5
TINJAUAN PUSTAKA Pelayanan Kesehatan Pengertian Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat (Levey & Loomba dalam Utari 2006). Somers dan Somers (1974) dalam Azwar (1996) mengemukakan pelayanan kesehatan sebagai suatu sistem pada umumnya dibagi dalam beberapa strata, sebagai: 1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (primary health services), yaitu pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic). Ada 6 pelayanan yang bersifat pokok (basic six) dengan 15 kegiatan yaitu: kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pengamanan makanan dan minuman, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja, kesehatan jiwa,
pemberantasan penyakit, penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, penyuluhan kesehatan masyarakat, pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan zat aditif, kesehatan sekolah, kesehatan olahraga, pengobatan tradisional dan kesehatan matra, yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan bernilai strategis dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini berupa perawatan rawat jalan (ambulatory/out patient services) 2. Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua (secondary health service) yaitu pelayanan kesehatan lebih lanjut, biasanya bersifat rawat inap (in patient services) dan untuk penyelenggaraannya dibutuhkan tenaga-tenaga spesialis di bidang kesehatan. 3. Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga (tertiary health services) yaitu pelayanan kesehatan yang bersifat lebih kompleks dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga spesialis di bidang kesehatan. Pelayanan kesehatan yang ideal mengandung arti bahwa pelayanan sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita dan keberadaan pasien, tanpa mengenal
6
deskriminatif dari segi apapun dan menjangkau semua lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia. Dalam melaksanakan program kesehatan masyarakat, pemerintah telah menggunakan suatu cara pendekatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) untuk mencapai tujuan jangka panjang yaitu Indonesia Sehat 2010. PKMD adalah suatu bentuk operasional dari Primary Health Care (PHC) di Indonesia. PKMD mencakup serangkaian kegiatan swadaya masyarakat berazaskan gotong royong yang didukung oleh pemerintah melalui koordinasi lintas sektoral dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan atau yang terkait dengan kesehatan agar masyarakat hidup sehat guna mencapai kualitas hidup dan kesejahteraan yang lebih baik.(Depkes 2006). Ciri utama PKMD adalah keterlibataan dan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan, pengorganisasian, dan pengelolaan upaya kesehatan termasuk upaya perawatan diri yang pada akhirnya akan menjadi tumpuan kemandirian masyarakat dalam hal kesehatan. Jadi, pendekatan dalam pelayanan kesehatan untuk mencapai kesehatan bagi semua, tidak lagi didasari oleh hubungan pemberi-penerima tradisional, melainkan berdasarkan hubungan mitra sejajar atau hubungan kerjasama antara instansi pemerintah dan masyarakat. Pelayanan kesehatan dasar (Primary Health Care/PHC) dicetuskan pada Konferensi Alma Ata (WHO 1978) yang menyatakan bahwa: “PHC adalah upaya kesehatan esensial yang secara universal mudah dijangkau oleh perorangan dan keluarga dalam masyarakat, dengan cara yang dapat diterima oleh mereka, dengan peran serta penuh dan dengan biaya yang dapat ditanggung oleh masyarakat dan negara yang bersangkutan. Upaya kesehatan esensial tersebut sekurang-kurangnya mencakup upaya perbaikan gizi, penyediaan air bersih, dan sanitasi dasar, kesehatan ibu dan anak termasuk keluarga berencana, imunisasi terhadap penyakit infeksi utama, pencegahan dan pengendalian penyakit endemik setempat, pendidikan
tentang
masalah
kesehatan
dan
cara-cara
mencegah
atau
mengatasinya, dan pengobatan yang tepat terhadap penyakit umum serta cedera”. Pelayanan Kesehatan
Dasar atau Primary Health Care di Indonesia
dilakukan melalui Puskesmas, Posyandu, Poskesdes dan bidan desa yang
