6
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Plastik Bahan kemasan plastik dibuat dan disusun melalui proses polimerisasi. Komponen utama plastik sebelum membentuk polimer adalah monomer, yakni rantai yang paling pendek. Polimer merupakan gabungan dari beberapa monomer yang akan membentuk rantai yang sangat panjang. Bila rantai tersebut dikelompokkan bersamasama dalam suatu pola acak, menyerupai tumpukan jerami maka disebut amorp, jika teratur hampir sejajar disebut kristalin dengan sifat yang lebih keras dan tegar (Winarno, 1994). Kemasan plastik memiliki beberapa keunggulan yaitu sifatnya kuat tapi ringan, inert, tidak karatan dan bersifat termoplastis (heat seal) serta dapat diberi warna. Sifat permeabilitas plastik terhadap uap air dan udara menyebabkan plastik mampu berperan memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan (Winarno, 1994). Kelemahan bahan ini adalah adanya zat-zat monomer dan molekul kecil lain yang terkandung dalam plastik yang dapat melakukan migrasi ke dalam bahan makanan yang dikemas. Plastik berisi beberapa aditif yang diperlukan untuk memperbaiki sifat-sifat fisiko kimia plastik itu sendiri. Bahan aditif yang sengaja ditambahkan itu disebut komponen non plastik, diantaranya berfungsi sebagai pewarna, antioksidan, penyerap cahaya ultraviolet, penstabil panas, penurun viskositas, penyerap asam, pengurai peroksida, pelumas, peliat, dan lain-lain (Winarno, 1994).
7
Plastik dapat dikelompokkan atas sifat ketahanan terhadap panas terdapat dua jenis plastik, yaitu thermoplastik dan termoset. Thermoplastik adalah plastik yang dapat dilunakkan berulangkali dengan menggunakan panas, antara lain polietilen, polipropilen, polistiren dan polivinilklorida. Jenis plastik ini meleleh ketika dipanaskan dan menjadi padat kembali ketika didinginkan. Sedangkan termoset adalah plastik yang tidak dapat dilunakkan oleh pemanasan, antara lain bakelit, melamin, phenol formaldehid dan urea formaldehid (Whyman, 2006). Berdasarkan bentuk dan keadaan pada suhu ruang dibedakan antara plastik jenis kaca, plastik liat keras, plastik elastis dan plastik kental. Plastik jenis kaca, seperti plastik fenol (PP) adalah sangat getas. Plastik liat keras seperti polivinilklorida (PVC), berciri dapat berubah bentuk jika ada pengaruh gaya yang kuat. Plastik elastis, seperti busa dari poliuretan (PUR), berubah bentuk ketika dibebankan dan berubah bentuk kembali seperti semula jika beban dilepaskan. Plastik kental seperti minyak silicon (SI), adalah
masa
liat
cair
yang
disebut
fluidoplastik.
Berdasarkan
bentuk
makromolekulnya dapat dibedakan antara plastik dengan makromolekul benang dan plastik dengan makromolekul bentuk jarring. Makromolekul bentuk benang dapat bersusun tak bercabang (seperti PVC keras) atau bercabang seperti pada polietilen PE. Didalam plastik, makromolekul dapat tersusun amorf seperti PVC keras atau Kristal-sebagaian seperti PE. Pada struktur amorf letak makromolekul sama sekali tidak berorientasi dan pada struktur Kristal-sebagian molekul-molekul rasaksa tak bercabang itu tersusun sejajar sehingga terjadi Kristal-kristal kecil yang dikelilingi oleh daerah amorf (Kramer dan Scharnagl, 1994).
