekikan yang efektif terhadap kebutuhan yang menuntut pembebasan... sementara ia mempertahankan dan membenarkan kekuatan merusak dan fungsi menjajah dari masyarakat makmur."27 Apa yang nampak sebagai kemerdekaan ekonomi, politis dan sosial ini telah menjadi alat penguasaan yang membelenggu warga pada sistem yang ada. Karena itulah, kemerdekaan politis untuk memilih wakil-wakil rakyat yang tidak berbeda satu sama lain adalah sama saja dengan tipuan sistem politis yang nondemokratis. Demikian juga, kemerdekaan intelektual juga tidak akan berdampak apaapa jika media mengooptasi, melemahkan, mendistorsi atau menekan gagasan-gagasan yang menentang. Padahal pada awal perkembangan masyarakat industrial, hak dan kemerdekaan perorangan menjadi pendorong masyarakat untuk mencapai tahap yang lebih tinggi. 28 Kini, setelah masyarakat merasa mencapai tahap tertinggi – mereka tidak tahu lagi ciriciri peradaban yang lebih tinggi selain bahwa teknologi akan terus berkembang – tidak ada lagi alasan untuk tetap menjadikan hak dan kemerdekaan sebagai pendorong berikutnya. Karena itulah, kebebasan berpikir, berbicara dan hati nurani – yang sebelumnya memberikan gagasan kritis untuk mengganti budaya material dan intelektual yang usang dengan budaya yang lebih produktif dan ternalar – seolah
26 Marcuse, One-Dimensional, 10: Free choice among a wide variety of goods and services does not signify freedom if these goods and services sustain social controls over a life of toil and fear—that is, if they sustain alienation. And the spontaneous reproduction of superimposed needs by the individual does not establish autonomy; it only testifies to the efficacy of the controls. 27 Marcuse, One-Dimensional, 9: The distinguishing feature of advanced industrial society is its effective suffocation of those needs which demand liberation... while it sustains and absolves the destructive power and repressive function of the affluent society. 28 Marcuse, One-Dimensional, 3.
44
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menjadi tidak relevan lagi. Hak dan kemerdekaan perorangan, menurut Marcuse, telah "kehilangan dalih dan muatan tradisionalnya."29 Tapi, bagaimana mungkin ketidakmerdekaan terjadi di masyarakat yang dalam pandangan umum dianggap demokratis, di mana tidak ada satu lembaga pun, seperti pemerintah
atau
kekuatan
militer,
yang
membelenggu
kebebasan
mereka?
Otoritarianisme modern, di mata Marcuse, tidak lagi dilakukan oleh pemerintah atau kekuatan militer, tetapi dilakukan secara tersebar oleh seluruh masyarakat dan mendapatkan bentuknya sebagai kepentingan bersama. Karena itulah orang-orang yang menentangnya dianggap tidak mengindahkan kepentingan masyarakat, tidak lagi menjadi bagian yang mendukung kepentingan sistem sosial yang ada.30 Marcuse melihat bahwa masyarakat yang semakin bisa memenuhi kebutuhan warganya ini telah mencabut fungsi kritis dari kebebasan berpikir, autonomi dan hak menentang. Kemampuan masyarakat memenuhi kebutuhan warganya, memberi hak masyarakat untuk menuntut warganya menerima prinsip dan kelembagaannya, dan mengganti penentangan dengan diskusi dan promosi kebijakan-kebijakan alternatif yang hanya ada dalam lingkup status quo. Pentingnya kemampuan pemenuhan kebutuhan ini membuat banyak orang menjadi tidak perduli, dan hanya melihat sedikit perbedaannya, apakah pemenuhan ini dicapai dengan cara semena-mena atau tidak. Ketika sistem sosial yang ada berhasil meningkatkan standar hidup, ketidakpatuhan dianggap tidak berguna secara sosial, lebih-lebih kalau ketidakpatuhan ini menyebabkan kerugian ekonomi dan politik yang nyata dan mengancam penyelenggaraan sistem sosial secara keseluruhan. Memang, jika hidup hanya berkepentingan pada pemenuhan kebutuhan saja maka tidak ada alasan mengapa produksi dan distribusi barang dan jasa harus dipenuhi melalui kebebasan perorangan yang bersaing satu sama lain.31 Penyingkiran kebebasan perorangan ini terjadi karena sejak awal kebebasan tidak dianggap sebagai berkah tetapi hak yang harus diberikan kepada setiap orang dalam masyarakat yang setara. Kebebasan juga menyebabkan ketidakpastian yang menyulitkan
pengelolaan,
menuntut
kerja
keras
untuk
mengatasinya,
dan
mengkhawatirkan banyak orang yang telah mencapai kemapanan. Karena itulah "Jika 29 Marcuse, One-Dimensional, 3: are losing their traditional rationale and content. 30 Marcuse, One-Dimensional, 4. 31 Marcuse, One-Dimensional, 4.
45
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
orang tidak lagi diwajibkan membuktikan diri di pasar, sebagai subyek ekonomi yang bebas, (maka) lenyapnya kemerdekaan sejenis ini akan menjadi pencapaian terbesar dari peradaban."32 Hak dan kebebasan telah menjadi tenaga pendorong dalam mencapai kemajuan masyarakat. Setelah kemajuan ini tercapai, masyarakat tidak lagi mengkhawatirkan bagaimana mereka harus memenuhi kebutuhannya, hak dan kebebasan justru dianggap sebagai variabel penyebab ketidakpastian. Sementara untuk mempertahankan kemakmurannya, masyarakat perlu menjaga kepastian tersebut. Dalam bingkai pemahaman
seperti
inilah
Marcuse
meletakkan
peran
teknologi.
Teknologi
membebaskan manusia dari kewajiban bekerja keras memenuhi kebutuhannya. 33 Dalam proses memenuhi kebutuhan manusia ini, teknologi bekerja lebih pasti, dan menuntut manusia yang mengoperasikannya atau menjadi bagian dari sistem produksi untuk bekerja secara pasti sepasti kerja mesin. Dalam konteks inilah teknologi membuat orang rela melepaskan kemerdekaannya. Menurut Marcuse, "Masyarakat industri maju tengah mendekati tahap di mana kemajuan lanjut
menuntut subversi radikal terhadap arah dan pengorganisasian
kemajuan yang berlaku. Tahap ini akan dicapai ketika produksi material (termasuk layanan yang diperlukan) menjadi diautomatisasi sampai tingkat semua kebutuhan penting bisa dipenuhi sementara waktu kerja dikurangi sampai waktu marjinal.” 34 Teknologi yang awalnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan manusia, telah berkembang menjadi alat kekuasaan dan eksploitasi, untuk menjinakkan alam sekaligus masyarakat, dan karenanya, menurut Marcuse, juga membatasi nalar. Pembatasan terhadap nalar ini tidak disadari oleh orang yang nalarnya dibatasi, karena mereka tidak bisa melihat di luar batasan tersebut. Bahkan, Marcuse juga meyakini apa yang disebut Weber “penalaran” bukanlah penerapan nalar semata-mata 32 Hebert Marcuse, One-Dimensional Man (New York: Routledge, 1964), 4: If the individual were no longer compelled to prove himself on the market, as a free economic subject, the disappearance of this kind of freedom would be one of the greatest achievements of civilization. 33 Marcuse, One-Dimensional, 4-5. 34 Marcuse, One-Dimensional, 18: Advanced industrial society is approaching the stage where continued progress would demand the radical subversion of the prevailing direction and organization of progress. This stage would be reached when material production (including the necessary services) becomes automated to the extent that all vital needs can be satisfied while necessary labor time is reduced to marginal time.
46
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
sebagaimana yang diyakini Weber, tetapi, meskipun tetap dikatakan berdasarkan nalar, sebenarnya merupakan wujud penguasaan politik yang tidak diakui. 35 Penalaran seperti ini membatasi apa yang dianggap benar dalam memilih strategi, teknologi apa yang tepat untuk diterapkan, dan sistem mana yang perlu dimapankan. Cara penalaran ini merupakan bagian dari pengendalian karena akan menentukan dan membatasi lingkup dari tindakan rasional bertujuan. “Oleh karena itu, selaras dengan nalar ini, “penalaran” kondisi kehidupan sinonim dengan pelembagaan bentuk penguasaan yang sifat politisnya tak dikenali: nalar teknis sistem sosial dari tindakan rasional-bertujuan tidak kehilangan muatan politisnya.”36 Proyek ilmiah juga terpengaruh penguasaan di atas, meskipun “Pemikiran ilmiah modern, sejauh ia murni, tidak memproyeksikan tujuan praktis tertentu atau pun bentuk tertentu dari penguasaan.”37 Namun, ketika proyek ilmiah menjadi landasan pengembangan teknologi, semesta wacana yang ada akan menentukan “bahwa proyek ilmiah terjadi atau tidak terjadi, bahwa teori membentuk atau tidak membentuk pilihanpilihan yang mungkin, bahwa hipotesanya menumbangkan atau mempertahankan kenyataan yang sudah mapan.”38 Jadi, nalar ilmiah yang murni dan netral, nonpolitis, dalam praktiknya melayani nalar praktis yang memiliki kepentingan untuk menguasai. Menurut Marcuse, penguasaan yang dibangun mengikuti nalar praktis ini tidak hanya mewujud melalui teknologi, tetapi juga sebagai teknologi. Dan, ketika penguasaan mewujud sebagai teknologi, maka ia memberikan “legitimasi terbesar bagi perluasan kuasa politis, yang menyerap semua lingkup budaya.” 39 Dengan demikian, lanjut Marcuse, teknologi memberikan penalaran atas ketidakmerdekaan manusia dan mendemonstrasikan kemustahilan teknis dari keberadaan yang mandiri untuk 35 Herbert Marcuse, “Industrialization and Capitalism in the Work of Max Weber,” dalam Negations, diterjemahkan oleh Jermy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1968). 36 Jürgen Habermas, “Technology and Science as ‘Ideology,’ ” dalam Toward a Rational Society, diterjemahkan oleh Jermy J. Shapiro (Boston: Beacon Press, 1987), 82: That is why, in accordance with this rationality, the “rationalization” of the conditions of life is synonymous with the institutionalization of a form of domination whose political character becomes unrecognizable: the technical reason of a social system of purposive-rational action does not lose its political content. 37 Marcuse, One-Dimensional, 161: Modern scientific thought, inasmuch as it is pure, does not project particular practical goals nor particular forms of domination. 38 Marcuse, One-Dimensional, 162: that the scientific project occurs or does not occur, that theory conceives or does not conceive the possible alternatives, that its hypotheses subvert or extend the preestablished reality. 39 Marcuse, One-Dimensional, 162: the great legitimation of the expanding political power, which absorbs all spheres of culture.
47
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menentukan hidupnya sendiri. Ketidakmerdekaan ini tidak nampak sebagai sesuatu yang tidak masuk akal, tetapi nampak sebagai penyerahan diri pada peralatan teknis yang memperbesar kenyamanan hidup dan meningkatkan produktivitas pekerja. Alasan inilah yang membuat teknologi menguatkan legitimasi dari penguasaan.40 Gagasan Marcuse mengenai nalar teknologis yang didiskusikan dalam OneDimensional Man ini melampaui zamannya, karena saat buku ini terbit pada tahun 1964 persoalan lingkungan belum separah saat ini, sehingga belum muncul gerakan lingkungan41 yang menggugat penerapan teknologi. Teknologi masih dianggap murni penerapan ilmu alam, dan sepenuhnya di bawah kuasa manusia yang memanfaatkannya. Peringatan Marcuse akan bahaya nalar teknologis tidak mudah dipahami masyarakat luas, sehingga ia hanya menjadi gugatan abstrak pada mentalitas teknokratis yang kala itu belum menghadapi persoalan serius. Berbeda dengan filsafat teknologi Heidegger yang bernuansa muram, dan tidak memberikan solusi dari pembingkaian teknologi, Marcuse masih menawarkan saran “tentang bagaimana teknologi bisa ditransformasi dalam rangka menciptakan dunia sosial yang sangat berbeda jenisnya yang lebih harmonis dan memuaskan.” 42 Namun saran ini masih
abstrak, kurang bisa ditindaklanjuti. Barangkali hal ini karena
pemanfaatan dan dampak teknologi yang disaksikan Marcuse belum seluas dan sedalam yang terjadi saat ini. Namun, buku ini berpengaruh besar pada Feenberg yang merupakan mahasiswa doktoral dari Marcuse. Di kemudian hari, Feenberg menyadari bahwa “ada lebih banyak yang bisa dikatakan tentang teknologi tertentu dan tentang proses perkembangan teknologis daripada yang disadari Marcuse. Setelah saya kemudian diperkenalkan dengan pustaka kajian teknologi, saya pikir saya bisa menemukan metode untuk memerinci versi yang lebih nyata dari sesuatu yang dimaksudkan Marcuse.”43 Dan, filsafat teknologi Feenberg bisa dilihat sebagai kelanjutan eksplorasi intelektual dari Marcuse. 40 Marcuse, One-Dimensional, 162. 41 Pendapat Feenberg dalam Mark Zachry, “An Interview with Andrew Feenberg,” Technical Communication Quarterly, 16:4 (2007), 459. 42 Zachry, “Interview,” 459: about how technology could be transformed in order to create a very different kind of social world that is more harmonious and fulfilling. 43 Zachry, “Interview,” 459: there was a lot more to be said about particular technologies and about the processes of technological development than Marcuse was aware of. As I was later introduced to the literature of technology studies, I thought I could find there methods for elaborating a more concrete version of something like what Marcuse had intended.
48
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
2.3. Esensialisme Teknologis Martin Heidegger Heidegger adalah salah satu filosof abad 20 yang paling berpengaruh sampai saat ini, termasuk di bidang filsafat teknologi. Dia sangat dikenal karena filsafatnya yang bertolak dari analisisnya terhadap Ada (Being), dan pemahaman tentang Ada ini pula yang menjadi dasar filsafat teknologi Heidegger.44 Ambisi Heidegger adalah menjelaskan dunia modern secara filosofis, termasuk dunia yang ia saksikan dan hidup di dalamnya yang tengah mengalami transformasi karena pengaruh teknologi. Filsafat teknologi Heidegger disebut sebagai esensialisme teknologis, karena yang ia cari melalui eksplorasi filosofisnya adalah esensi dari teknologi. Menurut catatan kaki penerjemahnya “esensi” (essence) merupakah terjemahan tradisional dari kata benda Jerman “Wesen”, yang tidak semata-mata berarti “apakah sesuatu itu”, tetapi bermakna cara bagaimana sesuatu bertahan sepanjang waktu, atau keberlangsungan sebagai kehadiran (enduring as presence).45 Jadi, esensi teknologi adalah sesuatu yang menetap sepanjang waktu, yang tidak mengalami perubahan, meskipun manifestasi teknologi yang hadir di hadapan kita mengalami perubahan. Karena teknologi terus berubah, sementara esensi teknologi – secara definisi – tidak berubah, berarti esensi teknologi tidak sama dengan teknologi itu sendiri. Ini analog dengan esensi pohon yang tidak sama dengan pohon. Sesuatu yang ada di tiap pohon, yang menjadi ciri semua pohon, bukanlah pohon itu sendiri. Karena esensi pohon adalah sesuatu yang tidak berubah di berbagai pohon yang memiliki ciri yang berbeda-beda.46 Esensi dalam arti keapaan (whatness) sesuatu, yang untuk kasus pohon bisa diartikan ciri fisik yang dimiliki setiap pohon, relatif lebih mungkin dicari pada pohon dibandingkan pada teknologi. Para ahli biologi sudah sejak lama menemukan metode taksonomi yang bisa digunakan untuk mengenali tanaman apa pun, sementara itu, sampai saat ini pengkaji dan filosof teknologi masih kesulitan menentukan cara klasifikasi yang bisa digunakan untuk mengenali setiap teknologi. Seiring dengan beragam dan terus berkembangnya teknologi upaya ini nampaknya mustahil untuk diwujudkan. Bagaimana kita menetapkan ciri fisik yang dimiliki secara bersama oleh 44 Feenberg, Questioning, 183. 45 Martin Heidegger, The Question Concerning Technology, diterjemahkan oleh William Lovitt (New York: Garland Publishing, 1977), 3. 46 Heidegger, Question, 4.
49
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
sendok, pesawat terbang, rumah, telepon seluler, dan perangkat lunak? Dari sudut pandang ini, kita bisa mengapresiasi pendirian Heidegger yang memaknai esensi teknologi sebagai sesuatu yang berbeda dari teknologinya sendiri. Jika esensi teknologi bukan lagi bersifat fisik dan teknis, maka ia harus dicari di luar penampakan fisik maupun fungsional. Untuk memahami esensi teknologi, kita harus mengalami dan merasakan hubungan dengan esensi teknologi. Dan itu tidak akan terjadi jika "kita hanya membayangkan dan mendekati yang bersifat teknologis, menentangnya, atau pun menghindarinya."47 Heidegger menyelami esensi teknologi dalam hubungan manusia dengan teknologi. Karena itulah, dalam revolusi teknologis yang terjadi di Eropa di masa hidupnya, yang disambut dengan antusias atau pun cemas, Heidegger menyaksikan hubungan manusia dan teknologi secara berbeda dari pemikir lain. "Di setiap tempat kita tetap tidak merdeka dan terbelenggu pada teknologi, apakah kita dengan bergairah mengakui atau menyangkalnya. Tetapi kita diserahkan padanya dalam cara terburuk yang paling mungkin ketika kita menganggapnya sebagai sesuatu yang netral...”48 Sikap yang terjadi secara luas adalah keberserahan diri pada teknologi dan ini, menurut Heidegger, membuat kita buta terhadap esensi teknologi. Alih-alih membuat manusia semakin berkuasa, teknologi – menurut Heidegger – hanya menjadikan manusia sebagai sarana untuk memunculkan dirinya. Dia menggunakan pengertian Aristoteles mengenai penyebab, di mana ada empat penyebab yang menimbulkan sesuatu, yakni tujuan (causa finalis) dari penciptaan teknologi, material yang digunakan (causa materialis), bentuk dari barang yang akan dibuat (causa formalis), dan orang yang membuat barang tersebut (causa efficiens). Jika, dilihat dengan lebih teliti, maka sesungguhnya pengertian istilah penyebab dari Aristoteles ini berbeda dari yang dipahami orang saat ini. Selanjutnya Heidegger juga mempertanyakan mengapa hanya ada empat penyebab. Lalu apa arti penyebab di sini? Dan, yang lebih penting lagi, apa yang mengikat empat penyebab tersebut sehingga menjadi satu kesatuan?49 Selama kita tidak mempertanyakan hal-hal di atas, kausalitas, 47 Heidegger, Question, 4: we merely conceive and push forward the technological, put up with it, or evade it. 48 Heidegger, Question, 4: Everywhere we remain unfree and chained to technology, whether we passionately affirm or deny it. But we are delivered over to it in the worst possible way when we regard it as something neutral 49 Heidegger, Question, 6 - 7.
50
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
instrumentalitas, dan definisi teknologi yang sudah diterima, akan tetap tidak jelas dan tidak berdasar. Makna penyebab yang digunakan Aristoteles ini memang tidak sama dengan makna yang dikenal saat ini. “Posisi Heidegger adalah bahwa bagi Aristotle empat penyebab ini adalah penyebab dalam arti yang sama. Dan arti tersebut tidak merujuk pada sesuatu yang sekarang kita sebut sebagai penyebab. Khususnya, apa yang disebut Aristoteles penyebab efisien bukanlah apa yang sekarang kita maksud dengan penyebab…”50 Karena empat penyebab ini memiliki posisi setara, maka masing-masing tidak bisa dibedakan dari tingkat kepasifan atau keaktifannya. Jadi, materi bukanlah sasaran pembentukan, dan pengrajin bukanlah sesuatu yang bebas membentuk yang lain. Materipun turut terlibat dalam memilih dan mengusulkan bentuk pada pengrajin, dan pengrajin mengambil arah dari bentuk yang ditawarkan ini. "Sejalan dengan itu, materi telah mengandung bentuk dan peran dari pengrajin adalah peran seorang bidan yang membantu kelahiran bentuk. Sebagai ganti dari yang dibentuk dan pembentuk, kita memiliki sesuatu seperti partisipasi saling menguntungkan dalam upaya bersama, kemitraan di mana peran aktivitas dan pasivitas bercampur-baur.” 51 Dalam pembuatan, sesuatu yang dibuat berhutang budi pada semua penyebab, dan semua penyebab secara bersama bertanggung jawab terhadap terjadinya sesuatu tersebut. 52 Tanggung jawab bersama inilah yang memicu sesuatu untuk memulai perjalanan menuju kehadiran. Keempat penyebab ini membawa sesuatu ke hadapan (bringing-forth), keluar dari persembunyiannya. Proses membawa ke hadapan ini berada dan bergerak bebas dalam apa yang disebut penyingkapan (revealing) atau dalam bahasa Yunani disebut aletheia.53 Simpulan dari uraian di atas adalah bahwa teknologi bukan sekadar alat, melainkan
penyingkapan.
Dan,
yang
disingkapkan
atau
dikeluarkan
dari
50 Richard Rojcewicz, The Gods and Technology: A Reading of Heidegger (New York: State University of New York, 2006), 17: Heidegger’s position is that for Aristotle the four causes are all causes in the same sense. And that sense does not correspond to anything we today call a cause. In particular, Aristotle’s so-called efficient cause is not in fact what we today mean by cause; 51 Rojcewicz, 17: Accordingly, the matter is already pregnant with a form and the role of the craftsman is the role of the midwife assisting that form to come to birth. Instead of an imposed upon and an imposer, we have here something like a mutual participation in a common venture, a partnership where the roles of activity and passivity are entirely intermingled. 52 Heidegger, Question, 7. 53 Heidegger, Question, 12.
51
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
persembunyiannya oleh teknologi adalah kebenaran. Sementara manusia hanyalah salah satu sarana, yang setara dengan sarana-sarana lain dalam proses penyingkapan ini. Penjelasan di atas bisa jadi tepat untuk teknologi kuno, lalu bagaimana dengan teknologi modern yang ditenagai oleh mesin? Heidegger menganggap adanya perbedaan ontologis antara teknologi modern dari teknologi kuno. Penyingkapan yang menguasai teknologi modern adalah sebuah penantangan (Herausfordern), yang membebani alam dengan tuntutan agar ia menyediakan energi yang bisa diekstrak, disimpan dan digunakan di mana pun dan kapan pun manusia menginginkannya.54 Pada teknologi kuno, misalnya penggilingan gandum yang menggunakan kincir air, tidak bisa didirikan jauh-jauh dari sungai. Kecepatan penggilingannya pun sepenuhnya mengikuti debit aliran sungai, dan jika air sungai surut maka penggilingannya pun tidak bisa difungsikan lagi. Sementara pada penggilingan yang ditenagai mesin, penggilingannya bisa ditempatkan di mana saja dan dinyalakan setiap waktu. Pembangunan pembangkit tenaga listrik juga merupakan penantangan terhadap alam, karena manusia tidak sematamata memanfaatkan arus sungai sebagaimana yang disediakan alam, tetapi mereka terlebih dulu mengubah alam dengan cara membendung sungai. Penyingkapan yang terjadi di seluruh teknologi modern memiliki sifat menyetel (setting-upon) dalam arti menantang-ke-hadapan. Penantangan tersebut terjadi sebagai berikut, energi yang tersembunyi di alam tersebut dilepaskan, apa yang dilepaskan ini kemudian diubah-bentuknya, apa yang diubah bentuknya disimpan, apa yang disimpan kemudian disebarkan, dan apa yang disebarkan bisa dialihkan sebagai sesuatu yang baru. Pembebasan, pengubahan bentuk, penyimpanan, penyebaran dan pengaktivan adalah cara penyingkapan. Penyingkapan menyingkapkan pada dirinya jalur-jalur berlipat yang saling mengunci, melalui pengaturan jalurnya. Pengaturan dirinya ini untuk sebagian di setiap tempat diamankan. Pengaturan dan pengamanan bahkan menjadi ciri utama dari penyingkapan yang menantang. 55
Manusia tidak memiliki posisi penting dalam filsafat teknologi Heidegger. Sementara dalam teknologi kuno peran manusia setara – tidak lebih penting – dengan tiga jenis penyebab lainnya, karena hanya menyiapkan panggung bagi teknologi untuk 54 Heidegger, Question, 14. 55 Heidegger, Question, 16: The revealing that rules throughout modern technology has the character of a setting-upon, in the sense of a challenging-forth. That challenging happens in that the energy concealed in nature is unlocked, what is unlocked is transformed, what is transformed is stored up, what is stored up is, in turn, distributed, and what is distributed is switched about ever anew. Unlocking, transforming, storing, distributing, and switching about are ways of revealing. But the revealing never simply comes to an end. Neither does it run off into the indeterminate. The revealing reveals to itself its own manifoldly interlocking paths, through regulating their course. This regulating itself is, for its part, everywhere secured. Regulating and securing even become the chief characteristics of the challenging revealing.
52
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menyingkapkan diri; dalam teknologi modern kepelakuan manusia justru menghilang, karena manusia, sebagaimana faktor-faktor produksi lainnya, sama-sama menjadi bahan mentah yang siap ditata dan diolah oleh teknologi.
2.4. Kritik Jürgen Habermas terhadap Herbert Marcuse Salah satu sumber pemikiran yang turut mengarahkan filsafat teknologi Feenberg adalah kritik Jürgen Habermas terhadap Marcuse. 56 Marcuse tidak sempat menjawab kritik tersebut, namun Feenberg, yang sangat mengenal pandangan gurunya itu mencoba membayangkan bagaimana Marcuse merespons kritik Habermas.57 Setelah mempertentangkan
pemikiran
keduanya
Feenberg
kemudian
secara
kreatif
menyintesakannya dan menjadikannya titik tolak pengembangan teorinya tentang teknologi. Beberapa kritik Habermas terhadap Marcuse adalah sebagai berikut. Habermas menggugat gagasan Marcuse – sebagaimana ia juga menggugat pemikiran Benjamin, Adorno, dan Bloch – mengenai perlunya membangun hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam.58 Gagasan ini menjadi dasar usulan Marcuse untuk mengembangkan ilmu alam dan teknologi baru, karena ilmu alam yang ada “berkembang di bawah a priori teknologis yang memproyeksikan alam sebagai instrumentalitas potensial, bahan pengendalian dan pengorganisasian. Dan pemahaman alam
sebagai
instrumentalitas
(hipotetis)
mendahului
pengembangan
semua
pengorganisasi teknis tertentu.”59 Habermas menolak alasan di atas. Meskipun kita bisa saja mennyifatkan subyektivitas pada hewan, tanaman, atau pun mineral, komunikasi dengan alam sebagai subyek tidak bisa dilakukan sebelum komunikasi yang bebas dari tekanan terjadi di antara sesama manusia. “Hanya jika manusia bisa berkomunikasi tanpa tekanan dan tiap orang bisa mengenali dirinya pada yang lain, baru umat manusia mungkin bisa 56 Jürgen Habermas, “Technology and Science as ‘Ideology,’ ” dalam Toward a Rational Society, trans. J. Shapiro. (Boston: Beacon Press, 1970). 57 Feenberg, Questioning, bab 7. 58 Feenberg, Questioning, 155. 59 Marcuse, One-Dimensional, 157: develops under the technological a priori which projects nature as potential instrumentality, stuff of control and organization. And the apprehension of nature as (hypothetical) instrumentality precedes the development of all particular technical organization.
53
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
mengenali alam sebagai subyek yang lain: bukan, sebagaimana idealisme ingin mengenalinya, sebagai Yang Lain dari dirinya, tetapi sebagai subyek di mana umat manusialah yang menjadi Yang Lain.”60 Selain itu, bagi Habermas, “Gagasan Ilmu Alam Baru tidak akan bisa bertahan terhadap pengusutan logis sebagaimana juga Teknologi Baru, jika ilmu alam ingin mempertahankan makna ilmu alam modern yang secara inheren berorientasi pada pengendalian teknis yang mungkin. Untuk memenuhi fungsi ini, juga untuk kemajuan teknis-ilmiah secara umum, tidak ada lagi pengganti yang manusiawi.”61 Meskipun teknologi awalnya dimaksudkan untuk mempermudah manusia dalam mengeksploitasi alam, bagi Marcuse transformasi alam ini akan melibatkan transformasi manusia juga. Dalam hal ini Marcuse meminjam penalaran Heidegger yang menganggap teknologi membingkai alam maupun manusia sebagai bahan mentah, namun dengan mengecualikan bahwa tidak semua manusia menjadi bahan mentah. Kaum kapitalis tetap bisa menghindarkan diri dari perubahan menjadi bahan mentah, dan menjadikan para pekerja sebagai bahan-bahan yang mereka kelola. Ini berarti nalar teknis menyembunyikan kepentingan, yang berarti bersifat ideologis. Bagi Marcuse, ini bukan hanya karena persoalan kuasa selalu membayangi penerapan teknologi, tetapi teknologinya sendiri adalah penguasaan (terhadap alam dan orang).62 Meskipun Habermas juga mengkhawatirkan persoalan yang muncul bersama teknologi, seperti teknokrasi, namun dia menjelaskannya tanpa membutuhkan pendefinisian ilmu pengetahuan atau pun teknologi yang berbeda dari yang ada saat ini. Bentuk-bentuk penguasaan yang ada bisa dijelaskan dalam hubungan manusia yang komunikatif atau instrumental,63 tanpa perlu menganggap teknologi sebagai bentuk penguasaan. 60 Habermas, “Technology,” 88: Only if men could communicate without compulsion and each could recognize himself in the other, could mankind possibly recognize nature as another subject: not, as idealism would have it, as its Other, but as a subject of which mankind itself is the Other. 61 Habermas, “Technology,” 88: The idea of a New Science will not stand up to logical scrutiniy any more than that of a New Technology, if indeed science is to retain the meaning of modern science inherently oriented to possible technical control. For this function, as for scientific-technical progress in general, there is no more “human” substitute. 62 Herbert Marcuse, “Industrialization and Capitalism in the Work of Max Weber,” dalam Negations: Essays in Critical Theory, diterjemahkan oleh J. Saphiro (Boston: Beacon Books, 1968), pp. 223 f, sebagaimna dikutip dalam Habermas, “Technology”, 82. 63 Habermas, “Technology,” 88.
54
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Bagi Habermas, pengembangan teknologi bukanlah proyek dari satu kelas (kapitalis) untuk menguasai kelas lain (pekerja), atau pun proyek umat manusia dari periode tertentu, tetapi teknologi adalah proyek keseluruhan spesies manusia.64 Karena itu Habermas mendukung pandangan bahwa teknologi adalah netral, karena berlaku sama pada siapa saja di mana saja dan pada saat kapan saja. Teknologi, Habermas meminjam pandangan dari Arnold Gehlen, adalah pembesar atau pengganti fungsi diri manusia, sehingga manusia bisa melakukan lebih banyak, lebih cepat, atau dengan lebih sedikit tenaga. Teknologi pertama-tama dikembangkan untuk mengurangi beban atau memperbesar fungsi motorik (tangan dan kaki), lalu fungsi ini lebih diperkuat lagi dengan pengembangan teknologi yang memiliki fungsi produksi energi (yang meniru tubuh manusia yang bisa mengubah energi kimiawi dalam makanan menjadi tenaga untuk bekerja).
Teknologi juga dikembangkan untuk menguatkan fungsi sensorik
(mata, telinga dan kulit), dan terakhir teknologi komputer dikembangkan untuk menguatkan fungsi pengaturan (otak).65 Untuk
menjelaskan
penguasaan
melalui
tindakan
teknis,
Habermas
mempertahankan netralitas teknologi dan menggali akar penguasaan dari hubugan antar-manusia. Dia membagi hubungan sosial menjadi dua jenis: kerja dan interaksi. Kerja atau tindakan ternalar-bertujuan adalah tindakan instrumental atau pilihan ternalar atau gabungan keduanya.66 Tindakan instrumental dilakukan untuk mencapai tujuan dalam kondisi tertentu, karena itu ia mengikuti aturan teknis yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan empiris. Ketika hendak memulai tindakan ini, pelaku akan menebak keberhasilan tindakannya yang nantinya bisa dibuktikan apakah memang berhasil atau tidak. Tindakan instrumental ini mengorganisasi sarana yang tepat atau tidak tepat menurut kriteria pengendalian efektif dari kenyataan. Sementara pilihan ternalar mengikuti strategi yang didasarkan pengetahuan analitis. Tindakan strategi ini tergantung pada evaluasi yang penuh perhitungan terhadap pilihan-pilihan yang mungkin.67
64 Habermas, “Technology,” 87. 65 Habermas, “Technology,” 87. 66 Habermas, “Technology,” 91. 67 Habermas, “Technology,” 92.
55
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Interaksi adalah tindakan komunikatif atau simbolis timbal-balik antara, sedikitnya, dua orang yang diatur norma hasil kesepakatan bersama. Norma ini mendefinisikan perilaku yang diharapkan secara kolektif. Makna pentingnya norma ini dibangun melalui komunikasi bahasa sehari-hari, sedangkan penegakan norma dilakukan dengan sanksi sosial yang berasal dari luar tindakan, yakni adanya pihak lain yang menghukum. Sahnya norma sosial ini berakar dalam kesepakatan antar-subyek, dari kehendak saling memahami dan ditetapkan oleh pengakuan masyarakat mengenai kewajiban mematuhinya.68 Pelanggaran aturan pada tindakan instrumental akan dihukum dengan kegagalan. Keberhasilan dan kegagalan ini sudah tertanam dalam aturan tersebut, tanpa perlu penegakan oleh pihak luar. Pelanggaran dalam mengoperasikan mesin akan menyebabkan mesin tidak bekerja. Mesin tidak bekerja ini bukan karena adanya pihak luar yang menegakkan aturan tersebut, tetapi karena hukum yang mengatur kerja mesin tidak dipatuhi. Demikian juga, kegagalan mengelola perusahaan akan menyebabkan kinerja perusahaan melemah. Karena itu pelanggaran aturan pada tindakan instrumental ini disebut sebagai ketidakmampuan (incompetency). Karena hukuman pada pelanggaran sudah tertanam pada aturan, maka tindakan instrumental – termasuk tindakan teknis, tindakan yang menggunakan teknologi – memuat pemaksaan terhadap orang untuk mematuhinya. Misalnya, pengoperasian teknologi harus mengikuti aturan atau panduan tentang bagaimana mengoperasikan teknologi tersebut. Jika aturannya tidak dipatuhi, maka teknologi tidak bekerja, atau rusak, atau malah membahayakan manusia itu sendiri. Karena itulah pengoperasian teknologi langsung memaksa orang untuk mematuhi aturan pengoperasiannya. Dengan cara inilah penguasaan oleh teknologi bisa dijelaskan. Feenberg bisa menerima kritik Habermas terhadap Marcuse kecuali gagasannya yang mempertahankan netralitas teknologi. Dengan memanfaatkan pemikiran Foucault, Feenberg
membangun
sanggahan
terhadap
netralitas
teknologi.
Dia
juga
mengembangkan penjelasan lain tentang tindakan instrumental, bahwa teknologi memuat pemaksaan terhadap orang untuk mematuhinya, dari teori jaringan pelaku dari Bruno Latour. 68 Habermas, “Technology,” 92.
56
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
2.5. Konstruktivisme Sosial Teknologi Konstruktivisme sosial teknologi telah memberi Feenberg landasan penalaran untuk menyangkal netralitas teknologis maupun mengenali ruang-ruang kepelakuan manusia di antara celah-celah pengendalian teknis. Pemikiran Bruno Latour, Michel Foucault, dan Michel de Certeau menjadi bahan Feenberg untuk merevisi Teori Kritis mengenai teknologi. Pemikiran Latour termasuk yang banyak digunakan Feenberg dalam ketiga bukunya. Meskipun uraian Latour nampak sangat sederhana mengenai norma atau kewajiban yang bisa didelegasikan pada peralatan teknis, dampaknya dalam mengoreksi atau memperjelas pemikiran Marcuse sangat berarti. Dengan menggunakan penjelasan Latour, Feenberg bisa memperjelas hal-hal yang terlalu abstrak atau umum pada pemikiran Marcuse. Latour menyetarakan peran manusia dan nonmanusia (yang oleh Latour disebut aktan sebagai ganti aktor) dalam jejaring sosial. Kedua-duanya sama-sama memiliki kemampuan menjadi pelaku, termasuk menerima dan menjalankan nilai atau moralitas, dan selanjutnya bisa juga meneruskan pengaruh nilai atau moralitas tersebut kepada aktan lain. Misalnya, untuk menjaga agar pintu sebuah gedung selalu kembali menutup, pengelola gedung bisa meminta pada para pengunjung untuk menutup kembali pintunya melalui tulisan “Harap pintu ditutup kembali” yang ditempel di pintu sehingga bisa dibaca oleh siapa pun yang masuk. Tetapi, pengunjung yang terburu-buru sering tidak memperhatikan tulisan tersebut atau tidak sempat menutup pintu. Cara lain adalah mengalihkan tugas menutup pintu kepada aktan manusia, misalnya satpam. Ini adalah cara yang membutuhkan tambahan tenaga manusia, dan karena itu juga tambahan biaya untuk menggajinya. Selain itu menutup pintu adalah pekerjaan yang membosankan sehingga satpam tersebut kadang-kadang bosan juga dan kerap meninggalkan tugasnya. Cara yang kemudian lebih banyak digunakan adalah memanfaatkan aktan nonmanusia, yaitu alat yang menyebabkan pintu bisa tertutup secara automatis. Sementara manusia belum tentu mematuhi pesan atau tugasnya, alat tersebut memenuhi tanggung jawabnya dengan lebih konsisten.69 69 Bruno Latour, “Where Are the Missing Masses? The Sociology of a Few Mundane Artifacts,” dalam Shaping Technology/Building Society: Studies in Sociotechnical Change diedit oleh W. Bijker, and J. Law (Cambridge, Mass: MIT Press, 1992).
57
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Implikasi dari penjelasan sederhana di atas adalah bahwa teknologi bisa menerima pendelegasian norma, dan karenanya tidak bebas nilai. Selain itu, hal ini juga bisa memperjelaskan mengapa teknokrasi bisa demikian efektif. Ini karena sebagian nilai-nilainya ditegakkan bukan karena manusia setuju untuk mematuhinya, atau pun adanya manusia yang mendapatkan tugas untuk menegakkan nilai-nilai tersebut, tetapi karena adanya teknologi yang mematuhi nilai-nilai ini atau yang memaksa manusia untuk mematuhinya. Contoh sederhananya, polisi tidur bisa lebih efektif dari satpam untuk memaksa pengendara memperlambat kendaraannya. Karena itulah dalam sistem sosial, Latour menganggap setara aktor manusia dengan aktor nonmanusia. Keduaduanya sama-sama memiliki kepelakuan yang bisa memaksa aktan lain.70 Feenberg yang banyak bertolak dari pemikiran Marcuse, menganggap pemikiran gurunya tersebut, sebagaimana banyak teori Mazhab Frankfurt lainnya, masih sangat umum. Dan, dia menemukan dari pemikiran Foucault-lah perbaikan pada kritik Marcuse terhadap nalar teknologis bisa dilakukan. Foucault telah dengan meyakinkan menunjukkan bagaimana kuasa diorganisasikan, dipraktikkan, dan dilegitimasikan melalui bentuk-bentuk nalar yang terbuka bagi penyelidikan sejarah. Yang lebih memudahkan dalam menyilangkan pemikiran Foucault dengan Marcuse adalah meskipun Foucault tidak secara langsung terpengaruh Weber atau Teori Kritis, tetapi pendekatannya sama.71 Foucault menolak pandangan bahwa teknologi atau pengetahuan adalah sesuatu yang netral, perkakas bebas-nilai yang bisa digunakan untuk keperluan yang baik atau buruk. “Kebenaran dan kuasa bukanlah dua hal yang lepas yang bertemu secara kebetulan pada saat penerapan. Ilmu sosial seperti psikologi dan kriminologi tumbuh dari lembaga-lembaga khusus seperti rumah sakit atau penjara. Bentuk-bentuk baru pengetahuan dan bentuk-bentuk baru pengendalian sosial terhubung pada awalnya.”72
70 Latour menggunakan istilah aktan baik untuk manusia atau pun nonmanusia sebagai ganti aktor yang hanya biasa digunakan untuk manusia. 71 Feenberg, Transforming, 67. 72 Feenberg, Transforming, 68: Truth and power are not two independent things that meet contingently in the moment of application. Social sciences such as psychology and criminology are outgrowths of specific institutions such as hospitals or prisons. New forms of knowledge and new forms of social control are connected at the origin.
58
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Banyak yang percaya bahwa pengetahuan hanya bisa berkembang jika kuasa tidak mempengaruhinya dan karena itu penolakan terhadap kuasa adalah syarat bagi pengembangan pengetahuan. Kepercayaan ini ditolak Foucault. Kita bahkan harus mengakui bahwa kuasa menghasilkan pengetahuan (dan bukan sekadar dengan mendorongnya karena ia melayani kuasa atau dengan menggunakannya karena ia berguna); bahwa kuasa dan pengetahuan secara langsung saling mendorong satu sama lain; bahwa tidak ada hubungan kuasa tanpa pembentukan yang terkait dari bidang pengetahuan; atau tidak ada pengetahuan tanpa berpraanggapan dan membentuk pada saat yang sama hubungan kuasa.73
Menurut Foucault, ilmu pengetahuan sekali pun tidak dikembangkan untuk menggali kebenaran universal, tetapi lebih karena pengaruh cakrawala lokal, seperti praktik sosial dan hubungan kuasa yang terkait dengan pengembangan pengetahuan tersebut. Sejarah seksualitas yang dikaji Foucault menunjukkan bagaimana intensifikasi kuasa membentuk penggandaan wacana, yang pada gilirannya menyusun bangunan ilmu pengetahuan.74 Teknologi lebih terhubung dengan kuasa karena Foucault mengaitkannya dengan pengendalian, bukan semata-mata pemanfaatan artefak. Istilah teknologi kuasa (technology of power), misalnya, menunjukkan berbagai cara pengendalian atas manusia dengan memanfaatkan mekanisme kuasa melalui kemitraan antar-pihak, yang pada saat yang sama juga memanfaatkan dan memunculkan pengetahuan.75 Foucault juga menggunakan istilah “teknologi politis atas tubuh” (political technology of the body), yang merupakan pengetahuan dan keterampilan untuk mengendalikan perilaku. Pengetahuan yang dimanfaatkan di sini tidak selalu sistematis, tetapi bisa saja hanya kumpulan kepingan pengetahuan yang tidak koheren, dan diterapkan sebagai sekumpulan perkakas dan metode. Pengetahuan tersebut tidak dimaksudkan untuk menjelaskan, melainkan untuk menaklukkan, dan karenanya lebih merupakan instrumentasi multi-bentuk.76 73 Michel Foucault, Discipline and Punish, diterjemahkan oleh Alan Sheridan (New York: Vintage Books, 1995), 27: We should admit rather that power produces knowledge (and not simply by encouraging it because it serves power or by applying it because it is useful); that power and knowledge directly imply one another; that there is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time power relations. 74 Michel Foucault, The History of Sexuality: Volume 1: An Introduction, diterjemahkan oleh Robert Hurley (New York: Pantheon Books, 1978), 30. 75 Foucault, History, 108. 76 Foucault, Discipline, 26.
59
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Bisa disimpulkan di sini bahwa Foucault menganggap teknologi adalah pemanfaatan kuasa dan pengetahuan (keduanya berbeda namun saling terkait). Dalam praktiknya kuasa tersebut diwujudkan melalui perintah dan pengaturan orang maupun artefak. Misalnya, Panoptikon digunakan untuk mengendalikan narapidana. Pembagian dan pemisahan distrik-distrik secara ketat diterapkan untuk mengendalikan wabah di kota-kota di Eropa pada masa lalu.77 Dan, dalam pengaturan tersebut, pengetahuan menjadi dasar penalaran putusan dan pelaksanaannya. Foucault juga menggagas pengertian yang berbeda mengenai kuasa. Kuasa bukan sesuatu yang didapat, direbut, atau dipegang, tetapi merupakan sesuatu yang ditindaki dari berbagai titik dalam hubungan nonegalitarian dan senantiasa berubah. Hubungan kuasa juga bukan hubungan yang terpisah dari hubungan-hubungan lain, seperti hubungan ekonomi maupun pengetahuan. Hubungan kuasa menyebar melalui berbagai hubungan tersebut. Hubungan kuasa ini menjadi akibat yang segera dari pembagian, ketidaksetaraan dan ketidakberimbangan pada hubungan-hubungan lain tersebut. Kuasa tidak secara menetap terbagi secara biner antara yang mengatur dan yang diatur. Ada beragam kekuatan yang terbentuk dan bermain baik dalam kegiatan produksi, rumah tangga, kelompok sosial atau lainnya.78 Namun, pendefinisian Foucault yang cukup radikal adalah bahwa kuasa itu memiliki
maksud
(intentional)
sekaligus
nirsubyek
(nonsubjective).
Foucault
menandaskan bahwa “tidak ada kuasa yang dijalankan tanpa serangkaian arah dan tujuan. Tetapi ini tidak berarti bahwa ia dihasilkan dari pilihan atau putusan dari subyek perorangan.”79 Di tingkat perorangan kuasa yang dipraktikkan berbagai pihak, saling terhubung satu sama lain, saling menarik dan meneruskan dengan alasannya masingmasing, namun secara keseluruhan kemudian membentuk sistem yang komprehensif, yang logikanya jelas sempurna, tujuannya bisa diurai, dan namun sering tidak diketahui siapa yang membentuknya. Penjelasan di atas, sepintas memang bisa digunakan untuk menjelaskan pembingkaian dari Heidegger, tetapi menurut Foucault, ”Di mana ada kuasa, di situ ada 77 Foucault, Discipline, 195. 78 Foucault, History, 94. 79 Foucault, History, 95: there is no power that is exercised without a series of aims and objectives. But this does not mean that it results from the choice or decision of an individual subject...
60
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
perlawanan, dan namun, atau akibatnya, perlawanan ini tidak pernah ada dalam posisi luar dari hubungannya dengan kuasa.”80 Ini karena siapa pun, termasuk yang melakukan perlawanan, tidak bisa berdiri di luar kuasa. Orang yang selalu berada dalam kuasa. Titik-titik perlawanan ini ada di mana-mana di jejaring kuasa. Feenberg memanfaatkan tafsir de Certeau terhadap pemikiran Foucault untuk menjelaskan teknologi. De Certeau menggunakan metafora permainan sebagai model dari masyarakat. Permainan ini menentukan lingkup tindakan pemain tetapi tidak menetapkan langkah-langkah apa saja yang bakal mereka ambil. Karena itulah tidak ada orang yang bisa menebak jalannya pertandingan sepak bola secara tepat, walaupun bisa menentukan batas-batas apa saja yang boleh dilakukan oleh para pemain kedua kesebelasan yang bertanding. Menurut Feenberg, “Kode teknis adalah aturan paling umum dari permainan, yang membiaskan (keuntungan) permainan pada peserta yang dominan.”81 De Certeau membagi tindakan kuasa menjadi dua: strategi dan taktik. Strategi dilakukan dari atas, misalnya oleh pemimpin perusahaan atau manajer terhadap para pegawainya. Strategi juga bisa dilakukan oleh perusahaan besar terhadap lingkungannya atau pemerintah terhadap warganya. Strategi juga mewujud dalam bentuk pengendalian teknis yang terencana. Strategi membutuhkan akses terhadap sumber daya, sementara kelompok sosial yang menjadi sasaran pengendalian tidak memiliki akses tersebut, karena itu mereka hanya bisa bereaksi secara taktis terhadap strategi yang tidak bisa mereka hindari. Meskipun mereka tetap bekerja dalam bingkai strategi dominan, mereka bisa meresponnya dengan tindakan menyimpang yang mengubah tingkat pentingnya strategi tersebut. Misalnya mereka bila melakukan penundaan, penggabungan atau pun ironi yang tak terduga pada penerapan strategi.82 Pandangan de Certeau di atas membuka ruang bagi kemungkinan demokratisasi teknologi, karena, menurut Feenberg, “tidak ada rencana yang sempura; semua penerapan melibatkan tindakan-tindakan tak terencana dalam apa yang saya sebut 'celah manuver' dari mereka yang bertanggung jawab menjalankannya. Dalam semua 80 Foucault, History, 95: Where there is power, there is resistance, and yet, or rather consequently, this resistance is never in a position of exteriority in relation to power. 81 Feenberg, Questioning, 112: The technical code is the most general rule of the game, biasing the play toward the dominant contestant. 82 Feenberg, Questioning, 112-3.
61
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
organisasi yang dimediasi secara teknis 'celah manuver' bekerja, mengubah derap kerja, menggunakan sumber daya secara tidak tepat, memperbaiki solusi pada masalah, dan seterusnya.”83 Jadi, dengan menggunakan tafsir de Certeau terhadap pemikiran Foucault, kita bisa melihat bahwa pintu kepelakuan selalu terbuka. Taktik teknis selalu menyertai strategi sebagaimana penerapan tidak bisa dipisahkan dari perencanaan.
2.6. Kesimpulan Filsafat teknologi Feenberg bertolak dari pemikiran-pemikiran sebelumnya, baik sebagai kritik maupun tindak lanjut dari eksplorasi filosofis yang belum tuntas. Dengan mempertimbangkan semakin parahnya persoalan lingkungan atau pun meningkatnya ancaman senjata pemusnah masal (bom atom), Feenberg menganggap netralitas teknologi maupun optimisme utopian tidak bisa dipertahankan. Sementara itu pandangan distopian, walaupun secara filosofis memiliki argumen yang kuat, justru menyingkirkan harapan dan kepelakuan manusia untuk mengarahkan masa depannya sendiri. Perubahan mendasar filsafat teknologi yang terjadi pada pemikiran Feenberg maupun filosof lain yang semasa bukan semata-mata karena ia merupakan cabang filsafat yang masih sangat muda ketika Feenberg memulai karir akademisnya, tetapi karena teknologi modern sendiri tengah menyingkapkan diri dalam cara dan jangkauan akibat yang belum pernah dilihat manusia sebelumnya. Karena itulah pemikiran deduktif yang bertolak dari konsep-konsep pra-filsafat teknologi tidak memadai, hanya menghasilkan simpulan abstrak yang tidak membumi. Filsafat teknologi Feenberg berkembang melalui interaksinya baik dengan pemikiran filsafat dan sosial yang juga tengah berkembang, kajian teknologi, maupun perkembangan teknologi yang disaksikan dan digunakannya. Arah pemikiran Feenberg sangat dipengaruhi oleh eksplorasi filosofis Herbert Marcuse yang mencemaskan pengaruh nalar teknologi namun masih memiliki harapan akan masa depan umat manusia. Pengalaman Feenberg baik dalam menggunakan teknologi dan melakukan 83 Feenberg, Questioning, 113: But no plan is perfect; all implementation involves unplanned actions in what I call the “margin of maneuver” of those charged with carrying it out. In all technically mediated organizations margin of maneuver is at work, modifying work pace, misappropriating resources, improvising solutions to problems, and so on.
62
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
kajian teknologi membuat dia memiliki pandangan yang jauh lebih positif dari para pendahulunya. Pengaruh pemikiran yang ada tidak selalu berarti bahwa Feenberg menerimanya, bisa juga berarti dia justru mengembangkan argumen untuk menyangkal pemikiran tersebut. Dengan cara demikianlah filsafat teknologi Heidegger dan Jacques Ellul mempengaruhi Feenberg. Pandangan Heidegger bahwa teknologi membingkai, mendikte manusia, menjadikan manusia sebagai bahan baku untuk diolah melalui tindakan teknis, ditolak Feenberg karena pemikiran Heidegger ini mengimplikasikan bahwa manusia tidak memiliki kepelakuan untuk menentukan masa depannya sendiri. Keberuntungan Feenberg dibandingkan Marcuse dan filosof lainnya adalah Feenberg telah menyaksikan keberhasilan perlawanan terhadap pengendalian teknis, mulai dari di bidang lingkungan, kesehatan (AIDS), sampai telekomunikasi (kasus Minitel di Perancis).84 Feenberg juga terbantu oleh perkembangan pemikiran konstruktivisme sosial yang membuatnya bisa melihat bahwa teknologi bukan produk dari nalar teknis yang khas tetapi merupakan hasil gabungan dari faktor teknis dan sosial.
84 Beberapa penyaksian ini dilakukan Feenberg melalui kajian teknologi secara empiris. Misalnya, dia melakukan studi kasus terhadap Minitel di Perancis.
63
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
BAB 3 MEMBEDAH NALAR TEKNOLOGIS
Filsafat teknologi sudah memasuki babak pembalikan empiris (empirical turn), di mana kajian teknologi yang bersifat empiris juga menjadi pertimbangan penting dalam refleksi filosofis. Pertimbangan empiris ini membuat para filosof teknologi, termasuk Andrew Feenberg, bisa menerima dan sekaligus mencari penjelasan mengenai ambivalensi teknologi, yakni terbukanya beragam kemungkinan perkembangan teknologi dan modernitas yang disebabkannya, mulai dari yang mengkhawatirkan sampai yang memberikan harapan.1 Karena itu mereka juga meninggalkan pesimisme para pendahulu mereka, seperti Heidegger dan Ellul, mengenai dampak teknologi di masa depan. Andrew Feenberg mengakui banyak persoalan yang ditimbulkan oleh teknologi, seperti penurunan kualitas (degradation) kerja, pendidikan dan lingkungan,2 tetapi dia juga menyaksikan munculnya "inovasi teknis yang membebaskan." 3 Dan, yang lebih penting lagi, para filosof dari babak pembalikan empiris ini tidak melihat teknologi sebagai kekuatan mandiri dari luar kehidupan manusia, teknologi memang mentransformasikan masyarakat, tetapi juga dipengaruhi faktor-faktor sosial budaya.4 Namun, di masa pembalikan empiris ini bukan berarti kajian empiris telah sepenuhnya menyangkal apa yang dikhawatirkan pandangan esensialisme atau substantivisme teknologis. Kekhawatiran yang disebabkan karena ketidak-berdayaan dalam memahami dan mengendalikan teknologi masih terjadi. Ketergantungan menyeluruh yang telah kita bangun di atas ilmu alam dan teknologi modern adalah penting sekaligus mengerikan, karena ia telah mencapai tingkat keintiman yang tinggi dalam hidup kita. Bagian mengerikan dari keintiman ini berasal dari ketidakmampuan kita apakah untuk memahami atau mengendalikannya, dan
1 Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge, 1999), 7. 2 Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford Universty Press, 2002), 3 3 Feenberg, Questioning, xv: liberating technical innovation. 4 Hans Achterhuis (ed.), American Philosophy of Technology: The Empirical Turn, diterjemahkan oleh Robert P. Crease (Bloominton: Indiana University Press, 2001), 6.
64
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
kesulitan yang kita miliki dalam menetapkan aturan umum tentang keterlibatan (dengan teknologi).5
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa masalah yang dikhawatirkan sekaligus merupakan implikasi dari pandangan substantivisme teknologis masih belum terselesaikan. Namun berbeda dari penganut substantivisme teknologis, Feenberg tidak menganggap teknologi sebagai penyebab persoalan tersebut, tetapi persoalan ini lebih disebabkan oleh “nilai-nilai antidemokratis yang mengatur pengembangan teknologis.”6 Nilai-nilai antidemokratis ini umumnya tidak disadari para pelakunya, dan sulit diungkap, sebab, menurut Andrew Feenberg, tersembunyi di balik apa yang mereka anggap sebagai nalar. Karena itulah Feenberg mendasarkan gagasannya demokratisasi teknologi pada kritiknya terhadap nalar teknologis. Pandangan bahwa pengembangan teknologi sepenuhnya bertumpu pada nalar yang tidak bisa diintervensi manusia memiliki implikasi yang mengkhawatirkan. Pandangan ini bisa dijadikan alasan untuk memaklumi dampak negatif dari penerapan teknologi sebagai konsekuensi yang tak terhindarkan, sehingga orang menganggap bahwa dampak negatif adalah harga yang harus dibayar dari pemanfaatan teknologi. Jika teknologi ternyata hanya melanggengkan kesenjangan sosial atau merusak lingkungan, maka inilah risiko yang harus diterima setelah kita merasakan manfaatnya. Feenberg menyebut nalar sudah menggantikan peran yang di masa lalu diambil oleh adat dan agama, yakni menanamkan kepercayaan dan praktik hegemonis.7 Peran ini memberi kuasa pada teknokrasi, di mana putusan teknis yang menyangkut kepentingan masyarakat hanya berhak diambil oleh pakar, sementara masyarakat tinggal menerima putusan tersebut karena dianggap tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk melakukannya. Pendukung teknokrasi menganggap demokrasi tidak relevan dalam pengambilan putusan teknologis yang mengandalkan nalar, yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang mandiri dari pengaruh nilai atau ideologi apa pun. Palu tetaplah 5 Philippe Busquin, "Foreword," dari Science and Technology Governance and Ethics: A Global Perspective from Europe, India and China, diedit oleh Miltos Ladikas, Sachin Chaturvedi, Yandong Zhao, dan Dirk Stemerding (New York: SpringerOpen, 2015), v: The overall dependence we have developed on modern science and technology is both significant and terrifying, as it has reached high tingkats of intimacy in our lives. The terrifying part of this intimacy derives from our inability to either understand or control it, and the difficulty we are having in setting common rules of engagement. 6 Feenberg, Transforming, 3: the antidemocratic values that govern technological development. 7 Feenberg, Transforming, 75.