7
kesemuanya
mengkomunikasikan
gagasan,
nilai,
dan
perilaku
yang
menguntungkan kesehatan selain memberikan perawatan kuratif kepada penduduk yang umumnya lapisan bawah, maupun penduduk mayoritas pedesaan. Jenis-Jenis Pelayanan Kesehatan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pelayanan yang ada di Puskesmas mencakup 15 kegiatan yaitu: kesehatan keluarga, perbaikan gizi, pengamanan makanan dan minuman, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja, kesehatan jiwa, pemberantasan penyakit, penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, penyuluhan kesehatan masyarakat, pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pengamanan zat aditif, kesehatan sekolah, kesehatan olahraga, pengobatan tradisional dan kesehatan matra, pengelolaan Puskesmas umumnya berada di bawah Dinas Kesehatan. Pelayanan Terpadu (Posyandu) merupakan kegiatan utama dari Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (UPGK) melalui pemberdayaan keluarga dan masyarakat yang didukung oleh kegiatan lintas sektor, dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Posyandu dilaksanakan oleh PKK yang kemudian dilengkapi dengan pelayanan KB dan kesehatan. Posyandu sebagai pusat kegiatan masyarakat dalam bidang kesehatan melaksanakan pelayanan KB, gizi, imunisasi, penanggulangan diare dan KIA. Upaya keterpaduan pelayanan ini merupakan salah satu cara untuk meningkatkan jangkauan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dengan keterpaduan 5 program tersebut baik dari segi lokasi, sarana maupun kegiatan dalam diri petugas, akan sangat memudahkan dalam memberikan pelayanan. Karena itu, Posyandu berada pada tempat yang mudah didatangi masyarakat dan ditentukan oleh masyarakat sendiri seperti ditempat
8
pertemuan RT/RW atau tempat khusus yang dibangun masyarakat (Harianto 1992). Kodyat (1998) menjelaskan bahwa pelayanan gizi di posyandu diupayakan dan dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat setempat dan berakar pada masyarakat pedesaan terutama oleh organisasi wanita termasuk PKK. Dengan semakin meluasnya Posyandu di hampir semua desa, maka pelayanan gizi di pedesaan makin dekat dan makin terjangkau oleh keluarga. Keterpaduan pelayanan kesehatan dasar khususnya untuk ibu dan anak, posyandu akan menjadi ujung tombak dalam penanggulangan masalah kurang gizi. Kegiatan pelayanan gizi di posyandu meliputi : 1) Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak balita antara lain dengan penimbangan berat badan secara teratur sebulan sekali.2) Pemberian paket pertolongan gizi berupa tablet tambah darah untuk ibu hamildan pemberian kapsul yodium untuk ibu hamil, ibu nifas (menyusui) dan anak balita pada daerah rawan GAKY serta pemeberian vitamin A pada bayi, balita dan ibu nifas (menyusui). 3) Pemberian makanan tambahan (PMT) sumber energi dan protein bagi anak balita KEP, jenis makanan tambahan disesuaikan dengan keadaan setempat dan sejauh mungkin menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat. 4) Pemantauan dini terhadap perkembangan kehamilan dan persiapan persalinan terutama mengenai pemanfaatan ASI untuk kebutuhan gizi bayi. 5) Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kesehatan dan gizi. Kegiatan diatas dilaksanakan sebulan sekali, khusus meja 1 sampai meja 5 merupakan kegiatan UPGK di Posyandu. Sedangkan kegiatan UPGK di luar jadwal Posyandu seperti kegiatan pemanfaatan pekarangan, motivasi dan penggerakkan UPGK melalui jalur agama dan BKKBN, PMT dan pemberian ASI dalam keluarga dapat dilaksanakan sebagai kegiatan sehari-hari UPGK dalam keluarga. Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yaitu usaha kesehatan berbasis masyarakat (UKBM)
yang dibentuk di desa dalam rangka mendekatkan/ menyediakan
pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakat. Sumberdaya poskesdes meliputi tenaga, bangunan, sarana dan pembiayaan. Tenaga poskesdes minimal seorang bidan dan dibantu oleh sekurang-kurangnya 2 orang kader. Bangunan poskesdes
9
