UNIVERSITAS INDONESIA
MANUSIA DALAM KONFLIK SOSIAL: SUATU TELAAH FILOSOFIS
DISERTASI
MASYKUR NPM 1006784033
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT DEPOK JUNI 2015
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
MANUSIA DALAM KONFLIK SOSIAL: SUATU TELAAH FILOSOFIS
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
MASYKUR NPM 1006784033
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT PROGRAM DOKTOR KEKHUSUSAN ILMU FILSAFAT DEPOK JUNI 2015
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
UNIVERSITAS INDONESIA
MANUSIA DALAM KONFLIK SOSIAL: SUATU TELAAH FILOSOFIS
DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor dalam bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Ilmu Filsafat Dipertahankan di hadapan Sidang Akademik Universitas Indonesia di bawah Pimpinan Rektor Universitas Indonesia Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met pada hari Selasa, 23 Juni 2015, pukul 10.00 WIB di Kampus Universitas Indonesia
MASYKUR NPM 1006784033
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU FILSAFAT PROGRAM DOKTOR KEKHUSUSAN ILMU FILSAFAT DEPOK JUNI 2015
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puja dan puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Penulisan ringkasan disertasi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Filsafat Departemen Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan disertasi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan disertasi ini. Oleh karena itu, saya memberikan penghargaan setinggi-tinggi dan mengucapkan terima kasih kepada: Yang terhormat seseorang yang terlibat konflik sosial di dalam tragedi Poso, Ambon, dan Cikeusik, yang telah menjadi inspirator untuk menjelaskan dan memahami secara filosofis manusia dalam konflik sosial dan sekaligus mengolah konflik sebagai penyelesaikan konflik yang dialami oleh mereka; Yang terhormat Dr. V. Irmayanti Meliono selaku Promotor, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing, mendiskusikan dan mengarahkan substansi dan teknik penyusunan disertasi ini, mulai dari judul hingga kontribusi kekinian. Selain itu, beliau selalu melogiskan secara metodologi filosofis jika ada pemikiran tidak logis, mengingatkan jika lama tidak melakukan konsultasi, dan selalu memberi motivasi; Yang terhormat Prof. Dr. Soerjanto Poespowardojo selaku Kopromotor, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing, mendiskusikan, dan mengarahkan penulisan disertasi yang koheren dan metodologis berdasarkan sistematika filsafat; Yang terhormat Prof. Riris K. Toha-Sarumpaet, Ph.D. selaku Penguji dan Ketua Departemen Filsafat, yang telah meyakinkan untuk memiliki disertasi filsafat ini sebagai karya pemikiran sendiri dengan meyakinkan kepada orang lain melalui v Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan tepat; Yang terhormat Dr. Mikael Dua selaku Penguji, yang telah menguatkan metodologi filsafat pada setiap penjelasan dan pemahaman pemikiran filsuf yang diajak dialog di dalam disertasi; Yang terhormat Dr. Budiarto Danujaya selaku Penguji, yang telah memberi diskursus filsafat sosial politik pada pemahaman multikulturalisme dan selalu mengingatkan agar mencari critical aspect ketika mengungkapkan pemikiran; Yang terhormat Dr. Donny Gahral Adian selaku Penguji, yang senantiasa mempertanyakan kefilsafatan pada sebuah pemikiran sosial politik, terutama menuntut sisi filosofis pada pemikiran multikulturalisme Bhikhu Parekh; Yang terhormat Dr. Naupal selaku Penguji dan Sekretaris Departemen Filsafat Filsafat, yang senantiasa memberi masukan konstruktrif atas pemikiran Bhikhu Parekh, terutama pada penyelesaian konflik yang redistributif; Yang terhormat Dr. Adrianus L.G. Waworuntu selaku Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, yang telah memfasilitasi segala kebutuhan belajar dan mengajar untuk menjalani proses perkuliahan Program Doktor dengan penuh edukatif, ramah sesama mahasiswa, penjaja bisnis makanan, dan lingkungan; Yang terhormat Dr. Embun Kenyowati Ekosiwi selaku Pembimbing Akademik, yang telah sabar membimbing dan memahami apa yang terbaik dan tepat selama menjadi seorang mahasiswa Program Doktor; Yang terhormat Dr. Akhyar Yusuf Lubis, yang telah mendiskusikan dengan penuh semangat dan akrab ragam multikulturalisme di dunia filsafat, dari multikulturalisme konservatif hingga multikulturalisme radikal; Yang terhormat Vincent Yohanes Jolasa, Ph.D selaku Pengajar metodologi penelitian filsafat, yang telah menjejakkan metodologi penelitian filsafat dan meyakinkan untuk terus-menerus menulis karya filsafat; Yang terhormat Prof. Dr. Mohammad Ishom Yusai selaku Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI; Dr. Imam Syafi’i selalu Kasudit Ketenagaan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama RI; Prof. Dr. Fauzul Iman selaku Rektor IAIN “SMH” Banten; Prof. Dr. Udi Mufrodi selaku Dekan IAIN “SMH” Banten; Prof. Dr. H.E. Syibli Syarjaya; dan seluruh vi Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
sahabat IAIN “SMH” Banten, yang telah berkontribusi untuk memberi kesempatan menulis disertasi dan sekaligus memperoleh Beasiswa Studi Kementerian Agama RI; Yang terhormat sahabat yang telah banyak menemani dan membantu dalam menyelesaikan disertasi ini, yaitu Ibu Munawaroh, Syarif Abu Bakar, Zulham, Ari Harsono, Asep Furqonuddin, Dr. Andi Rosa, Dr. Mohammad Shoheh, Mba Nurunnisa’ di Wahid Institute, dan sahabat lainnya;
Yang terhormat Mimi Hj. Mahmudah; Ibu Nyai Hj. Muryati; Abah H. Abdul Wahid yang telah menjejakkan pendidikan taman anak-anak; Bapak KH. Mukhdzir yang telah menjejakkan pesantren Cipari; kandidat Dr. KH. Marzuki Wahid yang mengajari berpikir kritis; Nyai Hj. Lia Aliyah Himmah yang telah menjejakkan pesantren puteri al-Qur’an; kandidat Dr. Mahrus El-Mawa yang mengajari berperilaku kultural; kandidat Dr. Ala’i Najib; Muhammad Musni Wahid; Nany Zubaidah; kandidat Dr. Maryam El-Wahdah; kandidat Dr. Iwan Zainul Fuad; Zaenab Mahmudah; Sigit Santoso, H. Hasbullah Sidiq, Kiai Khairul Mawahib, dan keluarga besar Cipari, yang telah berkontribusi untuk dukungan material dan moral, terutama pandangan masa depan untuk pengembangan peradaban masyarakat di Losari dan Cipari. Tak terlupakan, isteri tersayang Roikhatul Jannah dan puteri tercinta Jossie Elaine Wahid, yang merupakan bagian semangat hidup dari penulisan disertasi ini.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah berpartisipasi. Semoga disertasi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu-ilmu kemanusiaan, terutama ilmu filsafat. Wallahul muwafiq ila aqwamith thariq. Depok, 23 Juni 2015 Penulis
vii Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
ABSTRAK
Nama : Masykur Program Studi : Ilmu Filsafat Judul : Manusia dalam Konflik Sosial: Suatu Telaah Filsofis Disertasi ini adalah kajian filosofis tentang manusia dalam konflik sosial di masyarakat multikultur. Dilatarbelakangi realitas konflik sosial dan konstruksi negara yang menjamin keragaman agama dan etnik, studi ini membahas relasi antarindividu yang memproduksi konflik sosial nuansa agama dan etnik. Mengacu kepada teori multikulturalisme Bhikhu Parekh, melalui metode studi pustaka, fenomenologi kehidupan religius, dan refleksi kritis, disimpulkan bahwa konflik sosial (a) dimunculkan oleh seorang individu di dalam perilaku sosialnya yang menginterpretasikan perbedaan pandangan moral dan budaya; dan (b) terjadi di dalam negara yang melakukan politik keseragaman. Penyelesaiannya, konflik sosial harus dikelola oleh seorang individu melalui dialog budaya dengan tindakan dialog antarbudaya dan rekognisi sosial. Dengan dialog budaya itu, dapat ditemukan kembali manusia yang harmonis di dalam kehidupan sosial. Kata kunci: Manusia, konflik, multikulturalisme, masyarakat multikultur, keragaman, rekognisi sosial, dialog antarbudaya, harmoni.
ABSTRACT Name : Masykur Study Program : Philosophy Title : Human Being in Social Conflict: Philosophical Studies This dissertation is a philosophical study about human being in social conflict among multicultural society. Based on the background of social conflicts phenomenon and state construction that guarantees religious and ethnic diversity, it discusses the relationships between individuals who produce social conflict of ethnic and religious nuance. Referring to the theory of multiculturalism from Bhikhu Parekh, literature study method, phenomenology of religious life method, and critical reflection method, it is concluded that the social conflicts (a) emerged from an individual behavior that interprets moral and cultural in different view; and (b) happened in countries those provide political uniformity. These social conflicts should be cultivated by an individual through cultural dialogues and the actions of intercultural dialogue and social recognition. The dialogue is expected to rediscover harmony in social life. Keywords: Human being, conflict, multiculturalism, multicultural society, diversity, social recognition, intercultural dialogue, harmony. ix Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………
i
Surat Pernyataan Bebas Plagiarisme ……………………………………….
ii
Halaman Pernyataan Orisinalitas …………………………………………..
iii
Halaman Pengesahan ………………………………………………………
iv
Kata Pengantar/Ucapan Terima Kasih ……………………………………..
v
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi ………………………………..
viii
Abstrak ……………………………………………………………………...
ix
Daftar Isi …………………………………………………………………….
x
Daftar Bagan dan Gambar …………………………………………………..
xiii
BAB I PENDAHULUAN …...………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang Masalah ……..…………………………………………..
1
1.2 Permasalahan dan Rumusan Masalah …………...……………………….
5
1.3 Pernyataan Tesis …………………………………………………………
6
1.4 Pertanyaan Penelitian ………………………….…………...…………….
7
1.5 Tujuan dan Kegunaan Penelitian ……………………………..………….
7
1.6 Kerangka Teori dan Konsep ………………………………..…………….
8
1.7 Kajian Pustaka …...……………………….………………………………
21
1.8 Metode Penelitian ……………….…………………………………….….
28
1.9 Sistematika Penelitian …….………………………………………………
38
BAB II PERBEDAAN PANDANGAN MORAL DAN BUDAYA …..…..
40
2.1 Pengantar …………………………………………………………………
40
2.2 Bentuk-bentuk Pandangan Moral dan Budaya …………………………..
40
2.2.1 Pandangan Monisme Moral terhadap Moral dan Budaya …..…….
44
2.2.2 Pandangan Pluralisme terhadap Moral dan Budaya ………………
50
2.2.3 Pandangan Liberalisme terhadap Moral dan Budaya ….……….....
57
2.2.4 Pandangan Universalisme Pluralis terhadap Moral dan Budaya .…
66
x Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
2.3 Respons terhadap Bentuk-bentuk Pandangan Moral dan Budaya ……….
64
2.4 Ikhtisar ……………………………………………………………………
70
BAB III KONSTRUKSI SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTUR ..
72
3.1 Pengantar …………………………………………………………………
72
3.2 Unsur-unsur Pembentuk Masyarakat Multikultur ..………....…………..
72
3.2.1 Keragaman Moral dan Budaya ………………………..……………
77
3.2.2 Identitas Sosial ……………………………....……………………..
80
3.2.3 Keadilan dan Kesetaraan dalam Perbedaan ......……………………
83
3.2.4 Agama dan Etnik dalam Kehidupan Publik ..………………………
87
3.3 Keterbatasan Masyarakat Multikultur ...………………………………….
88
3.4 Ikhtisar ……………………………………………………………………
89
BAB IV KONFLIK SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTUR ……..
91
4.1 Pengantar …………………………………….…….……………………..
91
4.2 Memahami Konflik Sosial dalam Masyarakat Multikultur ..…………….
91
4.3 Corak Konflik dalam Masyarakat Multikultur ……….………………….. 107 4.3.1 Konflik Nuansa Agama ……………………………….…………....
107
4.3.2 Konflik Nuansa Etnik ……………………………………………… 114 4.4 Kritik atas Manusia sebagai Makhluk Berkonflik ….………………..…..
115
4.5 Ikhtisar ………………………..……………………..…………………… 120 BAB V DIALOG BUDAYA MASYARAKAT MULTIKULTUR ………
122
5.1 Pengantar …………………………………………………..……………..
122
5.2 Mengolah Konflik Sosial Masyarakat Multikultur …………..…………..
122
5.2.1 Dialog Antarbudaya sebagai Pendamai Konflik .……………........... 125 5.2.2 Rekognisi Sosial sebagai Peredam Konflik …..…..………………..
131
5.3 Menemukan Kembali Manusia yang Harmonis ……….………………… 137 5.4 Ikhtisar …………………………………………………………………… 155 BAB VI PENUTUP …………………………………...…………………….
157
6.1 Kesimpulan ………………………………………………………………
157
6.2 Catatan Kritis ………………………………………………..…………...
157
6.3 Kontribusi dalam Kehidupan Kekiniaan ………………………...………
158
xi Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
GLOSARIUM ……………………………………………………………….
159
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….
160
LAMPIRAN …………………………………………………………….......
168
RIWAYAT HIDUP PENULIS ……..……………………………………….
175
xii Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR
A. Bagan Bagan 1. Rumusan Masalah .………………………………………………
6
Bagan 2. Multikulturalisme Parekh serta Pemikiran Taylor dan Gadamer .
15
Bagan 3. Penerapan Multikulturalisme Bhikhu Parekh ………..………….
21
Bagan 4. Posisi Filsafat Sosial dalam Studi Masyarakat ………………….. 29 Bagan 5. Fenomenologi Kehidupan Religius ………………………….…..
35
Bagan 6. Penerapan Fenomenologi Kehidupan Religius …………….……
36
Bagan 7. Triadik Kehidupan Manusia dalam Keharmonisan ……………... 38
B. Gambar (dalam Lampiran) Gambar 1. Peta Wilayah Konflik di Indonesia …..………………………..
168
Gambar 2. Peta Wilayah Konflik di Poso ….……………………….……..
169
Gambar 3. Kondisi Manusia Bersenjata di Poso ..………………………...
169
Gambar 4. Aksi Kekerasan Manusia di Poso ……………………………..
170
Gambar 5. Aksi Penghancuran Manusia di Poso …………………………
170
Gambar 6. Peta Wilayah Konflik di Ambon ………………….…………..
171
Gambar 7. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan Tulukabesi Ambon ………..
171
Gambar 8. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan A.M. Sangadji Ambon ……
172
Gambar 9. Aksi Penghancuran Manusia di Popilo Tobelo Maluku Utara ..
172
Gambar 10. Peta Wilayah Konflik di Cikeusik …………………………...
173
Gambar 11. Aksi Penyerangan Manusia di Cikeusik ………………...……
173
Gambar 12. Aksi Pembunuhan Manusia di Cikeusik …………….……….
174
Gambar 13. Aksi Penghancuran Manusia di Cikeusik …….………………
174
xiii Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Konflik antarindividu seringkali diproduksi di dalam masyarakat multikultur, meskipun gerakan sosial, politik, dan budaya senantiasa menuntut perdamaian sosial. Dalam perilaku sosial, konflik antarindividu tersebut dapat memproduksi konflik sosial. Sebaliknya, konflik sosial dapat juga memproduksi konflik antarindividu. Masyarakat Indonesia termasuk masyarakat multikultur di mana setiap individu berada pada negara yang mengakui keragaman moral dan budaya.1 Pada awal reformasi Mei 1998, konflik sosial telah terjadi beberapa kali di dalam masyarakat Indonesia, misalnya di Poso, Ambon, dan Cikeusik. Di dalam fenomena konflik sosial tersebut identitas individual memainkan peranan yang penting atas konflik yang terjadi. Pelaku konflik pada umumnya dilatarbelakangi oleh identitas individual sebagai subyek mayoritas atau subyek minoritas. Penentuan subyek mayoritas atau minoritas pada identitas individual di dalam konflik sosial memosisikan manusia sebagai individu yang tak manusiawi (inhuman). Oleh sebab itu, konflik antarindividu secara sosial tak pernah memosisikan identitas individual sesuai harkat dan martabat manusia di dalam masyarakat multikultur. Di dalam sejarah peradaban manusia, penentuan subyek mayoritas atau minoritas pada identitas individual didasarkan pada pandangan moral dan budaya yang diyakininya, terutama interpretasi terhadap agama dan etnik. Agama dan etnik merupakan subkultur yang dibentuk oleh manusia sebagai individu
1
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36A bahwa lambang negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan bhineka tunggal ika.
1 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
2
masyarakat (Tylor, 1871: 1).2 Pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda di dalam masyarakat multikultur, tak dapat dipungkiri, berkontribusi pada produksi konflik sosial. Padahal, negara yang mengakui keragaman moral dan budaya seharusnya dapat menjamin perbedaan pandangan moral dan budaya yang diyakini dan dipraktikkan oleh warganya secara damai. Namun dalam implementasinya,
kearifan
lokal,
undang-undang
dasar,
dan
perjanjian
internasional kembali dipertanyakan ketika konflik sosial direproduksi. Apakah undang-undang penanganan konflik sosial dapat diimplementasikan oleh negara untuk memastikan warganya hidup secara damai di dalam keragaman moral dan budaya?3 Pertanyaan ini merefleksikan mengapa fenomena konflik sosial di Poso, Ambon, dan Cikeusik diproduksi di dalam masyarakat multikultur. Kita dapat memahami fenomena konflik sosial yang terjadi di tiga wilayah tersebut. Fenomena konflik sosial di Poso yang diproduksi oleh konflik antarindividu dilakukan oleh tiga pemuda Kristiani yang memukul seorang pemuda Muslim di dalam tempat ibadah umat Islam di kampung Sayo. Dengan adanya identitas agama yang dianut oleh individu-individu yang berkonflik dan tempat terjadi konflik, konflik dijustifikasi sebagai konflik sosial bernuansa agama. Fenomena yang kontradiktif di mana konflik sosial diproduksi oleh individu-individu yang beragama di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Di dalam realitas kehidupan sosial, konflik di Poso telah memproduksi tindakan kekerasan, penyerangan, perusakan dan pembakaran material, bahkan pembunuhan antarindividu yang bersaudara (Buchanan, 2011: 52-54). Konflik telah menghancurkan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, sehingga akar moral dan budaya antarkomunitas tercerabut dari relung kehidupan sosial. Begitu dahsyatnya pembunuhan antarindividu di Poso dapat diilustrasikan dalam gambar (lihat lampiran kondisi tragis manusia sosial di Poso).
2
“Culture or civilization, taken in its wide ethnographic sense, is that complex whole the which includes knowledge, belief, arts, morals, law, custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. 3 Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial; dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
3
Tak berbeda dengan di Poso, di Ambon fenomena konflik sosial juga diproduksi oleh konflik antarindividu yang dilakukan oleh seorang pemuda Kristen pribumi dari Mardika dengan seorang pemuda Muslim nonpribumi dari Batumerah. Dengan adanya identitas agama dan etnik yang dianut oleh individuindividu yang berkonflik, konflik sosial di Ambon dijustifikasi tak hanya bernuansa agama, melainkan juga bernuansa etnik karena adanya identitas pribumi Ambon dan nonpribumi Ambon yang tertanam dari Sulawesi Selatan, seperti Bugis, Buton, dan Makassar (Buchanan, 2011: 15). Konfrontasi antaretnik kontradiktif dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang mengakui keragaman moral dan budaya. Konflik di Ambon tak kurang dahsyatnya dengan konflik di Poso, yang telah memproduksi tindakan kekerasan, pemaksaan, pengusiran, penjarahan, perusakan, dan pembakaran material, bahkan pembunuhan antarindividu. Tindakan kekerasan menyebar tidak hanya di Ambon, melainkan juga di Popilo, Tobelo, Maluku Utara. Tindakan kekerasan dan penghancuran kehidupan manusia dan alam sekitarnya di Ambon dapat diilustrasikan dalam gambar (lihat lampiran kondisi tragis manusia sosial di Ambon). Bahkan di Cikeusik, fenomena konflik sosial juga diproduksi oleh konflik antarindividu yang dilakukan oleh Ismail Suparman dan Atep Suratep sebagai anggota jamaah Ahmadiyah dan individu-individu yang berkelompok sekitar 2.000 orang yang menyerbu jamaah Ahmadiyah. Dengan adanya kesamaan identitas agama yang dianut oleh individu-individu yang berkonflik, konflik di Cikeusik dijustifikasi sebagai konflik sosial bernuansa internal agama. Dalam konflik di Cikeusik, tiga orang Ahmadiyah dibunuh oleh orang-orang yang menyerbunya. Selain pembunuhan manusia, konflik sosial bernuansa internal agama juga memproduksi tindakan kekerasan, perusakan, penyerangan, dan pemaksaan (KontraS, 2012: 11-12). Dengan adanya konflik di Cikeusik, keputusan Majelis Ulama Indonesia yang mewajibkan negara untuk melarang ajaran Ahmadiyah kontradiktif dengan Undang-Undang Dasar Negara yang menjamin kebebasan warganya beribadah sesuai dengan keyakinannya masingUniversitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
4
masing.4 Efek dahsyat dari keputusan pelarangan ajaran Ahmadiyah, tindakan kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah itu ternyata tak hanya diproduksi di Cikeusik, tetapi juga hampir di seluruh Indonesia, seperti Jawa, Makassar, dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 2007 tercatat ada 15 kasus, pada tahun 2008 terdapat 238 kasus, dan pada tahun 2009 ada 33 kasus konflik sosial yang serupa. Di Jawa, misalnya, tindakan kekerasan diproduksi di daerah Kuningan, Bogor, Tasikmalaya, dan Garut (Purwanto, 2011: 25). Tindakan kekerasan dan pembunuhan di Cikeusik diproduksi oleh manusia dalam konflik sosial bernuansa internal agama yang lebih dahsyat lagi daripada di Poso dan Ambon, sebagaimana diilustrasikan di dalam gambar (lihat lampiran kondisi tragis manusia sosial di Cikeusik). Fenomena konflik antarindividu di atas menjelaskan kontradiksikontradiksi antara realitas diferensial (perbedaan pandangan moral dan budaya), dan idealitas konstitusional (undang-undang dasar negara yang diakui). Kontradiksi antarpandangan moral dan budaya yang berbeda-beda memproduksi adanya gesekan antara nilai-nilai nasional dan nilai-nilai lokal, nilai-nilai publik dan nilai-nilai personal, serta mengkonstruksi adanya benturan antara komunitas mayoritas dan minoritas. Padahal perbedaan pandangan moral dan budaya yang diyakini seharusnya dapat diolah oleh negara yang memiliki undang-undang dasar yang mengakui keragaman moral dan budaya sebagai dinamika perubahan sosial, politik, dan budaya. Pengolahan dan perdamaian konflik sosial bernuansa agama dan etnik sebenarnya telah diatur oleh negara di dalam peraturan yang spesifik dan strategis. Sementara itu, agama dan etnik bagi manusia secara sosial sebenarnya merupakan juru selamat dari kekerasan dan kehancuran, serta pengikat yang damai dari konflik. Namun, walaupun dialog antarpandangan moral dan budaya yang berbeda-beda di dalam negara ini semakin ditingkatkan, konflik
4
Lihat Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah bahwa “Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran faham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya”; dan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 bahwa “negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
5
sosial bernuansa agama dan etnik semakin meluas. Oleh karenanya, konflik sosial menjadi perhatian dan kepedulian kita bersama. Di dalam penelitian ini, konflik merupakan sebuah konsep sentral di dalam filsafat sosial politik, seperti kasus pemberontakan atau oposisi seorang individu kepada negara, revolusi atau oposisi seorang individu yang kharismatik terhadap negara sehingga perubahan sosial terjadi drastis, yakni perubahan di dalam masyarakat, bukan hanya pada tingkat individual atau antarpersonal, dan terjadi kemudian, reformasi di mana perubahan sosial terjadi meskipun tidak drastis (Iannone, 2001: 445).5 Dengan berpijak pada ontologi konflik sosial di Poso, Ambon, dan Cikeusik tersebut yang terjadi pada awal reformasi atau implikasi reformasi, peneliti melakukan reduksi fenomenologis atas konflik sosial tersebut menjadi konflik antarindividu. Subyek penelitian adalah relasi antarindividu yang mengalami konflik di dalam masyarakat multikultur. Oleh karena itu, dalam pendekatan filsafat sosial, penelitian ini mengambil tema fenomena konflik antarindividu di dalam masyarakat multikultur. Multikulturalisme sebagai kerangka teori menjadi perhatian filsafat kontemporer sekaligus penelitian ini diharapkan mampu meredam dan menyelesaikan konflik. Dari tema tersebut, judul penelitian ini adalah “manusia dalam konflik sosial: suatu telaah filosofis”.
1.2. Permasalahan dan Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, permasalahan penelitian ini adalah konflik antarindividu yang disebabkan oleh perbedaan pandangan moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur. Dalam perilaku sosial, konflik antarindividu tersebut memproduksi konflik sosial yang bernuansa agama dan etnik di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya.
5
“A central concept in sociopolitical philosophy is that of conflict, e.g. as in rebellion or the opposition of an individual to the State; as in revolution, or the opposition of enough influential individuals to the State so that drastic social change, i.e. change at the societal and not just the individual or interpersoanal levels, ensues; and as in the wide range of instances of reform, where social change, though not drastic, occurs”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
6
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan menginterpretasikan pandangan moral dan budaya di dalam kehidupan sosial. Akan tetapi dalam kenyataannya, perbedaan pandangan moral dan budaya menyebabkan konflik antarindividu karena masing-masing individu saling mempertahankan pandangan yang diyakini. Padahal, manusia yang memiliki agama dan etnik seharusnya secara damai saling meneguhkan moral dan budaya yang diyakini masing-masing. Negara yang mengakui keragaman moral dan budaya seharusnya mengolah, bukan sekadar mengelola, perbedaan pandangan moral dan budaya dengan dialog antarbudaya. Dengan dialog antarbudaya, pandangan moral dan budaya seharusnya menjadi perekat relasi sosial antarindividu yang memiliki agama dan etnik yang berbeda-beda. Oleh karena itu, fenomena konflik antarindividu di dalam masyarakat multikultur menandai adanya misrekognisi dalam praktik dialog selama ini. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan menjadi dua masalah. Pertama, konflik dimunculkan oleh individu di dalam masyarakat multikultur. Kedua, konflik sosial nuansa agama dan etnik diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Rumusan masalah itu dibagankan sebagai berikut:
Konflik dimunculkan oleh individu di dalam masyarakat multikultural multikultur
Fenomena konflik sosial di negara yang mengakui keragaman diversitas moral moraldan danbudaya budaya
Bagan 1. Rumusan Masalah
1.3. Pernyataan Tesis Sebagai homo socius di dalam masyarakat multikultur, seorang manusia seharusnya berpartisipasi mengolah perbedaan pandangan moral dan budaya yang memiliki kemungkinan konflik sosial melalui dialog antarbudaya dan rekognisi sosial sebagai penyelesaian konflik. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
7
1.4. Pertanyaan Penelitian Atas dasar permasalahan tersebut, muncul pertanyaan penelitian sebagai berikut: a) Apakah benar dalam perilaku sosial seorang manusia memunculkan konflik di dalam masyarakat multikultur? b) Mengapa fenomena konflik sosial nuansa agama dan etnik diproduksi di dalam suatu negara yang mengakui keragaman budaya dan moral?
1.5. Tujuan dan Kegunaan Penelitian A. Tujuan Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, ada dua tujuan penelitian, yakni: a) Menjelaskan secara filosofis bahwa dalam perilaku sosial seorang manusia yang menginterpretasikan pandangan moral dan budaya seyogyanya dapat menyelesaikan konflik di dalam masyarakat multikultur. b) Menjelaskan bahwa fenomena konflik sosial nuansa agama dan etnik yang diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman budaya dan moral dapat diolah melalui rekognisi sosial dan dialog antarbudaya.
B. Kegunaan Ada empat kegunaan penelitian ini, yakni: a) Penelitian ini dapat digunakan sebagai literatur filsafat sosial yang merefleksikan relasi manusia di dalam fenomena konflik sosial. b) Penelitian
ini
dapat
dimanfaatkan
sebagai
diskursus
filsafat
untuk
mendialogkan dan memberi pemecahan masalah konflik sosial di dalam masyarakat multikultur. c) Penelitian ini bisa dimanfaatkan sebagai pijakan filosofis untuk memahami dan mengimplementasikan Konstitusi yang dijabarkan dalam Undang-Undang Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
8
Penanganan Konflik Sosial sebagai regulasi negara untuk menyelesaikan konflik sosial. d) Penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran untuk pendidikan filsafat Program Doktor mengenai manusia dalam konflik sosial atas dasar teori multikulturalisme Bhikhu Parekh.
1.6. Kerangka Teori dan Konsep Ada empat hal yang akan dijelaskan di dalam pembahasan kerangka teori dan konsep, yaitu multikulturalisme Parekh, riwayat hidup Parekh, konsep manusia dan konflik, dan rancangan penerapan teori.
A. Multikulturalisme Bhikhu Parekh Kerangka teori yang digunakan di dalam penelitian ini adalah multikulturalisme menurut Bhikhu Parekh. Di dalam multikulturalisme Parekh terkandung pemikiran Charles Taylor mengenai rekognisi dan pemikiran GeorgeHans Gadamer mengenai dialog. Oleh karena itu, kedua pemikiran filsuf tersebut digunakan untuk mendukung analisis kritis dalam penelitian ini. Alasan memilih multikulturalisme Parekh sebagai kerangka teori dalam penelitian ini sebagai berikut. Multikulturalisme dipahami oleh Parekh dalam karyanya Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (2000) adalah “suatu perspektif mengenai kehidupan manusia, bukan doktrin politik yang berisi program atau teori filsafat mengenai manusia dan dunia” (Parekh, 2000: 336).6 Meski diakuinya bukan sebagai doktrin politik atau teori filsafat, namun Parekh menjelaskan multikulturalisme secara filosofis yang didasarkan pada beberapa pemikiran filsuf, antara lain Gadamer dan Taylor. Secara teoretis, multikulturalisme Parekh merupakan tinjauan kritis atas filsuf politik pluralisme kultural, dan laporannya mengenai budaya, nilai manusia, serta
6
“Multiculturalism…is best seen neither as a political doctrine with a programmatic content nor as a philosophical theory of man and the world, but as a perspective on human life”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
9
makna keadilan dan kesetaraan di dalam masyarakat multikultur.7 Bahkan, multikulturalisme Parekh mencapai tingkat koherensi teoretis dan kedalaman wawasan yang langka dan impresif.8 Taylor mengakui bahwa multikulturalisme Parekh ditulis oleh seorang yang tidak saja ahli teori politik, tetapi juga memiliki pengalaman mendalam terhadap masalah yang dihadapinya di dalam lebih dari satu negara. Parekh merasakan hidup berbagai situasi besar, serta berbagai masalah, ketegangan, dan konflik”.9 Dengan alasan tersebut, multikulturalisme Parekh sebagai sebuah kerangka teori sebab dapat merasionalkan, menjelaskan, dan memahami manusia dan dunianya (Popper, 2002: 37-38).10 Istilah multikulturalisme dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami istilah multikultur. Multikulturalisme bukan semata-mata mengenai perbedaan dan identitas, serta tidak seperti perbedaan yang muncul dari pilihan seorang individu, melainkan mengenai “keragamaan budaya atau perbedaan yang tertanam secara budaya” (Parekh, 2000: 2-3).11 Lebih distingtif, perbedaan kedua istilah tersebut dalam pengertian praktisnya. Multikultur (dan kata sifatnya multikultural) berarti “mengacu pada fakta keragaman budaya”, sedangkan multikulturalisme berarti “merespons secara normatif terhadap fakta keragaman budaya” (Parekh, 2000: 6).12 Dalam konteks keragaman budaya multikultur sebagai fenomena faktual, sedangkan multikulturalisme sebagai pandangan normatif.
7
“Parekh offers much that is fresh and original both in his critical review of political philosophers on cultural pluralism, and in his account of culture, human value, and the meaning of justice and equality in a multicultural society” (Irish Marion Young di dalam komentar karya Parekh, 2000). 8 “It achieves a level of theoritical coherence and a depth of insight that rare and impressive” (Joseph H. Carens di dalam komentar karya Parekh, 2000). 9 “One of the things which make the book so valuable is that it is written by a political theorist who has had hands-on experience of the problems involved, and in more than one country. Its author has a lively sense of the immense range of situations, and the variety of problems, tensions and conflicts” (Taylor di dalam komentar karya Parekh, 2000). 10 “Theories are nets cast to catch what we call ‘the world’: to rationalize, to explain, and to master it. We endeavour to make the mesh ever finer and finer”. 11 “Multiculturalism is not about difference and identity per se… Unlike differences that spring from individual choices, …(but) is about cultural diversity or culturally embedded differences”. 12 “The term multicultural refers to the fact of cultural diversity, the term 'multiculturalism' to a normative response to that fact”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
10
Multikulturalisme Parekh menjelaskan tiga perspektif mengenai kehidupan manusia yang diformulasikan secara rasional, eksplanatif, dan terperinci. Tiga perspektif Parekh saling melengkapi dan saling mempengaruhi secara kreatif. Multikulturalisme Parekh merupakan normativitas (respons normatif) terhadap keragaman budaya. Tiga perspektif dalam multikulturalisme Parekh yang dimaksud
adalah
bahwa
(a)
manusia
tertanam
secara
budaya;
(b)
ketakterhindarkan sekaligus kebutuhan terhadap keragaman budaya dan dialog antarbudaya; dan (c) setiap budaya plural secara internal (Parekh, 2000: 338). Perspektif pertama bahwa eksistensi manusia tertanam secara budaya (culturally embedded). Dengan ketertanaman secara budaya, manusia tumbuh dan berkembang di dalam dunia yang dikonstruksi oleh budaya. Manusia mengorganisasikan kehidupan dan relasi sosialnya di dalam sistem makna dan tanda, sehingga manusia memosisikan nilai besar pada identitas budayanya.13 Ketertanaman secara budaya pada eksistensi manusia tersebut merupakan sebuah konstruksi, tetapi bukan berarti bahwa manusia ditentukan oleh budaya di mana manusia harus kritis mengevaluasi keyakinan dan praktik budaya, serta memahami dan bersimpati kepada sesamanya. Di dalam ketertanaman secara budaya, manusia dapat mengatasi sebagian pengaruh budaya dan memandang dunia yang didasarkan pada budaya, baik yang diwarisi dan diterima secara tidak kritis, direvisi secara reflektif, ataupun diadopsi secara sadar dalam kasus tertentu (Parekh, 2000: 336). Perspektif kedua bahwa ketakterhindarkan sekaligus kebutuhan terhadap keragaman budaya dan dialog antarbudaya.14 Keragaman budaya ditunjukkan oleh adanya budaya yang berbeda-beda. Perbedaan budaya tersebut merepresentasikan perbedaan sistem makna dan pandangan good life (Parekh, 2000: 336; 338).15 Perbedaan budaya itu disadari sebab adanya keterbatasan kapasitas dan emosi manusia dari keseluruhan eksistensi manusia. Adanya keterbatasan itu, setiap 13
“Human beings are culturally embedded in the sense that they grow up and live within a culturally structured world, organize their lives and social relations in terms its system of meaning and significance, and place considerable value on their cultural identity”. 14 “The inescapability and desirability of cultural diversity and intercultural dialogue”. 15 “Different cultures represent different systems of meaning and visions of the good life”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
11
budaya membutuhkan budaya lain untuk memahami lebih baik budayanya, memperluas horizon intelektual dan moralnya, meregangkan imajinasinya, dan menjaga dari pemutlakan budayanya. Kebutuhan kepada budaya lain menjelaskan bahwa kehidupan bersama yang setara adalah kehidupan yang baik. Oleh karenanya, semua perbedaan budaya layak dihargai.16 Tidak ada budaya yang sempurna. Semua budaya punya hak untuk menanamkan budayanya di dalam budaya lain. Dengan begitu, budaya terbaik secara umum diubah dari dalam (Parekh, 2000: 336-337). Dengan keterbatasan budaya, dialog merupakan keuntungan timbal balik antarbudaya. Dialog menjaga interaksi antarbudaya atas adanya bias-bias, keuntungan
sendiri,
kemungkinan
mereduksi,
dan
memperluas
horizon
intelektual. Konsep dialog didasarkan pada pemikiran Gadamer bahwa: “Untuk berada di dalam percakapan (dialog), bagaimanapun, berarti berada di luar diri sendiri, berpikir dengan yang lain, dan untuk kembali ke diri sendiri seolah-olah ke yang lain.” [“To be in a conversation, however, means to be beyond oneself, to think with the other and to come back to oneself as if to another”] (Gadamer, 1989: 110). Atas dasar pemikiran ini, syarat dialog akan terpenuhi jika setiap budaya menerima budaya lain sebagai pasangan percakapan yang setara, sumber ide kritis, dan bertanggung jawab menjelaskan budayanya. Dengan percakapan seperti itu, tujuan dialog akan tercapai jika partisipan menikmati kesetaraan yang meliputi kepercayaan-diri, kekuasaan ekonomi dan politik, serta akses ruang publik (Parekh, 2000: 337-338). Perspektif ketiga bahwa seluruh budaya bersifat plural secara internal, kecuali budaya yang paling primitif. Budaya yang plural merepresentasikan percakapan lebih lanjut antara tradisi yang berbeda dan untaian pemikiran (Parekh, 2000: 337).17 Sebaliknya, budaya yang paling primitif merupakan budaya
16
“…all cultural differences deserve to be valued”. “All but the most primitive cultures are internally plural and represent a continuing conversation between their different traditions and strands of thought”. 17
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
12
yang terisolasi dari pertemuan antartradisi yang berbeda dan terkungkung pada pemikiran sendiri. Budaya yang plural itu menandai identitas yang plural dan cair, namun bukan tanpa koherensi internal dan identitas. Budaya yang plural tumbuh dan berkembang dari interaksi antara satu dengan yang lain secara sadar dan tidak sadar. Dari perkembangan budaya yang plural itu, beberapa identitas didefinisikan di dalam istilah “apa yang diambil untuk menjadi yang lain secara signifikan”. Beberapa budaya yang plural seperti itu merupakan multikultur di dalam asal usul dan konstitusi. Oleh karena itu, setiap budaya membawa sedikit yang lain dalam dirinya dan jarang sui generis, bukan tidak memiliki kekuatan untuk menentukan sendiri dan dorongan batin, melainkan menyerap dan tunduk pada pengaruh eksternal yang menginterpretasi dan mengasimilasi dengan cara otonom (Parekh, 2000: 337). Di dalam budaya yang plural, relasi sosial dibentuk oleh budayanya dan relasinya dengan yang lain. Apresiasi terhadap budaya lain berarti apresiasi terhadap budaya sendiri dan budaya yang plural. Suatu budaya merasa damai dengan perbedaan dari budaya lain apabila budaya itu merasa damai dengan perbedaan internal budayanya.18 Di dalam budaya yang plural, dialog budaya mensyaratkan adanya keterbukaan diri terhadap pengaruh dan kerelaan belajar dari yang lain. Syarat dialog budaya itu menuntut kewajiban setiap budaya untuk kritis diri, rela, dan partisipasi di dalam dialog dengan dirinya (Parekh, 2000: 337338). Di dalam masyarakat multikultur, konflik sosial di atas tidak hanya dialami oleh antarindividu, melainkan juga dialami oleh antarkomunitas. Konflik antarkomunitas terjadi ketika penghargaan otonomi komunitas budaya seringkali sebagai satu-satunya cara menjaga komunitas budaya di dalam komunitas politik yang lebih luas, seperti di Israel, atau sebagai bentuk interaksi dan pengembangan model relasi dengan masyarakat yang lebih luas, seperti di India, Nigeria, Sudan, dan di beberapa masyarakat multikultur lain dengan fenomena sejarah konflik antarkomunitas. Dalam beberapa kasus konflik antarkomunitas terjadi ketika 18
“A culture cannot be at ease with it differences from them unless it is also at ease with its own internal differences”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
13
komunitas mayoritas memaksakan pandangan good life terhadap komunitas minoritas, seperti di India, Indonesia, dan negara-negara berkembang lainnya, atau ketika komunitas minoritas hidup berbeda dan mandiri, seperti etnik Amish di Amerika Serikat, etnik Aborigin di Australia, etnik Sunda Wiwitan Baduy di Indonesia, dan komunitas etnik di India. Walaupun demikian, kita semua mengakui bahwa otonomi budaya dapat menambah keragaman budaya pada masyarakat dengan segala kelebihannya (Parekh, 2000: 205). Konflik sosial tersebut diolah melalui dialog budaya. Dalam kehidupan sosial, dialog budaya dipraktikkan dengan dialog antarbudaya. Apabila terjadi konflik antarkomunitas, yakni antara komunitas mayoritas dan komunitas minoritas, maka dialog antarbudaya dipusatkan pada dua strategi. Pertama, dialog antara nilai-nilai praktis komunitas minoritas dan publik operatif masyarakat. Kedua, dialog antara way of life komunitas minoritas dan publik masyarakat. Dialog antarbudaya tersebut tidak membutuhkan polarisasi secara umum, karena dialog dikonsepsikan dengan percakapan (Parekh, 2000: 271).19 Namun, misrekognisi terjadi di antara individu-individu yang berpartisipasi secara prinsipil di dalam kehidupan sosial, sehingga seringkali komunitas memisahkan atau mengasingkan diri karena takut akan penolakan dan cemoohan atau keluar karena rasa terasing yang mendalam. Dalam kondisi sosial seperti itu rekognisi sosial harus dilakukan sebagai pengakuan identitas dan harga diri individu, karena misrekognisi bisa benar-benar merusak identitas dan harga diri tersebut (Parekh, 2000: 343).20 Konsep rekognisi sosial didasarkan pada pemikiran Taylor bahwa: “Rekognisi secara umum dibangun di dalam identitas yang diperoleh secara sosial berdasarkan pada fakta bahwa hal itu didasarkan pada kategori sosial yang mana semua orang mengambil untuk diberikan.”
19
“The dialogue is therefore, bifocal, centring both on the minority practice and the society’s operative public values, both on the minority’s and the wider society’s way of life”. 20 “Social recognition is central to the individual’s identity and self-worth, and mis recognition can gravely damage both”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
14
[General recognition was built into the socially derived identity by virtue of the very fact that it was based on social categories that everyone took for granted] (Taylor, 1994: 34). Sebaliknya, misrekognisi atau nonrekognisi dapat menimbulkan kerugian, menjadi bentuk penindasan, memenjarakan seseorang dalam kepalsuan, terdistorsi, dan menjadi mode reduksi.21 Identitas yang diperoleh secara sosial berarti sifat identitas yang tergantung pada masyarakat. Dalam ketergantungan pada masyarakat, identitas individu sebagian dibentuk oleh rekognisi atau absensitas (Taylor, 1994: 25; 34). Oleh karena itu, rekognisi tersebut disebut dengan “rekognisi sosial”. Di dalam konflik sosial, misrekognisi yang ditimbulkan memiliki dasar budaya dan material. Untuk menyelesaikan konflik, misrekognisi hanya dapat diatasi dengan kritik tajam terhadap budaya yang dominan dan secara radikal merestrukturisasi ketidaksetaraan kekuasaan ekonomi dan politik yang berlaku (Parekh, 2000: 343). Pengolahan konflik sosial melalui dialog antarbudaya dan rekognisi sosial di atas menunjukkan bahwa multikulturalisme Parekh merupakan perspektif filosofis yang dipengaruhi oleh pemikiran Taylor dan Gadamer. Dalam perilaku sosial, multikulturalisme direalisasikan oleh seorang manusia untuk mengolah perbedaan pandangan moral dan budaya, keragaman moral dan budaya, fenomena budaya yang plural secara internal, budaya yang dominan, serta kekuasaan ekonomi dan politik yang hegemonik. Dengan demikian, penjelasan kerangka teori multikulturalisme Parekh yang dipengaruhi oleh pemikiran Gadamer dan Taylor di atas dibagankan berikut ini:
21
“Nonrecognition or misrecognition can inflict harm, can be a form of oppression, imprisoning someone in a false, distorted, and reduced mode of being”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
15
Multikulturalisme Bhikhu Parekh
Manusia tertanam secara budaya
Keragaman budaya
Dialog (antarbudaya) Gadamer
Setiap budaya plural secara internal
Rekognisi (sosial) Taylor
Bagan 2. Multikulturalisme Parekh serta Pemikiran Taylor dan Gadamer
B. Riwayat Hidup Bhikhu Parekh Lord Bhikhu Chotalal Parekh adalah seorang profesor filsafat politik dan ahli teori sosial di mana pemikirannya dipengaruhi oleh Gadamer, Taylor, Jeremy Bentham, Karl Marx, Mahatma Gandhi, dan Hannah Arendt. Bhikhu Parekh dilahirkan pada tahun 1935 di Amalsad, Gujarat, India. Ayahnya adalah seorang tukang emas dengan pendidikan dasar. Parekh menimba ilmu di University of Bombay pada usia 15 tahun, dan memperoleh gelar Sarjana pada tahun 1954 sekaligus gelar Master pada tahun 1956. Selanjutnya, beliau mulai belajar di London School of Economics pada tahun 1959, dan menerima gelar Ph.D pada tahun 1966. Perhatian dan kepedulian akademik utamanya meliputi filsafat politik, sejarah pemikiran politik, teori sosial, pemikiran politik India kuno dan modern, dan filsafat hubungan etnik. Dalam pengabdiannya, beliau mengajar di London School of Economics dan University of Glasgow sebelum menemukan posisi jangka panjang di University of Hull. Parekh juga adalah seorang profesor visiting di beberapa
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
16
universitas, antara lain: British Columbia, Concordia, McGill, Harvard, Pompeu Fabra (Barcelona), Pennsylvania dan Institute of Advanced Studies di Wina. Aktivitas yang telah dijalani oleh Parekh, antara lain pernah diangkat life peer pada tahun 2000 sebagai Baron Parekh, Kingston upon Hull di East Riding of Yorkshire. Pada tahun 1981-1984, beliau adalah Wakil Rektor di Maharaja Sayajirao University of Baroda, India. Beliau juga pernah memegang jabatan profesor centennial di Center for the Study of Global Governance di London School of Economics, profesor filsafat politik di University of Westminster, dan profesor emeritus teori politik di University of Hull. Parekh adalah rekan dari Royal Society of Arts. Beliau adalah Ketua Runnymede Commission on the Future of Multi-Ethnic Britain (1998-2000) di dalam laporannya, The Future of MultiEthnic Britain, yang diterbitkan pada tahun 2000. Beliau adalah Wakil Ketua Gandhi Foundation, wali dari Anne Frank Educational Trust, dan anggota National Commission on Equal Opportunity. Pada tahun 2002, beliau menjabat sebagai presiden pada Academy of the Learned Societies for Social Sciences. Karya-karya beliau dalam bentuk buku yang telah diterbitkan, antara lain sebagai berikut: Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory (2000); Colonialism, Tradition and Reform: An Analysis of Gandhi's Political Discourse (1989); Gandhi's Political Philosophy (1989); Contemporary Political Thinkers (1982); Karl Marx's Theory of Ideology (1982); Hannah Arendt and the Search for a New Political Philosophy (1981); Bentham's Political Thought (1973); Gandhi's Political Philosophy (1991); The Future of MultiEthnic Britain: Report of the Commission on the Future of Multi-Ethnic Britain (2000); Gandhi: A Very Short Introduction (2001); Europe and the Muslim Question: Does Intercultural Dialogue Make Sense? (2007); dan A New Politics of Identity: Political Principles for an Interdependent World (2008). Beliau menulis juga beberapa “The Rushdie Affair and the British Press: Some Salutary Lessons” bagi Commission for Racial Equality (1990). Selain itu, editor Colour, Culture and Consciousness: Immigrant Intellectuals in Britain (1974).
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
17
Dengan pengabdian, aktivitas dan karyanya, Parekh telah menerima banyak penghargaan sepanjang karirnya, antara lain: Sir Isaiah Berlin Prize untuk kontribusi seumur hidup pada filsafat politik dari Political Studies Association (2002); Distinguished Global Thinker Award dari India International Centre Delhi (2006); Inderdependence Prize dari kampanye untuk Demokrasi (New York, 2006); dan kehormatan Padma Bhushan di daftar India Republic Day Honours (2007).
