TINJAUAN PUSTAKA Biogas Produksi biogas merupakan suatu proses yang dikendalikan oleh mikroba. Biogas mengeksploitasi proses biokimia untuk menguraikan berbagai jenis biomasa. Biogas berpotensi dijadikan sebagai sumber energi, karena biodegradasi alami bahan organik dalam kondisi anaerob setiap tahunnya diperkirakan menghasilkan 590-800 juta ton metana ke atmosfer (ISAT/GTZ, 1999). Biogas merupakan bahan bakar gas dan bahan bakar yang dapat diperbaharui yang dihasilkan secara anaerobic digestion atau fermentasi anaerob dari bahan organik dengan bantuan bakteri metana seperti Methanobacterium sp. Bahan yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biogas yaitu bahan biodegradable seperti biomassa (bahan organik bukan fosil), kotoran, sampah padat hasil aktivitas perkotaan dan lain-lain. Biogas biasanya dibuat dari kotoran ternak seperti kerbau, sapi, kambing, kuda dan lain-lain. Kandungan utama biogas adalah gas CH4 dengan konsentrasi sebesar 50-80 % vol. Kandungan lain dalam biogas yaitu CO2, gas hidrogen (H2), gas nitrogen (N2), gas karbon monoksida (CO) dan gas hidrogen sulfida (H2S). Gas dalam biogas yang dapat berperan sebagai bahan bakar yaitu gas CH4, H2 dan CO (Price dan Cheremisinoff, 1981). Proses anaerobik menghasilkan energi, yaitu biogas yang dihasilkan oleh bioreaktor yang dirancang khusus untuk substrat biomasa, termasuk limbah pertanian, industri dan limbah perkotaan, yang terdegradasi secara anaerobik. Di negara berkembang perluasan biogas telah diterapkan pada reaktor skala kecil yang dirancang untuk mengolah limbah peternakan seperti kotoran sapi, babi dan ekskreta unggas (ISAT/GTZ, 1999). Pembentukkan Biogas Biogas yang dibuat dari kotoran ternak sapi mengandung CH4 sebesar 55-65 %, CO2 sebesar 30-35 % dan sedikit H2, N2 dan gas-gas lain. Panas yang dihasilkan sebesar 600 BTU/cuft. Gas alam yang mengandung CH4 sebesar 80 % dengan panas sebesar 1000 BTU/cuft. Kandungan CH4 dari biogas dapat ditingkatkan dengan memisahkan CO2 dan H2S yang bersifat korosif (Price dan Cheremisinoff, 1981).
3
Proses degradasi bahan organik secara anaerob dilakukan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi (Polprasert, 1989), yang terlihat pada Gambar 1. Mikroorganisme
BO + H2O
Anaerob
CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S + Sludge (padat dan cair)
Gambar 1. Reaksi Pembentukkan Biogas. Sumber : Polprasert, 1989
Pembentukkan biogas setidaknya melibatkan tiga komunitas bakteri yang diperlukan oleh rantai proses biokimia yang melepaskan metana (Nelson, 2011). Digester anaerobik biasanya dirancang untuk beroperasi di zona suhu mesofilik (2040°C) atau termofilik (>40°C). Sludge yang dihasilkan dari proses penguraian anaerobik yang berbentuk cair sering digunakan sebagai pupuk (Nelson, 2011). Proses pembentukkan biometan dari perombakan limbah organik yang terlihat pada Gambar 2.
