TRANSKRIP WAWANCARA
Nama
: Budi Susanto
Tanggal wawancara : Kamis, 9 Mei 2013 Peneliti
: Bagaimana sejarah Sekolah Rakyat Nusantara terbentuk ?
Budi
: Sekolah Rakyat dibentuk dalam suasana keprihatinan di awal tahun 2012, ketika itu saya yang menjabat sebagai Kepala Sekolah SMK Global Insan dinon-aktifkan. Tidak lama setelah itu, sekitar satu bulan kemudian murid-murid saya pun medapat perlakuan yang kurang baik dari pihak sekolah dan yayasan, entah karena alasan apa akhirnya mereka satu kelas berhenti semua. Setelah itu, mereka datang ke saya sambil menangis dan mereka bilang mereka ingin ikut dengan saya. Saya bilang, jika kalian ikut saya, apa yang bisa saya berikan untuk kalian ?. Mereka menjawab, yang penting kita belajar Pak. Yasudah, kalau begitu belajar kan harus ada tempatnya dan fasilitas lainnya. Kemudian mereka bertanya kepada saya, apa yang bisa kita lakukan sekarang dengan keadaan putus sekolah ?. Saya menjawab, banyak yang bisa kalian lakukan, salah satunya bagaimana kita bisa membela nasib-nasib anak lain yang senasib dengan kalian. Caranya dengan kita membangun Sekolah Rakyat Nusantara, sebuah sekolah gratis tanpa biaya sepeser pun. Untuk tingkat TK, SD, SMP kan kalian bisa menjadi pengajarnya. Maka dibangunlah Sekolah Rakyat Nusantara. Awalnya hanya mereka (para citizen journalist) yang drop out saja yang saya ajar. Namun, karena mungkin banyak masyarakat yang melihat dan kami pun memberi pengumuman untuk mereka yang ingin
kursus atau ingin bergabung di Sekolah Rakyat Nusantara, kita terima tanpa biaya. Akhirnya tiga bulan setelah pembukaan muridnya bertambah, sekitar 150 tercatat sebagai murid di Sekolah Rakyat Nusantara. Saya mengajarkan kepada para 15 murid yang dikeluarkan ini, bagaimana caranya mengajar anak-anak di bawah mereka. Jadi saya berikan pelatihan-pelatihan kecil agar mereka bisa mengajarkan adik-adiknya, dan hasilnya lumayan, dari beberapa orang tua menyatakan kepuasan dari kinerja mereka. Ada juga beberapa guru dari sekolah regular menyarankan agar murid-muridnya kursus di Sekolah Rakyat. Nah jika flashback bagaimana kami membangun Sekolah Rakyat itu, ke 15 anak-anak yang menjadi jurnalis warga ini mencari uang dengan cara berjualan, ngamen, dan lain sebagainya untuk membangun dan memenuhi fasilitas seperti bangku, meja untuk belajar. Kemudian karena basic ke 15 siswa-siswi ini adalah broadcast, maka saya segera melakukan pelatihan-pelatihan mengenai bagaimana caranya melakukan sebuah liputan, bagaimana caranya membuat sebuah film, iklan dan lain-lain. Jadi saya latih mereka untuk bisa melakukan rekam gambar, suara, dan lain sebagainya. Sampai kepada proses editing dari mulai yang paling sederhana sampai yang tersulit hingga mereka sekarang bisa melakukan semuanya. Dalam hal liputan pun sangat produktif di dalam melakukan rekaman-rekaman, banyak tugas yang saya berikan untuk latihan-latihan meliput tema yang menarik. Ketika kita lihat di televisi ada lomba citizen journalis award, maka saya minta karya-karya yang kita produksi belum lama ini dikirimkan. Ternyata mereka bisa mengirimkan sepuluh karya. Dari sepuluh karya, ada dua yang masuk nominasi yaitu untuk kategori peristiwa dan news feature. Sejak saat itu mereka terpacu untuk melakukan banyak kegiatan jurnalistik dengan. Saat kami juara, kami mendapat hadiah uang tunai, piala, handycam dan digital
kamera. Kami semakin giat mencari berita, sampai akhirnya di bulan Januari 2013, kami mendapat juara kedua dan dapat lagi kamera. Jadi, yang tadinya kita keterbatasan alat, alhamdulillah jadi bertambah. Kemudian sekarang kesulitan yang muncul ketika mereka sudah harus mengikuti ujian-ujian paket. Mereka kan tidak punya uang, jadi mereka saat ini terpaksa harus bekerja agar mereka bisa mengikuti ujian paket C. Namun yang lebih menyemangati saya untuk mengajar mereka adalah mereka tidak berfikir untuk dirinya sendiri, namun mereka juga berfikir untuk adik-adiknya yang mengikuti ujian paket suulan. Padahal biayanya cukup besar. Peneliti
: Apa visi misi Sekolah Rakyat Nusantara ?
Budi
: Visinya adalah kita menginginkan anak bangsa ini bisa menjadi para akademisi yang handal, jadi terciptanya sebuah generasi yang cerdas. Misinya adalah dengan menjadikan Sekolah Rakyat Nusantara sebagai media atau suatu altenatif (jalan keluar) bagi mereka yang tidak mempunyai biaya, namun ingin bersekolah. Mereka bisa besekolah di Sekolah Rakyat tanpa biaya sedikit pun. Serta melatih anak-anak berkarakter baik, tangguh, agar mereka bisa peduli dengan orang lain.
Peneliti
: Adakah pembimbing lain yang membantu And mengajar ?
Budi
: Ada, anak asuh Saya juga yang dibawa dari Subang, namanya Tiara. Awalnya dia hanya mengerjakan pekerjaan administratif, namun lamalama Saya ajarkan bagaimana caranya mengisi sebuah waktu ketika guru tidak hadir. Yang diajarkan oleh Tiara mengenai pembangunan karakter, seperti motivasi, keterampilan Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, serta dasar-dasar ekonomi dan sosial. Saya berfikir, jika siswa-siswi saya pandai berbahasa Indonesia biasanya akan mudah mempelajari bahasa lainnya seperti Bahasa Inggris.
Peneliti
: Di Sekolah Rakyat pelajaran apa saja yang diajarkan, terutama untuk 15 siswa ini ?
Budi
: Kalau ke-15 siswa-siswi ini, Saya ajarkan sama dengan kurikulum dari dinas pendidikan, kurikulum 2006. Namun, ada tambahantambahan pelajaran yang Saya berikan yaitu life skill, seperti fotografi, video shooting, menulis artikel, naskah berita, membaca berita, kerajinan tangan, dan juga berniaga. Yang paling utama adalah pembentukan karakter.
Peneliti
: Apakah ada pembatasan wilayah untuk siswa-siswi yang bergabung di Sekolah Rakyat ?
Budi
: Tidak, kami tidak membatasi. Ada yang dari Binong, Kelapa Dua, dan desa-desa tetangga.
Peneliti
: Termasuk ke dalam kategori apa Sekolah Rakyat ?
Budi
: Ilegal mungkin iya, karena kita belum mempunyai izin. Namun ilegal non-formal. Mungkin lebih tepatnya seperti home schooling.
Peneliti
: Masuk ke dalam topik utama, apa definisi atau arti citizen journalist bagi Anda sebagai bagian dari Sekolah Rakyat ?
Budi
: Citizen journalist bagi saya dan partisipan di Sekolah Rakyat merupakan jurnalis non-profesional. Kalau saat ini sudah terlanjur diterjemahkan dengan kata jurnalis warga, maka yang dimaksud warga bisa bermacam-macam, bisa warga RT, RW, kelurahan. Dan yang kita pahami kalau yang namanya warga adalah warga negara Indonesia. Namun kalau jurnalis itu sudah umum difahami sebagai orang yang mengikuti peristiwa atau kejadian, atau isu-isu yang sedang
mengemuka itu dibuat jurnal. Secara awam dipahami sebagai wartawan. Peneliti
: Sejak kapan SR terlibat menjadi jurnalis warga ?
Budi
: Sebenarnya sebelum kami drop out sudah diajarkan 5W1H, namun hanya sebatas untuk pembuatan artikel dan tugas liputan ringan. Misalnya kami diwajibkan untuk membuat berita atau artikel yang bersifat akademis, ilmiah, atau sosial kemasyarakatan untuk mengisi majajah dinding. Lalu diajarkan membaca berita, kecepatan serta akuratisasi dalam vocal.
Peneliti
: Siapa orang yang memotivasi untuk menjadi jurnalis warga ?
Budi
: Saya, karena awalnya kita sama-sama nonton televisi, dan pada jamjam tertentu diwajibkan menonton berita. Berita yang dipilih adalah Metro TV
Peneliti
: Kenapa memilih Metro TV ?
Budi
: Karena Metro TV mempunyai kelebihan dibanding TV lain, TV ini memiliki muatan analisis, jadi setiap berita yang ditampilkan ada analisisnya dan nampaknya data yang diberikan akurat. Kemudian menurut Saya, Metro TV ingin mencoba menyajikan segala informasi yang secerdas mungkin, dan seakademik mungkin.
Peneliti
: Apa motivasi yang melatar belakangi untuk terlibat menjadi jurnalis
warga ? Budi
: Awalnya kita arahnya lebih ke film sama iklan, namun ada beberapa yang memang Saya tekankan apabila ada peristiwa yang menarik harap direkam. Awalnaya hanya ingin menggerakkan inisiatif mengabadikan atau merekam semua kejadian yang ada di sekeliling,
jadi bagaimana menanggapi persoalan pada usia yang berbeda dan muda. Kemudian karena pada dasarnya kami suka tantangan, kalau hanya membuat dokumenter, akan bosan lama kelamaan, jadi ingin mengembangkan liputan di sekitar. Ketika ada iklan tentang jurnalis warga, kami pun ikutan. Apalagi ketika menjadi
juara, tambah
semangat lagi sebagai jurnalis warga. Karena merasa ada sesuatu yang kita ingin kejar, ada target yang harus didapatkan yaitu menjadi juara. Peneliti
: Adakah kaitanya menjadi jurnalis warga dengan seleksi isu dan settingan media mainsteam terhadap tayangan saat ini ?
Budi
: Ya memang di daerah kami bahu membahu membangun pola pikir kami dari mulai mikro sampai ke makro. Yang harus diingat adalah kalau dari awal melihat sesuatu adalah titik, maka haru dikembangkan titik itu menjadi lingkaran yang lebih besar. Untuk penyeleksian dengan metodologi, misalnya ada ukuran-ukuran jurnalistik sebagai acuan baku oleh Metro TV, kita sebenarnya senang sekali mengikuti setiap pembakuan yang berlaku. Kita berupaya memenuhi apa yang mereka mau. Seperti tema dan cara pengambilan gambarnya pun kami ikuti. Jadi ketika media memiliki ketentuan-ketentuan seperti itu, bagi kami tidak masalah asalkan diberi tahu. Sehingga nanti kami bisa mengembangkan keterampilan dalam rangka memenuhi ketentuan baku tersebut.
Peneliti
: Maksudnya begini, bukan ketentuan untuk jurnalis warga, namun lebih ke seleksi isu yang dilakukan media mainstream ?
Budi
: Sebetulnya kita melihat siaran di TV secara menyeluruh, misalnya ada berita internasional, nasional, dan lokal. Kesal dengan seleksi isu pasti ada, namun kita paham memang berita-berita dari daerah atau lokal tidak mungkin semua peristiwa yang terjadi di waktu yang sama
dari berbagai daerah direkam atau dikejar oleh profesionalis jurnalistik. Nah kita berharap semenjak Metro TV mengeluarkan program
jurnalisme
warga,
kita
terpacu
untuk
membangun
lingkungan. Dengan begitu kita bisa memberitakan semua yang terjadi di daerah kami. Seperti memberitakan jalan rusak, sekolah rusak, penyimpangan APBD, dll. Makanya setelah menjuarai jurnalis warga ada beberapa kali perstiwa pembunuhan, tenggelam di danau, dll. Lebih kepada kita melihat adanya peluang untuk menjadi jurnalis karena tidak semua tempat mampu dijamah oleh jurnalis profesional. Belum lagi dengan berokrasi dan prosedur yang harus dihadapi jurnalis profesional ketika meliput. Peneliti
: Oya, adakah kaitannya menjadi jurnalis warga karena ingin eksis ?
