II TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Usaha Peternakan Sapi Perah Peternakan didefinisikan sebagai usaha dalam memanfaatkan kekayaan
alam berupa ternak, dengan cara produksi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kegiatan usaha ini harus diiringi oleh perhatian terhadap keseimbangan ekologis dan kelestarian alam, dan kegiatan peternakan ini merupakan bagian dari kegiatan usahatani. (Atmadilaga, 1975). Pengembangan usaha di bidang peternakan bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja bagi para peternak, sehingga akan diperoleh pendapatan dari usaha tersebut. Kegiatan usaha sapi perah rakyat merupakan salah satu contoh terbukanya lapangan kerja untuk para peternak. Usaha peternakan sapi perah di Indonesia saat ini sebagian besar masih merupakan usaha peternakan rakyat yang berarti dalam arti sempit tujuan utamanya adalah hanya untuk memenuhi kebutuhan petani dan keluarganya (Mubyarto,1995). Usaha peternakan sapi perah memiliki beberapa keuntungan yaitu peternakan sapi perah termasuk usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein hewani dan kalori, jaminan pendapatan yang tetap, pakan yang relatif mudah dan murah, kesuburan tanah dapat dipertahankan, pedet jantan dijual untuk sapi potong dan pedet betina bisa dipelihara hingga dewasa dan menghasilkan susu (Sudono et al., 2003). Usaha sapi perah dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Pertanian
No.
751/kpts/Um/10/1982
tentang
Pembinaan
dan
Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri. Pertama peternakan
9 sapi perah rakyat, yaitu usaha ternak sapi perah yang dilaksanakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Kedua perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah yang dilaksanakan untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran (Sudono, 1999). Menurut Erwidodo (1998), peternakan sapi perah di Indonesia pada umunya adalah usaha keluarga di daerah pedesaan dalam skala kecil, dan untuk usaha skala besar masih sangat jarang dan terbatas. Komposisi peternak sapi perah di Indonesia diperkirakan terdiri dari 80 persen dengan skala kepemilikan ternak kurang dari empat ekor (skala kecil), 17 persen dengan skala kepemilikan ternak empat sampai tujuh ekor (skala menengah), dan 3 persen peternak dengan kepemilikan lebih dari tujuh ekor (skala besar). Terdapat beberapa faktor yang berpengaruh dalam melaksanakan usaha ternak sapi perah. Faktor yang terpenting untuk sukses dalam usaha peternakan sapi perah adalah peternak harus dapat menggabungkan kemampuan tata laksana yang baik dengan menentukan lokasi peternakan yang baik, besarnya peternakan, pemilihan sapi yang berproduksi tinggi, pemakaian peralatan yang tepat, tanah yang subur untuk tanaman hijauan makanan ternak dan pemasaran yang baik (Sudono, 1999).
10
2.2.
Penelitian Terdahulu Hasil penelitian Manurung (1996), yang berjudul “Dampak Kredit Bank
Perkreditan Rakyat dalam Meningkatkan Perekonomian Pedesaan (studi kasus di wilayahj jawa barat, jawa timur, dan Bali)” menyebutkan peranan kredit BPR terhadap usaha kecil dan masyarakat berpendapatan rendah akan dapat meningkatkan perekonomian pedesaan melalui peningkatan pendapatan dan/atau penciptaan kesempatan kerja bagi masyarakat di pedesaan. Hasil penelitian Ariantika (2014) yang berjudul “Pengaruh Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) BRI Terhadap Keragaan Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Pringsewu” menyebutkan bahwa pendapatan usahatani per hektar petani penerima KKP-E lebih besar dari petani bukan penerima KKP-E.
2.3
Kredit Kredit berasal dari bahasa latin credo yang berarti “percaya”. Inilah
sebabnya sampai batas-batas tertentu dasar kredit yang utama adalah kepercayaan dari semua pihak yang bersangkutan dengan perkreditan tersebut. Kredit pada dasarnya bergantung pada tiga hal yaitu kepercayaan bahwa posisi materi dari si peminjam mampu mengembalikan modal yang dipinjam tersebut, kepercayaan bahwa si peminjam akan mengembalikan hutangnya, dan kepercayaan bahwa hukum-hukum yang sah dapat melindungi semua pihak yang terlibat dalam transaksi kredit apabila ada yang dirugikan karena ada persyaratan yang dilanggar (Kadarsan, 1992).
