II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Pemasaran
Pemasaran
didefinisikan
secara
luas,
dan
beberapa
ahli
dibawah
ini
mengemukakan menurut pandangan mereka masing-masing. Kotler dan Amstrong (2008: 5) mengartikan pemasaran adalah proses dimana perusahaan menciptakan nilai bagi pelanggan dan membangun hubungan yang kuat dengan tujuan untuk menangkap nilai dari pelanggan sebagai imbalannya.
Menurut American Marketing Association (AMA) dalam Kotler dan Keller (2009: 5) pemasaran adalah suatu fungsi organisasi dan serangkaian proses untuk menciptakan, mengkomunikasikan, dan memberikan nilai kepada pelanggan dan untuk mengelola hubungan pelanggan dengan dua cara yang menguntungkan organisasi dan pemangku kepentingan.
Saladin (2003: 1) mendefinisikan pemasaran merupakan suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan.
13
2.2 Perilaku Konsumen
Perilaku konsumen menjadi suatu yang penting dalam sebuah pemasaran produk dan jasa, sebab dengan mengetahui perilaku konsumen, kita bisa menentukan strategi apa yang akan kita terapkan. Mengetahui perilaku konsumen adalah modal awal dalam menetapkan strategi pemasaran produk dan jasa, dengan mengetahui perilaku konsumen maka dapat dengan mudah memasarkan dan menjual produk dan jasa yang kita tawarkan.
Pemahaman tentang konsumen dan proses konsumsi akan menghasilkan sejumlah manfaat, yang diantaranya adalah kemampuan untuk membantu para manajer dalam mengambil keputusan (Mowen & Minor, 2002: 23). Menurut Engel (2005) dalam Saputra (2009: 14) yang mengatakan bahwa “perilaku konsumen didefinisikan sebagai suatu tindakan yang langsung dalam mendapatkan, mengkonsumsi serta menghabiskan produk dan jasa termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan tersebut”. Perilaku konsumen didefinisikan sebagai “perilaku yang konsumen tunjukkan dalam mencari, membeli, menggunakan, mengevaluasi, dan menghabiskan produk dan jasa yang mereka harapkan dapat memuaskan kebutuhan mereka” (Kanuk & Schiffsman, 2010: 23). Menurut Kotler & Amstrong (2001: 172), “ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen”. Antara lain: 1. Faktor budaya: a. Budaya (culture) Budaya adalah hal paling dasar yang membentuk keinginan dan perilaku seseorang. Setiap kelompok masyarakat memiliki sebuah budaya, dan budaya tersebut memberikan pengaruh pada perilaku pembelian yang berbeda-beda.
14
b. Kelas sosial (social class) Kelas sosial adalah pembagian masyarakat yang memiliki kesamaan nilai ketertarikan,
dan
perilaku.
Kelas
sosial
atau
tingkatan
masyarakat
menunjukkan penggunaan produk, dan merek yang berbeda-beda di banyak tingkatan masyarakat, misalnya saja seperti pakaian, peralatan rumah tangga, dan aktifitas sehari-hari. 2. Faktor sosial (social factor): a. Kelompok referensi (reference group) Kelompok referensi adalah semua kelompok yang memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku seseorang. Kelompok yang mempunyai pengaruh secara langsung disebut juga membership group. b. Keluarga (family) Keluarga adalah kelompok sosial yang paling penting dalam suatu masyarakat. Anggota keluarga sering kali menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam mempengaruhi perilaku seseorang. c. Peran dan status (role and status) Kedudukan seseorang dalam setiap kelompok masyarakat dapat dijelaskan dalam pengertian peran dan status. Dalam hubungannya dengan perilaku pembelian, seseorang sering memilih produk yang menyatakan peranan dan status mereka dalam masyarakat. 3. Faktor personal (personal factors): a. Umur dan tahap siklus hidup (age and stage in the life cycle) Seseorang akan membeli bermacam-macam barang dan jasa seumur hidupnya, dan tentunya macam-macam barang dan jasa tersebut dipengaruhi oleh umur orang tersebut. b. Pekerjaan dan ekonomi (occupation and economic) Pekerjaan seseorang juga mempengaruhi pola konsumsi. Pemasar dapat mengidentifikasi kelompok yang berhubungan dengan pekerjaan yang mempunyai minat yang hampir sama terhadap produk dan jasa.
15
c. Kepribadian dan konsep diri (personality and self concept) Setiap orang memiliki karakter individu yang akan mempengaruhi perilaku pembeliannya. Kepribadian mengacu pada karakteristik psikologis yang unik dan menimbulkan tanggapan relatif konstan terhadap lingkungan. d. Gaya hidup dan nilai (lifestyle and values) Gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang diekspresikan melalui aktivitas, kesenggangan, dan pola mereka, sehingga gaya hidup ini merupakan potret interaksi seseorang dengan lingkungan. 4. Faktor psikologis (psychological factors): a. Motivasi (motivation) Motivasi adalah dorongan dalam diri seseorang yang menghasilkan suatu tindakan. Dorongan ini dihasilkan dari hasrat yang ada didalam diri seseorang yang muncul karena adanya kebutuhan yang belum terpenuhi. b. Persepsi (perception) Persepsi adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. c. Pembelajaran (learning) Pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara disengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu, pembelajaran meliputi perubahan-perubahan pada diri seseorang yang berkembang dari pengalaman. d. Keyakinan dan perilasaku (beliefs and attitudes) Keyakinan adalah suatu pemikiran deskriptif yang diyakini oleh seseorang terhadap suatu hal. Kepercayaan terhadap suatu produk akan mempengaruhi pendapat seseorang untuk membeli produk tersebut. Sikap juga sama pentingnya dengan kepercayaan karena tingkah laku akan menunjukkan apakah konsumen menyukai suatu produk atau tidak.