Budi
: Kalau eksistensi diri begini, sesuai dengan teori Maslow bahwa semua orang ingin ekstimlah, ingin eksis di dalam masyarakat. Motivasi kesana ada, contohnya kami akan senang sekali kalau ada berita daerah kami muncul di televisi, kemudian orang-orang kampung sini bilang oh ternyata yang kemarin kamu rekam ya, Saya suka sekali. Kami jadi dikenal orang banyak, namun kami lebih kepada gembira saat melihat orang lain gembira. Nah kalau eksistensi otomatis mengikuti, ketika kami meliput berita-berita yang ada di legok ini, dan masyarakat tahu kalau kami jurnali warganya Metro TV. Maka warga secara otomasis pula memberikan penghargaan yang berbeda, artinya secara sederhana mengatakan bahwa kita di masyarakat punya tempat yang berbeda dengan anak-anak lain.
Peneliti
: Adakah masyarakat yang mengomentari karya kalian ?
Budi
: Iya ada, jadi warga tuh sering nonton Metro TV sekarang khususnya Wideshot. Karena mereka tahu asal kami sudah keliling dan merekam
di daerah sini pasti ketebak, oh itu pasti nanti ada di TV. Namun itu saya kira dampak positif yang kita peroleh. Dampak lebih baiknya Metro punya rating juga kan, nambah banyak penontonnya. Jadi terbantu dengan adanya jurnalis warga. Peneliti
: Sejauh ini dengan adanya kalian sebagai jurnalis warga, apakah sudah berhasil mengangkat nama daerah ?
Budi
: Ya, saya melihatnya sudah seperti itu karena keberadaan kita sebagai jurnalis warga, Legok ini sekarang menjadi lebih peka, misalnya jalan rusak cepat diperbaiki setelah adanya kami yang meliput. Kayanya harus ada tayangan yang menyindir dulu yah baru deh pemerintah atau aparatnya bergerak. Haha harus dikoar-koar dahulu. Karena mereka kalau sudah masuk TV atau sudah ketahuan jeleknya mau tidak mau ya memperbaiki, malu juga. Lalu, ada penderita hydrocephalus yang tidak bisa diobati selama dua tahun lebih, nah kita angkat juga agar ada yang bisa menolong. Ya coba dengan jurnalis warga ini siapa tahu bisa membantu. Nah ternyata betul, ada respon dari yayasan yang mau membantu.
Peneliti
: Menurut Anda adakah kriteria khusus untuk menjadi jurnalis warga ?
Budi
: Ya ada tentunya, jurnalis warga saat ini belum dianggap sebagai profesi,
jadi
bagi
para
birokrat
juga
masih
samar-samar
mendengarnya. Jadi mereka harus benar-benar bekerja dengan ikhlas, dalam artian bekerja dengan baik, dengan benar, mengambil gambar yang baik, suara, membuat tema dan naskah yang baik, walaupun tidak dibayar. Bukan ikhlas asal buat karya selesai lalu kirim begitu saja. Kemarin kami sempat menerima beberapa instruksi yang menyatakan bahwa jurnalis warga asal ada masyarakat yang kumpul saja, wah kami jadi gak mau, walaupun kita dimarahi oleh polisi,
pejabat, ketika mencari berita, namun tetap ingin menyajikan sebuah berita yang penuh seperti layaknya jurnalis profesional. Walaupun kita tidak bisa sehebat mereka, karena kita kekurangan legalitas, kita tidak punya surat tugas, kartu pers, jadi selalu diragukan oleh orang. Namun tidak masalah kami tetap jalan terus. Intinya kami punya semangat melakukan sebuah pekerjaan, sebuah liputan dengan kualitas tinggi yang kami mampu. Peneliti
: Pernah mendapat uang atau bayaran saat liputan ?
Budi
: Pernah, di akhir tahun 2012 kami mendapat proyek liputan dari Walikota. Liputan tersebut diselesaikan dalam waktu satu bulan. Kita dibayar tapi gak minta pada awalnya, ya memang melanggar kode etik sebenarnya. Yang penting beritanya benar seperti yang kami temui. Menurut
Saya,
kami
memiliki
keterampilan
jurnalistik
dan
mengharapkan keterampilan ini bisa menghasilkan atau ada timpal balik. Kami tidak menganggap itu hal yang komersial, ya berapa saja yang dikasih. Peneliti
: Tantangan dan kesulitan terbesar yang dihadapi selama menjadi
jurnlis warga ? Budi
: Yang pertama ya ketidakpercayaan orang-orang terhadap kami, keduanya tentu ketidakpercayaan ini pasti beralasan karena kami tidak dilengkapi dengan surat-surat seperti layaknya wartawan profesional. Jadi kami harus pandai-pandai menempatkan diri di dalam kerumunan wartawan agar tidak tercegah, nempel wartawan. Kesulitan lainnya kalau sesuai internal kita adalah mobilitas, misalnya kalau jaraknya sudah lebih dari tiga kilometer makanya harus ada sarana transportasi untuk mengejar ke TKP. Kesulitan kedua kalau mau liputan news
feature itu ya ongkosnya, kami harus mencari uang seperti dagang, kerja, kalau kami harus lakukan liputan di luar daerah. Peneliti
: Apa perbedaan mendasar antara jurnalis warga dan jurnalis
profesional ? Budi
: Jam terbang, kalau profesional memiliki jam terbang yang bagus, kalau kita ini kan ya namanya juga warga, tidak betul-betul terfokus atau terlatih untuk menjadi seorang jurnalis, maka nampak dari cara penyajiannya, kepercayaan dirinya dan tentunya fasilitas. Lalu kalau profesionalis kan digaji, ada honornya khusus karena mereka professional harus dibayar, kalau kita kan tidak, jadi kita untuk melengkapi diri sendiri sebagai jurnalis warga dalam kaitannya meliput suatu kejadian saja sulit. Kalau bisa dibilang kita amatir, atau ya paling tinggi paling semi profesional.
Peneliti
: Apa yang membedakan jurnalis warga Sekolah Rakyat dengan jurnalis warga lainnya ?
Budi
: Kalau pandangan saya, di Sekolah Rakyat kita mencanangkan bahwa jurnalis warga merupakan sebuah wadah atau ajang secara pribadi bisa berkompetisi secara positif di ajang Metro TV. Selanjutnya bagi Sekolah Rakyat jurnalis warganya rata-rata berusia sangat muda, tentu saja akan menjadi sebuah motivasi besar jika karyanya tayang. Kami cukup memiliki minat di bidang komunikasi tentu saja kami memiliki sesuatu yang lebih baik dibandingkan jurnalis warga lainnya. Dan biasanya para jurnalis warga bekerja personal atau individu,namun kami di sini bekerja secara kelompok dan tim.
Peneliti
: Apakah ada batasan ketika melakukan liputan ?
Budi
: Justru disini kami menanamkan pemikiran untuk meliput berita selengkap mungkin. Jadi kalau ada yang tidak lengkap kami re-take untuk melengkapi bagaimanapun caranya, jadi tidak ada berita yang dikarang-karang. Kita melakukan check, walaupun tidak sempurna minimalnya lengkap liputannya.
Peneliti
: Sebelum dikirimkan ke media, adakah penilaian telebih dahulu di
internal ? Budi
: Ada, pada saat editing pasti didampingi. Kemudian selesai editing kita kumpul, kita putar dahulu. Dari situ akan muncul berbagai macam pendapat, harus begitu harus begini, hal tersebut nanti dijadikan bahan evaluasi penyempurnaan dari karya yang kita buat.
Peneliti
: Selain Metro TV ada lagi media untuk menyalurkan ?
Budi
: Kita sih belum pernah mengirimkannya ke yang lain, hanya MetroTV saja, karena memang dari awal kita sudah terobsesi dengan pola-pola Metro TV dalam konsep pemberitaan. Kemarin di IBX, ada beberapa stasiun menawarkan kita dengan melihat hasil-hasil liputan kita, bahkan dari salah satu dosen IKJ menyarankan agar kita segera bergabung dalam PH mereka.
Peneliti
: Selain karya jurnalistik, adakah karya lain yang diproduksi ?
Budi
: Ada, yaitu satu film sudah kita rilis dengan judul anak miskin di larang sekolah, dan sudah masuk beberapa nominasi di beberapa festival namun belum pernah menjuarai.
Peneliti Metro TV ?
: Bagaimana reaaksi saat pertama kali lihat iklan jurnalis warga di
Budi
: Karena iklannya adalah kompetisi dan akan ada hadiah, itu memacu akhirnya menjadi jurnalis warga, karena kita merasa sudah punya banyak karya yang tadinya tidak tahu mau diapakan, tiba-tiba Metro TV membuka peluang itu.
Peneliti
:Nah itu kan sebelum menang, namun setelah menang apa menjadi
lebih tertarik ? Budi
: Oh iya tentu, semakin termotivasi lagi untuk mendapatkan yang lebih, buktinya di Januari kita dapat juara ke 2. Setelah kita juara pertama kali, kita punya target setiap bulan kita dapat reward.
Peneliti
: Sekarang sudah klop banget sama Metro TV, adakah kontrak yang
diberikan ? Budi
: Belum ada, cuma setelah ada coaching lagi, kita diundang khusus oleh Metro TV, sekarang yang membuat tambah semangat adalah kita difasilitasi. Asalkan tema yang ingin kita angkat disetujui oleh tim Wideshot, kita mau difasilitasi seperti disediakan kameramennya, kemudian kameranya, lightingnya, termasuk kendaraannya. Jadi kita tambah senang. Seperti tadi yang saya bilang, kesullitas kita ada pada mobilisasi dan dana. Tiba-tiba sekarang dapat dukungan kayak gitu.
Peneliti
: Bagaimana dengan basic ilmu jurnalistik, pola atau transfer ilmu jurnalistik yang diajarkan dan didapatkan ?
Budi
: Kalau dari sisi tulisan, sudah diajarkan dari awal mengenai 5W1H. Caranya supaya akurat, kami mengundang beberapa wartawan profesional media massa untuk mengajarkan kami. Jadi si wartawan ini yang menceritakan bagaimana benarnya, kemudian kita coba dalami bersama. Jadi kami mengundang trainer, karena saya sendiri tidak punya basic jurnalistik.
Peneliti
: Selain mengundang trainer, adakah pelatihan lain ?
Budi
: Tidak ada, cuma ngundang trainer saja untuk kuliah umum. Tapi kita ikut coaching juga dan melakukan diskusi rutin, dan memanfaatkan internet.
Peneliti
: Bagaimana pandangan Anda sebagai pembina melihat keberadaan jurnalis warga Sekolah Rakyat dalam pemberitaan ?
Budi
: Pandangan Saya sendiri melihatnya, kami cukup detail dalam membuat berita, hanya saja dari beberapa penataan bahasa, selera pengambilan gambar yang perlu dibimbing. Dalam rangka melakukan pekerjaan terlihat benar-benar berkualitas, Nampak dari yang ditayangkan.
Peneliti
: Perasaannya ketika karyanya ditayangkan ?
Budi
: Terutama ketika kita memenangkan ya gembira sekali, apalagi sebelum menang di Metro tv, kita juga menang film dokumenter di Univ Atma Jaya, kami memang penuh dengan perjuangan. Makanya luar biasa senangnya. Bangga pastinya.
Peneliti
: Dengan basic yang dimiliki sebagai jurnalis warga saat ini, apakah ada harapan untuk para jurnalis warga nantinya nantinya menjadi jurnalis profesional ?
Budi
: Beberapa anak ada yang ingin menjadi wartawan sungguhan, sudah mantap cita-citanya. Dan sebagian tanya jika ingin jadi jurnalis yang baik kuliahnya dimana dan hampir tiap anak di sini curhat untuk masa depan, apalagi ketika mereka bimbang untuk memilih suatu hal.
Nama
: Tiara Maulinda H
Tanggal wawancara : Sabtu, 4 Mei 2013
Peneliti
: Apa arti jurnalis warga menurut kamu ?
Tiara
: warga biasa yang bisa membagi informasi di sekitarnya lewat kegiatan jurnalisme warga, atau warga biasa yang menjadi jurnalis.
