UJI KARAKTERISTIK MINYAK NYAMPLUNG UNTUK MODIFIKASI KOMPOR BERTEKANAN
Oleh:
NUNIK LESTARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Uji Karakteristik Minyak Nyamplung untuk Modifikasi Kompor Bertekanan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2011
Nunik Lestari NRP F151090041
ABSTRACT
NUNIK LESTARI. Performance Test of Tamanu Oil for Pressure Stove Modification. Supervised by Y. ARIS PURWANTO and KUDRAT SUNANDAR. Tamanu (Calophyllum inophyllum L.) has potential as a biofuel producer crop. Tamanu oil has a high viscosity compared with kerosene. Tamanu oil viscosity must be lowered to the equivalent of kerosene to be applied as a substitute for kerosene, especially in pressure stove. In pressure stove, preheating can reduce the viscosity of fuel to achieve the desired viscosity to be sprayed and burned well. Nowadays, pressure stoves generally are made for kerosene fuel. so that, the pressure stove needs to be modified by considering the preheating stage. Thus, the tamanu oil can be used in the modified pressure stove as a subtitute of kerosene. The objective of the study were (1) to simulate the temperature and viscosity change in relation to the length of heating oil pipeline, (2) to modify the heating oil pipeline based on the simulation result, and (3) to test the performance of modified heating oil pipeline. The simulation results show that the oil should be heated to 161.81 °C to obtain the viscosity of tamanu oil close to the viscosity of kerosene, which is using the heating pipe element along the 25 cm. The tamanu oil spraying diameter is 65.67 mm, and the spraying angle is 12.49o. While kerosene as a control has a spraying diameter of 66.75 mm, and the spraying angle is 12.69o. The increasing of spray diameter to temperature follows the equation d = 0.435T + 2.552, with determinant coefficient of 0.961. While the increasing of spray angle to temperature follows the equation θ = 0.082T + 0.51, with determinant coefficient of 0.961. The increase in diameter and angle of spray with increasing oil temperature, due to the increasing temperatures will further lower the viscosity value, surface tension, and density of tamanu oil. According to Ing et al. (2010), viscosity, surface tension, and density are three fluid properties that are influential in forming the droplet. This oil heating element can heat the tamanu oil until 168.5 oC and 164.7 °C for two different data retrieval conditions. Keywords: tamanu oil, kerosene, heating, heat transfer, temperature, viscosity, spraying, droplet, pressure stove, modification
RINGKASAN
NUNIK LESTARI. Uji Karakteristik Minyak Nyamplung untuk Modifikasi Kompor Bertekanan. Dibimbing oleh Y. ARIS PURWANTO dan KUDRAT SUNANDAR. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa minyak tanah dikonsumsi oleh sekitar 65 ribu rumah tangga Indonesia (Kementerian ESDM 2004). Melonjaknya harga BBM termasuk minyak tanah serta dampak buruk penggunaan kayu bakar terhadap degradasi lingkungan, menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk mencari bahan bakar alternatif yang lebih murah dan dapat tersedia dengan mudah (Yunita 2007). Salah satu tanaman yang berpotensi sebagai penghasil bahan bakar alternatif berupa bahan bakar nabati (BBN) adalah tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Viskositas dan titik bakar yang tinggi membuat BBN minyak nyamplung memerlukan jenis kompor tertentu. Minyak nabati memiliki sifat fisika dan kimia yang berbeda dengan minyak tanah. Pada kompor bertekanan, minyak nabati menyisakan kerak setelah pembakaran dan menyumbat nosel. Selain itu, pada waktu penyalaan awal minyak sulit terbakar karena viskositas yang tinggi (Reksowardojo 2008). Kompor bertekanan yang ada di pasaran saat ini dibuat untuk bahan bakar minyak tanah. Sehingga untuk mengaplikasikan minyak nyamplung sebagai pengganti minyak tanah, maka viskositas minyak nyamplung harus diturunkan hingga mendekati viskositas minyak tanah. Viskositas menjadi hal yang penting dalam sistem kompor bertekanan. Jika viskositas tinggi, maka tahanan untuk mengalir juga akan tinggi. Karakteristik ini sangat penting karena kualitas penyemprotan bahan bakar bergantung pada viskositas. Viskositas dipengaruhi oleh suhu. Pada kompor bertekanan, pemanasan awal dapat menurunkan viskositas bahan bakar. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan tahap pemanasan awal dalam modifikasi rancangan pada kompor bertekanan. Tujuan penelitian ini adalah (1) menghitung pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, (2) melakukan modifikasi pipa koil pemanas minyak berdasarkan hasil pendugaan pemanasan minyak nyamplung, dan (3) melakukan uji fungsional dari pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi. Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap. Identifikasi masalah menjelaskan target teknis yang ingin dicapai dalam penelitian. Dalam penelitian ini akan dilakukan modifikasi burner kompor bertekanan yang semula digunakan untuk bahan bakar minyak tanah, menjadi elemen pemanas minyak nyamplung. Elemen pipa pemanas ini dirancang berbentuk koil. Panjang pipa yang akan dibentuk menjadi koil ini diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, dan uji profil penyemprotan minyak nyamplung. Koil pipa pemanas minyak ini dirancang untuk dapat memanaskan minyak nyamplung hingga mencapai suhu tertentu dimana viskositas minyak pada suhu tersebut mendekati nilai viskositas minyak tanah yaitu 5 cP (Couper et al. 2005). Sumber pemanas adalah api hasil pembakaran minyak itu sendiri, sehingga proses pemanasannya
v
berkesinambungan. Minyak nyamplung yang digunakan adalah minyak yang telah mengalami proses degumming. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendukung data-data yang digunakan pada perhitungan selain data sekunder, seperti pengujian densitas, mengetahui laju aliran massa, dan menentukan suhu awal minyak dalam tangki sebelum pembakaran. Selanjutnya menghitung pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak. Kemudian menguji profil penyemprotan minyak nyamplung. Uji penyemprotan dilakukan untuk mengetahui profil penyemprotan minyak nyamplung setelah dilakukan pemanasan pada beberapa tingkat suhu 30, 50, 70, 90, 110, 130, dan 150 oC. Parameter uji penyemprotan yang diamati meliputi diameter dan sudut penyemprotan. Kontrol yang digunakan adalah membandingkan dengan profil penyemprotan minyak tanah. Selanjutnya membuat modifikasi desain pipa koil pemanas minyak berdasarkan hasil perhitungan pendugaan dan karakteristik pemanasan. Kemudian melakukan uji fungsional dari pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi. Pada uji fungsional ini dilakukan validasi suhu minyak yang telah dipanaskan melalui koil pipa pemanas, yang kemudian keluar melalui nosel. Suhu minyak hasil validasi ini dibandingkan dengan suhu minyak hasil pendugaan. Tahap pengujian terakhir adalah uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui waktu dan jumlah bahan bakar terpakai yang dibutuhkan untuk memanaskan air hingga mendidih dengan menggunakan kompor bertekanan termodifikasi berbahan bakar minyak nyamplung. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan pengujian kompor bertekanan mengunakan bahan bakar lainnya yang diperoleh dari data sekunder. Hasil pendugaan menunjukan bahwa untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung dari 50.4 cP, agar mendekati viskositas minyak tanah sebesar 5 cP (Couper et al. 2005), maka dibutuhkan pemanasan 990 oC di sepanjang pipa dengan menggunakan pipa berdiameter 0.25 inci sepanjang 25 cm. Selanjutnya, pipa ini dibentuk menjadi koil sebanyak 2 lilitan. Dalam penelitian ini tidak dilakukan validasi nilai viskositas minyak nyamplung yang telah terpanaskan melalui burner pipa koil pemanas minyak. Validasi hasil perhitungan pendugaan yang dilakukan hanya pada suhu minyak yang keluar dari nosel, dan juga dibandingkan dengan hasil pengujian karakteristik penyemprotan minyak nyamplung dan minyak tanah. Diameter penyemprotan minyak nyaplung adalah 65.67 mm, dengan sudut penyemprotan 12.49o. Sedangkan diameter penyemprotan minyak tanah sebagai kontrol adalah 66.75 mm, dengan sudut penyemprotan 12.69o. Diameter dan sudut penyemprotan minyak nyampung sudah mendekati diameter dan sudut penyemprotan minyak tanah pada suhu 150 oC. Besarnya peningkatan diameter semprotan minyak nyamplung terhadap kenaikan suhu ini mengikuti persamaan d = 0.435T + 2.552, dengan koefisien determinan sebesar 0.961. Sementara besarnya peningkatan sudut semprotan terhadap kenaikan suhu ini mengikuti persamaan θ = 0.082T + 0.51, dengan koefisien determinan sebesar 0.961. Bertambahnya diameter dan sudut penyemprotan dengan meningkatnya suhu minyak disebabkan karena semakin meningkatnya suhu maka akan semakin menurunkan nilai viskositas, yang juga menyebabkan turunnya nilai tegangan permukaan dan densitas minyak. Menurut Ing et al. (2010), viskositas, tegangan
vi
permukaan, dan densitas adalah tiga sifat fluida yang berpengaruh dalam pembentukan droplet. Hasil validasi menunjukkan bahwa pipa koil pemanas minyak termodifikasi mampu memanaskan minyak nyamplung sampai suhu 168.5 oC untuk pengukuran pada kondisi api kompor menyala, dan 164.7 oC untuk pengukuran sesaat setelah api kompor dipadamkan. Sementara suhu minyak hasil pendugaan adalah 161.81 oC. Secara keseluruhan, kompor bertekanan dengan elemen pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi ini telah dapat beroperasi dengan baik. Tetapi karena karakter minyak nyamplung yang mengandung banyak getah dan sulit untuk dihilangkan, maka terkadang masih terjadi penyumbatan gum pada nosel. Gum yang terkandung pada minyak nyamplung tidak hanya mengganggu stabilitas aliran minyak pada proses pembakaran, tetapi juga dapat menyebabkan pengerakan pada dinding dalam pipa dan penyumbatan pada nosel. Setelah pemakaian berulang-ulang, gum pada minyak nyamplung menyisakan kerak yang menempel pada permukaan dalam pipa dan menyebabkan terjadinya penyempitan diameter pipa. Untuk mengurangi pengerakan dan penyumbatan di dalam burner ini maka sebaiknya pemadaman api dilakukan dengan cara membuang tekanan pada tangki bahan bakar terlebih dahulu hingga tekanannya setara dengan tekanan udara ambien. Sehingga minyak turun kembali menuju tangki bahan bakar dan dapat menghindari terperangkapnya minyak pada pipa koil pemanas minyak yang menyebabkan pengerakan ketika minyak dan burner telah dalam kondisi dingin. Disarankan juga untuk membersihkan pipa koil pemanas minyak sebelum menyalakan kompor. Hasil uji coba pembakaran menunjukan bahwa untuk memanaskan 1 liter air hingga mendidih menggunakan kompor bertekanan termodifikasi berbahan bakar minyak nyamplung memerlukan waktu selama 16.516 menit pemanasan, dengan konsumsi bahan bakar sebesar 0.327 liter/jam. Sedangkan menurut hasil penelitian Reksowardojo et al. (2005), untuk memanaskan 0.6 liter air hingga mendidih menggunakan kompor bertekanan berbahan bakar minyak tanah memerlukan waktu selama 6 menit, minyak jarak pagar selama 7 menit, dan minyak sawit selama 9 menit pemanasan, dengan konsumsi bahan bakar minyak tanah sebesar 0.408 liter/jam, minyak jarak pagar sebesar 0.336 liter/jam, dan minyak sawit sebesar 0.414 liter/jam. Kata kunci:
minyak nyamplung, pemanasan, pindah panas, viskositas, penyemprotan, atomisasi, droplet, kompor bertekanan, modifikasi
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
UJI KARAKTERISTIK MINYAK NYAMPLUNG UNTUK MODIFIKASI KOMPOR BERTEKANAN
NUNIK LESTARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si
Judul Tesis Nama NRP
: Uji Karakteristik Minyak Nyamplung untuk Modifikasi Kompor Bertekanan : Nunik Lestari : F151090041
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc Ketua
Dr. Ir. Kudrat Sunandar, MT Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Setyo Pertiwi, M.Agr
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 19 Desember 2011
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Segala puji hanya milik Allah SWT, yang telah memberikan kemudahan, melimpahkan rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul “Uji Karakteristik Minyak Nyamplung untuk Modifikasi Kompor Bertekanan”. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc dan Dr. Ir. Kudrat Sunandar, MT selaku komisi pembimbing atas segala pengorbanan waktu, kesabaran, pengetahuan, pemikiran dan jerih payahnya dalam memberikan bimbingan selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Dyah Wulandani, M.Si atas kesediaannya untuk menjadi penguji luar komisi. Kepada seluruh staf pengajar dan pegawai di lingkup Sekolah Pascasarjana IPB atas segala ilmu pengetahuan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan di IPB. Ucapan terima kasih setulus hati juga penulis sampaikan atas segala bantuan dan dukungan selama penyusunan tesis ini kepada: 1. Bapak M. Nur Barlian dan Ibu Syurni, serta Mimi Luvinta, Yan Eko Sasih, dan Yustian Adhinata selaku orang tua dan saudara-saudara penulis yang telah mendidik, memberikan kasih sayang, doa, dan dukungannya sehingga membuat semuanya menjadi mungkin. 2. Acho Samsuar, terima kasih atas semua kasih sayang, perhatian, masukan, dan bantuannya. 3. Mada Hunter Pardede dan Des Taubing, atas bantuan dan masukan yang telah diberikan selama proses penelitian. 4. Teman-teman seperjuangan Teknik Mesin Pertanian dan Pangan (TMP) 2009, Sulastri Panggabean, Adian Rindang, Furqon, Miftahuddin, Fikri Al-Haq Fachryana, Agus Ghautsun Niam, M. Tahir Sapsal, Syafriandi, Husen Asbanu, Dedy Eko Rahmanto, dan M. Atta Bary, atas kebersamaan, kekeluargaan, dan dukungannya selama ini. 5. Teman-teman Teknik Sipil dan Lingkungan (SIL) 2009, Nazif Ichwan, Fadli Irsyad, dan Adrionita, atas kebersamaan dan dukungannya selama ini. 6. Bulkis Leonhart dan Ellis Nurjuliasti Ningsih atas kebersamaan, keceriaan, bantuan dan dukungannya selama “menderita” di Perwira 51. 7. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penelitian dan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan. Sebagai penutup, penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Bogor, Desember 2011 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nunik Lestari dilahirkan di Kotabumi pada tanggal 12 Mei 1985, sebagai putri keempat dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak M. Nur Barlian dan Ibu Syurni. Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Ashy Shihab Kotabumi pada tahun 1990 dan TK Bhayangkara Kotabumi pada tahun 1991, pendidikan Sekolah Dasar di SDN 3 Kotabumi pada tahun 1997, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 4 Kotabumi pada tahun 2000, Sekolah Menengah Umum di SMUN 2 Kotabumi pada tahun 2003, dan pendidikan Strata 1 di Jurusan Teknik Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2007. Selanjutnya sejak Agustus 2009 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program magister pada Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama menjalani pendidikan S2 pada Program Studi Teknik Mesin Pertanian dan Pangan IPB, penulis pernah mendapatkan kesempatan mengikuti program Winter Course dan International Symposium on Asian Consortium for Sustainable Agriculture di Universitas Ibaraki, Jepang. Penulis juga pernah mengemban tugas sebagai bendahara umum pada Forum Mahasiswa Pascasarjana Keteknikan Pertanian (FORMATETA) IPB. Sebagian dari hasil penelitian pada tesis ini juga pernah penulis sampaikan pada Seminar Nasional Perteta di Universitas Jember pada tanggal 21-22 Juli 2011 dengan judul “Uji Karakteristik Minyak Nyamplung sebagai Bahan Bakar Nabati secara Langsung”.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ........................................................................................................ xiii DAFTAR TABEL ..................................................................................................xv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xviii PENDAHULUAN Latar Belakang ................................................................................................. 1 Perumusan Masalah ......................................................................................... 3 Tujuan Penelitian ............................................................................................. 4 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5 Ruang Lingkup Masalah .................................................................................. 5 TINJAUAN PUSTAKA Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) ....................................................... 7 Karakteristik Minyak Nyamplung ................................................................... 9 Kompor Bertekanan ....................................................................................... 11 Atomisasi (Pengabutan) Cairan ..................................................................... 13 Reaksi Pembakaran ........................................................................................ 14 Pembakaran Semprot ..................................................................................... 16 Pindah Panas .................................................................................................. 19 Konduksi ................................................................................................. 19 Konveksi ................................................................................................. 22 Radiasi..................................................................................................... 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................ 25 Alat dan Bahan Penelitian .............................................................................. 25 Prosedur Penelitian ........................................................................................ 25 Identifikasi Masalah ................................................................................ 26 Penelitian Pendahuluan ........................................................................... 27 Menghitung Pendugaan Hubungan Perubahan Suhu dan Viskositas Minyak terhadap Panjang Pipa Pemanas Minyak ................................... 29 Uji Profil Penyemprotan Minyak Nyamplung ........................................ 34 Modifikasi Desain Pipa Koil Pemanas Minyak ...................................... 36 Uji Fungsional Pipa Koil Pemanas Minyak Hasil Modifikasi ................ 39 Uji Coba Pembakaran Kompor Bertekanan Termodifikasi .................... 39 Analisis Data .................................................................................................. 40
HASIL DAN PEMBAHASAN Pendugaan Hubungan Perubahan Suhu dan Viskositas Minyak terhadap Panjang Pipa Pemanas Minyak ...................................................................... 41 Uji Profil Penyemprotan Minyak Nyamplung ............................................... 43 Modifikasi Desain Pipa Koil Pemanas Minyak ............................................. 50 Uji Fungsional Pipa Koil Pemanas Minyak Hasil Modifikasi ....................... 54 Uji Coba Pembakaran Kompor Bertekanan Termodifikasi ........................... 63 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .................................................................................................... 65 Saran .............................................................................................................. 65 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................67 LAMPIRAN ...........................................................................................................73
DAFTAR TABEL Halaman 1 Sifat fisika dan kimia minyak nyamplung ......... Error! Bookmark not defined. 2 Perbandingan komposisi asam lemak minyak nyamplung dengan minyak jarak pagar dan sawit ......................................... Error! Bookmark not defined. 3 Nilai konduktivitas panas beberapa bahan pada suhu ruang .. Error! Bookmark not defined. 4 Ikhtisar persamaan-persamaan yang digunakan dalam perpindahan panas konveksi paksa di dalam pipa ............................ Error! Bookmark not defined. 5 Data sekunder penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu (Wahyudi 2010) dan hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu pada penelitian pendahuluan .................................................................... 43
xvi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Peta sebaran indikatif tegakan alam nyamplung di Indonesia ......................... 7
2
Gambar pohon, kayu, bunga, daun, buah dan biji nyamplung ........................ 8
3
Penampang melintang buah nyamplung .......................................................... 9
4
Minyak nyamplung dan biodiesel nyamplung ............................................... 10
5
Kompor bertekanan ........................................................................................ 12
6
Hubungan antara viskositas dan ukuran droplet ............................................ 13
7
Sistem pembakaran semprot .......................................................................... 17
8
Tipe-tipe sistem injektor ................................................................................ 18
9
Proses pembakaran semprot ........................................................................... 19
10 Mekanisme perpindahan panas konduksi dalam fase yang berbeda dari suatu zat .................................................................................................. 20 11 Kisaran konduktivitas termal dari berbagai bahan pada suhu ruang ............. 21 12 Diagram alir prosedur penelitian.................................................................... 26 13 Alur pendugaan hubungan sebaran suhu, viskositas, dan panjang pipa untuk modifikasi kompor bertekanan ............................................................ 29 14 Perpindahan panas yang terjadi dari pipa ke minyak ..................................... 30 15 Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar ................................................. 35 16 Modifikasi pipa koil pemanas minyak ........................................................... 37 17 Diagram alir proses perancangan ................................................................... 38 18 Skema pengujian efisiensi pembakaran ......................................................... 40 19 Grafik pendugaan penurunan nilai viskositas terhadap suhu ......................... 41 20 Grafik pendugaan penurunan viskositas terhadap panjang pipa pemanas ..... 41 21 Viskositas dinamik beberapa jenis asam lemak ............................................. 42 22 Perbandingan profil penyemprotan (a) minyak nyamplung pada suhu 150 oC, dan (b) minyak tanah pada suhu ruang ..................................... 44 23 Grafik hubungan diameter semprotan minyak nyamplung ............................ 45 24 Grafik hubungan sudut semprotan minyak nyamplung ................................. 45 25 Grafik hubungan diameter droplet dengan perubahan viskositas .................. 46 26 Grafik hubungan diameter droplet dengan perubahan densitas ..................... 47 27 Grafik hubungan diameter droplet dengan perubahan tegangan permukaan ...................................................................................................... 47
28 Grafik penurunan nilai (a) viskositas, dan (b) densitas minyak kelapa ......... 48 29 Grafik penurunan nilai viskositas terhadap suhu pada biodiesel ................... 48 30 Grafik penurunan tegangan permukaan beberapa jenis minyak terhadap peningkatan suhu ............................................................................................ 49 31 Hasil penyemprotan minyak nabati canola murni dan perbesaran gambar droplet pada tekanan injeksi yang berbeda (Ti = 700 K, t = 0.5 ms) ............. 50 32 Burner kompor bertekanan sebelum modifikasi ............................................ 51 33 Hasil rancangan elemen pipa koil pemanas minyak ...................................... 52 34 Elemen pipa koil pemanas minyak (a) setelah dipasang pada kompor bertekanan, (b) kompor lengkap dengan dudukan alat masak ....................... 53 35 Validasi pengukuran suhu minyak pada nosel saat api menyala ................... 55 36 Validasi pengukuran suhu minyak pada nosel sesaat setelah api padam ....... 55 37 Validasi pengukuran suhu minyak pada nosel ............................................... 56 38 Waktu tunda penyalaan untuk droplet metanol dalam udara panas (hubungan temperatur gas dan ukuran diameter droplet) .............................. 57 39 Penyumbatan oleh gum pada nosel ................................................................ 58 40 Pembakaran campuran LPG dan udara dengan penambahan 20% CO2 ........ 62 41 Perbandingan kecepatan pembakaran antara campuran LPG dan udara tanpa CO2 dan dengan CO2 ............................................................................ 62 42 Grafik peningkatan suhu tiap titik pengukuran pada uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi .................................................................. 63
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu (penelitian pendahuluan) ................................. Error! Bookmark not defined.
