UNIVERSITAS INDONESIA
KRISIS EKONOMI MENJADI ALASAN PEMBATALAN PERJANJIAN KARENA FORCE MAJEURE : (STUDI KASUS PUTUSAN MA NO. 1787 K/PDT/2005)
INTISARI ISNA MARIAM 0906606923
FAKULTAS HUKUM DEPOK JANUARI 2013
1
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
I.
Pendahuluan “Keajaiban yang hilang”, itulah istilah yang paling pantas diberikan bagi perekonomian Indonesia sepanjang tahun 1998. Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi yang begitu hebat. Pada saat itu, sector keuangan terguncang Rupah anjlok 80% dari Rp. 4.850/dollar AS (akhir 1997) menjadi sekitar Rp. 17.000/dollar AS (22 Januari 1998).1 Pasar uang dan pasar modal rontok. Bank-bank nasional mengalami kesulitan besar. Perringkat inetrnasional bank-bank besar bahkan juga surat utang pemerintah merosot ke level di bahwa junk atau menjadi sampah. Sementara itu, pelarian modal pun terjadi dala skala yang disebut-sebut mencapai 20 milyar dollar AS, gelombang hengkang para pengusaha keturunan, rusaknya jaringan distribusi nasional, terputusnya pembiayaan luar negeri, dan ditangguhkannya banyak rencana investasi asing di Indonesia.2 Pada saat itu, sector riil hancur! Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai ndari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Tujuhpuluh persen lebih perusahaan yang tercatat di Pasar Modal bangkrut. Pengangguran melonjak ke level yang tak terbayangkan terjadi sejak akhir 1960-an, yakni sekitar 20 juta orang batau 20 persen lebih dari angkatan kerja. Akibatnya jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan meningkat tajam mencapai 1.155 dollar/kapita tahun 1996 dan 1.088dollar/kapita tahun 1997, menciut menjadi 610 dollar/kapita tahun 1998.3 Krisis adalah Perubahan arah yang menentukan.4 Pada tahun 1956 Prof. Witteveen, ahli ekonomi yang pernah menjabat sebagai Direktur Dana Moneter International (IMF) selama 10 tahun menulis buku kecil berjudul Structuur and Conjuctuur. Dalam buku ini dia membedakan antara penyebab krisis ekonomi karena
1
Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia, Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis, ( Jakarta : Sekretariat Tim Asistensi, 2010), hlm. 31 2
Ibid.
3
Ibid.
4
Daniel Bell dan Irving Kristol, Krisis Teori Ekonomi, Cet.2.,( Jakarta: LP3ES:1988), hlm. 2
2
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
overinvestment dan underconsumption. Kalau penyebab underconsumption obatnya relative mudah, yaitu prime pumping ala Keynes. Kalau penyebabnya overinvestment tidak ada obatnya, kecuali menunggu dengan penuh penderitaan sampai titik terendah secara alamiah tercapai, dan ekonomi mulai merangkak lagi dari sana.5 Karena buku tersebut ditulis pada tahun 1956, teorinya dianggap sudah kuno, usang dan tidak berlaku lagi. Witteveen tiba pada kesimpulannya itu setelah dia mempelajari semua teori underconsumption dan semua teori overinvestment yang dikemukakan oleh para ekonom yang lebih kuno lagi seperti Harrod, Haberler, Hicks, Kaldor, Kalecki, Machlup, Lachmann, Joan Robinson. Maka pandangannya dianggap lebih-lebih lagi sudah ketinggalan zaman, usang dan Witteveen sendiri beserta siapa saja yang mempercayainya dianggap sebagai para ekonom masa lalu atau past tense economist.6 Paul Krugman menulis di artikel majalah Time terbitan 21 Juni 1999, mengatakan penyebab krisis di Asia semuanya sama, yaitu bahwa investor yang kebanyakan bank asing memberikan pinjaman jangka pendek, sekaligus ramai-ramai menarik kembali modalnya. Bank-bank negara pengutang tidak dapat menjadikan assetnya kedalam uang tunai dalam waktu singkat.Maka terjadilah krisis perbankan. Uang tunai seadanya ramairamai dijadikan dollar, sehingga terjadi krisis moneter.7 Kawasan Asia dihantam oleh suatu krisis perekonomian yang luar biasa hebatnya sehingga dalam sekejap meruntuhkan apa yang selama ini telah sempat dibangun. Krisis perekonomian itu pada awalnya merupakan krisis keuangan dimana terjadinya penyesuaian yang luar biasa atas mata uang dari beberapa negara dikawasan Asia terhadap dolar Amerika Serikat.8
5
Kwik Kian Gie, Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar,Cet.1., (Jakarta : Kompas:2006), hlm. 3
6
Ibid.
7
Ibid.
8
Rosmawati Rusman, et.all, Prihatin Lahir Batin :Dampak Krisis Moneterdan Bencana El Nino Terhadap Masyarakat, Keluarga, Ibu dan Anak dan Pilihan Intervensi, ( Jakarta: PPT-LIPI: 1998), hlm. 176.
3
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
Pada awalnya banyak pakar yang memperkirakan bahwa krisis mata uang tersebut bersifat sementara dan bahkan akan menguntungkan negara-negara di kawasan ini. Karena dengan terjadinya penyesuaian tersebut, maka ekspor mereka akan lebih kompetitif dalam perdagangan internasional. Namun ternyata, krisis tersebut masih berlanjut sampai saat ini, walaupun untuk beberapa negara seperti HongKong dan Singapura nampaknya sudah mulai berhasil mengatasi krisis yang ada.Tiga negara yang sangat menderita akibat krisis tersebut adalah Indonesia, Thailand dan Korea Selatan.9 Ketiga negara ini bahkan sampai meminta bantuan IMF dalam mengatasi keadaan di negara masing-masing. Krisis Indonesia dimulai dengan tertekannya nilai tukar rupiah, yang kemudian menajadi krisis moneter (krismon), dan setelah meluas mendalam berkembang menjadi krisis total (Kristal), menyangkut hampir semua aspek kehiduan masyarakat. Proses ini terjadi dengan cepat, meluas dan mendalam, jauh melampaui perkiraan kebanyakan orang, termasuk para ahli, bahkan mereka yang pesimis sekalipun.10 Krisis itu sendiri di dalam laporan IMF, World Economic Outlook 1998 digolongkan menjadi berbagai jenis, yaitu currency crisis, banking crisis, sisstemic financial dan foreign debt crisis. Dari segi asal timbulnya krisis, laporan ini tampaknya menggambarkan bahwa, pada dasarnya krisis merupakan akibat dari gejolak financial atau
ekonomi
dalam
perekonomian
yang
mengidap
kerawanan.
