S
TRATEGI OPTIMALISASI
DALAM UPAYA PENINGKATAN ETOS KERJA PEGAWAI PADA INSTANSI PEMERINTAH
Kasim. A. Usman, S.Ag, M.Pd Widyaiswara BDK Manado
S umber daya aparatur negara saat ini sudah sangat memprihatinkan. Pegawai dengan profesionalisme yang rendah yang menyebabkan etos kerja pegawai dalam kondisi keterpurukan, dan ini baik dari sisi internal maupun eksternal perlu mendapat perhatian bersama. Ditetapkannya Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 yang diubah dengan undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah diharapkan menjadi alternatif yang efektif dalam upaya peningkatan etos kerja pegawai. Dalam undang-undang disebutkan, pemerintah mengelola bidang-bidang antara lain : politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama serta beberapa bidang lainnya yang membawa implikasi baru dalam manajemen publik dimana domain pemerintah berbedah. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, peran birokrasi memiliki kedudukan dan fungsi yang signifikan. Oleh karena itu perubahan peranan birokrasi di tengah masyarakat senantiasa menjadi sangat vital. Arah perubahan sudah dimulai sejak masa reformasi sampai saat ini. Dorongan internal perubahan sudah dimulai. Dorongan internal tersebut kemudian melahirkan beberapa kebijakan diantaranya pertama Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih, dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Kedua, undang-undang nomor 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan pemerintah nomor 1 tahun 1999 tentang komisi pemeriksa kekayaan negara. Keempat, undang-undang nomor 32/2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut menunjukkan keseriusan dan tekad pemerintah secara sungguh-sungguh menuju penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Namun demikian praktek-praktek KKN yang tumbuh subur sejak pemerintahan orde baru cenderung meningkat saat pemerintah sedang gencar-gencarnya melakukan pembenahan aparatur pemerintah. Sumber daya aparatur saat ini dikonotasikan dengan sumber daya manusia (SDM) dengan profesionalisme rendah yang terlihat dari indikator pelayanan yang tidak optimal, penggunaan waktu tidak produktif, belum optimalnya peran dan inovasi dalam menjalankan tugas. Pelaku (birokrasi) menjadi faktor penentu selain sistem dan kebijakan yang telah diterbitkan. Banyak orang akan
1
mengatakan, pada akhirnya SDM-lah yang menjalankan sistem tersebut. Banyak aspek dari keterpurukan birokrasi di Indonesia semuanya bermuara pada SDM. Indikasi rendahnya SDM setidaknya tercermin dari tiga hal, yakni kesejahteraan, reward (penghargaan), dan punishment (sanksi). Sistem gaji pegawai negeri sipil (PNS) seringkali diperdebatkan karena seringkali dikatakan sebagai penunjang prestasi kerjanya. Penggajian belum tegas menimbang aspek tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan kedisiplinan yang dituntut organisasi. Pada tingkat struktural yang sama, pegawai dengan produktivitas tinggi dan rajin dengan PNS yang malas dan tidak produktif dipastikan akan mendapat gaji sama jika masa golongan, masa kerja dan ruang pangkat yang sama. Bahkan untuk tunjangannyapun berbeda tipis. Pegawai di jajaran kementerian tertentu mendapatkan insentif berupa tunjangan kompensasi karya, namun besarnya tidak sebanding dengan tingkat pengeluaran. Usaha meningkatkan kesejahteraan pegawai telah dilakukan pada awal tahun 2006 ini dengan memberi tunjangan umum bagi PNS yang tidak menerima tunjangan jabatan struktural maupun fungsional. Dari nilai gaji yang sedemikian, dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan semangat, etos kerja dan disiplin kerja pegawai yang produktif dan rajin. Budaya dan pola pikir memanfaatkan setiap kesempatan melakukan tindakan yang tidak jujur, asal dilaksanakan dengan hati-hati, tidak terlalu besar dan mencolok, serta