dapat berasal dari pondok bersalin desa (polindes), balai desa, balai RW/ dusun, balai pertemuan atau bangunan lain yang sudah ada, dan dapat juga bangunan baru. Sarana poskesdes meliputi sarana medis, sarana non medis dan obat dalam upaya pelayanan kesehatan dasar yang meliputi upaya promotif, preventif dan kuratif. Pembiayaan poskesdes sebaiknya merupakan swadaya masyarakat desa setempat. Pembentukan Poskesdes didahulukan pada desa yang tidak memiliki rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu (Pustu), dan bukan ibu kota kecamatan atau ibu kota kabupaten. Poskesdes diharapkan sebagai pusat pengembangan dan koordinator berbagai UKBM yang dibutuhkan masyarakat desa, misalnya pos pelayanan terpadu (posyandu) dan warung obat desa (WOD). Akses terhadap Pelayanan Kesehatan Akses ke pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang menentukan tingkat partisipasi masyarakat ke pelayanan kesehatan. Perilaku masyarakat sehubungan dengan pelayanan kesehatan di mana masyarakat yang menderita sakit tidak akan bertindak terhadap dirinya karena merasa dirinya tidak sakit dan masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan beranggapan bahwa gejala penyakitnya akan hilang walaupun tidak di obati. Berbagai alasan dikemukakan mengapa masyarakat tidak mau memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan seperti jarak fasilitas kesehatan yang jauh, sikap petugas yang kurang simpati dan biaya pengobatan yang mahal (Orisinal 2003). Banyak faktor yang menyebabkan tidak dapat dimanfaatkannya fasilitas kesehatan yang tersedia diantaranya: jarak fasilitas kesehatan, waktu yang di tempuh ke pelayanan kesehatan, biaya yang tidak mencukupi untuk menggunakan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan yang tidak memadai dan petugas yang tidak ramah atau tidak ada ditempat saat dibutuhkan ( Nnyepi 2007; Eko et al. 2008). Pemanfaatan pelayanan kesehatan tidak terlepas dari usaha petugas kesehatan untuk mendorong masyarakat dalam rangka mensosialisasikan kegiatan-kegiatan yang ada di pelayanan kesehatan baik usaha promosi kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan maupun pemulihan kesehatan. Pemeliharaan kesehatan individu, keluarga dan akhirnya masyarakat sangat memerlukan
10
partisipasi masyarakat terhadap pentingnya memelihara kesehatan terutama kesehatan keluarga. (Notoatmodjo 1997). Pelayanan kesehatan dapat dikembangkan melalui peran serta masyarakat sebagai kader kesehatan masyarakat. Kader yang berperan untuk konseling dalam masyarakat dengan memberikan informasi berkaitan dengan masalah status gizi anak balita yang tinggal di wilayah perkotaan dan pedesaaan. Pelatihan kader untuk pelayanan kesehatan sebagai upaya pemerintah meningkatkan partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan status gizi masyarakat itu sendiri terutama anak-anak. Hasil penelitian Tuti (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi ketidak hadiran ibu balita dalam penggunaan pelayanan kesehatan khususnya posyandu di kecamatan Bogor Barat membuktikan bahwa persepsi ibu tentang perilaku kader merupakan faktor yang menyebabkan ibu untuk datang menimbangkan anaknya ke posyandu. Pada penelitian yang lain oleh Thaha (1990) tentang hubungan pengetahuan, sikap dengan praktek penggunaan posyandu oleh balita di kotamadya Ujung Pandang didapatkan hasil bahwa perilaku petugas kesehatan mampu memberikan perubahan dan mempengaruhi perilaku masyarakat untuk menimbangkan anak ke posyandu. Persepsi ibu terhadap kelengkapan posyandu mempunyai hubungan yang bermakna (Hutagalung 1992) yang berarti semakin lengkap kelengkapan posyandu maka semakin sering ibu menimbangkan anaknya ke posyandu demikian juga untuk sarana pelayanan kesehatan yang lain. Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja pelayanan kesehatan yang diperoleh pasien dengan membandingkan apa yang diterima dengan apa yang diharapkannya. Ketanggapan pelayanan kesehatan merupakan salah satu faktor yang dapat memberikan kepuasan pelayanan yang berkualitas kepada pasien sehingga dapat terus berkunjung. Menurut Parasuraman dan kawan-kawan (1990) dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut: 1) Menunjukan adanya fasilitas fisik, peralatan yang lengkap personil yang menarik serta fasilitas komunikasi yang baik. 2) Mengupayakan pemberian pelayanan secara akurat, tepat waktu dan dapat dipercaya. 3) Menunjukan kemauan untuk membantu pelanggan dengan
