Topik Utama Intensifikasi Proses Reaktor: Bioreaktor Pervaporasi Pertimbangan Teknis Spray Method sebagai Reaktor untuk Produksi Partikel Riset Proses Separasi di Korea Selatan
4 7 13
Studi Kasus Cara Praktis Mendesain Reaktor Menggunakan Microsoft Excel Desain Dasar Kolom Distilasi Zeotrop dan Azeotrop pada Equilibrium Stages (bagian 2)
22 33
Iklan Cognoscente PEBE
21 32
2
Editor Zulfan Adi Putra Universiti Teknologi PETRONAS, Tronoh Editor Utama
Asep Bayu Dani Nandiyanto Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung Editor
Muhammad Roil Bilad Universiti Teknologi PETRONAS, Tronoh Editor
Oki Muraza King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran Editor
Riezqa Andika Yeungnam University, Gyeongsan Editor
Teguh Kurniawan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang Editor
Editorial Reaktor adalah unit operasi paling utama dalam pabrik kimia dimana reaksi kimia berlangsung. Desain dan kinerja suatu reaktor sangat menentukan produktivitas suatu pabrik kimia. Unit operasi sebelum reaktor didesain untuk memenuhi kriteria kebutuhan reaktan (seperti kemurnian, ketiadaan racun yang menghambat reaksi, dan lain-lain). Sistem utilitas (penunjang) salah satunya juga didesain agar mampu mendukung reaksi di dalam reaktor (misalnya, sistem pemanas atau pendingin untuk menjaga reaksi pada kondisi isotermal). Lalu setelah unit reaktor, unit-unit pemisahan didesain agar mampu menghasilkan produk akhir dari keluaran reaktor. Mengingat pentingnya reaktor, kami mengangkat tema reaktor pada edisi. Artikelartikel yang ada membahas berbagai aspek reaktor dalam pabrik kimia. Artikel pertama menunjukkan konsep desain dalam proses intensifikasi reaktor dengan mengombinasikan fermentor dan pervaporasi. Artikel kedua secara detail mendiskusikan pertimbanganpertimbangan teknis ketika menggunakan metode spray sebagai reaktor untuk produksi partikel. Artikel keempat menunjukkan prosedur rinci mendesain reaktor dengan bantuan Ms. Excel tanpa harus bergantung pada software mahal seperti (Matlab). Ulasan mengenai riset proses separasi di Korea (artikel ke-3) berusaha menunjukkan bagaimana suatu proses dikembangkan sebelum diimplementasikan dalam skala besar. Artikel terakhir merupakan lanjutan dari artikel edisi sebelumnya mengenai desain kolom azeotrop. Selamat membaca! Muhammad Roil Bilad Editor
3
Topik Utama
Intensifikasi Proses Reaktor: Bioreaktor Pervaporasi Muhammad Roil Bilad Universiti Teknologi PETRONAS
reproduksi (penggandaan), etanol (fasa cair dan larut dalam air) dan karbon dioksida (CO2, gas).
Intensifikasi proses secara formal diperkenalkan sebagai suatu konsep dan diaplikasikan dalam perancangan pabrik oleh David Reay dan Colin Ramshaw pada tahun 70-80an. Intensifikasi proses saat itu cukup revolusioner. Intensifikasi dapat meminimalkan ukuran unit operasi, meningkatkan efisiensi, mengurangi jumlah unit dan lain-lain. Bayangkan sebuah reaktor yang diintegrasi dengan proses pemisahan, dimana secara simultan produk murni secara kontinu dikeluarkan, sementara reaktan yang belum bereaksi tertahan hingga habis bereaksi. Proses ini secara dramatis meningkatkan perolehan produk (yield) terhadap reaktan. Untuk memberikan sedikit gambaran mengenai arti penting intensifikasi proses, penerapan intensifikais proses dalam bioreaktor pervaporasi (intergasi antara fermentor dengan pervaporator) akan dideskripsikan berikut.
Pada proses linier (tanpa intensifikasi, Gambar 1A), CO2 dibuang sebagai produk samping, sementara fasa cair diumpankan ke unit pemisahan (biasanya kolom distilasi) dimana etanol menguap, akibat tekanan uap lebih rendah (titik didih lebih rendah dari air) dan air tetap dalam fasa cair (di bawah kolom). Produk uap etanol di bagian atas kolom kemudian dikondensasikan sebagai produk. Proses linear ini biasanya dilakukan secara curah (batch), dan produktivitas dihambat oleh konsentrasi produk yang tinggi. Akibatnya, perolehan produk terhadap reaktan juga rendah. Proses curah juga lebih kompleks karena melibatkan siklus operasi fermentor yang rumit (persiapan bibit, sterilisasi fermentor, perlu tanki penampungan produk, dan lain-lain).
Proses Standar (linier tanpa intensifikasi) Fermentor adalah istilah untuk reaktor yang melibatkan reaksi fermentasi, baik sel hidup atau enzim. Salah satu penggunan fermentor dalam proses kimia adalah produksi etanol menggunakan ragi. Ragi secara anaerobik (hampa oksigen) pada tekanan atmosfer menkonversi sumber kabon (biasanya gula atau hidrolisat selulosa, air dan nutrisi) untuk respirasi,
Bioreaktor Pervaporasi Kelemahan-kelemahan pada proses linear di atas dapat diatasi dengan mengintensifkan proses, yaitu dengan mengkombinasik an fermentor dan pervaporator menjadi satu kesatuan kerja yang integral. Fermentor memiliki fungsi sama, namun kini diintegrasikan dengan unit pemisahan. Pervaporator adalah
4
Gambar 1. Proses linier (tanpa intensifikasi) untuk produksi etanol menggunakan proses fermentasi (A). Intensifikasi proses: kombinasi fermentor dan pervaporator sebagai dua unit terpisah (B), dan kombinasi fermentor dengan pervaporator dalam satu unit integral (C). istilah unit operasi dimana proses pervaporasi terjadi. Pervaporasi adalah proses pemisahan membran yang memungkinkan pemisahan etanol secara spesifik dari kaldu fermentasi. Tidak seperti distilasi, pervaporasi dapat bekerja pada suhu rendah sama dengan suhu optimal fermentor. Pemisahan dipicu oleh perbedaan tekanan uap parsial antara air dan etanol. Biasanya sisi produk dioperasikan pada tekanan vakum. Sebagai unit terpisah (Gambar 1B) kaldu fermentasi disirkulasikan ke unit pervaporasi dimana etanol disisihkan sebagai produk (masih bercampur sedikit air), kemudian keluarannya dikembalikan kembali ke fermentor. Integrasi fermentorpervaporator ini memberikan banyak
keuntungan, antara lain: (1) reaksi dapat dilaksanakan secara kontinu (produk dipanen terus-menerus), (2) proses lebih sederhana (tidak melibatkan siklus operasi fermentor yang rumit), (3) perolehan produk lebih tinggi karena biomassa tetap tertahan di fermentor dan reaktan (umpan) yang belum dikonsumsi ragi masih tertahan, (4) fermentasi tidak terhambat oleh akumulasi etanol di dalam kaldu, dan lain-lain. Konfigurasi pervaporator yang terletak di luar ini masih memerlukan pompa sirkulasi. Konfigurasi ini masih bisa diintensifkan lagi dengan merendam membran di dalam fermentor (Gambar 1C), yang disebut juga konfigurasi internal. Pada konfigurasi internal pompa sirkulasi tidak diperlukan lagi.
5
Tentu saja, proses integrasi ini tidak bisa berlangsung terus-menerus. Sebagian biomassa yang terakumulasi juga harus dibuang. Arus pembuangan dari fermentor ini juga berfungsi mencegah terakumulasinya produk metabolism set tertentu yang dapat menghambat fermentasi etanol. Namun, melalui intensifikasi proses, berbagai hambatan pada proses linear dapat diatasi. Intensifikasi Lanjut Intensifikasi proses kini merupakan sesuatu yang integral dalam merancang pabrik kimia. Salah satu unit operasi pemisahan yang sering digunakan adalah membran, seperti dalam bioreaktor membran untuk pengolhan air limbah dan pada bioreaktor membrane enzimatik untuk produksi glukosa dari pati. Tujuan utama intensifikasi proses adalah untuk mengoptimalkan keseluruhan proses dengan memenuhi semua kriteria desain yang ada. Beberapa pengembangan lanjut intensifikasi proses antara lain: (1) integrasi panas (heat integration) yang bertujuan meminimalkan penyediaan panas, misalnya dengan jaringan alat penukar panas (heat exchanger network), (2) desain berkelanjutan (sustainable/green design) bertujuan meminimalkan limbah berbahaya dan menerapkan proses yang aman terhadap lingkungan, (3) minimasi buangan limbah cair (zero liquid discharge), dan lain-lain.