Kerawanan
perekonomian bisa terjadi karena unsur-unsur yang pada dasarnya bersifat internal, seperti kebijakan makro yang tidak tepat, lemahnya atau hilangnya kepercayaan terhadap mata uang dan lembaga keuangan dan ketidak stabilan politik.11 Krisis tersebut terjadi setelah euphoria, keadaan yang mengagumkan karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu lama, yang digambarkan sebagai economic miracle antara lain oleh Bank Dunia, kemudian timbul perkembangan yang menunjukan tanda-tanda penggelembungan ekonomi atau economic bubbles (seperti 9
Ibid.
10
. Soedradjat Djiwandono, Bergulat Dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan: 2001), hlm. 1 11
Ibid.
4
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
ekspansi sektor real estate yang kelewat besar dan pertumbuhan pasar saham yang luar biasa, bersamaan dengan masuknya dana luar negeri berjangka pendek secara berlebihan). Dalam keadaan tersebut kemudian timbul gejolak yang meneyebabkan suatu distress dan melalui dampak penularan yang sistemik (contagion effect) menjadi krisis.12 Paul Krugman menyatakan karena investasi Indonesia dibiayai utang oleh luar negeri berjangka pendek dan ditanamkan ke dalam proyek-proyek jangka panjang, maka ketika ditarik mendadak terjadi krisis. Implisit lagi dalam pandangan ini adalah seandainya bagian terbesar dari investasi dibiayai oleh tabungan dalam negeri dan tidak oleh utang luar negeri, atau dengan kata lain tidak melalui saving investment gap yang keterlaluan, niscaya tidak ada penarikan uang mendadak secara besar-besaran.13 Gejolak tersebut kemudian menjadi krisis yang semula terjadi di sektor keuanganperbankan, kemudian melebar dan mendalam menjadi krisis ekonomi yang secara sistemik melebar lebih jauh menjadi krisis social-politik. Ini mungkin lebih tepat untuk digunakan menggambarkan perkembangan krisis di Indonesia, akan tetapi secara umum apa yang terjadi di negara-negara lain di Asia, terutama Thailand dan Korea Selatan, juga serupa.14 Dalam banyak pendapat mengenai sebab terjadinya krisis J. Soedradjat Djiwandono berpendapat bahwa krisis di Indonesia ini sangat parah, karena baik dari sumber asalnya maupun struktur ekonomi nasional memang menyebabkan terjadinya proses deteriorasi secara sistemik sehingga menimbulkan dampak yang sangat besar. Gejolak ekstern pada pasar valas merupakan dampak penekanan nilai mata uang dikawasan, setelah terjadi perubahan sentiment pasar dari optimisme yang berkelebihan menjadi pesimisme yang berkelebihan. Sedangakan ekonomi nasional diwarnai dengan struktur keuangan (perbankan utamanya) yang lemah dan sektor riil yang juga lemah (ekonomi biaya tinggi). Kedua unsur ini terjadi sangat dahsyat sehingga dampaknya juga demikian.15 12
Ibid. hlm. 134
13
Op. Cit., Kwik Kian Gie, hlm 4
14
Ibid. hlm. 135
15
Op.cit. J. Soedradjat Djiwandono, hlm. 135
5
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
Sebagaimana diketahui, krisis Indonesia terjadi dengan tertekannya nilai tukar rupiah sebagai dampak meluasnya tekanan terhadap mata uang bath, peso dan ringgit karena meningkatnya permintaan terhadap dollar yang luar biasa di negara-negara di Asia Tenggara. Dengan struktur keuangan (perbankan) yang masih lemah, gejolak tersebut telah menimbulkan krisis yang meluas, dari sektor moneter ke ekonomi nasional secara sistemik, dan akhirnya seluruh aspek kehidupan masyarakat, termasuk social politik. Terjadinya perkembangan dari krisis ekonomi ke krisis sosial-politik juga melalui proses penularan yang mempermudah oleh rapuhnya struktur sosial, hukum dan politik. Setelah itu masalahnya terpulang kepada pemimpin nasional yang tidak mampu menyelesaikan masalah karena ternyata merupakan bagian dari masalah tersebut.16 Suatu perjanjian berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak. Perumusan hubungan perjanjian tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak. Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar.17 Secara yuridis, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.18 Akibat peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian ini menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Perjanjian
merupakan
sumber
terpenting
yang
melahirkan
perikatan.Memang perikatan itu paling banyak lahir dari perjanjian, tetapi ada juga perikatan yang lahir dari Undang-Undang.19 Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa
16
Ibid.
17
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, cet. 1., (Yogyakarta : Laksbang Mediatama, 2008), hlm. 1. 18
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, cet. 1., (Bandung : Mandar Maju, 2000), hlm. 4.
19
Subekti, Hukum Perjanjian, cet.12., (Jakarta : Intermasa, 1979), hlm.1.