C. Konsep Manusia dan Konflik Ada dua kerangka konsep yang penting dipahami di dalam penelitian ini, yaitu manusia dan konflik. Konsep manusia dan konflik memiliki kondisi yang sama, yakni sama-sama condition sine qua non (kondisi yang harus dipenuhi, tanpa itu berarti tiada) pada individu manusia. Konsep manusia (human being) secara substantif adalah “makhluk yang tertanam secara budaya”. Konsepsi manusia tersebut dipahami dari relasi sosial di dalam masyarakat multikultur, yakni relasi antara seorang manusia, individu anggota komunitas, dan keragaman budaya. Secara internal, budaya bersifat plural. Tindakan manusia berada di dalam kondisi yang plural. Dalam kehidupan sosial politik, fenomena yang plural merupakan kondisi yang khusus, tidak hanya conditio sine qua non, akan tetapi conditio per quam (kondisi inheren), dari semua kehidupan sosial politik (Arendt, 1998: 7).22 Dalam kondisi khusus itu, relasi sosial merupakan interaksi timbal balik yang saling membentuk. Keragaman budaya dibentuk oleh individu anggota komunitas, dan sebaliknya individu anggota komunitas juga dibentuk oleh keragaman budaya. Proses pembentukan di dalam relasi sosial bukan berarti budaya menentukan seorang manusia, melainkan
22
“While all aspects of the human condition are somehow related to politics, this plurality is specifically the condition - not only the conditio sine qua non, but the conditio per quam - of all political life”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
18
seorang manusia sendiri yang menentukan budayanya masing-masing (Parekh, 2008: 220).23 Konsepsi manusia itu, selain itu, dipahami dari pemikiran filsafat tradisional di dalam empat argumentasi. Pertama, manusia yang tertanam secara budaya tidak menghilangkan semua yang mencirikan manusia sebagai spesies.24 Ketertanaman secara budaya membentuk eksistensi manusia secara eksternal atau antarpersonal, bukan bagian internal manusia, dan merupakan kondisi manusia atau prediksi, bukan bagian fitrah manusia. Kedua, pemikiran filsafat tradisional tentang evolusi manusia benar-benar ahistoris. Sebaliknya, manusia yang tertanam secara budaya menjelaskan bahwa dengan kapasitas dan wataknya secara historis manusia diinstitusionalisasi dan direproduksi secara generatif, dan menjadi bagian warisan atau sifat spesies (Parekh, 2000: 118-119).25 Ketiga, manusia yang tertanam secara budaya menunjukkan karakter manusia yang dibentuk secara sosial. Pembentukan sosialnya terlihat pada masyarakat yang mengalami disintegrasi di mana bukan sifat kasar manusia sebagai penyebabnya, akan tetapi karakter manusia yang dibentuk dalam kondisi kekacauan dan ketidakpastian.26 Keempat, manusia yang tertanam secara budaya berarti bahwa manusia dilahirkan, dibesarkan, dan dibentuk di dalam komunitas budaya secara mendalam (Parekh, 2000: 119-120).27 Dalam proses sosialisasinya dengan ketertanaman secara budaya, karakter manusia dibentuk secara sosial. Dalam pembentukan sosial budaya pada manusia itu dipahami bahwa: “Kemanusiaan adalah ragam sosial budaya. Dengan kata lain, tidak ada sifat manusia dalam arti substratum yang ditetapkan secara biologis yang menentukan perubahan pada pembentukan sosial budaya. …Dengan mengamati fenomena manusia secara spesifik, kita memasuki ranah sosial. 23
“Because of their unique capacities, human beings are capable of self-dtermination, pursuing self-chosen goals, leading fulfilling lives, accepting responsibility for their actions, entering into relationships of reciprocity with each other, and forming part of a moral community. In other words, they are moral persons or agents. 24 “Human nature does not exhaust all that characterizes human beings as a species”. 25 “These historically acquired capacities and dispositions are institutionalized and reproduced during successive generations, and become part of their species heritage or nature”. 26 “When societies disintegrate, their members’ behavior does not reveal raw human nature but their socially shaped character in a climate of chaos and uncertainity”. 27 “Human beings are culturally embedded in the sense that they are born into, raised in and deeply shaped by their cultural communities”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
19
Kemanusiaan yang khas pada manusia dan fenomena sosialnya adalah saling terkait. Homo sapiens selalu, dan dalam ukuran yang sama, homo socius.” [Humanness is socio-culturally variable. In other words, there is no human nature in the sense of a biologically fixed substratum determining the variability of socio-cultural formations. … As soon as one observes phenomena that are specifically human, one enters the realm of the social. Man's specific humanity and his sociality are inextricably intertwined. Homo sapiens is always, and in the same measure, homo socius] (Berger, 1966: 66, 69). Dalam perilaku sosial, individu-individu tersebut mengalami konflik budaya ketika individu-individu menganut atau hidup dengan dua sistem makna dan arti yang berbeda, baik secara keseluruhan ataupun sebagian (Parekh, 2000: 149).28 Konflik merupakan persoalan antarindividu dalam relasi sosial. Dengan fakta bahwa kondisi sosial, politik, dan budaya yang membentuk karakter manusia berarti bukan karakter manusia yang menyebabkan konflik sosial. Oleh karena itu, tindakan manusia yang dibentuk oleh kondisi sosial dan politik adalah penyebab konflik sosial. Konsep konflik (conflict) adalah “pengganggu pikiran, sine qua non refleksi dan kecerdikan” (Dewey, 1922: 300).29 Ketiadaan condition sine qua non terhadap refleksi dan kecerdikan membentuk konflik antarindividu. Di dalam beberapa kasus, konflik meliputi semua ranah kehidupan signifikan, seperti kasus individu yang benar-benar merasa tertarik pada Islam tradisional atau Katolik, serta pandangan hidup liberal dan sekuler modern, akan tetapi tidak dapat mendamaikan atau membuat pikirannya berada di antara keduanya. Di dalam kasus lain, konflik dibatasi pada ranah kehidupan tertentu, seperti kasus individu yang berada terpisah di antara, pandangan seksualitas Hindu tradisional dan Barat modern, relasi dengan orang tuanya, atau sikap terhadap orang asing, anak-anak dan saudara kandung. Padahal, konflik terbatas tersebut merupakan bagian dari
28
“Individuals experience cultural conflict when they subscribe to or live by two different systems of meaning and significance either wholly or partially”. 29 “Conflict is the gadfly of thought. …conflict is a sine qua non of reflection and ingenuity”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
20
kehidupan di dalam hampir setiap masyarakat modern di mana individunya secara umum mengetahui bagaimana menyelesaikannya. Kasus-kasus itu menunjukkan bahwa konflik yang dalam dan komprehensif tidak mudah didamaikan dan dapat menyebabkan kekacauan moral, skizofrenia, bahkan pembunuhan diri (Parekh, 2000: 149). Oleh sebab itu, selain masalah budaya, konflik juga merupakan masalah moral--di mana moral adalah masalah hasrat dan intelegensi (Dewey, 1922: 300).30
D. Penerapan Teori Atas dasar kerangka teori dan konsep sebagaimana dijelaskan di atas, penelitian ini dibahas sebagai berikut. Pertama, penjelasan tentang perbedaan pandangan moral dan budaya yang didasarkan pada pemahaman manusia yang tertanam secara budaya terhadap realitas keragamaan moral dan budaya. Perbedaan pandangan dari beberapa pemikiran filsafat yang amat berpengaruh pada peradaban manusia, seperti monisme moral, liberalisme, pluralisme, dan universalisme pluralis. Kedua, penjelasan mengenai konstruksi sosial masyarakat multikultur yang didasarkan pada fakta keragamaan moral dan budaya. Konstruksi sosial masyarakat multikultur merupakan konteks di mana fenomena konflik sosial dapat diolah di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Konstruksi sosial masyarakat multikultur dibentuk oleh empat unsur, yaitu keragaman moral dan budaya, identitas sosial, perbedaan di mana keadilan dan kesetaraan seharusnya dipahami, dan kehidupan publik di mana agama dan etnik seharusnya dipahami. Adanya perbedaan pandangan moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur, kemungkinan konflik sosial nuansa agama dan etnik terjadi ketika negara tidak mengolah perbedaan tersebut. Selain itu, kemungkinan konflik sosial diproduksi oleh tindakan seseorang manusia dengan kekerasan bahkan peperangan. Oleh sebab itu, konflik sosial harus diolah melalui dialog budaya 30
“The problem of morals is the problem of desire and intelligence”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
21
masyarakat multikultur. Ketiga, penjelasan dialog budaya masyarakat multikultur didasarkan pada realitas konflik sosial. Dialog budaya sebagai pengolahan konflik sosial dilakukan melalui rekognisi sosial dan dialog antarbudaya. Dengan demikian, penelitian ini merupakan sebuah penerapan multikulturalisme Parekh. Penerapan teori di dalam penelitian ini dibagankan, sebagai berikut:
Multikulturalisme Bhikhu Parekh (lihat bagan 3)
Perbedaan pandangan moral dan budaya
Konstruksi sosial masyarakat multikultur
Konflik sosial masyarakat multikultur Konflik nuansa agama
Konflik nuansa etnik
Dialog budaya masyarakat multikultur Bagan 3. Penerapan Multikulturalisme Bhikhu Parekh
1.7. Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini akan diulas beberapa penelitian, antara lain penelitian yang telah dilakukan oleh Fred R. Dallmayr dan Joshua Braody Preiss, dan penelitian sebelumnya tentang multikulturalisme Parekh di dalam persoalan budaya dan moral. Selain itu, multikulturalisme yang dipahami di Indonesia untuk mengantisipasi, mencegah, dan mendamaikan kemungkinan konflik melalui kesadaran etis dan dialog. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
22
Dallmayr dalam karyanya “Multiculturalism and the Good Life: Comments on Bhikhu Parekh” dalam jurnal The Good Society (2003) menjelaskan bahwa multikulturalisme Parekh bukan tentang apa saja dan segala macam perbedaan, melainkan hanya sekitar “yang tertanam dalam dan ditopang oleh budaya,”31 yaitu dengan "tubuh dari keyakinan dan praktik di mana sekelompok orang memahami diri mereka dan dunia, serta mengatur individu dan kehidupan kolektif.” Tidak seperti selera individu atau pilihan, perbedaan budaya berasal “ukuran otoritas” yang tumbuh dari “kebersamaan dan sejarah mewarisi sistem arti dan makna”. Pemikiran tersebut mengingat struktur komunal atau kolektif masyarakat multikultur, perbedaan budaya sering memiliki implikasi politik yang biasanya tidak terkait dengan pilihan pribadi: pada dasarnya, masyarakat dalam dirinya
memiliki
potensi
mendamaikan
bentrokan
budaya
dengan
menggarisbawahi kerja keras bernegosiasi perdamaian. Multikulturalisme Parekh dipahami dari keragaman sosial yang datang di dalam berbagai bentuk dan susunan, sehingga tidak semua harus disebut “multikultur.” Oleh karena itu, perbedaan “subkultur” memikirkan praktik konvensional dalam kerangka budaya yang menyeluruh, dan sedangkan perbedaan “perspektif” merefleksikan pandangan partisan yang dihukum atau diabaikan oleh kerangka budaya. Keragaman “multikultur” berlabuh di sejumlah komunitas budaya yang berbeda, karenanya lebih "kuat dan ulet" dibandingkan jenis lainnya (Dallmayr, 2003: 40). Preiss melengkapi pemikiran Dallmayr, yaitu multikulturalisme Parekh dikonstruksi
oleh
budaya
yang
menciptakan
pilihan.
Dalam
karyanya
“Multiculturalism and Equal Human Dignity: An Essay on Bhikhu Parekh” dalam jurnal Res Publica (2011), Preiss mengungkapkan bahwa klaim Parekh sering mengandalkan penjelasan dialog moral Kantian dan kepribadian moral, namun dia tidak mau mengakui (Preiss, 2011: 141). Dasar Kantian Parekh di dalam penjelasan bahwa budaya memfasilitasi pilihan dan kendalanya. Budaya yang
31
“Multiculturalism is not about any and all kinds of differences, but only about those that are embedded in and sustained by culture”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
23
menyetabilkan dan membatasi dunia moral dan sosial, menciptakan kondisi pilihan. Parekh menjelaskan bahwa: “Karena nilai-nilai operatif publik merepresentasikan masyarakat yang bersama-sama struktur moralnya dan nilai-nilainya yang berbeda dari orang-orang pada bagian itu, serta mereka menyediakan hanya sudut pandang moral yang valid dari mana mengevaluasi praktik minoritas. Ketika praktik minoritas menyinggung terhadap nilai-nilai publik masyarakat, itulah manfaat ketidaksetujuan.” [Since the operative public values represent the society’s shared moral structure and its values as distinct from those of a section of it, they provide the only valid moral standpoint from which to evaluate minority practices. … When a minority practice offends against the society’s public values, it merits disapproval] (Parekh, 2000: 270). Dari penjelasan budaya tersebut, dialog moral antarbudaya Parekh sangat mirip dengan karya Kantian kontemporer terkemuka, bahwa: “Dialog membutuhkan sebuah komitmen pada pikiran, yaitu menyelesaikan konflik kepentingan dan nilai-nilai dengan diskusi, kompromi dan akomodasi timbal balik, serta keadilan, yaitu kesediaan mengakui dan menghormati klaim orang lain yang sah dan tidak mengejar kepentingan seseorang dengan mengorbankan mereka.” [Dialogue, I have argued, requires a commitment to reason - that is to solve conflicts of interest and values by discussion, compromise and mutual accommodation - and to justice - that is, the willingness to recognize the legitimate claims of others and not to pursue one’s interests at the expense of theirs”] (Parekh, 2008: 178).
Dengan pemikiran Parekh tersebut, cara terbaik untuk memahami usulan pemikiran Parekh dengan melihatnya sebagai sesuatu yang muncul dari penjelasan Kantian mengenai martabat manusia. Meskipun klaim berulang kali sebaliknya, konsepsinya tentang kelayakan yang adil dapat, harus, cukup tebal untuk membenarkan klaim moral di antara budaya, untuk memberikan kekuatan pada banyak usulan kebijakan yang khusus. Jika tidak, Parekh meyakinkan bahwa tak ada pemikiran bagi masyarakat untuk mengubah nilai-nilai publik operatif Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
24
yang tidak toleran dalam kasus di mana mayoritas mungkin melihat perubahan seperti bertentangan dengan kepentingannya. Pemikiran yang diusulkan Parekh tersebut menarik, karena didasarkan pada komitmen bersama semacam pemikiran yang beliau tidak mengartikulasikan atau mengklaim, dan pada gilirannya ia mengkritik orang lain (Preiss, 2011: 155). Dengan memosisikan pada persoalan individu, multikulturalisme sebagai pengolahan konflik dijelaskan oleh Meliono dalam karyanya “Membangun Kesadaran Etis dan Persepsi Multikultural pada Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia” dalam Jurnal Etika (2009). Atas dasar latar kebhinekaan masyarakat Indonesia, fenomena yang plural dan heterogen masyarakat Indonesia merupakan kekayaan masyarakat, namun sering memunculkan perbedaan pandangan yang mendiskriditkan arti plural dan heterogen bahkan berpotensi menimbulkan konflik (Meliono, 2009: 281). Untuk mengolah konflik, dibutuhkan kesadaran multikultur yang terbentuk dengan baik jika setiap individu benar-benar memahami fenomena yang plural atau keragaman dan perbedaan yang ada pada individu masingmasing. Pada setiap individu itu kesadaran “it-self” membentuk pola pikirnya melalui proses belajar yang cukup lama. Di samping itu, kesadaran individu dibentuk di dalam konstruksi budaya mengenai apa yang ingin atau tidak ingin diketahuinya (Meliono, 2009: 290). Kesadaran multikultur individu pada akhirnya akan menjadi kesadaran multikultur kolektif dengan berbasis pada keragaman dan fenomena yang plural suku, etnis, wilayah budaya, agama, etnosentrisme dan relativisme budaya, sikap menafikan pada prejudice, stereotip, diskriminasi, dan konflik. Kesadaran multikultur tersebut harus diimbangi dengan kesadaran etis melalui perilaku etis dari pelaku budaya. Oleh karena itu, pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah strategi untuk merekonstruksi kesadaran etis dan persepsi multikultur bagi pendidik dan anak didik. Kesadaran itu memiliki karakter yang kuat, dinamis, kreatif, demokratis, nondiskriminatif, plural, dan heterogen (Meliono, 2009: 292-293). Kesadaran etika multikulturalisme muncul melalui dialog. Zubair menjelaskan kesadaran etika multikulturalisme dalam karyanya “Membangun Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
25
Kesadaran Etika Multikulturalisme di Indonesia” dalam Jurnal Etika (2009). Dengan latar kebhinekaan tunggal ika Indonesia, keragaman atau fenomena yang plural menjadi potensi bangsa, akan tetapi berpotensi juga menjadi argumentasi disintegrasi jika tidak mengantisipasinya. Pancasila dalam fungsinya sebagai sistem penopang dan pengawal subsistem norma yang ada, terbukti efektif, baik terhadap perbedaan maupun kesatuan Indonesia. Secara fenomena filosofisideologis Pancasila diyakininya sebagai norma universal bangsa Indonesia. Pancasila seharusnya dibuktikan terus menerus di dalam dimensi fleksibilitas pada perubahan yang alamiah dan akulturatif (Zubair, 2009: 46-47). Di situlah, menurut Zubair, kesadaraan etika pluralisme dan multikulturalisme dipentingkan. Etika yang dipahami oleh Zubair tidak hanya menyebut aturan-aturan yang absolut,
melainkan
secara
kritis
mempertanyakan
bagaimana
manusia
bertanggung jawab terhadap produk keputusannya sendiri (Zubair, 2009: 38). Atas dasar pemahaman etika itu, kesadaran etika multikulturalisme dikonstruksi dengan beberapa cara di antaranya adalah mengembangkan dialog. Dialog difungsikan untuk mengembalikan esensi kehidupan masyarakat plural pada tindakan yang tidak mengabsolutkan hukum, ritus, dan adat istiadat masingmasing yang berlatar belakang sosial budaya (Zubair, 2009: 48). Kesadaran etis muncul juga di dalam fenomena etnik. Pada karya “Ethnocracy and Multiculturalism: A Preliminary Study of the Cultural Aspects of the Besemah People at Pagaralam, Palembang dalam Makara, Sosial Humaniora (2011), lebih tajam secara kasuistik, Meliono menjelaskan fenomena etnik orangorang Besemah dari sisi positif untuk mengembangkan multikulturalisme. Etnik Besemah memiliki prinsip dan norma sebagai kerangka rumusan kebijakan untuk merespons tantangan globalisasi (Meliono, 2011: 59). Multikulturalisme yang dikembangkan oleh orang-orang Besemah terdiri dari unsur-unsur budaya, yaitu sistem pemerintahan tradisional, kolonialisme Belanda, serta persepsi komunitas lokal dan global. Multikulturalisme itu berkaitan dengan prinsip etnokrasi masyarakat Besemah. Etnokrasi masyarakat Besemah pada sekitar Abad ke-18 dan 19 secara prinsip, di samping memunculkan identitas nasionalisme untuk Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
26
melawan kolonialisme Belanda dan pendudukan Jepang, juga memunculkan kebebasan mengikuti sistem demokrasi dalam bernegara. Etnokrasi saat ini menjanjikan ketika negara mempromosikan untuk meningkatkan kualifikasi orang-orang, tidak hanya mendidik untuk memenuhi kebutuhan internal, tetapi mempersiapkan untuk berkompetisi dengan orang lain. Etnokrasi sendiri memiliki karakteristik tertentu untuk mengontrol aplikasi demokrasi pada institusi lokal agama, budaya, dan bahasa (Meliono, 2011: 64). Namun, ada dampak negatif dari etnokrasi yang didasarkan pada politik etnis, identitas budaya, agama, dan bahasa di dalam sistem kontrol demokrasi. Dampak negatif dari etnokrasi memungkinkan diskriminasi terhadap minoritas, represi, dan konflik, kecuali negara merespons dampak negatif tersebut dengan multikulturalisme. Hal penting dalam persepsi komunitas lokal dan global adalah adanya relasi budaya dengan budaya lain yang menyebabkan pandangan dualistik orang-orang Besemah terhadap isu-isu sosial, yaitu tetap mempertahankan budaya lokal, dan berkembang menjadi masyarakat dinamis karena cukup terbuka dalam menerima perbedaan yang ada (Meliono, 2011: 65). Multikulturalisme di Indonesia tersebut, menurut Suparlan pada karyanya “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan?” dalam Antropologi Indonesia 72 (2003), menjadi pelik dan kontroversial di mana pada masa Orde Lama Soekarno pernah melarang partisipasi etnik melalui partai-partai politik etnis di dalam arena politik nasional maupun daerah, karena khawatir partai-partai politik ini menjadi acuan bagi politisasi yang memproduksi disintegrasi kehidupan berbangsa menjadi negara-negara etnis. Keyakinan agama juga bersifat primordial dan memiliki potensi memproduksi disinetgrasi bangsa melalui batas-batas sosial budaya yang diperkuat oleh keyakinan agama bahkan dikembangsuburkan. Fenomena kasus-kasus di Aceh, Ambon, Maluku Utara, dan Poso, merefleksikan makna dari keyakinan agama yang berkaitan dengan potensinya dalam gejolak yang membahayakan integrasi bangsa (Suparlan, 2003: 34). Relasi antara individu, komunitas, dan negara yang berada dalam kesetaraan derajat hanya mungkin terealisasi jika didukung oleh sistem hukum dan Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
27
penegakan hukum yang harus adil dan demokratis. Semua warga negara patut mengingat Konstitusi bahwa “kebudayaan bangsa adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”. Bahkan, pada masa Orde Baru budaya di daerah dihilangkan menjadi hanya daerahnya saja dan kata daerah diberi makna sebagai sebuah provinsi dengan sebuah etnik yang dominan di provinsi tersebut. Model masyarakat yang dibentuk oleh Orde Baru adalah hanya masyarakat plural, sedangkan para pelopor dan bapak bangsa Indonesia untuk mengatur dan mentransformasi masyarakat plural dengan multikulturalisme. Penekanan lambang bhineka tunggal ika dengan mengacu pada pernyataan konstitusional itu jelas menunjukkan keragaman budaya, bukan keragaman etnik (Suparlan, 2003: 36). Keragaman budaya itulah dikonstruksi untuk dapat meredam fenomena etnik yang berpotensi memunculkan konflik. Dari kajian pustaka di atas, penelitian sebelumnya memosisikan multikulturalisme Parekh sebagai keragaman budaya di dalam komunitas subkultur di mana individu memiliki pilihan untuk menentukan harkat dan martabatnya secara sosial. Di Indonesia, multikulturalisme difungsikan untuk merespons kemungkinan konflik sosial di dalam keragaman dan fenomena budaya yang plural melalui kesadaran etis dan dialog antarindividu. Penelitian ini diposisikan pada pemahaman multikulturalisme Parekh yang menjelaskan dialog antarbudaya dan rekogisi sosial sebagai pengolahan konflik sosial. Dialog antarbudaya dijelaskan dengan mengungkapkan pemikiran Gadamer. Sementara rekognisi sosial dijelaskan dengan mengungkapkan pemikiran Taylor. Kedua filsuf tersebut sangat mempengaruhi pemikiran Parekh dalam menjelaskan multikulturalisme. Pengolahan konflik dilakukan oleh seorang manusia atau komunitas budaya ataupun negara yang mengakui keragaman budaya dan moral.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
28
1.8. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi pustaka, metode fenomenologi kehidupan religius, dan metode refleksi kritis. Sebelum dijelaskan metode penelitian, akan dijelaskan terlebih dahulu filsafat sosial sebagai pendekatan penelitian. Filsafat sosial (social philosophy) dalam sistematika filsafat merupakan cabang filsafat. Filsafat sosial merupakan “sebuah telaah mengenai isu-isu fundamental di mana program politik terbagi, yakni tentang apa seharusnya dan mengapa prinsip-prinsip kehidupan sosial.”32 Misalnya, bagaimana seharusnya relasi antara laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak, harus dikonsepsikan. Ketika pertanyaan itu didiskusikan di antara gerakan pemikiran liberal dan sosialis, komunis dan kiri baru, serta sosialis dan feminis, yang didorong di luar polemik permukaan, atau perdebatan tentang taktik, maka diskusi itu disebut filsafat sosial (Fink, 1981: 3). Berdasarkan pemahaman tersebut, landasan fundamental filsafat sosial adalah pemikiran Plato yang menjelaskan konsep man is a social being dalam karyanya The Republic dengan menawarkan ide keadilan untuk mengharmoniskan di antara dua oposisional (Plato, 2012: 27).33 Selanjutnya, pemikiran Plato tersebut dikembangkan oleh Aristoteles untuk melengkapi kondisi manusia dengan konsep man is by nature political animal sebagai penjelasan mengenai entitas negara yang mengangkat tinggi harkat dan martabat manusia (Aristoteles, 1999: 5).34 Dalam penelitian ini, filsafat sosial didefinisikan sebagai “studi reflektif tentang nilai-nilai etis dalam relasi manusia (individual atau kolektif) di dalam kehidupan sosial”. Definisi filsafat sosial itu lebih dekat dengan definisi etika sosial (social ethics), yang membicarakan nilai-nilai etis individu manusia di dalam masyarakat. Etika sosial dapat dipahami dengan pernyataan berikut ini: 32
“Social philosophy is about the fundamental issues on which political programmes divide: it is about what the principles of social life ought to be and why”. 33 “In seeking to establish the purely internal nature of justice, he is met by the fact that man is a social being, and he tries to harmonise the two opposite theses as well as he can”. 34 “Hence it is evident that the state is a creation of nature, and that man is by nature a political anima. And he who by nature and not by mere accident is without a state, is either a bad man or above humanity, he is like ‘Tribeless, lawless, hearthless one". Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
29
“Ia sama sekali tidak mempunyai maksud untuk mendukung sikap orangorang yang menjalankan percobaan-percobaan medis atas diri manusia di Auschwitz, dengan pernyataannya bahwa pandangan-pandangan moral konvensional mengenai pembunuhan tidaklah memuaskan” (Teichmann, 1998: 5). Pandangan-pandangan moral konvensional yang dimaksud adalah membunuh orang-orang yang tak bersalah. Etika sosial menjelaskan fenomena moral, kemanusiaan, egoisme, relativisme, konsekuensialisme, kematian, feminisme, kebebasan berpikir dan berekspresi, serta kelompok kiri, kanan dan hijau dalam merespons kenyataan sosial. Ruang lingkup dari filsafat sosial merupakan sebagai tradisi umum, bukan tradisi khusus, di antara filsafat moral, filsafat politik, filsafat hukum, filsafat sejarah, dan filsafat ilmu-ilmu sosial (Fink, 1981: 5). Sebagai tradisi umum, ruang lingkup dari filsafat sosial dipahami di dalam relasi filsafat sosial dengan ilmuilmu lainnya yang saling bertautan dan saling melengkapi secara komprehensif untuk merefleksikan kondisi manusia. Relasi filsafat sosial dengan ilmu-ilmu lainnya dibagan berikut ini:
Filsafat Sosial
Filsafat budaya
Filsafat politik
Nilai-nilai etis Masyarakat Filsafat hukum
Filsafat ilmu-ilmu sosial
Filsafat sejarah
Filsafat moral
Bagan 5. Posisi Filsafat Sosial dalam Studi Masyarakat
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
30
Ruang lingkup dari filsafat sosial di antara ilmu-ilmu lainnya tersebut dapat menajamkan penjelasan terhadap permasalahan penelitian ini. Nilai-nilai etis masyarakat merupakan obyek material yang menjadi pusat perhatian telaah filsafat. Filsafat mendekati nilai-nilai etis masyarakat melalui forma yang berbeda-beda. Filsafat sosial melalui relasi manusia dalam kehidupan sosial. Filsafat politik melalui relasi kekuasaan dalam negara. Filsafat moral melalui relasi kebaikan dan kejahatan antarindividu. Filsafat hukum melalui keadilan sosial. Filsafat sejarah melalui kesadaran manusia. Filsafat budaya melalui cipta manusia. Filsafat ilmu-ilmu sosial (sosiologi, antropologi, psikologi) melalui keterikatan manusia pada masyarakat. Dalam perspektif sosiologi, filsafat sosial dipahami sebagai sosiologi pengetahuan, seperti di dalam pemikiran Karl Mannheim, yang dianalisis secara kritis dalam perspektif humanisme oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dengan istilah konstruksi kenyataan sosial. Pertama, metode studi pustaka (literature study). Metode studi pustaka digunakan untuk mengumpulkan ide, gagasan, konsep dan fenomena faktisitas tentang permasalahan penelitian ini. Tujuan dari metode studi pustaka, yaitu: (a) untuk mengamati perkembangan penelitian saat ini yang relevan dengan permasalahan tersebut. Kemudian, positioning penelitian ini dapat dijelaskan di dalam konstelasi perkembangan pemikiran filsafat kontemporer. (b) Untuk mengidentifikasikan tokoh, karya, teori dan temuan yang relevan dengan permasalahan tersebut. Secara inheren, identifikasi filosof, sosiolog, historian, atau antropolog dijelaskan di dalam penggunaan teori-teorinya. (c) Untuk mengidentifikasikan
perbedaan
pemikiran
yang
berkembang
mengeni
permasalahan dalam pendekatan filsafat sosial (Bhattacherjee, 2012: 21).35 Kedua, metode fenomenologi kehidupan religius (phenomenology of religious life). Metode fenomenologi kehidupan religius yang digunakan berdasarkan pemikiran Martin Heidegger untuk menganalisis konflik sosial. 35
“The purpose of a literature review is three-fold: (1) to survey the current state of knowledge in the area of inquiry, (2) to identify key authors, articles, theories, and findings in that area, and (3) to identify gaps in knowledge in that research area”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
31
Awalnya fenomenologi dipahami oleh Edmund Husserl yang berarti “psikologi deskriptif”. Fenomenologi selanjutnya menjadi radikal dalam filsafat daripada praktis dalam sistem. Dengan radikalitas dan gaya antitradisional dalam berfilsafat, fenomenologi menekankan usaha untuk menemukan kebenaran dari permasalahan, mendeskripsikan fenomena, dalam makna yang luas sebagai apa pun yang tampak dengan caranya menampakkan, karena manifestasinya kepada kesadaran (Moran, 2000: 4-5). Posisi Heidegger dalam cakrawala fenomenologi Husserl tampak pada pengakuannya bahwa Husserl terlalu Cartesian dan intelektualis dalam menjelaskan keterlibatan manusia di dalam dunia. Oleh sebab itu, Heidegger meninggalkan benar-benar penggunaan istilah “kesadaran” dan “intensionalitas.” Menurut Heidegger, kini manusia selalu terjebak di dalam dunia sebagai penemuan diri yang terlempar, yang mengungkapkan diri dalam suasana hati, yang disebut “being-in-the-world” (Moran, 2000: 13).36 Dengan
konsepsi
being-in-the-world,
karakteristik
fenomenologi
kehidupan religius dipahami dengan memperoleh pemahaman sebelumnya demi originalitas (Heidegger, 2004: 47).37 Originalitas pemahaman fenomenologi kehidupan religius didasari pada filsafat agama. Dalam perspektif filsafat agama Heidegger menjelaskan bahwa: “Agama harus dipahami secara kritis filosofis. Yang dipahami adalah konteks yang diproyeksikan pada agama. Oleh sebab itu, konsepsi filosofisnya menentukan pemahaman terhadap agama.” [Religion is to be projected into an understandable context. Thus the position of the problem of the philosophy of religion depends upon the concept of philosophy] (Heidegger, 2004: 52). Konteks agama berarti mengutamakan fenomena religius historis daripada fenomena religius doktrinal. Fenomena kesadaran adalah yang dipahami di dalam 36
“Martin Heidegger, who claimed Husserl remained too Cartesian and intellectualist in his account of human engagement with the world, decided that the only way to avoid what he regarded as sterile epistemological formulations was to abandon the use of the terms 'consciousness' and 'intentionality' altogether. Humans are always already caught up in a world into which they find themselves thrown, which reveals itself in moods, the overall nature of which is summed up by Heidegger's notion of 'Being-in-the-world' (In-der-Welt-sein)”. 37 “Characteristic of the phenomenological-religious understanding is gaining an advance understanding for an original way of access”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
32
fenomena religius historis. Melalui kesadaran, pemahaman fenomenologis merupakan jembatan pemahaman fenomena religius historis dan fenomena religius filosofis. Bahkan dalam sejarah agama modern, fenomenologi digunakan untuk dekonstruksi (deconstruction). Dekonstruksi fenomenologis dalam sejarah agama harus ditentukan dengan prakonsepsi, yang terhubung dengan sejarah. Dasar dari penentuan fenomena religius adalah dekonstruksi fenomenologis terhadap kesadaran yang dibimbing oleh konsepsi-masa-depan, bukan rasional atau irrasional dari fenomena religius doktrinal. Jelasnya, fenomena religius tersebut adalah pengalaman hidup umat beragama. Sejarah adalah pengalaman hidup umat beragama secara faktual. Oleh karena itu, fenomena religius berada pada ruang yang temporal, kontekstual dan diferensial (Heidegger, 2004: 53-55).38 Dalam penerapan fenomenologi kehidupan religius (lihat bagan 7. Fenomenologi kehidupan religius pada hlm. 35-36) fenomena religius individu pada komunitas umat yang memiliki agama dan etnik dan mengalami konflik sosial dapat dipahami dengan tiga langkah berikut ini. (a) Langkah pertama, setiap individu komunitas terlibat dan mengalami konflik sosial. Eksistensi individu komunitas didasarkan pada diferensiasi pandangan, bukan stratifikasi sosial. Ada dua ketentuan individu komunitas dalam konflik sosial. (1) Individu mengalaminya dengan kehadiran [memiliki-menjadi]. (2) Individu mengalaminya dengan pengetahuan [kamu tahu]. Kehadiran [datang, menjadi] dan pengetahuan [kamu lihat, kamu tahu] pada individu komunitas yang terlibat dan mengalami konflik menghasilkan sebuah sejarah dalam dirinya dan komunitasnya [kamu ingat]. Dua ketentuan pengalaman individu tersebut berada dalam pemahaman historis dan terjadi secara berulang-ulang dari kehadiran (keterlibatan) ke pengetahuan yang menghasilkan ingatan historis. Keberulangan pengalaman
itu
berbeda
dengan
keberulangan
peristiwa
alam,
karena
keberulangan pengalaman tidak hanya terjadi secara natural akan tetapi juga secara sosial.
38
“…religiosity is in life experience… Factial life experience is historical. …religiosity lives temporality…”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
33
(b) Langkah kedua, setiap individu komunitas mengubah [berbalik] dirinya dalam konflik sosial. Maksudnya adalah perubahan diri yang berbalikdekat secara mutlak kepada Tuhan sebagai tujuan utama dan sekaligus yang berbalik-jauh kepada citra-berhala sebagai ilusi. Sebelum terjadi perubahan diri, individu
yang
hadir
mengalami
konflik
dipahami
dengan
penerimaan
(acceptance) dalam komunitas yang memiliki relasi yang efektif dengan Tuhan. Penerimaan tentang bagaimana perilaku diri (self-conduct) dalam kehidupan fenomena yang faktual. Penerimaan itu ditentukan melalui penyambutan [acceptance] dan penjamuan [recievance]. Setelah terjadi perubahan diri, individu menuju ke dalam makna yang ditetapkan pada kehidupan fenomena faktual di mana konflik sosial bergejolak, yang dieksplisitkan di dalam dua petunjuk: melayani [to serve] dan menanti [to wait]. Dalam suasana konflik pelayanan dan penantian individu komunitas merupakan sebuah transformasi di hadapan Tuhan dan terus menerus menanti (Heidegger, 2004: 65-66). (c) Langkah ketiga, setiap individu komunitas memaknai di dalam melayani [to serve] dan menjamu [to receive] yang menentukan referensi lain sebagai petunjuk fundamental dalam konflik sosial. Melayani dan menjamu dimaknai sebagai karya keimanan [the work of faith], penderitaan cinta [the suffering of love] dan pupus harapan [the endurance of hope], yang dikonseptualisasi di dalam harapan, kesucian dan kebahagiaan [hope, glory, joy]. Konsep harapan, kesucian dan kebahagiaan memiliki makna khusus, akan tetapi juga dapat bermakna kontradiktif (keputus-asaan, kenistaan dan kesengsaraan). Pengetahuan yang menjelaskan menerima [to accept] dimaknai sebagai karakter pupus harapan dalam penderitaan hidup; sedangkan menjamu [to receive] dimaknai sebagai karakter kemenangan hidup dalam relasi efektif dengan Tuhan. Dalam tradisi agama diketahui bahwa menjamu (memberi) lebih bernilai daripada menerima. Pengetahuan komunitas agama dan etnis yang hadir mengalami adalah titik awal dan asal usul teologi.39 Penerimaan merupakan diri-masuk-ke dalam penderitaan. Penderitaan merupakan karakteristik fundamental dan perhatian 39
“Knowledge of one's having-become is the starting point and the origin of theology”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
34
mutlak dalam cakrawala penerimaan. Penerimaan adalah transformasi di hadapan Tuhan. Oleh sebab itu, kondisi penderitaan diperkenankan ke dalam dunia diri di hadapan Tuhan [in front of God] (Heidegger, 2004: 66-67). Dengan langkah-langkah tersebut, bagan fenomenologi kehidupan religius akan digunakan untuk menganalisis manusia yang beragama dan etnik di dalam konflik sosial. Metode itu dipilih, bukan fenomenologi kehidupan sosial Alfred Schutz sebagai pengembangan dari fenomenologi Heidegger, dikarenakan secara fenomena kehidupan religius yang seringkali mengalami konflik di beberapa wilayah Indonesia. Kehidupan religius memilik sejarah di dalam pergolakan masyarakat pada masa negara ini dibentuk hingga saat ini, misalnya terukir di dalam sila pertama dari ideologi Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. Di samping itu, negara harus melindungi warganya yang menganut agama dan kepercayaan (pada etnik) sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Tiga langkah fenomenologi kehidupan religius mengungkapkan tiga perilaku manusia yang memiliki agama dan etnik dalam konflik sosial, yaitu dialog antarbudaya, rekognisi sosial, dan manusia yang harmonis.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
35
Step I [to become, to come]
Step II [to accept]
Step III
[to serve] [to turn]
[to see, to know]
[to receive]
[the work of faith] [the suffering of love]
[to wait]
[the endurance of hope]
[in front of God] front of God]
Bagan 6. Fenomenologi Kehidupan Religius (Heidegger, 2004: 68)
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
36
TAHAP I Individu komunitas terlibat dan mengalami konflik sosial
[datang, menjadi]
TAHAP II Individu komunitas mengubah dirinya dalam konflik sosial
[menerima]
[melayani] [berbalik]
[melihat, mengetahui]
[karya keimanan] [penderitaan cinta]
[menanti]
[menjamu]
TAHAP III Individu komunitas memaknai dalam melayani dan menjamu yang lain di dalam konflik sosial
[di hadapan Tuhan]
[pupus harapan] [manusia]
Mengalaminya dengan kehadiran pengetahuan berulang-ulang secara sosial
Rekognisi sosial
Perubahan diri kepada Tuhan sebagai tujuan utama dan sekaligus kepada citra-berhala sebagai ilusi secara terusmenerus
Dialog antarbudaya
Melayani dan menjamu dimaknai sebagai keimanan Tuhan, penderitaan cinta, dan pupus harapan di hadapan Tuhan.
Harmoni sosial
Bagan 7. Penerapan Fenomenologi Kehidupan Religius
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
Ketiga, metode refleksi kritis (critical reflection). Untuk merefleksikan manusia dalam konflik sosial secara kritis, kritis yang digunakan berdasarkan pada pemikiran teori kritis. Teori yang dimaksud adalah teori yang melekat pada pengetahuan manusia di dalam konflik sosial. Pengetahuan adalah “hanya yang benar-benar dapat mengarahkan pada pengetahuan yang membebaskan dirinya dari kepentingan manusia belaka dan didasarkan pada idea. Dengan kata lain, pengetahuan yang mengambil sikap teoretis.”40 Berkaitan dengan fenomenologi kehidupan religius, istilah “teori” dari theoros dipahami memiliki asal usul agama (keyakinan). Theoros merupakan representasi dari kota-kota Yunani pada perayaan publik. Melalui theoria, yakni melalui pengelihatan, manusia meninggalkan dirinya dengan kejadian sakral. Konsep teori dan hidup dalam teori menentukan signifikansi filsafat sepanjang masa. Berdasarkan pertimbangan itu, realitas dipahami secara positivistik dan ontologi tradisional. Positivisme tampak pada ilmu pengetahuan empiris analitik, sedangkan ontologi tradisional tampak pada ilmu pengetahuan historis hermeneutik. Adanya relasi itu, konsepsi teori sebagai proses penanaman personal menjadi apokrif. Oleh sebab itu, tampak kesesuaian mimesis jiwa dengan proporsi alam semesta, yang tampak dapat diakses oleh kontemplasi, hanya mengambil pengetahuan teoretis ke dalam pelayanan internalisasi norma-norma dan dengan itu terasing dari tugas yang legitimit (Habermas, 1971: 301-304). Manusia dalam konflik sosial tak dapat dilepaskan dari kepentingan pengetahuan konstitutif manusia (knowledge-constitutive human interests). Kepentingan pengetahuan konstitutif menjelaskan pengetahuan dan kepentingan. Fenomena konflik sosial menampakkan idea “melayani” sebagai tindakan pembenaran motif pada ruang yang nyata. Tindakan pembenaran itu pada tingkat individual disebut “rasionalisasi”, dan pada tingkat kolektif disebut “ideologi”. Kedua tindakan pembenaran berisi kesadaran palsu yang terikat tidak direfleksikan pada kepentingan, walaupun ilusinya otonom. Dengan demikian, 40
“The only knowledge that can truly orient is knowledge that frees itself from mere human interests and is based on Ideas - in other words, knowledge that has taken a theoretical attitude”.
37 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
38
eksplorasi komprehensif atas dialog budaya dalam masyarakat multikultur dipahami dengan metode refleksi kritis terhadap konsepsi mengenai dialog antarbudaya dan rekognisi sosial. Refleksi kritis terhadap konsepsi-konsepsi itu yang menyusupi pengetahuan dan keyakinan eksistensi manusia dalam kehidupan sosial, akan menemukan kembali eksistensi manusia yang harmonis. Dengan demikian, fenomenologi kehidupan religius dan refleksi kritis sama-sama mengungkapkan triadik kehidupan manusia dalam keharmonisan, yaitu dialog antarbudaya, rekognisi sosial dan harmoni sosial. Triadik kehidupan manusia dalam keharmonisan dibagankan berikut ini: Harmoni sosial
Dialog antarbudaya
Rekognisi sosial
Bagan 8. Triadik Kehidupan Manusia dalam Keharmonisan
1.9. Sistematika Penelitian Sistematika penelitian ini disusun menjadi enam bab, yang dapat dijelaskan sebagai berikut. Bab I merupakan bab pendahuluan. Sebagai pendahuluan, dijelaskan latar belakang masalah, permasalahan dan rumusan masalah, pernyataan tesis, pertanyaan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori dan konsep, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian. Bab II, III, IV dan V merupakan bab pembahasan penelitian ini. Dalam bab II akan dijelaskan perbedaan pandangan moral dan budaya sebagai landasan rasional manusia membedakan diri sendiri dari yang lain di dalam masyarakat multikultur. Ada beberapa bentuk pandangan moral dan budaya, yaitu monisme
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
39
moral, pluralisme, liberalisme, dan universalisme pluralis. Bab dua diakhiri dengan respons terhadap bentuk-bentuk pandangan moral dan budaya. Dalam bab III akan dijelaskan unsur-unsur pembentuk masyarakat multikultur sebagai pijakan secara sosial seorang individu berelasi dengan yang lain. Ada beberapa unsur pembentuk masyarakat multikultur, yaitu keragaman moral dan budaya, identitas sosial, perbedaan, dan kehidupan publik. Bab ketiga diakhiri dengan memunculkan keterbatasan masyarakat multikultur. Dalam bab IV akan dijelaskan konflik sosial masyarakat multikultur sebagai masalah utama manusia di dalam kehidupan sosial, politik, dan budaya. Penjelasan konflik sosial diawali dengan memahami konflik sosial. Dari pemahaman konflik sosial, dapat dijelaskan corak konflik masyarakat multikultur, yaitu konflik nuansa agama dan konflik nuansa etnik. Bab keempat diakhiri dengan kritik atas manusia sebagai makhluk berkonflik. Dalam bab V akan dijelaskan dialog budaya masyarakat multikultur sebagai pengolahan konflik sosial yang dimunculkan oleh seorang manusia. Dialog budaya dijelaskan melalui dua tindakan, yaitu dialog antarbudaya sebagai pendamai konflik dan rekognisi sosial sebagai peredam konflik. Bab kelima diakhiri dengan menemukan kembali manusia yang harmonis. Bab VI merupakan bab penutup yang akan menjelaskan kesimpulan, catatan kritis, dan relevansi dalam kehidupan kekinian.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
BAB II PERBEDAAN PANDANGAN MORAL DAN BUDAYA
2.1 Pengantar Di dalam bab dua ini akan dijelaskan bentuk-bentuk pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda dalam sejarah peradaban manusia. Subyek pandangan moral dan budaya adalah keragaman budaya di dalam masyarakat. Pandangan moral dan budaya diproduksi oleh pemikiran rasional manusia di dalam kehidupan sosial. Interpretasi individu terhadap pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda seringkali menimbulkan konflik antarindividu dalam perilaku sosialnya. Bentuk-bentuk pandangan moral dan budaya, yaitu monisme moral, pluralisme, liberalisme, dan universalisme pluralis. Di samping itu, akan dijelaskan respons terhadap pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda tersebut.
2.2 Bentuk-bentuk Pandangan Moral dan Budaya Pandangan moral dan budaya merupakan bentuk interpretasi seorang manusia di dalam relasi sosial sebagai pandangan hidup. Interpretasi seorang manusia terhadap moral dan budaya merupakan fenomena titik pijak seorang individu dalam memahami realitas alam semesta dan berperilaku dalam kehidupan sosial. Pandangan hidup dikonstruksi oleh pandangan dunia (world view) seorang manusia di dalam kehidupan sosial. Pandangan dunia muncul dari refleksi menyeluruh terhadap dunia dan Dasein (being-in-the-world) manusia. Pandangan dunia disadari secara individual hadir dengan cara yang berbeda-beda. Konstruksi pandangan dunia yang berbeda-beda dikategorikan menjadi dua, yaitu pandangan dunia individual atau budaya dan pandangan dunia alamiah. 40 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
41
Pandangan dunia individual dibentuk oleh lingkungan sosial, seperti orang lain, etnisitas, kelas sosial, dan tahap budaya yang berkembang. Setiap pandangan dunia yang dibentuk secara individual berarti keluar dari pandangan dunia alamiah (Heidegger, 1982: 5-6).1 Oleh karenanya, pandangan moral dan budaya dikonstruksi oleh interpretasi rasional seseorang yang dominan dan kondisi sosial yang melingkupinya. Istilah “moral” dalam pandangan moral berasal dari bahasa Latin “mos, moris” dan bentuk plural “mores” (adat istiadat), yang berarti awalnya hanya caracara di mana orang berperilaku. Istilah moral berkembang pesat pada cara di mana ia merasa diinginkan, benar atau tepat (right or proper) bahwa orang harus bersikap dan memberi dimensi normatif dengan istilah deskriptif sebelumnya dari “ethos” dalam bahasa Yunani. Dari perkembangan itu, kemudian penekanan pada pedoman moral yang cepat memperoleh status dan kekuatan preskripsi atau aturan dalam kaitannya dengan tindakan, keinginan, niat atau karakter orang (Aspin, 2000: 31).2 Peraturan dan norma dalam kehidupan sosial menandai ketertanaman budaya pada moralitas yang tampak pada cara di mana adat, perayaan, dan ritual budaya mewujudkan dan memberi makna pada nilai-nilai moralnya. Oleh sebab itu, dapat dipahami di sini bahwa: “Moralitas adalah yang berkaitan dengan jenis kehidupan yang layak dijalani, aktivitas yang layak dikerjakan, dan bentuk relasi manusia yang layak diolah.” [Morality is concerned with what kind of life is worth living, what activities are worth pursuing, and what forms of human relations worth cultivating] (Parekh, 2000: 114).
