TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI (Tinjauan Filsafat Pendidikan)
SKRIPSI Diajukan kepada: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Pada Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam
Oleh : SUHANIK TRI ASTUTI NIM. 243 022 077
Jurusan Tarbiyah Program Studi Pendidikan Agama Islam SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO Oktober 2006
ABSTRAKSI
Nama NIM Judul Skripsi
: SUHANIK TRI ASTUTI : 243022077 : Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali (Tinjauan Filsafat Pendidikan)
Pada dasarnya tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menjadi kholifah Allah dalam melaksanakan kewajibannya sebagai hamba Allah, maka untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut perlu adanya proses pendidikan. Pendidikan adalah sebagai alat untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia kepada titik optimal yaitu mencapai kemajuan hidup di dunia dan akhirat. Selain itu pendidikan sebagai penggalian dan pengembangan fitrah manusia. Sehingga anak didik memperoleh kemahiran dan keahlian yang sesuai dengan bakat dan tujuan pendidikan yang diharapkan. Masalah tujuan pendidikan adalah masalah sentral dalam pendidikan. Tanpa perumusan yang jelas dari tujuan pendidikan perbuatan mendidik bisa sesat. Karena itu perumusan tujuan pendidikan menjadi inti dari seluruh perenungan filosofi. Sebab di dalam tujuan setiap bentuk pendidikan secara implisit dan eksplisit terkandung pandangan hidup serta filsafat hidup pendidiknya dan lembaga yang mendidik. Al-Ghazali adalah salah satu tokoh filosof muslim yang mempunyai kontribusi besar terhadap dunia pendidikan. Berpijak dari latar belakang diatas maka permasalahan dalam skripsi ini adalah: (1) Bagaimana pendidikan Islam menurut Al-Ghazali, (2) Bagaimana tinjauan filsafat pendidikan terhadap tujuan pendidikan Islam menurut AlGhazali. Skripsi ini merupakan jenis penelitian pustaka (Library Research) dengan pendekatan kualitatif yang menggunakan metode dokumentasi dengan teknik analisis datanya menggunakan proses penyimpulan induktif dan deduktif. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa “Taqarrub pada Allah” adalah tujuan pendidikan yang utama. Hal tersebut dapat dicapai dengan ilmu, karena menguasai ilmu adalah sebagai medium untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Lapangan pendidikan merupakan objek yang sangat luas. Pendekatan filosofis adalah salah satu cara untuk menelaah dan memecahkan masalah-
masalah pendidikan. Ditinjau dari filsafat pendidikan Al-Ghazali termasuk penganut aliran idealisme yang menekankan pada anak didik memahami nilainilai abadi. Sehingga mampu meletakkan keseluruhan batin mencapai dunia cita yaitu manusia yang mampu menikmati kehidupan abadi yang berasal dari Tuhan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................
iii
HALAMAN NOTA DINAS ...................................................................................
iv
HALAMAN MOTTO .............................................................................................
v
HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................................
vi
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii ABSTRAKSI ..........................................................................................................
ix
DAFTAR ISI...........................................................................................................
xi
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ...............................................................
1
B. Definisi Istilah..............................................................................
5
C. Rumusan Masalah........................................................................
6
D. Tujuan Penelitian .........................................................................
6
E. Manfaat Penelitian .......................................................................
7
F. Metode Penelitian ........................................................................
7
G. Sistematika Pembahasan.............................................................. 11 BAB II
: FILSAFAT PENDIDIKAN A. Pengertian Filsafat Pendidikan ................................................... 13 B. Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan ......... 19
C. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan................................................ 23 D. Peranan Filsafat Pendidikan......................................................... 36 BAB III : TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI A. Biografi Al-Ghazali ..................................................................... 40 B. Konsep Pendidikan Al-Ghazali ................................................... 46 C. Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali............................ 56 BAB IV : ANALISA TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI (Tinjauan Filsafat Pendidikan) A. Analisa Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ....... 67 B. Analisa Tinjauan Filsafat Pendidikan terhadap Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ............................... 69 BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................. 76 B. Saran-saran................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Secara alamiah, manusia tumbuh dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal, mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini diciptakan Tuhan melalui proses setingkat demi setingkat. Pola perkembangan manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian berlangsung di atas hukum alam yang ditetapkan oleh Allah sebagai “sunnatullah”. Pendidikan sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia, aspek rohaniah dan jasmaniah juga harus berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan atau pertumbuhan, baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan akhir perkembangan atau pertumbuhan. 1 Pekerjaan mendidik mengandung makna sebagai proses kegiatan menuju kearah tujuannya. Karena pekerjaan tanpa tujuan yang jelas akan menimbulkan suatu ketidakmenentuan dalam prosesnya. Lebih-lebih
1
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 12.
1
2
pekerjaan mendidik yang bersasaran pada hidup psikologis manusia didik yang masih berada pada taraf perkembangan, maka tujuan merupakan faktor yang paling penting dalam proses pendidikan itu. 2 Tidak ada satupun makhluk ciptaan Tuhan di atas bumi yang dapat mencapai kesempurnaan atau kematangan hidup tanpa melalui suatu proses.
Akan
tetapi
suatu
proses
yang
diinginkan
dalam
usaha
kependidikan adalah proses yang terarah dan bertujuan. Pendidikan sebagai upaya untuk membangun sumber daya manusia memerlukan wawasan yang sangat luas. karena pendidikan menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam pemikiran maupun dalam pengalamannya. Oleh karena itu, pembahasan pendidikan tidak cukup berdasarkan pengalaman saja, melainkan dibutuhkan suatu pemikiran yang luas dan mendalam. Pengkajian filosofis terhadap pendidikan mutlak diperlukan karena kajian semacam ini akan melihat pendidikan dalam suatu realitas yang komprehensif. Cara kerja dan hasil-hasil filsafat dapat dipergunakan untuk membantu memecahkan masalah dalam hidup dan kehidupan dimana pendidikan merupakan salah satu kebutuhan penting dari kehidupan manusia.
2
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam II (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 56-57.
3
Pendidikan membutuhkan filsafat karena masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan semata, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah yang lebih luas, kompleks dan lebih mendalam yang tidak terbatas oleh pengalaman inderawi maupun fakta-fakta faktual yang mungkin tidak dapat dijangkau oleh sains pendidikan. 3 Masalah-masalah
tersebut
diatas
antara
lain
adalah
tujuan
pendidikan yang bersumber dari tujuan hidup manusia dan nilai sebagai pandangan hidup manusia. Nilai dan tujuan hidup memang merupakan suatu fakta. Namun pembahasannya tidak bisa dengan menggunakan caracara yang dilakukan oleh sains melainkan diperlukan suatu perenungan yang lebih mendalam. Tujuan pendidikan senantiasa berhubungan langsung dengan tujuan hidup
dan
pandangan
menyelenggarakan
hidup
pendidikan.
individu
maupun
Pendidikan
tidak
masyarakat dapat
yang
dipahami
sepenuhnya tanpa memahami tujuan akhirnya. Sehingga hanya tujuanlah yang dapat ditentukan terlebih dahulu dalam pendidikan. Sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai
manusia
individual
dan
sosial
serta
hamba
Tuhan
mengabdikan diri kepada-Nya.
3
Uyah Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2003), 8.
yang
4
Firman Allah di bawah ini merupakan bukti bahwa melalui observasi studi ilmiah manusia akan menemukan Tuhannya:
!"!#!$ !%&'()(*&+!, -!./$ /0/1/2$ !3&4!5 &6!7/8(9:;< -!./$!' /=>!?@A.$ !3&4!5 &6!B/#(C:;< -!./$!' /;>!D/E&.$ !3&4!5 &6!D/F(G:;< -!./$!' /H&C!I$ !3&4!5 &6!J/K(L:;< &)M5!N!#:;< >!?@G/$ !6&G!$ &)M5!N(O. Artinya: Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan? Dan langit bagaimana Ia tinggikan? Dan gununggunung bagaimana Ia tegakkan? Dan bumi bagaimana Ia hamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. 4 (QS. Ghasyiah:17-20) Imam Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia muslim. beliau terkenal sebagai ahli pikir yang berbeda pendapat dengan kebanyakan ahli pikir muslim yang lain (pada masanya). Sehingga dia juga termasuk tokoh besar filosof muslim yang hakekatnya tak dilepaskan dari kemajuan yang dicapai di zamannya. Merujuk dari uraian diatas dalam hal ini tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali. Apakah masih bisa dijadikan pedoman kooperatif praktis untuk senantiasa memberi hasil guna baik bagi keperluan menciptakan lapangan kerja baru maupun membina sikap hidup kritis dan pola tingkah laku baru serta kecenderungan-kecenderungan baru. Berangkat dari permasalahan tersebut. karena Al-Ghazali adalah seorang filosof muslim apakah sama tujuan pendidikannya jika dipandang dari filsafat pendidikan secara umum. Mengingat pendidikan asalah proses
4
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Gema Risalah, 1993), 1055.
5
hidup dan kehidupan umat manusia. Maka tujuannya pun mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan zaman. 5 Sehingga dalam filsafat timbulah berbagai aliran yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda terhadap tujuan pendidikan. Dari permasalahan diatas maka penulis memproyeksikan ke dalam karya ilmiah ini dengan judul “Tujuan Pendidikan Islam Menurut AlGhazali (Tinjauan Filsafat Pendidikan)”.
B. Definisi Istilah Definisi istilah diperlukan apabila diperkirakan akan timbul perbedaan pengertian atau kekurang jelasan makna seandainya penegasan istilah tidak diberikan. Definisi istilah lebih dititik beratkan pada pengertian secara komprehensif terhadap istilah dalam judul skripsi, 6 yaitu: 1. Tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau kelompok orang yang melakukan suatu kegiatan. 7 2. Pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia baik individu maupun sosial untuk mengarahkan potensi dasar (fitrah) maupun ajar
5 6
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 162. Jurusan Tarbiyah STAIN Ponorogo, Pedoman Penulisan Skripsi (2005), 14-15.
6
sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berdasarkan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. 8 3. Filsafat pendidikan adalah ilmu yang hakekatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. 9
C. Rumusan Masalah Berdasarkan judul skripsi di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali? 2. Bagaimana tinjauan filsafat pendidikan terhadap tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali?
D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai, adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui, pemikiran Al-Ghazali tentang tujuan pendidikan Islam. 2. Untuk
mengetahui
tinjauan
filsafat
pendidikan terhadap
tujuan
pendidikan Islam menurut Al-Ghazali.
7
Djamaluddin, Abdullah Aly, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 14. 8 Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an (Yogyakarta: Mikroj, 2005), 53.
7
E. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Pembahasan skripsi ini diharapkan bisa menambah wawasan penulis dalam memahami kajian keislaman serta dapat digunakan menambah literatur bagi khazanah ilmiah dunia pendidikan. 2. Secara Praktis Hasil kajian ini diharapkan mampu meningkatkan profesionalitas pendidik dan peserta didik pada khususnya serta masyarakat pada umumnya dalam memahami dan menerapkan tujuan pendidikan Islam secara tepat yang nantinya dapat meningkatkan kualitas pendidikan Islam.
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Merujuk pada judul yang telah dikemukakan di atas, maka karya ilmiah ini termasuk dalam kategori kajian kepustakaan (library research) yaitu bentuk tampilan argumentasi penalaran keilmuan yang menjelaskan hasil studi pustakawan dan alam fikir peneliti tentang suatu
9
14.
Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode (Yogyakarta: Andi, 1997),
8
persoalan. Noeng Muhajir mengidentikkan istilah ini dengan studi teks. 10 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam menyusun skripsi ini terdiri dari: a. Sumber data primer 1) Imam Al-Ghazali, Terjemahan Ihya’ Ulumiddin jilid V. Alih bahasa Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1994. 2) Imam Al-Ghazali, Terjemahan Ihya’ Ulumiddin jilid I. Alih bahasa Drs. H. Moh. Zuhri, Semarang: CV. Asy-Syifa’, tt. 3) Imam Al-Ghazali, Munqidh Min Ad-Dhalal, Surabaya: Pustaka Progresif, 2001. b. Sumber data sekunder 1) Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. 2) Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. 3) Abuddin Nata, Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
10
159.
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Rekesarian, 1996),
9
4) Umar Tri Rahardja, La Sula, Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. 5) Made Pidarta, Landasan Kependidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997. 6) Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003. 7)
Prasetya, Filsafat Pendidikan, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
8)
Uyah Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2003.
9)
Ali Saifulloh, Antara Filsafat dan Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, tt.
10) Mohammad Noor Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Kependidikan Pancasila, Surabaya: Usaha Nasional, 1986. 11) Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005. 12) Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002. 13) Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi, Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
10
3. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (library research). Oleh karena itu metode pengumpulan data yang tepat untuk digunakan adalah metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai halhal atau variabel yang berupa catatan atau tulisan, surat kabar, majalah atau jurnal dan sebagainya. 11 4. Analisa Data Data-data tersebut dianalisa menggunakan beberapa metode, yaitu: a. Metode Induksi Suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas halhal atau masalah yang bersifat khusus kemudian menarik kesimpulan yang bersifat umum. 12 b. Metode Deduksi Suatu cara atau jalan yang dipakai untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dengan bertitik tolak dari pengamatan atas hal-hal yang bersifat umum kemudian menarik kesimpulan yang bersifat khusus. 13
11
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 234. 12 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 57. 13 Ibid., 58.
11
Adapun teknik pengolahan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah model analisis isi (content analysis). Content analysis menurut krippendorf dipakai untuk membuat inferensi yang dapat diteliti ulang dan valid dari data berdasarkan konteksnya. 14 Pada analisis data, peneliti melewati tiga fase yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Dalam penelitian ini reduksi data dilakukan dengan cara memilih dan memilah data yang diperoleh sehingga mendapatkan data yang diperlukan atau sesuai dengan fokus penelitian. Sehingga data terpilah sesuai dengan fokus penelitian, kemudian data dipaparkan sesuai dengan tema-tema pengelompokan. Data-data yang terkumpul akan dianalisis secara deskriptif kualitatif.
G. Sistematika Pembahasan Skripsi ini disusun dalam sistematika yang terdiri dari 5 bab dan masing-masing bab saling berkaitan erat yang merupakan kesatuan yang utuh, yaitu: Bab satu, pendahluan. Bab ini berfungsi untuk memaparkan pola dasar dari keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari: Latar Belakang Masalah, Definisi Istilah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.
14
49.
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rekesarian, 1996),
12
Bab dua, membahas Filsafat Pendidikan yang berfungsi sebagai landasan teori untuk mengetengahkan kerangka acuan teori yang dipergunakan
sebagai
landasan
melakukan
penelitian
terdiri
dari:
Pengertian Filsafat Pendidikan, Ontologi Epistimologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan, Aliran-aliran Filsafat Pendidikan, Peranan Filsafat Pendidikan. Bab tiga, memaparkan tentang tujuan Pendidikan Islam menurut AlGhazali yang terdiri dari: Biografi Al-Ghazali, Konsep Pendidikan AlGhazali, Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali. Bab empat, tentang analisa Tujuan Pendidikan Islam Menurut AlGhazali (Tinjauan Filsafat Pendidikan) yang terdiri dari: Analisa Tujuan Pendidikan
Islam
Menurut
Al-Ghazali,
Analisa
Tinjauan
Filsafat
Pendidikan Terhadap Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali. Bab lima, penutup. Bab ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi pembaca yang mengambil intisari dari skripsi yang berisi kesimpulan dan saran.
13
RANCANGAN DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .................................................................................. HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... HALAMAN NOTA DINAS ....................................................................... HALAMAN MOTTO................................................................................. HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. KATA PENGANTAR ................................................................................ ABSTRAKSI ............................................................................................. DAFTAR ISI ............................................................................................. BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah ..................................................... B. Definisi Istilah................................................................... C. Rumusan Masalah.............................................................. D. Tujuan Penelitian............................................................... E. Manfaat Penelitian............................................................. F. Metode Penelitian .............................................................. G. Sistematika Pembahasan ....................................................
BAB II
: FILSAFAT PENDIDIKAN A. Pengertian Filsafat Pendidikan .......................................... B. Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan ..
14
C. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan ...................................... D. Peranan Filsafat Pendidikan ............................................... BAB III : TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI A. Biografi Al-Ghazali ........................................................... B. Konsep Pendidikan Al-Ghazali .......................................... C. Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali .................... BAB IV : ANALISA TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT ALGHAZALI (Tinjauan Filsafat Pendidikan) A. Analisa Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ....... B. Analisa Tinjauan Filsafat Pendidikan terhadap Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ............................... BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................... B. Saran-saran........................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB II FILSAFAT PENDIDIKAN
A. Pengertian Filsafat Pendidikan 1. Filsafat Filsafat
sacara
etimologis
berasal
dari
bahasa
Yunani
“Philosophia”. Philos artinya suka, cinta atau kecenderungan pada sesuatu. Sedangkan shopia artinya kebijaksanaan. Dengan demikian secara sederhana filsafat dapat diartikan cinta atau kecenderungan pada kebijaksanaan. 1 Pengertian filsafat secara terminologi sangat beragam baik dalam ungkapan maupun titik tekannya. Maka tidak mustahil kalau banyak diantara para ahli filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. a. Plato (472 SM-347 SM) seorang filsuf Yunani, yang termasyhur murid Socrates dan guru Aritoteles mengatakan Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli. b. Aristoteles (382 SM-322 SM) mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung
1
Rizal Mustansyar dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), 2.
13
14
ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asal segala benda) c. Al-Farabi (wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibnu Sina mengatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya. 2 d. Ibnu Rusyd (1126-1198 M) Berpendapat bahwa filsafat atau hikmah merupakan pengetahuan “Otonom”, yang perlu di kaji oleh manusia karena ia dikaruniai akal. 3 e. Harold Titus mengemukakan makna filsafat yaitu: 1) Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta. 2) Filsafat adalah suatu metode berfikir reflektif dan penelitian penalaran. 3) Filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah. 4) Filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berfikir. 4 Berfilsafat berarti berfikir, tetapi tidak semua berfikir dapat dikategorikan berfilsafat. Berfikir yang dikategorikan berfilsafat adalah apabila berfikir tersebut mengandung tiga ciri, yaitu radikal, sistematif dan universal. Seperti yang dijelaskan oleh Sidi Gazala yaitu: a. Adanya unsur berfikir dalam hal ini menggunakan akal.
2
A. Mustpfa, Filsafat Islam (Bandung: CV Pustaka setia, 1997), 10. Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 6. 4 Uyah Sadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Al-Fabeta, 2003), 18.
3
15
b. Adanya unsur tujuan yang ingin dicapai melalui berfikir tersebut. c. Adanya unsur ciri yang terdapat dalam pikiran tersebut yaitu mendalam. 5 Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia memiliki peran yang penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan berusaha untuk mencapai, kearifan dan kebajikan. Kearifan merupakan buah yang dihasilkan filsafat dari usaha mencapai
hubungan-hubungan
antara
berbagai
pengetahuan
dan
menentukan implikasinya baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam kehidupan. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa berfilsafat merupakan kegiatan berfikir manusia yang berusaha untuk mencapai kebijakan dan kearifan. Filsafat berusaha merenungkan dan membuat garis besar dari masalah-masalah dan peristiwa yang pelik dari pengalaman umat manusia. Dengan kata lain filsafat sampai kepada merangkum (sinopsis) tentang pokok yang ditelaahnya.
5
Bahtiar, Filsafat…, 9-10.
16
2. Pendidikan Dalam Bahasa Indonesia kata pendidikan berasal dari kata didik yang mendapat awalan “pen” dan akhiran “an”. Kata tersebut mempunyai arti perbuatan (hal, cara dan sebagainya). 6 Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Kenyataannya, pengertian pendidikan ini selalu mengalami perkembangan, meskipun secara esensial tidak jauh berbeda. berikut ini akan dikemukakan sejumlah pengertian pendidikan yang diberikan oleh para ahli yaitu: a. John Dewey Pendidikan
adalah
proses
pembentukan
kecakapan-kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. 7 b. Langeveld Pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri.
6
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 4.
17
Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari dan sebagainya) dan ditujukan kepada orang yang belum dewasa. c. J. J. Rousseau Pendidikan adalah memberi kata perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak akan tetapi kita membutuhkannya pada waktu dewasa. 8 d. Ahmad D. Marimba Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Unsur-unsur yang terdapat dalam pendidikan dalam hal ini adalah: 1) Usaha (kegiatan) usaha itu bersifat bimbingan (pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar. 2) Ada pendidik atau pembimbing. 3) Ada yang dididik atau si terdidik. 4) Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan. e. Ki Hajar Dewantara
7 8
2003), 2.
Ali Saifullah, Antara Filsafat dan Pendidikan (Surabaya: Usaha Nasional, tt), 134. Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
18
Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. 9 Dari beberapa pengertian atau batasan pendidikan tersebut meskipun berbeda secara redaksional namun secara essensial terdapat kesatuan unsur-unsur atau faktor-faktor yang terdapat di dalamnya, yaitu bahwa pengertian pendidikan tersebut menunjukkan suatu proses bimbingan, tuntunan atau pimpinan yang di dalamnya mengandung unsur-unsur seperti pendidik, anak didik tujuan dan sebagainya. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pengertian filsafat pendidikan secara sederhana adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Menurut Al-Syaibany filsafat pendidikan adalah “pelaksanaan pandangan falsafah dan kaidah falsafah dalam bidang pendidikan, filsafat itu mencerminkan satu segi dari segi pelaksanaan falsafah umum dan
9
menitikberatkan
Ibid., 3-4.
kepada
pelaksanaan
prinsip-prinsip
dan
19
kepercayaan-kepercayaan yang menjadi dasar. Dari falsafah umum dalam menyelesaikan masalah, pendidikan secara praktis. 10 Filsafat pendidikan berdasarkan pada filsafat formal atau filsafat umum. Dalam arti bahwa masalah-masalah pendidikan merupakan karakter filsafat.
B. Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Filsafat Pendidikan Dalam uraian tentang definisi filsafat dijelaskan bahwa objek filsafat ialah segala sesuatu, meliputi kesemestaan. Scope filsafat yang amat luas dan tak terbatas obyeknya itu pelu adanya pembidangan untuk intensifikasi penyelidikan. Salah satu cara untuk mempelajari filsafat pendidikan ialah melakukan penyelidikan filosofis tentang pendidikan. Dalam garis besarnya ada 3 cabang yaitu ontologi, epistimologi dan aksiologi dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut: 1. Ontologi Menurut bahasa ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu “on” atau “ontos”: ada dan “logos”: ilmu. Jadi ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah ontologi ialah ilmu yang membahas tentang
10
Sadullah, Pengantar…, 71.
