UJI TOKSISITAS HASIL REMEDIASI LUMPUR MINYAK TERHADAP TANAMAN BUNGA MATAHARI (Helianthus annuus L.)
Oleh: Arie Aryani C03497039
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
RINGKASAN
ARIE ARYANI. C03497039. Uji Toksisitas Hasil Remediasi Lumpur Minyak terhadap Tanaman Bunga Matahari (Helianthus annuus L.). Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO. Sejak eksploitasi minyak bumi dilaksanakan di Indonesia, produk sampingan kegiatan ini yang berupa sludge atau lumpur minyak belum tertangani secara baik. Padahal, lumpur yang mengandung berbagai logam berat ini bila menumpuk di permukaan tanah, cairannya dapat merembes ke tanah dan mencemari air tanah. Lumpur minyak adalah limbah yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak bumi yang secara umum terdiri dari hidrokarbon, air dan mineral padat. Metode pengembalian lahan tercemar pada kondisi mendekati aslinya dapat menggunakan teknologi fitoremediasi yang memanfaatkan tanaman secara langsung maupun bagian-bagian tanaman tersebut. Fitoremediasi merupakan alternatif yang mudah dan murah dibandingkan dengan cara remediasi fisiko-kimia maupun bioremediasi dengan menggunakan mikroorganisme. Namun teknik fitoremediasi juga memiliki beberapa keterbatasan, terutama yang berhubungan dengan batasan konsentrasi kontaminan yang dapat ditolerir oleh tanaman. Bunga matahari (Helianthus annuus L.) merupakan salah satu jenis tanaman yang diduga memiliki ketahanan terhadap bahan-bahan polutan yang ada di dalam tanah lumpur minyak hasil bioremediasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas lumpur minyak hasil remediasi mikroba pada tanaman bunga matahari (Helianthus annuus L.) dalam perlakuan komposisi media antara campuran lumpur minyak dan tanah dengan penambahan kompos, NPK, serta urea. Lumpur minyak yang digunakan berasal dari Balikpapan dan Lawe Lawe (Kalimantan Timur) yang telah mengalami proses bioremediasi dari penelitian sebelumnya (Fatmawati 2003). Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi alternatif tanaman yang dapat digunakan dalam proses fitoremediasi. Berdasarkan hasil penelitian, perlakuan K dan 2A yang telah mengalami pengapuran secara in situ dan penambahan kompos masing-masing sebesar 2/3 volume tanah dan 1/2 volume tanah menunjukkan pertumbuhan yang terbaik. Hal ini dikarenakan kandungan minyak dalam tanah pada H0 (hari ke-0) pada saat dimulai penanaman bunga matahari sudah cukup rendah yaitu K sebesar 0,496 g/100 g dan 2A sebesar 1,25 g/100 g sehingga tidak bersifat toksik terhadap tanaman. Pemberian kompos pada perlakuan K serta 2A menambah indigenous bakteri. Aktivitas mikroba dalam kompos mengkonversikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam lumpur minyak. Bahan organik yang telah terkompos dengan baik selain kaya akan nutrisi bagi tanaman tetapi juga berperan besar terhadap perbaikan sifat-sifat tanah. Tanaman bunga matahari dapat tumbuh pada tanah dengan kandungan minyak maksimum 2,364 g/100 g yaitu pada perlakuan 1A yang mengalami penambahan kompos sebesar 1 volume tanah. Penambahan pupuk organik memberikan hasil yang lebih baik dari penambahan urea. Tanaman umumnya dapat tumbuh pada media yang telah mengalami pengapuran secara in situ. Pengapuran secara in situ dapat menurunkan kadar minyak lebih baik daripada pengapuran sebanyak 5% secara ex situ.
UJI TOKSISITAS HASIL REMEDIASI LUMPUR MINYAK TERHADAP TANAMAN BUNGA MATAHARI (Helianthus annuus L.)
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh: Arie Aryani C03497039
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul
: UJI TOKSISITAS HASIL REMEDIASI LUMPUR MINYAK TERHADAP TANAMAN BUNGA MATAHARI (Helianthus annuus L.)
Nama
: Arie Aryani
NRP
: C03497039
Menyetujui, Pembimbing I
Dr. Ir. Linawati Hardjito, MS NIP. 131 664 395
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Tanggal Lulus : 10 Februari 2006
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat kesehatan dan kesempatan yang dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Doa keselamatan penulis panjatkan pula pada pembawa cahaya kebenaran, Nabi Muhammad SAW beserta segenap keluarga, sahabat dan seluruh pengikut ajarannya sampai akhir jaman. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, M.S selaku dosen pembimbing atas waktu, kesempatan, kesabaran, arahan dan bimbingannya, selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Terima kasih
kepada Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ibu Desniar S.Pi, M.Si sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk menguji penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Uji Toksisitas Hasil Remediasi Lumpur Minyak terhadap Tanaman Bunga Matahari (Helianthus annuus L.)”, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Akhir kata, penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis demi kelengkapan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Maret 2006
Arie Aryani
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Arie Aryani, dilahirkan di Sumedang pada tanggal 5 Januari 1980. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Darmawan Purwasasmita dan Ai Sukarni. Pada tahun 1991 penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN I Citapen Tasikmalaya, kemudian melanjutkan sekolah di SMPN I Tasikmalaya dan lulus pada tahun 1994 di SMPN 4 Serang. Tahun 1997 penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN I Serang, pada tahun yang sama diterima di Departemen Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama perkuliahan penulis mengikuti kegiatan kursus Bahasa Jepang hingga level 3 pada tahun 2001 dan pada tahun 2003 menyelesaikan kursus Bahasa Mandarin hingga level 2 yang diselenggarakan oleh UPT Bahasa IPB. Berbagai pelatihan keprofesian yang diikuti penulis antara lain pelatihan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) untuk perikanan pada tahun 2002 dan Seminar Nasional Pangan Halal (Haram Analysis Critical Control Point) 2005.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ix 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ................................................................................... 1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lumpur Minyak ..................................................................................... 2 2.2 Bioremediasi .......................................................................................... 2 2.3 Fitoremediasi.......................................................................................... 4 2.4 Bunga Matahari (Helianthus annuus L.) ............................................... 10 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................ 12 3.2. Bahan dan Alat ...................................................................................... 12 3.2.1. Bahan ................................................................................................. 12 3.2.2. Alat ..................................................................................................... 12 3.3. Metode Penelitian ................................................................................. 13 3.3.1. Persiapan bahan .......................................................................... 13 3.3.2 . Uji toksisitas tanah hasil remediasi mikroba .............................. 14 3.4. Analisis Data ......................................................................................... 14 3.4.1. Perhitungan total minyak ............................................................ 14 3.4.2. Toksisitas tanah terhadap tanaman bunga matahari ................... 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Toksisitas dengan Tanaman Bunga Matahari......................... 17 4.1.1 Tinggi tanaman ............................................................................ 18 4.1.2 Jumlah daun ................................................................................. 20 4.2 Penurunan Kadar Minyak ...................................................................... 21 4.2.1 Penurunan kadar minyak dengan tanaman bunga matahari ........ 21 4.2.2 Penurunan kadar minyak pada proses bioremediasi dan fitoremediasi dengan tanaman caisim dan bunga matahari ......... 22 4.2.2.1 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan K ....................... 23
4.2.2.2 4.2.2.3 4.2.2.4 4.2.2.5 4.2.2.6
Pertumbuhan tanaman pada perlakuan 1A ..................... 24 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan 2A ..................... 26 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan 3A ..................... 28 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan 1B ..................... 29 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan 2B ..................... 30
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ............................................................................................ 32 5.2 Saran ...................................................................................................... 32 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 33 LAMPIRAN....................................................................................................... 35
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Hasil uji toksisitas tanah pada berbagai perlakuan ....................................... 17 2. Keterangan simbol perlakuan.........................................................................18
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi bioremediasi (Cookson 1995).................4 2. Skema fitoremediasi sebagai sistem pengurungan polutan (Cunningham dan Lee 1995)...........................................................................5 3. Skema fitoremediasi pada dekontaminasi tanah tercemar logam berat (Cunningham dan Lee 1995)...........................................................................8 4. Merek biji bunga matahari yang digunakan..................................................12 5. Tahapan proses yang dilakukan pada lumpur minyak..................................13 6. Skema proses remediasi lumpur minyak (Fatmawati 2003) ........................ 15 7. Tinggi tanaman bunga matahari (Helianthus annuus) setelah 30 hari..........18 8. Tinggi tanaman caisim (Brassica juncea) setelah 30 hari (Fatmawati 2003) ......................................................................................... 19 9. Jumlah daun tanaman bunga matahari (Helianthus annuus) setelah 30 hari.20 10. Jumlah daun tanaman caisim (Brassica juncea) setelah 30 hari (Fatmawati 2003) ......................................................................................... 21 11. Total hidrokarbon setelah 30 hari pada fitoremediasi bunga matahari..........22 12. Kandungan minyak hasil bioremediasi dan fitoremediasi .......................... 22 13. Pertumbuhan tanaman bunga matahari pada perlakuan K............................23 14. Pertumbuhan tanaman bunga matahari pada perlakuan 1A..........................26 15. Pertumbuhan tanaman bunga matahari pada perlakuan 2A..........................27 16. Jalur dekomposisi bahan organik (Rao 1994)...............................................30 17. Pertumbuhan tanaman bunga matahari pada perlakuan 2B..........................30
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Contoh perhitungan berat total minyak ......................................................... 36 2. Hidrokarbon total pada proses fitoremediasi ................................................ 37 3. Hidrokarbon total pada proses bioremediasi mikrobial ................................ 37 4. Hidrokarbon total pada proses bioremediasi dan fitoremediasi .................... 37
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya alam minyak bumi yang banyak tersebar di daratan dan lautan. Luasnya pemakaian dan penyimpanan bahan bakar minyak membuat minyak bumi menjadi pencemar utama terhadap lapisan tanah dan air tanah. Industri minyak bumi menghasilkan campuran hidrokarbon dengan berbagai macam karakteristik. Sumber-sumber kontaminasi dapat berupa fasilitas penyulingan, penyimpanan minyak mentah dan bahan bakar serta lumpur pengeboran. Kontaminasi minyak bumi seringkali berisi campuran hidrokarbon yang banyak. Tanah yang tercemari biasanya tidak dapat dimanfaatkan lagi untuk penghijauan. Keadaan ini tentu akan merugikan apabila dibiarkan berlarut-larut. Salah satu penanganan limbah yang relatif baru diterapkan adalah teknologi
fitoremediasi.