8
Plastik memiliki kelebihan yaitu plastik dapat dibentuk menjadi berbagai macam bentuk, ringan dan relatif murah, dapat diproduksi dalam berbagai warna, panas dan listrik tidak dapat merambat melalui plastik dengan mudah, karena plastik isolator yang baik. Tetapi plastik memiliki kekurangan yaitu plastik dibuat dari bahan-bahan yang sulit di daur ulang, karena tidak dapat membusuk secara alami (biodegradasi), plastik dapat merusak lingkungan dan plastik dapat bersifat asap beracun karena leleh pada suhu tinggi (Whyman, 2006). Plastik yang selama ini dipakai berasal dari minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Bahan dasar tersebut mulai mengalami pengurangan di alam serta tidak bisa diperbarui (Darni et al, 2008). Penggunaan plastik yang berlebihan dan dengan intensitas yang tinggi berpengaruh terhadap persediaan minyak bumi, diperkirakan minyak bumi akan habis dalam kurun waktu 100 tahun. Selain itu penggunaan plastik yang berasal dari minyak bumi, gas alam dan batu bara akan meningkatkan pencemaran lingkungan seperti pencemaran tanah. Untuk mengatasi
masalah
lingkungan ini, salah satu cara yang dapat dilakukan yaitu mengembangkan bahan bioplastik (Abadi dan Nuryati, 2007). 2.2. Bioplastik Bioplastik adalah plastik yang dapat digunakan seperti layaknya plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi air dan karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Bahan penyusun bioplastik ini berasal dari alam seperti pati dan selulosa sehingga mudah diuraikan kembali (Yuniarti et al., 2014). Plastik biodegradable adalah suatu bahan
9
dalam kondisi tertentu dan pada waktu tertentu mengalami perubahan dalam struktur fisis dan kimianya karena pengaruh mikroorganisme yang kemudian mempengaruhi sifat-sifat yang dimilikinya (Griffin, 1994). Sifatnya yang dapat kembali ke alam, maka dikategorikan sebagai plastik yang ramah lingkungan (Firdaus dan Anwar, 2014). Berdasarkan bahan baku yang dipakai bioplastik dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok dengan bahan baku petrokimia dan kelompok dengan bahan baku produk tanaman atau produk pertanian seperti pati dan selulosa. Pembuatan film berbasis pati pada dasarnya
menggunakan
prinsip gelatinasi.
Dengan adanya penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu yang tinggi maka akan terjadi gelatinasi. Gelatinasi mengakibatkan ikatan amilosa akan cenderung saling berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Proses pengeringan akan mengakibatkan penyusutan sebagai akibat lepasnya air sehingga gel akan membentuk film yang stabil (Firdaus dan Anwar, 2014). Bioplastik adalah plastik yang tergradasi di alam dalam waktu yang singkat. Bahan itu lebih murah dibanding bahan plastik lainnya. Waktu hancurnya lebih singkat. Bahan ini juga tidak beracun dan sangat aman untuk membungkus makanan. Plastik berbahan dasar pati aman bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan waktu sekira 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara bioplastik dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat. Bioplastik yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan
adanya plastik biodegradable, karena
hasil
penguraian
mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah. Namun plastik mudah terurai
10
memiliki kelemahan terhadap sifat mekaniknya, kebanyakan plastik mudah terurai kurang bagus dalam sifat mekaniknya sehingga perlu ditambahkan plasticizer (Ban, 2006). Vilpoux dan Averous (2006) melaporkan potensi penggunaan pati sebagai bahan plastik biodegradable berkisar 80-95% dari pasar bioplastik yang ada. Sumber pati yang baik digunakan yaitu pati ubi kayu (singkong), gandum dan kentang. 2.3. Komposit Komposit adalah suatu jenis bahan baru hasil rekayasa yang terdiri dari dua bahan dimana sifat masing-masing bahan berbeda satu sama lainnya baik itu sifat kimia maupun fisikanya (bahan
komposit).