Muhammad Roil Bilad kini bekerja sebagai asistan professor di Universiti Teknologi PETRONAS (UTP) Malaysia sejak Mei 2016. Sebelum itu, dia bekerja sebagai peneliti di beberapa universitas: Nanyang Technological University Singapura (20152016), Masdar Institute of Science and Technology Uni Emirat Arab (2013-2015) dan KU Leuven Belgia (2012-2013). Dia menyelesaikan meraih gelar PhD-nya di KU Leuven Belgia, M.sc dari UTP dan Sarjana Tenik dari Institut Teknologi Bandung. Penelitian MR Bilad berkutat pada teknologi membran, mulai dari sintesis, teknik karakterisasi, studi tentang penyumbatan (fouling) dan penanggulangannya, termasuk juga desain modul dan desain proses. Aplikasi utama yang ditargetkan adalah untuk pengolahan air dan air limbah, termasuk untuk desalinasi air laut. Sejak bergabung dengan UTP, MR Bilad sedang berusaha membangun riset dibidang yang sama. Dari hasil risetnya, MR Bilad telah mempublikasikan 37 jurnal ilmiah, 3 paten dan lebih dari 25 kali mempresentasikan risetnya di konferensi internasional. MR Bilad bisa dihubungi melaui email:
[email protected].
6
Topik Utama
Pertimbangan Teknis Spray Method sebagai Reaktor untuk Produksi Partikel Asep Bayu Dani Nandiyanto Universitas Pendidikan Indonesia
Spray method adalah salah satu cara yang
menjanjikan untuk digunakan sebagai media untuk memproduksi partikel. [1] Prinsip spray reactor adalah mengubah bahan baku yang berupa cairan menjadi bentuk powder, melalui kombinasi aerosolisasi (pengubahan cairan menjadi aerosol) dan pengeringan (drying) [2]. Saat ini, spray method adalah salah satu metode yang dipercaya dalam industri. Bahkan, pengguna alat spray di industri di dunia sudah mencapai 15,000 buah pada tahun 2009 [2]. Apabila dijumlahkan dengan jumlah alat spray pada skala laboratorium, saat ini jumlah alat spray bisa mencapai lebih dari 30,000 buah. Dalam tulisan ini, akan dibahas mengenai peralatan reaktor apa saja yang dibutuhkan untuk membuat sistem peralatan spray. Walaupun spray method sudah dikenal dalam berbagai macam jenis (seperti spray-pyrolysis, spray-drying, flame-spray, low-pressure, dan electrospray), prinsip kerja alat ini adalah sama [2]. Peralatan spray method Ilustrasi mekanisme spray method dapat dilihat pada Gambar 1a. Selanjutnya, sistem peralatan dalam spray dapat dilihat pada Gambar 1b, 1c, dan 1d.
Secara ringkasnya, Gambar 1b, 1c, dan 1d adalah ilustrasi berbagai alat yang digunakan dalam proses aerosolisasi, pengeringan, dan penangkapan partikel [2]. Aerosolisasi Aerosoliasi, atau terkadang disebut sebagai atomization, adalah suatu cara untuk merubah cairan menjadi bentuk aerosol (droplet) [3]. Aerosol yang terbentuk ukurannya berbeda-beda, dan ini bergantung pada jenis alat untuk proses aerosolisasi [2]. Pada sistem tradisional, sistem aerosolisasi dapat dicapai dengan menggunakan suhu tinggi. Hal ini dapat kita kenali secara sederhana pada saat kita memasak air, dimana uap air akan pergi ke udara dan kemudian, terbentuk uap putih. Uap putih tersebut adalah aerosol yang terbentuk [2]. Namun, pada industri, proses menggunakan sistem suhu seperti di atas tidak dapat digunakan. Hal ini disebabkan suhu berhubungan dengan cost yang harus dikeluarkan [4]. Oleh karena itu, beberapa cara yang biasanya digunakan adalah menggunakan driving force yang dapat berupa tekanan, gaya sentrifugal, eletrostatik, dan ultrasonik.
7
Gambar 1. Mekanisme pembentukan partikel dalam metode spray (a) dan beberapa peralatan yang digunakan, meliputi peralatan untuk aerosolisasi (b), pengeringan (c), dan penangkapan partikel (b) [2].
8
Dengan menggunakan sistem driving force ini, kita mengenal beberapa jenis converter untuk aerosolisasi, yaitu rotary disk, two-fluid nozzle, dan ultrasonic nebulizer, dimana jenis peralatan ini dapat menghasilkan ukuran droplet masingmasing sebesar >200; antara 10 dan 1,000; serta antara 1 dan 10 µm [2]. Sebagai catatan, 1 µm setara dengan satu per sejuta meter. Beberapa peralatan yang digunakan dalam proses aerosolisasi dapat dilihat pada Gambar 1b. Namun,
sebagai tambahan, ukuran droplet yang dihasilkan oleh peralatan tersebut juga bergantung pada sifat material bahan cairan yang akan diaerosolisasi. Sifat fisika kimia yang biasanya berhubungan dengan ukuran droplet adalah surface tension (), viskositas (), densitas () [5].
Adapun ukuran yang bisa dihasilkan bergantung pada sistem empiris sebagai berikut [2].
Dd K f .Q n a . b . c
Dimana Dd adalah droplet yang d i has i l k an . S e l an j u tn y a, K f ad al a h konstanta alat yang berhubungan dengan tipe alat yang digunakan, berupa gaya centrifugal, frekuensi dari alat, tekanan, dan laju alir carrier gas. Q dan n masing-masing adalah laju alir cairan yang dimasukkan dan konstanta laju alirnya. Simbol a, b, dan c masing-masing adalah konstanta dari densitas, surface tension, dan viskositas. Secara empiris, konstanta
yang terlibat dalam proses aerosolisasi dapat dilihat pada Tabel 1. Pengeringan Setelah proses aerosoliasi, tahap selanjutnya adalah proses pengeringan. Pada tahap ini, sebagian besar pelarut (biasanya air) akan diuapkan [6]. Beberapa peralatan yang biasa digunakan dalam proses pengeringan, seperti pengeringan langsung dengan menggunakan api (dikenal dengan istilah flame), pengeringan dengan metode difusi, dan pengeringan dengan pemanas elektrik [2]. Bahkan ada juga yang menggunakan proses pengeringan melalui proses kontak dengan gas panas. Peralatan yang digunakan untuk proses pengeringan dapat dilihat pada Gambar 1c. Pada sistem pengeringan, droplet yang dihasilkan akan dialirkan ke dalam reaktor pengering dengan menggunakan aliran gas pembawa (carrier gas). Gas pembawa yang digunakan biasanya berupa udara, gas inert (seperti nitrogen, argon, helium, dan sebagainya), gas panas, dan steam. Proses pemilihan gas pembawa bergantung dari jenis zat kimia yang akan dihasilkan/diproduksi [2]. Dalam proses pengeringan, beberapa hal harus diperhatikan, khususnya temperatur minimum yang digunakan (TG). Temperatur minimum dapat didekati sesuai dengan persamaan Antoine (7). Twb
T K 1 b K2
m
log TG K 3
9
Tabel 1. Parameter yang digunakan dalam proses aerosolisasi [2]. Tipe Atomizer
Air-shear nozzles
Power Parameters
Referensi n
a
b
c
Lorenzetto dan Lefebvre
−1.93
−0.37
0.33
–
Jasuja
0.80
−0.40
0.45
0.80
Hewitt
0.10
–
2.40
−0.59
0.50
–
1.00
0.50
Oyama et al.
0.50
0.30
0.30
0.30
Fraser et al.
0.40
−0.30
0.30
0.10
Ryley
0.66
0.41
−0.88
−1.01
Dombrowski dan Lloyd
1.55
0.93
1.22
0.22
Kayano dan Kamiya
1.01
0.19
0.95
1.34
Tanasawa et al.
