Hakikat Manusia (Suatu Kajian menurut Filsafat Pendidikan Islam)
Oleh: Imam Nasruddin1
Manusia adalah termasuk makhluk yang Homo Sapiens, artinya makhluk yang bisa dan dapat berfikir, lalu kapan manusia itu berpikir?. Apakah karena nalurinya ataukah cuma kesenangannya memang berpikir? Kalau kita kaji dalamdalam pertanyaan ini, maka ternyata bahwa bukan itu penyebabnya. Jujun S. Suriasumantri (198: 28-29) mengatakan bahwa manusia berpikir kalau dia sedang menghadapi masalah. Masalah itu bisa bermacam-macam, dari masalah yang sangat sepele sampai masalah yang sangat mustahil. Ada masalah yang secara mudah dapat dipecahkan dan ada pula yang harus memeras otak. Mungkin ada pula masalah yang tidak dapat dipecahkan. Menghadapi masalah-maslaha inilah manusia memusatkan perhatiannya dan tenggelam dalam berpikir. Menurut A. Tafsir (2008: 34) manusia adalah makhluk ciptaan Allah; ia tidaklah muncul dengan sendirinya atau berada oleh dirinya sendiri. Al-Qur’an surat al-Alaq ayat 2 menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan Tuhan dari segumpal darah; al-Qur’an surat al-Thariq ayat 5 menjelaskan bahwa manusia dijadikan oleh Allah, al-Qur’an surat ar-Rahman ayat 3 menjelaskan bahwa arRahman (Allah) itulah yang menciptakan manusia. Masih banyak sekali ayat alQur’an yang menjelaskan bahwa yang menjadikan manusia adakah Tuhan. Jadi, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Senada dengan pendapat A. Tafsir diatas, Jalaluddin (2002: 32) mengatakan bahwa seperti halnya alam semesta, maka dalam konsep filsafat pendidikan Islam, manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan. Hakikat penciptaannya adalah agar manusia menjadi pengabdi Penciptanya (ontology). Agar dapat menempatkan dirinya sebagai pengabdi yang setia, maka manusia dianugerahkan berbagai potensi baik potensi jasmani, rohani dan ruh (philosophy of mind). Sedang menurut
Jalaluddin (2002: 33), manusia
sebagai ciptaan,
dilengkapi dengan potensi agar dengan potensi itu dapat mengembangkan dirinya. Namun dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya insaninya itu, manusia
1
Pendidik di MAN Sakatiga Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan.
1
diikatkan oleh nilai-nilai yang telah ditentukan oleh Penciptanya (aksiologi). Dengan demikian manusia dalam pndangan filsafat pendidikan Islam adalah sebagai makhluk alternatif (dapat memilih), tetapi kepadanya ditawarkan pilihan nilai yang terbaik, yaitu nilai Ilahiyat. Di satu sisi ia memiliki kebebasan untuk memilih arah, di lain pihak manusia diberi pedoman ke mana arah yang terbaik yang semestinya ia tuju. Manusia dapat dikategorikan sebagai makhluk bebas (alternatif) dan sekaligus terikat (tidak bebas nilai). Selanjutnya menurut Jalaluddin (2002: 33-34), secara garis besarnya potensi tersebut terdiri atas empat potensi utama yang secara fitrah sudah dianugerahkan Allah kepadanya, yaitu: a). Hidayat al-Gharizziyat (potensi naluriah) Dorongan ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk memelihara keutuhan dan kelanjutan hidup manusia. Diantaranya dorongan berupa instink untuk memelihara diri, seperti makan, minum dan penyesuaian tubuh dengan lingkungan. Dorongan yang kedua yaitu dorongan untuk mempertahankan diri. Bentuk dorongan ini berupa nafsu marah, bertahan atau menghindar dari gangguan yang mengancam dirinya.
