62 TAHUN BPK RI Bekerjasama Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara
MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
DAFTAR ISI
edisi
MAJALAH PEMERIKSA
116
4
EDITORIAL TERKINI AUDITING CLIMATE CHANGE: THE INDONESIAN PERSPECTIVE
SAIs are expected to audit climate change because of the greenhouse effect, solar influences and a number of other sources. The first source of climate change is caused by the emissions of carbon dioxide into the atmosphere, which in turn depends on population, economic growth, technology, energy and lifestyle.
5
Auditing The Management of Indonesian Natural Forests:
Special Focus on Deforestation
A slide presentation prepared for the 12th Meeting of the INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA) Doha, Qatar, 25 – 29 January 2009
8
Prof. Dr. Anwar Nasution Chairman of the Audit Board of the Republic of Indonesia
62 TAHUN BPK RI Bekerjasama Mendorong
Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara
MAJALAH DWIWULANAN BPK RI - ISSN 0216-8154
62 TAHUN BPK RI Bekerjasama Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
LAPORAN UTAMA
Beyond The Call of Duty,Good Governance Bukanlah Mimpi Belaka Masih hangat terngiang karena belum lama tercetus sebuah gagasan yang dilontarkan Ketua BPK RI Prof. Dr. Anwar Nasution, berupa enam bentuk inisiatif untuk mendorong percepatan pembangunan sistem pembukuan dan manajemen keuangan negara.
Pengertian dan Aspek Tanggung jawab Keuangan Daerah
Sebagai auditor di BPK kita sering sekali mendengar, mengucapkan dan bahkan membicarakan tentang pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara (termasuk di dalamnya keuangan daerah).
14
17
PEMERIKSA
Bebas dan Obyektif
Diterbitkan oleh Biro Humas dan Luar Negeri Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, STT No. 722/SK/Ditjen PPG/STT. Susunan Dewan Redaksi Majalah Pemeriksa: Pelindung Dharma Bakti Pemimpin Redaksi Cris Kuntadi Anggota Redaksi Yudhi Ramdhan, M. Yusuf Jhon, Ekowati Tyas Rahayu, Dian Desilia, Bestantia Indraswati, R. Edi Susila, Gunawan Wisaksono Staf Redaksi Nurmalasari, Barlis Baharuddin Desain Grafis Sutriono, Rianto Prawoto. Alamat Redaksi dan Tata Usaha Gedung BPK-RI Jln. Gatot Subroto No.31 Jakarta Telp. (021)5704395-6 Pes.214/208 Fax.(021)57950285 situs www.bpk.go.id Email:
[email protected]
Redaksi menerima kiriman artikel (disertai dengan softcopy dan foto penulis) sesuai dengan misi majalah PEMERIKSA. Redaksi berhak mengoreksi/mengubah naskah yang diterima sepanjang tidak mengubah naskah. NO 116/ isi Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII Isi majalah ini tidaklah berarti sama dengan pendirian Badan Pemeriksa Keuangan.
RUBRIK
19
24 26 30
AGENDA
Pengarahan Sekretaris Jenderal BPK RI dalam rangka Monitoring dan Evaluasi kepada Karyasiswa BPK RI
POTRET BPK SIARAN PERS 62 Tahun BPK RI; Anwar Nasution: Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara Tak Bisa Ditawar Lagi OPINI Pos Penguasa Tunggal Era Lalu, KEBUTUHKAN MASA KINI
Penghargaan Kepada Entitas
MENINGKATKAN PROFESIONALISME MELALUI PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL
32 38
AGENDA
43
SUMBER DAYA MANUSIA
50
AUDIT Menunggu Peran Inspektorat dalam Reviu Laporan Keuangan Daerah Pengelolaan Kas di Kas Daerah
58 59 62
GENDIT: Jangan sampai gendit keboboolan
64 67
8 Profil Pemimpin Sejati
REFORMASI BIROKRASI, REKAYASA ULANG PROSES BISNIS, DAN MAKSIMALISASI POTENSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Kurun waktu 62 tahun perjalanan BPK RI tentu bukan waktu yang singkat. Dari kurun waktu 62 tahun tersebut, perkembangan sepanjang empat tahun terakhir tentu yang paling signifikan. Mengapa? Selama kurun empat tahun terakhir, yang ditandai dengan lahirnya paket undang-undang di bidang keuangan negara,
Penyusunan dan Penetapan Pola Dasar Karier PNS Sebagai Bagian Reformasi Birokrasi pada BPK RI, Perlu atau Tidak?
AGAMA: Tawakal,Kunci Keberhasilan Seorang Muslim
KESEHATAN: Deteksi Dini Kanker Serviks
KELUARGA: Mengenali dan Mengembangkan bakat anak
NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
EDITOR AL Yang Khusus Yang Tidak Biasa ”Khusus” dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang istimewa atau tidak seperti biasa. Begitu juga untuk Majalah Pemeriksa kali ini yang menyebutnya sebagai Edisi Khusus 2008. Redaksi berharap, edisi MP kali ini juga dirasakan sebagai sesuatu yang istimewa atau minimal tidak seperti biasanya. Tentu, MP kali ini bisa dibaca “tidak seperti biasanya” karena ada yang berkomentar (atas draft MP Edisi Khusus) sebagai edisi gadogado alias edisi tanpa tema. Memang, dalam edisi 116 ini, tidak ada tema khusus yang diusung sebagaimana edisi sebelumnya. Pembaca tentu sepakat dengan hal ini. Akan tetapi, kami tetap berharap bahwa MP akan terus ada di hati para pembaca. Rangkaian Ulang Tahun BPK yang ke 63 menjadi fokus utama di samping kegiatan kantor Perwakilan. Akan tetapi, redaksi juga tetap mengetengahkan sajian artikel-artikel yang kami yakin sangat ditunggutunggu. Hal tidak biasanya juga diakui atas keterlambatan penerbitan MP yang baru dapat dinikmati pada pertengahan Maret ini. Untuk itu, seluruh redaksi memohon maaf atas keterlambatan ini. Semoga ke depan, tidak ada lagi edisi khusus yang bermakna keterlambatan penerbitan. Untuk itu, kami mengharap dukungan para pimpinan, pejabat dan teman-teman semua untuk dapat mengirimkan secara rutin tulisan, karikatur, pengalaman dan lain-lain yang sesuai dengan misi MP. Tanpa rasa ragu dan malu atas keterlambatan ini, segenap redaksi MP mengucapkan SELAMAT ULANG TAHUN BPK KE 63. EMOGA SEMAKIN INDEPENDEN, BERINTEGRITAS DAN PROFESIONAL.
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
TERKINI
AUDITING CLIMATE CHANGE:
1
THE INDONESIAN PERSPECTIVE AUDITING CLIMATE CHANGE: THE INDONESIAN PERSPECTIVE Anwar Nasution 1. What aspects of sustainability can we audit? SAIs are expected to audit climate change because of the greenhouse effect, solar influences and a number of other sources. The first source of climate change is caused by the emissions of carbon dioxide into the atmosphere, which in turn depends on population, economic growth, technology, energy and lifestyle. The solar influence is caused by the balance between increasing solar radiation and outgoing thermal radiation. Other sources of the greenhouse effect include volcanic eruptions that emit a lot of sulfur into the atmosphere to cool the Earth. Emissions of carbon dioxide and other trace gases are almost irreversible as they remain in the atmosphere for a very long time. Meanwhile, as greenhouse gases travel around the world in a few days, the scale of the problem is global. Climate change affects the sustainability of natural resources and our economic productivity, comfort and health. The Stern Report on global climate change of 2007 is the most important study on the costs and risks of global climate change. As they are not incurred at market prices, some of the costs and benefits cannot be measured in financial terms. The Stern Report recommends taking prompt and strong action to substantially reduce carbon dioxide emissions today, at modest cost so as to avoid high risk and more expensive costs of global warning in the future.
The Stern Report, however, admits that in the absence of mitigation, the possible outcome of global warming is very bad, although the costs are still uncertain because of the uncertainty A note prepared for Discussion Panel on Sustainability in A Modern Audit Office at the 12th Meeting of the INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA) in Doha, Qatar, Monday, 26 January 2009. Professor Anwar Nasution is the Chairman of the Supreme Audit Board of Indonesia and Professor of Economics at the University of Indonesia. Nicholas Stern. 2007. The Economics of Climate Change. The Stern Review. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press. NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
about when and where particular impacts will occur far in the future. Because of the uncertainty, the Bush Administration in the US took the position of postponing the costly efforts to reduce carbon dioxide emissions until we know more about the dangers of climate change. SAI (BPK) of Indonesia is prioritizing the auditing of the rainforest. This is because Indonesia’s rainforest is the third largest in the world after Brazil and Congo. Deforestation and forest fires not only emit carbon dioxide into the atmosphere but have also caused river blindness, protracted droughts, floods, health problems, affect ecosystem, transportation problems and reduced productivity in agriculture, fisheries and forests. The adaptation costs to those who live in and near the forests are high, especially because they are highly dependent on food production using simple technology. BPK audits compliance with the rules and regulations on forest policy, forest management and socio-economic financial aspects. The focus of BPK audits are property rights in forestry, allocation of logging permits, illegal logging, forest fires, biodiversity and government revenue generated from forestbased economic activity.
forest land and to increase its value by investing and innovating or combining them with other resources. Second, the permit holders cannot use the forest land for more valuable purposes or as collateral. This, in turns, limits mobility of the forest as a factor of production and reduces its productivity. Third, the community incurs substantial costs in defending communal and nd satisfying the need for public property by letting up and operating informal organization that demand lot of investment of time and other resources. Under the long rule of President Suharto’s from 1966 to 1998, the issuance of logging permits was centralized in the Ministry of Forestry. Logging permits at that time were mainly distributed to the cronies of the regime, while the trade export of wood-based products was directly controlled by a confidante of the President. Meanwhile, reforestation funds were used to develop the IPTN aerospace company and to subsidize pulp plantations. 2. Do financial auditors have a role to play?
There is no private property right over forest land in Indonesia as they are owned by either state or traditional community. The Constitution says that all natural resources, including forests should be exploited sustainable and to maximum welfare of all. The state can issue rights to exploit the forest land either for logging, mining, agriculture or other commercial purposes. The logging concession and other permits are issued for relatively short period, 55 years.
Financial auditors have a mandate to audit the economic rents collected from the exploitation of natural resources as well as audit government outlays for rehabilitating environmental damage. Accordingly, financial auditors have the right to audit those who create greenhouse gas emissions that negatively affect the global climate, natural resources, ecological systems and vulnerable species. Some of the resources are renewable, such as water, air, forests, fisheries, and other biological resources. Some others are non-renewable and will continue to be depleted, such as minerals and fossil fuels.
There are three implications of not having private property rights and short period of concession for exploiting the forest land. First, there is no incentive for the permit holder to preserve the
Economists characterize man-made climate change as an externality and the global climate as a pure public good. There is zero marginal cost for additional individuals enjoying a non-
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
polluted climate and it is technically difficult or impossible to exclude individuals from doing so. As a result, firms and consumers do not pay the full costs of production, particularly the cost of pollution to the global environment. Because of market failures, the government is the only provider of public goods as there is no incentive for the market to supply them. Government involvement in correcting market failures has fiscal implications. As climate change is a global problem, it demands global auditing and responses. Arrow identifies 5 policies for mitigation of the climate change, namely: (i) shifting to energy sources that produce lower carbon dioxide emissions per useful energy, (ii) developing technology for energy conservation or that use less energy per unit output, (iii) shifting demand to products with lower energy intensity, (iv) reforestation and reducing deforestation, (v) capturing and sequestering carbon dioxide from stationary plants and injecting it into underground repositories. Schelling points out two important ways to induce or provide the necessary funds for the five policies for mitigating climate change. One is to use appropriate taxes, subsidies, rationing and quotas to affect the market price system. In addition to these economic tools, consumers can be convinced that nonrenewable resources such as fossil fuels are going to be most costly in the future. The private sector is interested in producing hybrid cars and in energy conservation and in shifting demand to products with lower energy intensity. With proper policies and an incentives system, the private sector can be interested in reducing deforestation. Public funds, the other source of funds are needed to finance the activities that will not be undertaken by private sector. SAIs audit the effectiveness and efficiency of the tax, subsidy, rationing and quota systems as well as the use of public funds for mitigating climate change. 3. Do SAIs need special powers to audit government’s operational impacts? Global warming is the result of the use of natural resources as regulated by the government. Auditing the impacts of government operations in managing resources can be, therefore, regarded as an integral parts of a financial and performance audits. For this reason, SAIs do not really need special powers to audit the operational impacts of government 4. What has worked well for SAIs in building capacity of sustainability?
Kenneth J. Arrow. 2008. “Global Climate Change: A Challenge to Policy”. In J. E. Stiglitz, Aaron S. Edlin and J. B. DeLong, eds., The Economists Voice. New York: Columbia University Press.. chapter 2, pp. 13-22. Thomas C. Shelling. 2008. “Climate Change: The Uncertainties, the Certainties, and What They Imply About Action”. In J. E. Stiglitz et. al. ibid. chapter 1. pp. 5-12. NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
Auditing sustainability requires training for auditors not only in financial matters and on performance auditing but also in areas such as science, forestry, mining and fisheries. Such audits also require auditors from multidisciplinary backgrounds including both in-house and outside experts from universities and research institutions, as well as the use of modern technology, such as satellite images, GIS, GSP and remote sensing. As pointed out in the Stern Report, auditing climate change requires global cooperation between SAIs, including joint audits as the problem is a global issue. On our part, we welcome the participation of other SAIs in jointly working with us to conduct joint audits on tropical forests in Indonesia. Global cooperation is also needed for practical training, exchanging of information, experiences and data. 5. What are the benefits and or risks from external reporting of SAIs operational impacts on the environment? The first benefit is objectivity. As independent external auditors, SAIs are more reliable and objective in evaluating problems related to climate change. Secondly, SAI reports not only cover the financial and performance aspects of government operations, but also cover environmental and social aspects. Third, SAI reports have a broader impact in the form of creating public awareness and understanding about sustainability issues as the documents are not only officially transmitted to Parliaments and government but also made available to the general public. The risks surrounding SAI report primarily concerns the general perception that they are mainly financial auditors and have no expertise outside accountancy. This is particularly true in the case of Indonesia as environmental auditing is a new venture for the BPK and most of its staffs are accountants who have no deep understanding and knowledge outside accountancy. On environmental issues people, believe more on reports prepared by the technical ministries and by the Ministry for Environment. 6. What good practices have we identified among our audit clients that we should adopt ourselves? An SAI as an audit institution can adopt the following approaches in order to reduce emissions: 1. SAIs can reduce paper consumption by recycling paper and moving to paperless auditing; 2. SAIs can reduce consumption of energy and water by building environmentally friendly buildings and reducing the use of air conditioners and heaters; 3. Implementing green procurement; 4. Managing waste properly; 5. Promoting the use of public transportation and shifting to non-fossil modes of transportation.
Auditing The Management of Indonesian Natural Forests:
Special Focus on Deforestation
Prof. Dr. Anwar Nasution Chairman of the Audit Board of the Republic of Indonesia
A slide presentation prepared for the 12th Meeting of the INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA) Doha, Qatar, 25 – 29 January 2009 Introduction Indonesia has the third largest areas of rainforest, after Brazil and Congo (Zaire) : 50% of the tropical forest in the Southeast Asia and 10% of the world’s area. Tropical forest is rich in bio diversity and diverse flora and fauna with abundant nutrients and medicinal potential including Non-timber forest product (NTFP) such as rattan, medicine, fruits, animals and honey;
Forest absorbs more sunlight than the plains and deserts, and therefore has important role to mitigate global climate change;
Forests have played a pivotal role as source of the needed foreign exchange and government revenues, employment and income; Landsat 7 EM + Satellite images of 2002-2003 show that 133
Million Ha of forest area in Indonesia only 64% has good vegetation, 29 % in bad shape and incomplete data for the other 7%. The good vegetated forest zone is equivalent to 50% of land area of Indonesia and the bad vegetated forest account of total land area of 188 Million Ha. for44%
♦ I ndonesia’s rain forest has been overly exploited beyond its ability to regenerate, due to the following reasons: • A rapid growth of population in highly dense populated country, • Over capacity in wood based manufacturing industry; • Conversion of land use into palm oil plantation and mining as well as from strong international demand for timber and forest based products; • Lack of coordination between central and local government in managing forest resources; • Decentralization of government system since the fall of President Suharto in 1998 gives the authority to local governments for managing forests in their local jurisdictions and the rights to issue permits for timber extraction and mining, and open plantation for commercial crops; • A combination of natural calamities and slash burning agriculture practices both burn the forest. The slash burn clearing method is not only used by traditional farmers but also by the big planters to reduce costs. Forest Policy ♦ According to the 1945 Constitution, the state controls forest land, and natural resources should be extracted sustainably for the maximum welfare of all. ♦ There is no private property rights over forest land in Indonesia. The authorities issue permits for exploitation of forest, extraction of mining deposits and conversion of the forest into agricultural land. The logging concessions and other exploitation rights are issued for 55 years duration and can be renewed; ♦ There are three implications of not having private property rights and short period of concession for exploiting the forest land : • First, there is no incentive for the permit holder to preserve the forest land and to increase its value by investing and innovating or combining them with other resources; • Second, the permit holders cannot use the forest land for more valuable purposes or as collateral. This, in turns, limits mobility of the forest as a factor of production and reduces its productivity; • Third, the community incurs substantial costs in defending communal land and satisfying the need for public property NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
♦
Types of land and Forest Zone :
No Type(s) 1 Land
Description(s) a. Customary rights (hak ulayat) : Common land where customary rights can be recognized to have existed prior to the enactment of the land law. b. State Lands : open for distribution to private entities
2
Forest Zone
a. Private Zone Forests : private rights and land cover qualify as forests b. State Zone Forests is classified into five groups : a. Nature Reserve and Tourism forest; b. Protection Forest; c. Limited Production Forest; d. Convertible Production Forets; e. Permanently Production Forests.
by letting up and operating informal • organization that demand lot of investment of time and other resources; ♦ Indonesia’s forest zone is set by combination of consensus (TGHK) and Spatial Planning (RTRWP); ♦ Ownership, management and the rights to exploit forests and natural resources in it are granted by : • National Land Bureau grants both land rights and their uses. As pointed out earlier there is no private property rights on forest land; • Ministry of Forestry grant s forest utilization rights, defines the state forest zone, determines and manages forest zone; ♦ Government issues utilization permits for commercial exploitation of conservation forests (except in nature reserve, jungle zone, and nucleus zone within national park), protected forest and production forest areas; ♦ Utilization of production forest requires 6 types of permits, namely : • Permit for Area Utilization (IUPK), Permit for Environment Services Utilization (IUPJL), Permit for Timber Forest Product Utilization (IUPHHK), Permit for Non-Timber Forest Product Utilization (IUPHHBK), Permit for Timber Forest Product Retribution (IPHHK), and Permit for NonTimber Forest Product Retribution (IPHHBK); ♦ During the long period of President Suharto administration, 1966-1998, issuance of logging permits was centralized at the Ministry of Forestry and mainly distributed to the cronies of the regime. Export of wood-based products was exclusively controlled by confidant of President. The largest amount of rents collected through the reforestation funds used for building IPTN, airplane factory, and pulp and forest plantations; NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
♦D ecentralization of government system since the end of President Soeharto regime in 1998 gives local governments right to issue permits to small operators to exploit the forest land for logging, mining and agriculture. Challenges in Managing Natural Forest ♦ Short-term profit oriented exploitation of rainforests has resulted deforestation, damage in the ecosystem and other endangered species as well as water conservation system that will further result in flood and desiccation; ♦ Overcapacity of wood-based industries; ♦ Deforestation: illegal logging, illegal use of land, and forest fire; ♦ The lack of forest area boundaries. Auditing Strategy ♦ The main purpose of BPK audit is to ensure compliance to the regulation and other basic best practices (for example ITTO Guidelines) including the effectiveness of management system to sustain the forest exploitation. ♦ GIS and GPS Usage : • The GIS (Geographical Information System) technology is used to assist in mapping the deforestation areas, overlapped areas and unauthorized use of forest lands. • GIS technology is used for, among others, selecting audit samples and sampling locations, detecting deforestation spots caused by illegal logging and unauthorized use of forest lands and also to estimate the extent of destroyed areas. • For ground checking, audit team uses GPS (Global Positioning System) tools to assist in their field work. ♦ Audit Methodology and Approach : • Comprehensive Audit on Government Management on Forest is carried out using risks-based approach (in
♦
♦
particular risks of illegal logging, unauthorized use of lands, and economy risks), while audit methodology used in gathering data are observation, comparison and analysis, interviews and seeking confirmation as well as other audit procedures required in forest management.
10
Audit Findings ♦ Permanent Forest Estates ϒ Indonesia doesn’t have certain and acceptable permanent forest estate that can be referred by any parties involving in the forest industry such as national and local government, licensed forest company, people surroundings the forest and others. As mentioned earlier, the lack of this permanent forest estate not only influences the effectiveness of sustainability of forest management, rehabilitation but also increase ♦ the possibility of conflict.
♦ National Land Use Policy • The agricultural and mining company illegally converted forest area with the estimation area of 27.195,70 Ha to agricultural (palm oil) and mining in South Kalimantan, ♦ Central Kalimantan and East Kalimantan. • The local community has illegally occupied production ♦ the forest areas that have been rehabilitated with estimation area of 55.800,38 Ha. ♦
♦ Illegal logging • One logging company in Central Kalimantan had cut the
Challenges in Managing Natural Forest
10
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
tree exceeded the allowable limit as set by the authorities. To ensure the silviculture, the regulation limits the allowed number of three per every specie to be cut with a minimum 60 cm diameter. ♦ Rehabilitation of the forest • The rehabilitation of forest conducted by the Department of Forestry and local government could not achieve their intended target. This condition will tend to increase the risk of flood, landslide and other environmental damages; • The government did not plan the rehabilitation activities based on the real condition and the need of the land and forest area. ♦ Preventing and Mitigating Forest and Land Fires Government organizations in preventing and mitigating forest and land fires need to be improved and integrated in order to make more effective; • Land Clearing activities in one of the biggest province in Indonesia (Riau) are still using traditional way, burning and firing. This methodology will increase the risks of
forest and land fire. • The infrastructures for preventing and mitigating forest and land fires are not adequate. This insufficiency will decrease the ability to fight the fire; • The lack of forest and land area’s ownership tend to increase the risk to have forest and land fire. The lack of ownership will make people confuse about their responsibility to protect and safe guard the forest and land area from the fire; BPK Recommendations ♦ Permanent Forest estates : • The Government together with the local government has to foster the process to determine the permanent forest area in order to minimize conflict and uncertainty condition. ♦ National land Use Policy • The government together with local government terminates the license given to the agricultural and mining companies including other parties that has been proved illegally occupied and or converted the forest area. ♦ Illegal Logging • The government together with the local government conducted survey to ensure the number of trees that have been illegally cut by the company and gave sanction according to the regulation. ♦ Preventing and Mitigating Forest and Land Fires • The government of the respective province to conduct forest
Auditing Strategy
11
NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
11
BPK’S AUDIT No 1.
2.
12
Audit Audit on forest estates Year : 2008 State Revenue from Forest Collection
Type of Audit Compliance Audit
Compliance Audit
Year : 2007 3.
Preventing and Mitigating Forest and Land Fires
Audit Objective
Compliance Audit and To ensure the government and the Spot Check type of related companies’ compliance to related rule and regulation in preventing and Audit (Riau). mitigating forest and land fires.
Rehabilitation of Performance Audit Forest and Land Area
Location(s)
Audit coverage
To ensure the government compliance to Central Kalimantan, 2007-2008 related rule and regulation in using East Kalimantan, South Reforestation Fund Kalimantan, and DKI Jakarta To ensure the government compliance to Riau, West Kalimantan, 2005-2006 related rule and regulation in collecting, Jambi, North Sumatera, distributing and reporting the State DKI Jakarta Revenue From Forest.
Year : 2008
4.
•
Year : 2008 •
To ensure the government compliance to related rule and regulation in rehabilitating the forest and land area. To examine the effectiveness and efficiency of the government’s activities in rehabilitating the forest and land area.
DKI Jakarta (central 2006-2007 government), Riau, Jambi, South Sumatera, West Kalimantan, East Kalimantan, Central Kalimantan and South Kalimantan. DKI Jakarta, West Java, 2006-2007 East Java, Central Java, South Sulawesi, Central Kalimantan, West Kalimantan and Riau.
and land area inventory in order to clarify the ownership of those area. • Provide authorities for stopping fires, bringing the offenders to law enforcement agencies.
aspects, thus, auditors in charge for conducting audit on the management of natural resources should also come from multidiscipline backgrounds; hiring an expert, or consultant, is recommended if this condition is impossible to achieve.
♦ Rehabilitation of the forest • The government focus the use of the money on the rehabilitation of forest and land area that have the biggest risks and most important for maintaining the balance of nature; • The government involves the community nearby the forest and land area that need to rehabilitated in the project of rehabilitation.
♦ The application of technology such as GIS and GPS will benefit to increase the quality of audit and make the audit more efficient. As mentioned above, the GIS and GPS technology help the auditor to spot he deforestation area in certain area and formulate technological audit evidence.
Conclusion and Lesson Learnt ♦ Audit on government management on forest has to be carried out comprehensively, to cover all aspects of forest exploitations. This holistic and systematic approach is important because a problem in one area will affect directly or indirectly the other aspects. Relevant audit finding will have impacts on all the three dimensions of forest exploitation, namely the economic, social and environmental aspects.