6
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
suatu rangkaian perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Dalam skripsi saya yang menjadi bahan pembahasan adalah putusan Mahkamah Agung mengenai perjanjian antara PT. Pertamina dengan PT. Wahana Seno Utama. Perjanjian kerjasama pembangunan, pengoperasian dan pengelolaan gedung Menara Gas, awalnya perjanjian ini terlaksana dengan baik, namun ketika tahun 1997 perjanjian tersebut terhenti karena terjadi krisis ekonomi yang menimpa Indonesia dan menimbulkan krisis global, harga-harga melonjak tinggi ke atas tak terkendali sehingga PT. Wahana Seno Utama kesulitan melaksanakan prestasinya. Perjanjian tersebut terdapat kewajiban-kewajiban para pihak dalam tahap-tahap pembangunan. Berikut kewajiban para pihak sesuai dengan perjanjian : a. PT. Pertamina (Persero) Sesuai dengan ketentuan Pasal 3.1 Perjanjian berkewajiban antara lain: 1. Menyerahkan lahan seluas 12.144 m² beserta bangunan di atasnya dalam keadaan kosong yang terletak di Jalan Ridwan Rais No. 3, Jakarta Pusat; 2. Menyerahkan hasil perencanaan, rencana kerja dan syarat-syarat hasil kerja Konsultan Perencana yang dimiliki oleh Pertamina b. PT. Wahana Seno Utama Sesuai dengan ketentuan Pasal 5.1 dan Pasal 2.2 Perjanjian berkewajiban, antara lain: 1. Menyediakan pendanaan proyek serta melaksanakan pembangunan Gedung Menara Gas sebesar US$ 95,614,070.00 (Pasal 5.1 Perjanjian) ; 2. Menyelesaikan pembangunan gedung Menara Gas dalam jangka waktu 36 (tiga puluh enam) bulan terhitung mulai tanggal penyerahan lahan (Pasal 2.2 Perjanjian) Kemudian PT. Pertamina telah memenuhi kwajibannya dalam perjanjian dengan menyerahkan lahan yang dimaksudkan untuk pembangunan gedung Menara Gas, serta telah pula menyerahkan gambar perencanaan yang diperlukan pada tanggal 17 Febuari 1997. Pada awalnya PT. WSU pun melaksanakan kewajibannya berdasarkan perjanjian, namun sejak tanggal 1 mei 1998, PT. WSU menghentikan proyek pembangunan Menara gas dengan alasan terjadinya perubahan kondisi perekonomian yang mengakibatkan harga materialmembumbung tinggi dan tidak menentu. Kemudian terjadi pembicaraan7
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
pembicaraan untuk mencari jalan meneruskan perjanjian, yang pada akhirnya PT. WSU mendapatkan penyandang dana baru GIFC Boston Capital dan PT. Pertamina pun setuju untuk meneruskan perjanjian. Namun sebelumnya PT. Pertamina telah meminta PT. WSU untuk mencairkan sejumlah dana dengan dalih mengganti kerugian lahan yang seharusnya menghasilkan keuntungan dari sewa namun ketika perjanjian ini bermasalah, PT. Pertamina merasa dirugikan sehingga meminta PT. WSU untuk mencairkan sejumlah dana dari garansi Bank BTN yang merupakan penyandang dana lama. Terjadilah beberapa pertemuan untuk tetap melaksanakan perjanjian, dengan pernyataan setuju dari Direktur Utama PT. Pertamina kemudian PT WSU lebih mantap untuk meneruskan perjanjian ini, saat menunggu PT. Pertamina untuk menemui penyandang dana baru yang telah berhasil didapatkan PT. WSU untuk melakukan due delligance PT. Pertamina malah menyatakan perjanjian batal karena PT. WSU melakukan wanprestasi kemudian menggugatnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam eksepsi PT. WSU yang menyatakan terjadinya krisis ekonomi ini yang menjadi alasan PT. WSU sebagai keadaan memaksa atau force majeure.
II.
Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dapat dirumuskan untuk menjadi pedoman dalam penulisan penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah pembatalan perjanjian karena keadaan memaksa atau keadaan kahar atau Force Majeure? 2. Bagaimanakah Itikad baik yang ada pada permasalahan ini ketika PT. Pertamina membatalkan secara sepihak perjanjian ini? 3. Bagaimanakah yang disebut dengan krisis ekonomi, khususnya krisis ekonomi yang menimpa Indonesia tahun 1997, apakah ini merupakan keadaan kahar?
8
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
III.
Pembahasan 1. Analisa Yuridis Pembatalan Perjanjian pada Kasus PT. Pertamina vs PT. Wahana Seno Utama Berdasarkan kasus di atas, PT. Pertamina menyatakan bahwa PT. WSU melakukan
wanprestasi
dan
kemudian
membatalkan
perjanjian.Permohonan
pembatalan perjanjian tersebut kemudian dimintakan pembatalannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui gugatan wanprestasinya PT. WSU. Mengenai wanprestasi, wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam perikatan atau perjanjian. Tidak dipenuhinya kewajiban dalam suatu perjanjian, dapat disebabkan dua hal yaitu: 1.
Karena kesalahan debitur baik disengaja maupun karena kelalaian
2.
Karena keadaan memaksa (Overmacht/forcemajeur)20
Wanprestasi merupakan syarat telah dipenuhinya syarat batal dalam perjanjian timbal balik, dan wanprestasi tersebut terjadi bukan karena keadaan memaksa atau keadaan di luar kekuasaan (force majeure atau Overmacht), tetapi terjadi karenakelalaian pihak tergugat. Dalam kasus PT. Pertamina sangat tidak patut menyatakan PT. WSU melakukan wanprestasi karena yang terjadi adalah PT. WSU masih beritikat baik untuk menyelesaikan dan melanjutkan perjanjian, namun PT. Pertamina membatalkan perjanjian secara sepihak. Pada kasus ini Pembatalan pejanjian yang dilakukan oleh PT. Pertamina secara sepihak harus dengan Putusan Hakim, karena alasan pembatalan perjanjian yang diajukan oleh PT. Pertamina adalah karena wanprestasi.Tidak dapat seseorang yang terikat dalam perjanjian membatalkan sepihak dengan alasan salah satu pihaknya dalam perjanjian melakukan wanprestasi ataupun mengalami keadaan memaksa, yang mana hal tersebut harus dibuktikan dalam persidangan dan putusan hakim. Frasa ‘dapat dibatalkan’ sangat berbeda maknanya dengan frasa ‘batal demi hukum’ sebab ‘dapat dibatalkan’ menyiratkan makna perlunya suatu tindakan aktif untuk membatalkan sesuatu, atau batalnya sesuatu itu terjadi tidak secara otomatis, tidak dengan sendirinya, tetapi harus dimintakan agar sesuatu itu dibatalkan. Kecuali 20
Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op. Cit., hlm. 29