16
Berbagai model atau perilaku konsumen berasal dari ilmu keperilakuan (behavior sciences). Upaya-upaya untuk memprediksi perilaku konsumen secara lebih akurat terus-menerus dilakukan oleh para ahli melalui penelitian-penelitian yang telah banyak dilakukan. Berbagai faktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku konsumen dijadikan sebagai variabel-variabel penelitian dalam upaya memprediksi perilaku tersebut. Pentingnya prediksi perilaku konsumen ini karena dengan mengetahui perilaku konsumen para pemasar dapat membuat antisipasi yang menguntungkan bagi kegiatan pemasaran.
Para ahli ilmu keperilakuan telah mengidentifikasi beberapa prediktor perilaku konsumen, diantaranya yang dianggap sebagai prediktor utama perilaku konsumen yaitu sikap (attitude) konsumen. Tidak semua sikap konsumen berhubungan dengan tindakan atau perilakunya, karena latar belakang pembentukan sikap-sikap tersebut yang berbeda. Sikap-sikap yang dibentuk melalui pengalaman langsung akan lebih dekat mengarah keperilaku, dari pada sikap-sikap yang dibentuk berdasarkan opini orang lain. Pentingnya prediksi perilaku konsumen ini karena dengan mengetahui perilaku konsumen para pemasar dapat membuat antisipasi yang menguntungkan bagi kegiatan pemasaran (Mowen & Minor, 2002: 131).
2.3 Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action)
Theory of Reasoned Action
(TRA) pertama kali diperkenalkan oleh Martin
Fishbein dan Ajzen dalam Jogiyanto (2007: 25). Dengan adanya kenyataan bahwa sikap tidak cukup sebagai prediktor perilaku, maka Fishbein dan Ajzen
17
mengeksplorasi secara lebih mendalam cara-cara untuk memprediksi perilaku dan outcomes. Sikap tidak menentukan perilaku secara langsung, melainkan sikap mempengaruhi behavioral intention (niat berperilaku) sebagai antecedent langsung dari perilaku.
Menurut Ajzen dan Fishbein (2005: 117), sikap terhadap perilaku tertentu didasarkan pada sekumpulan pasangan keyakinan evaluasi (belief-evaluation). Ajzen dan Fishbein berasumsi bahwa individu biasanya cukup rasional dan menggunakan informasi yang tersedia bagi mereka secara sistematis. Manusia menyadari implikasi tindakan mereka sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu.
Teori ini dianggap berhasil memecahkan permasalahan-permasalahan besar dalam teori sikap dan prediksi perilaku, karena teori ini mengikutsertakan peran pengaruh sosial khususnya persepsi kesetujuan atau ketidaksetujuan orang lain (Regis, 1990 dalam Saputra, 2009: 16). Teori Tindakan Beralasan tidak hanya menekankan pada rasionalitas perilaku seseorang tetapi juga bahwa tindakan yang ditargetkan berada dalam kontrol kesadaran orang tersebut.
2.4 Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)
Teori Perilaku Terencana merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori perilaku beralasan. Icek Ajzen mengembangkan teori ini, Ajzen menambahkan sebuah konstruk yang belum ada di teori perilaku beralasan. Konstruk ini disebut dengan persepsi kontrol perilaku (perceived behavior control). Konstruk persepsi kontrol perilaku ditambahkan dalam teori ini untuk mengontrol perilaku
18
individual yang dibatasi oleh kekurangan-kekurangannya dan keterbatasanketerbatasan dari kekurangan sumber daya yang digunakan untuk melakukan perilakunya. (Chau dan Hu 2002, dalam Jogiyanto, 2007: 61)
Ajzen (1975) dalam Jogiyanto (2007: 61) mengajukan Teori Perilaku Terencana sebagai alat prediktor perilaku ketika individu tidak memiliki kontrol kemauan sendiri
secara
penuh.
Dengan
demikian,
Teori
perilaku
terencana
memperhitungkan bahwa tidak semua perilaku berada dibawah kontrol kemauan individu itu sendiri. Individu dikatakan memiliki kontrol penuh ketika tidak ada halangan apapun dalam mengadopsi suatu perilaku tertentu. Sebaliknya, kemungkinan adanya kontrol yang kurang penuh jika adopsi suatu perilaku kurang memiliki kesempatan-kesempatan, yaitu seperti sumber daya atau keahlian yang memadai (Ajzen, 1988 dalam Jogiyanto 2007: 61).
Teori Perilaku Terencana adalah teori yang meramalkan pertimbangan perilaku karena perilaku dapat dipertimbangkan dan direncanakan. Peach et. al. (2006) dan Wellington et. al. (2006) dalam Nuary (2010: 22) menyatakan bahwa teori perilaku terencana memiliki keunggulan dibandingkan teori keperilakuan yang lain, karena teori perilaku terencana merupakan teori perilaku yang dapat mengidentifikasikan keyakinan seseorang terhadap pengendalian atas sesuatu yang akan terjadi dari hasil perilaku, sehingga membedakan antara perilaku seseorang yang berkehendak dan yang tidak berkehendak.
Ajzen (2002) dalam Nuary (2010: 22) mengemukakan bahwa teori perilaku terencana telah muncul sebagai salah satu dari kerangka kerja yang paling
19
berpengaruh dan konsep yang populer pada penelitian dibidang kemanusiaan. Menurut teori ini, perilaku manusia dipandu oleh 3 jenis pertimbangan: a.
Kepercayaan mengenai kemungkinan akibat atau tanggapan lain dari perilaku (Kepercayaan Perilaku).
b.
Kepercayaan mengenai harapan normatif dari orang lain dan motivasi untuk menyetujui harapan-harapan yang dimiliki berdasarkan kepercayaan normatif.
c.
Kepercayaan mengenai kehadiran faktor-faktor yang mungkin lebih jauh melintang dari perilaku (Kepercayan Pengendalian).