65
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
palu, mesin tetaplah mesin, di masyarakat Barat atau Timur, di negara Kapitalis atau Komunis. Kritik terhadap netralitas teknologi sudah dilakukan oleh Martin Heidegger dan Jacques Ellul. Namun, keduanya tidak mengakui perlunya demokratisasi teknologi. Karena menurut mereka, perkembangan dan penggunaan teknologi bukan hanya tidak diarahkan oleh para pakar, tetapi bahkan tidak diarahkan oleh siapa pun. Teknologi menjadi kekuatan yang mandiri, yang mendikte masyarakat awam maupun pakar. Pandangan, yang disebut teori substantif teknologi ini, pada akhirnya hanya menyingkapkan masa depan umat manusia yang muram. Pandangan ini tidak memberikan panduan apa pun untuk melawan belenggu nalar teknologis ini. Meskipun tidak disampaikan dengan nada cemas, pandangan tentang teknologi yang lepas dari kendali manusia juga dimiliki Max Weber yang menganggap bagaimana tatanan ekonomi modern yang awalnya dibangun oleh semangat asketisme akhirnya melepaskan diri dari asketisme tersebut. Ini karena "Tatanan ini sekarang terikat pada kondisi teknis dan ekonomi dari produksi mesin yang hari ini menentukan kehidupan perorangan yang dilahirkan dalam mekanisme ini, tidak hanya mereka yang berurusan dengan akuisisi ekonomi, dengan kekuatan yang tak terlawan." 8 Mekanisme yang mengatur tatanan ini, yakni nalar, menjadi kandang besi (iron cage) yang memenjara manusia, sementara asketisme yang memunculkannya pada saat awal telah tersingkir, tidak lagi mempengaruhinya. Menurut Weber, "...kapitalisme yang menang, karena bertumpu pada topangan mekanis, tidak membutuhkan dukungannya (asketisme) lagi."9 Prinsip-prinsip nalar yang menjadi tumpuan perkembangannya membuat teknologi bisa lepas dari pengaruh nilai-nilai masyarakat.
3.1. Asal Pengutamaan Nalar Teknologis Menurut Feenberg, interaksi antara nalar dan pengalaman menjadi dasar pertimbangan dalam pembuatan dan penerapan teknologi. "Pengetahuan alam 8 Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, diterjemahkan oleh Talcott Parsons (London: Routledge, 1930/2001), 123: This order is now bound to the technical and economic conditions of machine production which to-day determine the lives of all the individuals who are born into this mechanism, not only those directly concerned with economic acquisition, with irresistible force. 9 Weber, Protestant Ethic, 124: ...victorious capitalism, since it rests on mechanical foundations, needs its support no longer.
66
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
dibutuhkan untuk membuat peralatan yang bekerja. Ini adalah unsur kegiatan teknis yang kita pikir sesuai nalar. Tetapi peralatan ini harus berfungsi di dunia sosial dan pelajaran dari pengalaman di dunia tersebut mempengaruhi perancangan." 10 Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Feenberg mengartikan nalar sebagai sesuatu yang lepas dari pengaruh sosial, yang bisa saja prinsip-prinsipnya diperoleh melalui pengalaman berinteraksi dengan alam yang sifatnya menetap. Prinsip nalar akan berlaku di mana saja, sehingga mesin yang berjalan di satu tempat, juga akan berjalan di tempat lain. Sementara itu yang disebut Feenberg sebagai pengalaman adalah pengetahuan yang bersifat sosial, yang dalam konteks disertasi ini, meliputi pengetahuan tentang baikburuknya dan tepat-tidaknya suatu teknologi yang diperoleh masyarakat melalui interaksinya dengan teknologi tersebut. Pengalaman masyarakat ini tidak bersifat universal. Teknologi yang bermanfaat bagi suatu masyarakat, belum tentu memberi manfaat yang sama kepada masyarakat lain, meskipun secara teknis teknologinya bisa berjalan di kedua masyarakat tersebut. Ini karena manfaat suatu teknologi dihasilkan dari saling penyesuaian antara teknologi dengan masyarakat yang memanfaaatkannya. Porsi mana yang lebih banyak – nalar atau pengalaman – tidaklah tetap. Di masa lalu pengembangan teknologi lebih bertumpu pada pengalaman. Tuntutan perubahan yang dilakukan terhadap teknologi diperoleh melalui pengalaman. Jika masyarakat yang menggunakannya tidak melihat masalah pada teknologi tersebut, maka teknologi ini akan direproduksi dari satu generasi ke generasi berikutnya nyaris tanpa perubahan. Peran nalar bersifat sekunder. Hal kebalikannya terjadi di era modern ini, persaingan dalam masyarakat kapitalis terus mendorong terjadinya sesuatu yang baru (inovasi). Kebaruan ini dicari-cari, dan diupayakan untuk menggusur yang lama, sehingga menimbulkan proses yang oleh Schumpeter disebut destruksi kreatif.11 Karena itulah pengembangan teknologi justru berupaya keluar dari pengalaman yang ada, dan kemungkinan-kemungkinan baru tersebut dieksplorasi dengan nalar.12
10 Andrew Feenberg, Between Reason and Experience - Essays in Technology and Modernity (Cambridge, MA: The MIT Press, 2010), xvii: Knowledge of nature is required to make a working device. This is the element of technical activity we think of as rational. But the device must function in a social world, and the lessons of experience in that world influence design. 11 Joseph A. Schumpeter, Capitalism, Socialism and Democracy (London: Routledge, 1976), 83. 12 Eksplorasi nalar ini sering dilanjutkan dengan eksplorasi melalui pengalaman di laboratorium yang bersifat nonsosial, karena pengalaman ini dengan sengaja dirancang oleh pengembang teknologi untuk menguji hal-hal yang tidak bisa diketahui atau dipastikan dengan nalar.
67
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Nalar dan pengalaman lebih sering hadir bersamaan. Kompleksitas persoalan dan terbatasnya informasi mengenai hal-hal yang perlu dipertimbangkan membuat orang hanya memiliki nalar berbatas (bounded rationality).13 Kekurangan dari nalar ini dikompensasi oleh pengalaman. Dalam masyarakat pra-modern, nalar dan pengalaman saling melengkapi, walaupun unsur nalarnya lebih bersifat tak terkatakan (tacit). Di masa lalu, atau pun di masa kini dalam industri kerajinan tradisional (craft), hasil-hasil kerajinan dibuat dengan cara sebagaimana orang menciptakan karya seni, lebih mengandalkan perasaan daripada perhitungan, dan didasarkan pada keterampilan yang diasah melalui pengalaman yang panjang. Keterampilan pengrajin beralih dari orang tua ke anak atau dari majikan ke anak buah melalui pelaksanaan kerja secara bersama. Pengetahun yang umumnya tidak tertulis ini beralih dari satu generasi ke generasi melalui contoh, petunjuk, atau pun koreksi dalam kegiatan kerja nyata. Melalui pengalaman, berbagai pertimbangan masuk dalam pembuatan teknologi pra-modern. Agama, pilihan rasa yang subyektif, usia dan gender mempengaruhi perkembangan teknologi secara halus, tidak disadari secara eksplisit tetapi melalui nilainilai yang membingkai cara manusia memandang hidupnya. Karena itulah teknologi pra-modern berkembang selaras dengan nilai-nilai lokal, baik agama maupun tradisi yang mengumpulkan pelajaran dari pengalaman yang panjang. Di Eropa, teknik sipil berkembang melalui pembangunan gereja yang memang menjadi bangunan termegah di samping istana raja. Demikian juga dalam masyarakat Islam, pembangunan masjid juga menjadi tempat percobaan dan pengembangan teknologi sipil. Pengetahuan tentang alam berkembang menyatu dengan kegiatan teknis itu sendiri, pembelajaran melalui pengerjaan (learning by doing). Di masa lalu aktivitas teknologis berlangsung di masyarakat yang stabil, yang mereproduksi teknologi dengan modifikasi minimal dari generasi ke generasi. Hal ini masih terjadi dalam industri tradisional, misalnya pembuatan batik sudah berlangsung puluhan generasi tanpa perubahan yang berarti. Dengan meminjam penjelasan Marx bisa dikatakan bahwa karena proses produksinya stabil, maka tatanan sosialnya juga stabil. Mungkin karena cara pengembangannya yang bisa membuat orang bisa terlibat dari awal sampai tahap akhir pengembangan teknologi – belum ada pembagian atau fragmentasi kerja yang diterapkan dengan ketat – dan tingkat perkembangan teknologi 13 Herbert A. Simon, Reason in Human Affairs (Stanford, CA: Stanford University Press, 1983), 19.
68
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
yang masih rendah membuat teknologi masa lalu lebih tertanam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Anak dari seorang pandai besi akan tumbuh pelan-pelan menjadi pandai besi juga hanya dengan melibatkan diri dalam kesibukan orang tuanya seharihari. Dia tidak perlu mengikuti pendidikan khusus untuk mendapatkan kemampuan seperti orang tuanya. Di masa lalu, orang yang membantu pekerjaan seorang pengrajin, tabib atau dukun bayi, dalam waktu yang panjang bisa tumbuh menyandang profesi dari orang-orang yang dibantunya. Perkembangan
kapitalisme
memisahkan
pengembangan
teknologi
dari
pengalaman sehari-hari. Melalui pengendalian yang ketat kaum kapitalis menyerahkan tugas perancangan teknologi hanya pada kelompok terbatas. Alasannya, pekerjaan merancang membutuhkan keahlian mendalam yang karenanya tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Melalui pembatasan ini terjadi pemfokusan energi dan kecerdasan untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi teknologis.14 Namun pada saat yang sama ada kearifan yang hilang dalam penerapan teknologi karena pengembang dan pengguna secara sosial menjadi kelompok yang terpisah. Pengembang tidak tahu-menahu (dan menganggap bukan urusannya) mengenai dampak sosial, politis maupun lingkungan dari penggunaan teknologi. Di masa lalu teknologi umumnya digunakan di lingkungan sosial dari pembuatnya, sehingga si pembuat dengan mudah bisa mengetahui manfaat dan dampak yang dirasakan pengguna. Di era modern ini pengembangan teknologi bukan lagi bagian dari pengalaman keseharian masyarakat. Ada batas atau persyaratan profesi yang tegas. Seorang ahli nuklir tidak bisa membawa anaknya ke tempat kerja dan secara pelan-pelan mengajarinya mengoperasikan atau mengembangkan reaktor nuklir. Demikian juga seorang dokter tidak bisa mengajari anaknya menjadi dokter dengan pengajaran di rumah (home schooling). Ada persyaratan pengetahuan minimal yang harus dipenuhi melalui jalur formal. Pelembagaan profesi, yang membuat pengembangan teknologi lebih terfokus, merupakan bagian dari upaya sistem kapitalisme mengefisienkan dirinya dan memaksimalkan produktifitasnya. Ini merupakan bagian dari “cara di mana pengetahuan baru dialih-bentukkan menjadi barang dan jasa yang bernilai komersial 14 Feenberg, Reason and Experience, xvii.
69
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
telah menjadi lebih langsung terhubung dengan proses pengambilan putusan dari pelaku yang memaksimalkan (keuntungan) yang merespons sinyal yang dikirimkan kekuatan-kekuatan pasar yang normal.”15 Ini, menurut Feenberg, membuat kapitalisme bisa terus mendorong perkembangan teknologi dengan kecepatan tinggi, dan menjadikan masyarakat dalam ketidak-pastian yang tetap 16 karena terus mengalami proses destruksi kreatif yang menghalangi terjadinya keseimbangan pasokan dan permintaan. Masyarakat terus dirangsang untuk mengkonsumsi produk dan jasa yang dihasilkan. Perkembangan teknologi yang cepat ini membuat masyarakat harus beranjak ke teknologi berikutnya sebelum tuntas memahami dan memanfaatkan seluruh potensi teknologi yang ada. Perkembangan teknologi yang cepat ini sudah jauh melampaui kebutuhan sejati manusia, kebutuhan dasar dan kebutuhan hidup sejahteranya. Perkembangan pasar yang terus-menerus menyerap produk-produk teknologi yang ditawarkan juga sudah melampaui kemampuan lingkungan untuk mengurai produk-produk yang tak terpakai. Bahkan, sebagian produk menjadi sampah sebelum rusak, hanya karena tergusur oleh produk baru yang menggunakan teknologi terbaru. Masalah ini kemudian ditimpakan kepada kerakusan para kapitalis dan kapitalisme yang tak mampu mengendalikan pertumbuhannya sendiri. Namun menurut Schumpeter manusia kapitalis tidak lebih rakus daripada manusia prakapitalis. Tuan tanah dan bangsawan di masa prakapitalis sudah menggunakan cara-cara yang brutal untuk mengukuhkan kepentingan mereka.17 Kerakusan manusia kapitalis bisa jadi tidak berbeda dari manusia prakapitalis, namun dampak kapitalisme jauh lebih besar karena bertumpu pada kekuatan nalar. Nalar, yang mengambil putusan dan bertindak penuh perhitungan, membuat para kapitalis bisa mengantisipasi risiko, lebih menjamin keberhasilan bisnisnya, dan sebagai hasilnya semakin banyak menimbun modal. Tentunya, tidak setiap kapitalis mampu menimbun modal, karena para kapitalis juga harus bersaing satu sama lain.
15 Nathan Rosenberg, Schumpeter and the Endogeneity of Technology: Some American Perspectives (London: Routledge, 2000), 18: manner in which new knowledge is transformed into goods and services of commercial value has become more directly connected to decision making processes on the part of maximizing agents responding to signals transmitted by normal market forces. 16 Feenberg, Reason and Experience, xvii. 17 Schumpeter, Capitalism, 123.
70
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Kuasa kaum kapitalis semakin membesar seiring dengan semakin meningkatnya keberanian mereka mengambil risiko. Dan, keberanian ini meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan mereka melakukan perhitungan dan melakukan tindakan yang bisa diperhitungkan. Kemampuan ini meningkat karena dukungan kelembagaan yang mereka bangun untuk mendukung kapitalisme, mulai dari organisasi sampai (dan sekaligus paling utama) uang. Perhitungan menuntut keberadaan satuan, dan “praktik kapitalisme mengubah satuan uang menjadi perkakas dari perhitungan biaya-untung rasional.”18 Meskipun uang sudah digunakan orang lebih dari dua ribuan tahun, tetapi kapitalisme modern yang membuat apa pun seakan bisa diukur dengan uang. Kemakmuran suatu negara dihitung dari tingkat pendapatannya. Kontribusi pegawai dihitung dalam kontribusinya pada peningkatan produktivitas perusahaan, dan produktivitas ini dihitung pada dampaknya terhadap keuntungan perusahaan. Kekuatan nalar tergantung pada seberapa jauh ia bisa melakukan perhitungan, yang selanjutnya tergantung seberapa jauh satuan numerik (yang memungkinkannya dihitung) digunakan. Pandangan ini juga telah mendorong perkembangan teknologi yang berbasis perhitungan, yakni matematika dan ilmu-ilmu eksperimental, di mana pengulangan perhitungan bisa diuji di dunia nyata. Bahkan ilmu ekonomi yang membahas tentang bagaimana manusia memenuhi kebutuhannya juga dikembangkan menjadi ilmu yang penuh perhitungan sebagaimana fisika.
3.2. Pemahaman tentang Nalar Tindakan ternalar adalah tindakan mengikuti prinsip-prinsip yang lepas dari perasaan atau selera manusia. Prinsip-prinsip ini dianggap universal sehingga hasil penalaran, menurut Weber, adalah sama di mana dan kapan saja, dan mereka yang tidak mengikuti penalaran tersebut akan tersingkir dari bisnis. 19 Prinsip nalar ini juga menjadi dasar nalar ekonomi (economic rationalism) yang menjadi ciri utama ekonomi modern. Ini antara lain diwujudkan dengan mengendalikan proses produksi di bawah kendali pemahaman ilmiah sehingga membebaskan kegiatan produksi tersebut dari keterbatasan alamiah perorangan.20 18 Schumpeter, Capitalism, 123: capitalist practice turns the unit of money into a tool of rational costprofit calculations. 19 Weber, The Protestant Ethic, 30. 20 Weber, The Protestant Ethic, 36.
71
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Ekonomi modern, yakni ekonomi kapitalis yang menekankan kepentingan perorangan, menurut Weber, "...dinalarkan atas dasar perhitungan yang ketat, diarahkan dengan pandangan ke depan dan kehati-hatian ke arah keberhasilan ekonomi..." 21 Bahkan dia menariknya lebih mendasar lagi, "bahwa perkembangan spirit kapitalisme sangat bisa dimengerti sebagai bagian dari perkembangan paham penalaran secara keseluruhan, dan bisa dideduksi dari posisi mendasar paham penalaran mengenai masalah mendasar kehidupan."22 Adanya
perhitungan
sebagai
ciri
tindakan
ternalar
mengimplikasikan
kepercayaan bahwa akibat dari tindakan ternalar bisa diprediksi sebelum tindakan tersebut dilakukan.23 Dengan demikian, apakah sesuatu mengikuti nalar atau tidak, bisa diuji secara empiris. Dalam ekonomi kapitalis yang bertumpu pada kepentingan perorangan, di mana orang mempertaruhkan hartanya dalam kegiatan penanaman modal, perhitungan menjadi penting untuk memaksimalkan kemungkinan keuntungan atau meminimalkan kemungkinan kerugian. Nalar membantu pengambil putusan ekonomi untuk memperhitungkan akibat yang mungkin terjadi di masa depan dari tindakan yang diambil di masa kini. Pengertian di atas bukan satu-satunya pengertian mengenai nalar. Berpikir mengikuti kaidah-kaidah logika yang runtut juga disebut menalar, walaupun tidak memerlukan pengujian secara empiris. Namun, “... logika hanya bisa menjamin kelugasan suatu penalaran. Ia tidak bisa menetapkan kebenaran premis dari penalaran. Jadi pengandalan pada logika hanya sebaik kebenaran dari pernyataan-pernyataan awalnya. Penalaran paling logis masih bisa menggiring kepada pernyataan yang tidak benar tentang dunia jika premis yang digunakan untuk memulainya salah.“24 21 Weber, The Protestant Ethic, 37:...is rationalized on the basis of rigorous calculation, directed with foresight and caution toward the economic success ... 22 Weber, The Protestant Ethic, 37: that the development of the spirit of capitalism is best understood as part of the development of rationalism as a whole, and could be deduced from the fundamental position of rationalism on the basic problems of life. 23 Disadur bebas dari pernyataan Joseph C. Pitt, Thinking About Technology: Foundations of the Philosophy of Technology (New York: Seven Bridges Press, 2000), 18: Rational actions are supposed to be the ones that are preferred because it has been determined ahead of time that these actions will yield the desired effects. 24 Pitt, Thinking About Technology, 21: ...logic can guarantee only the rigor of an argument. It cannot establish the truth of the premises in that argument. So an appeal to logic is only as good as the truth of the initial claims. The most “logical” argument can still lead to incorrect claims about the world if the premises are false to begin with.
72
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Pandangan yang diterima luas adalah bahwa yang ternalar adalah benar dan yang benar sesuai dengan kenyataan, yang oleh Marcuse diringkas menjadi persamaan nalar = kebenaran = kenyataan, yang menyatukan alam subyektif dan obyektif menjadi kesatuan antagonistik.25 Ini berarti apa yang kita pikirkan (dalam alam subyektif), asal mengikuti prinsip-prinsip nalar, akan bisa diwujudkan di dunia nyata. Karena itulah, menurut Pitt, “suatu pilihan ternalar dianggap setidaknya secara berarti meningkatkan probabilitas bahwa suatu pelaku akan membuat pilihan yang benar. Pilihan yang benar dianggap akan membawa pada kemungkinan hasil terbaik.”26 Masyarakat Barat sejak lama terobsesi untuk mendemonstrasikan bahwa kebenaran teori dan praktik tidaklah subyektif melainkan kenyataan yang obyektif. Obsesi ini memicu kelahiran logika, bukan logika sebagai cabang dari filsafat, tetapi sebagai moda berpikir yang memahami bahwa yang nyata adalah yang ternalar.27 Ini berarti yang ternalar akan menampakkan diri dalam kenyataan, dan yang nyata akan bisa dipahami melalui penalaran. Bukankah fisikawan maupun ekonom berupaya untuk mendeskripsikan fenomena yang mereka kaji dalam rumus-rumus matematika, yang menunjukkan asumsi mereka bahwa yang nyata adalah juga yang ternalar. Pandangan tentang universalitas nalar mengimplikasikan bahwa menalar, yakni berpikir dengan perhitungan, akan menghasilkan simpulan yang tidak dipengaruhi latar belakang orang yang melakukan penalaran, sehingga orang-orang yang berbeda pun akan menghasilkan simpulan yang sama jika melakukan penalaran berdasarkan informasi yang sama. Perbedaan hasil penalaran dikarenakan perbedaan informasi mengenai variabel yang bisa diakses untuk dipertimbangkan. Hal ini menunjukkan bahwa nalar memiliki kaidah-kaidah yang mandiri dan berada di luar jangkauan intervensi manusia. Salah satu ciri pengembangan ilmu pengetahuan ada pada upaya untuk menemukan hukum umum yang mengatur perilaku kejadian-kejadian empiris.28 Upaya 25 Herbert Marcuse, One-Dimensional Man (New York: Routledge, 1964), 127. 26 Pitt, Thinking About Technology, 21: a rational choice is supposed at least to increase significantly the probability that an agent will make the right choice. The right choice is supposed to lead to the best possible results. 27 Marcuse, One-Dimensional, 128. 28 Ronald E. Gribbins dan Shelby D. Hunt, “Is Management a Science?” The Academy of Management Review, Vol. 3, No. 1 (1978): 141.
73
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
ilmiah ini diharapkan menghasilkan keteraturan dan generalisasi yang mirip atau pun sama dengan hukum. Penggunaan nalar adalah untuk memastikan keteraturan tersebut, sekaligus keteraturannya bisa dikonfirmasi oleh subyek yang berbeda-beda. Dengan nalar, pengembangan ilmu tidak tergantung pada selera atau perasaan para ilmuwan yang mengembangkannya. Kalangan perekaya (engineer) juga mengklaim pengembangan teknologi mereka juga sesuai nalar, yang oleh karena itu bersifat universal, tidak tergantung pada selera pribadi mereka. Menurut Feenberg, teknologi dianggap memiliki logika fungsional yang mandiri, yang seakan lepas dari kendali masyarakat yang menggunakan dan mengembangkannya.29 Sifat sosial dari teknologi hanya terbatas dalam niat pengguna ketika menggunakannya saja. Teknologi bisa dianggap sama dengan ilmu alam dan matematika yang secara intrinsik merdeka dari dunia sosial. Implikasi dari pandangan di atas cukup mengkhawatirkan. Sementara ilmu pengetahuan yang dikembangkan dengan nalar hanyalah menjadi cara manusia memahami dunia, sebaliknya “teknologi adalah kekuatan asing yang menyusup ke dalam kehidupan sosial kita dari dunia luar yang ternalar dan dingin.” 30 Dianggap kekuatan asing, karena teknologi tidak tergantung pada pilihan-pilihan manusia yang bersifat pribadi. Dan, yang lebih mengkhawatirkan lagi “... teknologi memiliki dampak sosial yang langsung dan kuat. Ini menampakkan bahwa nasib masyarakat setidaknya sebagian tergantung pada faktor nonsosial yang mempengaruhinya tanpa menderita pengaruh balik. Inilah yang dimaksud dengan determinisme teknologis.” 31 Ini berarti teknologi tidak bisa dikendalikan, tetapi justru mengendalikan manusia. Memang benar manusia yang mengembangkan teknologi, namun dalam pengembangan ini manusia hanya mengikuti nalar teknologis yang membingkai cara berpikirnya. Pengembangan teknologi bukan kegiatan penciptaan sebagaimana kegiatan seni yang kreatif, tetapi lebih merupakan kegiatan menggali manfaat yang tersembunyi. Potensi manfaat itu sudah ada namun terpendam, dan tugas seorang perekayasa adalah 29 Andrew Feenberg, “Subversive Rationalization: Technology, Power, and Democracy.” Inquiry 35 (1992): 304. 30 Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge, 1999), viii: technology is an alien force intruding on our social life from a coldly rational beyond. 31 Feenberg, Subversive Rationalization, 304: ... technology has immediate and powerful social impacts. It would seem that society's fate is at least partially dependent on a non-social factor which influences it without suffering a reciprocal influence. This is what is meant by 'technological determinism'.
74
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menggalinya. Jika suatu teknologi tidak ditemukan oleh seorang perekayasa maka ia akan ditemukan oleh perekayasa yang lain. Keuniversalan berpikir ternalar selain dikarenakan asumsi bahwa berpikir ternalar bersifat mekanis juga karena – baik dalam kegiatan ekonomi maupun pengembangan teknologi – didasarkan kriteria tunggal, yakni efisiensi. Efisiensi – yang secara formal didefinisikan sebagai rasio atau perbadingan luaran dengan masukan – dianggap sebagai kriteria yang netral. Definisi efisiensi dianggap berlaku bagi masyarakat kapitalis, komunis, maupun suku-suku pedalaman yang tidak terlibat dengan kegiatan industri. Feenberg menyangkal bahwa kriteria efisiensi terbebas dari konteks sosial atau kepentingan. Sebelum menerapkan kriteria efisiensi, seseorang harus menetapkan lebih dahulu apa yang dianggap sebagai masukan dan luaran, apa dasar penetapan tersebut, siapa yang bisa menyediakan masukan dan siapa yang akan membeli luaran, apa yang dianggap tak berguna, sampah atau membahayakan yang terkait dalam penerapan kriteria efisiensi tersebut, dan seterusnya. Semua hal ini bersifat sosial, dan, karena yang bersifat sosial ini juga dibiaskan oleh sistem penguasaan, maka apa yang kita sebut efisien juga tak lepas dari pengaruh sistem penguasaan juga.32
3.3. Teknologi sebagai Penyingkapan Nalar Instrumentalisme teknologis merupakan pandangan yang dominan di masa Heidegger menuliskan kritiknya terhadap teknologi. Sampai sekarang pun pandangan ini masih dominan di kalangan penggiat teknologi. Ketika kebanyakan orang masih terpukau oleh kemajuan teknologi, dan tidak melihat masalah yang telah dan akan ditimbulkannya, Heidegger sudah mencoba meruntuhkan optimisme instrumentalisme teknologis yang berlebihan dengan menunjukkan ketidaksesuaiannya dengan esensi teknologi. Pandangannya tentang esensi teknologi bertolak dari pandangannya tentang Ada (Being) yang merupakan inti dari filsafat Heidegger.33 32 Feenberg, Questioning, 160. 33 Semestinya “Ada” ditulis “ada”, karena sebagaimana yang diungkapkan Hubert L. Dreyfus dalam Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's Being and Time, Division I (Cambridge, MA: The MIT Press, 1991), 11, jika Sein diterjemahkan sebagai Being, ini akan mengesankan Being adalah suatu entitas, padahal ia tidak merujuk pada entitas apa pun. Sein ditulis dengan hurup besar S karena dalam bahasa Jerman semua hurup pertama dari kata benda ditulis dengan hurup besar.
75
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Bagi Heidegger, esensi teknologi ini tidak bisa dipahami dari definisi teknologi. Menurutnya, pendefinisian teknologi yang sederhana – teknologi sebagai alat untuk mencapai tujuan (definisi instrumental) dan teknologi sebagai kegiatan manusia (definisi antropologis) – adalah betul tetapi tidak memadai, atau dalam ucapan Heidegger, yang "hanya betul masih belum benar."34 Definisi instrumental sudah menggambarkan hubungan pengguna dengan teknologi, yakni hubungan pemanipulasi dengan alat manipulasi, dan karena itu definisi ini sudah betul karena sudah menggambarkan apa yang kita bayangkan ketika berbicara tentang teknologi. Sesuatu yang betul harus bertumpu pada sesuatu yang relevan dalam pertimbangan apa pun, namun penumpuan ini tidak serta merta menyingkapkan sesuatu tersebut dalam esensinya. "Hanya pada titik di mana penyingkapan tersebut terjadi kebenaran datang."35 Kedua definisi di atas saling melengkapi, karena pembuatan atau pengadaan alat maupun penentuan dan pencapaian tujuan adalah kegiatan manusia. Menurut Heidegger, teknologi tidak hanya meliputi alat yang dibuat dan digunakan, tetapi juga proses pembuatan dan penggunaannya, serta kebutuhan dan tujuan yang dilayani. Teknologi adalah keseluruhan jalinan yang meliputi alat, kegiatan, serta tujuan dan kebutuhan manusia yang dipenuhi melalui kegiatan pembuatan dan penggunaan alat tersebut. Definisi belum sampai mengungkapkan esensi teknologi, namun, menurut Heidegger, kita bisa memahami esensi teknologi dengan bertolak dari pemahaman definisi yang betul (correct) tetapi belum benar (true) ini.36 Dikatakan betul karena definisi ini sudah sesuai dengan apa yang kita bayangkan ketika kita membicarakan teknologi. Pulpen dan buku adalah sarana kita mencapai tujuan menulis. Mobil adalah sarana mencapai tujuan berpindah tempat atau pun mengangkut barang. Definisi instrumental ini berlaku baik bagi teknologi lama maupun modern. Definisi ini juga menetapkan hubungan tertentu dari manusia dengan teknologi, yakni manusia berada pada posisi memanipulasi dengan teknologi bagi kepentingannya.
34 Heidegger, Question, 6: the merely correct is not yet the true. 35 Heidegger, Question, 6: Only at the point where such an uncovering happens does the true come to pass. 36 Heidegger, The Question, 6.
76
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Jika kita hendak menggapai pemahaman tentang esensi teknologi melalui definisi instrumental – teknologi sebagai alat untuk mencapai tujuan – maka kita bisa memulai dengan mempertanyakan apakah alat dan tujuan. Dengan menggunakan alat kita bisa menyebabkan terjadinya sesuatu. Karena itu alat bisa dikategorikan sebagai bagian dari penyebab. Lalu apakah tujuan? Apakah tujuan merupakan sesuatu yang diakibatkan oleh penggunaan alat? Sebagian orang mungkin akan menjawab ya. Tetapi, secara kronologis, kita biasanya lebih dulu menetapkan tujuan sebelum mencari-cari alat untuk mencapainya. Tujuan yang telah kita tetapkan menyebabkan kita melakukan berbagai hal, termasuk mencari dan menggunakan alat, yang mengakibatkan terjadinya sesuatu. Sesuatu yang diakibatkan ini bisa sama bisa pula berbeda dari tujuan yang menjadi pemicu awalnya. Jadi, bisa dikatakan tujuan adalah bagian dari penyebab juga. Tujuan dan alat bukanlah keseluruhan dari penyebab, dan belum tentu merupakan penyebab utama. Namun, menurut Heidegger, “Di mana tujuan dikejar dan alat digunakan, di mana instrumentalitas berkuasa di sana kausalitas berkuasa.”37 Sementara definisi instrumentalisme teknologis hanya menginformasikan dua penyebab: alat dan tujuan, Aristoteles sejak lebih dari dua milenia menyebut adanya empat penyebab, di mana alat tidak termasuk di dalamnya. 1.
Causa materialis: material yang digunakan.
2.
Causa formalis: bentuk yang mengarahkan bagaimana material akan dicetak atau dibuat.
3.
Causa finalis: tujuan dari pembuatan material.
4.
Causa efficiens: orang yang menjadikan sesuatu. Sejak zaman Yunani kuno, pandangan Aristoteles tentang empat penyebab ini
telah diterima luas seolah merupakan pengertian yang sudah tuntas. Tetapi, bagi Heidegger, mengapa ada empat penyebab ini masih bisa dipertanyakan. Bahkan, kita bisa mengajukan pertanyaan yang lebih mendasar lagi: Apakah yang dimaksud sebagai penyebab oleh Aristoteles ini sama dengan yang kita pahami kini sebagai penyebab? Bukankah umumnya orang tidak menganggap material, bentuk dan tujuan sebagai penyebab, atau sesuatu yang aktif yang mengakibatkan sesuatu yang lain terjadi? 37 Heidegger, Question, 6: Wherever ends are pursued and means are employed, wherever instrumentality reigns, there reigns causality.
77
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Material, misalnya, tidak dianggap mengakibatkan atau mengubah sesuatu. Ia justru dianggap sebagai sesuatu yang pasif yang padanya dipaksakan perubahan oleh sesuatu yang disebut penyebab. Heidegger meyakini bahwa Aristoteles memaknai penyebab secara berbeda dari kita saat ini.38 Lalu, apa arti penyebab yang dimaksud Aristoteles? Jika kita menggunakan pengertian penyebab sebagaimana kita saat ini biasa menggunakannya, maka yang menjadi penyebab adalah causa efficiens, karena menurut penjelasan Aristoteles causa efficiens mengumpulkan dan menggabungkan tiga penyebab lainnya. Ketiganya bisa menjadi penyebab berkat causa efficiens. Namun, bukankah causa efficiens juga bisa melakukan sesuatu karena adanya causa finalis yang yang ditetapkan oleh orang lain (misalnya atasan atau klien). Dan, bahkan causa finalis bisa jadi muncul, setelah melihat causa materialis. Misalnya seseorang menjadi terpikir untuk membuat kue, setelah melihat tersedianya tepung. Jadi, masing-masing dari empat penyebab itu bisa saja menjadi pemicu awal dari proses sebab-akibat. Heidegger mendorong pertanyaan lebih jauh lagi: Apa yang menyatukan keempatnya sehingga bertanggung jawab memunculkan sesuatu? Apa sumber penyatuan keempat penyebab ini? “Selama kita tidak mengijinkan diri kita untuk menyelami
pertanyaan-pertanyaan
ini,
(maka)
kausalitas,
dan
bersamanya
instrumentalitas, dan dengan yang terakhir definisi yang diterima mengenai teknologi, tetap tidak jelas dan tidak berdasar.”39 Pertanyaan ini, nantinya menghasilkan jawaban yang menjadi sasaran kritik dari Feenberg, karena menghilangkan sifat kepelakuan dari causa efficiens. Empat penyebab ini secara serentak menjadikan apa yang belum hadir tiba dalam kehadirannya. Proses ini disebut Heidegger sebagai mengemukakan-ke-hadapan (bring-forth atau Her-vor-bringen atau poiesis).40 Dalam poiesis, seperti pada pembuatan artefak teknologi, masing-masing penyebab bisa berasal dari sumber-sumber terpisah. Misalnya dalam pembuatan keramik ada orang yang membuat keramik (causa 38 Richard Rojcewicz, The Gods and Technology: A Reading of Heidegger (New York: State University of New York, 2006) 39 Heidegger, Question, 7: So long as we do not allow ourselves to go into these questions, causality, and with it instrumentality, and with the latter the accepted definition of technology, remain obscure and groundless. 40 Penerjemahan bringing-forth menjadi mengemukakan-ke-hadapan saya pinjam dari Francis Lim, Filsafat Teknologi: Don Ihde Tentang Dunia, Manusia, dan Alat (Yogyakarta: Kanisius, 2008).
78
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
efficiens), tanah liat (causa materialis), bentuknya (causa formalis) bisa ditentukan oleh orang yang tidak terlibat pembuatannya, serta tujuan (causa finalis) yang bisa saja bukan tujuan dari pembuatnya. Pada peristiwa alam, terjadi apa yang disebut Heidegger sebagai physis, kehadiran sesuatu dari dirinya sendiri, seperti mekarnya bunga, tumbuhnya tanaman. Physis merupakan bentuk poiesis yang tertinggi. Tafsir Rojcewicz atas penjelasan Heidegger ini adalah sebagai berikut. Empat penyebab ini bukanlah pengakibat terjadinya sesuatu, jadi tidak bertanggung jawab atas terjadinya akibat. Mengambil contoh di atas, empat penyebab ini hanyalah menyiapkan keramik agar mengemukakan-ke-hadapan sendiri. Empat penyebab ini hanyalah menyiapkan panggungnya, yang jika sudah siap, maka keramik tersebut akan tampil ke hadapan kita. Keramik tersebut memang berhutang (Verschulden) pada empat penyebab tersebut untuk tampil ke hadapan, namun empat penyebab tersebut tidak bertanggung jawab atas perwujudan dari keramik tersebut. “Empat penyebab ini memberikan penyiapan; mereka ada di bawah sesuatu dalam arti menyiapkan lahan, menyiapkan kondisi, bagi potensialitas dalam materi untuk mengaktualisasikan dirinya. Itulah bagaimana, menurut Heidegger, orang-orang dulu memahami kausalitas: tidak sebagai pemaksaan, tetapi sebagai penyiapan.”41 Jadi, bisa kita simpulkan ada sesuatu yang lain di luar empat penyebab tersebut. Heidegger
menyebut
peristiwa
pengemukaan-ke-hadapan
(bringing-forth)
ini
merupakan penyingkapan (revealing atau aletheia). Lalu apa hubungan esensi teknologi dengan penyingkapan? Jawabnya bisa apa saja. Karena setiap upaya mengemukakan-ke-hadapan (bringing-forth) mengakar pada penyingkapan. Mengemukakan-ke-hadapan, sesungguhnya, mengumpulkan dalam dirinya empat moda menjadi pengejadian (occasioning) — kausalitas — dan menguasainya sepanjang proses. Di dalam domainnya termasuk tujuan dan alat, termasuk instrumentalitas. Instrumentalitas dianggap sebagai sifat mendasar dari teknologi. Jika kita bertanya, selangkah demi selangkah, tentang apa teknologi sesungguhnya, yang direpresentasikan sebagai alat, maka kita akan sampai pada penyingkapan.42
41 Rojcewicz, The Gods and Technology, 31: The four causes offer nurture; they lie underneath the thing in the sense of making ready the ground, preparing the conditions, for the potentiality in the matter to actualize itself. That is how, according to Heidegger, the ancients conceived of causality: not as imposition, but as nurture. 42 Heidegger, Question, 12: For every bringing-forth is grounded in revealing. Bringing-forth, indeed, gathers within itself the four modes of occasioning — causality — and rules them throughout. Within its domain belong end and means, belongs instrumentality. Instrumentality is considered to be the fundamental characteristic of technology. If we inquire, step by step, into what technology, represented as means, actually is, then we shall arrive at revealing.
79
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Karena itulah, bagi Heidegger, “Teknologi adalah moda penyingkapan. Teknologi datang hadir dalam semesta di mana penyingkapan dan pengeluaran-daripersembunyian terjadi, di mana aletheia, kebenaran, terjadi.”43 Esensi teknologi sebagai penyingkapan bisa dilacak dari penggunaan istilah techne dalam bahasa aslinya, Yunani. Techne tidak hanya merujuk pada kegiatan dan keterampilan pengrajin, tetapi juga kegiatan seni. Techne merupakan mengemukakanke-hadapan (bringing-forth) dalam berbagai bentuknya, termasuk bentuk yang puitis. 44 Bahkan istilah techne sampai masa Plato dihubungkan dengan kata episteme. Keduanya berarti mengetahui dalam arti yang luas. Keduanya berarti akrab dengan sesuatu, memahami dan ahli di dalamnya. Mengetahui semacam itu berarti membuka diri, yang berarti pula menyingkapkan. Berangkat dari pendapat Aristoteles, Heidegger menandaskan bahwa esensi teknologi tidak bersifat teknologis, karena apa yang menentukan dalam techne tidak terletak pada kegiatan pembuatan dan manipulasi atau pun penggunaan alat, tetapi lebih pada penyingkapannya. Teknologi merupakan moda penyingkapan (aletheuein).45 Ia menyingkapkan sesuatu yang tidak bisa menghadirkan dirinya sendiri dan yang tidak ada di sini di depan kita. Heidegger membedakan penyingkapan pada teknologi modern dari teknologi pramodern. Teknologi pramodern, seperti teknologi kerajinan, menurut Rojcewicz, bisa dipahami sebagai urusan melihat, mengenali bahan baku, dan mengikuti sifat-sifat bahan baku sebagaimana adanya. Misalnya rotan akan dibentuk menjadi kursi atau pun barang-barang lainnya yang bentuknya secara langsung mengikuti sifat-sifat dari rotan. Demikian juga bambu akan menjadi berbagai barang yang bentuknya memanfaatkan sifat-sifat bambu. “Kerajinan bukanlah tuan dari bentuk yang terkubur dalam materi, ia adalah pelayan dari bentuk tersebut.”46 Dari sini kita bisa memahami tesis Aristoteles bahwa eidos (bentuk) merupakan pembuat sesungguhnya, sedangkan yang lain adalah pelayan dari eidos. Jadi, teknologi kuno esensinya merupakan pandangan yang 43 Heidegger, Question, 13: Technology is a mode of revealing. Technology comes to presence [West] in the realm where revealing and unconcealment take place, where aletheia, truth, happens. 44 Heidegger, Question, 13. 45 Heidegger, Question, 13. 46 Rojcewicz, The Gods and Technology, 68: Handcraft is not the master of the form buried in the matter, it is the servant of that form.
80
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
membuka (disclosive looking), dan yang dilakukan para pengrajin adalah melayani sesuatu yang sudah ada dalam materi, yakni menghadirkan potensi-potensi yang tersembunyi, yang harus ia gali dengan kegiatan kontemplasi yang dilakukan bersamaan dengan dilakukannya berbagai uji-coba membuat sesuatu. Teknologi modern, yakni teknologi yang mengambil tenaganya tidak dari alam tetapi dari teknologi pembangkit tenaga (seperti dari mesin pembangkit tenaga uap, listrik atau pun lainnya), memaksakan kehendaknya atas materi, memaksakan suatu bentuk terhadap materi, bukan lagi sekadar menggali bentuk dari yang tersembunyi menjadi yang nampak. Teknologi modern menantang (Herausfordern) alam agar menjadi patuh. Kepatuhan alam yang dituntut teknologi itu berupa penyerahan energi dan sumber daya sehingga siap digunakan kapan saja manusia membutuhkannya. Karena itulah bagi Heidegger, pembuatan dan penggunaan teknologi bukanlah mengemukakan-ke-hadapan dalam arti poiesis, tetapi merupakan kegiatan menantang yang tidak lagi menghormati alam. Poiesis adalah cara produksi yang menubuhkan sikap hormat. Poiesis “mengalir bersama arus”; misalnya, ia menerima dengan hormat tujuan alamiah, tujuan yang telah dikandung alam. Teknologi kuno utamanya adalah cara pandang menguak tujuan tersebut, kemungkinan alamiah tersebut, dan poiesis adalah bidan yang membantu kelahiran tujuan tersebut menuju penampakan penuh. Teknologi modern, juga, adalah cara pandang menguak kemungkinan, tetapi kemungkinan ini dipaksakan terhadap alam, dan itu, bagi Heidegger, adalah sifat asli dari teknologi modern. Teknologi modern bukanlah cara pandang yang hormat melainkan sombong.47
Perbedaan antara teknologi pramodern dengan modern bisa digambarkan dengan alat penggilingan padi. Pada teknologi pramodern, alat penggilingan padi menggunakan tenaga langsung dari alam, misalnya memanfaatkan tenaga air dengan kincir air. Karena itulah kecepatan dan tenaga penggilingannya sesuai dengan kekuatan arus air yang menggerakkan kincir. Tidak ada proses penyimpanan tenaga. Dan tenaga air harus dimanfaatkan pada saat itu dan di tempat itu juga. Kegiatan penggilingan padi juga tunduk pada tempo yang ditetapkan alam, jika aliran air keras, tumbukan akan keras juga, demikian pula sebaliknya.
47 Rojcewicz, The Gods and Technology, 71: Poiesis is the way of production that embodies the attitude of respect. Poiesis “goes with the flow”; i.e., it defers to the natural ends, the ends with which nature is already pregnant. Ancient technology is primarily a disclosive looking at those ends, those natural possibilities, and poiesis is the midwifery that assists those ends to come forth into full visibility. Modern technology, as well, is a disclosive looking at possibilities, but these possibilities are imposed on nature, and that, for Heidegger, is what is novel about modern technology. Modern technology is not a deferential looking but a presumptuous one.
81
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Ini berbeda dengan teknologi modern, misalnya penggilingan padi yang menggunakan mesin Diesel. Tenaga mesin ini berasal dari bahan bakar fosil yang diambil paksa dari perut bumi. Bahan bakar ini tidak keluar sendiri lalu dimanfaatkan. Tetapi, ini diolah dulu, didistribusikan ke mana-mana, dan akhirnya menjadi tenaga yang siap dipakai kapan pun manusia membutuhkannya. Demikian juga dengan mesin Dieselnya, bukanlah disusun dari bahan-bahan yang langsung diambil dari alam. Ada proses penambangan dan pengolahan logam. Proses penambangannya mengambil paksa sesuatu yang sangat tersembunyi. Dan proses pengolahannya memaksakan bentuk apa pun yang ada dalam pikiran manusia terhadap bahan alam tersebut. Pemaksaan teknologi modern terhadap alam dilakukan dengan menyetel (setting-upon), mengatur, yang berarti tidak lagi “mengalir bersama alam”, tetapi justru menantang ke hadapan (challenging forth). Jadi teknologi menyetel untuk menantang alam yang begitu ditaklukan tidak lagi memiliki kemampuan untuk melawan.48 Lalu, penyingkapan seperti apa yang diakibatkan penyetelan yang menantang dari teknologi modern ini, yang membedakannya dari penyingkapan oleh teknologi kuno? Pada penyingkapan oleh teknologi modern, segala sesuatu ditata agar siap digunakan atau pun dilakukan penataan berikutnya. Apa-apa yang ditata ini menjadi cadangan-yang-siap (standing reserve atau Bestand), yang lebih dari sekadar cadangan (stock). Cadangan-yang-siap dihadirkan oleh tempaan penyingkapan yang menantang, sehingga ia “tidak lagi berdiri menentang kita sebagai obyek.”49 Istilah cadangan-yang-siap merujuk pada sesuatu yang tertata yang menjadi milik kita sepenuhnya. Inilah penyingkapan yang terjadi secara luas saat ini, segala sesuatu nampak berada di sana agar kita, manusia, bisa memanfaatkannya, memerasnya sampai tak ada yang bisa dimanfaatkan lagi, dan kemudian membuangnya. Manusia tampak sebagai penyebab paling aktif, yakni sebagai causa efficiens, dalam penyingkapan yang menantang, mengatur, menjadikan segala sesuatu sebagai cadangan-yang-siap. Individu manusia merasa memahami prosesnya, merasa dirinyalah yang memiliki inisiatif, padahal dia juga menjadi bagian dari yang ditata, menjadi cadangan-yang-siap juga.50 Dalam penyingkapan tersebut bisa saja orang yang menjadi 48 Heidegger, Question, 16-7. 49 Heidegger, Question, 17: no longer stands over against us as object. 50 Heidegger, Question, 23.
82
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
causa efficiens digantikan oleh orang lain. Misalnya dalam proses produksi, pekerja bisa diganti dengan pekerja lain oleh manajer; manajer bisa diganti dengan manajer lain lagi oleh pemimpin perusahaan; dan pemimpin perusahaan bisa dicopot oleh pemilik modal. Apakah pemilik modal menjadi penentu keseluruhan perusahaan? Tidak juga. Ada aturan maupun kekuatan serikat buruh yang membatasi tindakannya juga. Bahkan banyak perusahaan publik yang kepemilikannya ditransaksikan di pasar modal, sehingga pemiliknya bisa setiap saat berubah-ubah namun tidak mengganggu jalannya perusahaan. Penggantian-penggantian ini membuat posisi causa efficiens menjadi tidak istimewa lagi. Jadi, kegiatan teknologis juga merupakan bentuk penyingkapan diri manusia menjadi cadangan-yang-siap. Proses yang disebut Heidegger sebagai pembingkaian (enframing) ini menata manusia maupun artefak menjadi cadangan-yang-siap.51 Manusia sering tidak menyadari bahwa dirinya bagian dari cadangan-yang-siap ini karena dia ditempatkan dalam posisi yang nampak paling aktif dalam menyiapkan penyingkapan tersebut. Pembingkaian kerap tidak disadari manusia, karena tidak memaksa, tetapi menggiring manusia dengan menantangnya. Dalam pengembangan teknologi, manusia akan memahaminya sebagai pilihan yang ternalar untuk mengikuti apa yang dikenal dalam kajian teknologi sebagai ketergantungan jalur teknologis (technological path dependence). Jalur teknologis muncul dipicu oleh peristiwa sejarah yang kecil, kebetulan, atau pun acak, yang menghasilkan pilihan-pilihan yang selanjutnya dipilih secara kebetulan juga untuk alasan yang tidak ada hubungannya dengan kejadian awalnya. Ketergantungan jalur ini terjadi ketika kejadian awal ini secara progresif membuat orang terkunci di dalam (locked-in) antara lain melalui pengoperasian eksternalitas jaringan (network externalities), di mana nilai suatu teknologi dianggap meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penggunanya.52 Keterkuncian dalam ketergantungan jaringan ini untuk sekian waktu akan menentukan pilihan teknologi, kekuatan industri atau lembaga, yang akan berlangsung sampai munculnya gegar dari luar. 51 Heidegger, Question, 24. 52 Paul A. David, “Clio and the Economics of QWERTY.” The American Economic Review 75, no. 2 (May 1985): 332-337. David memberi contoh bagaimana pilihan terhadap papan kunci QWERTY yang konfigurasinya sebenarnya tidak efisien, yakni memperlambat kecepatan pengetikan kita, mejadi mengikat dan menghalangi upaya yang hendak menggantikannya dengan papan kunci yang lebih efisien. Ketergantungan jaringan ini semakin menentukan seiring dengan meningkatnya jumlah pengguna QWERTY, atau yang dikenal sebagai efek dari eksternalitas jaringan.
83
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Pandangan Heidegger mengenai pembingkaian (enframing) ini menghilangkan peran kepelakuan manusia. Peran manusia sebagai causa efficiens hanyalah menjadi salah satu obyek penyingkapan. Menurut Feenberg, Heidegger memandang lemah peran manusia dalam penyingkapan teknologis. Ini karena “teknologi bukan sekadar instrumentalitas. Ia membentuk budaya pengendalian universal. Tidak ada yang lepas darinya, bahkan tidak juga manusia pembuatnya. Mereka, sebagaimana barang-barang yang mereka manfaatkan secara teknis, tereduksi menjadi bahan baku melalui penyingkapan teknologis.”53 Pandangan Heidegger ini oleh Feenberg dikategorikan sebagai pandangan substantif, yakni menganggap teknologi tidak netral tetapi menubuhkan nilai-nilai tertentu, sekaligus membentuk hidup manusia, cara hidup maupun keinginannya. 54 Teknologi yang kita bentuk balas membentuk kita. Bahkan bagaimana kita membentuk teknologi baru ini sebenarnya dibingkai oleh penyingkapan itu sendiri. Inilah yang membuat manusia jadi kehilangan kepelakuannya. Implikasi pemikiran Heidegger, bagi Feenberg, jadi mengkhawatirkan, lebihlebih karena masyarakat modern ini berdiri tegak di atas topangan pondasi teknologi. Sementara itu arah ke mana teknologi akan membawa manusia sudah lepas dari kendali manusia. Feenberg menafsirkan pandangan Heidegger sebagai berikut, “modernitas adalah kejadian epistemologi yang membuka rahasia tersembunyi dari esensi teknologi. Dan apa yang tersembunyi? Nalar itu sendiri, dorongan murni mencapai efisiensi, untuk meningkatkan pengendalian dan kalkulabilitas. Proses ini bergerak sendiri begitu teknologi dilepaskan dari batasan yang melingkupinya di masyarakat pramodern.”55 Dalam hubungannya dengan masyarakat, pemikiran Heidegger ini memiliki dua kemungkinan implikasi: optimis dan pesimis. Yang optimis disebut pandangan determinisme teknologis yang menganggap teknologi akan terus membawa manusia pada kemajuan. Sementara pandangan pesimis, yang juga disebut pandangan 53 Feenberg, Questioning, 3: technology is no mere instrumentality. It forms a culture of universal control. Nothing escapes it, not even its human makers. They, like the things they appropriate technically, are reduced to raw materials through the technological revealing. 54 Feenberg, Questioning, 3. 55 Feenberg, Questioning, 3: modernity is also an epistemological event that discloses the hidden secret of the essence of technology. And what was hidden? Rationality itself, the pure drive for efficiency, for increasing control and calculability. This process unfolds autonomously once technology is released from the restraints that surround it in premodern societies.
84
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
substantivisme teknologis, mengasumsikan bahwa teknologi memiliki bias penguasaan. Meningkatnya persoalan lingkungan yang diakibatkan teknologi, atau pun besarnya risiko dari berbagai teknologi yang diakibatkan ketidakmampuan manusia dalam mengelola segala kemungkinannya (reaktor nuklir), atau ketidakmampuannya dalam menahan diri (senjata pemusnah massal),
memperlemah dukungan terhadap
determinisme teknologis. Karena itulah pandangan Heidegger juga dikategorikan Feenberg sebagai pandangan distopian.
3.4. Pengaruh Nalar Teknologis pada Masyarakat Alat-alat produksi, yang merupakan himpunan bagian dari teknologi yang terpenting bagi masyarakat, menurut Marx, menentukan hubungan dan struktur sosial. Ini terjadi karena “Dalam upayanya mendapatkan kekuatan produktif baru orang mengubah moda produksi mereka, cara mereka mendapatkan nafkah, mereka mengubah semua hubungan sosial.”56 Teknologi produksi yang berbeda akan menghasilkan masyarakat yang berbeda. Marx memberi contoh, penggilingan gandum yang digerakkan kincir angin melahirkan masyarakat feodal yang dikuasai para tuan tanah, dan penggilingan gandum yang digerakkan mesin uap menghasilkan masyarakat industri yang dikuasai para pemilik modal. Pengikut Marxis tidak menentang penggunaan teknologi atau pun industrialisasi, yang mereka kecam hanyalah cara kaum kapitalis menggunakannya. Mereka bahkan menganggap teknologi menentukan sistem ekonomi dan pengorganisasian masyarakat, mekanisasi dan industrialisasi merupakan penyingkapan ternalar dari sejarah. Bahkan, kalangan sosialis di masa lalu percaya, “sistem teknologis pada akhirnya akan menjadi basis dari utopia, namun, tanpa menduga bahwa konflik kelas penuh kekerasan dan revolusi dibutuhkan untuk mencapainya. Mereka percaya bahwa teknologi baru akan mengakibatkan kemunduran tak terhindarkan dari kapitalisme dan memunculkan sistem ekonomi yang lebih baik.”57 56 Karl Marx, The Poverty of Philosophy (New York: Cosimo, 2008), 119: In acquiring new productive forces men change their mode of production, their manner of gaining a living, they change all their social relations. 57 David E. Nye, Technology Matters: Questions to Live With (Cambridge, MA: MIT Press, 2006), 25: technological systems ultimately would become the basis of a utopia, without, however, expecting that violent class conflict and revolution were necessary to attain it. They believed that new technologies would lead to the inevitable decline of capitalism and the emergence of a better economic system.
85
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Baik pengikut kapitalisme maupun sosialisme sama-sama memiliki optimisme yang tinggi terhadap masa depan yang berlandaskan teknologi. Optimisme terhadap teknologi dari pihak-pihak yang secara ideologis saling bertentangan ini dianggap membuktikan bahwa perkembangan teknologi merupakan penyingkapan nalar universal, yang sama sekali lepas dari ideologi. Dalam sistem sosial-politik apa pun, asalkan masyarakat tidak menentang nalar, kemajuan akan terus berjalan. Keuniversalan ini membuat masyarakat selalu menerima ke arah mana pun perkembangan teknologi akan membawa mereka. Sebesar apa pun perubahan yang diakibatkan teknologi, pengaruhnya secara ideologis tidak diakui, karena asumsi idealnya – nalar dan efisiensi – diterima sepenuhnya baik oleh kalangan kapitalis maupun kalangan komunis.58 Secara teoretis, kalangan yang optimis – lepas dari apa pun ideologinya – terbagi menjadi dua. Kelompok pertama menganggap teknologi sebagai perluasan tubuh manusia, yang memperbesar kemampuan manusia dalam melakukan sesuatu, dan sepenuhnya dalam kendali manusia. Kelompok ini disebut penganut pandangan instrumentalisme teknologis. Kelompok kedua, yang disebut penganut determinisme teknologis, meyakini bahwa teknologi akan membawa manusia ke arah kemajuan yang sama, karena teknologi merupakan penyingkapan nalar universal yang lepas dari kendali manusia. Kedua pandangan di atas memiliki asumsi bahwa teknologi adalah netral. Artinya tidak ada hubungannya antara teknologi dan tujuan. Teknologi tidak membentuk tujuan yang ingin dicapai manusia tetapi hanya mempersingkat jalur pencapaian tujuan tersebut. Selain kedua pandangan di atas, ada pandangan substantivisme teknologis yang meyakini bahwa teknologi tidak netral, sehingga teknologi juga menentukan keinginan manusia, termasuk membentuk keinginankeinginan baru.
