TINJAUAN PUSTAKA Kepemilikan dan Penguasaan Tanah Pengertian kepemilikan dan penguasaan tanah seringkali dianggap sama. Padahal ada perbedaan mendasar antara pengertian kepemilikan dan penguasaan. Pengertian kepemilikan lebih condong kepada status hak (entitlement) sedangkan pengertian penguasaan lebih kepada total luasan yang dikuasai atau diusahakan. Selain itu pengertian kepemilikan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah bagi pemiliknya, baik hak untuk menjual (dipindah tangankan), digadaikan, disewakm, diwariskan atau diusahakan untuk kepentingan pemiliknya. Sedangkan pengertian penguasaan mengandung arti adanya hak untuk menggunakan tanah berdasarkan sewa atau kontrak tertentu, tetapi tidak dapat dipindah tang-
oleh yang mengwai tanah tersebut (Wijayanti, 2000).
Salah satu aspek penting
dimensi tanah dalam h u b u n p y a dengan
manusia adalah tanah sebagai properti yang mempunyai pengertian bahwa tanah meliputi kepemilikan beserta entitlement yang berkaitan dengan hak kepemilikan tanah (Barlowe, 1978). Hal ini berkaitan dengan segala hak yang berhubungan dengan tanah yang mempunyai implikasi sangat luas terhadap pengelolaan sumberdaya tanah, seperti hak untuk memiliki dan men-
tanah, hak untuk
menjual tanah, hak untuk menyewakan, hak untuk menggadaikan, hak untuk membagi dan menurunkan kepemilikan dan hak untuk menghbahkan. Hubungan yang berupa pemindahan hak milik dan atas hak menggarap akan menimbulkan pemusatan penguasaan Tanah sebagai faktor produksi penting kepada salah seorang atau golongan orang yang mempunyai modal kuat. Keadaan tersebut dari segi ekonomi akan berakibat pada pemusatan pendapatan dan
pemilikan kepada segolongan kecil orang yang kaya. Keadaan demikian akan menyebabkan pola distribusi pemilikan Tanah akan sernakin timpang (Santoso, 1983). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peratwan Dasar Pokokpokok Agraria (Undang-undang Pokok Agraria) atau lebih dikenal dengan UUPA, menyebutkan beberapa jenis hak-hak atas tanah, antara lain : hak milik, hak guna usaha, hak guna ban-
hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak yang disebut sebelumnya yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Hak milik diatur dalam UUPA pasal 20 sampai 27. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Hak guna usaha diatur dalam UUPA pasal28 sampai pasal34. Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dan dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak guna bangunan diatur dalam UUPA pasal35 sampai pasal40. Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu (paling lama 30 tahun). Baik tanah negara maupun tanah milik yang dimiliki oleh seseorang atau badan hukum yang ditunjuk oleh negara dapat diberikan dengan hak guna bangunan. Hak pakai diatur dalam UUPA pasal41 sampai dengan pasal43. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwewenang yang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA. Hak sewa diatur dalam UUPA pasal 44 dan pasal 45.
Hak sewa adalah suatu hak untuk
menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
Hak membuka tanah dan
membangun hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warga negara Indonesia dan diatur oleh peraturan Pemerintah, sebagaimana disebutkan UUPA Pasal46 ayat 1. Di &lam penelitian ini ruang lingkup yang akan dikaji adalah hak milik tanah seseorang dan sebaran distribusi kepemilikan tanah di suatu wilayah. Kajian struktur kepemilikan tanah yang akan diteliti adalah kajian berdasarkan data karakteristik tanah dan karakteristik pemilik tanah dari masing-masing pemilik bidang tanah yang dianalisa baik dari aspek sosial ekonomi maupun dari aspek spasial. Motivasi dalam Kepemilikan Tanab (PropertyRlght) Menurut Anwar (2000), property right memegang peranan fundamental dalarn sistem pertukaran pasar. Kemunglunan bekerjanya suatu sistem pasar disebabkan karena para peserta individual (market participants), pada umumnya mempunyai motivasi untuk memaksimumkan pendapatannya (keuntungan) atau kesejahteraannya (utility).
