II. 2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Avian Influenza
2.1.1. Sejarah Avian Influenza Pada tahun 1997, untuk pertama kalinya virus highly pathogenic avian influenza
(HPAI)
H5N1
dilaporkan
dapat
menginfeksi
manusia
dan
ditransmisikan secara langsung dari unggas ke manusia di Hong Kong. Virus ini menyebabkan enam orang meninggal dari 18 orang yang terinfeksi virus tersebut (Claas et al., 1998; Shortridge et al., 1998; Subbarao et al., 1998; Katz et al., 2000). Pada tahun 1999, dua kasus infeksi virus AI H9N2 pada manusia juga dilaporkan terjadi di Hong Kong (Peiris et al., 1999). Selanjutnya pada tahun 2003, dilaporkan 349 orang menderita konjungtivitis dan seorang dokter hewan meninggal akibat wabah HPAI H7N7 di Belanda (Koopmans et al., 2004), dan pada Februari 2004, virus AI H7N3 dilaporkan menginfeksi manusia di Kanada (Tweed et al., 2004). Pada awal tahun 2003, dua kasus infeksi virus H5N1 terjadi kembali di Hong Kong (Peiris et al., 2004). Sejak akhir 2003, virus H5N1 telah menyebar ke Asia, Eropa, dan Afrika dan menyebabkan wabah penyakit dan kematian pada unggas domestik dan burung liar. Pada September 2006, sekitar 40 laboratorium mengonfirmasikan kasus infeksi virus H5N1 pada manusia yang dilaporkan ke World Health Organization (WHO), karena lebih dari 50% infeksi pada manusia tergolong fatal (Centers for Disease Control and Prevention 2004). Di Indonesia, wabah AI pertama kali diidentifikasi pada akhir 2003 di Kabupaten Tangerang dan Blitar. Wabah AI menyerang ayam ras petelur, ayam ras pedaging, ayam kampung dan itik. Berdasarkan hasil pemeriksaan lapang,
4
gejala klinis dan patologik (Damayanti et al., 2004a), serta imunohistokimia (Damayanti et al., 2004b), wabah tersebut didiagnosis sebagai wabah AI subtipe H5. Spesimen dari wabah tersebut telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi dengan menggunakan serum positif AI sebagai virus AI subtype H5 (Wiyono et al., 2004). Dharmayanti et al. (2004) juga telah mengidentifikasi wabah ini dengan teknik RT-PCR dan menemukan penyebabnya yaitu virus AI subtipe H5. Konfirmasi wabah penyakit AI selanjutnya dilakukan oleh Dharmayanti et al. (2005a, 2005b). Analisis genetic menunjukkan bahwa sebagian besar virus H5N1 dari unggas dan manusia di Asia termasuk dalam genotipe Z, serupa dengan virus yang pertama kali diidentifikasi pada unggas di China Selatan (Guan et al., 2004; Li et al., 2004; Puthavathana et al., 2005; WHO, 2005). WHO (2011) melaporkan data pada November 2011 di dunia saat ini telah dilaporkan sebanyak 571 kasus konfirmasi infeksi virus AI tipe A subtipe H5N1 pada manusia dengan 335 kasus diantaranya berakhir fatal. Di Indonesia, dilaporkan sebanyak 182 kasus konfirmasi infeksi virus AI subtipe H5N1 pada manusia dan sebanyak 150 kasus berakhir dengan fatal. 2.1.2. Penyebab Avian Influenza Virus Avian Influenza (AI) disebut juga Fowl Plaque Virus (FPV). Virus ini masuk dalam golongan virus Influenza tipe A, famili Orthomyxoviridae, genus Influenza virus (Rott dan Klenk 1985; Malole 1988). Menurut Malole (1988), terminologi famili yang dipakai sesuai dengan kemampuan virus pada kelompok tersebut untuk berikatan dengan lendir atau mukoprotein yang terdapat dalam saluran napas dan organ-organ lainnya. Secara umum, virus Orthomyxoviridae
