BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian pustaka 2.1.1 Kepuasan kerja 2.1.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006), kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul ketika harapan seseorang tidak terpenuhi. Menurut Luthans (2006:243),
Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi
karyawan seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal yang dinilai penting. Menurut Robbins dan Judge (2008), kepuasan kerja adalah perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang tidak puas memiliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan. Menurut Rivai (2009), mendefinisikan kepuasan kerja sebagai: Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Semakin tinggi penilaian terhadap kegiatan yang dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka semakin tinggi pula kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Menurut beberapa definisi tentang kepuasan kerja diatas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah suatu sikap dimana apa yang diperoleh dari pekerjaannya sesuai dengan apa yang diharapkan dari pekerjaan.
10
11 2.1.1.2 Jenis-jenis Kepuasan Kerja Menurut Hasibuan (2005), kepuasan kerja dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: 1) Kepuasan kerja dalam pekerjaan Adalah kepuasan yang dinikmati dalam pekerjaan dengan memperoleh pujian hasil kerja, penempatan, perlakuan peralatan, dan suasana lingkungan yang kerja baik. Karyawan lebih suka mengutamakan pekerjaannya dari pada balas jasa, walaupun balas jasa itu penting. 2) Kepuasan kerja diluar pekerjaan Adalah kebutuhan kerja karyawan yang menikmati kepuasan kerjanya dengan besarnya balas jasa yang akan diterima dari hasil kerjanya, agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Karyawan yang lebih suka menikmati pekerjaannya diluar pekerjaan akan lebih mempersoalkan balas jasa daripada fungsifungsinya. 3) Kepuasan kerja kombinasi dalam dan luar pekerjaan Adalah kepuasan kerja yang dicerminkan oleh sikap emosional yang seimbang antara balas jasa dengan pelaksanaan kerjanya, karyawan yang lebih suka menikmati kepuasan kerja kombinasi akan merasa puas jika hasil kerja dan balas jasa yang diterima dirasa adil.
2.1.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepuasan Kerja Menurut Luthans (2006:243), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan kerja, diantaranya ialah:
12 1) Pekerjaan itu sendiri Tingkat dimana sebuah pekerjaan menyediakan tugas yang menyenangkan, kesempatan belajar dan kesempatan untuk mendapatkan tanggung jawab. Ciriciri intrinsik dari pekerjaan ini dapat mempengaruhi tingkat kepuasan kerja karyawannya. Pekerjaan yang menuntut kecakapan yang lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh karyawan tersebut, atau adanya tuntutan pribadi yang tidak dapat dipenuhi, maka hal tersebut akan menimbulkan frustasi dan akhirnya akan mengakibatkan ketidakpuasan kerja. 2) Gaji/upah Menurut beberapa penelitian, faktor uang dapat menentukan tingkat kepuasan kerja yang dimiliki oleh karyawannya. Uang memang memiliki arti yang berbeda-beda bagi semua orang. Disamping memenuhi kebutuhan-kebutuhan tingkat rendah (makanan, perumahan), uang dapat menjadi simbol dari pencapaian keberhasilan, dan pengakuan/penghargaan. 3) Atasan Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis dan perilaku dukungan. Hubungan antara supervisor dengan karyawan bisa disebut dengan functional attraction yang menjelaskan sejauh mana karyawan merasa atasannya membantu mereka untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja. 4) Rekan kerja Kelompok kerja memiliki dampak dalam kepuasan kerja. Persahabatan kerjasama dengan rekan kerja merupakan sumber-sumber utama dari kepuasan kerja
secara
individu.
Kelompok
kerja
memberikan
sumber-sumber
kenyamanan, nasihat, dan bantuan kepada karyawan individu. Kelompok kerja
13 yang baik dapat membuat pekerjaan menjadi menyenangkan. Sebaliknya jika kondisi bahwa karyawan sangat sulit untuk bergaul, maka faktor ini merupakan dampak dalam kepuasan kerja. Selain itu juga jika terjadi konflik dengan rekan kerja, maka akan berpengaruh pada tingkat kepuasan karyawan terhadap pekerjaan. 5) Kesempatan promosi Kemampuan supervisor untuk menyediakan bantuan teknis dan perilaku dukungan. Menurut Locke, hubungan fungsional dan hubungan keseluruhan yang positif memberikan tingkat kepuasan kerja yang paling besar dengan atasan. Hubungan fungsional mencerminkan sejauh mana atasan membantu tenaga kerja. Hubungan keseluruhan didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa.