Dengan kemauannya sendiri mereka memasuki
transaksi pertukaran pasar karena kegiatan tersebut saling menguntungkan. Hargaharga di dalam sistem pasar berperan sebagai pemberi isyarat yang memandu dalam memberi petunjuk kepada suatu nilai yang melekat pada barang dan jasa dari individual yang menjadi peserta dalam sistem ekonomi pertukaran pasar. Tetapi adakalanya pertukaran menjadi terhambat atau tidak berjalan sama sekali karena
property right yang menyangkut barang tersebut tidak dispesifikasikan secara jelas.
Tanpa ada keterangan tentang kepemilikan terhadap sesuatu barang, karenanya seseorang tidak mempunyai hak secara eksklusif terhadap barang tersebut. Prinsip konsumen yang berusaha memaksimumkan utilitasnya mendorong konsumen tidak hanya melihat nilai manfaat fisik tanah saja, tetapi juga nilai lokasi serta nilai masa datang dari tanah tersebut. Artinya motivasi konsumen dalam membeli atau memiliki tanah tidak hanya untuk tujuan kebutuhan pokok, tetapi juga untuk tujuan investasi dan spekulasi.
Tujuan kebutuhan pokok berarti
konsumen membeli atau memiliki tanah benar-benar digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan pokok, baik itu kebutuhap sandang, pangan ataupun papan. Tujuan investasi berarti konsumen membeli atau memiliki tanah digunakan sebagai modal usaha, disewakan, gadai atau bagi hasil. Tujuan spekulasi berarti konsumen membeli atau memiliki tanah
sekarang dengan harapan pada masa yang akan
datang apabila terjadi lonjakan harga tanah, maka tanah tersebut akan dijual (Idawati, 1999). Tujuan pemilikan tanah yang bersifat spekulatif ini &pat menyebabkan pemanfaatan tanah yang tidak efektif, efisien clan optimal dan cenderung ditelantarkan. Dampak yang lebih buruk dari pemanfaatan tanah ini adalah terjadinya degradasi dan kerusakan tanah. Suatu property right menetapkan tentang hak-hak secara legal mengenai kepemilikan dari suatu sumberdaya (tanah) dengan disertai keterbatasan dalam caranya sumberdaya tersebut dimanfaatkan. Apabila hak-hak itu ada, maka harus memenuhi persyaratan-persyaratan di bawah ini (Anwar, 2000). 1. Hak-hak (rights) harus dispesifikasi secara penuh.
Hal ini berarti bahwa
pemiliknya harus dapat dibeda-bedakan secara jelas. Demikian juga bahwa
pembatasan-pembatasan terhadap hak-hak kepemilikan dan sanksi-sanksi (hukurnan) terhadap
pelanggaran
terhadap
hak-hak
tersebut
harus
dispesifikasikan. Pembatasan terhadap kepemilikan, harus disertai hak-hak yang jelas agar supaya kerancuan dapat dihindari, di mana sebenarnya kerancuan tersebut tidak boleh terjadi pada keadaan apapun. Apabila semua orang menggunakan barang-barang yang dipunyainya, maka dalam keadaan apapun barang tersebut dapat digunakan menurut sesuka hatinya.
2. Suatu property right mengandung arti bahwa kepemilikan harus eksklusif, Eksklusifitas hak-hak ini menentukan tentang siapa-siapa saja, jika ada, yang boleh menggunakan sumberdaya atau barang yang dimilikinya dan pada persyaratan apa barang tersebut dapat dipergunakan. Tetapi semua pahala (rewards) dan sanksi didalam melaksanakan hak tersebut diperoleh untuk pihak yang mewakilinya. 3. Pemilik tanahlbarang mempunyai hak-hak untuk mentransfer barang miliknya.