5
ukurannya kira-kira 80-120 nm, peka terhadap ether, rusak oleh asam, mengandung RNA serabut tunggal, bersimetri heliks, dan memiliki amplop di sekeliling nukleokapsidnya. Virus mengalami pematangan di dekat membran sel. Pada permukaan partikel virus terdapat penonjolan-penonjolan yang terdiri dari haemaglutinin dan neuraminidase. Menurut Rott dan Klenk (1985), secara umum, genom virus Influenza A terdiri atas 8 RNA tunggal yang terpisah dengan polaritas negatif. Tiga gen terbesar virus dan gen ke-5 berperan dalam pembentukan komponen internal virus. Gen ke-4 dan 6 mengkode sintesis glikoprotein, haemaglutinin, dan neuraminidase. Sedangkan dalam dalam situs internetnya, ISDA (Infectious Society Disease of America) menyatakan bahwa genom virus ini terdiri dari 10 gen yang mengatur pembentukan protein-protein yang berbeda (delapan protein struktural dan dua protein non-struktural). Protein-protein ini meliputi tiga enzim transkriptase, dua glikoprotein permukaan (haemaglutinin dan neuraminidase), dua protein matrix, satu protein nukleokapsid, dan dua protein nonstructural (ISDA, 2006). Hal yang penting untuk diperhatikan adalah bahwa gen-gen ini bisa mengalami rekombinasi genetik dengan gen dari virus Influenza A dengan subtipe yang lain ketika kedua jenis virus tersebut menginfeksi sel inang yang sama. Melalui cara ini, dapat tercipta virus baru yang mengandung kombinasi genetic dari kedua “virus induk.” Konsekuensi yang timbul dari keadaan ini adalah terjadinya perubahan antigenisitas dan patogenisitas, sehingga sulit diproduksi vaksin yang ideal (Soeharsono, 2002). Hal ini juga menyebabkan virus dapat
6
menginfeksi inang dengan jenis yang berbeda dari sebelumnya. Pernah ada bukti yang menunjukkan bahwa setelah virus AI dengan subtipe H7N1 mengalami genetik reassortment dengan virus AI subtipe H3N2, virus jenis baru dihasilkan. Ternyata virus baru ini bersifat non-patogen, walaupun kedua “virus induk” bersifat patogen. Namun, setelah mengalami rekombinasi genetik dengan virus AI yang lain, beberapa virus baru yang dihasilkan memiliki sifat patogen (Rott dan Klenk, 1985). 2.1.3. Gejala Klinis Avian Influenza Masa inkubasi virus AI berlangsung beberapa jam sampai 3 hari. Masa inkubasi virus AI tergantung pada jumlah virus, subtipe virus dan spesies unggas yang terserang (Elbers et al., 2005). Sebagian besar infeksi oleh virus AI (LPAI) pada unggas liar tidak menimbulkan gejala klinis (Capua dan Mutinelli, 2001). Berdasarkan hasil penelitian pada itik mallard infeksi oleh virus LPAI akan menekan fungsi sel T dan menyebabkan penurunan produksi telur (Takizawa et al., 1995). Pada unggas-unggas domestik seperti ayam dan kalkun, gejala klinis yang dapat diamati berupa bersin, batuk serta produksi air mata yang berlebihan. Namun beberapa strain LPAI seperti H9N2, dapat beradaptasi pada unggas dan dapat menimbulkan gejala yang lebih nyata dan juga mengakibatkan kematian (Li, 2005). Infeksi LPAI H7N1 tahun 1999 di Italia yang menyerang peternakan kalkun menimbulkan gejala klinis seperti batuk, bersin, kebengkakan pada sinus infraorbitalis, menurunnya produksi telur (30% sampai 80%) serta kematian 5% sampai 20% dari populasi (Capua et al., 2003).