Dengan kata lain, Teori Perilaku Sikap Terencana merupakan teori pengembangan dari Teori Tindakan Beralasan. Sejalan dengan hal tersebut, Cravens (2006: 37) menyebutkan bahwa Teori Perilaku Terencana diturunkan dari Teori Tindakan Beralasan, dengan perbedaannya yaitu ditambahkannya variabel Persepsi Terhadap Kontrol Perilaku. Dibawah ini Teori Perilaku Terencana digambarkan dalam bentuk diagram yang memuat secara lengkap ketiga variabel tersebut, yaitu:
Sumber: Ajzen, 1991 Gambar 2.1 : Model Theory Of Planned Behavior
20
Dari gambar 2.1, Jogiyanto (2007: 62-63) mengungkapkan teori perilaku terencana mempunyai dua fitur sebagai berikut: 1. Teori ini mengasumsikan bahwa persepsi kontrol perilaku mempunyai implikasi motivasional terhadap minat-minat. Orang-orang yang percaya bahwa mereka tidak mempunyai sumber daya yang ada atau tidak mempunyai kesempatan-kesempatan untuk melakukan perilaku tertentu mungkin tidak akan membentuk niat-niat untuk melakukannya perilaku yang kuat walaupun mereka mempunyai sikap-sikap yang positif terhadap perilakunya. Dengan demikian diharapkan terjadi hubungan antara persepsi perilaku kontrol dengan niat yang tidak di mediasi oleh sikapdan norma subjektif. Di model ini ditunjukkan dengan panah yang menghubungkan persepsi perilaku kontrol (perceived behavior control) ke niat (intention). 2. Teori ini memungkinkan hubungan langsung antara persepsi kontrol perilaku (perceived behavior control) dengan perilaku (Behavior). Di banyak contoh, kinerja dari suatu perilaku tergantung tidak hanya pada motivasi untuk melakukannya tetapi juga kontrol yang cukup terhadap perilaku yang dilakukan. Dengan demikian, persepsi kontrol perilaku dapat mempengaruhi perilaku secara tidak langsung lewat niat, dan juga dapat memprediksi perilaku secara langsung. Dimodel, hubungan langsung ini ditunjukkan dengan panah yang menghubungkan persepsi perilaku kontrol (perceived behavior control) langsung ke perilaku (behavior). Dalam teori perilaku terencana, faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan individu adalah intensi atau niat untuk menampilkan perilaku tertentu (Ajzen, 1991: 181). Niat diasumsikan sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Niat merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Sebagai aturan umum, semakin keras intensi seseorang untuk terlibat dalam suatu
21
perilaku, semakin besar kecenderungan ia untuk benar-benar melakukan perilaku tersebut. Niat untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya hanya jika perilaku tersebut ada di bawah kontrol individu yang bersangkutan. Individu memiliki pilihan untuk memutuskan perilaku tertentu atau tidak sama sekali (Ajzen, 1991: 182). Menurut Teori Perilaku Terencana, diantara keyakinan yang akhirnya menentukan niat dan tindakan adalah sejumlah keyakinan tentang ada atau tidak adanya sumber-sumber dan peluang yang diperlukan. Keyakinan ini sebagian didasarkan pada pengalaman masa lalu dan perilakunya (Ajzen, 1991: 182).
Teori Perilaku Terencana memiliki 3 variabel independen. Pertama adalah sikap terhadap perilaku dimana seseorang melakukan penilaian atas sesuatu yang menguntungkan dan tidak menguntungkan untuk dirinya. Kedua adalah faktor sosial disebut norma subyektif hal tersebut mengacu pada tekanan sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Ketiga Persepsi Kontrol Perilaku adalah tingkat persepsi pengendalian perilaku mengacu pada persepsi kemudahan atau kesulitan melakukan perilaku, dan diasumsikan untuk mencerminkan pengalaman masa lalu sebagai antisipasi hambatan dan rintangan (Ajzen, 1988 dalam Jogiyanto, 2007: 63-64).
2.4.1 Sikap (Attitude)
Sikap (attitude) adalah evaluasi kepercayaan atau perasaan positif atau negatif dari seseorang jika harus melakukan perilaku yang akan ditentukan. Jogiyanto (2007: 36) mendefinisikan sikap sebagai jumlah dari afeksi (perasaan) yang
22
dirasakan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek atau perilaku. Sikap yang dimaksud termasuk perasaan tentang sesuatu yang ingin dicapai dari perilaku yang dia lakukan. Menurut Ajzen (1980) dalam Jogiyanto 2007: 37) sikap memiliki suatu efek langsung pada niat berperilaku serta terkait dengan norma subjektif dan persepsi kontrol pribadi.
Sikap merupakan pernyataan atau pertimbangan evaluatif mengenai objek, orang, atau peristiwa (Robin, 1998 dalam Saputra, 2009: 23). Jadi sikap berarti suatu keadaan jiwa (mental) dan keadaan neural (pikiran) yang dipersiapkan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu objek, yang diorganisir melalui pengalaman serta pengaruh secara langsung dan atau secara tidak langsung. Sikap biasanya memainkan peran utama dalam membentuk perilaku. Sikap juga dipandang sebagai keseluruhan evaluasi (Engel, 1995 dalam Saputra, 2009: 23).
Sikap memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku. Dalam memutuskan merek apa yang akan dibeli, atau toko mana untuk dijadikan langganan, konsumen secara khas memilih merek atau toko yang dievaluasi secara paling menguntungkan. Sikap mewakili perasaan senang atau tidak senang seseorang terhadap suatu obyek (Ajzen dan Fishbein 2005: 94)
Ajzen dan Fishbein (2005: 95) berpendapat bahwa ada dua kelompok dalam pembentukan sikap yaitu: 1.
Behavioral belief adalah keyakinan-keyakinan yang dimiliki seseorang terhadap perilaku dan merupakan keyakinan yang akan mendorong terbentuknya sikap.
23
2.
Evaluation of behavioral belief merupakan evaluasi positif atau negatif individu terhadap perilaku tertentu berdasarkan keyakinan-keyakinan yang dimilikinya.