1
“A world-view always includes a view of life. A world-view grows out of an all-inclusive reflection on the world and the human Dasein, and this again happens in different ways, explicitly and consciously in Individuals or by appropriating an already prevalent world-view. …must distinguish the individually formed world-view or the cultural world-view from the natural worldview.” 2 “The word 'moral' comes from the Latin ('mos, moris', plural mores') and meant initially simply the ways in which people behaved.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
42
Moralitas mensyaratkan kriteria kelayakan atau arti, yang selanjutnya mensyaratkan sistem makna atau budaya. Setiap sistem moralitas ditanamkan dan dipelihara oleh budaya yang lebih luas dan hanya dapat diubah dengan mengubah yang mutakhir. Budaya membentuk dan menstrukturisasi kehidupan moral termasuk cakupan, isi, otoritas, dan jenis emosi yang berkaitan dengannya. Dalam perilaku sosial banyak budaya tradisional melihat alam sebagai totalitas spiritual dan menganggap sikap manusia kepada alam sebagai keprihatinan moral. Namun, kebanyakan masyarakat modern berpandangan yang “tidak mengikat” mengenai alam dan memosisikan relasi manusia dengan alam di luar lingkup moralitas. Misalnya, dalam beberapa budaya, makanan dilihat sebagai anugerah Tuhan atau sarana memertahankan tubuh yang diberi Tuhan, dan apa yang dimakan, bagaimana dan dengan siapa adalah urusan moral. Namun, dalam budaya lain, makanan tidak memiliki arti moral. Banyak budaya Protestan menekankan dimensi internal moralitas dan memperlakukannya sebagai aspek kehidupan yang terpisah dan otonom. Cina, Hindu, dan beberapa masyarakat Afrika menanamkan moralitas di dalam sistem ritual dan konvensi sosial, serta beberapa yang lain tidak punya kata terpisah. Oleh sebab itu, penghormatan terhadap kehidupan manusia tidak selalu merupakan prinsip moral abstrak, akan tetapi juga dapat diwujudkan dalam prinsip moral konkret, seperti adat dan ritual yang mengelilingi kita (Parekh, 2000: 144-145). Istilah “budaya” yang dimaksud pada pandangan budaya adalah untuk mengacu kepada suatu sistem, seperti pada keyakinan dan praktik. Budaya berasal dari bahasa Latin colere yang berarti “untuk sampai” atau “mengolah”. Istilah budaya mulai digunakan pada Abad ke-18 dan sekarang digunakan secara luas pada keragaman semantik (Iannone, 2001: 130).3 Misalnya, istilah budaya dimaknai dengan istilah “bildung” dan bentuk-bentuk yang terkait, seperti “pengolahan,”
“diolah.”
Gadamer
mendefinisikan
budaya
sebagai
cara
mengembangkan bakat dan kapasitas seorang manusia secara tepat (Gadamer, 3
“Culture from the Latin colere, i.e. „to till‟ or „cultivate.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
43
2004: xii). Dalam istilah bildung tersebut terdapat akar kata bild, “bentuk,” “imajinasi” dan lebih khusus, “gambar.” Oleh sebab itu, pengolahan adalah proses “membentuk” diri sesuai di dalam “imajinasi” ideal dari manusia.4 Dengan maksud penggunaan itu, dapat dijelaskan bahwa: “Budaya adalah suatu sistem makna dan arti yang dibuat secara historis atau, apa yang hadir pada sesuatu yang sama, sistem keyakinan dan praktik di mana sekelompok manusia memahami, meregulasi dan menstrukturisasi kehidupan manusia secara individual dan kolektif.” [Culture is a historically created system of meaning and significance or, what comes to the same thing, a system of beliefs and practices in terms of which a group of human beings understand, regulate and structure their individual and collective lives] (Parekh, 2000: 143). Budaya dapat diartikulasikan di dalam beberapa tingkat. Pada tingkat yang paling dasar, budaya direfleksikan di dalam “bahasa”, sebab itu budaya ditanamkan dalam bentuk pribahasa, pepatah, mitos, ritual, simbol, memori kolektif, lelucon, bahasa tubuh, model komunikasi nonbahasa, adat istiadat, tradisi, institusi, dan tata cara percakapan. Pada tingkat yang terstruktur dan tertata di kehidupan manusia, budaya diartikulasikan dalam “peraturan dan norma” yang mengatur aktivitas dasar dan relasi sosial, seperti bagaimana, di mana, kapan dan dengan siapa orang makan, menikah dan bercinta, bagaimana orang berkabung dan melupakan kematian, serta memperlakukan orang tua, anak-anak, isteri, tetangga, dan orang asing (Parekh, 2000: 143-144). Moral dan budaya tersebut didasarkan pada interpretasi apa yang diyakini dan dipraktikkan oleh seorang individu di dalam kehidupan sosial. Interpretasi seseorang terhadap dirinya, orang lain atau apa pun mengkonstruksi perbedaan pandangan. Realitas tersebut menjelaskan bahwa pandangan moral dan budaya di
4
“Bildung is translated by „culture‟ and related forms such as „cultivation,‟ „cultivated.‟ … Gadamer defines Bildung as properly human way of developing one's natural talents and capacities. … „Cultivation‟ is a process of „forming‟ the self in accordance within an ideal „image‟ of the human.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
44
dalam kehidupan sosial menjadi berbeda-beda. Berikut ini disampaikan bentukbentuk pandangan moral dan budaya di dalam kehidupan sosial.
2.2.1 Pandangan Monisme Moral terhadap Moral dan Budaya Monisme secara filosofis adalah sikap seorang manusia yang merespons realitas kehiduapan secara normatif dengan sudut pandang tunggal terhadap pemahaman dualistik, terutama budaya dan alam sekitarnya (Weir, 2012: 1).5 Pandangan monisme moral terhadap moral dan budaya dapat dijelaskan ke dalam tiga bentuk perspektif, yaitu monisme rasionalis filsafat Yunani, monisme teologis Kristen, dan monisme regulatif liberalisme klasik. Monisme moral termasuk pandangan moral yang paling tua dan berpengaruh di dalam peradaban manusia. Pandangan monisme moral mengacu pada pemikiran bahwa: “Hanya ada satu jalan hidup yang benar-benar manusiawi, atau yang terbaik, sedangkan yang lainnya cacat karena kekurangan.” [Only one way of life is fully human true, or the best, and that all others are defective to the extent that they fall short of it] (Parekh, 2000: 16). Yang baik, seperti kebenaran, bersifat tunggal atau keseragaman dalam kehidupan sosial, sedangkan kejahatan, seperti kesalahan, bersifat keragaman dalam kehidupan sosial. Meskipun monisme moral mengakui keyakinannya yang terbaik, namun mereka tidak memaksakan seluruh manusia atau masyarakat untuk harus hidup dengan keyakinannya (Parekh, 2000: 16). Pemikiran filosofis yang diyakini oleh monisme moral didasarkan pada empat keyakinan fundamental. (a) Keseragaman sifat manusia. Dengan keseragaman sifat, semua manusia, meski berbeda ruang dan waktu, sama-sama memiliki kapasitas yang unik, watak, dan hasrat.6 Perbedaan hanya menentukan 5
“Against dualistic understandings of human reality, thet seek to analyze nature and culture from a single vantage point. Philosophically, this stance is called monism.” 6 “The uniformity of human nature, that is, all human beings, however much they are divided by time and space, share a common consisting of certain unique capacities, dispositions and desires”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
45
partikularitas manusia, bukan humanitasnya. (b) Keutamaan moral dan ontologis adalah kesamaan atas perbedaan.7 Kesamaan jauh lebih penting secara ontologis daripada perbedaan. (c) Karakter manusia transendental secara sosial.8 Meski berkembang di dalam masyarakat, namun karakter manusia tidak dipengaruhi oleh masyarakat. (d) Sifat manusia sebagai dasar kehidupan yang baik, atau apa yang terlintas dalam sesuatu, menegaskan kesatuan yang baik dan benar.9 Sifat manusia demikian itu merupakan differentia specifica pada spesies manusia, yakni intelektual teoretis, cinta Tuhan, atau kapasitas bagi kehendak diri dan otonomi (Parekh, 2000: 16-18). Empat fundamen pemikiran filosofis tersebut dapat dilacak pada tiga bentuk monisme moral berikut. Pertama, monisme rasionalis filsafat Yunani. Dua filsuf Yunani kuno yang sangat berpengaruh pada monisme rasionalis, yaitu Plato dan Aristoteles. Plato mengatakan bahwa “manusia tidak berbeda, di mana spesies yang berbeda membentuk hierarki yang didasarkan pada sejauh mana menyadari totalitas kebaikan atau Ide dari yang Baik”.10 Sifat manusia, menurut Plato, terdiri dari rasio, jiwa, dan hasrat. Rasio dijelaskan sebagai sesuatu yang bersifat teoretis dan sekaligus praktis. Jiwa adalah sumber energi psikologis yang mengungkapkan emosi, seperti rasa hormat, ambisi, dan kemarahan. Hasrat merupakan unsur yang berhubungan dengan tubuh dan kebutuhan lainnya. Dari tiga sifat tersebut, rasio adalah sumber pengetahuan yang tertinggi tentang good life. Walaupun mengatakan manusia tidak berbeda, akan tetapi Plato membedakan bahwa antara good life dalam pandangan masyarakat Yunani dan masyarakat Phoenix atau Mesir (Parekh, 2000: 19). Pembedaan antara Yunani dan non Yunani mengimplikasi adanya relasi antara yang diatur oleh prinsip-prinsip yang berbeda dengan yang mengatur.
7
“The moral and ontological primacy is similarities over differences.” “The socially transcendental character is human nature.” 9 “Human nature as the basis of good life or, what comes to the something, asserts the unity of good and truth.” 10 “Human beings were no different,…Different species formed a hierarchy based on the degree to which they realized the totality of goodness or the Idea of the Good.” 8
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
46
Menurut Plato, semua orang Yunani merupakan orang tunggal, kerabat, dan bersahabat dengan alam. Namun, antarindividu Yunani seringkali saling berkelahi, sebab adanya perbudakan, sedangkan individu-individu non Yunani adalah musuh alamiah individu Yunani. Konflik sosial untuk nasionalisme bangsa Yunani tersebut merupakan penguasaan subyek-subyek inferior (Parekh, 2000: 20-21). Aristoteles juga meyakini bahwa rasio adalah kemampuan manusia tertinggi, serta bersifat teoretis dan praktis. Rasio teoretis adalah ilahi dan abadi, meskipun bagian integral dari sifat manusia, yang masuk dari sisi luar. Rasio teoretis lebih tinggi dari rasio praktis karena mandiri, bebas dari kendala duniawi, dan memungkinkan manusia untuk berpartisipasi dalam eksistensi menyerupai Tuhan.11
Berbeda
dengan
kehidupan
rasio
praktis,
yang
melibatkan
pengembangan dan pelaksanaan kebaikan moral dan politik, seperti keadilan dan keberanian yang memerlukan manusia lain, kehidupan rasio teoretis yang ditujukan untuk kontemplasi adalah mandiri dan bebas dari respons kontingen orang lain (Parekh, 2000: 21). Plato dan Aristoteles memposisikan manusia pada antara Tuhan dan binatang.12 Rasio teoretis adalah yang paling tinggi, sedangkan hasrat merupakan yang paling rendah karena lebih dekat dengan binatang. Plato mengatakan bahwa manusia adalah binatang yang rasional dan Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah binatang yang berpolitik. Bahkan, monisme moral memisahkan rasio dan moralitas dari budaya yang melekat pada masyarakat. Plato hanya mengakui dominasi rasio, spirit dan hasrat di dalam masyarakat, akan tetapi tidak memiliki makna budaya. Begitu juga, Aristoteles hanya menekankan signifikansi kelas-kelas sosial dan relativitas kriteria keadilan (Parekh, 2000: 22-23). Kedua, monisme teologis Kristen. Ada dua filsuf sekaligus teolog yang mempengaruhi pandangan ini, yaitu Santo Agustinus dan Santo Thomas Aquinas. 11
“It was higher than practical reason because it was self-sufficient, free from worldly constraints, and enabled human beings to participate in God-like existence.” 12 “Humans occupied an intermediate position between God and animals.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
47
Pandangan monisme teologis Kristen didasarkan pada keyakinan bahwa “hanya agama Kristen yang merepresentasikan agama yang satu dan benar.”13 Augustinus dan Aquinas meyakini bahwa “agama adalah benar-benar dasar hidup yang baik, hanya agama Kristen adalah agama yang benar, hanya Gereja Katolik sebagai penjaga yang diberi otoritas, dan hanya satu keyakinan itu yang tidak dapat dipertanyakan merupakan jalan menuju keselamatan”.14 Sedangkan, moralitas hanya merupakan langkah menuju kehidupan dunia lain yang merepresentasikan takdir manusia akhir. Oleh sebab itu, kehidupan moral sebenarnya membutuhkan dasar religius di mana semakin berkualitas moralitasnya semakin benar agama yang mendasarinya (Parekh, 2000: 24). Monisme teologis Kristen dalam kehidupan sosial mengenalkan ide-ide universalisme moral, dan karya misionaris.15 Dengan pengenalan ide-ide tersebut pandangan ini menghadapi dua masalah, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal pandangan monisme teologis Kristen seharusnya menghargai pluralisme hermeneutik ketika doktrin utama diinterpretasikan dengan cara yang berbeda-beda. Secara eksternal pandangan itu seharusnya merangkul pluralisme religius ketika fenomena kekristenan berkonfrontasi dengan agama-agama lain, seperti Yudaisme, Paganisme, dan Islam (Parekh, 2000: 25). Konfrontasi dengan Yudaisme ditunjukkan pada interpretasi bahwa fenomena kekristenan adalah satusatunya agama yang benar, yang menggantikan Yudaisme, dan seorang Yahudi yang memahami keyakinannya harus konversi ke agama Kristen, akan tetapi realitasnya bahkan terjadi konflik antara Kristen dan Yudaisme (Parekh, 2000: 27; 30).16 Kini konfrontasi tersebut sudah didialogkan dengan reinterpretasi kitab suci. Dalam kitab suci Perjanjian Baru, Yesus berfirman bahwa “orang-orang non
13
“The belief was that Christianity alone represented the „one and true‟ religion.” “Religion was the basis of the truly good life, Christianity was the only true religion, the Catholic Church was the only authorized custodian of it, and an unquestioning faith in it was the only way to salvation.” 15 “Christian monism introduced the ideas of moral universalism, and missionary work.” 16 “His main concern was to show that it was a false and immoral religion”. 14
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
48
Yahudi akan berbagai kerajaan surga dan akan dinilai pada dasar yang sama sebagai orang-orang beriman”. Monisme teologis Kristen pun menyadari bahwa pandangannya telah menjadi sumber bagi banyak sikap intoleran dan kekerasan atas orang-orang Yahudi, Muslim, etnik asli Indian, dan lainnya. Atas kesadaran itu, pandangan teologis Kristen telah mendamaikan semuanya dengan komitmen terhadap cinta dan antikekerasan (Parekh, 2000: 32-33). Ketiga, monisme liberalisme klasik. Pandangan ini berasal dari rasionalisme Yunani dan universalisme Kristen. Ada dua filsuf yang dikategorikan sebagai monisme liberalisme klasik, yaitu John Locke dan John Stuart Mill. Monisme liberalisme klasik berpandangan bahwa “fenomena kekristenan merupakan satu-satunya agama yang mengembangkan nilai-nilai liberal atas martabat manusia, kebebasan, kesetaraan, bahkan perbedaan pendapat, dan sendirian layak menjadi manusia bebas”.17 Pandangan ini tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial dan ideologi kolonialisme sebagai fenomena historis eksternal. Selain itu, monisme liberalisme klasik menekankan dan menginstitusionalisasikan ide-ide, seperti peraturan hukum, kesetaraan warga negara, individu sebagai pemegang satu-satunya hak dan kewajiban, serta relasi langsung dan tak termediasikan relasi antara warga dan negara (Parekh, 2000: 3334). Pemikiran Locke dan Mill didasarkan pada keyakinan bahwa “hidup yang baik sebagai ikatan universal dan menilai semua masyarakat, serta jalan hidup menurut diri mereka sendiri”.18 Locke mengatakan bahwa “semua manusia memiliki martabat dan hak-hak yang setara”. Dengan konsepsi manusia itu, menurut Locke, masyarakat rasional diperintah oleh hukum postif dan umum yang disahkan oleh badan legislatif tertinggi, bukan oleh praktik-praktik dan adat
17
“Christianity was the only religion to develop the liberal values of human dignity, freedom, equality and even dissent, and was alone worthy of a free man.” 18 “… the good life as universally binding and judged all societies and ways of life in terms of them.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
49
istiadat tradisional.19 Di samping itu, Mill menambahkan bahwa manusia adalah makhluk yang paling tinggi di bumi dan harus memimpin kehidupan yang bernilai dengan statusnya (Parekh, 2000: 36-37; 40).20 Dengan demikian, pandangan monisme moral di atas sebagai sikap filosofis memiliki beberapa kekurangan dalam kehidupan masyarakat multikultur. Kekurangan pandangan monisme moral ketika menjelaskan manusia yang tertanam secara budaya di mana budaya tidak hanya memberi sifat dan struktur pada kapasitas manusia bersama melainkan juga mengembangkan sendiri hal-hal baru. Dengan pandangan seperti, kapasitas manusia mengalami konflik karena tiga alasan. Pertama, secara intrinsik, karena manusia seringkali membutuhkan keterampilan, sikap dan watak yang berbeda-beda, bahkan saling berlawanan. Kedua, limitasi kondisi manusia, karena energi, motivasi dan sumber daya manusia perlu dibatasi dan seseorang hanya bisa mengolah beberapa kapasitasnya. Ketiga, hambatan kehidupan sosial, karena setiap tatanan sosial memiliki struktur yang
spesifik
dengan
kecenderungan
yang
tak
terhindarkan
untuk
mengembangkan beberapa kapasitas lebih daripada yang lainnya, dan hanya membiarkan cara-cara penggabungannya secara tertentu. Atas dasar alasan tersebut, pandangan monisme moral telah melakukan bahaya konstan yang merupakan kesalahpahaman besar bagi cara hidup yang lain dan mengakibatkan bencana hermeneutik. Selain itu, monisme moral memandang bahwa perbedaan sebagai penyimpangan, sebagai ekspresi patologi moral (Parekh, 2000: 47-49).
19
“… All human beings had equal dignity and rights …” A rational society was governed not by customs and traditional practices but by general and „positive laws‟ enacted by the supreme legislative”. 20 “Man is the highest being on earth and should lead a life worthy of his status”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
50
2.2.2 Pandangan Pluralisme terhadap Moral dan Budaya Pluralisme dalam pandangan terhadap moral dan budaya
yang
dimaksudkan adalah sebuah teori tentang sifat manusia dari nilai-nilai yang direalisasikannya yang membuat good life.21 Perhatian utama pluralisme kepada relasi di mana nilai-nilai itu hadir antara satu sama lain, identitas nilai-nilai pluralis, qua pluralis, dan hanya yang relevan untuk memahami relasi pluralis. Singkatnya, pluralisme merupakan sebuah teori tentang salah satu aspek dari good life (Kekes, 1993: 9). Pandangan pluralisme terhadap moral dan budaya didasarkan pada keyakinan bahwa “keragaman budaya merupakan substansi dari setiap masyarakat di seluruh dunia”. Dalam pandangan pluralisme ada tiga pemikiran filsuf, yaitu Giambattista Vico, Baron de Montesquieu, dan Johann Gottfried von Herder. Sifat manusia, menurut Vico, adalah produk historis, bukan substansi transhistoris, yang dikembangkan secara berbeda, serta diekspresikan dalam epos dan masyarakat yang berbeda.22 Adanya perbedaan di dalam masyarakat, menurut Montesquieu, menjelaskan keragaman budaya adalah sifat kehidupan manusia yang berkembang perlahan-lahan dan mutlak.23 Oleh karena itu, setiap masyarakat mempunyai adat, praktik, cara, sistem hukum, struktur keluarga, dan bentuk pemerintahan yang berbeda. Perbedaan dalam masyarakat itu, menurut Herder, menunjukkan budaya yang secara unik dikaitkan dengan pengalaman kelompok masyarakat, nenek moyang dan keturunan historisnya, dan mengungkapkan cara di mana para anggota kelompok masyarakat itu memahami dan secara imajinatif menginterpretasikan pengalamannya (Parekh, 2000: 52; 56; 67).24 Vico menekankan keunikan setiap masyarakat “atas dasar keadaan geografis, historis dan bentuk pemahaman diri yang beragam, masyarakat yang 21
“Pluralism is a theory about the nature of the values whose realization would make lives good.” “Human nature was a product of history not a transhistorical substance, and was differently developed and expressed in different epochs and societies.” 23 “Cultural diversity was a pervasive and inescapable feature of human life.” 24 “Every culture was uniquely associated with the experiences of a volk, its progenitor and historical bearer, and expressed the way in which its members understood and imaginatively interpreted these experiences.” 22
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
51
berbeda mengorganisasi dirinya sendiri pada prinsip-prinsip yang berbeda”.
25
Dengan dasar ini, manusia mengembangkan kapasitas, kebutuhan, ide-ide keunggulan, bentuk rekognisi, model imajinasi dan sistem keyakinan yang berbeda, serta memunculkan bentuk yang berbeda dari aktivitas artistik dan literasi. Oleh sebab itu, manusia bertanya dengan pertanyaan yang berbeda tentang hidup dan dunianya, serta menjawabnya dengan caranya sendiri yang unik. Menurutnya, setiap masyarakat adalah komunitas budaya yang berbeda-beda di dalam sebuah bangsa (nation).26 Vico adalah salah satu pemikir yang pertama menggunakan istilah bangsa dalam pandangan modern. Misalnya, heroisme, Homer dan Achilles, hanya mungkin di Yunani kuno, tidak bisa direproduksi pada tempat lain (Parekh, 2000: 50-51). Konsep manusia Vico, meskipun kurang substantif daripada Plato dan kurang esensial daripada Aristoteles, tidak formal murni bahwa “sebagai anggota dari spesies umum, manusia bersama-sama menggunakan beberapa sifat umum”. Manusia memiliki keinginan yang identik, sifat buruk yang umum dalam bentuk kebuasaan, ketamakan dan ambisi, serta kapasitas umum, misal berpikir, imajinasi, dan pandangan umum atau penilaian tanpa refleksi. Manusia juga bersama-sama menggunakan bahasa mental umum atau kosa-kata umum yang diletakkan pada dasar dan diekspresikan secara berbeda dalam bahasa yang berbeda, sehingga mengapa pepatah dan peribahasa dari masyarakat yang berbeda secara substansial bermakna sama dan mudah dipahami oleh orang lain. Oleh sebab itu, manusia memulai sejarahnya dilengkapi dengan sifat yang sama (Parekh, 2000: 52). Zaman manusia menandai tahap ketiga dan terakhir. Namun, Vico tidak menjelaskan ketiga zaman itu, akan tetapi berpikir bahwa zaman terakhir dimulai di Eropa dengan kebangkitan Republik Roma. Dalam pola teleologisnya dikatakan bahwa tiap zaman merupakan tahap dalam peningkatan realisasi sifat 25
“Thanks to their varying geographical circumstances, history and forms of self-understanding, different societies organized them-selves on different principles”. 26 “Every society was a district cultural community, a „nation”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
52
manusia yang benar dan tepat atau “humanitas rasional”. Realisasi paling utuh dari humanitas rasional adalah representasi tahap tertinggi dari perkembangan manusia. Menurutnya, secara umum realisasi itu terjadi di dalam harmoni rasio dan agama. Selain itu, hanya masyarakat yang mengharmoniskan keduanya merupakan realisasi dari potensi manusia dan jaminan stabilitas dan kebaikan. Dalam visinya humanitas rasional dikembangkan untuk menilai agama, masyarakat dan epos historis yang berbeda. Penilaian Vico bahwa: “Hanya fenomena kekristenan adalah agama yang benar, karena menyadarkan pada ide Tuhan yang murni dan sempurna, artikulasi visi kebaikan yang tertinggi yang mulia dan noninstrumental, berisi kebenaran yang mendalam yang menarik perhatian para filsuf yang terpelajar dari orang-orang non Yahudi dan merekonsiliasikan kearifan otoritas wahyu dan rasio.” [Christianity was the only „true‟ religion because, among other things, it rested on an „infinitely pure and perfect idea of God‟, articulated a noble and non-instrumental vision of the highest good, contained truths so profound that they attracted the „most learned philosophers of gentiles‟, and reconciled the „wisdom of revealed authority with that of reason] (Parekh, 2000: 54).
Montesquieu memiliki sensitivitas keragaman budaya sebagai sifat hidup manusia yang pervasif dan mutlak.27 Setiap masyarakat mempunyai adat, praktik, cara, sistem hukum, struktur keluarga dan bentuk pemerintahan, serta masingmasing mendorong hasrat, moral, kebaikan dan sikap perilaku yang berbeda, bentuk keunggulan dan konsepsi hidup yang baik. Keragaman budaya menimbulkan dua pertanyaan, eksplanatoris dan normatif. Pertama, mengapa masyarakat memunculkan praktik-praktik dan adat-adat yang berbeda? Kedua, bagaimana menilai hal itu? Praktik adalah bukan kebetulan atau absurd, tapi rasional, kebutuhan, alami atau mudah dipahami. Eksplanasi adalah aktivitas nonpenilaian, tapi untuk memahami dan eksplorasi rasionalitas explicandum.
27
“Cultural diversity was a pervasive and inescapable feature of human life”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
53
Misalnya, rasionalitas praktik perbudakan dan poligami yang mengundang kritik (Parekh, 2000: 55-56). Kaitan praktik dan struktur sosial sebagai alasan fisik dan moral yang saling berpengaruh.28 Bagi Montesquieu, alasan fisik bersifat independen terhadap agensi manusia dan meliputi, seperti ukuran, daratan dan lokasi negara, sifat tanah, sumber ekonomi dan di atas semuanya iklim. Alasan moralnya mengacu pada tindakan manusia dan institusi, khususnya bentuk pemerintahan, hukum dan agama. Dengan saling berpengaruhnya kedua alasan, setiap masyarakat mengembangkan genius atau spirit nasional yang berbeda, meskipun derivasi sifatnya memunculkan pengaruh independen dan praktik, dan institusi sosial yang integral ke dalam keseluruhan secara koheren. Iklim memainkan pengaruh yang menentukan di dalam masyarakat terbelakang. Misalnya, praktik poligami secara luas di negara beriklim panas. Alasan fisiknya, perempuan dewasa lebih dini dan siap menikah lama sebelum berkembang pemikirannya. Selain itu, kebutuhan orang lebih sedikit dan lebih mudah dipenuhi untuk mempertahankan keluarga besar. Sebaliknya, di negara beriklim dingin, praktik poligami sangat tidak disetujui. Alasan moralnya, iklim berdasarkan justifikasi agama dan hukum, sebagai institusi manusia yang paling kuat. Menurutnya, ada tiga sumber standar moral universal, yaitu sifat segala sesuatu, hukum sifat manusia, dan analisis sosiologis pengalaman manusia (Parekh, 2000: 56-58). Atas dasar tiga sumber standar moral universal itu, Montesquieu memberikan visi yang berbeda tentang good life dan tubuh standar moral universal, yaitu: “Keamanan, kebebasan, keluarga stabil, relasi kesehatan antar jenis kelamin, pengendalian diri, kelembutan gairah, industri dan penghindaran dogmatisme, serta keyakinan yang kuat merupakan kualitas yang diinginkan secara universal. Begitu juga, kesetaraan, rasa keadilan, cinta, humanitas, otonomi personal, spirit penyelidikan bebas, toleransi, hukum umum dan tetap, check and balance dalam ranah kehidupan personal, 28
“Montesquieu explained social structures and practices in terms of what he called physical and moral causes”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
54
keluarga dan politik, serta pengendalian konstitusional pada kekuatan politik. Agama menjadi basis kehidupan sosial yang dibutuhkan.” [Security, liberty, stable family, healthy relations between the sexes, selfrestraint, mildness of passion, industry and avoidance of strong convictions and dogmatism were all universally desirable qualities, and so too were equality, a sense of justice, love, humanity, personal autonomy, the spirit of free inquiry, toleration, settled and general laws, checks and balances in personal, familial and political areas of life, and constitutional restraints on political power. …religion was the necessary basis of social life] (Parekh, 2000: 59).
Di samping itu, Montesquieu sangat simpatik kepada masyarakat modern komersial sebagai liberalisme konservatif. Pandangannya bahwa masyarakat itu telah menciptakan kondisi good life, yaitu peningkatan penguasaan manusia atas alam, memelihara moderasi, mengecilkan nafsu dan keyakinan yang kuat, serta menguatkan kelembutan watak dan perasaan. Pada sisi yang lain masyarakat modern komersial meningkatkan konsumerisme, mengecilkan kebaikan yang berjalan melampaui keadilan yang pasti, seni yang vulgar, menciptakan iklim yang di dalamnya segala sesuatu hanya dilakukan demi uang, dan lainnya. Montesquieu berpikir bahwa “meski tidak sempurna, masyarakat komersial berada pada kesimbangan yang lebih baik daripada semua masyarakat masa lalu dan paling baik dalam harmoni dengan pengetahuan tentang sifat dan kehidupan manusia.” Oleh sebab itu, pada masyarakat non Eropa akan banyak membantu memperbaiki kekerasan yang kejam dan perkembangan spirit rasional yang baru (Parekh, 2000: 61). Herder menolak pandangan monisme bahwa “budaya adalah hasil warisan banyak produk yang berbeda dari alam manusia yang dimiliki bersama secara universal”.29 Menurut Herder, sifat manusia adalah lumpur liat yang berbeda dicetak oleh budaya yang berbeda.30 Atas dasar itu, komunitas budaya merupakan titik awal filsafat moral dan politik, bukan individu abstrak dari imajinasi 29 30
“Cultures were so many different by products of a universally shared human nature”. “Human nature was a „pliant clay‟ differently moulded by different cultures”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
55
kontraktualis, bukan pula sifat manusia yang diajukan filsuf-filsuf Yunani kuno. Oleh sebab itu, secara unik setiap budaya dikaitkan dengan pengalaman komunitas, nenek moyang dan keturunan historisnya, dan mengungkapkan cara di mana anggota memahami dan menginterpretasikan pengalaman-pengalamannya secara imajinatif. Alam telah meletakkan tendesi menuju keragaman di dalam hati manusia (Parekh, 2000: 67-68). Posisi Herder di antara Vico dan Montesquieu terletak pada penekanan bahasa sebagai batasan budaya. Menurut Herder, setiap komunitas budaya memiliki bahasa sendiri dan sebagai komunitas bahasa yang berbeda. Bahasa adalah basis dan media pemikiran. Setiap bangsa berbicara dengan caranya berpikir, dan berpikir dengan caranya bicara.31 Penggunaan bahasa merupakan bentuk partisipasi dalam hidup, mengalami dan memandang dunia dengan cara partikular, terikat dengan sesama pengguna bahasa dalam ikatan yang indissoluble (tak berwujud) dan intangible (tak terpecah) dari memori, sentimen, tradisi dan kebanggaan bersama. Kehendak tak dapat bebas, akan tetapi manusia dapat bebas. Rasio tak transenden secara alamiah, akan tetapi tertanam secara budaya, dan model fungsinya diikat erat dengan tradisi budaya. Komitmen pada budaya didasarkan pada prasangka (prejudice), penerimaan penuh warisan dengan nilai kebanggaan dan keyakinan, bukan keyakinan rasional atas pertimbangan utilitarian. Oleh sebab itu, Herder menegaskan bahwa “semua moralitas adalah konkret dan kontekstual”.32 Bukan universalisme moral yang dipikirkan oleh Montesquieu. Misalnya, perbudakan itu pelanggaran, bukan sebab semua manusia sama pada dasarnya, akan tetapi sebab telah merenggut manusia dari habitat alam dan sosial yang memproduksi kegilaan, kebingungan, keputusasaan dan pasti semua manusia tidak ingin diperbudak (Parekh, 2000: 68-70). Herder mengritik keras pemikiran zaman Pencerahan sebab mereka asyik dengan ras dan mendukung rasisme, baik eksplisit ataupun implisit. Selain itu, ia mengutuk negara Romawi kuno sebab menghancurkan peradaban asli, serta 31 32
“Every nation speaks in the manner it thinks and thinks in the manner it speaks”. “All morality was concrete and contextual”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
56
mengritik keras misionaris Kristen sebab mengubah agama orang lain dengan paksa atau dengan iming-iming uang dan kebutuhan lainnya kepada manusia pada kerajaan Eropa besar. Dari beberapa kritik itu, Herder merupakan pemikir liberal, seperti Mill, Tocqueville, dan lainnya. Baginya, liberalisme memerlukan spirit kuat nasionalitas dan kesatuan budaya. Maksudnya bahwa negara lemah, karena itu diperlukan prasyarat kebebasan individual. Budaya adalah “produk imajinasi manusia, kreativitas, dan pencarian terhadap pemahaman dirinya” (Parekh, 2000: 71-72).33 Atas dasar pandangan pluralisme terhadap moral dan budaya di atas, ada tujuh kekeliruan di dalam memahami budaya, sebagai berikut. Pertama, fallacy of holism (keliru holisme). Keliru jika budaya dipandang sebagai satu kesatuan organis dan terintegrasi, serta menolak keragaman dan ketegangan internal. Kedua, fallacy of distibentunctness (keliru pembedaan). Keliru jika budaya diasumsikan sebagai unit tersendiri, yang memiliki keunikan spirit, etos atau prinsip organisasi, dapat diindividualisasi dan dibedakan dengan mudah antara satu dan lainnya. Ketiga, positivist, historicist or end-of-history fallacy (keliru positivis, historis atau akhir-sejarah). Keliru jika budaya dipandang statis. Budaya dikatakan sebagai produk historis yang panjang, tetapi harus dipertahankan secara lebih utuh. Bahkan, budaya dikatakan sebagai representasi capaian tertinggi manusia yang menandai akhir-sejarah (Parekh, 2000: 77-78). Keempat, fallacy of ethnocization of culture (keliru etnikisasi budaya). Keliru jika budaya dilihat sebagai ekspresi yang unik dan organis dari spirit, jiwa, karakter nasional, tingkat perkembangan mental atau hasrat dan insting terdalam dari komunitas. Kelima, fallacy of closure (keliru penutupan). Keliru jika budaya diasumsikan menjadi integrasi menyeluruh, sehingga perubahan terkecil dianggap konsekuensi yang tak terprediksikan. Oleh sebab itu, reformasi harus dihindari atau ditangani dengan serius. Keenam, fallacy of cultural determinism (keliru determinisme budaya). Keliru jika budaya dipandang memiliki dominasi spirit 33
“Cultures … were products of human imagination, creativity and the search for selfunderstanding.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
57
atau prinisip berorganisasi dengan mewajibkan atau mengatur anggotanya bertindak dengan cara tertentu. Tak heran, jika teori-teori budaya hanya menyisakan ruang kebebasan terbatas. Ketujuh, fallacy cultural autonomy (keliru otonomi budaya). Keliru jika budaya dipisahkan dari struktur politik dan ekonomi masyarakat. Dengan mengabaikan politik dan ekonomi budaya, keliru memahami proses penciptaan, konsolidasi, dan basis kekuatannya (Parekh, 2000: 78-79).
2.2.3 Pandangan Liberalisme terhadap Moral dan Budaya Liberalisme merupakan sebuah pemikiran filsafat politik, terutama berkaitan dengan relasi antara individu dan negara, dan dengan membatasi gangguan negara pada kebebasan masyarakat warga.34 Liberalisme mengandung lebih luas relasi antara individu dan masyarakat, khususnya anggota individu dalam komunitas dan budaya (Kymlicka, 1991: 1). Pandangan liberalisme terhadap moral dan budaya berkeyakinan bahwa “keragaman moral dan budaya dikonstruksi oleh struktur sosial yang berbeda”. Ada tiga filsuf dalam pandangan liberalisme terhadap moral dan budaya, yaitu John Rawls, Will Kymlicka, dan Joseph Raz. Rawls menjelaskan bahwa ide-ide kebebasan, kesetaraan dan sistem kerjasama yang sukarela merupakan inti dari budaya politik dalam masyarakat demokrasi. Atas dasar ide-ide tersebut, liberalisme politik atau konsepsi politik tentang keadilan menjadi jawaban baru untuk fakta pluralisme (Parekh, 2000: 83). Liberalisme politik terbatas pada dunia pengetahuan politik yang didefinisikan secara luas untuk memenuhi struktur dasar masyarakat. Liberalisme politik tidak berbicara tentang manusia tetapi warga negara, bukan rasio manusia tetapi rasio publik atau rasio warga negara, bukan pribadi manusia tetapi konsepsi politik personal, bukan kekuasaan manusia tetapi kekuasaan warga negara. Susunan 34
“Liberalism, as a political philosophy, is often as being primarily concerned with the relationship between the individual and the state, and with limiting state intrusions on the liberties society of citizens.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
58
kebaikan-kebaikan utama berasal dari dalam konsepsi politik keadilan, sehingga warga negara menata urusan bersama menurut rasio publik.35 Rawls mengklaim bahwa liberalisme politik mampu menyelesaikan problem bagaimana warga negara yang menganut doktrin komprehensif dan konsepsi yang berbeda mengenai kebaikan, bisa menciptakan pemerintahan yang adil, stabil, dan meninggalkan ruang yang cukup untuk keragaman (Parekh, 2000: 83-84).36 Rawls mengatakan bahwa “institusi sosial ekonomi dan politik utama sebagai struktur dasar masyarakat sangat mempengaruhi pelaksanaan hak-hak, kebebasan dan prospek di dalam kehidupan, yang merupakan subyek utama keadilan”.37 Fakta pluralisme dalam kehidupan moral dapat dijawab oleh Rawls dengan liberalisme politik dan keadilan sebagai konsepsi politik. Selain konsep politik atas keadilan perlu didukung dengan budaya masyarakat demokratis dan beberapa pemikiran filosofis, perlu juga dukungan doktrin-doktrin komprehensif yang masuk akal. Liberalisme politik itu menyediakan tiga asumsi. (a) Keadilan adalah kebajikan pertama masyarakat dan kesepakatan tentang keadilan adalah prasyarat atas stabilitas politik. (b) Dua prinsip keadilan adalah hanya konsisten dengan gagasan dasar dari warga negara dan masyarakat yang “bebas” dan “setara” sebagai sistem kerjasama yang sukarela. (c) Prinsip-prinsip itu berlaku bebas dan tidak mensyaratkan liberalisme komprehensif. Institusi-institusi publik, misalnya negara, harus aktif didorong untuk mereinterpretasikan doktrin-doktrin komprehensif dari perspektif konsepsi politik atas keadilan. Contohnya, kitab suci, al-Qur’an dan Injil, perlu direinterpresikan dari perspektif prinsip-prinsip demokratis, kesetaraan gender, dan kebebasan kesadaran (Parekh, 2000: 81; 8485; 88).
35
“The index of primary goods is also derived from within the political conception of justice.” “Rawls‟s political liberalism claims to solve the problem of how citixens holding different comprehensive doctrines and conceptions of the good can create a polity that is just, stable and leaves „enough space‟ for diversity.” 37 “Since major social economic and political institutions or what he called the basic structure of society profoundly affected citizens‟ exercise of their rights, liberties and prospects in life. …they were the primery subject of justice.” 36
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
59
Etos liberalisme politik bisa dengan mudah menembus doktrin-doktrin agama dan filsafat, yang menekankan pemahaman dan artikulasi diri dalam idiom-idiom standar liberal, dan hampir mengeliminasi pemikiran nonliberal. Misalnya, Locke mengubah Kristen menjadi doktrin yang rasional dari misteri teologis, menyederhanakan moralitas yang saling menguntungkan dengan kaum borjuis, dan mengubah gereja menjadi asosiasi sukarela. Dari etos itu, liberalisme politik lebih bersahabat pada perbedaan moral dan budaya, tetapi sangat membatasi ruang perbedaan. Contohnya, penganut agama yang berpihak pada pendirian antiaborsi yang rigid, akan beresiko dicap kejam dan opresif (Parekh, 2000: 88-89). Pemikiran Raz dipengaruhi oleh pemikiran Aristotoles bahwa “pencarian kesejahteraan manusia merupakan telos atau setidaknya prinsip kehidupan manusia yang inspiratif, dan tercapai dalam pencarian kesuksesan terhadap tujuan yang bermanfaat sepanjang waktu”.38 Sifat dan isi kesejahteraan personal itu kontekstual secara alamiah dan bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain, sehingga otonomi merupakan komponen universal dari kesejahteraan manusia, akan tetapi terbatas pada masyarakat liberal Barat modern. Nilai otonomi personal bagi masyarakat liberal adalah suatu fakta hidup dan sama sekali tidak terbuka untuk memilih cara hidup lain yang berbeda. Secara struktural nilai otonomi derivasi dari syarat fungsional masyarakat modern dan tidak tergantung pada pilihan (Parekh, 2000: 90-91). Pilihan adalah otonom, bagi Raz, jika memenuhi persyaratan berikut. Pertama, pilihan harus bebas, tidak dipaksa dan dimanipulasi. Kedua, pilihan harus disengaja dan didasarkan pada penilaian yang seksama terhadap pemikiran yang relevan. Ketiga, pilihan harus berelasi dengan urusan penting, seperti pernikahan, pekerjaan, relasi sosial, bentuk-bentuk kehidupan dan proyek-proyek jangka panjang. Keempat, pilihan harus tulus dalam arti yang dibuat antara opsiopsi yang signifikan berbeda dan setara bernilai. Otonomi Raz itu merupakan 38
“The pursuit of human well-being is the telos or at least the inspiring principle of human life, and consists in successful pursuit of worthwhile goals over lifetime”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
60
sentral bagi masyarakat Barat modern. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh kelompok imigran, masyarakat pribumi, dan komunitas agama yang tidak menetapkan otonomi tersebut. Menurut Raz, budaya-budaya non Barat adalah inferior dan menyakiti anak-anak. Bahkan, Raz menyimpulkan bahwa budaya non Barat tidak layak mendapat penghormatan, kemudian apakah harus ditoleransi. Menurut pandangan Raz, ditoleransi jika budaya non Barat dapat terus bertahan hidup, tidak menyakiti orang asing dan menawarkan kehidupan yang mencukupi dan memuaskan kepada anggotanya. Selain ditoleransi, cara hidup nonliberal pun harus diasimilasi dan dipaksa jika perlu, supaya kehidupannya dapat terus berlangsung (Parekh, 2000: 92-94). Perbedaan moral dan budaya dalam masyarakat mendorong beragam pilihan yang berbeda dan bentuk-bentuk kesejahteraan yang berbeda. Dengan kata lain, perbedaan moral dan budaya dalam kehidupan masyarakat, bagi Raz, memberikan otonomi pribadi manusia dan kesejahteraan sosial. Otonomi menurut Raz adalah “proses penciptaan diri terus menerus melalui keputusan-keputusan kecil dan besar tentang area signifikan dari kehidupan personal.”39 Budayabudaya masyarakat yang memenuhi syarat-syarat minimum, layak menerima rasa hormat dan dukungan setara. Oleh karena itu, semua manusia tertanam secara budaya dan tergantung pada budayanya demi kebebasan, identitas, kesejahteraan, dan berhak untuk memelihara dan melanjutkannya kepada generasi baru (Parekh, 2000: 92; 96). Raz menjelaskan inti pemikirannya mengenai keragaman budaya secara lebih eksplisit dari sudut yang berbeda. Kelompok-kelompok nonliberal yang diyakini Raz sebagai kelompok pinggiran, kini dilihat sebagai bagian integral dari masyarakat liberal juga multikultur.40 Dengan kata lain, Raz berniat sedikit mengembangkan teori liberal “hak-hak minoritas” sebagai teori liberal
39
“Autonomy means a continuous process of self-creation by means of small and large decisions concerning significant areas of one‟s life”. 40 “These groups are now seen as an integral part of society which, although liberal, is also multicultural”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
61
multikulturalisme. Pengembangannya dari “masyarakat yang memiliki budaya tunggal” menjadi “masyarakat yang mungkin terdiri dari beberapa budaya”.41 Multikulturalisme melihat budaya menampilkan dua fungsi signifikan. Pertama, struktur dunia persepsi dan moral anggotanya memberi makna pada aktivitas dan relasi, membantu anggota memahami diri sendiri, memungkinkan anggota membuat pilihan yang cerdas dan memberikan basis yang diperlukan untuk kebebasan dan otonomi. Kedua, budaya memberi anggotanya rasa keberakaran, fokus identifikasi dan definisi identitas. Selain itu, budaya mengangkat kesejahteraan dan basis yang sangat diperlukan bagi hidup yang baik. Dari fungsi itu, Raz menyadari adanya ketegangan di antara dua dimensi budaya, kesejahteraan atau otonom, seperti dalam masyarakat hierarkis dan tradisional. Raz berpikir bahwa “tidak ada budaya yang harus dinilai hanya oleh budaya yang lain”.
42
Oleh sebab itu, budaya yang berada di antara budaya yang lain, harus
bersedia bertoleransi dan hidup secara damai dengan yang lain (Parekh, 2000: 95). Kymlicka menjelaskan keragaman budaya didasari oleh prinsip dasar liberalisme bahwa “manusia memiliki perhatian yang esensial dalam menjalani good life”.43 Dengan prinsip dasar tersebut, otonomi merupakan dasar dari teori politik liberal. Di dalam otonomi itu good life menghendaki supaya individu mampu hidup berdasarkan kepercayaan, tanpa takut pada hukuman. Selain itu, politik liberal menghendaki kebebasan sipil dan individu, pemerintahan konstitusional, dan kebebasan kesadaran. Politik liberal memposisikan individu sebagai agen moral dan pembawa hak-hak dan kewajiban. Oleh sebab itu, masyarakat tidak mempunyai status moral dan akan dinilai berdasarkan kontribusi masyarakat atas good life dari warganya. Menurut Kymlicka, kapasitas otonomi mengenalkan konsep budaya sebagai dasar yang dibutuhkan. Konsepsi budaya bahwa “manusia adalah makhluk budaya”, dalam arti budaya signifikan bagi perkembangan manusia, bukan dalam arti komunitarian yang dikonstruksi oleh 41
“Society had a single culture … society might contain several cultures”. “Raz ...thinks that no culture should be judged by either alone”. 43 “Human beings have an essential interest in leading a good life”. 42
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
62
budaya.44 Ada dua argumentasi Kymlicka tentang signifikansi budaya bagi perkembangan manusia. (a) Budaya menetapkan dan menyusun dunia manusia. Artinya, budaya berperan untuk membangun otonomi manusia. (b) Budaya memberi kontribusi bagi kesejahteraan manusia dan penciptaan masyarakat yang stabil (Parekh, 2000: 99-100). Tidak seperti Raz, Kymlicka memahami bahwa otonomi merupakan “nilai sentral liberal dan budaya harus dinilai terutama dalam kemampuan menyediakan pilihan yang bermakna dan berharga bagi anggotanya serta mengolah kapasitasnya bagi otonomi individual”.45 Budaya dimaknai lebih paradigmatik yang didasarkan pada politik keseragaman oleh Kymlicka, adalah: “Mengacu pada komunitas antargenerasi, lebih atau kurang lengkap secara institusional, menempati suatu wilayah atau tanah air tertentu, dan berbagi bahasa dan sejarah yang berbeda.” [It refers to an intergenerational community, more or less institutionally complete, occupying a given territory of homeland, sharing a distinct language and history] (Parekh, 2000: 101).