♦ Audit evidence gathered from the application of GIS and GPS technology should be verified with statements from the authorities. For examples, audit evidence showing overlapped use of lands should be consulted and confirmed by the public officials or authorities in charge for the allocation of forests areas. ♦ Auditing the natural resources such as forest needs to consider not only the economy and environment but also social loss. ♦ THE END
♦ Natural resources encompass multi-dimensional and complex 12
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
13
NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
13
LAPORAN UTAMA
BEYOND THE CALL OF DUTY, GOOD GOVERNANCE BUKANLAH MIMPI BELAKA 14 Oleh: Waskito Hadi, SE, Ak Staf Sub Auditorat NAD III, Seksi NAD IIIB
M
asih hangat terngiang karena belum lama tercetus sebuah gagasan yang dilontarkan Ketua BPK RI Prof. Dr. Anwar Nasution, berupa enam bentuk inisiatif untuk mendorong percepatan pembangunan sistem pembukuan dan manajemen keuangan negara. Keenam bentuk inisiatif tersebut kemudian dikenal dengan nama yang akhir-akhir ini cukup beken disebut Beyond The Call of Duty. Bentuk inisiatif dari BPK RI tersebut yang pertama adalah mewajibkan semua auditee (pihak/entitas yang diperiksa) menyerahkan sebuah Management Representation Letter (MRL) kepada BPK RI sebagai pernyataan dari seorang pimpinan tertinggi organisasi Pemerintahan bahwa laporan keuangan yang dibuatnya dan diserahkan kepada BPK RI tersebut telah disajikan secara wajar sesuai Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Dengan begitu Laporan Keuangan Pemerintah baik pusat maupun daerah tanpa toleransi lagi sudah seharusnyalah sesuai prinsip yang berlaku umum serta berpedoman pada PP Nomor 24 tahun 2005 tentang SAP tersebut. 14
Kedua, mendorong Pemerintah Pusat dan Daerah segera mewujudkan sistem pembukuan keuangan negara yang terpadu atau lebih biasa dikenal dengan sebutan treasury single account. Ketiga, meminta seluruh auditee menyusun rencana aksi guna meningkatkan opini hasil pemeriksaan atas laporan keuangan oleh BPK RI yang terdiri atas: (i) menuju sistem pembukuan akrual untuk mengungkapkan hak dan kewajiban kontijensi serta perencanaan jangka panjang berbasis kinerja; (ii) sistem aplikasi teknologi komputer yang terintegrasi; (iii) inventarisasi aset dan utang; (iv) memenuhi jadwal penyusunan laporan keuangan dan pemeriksaan serta pertanggungjawaban sebagaimana diatur paket tiga UU di bidang Keuangan Negara Tahun 2003-2004; (v) quality assurance oleh pengawas intern; (vi) perbaikan SDM terutama dalam bidang akuntansi dan pengelolaan keuangan Negara. NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
Keempat, untuk mengimplementasikan rencana aksi tersebut BPK RI menyarankan kepada instansi pemerintah agar meminta tenaga BPKP untuk membangun sistem akuntansi pemerintahan di Indonesia. Hal ini memang sudah menjadi tugas BPKP tentunya sesuai yang diamanatkan oleh PP Nomor 60 tahun 2008 pasal 59 ayat 2 bahwa BPKP harus melakukan pembinaan penyelenggaraan SPIP yang kemudian dapat menjadi cikal bakal pembangunan sistem akuntansi pemerintah. Ada rasa optimisme yang cukup besar tentunya hal ini segera bakalan terwujud mengingat slogan yang dimiliki BPKP saat ini sebagai 4C, yakni: Competence, Current issues, Clearing house dan Check and balance. Dalam hal ini Competence maksudnya BPKP mempunyai SDM yang profesional. Current issues berarti BPKP memberikan masukan pada Presiden dan Menteri terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Clearing house berarti BPKP memberikan masukan terhadap keragu-raguan pemerintah untuk dapat mengambil keputusan apakah suatu kasus berindikasi korupsi atau tidak. Sedangkan Check and balance dimaksudkan bahwa BPKP sebagai penyeimbang antara internal dan eksternal auditor dalam konteks pelurusan terhadap pelaksanaan tugas melalui kegiatan audit internal, advokasi, evaluasi, analisis dan public relation. Disamping itu dalam perkembangannya saat ini untuk mengimplementasikan SPIP sesuai amanat PP Nomor 60 tahun 2008 tersebut, BPKP telah membentuk Satgas SPIP yang bertugas melakukan perencanaan kerja, pembuatan pedoman, modul, dan peningkatan kompetensi SDM BPKP. Besar harapan kita tentunya terhadap BPKP untuk dapat segera mewujudkan inisiatif BPK RI yakni membangun sistem akuntansi pemerintahan yang kokoh di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Kelima, mendorong perombakan struktural BLU, BUMN dan BUMD serta yayasan maupun kegiatan bisnis yang terkait dengan TNI maupun Polri agar menjadi lebih mandiri dan korporatis. Keenam, menyarankan kepada DPR RI, DPD RI, dan DPRD Provinsi maupun Kabupaten/Kota untuk membentuk Panitia Akuntabilitas Publik (PAP). Telah menjadi salah satu agenda reformasi total di negara kita tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia ini yakni terciptanya good governance. Jika sedikit menilik dari segi teoritis, oleh World Bank (Bank Dunia) didefinisikanlah governance sebagai “the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”, dalam hal ini berarti lebih menekankan pada cara-cara yang baik dilakukan pemerintah dalam mengelola sumber daya sosial dan ekonomi yang dimilikinya untuk kepentingan pembangunan masyarakatnya. Di samping itu juga World Bank memberikan definisi tentang good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya akNO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
tivitas usaha. Sedangkan menurut United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”, dimana lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan Negara yang baik. Aspek politik (political governance) berarti mengacu pada proses pembuatan kebijakannya (policy/strategy formulation). Aspek ekonomi (economic governance) berarti mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup penduduknya menjadi bertambah lebih baik. Sedangkan aspek administratif (administrative governance) menurut UNDP, berarti cenderung mengacu pada sistem implementasi kebijakan pemerintah yang kokoh namun aplikatif. Dalam hal ini UNDP sendiri mendefinisikan good governance dengan memberikan sembilan karakteristik pelaksanaan yang harus dipenuhi, yakni antara lain sebagai berikut: 1. Participation Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi, berorganisasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 2. Rule of law Penegakan kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu dan tebang pilih. 3. Transparency Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkannya. 4. Responsiveness Lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani masyarakat selaku stakeholder. 5. Consensus orientation Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. 6. Equity Setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan. 7. Efficiency and Effectiveness Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna atau efisien dan berhasil guna atau efektif. 8. Accountability Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. 9. Strategic vision. Penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. Berdasar uraian yang telah tersebut di atas, merupakan suatu keyakinan yang cukup besar rasanya negara kita dapat mewujudkan good gavernance melalui tindak lanjut 15
15
16
oleh pihak eksekutif didampingi pihak legeslatif tentunya terhadap enam inisiatif BPK RI dalam pemikiran Beyond The Call of Duty. Dalam hal ini pemerintah perlu bersungguh-sungguh menjalankan manajemen keuangan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah melalui cara-cara yang sesungguhnya mudah diucapkan namun perlu kerja keras dan komitmen kuat dari pelaksana dalam mengimplementasikannya, yakni antara lain: 1. Akuntabilitas Yang dimaksud akuntabilitas yaitu mensyaratkan bahwa pengambil keputusan berperilaku sesuai dengan mandat yang diterimanya. Perumusan kebijakan dilakukan bersama-sama dengan cara dan hasil kebijakan tersebut harus dapat diakses dan dikomunikasikan secara vertikal maupun horisontal dengan baik. Saat ini tuntutan akuntabilitas publik oleh masyarakat luas maupun lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah semakin menguat. Akuntabilitas publik pada dasarnya merupakan pemberian informasi dan pengungkapan (disclosure) atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pemerintah pusat maupun daerah, harus bisa menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik/masyarakat, yaitu hak untuk tahu (right to know), hak untuk diberi informasi (right to be informed), dan hak untuk didengar aspirasinya (right to be heard and to be listened to). Tentunya akuntansi sektor publik memiliki peran yang sangat vital dalam memberikan informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finansial pemerintah. Secara teori, Governmental Accounting Standards Board (GASB) dalam Concepts Statement No. 1 tentang Objectives of Financial Reporting menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan dasar dari pelaporan keuangan di pemerintahan. Akuntabilitas adalah tujuan tertinggi pelaporan keuangan pemerintah. GASB menjelaskan keterkaitan akuntabilitas dan pelaporan keuangan sebagai berikut: … Accountability requires governments to answer to the citizenry to justify the raising of public resources and the purposes for which they are used. Governmental accountability is based on the belief that the citizenry has a “right to know,” a right to receive openly declared facts that may lead to public debate by the citizens and their elected representatives. Financial reporting plays a major role in fulfilling government’s duty to be publicly accountable in a democratic society. (par. 56) Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa akuntabilitas meliputi pemberian informasi keuangan kepada masyarakat dan pemakai lainnya sehingga memungkinkan bagi mereka untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktivitas yang dilakukan, bukan hanya aktivitas finansialnya saja. Concepts Statement No. 1 tersebut menekankan bahwa laporan keuangan pemerintah harus dapat memberikan informasi untuk membantu pemakai dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik. Tuntutan dilaksanakannya akuntabilitas publik mengharuskan pemerintah memperbaiki sistem pencatatan dan pelaporan. Pemerintah dituntut untuk tidak sekedar melakukan vertical reporting, yaitu pelaporan kepada atasannya, misalnya kabupaten/kota 16
kepada provinsi atau provinsi kepada pemerintah pusat, akan tetapi juga melakukan horizontal reporting, yaitu pelaporan kinerja pemerintah kepada DPR untuk tingkat pusat dan DPRD untuk tingkat daerah, serta kepada masyarakat luas sebagai bentuk horizontal accountability. 2. Value for Money Konsep value for money merupakan jembatan untuk menghantarkan pemerintah mencapai good governance. Value for money tersebut harus dioperasionalkan dalam pengelolaan keuangan dan anggaran baik di pusat maupun daerah. Dalam mendukung dilakukannya pengelolaan dana publik (public money) yang mendasarkan konsep value for money, maka diperlukan sistem akuntansi pemerintah yang baik dan kokoh. 3. K ejujuran dalam mengelola keuangan publik (probity) Pengelolaan keuangan negara harus dipercayakan kepada personil yang memiliki integritas dan kejujuran tinggi, sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk berperilaku korup. 4. Transparansi Transparansi merupakan keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan keuangan sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh perwakilan rakyat dan masyarakat secara umum. Transparansi pengelolaan keuangan negara pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara pemerintah dengan masyarakatnya sehingga tercipta pemerintahan yang bersih, efektif, efisien, akuntabel, serta responsif terhadap aspirasi dan kepentingan masyarakat. 5. Pengendalian Penerimaan dan pengeluaran pemerintah harus sesering mungkin dimonitor terutama oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), antara lain dengan dibandingkannya antara yang anggaran dengan realisasi yang dicapai dan juga perlu dilakukan analisis varians (selisih) terhadap penerimaan dan pengeluaran agar dapat sedini mungkin dicari penyebab timbulnya varians dan tindakan antisipasi ke depan tentunya untuk pengalokasian kepentingan publik. Dengan demikian tak pelak lagi bisa hampir dipastikan jika semua pihak memegang komitmen dengan kuat baik pihak eksekutif, maupun legeslatif untuk secepat mungkin melaksanakan apa yang telah disarankan BPK RI melalui enam inisiatif dalam Beyond The Call of Duty maka akan segera terwujud pulalah salah satu cita-cita reformasi total negara kita ini berupa good governance. Suatu angan-angan yang sebelumnya dicibir banyak orang hanya sebatas mimpi akan menjadi kenyataan yang dapat kita buktikan bersama sebagai anak bangsa. Tentunya kemudian akan ditandai dengan opini hasil pemeriksaan BPK RI terhadap laporan keuangan pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah dengan kualitas menjadi lebih baik, karena bagaimanapun laporan keuangan menjadi salah satu sarana yang digunakan banyak pihak terutama dalam rangka pengambilan keputusan, baik secara ekonomi, investasi, sosial maupun keputusan politik sekalipun.
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
AUDIT
Pengertian dan Aspek Tanggung Jawab Keuangan Daerah
S
Oleh: Wahyu Priyono, SE, MM, Kasie DIY-1, BPK RI Perwakilan Propinsi DIY
ebagai auditor di BPK kita sering sekali mendengar, mengucapkan dan bahkan membicarakan tentang pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara (termasuk di dalamnya keuangan daerah). Bagi para auditor di perwakilan, istilah pengelolaan dan tanggungjawab keuangan daerah seolah-olah sudah menjadi santapan sehari-hari. Jika kita bicara tentang BPK, tidak akan terlepas dengan pembicaraan tentang tanggungjawab keuangan negara/ daerah. Sebagai contoh, dalam pasal 23 E UUD 1945 disebutkan : (1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu BPK yang bebas dan mandiri; (2) H asil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenangannya; (3) H asil pemeriksaan tersebut ditindak-lanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. Kemudian Undang-undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis dan evaluasi yang dilakukan secara independen, objektif dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.” Namun, sampai sejauh manakah pengertian dan pemahaman kita, sebagai auditor tentang tanggung jawab keuangan negara (daerah)? Pengertian dan pemahaman kita tentang tanggung jawab keuangan negara (daerah) sangatlah diperlukan untuk menopang kita dalam menjalankan tugas pemeriksaan. Pengertian tentang tanggung jawab keuangan negara (daerah) dapat dibaca pada Pasal 1 Butir 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 : “Tanggung jawab Keuangan Negara (termasuk Keuangan Daerah) adalah kewajiban Pemerintah untuk melaksanakan pengelolaan Keuangan Negara secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, dan transparan dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan” Sedangkan pengertian umum dari tanggung jawab (akuntabilitas) adalah suatu kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
yang dilaksanakan secara periodik Dengan demikian prinsip dari tanggung jawab keuangan negara adalah setiap orang yang diberikan kewenangan untuk mengelola keuangan negara/daerah wajib mempertanggungjawabkan keuangan yang dikelolanya dan laporan pertanggungjawaban keuangan tersebut harus diaudit oleh lembaga audit yang independen. Berdasarkan pengertian tersebut, bentuk tanggung jawab keuangan negara (daerah) dapat diwujudkan dalam tiga aspek pertanggungjawaban, yaitu aspek ketertiban administrasi keuangan, aspek kinerja dan aspek hukum. 1. Aspek Administrasi Keuangan Tanggung jawab keuangan negara/daerah dalam bentuk aspek administrasi keuangan secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal 53 dan 54 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan, yang menentukan bahwa : a. Bendahara Penerimaan/Pengeluaran bertanggung jawab secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya kepada BUD dalam bentuk LPJ; b. BUD bertanggung jawab kepada kepala daerah dari segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya dalam bentuk Laporan Keuangan; c. Pengguna Anggaran bertanggung jawab kepada KDh dari segi hak dan ketaatan pada peraturan atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya dan wajib menyampaikan Laporan Keuangan; d. Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formal dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya. Berdasarkan ketentuan di atas, Bendahara Penerimaan/ Pengeluaran wajib (secara administratif ) menatausahakan dan menyusun laporan pertanggungjawaban (LPJ) atas uang yang dikelolanya dalam rangka pelaksanaan APBD. LPJ Bendahara menyajikan informasi tentang saldo awal, penambahan, penggunaan, dan saldo akhir uang persediaan pada suatu periode. LPJ Bendahara disampaikan kepada Kepala SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Pengguna Anggaran menyampaikan laporan realisasi semester I pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja SKPD disertai prognosis 6 bulan berikutnya kepada PPKD paling lambat 10 hari kerja setelah semester I berkenaan berakhir. SKPD menyampaikan LPJ Keuangan SKPD (tahunan) paling tidak meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Laporan Keuangan tersebut disampaikan kepada Satker Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD) paling lambat 2 bulan setelah ta17
17
18
hun anggaran berakhir. BUD (Bendahara Umum Daerah) menyampaikan laporan realisasi semester I pelaksanaan anggaran pendapatan, belanja dan pembiayaan disertai prognosis 6 bulan berikutnya kepada Kepala Daerah melalui Sekda paling lambat minggu ke-3 bulan Juli tahun berkenaan. BUD menyusun LPJ Keuangan BUD (tahunan) yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran Neraca Laporan Arus Kas Catatan atas Laporan Keuangan dan disampaikan kepada kepada daerah paling lambat 2 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Pemda menyusun Laporan Realisasi Semester I dan prognosis untuk 6 bulan berikutnya, disampaikan kepada DPRD (akhir Juli) untuk dibahas bersama. Di akhir tahun, Pemda wajib menyusun Laporan Keuangan Daerah (tahunan) yang terdiri dari Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, Catatan atas Laporan Keuangan dan Lampiran Ikhtisar Laporan Keuangan BUMD. Laporan Keuangan Daerah tersebut disampaikan kepada BPK untuk diaudit paling lambat 3 bulan sesudah tahun anggaran berakhir (sebelum disampaikan kepada DPRD untuk dibahas bersama). LK Tahunan Pemda/SKPD disertai dengan pernyataan tanggung jawab yang ditandatangani oleh Kepala Daerah/ Kepala SKPD. Pernyataan tanggung jawab memuat pernyataan bahwa pengelolaan APBD telah diselenggarakan berdasarkan SPI yang memadai dan akuntansi telah diselenggarakan sesuai dengan SAP. 2. Aspek Kinerja Tanggung jawab keuangan negara/daerah dari aspek kinerja diwujudkan dalam bentuk Laporan Ikhtisar Realisasi Kinerja (sesuai ketentuan UU NO. 1 Tahun 2004 dan PP No 8 Tahun 2006). Laporan Ikhtisar Realisasi Kinerja sebagai wujud pemenuhan kewajiban untuk mengelola keuangan daerah secara efisien, ekonomis dan efektif, berbentuk penjelasan ringkas, lengkap dan transparan tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan APBD dan berisi tentang perbandingan antara rencana dan realisasi keluaran/ hasil dari kegiatan/program dengan kuantitas dan kualitas yang terukur. Indikator kinerja yang digunakan dalam pengukuran kinerja pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah meliputi indikator masukan (input), keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit), dan dampak (impact). 3. Aspek Hukum Tanggung jawab Keuangan Negara/Daerah dalam aspek hukum, maksudnya semua pejabat dan pegawai negeri yang melakukan penyimpangan terhadap asas-asas dan ketentuan pengelolaan keuangan daerah mempunyai tanggung jawab hukum, baik hukum administrasi, hukum pidana, maupun hukum perdata. Tanggung jawab hukum secara administrasi meliputi ; a. Sanksi administratif bagi PNS sebagaimana diatur dalam PP No 30 Tahun 1980; b. Sanksi administratif bagi pihak lain bukan PNS sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berkenaan dengan pihak yang bersangkutan; 18
c. Tanggung jawab berkaitan dengan ganti kerugian daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU No. 17 Tahun 2003, Pasal 59 UU No. 1 Tahun 2004, dan Pasal 136 PP No. 58 Tahun 2005. 1) Setiap bendahara bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya (Pasal 33 UU No.17 Tahun 2003); 2) Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud (Pasal 136 PP No. 58 Tahun 2005); 3) Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara, wajib mengganti kerugian tersebut (Pasal 59 UU No. 1 Tahun 2004 dan Pasal 136 PP No. 58 Tahun 2005). Tanggung Jawab Keuangan Negara menurut hukum pidana, maksudnya semua pejabat dan pegawai negeri yang melakukan perbuatan melawan hukum yang memenuhi unsur pidana yang berhubungan dengan penyalahgunaan jabatan yang dapat merugikan keuangan negara diancam sanksi pidana. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam pasal 34 ayat (1) dan (2) UU No. 17 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa : a. Kepala Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam Perda tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan UU; b. Pimpinan SKPD yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam Perda tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai dengan ketentuan UU. Secara hukum perdata, pejabat pengelola keuangan daerah dapat melakukan ikatan hukum dengan pihak ketiga yang bersifat keperdataan (kontrak pengadaan barang/jasa). Bila dalam hal tersebut pihak daerah (diwakili oleh Pejabat Pembuat Komitmen) karena kesalahannya mengakibatkan kerugian pihak ketiga (kelambatan pembayaran atas penyerahan barang/jasa), maka pihak daerah wajib mengganti kerugian itu (denda berupa bunga). Tanggung jawab menurut hukum perdata diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata (BW): Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian orang lain, menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, wajib mengganti kerugian tersebut Demikianlah uraian secara singkat yang bisa penulis tuangkan dalam artikel ini, mudah-mudahan bisa menambah wawasan kita tentang pengertian tanggung jawab keuangan daerah dan aspek-aspeknya, yang pada gilirannya nanti dapat membantu kita dalam melaksanakan tugas-tugas pemeriksaan. Wallahu a’lam bishshowab.
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
AGENDA
Pengarahan Sekretaris Jenderal BPK RI dalam rangka Monitoring dan Evaluasi kepada Karyasiswa BPK RI
B
easiswa yang diberikan oleh BPK RI sejatinya berasal dari negara, yang berarti uang rakyat, karenanya harus dimanfaatkan secara baik dan penuh tanggung jawab sehingga tidak menyia-nyiakan kepercayaan dan kesempatan yang diberikan oleh rakyat. Demikian disampaikan Sekretaris Jendreral (Sekjen) BPK RI Dharma Bakti dalam acara “Pengarahan Sekretaris Jenderal BPK RI dalam rangka Monitoring dan Evaluasi kepada Karyasiswa BPK RI” di Bandung, hari Senin, 16 Februari 2009. Acara yang dilaksanakan di auditorium kantor BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat tersebut diikuti oleh sekitar 60 karyasiswa BPK RI. Enam puluh karyasiswa itu adalah pegawai BPK RI yang sedang mengikuti program Magister Akuntansi (Maksi) di Universitas Padjadjaran (Unpad) dengan beasiswa dari BPK RI. Sekjen menjelaskan bahwa para karyasiswa BPK RI yang sedang kuliah di Maksi Unpad tidak akan diistimewakan. “Jangan karena mendapat beasiswa dari BPK RI lantas membuat anda merasa lebih dibanding para mahasiswa lain di Unpad. Jangan berpikir anda pasti lulus hanya karena anda kulian di Maksi Unpad karena beasiswa. Berlakulah selayaknya mahasiswa yang baik dengan tetap mengikuti peraturan akademik yang berlaku di Unpad,” kata Sekjen. Ungkapan bernada kekecewaan itu disampaikan Sekjen BPK RI menanggapi uraian Kepala Biro (Kabiro) Sumber Daya Manusia (SDM) BPK RI Fachry Alusi terkait adanya informasi tentang kurang disiplinnya beberapa karyasiswa selama mengikuti kuliah di Maksi Unpad. Sebelumnya, Kabiro SDM BPK RI Fachry Alusi menjelaskan bahwa meski secara umum prestasi karyasiswa BPK RI di Maksi Unpad sudah baik, namun ada juga beberapa beberapa persoalaan yang perlu diperhatikan. Persoalan itu adalah kurang disiplinnya karyasiswa dari BPK RI. “Hal ini misalnya dapat dilihat dari adanya karyasiswa yang prosentase kehadirannya kurang dari 75% untuk beberapa mata kuliah, bahkan ada peserta yang ‘titip absen’ dalam perkuliahan,” kata Kabiro SDM BPK RI. Persoalan lainnya adalah adanya tujuh karyasiswa yang nilai IPK-nya masih kurang dari tiga, salah satunya malah kurang dari 2,6. Padahal idealnya, IPK harus di atas 3,0. Bahkan menurut Sekretaris Bidang Akademik Maksi Unpad Ilya Avianti, Maksi Unpad sendiri sebenarnya berharap karyasiswa BPK RI yang kuliah di Maksi Unpad bisa lulus dengan IPK di atas 3,25 nantinya lebih mudah seandainya ingin melanjutkan ke S-3. Kabiro SDM BPK RI berharap agar hasil evaluasi yang ada dapat ditindaklanjuti secara sungguh-sungguh.“Semoga monitoring dan evaluasi ini dapat memberi energi baru, sehingga semua dapat berjalan dengan hasil terbaik, sesuai harapan kita bersama,” katanya Selain Sekjen BPK RI dan Kabiro SDM BPK RI Fachry Alusi, acara yang dilaksanakan di auditorium kantor BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat tersebut juga dihadiri oleh serta Kalan BPK RI Pewakilan Provinsi Jawa Barat Gunawan Sidauruk, Ketua Program Maksi Unpad Sumarno Zain dan Sekretaris Bidang Akademik Maksi Unpad - yang saat ini juga menjadi Staff Ahli Bidang BUMN/BUMD di BPK RI - Ilya Avianti. Di akhir acara, saat sesi tanya jawab, Sekretaris Bidang Akademik Maksi Unpad Ilya Avianti mengatakan bahawa ratarata nilai dan tingkat kedisiplinan karyasiswa BPK RI masih layak mendapat penghargaan. “Secara umum, bahwa terlepas dari berbagai masalah yang ada tadi, kelas kerja sama BPK RI adalah yang terbaik, baik dalam hal perolehan nilai IPK maupun disiplin, dibandingkan kelas kerja sama yang lain,” kata Ilya Avianti yang segera disambut tepuk tangan para peserta.
NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
19
19
Rangkaian In House Training Pemeriksaan di Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah 20
“B
agaimanakah perlakuan terhadap SP2D yang sampai akhir periode belum dicairkan? Apakah SP2D tersebut termasuk outstanding check atau “penyeberangan”? Apa sebenarnya yang dimaksud outstanding check dan “penyeberangan” itu? Lalu, bagaimana perlakuannya jika Bendahara baru mencatat Buku Kas Umum hanya sampai November sementara Desember belum dicatat sama sekali, apakah kita tetap langsung tutup kas atau kita beri tengat waktu?” Itulah beberapa pertanyaan yang sempat diajukan peserta dalam acara In House Training Persiapan Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun Anggaran 2008 yang diadakan oleh Sub Bagian SDM Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, di Aula Perwakilan, pada 21-23 Januari 2009. Hadir sebagai pembicara dalam In House Training yang diikuti oleh seluruh auditor di Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, adalah KasubAud Sulteng I, Makmun Fuad, S.E., M.Sc., Ak., KasubAud Sulteng II, Muh. Yasir, S.E., M.M., Ak., Kasie Sulteng IA, Muh. Abidin, S.E., Ak., Kasie Sulteng IIB, I Kadek Suartama, S.E., M.Ak., Ak., dan Staf Seksi Sulteng IIA, Arjuna Sakir, S.E., Ak. Kepala Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah, Dadang Gunawan, dalam sambutan pembukaan mengatakan, In House Training ini selain bertujuan memberi bekal ilmu kepada Auditor yang akan bertugas melakukan Pemeriksaan Pendahuluan atas LKPD Tahun Anggaran 20
2008 dan Pemantauan Kerugian Negara/Daerah, juga untuk mencari permasalahan-permasalahan yang terkadang muncul ketika pemeriksaan serta bagaimana solusi mengatasi masalah tersebut. Acara yang berlangsung selama 3 hari dan dibagi menjadi beberapa sesi tersebut berjalan menarik dan tidak membosankan. Para pembicara secara aktif mengajak peserta untuk berdiskusi, bahkan mengenai hal yang paling mendasar, misalnya definisi outstanding check dan pendapatan yang ditangguhkan. Pembahasan yang sederhana ini justru bisa berkembang dan mampu memancing peserta untuk memberikan argumen meskipun terkadang berbeda pendapat. Karena keterbatasan waktu, beberapa hal yang belum terpecahkan rencananya akan dibahas di forum khusus. In House Training ini merupakan sebuah rangkaian kegiatan. Sebelumnya, pada tanggal 19-20 Januari 2009, Perwakilan Provinsi Sulawesi Tengah juga telah mengadakan In House Training Sistem Manajemen Pemeriksaan (SMP) dan Data Base Entitas. Pembicara dalam sesi ini yaitu Yusuf Efendi Kusuma, S.E., Ak., M. Solikhudin, S.E., dan Ika Yuni Fitriana, S.E. Rony Setyo Kurniawan, S.Sos.