2.4.2 Norma Subjektif (Subjective Norm)
Norma Subyektif (subjective norm) adalah persepsi atau pandangan seseorang terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi minat untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan (Jogiyanto, 2007: 42). Norma subjektif juga diasumsikan sebagai suatu fungsi dari beliefs yang secara spesifik seseorang setuju atau tidak setuju untuk menampilkan suatu perilaku. Kepercayaan-kepercayaan yang termasuk dalam norma-norma subjektif disebut juga kepercayaan normatif (normative beliefs) (Ajzen, 1991: 195)
Seorang individu akan berniat menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsi bahwa orang-orang lain yang penting berfikir bahwa ia seharusnya melakukan hal itu. Orang lain yang penting tersebut bisa keluarga, pasangan, sahabat dan sebagainya. Hal ini diketahui dengan cara menanyai responden untuk menilai apakah orang-orang lain yang penting tadi cenderung akan setuju atau tidak setuju jika ia menampilkan perilaku yang dimaksud (Achmat, 2010 diakses pada 19 Juli 2015).
Norma subjektif (subjective norm) adalah persepsi atau pandangan seseorang terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi niat untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku. Norma subjektif
24
merupakan fungsi dari harapan yang dipersepsikan individu dimana satu atau lebih orang di sekitarnya (misalnya, saudara, teman sejawat) menyetujui perilaku tertentu dan memotivasi individu tersebut untuk mematuhi mereka (Ajzen, 1991: 198).
Menurut Fishbein dan Azjen (2005: 122), norma subjektif secara umum mempunyai dua komponen, yaitu: 1.
Normative beliefs (Keyakinan Norma). Persepsi atau keyakinan mengenai harapan orang lain terhadap dirinya yang menjadi acuan untuk menampilkan perilaku atau tidak. Keyakinan yang berhubungan dengan pendapat tokoh atau orang lain yang penting dan berpengaruh bagi individu atau tokoh panutan tersebut apakah subjek harus melakukan atau tidak suatu perilaku tertentu.
2.
Motivation to comply (motivasi untuk memenuhi). Motivasi individu untuk memenuhi harapan tersebut. Norma subjektif dapat dilihat sebagai dinamika antara dorongan-dorongan yang dipersepsikan individu dari orang-orang disekitarnya dengan motivasi untuk mengikuti pandangan mereka (motivation to comply) dalam melakukan atau tidak melakukan tingkah laku tersebut.
2.4.3 Persepsi Kontrol Perilaku (Perceived Behavior Control)
Grizzell (2003) dalam Nuary (2010: 25) menyebutkan bahwa persepsi kontrol perilaku hampir sama dengan konsep self efficacy, yaitu persepsi orang untuk kemampuannya pada saat melakukan tindakan atau perilaku. Kontrol perilaku
25
menurut Ajzen (2005: 128)
mengacu pada persepsi-persepsi seseorang akan
kemampuannya untuk menampilkan perilaku tertentu. Dengan kata lain kontrol perilaku menunjuk kepada sejauh mana seseorang merasa bahwa menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu berada di bawah kontrol individu yang bersangkutan. Kontrol perilaku ditentukan oleh sejumlah keyakinan tentang hadirnya faktor-faktor yang dapat memudahkan atau mempersulit terlaksananya perilaku yang ditampilkan. Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.
Perilaku akan bergantung pada interaksi antara sikap, keyakinan, dan niat berperilaku. Niat berperilaku seseorang juga akan dipengaruhi oleh kontrol keperilakuan yang dirasakan. Kontrol keperilakuan yang dirasakan merupakan kondisi di mana orang percaya bahwa suatu tindakan itu mudah atau sulit dilakukan, mencakup juga pengalaman masa lalu di samping rintangan-rintangan yang ada yang dipertimbangkan oleh orang tersebut (Tjahjono, 2005: 6).
Teori perilaku terencana mengasumsikan bahwa persepsi kontrol perilaku memiliki implikasi motivasional terhadap niat (Achmat, 2010 diakses pada 19 Juli 2015). Orang-orang yang percaya bahwa mereka tidak memiliki sumber daya yang ada dan kesempatan untuk melakukan perilaku tertentu mungkin tidak akan membentuk niat-niat perilaku yang kuat untuk melakukannya meskipun mereka memiliki sikap yang positif terhadap perilakunya dan percaya bahwa orang lain akan menyetujui seandainya mereka melakukan perilaku tersebut. Persepsi
26
terhadap kontrol perilaku yang telah berubah akan memengaruhi perilaku yang ditampilkan sehingga tidak sama lagi dengan yang diniatkan.
2.5 Niat (Intention)
Dalam teori perilaku terencana, faktor utama dari suatu perilaku yang ditampilkan individu adalah niat untuk menampilkan perilaku tertentu. Niat diasumsikan sebagai faktor motivasional yang mempengaruhi perilaku. Niat merupakan indikasi seberapa keras seseorang berusaha atau seberapa banyak usaha yang dilakukan untuk menampilkan suatu perilaku. Ajzen (1991: 184) mendefinisikan niat sebagai bagian dari diri seseorang dalam kemungkinan dimensi subjektif yang melibatkan hubungan antara dirinya dengan tindakan. Niat berperilaku merupakan perkiraan
seseorang
mengenai
seberapa
besar
kemungkinannya
untuk
menampilkan suatu tindakan tertentu.
Sebagai aturan umum, semakin keras niat seseorang untuk terlibat dalam suatu perilaku, semakin besar kecenderungan ia untuk benar-benar melakukan perilaku tersebut. Intensi untuk berperilaku dapat menjadi perilaku sebenarnya hanya jika perilaku tersebut ada dibawah kontrol individu yang bersangkutan. Individu memiliki pilihan untuk memutuskan perilaku tertentu atau tidak sama sekali. Oleh karena itu, menurut teori perilaku terencana, niat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu sikap, norma subjektif, dan persepsi kontrol perilaku (Karl Max dalam Ajzen, 2005: 117).