Limbah organik (Karbohidrat, protein, lemak)
Hidrolisis dan fermentasi
Asam organik, alkohol, neutral compound
Asetat
Asetat dekarboksilasi
Asetogenik dehidrogenasi
Asetogenik hidrogenasi
Hidrogen + karbon dioksida
Formasi reduktif metana
Metana + karbon dioksida
Gambar 2. Proses Pembentukkan Biometana dari Limbah Organik Sumber : Brown dan Tata, 1985
4
Proses fermentasi anaerobik adalah proses penggunaan bahan baku organik dan merubahnya menjadi biogas, komponen utama yang terbentuk adalah CO2 dan CH4 (Nelson, 2011). Proses fermentasi terdiri dari beberapa proses seperti hidrolisis polimer (I), fermentasi (II), asetogenesis (III), dan metanogenesis (IV). Fase-fase tersebut merupakan proses utama yang terjadi selama penguraian sampah organik dan pembentukkan biogas (Nelson, 2011). Hidrolisis. Tahap pertama dalam degradasi anearobik sebagian besar limbah organik adalah hidrolisis. Hidrolisis merupakan pemecahan baha-bahan polimer secara enzimatik menjadi bahan-bahan terlarut (biasanya monomer atau dimer) yang kemudian dapat ditransportasi melewati membran sel. Hasil proses hidrolisis adalah pembentukkan gula-gula dari karbohidrat, asam-asam lemak dari minyak/lemak, dan asam-asam amino dari protein. Proses ini dilakukan oleh mikroorganisme yang mampu menghasilkan enzim hidrolitik. Bakteri hidrolitik dapat dikelompokkan berdasarkan tipe enzim ekstra atau eksoseluler yang dihasilkannya, dan bakteri ini dapat terinhibisi oleh akumulasi gula dan asam amino. Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap proses hidrolisis antara lain adalah pH dan suhu. Efisiensi hidrolisis tertinggi untuk selulosa terjadi pada pH 6,7 dan terendah pada pH 5,1-5,2 (Eastman dan Ferguson, 1981). Suhu juga berpengaruh pada laju hidrolisis. Pada pH netral dilaporkan bahwa hidrolisis optimum untuk selulosa terjadi pada suhu 40o C. Fermentasi. Fermentasi merupakan proses utama disimiliasi bahan organik pada lingkungan anaerobik. Bahan-bahan organik terlarut difermentasi menjadi berbagai produk akhir, meliputi asam-asam format, asetat, propionat, butirat, laktat, suksinat, etanol, karbon dioksida, dan gas hidrogen (Romli, 2010). Asetogenesis. Bakteri metanogen tidak dapat menggunakan produk-produk fermentasi dengan atom karbon lebih dari dua untuk pertumbuhannya. Bakteri ini hanya menggunakan sumber-sumber energi sederhana, misalnya asetat, metanol, metilamin, CO2 dan H2 atau format. Dalam proses oksidasi ini dihasilkan hidrogen dan karbon dioksida, dan bakteri yang berfungsi untuk proses konversi ini dikenal dengan bakteri asetogen.
5
Metanogenesis. Fungsi utama bakteri hidrolitik dan fermentatif adalah untuk memecah biopolimer menjadi unit-unit monomer dan konversi monomer ini menjadi produk-produk yang lebih sederhana. Proses dalam reaktor anaerobik aktivitas bakteri fermentasi harus dilengkapi dengan aktivitas bakteri metanogen yang mengkonversi produk-produk fermentasi menjadi gas metana yang tidak larut yang akan terlepas ke atmosfer. Dua kelompok utama bakteri yang bertanggung jawab dalam pembentukkan metana yaitu bakteri metanogen asetoklastik dan bakteri metanogen pengguna hidrogen (Romli, 2010). Komposisi Biogas Biogas mengandung CH4 50-70% dan 30-50% CO2, serta sejumlah kecil gas lainnya termasuk H2S, tergantung pada substrat (Sasse, 1988). Metana adalah komponen terutama yang dapat menghasilkan nilai kalori sebesar 21-24 MJ/m3 atau sekitar 6 kWh/m3 (Dimpl, 2010). Menurut Wellinger dan Lindenberg (2000), komposisi biogas yang dihasilkan sangat tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan. Komponen lainnya yang ditemukan dalam kisaran konsentrasi kecil (trace element) antara lain senyawa sulfur organik, senyawa hidrokarbon terhalogenasi, H2, N2, CO dan O2. Komposisi utama yang terdapat dalam biogas ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kandungan Biogas No. 1 2 3 4 5 6 7