20
hakikat yang ada merupakan “Ultimate Reality baik yang berbentuk jasmani atau kongkret maupun rohani atau abstrak”. 11 Ontologi juga bisa disebut dengan metafisika. Metafisika ialah filsafat yang meninjau tentang hakikat segala sesuatu yang terdapat di alam ini. Dalam kaitannya dengan manusia ada 2 pandangan yaitu: (Callahan, 1983) Manusia pada hakikatnya adalah spiritual yang ada jiwa atau roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jiwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasi diri. 12 Metafisika disebut juga sebagai prote filosofia atau filsafat pertama. Sebelum manusia menyelidiki yang lain manusia berusaha mengerti hakekat sesuatu. Manusia dalam interaksinya dengan semesta raya melahirkan pertanyaan filosofis. Apakah realita itu terbentuk atas satu unsur (monoisme) atau dua unsur (dualisme) ataukah lebih dari dua unsur yakni serba banyak. 13 Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan metafisika atau ontologis. Pandangan ontologi secara praktis akan menjadi masalah utama di dalam pendidikan. Sebab anak bergaul dengan dunia lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat untuk mengerti
11
Bakhtiar, Filsafat…, 131. Made Pidarta, Landasah Kependidikan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997), 77. 13 Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), 28. 12
21
sesuatu. Baik di masyarakat maupun di sekolah selalu menghadapi realita baik berupa benda mati, benda hidup dan asas-asas pandangan religius. 2. Epistimologi Sedemikian jauh dunia pendidikan dianggap sebagai proses penyerahan kebudayaan umumnya khususnya ilmu pengetahuan. apakah sesungguhnya ilmu itu darimana sumber ilmu itu, bagaimana proses terjadinya dan sebagainya. Inilah urusan Epistimologi. Epistimologi ialah filsafat yang membahas tentang pengetahuan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai berikut: a. Ada lima sumber pengetahuan yaitu: 1) Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedi, buku teks yang baik, rumus dan tabel. 2) Cammon sense yang ada pada adat dan tradisi. 3) Intuisi yang berkaitan dengan perasaan. 4) Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengalaman. 5) Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah. b. Ada 4 teori kebenaran yaitu: 1) Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsisten dengan kebenaran umum.
22
2) Koresponden, sesuatu akan benar bila ia tepat dengan fakta yang dijelaskan. 3) Pragmatisme, sesuatu akan dipandang benar bila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan. 4) Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap. 14 3. Aksiologi Aksiologi adalah studi tentang nilai.nilai adalah sesuatu yang berharga. 15 Brameld membedakan tiga bagian di dalam aksiologi ini sebagai berikut: a. Moral Conduct tindak moral bidang ini melahirkan disiplin khusus yakni etika. b. Esthetic Expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. c. Socio-political life, kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio politik. Nilai dan implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. 16
14
Pidarta, Landasan…., 77. Prasetya, Filsafat Pendidikan (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 135. 16 Pancasila, Filsafat…, 34-35. 15
23
C. Aliran-Aliran Filsafat Pendidikan Gagasan dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis sesuai dengan dinamika manusia dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini, maupun masa depan pendidikan itu selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan IPTEK. Pemikiran-pemikiran yang membawa pembaharuan pendidikan disebut “Aliran-aliran Filsafat Pendidikan”. 17 Agar uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap berikut akan dipaparkan tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu ialah 1. Filsafat Pendidikan Idealisme Filsafat idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi bukan fisik. Parminides, filosof dari Elea (Yunani) berkata “Apa yang tidak dapat dipikirkan adalah tidak nyata”. Plato seorang filosof idealisme klasik (yunani) menyatakan bahwa realitas terakhir adalah dunia cita. Dunia cita merupakan dunia mutlak, tidak berubah dan asli serta abadi. Realitas akhir tersebut sebetulnya telah ada sejak semula pada jiwa manusia. 18 Termasuk
dalam
paham
idealisme
adalah
spiritualisme,
rasionalisme dan supernaturalisme. Bagi penganut aliran idealisme
17
Umar Tri Rahar dja La Sulo, Pengantar Pendidikan (Jakarta: Pt. Rineka Cipta, 2000), 191. 18 Sadulloh, Pengantar…., 97.
24
fungsi mental adalah apa yang tampak dalam tingkah laku. Oleh karena itu, jasmani atau badan sebagai materi merupakan alat jiwa, alat roh. Untuk melaksanakan tujuan, keinginan dan dorongan jiwa manusia. Hakikat manusia adalah jiwanya, rohaninya yakni apa yang disebut “Mind”. Mind merupakan suatu wujud yang mampu menyadari dunianya, bahkan sebagai pendorong dan penggerak semua tingkah laku manusia. Jiwa (mind) merupakan faktor utama yang mengerakkan semua aktifitas manusia, badan atau jasmani tanpa jiwa tidak memiliki apaapa. 19 Filsafat idealisme diturunkan dari filsafat idealisme metafisik yang menekankan pertumbuhan rohani. Kaum idealis percaya bahwa anak merupakan bagian dari alam spiritual yang memiliki pembawaan spiritual sesuai dengan potensialitesnya. Oleh karena itu pendidikan harus mengajarkan hubungan antara anak dengan bagian alam spiritual. Pendidikan harus menekankan kesesuaian batin antara anak dan alam semesta (Kneller). Menurut Horne pendidikan merupakan proses abadi dari proses penyesuaian dan perkembangan mental maupun fisik, bebas dan
sadar
intelektual,
terhadap emosional
tuhan, dan
dimanefestasikan berkemauan.
dalam
lingkungan
Pendidikan
merupakan
pertumbuhan kearah tujuan yaitu pribadi manusia yang ideal.
19
Ibid.
25
Socrates, Plato dan Kant yakin bahwa pengetahuan yang terbaik adalah pengetahuan yang dikeluarkan dari dalam diri siswa, bukan dimasukkan atau dijejalkan kedalam diri siswa. pendidikan dipusatkan pada usaha merealisasi potensi-Hereditas. 20 Idealisme memiliki tujuan pendidikan yang pasti dan abadi, dimana tujuan itu berada di luar kehidupan sekarang ini. Tujuan pendidikan idealisme akan berada di luar kehidupan manusia itu sendiri, yaitu manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan menikmati kehidupan abadi yang berasal dari Tuhan. Di dalam pendidikan Islam, pendidikan yang benar adalah yang memberikan kesempatan kepada keterbukaan terhadap pengaruh dari dunia luar dan perkembangan dari dalam diri anak didik. 21 Sesuai dengan firman Allah:
!"!#!$!% &'()*!+ !,)-./!0)#!1!2 )3.451&!678.9 5,)-.:.; )<58 )3.4!$!=)>!9 .?9!% .!,)%.=.4)@!1 )3.470!#!A 5B!C5()D!E9!% !F&!G);!E9!% !H)/7IA9 .3.4!A Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu bersyukur” (QS. An-Nahl: 78). 22
20
Syam, Filsafat…, 43. Muzzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 18. 22 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Gema Risalah press,1993), 413. 21
26
Dengan demikian fitrah itu diberi hak untuk membentuk pribadi anak dan dalam waktu bersamaan faktor dari luar akan mendidik dan mengarahkan kemampuan dasar (fitrah) anak. 2. Filsafat Pendidikan Materialisme Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, bukan spiritual atau supernatural. Demokritos (460-360 SM) merupakan pelopor pandangan materialisme klasik yang disebut “atomisme”. Demokritos beserta para pengikutnya beranggapan bahwa segala sesuatu terdiri dari bagian-bagian kecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi (yang disebut atom-atom). Atom-atom merupakan bagian dari yang begitu kecil sehingga mata kita tidak dapat melihatnya. Atom-atom itu bergerak sehingga dengan demikian membentuk realitas pada panca indera kita. Karakteristik umum materialisme pada abad delapan belas berdasarkan pada suatu asumsi bahwa realitas dapat dikembangkan pada sifat-sifat yang sedang mengalami perubahan gerak dalam ruang (Randall, 1942). Asumsi tersebut menunjukkan bahwa: a. Semua sains seperti Biologi, Kimia, Psikologi, Fisika, Sosiologi, Ekonomi dan yang lainnya ditinjau dari dasar fenomena materi yang berhubungan secara kausal (sebab akibat).
27
b. Apa yang dikatakan “jiwa” (Mind) dan segala kegiatannya (berpikir, memahami) adalah merupakan suatu gerakan yang kompleks dari otak, sistem urat syaraf, atau organ-organ jasmani yang lainnya. c. Apa yang disebut dengan nilai dan cita-cita, makna dan tujuan hidup, keindahan dan kesenangan, serta kebebasan hanyalah sekedar namanama atau semboyan, simbol subjektif manusia untuk situasi atau hubungan fisik yang berbeda. Jadi semua fenomena baik fenomena sosial maupun fenomena psikologi adalah merupakan bentuk-bentuk tersembunyi dari realitas fisik. Hubungan-hubungannya dapat berubah secara kausal. 23 Lud Wig Feverbach (1804-1872) mencanangkan suatu metafisika materialistis, suatu etika yang humanistis dan suatu epistimologi yang menjunjung tinggi pengenalan indrawi. Oleh karena itu, ia ingin mengganti idealisme Heggel (guru Feverbach) dengan materialisme. Jadi menurut Feverbach yang ada hanyalah materi, tidak mengenal alam spiritual. Kepercayaan kepada Tuhan hanyalah merupakan suatu proyeksi dari kegagalan atau ketidak puasan manusia untuk mencapai cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud di luar dirinya yang dikhayalkan memiliki kesempurnaan, yang merupakan sumber kebahagiaan manusia,
23
Sadullah, Pengantar…, 113-114.
28
suatu wujud bahagia secara absolut. Oleh karena itu, Tuhan hanyalah merupakan hasil khayalan manusia. Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri, secara maya padahal wujudnya tidak ada. 24 Cabang materialisme yang banyak diperhatikan orang dewasa ini, dijadikan sebagai landasan berpikir “positivisme”. Menurut positivisme, kalau sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlahnya. Jumlah itu dapat diukur. Oleh karena itu, segala yang tidak dapat diamati dan diukur secara ilmiah berarti tidak dapat dipelajari secara positif. Sebagai
aliran
yang
dilandasi
positivisme
materialisme
mengabaikan faktor intrapsikhis. Hal ini berarti dalam proses belajar tidak berorientasi pada apa yang terdapat dalam diri siswa (misalnya, harapan siswa, potensialitas siswa, kemampuan siswa dan sebagainya). Tujuan pendidikan bersifat eksternal dalam arti ditentukan dan dirumuskan oleh lingkungan, tanpa memperhitungkan faktor internal siswa yang belajar. 25 Hal ini mengandung implikasi bahwa proses pendidikan (proses belajar) menekankan pentingnya ketrampilan dan pengetahuan akademis yang empiris sebagai hasil kajian sains, serta perilaku sosial sebagai hasil belajar.
24
Ibid.