2
Hasil pengukuran suhu awal minyak dalam tangki sebelum proses pembakaran (penelitian pendahuluan) ............ Error! Bookmark not defined.
3
Perhitungan pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas ........ Error!
Bookmark not defined. 4
Data pengujian profil penyemprotan minyak nyamplung ... Error! Bookmark
not defined. 5
Data pengujian profil penyemprotan minyak tanah ...... Error! Bookmark not
defined. 6
Data rata-rata pengujian profil penyemprotan minyak nyamplung ........ Error!
Bookmark not defined. 7
Data rata-rata pengujian profil penyemprotan minyak tanah.................. Error!
Bookmark not defined. 8
Validasi suhu minyak pada nosel dengan kondisi api menyala .............. Error!
Bookmark not defined. 9
Validasi suhu minyak pada nosel dengan kondisi api padam ................. Error!
Bookmark not defined. 10 Hasil pengukuran suhu pada uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi ................................. Error! Bookmark not defined. 11 Gambar teknik burner kompor bertekanan sebelum modifikasi ............ Error! Bookmark not defined. 12 Gambar teknik burner kompor bertekanan setelah modifikasi ............... Error! Bookmark not defined.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Bahan bakar minyak dari bahan bakar fosil merupakan sumber energi yang dikonsumsi paling besar dibandingkan sumber energi lain. Minyak tanah merupakan salah satu sumber energi yang banyak digunakan oleh masyarakat perkotaan, sedangkan di pedesaan sebagian besar bahan bakar yang digunakan untuk keperluan rumah tangga adalah minyak tanah dan biomassa terutama kayu bakar. Mengingat pentingnya peranan minyak tanah, maka minyak tanah dimasukan ke dalam kelompok sembilan bahan kebutuhan pokok. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa minyak tanah dikonsumsi oleh sekitar 65 ribu rumah tangga Indonesia (Kementerian ESDM 2004). Minyak tanah umumnya dikonsumsi oleh rumah tangga untuk memasak dan penerangan, terutama di daerah yang belum tersedia listrik (Nuryanti 2007). Minyak tanah juga banyak digunakan sebagai bahan bakar pada industri dan pedagang-pedagang makanan. Kelangkaan minyak tanah sering terjadi beberapa tahun terakhir ini yang menyebabkan melonjaknya harga minyak tanah. Kondisi ini tentu saja mengganggu kelangsungan usaha bagi para pedagang dan industri kecil. Sedangkan bagi masyarakat pedesaan yang jauh dari sumber energi harus mempertimbangkan energi alternatif jika minyak tanah tidak lagi dapat mencapai daerah tempat mereka tinggal. Melonjaknya harga BBM termasuk minyak tanah serta dampak buruk penggunaan kayu bakar terhadap degradasi lingkungan, menyebabkan timbulnya kebutuhan untuk mencari bahan bakar alternatif yang lebih murah dan dapat tersedia dengan mudah. Salah satu bahan bakar alternatif untuk dapat digunakan adalah minyak nabati yang bahan bakunya tersedia secara lokal, mudah didapat dan terbarukan (Yunita 2007). Indonesia sendiri mempunyai sumber energi terbarukan yang melimpah, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar fosil. Kontribusi energi terbarukan terhadap total penggunaan energi masih dibawah 10 % (Sumiarso 2011). Kebijakan-kebijakan Pemerintah dalam
2
bentuk Instruksi Presiden No. 10 tahun 2005 mengenai penghematan penggunaan energi, Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 mengenai penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel), serta Peraturan Presiden No. 5 tahun 2006 mengenai kebijakan energi nasional, menyatakan tahun 2025 ditargetkan untuk mengoptimalkan bahan bakar nabati menjadi lebih dari 5%. Sejalan dengan kondisi itu pemerintah menargetkan ada 2000 desa mandiri energi sampai tahun 2010. Mandiri energi berarti 60 persen kebutuhan energinya dipenuhi dari sumber setempat terutama dari energi terbarukan (Dirjen PMD 2008). Bahan bakar nabati merupakan bahan bakar yang berasal dari tanaman. Penelitian mengenai bahan bakar nabati ini sudah mulai berkembang. Banyak tanaman yang dinilai memiliki potensi sebagai penghasil bahan bakar nabati setelah melalui serangkaian proses, salah satunya adalah tanaman nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Kelebihan nyamplung sebagai bahan baku bahan bakar nabati adalah bijinya mempunyai rendemen yang tinggi, yaitu mencapai 74%. Dalam pemanfaatannya, tanaman nyamplung tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan karena biji yang bersifat toksik, bagian kulit biji mengandung LC50 (Median Lethal Concentration) sebesar 39.31 ppm, dan daging biji sebesar 154.8 ppm (Santi 2009). Beberapa keunggulan ditinjau dari prospek pengembangan dan pemanfaatan lain, antara lain adalah tanaman tumbuh dan tersebar merata secara alami di Indonesia, regenerasi mudah dan berbuah sepanjang tahun menunjukkan daya survival yang tinggi terhadap lingkungan, tanaman relatif mudah dibudidayakan baik tanaman sejenis (monoculture) atau hutan campuran (mixed-forest), cocok di daerah beriklim kering, dan produktivitas biji lebih tinggi dibandingkan jenis tanaman penghasil bahan bakar nabati lainnya (jarak pagar 5 ton/ha, sawit 17 ton/ha, dan nyamplung 20 ton/ha) (Bustomi 2008). Pada saat ini penelitian tentang pemakaian bahan bakar nabati sebagai pengganti minyak tanah sudah mulai dikembangkan, bahkan sudah mulai dikomersialisasikan. Namun demikian, oleh karena viskositas dan titik bakarnya yang tinggi maka penggunaan bahan bakar nabati memerlukan jenis kompor tertentu (Puslitbun 2007). Minyak nabati memiliki sifat fisika dan kimia yang berbeda dengan minyak tanah. Pada kompor sumbu akan mengakibatkan mengerasnya sumbu kompor yang akan menghambat kapilaritas minyak
3
selanjutnya, sedangkan pada kompor bertekanan, minyak nabati menyisakan kerak setelah pembakaran dan menyumbat lubang nosel (Reksowardojo 2008). Selain itu, pada waktu penyalaan awal minyak sulit terbakar karena viskositas yang tinggi sehingga sulit untuk terjadi pengabutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang kompor yang mampu mengadaptasi sifat-sifat minyak tersebut terutama pada viskositasnya, sehingga perlu dipertimbangkan tahap pemanasan awal dalam modifikasi rancangan pada kompor bertekanan. Selama ini kompor bertekanan yang ada di pasaran dibuat dan digunakan untuk bahan bakar minyak tanah. Sehingga untuk mengaplikasikan minyak nyamplung sebagai pengganti minyak tanah, maka viskositas minyak nyamplung harus diturunkan hingga setara dengan minyak tanah. Viskositas menjadi hal yang penting dalam sistem kompor bertekanan. Jika viskositas semakin tinggi, maka tahanan untuk mengalir akan semakin tinggi. Karakteristik ini sangat penting karena kualitas penyemprotan bahan bakar sangat bergantung pada viskositas. Viskositas juga dipengaruhi oleh suhu. Pada kompor bertekanan, pemanasan awal dapat menurunkan viskositas bahan bakar hingga tercapai viskositas yang diinginkan agar minyak dapat terkabutkan dan terbakar dengan baik. Terdapat dua kemungkinan penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar alternatif terutama untuk kompor. Pertama, menggunakan secara langsung minyak nabati yang memiliki karakter hampir sama dengan minyak tanah, atau melakukan karakterisasi minyak sehingga sesuai dengan kebutuhan kompor, dan kedua, melakukan modifikasi kompor untuk disesuaikan dengan karakteristik minyak nabati tersebut (Puslitbun 2007). Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dititikberatkan untuk melihat kemampuan minyak nyamplung sebagai bahan bakar pada kompor bertekanan melalui pengujian hubungan antara viskositas, temperatur dan desain pemanas terhadap kualitas penyemprotan minyak. Dengan demikian maka dapat dilakukan modifikasi pada kompor bertekanan yang sesuai dengan hasil uji karakteristik bahan bakar nabati tersebut. Perumusan Masalah Minyak tanah digunakan oleh sekitar 65 ribu rumah tangga Indonesia, pedagang-pedagang makanan, dan industri. Kelangkaan minyak tanah yang terjadi beberapa tahun terakhir ini menyebabkan harga minyak tanah melonjak tinggi
4
namun sulit untuk diperoleh. Bagi pedagang-pedagang makanan dan industri kecil hal ini tentu saja mengganggu kelangsungan usaha mereka. Sedangkan bagi masyarakat pedesaan yang daerahnya sulit terjangkau, bahan bakar minyak tanah sudah menjadi sejarah bagi mereka. Untuk mengantisipasi permasalahan-permasalahan di atas, maka bahan bakar nabati sebagai pengganti BBM menjadi salah satu solusi yang tidak dapat ditunda lagi. Hal ini didukung dengan potensi Indonesia sebagai negara agraris, dimana potensi sumber daya alamnya sangat berlimpah dan beraneka ragam. Nyamplung merupakan salah satu jenis tanaman yang memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar nabati. Minyak nyamplung berpotensi sebagai bahan bakar pengganti
minyak
tanah
pada
kompor
bertekanan,
namun
dalam
pengaplikasiannya masih harus diteliti mengenai kemungkinan tidak sempurnanya proses penyemprotan minyak sebagai akibat tingginya angka kekentalan minyak tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dalam penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap yang saling terkait meliputi identifikasi masalah untuk menjelaskan secara garis besar target teknis yang ingin dicapai dalam penelitian ini, penelitian pendahuluan untuk mendukung data-data yang akan digunakan pada perhitungan pendugaan selain data sekunder, menghitung pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, menguji profil penyemprotan minyak nyamplung, membuat modifikasi desain koil pemanas minyak berdasarkan hasil perhitungan pendugaan dan karakteristik pemanasan minyak nyamplung, melakukan uji fungsional dari koil pemanas minyak hasil modifikasi, dan melakukan uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menghitung pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak. 2. Membuat modifikasi burner pipa koil pemanas minyak berdasarkan hasil perhitungan pendugaan dan karakteristik pemanasan minyak nyamplung. 3. Melakukan uji fungsional dari burner pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi.
5
Manfaat Penelitian Secara khusus, hasil akhir dari penelitian ini adalah desain kompor bertekanan termodifikasi yang dapat digunakan dengan bahan bakar 100% minyak nyamplung. Secara umum, pemanfaatan minyak nyamplung sebagai pengganti minyak tanah diharapkan dapat menyokong industri kecil, pedagang, dan rumah tangga pedesaan yang jauh dari sumber energi fosil dengan memanfaatkan potensi alam untuk menghasilkan minyak nyamplung sebagai sumber bahan bakar alternatif. Pemanfaatan minyak nyamplung juga diharapkan dapat mengurangi penggunaan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga pedesaan yang dapat berdampak buruk terhadap kelestarian hutan dan lingkungan. Ruang Lingkup Masalah Pada penelitian ini akan dikaji potensi minyak nyamplung sebagai bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah pada kompor bertekanan. Pengujian yang akan dilakukan meliputi penelitian pendahuluan, menghitung pendugaan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, menguji profil penyemprotan minyak nyamplung, membuat modifikasi desain pipa koil pemanas minyak berdasarkan hasil simulasi dan karakteristik pemanasan minyak nyamplung, melakukan uji fungsional dari koil pemanas minyak hasil modifikasi, dan melakukan uji efisiensi pembakaran kompor bertekanan termodifikasi. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendukung data-data yang akan digunakan pada simulasi selain data sekunder. Analisis teknik pendugaan hubungan sebaran suhu, viskositas bahan, dan panjang pipa pemanas minyak dilakukan untuk mendapatkan panjang pipa optimal yang akan dibuat sebagai kumparan pemanas minyak untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung hingga setara dengan minyak tanah, dalam kondisi minyak mengalir sambil dipanaskan. Kemudian melakukan uji penyemprotan awal untuk mengetahui profil penyemprotan minyak nyamplung setelah dilakukan pemanasan. Parameter uji penyemprotan yang diamati meliputi diameter dan sudut penyemprotan. Kontrol
yang
digunakan
adalah
membandingkan
dengan
karakteristik
penyemprotan minyak tanah. Selanjutnya adalah pembuatan modifikasi kompor
6
bertekanan, yaitu modifikasi kumparan pipa pemanas minyak. Uji fungsional dari koil pemanas minyak hasil modifikasi dilakukan untuk melakukan validasi suhu hasil pemanasan dan mengetahui sifat mampu bakar minyak nyamplung. Pada pengujian ini akan diukur suhu minyak nyamplung yang baru saja keluar dari nosel. Sedangkan uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi dilakukan untuk mengetahui waktu dan jumlah bahan bakar terpakai yang dibutuhkan untuk mendidihkan air sebanyak volume tertentu.
TINJAUAN PUSTAKA
Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Tanaman nyamplung dapat ditemukan di Madagaskar, Afrika Timur, Asia Selatan dan Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hindia Barat, dan Amerika Selatan. Tumbuhan ini mempunyai nama yang berbeda di setiap daerah, seperti bintangor di Malaysia, hitaullo di Maluku, nyamplung di Jawa, bintangur di Sumatera, poon di India dan di Inggris dikenal dengan nama alexandrian laurel, tamanu, pannay tree, serta sweet scented calophyllum (Dweek et al. 2002). Sebaran indikatif tegakan alam nyamplung di Indonesia disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Peta sebaran indikatif tegakan alam nyamplung di Indonesia (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia 2009) Taksonomi tanaman nyamplung (Gambar 2) menurut Heyne (1987) adalah sebagai berikut: Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas
: Dicotyledone
Bangsa
: Guttiferales
Suku
: Guttiferae
Marga
: Calophyllum
Jenis
: Calophyllum inophyllum L.
8
Gambar 2 Gambar pohon, kayu, bunga, daun, buah dan biji nyamplung (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia 2009) Tanaman nyamplung biasa tumbuh liar di sepanjang tepian pantai, tetapi tanaman ini dapat juga tumbuh pada tempat dengan ketinggian 100 sampai 350 mdpl. Di Jawa tanaman nyamplung tumbuh liar di hutan yang menjorok ke pantai, tinggi tanaman dapat mencapai 20 m dan mempunyai diameter batang 1.50 m dengan batang yang sangat pendek, bercabang rendah dekat permukaan tanah, dan tumbuh berkelompok (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2009). Kayunya agak ringan hingga sedang dan lembut, tetapi agak halus, berurat kusut, hingga tidak dapat dibelah. Kayu nyamplung mempunyai dua warna, yakni kelabu atau semu kuning, dan merah bata mempunyai urat yang lebih halus dan seratnya juga lebih lurus (Heyne 1987). Bentuk daun majemuk menyirip ganjil dengan bentuk helai daun lanset (lanceolatus), bentuk pangkal daun meruncing dengan panjang 10-12 cm, lebar 2.5-3 cm dan tepi daun rata. Tanaman ini mempunyai bunga majemuk tidak terbatas (inflorescentia centripetala) dengan bunga mekar dari bawah ke atas sehingga berbentuk tandan dengan tangkai bunga tumbuh dari ujung batang (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2009).
