TINGKAT PENGGUNAAN MEDIA MASSA DAN PERAN KOMUNIKASI ANGGOTA KELOMPOK PETERNAK DALAM JARINGAN KOMUNIKASI PENYULUHAN
Oleh: AMIRUDDIN SALEH NRP. 965039
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: “TINGKAT
PENGGUNAAN
ANGGOTA
KELOMPOK
MEDIA PETERNAK
MASSA
DAN
DALAM
PERAN
KOMUNIKASI
JARINGAN
KOMUNIKASI
PENYULUHAN” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor,
Mei 2006
H. Amiruddin Saleh NIM. 965039
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu menghianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (QS Al-Anfhal:27)
Dan tidaklah kami mengutus mu (Wahai Muhammad) melainkan agar menjadi kasih sayang (Rahmat) bagi alam semesta (QS Al-Anbiya:107)
Berikut sebait sajak dari Khalifah Ali r.a. sebagai spirit dalam perjalanan menuju ilahi;
Ketika Ibumu melahirkanmu, engkau menangis menjerit, Sementara orang-orang di sekelilingmu, tertawa bahagia ... Maka berusahalah untuk dirimu, ketika ajal menjemput, Di saat orang-orang di sekelilingmu, menangis sedih, Ruhmu tersenyum gembira ...
Karya Kecil ini Kupersembahkan untuk: Istri tercinta Hj. Lailatus Syarifah serta ayuk Lisa, Algi dan Hafidz tersayang, kakakku Anwar Saleh, Hj. Hasanah Saleh, Maryati Saleh, Zuriaty Saleh, Ahmad Tobri Saleh dan Tustiati Saleh, kedua mertua H. Abdullah Marzuki dan Hj. Dahlia, adik ipar Abdul Madjid, Siti Sulha, Ahmad Ghozali dan Muhammad Rifki atas segala kebaikan, kesabaran, ketangguhan, perjuangan, doa dan semangat yang telah diberikan kepada penulis.
ABSTRAK AMIRUDDIN SALEH. Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan. Dibimbing oleh BASITA GINTING SUGIHEN (Ketua), SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, PRABOWO TJITROPRANOTO dan SISWADI (Anggota). Tujuan dari penelitian ini (1) mengkaji adanya perubahan perilaku komunikasi, dalam arti tingkat penggunaan media massa oleh para peternak dalam memanfaatkan pesan penyuluhan sapi potong, (2) menganalisis tingkat partisipasi peternak dilihat dari peranperan komunikasi yang mereka lakukan dalam jaringan komunikasi sapi potong, (3) mengungkapkan keeratan hubungan antara karakteristik personal, perilaku komunikasi interpersonal dan keterdedahan media massa dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi, dan (4) merumuskan strategi/model komunikasi penyuluhan. Sampel terpilih sejumlah 125 responden peternak sapi potong diambil dari dua kelompok peternak maju (Gedangsari Kabupaten Gunung kidul dan Polokarto Kabupaten Sukohardjo) dan dua kelompok belum maju (Cisitu dan Surade, Kabupaten Sukabumi). Penelitian yang didesain sebagai survei deskriptif korelasional dilaksanakan dari tanggal 14 Desember 2004 sampai 16 Februari 2005. Hasil penelitian di antaranya : (1) ada perbedaan sangat nyata pada perilaku komunikasi di kalangan peternak sapi potong kelompok maju dengan kelompok kurang maju, yang mengindikasikan telah terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak sapi potong untuk mendapatkan informasi. Dari mengutamakan komunikasi interpersonal dalam menerima dan menyebarkan informasi ke perilaku komunikasi bermedia, terutama televisi dan suratkabar. Peternak di kedua kelompok sapi potong cenderung telah berubah perilaku komunikasi pemanfaatan media massanya yakni dominan terdedah radio dan televisi. Akan tetapi, pemanfaatan media massa tersebut hanya untuk hiburan dan berita, sedangkan untuk informasi teknis (peternakan) hanya mengandalkan dari jaringan komunikasi; (2) tingkat peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong terdiri atas star, mutual pairs dan neglectee, tidak ditemukan peran komunikasi sebagai isolate. Peran komunikasi anggota kelompok peternak maju lebih tersebar sebagai pemeran neglectee, sedangkan anggota kelompok peternak kurang maju lebih tersebar pemeran mutual pairs. Peran star, lebih banyak di kelompok kurang maju dibanding kelompok maju; (3) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik pendidikan formal dengan perilaku keterdedahan tv dan radio serta sangat nyata (p<0,01) dengan perilaku keterdedahan suratkabar. Hubungan antara kelas ekonomi dengan perilaku keterdedahan suratkabar sangat nyata, dan antara kepemilikan media massa dengan perilaku keterdedahan televisi (p<0,01). Terdapat hubungan sangat nyata antara tingkat pendidikan dan kepemilikan media massa dengan perilaku komunikasi interpersonal dalam mencari informasi. Karakteristik personal peternak kelompok maju cenderung berhubungan negatif dengan perilaku menyebarkan informasi. Tidak terdapat hubungan nyata (p>0,05) antara karakteristik personal, perilaku komunikasi interpersonal dan keterdedahan media massa dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi. Ciri peternak maju yang umumnya berpendidikan dan kelas ekonominya lebih tinggi, lebih iii