27
2.6 Keputusan Pembelian
Keputusan pembelian merupakan sebuah proses saat seorang konsumen memutuskan akan membeli sebuah produk atau tidak, setelah melalui tahap-tahap pertimbangan dan penyelesaian masalah ketika akan membeli sebuah produk. Keputusan pembelian adalah pengambilan keputusan oleh konsumen untuk melakukan pembelian suatu produk diawali oleh adanya kesadaran atau niatan atas pemenuhan kebutuhan dan keinginan.
Sedangkan pengertian keputusan pembelian menurut Schiffman (2010: 547) adalah pemilihan dari dua atau lebih alternatif pilihan keputusan pembelian, artinya bahwa dalam membuat keputusan, haruslah tersedia beberapa alternatif pilihan. Keputusan untuk membeli dapat mengarah kepada bagaimana proses dalam pengambilan keputusan tersebut itu dilakukan. Keputusan pembelian merupakan keputusan konsumen untuk membeli suatu produk setelah sebelumnya memikirkan
tentang
layak
tidaknya
membeli
produk
itu
dengan
mempertimbangkan informasi-informasi yang ia ketahui dengan realitas tentang produk itu setelah ia menyaksikannya.
Semenjak tahun 1970-an dan sampai awal tahun 1980-an, para peneliti memandang konsumen sebagai pengambil keputusan. Salah satu keputusan penting yang diambil konsumen dan harus mendapat perhatian yang besar dari para produsen adalah keputusan pembelian konsumen. Keputusan pembelian konsumen menurut Berman dan Evans (1998) meliputi keputusan untuk menentukan apakah akan membeli, apa yang dibeli, dimana, kapan, dari siapa, dan frekuensi membeli barang atau jasa.
28
Kotler & Keller (2009: 184) mengungkapkan bahwa keputusan pembelian merupakan tahap pengambilan keputusan pembelian dimana konsumen benarbenar membeli produk/jasa. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan keputusan pembelian merupakan suatu tahapan setelah konsumen benar-benar melakukan pembelian. Simamora (2001: 67) bahwa dalam keputusan membeli terdapat 5 peran yaitu: 1.
Pemrakarsa (initiator) Adalah orang yang pertama kali menyarankan membeli suatu produk atau jasa tertentu.
2.
Pemberi pengaruh (influencer) Adalah orang yang nasihatnya memberi bobot dalam pengambilan keputusan akhir.
3.
Pengambil keputusan (decider) Adalah orang yang sangat menentukan sebagian atau keseluruhan keputusan pembelian, apakah membeli, apa yang dibeli, kapan hendak membeli, dengan cara bagaiman membeli, dan diman akan membeli.
4.
Pembeli (buyer) Adalah orang yang melakukan pembelian nyata.
5.
Pemakai (user) Adalah orang yang mengkonsumsi atau menggunakan produk atau jasa.
Sedangkan menurut Kotler dan Amstrong (2001: 222-227) pengambilan keputusan melalui lima tahap, yaitu:
Pengenalan Masalah
Pencarian Informasi
Evaluasi Alternatif
Keputusan Membeli
Gambar 2.2 : Tahap-tahap Keputusan Pembelian
Perilaku Pasca Pembelian
29
Bagan tahap-tahap proses pengambilan keputusan diatas dapat dijelaskan sebagai berikut: 1.
Pengenalan Masalah Proses membeli dimulai dengan pengenalan kebutuhan dimana pembeli mengenali adanya masalah atau kebutuhan. Proses ini ditujukan untuk mengetahui adanya kebutuhan dan keinginan yang belum terpenuhi. Jika suatu kebutuhan diketahui, maka konsumen akan memahami adanya kebutuhan yang segera dipenuhi atau masih ditunda pemenuhannya.
2.
Pencarian Informasi Tahap ini adalah tahap proses pengambilan keputusan pembeli dimana konsumen telah tertarik untuk mencari informasi. Pencarian informasi dapat bersifat aktif atau pasif. Pencarian informasi yang bersifat aktif dapat berupa kunjungan terhadap beberapa toko untuk membuat perbandingan harga dan kualitas produk, sedangkan pencarian informasi pasif hanya dengan membaca iklan di majalah atau surat kabar tanpa mempunyai tujuan khusus tentang gambaran produk yang diinginkan.
3.
Evaluasi Berbagai Alternatif Yaitu tahap dalam proses pengambilan keputusan pembeli dimana konsumen menggunakan informasi untuk mengevaluasi produk-produk atau merekmerek mana saja yang masuk ke dalam daftar alternatif pembelian. Meliputi dua tahap yaitu menetapkan tujuan pembelian dan menilai serta mengadakan seleksi terhadap alternatif pembelian berdasarkan tujuan pembelian.
4.
Keputusan Pembelian Tahapan dalam proses pengambilan keputusan pembelian dimana konsumen benar-benar membeli produk. Keputusan untuk membeli yang diambil oleh pembeli sebenarnya merupakan kesimpulan dari sejumlah keputusan, misalnya: keputusan tentang jenis produk, bentuk produk, jumlah produkdan sebagainya. Apabila produk yang dihasilkan pemasar sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan, maka produk tersebut mampu menarik minat untuk membeli.
30
5.
Perilaku Pasca Pembelian Setelah melakukan pembelian produk, konsumen akan mengalami suatu tingkat kepuasan atau ketidakpuasan. Konsumen akan melakukan tindakan setelah kegiatan membeli dalam hal penggunaan produk tersebut sehingga harus diperhatikan oleh pemasar bahwa tugas pemasaran tidak berakhir ketika produk sudah dibeli tetapi terus sampai pada periode setelah pembelian. Bila konsumen dapat dipuaskan maka pembelian berikutnya akan membeli merek tersebut lagi dan lagi.
