SEMINAR NASIONAL TEKNIK KIMIA INDONESIA 2006
ISBN 979-97893-0-3
Palembang, 19-20 Juli 2006 bersamaan dengan Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses 2006 (Undip), Soehadi Reksowardojo 2006 (ITB), Fundamental & Aplikasi Teknik Kimia 2006 (ITS), Teknologi Proses Kimia 2006 (UI), dan Seminar Teknik Kimia Anggota APTEKINDO 2006
UJI BIODEGRADABILITAS PRODUK PHA (POLIHIDROKSIALKANOAT) DARI AIR LIMBAH TAPIOKA M. Rochmadi, W. Firman, dan Tjandra Setiadi Departemen Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung Jl. Ganesa no. 10 Bandung, 40132 Telp (022) 2500989 Fax (022) 2501438 email: tjandra @ che.itb.ac.id
Abstrak Potensi biodegradabilitas produk PHA diuji menggunakan metode pengukuran Biochemical Methane Potential (BMP) dan Biochemical Oxygen Demand (BOD). Untuk mengetahui sifat biodegradasinya di alam, produk PHA diuji menggunakan simulasi aliran sungai dan inkubasi langsung dalam tanah. Pengujian dilaksanakan dalam dua tahap. Pengujian tahap pertama dilakukan terhadap produk PHA yang diproduksi dengan metode pemgambilan produk menggunakan hipoklorit sebagai bahan pemecah sel. Pengujian tahap kedua dilakukan terhadap produk PHA yang diproduksi dengan metode pengambilan produk menggunakan NaOH sebagai bahan pemecah sel. Setelah sampel disiapkan dengan metode pencetakan di atas preparat dan di atas cawan petri, sampel diinkubasi di empat tempat berbeda dengan waktu inkubasi tertentu: uji BMP selama 35 hari, uji BOD selama 35 hari, simulator aliran sungai selama 9 pekan, dan tanah selama 9 pekan. Setiap waktu tertentu, beberapa analisis dilakukan terhadap sampel (produk dari sampel) yang telah diinkubasi. Analisis tersebut antara lain rasio BMP/COD, kebutuhan BOD, pengurangan massa total sampel, perubahan titik leleh, dan struktur mikro dan makro sampel. Berdasarkan hasil analisis BOD, potensi biodegradabilitas produk PHA (kode R2) lebih besar daripada produk PHA (kode R1). Sebaliknya, uji BMP menunjukkan bahwa R1 memiliki potensi biodegradasi yang lebih tinggi daripada R2. Dalam lingkungan nyata selama 6 hingga 7 pekan, produk R1 lebih mudah dan lebih cepat terbiodegradasi dibandingkan R2. Metode pemecahan sel ketika PHA tersebut diproduksi juga berpengaruh terhadap biodegradabilitas PHA produknya. Produk PHA yang diproduksi menggunakan NaOH sebagai pemecah sel memiliki biodegradabilitas yang lebih tinggi dan setelah 6 pekan masa inkubasi dalam air memiliki populasi mikroba persatuan luas permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang diproduksi menggunakan hipoklorit sebagai pemecah sel. Seluruh hasil penelitian (yaitu hasil pengujian BOD, BMP, dan uji lingkungan nyata) menunjukkan hasil yang berbeda dengan informasi yang diperoleh dari pustaka. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kondisi operasi, kondisi medium, dan teknik penyiapan sampel. Kata Kunci: Air limbah tapioka, biodegradasi alam, polihidroksialkanoat, potensi biodegradabilitas. Abstract Biodegradation potential of PHA was tested by measuring Biochemical Methane Potential (BMP) and Biochemical Oxygen Demand (BOD). Biodegradation characteristic of PHA in nature was learned by river-flow simulation and PHA soil-burial. The researched was held in two stages. First stage was biodegradability test of PHA produced by hypochlorite recovery while second one was testing biodegradability of PHA produced by NaOH recovery. Samples of PHA were casted on microscopy preparate and on petry discs. Then, those samples were incubated in four different media in certain periods of incubation. The four media and periods were BMP bottle – 35 days, BOD bottle – 35 days, river-flow simulator – 9 weeks, and soil – 9 weeks. By the end of certain period of incubation, the data were measured and calculated to provide information such as: BMP/COD ratio, BOD, total-mass degradation, melting point changing, and micro/macrostructure if samples. BBTP 14 - 1
According to BOD analysis, biodegradability potential of PHA (code R2) is greater than PHA (code R1). On the contrary, BMP test result shows that R1 has more potential to be biodegraded. Real life test result shows that by the end of 6th and 7th week, biodegradation of R1 is greater that R2. Recovery method in production process of PHA also affects to the biodegradability of PHA product. Polyhydroxy alkanoate produced by NaOH recovery has population per surface area of microorganism more than PHA produced by hypochlorite recovery does. All the result of this research gives new information and data different from other identical researches. The difference result due to the difference of operation condition, medium condition, and sample preparation technique. Key Words: Biodegradability Polyhydroxyalkanoates.