11
memberikan pelayanan yang baik dan cepat. 4) Berusaha untuk mengetahui dan mengerti kebutuhan pelanggan secara individual. Status Gizi Balita Pengertian Status gizi menurut Direktorat Bina Gizi Masyarakat Departemen Kesehatan RI adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Status gizi merupakan hasil masukan zat gizi makanan dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Bila terjadi gangguan kesehatan, maka pemanfaatan zat gizi pun akan terganggu. Status gizi juga dipengaruhi oleh faktor ketersediaan sumberdaya keluarga. Usia balita merupakan masa kehidupan yang sangat menentukan kualitas sumberdaya manusia masa mendatang. Anak balita yang bergizi lebih baik dan sehat lebih berpeluang mempunyai kemampuan mental dan intelektual yang lebih baik dan mempunyai usia harapan hidup dan waktu produktif yang lebih tinggi. Oleh karena itu, perhatian akan pemenuhan kecukupan gizi dan kesehatan anak balita menjadi semakin penting. Cukup beralasan bahwa salah satu tujuan kebijakan pangan dan gizi di Indonesia adalah perbaikan mutu gizi makanan penduduk, khususnya golongan rawan gizi seperti anak balita. Dampak Kurang Gizi pada Balita Kekurangan gizi yang dimulai pada saat janin dalam kandungan ibu dapat mengakibatkan terjadinya berat badan lair rendah (BBLR) pada bayi. Tingginya angka bayi yang lahir dengan berat badan rendah akibat ibunya menderita kurang energi dan protein waktu hamil. BBLR berkaitan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita. BBLR juga dapat berpengaruh pada gangguan pertumbuhan fisik dan mental anak. Gizi buruk pada anak balita juga dapat berdampak pada penurunan tingkat kecerdasan atau IQ. Setiap anak bergizi buruk mempunyai resiko kehilangan IQ 10-13 poin Kekurangan gizi pada anak prasekolah (usia di bawah 3 tahun) biasanya dikarenakan asupan makannya yang kurang sebagai sebab akibat dari kecendrungan anak yang selektif terhadap makanan, jika tidak cepat di atasi akan
12
berdampak pada terjadinya kasus gizi buruk kronis wasting dan stunting (Seifert & Hoffnung 1997; Grantham 1999). IMR, perkembangan mental terhambat, risiko penyakit kronis pada usia dewasa
U SI A LA N J U T K U R A N G GI ZI
B B LR Pelayanan Kesehatan kurang memadai Konsumsi tidak seimbang
Proses Pertumbuhan lambat, ASI ekslusif kurang, MP-ASI tidak benar
Tumbuh kembang terhambat
B A LI TA K EP
Giz i j an in t id ak b aik
Konsumsi gizi tidak cukup, pola asuh kurang
W U S K EK B U M I L K EK (K EN A I K A N B B R EN DA H ) MMR
Kurang makan, sering terkena infeksi, pelayanan kesehatan kurang, pola asuh tidak memadai
Pelayanan kesehatan tidak memadai
Konsumsi Kurang
R EM A J A & U SI A SEK OLA H GA N GGU A N P ER TU M B U H A N Produktivitas fisik berkurang/rendah
Gambar 2 Alur dampak terjadnya kurang gizi pada siklus kehidupan (Depkes 2009). Kekurangan gizi dilihat dari anak yang pendek (stunting) memiliki sejumlah kekurangan fungsional yang berlangsung selama masa kanak-kanak. Hambatan pertumbuhan linier atau stunting stunting umumnya terjadi pada usia 2-3 tahun pertama kehidupan dan merupakan cerminan dari pengaruh-pengaruh yang saling berinteraksi dari energi dan asupan gizi yang buruk serta infeksi (Martorell et al. 1994). Hasil penelitian di Guatemalan (Martorell et al. 1992 dalam Grantham 1999), mengungkapkan bahwa tinggi anak pada usia 3 tahun memprediksi kemampuan mereka ketika remaja dalam tes berhitung, membaca, pengetahuan umum dan pencapaian prestasi di sekolah. Sama halnya dengan penelitian di Kenya (Sigman et al. 1991) tinggi badan anak antara 18-30 bulan dapat memprediksi skor kognitif pada usia 5 tahun.