Dalam memilih untuk membeli atau tidak suatu jenis produk, konsumen mempertimbangkan faktor-faktor seperti bentuk, daya tahan, keunikan, nilai, kemudahan penggunaan, dan lain sebagainya yang ada pada suatu barang. Konsumen tentu memiliki keputusan sendiri dalam memilih dan menggunkan barang dan jasa. Untuk itu pemasar perlu mempelajari bagaimana konsumen mengambil keputusan dalam membeli suatu produk.
2.7 Hasil Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1 Referensi Penelitian Terdahulu
No
Peneliti
Tahun
Judul
Kesimpulan
1
Istiana et al,
2007
Pengaruh Sikap, Norma Subjektif dan Kontrol Keperilakuan terhadap niat dan perilaku membeli Produk susu Ultra High Temperature.
Hasil dari studi mengidentifikasikan bahwa norma subjektif dan kontrol keperilakuan berpengaruh terhadap niat beli namun sikap tidak berpengaruh terhadap niat beli tersebut. Niat untuk membeli berpengaruh signifikan terhadap perilaku membeli susu UHT . Selanjutnya, variabel kontrol keperilakuan juga berpengaruh langsung terhadap perilaku membeli.
31
Tabel 2.1 Referensi Penelitian Terdahulu (Lanjutan) 2
Mas’ud
2012
Pengaruh Sikap, Norma-Norma Subyektif dan Kontrol Perilaku yang Dipersepsikan Nasabah Bank Terhadap Keinginan Untuk Menggunakan Automatic Teller Machine (Atm) Bank BCA.
3
Ernawati
2010
Pengaruh sikap, norma subyektif, kontrol perilau yang dipersepsikan, dan sunset policy terhadap kepatuhan wajib pajak dengan niat sebagai variabel intervening.
4
Rohmawati
2013
5
Burhanudin
2007
Pengaruh sikap, Norma-norma Subyektif dan Kontrol Perilaku Persepsian, Perspsi Resiko, Persepsi Kebermanfaatan Terhadap Niat Penggunaan Kartu Kredit. Theory Of Planned Behavior: Aplikasi pada niat konsumen untuk berlangganan surat kabar harian kedaulatan rakyat di Desa Donotirto, kecamatan kretek kabupaten Bantul.
Sikap kategori baik atau signifikan terhadap nasabah ATM. Hasil penelitian analisis nilai norma subjektif kategori sangat baik terhadap nasabah untuk menggunakan ATM. Kontrol Perilaku yang Dipersepsikan kategori sangat baik terhadap nasabah bank Sedangkan, Keinginan untuk menggunakan ATM ada dalam kategori ingin menggunakan ATM di waktu yang akan datang. Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa sikap dan kontrol perilaku yang dipersepsikan berpengaruh terhadap niat kepatuhan pajak. Norma subjektif dan sunset policy tidak berpengaruh terhadap niat kepatuhan pajak. Hasil studi juga menunjukkan bahwa kontrol perilaku yang dipersepsikan berpengaruh langsung terhadap kepatuhan pajak. Hasil pengujian terakhir adalah niat berpengaruh terhadap kepatuhan pajak. Sikap tidak berpengaruh terhadap niat penggunaan kartu kredit, sedangkan kontrol perilaku tidak berpengaruh terhadap niat penggunaan kartu kredit, persepsian resiko berpengaruh terhadap penggunaan kartu kredit, persepsi kebermanfaatan bepengaruh terhadap kegunaan kartu kredit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap terhadap perilaku, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan baik secara individual maupun bersamasama berpengaruh terhadap niat konsumen untuk berlangganan SKH Kedaulatan Rakyat di desa Donotirto, kecamatan Kretek, kabupaten Bantul.
32
2.8 Kerangka Teori
Perilaku konsumen akan selalu berubah-ubah sesuai dengan pengaruh sosial budaya yang semakin meluas, latar belakang sosial budaya yang semakin mendesak selera kebutuhan konsumen semakin meningkat. Handphone menjadi kebutuhan manusia yang sangat penting. Peneliti melakukan riset tentang pungujian Teori Perilaku Terencana dalam keputusan pembelian produk karena ingin mengetahui seberapa besar sikap perilaku, norma subjektif dan persepsi kontrol perilaku dalam keputusan pembelian pada produk iPhone. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya smartphone yang lebih murah, tetapi banyak konsumen memutuskan untuk memilih dan membeli iPhone.
Model penelitian ini adalah bentuk yang direplikasi dari hipotesis yang di buat berdasarkan penelitian yang akan dilakukan. Model dalam kajian ini menjelaskan tentang Teori perilaku terencana yang didasarkan pada model Theory of Planned Behavior yang dikembangkan oleh Ajzen. Maka model penelitian yang diajukan sebagai berikut:
Sikap
Norma Subjektif
Niat
Persepsi Kontrol Peilaku
Gambar 2.3: Model Penelitian
Keputusan Pembelian
33
Sikap merupakan antecedent pertama dari niat. Sikap adalah suatu perasaan yang bersifat umum mengenai suka atau ketidaksukaan terhadap objek atau tindakan (Ajzen, 1998 dalam Setyorini, 2013: 19). Bila seseorang mempersepsi bahwa akibat dari melakukan suatu perilaku adalah positif, maka ia akan memiliki suatu sikap positif terhadap perilaku itu. Sebaliknya juga demikian, bila ia mempersepsi bahwa akibat dari melakukan suatu perilaku adalah negatif, maka ia akan memiliki sikap negatif terhadap perilaku itu.
Norma subjektif (Subjective Norm) merupakan antecedent kedua dari niat. Norma merupakan konvensi sosial yang meregulasi kehidupan manusia, termasuk hukum-hukum secara eksplisit dan standar-standar budaya secara implisit (Wade & Travis, 1996 dalam Setyorini, 2013: 20). Bila orang lain yang berpengaruh terhadap diri individu (relevant others) berpandangan bahwa perilaku tersebut sebagai positif dan individu termotivasi untuk memenuhi harapan orang yang dianggapnya penting, maka suatu norma subjektif yang positif akan terbentuk. Bila orang lain yang dianggap berpengaruh oleh individu memandang bahwa perilaku tersebut sebagai hal negatif, serta individu ingin memenuhi harapan orang tersebut, maka akan terbentuk norma subjektif yang negatif bagi individu.