2.1.1.4 Dampak ketidakpuasan kerja Menurut Robbins dan Judge (2008:111-112), ada konsekuensi ketika karyawan menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak menyukai pekerjaan mereka. Dalam bagan berikut ini menunjukkan ada 4 respon kerangka, yang berbeda dari satu sama lain bersama dengan 2 dimensi yaitu: konstruktif/destruktif dan aktif/pasif, didefinisikan sebagai berikut: 1) Exit (Keluar) Ketidakpuasan
ditunjukan
melalui
perilaku
yang
mengarahkan
pada
meninggalkan organisasi, termasuk mencari posisi baru atau mengundurkan diri.
14 2) Voice (Aspirasi) Ketidakpuasan ditunjukan melalui usaha secara aktif dan konstruktif untuk memperbaiki keadaan termasuk menyarankan perbaikan mendiskusikan masalah dengan atasan dan berbagai bentuk aktivitas perserikatan. 3) Loyalty (Kesetiaan) Ketidakpuasan ditunjukkan secara pasif, tetapi optimistik dengan menunggu membaiknya kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman eksternal dan mempercayai organisasi dan manajernya untuk “melakukan hal yang benar” 4) Neglect (Pengabdian) Ketidakpuasan ditunjukan melalui tindakan secara pasif membiarkan kondisi semakin buruk, termasuk kemangkiran atau keterlambatan secara kronis, mengurangi usaha, dan meningkatkan tingkat kesalahan.
Sumber: Robbins dan Judge (2008: 111-112) Gambar 2.1 Respon-respon terhadap ketidakpuasan kerja
15 2.1.2 Keadilan organisasi 2.1.2.1 Pengertian keadilan organisasi Menurut Hughes et al (2006), keadilan organisasi merupakan pendekatan kognitif berdasarkan penyimpulan dari pernyataan beberapa orang yang diperlakukan tidak adil dan kehilangan produktivitas, kepuasan dan komitmen untuk organisasi mereka. Menurut Griffin and Moorhead (2010), keadilan organisasi adalah sebuah ukuran dari tingkat kewajaran yang diterima oleh karyawan sehubungan dengan pengambilan keputusan. Menurut Steve (2007), keadilan organisasi adalah sejauh mana para pekerja percaya bahwa mereka sedang memperlakukan adil. Bisa berhubungan dengan seleksi, promosi penilaian kinerja, meningkatkan, manfaat, dll Parker dan Kohlmeyer (2005), menjelaskan keadilan organisasional meliputi persepsi anggota organisasi tentang kondisi keadilan yang mereka alami dalam organisasi, secara khusus tentang rasa keadilan yang terkait dengan alokasi penghargaan organisasi seperti gaji dan promosi. Rasa keadilan akan muncul ketika otoritas organisasi konsisten dan tidak bias dalam pengambilan keputusan organisasi terutama terkait dengan alokasi gaji dan promosi. Aturan organisasi yang tidak konsisten dan bias terhadap individu adalah suatu tindakan diskriminasi, sehingga muncul rasa diskriminasi (perceived discrimination) oleh individu. Jadi dapat disimpulkan bahwa Keadilan Organisasi merupakan di mana adanya kesimbangan atas hasil kerja (gaji, bonus, perlakuan, persebaran informasi atau adanya promosi jabatan) dengan kontribusi yang karyawan berikan kepada organisasi, dan tentunya demi kepentingan organisasi.