Potential,
1. Pendahuluan Polihidroksi alkanoat (PHA) adalah plastik biodegradabel sempurna yang dihasilkan oleh mikroba. Karena sifatnya yang ramah lingkungan dan karena kemiripannya dengan beberapa jenis plastik poliolefin, PHA menjadi alternatif yang baik bagi plastik poliolefin. Sebuah produk yang dikemas dengan bahan PHA memiliki masa kadaluarsa yang tidak hanya ditentukan oleh produk itu sendiri, namun juga oleh sifat biodegradabilitas dari PHA kemasannya. Dalam pembuangan atau pengolahan limbah PHA, sifat biodegradabilitas PHA juga menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam merancang sistem pengelolaan limbah. Prospek penggantian plastik poliolefin dengan plastik PHA juga ditentukan oleh karakteristik biodegradabilitas PHA. Tiga faktor tersebut menjadikan biodegradabilitas produk PHA menjadi penting untuk dipelajari Biodegradabilitas PHA ditentukan oleh banyak faktor, di antaranya faktor lingkungan seperti cuaca, iklim, kelembaban udara, dan media degradasi PHA. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari potensi biodegradabilitas dan sifat biodegradasi alam dari produk PHA yang dihasilkan oleh kultur campuran menggunakan air limbah industri tapioka sebagai substrat serta membandingkannya dengan produk PHA baku.
Gambar 1. Struktur Molekul Monomer PHA: Homopolimer (atas) dan Kopolimer (bawah)
Natural
Biodegradation
of
PHA,
Variasi penelitian antara lain metode penentuan potensi biodegradasi, yaitu BMP dan BOD, media inkubasi, yaitu tanah dan air sungai, serta jenis sampel yang diuji. 2.
Fundamental Polihidroksi Alkanoat (disingkat PHA) merupakan salah satu jenis plastik biodegradabel yang dikembangkan guna mengurangi pemakaian plastik sintetik konvensional. Plastik biodegradabel didefinisikan sebagai material polimer yang dapat didekomposisi secara biologi dalam waktu yang relatif singkat. Polimer PHA secara alami dihasilkan oleh mikroorganisme dan didegradasi oleh mikroorganisme tersebut pula saat persediaan makanan berkurang. Gambar 1 menunjukkan struktur molekul PHA. Untuk membuktikan dan mempelajari sifat biodegradabilitasnya, Uji biodegradasi PHA telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan berbagai media. Beberapa faktor mempengaruhi jalannya biodegradasi, antara lain temperatur, cahaya, nutrisi, pH, kandungan oksigen, kandungan air, dan keberadaan enzim, dan makroorganisme, bentuk dan ketebalan PHA, tekstur permukaan, porositas, kristalinitas, dan keberadaan komponen lain dalam material plastik.[Slesjka, 1997; Lee dan Choi, 1998].
Tanah yang mengandung bakteri dan fungi penghasil enzim depolimerisasi PHA mampu mendegradasi PHA. Terdapat sedikitnya 295 strain mikroba tanah dominan yang mampu mendegradasi PHA, khususnya PHB dan PHBV. [Wouters, dkk,1995] Strain mikroorganisme pendegradasi PHA dalam tanah yang berhasil diisolasi sebagian merupakan bakteri dari genus Pseudomanas. [Halder, dkk, 1996] Laju degradasi PHA di tanah berkisar antara 0,03% hingga 0,64% berat perhari bergantung pada polimer PHA yang didegradasi, tanah, dan
BBTP 14 - 2
temperatur saat proses degradasi berlangsung. [Wouters, dkk,1995]. Uji biodegradabilitas PHA juga dilakukan pada media air. Contoh hasil uji degradasi yang dilakukan oleh Wouters, dkk.. (1995) adalah setelah setengah tahun, massa semua jenis polimer terdegradasi kurang dari 7%. Setelah 385 hari pada sungai berair bersih, massa P(3HB) berkurang 34%, P(3HB)-ko10%-(3HV) berkurang 77%, sedangkan P(3HB)-ko-20%-(3HV) terdegradasi sempurna (100%). Pada perairan laut, P(3HB) massanya berkurang 31%, sedangkan kedua kopolimer lainnya berkurang 49% – 52% selama 270 hari. [Wouters, dkk, 1995]. 3.