7
Dunn et al. (2003) menambahkan bahwa sebagian besar subtipe virus AI termasuk dalam kategori LPAI yang apabila berjangkit pada ayam akan menimbulkan gejala ringan. Gejala klinis infeksi LPAI sangat tergantung pada ras ayam, jenis kelamin, kekebalan tubuh dan kondisi lingkungan sekitar. LPAI bersifat kurang ganas dan tidak menimbulkan infeksi sekunder. Ayam yang terjangkit LPAI secara umum tidak menunjukkan gejala klinis pada awal infeksi sehingga sulit untuk diidentifikasi adanya hewan yang terinfeksi. Salah satu gejala klinis yang dapat diamati yaitu terjadinya penurunan produksi telur atau bahkan berhenti sama sekali, kerabang lembek, terjadi gangguan pernafasan, nafsu makan menurun (anoreksia), depresi, dan tingkat kematian rendah. Jika LPAI bermutasi menjadi HPAI, maka akan menimbulkan kematian massal pada populasi unggas. 2.1.4. Pencegahan Avian Influenza Aditama (2004) menyatakan pencegahan pada unggas yaitu pemusnahan unggas/burung yang terinfeksi Avian Influenza, vaksinasi pada unggas yang sehat. Sedangkan pada manusia, kelompok berisiko tinggi (pekerja dan pedagang) mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja, hindari kontak langsung dengan ayam atau unggas yang terinfeksi Avian Influenza, menggunakan alat pelindung diri (masker dan pakaian kerja), meninggalkan pakaian kerja ditempat kerja, dan membersihkan kotoran unggas setiap hari. Untuk masyarakat umum, menjaga daya tahan tubuh dengan memakan makanan bergizi dan istirahat yang cukup, mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu : pilih unggas yang sehat (tidak terdapat gejala-gejala penyakit pada tubuhnya), memasak daging dengan suhu 800C selama 1 menit dan pada telur sampai dengan suhu 640C
8
selama 4,5 menit, cuci tangan sesering mungkin, penjamah sebaiknya juga melakukan
desinfeksi tangan (dapat dengan alkohol 70%, atau larutan
pemutih/khlorin 0,5% untuk alat-alat instrument), lakukan pengamatan pasif terhadap kesehatan.
2.2.
Ayam Budidaya unggas tercatat sejak 2500 tahun SM di India. Dari 14.000
spesies yang ada, semuanya digolongkan ke dalam 25 ordo. Unggas domestik diklasifikasikan ke dalam 4 ordo yaitu: 1) corinitae (vertebrata bertulang lunak); 2) anseriformes (itik dan angsa); 3) galliforme (ayam, kalkun dan burung kuau); dan 4) colombiformes (burung tekukur dan merpati). Ordo galliformes paling besar peranannya dalam dunia ekonomi dan spesiesnya dibagi ke dalam tiga famili yaitu: 1) phassindae (ayam dan burung kuau); 2) numinidae (kalkun dan ayam mutiara dari Afrika); dan 3) mellagridae (kalkun dari Afrika) (Amrullah, 2003). Ayam digolongkan ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Aves, super order Carinatae, ordo Galliformes dan spesies Gallus gallus (Scanes et al., 2004). Ayam merupakan hasil domestikasi selama beberapa periode. Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa nenek moyang ayam yang menyebar di seluruh dunia berasal dari empat jenis ayam liar yaitu ayam Hutan Merah (Gallus gallus), ayam Hutan Sri Lanka (Gallus lafayetti), ayam Hutan Abu-abu atau ayam Sonnerat (Gallus sonneratti) dan ayam
9
Hutan Jawa (Gallus varius). Nenek moyang ayam yang utama adalah ayam Hutan Merah (Gallus gallus). 2.2.1. Ayam Pedaging Ayam pedaging merupakan ayam jantan atau betina muda berumur 7 minggu dengan berat panen rata-rata berkisar 1,8 kg sampai dengan 2,3 kg (Ensminger, 1992; Vantress, 2008; Aviagen, 2012). Di Indonesia ayam pedaging umumnya dipanen pada umur 5-6 minggu dengan berat badan sekitar 1,7-2,0 kg (Muchtadi dan Sugiono, 1992). Ayam pedaging mampu tumbuh lebih cepat serta mempunyai dada yang lebar dengan timbunan daging yang baik dan banyak (North, 1984). Ayam pedaging umumnya bersifat tenang, bentuk tubuh besar dan kokoh, pertumbuhan cepat, bulu merapat ke tubuh, kulit putih, biasanya lambat dewasa dengan kemampuan menghasilkan telur (laying capacity) rendah. Beberapa jenis dari ayam pedaging mempunyai bulu kaki dan masih suka mengeram (Ensminger, 1992). Tampilan ayam pedaging dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1. Ayam Pedaging Sumber: Dokumentasi Pribadi (2013)
10
2.2.2. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras dan tidak boleh disilangkan kembali (Sudaryani dan Santoso, 1994). Prihatman (2000) menyatakan ayam petelur merupakan ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula ayam petelur adalah dari ayam hutan yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan ayam pedaging, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat baik dipertahankan (terus dimurnikan). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur unggul. Prihatman (2000) menyatakan tahun 1940-an, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia. Ayam liar kemudian dinamakan ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung karena keberadaan ayam itu memang di pedesaan. Sementara ayam orang Belanda disebut dengan ayam luar negeri yang kemudian lebih akrab, dengan sebutan ayam negeri (kala itu masih merupakan ayam negeri galur murni) yang dipelihara oleh hobi. Hingga akhir periode 1980an, orang Indonesia tidak banyak mengenal klasifikasi ayam. Ketika itu, sifat ayam dianggap seperti ayam kampung saja, bila telurnya enak dimakan maka dagingnya juga enak dimakan. Namun, pendapat itu ternyata tidak benar, ayam negeri/ayam ras ini ternyata bertelur banyak tetapi tidak enak dagingnya. Tampilan ayam petelur dapat dilihat pada Gambar 2.2.