Peneliti
: Sejak kapan Sekolah Rakyat ikut berpartisipasi aktif menjad jurnalis
warga ? Tiara
: Sejak tahun 2012, sejak Metro TV mempunyai tayangan khusus mengenai jurnalis warga (Wideshot)
Peneliti
: Apa motivasi Sekolah Rakyat menjadi jurnalis warga ?
Tiara
: Awalnya kita memang punya basic pendidikan broadcast, kita ingin membagikan atau melatih mereka dalam liputan-liputannya dan bisa dibagikan di Wideshot Metro TV, dan bisa bersaing secara global bukan hanya di Sekolah Rakyat saja.
Peneliti
: Apakah eksistensi diri menjadi kaitan atau motivasi untuk jadi
jurnalis warga ? Tiara
: Salah satunya memang benar sebagai eksistensi diri. Awalnya kita tidak berfikir seperti itu, tapi dalam perjalanannya berdampak seperti itu. Jadi, kami lebih di kenal dan karena kami banyak mengangkat isuisu di lingkungan sekitar, sehingga akhirnya diketahui oleh masyarakat luas dan kemudian ada solusi. Dampak dari menjadi jurnalis warga kita jadi eksis.
Peneliti
: Bosankah anda dengan berita-berita yang ditayangkan oleh media
mainstream ? Tiara
: Iyalah bosan, karena media mainstream sekarang sudah tidak objektif dalam menayangkan berita, dan hal tersebut membuat kepercayaan kami (masyarakat) menjadi berkurang.
Peneliti
: Apakah karena kebosanan terhadap seleksi isu memotivasi untuk jadi jurnalis warga ?
Tiara
: Iya, karena alasan itulah akhirnya kami melihat adanya kekosongan yang dapat dimanfaatkan oleh jurnalis warga untuk mengambil sisisisi yang belum dijangkau oleh wartawan profesional karena sibuk dengan liputan-liputan mereka (wartawan profesional) sibuk dengan liputan-liputan mereka (yang tersetting itu), jadi isu-isu terdekat yang diperlukan masyarakat jadi tidak terback-up lagi.
Peneliti
: Apa tantangan dan kesulitannya ?
Tiara
: Karena jurnalis warga ini baru, jadi masyarakat masih belum terlalu kenal dengan jurnalis warga sehingga jika kita sedang melakukan peliputan yang berhubungan dengan birokrasi, kita agak kesulitan sebab kita tidak punya kartu pers. Lalu kita bukan pers profesional maka kurang dipercaya oleh masyarakat. Beda dengan orang yang sudah tahu mengenai jurnalis warga, mereka lebih welcome. Dan terkadang kita sering dianggap atau disamakan dengan jurnalis yang memanfaatkan dan mencari keuntungan. Kalau ada yang berpendapat seperti itu, kami jadi merasa minder atau kurang percaya diri.
Peneliti
: Bagaimana cara mensiasatinya ?
Tiara
: Kalau untuk news feature agak lebih mudah, karena sebelumnya kita bisa melakukan pendekatan untuk menjelaskan apa itu jurnalis warga. Kalau peristiwa, sama juga harus menjelaskannya terlebih dahulu, biasanya kita tidak bisa mendapatkan berita langsung di hari itu juga. Paling kita bawa nama Metro TV, karena memang benar itu beritanya buat Metro TV.
Peneliti
: Apa yang membedakan jurnalis warga dengan jurnalis profesional ?
Tiara
: Ya beda, kalau kita merasanya kita sebagai jurnalis warga lebih objektif, dan bebas menginformasikan keadaan yang ada di sekitar kita dibandingkan jurnalis profesional, lebih apa adanya. Karena kalau
jurnalis profesional bekerja untuk media. Dan mungkin kekurangan kita sebagai jurnalis warga adalah masalah teknis seperti pengambilan gambar. Peneliti
: Menurut kamu apa tujuan menjadi jurnalis warga ?
Tiara
: Karena untuk melatih team work anak-anak di sekolah rakyat dalam melakukan peliputan. Lalu, karena kita ingin menginfomasikan dan mengangkat isu-isu yang ada di masyarakat, membantu masyarakat agar ada dampak positifnya.
Peneliti
: Adakah batasan-batasan dalam meliput ?
Tiara
: Tidak ada, namun dari coaching yang kita dapat jurnalis warga tidak boleh memihak atau mengiklan. Kita melihat panduan etika jurnalistik walaupun hanya jurnalis warga.
Peneliti
: Adakah kriteria khusus untuk jadi jurnalis warga menurut kamu ?
Tiara
: Kalau untuk memulai tidak, asalkan punya keinginan untuk jadi
jurnalis warga. Peneliti
: Bagaimana semangat masyarakat Sekolah Rakyat menjadi jurnalis
warga ? Tiara
: Kami di sini sangat antusias untuk jadi jurnalis warga.
Peneliti
: Menurut anda perkembangan citizen journalis sekarang bagaimana ?
Tiara
: Bagus, karena kelihatan hasil liputan yang tayang di media massa lebih baik, isu-isu yang mereka angkat lebih kritis. Sebenarnya tebantu juga media masa dengan adanya jurnalis warga, jadi mereka lebih berimbang pemberitaannya.
Peneliti
: Bagaimana pola transfer ilmu jurnalistik yang dilakukan masyarakat Sekolah Rakyat ?
Tiara
: Kami melakukannya melalui coaching dan pelatihan-pelatihan di media massa, atau belajar lewat internet.
Peneliti
: Perlukah ada bekal ilmu jurnalistik untuk jurnalis warga ?
Tiara
: Perlu lah. Sebaiknya sih tahu, jadi mereka punya bayangan untuk membuat liputan, walaupun sedikit pengetahuannya, namun mereka harusnya mengetahui.
Peneliti
: Berapa banyak karya yang dihasilkan masyarakat sekolah rakyat ?
Tiara
: Minimalnya, tiap pribadi rata-rata sudah menghasilkan lima karya. Kalkulasikan saja dari jumlah kami disini.
Peneliti
: Kalau yang sudah ditampilkan oleh media massa ?
Tiara
: 50% dari yang kita kirimkan ditayangkan.
Peneliti
: Berapa jenis berita yang kalian kirimkan ?
Tiara
: Jadi ada di antara kami yang sukanya liputan peristiwa, namun ada juga yang suka liputan news feature. Namun imbanglah..
Peneliti
: Seberapa sering kalian melakukan liputan ?
Tiara
: Hampir setiap hari kami melakukan liputan.
Peneliti
: Adakah reward yang diberikan media massa ?
Tiara
: Ada, waktu ada citizen journalism award di Wideshot Metro TV kami mendapat juara satu di berita peristiwa, berita feature-nya masuk lima besar, dan untuk video terbaik tiap bulan, kita pernah dapat juara kedua di bulan Januari.
Peneliti
: Sebelumnya tahu adanya reward di televisi ?
Tiara
: Tahu melalui tayangan iklan yang disiarkan Metro TV bahwa ada lomba untuk jurnalis warga
Peneliti
: Apakah akhirnya reward jadi motivasi untuk terus menjadi jurnalis
warga ? Tiara motivasi kami
: Iyalah, apalagi dapat hadiah kamera, itu menambah semangat dan menjadi jurnalis warga.
Peneliti
: Bagaimana cara kalian mengirimkan karya ke media massa ?
Tiara
: Biasanya hasil liputan yang telah selesai kita upload lewat website, namun untuk news feature biasanya kita datang langsung ke stasiun televisinya.
Peneliti
: Adakah perbedaan antara dikirim langsung dan di upload ?
Tiara
: Kalau di upload biasanya sering ada kendala dan trouble, namun kalau datang langsung, karya kami langsung diterima oleh redaksi dan biasanya lebih cepat ditayangkan dan kita lebih suka kirim langsung.
Peneliti
: Adakah orang yang merespon karya kalian ?
Tiara
: Banyak, apalagi dari pemerintah desa. Karena memang kita banyak mengangkat isu-isu tentang sekitar, seperti jalan rusak, kesehatan, dan juga
peristiwa
lainnya.
Hal
tersebut
adalah
bagian
dari
memperkenalkan daerah kami ke dunia luar, masyarakat luar juga jadi tahu bagaimana daerah kami ini. Peneliti
: Kalau kritik ?
Tiara
: Jarang, namun awalnya mungkin jika kita meliput jalan rusak, pemerintah desa agak keberatan. Namun setelah ditayangkan, jadi ada pembenahan dari aparatur desa. Nah mereka akhirnya sadar bahwasanya jurnalis warga itu bagus.
Peneliti
: Bagaimana perasaannya menjadi jurnalis warga yang karyanya ditampilkan di media ?
Tiara
: Senang pastinya. Apalagi kita sering mengadakan nonton bareng video yang ditayang di media massa kami putar ulang dalam acara nobar tersebut agar ditonton oleh masyarakat sekitar.
Peneliti
: Adakah diskusi yang kalian lakukan ?
Tiara
: Setiap hari pasti kami melakukan diskusi, kami sering memperbaiki liputan-liputan kami dan kami juga diwajibkan untuk menonton tayangan Wideshot setiap harinya untuk melihat perbandingn karya kami dengan jurnalis warga lainnya.
Peneliti
: Adakah harapan untuk jadi jurnalis profesional ?
Tiara
: Pastinya ada, walaupun sekarang menjadi jurnalis warga dengan segala keterbatasan, kami pun punya mimpi untuk menjadi wartawan yang sebenarnya.
Peneliti
: Harapan untuk jurnalis warga sekolah rakyat ?
Tiara
: Semoga terus belajar bagaimana menjadi jurnalis yang baik, dan terus berusaha dan berkarya untuk menciptakan karya liputan terbaik.
Nama
: Mareza Bahariyani
Tangga wawancara : Sabtu, 4 Mei 2013
Peneliti
: Apa arti jurnalisme warga menurut kamu ?
Echa
: Jurnalisme warga itu sebuah kegiatan dimana kita sebagai warga di suatu daerah. bisa memanfaatkan media atau wadah untuk menyampaikan kepada khalayak ramai apa yang kita ketahui dan apa saja yang terjadi di daerah asal kita. Jadi dangan media tersebut kita bisa mengangkat apa yang ada di sekitar kita untuk disampaikan kepada khalayak ramai.
Peneliti
: Bagaimana kamu memaknai partisipasi kamu menjadi jurnalis warga
? Echa
: Kita sebagai warga biasa memiliki andil besar untuk menyampaikan informasi tentang sesuatu yang kita alami di daerah kita untuk kita sebarkan ke khalayak ramai.
Peneliti
: Bagaimana kamu melihat perkembangan citizen journalis saat ini ?
Echa
: Semakin pesat karena semua orang bisa berpotensi menjadi jurnalis warga, namun alangkah lebih baik lagi ketika lebih banyak lagi mediamedia yang mampu menyalurkan dan menampung jurnalis warga. Semakin banyak media yang mendukung jurnalis warga semakin bagus.
Peneliti
: Sejak kapan kamu mulai aktif jadi jurnalis warga ?
Echa
: Mulai meliput hal-hal kecil itu sejak kelas 1 SMK tahun 2011, tentang peristiwa-peristiwa di lingkungan sekitar. Sedangkan mulai aktif mengirim berita ke Metro TV mulai tahun 2012.
Peneliti
: Apa motivasi jadi jurnalis warga ?
Echa
: Motivasinya sih cuma ingin apa yang ada di sekitar kita bisa kita angkat, bisa diketahui oleh orang banyak. Dan menjadi jurnalis warga merupakan sebuah cara yang bisa mewujudkan itu.
Peneliti
: Kamu bangga jadi seorang jurnalis warga ?
Echa
: Bangga karena kita secara langsung terjun ke masyarakat. Jadi kita mendapatkan momen-momen yang belum tentu bisa diliput oleh jurnalis profesional.
Peneliti
: Apakah kamu jadi jurnalis warga karena ingin eksis tampil di TV ?
Echa
: Kalau untuk eksis mungkin sifatnya bukan ke saya, namun lebih kepada keeksisan pada hal yang saya liput. Yang ingin saya eksiskan bukanlah diri saya, melainkan keberadaan dan potensi daerah saya agar dikenal dan dipandang oleh masyarakat luas.
Peneliti
: Bagaimana kamu melihat media mainstream saat ini ?