11
2.4
Peran Perbankan dalam Pembiayaan Usaha Tani Dukungan dari pihak perbankan kepada para pelaku usaha tani ini adalah
untuk menekankan sisi pengembangan usahanya dalam rangka pembangunan pertanian secara menyeluruh. Dukungan ini sesuai dengan fungsi bank sebagai institusi yang diatur dalam UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 dari perubahan UU No.7 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa, Bank merupakan badan usaha yang dalam kegiatan pokoknya menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyakurkannya kepada amsyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk-bentuk lainnnya dalam rangka meningkatkan tarf hidup rakyat banyak. Sanim (2008) menyatakan bahwa, berdasarkan pengertian tersebut terlihat bahwa peran penting yang dapat dilakukan oleh perbankan untuk mendukung pembangunan pertanian adalah pada komitmen perbankan untuk memberikan dukungan finansial atau pembiayaan usaha terutama sektor agribisnis. Bank Rakyat Indonesia sebagai lembaga pembiayaan yang dikenal dekat dengan masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan memiliki kontribusi dalam mendorong pengembangan pertanian dengan menerapkan kebijakan pembiayaan di sektor agribisnis. Bank Rakyat Indonesia di tingkat unit desa memiliki porsi yang relatif besar pada kredit mikro pertanian. Maka dari itu, Bank Rakyat Indonesia sebagai lembaga pembiayaan nasional tergerak untuk langsung berkontribusi memajukan agribisnis nasional. Hal ini didasarkan juga pada fungsi perbankan sebagi penunjang pertumbuhan sektor agribisnis dengan memberikan pendanaan di tingkat hulu (bio-technology), pertanian (on-farm/agriculture), hilir (industry), maupun di sektor penunjang (Aviliani, 2008).
12 Secara konseptual, keberadaan lembaga pembiayaan khusus sektor pertanian di Indonesia dapat dikategorikan sangat urgen. Hal ini setidaknya dilandasi oleh beberapa argumen. Pertama, sektor pertanian mempunyai peran yang sangat strategis dalam pembangunan nasional, seperti dalam menyerap tenaga kerja, sumber pangan, pemasok bahan baku industri, sumber devisa dan lain-lain. Kedua, potensi pembiayaan yang sangat besar di sektor pertanian bai dari sisi sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun peluang bisnisnya. Jumlah rumah tangga pertanian (RTP) menurut Sensus Pertanian 2003 sekitar 25,6 juta yang berkerja di subsektor tanaman pangan, perkebunan, hortikultura, dan peternakan. Bisnis pertanian juga terbuka luas dari subsistem penyediaan saprodi, budidaya, panen/pasca panen, hingga pemasaran. Ketiga, masih minimnya alokasi kredit untuk sektor pertanian, sehingga masih terbuka peluang usaha yang sangat besar untuk ekspansi pasar kredit pertanian karena belum mengalami kejenuhan.
2.5
Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) merupakan penyempurnaan
dari Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang sudah berjalan sejak Oktober 2000. KKP-E ditujukan untuk membantu permodalan petani dan peternak dengan suku bunga bersubsidi sehingga mereka dapat menerapkan teknologi rekomendasi budidaya. Dalam perkembangannya, KKP-E terus mengalami perubahan dan penyempurnaan sesuai kebutuhan di tingkat lapangan, untuk mendukung ketahanan pangan nasional sekaligus membantu permodalan yang dibutuhkan petani (Pedoman KKPE, 2013). Keberhasilan peningkatan produksi pangan di masa lalu dalam hal pencapaian swasembada pangan, tidak terlepas dari peran
13 Pemerintah melalui penyediaan kredit program dengan suku bunga rendah, melalui
fasilitas
Kredit
Likuiditas
Bank
Indonesia
(KLBI).
Semenjak
diberlakukannya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia maka tidak tersedia lagi sumber dana dari KLBI, oleh karena itu mulai tahun 2000 telah diluncurkan Skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang sumber dananya berasal dari Perbankan dengan subsidi suku bunga bagi petani dan peternak yang disediakan oleh Pemerintah. Dalam perkembangannya KKP mengalami penyesuaian dari tahun ke tahun, mulai Oktober 2007 KKP disempurnakan menjadi KKP-E (Kredit Ketahanan Pangan dan Energi). Hal ini mengadopsi upaya mengurangi ketergantungan energi berbahan baku fosil dan perkembangan teknologi energi dikembangkan energi lain yang berbasis sumber energi nabati. Energi alternatif dimaksud disini berbasis ubi kayu/singkong dan tebu diintegrasikan dengan Skim KKP yang telah ada sehingga berubah menjadi Skim Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E).