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
RAPAT KERJA BUPATI/WALIKOTA SE-PROVINSI MALUKU
P
ada 13 Januari 2009 bertempat di Gedung DPRD Provinsi Maluku telah dilaksanakan rapat kerja Bupati/Walikota se–Provinsi Maluku dengan tema “Melalui Rapat Kerja Bupati/Walikota Kita Mantapkan Agenda Politik Nasional dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Provinsi Maluku tahun 2009” yang dibuka oleh Sekretaris Jenderal Depdagri atas nama Menteri Dalam Negeri. Peserta Raker tersebut selain Gubernur dan Wakil Gubernur serta pejabat pemerintah Provinsi Maluku juga dihadiri oleh para Bupati/Walikota dan para pejabat pemerintah Kabupaten/Kota se-Provinsi Maluku dan Kepala BPK RI Kantor Perwakilan Provinmsi Maluku diundang untuk menjadi salah satu pembicaranya. Dalam penyampaian materi, Plt. Kalan mengemukakan peran BPK RI dalam mendorong pengelolaan keuangan Negara yang akuntabel dan transparan. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa dalam upaya mendorong perbauikan dan penyempurnaan keuangan Negara, BPK RI akan memberikan penghargaan (award) kepada instansi pemerintah baik pusat maupun daerah yang berprestasi dalam bidang tata kelola keuangan yang baik. Penghargaan ini diharapkan dapat memacu inisiatif pemerintah (daerah) dalam mempercepat perwujudan transpasansi dan akuntabilitas keuangan Negara.
Peringatan HUT BPK RI ke 62 Perwakilan Provinsi Maluku
H
UT BPK RI ke-62 diperingati dengan upacara bendera dan serangkaian kegiatan perlombaan di BPK RI Perwakilan Provinsi Maluku. Upacara bendera, yang bertempat di halaman kantor diikuti dengan khidmat oleh seluruh pegawai PNS, CPNS maupun tenaga kontrak, 12 Januari 2009. Bertindak sebagai Inspektur Upacara adalah Plt Kepala Perwakilan Provinsi Maluku, Andi K Lologau, dan Kasubbag Umum, Aminnulah, bertindak sebagai Komandan Upacara. Amanat inspektur upacara diisi dengan pembacaan pidato dari Ketua BPK RI, Anwar Nasution. Dalam upacara yang didukung dengan cuaca cerah ini juga dilantunkan Mars BPK RI yang dinyanyikan oleh seluruh peserta upacara serta pembacaan singkat sejarah berdirinya BPK RI. Kegiatan selanjutnya dalam rangka memeriahkan HUT BPK RI ini adalah perlombaan yang mempertandingkan beberapa cabang olahraga diantaranya sepakbola, catur, tenis meja dan bulu tangkis. Sistem perlombaan dilakukan dengan cara beregu yang menghadapkan tim Lini (pegawai di unsur teknis) dan tim Staf (pegawai di unsur penunjang pendukung). Rangkaian perlombaan yang dilakukan selama 4 hari bertutut-turut ini akhirnya dimenangkan oleh tim staf dengan skor total 3-1. Diharapkan dengan rangkaian kegiatan ini juga dapat semakin meningkatkan rasa kebersamaan di antara para pegawai di BPK RI kantor perwakilan Provinsi Maluku.
NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
21
21
DIKLAT AUDIT TEKNOLOGI INFORMASI/ SISTEM INFORMASI PADA PERWAKILAN PROVINSI GORONTALO
22
P
erkembangan teknologi informasi (komputasi dan komunikasi) telah mengakibatkan perubahan-perubahan pada sistem akuntansi, sistem pengendalian intern(SPI) dan auditing. Sistem akuntansi makin terpadu dengan terciptanya sistem otomatisasi dalam perhitungan, terkait dengan SPI, saat ini tidak cukup hanya dengan kontrol internal tradisional, bahkan juga tidak cukup dengan adanya general control dan application control, melainkan perlu pengendalian akses, authentification dan security sistem lainnya.
selama tiga hari mulai Selasa – Kamis, 27 – 29 Januari 2009 dengan jumlah peserta 47 orang, terdiri dari 32 orang pegawai Perwakilan Provinsi Gorontalo dan 15 peserta dari perwakilan wilayah timur lainnya.
Instruktur pada diklat ini adalah Pinky Dezar Zulkarnain dan Yusuf Ahmadi dari Biro TI pusat, serta Darmadi Aries Wibowo, Kepala Bidang Anggaran dan Pembinaan Keuangan Daerah pada BKD Pemerintah Provinsi Gorontalo yang membahas mengenai pengenalan konsep database, dilanjutkan dengan membedah pengolahan database yang diambil Saat ini, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota melalui Microsoft SQL server, dan mengolah database di Gorontalo telah menerapkan Sistem Manajemen lebih lanjut dengan menggunakan software audit Keuangan Daerah dengan berbasis teknologi Arbutus Analyzer. Kemudian dengan pengenalan informasi dalam menghasilkan laporan keuangan lebih lanjut pada aplikasi SIMDA Provinsi Gorontalo pemerintah daerah. Aplikasinya menggunakan MS untuk mengetahui pengoperasian, flowchart dan SQL Server sebagai databasenya dengan Bahasa kelemahan SPI pada implementasi pengolahan Pemrograman Delphi sebagai Interfacenya. Untuk data transakasi di lapangan. Pada hari terakhir, para membekali para Auditor BPK RI Perwakilan Provinsi peserta diberikan studi kasus untuk membuat neraca Gorontalo dalam melakukan pemeriksaan maka saldo tandingan terhadap neraca saldo Pemerintah sangat dipandang perlu untuk diadakan Workshop Provinsi Gorontalo TA 2008 untuk kemudian dibuat Audit Teknologi Informasi/Sistem Informasi(TI/SI). jurnal koreksinya. I* Demikian disampaikan Kepala Perwakilan Provinsi Gorontalo, Tri Heriadi, dalam pidatonya ketika . membuka Diklat Audit Teknologi Informasi/ Sistem Informasi (TI/SI) pada 27 Januari 2009 yang lalu. Bekerja sama dengan Pusdiklat BPK-RI, diklat ini diselenggarakan di New Rahmat Hotel Gorontalo 22
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
Workshop Pengayaan Materi Hukum dalam menan- Pembinaan dan Pengarahan Oleh Anggota Pembina gani Masalah Hukum di BPK Utama V BPK RI di BPK RI Kantor Perwakilan Provinsi DKI Jakarta DitamaBinbangkumpadatanggal26s.d.27Januarimengadakan Workshop Pengayaan Materi Hukum Dalam MenanganiMasalahHukumdiBPK.Workshopyangmembahas beberapamateriutamaperihalkonsepsikeuangannegaradan permasalahandalamimplementasinyadihadiriolehseluruh Kasubag Hukum Humas kantor perwakilan BPK.Workshop dilaksanakan di Hotel Papandayan Bandung. Pembukaan workshop dilakukan olehWakil Ketua BPK, Abdullah Zaini, dengan pengarahan oleh Anggota III BPK, Baharuddin Aritonang. Padasesiharipertama,pembicaraadalahKepalaDitama Binbangkum, Hendar Ristriawan, Kepala Direktorat LABH, Koesnindar, dan Kepala Direktorat KHK, Hening Tyastanto.Dilanjutkanpadaharikedua,pembahasanmateri-materi workshop dipandu oleh para Kepala Sub Direktorat di lingkungan Ditama Binbangkum. Acara Workshop Pengayaan Materi Hukum Dalam MenanganiMasalahHukumdiBPKiniselainmembahasmaterimateriutamayangtelahditetapkan,sekaligusdimanfaatkan untuk menyamakan persepsi seluruh unit kerja hukum di BPKdalammenanganiberbagaipersoalansertapermasalahan hukumdibidangpemeriksaankeuangannegara.Antusiasme parapesertabegitutinggidalammenyampaikanberbagaipersoalanhukumyangdihadapidimasing-masingperwakilansehinggadirasaperluolehparakasubbagHukumdanHumasdi Perwakilanagaracarasepertiinidapatdilakukansecararutin padamasa-masamendatang,sehinggadapatterusdilakukan updatinginformasisertasalingtukarpengetahuandiantara unit-unit kerja hukum di BPK.
Peringatan HUT BPK RI ke 62 di Perwakilan Provinsi Jawa Timur Dalam rangka memperingati HUT BPK RI ke-62, BPK RI PerwakilanProvinsiJawaTimurmengadakanserangkaiankegiatanmulaidarijalansehathinggaupacaraperingatan.Rangkaian kegiatan tersebut dimulai pada hari Jumat, 9 Januari 2009denganacarajalansehatmengelilingikomplekskantor dandilanjutkandenganberbagaiperlombaansepertilomba tarik tambang, makan kerupuk, bakiak dan futsal. Pelaksanaan upacara peringatan HUT BPK RI ke 62 dilaksanakan pada hari Senin, 12 Januari 2009 yang diikuti oleh seluruh pegawai BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Timur. Upacara yang dimulai pukul 08.00 ini dipimpin oleh Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi Jawa Timur Drs. Zindar Kar Marbun, M.Si sebagai inspektur upacara. Pada upacara ini, inspektur upacara membacakan Pidato Ketua BPK RI pada Acara UlangTahun Ke 62 Badan Pemeriksa Keuangan RepublikIndonesia.Setelahpelaksanaanselesai,acaradilanjutkandenganacaramakanbersamaKepalaPerwakilan,para Pejabat Struktural dan seluruh pegawai.
NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
Jakarta, 21 Januari 2009, bertempat di BPK RI PerwakilanProvinsiDKIJakartadilangsungkanacaraPembinaandan Pengarahan oleh Anggota Pembina UtamaV BPK RI Hasan Bisri, SE, MM. Acara ini diadakan dalam rangka persiapan pelaksanaanpemeriksaanatasLaporanKeuanganPemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun Anggaran 2008. DalamkesempataniniHasanBisrimengingatkankepada para pegawai BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta mengenai pentingnya nilai Independensi, Profesionalisme dan Integritas untuk dimiliki oleh seorang auditor dalam pelaksanaan pemeriksaan. Selain itu para auditor harus dapat meningkatkankemampuannyamengingattingginyaharapan masyarakat terhadap kinerja BPK RI sebagai satu-satunya lembagapemeriksakeuangandiIndonesia.Padakesempatan inipuladisampaikanbahwaditargetkankepadaBPKRIKantor Perwakilan Provinsi DKI Jakarta untuk dapat menindaklanjutitemuanpemeriksaansecarahukumdengancarapenyampaiankepadalembagapenegakhukumuntukdiproses dalam peradilan.
Pisah Sambut Kepala Perwakilan BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta Jakarta 15 Januari 2009, BPK RI Perwakilan Provinsi DKIJakartamengadakanacaraSerahTerimaJabatanKepala Perwakilandiikutidengan pisahsambut beberapapegawai. Kepala Perwakilan BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta yanglama,IGedeKastawa,SE.MM dimutasimenjadiKepala PerwakilanBPKRIPerwakilanProvinsiBalisetelahmenjabat kuranglebih1tahun3bulan,dansebagaipenggantinyaialah SjafrudinMosii,SE.MMyangsebelumnyamenjabatsebagai Kepala Biro Sumber Daya Manusia. PegawaiyangtelahmemasukimasapurnabaktiyaituDrs. Ary Soetedjo, MM yang terakhir menjabat sebagai Kepala Sekretariat BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta. Ir.MartuamaSaragih,MMyangsebelumnyamenjabatsebagai Kepala Seksi DKI II.B dimutasi ke AKN IV, dan sebagai penggantinyaadalahpegawaiyangmemperolehpromosiIr.Heru Nugraha, MM. Selain itu terdapat pegawai yang masuk ke BPK RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta antara lain Saoma Nugraha, SE, Hadi Sucipto, SE dan sebelas CPNS.
23
23
0
POTRET BPK
24
Ketua BPK Dr. Anwar Nasution berfoto bersama setelah penyerahan Buku BPK memunaikan Amanat Konstitusi kepada para undangan dalam acara peringatan HUT BPK RI ke-62, 12 Januari 2009.
Gubernur Gorontalo Fadel Muhammad mendapat penghargaan BPK RI yang diserahkan oleh Ketua BPK RI, 12 Januari 2009.
Penganugerahan penghargaan BPK RI kepada insitusi pemerintahan 15 Januari 2009.
Ketua BPK RI Prof. Dr. anwar Nasution memberikan sambutan acara the 12th Meeting of the INTOSAI Working Group on Environmental Auditing (WGEA) Doha, Qatar, 25 – 29 January 2009.
Gubernur Bank Indonesia Budiono pada acara pertemuan dengan Wakil Ketua BPK RI 29 Januari 2009.
Anggota BPK RI Hasan Bisri memberikan sambutan pada acara Media Workshop BPK RI mendorong perbaikan tata kelola keuangan negara, 30 Januari 2009.
24
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
Wakil Ketua BPK RI Abdullah Zainie meresmikan peluncuran situs baru BPK RI didampingi oleh Sekretaris Jenderal BPK RI dan Plt Kepala Biro Humas dan Luar Negeri, 2 Februari 2009.
Foto bersama pemenang perhargaan karya jurnalistik dan Wakil Ketua BPK RI dan Sekjen BPK RI, 2 Februari 2009.
Wakil Ketua BPK RI dan Sekjen BPK RI melakukan foto bersama pemenang penghargaan jurnalistik kategori editorial yaitu Koran Tempo, Media Indonesia dan Jurnal Nasional.
Anggota BPK RI Baharudin Aritonang menyayi bersama M. Simanungkalit pada cara HUT BPK RI ke-62.
25
Auditor Utama III, Auditor Utama II dan Inspektur Utama BPK RI sosialisasi Risk Area Pemeriksaan LKPP 2008, 08 Februari 2009
NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
Pertemuan BPK RI dan Gubernur Bank Indonesia, 29 Januari 2009.
25
SIARAN PERS
Peresmian Gedung Kantor BPK RI BPK Tuntaskan Pencapaian Reformasi Birokrasi Oleh: Biro Humas Dan Luar Negeri
26
J
akarta, Rabu (21 Januari 2009) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia terus berupaya meningkatkan kinerja pemeriksaan dan menuntaskan pencapaian mendasar di bidang kelembagaan, proses bisnis, personil, serta sarana dan prasarana. Keempat bidang tersebut menjadi pilar utama Reformasi Birokrasi sekaligus sebagai fondasi yang kokoh bagi BPK RI untuk meningkatkan perannya dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, transparan dan akuntabel. Demikian ditegaskan oleh Ketua BPK, Anwar Nasution, ketika meresmikan Gedung Kantor BPK RI, Rabu (21/1) di Jakarta. Menurut Anwar, amandemen UUD 1945, paket tiga UU di bidang keuangan negara, serta UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK RI, semakin memperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK sebagai satu lembaga yang bebas dan mandiri. Saat ini, BPK berhasil melakukan berbagai pencapaian di bidang pemeriksaan untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas keuanga negara, meningkatkan penerimaan negara, serta menyelamatkan keuangan negara. Hasil pemeriksaan BPK telah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum, pemerintah, juga penegak hukum. 26
Pe n g a k u a n atas prestasi BPK juga ditunjukkan dengan meningkatnya tuntutan, harapan, dan kepercayaan para stakeholders akan peran BPK. Harapan dan kepercayaan tersebut semakin nyata dengan terpilihnya BPK RI sebagai salah satu pilot project reformasi birokrasi pemerintahan Indonesia. ”Anggaran yang diperoleh BPK dari DPR dan Pemerintah pun semakin meningkat. Pada tahun 2004, BPK RI memiliki anggaran Rp329 miliar dan pada tahun 2009, meningkat menjadi Rp1.725 miliar,” tambah Anwar. Peningkatan tersebut juga diikuti dengan penataan organisasi dan penambahan jumlah personil pegawai BPK RI, yang membutuhkan sarana dan prasarana kerja yang baik dan memadai. Dua gedung yang ada di kantor pusat BPK RI sudah tidak mampu menampung jumlah personil serta memenuhi kebutuhan ruang kerja yang memadai, sehingga dibangun gedung kantor baru yang pembangunannya dimulai sejak 8 Oktober 2007 dan selesai pada 6 November 2008. Pembiayaan pembangunan gedung kantor BPK dilaksanakan secara multi years, yaitu dibebankan pada DIPA BPK RI tahun 2007 dan 2008, dengan total biaya Rp39 miliar. Pelaksana pembangunan gedung adalah PT Pembangunan Perumahan (Persero) dan sebagai Konsultan Manajemen Konstruksinya adalah PT. Yodya Karya (Persero). Gedung baru ini terdiri dari 7 lantai dengan total luas bangunan 7.929,3 m2.
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
62 Tahun BPK RI Anwar Nasution: Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara Tak Bisa Ditawar Lagi Oleh: Biro Humas dan Luar negeri BPK RI
J
akarta, Senin (12 Januari 2009) – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, Anwar Nasution, mengingatkan bahwa upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas keuangan negara merupakan harga yang tidak bisa ditawar lagi. “Bila tidak, kita akan jatuh dalam krisis seperti tahun 1997-98 dulu,” ujarnya. Peringatan ini disampaikan Anwar dalam acara peringatan Ulang Tahun BPK ke-62 bertempat di Auditorium Kantor Pusat BPK RI, Jakarta, pada Senin, 12 Januari 2009. Dalam pidatonya itu, Anwar berulangkali menegaskan bahwa cita-cita penegakan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel masih masih memerlukan perjuangan panjang. “Kelemahan sistem akuntansi dan sistem hukum sebagaimana yang terungkap dalam pemeriksaan BPK telah membuat negara kita menjadi salah satu negara terkorup di dunia,” kata Anwar. “Akibat ulah kita sendiri, kehidupan rakyat menjadi sengsara dan Indonesia dianggap the sick man of Asia.” Dalam lima tahun terakhir BPK memang mengungkapkan banyak kasus yang menunjukkan buruknya pengelolaan keuangan negara. Kasus-kasus tersebut antara lain: kasus YPPI dan BI, tersebarnya rekening liar berjumlah puluhan triliun rupiah, penumpukan anggaran di akhir tahun, dana perimbanag pusat dan daerah, pengelolaan minyak dan gas bumi, pengelolaan aset, pengelolaan pertambangan, serta juga kasus Bank Indover. Karena itulah, Anwar mengingatkan agar pemerintah menunjukkan upaya serius untuk memperbaiki pengelolaan keuangan negara. “BPK tidak mau pengalaman pahit di masa lalu terulang kembali,” katanya tegas Perayaan HUT tahun ini memang tidak diniatkan untuk sekadar menjadi seremoni biasa. “Pada ulang tahun yang ke 62 ini BPK RI berupaya meningkatkan pemahaman publik mengenai peran penting BPK-RI dalam mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih dan tata kelola keuangan negara yang baik”, ujar Dwita Pradana, Plt. Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK. Ulang tahun BPK sendiri sebenarnya jatuh pada NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
tanggal 1 Januari. Namun rangkaian kegiatan peringatan ulang tahun tersebut – dengan tema “Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara” -- diselenggarakan melalui beberapa kegiatan. Selain dengan upacara bendera, syukuran secara sederhana, acara kekeluargaan, serta aksi sosial lainnya, ulang tahun BPK tahun ini diperingati dengan berbagai kegiatan yang terkait dengan uapaya mendorong percepatan penegakan pemerintahan bersih dan tata kelola keuangan negara yang baik.Termasuk dalam rangkaian kegiatan tersebut adalah peluncuran buku ”BPK Menunaikan Amanat Konstitusi”, pemberian hadiah bagi karya jurnalistik yang mendorong peran BPK dalam penegakan pemerintahan yang bersih dan transparan, seminar dan diskusi tentang tata kelola keuangan negara yang baik, media workshop tentang BPK, serta peluncuran video profile mengenai BPK. Salah satu kegiatan terpenting dalam rangkaian HUT ini adalah pemberian penghargaan kepada instansi pemerintah pusat dan daerah yang memiliki prestasi di bidang tata kelola keuangan yang baik. Pemberian apresiasi ini akan dilakukan pada 15 Januari 2009. BPK akan memberikan penghargaan untuk dua kategori yaitu: (1) kategori yang telah mencapai pelaporan keuangan dengan opini BPK ”Wajar Tanpa Pengecualian” dan (2) kategori upaya menuju pelaporan keuangan yang baik. Ulang tahun kali ini memiliki makna tersendiri bagi para pimpinan BPK RI periode 2004-2009, karena merupakan tahun terakhir masa bhakti anggota BPK 20042009. ”Saya bahagia bahwa saya bisa mengatakan bahwa capaian BPK selama lima tahun terakhir telah mampu menunjukkan kemandirian dan kebebasan BPK sebagaimana diamanatkan konstitusi,” ujar Anwar. ”Selama lima tahun ini, BPK telah berhasil menyiapkan fondasi dan rancang bagun yang kokoh bagi BPK maka kini dan mendatang untuk semakin meningkatkan peran dan sumbangsihnya dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, baik dan akuntabel,” tambahnya pula.
27
27
RANGKAIAN KEGIATAN HUT BPK RI KE-62 DI BPK RI PERWAKILAN PROVINSI SUMATERA BARAT 28
BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat mengadakan berbagai kegiatan dalam rangka merayakan HUT BPK RI yang ke-62. Seluruh rangkaian acara ini dilaksanakan mulai dari tanggal 18 Desember 2008 sampai dengan tanggal 22 Januari 2009. Rangkaian acara perayaan HUT BPK RI dimulai dengan kegiatan dari Dharma Wanita yang mengadakan acara seminar dengan tema Penyakit Kanker Yang Sering Menyerang Wanita. Menurut Prof. dr. Hj. Salmiah Agus, Sp,P.A yang merupakan Kepala Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas ini, kanker rahim (Cervix Cancer) dan kanker indung telur (Ovarian Cancer) perlu untuk diwaspadai oleh kaum hawa. Seminar ini juga diisi ceramah dari Ketua Dharma Wanita BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat Ibu drg. Trelia Boel Ginting.
28
Rangkaian acara selanjutnya mengambil tema olah raga. Acara dibuka oleh Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi Sumatera Barat, Maulana Ginting, diawali dengan gerak jalan santai yang diikuti oleh seluruh pegawai yang ada di lingkungan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat. Dalam kegiatan ini juga diberikan door prize untuk peserta yang beruntung. Kemudian acara diteruskan dengan pertandingan volley, futsal dan tenis lapangan. Donor darah untuk seluruh pegawai di lingkungan BPK RI Perwakilan Provinsi Sumatera Barat merupakan kegiatan bertema sosial juga dilaksanakan pada perayaan HUT BPK RI kali ini. Kegiatan ini merupakan wujud kepedulian BPK RI sebagai bagian dari masyarakat selain tugas utama BPK sebagai instansi yang menjadi pilar utama dan suri teladan (leading by example) bagi seluruh instansi/lembaga dalam hal tansparansi dan akuntabilitas. Pelaksanaan donor darah ini bekerja sama dengan PMI Kota Padang.
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat Serahkan LHP Pertanggungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkadasung
B
erdasarkan hasil pemeriksaan BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat (Jabar) atas Pertanggungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkada Langsung (Pilkadasung) pada KPUD dan Panwas Provinsi Jabar, di temukan 13 (tiga belas) masalah senilai Rp4,37 miliar. Hal itu disampaikan Kepala Perwakilan (Kalan) BPK RI Perwakilan Provinsi Jabar Gunawan Sidauruk dalam acara “Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pertanggungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkadasung pada KPUD dan Panwas Provinsi Jawa Barat”. Penyerahan LHP oleh Kalan BPK RI Perwakilan Provinsi Jabar kepada Ketua KPUD Provinsi Jabar Ferry Kurnia Rizkiyansyah tersebut dilaksanakan pada hari Jumat, 13 Februari 2009. Acara yang dilaksanakan di Kantor KPUD Provinsi Jabar tersebut diikuti oleh beberapa anggota KPUD Provinsi Jabar dan Sekretaris KPUD Provinsi Jabar. Sedangkan dari BPK RI Perwakilan Provinsi Jabar sendiri, selain Kalan, hadir pula Kasubaud Jabar I Hesti Sunaryono, Kasubaud Jabar II Yuyung Mulya Sungkawa, dan Kasubaud Jabar III Suharto. Di samping itu, turut serta dalam acara tersebut Kasi Jabar I Ali Sadli dan Kasubag Umum BPK RI Perwakilan Provinsi Jawa Barat Drs. Sutisna. Penyerahan LHP kepada DPRD Provinsi Jabar dan KPUD Provinsi Jabar ini dilaksanakan untuk memenuhi amanat UU No. 15 Tahun 2004 yang antara lain menyatakan bahwa “Laporan Hasil Pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPRD sesuai kewenangannya dan juga kepada pejabat yang bertanggung jawab atas pengawasan keuangan tersebut”. Sehari sebelumnya (Kamis, 12 Februari 2009) LHP yang sama juga telah disampaikan kepada DPRD Provinsi Jabar. Dalam pidato sambutannya, Kalan BPK RI Perwakilan Provinsi Jabar menguraikan rincian dari temuan BPK RI senilai Rp4,37 miliar tersebut adalah, indikasi kerugian daerah senilai Rp72,01 juta, kekurangan penerimaan daerah/negara sebesar Rp79,06 juta, pengeluaran yang kurang dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp1,47 miliar, ketidakhematan sebesar Rp 89,81 juta, dan tidak efektif sebesar Rp2,68 miliar. Beberapa dari temuan pemeriksaan dimaksud, antara lain, (1) Menyangkut pengadaan Buku Petunjuk Teknis Kebutuhan Pemilihan Gubernur Jabar TA 2008 yang tidak sesuai dengan kontrak sebesar Rp53,47 juta yang berindikasi kerugian daerah; (2) Pengadaan formulir A-KWK senilai Rp162,25 juta tidak melalui pelelangan umum dan kelebihan pembayaran atas pengadaan perlengkapan tempat pemungutan suara pada KPU Kabupaten Ciamis; (3) Belum dipertanggungjawabkannya penggunaan dana hibah sebesar Rp267,58 juta oleh enam Panwas Kecamatan pada Kota Depok; (4) Belum dipertanggungjawabkannya Dana Panwas Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, sebesar NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
Rp133,79 juta dan di antaranya sebesar Rp20,22 juta digunakan untuk kepentingan pribadi. Kalan juga menerangkan bahwa berdasarkan semua masalah dan temuan tadi, BPK RI telah membuat 17 (tujuh belas) rekomendasi. Merujuk pada pasal 20 UU No. 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, rekomendasi ini wajib ditindaklanjuti oleh pejabat atau pimpinan KPUD selambat-lambatnya 60 hari setelah LHP diterima. “Namanya juga wajib, jadi bila tidak dilaksanakan tentunya akan membuahkan sanksi,” kata Kalan yang segera disambut senyum semua peserta acara. Di akhir pidato sambutannya, Kalan mengharapkan bahwa LHP yang diserahkan oleh BPK RI dapat bermanfaat sebagai pendorong terwujudnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dan daerah. “Sehingga tercapai cita-cita kita semua, yakni pemerintahan yang bersih dan transparan demi kemakmuran rakyat,” tutur Kalan. Pemeriksaan atas Pertanggungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkadasung TA 2008 pada KPUD dan Panwas Provinsi Jawa Barat itu sendiri dilaksanakan pada Semester II TA 2008. Menurut sifatnya, Pemeriksaan atas Pertanggungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkadasung TA 2008 ini termasuk Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Sebelumnya, dalam pidato sambutannya, Ketua KUPD Provinsi Jawa Barat Ferry Kurnia Rizkiyansyah mengungkapkan bahwa kerja KPU sekarang ini seperti ikan dalam akuarium. Semua orang bisa melihat, semua aspek yang ada dalam organisasi dan kinerja institusi mendapat sorotan masyarakat. Ini dapat dijadikan indikasi akan semakin cerdas dan semakin pedulinya masyarakat. Menyikapi animo masyarakat tersebut, Ketua KPU sangat mengharapkan adanya kerja sama yang baik dengan BPK RI. BPK RI diharapkan senantiasa berperan akrif dalam mengawal proses-proses yang ada sehingga semua dapat berjalan secara lebih baik dan akuntabel. “KPUD Provinsi Jabar ingin benar-benar bekerja secara profesional, transparan dan akuntabel. Karenanya KPU ingin agar BPK RI dapat mengawal kerja kami, menunjukkan mekanisme yang benar, serta mengawasi setiap proses yang ada sehingga semua berjalan secara tertata , transparan dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Ketua KPUD. Acara Acara Penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pertanggungjawaban Keuangan Penyelenggaraan Pilkadasung pada KPUD dan Panwas Provinsi Jawa Barat tersebut diakhiri dengan pemberian kenang-kenangan oleh Ketua KPUD Provinsi Jabar kepada Kalan BPK RI Perwakilan Provinsi Jabar.