Menurut
Subroto
(1996),
fitoremediasi
dapat
didefenisikan sebagai upaya penggunaan tanaman sebagai sistem pengolahan hayati untuk menangani pencemaran lingkungan dan permasalahan limbah. Teknik fitoremediasi merupakan proses dekontaminasi yang lebih bersahabat dengan lingkungan serta lebih murah penanganannya. Bunga matahari (Helianthus annuus L.) merupakan salah satu jenis tanaman yang diduga memiliki ketahanan terhadap bahan-bahan polutan yang ada di dalam tanah lumpur minyak hasil bioremediasi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif tanaman yang dapat digunakan dalam proses fitoremediasi. 1.2 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas lumpur minyak hasil remediasi mikroba pada tanaman bunga matahari (Helianthus annuus L.) dalam perlakuan komposisi media antara campuran lumpur minyak dan tanah dengan penambahan kompos, NPK, serta urea.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lumpur Minyak Limbah adalah suatu bahan yang terbuang dari suatu sumber aktivitas manusia maupun proses alam yang tidak ataupun belum memiliki nilai ekonomis dan bahkan seringkali mempunyai nilai negatif. Hal ini dikarenakan penanganan untuk membuang dan membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar, disamping itu limbah dapat mencemari lingkungan (Murthado dan Said 1988). Limbah minyak bumi dapat berupa tumpahan, ceceran atau buangan dari minyak bumi maupun produk-produknya, minyak bekas pakai, minyak afkir dan minyak yang terkandung dalam limbah dari suatu kegiatan industri maupun rumah tangga. Limbah tersebut dalam jumlah tertentu akan menimbulkan masalah, bila dibiarkan akan mengganggu dan merusak ekosistem lingkungan. Apabila dibakar akan menimbulkan pencemaran di udara dan bila didaur ulang memerlukan teknologi dan biaya tinggi (Udiharto 1996). Lumpur minyak merupakan suatu bahan yang terbuang dari hasil pengeboran dan pengolahan minyak yang memiliki kadar minyak yang cukup tinggi. Lumpur minyak ini termasuk kategori hazardous waste karena mengandung aromatik hidrokarbon (BTEX) yang dikenal sebagai agen mutagenik dan karsinogenik. Selain itu lumpur minyak juga mengandung logam berat. 2.2 Bioremediasi Remediasi berasal dari kata remediate yang berarti memecahkan masalah, dan bio-remediasi berarti memanfaatkan agen biologis untuk memecahkan masalah lingkungan seperti tanah yang tercemar atau air tanah. Dalam lingkungan yang bebas polusi, bakteri, fungi, protista, dan mikroorganisme lain bekerja secara konstan menghancurkan bahan organik. Jika polutan organik seperti minyak mencemari lingkungan, beberapa dari organisme tersebut akan mati, sementara yang lainnya yang mampu mendegradasi polutan organik dapat hidup (Anonim 2003). Bioremediasi dilakukan dengan memberikan pupuk, oksigen dan kondisi lain yang mendorong organisme penghancur polusi untuk tumbuh pesat sehingga organisme ini dapat menghancurkan polutan organik secara berkelanjutan dan
lebih cepat. Kenyataannya bioremediasi sering digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak (Anonim 2003). Bioremediasi merupakan proses dimana bahan organik berbahaya didegradasi secara biologis menjadi senyawa lain misalnya CO2, metan, air, garam organik, biomassa dan hasil samping yang sedikit lebih sederhana dari senyawa semula. Bioremediasi dapat dilakukan langsung pada lingkungan tercemar
(in situ) melibatkan mikroflora dan biota lain yang ada pada
lingkungan tersebut. Sedangkan proses yang lain dilaksanakan di luar lingkungan tercemar atau membuat lingkungan baru berupa bioreaktor yang dikondisikan (ex situ) dengan menggunakan inokulan yang dapat mendegradasi kontaminan organik (Citroreksoko 1996). Penanganan secara biologis (bioremediasi) terutama dengan menggunakan mikroba dalam hal ini bakteri merupakan teknik yang ramah lingkungan dan relatif lebih murah. Bakteri yang memiliki kapasitas untuk mendegradasi senyawa yang
terdapat
dalam
petroleum
hidrokarbon
dikenal
sebagai
bakteri
hidrokarbonoklastik (Syakti 2004). Cookson (1995) mendata beberapa keuntungan dan kerugian bioremediasi. Keuntungan bioremediasi antara lain: 1) Dapat dilakukan secara in situ 2) Lebih murah karena menggunakan sistem biologi 3) Respon masyarakat lebih positif 4) Aman untuk jangka panjang 5) Gangguan terhadap area yang tercemar lebih minim 6) Menghilangkan biaya transportasi 7) Dapat digunakan bersamaan dengan teknik lain Sedangkan kerugian bioremediasi antara lain: 1) Beberapa bahan kimia tidak dapat diuraikan 2) Diperlukan pengawasan yang intensif 3) Memerlukan spesifikasi lahan 4) Toksisitas dari kontaminan 5) Memerlukan berbagai disiplin ilmu 6) Kemungkinan akan dihasilkan produk yang lebih toksik
Proses bioremediasi bergantung pada kemampuan organisme yang digunakan dan sistem yang dioperasikan. Proses ini bekerja optimal pada pH dan suhu tertentu, serta tersedianya nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan organisme (Citroreksoko
1996).
Menurut
Cookson
(1995),
proses
bioremediasi
membutuhkan beberapa faktor seperti yang terlihat pada Gambar 1.
Mikroorganisme
Sumber
Penerima
Energi
Elektron
Kelembaban Nutrisi Tidak adanya racun
pH Suhu
Metabolit yang dihasilkan
Organisme kompetitif
Bioremediasi Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi bioremediasi (Cookson 1995) 2.3 Fitoremediasi Fitoremediasi adalah upaya penggunaan tanaman dan bagian-bagiannya untuk dekontaminasi limbah dan masalah-masalah pencemaran lingkungan baik secara ex situ menggunakan kolam buatan atau reaktor maupun secara in situ pada tanah atau daerah yang terkontaminasi limbah. Proses fitoremediasi dapat dilakukan dengan menggunakan tanaman secara langsung, dengan menggunakan ekstrak tanaman yang mengandung berbagai enzim degradator maupun dengan menggunakan kultur jaringan tanaman terutama untuk penanganan air limbah dengan menggunakan sistem lahan basah, lahan alang-alang dan tanaman apung (Subroto 1996). Tujuan utama fitoremediasi dalam menangani polutan organik adalah merombak secara sempurna polutan organik menjadi unsur yang relatif non toksik seperti CO2, nitrat, klorin dan amonia (Meagher 2000).