Persepsi Kontrol Perilaku (Perceived Behavior Control) individu termasuk keyakinan kontrol (control belief) dan pencapaian faktor kontrol (access to the control factor). Persepsi ini dapat merefleksikan pengalaman masa lampau, antisipasi keadaan di masa yang akan datang, dan sikap terhadap norma yang berpengaruh yang mengelilingi individu. Faktor-faktor inetrnal adalah seperti
34
informasi, emosi, dan lain-lain. Sedangkan faktor-faktor eksternal adalah faktor situasi atau faktor lingkungan.
Niat seseorang untuk membentuk suatu perilaku terhadap suatu objek merupakan suatu kombinasi sikap (attitude) dan norma subjektif (subjective norm) sebagai antecedent intention to buy. Niat dan harapan berperilaku tertentu di refleksikan dalam komponen ini, yang juga merefleksikan suatu predisposisi untuk bertindak. Komponen keperilakuan bukan merupakan perilaku aktual, melainkan masih berbentuk sebagai suatu niatan untuk berperilaku.
Keputusan pembelian adalah pemilihan dari dua atau lebih alternatif pilihan keputusan pembelian, artinya bahwa dalam membuat keputusan, haruslah tersedia beberapa alternatif pilihan. Keputusan untuk membeli dapat mengarah kepada bagaimana proses dalam pengambilan keputusan tersebut itu dilakukan. Keputusan pembelian merupakan keputusan konsumen untuk membeli suatu produk setelah sebelumnya memikirkan tentang layak tidaknya membeli produk itu dengan mempertimbangkan informasi-informasi yang ia ketahui dengan realitas tentang produk itu setelah ia menyaksikannya.
2.9 Keterkaitan Antar Variabel
2.9.1 Hubungan Sikap Terhadap Niat Berperilaku
Sikap adalah ide yang berkaitan dengan emosi yang mendorong dilakukannya tindakan-tindakan tertentu dalam situasi sosial. Secara tegas menyatakan bahwa predisposisi itu diperoleh dari proses belajar. Ramdhani (2008: 14) menyatakan
35
bahwa ide yang merupakan predisposisi tersebut berkaitan dengan emosi. Menurut Assael (2002) niat berperilaku timbul dan terbentuk setelah seseorang melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap sesuatu merek dan akan melakukan pembelian terhadap merek yang dapat memberikan tingkat paling tinggi dari kepuasan yang diharapkan. Hubungan keduanya yaitu timbul karena sikap merupakan ide yang berkaitan dengan emosi langsung di kembangkan melalui suatu niat yang timbul dari diri sendiri. Ajzen dalam Jogiyanto (2007: 37) menyatakan bahwa sikap dengan komponen lengkap akan terjadi hubungan yang kuat terhadap niat.
2.9.2 Hubungan Norma Subjektif Terhadap Niat Berperilaku
Norma Subjektif (subjective norm) adalah persepsi atau pandangan seseorang terhadap kepercayaan-kepercayaan orang lain yang akan mempengaruhi minat untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan (Jogiyanto, 2007: 42). Niat berperilaku seorang individu dalam milih produk merupakan masalah yang sangat kompleks namun harus tetap menjadi perhatian pemasar, niat berperilaku untuk membeli dapat muncul sebagai akibat dari adanya stimulus (rangsangan) yang ditawarkan oleh perusahaan masing-masing stimulus tersebut dirancang untuk menghasilkan tindakan pembelian dari konsumen. Keterkaitan keduanya terletak dimana konsumen mendapatkan pengaruh dari orang lain yang mempengaruhi dirinya untuk menimbulkan niat dalam membeli suatu produk.
36
2.9.3 Hubungan Persepsi Kontrol Perilaku Terhadap Niat Berperilaku
Ajzen (2005: 129) Secara spesifik, dalam teori perilaku terencana, persepsi tentang kontrol perilaku (perceived behavioral control) didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai kemudahan atau kesulitan untuk melakukan suatu perilaku. Persepsi kontrol perilaku ditentukan oleh kombinasi antara belief individu mengenai faktor pendukung atau penghambat untuk melakukan suatu perilaku (control beliefs), dengan kekuatan perasaan individu akan setiap faktor pendukung ataupun penghambat tersebut (perceived power control). Secara umum, semakin individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka individu akan cenderung mempersepsikan diri mudah untuk melakukan perilaku tersebut; sebaliknya, semakin sedikit individu merasakan sedikit faktor pendukung dan banyak faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka individu akan cenderung mempersepsikan diri sulit untuk melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 2005: 97). Sedangkan niat berperilaku timbul dan terbentuk setelah seseorang melakukan evaluasi terlebih dahulu terhadap sesuatu merek dan akan melakukan pembelian terhadap merek yang dapat memberikan tingkat paling tinggi dari kepuasan yang diharapkan. Hubungan keduanya yaitu jika individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit penghambat untuk melakukan suatu perilaku, maka niat untuk membeli akan timbul.
37
2.9.4 Hubungan Sikap Berperilaku
Dalam Keputusan Pembelian Melalui Niat
Sikap memainkan peranan utama dalam membentuk perilaku, dalam memutuskan merek apa yang akan dibeli, atau toko mana yang akan dijadikan langganan, konsumen secara khas memilih merek atau toko yang dievaluasi agar menguntungkan. Niat untuk menggunakan kembali dan membentuk perilaku untuk menggunakan suatu barang atau jasa dapat tercapai apabila konsumen telah membentuk sikap yang positif terhadap suatu barang atau jasa, Ajzen dan Fishbein (2005: 95). Keduanya mempunyai hubungan kuat antara sikap dengan keputusan pembelian melalui niat berperilaku.