Percobaan Sebelum penelitian dimulai, terlebih dahulu sampel diuji berat molekulnya dengan menggunakan metode viskometri. Setelah berat molekul diketahui, sampel dipilih dengan pertimbangan berat molekul terbesar dan sifat fisik terbaik. Sampel yang dipilih adalah R1-5/4, R2-5/4, R1,NaOH, dan R2,NaOH. Keempat sampel tersebut diproduksi di Laboratorium Mikrobiologi dan Teknologi Bioproses Departemen Teknik Kimia ITB. Selain itu, digunakan juga sampel PHA baku sebagai pembanding, yaitu PHB baku yang dihasilkan oleh Brunschwing Amsterdam, dan Poli(3-hiroksi Butirat ko-3-hidroksi valerat) dengan kandungan hidroksi valerat 14% (PHB14%HV) yang dihasilkan oleh Aldrich Jerman. Untuk selanjutnya, sampel baku pertama disebut dengan PHB dan sampel kedua disebut PHBV. Percobaan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah percobaan untuk menguji produk PHA yang diproduksi menggunakan hipoklorit sebagai pemecah sel. Tahap ini dimulai dengan pencetakan sampel PHA di atas.preparat mikroskop. Lalu sampel diuji dengan empat metode, yaitu metode pengujian BOD (Biochemical Oxygen Demand) dengan mengacu pada Standard Methods [1989], metode pengujian BMP (Biochemical Methane Potential) dengan memakai metode Owen, dkk [1979], pegujian dalam medium air sungai, pengujian dalam medium tanah. Tahap kedua dilakukan dengan keempat metode yang sama dengan tahap pertama. Yang membedakan tahap pertama dan kedua adalah jenis sampel dan metode pencetakan sampel. Sampel pada tahap kedua adalah PHA yang diproduksi dengan NaOH sebagai pemecah sel dengan metode pencetakan di atas cawan petri sehingga terbentuk sampel berbentuk lembaran.
Pengujian dalam medium air sungai dilakukan dengan cara memasukan sampel plastik ke dalam cawan petri bersama dengan kaca preparat dan ditutup dengan plastik yang telah diberi lubang-lubang agar air dapat masuk. Kemudian sampel-sampel yang telah siap dimasukkan ke dalam kolam simulasi. Kolam utama merupakan tempat meletakkan sampelsampel, sedangkan kolam yang lainnya berguna sebagai penampung dan kolam aerasi. Pada kolam ini pulalah diletakkan pompa untuk mensirkulasi air. Air yang dipergunakan merupakan air sungai Cikapundung yang di ambil pada titik di sekitar Sasana Budaya Ganesha ITB. Penggantian air dilakukan setelah 1-2 minggu bersamaan dengan pengambilan sampel untuk dianalisis. Pengujian dalam medium tanah dilakukan dengan cara melubangi tanah yang akan digunakan sebagai media. Lubang-lubang yang dibuat berkedalaman 5 cm dengan diameter + 20 cm. Lubang yang dibuat berjumlah 32 karena sampel terdiri dari empat jenis, simulasi dilaksanakan dalam 4 periode waktu, dan dilakukan dengan duplo. 4.
Hasil dan Pembahasan Hasil pengukuran berat molekul menggunakan metode viskometri terhadap sampel yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Tabel 1. Sampel R1-5/9 dan R126/8 dicampur dan disebut R1,NaOH sedangkan R2-5/9 disebut R2,NaOH. Tabel 1. Berat Molekul Sampel PHA Nomor Sampel
Berat Molekul (g/mol)
Pemecah Sel
R1-5/4
80.118,07
Hipoklorit
R2-5/4
68.115,15
Hipoklorit
R1-5/9
371.598,40
NaOH
R2-5/9
497.306,90
NaOH
R1-26/8
402.820,10
NaOH
Secara ringkas, hasil penelitian ini ditunjukkan oleh Tabel 2. Tabel tersebut membandingkan biodegradasi berbagai sampel PHA yang diuji menggunakan empat metode dengan waktu inkubasi tertentu. Prosentase degradasi yang diukur menggunakan metode BOD diukur sebagai perbandingan antara kebutuhan BOD terhadap total COD larutan sampel dengan konsentrasi yang sama dengan larutan untuk dalam botol BOD. Prosentase
BBTP 14 - 3
degradasi dari uji lingkungan nyata didasarkan
pada perubahan massa total PHA.