banyak dan variatif kepemilikan media massa, mampu memanfaatkan informasi sesuai kebutuhan, bersifat petualang, berani menanggung risiko kerugian, kosmopolit, pola komunikasi dan persahabatan bersifat umum, menyebabkannya tidak berperilaku menyebarkan informasi; (4) Dari hasil penelitian ini diajukan faktor-faktor yang mendasari penyusunan strategi komunikasi penyuluhan sapi potong adalah (i) ciri individual peternak, (ii) distorsi pesan dan ketiadaan informasi (yang berkaitan dengan masalah pemasaran, informasi harga, teknologi tepat guna yang sesuai kebutuhan, kapasitas peternak dan akses permodalan), (iii) keterlibatan birokrasi (kelembagaan sosial maupun penyuluhan, penyedia teknologi dan modal, (iv) pelibatan pemuka pendapat dan sumber informasi relevan lainnya dalam menyampaikan informasi teknologi sapi potong melalui saluran interpersonal, dan teknik komunikasi penyuluhan dengan cara: (i) menggencarkan teknik kampanye, memanfaatkan media tradisional dan pembelajaran masyarakat melalui media massa dengan siaran interaktif dan tidak satu arah, (ii) menggunakan teknik komunikasi yang mampu meningkatkan kepadatan jaringan komunikasi kelompok melalui penguatan kelembagaan peternak dan (iii) memantapkan partisipasi berdasarkan pendekatan yang akseptabel sesuai dengan sosial budaya setempat.
iv
ABSTRACT AMIRUDDIN SALEH. The Level of Mass Media Usage and The Role of Communication of Cattle Farmers Group Members in Extension Communication Network. Supervised by: BASITA GINTING SUGIHEN (Chairperson), SEDIONO M.P. TJONDRONEGORO, PRABOWO TJITROPRANOTO and SISWADI (Members). The cattle agribusiness extension activities, similar with other types of extension are supposed to undergo a communication structure change. The communication pattern is no longer in the form of “oil droplets” extension having a top down outline, or relying on the “LAKU (visiting and training)” extension system which has a dyadic pattern integrating the top down and bottom up interest with an interpersonal or group communication approach. However, turning to participation and exchange of knowledge and experiences through “farmer as partner” communication pattern, (therefore) the advance technology and local traditions are forming a synergy. It is suspected that the cattle farmer communication pattern in cattle extension no longer relies on interpersonal. The objectives of this research are (1) to show communication behavior of cattle farmers in getting information, (2) analyze the level of participation of cattle farmers from the standpoint of performing communication roles in a cattle communication network, (3) devulge the closeness between personal characteristics relationship, interpersonal communication behavior and the usage of mass media with cattle farmer communicatio n role in communication network, (4) formulate the communication extension model. Selected samples amount to 125 cattle farmer respondents, consisting of two highly developed cattle farmers group s, and two lesser developed cattle farmers groups. The research was designed as a correlated descriptive survey, and was conducted from December 14, 2004 until February 16, 2005. The results of research show: (1) there is a significant difference in the communication behavior among the advanced cattle farmers group and the less advanced group, indicating (the circumstance) a level of mass media usage by cattle farmers in getting information. From prioritised the interpersonal communication relationship in receiving and diffusing information to the media communication behavior, particularly in behavior impact of television broadcast and newspapers. The communication behavior of two cattle farmers group members have changed from the usage of interpersonal communication to impersonal communication (radio dan television). However, the use of mass media dominantly for news and entertainment, and for technical matters they still rely on communication network; (2) the level of cattle farmers communication role in a cattle communication network comprising of star, mutual pairs and neglectee, did not indicate a communication role as isolate. The advanced cattle farmers group members were more distribution communication role as neglectee, while the less advanced group were more distribution role of mutual pairs. The role of the star, was found more in the less advanced group compared with the advanced group; (3) there is formal education characteristic relationship significantly with tv and radio impact behavior, and the formal education characteristic relationship significantly with newspaper impact behavior. The relationship v