dapat dipertanggungjawabkan bersama kepada pengawas sudah menjadi hal biasa terjadi dalam urusan birokrasi saat ini. Cita-cita pemerintahan yang baik (good gavernance) dan berwibawa sulit terwujud jika tidak ada disiplin yang berskala nasional. Disiplin nasional tidak akan pernah ada tanpa diawali dari aparatur itu sendiri. Sudah banyak peraturan ditertibkan oleh ulah tidak disiplin. Kenyataan, konsekuensi dari sebuah peraturan masih menjadi barang mahal ditengah genderang pemerintah ditabuh dengan alunan lagu “Pemerintah yang bersih dan berwibawa”. Peraturan pemerintah nomor 30/1980 tentang disiplin aparatur pemerintah masih sangat sulit dilaksanakan secara konsekuen. Sebenarnya hal-hal yang mempengaruhi pelaksanaan PP Nomor 30/1980, antara lain; belum adanya ukuran produk kerja yang dihasilkan, beban kerja setiap unit tidak sama, jumlah pegawai terlalu besar tidak sebanding dengan beban kerja, adanya tenggang rasa yang tebal antara sesama aparatur, dan terakhir keteladanan dan kedisiplinan pimpinan menurun. Pada sisi yang berbeda tapi dengan logika yang sama para birokrasi menerapkan reward dan punishment tapi sayangnya kurang konsisten dan terkesan pandang buluh. Dari penerapan reward dan punishment tersebut diatas menunjukkan adanya kelemahan birokrasi yang akan menyebabkan rendahnya kualitas kinerja aparatur dan menggambarkan rendahnya kompetensi SDM. Setidaknya ada beberapa langkah strategis dengan reformasi birokrasi perlu ditindaklanjuti secara cermat. Upaya-upaya meningkatkan law inforcement, dengan membentuk lembaga-lembaga yang bertugas melakukan pemantauan, pengawasan, dan evaluasi kinerja yang dilakukan secara bertahap, konsisten, dan
2
berkelanjutan, selanjutnya hubungan kerja yang jelas sebagai alat ukur kinerja lembaga. Untuk itu diperlukan tindakan konkrit untuk mempertegas institusi yang bertanggungjawab dalam menyusun norma, standar dan prosedur kerja mengelola informasi, mereview, menganalisa, merumuskan dan menetapkan indikator kinerja, mensosialisasikan standar operasional prsedur (SOP), dan peningkatan kompetensi SDM. Perubahan dalam membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat yang dilayani dalam penyelenggaraan pelayanan serta membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan dan mengembangkan sistem yang berorientasi pada kepuasan pelayanan. Lalu apa strategi yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam mengoptimalkan peningkatan etos kerja pegawai. Upaya itu antara lain: Pertama ; penerapan PP nomor 53 tahun 2010 tentang disiplin pegawai negeri sipil yang konsisten. Dikeluarkan peraturan tersebut diharapkan pegawai negeri sipil dapat meningkatkan disiplinnya dengan baik. Menurut Josep Riwu Kaho (1989 : 108) tolok ukur disiplin adalah sebagai berikut : Frekuensi kehadiran pegawai di kantor atau unit kerja pada hari kerja, serta ketetapan jam masuk dan pulang kerja, tinggi rendahnya hasil kerja pegawai akibat dari segi kualitas dan kuantitas, tinggi rendahnya ketaatan pegawai dalam mengikuti caracara kerja yang telah ditentukan, tinggi rendahnya semangat pegawai dalam menyelesaikan pekerjaan. Menurut Pophal Grensing Lin (2008 : 199) ada 3 (tiga) cara utama yang bisa dilakukan perusahaan untuk memerangi ketidakhadiran : o Perhatikan kebutuhan fisik dan emosional karyawan. Hal ini tampak sederhana tapi satu cara yang baik untuk memastikan bahwa karyawan akan datang bekerja adalah dengan menjadikan tempat kerjanya sesuai dengan keinginannya. Tingkat absensi yang tinggi dapat menjadi petunjuk untuk menggarisbawahi masalah yang berkaitan dengan kondisi kerja dan pelaksanaan manajemen. o Komunikasikan kepada karyawan mengapa kehadiran mereka ditempat kerja sangat penting, dari perspektif tingginya biaya absensi dan dari perspektif nilai kontribusi karyawan bagi perusahaan. Ketika karyawan menyadari