2.9.5
Hubungan Norma Subjektif Dalam Keputusan Pembelian Melalui Niat Berperilaku
Ajzen (2005: 114) memaparkan norma subjektif merupakan fungsi yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai normative beliefs, yaitu belief mengenai kesetujuan dan atau ketidak setujuan seseorang maupun kelompok yang penting bagi individu terhadap suatu perilaku (salient referent beliefs). Norma subyektif merupakan suatu faktor yang menentukan apakah suatu produk layak untuk dipilih atau tidak dipilih karena konsumen harus memperhatikan hal-hal sekitar lingkungan. Ajzen dalam jogiyanto (2007: 92) menyatakan bahwa norma subjektif berhubungan dengan perspektif normatif, yaitu pandangan seseorang terhadap tekanan sosial yang akan mempengaruhi niat untuk melakukan atau tidak melakukan keputusan pembelian yang sedang dipertimbangkan.
38
2.9.6 Hubungan Persepsi Kontrol Perilaku Dalam Keputusan Pembelian Melalui Niat Berperilaku
Persepsi kontrol perilaku yang memengaruhi secara langsung maupun tidak langsung (melalui niat) terhadap perilaku. Ajzen (2005: 129) berasumsi bahwa persepsi kontrol perilaku mempunyai implikasi motivasional pada niat. Individu yang percaya bahwa jika tidak memiliki sumber daya atau kesempatan untuk menampilkan tingkah laku tertentu cenderung tidak membentuk intensi yang kuat untuk melakukannya, walaupun memiliki sikap yang positif dan percaya bahwa orang lain akan mendukung tingkah lakunya. Dengan kata lain, semakin besar persepsi mengenai kesempatan dan sumber daya yang dimiliki, serta semakin kecil tantangan hambatan yang dimiliki seseorang, maka semakin besar niat berperilaku yang akan mempengaruhi perilaku tersebut.
2.9.7 Hubungan Persepsi Kontrol Perilaku Dalam Keputusan Pembelian
Pengaruh langsung dapat terjadi jika terdapat actual control diluar kehendak individu sehingga memengaruhi perilaku. Semakin positif sikap terhadap perilaku dan norma subjektif, semakin besar kontrol seseorang, sehingga semakin kuat niat beli seseorang untuk memunculkan keputusan dalam membeli. Akhirnya, sesuai dengan kondisi pengendalian yang nyata di lapangan (actual behavioral control) niat tersebut akan diwujudkan jika kesempatan itu muncul. Sebaliknya, perilaku yang dimunculkan bisa jadi bertentangan dengan niat berperilaku
individu
tersebut. Hal tersebut terjadi karena kondisi di lapangan tidak memungkinkan memunculkan keputusan beli yang telah diniatkan sehingga dengan cepat akan memengaruhi persepsi kontrol perilaku individu tersebut. Persepsi kontrol
39
perilaku yang telah berubah akan memengaruhi keputusan pembelian yang ditampilkan sehingga tidak sama lagi dengan yang diniatkan. Ajzen dalam Jogiyanto (2007: 44) menyatakan bahwa kontrol perilaku merefleksikan pengalaman masa lalu dan juga mengantisipasi halangan-halangan yang ada dan semakin menarik sikap dan norma subjektif, semakin besar kontrol perilaku maka semakin kuat niat berperilaku seseorang untuk melakukan perilaku yang dipertimbangkan dan berhasil membuktikan bahwa persepsi kontrol perilaku yang berpengaruh positif terhadap perilaku secara langsung.
2.9.8 Hubungan Niat Berperilaku Dalam Keputusan Pembelian
Keputusan Pembelian adalah proses pengambilan keputusan yang mensyaratkan aktivitas individu untuk mengevaluasi, memperoleh, menggunakan atau mengatur barang dan jasa. Dari berbagai definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa keputusan pembelian menyoroti perilaku baik individu maupun rumah tangga, perilaku membeli di pengaruhi faktor dari mediasi yaitu niat menyangkut suatu proses pengambilan keputusan sebelum pembelian. Niat dipengaruhi dari sikap, norma subyektif, kontrol perilaku untuk melakukan suatu tindakan beli. Dalam teori perilaku terencana, perilaku yang ditampilkan oleh individu timbul karena adanya intensi atau niat untuk berperilaku. Sementara itu, munculnya niat berperilaku selain ditentukan oleh sikap dan norma subjektif, juga ditentukan oleh kontrol perilaku yang dipersepsikan. Ketiga komponen ini berinteraksi dan menjadi indikator bagi niat (minat) yang pada gilirannya menentukan apakah perilaku tertentu akan dilakukan atau tidak. Jadi, niat (minat) dalam penelitian ini merupakan variabel mediasi atau variabel intervening, yaitu variabel yang
40
memengaruhi hubungan antara variabel-variabel independen dengan variabel dependen menjadi hubungan yang tidak langsung (Indriantoro dan Supomo, 2002: 26).
2.10 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu pernyataan sementara atau dugaan yang masih harus dicari kebenarannya dengan melakukan pengujian. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: H1 :
Diduga terdapat pengaruh sikap terhadap niat berperilaku dalam keputusan pembelian iPhone.
H2 :
Diduga terdapat pengaruh norma subjektif terhadap niat berperilaku dalam keputusan pembelian iPhone.
H3 :
Diduga terdapat pengaruh persepsi kontrol perilaku terhadap niat berperilaku dalam keputusan pembelian iPhone.
H4 :
Diduga terdapat pengaruh sikap dalam keputusan pembelian iPhone melalui niat berperilaku.
H5 :
Diduga terdapat pengaruh norma subjektif dalam keputusan pembelian iPhone melalui niat berperilaku.
H6 :
Diduga terdapat pengaruh persepsi kontrol perilaku dalam keputusan pembelian iPhone melalui niat berperilaku.
H7 :
Diduga terdapat pengaruh antara persepsi kontrol perilaku terhadap keputusan pembelian iPhone.
H8 :
Diduga terdapat pengaruh antara niat berperilaku terhadap keputusan pembelian iPhone.