Menurut Subroto (1996), konsep fitoremediasi lebih berkembang dengan aplikasi baru untuk dekontaminasi tanah yang tercemar oleh senyawa-senyawa organik atau anorganik. Perkembangan yang pesat di bidang penelitian fitoremediasi tidak lepas dari kemajuan di bidang biologi molekuler, rekayasa genetika, dan teknologi enzim. Tanaman dipilih berdasarkan daya toleransi, sifat-sifat tumbuhan, struktur perakaran, kecepatan transpirasi dan/atau mengurangi translokasi kontaminan ke bagian atas
Mengurangi erosi pada tanah
Pengasingan di dalam akar
Menambah perbaikan tanah dan menambah tanaman
Mengurangi bioaviliabilitas logam dan leachability
Penyerapan air dan kontaminan pada akar
Mengurangi potensi leaching
Gambar 2 Skema fitoremediasi sebagai sistem pengurungan polutan (Cunningham dan Lee 1995) Beberapa jenis tanaman memiliki kemampuan untuk bertahan dari konsentrasi senyawa organik dan anorganik yang tinggi tanpa pengaruh sifat toksik, juga dapat merubah dan mendegradasi senyawa organik atau merubah senyawa anorganik yang bersifat toksik menjadi senyawa yang sifat toksiknya lebih berkurang. Tanaman memperlihatkan potensinya untuk menangani kontaminan logam dengan cara fitoekstraksi (mengambil dan merombak kontaminan menjadi biomassa dalam tanah), rhizofiltrasi (memfilter logam dari air ke sistem akar), dan fitostabilisasi yaitu menstabilkan sampah dengan kontrol erosi dan evapotranspirasi dalam jumlah yang besar (Schnoor 1997). Gambar 2 menerangkan strategi pengurungan polutan dalam fitoremediasi. Dalam remediasi ini, mobilitas kontaminan dapat dikurangi dengan memberikan bahan-bahan yang menambah perbaikan tanah sehingga solubilitas kontaminan menurun. Bahan-bahan yang menambah perbaikan tanah ini meliputi agen-agen alkali, fosfat, dan bahan organik yang dirancang untuk mengurangi kelarutan bahan-bahan toksik.
Fitoremediasi
dilaporkan
dapat
digunakan
dalam
limbah
yang
mengandung petroleum hidrokarbon seperti benzene, toluene, ethylbenzene dan xylene (BTEX) dan polycyclic aromatic hydrokarbons (PAHs), pentachloroenol, polychlorinated
biphenils
(PCBs),
chlorinated
alifatik
(trichloroethylen,
tetrachloroethylen dan 1.1.2.2.-tetrachloroethane), limbah pestisida (atrazine, cyanazine, alachlor) (Schnoor 1997). Spesies
tanaman
Populus L, Salix L.
yang
digunakan
pada
fitoremediasi
yaitu
Jenis rumput-rumputan (Secale cereale, Festuca L.,
Scirpus L), kacang-kacangan (Medicago sativa dan Vigna unguiculata) serta hiperakumulator logam berat (Helianthus annuus L., Brassica juncea dan Thlaspi spp) (Schnoor 1997). Secara
umum
aplikasi
fitoremediasi
untuk
penanganan
masalah
pencemaran tanah dapat ditempuh melalui dua pendekatan yaitu melalui proses fitodekontaminasi dan proses fitostabillisasi. Proses fitodekontaminasi dapat berupa fitoekstraksi atau fitotransformasi (Schnoor 1997). 1) Fitotransformasi Miller (1996) mengatakan bahwa fitotransformasi atau fitodegradasi yaitu proses degradasi kontaminan organik kompleks menjadi molekul sederhana yang kurang toksik atau nontoksik oleh jaringan tanaman. Fitodegradasi adalah proses dimana tanaman beserta mikroflora yang terkait mengubah polutan yang ada menjadi senyawa tidak berbahaya. Teknik ini mengandalkan kemampuan tanaman secara internal untuk melakukan metabolisme dalam mengubah polutan yang berbahaya menjadi senyawa yang aman untuk kemudian disimpan dalam struktur tanaman atau diuapkan melalui daun dan tunas. Proses ini memungkinkan adanya pelepasan beberapa enzim spesifik tanaman ke lingkungan sekitar untuk kemudian melakukan proses degradasi. 2) Rhizosper Fitoremediasi rhizosper meningkatkan karbon organik tanah, bakteri dan jamur mikorhiza
yang kesemuanya dapat menunjang proses
degradasi kimia organik dari tanah. Bioremediasi rhizosper dikenal juga sebagai fitostimulasi atau bioremediasi dengan bantuan tanaman.
Jordahl et al. (1997) menemukan sejumlah bakteri yang bermanfaat meningkat pada zona akar pohon poplar hibrida. Bakteri tersebut adalah denitrifier Pseudomonas spp., organisme pendegradasi BTEX dan bakteri heterotrop. Tanaman juga dapat melepaskan eksudat ke dalam lingkungan tanah yang dapat membantu menstimulasi proses pendegradasian bahan organik, menstimulasi pertumbuhan dari spesies baru yang mampu meningkatkan konsentrasi substrat yang dapat larut untuk semua mikroorganisme. Schnoor (1997) mengatakan bahwa para peneliti di laboratorium EPA, Athena, Georgia telah menguji lima sistem enzim tanaman pada sedimen dan tanah yaitu dehalogenase, nitroreduktase, peroksidase, laccase dan nitrilase. Enzim dehalogenase penting pada reaksi deklorinasi pada klorinasi hidrokarbon. Nitroreduktase dibutuhkan pada langkah pertama untuk mendegradasi nitro aromatik, pada saat enzim laccase bergantian untuk memecahkan struktur cincin aromatik pada kontaminan organik. Peroksida dan nitrilase penting pada reaksi oksidasi. Mereka juga telah mengkarakterisasikan distribusi berat molekul eksudat organik dari sistem akar pohon poplar hibrida. eksudat meliputi rantai pendek asam organik, fenolik dan konsentrasi kecil dari komponen berat molekul tinggi (enzim dan protein). 3) Fitoekstraksi Fitoekstraksi adalah suatu proses dimana tanaman mengakumulasi kontaminan pada daun atau tunas untuk selanjutnya dipanen secara periodik. Teknik fitoekstraksi secara lebih jelas diterangkan melalui Gambar 3.
Proses paska panen dari kontaminan dapat dilakukan
melalui ekstraksi secara termal dengan mikroba atau secara kimia. Fitoekstraksi terutama ditujukan untuk kontaminan dalam bentuk logam berbahaya seperti Cd dan Hg. Perhitungan ekonomi menunjukkan bahwa tanaman yang digunakan harus mampu mengakumulasi logam berat paling tidak 1-2% dari berat kering. Hal ini menjadi pembatas karena kebanyakan tanaman hanya mampu
mengakumulasi logam berat sekitar 10-5–10-2 % dari berat kering (Cunningham et al 1995). Saat ini hanya dikenal beberapa spesies tanaman yang mampu menjadi hiperakumulator
logam
berat.
Sebagai
contoh
adalah
Sebertia accuminata yang mampu mengakumulasi 25 % nikel per berat kering dan Thlaspi caerulescens yang dapat mengakumulasi seng sampai 4 % tanpa adanya kerusakan jaringan. Namun aplikasi dari tanaman hiperakumulator logam berat tersebut telah mengalami kesulitan karena 3 hal yaitu (1) hiperakumulator seringkali hanya mengakumulasi elemen tertentu; (2) kebanyakan dari hiperakumulator tumbuh lambat dan mempunyai biomassa rendah; (3) kebanyakan hiperakumulator adalah tanaman langka yang ditemukan di tempattempat terpencil sehingga belum diketahui potensinya yang berkaitan dalam hal-hal pembudidayaannya (Cunningham et al 1995).
Hasil panen
Translokasi ke bagian atas
Proses biomassa untuk reklamasi logam/pembuangan secara aman
Penyerapan dari akar
Penyerapan unsur kimia dan mikroba dari tanah
Menambah perbaikan tanah yang memungkinkan tanaman untuk tumbuh, mengurangi polutan leachabilitas dan meningkatkan daya tahan tanaman
Gambar 3 Skema fitoremediasi pada dekontaminasi tanah tercemar logam berat (Cunningham dan Lee 1995) Teknik fitoekstraksi akan lebih bernilai dibandingkan dengan cara tradisional apabila logam yang diekstrak merupakan logam yang bermanfaat secara komersial seperti nikel dan tembaga. Teknik ini juga lebih ekonomis untuk senyawa anorganik dalam bentuk volatil seperti
selenium dalam bentuk dimetil selenium karena dapat menghilangkan tahap pemanenan dan pengolahan paska panen. 4) Fitostabilisasi Fitostabilisasi
merupakan
proses
dimana
polutan
mengalami
presipitasi, diserap dalam jaringan tanaman atau matriks tanah. Proses ini terutama ditujukan untuk polutan dalam bentuk logam berat dan pada lahan yanng luas. Teknik ini secara luas telah dipakai pada lahan pertambangan dan beberapa area di kota dan industri yang tercemar. Ada 3 kemungkinan mekanisme yanng umum terjadi pada proses fitostabilisasi yaitu (1) reaksi redoks; (2) presipitasi kontaminan menjadi bentuk endapan; (3) pengikatan bahan-bahan organik ke dalam bagian lignin tanaman (Cunningham dan Ow 1996). 5) Rhizofiltrasi Rhizofiltrasi adalah penggunaan akar tanaman untuk mengasorbsi, mengumpulkan dan presipitasi kontaminan logam dari permukaan atau air tanah. Akar tanaman mampu mengasorbsi secara besar timah dan chromium dari air tanah maupun dari air yang mengalir melalui zona akar dari vegetasi yang tumbuh padat. Potensinya untuk penanganan kontaminan-kontaminan radionuklir mendapatkan perhatian yang besar. Rhizofiltrasi telah dimanfaatkan oleh Phytotech® dengan menggunakan tanaman bunga matahari pada pilot project Departemen Energi Amerika Serikat (DOE) dengan limbah uranium di Ashtabula, Ohio serta pada air dari kolam dekat pabrik nuklir Chernobyl, di Ukraina. Delta yang dangkal telah didesain sebagai lahan basah dan dipelihara sebagai sistem mikroba fakultatif dengan oksigen terlarut yang rendah dalam sedimen. Air tanah atau air limbah dipompakan melalui sistem ini untuk memindahkan kontaminan-kontaminan dengan menggunakan rhizofiltrasi. Hal ini umumnya ditujukan untuk logam atau limbah campuran, namun teknologi ini dapat juga diterapkan pada limbah amunisi. 2,4,6-Trinitrotoluene (TNT) adalah kontaminan organik yang
dapat diserap oleh perakaran dengan kuat dan tidak mengalami translokasi pada derajat yang terukur (Schnoor 1997). 2.4 Bunga Matahari (Helianthus annuus L.) Bunga matahari berasal dari Amerika Utara, bersifat perdu dan memiliki saluran-saluran getah atau kelenjar-kelenjar minyak. Tanaman ini termasuk salah satu tanaman industri penting penghasil minyak nabati di dunia. Tanaman bunga matahari bersifat profandus yaitu benangsari masak terlebih dahulu sebelum putiknya.