pengaruh yang ditimbulkan dari ketidakhadirannya terhadap rekan kerja dan perusahaan, dan ketika mereka merasa bahwa kontribusi mereka dihargai, mereka akan cenderung untuk tidak merugikan perusahaan dengan menggunakan izin absen kerja secara tidak benar. o Tangani pelanggaran terhadap kebijakan absensi secara langsung dan konsisten. Pemberdayaan kebijakan absensi anda akan dengan jelas menunjukkan kepada karyawan bahwa anda menangani masalah ini dengan serius dan bahwa anda akan menerapkan secara adil dan konsisten pada seluruh bagian dari perusahaan. o Ketika karyawan merasa bahwa pekerjaan mereka berarti, mereka akan lebih cenderung termotivasi untuk datang ke tempat kerja secara rutin. Rekan kerja
3
juga memainkan peranan penting untuk mendorong kehadiran atau tidak kehadiran karywan lain. Kedua: penerapan Job Describtion (Uraian Kerja) dan job position (uraian jabatan). Uraian pekerjaan (job describtion) dan uraian jabatan (job position) diketahui serta disusun berdasarkan informasi yang telah dihasilkan oleh analisis pekerjaan. Uraian pekerjaan biasanya digunakan untuk tenaga kerja operasional. Sedangkan uraian jabatan untuk tenaga kerja manajerial. Uraian pekerjaan/ jabatan harus ditetapkan secara jelas untuk setiap jabatan, supaya pejabat tersebut mengetahui tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukannya. uraian pekerjaan adalah informasi tertulis yang mengeuraikan tugas dan tanggung jawab, kondisi pekerjaan, hubungan pekerjaan dan aspek-aspek pekerjaan pada suatu jabatan tertentu dalam organisasi (Hasibuan S.P. Malayu, 1994 : 89). Dalam menulis job description yang baik, sebaiknya memuat mengenai uraian pekerjaan, ukuran kinerja pekerjaan dan kebutuhan (requirement) untuk pekerjaan tersebut. Pada umumnya isi uraian pekerjaan itu meliputi hal sebagai berikut : 1. Misi Jabatan. Misi jabatan bertujuan untuk menjawab alasan mengapa jabatan tersebut ada didalam organisasi. Misi jabatan terdiri dari pernyataan singkat yang terdiri dari satu sampai dua kalimat. Beberapa pertanyaan yang mungkin dilakukan untuk dapat menjawab hal ini adalah : (a) Untuk apa jabatan ini ada/diciptakan di organisasi? (b) Apa kontribusi unik jabatan ini kepada organisasi? (c) Apa yang terjadi pada organisasi jika jabatan ini ditiadakan? dan (d) Mengapa organisasi membutuhkan jabatan ini? 2. Ilustrasi Pekerjaan. Ilustrasi pekerjaan adalah narasi yang menggambarkan pekerjaan tersebut, biasanya terdiri beberapa paragraf terstruktur. Dengan membaca ilustrasi pekerjaan diharapkan pembaca dapat mendapatkan gambaran tentang jabatan tersebut, seolah-olah merasakan bagaimana melakukan pekerjaan itu. Tidak perlu berupa karangan panjang, yang penting singkat, padat dan mengenai sasaran. Ketiga : Pemberian reward (penghargaan) kepada pegawai yang berprestasi. pemberian reward (penghargaan) kepada pegawai yang berprestasi merupakan suatu kepatutan yang harus dilakukan oleh pemerintah pada instansi masingmasing. Pemberian reward juga harus merata tanpa pilih bulu. Secara umum pemerintah telah melakukan hal ini. Sejak tahun 1959 aparatur negara diberikan penghargaan untuk berbagai jenis sesuai dengan prestasinya. Sebut saja Karya Lencana Kemerdekaan, Satya Lencana Pembangunan, Satya Lencana Wira Karya, Satya Lencana Karya Satya dan Piagam Pelita. Namun banyak diantara anugerah tersebut ditanggapi dingin karena bentuknya yang berkurang memberi manfaat untuk meningkatkan kesejahteraan. Puluhan tahun lalu, Abraham Maslow menenggarai tentang penghargaan sejenis itu yang hanya bisa dinikmati kelompok masyarakat mapan. Sementara jika dilihat dari pendapatan mayoritas aparatur pemerintah saat ini, untuk menutup kebutuhan pokok saja tidak cukup. Intinya, kebutuhan akan sandang, pangan, papan lebih berarti dari sebuah penghargaan
4