9
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
itu, frasa ‘dapat dibatalkan’ juga berarti bahwa sesuatu yang menjadi pokok persoalan tidak selalu harus dibatalkan, tetapi bila dikehendaki maka sesuatu itu dapat dimintakan pembatalannya. Dengan kata lain, bila sesuatu hal ‘dapat dibatalkan’ maka bisa terjadi dua kemungkinan: 1. sesuatu itu benar-benar menjadi batal karena dinyatakan pembatalannya akibat adanya permintaan untuk membatalkan, atau 2. sesuatu itu tidak jadi batal karena tidak dimintakan pembatalan sehingga tidak ada pernyataan batal.21 Pada bagian kelima dari Bab I dalam Buku ke III KUH Perdata yang mengatur tentang Perikatan Bersyarat, terdapat ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267.Kedua pasal ini sebenarnya berisi tentang pembatalan perjanjian timbal balik akibat salah satupihak wanprestasi karena kelalaiannya.22Penempatan kedua pasal dengan topiktersebut dalam bagian tentang perikatan bersyarat menimbulkan kritik, tetapi juga
ditemukan
alasan
pembenarnya.Tampaknya,
pembuat
KUH
Perdata
menganggap bahwa kelalaian debitur sehingga wanprestasi tergolong sebagai suatu syarat batal yang dicantumkan dalam setiap perjanjian timbal balik. Menurut Pasal 1267 KUH Perdata, dalam perikatan yang timbul dari perjanjian timbal balik apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dijanjikan dalam perjanjian itu, kreditor atas dasar wanprestasi dari debitor berhak untuk memilih apakah (a) memaksa debitor untuk memenuhi perjanjian apabila hal itu masih dapat dilakukan, atau (b) menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya, kerugian, dan bunga dari pihak debitor. Hal ini ditegaskan dalam pasal tersebut yang berbunyi “Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih: memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itumasih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantianbiaya, kerugian dan bunga”. Pasal di atas jelas terkait dengan Pasal 1266 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa 1) Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. 21
Elly Erawati, dan Herlien Budiono, Op.Cit, hlm 4
22
Herlien Budiono, Op.Cit., hlm. 47–48;
10
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
2) Dalam hal demikianpersetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepadapengadilan. 3) Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenaitidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. 4) Jika syarat batal tidakdinyatakan dalam persetujuan maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaantergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapijangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan. Dari ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dapat disimpulkan hal berikut. Kedua pasal tersebut hanya berlaku untuk perjanjian timbal balik, bukan perjanjian sepihak. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi atau kewajiban hanya pada satu pihak. Wanprestasi merupakan syarat telah dipenuhinya syarat batal dalam perjanjian timbal balik, dan wanprestasi tersebut terjadi bukan karena keadaan memaksa atau keadaan di luar kekuasaan (force majeure atau Overmacht), tetapi terjadi karenakelalaian pihak tergugat. Akibat wanprestasi tersebut penggugat dapat menuntut pembatalan perjanjiandi depan hakim, dengan demikian perjanjian tersebut tidak batal demi hukum. Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata yang menempatkan wanprestasi sebagai syarat batal, sebagaimana pengertian syarat batal dalam Pasal 1253 KUH Perdata,dianggap tidak tepat. Alasannya adalah kepatutan dan logika, yakni tidak akan selalu adil menghukum debitor yang wanprestasi karena kelalaiannya dengan pembatalan perjanjian. Terhadap kritik ini, Subekti, justru menjelaskan bahwa ketentuan kedua pasal tersebut sebenarnya tidak salah.23 Sebab sekalipun wanprestasi dianggap sebagai syarat batal sehingga menyebabkan perjanjian berakhir, berakhirnya perjanjian itu bukan karena demi hukum, melainkan harus melalui pernyataan pembatalan oleh hakim. Hal ini jelas terlihat dari Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata: ”Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada pengadilan”. 23 R. Subekti ,Hukum Perjanjian,Op.Cit., hlm 5.
11
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
Bahkan, ayat (3) pasal ini juga menegaskan bahwa perjanjian itu tetap bukan batal demi hukum, melainkan dapat dibatalkan, sekalipun di dalam perjanjian itu dicantumkan soal wanprestasi sebagai syarat batal.Kemudian, ayat (4) menambahkan bila wanprestasi sebagai syarat batal tidak dicantumkan dalam perjanjian, hakim memiliki kebijakan berdasarkan pertimbangan keadaan memberi jangka waktu maksimum 1 (satu) bulan bagi pihak yang wanprestasi untuk memenuhi kewajibannya. Dalam konteks terakhir ini, bahkan menurut Subekti,24 hakim berhak pula untuk mempertimbangkan dan menilai besar kecilnya kelalaian debitur yang wanprestasi itu dibandingkan dengan akibat pembatalan perjanjian yang akan menimpa debitur itu. Dengan kata lain, ketika hakim harus memutuskan gugatan pembatalan
perjanjian
karena
wanprestasi
sebagai
syarat
batal,
ia
harus
memperhatikan berbagai asas hukum perjanjian yang lazim, salah satunya adalah asas itikad baik. Bahwa dihubungkan dengan kasus PT. Pertamina dengan PT. WSU ini, PT. pertamina yang menyatakan Perjanjian Kerjasama Pembangunan, Pengoperasian dan Pengelolaan Gedung Menara Gas ini batal dan menyatakan bahwa PT. WSU melakukan wanprestasi ini harus dibuktikan di Pengadilan menurut Pasal 1266 KUHPerdata. Bahkan dalil Tergugat atau PT. WSU yang menangkis gugatan tersebut dengan dalil bahwa terjadi keadaan memaksa atau force majeure padanya atas krisis ekonomi yang melanda Indonesia juga harus dibuktikan dimuka persidangan. Sehingga jika dalil-dalil yang dibuktikan dimuka persidangan oleh pihak penggugat untuk mempermohonkan perjanjian batal karena tergugat melakukan wanprestasi maka hakim akan membatalkan perjanjian atau menyatakan bahwa tergugat harus memenuhi prestasinya. Bahwa wanprestasi terbukti akibat keadaan memaksa, maka kewenangan hakimlah untuk menilai apakah benar telah terjadi keadaan memaksa atau tidak.Untuk itu, hakim akanmembuat putusan yang bersifat deklaratoir. Jadi, keadaan memaksa juga dapat menjadi syarat batal bagi sebuah perjanjian, tetapi syarat ini tidak perlu diperjanjikan oleh para pihak.25 24