29
3. Filsafat Pendidikan Pragmatisme Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya
berpangkal
pada
filsafat
empirisme
Inggris,
yang
berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Pendiri filsafat pragmatisme di Amerika adalah Charles Sandre Peirce (1839-1914), William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952). Ketiga filosof tersebut berbeda baik dalam metodologi maupun kesimpulannya. Pragmatisme Peirce dilandasi oleh Sains Fisika dan Matematika, sedang filsafat Dewey dilandasi oleh Sains-Sains Sosial dan Biologi. Sedangkan James adalah personal dan psikologis. Istilah pragmatisme berasal dari perkataan “pragma” artinya praktik atau aku berbuat. Maksudnya bahwa makna segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan. Istilah lainnya yang dapat diberikan pada filsafat pragmatisme adalah
instrumentalisme
dan
eksperimentalisme.
Disebut
instrumentalisme karena menganggap bahwa dalam hidup ini tidak dikenal tujuan akhir, melainkan hanya tujuan antara dan sementara yang merupakan alat untuk mencapai tujuan berikutnya. Termasuk dalam pendidikan tidak mengenal tujuan akhir. Kalau suatu kegiatan telah mencapai tujuan, maka tujuan tersebut dapat dijadikan alat untuk
25
Ibid., 117.
30
mencapai tujuan berikutnya. Dikatakan eksperimentalisme, karena filsafat ini menggunakan metode eksperimen dan berdasarkan atas pengalaman dalam menentukan kebenarannya. 26 John Dewey mengemukakan kriteria dalam menentukan tujuan pendidikan, yaitu: a. Tujuan pendidikan hendaknya ditentukan dari kegiatan yang didasarkan atas kebutuhan intrinsik anak didik. b. Tujuan pendidikan harus mampu memunculkan suatu metode yang dapat mempersatukan aktivitas pengajaran yang sedang berlangsung. c. Tujuan pendidikan adalah spesifik dan langsung. Pendidikan harus tetap menjaga untuk tidak mengatakan yang berkaitan dengan tujuan umum dan tujuan akhir. 27 Tujuan pendidikan menurut pragmatisme bersifat temporer karena tujuan itu merupakan alat bertindak. Dengan tujuan pendidikan individu harus mampu melanjutkan pendidikannya. 4. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme Filsafat eksistensialisme itu unit yakni memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Filsafat-filsafat lain berhubungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan manusia
26
Ibid., 118-119.
31
dan nilai. Di sisi lain eksistensialisme memberi individu suatu jalan berpikir mengenai kehidupan apa maknanya bagi saya. Apa yang benar untuk saya. Secara umum eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan konkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberi kesempatan untuk bebas memilih etika. Mendorong pengembangan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri dan mengembangkan komitmen diri. 28 Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kierkeguard (Denmark,
1813-1855).
Inti
masalah
yang
menjadi
pemikiran
eksistensialisme adalah sekitar apa kehidupan manusia? Apa pemecahan yang kongkret terhadap makna “eksis” (berada) dari manusia. 29 Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya manusia
benda-benda
materi.
Keberadaan
benda-benda
materi
berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri dan juga tidak terdapat komunikadi antar satu dengan lainnya. Tidak demikian halnya dengan
27
Ibid., 129. Pidarta, Landasan…, 93. 29 Sadullah, Pengantar…, 135. 28
32
beradanya manusia. Manusia berada bersama manusia lainnya sama sederajat. Benda-benda materi akan bermakna karena manusia. 5. Filsafat Pendidikan Progressivisme Menurut progresivisme proses pendidikan mempunyai dua segi yaitu pasikologis dan sosiologis. Dari segi psikologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga atau daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti behaviorisme dan pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui kemana tenaga itu harus dibimbingnya. Dewey mengatakan bahwa tenaga itu harus diabdikan pada kehidupan sosial. Jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah sebuah lembaga sosial. Pendidikan adalah alat kebudayaan yang paling baik. Tujuan umum pendidikan adalah warga masyarakat yang demokratis. Isi pendidikannya lebih mengutamakan bidang studi IPA, Sejarah, Ketrampilan serta hal-hal yang langsung dirasakan oleh masyarakat. 30
30
Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John Dewey (Yogyakarta: Safirra Insania Press, 2004), 55-56.
33
6. Filsafat Pendidikan Perenialis Perenialis merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad ke duapuluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialis menentang pandangan progreeivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Aliran
perenialisme
beranggapan
bahwa
pendidikan
harus
didasari nilai-nilai kultural masa lampau “regressive road to cultural” (menapaki kembali jalan kebudayaan lama). Oleh karena kehidupan modern saat sekarang banyak menimbulkan krisis dalam banyak bidang kehidupan. 31 Pengaruh Plato dan pikiran Aristoteles besar sekali terhadap perkembangan aliran ini. seperti orientasi pendidikan ditujukan kepada potensi dan masyarakat agar kebutuhan setiap masyarakat dapat dipenuhi. Aristoteles orientasi pendidikan ditujukan kepada “kebahagiaan melalui pengembangan kemampuan-kemampuan rohaniah seperti emosi dan kognisi serta jasmaniah manusia”. Dengan rumusan berbeda, Thomas Aquinas memberikan rumusan tujuan pendidikan sebagai usaha
31
Arifin, Filsafat……., 165-166.
34
untuk merealisasikan kapasitas dalam tiap individu manusia sehingga menjadi aktualitas. 32 Dari uraian di atas tujuan dari pendidikan menurut pemikiran perenialis
adalah
memastikan
bahwa
para
siswa
memperoleh
pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau gagasan besar yang tidak berubah. Dunia alamiah dan hakekat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selama berabad-abad. 7. Filsafat Esensialisme Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930 dengan beberapa orang pelopornya seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell, pada tahun 1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut “the esensialist sommite for the advan coment of American education”. Bagley sebagai pelopor esensialisme adalah seorang guru besar pada “Teacher College” Columbia University. Ia yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah menyampaikan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda. 33 Tekanan pendidikannya adalah pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan diyakini otak peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. 34
32
Ibid., 167. Sadullah, Pengantar…, 158. 34 Pidarta, Landasan…, 90. 33
35
Selain merupakan warisan budaya tujuan pendidikan esensialisme adalah “mempersiapkan manusia untuk hidup”. Namun hidup tersebut sangat kompleks dan luas. Sehingga kebutuhan-kebutuhan untuk hidup tersebut berada di luar wewenang sekolah. Hal ini tidak berarti bahwa sekolah tidak dapat memberikan kontribusi untuk mempersiapkan hidup tersebut. kontribusi sekolah terutama bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa, terutama tujuan pelajaran yang dapat bertanggung jawab yang pada akhirnya memadai untuk mempersiapkan manusia hidup. 8. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme Sebagaimana dinyatakan oleh Caroline Pratt (1987), seorang rekonstruksionis sosial yang berpengaruh periode itu. nilai terbesar suatu sekolah harus menghasilkan manusia-manusia yang dapat berpikir secara efektif dan bekerja secara konstruktif yang saat bersamaan dapat membuat dunia yang lebih baik dibandingkan sekarang ini. Aliran
rekonstruksi
beranggapan
bahwa
usaha
melakukan
restorasi kehidupan manusia perlu didukung oleh kesepakatan semua orang tentang tujuan utamanya yaitu untuk mengatur tata kehidupan umat manusia dalam pola tatanan yang baru. 35
35
Arifin, Filsafat…, 167.
36
D. Peranan Filsafat Pendidikan Proses pendidikan adalah proses perkembangan yang bertujuan. Tujuan proses perkembangan ini secara alamiah ialah kedewasaan, kematangan. Sebab potensi manusia yang paling alamiah ialah bertumbuh menuju ke tingkat kedewasaan, kematangan. Potensi ini akan terwujud apabila prakondisi alamiah dan sosial manusia memungkinkan misalnya, iklim, makanan. Masalah
tujuan
pendidikan
adalah
masalah
sentral
dalam
pendidikan. Tanpa perumusan yang jelas dari tujuan pendidikan perbuatan mendidik bisa sesat. Karena itu perumusan tujuan pendidikan menjadi inti dari seluruh perenungan teoritis pedagogis dan perenungan filosofi. Sebab did alam tujuan setiap bentuk pendidikan secara implisit dan eksplisit terkandung pandangan hidup serta filsafat hidup pendidiknya dan lembaga yang mendidik atau negara. 36 Selain orientasi filosofis yang digambarkan pada bagian sebelumnya beberapa aliran pemikirna psikologis telah membentuk basis untuk filsafat pendidikan khususnya dalam pengajaran. Teori-teori psikologis merupakan pandangan-pandnagan dunia yang komprehensif yang berfungsi sebagai basis bagi guru dalam pendekatan prkatek pengajaran. Orientasi-orientasi pengajaran pada pokoknya berhubungan dengan pemahaman kondisi-
37
kondisi yang di asosiasikan dengan pengajaran efektif. dengan kata lain apa yang memotivasi siswa untuk belajar? yang utama diantara orientasiorientasi psikologis yang telah mempengaruhi filsafat pengajaran antara lain tersimpul di dalam pandangan. 1. Teori (Hukum) Empirisme Ajaran filsafat empirisme yang dipelopori John Locke (16321704) mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor-faktor
lingkungan,
terutama
pendidikan.
John
Locke
berkesimpulan bahwa tiap individu lahir sebagai kertas putih, dan lingkungan itulah yang “menulisi” kertas putih itu. teori ini dikenal sebagai teori tabularasa atau teori empirisme. Bagi John Locke faktor pengalaman yang berasal dari lingkungan itulah yang menentukan pribadi seseorang. Karena lingkungan itu relatif dapat diatur dan dikuasai manusia. Maka teori ini bersifat optimis dengan tiap-tiap perkembangan pribadi. 37
36
Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1977), 17. 37 Syam, Filsafat…., 41.
38
2. Teori (Hukum) Nativisme Aliran nativisme bertolak dari Leibnitzion Tradition yang menekankan kemampuan dalam diri anak. sehingga faktor lingkungan, termasuk
faktor
pendidikan,
kurang
berpengaruh
terhadap
perkembangan anak. hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak lahir. Lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. hasil pendidikan tergantung pada pembawaan. Schopen Haver (filsuf Jerman, 1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. 38 3. Teori (Hukum) Konvergensi Perintis teori ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik maupun buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama,
38
Sulo, Pengantar…., 196.
39
mempunyai peranan yang sangat penting. 39 Suatu kenyataan bahwa potensi
hereditas
yang
baik
saja,
tanpa
pengaruh
lingkungan
(pendidikan) yang positif tidak akan menghasilkan kepribadian ideal. Sebaliknya, meskipun lingkungan (pendidikan) yang positif dan maksimal, tidak akan menghasilkan kepribadian ideal tanpa potensi hereditas
yang
baik.
Oleh
karena
itu
perkembangan
pribadi
sesungguhnya adalah hasil proses kerjasama kedua faktor baik internal (potensi hereditas) maupun faktor eksternal (lingkungan pendidikan). 40 Hukum konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Meskipun demikian, terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh kembang itu.
