TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman pinang mempunyai sistematika tanaman sebagai berikut: kingdom: Plantae; divisi: Magnoliophyta; kelas: Liliopsida; ordo: Arecales; famili:
Arecaceae;
genus:
Areca;
spesies:
Areca
catechu
L
(Kristina dan Fatimah, 2007). Tanaman ini berakar serabut, putih kotor. Pohon berbatang langsing, tumbuh tegak, tinggi 10 – 30 cm, diameter 15 – 20 cm, tidak bercabang dengan bekas daun yang lepas (Cahyana, 2005). Daun majemuk menyirip tumbuh berkumpul di ujung batang membentuk roset batang. Pelepah daun berbentuk tabung, panjang 80 cm, tangkai daun pendek. Panjang helaian daun 1 – 1,8 meter, anak daun mempunyai panjang 85 cm, lebar 5 cm, dengan ujung sobek dan bergigi (Ferry, 1992). Tongkol bunga dengan seludang panjang yang mudah rontok, keluar dari bawah roset daun, panjang sekitar 75 cm, dengan tangkai pendek bercabang rangkap. Ada 1 bunga betina pada pangkal, diatasnya banyak bunga jantan tersusun dalam 2 baris yang tertancap dalam alur. Bunga jantan panjang 4 mm, putih kuning, benang sari 6. Bunga betina panjang sekitar 1,5 cm, hijau, bakal buah beruang satu (Cahyana, 2005). Buah pinang disebut buah batu (buni), keras dan berbentuk bulat telur. Panjang buah antara 3 – 7 cm, diameter biji 1,9 cm, warna kuning kemerahan. Buah terdiri atas 3 lapisan, yaitu: lapisan luar (epicarp) yang tipis, lapisan tengah (mesocarp) berupa sabut dan lapisan dalam (endocarp) berupa biji yang agak lunak dimana di dalamnya terdapat endosperm (Ferry, 1992).
Universitas Sumatera Utara
Biji satu, bentuknya seperti kerucut pendek dengan ujung membulat, pangkal agak datar dengan suatu lekukan dangkal, panjang 15 – 30 mm, permukaan
luar
berwarna
kecoklatan
sampai
coklat
kemerahan,
agak
berlekuk-lekuk menyerupai jala dengan warna yang lebih muda. Pada bidang irisan biji tampak perisperm berwarna coklat tua dengan lipatan tidak beraturan menembus
endosperm
yang
berwarna
agak
keputihan
(Kristina dan Fatimah, 2007). Penampang buah pinang (Gambar 1) terdiri dari bagian epicarp, mesocarp, endocarp yang bertekstur keras, endosperm, dan embrio.
Epicarp Mesocarp Endocarp Endosperm Embrio Mikrofil
Gambar 1. Penampang buah pinang Syarat Tumbuh Iklim Pinang dapat berproduksi optimal bila ditanam di lokasi dengan ketinggian 0
–
1.400
m
dpl.
Curah
hujan
yang
dibutuhkan
pinang
antara
2.000 – 3.000 mm/tahun yang terbagi merata sepanjang tahun atau hari hujan
Universitas Sumatera Utara
sekitar 100 – 150 hari. Suhu yang dikehendaki ᵒC 20
- 30ᵒC, dan kelembaban
udara antara 50 – 90% (Cahyana, 2005). Tanah Pinang dapat tumbuh dengan baik pada tipe tanah yang berpasir, tanah gambut, tanah kapur dan tanah berbatu. Pinang juga dapat tumbuh pada berbagai kemiringan. Kemasaman tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman sekitar 4 – 8 (Cahyana, 2005). Perkecambahan Benih Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan-perubahan morfologi, fisiologi dan biokimia. Proses perkecambahan terjadi
dalam
beberapa
proses
berurutan
yaitu:
tahap
pertama
suatu
perkecambahan benih dimulai dengan proses penyerapan air (imbibisi), melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma. Tahap kedua dimulai dengan kegiatan-kegiatan sel dan enzim-enzim serta naiknya tingkat respirasi benih. Tahap ketiga merupakan tahap dimana terjadi penguraian bahan-bahan seperti karbohidrat, lemak, dan protein menjadi bentuk-bentuk yang melarut dan ditranslokasikan ke titik-titik tumbuh. Tahap keempat adalah asimilasi dari bahanbahan yang telah diuraikan tadi di daerah meristematik untuk kegiatan pembentukan komponen dan pertumbuhan sel-sel baru. Tahap kelima adalah pertumbuhan dari kecambah melalui proses pembelahan, pembesaran dan pembagian sel-sel pada titik-titik tumbuh. Sementara daun belum dapat berfungsi sebagai organ untuk fotosintesa maka pertumbuhan kecambah sangat tergantung pada persediaan makanan yang ada dalam biji (Sutopo, 1988).