significantly between economic class with newspaper impact behavior, and between mass media ownership with television impact behavior. There is a significant relation between the education level and the mass media ownership with the information search behavior. The characteristics of the advanced cattle farmers group tend to show a negative correlation with the information distribution behavior. There were no significant differences (p>0,05) between personal characteristics, interpersonal communication behavior and the usage of mass media with cattle farmer communication role in communication network. Some characteristics of advanced cattle farmers were: well educated and of higher economic class, more owned a variety of mass media, more capable to cons ume information according to their needs, behaving adventurous ly, daring to bear risks, cosmopolites, having a communication pattern and commonly friendships among cattle farmer group, it has caused does not act properly to diffused information; (4) Research results offered several factors, becoming a basic for developing a communication strategy in cattle farming extension, such as: (i) farmer personality characteristics, (ii) messages distortion and unavailability of information (including marketing, price, appropriate technology need, farmer capacity, and access to capital), (iii) bureaucratic involved (such as: social institution as well as extension, technology producer and capital accessibility), (iv) involving opinion leader and others pertinent information source in delivering information. And extension communication techniques are (i) extension campaign continuously, (ii) utilizing traditional media and social learning through mass media interactive and multi directions; employing communication technique which is able to increase group communication network density through enhancing cattle farmer institutions and (iii) securing participation based on approaches acceptable to local social culture.
vi
@ Hak Cipta milik Amiruddin Saleh, tahun 2006 Hak Cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, disket dan sebagainya
vii
TINGKAT PENGGUNAAN MEDIA MASSA DAN PERAN KOMUNIKASI ANGGOTA KELOMPOK PETERNAK DALAM JARINGAN KOMUNIKASI PENYULUHAN
AMIRUDDIN SALEH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Disertasi
: Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan Nama Mahasiswa : Amiruddin Saleh NIM : 965039 Program Studi : Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Disetujui: 1. Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua
Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro Anggota
Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, MSc Anggota
Dr. Ir. H. Siswadi, MSc Anggota
Diketahui: 2. Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Amri Jahi, MSc
Prof.Dr.Ir. Hj. Syafrida Manuwoto, MSc
Tanggal Ujian: 27 Februari 2006
Tanggal Lulus:
ix
Mei 2006
PRAKATA Alhamdulillahirobbil alamin, puji dan syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, karena atas kemurahan-Nya penulis dimampukan untuk merampungkan disertasi berjudul “Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan.” Terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Bapak Dr.Ir. Basita Ginting Sugihen, Prof.Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro, Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc dan Dr.Ir. H. Siswadi, M.Sc selaku komisi pembimbing yang telah dengan sabar memberi bimbingan dan dorongan serta saran dan arahan. Juga kepada Bapak Prof.Dr. H.R. Margono Slamet, M.Sc dan Prof.Dr. H. Pang S. Asngari yang turut memberikan masukan dan arah disertasi ini. Ucapan terima kasih juga dihaturkan kepada Bapak Dr.Ir Sumardjo selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan saran untuk perbaikan disertasi ini. Pemberian solusi dan perkenan Bapak Dr.Ir. Amri Jahi, M.Sc, selaku ketua program studi PPN yang mengizinkan penulis merampungkan tugas akhir studi Doktor ini tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih. Kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Soedijanto Padmowihardjo dan Dr.Ir. Djuara P. Lubis yang telah berkenan menjadi penguji pada Ujian Sidang Terbuka disertasi ini, saya pun mengucapkan banyak terima kasih. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada Ayahnda H. Saleh Muhammad (almarhum) dan Ibunda Hj. Maryam (almarhumah), Bapak mertua H. Abdulah Marzuki dan Ibu mertua Hj. Dahlia dan seluruh keluarga, istri tercinta Hj. Lailatus Syarifah, anakanak: Alyssa Nahla Amir, Ghifary Faisal Amir dan Muhammad Hafidz Syah Amir atas segala do’a dan kasih sayangnya. Sementara proses menuju ujian disertasi, sebagian hasil penelitian dari disertasi ini telah disetujui untuk diterbitkan pada Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan MEDIA PETERNAKAN Volume 29 No. 2 Tahun 2006, dan Jurnal Komunikasi dan Pemberdayaan Komunitas edisi April 2006 yang diterbitkan oleh Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (Fema) IPB. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pembaca dan penulisnya. Bogor, x