11
Gambar 2.2. Ayam Petelur Sumber: Hy line (2009)
2.2.3. Ayam Arab Ayam Arab merupakan ayam yang banyak dikembangkan karena memiliki potensi sebagai ayam petelur unggul dan memiliki karakteristik telur yang menyerupai ayam Kampung. Ayam ini bukan merupakan ayam asli Indonesia melainkan berasal dari Belgia (Natalia et al., 2005). Ayam Arab memiliki daya adaptasi yang baik dengan lingkungan Indonesia yang beriklim tropis. Ayam Arab tahan terhadap penyakit dan perubahan cuaca (Yusdja et al., 2005), sehingga berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia dan juga dapat disilangkan dengan ayam lokal lain untuk memperoleh produksi telur yang lebih tinggi dengan kualitas daging yang lebih baik (Sulandari et al., 2007). Ayam Arab digolongkan menjadi dua jenis berdasarkan warna bulu, yaitu ayam Arab silver (brakel kriel silver) dan ayam Arab golden (brakel kriel gold); yang memiliki ciri-ciri yang sama yaitu warna lingkar mata hitam, warna kulit, shank dan paruh hitam, perbedaan hanya pada warna bulu. Ayam Arab silver memiliki warna bulu keperakan, putih hitam lurik dan bulu leher putih. Ayam Arab golden memiliki warna bulu merah keemasan pada kepala sampai leher dan
12
warna bulu badan totol atau lurik merah keemasan (Natalia et al., 2005). Ciri lain dari ayam Arab adalah jengger berbentuk tegak dan bergerigi (serrated single comb) (Nataamijaya et al., 2003). Jengger ayam Arab jantan berwarna merah, besar dan tipis. Ukuran jengger ayam betina lebih kecil dibandingkan ayam jantan (Sulandari et al., 2007). Tampilan ayam petelur dapat dilihat pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3. Ayam Arab Sumber : Kholis dan Sitanggang (2002)
2.3.
Temulawak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman obat asli
Indonesia (Prana, 1985), disebut juga Curcuma javanica (Badan POM, 2004). Sebagai bahan baku obat, jumlah kebutuhan temulawak untuk Industri Obat Tradisional dan Industri Kecil Obat Tradisional menduduki peringkat pertama di Jawa Timur dan peringkat kedua di Jawa Tengah (Kemala et al., 2003). Temulawak dimanfaatkan sebagai obat dan mempunyai klaim manfaat untuk penyembuhan jenis penyakit terbanyak (24 jenis penyakit), oleh karena itu pada tahun 2004 pemerintah mencanangkan temulawak sebagai “Minuman Kesehatan Nasional.”