Tabel 2. Data Degradasi Sampel PHA yang Diuji dengan Berbagai Metode dan Masa Inkubasi Asal Sampel / Tahap Penelitian Pemecah Sel: Hipoklorit / Tahap I Pemecah Sel: NaOH / Tahap II
Informasi Pustaka
Uji Potensi Biodegradasi BOD BMP
Kode / Jenis Sampel R1-5/4 R2-5/4 PHB PHB-14% HV R1,NaOH R2,NaOH PHB PHB-14% HV PHB-10% VL*) PHB-52% VL*) PHB-74% VL*) PVL*) PHB**) PHB-10% HV**) PHB-14% HV**) PHB-30% HV**)
Masa Inkubasi
Degradasi (%)
Masa Inkubasi
15 Hari 15 Hari 15 Hari 15 Hari 19 Hari 19 Hari 19 Hari 19 Hari 15 Hari 15 Hari 15 Hari 15 Hari
20,00 10,55 18,73 15,59 24,95 23,07 8,06 18,78 77,00 74,00 58,00 18,00
24 Hari 24 Hari 24 Hari 24 Hari 18 Hari 18 Hari 18 Hari 18 Hari
Rasio BMP/COD (%) 2,86 0,75 1,79 2,75 29,71 20,03 40,83 90,81
AIR
Uji Lingkungan Nyata TANAH
Masa Inkubasi
Degradasi (%)
Masa Inkubasi
Degradasi (%)
7 Pekan 7 Pekan 7 Pekan 7 Pekan 6 pekan 6 pekan
76,91 51,61 87,20 88,61 75,00 70,79
7 Pekan 7 Pekan 7 Pekan 7 Pekan 6 pekan 6 pekan
61,90 73,75 50,67 90,28 34,05 37,65
6 pekan
85,16
55 Pekan 55 Pekan 55 Pekan 55 Pekan
34,00 77,00 81,60 100,00 1 Hari 6 Pekan 7 Pekan
0,03-0,64 26,88 31,36
PHA Secara Umum **) Keterangan:
*)
Hasil penelitian Arcana, dkk (2005) Hasil Ekstrapolasi
***)
Hasil pengujian BOD menunjukkan bahwa potensi biodegradabilitas PHA tertinggi pada pengujian tahap I dimiliki oleh R1-5/4, diikuti dengan PHB, PHBV, dan R2-5/4. Hasil yang serupa ditunjukkan oleh uji BOD pada tahap II. Secara aerobik, bisa dikatakan bahwa memiliki potensi produk R1-5/4 biodegradabilitas yang paling baik dibandingkan dengan sampel PHA lainnya yang diuji. Dengan membandingkan dengan informasi pustaka yang disimpulkan dari penelitian Arcana, dkk (2005), sampel PHA yang diuji memiliki kemiripan sifat biodegradasi dengan PVL dengan kandungan PHB yang sedikit sekali (nyaris 0%PHB). Satu hal yang menarik adalah hasil penelitian di Departemen Teknik Kimia ITB menunjukkan hasil biodegradasi PHB baku hanya 18,73% (untuk tahap I) dan 8,06% (untuk tahap II). Nilai ini bahkan lebih kecil daripada biodegradasi PVL murni dari hasil penelitian Arcana, dkk. Seharusnya, bila kondisi operasi kedua penelitian sama, keduanya akan menghasilkan nilai biodegradasi PHB yang relatif konsisten dengan simpangan kesalahan yang realtif kecil. Perbedaan yang besar ini dimungkinkan oleh asal sampel yang berbeda. Sampel Arcana, dkk dihasilkan melalui reaksi kimiawi, sedangkan sampel PHB baku yang
**)
Hasil penelitian Wouters, dkk (1995)