39 40
Ibid., 198. Syam, Filsafat….,
BAB III TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI
A. Biografi Al-Ghazali Al-Ghazali adalah ulama besar dalam bidang agama, dia termasuk salah
seorang
terpenting
dalam
sejarah
pemikiran
agama
secara
keseluruhan. Al-Ghazali orang yang paling disukai oleh orang-orang Nasrani di Barat karena beliau dianggap sebagai orang muslim yang paling dekat dengan orang Kristen. Sebelumnya, kehidupan pemikiran pada zamannya sangat memprihatinkan, karena kaum muslimin terbagi menjadi beberapa kelompok. Adapun karya terpentingnya Al-Ghazali adalah “Ihya’ Ulumuddin”. Yang mana para fuqaha menilai bahwa buku ini hampir mendekati kedudukan Al-Qur’an. Buku lainnya yaitu “Al- Munqidz Min Ad-Dhalal”, dalam buku ini beliau merekam perjalanan hidupnya sendiri, mengenai pengembaraan ruhaninya. Beliau memiliki pemikiran liberal yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan dan penyingkapan berbagai hakikat. 1 Selain itu beliau tergolong ulama yang taat berpegang kepada AlQur’an dan sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari pengetahuan umum seperti ilmu kalam,
40
41
filsafat, fiqih dan tasawuf. Dan juga beliau adalah seorang yang banyak mencurahkan
perhatiannya
terhadap
pendidikan
sehingga
tidak
mengherankan jika ia memiliki konsep pendidikan. 2 1. Latar Belakang Keluarga Nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Muhammad, kemudian mendapat gelar Imam Besar Abu Hamid Al-Ghazali Hujjatul Islam yang dilahirkan pada tahun 450 H atau 1050 M, di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan Persia. Ia keturunan Persia dan mempunyai darah Khurasab, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahiraz. 3 Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua z) artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayahnya ialah tukang pintal benang wol, sedangkan yang biasa ialah Ghazali (satu z) diambil dari kota Ghazalah nama kampung kelahirannya. 4 Ayahnya adalah seorang miskin yang jujur, hidup dari usaha mandiri, bertenun kain bulu dan ia sering kali mengunjungi rumah alim ulama. Menuntut ilmu dan berbuat jasa kepada mereka. Ia (ayah AlGhazali) sering berdo’a kepada Allah SWT. agar diberikan anak yang
1
Husayn Ahmad Ainin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), 177-179. 2
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Remaja Rosdakarta, 2000), 85. 3 Zainuddin dkk, Seluk Beluk Pendidikan Dari Al-Ghazali (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 7. 4 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 9.
42
pandai
dan
berilmu.
Akan
tetapi
belum
sempat
menyaksikan
(menikmati) jawaban Allah SWT (karunia) atas do’anya ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih anak-anak. 5 Ayah Al-Ghazali bernama Muhammad dan ia sangat menaruh perhatian pada pendidikan anak-anaknya. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara, ayahnya tidak ingin kedua anaknya Ahmad dan AlGhazali miskin dari ilmu seperti keadaannya. Oleh karena itu menjelang akhir hayatnya, ia menitipkan kedua anaknya kepada sahabat dekatnya untuk dididik sampai habis harta warisannya. 6 2. Latar Belakang Pendidikan Setelah ayahnya meninggal, Al-Ghazali dididik oleh sahabat karib ayahnya sampai harta warisan dari ayah Al-Ghazali habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampunya karena tidak ada biaya akhirnya beliau dimasukkan ke asrama. Al-Ghazali sejak kecil dikenal sebagai anak pecinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, sekalipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan dilamun sengsara. 7 Dalam menuntut ilmu beliau selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dimasa kanak-kanak beliau belajar pertama di
5 6
Zainuddin, Seluk Beluk……, 7. Rusn, Pemikiran……., 10.
43
wilayah kelahirannya di Thus, beliau belajar tentang dasar-dasar pengetahuan dan fiqih kepada Ahmad Bin Muhammad Ar-Radzikani. 8 Kemudian beliau belajar kepada Abi Nashr Al-Ismaili di Jurjani, tentang tasawuf. Dan akhirnya ia kembali ke Thusia lagi. Hal ini dapat diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya. Beliau dan teman-teman seperjalanannya dihadang sekawanan pembegal dan merampas harta dan bekal yang mereka bawa. Para pembegal merebut tas Al-Ghazali yang berisi buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian
Al-Ghazali
berharap
kepada
mereka
agar
sudi
mengembalikannya, akhirnya kawanan perampok merasa iba dan kasihan kepadanya dan mereka mengembalikan kitab-kitab kepadanya. Setelah peristiwa itu beliau menjadi rajin sekali mempelajari kitab-kitabnya, memahami ilmunya dan berusaha mengamalkannya dan juga menaruh kitab-kitabnya di suatu tempat yang khusus. Sesudah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan di masanya, yaitu Al-Juwaini Iman Al-Haramain (W.478 H atau 1085 M). dari beliau ini dia belajar ilmu kalam, ilmu ushul dan ilmu pengetahuan agama lainnya.
7
Fathiyah Hasan Sulaiman, Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly, Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazaly (Bandung: Al-Ma’arif, 1986), 13. 8 Imam Ghazali, Munqidh Minad Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan (Surabaya: Pustaka Progresif, 2001), 109.
44
Imam Ghazali memang orang yang sangat cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi predikat sebagai orang yang memiliki
ilmu
yang
sangat
luas
bagaikan
“Laut
dalam
nan
menenggelamkan (Bahrun Mughriq)”. 9 Setelah gurunya meninggal beliau pergi ke Istana Nidzam AlMulk, Menteri Nidzam Al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan, kekayaan
ilmu
pengetahuan,
kefasihan
lidah
dan
kejituan
argumentasinya. Akhirnya menteri itu berjanji akan mengangkatnya sebagai
guru
besar
di
Universitas
di
Bagdad
(Perguruan
Al-
Nidzomiyah). Setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Bagdad dan meninggalkan Bagdad untuk menjalani kehidupan sebagai seorang sufi pada tahun 488 H. sambil menunaikan ibadah haji. 10 Ketika itu beliau mengalami keraguan yang timbul dalam dirinya setelah beliau mempelajari ilmu kalam yang diperolehnya dari Al-Juwaini. Beliau ingin mencari kebenaran sejati dan mulai tidak percaya kepada pengetahuan yang diperolehnya melalui panca indra, sebab panca indra seringkali salah atau berdusta. Ia kemudian meletakkan kepercayaan kepada pengetahuan akal, tetapi ternyata tidak memuaskan.
9
Sulaiman, Al-Madzhabut….., 14.
45
Tasawuflah kemudian yang menghilangkan rasa ragu-ragu dalam dirinya. 11 Setelah itu beliau pergi ke Syam dan tinggal di sana sebagai seorang zahid hidup serba ibadah dan mengembara ke berbagai padang pasir melatih diri mendalami masalah kerohanian dan penghayatan agama. Di Syam beliau menulis karyanya Ihya’ Ulumuddin, setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis. Kemudian beliau kembali ke Bagdad menuju ke daerah asalnya yaitu Khurosan. Di Khurosan beliau mengajar di Madrasah Al-Nidzamiyah di Narsabur dan juga mengajar di Madrasah Al-Fuqoha. Selain itu beliau juga menjadi Imam ahli agama dan membimbing jama’ah kajian tasawuf serta penasehat spesialis dalam bidang agama. Kitab pertama yang beliau karang setelah kembali ke Bagdad yaitu kitab “Al-Munqidh Minal Ad-Dhalal” (penyelamat dari kesesatan) yang merubah pandangannya tentang sejarah hidupnya di waktu transisi tentang nilai-nilai kehidupan. 12 Sekembalinya Imam Ghazali ke Bagdad sekitar sepuluh tahun beliau pindah ke Narsabur dan di sana beliau sibuk mengajar dalam waktu yang tidak lama. Setelah tidak lama beliau
10
Imam Ghazali, Pembuka dan Penerang, Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 2001), 20. 11 Ghazali, Munqidh….., 177. 12 Ghazali, Pembuka……, 21.
46
meninggal dunia di kota Thusia. Kota kelahirannya pada tahun 505 H atau 1111 M. Dari uraian diatas dapat kita amati sejarah kehidupannya. Setelah beliau mengabdikan diri untuk ilmu pengetahuan berpuluh-puluh tahun dan telah memperoleh kebenaran yang hakiki pada akhir hidupnya, beliau dilahirkan di Thusia dan kembali lagi ke Thusia tempat kelahirannya. Kehidupannya dimulai dengan kehidupan ilmiah sebagai pengajar dan penasehat diakhirinya sebagai guru dan penasehat pula.
B. Konsep Pendidikan Al-Ghazali Al-Ghazali adalah seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan. Sehingga tidak mengherankan jika ia memiliki konsep pendidikan. Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan yaitu di dalam buku “Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam” karya Abudin Nata tentang tujuan pendidikan kurikulum, metode, etika guru dan etika murid berikut ini:
47
1. Tujuan Pendidikan Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan. Jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan dengan pendidikan. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui
kegiatan
pendidikan
ada
dua.
Pertama,
tercapainya
kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akherat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu. tujuan ini tampak bernuansa religius. 13 2. Kurikulum Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan AlGhazali ilmu terbagi kepada tiga bagian sebagai berikut: Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di
13
Nata, Pemikiran….., 86.
48
akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu tersebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan) baik bagi yang memilikinya maupun bagi orang lain. Ilmu sihir dan ilmu guna-guna misalnya dapat mencelakakan orang, dan dapat memisahkan antara sesama manusia yang bersahabat atau saling mencintai menyebarkan rasa sakit hati, permusuhan, menimbulkan kejahatan dan sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang tergolong ilmu yang tidak tercela ini menurut Al-Ghazali dapat dibagi dua yaitu ilmu nujum yang berdasarkan istidlaly, yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. 14 Ilmu nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghazali tercela menurut syara’. Sebab dengan ilmu itu dapat menyebabkan manusia menjadi ragu pada Allah lalu menjadi kafir. Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertama diatas. AlGhazali mengatakan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena menurut tabiatnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu tersebut dengan baik. Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak. 15 Yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macammacamnya seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat
14
Ibid., 88.
49
dan dosa serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui
yang
baik
dan
melaksanakannya
ilmu-ilmu
yang
mengajarkan manusia tentang cara-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridloi-Nya serta dapat membekali hidupnya di akhirat. Terhadap ilmu model kedua Al-Ghazali membaginya kepada dua bagian. Pertama wajib ‘ain dan wajib kifayah, wajib ‘ain bagi setiap muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya mulai dari kitab Allah, ibadah yang pokok seperti shalat, puasa, zakat dan sebagainya. Bagi Al-Ghazali ilmu yang wajib ‘ain itu adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajib. Jadi siapa yang mengetahui ilmu yang wajib itu, maka ia akan mengetahui kapan waktu wajibnya. Sedangkan ilmu yang termasuk fardlu kifayah yaitu semua ilmu yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan, seperti ilmu kedokteran ilmu hitung dan sebagainya. Ketiga, ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan serta dapat pula membawa kepada kekafiran seperti ilmu filsafat.
15
Ibid., 89.
50
Mengenai
ilmu
filsafat
dibagi
oleh
Al-Ghazali
menjadi
ilmu
matematika, ilmu logika, ilmu Ilahiyah, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika. 16 Sampai disini tampaklah oleh kita bagaimana Al-Ghazali membagi ilmu-ilmu yang bermacam-macam itu serta menetapkan nilainya masing-masing sesuai dengan manfaat dan mudharatnya. Ia yakin bahwa ilmu dengan segala macamnya itu, baik ilmu aqliyah maupun ilmu amaliyah, tidak sama nilainya dan karena itu pula keutamaannya berbeda. 3. Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali Metodik khusus pendidikan menurut Al-Ghazali menekankan kepada pendidikan agama dan akhlak. a. Metodik khusus pendidikan agama Metodik
pendidikan
agama
menurut
Al-Ghazali,
pada
prinsipnya dimulai dengan hafalan dan pemahaman, kemudian dilanjutkan dengan keyakinan dan pembenaran. Setelah itu penegakan dalil-dalil dan keterangan yang menunjang penguatan akidah. 17 b. Metodik khusus pendidikan akhlak Metodik pendidikan akhlak menurut Al-Ghazali menggunakan metodik praktis dan metodik khusus membentuk akhlak mulia yang
16
Ibid., 91.