Perkembangbiakannya melalui penyilangan antar tanaman dengan
bantuan serangga penyerbuk (Hirsinger 1990). Menurut Tjitrosoepomo (1999), klasifikasi tanaman bunga matahari (Helianthus annuus L.) adalah sebagai berikut: Divisio: Plantae Classis: Dycotyledon Ordo: Dyallipetalae Familia: Compositae Genus: Helianthus Species: Helianthus annuus L. Bunga matahari merupakan tanaman semusim dengan masa tumbuh 3,5-4,5 bulan (McAllister dan Suan 1970). Tingginya dapat mencapai 1-6 m dan
pertumbuhannya
tidak
dipengaruhi
oleh
fotoperiodisitas
(Chapman dan Carter 1975). Pertumbuhan terbaik pada temperatur diatas 10°C, meskipun demikian tanaman ini tahan pada suhu lebih rendah (Purseglove 1981). Tanah bukan merupakan faktor yang mutlak bagi bunga matahari sehingga dapat ditanam pada berbagai jenis tanah (Arnon 1972; Chapman dan Carter 1975; Purseglove 1981). Meskipun demikian menurut Kipps (1970), hasil tertinggi pada tanaman ini diperoleh jika ditanam pada tanah yang kaya akan unsur hara. Tanaman ini mempunyai daun tunggal, duduk daun berhadapan, jarang, dan tersebar. Rangkaian bunganya berbentuk cawan dengan dua macam bunga berdasarkan kelamin yaitu bunga steril terletak di tepi, biasanya berwarna kuning dan bunga hermaprodit yang terletak di bagian tengah, biasa berwarna hitam kecoklatan dan bentuknya kecil. Benangsari berlekatan satu dengan lainnya berjumlah lima dan melekat pada korola. Bakal buah tenggelam, beruang satu
dengan satu bakal biji. Tangkai putik satu dengan dua kepala putik. Buahnya termasuk buah kurung, bijinya berlekatan dengan dinding buah tanpa endosperma, kuncup bunga terbungkus rapat dalam daun pembalut yang berwarna hijau (Tjitrosoepomo 1999). Bunga matahari sebagai tanaman fitoremediasi memiliki keunggulan. Percobaan Rhizofiltrasi pada kolam dekat bencana nuklir di Chernobyl, Ukraina menggunakan tanaman bunga matahari berhasil mereduksi 90 % kontaminankontaminan 137Cs dan 90Sr dalam 2 minggu. Percobaan Rhizofiltrasi menggunakan tanaman bunga matahari juga diaplikasikan dalam penanganan limbah energi Departemen Energi Amerika Serikat dengan berhasil memindahkan 95 % uranium dalam 24 jam dari 350 ppb menjadi kurang dari 5 ppb (Schnoor 1997).
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari sampai Maret 2003 di Laboratorium Mikrobiologi, Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Bahan dan Alat 3.2.1. Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah biji bunga matahari (Helianthus annuus) merek Yates, tanah, air, lumpur minyak dari Balikpapan dan Lawe Lawe yang telah mengalami proses bioremediasi menggunakan bakteri Pseudomonas aeruginosa, Arthrobacter simplex serta mikroalga Chlorella sp, kapur, kompos, NPK, urea, serbuk gergaji, kloroform, dan aquades.
Gambar 4 Merek biji bunga matahari yang digunakan 3.2.2. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain autoclave, allumunium foil, clean bench, cawan petri, gelas ukur, kertas saring, neraca analitik, pipet, tabung reaksi, vortex, dan pot.
3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Persiapan Bahan Pada penelitian ini digunakan lumpur minyak dari Lawe Lawe dan Balikpapan yang telah mengalami proses bioremediasi dan fitoremediasi (caisim) dari penelitian sebelumnya (Fatmawati 2003). Gambar 5 menunjukkan tahapan proses yang dilakukan pada lumpur minyak yang digunakan dalam penelitian ini.
Lumpur minyak
Mikrobial bioremediasi selama 120 hari
Fitoremediasi oleh bayam ( Amarathus tricolor), namun tidak berhasil tumbuh
Fitoremediasi oleh Caisim (Brassica juncea) selama 30 hari
Fitoremediasi oleh Bunga matahari (Helianthus annuus L) selama 30 hari
Gambar 5 Tahapan proses yang dilakukan pada lumpur minyak Prosedur
kerja
mikrobial
bioremediasi
adalah
sebagai
berikut;
Masing-masing lumpur minyak dimasukkan dalam bak plastik dengan label K, 1A, 2A, 3A, 1B, 2B setelah ditimbang sebanyak 6 x 200 gram. Pada setiap bak plastik tersebut ditambahkan kompos, NPK, urea, serbuk gergaji. Untuk limbah dari Balikpapan yang belum dikapur (1A dan 1B) ditambahkan kapur. Bakteri Pseudomonas sp. (10 ml) dan Arthrobacter sp. (10 ml) dalam media cair dituangkan pada bak 1A, 2A, 3A, 1B, 2B. Mikroalga (Chlorella) sebanyak 10 ml ditambahkan pada perlakuan 1B, 2B. Semua wadah ditutup dengan alumunium foil yang telah dilubangi. Lumpur minyak dijaga kelembabannya 50-90 % dengan menambahkan aquades jika terlalu kering dijaga pH nya agar tetap 7.
Analisis kandungan minyak dilakukan dengan ekstraksi kloroform terhadap campuran lumpur minyak pada hari ke-0 dan ke-120. Ekstrak minyak disaring dengan kertas saring dan dikeringkan dengan udara sehingga dapat diketahui berat minyak total (Fatmawati 2003).
3.3.2. Uji toksisitas tanah hasil remediasi mikroba Uji toksisitas dilakukan dengan tanaman bunga matahari pada tanah yang telah mengalami mikrobial bioremediasi selama 120 hari serta fitoremediasi oleh tanaman bayam dan caisim selama 30 hari. Pada penelitian sebelumnya yaitu proses fitoremediasi oleh tanaman bayam, dilakukan pencampuran lumpur minyak (hasil mikrobial bioremediasi) dengan tanah menggunakan perbandingan 1:1.
Hasil yang didapat tidak bagus (tanaman bayam tidak tumbuh), maka
dilakukan penambahan kompos, NPK, urea pada fitoremediasi oleh tanaman caisim (Fatmawati 2003). Gambar 6 menjelaskan komposisi media pada proses fitoremediasi dan mikrobial bioremediasi. Media pada saat fitoremediasi dengan komposisi seperti terlihat pada Gambar 6 ini kemudian digunakan dalam uji toksisitas tanah menggunakan
tanaman bunga matahari.