digunakan untuk uji biodegradabilitas ini dihasilkan oleh perusahaan Polimer Belanda. Kemungkinan penyebab lainnya adalah karena Arcana, dkk menggunakan alat respirometri elektronik sedangkan penelitian ini dilakukan menggunakan metode baku uji BOD. Hasil pengujian BMP tahap I menunjukkan urutan biodegradabilitas yang sama dengan hasil pengujian BOD. Perbedaan urutan potensi biodegradabilitas PHA yang ditunjukkan oleh hasil uji BMP ini menunjukkan bahwa produk R1 (baik dengan pemecah sel berupa hipoklorit maupun NaOH) lebih mudah terbiodegradasi secara anaerob dibandingkan produk R2. Hasil pengujian di lingkungan nyata menunjukkan bahwa biodegradasi terbesar dari produk PHA di dalam air dimiliki oleh PHBV, diikuti oleh PHB, R1 (Baik R1-5/4 , maupun R1,NaOH). Hasil antara tahap I dan tahap II menunjukkan urutan yang sama. Uji lingkungan nyata ini menghasilkan urutan kemudahan biodegradasi yang berbeda dengan Uji Potensi Biodegradabilitas. Hal ini dimungkinkan oleh beberapa hal. Salah satu kemungkinan yang dirasa sangat potensial menyebabkan perbedaan ini adalah terdapatnya perbedaan kondisi (yang mencolok) antara kedua macam uji tersebut. Uji Potensi Biodegradabilitas dilakukan dalam
BBTP 14 - 4
kondisi yang terjaga dengan baik. Temperatur, pH, nutrisi dalam larutan, dan faktor lainnya telah ditentukan dengan baik, baku, seragam, dan relatif tidak berubah secara fluktuatif. Adapun Uji Lingkungan Nyata dilangsungkan dalam alam nyata yang memungkinkan perubahan faktor-faktor tersebut dengan sangat signifikan dari waktu ke waktu. Kondisi cuaca (misalnya curah hujan, intensitas sinar matahari, kondisi COD air sungai, dan sebagainya) sangat fluktuatif dan tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Hasil pengujian Lingkungan Nyata di air juga menunjukkan hasil yang berbeda dengan informasi yang diperoleh dari literatur. Data dari literatur menginformasikan bahwa degradasi PHB-14% HV pada inkubasi dalam air selama 385 hari adalah sebesar 81,60%. Ekstrapolasi data menghasilkan degradasi sebesar 8,91% pada pekan ke-6. Hasil pengujian sampel PHB14% HV pada air sungai pekan ke-6 menunjukkan hasil yang jauh lebih besar daripada informasi literatur ini. Ada dua kemungkinan utama yang menyebabkan hal ini. Pertama, perbedaan kondisi pengujian antara pengujian yang dilakukan oleh sumber informasi dengan pengujian di departemen Teknik Kimia ITB ini. Wouters, dkk melakukan penelitian biodegradasi PHA di sungai berair bersih, sedangkan penelitian ini dilakukan menggunakan air sungai Cikapundung yang relatif kotor dengan kandungan COD yang relatif tinggi (minimal 630 mg/L). Kemungkinan kedua adalah perbedaan metode penyiapan sampel. Wouters menyiapkan sampel dengan teknik yang cukup canggih, yaitu pelapisan PHA pada media yang memungkinkan erosi PHA seminimal mungkin, sedangkan penelitian ini dilakukan terhadap PHA yang disiapkan di atas preparat mikroskop dan lembaran bebas. Penyiapan dengan metode ini memungkinkan erosi pada PHA akibat aliran air selain juga oleh biodegradasi itu sendiri. Uji biodegradabilitas PHA di tanah menunjukkan bahwa R2 (baik R2-5/4 maupun R2,NaOH) memiliki biodegradabilitas yang lebih baik daripada R1 (baik R1-5/4 maupun R1,NaOH).