29
29
OPINI
Pos Penguasa Tunggal Era Lalu,
KEBUTUHKAN MASA KINI 30
Oleh: Nurdin Nainggolan Itjen Departemen Dalam Negeri
S
ebagaimana dimaklumi Pasangan Kepala Daerah adalah pejabat tertinggi di suatu Daerah. Era lalu disebutkan sebagai administrator Pemerintahan, Pembangunan dan kemasyarakatan. Namun di era reformasi, segala sesuatu yang berbau era Orde Baru perlu digusur. Padahal rezim Orde Baru adalah perpanjangan tangan rezim sebelumnya. Begitu juga kita harus menerima rezim reformasi, adalah lanjutan episode rezim Orde Baru itu. Sudah menjadi penyakit anak negeri ini, mengalergikan segala sesuatu yang bernuansa dan beraroma lama. Tanpa mempertimbangkan sesuatu 30
yang lama itu adalah bagian yang tidak terpisahkan dari yang baru. Bukankah sistem yang baru, tidak serta merta mesti melindas sistem yang lama ?. Di dalam APBD di masa lalu, disediakan pos anggaran untuk Kepala Daerah Namanya Pos 2.2.1: Pos Penguasa Tunggal. Di dalam pos ini disediakan kredit anggaran untuk keperluan Kepala Daerah, yang tidak tertampung dalam Pos-pos anggaran satuan Perangkat Daerah lainnya. Mata anggaran ini dapat digunakan oleh Kepala Daerah dalam menunjang tugas dan fungsinya sebagai orang Nomor satu di Daerah itu. Contoh penggunaan mata anggaran tersebut misal digunakan untuk menjamu para anggota Muspida, dalam kerangka membangun kerja sama di antara mereka di NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
Daerah itu. Mata anggaran ini boleh juga digunakan oleh Kepala Daerah untuk membantu Lembaga dan Organisasi Sosial yang menurut KDH perlu dilakukan. Boleh juga misalnya dari dana itu digunakan oleh sang KDH untuk membantu seorang mantan Kepala Daerah, atau pejabat senior di Daerah itu, yang mungkin berobat lanjut ke kota lain di hari tuanya. Boleh juga digunakan oleh Kepala Daerah, untuk membantu dan memberi dana stimulan untuk Pembangunan Rumah Ibadah. Juga boleh diberikan oleh pak Bupati kepada Panglima atau Kapolda sesuatu yang bernilai dari dana itu, seperti souvenir untuk kenang-kenangan. Memberian itu boleh jadi berasal dari rekomendasi dan pertimbangan Komandan Kodim atau Kapolres, yang menjadi mitra setia KDH. Dalam menjaga keamanan dan ketentranan Daerah itu, pada saat Pejabat tingkat Propinsi itu melakukan kunjungan kerja di Daerah itu. Lebih gamblangnya lagi, dari dana itu boleh digunakan untuk menjamu makan bersama, sejumlah petinggi dari Jakarta yang berkunjung ke Daerah. Bahkan dimungkinkan dana Penguasa Tunggal itu diberikan untuk bantuan tiket untuk rekan-rekan wartawan lokal. Mereka yang tergabung dalam PWI. Pada saat mengikuti Musyawarah Regional di Ibukota Propinsi dan Nasional di Jakarta atau kota lain. Begitu juga disisihkan sejumlah jutaan rupiah untuk membantu organisasi masyarakat lainnya seperti PMI, Organisasi Pensiunan Guru dan Pramuka. Apakah tidak pantas seorang Gubernur dalam kapasitas selaku orang tua dan pemimpin, memberi tambahan uang saku dari kewenangannya untuk para teladan yang terpilih ikut merayakan 17 Agustus di Istana Negara Jakarta. Pokoknya sangat luwes penggunaan dana itu. Lalu pertanggungjawaban itu tidak perlu diutak atik oleh aparat pengawasan ketika itu. Yang terpenting dana itu digunakan oleh Kepala Daerah dalam rangka menunjang tugas dan fungsinya sebagai orang nomor satu di teritorinya. Namun sejalan dengan era reformasi dan transparansi dewasa ini, keran itu ditutup dan dilarang sesuai dengan era serba terbuka ini. Pertanyaannya apakah era reformasi sudah meninggalkan tuntutan kebutuhan seperti itu, khususnya bagi Kepala Daerah masa kini. Itulah yang menjadi pertanyaan kita dewasa ini. Apakah di era kini seorang rakyat, tidak bisa lagi meminta bantuan langsung dari tangan Pimpinan Daerahnya. Apakah tidak pantas kalau seorang mantan Pendidik yang tua renta dibantu oleh Kepala Daerah masa kini. Masih bolehkah Bupati memberi dan membantu sejumlah uang kepada Tokoh Masyarakat seperti mantan Ketua MUI dimasa lalu, untuk NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
berobat lanjut ke kota lain. Semua pertanyaan ini menurut saya masih relevan dengan posisi dan kondisi masyarakat kita masa kini. Boleh juga pertanyaannya dirubah, apakah otomatis masyarakat di Daerah tidak boleh lagi minta dikasihani oleh Kepala Daerah masa kini. Apakah budaya tolong menolong sudah diharamkan di era transparansi ini. Lebih ekstrim lagi apakah era kini, sudah otomatis membuat masyarakat kita jadi kaya raya, sehingga tidak perlu dibantu oleh Kepala Daerah dalam tugasnya selaku adminstrator kemasyarakatan. Bukankah menjadi pertanyaan kita, mencari kehidupan masa lalu, justru lebih mudah dari masa kini. Bukankah angka statistik menunjukkan prosentasi masyarakat miskin kini lebih tinggi, dibandingkan era Orba 32 tahun itu. Tentu semua pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab oleh sistem ketatanegaraan kita. Seorang mantan Bupati era lalu mengatakan ke saya begini, apakah sistem pemilihan langsung KDH atau sistem perwakilan, atau Kepala Daerah berasal dari Partai atau independen. Dapat dipastikan bahwa segala pertanyaan yang berhubungan dengan sistem ketatanegaraan kita akan bertemu dengan persoalan2 kemasyarakatan, seperti yang kami alami era lalu. Cobalah anda tanyakan pasangan Gubernur, Bupati dan Walikota yang lagi berkuasa kini. Apakah dana Operasional seperti yang kami peroleh di masa lalu tidak mereka butuhkan lagi masa kini, di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya mengayomi rakyatnya. Jawabnya tentu Kepala Daerah sekaranglah yang harus menjawab dari hati nuraninya. Bukankah bagian dari Dana Penguasa tunggal itu, diwujudnyatakan sebagai bagian pemenuhan janji2 kampanye, sebelum naik tahta. Pertanyaan besarnya, siapa yang pantas menjawabnya ? Menurut saya bukan pengamat, bukan juga akademisi, apalagi oposan dan para Tukang Demo bayaran dan amatiran yang suka menghujat itu. Tentu para Kepala Daerah sekaranglah yang menjawabnya. Terlepas pasangan itu berasal dari Partainya yang dikatakan paling bersih sekali pun, pastilah dia akan menghadapi dinamika masyarakat yang sama. Mungkin hanya modus operandinya saja yang berbeda, tetapi hakekatnya sama saja. Mereka itu adalah pasangan Gubernur, Pasangan Bupati dan pasangan Walikota yang saat ini sedang bertahta. Sukses untuk anda. (Nurdin. Nainggolan)
31
31
MANAJEMEN
MENINGKATKAN PROFESIONALISME MELALUI PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh: La Ode Abadi Rere 32
P
aradigma di era reformasi banyak tertuju pada kata profesionalisme. Hal ini mengandung makna bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari negaranegara lain maka dituntut setiap orang untuk menjadi seorang yang profesional. Tuntutan untuk menjadi seorang profesional, menurut pakar hukum Satjipto Rahardjo biasanya apabila kita bicara tentang profesionalisme, kita hanya menyinggung aspeknya yang lebih bersifat teknis. Memang profesionalisme menurutnya mengandung banyak muatan teknis, keahlian khusus, keterampilan dan seterusnya. Tetapi, profesionalisme seperti itu hanya akan menjadi alat yang mati apabila tidak disertai atau dilengkapi dengan dimensi yang bersifat moral. Lebih lanjut menurut pakar hukum tersebut, yang dimaksud moral di sini adalah rasa empati, kepedulian, komitmen, dedikasi, tekad dan keberanian dalam menangani suatu masalah. Untuk mencapai hal tersebut tidak dapat diukur melalui pendekatan akademik. Rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kecerdasan intelektual menghasilkan ilmu pengetahuan melalui pendidikan umum dan dapat diukur melalui kecerdasan akademik dan hasilnya pun mampu membuat rencana dan aturan yang baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi tidak otomatis mampu membangun sikap dan perilaku yang konsisten dan disiplin dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan intelektual, piawai dalam hal membangun konsep dan teori, tetapi kurang memiliki energizer yang berfungsi sebagai kekuatan pembangkit sikap dari perilaku manusia. Pendekatan yang digunakan seorang profesional biasanya lebih banyak menggunakan kecerdasan intelektual yang bersumber dari dunia pendidikan, seperti Perguruan Tinggi baik dalam negeri maupun luar negeri dengan predikat akademik yang mempunyai kemampuan membuat rencana, aturan yang baik, hanya saja sering tidak konsisten dan tidak disiplin dan kelemahan seperti ini bersifat indifidual dan tidak merata, tetapi karena sudah berjalan cukup lama, sehingga berkembang dalam bentuk yang lebih memprihatinkan serta cenderung membudaya yang merasuki kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika kita kembali menengok ke belakang di era kepemimpinan Soeharto orientasi pembangunan fisik hasil tangan-tangan profesional yang bersifat teknis mejadi andalan. Hamid Awaludin mantan Menteri Kehakiman dan HAM mengatakan, bahwa kebijakan Soeharto untuk mengukur suatu keberhasilan harus dilihat dari angka kuantitas. Paradigma hidup pun serta merta mengalami perubahan mendasar, pola hidup hedomistik seakan menjadi keharusan. Tiap orang terasa baru sah sebagai warga Negara jika dalam 32
kehidupannya terdapat sederatan kepemilikan yang secara kuantitas terbilang besar. Harga diri tiap orang lebih banyak diukur dari apa yang dipunyai, sehingga status sosial seorang tampak sekali ditakar dengan standar apa yang dimilikinya. Ini adalah konsekuensi logis dari orientasi pembangunan yang mengandalkan standar kesuksesan dengan takaran jumlah, misalnya berapa gedung yang berhasil dibangun, berapa kilometer jalan yang dibangun. Jika demikian ukurannya maka tidak mengherankan di era kepemimpinan Soeharto saya kira kita mengakui bahwa keberhasilan pembangunan di bidang fisik cukup menonjol, dimana gedung-gedung perkantoran bertingkat berdiri disetiap jalan protokol, pembangunan gedung-gedung persekolahan, tempat peribadatan dan lain-lainnya termasuk keberhasilan di dunia pendidikan begitu banyaknya orang yang memiliki gelar kesarjanaan mulai dari S1, S2 dan S3, namun kesemuanya ini belum menjamin keberhasilan pembangunan manusia seutuhnya. Semenjak negara kita ditimpa musibah berupa krisis moneter pada tahun 1977 nampaknya sampai dengan sekarang belum dapat bangkit, dan menurut penelitian para pakar ada tanda-tanda akan terjadi krisis moneter babak kedua. Tentu hal ini akan terjadi jika para pengambil kebijakan salah memutuskan, khususnya di bidang Sumber Daya Manusia (SDM) dengan menempatkan orang pada posisi-posisi yang vital hanya menggunakan pendekatan kecerdasan intelektual semata, tanpa diimbangi dengan kecerdasan lainnya. Jika melihat kondisi yang terjadi sekarang, dimana dengan terungkapnya satu demi satu kasus-kasus korupsi yang dilakukan para Pejabat Pemerintahan, baik itu Pejabat NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
daerah maupun Pejabat pusat, seperti kasus aliran dana BI yang melibatkan para Pejabat Negara, kasus beberapa Kepala Daerah dan Anggota DPRD yang menyalahgunakan APBD, menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan untuk menjalankan tugas yang dibebankan oleh Negara nampaknya belum cukup hanya mendapat dukungan dari kecerdasan intelektual, mengingat kecerdasan ini tidak mengajarkan kepada manusia tentang integritas, kejujuran, ketahanan mental, keadilan dan prinsip kepercayaan. Lain dengan kecerdasan emosi yang mengajarkan tentang hal tersebut di atas. Menurut Golmen seorang pakar di bidang psikologi dalam bukunya Emotional Intelligence dikutip Ary Ginanjar Agustian di samping manusia memiliki kecerdasan intelektual juga memiliki kecerdasan emosional yaitu kemampuan mengelola, mengendalikan, menetralisir potensi emosi dalam hati manusia sehingga sisi positifnya selalu berada dipermukaan dan sisi negatipnya selalu terkendali dan dinetralisir. Dan kehebatan kecerdasan emosi menurut Golmen disimpulkan bahwa untuk mencapai sukses dibidang bisnis dan kepemimpinan, kontribusi kecerdasan emosi (EQ) mencapai 80% sedangkan kontribusi kecerdasan intelektual (IQ) maksimum hanya 20%. Untuk membangun kecerdasan emosi yang ideal, dibutuhkan kecerdasan spiritual yang dapat menghadirkan energi ilahiyah dalam hati manusia agar kekuatan emosi yang ada dalam hati manusia dapat bersenyewa dengan nilai-nilai spiritual sehingga mampu melahirkan kekuatan moral yang bersumber dari suara hati nurani. Kecerdasan spiritual diungkapkan oleh pakar Neuropsyhology yaitu Danah Zohar dan Iian Marshal pasangan suami istri, dalam bukunya berjudul “Spritual Quotient” (SQ), mengacu pada hasil penelitian Michael Persinger dan VS Ramchandran dikutip Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ yang menjelaskan, bahwa dalam otak manusia terdapat sebuah area yang selalu bersinar apabila merenungkan atau mendiskusikan hal-hal yang bersifat spiritual yang terletak disekitar lobus temporal otak. Kecerdasan spiritual sangat dibutuhkan dalam kehidupan manusia, karena manusia adalah makhluk spiritual di samping makhluk biologis. Secara spiritual manusia mengemban tanggung jawab moral yang cukup besar dalam mengelola seluruh sisi kehidupan antara lain: tanggung jawab sebagai hamba Allah, tanggung jawab sebagai makhluk sosial, tanggung jawab sebagai individu, tanggung jawab sebagai warga Negara, dan tanggung jawab pada ekosistem Dalam UUD Tahun 1945 dengan jelas mengamanatkan bahwa, Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan amanat dimaksud di atas, DPR bersama-sama Pemerintah telah mensahkan Undang-undang Republik Indonensia No.20 Tahun 2003 tentang SisNO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
tem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dengan tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,kreatif,mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, nampak dengan jelas bahwa iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia/budi pekerti luhur sangat diutamakan dalam tujuan pendidikan nasional. Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan akhlak mulia/budi pekerti luhur berbentuk sikap dan perilaku seseorang yang didorong oleh energi positip yang bersumber dari emosional spiritual quotient dalam upaya membangun hubungan vertical dengan Tuhan Yang Maha Esa dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (Interaksi Sosial). Namun yang disayangkan adalah dunia pendidikan yang ada di Republik yang tercinta ini dimana kurikulumnya lebih fokus pada pengembangan kualitas/kecerdasan intelektual sementara kecerdasan emosi dan spiritual masih kurang disentuh dan bahkan hampir tidak tersentuh sama sekali, akibatnya pertumbuhan iman dan taqwa dan akhlak yang mulia menjadi sangat kerdil yang berdampak pada rendahnya moral bangsa dimata dunia. Langkah yang perlu dilakukan Pemerintah dalam upaya meningkatkan profesionalisme aparat pemerintahan yang dilandasi moral idealnya dimulai pembenahan dilingkungan unit kerja yang membidangi SDM dan Pusat Pendidikan Pelatihan (Pusdiklat) yang ada di setiap Instansi Pemerintah mengingat penempatan SDM dan kurikulum pendidikan nasional dewasa ini, lebih fokus pada pengembangan kualitas/kecerdasan intelektual. Melalui unit kerja SDM/Pusdiklat perlu memperhatikan yang terkait dengan budaya kerja para aparat birokrasi, sehingga tercipta jiwa pengabdian terhadap kepentingan bangsa dan negara. Hal ini sesuai dengan arahan Presiden Republik Indonesia dalam Pidato kenegaraan di depan rapat paripurna DPR tanggal 16 Agustus 2006, menegaskan bahwa reformasi birokrasi dilakukan secara menyeluruh, yakni meliputi kelembagaan, manajemen, organisasi dan SDM. Dalam konteks SDM menurut Presiden fokus perhatian jangan hanya menyoal kualitas, akan tetapi yang juga sangat penting adalah “budaya kerja” para aparat birokrasi itu sendiri. Buruknya citra birokrasi dimata publik selama ini sesungguhnya lebih banyak diakibatkan persolan tersebut. Lebih lanjut menurut Presiden, salah satu hal yang paling banyak mendapat sorotan publik sejak orde baru hingga kini adalah budaya kerja tadi yang memengaruhi kualitas pelayanan kepada publik. Persoalan seperti kerja yang tidak mengikuti aturan dan sistem, kerja yang lamban, berbelitbelit, tertutup dan terutama adanya pungutan atau biaya siluman, seolah sudah sedemikian melekat dengan dunia birokrasi kita. Mengenai hal di atas sudah pernah diperingatkan oleh Kwiek Kian Gie, bahwa indikasi kegagalan reformasi bi33
33
34
rokrasi tercermin dari masih tinggingya penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk merebaknya tindak pidana korupsi,kolusi dan nepotisme (KKN). Sinyalemen dari Kwiek tersebut jika dikaitkan dengan peningkatan SDM dilingkungan PNS sebenarnya tidak perlu terjadi karena dalam Undang-undang tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang mengatur tentang SDM dilingkungan pemerintah dan aturan pelaksanaannya sudah cukup banyak mengatur mengenai yang terkait dengan profesional, jujur, adil, tertib, cermat dan bersemangat untuk kepentingan Negara. Namun kelihatannya semangat/jiwa yang dimiliki ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU kepegawaian belum dapat membawa hasil yang diharapkan sampai sekarang dan hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual atau kecerdasan akademik belum dapat menciptakan SDM yang benar-benar berprestasi secara nyata dapat memperbaiki sistem pengelolaan kelembagaan, manajemen dan orgaisasi/SDM dilingkungan pemerintahan. Demikian pula peranan Diklat yang berada di setiap instansi belum dapat memperbaiki citra aparatur yang bersih dari KKN Hal ini bisa terjadi karena pada umumnya kebijakan yang diambil sering tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan juga lebih terfokus pada penggunaan hukum yang berlandaskan sistem hukum di Indonesia yang masih berpegang pada aliran positivisme dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistis yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka. Padahal menurut Achmad Ali dalam bukunya keterpurukan hukum di Indonesia menjelaskan bahwa orang-orang Amerika yang berpikir sekuler saja, kini telah berteriak: “ kembalikan hukum ke akar moralitas, kultural, dan religiusnya. Orang-orang Amerika yang berpikir “the critical legal studies movement”, mengecam formalisme dan prosedural yang ditonjolkan selama ini dalam law enforcement. Lebih lanjut menurutnya, orang Amerika sekarang sedang berjuang agar hukum dapat dikembalikan pada akar moralitasnya, akar kulturalnya, dan akar religiusnya. Sebab, hanya itu cocok dengan nilai-nilai intrinsic yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum yang ada tidak sesuai dengan nilai-nilai intrinsic warga masyarakat, maka ketaatan hukum yang muncul hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut sanksi) dan bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar menganggap aturan hukum itu cocok dengan nilai intrinsic yang dianutnya). Untuk mewujudkan seperti apa yang dikehendaki Presiden Republik Indonesia dan orang-orang Amerika tersebut, bagi rakyat Indonesia sebenarnya bukan suatu hal yang harus dipersoalkan mengingat landasan hukum Negara kita sudah mencerminkan hukum kita pada agama dan moral, yakni sebagaimana yang terdapat pada setiap Undangundang wajib hukumnya didahului dengan penyebutan “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa“ Presiden dengan persetujuan DPR memutuskan, menetapkan UU. Penyebutan dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap UU jangan dimaknai hanya merupakan persyaratan formal, 34
namun kandungannya mewajibakan kepada pembentukan UU, Pelaksana UU dan pengguna UU untuk menggunakan UU dimaksud dengan pendekatan mata hati sebagai radar agar tercipta rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatannya atas kehadiran UU dimaksud dan hal ini hanya terdapat dalam dunia kecerdasan spiritual. Mata hati sebagai radar atau pengendali terhadap tantangan yang terdapat dalam diri manusia, yaitu tantangan yang bersumber dari gaya-gaya atau tabiat yang dimiliki manusia karena pengaruh setan dan gaya-gaya atau tabiat yang dimiliki manusia karena pengaruh yang bersumber dari Illahi yang merupakan fitrah. Kedua gaya atau tabiat tersebut selalu bergejola sepanjang kehidupan manusia, dan pada saat-saat kita manusia menghadapi suatu persoalan atau pada saat untuk memutuskan sesuatu jalannya pikiran yang timbul sehubungan dengan tuntutan dalam lingkungan kehidupan, tanpa disadari bahwa keputusan yang diambil sebenanrnya sangat dipengaruhi oleh kedua gaya atau tabiat dimaksud, sehingga tidak mengherankan bila pengaruh dari gaya atau tabiat yang bersumber dari setan lebih mendominasi dalam pengambilan keputusan maka dapat dipastikan hasilnya merugikan diri sendiri atau orang lain, atau dengan kata lain tidak sesuai dengan tuntutan moral, agama dan ketentuan pemerintah. Sebaliknya jika pengambilan keputusan didasarkan atas pengaruh dari gaya atau tabiat yang dimilki manusia karena pengaruh Illahi (fitrah) maka dipastikan hasilnya membawa pengaruh pada tatanam kehidupan yang dicita-citakan bangsa indonesia yaitu kemakmuran, kesejahteraan dalam keadilan. Permasalahanya adalah kapan diketahui adanya pengaruh dari kedua gaya atau tabiat dimaksud terhadap kondisi diri pribadi manusia. Mata hati merupakan radar atau pengendali dalam setiap kita melakukan aktivitas dan hal ini dapat dirasakan manakala kita dalam keadaan mawas diri atau intropeksi diri terhadap suatu peristiwa atau tindakan yang terjadi pada diri kita sendiri, karena dalam diri selalu dipengaruhi oleh dua gaya atau tabiat dimaksud yang bergerak secara terus menerus sepanjang dalam kehidupan manusia dan kedua kekuatan ini sangat mempengaruhi aktivitas kehidupan manusia dimuka bumi ini, sehingga apa yang kita lihat semua kejadian baik yang membawa manfaat buat umat manusia atau yang mengakibatkan kesengsaraan umat manusia dimuka bumi ini tidak lain karena pengaruh dari gesekan dua kekuatan di atas. Jika pada saat tertentu kita dihadapkan suatu dilema kehidupan yaitu pemenuhan tuntutan kebutuhan materi untuk memperkaya keluarga disatu pihak, namun dipihak lain cara pemenuhan kebutuhan dimaksud bertentangan dengan ketentuan alam maupun ketentuan sosial, maka dalam kondisi yang demikian akan terjadi peperangan dalam diri kita antara jiwa yang dipengaruhi oleh sifat/gaya/ tabiat yang dipengaruhi setan dan sifat/gaya/tabiat asli yang fitrah bersumber dari Allah. Dan peperangan yang terjadi dalam diri manusia dimaksud lebih banyak manusia tidak menyadari akan kejadiannya, dan tidak heran keputusan yang diambil lebih dominan untuk berbuat atas pengaruh NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
dari gaya yang bersumber dari setan, sehingga tindakan untuk memperkaya keluarga dengan melanggar aturan tidak dapat dielakan. Menghadapi kondisi yang demikian bagi umat manusia, khususnya umat yang beragama Islam patut selalu dituntut untuk kembali kepada enam prinsip yang terdapat dalam Rukun Iman dan lima penetapan misi yang terdapat Rukun Islam sebagaimana dijelaskan Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya yang sangat terkenal (best seller) dengan judul Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual berdasarkan Rukun Iman dan Rukun Islam. Adapun Rukun Iman mengandung 6 prinsip yaitu pertama Iman kepada Allah mengandung prinsip melahirkan kepercayaan diri, integritas, kebijaksanaan dan motivasi, kedua Iman kepada Malaikat mengandung prinsip bahwa seseorang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi, suka menolong dan memiliki sikap, ketiga Iman kepada Nabi dan Rasul mengandung prinsip kepemimpinan sejati berlandaskan hati yang fitrah, yaitu seorang yang selalu mencintai dan memberi perhatian kepada orang lain, sehingga ia dicintai. Memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten serta selalu membimbing dan mengajari pengikutnya, keempat Iman kepada Alquran mengandung prinsip pembelajaran, yaitu memiliki kebiasaan membaca buku, membaca situasi dengan cermat, selalu berfikir kritis dan mendalam, selalu mengevaluasi pemikirannya kembali, bersikap terbuka untuk mengadakan penyempurnaan, memiliki pedoman yang kuat dalam belajar, yaitu berpegang hanya kepada Allah SWT, kelima Iman kepada Hari Kemudian mengandung prinsip masa depan, yaitu selalu berorientasi pada tujuan akhir dalam setiap langkah yang dibuat, melakukan setiap langkah secara optimal dan sungguh-sungguh, memiliki kendali diri dan sosial, karena telah memiliki kesadaran akan adanya ”Hari Pembalasan”, keenam Iman kepada ketentuan Allah mengandung prinsip keteraturan, yaitu memiliki kesadaran, ketenangan dan keyakinan dalam berusaha, karena pengetahuan akan kepastian hukum alam dan hukum sosial, selalu berorientasi pada pembentukan sistem dan selalu berupaya menjaga sistem yang telah terbentuk. Dan selanjutnya dalam Rukun Islam mempunyai 5 (misi) yaitu pertama misi Syahadat akan membangun suatu keyakinan dalam berusaha, akan menciptakan suatu daya dorong dalam upaya mencapai suatu tujuan, akan membangkitkan keberanian dan optimisme, sekaligus menciptakan ketenangan batiniah dan menjalankan misi hidup, kedua misi Shalat merupakan pembangunan karakter, yaitu suatu metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar tetap memiliki cara berfikir yang fitrah, sebagai metode yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spritual secara terus menerus, untuk terus mengasah dan mempertajam ESQ yang diperoleh dari Rukun Iman, ketiga misi Puasa merupakan pengedalian diri, yaitu suatu metode pelatihan untuk pengendalian diri, untuk meraih kemerdekaan sejati, dan pembebasan diri dari belengu nafsu yang tak terkendali. Disamping itu puasa bertujuan untuk mengendalikan NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
suasana hati, keempat misi Zakat adalah langkah nyata membangun suatu landasan yang kokoh guna membangun sebuah sinergi yang kuat, yaitu berlandaskan sikap empati, kepercayaan, sikap koperatif, keterbukaan dan kredibilitas, kelima misi Haji merupakan aplikasi total, yaitu suatu transformasi prinsip dan langkah secara total (Thawaf ) konsisten dan presistensi perjuangan (Sa i), evaluasi dari prinsip dan langkah yang telah dibuat, dan visualisasi masa depan melalui prinsip berfikir dan cara melangkah yang fitra (Wukuf ), dan haji adalah persiapan fisik serta mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan (lontar jumrah) Keenam prinsip yang terdapat dalam Rukun Iman dan lima misi yang terdapat dalam Rukun Islam pada prinsipnya sangat didambahkan bagi umat manusia dimuka bumi ini, tentu tidak diperoleh melalui pendekatan kecerdasan Intelektual, akan tetapi hanya terdapat melalui pendekatan kecerdasan emosional dan spritual. Namun kecerdasan spritual dapat berfungsi optimal bila bersenyawa dengan seluruh jenis kecerdasan yaitu: Kecerdasan Intelektual(IQ), Kecerdasan Emosi (EQ) dan menurut pendapat sebagian Pakar, di sinilah letak kebenaran slogan yang berbunyi ” Ilmu tanpa Iman Lumpuh dan Iman tanpa Ilmu Buta”. Selama ini penilaian kita terhadap SDM hanya dipusatkan pada kecerdasan intelektual atau kecerdasan akademik, tetapi fakta telah membuktikan sebagaimana tersebut di atas, bahwa kecerdasan intelektual atau kecerdasan akademik belum menjamin keberhasilan pembangunan manusia seutuhnya Sehubungan dengan uraian di atas, maka dibutuhkan sebuah model pengembangan kualitas SDM yang profesional yang memadukan seluruh jenis kecerdasan yang ada pada diri manusia. Pengembangan seluruh potensi kecerdasan tersebut diharapkan dapat menghasilkan SDM yang profesioanal dan insyaallah menjadi panutan di masyarakat untuk membangun tatanan sosial yang aman dan sejahtera yang diridhai Allah SWT Masalahnya selama ini menurut Kadir Gani, Direktur SDM pada Badan Kerja Sama Pembangunan Regional Sulawesi (BKPRS) , dakwah Islam seringkali lebih bersifat ritual oriented dan cenderung mengabaikan spritual oriented karena kebanyakan penceramah kurang mampu mendalami dimensi spritual dan hal ini mengakibatkan kedangkalan spritual dalam kehidupan beragama Selanjutnya menurut Kadir Gani, bahwa kelemahan ini harus segera diatasi dengan jalan memancarkan nilai-nilai spritual dalam wahana ritualitas dan spritualitas menjadi sebuah sinergi yang islami. Sehubungan dengan itu, perlu diupayakan untuk membangun jiwa profesional yang bersumber dari kecerdasan emosi dan spritual melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga keagamaan karena kecerdasan emosi dan spritual merupakan ruh dari pada ritualitas keagamaan. Sinergi antara spritualitas dan ritualitas bagaikan perpaduan jiwa dan raga manusia yang harus dipelihara terus menerus dalam upaya menggapai ridha Allah SWT.I*
35
35
Peluncuran Website BPK dan Pemberian Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 36
”BPK Tegakkan Pemerintahan yang Bersih dan Transparan” Website BPK yang baru tampil dengan layanan navigasi yang lebih mudah dan lebih lengkap untuk diakses oleh publik. Website dapat diakses pada alamat www.bpk.go.id. ”BPK telah beberapa tahun ini memiliki dan mengelola website yang digunakan untuk menyajikan semua informasi kegiatan dan hasil pemeriksaan BPK secara transparan. Diharapkan, informasi yang telah disajikan dalam website dapat diketahui masyarakat dan stakeholders secara cepat dan akurat,” ujar Wakil Ketua BPK, Abdullah Zainie. Website edisi baru ini menyajikan berbagai data dan informasi yang lebih mudah diakses oleh berbagai pihak dan pengguna. Komentar, kritik, saran maupun pengaduan dimungkinkan oleh fitur yang ada dalam website ini. Data dan informasi yang dapat diakses antara lain struktur organisasi, Kantor Perwakilan, Kasus Aktual, Siaran Pers, Produk Hukum BPK, Pengumuman, hasil peer review, berita-berita kegiatan yang diselenggarakan oleh BPK serta capaian yang diperoleh dari berbagai kegiatan tersebut dan lain sebagainya. Jakarta, Senin (2 Februari 2009) – Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia meluncurkan tampilan website BPK yang baru dan memberikan penghargaan bagi karya jurnalistik para jurnalis media cetak. Dua kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan untuk memperingati usia BPK RI yang ke-62. Rangkaian ini telah dimulai dengan upacara dan syukuran secara sederhana, pemberian penghargaan kepada institusi pemerintah pusat dan daerah atas prestasi tata kelola keuangan negara, peluncuran buku ”BPK Menunaikan Amanat Konstitusi”, dilanjutkan dengan acara kekeluargaan, seminar dan diskusi tentang tata kelola keuangan negara yang baik, serta media workshop Reformasi Birokrasi pada Januari lalu. Peringatan 62 tahun BPK dimanfaatkan sebagai momentum untuk meningkatkan upaya bersama untuk terus mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Peluncuran tampilan website baru BPK dan penghargaan bagi karya jurnalistik menjadi bagian dalam peran BPK dalam mendorong terciptanya pemerintahan yang bersih dan transparan.