58 Nye, Technology Matters, 29.
86
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Teknologi adalah
Mandiri
Netral
Dikendalikan Manusia
Determinisme
Instrumentalisme
(Misalnya Marxisme
(Kepercayaan liberal pada
tradisional)
kemajuan)
Substantivisme
Teori Kritis
(Alat dan tujuan terhubung
(tersedianya pilihan-pilihan
dalam sistem)
sistem alat-tujuan)
(Pemisahan penuh antara alat dan tujuan) Bermuatan Nilai (Alat membentuk cara hidup, termasuk tujuan)
Tabel 3.1: Ragam Teori Teknologi59 Feenberg mengklasifikasikan tiga teori teknologi di atas berdasarkan pada kriteria kategori (i) bisa-tidaknya teknologi dikendalikan manusia, dan (ii) apakah teknologi bebas atau bermuatan nilai.60 Posisi ketiga teori tersebut, bersama Teori Kritis Teknologi yang digagas Feenberg, ditunjukkan dalam Tabel 3.1. Keempat teori teknologi di atas memiliki pandangan yang berbeda tentang keberadaan esensi teknologi dan apakah nalar menjadi penentu tunggal perkembangan teknologi. Pandangan instrumentalisme teknologis dianut oleh kebanyakan perekaya dan pengambil kebijakan. Mereka berpegang pada pandangan ini tanpa secara eksplisit memahaminya sebagai sebuah teori. Tetapi dari pandangan dan putusan teknis yang mereka
ambil
bisa
disimpulkan
bahwa
mereka
memiliki
asumsi-asumsi
instrumentalisme teknologis. Misalnya, mereka menganggap teknologi adalah netral, tidak membentuk tujuan manusia, karena tujuan bisa dicapai dengan penggunaan teknologi yang berbeda-beda. Teknologi tidak menubuhkan nilai-nilai apa pun, tetapi penggunaannya diatur dengan mengikuti nilai-nilai yang berasal dari wilayah sosial lainnya, misalnya politik dan budaya. Instrumentalisme teknologis menganggap baikburuk teknologi tergantung pada baik-buruk penggunanya. Pengaruh pandangan instrumentalis ini sangat terlihat pada perdebatan mengenai pembatasan senjata api di Amerika. Pihak yang keberatan dengan peredaran senjata api beralasan bahwa keberadaan senjata api akan memicu orang yang berpotensi melakukan tindak kekerasan untuk menggunakannya. Namun, pendukung senjata api menolak 59 Diterjemahkan dari tabel dalam Feenberg, Questioning, 9. 60 Feenberg, Questioning, 9.
87
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
alasan tersebut, dan berdalih jika senjata api dilarang karena alasan itu, maka pisau dapur juga harus dilarang karena alasan yang sama. Orang tidak bisa lagi memiliki pisau di dapur, karena orang gila bisa saja menggunakannya untuk menikam orang lain. Pendukung senjata api meyakini bahwa senjata tidak memicu kejahatan, karena senjata adalah obyek yang netral. Pandangan ini bisa diringkas dalam ungkapan yang di Amerika populer, “Senjata api tidak membunuh orang; orang yang membunuh orang.”61 Netralitas
teknologi
dari
nilai
dan
sistem
politik
masyarakat
yang
menggunakannya didasarkan pada dua alasan: (1) kesamaan teknologi dengan gagasan ilmiah, dan (2) prinsip efisiensi. Alasan pertama, artefak teknologi tersusun dari bahanbahan alam yang sudah diproses sehingga tidak tampak alamiah lagi, namun masih tetap tunduk pada hukum alam yang merupakan obyek kajian ilmiah. Hukum alam ini dinyatakan dengan proposisi sebab-akibat yang bisa diuji secara empiris, dan berlaku dalam konteks sosial apa pun. Teknologi, yang bekerja di atas hukum alam, juga dianggap dianggap sama dengan fenomena alam, sehingga "apa yang bekerja di satu masyarakat bisa diduga bekerja sama baiknya di masyarakat lain.”62 Alasan kedua, prinsip efisiensi yang merupakan prinsip utama dalam kapitalisme adalah juga prinsip yang universal, yang lepas dari konteks pengembangan dan penggunaannya. “Keuniversalannya juga berarti bahwa baku pengukuran yang sama bisa diterapkan pada lingkungan yang berbeda-beda. Misalnya, teknologi sering dikatakan meningkatkan produktivitas tenaga kerja di negara, masa dan peradaban yang berbeda-beda.”63 Penekanan pada efisiensi ini didasari asumsi bahwa manusia tidak bisa mengoptimalkan dua variabel sekaligus.64 Hanya salah satu yang bisa dioptimalkan. Efisiensi, yang merupakan variabel yang paling bisa diukur tingkat pencapaiannya lebih dipilih daripada variabel-variabel lain yang sulit diukur manfaatnya dari perspektif 61 Ned Resnikoff, "What can philosophy of technology tell us about the gun debate?" MSNBC 12/19/12 diakses dari http://www.msnbc.com/the-ed-show/what-can-philosophy-technology-tell-us-abo pada 19 September 2014 62 Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 6: what works in one society can be expected to work just as well in another. 63 Feenberg, Transforming, 6: Its universality thus also means that the same standards of measurement can be applied to it in different settings. For example, technology is routinely said to increase the productivity of labor in different countries, different eras, and different civilizations. 64 Feenberg, Transforming, 6.
88
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
kapitalisme. Pandangan ini meyakini bahwa jika kita hendak meningkatkan pencapaian variabel lain, misalnya lingkungan, etis dan agama, maka hal ini harus dibayar dengan mengorbankan efisiensi. Pandangan ini, yang banyak mempengaruhi proyek pembangunan, kerap menjadi obyek kajian mengenai ketegangan antara kepentingan praktis ekonomi, tradisi, ideologi, dan agama. Meskipun banyak orang, terutama pengembang teknologi, masih memegang teguh pandangan instrumentalisme teknologis, namun kajian teknologi banyak mengungkap bahwa pandangan ini tidak lagi memadai untuk menjelaskan fenomena perkembangan teknologi. Ketidakpuasan terhadap pandangan ini mendorong munculnya teori lain, determinisme teknologis dan substantivisme teknologis. Teori determinisme teknologis menganggap teknologi netral, tidak menubuhkan nilai-nilai apa pun, namun mendorong peradaban menjadi lebih maju secara teknologis. Perkembangan teknologi dianggap sebagai bagian dari evolusi manusia menjadi lebih baik lagi. Menjelang akhir abad 19, di bawah pengaruh Marx dan Darwin, teknologi dianggap menggiring manusia mengikuti arus kemajuan yang akan membawa mereka pada kemerdekaan dan kebahagiaan.65 Baru pada pertengahan abad 20 optimisme terhadap teknologi ini mulai dipertanyakan. Bom atom yang meluluh-lantakkan Nagasaki dan Hiroshima menjadi bukti bahwa teknologi juga bisa mengancam kelangsungan hidup manusia. Masalah polusi yang diakibatkan penggunaan bahan bakar fosil untuk menopang kehidupan modern juga masih belum terkendalikan, sementara manusia semakin kesulitan menekan kebutuhannya akan energi. Kecemasan akan dampak negatif teknologi membuat pandangan substantivisme teknologis menarik perhatian banyak orang, selain, tentunya, karena pandangan ini dipelopori oleh filosof terbesar Abad 20, yakni Martin Heidegger. Menurut pandangan ini teknologi tidak netral tetapi menubuhkan nilai. Baik Heidegger, dan lebih-lebih Jacques
Ellul,
menekankan
sifat
teknologi
yang
mencemaskan,
yakni
ketidakterkendaliannya. Teknologi tidak bisa dikendalikan, karena para pengembangnya hanya mengikuti nalar teknologis saat mengembangkannya. Sebaliknya, teknologi akan menanamkan nilai, keinginan, dan perilaku tertentu pada manusia.
65 Feenberg, Questioning, 1-2.
89
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Memiliki teknologi tertentu akan membuat kita cenderung melakukan hal tertentu. Misalnya, filosof Evan Selinger dalam wawancaranya dengan MSNBC memberi contoh pengaruh teknologi dalam pengiriman surat.66 Di masa lalu, jika kita tersinggung oleh kata-kata seseorang yang disampaikan melalui surat, lalu hendak membalasnya dengan kata-kata yang pedas melalui surat juga, maka proses pembalasan ini membutuhkan waktu yang panjang: kita membutuhkan waktu lebih lama untuk menulis surat dengan pulpen dibandingkan mengetik email; pada surat kita tidak bisa menghapus kata yang terlanjur tertulis, karena itu harus benar-benar memikirkannya dulu sebelum menuliskan; setelah surat selesai kita memasukkannya ke amplop, lalu membawanya ke kantor pos. Panjangnya waktu ini memberi kesempatan bagi meredanya emosi kita, yang kemudian bisa mengubah pikiran kita juga, sehingga kita bisa membatalkan pengirimannya atau mengubahnya menjadi surat yang tidak lagi penuh kemarahan. Sementara sifat kesegeraan dari surat elektronik, membuat kita cenderung segera bertindak tanpa berpikir ulang. Inilah yang membuat kita, menurut Evan Selinger, dengan
mudah
mendapati
orang-orang
yang
menyesali
diri
karena
telah
mengekspresikan diri mereka tanpa terkendali melalui media elektronik. Kemungkinan ini lebih kecil terjadi ketika mereka menggunakan cara lama yang tidak memungkinkannya bersegera.67 Hal yang sama juga terjadi jika seseorang memiliki akses yang mudah terhadap senjata api. Jika dia marah, dia akan dengan mudah melampiaskan kemarahan yang berdampak fatal. Sementara kalau dia hanya memiliki akses pada pisau dapur, akibatnya relatif lebih mudah dihindari oleh calon korbannya. Karena tindakan kekerasan dengan pisau hanya bisa dilakukan dalam jarak dekat, sehingga jika korbannya bisa lari lebih cepat dari pelakunya dia bisa menyelamatkan diri. Sementara itu, dengan senjata api pelaku bisa menyebabkan orang yang berada dalam jarak jauh pun menjadi korban. Dan korban senjata api juga bisa lebih banyak. Ketiga pandangan di atas secara berbeda-beda menjelaskan bagaimana teknologi berpengaruh atau dipengaruhi masyarakat. Instrumentalisme teknologis menganggap teknologi hanyalah alat yang sepenuhnya dalam kendali manusia, yang memperbesar 66 Resnikoff, "gun debate." 67 Resnikoff, "gun debate."
90
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
dan memperluas pengaruh manusia pada lingkungannya. Baik-buruknya teknologi tergantung pada baik-buruk penggunanya. Determinisme teknologis menganggap bahwa teknologi akan membawa kemajuan lepas dari apa pun budaya dan teknologinya. Teknologi dianggap sebagai bagian dari evolusi yang meningkatkan kualitas atau kemampuan menyesuaikan diri manusia, “kemajuan teknologi adalah kemajuan dari spesies manusia.”68 Pandangan ini juga memberi kekuatan pada teknokrasi, karena menganggap teknologi berkembang mengikuti jalur perkembangan yang sudah tertentu, yang jika tidak diikuti akan menyebabkan kegagalan. Dan, orang yang bisa mengenali jalur perkembangan teknologi ini hanyalah para pakar, bukan masyarakat awam yang tidak memiliki pemahaman memadai. Teknokrasi di satu bidang akan menggusur demokrasi dari bidang tersebut. Teknokrasi akan mengganti debat publik dengan kepakaran teknis; tindakan kolektif akan dipilih berdasarkan penelitian bukan lagi berdasarkan pendapat masyarakat. Gagasan mengganti mekanisme politik yang normatif tradisional dengan cara teknis ini mencapai puncak popularitasnya di Barat pada tahun 1950-an dan 1960-an. Teknokrasi ini membuat sebagian orang menganggap kita telah sampai pada “akhir dari ideologi,” yakni masa di mana ideologi tidak lagi relevan, karena segala hal menyangkut kehidupan kolektif kita bisa diselesaikan secara teknis.
Namun, Marcuse 69 dan
Foucault70 menganggap teknokrasi – yang oleh pendukungnya dianggap bertumpu pada klaim-klaim ilmiah dan determinisme teknologis – menyembunyikan hegemoni modern, penguasaan melalui teknologi. Mereka berdua menolak klaim bahwa hanya ada satu jalur kemajuan yang berdasarkan nalar teknis. Tidak semua orang optimis dengan dampak perkembangan teknologi. Sebelum senjata nuklir dan polusi limbah industri muncul dan mengkhawatirkan masyarakat, pada abad 19, sudah muncul gerakan Luddite di Inggris yang memprotes penggunaan mesin tekstil yang mengganti tenaga kerja manusia. Gerakan ini, meskipun tidak
68 Feenberg, Questioning, 2. 69 Herbert Marcuse, One-Dimensional Society (Boston: Beacon Press, 1964). 70 Michel Foucault, Discipline and Punish, diterjemahkan oleh A. Sheridan (New York: Pantheon, 1977).
91
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
didasari alasan ideologis yang canggih, telah mengandung benih pandangan substantivisme teknologis. Substantivisme
teknologis,
sebagaimana
yang
dijelaskan
Heidegger,
menganggap teknologi mengarahkan atau membingkai (enframing) pandangan dan tindakan manusia dalam mengolah alam maupun mengelola kehidupan sosialnya. Pandangan muram tentang teknologi ini sejalan dengan konsepsi pesimis dari Max Weber tentang kandang besi (iron cage) penalaran. Teknologi tidak hanya melayani kebutuhan manusia yang sudah ada, tetapi juga membentuk aspirasi, keinginan dan selera manusia. Apa yang sebelumnya sama sekali tak terbayangkan bakal dibutuhkan manusia, kini, setelah muncul, teknologi tersebut menjadi pelengkap yang tak bisa mereka tinggalkan. Kini banyak orang yang dalam sehari saja tidak bisa lepas dari ponsel, mobil, atau listrik. Keberadaannya menjadi tidak lengkap tanpa teknologi tersebut. Padahal sebelum teknologi tersebut ada, mereka tidak merasakan masalah karena ketiadaannya. Ini berarti kebutuhan berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Sementara Ellul menganggap peradaban kita adalah peradaban teknis 71 yang progresif karena teknik atau teknologi menyebar tak terhalang ke seluruh wilayah kehidupan kita. Peradaban ini semakin kuat memfokuskan energinya pada peningkatan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan yang terus berkembang, yang sebagian mungkin tidak benar-benar dipikirkan apakah ini memang tujuan yang pantas untuk dicapai. Peradaban teknis ini menggiring manusia untuk membutuhkan apa saja yang dihasilkan oleh peradaban ini. Mereka didorong untuk mencari kepuasan dengan cara mengonsumsi apa yang dihasilkannya secara terus-menerus. Ini membuat hidup dalam peradaban ini, bagi Ellul, tidak membahagiakan. Tetapi, manusia dibuatnya sulit menghindar walaupun tidak menyukainya, karena peradaban ini bertahan dan berkembang di atas konsumsi-konsumsi terhadap segala hal yang diproduksinya. Kalaupun manusia tidak menyukainya, peradaban ini menyediakan pengalih perhatian yang memberi ilusi bahwa manusia lepas dari jeratan teknologi ini, yakni budaya pop dan komunikasi melalui media-media berbasis teknologi. Peradaban ini pun tetap 71 Robert K. Merton dalam pengantarnya untuk Ellul, Technological Society, mengartikan teknik dalam pandangan Ellul bukanlah sekadar teknologi mesin, tetapi merujuk pada setiap cara terbakukan yang kompleks untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan.
92
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
berjalan melalui proses yang dari luar nampak alamiah: ia tumbuh dengan merespons kebutuhan masyarakat yang sebenarnya dimunculkan oleh perkembangan teknologi itu sendiri. Karena itulah “... dalam masalah-masalah sosiopolitis masyarakat Barat sebagai satu keseluruhan, faktor utama jika bukan satu-satunya adalah sistem teknologis.”72 Manusia modern menjerat hidupnya sendiri melalui dua hal: pasar dan teknologi. Banyak orang, termasuk ilmuwan, yang menganggap mekanisme pasar sebagai sesuatu yang sudah seharusnya kita ikuti untuk mengatur kehidupan ekonomi kita. “Kekuatan pasar dipercaya melampaui keinginan masyarakat dan bangsa-bangsa. Ekonomi diperlakukan sebagai sistem yang nampak alamiah dengan hukum yang kaku sebagaimana gerakan dari planet-planet. Sifat sosial dari pertukaran (barang) harus ditemukan (meskipun) melawan penolakan ideologis yang sangat kuat.”73 Setelah melewati berbagai krisis ekonomi, kepercayaan terhadap pasar tidak lagi berlebihan. Negara sudah melakukan intervensi terhadap pasar. Malah “Kini nampak ganjil jika masyarakat modern menyerahkan pengendalian atas kehidupan ekonomi mereka pada alam kedua yang mereka ciptakan sendiri.”74 Sementara mekanisme pasar sudah mendapatkan kritik secara luas, banyak orang masih memelihara “ilusi bahwa teknologi adalah kekuatan asing yang menerobos masuk dalam kehidupan sosial kita dari dunia luar ternalar yang dingin.”75 Peran teknologi yang makin besar dalam peradaban teknologis ini, menurut Ellul, ditunjukkan oleh peran politisi yang semakin menurun dibandingkan birokrat atau administrator. Hal ini terjadi karena ... besarnya, kompleksitas masalah membuat politisi sangat tergantung pada departemen penelitian, pada pakar yang merakit dokumen. Dan sekali putusan yang disiapkan diajukan oleh politisi, (putusan) ini melepaskan diri darinya, dan lembaga (birokrasi) mengurus implementasinya. Politisi memiliki peran permukaan, dia menyediakan bagian pertunjukan; dan 72 Jacques Ellul, The Technological System, diterjemahkan oleh Joachim Neugroschel (New York: The Continuum Publishing, 1980), 55: ... in the sociopolitical problems of Western society as a whole, the main if not single determinant factor is the technological system. 73 Andrew Feenberg, Questioning Technology (London and New York: Routledge, 1999), viii: The forces of the market were believed to transcend the will of peoples and nations. The economy was treated as a quasi-natural system with laws as rigid as the movements of the planets. The social nature of exchange had to be discovered against tremendous ideological resistance. 74 Feenberg, Questioning, viii: Today it seems absurd that modern societies renounced control of their own economic life to a second nature they had themselves created. 75 Feenberg, Questioning, viii: the illusion that technology is an alien force intruding on our social life from a coldly rational beyond.
93
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
dia juga bertanggung-jawab terhadap masalah yang dia hanya memiliki pengetahuan yang sangat dangkal.76
Seiring dengan semakin membesar dan merumitnya perkembangan sistem teknologis, semua bidang kehidupan juga menjadi semakin diteknikkan, apakah melaui penggunaan teknologi atau pun mekanisme birokrasi. Penanganan hal ini juga semakin menuntut spesialisasi kepakaran yang ekstrim, dan karenanya semakin sulit dipahami para politisi. Besarnya kewenangan negara – yang dijalankan para birokrat dan teknokrat – bukanlah dikarenakan doktrin ideologis tertentu, misalnya intervensionis, sosialis, atau pun lainnya, tetapi karena keniscayaan yang berasal dari teknologi itu sendiri. Tumbuhnya organisme negara, yakni dengan meningkatnya tingkat dan jangkauan kewenangan dan kerumitannya, dimungkinkan karena pengoperasian negara melalui pemanfaatan teknologi. Sebelum pemerintah elektronik (e-government) dikenal luas seperti sekarang, Ellul sudah mengantisipasi perkembangannya, “Kita sudah bisa mencatat pengaruh yang konsekuensi akhirnya belum kita ketahui: penggunaan semua jenis mesin elektronik dalam pekerjaan kantor. Pada kasus apa pun, penggunaan ini bisa menyebabkan perubahan struktur birokrasi, memunculkan analisis baru dari pekerjaan dan karenanya analisis legal baru mengenai fungsi administratif.”77 Peningkatan peran teknologi dan birokratisasi – yakni penteknikan urusan kemasyarakatan – menurunkan peran politisi dalam menangani keragaman pelayanan. Politisi semakin tergantung sepenuhnya pada tiga jenis orang: pakar, teknisi dan administrator, yakni orang-orang yang memiliki pengetahuan kontekstual tentang bidang layanannya dan sarana untuk bertindak. Pengurangan kuasa politisi, di mata Ellul, bukan karena munculnya teknokrasi. Sebagian besar teknisi menurut Ellul tidak memiliki ketertarikan pada politik, walaupun ada teknisi yang menduduki posisi menteri. Pengaruh teknologi ini lebih dari sekadar
76 Ellul, Technological System, 57: ... the enormity, the complexity of issues make the politician highly dependent on research departments, on experts who assemble dossiers. And once the prepared decision has been submitted by the politician, it escapes him, and the agencies take care of implementing it. And we know that today everything depends on implementation. The politician has a façade role, he provides the showy front; and he also assumes responsibility for a matter of which he has only very shallow knowledge. 77 Ellul, Technological System, 58: We can already note an influence whose ultimate consequences we do not yet know: the use of all kinds of electronic machines in office work. In any case, this use is bound to transform bureaucratic structures, bringing a new analysis of tasks and hence a new legal analysis of administrative functions.
94
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
pengambil-alihan kuasa oleh teknisi, Ellul melihat dampak teknologi lebih besar dari itu. ... di bawah pengaruh teknologi, adalah keseluruhan negara yang diubah. Orang bisa mengatakan bahwa dalam waktu dekat tidak ada lagi (dan tentu semakin berkurang) kuasa politis (dengan seluruh isinya: ideologi, otoritas, kuasa manusia atas manusia, dan lain-lain). Kita menyaksikan kelahiran negara teknologis, yang bisa merupakan apa pun kecuali teknokrasi; negara baru ini terutama memiliki fungsi teknologis, organisasi teknologis, dan sistem yang dinalarkan untuk mengambil putusan.78
Menurut Ellul, fenomena teknis telah menjadi ciri menentukan dari semua masyarakat modern lepas dari apa pun ideologi politisnya. Namun, karena teknologi telah menjadi otonom, teknokrasi tidak terjadi. Dalam teknokrasi putusan berdasarkan suara masyarakat digantikan dengan putusan para pakar. Sementara dalam masyarakat teknologis yang dibayangkan Ellul, masyarakat maupun pakar kehilangan kendali menyeluruh atas nasibnya. Spesialisasi yang ekstrim membuat mereka hanya bisa mengambil putusan di bidang kehidupan yang sempit, padahal seluruh bidang kehidupan sebenarnya saling terkait dan mempengaruhi. Inilah yang membuat teknologi secara keseluruhan jadi tidak terkendali.
3.5. Mengembalikan Daya Kritis Nalar Teknologi yang menopang kehidupan masyarakat modern, tidak hanya mempermudah hidup manusia, tetapi juga membentuk mereka, mulai dari cara hidup, selera, bahkan sampai cara berpikir atau menalarnya. Nalar teknologis – nalar yang digunakan dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi, dan kemudian diperluas penggunaannya ke bidang-bidang lain – mendapatkan pembenarannya dari bukti kecanggihan teknologi yang digunakan masyarakat. Penerimaan terhadap nalar teknologis ini diturunkan dari penerimaan terhadap persamaan nalar = kebenaran = kenyataan.79 Teknologi sudah memberi kita kenyataan teknologis yang memudahkan hidup kita. Kenyataan ini tentu benar, sedangkan yang tidak bisa dinyatakan adalah salah, maka nalar yang menghasilkan teknologi tersebut adalah benar juga.
78 Ellul, Technological System, 59: ... under the influence of technology, it is the entire state that is modified. One can say that there will soon be no more (and indeed less and less) political power (with all its contents: ideology, authority, the power of man over man, etc.). We are watching the birth of a technological state, which is anything but a technocracy; this new state has chiefly technological functions, a technological organization, and a rationalized system of decision-making. 79 Marcuse, One-Dimensional, 127.
95
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Teknologi dikembangkan untuk memenuhi fungsi yang kadang tidak dikenal sebelumnya. Dengan teknologi manusia mendapatkan kehidupan yang baru, yang memudahkan hidupnya, dalam arti mengurangi beban dan memperluas jangkauan tubuh dan pikirannya. Teknologi juga telah berkembang menjadi sedemikian rumit sehingga tidak setiap (atau kelompok) orang mampu memahami kerjanya, dan apa lagi mengembangkannya. Namun, apakah teknologi telah mengantarkan kita pada kehidupan yang benar-benar kita inginkan? Sementara kita tidak sempat memikirkan kehidupan yang kita inginkan, teknologi terus berkembang tanpa henti dan terus membujuk kita untuk mengonsumsinya, sehingga kita menggusur artefak teknologi lama yang masih berfungsi dan menggantinya dengan yang baru yang sama sekali belum kita mengerti kecuali hanya bahwa ia lebih baru. Kita juga terpaksa menerima prinsip efisiensi karena dengan prinsip ini kerja dan kelayakan sistem teknologis dalam memenuhi kebutuhan manusia lebih bisa dipastikan. Prinsip ini menyederhanakan kehidupan manusia dengan memangkas halhal yang tak terukur darinya. Pengingkaran terhadap prinsip ini dianggap sebagai penyimpangan yang menyebabkan ketidakpastian, yang bisa mengganggu kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Karena itulah, bagi Marcuse, prinsip efisiensi ini menumpulkan kemampuan manusia dalam mengenali fakta yang mengomunikasikan kuasa penindasan terhadap perorangan oleh masyarakat secara keseluruhan.80 Hal ini tidak disadari karena orang menerima prinsip ini sebagai sesuatu yang terberi sebagaimana hukum alam. Menurut Marcuse, kekuatan kritis nalar terletak pada kemampuannya berpikir negatif, dalam arti bisa mengambil sikap menentang apa yang dipaksakan dari luar, yang berasal dari pendapat dan perilaku masyarakat. Kemampuan inilah yang membuat manusia bisa mempertahankan “kemerdekaan batin” (inner freedom), yang merujuk pada ruang pribadi di mana seseorang bisa menjadi dirinya sendiri.81 Namun, ruang pribadi sekarang telah diserbu oleh nalar teknologis. Produksi dan distribusi massal telah mencengkram semua orang, sehingga yang terjadi dalam masyarakat industrial bukanlah penyesuaian tetapi mimesis: “pengidentifikasian diri
langsung dari
perorangan dengan masyarakatnya dan, melaluinya, dengan masyarakat secara 80 Marcuse, One-Dimensional, 13. 81 Marcuse, One-Dimensional, 12.
96
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
keseluruhan.”82 Dalam masyarakat kapitalis, tanpa pemaksaan melalui kekerasan, masyarakat berhasil diseragamkan. Penyeragaman ini terjadi melalui pemangkasan matra batin manusia. Kemajuan material, di mana teknologi menjadi penanda utamanya, telah membungkam kekuatan kritis nalar untuk melakukan penentangan. Nalar kritis telah dijinakkan menjadi sikap pasrah dalam menerima kehadiran barang-barang yang diproduksi semakin banyak dan semakin canggih, namun jenisnya sama bagi banyak orang. Kemajuan teknologi makin mendikte dan menyeragamkan, dan manusia kehilangan kemampuannya untuk melihat kemungkinan lain. Berbeda dari Marx, Marcuse menganggap konsep pengasingan (alienation) tidak memadai untuk menjelaskan fenomena di mana perorangan tidak merasa terasing tetapi justru mengidentifikasi dirinya dengan eksistensi yang dipaksakan terhadap mereka dan di dalamnya mereka mengembangkan diri, dan bisa menumbuhkan perasaan puas dengan perkembangan tersebut. Mereka mengenali diri mereka sendiri di antara berbagai artefak teknologi, mulai dari kendaraan yang mereka miliki, pemutar musik, komputer, sampai rangkaian teknologi yang ada dalam rumah mereka. Karena itulah identifikasi ini tidak dianggap sebagai ilusi tetapi memang nyata, dan implikasinya kesadaran palsu dari nalar ini kemudian menjadi kesadaran yang diyakini benar.83 Hal ini menunjukkan bahwa budaya industrial ini lebih ideologis dari pendahulunya. Ideologi kini berada dalam proses produksi itu dan melalui produk dan layanannya menjual dan memaksakan sistem sosial sebagai satu keseluruhan. Mulai dari alat transportasi dan komunikasi massal sampai makanan sampai produk-produk hiburan membawa serta sikap dan kebiasaan yang sudah diresepkannya, termasuk reaksi intelektual dan emosional yang mengakibatkan konsumen dengan suka hati mengikatkan diri pada produsennya, dan melaluinya, pada keseluruhan.84 Marcuse tidak memberikan solusi yang memadai terhadap kematraan tunggal (one-dimensionality) masyarakat, yakni bungkamnya matra batin manusia yang tenggelam dalam arus massal. Penolakan terhadap kematra-tunggalan adalah juga berarti penolakan terhadap nalar teknologis yang selanjutnya juga berarti penyangkalan 82 Marcuse, One-Dimensional, 12: an immediate identification of the individual with his society and, through it, with the society as a whole. 83 Marcuse, One-Dimensional, 13. 84 Marcuse, One-Dimensional, 14.
97
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
terhadap teknokrasi yang posisinya makin penting dalam birokratisasi dan penteknikan masyarakat modern yang terus dikembangkan untuk meningkatkan pengendalian. Feenberg menganggap bahwa kritik konstruksi sosial nalar dari Foucault bisa memperjelas konsep teknologi sebagai ideologi.85 Permasalahan yang disebabkan oleh nalar teknologis bisa diurai dengan menggunakan teori Foucault tentang hubungan wacana dan kuasa. Pengaruh teknologi yang lepas dari subyek manusianya bisa lebih mudah dipahami dengan penjelasan Foucault mengenai kuasa yang memiliki maksud tetapi nonsubyektif, tidak bersifat pribadi, tidak dimiliki oleh seseorang, kelompok, atau lembaga.86 Kuasa selalu hadir di mana pun, namun ini “bukan karena ia memiliki keistimewaan untuk mengonsolidasi segala sesuatu di bawah kesatuannya yang tak terkalahkan, tetapi karena ia diproduksi dari satu ke saat berikutnya, pada setiap titik, atau pada setiap hubungan dari satu titik ke yang lain. Kuasa ada di setiap tempat; bukan karena ia mencakup segala sesuaty tetapi karena ia datang dari segala tempat.” 87 Ini berarti kuasa bisa dipahami mirip dengan medan energi yang diproduksi setiap saat dalam jejaring hubungan dari satu simpul ke simpul lainnya. Karena sifatnya yang nonsubyektif kuasa juga bisa dipahami sebagai keseluruhan pengaruh yang dimiliki suatu tindakan terhadap tindakan lain, bukan pengaruh dari satu orang ke orang lain. Pengertian ini sulit diterima, selain karena konsep Foucault tentang kuasa cukup radikal, juga karena kita cenderung memahami istilah ini sebagaimana istilah ini digunakan dalam bahasa sehari-hari.88 Dalam istilah sehari-hari kuasa dikaitkan dengan kepatuhan seseorang atau sekelompok orang terhadap pendisiplinan atau pengaturan yang dipaksakan oleh orang atau kelompok lain. Pengertian sehari-hari ini menekankan pada keberadaan “paksaan dari luar” karena jika perubahan sikap tidak dikarenakan paksaan tetapi pengertian dan persetujuan demi kepentingannya sendiri, maka ini perubahan sikap yang dipicu oleh motivasinya sendiri.
85 Feenberg, Questioning, 8. 86 Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1. Diterjemahkan oleh Robert Hurley (New York: Vintage, 1980), 94-5. 87 Foucault, History, 93: The omnipresence of power: not because it has the privilege of consolidating everything under its invincible unity, but because it is produced from one moment to the next, at every point, or rather in every relation from one point to another. Power is everywhere; not because it embraces everything, but because it comes from everywhere. 88 C.G. Prado, Starting with Foucault: An Introduction to Genealogy, second edition (Boulder: Westview, 2000), 68.
98
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Untuk memahami konsep kuasa Foucault kita harus menyelami lebih dalam dari sekadar mengamati tindakan-tindakan yang ada di permukaan, seperti tindakan membatasi, mengintimidasi, dan memaksa untuk mendisiplinkan atau mengatur orang lain. Meskipun tindakan dilakukan karena adanya niat, namun pengaruh antar-tindakan tidak tergantung pada niat seseorang atau kelompok. Meskipun seseorang tahu apa yang dilakukannya tetapi belum tentu dia tahu akibat dari apa yang dilakukannya tersebut. Akibat dari tindakan bisa jadi sama sekali tidak terduga, karena tindakan tersebut tidak sendirian mengakibatkan pengaruh, ada tindakan-tindakan lain yang turut berpengaruh. Dan apa yang diakibatkan pada gilirannya akan mengubah tindakan-tindakan lain juga. Konsepsi umum tentang kuasa adalah bahwa kuasa merupakan sifat atau sesuatu yang dipraktikkan agen. Pelaku yang memiliki kuasa memaksa pelaku yang tidak memilikinya.89 Foucault menolak pandangan ini. Menurutnya, “Kuasa bukanlah sesuatu yang diperoleh, disita, atau dibagikan, sesuatu yang orang memegangnya atau membiarkannya lepas; kuasa dilaksanakan dari titik yang tak terhitung banyaknya, dalam saling pengaruh hubungan-hubungan yang non-egalitarian dan bergerak.”90 Dalam kuasa ini tidak ada hubungan yang setara, tetapi juga tidak ada oposisi biner antara penguasa dan yang dikuasai. Foucault menekankan bahwa kuasa terjadi sebagai hubungan kuasa, “kuasa bukan lembaga, dan bukan struktur; bukan pula sesuatu kekuatan yang kita dapatkan sebagai anugerah; ia adalah nama yang disifatkan orang pada situasi strategis yang rumit dalam masyarakat tertentu.”91 Pengaruh teknologi bisa dijelaskan menggunakan pandangan Foucault. Kuasa teknologis bisa dilepaskan dari subyek, namun memiliki maksud, karena teknologi memiliki fungsi tertentu dan membiaskan keuntungan pada pihak-pihak tertentu. Maksud dari kuasa ini dibentuk dalam bingkai kode teknis. Kuasa dan perlawanan bisa terjadi secara bersamaan dalam pengendalian teknis. Masing-masing pihak dalam pengendalian teknis bisa sama-sama menjalankan tindakan kuasa, meskipun dengan kesempatan dan keterbatasan masing-masing. 89 Pelaku ini bisa perorangan, kelompok, lembaga atau pun negara. 90 Prado, Starting, 94: Power is not something that is acquired, seized, or shared, something that one holds on to or allows to slip away; power is exercised from innumerable points, in the inter play of nonegalitarian and mobile relations. 91 Foucault, History, 93: power is not an institution, and not a structure; neither is it a certain strength we are endowed with; it is the name that one attributes to a complex strategical situation in a particular society.
99
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Feenberg juga menggunakan pemikiran Latour untuk mengurai persoalan yang disebabkan oleh nalar teknologis. Latour mendekati persoalan ini secara berbeda, yakni bertolak dari teori sosial yang menyetarakan pelaku manusia maupun non-manusia. Karena itulah Latour mengganti istilah aktor yang biasa merujuk manusia dengan aktan. Apakah aktan manusia atau pun nonmanusia, bagi Latour, sama-sama memiliki sifat kepelakuan, bisa mempengaruhi yang lain. Tugas-tugas yang dilakukan manusia juga bisa diambil alih oleh aktan nonmanusia, dalam hal ini teknologi. Penggunaan teknologi dianggap sebagai pendelegasian tugas terhadap teknologi yang menuntut kepatuhan manusia atau pun nonmanusia pada nilai-nilai tertentu. Misalnya penggunaan kamera di tempat produksi akan memaksakan nilai bahwa pekerja harus rajin menjalankan tugasnya. Penggunaan mesin pemindai sidik jari akan mendorong pekerja untuk datang tepat waktu. Jaringan aktan yang rumit ini memunculkan hubungan kekuatan yang rumit pula. Hubungan seorang pengguna dengan suatu teknologi tidak terisolasi dari jaringan yang lebih besar. Putusannya memilih teknologi tersebut akan dipengaruhi juga oleh jaringan aktan yang ada, yang didalamnya terjadi hubungan kekuatan. Seseorang membeli ponsel tertentu karena ada penjual dari ponsel tersebut, adanya layanan purnajual bagi merek tersebut, dan adanya operator telekomunikasi seluler yang mendapatkan izin operasi dari pemerintah. Latour meyakini perkembangan sains maupun masyarakat bisa dijelaskan lebih baik dengan menganalisis hubungan kekuatan dalam jaringan antar-aktan ini.92 Latour mengkritik analisis yang mengabaikan hubungan kekuatan ini. Dalam kajiannya mengenai sejarah ilmu, Latour menemukan bahwa pengabaian inilah yang membuat sejarah ilmu pengetahuan seolah-olah ditentukan oleh ilmuwan-ilmuwan besar. Padahal dalam sejarah politik, para sejarawan sudah mengakui peran dari hubungan-hubungan antar-kekuatan yang menyebabkan suatu peristiwa sejarah terjadi, yang membuat tokoh besar tidak sendirian menentukan jalannya sejarah. Dia hanya salah satu pemain di tengah kekuatan-kekuatan yang bekerja. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, banyak sejarawan masih melihat peran tunggal dari seorang ilmuwan yang bekerja di laboratoriumnya yang terisolasi dari masyarakat. Begitu dia menemukan penemuan penting, maka penemuan tersebut dianggap serta-merta bisa mengubah dunia sendirian. 92 Bruno Latour, The Pasteurization of France, diterjemahkan oleh Alan Sheridan dan John Law (Cambdridge, MA: Harvard University Press, 1988), 7.
100
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Dalam hubungannya dengan teknologi, Latour juga tidak melihat mesin sebagai sesuatu yang berfungsi dan menjalankan pengaruhnya sendirian. “Mereka (mesinmesin) tidak pernah ada tanpa mekanik, penemu, penyandang dana, dan operator mesin. Mesin adalah keinginan yang tersembunyi dari aktan yang telah menjinakkan tenaga dengan efektif sehingga mereka tidak tampak lagi seperti tenaga. Hasilnya adalah aktan dipatuhi, bahkan ketika mereka tidak di sana.”93 Teknologi sering diterapkan untuk menggantikan manusia. Tugas yang semula dikerjakan manusia yang labil, mudah bosan dan capek, digantikan oleh teknologi yang tidak pernah terganggu oleh rasa capek dan bosan. Pemaksaan melalui mesin juga lebih mudah dilakukan, sementara paksaan oleh orang bisa mempengaruhi ketidaknyamanan hubungan antara yang memaksa dan yang dipaksa. Paksaan oleh teknologi sering dipersepsi bukan lagi sebagai paksaan. Pengendara yang melambatkan mobilnya karena adanya polisi tidur sering tidak merasa dipaksa. Manusia hanya merasa terpaksa jika yang memaksanya patuh adalah manusia lain. Inilah yang menyebabkan efektivitas nalar teknologis. Efektivitas kepelakuan mesin ini juga diakui oleh Marcuse. Kenyataan bahwa kekuatan fisik mesin melebihi kekuatan orang atau pun sekelompok orang, "membuat mesin menjadi instrumen politis paling efektif di tiap masyarakat yang pengorganisasian dasarnya adalah proses mesin."94 Di masyarakat industri, penguasaan seseorang atas alat-alat produksi akan memberinya kekuatan politik. Posisi seseorang dalam sistem produksi juga menentukan posisi kuasa dia. Namun, hal yang sama juga bisa terjadi sebaliknya. Kuasa manusia juga bisa menentukan pengorganisasian teknis, karena, menurut Marcuse, “kuasa mesin hanyalah penyimpanan dan proyeksi dari kuasa manusia.”95
93 Latour, Pasteurization, 204: These have never existed without mechanics, inventors, financiers, and machinists. Machines are the concealed wishes of actants which have tamed forces so effectively that they no longer look like forces. The result is that the actants are obeyed, even when they are not there. 94 Marcuse, One-Dimensional, 6: makes the machine the most effective political instrument in any society whose basic organization is that of the machine process. 95 Marcuse, One-Dimensional, 6: the power of the machine is only the stored-up and projected power of man.
101
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
3.6. Kesimpulan Persoalan yang muncul dari penerapan teknologi tidaklah disebabkan oleh teknologi
semata
tetapi
lebih
karena
nilai
antidemokratis
yang
mendasari
pengembangannya. Nilai antidemokratis ini mendapatkan pembenaran dari dua pandangan terhadap nalar teknologis. Pandangan pertama, yang dianut oleh kebanyakan pakar teknologi maupun masyarakat luas, menganggap pengembangan teknologi sepenuhnya ditentukan oleh nalar, yang memanfaatkan prinsip-prinsip teknis dan logika fungsional, yang berlaku di mana saja tanpa tergantung pada nilai dan budaya setempat. Karena sepenuhnya mengikuti nalar, tidak ada ketergantungan pada faktor-faktor sosial, maka teknologi sepenuhnya berada dalam ranah teknokrasi. Putusan teknis, meski menyangkut kepentingan masyarakat luas, hanya boleh diambil oleh para pakar, sementara masyarakat tinggal menerima hasil putusan tersebut karena dianggap tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk melakukannya sendiri. Pandangan kedua, yang dianut oleh Heidegger dan Ellul, menganggap nalar ini – karena tidak tergantung pada faktor-faktor sosial – bersifat mandiri, yang berarti perkembangan teknologi lepas dari kendali siapa pun, termasuk pengembangnya sendiri. Jadi teknologi tidak hanya mengendalikan zat dan energi, atau pun operator mesin, tetapi juga termasuk para pakar yang selama ini merasa merekalah yang menentukan rancangan teknologis. Teknologi membingkai apa pun dan siapa pun yang terlibat dalam pengembangannya sebagai bahan baku yang siap diolah. Kedua pandangan tersebut sama-sama menggusur peluang demokratisasi teknologi. Namun, kebanyakan masyarakat tidak mempermasalahkan ketiadaan hak mereka untuk turut serta mengambil putusan teknis, karena, tanpa turut campur mereka, teknologi telah berkembang semakin efisien dalam memenuhi fungsi-fungsinya. Pencapaian perkembangan teknologi ini dianggap sebagai pembenaran atas nalar teknologis dan teknokrasi. Peningkatan peran nalar teknologis dipicu oleh perkembangan kapitalisme yang mendorong penanaman dan pengumpulan modal secara besar-besaran, yang karena itu membutuhkan jaminan keberhasilan. Jaminan ini diperoleh dari penalaran yang mendasari putusan dan tindakan dengan perhitungan, terutama perhitungan yang membenda dalam artefak-artefak teknologi. Posisi teknologi menjadi istimewa dalam
102
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
kapitalisme, karena prosesnya dalam mengubah masukan menjadi luaran, bisa dihitung dengan ketepatan tinggi. Hasil dan biaya pengoperasiannya bisa dihitung dengan tepat, dan risikonya bisa dihitung dengan statistik, suatu metode perkiraan yang dianggap ilmiah, sehingga memiliki alasan untuk dipercayai. Teknologi berhasil memperoleh kepercayaan yang tinggi dari masyarakat meskipun penalaran yang mendasari pengembangannya mengabaikan segala hal di luar efisiensi teknis dan ekonomis. Pertimbangan nilai dan budaya dalam pengembangan teknologi justru dianggap mengurangi efisiensi dan efektivitas teknologi. Sementara itu kapitalisme terus memacu perkembangan teknologi menjadi semakin efektif, dalam arti menghasilkan semakin banyak dan semakin cepat. Karena pengembangan teknologi ini dilatarbelakangi ambisi untuk melipatgandakan modal, maka apa yang dihasilkan harus bisa diserap pasar. Kebutuhan dasar saja tidak akan mampu menjaga keberlanjutan pertumbuhan kapitalisme, karena itulah konsumen dimanipulasi dengan berbagai cara agar membutuhkan apa yang dihasilkan oleh proses produksi. Inilah yang kemudian membawa pada kontradiksi kapitalisme: produksi barang semakin mengandalkan nalar, konsumsinya justru semakin nirnalar. Masyarakat terus dirangsang untuk mengonsumsi barang-barang yang nampak semakin canggih tetapi tidak jelas apakah mereka benarbenar membutuhkannya. Mereka dibujuk untuk mengganti barang-barang yang mereka miliki sebelum barang-barang tersebut rusak. Kerakusan nirnalar dari konsumen ini terus dirangsang dan menjadi tenaga yang mendorong kemajuan kapitalisme. Bahwa kerakusan konsumen ini sangat membebani lingkungan sudah di luar lingkup logika untung-rugi. Masalah lingkungan atau pun lainnya yang disebabkan teknologi tidak bisa diselesaikan lewat mekanisme pasar yang dirancang untuk mendorong kemajuan kapitalisme. Teknokrasi yang selama ini bekerja mengikuti prinsip efisiensi telah mengabaikan dampak negatif dari pengendalian teknis dan menjadi bungkus yang menyembunyikan hegemoni. Teknologi bukan hanya alat kekuasaan tetapi menjadi kekuasaan itu sendiri. Persoalan yang ditimbulkan oleh teknologi ini tidak bisa sepenuhnya diselesaikan melalui mekanisme pasar, tetapi sebagian perlu diatasi melalui demokratisasi teknologi.
103
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
BAB 4 MENCARI RUANG BAGI DEMOKRATISASI TEKNOLOGIS
4.1. Akar Determinisme Teknologis Yang pasti, yang menjadi perintang demokratisasi teknologi adalah teknokrasi. Instrumentalisme teknologis bisa – tetapi tidak niscaya – menjadi penghalang demokratisasi teknologi jika pandangannya tentang netralitas teknologis dijadikan alasan sebagai dukungan terhadap teknokrasi. Instrumentalisme teknologis menganggap teknologi bersifat nonpolitis, murni teknis, dan karena itu tidak perlu proses demokrasi untuk menentukan arah pengembangan dan pemanfaatan teknologi. Anggapan nonpolitis ini menjadi alasan kuat untuk menyingkirkan demokrasi dari ranah teknis. Persoalan teknologis dianggap murni persoalan teknis, sehingga cukup para pakar – yang memiliki pengetahuan yang memadai – yang berhak menyelesaikannya. Karena itulah mereka layak mendapatkan kemandirian operasional (operational autonomy), yakni “kemerdekaan manajemen membuat putusan yang mandiri tentang bagaimana menjalankan kegiatan organisasi yang dikelolanya lepas dari pandangan atau kepentingan bawahan atau komunitas sekitar.”1 Pandangan instrumentalisme teknologis merupakan pandangan yang dominan di kalangan perekayasa. Namun, pandangan ini tidak cukup mendapatkan dukungan filosofis yang kuat. Kajian teknologi juga sudah banyak membuktikan bahwa pandangan teknologi yang netral tidak bisa dipertahankan. Teknokrasi dianggap mendapatkan kekuatannya dari topangan nalar teknologis yang universal. Nalar yang tidak bisa dihindari atau pun dilawan jika teknologi ingin 1 Andrew Feenberg, Transforming Technology: A Critical Theory Revisited (Oxford: Oxford University Press, 2002), 16: the freedom of management to make independent decisions about how to carry on the activities of the organization it supervises regardless of the views or interests of subordinate actors and the surrounding community.
104
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
berhasil dikembangkan dan diterapkan, karena itulah ”pelaku yang memerintah lembaga yang dimediasi secara teknis, swasta atau pemerintah, kapitalis atau komunis, menundukkan pilihan-pilihan teknis mereka pada meta-tujuan implisit yang mereproduksi kemandirian operasional mereka.”2 Ini berarti pilihan teknis perekayasa dibingkai oleh meta-tujuan yang berasal dari luar diri mereka, yakni dari ranah nalar yang tak terjamah nilai-nilai masyarakat. Secara empiris, kebebasan teknologi dari pengaruh masyarakat ditunjukkan dengan tidak diperkenankannya mereka – karena kedangkalan pengetahuan teknisnya – untuk mengintervensi putusan teknis, meskipun putusan ini nantinya akan sangat mempengaruhi nasib mereka. Ini menggiring kita pada pandangan determinisme teknologis, dan juga substantivisme teknologis. Karena netralitas teknologis yang menjadi acuan determinisme teknologis tidak bisa dipertahankan, maka, selanjutnya, penulis akan menyamakan istilah determinisme teknologis dengan substantivisme teknologis, karena pandangan terakhir ini juga deterministis namun sekaligus menganggap teknologi tidak netral. Penggunaan istilah determinisme teknologis ini untuk lebih menegaskan sifat deterministisnya. Penggunaan istilah determinisme teknologis sebagai ganti substantivisme teknologis juga masuk akal, karena teknologi yang berkembang mandiri berarti lepas dari pengaruh siapa pun, masyarakat awam atau pun pakar; sehingga pakar pun sebenarnya hanya diperalat oleh proses perkembangan teknologi tersebut. Simpulan ini merupakan pokok pandangan substantivisme Heidegger mengenai teknologi yang membingkai alam maupun manusia sebagai bahan mentah.3 Determinisme teknologis adalah keyakinan akan adanya hanya satu jalur perkembangan teknologi. Mengarahkan perkembangan teknologi keluar jalur tersebut berarti penyimpangan yang hanya akan membawa pada kegagalan. Menurut keyakinan ini, sebagai contoh, teknologi Indonesia hanya bisa maju jika mengikuti jalur perkembangan yang sudah ditempuh Jepang atau Korea atau negara maju lainnya. Upaya menciptakan jalur sendiri tidak akan membawa Indonesia pada kemajuan teknologi. Karena itulah yang penting bagi suatu negara adalah bagaimana mengenali jalur perkembangan tersebut, dan yang bisa menentukan adalah para pakar yang 2 Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge, 1999), 103: actors in command of technically mediated institutions, whether private or public, capitalist or communist, subordinate their technical choices to the implicit meta-goal of reproducing their operational autonomy. 3 Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and other Essays, diterjemahkan oleh William Lovitt (New York: Garland Publishing, 1977), 24.
105
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
memiliki pengetahuan teknis secara mendalam. Uraian ini menunjukkan hubungan determinisme teknologis dengan teknokrasi. Teknokrasi tidak membatasi pengaruhnya pada pengembangan artefak teknologi saja, tetapi juga telah merasuki berbagai aspek kehidupan manusia. Jika suatu urusan bisa diukur, dimodelkan dan ditebak perilakunya, maka urusan tersebut bisa dikelola secara teknis yang mematuhi nalar teknologis, lebih-lebih kalau urusan menyangkut jaringan interaksi antara manusia dan teknologi. Karena itulah, bukan hanya mesinmesin, para pekerja di dalam pabrik juga dikelola secara teknis, yakni melalui pengaturan penuh perhitungan. Teknokrasi tidak hanya bekerja dalam lingkup pabrik atau tempat kerja saja, “Dengan organisasi skala-besar datang menguasai sebagian besar proses sosial, fungsi-fungsi khusus dari lembaga hierarkis seperti pabrik, tempat kerja atau penjara digeneralisasi kepada kehidupan sosial sehari-hari. Inilah yang akhirnya menjelaskan mengapa meskipun kesenjangan pendidikan dan budaya terus menurun, evolusi sosial berlangsung pada jalur autoritarian.”4 Determinisme teknologis, sebelum munculnya determinisme versi substantif yang suram, mempercayai bahwa kemajuan teknologi akan membawa manusia pada kemajuan peradaban. Kepercayaan ini didasarkan pada dua keyakinan deterministis yang diterima luas, yakni (1) keniscayaan teknis mendikte jalur perkembangan teknologi, dan (2) jalur ini ditemukan melalui upaya mengejar efisiensi. 5 Kepercayaan ini demikian meyakinkan sampai kritikus kemajuan seperti Heidegger dan Ellul juga meyakininya. Feenberg membuktikan bahwa dua kepercayaan ini salah dan sekaligus memiliki akibat anti-demokratis. Determinisme teknologis bertolak dari pandangan bahwa teknologi memiliki logika fungsional yang mandiri yang bisa diterangkan tanpa merujuk pada masyarakat. Konteks sosial dianggap tidak relevan dalam memahami perkembangan teknologi. Rancangan komputer atau mobil yang ada sepenuhnya bisa dijelaskan dari logika fungsional, tidak ada komputer yang dirancang mengikuti budaya Amerika atau pun Taiwan. Amerika tidak melahirkan mobil Protestan dan Jepang tidak menghasilkan 4 Feenberg, Questioning, 103: As large-scale organizations come to dominate much of the social process, specialized functions of hierarchical institutions such as factories, workplaces or prisons are generalized to everyday social life. It is this which ultimately explains why despite diminishing educational and cultural inequalities, social evolution continues on an authoritarian track. 5 Feenberg, Questioning, 77.
106
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
mobil Sinto. Teknologi mendapatkan sifat sosial hanya melalui tujuan yang dilayaninya, dan tujuan ada dalam pikiran orang yang menggunakannya, tidak di dalam teknologinya sendiri. Mobil bisa digunakan untuk membawa rombongan pengajian, tetapi mobil itu sendiri tidak kemudian menjadi kendaraan yang Islami. Teknologi menyerupai ilmu alam dan matematika dari segi kemerdekaannya dari pengaruh dunia sosial. Namun, berbeda dari keduanya, teknologi memiliki dampak langsung dan berkekuatan pada masyarakat. Implikasi pandangan ini mencemaskan, karena nasib masyarakat setidak-tidaknya sebagian tergantung pada faktor nonsosial (yakni teknologi) yang mempengaruhi masyarakat tanpa mengalami pengaruh balik dari mereka.6 Determinisme teknologis ini berdasarkan dua premis yang disebut premis kemajuan berjalur tunggal (unilinear progress) dan penentuan oleh pangkalan (determination by the base).7 1) Kemajuan teknis mengikuti satu jalur yang sudah tertentu, dari teknologi yang kurang canggih menjadi teknologi yang lebih canggih. Teknologi berkembang dari satu tahap ke satu tahap berikutnya. Tidak ada percabangan pada tiap tahap ini, sehingga penyimpangan dari tahapan ini hanya akan mengakibatkan kegagalan. Ini tidak berarti jalur perkembangan ini sudah bisa diketahui sejak awal. Namun, kalau jalur ini sudah disingkap oleh suatu pihak maka pihak lain tinggal menirunya karena tidak ada cara yang lain lagi. Jadi segenap upaya pengembangan teknologi dikerahkan untuk menyingkap jalur kemajuan teknis yang masih tersembunyi. Kecerdasan dan kompetensi pengembang teknologi hanya menentukan kecepatan dalam melacak jalur kemajuan ini, bukan menciptakan jalur baru. Pandangan ini, menurut Feenberg, didasarkan dua klaim dengan kekuatan yang berbeda: pertama, kemajuan teknis bergerak dari tingkat perkembangan yang rendah ke yang lebih tinggi; dan kedua, perkembangan ini mengikuti urutan tahapan yang sudah pasti. 2) Determinisme teknologis juga membenarkan bahwa lembaga sosial harus menyesuaikan diri dengan imperatif pangkalan (infrastruktur) teknologis. Pandangan ini dipengaruhi Karl Marx yang menganggap pangkalan menentukan superstruktur. Ketika 6 Feenberg, Questioning, 77. 7 Feenberg, Questioning, 77.
107
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
masyarakat mengadopsi suatu teknologi maka mereka akan membangun kebiasaan yang menyesuaikan dengan penggunaan teknologi tersebut. Kebiasaan ini bisa memicu kebiasaan lainnya. Misalnya pengoperasian kereta api membutuhkan penjadwalan yang ketat dibandingkan pengoperasian bis, karena rel yang membentang antar-stasiun hanya bisa dilewati satu kereta saja sementara jalan untuk bis bisa dilewati oleh banyak bis. Masyarakat yang moda transportasinya mengandalkan kereta api jadi harus lebih teliti memperhatikan waktu. Sesudah kereta api diperkenalkan, masyarakat Amerika yang rujukan waktunya semula hanya kira-kira saja, misalnya merujuk pada lonceng gereja dan matahari, jadi membutuhkan penunjuk waktu yang lebih teliti, yakni jam. Kebutuhan akan waktu yang tepat yang semula hanya untuk mengetahui jadwal keberangkatan kereta api, kemudian meluas meliputi berbagai pengorganisasian hidup perorangan dan masyarakat. Demikian juga hierarki pabrik telah memberikan pengaruh pada hierarki sosial dalam masyarakat industri. Di sini terlihat praktik sosial menyesuaikan dengan teknologi yang menjadi tumpuan utama kehidupan masyarakat. Dua premis di atas menegaskan bahwa kehidupan modern ini didasari oleh teknologi yang lepas dari konteks sosial (decontextualized) dan bisa berkembang sendiri (self-generating).8 Ketidaktergantungan teknologi pada konteks sosial berarti apa yang telah terjadi di negara sudah lebih dulu maju kelak akan terjadi pula pada negara yang kemajuannya terjadi belakangan. Bahwa teknologi bisa berkembang sendiri artinya teknologi akan mendorong perkembangannya sendiri seolah lepas dari inisiatif manusia. Manusia hanya diperalat oleh teknologi untuk menyingkapkan kehadirannya. Karena itulah, jika seorang perekayasa tidak mau mengembangkan suatu teknologi maka akan ada perekayasa lain yang melakukannya.