16 2.1.2.2 Jenis-jenis keadilan organisasi Menurut Griffin and Moorhead (2010), jenis-jenis keadilan organisasi dibedakan ke dalam tiga bentuk, yaitu: 1) Distributif Justice (keadilan distributif) Keadilan distributif mengacu pada persepsi karyawan terhadap keadilan dengan imbalan dan hasil yang bernilai lainnya yang didistribusikan dalam organisasi. persepsi keadilan distributif mempengaruhi kepuasan individu dengan berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan hasil seperti gaji, tugas kerja, pengakuan, dan kesempatan untuk kemajuan. Selanjutnya, Muchinsky mengatakan bahwa keadilan distrbutif dinilai melalui tiga perspektif. Perspektif ni merupakan tambahan dari pandangan sebelumnya, yaitu : (1) Equity, hasil yang didapat individu harus sesuai dengan kontribusi yang diberikannya. Misalnya: semakin tinggi produktivitas kerja individu, semakin tinggi bonus yang didapat. (2) Equality, semua orang mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan hasil/keputusan. Misalnya: semua pegawai mendapatkan jumlah bonus yang sama di akhir tahun. (3) Need, pengalokasian hasil yang ideal sesuai dengan kebutuhan individu. Misalnya: dalam pembagian bonus, individu yang sedang membutuhkan bantuan finansial mendapat bonus lebih besar.
17 2) Procedural Justice (keadilan prosedural) Keadilan prosedural adalah keadilan yang berfokus pada proses yang digunakan untuk membuat keputusan. Proses pembutan keputusan dapat berbentuk: pembuatan peraturan yang ada di organisasi, pemberian hukuman, dll. Ketika pekerja menganggap keadilan prosedural tinggi, maka mereka akan lebih termotivasi untuk berpartisipasi dalan kegiatan, mengikuti aturan, dan menganggap hasil yang relavan adalah adil. Tetapi jika para pekerja merasa ketidakadilan prosedural, mereka cenderung menarik diri dari kesempatan untuk berpartisipasi, untuk kurang memperhatikan aturan dan kebijakan, dan menganggap hasil yang relavan adalah tidak adil. Lynd dan Tyler dalam Dunnet dan Douglas (2006), mengatakan bahwa ada empat nilai yang membentuk keadilan prosedural, yaitu: (1) Voice, kesempatan pegawai untuk menympaikan aspirasinya. (2) Trust, kepercayaan pegawai terhadap pembuatan keputusan. (3) Neutrality, persepsi pegawai tentang kejujuran dan ketidakbiasan pembuatan keputusan. (4) Standing, perlakuan yang didapat oleh pegawai dari otoritas yang membuat keputusan. 3) Interaksional Justice ( keadilan interaksional) Keadilan interaksional adalah interaksi antara sumber alokasi dan orang-orang yang akan dipengaruhi oleh alokasi keputusan, atau metode yang menceritakan bagaimana untuk melakukan sesuatu dan apa yang harus dilakukan kepada orang-orang dalam proses pengambilan keputusan.
18 2.1.2.3 Dampak keadilan organisasi Persepsi keadilan di dalam organisasi mempunyai dampak bagi organisasi maupun pegawai. Dampak tersebut antara lain adalah: 1) Agresi di tempat kerja Menurut Henny (2005), menyatakan bahwa persepsi tentang keadilan organisasi mempunyai hubungan dengan tingkat aggresivitas di tempat kerja. Semakin rendah persepsi tentang keadilan organisasi, semakin tinggi tingkat aggresivitas pegawai, seperti: mencemooh organisasi/atasan, berkata kasar, merusak bendabenda di sekitar. 2) Kesiapan untuk berubah Menurut Krause (2008), persepsi keadilan di organisasi mempunyai pengaruh terhadap
kesiapan
pegawai
menghadapi
perubahan.
Pegawai
yang
mempersepsikan adanya keadilan di organisasi cenderung lebih siap menghadapi perubahan. 3) Kepuasan kerja Menurut Samad (2006), bahwa keadilan organisasi memiliki hubungan positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja. Semakin tinggi persepsi keadilan organisasi, maka semakin tinggi kepuasan kerja. Persepsi tentang keadilan membuat pegawai merasa puas dengan rekan kerja, gaji, atasan, dan tugas yang diberikan kepadanya. 4) Komitmen organisasi Keadilan organisasi mempunyai hubungan positif terhadap komitmen organisasi. semakin tinggi keadilan organisasi, maka semakin tinggi komitmen pegawai terhadap organisasi (Samad, 2006). Hal ini disebabkan adanya komitmen dari
19 organisasi memperlakukan diri pegawai secara adil. Sebagai balasannya, pegawai pun berkomitmen terhadap organisasinya.