Namun, seperti halnya hasil pengujian pada media air, pengujian pada media tanah ini menghasilkan nilai biodegradasi yang jauh lebih besar daripada informasi dari sumber pustaka. Penyebab hal ini kemungkinan sama dengan penyebab perbedaan hasil antara penelitian dengan informasi pustaka pada kasus biodegradasi di air, yaitu perbedaan jenis tanah dan perbedaan metode pencetakan sampel. Analisis mikrostruktur dan komponen polimer juga dilakukan dalam penelitian ini dengan SEM dan EDX. Hasil analisis SEM dengan perbesaran 2000 kali untuk dua sampel PHA ditunjukkan oleh gambar 2. Analisis komposisi EDX disajikan dalam tabel 3. Hasil analisis SEM menunjukkan adanya perubahan struktur yang pada permukaan PHA. Permukaan PHA tampak menjadi lebih padat dan kurang berpori. Seharusnya, bila biodegradasi memang terjadi, struktur PHA menjadi lebih berpori. Tampaknya memadatnya struktur PHA ini disebabkan oleh banyaknya biomassa yang menempel pada permukaan PHA. Selain biomassa, terdapat juga partikel tanah yang melekat pada sampel tersebut. Pada Gambar 2 (b) dan 2 (d) tampak bahwa terdapat banyak biomassa mikroba pada permukaan PHA. Gambar 2 (d) juga menunjukkan bahwa terdapat banyak biomassa mikroba yang terperangkap di antara tekstur permukaan PHA. Melihat bentuknya yang unik, biomassa tersebut tampaknya merupakan golongan alga diatomae. Hasil analisis EDX juga memperkuat kebenaran kemungkinan memadatnya PHA akibat biomassa ini. Sebelum inkubasi, pada R15/4 maupun R2,NaOH tidak ditemui adanya elemen logam dalam jumlah yang besar, bahkan tidak ditemui Fe dan Al sama sekali. Namun pada pekan ke-6 sesudah inkubasi di dalam air, terdapat sejumlah besar logam silika dan logam lainnya yang kemungkinan berasal dari tanah juga dari biomassa alga diatomae.
BBTP 14 - 5
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 2. Hasil Pengamatan Mengunakan SEM perbesara 2000 kali. (a) R1-5/4 sebelum Inkubasi. (b) R1-5/4 Sesudah Inkubasi dalam air 6 pekan. (c) R2,NaOH sebelum Inkubasi. (d) R2,NaOH Sesudah Inkubasi dalam tanah 6 pekan. Tabel 3. Komposisi Elemen Sampel PHA (dalam %-berat) Hasil Analisis EDX ELEMEN CK O Na K Al K Si K Cl K Ca K Fe K Total
PEKAN KE-0 R2,NaOH R1-5/4 0,00 67,83 38,08 24,45 3,64 1,92 0,00 0,00 3,65 5,80 38,18 0,00 16,45 0,00 0,00 0,00 100,00 100,00
PEKAN KE-6 R1-5/4 R2,NaOH 55,81 16,59 19,53 36,83 0,00 0,00 0,00 11,53 17,14 19,38 7,52 0,00 0,00 0,00 0,00 15,69 100,00 100,00
Sampel R1-5/4 pada pekan ke-0 tidak mengandung elemen karbon. Padahal bisa dipastikan bahwa sampel tersebut merupakan PHA yang dengan unsur karbon sebagai tulang punggung polimernya. Tampaknya terdapat kesalahan pemilihan spot (titik fokus) pada pemotretan sampel R1-5/4 pekan ke-0 tersebut. Melihat kandungan karbon dari kedua sampel pada pekan keenam, diketahui bahwa kandungan elemen karbon sampel R2,NaOH jauh lebih sedikit dibandingkan R1-5/4. Hal ini menunjukkan bahwa unsur karbon telah dikonsumsi oleh mikroorganisme menjadi material penyusun tubuh sel. Dengan demikian,
PHA jenis R2,NaOH lebih cepat terbiodegradasi dibandingkan PHA R1-5/4. Pengamatan visual dari hasil analisis SEM juga menunjukkan bahwa jumlah mikroba yang melekat pada permukaan R2,NaOH jauh lebih banyak daripada R1-5/4. Hal ini mengindikasikan bahwa mikroorganisme lebih suka untuk melekat dan melakukan biodegradasi terhadap PHA yang diproduksi menggunakan NaOH sebagai pemecah sel dibandingkan PHA yang diproduksi dengan hipoklorit sebagai pemecah sel.