0.60
0.34
1.00
0.50
Frost
1.24
0.80
0.95
0.82
Sanderson
0.33
0.15
0.15
0.15
∗
0.88
0.72
0.72
0.72
Hewitt
0.20
–
–
–
Parkin dan Siddiqui
0.85
0.68
0.68
0.68
Hewitt (N < 5500)
0.12
–
–
–
Hewitt (N > 5500)
0.03
–
1.62
0.26
–
−0.67
0.33
Mochida
0.14
−0.35
0.35
0.30
Rajian dan Pandit
0.21
−0.27
0.11
0.17
Spinning discs Walton dan Prewitt
∗
Kinnersley
Rotary cage atomizers
Ultrasonic nebulizer
Lang
Catatan: ∗nilai dikalkulasi ulang dari Hewitt et al. 10
dimana Twb dan Tb masing-masing adalah temperatur wet bulb dan boiling cairan. Selanjutnya, simbol K1, K2, K3, dan m masing-masing adalah konstanta Antoine. Selain temperatur, hal lain yang harus diperhatikan adalah waktu proses [8]. Waktu proses minimum (t) untuk mengonversi satu buah droplet menjadi satu buah partikel dapat ditulis sebagai: t C m C o 1 D
edisi sebelumnya [9], maka sistem peralatan yang digunakan tidak akan dibahas di sini. Secara ringkasnya, spesifikasi proses penangkapan partikel yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi peralatan dalam proses penangkapan partikel [2].
3 2
dimana Cm, Co, dan τD masing-masing adalah konsentrasi yang diinginkan pada partikel akhir/produk, konsentrasi awal cairan, dan waktu maksimum untuk mengeringkan droplet [5]. Selanjutnya, τD dapat diestimasi dari droplet diameter awal (Dd) dari proses aerosolisasi and laju evaporasi (): D Dd2
Nilai harus diintegrasi dan dapat diprediksi dari persamaan Peclet (Pe), dimana persamaan ini bergantung pada jumlah difusi [2]: Pe
8D
Proses penangkapan partikel Dalam tahap ini, proses penangkapan partikel dilakukan dengan menggunakan alat-alat yang ditampilkan pada Gambar 1c. Namun, karena pembahasan m e n g e n a i b ag a i m an a c a r a u n tu k menangkap partikel sudah dijelaskan di
11
Referensi 1. Hayati, S. N., Herdian, H., Damayanti, E., Istiqomah, L., & Julendra, H. (2013). Profil asam amino ekstrak cacing tanah (LUMBRICUS RUBELLUS) Terenkapsulasi dengan metode spray drying. Jurnal Teknologi Indonesia (JTI), 34(Khusus). 2. Nandiyanto, A. B. D., & Okuyama, K. (2011). Progress in developing spraydrying methods for the production of controlled morphology particles: From the nanometer to submicrometer size ranges. Advanced Powder Technology, 22(1), 1-19. 3. Sari, F. A. (2015). Uji stabilitas fisik mikroenkapsulasi ekstrak buah pare (Momordica charantia L.) dengan variasi bahan penyalut amilum dan selulosa mikrokristal dalam sediaan kapsul. http://eprints.uns.ac.id/17531/ (diambil 2 Juli 2016) 4. Wahyudi, J., A Wibowo, W., A Rais, Y., & Kusumawardani, A. (2011, February). Pengaruh suhu terhadap kadar glukosa terbentuk dan konstanta kecepatan reaksi pada hidrolisa kulit pisang. In Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan” 2011. 5. Pramitasari, D. (2010). Penambahan ekstrak jahe (zingiber officinale rosc.) dalam pembuatan susu kedelai bubuk instan dengan metode spray drying: komposisi kimia, sifat sensoris dan aktivitas antioksidan (Doctoral dissertation, Universitas Sebelas Maret). http://eprints.uns.ac.id/7635/ (diambil 2 Juli 2016)
6.
7.
8.
9.
Sembiring, B. (2009). Pengaruh konsentrasi bahan pengisi dan cara pengeringan terhadap mutu ekstrak kering sambiloto. Bul. Littro, 20(2), 173-181. Widayat, W., Haidar, M. H., Cahyono, B., Ngadiwiyana, N., Nurdiana, L., & Satriadi, H. (2014). Proses Destilasi Vakum Pada Minyak Cengkeh pada Tekanan Vakum: Simulasi dan Eksperimen. In Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Kimia dan Proses 2013 (No. E. 17, pp. 1-6) Pujihastuti, I. (2009). Teknologi Pengawetan Buah Tomat Dengan Metode Freeze Drying. METANA, 6(01). Nandiyanto, A.B.D. (2016). Pengembangan Proses Penangkapan Partikulat di Udara, Majalah Teknik Kimia Indonesia, 2(1), 16-18.
Asep Bayu Dani Nandiyanto adalah seorang asisten profesor di Departemen Kimia di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Ketertarikannya di bidang riset tentang teknologi partikel dan nanomaterial telah membawanya mengunjungi berbagai pusat riset tentang nanoteknologi di berbagai belahan dunia dan beberapa penghargaan internasional seperti SCEJ Award (Society of Chemical Engineers Japan) for Outstanding Young Researcher pada tahun 2014 dan juga George Klinzing Award dari American Institute of Chemical Engineers (AIChE). Asep mendapatkan gelar Sarjana Teknik dari Departemen Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung, dan gelar master dan doktoral dari Hiroshima University.
12
Topik Utama
Riset Proses Separasi di Korea Selatan Gregorius Rionugroho Harvianto & Riezqa Andika Process Systems Design and Control Lab. Yeungnam University Ada dua hal yang mendasari ilmu teknik kimia. Pertama adalah reaksi dan yang kedua adalah separasi atau pemisahan. Umumnya di dalam sebuah proses, suatu produk, kecap misalnya, kedua hal tersebut adalah hal yang fundamental. Untuk memproduksi kecap, diperlukan fermentasi kedelai, yang merupakan reaksi tanpa adanya oksigen. Selanjutnya, proses filtrasi, yang merupakan proses separasi antara partikel padat (ampas kedelai) dan fluida (kecap). Di industri yang bersifat lebih kompleks, reaksi dan separasi juga menjadi hal yang fundamental. Perbedaan mendasar dengan proses sederhana adalah penggunaan alat-alat yang berukuran cukup besar dan mempunyai kriteria tertentu. Alat yang digunakan sebagai wadah tempat terjadinya reaksi disebut dengan reaktor. Reaktor di industri pada umumnya berbentuk tangki (contohnya CSTR; continuous stirred tank reactor) atau pipa (contohnya PFR; plug flow reactor ). Desain dari masing-masing reaktor dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya laju reaksi dan juga
temperatur reaksi. Proses separasi umumnya mengambil bagian paling besar dalam sebuah proses industri, sebagai contoh dalam industri petrokimia, 90% unit proses yang ada merupakan proses separasi. Terdapat beberapa alat yang biasanya digunakan untuk proses separasi di industri. Beberapa diantaranya adalah ekstraktor, kolom distilasi, dan pemisahan dengan membran. Perkembangan riset lebih jauh dari beberapa alat tersebut termasuk aplikasinya, terutama di Korea Selatan, akan dijelaskan lebih jauh dalam tulisan ini. Ekstraksi Lithium dari Air Laut Lithium adalah bahan baku utama dalam pembuatan baterai. Ada berbagai jenis baterai sekunder yang saat ini secara komersial telah diproduksi. Baterai jenis lithium lebih superior dibandingkan dengan baterai jenis lainnya, sehingga riset yang dilakukan saat ini lebih banyak diarahkan pada material tersebut. Lithium adalah metal yang paling ringan dan memiliki potensial elektrokimia yang paling tinggi dibandingkan dengan logam lainnya. Baterai berbasis lithium cukup menjanjikan karena dapat memberikan kapasitas jenis (specific capacity) sebesar 3600 Ah/kg. Saat ini, produksi dunia tidak mencukupi untuk memenuhi permintaan lithium yang makin meningkat. Saat ini,
13
Gambar 1. Diagram alir proses separasi lithium dari air laut. Cile dan Bolivia adalah produsen terpenting lithium. Sayangnya, penambangan lithium dalam jumlah besar akan menyebabkan dampak ekologi yang merugikan. Penelitian terkini menunjukkan banyak logam-logam terlarut dalam air laut, salah satunya adalah lithium. Konsentrasi lithium dalam air laut mencapai 0.17 ppm. Berdasarkan studi literatur, terdapat tiga teknologi yang cukup berkembang dalam pengembangan ekstraksi lithium dari air laut. Rangkuman teknologi yang berkembang dijabarkan dalam Tabel 1. Ke depannya teknologi yang menjanjikan untuk dikaji lebih dalam adalah kombinasi ekstraksi dengan solvent dan adsorpsi. Kombinasi ini diharapkan dapat mengurangi waktu ekstraksi dengan selektivitas yang tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas dari teknologi ini, yaitu : (1) pemilihan solvent yang tepat, (2) pemilihan adsorbent yang