Echa
: Mereka sebuah media besar, yang segala harapan masyarakat dan yang ingin masyarakat sampaikan hanya melalui media tersebut bisa tersalurkan, namun nampaknya untuk saat ini media mainstream sudah tidak lagi murni berpihak kepada masyarakat tapi selalu ada maksud tertentu di setiap tayangannya. Entah itu background politik, dan background tertentu lainnya yang berhubungan.
Peneliti
: Apakah kamu bosan dengan berita-berita yang ditayangkan oleh media mainstream dan penuh dengan pengagendaan isu ?
Echa
: Ya bosan pasti. Karena saya melihat Indonesia itu dari Sabang sampai Marauke, tapi kenapa selalu terpusat ke Jabotabek. Mereka menayangkan berita yang monoton, itu lagi itu lagi. Sedangkan masih banyak daerah pedalaman yang mempunyai permasalahan dan butuh solusi penyelesaian serta harus dimunculkan dalam pemberitaan.
Peneliti
: Apakah salah satu motivasi kamu jadi jurnalis warga karena bosan dengan pemberitaan tersebut ?
Echa
: Iya, karena dengan menjadi jurnalis warga bisa terjun langsung ke masyarakat, melihat langsung peristiwa yang benar-benar terjadi dan sangat jauh dari sorotan publik karena tidak nampak di televisi.
Peneliti
: Apa tujuan kamu aktif sebagai jurnalis warga ?
Echa
: Tujuannya untuk membuat kita melihat kehidupan sosial masyarakat secara lebih real, dan dengan menjadi jurnalis warga kita juga bisa bertemu dengan banyak pengalaman, banyak tantangan sehingga menjadikan kita untuk berfikir lebih mendalam dalam menyelesaikan persoalan di berbagai daerah, kita juga bertemu berbagai macam orang dengan pemikiran mereka yang berbeda-beda. Jadi tujuannya sih lebih kepada memacu diri dalam membantu dan menangani persoalan yang ada di daerah kita, dan juga potensi daerah agar dilihat oleh masyarakat luas.
Peneliti
: Adakah kriteria khusus untuk menjadi jurnalis warga, menurutmu ?
Echa
: Menurut Saya, seluruh masyarakat berhak untuk menjadi jurnalis warga, namun mereka harus fair dalam menyampaikan informasi yang disampaikan. Jurnalis itu kan meliput suatu berita, menyampaikan suatu informasi dan menjurnalkannya, menerjemahkannya kepada masyarakat agar dapat menangkap informasinya dan intisari dari persoalan, dan nilainya, nah mungkin untuk standarisasinya seorang jurnalis warga harus mampu menafsirkan atau menampilkan nilai dari berita itu sendiri.
Peneliti
: Apa tantangan dan kesulitan yang kamu hadapi selama menjadi
jurnalis warga ? Echa
: Jurnalis warga di Indonesia masih hal yang baru, masih sedikit orang yang paham tentang jurnalis warga. Kebanyakan yang masyarakat tahu adalah jurnalis profesional yang punya media. Kesulitannya ketika meliput, masyarakat lebih banyak tanya mengenai identitas kita, kepercayaan masyarakat belum terbangun kepada jurnalis warga.
Peneliti
: Adakah orang yang berusaha menghalangi saat melakukan liputan ?
Echa
: Ada kok, contohnya dari pihak instansi, polisi, mereka berfikir negatif mengenai kami, takut dimintai uang dan pemaksaan seperti wartawan gadungan, mereka suka bertanya liputan ini untuk apa, dan akan disiarkan kemana. Intinya karena ketidakjelasan identitas maka mereka pun memberi informasi kepada kami setengah-setengah.
Penelitian
: Apa yang membedakan kamu sebagai jurnalis warga dengan wartawan profesional ?
Echa
: Yang membedakan itu kalau wartawan profesional tentu sudah mempunyai naungan hukum tersendiri, mereka mempunyai kartu pers. Jadi ketika mereka mengalami kesulitan, mereka bisa mengandalkan hal tersebut. Tapi kalau jurnalis warga hanya meliput dibagian kulitnya saja, tidak terlalu mendalami sebuah permasalahan layaknya jurnalis profesional. Karena akses untuk meliput berita kadang terhambat oleh kartu pers.
Peneliti
: Adakah hal yang menjadi batasan ketika liputan ?
Echa
: Batasannya ada pada pandangan masyarakat yang masih memandang dengan sebelah mata tentang jurnalis warga. Dan karena kita jurnalis warga yang tidak punya identitas, maka kita juga terbatas untuk melakukan pendalaman pealiputan.
Peneliti
: Adakah latar belakang ilmu jurnalistik yang kalian miliki ?
Echa
: Kita punya latar pendidikan broadcast. Kalau jurnalistik cuma sharing sama teman tentang pengalaman-pengalaman. Dulu sih karena sekolah di SMK broadcast namun belum mempelajari ilmu jurnalistik secara mendalam, hanya tahu tentang 5W1H saja.
Peneliti
: Kamu mengetahui tentang proses kerja seorang jurnalis dari mana ?
Echa
: Kita pernah ikut coaching, dari coaching tersebut kita mengetahui bagaimana proses kerja dan alurnya, namun sebelumnya kita ya seperti
mencoba-coba
dan
menerka-nerka
seadanya,
bagaimana
cara
melakukan liputan dengan langsung praktek ke lapangan. Peneliti
: Berapa kali kamu ikut coaching ?
Echa
: 2 kali di Metro TV
Peneliti
: Apa yang kamu dapatkan dari coaching tersebut ?
Echa
: Kita jadi tahu standarisasi berita sebenarnya seperti apa, dalam membaca narasi pun ada ketentuannya, pengambilan gambar, susunan liputan yang harus disampaikan dan tidak dimasukkan.
Peneliti
: Menurutmu perlukan seorang jurnalis warga mengetahui ilmu
jurnalistik ? Echa
: Perlu, karena Saya sebagai citizen journalist merasa perlu tahu tentang ilmu jurnalistik, karena kita sebagai masyarakat biasa bila hanya menyampaikan informasi tertentu dengan meraba-raba akan sulit diterima oleh masyarakat luas, setidaknya kita harus paham apa itu 5W1H.
Peneliti
: Sudah berapa banyak karya yang kalian hasilkan dan kirim ke media
massa ? Echa
: Untuk yang sudah tayang sekitar 10 lebih. Namun yang sudah dihasilkan banyak, puluhan jumlahnya.
Peneliti
: Bagaimana kamu menyalurkan karya kamu ke media massa ?
Echa
: Caranya jika ada liputan khususnya mengenai peristiwa penting biasanya langsung dikirim ke kantor media massa tersebut. Karena kalau dikirim via online biasanya suka terlewat, dan tidak efektif.
Peneliti
: Ada berapa media yang digunakan dalam menyalurkan karya
jurnalistik ? Echa
: Sebenernya di radio juga banyak yang membuka peluang untuk jurnalis warga, namun yang lebih besar peluangnya ya di Metro TV (Wideshot)
Peneliti
: Berapa sering kamu melakukan liputan ?
Echa
: Biasanya seminggu satu liputan, khusus buat aku pribadi.
Peneliti
: Apakah ada reward dari media massa tersebut ?
Echa
: Untuk sebelumnya kita memang suka kirim karya saja, namun waktu ada citizen journalism award di Metro TV ada salah satu hasil karya jurnalistik yang kami kirimkan dan berhasil memenangkan 2 kategori. Mereka membuka peluang jadi makin besar dan potensi makin aktif lagi, ada pengaruhnya terhadap produktivitas kami.
Peneliti
: Apa reward yang diberikan ?
Echa
: Ada piala, sertifikat, kamera, dan juga uang.
Peneliti
: Hadiahnya digunakan untuk apa ?
Echa
: Untuk kepentingan peliputan dan juga dana operasional Sekolah
Rakyat. Peneliti
: Apakah ada orang yang mengomentari atau merespon karya kamu ketika ditayangkan di televisi ?
Echa
: Ada, mereka lebih mengomentari tentang dapat berita dimana, kok bisa, bagaimana cara meliputnya.
Peneliti
: Siapa saja orang yang mengomentari ?
Echa
: Biasanya teman sendiri, atau orang-orang terdekat.
Peneliti
: Tanggapan dan perasaannya ketika karyanya ditayangkan ?
Echa
: Merasa tidak sia-sia meliput akhirnya diapresiasi juga, kalau udah ditayangkan dan diangkat kan jadi merasa setidaknya ada banyak orang yang melihat dan tahu hal tersebut bukan cuma saya, dan saya harap mampu menangkap apa yang saya liput.
Peneliti
: Perasaannya ketika menang ?
Echa
: Tidak ada perasaan yang wah, karena memang peristiwa yang didapatkan merupakan peristiwa yang kebetulan kami liput dan kami kirim namun menjadi juara. Saya merasakannya sih seperti sebuah jalan baru, jalan untuk lebih memberikan yang terbaik lagi.
Peneliti
: Apa saja jenis karya yang kamu liput ?
Echa
: Peristiwa sama news feature
Peneliti
: Apa itu peristiwa menurut kamu ?
Echa
: Kalau peristiwa merupakan liputan yang sifatnya yang tidak bisa direncanakan sebelumnya. Kejadian yang terjadi apa adanya tanpa ada skenario, tanpa diatur sebelumnya. Kita meliput apa yang terjadi saat itu juga.
Peneliti
: Kalau news feature ?
Echa
: Sesuatu yang perlu kita angkat, tapi di dalamnya ada permasalaha. Dibawakan secara santai dan tidak terpatok oleh waktu.
Peneliti
: Bagaimana proses meliput peristiwa dan news feature ?
Echa
: Kalau peristiwa, salah satu dari kita ada yang dapat peristiwa, kita langsung kontak salah satu teman untuk gabung jadi tim dan report. Ada yang cari korban, cari saksi mata, ada yang ke instansi, dll. Kalau sudah dapat informasi selengkap-lengkapnya kita kumpulin dan dibuat narasinya, lalu kita susun gambar, dan lakukan editing. Kalau news feature, biasanya kita tentukan dulu apa tema yang mau kita ambil, kemudian observasi dan dibuat konsep liputan terlebih dahulu seperti membuat naskah, list pertanyaan, dan list gambar apa saja yang ingin diambil. Barulah setelah itu terjun ke lapangan, dan editing.
Peneliti
: Selain karya video jurnalistik ada karya apa lagi ?
Echa
: film fiksi, film dokumenter, karena kami punya latar belakang broadcast jadi dulu lebih sering membuat film dibanding liputan.
Peneliti
: Hasil apa yang kalian dapatkan dari karya film tersebut ?
Echa
: Film dokumenter pernah menjadi juara di Atmajaya, sedangkan film fiksi cuma masuk nominasi sepuluh besar saja. Namun jika membuat film lebih rumit dibanding membuat liputan.
Peneliti
: Suka dapat berita peristiwa dari mana ?
Echa
: Kita punya link khusus seperti polisi, jadi jika ada suatu kejadian seperti kecelakaan, dll mereka menghubungi kami untuk liputan, dan
efektif. Namun, biasanya kita suka ketinggalan moment dibandingkan jika kita melihat kejadian langsung. Karena tiap hari kita disiap siagakan untuk membawa kamera kemana pun pergi. Peneliti
: Harapan kamu untuk para jurnalis warga SR ?
Echa
: Harapannya akan lebih banyak lagi anak muda yang seperti kita, yang menjadi jurnalis warga, yang mau mengabdikan diri untuk menyamaikan informasinnya kepada masyarakat luas. Karena, jika seseorang menjadi jurnalis warga, gak akan ada ruginya. Kita bisa mendapat banyak ilmu, banyak pengalaman dan pengetahuan.
Peneliti
: Adakah cita-citamu untuk jadi jurnalis profesional kedepannya ?
Echa
: Untuk menjadi jurnalis profesional itu sangat ingin, karena ketika kita punya liputan atau berita kita punya tanggung jawab di dalamnya, apapun yang terjadi segala resikonya kita harus siap tanggung.
Nama
: Tri Darma Yanti
Tanggal wawancara : Selasa, 30 April 2013
Peneliti
: Apa yang kamu ketahui tentang CJ ?