2.5.1
Tujuan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE)
1. Memberikan acuan bagi pemangku kepentingan di pusat dan daerah dalam pelaksanaan penyaluran dan pengembalian KKP-E. 2. Mengoptimalkan pemanfaatan dana kredit yang disediakan oleh perbankan untuk petani/peternak yang memerlukan pembiayaan usahanya secara efektif, efisien dan berkelanjutan. 3. Mendukung peningkatan produksi dalam peningkatan ketahanan pangan nasional dan ketahanan energi lain melalui pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati.
14
2.5.2
Sasaran Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE)
1. Terlaksananya
penyaluran
KKP-E
kepada
petani/peternak
dan
pengembalian kredit tepat waktu. 2. Terpenuhinya modal bagi petani/peternak/pekebun dalam melaksanakan usaha taninya.
2.5.3
Syarat Pengajuan Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) 1. Petani/Peternak menjadi anggota Kelompok Tani/Ternak. 2. Petani/Peternak peserta paling kurang berumur 21 tahun atau sudah menikah. 3. Bersedia mengikuti petunjuk dinas teknis atau penyuluh pertanian dan mematuhi ketentuan-ketentuan sebagai peserta KKP-E. 4. Memiliki bukti kepemilikan lahan atau Surat Kuasa Garap bagi petani penggarap diketahui oleh Kepala Desa/Kelompok Tani. 5. Rekomendasi dari PPL / Mitra Usaha. 6. Tidak memiliki tunggakan kredit. 7. Maksimal lahan yang dibiayai 4 ha. 8. Surat Kuasa petani/Peternak kepada Kelompok Tani / Koperasi. 9. Plafon kredit kepada setiap petani maksimal Rp 50 juta.
15 10. Plafon kredit kepada kelompok tani dalam rangka pengadaan/peremajaan alat dan mesin untuk mendukung pengembangan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan maksimal Rp. 500 juta.
2.6
Aset Usaha
2.6.1
Aktiva Pengertian Aktiva (harta/aset) adalah suatu
sumber daya ekonomi
perusahaan yang juga meliputi biaya-biaya yang terjadi akibat dari transaksi sebelumnya serta juga memiliki manfaat di masa yang akan datang. Harta adalah suatu kekayaan yang dipunyai oleh perusahaan untuk dapat menjalankan usahanya. Harta perusahaan itu juga dapat di bedakan dari kelancaran (likuiditas), yakni harta lancar, investasi jangka panjang, harta tetap, harta tak berwujud, serta juga harta-harta lainnya. Adapun jenis-jenis aktiva adalah : 1. Aktiva Lancar (Current Assets) Aktiva ini biasanya digunakan untuk menunjukan uang kas atau tunai yang benar-benar ada, atau aktiva yang dapat di konversi menjadi uang tunai selama satu siklus operasi bisnis yang biasa. 2. Aktiva Tetap (Fixed Assets) Aktiva tetap adalah barang-barang yang dimiliki perusahaan yang relatif berumur panjang. Aktiva tetap biasanya digunakan untuk memproduksi atau menjual brang dan jasa lainnya (Downey, 1987). Pada usaha peternakan biasanya aktiva tetap meliputi ternak, tanah, abngunan, dan peralatan.
16 2.6.2
Pasiva Pasiva atau kewajiban merupakan hutang bisnis kepada pihak lain.
Kewajiban merupakan klaim terhadap aktiva bisnis tetapi tidak boleh di klaim terhadap suatu aktiva khusus, kecuali dalam hal hipotik atau penggadaian peralatan. Pada dasarnya kewajiban dibagi dalam dua kelas : kewajiban lancar dan kewajiban jangka panjang.. 1. Kewajiban lancar melukiskan klaim-klaim pihak luar terhadap bisnis yang akan jatuh tempo dalam satu siklus operasi normal, biasanya satu tahun. Hutang usaha, wesel bayar, hutang pajak adalah beberapa jenis kewajiban lancar. 2. Kewajiban jangka panjang merupakan klaim klaim pihak luar terhadap bisnis yang tidak akan jatuh tempo dalam satu tahun. Hutang obligasi, hipotek, pinjaman jangka panjang perorangan merupakan contoh jenis kewajiban jangka panjang (Downey, 1987).