Adanya perbedaan dari material
penyusunnya maka komposit antar material harus berikatan dengan kuat, sehingga perlu adanya penambahan wetting agent. Beberapa pengertian komposit yaitu pada tingkat dasar komposit dapat diartikan pada molekul tunggal dan kisi kristal, bila material yang disusun dari dua atom atau lebih disebut komposit (contoh senyawa, paduan, polimer dan keramik). Pengertian komposit mikrostruktur pada kristal, phase dan senyawa, bila material disusun dari dua phase atau senyawa atau lebih disebut komposit (contoh paduan Fe dan C) dan pengertian komposit makrostruktur yaitu material yang disusun dari campuran dua atau lebih penyusun makro yang berbeda dalam bentuk dan/atau komposisi dan tidak larut satu dengan yang disebut material komposit (definisi secara makro ini sering dipakai) (Nayiroh, 2013). Menurut Hanafi (2004) dalam Harahap (2006) menyatakan komposit adalah suatu bahan padat yang dihasilkan dari gabungan dua bahan yang berbeda untuk
11
memperoleh sifat-sifat yang lebih baik yang tidak dapat diperoleh dari setiap komponennya. Bahan komposit terdiri dari matriks yang merupakan fase tersebar dan pengisi sebagai fase disperse, dimana kedua fase ini dipisahkan oleh interfase. Beberapa jenis komposit seperti komposit logam, semen dan komposit plastik. Komposit yang dihasilkan tergantung dari bahan matriks yang digunakan, yaitu berdasarkan logam, bahan anorganik dan bahan organik. Setiap komposit ini berbeda dari segi sifat masing-masing tergantung dari jenis bahan pengisi atau bahan penguat yang digunakan. Tujuan pembuatan material komposit yaitu untuk memperbaiki sifat mekanik dan/atau sifat spesifik tertentu, mempermudah design yang sulit pada manufaktur, keleluasaan dalam bentuk/design yang dapat menghemat biaya dan dapat menjadikan bahan lebih ringan. Adapun sifat atau karakteristik komposit ditentukan oleh material yang menjadi penyusun komposit, bentuk dan cara penyusunan komposit dan interaksi antar penyusun (Nayiroh, 2013). 2.4. Pati Pati adalah cadangan makanan utama pada tanaman. Senyawa ini sebenarnya campuran dua polisakarida, yaitu amilosa yang terdiri dari 70 hingga 350 unit glukosa yang berikatan membentuk garis lurus dan amilopektin yang terdiri hingga 100.000 unit glukosa yang berikatan membentuk struktur rantai bercabang. Kira-kira 20% dari pati adalah amilosa. Pati berwarna putih, berbentuk serbuk bukan kristal (Winarno, 1991).
12
Pati dihasilkan dari proses fotosintesis tanaman yang dibentuk (disintesa) di dalam daun (plastid) dan amiloplas seperti umbi, akar atau biji dan merupakan komponen terbesar pada singkong, beras, sagu, jagung, kentang, talas, dan ubi jalar. Pati merupakan senyawa polisakarida yang terdiri dari monosakarida yang berikatan melalui ikatan glikosidik. Monomer dari pati adalah glukosa yang berikatan dengan ikatan (1,4)-glikosidik, yaitu ikatan kimia yang menggabungkan 2 molekul monosakarida yang berikatan kovalen terhadap sesamanya. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari rantai molekul-molekul glukosa yang panjang dengan 2 jenis, yaitu amilosa dari rantai molekul glukosa yang panjang dan lurus serta amilopektin yang terdiri dari rantai molekul glukosa yang lebih pendek dan bercabang. Amilopektin mempunyai sifat koloidal sehingga jika dipanaskan, campuran air dengan pati akan menjadi kental. Komposisi amilopektin dan amilosa berbeda dalam pati berbagai bahan makanan. Amilopektin pada umumnya terdapat dalam jumlah lebih besar. Sebagian besar pati mengandung antara 15% dan 35% amilosa. Polimer linier dari D-glukosa membentuk amilosa dengan ikatan (α)-1,4glukosa. Sedangkan polimer amilopektin adalah terbentuk dari ikatan (α)-1,4glukosida dan membentuk cabang pada ikatan (α )-1,6-glukosida sebanyak 4-5 dari berat total (Winarno, 1991). Kandungan pati tidak sama di setiap tanaman, berikut ini adalah kandungan pati dari beberapa jenis tanaman:
13
Tabel 1. Kandungan pati beberapa jenis tanaman Jenis Tanaman % Pati (Basis Kering) Beras 89 Jagung 57 Biji Sorgum 72 Kentang 75 Ubi Jalar 90 Singkong 90 Talas 68,24 – 72,61 Sumber : Winarno, 1991. Pati dapat digolongkan berdasarkan sifat-sifat pasta yang dimasak. Pati serealia (jagung, gandum, beras dan sorghum) membentuk pasta kental yang mengandung bagian-bagian pendek dan pada pendinginan membentuk gel yang buram. Pati akar dan umbi (kentang, ketela dan tapioka) membentuk pasta sangat kental dan mengandung bagian-bagian panjang. Pasta ini biasanya jernih dan pada pendinginan hanya membentuk gel lunak (Winarno, 1991). Salah satu jenis pati yang berasal dari ubi yaitu tapioka. Tapioka yang berasal dari ubi kayu (singkong) merupakan sumber karbohidrat yang cukup baik, kandungan pati dari ubi kayu (singkong) yaitu 34,6%. Tapioka banyak digunakan dalam berbagai industri karena kandungan patinya yang tinggi dan sifat patinya yang mudah membengkak dengan membentuk kekentalan yang dikehendaki (Winarno, 1991). Produksi singkong di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik, mencapai lebih dari 24 juta ton pada tahun 2013 dan menduduki peringkat kelima terbesar dunia. Hal ini menyisakan permasalahan lingkungan, yaitu limbah berupa kulit singkong. Kulit singkong mencapai 10-20 % dari umbi, dan lapisan periderm mencapai 0,5-2,0 % dari total berat umbi, lapisan cortex yang berwarna putih mencapai 8-19,5% (Supriadi, 1995). Dengan data tersebut maka limbah kulit
14
singkong mencapai 2,4 juta ton – 4,8 juta ton per tahun. Kandungan pati kulit singkong mencapai 15-20 gram per 100 gram kulit singkong (Grace, 1997). Kulit singkong merupakan limbah hasil pengolahan produk pangan berbahan dasar umbi singkong, jadi keberadaannya sangat dipengaruhi oleh eksistensi tanaman singkong di indonesia. Tanaman singkong mudah dijumpai di Indonesia, karena dapat tumbuh di dataran rendah dan tinggi (10-1.500 m dpl). Selain itu singkong juga dapat dikembangbiakkan dilahan-lahan marginal, kurang subur dan kekurangan air (Abidin, 2009). Sampai saat ini kulit singkong masih belum dimanfaatkan secara optimal. Kulit singkong dikatakan sebagai limbah, karena banyak orang belum dapat memanfaatkan kulit singkong tersebut menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat, sehingga dibuang dengan percuma (Feryanto, 2007). Masyarakat biasanya hanya memanfaatkan kulit singkong untuk pakan ternak atau bahkan hanya dibuang, padahal kulit singkong masih mengandung zat gizi. Berikut ini adalah kandungan kimia kulit singkong dalam 100 gram: Tabel 2. Kandungan gizi dalam 100 gram kulit singkong Zat Kandungan Gizi Protein (%) 8,11 Lemak kasar (%) 1,44 Air (%) 67,74 Abu (%) 1,86 Karbohidrat (%) 16,72 Serat Kasar (%) 15,20 Pektin (%) 0,22 Kalsium (%) 0,63 Sumber : (Winarno, 1990)
15
2.5. Gelatinisasi Pati Pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air
dan
membengkak.