Tri
: Laporan dari warga mengenai kejadian sehari-hari di lingkungan warga. Misalkan tiba-tiba ada kecelakaan dan warga itu melihat langsung dan merekamnya, dia laporin ke daerah lain. Kan ada juga peristiwa yang biasanya wartawan gak sempat merekam kejadian itu sendiri. Dengan adanya citizen journalist itu warga bisa merekam dan bisa mempublikasikan ke yang lain.
Peneliti
: Sejak kapan kamu mulai aktif jadi CJ ?
Tri
: Pertama pas ulang tahun Wideshot. Namun sejak kelas satu SMK kita sudah belajar meliput, belajar bikin berita, bikin news feature dan lainnya. Kita sudah punya banyak stok berita. Tahun 2012, mulai ada
acara Wideshot, nah kita mulai mengirimkan karya–karya juralistik hasil liputan yang dulu, yang tadinya cuma jadi dokumentasi tugas, setelah adanya program Wideshot dengan konsep jurnalisme warga, karya tersebut bukan hanya menjadi dokumentasi untuk kita saja, tapi kita mampu publikasikan kepada orang lain, dan juga pembelajaran untuk kita. Peneliti
: Kapan mulai kirim liputan ?
Tri
: Waktu ada acara Wideshot ulang tahun, kita langsung kirim semua karya-karya, kita juga disitu berkesempatan buat belajar, buat membandingkan diri dengan warga yg lainnya. Maka dari itu, setiap hari kita jalan-jalan untuk mencari berita, kita menghubungi polsekpolsek agar jika ada peristiwa seperti pembunuhan dll mereka mengabarkan dan memberi tahu kami supaya bisa kami liput. Atau bisa juga peristiwa langsung terjadi. Sambil jalan mencari berita, kita juga buat link atau jaringan dengan orang-orang tertentu agar bisa memberikan kita informasi. Dulu, sebelum kita ikut Wideshot kita para siswa di semester satu diwajibkan untuk membuat karya jurnalistik, satu orang satu karya, Namun, dalam melakukan lipuan biasanya kita jalan bareng-bareng, jadi bagi-bagi hasil.
Peneliti
: Tujuan ikut berpartisipasi menjadi jurnalis warga ?
Tri
: Kita kan warga biasa, dengan ikut jurnalisme warga kita bisa mengeluarkan / memberitahu karya-karya kita. Banyak karya-karya kita yang biasanya hanya menjadi sampah karena disimpan begitu saja. Sekarang kita bisa mengukur diri, kita bisa mengekspos karyakarya. Kita bisa membandingkan antara kualitas kami sebagai jurnalis warga dengan jurnalis warga lainnya. Belajar mengerti berita yang bagus itu seperti apa, batasannya, urutan mencari berita itu seperti apa. Kalau lagi beruntung dapat berita bagus ya kadang-kadang kan dapat juara.
Peneliti
: Adakah kaitannya dengan kebosanan oleh agenda setting yang dilakukan media mainstream ?
Tri
:Terkadang bosan kita melihat tayangan di media mainstream karena di semua stasiun TV penuh dengan settingan. Namun, ya memang karena agenda media tersebut berhubungan dengan kemauan pemirsa atas peristiwa yang lagi booming.
Peneliti
: Tapi kalau settingan medianya seperti berita politik bagaimana ?
Tri
: Sebel juga sih sama stasiun TV yang menyiarkan berita politik pemilik medianya, mereka tidak mengedepankan fakta yang benarbenar. Misalnya Metro TV yang menjelek-jelekan tentang TV One dan pemiliknya (ARB), padahal ARB tidak sepenuhnya jelek. Dan juga sebaliknya. Mereka tidak berimbang, mereka terlalu mengedepankan kepentingan politik (partainya).
Peneliti
: Lalu apakah kamu menjadi jurnalis warga karena ingin eksis ?
Tri
: Tidak juga, karena menurut saya citizen journalist yang mencari berita itu bukan untuk eksis, bukan untuk memberitahukan diri kami sebagai orang yang terlihat di layar kaca. Tapi untuk memberitahukan suatu kejadian atau suatu peristiwa, atau di tempat kami itu terdapat suatu peristiwa. Jadi tidak bisa dibilang saya ingin eksis, saya hanya menyampaikan suatu peristiwa yang saya tahu, yang ada disekitar saya. Misalnya saja Saya jadi reporter, bukan untuk menampakkan diri Saya agar eksis dan terlihat oleh masyarakat lalu dikenal, tapi saya ingin bisa berbicara di depan orang banyak supaya tidak gugup, untuk mengabarkan berita penting di daerah saya dalam keadaan siap di depan kamera tanpa malu-malu agar berita tersampaikan, orang lain tahu, mengerti, dan memahami informasinya. Yang penting berita kita bermutu.
Peneliti
: Menurut kamu apa kriteria khusus untuk menjadi jurnalis warga ?
Tri
: Semua orang bisa jadi CJ kalau dia mau. Kriterianya cuma butuh kamera untuk merekam , serta butuh keberanian.
Peneliti
: Apa tantangan dan kesulitan yang dihadapi menjadi jurnalis warga ?
Tri
: Kadang-kadang kita gak ada ongkos untuk transport, kita pada nebeng mobil pick up/ truk orang uang yang seadanya, kehausan, kepanasan. Kesulitannya, kadang karya kita udah kerjain semaksimal mungkin namun masih belum tayang. Padahal kita udah banyak belajar dari jurnalis warga lainnya dengan melihat tayangan mereka. Padahal ada yang lebih jelek, standarisasinya kurang. namun tetap ditayangin, sedangkan saya sudah ikuti perintah media tersebut.
Peneliti
: Apa tantangan ketika liputan ?
Tri
: Keterbatasan untuk ambil gambar karena saya berbadan kecil ketika daerah yang diliput berbahaya (liputan kebakaran), diusir-usir orang karena menurut mereka berbahaya. Sedangkan kita sebagai wartawan harus mendapatkan gambar itu. Mungkin hal tersebut karena kita belum punya identitas.
Peneliti
: Kemana saja mengirimkan karyanya ?
Tri
: Cuma Metro TV, belum ada yang lain karena belum punya link. Paling ikut-ikut festival.
Peneliti
: Apa yang membedakan kalian dengan wartawan profesional ?
Tri
: Perbedaannya hanya ada pada identitas dari stasiun televis tempatnya bekerja, dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan, dan dia digaji setiap liputan. Kalau kita kan sukarela, tidak da yang menjamin dari segi undang-undang maupun hasil.
Peneliti
: Bagaimana biasanya kalian melakukan liputan ?
Tri
: Jadi sebelum kita liputan biasanya kita mebuat konsep terlebih dahulu, kita buat skrip, dan juga list gambar yang harus diambil. Kalau peristiwa kejadian yg ada disitu kita ambil semua terkait peristiwa yg terjadi.
Peneliti
: Kalau untuk buat konsep perlu waktu berapa lama ?
Tri
: gak lama, satu malam jadi. Sekarang kan banyak media, seperti internet kita bisa tahu semuanya disitu. Jadi kita googling mengenai tema yang kita mau liput,
Peneliti
: Bagaimana proses kegiatan meliput yang kamu lakukan sebagai
jurnalis warga ? Tri
: Kalau news feature kita biasanya mencari tau tempatnya atau tema yang akan diangkat sebagai berita. Semua sumber kaya dari internet, misalkan akar itu apa, bagaimana, kaya gimana, lalu buat naskah, tentukan sudut pengambilan gambar, kemudian terjun langsung ke lapangan, bareng yang lain. Namun sebelumnya diskusi dulu bareng kameramen, editor, reporter. Jika news/ peristiwa kita langsung ambil kamera dan langsung report kejadian yang kita tahu., lebih spontan. Pas terjun kelapangan kita wawancara orang-orang yang terkait, narasumbernya minimal tiga orang, tapi kadang susah juga wawancara orang pada gak mau, kemudian buat narasi di dubbing, lalu diedit.
Peneliti
: Belajar ilmu jurnalistik dari mana sebelumnya ?
Tri
: Belajar waktu di sekolah diajar ayah Budi. Terkadang hasil liputan yang telah diedit kita tonton bareng-bareng, kita bedah dan komentari mana yang sesuai dan tidak. Semua memberi masukkan.
Peneliti
: Selain di sekolah, pernah ikut pelatihan ilmu jurnalistik ?
Tri
: Pernah, pertama kali dan satu-satunya di coaching bersama Desi
Anwar. Peneliti
: Apa yang didapat dari pelatihan itu ?
Tri
: Banyak sih, intinya jangan mudah berasumsi namun mampu menjabarkan semua hal dengan minimalis.
Peneliti kenapa ?
: Menurut kamu, perlukan jurnalis warga mengetahui ilmu jurnalistik ?
Tri
: Perlu, karena untuk memberitahukan ke semua orang dia harus tau apa aja yang harus diberitahukan kepada orang lain, bagaimana unsur berita. Adanya 5W1H.
Peneliti
: adakah reward yang dari media massa ?
Tri
: Ada, cuma sekedar penghargaan bahwa karya kita itu bagus, lebih dari yang lain. Kalau kita dapat reward berarti karya kita lebih bagus dari yang lain. Kita udah menjadi standar bagi yang lain.
Peneliti
: Rewardnya berupa apa saja ?
Tri
: Waktu juara pertama dapat 1 handycam + uang Rp 7 juta. Juara favorit uang Rp. 6 juta + 1 handy+ digicam . Hadiahnya ada berupa uang, sejak dari kelas satu kita memang sudah aktif mencari berita menggunakan uang pribadi.
Peneliti
: Bagaimana komentar oran-orang tentang karya kamu ?
Tri
: Ya bagus. Tapi Desi Anwar bilang, karena kita masih jurnalis baru kenapa beritanya harus dikasih latar belakang musik, harusnya berita gak perlu pakai music, namun backsound suasana kejadian itu sendiri.
Peneliti
: Apakah komentar yang terlontar jadi masukan dan acuan ?
Tri
: Jelas, merupakan pelajaran yang sangat berharga untuk kita. Kita jadi tahu berita itu standarnya seperti apa seharusnya.
Peneliti
: Bagaimana perasaan dan tanggapannya pas karyanya muncul di
media massa ? Tri
: Seneang, yang tadinya cuma karya biasa namun sekarang sudah dilihat orang banyak. Paling senang hari pertama satu film menjuarai finalis di Atmajaya. Dan dua berita jadi juara di Wideshot Metro TV
Nama
: Anissah
Tanggal aawancara : Rabu, 1 Mei 2013
Peneliti
: Apa arti jurnalisme warga menurut kamu ?
Anis
: Jurnalisme warga itu suatu wadah dimana kita sebagai masyarakat biasa bisa mengeksplor daerah-daerah dan menginformasikan kepada semua warga mengenai potensi yang ada di daerah tersebut.
Peneliti
: Kalau Jurnalis warga itu apa ?
Anis
: Orang yang termasuk kedalam kategori masyarakat biasa yang sering menginformasikan atau memberitakan suatu informasi yang terjadi di daerah masing-masing kepada orang banyak.
Peneliti
: Bagaimana kamu memandang diri kamu sebagai jurnalis warga ?
Anis
: Untuk kami, menjadi jurnalis warga bukanlah profesi. Namun karena kita punya basic pendidikan broadcast dan di daerah kami banyak potensi-potensi yang belum terangkat kenapa tidak kita informasikan saja kepada orang lain.
Peneliti
: Menurut kamu perkembangan jurnalisme warga saat ini gimana ?
Anis
: Perkembangannya cukup baik, contohnya sekarang di Metro TV banyak kiriman video dari masyarakat daerah-daerah. Bisa dibilang pesat perkembangannya.
Peneliti
: Sejak kapan kamu ikut berpartisipasi menjadi jurnalis warga ?
Anis
: Sejak tahun 2012 ketika ulang tahun Wideshot Namun, tahun 2011 kita sering buat liputan, sebelum menjadi jurnalis warga, karya yang dihasilkan hanya berupa tugas dari sekolah lalu disimpan, belum dikirim.
Peneliti
: Faktor apa yang melatar belakangi menjadi jurnalis warga kemudian mengirim karya ke media massa ?