Keterangan istilah dalam gambar: BBLR: bayi berat lahir rendah, WUS KEK: wanita usia subur kurang energi kronik, KEP: kurang energi protein, MMR: mother mortality rate, IMR: Insiden morbidity rate,.
13
Metode Penilaian Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Cara mana yang akan digunakan sangat tergantung pada tahapan dan keadaan gizi dari balita yang yang dinilai status gizinya. Penilaian tersebut dapat dilakukan dengan empat cara, yaitu: a.
Penilaian secara klinis, yaitu mempelajari dan mengevaluasi tanda fisik yang ditimbulkan sebagai akibat gangguan kesehatan dan penyakit kurang gizi. Penilaian dengan cara ini sulit dalam pembakuannya, sering sangat subyektif dan tergolong mahal.
b.
Penilaian secara biokimia gizi, yaitu menilai status gizi seseorang dengan tes labolatorium terhadap darah, urin, tinja atau jaringan tubuh seperti hati dan otot, untuk mendeteksi tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi dalam tubuh secara spesifik. Cara ini paling obyektif dan teliti, tetapi biayanya mahal dan tergantung pula pada fasilitas labolatorium.
c.
Penilaian antropometri, yaitu menilai status gizi seseorang berdasarkan ukuran fisiknya, cara ini diakui sebagai indeks yang baik dan dapat diandalkan, biayanya murah dan peralatannya sederhana. Penilaian ini meliputi pengukuran berat terhadap umur, tinggi badan terhadap umur, lingkar lengan atas, lingkar dada, dan lingkar kepala. Dalam hal ini Sediaoetama (1996) menambahkan tebal lipatan kulit di bawah lengan atas dan di tempat-tempat tertentu tubuh dapat juga digunakan sebagai indikator untuk menilai status gizi seseorang.
d.
Penilaian secara biofisik yaitu menilai status gizi seseorang dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Metode ini digunakan dalam situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindness). Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap Dari keempat cara penilaian tersebut, antropometri merupakan cara yang
paling sederhana dan praktis (Khumaidi 1997). Hal ini disebabkan pengukuran dengan antropometri tidak memerlukan peralatan yang kompleks, prosedur pemeriksaan yang mudah dan harga peralatan yang murah.
14
Status gizi anthropometri Antropometri merupakan metode pengukuran status gizi secara langsung dan yang paling umum digunakan untuk menilai dua masalah gizi utama yaitu masalah gizi kurang (terutama pada anak-anak dan wanita hamil) dan masalah gizi lebih pada semua kelompok umur (Jelliffe & Jelliffe 1989). Pengukuran ini merefleksikan pengukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Pengukuran antropometri
juga
digunakan
untuk
memperkirakan
pertumbuhan
dan
perkembangan fisik khususnya pada anak-anak berusia muda dan merupakan indikator yang paling luas digunakan untuk mengukur status gizi masyarakat (WHO 1990b). Menurut Suhardjo dan Riyadi (1990), pengukuran status gizi dengan menggunakan antropometri dapat memberikan gambaran tentang status konsumsi energi dan protein seseorang. Oleh karena itu, antropometri sering digunakan sebagai indikator status gizi yang berkaitan dengan masalah kurang energi-protein. Indikator antropometri yang sering dipergunakan adalah: berat badan untuk mengetahui massa tubuh, tinggi badan untuk mengetahui dimensi linier panjang/tinggi tubuh dan tebal lipatan kulit untuk mengetahui komposisi dalam tubuh, cadangan energi dan protein. Indikator antropometri selalu dibandingkan dengan umur dari orang yang akan diukur. Atas dasar itu, maka untuk pengukuran status gizi dengan menggunakan antropometri adalah dengan indeks berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi (BB/TB) (WHO 1995). Berat badan mencerminkan massa tubuh, seperti otot dan lemak yang peka terhadap perubahan sesaat karena adanya kekurangan gizi dan penyakit. Oleh karena itu, indeks BB/U menggambarkan keadaan gizi saat ini. Tinggi badan menggambarkan skeletal yang bertambah sesuai dengan bertambahnya umur dan tidak begitu peka terhadap perubahan sesaat. Oleh karena itu, indeks TB/U lebih banyak menggambarkan keadaan gizi seseorang pada masa lalu. Indeks BB/TB mencerminkan perkembangan massa tumbuh dan pertumbuhan skeletal yang menggambarkan status gizi saat itu. Indeks BB/TB sangat berguna apabila umur yang diukur sulit diketahui.