Universitas Sumatera Utara
Perkecambahan adalah proses tumbuhnya embrio dari benih yang hidup menjadi kecambah. Perkecambahan dapat ditinjau dari aspek morphologis dan fisiologis. Secara visual dan morphologis terjadinya perkecambahan ditandai oleh keluarnya radikula (bakal akar) dan plumula (bakal tunas) dan berakhir apabila kecambah telah mempunyai akar, batang dan daun. Tetapi secara phisiologis perkecambahan dimulai ketika benih yang hidup menyerap air dan berakhir ketika kecambah yang terbentuk telah mampu menghasilkan karbohidrat secara fotosintesis (Suginingsih, 1989). Proses perkecambahan benih dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang berpengaruh adalah susunan kimiawi benih yang berhubungan dengan daya hidup benih. Sifat ketahanan ini meliputi masalah kadar air benih, aktivitas enzim dalam benih dan sifat fisik atau biokimiawi dari kulit benih. Sedangkan faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah air, gas, suhu (Bewley dan Black, 1983). Benih
viabel
yang
dikondisikan
pada
lingkungan
sesuai
untuk
perkecambahan, akan memulai enam tahap penting, yaitu imbibisi, aktivasi enzim, hidrolisa dan katabolisme cadangan makanan, inisiasi pertumbuhan embrio axis, anabolisme dan pembentukan struktur sel baru, disusul munculnya radikula menembus kulit benih (Parker, 2000). Radikula merupakan bagian pertama dari embrio yang keluar dari benih melalui celah sempit bagian bawah ujung mikrofil. Akar primer berkembang terus dan memacu pertumbuhan sistem perakaran. Segera setelah itu epikotil tumbuh memanjang membentuk posisi tegak lurus dengan kotiledon kemudian berkembang membentuk plumula selanjutnya menjadi daun (Adiguno, 2000).
Universitas Sumatera Utara
Dormansi Benih Benih dikatakan dormansi apabila benih itu sebenarnya hidup (viable) tetapi tidak berkecambah walaupun diletakkan pada keadaan lingkungan yang memenuhi syarat bagi perkecambahan dan periode dormansi ini dapat berlangsung semusim atau tahunan tergantung tipe dormansinya. Ada beberapa tipe dari dormansi dan kadang-kadang lebih dari satu tipe terjadi di dalam benih yang sama. Di alam, dormansi dipatahkan secara perlahan-lahan atau di suatu kejadian lingkungan yang khas. Tipe dari kejadian lingkungan yang dapat mematahkan dormansi tergantung pada tipe dormansi (Sahupala, 2007). Menurut Silvertown (1999), dormansi terbagi atas beberapa tipe yaitu tipe endogenus, berhubungan dengan keadaan embrio, dan tipe eksogenus, berhubungan dengan endosperm atau jaringan-jaringan lain pada benih atau buah. Tipe dormansi endogenus terbagi atas tiga bagian, yaitu 1) dormansi endogenus yang disebabkan oleh hambatan fisiologi embrio, 2) dormansi endogenus yang disebabkan oleh tidak berkembangnya embrio secara sempurna atau disebut juga morphological dormancy 3) dormansi endogenus yang disebabkan oleh gabungan kedua sebab di atas yang disebut juga morphophysiological dormancy. Tiga tipe dormansi eksogenus adalah 1) physical dormancy, yang disebabkan oleh impermiabilitas benih atau kulit benih terhadap air, 2) chemical dormancy yang disebabkan oleh senyawa penghambat perkecambahan, 3) mechanical dormancy yang disebabkan oleh struktur keras dari benih yang menghalangi pertumbuhan kecambah. Menurut Butterfield (1967), sebagian besar benih yang berasal dari daerah tropis dan sedang memiliki sifat bertekstur kulit keras dan mengandung minyak.