Kebebasan yang dituntut, bukan kebebasan bergerak melampaui historisitas dan budaya manusia, akan tetapi bergerak di dalamnya. Otonomi yang dicari tidak mengacu pada kesempatan mengeksplorasi dan bereksperimen dengan budaya yang lain, akan tetapi menanyakan keyakinan dan praktik sendiri. Oleh sebab itu, kelompok liberal berharap negara melindungi tidak hanya hak-hak individual, tetapi juga budaya nasional (Parekh, 2000: 100-101). Di dalam masyarakat multikultur Kymlicka menolak konsep asimilasi dari liberalisme klasik dan memakai teori keadilan Rawlsian sebagai dasar teori multikulturalisme. Secara teoretis asimilasi mengingkari budaya sebagai pembangunan manusia yang signifikan, karena menyingkirkan hak minoritas atas 44
“Human beings are cultural creatures”. “Autonomy is the central liberal value and that a culture should be judged primarily in terms of its ability to provide its members with meaningful and worthwhile options and cultivate their capacity for individual autonomy”. 45
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
63
budayanya, dan prinsip keadilan Rawls menuntut bahwa minoritas dan mayoritas harus menikmati hak-hak budaya yang sama dan menggunakannya dengan samasama efektif. Secara praktis asimilasi dilaksanakan dengan paksaan dan cenderung mengarah pada disorientasi psikologis dan moral. Padahal, aecara logis bangsa minoritas tidak berbeda dengan bangsa mayoritas.46 Bangsa minoritas pun harus menikmati hak-hak membuat kebijakan budaya dan bahasa sendiri, membatasi penjualan tanah, dan lainnya. Oleh karena itu, budaya hanya bernilai sebagai syarat pembangunan otonomi (Parekh, 2000: 102). Kymlicka meyakinkan bahwa supaya bangsa minoritas secara internal liberal, karena jika tidak, akan merusak haknya atas otonomi kolektif. Misalnya, imigran adalah minoritas etnik, bukan minoritas bangsa dan bukan pengunjung tidak tetap, akan tetapi warga negara dalam masa penantian (citizens-in-waiting). Imigran dapat mengajukan klaim budaya dan klaim politik yang sama, seperti warga negara yang lain, namun bukan klaim hak-hak nasional atas pemerintahan sendiri dan otonomi budaya. Selanjutnya, dalam masyarakat polietnisitas kelompok minoritas digabungkan ke dalam budaya nasional. Dalam masyarakat multinasional dibutuhkan pembangunan “rasa yang cukup kuat”, identifikasi mutual antara kelompok mayoritas, dan dorongan melanjutkan hidup bersama (Parekh, 2000: 103-104). Dari pandangan liberalisme, ada pencegahan atas pengembangan respons liberal secara koheren dan persuasif terhadap keragaman budaya dan moral. Pertama, meski kaum liberal mengawali untuk menghargai ketertanaman budaya pada manusia, akan tetapi masih sulit sekali memecahkan padangan transkultural tradisional mengenai manusia. Kedua, secara langsung atau tidak dan halus atau kasar, kaum liberal terus-menerus mengabsolutkan liberalisme. Kontradiktif dengan klaimnya menerima kekuatan penuh pluralisme moral dan budaya, serta pengakuan atas good life yang dijalani dengan berbagai cara yang berbeda. Ketiga, sentral karakter budaya masyarakat liberal yang diwariskan secara 46
“A minority nation is logically no different from the majority nation”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
64
historis, persuasi teologis dan liberal deontologis. Persuasi teologis liberal menimbulkan banyak kekerasan dan kesombongan moral terhadap kaum nonliberal. Liberal deontologis melanggar otonomi moral dengan memaksa isi minimum dan universal liberal kepada kaum nonliberal. Dengan demikian, jika kaum liberal mengatakan bahwa selama masyarakat Barat modern adalah liberal yang berarti diberi kuasa meminta anggotanya untuk hidup atas dasar nilai-nilai liberal, maka terjadi homogenisasi, penyederhaan, monopoli moral dan budaya atas masyarakatnya serta perlakuan yang lain sebagai penyusup ilegal dan menyulitkan. Inilah salah paham logika batin dan kekuatan kaum liberal terhadap kaum nonliberal ketika berusaha mengubahnya menjadi satu (Parekh, 2000: 109113).
2.2.4 Pandangan Universalisme Pluralis terhadap Moral dan Budaya Pandangan universalisme pluralis merupakan kritik Parekh terhadap pandangan monisme moral, pluralisme dan liberalisme di atas dan sekaligus respons yang paling koheren terhadap keragaman moral dan budaya. Universalisme pluralis berpandangan bahwa “nilai-nilai moral universal adalah nilai-nilai yang diyakini layak akan kesetiaan semua manusia, dan dalam arti secara universal berlaku dan mengikat”.47 Nilai-nilai moral universal ditujukan untuk meregulasi hidup manusia. Nilai moral universal dicapai dengan dialog lintas budaya atau universal (Parekh, 2000: 127-128). Manusia memiliki kapasitas yang unik dan berharga, seperti berpikir, rasio, berbahasa, berpandangan good life, memasuki relasi moral satu sama lainnya, kritis atas diri sendiri, dan mencapai tingkat unggul secara bertahap. Nilai moral universal untuk mengatakan bahwa manusia memiliki kelayakan daripada binatang dan makhluk lainnya di dunia ini. Dengan kata lain, kelayakan pada manusia dengan memiliki martabat. Tidak seperti kelayakan, martabat adalah 47
“Universal moral values are those we have good reason to believe to be worthy of the allegiance of all human beings, and are in that sense universally valid of binding”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
65
“konsep
aristokrasi
atau
hierarkis
dan
mendiskripsikan
status
yang
diistimewakan”.48 Status pada individu yang diistimewakan dari individu yang lain adalah martabat. Jelasnya bahwa: “Martabat tidak melekat pada diri manusia, melainkan status manusia dirundingkan pada diri manusia sendiri dalam praktik pengakuan atas kapasitas unik bersama, bukan merupakan properti alamiah, melainkan praktik moral yang meregulasi relasi manusia antara satu sama lain.” [Dignity is not inherent in human beings, but is a status they confer on themselves in acknowledgement of their uniquely shared capacities, not a natural property but a moral practice regulating their relations with each other] (Parekh, 2000: 130).
Oleh sebab itu, martabat bukan merupakan status individual, melainkan status kolektif, karena individu memperoleh dengan menjadi bagian dari spesies manusia dan menguasai kapasitas spesifik spesies tertentu. Parekh menegaskan bahwa “martabat manusia adalah kelayakan manusia dilihat dalam perspektif komparatif, sebab itu bukan sumber independen dari prinsip-prinsip moral, melainkan hanya menambah dimensi baru bagi kehidupan moral”.49 Perbedaan tajam antara manusia dan nonmanusia dalam konsep martabat manusia pada tradisi pemikiran, seperti Yunani, Kristen, dan Islam, menjadi pertimbangan yang penting. Sedangkan, pada tradisi pemikiran, seperti Hindu dan Budha, perbedaan tersebut dalam konsep martabat manusia menjadi relatif. Selain rekognisi kelayakan dan martabat manusia, dibutuhkan promosi kesejahteraan manusia atau kepentingan fundamental manusia, kesetaraan, serta totalitas kemungkinan nilai-nilai moral universal (Parekh, 2000: 131; 133). Nilai-nilai moral universal dalam peradaban manusia telah dipromosikan oleh Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB tahun 1948 sebagai titik awal dialog lintas budaya. Meski bernilai moral universal, Deklarasi Universal HAM 48
“Unlike worth, dignity is an aristocratic or hierarchical concept and describes a privileged status”. 49 “Human dignity is human worth seen in a comparative perspective, it is not an independent source of moral principles but it does add a new dimension to moral life”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
66
memiliki kelemahan, adanya bias liberal yang berbeda, seperti hak kebebasan berekspresi yang kurang lebih tak terbatas, hak pernikahan yang didasarkan pada “persetujuan penuh dan bebas” antara pihak-pihak yang terlibat, dan hak properti yang relatif tak terbatas. Bahkan, Deklarasi Universal tersebut mengebiri kepercayaan universalis dan kritis, serta membuat kesalahan dalam mengacaukan hak asasi manusia dengan struktur institusional khusus (Parekh, 2000: 134). Dalam
implementasinya,
nilai-nilai
moral
universal
yang
telah
dipertahankan secara legitimit benar-benar bersifat umum, perlu diinterpretasikan, diprioritaskan, dan diadopsi. Apabila ada konflik, nilai-nilai moral universal direkonsiliasikan dalam sudut pandangan budaya dan suasana masing-masing masyarakat. Penghormatan terhadap hidup manusia adalah nilai universal, namun masyarakat yang berbeda-beda tidak menyepakati kapan hidup manusia berawal dan berakhir, dan hal apa yang mengakibatkannya. Oleh sebab itu, penghormatan martabat manusia menuntut bahwa seorang manusia seharusnya tidak menghinakan atau merendahkan sesama manusia atau memperlakukan manusia dengan tindakan kejam dan pelecehan, apalagi kekerasan. Nilai-nilai universal dapat terlibat konflik dengan nilai-nilai sentral yang diterima bebas pada komunitas budaya, karenanya dibutuhkan dialog lintas budaya (Parekh, 2000: 135).
2.3 Respons atas Pandangan Moral dan Budaya Perbedaan pandangan moral dan budaya di atas adalah sebuah keniscayaan bagi relasi manusia dalam kehidupan sosial. Pandangan monisme moral, pluralisme, liberalisme, dan universalisme pluralis berusaha menghormati kelayakan dan martabat manusia pada ruang dan waktu masing-masing sepanjang peradaban manusia. Empat pandangan moral dan budaya yang berbeda sangat mungkin dapat bertemu langsung di dalam suatu negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Indonesia sebagai negara transisi demokrasi
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
67
memberikan
ruang
pertemuan
empat
pandangan
tersebut
yang
dapat
memunculkan konflik sosial yang melecehkan dan menodai harkat dan martabat manusia itu sendiri. Seperti, konflik sosial yang terjadi di Poso, Ambon dan Cikeusik merupakan ranah konflik antara empat pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda tersebut. Fenomena konflik sosial awal reformasi tersebut telah meruntuhkan tatanan sosial masyarakat Indonesia yang berpandangan pada keragaman moral dan budaya atas dasar konstitusi negara. Keragaman moral dan budaya masyarakat Indonesia dijelaskan di dalam normativitas dan faktisitas yang disepakati bersama secara sosial, politik dan budaya. Normativitas pandangan moral dan budaya didasarkan pada konstitusi negara, yang menjelaskan relasi individu di dalam masyarakat. Ada tiga nilai moral dan budaya yang diakui di dalam kehidupan sosial. Pertama, keragaman dalam identitas nasional. Manusia Indonesia merupakan keragaman dari berbagai budaya dan bangsa yang berbeda-beda dan bersama-sama mengakui identitas nasional. Keragaman dalam identitas nasional terdiri dari individu-individu yang berasal dari orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain, sehingga masyarakat warga negara ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.50 Kedua, kesetaraan atau kebersamaan di dalam hukum dan pemerintahan. Kesetaraan manusia sebagai warga negara wajib menjunjung hukum dan pemerintahan, sehingga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam kesetaraan setiap individu berhak dan wajib berpartisipasi membela negara.51 Ketiga, kebebasan atau kemerdekaan dalam kehidupan sosial. Kebebasan individual untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya sesuai regulasinya.52 Oleh karenanya, sebagaimana pandangan liberalisme, manusia Indonesia menolak teori dan praktik asimilasi moral dan budaya. Sedangkan,
50
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 ayat 1 dan 2. Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 1 dan 2. 52 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28. 51
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
68
kesetaraan dan kebebasan yang dianut oleh manusia Indonesia sebagaimana pandangan universalisme pluralis. Nilai-nilai moral dan budaya Indonesia tersebut secara universal diinterpretasikan di dalam hak asasi manusia bahwa “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Hak asasi manusia Indonesia tersebut diperoleh di dalam ranah kehidupan privat dan kehidupan publik, seperti hak keluarga, hak agama, hak pertahanan dan keamanan, hak pendidikan, serta hak perekonomian dan kesejahteraan sosial.53 Hak asasi manusia Indonesia bukan dalam pandangan monisme moral, pluralisme, dan liberalisme, karena hak harus dibarengi dengan kewajiban bahwa: “(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.54
Sementara itu, berbeda pula dengan pandangan universalisme pluralis, penghormatan martabat manusia sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban publik dalam suatu masyarakat demokratis, bukan nilai universal. Dengan kata lain, nilai-nilai moral dan budaya masyarakat lokal menjadi pertimbangan sebagai masyarakat demokratis untuk rekognisi dan penghormatan martabat manusia. Faktisitas pandangan moral dan budaya Indonesia tidak sebagaimana normativitasnya, melainkan sebaliknya seringkali terjadi kontradiksi dan konfrontasi nilai-nilai moral dan budaya dalam interpretasinya yang berakibat pada konflik di dalam kehidupan sosial. Konflik nuansa agama dan etnik
53
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I, 28J, 29, 30, 31, 32, 33, dan 34. 54 Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28J. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
69
merupakan subyek utama karena nilai-nilai moral dan budaya menjadi pertimbangan untuk rekognisi dan penghormatan martabat manusia. Padahal, kehadiran negara di dalam relasi manusia yang berkonflik seharusnya sebagai berikut: “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.55 Negara tidak berpandangan pada monisme moral teologis agama tertentu atau etnisitas tertentu, melainkan berpandangan pada kehidupan religius, yaitu cara hidup yang diberkati rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dan merdeka. Dasar atas “Ketuhanan Yang Maha Esa” di dalam Pancasila harus bersamaan dengan sila lainnya, misalnya “kemanusiaan yang adil dan beradab”, sehingga merupakan landasan moral dan budaya, bukan monisme moral teologis atau pluralisme budaya ataupun liberalisme politik, karena landasan moral dan budaya tersebut harus diberkati oleh rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Esa dan Yang Maha Kuasa merupakan sifat dzat Tuhan yang harus diinterpretasikan oleh manusia Indonesia di dalam kehidupan sosial, politik dan budaya. Dalam konteks itu, etnik-etnik Indonesia memiliki pandangan moral dan budaya. Bahkan, atheisme juga memiliki pandangan moral dan budaya. Ateisme (atheism) adalah ide sederhana yang mendalam, yang berasal dari bahasa Yunani a berarti “tidak atau tanpa” dan theos berarti “Tuhan”. Istilah ateisme itu hanya menunjukkan sebuah posisi, bukan “keyakinan”, yang mencakup atau menegaskan tidak ada dewa.56 Dalam praktiknya istilah ateisme merupakan satu bentuk penghakiman dan penilaian negatif (Eller, 2010: 1). Atheisme memiliki keyakinan, namun bukan pada Tuhan yang diyakini oleh agama yang lain. Dengan begitu, negara 55
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29. “Atheism is a profoundly simple idea: derived from the Greek a - for "no/without" and theos for “god,” it merely designates a position (not a “belief”) that includes or asserts no god(s).” 56
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
70
menjamin kemerdekaan setiap individu untuk memeluk agamanya masing-masing menurut agama dan kepercayaannya itu. Selain itu, untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dengan rekognisi dan penghormatan martabat manusia, negara seharusnya bertindak sebagai berikut: “(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. (2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.57
Dengan tanggung jawab negara yang mengakui keragaman moral dan budaya seperti itu, keadilan dan kesejahteraan sosial dapat direalisasikan bersama dengan partisipasi setiap individu sebagai warga negara.
2.4 Ikhtisar Bab dua ini telah menjelaskan empat bentuk pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda, yaitu monisme moral, pluralisme, liberalisme, dan universalisme pluralis. Bentuk-bentuk pandangan moral dan budaya dimunculkan oleh interpretasi seorang individu dalam relasi manusia terhadap keragaman moral dan budaya. Monisme moral berpandangan bahwa hanya ada satu jalan hidup yang benar-benar manusiawi, atau yang terbaik, sedangkan yang lainnya memiliki kekurangan. Pluralisme berpandangan bahwa keragaman moral dan budaya merupakan substansi dari setiap masyarakat di seluruh dunia. Liberalisme berpandangan bahwa perbedaan moral dan budaya dikonstruksi oleh struktur sosial yang berbeda. Terakhir, universalisme pluralis berpandangan bahwa nilainilai moral universal adalah nilai-nilai yang diyakini layak akan kesetiaan semua manusia, dan dalam arti secara universal berlaku dan mengikat.
57
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
71
Atas dasar perbedaan pandangan tersebut, pandangan moral dan budaya Indonesia berbeda dengan monisme moral, pluralisme, liberalisme dan univeralisme pluralis. Perbedaan pandangan moral dan budaya Indonesia dengan pandangan lainnya di dalam rekognisi dan penghormatan martabat manusia. Pandangan moral dan budaya Indonesia mempertimbangkan nilai-nilai moral dan budaya masyarakat lokal untuk rekognisi dan penghormatan martabat manusia. Dengan pertimbangan nilai-nilai moral dan budaya lokal, keragaman moral dan budaya masyarakat Indonesia dijelaskan di dalam normativitas dan faktisitas yang disepakati bersama secara sosial, politik dan budaya. Secara normatif ada tiga nilai moral dan budaya yang diakui di dalam kehidupan sosial. Pertama, keragaman dalam identitas nasional. Kedua, kesetaraan atau kebersamaan di dalam hukum dan pemerintahan. Ketiga, kebebasan atau kemerdekaan dalam kehidupan sosial. Namun, secara faktual seringkali terjadi kontradiksi dan konfrontasi di antara nilai-nilai moral dan budaya dalam interpretasinya yang berakibat pada konflik di dalam kehidupan sosial.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
BAB III KONSTRUKSI SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTUR
3.1 Pengantar Perbedaan pandangan moral dan budaya dimunculkan oleh intepretasi seorang manusia terhadap moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Dalam bab ketiga ini akan dijelaskan unsur-unsur pembentuk masyarakat multikultur, yaitu keragaman moral dan budaya, identitas sosial, perbedaan, dan kehidupan publik. Di dalam unsurunsur pembentuk masyarakat multikultur ada isu-isu penting yang perlu diwacanakan dan didialogkan di dalam kehidupan sosial, yaitu keadilan dan kesetaraan, serta agama dan etnik. Selain itu, akan dijelaskan keterbatasan masyarakat multikultur yang dapat memberi ruang kemungkinan konflik antarindividu terjadi.
3.2 Unsur-unsur Pembentuk Masyarakat Multikultur Masyarakat multikultur berbeda dengan masyarakat plural atau masyarakat majemuk. Istilah “masyarakat multikultur” perlu dijelaskan lebih dahulu di dalam konstruksi sosialnya. Istilah masyarakat multikultur adalah “keragaman komunal”, karena secara logis distingtif dan menimbulkan pertanyaan yang unik, merupakan obyek investigasi yang koheren dan mandiri, serta layak sebagai istilah yang spesifik.1 Secara definitif masyarakat multikultur adalah “keragaman komunal yang mencakup dua atau lebih komunitas budaya” (Parekh, 2000: 4; 6).2 Pengertian masyarakat multikultur sudah diungkapkan oleh Taylor lebih dahulu 1
“Furthermore since communal diversity is logically distinct and raises questions that are unique to it, it constitutes a coherent and self-contained object of investigation, and deserves a name specific to it.” 2 “A multicultural society, then, is one that includes two or more cultural communities.”
72 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
73
ketika menjelaskan politik rekognisi (Taylor, 1994: 61).3 Sementara itu, masyarakat plural dijelaskan pertama kali oleh seorang ekonom dengan pengalaman yang cukup dari kolonial Timur Jauh. Dalam tulisannya masyarakat plural dijelaskan sebagai berikut: “Di Burma, seperti di Jawa, mungkin hal pertama yang pengunjung temui adalah masyarakat campuran, Eropa, Cina, India, dan asli. Hal ini dalam arti campuran yang ketat, karena mereka mencampur tetapi tidak menggabungkan. Masing-masing kelompok memiliki agama sendiri, budaya dan bahasa sendiri, ide-ide dan cara-cara sendiri. Sebagai individu mereka bertemu, hanya di pasar, tempat untuk membeli dan menjual. Ada sebuah masyarakat plural, dengan bagian yang berbeda dari masyarakat hidup berdampingan, tetapi terpisah, dalam unit politik yang sama. Bahkan di bidang ekonomi, ada pembagian kerja didasarkan pada garis ras.” [In Burma, as in Java, probably the first thing that strikes the visitor is the medley of peoples - European, Chinese, Indian, and native. It is in the strictest sense a medley, for they mix but do not combine. Each group holds by its own religion, its own culture and language, its own ideas and ways. As individuals they meet, buat only in the market-place, in buying and selling. There is a plural society, with different sections of the community living side by side, but separately, within the same political unit. Even in the economic sphere, there is a division of labour along racial lines] (Furnivall, 1948: 304, 1967: xv). Masyarakat plural merupakan keragaman agama, budaya, bahasa, ide dan cara hidup di dalam kesatuan komunitas politik. Masyarakat plural secara historis terbentuk sejak kolonialisasi. Dalam cengkraman kolonialisme masyarakat plural muncul di dalam kekuatan ekonomi yang dibebaskan dari kontrol kehendak sosial (Furnivall, 1984: 306).4 Dalam masyarakat plural seperti itu keadilan dan kesetaraan serta agama dan etnik dalam kehidupan publik menjadi gangguan kebebasan warga negara. Komunitas budaya dalam masyarakat modern memiliki beberapa bentuk. Secara umum ada tiga bentuk komunitas budaya secara kategoris, yaitu komunitas subkultural, komunitas perspektif, dan komunitas komunal.
3
“…more and more societies today are turning out to be multicultural, in the sense of including more than one cultural community that wants to survive.” 4 “The plural society arises where economic forces are exempt from control by social will.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
74
Pertama, komunitas subkultural. Bentuk komunitas subkultural adalah representasi dari satu budaya umum yang berisi beberapa keyakinan dan praktik yang berbeda karena bidang hidup tertentu dan gaya hidup yang berbeda, misalnya komunitas nelayan, petani, gay, dan lesbian.5 Abdurrahman Wahid (dipanggil Gus Dur) memposisikan pondok pesantren sebagai subkultural karena perbedaan tradisi pesantren yang khas dari budaya masyarakat di sekitarnya (Wahid, 2001: xviii). Kedua, komunitas perspektif. Bentuk komunitas perspektif merupakan representasi dari masyarakat yang sangat kritis atas prinsip sentral atau nilai budaya yang berlaku dan berusaha mengungkapkan kembali pada garis yang sesuai, misalnya gerakan kritis feminis terhadap budaya patriarkhi.6 Fahmina Institute, misalnya, adalah komunitas perspektif gender yang memelihara Islam tradisional untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan kontemporer. Ketiga, komunitas komunal. Komunitas komunal merupakan bentuk representasi dari kebanyakan masyarakat modern yang terdiri dari komunitas yang sadar diri dan terorganisasi dengan baik, serta hidup dengan sistem keyakinan dan praktik yang berbeda, misalnya jamaah Ahmadiyah, jamaah Syiah, dan Sunda Wiwitan Baduy (Parekh, 2000: 3-4).7 Ketiga bentuk komunitas budaya tersebut cepat tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat multikultur, karena komitmen penghormatan kepada perbedaan dan identitas. Istilah “multikultur” pertama kali digunakan pada tahun 1941. Kemunculan istilah multikultur pada empat dekade terakhir abad ke-19 ketika gerakan kaum intelektual dan politik yang dipimpin oleh komunitas yang berbedabeda muncul, seperti orang pribumi, minoritas nasional, bangsa etnik budaya, imigran baru dan lama, feminis, gay dan lesbian, serta komunitas hijau (Parekh, 2000: 1). Dengan kata lain, istilah multikultur muncul dari kehadiran multikulturalisme sebagai sebuah gerakan komunitas. Pada tahun 1960-an di Inggris, serta tahun 1970-an di Australia dan Kanada, multikulturalisme 5
“Although its members share a broadly common culture, some of them either entertain different beliefs and practices concerning particular areas of life or evolve relatively distinct ways of life of their own.“ 6 “Some members of society are highly critical of some of the central principles or values of the prevailing culture and seek to reconstitute it along appropriate line.” 7 “Most modern societies also include several self-conscious and more or less well-organized communities entertaining and living by their own different systems of beliefs and practices.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
75
merupakan gerakan yang signifikan secara politis dan ideologis, karena penolakannya terhadap tuntutan beberapa asimilasionis pada masyarakat yang lebih luas (Parekh, 2000: 5). Di Indonesia ada tuntutan etnik Sunda Wiwitan Baduy dan jamaah Ahmadiyah terhadap negara supaya keyakinannya diakui sebagai agama formal, sebagaimana Islam, Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan Konghucu. Dengan banyaknya masyarakat multikultur di beberapa negara, seperti Indonesia, Inggris, Prancis, Belanda, Jerman, Australia, dan Amerika, dapat dibedakan secara faktual dan signifikan empat karakter masyarakat multikultur kontemporer dari karakter masyarakat pramodern, yaitu: (a) Masyarakat multikultur kontemporer dapat menolak status politik inferior. (b) Masyarakat multikultur kontemporer menyadari lebih baik daripada dogmatisme moral. (c) Masyarakat multikultur kontemporer secara integral terikat dengan proses globalisasi. (d) Masyarakat multikultur kontemporer muncul dengan latar belakang beberapa abad dari homogenisasi kultural. Pertama, masyarakat pramodern secara umum terdiri dari komunitas minoritas yang menerima status subordinat, ruang sosial terbatas, dan bahkan ruang geografisnya yang dibatasi oleh kelompok dominan.8 Sementara itu, masyarakat multikultur kontemporer dapat menolak status politik inferior, dan menuntut hak politik yang adil. Kedua, karena adanya kolonialisme, perbudakan, Holocaust, dan penderitaan hebat yang disebabkan oleh tirani komunis, masyarakat multikultur kontemporer menyadari lebih baik daripada masyarakat pramodern bahwa “dogmatisme moral dan seiring semangat agresivitas pembenaran diri, tidak hanya mengarahkan kepada kekerasan yang mengerikan, melainkan juga sangat membutakan dan menumpulkan kepekaan moral” (Parekh, 2000: 7-8).9
8
“In premodern societies minority communities generally accepted their subordinate status and remained confined to the social and even the geographical spaces assigned them by the dominant groups.” 9 “Thanks to colonialism, slavery, the Holocaust, and the enormous suffering caused by the communist tyrannies, we realize better than before that moral dogmatism and the concomitant spirit of aggressive self-rughteousness not only lead to egregious violence but also blind us to enormity and blunt our moral sensibility.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
76
Ketiga, masyarakat multikultur kontemporer secara integral terikat dengan proses globalisasi ekonomi dan budaya yang sangat kompleks. Dalam proses globalisasi itu tidak ada masyarakat yang dapat bungkam dan terisolasi.10 Keempat, masyarakat multikultur kontemporer muncul dengan latar belakang beberapa abad dari homogenisasi budaya pada negara-bangsa.11 Sebelumnya, masyarakat pramodern memposisikan komunitas budaya secara luas dianggap sebagai pemegang hak kolektif dan dibiarkan bebas mengikuti adat kebiasaan dan praktik-praktiknya. Negara modern bertumpu pada pandangan yang sangat berbeda mengenai kesatuan sosial, sehingga hanya individu yang memegang hak dan menciptakan ruang hukum homogen yang terdiri dari unit-unit politik yang seragam dan hanya tunduk pada hukum dan institusi yang sama. Negara mulai memilah komunitas lama yang terbentuk dan menyatukan individu-individu “emansipasi” atas dasar struktur otoritas yang disepakati secara kolektif dan terpusat. Latar belakang homogenisasi budaya negara-bangsa itu mengajarkan mengenai perbedaan antara kesatuan dan homogenitas, serta kesetaraan dan keseragaman (Parekh, 2000: 8-9). Dengan mengakui universalitas dan partikularitas manusia, pembentuk komunitas budaya didasarkan pada konsep sifat manusia yang valid dan layak. Konsepsi manusia direfleksikan atas realitas manusia sebagai makhluk berpikir dalam menghadapi lingkungan alamiah dan sosial yang berbeda-beda. Dari lingkungan sosialnya, ada konstruksi sosial yang membentuk masyarakat multikultur, sehingga kokoh bangunan masyarakat yang dibentuknya. Konstruksi sosialnya dibentuk oleh empat unsur yang saling mengikat satu sama lain untuk menguraikan relasi manusia yang tertanam secara budaya. Oleh sebab itu, ada beberapa unsur pembentuk masyarakat multikultur, yaitu keragaman moral dan budaya, identitas sosial, perbedaan, dan kehidupan publik. Unsur-unsur pembentuk tersebut ditujukan untuk menghindari kekeliruan dari lima asumsi tradisi filsafat moral dan politik yang didominasi oleh pandangan
10
“Contemporary multicultural societies are integrally bound up with the immensely complex process of economic and cultural globalization.” 11 “Contemporary multicultural societies have emerged against the background of several centuries of the culturally homogenizing nation-state.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
77
monisme moral, yaitu keseragaman sifat manusia, keutamaan ontologis atas perbedaan, karakter transendental sosial atas sifat manusia, totalitas pada sifat manusia, dan sifat manusia sebagai dasar bagi good life (Parekh, 2000: 124). Unsur-unsur pembentuk masyarakat multikultur yang dimaksud, sebagai berikut.
3.2.1 Keragaman Moral dan Budaya Keragaman budaya (cultural diversity) merupakan kata kunci dari masyarakat multikultur. Istilah “budaya” yang dimaksud pada keragaman budaya adalah mengacu kepada suatu sistem, seperti pada keyakinan dan praktik. Dengan ketertanaman budaya di dalam aktivitas dan relasi manusia, budaya menjadi pusat perhatian agama dan etnik. Relasi antara budaya dan agama terkait erat. Budaya dan agama saling mempengaruhi satu sama lain pada berbagai tingkat. Budaya dapat mempengaruhi bagaimana agama diinterpretasikan, ritual dilakukan, dan tempat ibadah ditetapkan di dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, agama dapat mengkonstruksi sistem keyakinan dan praktik pada budaya ketika individu atau komunitas berpindah agama, cara berpikir dan hidupnya akan mengalami perubahan penting. Oleh sebab itu, mengapa individu berganti agama membawa budayanya ke dalam agama barunya, seperti perbedaan di antara individu Muslim di Indonesia, India, Iran, dan Aljazair, atau Kristianitas di Cina, Mesir, dan Amerika. Dari realitas relasi agama dan budaya, tak ada agama yang “bebasbudaya” dan kehendak Tuhan tidak dapat memperoleh makna manusia yang sudah ditentukan tanpa “mediasi budaya”. Dalam agama Kristen diyakini bahwa Kristus adalah Tuhan, akan tetapi kepastian kekristenan (Kristinitas) adalah fenomena budaya (Parekh, 2000: 147). Begitu pula, etnisitas adalah fenomena budaya. Komunitas etnik memiliki sistem keyakinan dan praktik yang diwujudkan di dalam adat, ritual, dan perayaan budaya, misalnya etnik Bugis, Buton, Makassar dan etnik lainnya. Etnik Bugis, misalnya, adalah fenomena budaya faktual yang mempertemukan dan saling mempengaruhinya antara agama dan etnik di mana budaya sebagai mediator.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
78
Dengan demikian, keragaman moral dan budaya merupakan faktisitas budaya di dalam masyarakat multikultur. Ada empat argumentasi filosofis atas keragaman moral dan budaya yang didasarkan pada realitas keragaman pandangan moral dan budaya. Pertama, keragaman moral dan budaya dapat “meningkatkan berbagai pilihan yang tersedia dan memperluas kebebasan memilih”. Hal itu penting tetapi membatasi, karena menilai budaya-budaya lain sebagai obyek pilihan potensial tidak menghormati budaya-budaya yang realistis, seperti masyarakat pribumi, komunitas etnik, jamaah Ahmadiyah. Kedua, keragaman budaya merupakan “hasil yang tak terhindarkan dan legitimit terhadap pelaksanaan hak” (Parekh, 2000: 165-166). Dengan keragaman yang tak terhindarkan masyarakat harus menciptakan kondisi kondusif, tidak cukup sekadar memberi hak formal pada budaya, seperti menghormati perbedaan, memelihara keyakinan diri minoritas, dan penyediaan sumber daya tambahan kepada yang membutuhkan. Ketiga, keragaman budaya dapat “menciptakan dunia yang kaya, bervariasi, serta menyenangkan dan menstimulasi secara estesis”. Namun, keragaman yang didasarkan pada estetika tidak meyakinkan dunia moral dan sosial yang seragam bahkan antara keduanya seringkali konflik. Keempat, keragaman budaya dapat “mendorong kompetisi yang sehat antara sistem yang berbeda dari ide-ide dan cara hidup, dan keduanya mencegah dominasi salah satunya serta memfasilitasi kebenaran baru muncul”. Namun, kompetisi dalam individualitas dan progresivitas itu berpandangan pada keunggulan manusia, akan tetapi instrumental dan tidak apresiatif terhadap nilai intrinsik, seperti tidak mampu mempertahankan hak-hak masyarakat pribumi, jamaah Ahmadiyah, komunitas religius ortodok, dan lainnya untuk menemukan kebenaran baru (Parekh, 2000: 165-167). Argumentasi filosofis keragaman moral dan budaya tersebut menjelaskan bahwa moral dan budaya yang berbeda memperbaiki dan melengkapi satu sama lain mengeni bentuk baru pemenuhan manusia, seperti keselarasan dengan alam, satu rasa akan keseimbangan ekologis, kepuasan, kejujuran, dan kesederhanaan. Dalam konteks itu keragaman moral dan budaya merupakan penentu dan kondisi Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
79
kebebasan manusia. Selain itu, keragaman moral dan budaya menyadarkan kepada manusia akan adanya keragaman moral dan budaya dalam dirinya, seperti mendorong dialog internal budaya, menciptakan ruang pemikiran kritis dan independen, dan mempertahankan kemampuan eksperimental. Sebaliknya, budaya atau agama homogen akan menghapus perbedaan dan memunculkan ambiguitas internal. Oleh sebab itu, keragaman moral dan budaya menciptakan iklim dialog yang saling menguntungkan (Parekh, 2000: 167-168). Meski demikian, dalam keunggulan keragaman moral dan budaya itu, “moral dan budaya mudah melemahkan, akan tetapi sulit menciptakan”. Misalnya, dikatakan bahwa masyarakat homogen secara budaya memiliki kelebihan, satu perasaan dalam komunitas, solidaritas, komunikasi antarpersonal lebih mudah, mempertahankan satu budaya yang besar, relatif mudah disatukan, ekonomis secara psikologis dan politis, dan dapat mengandalkan mobilitas loyalitas anggota, akan tetapi masyarakat homogen itu cenderung tertutup, intoleran, antiperubahan, menyesakkan dan menindas, melemahkan perbedaan, ketidaksepakatan, dan eksperimen dalam hidup. Dengan demikian, multikulturalisme tidak berkomitmen pada pandangan bahwa “hanya cara hidup yang terbuka secara budaya terbaik”, akan tetapi mengakui bahwa “good life dapat menyebabkan beberapa cara yang berbeda termasuk mandiri secara budaya dan menemukan ruang kedua”.12 Namun demikian, jika yang lain dianggap setara, maka “cara hidup yang terbuka dan budaya yang berbeda lebih baik daripada cara hidup yang mandiri secara budaya” (Parekh, 2000: 167-172).13 Atas dasar kesetaraan, keragaman moral dan budaya membutuhkan argumentasi keadilan, karena tak mungkin masyarakat mayoritas akan menerima kewajiban keadilan terhadap masyarakat minoritas tanpa kepercayaan bahwa masyarakat mayoritas akan memperoleh sesuatu dalam proses tersebut (Kymlicka, 1995: 127).
12
“Only the culturally open way of life is the best, …the good life can be led in several different ways including the culturally self-contained, and finds space for the latter.” 13 “It does, of course, hold that, other things being equal, there is more to be said for a culturally open and diverse than for a culturally self-contained way of life.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
80
3.2.2 Identitas Sosial Identitas sosial yang plural membentuk masyarakat multikultur. Identitas sosial merupakan perpaduan dari normativitas dan kekuasaan, yang dilegitimasi dalam bahasa tubuh keyakinan yang berlaku dan ditopang oleh relasi kekuasaan yang berlaku.14 Atas dasar pengertian identitas sosial itu, masyarakat adalah sebuah sistem identitas yang diartikulasikan dengan baik, masing-masing tunduk pada norma-norma tertentu, membawa hak atau milik pribadi tertentu, dan ditegakkan oleh sanksi formal dan informal yang membentuk bagian dari rezim disiplinnya. Dalam masyarakat yang sadar ras, hitam dan putih kategori sosial yang signifikan, dan masyarakat diklasifikasikan menjadi sasaran norma-norma tertentu, bentuk relasi, stereotip, dan cara penanganan (Parekh, 2008: 16). Istilah “identitas” (identity) dipahami secara berbeda-beda dalam penggunaannya. Identitas diartikan adalah “suatu rasa kesamaan atau kesatuan personalitas”, dan dapat juga untuk menyebut “otentisitas” (Parekh, 2008: 279).15 Dalam masyarakat multikultur identitas lebih tepat diartikan dengan otentisitas. Masyarakat multikultur memiliki beberapa identitas sosial, di mana tidak semua masyarakat setara dalam jangkauan dan kedalaman, karena adanya perbedaan otentisitasnya. Oleh sebab itu, dalam pluralitas identitas sosial, identitas agama dan etnik cenderung memainkan peran bagi sebagian besar seorang individu di dalam masyarakat (Parekh, 2008: 21). Identitas sosial merupakan cara di mana individu menempatkan dan mengorientasikan diri di dunia. Untuk itu, penting dijelaskan identitas individual yang merupakan tiga dimensi yang saling terkait tak terpisahkan. Pertama, identitas pribadi. Sebagai identitas pribadi, manusia merupakan “individu yang unik, pusat kesadaran diri yang berbeda, memiliki tubuh yang berbeda, rincian biografis, kehidupan batin yang tak tereliminasi, dan rasa kedirian atau
14
“Social identities represent a blend of normativity and power, being legitimized in terms of the prevailing body of beliefs and sustained by the prevailing relations of power.” 15 “Sometimes he takes it to mean a sense of sameness or unity of personality, while in other occasions he takes it to refer to authenticity.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
81
subjektivitas”.16 Kedua, identitas sosial. Sebagai identitas sosial, dijelaskan bahwa: “Manusia tertanam secara sosial, sebagai anggota dari etnik, agama, budaya, pekerjaan, nasional, dan kelompok yang berbeda lainnya, serta terkait dengan orang lain dalam berbagai cara, baik formal dan informal.” [They are socially embedded, members of different ethnic, religious, cultural, occupational, national and other groups, and are related to others in countless fomal and informal ways] (Parekh, 2008: 9). Dalam kehidupan sosial, idenitas sosial seorang individu dalam masyarakat mendefinisikan dan membedakan diri, serta didefinisikan dan dibedakan oleh orang lain. Ketiga, identitas individual atau identitas keseluruhan. Sebagai identitas individual, manusia berbeda di alamnya, muncul dalam cara yang berbeda, dapat dan harus dibedakan untuk melawan tendensi pada saat yang luas untuk menyamakan identitas individu dengan salah satu dari identitas pribadi atau sosial (Parekh, 2008: 9).17 Sebagaimana identitas individual, identitas nasional lebih dari itu, sangat kompleks, berlapis-lapis, terdiri dari yang berbeda dan seringkali mengalami konflik pemikiran, pola perilaku, nilai-nilai dan cita-cita yang terakumulasi selama berabad-abad. Kompleksitivitas identitas nasional memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungannya sebagai rekaman historis, debat publik, dan artikulasi institusional. Kerugiannya sebagai peleburan banyak orang, masa lalu yang panjang, kepentingan yang dominan dan manipulasi ideologis. Atas dasar itu, Parekh mengartikan identitas nasional adalah: “Komunitas politik yang memiliki sejarah tertentu, tradisi, keyakinan, kualitas karakter, dan memori historis, yang membatasi berbagai alternatif membukanya.” [It has a certain history, traditions, beliefs, qualities of character and historical memories, which delimit the range of alternatives open to it] (Parekh, 2008: 61). 16
“Human being are unique individuals, distinct centres of self-consciousness, have different bodies, biographical details, an ineliminable inner life and a sense of selfhood or subjectivity.” 17 “They are, however, different in their nature, arise in different ways, and can and should be distinguished in order to counter the widespread current tendency to equate individual identity with one of these, usually the personal or social identity.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
82
Dari pengertian tersebut, identitas nasional bukan fakta hidup yang primordial, kasar dan tak dapat diubah, serta pasif diwarisi oleh setiap generasi. Oleh sebab itu, identitas nasional bukan substansi, melainkan kluster intensi yang saling terkait yang seringkali menarik dalam arah yang berbeda, dan setiap generasi harus mengidentifikasi nilai-nilai dan cita-cita yang terlalu tidak pernah transparan dan tidak ambigu (Parekh, 2008: 60-61). Identitas nasional dalam praktiknya merupakan istilah yang digunakan di dalam dua arti yang terkait tetapi berbeda, yaitu antara identitas individual dan identitas nasional. Identitas individual mengacu pada “anggota dari komunitas politik sebagai perbedaan jenis lain dari komunitas”, sedangkan identitas nasional mengacu pada “identitas komunitas politik” (Parekh, 2008: 56).18 Misalnya, orang Indonesia adalah identitas nasional, orang Kristen atau Bugis adalah identitas individual religius atau etnis, sedangkan Indonesia adalah komunitas politik daripada lainnya. Identitas nasional adalah bagian penting dan sering dihargai oleh identitas individual. Pada sisi gelap identitas nasional dapat mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan.19 Hal itu terjadi karena identitas nasional merupakan hasil seleksi, yang menekankan salah satu pandangan moral dan budaya, dan mendelegitimasi pandangan yang lain. Bahkan, identitas nasional dapat menjadi wahana membungkam suara-suara pembangkang dan membentuk seluruh masyarakat dalam imaginasi tertentu dengan segala implikasinya yang otoriter dan represif.20 Di dalam masyarakat multikultur identitas nasional menimbulkan bahaya terjadinya keragaman yang tak terhindarkan atas nilai, visi good life, dan interpretasi historis (Parekh, 2000: 231). Dengan demikian, begitu penting identitas sosial yang plural di dalam masyarakat multikultur, karena setiap identitas sosial merupakan cara tertentu 18
“The term national identity is used in two related but different senses. …it refers to an individual's identity as a member of a political community as different from that of other kinds of community. …national identity refers to the identity of a political community.” 19 “…also has a dark underside and can easily become a source of conflict and division.” 20 “…can also become a vehicle of silencing dissident voices and moulding the entire society in a particular image with all its authoritarian and repressive implications.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
83
dalam memandang dunia. Identitas sosial yang plural berarti individu berperspektif plural, di mana masing-masing melengkapi wawasan dan mengoreksi keterbatasan lainnya. Secara kolektif masyarakat membuat posibilitas pandangan dunia yang lebih luas, lebih bernuansa, dan dapat dibedakan (Parekh, 2008: 24).
3.2.3 Kesetaraan dan Keadilan dalam Perbedaan Perbedaan
sebagai
pembentuk
ontologis
masyarakat
multikultur.
Perbedaan mengubah struktur sosial masyarakat monokultur menjadi masyarkat multikultur, monoetnik menjadi multietnik, monisme menjadi pluralisme atau liberalisme, dan homogenitas menjadi heterogenitas. Kesetaraan dan keadilan merupakan nilai-nilai utama untuk merealisasikan perbedaan dalam kesejahteraan dan harmoni masyarakat multikultur. Untuk menghormati perbedaan, negara merupakan salah satu sumber persatuan, memberikan fokus untuk hidup bersama, dan diharapkan memberi contoh tentang bagaimana untuk mengatasi prasangka dan sudut pandang komunal yang sempit.21 Negara melalui lembaga yudikatif (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) seharusnya memperlakukan dengan adil terhadap anggota komunitas-komunitas yang berbeda. Selain itu, negara konstitusional harus memastikan bahwa warganya menikmati perlakuan kesetaraan dalam seluruh ranah kehidupan yang signifikan, seperti pekerjaan, peradilan pidana, pendidikan, dan pelayanan publik (Parekh, 2000: 209-210).22 Eksistensi komunitas dan seluruh ranah kehidupan tersebut dibentuk berdasarkan pada perbedaan sosial. Perbedaan sosial disebut juga diferensiasi struktural dalam pandangan teori perubahan sosial fungsionalis. Istilah perbedaan atau diferensiasi dalam perspektif sosiologis itu berasal dari istilah biologis untuk menjelaskan
21
“Its role is even greater in a multicultural society in which it is one of the few sources of unity, provides a focus to the shared life, and is expected to set an example of how to rise above narrow communal prejudices and points of view.” 22 “…the state needs to ensure that is citizens enjoy equality of treatment in all significant areas of life such as employment, criminal justice, education and public service.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
84
spesialisasi fungsi masyarakat dalam sebuah proses evolusi sosial.23 Perbedaan dapat dipahami pada suatu aktivitas institusional yang terbagi, dan lebih khusus dalam dua atau lebih aktivitas institusional yang terpisah. Oleh sebab itu, perbedaan
secara
fungsional
untuk
meningkatkan
integrasi
dan
saling
ketergantungan. Misalnya, pemisahan dan spesialisasi fungsi produksi ekonomi dari institusi keluarga yang memelihara fungsi reproduksi dan sosialisasi bayi (David Jary & Julia Jary, 1991: 581). Perbedaan sosial lebih luas dijelaskan oleh Kaare Svalastoga ketika memahami interaksi sebagai hakikat hidup berkelompok. Perbedaan sosial adalah “kecenderungan ke arah perkembangan sosial yang berlawanan, seperti perbedaan menurut ciri-ciri biologis antar-manusia”. Dalam interaksi tersebut ada integrasi sosial yang dituntut. Integrasi sosial adalah “kecenderungan untuk saling menarik, tergantung, dan menyesuaikan diri.” Dari pengertian tersebut, dengan jelas Svalastoga memposisikan perbedaan sosial sebagai oposisi dari integrasi sosial. Selain itu, perbedaan sosial dipahami didasarkan pada perbedaan sosial secara horizontal, bukan stratifikasi sosial. Di dalam masyarakat multikultur terdapat empat jenis perbedaan sosial yang dapat mempengaruhi terjadinya perubahan sosial budaya, agama, dan politik. Empat jenis tersebut terdiri dari tiga jenis perbedaan sosial menurut Svalastoga dan satu jenis lagi menurut Ralf Dahrendorf. Pertama, perbedaan tingkat. Perbedaan tingkat dalam kehidupan sosial disebabkan oleh persediaan sumber daya alam yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Keterbatasan alam yang tersedia itu harus didistribuskan secara adil dan merata. Ketidakadilan dan ketidakmerataan itu niscaya menimbulkan ketidaksetaraan sosial. Oleh sebab itu, perbedaan tingkat sosial niscaya menimbulkan ketidaksetaraan sosial jika sumber daya alam yang tersedia tidak didistribusikan secara adil dan merata. Kedua, perbedaan fungsi. Dalam kehidupan sosial perbedaan fungsi dibutuhkan karena adanya pembagian kerja yang harus dilakukan dalam aktivitas sosial. Pembagian kerja yang profesional dilaksanakan sesuai fungsinya masing-masing. Aktivitas sosial yang semakin berkembang dan
23
“Differentiation is a term derived from biology to describe the specialization of functions in society in a process of social evolution.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
85
modern tidak dapat terhindar dari kerja-kerja profesional. Perbedaan fungsi sosial tak lain merupakan akibat dari globalisasi pada aktivitas sosial yang menuntut profesionalitas dan modernitas. Ketiga, perbedaan adat istiadat. Perbedaan adat istiadat didasarkan pada aturan perilaku masyarakat yang memiliki realitas kondisional dan situasional sosial yang beragam. Aturan perilaku sosial dikonstruksi di dalam budaya masyarakat lokal. Budaya masyarakat senantiasa berkembang dinamis selaras perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dinamika budaya masyarakat menimbulkan perbedaan keyakinan dan pandangan hidup. Di dalam masyarakat multikultur perbedaan adat istiadat sebagai keniscayaan dari realitas sosial yang beragam (Svalastoga, 1989: 1). Perbedaan adat istiadat sangat erat berkaitan dengan dinamika perubahan kehidupan religius dan etnis pada masyarakat multikultur. Keempat, perbedaan distribusi otoritas. Menurut Dahrendorf, perbedaan distribusi otoritas dalam kehidupan sosial mengakibatkan konflik sosial yang sistematis.24 Dalam masyarakat multikultur industrial perbedaan sosial yang paling berpengaruh terhadap perubahan sosial ditentukan oleh perbedaan otoritas yang didistribusikan. Otoritas melekat pada posisi sosial. Otoritas dalam setiap masyarakat bersifat dikotomis antara superordinasi atau dominasi dan subordinasi atau minoritas (Dahrendorf, 1959: 165). Adanya perbedaan sosial tersebut, masyarakat multikultur membutuhkan dua macam kesetaraan, yaitu kesetaraan negatif dan kesetaraan positif. Kesetaraan negatif melibatkan absensi diskriminasi langsung dan deliberasi; atau tak langsung dan institusionalisasi.25 Diskriminasi langsung dan deliberasi terjadi ketika orang-orang yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dipandu oleh prasangka terhadap kelompok tertentu. Sementara itu, diskriminasi tak langsung dan institusional ketika aturan dan prosedur yang diikuti mengandung bias diskriminatif tanpa diketahui dan bekerja pada kerugian sistematis bagi komunitas atau kelompok tertentu (Parekh, 2000: 210). 24
“…differential distribution of authority invariably becomes the determining factor of systematic social conflicts of a type that is germane to class conflicts in the traditional (Marxian) sense of this term.” 25 “Negatively equal treatment involves absence of direct and deliberate or indirect and institutionalized, discrimination.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
86
Kesetaraan positif memerlukan kesetaraan hak dan kesempatan. Seluruh warga negara harus menikmati hak yang setara, dan seharusnya mencakup bukan hanya pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, dan hak lain, melainkan juga hak budaya.26 Hak budaya mengacu pada hak-hak yang dimiliki oleh seseorang ataupun
juga
komunitas
yang
mengekspresikan,
mempertahankan,
dan
menanamkan identitas budayanya. Budaya merupakan bagian integral dari perasaan identitas dan kesejahteraan individual. Oleh sebab itu, hak-hak budaya merupakan bagian dari hak asasi manusia, dan masyarakat yang baik harus menjamin adanya hak-hak budaya bagi seluruh warganya (Parekh, 2000: 211). Keadilan menuntut bahwa dengan tunduk pada limitasinya, kesempatan yang sama harus diperluas sampai kepada masyarakat minoritas.27 Dengan memperluas interaksi dengan masyarakat minoritas, hak budaya menuntut loyalitas dan niat untuk memfasilitasi penyatuan. Prinsip-prinsip keadilan mengatur signifikansi hidup yang baik dan berelasi dengan konstruksi dasar masyarakat. Konstruksi dasar masyarakat bukan hanya menyangkut politik dan ekonomi saja, akan tetapi juga budaya. Keadilan adalah “keutamaan pertama pada institusi sosial, dan sebagai kebenaran pada sistem pemikiran”.28 Keutamaan pertama menjadi aktivitas manusia pada institusi sosial, menempatkan relasi kebenaran dan keadilan tanpa kompromi. Prinsip-prinsip keadilan tertentu dibenarkan karena masyarakat sepakat pada situasi awal, kesetaraan (Rawls, 1999: 3; 19). Dalam masyarakat multikultur desentralisasi kekuasaan memiliki peran yang sangat penting untuk memastikan keadilan.29 Dengan desentralisasi kekuasaan, institusi lokal dan regional mudah mengakomodasi perbedaan daripada pemerintahan sentral, karena penyesuaian yang diperlukan lebih mudah diidentifikasi, terbatas dalam skala, tidak terlalu mahal, dan umumnya bebas dari 26
“Positive equality requires equality of rights and opportunities. All citizens should enjoy equal rights, and these should include not only the usual repertoire of civil, political, economic and other rights but also cultural rights.” 27 “Justice requires that, subject to the limits…, the same opportunity should be extended to the minority communities as well.” 28 “Justice is the first virtue of social institutions, as truth is of systems of thought.” 29 “Decentralization of power has a particularly important role to play in ensuring justice in multicultural societies.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
87
sorotan publisitasi. Oleh karena itu, penting untuk membangun unit pemerintah lokal dan regional yang kuat dan menggunakannya untuk memperkuat budaya masyarakat. Ketegangan antarkomunal lebih sedikit terjadi dan lebih mudah diolah ketika ada jaringan lintas komunal formal dan informal yang mempertahankan modal sosial, saling percaya dan kerja sama (Parekh, 2000: 212).