9
Buah nyamplung (Gambar 3) berwarna hijau, berbentuk bulat, kulit buah tipis dan akan mengelupas ketika mulai mengering. Inti biji yang mengandung minyak, berbentuk bulat mancung berwarna kuning, dilindungi tempurung keras mirip tempurung kelapa (Heyne 1987) dan memiliki garis tengah antara 2 sampai 4 cm termasuk lapisan pulp yang tipis (3 sampai 5 mm), cangkang, dan sebuah biji. Buah yang telah dewasa berwarna kuning atau merah kecoklatan dan berkerut (Little et al. 1989). Kulit biji yang sudah tua mudah dikupas, daging buah yang tua/kering dapat dikempa dan akan mengandung air 3.3% dan minyak nabati 71.4% yang saat ini dapat digunakan sebagai biodiesel dengan rendemen 50% (1 liter: 2 kg biji kering), berat 1 kg buah kering setara dengan 2,400 biji (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan 2009). Biji-biji dapat dikumpulkan dari pohonnya dengan cara memetik buah atau memotong cabang dengan alat pemotong, tetapi umumnya lebih praktis dengan cara mengumpulkannya setelah buah jatuh ke kepermukaan tanah (Little et al. 1989).
Skin
Kernel
Pulp
Gambar 3 Penampang melintang buah nyamplung (http://en.wikipedia.org 2010) Karakteristik Minyak Nyamplung Minyak nyamplung (Gambar 4) tersusun atas minyak dengan asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh yang berantai karbon panjang, dengan kandungan utama berupa asam oleat 37.57%, asam linoleat 26.33%, dan asam stearat 19.96%, selebihnya berupa asam miristat, asam palmitat, asam linolenat, asam arachidat, dan asam erukat (Balitbang Kehutanan 2008).
10
Gambar 4 Minyak nyamplung dan biodiesel nyamplung (Kementrian Kehutanan Republik Indonesia 2009) Minyak nyamplung diperoleh melalui tahapan proses: (1) pengupasan biji dari kulit yang keras, (2) perajangan hingga menjadi irisan tipis, (3) pengeringan dengan panas matahari selama dua hari, (4) penumpukan, (5) pengukusan, (6) pengepresan atau ekstraksi dengan pelarut organik, (7) degumming, pemisahan getah dengan asam fosfat 1%. Karakteristik minyak nyamplung sebelum dan sesudah degumming dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sifat fisika dan kimia minyak nyamplung Karakteristik Kadar air Densitas pada suhu 20oC Viskositas pada suhu 40oC Bilangan asam Kadar asam lemak bebas Bilangan penyabunan Bilangan iod Indeks refraksi Penampakan/warna
Sebelum degumming (crude oil) 0.25% 0.944 g/ml 56.7 cP 59.94 mg KOH/g 29.53% 198.1 mg KOH/g 86.42 mg/g 1.447 Hijau gelap dan kental dengan bau menyengat
Sesudah degumming (refined oil) 0.41% 0.940 g/ml 53.4 cP 54.18 mg KOH/g 27.21% 194.7 mg KOH/g 85.04 mg/g 1.478 Kuning kemerahan dan kental
Sumber: Balitbang Kehutanan (2008) Minyak nyamplung hasil degumming dengan proses sederhana berupa netralisasi dengan NaOH dapat menjadi biokerosen, sebagai alternatif pengganti minyak tanah yang sangat bermanfaat untuk masyarakat pedesaan (ESDM 2009). Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (2009) menyatakan bahwa minyak nyamplung memiliki daya bakar dua kali lebih lama dibandingkan dengan
11
minyak tanah, yang mana 1 ml minyak nyamplung memiliki pembakaran 11.8 menit, sedangkan 1 ml minyak tanah memiliki pembakaran 5.6 menit. Minyak nyamplung memiliki kemiripan komposisi asam lemak dengan minyak jarak pagar maupun sawit yang sudah dicoba dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel. Tabel 2 berikut menunjukkan bahwa minyak nyamplung memiliki kemiripan komposisi asam lemak dengan minyak jarak pagar maupun sawit yang sudah dicoba dan digunakan sebagai bahan baku biodiesel. Tabel 2 Perbandingan komposisi asam lemak minyak nyamplung dengan minyak jarak pagar dan sawit Komponen Asam miristat (C14) Asam palmitat (C16) Asam stearat (C18) Asam oleat (C18 : 1) Asam linoleat (C18 : 2) Asam Linolenat (C18 : 3) Asam arachidat (C20) Asam erukat (C20 : 1)
Minyak nyamplung 0.09 % 14.60 % 19.96 % 37.57 % 26.33 % 0.27 % 0.94 % 0.72 %
Minyak jarak pagar 11.90 % 5.20 % 29.90 % 46.10 % 4.70 % -
Minyak sawit 0.70 % 39.20 % 4.60 % 41.40 % 10.50 % 0.30 % -
Sumber: Balitbang Kehutanan (2008) Kompor Bertekanan Kompor bertekanan atau pressure stove berbahan bakar minyak tanah telah dikenal dan dipergunakan secara luas sebagai alat untuk memasak dikalangan masyarakat di Indonesia, terutama pada pedagang keliling dengan nama kompor semawar
atau
kompor
brander.
Disain
kompor
minyak
tanah
yang
mempergunakan pembakaran dengan prinsip tekanan ditampilkan pada Gambar 5. Secara umum, kompor bertekanan menghasilkan power output dan efisiensi pembakaran yang lebih tinggi, sehingga bahan bakar yang digunakan lebih kecil untuk tiap satuan berat bahan yang dimasak (Wichert et al. 1987). Prinsip kerja kompor bertekanan adalah mengubah bahan bakar dari fase cair menjadi fase gas atau uap dan membakarnya dengan oksigen sehingga menyala dan menghasilkan energi panas (Sudradjat 2006). Kompor bertekanan memiliki beberapa bagian (Sudradjat 2006), yaitu:
12
a. Nosel Berfungsi sebagai lubang pengeluaran bahan bakar sehingga terjadi proses pembakaran bahan bakar oleh udara (oksigen). b. Saluran penyalur bahan bakar dari tangki menuju nosel Berfungsi sebagai penyalur bahan bakar dari tangki menuju nosel, dimana selama proses penyaluran bahan bakar ikut terpanaskan oleh proses pemanasan awal. c. Mangkuk Berfungsi sebagai tempat terjadinya proses pemanasan awal sehingga dapat memanasi bahan bakar agar viskositasnya menurun maka proses pembakaran akan menjadi lebih mudah. d. Penyangga kompor Berfungsi untuk menjaga posisi kompor bertekanan agar stabil.
Gambar 5 Kompor bertekanan Bahan bakar yang digunakan pada kompor bertekanan adalah bahan bakar berfasa cair, yaitu minyak tanah. Pada pembakaran dengan bahan bakar berfasa cair, diperlukan suatu usaha untuk memperbesar luas permukaan kontak antara udara dengan bahan bakar. Hal ini sesuai dengan Hukum Ficks yang menyatakan bahwa laju perpindahan massa oksigen ke dalam molekul bahan bakar dipengaruhi oleh luas bidang kontak dan gradien konsentrasinya. Efisiensi pembakaran langsung dipengaruhi oleh proses pencampuran antara udara dan bahan bakar. Proses ini dapat berlangsung pada ruang pembakaran atau terpisah dari ruang pembakaran, sebelum dilakukan pembakaran. Pada umumnya
13
sistem yang digunakan untuk memperbesar luas permukaan kontak bahan bakar adalah dengan sistim pembakaran semprot atau spray combustion, seperti pada sistem pembakaran mesin diesel, tungku pembakaran industri dan salah satunya adalah kompor bertekanan. Atomisasi (Pengabutan) Cairan Proses pembuatan butiran cairan didalam fase gas disebut dengan atomisasi. Proses atomisasi dimulai dengan mendorong cairan melalui sebuah nosel. Energi potensial cairan (diukur sebagai tekanan cairan untuk nosel hidrolik atau tekanan udara dan cairan untuk nosel pneumatik) dengan bantuan geometri nosel menyebabkan cairan diubah menjadi bongkahan-bongkahan kecil. Bongkahan ini selanjutnya pecah menjadi pecahan yang sangat kecil yang biasanya disebut dengan butir (drop), butiran (droplet), atau partikel cairan. Setiap semburan (spray) menghasilkan suatu rentang besar butir, rentang ini dinyatakan sebagai distribusi besar butir (drop size distribution). Distribusi besar butiran ini tergantungan pada jenis nosel dan sangat bervariasi untuk setiap jenisnya. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi besar butir adalah sifat-sifat fisik cairan, dan kondisi operasi. Menurut Graco (1995), ada berbagai faktor yang mempengaruhi ukuran dari droplet. Diantara faktor-faktor tersebut adalah sifat-sifat cairan, seperti viskositas, tegangan permukaan, dan kerapatan seperti digambarkan pada Gambar 6.
Gambar 6 Hubungan antara viskositas dan ukuran droplet (Graco 1995)
14
a. Viskositas Viskositas fluida memiliki pengaruh yang sama pada ukuran butiran droplet seperti pada tegangan permukaan. Viskositas menyebabkan fluida melawan agitasi, cenderung untuk mencegah pemecahan cairan
dan mengarah ke
ukuran droplet yang rata-rata lebih besar. Gambar 6 menunjukkan hubungan antara viskositas dan ukuran droplet ketika atomisasi terjadi. b. Tegangan permukaan Tegangan permukaan cenderung untuk menstabilkan cairan, mencegah cairan menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Cairan dengan ketegangan permukaan yang lebih tinggi cenderung memiliki ukuran rata-rata tetesan yang lebih besar pada atomisasi. c. Densitas Densitas menyebabkan cairan mempertahankan akselerasi. Densitas serupa dengan sifat-sifat baik tegangan permukaan dan viskositas, lebih tinggi cenderung menghasilkan ukuran tetesan yang rata-rata lebih besar. Pada proses pembuatan butiran cairan di dalam fase gas, dalam hal ini densitas gas jauh lebih kecil dari densitas cairan. Sehingga mekanisme formasi butiran jauh berbeda untuk perbedaan densitas yang rendah, terutama pada kecepatan tinggi. Pengabutan kebanyakan digunakan untuk keperluan-keperluan pengabutan bahan bakar, pembuatan produk berbentuk granular (bongkahan), operasi perpindahan massa, dan pelapisan permukaan (pengecatan dan lain-lain). Reaksi Pembakaran Pembakaran adalah reaksi kimia eksotermik yang disertai timbulnya kalor, nyala/cahaya, asap dan gas dari bahan yang terbakar, atau pembakaran adalah reaksi kimia yang cepat antara oksigen dan bahan yang dapat terbakar, disertai timbulnya cahaya dan menghasilkan kalor. Pembakaran dikatakan sempurna bila campuran bahan bakar dan oksigen (dari udara) mempunyai perbandingan yang tepat, hingga tidak diperoleh sisa. Bila oksigen terlalu banyak, dikatakan campuran ”lean” (miskin). Sebaliknya, bila bahan bakarnya terlalu banyak (atau tidak cukup oksigen), dikatakan campuran ”rich” (kaya).
15
Perbandingan jumlah udara dengan jumlah bahan bakar disebut dengan AirFuel Ratio (AFR). Perbandingan ini dapat dibandingkan baik dalam jumlah massa ataupun volume yang dinyatakan dengan persamaan (1) sebagai berikut. ................................................................................ (1) Besarnya AFR dapat diketahui dari uji coba reaksi pembakaran yang benarbenar terjadi. Nilai ini disebut AFR aktual. Sedangkan AFR lainnya adalah AFR stokiometrik, yang merupakan AFR diperoleh dari persamaan reaksi pembakaran. Kebalikan dari nilai AFR adalah Fuel Air Ratio (FAR), yaitu perbandingan jumlah bahan bakar dengan jumlah udara. Dari perbandingan nilai AFR tersebut dapat diketahui nilai Rasio Ekuivalen (ϕ): ................................................................................... (2) Dimana jika nilai rasio ekuivalen tersebut: ϕ > 1 : terdapat kelebihan bahan bakar dan campuran disebut campuran kaya bahan bakar (fuel-rich mixture) ϕ < 1 : terdapat kelebihan udara dan campuran disebut campuran miskin bahan bakar (fuel-lean mixture) ϕ = 1 : merupakan campuran stokiometri. Untuk dapat mengetahui nilai AFR, maka harus dihitung jumlah keseimbangan atom C, H, dan O dalam suatu reaksi pembakaran. Adapun rumus umum reaksi pembakaran yang menggunakan udara kering adalah: ( Reaksi
pembakaran
) diatas
............................. (3) adalah
reaksi
pembakaran
sempurna
(stokiometrik), dimana semua hidrogen dan karbon di dalam bahan bakar teroksidasi seluruhnya menjadi H2O dan CO2. Udara yang digunakan dalam reaksi pembakaran mengandung 0.79 kmol nitrogen dan 0.21 kmol oksigen. Proses reaksi pembakaran dapat terjadi dalam dua cara, yaitu premixed dan non-premixed. Api premixed terjadi ketika bahan bakar dan udara sudah dicampur terlebih dahulu sebelum terjadi reaksi pembakaran. Contoh dari api jenis ini adalah pada busur nyala api las dan pada motor pembakaran dalam. Sedangkan
16
api non-premixed adalah api yang berasal dari bahan bakar dengan mengambil udara secara difusi dari lingkungan sekitarnya. Pada api non-premixed, besarnya laju pembakaran dihitung dari laju suplai bahan bakar. Pada bahan bakar padat dan cair, laju tersebut berarti laju suplai material volatile dari permukaan bahan bakar. Sehingga besarnya laju pembakaran ( ̇ ) adalah: ̇
̇
̇
g/m2.s ..................................................................................... (4)
dimana: ̇ ̇
= heat flux berasal dari api (kW/m2) = heat flux yang hilang ke permukaan bahan bakar (kW/m2)
LV = panas yang diperlukan untuk menghasilkan material volatile (kJ/g), dimana untuk bahan bakar cair sama dengan nilai panas penguapannya. Bahan bakar dapat terbakar dan mengalami reaksi pembakaran hanya dalam kondisi gas. Oleh karena itu, bahan bakar yang berada dalam bentuk zat awal selain gas (padat dan cair) harus mengalami perubahan bentuk menjadi gas sebelum dapat terbakar. Untuk bahan bakar cair, proses tersebut dapat dilakukan dengan cara menguapkannya saja. Sedangkan bagi hampir semua bahan bakar padat, perlu dilakukan dekomposisi secara kimiawi yang disebut pirolisis untuk menghasilkan produk yang berat molekulnya cukup ringan sehingga dapat menguap dan terbakar. Pembakaran Semprot Pembakaran semprot terjadi dengan berbagai cara, berdasarkan aplikasi, konfigurasi, dan strukturnya. Kenneth (1986) membagi sistem pembakaran semprot menjadi 5 sistem seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Sistem pembakaran pada kompor minyak bertekanan dapat didekati dengan pembakaran semprot (spray combustion), yang termasuk dalam sistem pembakaran pada tungku industri (industrial furnace). Pada sistem pembakaran kompor minyak agak sedikit berbeda, dalam kasus ini sistem pembakaran terbagi dalam dua bagian utama, yaitu primary zone, dimana bahan bakar diinjeksi ke dalam aliran udara untuk membentuk campuran reaktan yang hampir stoikiometri dalam aliran dua
17
fasa dan secondary zone, dimana pembakaran secara lengkap berlangsung. Sistem pembakaran ini dikategorikan sebagai diffusion flame.
Gambar 7 Sistem pembakaran semprot (Kenneth 1986) Kinerja dari sistem pembakaran semprot sangat dipengaruhi oleh disain injektor. Suatu injektor dapat dievaluasi berdasarkan distribusi ukuran butiran (drop size, droplet) yang dihasilkan, sudut penyemprotan, dan sifat dari bentuk semprotannya. Namun demikian kondisi aliran dan sifat dari bahan bakar juga mempengaruhi bentuk semprotan tersebut. Tipe-tipe sistem injektor dapat dilihat pada Gambar 8. Injektor dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu pressureatomizing injector, dimana hanya bahan bakar cair yang melewati injektor dan atomisasi diperoleh dengan baik karena adanya penurunan tekanan, dan twin-fluid injector, dimana atomisasi bahan bakar cair terjadi karena adanya aliran udara melalui injektor dengan laju yang tinggi (Faeth 1986, diacu dalam Kenneth 1986).
18
Gambar 8 Tipe-tipe sistem injektor (Kenneth 1986) Untuk kompor minyak bertekanan, jenis injektor yang dipakai adalah jenis yang pertama, yaitu pressure-atomizing injector dengan bentuk hollow cone. Dalam kasus kompor, bahan bakar cair ditekan didalam tangki minyak melalui pemompaan oleh pompa tangan dan dialirkan melalui injektor, akibat penurunan tekanan yang tiba-tiba, cairan minyak
berubah menjadi fasa gas. Cairan
mengalami evaporasi dalam vaporizer dan dipancarkan melalui nosel kedalam burner head dimana jet bercampur dengan udara ambien. Pada saat meninggalkan burner head menuju celah campuran bahan bakar-udara terbakar dalam premixed flame. Besarnya tenaga yang diperlukan diatur dengan katup regulator pengatur aliran bahan bakar. Minyak diinjeksi kedalam ruang bakar dan pecah secara pneumatik atau mekanik kedalam sprayer menjadi bentuk butir halus. Penguapan minyak terjadi pada permukaan droplet akibat proses absorbsi panas dari nyala (flame). Difusi udara kedalam droplet dihasilkan dalam penyalaan gas uap disekeliling droplet yang dikenal sebagai droplet burning atau pada sekumpulan droplet yang dikenal sebagai cloud burning sehingga memanaskan droplet dan melepaskan uap mampu
19
bakar tambahan. Suatu daerah nyala atau flame zone terbentuk dimana gas yang bersifat volatil bercampur dengan udara yang disuplai melalui pembakar. Penguapan droplet dan pembakaran lengkap dari gas harus terjadi sebelum penyerapan panas dari nyala dan pendingin berkelanjutan. Secara sederhana proses pembakaran semprot dapat dilihat pada gambar 9.
Gambar 9 Proses pembakaran semprot (Sonnichsen 2004) Pindah Panas Perpindahan panas (heat transfer) dapat didefinisikan sebagai berpindahnya energi dari suatu daerah ke daerah lainnya sebagai akibat dari perbedaan suhu antara daerah-daerah tersebut. Perpindahan panas dapat terjadi melalui tiga cara, yaitu konduksi, konveksi, dan radiasi. Semua cara perpindahan panas memerlukan adanya perbedaan suhu, dan semua cara perpindahan panas berlangsung dari media bersuhu tinggi ke media yang bersuhu lebih rendah (Cengel 2003). Konduksi Menurut Cengel (2003), konduksi dapat terjadi dalam padatan, cairan, atau gas. Dalam gas dan cairan, konduksi disebabkan oleh tabrakan dan difusi dari molekul selama gerak acak mereka. Sedangkan dalam padatan, hal ini terjadi karena kombinasi dari getaran molekul dalam kisi dan transportasi energi oleh elektron bebas seperti dijelaskan oleh Gambar 10.