Pembatxan-pembatasan kepada transfer sesuatu barang yang dimiliki akan mengarah kepada inefisiensi atau mengarah kepada keadaan pasar yang nyaris lumpuh talc dapat bekerja. Dalam ha1 ini, penting untuk disadari bahwa hakhak yang bersangkutan menyangkut proses perpindahan tangan sebagai lawan
dari hanya memiliki sesuatu barang. Apabila kita membeli sebidang tanah; sebenarnya yang dibeli itu adalah hak-haknya untuk menggunakan tanah tersebut, tetapi tanahnya sendiri secara fisik tidak bergerak (dipindah tangan). Meski barang tersebut berpindah tangan tetapi yang penting adalah hak untuk menggunakan barang yang dibeli tersebut. Pergerakan berpindah tangan dapat saja terlaksana dengan cara mengambil tanpa bayar dari toko. Pergerakan
pindah tangan, dalam keadaan ini, merupakan suatu transfer hak kepemilikan; dan bukannya kepemilikan itu yang akan dilanggar. 4. Property right tersebut juga harus secara efektif dapat dipaksakan
(enforceable).
Tanpa adanya enforcement, suatu sistem property right talc
dapat dianggap bermanfaat. Jika enforcement tidak sempurna, sebagaimana sering terjadi dalam dunia nyata, maka nilai harapan dari sanksi hukurnan harus melebihi setiap kemun&nan keuntungan yang diperoleh para pelanggar yang mungkin melakukannya. Dalam prakteknya, keempat syarat di atas tidak senantiasa dapat dipenuhi, ha1 itu disebabkan antara lain adanya externality, yaitu suatu keadaan dimana ada pihak lain yang hams menanggung manfaat atau biaya yang disebabkan oleh penggunaan sumberdaya oleh orang lain. Urbanisasi dan Suburbanisasi Faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang melakukan migrasi sangat beragam dan rurnit. Karena migrasi merupakan suatu proses yang secara selektif mempengaruhi setiap individu dengan ciri-ciri ekonomi, sosial, pendidikan dan demografi tertentu. merupakan sebuah
Persoalan migrasi desa kota (rural urban migration) faktor negatif
yang menyebabkan surplus tenaga kerja
perkotaan secara berlebihan serta sebagai suatu kekuatan yang secara terusmenerus memperburuk masalah-masalah pengangguran di berbagai daerah perkotaan yang pada awalnya bersumber dari ketidakseimbangan strukhual dan ekonomi antara daerah-daerah perkotaan dan perdesaan (Todaro, 1998). Urbanisasi mengacu kepada peningkatan proporsi jumlah penduduk Perdesaan yang tinggal di pusat-pusat kota dengan ukuran tertentu (Abercombie, et
al, 1988 dalam Rustiadi, 1999). Urbanisasi dapat diartikan sebagai proses yang menyertai transformasi struktural ekonomi pada suatu wilayah/daerah sehingga terjadi perubahan pola hidup akan kebutuhan sarana, prasarana dan jasa pelayanan serta perubahan orientasi manusia dari tradisi perdesaan ke arah kehidupan yang modern. Seiring dengan meluasnya urbanisasi dan pembangunan yang bias urban (urban bias) tumbuh subur pula kantung-kantung pemukiman kurnuh (slum) dan kampung-kampung di tengah kota yang serba menyesakkan dan liar (shantytown) serta semakin banyak penduduk perkotaan yang tinggal berhimpit-himpit di berbagai pusat permukiman yang sebenarnya tidak pantas dihuni oleh manusia (Todaro, 1998) Suburbanisasi adalah proses pengembangan pemukiman dan kadangkadang disertai dengan pengembangan industri pada wilayah pinggiran kota (Mayhew, 1997; Jackson, 1985 dalam Rustiadi 1999). Perkembangan urbanisasi di wilayah sub urban dipengaruhi oleh faktor-faktor penarik dari dalam kota dan juga sistem pengembangan transportasi yang menghubungka wilayah sub urban dengan wilayah urban.
Proses suburbanisasi adalah salah satu proses
pengembangan wilayah yang semakin menonjol dan akan semakin berpengaruh nyata di dalam proses penataan ruang di sekitar wilayah perkotaan. Di satu sisi, proses ini dipandang sebagai perluasan wilayah urban ke wilayah pinggiran kota yang berdampak meluasnya skala managemen wilayah urban secara riil. Di sisi yang lain, proses ini sering dinilai sebagai proses yang kontra produktif mengingat prosesnya yang selalu diiringi dengan proses konversi tanah pertanian yang sangat produktif (Rustiadi, 1999).