tepat, (3) pretreatment untuk menghilangkan ion pengganggu, (4) ekstraktan yang tepat untuk meningkatkan efisiensi, (5) kondisi operasi seperti tekanan dan suhu yang optimal, dan tidak boros energi, dan (6) umur penggunaan solvent dan adsorbent. Hal-hal tersebut yang menjadi daya tarik bagi peneliti-peneliti di dunia dalam pengembangan teknologi ini kedepannya. Pada hakikatnya, kehidupan masyarakat Indonesia tidak akan terpisah dari pesatnya perkembangan teknologi yang ada. Namun, permasalahan yang terjadi adalah pada umumnya masyarakat Indonesia hanya bertindak sebagai konsumen dengan adanya banyak produk-produk asing yang diimpor secara terus menerus seperti Alkaline, Samsung, LG, Lenovo, Sony, dan lain-lain. Positifnya, terkhusus untuk produk-produk elektronik yang menggunakan baterai, akhir-akhir ini sudah mulai banyak bermunculan produk
14
Tabel 1. Rangkuman teknologi dalam pengembangan ekstraksi lithium ion dari air laut (dari berbagai sumber). Adsorpsi Efisiensi tinggi, stabilitas kimia yang tinggi, selektivitas tinggi
Co-Precipitation Efisiensi rendah
Cukup mahal (menggunakan solvent sebagai pelarut) Sederhana, efektif di suhu ruangan
Cukup mahal (menggunakan adsorbent sebagai penyerap) Cukup kompleks dengan suhu dan tekanan tinggi
Paling murah
Waktu ekstraksi yang singkat Stripping cukup mudah / Pemurnian dilakukan dengan menggunakan larutan asam Solvent dapat di-recycle, adanya ekstraktan yang dapat meningkatkan efisiensi
Waktu penyerapan yang lama
Waktu presipitasi cukup lama
Ekstraksi dengan Solvent Efisiensi tinggi
(beberapa ion ikut sebagai presipitan)
Paling sederhana
Pada tahap pemurnian membutuhkan unit operasi yang lebih kompleks Regenerasi adsorbent Adanya limbah membutuhkan uap pada suhu kimia dalam bentuk dan tekanan yang tinggi sludge
rakitan dalam negeri seperti Advan, BYON, Forsa, Axioo, Zyrex, Betrix, Spirit. Faktanya, ketersediaan spare part masih harus diimpor dari Cina, Jepang ataupun Korea Selatan. Sehingga, dengan ketersediaan lithium sebagai bahan baku utama baterai dalam produk tersebut akan memberikan keuntungan tersendiri dalam perkembangan industri baterai nasional. Aplikasi industri masa depan yang menjanjikan membutuhkan lithium sebagai bahan bakunya. Alangkah lebih
baik jika Indonesia dapat memanfaatkan air laut sebagai sumber utama lithium. Hal ini sangat baik untuk diterapkan di Indonesia. Terdapat dua pabrik yang sudah memulai untuk produksi baterai dalam negeri, yaitu PT Nirpress, Tbk di Bogor dan PT Selatan Jadi Jaya di Sidoarjo. Jepang dan Korea telah mengaplikasikan teknologi ekstraksi lithium ini secara nyata pada skala mini plant. Jepang sudah selangkah lebih maju dengan
15
mengintegrasikan kombinasi ekstraksi solvent dengan adsorpsi dalam ekstraksi lithium dari air laut. Terdapat lima tahap utama yang harus dilakukan dalam pengembangan teknologi ini di Indonesia sehingga dapat menyediakan kebutuhan lithium dalam negeri. Tahapan-tahapan tersebut meliputi: 1. Pencarian sumber lithium Hal ini bertujuan untuk mencari sumber air yang memiliki kandungan lithium terbesar. Analisa ini tidak terbatas hanya pada sumber air laut, namun juga air danau, ataupun air limbah. Selain itu, sumber lithium juga bisa didapatkan dari recycle baterai lithium yang sudah tidak terpakai. 2. Pengembangan teknologi ekstraksi Terdapat banyak teknologi yang dapat diterapkan dalam ekstraksi lithium air laut. Penemuan akan teknologi tepat guna yang siap dikembangkan menjadi penting dalam tahapan pengembangan produksi
lithium dalam negeri. Kerjasama antara peneliti baik dari pihak pusat penelitian, maupun kampus harus dilakukan untuk mempercepat pengembangan teknologi ini. 3. Pembangunan mini-plant Setelah teknologi terbaik terpilih, pembangunan mini-plant diperlukan untuk melihat kelayakan teknologi tersebut diimplementasi pada skala pabrik. 4. Kajian keberlanjutan program dan analisa ekonomi Berdasarkan mini-plant yang sudah terbangun, kajian-kajian akan keberlanjutan plant ini dari sisi pembangunan, kebutuhan, ekonomis sangat diperlukan. 5. Scale-up untuk skala pabrik Pada tahap ini, pabrik ekstraksi lithium dari air laut dapat dibangun dan dijalankan dengan mengacu pada hasil riset dan pengembangan mini plant yang telah dirancang sebelumnya. SDM dari berbagai multi disiplin dibutuhkan dalam skala pabrik.
Gambar 2. Rangkaian instrumentasi ekstraksi lengkap dengan peralatan analisa di Pukyong National University.
16
Advanced Distillation Pengembangan penelitian
di bidang sistem energi terutama di industri terfokus pada proses distilasi. Saat ini di dunia, penelitian mengenai distilasi terpusat di beberapa universitas seperti University of Manchester (Inggris), Yeungnam University (Korea Selatan), Norwegian University of Science and Technology (Norwegia), Delft University of Technology (Belanda), dan University of Zagreb (Kroasia). Distilasi merupakan salah satu teknologi separasi termal penting yang telah diaplikasikan di industri kimia dan petrokimia. Namun demikian, distilasi memiliki masalah klasik yakni memiliki efisiensi termodinamika yang rendah sehingga membutuhkan energi dalam jumlah yang cukup besar. Di negara berkembang seperti Indonesia, optimisasi konvensional seperti pencarian dan penggunaan nilai optimum untuk jumlah stage atau tray, reflux ratio, dan lokasi masuk feed digunakan untuk mengurangi penggunaan energi. Dengan optimasi ini, distilasi diperkirakan masih mengambil bagian sekitar 50% dari biaya produksi sebuah pabrik. Oleh karena itu, perbaikan lebih lanjut dalam hal pengurangan konsumsi energi akan memberikan keuntungan yang besar. Di industri, perbaikan efisiensi energi berarti keuntungan dalam hal ini uang karena akan mengurangi biaya operasi. Banyak konfigurasi dan teknik yang diajukan untuk mengurangi penggunaan energi di proses distilasi seperti yang dapat dilihat di Gambar 3 dan 4. Dari beberapa
konfigurasi dan teknik yang diajukan tersebut, dividing-wall column (DWC) dan mechanical vapor recompression (MVR) merupakan konfigurasi distilasi maju yang paling banyak diteliti dan digunakan di industri (well proven technology).
Dividing-Wall Column (DWC) DWC adalah sebuah konfigurasi distilasi yang digunakan untuk memisahkan campuran multikomponen. DWC merupakan penyatuan dua kolom distilasi gabungan termal sederhana (simple thermally coupled distillation columns) menjadi satu kolom dengan menambahkan dinding vertikal di dalam kolom. Prafraksionator (kolom semu pertama tempat masuknya umpan) melakukan pemisahan antara produk paling ringan dan paling berat kemudian kedua produk tersebut memasuki kolom utama dan memisahkan komponen dengan titik didih pertengahan yang akan dialirkan melalui aliran samping (side stream). Hal ini memberikan penghematan energi rata-rata sebesar 2530% dengan menghindari remixing effects. Selain itu, DWC juga memberikan biaya kapital yang lebih rendah dan juga kebutuhan lahan yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan distilasi konvensional. Meskipun demikian, pengaplikasian DWC terbatas oleh satu tekanan operasi di dalam kolom distilasi. Pen g apli k as i an DWC per tam a kal i dilakukan oleh BASF SE, sebuah perusahaan kimia yang berpusat di Ludwigshafen, Jerman, pada tahun 1985 dan semenjak saat itu pengaplikasian
17
Gambar 3. Contoh-contoh konfigurasi dan teknik distilasi. DWC oleh industri terus meningkat drastishingga saat ini. Saat ini, arah penelitian DWC adalah pengembangan fungsinya untuk separasi ekstraktif, azeotropik dan reaktif.