20
Gambar 10 Mekanisme perpindahan panas konduksi dalam fase yang berbeda dari suatu zat (Cengel 2003) Laju aliran panas dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain luas permukaan benda yang saling bersentuhan, perbedaan suhu awal antara kedua benda, dan konduktivitas panas dari kedua benda tersebut. Konduktivitas panas adalah tingkat kemudahan untuk mengalirkan panas yang dimiliki suatu benda. Setiap benda memiliki konduktivitas yang berbeda. Logam mempunyai konduktivitas panas yang tinggi bila dibandingkan dengan benda lainnya (Syaiful 2009). Menurut Holman et al. (1995), perpindahan panas konduksi didasari oleh Hukum Fourier yang dapat dinyatakan dengan persamaan (5) sebagai berikut. ................................................................................................. (5) dimana: q
= laju aliran panas (Watt)
k
= konduktivitas panas bahan (W/m°C)
A
= luas permukaan pindah panas (m2)
dT/dx = gradien suhu ke arah perpindahan panas (°C) Nilai konduktivitas panas menunjukkan tingkat kemudahan untuk mengalirkan panas yang dimiliki suatu benda. Bila nilai konduktivitas panas besar, bahan tersebut semakin mudah dilewati oleh panas. Nilai konduktivitas panas juga dipengaruhi oleh suhu. Setiap benda memiliki konduktivitas yang
21
berbeda. Logam mempunyai konduktivitas panas yang tinggi bila dibandingkan dengan benda lainnya. Beberapa nilai konduktivitas panas ditampilkan pada Gambar 11 dan Tabel 3.
Gambar 11 Kisaran konduktivitas termal dari berbagai bahan pada suhu ruang (Cengel 2003) Tabel 3 Nilai konduktivitas panas beberapa bahan pada suhu ruang Bahan Berlian Perak Tembaga Emas Aliminium Besi Raksa (cair) Kaca Bata Air Kayu (oak) Helium Udara Sumber: Cengel (2003)
k (W/m oC) 2300 429 401 317 237 80.2 8.54 0.78 0.72 0.613 0.17 0.152 0.026
22
Konveksi Konveksi adalah perpindahan panas yang disertai dengan perpindahan massa atau molekul zat yang dipanaskan. Umumnya konveksi hanya terjadi pada zat cair ataupun gas (fluida) (Kamil 1983). Menurut Holman et al. (1995), besarnya laju aliran panas konveksi dapat dihitung dengan persamaan pendinginan Newton sebagai berikut. (
) ...................................................................................... (6)
dimana: q = laju aliran panas (Watt) h = koefisien pindah panas konveksi (W/m°C) A = luas penampang perpindahan panas (m2) Tw – Tf = perbedaan suhu antara suhu permukaan yang dipanasi dengan suhu fluida di lokasi yang ditentukan (°C). Menurut Holman et al. (1995), perpindahan panas konveksi menurut cara menggerakkan alirannya diklasifikasikan menjadi dua cara, yaitu konveksi bebas atau alami dan konveksi paksa. Pada konveksi bebas pergerakan fluida terjadi karena perbedaan massa jenis yang disebabkan oleh perbedaan suhu, sedangkan pada konveksi paksa fluida bergerak karena adanya pengaruh dari luar dari suatu alat seperti pompa atau kipas. Bilangan Reynold digunakan sebagai kriteria untuk menunjukkan jenis aliran turbulen atau laminer. Aliran yang mempunyai bilangan Reynold kurang dari 2000 merupakan aliran laminer, sedangkan aliran dengan bilangan Reynold antara 2000 dan 4000 merupakan aliran transisi (peralihan dari aliran laminer ke aliran turbulen), dan aliran dengan bilangan Reynold lebih dari 4000 dikatakan sebagai aliran turbulen penuh (Nevers 2005). Radiasi Berbeda dengan perpindahan panas secara konduksi dan konveksi, dimana perpindahan panas terjadi melalui suatu perantara, perpindahan panas secara radiasi sama sekali tidak memerlukan zat perantara. Sifat-sifat perpindahan panas secara radiasi sama dengan sifat-sifat gelombang elektromagnetik. Sebagai contoh
23
adalah perpindahan panas dari matahari ke bumi (Holman et al. 1995). Besarnya laju aliran panas radiasi yang dipancarkan oleh suatu permukaan dinyatakan dengan persamaan berikut: ................................................................................ (7) dimana: Q = laju aliran panas (Watt) A = luas penampang perpindahan panas (m2) σ = angka tetapan Stefan-Boltzman (5.67 x 10-8 W/m2K4) T = suhu permukaan yang bersangkutan (oC) = angka emisi permukaan yang meradiasikan panas dan merupakan ukuran kemampuan meradiasikan energi panas.
24
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Januari hingga November 2011, yang bertempat di Laboratorium Sumber Daya Air, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fateta-IPB; dan Bengkel Ibrahim, Bandung. Alat dan Bahan Penelitian Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kompor bertekanan, thermocouple tipe K, pencatat suhu jenis hybrid recorder Yokogawa, air pressure gauge, thermostat, heater, stopwatch, kamera digital, meteran, peralatan perbengkelan, pompa udara manual yang dilengkapi dengan air pressure gauge, dan gelas ukur. Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak nyamplung, minyak tanah (sebagai kontrol), air, kertas millimeter blok, besi plat, dan besi pipa jenis mild steel. Prosedur Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap yang saling terkait. Identifikasi masalah menjelaskan secara garis besar target teknis yang ingin dicapai dalam penelitian ini, penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendukung data-data yang akan digunakan pada simulasi selain data sekunder, menghitung pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, menguji profil penyemprotan minyak nyamplung, membuat modifikasi desain koil pemanas minyak berdasarkan hasil perhitungan pendugaan dan karakteristik pemanasan minyak nyamplung, melakukan uji fungsional dari koil pemanas minyak hasil modifikasi, dan melakukan uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi. Diagram alir proses penelitian secara umum dapat dilihat pada Gambar 12.
26
Mulai Identifikasi masalah Penelitian pendahuluan dan pengumpulan data-data sekunder Menghitung pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak Uji profil penyemprotan minyak nyamplung
Membuat modifikasi desain pipa koil pemanas minyak
Uji fungsional pipa koil pemanas minyak
Tidak
Ya Uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi
Evaluasi dan analisis data
Selesai Gambar 12 Diagram alir prosedur penelitian Identifikasi Masalah Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi burner kompor bertekanan yang semula digunakan untuk bahan bakar minyak tanah, menjadi elemen pemanas minyak nyamplung. Elemen pipa pemanas ini dirancang berbentuk koil. Panjang
27
pipa yang akan dibentuk menjadi koil ini diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, dan uji profil penyemprotan minyak nyamplung. Koil pipa pemanas minyak ini dirancang untuk dapat memanaskan minyak nyamplung hingga mencapai suhu tertentu dimana viskositas minyak pada suhu tersebut mendekati nilai viskositas minyak tanah yaitu 5 cP (Couper et al. 2005). Sumber pemanas adalah api hasil pembakaran minyak itu sendiri, sehingga proses pemanasannya berkesinambungan. Penurunan viskositas bertujuan agar minyak nyamplung mempunyai karakteristik penyemprotan yang mirip dengan minyak tanah, sehingga diharapkan kualitas pembakarannya pun dapat mendekati kualitas pembakaran minyak tanah. Minyak nyamplung yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak yang telah mengalami proses pemurnian dengan penambahan asam fosfat dan air. Penambahan asam fosfat dan air ini bertujuan untuk memisahkan gum yang ada pada minyak (degumming). Hasil dari degumming akan memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas dari minyak asalnya, yaitu berwarna lebih jernih. Penelitian Pendahuluan Dalam penelitian pendahuluan ini dilakukan pengujian densitas minyak nyamplung pada beberapa tingkat suhu, mengukur laju aliran massa minyak nyamplung, dan menentukan kenaikan suhu minyak dalam tangki pada tahap pemanasan awal sebelum dilakukan pembakaran. Data-data dari penelitian pendahuluan ini digunakan sebagai data pendukung untuk melakukan perhitungan pendugaan selain data-data sekunder dari penelitian terdahulu. a. Pengukuran densitas Pengukuran densitas dilakukan dengan menggunakan alat piknometer 9.2 ml, neraca digital, thermocouple tipe K, pencatat suhu jenis hybrid recorder Yokogawa, gelas ukur, dan heater. Sampel minyak yang akan diukur densitasnya dimasukkan ke dalam cawan heater sebanyak 500 ml. Kemudian minyak dipanaskan pada beberapa tingkat suhu 30, 50, 70, 90, dan 110 oC. Setelah minyak mencapai suhu yang diinginkan, kemudian minyak dimasukkan ke dalam piknometer 9.2 ml dan setelah itu sampel
28
ditimbang. Massa hasil pengukuran dikurangi dengan massa piknometer kosong. Densitas minyak nyamplung dihitung dengan persamaan (8) sebagai berikut. .......................................................................................................... (8) dimana: ρ = densitas (kg/l) m = massa minyak nyamplung (kg) v = volume minyak nyamplung (l) b. Laju aliran massa Laju aliran massa didapat dari pengukuran konsumsi bahan bakar pada kompor yang sama dengan kompor yang akan dimodifikasi. Pengukuran laju aliran massa dilakukan dengan menggunakan kompor bertekanan, koil pemanas minyak sebelum modifikasi, dan gelas ukur. Besar diameter pipa dan nosel pada koil pemanas minyak sebelum modifikasi ini juga akan dijadikan acuan diameter pipa dan nosel koil pemanas minyak yang akan dimodifikasi. Laju aliran massa diukur dengan cara memasukan minyak nyamplung sebanyak 800 ml ke dalam tangki kompor bertekanan. Kemudian tangki diberi tekanan sebesar 2 bar. Setelah itu kompor dinyalakan selama 40 menit. Setelah 40 menit pembakaran, kompor dimatikan dan volume bahan bakar yang tersisa diukur kembali. Laju aliran massa dihitung dengan persamaan (9) sebagai berikut. (
̇
)
............................................................................................... (9)
dimana: ̇
= laju aliran massa (kg/s)
t
= waktu selama pembakaran (s)
ρ
= densitas (kg/l)
v1 – v2 = selisih antara volume minyak awal dan sisa pembakaran (l) c. Menentukan suhu awal minyak dalam tangki sebelum pembakaran Suhu minyak di dalam tangki akan meningkat pada saat pemanasan awal. Pemanasan awal dilakukan selama 10 menit sebelum saluran bahan bakar dibuka dan kemudian minyak terbakar sempurna. Suhu setelah 10 menit pemanasan awal
29
inilah yang akan digunakan sebagai input parameter (Ta) pada proses simulasi. Penentuan suhu awal ini dilakukan dengan menggunakan kompor bertekanan, thermocouple tipe K, dan pencatat suhu jenis hybrid recorder Yokogawa. Percobaan dilakukan dengan mengisi tangki bahan bakar dengan minyak nyamplung sebanyak 800 ml. Thermocouple tipe K dihubungkan ke pencatat suhu jenis hybrid recorder Yokogawa, kemudian sensor thermocouple dimasukan ke dalam tangki bahan bakar. Setelah itu kompor dinyalakan selama 30 menit. Perubahan suhu minyak di dalam tangki selama proses pemanasan awal dan pembakaran secara otomatis akan tercatat oleh pencatat suhu jenis hybrid recorder Yokogawa. Menghitung Pendugaan Hubungan Perubahan Suhu dan Viskositas Minyak terhadap Panjang Pipa Pemanas Minyak Minyak nyamplung memiliki viskositas yang cukup tinggi (50.4 cP). Untuk dapat menggunakan minyak nyamplung sebagai bahan bakar pada kompor bertekanan, maka minyak harus dipanaskan terlebih dahulu. Pemanasan ini bertujuan untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung agar mendekati nilai viskositas minyak tanah yaitu ± 5 cP (Couper et al. 2005). Minyak dipanaskan sambil dialirkan pada sebuah pipa besi jenis mild steel dengan panjang l. Ketika minyak dialirkan sambil dipanaskan, maka akan terjadi perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa. Panjang pipa ketika viskositas mendekati nilai viskositas minyak tanah adalah panjang pipa yang akan digunakan untuk modifikasi pipa koil pemanas minyak. Secara garis besar, alur pendugaan hubungan sebaran suhu, viskositas, dan panjang pipa untuk modifikasi kompor bertekanan ini diilustrasikan oleh Gambar 13. Minyak nyamplung Viskositas μ = 50.4 cP Tawal = 30oC
Target : viskositas minyak nyamplung viskositas minyak tanah μ = 5 cP Tawal = 30oC Suhu pemanas (api) dianggap konstan sepanjang pipa Tapi/pipa = 990oC
Gambar 13 Alur pendugaan hubungan sebaran suhu, viskositas, dan panjang pipa untuk modifikasi kompor bertekanan
30
Ada beberapa asumsi yang digunakan pada pendugaan hubungan sebaran suhu, viskositas, dan panjang pipa untuk modifikasi kompor ini. Asumsi-asumsi tersebut adalah sebagai berikut: 1. Tidak terjadi perubahan kecepatan aliran sepanjang pipa. Tekanan dari tangki minyak diasumsikan tidak mengalami penurunan dan tetap pada tekanan 2 bar 2. Laju aliran massa fluida selalu konstan 3. Suhu pemanas konstan sepanjang pipa 4. Tidak terjadi pindah panas konveksi secara alamiah karena minyak mengalir akibat tekanan yang diberikan pada tangki 5. Dalam perhitungan digunakan pipa dalam kondisi lurus, belum dibentuk koil seperti yang direncanakan pada desain pipa koil pemanas minyak. Pada kondisi tunak, dengan mengabaikan kehilangan panas di sepanjang aliran yang dilaluinya, maka panas yang dipindahkan dari pipa (qp) sama dengan panas yang diterima oleh minyak nyamplung (qm). Pindah panas yang terjadi pada pipa adalah pindah panas secara konduksi dari api pemanas di luar pipa ke bagian dinding dalam pipa, sedangkan pindah panas yang diterima minyak adalah pindah panas konduksi dari bagian dinding dalam pipa ke minyak nyamplung di dalam pipa, dan pindah panas konveksi paksa karena adanya aliran minyak di dalam pipa akibat tekanan. Proses pindah panas yang terjadi di sepanjang pipa diilustrasikan oleh Gambar 14. l
ri
ro T2 T1/Ti To
Gambar 14 Perpindahan panas yang terjadi dari pipa ke minyak Persamaan-persamaan yang mewakili proses pindah panas yang terjadi pada aliran minyak di sepanjang pipa adalah sebagai berikut. qsistem = qpipa-minyak qsistem = qkonduksi pipa + qkonduksi minyak + qkonveksi paksa minyak + qkonveksi bebas
31
( (
) )
(
(
)
)
............(10)
Karena pipa besi jenis mild steel yang digunakan memiliki ketebalan dinding yang tipis, maka diasumsikan panas yang diberikan oleh api pada permukaan dinding luar pipa sama dengan panas yang diterima pada permukaan dinding dalam pipa. Dalam hal ini dianggap tidak ada panas yang hilang akibat ketebalan dinding, atau tidak ada beda suhu antara permukaan dinding luar dan dalam, sehingga pindah panas konduksi akibat pemanasan api dari permukaan dinding luar pipa ke bagian permukaan dinding dalam pipa diabaikan. Pindah panas secara konveksi bebas pada minyak juga diabaikan karena bahan bergerak lebih dominan disebabkan oleh adanya tekanan dari tangki bahan bakar. Sedangkan pergerakan bahan akibat perubahan densitas hampir tidak ada sama sekali. Sehingga persamaan (10) diatas dapat disederhanakan sebagai berikut. ( (
) )
(
<=> <=> (
) )
(
)
) (
(
)
(
)
((
(
)
(
(
)
(
)
( (
)
)
)(
(
))
))
)
((
))
<=> (
)
(
)
<=> (
)
(
) )
((
<=>
(
)
(
<=>
( <=>
(
(
)
)
(
(
)
(
))
)
(
(
(
)
)
(
)
(
)
)
) (
) ( (
) (
) ( ) (
) )
....................................................(11)
32
dimana: ̇
= laju aliran massa (kg/s)
Cp
= panas jenis minyak nyamplung (kJ/kgoC)
k
= konduktifitas termal minyak nyamplung (W/moC)
h
= koefisien pindah panas konveksi (W/m°C)
A
= luas kontak pindah panas (m2)
l
= panjang bidang aliran pipa (m)
Ta
= suhu awal minyak (oC)
To
= suhu dinding permukaan luar pipa (oC)
T1/Ti = suhu dinding bagian dalam pipa (oC) T2
= suhu titik pusat bahan (oC)
ri
= jari-jari bagian dalam pipa (m)
ri
= jari-jari bagian luar pipa (m) Untuk menghitung nilai koefisien pindah panas konveksi (h), maka dapat
didekati dengan persamaan-persamaan yang digunakan dalam perpindahan panas konveksi paksa di dalam pipa seperti tertera pada Tabel 4. Tabel 4 Ikhtisar persamaan-persamaan yang digunakan dalam perpindahan panas konveksi paksa di dalam pipa Sistem
Persamaan
Nomor Persamaan 12
Pipa panjang (L/D > 20) Aliran laminar (Re < 2100)
Nu = 1.86 (Re Pr Dh/L)0.33 (μb/μs)0.14 Pemanasan cairan μb/μs = 0.36 Pendinginan cairan μb/μs = 0.20
Pipa pendek (L/D < 20) Aliran laminar (Re < 2100)
Nu = Re Pr Dh/(4L) ln (1- (2.6 (Pr0.167(Re Pr Dh/L)0.5)))-1
13
Pipa panjang (L/D > 20) Aliran turbulen (Re >2100)
Nu = 0.023 Re0.8 Pr0.33
14
Pipa pendek (L/D < 20) Aliran turbulen (Re >2100)
Nu = 0.023 (1 + (Dh/L)0.7 Re0.8 Pr0.33
15
Sumber: Suhardiyanto et al. (2007) Dimana Mc. Adams dalam Syaiful (2009) mengorelasikan nilai Nusselt rata-rata untuk kondisi temperatur dinding seragam dalam bentuk sebagai berikut.