Anis
: Keinginan kami untuk mengeksplor atau menginformasikan potensi yang ada di daerah kami menjadi salah satu alasan, supaya banyak masyarakat yang tahu tentang daerah kami.
Peneliti ?
: Menurut kamu adakah kriteria khusus untuk menjadi jurnalis warga
Anis
: Gak ada yang khusus, yang paling penting ialah kita bisa merekam, mewawancarai orang, serta mengetahui 5W1H itu sudah bisa menjadi patokan.
Peneliti
: Apakah menjadi jurnalis warga karena ingin eksis dan terkenal di mata masyarakat luas karena nantinya muncul di TV ?
Anis
: Kita emang kadang punya pikiran untuk terkenal, dikenal masyarakat , namun bukan karena kita mau eksis. Tapi karena ingin mengenalkan potensi yang ada di wilayah kita.
Peneliti
: Apa pandangan kamu tentang media mainstream saat ini ?
Anis
: Cukup baik, makin banyak investigasi, jadi pembahasannya lebih mendalam terhadap suatu hal. Cuma sayangnya kebanyakan kepentingan pemilik media
Peneliti
: Kepentingan tersebut akhirnya membuat media mainstream melakukan agenda setting dan pengaturan isu. Bagaimana pendapat anda ?
Anis
: Nah, karena itu berdampak pada penugasan awak medianya. Kami sebagai masyarakat biasa suka jenuh juga melihatnya, yang dibahas itu-itu terus. Kadang kami berfikir, apa wartawan tidak ada tempat liputan lain ya. Makanya kami melihat kesempatan dalam hal ini, untuk membantu meliput daerah yg tidak bisa dijangkau oleh wartawan profesional. Ya, kami bosan sama berita-berita di televisi yang menayangkan berita dari daerah-daerah besar dan isu-isu besar.
Peneliti
: Selama menjadi jurnalis warga apa tantangan yang dihadapi ?
Anis
: Kesulitannya itu, kalau kita dapat berita dan ingin lebih jelas mendapatkan informasinya, kita suka pergi mencari informasi seperti ke kepolisian, rumah sakit, dan kita sering ditanya tentang kartu pers. Karena kita cuma jurnalis warga maka informasi yang kita cari juga susah, harus dimarahi sama petugas yg bewajib. Ada lagi, narasumber yang susah untuk dimintai keterangan.
Peneliti
: Menurut kamu apa beda jurnalis warga dengan wartawan profesional
? Anis
: Perbedaanya ada pada identitas. Kalau jurnalis profesional punya kartu pers atau identitas dari tempat mereka bekerja. Kalau kita sebagai jurnalis warga tidak ada bukti tugas, karena cuma warga biasa yang ingin menginformasikan sesuatu kepada orang banyak.
Peneliti
: Adakah batasan-batasan yang harus dilakukan ketika mencari berita ?
Anis
: Paling hanya jangan terlalu mengintrogasi orang atau ngotot, kalau terlalu ngotot orang pada pergi dan bakalan males ngomong sama kita lagi, jadi dengerin aja pendapat orang.
Peneliti
: Penting gak buat jurnalis warga untk mengetahui tentang ilmu jurnalistik sebelumnya ?
Anis
: Penting dan perlu, hal itu tentunya berguna untuk pengetahuan kita nantinya ketika meliput ke lapangan. Supaya lebih bagus informasi yang didapat maka harus mengerti terlebih dahulu ilmunya, jadi tahu apa aja yg seharusnya diliput.
Peneliti
: Apa saja jenis berita yang kamu liput ?
Anis
: peristiwa dan news feature.
Peneliti
: Apa itu news feature menurut kamu ?
Anis
: Suatu berita/ informasi yang mana informasi tersebut bisa diinformasikan kapan saja dan tidak basi waktunya,
contohnya
potensi daerah masing-masing seperti wisata air mancur. Sedangkan kalau peristiwa kan yang harus segera diliput gak bisa ditunda-tunda lagi. Peneliti
: Bagaimana proses liputan peristiwa ?
Anis
: Kita biasanya langsung close up kejadiannya, lalu long shot ke tempatnya,
misalnya
kebakaran.
Lalu
narasumber, dan ditelusuri. Peneliti
: Biasanya dapat info peristiwa dari mana ?
wawancara
beberapa
Anis
: Kadang tanpa sengaja kalau kita lagi jalan ada kejadian seperti tabrakan atau truk terguling. Karena kita selalu stanby dengan kamera setiap pergi kemana pun. Kalau untuk news feature biasanya kita tentukan tema yang ingin diangkat, kemudian kita cari informasinya di internet, lalu tentukan mau diambil dari sudut atau sisi mana. Kemudian buat konsep, seperti membuat daftar apa aja yang mau diambil serta daftar pertanyaan, setelah itu eksekusi ke lapangan seperti wartawan pada umumnya, wawancara narasumber, kemudian buat narasi dan diedit, terakhir dikirim deh.
Peneliti
: bagaimana cara menyaluran karyanya ?
Anis
: Dengan datang langsung ke stasiun televisinya dan memberikan karya kita kepada bagian redaksinya. Kadang juga lewat online kalau tidak sempat datang langsung. Namun biasanya, karya yang diberikan langsung ke kantor lebih cepat tayang dibandingkan karya yang diupload via web.
Peneliti
: Berapa banyak karya yang sudah dihasilkan ?
Anis
: Ada sekitar 50 lebih karya bersama, yang akunya terlibat langsung ada lebih dari lima karya. Yang sudah tayang kira-kira 10 lebih.
Peneliti
: Seberapa sering meliput ?
Anis
: Sebelum menejemen dan aturan Wideshot rumit seperti sekarang ini, minimal seminggu pasti ada tiga karya atau tiga berita. Ya jadi dalam seminggu ada tiga sampai empat hari kita keliling nyari berita.
Peneliti
: Adakah reward atau hadiah yang diberikan media massa terhadap
karyamu ? Anis
: Ada, waktu Wideshot ulang tahun kita dapat citizen journalism award, kita jadi juara satu dan menjadi juara favorit dari salah satu karya jurnalistik yang kita kirim.
Peneliti
: Reward atau hadiah yang diberikan berupa apa ?
Anis
: Piala dan uang tunai
Peneliti
: Adakah orang-orang yang merespon karya kalian ?
Anis
: Banyak, biasanya orang mengomentari tentang pengambilan gambar yang goyang, gelap, terus member masukan untuk kami re-take aja. Terkadang tentang narasumber yang gak pakai baju, merokok saat kita wawancara. Kadang ada juga yang memuji bagus ya gambarnya, pakai kamera apa, dikira pada pakai kamera sebagus. Dan kebanyakan orang Metro TV yang komentar, tapi ada juga orang sekitar.
Peneliti
: Apakan respon-respon tersebut membuat jadi semangat untuk terus jadi jurnalis warga ?
Anis
: Iya. Dan mereka juga nanya udah meliput berita apa lagi dan suka menawarkan liputan juga terkadang. Tapi kadang juga ada respon negatif juga yang bikin kita nge-down.
Peneliti
: Bagaimana perasaannya ketika karya yang dihasilkan, ditayangkan di media massa ?
Anis
: Seneng sih udah pasti. Berarti ada hasilnya bahwa liputan kita bagus, ada informasi yang disampaikan dan jelas.
Peneliti
: Kalau perasaan jadi pemenang ?
Anis
: Sama aja seneng juga dan bangga. Kadang sedih juga, sedihnya karena terharu gak percaya, gak nyangka aja jadi pemenang di antara banyak jurnalis warga.
Peneliti
: Apakah kemenengan tersebut selanjutnya menjadi motivasi untuk tetap menjadi jurnalis warga ?
Anis
: Jadi banget, jadi semangat untuk buat karya sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Dan responnya jadi acuan buat karya kita selanjutnya. Mereka sering curiga sama masalah alat atau kamera, padahal kan kita cuma pakai handycam. Setelah jadi juara kita juga dapet handycam lagi, jadi ada tambahan alat rekam deh.
Peneliti
: Apa saja media massa yang dipilih untuk menyalurkan kalian ?
Anis
: Cuma Metro TV aja untuk saat ini.
Peneliti
: Adakah karya selain video, seperti tulisan misalnya ?
Anis
: Kita memproduksi tulisan untuk dimasukin ke blog, pernah juga ada di
Koran
Tangerang
ekspres.
Tapi
jarang
sih,
kebanyakan
memproduksi video. Peneliti
: Selain video jurnalistik, karya apa lagi yang dihasilkan ?
Anis
: Ada juga film dokumenter tentang cara kita membntu dilingkungan. Kita juga sempat menjadi juara satu di Universitas Atmajaya Jakarta loh, sehari sebelum pengumuman di Metro TV.
Peneliti
: Pandangannya mengenai diri kamu ketika berada dalam suatu tayangan pemberitaan atau karya yang dibuat ?
Anis
: Pandangannya, saya merasa dihargai oleh orang lain jika mereka melihat saya berada dalam tayangan berita yang kami buat, sehingga dengan penghargaan yang diberikan kami bisa memperbanyak lagi karya, dan dengan senang hati nantinya dikomentari oleh banyak orang.
Peneliti
: Adakah pikiran untuk regenerasi jurnalis warga kepada adik-adik di bawah kalian ?
Anis
: Sempat ada fikiran untuk itu, buat anak-anak SR yang kecil-kecil
nanti.
Nama
: Herdian A. S
Tanggal wawancara : Sabtu, 4 Mei 2013
Peneliti
: Apa arti jurnalis warga menurut kamu ?
Herdian
: jurnalis warga adalah orang atau masyarakat yang menjurnal, memberitahukan atau menginformasikan kejadian yang ada di
daerahnya. Jadi, bukan hanya ada wartawan dalam arti sesungguhnya, namun warga pun bisa menjadi seorang jurnalis. Peneliti
: kalau arti dari citizen journalism ?
Herdian
: kegiatan mencari berita yang dilakukan oleh jurnalis warga atau masyarakat untuk membantu para jurnalis profesional yang tidak mampu menjamahi daerah-daerah tertentu.
Peneliti
: Sejak kapan mulai aktif sebagai jurnalis warga ?
Herdian
: sejak ada konsep jurnalis warga yang diusung di Wideshot Metro
TV. Peneliti
: Apa motivasi kamu untuk jadi jurnalis warga ?
Herdian
: Karena menurut saya, di kampung atau di daerah Legok ini banyak yang tertinggal, banyak informasi mengenai daerah ini yang belum diketahui oleh khalayak ramai. Padahal di sini banyak kebudayaan yang belum terangkat dan tidak dipedulikan oleh pemerintah setempat, atau dengan kata lain ingin melestarikan dan menggali potensi daerah agar diketahui oleh banyak orang.
Peneliti
: Apakah kamu menjadi jurnalis warga karena ingin eksis ?
Herdian
: kata eksis yang aku maksudkan bukan untuk diriku, namun lebih kepada ingin mengeksiskan keberadaan daerahku, dalam artian jika daerah yang aku liput bersama teman-teman dimunculkan dalam berita televisi, maka secara otomatis banyak juga masyarakat luar yang tahu tentang apa yang terjadi di daerahku. Dengan kata lain keberadaannya dipandang oleh masyarakat luar.
Peneliti
: Apakah kamu bosan dengan tayangan media mainsteam yang menampilkan seleksi isu terus menerus ?
Herdian
: Tergantung beritanya juga sebenarnya. Kalau memang beritanya penting dan harus ditayangkan terus menerus ya tidak apa-apa, Namun kalau seleksi isu yang mereka tayangkan misalnya tentang berita pemilik media dan juga pembatasan isu lokal ya bosan lah.
Peneliti
: Dan hal itu bisa dikatakan menjadi alasan untuk kamu menjadi seorang jurnalis warga ?
Herdian
: Iya, karena masih banyak isu lokal di daerah saya yang bisa diangkat menjadi berita, namun tidak diliput dan dijamah oleh media massa. Makanya karena bosan dan ingin adanya perubahan tentang tayangan berita maka saya ikut menjadi jurnalis warga.
Peneliti
: Apa tujuan sebenarnya aktif jadi jurnalis warga ?
Herdian
: Untuk membangun potensi yang ada di daerah saya, dan juga melatih saya untuk aktif dalam melihat keadaan sekitar sebagai pencari berita.