Mechanical Vapor Recompression (MVR) Seperti yang diketahui, distilasi membutuhkan jumlah energi yang sangat besar saat beroperasi untuk mengubah fasa cair ke fasa gas (di reboiler) dan juga mengubah fasa gas kembali ke fasa cair di kondenser. Meskipun memiliki efisiensi
yang rendah, distilasi masih banyak digunakan selama dekade belakangan ini. Telah banyak penelitian dan pengembangan untuk memperbaiki masalah efisiensi energi yang dimiliki distilasi dan salah satu yang paling teknologi yang berkembang adalah heat pump. MVR merupakan salah satu konfigurasi heat pump yang paling sering digunakan oleh industri. MVR biasanya digunakan untuk memisahkan dua komponen yang
18
Gambar 4. Konfigurasi dari kolom distilasi konvensional (a), DWC (b), dan MVR (c). dekat (close boiling point components). Pada konfigurasi MVR, produk atas kolom yang masih dalam fasa gas dinaikkan tekanan dan temperaturnya oleh kompresor yang nantinya akan digunakan sebagai media pemanas pengganti reboiler. Dengan ini konfigurasi MVR menghemat satu heat exchanger jika dibandingkan dengan distilasi konvensional. Selain itu, MVR juga menghemat energi yang dibutuhkan untuk mendinginkan produk atas kolom. Hal ini secara langsung memanfaatkan kalor laten (kalor kondensasi) dan kalor sensibel yang biasanya terbuang di distilasi konvensional. Pada umumnya konfigurasi MVR dapat menghemat lebih dari 50% energi jika dibandingkan dengan distilasi konvensional. Pengaplikasian penelitian di Indonesia dan perkiraan dampaknya Indonesia memiliki beragam industri yang memungkinkan pengaplikasian
konfigurasi MVR dan DWC. Dari artikel ilmiah yang telah diterbitkan dan juga aplikasi konfigurasi MVR dan DWC di industri di luar negeri dapat dilihat di Tabel 2 beberapa proses yang cocok untuk pengaplikasian konfigurasi MVR dan DWC. Jika melihat proses-proses tersebut, industri di Indonesia juga dapat menerapkan konfigurasi MVR dan DWC di beberapa pabrik seperti yang dapat dilihat di Tabel 3. Perkiraan dampak jika kedua teknologi ini diterapkan di Indonesia adalah sebagai berikut: • Pengurangan impor bahan bakar fosil • Peningkatan daya saing industri nasional • Pengurangan frekuensi pemadaman listrik di beberapa daerah terutama daerah industri • Harga produk turunan kimia dan petrokimia yang lebih terjangkau • Udara yang lebih bersih dan sehat
19
Tabel 2. Proses tipikal untuk pengaplikasian MVR dan DWC berdasarkan penelitian dan aplikasi industri.
MVR Propana - propilena Dehidrasi asam asetat n-butana - i-butana 1butena - n-butane Benzena - toluena Metanol - air
DWC Metanol - gliserol Purifikasi triklorosilana Purifikasi dimetil eter (DME) Deetanasi dan depropanisasi Separasi benzena-toluena xilena (BTX)
Tabel 3. Kemungkin penerapan konfigurasi MVR dan DWC di industri Indonesia. Proses Konfigurasi Lokasi dan Perusahaan Produksi etilena dan Tuban, Tuban Petrochemical polipropilena(separasi propanaMVR Industries propilena) Produksi monomer dan polimer MVR Cilegon, Chandra Asri (separasi 1butena-butadiena) Produksi biodiesel (separasi metanol Dumai (3 pabrik) dan Gresik (4 DWC dan gliserol) pabrik), Wilmar Bioenergi Indonesia Produksi monomer dan polimer DWC Cilegon, Chandra Asri (separasi BTX) Tuban, Tuban Petrochemical Produksi paraxylene (separasi BTX) DWC Industries
Gambar 5. Peralatan distilasi dan suasana lab di Yeungnam University.
20
Gregorius Rionugroho Harvianto adalah seorang research assistant dan juga kandidat doktor di Yeungnam University, Korea Selatan. Selain itu, penulis merupakan Chief Financing Officer di Cognoscente. Penulis menamatkan studi masternya di Pukyong National University. Bidang penelitian yang ditekuni termasuk membran dan juga hybrid distillation.
Riezqa Andi ka adal ah seorang research assistant dan juga kandidat doktor di Yeungnam University, Korea Selatan. Selain itu, penulis merupakan Chief Operating Officer di Cognoscente. Bidang penelitian yang ditekuni adalah intensifikasi proses termasuk distilasi dan syngas treatment process.
21
Studi Kasus
Cara Praktis Mendesain Reaktor Menggunakan Microsoft Excel Zulfan Adi Putra Universiti Teknologi PETRONAS Pendahuluan Reaksi kimia adalah bagian utama di industri proses. Suatu reaksi kimia dilakukan untuk mengubah suatu bahan baku menjadi bahan lain yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Dalam kenyataannya, reaksi yang terjadi juga mengikutkan reaksi-reaksi lain yang tidak diinginkan. Seperti terbentuknya produk yang tidak bernilai (byproduct), limbah (waste), atau mungkin juga produk yang bernilai (produk samping atau coproduct). Bagaimana suatu reaksi berlangsung disebut sebagai kinetika reaksi. Pengetahuan tentang kinetika reaksi ini sangatlah penting sebagai dasar untuk mendesain tempat berlangsungnya reaksi tersebut, alias reaktor. Dalam tulisan kali ini, penulis akan dipaparkan bagaimana informasi kinetika reaksi diolah menggunakan Ms. Excel dan aplikasinya dalam mendesain reaktor di dunia industri. Ms. Excel dipilih karena ketersediaannya berbagai instansi dibandingkan dengan software mewah (sophisticated) seperti Matlab. Selain itu, diharapkan pembaca mendapatkan “feeling” atau ide dari perhitungan-perhitungan sederhana yang bisa dilakukan di Ms. Excel.
Studi Kasus Terdapat reaktan A dan B untuk menhasilkan produk C. Dari hasil eksperimen di lab, kimiawan mengatakan bahwa konstanta reaksinya adalah k1. Reaksinya cukup sederhana, dengan fasa, tekanan dan temperatur tertentu. Tiga informasi terakhir diabaikan saja untuk contoh sederhana ini. Akan tetapi, para kimiawan mewanti-wanti para insinyur kimia bahwa tidak hanya reaksi tersebut yang terjadi. Ada dua reaksi lainnya, yaitu B akan menjadi E (limbah), dan C akan bereaksi lanjut dengan A menjadi produk D (produk samping yang kurang bernilai).
Informasi tambahan dari kimiawan adalah reaksi-reaksi tersebut memiliki orde 1 untuk setiap reaktannya. Nilai konstantakonstanta reaksi tersebut (pada kondisi optimum yang diinginkan) adalah sebesar 0.1 m3/(mol.s), 0.005 1/s, 0.02 m3/(mol/s), dan 0.01 1/s, untuk k1, k2, k3, dan k4, secara berurutan. Pertanyaan yang muncul dalam rangka mendesain proses ini adalah seperti apakah konfigurasi reaktor yang baik untuk reaksi ini?
22
Langkah pertama dalam menyelesaikan permasalahan ini adalah membuat persamaan-persamaan kinetikanya.
rentang kondisi operasi yang diizinkan; dan lain sebagainya adalah langkah penting yang harus dilakukan.
𝑑𝐶𝐴
Kembali ke persamaan kinetika reaksi, persamaan-persamaan kinetika reaksinya cukup sederhana dan dituliskan dari komponen A sampai ke E. Subscript menunjukkan komponen yang terlibat dan superscript menunjukkan kondisi akhir (f) atau awal (i). Untuk setiap komponen, persamaan diferensialnya dituliskan terlebih dahulu (persamaan (1), (4), (7), (10), dan (13)). Kemudian, karena kita berurusan dengan Ms. Excel, maka persamaan diferensial tersebut didekati dengan linearisasi terhadap ∆t (persamaan (2), (5), (8), (11), dan (14)). Terakhir, persamaan linearisasi ini diutakatik sehingga konsentrasi setiap komponen dapat dihitung (persamaan (3), (6), (9), (12), dan (15)).