Ibid. hlm.49
12
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
Sehingga jika dihubungkan dalam kasus ini, jika tergugat dalam dalilnya dapat membuktikan di muka sidang bahwa terjadi krisis ekonomi ini merupakan keadaan memaksa, walaupun dalam perjanjian tidak menyatakan bahwa krisis ekonomi merupakan keadaan memaksa, maka dengan pembuktian di persidangan hakim dapat menyatakan bahwa krisis ekonomi merupakan keadaan memaksa atau keadaan kahar atau force majeure. 2. Analisa Yuridis Asas Itikat Baik dalam Pembatalan Perjanjian Bahwa dalam kasus ini PT. Pertamina membatalkan perjanjian secara sepihak disaat renegosiasi perubahan pasal-pasal dalam perjanjian antara PT. Pertamina dengan PT. WSU karena terjadinya krisis ekonomi. Pada saat renegosiasi pasal-pasal itu PT. WSU menunjukkan itikad baiknya untuk tetap meneruskan perjanjian begitupula dengan PT. Pertamina yang dinyatakan dalam surat resmi oleh Direktur Utama PT. Pertamina. Terlihat dengan PT. WSU berhasil mencari penyandang dana baru yaitu GIFC Boston Capital sejak tahun 2002 dan GIFC Boston Capital bersedia datang ke Indonesia untuk melaksanakan due dilligence, namun PT. Pertamina cenderung tidak ada keiinginan untuk bertemu dengan calon penyandang dana tersebut. Bahwa kemudian PT. Pertamina mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan gugatan wanprestasi yang dilakukan PT. WSU.Berdasarkan kasus PT. Pertamina dengan PT. WSU bahwa PT. Pertamina menyimpangi asas itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian yang diperbaharui. Karena terjadinya perubahan ekonomi atau krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 yang kemudian ini menjadi alasan bahwa hal tersebut adalah force majeure, dan dalam hal terjadinya keadaan force majeure relative ini sebaiknya merubah pasal-pasal yang ada bukan berbalik menggugat wanprestasi seperti apa yang dilakukan oleh PT. Pertamina. Oleh karena PT. WSU kemudian mengajukan gugatan balik bahwa sebenarnya PT. Pertamina yang melakukan perbuatan melawan hukum. Rumusan pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa itikad baik harus digunakan pada saat pelaksanaan suatu kontrak.Hal ini berarti bahwa pada 25
Ibid.
13
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
waktu kontrak dilaksanakan, selain ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam kontrak yang wajib ditaati oleh para pihak, melainkan juga itikad baik sebagai ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis.Jadi, itikad baik berfungsi menambah (aanvullend) ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak di dalam kontrak. Itikad baik memegang peranan tertinggi dalam tahap praperjanjian ataupun dalam tahap perjanjian. Begitu pentingnya itikad baik ini, sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua para pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh itikad baik dan hubungan khusus ini akan membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak tersebut harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi masing-masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk mengadakan penyelidikan dalam batas-batas yang wajar terhadap pihak lawan sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik. Dalam pasal 1338 (3) KUH Perdata itu, Hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan.Ini berarti, hakim itu berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian, manakala perlaksanaan menurut isi perjanjian itu bertentangan dengan itikad baik. Dan jika pada ayat pertama pasal 1338 KUH Perdata dapat dilihat sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum, maka pada ayat berikutnya yaitu ayat ketiga dalam pasal 1338 KUH Perdata ini dapat dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan. Karena memang maksud dan tujuan dari hukum itu adalah untuk menjamin kepastian hukum dan juga sekaligus untuk memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang diperjanjian harus dipenuhi. Namun dalam menuntut dipenuhinya janji itu, janganlah orang meninggalkan norma-norma keadilan dan kepatutan.
14
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
Bahwa apabila dikaitkan dengan penulisan asas hukum ini dapat menjadi alasan PT. WSU untuk menuntut PT. Pertamina menjalankan kewajibannya sesuai dengan renegosiasi yang telah dilakukan oleh PT. Pertamina dengan PT. WSU. Asas ini merupakan dasar untuk menuntut PT. Pertamina bertemu dengan penyandang dana yang baru yang disediakan oleh PT. WSU, karena pada pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang melindungi setiap pihak yang terbukti bertikad baik dalam suatu perjanjian untuk mendapatkan haknya dan untuk itu hakim wajib memperhatikan asas itikad baik dalam setiap putusannya. Karena dalam hal ini PT. WSU yang beritikad baik untuk menyelesaikan perjanjian dengan PT. Pertamina. 3. Analisa Mengenai Gugatan Balik atau Rekovensi oleh PT. Wahana Seno Utama Bahwa dalam gugatan balik atau rekovensi yang kemudian diajukan oleh PT. WSU yang awalnya menjadi pihak tergugat dalam rekovensi ini balik menggugat PT. Pertamina. Dinyatakan kembali pada PT. WSU bahwa ia tidak dapat memenuhi prestasinya meneruskan pembangunan, disebabkan terjadinya perubahan ekonomi berupa resesi ekonomi dunia yang dapat diklasifikasikan sebagai keadaan force majeure. Bahwa dalam gugatan balik PT. WSU menyatakan bahwa PT. Pertamina melakukan perbuatan melawan hukum yang memutuskan perjanjian secaa sepihak, yang mana sesuai dengan Pasal 1365 KUHPerdata, oleh karenanya kepada PT. Pertamina diwajibkan memberikan ganti kerugian kepada PT. WSU. Dalam gugatan baliknya PT. WSU menyatakan pula
atas perbuatan PT.