Peneliti
: Menurut kamu apa saja kriteria khusus yang harus dimiliki oleh seorang jurnalis warga ?
Herdian
: Tentunya harus memiliki wawasan yang luas, dan harus percaya diri, berani mengambil resiko artinya jika kita meliput sebuah berita dan ditayangkan maka dia harus siap mempertanggung jawabkan apa yang kita liput.
Peneliti
: Kalau dalam hal operasional bagaimana ?
Herdian
: Seorang jurnalis warga tidak harus merupakan orang yang menguasai kamera, kita juga tidak harus pandai bicara di depan kamera layanya
reporter, dengan hanya ia pandai mencatat apa yang kita temui maka kita bisa mejadi seorang jurnalis warga. Intinya semua orang bisa menjadi jurnalis warga. Peneliti
: Tantangan dan kesulitannya menjadi jurnalis warga ?
Herdian
: Tantangan yang paling sulit adaah ketika mendapatkan sumber informasi yang benar-benar bersedia dimintai keterangan, itulah yang membuat saya lebih tertantang untuk menggali informasi lebih dalam lagi. Kemudian ketika meiput berita mengenai pemerintahan atau instansi kami sering diusir karena tidak mempunyai identitas sebagai jurnalis. Ya, karena memang kami merupakan jurnalis warga. Sebenarnya warga pun berhak mengetahui informasi dari pemerintah, namun mengapa sering dilarang-larang.
Peneliti
: Apa bedanya jurnalis warga dengan jurnalis profesional menurut
kamu ? Herdian
: Kalau jurnalis warga dia memberitakannya tidak detail, berbeda dengan jurnalis profesional yang memiliki identitas. Dengan kata lain itu sudah menjadi profesinya, kalau kita kan bukan profesi, hanya sekedar mencari informasi.
Peneliti
: Menurut kamu perkembangan jurnalis warga saat ini bagaimana ?
Herdian
: Saya melihat perkembangan jurnalis warga sekarang mulai meningkat, banyak masyarakat yang berpartisipasi menjadi jurnalis warga,
saya
pun
melihat
kualitas
pengambilan
gambarnya,
wawancaranya. Namun harus diperjelas lagi bagaimana menjadi jurnalis warga yang baik dan benar agar menjadi patokan kami. Peneliti
: Adakah latar belakang pendidikan jurnalistik yang dimiliki ?
Herdian
:Ada, namun cuma sebentar. Itu juga pendidikan broadcast di sekolah sebelumnya.
Peneliti
: Selain itu, pernah mengikuti pelatihan-pelatihan jurnalistik ?
Herdian
: Pernah ikut coaching sekali yang diadakan Wideshot Metro TV.
Peneliti
: Apa saja yang kamu dapat dari coaching tersebut ?
Herdian
: Dapat ilmu bagaimana cara pengambilan gambar yang baik. Misalnya bagaimana cara pengambilan gambar peristiwa dan juga news feature.
Peneliti
: Menurut kamu perlukan seorang jurnalis warga mengetahui ilmu
jurnalistik ? Herdian
: Ya perlu, karena kalau kita tidak tahu tentang ilmu jurnalistik awalnya, kita akan kelabakan atau bingung dalam mengambil gambar dan mewawancarai narasumber, kita harus mengetahui dasarnya terlebih dahulu. Apa saja yang boleh diliput dan diambil gambarnya.
Peneliti
: Berita apa saja yang kalian hasilkan ?
Herdian
: Kami meliput dua macam berita yaitu news feature dan peristiwa.
Peneliti
: Coba tolong jelaskan apa itu peristiwa dan news feature menurut
kamu ? Herdian
: Peristiwa merupakan keadaan atau situasi yang sangat mendadak atau tidak terduga. Kalau news feature merupakan informasi yang ringan namun mempunyai nilai berita yang bagus dan liputan yang membutuhkan konsep terlebih dahulu.
Peneliti
: Bagaimana proses meliput berita, baik peristiwa ?
Herdian
: Kalau peristiwa, misalkan seperti rumah terbakar kita langsung ke lapangan, pertama kali kita ambil gambar rumah yang terbakar di zoom atau di close up, setelah itu kita middle kita lihat keadaan sekeliling, lalu secara keseluruhan atau kita ambil gambar dari sudut yang jauh, barulah kita cari orang yang bisa diwawancarai. Setelah berita didapat kita kembali ke markas, dan dikasihkan kepada teman yang biasa mengedit (editor) dan dibuatkan naskah.
Peneliti
: biasanya dari mana kalian mendapatkan informasi mengenai
peristiwa ? Herdian
: Kita dapat dari teman yang menghubungi kami, jika mereka melihat suatu kejadian di sekitar, atau bisa juga jika kami sedang berjalan suka menemui kejadian secara langsung, karena kemanapun kami pergi selalu membawa kamera.
Peneliti
: Bagaimana kalau proses liputan news feature ?
Herdian
: Pertama mencari tema apa yang ingin kita liput, setelah itu diobservasi dan buat naskah atau konsep. Setelah menentukan apa saja yang ingin kita ambil dan dari sudut mana saja pengambilan gambarnya barulah kita terjun ke lapangan. Tidak jauh berbeda dengan peristiwa, setelah selesai kita edit dan kita kirim langsung.
Peneliti
: Sudah berapa banyak karya yang kalian hasilkan ?
Herdian
: Kurang lebih dua puluh mungkin yah, dan yang sudah ditayangkan kira-kira delapan karya, saya agak lupa mbak.
Peneliti
: Seberapa sering kalian meliput berita ?
Herdian
: Hampir setiap hari pasti kami jalan terus mencari berita, mau liputan apapun pasti kami lakukan deh. Jika dikira-kira seminggu bisa dapat tiga berita.
Peneliti
: Setelah melakukan liputan, adakan yang mengomentari hasil liputan sebelum nantinya dikirim ke media massa ?
Herdian
: Ada, karya kami dikomentari dahulu sebelum nantinya dikirimkan. Jadi kita semacam melakukan evaluasi terlebih dahulu, apa yang kurang, apa yang belum, dikritik, dan diperbaiki. Jika begitu, kami harus mencari hal yang kurang tersebut dan melakukan penambahan liputan guna melengkapi karya kami, namun itu biasanya untuk kategori yang news feature. Jika peristiwa kami langsung kirimkan, karena terpatok oleh waktu.
Peneliti
: Adakah diskusi yang kalian lakukan ?
Herdian
: Ya ada, hampir setiap hari kami melakukan diskusi mengenai karya, karena karya kami bukan hanya berita namun ada juga film dokumentasi.
Peneliti
: Ada berapa banyak media massa yang digunakan dalam menyalurkan
karya ? Herdian
: Sejauh ini hanya satu, yaitu Mero TV saja.
Peneliti
: Adakah karya tulisan yang kalian hasilkan ?
Herdian
: Tulisan sih ada, cuma bentuk tulisannya bukan dalam karya jurnalistik, lebih kepada cerita novel dan sebagainya untuk dilombakan.
Peneliti
: Adakah reward atau penghargaaan dari media massa untuk kalian ?
Herdian
: Ada, dari Wideshot Metro TV kami mendapatkan juara satu dan favorit ketika ulang tahun Wideshot yang pertama.
Peneliti
: Rewardnya berupa apa saja ?
Herdian
: Plakat penghargaan, uang tunai, dan juga handycam.
Peneliti
: Lalu hadiah tersebut digunakan untuk apa ?
Herdian
: Kalau uang kami gunakan untuk memfasilitasi sekolah rakyat. Kalau handycam untuk tambahan keperluan liputan, karena sebelumnya kita hanya punya satu kamera.
Peneliti
: Oya, adanya penghargaan dari Metro TV menjadi motivasi juga ?
Herdian
: tidak, awalnya jadi jurnalis warga itu karena kita punya karya kami hanya kirim-kirim saja, ga peduli mau dapat hadiah atau tidak yang penting informasi dari desa kami tersalurkan.
Peneliti
: Nah itu kan sebelum kalian tahu karyanya menang, setelah itu apakah jadi termotivasi untuk menang lagi dan mendapat penghargaan ?
Herdian
: Ya, semua orang pasti ingin menang dan mendapat penghargaan. Namun kalaupun tidak menang dan tidak dapat hadiah yang terpenting karya kami muncul dan ditayangkan.
Peneliti
: Adakah orang yang merespon dan megomentari karya kalian setelah ditayangkan ?
Herdian
: Ada. Jadi begini, dulu jalanan di Legok kan banyak yang rusak, nah kami angkat sebagai berita dan kami wawancarai pemerintah desanya. Awalnya para aparatur desa tidak suka, namun kemudian kami kirim liputannya ke Metro TV, dan Alhamdulillah tayang. Nah setelah itu,
entah mengapa si pemerintah desa ini seteiap kali melihat kami jadi terseyum. Dan tetangga-tetangga yang lain responnya pun baik. Peneliti
: Apakah respon-respon tersebut jadi motivasi untuk jadi lebih baik lagi menjadi seorang jurnalis warga ?
Herdiyan
: Kalau misalnya komentarnya berupa kritikan, itu pasti menjadi motivasi untuk kami menjadi lebih baik lagi, apalagi kalau responnya itu dari pihak Metro TV.
Peneliti
: Bagaimana perasaannya waktu karyanya ditayangkan ?
Herdian
: Perasaannya senang, karena jika kami meliput berita agar bisa meliput dengan mudah suka bilang kepada narasumber, kami adalah jurnalis warga Metro TV, kami juga bilang insyaallah liputannya akan ditampilkan namun belum tahu kapannya. Ya seperti memberi janji agar mudah aksesnya.
Peneliti
: Apa anggapan kamu ketika jadi juara ?
Herdian
: Ya Alhamdulillah pastinya, senang, tidak disangka-sangka menang dari sekkian banyak juralis warga yang ikut di Metro TV.
Peneliti
: Harapan untuk jurnalis warga Sekolah Rakyat kedepannya ?
Herdian
: Harapannya ingin mendapatkan pelatihan yang lebih bagus mengenai jurnalis warga, serta mengetahui kriteria yang tepat itu seperti apa untuk jadi jurnalis warga yang baik dan benar.
Peneliti
: Terakhir adakah harapan untuk menjadi jurnalis profesional ?
Herdian
: Keinginan itu ada, cuma saya maunya menjadi kameramen saja mbak, gak mau di depan kamera. hehe
Nama
: Syaifudin
Tanggal wawancara : Selasa, 21 Mei 2013 Peneliti
:Apa yang dimaksud dengan jurnalis warga atau citizen journalist ?
Saif
: Jurnalis warga adalah tiap orang atau individu di luar institusi media massa yang berperan sebagai salah seorang jurnalis bagi kepentingan masyarakat dari informasi yang dia sampaikan melalui media massa.
Peneliti
: Kenapa kemudian Metro TV mempunyai tayangan dengan konsep citizen journalism ?
Saif
: Yang pertama, belum ada media massa yang memberikan porsi yang banyak kepada para warga untuk menyampaikan informasi yang berhubungan bagi publik. Yang kedua, kemajuan teknologi informasi dengan berbagai perangkat alat rekam baik audio visual itu sangat memungkinkan seseorang untuk mengabadikan setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Beberapa informasi yang direkam kadang-kadang sangat berguna dan bernilai informasi bagi orang lain. Nah kami menyadari hal itu, dengan sebuah pengalaman sejarah peristiwa tsunami tahun 2004, dimana banyak sekali para warga yang mengabadikan peristiwa atau bencana yang mengerikan itu, dan mengirimkannya ke Metro TV dan kami menayangkannya. Dari situlah sepertinya tonggak keterlibatan warga dalam penyebaran informasi melalui media massa mulai ada. Berlanjut kepada adanya program I-Witness yang khusus menampung tentang gambar-gambar atau rekaman video yang dilakukan oleh warga lalu ditayangkan di Metro TV. Jadi, dengan background itulah dibuat sebuah program
Wideshot untuk melanjutkan dan memberikan porsi kepada para jurnalis warga. Peneliti
: Jadi, Metro TV merupakan stasiun pertama yang menayangkan program jurnalisme warga ?