4.2. Menyanggah Keabsahan Determinisme Teknologis Di tengah masyarakat di mana ketergantungan pada teknologi dan para pakar demikian tinggi, tidak mudah mempromosikan perlunya keikutsertaan mereka dalam pengambilan putusan teknis. Para pakar cenderung merasa terusik dengan adanya intervensi masyarakat yang dianggap tidak memiliki pengetahuan teknis memadai. Keikutsertaan awam dalam putusan teknis dianggap hanya akan menurunkan kualitas putusan yang mengakibatkan melemahnya efektivitas dan efisiensi teknologi, karena 8 Feenberg, Questioning, 78.
108
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
itulah keikutsertaan masyarakat dalam putusan teknis dianggap nirnalar dan harus ditolak. Jadi, upaya mempromosikan demokratisasi teknologi harus didahului pembuktian kesalahan bahwa nalar teknologis merupakan penentu tunggal rancangan teknologis. Kajian teknologi telah menunjukkan ketiadaan determinisme teknologis melalui dua hal: (1) kemenduaan pengaruh teknologi terhadap kuasa, dan (2) kelenturan penafsiran yang menentukan perkembangan teknologi. Determinisme teknologis mengasumsikan bahwa pengaruh teknologi pada hubungan kuasa dalam masyarakat bersifat tunggal. Padahal, menurut Feenberg, hubungan teknologi dengan kuasa tidak tunggal, tidak pula searah. Dampak teknologi pada kuasa bisa mendua yang keduanya bisa saling bertolak belakang. 9 Pertama, teknologi bisa mempertahankan hierarki kuasa yang ada (conservation of hierarcy), sebagaimana ditunjukkan bagaimana pihak-pihak tertentu bisa mempertahankan kuasanya selama beberapa generasi dalam masyarakat kapitalis. Pihak yang berkuasa bisa menemukan dan menjalankan strategi teknokratis yang menguntungkan mereka lepas dari bagaimana pun perkembangan teknologinya. Kedua, teknologi baru bisa juga menggusur hierarki sosial yang ada atau memaksanya memenuhi kebutuhan pihak yang selama ini diabaikan. Prinsip ini menjelaskan mengapa inisiatif teknis kerap menyertai reformasi struktural yang diperjuangkan gerakan buruh, lingkungan dan lainnya. Bahwa teknologi bisa mendorong proses demokratisasi ini memberikan optimisme, membuka peluang bagi masyarakat untuk kembali menentukan masa depannya. Bukti kedua yang membatalkan determinisme teknologis adalah adanya kelenturan penafsiran (interpretative flexibility) yang memungkinkan teknologi berkembang ke beberapa arah berbeda pada saat yang sama.10 Pada akhir abad 19, sebelum sepeda mencapai bentuk modern yang kita kenal saat ini, rancangan sepeda berkembang ke beberapa arah yang berbeda. Ada dua jenis sepeda yang dominan pada waktu itu: sepeda balap untuk olah raga dan sepeda yang aman untuk transportasi. 9 Feenberg, Questioning, 76. 10 Trevor Pinch dan Wiebe Bijker, “The Social Construction of Facts and Artefacts,” dalam The Social Construction of Technological Systems, diedit oleh W. Bijker, T. Hughes, dan T. Pinch (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1987), 33.
109
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Sepeda olah raga memiliki roda depan yang tinggi, yang membuatnya bisa dijalankan dengan cepat, namun oleh pengguna sepeda aman dianggap membahayakan. Pengguna sepeda aman lebih memilih dua roda yang lebih rendah dan berukuran sama. Sepeda ini lebih aman tetapi kurang menarik bagi penggemar balap sepeda. Dua rancangan ini memenuhi kebutuhan kelompok pengguna yang berbeda, namun memiliki banyak komponen yang sama, sehingga komponen yang satu bisa digunakan untuk jenis yang lain. Ambiguitas di awal perkembangan sepeda ini disebut Pinch dan Bijker sebagai kelenturan penafsiran. Akhirnya rancangan sepeda aman ini menang, dan industri sepeda yang sebelumnya mengembangkan jenis sepeda olah raga beroda tinggi pun beralih ke rancangan sepeda aman ini. Jika kita melihat ke belakang, seolah sepeda roda tinggi sebagai tahap yang kurang efisien dan aneh, padahal kenyataannya kedua rancangan ini berbagi tempat selama bertahun-tahun dan yang satu bukanlah tahap dari perkembangan yang lain. Sepeda roda tinggi dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan yang berbeda. Adanya kemungkinan percabangan arah perkembangan teknologi dikarenakan dalam perkembangan teknologi, sebagaimana juga dalam perkembangan ilmu pengetahuan, berlaku tesis underdetermination, di mana tidak ada penalaran yang memadai untuk menjelaskan mengapa teknologi berkembang ke suatu arah dan tidak ke arah lain. Tesis ini juga merupakan penolakan terhadap anggapan bahwa nalar adalah sesuatu yang mandiri, yang lepas dari pengaruh masyarakat, “Nalar, dengan kata lain, tidak membentuk domain yang terpisah dan mencukupi dirinya sendiri dari kegiatan manusia.”11 Teknologi memang akan selalu mematuhi prinsip-prinsip teknis yang bertumpu pada hukum alam. Jika prinsip-prinsip teknis ini tidak dipatuhi, maka teknologi tidak akan bekerja atau tidak berjalan sebagaimana mestinya. Namun, teknologi juga memiliki fungsi memenuhi kebutuhan penggunanya. Fungsi tidak muncul dari alam, tidak pula turun begitu saja dari ranah logika. Seberapa jauh suatu teknologi memenuhi kebutuhan masyarakat adalah tergantung pada pandangan masyarakat itu sendiri. Karena itulah kriteria nalar murni seperti keefektifan teknis tidak bisa digunakan untuk memprediksi keberhasilan atau kegagalan suatu inovasi di masyarakat. Suatu kebutuhan 11 Feenberg, Questioning, 78: Rationality, in other words, does not constitute a separate and selfsufficient domain of human activity.
110
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
bisa dipenuhi oleh beberapa kemungkinan rancangan dan tidak ada alasan yang sepenuhnya ternalar untuk menentukan satu pilihan di atas pilihan lain. Berlakunya underdetermination berarti prinsip teknis saja tidak mencukupi untuk menentukan rancangan dari artefak teknologi.12 Ketika
prinsip
teknis
dianggap
tidak
memadai,
orang
kemudian
menggantikannya dengan kriteria efisiensi ekonomi untuk meramalkan keberhasilan suatu inovasi diterima pasar. Namun, bagi Feenberg, ini pun tetap tidak memadai, karena sebelum efisiensi dari suatu proses bisa diukur, tipe dan kualitas luarannya harus ditetapkan lebih dulu. Kriteria ekonomi adalah sekunder, yang utama adalah pendefinisian yang jelas tentang masalah dan solusi yang diberikan oleh teknologi. Misalnya, pelopor pengembangan komputer dengan antarmuka grafis (graphical user interface) dan tetikus (mouse) adalah Xerox PARC. Namun, perusahaan ini tidak mengomersialkan komputer ini, justru Apple yang dipimpin Steve Jobs-lah yang mewujudkannya dalam komputer pribadi setelah mengunjungi Xerox PARC. Pandangan bahwa komputer adalah alat bagi perekayasa atau teknisi, yakni orang-orang yang memiliki pengetahuan teknis yang mendalam, membuat komputer dengan antarmuka grafis dan tetikus nampak seperti mainan anak-anak dan karena itu dianggap tidak akan akan diterima oleh pasar. Karena itulah jika kemudian ternyata komputer dengan antarmuka grafis ini diterima oleh pasar, bukanlah semata-mata karena kecanggihannya, tetapi, menurut Feenberg, karena perubahan komposisi pengguna. Secara bertahap, komputer terdifusi keluar dari kalangan perekayasa dan teknisi. Sekretaris, akuntan, sampai anak-anak mulai menggunakan komputer. Para pengguna baru ini lebih membutuhkan komputer yang ramah pengguna (user friendly), bukan komputer yang efisien untuk diprogram. Feenberg menyetujui penjelasan konstruktivisme bahwa penentuan dari berbagai pilihan tidak tergantung pada efisiensi teknis atau pun ekonomis, tetapi pada “kesesuaian” antara alat, kepentingan dan kepercayaan dari berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi proses perancangan.13 Kesesuaian artefak dengan lingkungan sosio-teknisnya menentukan keberhasilan penyebarannya. Kesesuaian ini terwujud dalam rancangan, termasuk dalam bagaimana teknologi memenuhi fungsinya. 12 Feenberg, Questioning, 79. 13 Feenberg, Questioning, 79.
111
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Teknologi tidak netral, tetapi membiaskan kepentingan tertentu. Karena itulah “Membalikkan bias ini tidak akan mengembalikan kita pada teknologi yang murni, netral, tetapi hanya akan mengubah isi nilainya ke arah yang lebih sesuai dengan kesukaan kita dan karenanya menjadi kurang nampak pada kita.” 14 Bias dari teknologi ini lebih dirasakan oleh orang yang kepentingannya tidak terakomodasi. Misalnya, sepeda beroda tinggi, yang disukai laki-laki penggemar olah raga, mengabaikan kepentingan wanita yang juga memiliki kebutuhan transportasi. Karena itulah para wanita ini memilih sepeda beroda lebih rendah yang mengakomodasi kepentingan mereka. Teknologi bisa jadi dikembangkan hanya oleh sekelompok kecil pengembang, namun, disadari atau tidak, teknologi tersebut harus memiliki fungsi yang bisa memenuhi kepentingan satu kelompok masyarakat. Untuk teknologi baru, bisa jadi kebutuhannya tidak langsung dikenali baik oleh pengembang teknologi maupun masyarakat itu sendiri. Ada proses penafsiran yang berkembang, yang mau tidak mau harus ditanggapi oleh pengembang teknologi. Proses penafsiran terhadap artefak teknologi dan respons pengembangnya tidak hanya berlangsung satu tahap saja tetapi “melalui rantai-rantai masalah dan solusi yang berbeda menuju pengembanganpengembangan berikutnya yang berbeda.”15 Karena itu “cara kelompok sosial menafsirkan dan menggunakan obyek adalah tidak semata-mata ekstrinsik tetapi membuat perbedaan dalam sifat dari obyek itu sendiri,”16 sehingga pengembangan teknologi hanya bisa dimengerti sebagai proses sosial. Pandangan ini menentang determinisme teknologis yang meyakini teknologi yang ada saat ini adalah akibat tak terhindarkan dari perkembangan sebelumnya, lepas dari kita bisa mengantisipasi perkembangan tersebut atau tidak. Fakta sejarah yang menyangkal determinisme teknologis adalah penghapusan pekerja anak-anak di Inggris pada pertengahan abad 19. Revolusi industri telah menggiring anak-anak menjadi pekerja pabrik di mana teknologi juga dirancang agar 14 Feenberg, Questioning, 80: Reversing these biases would not return us to pure, neutral technology, but would simply alter its valuative content in a direction more in accord with our own preferences and therefore less visible to us. 15 Pinch and Bijker, Social Construction, 42: via different chains of problems and solutions to different further developments. 16 Feenberg, Questioning, 80: the way social groups interpret and use the objects are not merely extrinsic but make a difference in the nature of the objects themselves.
112
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
bisa dioperasikan oleh tubuh yang berukuran kecil. Dengan rangkaian mesin yang dirancang untuk menyederhanakan pekerjaan, anak-anak yang diupah rendah inipun bisa sama bergunanya dengan pekerja dewasa. Karena itulah upaya menghapus tenaga kerja anak-anak ini sangat ditentang baik oleh kalangan industri maupun politisi pendukungnya. Seorang anggota parlemen sampai menganggap bahwa aturan tersebut merupakan “prinsip kemanusiaan yang palsu, yang pada akhirnya tentu akan mengalahkan dirinya sendiri.”17 Bahkan karena begitu radikalnya aturan ini sampai anggota parlemen tersebut menganggap aturan itu akan meruntuhkan keseluruhan sistem kerja pabrik. Akibat dari masuknya pekerja anak-anak, mesin-mesin memang dirancang agar bisa dioperasikan dengan mudah oleh mereka. Namun, setelah aturan pelarangan mempekerjakan anak-anak ditegakkan, apakah ini melawan imperatif teknologi yang tak bisa ditawar-tawar? Ternyata tidak. Pabrik-pabrik bisa beroperasi dengan pekerja orang-orang dewasa saja. Teknologinya juga disesuaikan supaya mudah dioperasikan orang-orang dewasa. Masuknya anak-anak ke lapangan kerja ditunda, tetapi mereka mendapatkan peran baru, yaitu menjadi pelajar, sehingga bisa memasuki lapangan kerja dengan kompetensi yang lebih tinggi. Dan, jika dipikirkan belakangan, inipun sesuai juga dengan tuntutan perkembangan teknologi yang makin pesat yang menuntut pengetahuan pekerja yang semakin tinggi pula. Hal ini menunjukkan kelenturan sistem teknis, yang tidak secara kaku membatasi, tetapi justru bisa menyesuaikan diri pada beragam tuntutan sosial.
4.3. Pandangan Konstruktivisme Teknologis Jika teknologi tidak lagi bisa didefinisikan sebagai himpunan alat yang bersifat nonsosial, lalu bagaimana kita harus memahaminya? Pandangan konstruktivisme teknologis membuka pintu bagi cara pemahaman baru yang oleh Feenberg diringkas menjadi tiga perihal berikut.18
17 “a false principle of humanity, which in the end is certain to defeat itself.” (Hansard’s Debates: 1844 (22 Feb-22 April), 1123, 1120, dikutip dalam Feenberg, Questioning, 82). 18 Feenberg, Questioning, 83-84.
113
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
1.
Rancangan teknis tidak ditentukan oleh kriteria umum seperti efisiensi, tetapi oleh proses sosial yang membedakan pilihan-pilihan teknis menurut beragam kriteria yang sesuai dengan kasusnya masing-masing;
2.
Proses sosial ini tidak mengenai pemenuhan kebutuhan alamiah manusia, tetapi menyangkut pendefinisian budaya dari kebutuhan dan karena itu juga masalah yang hendak diatasi oleh teknologinya; dan
3.
Definisi-definisi yang bersaing satu sama lain memantulkan visi-visi yang saling bertentangan tentang masyarakat modern yang diwujudkan dalam pilihan-pilihan teknis yang berbeda. Menurut Feenberg, perihal pertama meluaskan lingkup penyelidikan aliansi dan
konflik sosial ke ranah isu teknis. 19 Putusan teknis bisa dianggap sebagai hasil konsensus yang unik, karena begitu diterapkan, teknologi mampu memaksa manusia mematuhi “konsensus.” Ini berbeda dengan kesepakatan yang murni sosial yang lebih mudah dilanggar. Teknologi, menurut Latour, mampu mengobyektivikasi norma sehingga tidak lagi menjadi nilai subyektif yang memungkinkan untuk dipatuhi atau pun dilanggar.20 Bahkan alat ini lebih konsisten dibandingkan manusia dalam mematuhi atau pun memaksa manusia patuh. Misalnya, warga kompleks perumahan bisa meminta pengendara mobil yang masuk untuk memperlambat kendaraannya dengan memasang papan peringatan bertuliskan “Harap pelan-pelan.” Di sini pesan moral didelegasikan pada manusia yang diharapkan akan mematuhinya, namun pada kenyataannya tidak selalu dipatuhi. Cara yang kemudian dianggap lebih efektif adalah dengan membangun ‘polisi tidur’ yang bisa memaksa orang yang bandel sekalipun untuk mematuhi pesan moral tersebut. Bagi Latour teknologi bukan sekadar himpunan peralatan yang ditentukan oleh prinsip sebab-akibat tetapi juga sebagai obyektifikasi nilai sosial, sebagai sistem budaya. Dua perihal lainnya mengimplikasikan bagaimana budaya dan teknologi memasuki sejarah sebagai kekuatan efektif tidak hanya dalam politik tetapi juga dalam ranah teknis. Tiga hal di atas menunjukkan bahwa metode yang bisa diterapkan untuk 19 Feenberg, Questioning, 84. 20 Bruno Latour, “Where Are the Missing Masses? The Sociology of a Few Mundane Artifacts,” dalam W. Bijker, dan J. Law (ed), Shaping Technology/Building Society: Studies in Sociotechnical Change (Cambridge, Mass: MIT Press, 1992), 231.
114
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menganalisa lembaga sosial, kebiasaan, kepercayaan dan seni, juga bisa diterapkan untuk menganalisa teknologi. Dengan pendekatan hermeneutis ini definisi teknologi meluas menjangkau makna sosial dan cakrawala budaya. Peran makna sosial terlihat jelas pada kasus sepeda. Penentuan masa depan obyek teknologi terjadi melalui persaingan penafsiran antara sepeda sebagai sarana olah raga dan sepeda sebagai sarana angkutan yang aman. Kalangan yang merasa tafsir hermeneutis atas teknologi sebagai sesuatu yang ganjil akan menolak “keberadaan pertarungan makna” ini, dan mungkin akan lebih melihatnya sebagai ketidaksepakatan fungsi saja. Mereka yang berpendapat demikian lebih akrab dengan “fungsi” daripada dengan “makna”. Feenberg juga menyetujui bahwa sesudah pilihan fungsi ditentukan, pengembang teknologi sepenuhnya menentukan implementasinya, sementara penafsir humanis tidak diperlukan lagi, sehingga tafsir atas makna teknologi seolah tidak dan tidak pernah diperlukan.21 Feenberg tidak mendefinisikan teknologi berdasarkan perbedaan sifat sosial dan teknis, tetapi pada titik temu antara keduanya. Esensi teknologi bukanlah pada ketergantungannya pada fungsi atau pun struktur sebab-akibat yang berlaku sama di mana pun teknologi digunakan, tetapi diabstraksikan dari konteks sosial yang lebih besar di mana fungsionalitas memainkan peran khusus yang terbatas. Teknologi tentu memiliki aspek sebab-akibat, tetapi juga memiliki aspek simbolis yang menentukan penggunaan dan evolusinya. Baudrillard mengadaptasi perbedaan linguistik antara denotasi dan konotasi untuk menjelaskan fungsi dari obyek teknis dan berbagai asosiasi dari obyek tersebut. 22 Kita bisa mengambil contoh berikut. Ponsel iPhone bukanlah semata-mata alat komunikasi sebagaimana kebanyakan ponsel lain, tetapi juga memiliki simbol yang tidak kalah penting, sebagai sesuatu yang keren, yang mengundang penghormatan dari orang lain. Demikian The Body Shop tidak menjual produknya semata-mata untuk keperluan rias, perusahaan ini juga berusaha membangun konotasi bahwa pelanggan bisa tampil cantik sambil tetap memelihara lingkungan. Para insinyur bisa menganggap konotasi merupakan sifat ekstrinsik dari teknologi, tetapi yang jelas sifat ini merupakan bagian dari realitas sosial tentang bagaimana pelanggan mempersepsi teknologi, dan ini 21 Feenberg, Questioning, 84. 22 Pernyataan Baudrillard ini dikutip dari Feenberg, Questioning, 85.
115
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
bisa menentukan arah pengembangan berikutnya dari teknologi tersebut. Pendekatan Baudrillard ini membuka ruang bagi teknologi untuk dianalis sebagaimana karya sastra. Dengan demikian teknologi bisa ditafsirkan dengan cara yang sama sebagaimana teks, karya seni, dan tindakan. Berbeda dengan Feenberg, Baudrillard menganggap perbedaan antara denotasi dan konotasi sudah jelas sejak awal. Padahal, dalam kenyataannya, menurut Feenberg, perbedaan ini adalah produk bukan premis dari perubahan teknologi.23 Perbedaan denotasi dan konotasi ini berkembang bersama perkembangan teknologi. Di masa lalu, ketika telepon harus terikat di mejanya di dalam rumah, telepon adalah alat telekomunikasi sekaligus penanda bahwa pemiliknya adalah orang yang kaya. Tetapi, telepon rumah tidak pernah menjadi bagian dari aksesori. Baru setelah telepon bisa dibawa ke mana-mana dan bisa dengan mudah diperlihatkan pada orang lain, ia dirancang demikian indah, dengan jaket pembungkus yang bisa diganti-ganti sehingga seorang wanita bisa menyesuaikan warnanya dengan warna bajunya. Ketika suatu teknologi berada pada awal perkembangannya, kesepakatan mengenai fungsinya tidak selalu bisa ditentukan.24 Misalnya komputer diperkenalkan pertama kali dengan janji yang tak terbatas namun tanpa aplikasi. Seiring dengan perkembangannya komputer mendapatkan fungsi-fungsi yang tidak diduga sebelumnya. Komputer generasi awal memakan tempat seisi ruangan, berharga sangat mahal sehingga hanya negara yang mampu membiayai pembangunannya, dan digunakan untuk keperluan yang sangat penting bagi negara, yakni keperluan militer. Saat itu tak terbayangkan bahwa komputer kelak akan digunakan seorang sekretaris untuk mengetik surat, atau digunakan anak kecil untuk bermain. Bagi Feenberg, apakah fungsi lebih dulu dari asosiasi, atau sebaliknya, tidak bisa dipastikan. Pada kasus komputer, terjadi koevolusi antara teknologi dan pengguna. Keduanya saling mempengaruhi. Fungsi akan menentukan konotasi, tetapi konotasi juga akan menentukan fungsi-fungsi baru yang akan ditanamkan di dalamnya. Ketakterpisahan antara fungsi dan asosiasi bisa digunakan untuk memahami sejarah ekspedisi Laksamana Cheng Ho di abad 15 yang merupakan ekspedisi terbesar sepanjang sejarah pelayaran. Namun bangsa Tiongkok waktu itu tidak sepakat tentang 23 Feenberg, Questioning, 85. 24 Feenberg, Questioning, 86.
116
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
manfaat dari pencapaian kegiatan pelayaran ini, sehingga akhirnya menghentikan ekspedisi tersebut dan nama Laksamana Cheng Ho pun tenggelam dari perhatian sejarah. Penghentian ekspedisi ini membuat teknologi perkapalan mereka mundur. Dan ini juga membuka ruang bagi pelayaran bangsa Eropa dan penaklukan mereka atas bangsa-bangsa Asia.25 Penghargaan Tiongkok terhadap prestasi Cheng Ho naik kembali setelah munculnya tulisan dari Liang Qichao yang berjudul "Cheng Ho, Pelayar Terbesar Tiongkok” pada awal abad 20.26 Pada teknologi yang sudah mapan perbedaan antara fungsi dan konotasi memang sudah jelas. Ada kecenderungan untuk memproyeksikan kejelasan di masa kini pada masa lalu dan membayangkan bahwa fungsi teknisnya memang sejak awal sudah jelas, dan inilah yang kemudian dianggap menimbulkan konotasi-konotasi tertentu. Padahal fungsi teknis tidak terberi-sebelumnya tetapi ditemukan dalam perjalanan pengembangan dan penggunaan. Perlahan-lahan fungsi-fungsi tersebut terkunci oleh evolusi lingkungan sosial dan teknis, sebagai contoh fungsi pengangkutan dari mobil telah dilembagakan di rancangan perkotaan berkepadatan rendah yang menciptakan kebutuhan terhadap pengangkutan yang harus dipenuhi mobil. Selama tidak ada keterkuncian kelembagaan mengikatnya secara kuat pada salah satu dari beberapa fungsinya yang mungkin, ambiguitas dalam definisi dari teknologi baru menghadirkan masalah teknis yang harus diselesaikan melalui interaksi antara perancang, pembeli dan pengguna.27
Selain merespons pemaknaan masyarakat, perkembangan teknologi juga menyesuaikan diri pada cakrawala budaya yang berlaku. Cakrawala budaya adalah asumsi yang umum, yang menjadi latar belakang tindakan dan penilaian yang sudah tidak dipertanyakan lagi. Cakrawala ini sering tidak eksplisit, bahkan bisa tidak disadari, dan merupakan bentuk modern dari hegemoni sosial. Feenberg memaknai “hegemoni adalah penguasaan yang berakar demikian mendalam dalam kehidupan sosial sehingga ia nampak alamiah bagi mereka yang dikuasainya. Seseorang
bisa juga
25 Louise Levathes, When China Ruled the Seas: The Treasure Fleet of the Dragon Throne, 1405-33. New York: Simon & Schuster, 1994. 26 Information Office of the People’s Government of Fujian Province, Zheng He's Voyages Down the Western Seas, (Fujian, China: China Intercontinental Press, 2005). 27 Feenberg, Questioning, 86: technical functions are not pregiven but are discovered in the course of development and use. Gradually they are locked in by the evolution of the social and technical environment, as for example the transportation functions of the automobile have been institutionalized in low-density urban designs that create the demand for transportation automobiles satisfy. So long as no institutional lock-in ties it decisively to one of its several possible functions, these ambiguities in the definition of a new technology pose technical problems which must be resolved through interactions between designers, purchasers and users.
117
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
mendefinisikannya sebagai aspek dari sebaran kuasa sosial yang memiliki kekuatan budaya di belakangnya.”28 Menyaksikan sesuatu dari cakrawala budaya yang berbeda membuat kita bisa melihat keganjilan foto pekerja anak-anak mengoperasikan mesin. Kita bisa tidak habis pikir, bagaimana mungkin ‘eksploitasi pekerja anak-anak’ bisa terjadi di Inggris. Orang yang berada dalam cakrawala budaya Inggris di masa itu tidak mempertanyakan hal tersebut, menganggap pekerja anak-anak sebagai sesuatu yang normal, dan para perekayasa juga tanpa rasa bersalah mengembangkan teknologi yang disesuaikan dengan ukuran anak-anak yang mengoperasikannya. Mereka melihat pilihan rancangan teknologi tersebut sebagai sesuatu yang normal, alamiah. Mesin yang bisa dioperasikan anak-anak memantulkan hubungan sosial yang ada pada waktu itu. Penerimaan terhadap nilai “efisiensi” membuat orang menerima teknologi produksi ban berjalan (assembly line). Proses produksi dengan ban berjalan ini memaksakan disiplin kerja secara teknologis untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan dengan cara meningkatkan pengendalian melalui penyederhanaan keterampilan dan pemacuan kerja (pacing work). Pemangkasan keterampilan (deskilling) hanya dianggap sebagai kemajuan teknis dalam konteks sosial tertentu, yakni ketika posisi pemilik modal dan manajer demikian dominan. Di lingkungan di mana ekonomi berpangkal pada dewan pekerja di mana disiplin kerja lebih bersifat dipaksakan dari dalam lingkungan pekerja sendiri daripada dari manajemen, maka deskilling akan dilihat sebagai kemunduran. Jadi apa yang disebut Marcuse sebagai “nalar teknologis” atau yang disebut Foucault sebagai “rezim kebenaran” bukanlah semata-mata kepercayaan atau ideologi, tetapi secara efektif ditanamkan dalam mesin itu sendiri.29
4.4. Model Perkembangan Teknologi Secara umum kita lebih sering menyaksikan teknologi berkembang akumulatif, yang
memperbaiki
atau
meningkatkan
kemampuan
sebelumnya.
Misalnya
mikroprosesor yang berkembang menjadi lebih cepat, sepeda motor yang semakin 28 Feenberg, Questioning, 86: hegemony is domination so deeply rooted in social life that it seems natural to those it dominates. One might also define it as that aspect of the distribution of social power which has the force of culture behind it. 29 Feenberg, Questioning, 87.
118
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
hemat bahan bakar, atau baterei ponsel yang semakin tahan lama. Kadang-kadang muncul teknologi baru dengan fungsi yang tidak terpikirkan sebelumnya, atau teknologi baru yang memenuhi fungsi lama dengan cara yang sama sekali baru dan lebih efisien, dan karena itu kemudian menggusur teknologi lama. Teknologi terakhir ini disebut sebagai teknologi yang menyingkirkan (disruptive technology)30, yang menggusur teknologi yang sudah mapan, termasuk para pelaku industri pendukungnya. Sekuat apa pun pendukung industri kamera seluloid mereka tidak mampu menahan gempuran industri kamera digital. Demikian juga teknologi pager dengan cepat disingkirkan oleh ponsel. Saat disruptive technology muncul, terjadi perubahan paradigma tetapi ini tidak bisa disebut percabangan dari jalur tunggal juga. Perkembangan teknologi ini bisa saja dianggap tetap mengikuti kemajuan berjalur tunggal (unilinear progress), hanya saja teknologinya berganti secara radikal. Lalu, pada saat apa determinisme teknologis dan kemajuan berjalur tunggal yang merupakan implikasinya bisa dibatalkan? Pada saat masyarakat menggugat teknologi melalui berbagai cara sehingga pemerintah maupun kalangan industri tidak bisa mengabaikannya. munculnya
Gerakan
peraturan
mempertimbangkan
yang
lingkungan, memaksa
lingkungan.
misalnya, industri
Persoalan
akhirnya mengikuti
keamanan
juga
berhasil baku
menekan
mutu
menuntut
yang
industri
meningkatkan keamanan produk atau pun proses produksinya. Feenberg melakukan sedikit modifikasi pada pendekatan Thomas Samuel Kuhn31 yang aslinya digunakan untuk menjelaskan perkembangan ilmu pengetahuan. 32 Dalam sebagian besar kurun waktunya ilmu pengetahuan berkembang sebagai “ilmu normal” yang metode maupun teori utama yang menjadi rujukannya sudah diterima secara luas. Para ilmuwan hanya melakukan sedikit perubahan terhadap hal utama tersebut, mereka lebih pada memperkaya dan memperluas jangkauan penjelasan dari teori utama tersebut dengan metode penelitian yang tidak dipertanyakan lagi oleh komunitas ilmuwan pendukungnya. Hal-hal yang utama ini, yang meliputi teori-teori utama, asumsi, metode, dan berbagai praktik terkait, disebut sebagai paradigma. Pada 30 Clayton M. Christensen, The Innovator’s Dilemma (Boston, MA: HarperBusiness, 2000) 31 Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (Chicago: University of Chicago Press, 1962). 32 Feenberg, Questioning, 89-90.
119
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
saat ilmu normal demikian kuat, temuan fakta atau gagasan teori baru yang tidak sejalan akan cenderung disalahkan, atau setidaknya diabaikan. Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan sesekali akan diselingi oleh revolusi. Anomali dalam fakta akan mendorong pertanyaan baru atau gugatan pada paradigma yang ada, apakah yang digugat teorinya, asumsinya atau metodenya. Perkembangan teknologi bisa diserupakan dengan perkembangan ilmu yang berlangsung normal dalam kurun yang panjang dan sesekali diselingi oleh revolusi yang mengubah paradigma ilmu normal tersebut. Saat serupa dengan ilmu normal, teknologi berkembang berdasarkan kode teknis yang sudah diterima luas, fungsinya tidak dipermasalahkan. Di saat ini para perekayasa memiliki kemandirian operasional tanpa membuat masyarakat keberatan. Namun, pada saat-saat tertentu, teknologi dianggap mengganggu kepentingan masyarakat luas atau mengancam keselamatan mereka sehingga perlu ditentang. Jika gugatan terhadap teknologi ini demikian besar, maka akan menjadi gugatan politis yang mengubah peraturan, dan teknologi pun disesuaikan dengan tuntutan masyarakat. Penyesuaian ini tidak langsung berjalan mulus. Teknologi akan mengalami masa-masa tidak efisien dalam memenuhi tuntutan yang terkandung dalam kode teknis yang baru, kalangan industri juga akan menunjukkan keberatannya. Namun, jika mereka tidak memiliki pilihan lain selain mematuhi kode teknis tersebut, secara bertahap efisiensi bisa terus mereka tingkatkan dan teknologi akan berkembang serupa dengan ilmu normal. Ada perbedaan penting antara ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu alam, misalnya, jauh lebih kebal dari pengaruh masyarakat dibandingkan dengan teknologi. Intervensi demokratis terhadap ilmu alam dianggap bukan saja tidak perlu tetapi juga tidak dimungkinkan. Revolusi ilmu alam lebih dikarenakan ketegangan di dalam disiplin itu sendiri. Namun, pengaruh politik secara tidak langsung terhadap ilmu alam kadang-kadang terjadi juga. Misalnya anggaran pemerintah bisa menentukan arah ke mana penelitian dilakukan. Berbeda dengan ilmu alam, ilmu sosial lebih sensitif terhadap pengaruh perkembangan sosial-politik. Misalnya, berkuasa dan runtuhnya rezim orde baru sangat mempengaruhi penulisan sejarah mengenai jatuhnya rezim Soekarno.
120
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Arah perkembangan teknologi bisa dipengaruhi masyarakat, termasuk masyarakat awam sekalipun. Walaupun pengaruh ini lebih sering dikarenakan mereka menjadi obyek daripada subyek yang mempengaruhi teknologi. Keterlibatan mereka dalam penggunaan teknologi – baik sebagai operator, pengguna atau pihak yang terkena dampaknya – membuat mereka memiliki pengetahuan yang hanya bisa didapat melalui keterlibatan ini.33 Pengetahuan ini bukanlah pengetahuan intelektual yang tertata sistematis karena diperolehnya juga melalui pengalaman, yang bisa berarti melalui kesulitan dan penderitaan mereka. Mereka juga tidak berkepentingan mensistematisasi pengetahuan tersebut, yang mereka butuhkan hanyalah lepas dari kesulitan dan penderitaan. Karena itulah pengetahuan yang berasal dari pengalaman ini bisa menjadi dasar bagi intervensi publik pada sistem teknologis yang matang sekalipun. Misalnya, Thalidomide yang dijual di Jerman Barat pada tahun 1957 untuk mengatasi mual pada wanita hamil, dan kemudian ternyata menyebabkan ribuan bayi lahir cacat. Adanya masyarakat awam yang menjadi korban ini, apakah dengan menyampaikan penderitaannya sendiri atau pun disuarakan oleh pihak lain, menjadi pendorong munculnya intervensi publik yang menghentikan peredaran Thalidomide. Di Indonesia, keterlibatan masyarakat pada isu-isu teknologi masih rendah. Dengan tingkat pendidikan rata-rata yang masih rendah, teknokrasi relatif tidak menghadapi perlawanan yang berarti dari masyarakat. Kalau pun ada keberatan masyarakat atas pendirian PLTN atau pun pabrik kerap dipicu oleh ajakan LSM lebih dulu. Keterlibatan masyarakat awam dengan teknologi membuat mereka memiliki pengetahuan tersituasi (situated knowledge), yang umumnya sulit diperoleh jika mereka, dan juga pakar, tidak terlibat menggunakan atau pun menjadi korban teknologi tersebut. Pengetahuan tersituasi ini kerap diabaikan pakar yang lebih termotivasi mengejar efisiensi dalam bingkai kerja kode teknis yang mapan. Padahal, pengetahuan tersituasi ini bisa membebaskan mereka dari kungkungan bingkai kode teknis yang ada, sehingga memungkinkan mereka melihat dari perspektif “korban.” Efisiensi, dalam istilah Kuhn, hanya berlaku dalam satu paradigma, tidak bisa dinilai lintas-paradigma. Sejauh budaya teknis didasarkan pada efisiensi, mereka membentuk sesuatu yang ekuivalen dengan, apa yang disebut Kuhn, ilmu normal. Jika kita terkungkung dalam satu paradigma, 33 Feenberg, Questioning, 90.
121
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
maka kita tidak memiliki kategori untuk memahami perubahan paradigma yang akan mentransformasikannya. Pengaruh masyarakat pada teknologi tidak hanya terjadi setelah mereka menjadi korban dan melakukan gugatan. Ketika menentukan fungsi, pengembang teknologi harus, secara langsung atau pun tidak, menurunkannya dari kebutuhan yang nyata atau pun yang bisa dibangkitkan dari masyarakat. Jika tidak, teknologi tersebut berisiko tidak diterima masyarakat. Misalnya, popularitas blog bisa dengan mudah disalip oleh media sosial adalah karena media sosial lebih mengakomodasi kebiasaan lama di dunia nyata, yakni melakukan pembicaraan singkat, komentar pendek dan tidak penting. Sementara itu blog membutuhkan upaya yang besar karena menuntut tulisan yang panjang. Masyarakat awam tidak secara eksplisit menentukan spesifikasi dan fungsi teknologi, tetapi tingkat kesesuaian teknologi dengan kebiasaan mereka menjadi penentu tingkat penerimaan masyarakat terhadap teknologi tersebut. Karena itulah, menurut Feenberg, akan lebih menguntungkan pengembang teknologi jika kepentingan masyarakat diakomodasi sejak awal dibandingkan jika mereka menunggu sampai masyarakat mempermasalahkannya.34 Rancangan yang mempertimbangkan kepentingan masyarakat dalam rancangan teknis ini disebut Feenberg sebagai rancangan refleksif (reflexive design). Rancangan refleksif ini tidak harus berarti pengorbanan bagi produsen, tetapi juga bisa menguntungkan. Rancangan refleksif bisa dipicu oleh kepentingan pemasaran, agar produknya lebih tepat sasaran, dan meminimalkan risiko yang nantinya bisa merusak citra perusahaan. Perancangan refleksif dilakukan melalui eksplorasi dan evaluasi pengaruh dan dampak sosial teknologi sebelum dipasarkan, sehingga hal-hal yang tidak diinginkan bisa dicegah sebelum teknologi digunakan secara luas. Perancangan refleksif sudah banyak dipraktikkan di sebagian industri, meskipun pihak yang mempraktikkannya tidak selalu mendasarkan pada alasan etis atau ideologis, tetapi lebih karena menginginkan agar inovasinya sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan pengguna, sehingga nantinya mereka bersedia membelinya. Banyak yang menganggap bahwa gagasan inovatif dalam pengembangan teknologi dibuat oleh produsen (manufacturer). Penelitian Eric Von Hippel dari MIT 34 Feenberg, Questioning, 91.
122
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menunjukkan bahwa anggapan ini salah.35 Dalam beberapa sektor industri justru penggunalah yang mengembangkan gagasan inovasi lalu meyakinkan produsen teknologi untuk memproduksi dan menjual inovasi tersebut, bahkan kadang-kadang pengguna sudah lebih dulu membuat purwarupa (prototype) sebelum mengusulkan pembuatannya kepada produsen. Memang peran pengguna dalam inovasi ini berbedabeda tergantung pada sektornya. Misalnya, von Hippel menemukan “pengguna pelopor” (lead user) mengembangkan 77 persen dari inovasi di bidang peralatan ilmiah, dan 67 persen inovasi di bidang semikonduktor dan printed circuit board (PCB). Namun, di bidang lain seperti traktor pengeruk (tractor shovel) dan rekayasa plastik sebagian besar inovasi dilakukan oleh perusahaan manufaktur. Tingginya peran pengguna pelopor di atas tidak sama dengan proses demokratisasi teknologi yang dimaksudkan Feenberg. Dalam interaksi antara pengguna pelopor dengan produsen terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Pengguna mengajukan gagasan inovasi dan meminta produsen yang memiliki kemampuan produksi yang lebih efisien untuk membuatnya, dan produsen bersedia melakukannya karena adanya komitmen pengguna untuk melakukan pembelian. Jadi tidak ada yang harus dikorbankan oleh produsen baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini berbeda dengan ketika produsen dipaksa mengikuti regulasi tertentu. Misalnya jika produsen makanan diwajibkan menggunakan bioplastik, maka ini berarti produsen dipaksa berkorban, karena penggunaan bioplastik ini akan meningkatkan harga produk dan pada gilirannya bisa berisiko menurunkan penjualan. Intervensi masyarakat bisa diterima, bahkan dicari, oleh produsen, jika masyarakat yang mengintervensi juga menjadi calon pembeli yang prospektif. Intervensi yang berkonsekuensi penambahan biaya produksi hanya akan diterima jika telah
menjadi
peraturan
yang
mengikat.
Feenberg
menganggap
pentingnya
mempertimbangkan faktor-faktor sosial sebelum munculnya persoalan, karena jika sudah muncul, bisa jadi persoalannya sulit diatasi. Jika kalangan industri dan perekayasa melihat persoalan dampak teknologi ini dari sudut pandang masyarakat yang
35 Eric von Hippel, The Sources of Innovation (New York: Oxford University Press, 1988) dikutip dalam Everett M. Rogers, Diffusion of Innovations, 4th edition (New York: The Free Press, 1995).
123
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menjadi korban, maka ini akan mengakibatkan perubahan refleksif dari disiplin teknis itu sendiri sehingga proses perancangan semakin sadar sosial (socially conscious).36 Dampak negatif teknologi terhadap lingkungan membuat masyarakat menuntut untuk dilibatkan dalam penentuan rancangan teknologi. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah tujuan lingkungan bisa diselaraskan dengan kemajuan teknologi. “Apakah alternatif demokratis dari teknokrasi bisa dibayangkan? Bisakah suatu masyarakat
mengejar tujuan lingkungan tanpa mengorbankan kemakmurannya?” 37
Banyak negara berkembang mengorbankan lingkungan ketika menggenjot produktivitas industrinya. Banyak orang memilih kenyamanan yang diperoleh dari penggunaan plastik meskipun tahu bahwa plastik yang tidak bisa membusuk itu membebani lingkungan. Ketakutan masyarakat terhadap teknologi yang dianggap berbahaya kadangkadang menimbulkan perubahan yang mahal atau malah pembatalan teknologi yang kontroversial, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Dan, masyarakat juga sulit diyakinkan terhadap teknologi baru yang tidak bisa dikaji. Sebagaimana yang terlihat pada kampanye PLTN di Indonesia, ketakutan ini tidak bisa diatasi dengan pemberian informasi, bahkan sering pemberian lebih banyak informasi justru lebih meningkatkan kekhawatiran mereka. Kasus PLTN bukanlah kasus umum. Ketakutan terhadap teknologi umumnya tidak membunuh teknologi, tetapi lebih mengubah lingkungan peraturan (regulatory) yang menentukan arah pengembangannya.38 Feenberg memberi contoh peraturan keamanan dan emisi kendaraan bermotor yang secara bertahap mendorong perubahan yang masih dalam batas kemampuan teknis dari produsen manufaktur. Hasilnya adalah kendaraan yang lebih aman dengan polusi yang lebih rendah. Penggiat lingkungan ingin mengurangi pengaruh negatif teknologi terhadap kelestarian alam dengan membebankan tanggung jawab pada pelaku utama yang memproduksi teknologinya. Sementara itu kaum kapitalis cenderung membelokkan sasaran kritik dari proses kepada produk atau orang yang menggunakannya. Mereka 36 Feenberg, Questioning, 91. 37 Feenberg, Questioning, 92: Is a democratic alternative to technocracy conceivable? Can a technological society pursue environmental goals without sacrificing prosperity? 38 Feenberg, Questioning, 93.
124
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
ingin mengalihkan isu dari pembenahan proses (yang tentunya akan menjadi beban mereka) ke penanganan produk (yang menjadi beban pengguna atau pemerintah yang bertanggung jawab menangani limbah). Jadi mereka mengupayakan pengalihan dari pencegahan a priori ke pembersihan posteriori. Memang beban biaya pembersihan posteriori jadi lebih mahal, tetapi tidak menjadi tanggung jawab mereka lagi. Misalnya, jika produsen diwajibkan menggunakan kemasan plastik biologis, maka beban biaya ada pada mereka. Tetapi, jika tetap digunakan plastik nonbiologis, maka beban penanganan limbah plastik menjadi tanggungan negara. Kapitalisme cenderung menganggap dampak negatif teknologi terhadap lingkungan sebagai konsekuensi kemajuan yang tak bisa dihindari. Jika kita tidak mau menerima konsekuensi ini, karena tidak mau menyesuaikan harapan sosial kepada imperatif teknologis, maka, menurut nalar kapitalisme, kita akan menghadapi risiko kemiskinan yang lebih berat lagi. Pandangan dari model tradeoff ini mengonfrontasikan kita pada dilema – kepentingan lingkungan atau kemakmuran, pengendalian oleh pekerja atau produktivitas – padahal yang kita butuhkan adalah sintesis. “Kecuali masalah industrialisme modern bisa diselesaikan dalam cara yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendapatkan dukungan masyarakat, hanya sedikit alasan bagi harapan.”39 Dilema di atas hanya ada pada saat peralihan rezim teknologis, ketika terjadi perubahan paradigma. Begitu satu paradigma menjadi dominan, pihak-pihak terkait pun akan mengikutinya, meskipun awalnya terpaksa karena harus menanggung biaya tambahan dan ketidak-efisienan. Secara bertahap rancangan yang efisien dalam bingkai kerja tersebut akan ditemukan, dan kemudian keputusan yang terjadi dalam bingkai kerja paradigma tersebut akan dianggap suatu keniscayaan karena sesuai nalar. Ini yang terjadi sesudah pekerja anak-anak dilarang di Inggris, maupun sesudah standar emisi kendaraan bermotor diterapkan.
39 Feenberg, Questioning, 94: Unless the problems of modern industrialism can be solved in ways that both enhance public welfare and win public support, there is little reason for hope.
125
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
4.5. Perluasan Teknokrasi Meskipun imperatif teknologis yang deterministik maupun model tradeoff tidak memberikan landasan teoretis yang kukuh pada ideologi teknokrasi, 40 nyatanya pengaruh teknokrasi tetap kuat. Masyarakat tetap menganggap teknokrasi suatu keniscayaan, dan menerima pembatasan agar demokrasi tidak menjangkau urusan teknis. Nyaris tidak ada yang keberatan ketika lembaga-lembaga teknis menutup pintu bagi keikutsertaan masyarakat dalam pengambilan putusan teknis, termasuk di negaranegara maju yang demokratis sekalipun, kecuali ketika dampak putusan teknis ini sudah jelas mengganggu hidup mereka.41 Lembaga-lembaga ini sangat menjaga kemandirian operasionalnya dengan dalih sifat keternalaran teknologi, serta kedalaman pengetahuan yang dibutuhkan untuk terlibat di dalamnya. Dengan dalih ini mereka bisa terus menimbun kuasa teknis yang semakin berdampak luas pada masyarakat. Bahkan fenomena sosial yang bisa dideskripsikan secara mekanis, misalnya birokrasi dan urusan ekonomi, juga telah menjadi sasaran perluasan teknokrasi. Meskipun tidak menyinggung soal teknokrasi, penjelasan Beniger bisa digunakan untuk menjelaskan penguatan teknokrasi dan peningkatan peran pakar dalam birokrasi modern. Menurut Beniger, industrialisasi pada masa peralihan dari abad 19 ke 20 telah meluaskan revolusi teknologi tahap awal: produksi barang, produksi energi, transportasi, dan pertanian.42 Di berbagai area, dengan dana yang besar industrialisasi ini mengeksploitasi energi fosil, tenaga kerja, dan teknologi mesin dan mengakibatkan sistem yang semakin kompleks.43 Industrialisasi memacu kemajuan teknologi produksi dan distribusi demikian pesat sehingga “Tidak pernah sebelumnya pemrosesan aliran material mengancam untuk melampaui, baik dalam volume maupun kecepatan, kapasitas teknologi untuk menampungnya.”44 Hal inilah menimbulkan apa yang disebut Beniger sebagai krisis pengendalian.
40 Lihat bab 4, “The Limits of Technical Rationality” dalam Feenberg, Questioning. 41 Di Indonesia terlihat pada protes sebagian masyarakat pada pembangunan PLTN di Gunung Muria atau pabrik semen di Rembang. 42 James R. Beniger, The Control Revolution (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986), 10. 43 Beniger, Control Revolution, 11. 44 Beniger, Control Revolution, 12: Never before had the processing of material flows threatened to exceed, in both volume and speed, the capacity of technology to contain them.
126
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Kalangan kapitalis mengatasi persoalan yang diakibatkan teknologi dengan teknologi juga. Krisis pengendalian mendorong para pakar untuk mencari teknologi yang bisa digunakan untuk mengendalikan teknologi yang sebelumnya bermasalah. Inilah yang menurut Beniger mendorong pengembangan teknologi informasi yang digunakan untuk mengendalikan mulai dari proses teknologis sampai proses birokratis. 45 Birokrasi adalah pengendalian teknis terhadap tatanan kerja manusia yang perancangannya membutuhkan perhitungan atau pertimbangan para pakar. Inilah yang membuat semakin pentingnya peran pakar dalam birokrasi modern, sesuatu yang tidak terjadi dalam birokrasi tradisional. Hasrat
mengendalikan
yang
didorong
keinginan
untuk
memangkas
ketidakpastian ini meluaskan pengaruhnya ke berbagai bidang kehidupan, termasuk ke ruang-ruang publik yang biasanya menjadi ajang masyarakat untuk menentukan hidupnya sendiri. Ketika ruang publik tumpang tindih dianggap sebagai ranah teknis para pakar merasa berhak mengambil alih menanganinya. Masyarakat sendiri nampak gamang ketika berhadapan dengan teknokrasi yang melucuti hak demokratisnya. Bagaimanapun juga mereka masih merasa tergantung pada pakar yang memastikan bekerjanya sistem teknis yang menopang kehidupan masyarakat modern ini. Teknokrasi memperoleh legitimasinya dari pengendalian sistem ekonomi dan sosial agar lebih bisa dipastikan perilaku maupun hasilnya. Sistem teknis dikembangkan untuk memenuhi hasrat mengendalikan, memastikan masa depan, menjamin keuntungan, dan menghindari kerugian. Masyarakat rela melepaskan hak demokratisnya, ikhlas dijadikan sasaran pengendalian, demi kehidupan yang lebih baik yang dijanjikan teknokrasi. Terlepas dari perluasan pengaruh teknokrasi yang memasuki ranah publik, teknologi sendiri bekerja sebagaimana suatu legislasi, membingkai kemungkinan tindakan dari banyak orang. Dalam makna tersebut inovasi teknologis sama dengan tindakan legislatif atau pembangunan politis yang menetapkan suatu bingkai bagi tatanan publik yang akan berlangsung sepanjang banyak generasi. Untuk alasan tersebut perhatian yang sama hati-hatinya yang diberikan orang pada aturan, peran, dan hubungan politik harus pula diberikan pada hal-hal seperti pembangunan jalur bebas hambatan, penciptaan jaringan televisi, dan penyesuaian fitur yang nampak tidak penting pada mesin-mesin yang baru. Persoalan yang membagi atau menyatukan orang dalam masyarakat diselesaikan tidak hanya dalam lembaga dan praktik politik yang pantas, tetapi juga, dan lebih kurang 45 Beniger, Control Revolution, 13.
127
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
kelihatan, dalam pengaturan dari baja dan beton, kabel dan semikonduktor, mur dan baut.46
Pandangan Latour tentang kesetaraan artefak teknologi dengan manusia lebih menguatkan lagi pernyataan Winner di atas. Latour berpendirian bahwa teknologi bukanlah semata-mata alat, bahkan teknologi menjadi bagian dari jejaring yang meliputi manusia dan nonmanusia lainnya dalam hubungan yang saling mengunci. Kepelakuan dari teknologi yang menerima dan melakukan pendelegasian moralitas turut menstabilkan masyarakat. Menurut Latour Kita sudah bisa mendelegasikan pada nonmanusia bukan hanya kekuatan sebagaimana yang kita tahu sejak berabad-abad tetapi juga nilai, tugas dan etika. Karena moralitas inilah kita, manusia, berlaku begitu etis, tak perduli betapa lemah dan buruknya kita rasakan diri kita. Jumlah moralitas tidak hanya tetap stabil tetapi juga sangat meningkat seiring dengan peningkatan populasi nonmanusia.47
Penggunaan teknologi dalam organisasi, lebih-lebih dalam organisasi produksi, bisa menuntut atau memaksa perilaku tertentu pada pekerja. Dan, perilaku ini pada gilirannya menentukan peran mereka dalam organisasi, apakah mereka manajer atau buruh, yang membuat konsepsi atau melakukan eksekusi, yang berhak memerintah atau yang harus patuh. Teknologi yang dioperasikan seorang pekerja membatasi pilihan tindakan yang bisa dilakukannya. Lapis pekerja terbawah akan semakin terbatasi pilihan tindakannya baik dalam ruang maupun waktu. Tempo kerja mereka dipacu dengan ketelitian sampai hitungan menit atau detik oleh mesin. Sementara itu semakin tinggi posisi pekerja, pilihan dia dalam ruang dan waktu juga makin luas. Pilihan tindakan atau norma yang dipaksakan teknologi tidak harus berasal dari ideologi tertentu, lebih-lebih ideologi utopian yang rentan terhadap kritik berdasarkan fakta. Bahkan norma ini menjadi lebih efektif karena dibangun melalui konsensus yang muncul secara spontan untuk mengatasi perselisihan teknis dalam organisasi modern. 46 Langdon Winner, The Whale and the Reactor (Chicago: The University of Chicago Press, 1986), 28: In that sense technological innovations are similar to legislative acts or political foundings that establish a framework for public order that will endure over many generations. For that reason the same careful attention one would give to the rules, roles, and relationships of politics must also be given to such things as the building of highways, the creation of television networks, and the tailoring of seemingly insignificant features on new machines. The issues that divide or unite people in society are settled not only in the institutions and practices of politics proper, but also, and less obviously, in tangible arrangements of steel and concrete, wires and semiconductors, nuts and bolts. 47 Latour, “Mundane Artifacts,” 232: We have been able to delegate to nonhumans not only force as we have known it for centuries but also values, duties, and ethics. It is because of this morality that we, humans, behave so ethically, no matter how weak and wicked we feel we are. The sum of morality does not only remain stable but increases enormously with the population of nonhumans.
128
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Konsensus terjadi dalam cakrawala budaya yang membiaskan nilai-nilai tertentu yang umumnya tidak disadari orang-orang yang berpikir dalam kungkungan cakrawala tersebut. Nilai-nilai yang membingkai konsensus tersembunyi dan, karenanya, terhindar dari penolakan, sementara para perekayasa yang bekerja mengikuti konsensus tersebut merasa tindakan teknis yang dipilihnya adalah suatu keniscayaan nalar teknis. “Teknokrasi berhasil menyembunyikan bias nilainya di belakang tampilan luar nalar teknis murni.”48
4.6. Pemulihan Kepelakuan Pandangan determinisme teknologis tidak mengakui kepelakuan manusia dalam mempengaruhi arah perkembangan teknologi, karena sudah menganggap teknologi berkembang mengikuti jalur tunggal tertentu dan siapa pun tidak bisa membelokkan arahnya tanpa terperosok ke dalam kegagalan.49 Karena itulah “Organisasi sosial harus menyesuaikan diri dengan kemajuan teknis pada tiap tahap perkembangan sesuai dengan persyaratan 'imperatif' dari teknologi. Penyesuaian ini menjalankan keniscayaan teknis yang mendasarinya.”50 Ini berarti masyarakat diharuskan menyesuaikan diri dengan teknologi, tetapi teknologi tidak bisa dipengaruhi masyarakat. Ini juga berarti kepelakuan manusia menjadi tidak berarti dalam ranah teknis, padahal demokratisasi teknologi tidak mungkin diwujudkan tanpa memulihkan kepelakuan di ranah teknis. Secara filosofis upaya untuk memulihkan kepelakuan antara lain terhalang substantivisme teknologis dari Heidegger yang menganggap teknologi membingkai alam maupun manusia sebagai cadangan yang siap diolah (standing-reserve). Manusia memang nampak menjadi pelaku utama dalam kegiatan teknis di mana dia ditantang untuk mengeksploitasi bahan mentah dan energi dari alam sehingga memungkinkan penataan penyingkapan terjadi. Namun, “Jika orang ditantang, diperintahkan, untuk melakukan ini, maka tidakkah dia sendiri termasuk bahkan lebih awal lagi dibandingkan alam sebagai cadangan yang siap?”51 48 Feenberg, Questioning, 103: Technocracy thus succeeds in masking its valuative bias behind the facade of pure technical rationality. 49 Feenberg, Transforming, 138. 50 Feenberg, Transforming, 138-9: Social organization must adapt to technical progress at each stage of development according to "imperative" requirements of technology. This adaptation executes an underlying technical necessity.
129
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Meskipun pandangan Heidegger ini memang abstrak, pada kasus-kasus tertentu pandangan ini juga mendapatkan pembuktian empiris. Penggunaan teknologi-teknologi tertentu dalam jangka panjang bakal merugikan masa depan manusia, namun mereka seolah tidak kuasa untuk tidak menggunakannya. Banyak teknologi yang mencemari lingkungan namun tetap mereka gunakan karena alasan mengejar kemakmuran. Manusia seolah terbelenggu keharusan untuk mengambil pilihan-pilihan teknis tertentu. Sementara itu teknokrasi tidak secara eksplisit menolak kepelakuan, namun menganggap pihak yang layak melaksanakan kepelakuan teknis hanyalah para pakar. Pandangan ini juga menjadi perintang demokratisasi teknologi. Dari perspektif masyarakat awam yang berjumlah jauh lebih besar dari para pakar, teknokrasi bisa dianggap sebagai bentuk hegemoni. Pemulihan terhadap kepelakuan ini sudah diupayakan baik secara intelektual maupun praktis. Dan Herbert Marcuse melakukan kedua jenis upaya tersebut, secara intelektual dengan menulis One-Dimensional Man, dan secara praktis dengan melibatkan diri dalam gerakan-gerakan kiri yang menentang teknokrasi, termasuk demonstrasi mahasiswa dan buruh yang melumpuhkan Perancis pada Mei 1968.52 Demonstrasi ini menggugat kemajuan teknis yang selama ini tidak pernah dipertanyakan, dan menuntut swakelola dan demokrasi keikutsertaan (participatory democracy). Meskipun pemikiran Marcuse sangat populer di kalangan penggiat gerakan ini, tindakan di lapanganlah yang berhasil merebut perhatian masyarakat luas dan memberikan tekanan politik yang nyata.53 Namun, gerakan menentang teknokrasi ini tidak berumur panjang, kecuali yang bersangkutan dengan lingkungan. Ini menunjukkan rumitnya mencari ruang bagi kepelakuan dalam semesta yang semakin teknokratis. Gerakan-gerakan seperti di atas kini semakin kurang ambisius, tidak lagi memiliki visi global, tidak pula menghendaki perubahan radikal. Yang diupayakan gerakan-gerakan ini adalah intervensi mikropolitik, yakni politik situasional yang mengandalkan pengetahuan dan tindakan lokal. Karena situasi lokal yang berbeda-beda, gerakan-gerakan ini sangat beragam tetapi, menurut Feenberg, juga konvergen, dan 51 Heidegger, Question, 18: If man is challenged, ordered, to do this, then does not man himself belong even more originally than nature within the standing-reserve? 52 Feenberg, Questioning, 5. 53 Feenberg, Questioning, 43.