15
Pada indikator BB/TB istilah kurang gizi sering disebut wasting (sangat kurus dan kurus) dengan z-score < -2 SD. Untuk indikator BB/U dikenal istilah kurang gizi underweight yaitu status gizi balita gizi buruk dan gizi kurang (dengan z-score <-2 SD), gizi buruk adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun (Nency 2005). Istilah kurang gizi yang sering digunakan pada indikator TB/U adalah stunting (sangat pendek dan pendek) dengan z-score < -2 SD. Dan menurut tingkat keparahannya wasting, underweight dan stunting dapat dikategorikan lagi ke dalam tingkat ringan (mild), sedang (moderate) dan berat (severe) dalam Soekirman (2000). Berdasarkan pada standar baku WHO (2006) pengukuran status gizi menggunakan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB. Indeks BB/U dan BB/TB digunakan untuk mengetahui status gizi masa sekarang, sedangkan indeks TB/U digunakan untuk menggambarkan status gizi masa lalu. Batas ambang atau cut of point status gizi berdasarkan nilai z-score yaitu: Tabel 1 Kriteria status gizi balita berdasarkan standar antropometri menurut WHO 2006 Indeks BB/TB
BB/U
TB/U
Range Z-score z-score z-score z-score z-score
> 2.0 SD ≥ -2 SD s.d ≤ +2 SD < -2 SD s.d ≥ -3 SD < -3.0 SD
Status Gizi Gemuk Normal Kurus Sangat Kurus
z-score < -2 SD
Wasting
z-score z-score z-score z-score
Gizi lebih Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk
> +2 SD ≥ -2 SD s.d ≤ +2 SD < -2 SD s.d ≥ -3 SD < -3 SD
z-score < -2 SD
Underweight
z-score > -2.0 SD z-score < -2.0 SD s.d ≥ -3 SD z-score < -3.0 SD
Normal Pendek Sangat pendek
z-score < -2 SD
Stunting
Sumber Depkes 2008
16
Karakteristik Sosial Besar Keluarga Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan, jumlah pangan yang dikonsumsi dan pembagian ragam yang dikonsumsi dalam keluarga. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu (Sanjur 1982; Suhardjo 1989). Besar keluarga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang diberikan kepada anak. Makin besar keluarga diduga semakin sedikit waktu dan perhatian ibu terhadap anak karena harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya. Sebaliknya, pada keluarga kecil memungkinkan bagi ibu untuk merawat dan mengurus anakanaknya dengan lebih baik sehingga dapat cepat mengambil tindakan jika terjadi masalah kesehatan pada anaknya (Suhardjo 1989). Pendidikan Ibu Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang. Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi anak (Madanijah 2003). Dalam pengasuhan anak pendidikan orang tua terutama pendidikan ibu penting diperhatikan karena turut menentukan dalam kualitas pengasuhan anak. Pendidikan formal yang lebih tinggi pada ibu membuat pengetahuan gizi dan pola pengasuhan seorang ibu akan bertambah baik (Leslie 1985; Soekirman 1990; Madihah 2002; Atmarita & Fallah 2004). Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 1996). Umur Ibu Menurut Hurlock (1997) ibu yang berumur muda cenderung kurang memperhatikan kebutuhan anaknya. Ibu yang berusia muda masih miskin pengetahuan dan pengalaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengetahuan ibu muda umumnya diperoleh dari ibunya sehingga masih mengalami
ketergantungan
pada
ibunya
dalam
perawatan
dan
dalam
17