Namun
demikian
jumlah
air
yang
terserap
dan
pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu antara 55oC sampai
65oC
merupakan
pembengkakan
yang sesungguhnya,
dan
setelah
pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa, tetapi bersifat tidak dapat kembali lagi pada kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Suhu gelatinisasi tergantung pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut makin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan kadang-kadang turun. Suhu gelatinisasi berbeda-beda tiap jenis pati dan merupakan suatu kisaran. Dengan viscometer suhu gelatinisasi ditentukan, misalnya pada tapioka yaitu 52oC – 64 oC (Winarno, 1991). Selain konsentrasi, pembentukan gel ini dipengaruhi pula oleh pH larutan. Pembentukan gel optimum pada pH 4-7. Bila pH terlalu tinggi, pembentukan gel makin cepat tercapai tapi cepat turun lagi, sedangkan bila pH terlalu rendah terbentuknya gel lambat dan bila pemanasan diteruskan, viskositas akan turun lagi (Winarno, 1991). 2.6. Kitosan Kitosan merupakan senyawa polimer dari 2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa yang dapat dihasilkan dari kitin yang dihilangkan gugus asetilnya dengan menggunakan asam pekat. Kitosan merupakan senyawa yang tidak beracun serta
16
mudah terbiodegradasi. Kitosan mempunyai potensi untuk dimanfaatkan pada berbagai jenis industri maupun aplikasi pada bidang kesehatan. Salah satu contoh aplikasi khitosan yaitu sebagai pengikat bahan-bahan untuk pembentukan alat-alat gelas, plastik, karet, dan selulosa yang sering disebut dengan formulasi adesif khusus. Pemanfaatan khitosan sebagai bahan tambahan pada pembuatan film plastik berfungsi untuk memperbaiki transparasi film plastik yang dihasilkan dan meningkatkan sifat mekanik dari film (Joseph et al., 2009). Kitosan mempunyai sifat yang baik untuk dibentuk menjadi plastik dan mempunyai sifat antimikrobakterial. Kitosan mudah digabungkan dengan material lainnya (Dutta et al., 2009). Kitosan tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut asam organik di bawah pH 6 antara lain asam formiat, asam asetat, dan asam laktat. Kelarutan khitosan dalam pelarut asam anorganik sangat terbatas, antara lain sedikit larut dalam larutan HCl 1% tetapi tidak larut dalam asam sulfat dan asam phosphate (Nadarajah, 2005). Berikut ini kualitas standar kitosan, disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kualitas standar kitosan Sifat-sifat kitosan Nilai Yang Dikehendaki Kadar air % (W/W) < 10 Kadar Abu % (W/W) >2 Derajat Deasetilasi % (W/W) >70 Warna Putih kekuningan Sumber : Protan Laboraturies Inc, 2004 dalam Fachry dan Sartika, 2012 2.7. Plasticizer Plastisizer (bahan pelembut) adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang ditambahkan pada suatu produk dengan tujuan untuk menurunkan kekakuan dari polimer, sekaligus meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas
17
polimer (Gontard et al., 1993). McHugh and Krochta (1994), menyatakan bahwa poliol seperti gliserol adalah plasticizer yang cukup baik untuk mengurangi ikatan hidrogen internal sehingga akan meningkatkan jarak intermolekul. Plasticizer merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam suatu bahan pembentuk film untuk meningkatkan fleksibilitasnya, karena dapat menurunkan gaya intermolekuler sepanjang rantai polimernya, sehingga film akan lentur ketika dibengkokkan (Yulianti dan Ginting, 2012). Gliserol merupakan salah satu plasticizier. Gliserol adalah senyawa yang banyak ditemukan pada lemak hewani maupun lemak nabati sebagai ester gliseril pada asam palmitat dan oleat. Gliserol adalah senyawa yang netral, dengan rasa manis tidak berwarna, cairan