3.2.4 Agama dan Etnik dalam Kehidupan Publik Kehidupan publik adalah suatu ruang untuk menguatkan keragaman, identitas, dan perbedaan seorang individu komunitas dengan yang lain secara sosial, politik, dan budaya. Sebagai ruang, kehidupan publik memposisikan antara individu, masyarakat dan negara, di mana diskusi publik yang kritis mengenai persoalan kepentingan umum yang dijamin secara institusional, yang mengambil bentuk dalam keadaan historisitas tertentu (Habermas, 1991: xi). Agama dan etnik dalam kehidupan publik merupakan salah satu komunitas dalam membentuk masyarakat multikultur. Agama dan etnik tetap menjadi kekuatan penting dalam kehidupan masyarakat. Agama dan etnik tidak hanya hidup hari ini, melainkan juga menolak untuk tetap terbatas pada ruang privat. Agama dan etnik menjadi dalam kehidupan publik menjadi kekuatan komunitas yang memiliki keyakinan religius dan kearifan lokal bagi beberapa aktivis sosial, politik dan budaya, seperti gerakan lingkungan, gerakan antikekerasan, organisasi antiras, kampanye hak-hak pribumi, perjuangan kesetaraan gender, perjuangan antikemiskinan, gerakan perdamaian dan pelucutan senjata, serta kampanye hak asasi manusia dan keadilan dunia (Parekh, 2000: 323-324). Agama dan etnik adalah sebuah fakta kehidupan sosial.30 Tak ada satu negara pun yang dapat bersikap acuh tak acuh kepada fakta tersebut. Partisipasi warga negara di dalam tatanan publik, moralitas publik, kesehatan publik, harmoni sosial, dan kebebasan individual, didasari oleh keyakinan religius yang sangat mendalam. Negara tidak dapat mengabaikan partisipasi warganya dengan 30
“Religion (and ethnic) is a fact of social life…” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
88
tanpa merusak integritas moral dan mengundang resistensi. Oleh sebab itu, fakta sosial itu menolak pandangan sekulerisme dari kaum sekuler, liberal dan konservatif yang membentuk pemisahan antara agama, etnik dan negara. Sejarah menjelaskan bahwa agama telah menjadi sumber dari banyak gerakan emansipasi. Antiperbudakan, antikapitalis, antifasis, dan gerakan-gerakan lainnya, seringkali dipimpin oleh pemikir religius yang kuat (Parekh, 2000: 327-328). Selain itu, agama dan etnik merupakan pengimbang yang berharga bagi negara, memelihara sensibilitas dan nilai yang diabaikan atau dipaksakan.31 Seperti partai oposisi, institusi nonnegara memiliki kekuatan untuk memeriksa negara. Misi agama dan etnik menyediakan sumber-sumber alternatif moralitas dan komitmen, serta mengingatkan bahwa “seorang manusia adalah lebih penting dari seorang warga negara”.32 Dengan demikian, fakta itu bukan menyangkal bahwa agama dan etnik seringkali mendukung nasionalisme yang agresif dan perang yang kejam, melainkan menyatakan bahwa agama dan etnik memiliki dimensi universalis dan humanitarian yang dapat digunakan untuk mengritik, memalukan, dan memuat cenderung nasionalis (Parekh, 2000: 328).
3.3 Keterbatasan Masyarakat Multikultur Keterbatasan masyarakat multikultur adalah konstruksi sosial masyarakat yang dibentuk tetap menyimpan ruang kemungkian konflik antarindividu atau antarkomunitas yang sangat berbahaya hingga lenyapnya martabat manusia yang tertanam secara budaya. Ruang kemungkinan konflik disimpan oleh semua unsur yang membentuk konstruksi sosial di dalam masyarakat multikultur. Karakteristik masyarakat multikultur yang berbeda-beda mempengaruhi konstruksi sosial yang dipenuhi dengan konflik dalam diskursus yang dikategorikan secara sosial, seperti masyarakat komunal pribumi dan nonpribumi, masyarakat minoritas dan mayoritas, aborsi, poligami, nikah beda agama, konversi agama, dan ajaran sesat.
31
“Religion (and ethnic) also provides a valuable counterweight to the state, nurturing sensibilities and value the latter ignores or suppresse.” 32 “…a human being is more than a citizen.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
89
Pertama, di dalam keragaman moral dan budaya, masyarakat homogen yang tertutup, intoleran, antiperubahan, menyesakkan dan menindas, melemahkan perbedaan, ketidaksepakatan, dan eksperimen dalam hidup, berkontribusi besar pada ruang kemungkinan konflik antarindividu. Masyarakat intoleran hanya akan memunculkan kekerasan kepada yang lain, baik berbentuk fisik maupun nonfisik. Masyarakat yang melemahkan perbedaan hanya akan menutup rapat ruang kehidupan publik, terutama bagi kebebasan religius dan etnis. Kedua, di dalam identitas nasional yang menjadi wahana membungkam suara-suara pembangkang dan membentuk seluruh masyarakat dalam imaginasi tertentu dengan segala implikasinya yang otoriter dan represif, hanya akan memunculkan protes destruktif dan konflik sosial. Ketiga, ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam perbedaan hanya akan menimbulkan ketimpangan dan ketidakadilan baru yang mengakibatkan konflik sosial yang berkepanjangan. Di samping itu, ketidakadilan dalam perbedaan mewujudkan kemiskinan dan pemberontakan individu atau komunitas budaya terhadap negara. Keempat, pemisahan agama, etnik dan negara di dalam masyarakat multikultur akan merusak relasi triadik di antara ketiganya, yaitu mengancam martabat manusia, mengelimitasi kebebasan hati nurani manusia, serta merusak moral dan integritas religius individual. Kerusakan pada relasi triadik tersebut akan menimbulkan konflik antarindividu yang didasari oleh prasangka dan sudut pandangan yang sempit.
3.4 Ikhtisar Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ada empat unsur pembentuk masyarakat multikultur, yaitu keragaman moral dan budaya, identitas sosial, perbedaan, dan kehidupan publik. Keragaman moral dan budaya merupakan faktisitas budaya di dalam masyarakat multikultur. Identitas sosial merupakan perpaduan dari normativitas dan kekuasaan, yang dilegitimasi dalam bahasa tubuh keyakinan yang berlaku dan ditopang oleh relasi kekuasaan yang berlaku, seperti identitas agama atau etnik. Perbedaan harus diproduksi oleh kesetaraan dan Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
90
keadilan yang dilakukan oleh negara kepada warga negaranya dan sebaliknya warga negara kepada negaranya. Kehidupan publik merupakan ranah sosial, politik dan budaya di mana agama dan etnik memiliki peran yang signifikan untuk menghormati martabat manusia. Oleh karena itu, konstruksi sosial pada masyarakat multikultur memiliki ciri-ciri, sebagai berikut: relasi sosial didasarkan pada keragaman moral dan budaya, identitas sosial pada individu dipengaruhi identitas nasional, kualitas kesejahteraan yang berbeda-beda didasarkan pada kesetaraan dan keadilan, dan kebebasan berkeyakinan dalam kehidupan publik dijamin negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Namun demikian, ciri-ciri tersebut tetap menyimpan ruang kemungkinan konflik antarindividu, karena unsur-unsur pembentuk konstruksi sosial masyarakat multikultur menyimpan sesuatu tak terhindarkan yang berisi diskursus yang kontradiktif dan kontroversial dalam kategori sosial, seperti masyarakat komunal pribumi dan nonpribumi, masyarakat minoritas dan mayoritas, aborsi, poligami, nikah beda agama, konversi agama, dan ajaran sesat.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
BAB IV KONFLIK SOSIAL MASYARAKAT MULTIKULTUR
4.1 Pengantar Konstruksi sosial masyarakat multikultur yang telah dijelaskan pada bab tiga merupakan landasan normatif bagi individu, masyarakat dan negara untuk memahami konflik sosial yang diproduksi. Dalam bab empat ini akan dijelaskan konflik antarindividu yang memproduksi fenomena konflik sosial yang terjadi di dalam masyarakat multikultur. Dengan reduksi fenomenologis terhadap fenomena konflik sosial tersebut, akan dijelaskan bahwa perilaku sosial seorang manusia yang memunculkan konflik, dan dua corak konflik sosial yang diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Dua corak konflik masyarakat multikultur, yaitu konflik nuansa agama dan konflik nuansa etnik. Pada akhir bab ini akan dijelaskan kritik terhadap konsep manusia sebagai makhluk yang berkonflik.
4.2 Memahami Konflik Sosial dalam Masyarakat Multikultur Konflik sosial dipahami atas dasar fenomenologi kehidupan religius di dalam masyarakat multikultur. Dalam fenomenologi kehidupan religius, konflik sosial dijelaskan melalui pengalaman religius individual seseorang yang meyakini adanya Tuhan sebagai pandangan moral dan budaya. Pengalaman kehidupan religius individual dapat diperoleh di dalam komunitas agama dan etnik. Oleh karena itu, dari fenomena konflik sosial di Poso, Ambon, dan Cikeusik, akan dijelaskan pengalaman religius pada individu-individu yang telah mengalami konflik antarkomunal. Untuk menjelaskan pengalaman kehidupan religius seseorang, lebih dahulu dijelaskan pengertian konflik sosial, fenomena konflik sosial, dan konflik antarindividu, sebagai berikut. 91 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
92
A. Pengertian Konflik Sosial Konflik telah didefinisikan sebagai pengganggu pikiran, sine qua non refleksi dan kecerdikan (Dewey, 1922: 300; Coser, 1957: 198).1 Dalam ranah sosial, konflik ditunjukkan dengan tindakan yang mengganggu pikiran, seperti memukul orang lain, mencaci maki orang lain, atau berpikir buruk atas orang lain. Istilah “konflik” sendiri berasal dari bahasa Latin conflictus yang berarti “tindakan menyerang bersama-sama”, atau confligere yang berarti “menyerang bersamasama”. Atas dasar asal bahasanya, definisi tersebut menjelaskan bahwa konflik sosial merupakan masalah moralitas individual yang mengalami gangguan pikiran bersama orang lain di dalam kehidupan masyarakat, misalnya kebimbangan eksistensial seseorang menganut sebuah agama di dalam masyarakat yang berbeda agama yang dianutnya, atau kegelisaan seseorang berperilaku sosial dalam masyarakat yang berpandangan budaya adat tetapi dirinya berpandangan religius. Ada banyak pengertian dalam memahami konflik yang dipengaruhi oleh intensi seseorang pada disiplin ilmu masing-masing. Dalam fenomenologi kehidupan religius konflik disebut dengan adanya “pergaulan aneh” dari berbagai relasi sosial dalam pengalaman hidup faktis atau kegiatan yang ramai.2 Pencampuran yang dihadirkan oleh ketakutan, keinginan, dan nafsu membawa konflik baru dalam dirinya sendiri. Konflik itu akan menjadi dasar perilaku seseorang yang antitesis dialektis, intoleran (Heidegger, 2004: 153). Di dalam ranah filsafat pemikiran tentang konflik dapat ditelusuri dari tulisan-tulisan filsuf kuno, seperti Plato, Thucydides, Niccolò Machiavelli dan Thomas Hobbes. Selajutnya, filsuf modern yang banyak dirujuk oleh para pemikir sosial adalah Marx. Penekanan Marx dan Engels dalam menjelaskan landasan konflik adalah kondisi-kondisi material, seperti konflik kelas yang didasarkan pada relasi-relasi kepemilikan. Namun, pada tahun 1960-an, terutama di negaranegara yang berbahasa Inggris, pemikiran Marx tersebut banyak dikritik oleh para filsuf sosial. Dahrendorf mengkritik bahwa relasi-relasi kekuasaan yang melandasi konflik sosial, bukan relasi-relasi kepemilikan. Antonio Gramsci 1
“Conflict is the gadfly of thought. …conflict is a sine qua non of reflection and ingenuity.” “If we call this peculiar commingling of the various senses of the relation of concern in the factical experience of life (or its bustling activity) a ‘conflict”. 2
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
93
menekankan bahwa hegemoni budaya pada kelas penguasa sebagai bentuk dominasi, yang melandasi konflik sosial (Kuper, 2000: 156). Pada sisi lain dalam ranah sosiologis, konflik dipahami secara positif konstruktif bahwa konflik tidak hanya memproduksi norma-norma baru, institusiinstitusi baru, bahkan mendorong perkembangan langsung dalam bidang ekonomi dan teknologi (Coser, 1957: 198). Misalnya, konflik tidak hanya menciptakan institusi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menebarkan misi perdamaian, akan tetapi juga mereproduksi terus-menerus senjata atom dan nuklir yang canggih. Selain itu, konflik dipahami secara negatif destruktif dari yang didasari oleh ketimpangan fundamental dari struktur sosial. Dengan kata lain, konflik sosial adalah ketimpangan kekuasaan dan otoritas, termasuk organisasi sosial (Dahrendorf, 1959: 64).3 Dengan adanya ketimpangan tersebut, konflik dipahami sebagai bentuk pemaksaan, termasuk kekerasan, sebagai cara utama untuk menciptakan kontrol, meskipun mengakui adanya simbol dalam konflik, baik pada tingkat individual maupun sosial struktural (Kuper, 2000: 156). Konstitusi negara Indonesia penting dipahami sebagai konteks di mana konflik sosial terjadi. Dalam konstitusi negara pengertian konflik adalah “sebuah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional”.4 Dalam pemahaman konstitusional konflik ditunjukkan dengan proses sosial dalam dua atau lebih komunitas
komunal
bahwa
bermula
dari
benturan
dengan
kekerasan,
mengakibatkan ketidakamanan dan disintergrasi sosial, serta menghasilkan gangguan stabilitas nasional dan hambatan pembangunan nasional. Oleh karena itu, secara kontekstual konflik sosial dalam negara adalah gangguan stabilitas nasional dan hambatan pembangunan nasional yang diproduksikan oleh benturan dengan kekerasan antarkomunitas.
3
“…the fundamental inequality of social structure, and the lasting determinant of social conflict, is the inequality of power and authority which inevitably accompanies social organization.” 4 Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
94
B. Fenomena Konflik Sosial Konflik sosial paling lama berlangsung dalam sejarah peradaban manusia di dunia, yakni konflik antara Israel dan Palestina. Konflik sosial antara Israel dan Palestina tentunya menghilangkan jiwa manusia yang tak ternilai harganya dan merusak lingkungan hidup yang paling parah di antara beberapa konflik sosial lainnya. Bahkan, konflik itu menyulut emosi masyarakat di banyak negara, termasuk Indonesia. Konflik antara Israel dan Palestina mulai berlangsung pada akhir tahun 1940-an, terus bergulir hingga menembus abad ke-20, dan kini memasuki abad ke-21. Titik perdamaian di antara keduanya pun tak pernah muncul, sehingga tidak aneh jika pada suatu saat konflik antara Palestina dan Israel akan dilupakan. Di Indonesia konflik yang berbasis primordialisme mungkin masih akan terus terjadi. Konflik di Poso, Ambon, dan Cikeusik pada awal reformasi Mei 1998 dipandang sebagai fenomena konflik sosial yang bernuansa primordialisme. Rezim awal reformasi menandai rezim Orde Baru dalam kondisi sosial pembangunan yang tidak adil, sebab itu selama itu modernitas negara hanya semu belaka. Ada ketimpangan sosial yang sangat berjarak di antara sendi-sendi kehidupan manusia. Masyarakat secara umum mengetahui bahwa kondisi sosial pada saat itu disebabkan oleh cara negara mengolah perbedaan pandangan moral dan budaya yang tidak sehat di mana merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme (Hendrajaya, dkk., 2010: 2). Protes dan kritik sosial seringkali diungkapkan, akan tetapi rezim Orde Baru seolah-olah tidak melihat, mendengar, bahkan masyarakat yang tidak setuju terhadap kebijakan negara selalu dituduh sebagai komunis, subversif, dan sebagainya. Pada pertengahan tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi, harga-harga mulai membumbung tinggi sehingga daya beli rakyat sangat lemah, bahkan banyak perusahaan yang terpaksa melakukan pemutusan hak kerja terhadap buruhnya. Kondisi sosial politik bangsa diperparah lagi dengan nilai kurs rupiah terhadap dolar sangat rendah. Dalam kondisi seperti itu para mahasiswa, akademisi, dan masyarakat mulai berani mengadakan demonstrasi memprotes kebijakan rezim Orde Baru. Setiap hari mahasiswa dan masyarakat mengadakan Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
95
demonstrasi hingga mencapai puncaknya pada Mei 1998, dengan meneriakkan reformasi bidang sosial, politik, ekonomi, dan hukum. Dengan demikian, rezim awal reformasi secara simbolik pada 21 Mei 1998 berdasarkan Pasal 8 UndangUndang Dasar 1945, ditandai dengan penyerahan kepemimpinan negara dan kepemerintahan Presiden Soeharto kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Kondisi awal rezim reformasi tersebut memberi ruang kemungkinan konflik sosial yang dahsyat bagi masyarakat multikultura yang berada di sudutsudut wilayah kekuasaan negara. Konflik sosial tak lepas dari realitas sosial homo homini lupus di mana masyarakat terdiri dari individu-individu yang menganggap diri orang lain sebagai serigala (Magnis-Suseno, 1999: 202). Lebih mendalam, Jacques Derrida menjelaskan adanya “dikotomi” serigala dalam pandangan Machiavelli terhadap realitas sosial homo homini lupus tersebut, yang secara literal dari Plautus, jauh sebelum Michel de Montaigne dan Hobbes. Menurut Machiavelli dalam The Prince, serigala itu loud and dear (Derrida, 2009: 79). Oleh sebab itu, tidak keliru apabila konflik sosial dipahami secara sederhana sebagai seekor serigala yang “garang” sekaligus “penyayang.” Atas fenomena konflik sosial di atas, konflik merupakan masalah heteronomi eksistensial manusia di dalam masyarakat multikultur, bukan lagi masalah dikotomi eksistensial manusia. Heteronomi eksistensial manusia yang tertanam secara budaya sangat mudah dipengaruhi oleh diskusus globalisasi yang terbentuk di dalam identitas individual, sosial, dan nasional. Pengaruh diskursus globalisasi seiring dengan keragaman moral dan budaya di dalam kehidupan manusia. Pengaruh globalisasi, serta keragaman moral dan budaya, konflik sosial tak dapat dihindari. Oleh sebab itu, konstruksi sosial masyarakat multikultur tak dapat menghindar dari konflik sosial. Fenomena konflik sosial di dalam masyarakat multikultur dapat dijelaskan dalam bentuk perilaku sosial atas tindakan kekerasan, perang, serta perang dan kepentingan PBB.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
96
A. Perilaku kekerasan Kemunculan konflik sosial di atas sebagai fakta krisis budaya yang mereproduksi tindakan kekerasan. Reproduksi kekerasan dalam konteks tiga tragedi konflik sosial di Poso, Ambon dan Cikeusik menjelaskan bahwa religiusitas dan etnisitas menjadi legitimasi etis relasi sosial pada masyarakat multikultur (Haryatmoko, 2012: 84). Legitimasi etis relasi sosial dipengaruhi oleh interpretasi umat beragama dan etnik terhadap teks kitab sucinya dan praktik formalisasi agama dan etiniknya di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya pada arus globalisasi. Gandhi sangat menyesalkan pemikiran yang meyakini bahwa “eksistensi manusia tidak mungkin terhindar dari kekerasan adalah fakta”.5 Keyakinan itu menjelaskan bahwa tubuh adalah “rumah pembantaian” dan manusia dipaksa untuk “meminum kemarau kekerasan yang pahit” pada setiap detik kehidupannya. Tubuh manusia yang dipaksa itu menghancurkan jutaan organisme hidup dalam proses bernafas, berjalan, makan, minum, mengolah tanah dengan insektisida dan desinfektan, menyalakan api, dan membangun rumah. Reproduksi kekerasan di sekitar manusia itu dipahami bahwa “dunia terikat di dalam rantai kehancuran” (Parekh, 1989: 127).6 Kekerasan adalah karakter manusia yang tidak hanya pada perilakunya, melainkan juga pada pikirannya.7 Pikiran yang merugikan orang lain adalah bentuk kekerasan, sebelum konvensi sosial, di mana tidak adanya kesempatan dan pertimbangan kepentingan jangka panjang untuk bertindak. Pikiran adalah konstruksi karakter seorang individu. Jika pikiran menjadi kebiasaan dan menjadi bagian dari beberapa jenis pemikiran, maka dari waktu ke waktu pikiran cenderung tampil alami dan bukti eksistensinya, tumpul sensibilitas dan bertindak tidak relevan, serta melegitimasi tindakannya sendiri. Oleh sebab itu, pikiran kekerasan membuka jalan bagi perilaku kekerasan, dan keduanya sama-sama buruk (Parekh, 1989: 117-118). Tindakan kekerasan pada tiga tragedi konflik sosial menjelaskan bahwa kekerasan merupakan sebagian besar sanksi dari agama, sebab itu kita harus jujur 5
“…fact that human existence was impossible without violence.” “The world is bound in a chain of destruction.” 7 “Violence was a property not only of conduct but also thought.” 6
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
97
menghadapi masalah kekerasan dan teks suci. Kristen, Islam, dan etnisitas berakar pada teks-teks paralel, namun terjadi konflik interpretasi, sehingga membuat klaim-klaim tentang Tuhan dan sejarah menurut pandangannya masing-masing. Setiap teks suci didominasi oleh tradisi kekerasan Tuhan. Meskipun legitimasi teks kekerasan tidak mengarah secara otomatis terhadap kekerasan manusia. Namun hal itu, bagaimanapun, membuat kekerasan lebih mungkin di tengahtengah konflik (Pallmeyer, 2005: xiii-xiv).8
B. Perilaku Perang Tindakan kekerasan yang sistematis dalam perilaku seorang manusia, yaitu perang. Perang sebagai ultima ratio, warisan tua dari politik dengan cara kekerasan, dalam urusan luar negeri negara terbelakang tidak ada argumen terhadap pepatah kuno itu, serta fakta bahwa hanya negara kecil tanpa senjata nuklir dan biologis yang hanya bisa membelinya sebagai penghiburan (Arendt, 1970: 6).9 Perang merupakan konflik antarkomunitas politik, yang lebih parah daripada konflik antarkomunitas budaya atau konflik antarindividu. Perang menunjukkan perilaku relasi individu yang dipenuhi oleh kekerasan global di masyarakat multikultur. Dalam pandangan yang berbeda, perang merupakan “tindakan kekerasan yang ditujukan untuk memaksa orang lain supaya memenuhi kemauan orang yang memaksa” (Clausewitz, 2006: 14).10 Perang sebagai deskripsi yang penggunaan kekerasan, bukan cara damai, untuk menyelesaikan konflik sosial di dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, perang dianalogikan seperti perusahaan yang ganas, namun tetap menjadi pusat sejarah manusia. Paradoks tindakan peperangan tersebut dapat mengungkapkan aspek yang sangat mengganggu karakter manusia, terutama dorongan untuk mendominasi orang lain. 8
“In a world fracturing because of violence, much of it sanctioned by religion, we must honestly face the problem of violence and "sacred" texts. …rooted in parallel and yet conflicting texts, make competing claims about God and history. Each "sacred" text is dominated by violence-ofGod traditions. Violence-legitimating texts do not lead automatically to human violence.” 9 “That war is still the ultima ratio, the old continuation of politics by means of violence, in the foreign affair soft he underdeveloped countries is no argument against its obsoleteness, and the fact that only small countries without nuclear and biological weapons can still afford it is no consolation.” 10 “War therefore is an act of violence intended to compel our opponent to fulfil our will.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
98
C. Perilaku Perang dan Kepentingan PBB Perang disadari benar memiliki relasi dengan kepentingan tersembunyi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Kepentingan PBB adalah memfasilitasi perang sebagai arena berkompetisi bagi negara-negara adikuasa, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Inggris, sebelum Perang Dunia I. Padahal, PBB yang didirikan pada 26 Juni 1945 di San Fransisco, pada penutupan Konferensi PBB tentang Organisasi Internasional, dan mulai berlaku pada 24 Oktober 1945, hanya memiliki tujuan untuk perdamaian dan keamanan internasional, sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 bahwa: (a) Memelihara perdamian dan keamanan internasional dan untuk tujuan itu: melakukan tindakan-tindakan bersama yang efektif untuk mencegah dan melenyapkan ancaman-ancaman terhadap pelanggaran-pelanggaran terhadap perdamaian; dan akan menyelesaikan dengan jalan damai, serta sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, mencari penyelesaian terhadap pertikaian-pertikaian internasional atau keadaankeadaan yang dapat mengganggu perdamaian. (b) Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan untuk menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang wajar untuk memperteguh perdamaian universal. (c) Mengadakan kerja sama internasional guna memecahkan persoalan-persoalan internasional di bidang ekonomi, sosial, budaya, atau yang bersifat kemanusiaan, demikian pula dalam usaha-usaha memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar seluruh umat manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama, dan. (d) Menjadi pusat bagi penyelarasan segala tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan-tujuan bersama tersebut (Piagam PBB dan Statuta Mahkamah Internasional).11
11
Lihat Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, 1945 bahwa “(a) to maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment ot settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace; (b) to develop friendly realations among nations based on respect for the principle of equal rights and selfdetermination of peoples, and to take other appropriate measures to strengthen universal peace; (c) to achieve international cooperation in solving international problems of an economic, social, cultural, or humanitarian character, and in promoting and encouraging respect for human rights and for fundamental freedoms for all without distinction as to race, sex, language, or religion; and (d) to be a center for harmonizing the actions of nations in the attainment of these common ends”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
99
Dengan tujuannya itu, resolusi Dewan Keamanan PBB seringkali menangani perang sangat kontradiktif dan kontroversial. Dalam perang Teluk Persia yang terjadi pada 2 Agustus 1991 hingga 27 Februari 1991, misalnya, dijelaskan bahwa tindakan-tindakan antimiliter belum cukup ditempuh, sebelum dipergunakan kekuatan militer terhadap Irak, sebagaimana yang dipersyaratkan Piagam PBB ayat 42. Bahkan, dalam resolusi Dewan Keamanan PBB sendiri tidak tercantum pemakaian kekuatan militer, melainkan segala tindakan yang diperlukan. Di samping itu, absensi RRC sebenarnya telah menggagalkan resolusi Dewan Keamanan PBB itu, karena aturannya harus disetuji oleh semua anggota tetap Dewan Keamanan. Komite Staf Militer juga tidak dibentuk untuk perencanaan penggunaan kekuatan militer, sebagaimana disyaratkan Piagam PBB ayat 46 (Jacob, 1992: 173). Puncak dari konflik sosial kontemporer yang diharapkan adalah perang nuklir. Negara yang memproduksi senjata nuklir sebagai pengharap pertama dan utama. Pada tahun 1992 dikatakan bahwa “senjata nuklir yang ada sekarang sudah lebih dari cukup untuk membunuh sampai beberapa kali setiap orang dari 5 biliun masyarakat dunia”. Sebelum difungsikan di dalam perang, senjata nuklir harus diuji coba secara teratur supaya dijamin keaktifannya dan diperbaharui dari waktu ke waktu supaya tidak ketinggalan dari negara lain. Bahkan, dalam pembaharuannya, senjata nuklir ditambahkan terus daya penghancur manusia dan alam semesta supaya lebih unggul dari negara lain. Pembaharuan senjata nuklir itu disadari sudah mereduksi kepentingan kesejahteraan sosial yang teramat sangat penting, yang berupa dana pendidikan, dana kesehatan, dan dana pembangunan ekonomi.
Dampak
dari
reduksi
kepentingan
kesejahteraan,
berbentuk
pembodohan, penyebaran penyakit, dan menambah kemiskinan yang merajalela di negara-negara yang lemah dan komunitas lemah di dalam negara-negara yang kuat (Jacob, 1992: 132-133). Dengan demikian, perang nuklir hanya mengakibatkan kehancuran manusia dan alam semesta. Ledakan bom nuklir berakibat lebih luas ke luar perbatasan negara, bahkan hingga ke belahan bumi yang lain. Kota Hiroshima adalah bukti sejarah kekuatan bom atom yang hanya sebesar 15 kiloton. Dalam Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
100
perang nuklir bom atom akan diarahkan pada sasaran kehancurannya, yakni perangkat keras militer, seperti silo peluru kendali, lapangan terbang, pangkalan laut, fasilitas perindustrian, pertambangan bahan strategis, industri strategis, pembangkit tenaga listrik dan wilayah pertanian. Dewasa ini negara yang memproduksi senjata nuklir sudah mampu menciptakan senjata atom lebih dari 1 megaton. Dalam perang nuklir nanti setiap negara dapat memfungsikan beberapa buah bom atom hingga 25 megaton. Dengan kekuatan bom atom itu, gelombang ledakannya berkali-kali lebih besar daripada taufan, kabel listrik, dan kaca jendela akan pecah-pecah, bahkan manusia dan benda-benda beterbangan menenuhi isi udara. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa: “perang nuklir adalah kekerasan kemanusiaan maha dahsyat yang melenyapkan hak manusia yang paling asasi, yakni hak hidup, dan memusnahkan seluruh makhluk di bumi” (Jacob, 1992: 134136). Selain itu, dalam fenomena kehidupan religius perang nuklir merupakan kriminalisasi hak-hak Tuhan, yakni hak menghidupkan dan mematikan makhlukmakhluk lain yang secara misterius dalam wujud-Nya.
C. Konflik Antarindividu Tindakan kekerasan dan perang di atas merupakan perilaku sosial seorang manusia dalam masyarakat multikultur. Perilaku sosial individu tersebut tertanam atau dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan konteks budaya yang menumbuhkan dan mengembangkannya. Perilaku sosial antarindividu yang berkonflik memiliki konteks historis. Konteks kejadian tragedi konflik sosial di Poso, Ambon, Cikeusik, sebagai berikut. Pertama, konteks konflik masyarakat Poso. Konflik di dalam masyarakat Poso pertama kali terjadi pada 24 Desember 1998, tepatnya pada malam Natal di bulan Ramadhan. Poso merupakan salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah. Pada saat itu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18 tahun 2013, luas wilayah provinsi adalah 61.841,29 km2. Dengan luas provinsi tersebut wilayah kabupaten Poso adalah 7.112,25 km2 yang dikelilingi oleh dua belas kabupaten/kota, yaitu: Banggai Kepulauan, Banggai, Morowali, Donggala, Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
101
Tolitoli, Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una, Sigi, Banggai Laut, Morowali Utara, dan Palu. Masyarakat Poso berjumlah 225.379 jiwa, yang terdiri dari 116.827 jiwa berjenis kelamin laki-laki dan 108.552 jiwa berjenis kelamin perempuan. Komposisi kehidupan religius memiliki keragaman moral dan budaya. Dalam perspektif agama-agama yang diakui negara kehidupan religius terdiri dari agama yang berbeda-beda: Islam 43,99%, Kristen Protestan 47,42%, Kristen Katolik 1,62%, Hindu 6,74%, dan Budha 0,22% (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah, 2013). Dalam kehidupan religius internal Kristen, Protesan sebagai mayoritas dan Katolik sebagai minoritas. Dalam kehidupan religius, Kristen sebagai agama mayoritas dan Islam sebagai agama minoritas. Komposisi kehidupan sosial masyarakat Poso terdiri dari masyarakat pribumi dan nonpribumi. Masyarakat pribumi di dalam masyarakat Poso berasal dari etnik yang berbeda-beda: Etnik Kaili, Pamoa, Mori, dan Wana. Masyarakat nonpribumi dalam masyarakat Poso berasal dari daerah yang berbeda-beda: Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa, Gorontalo, Lombok, Bali, dan sebagian kecil dari daerah yang lain. Komposisi kehidupan sosial tersebut memproduksi afiliasi etnik, seperti paguyuban Jawa, Bugis-Makassar, Bali, dan Gorontalo. Afiliasi etnik diperkuat lagi dengan afiliasi religius. Kehidupan afiliasi religius masyarakat Poso didominasi oleh Islam dan Kristen yang dianut oleh masyarakat nonpribumi. Mayoritas penduduk pribumi menganut kehidupan religius Kristen sekaligus bagian dari etnik Pamona dan Mori (Darlis, 2012: 29-30). Pada tahun 2012 pasca konflik terorisme tumbuh subur di wilayah Poso, sebagaimana dilaporkan oleh Lembaga Pusat Studi Hak Asasi Manusia (LPSHAM) Sulawesi Tengah yang menilai bahwa kepolisian harus ikut bertanggung jawab atas tewasnya dua anggotanya di Poso, yang diduga dibunuh kelompok teroris. Bahkan, menurut deklarator Malino I dan tokoh agama, Pendeta Rinaldy Damanik, pemulihan Poso pasca konflik masih terabaikan. Politik pembiaran dilakukan dengan tidak memulihkan sama sekali bangunan di kompleks masyarakat Muslim dan Kristen. Trauma kekerasan yang dialami masyarakat tetap dibiarkan. Negara tidak melakukan peningkatan kesejahteraan yang disinergikan dengan program penegakan hukum dan peningkatan keamanan. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
102
Dalam catatannya konflik Poso pada tahun 1998-2000 sudah membunuh lebih dari 3.000 orang (http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/pusat-studi-ham). Kedua, konteks konflik masyarakat Ambon. Konflik masyarakat Ambon mulai terjadi pada 19 Januari 1999 ketika liburan hari raya Idul Fitri. Ambon dewasa ini merupakan wilayah kabupaten kota di provinsi Maluku, yang memiliki luas
359,45
km2.
Wilayah
Ambon
dikelilingi
oleh
sepuluh
wilayah
kapubaten/kota yang berbeda-beda, yaitu: Maluku Tenggara Barat, Maluku Tenggara, Maluku Tengah, Buru, Kepulauan Aru, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Maluku Barat Daya, Buru Selatan, dan Kota Tual (Bappeda Provinsi Maluku). Komposisi gender masyarakat Ambon yang berjumlah 379.615 jiwa, terdiri dari: laki-laki 189.728 jiwa dan perempuan 189.887 jiwa (Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku, 2013). Pasca konflik pada tahun 2012, bahkan para tokoh Republik Maluku Serikat (RMS) bersuka cita atas fenomena konflik sosial itu, dengan segala bentuk propagandanya yang seolah-olah mengajak para pemuka agama di Maluku untuk bertanggung jawab dan melakukan perlawanan terhadap negara. Perlawanan masyarakat Maluku dilatarbelakangi bahwa negara telah membuat masyarakat Islam dan Kristen untuk menderita atas kejahatan dan kekejaman aparat keamanan dan intelijennya. Selain itu, para tokoh RMS juga mengajak anggota legislatif selaku representasi masyarakat lokal untuk memprotes dan membenci kepada negara (http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25). Ketiga, konteks konflik masyarakat Cikeusik. Konflik sosial yang ketiga terjadi pada 6 Februari 2011 di dalam masyarakat Cikeusik. Wilayah Cikeusik sekarang ini merupakan wilayah kecamatan di kabupaten Pandeglang, provinsi Banten, dengan luas wilayah 322,76 km2. Wilayah Cikeusik dikelilingi oleh 34 wilayah kecamatan yang berbeda-beda, yaitu: kecamatan Sumur, Cimanggu, Cibaliung,
Cibitung,
Cigeulis,
Panimbang,
Sobang,
Munjul,
Angsana,
Sindangresmi, Picung, Bojong, Sketi, Cisata, Pagelaran, Patia, Sukaresmi, Labuan, Carita, Jiput, dan Cikedal, Menes, Pulosari, Mandalangi, Cimanuk, Cipeucang, Banjar, Kaduhejo, Mekarjaya, Pandeglang, Majasari, Cadasari, Karangtanjung, dan Koroncong. Wilayah Cikeusik dibatasi secara administratif di Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
103
sebelah utara, kabupaten serang; di sebelah selatan, samudera Indonesia; di sebelah barat, selat Sunda; dan di sebelah timur, kabupaten Lebak. Penduduk masyarakat Cikeusik berjumlah 52,281 jiwa. Komposisi gender masyarakat Cikeusik terdiri dari jenis kelamin perempuan 25.552 jiwa dan laki-laki 26.729 jiwa (Badan Pusat Statistik Kabupaten Pandeglang, 2012). Dari konteks fenomena konflik sosial di atas, dapat dijelaskan bahwa perilaku sosial seorang manusia yang memunculkan konflik sosial. Fenomena konflik sosial tersebut benar merupakan konflik antarindividu di dalam masyarakat multikultur. Konflik antarindividu dipahami dari tiga perilaku seorang individu, sebagai berikut. Pertama, adanya individu-individu dari komunitas yang terlibat dan mengalami konflik sosial adalah anggota komunitas moral dan budaya yang berbeda. Kedua, setiap individu dari komunitas moral dan budaya yang terlibat dalam konflik meyakini bahwa Tuhan adalah tujuan utama dan sekaligus yang mutlak. Ketiga, setiap individu dari komunitas moral dan budaya memaknai kehidupan religiusitas dan etnisitasnya merupakan bentuk penderitaan dan penerimaan di dunia atas kehendak Tuhan. Atas dasar perilaku sosial individu dari komunitas yang terlibat di dalam konflik di atas, ada tiga unsur fundamental yang memunculkan konflik sosial di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. (a) Pertama, keseragaman identitas. Masyarakat multikultur di dalam sebuah negara-bangsa tentunya membutuhkan identitas nasional, akan tetapi identitas nasional telah mereduksi identitas individual setiap warga negara. Reduksi identitas nasional dalam bentuk keseragaman identitas. Identitas nasional dapat dengan mudah menjadi sumber konflik dan perpecahan, karena setiap definisi identitas nasional tentunya selektif dan harus relatif sederhana untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka identitas nasional menekankan salah satu dari untaian pemikiran dan pandangan serta mendelegitimasi atau meminggirkan yang lain”.12 Keseragaman identitas melalui identitas nasional telah menjadikan kendaraan
12
“…its national identity…can easily become a source of conflict and divison. Since every definition of national identity is necessarily selective and must be relatively simple to achieve its intended purposes, it stresses one of these strands and visions and delegitimizes or marginalizes others.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
104
pembungkam suara kritis dan membentuk seluruh masyarakat dalam citra tertentu yang implikasinya otoritarian dan represif (Parekh, 2000: 231). Rezim otoritarian Orde Baru telah menanamkan definisi keseragaman identitas nasional bahwa “Pancasila adalah asas tunggal”. Dalam praktiknya rezim Orde Baru didominasi oleh etnik Jawa. Konflik Poso dan Ambon dipicu oleh dominasi etnik nonpribumi, seperti Jawa atau Bugis. (b) Kedua, klaim kebenaran pandangan moral dan budaya. Setiap masyarakat yang memiliki kehidupan religius, menganut agama dan etnik tertentu dengan klaim kebenaran pandangan moral dan budaya masing-masing. Benturan klaim kebenaran moral dan budaya di dalam masyarakat multikultur tidak dapat dihindari. Konflik Poso dan Ambon merupakan benturan pandangan antara klaim kebenaran agama Kristen dan Islam. Bahkan, benturan antar pandangan Islam, antara Islam Ahmadiyah dan Islam mainstream di dalam konflik Cikeusik. Absensi negara terhadap benturan klaim kebenaran pandangan tersebut menandai bentuk pembiaran negara, dan kegagalan negara sebagai pengolah perbedaan pandangan moral dan budaya. Rezim Orde Baru dan Orde Reformasi telah menanamkan klaim kebenaran pandangan moral dan budaya dalam bentuk agama resmi negara. Dengan adanya agama resmi negara itu, rezim Orde Baru menolak Konghucu sebagai agama, serta rezim Orde Baru dan Orde Reformasi menolak Islam Ahmadiyah sebagai agama resmi. Relasi agama dan negara harus dijaga dengan rekognisi Pancasila sebagai pandangan moral dan budaya yang universal dan plural. Sementara itu, agama dan etnik seharusnya menjadi sumber alternatif moralitas dan kesetiaan, serta terus mengingatkan bahwa menjadi manusia lebih bermartabat daripada menjadi warga negara (Parekh, 2000: 328). (c) Ketiga, keseragaman sosial dalam keragaman moral dan budaya. Keseragaman sosial terhadap masyarakat multikultur hanya mereproduksi resistensi bahkan konflik sosial. Padahal, masyarakat multikultur mengandung keragaman agama dan etnik yang memiliki perbedaan pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda, yaitu keyakinan dan praktik good life yang berbedabeda. Pelarangan, pemaksaan dan penyesatan terhadap jamaah dan doktrin Ahmadiyah supaya mengikuti agama mainstream atau membentuk agama Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
105
nonIslam merupakan bentuk keseragaman sosial yang dilakukan negara supaya mengikuti agama resmi. Keseragaman sosial itu tak lain adalah penghilangan kebebasan beragama dan menganut kepercayaan etnik setiap warga negara, sehingga
konflik
antarindividu
memunculkan
tragedi
konflik
Cikeusik.
Keseragaman sosial tersebut sebagai pemikiran monisme moral yang memandang bahwa “perbedaan sebagai penyimpangan, sebagai ungkapan patologi moral” (Parekh, 2000: 49). Selama rezim Orde Baru dan rezim Reformasi semboyan bhineka tunggal ika di dalam negara-bangsa yang multikultur hanya semata-mata simbol, tanpa mengajarkan dan mempraktikkan nilai-nilai perbedaan dan identitas yang menanamkan keragaman moral dan budaya, serta prinsip memanusiakan manusia. Tiga unsur fundamental di atas sangat berkaitan erat dengan kondisi sosial yang membentuk karakter manusia yang berbeda-beda dalam kehidupan bersama. Dalam mitos Phaedrus Plato menjelaskan karakter manusia yang berbeda-beda berada di dalam kebaikan dan kejahatan (good and evil). Karakter baik dan jahat kembali hadir di dalam konflik antarindividu yang dipengaruhi oleh gairah atau kemarahan pada satu sisi. Pada sisi lain konflik antarindividu dipengaruhi oleh nafsu dan naluri hewani. Mitos dalam pemikiran Plato tersebut serupa dengan apa yang dapat disebut agama bawah tanah dalam segala usia dan negara (Plato, 1999: 51; 56). Baik dan jahat dalam kehidupan sosial disebabkan oleh “konflik antarindividu yang disebabkan oleh sikap egois seorang manusia.” Sikap egois menimbulkan derita kepada orang lain. Sikap egois (selfishness) dapat dipahami dengan membedakan dari sikap mementingkan diri (self-interest). Keegoisan adalah perilaku seorang manusia yang menempatkan diri sendiri di atas orang lain dan mengejar kepentingan diri sendiri atas biaya orang lain. Sementara itu, kepentingan diri adalah perilaku seseorang yang mengamankan kondisi-kondisi dengan mempertimbangkan eksistensi good life seutuhnya. Oleh karena itu, diyakini bahwa “tak ada konflik di antara kepentingan diri pada seluruh manusia.”13 Konflik sosial berawal dari pikiran (interpretasi) seseorang dalam 13
“…no conflict between the self-interests of all men.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
106
memahami kepentingan diri dan kepentingan orang lain dalam kehidupan sosial. Dalam proses berpikir seseorang mengalami konflik yang dipengaruhi moralitas sosial. Secara moral seseorang yang memenuhi kepentingan diri sesuai dengan tatanan sosial yang legitimit, karena secara rasional sesuai dengan hasrat manusia yang tepat. Meski demikian, seseorang seringkali memenuhi kepentingan diri melebihi dari aturan sosial yang berlaku, bahkan merampas dan menindas kepentingan orang lain (Parekh, 1989: 117). Padahal, kehidupan manusia sudah difasilitasi dengan aturan sosial secara konstitusional yang termaktub di dalam UUD 1945. Aturan sosial konstitusional terhadap hak dan kewajiban warga negara yang patuh. Dalam teks Pembukaan UUD 1945 alinea pertama tertulis bahwa “sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Kemerdekaan manusia sebagai bangsa adalah hak. Manusia yang merdeka berarti individu yang memiliki hak kebebasan dari penjajahan, karena tidak perikemanusian dan perikeadilan. Makna manusia yang merdeka diperdalam di dalam Universal Declaration of Human Rights (1948) pada Pasal 1 bahwa “semua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraan”.14 Legitimasi konstitusional universal terhadap martabat manusia yang merdeka berkat perikemanusiaan dan perikeadilan seharusnya dirawat dalam semangat persaudaraan. Hal itu yang seharusnya menjadi kesadaran bersama bahwa warga negara memiliki perbedaan dan identitas dalam keragaman moral dan budaya. Namun, bangsa Indonesia dewasa ini mengalami krisis moral dan budaya dalam kehidupan sosial yang berujung pada tiga tragedi konflik sosial. Corak konflik nuansa agama dan nuansa etnik di berbagai wilayah Indonesia merupakan fakta krisis moral dan budaya.
