11
TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Wijen secara Umum Wijen (Sesamum indicum L.) merupakan tanaman setahun yang tumbuh tegak dan bisa mencapai ketinggian 1.5 m – 2.0 m. Tanaman wijen berbentuk semak yang berumur 4 bulan sampai 1 tahun. Tanaman wijen dibedakan menjadi dua jenis yaitu wijen sapi yang berbiji putih dan wijen kerbau yang berbiji kecoklatan atau hitam (Juanda dan Cahyono, 2005). Secara taksonomi tumbuhtumbuhan, tanaman wijen memiliki klasifikasi sebagai berikut: Famili
: Pedaliaceae
Genus
: Sesamum
Spesies
: Sesamum indicum L. Sesamum orientale
Menurut Suprijono dan Soenardi (1996) secara morfologi tanaman wijen memiliki batang berkayu. Batang berbentuk bulat atau segi empat tergantung pada jenisnya dan batang tidak banyak memiliki cabang. Daun yang dimiliki tanaman wijen tersusun berselang-seling hampir berhadapan. Bentuk daun bervariasi dalam satu tanaman, ada yang berbentuk lonjong menjari dan ada yang tidak menjari. Daun berwarna hijau muda sampai hijau tua dengan tangkai daun berwarna keunguan. Akar tanaman wijen berupa akar tunggang. Sistem perakaran berbeda-beda antara satu varietas dengan yang lainnya. Pada varietas yang tidak bercabang, perakaran cenderung berkembang ke arah dalam, sedangkan untuk jenis bercabang, perakarannya cenderung menyebar. Tanaman wijen memiliki bagian organ generatif berupa bunga, buah dan biji. Wijen termasuk dalam tanaman menyerbuk sendiri tetapi dapat juga terjadi penyerbukan silang dengan bantuan serangga. Bunga muncul dari ketiak daun sebanyak 1-3 kuntum. Warna bunga bervariasi yaitu putih, merah jambu, dan ungu. Buahnya berupa polong yang berbentuk lonjong. Ukuran panjang polong 2.5 cm-3.0 cm dan diameter 0.5 cm-1.0 cm. Setiap polong terdiri dari 4-9 kotak sebagai tempat biji. Biji wijen berukuran kecil, berbentuk oval, dan salah satu ujungnya runcing. Kulit biji umumnya halus dan ada beberapa varietas yang berkulit kasar.
12
Menurut Soenardi (2004) biji wijen terdiri dari 35-63% minyak, 19-25% protein, 25% air, serat dan abu. Kelebihan minyak dari biji wijen adalah kandungan antioksidannya. Antioksidan yang terdapat dalam wijen adalah sesamin dan sesamolin. Menurut Juanda dan Cahyono (2005) Kandungan kadar minyak wijen ditentukan oleh tingkat kemasakan biji dan umur panen tanaman. Tingkat kemasakan biji juga akan berpengaruh terhadap daya simpannya. Tanaman wijen memiliki umur panen antara 100-160 hari. Umur panen ini sangat tergantung dari varietas dan ketinggian tempat penanaman. Umur panen tanaman wijen yang dibudidayakan di dataran rendah rata-rata lebih pendek yaitu sekitar 100 hari. Hal tersebut terjadi sebaliknya pada tanaman wijen yang dibudidayakan didataran tinggi. Rata-rata waktu panen tanaman wijen di dataran tinggi adalah 160 hari.
Vigor Benih dan Uji Vigor Benih Vigor benih secara umum merupakan kemampuan benih untuk tumbuh normal dalam kondisi yang optimum maupun suboptimum (Sadjad et al., 1999). Kekuatan tumbuh dan daya simpan benih merupakan parameter viabilitas yang dapat mencerminkan kondisi vigor benih. Keduanya menempatkan benih pada kemampuannya untuk tumbuh normal pada semua kondisi lapang maupun setelah benih melampaui periode simpan yang lama (Sutopo, 2004). Copeland dan Mc Donald (2001) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi vigor benih adalah kondisi lingkungan selama perkembangan benih, kondisi genetik benih, dan lingkungan penyimpanan. Faktor genetik meliputi tingkat kekerasan benih, vigor tanaman induk, daya tahan terhadap kerusakan mekanik, dan komposisi kimia benih. Faktor lingkungan perkembangan benih meliputi kelembaban dan kesuburan tanah, dan pemanenan benih. Faktor penyimpanan benih meliputi waktu penyimpanan, lingkungan penyimpanan (suhu, kelembaban, dan persediaan oksigen), dan jenis benih yang disimpan. Pengujian vigor benih sangat diperlukan untuk mengetahui dengan jelas kualitas benih yang akan digunakan. Menurut Venter (2000) secara umum metode uji vigor benih dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok yaitu, uji pada kondisi cekaman, uji biokimia, dan uji pertumbuhan dan evaluasi kecambah. Uji vigor yang termasuk biokimia adalah uji konduktivitas listrik.