Dorongan yang
ketiga, berupa dorongan untuk mengembangkan jenis. Dorongan ini berupa naluri seksual. Ketiga macam dorongan tersebut melekat pada diri manusia secara fitrah. Diperoleh tanpa harus melalui proses belajar. Karena itu dorongan ini disebut sebagai dorongan naluriah (instinktif). Dorongan yang siap pakai, sesuai dengan kebutuhan dan kematangan perkembangannya. b). Hidayat al-Hassiyat (potensi indrawi) Potensi indrawi erat kaitannya dengan peluang manusia untuk mengenal sesuatu di luar dirinya. Melalui indra yang dimilikinya, manusia dapat mengenal suara, cahaya, warna, rasa, bau dan aroma maupun bentuk sesuatu. Jadi indera berfungsi sebagai media yang menghubungkan manusia dengan dunia luar dirinya. Potensi indrawi yang umum dikenal terdiri atas indera penglihat, pencium, peraba, pendengar dan perasa. Namun di luar itu masih ada 2
sejumlah alat indera dalam tubuh manusia seperti antara lain indera keseimbangan dan taktil. Potensi tersebut difungsikan melalui pemanfaatan alat indera yang sudah siap pakai seperti mata, telinga, hidung, lidah, kulit dan otak maupun fungsi syaraf. c). Hidayat al-Aqliyyat (potensi akal) Hidayat ini hanya dianugerahkan Allah kepada manusia. Adanya potensi ini menyebabkan manusia dapat meningkatkan dirinya melebihi makhluk-makhluk lain ciptaan Allah. Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan antara yang benar dari yang salah. Kemampuan akal mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknoogi, mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman. d). Hidayat al-Diniyyat (potensi keagamaan) Pada diri manusia sudah ada potensi keagamaan, yaitu berupa dorongan untuk mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam pandangan antropolog, dorongan ini dimanifestasikan dalam bentuk percaya terhadap kekuasaan supernatural (believe in supernatural being). Menurut A. Tafsir (2008: 41-46) manusia sempurna menurut Islam adalah manusia yang memiliki kriteria sebagai berikut : 1. Jasmani yang sehat serta kuat dan berketrampilan. Orang Islam perlu memiliki jasmani yang sehat dan kuat, terutama berhubungan dengan keperluan penyiaran dan pembelaan serta penegakan ajaran Islam. Dilihat ari ini maka Islam mengidealkan Muslim yang sehat serta kuat jasmaninya. 3
Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya karena inti ajaran Islam (iman) adalah persoalan mental. Kesehatan mental berkaitan erat dengan kesehatan jasmani. Karena kesehatan mental penting, maka kesehatan jasmani pun penting pula. Karena kesehatan jasmani sering berkaitan dengan pembelaan Islam, maka sejak permulaan sejarahnya pendidikan jasmani (agar sehat dan kuat) diberikan oleh para pemimpin Islam.
2. Cerdas dan Pintas Islam menginginkan pemeluknya cerdas serta pandai. Itulah ciri akal yang berkembang secara sempurna. Cerdas ditandai oleh adanya kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepatt dan tepat, sedangkan pandai ditandai oleh banyak memiliki pengetahuan, jadi banyak memiliki informasi. Salah satu ciri Muslim yang cerdas dan pandai memiliki indikator-indikator sebagai berikut:
Pertama, memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi. Sains adalah pengetahuan manusia yang merupakan produk indera dan akal; dam sains kelihatan tinggi atau rendahnya mutu akal. Orang Islam hendaknya tidak hannya menguasai teori-teori sains, tetapi berkemampuan pula menciptakan teori-teori baru dalam sains, termasuk teknologi. Kedua, mampu memahami dan menghasilkan filsafat. Berbeda dengan sains, filsafat adalah jenis pengetahuan yang semata-mata akliah. Dengan ini, orang Islam akan mampu memecahkan masalah filosofis.