2.1.3 Pemberdayaan karyawan 2.1.3.1 Pengertian pemberdayaan karyawan Menurut Goetsch & Davis (2006, 230), pemberdayaan tidak berarti hanya melibatkan karyawan akan tetapi melibatkan mereka dengan cara memberikan mereka suara yang sebenarnya. Melibatkan karyawan dalam membuat keputusan berhubungan dengan pekerjaan mereka adalah prinsip dasar dari manajemen yang baik. Dengan total kualitas manajemen, prinsip ini bahkan lebih diutamakan. Karyawan dilibatkan tidak hanya dalam membuat keputusan tetapi juga dalam proses pemikiran kreatif yang mengawali pengambilan keputusan. Menurut Thomas dan Velthouse, 1990 dalam Nur Chasanah (2008), keleluasaan kepada individu untuk bertindak dan sekaligus bertanggung jawab atas tindakannya sesuai dengan tugas yang diembannya. Menurut Robert dan Greene dalam Damanik dan Pattiasina (2009:93), pemberdayaan adalah suatu proses bagaimana orang semakin cukup kuat untuk berpatisipasi dalam berbagi kendali dan mempengaruhi peristiwa dan intistusi yang mempengaruhi kehidupan mereka. Menurut Cook dan Macaulay dikutip Wibowo (2008:112), pemberdayaan merupakan perubahan yang terjadi pada filsafah manajemen yang dapat membantu menciptakan suatu lingkungan dimana setiap individu dapat menggunakan kemampuan dan energinya untuk meraih tujuan organisasi. Berdasarkan
penjelasan
di
atas,
maka
dapat
disimpulkan
bahwa
pemberdayaan karyawan adalah memberikan wewenang “kepemilikan” dan tanggung jawab kepada karyawan atas pekerjaan mereka untuk dapat membangun
20 dan memaksimalkan kemampuan pribadi dan menjadi lebih professional dalam kontribusinya terhadap pekerjaan mereka.
2.1.3.2 Dimensi pemberdayaan karyawan Menurut Thomas dan Velthouse, 1990 dalam Nur Chasanah (2008), ditemukan empat dimensi umum yang dimiliki pemberdayaan, yaitu: 1) Meaning (Arti) Meaning adalah nilai dari suatu tujuan kerja yang dinilai dalam kaitannya dengan tujuan atau standar individu yang bersangkutan. Arti mencakup suatu kesesuaian antara persyaratan dari suatu peran kerja dan keyakinan, nilai, dan perilaku. 2) Competence (Kompetensi) Competence Mempunyai arti yang sama dengan self-efficacy, merupakan keyakinan seseorang
terhadap
kemampuannya untuk mengatur dan
melaksanakan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Kompetensi lebih memfokuskan pada kemampuan dalam melaksanakan peran kerja tertentu, bukan peran kerja secara umum atau sering disebut dengan self-esteem. 3) Self-determination (Penentuan diri) Self-determination adalah perasaan individu yang berkaitan dengan pilihan dalam mengawali dan mengatur dalam membuat pilihan atau melakukan suatu pekerjaan. Penentuan diri merefleksikan otonomi dalam mengawali dan melaksanakan perilaku dan proses kerja, misalnya mengenai pembuatan keputusan tentang metode kerja, kecepatan, dan usaha yang dilaksanakan. 4) Impact (Pengaruh)
21 Impact adalah suatu tingkatan yang mana individu dapat mempengaruhi hasilhasil strategik, administratif, dan operasional dari hasil kerja.