33
̅̅̅̅
....................................................................................................(16)
Bilangan Prandtl dicari dengan persamaan (17) sebagai berikut. .....................................................................................................(17) Bilangan Reynold digunakan sebagai kriteria untuk menunjukan jenis aliran turbulen atau laminer. Bilangan Reynold dicari dengan menggunakan persamaan (18) sebagai berikut. .................................................................................................(18) dimana: Re = bilangan Reynold ρ
= densitas fluida (kg/m3)
v
= kecepatan aliran fluida (m/s)
Dh = diameter (m) μ
= viskositas dinamik fluida (Pa/detik) Menurut Steffe (1992), pengaruh suhu terhadap viskositas untuk fluida
Newtonian dapat dinyatakan dalam persamaan tipe Arrhenius melibatkan suhu mutlak (T), konstanta gas universal (R), dan energi aktivasi untuk viskositas (Ea) sebagai berikut. ( )
( ) .............................................................................(19)
Konstanta A dan energi aktivasi untuk viskositas (Ea) digunakan untuk menghitung prediksi nilai viskositas terhadap suhu. Penentuan nilai konstanta A dan energi aktivasi untuk viskositas (Ea) dilakukan dengan logaritma natural (ln) pada kedua sisi persamaan (19) di atas sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut. ( (
) ( (
)) )
34
...................................................................................(20) Selanjutnya persamaan (20) di atas diubah menjadi persamaan regresi linier sebagai berikut. ................................................................................................(21)
dimana: x =
..................................................................................................................(22)
y = ln µ ...............................................................................................................(23) a = ln A ..............................................................................................................(24) b =
................................................................................................................(25) Dengan menyubtitusikan persamaan (19) ke persamaan (20) maka hubungan
antara perubahan suhu terhadap panjang pipa, hubungan perubahan viskositas minyak nyamplung terhadap perubahan suhu, dan hubungan perubahan viskositas terhadap panjang pipa dapat diperoleh. Uji Profil Penyemprotan Minyak Nyamplung Uji penyemprotan awal dilakukan untuk mengetahui profil penyemprotan minyak nyamplung setelah dilakukan pemanasan pada beberapa tingkat suhu 30, 50, 70, 90, 110, 130, dan 150 oC. Parameter uji penyemprotan yang diamati meliputi pola, diameter, dan sudut penyemprotan. Kontrol yang digunakan adalah membandingkan dengan profil penyemprotan minyak tanah. Uji penyemprotan dilakukan dengan kompor yang telah dilengkapi pemanas (heater) pada bagian dalam tangki bahan bakarnya. Percobaan diawali dengan mengisi tabung bahan bakar dengan minyak nyamplung sebanyak 800 ml. Selanjutnya tabung bahan bakar diberi tekanan 2 bar, kemudian heater dinyalakan. Jika suhu minyak pada tangki sudah mencapai suhu yang diinginkan, kemudian keran bahan bakar dibuka sampai minyak menyembur. Minyak yang
35
tersembur akan terekam profilnya pada kertas millimeter blok yang telah dibentangkan diatas semburan minyak tersebut dengan jarak 30 cm dari ujung lubang nosel (Gambar 15). Hasil penyemprotan tersebut kemudian langsung difoto dengan menggunakan kamera digital. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penyebaran bentuk penyemprotan bahan bakar akibat terserap oleh kertas milimeter blok, sehingga dapat mempengaruhi besarnya diameter hasil penyemprotan yang diukur. Parameter uji penyemprotan yang diamati meliputi pola, diameter, dan sudut penyemprotan. Bentuk pola, diameter, dan sudut penyemprotan ini kemudian dibandingkan dengan profil penyemprotan minyak tanah. Perbandingan ini akan menunjukan seberapa besar pengaruh pemanasan pada minyak nyamplung terhadap hasil penyemprotannya. Berdasarkan data diameter hasil penyemprotan, menurut Suastawa (2006) besarnya sudut penyemprotan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan (26) sebagai berikut. (
) ................................................................................(26)
dimana: θ
= sudut penyemprotan (°)
Ds = diameter penyemprotan (mm) Tn = tinggi nosel (mm) Sumbu vertikal Kertas millimeter blok
Sumbu horizontal Sudut penyemprotan
30 cm
θ Nosel
Gambar 15 Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar
36
Modifikasi Desain Burner Pipa Koil Pemanas Minyak a. Kriteria Perancangan Dalam penelitian ini dilakukan modifikasi elemen pemanas minyak nyamplung yang akan digunakan pada kompor bertekanan. Elemen pipa pemanas ini dirancang berbentuk koil. Perancangan pipa koil pemanas minyak ini bertujuan untuk memanaskan minyak nyamplung agar dapat menurunkan nilai viskositasnya sehingga mendekati nilai viskositas minyak tanah. Panjang pipa yang akan dibentuk menjadi koil diperoleh berdasarkan hasil perhitungan pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, dan uji profil penyemprotan minyak nyamplung. Pemanasan dilakukan dengan memanfaatkan nyala api pembakaran pada kompor itu sendiri. Panas ini akan memanaskan minyak baik secara konduksi maupun konveksi. b. Rancangan Fungsional Rancangan pipa koil pemanas minyak terdiri dari tiga komponen utama yaitu, elemen pipa pemanas minyak, nosel, dan mangkuk bahan bakar untuk pemanasan awal. Ketiga komponen tersebut diharapkan dapat menunjang rancangan agar dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan. Untuk memenuhi tujuan perancangan pipa koil pemanas minyak ini, maka diperlukan fungsi-fungsi yang dapat menunjang agar rancangan dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan kebutuhan. Elemen pipa pemanas minyak berfungsi sebagai penyalur minyak dari tangki ke nosel. Pada bagian pipa pemanas inilah proses penurunan viskositas minyak terjadi. Nosel berfungsi sebagai tempat pengeluaran minyak setelah dipanaskan. Minyak yang keluar dari nosel ini diharapkan telah memiliki nilai viskositas mendekati minyak tanah. Mangkuk bahan bakar untuk pemanasan awal berfungsi sebagai wadah bahan bakar untuk melakukan pemanasan awal. Api dari proses pemanasan awal ini juga nantinya akan menjadi starter pada pembakaran utama setelah minyak tersembur dari nosel.
37
c. Rancangan Struktural Dalam perancangan, pemilihan bentuk, dimensi, dan bahan yang digunakan merupakan hal yang sangat penting karena akan berdampak langsung pada kinerja alat atau mesin yang dirancang. Masing-masing rancangan struktural pada desain pipa koil pemanas minyak dijelaskan sebagai berikut. 1.
Elemen pipa pemanas minyak Elemen pipa pemanas minyak dibuat berbentuk koil (Gambar 16). Bahan
yang digunakan adalah pipa besi jenis mild steel berdiameter 0.25 inci dengan tebal dinding pipa 1 mm. Panjang elemen pipa pemanas minyak ini diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak.
Gambar 16 Modifikasi pipa koil pemanas minyak 2.
Nosel Nosel merupakan lubang pada elemen pipa pemanas minyak. Nosel ini berdiamater 0.5 mm.
3.
Mangkuk bahan bakar untuk pemanasan awal Mangkuk bahan bakar untuk pemanasan awal ini dibuat dengan bahan besi mild steel. Mangkuk ini memiliki diameter 8 cm, dan dapat menampung minyak untuk pemanasan awal sebanyak 54 ml. Secara umum, proses modifikasi desain pipa koil pemanas minyak ini
ditampilkan pada Gambar 17. Tahap-tahap dalam pembuatan modifikasi kompor bertekanan ini dijelaskan sebagai berikut.
38
1. Tahap perancangan, meliputi pembuatan gambar detail rancangan struktural alat, gambar tiga dimensi alat, gambar bagian-bagian alat, penentuan ukuran, penentuan bahan konstruksi. 2. Tahap pengumpulan alat dan bahan, yaitu: penentuan jumlah bahan-bahan konstruksi yang diperlukan, pembelian bahan, penyediaan alat-alat yang dibutuhkan dalam proses perakitan. 3. Tahap pembuatan dan perakitan, meliputi pembuatan pipa koil pemanas minyak, nosel, dan mangkuk bahan bakar untuk pemanasan awal. Selanjutnya akan dilakukan perakitan dan pengujian. 4. Tahap pengujian, merupakan tahapan untuk mencoba apakah alat yang telah dirancang dapat bekerja dan berfungsi sesuai dengan yang diharapkan. Mulai Tahap perancangan Tahap pengumpulan alat dan bahan Tahap pembuatan dan perakitan Tahap pengujian
Kriteria rancangan
Tahap modifikasi
Tidak
Ya Tahap pengamatan dan analisis data
Selesai Gambar 17 Diagram alir proses perancangan
39
Uji Fungsional Pipa Koil Pemanas Minyak Hasil Modifikasi Pada pengujian ini akan diukur suhu minyak yang keluar dari nosel. Pengujian dilakukan dengan kompor bertekanan dan pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi. Percobaan diawali dengan mengisi tabung bahan bakar dengan minyak nyamplung sebanyak 800 ml. Selanjutnya tabung bahan bakar diberi tekanan 2 bar, dan kemudian kompor dinyalakan. Setelah api pembakaran stabil, selanjutnya dilakukan pengukuran suhu minyak yang baru saja tersembur dari nosel menggunakan thermocouple tipe K. Ada dua cara pengambilan data, yang pertama pengukuran minyak pada saat api kompor menyala. Minyak yang diukur suhunya adalah minyak yang baru saja keluar dari nosel sebelum terbakar. Sedangkan pengujian kedua dilakukan sesaat setelah api pembakaran dipadamkan. Setelah api dipadamkan, saat itu juga minyak yang masih tersembur diukur suhunya. Data-data suhu minyak hasil pengukuran kemudian dibandingkan dengan suhu hasil pendugaan. Uji Coba Pembakaran Kompor Bertekanan Termodifikasi Uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi ini bertujuan untuk mengetahui waktu dan jumlah bahan bakar terpakai yang dibutuhkan untuk memanaskan air hingga mendidih dengan mengunakan kompor bertekanan termodifikasi
berbahan
bakar
minyak
nyamplung.
Hasilnya
kemudian
dibandingkan dengan pengujian kompor bertekanan mengunakan bahan bakar lainnya yang diperoleh dari data sekunder. Pada pengujian ini juga akan diukur peningkatan suhu pada beberapa titik pengukuran yang mewakili suhu air, uap air, permukaan luar panci, ruangan, dan pemanas. Prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: a. Sebanyak 800 ml minyak nyamplung dimasukkan ke dalam tangki bahan bakar, kemudian tangki yang telah diisi bahan bakar diberi tekanan 2 bar. b. Air sebanyak 1 liter dimasukkan ke dalam panci yang telah disediakan. c. Thermocouple tipe K dipasang antara lain berada pada posisi-posisi yang dapat mewakili suhu air (T1), uap air (T2), permukaan dinding luar panci (T3), ruangan (T4), serta pemanas (T5) seperti digambarkan pada Gambar 18.
40
T2 T3 T1
T4
T5
Gambar 18 Skema pengujian efisiensi pembakaran d. Thermocouple lalu dihubungkan dengan pencatat suhu jenis hybrid recorder Yokogawa. e. Kompor kemudian dinyalakan, dan setelah api stabil lalu panci diletakkan di atas kompor. Hybrid recorder dinyalakan, dan pencatatan suhu dilakukan secara bersamaan saat panci diletakkan di atas kompor. f. Menghentikan proses pemanasan dan pengukuran suhu setelah air mendidih (saat titik pengukuran suhu air menunjukkan nilai konstan). g. Mengukur dan menimbang sisa minyak nyamplung pada tangki bahan bakar. Analisis Data Data hasil percobaan, pengamatan, dan perhitungan yang diperoleh disajikan dan dianalisis dalam bentuk tabel dan grafik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pendugaan Hubungan Perubahan Suhu dan Viskositas Minyak terhadap Panjang Pipa Pemanas Minyak Dari penghitungan yang telah dilakukan pada Lampiran 3, diketahui bahwa untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung dari 50.4 cP, agar mendekati viskositas minyak tanah sebesar 5 cP (Couper et al. 2005), maka dibutuhkan pemanasan 990 oC di sepanjang pipa dengan menggunakan pipa berdiameter 0.25 inci sepanjang 25 cm. Selanjutnya, pipa ini dibentuk menjadi koil sebanyak 2 lilitan. Hasil pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak ditampilkan pada Gambar 19 dan 20. 25
Viskositas (cP)
20 15 10 5 0 0
30
60
90 Suhu
120
150
180
(oC)
Gambar 19 Grafik pendugaan penurunan nilai viskositas terhadap suhu
Viskositas (cP)
25 20 15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
30
Panjang pipa (cm)
Gambar 20 Grafik pendugaan penurunan nilai viskositas terhadap panjang pipa pemanas
42
Dari Gambar 19 dan 20 terlihat bahwa viskositas akan semakin menurun dengan semakin meningkatnya suhu dan bertambah panjangnya pipa pemanas. Bentuk grafik penurunan viskositas terhadap suhu ini juga serupa dengan hasil eksperimental yang dilakukan oleh Rabelo et al. (2000) pada percobaannya dengan menggunakan beberapa jenis asam lemak seperti yang ditampilkan pada Gambar 21.
Gambar 21 Viskositas dinamik beberapa jenis asam lemak (Rabelo et al. 2000) Dari hasil perhitungan, viskositas menurun dengan cepat pada tahap awal pemanasan, yaitu pada rentang suhu 44-75 oC. Selanjutnya penurunan viskositas terjadi dengan lambat. Hal ini disebabkan karena saat minyak dipanaskan, maka akan mengakibatkan pergeseran jarak molekul dalam minyak menjadi lebih besar sehingga volume minyak tersebut bertambah. Namun ketika minyak dipanaskan lebih lanjut, pergeseran molekul minyak sudah berada pada jarak yang maksimum sehingga sulit untuk meregangkan jarak menjadi lebih besar lagi. Akibatnya penurunan viskositas pun terjadi dengan lebih lambat. Dalam penelitian ini tidak dilakukan validasi nilai viskositas minyak nyamplung yang telah terpanaskan melalui burner pipa koil pemanas minyak. Validasi hasil perhitungan pendugaan yang dilakukan hanya pada suhu minyak yang keluar dari nosel, dan juga dibandingkan dengan hasil pengujian karakteristik penyemprotan minyak nyamplung dan minyak tanah. Data sekunder hasil penelitian penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu (Wahyudi 2010) pada Tabel 5 dibutuhkan untuk proses menghitung simulasi penurunan nilai
43
viskositas minyak nyamplung tiap 1 cm pertambahan panjang pipa koil pemanas minyak. Proses perhitungan simulasi penurunan nilai viskositas minyak nyamplung tiap 1 cm pertambahan panjang pipa koil pemanas minyak dijelaskan pada Lampiran 3. Nilai viskositas terhadap peningkatan suhu hasil penelitian Wahyudi (2010) ini adalah nilai viskositas minyak dalam satuan cetistokes. Sementara satuan viskositas yang dipakai dalam penelitian ini adalah centipoises. Sehingga untuk mengubah satuan centistokes menjadi centipoises, maka dibutuhkan data pengukuran
nilai
densitas
terhadap
peningkatan
suhu
pada
penelitian
pendahuluan. Data sekunder penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu (Wahyudi 2010) dan hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu pada penelitian pendahuluan ditampilkan pada Tabel 5. Tabel 5 Data sekunder penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu (Wahyudi 2010) dan hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu pada penelitian pendahuluan No.
Suhu (oC)
1 2 3 4 5
30 50 70 90 110
Viskositas (cSt) (Wahyudi 2010) 56 28 18 9 5
Densitas (g/ml) (Penelitian Pendahuluan) 0.915 0.911 0.905 0.896 0.890
Uji Profil Penyemprotan Minyak Nyamplung Uji penyemprotan minyak nyamplung dilakukan untuk mengetahui profil sebaran semprotan dari minyak nyamplung tersebut, baik dalam kondisi suhu ruang maupun setelah pemanasan. Tekanan pada tangki bahan bakar yang digunakan adalah sebesar 2 bar. Pada pengujian ini, minyak tanah digunakan sebagai kontrol. Sebelum minyak nyamplung disemprotkan, minyak terlebih dahulu dipanaskan pada beberapa tingkat suhu. Hasil pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, menunjukkan bahwa viskositas minyak nyamplung akan setara dengan minyak tanah pada suhu minyak 161.81 oC. Oleh karena itu, profil penyemprotan minyak nyamplung kemudian diambil dari keadaan suhu ruang hingga suhu pemanasan
44
mencapai 161.81 oC. Profil penyemprotan diambil pada tiap interval suhu 20 oC. Perbandingan hasil profil penyemprotan minyak nyamplung dan minyak tanah ditampilkan pada Gambar 22.
(a)
(b)
Gambar 22 Perbandingan profil penyemprotan (a) minyak nyamplung pada suhu 150 oC, dan (b) minyak tanah pada suhu ruang Pada pengujian ini, minyak tanah yang digunakan sebagai kontrol memiliki diameter penyemprotan rata-rata atau equivalent cellular diameter sebesar 66.75 mm pada suhu ruang. Sedangkan minyak nyamplung memiliki diameter penyemprotan rata-rata sebesar 65.67 mm pada suhu 150 oC. Diameter hasil penyemprotan ini meningkat dengan bertambahnya suhu pemanasan. Jika dibandingkan dengan hasil pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, profil penyemprotan minyak nyamplung akan setara dengan minyak tanah pada suhu pemanasan 161.81 oC, yaitu ketika viskositas minyak nyamplung mendekati nilai viskositas minyak tanah. Hal ini bisa saja terjadi mengingat penurunan viskositas dari suhu 150 oC menuju 161.81 oC tidak terjadi penurunan yang terlalu signifikan, yaitu dari 5.50 cP menuju ke 5.34 cP. Grafik hubungan diameter dan sudut semprotan minyak nyamplung terhadap peningkatan suhu ditampilkan pada Gambar 23 dan 24. Besarnya peningkatan diameter semprotan terhadap kenaikan suhu ini mengikuti persamaan d = 0.435T + 2.552, dengan koefisien determinan sebesar 0.961. Sudut hasil penyemprotan juga berbanding lurus dengan hasil diameter penyemprotan. Sudut penyemprotan minyak tanah sebagai kontrol adalah 12.69o
45
pada suhu ruang, sedangkan sudut penyemprotan minyak nyamplung adalah 12.49o pada suhu 150 oC. Besarnya peningkatan sudut semprotan terhadap kenaikan suhu ini mengikuti persamaan θ = 0.082T + 0.51, dengan koefisien
Diameter semprotan (mm)
determinan sebesar 0.961. 80 60 40
d = 0.435T + 2.552 R² = 0.961
20 0 0
30
60
90
120
150
180
Suhu (oC)
Minyak nyamplung
Minyak tanah
Gambar 23 Grafik hubungan diameter semprotan minyak nyamplung terhadap peningkatan suhu
Sudut semprotan (o)
15
10 θ = 0.082T + 0.51 R² = 0.961
5
0 0
30
60
90
120
150
180
Suhu (oC) Minyak nyamplung
Minyak tanah
Gambar 24 Grafik hubungan sudut semprotan minyak nyamplung terhadap peningkatan suhu Dari Gambar 23 dan 24 di atas terlihat bahwa besar diameter dan sudut penyemprotan bertambah dengan meningkatnya suhu pemanasan minyak. Hal ini disebabkan karena semakin meningkatnya suhu maka akan semakin menurunkan nilai viskositas, yang juga menyebabkan turunnya nilai tegangan permukaan dan
46
densitas minyak (Sunandar 2010). Menurut Ing et al. (2010), tingkat kekentalan minyak (viskositas), tegangan permukaan, dan densitas adalah tiga sifat fluida yang berpengaruh dalam pembentukan butir semprotan (droplet). Graco (1995) menyatakan bahwa viskositas memiliki pengaruh yang sama pada ukuran butir semprotan (droplet) seperti pada tegangan permukaan dan densitas. Viskositas menyebabkan fluida melawan agitasi, cenderung untuk mencegah pemecahan cairan, dan mengarah ke ukuran droplet yang rata-rata lebih besar (Graco 1995). Viskositas, tegangan permukaan, dan densitas sendiri dipengaruhi oleh suhu, semakin tinggi suhu, maka nilai viskositas, tegangan permukaan, dan densitas akan semakin menurun. Sehingga dengan semakin menurunnya nilai
viskositas,
tegangan permukaan, dan densitas
maka
pembentukan droplet yang terjadi akan lebih kecil. Dengan demikian maka hasil penyemprotannya akan menghasilkan rentang besar butir yang lebih besar. Hal ini juga didukung oleh penelitian Ing et al. (2010) pada penelitian karakteristik penyemprotan campuran biofuel kelapa sawit, dimana besarnya diameter droplet akibat pengaruh viskositas mengikuti persamaan y = 9654x + 45. Besarnya diameter droplet akibat pengaruh densitas mengikuti persamaan y = 1.278x – 982.8. Sedangkan besarnya diameter droplet akibat pengaruh tegangan permukaan mengikuti persamaan y = 30281x – 835.5. Hubungan ketiga sifat minyak ini dengan pembentukan diameter droplet ditampilkan pada Gambar 25, 26, dan 27.