Komponen Gas Methan (CH4) Karbon dioksida (CO2) Nitrogen (N2) Hidrogen (H2) Karbon monoksida (CO) Oksigen (O2) Hidrogen sulfida (H2S)
Satuan %Vol %Vol %Vol %Vol %Vol ppm ppm
Komposisi 1* 2* 50-75 54-70 24-40 27-45 <2 0-1 <1 0-1 0,1 <2 0,1 <2 sedikit
Keterangan : 1*: Hambali et al., 2007. 2*: Widarto dan Sudarto, 1997
6
Pemurnian Biogas Kemurnian biogas menjadi pertimbangan yang sangat penting karena berpengaruh terhadap nilai kalor/panas yang dihasilkan, sehingga biogas yang dihasilkan perlu dilakukan pemurnian terhadap impuritas-impuritas yang lain. Impuritas yang berpengaruh terhadap nilai kalor/panas adalah CO2, keberadaan CO2 dalam biogas sangat tidak diinginkan karena semakin tinggi kadar CO2 dalam CH4 maka semakin rendah nilai kalor biogas dan akan mengganggu proses pembakaran. Pemisahan CO2 dari biogas terdapat berbagai teknologi yang dikembangkan, yaitu : Absorbsi. Metode absorbsi biogas baik secara fisika maupun kimia efektif untuk laju alir gas yang rendah dimana biogas dioperasikan pada kondisi normal. Salah satu metode yang sederhana dan murah yaitu menggunakan air bertekanan sebagai absorben (Shannon et al., 2006). Adsorpsi pada Permukaan Zat Padat. Proses adsorpsi permukaan zat padat melibatkan transfer zat terlarut dalam gas menuju ke permukaan zat padat, dimana proses transfer digerakkan oleh gaya Van der wall. Adsorben yang digunakan biasanya berbentuk granular yang mempunyai luas permukaan besar tiap satuan volume. Pemurnian gas dapat menggunakan padatan yang berupa silika, alumina, karbon aktif atau silikat yang kemudian dikenal dengan nama molecular sieve (Wellinger dan Lindeberg, 2000). Pemisahan Secara Kriogenik. Kriogenik merupakan salah satu metode pemurnian yang melibatkan campuran gas dengan kondensasi fraksional dan destilasi pada temperatur rendah. Proses kriogenik diawali dengan crude biogas ditekan hingga mencapai 80 bar. Proses kompresi ini berjalan secara multistage dengan intercooler. Biogas bertekanan kemudian dikeringkan untuk menghindari terjadinya pembekuan selama proses pendinginan berlangsung. Kemudian biogas didinginkan oleh chiller dan heat exchanger hingga -45 oC, CO2 yang terkondensasi dihilangkan di dalam separator. Kemudian CO2 diproses lebih lanjut untuk menemukan kembali CH4 yang terlarut, hasil dari proses recovery CH4 kemudian dimanfaakan kembali menuju inlet gas. Melalui proses ini gas metana yang dihasilkan mencapai kemurnian 97 % (Huang, 2005).
7
Pemisahan dengan Membran. Metode ini beberapa komponen atau campuran dari gas ditransportasikan melalui lapisan tipis membran (< 1mm). Transportasi tiap komponen dikendalikan oleh perbedaan tekanan parsial pada membran dan permeabilitas tiap komponen dalam membran. Pencapaian gas metana dengan kemurnian yang tinggi maka harus diikuti pula dengan permeabilitas yang tinggi. Membran padat dapat disusun dari polimer selulosa asetat yang mempunyai permebilitas untuk CO2 dan H2S mencapai 20 dan 60 kali berturut-turut lebih tinggi dibanding permeabilitas CH4. Tekanan sebesar 25-40 bar diperlukan