2.1.3.3 Manfaat Pemberdayaan Konsep pemberdayaan lahir ketika kegiatan pendidikan dan pelatihan dirasa sudah tidak efektif lagi karena dinilai terlalu bersifat top down sehingga kurang mampu mengembangkan kreativitas dan inovasi karyawan. Pemberdayaan adalah suatu cara pendekatan baru yang lebih bersifat bottom up karena menuntut karyawan lebih kreatif dan inovatif secara mandiri dengan dukungan langsung dari pemberi wewenang. Menurut Wibowo (2008:116) beberapa alasan perlunya pemberdayaan: 1) Semakin intensifnya kompetisi sehingga organisasi perlu memperdayakan orang untuk melawan tantangan kompetisi. 2) Inovasi teknologi berubah cepat sehingga organisasi perlu memberdayakan orang lain untuk menggunakan sebaik mungkin teknologi maju. 3) Permintaan yang tetap atas kualitas yang lebih tinggi dan nilai yang lebih baik menyebabkan organisasi perlu memperdayakan orang untuk menemukan cara inovatif guna memperbaiki produk dan jasa. 4) Tumbuhnya masalah ekologi menuntut organisasinya perlu memberdayakan orang untuk melaksanakan kebijakan ekologi. Seiring dengan era globalisasi yang tidak mungkin dihindari, perusahaan harus dapat mengikuti aturan atau bahkan harus mengimbangi adanya upaya-upaya perubahan-perubahan yang diakibatkan globalisasi sehingga dapat meningkatkan kualitas kerja. Menurut
Wibowo
(2008:117)
manfaat
adanya
pemberdayaan
yaitu
meningkatkan percaya diri dalam melakukan sesuatu, yang pada waktu sebelumnya
22 tidak pernah percaya mungkin dilakukan. Bagi organisasi, pemberdayaan akan meningkatkan kinerja organisasi dan individu dapat mengembangkan bakatnya secara penuh.
2.1.3.4 Model Pemberdayaan Karyawan Sharafat Khan dalam jurnal Erni Widajanti (2008:65-67), menawarkan sebuah model pemberdayaan yang dapat dikembangkan dalam sebuah organisasi. Model pemberdayaan tersebut yaitu: 1) Desire
adalah
tahap dimana
ada
keinginan
dari manajemen
untuk
mendelegasikan dan melibatkan pekerja. 2) Trust (membangun kepercayaan antara manajemen dengan karyawan), hal ini terjadi setelah ada keinginan dari manajemen untuk melakukan pemberdayaan. Dengan adanya saling percaya diantara manajemen dan karyawan akan tercipta kondisi yang baik untuk pertukaran informasi dan saran tanpa rasa takut. 3) Confident adalah tahap menimbulkan rasa percaya diri karyawan dengan menghargai kemampuan yang dimiliki oleh karyawan. 4) Credibility adalah memberikan penghargaan dan mengembangkan lingkungan kerja yang mendorong kompetisi yang sehat, sehingga tercipta organisasi yang memiliki kinerja yang tinggi. 5) Accountability (pertanggung jawaban karyawan terhadap wewenang yang diberikan). Dengan menetapkan secara konsisten dan jelas tentang peran, standard, dan tujuan tentang penilaian terhadap kinerja karyawan dalam penyelesaian dan tanggung jawab terhadap wewenang yang diberikan. 6) Communication
adalah
tersedianya
komunikasi
yang
terbuka
untuk
menciptakan saling memahami antara karyawan dan manajemen. Keterbukaan
23 ini dapat diwujudkan dengan adanya kritik, saran terhadap hasil dan prestasi yang dilakukan pekerja.
2.1.4 Komitmen organisasi 2.1.4.1 Pengertian komitmen organisasi Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006), Komitmen Organisasi (Organizational Commitment) adalah tingkat sampai di mana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi tersebut. Berbagai studi penelitian menunjukan bahwa orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya akan sedikit lebih berkomitmen terhadap organisasi. Menurut Griffin (2004:15), sikap yang mencerminkan sejauh mana seorang individu mengenal dan terikat pada organisasinya. Menurut Sopiah (2008:156), komitmen organisasi sebagai daya relatif dari keberpihakan dan keterlibatan seseorang terhadap suatu organisasi”. Dengan kata lain komitmen organisasional merupakan sikap mengenai loyalitas pekerja terhadap organisasi dan merupakan proses yang berkelanjutan dari anggota organisasi untuk mengungkapkan perhatiannya pada organisasi dan hal tersebut berlanjut pada kesuksesan dan kesejahteraan. Stephen P. Robbins & Timothy A Judge (2008:100) mendefinisikan komitmen organisasi adalah Suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak organisasi tertentu serta tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi . Dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi adalah keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan, kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan yang kuat untuk bekerja
24 demi organisasi dan tingkat sampai sejauh mana ia tetap ingin menjadi anggota organisasi.