51
menunjukkan bahwa untuk mengadakan perubahan akhlak tercela anak adalah dengan menyuruhnya melakukan perbuatan yang sebaliknya. Hal ini dapat dimengerti karena penyakit jiwa yang merupakan akhlak tercela itu sebagaimana penyakit badan atau raga. 18 4. Kriteria Guru Yang Baik Menurut Al-Ghazali seorang guru harus memiliki etika dan persyaratan yang sesuai dengan tingkatan lapisan orang yang menuntut ilmu tersebut. dalam kaitan dengan etika yang wajib dilakukan oleh seorang guru adalah sebagai berikut: Pertama, bersikap lembut dan kasih sayang kepada para pelajar. Dalam kaitan ini Al-Ghazali menilai bahwa seorang guru dibandingkan dengan orang tua anak, maka guru lebih utama dari orang tua anak tersebut. menurutnya orang tua berperan sebagai penyebab adanya si anak di dunia yang sementara ini. sedangkan guru menjadi penyebab bagi keberadaan kehidupan yang kekal di akhirat. 19 Kedua,
seorang
guru
tidak
meminta
imbalan
atas
tugas
mengajarnya. Hal demikian karena mengikuti apa yang dilakukan Allah
17
Rusn, Pemikiran………, 97. Ibid., 101. 19 Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali (jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 98. 18
52
dan Rasul-Nya yang mengajar manusia tanpa meminta imbalan, tanpa meminta ucapan terima kasih, tetapi semata-mata karena karunia Allah. Ketiga, tidak menyembunyikan ilmu yang dimilikinya sedikitpun. Ia harus sungguh-sungguh tampil sebagai penasehat, pembimbing para pelajar ketika pelajar itu membutuhkannya. Keempat,
menjauhi
akhlak
yang
buruk
dengan
cara
menghindarinya sedapat mungkin. Kelima, tidak mewajibkan kepada para pelajar agar mengikuti guru tertentu dan kecenderungannya. Dalam hal ini, Al-Ghazali melihat kebiasaan dari sebagian guru fiqih yang menjelekkan guru ilmu bahasa dan sebaliknya. 20 Keenam, memperlakukan murid sesuai dengan kesanggupannya. Hal ini termasuk aspek pengajaran lainnya yang dikemukakan oleh AlGhazali sehingga para pelajar tidak berpaling dari guru dan akal pikirannya tidak buntu. Ketujuh, kerjasama dengan para pelajar di dalam membahas dan menjelaskan.
20
Ibid., 99.
53
Kedelapan, seseorang guru harus mengamalkan ilmunya besar atau semua orang yang menggeluti masalah pendidikan dan pengajaran sangat mengingatkan pentingnya mengamalkan syarat ini. 21 Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa sosok guru yang ideal adalah guru yang memiliki motivasi-motivasi mengajar yang lulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh
kasih
sayang
kepada
anaknya,
dapat
mempertimbangkan
kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki para siswa, bersikap terbuka dan demokratis untuk menerima dan menghargai pendapat para siswanya dapat bekerjasama dengan para siswa dalam memecahkan masalah, dan ia menjadi tipe ideal atau idola bagi siswanya. Sehingga siswa itu mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat. 5. Sifat Murid Yang Baik Peserta didik memiliki sepuluh poin kewajiban atau wadlifah menurut Al-Ghazali: Pertama, memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab ilmu itu bentuk peribadatan hati, shalat rohani dan pendekatan batin kepada Allah. 22
21
Ibid., 100. Muhammad Jawwad Ridlo, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam Perspektif Sosiologis-Filosofis (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002), 124. 22
54
Kedua, peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan seyogyanya berkelana jauh dari tempat tinggalnya. Sebab, bergelut dengan kesibukan-kesibukan duniawi dapat memalingkan konsentrasi belajarnya. Sehingga kemampuan menguasai ilmu yang dipelajari menjadi tumpul. Ketiga, tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru) melainkan
bersedia
patuh
dalam
segala
urusan
dan
bersedia
mendengarkan nasihatnya. 23 Keempat, bagi penuntut ilmu pemula hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh. Baik menyangkut ilmuilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi. Sebab hal ini dapat mengacaukan pikiran, membuat bingung dan memecah konsentrasi. Kelima, penuntut ilmu tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji. Melainkan bersedia mempelajarinya hingga tau akan orientasi dari disiplin ilmu dimaksud. Apabila usia dan kesempatan mengizinkan, ia bisa mendalaminya lebih lanjut. Namun jika tidak ia perlu memprioritaskan disiplin ilmu yang terpenting untuk didalami. Keenam, penuntut ilmu dalam usaha mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan secara sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting. 24
23
Ibid., 125.
55
Ketujuh, penuntut ilmu tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya, sehingga ia benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu bersinambung secara linier satu sama lain saling terkait. Kedelapan, penuntut ilmu hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia. Kriteria kemuliaan dan keutamaan ilmu didasarkan pada dua hal: keutamaan hasil (dampak) dan reliabilitas landasan argumentasinya. Kesembilan, tujuan belajar penuntut imu adalah pembersihan batin dan menghiasinya dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya. 25 Sebaliknya bukan bertujuan mencari kedudukan, kekayaan dan popularitas. Kesepuluh, penuntut ilmu mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju. Sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diprioritaskan. Manakah dari sekian ilmu yang perlu dipentingkan, arti dipentingkan disini adalah dalam hubungannya dengan urusan duniawi dan ukhrawi sekaligus. Sekiranya tidak bisa terpadukan keharmonisan urusan duniawi dan ukhrawi
24 25
Ibid., 126. Ibid., 127.
56
sekaligus seperti yang dikehendaki Al-Qur’an maka hal yang lebih dipentingkan adalah orientasi ukhrawi. 26
C. Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali Ghazali adalah seorang filosof yang agung dan juga seorang ahli pendidikan yang menonjol. Dalam dua bidang kemampuan tersebut dia sungguh genius. Dengan menerapkan filsafat kepada pendidikan dan menyuntikkan pendidikan ke dalam filsafat, dia membuat keduanya sebagai dua disiplin yang tidak dapat dielakkan oleh guru dan muridnya. 27 Walaupun filsafat dan tasawufnya mempengaruhi pandangannya terhadap nilai-nilai kehidupan yang mengarahkan pada kebahagiaan akhirat. Namun Imam Ghazali tidak melalaikan ilmu pengetahuan yang seyogyanya dipelajari lantaran ilmu itu memiliki keistimewaan dan kebagusan. Beliau mengatakan: “Ilmu itu adalah keutamaan pada dzatnya secara mutlak tanpa dibandingkan karena ilmu itu adalah sifat kesempurnaan Allah Yang Maha Suci. Dan dengan ilmu malaikat dan para nabi menjadi mulia. 28 Atas dasar itulah beliau menganggap bahwa mendapatkan ilmu itu menjadi target pendidikan. Karena nilai yang terkandung dalam ilmu itu
26
Ibid., 128. Shafique Ali Khan, Filsafat Pendidikan Al-Ghazali (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005), 128. 27
57
sendiri dan manusia dapat memperoleh kelezatan dan kepuasan yang ada padanya. 29 Selanjutnya beliau berkata: Apabila kamu memandang kepada ilmu maka kamu melihat lezat pada dzatnya. Maka ilmu itu di cari karena dzatnya, dan kamu mempelajari ilmu sebagai perantara ke perkampungan akhirat. Kebahagiaannya dan jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan tidaklah sampai kepadanya kecuali dengan ilmu. Sebesar-besar tingkat sesuatu adalah sesuatu yang menjadi perantaraan kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya kecuali amal. Dan tidak akan sampai kepada amal kecuali dengan ilmu tentang cara mengamalkan. Pangkal kebahagiaan di dunia dan akhirat adalah ilmu, oleh karena itu ilmu adalah seutama-utama amal. 30 Demikian Al-Ghazali sangat memperhatikan kehidupan dunia dan akhirat sekaligus, sehingga tercipta kebahagiaan bersama di dunia dan akhirat. Selanjutnya mengatakan: Manusia itu tergabung dalam agama dan dunia, agama tidak teratur kecuali dengan teraturnya dunia karena sesungguhnya dunia itu adalah ladang akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah SWT. bagi yang mengambilnya sebagai tempat menetap dan tanah air. 31 Seiring
dengan
kepribadiannya
beliau
tidak
memperhatikan
kehidupan dunia semata-mata atau kehidupan akhirat semata-mata, tetapi beliau menganjurkan untuk berusaha dan bekerja bagi keduanya tanpa meremehkan salah satunya. Jadi pendidikan yang diharapkan bagi
28
Imam Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, Jilid I, Alih bahasa Moh. Zuhri (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993), 41. 29 Sulaiman, Al-Madzhabut….., 25. 30 Ghazali, Ihya’………, Jilid 1, 42. 31 Ibid., 43.
58
masyarakat muslim khususnya. menurut Al-Ghazali tidak sempit dan tidak terbatas bagi kehidupan dunia atau akhirat semata-mata, tetapi harus mencakup keduanya. Akan tetapi kesenangan dan kebahagiaan di dunia adalah sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat, karena kebahagiaan dunia bersifat sementara. Jadi kebahagiaan di dunia merupakan tujuan sementara yang harus dicapai untuk menuju tujuan yang lebih tinggi yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT. dalam rangka mencapai kebahagiaan akhirat. 32 Berangkat dari uraian diatas Al-Ghazali merumuskan bahwa tujuan pendidikan secara umum untuk menyempurnakan manusia. Yakni manusia yang hidup bahagia di dunia akhirat. 33 tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali didasari oleh pemikirannya tentang manusia. Menurutnya manusia terdiri atas dua unsur: jasad dan ruh (jiwa) keduanya mempunyai sifat yang berbeda tetapi saling mengikat artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Jasad tidak akan dapat bergerak tanpa ruh atau jiwa. Begitu pula jiwa atau ruh tidak akan mampu bertindak melaksanakan kehendak Sang Maha Penggerak kecuali jasad. Dengan menyatunya sehingga walau jasad terpisah untuk sementara waktu, kelak akan menyatu
32 33
Zainudin, Seluk Beluk……., 46. Ghazali, Ihya’…….., Jilid I, 42.