3. Rohani yang Berkualitas Tinggi Rohani yang diuraikan disini ialah aspek manusia selain jasmani dan akal (logika). Rohani itu samar, ruwet, belum jelas batasannya; manusia belum (atau tidak akan) memiliki cukup pengetahuan untuk mengetahui hakikatnya. Kebanyakan buku tashawuf dan pendidikan Islam menyebutnya qalb (kalbu) saja. Dalam hal ini yang dimaksud kalbu yang berkualitas tinggi adalah kalbu yang penuh berisi iman kepada Allah; atau dengan ungkapan lain, kalbu yang takwa kepada Allah swt. Kalbu yang penuh iman itu mempunyai gejala-gejala yang amat banyak; katakanlah rinciannya amat banyak. Kalbu yang iman itu ditandai bila orangnya 4
shalat, ia shaat dengan khusuk (al-Mu’min:1-2); bila mengingat Allah, kulit dan hatinya tenang (al-Zumar:23); bila disebut nama Allah, bergetar hatinya (alHajj:34-35); bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka sujud dan menangis (Maryam:58, al-Isra’:109). Itulah ciri utama hati yang penuh iman dan taqwa. Dari situlah akan muncul manusia yang berpikir dan bertindak sesuai dengan kehendak Tuhan. Hakikat Pendidikan Pendidikan menurut Tim Dosen FIP IKIP Malang (1988: 120) merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku yang diharapkan. Segera setelah anak dilahirkan mulai terjadi proses belajar pada diri anak dan hasil yang diperoleh adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pemenuhan kebutuhan Pendidikan membantu agar proses itu berlangsung secara berdaya guna dan berhasil guna. Hasil pendidikan yang berupa perubahan tingkah laku meliputi bentuk kemampuan yang menurut Taksonomi Bloom dengan kawan-kawannya diklasifikasikan dalam 3 domain; yaitu Kognitif (Cognitive Domain), Afektif (Affective Domain), dan Psikomotor (Psychomotor Domain). Sedang menurut Jalaluddin (2002: 46) konsep pendidikan menurut pandangan Islam harus dirujuk dari berbagai aspek, antara lain aspek keagamaan, aspek kesejahteraan, aspek kebahasaan, aspek ruang lingkup dan aspek tanggung jawab. Adapun yang dimaksud dengan aspek keagamaan adalah bagaimana hubungan Islam sebagai agama dan pendidikan. Maksudnya adalah, apakah ajaran Islam memuat informasi pendidikan hingga dapat dijadikan sumber rujukan dengan penyusunan konsep pendidikan. Sedangkan aspek kesejahteraan merujuk kepada latar belakang sejarah pemikiran para ahli tentang pendidikan dalam Islam dari zaman ke zaman, khsusus mengenai ada tidaknya peran Islam dalam bidang pendidikan dalam kaitannya dengan peningkataan kesejahteraan hidup manusia. Kemudian yang dimaksud dengan aspek kebahasaan adalah bagaimana pembentukan konsep pendidikan atas dasar pemahaman secara etimologis. Selanjutnya aspek ruang lingkup diperluan untuk mengetahui tentang batas-bats kewenangan pendidikan menurut ajaran Islam. Demikian pula perlu diketahui
5
siapa yang dibebankan tugas dan kewenangan untuk melakukan pekerjaan mendidik, yaitu siapa saja yang menurut islam dibebankan kewajiban itu. Tujuan Pendidikan Dasar kehidupan adalah pandangan hidup. T.S Eliot (lihat Tafsir, 2008: 46) menyatakan bahwa pendidikan yang amat penting itu tujuannya itu harus diambil dari pandangan hidup. Jika pandangan hidup (philosophy of life) anda adalah Islam, maka tujuan pendidikan anda haruslah diambil dari ajaran Islam. Al-Attas ( 1979: 1) dalam Tafsir (2008: 46) menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Ini terlalu umum. Marimba (1964: 39) berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian Muslim. Ini pun amat umum, ia memang menyebutnya sebagai tujuan akhir. Al-Abrasyi (1974: 15) menghendaki tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang berakhlak mulia. Ini juga amat umum. Munir Mursyi (1977:18) mengatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah manusia sempurna. Ini pun terlalu umum, sulit dioperasikan; maksudnya, sulit dioperasikan dalam tindakan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan secara nyata. Menurut Jalaluddin (2002: 91-100) tujuan pendidikan Islam dirumuskan dari nilai-nilai filosofis yang kerangka dasarnya termuat dalam filsafat pendidikan Islam. Seperti halnya dasar pendidikannya maka tujuan pendidikan Islam juga identik dengan tujuan Islam itu sendiri. Sejalan dengan tujuan tersebut, maka filosofis pendidiakn Islam bertujuan sesuai dengan hakikat penciptaan manusia yaitu agar manusia menjadi pengabdi Allah yang patuh dan setia (QS 51:56). Tujuan ini tidak mungkin dicapai secara utuh, secara sekaligus. Perlu proses dan pentahapan.