Proses suburbanisasi bukanlah fenomena yang relatif baru. Suburbanisasi telah melahirkan fenomena yang kompleks yaitu akulturasi budaya, konversi tanah pertanian ke non pertanian yang bersifat irreversible, spekulasi tanah dan lain-lain, Van den Berg, et a1 (1981) dalarn Rustiadi (1999) mengidentifhi empat
tahapan proses urbanisasi : (1) tahap urbanisasi, migrasi penduduk dari desa ke kota; (2) tahap Suburbanisasi, tahap dimana kota berkembang dan mempengaruhi daerah-daerah sekitarnya dan menjanjikan kesejahteraan sehingga penduduk daerah pinggiran tertarik ke pusat-pusat kegiatan dan pelayanan kota; (3) tahap disurbanisasi, penurunan jwnlah penduduk di daerah perkotaan diikuti oleh penurunan aktifitas ekonomi, disebabkan oleh kehilangan kesempatan kerja dan lapangan usaha; (4) tahap reurbanisasi, dibangunnya pusat-pusat kegiatan baru dengan tingkat aglomerasi yang lebih rendah pada beberapa lokasi. Proses suburbanisasi di wilayah sekitar Jakarta yang ditandai dengan perkembangan permukiman dan industri skala besar di her&-daerah di sekitar wilayah metropolitan (Jakarta) pada dasarnya didorong oleh adanya : a. Kebijakan pemerintah, bentpa : Kebijakan membangun Jakarta sebagai pusat pemerintah dan pusat kekuasaan; Subsidi dalam pembangunan perurnahan; Pemberian fasilitas kepada beberapa konglomerat yang akan menanamkam modalnya; Pembangunan infiastruktur, yang meningkatkan aksesibilitas ke Jakarta, misalnya : Jalan To1 Jagorawi, To1 Cilcampek dan To1 Merak; Kebijakan pemerintah yang terpusat (sentralistik).
b. Pengaruh pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di perkotaan menjadi daya tarik yang kuat terhadap urbanismi, yang berimplikasi terhadap perkembangan jumlah penduduk yang pesat.
Sejalan dengan peningkatan jumlah tersebut, maka
permintaan akan tanah menjadi meningkat pula.
Pada kondisi dimana
pertumbuhan penduduk telah melampaui kapasitas perkotaan dalam penyediaan fasilitas dan pelayanan sosial, akan mengalubatkan terjadinya ketimpangan antara permintaan dan penawaran akan tanah yang tentunya merupakan suatu indikasi bahwa tanah dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan (scarcity), disamping harga tanah yang semakin meningkat pula.
Pemanfaatan Tanah Berkaitan dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu ha1 yang sewajarnya bahwa tanah itu hams dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah (sesuai dengan Pasal 15 UUPA). Sehingga agar tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan clan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan
dari batas maksimum diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuanketentuan dalam Peraturan Pemerintah (sesuai dengan Pasall7 ayat 3 UUPA).
Secara teoritis alokasi pemanfaatan tanah dapat dilaksanakan melalui beberapa mekanisme, yaitu : 1. Penataan ruang oleh pemerintah melalui undang-undang
2. Melalui mekanisme pasar
3. Kombinasi antara pengaturan pemerintah clan mekanisme pasar Menurut Nasution (2000) ketiga jenis tersebut mempunyai kekuatan dan kelemahan. Mekanisme pertama memerlukan pangkalan data yang menyeluruh, akurat serta sistem manajemen yang efisien dan hirarki pengarnbilan keputusan yang tidak ambigous. Kekuatan sistem ini adalah pencapaian tujuan penataan tanah yang dilakukan secara terkendali, umumnya membutuhkan biaya yang relatif besar. Sebaliknya mekanisme pasar alokasi ruang (tanah) biaya formalnya relatif kecil, tetapi jika ditinjau dari titik pandang masyarakat,
mekanisme pasar
cenderung mengakibatkan missalokasi sumber daya tanah. Missalokasi ini terjadi karena struktur pasar sumber daya tanah tidak sempurna. Mekanisme ini juga tidak mampu mencakup penilaian eksternalitas.