130
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
dalam jangka panjang bisa memiliki dampak subversif. 54 Dalam kondisi saat ini, gerakan-gerakan ini, menurut Feenberg, cukup relevan dalam menentang hegemoni teknis, karena sulit sekali membayangkan strategi menyeluruh untuk mengatasinya. Keragaman situasi lokal ini karena teknologi tidak pernah hadir sebagai sesuatu yang homogen. Sebagaimana sistem sosial yang sangat beragam, teknologi juga tampil dalam berbagai wujud yang bisa sangat berbeda satu dengan yang lain. Mobil, penanak nasi dan media sosial walaupun sama-sama bisa disebut teknologi tetapi sulit untuk dicari kesamaannya, yang bisa dijadikan dasar untuk melakukan tindakan penentangan hegemonis teknis secara global.
Karena itulah demokratisasi tidak bisa dilakukan
dengan strategi yang seragam untuk segala situasi. Strategi menyeluruh yang pernah diupayakan komunisme telah gagal. Bahkan Partai Komunis Soviet telah gagal dalam melakukan peralihan menuju sosialisme, meskipun tetap mempertahankan slogan sosialisme, sehingga yang terjadi adalah penjungkir-balikan makna sosialisme. Muatan demokratis dalam makna sosialisme jadi menghilang dari pemahaman masyarakat umum. Padahal sosialisme adalah kebalikan dari teknokrasi. Sementara teknokrasi cenderung meluaskan pendefinisian berbagai persoalan sosial menjadi persoalan teknis sehingga cara-cara demokratis tidak diperlukan lagi, kebalikannya, sosialisme hendak meluaskan putusan demokratis melampaui persoalan-persoalan politik. Ketika kapitalisme menyerahkan urusan ekonomi sepenuhnya pada mekanisme pasar, sosialisme justru ingin merebutnya menjadi urusan publik yang harus diselesaikan secara demokratis. Namun, Uni Soviet telah menyingkiran kandungan demokratis dari makna sosialisme ini. Pendekatan menyeluruh saat ini sudah dianggap tidak relevan. Persoalan teknologis harus ditemukenali dari ketegangan yang terjadi dalam sistem industri oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya, yang merasakan langsung ambivalensi teknologi yang selama ini tidak diakui oleh pihak-pihak yang meyakini nalar teknologis. Nalar teknologis menganggap bahwa teknologi hanya bisa dimanfaatkan secara optimal dengan satu cara dan memiliki akibat tertentu yang sudah jelas. Feenberg menentang pandangan ini dengan mengajukan konsep penggantinya, yakni “nalar demokratis,” yakni cara pandang refleksif yang mengakui ambivalensi teknologi, atau keberadaan
54 Feenberg, Questioning, 104.
131
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
beragam pilihan penerapan maupun dampak teknologi yang berbeda-beda.55 Karena persoalan teknologi lebih bisa dikenali secara situasional, maka pihak yang paling diharapkan untuk mengungkapkan persoalan tersebut bukanlah wakil rakyat tetapi warga yang bersentuhan langsung dengan teknologi, apakah mereka sebagai pasien, pengguna sistem informasi, peserta dalam pembagian kerja, tetangga dari pabrik yang berpolusi. Kepelakuan dari warga lebih menjanjikan demokratisasi teknologi, karena mereka yang merasakan dampak teknologi sebagaimana mereka merasakan dampak legislasi sosial yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka. Pengalaman dan, terutama, penderitaan mereka harus menjadi dasar penetapan koridor atau aturan dalam penerapan teknologi. Peran warga yang mengalami sendiri dampak teknologi tidak bisa diganti oleh peran lembaga-lembaga negara yang justru merupakan hasil pemusatan kuasa dalam kurun waktu yang panjang dalam struktur birokratis yang sebangun dengan kode teknis yang ada. Jika kode ini bersifat autoritarian, maka, menurut Feenberg, perubahannya harus dimulai dari bawah, bukan dari atas, dan karena itu membutuhkan keterlibatan aktif warga.56
4.7. Kepelakuan dari Perspektif Kajian Budaya Sementara filosof teknologi klasik (sebelum pembalikan empiris) menganggap kuasa teknologi lepas dari kendali masyarakat, dan para pelopor Teori Kritis menganggap media bisa dijadikan sarana untuk mengadministrasikan masyarakat secara total, kajian budaya justru lebih optimis terhadap kepelakuan manusia. Para pengkaji budaya yang terpengaruh Raymond Williams, Gramsci dan post-strukturalisme Perancis, menganggap massa bukanlah obyek pasif yang bisa dimanipulasi begitu saja, tetapi mereka menafsirkan dan menyesuaikan pesan yang ditujukan pada mereka dan dalam prosesnya mereka mentransformasi maknanya.57 Dengan demikian pengguna awam sekalipun bisa menjadi bagian penting dalam transformasi sosial. Hasil kajian budaya yang memiliki prospek untuk menjelaskan bagaimana masyarakat bisa menentang hegemoni teknis adalah teori penerimaan teknologi dalam 55 Feenberg, Questioning, 105. 56 Feenberg, Questioning, 106. 57 Feenberg, Questioning, 106.
132
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
rumah tangga. Sebagaimana pemirsa TV yang menyaring dan mengubah pesan-pesan yang datang melalui TV, pengguna teknologi juga memaknai ulang dan menyesuaikan teknologi dengan kode dan nilai mereka. Proses yang disebut domestikasi ini merupakan proses penyesuaian obyek teknis dalam lingkungan rumah.58 Penyesuaian masyarakat terhadap teknologi bisa terjadi pada tiap tahap dari rangkaian tahapan berikut.59 1.
Appropriation: negosiasi dan pertimbangan yang mengantarkan pada akuisisi teknologi.
2.
Incorporation: penempatan teknologi secara spasial di dalam rumah.
3.
Objectification: penggunaan teknologi, termasuk bagaimana kita menjadwalkan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
4.
Conversion: menjadikan teknologi sebagai bagian dari identitas pemiliknya. Misalnya, bagaimana kita membicarakan dan menunjukkan teknologi ini pada orang lain. Teori ini lebih menekankan implikasi konservatif dari domestikasi, yakni
penyesuaian teknologi dengan rumah dan penghuninya, bukan proses penyesuaian timbal balik. Padahal pemasangan teknologi pendingin ruangan atau Air Conditioner (AC) membuat rumah juga disesuaikan, misalnya dindingnya dilubangi untuk pipa yang mengalirkan panas keluar rumah; ruangan gedung diperkecil dan atapnya dibuat lebih rendah untuk menghemat penggunaan listrik dari pendingin ruangan tersebut. Selain itu teori ini membatasi lingkupnya hanya pada penggunaan teknologi di dalam rumah. Lalu, bagaimana menjelaskan teknologi bergerak? Mulai dari mobil sampai ponsel di mana kita bukan memasukkan teknologi dari luar ke dalam rumah, tetapi bertindak melaluinya; atau PLTN yang ada di luar rumah tetapi bisa menjadi ancaman bagi penghuni rumah. Dalam kasus adopsi teknologi bergerak, relevansi teori domestikasi disangsikan. Memang ada upaya untuk memperluas istilah domestikasi, dengan memaknainya lepas dari lokasi rumah tinggal, namun tetap saja istilah ini berkonotasi 58 R. Silverstone, E. Hirsch, dan D. Morley (1992). “Information and communication technologies and the moral economy of the household,” dalam R. Silverstone, dan E. Hirsch, eds., Consuming Technologies: Media and Information in Domestic Spaces (London: Routledge, 1992). 59 Leslie Haddon, “Domestication Analysis, Objects of Study, and the Centrality of Technologies in Everyday Life,” Canadian Journal of Communication Vol 36 (2011) 311-323.
133
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
sempit, karena itulah Feenberg mengajukan istilah penalaran demokratis (democratic rationalitazation) untuk menandai intervensi pengguna yang menantang struktur kuasa tak demokratis yang berakar dalam teknologi modern.60 Penalaran demokratis bukan sekadar penggantian istilah atau perluasan makna domestikasi. Feenberg menunjukkan tiga perbedaan di antara keduanya.61 1.
Penalaran demokratis tidak konservatif atau hanya mempertahankan nilai-nilai tradisional dari pengaruh teknologi, tetapi juga membuka diri pada kemungkinankemungkinan masa depan yang baru.
2.
Penalaran demokratis tidak merepresentasikan ekonomi moral dari rumah tangga, tetapi memberikan perhatian yang luas pada persoalan-persoalan modern, termasuk HAM, kesehatan, lingkungan dan kualitas kerja.
3.
Penalaran demokratis biasanya melibatkan strategi komunikatif inovatif yang dibutuhkan untuk menjadikan keprihatinan-keprihatinan di atas menjadi persoalan publik dalam masyarakat teknokratis. Melalui teori penalaran demokratis ini Feenberg melanjutkan argumen Mazhab
Frankfurt sekaligus menambahkan tekanan baru pada peran kepelakuan dalam lingkungan teknis. Masalah yang harus diatasi teori ini adalah bagaimana mementahkan klaim dari teknokrasi yang memonopoli pengertian nalar dan menganggapnya sebagai satu-satunya tumpuan teknokrasi. Feenberg mencari solusinya dari sumber daya politis radikal yang ada dalam masyarakat teknologi maju.62 Pemberdayaan unsur-unsur radikal ini akan menggoyang kemapanan struktur. Cara pengorganisasian dalam pabrik, misalnya, sangat bertumpu pada bagaimana mesin-mesin bekerja atau digunakan. Penggantian mesin dengan mesin lain yang kerjanya berbeda akan menuntut perombakan pada pengorganisasian dalam pabrik tersebut. Jika cara pengorganisasian baru belum dipikirkan, penggantian mesin yang bekerja secara berbeda akan melumpuhkan pabrik tersebut. Pemikir lain yang cukup optimis melihat peluang demokratisasi teknologi adalah Ulrich Beck. Dia tidak memisahkan masyarakat menjadi kelas pengendali dan kelas 60 Feenberg, Questioning Technology, 108. 61 Feenberg, Questioning Technology, 108. 62 Feenberg, Questioning Technology, 108-9.
134
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
yang dikendalikan, tetapi setiap orang pada saat bersamaan terbelah menjadi bagian dari sistem politiko-ekonomi dan sistem tekno-ekonomi, di mana dalam sistem yang pertama dia akan mengedepankan hak demokratis dirinya maupun yang lain, sedangkan dalam sistem yang kedua dia mempertahankan kepentingan pribadinya dalam pekerjaan dan bisnis.63 Umumnya seseorang tidak memiliki posisi yang sama kuat di semua bidang kehidupannya. Ada saat atau bidang di mana posisi seseorang rentan, dan dia butuh menyatukan diri dengan orang-orang lain untuk mempertahankan kepentingan tersebut. Sistem demokratis memungkinkannya melindungi kepentingan pribadi dengan cara menautkan kepentingan tersebut pada kepentingan kolektif. Di sisi lain seorang warga menjadi bagian dari sistem tekno-ekonomi yang nonpolitis di mana upaya mengejar kepentingan pribadi dilakukan. Terbukanya ruang tekno-ekonomi ini didasari anggapan bahwa kemajuan teknis sama dengan kemajuan sosial, dan atas dasar asumsi bahwa arah pembangunan dan hasil transformasi teknologis mengikuti kurang lebih batasan tujuan tekno-ekonomi yang tidak bisa dihindari.64 Pandangan ini menunjukkan bahwa Ulrich Beck, walaupun tidak secara tegas, mengakui keberadaan nalar teknologis yang tidak bisa dihindari dan membatasi manusia. Dia juga menyatakan bahwa transformasi teknologis ini meningkatkan kesejahteraan perorangan maupun bersama, sementara dampak negatifnya – pemangkasan keterampilan, risiko pengangguran, ancaman terhadap kesehatan mupun kerusakan alam – selalu mendapatkan pengesahan dari peningkatan baku hidup. Apa pun dampak sosialnya, transformasi teknologis ini tidak membutuhkan legitimasi politis, bahkan memiliki kekuatan yang memaksa sekaligus membuatnya kebal dari kritikan. Beck melihat perubahan sosial dipicu oleh dua kekuatan yang berlawanan namun saling menyusupi: kekuatan sistem politik yang demokratis dan kekuatan teknologi yang nondemokratis di bawah payung kemajuan dan penalaran. 65 Saat ini transformasi sosial lebih dipicu oleh kemajuan teknologi yang diarahkan dan didorong oleh penalaran, dan karena itu dianggap nonpolitis. Sementara itu sistem politik nampak tidak berdaya, sehingga perubahan sosial dalam skala luas ini terlepas dari pengambilan 63 Ulrich Beck, Risk Society: Towards a New Modernity, diterjemahkan oleh Mark Ritter (London: Sage, 1992), 183. 64 Beck, Risk Society, 183-184. 65 Beck, Risk Society, 184.
135
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
putusan sosial. Karena itulah Beck menganggap perlunya merevisi konsep politik dan nonpolitik.66 Perubahan yang terjadi saat ini mengaburkan batasan apa yang politis dan yang tidak. Pendefinisian tindakan politis hanya pada apa yang mendapat label politis, yakni kegiatan dari atau di dalam sistem politis, adalah tidak memadai. Saat ini kekuatan dari sistem politis tidak menjadi kekuatan paling menentukan dalam mengarahkan dan mendorong perubahan. Pelemahan sistem ini, “Dalam arti, hilangnya kuasa pengaturan dari strukturasi dan pemaksaan bukanlah ekspresi kegagalan politis, tetapi hasil dari demokrasi yang mapan dan negara kesejahteraan, di mana warga bisa memanfaatkan semua media publik dan pengendalian legal dan konsultasi untuk melindungi kepentingan dan hak mereka.” 67 Sementara sistem politik kehilangan kekuatan politiknya, Beck melihat, kekuatan tekno-ekonomi juga kehilangan cirinya sebagai sesuatu yang nonpolitis seiring dengan meningkatnya lingkup potensinya bagi perubahan dan risiko bahayanya.68 Hal di atas menunjukkan terjadinya pertukaran nondeterministis antara yang politis dan nonpolitis. Yang politis menjadi non-politis ketika putusan politis menjadi tidak lagi relevan, apakah karena menjadi tidak penting atau bisa diputuskan secara teknis. Dan yang non-politis menjadi politis, misalnya ketika penerapan teknologi berdampak pada perubahan perimbangan kuasa di masyarakat, termasuk dampaknya dalam melemahkan sistem politis yang ada. Saat ini potensi untuk menstrukturkan masyarakat telah berpindah dari sistem politis ke sistem sub-politis modernisasi ilmiah, teknologis dan ekonomi.69 Penyebutan sistem ini sebagai sub-politis mengimplikasikan dampaknya yang politis, maupun adanya kemungkinan untuk diintervensi secara politis. Jadi, apa yang disebut Ulrich Beck sebagai sub-politis sangat terkait dengan apa yang disebut Feenberg penalaran demokratis. Teknologi bukanlah sesuatu yang lepas dari politik, tetapi bisa menjadi ajang pergulatan politis, di mana tidak hanya manusia tetapi artefak juga turut menjalankan kepelakuannya. 66 Beck, Risk Society, 185. 67 Beck, Risk Society, 185: In this sense, the loss of governmental powers of structuration and enforcement is not the expression of a political failure, but the product of established democracy and the welfare state, in which the citizens are able to utilize all the media of public and legal control and consultation for the protection of their interests and rights. 68 Beck, Risk Society, 185-6. 69 Beck, Risk Society, 186.
136
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Hal di atas, bagaimana teknologi menjadi persoalan politis, yang berarti persoalan kuasa, bisa lebih dipahami dengan pemikiran Foucault. Istilah kuasa yang digunakan Foucault bukanlah merujuk pada kekuatan, kapasitas, dominasi atau pun autoritas. Kuasa juga bukan milik atau sifat seseorang maupun sesuatu. Tetapi, kuasa adalah himpunan hubungan yang rumit dan saling berkelindan, atau pun sebuah lingkungan di mana tindakan penguasaan dan pemaksaan terjadi.70 Foucault telah melepaskan kuasa dari subyek. Sebagaimana yang dicontohkan Foucault pada tindakan pengakuan dosa di gereja, “ketika seseorang harus mengakui (kesalahannya), ini bukanlah semata-mata karena orang tempat dia mengadukan kesalahannya memiliki kuasa untuk memaafkan, membesarkan hati, dan mengarahkan, tetapi karena pekerjaan memproduksi kebenaran wajib melalui hubungan ini jika ia hendak divalidasi secara ilmiah.”71 Seorang agamawan, dokter atau politisi bisa mempraktikkan kuasanya adalah karena jalinan hubungan atau praktik yang sudah tersedia, yang memungkinkannya untuk mempraktikkan kuasa tersebut. Jadi, kuasa menubuh dalam praktik yang dalam arti tertentu mendahului dan membentuk subyek yang terlibat dalam interaksi empiris. Keberadaan kuasa mendahului keberadaan penguasa. Konsepsi ini mengalihkan peran pengoperasian kuasa dari subyek ke praktik. Pola tindakan mengambil alih pekerjaan yang dilakukan aktor manusia dalam ilmu sosial tradisional. Praktik mengorganisasi, mengendalikan, melipat-gandakan diri, dan bahkan mereka mensubyektifikasi – merangsang produksi subyektivitas pada manusia yang menyerahkan diri pada praktik tersebut.72 Implikasi dari pandangan di atas adalah bahwa praktik kuasa adalah strategi tanpa pelaku, karena pelaku termasuk yang dibentuk oleh kuasa ini.73 Strategi ini berupaya menaklukkan perlawanan tak terhindarkan dari manusia yang hendak dikendalikan dan dibentuknya. Strategi ini menciptakan praktik-praktik yang mendisiplinkan manusia, menjadikan mereka pelaku produktif, melalui pemaksaan 70 C.G. Prado, Starting with Foucault: An Introduction to Genealogy, second edition (Boulder: Westview, 2000), 68. 71 Michel Foucault, The History of Sexuality, Volume 1. Diterjemahkan oleh Robert Hurley (New York: Vintage, 1980), 66: If one had to confess, this was not merely because the person to whom one confessed had the power to forgive, console, and direct, but because the work of producing the truth was obliged to pass through this relationship if it was to be scientifically validated. 72 Feenberg, Questioning, 110. 73 Feenberg, Questioning, 110.
137
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
melalui pengulangan, ganjaran dan hukuman, karena tubuh yang hendak dibentuk ini memiliki kelembaman untuk mengikuti kehendak strategi. Pemikiran Foucault relevan dengan filsafat teknologi, karena dia menemukan berbagai praktik kuasa menubuh dalam artefak seperti Panopticon dan juga wacana teknis-ilmiah yang menyertai penyebaran artefak di masyarakat modern. Berbeda dari pandangan konvensional, Foucault menganggap perlawanan terhadap strategi bukan berasal dari “kepentingan”, tetapi berada dalam struktur hubungan kuasa itu sendiri.74 Di mana ada kuasa di situ ada perlawanan. Perlawanan adalah tanggapan alamiah terhadap pengoperasian kuasa, sebagaimana dalam fisika, setiap aksi menimbulkan reaksi. Namun bedanya dari reaksi dalam fisika, perlawanan yang dimaksud Foucault ini jarang sekali setara dengan strategi. Umumnya perlawanan ini tidak dimaksudkan untuk menghilangkan strategi tersebut, tetapi hanya untuk bermanuver dari kepatuhan total, atau menciptakan sedikit ruang bagi kepentingannya sendiri. Menurut Feenberg, penjelasan di atas menunjukkan Foucault telah mendepersonalisasi konsep kuasa dan perlawanan, dan melepaskan keduanya dari pelaku seperti negara atau kelas. Kuasa dan perlawanan ini seolah muncul lebih dulu dari pelaku, dan pelaku muncul dari keduanya. Sifat kuasa yang sistemis membuatnya bisa dihubungkan dengan kebenaran secara baru. Sistem kuasa menyingkapkan dunia dengan cara seperti pandangan Heideggerian. Ia membuka sudut pandang tertentu dalam mendefinisikan kenyataan suatu subyek/obyek. Ini bukan berarti kuasa menentang pencarian kebenaran, tapi memungkinkannya dengan mengarahkan penelitian ke arah tertentu.75 Karena itulah, pengembangan ilmu pengetahuan sekalipun, menurut perspektif ini, tidak mengikuti nilai universal seperti kebenaran, tetapi berada dalam cakrawala lokal dari praktik sosial, artefak, dan hubungan kuasa yang terkait dengan praktik dan artefak tersebut. Foucault memaknai rezim kebenaran sebagai cakrawala epistemis yang tergantung pada kuasa yang menentukan sifat suatu masa dan disiplin pengetahuan. Hegemoni modern berakar dalam kebenaran yang lahir dari cakrawala ini, bukan dari kekerasan dan tampilan sebagaimana yang terjadi pada kuasa kedaulatan di masa lalu. 74 Foucault, The History of Sexuality, 95. 75 Feenberg, Questioning, 111.
138
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Meskipun rezim kebenaran ini menentukan arah pengembangan pengetahuan, tetapi tetap menyisakan ruang bagi berkembangnya pengetahuan yang tidak diantisipasinya, yang justru muncul dari tindakan kepatuhan (subjugated knowledges) dari pihak yang berada di lapis bawah dalam hierarki teknis.76 Pengetahuan ini memang tidak memiliki pengorganisasian sebagaimana disiplin ilmu, namun ia memberi kita akses pada satu aspek dari kebenaran, yakni noktah gelap (blind spot) dari ilmu pengetahuan. Kritik terhadap tatanan panoptik dari masyarakat modern muncul dari posisi kepatuhan dari korban. Rekodifikasi dari sistem dimungkinkan jika kita mengakui keberadaan perlawanan yang diartikulasikan dalam pengetahuan yang berasal dari pemaksaan kepatuhan ini. Ada perbedaan penting antara depersonalisasi kuasa dari Foucault dan pembingkaian Heidegger. Sementara Heidegger menghilangkan peran kepelakuan manusia, Foucault menganggap manusia bisa mempraktikkan kepelakuannya, meskipun pilihan-pilihan tindakannya ini disediakan dan dibatasi oleh medan kuasa yang ada terlebih dulu. Karena Foucault lebih menekankan kuasa sebagai praktik, bukan milik atau sifat, maka ini menunjukkan orang-orang yang tidak terduga bisa mengoperasikan kuasa secara tak terduga karena mereka memanfaatkan medan kuasa yang tersedia. Inilah yang menjelaskan munculnya tokoh-tokoh yang sebelumnya tidak diperhitungkan dalam situasi genting. Michel de Certeau mengembangkan pemikiran Foucault menjadi lebih relevan lagi bagi filsafat teknologi.77 De Certeau menggunakan permisalan permainan (game) sebagai model untuk menjelaskan masyarakat. Permainan mendefinisikan pilihanpilihan tindakan yang bisa dilakukan pemain tanpa menentukan langkah apa saja yang akan diambil. Permisalan ini bisa diterapkan pada teknologi, yang menetapkan bingkai kerja tentang langkah-langkah yang diperbolehkan dan terlarang sebagaimana yang terjadi dalam permainan. Kode teknis adalah aturan paling umum dari permainan, yang memiliki bias menguntungkan peserta dominan. De Certeau mendefinisikan “strategi” sebagai pengendalian terlembagakan yang menubuh dalam organisasi sosial modern seperti perusahaan atau lembaga lainnya. Organisasi-organisasi ini menimbun modal kuasa melalui tindakan berkelanjutan 76 Feenberg, Questioning, 111. 77 Penjelasan de Certeau ini diuraikan dalam Feenberg, Questioning, 112-4.
139
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
kepada anggota masyarakat. Pihak yang dikuasai tetap memiliki kemungkinan untuk bereaksi secara taktis terhadap strategi yang tidak bisa mereka hindari. Meskipun mereka selalu berada dalam bingkai kerja strategi dominan, mereka tetap bisa menanggapinya dengan tindakan penyimpangan yang halus yang bisa melemahkan kepentingannya. Taktik berbeda dengan oposisi penuh dalam hal taktik ini masuk mensubversi kode dominan dari dalam dengan memasukkan berbagai penundaan yang tak terduga, kombinasi dan ironi dalam penerapan strategi. Dalam masyarakat yang beroperasi tidak hanya satu kode tunggal. Berbagai kode yang hadir bersama selain membuat pihak yang dikuasai jadi kesulitan menentukan siapa atau apa yang harus dipatuhi, juga memberikan alasan untuk bermanuver dan mengalihkan kepatuhannya dari satu pihak ke pihak lain. Ini mengakibatkan terjadinya ketegangan antara strategi dan taktik. Bertolak dari pemikiran de Certeau di atas, Feenberg menyatakan bahwa kuasa mengekspresikan dirinya dalam rencana yang membutuhkan implementasi oleh mereka yang memiliki kuasa. Namun, tidak ada rencana yang sempurna, semua implementasi selalu disertai tindakan tak terencana yang disebut “celah manuver” yang dilakukan oleh orang yang harus melakukan implementasi tersebut. 78 Dalam semua organisasi yang diperantarai secara teknis selalu ada celah manuver yang mengubah kecepatan kerja, tidak tepat memanfaatkan sumber daya, memperbaiki solusi pada masalah, dan seterusnya. Ini berarti tidak ada pengendalian teknis yang total, selalu tersedia ruang untuk bermanuver. Feenberg menganggap celah manuver tidak mesti memiliki implikasi politis, tidak mesti berupa sikap menentang.79 Namun, celah manuver ini memang ambigu. Di satu sisi ia dibutuhkan dalam implementasi karena kesesuaiannya dengan kode teknis yang dominan, di sisi lain ia juga memiliki potensi yang tidak kompatibel dengan kode tersebut. Administrasi teknokratis akan meredam potensi yang mebahayakan kelangsungan autonomi operasional dari teknokrasi. Tetapi dalam kondisi tertentu pihak yang dikuasai bisa juga mengubah bingkai kerja ini, memaksa manajemen untuk menerima perubahan yang mengurangi autonominya. 78 Feenberg, Questioning, 113. 79 Feenberg, Questioning, 114.
140
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Apa yang oleh Foucault disebut kuasa dan perlawanan, atau pun oleh de Certeau disebut strategi dan taktik, hampir serupa dengan apa yang dikatakan Latour sebagai program dan antiprogram. Dibandingkan dengan dua pemikir yang disebut sebelumnya, Latour justru mengembangkan teorinya untuk menjelaskan tentang penerapan teknologi. Menurut Latour setiap mekanisme yang rumit sebenarnya menetapkan spesifikasi yang saling bertentangan. Teknologi yang umumnya dianggap orang, terutama kalangan ilmuwan sosial, sebagai sesuatu yang membosankan, akan menjadi menarik “ketika Anda melihat setiap roda dan engkol sebagai jawaban yang mungkin terhadap penolakan. Program aksi dalam praktik adalah jawaban terhadap antiprogram terhadap apa suatu mekanisme menguatkan dirinya. Melihat pada mekanismenya saja adalah seperti mengamati setengah lapangan dari permainan teknis; ia nampak sebagai banyak gerakan-gerakan tak bermakna.”80 Teknologi adalah penubuhan dari program, yang memiliki mekanisme untuk mengatasi suatu perlawanan. Obyek teknis bukan sekadar “barang” dalam arti biasa tetapi simpul dalam jaringan yang terdiri dari orang dan peralatan (device) dalam peran yang saling mengunci (interlocking).81 Teknologi bukan sekadar alat yang digunakan manusia untuk menyelesaikan pekerjaan, tetapi juga merupakan pengikat dari aliansi sosial. Kelompok sosial tidak membentuk atau mendahului teknologi, tetapi muncul bersamanya. Ini adalah aspek lain dari simetri manusia dan nonmanusia yang membedakan teori jaringan aktor dari formulasi konstruktivisme yang lain. Pandangan di atas lebih ditegaskan lagi oleh John Law dan Wiebe E. Bijker bahwa semua hubungan di masyarakat adalah sosial sekaligus teknis. 82 Menurut mereka, hubungan yang murni sosial hanya ada dalam khayalan sosiolog, atau di kalangan simpanse, sedangkan yang murni teknis hanya ada dalam khayalan paling liar pada imajinasi fiksi ilmiah ketika mesin-mesin bisa mengambil putusan sendiri. Implikasinya, menurut Law dan Bijker, determinisme sosial maupun determinisme 80 Latour, “Mundane Artifacts,” 247: when you see that every wheel and crank is the possible answer to an objection. The program of action is in practice the answer to an antiprogram against which the mechanism braces itself. Looking at the mechanism alone is like watching half the court during a tennis game; it appears as so many meaningless moves. 81 Feenberg, Questioning, 114. 82 John Law dan Wiebe E. Bijker, “Postscript: Technology, Stability, and Social Theory,” dalam W. Bijker, dan J. Law (ed), Shaping Technology/Building Society: Studies in Sociotechnical Change (Cambridge, Mass: MIT Press, 1992), 290.
141
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
teknologis adalah salah, ini karena “apa yang kita sebut sosial diikat secara bersama baik oleh yang teknis maupun yang sosial... Kelas sosial, kelompok pekerjaan, organisasi, profesi – semuanya diikat pada tempatnya dengan sarana sosial dan teknis yang bertautan intim.”83 Implikasi lain dari penyetaraan manusia dan nonmanusia, dalam hal ini teknologi, adalah jika manusia memiliki kepelakuan politis, maka demikian juga dengan teknologi, yang berarti teknologi tidak hanya mempengaruhi efisiensi, produktivitas, atau lingkungan, tetapi juga menubuhkan kuasa. 84 Pengaruh politis dari teknologi tidak selalu negatif, sebagian orang meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi yang terbaik dan terbesar juga merupakan penjamin terbaik bagi demokrasi. Pabrik, mobil, telepon, dan bahkan tenaga nuklir pernah di satu atau lain waktu dianggap sebagai kekuatan yang mendemokratiskan atau membebaskan. Jadi, teknologi bukan sematamata alat, yang menyalurkan kehendak dari penggunanya, tetapi juga memiliki kepelakuan sendiri. Pandangan ini tentu saja menjungkir-balikkan anggapan tradisional bahwa hanya manusia yang berpolitik, sedangkan teknologi tidak. Di mata penentangnya pandangan ini dianggap, “mengaburkan kelicikan manusia dan menghindari sumber sebenarnya, sumber manusia dari kemerdekaan dan penguasaan, keadilan dan ketidakadilan. Menyalahkan perangkat keras bahkan nampak lebih bodoh daripada menyalahkan korban ketika mengadili kondisi kehidupan publik.”85 Penolakan terhadap kualitas politis dari teknologi berarti menyangkal pengaruh teknologi yang luas, yang mengarahkan, mengondisikan, dan bisa dikatakan lebih jauh lagi, membentuk masyarakat. Penolakan ini hanya melihat teknologi sebagai alat sekaligus tabir yang menyembunyikan manusia sebagai pemilik kehendak yang sebenarnya. Penolakan ini memberi kenyamanan pada ilmuwan sosial yang bertahan pada pengertian lama tentang teknologi. 83 Law dan Bijker, “Postscript,” 290: what we call the social is bound together as much by the technical as by the social. Where there was purity, now there is heterogeneity. Social classes, occupational groups, organizations, professions – all are held in place by intimately linked social and technical means. 84 Landon Winner, The Whale and the Reactor (Chicago: University of Chicago Press, 1986), 19. 85 Winner, Whale, 20: We all know that people have politics; things do not. To discover either virtues or evils in aggregates of steel, plastic, transistors, integrated circuits, chemicals, and the like seems just plain wrong, a way of mystifying human artifice and of avoiding the true sources, the human sources of freedom and oppression, justice and injustice. Blaming the hardware appears even more foolish than blaming the victims when it comes to judging conditions of public life.
142
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Ini mensahkan apa yang selama ini sudah selalu mereka duga, yaitu, bahwa pertama-tama tidak ada sesuatu yang istimewa tentang kajian teknologi. Karena itu, mereka bisa kembali pada model baku kuasa sosial dari politik kelompok kepentingan, politik birokratik, model Marxis mengenai pertentangan kelas, dan lainnya – dan memiliki segala sesuatu yang mereka butuhkan. Penentuan sosial atas teknologi, dalam pandangan ini, sesungguhnya tidak berbeda dari penentuan sosial atas, katakanlah, kebijakan kesejahteraan atau perpajakan.86
4.8. Teknologi Lahir dari Kepelakuan Manusia Dalam subbab ini penulis akan mengajukan argumen bahwa sesungguhnya teknologi justru muncul dari kepelakuan manusia. Argumen ini penulis kembangkan bertolak dari pertanyaan Ortega y Gasset yang tidak bisa dijawab oleh pandangan determinisme teknologis, yaitu “Bagaimana bisa terjadi di alam semesta ini hadir sesuatu yang ganjil yang disebut teknologi, (dan) kenyataan kosmik yang mutlak (adanya) manusia sang teknisi?”87 Pandangan determinisme teknologis hanya memberikan penjelasan setelah teknologi muncul, tetapi tidak menjelaskan bagaimana teknologi sampai muncul, dan berkembang dari alat-alat yang hanya sebagai perluasan tubuh manusia, menjadi demikian kompleks sehingga seolah terlepas dari kendali manusia, namun menentukan hidup manusia sendiri. Memang banyak yang berpandangan bahwa teknologi adalah ciri kemanusiaan. Misalnya Benjamin Franklin mendefinisikan manusia sebagai binatang pengguna alat (tool-using animal), sementara yang lain mencirikan manusia sebagai binatang pembuat alat (tool-making animal).88 Namun, studi lapangan Jane Goodall terhadap simpanse membantah anggapan tersebut. Simpanse bisa mencari potongan ranting dengan panjang tertentu, mengupas kulitnya, memasukkan potong ranting tersebut ke dalam onggokan rumah rayap, lalu menarik kembali ranting yang sudah dikerubuti rayaprayap, dan kemudian memakan rayap-rayap tersebut.89 Di sini terbukti primata bisa menggunakan alat untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, yakni makan. 86 Winner, Whale, 21: It validates what they had always suspected, namely, that there is nothing distinctive about the study of technology in the first place. Hence, they can return to their standard models of social power those of interest-group politics, bureaucratic politics, Marxist models of class struggle, and the like-and have everything they need. The social determination of technology is, in this view, essentially no different from the social determination of, say, welfare policy or taxation. 87 Jose Ortega y Gasset, Toward a Philosophy of History, (New York: W.W. Norton & Company, 1941), 109: How does it come to pass that there exists in the universe this strange thing called technology, the absolute cosmic fact of man the technician? 88 Val Dusek, Philosophy of technology: an introduction (Malden, MA: Blackwell Publishing, 2006), 113. 89 David E. Nye, Technology Matters: Questions to Live With (Cambridge, MA: MIT Press, 2006), 1.
143
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Sejumlah filosof lebih memilih kemampuan berbahasa daripada membuat alat sebagai ciri khas manusia. Kemampuan berkomunikasi ini pun, pada tingkat yang paling sederhana, juga dimiliki binatang. Beberapa spesies binatang bisa menggunakan alat, dan sejumlah binatang lainnya menunjukkan kemampuan berkomunikasi satu sama lain. Namun, Dusek keberatan dengan sanggahan ini, karena meskipun manusia dan binatang sama-sama memiliki kemampuan membuat sesuatu dan berkomunikasi, namun jenis (tidak hanya tingkatan) kemampuannya berbeda. Meskipun demikian, pembuatan perkakas oleh manusia memiliki sifat yang membuatnya berbeda dari pembuatan perkakas oleh binatang. Manusia membuat perkakas untuk membuat perkakas. Bahasa manusia berbeda dengan bahasa binatang dalam kerekursifan tata bahasa, kemampuannya diperluas secara tidak terbatas dengan penggantian selanjutnya. Pembuatan perkakas oleh manusia juga merupakan bagian dari kerekursifan ini. Ada perkakas yang membuat perkakas yang membuat perkakas …. 90
Dusek memang tidak menjelaskan lebih jauh bagaimana manusia bisa membuat perkakas untuk membuat perkakas. Kita bisa mendapatkan penjelasan mengenai hal ini dari Ortega y Gasset, yang menganggap bahwa tindakan manusia bukanlah sama sekali ditentukan oleh kehendak memenuhi kebutuhan. Manusia memang menyadari kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti makan, minum, melindungi diri dari bahaya dan cuaca yang tidak ramah. Dia tidak bisa menghilangkan kebutuhan dasar tersebut, tetapi, yang membedakannya dari binatang, manusia bisa menunda pemenuhan kebutuhan tersebut.91 Misalnya, manusia bisa berpuasa untuk menunda kebutuhan makannya. Penundaan kebutuhan ini membuat manusia memiliki waktu untuk melakukan tindakan yang tidak dipicu oleh kebutuhan atau pun insting. Kebutuhan hidup ini tidak dibebankan pada manusia dengan paksa, sebagaimana batu dipaksa jatuh oleh tarikan gravitasi. Hidup dirasakan manusia sebagai kebutuhan karena keinginan yang didasarkan pada tindakan berkehendak (the act of will), tindakan yang menjadi dasar tindakan-tindakan lainnya, yang menjadi titik awal manusia memulai segalanya. 92 Dengan kalimat yang berbeda Rothenberg menyatakan bahwa kita ingin mengubah 90 Dusek, Philosophy of technology, 118: Nonetheless, human tool-making has a characteristic that makes it different from animal tool-making. Humans make tools to make tools. Human language differs from animal language in its grammatical recursiveness, its ability to be indefinitely extended by further substitutions. Human toolmaking also partakes of this recursiveness. There are tools that make tools that make tools . . . 91 Jose Ortega y Gasset, Toward a Philosophy of History, (New York: W.W. Norton & Company, 1941), 90. 92 Ortega y Gasset, History, 91.
144
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
dunia karena kita menginginkannya, dan keinginan ini tidak pernah mudah dibedakan dari kebutuhan.93 Jadi perbedaan mendasar antara manusia dan binatang adalah sebagai berikut. Manusia memiliki kemampuan melepaskan diri untuk sementara waktu dari kedaruratan dan kemudian memiliki kebebasan melakukan sesuatu yang tidak berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasarnya. “Menyalakan api, membajak tanah, membuat mobil bukanlah kegiatan yang dengannya kita memenuhi kebutuhan kita; justru sebaliknya, akibat langsungnya adalah penundaan tindakan-tindakan primer yang dengannya kita secara
langsung
memenuhi
kebutuhan.”94
Binatang
tidak
mampu
menunda
kebutuhannya. Tindakannya merupakan cerminan kondisi obyektif yang dialaminya. Jika kebutuhan datang dia akan segera memenuhinya. Jika kebutuhan belum muncul, dia tidak akan mengantisipasinya, kecuali yang secara instingtif biasa dilakukannya.95 Jika alam tidak menyediakan makanan, binatang tidak akan melakukan cara lain yang memungkinkannya menyediakan makanan sendiri. Sementara manusia, dengan kemampuannya menunda kebutuhan, bisa melakukan hal-hal yang tidak memenuhi kebutuhannya secara langsung, tetapi nantinya bisa membantunya memenuhi kebutuhan. Teknologi – penciptaan obyek yang sebelumnya tidak ada di alam – dikembangkan dalam rangka memperbaiki alam agar lebih ramah pada manusia. Jadi alam membebankan kebutuhan pada manusia, dan manusia meresponnya dengan melakukan tindakan teknis yang menimpakan perubahan terhadap alam. Jadi teknologi merupakan reaksi manusia terhadap alam. Namun, bagi Ortega y Gasset, teknologi bukanlah upaya manusia untuk memuaskan kebutuhan alamiahnya. Karena kalau hanya untuk itu, manusia cukup melakukan tindakan-tindakan seperti yang dilakukan binatang. “Teknologi adalah reformasi alam, alam yang membuat kita miskin dan
93 David Rothenberg, Hand’s End: Technology and the Limits of Nature (Berkely: University of California Press, 1993). 94 Ortega y Gasset, History, 92: Kindling a fire, plowing, manufacturing an automobile are not activities with which we satisfy our necessities; on the contrary, their immediate effect is a suspension of the primary set of actions with which we meet needs directly. 95 Beberapa jenis serangga bisa dikatakan mengumpulkan makanan untuk mengantisipasi datangnya musim dingin. Namun, kita bisa menyimpulkan tindakannya ini dilakukan sepenuhnya mengikuti insting, karena semua spesiesnya melakukan hal yang sama. Ini berbeda dengan manusia yang memiliki kehendak yang berbeda-beda, ada yang mengantisipasi kebutuhan di masa depan dengan berbagai cara, ada pula yang tidak sama sekali.
145
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
berkebutuhan, suatu reformasi dalam arti penghapusan kebutuhan sedemikian hingga menjamin kebutuhan mereka dalam semua keadaan.”96 Teknologi merupakan bentuk reaksi manusia terhadap alam, reaksi manusia yang tidak mau menyerah ketika alam tidak memenuhi apa yang diinginkannya. Jadi, “Teknologi, kebalikan dari penyesuaian perorangan pada medium, merupakan penyesuaian medium pada perorangan.”97 Bahkan, “Manusia tanpa teknologi – yakni, tanpa reaksi terhadap mediumnya – adalah bukan manusia,” 98 sehingga, menurut Ortega y Gasset, teknologi adalah bagian penting dari kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan dasar. Justru teknologi muncul
karena
manusia
mampu
menunda
pemenuhan
kebutuhan
dasarnya.
Pengembangan alat-alat musik yang sudah sejak lama dilakukan manusia menunjukkan manusia juga menganggap penting memuaskan perasaan yang kebutuhannya tidak selalu terdefinisi dengan jelas. Manusia “...memahami hidup tidak sekadar mengada, tetapi sebagai hidup sejahtera; dan dia menganggap kondisi obyektif hidup hanya penting karena merupakan kondisi yang diperlukan untuk hidup sejahtera…. Bukan mengada, tetapi hidup sejahtera, yang merupakan kebutuhan mendasar manusia, induk dari segala kebutuhan.”99 Sementara itu bagi Rothenberg, “Setiap tindakan manusia yang memberi tanda pada tiap dunia ‘luar’ juga menjadikan dunia tersebut perluasan dari manusia yang memandu perubahan. Dengan kata lain, dunia yang kita buat melalui teknologi adalah kemanusiaan yang diperluas, ujung dari tangan.”100
96 Ortega y Gasset, History, 95: Technology is a reform of nature, of that nature which makes us needy and necessitous, a reform in the sense of abolishing necessities as such by guaranteeing their satisfaction under all circumstances. 97 Ortega y Gasset, History, 96: Technology, in contrast to the adaptation of the individual to the medium, is the adaptation of the medium to the individual. 98 Ortega y Gasset, History, 96: Man without technology - that is, without reaction upon his medium - is not man. 99 Ortega y Gasset, History, 98-9: conceives of life not as simply being, but as well-being; and he regards the objective conditions of being as necessary only because being is the necessary condition of well-being. A man who is absolutely convinced that he cannot obtain, even approximately, what he calls well-being, and will have to put up with bare being, commits suicide. Not being, but well-being, is the fundamental necessity of man, necessity of necessities. 100Rothenberg, Hand’s End: 15: Any human act that makes a mark on any “outside” world also makes that world an extension of the human being who guides the change. In other words, the world that we make through technology is humanity extended, the hand’s end.
146
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
4.9. Demokratisasi Teknologi Subbab-subbab sebelumnya sudah menunjukkan terbukanya peluang bagi demokratisasi teknologi. Namun, mayoritas teoretisi demokrasi tidak menjadikan teknologi sebagai unsur penting dari teori mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui dampak politis dari teknologi, atapun pengaruh politik terhadap teknologi. Padahal teori demokratisasi teknologi membutuhkan sintesa dari teori demokrasi yang mengakui pengaruh teknologi terhadap sebaran kuasa dengan teori teknologi yang mengakui pengaruh sosial terhadap pembentukan teknologi. Feenberg melihat bahwa penolakan terhadap teknokrasi justru lebih dulu muncul sebagai gerakan protes daripada sebagai teori akademis yang utuh, yakni melalui mahasiswa dan buruh di Perancis di tahun 1960-an. Walaupun gerakan ini belum merumuskan bagaimana operasionalisasinya, mereka telah menjadikan konsep-konsep seperti “swa-kelola” (self-management) dan “demokrasi keikut-sertaan” (participatory democracy) sebagai tuntutan politis mereka. Tuntutan ini memang sulit mendapatkan tempat dalam konstelasi kelembagaan politik dan kapitalis yang ada. Namun, setidaktidaknya ini menjadi gugatan awal terhadap teknokrasi yang kala itu tidak pernah dipertanyakan. Secara praktis mendemokratisasikan teknologi tidaklah mudah dilakukan, apa lagi kalau hal ini menuntut pengurangan kemandirian operasional para pakar. Ketergantungan masyarakat modern terhadap pakar yang menjaga jalannya sistem teknologis tidak bisa dihindari. Sementara keinginan sekelompok kecil aktivis untuk mengakhiri spesialisasi yang mendasari kepakaran dan kembali ke tatanan sosial yang primitif jelas tidak realistis. Karena itu eksplorasi teoretis mengenai demokratisasi teknologi perlu dituntaskan lebih dahulu. Ke arah manapun teori demokratisasi teknologi dikembangkan, jika ingin diterima, teori ini harus dikaitkan dengan teori demokrasi langsung atau teori demokrasi perwakilan. Sementara demokrasi langsung dianggap tidak realistis di wilayah yang jumlah penduduknya besar dan tersebar, demokrasi perwakilan juga tidak sepenuhnya memuaskan, karena ketika memilih wakilnya, masyarakat tidak mengetahui secara utuh pandangan politik wakil rakyat tersebut dalam berbagai persoalan politik. Sehingga putusan wakil rakyat di kemudian hari tidak selalu selaras dengan kepentingan orang147
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
orang yang memilihnya. Kalau kemudian dia menyalah-gunakan posisinya, masyarakat juga tidak bisa menarik dukungannya dan mengalihkannya pada politikus lain. Masyarakat tidak bisa selalu berharap bahwa politikus yang mewakilinya akan selalu membela kepentingannya. Sementara itu ruang keikutsertaan politik masyarakat di luar pemilu juga tidak terdefinisi dengan jelas, padahal “Kebebasan dan kemerdekaan pribadi yang sejati hanya bisa diwujudkan melalui keikut-sertaan aktif. Perwakilan, bahkan dalam kondisi terbaiknya, mengurangi warga dengan merampas kepelakuan mereka.”101
Namun,
tidak
mungkin
menggusur
demokrasi
perwakilan
dan
menggantikannya dengan demokrasi langsung. Bahkan Rousseau, yang meyakini pentingnya partisipasi masyarakat, tetap percaya bahwa demokrasi langsung hanya mungkin dilakukan dalam skala kecil, seperti di Jenewa yang saat itu hanya berpenduduk beberapa ribu saja. Apa pun keberatannya, perwakilan dibutuhkan ketika penduduk berjumlah besar dan tersebar yang tidak memungkinkan semuanya bertatap muka langsung. Karena itulah Feenberg sepakat bahwa yang harus dicari adalah bagaimana demokrasi perwakilan dan langsung saling melengkapi. Feenberg merujuk pada gagasan Benjamin Barber mengenai teori demokrasi kuat (strong democracy), yakni politik keikutsertaan yang mengandalkan tindakan kolektif lokal.102 Barber menyebut demokrasi liberal yang dipraktikkan secara luas saat ini sebagai demokrasi “tipis.” Barber tidak menghendaki pembubaran sistem perwakilan, tetapi dia menghendaki bahwa demokrasi harus bertumpu pada partisipasi langsung di tingkat komunitas lokal. Richard Sclove berusaha meluruskan pandangan ini dengan mempertahankan demokrasi kuat di ranah teknis.103 Sebagaimana Barber, Sclove tidak mendorong pembubaran struktur perwakilan, namun melengkapinya dengan lembaga keikutsertaan (participatory institution). Juga, sebagaimana Barber, dia berargumen perlunya peningkatan kemandirian (autonomy) komunitas lokal dan mendelegasikan sebanyak mungkin autoritas kepada komunitas tersebut. Yang ditambahkan Sclove pada teori Barber adalah bahwa hal ini bukanlah semata-mata penataan politis tetapi juga 101Feenberg, Questioning, 133: True personal freedom and independence can only be realized through active participation. Representation, even at its best, diminishes the citizens by confiscating their agency. 102Benjamin Barber, Strong Democracy (Berkeley: University of California Press, 1984). 103Richard Sclove, Democracy and Technology (New York: Guilford Press, 1995).
148
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
membutuhkan teknologi yang tepat. Sclove menyebutkan perlunya menyesuaikan rancangan teknologis pada persyaratan yang dikehendaki komunitas demokratis kuat, yakni komunitas lokal dengan tingkat keterlibatan warganya yang tinggi. Karena itu kriteria rancangan teknologis harus didiskusikan terbuka dan diputuskan masyarakat. Persoalan yang menghadang upaya demokratisasi teknologi adalah bagaimana menentukan nonpakar yang bisa mewakili masyarakat, dan sejauh apa kewenangan mereka. Kriteria wakil dan cakupan masyarakat yang diwakilinya juga bisa berbeda dari persoalan politis nonteknis yang biasanya menggunakan perwakilan masyarakat secara geografis. “Sejauh ini para teoretisi demokratisasi teknis belum membahas perbedaan ini. Hal ini bisa jadi satu alasan mengapa mereka kurang berhasil dalam menarik perhatian teoretisi politik kepada teknologi. Jika persoalan demokratisasi teknis hanya didekati dalam bingkai kerja populis, ia dengan mudah disingkirkan sebagai populisme, yang tidak memiliki peminat yang luas dalam teori politik.”104 Kalaupun kemudian persoalan teknis dikaitkan dengan demokrasi kuat, yang bertumpu pada tindakan kolektif masyarakat lokal, maka masyarakat lokal yang dimaksud Barber dan Sclove tidak selalu terbentuk dalam kasus teknologi. Kelompok masyarakat yang terkena dampak limbah pabrik memang bisa ditentukan secara lokal, yakni masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik, sehingga kepentingan mereka bisa terakomodasi oleh sistem politik yang didasarkan pada perwakilan wilayah. Tetapi, masyarakat yang menderita efek samping suatu obat bisa menyebar di mana-mana, sehingga jika suara mereka di sampaikan melalui saluran politik yang ada, yang berdasarkan wilayah, maka suara mereka di tiap-tiap wilayah menjadi sangat kecil, walaupun secara keseluruhan jumlah mereka cukup besar. Teknologi – mulai dari komputer, obat-obatan sampai transportasi – menyebar secara mendunia dengan kemungkinan dampak negatif yang mendunia pula meskipun secara geografis menyebar kecil-kecil di mana-mana. Ketika rancangan suatu merek mobil diketahui tidak aman, maka yang terkena dampaknya adalah pengendara mobil tersebut yang menyebar di mana-mana di seluruh dunia, namun per satuan wilayah 104Feenberg, Questioning, 137-8: So far theorists of technical democratization have not directly addressed these differences. This may be one reason they have had little success in interesting political theorists in technology. If the issue of technical democratization is only approached within the populist framework, it is as easily dismissed as populism, which does not have a particularly wide audience in political theory.
149
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
jumlahnya tidak berarti. Karena itulah penentuan lokalitas persoalan teknologi sering tidak mudah, sehingga mendapatkan orang yang bisa mewakili korban teknologi tersebut tidak selalu mudah. Meskipun demikian Feenberg masih setia pada teori demokrasi kuat yang menekankan pentingnya lokalitas dalam mengevaluasi teknologi. Masyarakat lebih bisa mempengaruhi teknologi melalui interaksi di tingkat lokal, yang bisa saja terjadi di berbagai lokasi. Memang ada beberapa kasus khusus yang interaksinya langsung mendunia sejak awal penggagasan teknologi, misalnya pengembangan perangkat lunak kode terbuka atau open source software (OSS) yang dilakukan melalui Internet. Namun, umumnya teknologi berinteraksi dengan kelompok pengguna atau masyarakat di tingkat lokal, meskipun istilah “lokal” di sini tidak lagi merujuk pada lokasi geografis tertentu yang menjadi wilayah perwakilan politik resmi. Sebagai pasien, maka istilah lokal di sini merujuk pada rumah sakit; sebagai warga kota, lokal merujuk pada taman kota, mall atau pun jalan raya. Misalnya, sebagai pasien, masyarakat berinteraksi dengan teknologi di lokasi ruang perawatan di rumah sakit. Sebagai warga kota, mereka berinteraksi dengan lift atau eskalator yang ada di mall. Interaksi langsung selalu terjadi di lokasi tertentu, dan interaksi ini akan lebih berarti jika terjadi secara kolektif. Ketika seorang anak terjepit eskalator di mall, peristiwa ini menjadi sangat berarti karena banyak yang menyaksikan, dan masing-masing saksi ini kemudian menyebarkannya kepada kenalan masing-masing. Penyebaran berita negatif ini bisa merugikan pengelola dan para pedagang di mall. Karena itulah “Jika kemenduniaan teknis dianggap merujuk pada jejaring yang lebih besar, maka kelokalannya menjadi lingkungan kelembagaan dasar di mana perlawanan taktis muncul.”105 Rangkaian pengalaman di tingkat lokal (di mana pengguna atau masyarakat hadir secara kolektif) akan mengarahkan perkembangan teknologi. Ketika interaksi “lokal” tidak merujuk ke satu wilayah politis resmi – misalnya interaksi para pengunjung mall atau pasien rumah sakit – apa yang menyatukan orangorang yang umumnya tidak saling mengenal itu sehingga layak diperhitungkan sebagai satu kesatuan yang mempengaruhi demokratisasi teknis? Menurut Feenberg mereka diikat dalam jejaring lokal oleh “kepentingan peserta” (participant interests) pada rancangan dan konfigurasi kepentingan di dalam jejaring kegiatan yang melibatkan mereka. 105Feenberg, Questioning, 139: If the technical “global” is taken to refer to the larger networks, then its “local” correlate becomes the basic institutional settings in which tactical resistances emerge.
150
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Konsep kepentingan peserta merujuk pada beragam pengaruh pribadi dari kegiatan teknis: efek samping, yang menguntungkan maupun yang mencederai, prakondisi dan konsekuensi sosial, efek terhadap kondisi kehidupan, dan seterusnya. Sebagian dari hal ini cukup dikenali, khususnya jika hal tersebut diartikulasikan oleh serikat buruh di lingkungan produksi. Sebagai simpul dari jejaring teknis produksi, pekerja memiliki kepentingan sebagai peserta dalam hal seperti kesehatan dan keselamatan kerja, kualifikasi pendidikan dan tingkat keterampilan, dan seterusnya.106
Sering masalah yang dihadapi di tingkat lokal yang tidak resmi ini tidak menjadi pokok perhatian politisi atau lembaga politik resmi. Ketersebaran mereka dalam jumlah yang kecil-kecil, bukan terkonsentrasi di satu lokasi geografis, membuat mereka tidak menarik secara politik. Mereka tidak memiliki potensi sebagai sumber dukungan politis yang mewakili wilayah geografi tertentu. Karena itulah mereka dituntut untuk membentuk kelompok sosial sendiri, menyuarakan kepentingannya sendiri, karena tidak ada politisi yang tertarik menyuarakan kepentingan mereka. Ini misalnya terjadi pada penderita AIDS yang menyebar di mana-mana, bahkan sebagian besar tidak menunjukkan diri karena stigma negatif terhadap mereka. Juga terjadi pada penyandang cacat (difabel) yang selama ini tidak menampakkan diri di depan umum, karena fasilitas umum tidak memungkinkan mereka untuk leluasa bergerak sendiri. Jadi, terpaksalah mereka dan orang-orang yang bersimpati dengan nasib mereka untuk memperjuangkan kepentingan mereka dengan menekan lembaga politik yang ada untuk mengubah kode teknis. Kode teknis yang mereka usulkan bisa saja dari segi teknologi tidak istimewa. Para difabel hanya menginginkan agar di setiap perubahan permukaan jalan yang dilalui – misalnya pada tangga memasuki gedung atau pun naik turun dari trotoar – harus disertai jalan landai yang memungkinkan untuk dilalui kursi roda mereka. Secara teknis jalan landai di samping tangga ini tidak istimewa, tetapi keberadaannya mewakili kepentingan kaum difabel yang selama ini diabaikan. Ada dua perbedaan antara perwakilan politik resmi dengan perwakilan politik teknis. Pertama, perwakilan politik resmi didefinisikan menurut wilayah administratif tertentu, misalnya wakil dari tingkat kabupaten, provinsi atau nasional; sedangkan perwakilan dalam politik teknis didefinisikan di atas kelompok masyarakat yang terkena 106Feenberg, Questioning, 140:The concept of participant interests refers to the diverse personal impacts of technical activity: side-effects, both beneficial and harmful, social preconditions and consequences, effects on life conditions, and so on. Some of these are familiar, especially as they are articulated by unions in the sphere of production. As nodes in the technical networks of production, workers have participant interests in such things as health and safety on the job, educational qualifications and skill tingkats, and so on.