untuk proses membran tersebut (Huang, 2005). Inti dari konsep pemisahan dengan membran adalah selektifitas dan permeabilitas yang tinggi. Pemisahan CO2 dengan membran konvensional sering dijumpai beberapa permasalahan. Permasalahan tersebut mendorong para peneliti mengembangkan material baru untuk pemisahan CO2 dengan membran. Material baru tersebut adalah kombinasi antara polimerik membran dan inorganik membran yang disebut dengan MMMs (Mixed Matrix Membranes). Pemilihan proses yang tepat untuk aplikasi tertentu tergantung pada skala operasi yang digunakan, komposisi gas yang akan dimurnikan, tingkat kemurnian yang dibutuhkan dan kebutuhan untuk pengurangan CO2 (MNES, 2001). Kotoran Sapi Sahidu (1983) mengemukakan hasil pengamatan beberapa peneliti bahwa rata-rata satu ekor sapi menghasilkan kotoran sebanyak 27 kg/ekor/hari. Kotoran sapi yang tinggi kandungan hara dan energinya berpotensi untuk dijadikan bahan baku penghasil biogas (Sucipto, 2009). Kotoran sapi adalah limbah peternakan yang merupakan buangan dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urin dan gas seperti CH4 dan NH3. Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, macam, jumlah makanan yang dimakannya, serta individu ternak sendiri (Abdulgani, 1988). Rata-rata biogas yang dihasilkan oleh kotoran sapi adalah 0,20-1,11 m3/kg dari bahan padatan kering, dengan kandungan CH4 sekitar 57-69% (Polprasert, 1989). Limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat padat yang potensial untuk dimanfaatkan seperti protein, lemak, bahan ekstrak tanpa nitrogen, vitamin, mineral mikroba atau biota, dan zat-zat yang lain. Kandungan 8
nutrisi ini yang mengakibatkan limbah ternak dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan ternak, pupuk organik, energi dan media berbagai tujuan (Munawaroh, 2010). Kotoran (feses) sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa feses sapi mengandung selulosa (22,59%), hemiselulosa (18,32%), lignin (10,20%), total karbon organik (34,72%), total nitrogen (1,26%), rasio C/N 27,56 (Munawaroh, 2010). Kotoran hewan dianggap substrat paling cocok untuk pemanfaatan biogas substrat dalam kotoran sapi telah mengandung bakteri penghasil gas metana yang terdapat didalam perut hewan ruminansia (Munawaroh, 2010). Bahan Baku Pembuatan Pelet Pemurni Kapur Tohor (CaO) Kapur tohor merupakan material berwarna putih dengan rumus kimia CaO. Kapur tohor mempunyai umur simpan yang relatif pendek jika dibiarkan dalam ruangan terbuka. Penyimpanan CaO dalam ruang terbuka akan merubah CaO sedikit demi sedikit menjadi Ca(OH)2 yang berbentuk bubuk putih karena bereaksi dengan uap air yang ada di udara (Chang dan Tikkanen, 1988). Kapur tohor atau CaO merupakan bahan yang bersifat sangat reaktif dengan air dan akan membentuk Ca(OH)2 yang berbentuk bubuk (Chang dan Tikkanen, 1988). Reaksi yang terbentuk seperti pada Gambar 3. CaO(s) + H2O (l)
Ca(OH)2 (s)
Gambar 3. Reaksi Pembentukkan Ca(OH)2. Sumber : Chang dan Tikkanen, 1988
Kapur mati (Ca(OH)2 atau hydrated lime) akan terdekomposisi karena bereaksi dengan CO2 dan menghasilkan CaCO3 yang merupakan bahan awal CaO (kapur tohor) (Mackenzie dan Sharp, 1970). Pemanfaatan kapur tohor dalam skala besar adalah untuk pembangunan gedung dan usaha pertanian. Pemanfaatan kapur tohor telah semakin berkembang, khususnya untuk industri kimia. Kapur tohor juga digunakan untuk penanganan air, penanganan limbah dan pemurnian gas (Mackenzie dan Sharp, 1970).