kental. Gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol, tetapi tidak dalam minyak. Sebaliknya, banyak zat dapat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding dalam air maupun alkohol, oleh karena itu gliserol merupakan jenis pelarut yang baik (Yusmarlela, 2009). Gliserol (1,2,3 propanetriol) merupakan cairan yang tidak berwarna, tidak berbau dan merupakan cairan kental yang memiliki rasa manis (Pagliaro dan Rossi., 2008). Secara umum, senyawa poliol (polihidroksi termasuk gliserol) dari berbagai sumber, banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan industri. Salah satu contoh pemanfaatan gliserol dalam industri polimer yakni sebagai pemlastik maupun pemantap. Senyawa poliol dapat diperoleh dari hasil industri petrokimia, maupun langsung dari transformasi minyak nabati dan olahan industri oleokimia. Senyawa poliol khususnya gliserol yang terbuat dari minyak nabati dan industry oleokimia
18
bersifat dapat diperbaharui, sumber mudah diperoleh, dan juga ramah dengan lingkungan karena mudah terdegradasi di alam (Yusmarlela, 2009). Gliserol juga larut sempurna dalam alkohol, dapat terlarut dalam pelarut tertentu misalnya eter dan etil asetat, namun bersifat tidak larut dalam hidrokarbon. Gliserol memiliki banyak kegunaan, hal ini ditunjukkan dengan adanya keragaman jenis produk berbahan baku gliserol yang saat ini beredar secara luas di pasaran seperti dalam pembuatan pernis, tinta, permen dan lain sebagainya (Wardani, 2007). Gliserol memiliki kegunaan diantaranya dalam bidang kosmetik digunakan sebagai body agent, emollient, humectants, lubricant, solven. Biasanya dipakai untuk skin cream and lotion, shampoo and hair conditioners, sabun dan detergen, Pada industri makanan dan minuman digunakan sebagai solven, emulsifier, conditioner, freeze, preventer and coating serta dalam industri minuman anggur, Pada Industri Logam digunakan untuk pickling, quenching, stripping,electroplatting, galvanizing dan solfering, pada industri kertas dan plastic digunakan sebagai humectant, plasticizer, dan softening agent, pada industri farmasi digunakan untuk antibiotik dan kapsul, pada bidang fotografi digunakan sebagai plasticizing, dan pada industri tekstil digunakan untuk lubricating, antishrink, waterproofing dan flameproofing (Ismawati, 2013) Berikut ini adalah sifat-sifat fisika dan kimia Gliserol adalah sebagai berikut (Winarno, 1991) :
19
Tabel 4. Sifat Fisika Gliserol Karakteristik Berat molekul Titik beku Titik didih Spesifik gravity Densitas Viskositas
Nilai 92,09 kg/kmol 17,9 0 C 2040 C 1,260 0,847 g/cm3 70 °C 34 cP
Sumber : Winarno, 1991 Adapun sifat kimia gliserol yaitu sebagai berikut : larut dalam air, merupakan senyawa hidroskopis, tidak stabil pada suhu kamar, dan rumus kimia gliserol yaitu C3H8O3. Gliserol merupakan salah satu plasticizer yang banyak digunakan karena cukup efektif mengurangi ikatan hidrogen internal sehingga akan meningkatkan jarak intermolekuler. Gliserol merupakan plastizicer yang bersifat hidrofilik, sehingga cocok untuk bahan pembentuk plastik yang bersifat hidrofilik seperti pati. Ia dapat meningkatkan sorpsi molekul polar seperti air. Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas plastik. Molekul plastizicer akan mengganggu
kekompakan
pati,
menurunkan
interaksi
intermolekuler
dan
meningkatkan mobilitas polimer. Selanjutnya mengakibatkan peningkatan elongation dan penurunan tensile strength seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Penurunan interaksi intermolekuler dan peningkatan mobilitas molekul akan memfasilitasi migrasi molekul uap air (Gontard et al., 1993). Berikut ini gambar struktur kimia gliserol, dapat dilihat pada Gambar 1.