Gambar 25 Grafik hubungan diameter droplet dengan perubahan viskositas (Ing et al. 2010)
47
Gambar 26 Grafik hubungan diameter droplet dengan perubahan densitas (Ing et al. 2010)
Gambar 27 Grafik hubungan diameter droplet dengan perubahan tegangan permukaan (Ing et al. 2010) Peristiwa perubahan viskositas terhadap suhu dapat dijelaskan dengan teori termodinamika yang menyatakan bahwa semakin tinggi suhu suatu fluida, molekul fluida akan bergerak cepat sehingga secara makro akan meningkatkan tekanan. Jika tidak terdapat batas pada materi tersebut, maka materi akan mengembang dan memperlebar jarak antar molekulnya. Jarak antar molekul yang lebar akan mengakibatkan kerapatan (densitas) dan viskositas semakin menurun (Annamalai et al. 2002). Penurunan viskositas terhadap suhu ini dibuktikan oleh penelitian Sunandar (2010) pada pengujian sifat termofisik minyak kelapa (Gambar 28a), dan Murni (2010) pada pengujian pengaruh suhu terhadap viskositas biodiesel kelapa sawit dan solar (Gambar 29). Menurut hasil peneltian Sunandar (2010), besarnya
48
penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu mengikuti persamaan μ = -0.545T + 46.35, seperti ditampilkan pada Gambar 28a. Secara empiris, penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu ini juga
didukung
oleh
Steffe
(1992)
pada
persamaan
model
Arhenius,
( ), dimana dari persamaan ini dapat dilihat bahwa dengan bertambah besarnya nilai suhu (T), maka nilai viskositasnya akan menjadi lebih kecil. Bird et al. (1960) pada persamaan
̃ ̃
juga memperlihatkan
penurunan eksponensial viskositas terhadap suhu, yang sudah banyak terbukti untuk beberapa cairan yang umum ditemukan.
(a)
(b)
Gambar 28 Grafik penurunan nilai (a) viskositas, dan (b) densitas minyak kelapa terhadap peningkatan suhu (Sunandar 2010)
Gambar 29 Grafik penurunan nilai viskositas terhadap suhu pada biodiesel kelapa sawit dan solar (Murni 2010)
49
Menurut Graco (1995), densitas menyebabkan cairan mempertahankan akselerasi. Kenaikan suhu mengakibatkan bergesernya jarak molekul dalam minyak menjadi lebih besar, sehingga akibat bertambahnya jarak antar molekul, jumlah molekul yang mengisi satu satuan volume menjadi lebih kecil sedangkan volumenya menjadi lebih besar. Dengan bertambah besarnya volume dan merujuk persamaan
, maka angka densitas akan menjadi lebih kecil. Penurunan
densitas terhadap suhu juga dibuktikan oleh penelitian Sunandar (2010) pada pengujian sifat termofisik minyak kelapa, dimana besarnya penurunan densitas terhadap peningkatan suhu mengikuti persamaan ρ = -0.01 ln (T) + 1.023, seperti ditampilkan pada Gambar 28b. Tegangan permukaan cenderung untuk menstabilkan cairan dan mencegah cairan menjadi butiran-butiran yang lebih kecil. Cairan dengan ketegangan permukaan yang lebih tinggi cenderung memiliki ukuran rata-rata tetesan yang lebih besar pada atomisasi. Umumnya ketika terjadi kenaikan suhu, nilai tegangan permukaan mengalami penurunan. Turunnya nilai tegangan permukaan juga akan memperkecil pembentukan ukuran droplet (Tolman 1949). Semakin kecil ukuran droplet maka sebaran semprotannya akan semakin melebar. Grafik penurunan nilai tegangan permukaan minyak kelapa dan beberapa minyak lainnya terhadap peningkatan suhu ditampilkan pada Gambar 30.
Gambar 30 Grafik penurunan tegangan permukaan beberapa jenis minyak terhadap peningkatan suhu (Sunandar 2010) Penurunan nilai tegangan permukaan terhadap peningkatan suhu ini disebabkan karena ketika suhu meningkat, molekul cairan bergerak semakin cepat sehingga pengaruh interaksi antar molekul cairan berkurang. Akibatnya nilai
50
tegangan permukaan juga mengalami penurunan. Hal ini didukung secara empiris oleh Gennes et al. (2002), dimana tegangan permukaan cairan sebagai fungsi suhu mengikuti
persamaan
̃
(
).
Sedangkan
menurut
penelitian
Sunandar (2010), besarnya penurunan angka tegangan permukaan dari minyak kelapa mengikuti persamaan γ = -5E-05T + 0.041 (Gambar 30). Menurut Abdullah (2010), untuk mendapatkan kualitas butiran droplet yang lebih halus dapat juga dilakukan dengan menambah tekanan injeksi penyemprotan pada tangki bahan bakar. Tekanan injeksi yang lebih tinggi akan menghasilkan proses atomisasi yang lebih baik, seperti ditampilkan pada hasil penyemprotan minyak canola pada Gambar 31.
Gambar 31 Hasil penyemprotan minyak nabati canola murni dan perbesaran gambar droplet pada tekanan injeksi yang berbeda (Ti = 700 K, t = 0.5 ms) (Abdullah 2010) Modifikasi Burner Pipa Koil Pemanas Minyak Pada tahap modifikasi ini telah dilakukan perancangan ulang burner kompor bertekanan yang semula digunakan untuk bahan bakar minyak tanah. Burner minyak tanah berfungsi sebagai saluran bahan bakar dan tempat terjadinya proses pembakaran minyak. Burner minyak tanah tidak memiliki fungsi sebagai elemen pemanas karena pengabutan minyak tanah sendiri sudah dapat terjadi dengan baik
51
pada suhu ruang. Minyak tanah dapat langsung terbakar setelah teratomisasi dari nosel. Sedangkan pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi memiliki dua fungsi yaitu sebagai burner dan elemen pemanas minyak untuk menurunkan viskositas. Minyak nyamplung tidak dapat digunakan langsung pada kompor bertekanan dengan burner minyak tanah. Hal ini disebabkan karena burner jenis ini tidak memiliki fungsi pemanasan awal minyak. Jika minyak nyamplung digunakan langsung pada kompor bertekanan dengan burner yang belum dimodifikasi, maka minyak tidak dapat teratomisasi dan terbakar dengan baik akibat tingginya nilai viskositas minyak. Viskositas menjadi hal yang penting dalam sistem kompor bertekanan. Jika viskositas tinggi, maka tahanan untuk minyak mengalir pun tinggi. Karakteristik ini sangat penting karena kualitas atomisasi bahan bakar sangat bergantung pada viskositas, dimana nilai viskositas ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Ketika suhu minyak meningkat, maka nilai viskositasnya akan turun. Oleh karena itu burner kompor bertekanan termodifikasi ini juga memliki fungsi sebagai elemen pemanas minyak, sehingga dapat menurunkan nilai viskositas agar tercapai viskositas yang diinginkan untuk minyak dapat teratomisasi dan terbakar dengan baik. Burner kompor bertekanan sebelum modifikasi ini memiliki tinggi 10 cm. Burner kompor bertekanan sebelum modifikasi ditampilkan pada Gambar 32. Sedangkan gambar skematis modifikasi kompor bertekanan sebelum dan setelah modifikasi dapat dilihat pada Lampiran 11 dan 12.
10 cm
Gambar 32 Burner kompor bertekanan sebelum modifikasi
52
Pipa koil pemanas minyak hasil rancangan memiliki dimensi keseluruhan 15 x 8 x 8 cm. Gambar hasil rancangan pipa koil pemanas minyak ditampilkan pada Gambar 33. Pipa yang digunakan adalah jenis pipa besi mild steel dengan panjang keseluruhan 50 cm, diameter 0.25 inci, dan ketebalan pipa 1 mm. Berdasarkan hasil pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak, panjang pipa yang dibutuhkan untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung agar mendekati nilai viskositas minyak tanah adalah sepanjang 25 cm. Pada proses perhitungan pendugaan panjang pipa, kondisi pipa yang digunakan adalah pipa lurus. Sedangkan pada tahap pembuatan, pipa lurus ini akan dirancang berbentuk koil. Pada rancangan pipa koil pemanas minyak ini, nosel tempat keluarnya minyak akan berada pada bagian pusat dari panjang pipa keseluruhan. Sehingga panjang pipa koil pemanas minyak dirancang dua kali dari panjang pipa hasil pendugaan, yaitu 50 cm. Dengan demikian, maka nosel tetap akan berada pada posisi titik 25 cm dari pangkal pipa koil pemanas. Dengan kata lain, minyak yang melewati pipa koil pemanas, baik dari saluran masuk minyak sebelah kiri maupun kanan pipa koil pemanas, tetap akan terpanaskan sepanjang 25 cm sebelum akhirnya keluar melalui nosel.
Piringan penyebar nyala api
Nosel
Pipa koil pemanas minyak
Mangkuk bahan bakar untuk pemanasan awal
Gambar 33 Hasil rancangan elemen pipa koil pemanas minyak Lubang nosel tempat keluarnya minyak yang akan dibakar memiliki diameter 0.5 mm. Diameter nosel ini diadaptasi dari diameter nosel pada burner kompor bertekanan sebelum modifikasi. Pada bagian dasar pipa koil pemanas
53
terdapat mangkuk bahan bakar untuk pemanasan awal. Mangkuk ini dapat menampung minyak yang digunakan sebagai starter sebanyak 54 ml. Diameter mangkuk ini adalah 8 cm. Pipa koil pemanas minyak ini juga dilengkapi dengan piringan penyebar nyala api yang diletakan pada bagian tengah atas lingkaran pipa koil pemanas minyak. Piringan penyebar nyala api ini berfungsi untuk memperluas sebaran nyala api hasil pembakaran agar api dan alat masak memiliki luas permukaan kontak pindah panas yang semakin besar. Dengan demikian, maka panas yang diterima oleh alat masak akan tersebar lebih merata. Elemen pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi ini digunakan sebagai pengganti burner pada kompor bertekanan yang biasanya menggunakan bahan bakar minyak tanah. Pada pipa koil pemanas minyak ini terdapat mur pada bagian pangkalnya. Mur ini berfungsi sebagai penghubung antara pipa koil pemanas dengan saluran minyak kompor yang sebelumnya merupakan tempat dimana burner kompor awal dipasang. Gambar hasil rancangan pipa pemanas minyak yang telah dipasang pada kompor bertekanan ditampilkan pada Gambar 34.
(a)
(b)
Gambar 34 Elemen pipa koil pemanas minyak (a) setelah dipasang pada kompor bertekanan, (b) kompor lengkap dengan dudukan alat masak Mekanisme kerja kompor bertekanan termodifikasi ini adalah dengan menekan minyak di dalam tangki bahan bakar melalui pemompaan. Pemompaan ini biasanya dilakukan dengan pompa tangan atau pompa udara manual, sehingga tekanan di dalam tangki bahan bakar lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan
54
udara lingkungan. Setelah keran bahan bakar dibuka, maka minyak akan mengalir mengisi pipa koil pemanas minyak untuk selanjutnya dipanaskan dan terjadi penurunan viskositas. Sedangkan pada burner konvensional, minyak langsung mengalir menuju nosel tanpa ada pemanasan awal terlebih dahulu. Karena adanya penurunan tekanan dari tangki bahan bakar menuju lingkungan, maka cairan minyak mengalir keluar menuju lingkungan melalui nosel dan pecah secara pneumatik menjadi bentuk butiran-butiran halus (droplet) akibat viskositas minyak yang rendah setelah proses pemanasan awal sebelum minyak disemprotkan pada nosel. Droplet ini kemudian terpanaskan oleh nyala api pembakaran pada burner, dan terjadi penguapan minyak pada permukaan droplet akibat proses perpindahan panas dari nyala api. Cairan minyak yang telah menguap dan berada dalam fase gas ini kemudian bercampur dengan udara ambien untuk selanjutnya terbakar dan menjadi pemanas minyak selanjutnya. Mekanisme kerja kompor bertekanan sebelum dan setelah modifikasi adalah sama. Perbedaan hanya terletak pada proses pemanasan awal minyak. Pada kompor bertekanan sebelum modifikasi tidak ada proses pemanasan awal minyak. Seperti hal nya pada kompor bertekanan termodifikasi, aliran minyak yang terjadi pada kompor bertekanan sebelum modifikasi ini adalah akibat perbedaan tekanan pada tangki bahan bakar dan lingkungan. Tekanan di dalam tangki bahan bakar lebih tinggi daripada tekanan udara lingkungan. Sehingga setelah keran bahan bakar dibuka, maka minyak akan mengalir menuju tekanan udara lingkungan yang lebih rendah melalui nosel. Minyak yang mengalir dari tangki bahan bakar kemudian masuk ke saluran minyak pada burner, dan langsung mengalir menuju nosel. Karena adanya perubahan tekanan secara tiba-tiba, maka cairan minyak yang keluar dari nosel pecah secara pneumatik menjadi droplet. Sementara mangkuk bahan bakar pada burner kompor bertekanan sebelum modifikasi ini hanya ditujukan sebagai wadah minyak yang digunakan sebagai starter api pembakaran awal. Uji Fungsional Pipa Koil Pemanas Minyak Hasil Modifikasi Uji fungsional pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi bertujuan untuk melakukan validasi suhu yang keluar dari nosel setelah dipanaskan melewati elemen pipa koil pemanas. Ada dua kondisi pengambilan data suhu pada nosel,
55
yaitu pada kondisi api kompor menyala dan sesaat setelah api kompor dipadamkan seperti ditampilkan pada Gambar 35 dan 36.
Posisi pengukuran
(a)
(b)
Gambar 35 Validasi pengukuran suhu minyak pada nosel saat api menyala (a) kondisi pengukuran yang baik, (b) kondisi pengukuran yang terganggu
Gambar 36 Validasi pengukuran suhu minyak pada nosel sesaat setelah api padam Dari pengujian yang telah dilakukan, diperoleh bahwa rata-rata suhu minyak pada nosel dengan kondisi pengukuran saat api kompor menyala adalah 168.50 o
C. Suhu rata-rata minyak pada nosel dengan kondisi pengukuran sesaat setelah
api kompor dipadamkan adalah 164.70
o
C. Sedangkan suhu minyak hasil
56
pendugaan adalah 161.81 oC. Hasil pengukuran suhu dibandingkan dengan hasil pendugaan suhu ditampilkan pada Gambar 37.
180
Suhu (oC)
150 120 90 60 30 0 Kondisi pengambilan data Pengukuran suhu saat api menyala
Pengukuran suhu saat api padam
Pendugaan suhu minyak
Gambar 37 Validasi pengukuran suhu minyak pada nosel Sazhin et al. (2005) menyatakan bahwa pembakaran spontan dipengaruhi oleh temperatur bahan bakar. Menurut Murni (2010), pemanasan bahan bakar akan meningkatkan suhu bahan bakar dan mengakibatkan penurunan viskositas. Bahan bakar dengan viskositas rendah akan teratomisasi dengan lebih baik sehingga menghasilkan butiran yang lebih kecil. Dengan kondisi seperti ini maka proses pencampuran bahan bakar dengan udara akan lebih homogen sehingga pada proses pembakaran, bahan bakar yang terbakar akan menjadi lebih banyak. Diameter butiran
droplet
juga mempengaruhi
waktu
pembakaran.
Pembakaran sendiri adalah reaksi kimia yang cepat antara oksigen dan bahan yang dapat terbakar, disertai timbulnya cahaya dan menghasilkan kalor. Pembakaran spontan adalah pembakaran dimana bahan mengalami oksidasi perlahan-lahan sehingga kalor yang dihasilkan tidak dilepaskan, akan tetapi dipakai untuk menaikkan suhu bahan secara pelan-pelan sampai mencapai suhu nyala. Proses pembakaran pada butiran droplet sendiri terjadi dalam tiga tahapan, yaitu pemanasan butiran, penguapan butiran, dan pembakaran butiran (Murni 2010). Pada temperatur yang sama, diameter bintik yang terkecil mempunyai waktu tunda penyalaan (ignition delay times) paling cepat, atau dapat dikatakan bahwa bila semprotan bahan bakar dari nosel dapat berbentuk butiran yang kecil maka
57
waktu pembakaran yang terjadi akan semakin cepat (Warnatz et al. 2006). Sementara butiran semprotan yang lebih besar akan lama terbakar, atau tidak terbakar sama sekali karena jatuh mengikuti gravitasi sebelum sempat terbakar. Waktu tunda penyalaan droplet dijelaskan oleh Warnatz et al. (2006) pada waktu tunda penyalaan untuk droplet metanol dalam udara panas pada Gambar 38.