Tahap proses uji
toksisitas tanah dengan tanaman bunga matahari adalah sebagai berikut: 1) Pengukuran kandungan minyak awal dari keenam campuran tersebut, yaitu perlakuan K, 1A, 1B, 2A, 2B dan 3A. 2) Masing-masing campuran tanah dibagi ke dalam 3 wadah (ulangan). 3) Setiap ulangan ditanami 3 biji tanaman bunga matahari. 4) Masing-masing perlakuan ditumbuhkan selama 30 hari. 5) Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun. 6) Pengukuran kembali kandungan minyak dalam tanah pada hari ke-30. 3.4. Analisis Data 3.4.1. Perhitungan total minyak Penurunan total kandungan minyak ditentukan selama 30 hari. Prosentase total kandungan minyak diplotkan terhadap waktu. Untuk mengukur kadar minyak digunakan metode gravimetri (Udiharto 1996) yaitu sebagai berikut:
Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kloroform sebanyak 15 ml ditambahkan ke dalam tabung reaksi tersebut lalu divortex. Sampel disaring ke dalam cawan petri dengan menggunakan kertas saring. Sebelum dilakukan penyaringan, cawan petri kosong ditimbang beratnya (Y). Penyaringan dilakukan 3 kali. Hasil saringan diuapkan dalam ruang asam sampai mengering. Kemudian ditimbang beratnya (X). Berat total hidrokarbon diplotkan terhadap waktu. X-Y Berat total minyak (g/100g) =
x 100 gram 5 g sampel
Contoh perhitungan berat total minyak disajikan pada Lampiran 1.
3.4.2. Toksisitas tanah terhadap tanaman bunga matahari Toksisitas lumpur minyak hasil remediasi mikroba ditentukan dengan daya tumbuh tanaman pada campuran lumpur dengan mengukur tinggi tanaman dan jumlah daun.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Uji Toksisitas dengan Tanaman Bunga Matahari Uji toksisitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui daya tahan tanaman pada media yang sudah mengalami proses bioremediasi.
Hasil uji
toksisitas tanah dengan berbagai perlakuan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil uji toksisitas tanah pada berbagai perlakuan
Perlakuan Kontrol (0) K
1A
1B
Perlakuan Bioremediasi
Uji Toksisitas
Kandungan Minyak (g/100 g) Fito Fito awal akhir Selisih (H0) (H30) (Ho-H30)
Tanah tanpa sludge Sludge: (-)bakteri (+)kapur(asal) (-)mikroalga Balikpapan Sludge: (+)bakteri (-)kapur(asal) (+)kapur 5% Balikpapan Sludge: (+)bakteri (+)mikroalga (-)kapur(asal) (+)kapur 5% Balikpapan
2A
Sludge: (+)bakteri (+)kapur(asal) Balikpapan
2B
Sludge: (+)bakteri (+)mikroalga (+)kapur(asal) Balikpapan
Daya Tumbuh (%)
77 1 vol tanah: 2/3 vol kompos
0,496
0,27
0,226
100
1 vol tanah: 1 vol kompos
2,364
1,366
0,998
44
3,744
2,996
0,748
0
1,25
1,112
0,138
88
1,964
1,438
0,526
11
1 vol tanah: 1% NPK dan 1% urea
1 vol tanah: 1/2 vol kompos
1 vol tanah: 0,5% NPK dan 0,5% urea
1 vol tanah: Sludge: 1/3 vol 2,624 2,502 0,122 0 (+)bakteri kompos Lawe Lawe Keterangan : % menunjukkan jumlah biji yang tumbuh dari 3 biji yang ditanam dengan 3 kali 3A
ulangan (jumlah total 9 biji)
Pada Tabel 1 dapat dilihat pertumbuhan yang paling bagus adalah pada perlakuan K dengan daya tumbuh 100 % dan perlakuan 2A dengan daya tumbuh 88 %.
Pertumbuhan pada perlakuan 1A hanya 44 %, perlakuan 2B 11 %,
sedangkan pada perlakuan 1B dan 3A tidak tumbuh sama sekali.
Hasil uji
toksisitas diketahui melalui kemampuan tanaman untuk dapat tumbuh secara normal. Pada penelitian ini kemampuan tumbuh tanaman dilihat dari parameter tinggi tanaman dan jumlah daun yang ada. 4.1.1 Tinggi tanaman Uji toksisitas dengan tanaman bunga matahari ini, dilakukan pada lumpur minyak yang sebelumnya telah ditanami dengan tanaman bayam dan caisim. Keterangan simbol perlakuan disajikan pada Tabel 2.
Tinggi Tanaman Bunga Matahari (cm )
16 14 12 10 8 6 4 2 0 (O)1 (O)2 (O)3 K1
K2
K3 1A1 1A2 1A3 1B1 1B2 1B3 2A1 2A2 2A3 2B1 2B2 2B3 3A1 3A2 3A3 Perlakuan Rem ediasi Lum pur Minyak biji ke-1
biji ke-2
biji ke-3
Gambar 7 Tinggi tanaman bunga matahari (Helianthus annuus) setelah 30 hari Tabel 2 Keterangan simbol perlakuan Perlakuan Bakteri Mikroalga Kapur Asal lumpur minyak NPK Urea Kompos
O (kontrol)
K
1A
1B
2A
2B
3A
+ -
-
-
+ -
+ +
+ -
+ +
In situ
Ex situ 5%
Ex situ 5%
In situ
In situ
-
Balikpapan
Balikpapan
Balikpapan
Balikpapan
Balikpapan
-
-
-
1%
-
0,5%
1%
0,5%
-
2/3 vol tanah
1 vol tanah
-
½ vol tanah
-
1/3 vol tanah
Lawe Lawe
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tanaman bunga matahari yang ditanam pada media K mengalami pertumbuhan tinggi tanaman yang terbaik dibanding dengan tanaman-tanaman yang menggunakan media lain.
Hal ini
kemungkinan disebabkan karena kadar residu minyak yang rendah pada tanah. Kadar minyak yang rendah berkorelasi dengan semakin rendahnya toksisitas terhadap tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh. Tabel 1 menunjukkan kadar minyak pada awal fitoremediasi perlakuan K adalah sebesar 0,496 g/100 g, lebih kecil dibandingkan dengan pada perlakuan lainnya yang melebihi 1 g/100 g. Sedangkan biji bunga matahari yang ditanam pada media 1B dan 3A tidak mengalami pertumbuhan. Hal ini disebabkan karena tingginya kadar minyak pada awal fitoremediasi. Pada perlakuan 1B kadar minyak sebesar 3,744 g/100 g, sedangkan pada perlakuan 3A adalah sebesar 2,624 g/100 g.
Tinggi Tanam an Caisim (cm )
14 12 10 8 6 4 2 0 (O)1 (O)2 (O)3 K1
K2
K3 1A1 1A2 1A3 1B1 1B2 1B3 2A1 2A2 2A3 2B1 2B2 2B3 3A1 3A2 3A3 Perlakuan Remediasi Lumpur Minyak biji ke-1
biji ke-2
biji ke-3
biji ke-4
biji ke-5
biji ke-6
Gambar 8 Tinggi tanaman caisim (Brassica juncea) setelah 30 hari (Fatmawati 2003) Penelitian sebelumnya (Fatmawati 2003) yang menggunakan tanaman caisim pada uji toksisitas, tampak dalam Gambar 8 perlakuan K mengalami pertumbuhan tinggi yang relatif seragam. Sedangkan pada perlakuan O yang merupakan tanah kontrol menunjukkan pertumbuhan (tinggi tanaman) terbaik, akan tetapi pertumbuhan tinggi tidak seragam. memperlihatkan adanya pertumbuhan
Perlakuan 1A dan 2B
tinggi yang rendah.
Sementara pada
perlakuan 1B dan 3A tidak terdapat tanaman caisim yang tumbuh. Perlakuanperlakuan yang mengalami pertumbuhan tanaman dan yang tidak berhasil tumbuh
pada penelitian menggunakan tanaman bunga matahari maupun tanaman caisim adalah perlakuan-perlakuan yang sama.
4.1.2 Jumlah daun Gambar 9 di bawah memperlihatkan bahwa jumlah daun bunga matahari paling banyak terdapat pada perlakuan K dan 2A. Pada perlakuan 2A jumlah daun yang tumbuh lebih banyak dan merata per tanaman, tetapi ada 1 biji yang tidak tumbuh. Hal ini dapat dikarenakan faktor biji tersebut yang mungkin sudah dalam kondisi tidak bagus sehingga gagal tumbuh. Sementara pada perlakuan 3A dan 1B sama sekali tidak ada pertumbuhan.
Jumlah Daun Tanaman Bunga Matahari
12 10 8 6 4 2 0 (O)1 (O)2 (O)3 K1
K2
K2 1A1 1A2 1A3 1B1 1B2 1B3 2A1 2A2 2A3 2B1 2B2 2B3 3A1 3A2 3A3 Perlakuan Rem ediasi Lum pur Minyak biji ke-1
biji ke-2
biji ke-3
Gambar 9 Jumlah daun tanaman bunga matahari (Helianthus annuus) setelah 30 hari Gambar 10 juga memperlihatkan pada perlakuan K, pertumbuhan jumlah daun cenderung seragam. Perlakuan O sebagai kontrol, yaitu tanah biasa yang tidak mengandung lumpur minyak menampakan pertumbuhan daun yang cukup bagus, tetapi tidak semua biji tanaman caisim yang ditanam mengalami pertumbuhan. Pada perlakuan 2A jumlah daun yang tumbuh serta jumlah biji yang berhasil tumbuh hampir serupa dengan perlakuan O. Sementara perlakuan 1A dan 2B mengalami pertumbuhan jumlah daun yang terhambat, juga jumlah biji yang tumbuh sangat sedikit.