20
H
OH
OH
OH
C
C
C
H
H
H
H
Gambar 1. Struktur Kimia Gliserol (Sumber : Bunyamin, 2011) 2.8. Sifat Mekanik Plastik Parameter yang dapat menentukan kualitas film plastik biodegradasi adalah sifat mekanik film plastik yang terdiri dari kekuatan tarik (tensile strength), persen pemanjangan saat putus (elongation to break) dan elastisitas (elastik/young modulus) (Bertolini, 2010). Sifat mekanik bahan adalah sifat bahan ketika mendapatkan tekanan mekanik (mechanical stress). Sifat mekanik penting untuk desain karena fungsi dan kinerja produk tergantung pada daya tahan terhadap deformasi akibat tekanan (Huda, 2009). Sifat mekanik plastik terdiri dari kekuatan tarik (tensile strength), perpanjangan saat puts (elongation at break) dan keelastisannya (McHugh and Krochta, 1994). Tensile strength (MPa) adalah ukuran untuk kekuatan film secara spesifik, merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan sebelum putus/sobek (Krochta and Johnston, 1997). Pengukuran ini untuk mengetahui besarnya gaya yang diperlukan untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap luas area film. Kekuatan tarik (%) dipengaruhi oleh bahan pemplastis atau plasticizer yang ditambahkan dalam proses pembuatan film. Persen pemanjangan saat putus merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus. Perpanjangan didefinisikan sebagai persentase perubahan
21
panjang film pada saat film ditarik sampai putus. Kekuatan regang putus merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film dapat tetap bertahan sebelum film putus atau robek. Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada setiap satuan luas film untuk merenggang atau memanjang. Perbandingan antara kuat putus dan perpanjangan saat putus dikenal dengan modulus elastisitas. Modulus elasitas bahan disebut Modulus Young (Krochta and Johnston, 1997). Standar Plastik Internasional besarnya kuat tarik untuk plastik Poly Lactid Acid (PLA) dari Jepang mencapai 2050 MPa dan plastik Polycaprolactone (PCL) dari Inggris mencapai 190 MPa, persentase pemanjangan (elongasi) untuk plastik Poly Lactid Acid (PLA) dari Jepang mencapai 9% dan plastik Polycaprolactone (PCL) dari Inggris mencapai >500 % (Aveorus, 2009 dalam Utomo et al., 2013). 2.9. Biodegradasi Biodegradasi didefinisikan sebagai suatu proses oksidasi senyawa organik oleh mikroorganisme, baik di tanah, perairan, atau pada instalasi pengolahan limbah. Biodegradasi adalah penyederhanaan sebagian atau penghancuran seluruh bagian struktur molekul senyawa oleh reaksi-reaksi fisiologis yang dikatalisis oleh mikroorganisme. Biodegradabilitas merupakan kata benda yang menunjukkan kualitas yang digambarkan dengan kerentanan suatu senyawa (organik atau anorganik) terhadap perubahan bahan akibat aktivitas-aktivitas mikroorganisme (Paramita et al., 2012). Biodegradasi terjadi karena bakteri dapat melakukan metabolisme zat organik melalui sistem enzim untuk menghasilkan karbon dioksida,
22
air dan energi. Polimer biodegradable adalah polimer yang terdegradasi di lingkungan oleh proses biotik maupun abiotik dan pada akhirnya dihilangkan melalui asimilasi oleh organisme hidup untuk tidak meninggalkan residu (Swift, 1990). Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan yaitu sifat hidrofobik, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan. Proses terjadinya biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul menghasilkan polimer dengan berat molukel rendah. Proses berikutnya serangan mikroorganisme yaitu jamur, bakteri dan alga serta aktivitas enzim (intraseluler, ekstraseluler). Contoh mikroorganisme
diantaranya
phototrop
(Rhodospirillum,
Rhodopseudomonas,
Chromatium, Thiocystis), pembentuk endospora (Bacillus, Clostridium), garam negative aerob (pseudomonas, zoogloa, azotobacter, Rhizobium, Actynomycetes, Alcaligenes) (Griffin, 1994). Pengujian sifat biodegradable bahan plastik dapat dilakukan menggunakan enzim, mikroorganisme dan uji penguburan. Metode uji standar dan protokol diperlakukan
untuk
menetapkan
dan
mengkuantifikasi
degradabilitas
dan
biodegrdadasi polimer, dan konfirmasi dengan alam dari breakdown produk (Griffin, 1994). Berikut adalah jenis dan teknis pengujian biodegradasi yang sudah pernah dilakukan, yaitu: a. Subowo dan Pujiastuti (2003) menggunakan metode soil burial test untuk menguji biodegradabilitas dari film plastik yang terbuat dari pati jagung. Metode yang digunakan dengan cara menanam sampel pada pot berisi tanah yang telah
23
ditambahkan mikroorganisme, kemudian menganalisis persentase penyusutan bobot film plastik tersebut. b. Menurut Harnist dan Darni (2011), sampel berupa film bioplastik ditanamkan pada tanah yang ditempatkan dalam pot dengan asumsi komposisi tanah sama kemudian melakukan analisis fisik dari film plastik tersebut.