Gambar 38 Waktu tunda penyalaan untuk droplet metanol dalam udara panas (hubungan temperatur gas dan ukuran diameter droplet) (dari 10 µm sampai 100 µm) (Warnatz et al. 2006) Dengan viskositas yang lebih rendah, maka akan menghasilkan rentang besar butir semprotan yang lebih besar dan pembakarannya menjadi lebih baik. Pemanasan awal minyak nyamplung dengan tujuan untuk menaikkan suhu minyak dan menurunkan viskositasnya agar mendekati nilai viskositas minyak tanah ini diharapkan dapat menghasilkan kualitas pembakaran yang lebih baik. Dengan demikian proses pemanasan awal minyak melalui pipa koil pemanas akan berjalan berkesinambungan. Secara keseluruhan, kompor bertekanan dengan elemen pipa koil pemanas minyak hasil modifikasi ini telah dapat beroperasi dengan baik. Tetapi karena karakter minyak nyamplung yang mengandung banyak getah dan sulit untuk dihilangkan, maka terkadang masih terjadi penyumbatan gum pada nosel, seperti ditampilkan pada Gambar 39. Gum ini akan mengganggu stabilitas aliran minyak di tahap selanjutnya (Zin 2006). Gum merupakan getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, residu, air dan resin. Senyawa organo-fosfor
58
kompleks atau biasa disebut fosfolipid (fosfatida) pada gum harus dihilangkan karena akan menjadi pengemulsi yang kuat pada minyak (Kim et al. 2002). Penyumbatan gum pada nosel ini menyebabkan kualitas pembakarannya menjadi kurang baik. Api yang dihasilkan terlihat seperti meledak-ledak, yang disebabkan oleh minyak yang tersendat-sendat aliran keluarnya oleh gum pada nosel, sehingga nosel harus dibersihkan secara rutin.
Gum
Gambar 39 Penyumbatan oleh gum pada nosel Gum yang terkandung pada minyak nyamplung tidak hanya mengganggu stabilitas aliran minyak pada proses pembakaran, tetapi juga menyebabkan pengerakan pada dinding dalam pipa dan penyumbatan pada nosel. Minyak nyamplung tidak hanya mengandung gum yang tersuspensi, tetapi juga mengandung gum yang terlarut. Setelah pemakaian berulang-ulang, gum yang terlarut pada minyak nyamplung menyisakan kerak yang menempel pada permukaan dalam pipa dan menyebabkan terjadinya penyempitan diameter pipa. Penggunaan jangka panjang tanpa pembersihan secara rutin dapat menyebabkan penyumbatan oleh kerak gum secara menyeluruh pada pipa koil pemanas minyak, sehingga minyak tidak dapat mengalir lagi. Gum juga menyebabkan penyumbatan nosel dari permukaan dalam pipa. Kondisi ini tentu saja merugikan karena sulitnya proses untuk membersihkan gum tersebut sehingga terkadang pipa koil pemanas minyak menjadi tidak dapat terpakai lagi.
59
Selain penyumbatan yang disebabkan oleh gum, pengerakan dan penyumbatan juga dapat disebabkan oleh polimerisasi minyak. Sama seperti hal nya dengan minyak goreng yang dipanaskan berulang-ulang dan menjadi minyak jelantah, maka minyak nyamplung yang dipanaskan berulang-ulang juga akan mengalami
kerusakan.
Kerusakan
minyak
akibat
pemanasan
ini
akan
mempengaruhi kualitas minyak, pembakaran, dan berkontribusi juga terhadap penyumbatan. Pada proses pemanasan minyak secara berulang-ulang akan menyebabkan terbentuknya polimerisasi adisi dari asam lemak tak jenuh, sehingga membentuk senyawa polimer yang menyerupai gum yang mengendap dan menempel pada dinding, serta mengakibatkan terjadinya peningkatan viskositas minyak (Ketaren 1986). Minyak yang telah mengalami pemanasan berulang-ulang akan bersifat lebih kental, mempunyai asam lemak bebas yang tinggi, serta berwarna cokelat kehitaman. Kenaikan viskositas minyak disebabkan oleh pembentukan polimer akibat pemanasan. Semakin sering minyak dipakai, maka viskositas, densitas, dan asam lemak bebas akan meningkat, warna semakin pekat, dan mutu minyak semakin rendah (Winarni et al. 2010). Atas dasar ini maka tidak disarankan untuk melakukan pemanasan awal minyak pada wadah tertentu sebelum digunakan. Pemanasan minyak sebaiknya dilakukan hanya untuk minyak yang ingin dibakar saja. Pemanasan minyak pada tangki bahan bakar akan beresiko menyebabkan kerusakan fisiko kimiawi minyak akibat terjadinya polimerisasi minyak. Selain itu, pemanasan awal minyak pada tangki menggunakan heater, seperti yang dilakukan pada uji profil penyemprotan, akan menambah biaya dan energi listrik. Pemanasan minyak yang dilakukan pada kompor bertekanan termodifikasi ini hanya terjadi pada minyak yang mengalir menuju burner pipa koil pemanas minyak saja, sedangkan minyak pada tangki bahan bakar tidak ikut dipanaskan. Namun minyak yang telah terpanaskan pada burner pipa koil pemanas minyak ini tidak semuanya mengalir dan terbakar pada nosel. Minyak yang telah terpanaskan sebagian ada juga yang mengalir kembali ke dalam tangki bahan bakar. Di satu sisi kondisi ini menguntungkan karena dapat meningkatkan suhu input minyak menuju burner pipa koil pemanas minyak, dengan demikian minyak yang nantinya mengalir akan memiliki suhu yang lebih tinggi dan viskositas yang lebih
60
rendah dari target teknis. Tetapi di sisi lain minyak yang telah terpanaskan dan kembali menuju tangki bahan bakar ini sebagian sudah rusak akibat terjadi polimerisasi minyak, sehingga berpotensi untuk terjadi pengerakan senyawa polimer yang menyerupai gum pada dinding ketika suhu minyak dan kompor sudah kembali normal. Untuk mengurangi pengerakan di dalam pipa koil pemanas minyak dan terjadinya penyumbatan pada nosel ini, maka sebaiknya pemadaman api pada kompor bertekanan termodifikasi dilakukan dengan cara membuang tekanan pada tangki bahan bakar terlebih dahulu hingga tekanannya setara dengan tekanan udara ambien. Dengan demikian maka minyak akan turun kembali menuju tangki bahan bakar dan dapat menghindari terperangkapnya minyak pada pipa koil pemanas minyak. Jika minyak dibiarkan terperangkap di dalam pipa koil pemanas minyak, setelah suhu minyak turun, maka gum dan polimer pada minyak yang tersuspensi kemudian menempel pada dinding dalam pipa, membentuk kerak dan menyebabkan penyempitan diameter pipa serta penyumbatan pada nosel. Kondisi yang salah dalam proses pemadaman nyala api pada kompor bertekanan juga akan menyebabkan resiko penebalan kerak pada dinding dalam pipa menjadi lebih cepat. Kondisi pemadaman nyala api yang tidak dianjurkan adalah dengan cara menutup keran bahan bakar terlebih dahulu untuk menghentikan tekanan dari tangki menuju nosel. Pada kondisi seperti ini maka minyak akan tertahan pada pipa koil pemanas minyak hingga waktu kompor digunakan kembali. Jika kondisi ini dibiarkan, maka setelah beberapa kali pemakaian kerak yang terbentuk akan semakin menebal. Disarankan juga untuk membersihkan pipa koil pemanas minyak sebelum menyalakan kompor. Hal ini bertujuan untuk membersihkan kerak di dalam pipa, dan mengantisipasi terjadinya penyumbatan nosel. Pembersihan pipa koil pemanas minyak dapat dilakukan dengan menggunakan kabel sling yang lentur dengan cara memasukan kabel sling tersebut kedalam pipa koil pemanas minyak. Kabel sling ini akan mendorong kotoran yang tertinggal didalam pipa koil pemanas minyak. Sedangkan untuk membersihkan lubang nosel dapat dilakukan dengan menggunakan penitik nosel. Hasil pengujian menunjukan api hasil pembakaran cenderung berwarna kuning kemerahan. Hal ini berkaitan dengan kualitas bahan bakar dan seberapa
61
banyak oksigen yang mampu tersedia dan tercampur dengan baik pada proses pembakaran semprot. Hal ini sesuai dengan Hukum Ficks yang menyatakan bahwa laju perpindahan massa oksigen ke dalam molekul bahan bakar dipengaruhi oleh luas bidang kontak dan gradien konsentrasinya (Haryanto 2005). Oksigen yang banyak menyebabkan nyala api berwarna biru, sedangkan oksigen yang terbatas menyebabkan nyala berwarna kuning. Api berwarna merah atau kuning menghasilkan suhu dibawah 1000 oC (http://en.wikipedia.org ). Untuk dapat bercampur dengan oksigen dengan baik, maka bahan bakar harus berada dalam fase gas, sehingga minyak yang disemprotkan akan mengalami fase penguapan dan tercampur dengan oksigen untuk kemudian dapat terbakar. Besarnya butir semprotan yang dihasilkan mempengaruhi fase pemanasan droplet untuk kemudian terjadi penguapan dan terbakar. Sementara itu di bawah pengaruh panas, sebagian minyak yang tidak terbakar terurai, antara lain menjadi partikel-partikel karbon yang sangat kecil. Panas dari pembakaran menyebabkan partikel-partikel karbon membara dan berpendar dengan cahaya berwarna kuning. Minyak nyamplung sendiri tersusun atas asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh yang berantai karbon panjang (Balitbang Kehutanan 2008). Minyak nyamplung bahkan memiliki asam lemak dengan rantai karbon yang lebih panjang daripada minyak sawit dan jarak pagar (Towaha 2010). Oleh karena itu warna nyala api yang dihasilkan adalah kuning. Di pihak lain, kompor yang mengunakan bahan bakar gas tidak memerlukan proses penguapan bahan bakar. Cara ini memudahkan bahan bakar bercampur dengan
udara
sebanyak-banyaknya,
sehingga
reaksi
pembakaran
dapat
berlangsung dengan cepat. Karena bahan bakar disini terbakar hampir seluruhnya, maka nyala yang dihasilkan jauh lebih panas. Nyala api juga jernih dan transparan karena tidak dikotori oleh partikel-partikel karbon. Tetapi ketika bahan bakar gas diberi tambahan karbon, maka warna nyala apinya akan berubah menjadi kuning dan kecepatan pembakarannya juga menurun. Pengaruh penambahan karbon terhadap perubahan warna nyala api ini didukung oleh penelitian lminnafik (2010) pada percobaan penambahan CO2 pada pembakaran campuran LPG dan udara. Hasil penelitian Iminnafik (2010) menjelaskan bahwa pembakaran stoikiometri LPG dan udara tanpa penambahan CO2 akan menghasilkan api
62
berwarna biru, dan api berubah menjadi kekuningan setelah campuran ditambahkan CO2 sebesar 20%. Penambahan CO2 menyebabkan warna api cenderung kekuningan yang menunjukkan pembakaran tidak sempurna yaitu sebagian karbon tidak terbakar. Hasil penambahan CO2 pada campuran LPG dan udara juga akan berpengaruh terhadap kecepatan pembakaran. Meski selisih tidak terlalu signifikan, tetapi secara umum terlihat penambahan CO2 mempunyai pengaruh terhadap penurunan kecepatan pembakaran. Perubahan warna nyala api akibat penambahan CO2 pada campuran LPG dan udara, serta penurunan kecepatan pembakaran akibat penambahan CO2 ditampilkan pada Gambar 40 dan 41.
Gambar 40 Pembakaran campuran LPG dan udara dengan penambahan 20% CO2 (Iminnafik 2010)
Gambar 41 Perbandingan kecepatan pembakaran antara campuran LPG dan udara tanpa CO2 dan dengan CO2 (Iminnafik 2010)
63
Uji Coba Pembakaran Kompor Bertekanan Termodifikasi Uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi ini bertujuan untuk mengetahui waktu dan jumlah bahan bakar terpakai yang dibutuhkan untuk memanaskan air hingga mendidih dengan menggunakan kompor bertekanan termodifikasi
berbahan
bakar
minyak
nyamplung.
Hasilnya
kemudian
dibandingkan dengan pengujian kompor bertekanan mengunakan bahan bakar lainnya yang diperoleh dari data sekunder. Pada pengujian ini juga diukur peningkatan suhu pada beberapa titik pengukuran yang mewakili suhu air, uap air, permukaan luar panci, lingkungan, dan pemanas terhadap waktu, seperti ditampilkan pada Gambar 42. 180
Suhu (oC)
150 120 90 60 30 0 0
300
600
900
1200
Waktu (detik) Air Permukaan luar panci Lingkungan
Uap air Minyak dalam tangki
Gambar 42 Grafik peningkatan suhu tiap titik pengukuran uji coba pembakaran Gambar 42 diatas menjelaskan bahwa suhu air, uap air, permukaan luar panci, dan minyak dalam tangki meningkat seiring dengan pertambahan waktu, sedangkan suhu lingkungan cenderung stabil. Suhu air cenderung tidak lagi mengalami perubahan setelah 16.516 menit pemanasan, yaitu pada suhu 99 oC. Pada saat suhu konstan ini, air sudah mencapai titik didih maksimumnya dan mulai mengalami penguapan akibat pemanasan terus-menerus. Pada tekanan dan temperatur udara standar, titik didih air adalah sebesar 100 °C. Tetapi pada percobaan ini air mendidih pada suhu 99 oC. Hal ini disebabkan karena percobaan berlangsung tidak pada tekanan dan temperatur udara standar.
64
Suhu uap air terlihat hampir serupa dengan suhu air. Pada saat terjadi penguapan, suhu uap air mulai meningkat dan kemudian menjadi setara dengan suhu uap air. Suhu panci juga mengalami peningkatan terhadap waktu. Suhu pada dinding permukaan panci ini berfluktuasi karena dipengaruhi oleh kestabilan nyala api yang memanaskan bagian samping luar permukaan panci. Peningkatan suhu minyak di dalam tangki terjadi karena adanya minyak dari pipa koil pemanas yang telah dipanaskan terdorong kembali menuju tangki. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan suhu minyak di dalam tangki, yang juga meningkatkan suhu awal minyak (Tawal) yang akan masuk menuju pipa koil pemanas. Dengan demikian, semakin lama kompor digunakan maka pemanasan minyak melalui pipa koil pemanas minyak dapat mencapai suhu lebih dari 161.81 oC, yang disebabkan input Tawal yang semakin meningkat dengan pemanasan yang sama. Hal ini dapat menyebabkan viskositas minyak menjadi lebih rendah lagi. Dari percobaan yang telah dilakukan diketahui bahwa untuk memanaskan 1 liter air hingga mendidih menggunakan kompor bertekanan termodifikasi berbahan bakar minyak nyamplung memerlukan waktu selama 16.516 menit pemanasan, dengan konsumsi bahan bakar sebesar 0.327 liter/jam. Sedangkan menurut hasil penelitian Reksowardojo et al. (2005), untuk memanaskan 0.6 liter air hingga mendidih menggunakan kompor bertekanan berbahan bakar minyak tanah memerlukan waktu selama 6 menit, minyak jarak pagar selama 7 menit, dan minyak sawit selama 9 menit pemanasan, dengan konsumsi bahan bakar minyak tanah sebesar 0.408 liter/jam, minyak jarak pagar sebesar 0.336 liter/jam, dan minyak sawit sebesar 0.414 liter/jam. Konsumsi bahan bakar pada kompor bertekanan ini berbeda karena konsumsi bahan bakar dipengaruhi oleh laju aliran pembakaran dan tinggi rendahnya viskositas suatu bahan bakar. Laju aliran pembakaran yang berbeda dipengaruhi oleh jumlah bahan bakar yang keluar dan terbakar selama proses pembakaran berlangsung (Alamsyah 2006).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1.
Penurunan viskositas minyak nyamplung mendekati nilai viskositas minyak tanah terjadi pada suhu 161.81 oC.
2.
Diameter dan sudut semprotan minyak nyamplung meningkat dengan bertambahnya suhu pemanasan. Diameter dan sudut semprotan minyak nyamplung sudah mendekati diameter dan sudut semprotan minyak tanah pada suhu 150 oC.
3.
Panjang pipa pemanas yang dibutuh untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung agar mendekati nilai viskositas minyak tanah adalah 25 cm.
4.
Suhu minyak pada nosel hasil pemanasan dengan menggunakan burner pipa koil pemanas minyak termodifikasi adalah 168.5 oC untuk pengukuran pada kondisi api kompor menyala, dan 164.7 oC untuk pengukuran sesaat setelah api kompor dipadamkan. Sementara suhu minyak hasil pendugaan adalah 161.81 oC.
5.
Modifikasi burner pipa koil pemanas minyak dianggap sudah cukup mampu untuk menurunkan viskositas minyak nyamplung mendekati nilai viskositas minyak tanah. Saran Dari penelitian yang telah dilakukan diperoleh saran-saran sebagai berikut:
1.
Perlu dilakukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui tekanan maksimal yang mampu ditahan oleh tangki bahan bakar, sehingga dapat dilakukan pengujian dengan tekanan yang lebih tinggi. Semakin besar tekanan yang diberikan, maka sebaran semprotan minyak dan droplet yang dihasilkan akan lebih baik (Abdullah 2010).
2.
Untuk mengurangi pengerakan di dalam burner pipa koil pemanas minyak dan terjadinya penyumbatan pada nosel, maka sebaiknya pemadaman api pada kompor bertekanan termodifikasi dilakukan dengan cara membuang tekanan pada tangki bahan bakar terlebih dahulu hingga tekanannya setara
66
dengan tekanan udara ambien. Dengan demikian maka minyak akan turun kembali menuju tangki bahan bakar dan dapat menghindari terperangkapnya minyak pada pipa koil pemanas minyak. Minyak yang terperangkap di dalam pipa koil pemanas minyak ini akan membentuk kerak dan menyebabkan penyempitan diameter pipa dan penyumbatan pada nosel. 3.
Sebaiknya tidak melakukan pemanasan awal minyak pada wadah tertentu sebelum digunakan. Pemanasan minyak sebaiknya dilakukan hanya untuk minyak yang ingin dibakar saja. Pemanasan minyak pada tangki bahan bakar akan beresiko menyebabkan kerusakan minyak akibat terjadinya polimerisasi minyak. Selain itu, pemanasan awal minyak pada tangki bahan bakar dengan menggunakan heater akan menambah biaya dan energi listrik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah AAB. 2010. A Study on Spray Characteristics of Straight Vegetable Oil. Proceeding of the National Conference in Mechanical Engineering Research and Postgraduate Studies. Faculty of Mechanical Engineering, Universiti Malaysia Pahang. Malaysia. 3-4 December 2010. Alamsyah AN. 2006. Biodiesel Jarak Pagar. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Annamalai K, Iswar K, Puri. 2002. Advanced Thermodynamics Engineering. CRC Press.Washington DC, USA. 28-87. Balitbang Kehutanan. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Departemen Kehutanan. Bogor. 33-38. Bustomi S, Rostiwati T, Sudradjat R, Leksono B, Kosasih S, Anggraeni I, Syamsuwida D, Lisnawati Y, Mile Y, Djaenudin D, Mahfudz, Rachman E. 2008. Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) Sumber Energi Biofuel yang Potensial. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Bird RB, Stewart EE, Lightfoot NE.1960. Transport Phenomena. Jhon Wiley and Son Inc. New York, USA. Cengel YA. 2003. Heat Transfer, A Practical Approach. McGraw-Hill. New York, USA. Couper JR, Penney WR, Fair WR, Walas SM. 2005. Chemical Process Equipment: Selection and Design. Elsevier. Burlington, USA. [Dirjen PMD]. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Departemen Dalam Negeri. 2008. Petunjuk Pelaksanaan Pilot Project Desa Mandiri Energi. Dweek AC, T Meadows. 2002. Tanamu (Calophyllum inophyllum) the Africa, Asia Polynesia and Pasific Panacea. International J. Cos. Sci. 24:18. Gennes DPG, Wyart FB, Quéré D. 2002. Capillary and Wetting Phenomena – Drops, Bubbles, Pearls, Waves. Springer. http://en.wikipedia.org/wiki/Surface_tension [10 Oktober 2011]. Graco. 1995. Atomization. Graco Inc. Minneapolis, USA. Hambali E, Mujdalipah S, Tambunan AH, Pattiwiri AW, Hendroko R. 2008. Teknologi Bioenergi. Jakarta. Agro Media Pusaka.