Jumlah Daun Tanaman Caisim
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 (O)1 (O)2 (O)3 K1
K2
K3 1A1 1A2 1A3 1B1 1B2 1B3 2A1 2A2 2A3 2B1 2B2 2B3 3A1 3A2 3A3 Perlakuan Rem ediasi Lum pur Minyak
biji ke-1
biji ke-2
biji ke-3
biji ke-4
biji ke-5
biji ke-6
Gambar 10 Jumlah daun tanaman caisim (Brassica juncea) setelah 30 hari (Fatmawati 2003)
4.2. Penurunan Kadar Minyak Hasil perhitungan total minyak selama 30 hari pada proses fitoremediasi terdapat pada Lampiran 2 dan Gambar 11. Proses remediasi bertujuan untuk menurunkan kadar minyak pada lumpur minyak. Pada penelitian ini digunakan model tanaman bunga matahari karena merupakan tanaman hiperakumulator logam berat. Tanaman bunga matahari, indian mustard, barley, crucifers dan dandelion merupakan tipe tanaman fitoremediasi yang bekerja secara fitoekstrasi pada media tanah yang terkontaminasi logam berat (Pb, Cd, Zn, Ni dan Cu) (Schnoor 1997). 4.2.1 Penurunan kadar minyak dengan tanaman bunga matahari Hasil pengamatan kandungan minyak pada hari ke-0 dan hari ke-30 menunjukkan penurunan (Gambar 11). Persentase penurunan dari masing-masing perlakuan kemungkinan diakibatkan oleh semakin berkurangnya persediaan nutrien (N, P, K). Nutrien sebagai sumber energi menjadi faktor pembatas dalam proses pendegradasi senyawa hidrokarbon minyak bumi sehingga ketersediaan nutrien harus terjaga. Persentasi penurunan yang paling besar adalah pada perlakuan 1A. Hal ini disebabkan karena ketersedian nutrisi yang lebih banyak yang berasal dari penambahan kompos sebesar 1 volume tanah. Sumber N, P, K dari kompos digunakan sebagai sumber nutrien oleh mikroorganisme pendegradasi dan juga
digunakan untuk memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan porositas tanah yang menyebabkan difusi oksigen ke dalam lebih baik.
Hal ini
menyebabkan mikroorganisme pendegradasi dapat bekerja optimal.
4 Total Hidrokarbon (g/100g)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 K
1A
1B
2A
2B
3A
Perlakuan Remediasi Lumpur Minyak Hidrokarbon pada Fitoremediasi awal (H0)
Hidrokarbon pada Fitoremediasi akhir (H30)
Gambar 11 Total hidrokarbon setelah 30 hari pada fitoremediasi bunga matahari
4.2.2 Penurunan kadar minyak pada proses bioremediasi dan fitoremediasi dengan tanaman caisim dan bunga matahari Grafik kandungan minyak hasil proses bioremediasi dan fitoremediasi oleh tanaman caisim dan bunga matahari disajikan pada Gambar 12 dan Lampiran 3.
Kandungan Minyak (g/100 g)
14 12 10 8 6 4 2 0 K
1A
1B
2A
2B
3A
Perlakuan HKT H0 pada bioremediasi mikrobial (g/100 g) HKT fitoremediasi antara caisim dan bunga matahari (g/100 g)
HKT H120 pada bioremediasi HKT fitoremediasi awal oleh mikrobial (g/100 g) caisim (g/100 g) HKT fitoremediasi akhir oleh Keterangan : HKT : Hidrokarbon Total; H0 & H120 : Hari ke-0 & ke-120 bunga matahari (g/100 g)
Gambar 12 Kandungan minyak hasil bioremediasi dan fitoremediasi
Dari Gambar 12 dapat dilihat bahwa pada setiap perlakuan dalam fitoremediasi yang menggunakan tanaman caisim mengalami penurunan kadar minyak. Penurunan kadar minyak tertinggi dapat dilihat pada perlakuan 1A. Hal yang sama terjadi pada fitoremediasi dengan menggunakan tanaman bunga matahari.
Pada fitoremediasi yang menggunakan tanaman caisim penurunan
kadar minyaknya sebesar 4,036 g/100 g sedangkan pada bunga matahari adalah sebesar 0,998 g/100 g. Penurunan kandungan minyak pada bunga matahari yang cenderung lebih kecil dibandingkan dengan penurunan minyak pada caisim kemungkinan besar adalah akibat semakin menipisnya keberadaan sumber nutrien seperti nitrogen, fosfor dan kalium sebagai bahan makanan mikroorganisme pendegradasi. Hal ini terjadi karena media yang digunakan pada bunga matahari adalah media setelah digunakan oleh caisim. 4.2.2.1 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan K Kandungan minyak pada perlakuan K mengalami penurunan dari 0,496 g/100 g pada awal fitoremediasi menjadi 0,27 g/100 g pada fitoremediasi akhir. Tanaman bunga matahari dapat tumbuh karena kandungan minyak yang rendah di awal fitoremediasi. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 7, Gambar 8 serta Gambar 13. Pada perlakuan ini bunga matahari mengalami daya tumbuh yang paling bagus, karena semua biji yang ditanam tumbuh 100 % dengan jumlah daun dan tinggi tanaman yang paling baik diantara perlakuan lainnya.
Gambar 13 Pertumbuhan tanaman bunga matahari pada perlakuan K Pemberian kompos sebanyak 2/3 volume menambah indigenous bakteri. Aktivitas mikroba dalam kompos mengkonversikan bahan-bahan organik yang
terdapat dalam lumpur minyak. Bahan organik yang telah terkompos dengan baik selain kaya akan nutrisi bagi tanaman tetapi juga berperan besar terhadap perbaikan sifat-sifat tanah. Murbandono (1994) menjelaskan bahwa pada proses pengomposan terjadi perubahan protein melalui amida-amida dan asam amino menjadi amoniak. Amoniak ini dapat mengalami tiga hal yaitu digunakan oleh mikroba untuk berkembang biak, sebagian hilang melalui penguapan dan sebagian lagi diubah menjadi nitrat. Pemberian kapur secara in situ juga mempengaruhi lumpur minyak sehingga lebih optimum untuk pertumbuhan bakteri yang pada akhirnya mempengaruhi keberhasilan proses pendegradasian minyak pada proses mikrobial remediasi serta fitoremediasi oleh tanaman caisim dan bunga matahari. Menurut Hakim et al. (1986), ketersediaan unsur hara yang cukup dipengaruhi oleh pH. Beberapa unsur hara tidak tersedia pada pH yang ekstrim, dan beberapa unsur lainnya berada pada tingkat toksik.
Pada umumnya, proses mineralisasi dan
nitrifikasi berkaitan erat dengan kegiatan jasad mikro. Pada umumnya, bakteri dan aktinomisetes berfungsi lebih baik pada tanah mineral ber-pH sedang hingga tinggi. Kegiatan mereka berkurang bila pH turun lebih rendah dari 5,5. Nitrifikasi dan fiksasi N berlangsung cepat pada tanah mineral ber-pH lebih dari 5,5 (Hakim et al. 1986). Ditinjau dari segala segi, tanah ber-pH antara 6 dan 7 merupakan tanah yang baik.
Suasana biologi dan
penyediaan hara umumnya berada pada tingkat terbanyak pada kisaran pH tersebut. 4.2.2.2 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan 1 A Berdasarkan Tabel 1, perlakuan 1A mengalami penurunan kadar minyak dari 2,364 g/100 g pada awal fitoremediasi menjadi 1,366 g/100 g pada akhir fitoremediasi. Penambahan kompos yang sebanding dengan tanah, yaitu satu banding satu pada awal proses fitoremediasi caisim (Fatmawati 2003) paling besar menurunkan kadar minyak, yaitu sebesar 4,036 g/100g. Penurunan kadar minyak masih berlanjut pada proses fitoremediasi bunga matahari, yang dapat dilihat dengan berhasil menurunkan kadar minyak paling besar yaitu sebesar 0,998 g/100 g.
Hubungan antara bahan organik dan pertumbuhan tanaman terjadi baik secara langsung atau tidak langsung. Bahan organik merupakan substrat alami untuk mikroorganisme saprofitik dan secara tidak langsung memberikan nutrisi bagi tanaman melalui kegiatan mikroorganisme tanah. Bahan organik berperan penting dalam pembentukan agregat tanah dan yang selanjutnya menentukan struktur tanah (Rao 1994). Menurut Hakim et al. (1986) bahan organik akan meningkatkan daya jerap dan kapasitas tukar kation, kation yang mudah dipertukarkan meningkat; unsur N, P, S diikat dalam bentuk organik atau dalam tubuh mikroorganisme, sehingga terhindar dari pencucian. Bahan organik juga berpengaruh pada biologi tanah, yaitu dalam meningkatkan jumlah dan aktivitas metabolik organisme tanah sehingga kegiatan jasad mikro dalam membantu dekomposisi bahan organik juga meningkat. Kompos yang segar masih tinggi C/N rasionya. penguraian perlu dilakukan untuk menurunkan C/N rasio.