Oleh sebab itu mekanisme ketiga
seringkali lebih feasible untuk diterapkan. Kegagalan mekanisme pasar khususnya pasar tanah sangat merugikan pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia.
Terutama jika ditinjau dari
perspektif jangka panjang. Hal ini dikarenakan oportunitas penggunaan tanah relatif sangat besar. Tanah, khususnya tanah sawah tipologi penggmaanya sangat strategis bagi Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Server (1996) tentang fenomena kurangnya kontrol dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah negara, sehingga sering beralih menjadi pemukiman informal dan pemanfaatan tanah tanpa kepemilikan yang jelas.
Bahkan pemdaatan tanah demikian didukung oleh oknurn aparat dengan memberi uang sogokan. Fenomena semacam ini dikategorikan sebagai 'korupsi' yang didefinisikan sebagai penggunaan sumberdaya publik untuk kepentingan pribadi. Fenomena lain dalam pemdaatan tanah adalah banyaknya tanah-tanah
guntai (absentee lands) yang tidak digarap pemiliknya tetapi dirambah oleh petani talc berlahan karena pemiliknya bukan orang setempat. Tanah-tanah pada keadaan ini banyak mengalami kerusakan dan hak-haknya sulit ditransaksikan, sehingga dalam pasar tanah menjadi terhambat dan pemanfaatannya tidak optimal. Fenomena-fenomena dalam pemanfaatan tanah seperti ini dapat mengharnbat tenvujudnya
kepemilikan
dan
penguasaan
tanah
yang
lebih
merata
(equity),berkelanjutan (sustainable) dan berkeadilan sosial.
Penggunaan Tanah (Land Use) Tanah adalah sumber daya dam yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena setiap melakukan aktivitasnya memerlukan tempat sedangkan kualitas tanah mencakup topografi, struktur, kekayaan mineral, iklim, persediaan air, akses dari sumber input dan pasar serta sifat-sifat lingkungan misalnya ketenangan, kebebasan pribadi, pemandangan yang indah dan sebagainya. Selain itu pengertian tanah adalah merupakan permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi juga sebagian tubuh bumi dan air yang ada di dalarnnya
clan sebagian ruang udara yang ada di bawah dan di atasnya (UUPA Pasal4 dalam Pola Dasar Tata Guna Tanah Perdesaan). Tingkah laku dan tindakan manusia dalam penggunaan tanah disebabkan oleh kebutuhan dan keinginan manusia yang berlaku baik dalam kehidupan sosial dan kehidupan ekonomi.
Penggunaan tanah diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap tanah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materil maupun spiritual. Klasifikasi penggunaan tanah secara umum dibedakan menjadi klasifikasi penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan (BPN, 1997). Secara garis besar klasifkasi penggunaan tanah perdesaan dapat dibagi menjadi perkampungan, industri, pertambangan, persawahan, pertanian tanah kering semusim, kebun, perkebunany padangy hutan, perairan darat, tanah terbuka, clan lain-lain. Sedangkan klasifikasi penggunaan tanah perkotaan dibagi menjadi tanah perumahan, tanah perusahaan, tanah ind~strilpergudangan~ tanah jasa, tanah tidak ada bangunan, taman, perairan, dan lain-lain. Adapula faktor-faktor ekonomi yang menentukan penggunaan dari interaksi sebidang tanah dalam menghasilkan pola tata guna tanah. Tanah merupakan multiactivities area dan multi manfat yang akan menentukan tingkat persaingan
dan hardnilai tanah, terutama lokasi-lokasi yang mempunyai tanah yang subur, iklim yang baik dan di bawah pengaruh lokal eksternal ekonomi yang kondusif. Harga tanah menjadi ukuran tingginya permintaan dan persaingan tanah yang mencapai puncaknya di daerah perkotaan. Salah satu faktor yang menentukan harga tanah adalahjarak antar lokasi dengan pasar dan aksesibilitas. Teori Von Thunen merupakan model tata guna tanah sederhana, didasarkan