14
Lihat Universal Declaration of Human Rights 1948 Article 1 bahwa “all human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood”. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
107
4.2 Corak Konflik Masyarakat Multikultur Dengan adanya perbedaan pandangan moral dan budaya, konflik sosial di Indonesia dapat dijelaskan bahwa “agama tidak hanya mentransformasi dirinya menjadi identitas moral dan budaya atau bahkan menjadi identitas politik dan nasional sehingga agama dapat menjadi faktor afiliasi bagi komunitas atau masyarakat tertentu, melainkan juga pada saat yang sama ia dapat menjadi faktor disafiliasi di antara komunitas atau masyarakat yang beragama” (Abdullah, 2003:177). Agama dalam konflik sosial dapat dimaknai secara dikotomis, sebagai afiliasi sekaligus disafiliasi, serta sebagai identitas budaya sekaligus identitas nasional. Hal itu menunjukkan bahwa umat beragama dan etnik yang menentukan interpretasi agama dan etnik dalam konflik sosial, bukan agama atau etnik sebagai sumber konflik sosial. Dari fenomena konflik sosial di atas, ada corak konflik yang khas yang diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Corak konflik sosial telah diproduksi oleh konflik antarindividu di dalam ketidakpastian good life bagi masyarakat multikultur. Ketidakpastian good life mempengaruhi kehidupan agama dan etnik. Dalam ranah kehidupan publik, agama, etnik dan negara tidak harmonis yang dipenuhi prasangka di antara ketiganya. Dalam fenomena kehidupan religius, agama dan etnik tersebut merupakan dua corak konflik masyarakat multikultur, yaitu konflik nuansa agama dan nuansa etnik. Corak konflik tersebut penting dijelaskan untuk menyelesaian konflik yang lebih humanis.
4.2.1 Konflik Nuansa Agama Konflik nuansa agama diproduksi oleh konflik antarindividu yang dijustifikasi konflik antaragama di mana identitas religius tertanam secara budaya pada masing-masing individu yang mengalami konflik. Konflik nuansa agama dideskripsikan pada fenomen konflik sosial di Poso, Ambon dan Cikeusik. Dalam konflik nuansa agama, pandangan moral dan budaya menjustifikasi apa yang dibuat oleh komunitas budaya yang tersembunyi kepentingannya dan menafsirkan Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
108
realitas sosial sedemikian rupa, sehingga justifikasinya dibuat rasional (Berger, 1966: 130).15 Pandangan hidup dari Pancasila mengajarkan ketuhanan dan kemanusiaan di dalam sila pertama dan kedua. Sila pertama bahwa ketuhanan Yang Maha Esa. Sila kedua bahwa kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam pengajaran pandangan Pancasila, hanya diajarkan pengetahuan mengenai agama, Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Padahal, pandangan hidup dari Pancasila seharusnya mengajarkan pendidikan multikulturalisme, yang arahnya pada pemahaman hakiki dari keutuhan manusia yang ditentukan oleh pandangan moral dan budaya. Dalam dimensi moral dan budaya, manusia adalah misteri yang tetap mempertahankan identitas individual, kebebasan, dan martabatnya (Poespowardjojo, 1989: 85). Ada dua aspek munculnya konflik sosial nuansa agama pada tiga tragedi, yaitu: segregasi agama dan etnik, serta segregasi agama dan moral.
A. Segregasi Agama dan Etnik Secara historis di Ambon, Maluku sejak abad ke-17 sudah terjadi konstruksi sosial yang membedakan identitas kampong didasarkan pada agama, yaitu kampung Islam dan Kristen. Namun, pada abad ke-19 masa kolonial Belanda di bawah VOC, muncul perjanjian antara kolonial dengan sultan-sultan Islam yang meminta dan menjamin adanya stabilitas agama. Perjanjian tentang pembersihan agama. Jika orang-orang Islam ingin tinggal di kampung Kristen, maka dipaksa kembali ke kampung halamannya. Batavia menjadi kota yang didominasi oleh komunitas Kristen, sedangkan agama yang lain tidak dibiarkan hidup dan kuil-kuil Cina atau masjid Islam dianggap ilegal (Steenbrink, 2003: 153). Konflik perbedaan pandangan, seperti berdampak pada masa sekarang. Pandangan moral dan budaya seringkali datang dari luar. Bahkan, konflik nuansa agama di Indonesia dijelaskan sebagai “konflik yang hanya diperkuat oleh beberapa aktivis dari luar, seperti Lasykar Jihad pada komunitas Islam dan
15
“In each case, ideology both justifies what is done by the group whose vested interest is served and interprets social reality in such a way that the justification is made plausible.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
109
pejuang Republik Maluku Selatan (RMS) untuk memerdekakan Republik Maluku pada komunitas Kristen” (Steenbrink, 2003: 150). Segregasi didasarkan pada agama dan etnik sejak awal terjadi di Poso. Segregasi antara Islam dan Kristen ditandai dengan perkembangan pengaruh Islam dan Kristen di beberapa wilayah yang berbeda-beda. Wilayah pesisir didominasi oleh komunitas Islam yang berkaitan dengan jalur perdagangan masa lalu yang dikuasai oleh masyarakat lokal dengan komunitas Islam dari Ternate, Bugis dan Gorontalo. Sementara itu, di wilayah pedalaman dan pegunungan bersamaan dengan kolonialisme pada sekitar tahun 1890-an, misi Kristen disebarkan oleh A.C. Kruyt dan N. Adriani yang dikukuhkan dengan berdirinya Gereja Kristen Sulawesi Tengah pada tahun 1947 (Darlis, 2012: 36). Segregasi agama dan etnik merupakan perilaku sosial pada seorang individu yang didasarkan pada ketiadaan identitas nasional untuk menyatukan pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda. Segregasi agama dan etnik muncul pada identitas nasional. Identitas individual sebagai seorang warga negara dalam kehidupan religius adalah penting dan membutuhkan rekognisi sosial dari negara. Kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) merupakan instrumen negara untuk mengakui identitas individual sebagai warga negara yang beragama sebagai identitas nasional, akan tetapi masih ada beberapa agama minoritas yang belum diakui oleh negara. Oleh sebab itu, negara mengusulkan untuk mengosongkan identitas individual di dalam KTP-el apabila agama belum diakui oleh negara.16 Kepemilikan KTP-el diwajibkan bagi setiap warga negara apabila telah memenuhi persyaratan. KTP-el merupakan tanda pengenal identitas nasional. Agama yang belum diakui oleh negara berarti
16
Lihat Undang-Undang nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 1 Ayat 14 Bahwa Kartu Tanda Penduduk Elektronik, Selanjutnya Disingkat Ktp-El, Adalah Kartu Tanda Penduduk yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana; dan Pasal 64 ayat 5 bahwa elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
110
di luar enam agama formal, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu, bukan di luar agama dan kepercayaan yang dilindungi negara.17 Atas dasar pengertian identitas dan sebagai pelayanan publik kepada warga negara, usulan negara pengosongan kolom agama itu mendiskriminasikan agama dan kepercayaan minoritas (nonresmi) atas identitas individual setiap warga negara yang dilindungi negara. Identitas individual bagi warga negara dan komunitas sosial sangat menentukan untuk membedakan dirinya dari orang lain dan komunitas lainnya. Tidak hanya untuk membedakan secara deskripsi empiris, melainkan juga identitas melibatkan interpretasi dan penilaian. Oleh sebab itu, seorang individu dapat keliru terhadap apa yang diperlukan untuk menjadi identitas dirinya atau orang lain (Parekh, 2008: 9). Ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang dialami oleh individu dalam kehidupan religius menjelaskan bahwa identitas sosial untuk menyederhanakan relasi eksternal warga negara. Padahal, identitas sosial juga merupakan kebutuhan manusia untuk memiliki martabat yang ditransformasikan ke dalam komunitas komunalnya. Hal demikian sangat membahayakan terjadinya konflik nuansa agama. Identitas sosial menjelaskan bahwa individu-individu dalam komunitas komunal itu berbeda-beda. Perbedaan identitas sosial yang menghasilkan bentukbentuk tindakan komunitas komunal yang dapat dikenali. Identitas sosial menguraikan proses yang memposisikan individu dalam komunitas komunal dan pada saat yang sama memposisikan komunitas komunal di dalam individu. Demikian itu terdapat intensi primordial dan keterikatan pada tradisi, terutama berdasarkan agama, masih sangat kuat di antara komunitas Ambon (Ratnawati, 2003: 13). Dalam komunitas komunal keluarga penting dideskripsikan sebagai suatu komunitas moral. Pada awal Inggris modern diungkapkan bahwa kontras budaya antara berbagai macam pemukiman di lingkungan yang berbeda-beda. Perbedaan antara tanah yang baik untuk ditanami dan padang rumput, misalnya dikaitkan dengan perbedaan tingkat melek huruf dan bahkan dengan sikap religius 17
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2 bahwa negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
111
komunitasnya atau dengan membandingkan kesetiaan komunitas selama perang saudara. Hasil pembedaannya bahwa di daerah yang berpohon-pohon, ukuran perkembangannya kecil-kecil, lebih terisolasi, kurang melek huruf, dan sikap komunitasnya lebih konservatif dibanding orang-orang di daerah pertanian jagung. Oleh karena itu, ditekankan bahwa pada relasi antara komunitas dan lingkungannya, terbebas dari dua bahaya yang timbul akibat memperlakukan desa seakan-akan sebuah pulau terpencil (Burke, 1992: 82). Berdasarkan pemahaman “tidak ada doktrin politik atau ideologi yang dapat
merepresentasikan
kebenaran
utuh
tentang
kehidupan
manusia”,
menjelaskan bahwa pandangan moral dan budaya sangat menentukan konflik antarindividu terjadi.18 Pandangan monisme moral, liberalisme, pluralisme, atau universalisme
plural
terikat
pada
moral
dan
budaya
tertentu
yang
merepresentasikan pandangan good life untuk mewujudkan masyarakat lokal yang baik. Pandangan good life memperdulikan nilai-nilai humanitas yang mulia, martabat manusia, otonomi, kebebasan, pemikiran kritis, dan kesetaraan. Dengan pandangan good life, masyarakat yang baik, bukan berkomitmen pada doktrin politik atau pandangan hidup tertentu, karena mungkin doktrin politik atau pandangan hidup tertentu tidak dapat diterima oleh sebagian masyarakat dan menghambat pembangunan masa depan, akan tetapi secara dialogis masyarakat perlu mulai menerima realitas dan membutuhkan keragaman moral dan budaya sebagai konstruksi kehidupan sosial (Parekh, 2000: 338-339).
B. Segregasi Agama dan Moral Secara historis agama dan moral sangat berperan sebagai konstruksi konflik nuansa agama. Kenapa Socrates dihukum mati? Karena, konflik yang dipengaruhi oleh moral dan agama muncul, di mana keduanya sulit diverifikasi. Plato dalam Euthypro menjelaskan bahwa “ketika kesalehan diartikan dengan yang dicintai oleh para Dewa, menentukan perbedaan antara keadaan dan tindakan.” Tindakan itu sebelum keadaan, seperti dalam pemikiran Aristoteles, energeia mendahului dumanis. “Keadaan dicintai didahului oleh tindakan 18
“…no political doctrine or ideology can represent the full truth of human life.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
112
dicintai.” Kesalehan didahului oleh tindakan yang saleh, bukan oleh tindakan yang dicintai. Berbeda antara kesalehan dan tindakan yang dicintai. Socrates menggunakan dialetika antara pikiran dan perasaan. Mencintai para Dewa hanya mengekspresikan atribut saja, bukan esensi dari kesalehan. Dalam realitas sosial “kesalehan diartikan sebagai bagian dari keadilan, yang memposisikan agama di atas dasar moral”. Plato berusaha merealisasikan harmoni moralitas dan agama sebagai harapan universal seluruh manusia (Plato, 1999: 7-9). Namun demikian, dialektika Socrates terus menerus memproduksi konflik nuansa agama, ketika ketidakadilan hadir kembali di dalam kebebasan beragama. Dengan pemahaman konflik moral dan agama, segregasi agama dari negara sebagai penjaga moralitas, semakin tajam dalam kehidupan sosial yang plural, karena lebih tinggi justifikasi dengan iman yang menentukan konstruksi komunitas baru dengan aturan moral sendiri (Dewey, 1922: 5). Keragaman tidak dengan sendirinya menimbulkan konflik, tetapi menimbulkan ruang kemungkinan konflik, dan ruang kemungkinan itu direalisasikan di dalam fakta (Dewey, 1922: 52).19 Ruang kemungkinan konflik, misalnya, terjadi di dalam kebiasaan makan yang merupakan penyatuan organisme dan alam. Dalam kebiasaan makan itu mungkin terjadi konflik dengan kebiasaan lain yang obyektif, atau dalam harmoni dengan lingkungannya. Oleh karena itu, semua lingkungan tidak dari satu bagian, rumah manusia terbagi dalam dirinya sendiri, melawan dirinya sendiri. Dengan keragaman sosial, konflik antarkomunitas memberikan ruang kemungkinan individu bertindak untuk memproduksi konflik (Dewey, 1922: 66). Dalam diri manusia secara sosial dijelaskan bahwa ada dua jenis kebaikan, yaitu intelektual dan moral. Secara esensial kebaikan intelektual bertumpu pada pengajaran, karena membutuhkan pengalaman dan waktu, dalam kelahiran dan perkembangannya. Sementara itu, kebaikan moral lahir sebagai akibat dari kebiasaan, yang dinamakan ethike, yaitu salah satu yang dikonstruksi oleh sedikit perbedaan dari kata ethos (habit). Kebaikan itu direkonstruksi sekaligus didekonstruksi, seperti seni. Dalam seni bermain kecapi ditemukan bahwa baik
19
“Diversity does not of itself imply conflict, but it implies the possibility of conflict, and this possibility is realized in fact.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
113
dan jahat dikonstruksi oleh pemain kecapi (Aristoteles, 1999: 20-21). Realitasnya, mayoritas manusia secara sosial dalam memenuhi kesenangan individual dengan saling konflik antara satu sama lain. Padahal, konflik bukan sifat yang menyenangkan, karena sejatinya para pecinta yang mulia menemukan kesenangan sebab sifatnya menyenangkan. Kesenangan yang menyenangkan adalah tindakan baik (Aristoteles, 1999: 13). Realitas konflik pada manusia secara sosial sebagai determinasi sosial atas perilaku seorang individu. Determinasi sosial tidak hanya menimbulkan konflik antara kelas kapitalis borjuis dan kelas proletar, atau antara produksi sosial dan penghisapan individual, akan tetapi determinasi sosial antara keyakinan dan praktik agama bukan sebagai sumber nilai-nilai eksternal dan organisasi, melainkan bagian dan ikatan dari konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan ekonomis yang sama. Agama yang sangat emosional dan militan merupakan ekspresi dari alienasi kelas proletar terhadap eksistensinya. Sebaliknya, agama sebagai sarana yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk mengalihkan energienergi kelas menderita dari kegiatan politis ke agama yang relatif tidak merugikan (Campbell, 1981: 129). Oleh sebab itu, konflik sosial nuansa agama, terutama antara Islam dan Kristen, pada dasarnya tidak lepas dari kebencian, dan karena tidak dapat menerima yang berbeda. Agama hanya diperankan secara fungsional pandangan moral untuk legitimasi kekuasaan dan landasan simbolis kekerasan (Haryatmoko, 2012: 83). Bahkan, dengan determinasi sosial, masyarakat multikultur akan menghadapi anarki yang mengerikan. Indonesia telah menyaksikan ledakan kekerasan komunal pada akhir tahun 1950-an dan 1965. Lebih mengejutkann kembali, Indonesia dibakar oleh kekerasan agama dan etnik yang membara dari 1996 hingga 2001 (Hefner, 2001: 7).20 Tindakan anarki masyarakat multikultur ternyata terjadi sampai pada tahun 2011 di mana kekerasan begitu keji terhadap jamaah Ahmadiyah Cikeusik.
20
“Indonesia saw outbreaks of communal violence in the late 1950s and 1965; more shocking yet, Indonesia was shaken by bitter ethnoreligious violence from 1996 to 2001.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
114
4.2.2 Konflik Nuansa Etnik Konflik nuansa etnik diproduksi oleh konflik antarindividu yang dijustifikasi konflik antaretnik di mana identitas etnik tertanam pada seseorang yang terlibat konflik. Pada konflik sosial di Ambon dijelaskan bahwa ada identitas pribumi Ambon di dalam individu yang mengalami konflik dengan nonpribumi dari Sulawesi Selatan, seperti Bugis, Buton dan Makassar (Buchanan, 2011: 15). Di Poso juga konflik sosial didasarkan pada perbedaan individu dari masyarakat pribumi dan individu dari masyarakat nonpribumi (Darlis, 2012: 29). Perbedaan pandangan budaya dimunculkan oleh individu-individu di dalam konflik sosial. Sebagaimana dijelaskan di atas, secara historis konflik sosial nuansa etik awalnya dari segregasi agama dan etnik yang dilakukan negara sejak pemerintahan kolonialisme. Pada dasarnya Indonesia adalah negara-bangsa yang ditempati oleh komunitas budaya yang plural. Pluralitas budaya Indonesia tampak jelas pada semboyan negara bhineka tunggal ika yang diusulkan oleh Muhammad Yamin dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular pada abad ke-14 untuk merepresentasikan realitas masyarakat Indonesia pada saat itu, sebagai berikut: Konon dikatakan bahwa wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang. Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda. Namun, pada hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua (Kakawin Sutasoma, pupuh 139, bait 5).21 Semboyan negara bhineka tunggal ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu juga” itu hingga kini masih sesuai untuk merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia modern dalam arus globalisasi. Masyarakat multikultur dibentuk dari pemersatuan masyarakat-masyarakat etnik dengan sistem nasional. Pembentukan masyarakat multikultur itu biasanya dipaksakan sebagai bangsa di dalam sebuah negara (Suparlan, 2004). Pemaksaan disebabkan adanya konflik sosial antara dominasi dan minoritas. Dengan kata lain, pemaksaan dalam konflik tidak hanya 21
“Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa, bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn, mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal, bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
115
dilakukan oleh mayoritas terhadap minoritas. Pemaksaan tepatnya meniadakan dialog sebagai pengolahan konflik untuk mewujudkan realitas sosial yang adil dan damai. Dalam pembukaan UUD 1945 kedaulatan negara Indonesia didasarkan pada Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila berisi mengenai ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawatan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.22 Semboyan negara dijelaskan adalah bhineka tunggal ika.23 Semboyan bhinneka tunggal ika adalah pepatah lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Mpu Tantular. Kata bhinneka merupakan gabungan dua kata, bhinna dan ika diartikan “berbeda-beda tetapi tetap satu” dan kata tunggal ika diartikan bahwa “di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan”. Semboyan itu digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.24 Dengan demikian, terjadinya konflik nuansa etnik karena bhineka tunggal ika sebagai semboyan bangsa dan negara yang diartikan “berbeda-beda tetapi tetap satu juga” merupakan paradigma pengalaman Pancasila yang didasarkan pada politik keseragaman sebagai asas tunggal dan pandangan hidup yang tertutup. Namun, jika didasarkan pada politik perbedaan atau keragaman yang tertanam secara budaya, bhineka tunggal ika dapat diinterpretasikan di dalam realitas keragaman moral dan budaya.
4.3 Kritik terhadap Konsep Makhluk yang Berkonflik Kritik terhadap konsepsi “manusia sebagai makhluk yang berkonflik” dipahami
dengan
adanya
heteronomi
eksistensial
manusia.
Heteronomi
eksistensial membuka ikatan dikotomi eksistensial manusia yang selama ini membelenggu di dalam konflik. Heteronomi eksistensial muncul didasarkan pada 22
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pembukaan. Lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 36A bahwa lambang negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan bhineka tunggal ika. 24 Lihat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Pasal 46. 23
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
116
perbedaan sosial. Perbedaan sosial tidak dapat menghindari pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda. Konsepsi itu tidak hanya didasari oleh realitas sosial di mana manusia sebagai makhluk alamiah dan sekaligus makhluk sosial, akan tetapi manusia sebagai makhluk religi. Adanya kekuatan agama dan etnik yang tertanam pada masyarakat multikultur, sumber esensial konflik adalah heteronomi eksistensial manusia di dalam kehidupan sosial. Sumber esensial konflik itu merupakan refleksi filosofis atas manusia sebagai makhluk yang berkonflik. Namun, jarang karakteristik manusia ditemukan sebagai sumber konflik sosial, akan tetapi secara umum para ilmuwan sosial mengatakan bahwa sumber konflik sosial adalah relasi-relasi sosial, politik dan ekonomi. Walaupun demikian, dalam regulasi negara dijelaskan bahwa konflik sosial dijelaskan bersumber dari: (a) permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya; (b) perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat beragama, antarsuku, dan antaretnis.25 Regulasi negara Indonesia tersebut dengan jelas merespons eksistensi manusia dalam perseteruan antarumat beragama dan antaretnik. Ada tiga sumber konflik. Pertama, konflik ekonomi yang melibatkan motif kompetisi untuk mencapai sumber daya yang langka. Kedua, konflik nilai yang melibatkan ketidakcocokan dalam cara hidup, ideologi sebagai preferensi, prinsip dan praktik-praktik keyakinan. Ketiga, konflik kekuasaan yang terjadi ketika masingmasing pihak ingin mempertahankan atau memaksimalkan jumlah pengaruh yang diberikannya dalam relasi dan pengaturan sosial (Fisher, 2000: 1-2). Konflik nilai sebagai sumber konflik menegaskan bahwa konflik berbasis pada eksistensi umat beragama dan etnik. Sebagai pribadi, manusia adalah makhluk yang paradoks. Penjelasan konsepsi tersebut didasarkan pada penamaan filsafat manusia adalah antropologi filosofis (Leahy, 1981: 1-2). Paradoks manusia dalam realitas sosial seringkali menjadi konflik. Sejarah filsafat menceritakan secara fenomenologis manusia sosial berkonflik terus menerus. Kenapa manusia berkonflik terus menerus? Dalam antropologi filosofis fenomena konflik sosial di atas direfleksikan dengan 25
Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 5. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
117
menyebut makhluk yang berkonflik (Magnis-Suseno, 1999). Dalam konteks itu filosofi itu ditujukan untuk sebuah penggalian esensi manusia secara alamiah dan sosial di dalam masyarakat multikultur. Manusia secara alamiah senantiasa mengalami konflik yang berkaitan dengan keterikatannya kepada sumber daya alam yang terbatas. Manusia secara sosial juga selalu berkonflik berhubungan dengan keterikatan komunikasi bersama orang lain. Konflik yang tak berkesudahan pada manusia secara alamiah dan sosial terjadi semata-mata hanya untuk kelanjutan hidup, pemenuhan kebutuhan dasar dan pengembangan dirinya. Sebagai makhluk yang berkonflik, eksistensi manusia dapat menemukan penyelesaian konflik yang baik. Filosofi makhluk yang berkonflik diasumsikan pada tiga pandangan murni logis konseptual. Pertama, perdamaian adalah salah satu dari dua nilai fundamental kehidupan bersama. Nilai lainnya adalah kebenaran. Kedua, perdamaian hanya benar jika didasarkan pada keadilan. Ketiga, konflik terbuka dengan kekerasan terbatas yang seringkali dapat dibenarkan sebagai cara akhir untuk membuka struktur-struktur yang tidak adil (MagnisSuseno, 1999: 201-202). Pembedaan manusia secara alamiah dan sosial menjelaskan bahwa sumber konflik yang diperebutkan adalah keterbatasan alamiah dan ketergantungan sosial. Secara filosofis dijelaskan bahwa “konflik ada secara esensial, bukan kenyataan empiris.” Suami dan isteri yang berdiskusi secara timbal-balik menandakan bahwa konflik tetap ada sebagai kenyataan. Di dalam kenyataan tidak adanya konflik berarti konflik dapat diolah dengan baik. Dalam regulasi bernegara di Indonesia, konflik dipahami dalam istilah “konflik sosial” yang sungguh amat sempit pengertiannya, baik dipandang secara filosofis maupun sosiologis. Definisi yang sempit itu mengakibatkan pengolahan konflik yang tidak tepat dan pembiaran negara pada tindakan kekerasan. Esensi konflik itu menegaskan bahwa adanya konflik bukan kenyataan empiris, melainkan esensial. Adanya kemarahan seseorang disebabkan adanya konflik dengan orang lain, namun tidak adanya kemarahan seseorang pun tetap menunjukkan adanya konflik dengan orang lain yang disebabkan seseorang itu mampu mengolah konflik dengan baik. Lebih terperinci dikategorikan bahwa sifat Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
118
konflik menjadi dua, yakni “konflik obyektif-lahiriah” dan “konflik subyektifbatiniah”. Konflik obyektif-lahiriah merupakan “tindakan fisik yang berhubungan dengan hal-hal yang dapat menjadi materi sebuah hak”. Tindakan fisik yang dimaksud, misalnya masalah hak milik, melakukan kegiatan, dan mendambakan kesempatan. Sedangkan, konflik subyektif batiniah merupakan “tindakan rasa yang berkaitan dengan gesekan komunikasi langsung dan berakar dalam berbagai emosi yang menyertainya”. Contoh dari konflik subyektif batiniah adalah jengkel, benci, tersinggung, dan bosan. Kedua kategori sifat konflik itu memungkinkan saling terkait satu sama lainnya, karena dikotomi manusia sebagai makhluk alamiah sekaligus makhluk sosial. Konsepsi manusia itu termasuk dalam kategori konflik obyektif-lahiriah (Magnis-Suseno, 1999: 200-201). Dengan esensi konflik itu, dapat dipahami secara dikotomis bahwa konflik sebagai “situasi interaktif yang dapat menimbulkan konflik terbuka berupa tabrakan, perkelahian, atau perang” (Magnis-Suseno, 1999: 203). Pemahaman konflik itu “mengesampingkan” konflik yang bersifat subyektif-batiniah sebagai kondisi manusia yang tidak terelakkan. Dengan pemahaman tersebut, diyakini bahwa: “Konflik berubah menjadi tabrakan, perkelahian dan perang berarti pihakpihak yang bersangkutan tidak mau memecahkannya secara damai, melainkan memilih jalan hendak memaksa pemecahan konflik itu (1999: 203-204). Dengan keyakinan itu, ada penawaran penyelesaian konflik dengan dua cara, yaitu damai atau paksaan. Paksaan berupa fisik, rohani dan sosial, misalnya saling pukul memukul, saling mengancam agar tidak berpendapat, dan saling memaksa untuk mengusir dari tempat tinggalnya. Penyelesaian konflik yang ditawarkan beliau pun bersifat dikotomis. Dikotomi pada resolusi konflik itu bersumber pada tujuan final dari sebuah konflik yang ditemukan, yakni keadilan atau ketidakadilan, dan kebenaran atau kepalsuan. Jika pilihannya perkelahian berarti tindakan yang merendahkan martabat hingga ke tingkat submanusiawi. Juga, berarti semua pihak yang terlibat dalam mencapai tujuannya dengan siapa yang menang atau yang paling kuat, tanpa memperhatikan martabat manusia (kehendak, otonomi) pada pihak yang lain (Magnis-Suseno, 1999: 204). Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
119
Hasil dari konflik yang dijelaskan dalam konsep manusia tersebut didasarkan pada analisa formal Hegel adalah “mesti selalu berakhir dalam kematian (atau pelumpuhan) satu pihak. Sementara itu, jika tidak berakhir dalam kematian satu pihak, niscaya menciptakan hubungan kekuasaan baru.” Hasil itu, disebabkan oleh adanya interaksi yang ditentukan dan dipertahankan dengan daya pengancam pemenang. Oleh karena itu, dengan tanpa pengakuan bebas atau paksaan, niscaya konflik hanya akan mereproduksi konflik baru sebagai penyelesaian buruk (Magnis-Suseo, 1999: 208). Lingkaran setan dari hasil konflik tersebut merupakan fenomena sosial yang tepat untuk direfleksikan secara kritis tentang konsep manusia sebagai makhluk yang berkonflik. Oleh sebab itu, ada tiga kritik terhadap konsep tersebut. Pertama, pemikiran dikotomis. Konsepsi itu selalu berpikir dikotomis untuk menjelaskan manusia dengan menganggap realitas sosial dan manusia hanya memahami esensi makhluk alamiah dan sekaligus makhluk sosial, realitas sosial dan fenomena konflik hanya menjelaskan konflik obyektif lahiriah dan konflik subyektif batiniah, penyelesaian konflik hanya dapat dilakukan dengan damai atau paksaan, serta hasil konflik hanya menghasilkan berakhir dalam kematian satu pihak atau tidak berakhir dalam kematian satu pihak. Pemikiran dikotomis tersebut tidak akan banyak memberikan alternatif untuk resolusi konflik, padahal seharusnya diberikan banyak alternatif untuk resolusi konflik sebagai penghormatan pada martabat manusia yang memiliki kebebasan dalam berpikir dan berkehendak secara otonom. Banyak alternatif didasarkan pada keragaman budaya dengan perbedaan pandangan moral dan budaya. Kedua, dikotomi eksistensial manusia. Pandangan dikotomi eksistensial manusia yang mana hanya tersusun dari jiwa dan tubuh, hanya dapat menjelaskan esensi manusia sebagai makhluk alamiah dan sekaligus makhluk sosial. Padahal, dengan adanya heteronomi eksistensial manusia yang mana tersusun dari jiwa (dan eksistensi Tuhan) serta tubuh, esensi manusia tidak hanya sebagai makhluk alamiah dan sekaligus makhluk sosial, namun sebagai makhluk religius juga, sebagaimana dijelaskan oleh Durkheim. Atas dasar fenomena religius, asumsi Durkheim pada dualisme manusia untuk menjelaskan konsep manusia sebagai Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
120
makhluk religius. Dualisme manusia terdiri dari jiwa sebagai hal yang sakral dan tubuh sebagai hal profan. Jiwa dan tubuh itu saling bertentangan, akan tetapi pada ruang sakralitas ada keilahian di dalam kehidupan dunia di mana tubuh hidup beraktivitas (Durkheim, 2005: 42). Konflik jiwa dan tubuh menunjukkan adanya keterbatasan. Di dunia keterbatasan tidak hanya pada ketersediaan alam dan ketergantungan komunikasi dengan orang lain, akan tetapi eksistensi adanya manusia juga terbatas. Ketidakterbatasan hanya dimiliki oleh eksistensi Tuhan. Ketiga, pengesampingan konflik yang bersifat subyektif batiniah. Pelaku utama dalam konflik adalah manusia sebagai subyek. Dengan pendekatan antropologi konflik yang bersifat subyektif batiniah dapat menemukan pelaku utama dalam konflik. Namun, konsepsi itu mengesampingkan sifat subyektif batiniah
untuk
menjelaskan
konflik
yang
bersifat
obyektif
lahiriah.
Pengesampingan sifat subyektif batiniah berarti mengesampingkan manusia sebagai pelaku dan sekaligus korban dalam konflik. Dengan pengesampingan itu, konflik tidak dapat diolah dengan rekognisi perbedaan siapa yang terlibat dalam konflik atau pemaafan terhadap korban, dengan tetap memperdulikan keadilan dan kesejahteraan bagi setiap manusia sebagai tujuan final. Meskipun demikian, konsepsi tersebut menjelaskan bahwa “konflik harus diolah dengan berorientasi pada idea keadilan dan bukan melalui perkelahian, perang atau paksaan.” Pengolahan konflik dalam konsepsi itu begitu abstrak. Oleh karenanya, dibutuhkan pengolahan konflik yang lebih konkret, yaitu konflik harus diolah dengan asas humanitas melalui dialog budaya. Di Indonesia asas humanitas yang dimaksud adalah kemanusiaan yang adil dan beradab.
3.6 Ikhtisar Berdasarkan pada penjelasan di atas, dapat diikhtisarkan bahwa konflik antarindividu memproduksi fenomena konflik sosial yang terjadi di dalam masyarakat multikultur. Perbedaan pandangan moral dan budaya mempengaruhi konflik antarindividu di dalam negara yang mengakui perbedaan moral dan budaya. Dari fenomena konflik sosial tersebut, dapat dijelaskan bahwa perilaku Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
121
sosial seorang manusia memunculkan konflik disebabkan oleh pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda. Perbedaan pandangan moral dan budaya seringkali dengan sadar mempengaruhi atau menggerakkan antarindividu berkonflik di dalam kehidupan religius untuk mempertahankan identitas, baik identitas individual maupun identitas sosial, masing-masing. Dalam masyarakat multikultur dengan adanya fenomena konflik sosial di Ambon, Poso dan Cikeusik, dapat dijelaskan bahwa ada dua corak konflik sosial yang seringkali terjadi, yaitu konflik nuansa agama dan konflik nuansa etnik. Dua nuansa konflik sosial tersebut diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya, karena negara menerapkan paradigma keseragaman identitas nasional, klaim kebenaran pandangan moral dan budaya, dan keseragaman sosial masyarakat multikultur. Di samping itu, tiga unsur fundamental itu berkaitan dengan karakter manusia, baik dan jahat, dalam konflik sosial. Konflik antarindividu hanya disebabkan oleh keegoisan lawan dari kepentingan diri. Keegoisan menyebabkan derita orang lain. Secara eksistensial konflik antarindividu telah memposisikan perilaku seorang individu yang bertindak kekerasan dan perang berada dalam kondisi inhuman di mana harkat dan martabatnya dihancurkan. Oleh karena itu, tepat dijelaskan bahwa fenomena konflik sosial di dalam masyarakat multikultur direfleksikan melalui konsep manusia sebagai makhluk yang berkonflik. Konsepsi manusia tersebut dipahami secara esensial dari dikotomi eksistensial manusia sebagai makhluk sosial dan makhluk alamiah. Padahal, dalam masyarakat multikultur perbedaan dan keragaman moral dan budaya secara kritis memunculkan heteronomi eksistensial manusia di mana manusia tidak hanya sebagai makhluk sosial dan makhluk alamiah, akan tetapi juga sebagai makhluk religius.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
BAB V DIALOG BUDAYA MASYARAKAT MULTIKULTUR
5.1 Pengantar Konflik sosial masyarakat multikultur pada bab sebelumnya telah memposisikan eksistensi manusia pada kondisi inhuman di mana harkat dan martabatnya telah diluluhkan. Atas dasar kondisi inhuman tersebut, dalam bab kelima ini akan dijelaskan dialog budaya masyarakat multikultur untuk mengolah konflik sosial tersebut. Dialog budaya dilakukan melalui dua tindakan, yaitu rekognisi sosial dan dialog antarbudaya. Rekognisi sosial dipahami sebagai peredam konflik, dan dialog antarbudaya sebagai pendamai konflik. Pada akhir bab ini akan dijelaskan penemuan kembali manusia yang harmonis dari perilaku sosial seseorang yang mengolah konflik sosial.
5.2 Mengolah Konflik Sosial Masyakarat Multikultur Kondisi inhuman dalam masyarakat multikultur akibat konflik sosial tersebut mewajibkan seorang individu sebagai warga negara untuk melakukan sebuah pengolahan konflik dengan memahami dialog budaya. Istilah mengolah dalam konflik sosial diambil dari istilah “budaya” (Iannone, 2001: 130).1 Dalam penggunannya, misalnya, mengolah kapasitas manusia untuk otonomi individual (Parekh, 2000: 100).2 Dalam konsepsi manusia sebagai makhluk budaya, dipahami bahwa budaya hanya mungkin karena individu memiliki kapasitas dan watak yang diderivasi tertentu yang dapat distrukturisasi dan dimodifikasi, akan tetapi tidak dapat dihilangkan. Bahkan, dipahami pula bahwa tidak ada masyarakat yang dapat berfungsi tanpa mengolah daya pikir para anggotanya, dan
1 2
“Culture from the Latin colere, i.e. „cultivate.” “…cultivate their capacity for individual autonomy.”
122 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
123
masyarakat tidak dapat sepenuhnya memprediksi atau mengontrol arah yang mungkin diambil (Parekh, 2000: 157).3 Oleh karena itu, mengolah konflik sosial yang dimaksudkan adalah pengolahan kapasitas, watak dan daya pikir individu yang mengganggunya dalam relasi sosial di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Pengolahan gangguan kapasitas, watak, dan daya pikir manusia di dalam masyarakat multikultur melalui dialog budaya. Pengolahan konflik sosial dengan dialog budaya merupakan keuntungan timbal-balik antarbudaya. Dialog budaya menjaga interaksi antarbudaya atas adanya bias-bias, keegoisan, dan posibilitas mereduksi dan memperluas horizon intelektual. Oleh sebab itu, budaya dipahami bukan kultus dan etnik, tetapi struktur makna di mana manusia memberi bentuk pengalamannya, politik tanpa kudeta dan konstitusional, akan tetapi salah satu arena utama di mana struktur tersebut mengungkapkan publikisitas (Geertz, 1973: 312).4 Dalam kehidupan publik setiap identitas sosial merupakan cara tertentu memandang dunia, identitas jamak berarti perspektif jamak, masing-masing melengkapi horizon dan mengoreksi keterbatasan lain, dan secara kolektif masyarakat membuat kemungkinan pandangan yang lebih luas dan lebih bernuansa yang dibedakan dunia (Parekh, 2008: 24). Adanya kehidupan publik, multikultur merupakan realitas sosial, bukan hanya realitas budaya. Perjumpaan manusia secara sosial dengan keragaman moral dan budaya menunjukkan multikultur secara sosial. Fenomena sosial seorang manusia dijelaskan bahwa “manusia berbagi sifat umum, kondisi eksistensial umum, pengalaman hidup, situasi sulit, dan lainnya. Akan tetapi, manusia pun mengonseptualisasikan dan merespons hal itu di dalam cara yang berbeda dan menghasilkan budaya yang berbeda (Parekh, 2000: 123-124).”5 Perbedaan moral dan budaya yang diproduksi oleh manusia secara sosial 3
“...no society can function without cultivating its members‟ powers of thought, and it cannot wholly predict or control the direction these might take.” 4 “Culture is not cults and customs, but the structures of meaning through which men give shape to their experience; politics is not coups and constitutions, but one of the principal arenas in which such structures publicly unfold.” 5 “Human beings share a common nature, common conditions of existence, life experiences, predicament, and so on. They also, however, conceptualize and respond to these in quite different ways and give rise to different cultures.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
124
merekonstruksi sebuah identitas. Identitas pada manusia adalah “produk dialektika yang saling mempengaruhi antara yang universal dan yang partikular, antara apa yang dibagi seluruhnya dan apa yang secara budaya spesifik.”6 Dengan begitu, manusia dalam masyarakat multikultur merupakan bagian dari spesies umum dan sekaligus bagian dari budaya yang distingtif. Dengan kata lain, adanya manusia karena adanya orang lain (Parekh, 2000: 123-124). Kondisi manusia tersebut penuh sesak dengan perbedaan antara buruh, pekerjaan, dan tindakan; antara kekuasaan, kekerasan, dan kekuatan; antara bumi dan dunia; antara properti dan harta kekayaan; dan masih banyak lagi, sering dibentuk melalui eksplorasi etimologis (Arendt, 1989: 21).7 Perbedaan relasi manusia dalam kehidupan sosial memosisikan manusia sebagai makhluk sosial, makhluk politik, makhluk ekonomi, dan makhluk religius. Eksistensi manusia sesuai dengan pemosisian dirinya di dalam peta sosial. Pemosisian itu menjelaskan eksistensi manusia berada pada titik persimpangan di antara kekuatan-kekuatan sosial tertentu. Di dalam peta sosial manusia dapat dipahami dengan dua pertanyaan. Apa yang mungkin manusia lakukan di dalam masyarakat dan apa yang dapat manusia harapkan dari kehidupan sosial (Berger, 1966: 82). Perilaku dan harapan manusia dalam keragaman moral dan budaya seringkali memproduksi konflik sosial dengan kekerasan. Konflik sosial dalam masyarakat multikultur secara kritis selalu membutuhkan untuk menemukan cara mendamaikan antara tuntutan legitimasi kesatuan dan keragaman, mencapai kesatuan politik tanpa keseragaman budaya, menjadi inklusif tanpa asimilasi, mengolah akal sehat kepemilikan warganya dengan menghormati legitimasi perbedaan budaya, dan penghargaan identitas budaya plural tanpa melemahkan identitas bersama dan berharga pada warganya (Parekh, 2000: 343). Oleh karena itu, untuk mengolah konflik sosial dalam masyarakat multikultur dibutuhkan dua tindakan, yaitu dialog antarbudaya dan rekognisi sosial.
6
“Identity is a product of a dialectical interplay between the universal and the particular, between what they all share and what is culturally specific.” 7 “The human condition is crammed with distinctions: between labor, work, and action; between power, violence, and strength; between the earth and the world; between property and wealth; and many more, often established through etymological explorations.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
125
5.2.1 Dialog Antarbudaya sebagai Pendamai Konflik Dialog antarbudaya merupakan prasyarat terwujudnya tatanan sosial masyarakat multikultur. Dialog antarbudaya melekat secara ontologis pada keragaman moral dan budaya. Dialog (dialogue) dalam pemikiran Gadamer adalah “sebuah percakapan” (conversation). Untuk berada di dalam percakapan, bagaimanapun, berarti berada di luar diri sendiri, berpikir dengan yang lain, dan untuk kembali ke diri sendiri seolah-olah ke yang lain” (Gadamer, 1989: 110). Percakapan terjadi dengan syarat dialog terpenuhi jika seseorang berpartisipasi untuk mengolah konflik di dalam kehidupan publik. Percakapan dalam dialog antarbudaya didukung dengan saling tanya jawab. Percakapan dilakukan untuk menghindari adanya prasangka. Dalam percakapan setiap partisipan berbicara dengan bahasa publik. Spirit dialog untuk menguatkan argumen orang lain, bukan untuk memenangkan dalam melewati batas diskusi. Gadamer menekankan bahwa “pemahaman dalam dialog bukan sebagai metode atau sesuatu yang abstrak, akan tetapi sebuah mode menjadi” (mode of being). Oleh karena itu, dialog merupakan pemahaman langsung di mana masing-masing individu membawa horizon “mengenai visi yang meliputi segala sesuatu yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu”.8 Kata dalam dialog menunjukkan pemikiran yang terkait dengan determinasi yang terbatas (Marshall, 2004: 123-125). Dalam menyelesaikan konflik sosial di Poso, Ambon dan Cikeusik, dialog antarbudaya sangat tergantung pada kewajiban negara melalui
proyek
perdamaian. Padahal, negara dalam proses dialog antar-udaya hanya sebagai fasilitator atau mediator penyelesaian konflik. Perdamaian dalam tiga kasus konflik sosial menghasilkan deklarasi Malino I pada bulan Desember 2011 dan deklarasi Malino II pada bulan Februari 2012. Namun, dialog perdamaian tidak partisipatif, karena masyarakat lokal diabaikan dalam proses perencanaan dan pelaksaan perdamaian, hanya sebagai obyek pemulihan fisik, rekonstruksi dan 8
“To the dialogue in which understanding takes place, each individual brings a horizon, „the range of vision that includes everything that can be seen from a particular vantage point.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
126
penerima bantuan darurat pengungsi (Buchanan, 2011:11). Dengan kata lain, selama ini dialog dalam perdamaian Malino merupakan dialog yang diskriminatif dan hegemonik di mana ada tindakan pengabaian identitas sosial yang beda di dalam masyarakat multikultur. Tindakan perdamaian tersebut seharusnya hanya dapat dikatakan benar jika didasarkan pada keadilan. Plato mengatakan bahwa “keadilan merupakan norma dasar keabsahan suatu tatanan sosial, di mana hak setiap manusia terjamin”. Akan tetapi, adanya diskriminasi dan hegemoni negara menunjukkan adanya struktur ketidakadilan di dalam masyarakat multikultur (Magnis-Suseno, 1999: 209 dan 211). Perdamaian
dalam
konflik
Ambon
didekati
dengan
ekonomi
kesejahteraan. Konflik sosial di Ambon dan Maluku dimediasi oleh ketua tim mediator, Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, melalui perdamaian pada “Pertemuan Malino untuk Maluku” pada 11-12 Februari 2002. Pertemuan itu dihadiri oleh tokoh-tokoh kedua komunitas dan para penggerak lapangan dalam konflik. Pertemuan Malino untuk Maluku tersebut menghasilkan 11 butir kesepakatan yang ditandatangani oleh masing-masing 35 Kristen dan 35 tokoh Islam. Dalam perdamaian itu Jusuf Kalla mengatakan bahwa “Korban jiwa yang besar (sekitar 10 ribu orang) jelas merupakan kerugian yang tidak bernilai. Tapi, sesudah itu masih ada lagi bencana hebat yang menghadang, manakala konflik Ambon tidak segera diakhiri, yakni terjadi lost generation, pupusnya sebuah generasi, mengingat hampir seluruh sekolah dan perguruan tinggi lumpuh” (Lebang, 2007: 57). Selain itu, sebagai refleksi dari konflik sosial, Jusuf Kalla mengatakan bahwa: “Kita sadar betul bahwa orang dapat makmur kalau dia bekerja. Kalau dia berkonflik, bagaimana dia dapat bekerja? Bagaimana bisa berpenghasilan? Di dunia yang terbuka ini salah satu kondisinya adalah datangnya orang lain yang menanamkan modal. Tidak ada di dunia ini negara yang dapat berkembang tanpa adanya suatu sinergi dari luar dan dari dalam negeri. Di China yang masuk ke sana 80% modalnya berasal dari luar negeri. Begitu juga dengan di Jawa, sebagian besar industrinya berasal dari luar, sedangkan di Maluku, jangankan modal mau datang, modal yang sudah ada lari ke luar” (Lebang, 2007: 57-58).