Saif
: Saya rasa iya secara terstruktur, secara terpola melalui sebuah program yang benama Wideshot, selebihnya kan kalau media massa yang lain ketika ada peristiwa, terus ada video kiriman warga baru mereka menayangkan. Artinya incidental, namun kalau kita kan setiap Senin hingga Jum’at ada porsi sendiri, dari jam 13.00-17.00 bagi jurnalisme warga untuk diakomodasi di program Wideshot.
Peneliti
: Menurut Kang Saif, perkembangan jurnalis warga saat ini bagaimana
? Saif
: Memang belum terlalu semaju di India semua jurnalisme warga. Namun, saya pikir sudah mulai ada kesadaran yang pelan-pelan mungkin tumbuh. Mungkin tidak pesat juga tumbuhnya, tapi pelanpelan tumbuh bagi warga untuk mebuat rekaman video, meng-uploadnya, dan ini juga mungkin ada efeknya dari yang kita kampanyekan bagi para warga untuk mengirimkan semua koleksi videonya untuk kita tayangkan. Tentunya dengan video yang bisa dipertanggung jawabkan oleh Metro TV dan juga oleh sang pembuat. Pasti kita ada cek dan kroscek lagi kepada para pengirinya.
Peneliti
: Sampai saat ini, jumlah partisipan di Metro TV mencapai angka
berapa ? Saif
: Jumlah angka pastinya dari awal Wideshot berdiri yang kita pantau memang masih sangat kecil porsinya dibanding dengan durasi Wideshot yang empat jam. Harapan kita, tidak terlalu muluk-muluk
juga sekitar 25% dari porsi Wideshot sudah terisi oleh jurnalisme warga kami pikir sudah cukup bagus. Secara kuantitas memang sekarang masih fluktuatif , dalam satu sisi kadang-kadang banyak karya jurnalis warga, ataupun banyak mereka yang berminat untuk kita coaching menjadi jurnalis warga, tapi dalam sutu produk tertentu juga memang pesertanya sangat minim. Namun, ini jadi tantangan bagi Wideshot untuk terus mengembangkan dan memberikan pemahaman untuk mereka yang berminat menjadi jurnalis warga. Ya ratusan mungkin sudah pernah kita recruit atau kita tayangkan karya-karya mereka di Wideshot. Peneliti
: Dilihat dari kacamata Metro TV, apa yang membuat warga tertarik untuk menjadi jurnalis warga di Metro TV ?
Saif
: Secara angka, sebagian besar memang dari kalangan mahasiswa, mereka yang menjadi jurnalis warga. Hal ini tidk mengherankan, karena pada level perguruan tinggilah ada program studi jurnalistik. Bisa jadi dengan latar belakang itu, mereka mau memproseskan dirinya, mau mempraktekkan ilmunya yang mereka miliki melalui laporan jurnalisme warga untuk ditayangkan di Wideshot. Tapi di luar mahasiswa juga ada, pernah kita me-recruit ibu-ibu rumah tangga, anak-anak juga yang menjadi jurnalis warga. Saya pikir kedepannya kita akan lebih banyak mengajak kalangan lain. Karena Wideshot bukan hanya untuk mahasiswa, tapi juga masyarakat yang bisa memberikan sumbangsihnya untuk berbagi informasi di Wideshot.
Peneliti
: Menurut Anda apakah dengan reward yang diberikan oleh Metro TV menjadi alasan banyaknya masyarakat yang menjadi jurnalis warga ?
Saif
: Tidak juga ya, karena pada awalnya kita malah tanpa reward sama sekali. Justru waktu itu animonya juga cukup bagus, karena mereka
juga punya sumber informasi yang menarik bagi mereka untuk dibagikan kepada masyarakat, saya pikir itu juga jadi alasan yang kuat. Kalau untuk reward itu kan pada momen ulang tahun Wideshot, kita membuat semacam sayembara untuk melombakan karya jurnalis warga yang terbaik untuk kita berikan, tapi itu kan sangat incidental, kita tidak mengukur dari situ. Belakangan juga untuk lebih menarik minat, mungkin untuk lebih kepada standar kualitas dan juga nilai informasi yang disampaikan makanya kita mungkin menyediakan reward kepada mereka yang mungkin kita anggap videonya terbaik. Peneliti
: Bagaimana partisipasi dari kelompok jurnalis warga Sekolah Rakyat hingga saat ini ?
Saif
: Keterlibatan Sekolah Rakyat dalam program Wideshot khususnya di jurnalisme warga sebetulnya ketika lomba tentang jurnalis warga kita adakan menjelang ulang tahun pertama Wideshot. Mereka banyak mengirimkan karya video, belakangan saya juga tidak heran karena mereka juga diajarkan atau belajar tentang reporting, editing, pengambilan gambar dan sebagainya. Ketika itu dibuat secara tim atau individu, saya kitra semuanya juga ketika ada peserta yang mendaftar terus kita coaching di Metro TV, lalu kita fasilitasi dengan kameramen itu kita sebut juga sebagai sebuah tim. Walaupun memang yang tampil individu si jurnalis warga itu sendiri, tetapi ad di situ tim kecil. Nah kalau yang di Sekolah Rakyat mungkin lebih nyata lagi timnya, karena ada semacam pembagian tugas dalam membuat karya jurnalisme yang komperhensif tentang sebuah kebakaran, sampai ada korbanya, kesaksian polisi, penanganan dokternya. Karena mungkin mereka mengejar momen, jadi tim dimanfaatkan dalam suatu peristiwa itu, dan saya kira itu sah-sah saja untuk karya sebuah tim atau kelompok. Artinya kita juga tidak mengkategorikan siapa yang muncul dilayar,
tapi informasi apa yang dihimbau warga. Bagi kami memang bisa bekerja kelompok, bisa juga karya individu. Beberapa karyayang diupload k web Metro TV, memang kebanyakan karya individu karena banyak juga yang dilakukan dengan merekam melalui smartphone yang mereka upload langsung. Peneliti
: Jadi, partisipasi merea bermula dari ulang tahun Wideshot ?
Saif
: Iya, seingat saya yang mengirim karyanya banyak ya pas ulang tahun. Sebelumnya kita lebih banyak dari jurnalis warga coaching
Peneliti
: Sejauh ini selain Sekolah Rakyat, adakah kelompok masyarakat lain atau lebih banyak individu ?
Saif
: Kebanyakan individu yang mengirimkan karya jurnalis warga mereka ke Wideshot. Kedepannya bisa jadi kita akan menciptakan komunitas yang kita bisa organisir untuk tema-tema jurnalis warga, dan kita bisa tentukan temanya dengan kreasi yang bebas dari para jurnalis warga untuk sebuah tayangan yang massif dari sebuah suara dari warga itu seperti apa tentang keadaan sekitarnya.
Peneliti
: Namun apakah bisa dibilang Sekolah Rakyat ini satu-satunya yang merupakan komunitas jurnalis warga ?
Saif
: Saya pikir karena mereka disatukan dalam satu lembaga pendidikan. Ketika penugasannya saya lihat beberapa peserta yang datang ke Metro dari Sekolah Rakyat, masing-masing individu punya tema. Dalam pengerjaannya mereka tim ya itu teknis. Namun dalam sebuah idenya personal. Itu terbukti dari beberapa minggu lalu mengikuti coaching denegan presentasi bebarapa tema. Dan itu terbukti karena setiap orang punya ide-ide sendiri dan sangat kreatif. briliant.
Peneliti
: Bagaimana penilaian Kang Saif tentang karya mereka ?
Saif
: Karya-karya Sekolah Rakyat saya pikir mereka unggul dalam segi aktualitas, beberapa peristiwa mereka dapat. Katakanlah sebuah kebakaran dari api kecil sampai api meledak besar bisa mereka dapatkan. Artinya, kecepatan mereka mengakses ke lokasi peistiwa bisa kita acungi jempol. Lalu, ketika mereka menelusuri jalan yang rusak, mereka tanyakan petugas kelurahan, itu kita apresiasi juga ketika mereka mengkonfirmasi fenomena yang mereka liput ke lapangan. Hasrat untuk melakukan liputan yang komperhensif, yang sumbenya bisa dipecaya, bisa dipertanggung jawabkan telah mereka lalukan, terlepas dari unsur teknis. Saya pikir seiring waktu masalah teknis seperti komposisi gambar, tata bahasa dalam sebuah narsinya akan membaik dari waktu ke waktu.
Peneliti
: Terkait karyanya, Sekolah Rakyat lumayan sering menjadi juara. Metro TV menilai karya mereka berdasarkan apa ?
Saif
: Banyak, terutama dari tema yang dibahas. Karena akan kita konfirmasi lagi, kalau misakan itu peristiwa, kapan, di mana, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Lalu kita cek juga otentisitasnya, benar dia yang melakukan, atau ada orang lain yang melakukan bahwa itu adalah video asli karya mereka, itu kita cek juga. Kemudian teknis, kelengkapan cerita, kelengkapan informasi yang ada, komposisi gambar, orang-orang yang kompeten yang ada di dalam video itu, semuanya menjadi unsur-unsur penilaian kita. Dan memang setiap akhir bulan para produser berunding semua, dengan argument masingmasing dan dalam satu waktu bisa saja mereka yang dianggap lebih baik dibanding karya yang lainnya.
Peneliti
: Nah, mereka kan sering dijadikan sebagai bahan/ contoh juga oleh Metro TV, seperti dijadikan filler. Alasannya kenapa ?
Saif
: Kita melihatnya Sekolah Rakyat itu unik, di Wideshot sendiri berbagai macam informasi yang unik, menarik, inspiratif ada di Wideshot. Sekolah Rakyat adalah contoh dari kondisi yang ada di masayarakat
yang
menampung mereka
menarik
karena
yang putus
merupakan sekolah,
sekolah
yang
mencoba berusaha
melanjutkan pendidikan mereka dengan segala keterbatasan, dengan segala upaya mereka coba untuk tetap sekolah sampai mereka juga diajarkan untuk sebuah peliputan. Itu menarik bagi kami, disamping sekolah-sekolah mapan sangat banyak dengan berlimpah fasilitas. Sangat menarik, unik, dan inspiratif bahwa itu bisa menggugah banyak orang bahwa ketebatasan tidak menghalangi orang untuk melanjutkan akses pendidikannya. Saya melihat dari sisi itu, bahwa pendidikan harus tetap berlanjut. Peneliti
: Kalau dari sisi jurnalis warganya : Saya pikir relatif, ketika ada yang bagus kita tayangkan. Ketika ada yang tidak bagus ya mohon maaf tidak memenuhi kriteria kita. Mereka pun banyak mengirimkan karyakarya yang memang menurut kita belum layak tayang ya kita pending.
Peneliti
: Apakah sekarang mereka difasilitasi ?
Saif
: Dari peserta jurnalisme warga yang kita coaching di sini, ketika mereka punya tema mereka ingin membuat peliputan, memang kita sediakan kameramen untuk peliputan. Tapi, kita juga dengan segala keterbatasan tidak mungkin sebuah peliputan jurnalis warga harus menginap. Biasanya memang one day trip selesai, atau satu kali liputan. Karena load liputan di Metro TV sendiri sngat tinggi, sebatas itu transportasi dan kameramen saja.
Peneliti
: Kriteria jurnalis warga di Metro TV harus bagaimana ?
Saif
: Ada, kalau pada awalnya kita menampung atau mengakomdasi semua karya jurnalis warga, baik itu bentuknya feature, peristiwa, news feature. Namun belakangan kita mulai strike atau kita akan bermain pada wilayah peristiwa dan news feature saja. Artinya pada liputan jurnalis warga yang murni feature seperti jalan-jalan ke tempat wisata, kuliner kita coba minimalisir karena kita kembali kepada pada fungsi sebagai stasiun berita. Jurnalisme warga pun sebisa mungkin yang mempunyai nilai berita dari warga. Boleh feature, namun harus ada muatan newsnya seperti misalnya liputan jalan rusak, fasilitas publik yang terbengkalai, itu feature namun muatan newsnya sangat kental. Kalau peristiwa kita bisa pahami bersama, itu pasti menarik, seperti kebakaran, gempa bumi, longsor, bencana alam. Sejauh informasi bisa dipertanggung jawabkan, dikros cek kebenarannya, gambarnya pun, maksunya bisa menayangkan visual yang terjadi, yang dimaksud oleh jurnalis warga pasti tayang.