memperhatikan anaknya. Sebaliknya ibu yang berumur lebih tua lebih dapat memainkan perannya dalam petumbuhan dan perkembangan anak. Penyakit Infeksi Dalam keadaan gizi yang baik, tubuh mempunyai cukup kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Jika keadaan gizi menjadi buruk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun ini berarti kemampuan tubuh mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi turun. Oleh karena itu setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi yang ringan merupakan tanda awal dari terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi (Rohde 1979; Moehyi 2001) Anak kurang gizi sering berasal dari keluarga miskin, dengan rumah yang sesak dan kurang higienis, sehingga mereka terpapar lebih banyak infeksi (King & Burgess 1995). Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA.) Penyakit sistem saluran pernafasan terdiri dari penyakit yang menyebabkan gangguan akut fungsi normal dan yang menyebabkan perubahan kronis. Penyakit infeksi sistem pernafasan akut berhubungan dengan gejala sistemik, seperti: anoreksia, kelelahan dan tidak enak badan. Jika disertai dengan batuk dan sesak nafas maka akan mengganggu asupan makanan (Johnson, Chin & Haponik 1999). Komplikasi ISPA akan terjadi pada orang yang mengalami kurang gizi (Giner et al. 1996). Sedangkan menurut Johnson & Haponik (1999) yang melakukan penelitian laboratorium dan klinis menunjukkan bahwa dampak utama gizi kurang terhadap sistem pernafasan adalah dalam hal struktur dan fungsi pernafasan serta daya tahan tubuh. Diare. Bayi dan balita dinyatakan menderita diare apabila buang air besar tidak normal atau bentuk tinja encer dengan frekuensi buang air besar lebih dari 3 kali. Diare yang bersifat akut dapat berubah menjadi kronis. Diare akut yaitu diare yang berlangsung secara mendadak, tanpa gejala gizi kurang dan demam serta berlangsung beberapa hari. Sedangkan yang dimaksud diare kronik yaitu diare yang berlanjut sampai lebih dari 2 minggu, biasanya disertai dehidrasi (penderita banyak kehilangan dan elektrolit tubuh). Gizi kurang dan diare sering dihubungkan satu sama lain, walaupun diakui bahwa sulit menentukan kelainan yang mana yang terjadi lebih dulu, gizi kurang, diare atau sebaliknya. Akibat diare yaitu tubuh banyak mengeluarkan cairan
18
(dehidrasi) dan mineral, terjadi gangguan gizi karena makanan yang diserap kurang, sedangkan pengeluaran energi bertambah, kadar gula darah dalam tubuh menurun (dibawah normal) atau hipoglikemia dan sirkulasi darah terganggu (Dina dan Maria 2003: 58). Pada negara-negara berkembang diare merupakan salah satu penyebab kematian yang paling utama dikalangan anak-anak kecil akibat adanya infeksi pada usus dan kurang energi protein (Suhardjo 1990). Demikian pula di Indonesia diare merupakan faktor tertinggi yang menyebabkan kematian bayi (Winarno 1990). Penyakit diare mempunyai pengaruh besar terhadap nafsu makan anak dan dapat menyebabkan kurus sebagaimana yang dikemukakan oleh Akre (1994); Shulman, Phair & Sommer (1994) bahwa anak-anak akan berkurang makannya jika sedang menderita penyakit diare. Dari sini dapatlah dipahami bahwa anak yang menderita penyakit diare akibat berkurang konsumsi pangannya, sehingga zat gizi yang diasup juga akan turut berkurang, hal ini sesuai dengan pendapat Suhardjo (1990) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara diare dengan gizi kurang. Diare tidak boleh dianggap sepele, diare berat harus segera ditanggulangi karena akan menyebabkan dehidrasi dan akan berakibat pada kematian. Pneumonia adalah peradangan paru yang disebabkan oleh infeksi bakteri, virus maupun jamur. Gejala-gejala yang biasa ditemukan adalah: batuk berdahak (dahaknya seperti lendir, kehijauan atau seperti nanah), nyeri dada (bisa tajam atau tumpul dan bertambah hebat jika penderita menarik nafas dalam atau terbatuk), menggigil, demam, mudah merasa lelah, sesak nafas, sakit kepala, nafsu makan berkurang, mual dan muntah, merasa tidak enak badan, kekakuan sendi dan otot. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan: kulit lembab, batuk darah, pernafasan yang cepat, cemas, stres, tegang, nyeri perut. Diagnosa, pada pemeriksaan dada dengan menggunakan stetoskop, akan terdengar suara ronki dan pemeriksaan penunjang: rontgen dada, pembiakan dahak, hitung jenis darah, gas darah arteri (anonim 2010a). Campak adalah sSalah satu gangguan kesehatan yang ditakuti oleh orang tua pada bayi adalah campak atau sering disebut dengan penyakit cacar. panyakit campak ini dapat dicegah dengan imunisasi. Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus rubela. Penularan virus rubela ini dapat melalui beberapa
19
cara diantaranya bisa melalui percikan ludah baik dari hidung, mulut tenggorokan penderita campak. Biasanya orang yang tertulari virus campak akan menunjukkan gejala demam, batuk , konjuntivitis (peradangan pada selaput ikat mata) dan ruam kulit. Gejala-gejala tersebut memang tidak secara langsung menyerang seorang penderita campak. Biasanya membutuhkan waktu antara 2-4 hari. Setelah lewat 4 hari maka tubuh seorang yang terkena infeksi virus ini akan berangsur-angsur menunjukkan gejala seperti timbulnya bercak kemerahan (rash) yang berbentuk makolupapular. Bercak ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan akan berubah menjadi kehitaman dan bersisik. Munculnya bercak ini juga diikuti dengan peningkatan suhu tubuh, biasanya lebih dari 38oC dan timbulnya gejala lain misalnya batuk, pilek, mata merah dan kopliks spot( bercak kemerahan dengan warna putih di tengahnya) (anonim 2010b). Penyakit Campak dapat menyebabkan nafsu makan berkurang sehingga tubuh menjadi lemah dan mudah terinfeksi penyakit yang lain. TB Paru adalah penyakit tuberkulosis atau lazim disebut TBC atau TB Paru karena menyerang organ paru-paru merupakan suatu penyakit menular yang dapat menyerang semua kelompok masyarakat. Semua orang dari berbagai golongan umur, status sosial ekonomi, ras maupun suku bangsa dan tempat tinggal memiliki resiko untuk terkena penyakit TB Paru (Prabu 1998). Individu dengan gizi buruk atau dibawah standar, kehidupan yang penuh sesak dan penderita dengan silikosis, kanker, diabetes melitus atau infeksi bersama HIV dan orang-orang yang mendapat imunosupresif kartikosteroid atau obat sitotoksik terutama rentan terhadap tuberkulosis. Insiden kematian yang disebabkan tuberkulosis sudah jauh menurun sesudah ditemukannya kemoterapi. Akan tetapi akhir-akhir tahun ini cenderung mengalami peningkatan kematian. Hal ini disebabkan oleh memburuknya keadaan sosial ekonomi dan kesehatan individu seperti kemiskinan dan gizi yang kurang memadai (Andersen 1995) Infeksi TB Paru jauh lebih berat pada anak-anak yang menderita kekurangan gizi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa insiden komplikasi TB Paru yang berat dan progresif ternyata menurun dengan adanya perbaikan gizi anak. Apabila penderita gizi buruk tidak menunjukkan perbaikan setelah diberi diet yang cukup
20
biasanya ditemukan infeksi TB Paru dan sesudah diadakan terapi maka gizi anak langsung membaik. Apabila balita mengalami infeksi, maka akan terjadi suatu keadaan undernutrisi selama 2–3 minggu berikutnya. Dengan demikian keadaan gizi yang buruk akan mempermudah penyebaran basil TBC dalam tubuh sehingga terjadi TBC miliaris.