pada satu titik permintaan dalam suatu lingkungan ekonomi perdesaan yang mempunyai s t r u b pasar sempurna baik pasar output maupun input. Selain itu diasumsikan bahwa seluruh wilayah dapat dijangkau tapi terisolasi (tertutup), sehingga tidak ada ekspor impor. Berdasarkan asumsi tersebut, maka lokasi tanah
akan mengikuti pola kawasan komoditi berbentuk lingkaran dengan kota sebagai
pusatnya sekaligus tempat pemukiman, kemudian areal sawah, tegalan, kebun dan terakhir adalah hutan. Bentuk lingkaran tidak harus simetris, tetapi tergantung akses jalan atau sungai. Menurut Pakpahan dan Anwar (1989), teori ini merupakan model statis yang menghasilkan keseimbangan berdasarkan tiga parameter, antara lain harga jual, biaya produksi dan biaya angkutan. Sehingga kalau digunakan sebagai pedoman membuat keputusan lokasi tanah, memiliki beberapa kelemahan, salah satunya kelemahan asumsi pasar sempurna, baik untuk input ataupun output karena adanya spatial monopoli. Model Von Thunen ini merupakan model awal yang penting sebagai peletak dasar untuk membuat tata guna tanah yang lebih baik. Analisa serupa Von Thunen yang digunakan di kawasan perkotaan, dilakukan oleh Burges dalam Harvey (1996). Burges menganaIogikan pusat pasar dengan pusat kota (Central Business District atau CBD). CBD merupakan tempat yang lebih banyak digunakan untuk gedung pertokoan, bank dan perhotelan. Berbeda dengan Von Thunen yang menggambarkan pola kawasan untuk berbagai komoditi, bagi Burges pola tersebut untuk berbagai kegiatan ekonomi. Asumsi yang dipakai tetap sama. Semakin jauh dari kawasan CBD, nilai rent kawasan tersebut akan semakin kecil.
Tetapi Burges menekankan pada faktor jarak
komutasi ke tempat kerja dan tempat belanja merupakan faktor utama dalam tata guna tanah di perkotaan. Jadi Burges memusatkan pada tempat orang bennukim terhadap tempat bekerja dan belanja. Dalam area Burges, pusat area merupakan kawasan CBD, dikelilingi kawasan industri, kemudian kawasan perumahan kelas rendah. Lingkaran selanjutnya perumahan menengah kelas atas, terakhir kawasan pinggiran.
Dalam pola penggunaan tanah yang berhubungan dengan nilai ekonomi, terdapat beberapa teori, yaitu : 1. Hipotesa model E.W.Burges (1925) dalam Harvey (1996) adalah sebuah model skematis yang dikembangkan dalam mengelompokkan
aktivitas-
aktivitas atas d a m konsentrasi dalam jarak yang berturut-turut &lam kawasan
dari pusat ke arah hinterland, dengan urutan (Garnbar 2): a) Aktivitas pusat kota atau Central Business District (CBD), seperti supermarket, gedung kantor, bank, hotel, bioskop, museum, kantor-kantor pusat (1); b) Rumah-rumah sewaan, kawasan industri, perumahan (2); c) Wisma buruh, kawasan perumahan untuk tenaga kerja (3); d) Pemukiman pekerja-pekerja industri dengan pendapatan menengah (4); e) Pemukiman pelajolpekerja pulang-pergi (commuters) di pinggiran kota dengan pendapatan tinggi (masyarakat kota) (5). Hipotesis Burgess menyatakan bahwa zone-zone penggunaan tanah akan menjaga keteraturan, tetapi karena kota berturnbuh clan berkembang maka setiap zone harus menyebar dan bergerak keluar, menggeser zone berikutnya dan menciptakan zone transisi penggunaan tanah.
Gambar 2. Teori Jalur Terpusat
2. Teori pembangunan aksial atau radial, dikembangkan oleh Harvey (1996) adalah sebuah peningkatan dalam memodifikasi zone konsentrasi untuk mengikuti pola topow.