13
Rimpang temulawak mengandung minyak atsiri, resin, kurkumin, lemak, kamfer, serat kasar dan kalsium klorida (Quissumbing dalam Agusta dan Chaerul, 1994). Minyak atsiri dari temulawak mengandung banyak sekali komponen yang bermanfaat antara lain berpotensi sebagai senyawa antioksidan, anti hepatotoksik, meningkatkan sekresi empedu, anti hipertensi, melarutkan kolesterol, merangsang air susu (laktagoga), tonik bagi ibu pasca melahirkan, peluruh haid, anti bakteri, pewarna makanan dan kain, serta bahan kosmetik (Hadi, 1985; Agusta dan Chairul, 1994; Suksamrarn et al., 1994; Direktorat Aneka Tanaman, 2000). kurcumin dan xanthorrhizol merupakan komponen bahan aktif utama dari minyak atsiri temulawak yang berkhasiat obat. Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang semu. Di daerah Jawa Barat temulawak disebut sebagai koneng gede sedangkan di Madura disebut sebagai temu lobak. Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat dari mana temulawak ini menyebar ke seluruh dunia. Saat ini tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, IndoCina, Bardabos, India, Jepang, Korea, di Amerika Serikat dan Beberapa negara Eropa (Prihatman 2008). 2.3.1. Klasifikasi Menurut Prihatman (2008), Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia dan merupakan salah satu tumbuhan obat yang cukup dikenal oleh masyarakat. Temulawak merupakan salah satu jenis temutemuan yang termasuk keluarga zingiberaceae, klasifikasi temulawak secara lengkap
adalah
divisi:
Spermatophyta,
subdivisi:
Angiospermae,
kelas:
14
Monocotyledonem, bangsa: Zingiberales, suku: Zingiberaceae, genus: Curcuma dan spesies: Curcuma xanthorrhiza Roxb. 2.3.2. Deskripsi Prihatman (2008) menyatakan tanaman berbatang semu dengan tinggi antara 1-2 m, berwarna hijau atau coklat gelap. Tiap batang mempunyai daun 2-9 helai dengan bentuk bundar dengan warna daun hijau atau coklat keunguan dan memiliki panjang daun 31-84 cm dan lebar 10-18 cm serta panjang tangkai daun termasuk helaian 43-80 cm (Gambar 2.4).
Gambar 2.4. Morfologi Tanaman Temulawak. Sumber: Prihatman (2008)
Perbungaan lateral, tangkai ramping dan sisik berbentuk garis dengan panjang tangkai 9-23 cm dan lebar 4-6 cm. Kelopak bunga berwarna putih berbulu dengan panjang 8-13 mm dan mahkota bunga berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4,5 cm serta helaian bunga berbentuk bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna merah dengan panjang 1,25-2 cm dan lebar 1 cm (Gambar 2.5).
15
Gambar 2.5. Bunga Tanaman Temulawak. Sumber: Prihatman (2008)
Rimpang induk temulawak bentuknya bulat seperti telur dan berukuran besar, sedangkan rimpang cabang terdapat pada bagian samping yang bentuknya memanjang. Tiap tanaman memiliki rimpang cabang antara 3-4 buah. Warna rimpang cabang umumnya lebih muda dari pada rimpang induk (Gambar 2.6).
Gambar 2.6. Akar Rimpang Temulawak. Sumber: Prihatman (2008)
Warna kulit rimpang sewaktu masih muda maupun tua adalah kuning atau coklat kemerahan. Warna daging rimpang adalah kuning tua dengan cita rasanya amat pahit atau coklat kemerahan berbau tajam, serta keharumannya sedang. Rimpang terbentuk dalam tanah pada kedalaman 16 cm. Tiap rumpun tanaman temu lawak umumnya memiliki enam buah rimpang tua dan lima buah rimpang muda (Gambar 2.7).
16
Gambar 2.7. Daging Rimpang Temulawak. Sumber: Prihatman (2008)
2.3.3. Komposisi Boesro et al. (2006) menyatakan kandungan zat aktif yang terdapat di temulawak adalah kurkumin, kurkuminoid, P-toluilmetilkarbinol, seskuiterpen dkamper, mineral, minyak atsiri serta minyak lemak, karbohidrat, protein, mineral seperti Kalium (K), Natrium (Na), Magnesium (Mg), Besi (Fe), Mangan (Mn) dan Kadmium (Cd). Ketaren (1988) menyatakan bagian yang paling berkhasiat dari temulawak adalah rimpangnya. Ekstrak rimpang temulawak mengandung lebih dari 100 macam zat seperti amilase, fenolase, lemak, pati dan berbagai mineral senyawa fenol serta minyak atsiri. Seperti umumnya fetoterapi, zat-zat tersebut berkerja secara totalitas meningkatkan daya tahan tubuh. Rimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75%, minyak atsiri (volatile oil), lemak (fixed oil), zat warna (pigmen), protein, resin, selulosa, pentosan, pati, mineral, zat-zat penyebab rasa pahit dan sebagainya. Kandungan dari komponen-komponen dalam temulawak sangatlah tergantung pada umur tumbuhan pada saat dipanen. Prihatman