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
127
Pasca konflik di Ambon dan Maluku tidak tampak kembali konflik terbuka dengan kekerasan. Namun, dentuman bom berkali-kali masih terdengar yang direspons dingin oleh kedua komunitas yang berkonflik (Lebang, 2007: 58). Di Poso proyek perdamaian digelar, termasuk program kearifan lokal “Sintuwu Maroso” (bersatu untuk kuat) pada masa Presiden RI Abdurrahman Wahid. Setelah itu, ketua tim mediator, Jusuf Kalla selaku Menteri Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat, memprakarsai pelaksanaan “Pertemuan Malino untuk Poso”. Di Malino Jusuf Kalla mendalami konflik Poso dari berbagai sisi, politik, ekonomi, sosial budaya, hingga psikologi. Pendalamannya dengan sejumlah pertemuan nonformal dari hati ke hati dengan masing-masing tokoh komunitas yang bertikai. Sebagian kemarahan para elite komunitas diserap terlebih dahulu, lalu dikelola menjadi energi positif untuk merespons mereka maju ke pertemuan dengan semangat perdamaian. Proses yang penting dicatat menuju perdamaian Malino untuk Poso pada 26 Agustus 2003 adalah perkataan Jusuf Kallah bahwa: “Tatkala hendak mendamaikan kedua pihak, saya mempelajari sebaikbaiknya sejarah daerah konflik itu. Baik sosial ekonomi, latar belakang agama, geografis maupun aspek-aspek lain yang berhubungan dengan dominasi, hegemoni, „supremasi‟, dan potensi ketidakadilan. Saya mempelajari dengan saksama struktur penduduk sebelum kemerdekaan, sesudah kemerdekaan, dekade 70-an, dekade 80-an, dan dekade 90-an. Pihak A dalam posisi seperti apa, dan pihak B juga seperti apa. Dan, apa persoalan yang membuat warga kedua daerah itu bertikai dan saling benci sedemikiran rupa juga saya pelajari. Saya mendekati kedua pihak yang berkonflik, dan mengajak mereka untuk meninggalkan perbedaan, untuk maju dengan persamaan-persamaan ke meja perundingan” (Lebang. 2007: 52-53). Pertemuan Malino I dikatakan berhasil dengan lebih dari 50 tokoh dari kedua komunitas, ditambah peninjau dan perwakilan pemerintah, mencapai kesepakatan untuk menghentikan konflik Poso, melakukan pelucutan senjata, dan sementara pemerintah mengambil peran melakukan rehabilitasi dan penegakan hukum. Keberhasilan formal perdamaian direspons baik secara praksis oleh masyarakat Poso dengan terhentinya aksi kekerasan yang bersifat masif.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
128
Meskipun, ada sebagian warga yang merasakan langsung dampak buruk dari konflik, kurang baik merespons langkah perdamaian itu (Lebang, 2007: 53). Pada pasca perdamaian Malino untuk Poso hingga tahun 2006 aksi kekerasan, terutama teror bom dan penembakan yang menelan korban jiwa, bahkan aksi pembunuhan, masih tampak terjadi. Namun, kondisi pasca perdamaian tidak sesuram pada awal tahun 2000-an. Kondisi pasca perdamaian itu disadari oleh Jusuf Kalla dengan penekanan pada penegakan keadilan bahwa: “Soal ini yang menjadi pekerjaan rumah, bahwa kalau menginginkan rakyat menikmati ketenteraman dan keadilan, harus ada perlakuan yang sama. Pembangunan harus merata. Jangan daerah ini menikmati infrastruktur yang hebat, tetapi daerah lain tidak mendapat yang semestinya. Janganlah pengusaha besar menikmati suku bunga rendah, dan pengusaha kecil diberi suku bunga amat besar” (Lebang, 2007: 54). Dialog antarbudaya sebagai pendamai menjadi kunci atas kasus konflik masa lalu. Perdamaian didasarkan pada pemberian maaf bangsa kepada kejahatan berat masa lalu. Pemberiaan maaf dikenal dengan amnesti. Namun, pemerintah juga tidak begitu saja melupakan masa lalu itu. Perdamaian sebatas memberikan desains penyelamatan masa depan bangsa atau dikenal dengan nonprosekusi. Target pertama perdamaian bukan untuk mencari keadilan, melainkan bertujuan “menyelamatkan masa depan dengan lebih adil dan sejahtera bagi generasi bangsa mendatang”. Sebagaimana dikatakan oleh Jusuf Kalla selaku Wakil Presiden RI pada pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Afrika Selatan, pada 24 September 2005 bahwa: “spiritnya ialah saling memaafkan, tapi tidak melupakan forgiven but not forgetten. Artinya, sesuatu yang telah terjadi diikhlaskan, mari kita lihat ke depan, dengan masa lalu sebagai pelajaran” (Lebang, 2007: 79). Dialog antarbudaya masih dibutuhkan untuk menganalisis terorisme di negeri hukum dan multikultur ini sebagai kekerasan kriminal ektraordinari. Kekerasan terorisme akan dilihat dalam aksi bom bunuh diri yang berakibat banyaknya korban kemanusiaan, baik yang merasa takut, cedera maupun hilang nyawa. Tindakan bom bunuh diri jelas merepresentasikan keyakinan monisme moral seorang individu yang mengorbankan beberapa hilang nyawa individu lain. Tindakan ini benar merupakan kekerasan kriminal ekstraordinari di dalam Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
129
kehidupan masyarakat yang menganut padangan moral dan budaya Pancasila dan prinsip bhineka tunggal ika. Oleh karena itu, antikekerasan dalam pemikiran Gandhi dapat menjelaskan tindakan kekerasan bom bunuh diri yang dilakukan oleh teroris dalam masyarakat multikultur. Tindakan antikekerasan memosisikan moderasi antara penganut Islam dan Kristen yang seringkali melakukan tindakan kekerasan kriminal ekstraordinari itu. Tindakan antikekerasan merupakan teori ahimsa Gandhi sebagai teologi antikekerasan dalam agama Hindu. Teori antikekerasan ini menjelaskan bahwa “Alam semesta umumnya diambil untuk menjadi abadi, dan karenanya pertanyaan tentang penciptaan tidak pernah mendominasi pikiran Hindu. Hal itu meresap, terstruktur dan diatur oleh berbagai kekuatan kosmik yang digambarkan, umumnya dipahami bukan sebagai substansi statis tetapi sebagai prinsip aktif yang menginformasikan atau 'mengalir melalui' segala sesuatu di alam semesta dan mewujudkan dirinya dalam bentuk yang berbeda pada spesies yang berbeda dari makhluk.” [The universe is generally taken to be eternal… It is permeated, structured and regulated by a variously described cosmic power, generally conceived not as a static substance but as an active principle informing of „flowing through‟ everything in the universe and manifesting itself in different forms in different species of beings] (Parekh, 1989: 108). Dengan teori tersebut, semua manusia mewujudkan kekuatan kosmik, mereka tidak hanya sama atau saudara tapi satu. Pada tingkat yang berbeda, seluruh kehidupan adalah satu, pada tingkat tertinggi semua ciptaan diliputi dengan yang ilahi dan, karena itu, satu. Semua kehidupan adalah manifestasi dari Brahman, dan karenanya sakral. Untuk yang lain, semua makhluk hidup adalah anggota sah dari kosmos dan, dengan demikian, berhak untuk dihormati dan otonomi untuk mengganggu hanya ketika mereka melanggar batas-batas alami mereka yang ditahbiskan dan mengancam untuk menyakiti orang lain. Diakui bahwa secara tradisional, ahimsa berarti noncedera dan nonpembunuhan. Nonluka atau nonmembunuh tidak dengan sendirinya merupakan ahimsa, itu seperti hanya ketika lahir dari kasih sayang. Dalam pandangan universalisme pluralis, antikekerasan itu merupakan keinginan yang tidak menimbulkan kerusakan atau kehancuran, yaitu “unsur sadar Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
130
kasih sayang” yang merupakan esensi antikekerasan. Di mana ada kasih sayang, tidak ada ahimsa. Pengujian ahimsa adalah kasih sayang. Dalam tindakan antikekerasan, dibedakan dua pandangan. Dalam pandangan literal, rasio “negatif” atau “pasif”, itu berarti menahan diri dari menyebabkan kerusakan dan kehancuran bagi orang lain. Dalam pandangan “positif” dan “aktif”, itu berarti mempromosikan kesejahteraan mereka. Dalam kedua pandangan, ahimsa didasarkan pada kasih sayang atau cinta, dalam satu, cinta diekspresikan negatif, di sisi lain, secara positif. Gandhi menyimpulkan bahwa ahimsa benar-benar sama dengan cinta: hal itu adalah “cinta yang aktif”. Secara jelas dapat dipahami bahwa ahimsa dilakukan melalui tiga langkah penting. Teori antikekerasan disamakan dengan kasih sayang dan yang terakhir dengan cinta, dan cinta didefinisikan dalam hal duniawi dan aktivis. Cinta yang terlibat sangat berbeda dari apa yang dicari untuk identifikasi bergairah dengan semua makhluk hidup, mengambil duniawi menderita serius dan mensyaratkan layanan sosial yang aktif. Dapat dikatakan bahwa: “Antikekerasan bukanlah suatu kebajikan tertutup yang dipraktikkan oleh individu untuk perdamaian dan keselamatan akhir, tetapi aturan perilaku bagi masyarakat jika ingin hidup secara konsisten dengan martabat manusia”. [Non-violence is not a cloistered virtue to be practiced by the individual for his peace and final salvation, but a rule of conduct for society if it is to consistenly with human dignity”] (Parekh, 1989: 114). Konsepsi tradisional antikekerasan sebagai dialog antarbudaya dalam resolusi konflik diperdalam dalam analisis teologi antikekerasan. Menurut Gandhi, “agama antikekerasan tidak dimaksudkan semata-mata untuk resi dan orang-orang kudus. Hal ini dimaksudkan untuk orang-orang biasa juga” (Parekh, 1989: 114).9 Antikekerasan wajib pada semua, bukan hanya para pertapa, dan menyebutnya agama. Oleh karenanya, agama baginya cara hidup yang melibatkan transformasi total dari semua relasi manusia, sambutannya memiliki daya dorong
9
“The religion of non-violence is not meant merely for the rishis and saints. It is meant for the common people as well.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
131
sosial yang radikal. Dia mengamati bahwa “hormat tidak harus menjadi spiritualitas pasif yang menghabiskan dirinya dalam meditasi menganggur, tetapi harus menjadi hal yang aktif yang akan membawa perang ke perkemahan musuh” (Parekh, 1989). Dialog antarbudaya dapat dipahami juga sebagai penjaga lingkungan hidup. Komunitas etnik yang tertanam dalam lingkungan hidup yang ditempatinya, seperti komunitas Pamona di Poso Sulawesi Tengah, komunitas etnik Ambon Maluku, komunitas Baduy di Pandeglang Banten, dan komunitas Korowai di pedalaman Papua. Penjaga juga yang dimaksudkan adalah pemerintah yang mengurusi lingkungan hidup atau institusi-institusi yang peduli dengan lingkungan hidup. Dengan demikian, syarat dialog antarbudaya di dalam masyarakat multikultur tersebut menuntut kewajiban seseorang warga negara untuk kritis diri, kerelaan, dan partisipasi dalam dialog diri.
5.2.2 Rekognisi Sosial sebagai Peredam Konflik Rekognisi sosial masyarakat multikultur ditunjukkan dalam bentuk penghormatan dan perlakuan yang setara terhadap identitas yang termarginalkan dan direndahkan. Lebih mendalam, Taylor menegaskan bahwa “rekognisi secara general dibangun di dalam identitas yang diderivasi secara sosial berdasarkan fakta bahwa rekognisi itu didasarkan pada kategori sosial yang setiap orang mengambil untuk diberikan” (Taylor, 1994: 34). Identitas yang diderivasi secara sosial berarti identitas yang tergantung pada masyarakat, sehingga disebut dengan rekognisi sosial (social recognition). Untuk itu, rekognisi sosial melibatkan negara sebagai komunitas politik, masyarakat sebagai komunitas sosial, dan individu sebagai warga negara. Setelah dialog antarbudaya dilakukan, namun misrekognisi terjadi terhadap identitas yang termarginalkan dan direndahkan, maka misrekognisi bukan hanya kurang hormat, akan dapat menimbulkan luka pedih, membebani korban dengan melumpuhkan diri kebencian. Rekognisi sosial sungguh sebagai kebutuhan manusia yang menentukan hidup dan mati. Rekognisi sosial Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
132
seharusnya dilakukan dengan dua tindakan. (a) Pertama, penghormatan. Penghormatan kepada seorang individu dengan memberikannya beberapa penghargaan publik, karena tidak semua orang memilikinya. Penghormatan secara intrinsik mengenai pilihan. Dengan penghormatan itu, pilihan seseorang kembali dimiliki. (b) Kedua, perlakuan yang setara. Kesetaraan kepada seorang individu di dalam kehidupan publik untuk memelihara hak-hak semua manusia. Dengan kesetaraan tersebut, martabat seseorang kembali dihormati (Taylor, 1994: 27). Selain itu, rekognisi sosial perlu diikuti gerakan-gerakan sosial, seperti antidiskriminasi, interpretasi dan aplikasi hukum yang sensitif secara budaya, pembebasan dari aturan dan praktik tertentu, aplikasi kebijakan publik yang sensitif komunitas, hak dan sumber daya tambahan, mendorong penghormatan publik untuk identitas termarginalkan, memastikan perwakilan yang memadai dalam institusi-institusi publik, dan mengakui kehadiran komunitas marginal dalam definisi identitas nasional (Parekh, 2008: 42). Rekognisi negara terhadap jamaah Ahmadiyah atau komunitas marginal yang lain di dalam identitas nasional perlu dilakukan sebagai bentuk perlakuan yang setara. Rekognisi sosial tersebut seharusnya diiringi dengan redistribusi (redistribution), terutama mengacu pada sumber daya material yang dapat melanjutkan kesetaraan. Redistribusi dapat memungkinkan komunitas budaya marginal untuk menjalani kehidupan yang layak tanpa secara radikal mengurangi kesenjangan di seluruh bidang kehidupan (Parekh, 2004: 200). Redistribusi seperti itu berkaitan erat dengan rekognisi sosial untuk menciptakan sebuah identitas kolektif. Redistribusi memfasilitasi rekognisi sosial, bukan hanya untuk menghormati, akan tetapi juga untuk kesetaraan hidup bersama. Sebaliknya, rekognisi identitas memerluas pengertian solidaritas sosial dengan memasukkan komunitas budaya yang termarginalkan dan direndahkan menjadi identitas kolektif bersama dan membantu redistribusi, bukan hanya untuk menghormati, akan tetapi juga untuk memelihara kebebasan dan keragaman. Secara empiris dan normatif relasi antara rekognisi dan redistribusi dapat memberi keadilan bagi kesejahteraan sosial (Parekh, 2008: 55).
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
133
Rekognisi sosial secara substantif menekankan adanya “identitas kolektif” di mana semakin banyak komunitas budaya yang berpartisipasi, semakin menegaskan identitas mereka yang diwarisi secara historis dalam nama otentisitas dan kebebasan, dan semakin mereka mengekspresikan dan mengabadikan heteronomi eksitensial mereka (Parekh, 2008: 37). Secara praktis rekognisi negara terhadap keragaman moral dan budaya diungkapkan di dalam konstitusi UUD 1945 dan regulasi penanganan konflik sosial pada seluruh ranah kehidupan manusia. Di dalam konstitusi, negara memfasilitasi hak warga negaranya untuk terpenuhinya kebutuhan hidup yang baik dan martabat manusia melalui berbagai bentuk program kebijakan sosial, yaitu perlindungan, kebebasan, jaminan, pekerjaan dan penghidupan, serta pelayanan kesehatan dan pelayanan umum.10 Untuk mengolah konflik sosial dalam masyarakat multikultur, rekognisi sosial digunakan sebagai peredam konflik, baik untuk meredakan konflik yang sedang berlangsung maupun mendeteksi potensi konflik. Dalam regulasi penanganan konflik sosial, negara berkewajiban meredam potensi konflik dalam masyarakat dengan: a) melakukan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan memerhatikan aspirasi masyarakat; b) menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik; c) melakukan program perdamaian di daerah potensi Konflik; d) mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat;
yang
10
“Mengenai diversitas budaya lihat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat 1 bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi; Pasal 28G ayat 2 bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain; Pasal 28H ayat 3 bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat; dan Pasal 34 ayat 2 bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan; dan mengenai diversitas moral lihat Pasal 27 ayat 2 bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; Pasal 28D ayat 2 bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja; dan Pasal 34 ayat 3 bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak; Pasal 28H ayat 1 bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
134
e) menegakkan hukum tanpa diskriminasi; f) membangun karakter bangsa; g) melestarikan nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan h) menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok masyarakat untuk membangun kemitraan dengan pelaku usaha di daerah setempat.11 Selain negara berkewajiban meredam potensi konflik, di dalam regulasi penanganan konflik sosial, negara memfasilitasi kewajiban warganya melalui penguatan capacity building, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan budi pekerti, pendidikan agama, dan menanamkan nilai-nilai integrasi bangsa. Kewajiban warga negara sebagai individu untuk mengolah konflik sosial dengan memelihara kondisi damai di dalam masyarakat, sebagai berikut: a) mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b) menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain; c) mengakui dan memerlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya; d) mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit; e) mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar kebhineka-tunggalikaan; dan/atau f) menghargai pendapat dan kebebasan orang lain.12
Rekognisi sosial tersebut diperkuat dengan penjelasan oposisional bahwa antirekognisi atau misrekognisi dapat menimbulkan kerugian, dapat menjadi bentuk penindasan, memenjarakan seseorang dalam kepalsuan, dan model menjadi yang menyimpang (Taylor, 1994: 25).13 Antirekognisi terhadap jamaah Ahmadiyah yang dilakukan oleh MUI dan komunitas Islam lainnya merupakan fakta bentuk penindasan dan memenjarakan sesorang dalam kepalsuan. Pemahaman konflik sosial dengan antirekognisi tidak hanya akan menimbulkan konflik sosial baru, akan tetapi juga dapat terjadi disafiliasi yang memunculkan jamaah Ahmadiyah lainnya yang berbeda. Oleh karena itu, ditekankan pentingnya 11
Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 9. Lihat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Pasal 7. 13 “Nonrecognition or misrecognition can inflict harm, can be a form of oppression, imprisoning someone in a false, distorted, and reduced mode of being.” 12
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
135
rekognisi yang universal untuk dihargai di dalam satu bentuk atau yang berbeda. Pada bidang yang lekat, semua manusia wajib menyadari bagaimana identitas dapat dibentuk atau perbedaan dibentuk oleh relasi sesama manusia, diri sendiri dengan orang lain, secara signifikan (Taylor, 1994: 36).14 Dengan rekognisi sosial sebagai peredam konflik, dibutuhkan evaluasi budaya dari komitmen keragaman moral dan budaya yang memberi istilah tetap bahwa “tiap budaya terlalu multi-alur, cair, dan berakhir terbuka”.15 Misalnya, kontestasi memaknai ajaran Islam antara mainstream dan jamaah Syiah. Keduanya sama-sama menilai ajaran Islam di dalam sumber daya budaya Islam, akan tetapi kesimpulan keduanya kontradiktif. Kesimpulan jamaah Syiah untuk mempertahankan sistem imamah, sebaliknya mainstream untuk menghilangkan sistem imamah dalam budaya Islam. Selain itu, kontestasi memaknai kesetaraan sebagai nilai antara kaum liberal dan sosialis. Meski keduanya bersepakat tentang makna dan implikasinya, namun berbeda kesimpulannya. Kesimpulan liberal memaknai kesetaraan formal atas hak-hak, dan sosialis memaknai kesetaraan atas kekuasaan dan sumber daya. Oleh karena itu, kontestasi menjadi evaluasi budaya yang terjadi di dalam semua kasus antara pandangan konservatif yang lebih setia pada tradisi daripada reformis yang agak tidak jujur. Kesetiaan lebih terhadap teks atau historisnya, konservatif beresiko kehilangan kesetiaan penganut terasing dan merusak keberlangsungan budayanya. Meski kritik reformis kadang dijustfifikasi, akan tetapi kritikus tidak tepat memahami sifat budaya dan inti kontestasi hermeneutik. Namun demikian, reformis mungkin salah atau bahkan tidak tulus dalam interpretasinya, akan tetapi setidak-tidaknya menjaga budaya tetap hidup dan dinamis (Parekh, 2000: 174-175). Fenomena kontestasi di dalam masyarakat sebagai evaluasi budaya dibutuhkan penghormatan budaya dari rekognisi sosial. Penghormatan budaya berarti penghormatan hak komunitas terhadap budaya, isi serta karakter
14
“The importance of recognition is now universally acknowledged in one form or another; on an intimate plane, we are all aware of how identity can be formed or malformed through the course of our contact with significant others.” 15 “Every culture is too multistranded, fluid and open-ended to have „fixed terms‟ in which to evaluate it.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
136
budayanya.16 Seorang manusia harus bebas memutuskan bagaimana hidup, sehingga budaya terikat dengan sejarah dan identitas, dan seterusnya. Setiap komunitas mempunyai hak terhadap budaya sebaik hak terhadap budaya yang lain. Artinya, tidak ada dasar ketidaksetaraan hak terhadap budaya, karena setiap budaya memberi stabilitas dan makna terhadap hidup manusia, menampung anggotanya bersama-sama sebagai komunitas, menampilkan energi kreatif, dan lainnya.17 Oleh sebab itu, secara kritis dikatakan bahwa “penghormatan martabat manusia harus ditekankan, tetapi tidak harus bingung dengan individualisme liberal, dan ranah pilihan personal yang juga sangat penting untuk kesejahteraan manusia, tetapi tidak harus disamakan dengan otonomi berskala penuh yang didefinisikan” (Parekh, 2000: 176-177).18 Apabila komunitas budaya menghormati kelayakan dan martabat manusia, menjaga kepentingan dasar manusia dalam batas-batas sumber dayanya, tidak memberikan ancaman terhadap pihak lain dan menikmati loyalitas sebagian besar anggotanya, memberikan kondisi dasar hidup yang baik, maka komunitas itu layak dihormati dan ditinggalkan sendiri. Oleh karenanya, bukan pemikiran monisme moral yang membuat kekeliruan pada konsentrasi isi budaya dan mengabaikan hak komunitas budaya untuk menghormati dasar budaya masingmasing. Tak luput dari kritik juga, perlu diyakini bahwa asumsi reformis Barat sangat tidak mendasar dan menjadi sumber lebih kolonial, neokolonial dan bentuk kekerasan lain. Reformis Barat berasumsi bahwa masyarakat lain kurang sumber daya reformis serta membutuhkan petunjuk dan kepemimpinan moral Barat. Ada perbedaan besar antara kepedulian moral yang terhormat untuk kesejahteraan masyarakat lain dan gertakan tak sensitif dalam spirit superioritas moral. Kepedulian moral diterima dengan senang hati dan superioritas moral dihindari dengan segala pengorbanan (Parekh, 2000: 177-178).
16
“Respect for a culture means respect for a community‟s right to its culture and for the content and character of that culture.” 17 “Since every culture gives stability and meaning to human life, holds its member together as a community, displays creative energy, and so on.” 18 “Respect for human dignity should be insisted upon, but it should not be confused with liberal individualism, and similarly the area of personal choice is crucial to human well-being, but should not be equated with full-scale autonomy…” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
137
Dalam konstruksi sosial, politik dan ekonomi rekognisi sosial di atas merupakan pusat identitas individual dan kelayakan diri. Bahkan, tanpa rekognisi sosial, keduanya dapat rusak. Oleh sebab itu, diyakini bahwa “tidak ada masyarakat multikultur dapat stabil dan bersemangat, kecuali menjamin masyarakat konstituennya menerima keduanya hanya dengan rekognisi dan berbagi kekuasaan ekonomi dan politik” (Parekh, 2000: 343).19 Dengan demikian, untuk memahami konflik sosial yang dipenuhi perilaku kekerasan, harus dikatakan bahwa “daripada bertanya kapan kekerasan dijustifikasi, seharusnya kita bertanya kapan pelanggaran antikekerasan mungkin bisa dimaafkan” (Parekh, 1989: 128). Untuk memaafkan perilaku kekerasan dengan menghilangkan jiwa manusia, hanya dibutuhkan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Rekognisi sosial yang dilakukan di dalam masyarakat multikultur merefleksikan hakikat manusia sebagai makhluk yang berdialog. Tanpa rekognisi sosial, dialog hanyalah kepalsuan eksistensial manusia dalam konflik sosial.
5.3 Menemukan Kembali Manusia yang Harmonis Refleksi kritis pada bab lima ini secara esensial mengkonstruksi hakikat dikotomi antara cara dan tujuan. Cara yang tepat ditentukan untuk tujuan yang baik. Begitu juga, sebaliknya, cara yang bengis ditentukan untuk tujuan yang nista. Akan tetapi, kepentingan dan kesadaran palsu manusia secara sosial memungkinkan untuk memutarbalikkan dikotomi antara cara dan tujuan itu. Tragedi kemanusiaan pada pemboman menara kembar World Trade Center (WTC) di Mannhantan Amerika Serikat, misalnya, merepresentasikan sebuah tragedi konflik global. Setiap bangsa, masyarakat, komunitas dan individu yang berbeda-beda agama dan etniknya terlibat di dalam konflik global itu. Konflik global itu tak lain merupakan representasi dari konflik sosial di dalam masyarakat multikultur.
19
“No multicultural society can be stable and vibrant unless it ensures that its constituent communities recieve both just recognition and a just share of economic and political power.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
138
Fenomena manusia sosial dalam konflik tersebut dapat menekan bahwa “dewasa ini membela manusia tidak lagi dapat dilakukan dengan menyingkirkan ataupun mengabaikan agama, seperti yang dilakukan oleh humanisme sekuler modern” (Hardiman, 2012: 72-73). Meski konflik nuansa agama dan etnik seringkali direproduksi, seorang manusia tetap mempunyai kekuatan untuk menghormati harkat dan martabat manusia di dalam kehidupan sosial. Manusia dilahirkan oleh manusia lain di dunia. Kelahiran manusia dalam bentuk tubuh dan jiwa. Jiwa membedakan manusia sebagai makhluk hidup dari makhluk hidup yang lain. Hewan dan tumbuhan merupakan makhluk hidup yang tidak memiliki jiwa. Adanya jiwa di dalam tubuh menyebabkan manusia hidup. Sebaliknya, tidak adanya jiwa di dalam tubuh menyebabkan manusia tidak hidup. Akan tetapi, tidak adanya jiwa, hewan dan tumbuhan tetap dapat hidup. Oleh sebab itu, jiwa adalah karakteristik manusia. Dengan adanya jiwa, manusia hanya tepat dipahami dengan memahami manusia yang lain. Meskipun, ada beberapa filsuf yang memahami manusia dengan memahami hewan atau tumbuhan. Padahal, kemanusiaan tidak dapat digali di dalam tubuh nonmanusia. Manusia berada di dunia secara eksistensial. Eksistensi manusia di dunia disebabkan oleh adanya jiwa di dalam tubuh yang menentukan untuk bertindak, berpikir, dan berkehendak. Jean-Paul Sartre menjelaskan bahwa apabila tubuh nyata sebagai obyek benar-benar bertindak pada substansi berpikir, yang lain menjadi representasi murni, esse is a simple percipi, yaitu “eksistensi yang diukur dengan pengetahuan yang kita miliki” (Sartre, 1957: 224).20 Di samping itu, dengan kehendak bebasnya untuk menentukan, selain membedakan manusia dari hewan dan tumbuhan, jiwa membedakan manusia yang satu dengan manusia yang lain. Dengan adanya ketentuan itu, apakah relasi jiwa dan tubuh pada eksistensi manusia berada pada perjumpaan keduanya secara dikotomis atau heteronomis? Pemahaman dikotomi dan heteronomi manusia tidak bisa dilepaskan dari pemikiran tiga aliran filsafat besar, yaitu idealisme, realisme kritis dan
20
“If the body is a real object really acting on thinking substance, the Other becomes a pure representation, whose esse is a simple percipi; that is, one whose existence is measured by the knowledge which we have of it.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
139
materialisme. Relasi perjumpaan jiwa dan tubuh di dalam tiga aliran filsafat itu, dijelaskan sebagai berikut. Pertama, aliran idealisme menemukan manusia di dalam dunia idea, yaitu jiwa yang nonmaterial. Bagi idealisme, jiwa sebagai prinsip hidup untuk manusia. Dalam aliran idealisme banyak filsuf menjelaskan siapakah manusia. Plato memandang bahwa manusia terdiri dari jiwa dan tubuh sebagai dualisme, bukan kesatuan tapi bersatu. Dualisme menjelaskan bahwa jiwa merupakan dunia idea (eidos) yang nonmaterial, sedangkan tubuh merupakan dunia pengamatan yang material. Bahkan, jiwa dan tubuh manusia adalah dualisme paralel, adanya jiwa lebih dahulu dari manusia (praexistensi). René Descartes memandang bahwa manusia terdiri dari jiwa dan tubuh sebagai dualisme dualistis, bukan kesatuan tapi saling mempengaruhi. Dualisme dualistis Descartes menjelaskan bahwa jiwa merupakan reflexio yang berkesadaran, sedangkan tubuh merupakan extentio yang berkeluasan. Jiwa dan tubuh tersebut saling mempengaruhi, misalnya ketika jiwa merasa sedih maka tubuh mengeluarkan air mata. Neoplatonisme dari Plotinos memandang bahwa manusia terdiri dari jiwa dan tubuh sebagai pantheisme, kesatuan yang bersatu. Pantheisme menjelaskan bahwa jiwa dan tubuh manusia merupakan kesatuan yang disatukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Lebih lanjut, Baruch Spinoza menjelaskan bahwa pantheisme memandang Tuhan berada di dalam jiwa dan tubuh manusia sebagai inti yang terpendam pada materi, bukan Pencipta. Dalam pantheisme Hegel memandang bahwa manusia dalam totalitasnya adalah Tuhan di dunia. Dalam lingkup pantheisme Brahmanisme memandang bahwa manusia adalah Brahma yang konkret. Brahma adalah inti alam, ada yang mutlak. Pantheisme Jawa memandang bahwa manusia adalah Tuhan sendiri secara intisari. Relasi antara manusia dan Tuhan merupakan identitas, yang mengandung ketidakmungkinan dualitas, tak ada yang mengabdi, tak perlu ada yang memper-Tuhan (Poedjawijatna, 1987: 66-79). Dengan begitu, pandangan-pandangan aliran idealisme terhadap relasi bersatunya jiwa dan tubuh manusia disebut dengan dualisme dan pantheisme. Kedua, aliran realisme kritis memandang kesatuan jiwa dan tubuh manusia sebagai realitas. Realisme kritis dibedakan dengan realisme belaka. Bagi realisme Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
140
belaka, realitas hanya dapat diterima karena tampak. Sedangkan, realisme kritis menerima realitas karena sungguh-sungguh ada, tidak perlu tampak pada manusia. Jiwa dan tubuh merupakan prinsip hidup. Jiwa sebagai prinsip hidup non-matrial. Tubuh sebagai prinsip hidup materi. Jiwa diakui sebagai prinsip hidup sebab ternyata ada pada tindakan manusia, yaitu berpikir dan berkehendak. Berpikir adalah daya tahu manusia yang memproduksi tahu dengan menggunakan pengertian-pengertian yang abstrak, nonmaterial. Berkehendak adalah daya pilih manusia yang menentukan tindakannya sendiri, bukan ditentukan oleh obyek semata-mata atau situasi-situasi yang merangsangnya. Manusia yang tidak ditentukan oleh materi menandakan adanya kehendak yang non-material. Karena dengan daya tahu dalam berpikir, manusia mempunyai daya memilih dalam berkehendak. Ada beberapa filsuf yang termasuk dalam aliran realisme kritis. Aristoteles memandang manusia sebagai realitas sepenuhnya, tidak hanya yang tampaknya saja. Menurutnya, manusia adalah kesatuan hule dan morfe. Hule berarti materi yang konkret. Morfe berarti bentuk yang membentuk manusia menjadi manusia, bukan bentuk material yang memiliki ukuran dan bangun. Pada abad Pertengahan Agustinus meyakini bahwa manusia sungguh-sungguh ada dengan adanya Tuhan, karena manusia adalah ciptaan Tuhan, sebagai realitas. Selama di dunia jiwa dan tubuh manusia adalah kesatuan. Jiwa bersifat rohani yang abadi dan tubuh bersifat jasmani yang tidak-abadi. Aliran fenomenologi, filsafat hidup dan eksistensialisme benar-benar menjelaskan manusia sebagai realitas (Poedjawijatna, 1987: 82-86). Ketiga, aliran materialisme disamakan dengan realisme belaka. Keduanya sama-sama mengakui bahwa alam adalah dunia materi sebagai obyek pengalaman dalam perubahan dan ketidak-tetapanya. Realitas tidak lain adalah materi belaka. Semua non-material yang bersifat rohani merupakan bentuk atau fungsi dari materi. Aliran materialisme memunculkan beberapa pemikiran dan pandangan tentang manusia. Dalam materialisme ekstrim Julien Offray de Lamettrie mengatakan bahwa manusia merupakan materi atau benda-alam belaka, yang berarti mesin karena pada dasarnya alam adalah mesin. Semua gerak atau tindakan manusia hanya merupakan produk dari hukum alam belaka. Materi dapat Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
141
bertindak tanpa prinsip hidup. Seluruh dunia dapat dijelaskan dengan perubahan dan gerak mekanis alam, termasuk tubuh, jiwa, sejarah, susastra dan segala perkembangan masyarakat manusia. Ludwig Feuërbach hanya mengakui realitas alam, sehingga manusia merupakan benda-alam juga. Karl Voght menjelaskan bahwa pikiran manusia berhubungan dengan otak sama dengan empedu dengan hati dan tindakan manusia merupakan proses kimia. Sebagai penganut evolusionisme, Herbert Spencer mengatakan bahwa manusia merupakan produk evolusi. Evolusi menurutnya adalah proses dari ada sebagai materi (matter), yang berkembang menurut hukum-hukum tertentu (motion and force), maka terjadi pengikatan dalam materi (integration) dan menjalar dalam keragaman (dissipation). Evolusionisme hanya dapat menjelaskan realitas alam sampai kepada pengalaman, the great Unknowable. Dalam materialisme vitalistis, marxisme dan psikologi-dalam menerima prinsip hidup pada manusia. Hidup manusia ditentukan oleh kondisi ekonomi. Segala produk tindakan manusia, seperti ilmu, agama, budaya, dan lainnya adalah derivasi dari kondisi ekonomi. Kondisi ekonomi itu sendiri ditentukan oleh sejarah. Dengan sejarah, yang dikatakan manusia adalah masyarakat, manusia dalam kelompok, bukan manusia individual. Manusia hidup hanya terarah pada kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan yang material. Karena itu, prinsip hidup manusia adalah materi. Sejarah manusia pun adalah sejarah materi. Materialisme Marx itu disebut dengan materialisme historis. Dalam pandangan psikologi-dalam, Sigmund Freud mengatakan bahwa tindakan manusia, baik yang disadari maupun yang tidak disadari, didorong oleh kecenderungan untuk mencari kepuasan rasa yang disebut libido (asmara), ketidaksadaran. Karena itu, libido tak lain dari materi. Lebih lanjut, Alfred Adler menjelaskan bahwa pendorong tindakan manusia yang ada pada ketidaksadaran cenderung kekuasaan. Manusia dari kecil sampai dewasa adalah kumpulan cenderung kekuasaan. Manusia ingin dihargai, ingin menonjolkan diri, dan ingin kuasa (Poedjawijatna, 1987: 56-64). Kritik Erich Fromm terhadap skema Freud tentang perkembangan libido (infantil, laten dan genital) dengan ide tentang diversitas orientasi karakter produktif (cinta yang produktif, pikiran yang produktif, kebahagiaan dan suara Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
142
hati) dan karakter non-produktif (menerima, eksploitatif, penimbun, nekrofilia dan pasar). Sebagai tesis utama psikoanalisis humanistik, Fromm menjelaskan bahwa “nafsu dasar manusia tidak berakar di dalam kebutuhan naluriah (tubuh), akan tetapi di dalam kondisi tertentu eksistensi manusia, yang membutuhkan untuk menemukan keterkaitan baru terhadap manusia dan alam setelah kehilangan keterkaitan utama pada tahap pra-manusia” (Fromm, 2002: xi).21 Atas dasar tesis itu, Fromm menjelaskan bahwa manusia sebagai makhluk hidup (mortality) tidak dapat bebas dari dikotomi eksistensial (existential dichotomy). Dikotomi antara tubuh dan jiwa (body and mind) melekat pada eksistensi manusia di dunia. Jiwa dan tubuh merupakan prinsip hidup manusia. Dengan jiwa, manusia mampu hidup selama-lamanya. Namun, dengan tubuh, manusia akan mengalami kematian selama-lamanya. Kehidupan jiwa hanya berada di dalam tubuh ketika manusia berada di dunia. Lebih jelas, Fromm mendefinisikan dikotomi eksistensial dengan arti “kondisi manusia yang tidak pernah bebas dari jiwa walaupun menginginkannya, akan tetapi tidak bisa pula bebas dari tubuh selama masih hidup, karena hanya tubuh membuat manusia ingin hidup” (Fromm, 2002: 23).22 Menurut David Ingleby, pemikiran Fromm itu didasarkan pada kondisi manusia yang dikonstruksi dengan ketegangan antara anugerah alam dan esensi kesetaraan karakteristik nonbiologis, kesadaran-diri, nalar dan imajinasi.23 Meskipun, Freud meyakini bahwa kondisi manusia dikonstruksi oleh kontradiksi antara kebutuhan individu dan tuntutan budaya.24 Oleh karena itu, kondisi manusia menurut Fromm tampak sebagai kodrat a priori, bukan produk budaya. Kodrat a priori pada dikotomi manusia diyakini di dalam tradisi agama-agama. Kodrat a priori memproduksi 21
“…the basic passions of man are not rooted in his instinctive needs, but in the specific conditions of human existence, in the need to find a new relatedness to man and nature after having lost the primary relatedness of the pre-human stage.” 22 “Never is he free from the dichotomy of his existence: he cannot rid himself of his mind, even if he should want to; he cannot rid himself of his body as long as he is alive - and his body makes him want to be alive.” 23 “…the human condition as constructed by the tension between these natural endowments and the equally essential but "non-biological" characteristics of self-awareness, reason and imagination.” 24 “…the contradictions which lie at the heart of the human are those between the needs of the individual and the demands of culture.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
143
keunikan eksistensi manusia di dunia, sebagaimana diyakini bahwa manusia merupakan sebagian ilahi, sebagian hewan, sebagian terbatas dan sebagian takterbatas (Ingleby dalam Fromm, 2002: xxvi). Dalam konsepsi kodrat a priori manusia mempunyai karakter yang manusiawi, yakni kebutuhan akan keterbukaan hubungan, transendensi, keberakaran, rasa identitas serta kebutuhan akan kerangka orientasi dan pengabdian. Dikotomi eksistensial manusia itu lebih dipertajam kembali oleh Fromm dalam konsep “kesehatan mental” (mental health) manusia. Fromm menjelaskan bahwa: “Kesehatan mental adalah karakter manusia yang mampu mencintai dan menciptakan, yang lepas dari hubungan incest suku dan tanah, dengan rasa identitas yang didasarkan pada pengalaman diri sebagai subjek dan agen kekuasaan, serta dengan pemahaman realitas diri di dalam dan di luar, yakni pengembangan objektivitas dan nalar.” [Mental health is characterized by the ability to love and to create, by the emergence from incestuous ties to clan and soil, by a sense of identity based on one's experience of self as the subject and agent of one's powers, by the grasp of reality inside and outside of ourselves, that is, by the development of objectivity and reason] (Fromm, 2002: 67). Konsep kesehatan mental (jiwa) diyakini dapat dipahami secara universal bagi manusia pada segala masa dan semua budaya. Dalam kehidupan sosial konsep kesehatan mental secara esensial sesuai dengan norma-norma yang dipostulatkan oleh para filsuf atau agamawan (Fromm, 2002: 67). Dikotomi eksistensial secara substansial didasarkan pada totalitas personal manusia dalam interaksinya dengan dunia, alam dan manusia, bukan pada tubuh atau materialisme. Hal itu menegaskan bahwa praktik kehidupan manusia sebagai hasil dari kondisi eksistensi manusia (Fromm, 2002: 68).25 Selain dari kondisi manusia, kesehatan mental harus dipandang dari situasi manusia. Dalam situasi manusia, kesehatan mental harus didefinisikan dengan “penyesuaian masyarakat terhadap kebutuhan manusia,” bukan dengan definisi 25
“The substratum is not a physical one, but the total human personality in its interaction with the world, nature and man; it is the human practice of life as it results from the conditions of human existence.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
144
penyesuaian individu terhadap masyarakat, dengan melihat perannya memajukan atau menghambat kesehatan mental.26 Fromm menjelaskan bahwa struktur sosial yang mampu mengembangkan personalitas manusia, bukan persoalan individu manusia. Sebab itu, Fromm mengatakan bahwa “masyarakat yang tidak sehat adalah “struktur sosial yang menciptakan saling bermusuhan, tidak percaya, yang mengubah manusia menjadi hanya instrumen dan eksploitasi bagi orang lain, yang merampas harga diri, kecuali sejauh manusia tunduk kepada orang lain atau menjadi robot.”27 Dalam realitasnya mayoritas masyarakat, menurut Fromm, berada pada antara dua fungsi sosial, yakni sebagai agen kemajuan dan sekaligus penghambat perkembangan kesehatan manusia (Fromm, 2002: 70). Karena itu, dikotomi manusia telah memposisikan mayoritas masyarakat pada ruang antara dua fungsi sosial tersebut. Posisi masyarakat pada ruang antara itu menjelaskan bahwa otonomi kehendak pada manusia telah bergeser menuju dan menjadi heteronomi kehendak. Heteronomi dijelaskan oleh Immanuel Kant dengan memahami makna otonomi
kehendak.
Istilah
heteronomi
sendiri
didefinisikan
dengan
“ketergantungan pada hukum fisik (legalitas),”28 sedangkan otonomi adalah ketergantungan pada hukum moral (moralitas). Sebelumnya, Plato dan Aristoteles mendasarkan pada jiwa dan tubuh manusia sebagai makhluk hidup (living creature) yang menjelaskan individu dan negara dalam kompleksitas kehidupan manusia. Individu merupakan citra negara dalam kompleksitas kehidupan dan organisasinya (Jawett, 1885: 16).29 Pemikiran kedua filosof Yunani kuno yang berbeda aliran itu, idealisme dan realisme kritis, menjelaskan adanya heteronomi antara relasi jiwa dan tubuh pada manusia. Karena itu, heteronomi manusia yang dimaksud di sini adalah ketergantungan individu kepada “yang lain,” baik
26
“…that it must be defined in terms of the adjustment of society to the needs of man…” “An unhelth society is one which creates mutual hostility, distrust, which transforms man into an instrument of use and exploitation for others, which deprives him of a sense of self, except inasmuch as he submits to others or becomes an automaton.” 28 “…there results heteronomy of the elective will, namely, dependence on the physical law that we should follow some impulse or inclination.” 29 “The living creature, as soon as we begin to analyse it, is found to consist of soul and body‟. … The individual is the image of the state in the complexity of his life and organization....” 27
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
145
individu lain maupun selain individu, seperti struktur sosial atau peraturanperaturan yang diciptakan oleh masyarakat. Relasi dikotomi antara jiwa dan tubuh pada eksistensi manusia telah mencair. Kant mengatakan bahwa “spekulasi transendental atas rasio berkaitan dengan tiga hal, yakni kebebasan kehendak, keabadian jiwa dan eksistensi Tuhan (Kant, 2010a: 447).”30 Kant telah menghadirkan eksistensi Tuhan di antara dikotomi eksistensial manusia. Kebebasan kehendak berkaitan dengan fenomena atau ekspresi dari tindakan manusia dalam ketaatan yang imperatif kategoris. Keabadian jiwa menunjukkan empiristik tubuh yang tidak abadi. Menurutnya, tubuh dipahami dengan mengacu pada pengalaman inderawi, yang menjelaskan mengenai warna, kekerasan atau kelembutan, berat badan, bahkan kekebalan. Tubuh di dunia akan lenyap, akan tetapi ruang yang ditempatinya tetap ada.31 Eksistensi Tuhan merupakan bukti keabadian jiwa setelah kematian manusia di dunia yang melampaui pikiran publik (Kant, 2010a: 18; 29).32 Kant dikenal sebagai filsuf yang berdiri di antara dua aliran filsafat, antara idealisme dan realisme kritis, antara rasionalisme dan empirisme. Relasi jiwa dan tubuh tersebut dipahami oleh Kant dengan memertimbangkan kritik atas rasio murni, kritik atas rasio praktis, dan kritik atas kuasa pertimbangan. Heteronomi menurut Kant merupakan kontradiksi dari otonomi. Otonomi yang dimaksud oleh Kant adalah otonomi kehendak. Otonomi kehendak merupakan prinsip moralitas. Moralitas disusun sebagai kebutuhan obyektif, karena berlaku bagi setiap manusia yang mempunyai rasio dan kehendak.33 Kehendak obyektif tak lain adalah kehendak Tuhan. Moralitas merupakan rasio murni praktis yang dapat menjadi hukum universal dalam kehidupan manusia. Otonomi kehendak manusia adalah kebebasan yang merdeka dan didasarkan pada ajaran moral yang rasional. Kebebasan yang merdeka tentunya melibatkan 30
“The transcendental speculation of reason relates to three things: the freedom of the will, the immortality of the soul, and the existence of God.” 31 “…if we take away by degrees from our conceptions of a body all that can be referred to mere sensuous experience—colour, hardness or softness, weight, even impenetrability—the body will then vanish; but the space which it occupied still remains…” 32 “…the proof of the continued existence of the soul after death…” 33 “The moral law, however, is conceived as objectively necessary, only because it holds for everyone that has reason and will.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
146
tanggung jawab kepada orang lain sebagai hukum universal. Moralitas bertujuan pada kesejahteraan. Kesejahteraan merupakan kebahagiaan bagi hidup manusia, baik secara personal maupaun secara sosial. Karena itu, otonomi kehendak merupakan imperatif kategoris, yakni suatu keharusan tanpa syarat (Kant, 2010b: 32; 37). 34 Sedangkan, heteronomi kehendak merupakan imperatif hipotetis, yakni suatu kewajiban yang bersyarat. Misalnya, saya wajib menyejahterakan rakyat, karena saya adalah seorang menteri sosial dalam melaksanakan program-program pemerintah yang telah menjadi undang-undang negara. Adanya heteronomi kehendak tersebut, dalam kehidupan masyarakat industrial dewasa ini Stanislaw Ossowski mengritik dikotomi dari Marx, khususnya ideologi Marxisme, yang menjelaskan struktur sosial secara dikotomis: kapitalis dan proletar. Atas dasar kritik itu, Svalastoga menemukan heteronomi struktur sosial di dalam Manifesto Komunis, yaitu aristokrat, borjuis, borjuis kecil, proletar dan proletar compang-camping (Svalastoga, 1989: 69-70). Dengan demikian, kajian ontologis
kodrat
manusia
diakhiri
dengan pemikiran
Poedjawijatna yang menjelaskan tentang akhir dari manusia individual bahwa: “Tiap manusia mengakhiri hidupnya di dunia ini dengan matinya. Ini pengalaman kita. … Waktu dan ruang sudah tak ada arti baginya, yang berarti ialah hasil tugas yang telah dilakukan, tugas menjadi pribadi yang baik, berwatak luhur, pengabdi masyarakat dan dunia yang setia, selalu berjalan lurus kepada arah tujuannya. Manusia yang demikian itu akan mendapat kebahagiaan sebagai orang yang telah mencapai tujuan tugasnya. Ia puas karena dalam usahanya di dunia ini bertindak sebagai manusia yang benar, manusia yang menerima tugas kemanusiaan” (Poedjawijatna, 1987: 144-146). Dengan demikian, pergeseran makna dikotomi eksistensial menuju heteronomi eksistensial mengantarkan manusia kepada kebermaknaan penuh manusia secara sosial yang terlibat di dunia. Kemudian, realitas sosial menjadi arena yang menentukan manusia untuk menerima tugas kemanusiaan. Dalam praktik menunaikan tugas kemanusiaannya, heteronomi eksistensial manusia menimbulkan perbedaan sosial. 34
“… The moral law is an imperative, which commands categorically, because the law is unconditioned…” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
147
Realitas sosial menjelaskan fenomena yang nyata di mana interaksi, interelasi dan timbal balik antar manusia terjadi sebagai suatu kehidupan sosial. Di dunia nyata ini kondisi manusia lekat pada situasi manusia dalam eksistensi Tuhan. Eksistensi dan dunia merupakan realitas manusia. Secara ontologis realitas diposisikan oleh Heidegger sebagai masalah being dan demonstrability dunia eksternal (Heigedder, 1996: 187). Dalam realitas itu secara substansial manusia atau dikenalkan oleh Heidegger dengan istilah Da-sein dimaknai dengan eksistensi,
tidak
hanya
“being-in-the-world”
(Hegedder,
1996:
189).35
Sebagaimana yang dikatakan oleh Berger bahwa being pada realitas, yaitu kualitas fenomena yang disadari manusia karena terlepas dari kehendaknya. Berdasarkan pada data-data sosiologis empiris dan metode analisis fenomenologis, Berger dan Luckmann menjelaskan bahwa “kehidupan sehari-hari merepresentasikan sebagai realitas yang diinterpretasikan oleh manusia dan memiliki makna subyektif bagi manusia sebagai dunia yang koheren. 36 Dalam analisis humanistiknya, manusia adalah manusia, bukan non-manusia. Dengan memosisikan manusia sebagai subyek, dunia kehidupan sehari-hari itu pada dasarnya merupakan pikiran dan tindakan manusia sendiri sebagai fenomena yang nyata. Oleh sebab itu, secara epistemologis realitas sosial mengalami obyektivikasi dari proses dan makna subyektif yang hadir di mana dunia commonsense intersubyektif dikonstruksi. Sebagai subyek, kesadaran manusia senantiasa intensional, yakni terarah terhadap obyek. Obyeknya adalah masyarakat sebagai bagian dari dunia manusia, yakni ciptaan manusia yang dihuni manusia, sehingga eksistensi manusia terus-menerus berproses dalam historisitas. Dalam prosesnya obyek yang berbeda merepresentasikan pada kesadaran sebagai konstituen
35
“An understanding of being belongs to the kind of being of the being which we call Da-sein.” …. “The fact that beings having the kind of being of Da-sein cannot be comprehended in terms of reality and substantiality has been expressed by thesis that the substance of human being is existence.” 36 “Everyday life presents itself as reality interpreted by men and subjectively meaningful to them as a coherent world.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
148
berbagai lingkungan realitas yang berbeda (Berger and Luckmann, 1991: 33; 35).37 Realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari yang hadir secara empiris di dalam masyarakat adalah interaksi sosial. Berger dan Luckmann menegaskan bahwa “dalam interaksi sosial pengalaman manusia yang terpenting adalah interelasi dengan orang lain (others) yang berlangsung dalam situasi tatap muka.”38 Dalam situasi tatap muka itulah orang lain dihadirkan pada waktu yang jelas dan ruang yang sama. Dengan kata lain, dalam situasi tatap muka subyektivitas orang lain terbuka kepada yang dijumpai melalui gejala maksimal. Namun, tak dapat dihindari, dalam interaksi sosial orang lain dipahami dengan skema tipikasi, yaitu sapaan orang lain untuk dipahami dan diperlakukan dalam perjumpaan tatap muka.39 Misalnya, kenal orang lain dengan sapaan “orang Baduy,” “orang Madura,” “orang Ahmadiyah,” “anggota FPI (Front Pembela Islam),” “Ahok,” dan lainnya. Tipikasi itu menjadi semakin anonim ketika semakin jarang interaksi sosial dalam situasi tatap muka. Adanya reproduksi tipikasi yang memengaruhi relasi personal dalam interaksi sosial, menjelaskan bahwa struktur sosial adalah esensi dari realitas kehidupan sehari-hari (Berger and Luckmann, 1991: 35; 45; 48).40 Potensi obyektivikasi, menurut Berger dan Luckman, dapat diproduksi oleh subyek sebagai ekspresitas manusia dalam kehidupan sehari-hari melalui situasi
tatap
muka.41
Keimanan
manusia
terhadap
Tuhannya
dapat
diobyektivasikan dengan ekspresi religiusitas dalam memproduksi masjid, gereja, candi, vihara atau tempat ibadah lainnya. Kebaikan manusia terhadap yang lain dapat diobyektivasikan dengan ekspresi kemanusiaan dalam memproduksi fasilitas-fasilitas publik, seperti sekolah, universitas atau lainnya. Sebaliknya, 37
“Different objects present themselves to consciousness as constituents of different spheres of reality.” 38 “The most important experience of others takes place in the face-to-face situation, which is the prototypical case of social interaction.” 39 “I apprehend the other by means of typificatory schemes even in the face-to-face situation, …” 40 “Social structure is an essential element of the reality of everyday life.” 41 “Human expressivity is capable of objectivation, that is, it manifests itself in products of human activity that are available both to their producers and to other men as elements of a common world.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
149
kemarahan atau kekerasan dapat diobyektivasikan dengan memroduksi senjatasenjata tajam dan senjata-senjata perang, seperti pedang, rudal atau lainnya. Obyektivikasi itu dalam pandangannya merupakan tanda yang diproduksi oleh makna subyektif. Tanda-tanda itu selanjutnya diklasifikasikan menjadi sistem. Oleh sebab itu, tanda dan sistem itu merupakan obyektivikasi yang dapat diproduksi melampaui batas ekspresi subyek. Misalnya, Pasukan Brimob dan Tim Patroli Polres Poso menemukan senjata api dan bom rakitan di tempat kejadian perkara kontak senjata antara aparat kepolisian dengan kelompok terduga pimpinan Santoso di perbatasan Desa Taunca, Poso Pesisir Selatan, Poso, Sulawesi Tengah (Gatranews, 2014). Senjata api dan bom rakitan diproduksi sebagai bukan sebagai tanda dan sistem pertahanan negara untuk menjaga keamanan negaranya dan melindungi bangsanya, akan tetapi sebaliknya sebagai tanda dan sistem tindakan terorisme. Selain itu, dengan bahasa manusia dapat menciptakan simbolisme dan bahasa simbol yang merupakan konstituen esensial dari realitas kehidupan sehari-hari dan dari penangkapan common sense tentang realitas sosial (Berger and Luckmann, 1991: 49; 55).42 Oleh karena itu, fenomena perbedaan sosial yang dikonstruksi di dalam budaya, agama, filsafat dan ilmu pengetahuan merupakan ekspresi dari sistem simbol yang diproduksi oleh manusia dalam kehidupan sosial.