Untuk itu, proses Aplikasi kompos
dengan C/N rasio yang masih tinggi ke tanah akan mengganggu pertumbuhan tanaman (Ismawati 2003).
Nilai C/N merupakan hasil perbandingan antara
sumber C (karbon) dengan N (nitrogen). Nilai C/N tanah sekitar 10-12. Apabila bahan organik memiliki kandungan C/N mendekati atau sama dengan C/N tanah maka bahan tersebut dapat digunakan atau diserap tanaman. Namun, umumnya bahan organik yang segar mempunyai C/N yang tinggi, seperti jerami padi 50-70; daun-daunan > 50 (tergantung jenisnya); dan kayu yang telah tua dapat mencapai 400 (Indriani 2004). Nilai C/N tumbuhan berkisar antara 20 hingga 30, pupuk hijau dan pupuk kandang dapat mencapai 90, sedangkan dalam tubuh organisme nilai C/N adalah 4 hingga 9. Nilai C/N tanah berada antara C/N tumbuhan segar dan jasad mikro. Nilai C/N bahan organik menentukan reaksi dalam tanah. Bila C/N bahan organik tinggi maka akan terjadi persaingan N antara tanaman dan mikroba, dalam hal ini N diimobilisasi. Bila nitrifikasi baik, maka C/N akan rendah, dengan demikian bahan organik bisa cepat habis. Untuk mempertahankan bahan organik dalam tanah, harus disediakan N yang cukup. Suatu dekomposisi bahan organik yang
lanjut dicirikan oleh C/N yang rendah, sedangkan C/N yang tinggi menunjukkan dekomposisi belum lanjut, atau baru mulai (Hakim et al. 1986).
Gambar 14 Pertumbuhan tanaman bunga matahari pada perlakuan 1A Penambahan volume kompos yang sebanding dengan volume tanah berhasil meningkatkan penurunan kadar minyak pada proses fitoremediasi. Namun hal ini belum cukup menurunkan kadar minyak hingga tidak bersifat toksik pada tanaman bunga matahari sehingga pertumbuhannya terhambat. Kemungkinan juga diakibatkan adanya persaingan hara antara mikroorganisme dan tanaman, karena kegiatan metabolik mikroorganisme yang meningkat pada perlakuan ini, sejalan dengan penurunan kadar minyak yang paling besar. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan tinggi tanaman maupun jumlah daun yang tidak signifikan seperti tampak pada Gambar 7, 9 dan 14 meskipun penambahan kompos sebanding dengan volume tanah. 4.2.2.3 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan 2A Perlakuan 2A memiliki kandungan minyak 1,25 g/100 g pada awal fitoremediasi dan menurun menjadi 1,112 g/100 g diakhir fitoremediasi. Rendahnya penurunan kadar minyak ini akibat rendahnya proses degradasi oleh mikroba. Pemberian kapur di daerah asal (insitu) berhasil menurunkan kadar minyak cukup besar kedua setelah perlakuan K pada proses bioremediasi, yaitu 6,32 g/100 g (Fatmawati 2003). Pemberian kapur dapat meningkatkan pH yang berpengaruh pada optimalisasi kerja bakteri.
Pengapuran di daerah asal,
berpengaruh baik terhadap kesiapan lumpur minyak untuk mendapatkan
perlakuan bioremediasi. Hal ini dikarenakan bakteri dan aktinomisetes berfungsi lebih baik pada tanah mineral ber-pH sedang hingga tinggi (Hakim et al. 1986). Hasilnya terlihat pada proses bioremediasi mikrobial dari setiap perlakuan yang mendapatkan pengapuran secara in situ, pada umumnya lebih besar dalam menurunkan kadar minyak. Demikian pula pada perlakuan 2A, pada proses bioremediasi mikrobial mengalami penurunan minyak sebesar 6,32 g/100 g. Sedangkan penurunan kadar minyak oleh fitoremediasi bunga matahari hanya sebesar 0,138 g/100 g.
Hal ini diduga karena proses pendegradasian telah
berlangsung tingkat lanjut, sehingga telah mengalami penurunan dalam kerja pendegradasian bahan-bahan organik. Kerja optimal bakteri telah terjadi saat bioremediasi mikrobial. Hal ini mengakibatkan kadar minyak yang relatif rendah di awal fitoremediasi sehingga pertumbuhan biji tanaman bunga matahari mencapai 88 %. Dengan pertumbuhan jumlah daun serta tinggi tanaman yang cukup bagus, seperti terlihat dari Gambar 7, 9 dan 15.
Gambar 15 Pertumbuhan tanaman bunga matahari pada perlakuan 2A Menurut Sarief (1986) pengapuran dilakukan untuk menurunkan ion hidrogen dalam tanah sehingga dapat meningkatkan pH tanah, mengurangi dan meniadakan racun Al. Pengapuran berpengaruh baik terhadap agregasi partikel tanah, aerasi dan perkolasi.
Penambahan kompos sebanyak ½ volume
berinteraksi dengan kapur sehingga lebih meningkatkan granulasi dan memperkokoh ikatan antar partikel tanah. Menurut Indriani (2004) kompos mempunyai beberapa sifat yang menguntungkan, antara lain; (1) memperbaiki stuktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan, (2) memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak
berderai, (3) menambah daya ikat air pada tanah, (4) memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah, (5) mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara, (6) mengandung hara yang lengkap walaupun jumlahnya sedikit, (7) membantu proses pelapukan bahan mineral, (8) memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba, (9) menurunkan aktifitas mikroorganisme yang merugikan. Murbandono (1994) menjelaskan bahwa dalam tumpukan bahan-bahan organik pada kompos selalu terjadi berbagai perubahan yang dilakukan oleh jasad renik dalam tanah. Perubahan bahan-bahan itu antara lain; (1) penguraian hidrat arang, selulosa, hemiselulosa, dan lain-lain menjadi CO2 dan air, (2) penguraian zat putih telur, melalui amida dan asam amino menjadi amonia, CO2 dan air, (3) pengikatan beberapa jenis unsur hara dalam tubuh mikroorganisme, terutama N disamping P dan K dan lain-lain akan terlepas kembali jika jasad itu mati, (4) pembebasan unsur hara dari senyawa organis menjadi senyawa anorganis yang tersedia bagi tumbuhan, (5) penguraian lemak dan lilin menjadi CO2 dan air. 4.2.2.4 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan 3A Pada perlakuan ini kadar minyak menurun dari 2,624 g/100 g di awal fitoremediasi menjadi 2,502 g/100 g di akhir fitoremediasi.
Selama proses
fitoremediasi, perlakuan 3A tidak mengalami penurunan kadar minyak yang berarti, hanya mengalami penurunan sebesar 0,122 g/100 g, paling rendah diantara perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena tidak ditambahkannya kapur. Nilai pH mempengaruhi ketersediaan beberapa hara (N,P, K, Ca, Mg dan unsur mikro) yang dibutuhkan biologi tanah sehingga mikroorganisme lebih mudah memperoleh energi dan materi dalam jumlah banyak.
Nilai pH juga
mempengaruhi kelarutan unsur yang beracun seperti Al dan Mn. Sejalan dengan hal itu, populasi dan aktivitas mikroorganisme pun meningkat dengan penambahan kapur (Hakim 1986). Pemberian kompos sebesar 1/3 volume campuran tanah belum dapat memenuhi nutrisi tanaman. Tingginya kadar minyak di awal fitoremediasi juga diduga bersifat toksik pada tanaman sehingga tidak ada biji tanaman bunga matahari yang tumbuh pada perlakuan ini.
4.2.2.5 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan 1B Kadar minyak pada perlakuan ini menurun dari 3,744 g/100 g menjadi 2,996 g/100 g di akhir fitoremediasi yaitu mengalami penurunan sebesar 0,748 g/100 g. Penurunan ini merupakan penurunan kadar minyak terbesar kedua pada fitoremediasi bunga matahari. Pada perlakuan ini proses pendegradasian oleh bakteri masih berlanjut atau masih pada tahap awal. Hal ini ditandakan dengan adanya penurunan kadar minyak yang cukup besar dibanding perlakuan lainnya sejak fitoremediasi caisim yang terus berlangsung hingga fitoremediasi oleh tanaman bunga matahari. Tidak adanya tanaman bunga matahari yang tumbuh diduga karena kadar minyak yang sebesar 2,996 g/100 g masih pada level toksik bagi tanaman, meskipun telah mengalami penurunan cukup besar.