(2008)
menyatakan
rimpang
temulawak
mengandung
karbohidrat sekitar 29-34% dan minyak 6-10% bobot kering. Komposisi temulawak sangat tergantung pada musim, dengan komponen utama pati 17
temulawak yang kadarnya berkisar antara 30-40% dan komponen minyak atsirinya berkisar antara 7-30% dihitung berdasarkan bobot kering. Curcuma xanthorriza Roxb. mempunyai kandungan minyak atsiri yang paling tinggi diantara jenis Curcuma sp (Ketaren, 1988). Kandungan minyak atsiri pada temulawak sekitar 8% dan warna kuning merupakan warna dari kurkumin. 2.3.4. Khasiat Temulawak Aggrawall et al. (2007) menyatakan bahwa di Indonesia satu-satunya bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang temulawak untuk dibuat jamu godok. Rimpang ini mengandung 48-59,64% zat tepung, 1,6-2,2% kurkumin dan 1,481,63% minyak atsiri. Berbagai macam manfaat temulawak telah banyak diteliti, disamping sebagai obat temulawak juga dijadikan makanan, minuman, kosmetika dan pewarna. Wijayakusuma (2005) menyatakan temulawak seperti halnya kunyit, mempunyai khasiat pengobatan untuk berbagai penyakit. Temulawak juga memiliki sifat tonikum seperti kunyit yang berkhasiat sebagai penyegar dan meningkatkan stamina sehingga badan tidak cepat lelah dan sifat imunostimulan yang berfungsi untuk meningkatkan daya tahan tubuh serta menangkal berbagai serangan kuman penyebab penyakit, termasuk virus. Efek antioksidan kurkumin pada temulawak berfungsi untuk melindungi tubuh dari serangan radikal bebas yang berbahaya dan bersifat karsinogenik serta penyakit lainnya. Hasil penelitian tentang kandungan zat aktif pada temulawak oleh Liang et al. (1985) diketahui bahwa khasiat temulawak terutama disebabkan oleh beberapa kelompok kandungan kimia utama, yakni golongan kurkuminoid, minyak atsiri,
18
flavonoid dan pati (polisakarida). Kurkumoinoid terdiri dari dua jenis senyawa yaitu kurkumin dan desmetosikurkumin yang berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, meningkatkan ekskresi empedu, menurunkan kadar lemak darah, anti bakteri, serta dapat mencegah terjadinya perlemakkan dalam sel-sel hati dan sebagai anti oksidan penangkal senyawa-senyawa radikal bebas yang berbahaya. Minyak atsiri temulawak yang terdiri dari 32 komponen secara umum bersifat meningkatkan produksi getah empedu dan mampu menekan pembengkakan. Manfaat lain dari rimpang tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, anti oksidan, pencegah kanker dan anti mikroba (Raharjo dan Otih, 2005; Dalimartha, 1999). 2.4.
Kurkuminoid Suwiah (1991) menyatakan kurkuminoid yang merupakan zat utama yang
berwarna kuning dalam temulawak dan kunyit yang telah diketahui memiliki banyak manfaat di bidang kesehatan dan makanan. Kurkuminoid memberikan warna kuning pada rimpang temulawak dan mempunyai khasiat medis. Zat ini berkhasiat menetralkan racun, menghilangkan rasa nyeri sendi, menurunkan kadar kolesterol darah, antibakteri dan sebagai antioksidan penangkal senyawa-senyawa radikal bebas yang berbahaya. Sidik, et al. (1995) menyatakan kurkuminoid adalah komponen yang memberikan warna kuning pada rimpang temulawak dan kunyit. Kurkuminoid berwarna kuning atau kuning jingga, dan berbentuk serbuk dengan rasa pahit. Kurkuminoid larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali
19
hidroksida. Kurkuminoid tidak larut dalam air dan dietil eter. Kurkuminoid mempunyai aroma yang khas dan bersifat toksik. Senyawa kurkuminoid pada rimpang temulawak terdiri dari dua komponen senyawa kurkuminoid, yaitu kurkumin dan demetoksikurkumin. Lain halnya dengan rimpang kunyit mengandung kurkuminoid yang terdiri dari tiga komponen senyawa turunan kurkuminoid, yaitu senyawa kurkumin, demetoksikurkumin, serta bisdemetoksikurkumin (Sidik, et al., 1992). Komponen utama penyusun kurkuminoid adalah kurkumin (Sidik, et al., 1995). Meiyanto (1999) menyatakan kurkumin merupakan salah satu produk senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam rimpang tanaman famili Zingiberaceae pada Curcuma xanthorhiza Roxb. (temulawak). Kurkumin dikenal sebagai bahan alam yang mempunyai aktifitas biologis berupa zat warna kuning. Zat warna kuning ini sering digunakan sebagai bahan tambahan makanan, bumbu, atau obat-obatan dan tidak menimbulkan efek toksik. 2.5.