151
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
dampak negatif teknologi, lepas dari apakah mereka terdefinisi secara geografis atau tidak. Kedua, wakil dalam politik resmi adalah orang yang bisa dipercaya dan dituntut loyal pada berbagai kepentingan dari yang diwakilinya dalam kurun waktu yang panjang; sedangkan wakil dalam politik teknis lebih dituntut memahami persoalan teknis tertentu, mengetahui dampak negatif teknologi terhadap mereka yang diwakilinya, dan loyal terhadap kepentingan mereka sampai persoalannya tuntas. Akan lebih baik lagi jika wakil politik teknis ini juga pakar dalam teknologi. Agar teknologi memenuhi kepentingan masyarakat luas, maka cara yang memastikan keterwakilan kepentingan teknis ini tetap pada transformasi kode teknis dan proses pendidikan di mana kode teknis tersebut ditanamkan. Karena itulah pertarungan dalam wilayah teknis ini terletak pada bagaimana menegaskan dan membentuk penalaran demokratis sebagai ganti dari penalaran teknologis yang deterministik, juga terletak pada berbagai kontroversi, penyesuaian teknologi, dan dialog yang mengubah kode teknis.
4.10.
Kesimpulan Keyakinan
terhadap
determinisme
teknologis
mengasumsikan
bahwa
perkembangan teknologi menyusuri jalur tunggal tanpa percabangan. Jalur ini sudah tertentu, namun hanya para pakar yang memiliki pengetahuan mendalamlah yang bisa menyingkapkannya. Anggapan inilah yang menjadi dasar teknokrasi, yang memberi kemandirian autonomi pada para pakar, yakni hak untuk mengambil putusan teknis tanpa harus mempertanggungjawabkannya pada masyarakat sejauh mereka mengambil putusan menggunakan nalar teknologis. Jika jalur tersebut sudah ditemukan oleh suatu pihak maka pihak lain tinggal menirunya tanpa perlu mencari-cari jalurnya sendiri. Jalur kemajuan yang telah ditempuh masyarakat Barat dianggap harus diikuti oleh masyarakat lain yang ingin mencapai kemajuan yang sama. Meskipun pandangan determinisme teknologis masih dianut secara luas, temuan-temuan dalam kajian teknologi justru menyanggah pandangan tersebut. Kajian ini menunjukkan kemenduaan pengaruh teknologi terhadap kuasa: teknologi bisa digunakan untuk mempertahankan kuasa yang ada, namun bisa juga menggoyahkannya dan memberikan kekuatan pada kelompok yang selama ini terpinggirkan.
152
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Sangkalan lain terhadap determinisme teknologis adalah ketidakjelasan arah perkembangan teknologi pada saat awal. Ada persaingan dari sejumlah pihak, sesuai dengan
visinya
masing-masing,
untuk
menentukan
arah
perkembangan.
Ini
menunjukkan adanya kelenturan penafsiran yang membuka peluang bagi teknologi untuk dikembangkan ke berbagai arah pada saat yang sama. Sering kemudian satu jenis rancangan teknologi menang dan lalu seluruh pihak menempuh satu jalur perkembangan teknologi tersebut. Banyak orang kemudian menganggap satu jalur perkembangan tersebut memang suatu keniscayaan dari logika fungsional, padahal penentuan satu jalur tersebut adalah proses sosial yang awalnya tidak bisa dipastikan. Logika fungsional serta efektivitas teknis dan ekonomis tidak bisa digunakan untuk menebak keberhasilan atau kegagalan inovasi teknologis di masyarakat. Feenberg menyetujui pandangan konstruktivisme bahwa kemenangan suatu rancangan teknologis atas yang lain tidak tergantung pada efisiensi teknis atau pun ekonomis, tetapi pada “kesesuaian” antara alat, kepentingan dan kepercayaan dari berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi rancangan teknologi. “Kesesuaian” ini menunjukkan bahwa rancangan teknologi membiaskan kepentingan tertentu yang umumnya hanya disadari oleh orang-orang yang kepentingannya tidak terlayani. Misalnya, bahwa jalan tanpa trotoar itu mengabaikan kepentingan pejalan kaki lebih mungkin disadari oleh pejalan kaki daripada pengendara mobil. Hal lain yang menyanggah determinisme teknologis adalah bahwa umumnya teknologi modern tidak dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pokok tetapi kebutuhan yang didefinisikan belakangan sebagai bagian dari proses perkembangan budaya. Inilah yang mengakibatkan munculnya kebutuhan-kebutuhan baru yang tidak disadari sebelumnya. Beberapa pendefinisian kebutuhan saling bersaing yang menunjukkan visi-visi yang berbeda tentang masyarakat modern, atau pun menunjukkan kepentingan industri yang berbeda-beda yang akan diuntungkan oleh masing-masing kebutuhan tersebut. Sebagai proses budaya, pendefinisian kebutuhan ini tidak hanya dimonopoli oleh pakar, tetapi juga ditentukan secara kolektif oleh masyarakat. Ini adalah proses sosio-teknis kolektif yang arah dan hasilnya sulit ditebak. Determinisme teknologis juga bisa digoyahkan karena alasan bahwa perencanaan pengendalian teknis tidak bisa sepenuhnya sempurna, selalu ada celah di
153
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
mana orang-orang yang menjadi bagian pengendalian teknis selalu memiliki celah manuver, melakukan tindakan yang tidak ditentukan sebelumnya. Perancang teknologi tidak bisa mengantisipasi semua kemungkinan yang akan terjadi akibat pengendalian teknis. Dalam
penerapan teknologi akan muncul pengetahuan baru yang berasal
pengalaman pihak-pihak yang menjadi sasaran atau dampak pengendalian teknis. Pengetahuan ini tidak sistematik karena berasal dari pengalaman-pengalaman khusus dari orang-orang yang berada di tingkat bawah dalam hierarki pengendalian teknis, namun pengetahuan ini memberi kita akses pada satu aspek dari kebenaran, yakni noktah gelap (blind spot) dari ilmu pengetahuan formal. Hal di atas, bagi Feenberg, menunjukkan alasan tentang perlunya demokratisasi teknologi. Namun, demokratisasi teknologi ini tidak mudah diwujudkan, karena ini berarti mengurangi kemandirian operasional dari para pakar yang dibutuhkan masyarakat untuk menjaga jalannya sistem teknologis. Peran para pakar tidak mungkin dihilangkan, namun penentuan sejumlah hal, misalnya baku mutu yang terkait dengan pencemaran lingkungan atau keamanan, bisa melibatkan masyarakat, sementara perwujudan teknisnya tetap dilakukan oleh para pakar. Jadi, prinsip-prinsip yang memandu perancangan teknis – disebut Feenberg sebagai kode teknis – bisa ditetapkan secara demokratis, sementara para pakar bisa tetap bekerja mandiri sepanjang merujuk pada kode teknis tersebut.
154
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
BAB 5 REKONSTRUKSI TEORI PERKEMBANGAN TEKNOLOGIS
Dalam dua bab terdahulu dijelaskan kritik Feenberg terhadap konsep nalar yang mendasari teori-teori teknologi serta berbagai implikasi sosialnya. Konsep teknologi yang ada telah menjadi landasan teknokrasi yang merintangi keterlibatan masyarakat dalam menentukan hidup dan masa depannya yang semakin diperantarai oleh teknologi. Kritik
Feenberg
adalah
upaya
menggugurkan
pandangan
yang
menyumbat
demokratisasi di ranah teknis. Dalam bab ini akan dibahas bagaimana Feenberg menyusun ulang konsepsi nalar dan teknologi yang telah diruntuhkannya dengan cara berikut. Pertama, karena eksplorasi filosofis Feenberg mengenai teknologi bertolak dari pemikiran Marcuse tentang nalar teknologis, maka Feenberg harus pula merespons kritik Habermas terhadap Marcuse. Kritik ini bukan semata-mata penolakan, dia juga berusaha menyintesakan keduanya, karena keduanya tumbuh dalam tradisi kritik yang saling melengkapi. Namun, sintesa ini juga mengubah pandangan yang berasal dari keduanya ini.1 Kedua, Feenberg juga merespons pemikiran Heidegger yang menurutnya menghambat perkembangan filsafat teknologi. Argumen determinisme teknologis yang sederhana memang telah digugurkan banyak orang, namun pemikiran Heidegger yang juga berimplikasi deterministik tidak mudah untuk disanggah. Teknologi adalah landasan modernitas masyarakat, “Jika kita ingin mengakui kemungkinan modernitasmodernitas lain, kita harus memutus hubungan dengan Heidegger.” 2 Dalam upaya memutus hubungan ini, Feenberg tidak bisa mengabaikan Heidegger, tetapi justru harus menunjukkan keterbatasan filsafat teknologinya baik dalam menjelaskan fenomena 1 Andrew Feenberg, Questioning Technology (London: Routledge, 1999), 151. 2 Feenberg, Questioning, 183: If we want to acknowledge the possibility of alternative modernities, we will have to break with Heidegger.
155
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
teknologis yang baru, yang diungkapkan dalam kajian teknologi, maupun dalam memandu pengembangan demokratisasi teknologi. Setelah menyangkal pandangan substantivisme Heidegger, Feenberg mengajukan teori instrumentalisasi dua-tingkat yang bisa mengakomodasi kesan pembingkaian dari pandangan substantivisme serta menunjukkan hubungan saling membentuk antara teknologi dan masyarakat. Di bagian akhir bab ini penulis akan mengajukan teori yang mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada dalam teori teknologi Feenberg.
5.1. Rekonstruksi Teori Kritis Teknologis Feenberg merekonstruksi teori kritis teknologi setelah mempertentangkan dan kemudian menyintesakan pandangan Marcuse dan Habermas tentang nalar yang saling bertolak belakang. Bagi Marcuse, nalar tidaklah netral, karena "Keculasan Nalar' bekerja, sebagaimana yang sering terjadi, mengikuti kepentingan kuasa yang ada."3 Sementara bagi Habermas, nalar bisa diabstraksikan sebagai sesuatu yang murni, meskipun dalam perwujudannya di dunia nyata nalar bisa bercampur baur dengan kepentingan sosial. Habermas setuju bahwa dalam praktik nalar dan kepentingan sosial tidak bisa dipisahkan, namun ini bukan penghalang untuk merumuskan prinsip nalar dalam bentuk ideal murni. Sebagaimana prinsip etis juga dirumuskan dalam bentuk ideal, sementara dalam penerapannya bercampur-baur dengan berbagai faktor sosial yang menyelimuti bentuk idealnya, maka prinsip nalar juga bisa dipahami dengan cara yang sama. Menurut Habermas, pada tataran esensial tidak ada risiko pencampur-adukan yang membingungkan dari sifat-sifat formal nalar dengan kepentingan sosial, meskipun dalam praktik keduanya saling berbaur.4 Dalam menggugat peradaban berbasis teknologi, Marcuse menjadikan nalar sebagai sasaran utama kritiknya. Dia menganggap nalar sebagai sumber masalah, karena dengan dalih suatu tindakan teknis atau administratif sudah sesuai nalar, masyarakat bisa dikelabui sehingga mereka tidak melihat masalahnya sama sekali. Dengan dalih nalar, masyarakat tidak menyadari bahwa mereka telah dijadikan sebagai "obyek 3 Herbert Marcuse, One-Dimensional Society (Boston: Beacon Press, 1964), 18: The "cunning of Reason" works, as it so often did, in the interest of the powers that be. 4 Feenberg, Questioning, 162.
156
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
pengadministrasian menyeluruh."5 Karena dalam masyarakat modern proses mengelabui masyarakat ini terjadi melalui mekanisasi dan pembakuan teknologis, maka nalar yang mendasari hal ini disebut "nalar teknologis."6 Mengikuti pandangan Marcuse, Feenberg menyatakan bahwa prinsip teknis mewujudkan diri dalam sejarah melalui budaya teknologis. Penerapan teknologi bukan fungsi dari prinsip abstrak yang terlepas dari manusia, tetapi fungsi dari prinsip yang terkonstruksi secara sosial yang mendasari praktik komunitas suatu disiplin teknis. Komunitas ini, meskipun anggota-anggotanya adalah kalangan dari profesi teknis tertentu, adalah lembaga sosial yang bekerja di bawah imperatif sosial yang mempengaruhi perumusan masalah dan penentuan solusi teknis. Ini menyebabkan rancangan teknologi tidak sepenuhnya teknis, tetapi juga mendapatkan pengaruh sosial.7 Meskipun kritik Marcuse terhadap ilmu dan teknologi dilakukan secara spekulatif, namun sifat sosial dari nalar teknologis atau sistem ternalar lainnya telah dibuktikan secara luas dalam kajian teknologi. Gagasan bahwa teknologi tidak sepenuhnya ditentukan (underdetermination) secara teknis menjadi landasan pendekatan konstruktivisme teknologis.8 Jika nalar teknologis tidak pernah mewujudkan diri dalam bentuknya yang murni, maka pemisahan yang dikehendaki Habermas sesungguhnya tidak ada gunanya. Feenberg menyerupakan konsep nalar menurut Habermas ini dengan konsep pasar menurut para ekonom kontemporer. Para ekonom ini menggunakan konsep pasar yang murni, dan menganggap perwujudannya yang tidak ideal dalam dunia nyata sebagai ketidak-sempurnaan pasar, yang dikarenakan pencemaran unsur-unsur dari luar. Ini kebalikannya dengan Marx yang menganggap 'pencemaran' terhadap konsep ideal tersebut “sebagai sifat esensial dari pengoperasiannya dalam kapitalisme. Pasar dalam bentuknya yang sempurna hanyalah sekadar abstraksi dari satu atau lain perwujudan
5 Marcuse, One-Dimensional, 9: objects of total administration. 6 Marcuse, One-Dimensional, 4-5. 7 Feenberg, Questioning, 162. 8 Trevor Pinch dan Wiebe Bijker, “The Social Construction of Facts and Artefacts,” dalam The Social Construction of Technological Systems, diedit oleh W. Bijker, T. Hughes, dand T. Pinch (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1987), 13.
157
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
nyata di mana pasar mendapatkan pengaruh bias yang merefleksikan kepentingan tertentu.”9 Bagi Marcuse, nalar mewujudkan diri dalam bentuk sejarah yang nyata sehingga terbuka ruang bagi munculnya nalar-nalar yang berbeda satu dengan yang lain, dan tak ada satupun yang netral, termasuk nalar teknologis yang berbasis ilmu alam modern. Masing-masing nalar ini menubuhkan satu proyek sejarah, satu putusan atas rancangan peralatan dan sistem teknologi yang tidak sepenuhnya ditentukan secara teknis. "Semesta operasional tertutup dari peradaban industri maju dengan harmoninya yang mengerikan antara kemerdekaan dan penguasaan, produktivitas dan perusakan, pertumbuhan dan kemunduran adalah dipra-rancang dalam gagasan Nalar sebagai proyek sejarah yang khusus."10 Ini kebalikannya dengan Habermas yang menganggap teknologi "jika sama sekali berbasis proyek, bisa ditelusur ke belakang ke "proyek" spesies manusia secara keseluruhan, dan bukan kepada suatu yang bisa dilampaui dalam sejarah."11 Bagi Habermas, teknologi bukanlah proyek dari kelompok sosial yang terbatas, tetapi dari keseluruhan umat manusia, karena itulah teknologi netral, dalam arti memiliki hubungan yang sama dengan kelompok sosial mana pun. Implikasi dari pandangan Habermas ini adalah bahwa arah perkembangan teknologi tidak bisa dijelaskan dari persaingan kepentingan. Habermas membagi dunia menjadi dunia obyektif (benda), dunia sosial (masyarakat), dunia subyektif (perasaan dari perspektif yang merasakan). Sementara sikap dasar orang dibagi menjadi sikap ekspresif atau menjadikan sesuatu sebagai ungkapan perasaan, sikap membendakan atau memperlakukan sesuatu sebagai benda (objectivating), dan patuh norma (norm-conformative). Terhadap dunia obyektif, kita tentu saja bisa memperlakukannya sebagai benda, dan akan menghasilkan pengetahuan ilmiah dan teknologi. Demikian juga kita bisa memperlakukan dunia sosial sebagai 9 Feenberg, Questioning, 160: an essential feature of its operation under capitalism. Markets in their perfect form are simply an abstraction from one or another concrete realization in which they take on biases reflecting specific interests. 10 Herbert Marcuse, One-Dimensional Society (Boston: Beacon Press, 1964), 128: The closed operational universe of advanced industrial civilization with its terrifying harmony of freedom and oppression, productivity and destruction, growth and regression is predesigned in this idea of Reason as a specific historical project. 11 Jürgen Habermas, “Technology and Science as ‘Ideology,’ ” dalam Toward a Rational Society, trans. J. Shapiro. (Boston: Beacon Press, 1970), 87: if based at all on a project, can only be traced back to a "project" of the human species as a whole, and not to one that could be historically surpassed.
158
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
benda, dan menghasilkan teknologi sosial, seperti birokrasi. Sikap ini didasari oleh nalar kognitif-instrumental. Pada dunia obyektif, kita juga bisa bersikap ekspresif, menjadikan benda sebagai ungkapan perasaan, yang menghasilkan seni. Sikap ekspresif ini didasari nalar aestetis-praktis. Namun, terhadap dunia obyektif, menurut Habermas, kita tidak bisa mengambil sikap patuh norma. Kita hanya bisa bersikap patuh norma pada masyarakat, yang menghasilkan hukum, dan pada dunia subyektif (diri kita sendiri), yang menghasilkan moralitas.12 Sementara Habermas melihat hubungan manusia dengan alam sebagai sesuatu yang netral, tak terkait dengan norma apa pun; sebaliknya Marcuse melihat terjadinya "penemuan (atau lebih tepatnya, penemuan ulang) alam sebagai sekutu dalam perjuangan melawan masyarakat yang eksploitatif di mana pelanggaran terhadap alam memperburuk pelanggaran terhadap manusia. Penemuan kekuatan membebaskan dari alam dan peran penting mereka dalam konstruksi masyarakat merdeka menjadi kekuatan baru dalam perubahan sosial."13 Sebagai contoh, kejadian Tsunami di Aceh telah membuka kesempatan bagi pemerintah pusat maupun masyarakat Indonesia lainnya untuk menunjukkan solidaritasnya, dan ini turut memuluskan jalan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia. Menurut Marcuse selanjutnya, alam – apakah alam manusia 14 atau pun alam sekitar – adalah entitas sejarah. Di sini Marcuse mengidentifikasi adanya dua alam: pertama, alam sekitar yang merupakan lingkungan eksistensial di mana manusia membangun masyarakat; dan kedua, alam (dalam arti sifat dasar) manusia, yaitu dorongan dasar dan indra manusia sebagai landasan dari nalar dan pengalamannya. Marcuse menganggap kedua jenis
alam ini sebagai entitas sejarah, yang
ditransformasikan oleh masyarakat melalui tindakan nalar yang semakin lama semakin menjadi nalar teknologis dan instrumentalis, yang tunduk pada kehendak kapitalisme.15 12 Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action Volume I: Reason and the Rationalization of Society, diterjemahkan oleh Thomas McCarthy (Boston: Beacon, 1984), 237-238. 13 Herbert Marcuse, "Nature and Revolution," dalam Counterrevolution and Revolt (Boston: Beacon Press, 1972), 59: the discovery (or rather, rediscovery) of nature as an ally in the struggle against the exploitative societies in which the violation of nature aggravates the violation of man. The discovery of the liberating forces of nature and their vital role in the construction of a free society becomes a new force in social change. 14 “Alam manusia” merupakan terjemahan dari “human nature”, yang juga bisa diterjemahkan sebagai sifat insani. 15 Marcuse, "Nature," 59 - 60.
159
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Sebagai entitas sejarah sifat alam tidaklah menetap tetapi mengubah dan diubah oleh entitas sejarah yang lain. Menurut Feenberg, pengembangan konsepsi alam yang dihidupi membawa Marcuse kepada akar Heideggeriannya, sesuatu yang ditolak Marcuse16, yang sebenarnya bukan karena alasan filosofis melainkan lebih karena ketidak-sukaannya pada keterlibatan Heidegger dalam Nazi. Feenberg menguatkan pandangan Marcuse bahwa teknologi tidak murni alamiah maupun tidak murni sosial, demikian juga dengan alam di mana teknologi diterapkan menolak pembedaan abstrak tersebut. Kedua-duanya teknologi dan alam secara serentak merupakan mekanisme sebab-akibat dan objek sosial yang bermakna. Jadi bukan hanya teknologi yang merupakan obyek sosial, alam juga memiliki makna sosial.17 Meskipun Feenberg lebih condong berpihak pada pandangan Marcuse yang menolak netralitas teknologis, namun Feenberg melihat perlunya memasukkan pandangan Marcuse tersebut ke dalam teori media Habermas. Dengan menganggap teknologi sebagai medium dia bisa lebih mudah mengkritik teknokrasi. Habermas mengembangkan teori media bertolak dari pembahasan Talcott Parsons mengenai bahasa dan media lainnya yang bisa diserupakan dengan bahasa, seperti uang dan kuasa. Bahasa menjadi jembatan antar-manusia di mana pengertian bisa dipertukarkan, tindakan bisa diselaraskan dan dikoordinasikan. Suatu komunitas linguistik bisa menjalin hubungan antar-subyektivitas melalui penggunaan makna kata yang sama. Melalui bahasa tradisi bisa direproduksi dari satu generasi ke generasi lain. Bahasa juga memungkinkan sekelompok orang atau masyarakat untuk membangun kesepakatan nilai dan menyebarkannya secara geografis maupun dari waktu ke waktu dalam rangka membangun dan mempertahankan tatanan normatif tertentu.18 Membangun kesepakatan dengan bahasa saja tidak cukup untuk menjaga kelangsungan masyarakat yang masing-masing warganya memiliki kepentingan pribadinya sendiri, sementara dia juga membutuhkan orang lain untuk memenuhi kepentingan tersebut. Ini membutuhkan cara koordinasi yang berbeda dan lebih efektif 16 Feenberg, Questioning, 164. 17 Feenberg, Questioning, 165. 18 Jürgen Habermas, The Theory of Communicative Action Volume II: Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason, diterjemahkan oleh Thomas McCarthy (Boston: Beacon, 1987), 259.
160
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
terhadap tindakan bertujuan dari berbagai orang. Tindakan berbeda dari tiap orang ini menciptakan hasil yang berbeda yang nantinya bisa atau perlu saling dipertukarkan. Koordinasi tindakan dan pertukaran hasil akan sulit dilakukan atau membutuhkan waktu yang panjang jika hanya mengandalkan komunikasi bahasa. Semakin rumit pembagian kerja dan dan produk yang dipertukarkan, maka ...kebutuhan mencapai pengertian, pengeluaran energi penafsiran dan risiko ketidaksepakatan semuanya meningkat. Namun, tuntutan dan bahaya ini bisa dikurangi melalui media yang mengganti saling pengertian dalam bahasa dengan mekanisme koordinasi dalam konteks tertentu yang terdefinisi dengan baik...Media tersebut tidak hanya mengurangi pengeluaran energi penafsiran tetapi juga mengatasi risiko rankaian tindakan menjadi berguguran.19
Masyarakat memerlukan cara lain, atau media lain, untuk mengoordinasikan tindakan di antara mereka secara lebih cepat dan lebih pasti. Kecepatan dan kepastian koordinasi tindakan ini bisa dilakukan dengan “mereduksi struktur antarsubyektivitas yang dihasilkan melalui bahasa …. menjadi mekanisme seperti pertukaran dan pengorganisasian, yang memastikan keeratan suatu sistem atas kepala para pelaku yang terlibat.”20 Dengan uang dan kuasa suatu kelompok sosial bisa menghindari beban dari disensus21 sebab keduanya melepaskan koordinasi tindakan dari konsensus yang dibentuk melalui bahasa dan tidak tergantung lagi pada keberhasilan atau kegagalan suatu kesepakatan.22 "Jadi pembagian kerja ini beriringan dengan perkembangan kuasa organisasional dan hubungan pertukaran."23 Dan, hubungan pertukaran ini dimediasi oleh uang. Suatu sistem sosial membutuhkan pertukaran barang dan jasa dengan pihak luar, atau pun antar-warga sistem tersebut. Pertukaran tersebut akan membutuhkan waktu 19 Habermas, Lifeworld, 262: ...the need for reaching understanding, the expenditure of interpretive energy, and the risk of disagreement are all increased. However, these demands and dangers can be reduced through media that replace mutual understanding in language as a mechanism of coordination in certain well-defined context..... Such media serve not only to reduce the expenditure of interpretive energy but also to overcome the risk of action sequences falling apart. 20 Habermas, Lifeworld, 256: to reduce the structures of linguistically generated intersubjectivity .... to mechanisms such as exchange and organization, which secure the cohesiveness of a system over heads of the actors involved. 21 Disensus adalah lawan dari konsensus. 22 Habermas, Lifeworld, 263. 23 Thomas McCarthy, "Translator's Introduction" dari The Theory of Communicative Action Volume I: Reason and the Rationalization of Society oleh Jürgen Habermas (Boston: Beacon, 1984), xxix: Thus the division of labor goes hand in hand with the development of organizational power and exchange relations.
161
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
lama – dan tanpa jaminan keberhasilan – jika hanya mengandalkan hubungan normatif di antara pihak-pihak yang bertransaksi. Uang menjadi media yang memudahkan proses transaksi tanpa memerlukan hal-hal yang bersifat normatif. Karena itulah interaksi di pasar bisa terjadi dengan cepat antar-orang yang tidak saling mengenal sekali pun dengan komunikasi yang sebatas berkaitan dengan transaksi saja. Demikian juga dalam suatu sistem adminstrasi, pemegang kuasa administratif bisa menuntut orang-orang yang ada di bawah kewenangannya untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu tanpa harus menyadarkan mereka lebih dahulu tentang pentingnya penyelesaian pekerjaan tersebut. Kedua media tersebut, uang dan kuasa, mengurangi peran bahasa atau penjelasan melalui bahasa (delinguistify).24 Perlu ditegaskan di sini, Habermas tidak menganggap bahwa komunikasi bisa dihilangkan sama sekali oleh penggunaan media, tetapi yang disingkirkan media adalah “tindakan komunikatif,” yakni tindakan antar-subyek untuk membangun saling pengertian. Bentuk komunikasi yang melengkapi media uang dan kuasa, sebagaimana kita saksikan atau dengar di pasar atau pun dalam birokrasi, tetap terjadi. Jika komunikasi pelengkap tidak terjadi, tentu tidak ada suara manusia di pasar atau birokrasi. Feenberg menganggap teknologi memiliki sifat serupa dengan kuasa dalam mengoordinasikan
tindakan.
Pengendalian
teknis
bisa
mengurangi
tindakan
komunikatif. Pembagian dan koordinasi kerja dalam pabrik, misalnya, termaterialisasi dalam mesin-mesin yang dioperasikan para pekerja. Mesin pemindai sidik jari di perkantoran juga mengganti komunikasi atasan pada bawahannya bahwa pihak terakhir ini harus datang ke kantor tepat waktu. Menurut Feenberg, alasan yang masih membuat banyak orang keberatan untuk memasukkan teknologi ke dalam teori media adalah teknologi bekerja berdasarkan hubungan sebab-akibat alamiah sementara media lain lebih bersifat sosial. Meskipun memiliki pesan atau makna terbatas, uang dan kuasa memiliki kepentingan komunikatif dan konvensional. Uang adalah hasil kesepakatan sosial yang dilegitimasi oleh negara dan ditopang, misalnya, dengan cadangan emas. Demikian juga kuasa lebih ditentukan secara sosial daripada kekuatan fisik seseorang. Sementara teknologi dianggap tidak 24 Feenberg, Questioning, 167.
162
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
memiliki muatan komunikatif, teknologi lebih membebaskan manusia dari upaya fisik, bukan upaya komunikatif.25 Keberatan di atas sama saja dengan pandangan determinisme yang menganggap "teknologi memiliki logika fungsional mandiri yang bisa dijelaskan tanpa merujuk pada masyarakat."26 Padahal ia juga bisa memiliki berbagai muatan makna, seperti mobil yang
mengomunikasikan
status
pemiliknya,
pemindai
sidik
jari
di
kantor
mengomunikasikan kewajiban untuk datang tidak terlambat, sistem transportasi yang mengoordinasi banyak orang dengan komunikasi bahasa yang minimal. 27 Bahkan koordinasi masyarakat modern yang kompleks ini tidak bisa hanya dilakukan dengan mengandalkan uang dan kuasa saja. "Pastinya tidak ada seorangpun di bidang teori manajemen yang menyetujui pandangan bahwa kombinasi insentif keuangan dan aturan adminstratif cukup untuk mengorganisasi produksi. Masalah motivasi jauh lebih rumit dari itu, dan kecuali hanya jika nalar teknis dari pekerjaan mengoordinasi tindakan para pekerja secara harmonis, aturan semata-mata akan tak berdaya melakukannya."28 Sifat media teknologi ditunjukkan oleh pengaruhnya pada pengurangan beban komunikatif di antara manusia. Para operator mesin di pabrik tidak perlu mencapai kesepakatan untuk menentukan tatanan kerja di antara mereka – siapa harus melakukan apa, dan urutan pekerjaannya seperti apa – karena pengaturan tersebut sudah ditentukan oleh rancangan proses yang melibatkan mesin-mesin yang mereka operasikan. Kepatuhan para operator terhadap prosedur pengoperasian mesin memang mirip, tetapi tidak persis sama, dengan kepatuhan dalam kuasa karena ia berakar pada kemandirian operasional daripada klaim normatif. Kepatuhan pekerja terhadap prosedur kerja bukan karena wibawa atau pengaruh manajernya.29 Jadi meskipun kuasa dan insentif uang bisa digunakan untuk menjelaskan tindakan teknis dalam sistem produksi, residu teknologi tetap tidak bisa dihilangkan. 25 Feenberg, Questioning, 168. 26 Feenberg, Questioning, 77: technologies have an autonomous functional logic that can be explained without reference to society. 27 Feenberg, Questioning, 168. 28 Feenberg, Questioning, 168-169: Certainly no one in the field of management theory would subscribe to the view that a combination of monetary incentives and administrative rules suffices to organize production. The problem of motivation is far more complex than that, and unless the technical rationality of the job coordinates workers’ action harmoniously, mere rules will be impotent to do so. 29 Feenberg, Questioning, 169-170.
163
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Untuk lebih memperjelas bahwa teknologi adalah medium, Feenberg meletakkannya dalam Tabel 5.1 yang membandingkannya dengan media kuasa dan uang. Hal yang dibandingkan Feenberg pertama adalah "nilai yang digeneralisasi". Pada uang, nilai ini adalah utilitas (kegunaan), pada kuasa adalah efektivitas, dan produktivitas untuk pengendalian teknis. Uang
Kuasa
Teknologi
Situasi Baku
Pertukaran
Pengarahan
Penerapan
Nilai yang digeneralisasi
Utilitas
Efektivitas
Produktivitas
Klaim nominal
Nilai tukar
Putusan yang mengikat
Preskripsi
Kriteria ternalar
Keuntungan
Keberhasilan (kedaulatan)
Efisiensi
Sikap aktor
Berorientasi keberhasilan
Berorientasi keberhasilan
Berorientasi keberhasilan
Nilai nyata
Nilai penggunaan
Perwujudan tujuan bersama
Perwujudan tujuan
Cadangan pendukung
Emas
Sarana pemaksaan
Konsekuensi alami
Kepemilikan dan kontrak
Organisasi posisi resmi
Sistem
Bentuk pelembagaan
Tabel 5.1: Perbandingan Tiga Media30 Kedua, Feenberg membandingkan "klaim nominal" dari ketiga media tersebut. Dengan memiliki nilai tukar, uang menuntut sesuatu yang ditukarkan memiliki nilai yang setara dengannya. Kuasa menghasilkan putusan yang mengikat yang menuntut kepatuhan (obedience). Dan teknologi menghasilkan preskripsi, aturan tindakan yang menuntut kepatuhan penyesuaian (compliance). Klaim nominal ketiga media tersebut sama-sama menuntut kepatuhan, namun patuh untuk mengikuti instruksi pengoperasian mesin berbeda dengan kepatuhan pada perintah politis, atau kepatuhan untuk menukar uang dengan sesuatu yang bernilai setara. Ketiganya memiliki aturan kepatuhannya sendiri. Bentuk komunikasi minimal yang menentukan dari teknologi yang mirip dengan kode sederhana dari uang (beli, tidak beli) atau kuasa (patuh, tidak patuh), adalah kebenaran atau kesalahan pragmatis dari tindakan.31 30 Tabel ini diterjemahkan dari Chart 4. Coordination Media dalam Feenberg, Questioning, hal. 171, namun dengan mengubah baris menjadi kolom dan sebaliknya. 31 Feenberg, Questioning, 170.
164
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Ketiga, bekerjanya media membutuhkan keberadaan cadangan pendukung (reserve backing). Habermas menyebut emas sebagai cadangan pendukung nilai uang, yang menurut Feenberg ini menunjukkan Habermas mengabaikan sejarah ekonomi. Namun, dia membenarkan ketika Habermas menganggap nilai moneter harus merujuk pada obyek yang bisa dipercaya seperti kemakmuran nasional. Kuasa membutuhkan sarana pemaksaan. Sebaliknya kepatuhan pada teknologi tidak membutuhkan pemaksaan dari luar, karena orang yang melanggar aturannya akan menghadapi konsekuensi hukum alam, apakah kecelakaan, kerusakan atau lainnya. Ketidakpatuhan terhadap aturan lalu-lintas, misalnya dengan berkendaraan melawan arus, akan menghadapi risiko kecelakaan yang membahayakan pengemudi tersebut atau pun orang lain.32 Jika teknologi didefinisikan sebagai medium sebagaimana uang dan kuasa, maka harus ada batas di antara ketiganya yang menunjukkan bahwa ketiganya berbeda satu sama lain, atau bahwa yang satu bukan sepenuhnya akibat dari yang lainnya. Dalam praktik uang dan kuasa saling bertautan, sehingga uang bisa menghasilkan kuasa, dan kuasa juga bisa menghasilkan uang. Teknologi juga saling bertautan dengan uang dan kuasa. Pertautan teknologi dengan keduanya menjadikan teknologi sebagai bentuk pengendalian ekonomi maupun politik, bahkan teknologi bisa meluaskan sistem tanpa mewujudkan diri sebagai medium.33 Karena itu menentukan batas teknologi dengan keduanya di dunia nyata tidaklah mudah. Ketidakjelasan batas antar-media di dunia nyata ini bisa diatasi Feenberg dengan memahami media dari dua tingkat. Pada tingkat ideal, masing-masing medium bisa dengan mudah dibedakan satu dari yang lain. Pada tingkat ini Feenberg mengikuti anggapan Habermas bahwa media memiliki ciri-ciri umum yang memenuhi syarat penerapannya. Ini adalah argumentasi substantivis yang memungkinkan media ditentukan ciri-ciri dan batasnya yang menetap. Pengendalian teknis "bisa dibedakan dari uang dan kuasa sebagai jenis ideal tanpa kesulitan, meskipun secara empiris ia terkait dengan keduanya sebagaimana keduanya juga saling terkait satu sama lain.
32 Feenberg, Questioning, 170. 33 Feenberg, Questioning, 170: Technologizing a domain of life opens it to economic and political control; technical control serves system expansion without itself being a medium.
165
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Semua media adalah perantara dalam arti demikian, semua media saling melayani sebagai sarana bagi yang lainnya."34 Pada tingkat praktis, uang, kuasa dan teknologi sulit dipisahkan satu dari yang lain. Melihat media secara kritis pada tingkat-kedua diperlukan karena media juga dibentuk oleh kepentingan hegemonik dari masyarakat yang dilayaninya. Bagi Feenberg, pasar, administrasi dan peralatan teknis bukanlah sesuatu yang netral, tetapi membiaskan dan menubuhkan pilihan-pilihan nilai yang khusus. Bias ini masuk melalui proses perancangan dan menunjukkan belangnya ketika digunakan. “Karena itulah, kritik tidak bisa berhenti pada batas sistem tetapi harus meluas jauh ke dalamnya; ia harus menjadi kritik rancangan.”35 Kritik rancangan ini akan lebih memberi kekuatan pada teori media untuk mengkritik teknokrasi. Habermas membagi lingkup interaksi masyarakat menjadi dua: dunia kehidupan dan sistem. Dunia kehidupan adalah lingkup sosial yang dikuasai oleh tindakan komunikatif, di mana pihak-pihak yang berinteraksi berupaya membangun pengertian secara bersama. Dunia kehidupan ini akan menjadikan segala sesuatu menjadi transparan untuk dibicarakan orang, bahkan sekalipun orang tersebut tidak memahaminya.36 Dunia kehidupan yang didasari pemahaman bersama ini menjadi penting dalam ilmu sosial yang berkembang di Eropa saat masyarakat berkembang melepaskan landasan tradisionalnya di mana mitos atau kepercayaan menjadi pengikat yang tidak bisa dipertanyakan kesahihannya. Dalam masyarakat seperti ini konsensus menjadi penting, dan harus ditemukan secara bersama. Inilah yang mendasari mengapa tindakan komunikatif, yang menjadi ciri utama dunia kehidupan, menjadi penting dalam sejarah perkembangan Eropa. Selain memiliki kepentingan bersama yang harus disepakati secara bersama pula,
masing-masing
warga
juga
memiliki
kepentingannya
sendiri
namun
pemenuhannya membutuhkan bantuan orang lain. Memenuhi kepentingan sendiri 34 Feenberg, Questioning, 172: It can be distinguished from money and power as an ideal-type with no difficulty, although empirically it is intertwined with them just as they are intertwined with each other. All media are mediations in this sense, all media serve as means for each other. 35 Feenberg, Questioning, 174: Therefore, critique cannot cease at the boundary of the system but must extend deep inside it; it must become design critique. 36 Habermas, Lifeworld, 149: It draws all societal processes into searchlight of cooperative processes of interpretation. It lends to everything that happens in society the transparency of something about which one can speak – even if one does not (yet) understand it.
166
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
dengan membangun saling pengertian dengan orang lain sulit dilakukan, karena kepentingan keduanya tidak selalu sama. Karena itulah dalam interaksi antar-orang terjadi tindakan instrumental, yakni tindakan mencapai tujuan pribadi dengan memanfaatkan jasa orang lain tanpa membangun pengertian tentang kepentingan bersama di antara pihak-pihak yang berinteraksi. Dalam hal ini, uang dan kuasa menjadi media penting dalam mengoordinasi tindakan tanpa mengaitkannya dengan pengertian atau norma bersama. Dengan menggunakan uang atau kuasa seseorang bisa memanfaatkan jasa pihak lainnya lepas dari pihak lain ini paham atau tidak, setuju atau keberatan. Lingkup kehidupan yang terdiri dari tindakan-tindakan instrumental ini disebut Habermas sebagai sistem. Dalam sistem terjadi pengurangan peran bahasa dan terjadi peningkatan peran media lainnya.37 Tindakan instrumental atau kegiatan bertujuan (purposive activity) bisa dilepaskan dari konteks normatif, antara lain dikarenakan oleh pelembagaan yang menjadikan uang bukan sekadar hasil kesepakatan antara dua orang yang berinteraksi, tetapi kesepakatan seluruh masyarakat yang dilindungi hukum. Ini memungkinkan kegiatan bertujuan – yang diarahkan perhitungan manfaat secara egois – tidak memerlukan hubungan saling pengertian. Tindakan ini, meskipun diarahkan pada sesama manusia, dianggap sebagai tindakan ilmiah, karena memperlakukan manusia maupun alam sebagai obyek. “Tindakan strategis ini, yang dilepaskan dari mekanisme mencapai pengertian dan menyerukan sikap mengobyekkan bahkan dalam kaitannya dengan hubungan antar-pribadi, ditingkatkan menjadi model yang berurusan secara metodis dengan alam yang diobyekkan secara ilmiah.”38 Karena itulah, bagi Habermas, dalam hal pencapaian tujuan pribadi, kegiatan bertujuan bebas dari batasan normatif sejauh ia bisa dijelaskan secara ilmiah dalam arti “ia menjadi terkait dengan aliran informasi dari sistem ilmiah.”39 Keberadaan sistem memang tak terhindarkan untuk mengelola kerumitan interaksi sosial. Masyarakat modern tidak bisa bertahan tanpa sistem moneter, birokrasi, atau pun teknologi. Namun, persoalan besar dalam dunia modern, menurut Habermas, 37 Habermas, Lifeworld, 154. 38 Habermas, Lifeworld, 196: This strategic action, which is disengaged from the mechanism of reaching understanding and calls for an objectivating attitude even in regard to interpersonal relations, is promoted to the model for methodically dealing with a scientifically objectivated nature. 39 Habermas, Lifeworld, 196: it becomes linked to flows of information from the scientific system.
167
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
adalah penjajahan sistem terhadap dunia kehidupan, yakni ketika media – apakah uang atau kuasa40 – merangsek ke dalam dunia kehidupan. Sistem yang lebih mekanistis, yang lebih bisa mengikat atau memaksa “... menekan bentuk-bentuk integrasi sosial bahkan di area-area di mana koordinasi bergantung-konsensus dari tindakan tidak bisa digantikan, yaitu, di mana reproduksi simbolis dari dunia kehidupan dipertaruhkan. Di area ini, mediatisasi dunia kehidupan mengasumsikan bentuk penjajahan.”41 Teori media Habermas ini oleh Feenberg digunakan untuk menjelaskan teknokrasi sebagai bentuk penjajahan sistem terhadap dunia kehidupan. Teknologi sudah menyusup ke berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan yang sangat pribadi sekali pun. Para perekayasa masih menganggap pengembangan teknologi sepenuhnya persoalan teknis, sehingga tidak mensyaratkan mereka untuk membangun hubungan saling pengertian dengan masyarakat, kecuali dengan pihak yang membayar yang menentukan pembelian teknologi tersebut. Namun, masih ada keberatan Feenberg terhadap teori media Habermas. Dalam teori ini tidak dijelaskan bagaimana organisasi yang bertumpu pada media, pada gilirannya juga akan menstruktur dan merestruktur media. Pertukaran yang didukung oleh penggunaan uang juga bisa dibiaskan, demikian juga adminstrasi bisa diubah oleh organisasi. Habermas tidak mempertimbangkan ini karena menganggap media sebagai perwujudan logika semata-mata.42 Dengan memahami bagaimana manusia juga bisa mempengaruhi media, maka penjajahan sistem terhadap dunia kehidupan tidak menjadi keniscayaan. Memang, yang sejauh ini lebih banyak dilihat adalah bagaimana norma-norma masyarakat tergerus oleh penggunaan media uang, kuasa atau teknologi. Budaya gotong royong di masyarakat kita secara bertahap tergusur oleh penggunaan medium uang. Ikatan sosial yang tradisional dalam satu lingkungan geografis juga nampak sulit dipertahankan menghadapi kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi, misalnya media sosial, 40 Habermas tidak menyinggung sama sekali tentang sistem teknologi. Feenberglah yang memasukkan teknologi sebagai media. 41 Habermas, Lifeworld, 196: …suppress forms of social integration even in those areas where a consensus-dependent coordination of action cannot be replaced, that is, where the symbolic reproduction of the lifeworld is at stake. In these area, the mediatization of the lifeworld assume the form of a colonization. 42 Feenberg, Questioning, 176.
168
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
yang membuat masing-masing anggota masyarakat bisa memilih sendiri “tetangga” yang tidak lagi didefinisikasn secara geografis. Dalam kajian teknologi, bias normatif bisa mempengaruhi rancangan atau pun bekerjanya lembaga ternalar seperti birokrasi. Bias normatif juga mempengaruhi rancangan teknologi. Masuknya norma ke dalam media ini bisa diperjuangkan, bisa dirancang, meskipun harus dilakukan secara kolektif, bukan oleh masing-masing orang secara terpisah. Masuknya norma ke dalam media, atau khususnya teknologi, ini berbeda dari pengertian komunikatif yang disebarkan untuk mengarahkan penggunaan media. Contoh dari norma sebagai pengertian komunikatif adalah senjata bisa diperjualbelikan secara bebas dan pada saat bersamaan juga disebarkan ajaran normatif bahwa pembunuhan adalah dosa besar. Contoh dari norma yang ditanamkan dalam media adalah senjata api yang dilengkapi dengan sistem pengenal pola (pattern recognition) yang bisa mengetahui apakah sasarannya membawa senjata atau tidak, jika tidak, maka senjata api tersebut tidak bisa digunakan. Teknologi pelengkap ini untuk mencegah penggunaan senjata api yang diarahkan pada orang yang tidak bersenjata.
5.2. Keterkikisan Makna oleh Teknologi Modern Heidegger membedakan seni dan kerajinan sebagai teknologi tradisional di satu pihak dan teknologi modern di pihak lain. Teknologi tradisional merupakan bentuk penyingkapan, sedangkan teknologi modern sebagai bentuk pembingkaian yang memaksa, yang menjadikan segala sesuatu sebagai bahan mentah. Teknologi tradisional membuka, sedangkan teknologi modern menyebabkan.43 Pemikiran Heidegger tentang pembingkaian oleh teknologi memang spekulatif tetapi dia memiliki beberapa pengikut yang berhasil menunjukkan sesuatu yang bisa dianggap sebagai “bukti empiris” dari pembingkaian tersebut. Misalnya, Alain Gras menunjukkan bagaimana sistem-makro seperi pembangkit listrik dan industri penerbangan membingkai apa saja sebagai cadangan yang siap diolah. Semakin berkekuatan suatu teknologi, semakin menyerap energi dan bahan mentah dari lingkungannya, dan semakin direncanakan jauh ke masa depan, dan selanjutnya semakin teknologi ini lepas dari kendali dan juga tujuan manusia. Thomas Hughes 43 Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and other Essays, diterjemahkan oleh William Lovitt (New York: Garland Publishing, 1977).
169
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
menggunakan istilah “momentum” untuk merujuk pada kekuatan kuasi-determinitik yang menyebarkan diri dan memaksa lembaga-lembaga lain untuk mematuhi tuntutan kekuatan tersebut.44 Menurun atau pun lepasnya kendali manusia terhadap arah perkembangan teknologi modern ini mengakibatkan apa yang disebut Feenberg sebagai “inflasi subyektivitas pengendali.”45 Kemandirian teknologi untuk bergerak sendiri dan menggiring manusia ini membuat “kita kehilangan pandangan tentang apa yang dikorbankan dalam mobilisasi umat manusia dan sumber daya untuk tujuan-tujuan yang pada akhirnya tetap tidak jelas.”46 Feenberg melihat ambiguitas yang menonjol pada pendekatan Heidegger ini. Menurut Heidegger esensi teknologi tidak bersifat teknologis. Ini berarti, menurut Feenberg, teknologi tidak bisa dipahami melalui kegunaannya tetapi hanya melalui keterlibatan khusus kita dengan dunia. Yang menjadi tanda tanya besar adalah apakah keterlibatan ini semata-mata hanya persoalan bagaimana manusia menyikapi penggunaan teknologi, atau keterlibatan ini juga dipaksa atau bagian dari rancangan peralatan teknologi?47 Jika keterlibatan ini hanya soal sikap, maka “hubungan merdeka” dengan teknologi bisa dicapai tanpa mengubah artefak teknologi yang kita gunakan. Bagi Feenberg, pandangan ini adalah solusi ideal yang buruk, yang akan ditolak oleh satu generasi penggiat lingkungan. Namun, bagaimana rancangan teknologi menentukan keterlibatan manusia dengan teknologi ini sama sekali tidak disinggung dalam karya Heidegger. Karena itulah, dalam hubungannya dengan persoalan lingkungan, Feenberg menyangsikan relevansi pemikiran Heidegger ini.48 Pendukung Heidegger akan membela diri dengan menunjukkan ambiguitas sikap/peralatan. Mereka akan menunjukkan bahwa kritik Heidegger mengenai teknologi tidak semata-mata berkaitan dengan sikap manusia tetapi lebih pada cara Ada menyingkapkan diri. Feenberg menafsirkan pandangan ini dengan pernyataan bahwa “dunia modern memiliki bentuk teknologis dalam bentuk sebagaimana, misalnya, abad pertengahan memiliki bentuk keagamaan. Bentuk tidak semata-mata persoalan sikap 44 Pandangan Alain Gras dan Thomas Hughes ini dikutip dalam Feenberg, Questioning, 186. 45 Feenberg, Questioning, 185: an inflation of the subjectivity of the controller. 46 Feenberg, Questioning, 186: we lose sight of what is sacrificed in the mobilization of human beings and resources for goals that remain ultimately obscure. 47 Feenberg, Questioning, 186. 48 Feenberg, Questioning, 186.
170
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
tetapi membentuk kehidupan materialnya sendiri: pembangkit listrik adalah katedral gotik dari zaman kita.”49 Menurut Feenberg, masalah yang ditinggalkan Heidegger adalah dia tidak memberi kita petunjuk bagaimana mereformasi teknologi sehingga bisa lebih bersahabat dengan
manusia.
Ketiadaan
petunjuk
ini
dikarenakan
argumen
Heidegger
dikembangkan dalam abstraksi yang terlalu tinggi sehingga tidak membedakan antara listrik dan bom atom, pertanian dan Holocaust. Semuanya hanyalah ekspresi yang berbeda-berbeda dari pembingkaian yang identik yang kita dipanggil untuk bertransenden melalui pemulihan hubungan lebih mendalam dengan Ada. Dan karena Heidegger menolak kemunduran teknis sementara tidak menyisakan ruang bagi masa depan teknologis yang lebih baik, sulit untuk melihat terdiri dari apa hubungan tersebut di luar sekadar perubahan sikap. 50
Salah satu pengikut Heidegger, Albert Borgmann, mencoba membumikan pandangan Heidegger. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat modern adalah dikarenakan mereka terkungkung oleh apa yang disebut Borgmann sebagai “paradigma peralatan.” Kungkungan ini demikian kuat, sehingga “paradigma peralatan” ini menjadi prinsip pembentuk masyarakat teknologis yang cenderung mengejar efisiensi tanpa mempertimbangkan lagi apa yang dikorbankannya dalam pengejaran efisiensi tersebut.51 Dalam bingkai paradigma ini barang atau komoditas yang dibutuhkan manusia dipisahkan dari konteks, proses atau pun alat-alat untuk menghasilkannya. Yang dipentingkan adalah komoditasnya, proses atau pun alat bisa diganti-ganti dengan yang lebih mudah, murah dan cepat dalam menghasilkan komoditas tersebut. Sehingga jika seseorang membutuhkan makan, maka dia tidak harus belanja bahan makanan dan mengolah makanannya sendiri. Dia bisa saja membeli makanan jadi di pasar swalayan, lalu menghangatkannya dengan microwave di rumahnya, atau menelpon layanan antar dari restoran cepat saji.
49 Feenberg, Questioning, 186: the modern world has a technological form in something like the sense in which, for example, the medieval world had a religious form. Form is no mere question of attitude but takes on a material life of its own: power plants are the gothic cathedrals of our time. 50 Feenberg, Questioning, 187: All are merely different expressions of the identical enframing which we are called to transcend through the recovery of a deeper relation to being. And since Heidegger rejects technical regression while leaving no room for a better technological future, it is difficult to see in what that relation would consist beyond a mere change of attitude. 51 Albert Borgmann, Technology and the Character of Contemporary Life (Chicago: University of Chicago Press, 1984).
171
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Padahal acara makan bukanlah sekadar kegiatan memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh, tetapi juga menjadi sarana bagi semua anggota keluarga untuk berkumpul, mereproduksi keterikatan di antara sesama mereka, dan menjadi sarana untuk memelihara tradisi, mulai dari resep makanan, penataan peralatan makan, cara makan sampai tradisi bagaimana bersikap dan bicara di meja makan. 52 Lebih-lebih ketika kita menjadi tamu, acara makan ini lebih dimediasi secara sosial dan percakapan. Pemenuhan nutrisi sendiri menjadi bagian kurang penting dari acara tersebut. Apa yang nampak hanya sekadar makan dan obrolan sebelum dan sesudah makan, sebenarnya bentuk penghargaan dan sikap berterima kasih terhadap tuan rumah. 53 Menurut Borgmann, tradisi di meja makan ini kemudian tersingkir oleh serbuan industri makanan yang membuat makanan demikian mudah tersedia dalam kondisi siap santap. Acara makan pun tidak lagi menjadi pusat perhatian, makanan sekadar menjadi camilan, dan makanan dikonsumsi sambil menyaksikan TV, saat pertemuan bisnis, kerja lembur atau lainnya. Acara makan tidak lagi menjadi pusat kegiatan. Hal ini semakin menjadi “kondisi normal dari makan yang teknologis.”54 Pandangan Borgmann ini menimbulkan kesan bahwa dia lebih menghargai teknologi lama yang kurang efisien. Ketidakefisienan ini membuat manusia lebih terlibat, lebih melakukan upaya, sehingga teknologi tersebut menjadi apa yang disebut Borgmann sebagai barang yang menjadi pusat perhatian (focal things) di mana kegiatan-kegiatan manusia terpusat (focal practices). Melalui berbagai upaya atau kegiatan inilah tradisi, termasuk makna yang menyertainya, berkembang. Tanpa upaya besar tersebut ganjaran kehidupan yang bermakna menjadi hilang dalam kemudahan penggunaan teknologi. Feenberg mengkritik Borgmann yang kurang menjelaskan hubungan antara teknologi dan budaya. Dia lebih menjelaskan bahwa makna yang muncul dari kegiatan penggunaan teknologi (focal things) akan tergerus oleh kemajuan teknologi. Jika pandangan ini benar, maka teknologi harus dibatasi untuk mengatasi keterkikisan makna dalam kehidupan manusia. Ini sama dengan usulan Habermas untuk membatasi agar sistem tidak meluas sampai ke dunia kehidupan. 52 Borgmann, Technology, 204. 53 Borgmann, Technology, 205. 54 Borgmann, Technology, 204: the normal condition of technological eating.
172
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Borgmann menerjemahkan pandangan Heidegger tentang teknologi tradisional yang menyingkapkan Ada menjadi konsepsinya tentang barang pusat perhatian (focal things) yang memicu kegiatan pusat perhatian (focal practices). Sedangkan pandangan Heidegger tentang teknologi modern yang membingkai alam dan manusia ia terjemahkan dalam paradigma peralatan yang membuat orang lebih mementingkan komoditas yang dihasilkan teknologi daripada proses atau kegiatan yang menghasilkan komoditas tersebut. Sebagaimana Heidegger maupun Habermas, Borgmann tidak memberikan panduan tentang bagaimana mereformasi teknologi. Solusi mereka dalam mengatasi persoalan teknologis adalah sama, yakni membatasi penggunaan teknologi yang dianggap merugikan kemanusiaan. Solusi inilah yang hendak dikoreksi Feenberg.
5.3. Teori Instrumentalisasi Dua-Tingkat Untuk mengatasi kelemahan teori teknologi dari para pendahulunya Feenberg menggagas teori instrumentalisasi dua-tingkat yang merupakan perpaduan esensialisme dan konstruktivisme teknologis sekaligus mentransformasi kedua pandangan tersebut. 55 Sekalipun menganggap esensialisme teknologis tidak memberikan solusi bagi persoalan yang diakibatkan teknologi, Feenberg tidak sama sekali meninggalkannya. Ada aspek teknologi yang bisa dijelaskan dengan esensialisme teknologis, yakni pembentukan fungsional dari obyek dan subyek teknis yang terjadi pada tingkat pertama, “instrumentalisasi primer.” Tingkat kedua, “instrumentalisasi sekunder” menjelaskan penempatan obyek dan subyek teknis dalam konteks di mana tindakan teknis terjadi. Teori instrumentalisasi dua-tingkat ini adalah upaya Feenberg untuk menutupi kekurangan teori esensialisme dan konstruktivisme teknologis jika masing-masing digunakan secara terpisah. Instrumentalisme primer, dengan pendekatan esensialisme, melihat pembentukan teknologi sebagai sesuatu yang lepas dari pengaruh lingkungan sosialnya dengan cara memisahkan fungsi dari keseharian hidup, yang menjelaskan pembentukan fungsional obyek teknis dan bagaimana subyek teknis terhubung dengannya. Sementara itu instrumentalisasi sekunder merupakan penggunaan pendekatan konstruktivisme untuk memahami teknologi dalam jejaring lokal penggunaannya.