Sungai-sungai yang dapat dilayari menyedialcan
bentuk paling mudah dari transportasi air, sedangkan desa-desa memfasilitasi konstruksi jalan dan rel. Hal ini berarti biaya transport per unit lebih rendah dalam beberapa arah dari yang lainnya. Sebagai contoh sebuah sungai yang dapat dilayari dapat mengubah zone konsentrasi sebagaimana gambar (3a). Yang lebih realistik konstruksi jalan dan re1 akan menyebabkan zone-zone berbentuk bintang laut, sampai pelosok-pelosok yang meluas sepanjang rute transport utama, gambar (3b).
Jadi meskipun A dan B berbeda jarak dari
pusat, mereka akan menggambarkan penggunaan tanah yang sama berdasarkan
waktu tempuh yang sama dari pusat. aksesibilitas.
Jadi pengembangan aksial berdawkan
Gambar 3. Teori Pembangunan Aksial atau Radial Teori sektor
menurut Humer Hoyt (1939) dalam Harvey (1996)
yang
mengatakan bahwa kota tersusun dengan urutan (Gambar 4) : 1. Aktivitas pusat kota atau Central Business District (CBD)(1); 2. Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan perdagangan
3. Kawasan perurnahan untuk tenaga kerja (3);
4. Pemukiman dengan pendapatan menengah (4); 5. Kawasan tempat tinggal golongan atas (5)
Gambar 4. Teori Selctor
4. Teori Pusat Lipatganda menurut C.D.Harris (1945) dalam Harvey (1996) adalah sebuah model skematis yang dikembangkan dalam mengelompokkan aktivitas-aktivitas atas dasar konsentrasi dalam jarak yang berturut-turut dalam kawasan kota, dengan mtan (Gambar 5):
Gambar 5. Teori Pusat Lipat Ganda Keterangan Gambar 5 : 1. Aktivitas pusat kota atau Central Business District (CBD); 2. Kawasan niaga dan industri ringan;
3. Kawasan tempat tinggal berkualitas rendah; 4. Kawasan tempat tinggal berkualitas menengah; 5. Kawasan pekerja berkualitas tinggi;
6. Pusat industri berat;
7. Pusat niagalperbelanjaan pinggiran;
8. Kawasan tempat tinggal suburb; 9. Kawasan industri suburb; 10. Zona commuter.
Konsep Nilai Tanah (Land Rent) Sumberdaya tanah menjadi semakin penting seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dengan laju yang masih tinggi serta akibat dari berkembangnya kegiatan perekonomian. Keadaan ini membawa konsekuensi sernakin besarnya tekanan permintaan (demand) akan tanah untuk berbagai keperluan yang semakin beragam seperti untuk perluasan tanah pertanian, perkebunan, hutan produksi, pemukimanlpenunahan, pertambangan maupun untuk lokasi kegiatan perdaganganlbisnis dan industri serta keperluan pembangunan infrastruktur (jalan, irigasi, dan prasarana publik lainnya). Terjadinya ketimpangan antara permintaan dan penawaran tentunya merupakan suatu indikasi bahwa tanah dapat dikategorikan sebagai sumberdaya yang mempunyai sifat kelangkaan (scarcity). Lebih lanjut dikatakan, bahwa kelangkaan sumberdaya tanah tersebut bukan hanya disebabkan oleh terbatasnya persediaan secara fisik, tetapi juga oleh kendala-kendala kelembagaan (institutional) seperti kepemilikan, dalam kaitannya dengan hak-hak (property right) atas tanah yang dapat menjadi suatu kendala dalam pemanfmtannya, sebagai akibat dari terlalu banyaknya pengaturan-pengaturan pemerintah yang menyangkut tanah, sehingga ketersediaan tanah untuk digunakan menjadi semakin langka
Menurut Anwar (2000), kelangkaan tanah tersebut akan berimplikasi terhadap melambungnya nilai tanah itu sendiri, yang dapat dibedakan berdasarkan (1) nilai intrinsik yang terkandung dalam sebidang tanah seperti kesuburan dan
topografinya, sehingga mempunyai keunggulan produktivitas dari tanah lain (ricardian rent); (2) nilai yang disebabkan oleh perbedaan lokasional (locational rent); dan (3) nilai perlindungan terhadap lingkungan (environment rent). Konsekuensi lanjut dari keadaan demikian, akan berpengaruh terhadap pola kepemilikan masyarakat terhadap tanah. Ada golongan masyarakat yang secara finansial tergolong mampu/kaya sehingga dapat menguasailmemiliki tanah secara berlebih dan ada pula golongan masyarakat yang tidak memilikinya sama sekali. Oleh karena itu, sehubungan dengan tanah pertanian di Perdesaan, secara umum lranya dapat diasumsikan bahwa tingkat penguasaanlpemilikan tanah usahatani menunjukkan pula tingkat kekayaankemiskinan, walaupun juga benar bahwa orang kaya belum tentu menginvestasikan uangnya dengan menguasailmemiliki
tanah usahatani yang luas. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa semakin luaslbanyak seseorang memiliki beberapa bidang tanah, maka pendapatannya juga lebih besar.