36
Peluncuran website dilanjutkan dengan pengumuman pemenang penghargaan karya jurnalistik BPK. Lomba yang mulai diumumkan pada akhir November 2008 melalui website BPK RI ini terdiri atas dua ketagori, yaitu kategori editorial dan kategori pemberitaan. BPK RI menerima 141 karya jurnalistik dari jurnalis media cetak. Tulisan yang dilombakan adalah karya jurnalistik mengenai BPK dalam kurun waktu 1 Januari s.d. 15 Desember 2008. Bertindak sebagai dewan juri adalah Ade Armando (Satu Comm), Farid Gaban (Yayasan Pena Indonesia/Jurnalis), dan B. Dwita Pradana (BPK RI). Setelah melalui proses penilaian, maka diputuskan pemenang penghargaan dari kategori editorial adalah: Juara I, Koran Tempo dengan judul artikel Repotnya mengaudit Mahkamah Agung (28 April 2008); Juara II, Media Indonesia dengan judul artikel Mengikis Ruang Gelap Keuangan Negara (7 Juli 2008); Juara III, Jurnal Nasional dengan judul artikel Bersama Membenahi Kualitas Laporan keuangan Sedangkan pemenang pengghargaan dari kategori pemberitaan adalah: Juara I, Suhartono dari Harian KOMPAS (Biaya Perkara: Pangkal “Perang” BPK Vs MA). Juara II, NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
Rahmat Wibisono dari Harian SOLO POS (Menyoroti LHP BPK 2008 (Bagian I-III)). Juara III, Nasrul Azwar dari Tabloid METRO-Bangka Belitung (Laporan Tabloid METRO Bangka Belitung Edisi XXXII/Tahun I/Minggu I/Mei 2008: Temuan BPK tentang Posisi Aset Bangka Tengah). Juara Harapan I, Jaini dari RADAR SURABAYA (BPK, Kekuatan Baru Penegakan Hukum di Indonesia). Juara Harapan II, Prayogo P. Harto dari HARIAN EKONOMI NERACA (Rehabilitasi BPK (Semoga) Bukan Basa Basi). Juara Harapan III, Deddy Rachmawan dari Jambi Independen (SukaDuka Auditor BPK ketika Menjalankan Tugas: Sering Digerutui Pegawai Pemda Ketika Minta Data). KRITERIA PENILAIAN Komponen-komponen tulisan yang dinilai: Substansi · Karya jurnalistik tersebut secara baik menyampaikan isu-isu tentang peran BPK dalam upaya membangun penegakan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara secara baik dan benar. · Karya tersebut tidak sekadar menampilkan informasi secara sepotong-sepotong, parsial, kasuistik
namun informasi tersebut disajikan secara mendalam dan ditempatkan dalam konteks transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara secara luas. Akurasi · Karya jurnalistik tersebut ditulis secara akurat dan tidak mengandung istilah-istilah yang salah, data yang salah, atau bahkan logika yang salah. · Karya tersebut tidak mengandung kesalahan-kesalahan elementer, seperti salah ketik, salah tanda baca, dan semacamnya. Cara Penulisan · Karya jurnalistik tersebut ditulis dengan gaya penulisan yang enak dibaca, tidak rumit, simpel, tanpa mengabaikan kedalaman substansi. · Karya jurnalistik tersebut tidak hanya mengandalkan satu sumber informasi saja (misalnya siaran pers), namun beragam sumber untuk menjaga keberimbangan. · Karya jurnalistik tersebut memenuhi prinsip ‘fair dan objective’.
BERITA DUKA Telah Berpulang ke Rahmatullah :
Ibu Nunijati Syarif Thayeb (78 Tahun) Ibu Mertua Prof. Dr. Anwar Nasution
Pada hari Rabu, tanggal 18 Februari 2009 pukul 14.00 WIB di Rumah Duka Jl. Jenggala II No. 6 B, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Jenazah telah dimakamkan pada hari Kamis, tanggal 19 Februari 2009 pukul 10.00 WIB di TPU Karet Bivak Pejompongan, Jakarta. Kami atas nama keluarga besar Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia mengucapkan turut berduka cita yang sedalam-dalamnya. Semoga almarhumah mendapat tempat yang mulia di sisi Allah SWT, dan kepada keluarga yang ditinggalkan diberikan kekuatan dan ketabahan iman. Amin. Demikian untuk diketahui.
NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
37
37
OPINI
REFORMASI BIROKRASI, REKAYASA ULANG PROSES BISNIS, DAN MAKSIMALISASI POTENSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI Oleh: Yusuf Setiawan Syukur
38
K
urun waktu 62 tahun perjalanan BPK RI tentu bukan waktu yang singkat. Dari kurun waktu 62 tahun tersebut, perkembangan sepanjang empat tahun terakhir tentu yang paling signifikan. Mengapa? Selama kurun empat tahun terakhir, yang ditandai dengan lahirnya paket undang-undang di bidang keuangan negara, BPK RI berkembang menjadi organisasi yang besar dan dengan kewenangan dan tanggung jawab yang besar pula. Hal ini tentu tidak lepas dari tuntutan masyarakat akan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good government governance). Tuntutan ini pula yang menggulirkan bola reformasi birokrasi. Bersama lima instansi pemerintah lainnya, BPK RI menjalankan program reformasi birokrasi. Program reformasi birokrasi menuntut perubahan berbagai aspek kinerja. Sejalan dengan program reformasi birokrasi tersebut, BPK RI telah memiliki rencana strategis (renstra) mulai dari Tahun Anggaran 2006-2010. Renstra tersebut antara lain berisikan visi, misi, dan sasaran-sasaran strategis yang ingin dicapai oleh BPK RI dalam kurun waktu empat tahun tersebut. Sebagai implementasi dari renstra tersebut maka pada tahun 2008 dicanangkan sistem manajemen kinerja (SIMAK) dengan menggunakan pendekatan balanced scorecard. Secara umum, pencapaian kinerja menurut balanced scorecard dapat didekati melalui empat perspektif: (1) keuangan (financial); (2) pelanggan (customer); (3) proses bisnis internal (internal business process); dan (4) pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth). Sementara itu, karakter yang berbeda antara sektor publik dan swasta mungkin yang menjadikan peta strategis di BPK RI dibagi menjadi tiga perspektif: 1) memenuhi harapan pemangku kepentingan (fulfiling stakeholder’s expectation); 2) penggerak strategis (strategic drivers); dan 3) s umber daya dan aset tidak nyata (intangible assets and resources).
Meskipun demikian, apabila ditinjau secara seksama maka keempat perspektif sebagaimana telah disebutkan sebelumnya (keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan) melekat pada peta strategis tersebut. Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak para pembaca sekalian untuk mencermati proses bisnis internal di BPK RI pasca implementasi SIMAK selama satu tahun ini. Mengapa hal ini menjadi penting? Bagaim38
anapun juga bola reformasi birokrasi akan semakin bergulir kencang. Pada tahun 2009 ini, kita akan menyambut lahirnya UU Administrasi Pemerintahan. UU ini merupakan konkretisasi asas-asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang baik ke dalam norma hukum yang mengikat. Lebih jauh, UU ini diarahkan untuk mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme melalui upaya penataan birokrasi yang baik, transparan, dan efisien. Oleh karena itu, apabila BPK RI ingin tetap konsisten dengan slogannya: New BPK RI: Leading by Example, atau dengan kata lain, menjadi suri teladan bagi instansi pemerintahan lainnya (leading by example) maka perbaikan proses bisnis internal menjadi penting. Mengkaji Kembali Proses Bisnis dan Maksimalisasi Potensi Teknologi Informasi dan Komunikasi Apa kira-kira tanggapan masyarakat ketika ditanyakan pengalamannya pada saat berurusan dengan aparat pemerintahan atau birokrasi? Sudah dapat ditebak, pasti jawabannya antara lain tidak memuaskan, prosedurnya berbelit-belit, banyak pungutan liar di sana-sini, lama alias lambat. Itulah stigma yang melekat pada masyarakat tentang administrasi pemerintahan kita. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Hal di atas terjadi antara lain karena banyak aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah (non-value added activities) pada mata rantai proses bisnis penyelenggaraan pemerintahan kita. Aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah itu antara lain aktivitas yang sifatnya pemindahtanganan (hand-offs), penelahaan (review), dan pengerjaan ulang (rework). Lebih jauh, banyak proses bisnis pada instansi pemerintahan kita berakar Selain UU tentang Administrasi Pemerintahan, masih ada tujuh UU lagi untuk mengawal reformasi birokrasi. Ketujuh UU itu adalah UU tentang Pelayanan Publik, UU tentang Etika Penyelenggaraan Negara, UU tentang Kepegawaian Negara, UU tentang Tata Hubungan Pusat dan Daerah, UU tentang Pengawasan Nasional, UU Kementerian dan Kementerian Negara, UU tentang Pelayanan Nirlaba. Asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik menurut RUU ini adalah asas kepastian hukum, keseimbangan, kesamaan, kecermatan, motivasi, tidak melampaui dan atau mencampuradukkan kewenangan, bertindak yang wajar, keadilan, kewajaran dan kepatutan, menanggapi pengharapan yang wajar atau asas menepati janji, meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal atau dibatalkan, perlindungan atas pandangan hidup dan/atau kehidupan pribadi, tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, kepentingan umum, efisiensi, dan efektifitas.
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
dari masa lampau di mana pada saat proses tersebut dirancang belum mempertimbangkan kemampuan dan potensi teknologi informasi dan komunikasi pada masa kini. Sementara itu, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi hingga mencapai bentuknya pada saat ini dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan proses bisnis yang lebih efisien. Terlepas dari kemampuan teknologi informasi dan komunikasi dalam menghadirkan proses bisnis yang lebih efisien, perlu dicatat dalam benak kita bahwa investasi atau akuisisi teknologi informasi dan komunikasi tanpa melakukan kajian terlebih dahulu mengenai proses bisnis yang terbaik (dengan mempertimbangkan maksimisasi potensi teknologi informasi dan komunikasi) adalah keputusan investasi yang buruk. Mengapa? Sederhana saja, mengotomasi (automating) proses yang tidak efisien hanya akan memberikan perubahan yang kurang berarti dalam peningkatan kinerja. Secara keseluruhan, Peraga 1 memperlihatkan hubungan antara misi organisasi dengan teknologi informasi dan komunikasi. Pada peraga tersebut juga terlihat bagaimana peran teknologi informasi dan komunikasi dalam mendukung misi organisasi. Misi Merumuskan
Merampungkan
Proses Kerja Melaksanakan
Mengarahkan
Keputusan Mempertimbangkan
Mendukung
Informasi Menggunakan
Memproses
Teknologi
Peraga 1. Hubungan antara misi dan proses kerja terhadap teknologi informasi. Masalah investasi atau akuisisi atas teknologi informasi dan komunikasi pada instansi pemerintahan juga sudah diidentifikasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 41/PER/MEN.KOMINFO/11/2007 tentang Panduan Umum Tata Kelola Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional. Sementara di Amerika Serikat, Clinger-Cohen Act mengharuskan setiap instansi pemerintahan untuk mengkaji terlebih dahulu proses bisnis yang terbaik sebelum keputusan investasi atas teknologi informasi dan komunikasi dalam jumlah yang signifikan diambil.
NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
Salah satu pendekatan yang digunakan dalam rangka memperoleh proses bisnis yang terbaik adalah dengan melakukan rekayasa ulang proses bisnis (business process reengineering) secara menyeluruh pada organisasi yang bersangkutan. Kegiatan ini dimulai dari tingkat yang paling atas, yaitu dengan melakukan kajian terhadap misi organisasi, sasaran-sasaran strategis, dan kebutuhan pelanggan. Pertanyaan-pertanyaan dasar seperti “Apakah misi kita perlu didefinisikan ulang? Apakah sasaran-sasaran strategis kita sejalan dengan misi kita? Siapa pelanggan kita?” mungkin perlu diajukan kembali. Setelah memperoleh apa yang seharusnya dilakukan oleh organisasi maka selanjutnya adalah memikirkan bagaimana cara terbaik untuk melakukan hal tersebut. Sampai pada tahap ini, rekayasa ulang memfokuskan pada proses bisnis organisasi, yaitu langkah-langkah dan prosedur-prosedur yang mengatur bagaimana sumber daya digunakan untuk menciptakan produk dan jasa yang memenuhi kebutuhan pelanggan. Sebagai suatu susunan yang terstruktur mengenai langkah-langkah kerja lintas waktu dan tempat, suatu proses bisnis dapat diuraikan menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih spesifik, diukur, dimodelkan, dan diperbaiki. Proses bisnis tersebut dapat dirancang ulang sepenuhnya atau dihilangkan semuanya. Rekayasa ulang mengidentifikasi, menganalisis, dan merancang ulang proses bisnis suatu organisasi dengan tujuan untuk memperoleh peningkatan yang dramatis dalam ukuran kinerja yang utama, seperti biaya, kualitas, layanan, dan kecepatan. Meskipun demikian, ada kalanya perbaikan atau optimisasi fungsi adalah metode yang dipilih mengingat proses tersebut pada dasarnya sudah baik atau bisa pula karena organisasi tersebut tidak siap untuk menjalankan perubahan yang dramatis. Proses Komunikasi Melalui Nota Dinas: Suatu Studi Kasus Saya ingin mengambil suatu studi kasus mengenai proses komunikasi secara tertulis melalui nota dinas di antara pejabat (satuan kerja) eselon dua untuk kita cermati bersama. Meskipun demikian, proses ini mungkin bisa bervariasi bergantung pada kebijakan masing-masing pemegang jabatan. Peraga 2 memperlihatkan proses komunikasi tersebut. Pada peraga tersebut, proses diawali dari inisiatif pejabat eselon tiga pada satuan kerja A. Pejabat eselon tiga tersebut meminta stafnya untuk membuat konsep nota dinas dari satuan kerja A ke satuan kerja B. Pada Peraga 2 dapat kita lihat bahwa keseluruhan proses mulai dari pembuatan nota dinas hingga nota dinas jawaban tersebut diperoleh terdiri atas 22 langkah atau aktivitas. Secara rinci, proses pembuatan nota dinas sampai dengan nota dinas tersebut dikirim dari satuan kerja A terdiri atas 8 aktivitas dengan perkiraan waktu penyelesaian (lead time) 29 menit. Sementara itu, proses penerimaan nota dinas dari satuan kerja A sampai dengan nota dinas jawaban tersebut 4 Langkah-langkah yang lebih sistematis mengenai kajian untuk kemungkinan rekayasa ulang proses bisnis dapat dilihat pada publikasi GAO yang berjudul “Business Process Reengineering Assessment Guide”.
39
39
40
dikirim dari satuan kerja B terdiri atas 14 aktivitas dengan perkiraan waktu penyelesaian 67 menit. Dari ke-22 aktivitas tersebut, sebenarnya hanya 2 aktivitas yang memiliki nilai tambah, yaitu aktivitas ke-2 dan ke-16. Sementara itu, 20 aktivitas lainnya hanya merupakan aktivitas pemindahtanganan, pemeriksaan (inspeksi), dan pengerjaan ulang, sehingga tidak memiliki nilai tambah. Dalam jangka panjang, aktivitas-aktivitas yang tidak memiliki nilai tambah harus dihilangkan karena aktivitas semacam ini merupakan pemborosan sumber daya. Misalkan secara rata-rata, setiap konsep nota dinas yang dibuat memerlukan dua kali naik cetak hingga konsep tersebut disetujui. Apabila dalam sebulan ada 100 kali surat keluar maka dalam bulan tersebut ada: 1) 100 lembar kertas (dengan asumsi 1 surat keluar adalah 1 halaman) yang dibuang ke tempat sampah; 2) 100 kali aktivitas pengerjaan ulang; dan 3) 100 kali aktivitas inspeksi. Selain dikirim atau diantar langsung, nota dinas juga dikirim melalui faksimile. Sekarang mari kita andaikan ada nota dinas dengan lampiran sebanyak 5 halaman harus dikirimkan ke 33 kantor perwakilan. Bisakah Anda bayangkan berapa kali pekerjaan ulang yang harus kita lakukan? Hal ini diperparah lagi apabila pada saat melakukan pekerjaan tersebut kita menemui gangguan (error) pada mesin faksimile tersebut sehingga pekerjaan tersebut harus dimulai dari awal kembali. Selain itu, hasil dari faksimile seringkali sulit dibaca. Tentu saja uraian masalah di atas didasarkan pada perhitungan hipotetis dan penggunaan beberapa asumsi. Namun, Peraga 3 memperlihatkan hasil pengolahan data dari administrasi surat masuk pada Bagian Perencanaan Pusdiklat pada tahun 2008. Sementara itu, bulan yang dipilih adalah bulan Mei. Alasan pemilihan bulan tersebut antara lain karena frekuensi surat masuk pada bulan tersebut termasuk cukup tinggi di antara bulan lainnya, yaitu sebanyak 65 surat masuk. Kolom-kolom pada Peraga 3 memperlihatkan kesenjangan (lag) antara tanggal pengiriman dari unit kerja yang bersangkutan dengan tanggal penerimaan pada Bagian Perencanaan Pusdiklat. Dari 65 surat yang masuk ke Pusdiklat hanya 15 (23,07%) surat yang diterima pada hari yang sama saat surat tersebut dikirim dari unit kerja yang bersangkutan. LAG (HARI)
JUMLAH (%)
0
15 (23,07%)
1-3
25 (38,46%)
4-5
5 (7,69%)
6-7
3 (4,61%)
>7
13 (20%)
N.A.
4 (6,15%)
TOTAL
65 (100%)
imaan pada Bagian Perencanaan Pusdiklat. Mungkinkah masalah-masalah di atas terkait dengan proses komunikasi saat ini diatasi? Kemampuan teknologi informasi dan komunikasi saat ini sangat memungkinkan sekali untuk mengefisienkan proses komunikasi di atas. Selain itu, otomasi aktivitas kerja yang berbasis kertas (paperwork) menjadi tanpa kertas (paperless) sudah menjadi suatu keharusan di banyak perusahaan swasta terkemuka. Sementara di Amerika Serikat, setiap instansi federal juga diamanatkan untuk mengurangi aktivitas yang berbasis kertas melalui Paperwork Reduction Act (1995). Penutup Beberapa angka dan fakta saya hadirkan di sini agar menjadi pertimbangan bagi para pengambil keputusan terkait dengan perbaikan proses bisnis internal. Selain itu, tulisan ini juga diharapkan dapat menjadi pemicu bagi rekan-rekan di unit kerja lain untuk menganalisis proses bisnisnya dan kemudian menghadirkan proses bisnis yang lebih efisien. Lebih jauh, investasi yang masif di bidang teknologi informasi dan komunikasi juga menjadi sangat krusial dalam rangka mendukung proses bisnis yang efisien tersebut. Referensi Accounting and Information Division. 1997. Business Process Reengineering Assessment Guide. United States Government Accounting Office. Gasperz, Vincent. 2007. Organizational Excellence: Model Strategik Menuju World Class Quality Company. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 41/ PER/MEN.KOMINFO/11/2007 tentang Panduan Umum Tata Kelola Teknologi Informasi dan Komunikasi Nasional.
Prosedur Operasi Standar dan Fitur-fitur Utama Sistem Manajemen Kinerja.Keterangan: VA = Value Add-
ed Activity Peraga 2. Proses komunikasi secara tertulis melalui nota dinas di antara pejabat eselon dua.