= −𝑘1 𝐶𝐴 𝐶𝐵 − 𝑘3 𝐶𝐴 𝐶𝐶 + 𝑘4 𝐶𝐷 ......... (1)
𝑑𝑡 𝑓
𝐶𝐴 −𝐶𝐴𝑖 ∆𝑡 𝑓 𝐶𝐴
=
𝑑𝐶𝐵
𝑓
𝑓
𝑓
𝑓
𝑓
𝐶𝐴𝑖 +𝑘4 𝐶𝐷∆𝑡 𝑓
𝑓
1+ 𝑘1 𝐶𝐵 +𝑘3 𝐶𝐶 ∆𝑡
.................................... (3)
= −𝑘1 𝐶𝐴 𝐶𝐵 − 𝑘2 𝐶𝐵 ............................... (4)
𝑑𝑡 𝑓
𝐶𝐵 −𝐶𝐵𝑖 ∆𝑡 𝑓
𝐶𝐵 = 𝑑𝐶𝐶
𝑓
𝑓
𝑓
= −𝑘1 𝐶𝐴 𝐶𝐵 − 𝑘2 𝐶𝐵 ......................... (5) 𝐶𝐵𝑖 𝑓
1+ 𝑘1 𝐶𝐴 +𝑘2 ∆𝑡
......................................... (6)
= 𝑘1 𝐶𝐴 𝐶𝐵 − 𝑘3 𝐶𝐴 𝐶𝐶 + 𝑘4 𝐶𝐷 ............. (7)
𝑑𝑡 𝑓
𝐶𝐶 −𝐶𝐶𝑖 ∆𝑡 𝑓 𝐶𝐶
𝑓
= −𝑘1 𝐶𝐴 𝐶𝐵 − 𝑘3 𝐶𝐴 𝐶𝐶 + 𝑘4 𝐶𝐷 . (2)
=
𝑑𝐶𝐷 𝑑𝑡
𝑓
𝑓
𝑓
𝑓
𝑓
= 𝑘1 𝐶𝐴 𝐶𝐵 − 𝑘3 𝐶𝐴 𝐶𝐶 + 𝑘4 𝐶𝐷 ..... (8) 𝑓 𝑓
𝑓
𝐶𝐶𝑖 +𝑘1 𝐶𝐴 𝐶𝐵 ∆𝑡+𝑘4 𝐶𝐷 ∆𝑡 𝑓
1+ 𝑘3 𝐶𝐴 ∆𝑡
............................. (9)
= 𝑘3 𝐶𝐴 𝐶𝐵 − 𝑘4 𝐶𝐷 ................................ (10)
𝑓
𝑖 𝐶𝐷 −𝐶𝐷
𝑓
𝑓
𝑓
∆𝑡
= 𝑘3 𝐶𝐴 𝐶𝐵 − 𝑘4 𝐶𝐷 ......................... (11)
𝑓
𝑖 𝐶𝐷 +𝑘3 𝐶𝐴 𝐶𝐵 ∆𝑡
𝐶𝐷 = 𝑑𝐶𝐸 𝑑𝑡
𝑓 𝑓
1+ 𝑘4 ∆𝑡
......................................... (12)
= 𝑘2 𝐶𝐵 ...................................................... (13)
𝑓
𝐶𝐸 −𝐶𝐸𝑖 ∆𝑡 𝑓 𝐶𝐵 =
𝑓
= 𝑘2 𝐶𝐵 ................................................. (14) 𝑓
𝐶𝐸𝑖 + 𝑘2 𝐶𝐵 ∆𝑡 ...................................... (15)
Sebelum membuat persamaan kinetika reaksi, brainstorming bersama para kimiawan mengenai kenapa reaksi pada kondisi ini; apakah kondisi ini sudah optimum dari segi selektivitas, konversi, kondisi reaksi dan katalis; seberapa luas
Persamaan-persamaan (3), (6), (9), (12), dan (15) ini ditulis di Ms. Excel dengan menggunakan ∆t = 1 s. Boleh dibuat lebih detail (∆t < 1 s), yang berarti akan memerlukan perhitungan yang lebih banyak lagi. Jika dibuat lebih kasar (∆t > 1 s), tergantung dari data hasil eksperimen, hasil perhitungan bisa melenceng dari data, karena linearisasi persamaan tersebut. Sebelum menuliskan persamaanpersamaan tersebut di Ms. Excel, pastikan bahwa perhitungan iteratif di Ms. Excel telah dipilih (lihat Gambar 1). Hal ini disebabkan oleh persamaan-persamaan tersebut memerlukan input dari
23
persamaan-persamaan lainnya. Tanpa sebab yang jelas, kimiawan kita ini selalu menggunakan kondisi awal CA,i = 1 mol/m3, dan CB,i = 0.5 mol/m3. Untuk saat ini, kita gunakan saja data-data yang ada, dan didapatlah hasil perhitungan seperti di Gambar 2 Hasil perhitungan ini sampai pada 100 s ditunjukkan di Gambar 3 yang akan dijadikan base-case . Jika melihat gambar ini, terlihat bahwa produk C (CC,f) mengalami titik maksimum (~ 0.33 mol/m3) pada sekitar 35 s. Dengan hasil i n i , k i t a d a p a t d e n g an b a n g ga menunjukkan ke pihak manajemen bahwa kita akan mendesain reaktor dengan waktu tinggal sekitar 35 s. Dengan kapasitas yang diinginkan, maka ukuran reaktor pun dapat dihitung. Hasil ini didukung oleh data
dari para kimiawan dan perhitungan para insinyur. Produk limbah E sekitar 0.03 mol/m3 dan produk samping D sekitar 0.06 mol/m3. Setelah reaktor akan ada unit pemisahan dan reaktan (A dan B) yang tidak habis
sederhananya dapat dilihat di Gambar 4. Namun, apakah desain reaktor ini sudah merupakan desain yang optimal?
Insight dari reaksi-reaksi yang terlibat Jika kita perhatikan kembali reaksi-reaksi yang terlibat dengan lebih seksama, maka dapat diambil beberapa pengamatan sebagai berikut: 1. Semakin besar konsentrasi reaktan A dan B, maka laju reaksi pembentukkan C akan semakin cepat. Tentunya ini adalah situasi yang diinginkan. Gambar 3 menunjukkan bahwa B, karena konsentrasi awalnya yang lebih kecil, akan lebih dulu habis bereaksi. Akibatnya C tidak terbentuk lagi. Bagaimana jika B ditambahkan ketika konsentrasinya telah rendah. Katakanlah ketika B mencapai 0.1 mol/m3, ditambahkan B lagi menjadi 0.5 mol/m3. Apa yang akan terjadi dengan C dan juga produk lainnya? Perhatikan di sini, pada praktiknya di dunia industri, secara historispsikologis, nilai B yang 0.5 mol/m3 telah menjadi nilai “sakti” tanpa dasar.
Gambar 1. Perhitungan interatif dipilih (lingkaran berwarna merah).
24
Gambar 2. Contoh perhitungan di Ms. Excel dengan data dan persamaan yang ada (ditunjukkan hanya sampai 10 s).
Gambar 3. Hasil perhitungan kinetika reaksi.
25
Gambar 4. Skema proses base-case.
Gambar 5. Konsentrasi B dikembalikan ke konsentrasi semula (0.5 mol/m3) setiap kali mencapai 0.1 mol/m3 (pilihan 1).
26
2.
Jika pilihan di atas diambil, ternyata jika konsentrasi B membesar, maka limbah E akan juga ikut membesar. Situasi ini tentunya tidak diinginkan. Bagaimana jika kita menurunkan konsentrasi B dari 0.5 mol/m3 ke 0.2 mol/m3, dan kita tetap menambahkan B ke 0.2 mol/m3 setiap kali B mencapai 0.1 mol/m3. Apakah yang akan terjadi? Perhatikan di sini bahwa dengan dua pilihan ini kita akan memiliki reaktor dengan B yang ditambahkan pada waktu-waktu tinggal tertentu.
2.