55 Feenberg, Questioning, 202.
173
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
5.3.1 Instrumentalisasi Primer: Fungsionalisasi Feenberg membagi instrumentalisasi primer ini ke dalam empat peristiwa yang membentuk obyek dan subyek teknis, serta hubungan fungsional antara keduanya. Dua peristiwa pertama mirip dengan pembingkaian yang digagas Heidegger, dan dua peristiwa berikutnya menjelaskan bentuk tindakan sebagaimana diimplikasikan oleh teori media Habermas. Secara bersama empat peristiwa ini membentuk pengobyekan dan pensubyekan yang terjadi dalam hubungan dunia yang fungsional.56 Peristiwaperistiwa ini adalah sebagai berikut. 1.
Dekontekstualisasi Untuk mengubah obyek alam menjadi obyek teknis, ia harus dipisahkan dari dunianya (de-worlded), dilepaskan dari konteks di mana ia secara alamiah ditemukan. Obyek alam ini dipisahkan dari konteksnya karena ia sudah menyimpan potensi teknis.
2.
Reduksionisme Obyek ini kemudian dipangkas sehingga kualitas-kualitasnya yang tak diperlukan secara teknis menjadi hilang. Yang tersisa adalah kualitas esensial yang diperlukan dalam pencapaian program teknis. “Pembingkaian Heideggerian adalah reduksi semua kenyataan ke dalam kualitas primer paling abstrak melalui formalisasi dan kuantifikasi.”57
3.
Autonomisasi Autonomisasi adalah pengisolasian subyek teknis dari tindakan balasan obyek yang menjadi sasaran tindakan teknis. Tanpa obyek teknis, jika subyek mencoba menghancurkan buah dengan tangannya, maka tangannya akan merasakan sakit akibat membentur buah tersebut. Namun, dengan menggunakan obyek teknis (misalnya pisau), dia bisa memotong buah tanpa merasa sakit. Pada pemotongan buah dengan pisau, tindakan balasan buah ini tetap dirasakan subyek, yang membuat dia harus mengeluarkan tenaga sesuai dengan tingkat kekerasan buah. Tetapi, jika dia menggunakan mesin penghancur buah (blender), dia tidak perlu
56 Feenberg, Questioning, 203. 57 Feenberg, Questioning, 204: The Heideggerian enframing is the reduction of all of reality to the most abstract primary qualities through formalization and quantification.
174
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
lagi mengeluarkan tenaga, karena penyediaan tenaga sudah diambil alih oleh saluran listrik. 4.
Pemosisian Tindakan teknis mengendalikan obyek dengan memanfaatkan hukum yang berlaku pada obyek tersebut. Jika obyek ini adalah bahan baku dari alam, maka yang harus dipatuhi adalah hukum alam. Jika obyek ini adalah pegawai, maka yang diikuti adalah 'hukum' birokrasi. Dan untuk konsumen adalah 'hukum' pasar. Dalam pengendalian teknis, hukum tidak diubah tetapi justru dipatuhi agar bisa dimanfaatkan. Untuk bisa mencapai tujuan teknis tertentu, maka subyek harus memosisikan berbagai obyek yang bekerja mengikuti hukumnya masing-masing. Instrumentalisasi primer ini hanyalah menetapkan rangka dari hubungan teknis
dasar. Ia tidak menjelaskan bagaimana teknologi digunakan dalam dunia nyata. Hal ini dijelaskan oleh instrumentalisasi sekunder.
5.3.2 Instrumentalisasi Sekunder: Perwujudan Instrumentalisasi sekunder mewujudkan teknologi dalam dunia nyata dengan cara
memadukannya
memungkinkannya
dengan
menjalankan
lingkungan fungsinya.
alam,
teknis
Pemaduan
dan
sosial
yang
teknologi
ke
dalam
lingkungannya ini mengompensasi kekurangan efek pengongkritan (reifying effects) dari instrumentalisasi primer. Kepentingan dan nilai sosial turut menentukan dalam instrumentalisasi sekunder ini. Obyek yang awalnya dilepaskan dari konteksnya, dikembalikan ke dalam konteks yang baru. Obyek yang dilucuti kualitas sekunder alamiahnya
pada
peristiwa
reduksi
dalam
instrumentalisasi
primer,
melalui
instrumentalisasi sekunder diberi lagi kualitas sekunder yang bersifat etis dan estetis. 58 Melalui empat peristiwa berikut ini obyek dan subyek teknis ditempatkan lagi dalam lingkungan di mana ia bisa berfungsi sebagaimana mestinya. 1.
Sistematisasi Sistematisasi adalah proses penggabungan obyek teknis yang terisolasi dan terdekontekstualisasi dengan obyek-obyek lain sehingga bisa berfungsi dalam lingkungan penggunaannya.
58 Feenberg, Questioning, 205.
175
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
2.
Mediasi Mediasi adalah proses penambahan kualitas sekunder, etis atau aestetis, pada obyek teknis agar selaras dengan konteks sosial penggunaannya. Contohnya, mobil yang dipasarkan untuk kalangan orang muda akan memiliki bentuk dan warna yang berbeda dari mobil yang dipasarkan untuk keperluan bisnis atau dinas.
3.
Pekerjaan teknis Subyek teknis hanya nampak autonom jika dilihat pada satu saat dia melakukan tindakan teknis tersebut. Jika dia melakukan tindakan teknis tersebut berulangulang untuk kurun waktu yang panjang, maka dia akan dibentuk oleh apa yang dilakukannya. Tindakan teknis akan menjadi profesi subyek tersebut dengan berbagai implikasi sosialnya, seperti kesejahteraan hidup maupun reputasi sosialnya.
4.
Inisiatif Pengendalian teknis terhadap pekerja dan konsumen melalui pemosisian sampai tingkat tertentu akan dikompensasi dengan berbagai bentuk inisiatif dari orangorang yang menjadi sasaran perencanaan dan pengendalian. Melalui instrumentalisasi primer obyek alam dan subyek sosial dicabut dari
lingkungannya masing-masing dan diubah menjadi obyek dan subyek teknis. Melalui instrumentalisasi sekunder obyek dan subyek teknis mengalami kontekstualisasi dalam lingkungan sosio-teknis yang baru. Karena itulah peristiwa-peristiwa dalam instrumentalisasi primer dan instrumentalisasi sekunder bisa saling dipasangkan. Dua peristiwa pertama dari instrumentalisasi primer dan sekunder yang terkait dengan obyektifikasi bisa saling dipasangkan. Dekontekstualisasi berpasangan dengan sistematisasi, karena dekontekstualisasi memisahkan bahan mentah dari lingkungan alamnya untuk dijadikan obyek teknis, sedangkan sistematisasi memadukan obyek teknis ke dalam lingkungan sosio-teknis di mana ia difungsikan. Reduksi berpasangan dengan mediasi, karena reduksi memangkas kualitas sekunder yang tak dibutuhkan dalam pembuatan obyek teknis, sedangkan mediasi menambahkan kualitas sekunder pada obyek teknis yang sudah dirancang secara fungsional.
176
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Dua peristiwa terakhir dari instrumentalisasi primer dan sekunder berkaitan dengan subyektifikasi. Autonomisasi berpasangan dengan "pekerjaan teknis," karena autonomisasi mengisolasi subyek dari pengaruh lingkungan teknisnya, sedangkan “pekerjaan teknis” mengembalikan subyek pada lingkungan sosialnya. Sementara itu pemosisian berpasangan dengan inisiatif, karena dalam pemosisian obyek dan subyek ditata mengikuti program teknis yang sudah tertentu, sedangkan inisiatif membuka ruang yang lebih luas bagi subyek teknis untuk melakukan manuver dalam celah-celah yang lepas dari perencanaan teknis.
5.3.3 Kritik Terhadap Teori Instrumentalisasi Dua Tingkat Penganut esensialisme teknologis meyakini bahwa proses kuasi-transendental fungsionalisasi terpisah dari instrumentalisasi sekunder yang meletakkan teknologi dalam konteks sosial penerapannya. Pemisahan ini menyebabkan interaksi teknologi dengan yang lain dianggap bersifat eksternal. Keindahan tampilan artefak teknologi, karena dianggap bukan sesuatu yang fungsional, ditambahkan setelah perancangan fungsional produk selesai. Karena itulah, dalam industri modern, perancangan teknis dan perancangan estetis dilakukan dalam bagian organisasi yang berbeda.59 Heidegger dan Habermas menganggap pemisahan ini sebagai esensi modernitas.60 Bagi Heidegger, pemisahan inilah yang membedakan teknologi modern dari teknologi kuno yang merupakan gabungan dari kerajinan dan kesenian. Namun, pandangan Heidegger tentang perbedaan ontologis antara teknologi modern yang membingkai dan teknologi kuno yang menyingkapkan hanya menegaskan ketidakberdayaan manusia ketika berhadapan dengan teknologi modern. 61 Dan, pandangan Habermas yang membagi hubungan sosial ke dalam “kerja” dan “interaksi” (yang dalam karya-karya yang ditulis berikutnya menjadi “sistem” dan “dunia kehidupan”) memang bisa menjelaskan nalar teknologis sebagai sesuatu yang mengatur sistem, namun gagasannya tentang nalar komunikatif tidak bisa digunakan untuk mengatasi
59 Feenberg, Questioning, 209. 60 Feenberg, Questioning, 209. 61 Martin Heidegger, The Question Concerning Technology and other Essays, diterjemahkan oleh William Lovitt (New York: Garland Publishing, 1977).
177
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
persoalan teknologis karena dia tidak menyinggung persoalan teknologi sebagai persoalan masyarakat modern.62 Feenberg
berusaha
mengatasi
masalah
di
atas
dengan
menjadikan
instrumentalisasi sekunder sebagai kelanjutan tak terpisahkan dari instrumentalisasi primer. Instrumentalisasi sekunder membawa teknologi – yang bahan bakunya diasingkan dari lingkungan sosial dan alam oleh instrumentalisasi primer – ke dalam lingkungan sosio-teknis di mana ia digunakan. Instumentalisasi sekunder merupakan "praktik meta-teknis refleksif yang memperlakukan fungsionalitasnya sendiri sebagai bahan mentah bagi bentuk tingkat lebih tinggi dari tindakan teknis." 63 Menurut Feenberg, hal ini tentu bertentangan dengan pandangan substantivis yang menganggap nalar teknis buta terhadap dirinya. Dan, menurut penulis, ini dikarenakan pandangan ini menganggap mengikuti nalar sama dengan mengikuti aturan yang sudah jelas, tidak perlu direnungkan lagi ketepatan dan kebenarannya. Implikasi dari pandangan ini adalah anggapan bahwa jika ada praktik penerapan teknologi yang salah, itu lebih dikarenakan ketidak-sesuaian praktik dengan nalar teknologis, bukan karena kesalahan nalar teknologis itu sendiri. Sementara
dari
perspektif
konstruktivisme,
semua
peristiwa
dari
instrumentalisasi primer tetap memiliki matra sosial. Di sini penulis akan melihatnya lebih luas lagi, mengikuti tradisi kajian teknologi, di mana matra teknologi, ekonomi dan sosial juga mempengaruhi perkembangan teknologi, karena teknologi merupakan hasil koevolusi dari subsistem teknologi, ekonomi dan sosial. Tabel 5.2 menunjukkan ketiga matra instrumentalisasi primer. Sementara esensialisme teknologis hanya menganggap adanya matra teknis, dalam tabel ini ditunjukkan juga matra ekonomi dan sosial. Matra sosial merujuk pada keseluruhan persoalan manusia di luar persoalan teknis yang menekankan efektivitas fungsional dan persoalan ekonomi yang menekankan efisiensi. Secara teknis dekontekstualisasi – pemisahan sesuatu dari konteksnya – ditentukan oleh tingkat kemampuan teknologi yang ada. Sementara dekontekstualisasi bahan kayu bakar, secara teknis bisa dilakukan 62 Kritik Habermas pada nalar teknologis dari Marcuse ini ada dalam karyanya, Toward a Rational Society, sedangkan penjelasannya tentang nalar komunikatif dan perlunya membatasi perluasan sistem ada dalam The Theory of Communicative Action Volume I: Reason and the Rationalization of Society. 63 Feenberg, Questioning, 207: The secondary instrumentalization constitutes a reflexive meta-technical practice which treats functionality itself as raw material for higher-tingkat forms of technical action.
178
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
siapa saja, dekontekstualisasi minyak bumi membutuhkan teknologi dan dana yang tidak semua orang bisa memenuhinya. Dekontekstualisasi, yang juga berarti pengambilan bahan mentah dari alam, yang berakibat mengubah alam, dan pada gilirannya akan mengubah lingkungan hunian manusia. Karena itu bisa-tidaknya dekontekstualisasi dilakukan juga tergantung pada pemahaman dan penerimaan masyarakat sekitar di mana dekontekstualisasi dilakukan. Demikian juga dengan reduksi, tidak sepenuhnya bersifat teknis. Proses membuang kualitas yang tidak dikehendaki akan menghasilkan limbah yang bisa mencemari alam sekitar, termasuk mengganggu kesehatan manusia. Reaksi masyarakat terhadap limbah akan menuntut perusahaan mengolah limbahnya, dan berakibat pada peningkatan biaya produksi. Peningkatan biaya ini membuat banyak perusahaan membawa kegiatan produksinya ke negara-negara berkembang yang tidak memiliki atau memiliki peraturan perlindungan lingkungan yang lemah. Autonomisasi umumnya dianggap sebagai tanda kemajuan teknologi. Pengguna akan cenderung menyambut peningkatan autonomisasi ini. Namun, autonomisasi ini memisahkan pengguna teknologi dari lingkungannya, yang secara perlahan bisa menghilangkan kepekaannya pada dampak teknologi terhadap lingkungannya. Memahami dampak keseluruhan hukum-hukum – alam maupun nonalam – yang dimanfaatkan dalam peristiwa pemosisian berbagai teknologi yang terjalin satu sama lain adalah tidak mudah, lebih-lebih kalau manusia menjadi bagian di bawah pengendalian teknis ini, karena perilakunya sulit ditebak. Kerumitan teknologi ini juga menciptakan kesan seolah teknologi lepas kendali sebagaimana yang disangkakan penganut substantivisme teknologis. Penjelasan di atas, yang lebih diperinci lagi dalam Tabel 5.2, menunjukkan bahwa instrumentalisasi primer sekalipun tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan ekonomi.
179
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Teknis
Ekonomi
Sosial
Kemampuan teknologi menentukan apa yang bisa didekontekstualisasi.
Dekontekstualisasi membutuhkan biaya.
Dekontekstualisasi bisa mengubah alam sekitar yang pada gilirannya juga mempengaruhi masyarakat sekitar.
Tergantung pada kemampuan teknologi pengolahan, termasuk pengolahan limbah.
Biaya produksi – dan biaya pengolahan limbah jika diperlukan – dibandingkan dengan prospek ekonominya.
Pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap bahaya limbah akan turut menentukan bagaimana perusahaan mengolah limbahnya.
Prospek pasar meningkat seiring dengan pengkatan autonomisasi.
Autonomisasi memisahkan pengguna dari lingkungannya yang berakibat menurunkan kepekaan teknologi terhadap lingkungannya.
Pemanfaatan hukum alam yang paling yang paling efisien, belum tentu yang paling menguntungkan secara ekonomi. Pasar memiliki hukumnya sendiri yang kadang tidak bisa ditebak.
Pengendalian teknis yang kompleks, yang melibatkan berbagai sistem teknologi yang dimiliki pihak yang berbeda-beda akan membuat teknologi seolah lepas kendali.
Dekontekstualisasi
Reduksi
Autonomisasi Peningkatan kapasitas pengolahan harus diimbangi peningkatan kapasitas untuk menahan efek umpan balik terhadap pengguna. Pemosisian Pengendalian teknis semakin lama semakin melibatkan beragam hal, artefak teknis maupun manusia, dalam sistem teknologi yang kompleks.
Tabel 5.2: Matra Teknis, Ekonomi dan Sosial dari Instrumentalisasi Primer Meskipun Feenberg sudah menjelaskan bahwa faktor-faktor sosial turut mempengaruhi pembentukan kode teknis, namun dia tidak menjelaskan bagaimana hal tersebut terjadi dalam teori instrumentalisasi dua-tingkat ini. Penulis mengajukan tabel 5.3 yang lebih memerinci matra teknis, ekonomi dan sosial dari instrumentalisasi sekunder. Sistematisasi adalah penempatan obyek teknis dalam lingkungan sosio-teknis yang sudah ada, karena itu akan lebih mudah jika obyek baru yang disesuaikan dengan 180
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
lingkungannya,
bukan
sebaliknya.
Penyesuaian
ini
mengakibatkan
terjadinya
ketergantungan jejak teknologis, yakni teknologi yang digunakan sebelumnya menentukan pilihan teknologi berikutnya. Jika seseorang hendak melepaskan diri dari ketergantungan jejak teknologis – menggunakan teknologi yang tidak bisa disesuaikan dengan lingkungan sosio-teknis yang ada – maka dia harus melengkapi obyek teknisnya dengan obyek-obyek pelengkap lainnya yang belum tentu tersedia dan mengajak masyarakat untuk belajar menyesuaikan diri dengannya. Ini semua membutuhkan biaya peralihan (switching cost) yang besar, baik dalam bentuk uang maupun waktu yang dibutuhkan untuk belajar memanfaatkan teknologi baru tersebut. Selain persoalan ekonomi, sistematisasi juga menunjukkan adanya tarik-menarik kepentingan dan adu kekuatan untuk menentukan siapa/apa harus lebih menyesuaikan pada siapa/apa. Masuknya obyek teknis baru juga bisa mengubah konfigurasi sosio-teknis yang pada gilirannya mengubah sebaran kuasa dan kepentingan dari yang dilayani. Umumnya mediasi – penambahan kualitas etis dan estetis – dianggap terpisah dari
perancangan
teknis,
dan
baru
dilakukan
pada
tahap
akhir
dengan
mempertimbangkan selera pasar. Yang sering menjadi persoalan adalah ketika pihak yang terpapar pada teknologi, dan karena itu menanggung dampak negatifnya, bukanlah pihak yang membeli, sehingga kepentingannya tidak menjadi pertimbangan (utama) pemasok teknologi. Orang-orang yang tinggal di sekitar mesin pengolahan sampah, misalnya, bukanlah orang-orang yang menentukan pembelian dan lokasi mesin tersebut. Karena itulah kepentingan mereka tidak bisa dipenuhi melalui mekanisme pasar. Melalui tindakan teknis yang berulang pengguna akan meningkatkan keterampilan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pekerjaan teknisnya. Dan, melalui penggunaan berulang ini juga bisa dipelajari efektifitas suatu teknologi. Sistem pengendalian teknis juga menentukan posisi tawar para operator mesin yang berada di bawah kendalinya. Namun, posisi tawar ini bukan sesuatu yang menetap. Pemilik modal akan cenderung membuat sistemnya lebih efisien, lebih terkendali, dan ini berarti dia harus mengurangi ketergantungannya pada operator.
181
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Teknis
Ekonomi
Sosial
Sistematisasi mengakibatkan ketergantungan jejak teknologis.
Penyimpangan dari jejak teknologis akan memunculkan biaya peralihan.
Ada tarik-menarik kekuatan yang menentukan siapa dan sistem teknologi yang mana yang harus lebih menyesuaikan diri.
Bukan lagi urusan teknis jika sifat etis dan estetis ditambahkan pada saat akhir perancangan.
Kualitas etis dan estetis kerap baru dipertimbangkan jika dianggap menjadi bagian permintaan pasar.
Manusia dibuat tak berdaya ketika nilai etis dan estetisnya harus dikalahkan oleh pertimbangan teknis atau ekonomis.
Tindakan teknis yang berulang akan menemukan rancangan teknis yang optimal, atau meningkatkan keterampilan penggunanya.
Pertimbangan pemilik modal untuk mengefisienkan sistem produksinya akan menentukan apakah pekerjaan teknis bisa bertahan, menguat atau melemah.
Pekerjaan teknis menentukan perilaku dan reputasi sosial pekerja, dan bagaimana pekerja memandang hidupnya.
Selalu ada celah yang belum terdefinisi secara teknis yang memungkinkan pengguna melakukan inisiatif.
Inisiatif ini bisa bertentangan dengan kepentingan ekonomi dari yang di atas.
Inisiatif ini bisa membuka peluang bagi pihak yang berada di bawah.
Sistematisasi
Mediasi
Pekerjaan teknis
Inisiatif
Tabel 5.3: Matra Teknis, Ekonomi dan Sosial dari Instrumentalisasi Sekunder Inisiatif dari orang-orang yang berada di bawah pengendalian teknis selalu terbuka karena tidak ada perencanaan yang sempurna. Selalu ada hal-hal yang tidak ditentukan dalam perencanaan, sehingga mereka bisa mengambil inisiatif sendiri. Inisiatif ini bisa dalam bentuk menghindari pendiktean teknologi, tetapi bisa juga dalam bentuk pengubahan rancangan teknologi sebagaimana yang dilakukan para peretas yang menambahkan fungsi komunikasi antar pengguna pada jaringan Minitel di Perancis.64
64 Feenberg, Questioning, 121.
182
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Dari pembahasan di atas bisa disimpulkan bahwa pengembangan teknologi mempengaruhi, dipengaruhi atau terjadi secara serentak dalam matra atau subsistem teknis, ekonomi dan sosial. Subsistem sosial dan ekonomi sudah bisa dilihat pengaruhnya sejak instrumentalisasi primer. Ini berarti menolak tujuan Feenberg yang hendak mengakomodasi esensialisme teknologis melalui instrumentalisasi primer. Feenberg memang mencoba mengatasi masalah di atas dengan memasukkan gagasan Simondon mengenai kongkritisasi ke dalam teori instrumentalisasi duatingkatnya. Kongkritisasi adalah "penemuan sinergisme antara fungsi-fungsi yang dilayani teknologi dan antara teknologi dan lingkungannya." 65 Melalui kongkritisasi, fungsionalisasi dari obyek diselaraskan dengan pertimbangan kontekstual yang lebih luas melalui pengembangan teknis tertentu. Sementara, apakah suatu fungsi bisa bekerja secara teknis, menurut Simondon, bukanlah ditentukan secara sosial, tetapi murni karena teknisitasnya yang merupakan moda eksistensi yang mandiri dari obyek teknis tersebut. Dalam kongkritisasi ini suatu inovasi menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan yang tidak saling berhubungan. Dan proses inovasi ini kemudian memadukan unsur-unsur yang awalnya tak terkait satu sama lain menjadi sistem yang terintegrasi. 66 Feenberg memadukan kongkritisasi ini dengan teori instrumentalisasi dua-tingkat untuk memberi efek umpan balik dari faktor sosial pada perancangan teknis.
5.4. Teori Perkembangan Teknologi Di sini penulis mengajukan teori perkembangan teknologi untuk mengatasi halhal yang tidak bisa dijelaskan oleh teori instrumentalisasi dua-tingkat. Bahan-bahan untuk menyusun teori ini sudah disampaikan oleh Feenberg, namun di sini unsur-unsur tersebut mendapatkan tekanan yang berbeda. Jika kita melihat teori instrumentalisasi dua-tingkat,
yang
mendapatkan
tekanan
adalah
proses
fungsionalisasi
yang
menghasilkan obyek dan subyek teknis, dan sosialisasi yang mengonteksualisasikan keduanya. Meskipun teknologi dikaitkan dengan jejaring sosio-teknis yang ada, namun fungsinya dianggap sudah ditetapkan melalui instrumentalisasi primer. Mediasi hanya menentukan kualitas sekunder paska-perancangan fungsional. 65 Feenberg, Questioning, 217: the discovery of synergisms between the functions technologies serve and between technologies and their environments. 66 Feenberg, Questioning, 217.
183
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Teori yang penulis ajukan ini tetap menjelaskan pembentukan teknologi dan pemosisiannya dalam lingkungan sosio-teknis penggunaannya sebagaimana teori instrumentalisasi dua-tingkat dari Feenberg. Namun, yang membedakan keduanya adalah dua hal berikut. Pertama, peran pasar atau faktor ekonomi kurang diperhitungkan oleh Feenberg, walaupun teori teknologinya bisa dianggap sebagai kelanjutan teori Marcuse yang merupakan kritik terhadap kapitalisme. Kedua, substantivisme sebagaimana yang dianut oleh Heidegger dan para pengikutnya tidak perlu dipertahankan. Kesan pembingkaian bisa dijelaskan dari dinamika perkembangan teknologi yang dipengaruhi faktor-faktor – atau bisa juga disebut subsistem – teknis, ekonomi dan sosial. Ketiga subsistem tersebut menentukan arah dan batas pengembangan teknologi. Masing-masing subsistem ini memiliki dualitas struktur-kepelakuan, di mana tindakan nyata dilakukan di tingkat pelaku, sementara struktur memberi kerangka pemaknaan maupun pilihan dari apa yang bisa dilakukan pelaku.67 Struktur membingkai sekaligus dipengaruhi tindakan pelaku. Struktur memang mewujudkan diri melalui tindakan pelaku-pelaku yang ada saat ini, tetapi ia bukan ciptaan mereka, meskipun mereka bisa mempengaruhi dan mengubahnya sampai batas tertentu. Sebagian besar struktur dibentuk oleh tindakan-tindakan (beberapa generasi) pelaku-pelaku sebelumnya. Sebagai contoh, bahasa mewujudkan diri melalui para penuturnya saat ini, tetapi tata bahasa dan kosakatanya adalah hasil sejarah panjang pengembangan bahasa oleh bergenerasi-generasi penutur sebelumnya. Ketiga subsistem ini kadang-kadang memang benar-benar terpisah, tetapi bisa juga hanya terpisah secara analitis, yakni ketika ketiganya hadir sebagai matra-matra dari satu tindakan yang sama.68 Dalam subsistem teknologis, pelaku bisa melakukan tindakan teknis dengan memanfaaatkan berbagai sumber daya teknologi dan pengetahuan yang ada. Selain itu dia juga harus menyesuaikan dengan pemahaman komunitas teknologis, bahwa tindakan 67 Anthony Giddens, The Constitution of Society (Berkeley and Los Angeles: University of California, 1984). 68 Istilah subsistem bisa saja diganti dengan matra, tetapi penulis lebih memilih istilah subsistem karena matra harus bersifat ortogonal satu sama lain, atau tidak saling bertemu, sebagaimana matra waktu tidak akan pernah bertemu dengan matra jarak. Sementara penggunaan istilah subsistem memungkinkan satu subsistem bertemu atau pun berkelindan dengan subsistem yang lain.
184
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
teknisnya adalah tindakan yang tepat atau baik secara teknis, terutama jika dia menjadi bagian dari proyek pengembangan teknologi secara bersama. Apa yang oleh Giddens disebut struktur, dalam konteks subsistem teknologis, bisa disebut sebagai rezim teknologis, yang menentukan bagaimana manusia memahami lingkup persoalan teknis dan jangkauan solusi yang bisa dipikirkannya. Rezim teknologis ini memberi ruang dan batasan, namun tidak memastikan langkah-langkah teknis apa saja yang akan diambil pelaku. Kajian teknologi membuktikan keberadaan rezim teknologis ini dengan menunjukkan adanya keteraturan yang diakibatkan oleh rangsangan dan batasan teknologis dan komersial. Sejak Nelson dan Winter pertama kali menggunakan istilah “rezim teknologis” (technological regime)69 untuk menunjukkan keteraturan atau pola putusan teknis yang sama, telah banyak kajian teknologi yang mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan yang bekerja dalam rezim yang sama cenderung mengorganisasi kegiatan inovatifnya dalam cara yang sama pula. 70 Teknologi, sebagaimana lembaga, menciptakan sehimpunan rangsangan untuk melakukan investasi dan mengorganisasi kegiatan. Namun, perlu ditegaskan di sini, keteraturan pola tindakan teknis ini tidak membuktikan berlakunya determinisme teknologis. Dengan cara yang sama subsistem ekonomi juga bisa dipahami sebagai dualitas struktur-kepelakuan. Strukturnya bisa disebut sebagai rezim ekonomi, yang selain meliputi nalar ekonomi, juga berbagai kelembagaan ekonomi, yang secara keseluruhan turut menentukan apakah suatu teknologi layak dikembangkan atau diadopsi. Subsistem sosial memiliki lingkup yang lebih luas, selain memiliki apa yang disebut Habermas sebagai dunia-kehidupan di mana hubungan sosial dibangun melalui tindakan komunikatif untuk mencapai pemahaman bersama, juga memiliki apa yang disebut wilayah politik di mana pihak-pihak mengupayakan kepentingannya dengan mobilisasi kolektif. Melalui tindakan politis inilah masyarakat atau suatu kelompok sosial mencoba mengubah subsistem ekonomi atau subsistem teknologi. Upaya politik di sini tidak selalui melalui jalur formal, lewat partai politik atau parlemen, tetapi bisa juga melalui jalur ekstra-parlementer, mulai dari demonstrasi sampai dengan mengangkat suatu masalah menjadi wacana publik. Subsistem sosial ini menyangkut 69 Richard R. Nelson and Sidney G. Winter, An Evolutionary Theory of Economic Change (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1982). 70 Aija Leiponen & Ina Drejer, “What exactly are technological regimes? Intra-industry heterogeneity in the organization of innovation activities,” Research Policy 36 (2007), 1221.
185
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
berbagai kepentingan dan nilai manusia di luar persoalan teknis dan ekonomi, menentukan lingkup penafsiran yang pada gilirannya menentukan apakah suatu teknologi baik, memiliki fungsi yang bermanfaat bagi manusia. Sementara dalam subsistem teknologi berlaku nalar teknologis dengan kriteria efisiensi, dalam subsistem ekonomi berlaku nalar ekonomi dengan kriteria keuntungan, sedangkan subsistem sosial tidak memiliki kriteria tunggal. Pada area politik memang suatu kelompok sosial ingin mencapai tujuan bersama, tetapi tujuan bersama satu kelompok bisa berbeda dari kelompok lain. Keragaman kepentingan berbagai kelompok ini karena keragaman kriteria dalam menentukan apa yang perlu dicapai bersama. Dalam subsistem sosial sebagian orang ingin mempertahankan nilai-nilai lama, dan sebagian yang lain ingin mengadopsi nilai-nilai baru. Pertimbangan kenyamanan atau kedamaian dengan suatu keadaan menjadi pertimbangan penting seseorang untuk melakukan tindakan sosial, tetapi apa yang membuat nyaman dan damai bisa berbedabeda bagi tiap orang. Keragaman pertimbangan inilah yang menyebabkan tidak ada istilah nalar sosial dalam subsistem sosial, sebagaimana dalam teknologi ada nalar teknologis, atau dalam ekonomi berlaku nalar ekonomi. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 5.1, masing-masing subsistem ini direpresentasikan sebagai sisi, bukan simpul, dari segitiga. Dengan menggambarkannya sebagai sisi, maka masing-masing subsistem ini bisa digambarkan saling bertemu satu sama lain, dan ini lebih menggambarkan kenyataan perkembangan teknologi di mana subsistem teknologi, ekonomi dan sosial bisa dibedakan tetapi tidak bisa benar-benar dipisahkan satu dari yang lain. Teori perkembangan teknologi yang diusulkan di sini saya sebut sebagai kerangka dua-tingkat perkembangan teknologi yang digambarkan oleh dua segitiga, yang satu berada di dalam yang lain sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 5.1. Struktur atau rezim ditunjukkan oleh rangka segitiga terluar. Kepelakuan terjadi pada rangka segitiga dalam.
186
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Gambar 5.1: Kerangka dua tingkat perkembangan teknologi Gambar 5.1 ini menunjukkan saling pengaruh antar-ketiga subsistem. Hubungan saling mempengaruhi antara teknologi dengan ekonomi telah menjadi bidang kajian yang intensif. Pengaruh ekonomi terhadap teknologi adalah masuknya pertimbangan biaya maupun harapan keuntungan dalam pengembangan teknologi. Pertimbangan biaya menyebabkan teknologi dikembangkan mengikuti ketergantungan jejak teknologis (technological path dependence), yakni putusan teknis sebelumnya menentukan putusan teknis berikutnya.71 Gambar 5.1 berusaha maksimal menangkap kerumitan interaksi yang mempengaruhi perkembangan teknologi. Namun, karena dalam bentuk gambar dua matra, menampilkan semua hubungan interaksi hanya akan menghasilkan gambar yang penuh
garis
tumpang
tindih,
yang
membuatnya
tidak
jelas.
Salah
satu
penyederhanaannya adalah saling pengaruh (titik temu) dari tiga subsistem sama sekali 71 Contohnya, jika suatu perusahaan sudah menggunakan komputer dengan sistem operasi Windows, maka perangkat lunak yang akan dibelinya juga yang berjalan di Windows. Jika perusahaan tersebut sudah banyak berinvestasi di komputer dan perangkat lunak yang berjalan di Windows, maka sulit bagi perusahaan untuk mengganti dengan komputer lain, karena ini berarti ia harus mengganti perangkat lunak.
187
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
tidak ditunjukkan, padahal "ketergantungan jejak teknologis" juga beriringan dengan "ketergantungan jejak kelembagaan."72 Penyimpangan dari ketergantungan jejak akan menimbulkan biaya peralihan (switching cost) yang lebih besar dibandingkan jika putusan tetap dilakukan pada jejak teknologis yang sama. Biaya di sini tidak berarti hanya uang, tetapi juga waktu dan pengetahuan yang dibutuhkan yang tidak bisa selalu dihitung dengan uang. Paul A. David menunjukkan bahwa ketergantungan jejak ini dikarenakan oleh kesaling-terkaitan teknis (technical interrelatedness) yang merupakan bagian dari matra teknis, dan ketergantungan pada matra ekonomi dalam hal skala ekonomi (economies of scale) dan investasi yang nampak tidak bisa berbalik (quasi-irreversibility of investment).73 Pengaruh teknologi terhadap ekonomi ada pada peningkatan daya saing dari penggunanya. Namun, ketika semua pihak yang bersaing sama-sama mengembangkan teknologi, maka daya saing yang diperoleh dari satu teknologi tidak berlangsung lama karena akan segera disalip oleh teknologi lain. Proses salip-menyalip dalam pengembangan
teknologi
membuat
sistem
ekonomi
tidak
pernah
mencapai
kesetimbangan. Hasil titik temu antara teknologi dan ekonomi, yakni ketergantungan jejak dan daya saing, adalah saling berkaitan. Ada kalanya keduanya saling menguatkan. Ketika teknologi meningkatkan daya saing, suatu perusahaan semakin besar melakukan investasi di jalur teknologi tersebut. Namun, ada saatnya pula ketergantungan jejak menyulitkan suatu perusahaan melepaskan diri dari warisan teknologi yang sudah usang. Ketika muncul teknologi yang menggusur (disruptive technology), perusahaan yang terkola baik tapi tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan jejak teknologis, akan tergusur dari persaingan.74 Misalnya, perusahaan yang mengandalkan kamera berbasis film seluloid tidak bisa bertahan melawan serbuan kamera digital, sebaik apa pun manajemen dan strategi bisnisnya.
72 Gerhard Fuchs, "Path Dependence in Regional Development: What Future for Baden-Württemberg?" dalam The Hidden Dynamics of Path Dependence diedit oleh Georg Schreyögg and Jörg Sydow (New York: Palgrave Macmillan, 2010), 180. 73 Paul A. David, “Clio and the Economics of QWERTY,” American Economic Review, 75(2) (1985), 334. 74 Clayton M. Christensen, The Innovator's Dilemma (New York: HarperBusiness, 2000), 8-9.
188
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Pengaruh sosial terhadap teknologi adalah kode teknis, yang “mendefinisikan obyek dalam istilah teknis secara ketat sesuai dengan makna sosial yang telah diperolehnya.”75 Keberadaan kode teknis ini menunjukkan bahwa nalar teknologis tidak netral. Kepentingan dan nilai sosial mempengaruhi rezim teknologi melalui kode teknis ini. Namun, karena kepentingan dan nilai ini tidak berasal dari satu sumber yang homogen, kode teknis menjadi area perebutan pengaruh. Dengan demikian tidak ada jalur tunggal bagi kemajuan teknologi, teknologi merupakan arena pertarungan sosial yang disebut Latour sebagai "parlemen dari barang-barang."76 Sebaliknya pengaruh teknologi pada kehidupan sosial adalah perluasan dari apa yang disebut Marcuse sebagai "nalar teknologis." Nalar yang bermula sebagai cara menyelesaikan masalah teknis meluas ke dalam dunia kehidupan. Marcuse, "sama seperti Husserl dan Heidegger, melihat nalar teknologis menjajah kehidupan sehari-hari, merampok kemerdekaan dan kepribadian perorangan dengan memaksakan imperatif, aturan, dan struktur teknologis terhadap pikiran dan perilaku mereka."77 Saling pengaruh antara subsistem sosial dan subsistem ekonomi memunculkan sistem insentif dan konsumerisme. Perkembangan ekonomi bisa didorong atau pun mendorong perilaku masyarakat yang konsumtif, termasuk terhadap produk-produk teknologi baru, sebagaimana ditunjukkan Marcuse dalam One-Dimensional Man. Bagi Marcuse, komoditas dan konsumsi memainkan peran yang jauh lebih besar dalam masyarakat kapitalis kontemporer daripada yang dibayangkan Marx dan Marxis paling ortodoks. Marcuse adalah salah satu teoretisi kritis pertama yang menganalisa masyarakat konsumen melalui analisis bagaimana konsumerisme, pengiklanan, budaya massa, dan ideologi mengintegrasikan perorangan ke dalam dan menstabilisasi sistem kapitalis.78
75 Feenberg, Questioning, 88: define the object in strictly technical terms in accordance with the social meaning it has acquired. 76 Bruno Latour, We Have Never Been Modern, diterjemahkan oleh Catherine Porter (Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1993), 144. 77 Douglas Kellner, "Introduction to the Second Edition" pada One-Dimensional Man, karya Herbert Marcuse (New York: Routledge Classics 2002), xiv: like Husserl and Heidegger, sees technological rationality colonizing everyday life, robbing individuals of freedom and individuality by imposing technological imperatives, rules, and structures upon their thought and behavior. 78 Kellner, "Introduction," xxx: For Marcuse, commodities and consumption play a far greater role in contemporary capitalist society than that envisaged by Marx and most orthodox Marxists. Marcuse was one of the first critical theorists to analyze the consumer society through analyzing how consumerism, advertising, mass culture, and ideology integrate individuals into and stabilize the capitalist system.
189
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Namun, bukan hanya konsumerisme yang didorong oleh kapitalisme. Meskipun tidak digambarkan di sini, pengaruh kapitalisme lainnya adalah penggunaan keuntungan (yang bisa dihitung dengan uang) sebagai ukuran pokok dari efisiensi. Perasaan nyaman dan damai akan diabaikan jika tidak bisa diukur dengan uang. Dan pengutamaan keuntungan inilah yang memungkinkan "Produk Domestik Bruto bisa naik sementara kesejahteraan turun tanpa seorangpun kecuali korbannya langsung yang menjadi lebih bijak."79 Kepercayaan berlebihan terhadap mekanisme pasar akan mengabaikan kepentingan sosial dalam perekonomian. Aspirasi masyarakat hanya dilihat sebagai prospek pasar yang bisa dieksploitasi bagi keuntungan ekonomi, sementara jika aspirasi tersebut tidak bernilai ekonomi maka cenderung diabaikan. Padahal ada bidang-bidang kehidupan yang jika diserahkan pada pasar bisa menimbulkan ketimpangan sosial, yang bisa mengancam masa depan masyarakat. Karena itulah, menurut Marcuse, "Bukan pasar bebas tetapi regulasi dan kepemilikan publik yang membuat keunggulan pendidikan dan layanan kesehatan bagi semua orang, kebebasan komunikatif dan kesetaraan dalam kehidupan publik, kesetaraan gender dan rasial, kota-kota yang menarik dan aman, dan perlindungan lingkungan."80 Baik regulasi dan kepemilikan publik yang disebutkan di atas, hanya akan berdampak pada ekonomi jika hal tersebut mengubah sistem insentif yang mempengaruhi putusan para pelaku ekonomi, pemasok atau pun pembeli. Sistem insentif ini meliputi berbagai hal, mulai dari pajak, subsidi pemerintah, sampai berbagai peraturan yang mempengaruhi biaya produksi dan prospek keuntungan. Sebagian besar panah yang ditunjukkan pada Gambar 5.1 menunjukkan dua arah, timbal balik. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan teknis juga bisa memiliki dampak sosial atau pun ekonomi, melalui jalur berikut. Tindakan teknis menghasilkan pengembangan atau pemanfaatan teknologi, yang kemudian akan mempengaruhi tindakan atau perilaku sosial. Dalam jangka panjang, perilaku sosial yang berulang ini bisa membentuk struktur. 79 Feenberg, Transforming, 142: The GNP may rise as welfare declines without anyone but the immediate victims being the wiser. 80 Feenberg, Transforming, 26: Not free markets but regulation and public ownership make possible educational excellence and medical care for all, communicative freedom and equality in public life, gender and racial equality, attractive and safe cities, and environmental protection.
190
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Ada dua panah satu arah yang berasal tindakan kepelakuan pada subsistem sosial. Ini menunjukkan upaya masyarakat melalui tindakan politis untuk mengubah sistem insentif pada rezim ekonomi, atau mengubah kode teknis dari rezim teknologi. Adanya dua panah ini menggambarkan peluang demokratisasi teknologi. Tidak ada panah dari arah sebaliknya. Tindakan ekonomi atau pun tindakan teknis berpengaruh pada kehidupan sosial secara tidak langsung melalui artefak teknologi. Pengaruh besar teknologi pada kehidupan sosial bisa terjadi ketika artefak teknologi menjadi, apa yang disebut Borgmann, benda yang menjadi pusat perhatian (focal thing) di mana serangkaian kegiatan bermakna terjadi,81 atau sebaliknya, rangkaian kegiatan bermakna tersebut hilang karena diterapkannya teknologi baru. Gambar 5.1 kurang memperlihatkan bagaimana teknologi dan kebutuhan manusia terus berubah dan saling mempengaruhi. Hal ini ditunjukkan oleh gambar 5.2 yang juga memperlihatkan bagaimana keduanya saling mempengaruhi dengan tekanan dan insentif ekonomi, serta perkembangan teknologi yang saling mempengaruhi dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
81 Borgmann, Technology, 210.
Gambar 5.2: Interaksi antara teknologi, kebutuhan, ekonomi dan ilmu pengetahuan
191
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Kebutuhan yang dipenuhi oleh teknologi modern kebanyakan bukan kebutuhan dasar yang alamiah, karena kebutuhan ini muncul dalam konteks struktur sosial tertentu, yang meliputi skema penafsiran, norma serta fasilitas yang sudah ada. Ini ditunjukkan oleh gambar 5.2 sebagai kebutuhan Kn berada dalam struktur Sn. Sebagai contoh, pengusaha dan siswa SMP sama-sama membutuhkan ponsel, namun dalam konteks strukturnya masing-masing. Pengusaha memaknai ponsel sebagai sarana agar tetap terhubung dengan jaringan bisnis yang memberinya peluang untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Sementara itu siswa SMP membutuhkan ponsel agar tetap menjadi
bagian
dari
jaringan
pertemanannya
yang
memberinya
“perasaan”
mendapatkan keuntungan sosial, meskipun secara finansial bisa jadi malah rugi. Kebutuhan menjadi bagian dari jaringan pertemanan ini membuat dia memaksakan diri, membelanjakan lebih dari kemampuan finansialnya, agar bisa tampil setara dengan rekan-rekannya. Kebutuhan pengusaha atau remaja akan ponsel tentu saja muncul setelah ponsel bisa dibeli di pasar. Sebelum ponsel dijual, tak terbayangkan oleh keduanya bahwa mereka akan membutuhkannya. Ini yang menunjukkan teknologi memicu munculnya kebutuhan, bukan sebaliknya. Sebelum satu jenis teknologi muncul, konsumen umumnya tidak bisa membayangkan bahwa mereka akan membutuhkan teknologi tersebut. Namun, setelah teknologi tersebut digunakan, dan konsumen belajar melalui pengalamannya menggunakan teknologi tersebut, barulah mereka memahami apa yang sudah dan kurang dipenuhi teknologi tersebut. Dan kebutuhan yang muncul setelah teknologinya dikenal bisa mendorong perbaikan dan peningkatan kemampuan teknologi tersebut. Karena itulah pada gambar 5.2 ditunjukkan panah yang mengarah dari teknologi ke kebutuhan berupa garis utuh, sedangkan dari kebutuhan ke teknologi berupa garis putus-putus. Jadi lebih kuat atau lebih dulu pengaruh teknologi kepada kebutuhan daripada sebaliknya. Kebutuhan yang terpenuhi bisa mengakibatkan perubahan struktur yang ada atau memunculkan struktur baru, yang kemudian membuka peluang bagi suatu teknologi untuk menciptakan kebutuhan baru. Misalnya, adanya mobil memunculkan kebutuhan orang untuk bisa leluasa bepergian ke mana-mana tanpa mengandalkan angkutan umum. Dengan semakin banyaknya orang yang memiliki mobil, yang berarti semakin banyak orang yang mampu mengatasi rintangan jarak, maka terbuka peluang bagi 192
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
industri perumahan untuk menciptakan kebutuhan akan perumahan di pinggiran atau di luar kota bagi konsumen yang ingin tetap mempertahankan pekerjaan mereka di kota. Pemukiman seperti ini memiliki struktur sosial yang berbeda dari pemukiman tradisional, karena sebagian besar penduduknya baru kembali ke rumah dari tempat kerjanya pada malam hari. Ini membuat interaksi sosial – dan akibatnya juga ikatan sosial – di antara warganya menjadi jauh lebih rendah dibandingkan pemukiman yang warganya bekerja di tempat yang tidak jauh dari tempat mereka tinggal. Pemukiman yang lebih sering ditinggal penghuninya ini kemudian membuka peluang bagi industri elektronik untuk menciptakan kebutuhan terhadap kamera pemantau. Dan adanya akses Internet memungkinkan industri tersebut untuk menciptakan kebutuhan baru lagi agar video yang dihasilkan kamera pemantaun bisa diakses melalui Internet. Munculnya rantai kebutuhan ini bisa diringkas sebagai berikut. (Teknologi: Mobil → Kebutuhan: Keleluasaan Bergerak) → (Teknologi: Perumahan → Kebutuhan: Rumah yang Lega di Pinggiran/Luar Kota) → (Teknologi: Elektronika/Pemantauan → Kebutuhan: Kamera Pemantau) → (Teknologi: Internet → Kebutuhan: Kamera Pemantau Bisa Diakses Melalui Internet). Rantai kebutuhan di atas dimungkinkan oleh rantai teknologi yang sudah ada. Sementara kebutuhan baru muncul dari struktur baru, teknologi yang memunculkan kebutuhan dalam struktur baru tersebut berasal dari rezim teknologi yang berbeda-beda pula. Kebutuhan juga dipengaruhi oleh insentif ekonomi. Harga yang semakin terjangkau menyebabkan lebih banyak lagi orang yang membutuhkan produk yang sebelumnya tak terbayangkan mereka akan membutuhkannya karena harganya di luar jangkauan daya beli mereka. Dan, teknologi juga berkembang oleh tekanan dan insentif ekonomi. Tekanan persaingan akan memacu inovasi teknologis menjadikannya lebih baik, lebih menarik, atau lebih murah. Insentif yang muncul dari perubahan regulasi, membesarnya pasar, turunnya harga bahan baku, bisa turut mendorong perkembangan teknologi. Hubungan perkembangan teknologi dengan perkembangan ilmu tidak ketat. Teknologi tidak selalu memanfaatkan perkembangan ilmu, dan tidak harus didasarkan pada satu bidang ilmu, tetapi bisa saja beberapa bidang ilmu dimanfaatkan sekaligus. 193
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Pembuatan mesin, misalnya, bisa menggunakan ilmu termodinamika dan juga ilmu material yang merupakan dua bidang yang terpisah. Sebaliknya perkembangan ilmu juga bisa – tetapi tidak harus – memanfaatkan perkembangan teknologi. Karena itulah hubungan keduanya digambarkan oleh panah dua arah yang putus-putus yang menunjukkan bahwa keduanya bisa saling mempengaruhi atau pun masing-masing berkembang secara terpisah. Untuk menyanggah determinisme teknologis, yang mengasumsikan bahwa
Gambar 5.3: Hubungan saling memicu antara teknologi dan kebutuhan teknologi mengikuti satu jalur perkembangan, penulis mengajukan gagasan yang ditunjukkan oleh gambar 5.3. Ada dua hal yang hendak ditunjukkan melalui gambar 5.3, pertama, terjadi percabangan ke berbagai arah dalam perkembangan teknologi. Teknologi T12 yang berada dalam rezim teknologi R1 menciptakan kebutuhan K11 dalam struktur S1. Jika teknologi T12 dan kebutuhan K11 ini sesuai (fit) maka keduanya akan saling menguatkan. Kesesuaian ini merupakan proses sosial, karena teknologi yang dipilih “pada akhirnya tidak tergantung pada efisiensi teknis atau ekonomis, tetapi pada 194
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
'kesesuaian'
antara
peralatan
dan
kepentingan-kepentingan
dan
kepercayaan-
kepercayaan dari berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi proses perancangan.” 82 Kesesuaian ini bisa pula didorong oleh kegiatan pemasaran besar-besaran oleh perusahaan. Semakin lama kebutuhan K11 semakin menuntut kualitas yang tinggi dan sekaligus harga yang semakin terjangkau dari T12. Ini mendorong inovasi bertingkat (incremental innovation) dari T12. Ada kalanya inovator lain menggagas teknologi T21 yang berasal dari rezim teknologi R2. Karena T21 dikembangkan setelah K11 ada lebih dulu, maka K11 dihubungkan ke T21 dengan panah utuh, sebaliknya hubungan dari T21 ke K11 digambarkan dengan panah putus-putus, karena inovasi melalui T21 ini juga belum tentu berhasil. Jika kemudian T21 lebih berhasil dari T12, maka T21 bisa menggusur sama sekali T12 dari pasar. Sebagai contoh, kemasan daun (T12) digusur oleh kemasan plastik (T21), atau kamera dengan film seluloid (T12) disingkirkan oleh kamera digital (T21). Karena T21 bisa membuat T12 tersingkir sehingga hilang dari pasar – misalnya saat ini sulit sekali mencari toko yang menjual kamera dengan film seluloid – maka Clayton M. Christensen menyebut T21 ini sebagai teknologi yang menggusur (disruptive technology).83 Keberhasilan pemenuhan K11 bisa memicu struktur S2 pada kelompok masyarakat tertentu, dan struktur S2 ini menimbulkan peluang untuk dieksploitasi oleh inovator dengan menciptakan teknologi T31 yang berasal dari rezim teknologi R3 untuk memenuhi kebutuhan K21. Di sini konsep kesesuaian menjadi penting untuk menggambarkan kelahiran suatu inovasi yang memenuhi kebutuhan tertentu. Karena pada kasus ini, kebutuhan K21 memang muncul akibat penciptaan teknologi T31, tetapi K21 tidak akan muncul jika S2 yang dipicu oleh pemenuhan K11 tidak terjadi. Di sinilah kesesuaian yang berasal dari berbagai arah terjadi. K21 dan T31 akan saling menguatkan. Namun, sebagaimana pada K11 yang bisa dipenuhi oleh teknologi dari rezim R1 maupun R2, maka K21 juga bisa dipenuhi oleh teknologi dari rezim yang berbeda dari rezim R3 pula, hanya saja dalam gambar 5.3 tidak ditunjukkan. Apa yang
82 Feenberg, Questioning, 79: ultimately depends neither on technical nor economic efficiency, but on the “fit” between devices and the interests and beliefs of the various social groups that influence the design process. 83 Christensen, Innovator, 8-9.
195
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
digambarkan di sini menunjukkan berbagai kemungkinan percabangan perkembangan teknologi, yang berarti membantah determinisme teknologis. Suatu produk teknologi juga bisa berkembang memicu perkembangan produk teknologi lain yang memenuhi kebutuhan berbeda namun menggunakan prinsip-prinsip teknis yang sama, yang berarti kedua produk teknologi tersebut berada dalam rezim teknologi yang sama. Ini ditunjukkan oleh gambar 5.3 sebagai berikut. Kemajuan T12 juga akan mendorong kemajuan T11 yang memenuhi kebutuhan yang berbeda, yakni kebutuhan K31 yang berada dalam struktur S3. Misalnya perusahaan Honda mencapai keberhasilan lebih dulu di industri sepeda motor (T12) yang disebabkan oleh keunggulannya dalam membuat mesin (engine). Keunggulan ini ini kemudian digunakan Honda untuk mengembangkan mobil (T11) yang memenuhi segmen pasar yang berbeda dari T12. Bahkan Honda juga memanfaatkan kemampuan pembuatan mesinnya untuk mengembangkan mesin pemotong rumput dan motor untuk penggerak perahu.84 Pemanfaatan teknologi yang sama dalam berbagai produk banyak dilakukan oleh kalangan industri. Banyak perusahaan komputer memasuki industri ponsel karena dasar teknologinya yang relatif berdekatan. Demikian juga banyak perusahaan obat juga memproduksi jamu atau pun makanan kesehatan karena masih menggunakan teknik pengembangan dan produksi yang kurang lebih sama.
5.4.1 Pembingkaian Di sini saya mencoba menggunakan kerangka dua-tingkat untuk menjelaskan pembingkaian (Enframing). Pembingkaian terjadi jika teknologi seolah memiliki kekuatan yang mandiri untuk mengembangkan dirinya dan sekaligus mengendalikan yang lain, termasuk manusia. Ini terjadi ketika rezim teknologinya sangat kuat dan stabil, yang terpelihara akibat kuatnya ketergantungan jejak teknologis yang ada. Ini terutama pada teknologi yang membutuhkan biaya tinggi, yang biaya peralihannya untuk keluar dari ketergantungan jejak teknologis juga tinggi. Pada saat yang sama juga terjadi ketergantungan jejak kelembagaan, yang ditunjukkan oleh kuat dan mapannya kepentingan sosial politik yang ada, sehingga tetap mempertahankan kode teknis yang ada. Ini adalah pembingkaian terhadap teknologinya sendiri, sedangkan bagaimana 84 Gary Hamel & C. K. Prahalad, Competing for the Future (Boston, MA: Harvard Business School Press, 1994), 229.
196
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
teknologi membingkai masyarakat adalah karena rezim teknologi yang ada meluaskan nalar teknologisnya kepada dunia kehidupan, yang kemudian melembaga menjadi ketergantungan jejak kelembagaan. Di tingkat tindakan teknis, pembingkaian ini nampak pada proyek yang besar, yang menggunakan dana, material, energi dan jumlah orang yang besar, dan karena itu perlu direncanakan jauh ke depan. Proyek besar ini akan memiliki "momentum" yang akan mengarahkan bagaimana berbagai sumber daya digunakan. Upaya menyimpang dari arah ini bisa ditafsirkan sebagai kesalahan yang berisiko gagalnya perencanaan. Untuk proyek yang telah menelan biaya yang sangat besar, berbagai upaya akan dilakukan untuk memastikan agar proyek bisa berjalan, yakni dengan memenuhi apa pun yang dibutuhkannnya.
5.4.2 Pengarusutamaan Teknologi Hijau Saat ini dunia menghadapi persoalan lingkungan, mulai dari pencemaran sampai perubahan iklim. Masalah ini bisa teratasi kalau umat manusia bersedia beralih menggunakan teknologi hijau, teknologi yang ramah lingkungan. Meskipun hal ini sudah disadari masyarakat luas sampai tingkat internasional, tetapi peralihan ke teknologi hijau ternyata sulit diwujudkan. Ini membuktikan persoalan terbesarnya bukan pada kesadaran masyarakat luas, tetapi bagaimana mengubah rezim teknologi maupun rezim ekonomi yang sudah berakar kuat, dalam arti kelompok-kelompok kepentingan di atas teknologi yang ada (yang tidak ramah lingkungan) sudah terlanjur besar. Sistem yang lama ini, yang memiliki banyak subsistem, sudah dibuat mapan oleh berbagai mekanisme saling mengunci (lock-in mechanisms), seperti skala ekonomi yang besar, keterlanjuran investasi yang tinggi pada mesin, infrastruktur maupun kompetensi, dan juga komitmen kelembagaan, kepercayaan dan wacana bersama, hubungan kuasa dan lobi politik yang sudah dibangun.85 Industri bahan bakar fosil, maupun berbagai industri yang mengandalkan bahan bakar fosil, seperti automotif dan energi listrik, sudah terlampau besar untuk bisa disingkirkan dalam waktu singkat. Investasi di anjungan lepas pantai, alat pengeboran, sampai dengan berbagai industri yang tergantung padanya, seperti industri angkutan 85 Frank W. Geels, “The multi-level perspective on sustainability transitions: Responses to seven criticisms,” Environmental Innovation and Societal Transitions 1 (2011), 25.