Ketimpangan inilah yang sering menjadi
penyebab timbulnya masalah-masalah komplek karena menyangkut dimensi sosial, ekonomi, spasial, bahkan politis. Barlowe (1978) menyatakan bahwa pengertian dari nilai tanah adalah nilai sekarang sebagai nilai diskonto dari total rente tanah yang diharapkan diperoleh di masa yang akan datang. Artinya nilai tanah berkaitan erat dengan akumulasi rente tanah dalarn suatu periode waktu tertentu. Sedangkan pengertian dari rente tanah menurut Ricardo adalah surplus ekonomi suatu tanah yang dapat dibedakan atas:
(1) surplus yang selalu tetap; dan (2) surplus sebagi hasil dari investasi. Surplus
yang selalu tetap dimaksudkan sebagai imbalan bagi pemilik tanah dimana tanahnya dibiarkan tidak berproduksi, artinya rente adalah surplus yang selalu tetap atau mendapat hasil tanpa berusaha, yang semata-mata diperoleh karena monopoli pemilikan tanah tersebut. Surplus sebagai hasil dari investasi memandang tanah sebagai faktor produksi. Rente tanah banyak diterapkan untuk kepentingan antara lain (Barlowe, 1978): (1) kontrak sewa; (2) penilaian properti; (3) pertimbangan
dalam pengambilan keputusan dan investasi terhadap sumberdaya tanah; dan (4) pertimbangan alokasi tanah yang optimal. Barlowe (1978) menggambarkan hubungan antara nilai land rent clan alokasi sumber daya tanah diantara berbagai kompetisi penggunaan kegiatan. Sektor-sektor yang komersial dan strategis mempunyai land rent yang tinggi. Sehingga sektor-sektor tersebut berada dikawasan strategis. Sebaliknnya, sektorsektor yang kurang mempunyai nilai komersil, nilai land rent-nya semakin kecil. Land rent disini diartikan sebagai locational rent. Kalau digambarkan secara
grafis, sektor-sektor yang strategis hgsinya lebih curam. Sebaliknya sektor yang h a n g strategis hgsinya lebih mendatar. Gambar 6 berikut ini menunjukkan kondisi land rent.
0
P*
Lokasi (Jarak ke Pusat)
P
Gambar 6. Hubungan antara Land Rent dan Lokasi Berbagai Sektor Ekonomi
Gambar 6 menjelaskan hubungan antara land rent dengan lokasi kegiatan ekonomi. Sebagai contoh, sektor A paling komersial maka kurvanya lebih curam, sehingga land rent-nya lebih tinggi, yaitu OE. Dalam gambar, lokasi OP* paling cocok untuk sektor A, sedang daerah lokasi P*P bisa saling bersubsitusi dengan sektor B yang relatif kurang komersial dibandingkan sektor A. Diluar OP tidak cocok untuk sektor A.
Sebagai contoh sektor perbankan jelas tidak layak
ditempatkan di kawasan yang sepi tetapi lebih cocok di kawasan komersial. Di lain pihak di daerah OP* bagi sektor selain sektor A, penggunaannya ditinjau dari segi lokasi.
jelas kurang optimal