Jika diperhatikan kembali reaksireaksinya dengan seksama, seiring dengan meningkatnya konsentrasi C (akibat dari dua pilihan di atas), maka laju reaksi pembentukkan D (produk kurang bernilai) juga akan semakin cepat. Ini ditunjukkan dengan konsentrasi C yang menurun setelah 35 s di Gambar 3. C akan terus menurun sampai akhirnya reaksi ini mengalami kesetimbangan. Dikarenakan reaksi ini adalah reaksi kesetimbangan, maka jika kita ambil C selagi reaksinya berlangsung, maka D yang terbentuk pasti akan bereaksi menjadi C. Akibatnya banyak produk C yang terbentuk. Di sini dapat dipahami bahwa tidak hanya reaktor akan memiliki fitur penambahan B secara berkala, akan tetapi juga pemisahan C secara simultan dari reaktor. Dengan ini, kita telah memilih untuk melakukan intensifikasi proses reaktor yang
terintegrasi dengan suatu unit pemisahan. Contohnya dalam praktik adalah reactive distillation column, reactive extraction, atau membrane reactor. Perhatikan di sini bahwa telah ada beberapa pilihan desain reaktor hanya dengan melihat reaksi-reaksi yang terjadi. Jika ketiga pilihan tersebut di atas dihitung dengan Ms. Excel, maka akan didapatkan hasil pada Gambar 5, Gambar 6, dan Gambar 7 untuk pilihan 1, 2 dan 3 secara berurutan. Semua pilihan ini dibandingkan dengan base-case (Gambar 3), di mana waktu tinggalnya dibuat tetap (~35 s) sebagai perbandingan. Skema proses untuk pilihan 3 dapat dilihat di Gambar 8. Untuk mempermudah perhitungan contoh sederhana ini, C yang diambil bersamaan dengan berlangsungnya reaksi (prod. C) tetap menggunakan unit konsentrasi mol/m3 karena ukuran reaktornya belum dihitung. Dari ketiga pilihan ini ternyata penurunan konsentrasi B dan juga sekaligus pengambilan C tidak memberikan keuntungan bagi produksi C. Hanya menurunkan produksi D dan E jika dibandingkan dengan pilihan 1 (Gambar 5). Sementara itu, jika konsentrasi B dijaga pada konsentrasi awalnya (0.5 mol/m3), hasilnya justru lebih baik untuk produksi C (C ~ 0.49 mol/m3). Pada praktiknya akan ada perhitungan untung-rugi yang melibatkan komponen-komponen ini. Akan tetapi, untuk mempermudah ilustrasi, analisis dibatasi sampai pada konsentrasi komponen-komponen saja.
27
Gambar 6. Konsentrasi B diturunkan ke 0.2 mol/m3 dan dikembalikan setiap kali mencapai 0.1 mol/m3 (pilihan 2)
Gambar 7. C diambil dari reaktor (Prod. C) secara bersamaan dengan berlangsungnya reaksi (pilihan 3).
28
Gambar 8. Reaktor yang terintegrasi dengan unit pemisahan dengan fitur penambahan B pada lokasi-lokasi tertentu.
Gambar 9. Konsentrasi B dikembalikan ke 0.5 mol/m3 dan ditambahkan secara berkala, dengan C diambil secara bersamaan.
29
Bagaimanapun juga, kedua situasi ini tidak diinginkan. Bagaimana jika kita gabungkan pilihan 1 dan 3, yang berarti C tetap diambil secara bersamaan, dan konsentrasi B dinaikkan ke nilai “sakti” tadi (0.5 mol/m3)? Hasilnya terlihat di Gambar 9. Dengan pilihan ini, total produksi C akan sebesar kurang lebih 0.42 mol/m3. Ini di dapat dari 0.17 mol/m3 (C yang diambil atau prod. C) tambah 0.35 mol/m3 (C keluaran reaktor bersama komponen lain). Hasil ini (dengan desain reaktor yang sudah mewah) malah tidak lebih baik dari pilihan 1, dengan C sekitar 0.49 mol/m3 dan konsentrasi D dan E yang kurang lebih sama. Apakah dengan ini berarti tidak ada
Desain Akhir Jika diperhatikan kembali reaksi-reaksi yang terlibat dengan lebih seksama, sepertinya kita melupakan satu hal. Laju produksi C juga akan membesar jika konsentrasi A dinaikkan. Meskipun dengan ini maka produk samping D akan juga meningkat. Akan tetapi, karena reaksi ke D merupakan reaksi bolak-balik, maka produk D nantinya akan bisa dikembalikan ke reaktor untuk menghasilkan A dan C lagi. Gambar 10 menunjukkan hasil produksi C yang meningkat tajam (demikian juga produk samping D), jika konsentrasi A dinaikkan sepuluh kali lipat (tidak ditunjukkan pada gambar karena skala). Produksi C secara keseluruhan mencapai sekitar 0.96 + 0.58 = 1.54 mol/m3. Desain prosesnya kurang lebih di Gambar 11.
cara lain yang dapat menaikkan produksi C?
Gambar 10. Hasil desain reaktor dengan konsentrasi A tinggi, B ditambahkan secara berkala, dan C diambil secara bersamaan. 30
Gambar 11. Desain reaktor dari pilihan terakhir
Penutup Desain terakhir ini memang belumlah optimal. Masih diperlukan perhitungan untung-rugi, ukuran reaktor, jenis unit pemisahannya (melibatkan sifat fisik/kimia komponen-komponen yang ada), kompleksitas proses pemisahan, dan lain sebagainya. Desain reaktor akan melibatkan diskusi lebih jauh dengan para kimiawan dan para ahli unit operasi (reaktor, unit pemisahan), dan juga akan berdasarkan perhitungan yang lebih detail dengan software yang lebih mewah (sophisticated), jika diperlukan. Seperti tujuan awalnya, mudahmudahan artikel ini dapat memberikan gambaran dan “feeling” bagaimana reaktor didesain dari informasi kinetik reaksi. Juga bagaimana mendapatkan “feeling” tersebut dengan perhitungan sederhana lewat Ms. Excel.
Zulfan Adi Putra bekerja sebagai konsultan desain proses, engineering dan teknologi, dan pernah bekerja di beberapa perusahaan kimia seperti AkzoNobel, SABIC, Momentive (Hexion), DSM, dan SC Johnson. Berbagai tipe proyek yang pernah ditangani meliputi uji kelayakan, desain proses konseptual, basic engineering, optimasi pabrik, debottlenecking, dan process engineering support. Terkait dengan teknik reaksi kimia, penulis pernah terlibat dalam mendesain dan mengevaluasi beberapa reaktor industri seperti reaktor fluidisasi (sirkulasi dan bubbling) dan reaktor packed bed. Penulis memegang gelar PDEng dari Technische Universiteit Eindhoven.
31
32
Studi Kasus
Desain Dasar Kolom Zeotrop dan Azeotrop pada Equilibrium Stages (bagian 2) Yus Donald Chaniago Process Systems Design and Control Lab. Yeungnam University Kondisi azeotrope Deviasi nilai koefiesien aktivitas liquid (γ) yang kurang atau lebih dari 1 dapat menyebabkan campuran menjadi azeotrop. Pengertian azeotrop berasal dari Yunani kuno yang di pahami sebagai “mendidihkan sesuatu yang tak berubah”. Berarti komposisi uap yang terjadi memiliki komposisi yang sama dengan liquid. Ketika fenomena ini terjadi di kolom distilasi, tidak ada lagi perubahan komposisi pada liquid dan uap dari tray ke tray. Maka, azeotrop juga dapat disebut sebagai batas distilasi (distillation boundary). Masalah dasar dari desain distilasi azeotropik adalah relative volatility campuran yang tidak konstan, sehingga metode approximate seperti FUG atau metode klasik McCabe-Thiele tidak dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan azeotrop. Namun, suatu metode approximate dikembangkan dari hubungan y1-x1 dari persamaan relative volatility dapat menyelesaikan masalah azeotrop untuk dua komponen [11]. Metode lebih lanjut untuk multi komponen adalah metode ternary map dengan konsep residue curve [12] dan
distillation curve [13]. Metode lebih lanjut seperti boundary value method (BVM) [14], rectification body method [15], dan shortest separation lines [16] dapat menyelesaikan masalah azeotrop secara konseptual. Secara umum, untuk memisahkan campuran azeotrop dapat digunakan pressure swing distillation, azeotropic distillation, extractive distillation atau metode distilasi hybrid. 1. Pressure swing distillation Ada acuan dasar sebelum melakukan desain kolom distilasi untuk campuran azeptrop. Ketika mencoba untuk memisahkan campuran azeotrop untuk dua komponen, kita harus melakukan investigasi adanya kemungkinan menggunakan sistem dua kolom pada tekanan berbeda tanpa komponen tambahan yang ditambah. Sebagai contoh, aseton dan metanol dengan komposisi 50%:50% pada umpan, pada Gambar 3 pada tekanan 1 bar, terdapat titik azeotrop di sekitar xAseton = 0,75. Namun, jika tekanan dinaikkan menjadi 10 bar, profil komposisi liquid aseton akan berubah seperti Gambar 4. Pada tekanan 10 bar, terdapat azetrop di sekitar xAseton = 0,38. Sehingga desain secara konsep dapat di lakukan seperti pada Gambar 5 dan 6.