Peraga 3. Kesenjangan (lag) antara tanggal pengiriman dari unit kerja yang bersangkutan dengan tanggal pener40
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
OPINI
Manajemen Perubahan dalam suatu Organisasi yang Dinamis Oleh: Anies Pramudya W, SE, BPK RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Utara
42
Perubahan organisasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam situasi yang dinamis dewasa ini. Keadaan ekonomi, situasi politik, kehidupan kemasyarakatan yang terus berkembang mengakibatkan diperlukannya perubahan sebagai suatu penyesuaian atas keadaan tersebut. Suatu organisasi berubah karena menyadari bahwa perubahan perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan menjaga eksistensi (keberadaan). Selain itu, kondisi yang terus berubah juga memaksa suatu organisasi untuk melakukan perubahan bila tidak mau tergilas oleh perubahan kondisi yang terjadi. Perubahan tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tergesa-gesa. Suatu organisasi perlu menetapkan dan mengetahui secara pasti tujuan yang ingin dicapai atau dengan kata lain visi dan misi organisasi harus cukup jelas dan kuat, baru kemudian penyesuaian terhadap kondisi sekitar dilakukan. Pada akhirnya perubahan suatu organisasi akan berpengaruh terhadap semua pihak baik internal maupun eksternal organisasi. Sebagai contoh perubahan sebuah organisasi adalah berubahnya struktur organisasi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) yang kita banggakan. BPK RI dalam usianya yang menginjak 63 tahun, sangat sensitif terhadap perubahan yang terjadi di negara ini. Salah satunya adalah perubahan struktur organisasi dengan diterbitkannya Keputusan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 34/K/I-VII.3/6/2007 tentang Struktur Organisasi BPK RI dan Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 39/K/I-VII.3/7/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelaksana Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia. Selain itu, dalam era yang mengedepankan transparansi dan akuntabilitas seperti saat ini, BPK RI terus melakukan perubahan dalam hal pemeriksaaan yang merupakan core busines, untuk mengantisipasi perubahan peraturan perundang-undangan, cakupan pemeriksaan, pertambahan entitas dan lain sebagainya. Sebagai contoh lain, perubahan dalam hal sumber daya manusia adalah telah diterapkannya sistem remunerasi, assesment, mutasi, rolling pegawai dan lain sebagainya. Suatu perubahan yang bertujuan untuk suatu pencapaian yang positif tidak selalu berjalan mulus tanpa hambatan. Salah satu permasalahan yang hampir selalu terjadi adalah penolakan atas perubahan yang dilakukan (resistance to change). Resistance to Change tidak selalu berarti negatif, karena dengan adanya penolakan maka suatu perubahan harus direncanakan secara matang dan tidak sembarangan dilakukan. Penolakan atas suatu perubahan atau resistensi dapat didasari oleh permasalahan kebutuhan dan persepsi. Permasalahan kebutuhan misalnya adalah kebiasaan (kenyamanan) dan rasa aman, adapun contoh penjelasannya adalah sebagai berikut: a. Kenyamanan Bila suatu individu terbiasa untuk menjalankan suatu rutinitas dan merasa nyaman dengan hal tersebut, maka penolakan atas suatu perubahan atas kebiasaan tersebut akan sangat tinggi. Contoh mudahnya adalah bila jam kerja pegawai diubah menjadi jam 05.00-15.00, maka penolakan atas perubahan tersebut akan sangat tinggi karena pegawai telah merasakan kenyamanan dengan jam kerja sebelumnya. 42
b. Rasa Aman Perubahan atas sistem rolling yang rencananya akan dilakukan secara periodik juga memunculkan pro dan kontra. Bila rolling dilakukan terlalu cepat akan menimbulkan perasaan tidak aman karena sewaktu-waktu dapat ditempatkan ke unit kerja lain. Hal tersebut disebabkan kemampuan beradaptasi dan proses penyesuaian pegawai terhadap unit kerja baru berbeda-beda. Sementara itu, persepsi atas suatu perubahan juga menimbulkan penolakan. Hasil dari suatu perubahan yang tidak dapat diprediksi atau tidak pasti menimbulkan keraguan, sehingga pegawai akan memilih kondisi saat ini dan menolak perubahan. Menurut Coch dan French Jr (Hasan Mustofa 2001) ada 6 taktik untuk mengatasi resistensi perubahan yaitu: 1. Komunikasi dan pendidikan Penjelasan mengenai sebab, akibat dan tujuan perubahan hasus dikomunikasikan secara jelas. 2. Partisipasi Perlu melibatkan semua pihak yang kompeten baik pembuat keputusan maupun pelaksana dalam perumusan perubahan. 3. Kemudahan dan Dukungan Pelatihan-pelatihan perlu diselenggarakan apabila pegawai cemas akan hasil suatu perubahan sehingga penolakan akan berkurang. 4. Negosiasi Taktik ini dilakukan jika yang melakukan penilakan mempunyai kekuatan yang tidak kecil (mempunyai masa pendukung). Dalam hal ini perlu beberapa tawaran alternatif. 5. Manipulasi dan Kooptasi Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya, misalnya menyampaikan fakta agar tampak lebih menarik dan tidak mengutarakan hal negatif. Kooptasi adalah memberikan kedudukan penting pada pemimpin penolakan perubahan dalam mengambil keputusan 6. Paksaan Taktik terakhit adalah paksaan. Sanksi dan hukuman diberikan pada yang menentang perubahan tersebut. Dikutip dari Filsuf Yunani Aristoteles (Aristotle Quotes) “Change in all things is sweet”, diharapkan perubahan yang terjadi pada Lembaga Tinggi yang kita naungi yaitu Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dapat meningkatkan kualitas organisasi secara keseluruhan. Namun, perubahan tersebut harus didukung oleh semua elemen dalam organisasi tersebut. Kita semua berharap yang terbaik bagi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia.
Disadur dari berbagai sumber (Referensi): 1. www.pembelajar.com 2. www.brainyquote.com 3. Manajemen Perubahan, Hasan Mustafa, 2001
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
SUMBER DAYA MANUSIA
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN POLA DASAR
KARIER PNS
SEBAGAI BAGIAN REFORMASI BIROKRASI PADA BPK RI,
PERLU ATAU TIDAK? Oleh: Mohd. Rizal Rambe, SE,MM Mantan Kasubbag Kepegawaian Perwakilan BPK.RI Medan
Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian dan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 43 Tahun 1999, antara lain menyebutkan bahwa jabatan karier adalah jabatan struktural dan fungsional dan hanya dapat diduduki Pegawai Negeri Sipil (PNS) setelah memenuhi syarat yang ditentukan, dan oleh karenanya perlu di-manage dengan baik. Manajemen PNS menurut UU Nommor 43 Tahun 1999 adalah keseluruhan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, hak dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan, pengadaan, penempatan dalam jabatan, penyusunan pola karier pegawai, pengelolaan kinerja pegawai, pengembangan kualitas pegawai, penerapan disiplin pegawai, renumerasi, pemberhentian/pemensiunan. Terkait dengan hal itu maka Kebijaksanaan manajemen PNS mencakup penetapan norma, standar, prosedur, formasi, pengangkatan, pengembangan kualitas sumber daya PNS, pemindahan, gaji, tunjangan, kesejahteraan, pemberhentian, hak, kewajiban, dan kedudukan hukum. Sebagai impelementasi atas kebijaksanaan manajemen pegawai maka sangat diperlukan “Sistem Pembinaan Karier Pegawai” yaitu untuk menjamin terselenggaranya tugas dan fungsi lembaga secara berdaya guna dan berhasil guna, sesuai dengan misi tiap satuan organisasi dan sebagai implementasi dari rencana strategis yang telah ditetapkan organisasi dan sekaligus memberikan keseimbangan terjaminnya “hak dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil” secara objektif dan adil. “Sistem Pembinaan Karier Pegawai“ adalah suatu upaya yang sistematik, terencana mencakup struktur dan proses yang menghasilkan keselarasan kompentensi pegawai dengan kebutuhan organisasi. Komponen yang terkait dengan Sistem Pembinaan Karier antara lain meliputi: 1. Misi, Sasaran dan Prosedur Organisasi, yang merupakan indikator umum kinerja, kebutuhan prasarana dan sarana termasuk kebutuhan kualitatif dan kuantitatif sumber daya manusia yang mengawakinya; NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
2. Peta jabatan, yang merupakan refleksi komposisi jabatan, yang secara vertikal menggambarkan struktur kewenangan tugas dan tanggung jawab jabatan dan secara horizontal menggambarkan pengelompokan jenis dan spesifikasi tugas dan organisasi; 3. Standard Kompetensi yaitu tingkat kebolehan lingkup tugas dan syarat jabatan yang harus dipenuhi untuk menduduki suatu jabatan agar dapat tercapai sasaran organisasi yang menjadi tugas, hak, kewajiban dan tanggung jawab dari pemangku jabatan; 4. Alur Karier, yaitu pola alternatif lintasan perkembangan dan kemajuan pegawai negeri sepanjang pengabdiannya dalam organisasi, sesuai dengan filosofi bahwa perkembangan karier pegawai harus mendorong peningkatan prestasi pegawai dengan kata lain bahwa pola gerakan posisi pegawai baik secara horizontal maupun vertikal selalu mengarah pada tingkat posisi yang lebih tinggi melalui tahapan sebagai berikut: a. Standar penilaian kinerja pegawai, yaitu instrumen untuk mengukur tingkat kinerja pegawai 43
43
44
dibandingkan dengan standar kompetensi jabatan yang sedang dan akan diduduki pegawai yang bersangkutan; b. Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, yaitu upaya menyelaraskan kinerja pegawai dan atau orang dari luar organisasi yang akan menduduki suatu jabatan dengan standar kompetensi yang ditetapkan, upaya ini dilakukan melalui jalur pendidikan, prajab, dan atau pelatihan dalam jabatan; c. Rencana Suksesi (succetion plan), yaitu rencana mutasi jabatan yang disusun berdasarkan tingkat potensi pegawai, dikaitkan dengan pola jabatan dan standar kompetensi. Rencana suksesi disusun dengan memperhatikan perkiraan kebutuhan organisasi mendatang dikaitkan dengan perencanaan pegawai dan hasil pengkajian potensi pegawai.
Berdasarkan “Rencana Strategis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2006-2010” antara lain menyebutkan bahwa sasaran strategis di bidang Sumber Daya Manusia yaitu : 1. Mengoptimalkan kinerja seluruh staf di BPK; 2. Menjadi pilihan utama bagi para profesional dalam membuka karier; 3. Menyediakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi semua pegawai; 4. Membangun sistem promosi yang “transparan dan efektif ” yang dapat mendorong peningkatan profesionalisme.
Permasalahan Empat tahun silam, penulis menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Kepegawaian sempat menanyakan kepada Ketua BPK RI, Anwar Nasution, tentang apresiasi beliau mengenai Pola Dasar Karier Pegawai BPK RI ke depan, dan jawaban beliau sedang disusun dan “tidak mungkin seorang kopral bisa jadi jenderal”. Pada saat itu Ketua BPK berkunjung ke Perwakilan BPK RI Sumatera Utara (Medan) sekaligus perkenalan sebagai Ketua BPK yang baru. Realitas yang ada hingga empat tahun masa jabatan Badan ternyata yang ditunggu-tunggu yaitu “Pola Dasar Karier Pegawai Negeri Sipil” belum disusun dan ditetapkan, sementara diketahui beberapa lembaga/institusi/departemen telah melakukan/melaksanakan “Reformasi Birokrasi” yaitu dengan menetapkan dan menerbitkan peraturan Menteri/Kepala Badan atau Lembaga tentang Pola Dasar Karier PNS pada jajarannya, sebagai penjabaran atau dalam rangka mentaati Petunjuk Pelaksanaan dari UU Nomor 43 Tahun 1999, yaitu “Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000”, tentang Pengangkatan PNS Dalam Jabatan Struktural (Pasal 1 butir 9,Pasal 5,Pasal 6 dan Pasal 8, Pasal 12 ayat (2) ), antara lain menyebutkan: 1. Pola Karier adalah pola pembinaan PNS yang menggambarkan alur pengembangan karier yang menun44
jukkan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi serta masa jabatan seorang PNS sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun. 2. Berstatus Pegawai Negeri Sipil; 3. Pengangkatan untuk jabatan serendah-rendahnya menduduki pangkat 1 tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan; 4. Memiliki kualifikasi dan tingkat pendidikan yang ditentukan; 5. Semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam 2 tahun terakhir; 6. Memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan; 7. Sehat jasmani dan rohani; 8. Perlu memperhatikan faktor senioritas dalam kepangkatan, pendidikan, usia, pendidikan dan latihan, dan pengalaman yang dimiliki; 9. PNS yang menduduki jabatan struktural tidak dapat menduduki jabatan rangkap, baik dengan jabatan struktural maupun dengan jabatan fungsional; 10. Setiap pimpinan instansi menetapkan pola karier PNS di lingkungannya berdasarkan Pola Dasar Karier PNS. Fenomena yang ada masih terdapat pengangkatan PNS dalam jabatan padahal belum memenuhi kepangkatan, pendidikan, masa kerja dan usia sementara masih ada PNS yang memenuhi standard dan pangkatnya malah melebihi jabatannya akan tetapi jabatannya belum disetarakan, padahal PNS tersebut belum pernah mendapatkan ankum (pengenaan hukuman) secara tertulis. Selain itu PNS tersebut sudah mengembangkan diri dengan mengikuti dan melewati pendidikan formal maupun pendidikan informal, sehingga tidak diketahui alasan kenapa yang bersangkutan tidak disetarakan jabatannya sesuai kepangkatannya, pendidikan dan masa kerja padahal kompetensi yang lain belum ditetapkan. Selain itu masih terdapat rangkap jabatan dimana jabatan struktural pada jabatan fungsional dan hal ini terjadi karena tidak adanya kesetaraan jabatan antara jabatan struktural dengan jabatan fungsional, misal; Kepala Seksi (eselon IV) setingkat atau sama dengan Ketua Tim Junior/Senior, dan hal ini menunjukkan belum ditetapkannya “Rumpun Jabatan” padahal dengan adanya rumpun jabatan yang jelas maka akan mempermudah untuk melakukan mutasi atau promosi sesuai dengan kebutuhan organisasi sehingga tidak terjadi stagnan, dimana terdapat penempatan pegawai pada suatu jabatan dengan merangkap sebagai pelaksana tugas pada jabatan diatasnya yang otomatis menutup peluang bagi pegawai lain yang nota bene memenuhi pangkat untuk jabatan tersebut, kemudian terdapat penempatan pegawai untuk jabatan padahal di tempat tersebut masih ada pegawai yang nota bene pangkat, masa kerja dan kompetensi lain masih lebih tinggi dari pejabat yang baru diangkat. Apakah karena suka atau tidak suka? Rasanya tidak NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
mungkin karena pimpinan BPK.RI sangat menjunjung Independensi, Integritas dan Profesional. Tujuan Penyusunan dan Penetapan Pola Dasar Karier PNS Kedudukan dan peranan PNS bagi suatu organisasi adalah sangat penting dalam rangka mewujudkan terlaksananya “Reformasi Birokrasi” pada lembaga Legislatif, Yudikatif maupun Eksekutif dalam pencapaian visi dan misi organisasi agar berhasil guna dan berdaya guna dan oleh karena itu perlu diberdayakan dengan cara yang adil dan beradab sebagaimana tercermin pada “Pembukaan UUD 1945” dan sesuai amanat “Pancasila” yaitu sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan, rasa aman dan nyaman, tidak diskriminatif kemudian akan dapat memotivasi PNS untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Warga Negara, Aparatur Negara maupun dalam memberikan pelayanan pada Masyarakat. Reformasi birokrasi dihadapkan pada upaya mengatasi inefisiensi, inefektivitas, tidak professional, diskriminatif, tidak disiplin, tidak patuh pada aturan, belum ada perubahan mindset, transparan, partisipatif dan kredibel. Reformasi Birokrasi Aparatur Negara harus diwujudkan dalam wujud perubahan secara signifikan (evolusi yang di percepat) melalui tindakan atau rangkaian kegiatan pembaharuan secara konsepsional, sistematis dan berkelanjutan dengan melakukan upaya penataan, peninjauan, penertiban, perbaikan, penyempurnaan dan perubahan system serta perbaikan akhlak-moral sesuai tuntutan lingkungan, memantapkan komitmen dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan hal tersebut di atas maka tujuan penyusunan dan penetapan “Pola Dasar Karier Pegawai Negeri Sipil” sangat penting untuk menjamin terciptanya kondisi objektif yang dapat mendorong peningkatan prestasi pegawai dan sebagai sistem pembinaan karier sehingga perlu dirancang sesuai dengan misi organisasi, budaya organisasi dan kondisi perangkat pendukung sistem kepegawaian yang berlaku pada organisasi, sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang pegawai negeri sipil yang berlaku. Pola Karier Pegawai Negeri Sipil adalah pola pembinaan Pegawai Negeri Sipil yang menggambarkan alur pengembangan karier yang menunjukkan keterkaitan dan keserasian antara jabatan, pangkat, pendidikan dan pelatihan jabatan, kompetensi, serta masa jabatan seseorang Pegawai Negeri Sipil sejak pengangkatan pertama dalam jabatan tertentu sampai dengan pensiun (PP Nomor 100 Tahun 2000 Jo PP Nomor 13 Tahun 2002) Berdasarkan pengertian pola karier tersebut, maka sepantasnya disusun untuk kepentingan pegawai, walaupun harus tetap diarahkan agar pola karier tersebut dititikberatkan pada optimalisasi kontribusi pegawai kepada organisasi dan artinya bahwa ditetapkannya pola karier mempunyai beberapa tujuan dibawah ini : NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
1. Untuk lebih mendayagunakan setiap jenis kemampuan profesional yang disesuaikan dengan kedudukan yang dibutuhkan dalam setiap unit organisasi; 2. Pemanfaatan seoptimal mungkin sumber daya manusia pada setiap satuan organisasi sesuai dengan kompetensinya dan terarah pada misi organisasi; 3. Membina kemampuan, kecakapan, keterampilan secara efesien dan rasional sehingga potensi, energi, bakat dan motivasi pegawai tersalur secara objektif ke arah tercapainya tujuan organisasi; 4. Dengan spesifikasi tugas yang jelas dan tegas serta tanggung jawab, hak dan wewenang yang telah terdistribusikan secara seimbang dari seluruh jenjang organisasi, diharapkan setiap pemangku jabatan dapat mencapai tingkat maksimal; 5. Dengan tersusunnya pola karier pegawai dan telah teraturnya pengembangan karier, maka setiap pegawai mendapatkan gambaran mengenai jabatan-jabatan, kedudukan dan jalur yang mungkin dapat dicapai, serta persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi guna mencapai jabatan dimaksud, dengan tersusunnya pola karier pegawai setiap pegawai akan dapat diperhatikan perkembangannya demikian pula bagi mereka dimungkinkan peningkatan jabatan mulai dari jabatan yang paling rendah sampai ke tingkat yang lebih tinggi secara objektif dan adil; 6. Pola karier pegawai merupakan dasar bagi setiap pimpinan organisasi dalam rangka pengambilan keputusan yang berkait dengan sistem manajemen kepegawaian, sehingga menghasilkan kebijakan yang tidak diskriminatif sehingga berakibat pegawai merasa terzalimin padahal bisa saja karena tidak lengkapnya rekam jejak dari pegawai dan terbatasnya informasi dari pegelola SDM untuk menyampaikan sistem dan aturan main kepada pimpinan. 7. Bila terdapat perpaduan yang serasi antara kemampuan, kecakapan/keterampilan dan motivasi dengan jenjang penugasan, maka jabatan yang tersedia akan menghasilkan manfaat dan kapasitas kerja yang optimal. Dengan demikian PNS pada setiap satuan organisasi diharapkan dapat lebih profesional dalam mengantisipasi tantangan yang dihadapi saat ini dan kedepan. Berdasarkan tujuan Pola Karier tersebut maka tahapan pembinaan karier sesuai Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 13 Tahun 2002 sebagai ketentuan petunjuk pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2002 adalah sebagai berikut: 1. Perpindahan dari jabatan struktural ke jabatan fungsional maupun dari jabatan fungsional ke jabatan struktural baik secara horizontal, vertikal maupun diagonal serta perpindahan wilayah kerja; 2. Perpindahan jabatan secara horizontal adalah perpindahan jabatan pada tingkat eselon dan pangkat jaba45
45
tan yang sama atau setara; 3. Perpindahan jabatan secara vertikal adalah perpindahan yang bersifat kenaikan jabatan (promosi) 4. Perpindahan jabatan secara diagonal adalah perpindahan jabatan dari jabatan struktural ke fungsional dan sebaliknya.
46
Dengan mempertimbangkan dan memperhatikan pada peraturan perundang-undangan kepegawaian yang ada, maka Pola Karier bagi Pegawai Negeri Sipil, dapat dijelaskan dengan tahapan sebagai berikut. a. Pengadaan pegawai merupakan usaha mendapatkan pegawai dari pasar kerja melalui sistem seleksi yang didasarkan atas persyaratan jabatan sesuai dengan formasi yang ditentukan sehingga akan paralel dengan Nota persetujuan yang akan diterbitkan oleh Badan Kepegawaian Negara dan merupakan dasar karier pegawai hingga berkembang sampai pada pangkat maksimum dan jabatan maksimum. b. Orientasi dilaksanakan merupakan usaha pelatihan dengan cara memberikan tugas khusus yang terprogram dalam waktu tertentu sehingga pegawai: 1. Mendapatkan gambaran secara umum tentang kegiatan organisasi; 2. Mendapatkan gambaran tentang upaya yang harus dilaksanakan untuk pengembangan kemampuan dasarnya menjelang tugas yang akan dipangkunya. Dalam tahap ini, tugas dan tanggung jawab pengelola SDM wajib melakukan monitoring bakat, minat dan potensi pegawai tersebut guna penetapan jabatan yang akan dipangku pegawai secara tepat sehingga berdaya guna dan berhasil guna. c. Pelatihan Pra Tugas merupakan suatu catatan mengenai prestasi kerja dan potensi pegawai yang bersangkutan selanjunya diidentifikasi pendidikan dan pelatihan tehnis yang dibutuhkan, yang diikuti dengan penilaian dan seleksi guna penetapan pegawai yang sejauh mungkin sesuai dengan bakat dan minatnya. d. Penetapan dalam rangka Pengembangan Profesi merupakan pengamatan bakat dan minat pegawai tersebut, pegawai diarahkan untuk ditugaskan dalam jabatan-jabatan yang memerlukan syarat kualifikasi teknis dan kemampuan pengenalan kegiatan manajemen. Penugasan pada tahap ini diatur sedemikian rupa, sehingga pegawai yang bersangkutan memperoleh serangkaian pembekalan melalui kursus dan pengalaman baik teknis operasional maupun manajerial. e. Penugasan dalam rangka Pemantapan Profesi ditinjau secara selektif bagi pegawai yang ditugasi sebagai: 1. Pejabat Struktural sesuai dengan kemampuannya guna mendapatkan kemampuan manajerial yang bersangkutan agar dapat meniti jenjang jabatan yang lebih tinggi, atau; 2. Pejabat Fungsional untuk dapat menerapkan dan mengembangkan kemampuan sesuai bidang keahl46
iannya. f. Pematangan Profesi dilaksanakan secara selektif pada pegawai yang ditugaskan pada jabatan yang lebih tinggi dengan spesifikasi sebagai berikut: 1. Pejabat Struktural yang mempunyai kemampuan untuk mengarahkan dan menetapkan kebijakan dibidang tugas masing-masing, sejalan dengan misi organisasi dan arah kebijaksanaan pimpinan organisasi; 2. Untuk Pejabat Fungsional yang mempunyai tingkat pengetahuan, kemampuan menalar, menilai dan memecahkan masalah yang dihadapi secara ilmiah. Kesimpulan dan Saran Manajemen Pegawai Negeri Sipil adalah keseluruhan upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan derajat profesionalisme penyelenggaraan tugas, fungsi, hak dan kewajiban kepegawaian, yang meliputi perencanaan, pengadaan, penempatan dalam jabatan, penyusunan pola karier pegawai, pengelolaan kinerja pegawai, pengembangan kualitas pegawai, penerapan disiplin pegawai, renumerasi, pemberhentian/pemensiunan. Badan Pemeriksa Keuangan RI sebagai Lembaga Tinggi Negara di bidang pemeriksaan keuangan Negara sudah saatnya melakukan manajemen SDM yang efesien, efektif, berdaya guna dan berhasil guna sesuai rencana strategis yang dimiliki dan oleh karenanya perlu menetapkan suatu Sistem Pola Dasar Karier PNS sebagai suatu kebijakan/peraturan tentang Pola Dasar Karier PNS BPK RI. Diharapkan dengan adanya keputusan tentang Pola Dasar Karier PNS BPK RI dan didukung dengan Rumpun Jabatan dan Kompetensi, sehingga pengangkatan PNS dalam suatu Jabatan diharapkan pasti akan lebih Transparan dan jauh dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang pada akhirnya akan menciptakan rasa adil dan beradab. Reformasi Birokrasi pada BPK RI dapat diwujudkan dalam wujud perubahan secara signifikan (evolusi yang dipercepat) melalui tindakan atau rangkaian kegiatan pembaharuan secara konsepsional, sistematis dan berkelanjutan dengan melakukan upaya penataan, peninjauan, penertiban, perbaikan, penyempurnaan dan perubahan sistem serta perbaikan akhlak-moral sesuai tuntutan lingkungan, memantapkan komitmen dan melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. l*
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
OPINI
Esensi Pelaksanaan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
keuangan bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut disajikan berdasarkan Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang memadai dan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Tujuan Reviu Sedangkan Tujuan Reviu disampaikan dalam Pasal 4 yaitu memberikan keyakinan terbatas bahwa laporan keuangan pemerintah daerah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan.
Latar Belakang Lahirnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tanggal 17 Januari 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemda merupakan suatu langkah kongkrit Pemerintah sebagai kelanjutan dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. PP Nomor 8 Tahun 2006 Pasal 33 ayat 3 menjelaskan bahwa Aparat pengawasan intern pemerintah pada Kementerian Negara / Lembaga / Pemerintah Daerah melakukan review atas Laporan Keuangan dan Kinerja dalam rangka meyakinkan keandalan informasi yang disajikan sebelum disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota kepada pihak-pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 11. Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 33 ayat 3 disampaikan hal berikut : Reviu oleh aparat pengawasan intern pemerintah pada Kementerian Negara / Lembaga / Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak membatasi tugas pemeriksaan / pengawasan oleh lembaga pemeriksa/pengawas lainnya sesuai dengan kewenangannya. Pengertian Reviu Pengertian Reviu/Review atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dipaparkan lebih lanjut pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 Pasal 1 butir 9 yaitu prosedur penelusuran angka-angka, permintaan keterangan dan analitis yang harus menjadi dasar memadai bagi Inspektorat untuk memberi keyakinan terbatas atas laporan NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
Objek Pemeriksaan (Laporan Keuangan yang akan diperiksa) Selanjutnya pada Pasal 11 berikut dijelaskan mengenai kewajiban daerah untuk menyusun laporan keuangan dan menyerahkan laporan keuangan tersebut kepada BPK untuk dilakukan audit. Pasal 11 (1) Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menyusun Laporan Keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) untuk disampaikan kepada gubernur/bupati/walikota untuk memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. (2) Laporan Keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Laporan Keuangan Satuan Kerja Perangkat Daerah serta laporan pertanggungjawaban pengelolaan perbendaharaan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. (3) Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh gubernur/bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang akan diserahkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan merupakan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang telah melewati proses reviu / review oleh Inspektorat Wilayah Provinsi/ Kabupaten/Kota. Hal ini dinyatakan secara jelas dalam Pasal 18 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 yaitu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dilampiri dengan Pernyataan Tanggungjawab dan Pernyataan telah direviu. Kewajiban untuk menyertakan hasil reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dipertegas lagi 47
47
dalam Pasal 19 ayat (1) Laporan Hasil Reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah wajib disertai dengan pernyataan telah direviu.