Titer Antibodi Tizard (1988) mendefinisikan antibodi adalah molekul protein yang
dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi antara linfosit B peka antigen dan antigen khusus. Antibodi terdapat dalam berbagai cairan tubuh, tetapi terdapat dalam konsentrasi tertinggi dan termudah diperoleh dalam jumlah yang banyak dari serum darah. Antibodi berperan dalam meningkatkan opsonisasi oleh sel makrofag yang dapat diamati pada aktivitas dan kapasitas fagositosis (Kuby, 1997). Ayam memiliki sensitivitas tinggi terhadap protein asing sehingga dalam jumlah sedikit dapat membangkitkan respon pembentukan antibodi (Carlender,
20
2002 dalam Rawendra, 2005). Titer antibodi serum darah ayam dapat diperoleh dengan sekali vaksinasi, namun untuk mendapatkan titer tertinggi dan dapat dipertahankan selama lebih dari tiga bulan, diperlukan imunisasi ulang/booster setiap bulan (Wooley dan London, 1995 dalam Rawendra, 2005). Menurut Bellanti (1997) interaksi antigen-antibodi terjadi melalui tiga tahapan yaitu: (1) Reaksi primer, adalah interaksi awal antigen-antibodi, (2) Reaksi sekunder, adalah reaksi lanjutan berupa proses presipitasi, aglutinasi, neutralisasi, cytotropik efek mencakup fisik, kimia antigen-antibodi, (3) Reaksi tersier, berhubungan dengan fungsi biologis tubuh, apakah bermanfaat atau berbahaya bagi tubuh. Bellanti (1997) menyatakan antigen yang masuk kedalam tubuh akan dikenali oleh tubuh dan merangsang sistem imun untuk membentuk antibodi. Pembentukan antibodi terjadi dalam dua periode yaitu periode induksi (laten) dan periode biosintesis. Periode laten atau induksi adalah periode dimana terjadi proses pengenalan antigen oleh tubuh sebagai benda asing, transformasi antigen, pembelahan dan differensiasi sel linfosit B. Periode biosintesis adalah lanjutan periode dari periode induksi, yang terbagi dalam tiga fase. Tiga fase tersebut yaitu (1) fase logaritmik, fase ini terjadi peningkatan kadar antibodi secara logaritmik dalam waktu 4 sampai 10 hari, (2) fase datar (mantap), saat terjadi keseimbangan antara kadar antibodi yang diproduksi dengan kadar antibodi yang mengalami katabolisme. Antibodi yang ada pada induk akan ditransfer ke kuning telur sebagai maternal antibodi untuk anak dan (3) fase penurunan, dimana jumlah
21
antibodi yang dikatabolisme bereaksi lebih banyak dari pada jumlah antibodi yang diproduksi dan akan terus berjalan hingga mencapai nilai negatif. Tizard (2004) menyatakan bahwa tanggap kebal merupakan respon biologis sehingga dapat menyebabkan variasi tanggap kebal bagi setiap individu. Kekebalan protektif akan terbentuk pada individu dengan tanggap kebal yang baik dan sebaliknya, individu dengan tanggap kebal lemah kurang mampu membentuk titer protektif. Ketidakmampuan vaksin dalam menghasilkan antibodi protektif disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi kandungan antigen, kualitas vaksin, jumlah dosis dan rute vaksinasi. Faktor eksternal meliputi vaksinator, kondisi ayam dan lingkungan (Fadilah, 2007 dalam Siti, 2007). Titer antibodi terhadap virus Avian influenza subtipe H5N1 dari yang tertinggi sampai yang terendah ditemukan pada layer (18,9%), diikuti pedaging (6,4%), itik (5,2%), ayam buras (2,4%), dan entog (2,0%) (Erina, 2006). Antibodi protektif terhadap serangan flu burung apabila memiliki inhibisi pada serum yang diencerkan 1 : 16 (24) atau log 24 yang menggunakan antigen 4 HAU (OIE, 2000).
22