59
kembali, untuk menerima balasan atas tindakan (af’al) yang dilakukan keduanya ketika di dunia. 34 Manusia hadir di dunia ini adalah sebagai khalifah atau wakil Allah yang bertugas melaksanakan kehendaknya yakni tugas dunia dan akhirat. manusia yang mampu melaksanakan tugasnya itu adalah nama Allah yang akan mencapai tujuan hidupnya yakni bahagia di dunia dan akhirat. karena itulah Al-Ghazali mengarahkan manusia lewat pendidikan agar mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk individu kepada Allah dan tugasnya sebagai makhluk sosial kepada sesama manusia, sehingga tercapailah tujuan itu. 35 dan untuk mencapai tujuan pendidikan haruslah ada jembatan yang menuju kesana yaitu melalui pendidikan dan pengajaran. 36 Menurut Abidin Ibn Rusn dalam bukunya “Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan” bahwa pendidikan menurut Imam Ghazali adalah proses memanusiakan sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna. 37
34
Ghazali, Ihya’….., Jilid V, 108. Rusn, Pemikiran….., 5. 36 Ibid., 6. 37 Ibid., 56. 35
60
Menurut
Al-Ghazali,
pendidikan
dalam
prosesnya
haruslah
mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu bahagia di dunia dan di akhirat. Al-Ghazali berkata: pangkal kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah ilmu. Buah ilmu adalah untuk mendekatkan diri dengan para malaikat yang tinggi dan bersamaan dengan kelompok yang tertinggi. Dan adapun di dunia adalah kemuliaan, pengaruh dan pelaksanaan pemerintahan di tangan raja-raja dan tetapnya penghormatan menurut naluri. 38 Menurut Al-Ghazali, pendekatan diri kepada Allah merupakan tujuan pendidikan. Orang dapat mendekatkan diri kepada Allah setelah memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri dan ilmu itu tidak dapat diperoleh manusia kecuali setelah melalui pengajaran. 39 Dan dengan ilmu yang diperoleh manusia maka manusia akan dapat menggali dan mengembangkan potensi manusia sehingga dapat diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Syarat untuk mencapai tujuan itu, manusia mampu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan baik yang termasuk fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Oleh karena itu, pengiriman para pelajar dan mahasiswa ke negara lain untuk memperoleh spesifikasi ilmu-ilmu kealaman demi kemajuan negara tersebut, menurut konsep ini tepat sekali. Sebagai implikasi dari tujuan
38 39
Al-Ghazali, Ihya’……., Jilid 1, 42. Rusn, Pemikiran……., 57.
61
pendidikan, umat Islam dalam menuntut ilmu untuk menegakkan urusan keduniaan atau melaksanakan tugas-tugas keakhiratan tidak harus dan tidak terbalas kepada negara-negara Islam, akan tetapi boleh dimana saja bahkan di negara anti Islam sekalipun. 40 Dengan menguasai ilmu-ilmu fardhu kifayah selanjutnya manusia dapat
menguasai
profesi-profesi
tertentu
(kedokteran,
pertanian,
perusahaan) dan manusia dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan dan dapat
bekerja
dengan
sebaik-baiknya.
Maka
dalam
tujuan-tujuan
pendidikan ini diharapkan dapat terwujudnya kemampuan manusia yang dapat melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan baik. 41 Atas dasar itulah beliau menganggap bahwa untuk mendapatkan ilmu itu menjadi target dalam pendidikan. Karena nilai yang terkandung dalam ilmu itu sendiri dan manusia dapat memperoleh kelezatan dan kepuasan yang ada padanya. Bagi seorang siswa atau mahasiswa, dosen, guru mereka akan memperoleh derajat, pangkal dan segala macam kemuliaan lain berupa pujian, kepopularitasan dan sanjungan manakala ia benar-benar mempunyai motivasi yang hendak meningkatkan kualitas dirinya melalui ilmu pengetahuan. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam surat Al-Mujadillah ayat 11:
40
Ibid., 59.
62
.+,-&.&/&0 &1(2$3(4# #5!67!# &8(*$9:4#&7 (1!;(<$= #(5!<&= &8(*$9:4# !"# $%&'()&* Artinya: Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat. 42 (QS. Al-Mujadalah (58):11). Ilmu itu untuk diamalkan karena hal itu merupakan langkah awal seseorang dalam belajar guna untuk mensucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk menghidupkan syari’at dan misi bukan untuk mencari kemegahan duniawi. Mengejar pangkat atau popularitas. 43 Imam Ghazali berkata: Barang siapa mengetahui mengamalkan dan mengajarkan maka dialah orang yang disebut sebagai orang besar di kerajaan langit. Ia seperti matahari yang menerangi kepada lainnya dan ia menerangi pada dirinya. Dan seperti minyak kasturi yang mengharumi lainnya sedangkan ia sendiri harum. Orang yang mengetahui dan tidak mengamalkannya adalah seperti buku yang memberi faidah kepada lainnya padahal ia sendiri kosong dari ilmu. 44 Jadi sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat aalah ilmu yang diamalkan dan ilmu itu secara intrinsit mempunyai tujuan yaitu sebagai alat untuk menuju kebahagiaan hidup di akhirat. Menurut Al-Ghazali bahwa ilmu itu dikaitkan dengan ma’rifat artinya pengetahuan atau pengenalan manusia terhadap Tuhannya dengan
41
Ibid. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Al-Waah, 1993), 910-911. 43 Rusn, Pemikiran……, 60. 44 Ghazali, Ihya’…….., Jilid 1, 170. 42
63
mata batin kemudian merefleksikannya dalam seluruh tingkah laku yang bernilai, penghambaan kepada-Nya. Selain itu Al-Ghazali melihat ma’rifat sebagai upaya untuk mengenal dan mengetahui dengan sebenar-benarnya dan penuh keyakinan bahwa hanya Allah-lah yang berhak disembah. Karena Dia-lah yang Maha Agung dan Maha Kuasa. Beliau juga memandang bahwa dunia ini hanyalah padang pengembaraan menuju tempat kembali yakni akhirat. 45 Jadi dunia ini bukan merupakan hal pokok, tidak abadi akan rusak, dunia hanya tempat lewat sementara, tidak kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia. Dan sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup akhirat yang utama dan abadi adalah dunia dengan mencari kebahagiaan
akhirat
yang
merupakan
sarana
untuk
mengantarkan
makhluknya kepada Allah SWT. bagi orang yang mengambil dunia sebagai tempat
tinggal
permanen
bukan
tempat
tinggal
yang
abadi.
Ini
menunjukkan bahwa tujuan pendidikan tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia itu hanya sebagai alat (sarana). Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. surat Al-Hadid ayat 20:
.$/(7!)!>(4# !?-&@&= :A$# -&B(CDE4# !F-&B&G(4# -&=&7
45
M. Solihin, Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001), 34.
64
Artinya: Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. 46 Ditegaskan dengan ayat lain dalam surat Ad-Dhuha ayat 4:
&H4(7!A# &8$= &I&4 J)(B&K !F&)$K&L&4&7 Artinya: Sesungguhnya kehidupan akhirat itu lebih baik bagimu dari permulaan. (QS. Adh-Dhuhaa: 4). 47 Tujuan pendidikan yang diinginkan adalah untuk mendapatkan keridhaan-Nya,
karena
agama
merupakan
sistem
kehidupan
yang
menitikberatkan pada pengamalan akhirat. Manusia dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan melaksanakan ibadah wajib dan ibadah sunnah, disamping itu juga manusia harus senantiasa mengkaji ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan apabila manusia hanya menekuni ilmu fardhu kifayah saja, maka orang tersebut tidak semakin dekat kepada Allah bahkan semakin jauh dari-Nya. Dan hal ini dapat dinyatakan bahwa semakin lama seorang duduk di bangku pendidikan semakin bertambah ilmu pengetahuannya, maka semakin mendekat kepada Allah SWT. 48 Manusia
dapat
mencapai
kesempurnaan
lantaran
usahanya
mengamalkan fadhilah (keutamaan) melalui pengetahuan, dimana sumber kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah ilmu yang diamalkan untuk
46
Departemen, Al-Qur’an……., 903. Ibid., 1070. 48 Rusn, Pemikiran……., 58. 47
65
kebahagiaan di dunia dan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. akibatnya dengan fadhilah ini manusia dapat meraih kebahagiaan di akhirat. 49 Berangkat dari uraian diatas dapat dirumuskan bahwa tujuan pendidikan secara keseluruhan menurut Imam Al-Ghazali sebagai berikut: 1. Mendekatkan
diri
kepada
Allah
SWT,
yang
wujudnya
adalah
kemampuan dan kesadaran diri melaksanakan ibadah wajib dan sunah. 2. Menggali dan mengembangkan potensi atau fitrah manusia. 3. Mewujudkan
profesionalisasi
manusia
untuk
mengemban
tugas
keduniaan dengan sebaik-baiknya. 4. Membentuk manusia yang berakhlak mulia, suci jiwanya dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela. 50 5. Mengembangkan sifat-sifat manusia yang utama sehingga menjadi manusia yang manusiawi. 51 Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan menurut Imam Ghazali adalah membentuk manusia yang shalih yaitu manusia yang mempunyai kemampuan melaksanakan kewajiban kepada Allah SWT dan kewajiban kepada manusia.
49 50
51
Sulaiman, Al-Madzhabut……, 25. Rusn, pemikiran……., 60. Ibid., 61.
66
Dan tentunya agar manusia dapat melaksanakan tugas dan fungsinya. Manusia harus mengkaji, memahami dalam memikul tanggung jawab dengan ilmu pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk menunaikan risalahnya dalam kehidupan. Bagi Al-Ghazali tidaklah ada jarak yang memisahkan antara agama dan umum, malah dengan ilmu membawa kepada kita mengenal Allah SWT.
BAB IV ANALISA TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT AL-GHAZALI (Tinjauan Filsafat Pendidikan)
A. Analisa Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali Merujuk pada pembahasan tentang tujuan Islam menurut Al-Ghazali untuk mempertajam pemahaman maka perlu adanya analisa. Pada bab ini akan dijelaskan secara spesifik urgensi konsep tujuan pendidikan Islam AlGhazali. Al-Ghazali merupakan seorang pemikir besar, sufi dan praktisi pendidikan di dunia muslim. salah satu keistimewaannya adalah penelitian, pembahasan dan pemikirannya yang sangat luas dan mendalam pada masalah pendidikan. Dari hasil studi terhadap pemikiran Al-Ghazali dapat diketahui dengan jelas bahwa “Taqarrub kepada Allah adalah tujuan pendidikan yang terpenting”. 1 Pendidikan Islam secara umum mempunyai corak yang spesifik yaitu adanya cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada sasaransasaran dan sarananya, dengan tidak mengabaikan masalah keduniaan. Dan pendapat Al-Ghazali tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trend-trend agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak melupakan
67
68
masalah-masalah pendidikannya
duniawi, bagi
karenanya
perkembangan
ia
beri
duniawi.
ruang Dalam
dalam
sistem
pandangannya
mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju hidup di akhirat yang lebih utama dan kekal. Karena dunia adalah tempat tinggal sementara tidak untuk selama-lamanya. Di samping pendapatnya bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, tampak pula cenderung kepada sisi keruhanian. Dan kecenderungan tersebut menurut keadaan yang sebenarnya sejalan dengan tasawufnya. Maka sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insani di dunia dan akhirat. Manusia akan sampai kepada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Sungguhpun Al-Ghazali dikenal sebagai orang yang terkendali oleh jiwa agamis dan sufi yang mana keduanya telah mempengaruhi pandangannya tentang hidup, tentang nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan dan keduanya juga telah membuat dia mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari kebahagiaan di akhirat. namun ia tidak pula bahwa ilmu itu sendiri perlu dituntut mengingat keutamaan dan keindahan yang dimilikinya. Oleh karena itu menguasai ilmu bagi dia termasuk tujuan pendidikan.