68
Haryanto B. 2005. Pengaruh Pemilihan Kondisi Batas, Langkah Ruang, Langkah Waktu, dan Koefisien Difusi pada Model Difusi. Jurnal APLIKA. 8:2. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 3. Jakarta: Badan Litbang Kehutanan. Holman JP, Jasjfi E. 1995. Perpindahan Kalor. Jakarta. Erlangga. Iminnafik N. 2010. Pengaruh Karbondioksida pada Kecepatan Pembakaran dari Refrigeran Hidrokarbon. Prosiding Seminar Nasional Tahunan Teknik Mesin (SNTTM) ke-9. Palembang. ISBN : 978-602-97742-0-7. 13-15 Oktober 2010. Ing NL, Jaafar MNM, Ishak MSA, Arizal MAA. 2010. Spray Characteristic of Palm Biofuel Blends. International Journal of Mechanical and Materials Engineering (IJMME). 5: 214-221. Kamil S, Pawito. 1983. Termodinamika Dan Perpindahan Panas. Depdikbud. Jakarta. [Kementerian ESDM] Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2004. Kebijakaan Energi Nasional 2003-2020. Kementerian ESDM. 2006. Peraturan Presiden Tahun 2006. http://prokum.esdm.go.id/perpres/2006/perpres_05_2006.pdf [6 Juli 2011]. Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. 2009. Rencana Aksi Pengembangan Energi Alternatif Berbasis Tanaman Nyamplung 2010-2014. http://www.dephut.go.id/files/RENCANA-AKSI Nyamplung%20_30%20Des%2009_.pdf [3 Maret 2010]. Kenneth KK. 1986. Principles of Combustion. Jhon Wiley and Son Inc. New York, USA. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak. UI Press. Jakarta. Kim IC, Kim JH, Lee KH, Tak TM. 2002. Phospholipids Separation (Degumming) from Crude Vegetable Oil by Polyimide Ultrafiltration Membrane. Journal of Membrane Science. 205: 113-123. Little, Skolman. 1989. Calophyllum inophyllum L. James A. Allen. New York, USA. Miftahuddin. 2009. Rancang Bangun Elemen Pemanas Bahan Bakar Minyak Kelapa untuk Motor Bakar Diesel dengan Memanfaatkan Panas Gas Buang. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
69
Murni. 2010. Kaji Eksperimental Pengaruh Temperatur Biodiesel Minyak Sawit terhadap Performansi Mesin Diesel Direct Injection Putaran Konstan. [Tesis]. Semarang: Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Nevers ND. 2005. Fluid Mechanics for Chemical Engineers, Third Edition. McGraw Hill Companies Inc. New York, USA. Nuryanti, Herdine S. 2007. Analisis Karaktersitik Konsumsi Energi Pada Sektor Rumah Tangga di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional SDM Teknologi Nuklir di Yogyakarta. 21-22 November 2007. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2009. Tanaman Perkebunan Penghasil Bahan Bakar Nabati (BBN). Bogor. IPB Press. [Puslitbun]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2007. Bahan Nabati Asal Tanaman Perkebunan Sebagai Alternatif Pengganti Minyak Tanah Untuk Rumah Tangga. http://www.puslitbun.org/Bahan Bakar Nabati Asal Tanaman Perkebunan Sebagai Alternatif Pengganti Minyak Tanah Untuk Rumah Tangga/html [28 Maret 2009]. Rabelo J, Batista E, Cavaleri FVW, Meirelles AJA. 2000. Viscosity Prediction for Fatty Systems. JAOCS. 77: 1255-1261. Reksowardojo IK. 2008. Stove for Plant Oils. Workshop on Renewable Energy Technology Application To support Energy. Economics. and Environment Vilage. 22-24 Juli 2008. Jakarta. Reksowardojo IK, Surachman A, Sigit TP, Ibrahim, Soerawidjaja TH, Brodjonegoro TP. 2005. Pemakaian Minyak Jawak Pagar (Jatropha curcas L.) pada Kompor Bertekanan. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) untuk Biodiesel dan Minyak Bakar. Bogor. 22 Desember 2005. Santi SR. 2009. Penelusuran Senyawa Sitotoksik pada Kulit Biji Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) dan Kemungkinan Korelasinya Sebagai Antikanker. Jurnal Kimia 3. 2: 101-108. Sazhin SS, Abdelghaffar WA, Sazhina EM, Heikal MR. 2005. Models for Droplet Transient Heating: Effects on Droplet Evaporation, Ignition, and Break-up. Int. J Thermal Science. 44: 610-622. Sonnichsen T. 2004. Application of CFV Technology to Practical Combustion Systems. Sonnichsen Engineering. Woodinville, USA. Steffe JF. 1992. Rheological Method in Food Process Engineering. Second Edition. Freeman Press, East Lansing, USA. Hal : 32-33.
70
Stuartxchange. 2010. Calophyllum inophyllum. http://www.stuartxchange.org/ PaloMaria.html [23 Maret 2010]. Suastawa IN, Hermawan W, Desrial, Sitompul RG, Gatot P. 2006. Pedoman Praktikum Alat Dan Mesin Budidaya Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB: Bogor. Sudradjat HR. 2006. Memproduksi Biodiesel Jarak Pagar. Penebar Swadaya. Jakarta. Suhardiyanto H, Fuadi MM, Widaningrum Y. 2007. Analisis Pindah Panas pada Pendinginan dalam Tanah untuk Sistem Hidroponik. Jurnal Keteknikan Pertanian. 21: 355-362. Sumiarso L. 2011. Energi Bersih Energi Terbarukan. http://www.fkdpm.org/berita/239-energi-bersih-energi-terbarukan.html [11 November 2011]. Sunandar K. 2010. Kajian Kapilaritas Minyak Nabati Pada Kompor Sumbu. [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Susilo B, Argo BD, Rakhmawati A. 2007. Pengujian Kinerja Kompor Tekan Menggunakan Bahan Bakar Alternatif Minyak Kapuk (Ceiba petandra). Jurnal Keteknikan Pertanian. 8: 119-126. Syaiful M. 2009. Mekanisme Perpindahan Energi. Bogor. IPB Press. Tolman RC. 1949. The Effect of Droplet Size on Surface Tension. AIP. Journal of Chemical Physics. 17: 333-338. http://jcp.aip.org/resource/1/jcpsa6/v17/i3/p333_s1?isAuthorized=no [17 November 2011]. Towaha J. 2010. Karakteristik Asam Lemak Minyak Nyamplung dan Dampaknya Terhadap Titik Kabut Biodiesel. Info Tek Perkebunan. Volume 2 Nomor 7 Juli 2010. ISSN 2085-319X. Wahyudi N. 2010. Rancang Bangun Elemen Pemanas Bahan Bakar Minyak Nyamplung untuk Motor Diesel dengan Memanfaatkan Panas Gas Buang. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Warnatz J, Mass U, and Dibble RW. 2006. Combustion: Physical and Chemical Fundamentals, Modeling and Simulation, Experiments, Pollutant Formation. 4th Edition. Springer. Berlin, Jerman. Wichert M, Wilbur LC. 1987. Handbook of Energy System Engineering Production and Utilization. Jhon Wiley and Son Inc. New York, USA. Wikipedia. 2011. Color Temperature. temperature. [12 Desember 2011].
http://en.wikipedia.org/wiki/Color_
71
Winarni, Sunarto W, Mantini S. 2010. Penetralan dan Adsorbsi Minyak Goreng Bekas menjadi Minyak Goreng Layak Konsumsi. Jurnal Kimia FMIPA UNNES. 8: 46-56. Yunita DR. 2007. Uji Performansi Teknis Penggunaan Minyak Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) sebagai Bahan Bakar Pengganti Minyak Tanah pada Kompor Tekan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Zin RBM. 2006. Process Design of Degumming and Bleaching of Palm Oil. [Thesis]. Johor Bahru: Centre of Lipids Engineering and Applied Research (CLEAR). University Teknologi Malaysia.
72
LAMPIRAN
74
Lampiran 1 Hasil pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu (penelitian pendahuluan) No.
Suhu (oC)
Densitas (g/ml)
1 2 3 4 5
30 50 70 90 110
0.915 0.911 0.905 0.896 0.890
Lampiran 2 Hasil pengukuran suhu awal minyak dalam tangki sebelum proses pembakaran (penelitian pendahuluan) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Waktu (menit) 14:20:00 14:21:00 14:22:00 14:23:00 14:24:00 14:25:00 14:26:00 14:27:00 14:28:00 14:29:00
Suhu (oC) 32.3 34.2 35.9 37.7 39.1 41.0 42.5 43.2 44.8 45.3
Lampiran 3 Perhitungan pendugaan hubungan perubahan suhu dan viskositas minyak terhadap panjang pipa pemanas minyak Beberapa penurunan nilai viskositas terhadap peningkatan suhu diperoleh dari penelitian Wahyudi (2010) dalam satuan cetistokes. Untuk mengubah ke dalam satuan centipoises, maka digunakan data pengukuran nilai densitas terhadap peningkatan suhu pada penelitian pendahuluan, sehingga didapat hasil sebagai berikut. No.
Suhu (oC)
1 2 3 4 5
30 50 70 90 110
Viskositas (cSt) (Wahyudi 2010) 56 28 18 9 5
Densitas (g/ml)
Viskositas (cP)
0.915 0.911 0.905 0.896 0.890
51.240 25.508 16.290 8.064 4.450
75
Dengan memasukan nilai viskositas dan suhu ke dalam persamaan (22) dan (23) maka diperoleh hasil sebagai berikut. y 3.937 3.239 2.791 2.087 1.493
Viskositas (cP)
5
x 0.033 0.020 0.014 0.011 0.009
y = 90.554x + 1.1151 R² = 0.8693
4 3 2 1 0 0
0.01
0.02 Suhu
0.03
0.04
(oC)
Sehingga, dengan menyubtitusikan persamaan y = 90.55x + 1.115 di atas ke persamaan (24) dan (25), maka didapat nilai konstanta A dan energi aktivasi untuk viskositas (Ea) sebagai berikut. a = 1.115 a = A = 3.004 b = 90.55 b = Ea = 761.522 Selanjutnya, dengan mengetahui laju aliran massa dari penelitian pendahuluan sebesar 3.3 x 10-4 kg/detik, maka hubungan perubahan viskositas terhadap peningkatan suhu minyak dan panjang pipa koil pemanas dapat dilakukan dengan variabel diketahui sebagai berikut.
76
Diketahui: Variabel
Nilai
Keterangan -4
m
3.3 x 10
Laju aliran massa (kg/s)
Cp
6250
Panas jenis minyak nyamplung (J/kg oC) (Miftahuddin 2009)
T0
990
Suhu permukaan dinding dalam pipa (oC)
T1
990
Suhu permukaan dinding luar pipa (oC)
Ta
45.3
Suhu awal minyak (oC)
k r R π
0.13 0.003175 8.314472 3.141
Konduktifitas termal minyak nyamplung (W/moC) Jari-jari pipa (m) Konstanta gas universal
Iterasi
l (m)
Tminyak (oC)
ltotal (m)
μ (cP)
1
0.01
48.35
0.01
19.84
2
0.01
52.48
0.02
17.13
3
0.01
56.65
0.03
15.08
4
0.01
60.88
0.04
13.50
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01 0.01
65.15 69.47 73.84 78.26 82.74 87.26 91.84 96.47 101.16 105.90 110.69 115.54 120.45 125.41 130.43 135.51 140.65 145.85 151.11 156.43 161.81
0.05 0.06 0.07 0.08 0.09 0.1 0.11 0.12 0.13 0.14 0.15 0.16 0.17 0.18 0.19 0.2 0.21 0.22 0.23 0.24 0.25
12.24 11.23 10.40 9.70 9.11 8.61 8.18 7.80 7.47 7.17 6.91 6.68 6.47 6.28 6.11 5.95 5.81 5.67 5.55 5.44 5.34
77
Lampiran 4 Data pengujian profil penyemprotan minyak nyamplung No. 1 2 3 4 5 6 Ratarata
No. 1 2 3 4 5 6 Ratarata
Suhu 30 (oC) Sb. Vertikal Sb. Horizontal (mm) (mm) 23 23 17 14 18 17 20 15 15 15 19 18 18.67
17.00
Suhu 90 (oC) Sb. Vertikal Sb. Horizontal (mm) (mm) 36 30 40 35 37 30 38 34 42 36 36 31 38.17
Suhu 50 (oC) Sb. Vertikal Sb. Horizontal (mm) (mm) 25 23 30 25 20 20 25 23 25 25 25 20
32.67
25.00
22.67
Suhu 110 (oC) Sb. Vertikal Sb. Horizontal (mm) (mm) 53 50 55 50 59 50 60 50 75 60 53 50 59.17
51.67
Suhu 70 (oC) Sb. Vertikal Sb. Horizontal (mm) (mm) 34 30 40 34 33 27 30 25 35 32 32 30 34.00
Suhu 130 (oC) Sb. Vertikal Sb. Horizontal (mm) (mm) 67 66 68 62 77 53 75 44 67 41 72 55 71.00
53.50
29.67
Suhu 150 (oC) Sb. Vertikal Sb. Horizontal (mm) (mm) 90 70 86 50 78 53 74 57 65 50 65 50 76.33
55.00
78
Lampiran 5 Data pengujian profil penyemprotan minyak tanah Suhu 30 (oC) Sb. Vertikal Sb. Horizontal (mm) (mm) 60 55 78 65 55 53 73 72 70 70 80 70 69.33 64.17
No. 1 2 3 4 5 6 Rata-rata
Lampiran 6 Data rata-rata pengujian profil penyemprotan minyak nyamplung Panjang (mm) Sumbu Sumbu Vertikal Horizontal 18.67 17.00 25.00 22.67 34.00 29.67 38.17 32.67 59.17 51.67 71.00 53.50 76.33 55.00
o
Suhu ( C) 30 50 70 90 110 130 150
Diameter Penyemprotan (mm) 17.84 23.84 31.84 35.42 55.42 62.25 65.67
Sudut Penyemprotan (oC) 3.41 4.55 6.07 6.76 10.55 11.85 12.49
Lampiran 7 Data rata-rata pengujian profil penyemprotan minyak tanah Panjang (mm) Suhu ( C)
Sumbu Vertikal
Sumbu Horizontal
Diameter Penyemprotan (mm)
30
69.33
64.17
66.75
o
Sudut Penyemprotan (oC) 12.69
Lampiran 8 Validasi suhu minyak pada nosel dengan kondisi api menyala No. 1 2 3 4 Rata-rata
Suhu minyak dengan kondisi api menyala (oC) 172.4 164.3 175.3 162.1 168.5
79
Lampiran 9 Validasi suhu minyak pada nosel dengan kondisi api padam No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Rata-rata
Suhu minyak dengan kondisi api padam (oC) 160.2 168.4 171.1 166.9 162.3 165.9 166.1 166.2 166.8 164.5 163.0 161.5 160.9 161.5 164.7
Lampiran 10 Hasil pengukuran suhu pada uji coba pembakaran kompor bertekanan termodifikasi Waktu (Menit) 13:42:49 13:43:49 13:44:49 13:45:49 13:46:49 13:47:49 13:48:49 13:49:49 13:50:49 13:51:49 13:52:49 13:53:49 13:54:49 13:55:49 13:56:49 13:57:49 13:58:49 13:59:19
Air (oC) 31.2 40.1 50.4 56.7 61.8 68.6 76.8 81.1 87.1 96.5 98.7 98.4 98.6 99.4 99.0 99.0 99.4 99.4
Uap Air (oC) 30.4 39.7 50.0 55.7 60.8 67.6 75.8 80.5 86.5 95.9 98.1 98.0 98.2 99.2 98.8 98.8 99.1 99.3
Permukaan Panci (oC) 41.2 143.7 147.1 114.4 104.2 114.6 107.0 95.5 102.0 114.7 119.3 122.8 137.3 136.5 145.9 147.9 144.3 143.6
Lingkungan (oC) 31.6 31.5 31.4 30.5 30.4 30.6 30.7 30.2 30.3 30.1 30.5 30.5 30.3 30.3 30.4 30.2 30.3 30.3
Api (oC) 60.9 +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER +OVER
80
Lampiran 11 Gambar teknik burner kompor bertekanan sebelum modifikasi
TMP IPB
Skala : Digambar : Des Taubing Satuan : cm NRP : F14070053 Tanggal : Diperiksa : 22 Desember 2011 Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc Kompor Bertekanan Sebelum Modifikasi
Peringatan
No.
A4
81
Lampiran 11 Gambar teknik burner kompor bertekanan sebelum modifikasi (lanjutan)
TMP IPB
Skala : Digambar : Des Taubing Satuan : cm NRP : F14070053 Tanggal : Diperiksa : 22 Desember 2011 Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc Kompor Bertekanan Sebelum Modifikasi
Peringatan
No.
A4
82
Lampiran 11 Gambar teknik burner kompor bertekanan setelah modifikasi (lanjutan)
TMP IPB
Skala : Digambar : Des Taubing Satuan : cm NRP : F14070053 Tanggal : Diperiksa : 22 Desember 2011 Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc Burner Kompor Bertekanan Sebelum Modifikasi
Peringatan
No.
A4
83
Lampiran 12 Gambar teknik burner kompor bertekanan setelah modifikasi
TMP IPB
Skala : Digambar : Des Taubing Satuan : cm NRP : F14070053 Tanggal : Diperiksa : 22 Desember 2011 Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc Kompor Bertekanan Setelah Modifikasi
Peringatan
No.
A4
84
Lampiran 12 Gambar teknik burner kompor bertekanan setelah modifikasi (lanjutan)
TMP IPB
Skala : Digambar : Des Taubing Satuan : cm NRP : F14070053 Tanggal : Diperiksa : 22 Desember 2011 Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc Kompor Bertekanan Setelah Modifikasi
Peringatan
No.
A4
85
15
Lampiran 12 Gambar teknik burner kompor bertekanan setelah modifikasi (lanjutan)
TMP IPB
Skala : Digambar : Des Taubing Satuan : cm NRP : F14070053 Tanggal : Diperiksa : 22 Desember 2011 Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc Burner Kompor Bertekanan Setelah Modifikasi
Peringatan
No.
A4
86
87