197
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
yang juga memiliki skala ekonomi yang besar, menciptakan mekanisme saling mengunci yang menyulitkannya untuk lepas dari ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ini. Kondisi ini membingkai banyak pihak menjadi tak berdaya untuk keluar dari perangkap energi fosil. Frank W. Geels melihat adanya tiga persoalan berikut yang menghambat transisi menuju penerapan teknologi hijau.86 Pertama, pengembangan teknologi hijau sementara ini tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar yang ada. Sektor swasta tidak mendapatkan insentif yang cukup untuk mengembangkan teknologi hijau. Pemerintah perlu – dan sampai tingkat tertentu – turun tangan untuk mengubah sistem insentif (kondisi kerangka ekonomi) untuk menciptakan pasar bagi teknologi hijau. Kedua, kesadaran masyarakat perlu dibangun tetapi tidak bisa sepenuhnya diandalkan, karena teknologi hijau tidak memberikan keuntungan langsung bagi perorangan. Penciptaan lingkungan alam yang lebih baik adalah kepentingan umum dan tidak setiap orang bisa diharapkan untuk berkorban. Karena teknologi hijau dari segi perbandingan kinerja/harga juga sering kalah dengan teknologi lama, maka juga perlu dipikirkan bagaimana mengompensasi kerugian konsumen dengan keuntungan yang lain. Di sini diperlukan sistem insentif bagi perorangan yang menggunakan teknologi hijau. Ketiga, peranan pemain besar di industri lama sangat penting karena mereka memiliki aset-aset yang saling melengkapi, seperti kemampuan manufaktur, pengalaman dengan uji coba skala besar, akses pada saluran distribusi, jaringan layanan, dan teknologi pelengkap. Kepemilikan atas aset yang saling melengkapi ini membuat pemain besar ini lebih unggul dari perusahaan pemula. Karena itu mereka perlu dilibatkan dalam strategi reorientasi khusus yang bisa melepaskan mereka dari ketergantungan jejaknya. Transisi ke teknologi hijau membutuhkan perubahan mendasar pada subsistem sosial, ekonomi dan teknologi secara sinergis. Rezim teknologi bisa diubah dengan secara bertahap membuat kode teknis menjadi lebih ramah lingkungan. Pentahapan kode teknis ini diperlukan agar kalangan industri bisa secara bertahap menyesuaikan kemampuannya. Rezim teknologi juga bisa diubah dengan melakukan reorientasi 86 Geels, “multi-tingkat perspective,” 25.
198
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
perusahaan-perusahaan besar yang mendominasi industri berbasis energi fosil. Reorientasi ini untuk meminimalkan risiko dan membuka peluang keuntungan dalam peralihan menuju teknologi hijau. Sistem insentif perlu dikembangkan untuk mendorong baik kalangan industri maupun masyarakat yang akan menggunakan teknologi hijau. Sistem insentif ini tetap harus diimbangi upaya menumbuhkan pasar. Upaya untuk mengarus-tamakan teknologi hijau adalah perjuangan untuk melawan rezim teknologi maupun rezim ekonomi yang sangat kuat, di mana sebagian masyarakat juga merupakan bagian dari rezim lama tersebut. Inilah yang membuat rezim lama sulit disingkirkan meskipun wacana publik sudah menerima bahwa kehidupan mereka sudah terancam oleh teknologi yang tidak ramah lingkungan. Adopsi teknologi hijau adalah upaya keluar dari ketergantungan jejak teknologis yang kuat, dan karena itu membutuhkan biaya peralihan (switching cost) yang besar. Biaya ini tidak hanya berupa biaya uang yang harus ditanggung produsen yang kemudian akan dibebankan pada konsumen, tetapi juga harga ketidak-nyamanan jika mereka menggunakan teknologi hijau. Plastik telah memberi konsumen kenyamanan, dengan plastik mereka bisa membawa makanan dan minuman ke mana saja, dan membuang kemasan pembungkusnya di mana saja. Jika mereka harus membawa rantang dan botol sebagaimana yang terjadi di masa lalu, maka berarti mereka harus membawa pulang lagi rantang dan botol yang sudah mereka gunakan. Jika produsen menggunakan bioplastik, maka harganya masih tinggi dan tidak sekuat plastik sintetis. Karena itulah mekanisme pasar tidak bisa sepenuhnya diandalkan dalam peralihan ke teknologi hijau. Banyak negara maju sudah membuat peta jalan (roadmap) menuju teknologi hijau ini. Negara-negara anggota Uni Eropa (UE) sudah membuat kesepakatan bersama mengenai aturan maupun target-target yang hendak dicapai per jangka waktu tertentu, misalnya dalam 5, 10 sampai 25 tahun ke depan. Masing-masing negara juga membuat skema insentif untuk mengompensasi kerugian yang ditanggung produsen atau konsumen.
5.5. Kesimpulan Teknologi bisa dilihat sebagai alat yang mengurangi beban fisik penggunanya. Teknologi juga bisa dianggap sebagai perantara, yang menyepadukan tindakan berbagai
199
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
orang yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Perantara paling hakiki dalam menyelaraskan tindakan antar-manusia adalah bahasa. Dengan bahasa masyarakat membangun saling pengertian dan kesepakatan. Dengan bahasa mereka menciptakan budaya dan mewariskannya pada generasi-generasi berikutnya, sehingga masyarakat dari sistem budaya yang sama bisa menerima keniscayaan suatu tata krama. Namun, penggunaan bahasa untuk menyepadukan tindakan membutuhkan waktu, karena masing-masing pihak harus melakukan penafsiran terhadap apa yang dikomunikasikan mitranya. Kalaupun masing-masing bisa saling mengerti, belum tentu mereka bersedia bekerja sama jika tujuan masing-masing berbeda. Karena orang kerap membutuhkan segera jasa orang-orang lain yang kepentingannya berbeda, maka bantuan mereka akan sulit didapat jika hanya mengandalkan medium bahasa. Habermas, melalui teori media, menunjukkan bahwa uang dan kuasa bisa digunakan untuk menyepadukan tindakan yang meminimalkan peran bahasa. Dengan uang seseorang bisa mendapatkan jasa orang lain tanpa harus membangun hubungan saling pengertian terlebih dulu. Bahkan orang lain ini bisa saja tidak dikenalnya sama sekali. Dengan kuasa birokrasi menjalankan tugas-tugasnya tanpa perlu didahului kesepakatan antar-orang-orang yang ada di dalamnya. Feenberg menganggap bahwa teknologi juga bisa dimasukkan dalam teori media Habermas tersebut. Ini karena teknologi bisa menyepadukan antar-tindakan dari orangorang yang berbeda. Sebagai contoh, pembagian tugas di pabrik diwujudkan melalui rancangan pengoperasian rangkaian mesin produksi oleh para pekerja. Arus warga kota diatur melalui pengaturan jalur dan jadwal kereta api dan bis kota. Mesin pemindai sidik jari bisa digunakan untuk mengatur kehadiran pegawai di kantornya. Sebagaimana penggunaan uang dan kuasa yang memiliki tuntutan untuk dipatuhi, teknologi juga demikian. Jika tuntutan teknologi tidak dipenuhi maka konsekuensinya bukan sosial sebagaimana pada uang dan kuasa, tetapi alam akan menghukum ketidakpatuhan tersebut melalui hukum-hukumnya yang dijadikan dasar bekerjanya teknologi. Jika tata cara penggunaan mesin tidak diikuti, maka hal ini akan merusak hasil produksi atau merusak mesinnya sendiri. Tiadanya keharusan untuk membangun saling pengertian ini membuat tindakan bertujuan yang memanfaatkan uang, kuasa atau teknologi bisa dilepaskan dari konteks 200
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
normatifnya. Dengan media ini orang bisa memperlakukan alam atau pun manusia lain sebagai obyek pelengkap pencapaian tujuan. Yang menjadi keprihatinan Habermas adalah ketika ranah di mana media ini digunakan (ranah sistem) menjajah ranah di mana hubungan saling pengertian seharusnya dibangun (dunia kehidupan). Inilah yang terjadi pada teknokrasi, terutama ketika ia juga meluas pada ranah-ranah non-teknologis. Hanya pembuat dan yang membayar pembuatan teknologi yang berhak menentukan rancangannya. Teknologi juga bisa dilihat sebagai sesuatu yang mandiri, yang bisa mengerahkan berbagai sumber daya, termasuk sumber daya manusia, untuk mewujudkan dirinya. Ini terlihat sekali ketika proyek teknologi raksasa direncanakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Perencanaan ini menciptakan momentum yang menggerakkan banyak hal, alam, energi, uang sampai orang. Momentum inilah yang membuat orang merasa tidak bisa lagi mundur atau menghentikan proyeknya. Gambaran ini menguatkan pandangan esensialisme teknologis. Namun, esensialisme teknologis ini, meskipun memiliki argumen filosofis yang kuat, tidak memberikan petunjuk tentang bagaimana mereformasi teknologi sehingga bisa lebih bersahabat dengan manusia. Tujuan Feenberg adalah mengembangkan teori yang membuka ruang bagi demokratisasi teknologi. Teori media Habermas cukup menjelaskan bagaimana teknologi mempengaruhi sistem sosial, namun tidak menjelaskan bagaimana masyarakat bisa balas mempengaruhinya. Feenberg memanfaatkan pendekatan konstruktivisme sosial untuk menjelaskan demokratisasi teknologi, tetapi tidak bisa mengabaikan pandangan-pandangan yang lain. Untuk mengakomodasi teknologi yang bisa dilihat sebagai berbagai hal ini dia menggagas teori instrumentalisasi dua-tingkat. Tingkat pertama (instrumentalisasi primer) merupakan pendefinisian subyek dan obyek teknis. Tingkat ini merupakan akomodasi Feenberg terhadap esensialisme teknologis. Sementara itu tingkat kedua (instrumentalisasi sekunder) merupakan penempatan obyek dan subyek teknis dalam sistem sosio-teknis di mana teknologi akan difungsikan. Tingkat kedua ini merupakan bentuk penerapan konstruktivisme sosial. Kritik penulis terhadap teori instrumentalisasi dua-tingkat ini adalah sebagai berikut. Pertama, esensialisme teknologis tidak perlu dipertahankan, karena pada
201
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
instrumentalisasi primer sekali pun konteks sosial tidak bisa diabaikan. Peristiwa dekontekstualisasi bisa mengubah lingkungan alam sekitar manusia, dan reduksi bisa menghasilkan limbah yang mengganggu kehidupan manusia. Kedua, teori Feenberg kurang melihat pentingnya peran ekonomi. Padahal kemajuan ekonomi kapitalis sangat memacu kemajuan teknologi. Penulis
mengajukan
teori
yang
menganggap
perkembangan
teknologi
dipengaruhi oleh dualitas struktur-kepelakuan dari subsistem teknologis, ekonomi dan sosial. Ketiga subsistem ini saling mempengaruhi secara iteratif dan menciptakan berbagai percabangan pada perkembangan teknologi dan kebutuhan, sehingga teori ini juga menyanggah determinsme teknologis.
202
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
BAB 6 KESIMPULAN Masyarakat modern tidak bisa melepaskan ketergantungannya pada teknologi. Tanpa listrik, sarana transportasi atau sarana komunikasi masyarakat tidak akan berbentuk seperti yang kita kenal saat ini. Birokrasi dan demokrasi di Indonesia tidak akan bisa berjalan tanpa teknologi. Apa yang bisa dilakukan dan diinginkan manusia berkembang dalam batasan yang ditentukan oleh teknologi. Karena teknologinya terus berkembang, maka batasan ini juga terus berkembang pula. Perkembangan teknologi juga didorong oleh kebutuhan manusia yang terus berkembang, selain oleh interaksi berbagai subsistem yang tidak selalu dimengertinya dan karena itu nampak lepas kendali. Satu kebutuhannya terpenuhi, manusia akan menemukan kebutuhan baru berikutnya, yang bisa jadi tidak terpikirkan sebelumnya, dan bisa juga tidak disadari pentingnya bagi pengembangan kemanusiaannya. Pengaruh teknologi secara keseluruhan begitu mendasar terhadap kehidupan masyarakat, kadang setara kadang melampaui pengaruh undang-undang dan kebijakan pemerintah. Kenyataan inilah yang membuat Andrew Feenberg menggagas bahwa teknologi pun harus masuk dalam ranah demokrasi, karena, sebagaimana undangundang, juga mempengaruhi hidup masyarakat luas. Masyarakat harus ikut serta mempengaruhi arah pengembangan dan penerapan teknologi, lepas dari apakah keikutsertaan ini dilakukan secara langsung atau melalui tata cara perwakilan. Penerapan masyarakat luas
gagasan
demokratisasi
teknologi
ini
terkendala
pandangan
mengenai nalar dan teknokrasi. Orang yang menganggap
pengembangan teknologi sepenuhnya didasarkan nalar akan berpendapat bahwa teknologi tidak ada sangkut pautnya dengan demokratisasi, sebagaimana pengembangan ilmu dan matematika tidak membutuhkan kesepakatan masyarakat. Pandangan ini kemudian menjadi dasar teknokrasi, yakni penyerahan persoalan teknis yang dihadapi masyarakat kepada para pakar yang memiliki pengetahuan teknis. Para pakar ini memiliki autonomi operasional atau kemandirian dalam memutuskan dan melakukan
203
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
tindakan teknis. Para pakar ini tidak perlu meminta persetujuan masyarakat, dan, kalau tindakan teknisnya sudah dijalankan, tidak perlu mempertanggungjawabkannya kepada mereka. Asalkan putusan dan tindakan teknisnya sesuai dengan prinsip-prinsip teknis yang ternalar maka itu sudah cukup sebagai pembenaran, sebagaimana putusan pejabat yang sesuai dengan undang-undang dianggap benar. Feenberg membantah pandangan di atas dengan dua alasan. Alasan pertama berasal dari bukti-bukti kajian teknologi (technology studies) yang menunjukkan bahwa perkembangan teknologi tidak bisa sepenuhnya dijelaskan dengan logika fungsional atau nalar teknologis yang netral. Meskipun kerja suatu artefak teknologi bisa sepenuhnya dijelaskan dengan fisika, namun bagaimana artefak tersebut mendapatkan fungsi-fungsinya dipengaruhi juga oleh faktor-faktor lain yang ada dalam cakrawala kebudayaan tertentu. Alasan kedua berasal dari pemikiran Marcuse dan Foucault yang menganggap teknologi sebagai konstruksi sosial yang menyembunyikan kepentingan dan kuasa tertentu. Suatu teknologi akan cenderung menguntungkan kepentingan tertentu dibandingkan yang lain, meskipun penguntungan kepentingan ini tidak selalu bisa diantisipasi. Ada kemenduaan dalam perkembangan teknologi, kadang ia bisa membuat satu pihak mempertahankan kuasanya, kadang ia bisa juga membuka ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang sebelumnya terpinggirkan. Indonesia adalah negara berkembang pertama yang memanfaatkan satelit, yakni satelit Palapa, untuk sarana komunikasi dan penyiaran. Di masa itu, teknologi satelit memberi kekuatan pada penguasa untuk mengarahkan dan membanjiri masyarakat dengan informasi yang ditentukannya. Sementara itu, media sosial telah memberi kesempatan pada orang-orang nonpartai dan tidak terkenal untuk menggalang dukungan pada sikap politik tertentu. Karena fungsi-fungsi teknologi tidak lagi ditentukan hanya dengan mematuhi nalar, maka autonomi operasional yang selama ini dimiliki para pakar tidak bisa dibenarkan. Ini berarti teknokrasi tidak memiliki landasan filosofis yang kukuh. Penjelasan yang memadai tentang mengapa teknokrasi masih bertahan adalah karena kuatnya hegemoni melalui pemanfaatan teknologi ini. Teknokrasi adalah wujud kuasa – politik atau ekonomi – yang efektif. Kefektivan ini bukan ditunjukkan oleh ketidakberdayaan pihak yang menjadi sasaran pengendalian teknis, tetapi justru oleh penerimaan mereka bahwa teknokrasi adalah
204
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
suatu keniscayaan. Menentang teknokrasi justru dianggap sebagai tindakan tak bernalar. Melalui teknokrasi berbagai bentuk penguasaan kapitalisme diterima dan bahkan dianggap sebagai tanda kemajuan, karena teknokrasi mempercepat pengambilan putusan teknis yang dibutuhkan dalam persaingan ekonomi. Konstruktivisme sosial dan kajian teknologi menunjukkan arah perkembangan teknologi tidak selalu ditentukan dari atas. Kepelakuan bisa ditemukan di tingkat mana pun. Selalu ada celah untuk melawan atau pun melemahkan pengaruh teknokrasi. Ini karena, pertama, hubungan antara subyek dan obyek dalam pengendalian teknis tidaklah permanen, karena keduanya bisa saja pada suatu waktu bertukar peran. Subyek teknis yang pernah merasakan getirnya menjadi obyek pengendalian teknis akan memiliki empati ketika dia menjadi pelaku tindakan teknis terhadap yang lain. Akan berbeda rancangan gerbong kereta rel listrik (KRL) yang dibuat oleh insinyur yang tidak pernah menjadi penumpang KRL dari yang dibuat oleh insinyur yang memiliki pengalaman panjang berdesak-desakan dengan penumpang lain dalam gerbong KRL. Perancang yang kedua akan lebih memiliki empati karena dia merasakan tidak enaknya berdesakdesakan dan tangannya kesulitan menjangkau gantungan untuk pegangan. Kedua, pada saat yang sama ada beberapa kode teknis yang hadir bersama, sehingga menyebabkan ambivalensi teknologi, dan memberi kesempatan pelaku untuk mengadu satu kode teknis dengan kode teknis yang lain. Sebagai contoh, sesuatu dianggap sah sebagai obat jika manfaatnya pada tubuh bisa diukur. Jadi kode teknis yang diikuti adalah pengukuran manfaat. Kode teknis ini menguntungkan industri obat kimia, karena manfaat obat kimia yang hanya terdiri dari satu senyawa aktif ini relatif mudah diukur. Sementara itu manfaat jamu sulit diukur karena mengandung banyak senyawa sehingga senyawa mana yang berpengaruh pada kesehatan tubuh sulit ditentukan. Jadi jamu gagal memenuhi kode teknis pertama. Namun, jamu sudah digunakan masyarakat jauh sebelum mereka mengenal obat kimia, dan mereka bisa memulihkan dan mempertahankan kesehatannya dengan jamu. Kode teknis kedua, yang diikuti oleh sebagian masyarakat kita, mendasarkan pada bukti manfaat yang dirasakan oleh sekian generasi dalam kurun waktu yang panjang. Adanya dua kode teknis ini membuat posisi jamu menjadi ambivalen. Ada yang menganggapnya berguna, ada pula yang tidak, dan ada pula yang mencoba mencari jalan tengah dengan menyatakan bahwa jamu bukan untuk keperluan penyembuhan, tetapi untuk menjaga kesehatan dan 205
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
meningkatkan daya tahan tubuh. Posisi jamu di kalangan praktisi kesehatan kadang melemah kadang menguat walaupun tidak pernah sampai dianggap setara dengan obat kimia. Pemerintah kadang memberi dukungan besar (misalnya dengan kebijakan saintifikasi jamu) dan kadang kurang. Ketiga, perencanaan tidak pernah sempurna, selalu ada celah manuver, yakni keleluasaan seorang pelaku untuk melakukan tindakan taktis yang tidak ditentukan dalam perencanaan. Keempat, setiap program yang menubuh dalam sistem sosio-teknis tidak pernah stabil, setiap program bekerja melawan anti-program, dan unsur-unsur di dalam jaringan sosio-teknis bisa selalu meredefinisi identitasnya sehingga posisinya bisa pindah dari program ke anti-program, atau sebaliknya. Perencanaan teknologis tidak pernah sempurna, karena dampak teknologi sering tidak bisa diketahui dari awal, dan yang bisa mengetahuinya lebih dulu adalah masyarakat yang terpapar langsung dengan dampak teknologi tersebut. Pengetahuan tersituasi (situated knowledge) yang muncul dari pengalaman masyarakat inilah yang menjadi dasar tuntutan agar teknologi dirancang ulang untuk mengakomodasi kepentingan mereka. Demokratisasi teknologis dilakukan, antara lain, dengan menyesuaikan kode teknis dengan pengetahuan tersituasi. Perubahan kode teknis ini memang tidak bisa dilakukan hanya oleh seorang pelaku, tetapi membutuhkan pengerahan banyak pelaku di berbagai posisi pengendalian teknis. Kesulitan yang dihadapi penumpang wanita untuk berebut memasuki gerbong KRL adalah pengetahuan tersituasi yang menjadi dasar putusan PT KAI untuk menyediakan gerbong khusus penumpang wanita. Namun, putusan ini tidak serta-merta terjadi hanya karena banyak penumpang wanita berdesak-desakan memasuki gerbong, karena hal ini sebenarnya sudah puluhan tahun terjadi. Ini menunjukkan bahwa putusan teknis tidak semata-mata mengikuti logika fungsional. Feenberg menjelaskan bahwa demokratisasi teknologi bisa diwujudkan melalui modifikasi pada demokrasi kuat, yang mendasarkan pada tindak nyata di tingkat masyarakat lokal. Modifikasi perlu dilakukan karena masyarakat yang terkena dampak teknologi tidak selalu bisa dengan mudah ditentukan lokalitasnya. Mereka juga kerap tidak bisa mengandalkan pemerintah atau wakil rakyat, karena persoalan teknologi sering terlalu kecil lingkup geografisnya dibandingkan wilayah kewenangan politisi,
206
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
atau persoalannya meliputi lintas-wilayah kewenangan banyak politisi yang oleh karena itu para politisi bisa dengan mudah menghindari tanggung jawab untuk menangani masalah tersebut. Selain itu, para politisi – sebagaimana orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan tersituasi – sulit diharapkan untuk bisa gigih memperjuangkan kepentingan korban teknologi, terutama ketika pihak nonkorban ini menganggap teknologi adalah kebutuhan. Tempat pengolahan sampah sangat dibutuhkan masyarakat, namun juga mengganggu warga sekitar tempat pengolahan tersebut, karena itulah sulit diharapkan bahwa politisi dan anggota masyarakat yang tinggal jauh dari situ akan membela kepentingan warga sekitar. Mengikuti penalaran demokrasi kuat, maka suara warga sekitar harus bisa digunakan untuk menentukan rancangan teknis tanpa harus mendapatkan persetujuan dari masyarakat lain yang tidak mendapatkan gangguan sampah. Selain menunjukkan sebagai hasil konstruksi sosial, teknologi kadang-kadang menunjukkan kebenaran pandangan esensialisme teknologis. Karena itulah Feenberg menggagas teori instrumentalisasi dua-tingkat yang mengakomodasi kedua pandangan tersebut. Esensialisme teknologis direpresentasikan dalam tingkat pertama, yakni instrumentalisasi primer yang memisahkan obyek teknis dan subyek teknis dari konteks lingkungannya. Konstruktivisme sosial diakomodasi dalam tingkat kedua, yakni instrumentalisasi sekunder yang menempatkan obyek teknis dan subyek teknis ke dalam konteks sosio-teknis di mana obyek teknis difungsikan. Kritik penulis terhadap teori ini adalah bahwa instrumentalisasi primer pun sebenarnya tidak bisa lepas dari konteks sosial, karena peristiwa dekontekstualisasi dan reduksi juga mempengaruhi masyarakat sekitar. Selain itu, teori ini tidak secara eksplisit mengungkapkan bagaimana kepentingan politik atau ekonomi bisa menyebabkan ketergantungan jejak teknologis yang membingkai alam dan manusia yang mengembangkannya. Melihat keterbatasan teori instrumentalisasi dua-tingkat, penulis memandang perlu untuk mengajukan teori yang bisa menjelaskan peluang demokratisasi teknologi, dalam batas dan interaksi antar-subsistem teknologis, ekonomi dan sosial. Masingmasing subsistem ini memiliki dualitas struktur-kepelakuan, yang berarti pelaku dibatasi dan dimungkinkan oleh struktur tetapi pelaku – bersama-sama pelaku-pelaku yang lain – bisa mempengaruhi struktur walaupun pengaruhnya baru tampak setelah waktu yang relatif panjang. 207
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Masing-masing subsistem direpresentasikan sebagai sisi segitiga yang saling bertemu di kedua ujungnya. Pertemuan ini menunjukkan hubungan saling pengaruh. Subsistem ekonomi mempengaruhi subsistem teknologi dalam bentuk ketergantungan jejak teknologis, yaitu arah pengembangan teknologi yang dipaksakan oleh penanaman modal yang sudah terlanjur besar pada arah tersebut. Sebaliknya, subsistem teknologi mempengaruhi subsistem ekonomi dalam bentuk peningkatan daya saing. Subsistem sosial mepengaruhi subsistem teknologis dalam bentuk kode teknis, yakni prinsip-prinsip yang mendefinisikan baik-tidaknya suatu perancangan teknis bagi kepentingan manusia. Sebaliknya nalar teknologis juga bisa merasuk ke dalam subsistem sosial, mewujud sebagai teknokrasi yang menyerbu dunia kehidupan yang seharusnya dibangun dengan tindakan komunikatif yang membangun pengertian bersama. Teknokrasi mengabaikan masyarakat yang dianggap awam terhadap teknologi. Subsistem
ekonomi
mempengaruhi subsistem
sosial
dengan membuat
masyarakat menjadi konsumtif dan menjadikan pertimbangan untung-rugi sebagai kriteria dalam mengembangkan hubungan sosial. Sebaliknya subsistem sosial, terutama melalui upaya politik, bisa mengubah sistem insentif yang membingkai tindakantindakan ekonomi. Dengan teori ini pembingkaian yang dimaksudkan Heidegger bisa dijelaskan sebagai hubungan saling mengunci antar-ketiga subsistem. Ketergantungan jejak teknologis terjadi bersamaan dengan ketergantungan jejak kelembagaan (institutional path dependence) dan kepentingan pasar yang terlanjur besar. Keterkuncian ini membuat masyarakat maupun pengembangan teknologi seolah tidak bisa lepas dari ketergantungan jejak teknologis yang ada. Sementara pelaku ekonomi melihat keuntungan hanya bisa dieksploitasi di jalur ini. Inilah yang misalnya menyulitkan masyarakat keluar dari ketergantungan pada bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan. Berbagai pihak sudah terlanjur melakukan penanaman modal besar-besaran di sepanjang mata rantai industri-industri terkait, mulai dari di industri pengeboran minyak sampai industri automotif. Banyak kepentingan besar yang sudah terlanjur dibangun di atas bahan bakar fosil, sehingga menyulitkan mereka untuk beralih ke industri energi terbarukan yang ramah lingkungan namun efisiensi energinya masih rendah.
208
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Mengandalkan mekanisme pasar tidak akan memberi peluang bagi industri energi terbarukan untuk tumbuh. Ketergantungan jejak teknologis yang terlanjur kuat tidak mungkin disingkirkan dengan mekanisme pasar. Di sinilah demokratisasi teknologi berperan. Uni Eropa, misalnya, menetapkan aturan (merupakan bentuk formal dari kode teknis) yang mengharuskan pengembangan mesin yang ramah lingkungan, mewajibkan perusahaan energi untuk menyediakan sekian persen dari pasokan energinya dengan energi terbarukan. Demokratisasi teknologis dimungkinkan karena melalui subsistem sosial (atau lebih khusus lagi subsistem politik) para pelaku secara kolektif bisa mempengaruhi baik sistem insentif di subsistem ekonomi maupun kode teknis di subsistem teknologis. Namun, kemungkinan ini tidak selalu terjadi karena bisa saja sebagian – atau malah sebagian besar masyarakat – merupakan bagian yang mengambil keuntungan dari rezim teknologis dan rezim ekonomi yang ada. Inilah sumber ketidakpastian mengapa perubahan rezim – meskipun sangat diinginkan, seperti pada kasus energi terbarukan – tidak selalu bisa dilakukan, dan ini juga menunjukkan penyangkalan terhadap determinisme teknologis. Demokratisasi teknologis tidak mudah diterapkan, kecuali untuk teknologi yang dampak lingkungannya jelas diketahui merugikan banyak orang, seperti tragedi pencemaran air raksa di Teluk Minamata. Jika dampak suatu teknologi tidak fatal dan jumlah orang yang terpengaruh dampaknya sedikit, sementara yang membutuhkan teknologi tersebut jauh lebih besar, sering pihak yang dirugikan ini harus atau dipaksa mengalah pada kepentingan mayoritas. Pembangunan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah yang menebarkan bau busuk ke pemukiman sekitar, waduk untuk pembangkit tenaga listrik yang menenggelamkan lahan pertanian, atau jalan tol yang membatasi gerak warga dan saluran irigasi adalah contoh pembangunan teknologi yang merugikan kepentingan warga sekitar tetapi dibutuhkan orang yang jauh lebih banyak. Warga sekitar bisa saja dengan senang hati menerima ganti rugi, namun sering tanpa disertai pemahaman mengenai dampak jangka panjang pembangunan tersebut terhadap masa depan mereka. Pengambil kebijakan pembangunan juga sering tidak memberi informasi yang cukup agar masyarakat bisa mengantisipasi berbagai kemungkinan perubahan. Banyak warga dengan senang hati melepas tanahnya, karena membayangkan bisa dengan mudah menggunakan uangnya untuk membuka usaha lain di luar pertanian. 209
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Tetapi, ternyata pindah jenis pekerjaan bukanlah hal mudah. Hilangnya ladang bukan hanya berarti hilangnya sepetak tanah, tetapi juga hilangnya pekerjaan, dan, lebih parah lagi, berarti menjadi sia-sianya pengetahuan dan keterampilan pertanian yang telah mereka warisi dari generasi-generasi sebelumnya. Demokratisasi teknologi tentu tidak mungkin diterapkan pada setiap teknologi, karena hal ini akan menghabiskan energi masyarakat, sementara tidak semua dampak teknologi bisa dikenali pada saat awal. Bahkan pengaruh teknologi bisa berubah seiring dengan semakin banyak pengguna dan semakin tinggi intensitas penggunaannya. Ketika pertama kali diluncurkan orang tidak mengira aplikasi media sosial Twitter menjadi sarana penting dalam revolusi “Musim Semi Arab” (Arab Spring) atau pun gerakan “Taklukkan Wall Street” (Occupy Wall Street) dan juga saat pemilihan presiden di Indonesia. Ketika pertama kali diciptakan, kamera hanya bisa dimiliki orang yang sangat kaya, dan tidak mudah untuk dibawa-bawa. Kini kamera menjadi bagian tak terpisahkan dari ponsel, dan telah mengakibatkan dampak yang besar. Kamera yang menjadi bagian dari ponsel ini telah menjatuhkan karir seorang politisi setelah rekaman video yang sangat pribadinya beredar di dunia maya. Pemilik sebuah mobil mewah terpaksa harus minta maaf kepada masyarakat setelah mendapatkan kecaman luas di media sosial karena foto mobilnya, yang bergerak melawan arus, diunggah di dunia maya. Banyak teknologi yang pada saat awal dianggap memiliki dampak dan dalam kendali pihak tertentu, tetapi setelah digunakan secara luas ternyata memiliki pengaruh besar yang tidak diantisipasi sebelumnya. Sebagai contoh, televisi diperkenalkan di Indonesia sebagai sarana penyebaran informasi, khususnya sebagai corong propaganda pemerintah, dan juga sarana hiburan yang juga masih dibebani pesan propaganda. Awalnya, khususnya masyarakat desa, hanya bisa menyaksikan siaran televisi di kantor kecamatan, dan sekian tahun kemudian mereka bisa menyaksikannya di kantor desa. Mereka datang dengan bersepeda untuk menyaksikan siaran dari TVRI yang masih hitam putih dengan jam tayang mulai sore hari dan berakhir sebelum tengah malam. Kemudian sebagian warga yang cukup kaya membeli televisi sendiri, namun mereka harus membuka pintu rumahnya bagi para tetangganya untuk turut menyaksikan acara televisi. Pada saat itu televisi menjadi sarana yang meningkatkan ikatan sosial di antara tetangga yang setiap malam menonton televisi bersama-sama di rumah salah satu dari 210
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
mereka. Bagi pengamat sosial, peningkatan ikatan sosial adalah sesuatu yang positif. Namun, bagi masyarakat desa tersebut, ikatan sosial yang dijalin di depan televisi dari salah satu warga bukanlah ikatan yang ingin dipertahankan oleh setiap orang. Pemilik televisi bisa bangga rumahnya jadi pusat kerumunan warga, namun dia juga, suka atau tidak suka, harus selalu membuka pintu rumahnya sepanjang televisi masih tayang. Dan ini membatasi hak pribadinya atas televisi dan ruang tamunya sendiri. Bagi para tetangga, ketergantungan pada milik orang lain bukanlah kondisi yang ideal. Ketika harga televisi semakin terjangkau mereka pun membelinya, sehingga mereka bisa menyaksikan televisi di rumahnya tanpa mengganggu orang lain. Akhirnya, seperti kita saksikan saat ini, ikatan sosial dalam bentuk kerumunan warga di salah satu rumah pemilik televisi pun tidak ada lagi. Kini, setelah hampir setiap keluarga memiliki pesawat televisi sendiri, dan siarannya berlangsung dalam 24 jam, banyak orang menjadi lebih terpisah dari lingkungannya karena mereka bisa mendapatkan keasyikan dengan menghabiskan sebagian besar waktunya di depan televisi. Televisi yang awalnya menjadi sarana mempererat ikatan sosial berubah menjadi perenggang. Bahkan siapa menyangka televisi kemudian berkembang menjadi pengasuh anak. Agar anak kecil tidak merepotkan atau rewel, banyak orang tua atau pembantunya mengarahkan perhatian anak kecil tersebut kepada televisi yang gambarnya terus bergerak menjerat perhatian mereka. Televisi juga telah berkembang menjadi sarana hiburan yang dangkal, karena acaranya dibuat untuk menjangkau sebanyak mungkin pemirsa yang sebagian besar dianggap tidak punya cukup perhatian bagi acara yang serius, yang menuntut berpikir. Semua dampak televisi yang terjadi saat ini tidaklah bisa diantisipasi pada saat televisi pertama kali diperkenalkan pada masyarakat. Lalu bagaimana demokratisasi teknologi dipraktikkan dalam kasus televisi? Walaupun banyak orang mengkhawatirkan acara televisi dengan berbagai alasan tetapi tidak ada yang menuntut agar pesawat televisi dilarang. Penyelesaian masalah televisi yang terpikirkan banyak orang adalah dengan mengendalikan atau menyensor acaranya dengan menggunakan kekuatan negara, bukan kekuatan teknologi. Di negara-negara maju banyak televisi dilengkapi chips yang bisa digunakan untuk menentukan acara mana yang bisa ditonton oleh anak mereka. Pada kasus terakhir ini penyensoran dilakukan di tiap keluarga dengan bantuan teknologi.
211
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Selain terhadap teknologi yang dampaknya mengganggu secara fisik, masyarakat sulit menilai dan menyepakati apakah dampak keseluruhan dari suatu teknologi itu positif atau negatif. Bahkan kalau pun terganggu oleh dampak negatifnya, mereka sering tidak setuju jika teknologi tersebut sama sekali dilarang jika mereka masih melihat adanya manfaat yang besar dari teknologi tersebut. Banyak orang tua cemas dengan pornografi yang beredar antar-ponsel para remaja, namun mereka tidak mau melarang anaknya menggunakan ponsel karena nanti jadi sulit dihubungi. Ada kebutuhan pada suatu hal yang membuat seseorang mempertahankan teknologi yang memiliki dampak buruk pada hal lain. Banyak teknologi yang mempengaruhi perubahan budaya dan nilai masyarakat. Sebagian orang merasa tidak nyaman dengan perubahan ini, namun merasa sulit untuk menghindari teknologi tersebut. Sebagian lagi tidak mempermasalahkannya karena menganggap perubahan masyarakat adalah keniscayaan yang alamiah, yang akan terjadi dengan atau tanpa pengaruh teknologi. Terhadap pengaruh teknologi seperti ini kedua pihak sepakat membiarkan teknologi berkembang sesuai dengan arah yang ditentukan pasar dan dinamika masyarakat, hanya saja yang satu mengikhlaskan pengaruhnya sedangkan yang lain terpaksa menerimanya. Lalu bagaimana sikap yang sama sekali tidak menyerah tetapi juga tidak menghindari teknologi sama sekali? Apa pun dampaknya teknologi harus bisa dikritisi oleh masyarakat baik sebelum atau sesudah teknologi tersebut digunakan secara luas. Tentunya mereka hanya akan mengkritisi teknologi yang dampaknya cukup berarti terhadap hidup mereka. Mereka bisa menilai teknologi dengan menimbang pandangan berbagai pakar tanpa harus terlalu masuk pada persoalan teknisnya yang memang menjadi kewenangan para pakar. Yang perlu mereka ketahui adalah berbagai fungsi, pengaruh dan kemungkinan dampaknya. Selama ini intervensi politik terhadap proyekproyek teknologi lebih sering hanya mengenai persoalan penyediaan dananya saja, berapa besarnya dan mendapatkan pinjaman dari negara mana. Politisi tidak pernah memperdebatkan bagaimana warga yang lahan pertaniannya dialihkan jadi waduk tetap bisa mempertahankan produktivitas ekonominya. Perdebatan ini bukan sekedar persoalan menerima atau menolak waduk. Karena waduk bisa saja dibangun, tetapi warga sekitar tetap bisa mempertahankan ekonominya dengan menyiapkan diri mereka belajar beternak ikan dalam keramba di waduk yang akan dibangun nanti. Pada kasus 212
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
lain, salah satu sekolah, entah karena menghindari peredaran pornografi atau karena alasan lain, tetap mengijinkan para siswa menggunakan ponsel supaya tetap bisa dihubungi orang tuanya, tetapi yang diizinkan hanya ponsel sederhana dengan kemampuan telepon dan SMS. Disertasi ini berpendirian bahwa teknologi adalah bagian penting dari struktur masyarakat modern, yang dimaknai dan membentuk makna baru, yang memfasilitasi sekaligus difasilitasi masyarakat untuk terus berkembang. Teknologi bisa dipilih atas alasan mendukung nilai-nilai tertentu, tetapi ia juga – tanpa sepengetahuan masyarakat pada awalnya – bisa mempengaruhi, bahkan menggusur, nilai-nilai masyarakat. Teknologi dan masyarakat saling membentuk. Sementara ini di Indonesia teknologi umumnya dikaji dari sudut pandang rekayasa (engineering), dan, dengan porsi yang lebih kecil, juga menjadi bagian kajian ekonomi/manajemen. Karena pengaruhnya yang besar pada masyarakat, dan teknologi adalah juga bagian penting dari budaya, yang membentuk dan dibentuk oleh budaya, semestinya teknologi juga perlu dikaji dari sudut pandang ilmu sosial, ilmu budaya, dan filsafat. Pemikir seperti Bruno Latour bahkan menganggap teknologi merupakan bagian dari sistem sosial, karena itu ilmu sosial tidak bisa mengabaikan teknologi untuk menjadi obyek kajiannya. Karena kebutuhan akan teknologi tidak alamiah, tetapi dibentuk melalui proses pemaknaan baik yang dimanipulasi melalui kegiatan pemasaran perusahaan maupun berasal dari pergulatan budaya dalam masyarakat, dan teknologi juga mempengaruhi manusia dalam memaknai hidup dan dunianya, maka ilmu budaya bisa digunakan untuk mengkaji pemaknaan dalam teknologi.
213
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
DAFTAR PUSTAKA Achterhuis, Hans (ed.) American Philosophy of Technology: The Empirical Turn, diterjemahkan oleh Robert P. Crease. Bloominton: Indiana University Press, 2001. Achterhuis, Hans "Andrew Feenberg: Farewell to Dystopia," dalam American Philosophy of Technology: The Empirical Turn, diedit oleh Hans Achterhuis, diterjemahkan oleh Rober P. Crease (Bloomington: Indiana University Press, 2001). Allenby, Braden & Sarewitz, Daniel. The Techno-Human Condition. Cambdridge, MA: MIT Press, 2011, Aristotle, Politics - Book I and II, penerjemah Trevor J. Saunders. Oxford: Oxford University Press, 1995. Barber, Benjamin. Strong Democracy. Berkeley: University of California Press, 1984. Barney, Darin. “Radical Citizenship in the Republic of Technology: A Sketch,” dalam Radical Democracy and the Internet: Interrogating Theory and Practice, diedit oleh Lincoln Dahlberg dan Eugenia Siapera, 37 - 54. New York, NY: Palgrave Macmillan, 2007. Beck, Ulrich. Risk Society: Towards a New Modernity, diterjemahkan oleh Mark Ritter. London: Sage, 1992. Benhabib, Seyla. Critique, Norm, and Utopia: A Study of the Foudations of Critical Theory. New York: Columbia University Press, 1986. Beniger, James R. The Control Revolution. Cambridge, MA: Harvard University Press, 1986. Borgmann, Albert. Technology and the Character of Contemporary Life. Chicago: University of Chicago Press, 1984. Brey, Philip. “Technology as Extension of Human Faculties," Dalam Metaphysics, Epistemology, and Technology. Research in Philosophy and Technology, vol 19, diedit oleh C. Mitcham. London: Elsevier/JAI Press, 2000. Christensen, Clayton M. The Innovator’s Dilemma. New York: HarperBusiness, 2000. Clark, Andy. “Reinventing ourselves: The plasticity of embodiment, sensing, and mind.” The Journal of Medicine and Philosophy, 32(3) (2007): 263–282. David, Paul. A. “Clio and the Economics of QWERTY.” The American Economic Review 75, no. 2 (May 1985): 332-337. 214
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Dreyfus, Hubert L. Being-in-the-World: A Commentary on Heidegger's Being and Time, Division I. Cambridge, MA: The MIT Press, 1991. Dreyfus, Hubert L. dan Paul Rabinow. Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics. With an Alterword by Michel Foucault. Brighton, Sussex: The Harvester Press, 1983. Dusek, Val. Philosophy of technology: an introduction. Malden, MA: Blackwell Publishing, 2006. Ellul, Jacques. The Technological Society, diterjemahkan oleh John Wilkinson. New York: Vintage Books, 1964. Ellul, Jacques. The Technological System, diterjemahkan oleh Joachim Neugroschel. New York: The Continuum Publishing, 1980. Feenberg, Andrew. “Subversive Rationalization: Technology, Power, and Democracy.” Inquiry 35 (1992): 301-22. Feenberg, Andrew. Questioning Technology. London and New York: Routledge, 1999. Feenberg, Andrew. Transforming Technology: A Critical Theory Revisited. Oxford: Oxford Universty Press, 2002. Feenberg, Andrew. Between Reason and Experience - Essays in Technology and Modernity. Cambridge, MA: The MIT Press, 2010. Feibleman, James K. “The philosophy of tools,” Social Forces, 45(3), (1967): 329–337. Feibleman, James K.
“Technology and Human Nature.” Southwestern Journal of
Philosophy, 10(1) (1979). Foucault, Michel. The History of Sexuality: Volume 1: An Introduction, diterjemahkan oleh Robert Hurley. New York: Pantheon Books, 1978. Foucault, Michel. Power/Knowledge, diedit oleh Colin Gordon. New York: Pantheon, 1980. Foucault, Michel. "The Subject and Power." Afterword to Dreyfus and Rabinow, Foucault, 1983: 208-26. Foucault, Michel. Discipline and Punish, diterjemahkan oleh Alan Sheridan. New York: Vintage Books, 1995. Fuchs, Gerhard. "Path Dependence in Regional Development: What Future for BadenWürttemberg?" Dalam The Hidden Dynamics of Path Dependence diedit oleh Georg Schreyögg and Jörg Sydow. New York: Palgrave Macmillan, 2010.
215
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Geels, Frank W. “The multi-tingkat perspective on sustainability transitions: Responses to seven criticisms,” Environmental Innovation and Societal Transitions, 1 (2011). Giddens, Anthony. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration. Berkeley: University of California Press, 1984. Gribbins, Ronald E. dan Hunt, Shelby D. “Is Management a Science?” The Academy of Management Review, Vol. 3, No. 1 (1978): 139-144. Habermas, Jurgen. Toward a Rational Society, diterjemahkan oleh Jeremy J. Saphiro. Boston: Polity Press, 1987. Habermas, Jurgen. The Theory of Communicative Action Volume II: Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason, diterjemahkan oleh Thomas McCarthy. Boston: Beacon, 1987. Habermas, Jürgen. “Technology and Science as ‘Ideology,’ ” dalam Toward a Rational Society, diterjemahkan oleh J. Shapiro. Boston: Beacon Press, 1970. Haddon, Leslie. “Domestication Analysis, Objects of Study, and the Centrality of Technologies in Everyday Life,” Canadian Journal of Communication Vol 36 (2011) 311-323. Hamel, Gary & C. K. Prahalad. Competing for the Future. Boston, MA: Harvard Business School Press, 1994. Harbers, Hans. “Introduction: Co-Production, Agency, and Normativity.” Dalam Inside the Politics of Technology Agency and Normativity in the Co-Production of Technology and Society, diedit oleh Hans Harbers. Amsterdam: Amsterdam University Press, . Heersmink, Richard. “Defending Extension Theory:
A Response to Kiran and
Verbeek,” Philosophy and Technology 25(1) (2011):121-128 Heidegger, Martin. The Question Concerning Technology, diterjemahkan oleh William Lovitt. New York: Garland Publishing, 1977. Husserl, Edmund. Logical Investigations, Second Edition, diterjemahkan oleh J.N. Findlay. London: Routledge, 1970. Ihde, Don. Technics and Praxis. Dordrecht: D. Reidel Publishing, 1979. Illich, Ivan. Tools for Convivality. New York: Harper and Row, 1973. Information Office of the People’s Government of Fujian Province, Zheng He's Voyages Down the Western Seas. Fujian, China: China Intercontinental Press, 2005.
216
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Jwa, Sung-Hee & Yoon, Yong. “Economic Development and Institutions.” Dalam Institutional Economics and National Competitiveness, diedit oleh Young Back Choi. New York, NY: Routledge, 2012. Kafle, Narayan Prasad. “Hermeneutic phenomenological research method simplified”, Bodhi: An Interdisciplinary Journal, 5, 2011. Kapp, Ernst. Grundlinien einer Philosophie der Technik: Zur Entstehungsgeschichte der Cultur aus Neuen Gesichtpunkten. Braunschweig: Westermann, 1877. Kellner, Douglas. "Introduction to the Second Edition" pada One-Dimensional Man, karya Herbert Marcuse. New York: Routledge Classics 2002. Kiran, Asle H.
& Verbeek, Peter-Paul. “Trusting Our Selves to Technology,”
Knowledge, Technology and Policy 23 (3-4) (2010): 409-427 Kotsev, Victor. “Stephen Hawking, Elon Musk Sign Open Letter On The Future Of Artificial Intelligence,” Fast Company, diakses pada 15 Januari 2015 dari http://www.fastcompany.com/3040853/fast-feed/stephen-hawking-elon-musksign-open-letter-on-the-future-of-artificial-intelligenc. Kroes, Peter. Technical Artefacts: Creations of Mind and Matter: A Philosophy of Engineering Design. Dordrecht: Springer, 2012. Kuhn, Thomas S. The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press, 1962. Ladikas, Miltos, Sachin Chaturvedi, Yandong Zhao, dan Dirk Stemerding (Ed). Science and Technology Governance and Ethics: A Global Perspective from Europe, India and China. New York: SpringerOpen, 2015. Latour, Bruno. The Pasteurization of France, diterjemahkan oleh Alan Sheridan dan John Law. Cambdridge, MA: Harvard University Press, 1988. Latour, Bruno. “Where Are the Missing Masses? The Sociology of a Few Mundane Artifacts,” dalam Shaping Technology/Building Society: Studies in Sociotechnical Change, diedit oleh W. Bijker dan J. Law. Cambridge, Mass: MIT Press, 1992. Latour, Bruno. We Have Never Been Modern, diterjemahkan oleh Catherine Porter. Cambridge, Mass.: Harvard University Press, 1993. Latour, Bruno. Reassembling the Social: An Introduction to Actor-Network-Theor. Oxford: Oxford University Press, 2005.
217
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Law, John “Technology and Heterogeneous Engineering: The Case of Portuguese Expansion,” dalam The Social Construction of Technological Systems, diedit oleh W. Bijker, T. Hughes, dan T. Pinch. Cambridge, Mass.: MIT Press, 1987. Law, John dan Wiebe E. Bijker, “Postscript: Technology, Stability, and Social Theory,” dalam Shaping Technology/Building Society: Studies in Sociotechnical Change, diedit oleh W. Bijker dan J. Law. Cambridge, Mass: MIT Press, 1992. Levathes, Louise. When China Ruled the Seas: The Treasure Fleet of the Dragon Throne, 1405-33. New York: Simon & Schuster, 1994. Lim, Francis. Filsafat Teknologi: Don Ihde Tentang Dunia, Manusia, dan Alat. Yogyakarta: Kanisius, 2008. Lukes, Steven. Power: A Radical View, 2nd edition. New York: Palgrave Macmillan, 2005. Marcuse, Herbert. One-Dimensional Man. New York: New York: Routledge Classics 2002. Marcuse, Herbert. “Industrialization and Capitalism in the Work of Max Weber,” dalam Negations, diterjemahkan oleh J. Shapiro. Boston: Beacon Press, 1968. McLuhan, Marshall. Understanding Media: The Extensions of Man. Cambridge, MA: The MIT Press, 1994. Marx, Karl. The Poverty of Philosophy. New York: Cosimo, 2008. Mumford, Lewis. The Myth of the Machine: Technics and Human Development. London: Secker & Warburg, 1967. Murdock, Graham. “Communications and the Constitution of Modernity.” Dalam The Media Studies Reader, diedit oleh Tim O'Sullivan dan Yvonne Jewkes. London: Arnold, 1997. Nye, David E. Technology Matters: Questions to Live With. Cambridge, MA: MIT Press, 2006. Ortega y Gasset, Jose. Toward a Philosophy of History. New York: W.W. Norton & Company, 1941. Piercey, Robert. The Uses of The Past From Heidegger To Rorty: Doing Philosophy Historically. Cambridge, MA: Cambridge University Press, 2009.
218
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Pinch, Trevor, dan Bijker Wiebe. “The Social Construction of Facts and Artefacts,” dalam The Social Construction of Technological Systems, diedit oleh W. Bijker, T. Hughes, dan T. Pinch. Cambridge, Mass.: MIT Press, 1987. Pitt, Joseph C. Thinking About Technology. New York: Seven Bridges Press, 2000. Pitt, Joseph C. Doing Philosophy of Technology: Essays in a Pragmatist Spirit. Dordrecht: Springer, 2011. Polanyi, Michael. Personal Knowledge: Towards a Post-Critical Philosophy. New York: Harper Torchbooks, 1964. Porter, Michael. "Towards a dynamic theory of strategy." Strategic Management Journal 12 (Winter special issue) (1991): 95–117. Prado, C. G. Starting with Foucault: An Introduction to Genealogy. Boulder: Westview, 1995. Resnikoff, Ned. "What can philosophy of technology tell us about the gun debate?" MSNBC 12/19/12 diakses dari http://www.msnbc.com/the-ed-show/what-canphilosophy-technology-tell-us-abo pada 19 September 2014. Ricoeur, Paul. “The Model of the Text: Meaningful Action Considered as a Text,” dalam Interpretive Social Science: A Reader, diedit oleh P. Rabinow dan W. Sullivan. Berkeley: University of California Press, 1979. Rojcewicz, Richard. The Gods and Technology: A Reading of Heidegger. New York: State University of New York, 2006. Rogers, Everett M. Diffusion of Innovations, 4th edition. New York: The Free Press, 1995. Rosenberg, Nathan. Schumpeter and the Endogeneity of Technology: Some American Perspectives. London: Routledge, 2000. Rothenberg, David. Hand’s End: Technology and the Limits of Nature. Berkely: University of California Press, 1993. Schumpeter, Joseph A. Capitalism, Socialism and Democracy. London: Routledge, 1976. Sclove, Richard. Democracy and Technology. New York: Guilford Press, 1995. Silverstone, R. Hirsch, E., dan Morley, D. “Information and communication technologies and the moral economy of the household,” dalam Consuming
219
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Technologies: Media and Information in Domestic Spaces, diedit oleh R. Silverstone dan E. Hirsch. London: Routledge, 1992. Simon, Herbert A. Reason in Human Affairs. Stanford, CA: Stanford University Press, 1983. Vallero, Daniel A. dan Letcher, Trevor M. Unraveling Environmental Disasters. Amsterdam: Elsevier, 2013. von Hippel, Eric. The Sources of Innovation. New York: Oxford University Press, 1988. Weber, Max. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Diterjemahkan oleh Talcott Parsons. 1930. Cetak ulang, London: Routledge, 1992. Winner, Langdon. The Whale and the Reactor. Chicago: The University of Chicago Press, 1986. Zachry, Mark. “An Interview with Andrew Feenberg”. Technical Communication Quarterly, 16:4 (2007): 453-472
220
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
DAFTAR ISTILAH Terjemahan
Asal Kata
Arti/penjelasan
Biaya peralihan
Switching cost
Biaya yang dibutuhkan untuk beralih dari satu sistem teknologi ke sistem teknologi yang lain.
Cakrawala budaya
Cultural horizon
Kode sosial yang ditetapkan melalui pergulatan budaya dan menentukan pilihan-pilihan masyarakat dalam budaya tersebut, termasuk pilihan teknis.
Celah manuver
Margin of maneuver
Ruang atau peluang untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak ditentukan sebelumnya dalam perencanaan teknis.
Distopian
Distopian
masa depan yang suram, kebalikan dari utopian.
Determinisme
Technological
Pandangan bahwa teknologi
teknologis
determinism
berkembang secara mandiri tanpa dipengaruhi masyarakat, namun mempengaruhi masyarakat.
Esensialisme teknologis Technological
Anggapan bahwa teknologi memiliki
essentialism
esensi dengan sifat-sifat dasar yang tidak berubah meskipun tampak luarnya terus berkembang.
Fenomenologi
Hermeneutic
Fenomenologi yang bersifat
hermeneutik
phenomenology
menafsirkan (interpretive), dan menganggap deskripsi tanpa penafsiran tidak mungkin dilakukan.
Ilmu alam
Science
Pengetahuan tentang alam yang diperoleh melalui pengamatan dan percobaan.
221
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Kajian teknologi
Technology studies
Bidang yang antara lain mengkaji hubungan saling pengaruh antara teknologi dan masyarakat. Bidang ini berbeda dengan rekayasa (engineering) yang mempelajari pembuatan artefak teknologi.
Kegiatan bertujuan
Purposive activity
Ini adalah istilah yang digunakan Habermas untuk merujuk pada kegiatan untuk memenuhi kepentingan pribadi, bukan kepentingan masyarakat bersama.
Kepelakuan
Agency
Berkaitan dengan peran dari pelaku.
Ketergantungan jejak
Technological path
Suatu ketergantungan di mana
teknologis
dependence
putusan teknis atau pilihan teknologi sebelumnya mendikte putusan teknis atau pun pilihan teknologi berikutnya.
Matra
Dimensi
Ukuran seperti panjang, waktu, atau pun jumlah uang yang dibelanjakan.
Menubuh
Embody
Mewujud atau memberi bentuk fisik.
Nalar
Rationality
Pemikiran atau status pikiran yang sesuai atau mengikuti prinsip-prinsip yang dianggap universal.
Pelaku
Agent
Seseorang yang bisa memutuskan sendiri untuk bertindak menyebabkan terjadinya sesuatu.
Pemangkasan
Deskilling
Proses kerja yang membagi-bagi
keterampilan
pekerjaan menjadi tugas-tugas sederhana sehingga tidak membutuhkan keterampilan yang setinggi sebelumnya.
222
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Pembingkaian
Enframing
Dalam penciptaan teknologi terjadi pembingkaian di mana segala sesuatu, mulai dari bahan baku sampai manusia, ditata dan diolah.
Penalaran
Rationalization
Proses berpikir yang menggunakan nalar.
Penalaran demokratis
Democratic
Proses penalaran yang tidak semata-
rationalization
mata menggunakan prinsip nalar yang universal, tetapi juga mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak.
Perekayasa
Engineer
Orang yang menggeluti bidang pengembangan teknologi.
Rekayasa
Engineering
Bidang yang mempelajari pembuatan artefak teknologi.
Teknologi yang
Disruptive technology
menggusur
Teknologi baru yang bukan kelanjutan tetapi mampu menggusur teknologi sebelumnya. Misalnya kamera digital adalah teknologi yang menggusur kamera berbasis film seluloid.
Teknokrasi
Technocracy
Pandangan dan praktik yang menganggap urusan teknis harus diserahkan pada pakar, bukan pada masyarakat luas yang awam dengan urusan tersebut.
Teori Kritis
Critical Theory
Mazhab pemikiran yang bersifat reflektif dan kritis terhadap masyarakat dengan melakukan analisis filosofis, ilmu-ilmu sosial maupun kajian budaya.
Teori perluasan
Extension theory
Teori yang menganggap teknologi sebagai perluasan dari diri manusia.
223
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.
Ternalar
Rational
Kata sifat yang diturunkan dari kata benda 'nalar' (rationality).
Utopian
Utopian
Masa depan yang sempurna.
224
menggugat nalar..., Ikbal Maulana, FIB UI, 2015.