atas kesetiaan, prestasi dan darma bhakti yang diberikan. Untuk itu diperlukan usaha-usaha dari pemerintah untuk mengevaluasi kembali mengenai bentuk dan manfaat dari penghargaan yang akan diberikan. Disisi lain pemerintah saat ini telah memberikan reward berupa remunerasi tapi sayangnya tidak semua instansi mendapatkan fasilitas itu. Dan itu malah menimbulkan kecemburuan sosial. Apa sih bedanya pegawai negeri ini, sementara semua kita memiliki kewajiban dan hak yang sama. Keempat: Penerapan punishment (hukuman) yang konsisten. Sistem punishment (sanksi) dalam hal ini berupa surat peringatan, bahkan mungkin sampai pada tahap pemecatan (kalau sudah tidak bisa dibina lagi atau tidak ada perubahan). Dua hal ini sangat penting untuk dianalisis mengingat dengan semakin meningkatnya tuntutan pemerintah dan masyarakat tentang profesionalisme sebagai seorang pegawai yang harus ditunjukkan melalui peningkatan etos kerja. Jadi secara umum punishment (hukuman) belum maksimal pelaksanaanya, namun motivasi kerja pegawai terlihat cukup bersemangat. Jadi dapat disimpulkan punishment (hukuman) lebih cenderung pada human approach (pendekatan kemanusiaan) dari pada penegakan hukum sesuai dengan aturan Juridis approach / pendekatan hukum. Kelima: Pembinaan Mental dan Moral PNS. Pembinaan Mental dan Moral PNS harus dilakukan secara kontinyu. Hal ini dimaksudkan agar pegawai dalam melakukan tugasnya dilandasi oleh etika dan moral yang baik. Berangkat dari kondisi obyektif inilah, pembinaan mental dan moral PNS perlu terus dilakukan melalui Diklat, sebab menurut J. Basuki (2005), mengemukakan bahwa hakikat dari Diklat adalah proses transformasi kualitas SDM yang menyentuh ernpat dimensi utama yaitu; dimensi spiritual, intelektual, mental, dan phisikal. Melalui Diklat yang m e n ye n t u h e m p a t d i m e n s i i n i l a h d i m u n g k i n k a n P N S ya n g b e r k e d u d u k a n s e b a g a i a p a r a t u r N e g a r a u n t u k m e m b e r i k a n pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggaman tugas negara, pemerintah, dan pembangunan dapat terwujud. Mental banyak terkait dengan kepribadian yang tercermin dari perbuatan / tingkah laku, sikap dan moralitas seseorang yang oleh Paul Roubiczek (1966) di kategorikan sebagai "Patterns of behavior based on the absolute value of the good" yaitu: pedoman tingkah laku yang didasarkan pada nilai-nilai kebaikan yang mutlak, yang menurut Faisal Ismail (2002) segala totalitas tindakan atau perilaku manusia (termasuk pada tatanan kultur dan struktur) dengan kriteria dan tolok ukur kebaikan dan keburukan, sedangkan moral lebih menekankan pada norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya dan tentang apa yang baik dan yang buruk atau tentang apa yang benar dan apa yang salah. Ciri-ciri khas nilai moral adalah a) berkaitan dengan tanggung jawab; b) berkaitan dengan hati nurani; c) bersifat inperatif/perintah; dan d) bersifat formal.
5
Dengan lima strategi di atas penulis yakin itu menjadi alternatif solusi peningkatan etos kerja pegawai pada instansi pemerintah.
Referensi: Jahrie F dan Hariyoto S. 1999. Manajemen Sumber Daya Manusia. Penerbit Institut Manajemen Indonesia. Jakarta. Hakim A. 2004. Statistik Deskriptif. Edisi Ke Dua. Penerbit Ekonosia Kampus Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta. Hasibuan S.P. Melayu. 1994. Manajemen Sumber Daya Manusia “Dasar dan Kunci Keberhasilan”. Edisi Keenam. Penerbit Haji Masagung. Jakarta. Rivai Veithzal dan Basri M. 2005. Performance Appraisal “Sistem yang tepat untuk menilai Kinerja Karywan dan Meningkatkan daya saing Perusahaan. Edisi Pertama. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. PP 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS
Thoha Miftah. 1996. Perilaku Organisasi “Konsep Dasar dan Aplikasinya”. Edisi Ketujuh. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
6