9
Kapur tohor mempunyai kemampuan untuk mengurangi kandungan karbon dioksida pada biogas, hal ini seperti yang dilaporkan pada penelitian yang dilakukan oleh Wahono (2010) yang membandingkan kapur yang dicampur dengan zeolit alam termodifikasi dan bahan-bahan lain sebagai penangkap karbon dioksida (CO2) pada biogas. Data hasil penelitiannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Uji Coba Material Modifikasi Adsorben Zeolit (Uji Generator untuk Gerinda 670 watt) Material tambahan NaOH (kerikil) Bentonit Kaolin Kapur tohor
Bentuk material
Vavg
Aavg
Wavg
Kerikil Pelet Pelet Pelet
147 176,9 181,9 164,7
1,1 1,13 1,13 1,1
162 200 206 181
Keterangan: Vavg tegangan listrik rata – rata (Volt), Aavg arus listrik rata – rata (Ampere), Wavg daya listrik rata-rata (Watt). Sumber: Wahono (2010)
Modifikasi
adsorben
zeolit
dengan
materi
tambahan
kapur
tohor
menghasilkan daya listrik yang tinggi merupakan tujuan dari hasil konversi listrik dari biogas, Daya listrik yang tinggi (180 – 200 Watt) tersebut memiliki korelasi dengan kadar metana biogas yang dipergunakan sebagai bahan bakar (Wahono, 2010). Perbedaan kadar metana dalam biogas tersebut dapat terjadi karena perbedaan kemampuan material penyerap dalam menyerap gas-gas pengotor. Kadar metana biogas yang dihasilkan oleh hasil penyerapan material dalam alat filter biogas tinggi, maka daya listrik yang dihasilkan juga tinggi dan begitu juga sebaliknya (Wahono, 2010). Serbuk Gergaji Kayu Serbuk gergaji kayu merupakan serbuk halus yang ukurannya relatif seragam. Sedangkan limbah sabetan dan potongan kayu mempunyai ukuran besar dan bervariasi. Limbah gergaji yang terdapat di industri penggergaji kecil biasanya berasal dari jenis kayu campuran dengan berat jenis yang beraneka ragam (Gusmaelina et al., 2003). Limbah pengolahan kayu dapat berbentuk serbuk gergaji, kulit kayu, potongan kayu, serpihan, dan sabetan kayu. Menurut Mustofa (2001) komposisi limbah pengolahan kayu yang paling tersedia dalam industri pengolahan kayu adalah limbah sabetan sekitar 25,9% dari 50,8% limbah penggergaji kayu
10
seluruhnya. Limbah serbuk gergaji kayu sekitar 10% dan potongan kayu sekitar 14,3%. Serbuk gergaji kayu mengandung komponen-komponen kimia seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat ekstraktif sehingga berpotensi digunakan sebagai bahan penjerap (Zhao et al., 2011). Pemanfaatan serbuk gergaji kayu sebagai bahan material penjerap merupakan salah satu teknologi yang murah karena bahan bakunya mudah didapat. Serbuk gergaji telah dimanfaatkan dalam proses penjerapan ion logam krom (Cr2+) pada pengelolaan limbah cair hasil pengolahan kulit. Pemanfaatan serbuk gergaji kayu sebagai bahan material penjerap merupakan salah satu teknologi yang murah karena bahan bakunya mudah didapat mengingat negara Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan yang sangat luas.
Hasil analisis komposisi kimia serbuk gergaji kayu albasia (Paraserianthes falcataria) dapat dilihat pada Tabel 3, yang memperlihatkan bahwa tumbuhan ini termasuk dalam kelas dengan kandungan selulosa tinggi, sedangkan kadar lignin pada tanaman ini termasuk sedang yaitu berada diantara 18-33% (Pari, 1996). Tabel 3. Komposisi Kimia Serbuk Kayu Albasia (Paraserianthes falcataria) Komponen
Kandungan (%)
Holoselulosa
70,52
Selulosa
40,99
Lignin
27,88
Pentosan
16,89
Abu
1,38
Air
5,64
Sumber: Pari (1996).
Serbuk gergaji kayu sebagai hasil samping dari industri gergaji kayu sampai saat ini hanya sebagian kecil saja dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti digunakan dalam pembuatan batu-bata, industri keramik, campuran dalam pembuatan pupuk organik, sedangkan selebihnya terbuang secara percuma (Sukarta, 2008).
11
Perekat Tapioka Perekat tapioka umumnya digunakan sebagai perekat pada pembuatan briket arang dan pembuatan pelet karena banyak terdapat di pasaran dan harganya lebih murah. Menurut Tano (1997), tepung bila diproses secara hidrolisis, dinding sel tepung berangsur-angsur akan membentuk gelatin karena molase dari tepung mengubah sifat dirinya menjadi koloidal dan kemudian terbentuk pasta, sifat ini disebut dengan gelatinasi. Terbentuknya gelatinasi untuk tepung kanji memerlukan panas sekitar 60-64 0C. Perekat kanji atau tapioka mempunyai sifat tidak tahan terhadap kelembaban, hal ini disebabkan tapioka mempunyai sifat dapat menyerap air dari udara (Suryani, 1986).
12