Pengapuran yang hanya
dilakukan di laboratorium (secara ex situ) berakibat masih tingginya kadar minyak setelah bioremediasi mikrobial. Hal ini otomatis membuat kadar minyak pada awal fitoremediasi masih tinggi. Pada waktu mikroorganisme tumbuh dan berkembang biak pada sampah organik (dalam hal ini hidrokarbon), digunakan karbon untuk menyusun bahan selular sel-sel mikroba dengan membebaskan karbon dioksida, metana, dan bahan-bahan lain yang mudah menguap (Gambar 16).
Dalam proses ini,
mikroorganisme juga mengasimilasi nitrogen, fosfor, kalium dan belerang yang terikat di dalam protoplasma sel. Oleh karena itu rasio-rasio C/N, C/P, C/K atau C/S di dalam tanah ditentukan oleh sejauh mana bahan organik dimanfaatkan oleh mikroorganisme tanah yang tergantung pada kandungan oksigen dan biomassa mikroba pada tahap dekomposisi itu. Pendegradasian terjadi melalui tahap mineralisasi dengan pengubahan kompleks organik dari suatu unsur menjadi bentuk anorganiknya.
Proses
berikutnya ialah imobilisasi yang meliputi pengambilan C, N, P dan S. Pada perlakuan ini kemungkinan telah terjadi imobilisasi oleh mikroba. penambahan pupuk NPK 1 % dan urea 1 % belum cukup.
Sehingga
Hewan
Tumbuhan
Sisa-sisa organik
Karbohidrat dan protein (peka serangan mikroba)
Lignin, lemak, lilin, resin dan sebagainya (resistansi terhadap serangan mikroba)
Proses oleh mikroba 1.
2.
Mineralisasi menjadi CO2, NH4, NO3 dan NO2 Imobilisasi C, N, P dan S dalam sel-sel mikroba
Humus
Gambar 16 Jalur dekomposisi bahan organik (Rao 1994) 4.2.2.6 Pertumbuhan tanaman pada perlakuan 2B Tabel 1 menunjukkan kandungan minyak sebesar 1,964 g/100 g di awal fitoremediasi dan menurun menjadi 1,438 g/100 g pada akhir fitoremediasi. Perlakuan ini menurunkan kadar minyak hingga 0,526 g/100 g. Jumlah biji yang berhasil tumbuh pada perlakuan ini hanya sebesar 11 % dengan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah daun yang tidak terlalu bagus.
Gambar 17 Pertumbuhan tanaman bunga matahari pada perlakuan 2B Pendegradasian terjadi melalui tahap mineralisasi dengan pengubahan kompleks organik dari suatu unsur menjadi bentuk anorganiknya.
Proses
berikutnya ialah imobilisasi yang meliputi pengambilan C, N, P dan S. Pada
perlakuan ini kemungkinan telah terjadi imobilisasi oleh mikroba. pandang
agronomi,
imobilisasi
mengurangi
ketersediaan
Dari titik
nutrien
untuk
pertumbuhan tanaman, intensitasnya berhubungan dengan biomassa total mikroba pada waktu tertentu (Rao 1994). Ada juga pengaruh dari hanya ditambahkanya pupuk anorganik. Pupuk organik berperan dalam mempertahankan dan meningkatkan sifat fisik tanah, mempertahankan dan meningkatkan sifat biologis tanah, secara terbatas juga mempertahankan atau meningkatkan sifat kimia tanah. Fungsi pupuk organik berkaitan dengan perannya sebagai penahan dan peningkat fungsi fisik tanah antara lain sebagai berikut: sebagai pengatur kelembaban tanah; sebagai pengatur sirkulasi oksigen di dalam tanah; mempermudah penetrasi air, akar; juga sebagai sumber unsur-unsur mikro (Suriawiria 2002). Pada kelembaban, kadar air dan kadar oksigen yang terjaga, proses kehidupan dalam tanah dapat berlangsung dengan baik. Mudahnya penetrasi akar juga menyebabkan tanaman mudah untuk mengambil nutrien.
Berdasarkan
Suriawiria (2002), pupuk organik meningkatkan efisiensi penyerapan unsur hara pada tanaman.
Penambahan NPK 0,5 % dan Urea 0,5 % belum mampu
membantu kerja bakteri dalam memperbaiki tanah.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Tanaman bunga matahari dapat tumbuh pada tanah dengan kandungan minyak maksimum 2,364 g/100 g yaitu pada perlakuan 1A dengan komposisi 1 volume tanah hasil remediasi : 1 volume kompos. Penambahan pupuk organik memberikan hasil yang lebih baik dari penambahan urea. Tanaman umumnya dapat tumbuh pada media yang telah mengalami pengapuran secara in situ daripada pengapuran sebanyak 5 % secara ex situ. Pada kadar minyak yang tinggi, tanaman tidak dapat tumbuh.
5.2 Saran Berikut adalah beberapa hal yang perlu dilakukan pada kajian lebih lanjut mengenai uji toksisitas ini: 1. Perlu pengukuran sifat- sifat fisik dan kimia tanah sebelum dan setelah bioremediasi. 2. Perlu dilakukan penghitungan C, N, P, K di dalam tanah. 3. Perlu dilakukan pengukuran logam berat pada tanaman dan campuran tanah. 4. Perlu dicoba fitoremediasi dengan jenis tanaman berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Accessed September http://ei.cornell.edu/biodeg/bioremed/html.
9th,
2005
at
Arnon I. 1972. Crop Production in Dry Regions.Volume ke-2. London: Leonard Hill. 638p. Chapman SR, Carter LP. 1975. Crop Production. San Fransisco: W.H. Freeman dan co. 556p. Citroreksoko P. 1996. Pengantar bioremediasi. Di dalam Prosiding Pelatihan Dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong: LIPI/BPPT/HSF. Hlm 1-11. Cookson JT.Jr. 1995. Bioremediation Engineering, Design and Application. United States: McGraw Hill. Inc. Cunningham SD, Lee CR. 1995. Phytoremediation: plant-based remediation of contaminated soils and sediments. Di dalam Skipper HD, Turco RF, editor. Bioremediation Science and Applications. Madison, Wisconsin, USA: Soil Science Society of America, Inc. American Society of Agronomy, Inc. Crop Science Society of America, Inc. pp. 145-156 --------------------, Berti WR, Huang JW. 1995. Phytoremediation of contaminated soils. Trends in Biotechnology. 13: 248-252. --------------------, Ow DW. 1996. Promises and prospect of phytoremediation. Plant Physiology. 110:715-719. Fatmawati F. 2003. Kajian penggunaan tanaman bayam (Amaranthus tricolor) dan caisim (Brassica juncea) untuk uji toksisitas hasil remediasi lumpur minyak [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Hakim N,Nyakpa MY, Lubis AM, Nugroho SG, Saul MR, Diha MA, Hong GB, Bailey HH. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Penerbit Universitas Lampung. Hardjowigeno S. 1995. Ilmu Tanah. Jakarta: AkaPress. Indriani YH. 2004. Membuat Kompos Secara Kilat. Jakarta: Penebar Swadaya. Ismawati E. 2003. Pupuk Organik. Jakarta: Penebar Swadaya. Jordahl J, Foster L, Alvarez PJ, Schnoor J. 1997. Effect of hybrid poplar trees on microbial populations important to hazardous waste bioremediation. Environ. Toxicol. Chem. 16: 1318-1381.
Kipps MS. 1970. Production of Field Crops. Sixth ed. New York: Tata McGraw Hill Publ.Co.ltd. 788p . McAllister JE, Swan IF. 1970. Sunflower on darling dowms. Agric. J 96(2): 381-384. Meahger RB. 2000. Phytoremediation of toxic elemental and organic pollutant. Current Opinion in Plant Biology 3: 153-162. Miller RK. 1996. Ground-Water Remediation Technology Analysis Center. Technology Overview Report. TO-96-03. Murbandono L. 1994. Membuat Kompos. Jakarta: Penebar Swadaya. Murtadho D, Said EG. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat. Jakarta: Medyatama Sarana Perkasa. Purseglove JW. 1981. Tropical Crop Dicotyledons. Volume ke-1 dan 2. Singapore: English Language Book. Soc. & Longman. Rao SNS. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Jakarta: UI Press. Sarief
ES. 1986. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Bandung: Pustaka Buana.
Schnoor JL. 1997. Phytoremediation. Technology Evaluation Report. TE-98-01. Subroto MA. 1996. Fitoremediasi. Di dalam Prosiding Pelatihan Dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong: LIPI/BPPT/HSF. hlm 52-69. Suriawiria U. 2002. Pupuk Organik Kompos dari Sampah. Humaniora Utama Press. Syakti
AD. 23 Oktober 2004. 4 (kolom 2-5).
Bioremediasi lingkungan.
Bandung:
Republika:
Tjitrosoepomo G. 1999. Taksonomi Tumbuh-Tumbuhan (Spermatophyta). Yogyakarta: UGM Press. 479 hal. Udiharto M. 1996. Bioremediasi Minyak Bumi. Di dalam Prosiding Pelatihan Dan Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Cibinong: LIPI/BPPT/HSF. hlm 24-39.
LAMPIRAN