1
Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim (Yogyakarta: Al-Amin
69
Menguasai ilmu bagi Al-Ghazali adalah sebagai medium untuk taqarrub kepada Allah dimana tak satupun bisa sampai kepadanya tanpa ilmu. Tingkat termulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi, diantara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan, tetapi kebahagiaan itu tak mungkin tercapai kecuali dengan ilmu dan amal, dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai. Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat tak lain adalah ilmu.
B. Analisa Tinjauan Filsafat Pendidikan Terhadap Tujuan Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali Lapangan pendidikan merupakan objek yang sangat luas. ruang lingkupnya mencakup seluruh pengalaman dan pemikiran manusia tentang pendidikan. Pendekatan filosofis adalah salah satu cara untuk menelaah dan memecahkan masalah-masalah pendidikan dengan menggunakan metode filsafat. Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakekatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam lapangan pendidikan. Oleh karena bersifat filosofis dengan sendirinya filsafat pendidikan ini pada
Press, 1997), 93.
70
hakekatnya adalah penerapan suatu analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan. Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahkan masalah hidup dan kehidupan manusia, dimana pendidikan merupakan salah satu aspek dari kehidupan tersebut karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan pendidikan. Oleh karena itu pendidikan membutuhkan filsafat. Masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan yang hanya terbatas pengalaman. Tapi dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas lebih mendalam serta lebih kompleks yang tidak terbatasi oleh pengalaman maupun fakta-fakta pendidikan yang faktual, tidak memungkinkan dijangkau oleh sains pendidikan. Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah tujuan pendidikan. Setiap kegiatan apapun bentuk dan jenisnya selalu diharapkan kepada tujuan yang ingin dicapai. Bagaimanapun segala sesuatu atau usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Dengan demikian, tujuan merupakan faktor yang sangat menentukan. Perumusan secara tegas tujuan pendidikan menjadi inti dari seluruh perenungan teoritis pedagogis dan perenungan filsafi. Sebab di dalam tujuan setiap bentuk pendidikan terkandung pandangan hidup serta filsafat hidup pendidiknya dan lembaga yang mendidik.
71
Masalah tujuan pendidikan adalah masalah norma. Dan masalah norma adalah masalah filsafat, khususnya filsafat tentang hakekat manusia, dan kedudukan manusia ditengah dunianya dengan segenap harapanharapannya, baik harapan sekuler (das sein) maupun yang keakhiratan (Nach Weltliches Sein). Jadi tujuan pendidikan selalu menyangkut norma, sekaligus menjadi permasalahan filsafi pula. 2 Berbagai aliran filsafat pendidikan memberi dampak terciptanya konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan mendukung masing-masing filsafat pendidikan itu. dalam membangun teori-teori pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan di atas kebenaran berdasarkan kaidahkaidah keilmuan. Dengan kata lain teori-teori pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah. Filsafat pendidikan juga mengingatkan kepada kita agar sangat hatihati menyusun suatu teori. Struktur teori itu harus jelas, tidak boleh tumpang tindih termasuk tujuan pendidikan. Al-Ghazali adalah salah satu tokoh terkemuka dalam filsafat pendidikan Islam. Bila dipandang dari segi filosofis dia adalah penganut aliran idealisme. Taqarrub kepada Allah adalah tujuan pendidikan yang
2
Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), 17.
72
utama dan sesuai dengan pandangan idealisme, yang menekankan pada anak didik memahami nilai-nilai abadi sehingga mampu meletakkan keseluruhan batin mencapai dunia cita yaitu manusia yang mampu menikmati kehidupan abadi yang berasal dari Tuhan. Dalam
masalah
pendidikan
Al-Ghazali
cenderung
berpaham
empirisme. 3 Hal ini antara lain disebabkan karena ia sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak tergantung kepada orang tua dan orang yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih, murni laksana permata yang sangat berharga sederhana dan bersih dari gambaran apapun. Pendapat Al-Ghazali adalah sesuai paham empirisme yang memandang bahwa anak lahir di dunia ini bagaikan kertas putih dengan teorinya disebut “Tabularasa”. Jika anak menerima ajaran dan kebiasaan hidup baik maka anak menjadi baik dan sebaliknya. Pandangan dari aliran di atas ada kesamaan dengan Islam, karena ia mengakui adanya kemampuan dasar yang dapat dikembangkan. Sehingga mampu mengatur tata kehidupan umat manusia agar kehidupan umat manusia
ini
sesuai
dengan
kodrat
kejadiannya
benar-benar
dapat
ditumbuhkembangkan melalui proses pendidikan yang menghormati nilai dan harkat kemanusiaannya yang dijiwai oleh nilai ketuhanan yang sifatnya absolut.
3
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 221.
73
Perlu diketahui bahwa tidak semua aliran filsafat pendidikan mempunyai konsep yang sama dalam mencapai tujuan pendidikan. Materialisme adalah salah satu aliran filsafat pendidikan yang kontradiktif dengan pandangan Al-Ghazali dan pandangan pendidikan Islam. Aliran materialisme menjunjung tinggi pengenalanm indrawi. Oleh karena itu yang ada hanya materi tidak mengenal alam spiritual. Kepercayaan kepada Tuhan
hanyalah
merupakan
suatu
proyeksi
dari
kegagalan
dan
ketidakpuasan manusia untuk mencapai cita-cita kebahagiaan dalam hidupnya. Dengan kegagalan tersebut manusia memikirkan suatu wujud di luar dirinya. Yang dikhayalkan memiliki kesempurnaan, yang merupakan sumber kebahagiaan manusia, suatu wujud yang bahagia secara absolut. Oleh karena itu, Tuhan hanyalah merupakan khayalan manusia. Tuhan diciptakan oleh manusia sendiri secara maya, padahal wujudnya tidak ada. Aliran ini juga mengabaikan intrapsikhis. Dalam artian bahwa proses belajar tidak berorientasi pada apa yang terdapat dalam diri siswa (misalnya potensialitas siswa). tujuan pendidikan bersifat eksternal tanpa memperhitungkan faktor internal siswa. Keberatan lain terhadap aliran materialisme adalah menerangkan segala sesuatu secara mekanistis. Manusia merupakan mesin reaksi,
74
sehingga pendidikan hanyalah soal mempengaruhi reflek dan perbuatan saja yaitu perilaku yang hanya dapat diamati dan dapat diukur. Materialisme yang berlandaskan faham “Behaviorisme” sama sekali tidak memperhatikan
terhadap
penghayatan
seseorang
tentang
nilai-nilai,
melainkan bagaimana perbuatan dan ketrampilan dalam menampilkan nilai. Perbuatan dalam melaksanakan nilai bisa berpura. Jadi dalam hal ini materialisme sama sekali tidak berhubungan dengan keyakinan atau keimanan
seseorang,
seperti
halnya
meningkatkan
keimanan
dan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dari uraian di atas jelas bahwa paham aliran filsafat pendidikan materialisme bertentangan dengan konsep tujuan pendidikan Al-Ghazali yang selaras dengan tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya sikap penyerahan diri secara total kepada Allah SWT. Selain aliran materialisme, pandangan-pandangan aliran-aliran filsafat pendidikan mengandung tujuan pendidikan yang hampir sama yaitu membentuk karakter dan mengembangkan bakat atau kemampuan dasar serta kebaikan sosial. Perbedaannya terletak pada cara pencapaiannya. Dari analisa tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali (tinjauan filsafat pendidikan), kita menyadari betapa beraneka ragamnya filsafat pendidikan. Bagi orang yang berkiprah dalam bidang pendidikan, kiranya perlu untuk memahami berbagai pandangan tentang pendidikan tersebut.
75
untuk menambah dna memperluas wawasan tentang hakikat pendidikan, serta menambah dan wawasan tentang dunia dan manusia khususnya anak didik dan peserta didik yang akan menjadi subyek pendidikan. Kita harus mampu melihat apa yang terbaik dari berbagai pandangan tersebut. kita harus kritis mengkaji aliran mana yang sesuai dan cocok dengan falsafah pendidikan yang bersumber Pancasila. Karena Pancasila merupakan falsafah yang terbuka dan sesuai dengan konsep pendidikan Islam.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian materi dan hasil studi tentang tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali (tinjauan filsafat pendidikan) dapat penulis simpulkan sebagai berikut: 1. Tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali a. Tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah. b. Kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. 2. Tinjauan filsafat pendidikan terhadap tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali adalah: a. Dipandang dari segi filosofis Al-Ghazali penganut paham idealisme yang konsekuen terhadap agama sebagai dasar pandangannya. b. Dalam masalah pendidikan Al-Ghazali lebih cenderung berpaham empirisme. c. Aliran yang kontradiktif dengan konsep tujuan pendidikan AlGhazali adalah filsafat pendidikan materialisme.
76
77
B. Saran 1. Lembaga-lembaga pendidikan Islam yang ada sekarang hendaknya mengulas kembali apa yang menjadi tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Sebab dengan tujuan yang benar, maka usaha-usaha yang akan dilakukan akan mengarah kepada tujuan tersebut. 2. Seorang
guru
baik
sebagai
pribadi
maupun
sebagai
pelaksana
pendidikan perlu mengetahui filsafat pendidikan dan harus kritis mengkaji aliran mana yang cocok dengan falsafah pendidikan agar pendidikan pembaharuan.
bukan
hanya
pengajaran,
tetapi
juga
merupakan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam. Terjemahan Ihya’ Ulumiddin Jilid I. Alih Bahasa Mohammad Zuhri. Semarang: CV. Asy-Syifa’, Tt. ---------. Terjemahan Ihya’ Ulumiddin Jilid V. Alih Bahasa Mohammad Zuhri. Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1994. Ali Khan, Shafique. Filsafat Pendidikan Al-Ghazali. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2005. Ainin, Husyn Ahmad. Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1996. Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2005. Barnadib, Imam. Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi, 1997. Djamaludin dan Abdullah Aly. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Ghazali, Imam. Munqidh Minal Ad-Dhalal, Setitik Cahaya Dalam Kegelapan. Surabaya: Pustaka Progresif, 2001. ---------. Pembuka dan Penerang Kitab Asli Tanbih Al-Mughtarrin. Bandung: PT. AlMa’arif, 2001. Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997. Iman, Muis Sad. Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progressivisme John Dewey. Yogyakarta: Safira Insania Press, 2004. Kartono, Kartini. Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997. La Sulo, Umar Tri Rahardja. Pengantar Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000.
Madjidi, Busyairi. Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim. Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997. Mustansyar, Rizal dan Misnal Munir. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Mustofa. Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rekesarian, 1996. Nata, Abudin. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid, Studi Pemikiran Tasawuf Al-Ghazali. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. ---------. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005. ---------. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001. Noor Syam, Mohammad. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1998. Pidarta, Made. Landasan Kependidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997. Prasetya. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. Republik Indonesia, Departemen Agama. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV. Gema Risalah, 1993. Rusn. Ibn Abidin. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. Ridlo, Mohammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam Perspektif Sosiologis-filosofis. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2002. Sulaiman, Fatiyah Hasan. Al-Madzhabul Tarbawi Indal Ghazaly Sistem Pendidikan Versi Al-Ghazaly. Bandung: Al-Ma’arif, 1986. Solihin. Epistimologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001. Sadullah, Uyah. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV. Alfabeta, 2003. Suyudi. Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an. Yogyakarta: Mikroj, 2005.
Saifulloh, Ali. Antara Filsafat dan Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional, tt. Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997. STAIN Ponorogo, Jurusan Tarbiyah. Pedoman Penulisan Skripsi, 2005. Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997. Zainuddin. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Zuhairini. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.