A. Manusia dalam Kehidupan Sosial Manusia sosial dapat menempatkan heteronomi eksistensialnya dalam kehidupan yang didasarkan pada tiga dimensi kemanusiaan: peran manusia, sosiologi pengetahuan, dan kelompok referensi. Pertama, peran manusia di dalam masyarakat menimbulkan identitas baru yang melekat pada perannya.43 Peran eksistensial manusia sosial di dalam masyarakat beragam bentuknya, seperti peran profesional, peran rasial, peran moralis, atau peran gender. Peran manusia sosial itu jelas berbeda dengan peran secara biologis. Proses rekonstruksi manusia sosial dimulai sejak manusia 42
“Symbolism and symbolic language become essential constituents of the reality of everyday life and of the common-sense apprehension of this reality.” 43 “Every role in society has attacted to it a certain identity.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
150
dilahirkan di dalam kehidupan masyarakat. Proses itu di mana “anak menemukan siapa dirinya ketika belajar memainkan peran, “mengambil peran the other,” di dalam masyarakat.”44 Dalam proses itu manusia sosial mengalami significant others dan generalized other. Significant others adalah “seseorang yang berelasi dengan orang lain secara intim dan sikap orang lain itu menentukan bentuk konsepsi dirinya sendiri”.45 Sementara itu, generalized other adalah orang lain pun turut menuntut menjadi baik, bersih dan dapat dipercaya, selain orang tuanya sendiri. Oleh karenanya, identitas merupakan rekognisi sosial, bukan sesuatu yang given (Berger, 1966: 115-117).46 Kedua, sosiologi pengetahuan menjelaskan bahwa eksistensi manusia sosial ditentukan oleh ide-ide. Bahkan, pemikiran abstrak juga ditentukan oleh konteks sosial. Misalnya, “kata siapa” bahwa konflik Poso disebabkan fundamentalisme Islam. “Kata siapa” menandakan adanya pemikiran yang menjelaskan realitas sosial yang terjadi di wilayah Poso. Adanya realitas sosial itu, ideologi, menurut Berger, merupakan ide tertentu yang berfungsi sebagai kepentingan tertanam di dalam masyarakat.47 Oleh sebab itu, ideologi dapat memberikan legitimasi bagi tindakan kolektivitas manusia. Bahkan, ideologi menginterpretasikan realitas sosial sedemikian rupa hingga justifikasi dibuat masuk akal.48 Sosiologi agama merupakan salah satu bidang dari sosiologi pengetahun yang berhasil mengamati fenomena agama. Weber dalam teodisi, misalnya, menjelaskan bagaimana agama memaknai penderitaan dengan mengubah sumber revolusi menjadi alat penembusan. Hal itu menununjukkan bahwa universalitas agama dapat dijelaskan dalam fungsi sosial. Bahkan, perubahan pola agama dalam perjalanan historis dapat diinterpretasikan dalam perspektif sosiologis. Berger memberikan contoh, aktivitas religious menunjukkan status kelas menengah, sebaiknya tidak aktif dalam religiusitas menjadi karakter
44
“The child finds out who he is as he learns what society is. He learns to play roles properly belonging to him by learning, …„to take the role of the other.‟” 45 “… person who deal with him intimately and whose attitudes are decisive for the formation of his conception of himself.” 46 “Identity is not something „given‟, but is bestowed in acts of social recognition.” 47 “An ideology when a certain idea serves a vested interest in society.” 48 “The ideology interprets social reality in such a way that the justification is made plausible.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
151
kelas pekerja. Dalam realitas sosial seperti itu individu berpandangan dunia secara sosial sebagaimana menderivasi peran dan identitasnya. Realitas sosial itu sebagai world taken for granted, yakni sistem asumsi yang tampak evidensi dan validasi dengan sendirinya mengenai dunia yang dihasilkan dalam perjalanan historis. Dengan begitu, eksistensi, pandangan dunia dan aturan pengalaman manusia diinterpretasikan oleh masyarakat melalui aparatus simbolik fundamental (Berger, 1966: 130; 134; 136). Ketiga, eksistensi manusia sosial ditentukan oleh kolektivitas, yang dijelaskan dalam teori kelompok referensi. Berger mengartikan kelompok referensi adalah “opini, keyakinan, dan tindakan kolektivitas yang menentukan opini, keyakinan dan tindakan mereka sendiri” (Berger, 1966: 137).49 Istilah kunci yang dipergunakan oleh sosiologi untuk mengacu kepada fenomena relasi manusia adalah internalisasi. Apa yang terjadi di dalam sosialisasi adalah bahwa dunia sosial diinternalisasikan di dalam diri anak. Proses yang sama, meskipun mungkin lebih lemah dalam kualitasnya, terjadi setiap waktu orang dewasa itu diinisiasi ke dalam konteks sosial baru atau kelompok sosial baru. Dengan demikian, masyarakat tidak saja sesuatu “di luar sana”, akan tetapi juga “di dalam sini”, sebagian diri kita yang paling dalam. Hanya pemahaman internalisasi memberikan arti terhadap fakta yang luar biasa bahwa banyak sekali kontrol eksternal seringkali berlangsung bagi sangat banyak orang di dalam masyarakat. Masyarakat tidak saja mengontrol gerakan kita, tetapi membentuk identitas kita, pikiran kita dan emosi kita. Konstruksi sosial dalam masyarakat menjadi kesadaran kita sendiri. Masyarakat tidak berhenti di permukaan kulit kita. Masyarakat menembusi diri kita sekuatnya masyarakat menutupi kita. Perbudakan kita kepada masyarakat lebih-lebih dibangun karena perbenturan daripada oleh penaklukan. Memang, kadang-kadang kita dibanting untuk takluk. Juah lebih sering lagi kita terjebak oleh hakikat sosial kita sendiri. Dinding kepenjaraan kita sudah ada sebelum kita tampil ke panggung, tetapi
49
“Collectivity whose opinions, convictions and courses of action are decisive for the formation of our opinions, convictions and courses of action.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
152
dinding-dinding itu senantiasa dibangun kembali oleh diri kita sendiri. Kita dikhianati dan terpenjara dengan kerja sama dari pihak diri sendiri. Di dalam konteks kebangsaan, mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945, konsepsi itu sesuai dengan keberadaan dan pengamalan sila pertama dan sila kedua Pancasila di dalam kehidupan sosial. Pancasila sebagai ideologi bangsa memosisikan eksistensi Tuhan di dalam sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sila kedua “kemanusian yang adil dan beradab” diposisikan sebagai eksistensi manusia. Positioning kedua sila tersebut pada bangsa Indonesia bukan didasarkan pada stratifikasi sosial, akan tetapi diferensiasi sosial. Manusia Indonesia tidak hanya mengakui jiwa dan tubuh sebagai warga negara yang memiliki kebebasan berkehendak dan otonomi, akan tetapi juga bebas meyakini adanya Tuhan yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam kenyataannya kebebasan manusia itu terus menerus mereproduksi konflik sosial dalam nuansa agama dan etnik. Kepedulian negara untuk mengolah konflik yang tak dapat dihindari, maka dikonstruksi sila kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, bukan memaksakan sila ketiga “persatuan Indonesia”. Konflik benar menjadi permasalahan pada manusia sosial ketika tindakan konflik merusak eksistensi manusia dalam masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur merupakan identitas bangsa Indonesia (Poespowardojo, 1991: 97). Ada tiga ratus lebih etnik yang dianut oleh masyarakat Indonesia, antara lain Bali, Baduy, Betawi, Batak, Bugis, Dayak, Madura, Jawa, Sunda dan Tionghoa. Ada enam agama yang diakui oleh negara Indonesia, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Selain itu, ada ratusan aliran kepercayaan yang dianut oleh masyarakat etnik dan agama, namun tidak diakui oleh negara sebagai agama. Bahkan, sebagai produk negara, lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan bahwa “aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan, serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad (keluar dari Islam).50
50
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
153
Ketiadaan rekognisi apalagi resistensi negara dan masyarakat terhadap eksistensi umat beragama dan etnik melebarkan konflik menjadi terbuka di mana terjadi kekerasan dan terorisme. Padahal, identitas dan ideologi yang tertanam di dalam kehidupan sosial umat beragama dan etnik membutuhkan rekognisi sosial. Konflik yang seringkali terjadi di negara Indonesia adalah konflik identitas dalam nuansa etnik, misalnya konflik Sampit, Kalimantan Tengah, pada tahun 2001. Konflik Sampit diawali dengan tindakan pembakaran rumah warga di jalan Padat Karya, Sampit. Pelaku pembakaran diduga adalah warga etnik Madura. Tindakan pembakaran itu dibalas dengan serangan warga etnik Dayak. Tindakan saling serang antar dua etnik tersebut mengakibatkan pembunuhan ratusan jiwa manusia Sampit (Alexander, 2005: 6).
B. Fenomena Sosial dalam Manusia Fenomena sosial dalam manusia merefleksikan adanya tiga dimensi sosial yang memenjarakan manusia di dalam kehidupan masyarakat, yaitu kontrol sosial, stratifikasi sosial, dan pelembagaan. Pertama, kontrol sosial merupakan instrumen yang difungsikan oleh negara untuk mengembalikan warganya kepada peraturan yang telah ditentuknya jika ada penyelewengan atau penyimpangan (Berger, 1966: 83).51 Metode kontrol yang diterapkan beragam sesuai dengan tujuan dan sifat masyarakat yang terkait. Bahkan, mekanisme kontrol sosial berfungsi sebagai penyingkiran orang-orang yang tidak diharapkan. Misalnya, penyingkiran komunitas minoritas jamaah Ahmadiyah di wilayah Cikeusik, Pandeglang, Banten, dengan argumentasi yang didasarkan pada fatwa Majlis Ulama Islam (MUI) supaya komunitas Islam mayoritas tidak dicemari oleh aliran sesat. Kekerasan fisik tak dapat dihindari dari sistem kontrol sosial itu. Oleh sebab itu, kepolisian dan militer sebagai instrumen kekuatan yang bersenjata senantiasa difungsikan oleh negara sebagai sistem kontrol. Kekerasan yang diperankan oleh sistem negara terhadap warganya tak dapat dihindari. Kenyataan sosial tersebut menjelaskan bahwa “kekerasan adalah 51
“It refers to the various means used by a society to being its recalcitrant members back into line.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
154
landasan dasar paling akhir pada tiap tatanan politik.”52 Kekerasan seharusnya tidak boleh direproduksi oleh sistem negara. Dalam negara demokrasi kekerasan dapat diminamalkan dengan tekanan ideologis pada kepatuhan sukarela terhadap peraturan legislatif (Berger, 1966: 84). Kekerasan sebagai instrumen kontrol terakhir dalam urusan politik dan hukum, juga tekanan ekonomi. Selain itu, sistem kontrol sosial yang menekankan seorang tokoh, ahli atau figur kharismatik adalah moralitas, adat istiadat dan sopan santun. Kedua, sosialitas manusia dalam stratifikasi sosial terdapat pada realitas sosial yang mempunyai sistem tingkatan (system of ranking). Berger memberikan konsep stratifikasi yang didasarkan pada realitas masyarakat yang terdiri dari tingkatan-tingkatan yang saling berelasi antara superordinasi dan subordinasi, dalam kekuasaan, privilese atau prestise”.53 Stratifikasi sosial beragam sesuai dengan kriteria masyarakat yang berbeda. Misalnya, stratifikasi pada strata masyarakat Hindu tradisional berbeda dengan stratifikasi pada masyarakat modern industrial. Dalam masyarakat modern stratifikasi sosial yang paling banyak dipraktekkan adalah sistem kelas (class system) yang menentukan posisi manusia dalam kriteria ekonomi. Kelas yang didefinisikan oleh Weber berkaitan dengan harapan manusia dalam kehidupan, yakni “kepemilikan individual yang memungkinkan secara rasional” (Berger, 1966: 94-95).54 Posisi kelas sosialitas manusia menentukan kemungkinan kepemilikan pada benda-benda material dan fasilitas publik yang ada. Posisi kelas individual menentukan akses pada fasilitas publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Misalnya, fasilitas kesehatan ditentukan oleh tinggi atau rendahnya pendapatan dari pekerjaan seseorang. Ketiga, institusionalisasi merupakan kompleksitas tindakan sosial yang distingtif dalam sosialitas manusia. Lebih jelas, Arnold Gehlen mengatakan bahwa “institusi sebagai agensi regulator, menyalurkan tindakan-tindakan
52
“Violence is the ultimate foundation of any political order.” “…any society will consist of levels that relate to each other in terms of super ordination and subordination, be in in power, privilege and prestige.” 54 “…an individual may reasonably have.” 53
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
155
manusia dengan cara sebagaimana naluri menyalurkan perilaku binatang”.55 Pemikiran Gehlen menjelaskan bahwa institusi sebagai prosedur yang memberi pola pada tindakan manusia, yang dipaksakan berjalan, di dalam alur yang dianggap patut oleh masyarakat. Misalnya, institusi pernikahan bagi pemuda dan pemudi yang sedang berpacaran disamakan dengan naluri kucing melihat tikus. Jika kucing melihat tikus muncul naluri makan, makan dan makan, maka pemuda dan pemudi yang sedang pacaran memunculkan tindakan kawin, kawin dan kawin. Jika naluri kucing dan tikus merupakan kodrat sejak lahir, maka tindakan pemuda dan pemudi yang pacaran itu telah diindoktrinasikan oleh norma adat istiadat, pendidikan moral, agama, media massa dan iklan. Bahkan, dikatakan oleh Berger bahwa institusi menghilangkan pilihan lain dari kesadaran manusia.56 Dengan demikian, struktur institusional dalam sosialitas manusia memberikan tipologi tindakan pada eksistensi warganya. Sosialitas manusia, bagi Berger, adalah entitas historis yang merentang secara temporal di luar jangkauan biografi individual.57 Dengan kata lain, sosialitas manusia tak lain hanya merupakan dinding kepenjaraan eksistensi manusia di dalam sejarah (Berger, 1966: 104-105; 109). Oleh karena itu, kondisi sosial dalam manusia menjelaskan kesadaran “heteronomi” yang diungkapkan dalam sebutan “mereka” dari “kami” dalam kehidupan sehari-hari. Sebutan “mereka” sebenarnya adalah sistem kekuasan atau prestise, bukan individu atau kelompok tertentu. “Mereka” itulah yang mengatur, menentukan dan membuat peraturan (Berger, 1966: 82).58 Misalnya, konflik identitas merupakan konflik yang diproduksi oleh sebutan “mereka” pada salah satu pihak di antara individu atau masyarakat yang terlibat konflik.
55
“An institution is commonly defined as a distinctive complex of social actions. …an institution as a regulatory agency, channeling human actions in much the same way as instincts channel animal behavior.” 56 “It even bars these other options from his consciousness.” 57 “Society is an historical entity that extends temporally beyond any individual biography.” 58 “They‟ have things fixed in a certain way, „they‟ call the tune, „they‟ make the rules.” Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
156
5.4 Ikhtisar Dalam bab kelima ini, dapat diikhtisarkan bahwa kondisi inhuman eksistensi manusia akibat konflik sosial harus diolah di dalam masyarakat multikultur yang melibatkan negara sebagai komunitas politik, masyarakat sebagai komunitas sosial, dan individu sebagai warga negara. Partisipasi ketiga unsur pengolah konflik sosial harus bekerja sama secara sinergis dan dinamis. Pengolahan konflik sosial melalui dialog budaya dilakukan dengan dua tindakan yang berbasis pada pandangan universalisme pluralis, yaitu dialog antarbudaya dan rekognisi sosial. Dialog antarbudaya sebagai pendamai konflik dan rekognisi sosial sebagai peredam konflik. Dialog antarbudaya sebagai pendamai konflik untuk memberikan penyelesaikan konflik dengan tindakan antikekerasan dalam kehidupan religius dan penjaga lingkungan hidup dalam kehidupan etnik Selanjutnya, bila terjadi misrekognisi dalam dialog, maka rekognisi sosial sebagai peredam konflik dapat dilakukan dalam proyek perdamaian yang seharusnya melibatkan partisipasi penuh masyarakat, bukan hanya mengharapkan intervensi negara. Tanpa partisipasi individu dalam rekognisi sosial mengakibatkan dialog yang diskriminatif dan hegemonik di mana ada tindakan pengabaian identitas sosial yang beda di dalam masyarakat multikultur. Rekognisi sosial seharusnya diiringi dengan redistribusi untuk perlakuan yang setara dan menegakkan keadilan sosial. Dari dialog budaya tersebut, dapat ditemukan kembali harmoni manusia sosial dari perilaku sosial seseorang mengolah konflik sosial melalui pemahaman manusia dalam kehidupan sosial dan fenomena sosial dalam manusia. Refleksi kritis atas manusia dalam kehidupan sosial dan fenomena sosial dalam manusia merupakan perubahan dari dikotomi eksistensial menjadi heteronomi eksistensial manusia. Konflik tanpa penyelesaian diakibatkan oleh dikotomi eksistensial manusia. Sebaliknya, penyelesaian konflik dapat ditemukan di dalam heteronomi eksistensial manusia. Harmoni manusia secara sosial ditemukan kembali dengan memosisikan kembali harkat dan martabat manusia pada kesadaran heteronomi eksistensial, yang mewajibkan penggunaan nilai-nilai etis di dalam relasi manusia.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan Pengolahan konflik melalui dialog budaya merupakan sebuah temuan dari penelitian ini. Temuan penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, tepat dan benar bahwa dalam perilaku sosial seorang manusia dapat memunculkan konflik di dalam masyarakat multikultur. Konflik muncul dikarenakan adanya keterbatasan kemampuan pada diri seorang manusia dalam menginterpretasikan pandangan moral dan budaya yang berbeda-beda. Kedua, dari ketepatan dan kebenaran yang nyata tersebut, ada politik keseragaman dan keegoisan individual pada fenomena konflik sosial nuansa agama dan etnik yang diproduksi di dalam negara yang mengakui keragaman moral dan budaya. Konflik sosial nuansa agama dan enik diproduksi, karena negara menerapkan politik keseragaman melalui identitas nasional, klaim kebenaran pandangan moral dan budaya, serta keseragaman sosial masyarakat multikultur. Di samping itu, konflik nuansa agama dan etnik diproduksi berkaitan dengan karakter manusia dalam perilaku sosial, yaitu keegoisan individual yang menentang kepentingan diri. Keegoisan individual itu menyebabkan derita orang lain.
6.2 Catatan Kritis Berdasarkan kesimpulan penelitian di atas, ada dua catatan kritis. Pertama, secara teoritis dalam multikulturalisme Bhikhu Parekh telah ditemukan dua pemikiran filosofis, dialog menurut Gadamer dan rekognisi menurut Taylor. Dua pemikiran filosofis tersebut sangat signifikan dalam pemahaman multikulturalisme Parekh. Signifikansinya dialog antarbudaya dipahami sebagai bentuk percakapan langsung antarindividu dalam ruang publik dengan menggunakan bahasa publik. Rekognisi sosial dibutuhkan untuk meredam konflik jika terjadi misrekognisi. Selain itu, rekognisi sosial harus diiringi dengan redistribusi untuk mewujudkan solidaritas, kesetaran, dan keadilan. 157 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
158
Kedua, secara praktis implementasi regulasi penanganan konflik sosial membutuhkan perspektif multikulturalisme Parekh. Dialog dalam penanganan konflik sosial selama ini hanya dilakukan secara formalitas antara negara dan perwakilan daerah yang berkonflik, tanpa melibatkan langsung individu-individu yang mengalami konflik, tanpa percakapan langsung dengan bahasa publik di dalam ruang publik. Sebaliknya, dialog perdamaian selama ini dilakukan di luar daerah yang mengalami konflik. Dari dua catatan kritis di atas, penelitian ini menampakkan kelemahannya pada kekurangdalaman eksplorasi filosofis dalam menjelaskan dialog antarbudaya dalam pemikiran Gadamer dan rekognisi sosial dalam pemikiran Taylor. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lanjutan yang lebih mendalam dan lebih kritis filosofis mengenai dialog dan rekognisi dalam filsafat.
6.3. Kontribusi dalam Kehidupan Sosial Kekinian Berdasarkan pemahaman multikulturalisme Bhikhu Parekh dalam pengolahan konflik sosial di Indonesia, ada sebuah kontribusi dalam kehidupan sosial kekinian, yaitu pembentukan komunitas subkultural dengan identitas kolektif. Komunitas subkultural ini merupakan refleksi kritis atas interpretasi identitas kolektif yang menaungi identitas individual, sosial, dan nasional. Identitas
kolektif
dibutuhkan
untuk
menolak
identitas
nasional
yang
membungkam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Komunitas subkultural dengan identitas kolektif sebagai mediator penyelesaian konflik sosial di dalam masyarakat multikultur. Komunitas subkultural ini sebagai representasi dari warga negara yang meyakini agama dan kepercayaan yang dijamin oleh negara. Dalam perilaku sosial, komunitas subkultural ini mampu menyadari dan mengubah sudut pandang bahwa semua manusia membutuhkan “kebersamaan yang setara dan adil” dari perbedaan pandangan moral dan budaya. Dengan perubahan sudut pandangan ini, diharapkan seluruh gerakan sosial budaya turut berpartisipasi di dalam aktivitas komunitas subkultural ini.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
GLOSARIUM
Agama
: Suatu doktrin yang diyakini dan dipraktikkan oleh penganutnya berdasarkan wahyu.
Budaya
: Suatu sistem makna dan arti yang dibuat secara historis yang diyakini dan dipraktikkan secara individual dan kolektif di dalam kehidupan bersama.
Etnik
: Suatu doktrin yang diyakini dan dipraktikkan oleh penganutnya berdasarkan adat istiadat.
Identitas
: Suatu rasa kesamaan atau kesatuan personalitas atau otentisitas.
Keragaman budaya
: Dua atau lebih komunitas yang meyakini dan mempraktikkan sistem makna dan arti secara historis di dalam kehidupan bersama.
Konflik
: Suatu gangguan pikiran pada seorang individu, baik secara internal maupun eksternal.
Manusia
: Makhluk yang tertanam secara budaya.
Moral
: Jenis kehidupan yang layak dijalani, aktivitas yang layak dikerjakan, dan bentuk relasi manusia yang layak diolah.
Masyarakat multikultur
: Keragaman komunal yang mencakup dua atau lebih komunitas budaya.
Mulitikultur
: Fakta keragaman budaya.
Multikulturalisme
: Sebuah perspektif yang mengacu pada respons normatif terhadap fakta keragaman budaya.
Rekognisi
: Pengakuan identitas komunitas budaya yang termarginalkan dan direndahkan
Dialog
: Percakapan langsung antarpersonal secara tatap muka dengan bahasa umum di dalam ruang publik.
159 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
DAFTAR PUSTAKA
A. Konstitusi dan Regulasi Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice. 1945. San Fransisco. Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 11/Munas VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial Undang-Undang Dasar 1945. Universal Declaration of Human Rights. 1948. Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. B. Buku Abdullah, Masykuri. 2003. “Toleransi Beragama dalam Masyarakat Demokrasi dan Multikultural.” Konflik Komunal di Indonesia Saat ini. Suaidi Asy‟ari (terj.). Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adam, Kuper dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial. Haris Munandar, et.al. (terj.). Ed. I. Cet. I Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Arendt, Hannah. 1970. On Violence. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. _____________. 1998. The Human Condition. Originally published: Chicago: The University of Chicago Press, 1959. Second Ed. Chicago: The University of Chicago Press. Aristotle. 1999. Politics. Benjamin Jowett (trans.). Kitchener: Batoche Books. _______. 1999. Nicomachean Ethics. W.D. Ross (trans.). Kitchener: Batoche Books. Aspin, David. 2000. “A Clarification of Some Key Terms in Values Discussions.” Mal Leicester, Celia Modgil and Sohan Modgil (eds.). Moral Education and Pluralism. Vol. IV. London: Palmer Press. 160 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
161
Berger, Peter L. 1966. Invitation to Sociology: A Humanistic Perspective. England: Penguin Book Ltd. ____________. 1967. The Sacred Canopy: Elements of Sociology Theory of Religion. New York: Doubleday & Company, Inc. ____________ and Thomas Luckmann. 1991. The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge. England: Penguin Book Ltd. Bhattacherjee, Anol. 2012. Social Science Research: Principles, Methods and Practices. Florida: USF Tampa Bay Open Access Textbooks Collection. Buchanan, Cate (ed.). 2001. Pengelolaan Konflik di Indonesia: Sebuah Analisis Konflik di Maluku, Papua dan Poso. Jakarta: LIPI, Current Asia and the Centre for Humanitarian Dialogue. Burke, Peter. 1992. Sejarah dan Teori Sosial. (terj.) Jakarta: Yayasan Pustaka obor Indonesia dan Adikarya IKAPI Program Pustaka. Campbell, Tom. 1981. Seven Theories of Human Society. Oxford: Clarendon Press. Dahrendorf, Ralf. 1959. Class and Class Conflict in Industrial Society. California: Stanford University Press. Darlis, Andi Muh. 2012. Konflik Komunal: Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso. Yogyakarta: Buku Litera. Derrida, Jacques. 2009. The Beast and the Sovereigns. Michel Lisse, MarieLouise Mallet, and Ginette Michaud (ed.). Geoffrey Bennington (trans.). Vol. I. Chicago and London: The University of Chicago Press. Dewey, John. 1922. Human Nature and Conduct: An Introduction to Social Psychology. New York: Henry Holt and Company. Durkheim, Émile. 2005. The Dualism of Human Nature and its Social Conditions. Oxford: Berghahn Journals. Eller, Jack David. 2010. “What is Atheism?” Phil Zuckerman (ed.). Atheism and Secularity. Vol. 1 & 2. California: Greenwood Publishing Group. Fink, Hans. 1981. Social Philosophy. New York: Methuen. Furnivall, J.S. 1948. Colonial Policy and Practice: A Comparative Study of Burma and Netherlands India. Cambridge: Cambridge University Press. ___________. 1967. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge: Cambridge University Press. Fromm, Erich. 2002. The Sane Society. London and New York: Routledge Classics. Gadamer, Hans-Georg. 1989. “Destruktion and Deconstruction.” Michelfelder, Diane P. dan Richard E. Palmer (ed.). Dialogue and Deconstruction: The Gadamer-Derrida Encounter. Geoff Waite and Richard E. Palmer (trans.) Albany: State University of New York. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
162
__________________. 2004. Truth and Method. First published 1975: second edition 1989. New York: Continuum International Publishing Group. Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. Habermas, Jürgen. 1971. “Knowledge and Human Interests: A General Perspective.” Knowledge and Human Interests. Jeremy J. Shapiro (trans.). Boston: Beacon Press. ________________. 1991. The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Thomas Burger (trans.). Cambridge, Massachusetts: The MIT Press. Hardiman, F. Budi, 2012. Humanisme dan Sesudahnya: Meninjau Ulang Gasasan Besar tentang Manusia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Haryatmoko. 2012. Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hefner, Robert W. 2001. “Introduction: Multiculturalism and Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia.” Hefner, Robert W. (ed). The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia, Singapore and Indonesia. Honolulu: University of Hawai‟i Press. Heidegger, Martin. 1982. The Basic Problems of Phenomenology. Albert Hofstadter (trans.). Revised Edition. Bloomington & Indianapolis: Indiana University Press. _______________. 1996. Being And Time. Joan Stambaugh (Trans.) Albany: State University of New York Press. _______________. 2004. The Phenomenology of Religious Life. Matthias Fritsch and Jennifer Anna Gosetti-Ferencei (trans.). Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press. Jacob, T., 1992. Polemologi: Bacaan tentang Perang dan Damai. Jakarta: Balai Pustaka. Jary, David & Julia Jary, 1991. Collins Dictionary of Sociology. Great Britain: HarperCollinsPublishers. Jolasa, Vincent Yohanes. 2009. “Bahasa dan Paradigma Teori Kritis dan Komunikasi Interkultural.” A. Setyo Wibowo (ed.). Manusia: Teka-Teki yang Mencari Solusi. Yogyakarta: Kanisius. Jowett, Benjamin. 1885. The Politics of Aristotle. Vol. II, Part 1. London: Oxford University Press. Kant, Immanuel. 2010a. The Critique of Practical Reason. Thomas Kingsmill Abbott (trans.). The Pennsylvania State University: An Electronic Classics Series Publication. _____________. 2010b. The Critique of Pure Reason. J. M. D. Meiklejohn (trans.). The Pennsylvania State University: An Electronic Classics Series Publication. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
163
Iannone, A. Pablo. 2001. Dictionary of World Philosophy. London and New York: Routledge. Kekes, John. 1993. The Morality of Freedom. Princeton: Princeton University Press. Kymlicka, Will. 1991. Liberalism, Community and Culture. First published 1989. New York: Oxford University Press Inc. ____________. 1995. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. New York: Oxford University Press Inc. Leahy, Louis. 1984. Manusia, Sebuah Misteri: Sintesis Filosofis tentang Makhluk Paradoksal. Jakarta: PT Gramedia. Lebang, Tomi. 2007. Berbekal Seribu Akal Pemerintahan dengan Logika: Sari Pati Pidato Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Levy, Sheldon G. 1999. “Mass Conflict and the Participants, Attitudes toward.” Lester Kurtz (ed.). Encyclopedia of Violence, Peace & Conflict. Vol. 2. San Diego: Academic Press. Magnis-Suseno, Franz. 1992. Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-Butir Pemikiran Kritis. Suwandi S. Brata (ed.). Cet. I. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ___________________. 1999. Berfilsafat dari Konteks. Cet. III. Y. Priyono Utomo (ed.). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ___________________. 2003. “Faktor-faktor yang Mendasari Terjadinya Konflik Antara Kelompok Etnis dan Agama di Indonesia: Pencegahan dan Pemecahan.” Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Seri INIS XLI. Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah. Mannheim, Karl. 1952. Essay on Sociology of Knowledge. London: Routledge & Kegan Paul Ltd. Marcuse, Herbert. 1964. One-Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society. Boston: Beacon Press. Marshall, Donald G. “On Dialogue to its Cultured Despisers.” 2004. Bruce Krajewski (ed.). Gadamer's Repercussions: Reconsidering Philosophical Hermeneutics. California: University of California Press. Moran, Dermot. 2000. Introduction to Phenomenology. London and New York: Routledge. Nelson-Pallmeyer, Jack. 2005. Is Religion Killing Us? Violence in the Bible and the Quran. New York: The Continuum International Publishing Group. Noerhadi, Toeti Heraty. 1984. Aku dalam Budaya: Suatu Telaah Filsafat mengenai Hubungan Subyek-Obyek. Cet. I. Jakarta: Pustaka Jaya. Parekh, Bhikhu. 1982. Marx’s Theory of Ideology. Baltimore and London: The John Hopkins University Press.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
164
_____________. 1989. Colonialism, Tradition and Reform: An Analysis of Gandhi’s Political Discourse. Revised Edition. New Delhi: Sage Publications. _____________. 1997. Gandhi: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press. _____________. 2000. Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. London: Mcmillan Press Ltd. _____________. 2004. “Redistribution or Recognition? A Misguided Debate.” Stephen May, Tariq Modood and Judith Squires (ed.) Ethnicity, Nationalism and Minority Rights. Cambridge: Cambridge University Press. _____________. 2008. A New Politics of Identity: Political Principles for an Interdependent World. New York: Palgrave Macmillan Press. Poespowardojo, Soerjanto. 1983. “Menuju kepada Manusia Seutuhnya.” Soerjanto Poespowardojo dan K. Bertens (red.) Sekitar Manusia: Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia. Jakarta: PT Gramedia. _______________________. 1989. Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis, Jakarta: PT Gramedia. _______________________. 1991. Filsafat Pancasila: Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya. Jakarta: PT Gramedia. Poedjawijatna, I.R. 1987. Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Cet. IV. Jakarta: Bina Aksara. _______________. 1994. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Cet. IX. Jakarta: PT Rineka Cipta. Popper, Karl. 2002. The Logic of Scientific Discovery. Logik der Forschung first published 1935 by Verlag von Julius Springer, Vienna, Austria. London and New York: Routledge Classics. Plato. The Republic. http://www.idph.net, diunduh pada tanggal 27 Juni 2012. ____. 1999. Euthyphro. Trans. Benjamin Jowett. Pennsylvania State University: An Electronic Classics Series Publication. ____. 1999. Phaedrus. Trans. Benjamin Jowett. Pennsylvania State University: An Electronic Classics Series Publication. Purwanto, Wawan H. 2011. Cikeusik Tragedy: A Lesson from Ahmadiyah Case. Jakarta: CMB Press. Ratnawati, Tri. 2003. “Mencari Kedamaian di Maluku: Suatu Pendekatan Historis Politis.” Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Suaidi Asy‟ari (terj.). Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Rawls, John. 1999. A Theory of Justice. Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
165
Sartre, Jean-Paul. 1957. Being and Nothingness. Hazel Barnes (trans.). London: Methuen. Steenbrink, Karel. 2003. “Apakah Kajian Perbandingan Dapat Membantu? Dekade Bencana Yugoslavia Dilihat dari Perspektif Indonesia. Konflik Komunal di Indonesia Saat Ini. Suaidi Asy‟ari (terj.). Jakarta: INIS Universiteit Leiden dan PBB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Svalastoga, Kaare. 1989. Diferensiasi Sosial. Alimandan (terj.). Jakarta: Bina Aksara. Tantular, Mpu. 2009. Kakawin Sutasoma. Dwi Woro Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo (terj.). Jakarta: Komunitas Bambu. Taylor, Charles. 1994. “The Politics of Recognition.” Gutmann, Amy (ed.). Multiculturalism: Examining the Politics of Recognition. Expended edition: Multiculturalism and the Politics of Recognition, 1992. Princeton: Princeton University Press. Teichmann, Jenny. Etika Sosial: A Student’s Guide. A. Sudirja, SJ (terj.) Yogyakarta: Kanisius. Tylor, Edward Burnett. 1871. Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom. Vol.1. London: John Murray, Albemarle Street. Wahid, Abdurrahman. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-esai Pesantren. Hairul Salim H.S. (ed.). Cet. I. Yogyakarta: LKiS. Weir, Todd H. 2012. “The Riddle of Monism: An Introductory Essay.” Todd H. Weir (ed.). Monism: Science, Philosophy, Religion, and the History of a World Worldview. New York: Palgrave Macmillan.
C. Jurnal, Makalah, dan Laporan Penelitian Alexander, Robert. 2005. “Konflik Antar Etnis dan Penanggulangannya: Suatu Tinjauan Kriminologi dalam Kasus Kerusahan Etnis di Sampit Kalimantan Tengah.” Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Coser, Lewis A. 1957. “Social Conflict and the Theory of Social Change.” The British Journal of Sociology. Vol. 8, No. 3, hlm. 197-207. Dahrendorf, Ralf. 1958. “Toward a Theory of Social Conflict”. The Journal of Conflict Resolution, Vol. 2, No. 2 (Jun), p. 170-183. Sage Publications, Inc. Dallmayr, Fred R. 2003. “Multiculturalism and the Good Life: Comments on Bhikhu Parekh”. The Good Society. Journal. Vol. 12. No. 2. University Park, PA: The Pennsylvania State University. Fisher, Ron. 2000. Sources of Conflict and Methods of Conflict Resolution International Peace and Conflict Resolution School of International Service the American University. Revisi. http://www.ulstergaa.ie/wpUniversitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
166
content/uploads/coaching/team-management-2012/unit-3/sources-ofconflict-and-methods-of-resolution.pdf diunduh pada tanggal 21 Oktober 2014. Hendrajaya, Lilik, dkk. 2010. “Ragam Konflik di Indonesia: Corak Dasar dan Resolusinya”. Laporan Akhir. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan RI. KontraS. 2012. Laporan Pemantauan Pemolisian & Hak atas Berkeyakinan, Beragama, dan Beribadah (Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Manis Lor, Ciputat, Cikeusik & Jemaat Kristen HKBP Ciketing dan GKI Taman Yasmin). Jakarta: KontraS. Kasim, Ifdhal, dkk. 2005. “Tutup Buku dengan „Transitional Justice‟? Menutup Lembaran Hak Asasi Manusia 1999-2004 dan Membuka Lembaran Baru 2005”. Laporan HAM. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Meliono, Irmayanti. 2009. “Membangun Kesadarn Etis dan Persepsi Multikultural pada Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia”. Jurnal Etika. Vol. 1, No. 2, November, hlm. 280-293. Pamuji, M. Nanang, dkk. 2008. “Success Story Mekanisme Komunitas dalam Penanganan dan Pencegahan Konflik: Studi Kasus di Desa Wayame (Ambon) dan Desa Tangkura (Poso)”. Laporan Penelitian. Jakarta: Institut Titian Perdamian dan FES in Indonesia. Preiss, Joshua Broady. 2011. “Multiculturalism and Equal Human Dignity: An Essay on Bhikhu Parekh.” Res Publica. A Journal of Moral, Legal and Social Philosophy. Springer Science and Business Media. ________________. 2011. “Ethnocracy and Multiculturalism: A Preliminary Study of the Cultural Aspects of the Besemah People at Pagaralam, Palembang.” Makara, Sosial Humaniora. Vol. 15, No. 1, Juli, hlm. 59-66. Suparlan, Parsudi. 2003. “Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Sukubangsa atau Kebudayaan?” Jurnal Antropologi Indonesia 72, hlm. 24-37. _______________. 2004”Masyarakat Majemuk, Masyarakat Multikultural, dan Minoritas: Memperjuangakan Hak-hak Minoritas.” Workshop Yayasan Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape Multikultural, Mungkinkah di Indonesia? 10 Agustus. Jakarta: Wisma PKBI. Zubair, Achmad Charris. 2009. “Membangun Kesadaran Etika Multikulturalisme di Indonesia.” Jurnal Etika. Vol. 1, No. 2, November, hlm. 33-50. E. Media Sosial sebagai Pendukung Gatranews, 6 Februari 2014 dalam http://www.gatra.com/nusantara-1 diunduh pada tanggal 7 Juli 2013. http://agama.kompasiana.com/2011/02/08 diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014. Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
167
www.fica.org diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014. http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25/konflik-ambon diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014. http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/psat-studi-ham diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014. http://hankam.kompasiana.com/2013/05/18 diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014. http://www.tempo.co/read/news/2011/02/09/ diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014. http://www.asiatour.com/jakarta/peta diunduh pada tanggal 25 Oktober 2014.
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
LAMPIRAN
A. PETA WILAYAH KONFLIK DI INDONEISA
Gambar 1. Peta Wilayah Konflik di Indonesia
168 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
169
B. KONDISI TRAGIS MANUSIA SOSIAL DI POSO
Gambar 2. Peta Wilayah Konflik di Poso (http://indonesia.ucanews.com/2012/10/18/pusat-studi-ham)
Gambar 3. Kondisi Manusia Bersenjata di Poso (www.fica.org)
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
170
Gambar 4. Aksi Kekerasan Manusia di Poso (www.fica.org)
Gambar 5. Aksi Penghancuran Manusia di Poso (www.fica.org)
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
171
C. KONDISI TRAGIS MANUSIA SOSIAL DI AMBON
Gambar 6. Peta Wilayah Konflik di Ambon (https://ilonagutandjala.files.wordpress.com/maps/)
Gambar 7. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan Tulukabesi Ambon (http://hankam.kompasiana.com/2012/05/25/konflik-ambon)
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
172
Gambar 8. Aksi Kekerasan Manusia di Jalan A.M. Sangadji Ambon (https://khairilanas354.wordpress.com)
Gambar 9. Aksi Penghancuran Manusia di Popilo Tobelo Maluku Utara (http://sejarahku2011.blog.com)
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
173
D. KONDISI TRAGIS MANUSIA SOSIAL DI CIKEUSIK
Gambar 10. Peta Wilayah Konflik di Cikeusik (https://humaspdg.wordpress.com/profil-pandeglang/)
Gambar 11. Aksi Penyerangan Manusia di Cikeusik (http://agama.kompasiana.com/2011/02/08)
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
174
Gambar 12. Aksi Pembunuhan Manusia di Cikeusik (http://hankam.kompasiana.com/2013/05/18)
Gambar 13. Aksi Penghancuran Manusia di Cikeusik (http://www.tempo.co/read/news/2011/02/09/)
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Pada tanggal 17 Juni 1976 tubuh dan jiwa seorang manusia yang diberi nama Masykur dilahirkan di sebuah desa yang dikenal dengan nama Losari Lor, Losari, Cirebon. Di desa itu Masykur mulai dikenalkan baca dan tulis secara informal di Tajug (tempat ibadah umat Islam namun tidak untuk shalat Jum‟at). Dari Tajung ke Madrasah Ibtidaiyah di mana penulis belajar ilmu pengetahuan dari berbagai sumber, seperti kehidupan sosial, kitab suci atau buku ilmiah.
Tak puas mencari ilmu pengetahuan di Madrasah Ibtidaiyah, pada tahun 1989 penulis hijrah ke Yogyakarta untuk belajar menjadi manusia secara sosial di Pondok Pesantren Krapyak “Al-Munawwir” dan Madrasah Tsanawiyah Negeri Yogyakarta II. Demi memenuhi rasa penasaran atas pendidikan tingkat atas, penulis memilih belajar di Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta I.
Pada tahun 1995 Masykur memilih jurusan Aqidah Filsafat sebagai tambatan dasar dari segala ilmu pengetahuan yang dicari selama ini dalam pendidikan tinggi di IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Untuk lebih mendalami dan mempertajam pikir kritis, penulis hijarah kembali ke Depok dan memilih program studi Ilmu Filsafat pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Depok dalam Program Magister pada tahun 2001 dan Program Doktor pada tahun 2010.
Disertasi ini merupakan jejak Masykur sebagai seorang manusia yang merefleksikan ilmu filsafat di dalam kehidupan sosial yang dipenuhi oleh konflik. Selain menulis, pada tahun 2002 dengan nama pena Masykur Wahid sebagai pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Islam “45” Bekasi. Kemudian, sejak tahun 2004 hingga kini sebagai pengajar untuk berbagi ilmu filsafat bersama mahasiswa/i di IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten dan tutorial online Universitas Terbuka. 175 Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.
176
Karya tulis yang dihasilkan, antara lain: “Hubungan Agama dan Filsafat dalam Perspektif Posmodernisme,” Skripsi, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2000); “Penerapan Syariat Islam: Persepsi Masyarakat Garut,” Jurnal ISTiQRO, Diktis Kemenag RI Jakarta (2002); “KH. „Abbas Buntet”, dalam Mohammad Ishom ElSaha (ed.), Intelektual Pesantren Potret dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren, Penerbit Diva Pustaka Jakarta (2003); “Interpretasi Teks dalam Hermeneutika Paul Ricoeur,” Tesis, UI Depok (2004); “Memahami Tradisi Pesantren: Eksistensi Kyai dalam Praktik Tarekat”, Jurnal ISTiQRO, Diktis Kemenag RI Jakarta (2004); “Pola Komunikasi antar Umat Beragama: Studi atas Dialog Umat Islam dan Kristen di Kota Cilegon Banten,” Jurnal Tela’ah, IAIN SMH Banten (2006); “From Traditionalist Being Revivalist Muslims: Story on the Members of NU Who Join HTI in Serang Banten,” Jurnal Electronic Research Network, Diktis Kementerian Agama RI Jakarta (2007); “Fenomena Perpindahan Orang NU ke Komunitas HTI di Serang Banten,” dalam Irwan Abdullah, Ferry M. Siregar dan Muhammad Zain (ed.), Dialektika Teks Suci Agama: Strukturasi Makna Agama dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Sekolah Pascasarjana UGM dan Pustaka Pelajar Yogyakarta (2008); “Agama, Etnisitas dan Radikalisme: Pluralitas Masyrakat Kota Sala,” Jurnal Al-Qalam, IAIN SMH Banten (2008); “Membaca Kembali Pemberontakan Petani Banten 1888 dalam Strukturasi Giddens”, Jurnal Dedikasi, IAIN SMH Banten (2010); “Etika Kebangsaan Gus Dur: Studi Etika Politik PKB Era Gus Dur,” Jurnal Aqlania, IAIN SMH Banten, 2011; “Bingkai Kebhinekaan Indonesia: Artikulasi Islam Banten dalam Tragedi Cikeusik,” Jurnal Aqlania, IAIN SMH Banten (2011); “Sunda Wiwitan Baduy: Agama Penjaga Lindung di Desa Kanekes Banten,” Jurnal el-Harakah, UIN Maulana Malik Malang (2011); “Religious Conflict, Islam and Multiculturalism: Trances Domination, Hegemony and Freedom in Indonesia,” dalam Conference Proceedings Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII, IAIN Sunan Ampel Surabaya (2012); dan Teori Interpretasi Paul Ricoeur, Buku, LKiS dan ELKAFI, Yogyakarta (2015).
Universitas Indonesia
Manusia dalam..., Masykur, FIB UI, 2015.