2.1.4.2 Dimensi Komitmen Organisasi Ada tiga dimensi komponen dari komitmen organisasi menurut Griffin (2004 :15), yaitu sebagai berikut: 1) Affectife commitment (Komitmen afektif) Adalah berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan pegawai di dalam suatu organisasi. Pekerja dengan komitmen afektif kuat akan selalu melakukan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya karena ingin berbuat lebih banyak lagi di organisasi. 2) Continuance commitment (Komitmen berkelanjutan) Adalah komponen berdasarkan persepsi pegawai tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi; Pekerja yang terlibat dalam organisasi didasarkan kepada komitmen berkelanjutan ini, maka pekerja tersebut akan tetap bertahan dalam organisasi karena mereka merasa bahwa jika mereka keluar akan menimbulkan biaya yang besar bagi diri mereka . 3) Normative Commitment (Komitmen normatif) Adalah merupakan perasaan-perasaan pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi. Pekerja dengan komitmen normatif yang tinggi, memiliki perasaan membela organisasi meskipun ada tekanan sosial, maka mereka merasa perlu untuk mempertahankan organisasi.
25
Sumber: Greenberg dan Baron, 2003 Gambar 2.2 Dimensi Komitmen Organisasi 2.1.4.3 Cara Meningkatkan Komitmen Organisasi Dessler memberikan pedoman khusus untuk mengimplementasikan sistem manajemen yang mungkin membantu memecahkan masalah dan meningkatkan organizational commitment pada diri karyawan (Luthans, 2006:250): 1) Berkomitmen pada nilai utama manusia Dilakukan dengan membuat aturan tertulis, mempekerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi. 2) Memperjelas dan mengkomunikasikan misi Memperjelas misi dan ideology, berkarisma, menggunakan praktek perekrutan berdasarkan nilai, menekankan orientasi berdasarkan nilai stress dan pelatihan, dan membentuk tradisi 3) Menjamin keadilan organisasi Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif dan menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif 4) Menciptakan rasa komunitas Membangun homogenitas berdasarkan nilai, keadilan, menekankan kerjasama, saling mendung dan kerja tim, dan berkumpul bersama
26 5) Mendukung perkembangan karyawan Melakukan aktualisasi, memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama, memajukan dan memberdayakan, mempromosikan dari dalam menyediakan aktivitas perkembangan, dan menyediakan keamanan kepada karyawan tanpa jaminan
2.1.4.4 Faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi Steers dalam Sopiah (2008) mengidentifikasi ada 3 faktor yang mempengaruhi komitmen karyawan pada organisasi yaitu: 1) Ciri pribadi pekerja, termasuk masa jabatannya dalam organisasi dan variasi kebutuhan dan keinginan yang berbeda dari tiap karyawan. 2) Ciri pekerjaan, seperti identitas tugas dan kesempatan berinteraksi dengan rekan sekerja. 3) Pengalaman kerja, seperti keterandalan organisasi di masa lampau dan cara pekerja-pekerja lain mengutarakan dan membicarakan perasaannya mengenai organisasi.