Pertamina mencairkan Garansi Bank yang jatuh tempo tanggal 12 Maret 2003, sebesar Rp 1.285.283.077,26 tanpa sepengetahuan PT. WSU, merupakan perbuatan melawan hukum karena pencairan bank garansi tersebut seharusnya telah ada putusan pengadilan terlebih dahulu, sehingga atas perbuatan tersebut kepada PT. Pertamina diwajibkan untuk membayar ganti kerugian kepada PT. WSU. Sehingga dalam tuntutan atau petitum gugatan balik PT. WSU memohonkan bahwa PT. Pertamina melakukan perbuatan melawan hukum atas pemutusan perjanjian sepihak yang mana dikabulkan oleh Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagian gugatan balik PT. WSU ini yang menyatakan bahwa PT. Pertamina telah melakukan perbuatan hukum dan sebaiknya PT. Pertamina melakukan kajian keekonomian dan 15
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
merampungkan perubahan pasal-pasal perjanjian yang disepakati bersama serta untuk mengembalikan uang garansi yang telah dicairkan ke bank garansi PT, Pertamina. Bahwa dalam gugatan balik yang diatur di dalam Pasal 132 a dan 132 b Reglement Indonesia (HIR).Dalam hal ini tergugat mempunyai tuntutan pula terhadap penggugat, sehingga disamping tergugat menjawab/membantah dalil-dalil penggugat dalam gugatan awal/konvensi maka dia juga dapat menuntut lagi kepada penggugat. Dalam gugatan rekovensi ada larangan-larangan sebagaimana diatur dalam pasal 132 a Reglemen Indonesia, diantaranya yaitu; a. Jika Penggugat (dalam konvensi) itu bertindak karena suatu kwaliteit (mis walivoogd) , sedangkan rekovensi mengenai diri penggugat sendiri dan sebaliknya; b. Jika Pengadilan Negeri yang memeriksa tuntutan konvensi pada dasarnya tidak berkuasa (volstrekt on bevoeg) untuk memeriksa rekovensi; menurut Supomo, maka bila dalam gugatan rekovensi ada kaitannya dengan kompetensi relative masih boleh disampingi, namun bila ada komptensi absolute maka hal in tidak dapat simpangi, karena masalah kompetensi absolute berkaitan dengan masalah tata tertib umum (openbare orde); c. Dalam hal perselisihan tentang eksekusi, larangan sub c ini sudah selayaknya, oleh karena maksud dan tuntutan rekonvensi adalah menetralisir tuntutan konvensi, sedangkan persellisihan eksekusi hanya mengenai penyelenggaraan putusan yang telah menetapkan hak-hak penggugat. d. Dalam mengajukan tuntutan rekovensi, maka dapat diajukan bersama dengan jawaban tergugat; artinya tergugat menjawab dalam dua posisi yakni pertama, membantah konvensi, kedua mengajukan rekovensi. Menurut pasal 132 b HIR gugatan dapat diajukan tertulis maupun lisan. Jika dalam pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri tidak diajukan tuntutan rekovensi, maka hal itu tidak dapat baru diajukan ditingkat banding (pasal 132 a ayat (2) HIR ). e. Bahwa kemudian jika dikaitan dengan kasus PT. Pertamina dengan PT. WSU adalah bahwa gugatan balik yang diajukan oleh PT. WSU adalah gugatan mengenai perbuatan melawan hukum pada gugatan semula atau konvensi PT. Pertamina adalah gugatan mengenai wanrestasi ini terlihat menyimpang namun
16
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
hal ini diperbolehkan karena tidak menyimpangi mengenai kompetensi absolute maupun kompetensi relative. 4. Analisa Yuridis Mengenai Krisis Ekonomi Menjadi Alasan Keadaan Memaksa atau Force Majeure Bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan juga melanda kawasan Asia adalah suatu krisis perekonomian yang luar biasa hebatnya sehingga dalam sekejap meruntuhkan apa yang selama ini telah sempat dibangun. Krisis perekonomian itu pada awalnya merupakan krisis keuangan dimana terjadinya penyesuaian yang luar biasa atas mata uang dari beberapa negara dikawasan Asia terhadap dolar Amerika Serikat.26 Bahwa awalnya banyak pakar yang memperkirakan bahwa krisis mata uang tersebut bersifat sementara dan bahkan akan menguntungkan negara-negara di kawasan ini. Karena dengan terjadinya penyesuaian tersebut, maka ekspor mereka akan lebih kompetitif dalam perdagangan internasional. Namun ternyata, krisis tersebut masih berlanjut sampai saat ini, walaupun untuk beberapa negara seperti HongKong dan Singapura nampaknya sudah mulai berhasil mengatasi krisis yang ada.Tiga negara yang sangat menderita akibat krisis tersebut adalah Indonesia, Thailand dan Korea Selatan.27Ketiga negara ini bahkan sampai meminta bantuan IMF dalam mengatasi keadaan di negara masing-masing. Krisis Indonesia dimulai dengan tertekannya nilai tukar rupiah, yang kemudian menajadi krisis moneter (krismon), dan setelah meluas mendalam berkembang menjadi krisis total (Kristal), menyangkut hampir semua aspek kehiduan masyarakat. Proses ini terjadi dengan cepat, meluas dan mendalam, jauh melampaui perkiraan kebanyakan orang, termasuk para ahli, bahkan mereka yang pesimis sekalipun.28 Bahwa dikaitkan dengan kasus di atas adalah terjadinya Krisis Ekonomi yang menjadi alasan Tergugat atau PT. WSU menangkis gugatan dari PT. Pertamina yang 26
27
28
Rosmawati Rusman et.all, Op.Cit.,hlm. 176. Ibid.
J. Soedradjat Djiwandono, Op.Cit.,hlm. 1
17
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
menyatakan bahwa PT. WSU melakukan wanprestasi, yang mana dalam dalil Tergugat disebutkan dalam Putusan, adalah sebagai berikut : -
Bahwa sejak awal PT. Wahana Seno Utama telah melaksanakan
pembangunan dari mulai pengurusan perizinan, konsultan, penyediaan fasilitas serta pembangunan pondasi yang mencapai 40 % dengan biaya yang dikeluarkan sebesar US $ 5,980,000.00 dan Rp 6.785.283.077,- tetapi mulai tanggal 1 Mei 1998, PT. Wahana Seno Utama tidak dapat meneruskan pembangunan, disebabkan terjadinya perubahan ekonomi berupa resesi ekonomi dunia yang dapat diklasifikasikan sebagai keadaan force majeure, sehingga kondisi tersebut mempengaruhi perekonomian negara khususnya PT. Wahana Seno Utama dengan terjadinya kenaikan harga bahan/material bangunan ; -
Bahwa kondisi tersebut merupakan keadaan kahar (force majeure)
sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 7 butir 7.2 perjanjian, sehingga penghentian kegiatan pembangunan di luar kehendak PT. Wahana Seno Utama dan bukan merupakan tindakan wanprestasi, sebagaimana dinyatakan oleh PT. Pertamina (Persero), yang menyatakan kondisi tersebut bukan force majeure dan merupakan tindakan wanprestasi oleh PT. Wahana Seno Utama; Bahwa dalam kasus ini PT. Pertamina-lah yang awalnya menyatakan perjanjian ini batal karena PT. WSU melakukan wanprestasi, seharusnya PT. WSU dapat mengajukan pembatalan perjanjian tersebut, namun karena PT. WSU masih beritikad baik untuk melanjutkan perjanjian ini, sehingga PT. WSU tidak mengajukan pembatalan perjanjian karena alasan keadaan memaksa akibat terjadinya perubahan ekonomi dan kemudian terjadi krisis ekonomi yang meluas di Indonesia dan menjadikan semua harga bahan-bahan material/bangunan melambung tinggi, hal ini tidak dapat diprediksi oleh semua pihak termasuk oleh PT. WSU. Bahwa menurut Rachmat S.S. Soemadipradja dalam Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, dalam pasal-pasal KUHPerdata unsur-unsur keadaan memaksa meliputi:29 a. peristiwa yang tidak terduga; b. tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur; 29
Rachmat S.S. Soemadipradja, Op.Cit.,hlm. 77
18
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
c. tidak ada itikad buruk dari debitur; d. adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur; e. keadaan itu menghalangi debitur berprestasi; f. jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan; g. keadaan di luar kesalahan debitur; h. debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang); i.
kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitur maupun pihak lain);
j. debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian. Bahwa dilihat dari unsur-unsur keadaan memaksa dan kemudian mengkaitkan masalah krisis ekonomi yang ada di Indonesia tahun 1997 adalah bahwa krisis ekonomi terjadi tidak dapat diduga bahwa krisis ini akan meluas dan melebar menjadi krisis total dan menyebabkan semua harga-harga melambung karena turunnya nilai rupiah. Oleh sebab ini PT. WSU tidak dapat meprediksi oleh siapapun termasuk PT. WSU namun perjanjian ini masih bisa dilaksanakan oleh kedua belah pihak termasuk pihak PT. WSU namun dengan keadaan yang sulit. Pelaksanaan perjanjian yang masih bisa diwujudkan ini maka keadaan krisis ekonomi tersebut bukan termasuk kategori force majeure karena masih bisa dilaksanakan dengan keadaan yang sulit. Dihubungkan dengan unsur force majeure yang antara lain keadaan yang mengahalangi debitur untuk berprestasi dan jika prestasi dilaksanakan akan maka akan terkena larangan, jika dihubungkan dengan kasus, bahwa PT. WSU masih bisa menjalankan prestasinya dengan mendapat penyandang dana baru atau pada kenyataannya perjanjian tersebut masih bisa dilaksanakan namun dengan keadaan yang sulit dimana harga-harga bahan bangunan melambung tinggi. Yang jika saya uraikan adalah sebagai berikut : a. Peristiwa yang tidak terduga; Terjadinya krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia adalah hal yang telah diduga beberapa ahli ekonomi baik ahli ekonom di Indonesia maupun di luar negeri. Namun dampak krisis ekonomi tersebut yang meluas sehingga menjadi krisis global yang tidak diduga oleh para ahli ekonom. 19
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
b. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur; Unsur ini masi bisa dipertanggung jawabkan kepada PT. WSU, dalam kasus ini PT. WSU memiliki itikad baik dengan untuk masih menjalankan prestasinya dilihat dengan mencari tenan bank baru, sehingga PT. WSU masih bisa mempertanggung jawabkan kepada PT. Pertamina, namun PT. Pertaminalah yang tidak memiliki itikad baik sehingga perjanjian ini tidak diselesaikan dengan baik. c. tidak ada itikad buruk dari debitur; Unsur ini terpenuhi pada kasus ini, karena PT. WSU tetap ingin melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baiknya yang tidak disambut dengan baik oleh PT. Pertamina. d. Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur; Unsur ini terpenuhi karena keadaan ini bukanlah hal yang disengaja oleh PT. WSU sehingga terlambat melaksanakan prestasinya. e. Keadaan itu menghalangi debitur berprestasi; Krisis ekonomi ini bukanlah hal yang menghalangi PT. WSU untuk melaksankan perjanjian, dengan kata lain walau terjadi krisis ekonomi PT. WSU masih tetap bisa melaksanakan prestasinya namun dengan perubahan pasal-pasal dan keadaaan yang sulit. f. Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan; Unsur ini tidak terpenuhi yaitu, jika PT. WSU melaksanakanya dengan mendapat tenan bank baru sehingga tidak menjadi larangan dengan mengubah pasalpasal yang ada pada perjanjian sebelumnya, sehingga melaksanakan prestasi dalam perjanjian tersebut tidak akan terkena larangan. g. Keadaan di luar kesalahan debitur; Unsur ini benar, karena krisis ekonomi memang bukan keslahan PT. WSU h. Debitur tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang); Unsur ini tidak terpenuhi dengan sempurna artinya PT. WSU gagal berprestasi karena krisis ekonomi sehingga terlambat menjalankan prestasinya namun masih tetap bisa dilaksankan.