48
Pelaksanaan Reviu Adapun reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dilakukan oleh Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota (Pasal 12). Pelaksana reviu di tingkat Inspektorat Provinsi/ Kabupaten/Kota diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pejabat Pengawas Pemerintah di Lingkungan Departemen Dalam Negeri, pada Pasal 10 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2008 dinyatakan bahwa Pegawai Negeri Sipil pada Inspektorat Jenderal, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota yang pada daat ditetapkan Peraturan ini telah melaksanakan tugas di bidang pengawasan diangkat dalam jabatan Pejabat Pengawas Pemerintah. Dan pada ayat 2, Pegawai Negeri Sipil pada Inspektorat Jenderal, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat Kabupaten/Kota yang pada saat ditetapkan Peraturan ini diangkat dalam jabatan Pejabat Pengawas Pemerintah dengan ketentuan telah mengikuti pendidikan dan pelatihan di bidang pengawasan penyelenggaraan pemerintahan. Konsekuensi dari peraturan ini ialah bahwa adanya pendidikan dan pelatihan untuk setiap Pejabat Pengawas Pemerintah. Dengan demikian, untuk Pejabat Pengawas Pemerintah yang melakukan tugas pengawasan (dalam hal ini APIP) harus mendapatkan pendidikan dan pelatihan di bidang pengawasan penyelenggaraan pemerintahan (yang mungkin masih dalam persiapan materi oleh Inspektorat Jenderal dan Badan Pendidikan dan Pelatihan yang selanjutnya akan diatur dalam suatu Peraturan Menteri Dalam Negeri). Adapun Aparat Pengawas Intern Pemerintah yang dimaksud tersebut / Inspektorat Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota yang melakukan reviu atas Laporan Keuangan Pemda haruslah memahami mengenai Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) dan Sistem serta Prosedur Akuntansi yang (masih dalam kemungkinan) diterapkan oleh Pemda (sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 900/316/BAKD Tahun 2007 tentang Pedoman Sistem dan Prosedur Penataan dan Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah) yang semuanya ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem pengendalian intern yang baik. Kualitas Laporan Keuangan tidak hanya dilihat dari kesesuaian dengan Standar Akuntasi Pemerintahan namun tetap dilihat dari keseluruhan Sistem Pengendalian Intern yang memadai untuk menghasilkan suatu Laporan Keuangan yang baik. Tantangan Pelaksanaan Reviu Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tentunya akan mengalami tantangan atau hambatan. Adapun tantangan atau hambatan diuraikan sebagai berikut: a. Belum semua daerah memiliki APIP yang kompeten dalam melakukan reviu. 48
Bahkan APIP belum mendapat pendidikan dan pelatihan yang cukup mengenai Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) dan Sistem serta Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah tersebut. b. K egiatan-kegiatan pokok reviu memerlukan waktu yang cukup banyak. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008, diuraikan dalam 3 kegiatan pokok sebagai berikut: a. Perencanaan Reviu (Pasal 6, 7, 8, 9 dan 10 serta lebih lanjut dipaparkan dalam Lampiran I). b. Pelaksanaan Reviu (Pasal 12, 13, 14 dan 15 serta lebih lanjut dipaparkan dalam Lampiran II). c. P elaporan Reviu (Pasal 17, 18, dan 20, serta lebih lanjut dipaparkan dalam Lampiran III). Kegiatan-kegiatan pokok dalam Reviu memerlukan waktu yang cukup banyak. Kegiatan Reviu tersebut jika dilakukan setelah proses penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah atau dilakukan secara berurutan dengan penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, pasti akan memperlambat/menunda penyampaian Laporan Keuangan tersebut kepada BPK. c. A danya Peraturan baru yang belum diikuti dengan lahirnya peraturan pelaksanaannya. Adanya Peraturan baru yang berkaitan dengan reviu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yaitu PP Nomor 60 Tahun 2008 Tanggal 28 Agustus 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, mencakup mengenai kegiatan penilaian terhadap Sistem Pengendalian Intern Pemerintah berdasarkan sistem COSO. Dalam Pasal 57 ayat (5) PP Nomor 60 Tahun 2008 ini menyebutkan bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menetapkan standar reviu atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) untuk digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan reviu atas laporan keuangan oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Namun kehadiran Peraturan Pemerintah ini belum ditindaklanjuti dengan lahirnya suatu Peraturan Pelaksanaan dari Menteri Keuangan di tingkat Pemerintah Daerah, tidak seperti di tingkat Pemerintah Pusat yang telah memiliki aturan mengenai reviu Laporan Keuangan dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor 44/PB/2006 yang mensyaratkan pelaksanaan reviu atas Laporan Keuangan di tingkat Pemerintah Pusat, yang menjadi dokumen pendukung penyusunan Statement Of Responsibility oleh Menteri / Pimpinan Lembaga (Pasal 4 ayat 1). Belum adanya suatu Peraturan Pelaksana atas Peraturan Pemerintah tersebut mengakibatkan reviu yang dilakukan APIP yang paling memungkinkan dilakukan untuk Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun Anggaran 2008 ialah reviu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 yang memuat penilaian SPI suatu Pemerintah Daerah yang dijalankan dan dituangkan dalam suatu Sistem dan Prosedur Keuangan Daerah dan juga kewajaran penyajian angka Laporan keuangan pemerintah Daerah sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
Sedangkan pelaksanaan reviu Laporan Keuangan dengan penilaian SPI yang menggunakan pendekatan COSO sesuai PP Nomor 60 Tahun 2008 belum sepenuhnya dapat dikerjakan, karena peraturan pelaksanaan PP tersebut dari Menteri Keuangan sesuai Pasal 57 ayat (5) tersebut belum dikeluarkan. Atau dengan kata lain, reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah hanya mengacu pada Pedoman Pelaksanaan Reviu sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008, sambil menunggu adanya peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 60 Tahun 2008. Usulan Solusi atas Tantangan Pelaksanaan Reviu Dengan adanya beberapa tantangan pelaksanaan reviu tersebut di atas, diupayakan untuk mencari solusi atas tantangan tersebut antara lain sebagai berikut: 1. A PIP yang belum siap untuk melakukan reviu didampingi oleh APIP lainnya. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, ketidaksiapan APIP (keterbatasan pemahaman akan SAP dan SPI) akan menjadi kendala keberhasilan pelaksanaan suatu reviu atas Laporan Keuangan. Hal ini dapat diatasi oleh Pemerintah Daerah melalui usulan dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 melalui Pasal 14 ayat (4) yang menyebutkan bahwa Apabila diperlukan, Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota dapat bekerja sama dengan Aparat Pengawas Intern Pemerintah Lainnya untuk melakukan reviu atas laporan keuangan pemerintah daerah. Salah satu contohnya ialah dengan APIP lainnya (BPKP). 2. J adwal Reviu dilakukan secara paralel dengan penyusunan Laporan Keuangan Berkaitan dengan banyaknya kegiatan-kegiatan pokok dalam reviu yang memerlukan waktu yang panjang dalam pelaksanaan serta untuk menghindari penundaan penyampaian Laporan Keuangan , maka jadwal pelaksanaan reviu tersebut disampaikan dalam Pasal 13 yang menyatakan jadwal Reviu terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir dan dapat dilakukan secara paralel dengan penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Manfaat Pelaksanaan Reviu Adapun reviu yang dilaksanakan secara memadai akan memberikan manfaat, baik bagi Pemerintah Daerah (entitas) maupun bagi auditor (pemeriksa), disampaikan sebagai berikut: a. Peningkatan kualitas Laporan Keuangan dari Pemerintah Daerah Adanya reviu yang dilakukan dengan memadai oleh APIP akan meningkatkan kualitas dari Laporan Keuangan itu sendiri. Seperti contoh pada Pasal 17 ayat (6) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 mengenai pelaporan reviu, disampaikan bahwa Pernyataan tanpa Paragraf Penjelas adalah pernyataan yang dibuat dalam hal entitas pelaporan melakukan koreksi seperti yang direkomendasikan oleh Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota dan / teknik reviu dapat dilaksanakan. Hal ini menggambarNO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
kan jika ditemukan angka-angka yang disajikan di Laporan Keuangan yang memerlukan koreksi (pengungkapan sesuai SAP) maka dimungkinkan untuk diberikan usulan-usulan koreksi oleh APIP terhadap Laporan Keuangan sebelum disampaikan kepada BPK. Hal inilah yang menjadi salah satu contoh peningkatan kualitas Laporan Keuangan yang diperoleh melalui kegiatan reviu. b. Kemudahan pengujian kehandalan SPI dan kewajaran penyajian Laporan Keuangan sesuai SAP. Dengan adanya reviu Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, auditor tentunya akan lebih mudah untuk menguji kehandalan SPI dan kewajaran penyajian Laporan Keuangan sesuai dengan SAP, sehingga waktu pemeriksaan di lapangan menjadi lebih singkat. Namun hal tersebut hanya menjadi asumsi yang harus diikuti dengan keberhasilan asumsiasumsi lainnya (Reviu yang dilaksanakan oleh orang-orang yang kompeten, Hasil Reviu dapat diandalkan serta Laporan Hasil Reviu dan Laporan Keuangan setelah Reviu bisa diserahkan tepat waktu serta tingkat pemahaman auditor dalam menyikapi adanya Laporan Hasil Reviu dan Laporan Keuangan setelah Reviu). Yang menjadi kekhawatiran kita bersama, Laporan Keuangan TA 2008 yang sama sekali tidak melalui proses reviu (yang mungkin disebabkan ketidakmengertian APIP untuk melakukan reviu) namun Laporan tersebut tetap diserahkan kepada BPK. Lalu yang menjadi pertanyaan selanjutnya untuk kita, apakah kita sudah siap mengambil resiko dengan menerima Laporan Keuangan yang tidak didukung oleh Pernyataan Telah Direviu yang merupakan dokumen pendukung ditandatanganinya Pernyataan Tanggungjawab oleh Kepala Daerah? Pernyataan Tanggungjawab oleh Kepala Daerah ini hampir sama dengan Statement of Responsibility (SOR) dalam lingkup Pemerintah Pusat dalam Reviu di tingkat Kementrian Negara / Lembaga Negara. Laporan Keuangan Pemerintah Daerah TA 2008 yang diserahkan kepada BPK mungkin belum direviu tetapi kita perlu menyikapinya dengan persiapan pelaksanaan Audit yang lebih matang (Audit Interim yang lebih memadai khususnya untuk Pendalaman Pemahaman akan SPI yang tercipta dalam lingkup Pemerintahan Daerah). Akhirnya dapat disimpulkan bahwa adanya Reviu terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 Tanggal 17 Januari 2008 yang dilakukan oleh personil APIP / Pejabat Pengawas Pemerintah jika dilaksanakan dengan baik dan memadai pastilah meningkatkan kualitas Laporan Keuangan itu sendiri, kemungkinan salah saji dari Laporan Keuangan bisa dikurangi dengan adanya kegiatan reviu. Laporan hasil reviu yang memadai tentunya juga akan membantu para auditor sebelum melakukan proses audit yang lebih mendalam terhadap Laporan Keuangan yang telah direviu (yang tentunya telah dikoreksi sesuai dengan usulan pada saat reviu).l*
49
49
AUDIT
MENUNGGU PERAN INSPEKTORAT DALAM REVIU LAPORAN KEUANGAN DAERAH 50 Oleh: Dicky Arnes, SE. Ak, Auditor SubAud NAD IA Kantor Perwakilan BPK-RI di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
S
eiring dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemda tanggal 17 Januari 2008 merupakan suatu bentuk tangungjawab Menteri Dalam Negeri menata sistem pengawasan pengelolaan keuangan daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 ini merupakan penjabaran pasal 33 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah yang bermuara pada Undangundang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 dinyatakan bahwa tugas reviu didelegasikan kepada Inspektorat/ Bawasda Provinsi/ Kabupaten/ Kota yang bertanggungjawab langsung kepada Kepala Daerah. Adapun yang menjadi objek pemeriksaan adalah entitas pelaporan dimana reviu terhadap Sistem Pengendalian Intern (SPI) dan Kesesuaian dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) menjadi fokus reviu. Entitas pelaporan wajib menyajikan laporan keuangan yang terdiri atas: 1. Laporan Realisasi Keuangan 2. Neraca 3. Laporan Arus Kas 4. Catatan atas Laporan Keuangan Tujuan reviu ini adalah untuk meyakini keandalan SPI dan Kesesuaian dengan SAP atas asersi-asersi yang terdapat dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerinta Daerah (LKPD). Dalam pelaksanaannya, reviu dikoordinasikan dengan Inspektorat Jendral Departemen Dalam Negeri/ Inspektorat Provinsi. Sistem Pengendalian Intern Seperti gayung bersambut, di tahun 2008 ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah tanggal 28 Agustus 2008. Dalam lingkup sistem pengendalian intern pemerintah tersebut terdapat beberapa bentuk pengawasan itern yaitu audit, reviu, evaluasi dan pemantauan, dimana tingkat keyakinan atas bentuk–bentuk pengawasan tersebut berbeda. 50
Sesuai dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia Pasal 23 E ayat 1 dijelaskan bahwa dalam hal pemeriksaan/audit laporan keuangan Pemerintah dan daerah, Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) merupakan satu-satunya Badan yang diamanatkan Negara Untuk memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah sebagai bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan. Ini merupakan benang merah dari audit laporan keuangan. Pembagian tugas dari lembaga-lembaga pengawasan yang ada seperti BPKP, Inspektorat Jendral, Inspektorat Provinsi/ Kabupaten/Kota jelas untuk membangun sistem pengendalian dan pengawasan yang efektif agar tercipta keselarasan fungsi sebagaimana lembaga-lembaga pengawasan intern dibentuk, tidak bangga atas ketidakbenaran dalam Pelaporan LKPD. Hasil audit BPK-RI dari tahun 2005 s.d. 2007 menunjukkan bahwa belum ada perbaikan dari pengelolaan keuangan negara/ daerah dalam proses pelaksanaannya sehingga tercipata laporan. Dari hasil pemeriksaan (siaran NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
AGENDA pers BPK-RI tanggal 15 Januari 2009) diketahui terdapat 4 daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yaitu Provinsi Gorontalo, Kota Tangerang, Kota Banjar dan Kabupaten Aceh Tengah. Beberapa kelemahan Pemerintah daerah dalam menyusun Laporan Keuangan yaitu: 1. Visi dan Misi Daerah Fungsi sistem pengendalian intern yang baik menghasilkan tata kelola keuangan yang sesuai dengan visi dan misi daerah, kemakmuran rakyat. Pengelolaan keuangan merupakan salah satu elemen yang mendukung visi tersebut. Dengan misi yang terukur dalam pencapaian visi kedepan didukung dengan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel. Hal ini dapat dimulai dengan penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah. 2. Sumber Daya Manusia Pola rekrutmen dalam pemenuhan kebutuhan personil di lingkungan pemerintah daerah sangat tidak mendukung dalam mengisi kekurangan tenaga-tenaga yang terampil. Pemerintah daerah sering terjebak dalam situasi pemenuhan formasi yang bersifat klerikal dan pemisahan fungsi kerja. Personil yang bersifat ahli dan kompeten dalam teknis dan kekuatan manajerial kurang diperkuat. Tenaga akuntan dan sistem informasi mutlak diperlukan. 3. Pembangunan Sistem terkomputerisasi Proses pelaporan dengan jumah beban kerja yang begitu besar sudah tentu memerlukan suatu alat bantu yang didesain dengan baik sesuai dengan kebutuhan. Sistem pencatatan, pengklasifikasian, pemindahbukuan, penghapusan dan pelaporan yang terintegrasi secara komputerisasi perlu dikembangkan. 4. Komunikasi antar lembaga pemerintah Interaksi yang saling memenuhi mengikuti peraturan perundang-undangan antar lembaga pemerintah menjadi sangat penting. Peran lembaga pemerintah yang bertugas sebagai pengawas harus membina pemerintah daerah bagaimana membuat suatu laporan yang terselusuri dan efektif. Perbaikan sistem yang “tailormade” tercipta dengan intensifnya interaksi denga lembaga independen maupaun pengawas intern pemerintah sebagai lembaga eksekutif, menuju perbaikan sistem pengendalian intern. Artinya kegagalan pemerintah daerah dalam membangun sistem merupakan kegagalan lembaga-lembaga pengawas tentunya. 5. Action Plan Komitmen dalam membangun pengelolaan keuangan daerah diprioritaskan dalam menuju Laporan Keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Pembentukan lingkungan kerja yang kondusif dari segi dalam, untuk itu perlu dipertimbangakan dengan menjalin kerja sama dengan lembaga donor dan pihak ketiga selain lembaga pengawas intern pemerintah seperti BPKP. Target pencapaian ditentukan dengan menetapkan target jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Perlunya penetapan target ini agar ada keseriusan dalam membangun suatu sistem yang terintegrasi. Dari visi, misi, sumber NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
daya manusia, sistem komputerisasi, dan interaksi antar lembaga pengawas intern agar tercipta suatu sistem yang mengakomodasi bentuk peraturan dengan kebutuhan akan keterukuran dalam sistem itu sendiri. Untuk meminimalisasi penyimpangan dalam pelaporan laporan keuangan dalam evaluasinya dilakukan penilaian apakah pegendalian intern atas kegiatan transaksi akuntansi telah terlaksana. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2008 yang mengadopsi PSA 69 – SA seksi 319 (konsep COSO) dimana terdapat lima ketegori pengendalian intern yaitu: 1. Lingkungan Pengendalian (Control Environtment) Dalam Lingkungan pengendalian faktor utama dari pengendaliannya adalah faktor manusia dimana diperlukan komitmen dari Kepala Daerah dengan jajarannya. Faktor etika dan ketaatan terhadap prosedur dalam pengeluaran dan penerimaan aset (kas) misalnya sering terjadi penyalahgunaan. Penyalahgunaan yang sering ditemukan dalam pengelolaannya adalah keterlambatan pertanggungjawaban uang muka sampai kas yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. 2. Penilaian Resiko (Risk Assessment) Secara umum pemeriksaan laporan keuangan yang sangat mempunyai resiko dalam pengelolaannya adalah kas di kas daerah. Namun dalam prosesnya dapat dilihat dari sisi belanja (pengeluaran) dan pendapatan (penerimaan). Pengeluaran belanja sangat rentan di salahgunakan. Pos-pos pengeluaran yang sering digunakan seperti bantuan keuangan, biaya makan minum, biaya perjalanan dinas sampai dengan mark-up pengadaan barang dan jasa. Dari sisi penerimaan sering digunakan karena sistem yang tidak berjalan dari proses penetapan wajib pajak, penagihan sampai dengan praktek pungli oleh aparat di lokasi.
51
3. Kegiatan Pengendalian (Control Activities) Pembuatan sistem dan prosedur yang dapat meminimalisasi kemungkinan terjadinya (resiko) pengendalian. Sistem yang terkomputerisasi jauh lebih baik daripada sistem yang serba manual. Proses pembuatan dokumen transaksi dari setiap persetujuan atasan langsung, verifikasi oleh bagian atau sub-bagian, rekonsiliasi setiap penutupan kas bulanan dan tahunan oleh atasan 51
52
langsung atau inspektorat dan pemisahan/ pembatasan tugas atas akses prosedur penerimaan dan pengeluaran aset. 4. Informasi dan Komunikasi (Information and Communication) Seperti pepatah “garbage in, garbage out”, benar adanya bila Laporan Keuangan tidak direviu oleh bawasda/ inspektorat/ inspektorat jendaral. Simpul-simpul rekonsiliasi Laporan Keuangan dapat terdeteksi dengan adanya kewajiaban SKPD untuk membuat Laporan Keuangannya sendiri. Tiap anggaran yang digunakan mempunyai konsekwensi jurnal yang dapat ditelusuri dari pos anggaran pendapatan dan belanja. Selain dari itu informasi eksternal yang berpengaruh terhadap aset dan hutang tentunya menjadi perhatian reviu, apakah sudah tercatat dan dibukukan dengan nilai yang wajar. Informasi yang mempengaruhi sangat material terhadap Laporan Keuangan apakah telah terakomodir dalam jurnal ataupun sebagai catatan atas laporan keuangan. Semuanya itu tentunya perlu suatu job discription, panduan manual akuntansi yang tepat, kebijakan akuntansi dan sistem/prosedur serta pembangunan kapasitas sumber daya manusia. 5. Pemantauan Pengendalian Intern (Monitoring) Pemantauan terhadap sistem pengendalian intern dapat dilakukan secara paralel seiring dengan proses pelaksanaan APBD. Bagaimana penyerapan anggaran, proses
penerimaan pendapatan dan pencairan dana sampai dengan mencatatnya ke dalam Laporan Keuangan. Namun pemantauan dapat juga dilakukan setelah terbentuknya Laporan Keuangan. Hal ini tidak mendeteksi secara cepat tetapi lebih melihat apakah efektif Pengendalian Intern suatu entitas. Karena pemantauan sistem pengendalian 52
dalam penyusunan Laporan Keuangan tidak paralel dapat mengakibatkan hal-hal seperti kolusi pengguna anggaran dengan jajarannya dan manipulasi data realisasi anggaran dan pendapatan tidak terdeteksi. Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) Menurut definisi SAP adalah serangkaian prosedur manual maupun terkomputerisasi mulai dari pengumpulan data, pencatatan, pengikhtissaran, dan pelaporan posisi keuangan serta operasi keuangan pemerintah daerah. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan reviu yang dilakukan akan lebih baik bila dilakukan secara paralel. Penyusunan laporan keuangan akan lebih efektif dan jika terdapat dalamnya suatu guide line dalam penyusunan laporan keuangan. Sesuai dengan Permendagri Nomor 13 tahun 2006, telah dipisahkan (desentralisasi) pelaporan keuangan. Penyusunan yang dulunya terpusat di Sub Bagian Keuangan di Sekretariat daerah telah didesentralisasi sesuai tanggung jawab penggunaan anggaran di setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Setaip SKPD wajib membuat Laporan Keuangan yang terdiri dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran dan Catatan Atas Laporan Keuangan.