2.1.5 Hubungan Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasi Menurut Andini (2006), terdapat pengaruh positif antara kepuasan kerja terhadap komitmen organisasi, dimana semakin tinggi tingkat kepuasan kerja karyawan, maka semakin tinggi pula komitmen organisasional karyawan tersebut. Selanjurnya menurut Malik et al. (2010), bahwa karyawan cenderung puas dan lebih setia kepada organisasi mereka. Umumnya, ketika orang puas dengan pekerjaan mereka, mereka akan memiliki perasaan sikap positif tentang pekerjaan mereka. Sedangkan kepuasan yang tinggi akan menyebabkan kualitas hubungan antar
27 individu dalam organisasi menjadi semakin baik. Dan kualitas hubungan akan menyebabkan komitmen di antara mereka juga semakin baik. Kepuasan kerja juga penting untuk aktualisasi diri. Pegawai yang tidak memperoleh kepuasan kerja tidak akan pernah mencapai kematangan psikologis dan pada gilirannya akan frustasi. Oleh karenanya kepuasan bagi pegawai kemudian akan memotivasi pegawai untuk lebih meningkatkan produktivitas dan komitmennya dalam bekerja. Hal diatas mengungkapkan bahwa kepuasan kerja yang dipelihara secara terus-menerus akan menimbulkan perasaan berkomitmen terhadap organisasi. Apalagi jika seorang karyawan merasa lebih puas dengan atasannya, lebih puas dengan penilaian prestasi kerja, dan juga mereka merasakan bahwa organisasi mereka memperhatikan kesejahteraannya, maka semakin tinggi pula tingkat komitmennya terhadap organisasi.
2.1.6 Hubungan Keadilan Organisasi dengan Komitmen Organisasi Menurut pendapat Clay et al (2005), terdapat pengaruh yang signifikan antara keadilan distributive, keadilan prosedural dan keadilan interaksional terhadap komitmen organisasi. untuk mempertahankan komitmen karyawan terhadap perusahaan maka Human Resource Management harus melakukan kontrol langsung dengan mempraktekan keadilan perusahaan secara interaksional, prosedural dan distributif. Dalam penelitian ini menunujukkan bahwa semua perilaku manajerial selalu dipersepsi berdasarkan keadilan yang selanjutnya akan berasosiasi dengan sikap kerja yang di antaranya adalah komitmen terhadap perusahaan (Fischer, 2002). Keadilan prosedural berasumsi bahwa semua karyawan harus dipandang bernilai dan merupakan kelompok kerja
yang juga bernilai. Penghargaan seperti ini
menumbuhkan komitmen karyawan terhadap perusahaan.
28 Menurut Fischer (2003), Keadilan distributif juga menumbuhkan komitmen perusahaan. Karyawan yang mempersepsi bahwa dirinya telah memperoleh apa yang ia persepsi ideal secara pertukaran antara input yang telah diberikan pada perusahaan dan apa yang telah diterima dari perusahaan (reward allocation) akan menciptakan kepuasan individu terhadap pekerjaannya dan perusahaannya. Keadilan distributif yang dimaksudkan tidak hanya berasosiasi dengan pemberian, tetapi juga meliputi pembagian, penyaluran, penempatan, dan pertukaran. Menurut Faturochman (2003), Keadilan interaksional juga merupakan kunci terbentuknya motivasi kerja dan komitmen terhadap organisasi. Keadilan interaksional terkait dengan kombinasi antara kepercayaan seorang bawahan terhadap atasannya dengan keadilan yang nampak dalam lingkungan kerja seharihari. Ketika sudah terbentuk keharmonisan hubungan sosial dalam perusahan maka terbentuklah komitmen karyawan terhadap perusahaan.
2.1.7 Hubungan Pemberdayaan Karyawan dengan Komitmen Organisasi Menurut Anita dan Chiu (2007), mengatakan bahwa komitmen organisasi harus terus menerus ditingkatkan supaya karyawan memperoleh pemahaman yang tinggi akan pemberdayaan karyawan dan nantinya dapat meningkatkan komitmen organisasi. Mereka mengidentifikasi bahwa pemberdayaan di tempat kerja memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen afektif dan komitmen berkelanjutan. Selanjutnya menurut Bhatnagar (2005), menyimpulkan bahwa ada hubungan positif dan signifikan antara pemberdayaan karyawan dan komitmen organisasi. dan menurut Noorliza et al (2006), Pemberdayaan karyawan merupakan salah satu faktor yang mempunyai pengaruh terhadap komitmen organisasi, dimana memiliki peranan penting terhadap kemajuan organisasi/perusahaan, karena pemberdayaan karyawan dapat meningkatkan komitmen organisasi.