Universitas Sumatera Utara
Beberapa metode yang umum dilakukan dalam usaha memecahkan dormansi tipe ini diantaranya skarifikasi, perlakuan dengan air panas, perendaman dalam senyawa asam dan skarifikasi atau gabungan dari beberapa cara tersebut, yang pada dasarnya mengacu pada usaha mengkondisikan benih sehingga mampu memperoleh faktor-faktor penting perkecambahan. Skarifikasi Dormansi benih dapat disebabkan antara lain adanya impermeabilitas kulit benih terhadap air dan gas (oksigen), embrio yang belum tumbuh secara sempurna, hambatan mekanis kulit benih terhadap pertumbuhan embrio, belum terbentuknya zat pengatur tumbuh atau karena ketidakseimbangan antara zat penghambat dengan zat pengatur tumbuh di dalam embrio (Villers, 1972). Hal ini terlihat dari benih yang diberi perlakuan skarifikasi dengan kertas amplas daya kecambahnya 46,95% sedangkan kontrol hanya 31,60%. Karena perlakuan ini memungkinkan air masuk ke dalam benih untuk memulai berlangsungnya proses perkecambahan benih. Sutopo (2002) menjelaskan bahwa tahap pertama suatu perkecambahan benih dimulai dengan proses penyerapan air, melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma (Saleh, 2004). Perlakuan mekanis (skarifikasi) pada kulit biji, dilakukan dengan cara penusukan, penggoresan, pemecahan, pengikiran atau pembakaran, dengan bantuan pisau, jarum, kikir, kertas gosok, atau lainnya adalah cara yang paling efektif untuk mengatasi dormansi fisik. Karena setiap benih ditangani dengan manual, dapat diberikan perlakuan individu sesuai dengan ketebalan biji. Pada hakekatnya semua benih dibuat permeabel dengan resiko kerusakan yang kecil, asal daerah radikel tidak rusak (Schmidt, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Dennis (1995), perlakuan skarifikasi pada benih yang impermiabel terhadap oksigen dapat memudahkan masuknya oksigen ke dalam embrio sehingga proses perkecambahan segera terjadi, selanjutnya didukung dengan perlakuan perendaman dalam air, maka daya kecambah benih lebih meningkat. Hal ini dapat dilihat pada benih yang diberi perlakuan skarifikasi dengan kertas ampelas dan direndam dalam air daya kecambahnya berbeda nyata dengan kontrol dan juga berbeda nyata dengan tanpa perendaman. Selain itu skarifikasi juga dapat mempercepat proses penyerapan air oleh embrio untuk mengaktifkan enzimenzim dalam proses perkecambahan. Perlakuan ini memungkinkan air masuk ke dalam benih untuk memulai berlangsungnya proses perkecambahan benih (Rinaldi, 2010). Adanya perbedaan pengaruh perlakuan skarifikasi benih terhadap persentase kecambah dan kecepatan berkecambah diduga disebabkan perbedaan respons kulit benih terhadap setiap perlakuan skarifikasi benih. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Baker (1950) bahwa perlakuan skarifikasi benih mempercepat perkecambahan dan meningkatkan persentase berkecambah pada dasarnya adalah dengan merusak lapisan kulit benih yang keras sehingga air dan oksigen dengan mudah masuk ke dalam benih (Suginingsih, 1989). Asam Giberelat (GA3) Kucera dkk (2005) melaporkan bahwa ada dua fungsi giberelin selama perkecambahan benih, pertama giberelin diperlukan untuk meningkatkan potensi tumbuh dari embrio dan sebagai promotor perkecambahan, dan kedua diperlukan untuk mengatasi hambatan mekanik oleh lapisan penutup benih karena terdapatnya jaringan di sekeliling radikula (Rusmin dkk, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Giberelin dikenal sebagai zat pengatur tumbuh yang digunakan untuk memecahkan beberapa tipe dormansi benih yaitu: (1) benih yang membutuhkan cahaya, seperti benih Latuca sativa; (2) benih yang dihambat oleh cahaya, seperti benih Phacelia tanacetifolia; (3) benih yang membutuhkan stratifikasi, seperti Corylus avellana L.; (4) benih yang membutuhkan after-ripening (penyimpanan pada temperatur ruang dalam kondisi kering), seperti benih Avena fatua L. (Chen dan Chang, 1972). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pada fase perkecambahan embrio kelapa kopyor menunjukkan pertumbuhan yang berbeda-beda. Zat pengatur tumbuh GA3 2 ppm dapat memacu perkecambahan embrio 6 hari lebih cepat dari pada tanpa zat pengatur tumbuh (Sukartiningrum dan Sukendah, 2008). Perlakuan skarifikasi dan perendaman dalam larutan giberellin 50 ppm memperlihatkan pertumbuhan bibit aren yang terbaik dibandingkan kombinasi perlakuan lainnya. Perlakuan skarifikasi dapat meningkatkan perkecambahan benih aren dibandingkan tanpa skarifikasi. Perendaman dalam larutan giberellin dapat meningkatkan pertumbuhan bibit aren. Peningkatan pertumbuhan tertinggi pada perendaman dalam konsentrasi 50 ppm (Maryani dan Irfandri, 2008). Usaha untuk mematahkan dormansi biji aren dapat dilakukan secara mekanis dan secara kimia. Perlakuan biji secara mekanis dapat dilakukan dengan menggosok kulit biji dengan amplas/skarifikasi (Sutopo, 1984). Sementara itu pemberian zat pengatur tumbuh (ZPT) seperti giberellin pada biji berfungsi untuk mengaktifkan reaksi-reaksi enzimatik dalam biji. Hasil penelitian Sugiharti dalam Maryani (1998) melaporkan bahwa pemberian giberellin dengan konsentrasi 50 ppm mampu memberikan daya kecambah benih rotan manau yang terbaik, yaitu
Universitas Sumatera Utara
85,55% dan apabila konsentrasi giberellin ditingkatkan menjadi 75 ppm dan 95
ppm
menyebabkan
daya
kecambah
semakin
menurun
(Maryani dan Irfandri, 2008). Hasil pengamatan terhadap persentase perkecambahan benih kentang, menunjukkan bahwa semua perlakuan hormon (Hidrogen sianamida, GH 81 R dan GA3) mempunyai nilai rata-rata persentase mata tunas yang pecah lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada pengamatan terakhir (50 HSP), masing-masing 70,90%, 64,45% dan 79,00%. Persentase perkecambahan pada perlakuan asam giberelin (GA3) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini menunjukkan bahwa GA3 memiliki kemampuan untuk memecahkan dormansi umbi kentang. Leopold dan Kriedeman (1977) mengemukakan bahwa aplikasi asam giberelin (GA3) dari luar (exogenous giberelin) umumnya mengakhiri dormansi kentang dan meningkatkan endegenous giberelin, sehingga cadangan makanan (pati) dihidrolisis oleh enzim amilase menjadi gula dalam waktu singkat yang menyebabkan pertumbuhan tunas berlangsung (Ningsih dkk, 2007).
Universitas Sumatera Utara