20
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
i. Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitur maupun pihak lain); Krisis ekonomi tersebut tidak dapat dihindari bahkan oleh PT. WSU dan PT. Pertamina sehingga unsur ini terpenuhi. j. Debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian. Unsur ini terpenuhi karena tidak terdapat kesalahan yang dilakukan oleh PT. WSU. Bahwa ketika diuraikan unsur force majeure dengan kasus tersebut unsur pada kasus tidak dipenuhi secara mutlak, sehingga krisis ekonomi bukan lah suatu keadaan yang dikategorikan force majeure karena masih bisa dilaksanakannya suatu prestasi tersebut. Bahwa
selanjutnya
Munir
Fuady
memberikan
segi
kemungkinan
pelaksanaan prestasi dalam kontrak, suatu force majeure dapat dibeda-bedakan ke dalam: a. Force majeure yang Absolut Yang dimaksud dengan force majeure yang absolut adalah suatu force majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali tidak mungkin dilakukan. Misalnya, barang yang merupakan objek dari kontrak musnah.Dalam hal ini, kontrak tersebut tidak mungkin (impossible) untuk dilaksanakan. b. Force majeure yang Relatif Sementara itu, yang dimaksud dengan force majeure yang bersifat relative adalah suatu force majeure di mana pemenuhan prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, sungguh pun secara tidak normal masih mungkin dilakukan. Misalnya, terhadap kontrak impor-ekspor di mana setelah kontrak dibuat terdapat larangan impor atas barang tersebut. Dalam hal ini, barang tersebut tidak mungkin lagi diserahkan (diimpor), sungguh pun dalam keadaan tidak normal masih dapat dilakukan. Misalnya, jika dikirim barang dengan jalan penyelundupan. Dalam hal ini, sering dikatakan bahwa kontrak masih mungkin (possible) dilaksanakan, tetapi tidak praktis lagi (impracticability). Bahwa dalam kasus ini dapat dikategorikan pada force majeure yang relative, artinya bahwa PT. WSU masih dapat memenuhi prestasinya namun dengan 21
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
pemenuhan prestasi yang tidak normal sehingga diperlukan renegosiasi untuk merubah pasal-pasal yang tidak relevan akibat krisis ekonomi, atau untuk bekerjasama menyelesaikan masalah yang baru timbul akibat krisis ekonomi 1997 antara PT. Pertamina dengan PT. WSU, atau PT. WSU tidak bertanggungjawab atas terjadinya krisis ini. Sedangkan jika melihat force majeure dari perspektif Hukum Perdata Belanda tidak secara eksplisit mengharuskan bahwa prestasi harus terhambat atau ketidakmungkinan untuk melakukan. Namun demikian, ketika prestasi masih mungkin, permohonan force majeure akan hampir otomatis gagal. Selama prestasi masih mungkin, debitur dapat dan harus melakukan. Dalam keadaan ini, prestasi karena kesalahan debitur oleh karena itu akan timbul kepadanya. Untuk alasan ini, kegagalan prestasi dianggap menjadi bukan hal mengenai force majeure. Jika dihubungkan dengan studi kasus, bahwa dalam perjanjian antara PT. Pertamina dengan PT. WSU masih bisa dilaksanakan karena adanya krisis ekonomi yang membuat harga-harga menjadi tinggi, namun hal ini masih bisa dilaksanakan oleh PT. WSU sehingga yang disebutkan krisis ekonomi pada kasus ini bukanlah hal yang disebut dengan force majeure. Konsep 'halangan' di Hukum perdata Belanda tidak hanya terdiri dari ketidakmungkinan mutlak, namun juga relatif kemustahilan. Contoh hambatan relatif adalah: praktis ketidakmungkinan (kinerja menuntut pengorbanan yang tidak proporsional), moral ketidakmungkinan (bahaya serius bagi kesehatan, kehormatan hidup), ketidakmungkinan yuridis (misalnya ketika pemerintah melarang kinerja). Dalam kasus ini PT. WSU masih bisa melanjutkan prestasinya dengan merubah isi pasal-pasal dan mengganti tenan yang baru dan hal ini bukan lah kategori halangan yang relative mustahil, karena masih bisa dilaksanakan tanpa menuntut pengorbanan yang tidak proporsional seperti bahaya yang serius atau dengan kata lain tanpa melanggar suatu halangan ini masih bisa dilaksanakan dengan memperbaharui pasal-pasal yang ada.
22
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
IV.
Kesimpulan 1. Pembatalan Perjanjian Pembatalan Perjanjian sepihak oleh PT. Pertamina yang menyatakan bahwa PT. WSU telah melakukan wanprestasi. Pembatalan perjanjian secara sepihak tersebut harus dimintakan dengan Putusan Hakim, karena PT. Pertamina menyatakan bahwa PT. WSU melakukan wanprestasi. Seseorang yang terikat perjanjian, tidak dapat membatalkan perjanjian secara sepihak dengan menyatakan pihak yang satu melakukan wanprestasi, hal ini harus dibuktikan terlebih dahulu di persidangan dengan putusan hakim. Begitu pula dengan seseorang yang mendalilkan bahwa ia terkena keadaan kahar maka keadaan kahar tersebut harus dibuktikan dimuka sidang. 2. Itikad Baik Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pada kasus ini, PT. Pertamina yang membatalkan secara sepihak disaat mereka bersepakat untuk memperbaharui pasal-pasal ketika terjadinya krisis ekonomi. Ini dilihat PT. Pertamina tidak menjalankan perjanjian ini dengan itikad baik. Itikad baik ini dilihat dari kesepakatan mereka untuk memperbaharui perjanjian, jika sudah bersepakat seharusnya dilaksankan dengan itikad baik. 3. Apakah Krisis ekonomi 1997 di Indonesia merupakan Force Majeure Krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997 yang banyak diperkirakan oleh pakar hanya berlangsung sementara ternyata diluar dugaan menjadi krisis yang mengglobal di Indonesia. Hal ini jika seseorang terbentur karena keadaan ini kemudian mengajukan bahwa ia terkena force majeure ini tidak lah dapat dibenarkan. Karena yang disebut dengan force majeure, adalah keadaan memaksa diluar para pihak yang membuat seseorang berhalangan untuk menjalankan prestasinya atau prestasinya tidak mungkin lagi dilaksanakan karena keadaan tersebut. Sedangkan di dalam kasus ini PT. WSU masih dapat melaksanakan prestasinya namun perlu renegosiasi pasal-pasal. Hal ini juga terlihat dengan PT. WSU mendapatkan penyandang dana atau Bank baru yang membiayai proyek. Dengan 23
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013
mendapatkan penyandang dana baru maka perjanjian ini masih bisa dilaksanakan, namun butuh itikad baik dari pihak lain dalam perjanjian. Kembali kepada prinsip itikad baik yang terdapat di Pasal 1338 yang prinsip itikad baik tidak dijalankan oleh pihak lawan sehingga perjanjian ini menjadi masalah.
V.
Saran Berikut ini adalah saran-saran yang dapat disampaikan, yaitu : 1. Definisi force majeure yang ada di Indonesia ini tidak clear dalam memberikan penjelasan, seperti dalam keadaan force majeure, pengaturan di Indonesia tanpa menyebutkan bila terjadi force majeure maka pihak tersebut sama sekali tidak bisa menjalankan prestasinya lagi. Sehingga jika terjadi keadaan-keadaan yang hampir mirip dengan ktergori force majeure namun diputuskan dengan force majeure, akibatnya ketidak adilan ini terjadi di Indonesia. 2. Melihat adanya kekurangan pengaturan mengenai unsur-unsur ataupun uraian mengenai keadaan memaksa atau force majeure di Indonesia, maka ada baiknya merevisi Undang-Undang Perdata Indoensia terutama masalah force majeure ini, sehingga pada kontrak-kontak yang ada di Indonesia ada kejelasan mengenai keadaan memaksa.
24
Krisis ekonomi…, Isna Mariam, FH UI, 2013