29 2.1.8 Penelitian Terdahulu Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang menunjukkan adanya pengaruh Kepuasan Kerja, Keadilan Organisasi dan Pemberdayaan Karyawan terhadap Komitmen Organisasi : Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Variable
Jurnal Penelitian
Peneliti
Kepuasan kerja (X1) – komitmen organisasi (Y)
1. The Impact of Ethical Behavior and Facets of Job Satisfaction on Organizational Commitment of Chinese Employees (June 2011) 2. The impact of employees’ job satisfaction on the organizational commitment: A atudy of faculty members of private sector universities of pakistan. (March 2012)
Fu W, Deshpande S P, Zhao X.
1. Role of Organizational justice in organizational commitment with moderating effect of employee work attitudes (Dec 2012)
Muhammad Jawad, Sobia Raja, Aneela Abraiz and Tahira Malik Tabassum
Keadilan organisasi (X2) – komitmen organisasi (Y)
Hasil Penelitian Kepuasan kerja memiliki Hubungan yang signifikan terhadap komitmen organisasi
Dr. Syed Munir Ahmed Shah and Mohammad Salih Memon
Keadilan Organisasi memiliki Hubungan yang signifikan terhadap komitmen organisasi
30
Pemberdayaan karyawan (X3) – komitmen organisasi (Y)
2. Impact of Organizational Justice Perceptions on Job Satisfaction and Organizational Commitment: The Iranian Sport Federations Perspective (2012)
Siavash Khodaparast Sareshkeh, and Seyed Morteza Tayebi
1. Impact of Employee Empowerment on Employee’s Job Satisfaction and Commitment with the Organization (Jun 2011) 2. Effects of Employees’ Empowerment on Employees’ Commitment to Organization and Employees’ Turnover Intention (An Empirical Evidence from Banking Industry of KPK, Pakistan) (Jan 2012)
Aamir Sarwar and Ayesha Khalid
Sumber: Hasil Pengolahan Data, 2013
Dr. Nazim Ali
Pemberdayaan Karyawan memiliki Hubungan yang signifikan terhadap komitmen organisasi
31 2.2 Kerangka pemikiran Untuk lebih memperjelas arah dari penelitian yang menunujukkan bahwa adanya hubungan antara kepuasan kerja, keadilan organisasi dan pemberdayaan karyawan terhadap komitmen organisasi, maka dalam penelitian ini dapat diambil suatu jalur pemikiran yaitu sebagai berikut:
Kepuasan Kerja (X1) 1. Pekerjaan itu sendiri 2. Gaji/ upah 3. Kesempatan promosi 4. Atasan 5. Rekan kerja
Keadilan Organisasi (X2) Komitmen Organisasi (Y) 1. Keadilan distributive 2. Keadilan procedural 3. Keadilan interaksional
1. Komitmen Afektif 2. Komitmen Kelanjutan 3. Komitmen Normatif
Pemberdayaan Karyawan (X3) 1. Arti 2. Kompetensi 3. Determinasi 4. Pengaruh
Sumber: Kerangka Pemikiran Peneliti, 2013 Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran
32 2.3 Hipotesis Menurut Dani Vardiansyah (2008:10), hipotesis atau hipotesa adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya. Berdasarkan tujuan penelitian dan landasan teori dan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis yang diajurkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Untuk T-1 : Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi. Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja dengan komitmen organisasi. Untuk T-2 : Ho =
Tidak ada pengaruh yang signifikan antara keadilan organisasi dengan komitmen organisasi.
Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara keadilan organisasi dengan komitmen organisasi. Untuk T-3 : Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara pemberdayaan karyawan dengan komitmen organisasi. Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara pemberdayaan
karyawan dengan
komitmen organisasi. Untuk T-4 : Ho = Tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja, keadilan organisasi dan pemberdayaan karyawan terhadap komitmen organisasi.
33 Ha = Ada pengaruh yang signifikan antara kepuasan kerja, keadilan organisasi dan pemberdayaan karyawan terhadap komitmen organisasi.