13
Metode pengusangan cepat (Accelerated Ageing Test), metode pengusangan cepat terkontrol (PCT), dan metode uji suhu dingin termasuk dalam uji kondisi cekaman. Metode uji vigor benih dapat diterapkan setelah memenuhi beberapa syarat diantaranya metode tersebut harus murah, mudah dilakukan, tepat guna, bersifat objektif, dapat dikembangkan, dan berkorelasi dengan pertumbuhan benih di lapang (Copeland dan Mc Donald, 2001)
Uji Pengusangan Cepat Terkontrol Metode uji pengusangan cepat merupakan salah satu metode pengujian vigor benih yang telah dikembangkan sejak tahun 1980. Metode pengujian ini sederhana dan sedang dalam proses pengembangan lebih lanjut untuk menuju standarisasi. Pengujian vigor benih yang telah distandarisasi dan diterima sebagai metode resmi dalam peraturan ISTA 2007 adalah uji konduktivitas listrik untuk kacang kapri (Pisum sativum) dan accelerated ageing untuk benih kedelai (Glycine max). Berkaitan dengan metode PCT, Venter (2000) juga menyatakan bahwa viabilitas setelah PCT (VPCT) dapat dikorelasikan dengan daya tumbuh benih di lapang dan daya simpan beberapa benih sayuran seperti pada metode pengusangan cepat. Uji pengusangan cepat terkontrol (PCT) pada prinsipnya sama dengan accelerated ageing test. Hal yang membedakan adalah teknik yang digunakan selama pelaksanaannya. Accelerated ageing test menggunakan seperangkat alat pengusangan khusus. Uji PCT menggunakan peralatan yang lebih sederhana dan kadar air benih diketahui dengan jelas dan terkontrol selama penderaan. Menurut Powell dan Matthews (2005) uji PCT menggambarkan proses kemunduran suatu lot benih dan kadar air benih yang sering digunakan dalam metode PCT adalah 20% dengan suhu 450C dan periode pederaan 24 jam. Powell dan Matthews (2005) juga menambahkan teori dasar metode PCT yang di tunjukkan dalam Gambar 1. Titik A, B, dan C pada Gambar 1 (a) merupakan kondisi vigor awal lot benih ketika benih didera dalam waktu singkat. Ketiga titik berada pada nilai vigor yang hampir sama meskipun lot A terlihat memiliki nilai vigor yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan lot B dan lot C. Ketiga lot benih baik lot A, lot
14
B, dan lot C mengalami penurunan vigor yang signifikan ketika diberi stress PCT dengan kondisi yang tepat seperti yang terlihat pada Gambar 1 (b). a)
b) A B A
C
% Daya Berkecambah
% Daya Berkecambah
Ketepatan periode penderaan dalam uji PCT
Waktu
B C
Waktu
Gambar 1. Teori Dasar Metode Pengusangan Cepat Terkontrol Nilai vigor ketiga lot benih berubah dan berada pada selang yang sangat lebar seperti yang terlihat antara lot A dengan lot C ketika benih didera selama periode tertentu yang tepat sesuai dengan spesies yang digunakan. Lama penderaan merupakan faktor utama yang menyebabkan perbedaan tingkat vigor benih. Hasil penelitian tentang penggunaan metode PCT telah banyak dilaporkan terutama pada benih-benih berukuran kecil dalam mendukung proses validasinya. Strydom dan Van der Wenter (1998) menggunakan PCT dengan kondisi KA benih 24% serta lama penderaan 24 jam untuk menguji vigor benih kubis (Brassica oleracea L. var. capitta L.). Hasil penelitian Filho (2003) juga menunjukkan bahwa kondisi KA benih 24% dan lama penderaan 24 jam dapat digunakan untuk menguji vigor benih bawang (Allium ceppa). Menurut hasil penelitian Modarresei dan Van Damme (2003), KA benih 18% dan lama penderaan 72 jam merupakan kondisi yang sesuai untuk menguji vigor benih gandum (Triticum aestivum). Demikian juga dilaporkan oleh wang et al. (1994) pada benih semanggi merah, Demir et al. (2005) pada benih aubergin, Basak et al. (2006) pada benih cabai, bahwa PCT telah berhasil menguji vigor benih-benih tersebut meskipun kondisi yang digunakan berbeda-beda. Metode PCT digunakan dalam beberapa penelitian untuk menguji vigor benih yang berukuran relatif lebih besar seperti labu, semangka, dan mentimun. Mavi dan Demir (2005) menyatakan penggunakan metode uji pengusangan cepat terkontrol pada
15
kadar air 24% dan lama penderaan 24, 48,72 jam belum memberikan hasil yang signifikan untuk menguji vigor benih labu (Curcubita maxima). Hal ini karena VPCT pada semua lama penderaan yaitu, 24, 48, 72 jam masih mencapai 94% bahkan lebih. Hasil penelitian Mavi dan Demir (2007) menunjukkan kadar air 24% dan lama penderaan 48 jam pada PCT dan lama penderaan selama 120-144 jam pada Accelerated Ageing merupakan kondisi yang optimum untuk menguji benih semangka (Citrullus lanatus Matsum and Nakai, thumb.). Hasil penlitian Demir dan Mavi (2008) pada benih mentimun (Cucumis sativus L.) menunjukkan bahwa kondisi KA benih 20% dan lama penderaan 96 jam merupakan kondisi optimum untuk menguji vigornya. Metode uji vigor dengan pengusangan cepat terkontrol dapat digunakan untuk mengetahui korelasi daya berkecambah benih dengan daya tumbuh dan vigor bibit di lapang. Hasil penelitian Silva et al. (2006) menunjukkan bahwa pada kadar air 24% dan lama penderaan 24 jam pada uji PCT pada bit gula memberikan informasi yang cukup sesuai dengan daya tumbuh benih di lapang. Demikian juga yang dilaporkan oleh Wang et al. (1994) pada benih semanggi merah, Powell et al. (1997) pada kacang polong, Strydom dan Van der Wenter (1998) pada benih kubis, dan Basak et al. (2006) pada benih cabai, bahwa viabilitas setelah PCT (VPCT) memiliki korelasi yang erat dengan daya tumbuh dan vigor benih di lapang.