Namun dalam pelaksanaannya Pemerintah daerah belum melihat kebutuhan yang sangat penting dalam penyusunan laporan keuangan yaitu Kebijakan Akuntansi. Sesuai dengan Standar Akuntansi Pemrintahan dalam penyususnan Laporan Keuangan wajib membuat suatu kebijakan akuntansi yang digunakan sebagai dasar untuk mencatat sebagai contoh aset. Sesuai defininya aset merupaNO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
kan harta yang dapat segera digunakan pemerintah dalam upaya penyelengaraan pemerintahan. Tetapi dari penelusuran selama ini terdapat kelemahan dalam menbukukannya yaitu: 1. Aset Lancar (Kas) Dalam prakteknya, standar akuntansi pemerintahan telah disusun dengan memperhatikan mekanisme penerimaan dan pengeluaran kas. Namun dalam proses pelaksanaannya terjadi distorsi-distorsi yang membuat dalam pencatatan dan penyajiannya pada Laporan Keuangan mengalami kendala. Kendala yang sering terjadi adalah pengakuan kas bon yang berlarut-larut belum dipertanggungjawabkan. Hasil audit yang telah dilakukan reviu dalam penyajian di laporan keuangan memposisikan kas bon sebagai kas. Selain dari itu adakalanya diposisikan sebagai piutang lain-lain. Latar belakang dari posisi kas bon tersebut tentunya mempunyai pertimbangan yang sangat hati-hati dari pengakuannya. Kas bon diposisikan sebagai kas sangat dipertimbangkan dengan itikad baik dari pemerintah daerah untuk mempertanggungjawabkan setelah Tahun Anggaran berakhir. Sedangkan kas bon yang berlarut-larut (belum) dipertanggungjawabkan lebih dari satu (1) tahun anggran diposisikan ke dalam piutang lain-lain merupakan pertimbangan yang sangat hati-ahti oleh Pemerintah Daerah untuk mengakuinya agar posisi kas tidak menjadi bias dalam perhitungan anggaran di tahun berikutnya, karena kas bon bukan kas yang senyatanya ada di kas di kas daerah. Dari semua penyajian tersebut tentunya menjadi perhatian setiap Pemda bahwa praktek-praktek pengeluaran yang belum dipertanggungjawabkan seperti kas bon tentunya merupakan ganjalan kewajaran Laporan Keuangan. 2. Aset Tetap a) Pengklasifikasian aset tetap yang salah; Aset Tetap dibagi menjadi lima (5) yaitu Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan Bangunan, Jalan/Irigasi/ Jaringan, Aset Tetap Lainnya, Konstruksi dalam Pengerjaan. Dalam prakteknya acap kali dijumpai konstruksi dalam pengerjaan diklasifikasikan sebagai aset tetap yang telah jadi dan siap digunakan, sehingga belanja barang maupun modal yang sampai dengan berakhirnya anggaran belum selesai dikategorikan sebagai aset tetap yang telah jadi dan siap digunakan. Hal ini sering terjadi pada belanja Modal yang sampai dengan Tahun Angaran berakhir belum 100% selesai, sehingga sisa anggaran diluncurkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ke tahun berikutnya. b) Pembuatan daftar aset tetap tidak terkendali; Karena banyaknya belanja modal, belanja barang dan jasa di lingkungan Pemda (SKPD), bagaimana membuat daftar aset tetap yang dilaporkan dalam Laporan keuangan menjadi bias antara Aset Tetap dengan daftar yang sering disebut Inventaris. Untuk membedakannya perlu dibuat daftar aset yang menurut aturan Pemda bahwa ada daftar aset tetap dari sisi umur ekonomis lebih dari satu tahun anggaran dan daftar inventaris yang merupakan pengadaan barang berNO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
dasarkan kebijakan Pemda sebagai aset yang secara nilai tidak signifikan dalam pengadaannya dan habis disusutkan dalam satu (1) tahun anggaran (intakomtableekstrakomtable). Dalam hal ini kebijakan penyusutan aset tetap harus tetap diakui agar dalam penagkuannya tidak overstated dan penyusutan akan memudahkan penilaian aset tetap yang sewajarnya sehingga penilaian oleh appraisal tidak berulang. c) Pengakuan dan penghapusan aset tetap yang tidak teratur. Aset tetap dapat diakuai selain dari umur ekonomisnya lebih dari satu tahun tetapi juga secara fisik telah selesai 100% dan siap digunakan. Terhadap pengahapusan aset yang telah ada seumur Pemda selama ini perlu dilakukan inventarisasi dan penilaian oleh lembaga appraisal. Untuk aset tetap Pemda yang telah usang dan rusak, hilang dilakukan penghapusan sesuai dengan aturan penghapusan aset negara. Namun sering terjadi Pemda cepat membuat Surat Keputusan penghapusan aset yang konsumtif seperti kendaraan dari pada mengurus aset-aset yang telah rusak (tidak dapat digunakan) untuk dihapuskan dari daftar aset Pemda itu sendiri. Kapitalisasi aset tetap juga yang menjadi hal yang jarang sekali mendapat perhatian. Aset tetap hanya diakui sebesar belanja modal yang dikeluarkan dari kas daerah sedangkan biaya-biaya yang dapat diatribusikan sebagai biaya untuk mendapatakan aset tetap itu siap digunakan belum dikapitalisasi. Terhadap masalah kas dan aset tetap dapat dilakukan suatu upaya yaitu penerapan pengelolaan kas yang hati-hati dan ketat dalam prosedur pencairannya, pembuatan sistem pengeloalan aset tetap yang terkendali, penetapan kebijakan akuntansi yang tepat seperti penyusutan dan kapitalisasi aset tetap. Semoga dengan dilakukannya reviu atas laporan keuangan oleh inspektorat, Pemerintah Daerah dapat meningkatkan kualitas Laporan Keuangannya dan tercipta pengelolaan keuangan daerah yang baik. Referensi - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemda - Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah - Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan - “Auditing : A Risk Analysis Approach”, Larry F. Konrath, Fifth Editions - Standar Profesional Akuntan Publik, 1 Januari 2001 - Siaran Pers BPK-RI tanggal 15 Januari 2009, Penghargaan oleh BPK-RI Kepada Institusi Pemerintah/ Lembaga: “Transparansi dan Akuntabilitas Keuangan Negara Tidak Bisa Ditawar Lagi”
53
53
AUDIT
PENGELOLAAN KAS DI KAS DAERAH
54
Oleh: Dicky Arnes, SE. Ak, Auditor SubAud NAD IA Kantor Perwakilan BPK-RI di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
D
alam pemeriksaan Laporan Keungan Pemerintah Daerah (LKPD) pemeriksaan kas di Buku Kas Umum (BKU) sangat krusial dalam pengerjaannya. Kas merupakan akun yang sangat likuid sehingga kemungkinan kesalahan sangat mungkin terjadi oleh pengguna anggaran atau entitas, baik kesalahan pencatatan dan perhitungan serta kecurangan. Tidak jarang pemeriksaan kas di BKU menghabiskan sekitar 50% dari waktu pemeriksaan. Kas di Kas Daerah Kas mencerminkan daya beli yang dapat dialihkan segera dalam suatu pertukaran ekonomi kepada suatu individu atau organisasi untuk memenuhi kebutuhan owner dalam memperoleh barang dan jasa, asset dan modal kerja. Kas merupakan aset yang sangat likuid sehingga dalam penempatan di aktiva yang lazim terlikuid ditempatkan paling atas dari semua aset yang dimiliki oleh suatu entitas. Kas digunakan sebagai alat pembayaran yang paling disukai oleh pelaku ekonomi termasuk entitas pemerintah. Kas juga digunakan sebagai alat investasi seperti SBI, SUN, Obligasi, Saham, atau konversi mata uang asing dalam rangka pembayaran. Berdasarkan definisi kas daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 yaitu: “Kas adalah uang tunai dan saldo simpanan di Bank yang setiap saat sapat digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan”. Sedangkan Kas Daerah didefinisikan sebagai berikut: “Kas Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh Gubernur/ Bupati/ Walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah”. Artinya semua penerimaan yang ada di kas daerah menjadi hak daerah dan merupakan tanggungjawab kepala daerah untuk menyimpan dan mengeluarkannya untuk kepentingan dan kemakmuran daerah. Buku Kas Umum Daerah Dalam praktek pemerintahan daerah pencatatan keluar masuk kas menggunakan buku kas yang disebut Buku Kas Umum (BKU) sebagai pencatatan seluruh penerimaan/debit dan pengeluaran/kredit (cash basis) dimana mengutamakan Sisa Perhitungan Anggaran sebagai kas sebenarnya di kas Bendaharawan Umum Daerah (BUD). Se54
luruh penerimaan kas dicatat sebagai penambah kas begitu pula sebaliknya pengeluaran. Penerimaan selain kas tidak dicatat dalam buku kas umum. BKU dicatat secara bruto atas seluruh penerimaan kas baik yang penerimaan anggaran seperti telah dimaksudkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) maupun non anggaran seperti diantaranya Pajak Negara PPh 21, 22, 23, PPN, Perhitungan Fihak Ketiga Taperum dan Iuran Wajib Pegawai. Penggunaan BKU hakikatnya sebagai catatan bila kita mengambil substansi dari pencatatannya. Saat ini, seluruh laporan keuangan yang merupakan output dari sistem yang digunakan oleh bagian pembukuan entitas pelaporan. Bila pembukuan dari sistem telah baik menurut ketentuan yang ada yaitu double entry maka sepatutnya pencatatan di BKU dan sistem yang dilakukan oleh bagian pembukuan khususnya kas haruslah menampilkan saldo yang sama. Tapi selama ini hampir semua entitas di daerah tidak aware akan pentingnya hal ini, bahwa dengan taatnya pencatatan BKU selaras dengan rekening bank memudahkan kontrol atas saldo kas di BUD. Hal ini dapat terjadi karena ketidakteraturan pembukuan maupun kesengajaan. Tidak seperti pencatatan buku kas dan buku bank yang lazimnya dicatat terpisah pada privat sector, pada public sector di daerah seluruh penerimaan dan pengeluaran dicatat dalam satu BKU dikarenakan sesuai Peraturan Pemerintah ditentukan bahwa saldo BKU harus sama dengan saldo bank. Tetapi pada kenyataannya terasa sulit sekali bagi entitas pelaporan pemerintah di daerah untuk melakukan hal tersebut. Mungkin ini dikarenakan oleh alasan yang beragam, dari kerumitan pemindahbukuan sampai dengan kurangnya forcasting kebutuhan dana yang tidak teratur. Seyogyanya di BUD tidak ada Kas yang jumlahnya terlalu besar atau tidak sesuai ketentuan yang ditetapkan kepala daerah. Ada batas batas saldo yang diperbolehkan setiap bulannya. Dari asersi yang ada tentang kas yaitu : 1. Keberadaan dan keterjadian Saldo kas benar-benar ada dan milik entitas 2. Kelengkapan Seluruh transaksi penerimaan kas (Bank) telah dicatat. 3. Penilaian dan Alokasi Seluruh transaksi penerimaan dan pengeluaran kas telah diperhitungkan dengan nilai yang semestinya. 4. Hak & Kewajiban NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
Penerimaan dan pengeluaran kas relevan dengan Tahun Anggaran yang diperiksa. 5. Pengungkapan Realisasi penerimaan dan pengeluaran kas telah diungkapkan secara memadai dalam Laporan Keuangan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan. Rekonsiliasi Kas di Kas Daerah Dari pemeriksaan selama ini secara sistem akuntansi dari format alternatif yang ada tidak mengakomodir praktek-praktek akuntansi khususnya keuangan yang sering dilakukan oleh entitas di daerah. Seperti outstanding cek kerap kali muncul sebagai akibat tidak taatnya daerah mematuhi anggaran dimana sebagaimana kita tahu bahwa per 31 Desember tidak boleh ada pencairan yang melewati Tahun Anggaran. Tetapi ada alternatif untuk setiap perlakuan akuntansi yang tentunya setiap daerah mempunyai keunikannya sendiri. Segala peraturan punya kelemahan dalam penerapannya karena apa yang terjadi di prakteknya tidak sebaik ketentuan yang ditetapkan. Dari penetapan APBD yang kerap kali terlambat sampai dengan keterlambatan pelaksanaan pekerjaan fisik. Sampai dengan tahun anggaran 2006 sepertinya hal ini dapat ditolerir, tetapi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 (Permendagri No. 13 Th. 2006), hal ini tidak diperbolehkan lagi. Masa transisi antara Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2002 ke Permendagri No. 13 Th. 2006 sepertinya masih terdapat outstanding cek tersebut, dimana pengeluaran daerah masih menggunakan cek atas dasar Surat Perintah Membayar (SPM) sebagai dasar pengeluaran kas daerah. Dengan Permendagri No. 13 Th. 2006 penggunaan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dimana dana ditarnsfer langsung ke pihak ketiga tanpa melalui cek. Ini diharapkan dapat terlaksana atas perjanjian kerjasama Pemerintah Daerah (Pemda) dengan Bank Persepsi. Mengenai alernatif perlakuan sebagaimana kejadian diatas atas outstanding cek sering timbul atau pencairannya setelah tahun anggaran sebaiknya dilakukan pencatatan sebagai Pengeluaran Pembiayaan, tetapi bila tidak dimungkinkan dari definisi pembiayaan maka perlu pengungkapan yang cukup dalam Catatan atas Laporan Keuangan. Ini dikarenakan untuk memberikan informasi pengguna laporan dan juga kepentingan pemeriksaan atas laporan keuangan berikutnya agar aware atas outstanding cek tersebut. Maksud dari pencatatan tersebut agar tidak terjadi double perhitungan dari SiLPA tahun lalu dengan tahun berikutnya.
NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
SiLPA 31 Desember terdiri dari : 1. Kas Tunai (Bank) Di BUD 2. Kas di Bendahara Pengeluaran 3. Kas di Bendahara Penerimaan Dari gambar diatas merupakan batas cut-off rekonsiliasi Kas (Bank) per 31 Desember dimana: 1. A merupakan Batas Tahun Anggaran (TA) I, terdapat Sisa Pengisian Kas (Bendahara Pengeluaran) 1 (Arsir). SiLPA TA I terdiri dari Perhitungan TA I termasuk Sisa Pengisian Kas di bendahara pengeluaran I dan kas di bendahara penerimaan yang belum disetor per 31 Desember. 2. B merupakan Batas TA II, terdapat Sisa Pengisian Kas di Pemegang Kas (Bendahara Pengeluaran) 2 (Arsir). SiLPA TA II terdiri dari Perhitungan TA II termasuk Sisa Pengisian Kas di bendahara pengeluaran 2 dan kas di bendahara penerimaan yang belum disetor per 31 Desember. Sering terjadi karena ketidakteraturan pembukuan dan tidak termasuk Sisa Pengisian Kas yang ternyata tidak terdeteksi dalam pemeriksaan. Sehingga sisa pengisian kas tersebut merupakan pendapatan lain-lain yang merupakan bagian SiLPA TA III. Dari penentuan cut-off di awal pemeriksaan, pengeluaran dan pendapatan tahun anggaran yang berjalan akan ditelusuri dari SP2D/ UP/ GU/ TU/ LS yang merupakan dasar pengeluaran dari apa yang telah ditentukan dalam penjabaran APBD. Sedangkan kelengkapan atas pendapatan dilakukan pemerikasaan laporan penerimaan dengan instansi/ divisi/ satker yang berkaitan (cross section). Dalam hal pendapatan dari Dinas terkait atau bendahara penerimaan dari hasil penerimaan yang belum disetor sampai dengan pemeriksaan kas, maka hal ini dicatat sebagai kas di pemegang kas (bendahara penerimaan) sebagai kas dan setara kas tetapi tidak sebagai perhitungan realisasi anggaran. Sebagai kontra kas di bendahara penerimaan tersebut di neraca dicatat sebagai pendapatan yang ditangguhkan. Penerimaan kas tersebut menurut PP 24 akan diperhitungkan sebagai penerimaan lain-lain tahun berikutnya. Secara normatif pencatatan nomor register STS dan penerimaan pendapatan dicatat dengan berurutan (sequential), walaupun tidak mutlak selama dapat dijelaskan dan dapat diperhitungkan. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Dalam perhitungan anggaran yang menghasilkan SiLPA tahun berjalan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan (PP 24/2005) penerimaan entitas selain kas dicatat sebesar nilai taksiran atau nilai pasar yang wajar tetapi penerimaan tersebut dimana langsung di off-set dengan contra belanja penerimaan tersebut seperti penerimaan sumbangan aktiva tetap, sehingga hasil penerimaan kas tersebut 55
55
menambah jumlah perhitungan penerimaan tetapi tidak merubah SiLPA tahun berjalan. SiLPA juga tidak termasuk di dalamnya PFK yang merupakan kewajiban kepada Pihak Ketiga sehingga SiLPA merupakan kas yang sesungguhnya ada secara fisik untuk anggaran tahun berikutnya. Sedangkan PFK (kewajiban) bukan dasar perhitungan penganggaran tahun anggaran berikutnya. 56
Bentuk Kas Dalam Penjelasan CALK yang Ditemukan Dalam pemeriksaan Laporan Keuangan ada beberapa penjelasan atas pos kas yaitu sebagai berikut: 1. Kas di Kas Daerah (1) Kas Tunai Kas Tunai merupakan kas yang berada di BUD yang menjadi hak daerah. (2) Kas di Bank Kas di bank merupakan kas yang berada di bank atas nama pemerintah daerah/ pusat yang dalam ketentuannya harus dilaporkan kepada DPRD. (3) Kas Bon Kas Bon merupakan pengeluaran oleh BUD tanpa melalui mekanisme SPM. Ada beberapa pengeluaran yang dapat diiklasifikasikan sebagai kas bon diantaranya secara garis besar ada 2 jenis yaitu: a. Kas bon tanpa acuan anggaran. Merupakan kas yang dikeluarkan dari kas daerah dengan/tanpa acuan DPA atau APBD. b. Kas bon dengan acuan anggaran Merupakan kas yang dikeluarkan dari kas daerah sebelum penetapan Anggaran (APBD). Ada yang menyebutnya uang muka kerja. Tetapi definisi uang muka kerja ini bukan merupakan definisi uang muka kerja yang ada pada definisi PP 24 mengenai PSAP 08 tentang konstruksi dalam pengerjaan dimana uang muka kerja adalah jumlah yang diterima oleh kontraktor sebelum pekerjaan dilakukan dalam rangka kontrak konstruksi. (4) Kas Non-Budgeter Kas Non-Budgeter merupakan kas yang tidak menjadi hak daerah. Kas ini merupakan kas titipan sementara karena suatu ketentuan atau perundang-undangan negara/ daerah harus mengamankan penerimaan negara sehingga penerimaannya sementara dititipkan di daerah atau iuran yang diwajibkan dari pemotongan penerimaan pegawai untuk tujuan tertentu.. Contoh dari kas non budgeter adalah hasil Perhitungan Pihak Ketiga (PFK), iuran wajib pegawai dan Taperum. 2. Kas di Bendahara Penerimaan Kas Bendahara Penerimaan merupakan sisa penerimaan kas yang belum disetor oleh pemegang kas. 3. Kas di Bendahara Pengeluaran Kas Bendahara Penerimaan merupakan sisa pengisian kas yang belum dipertanggungjawabkan oleh pemegang kas. Dalam pengelolaan kas sesuai dengan Permendagri No. 13 tahun 2006 dibentuk suatu Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) yang bertugas mengelola keuangan daerah 56
dimana sesuai dengan fungsi perbendaharaan (treasury) dan juga sebagai financial manager dimana diberi keleluasaan mengelola kas daerah agar tercipta tatakelola yang baik dan juga bagaimana meningkatkan penerimaan daerah dari hasil pengelolaan kas daerah tersebut. Penempatan pada investasi-investasi yang dapat meningkatkan penerimaan daerah tanpa mengganggu cash flow atas pengeluaran daerah. Tentunya kita sepakat akan pengelolaan yang baik atas kas daerah, tetapi penempatan investasi yang bagaimana yang sebaiknya dalam pengelolaaan tersebut yaitu investasi dengan resiko yang hampir 0%. Sampai saat ini Sertifikat Bank Indonesia merupakan instrumen investasi yang banyak dipilih. Penempatan pada investasi tentunya merupakan hal yang legal administratif dalam kerangka APBD. Karena investasi adalah sesuatu bentuk pengalihan kas ke produkproduk perbankanataupun pasar modal haruslah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD). Persetujuan ini tentunya merupakan legalisasi pengelolaan kas daerah sehingga tidak ada pertanyaan keabsahan pengelolaan kas tersebut. Saat ini banyak produk-produk perbankan yang memudahkan daerah meningkatkan penerimaan pengelolaan kas. Produk perbankan tersebut secara legal dijalankan untuk mengamankan kreditur besar dalam hal ini pemerintah daerah (pemda) oleh Bank dalam menempatkan kas daerah. Dalam pengelolaan kas ini Pemda banyak menempatkan kas daerah pada bank milik pemerintah daerah seperti Bank Pembangunan Daerah (BPD). Hampir seluruh penerimaan daerah seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) ditempatkan pada rekening di BPD. Sayangnya, penempatan kas daerah tersebut dalam bentuk giro yang berbunga rendah. Padahal banyak produk-produk perbankan yang lebih menarik dalam usaha peningkatan pendapatan asli daerah seperti Deposito. Deposito merupakan bentuk investasi yang relatif lebih tinggi dalam penerimaan bunganya. Seperti menerima durian jatuh, BPD setiap tahunnya menerima DAU, DAK, Dana Bagi Hasil. Seiring dengan itu, deposito mengalami perkembangan yang dimana terdapat depsito yang berbunga lebih tinggi tetapi dapat ditarik oleh pemda sewaktu-waktu tanpa konsekwensi apa-apa. Mungkin hal ini yang menyebabkan BPD mengeluarkan deposito jenis tersebut untuk mengamankan kreditur besarnya. Menurut jangka waktu deposito diklasifikasikan sebagai investasi jangka pendek yang berjangka waktu tiga sampai dengan duabelas bulan. Produk deposito tersebut menjadi sumir dalam arti pengakuan pemda terhadap asetnya. Apakah merupakan investasi atau setara kas? Selama tidak melebihi 3 bulan yang tidak melekat pada investasi jangka pendek. Artinya bila dikategorikan sebagai investasi tentunya jangka waktu deposito tersebut berjangka waktu lebih dari 3 bulan dan secara legalisasi harus mendapat persetujuan DPRD yang tertuang dalam APBD. Seandainya penempaNO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
tan deposito melebihi lebih dari 3 bulan dikategorikan sebagai investasi jangka pendek dan bila tidak merupakan amanat APBD merupakan pelanggaran kepatuhan terhadap pengelolaan kas daerah. Tanggungjawab Semua penerimaan dan pengeluaran kas daerah harus dikelola oleh BUD dengan kehati-hatian. Berdasarkan Undang-Undang Perbendaharaan Negara No. 1 Tahun 2004 , atas tagihan pembayaran BUD wajib meneliti kelengkapan, menguji kebenaran, menguji ketersediaan, memerintahkan pencairan dan menolak pencairan dana yang diajukan Pengguna Anggaran yang menjadi beban APBD. Khusus Bendahara Pengeluaran bertanggungjawab secara pribadi atas pembayaran yang dilaksanakannya.
Referensi: - Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah - Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara - “Teori Akuntansi”, Eldon S. Hendriksen, Michael F. Van Breda, Edisi Kelima - “Auditing : A Risk Analysis Approach”, Larry F. Konrath, Fifth Editions
Sosialisasi Kebijakan Audit Perwakilan BPK RI Provinsi Bali Tahun 2009 Oleh: Subbah Hukum & Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali
Sesuai dengan amanat UUD 1945 pasal 23 huruf E,Fdan G tentang Badan Pemeriksa Keuangan, salah satu tugas dan fungsi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia adalah untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara dan juga untuk melaksanakan visi dan misi BPK RI. Berkaitan dengan hal tersebut Kepala Perwakilan BPK RI Provinsi Bali memandang perlu untuk melaksanakan sosialisasi kepada auditee tentang ke-BPK-an dan paket undang-undang keuangan negara serta langkah-langkah kebijakan BPK RI Perwakilan Provinsi Bali terkait pemeriksaan pada tahun 2009. Pada hari Jumat tanggal 28 Januari 2009, bertempat di Aula Kantor Perwakilan BPK RI Provinsi Bali dilaksanakan sosialisasi tentang ke-BPK-an dan paket undang-undang keuangan negara serta kebijakan pemeriksaan BPK RI Perwakilan Provinsi Bali tahun 2009. Hadir dalam acara tersebut, Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Drs. I Nyoman Yasa, M.Si. serta seluruh jajaran SKPD dan BUMD di Provinsi Bali. Sosialisasi tersebut langsung disampaikan oleh Kepala Perwakilan Provinsi Bali, I Gede Kastawa, S.E., M.M.. dalam penjelasan beliau, sosialisasi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mendorong terciptanya transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah Provinsi Bali. Hal tersebut dilakukan untuk mendorong pemda untuk NO 116 / Edisi Khusus 2008 /Tahun XXVIII
mempercepat pencapaian opini pemeriksaan BPK RI wajar tanpa pengecualian. Kepala Perwakilan Provinsi Bali juga menjelaskan tentang paket undang-undang keuangan negara serta peran dan fungsi BPK RI pada paket undang-undang tersebut. Di samping itu, diungkapkan pula tentang profil hasil pemeriksaan atas pengelolaan keuangan daerah Provinsi Bali dari tahun 2004 sampai tahun 2008, yang dilanjutkan dengan sesi tanya jawab Selain sosialisasi ke jajaran pemerintah Provinsi Bali, Kepala Perwakilan juga melakukan sosialisasi di kota dan kabupaten lain di Bali. Pada tanggal 23 Januari 2009 dilakukan sosialisasi di Kabupaten Badung yang dihadiri oleh Bupati Badung, A.A. Gede Agung, yang sekaligus sebagai moderator dalam acara tersebut. Tanggal 29 Januari 2009 di Kota Denpasar dilakukan kegiatan serupa yang juga dihadiri oleh Walikota Denpasar, I.B. Rai Dharmawijaya Mantra. Rencana ke depan kegiatan ini akan dilakukan di seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Bali.
57
57
GENDIT
JANGAN SAMPAI GENDIT KEBOBOLAN 58
“M
Oleh: Cris Kuntadi, MM, CPA
as, nanti balik lagi.” Kata Gendit ketika diminta karcis parkir oleh Satpam saat keluar dari komplek perkantoran BPK. Seketika, Mas Satpam, sebut saja Ronald yang masih bujangan, mempersilakan Gendit keluar dengan mobilnya tanpa meminta karcis parkir. Rupanya, tidak meminta karcis parkir untuk setiap kendaraan yang keluar dari komplek perkantoran BPK sudah menjadi kebiasaan, terutama untuk pengendara yang mengatakan akan kembali lagi ke BPK. Hal inilah salah satu kebiasaan yang diprotes si tukang insinyur Pak Sudib yang mobilnya kebobolan maling belum lama ini. Kaca belakang mobilnya dijebol maling tanpa satupun Satpam yang mengetahui. Alhasil, satu buah tas yang berisi seperangkat alat sholat bablas digondol maling. ”Semoga maling tersebut insyaf setelah memaling seperangkat alat sholat saya.” Pak Sudib menyatakan hal tersebut kepada Gendit. Memang, Pak Sudib sejak pindah dari Aceh ke Jakarta menjadi semakin rajin sholat dalam kondisi dan keadaan apapun. Makanya, seperangkat alat sholat selalu mendampinginya dalam setiap perjalanan, meskipun hanya ke kantor. Untuk berjaga-jaga kalau sewaktu-waktu masuk waktu sholat dalam perjalanan pulang ke rumah, kata Pak Sudib beralasan. ”Tapi, sebetulnya ikhlas gak sih Pak, kemalingan?” selidik Gendit. ”Kalau kemalingan alat sholat sih saya sangat ikhlas, apalagi kalau alat sholat tersebut dipakai. Pahala mengalir terus ke saya. Ya, kan, Ndit? Yang bikin saya kesel adalah kaca mobil belakang saya yang dijebol. Harganya tidak sebanding dengan nilai selembar sajadah.” Jawab Pak Sudib. ”Jadi, tidak ikhlas dong pak.” Selidik Gendit lagi. ”Kaca dipecah membuat saya kesal. Tapi yang membuat saya kecewa berat dan tidak habis pikir adalah.... kenapa keamanan kantor sebegini besarnya kok sedemikian rawan. Pengendalian internal kantor ini sangat lemah.” Pak Sudib mulai menampakkan watak aslinya, sebagai auditor yang biasa mengevaluasi sistem pengendalian intern. “Lho, Satpam kan tidak bisa memelototin mobil satu per satu selama 24 jam. Mereka kan juga manusia, yang ada khilaf dan salah.” Gendit berusaha menenangkan. ”Ya, tapi ini bukan yang pertama kali kejadian seperti ini. Setahu saya, kaca dijebol sudah lebih dari tiga kali, begitu juga pintu dibuka oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Teman wanita saya di AKN VII juga pernah dibongkar mobilnya dan lenyap laptopnya.” Pak Sudib memberikan alasan kekecewaannya. ”Lho wong parkir gak bayar aja kok sewot sih pak. Yang 58
membayar saja dan bilang secure parking tidak menjamin keamanan mobil beserta isinya.” Gendit tetap berusaha menyeimbangkan kondisi. ”Ya tapi mereka telah melakukan pengendalian internal yang cukup memadai. Dengan pengendalian intern yang baik, kemungkinan kesalahan semakin kecil.” Pak Sudib berteori. ”Coba saja lihat, kendaraan keluar kantor tanpa diminta tanda parkir hanya dengan mengatakan ”akan kembali lagi”. Ya kalau mereka benar akan kembali. Kalau mereka ternyata maling?” Lanjut Pak Sudib menyampaikan hasil pengujian pengendalian sistem keamanan di BPK. ”Jadi? Apa saran Bapak atas sistem pengendalian keamanan BPK yang lemah ini?” Gendit meminta rekomendasi auditor BPK. ”Bangun sistem operasi dan prosedur (SOP) keamanan yang memadai dan minta para petugas mematuhi pengendalian internal yang dibangun tersebut. Perlu dibuat laporan kinerja keamanan. Yang melanggar dan tidak patuh terhadap SOP harus diberikan sanksi. Tapi, jika mereka berprestasi, misalnya setahun tanpa kehilangan mobil, beri mereka penghargaan.” Pak Sudib memberikan rekomendasi. ”Untuk yang kehilangan, apa rekomendasi Pak Sudib?” Tanya Gendit lagi. Ditanya seperti itu, Pak Sudib menarik nafas dalam-dalam dan mengatakan ”Banyak-banyaklah beristighfar, mohon ampun kepada Allah. Mungkin mereka suka lupa kewajiban infaq, shodaqoh, dan zakat sehingga Allah mengingatkan. Mereka harus banyak memperhatikan nasib orangorang yang kurang beruntung. Di antaranya ya para satpam itulah..” ”Lho tidak ada saran untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang kehilangan?” Tanya Gendit lebih lanjut. ”Lho, yang maha pemberi itu Allah, bukan Pak Purnomo atau Pak Cipto. Banyak-banyaklah sholat Dhuha. Insya Allah akan diganti oleh Allah dengan yang lebih baik dan lebih banyak. Percayalah.” Pak Sudib terus mengungkapkan ajakan yang menyejukkan. ”Kalau begitu Pak Sudib, nenek Yullyan makan sirih, cukup sekian dan terima kasih.” Gendit mengakhiri pembicaraannya.
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII
68
68
NO 116/ Edisi Khusus 2008/Tahun XXVIII