33
T-xy diagram for ACETONE/METHANOL
64.5
x 1.0 bar y 1.0 bar
64.0 63.5 63.0 62.5 62.0 61.5 61.0
Temperature, C
60.5 60.0 59.5 59.0 58.5 58.0 57.5 57.0 56.5 56.0 55.5 55.0 54.5 0.000
0.025
0.050
0.075
0.100
0.125
0.150
0.175
0.200
0.225
0.250
0.275
0.300
0.325
0.350
0.375
0.400
0.425
0.450 0.475 0.500 0.525 0.550 Liquid/vapor mole fraction, ACETONE
0.575
0.600
0.625
0.650
0.675
0.700
0.725
0.750
0.775
0.800
0.825
0.850
0.875
0.900
0.925
0.950
0.975
1.000
Gambar 3. Komposisi profil liquid aseton dalam fraksi mol di campuran aseton-metanol 1 bar dimana terdapat daerah azeotrop (panah merah). T-xy diagram for ACETONE/METHANOL
143.0
x 10.0 bar y 10.0 bar
142.5 142.0 141.5 141.0 140.5 140.0 139.5
Temperature, C
139.0 138.5 138.0 137.5 137.0 136.5 136.0 135.5 135.0 134.5 134.0 133.5 0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
0.25
0.30
0.35
0.40
0.45 0.50 0.55 Liquid/vapor mole fraction, ACETONE
0.60
0.65
0.70
0.75
0.80
0.85
0.90
0.95
1.00
Gambar 4. Komposisi profil liquid aseton dalam fraksi mol di campuran aseton-metanol 10 bar dimana terdapat daerah azeotrop (panah merah).
34
Gambar 5. Konsep desain pada kolom 1 pada tekanan 1 bar.
Gambar 6. Konsep desain pada kolom 2 pada tekanan 10 bar).
35
Untuk mendapatkan hasil secara detail dan rigorous, dapat digunakan program simulasi seperti Aspen Plus seperti yang ditunjukkan di Gambar 7. 2. Azeotropic distillation Ketika tekanan tidak berpengaruh di komposisi VLE karena tidak sensitifnya kondisi azetrop terhadap tekanan, secara umum jika memungkinkan , maka pemisahan dilakukan pada azeotropic distillation. Terdapat dua tipe azeotrop, yaitu homogeneus dan heterogeneous. Distilasi homogenous azeotropic adalah distilasi dimana entrainer (komponen tambahan) mengubah relative volatility dari azeotrop tanpa menyebabkan fasa liquid liquid terpisah. Sedangkan distilasi heterogenous azeotropic adalah distilasi dimana entrainer mengubah relative volatility dan menyebabkan pemisahan pada fasa liquid. Untuk melihat kemungkian pemisahan pada campuran azeotrop dan batasan-batasan pemisahan, dapat dilihat di peta ternary dengan
menggunakan konsep residue curve pada Gambar 8. Pada peta ternary di Gambar 8, setiap titik di ujung sudut segitiga adalah komposisi murni setiap komponen. Garis warna biru muda yang mengarah ke setiap sudut segitiga adalah residue curve. Terdapat batas distilasi atau distillation boundary yang digambarkan dengan garis warna hijau yang memiliki panah mengarah ke setiap titik azeotrop (64,92 ˚C ; 69,49 ˚C ; 78,15 ˚C) pada sisi segitiga peta ternary. Garis batas distilasi tersebut adalah pembatas dimana pemisahan tidak dapat terjadi atau tidak dapat dilanjutkan kembali ke bagian lain di peta ternary. Sebagai contoh, jika umpan terdapat di titik A, pada pemisahan distilasi secara normal (tanpa pemisahan liquid-liquid). Pemisahan hanya bisa mendapatkan cyclohexane murni, sedangkan untuk etanol dan air tidak dapat dipisahkan dengan kemurnian tinggi, dikarenakan adanya pembatas (distillation boundary).
Gambar 7. Simulasi pressure swing distillation menggunkan Aspen Plus.
36
Gambar 8. Contoh binary dan ternary azeotrope yang melibatkan ethanol, cyclohexane, dan air.
Gambar 9. Peta campuran ternary beserta titik azeotrope dan fasa liquid-liquid.
37
Dibutuhkan teknik khusus untuk memisahkan campuran azeotrop pada distilasi azeotropik. Sebagai contoh yang cukup penting, pemisahan isopropyl alcohol (IPA), air dan cyclohexane. Di campuran ini, cyclohexane bertindak sebagai entrainer dan profil peta ternarynya dapat dilihat pada Gambar 9. Terdapat tiga titik binary azeotrop dan fasa liquid-liquid sehingga pemisahan ini harus dilakukan menggunakan distilasi heterogenous azeotropic. Secara konsep, dibutuhkan hanya dua kolom untuk mendapatkan IPA dengan kemurnian tinggi tanpa memperdulikan untuk mendapatkan kembali cyclohexane. Tentu, cara seperti ini tidak dapat digunakan secara praktis karena kehilangan banyak entrainer . Namun, untuk mengetahui
bagaimana memecahkan batas azeotrop, metode dasarnya digambarkan pada Gambar 10. Pada Gambar 10, F1 yang merupakan komposisi umpan awal yang terdiri dari 50 % mol IPA dan 50 % mol air dipindahkan ke posisi D1 atau produk atas kolom distilasi pertama, sehingga produk distilasi (D1) terdiri dari 70 % mol IPA dan produk bawah terdiri lebih dari 99 % mol air. Pada kolom distilasi pertama, komposisi maksimum untuk IPA adalah 0,7 fraksi mol dikarenakan adanya rintangan azeotropik yang terdapat di campuran IPA+air. Selanjutnya, memasuki kolom kedua, ditambahkan kembali komponen cyclohexane sampai mencapai titik F2, dan produk bawah dari kolom distilasi kedua adalah IPA dengan konsentrasi kemurnian
Gambar 10. Metode dasar memecah azeotrop.
38
yang tinggi, sedangkan produk atas kolom kedua adalah campuran antara IPA+air+cyclohexane yang masih bisa dilanjutkan ke proses selanjutnya. Adapun, untuk medapatkan proses yang lebih efisien dan bernilai ekonomis, dibutuhkan kajian yang lebih detail dan dibutuhkan keahlian tertentu. Proses yang lebih efisien dengan menggunakan tiga kolom atau dengan dua kolom dengan memanfaatkan pemisah fasa liquid-liquid untuk mendapatkan kembali cyclohexane [17]. Referensi 11. Doherty, M.F., Anderson, N.J., An Approximate Model for Binary Azeotropic Distillation Design. Chemical Engineering Science vol 39, 1984. 12. Doherty, M.F., Caldarola, G., Design and Synthesis of Homogeneous Azeotropic distillaions. 3. The Sequencing of Columns for Azeotropic and Extractive Distillations. Ind. Eng. Chem. Fundam. 1985, 24, 474-485. 13. Stichmair, J.G., Distillaion: Principles and Practices. Wiley 14. Levy, S., & Doherty, M., A simple exact method for calculating tangent pinch points in multicomponent nonideal mixtures by bifurcation theory. Chem. Eng. Sci., 41, 3155. 1986. 15. Bausa, J., Watzdorf, R. V., & Marquardt, W., Shortcut methods for nonideal multicomponent distillation: 1. simple columns. AIChE J., 44, 2181. 1988.
16. Lucia, A., Amale, A. Taylor, R. Distillation pinch points and more. Computer and Chemical Engineering 32, 2008. 17. Chien, I.L., Zeng, K.L., Chao, H.Y., Design and Control of a Complete Heterogeneous Azeotropic Distillation Column System. Ind. Eng. Chem. Res. 2004.
Yus Donald Chaniago adalah doktor di bidang Teknik Kimia dari Yeungnam University, Korea Selatan. Saat ini, Yus menjabat CTO dari Cognoscente. Yus menerima gelar sarjana dan magisternya dari Universitas Sriwijaya. Bidang penelitian yang digelutinya saat ini adalah perancangan desain dan optimasi kolom distilasi
39