5.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis BOD, potensi biodegradabilitas produk PHA R1 lebih besar daripada produk PHA R2. Demikian pula, uji BMP menunjukkan bahwa R1 memiliki potensi biodegradasi yang lebih tinggi daripada R2. Dalam lingkungan nyata ternyata dalam 6 hingga 7 pekan, produk R1 lebih mudah dan lebih cepat terbiodegradasi dibandingkan R2. Metode pemecahan sel ketika PHA tersebut diproduksi juga berpengaruh terhadap biodegradabilitas PHA produknya. Produk PHA yang diproduksi menggunakan NaOH sebagai
BBTP 14 - 6
pemecah sel memiliki biodegradabilitas yang lebih tinggi dan setelah 6 pekan masa inkubasi dalam air memiliki populasi mikroba per satuan luas permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk yang diproduksi menggunakan hipoklorit sebagai pemecah sel. Seluruh hasil penelitian (yaitu hasil pengujian BOD, BMP, dan uji lingkungan nyata) menunjukkan hasil yang berbeda dengan informasi yang diperoleh dari literatur. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kondisi operasi, kondisi medium, dan teknik penyiapan sampel. Berdasarkan hasil penelitian ini, disarankan untuk memperbaiki teknik pencetakan PHA sehingga penelitian tentang biodegradabilitas PHA ini bisa dilaksanakan dengan lebih teliti dan memiliki tingkat keterulangan (repeatibility) yang tinggi. Uji biodegradabilitas ini juga sebaiknya dilaksanakan menggunakan sampel dengan massa dan ukuran yang lebih besar sehingga perubahan massa akibat erosi aliran air atau penambahan massa tanah yang menempel bisa diabaikan terhadap massa total. Uji ini juga sebaiknya dilakukan dengan kondisi operasi dan kondisi lingkungan yang lebih bervariasi sehingga hasil penelitian nantinya bisa dijadikan acuan untuk jangkauan daerah yang luas. Ucapan Terima kasih Terima kasih disampaikan kepada setiap pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Penelitian ini terlaksana dengan dukungan dana dari Kementrian Riset dan Teknologi Republik Indonesia melalui Program Riset Unggulan Terpadu (RUT) X dengan no. 01/Perj/Dep.III/RUT/PPKI/II/2005, tanggal 1 Februari 2005. Daftar Simbol BOD = Biochemical Oxygen Demand BMP = Biochemical Methane Potential COD = Chemical Oxygen Demand PVL = Polivalerolactone R1 = Sampel PHA yang diproduksi dengan lama waktu aerasi 1 jam dari total 9 jam waktu produksi R2 = Sampel PHA yang diproduksi dengan lama waktu aerasi 2 jam dari total 9 jam waktu produksi R1-5/4 =Sampel PHA R1 yang diproduksi
R2-5/4 R1,NaOH R1-5/4 SEM EDX
dengan hipoklorit sebagai larutan pemecah sel = Sampel PHA R2 yang diproduksi dengan hipoklorit sebagai larutan pemecah sel = Sampel PHA R1 yang diproduksi dengan NaOH sebagai larutan pemecah sel = Sampel PHA R2 yang diproduksi dengan NaOH sebagai larutan pemecah sel = Scanning Electron Microscope = Energy Disversive X-ray Spectrometer
Daftar Pustaka 1. Arcana, M, Tanajaya, B, Anwar, B, Radiman, C.L., and M.A. Sulfikar, (2005), “Biodegradation of Poly(R,S)-βhydroxybutyrate and its Copolymer with δValerolactone Synthesized by Aluminoxide Catalyst”, Proceedings ITB: Sains & Teknologi, vol.37A, no.2, hal 93-99. 2. Halder, A. K., et al., (1995), “Isolation and Characterization of Poly(-D(-)-3hydroxyalkanoate) (PHA) Degrading Bacteria”, Osaka: Dept. Biotehnology, Graduate School of Engineering, Osaka University. 3. Lee and Choi, (1999), “Polyhydroxyalkanoates: Biodegradable Polymer”, Manual of Industrial Microbiology and Biotechnology, Washington, DC : ASM Press, hal. 616-627. 4. Owen, W.S., Stuckey, D.C., Healy, J.B., Young, Jr.L.Y., and Mc.Carty, P.L., (1979), “Bioassay for Monitoring Biochemical Methane Potential and Anaerobic Toxicity”, Wat. Research Journal, vol.13, hal. 485492. 5. Slesjka, Antonin, 1997, “Biodegradable Plastics, Artikel ilmiah dalam situs web: http://stary.biom.cz/clen/as/slejska.html. 6. Wouters, A.C., J. Mergaert., Anderson, dan J. Swings, (1995), “In situ Biodegradation of Poly(3-hydroxybutirate) and Poly(3hydroxybutirate-co-3-hydroxyvalerat) in Natural Waters", Can J Microbiol, 41 [Suppl. 1], hal. 154-159 (Kutipan Kim dan Rhee, 2003).
BBTP 14 - 7