Secara garis besarnya tujuan
pendidikan Islam dapat dilihat dari tujuh dimensi utama, sebagai berikut; (1) dimensi hakikat penciptaan manusia, (2) dimensi tauhid (3) dimensi moral, (4) dimensi perbedaan individu, (5) dimensi sosial, (6) dimensi profesional, dan (7) dimensi ruang dan waktu. Selanjutnya menurut Tim Dosen FIP IKIP Malang (1988: 139-140) tujuan untuk pendidikan manusia seutuhnya dan seumur hidup ialah” a. Untuk mengembangkan potensi kepribadian manusia sesuai dengan kodrat dan hakikatnya, yakni seluruh aspek pembawaannya seoptimal mungkin. 6
Dengan demikian secara
potensial
keseluruhan potensi manusia diisi
kebutuhannya supaya berkembang secara wajar; b. Dengan mengingat proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manusia bersifat hidup dan dinamis, maka pendidikan wajar berlangsung selama manusia hidup. Kurikulum Pendidikan Istilah kurikulum, menurut Sudjana (1989: 4) awal mulanya digunakan dalam dunia olah raga pada zaman Yunani Kuno. Curriculum dalam bahasa Yunani berasal dari kata Curir, artinya pelari; dan Curere artinya tempat berpacu.
Curriculum diartikan ”jarak” yang harus ”ditempuh”
oleh pelari. Mengambil
makna yang terkandung dari rumusan di atas, kurikulum dalam pendidikan diartikan, sejumlah mata pelajaran yan harus ditempuh/diselesaikan anak didik untuk memperoleh ijazah. Rumusan atau batasan inilah yang pertama kali digunakan dalam bidang pendidikan. Atas dasar batasan ini pula kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran. Memperhatikan rumusan kurikulum di atas, tersirat dua hal pokok, yakni (1) isi kurikulum, adalah mata pelajaran (subject matter) yang diberikan oleh sekolah pada anak didik, (2) tujuan utama pendidikan/kurikulum, ialah agar anak menguasai mata pelajaran yang disimbolkan dalam bentuk ijazah atau sertifikat (sekarang STTB). Perkembangan selanjutnya melihat isi kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran saja, tetapi juga semua pengalaman belajar yang diterima anak dan mempengaruhi perkembangan pribadinya. Dengan demikian kurikulum dipandang sebagai semua kegiatan dan pengalaman belajar yang diberikan kepada siswa di bawah tanggung jawab sekolah. Isi kurikulum lebih luas, sebab mencakup mata pelajaran, kegiatan belajar, pengalaman anak di sekolah, dan lain-lain. Kurikulum mencakup kegiatan intra kurikulum dan ekstra kurikulum. Pandangan lain tentang kurikulum menurut Sudjana (1989: 5) adalah melihat kurikulum sebagai program pendidikan yakni program belajar bagi siswa atau plan for learning. Kurikulum sebagai program belajar bagi siswa, disusun secra sistematis dan logis, diberikan oleh sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan. Sebagai program belajar, kurikulum adala niat, rencana adalah harapan. 7
Oleh karenanya dapat pula dikatakan bahwa kurikulum adalah hasil belajar yang diniati atau intended learning out comes. Kurikulum sebagai program belajar atau sebagai hasil belajar yang diniati, tentunya harus menjawab persoalan-persoalan sebagai berikut : a. Ke mana program itu akan diarahkan? b. Apa yang harus dipelajari dalam program tersebut? c.
Bagaimana program itu harus dilaksanakan?
d. Bagaimana mengetahui bahwa program tersebut telah mencapai arah yang telah ditetapkan?
Pertanyaan pertama pada hakikatnya adalah arah dan program atau tujuan kurikulum. Pertanyaan kedua berkenaan dengan isi atau materi program yang harus diberikan untuk menetapkan tujuan. Pertanyaan ketiga berkenaan dengan strategi melaksanakan program dan pertanyaan keempat adalah penilaian program.
8