Mei 2006
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sungai Gerong-Palembang pada tanggal 13 Nopember 1961, anak bungsu dari tujuh bersaudara pasangan Ibu Hj. Maryam (Almarhumah) dengan Bapak H. Saleh Muhammad (Alm). Lulus SD Taman Siswa tahun 1973, SMP Bina Utama tahun 1976 dan tanggal 8 Mei 1980 menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Palembang. Pada pertengahan tahun 1980 penulis mendapat kesempatan kuliah di IPB melalui undangan pola seleksi Proyek Perintis II. Tahun 1981 diterima di Fakultas Peternakan dan memperoleh beasiswa Yayasan Supersemar, lulus tahun 1984. Tahun 1986 melanjutkan ke Program Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan (Program Studi KMP) PPS-IPB dengan beasiswa pendidikan dari Yayasan Ilmuilmu Sosial (YIIS), bantuan penelitian dari USAID dan Yayasan Toyota Astra, lulus 1988. Kesempatan studi doktoral diperoleh tahun 1996 pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan di institut yang sama, dengan beasiswa dari Tim Manajemen Program Doktor (TMPD) Ditjen Dikti dan bantuan penelitian dari Yayasan Dana Sejahtera Mandiri. Pengalaman bekerja dimulai tahun 1983 dengan diangkatnya penulis menjadi Asisten Muda Tidak Tetap mata kuliah “Perubahan Sosial” dan “Penyuluhan” pada Fakultas Peternakan IPB dan saat ini sebagai Lektor Kepala (Gol. IV/a). Perjalanan karir penulis di antaranya menjabat sebagai Kepala Humas IPB, Sekretaris Pusat Pendidikan dan Pelayanan pada Masyarakat LPM-IPB, Sekretaris umum panitia pendirian masjid AlHurriyyah IPB, Sekretaris Program Studi KMP PPS-IPB, dan pernah membantu (sebagai konsultan/tim leader) kegiatan community development dan capacity building pada pengembangan sapi potong di Jawa Barat dan proyek Pengembangan Usaha Tani Ternak di Kawasan Timur Indonesia (Putkati). Tahun 2005-2006 menjadi konsultan akademik entrepreneurship bagi mahasiswa di Universitas Udayana Bali dan Politeknik Negeri Samarinda Kalimantan timur, mendapat amanah menjadi sekretaris CENTRAS (Center for Tropical Animal Studies: Pusat Studi Hewan Tropis) di Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB. Dalam organisasi profesi penulis tercatat sebagai anggota Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI), Hanter (Himpunan Alumni Peternakan IPB), Perhimpunan Ahli Penyuluhan Pembanguna n Indonesia (PAPPI), ketua I kepengurusan Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia (FORKAPI) periode 2003-2006. xi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL
…………………………………………........................
xii
……………………………………………………...
xiv
………………………………………...........................
1
Latar Belakang ………………………………………………............... Masalah Penelitian ………………………………………........................... Tujuan Penelitian .……………………………………………............... Kegunaan Penelitian ………………………………………........................
1 6 10 10
DEFINISI ISTILAH
12
DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN
……………………………………………………….
TINJAUAN PUSTAKA
………………………………………...............
15
Komunikasi dan Masyarakat ……………………………........................... Komunikasi Pembangunan dan Komunikasi dalam Masyarakat Desa …… Komunikasi Pembangunan ……………………………………….. Komunikasi dalam Masyarakat Desa …………..……..................... Jaringan Komunikasi .……………………………………............................ Pengertian Jaringan Komunikasi ………………………………….. Proses Pembentukan Jaringan Komunikasi …..…………................. Pengaruh Jaringan Komunikasi terhadap Psikologi dan Perilaku … Pemuka Pendapat dan Jaringan Komunikasi ……………………… Analisis Jaringan Komunikasi …………………………................. Karakteristik Personal ..……………………………………....................... Perilaku Komunikasi atau Keterdedahan Media Massa …………………...
15 21 21 26 30 30 31 36 37 39 42 45
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ……………………………..
49
Kerangka Berpikir Hipotesis Penelitian
49 54
……………………………………………................... …………………………………………..................... ……………………………………...............
56
Populasi dan Sampel Penelitian ………………………………................ Populasi …………………………………………………………... Sampel ……………………………………………………............. Desain Penelitian …………………………………………….................... Data dan Instrumentasi ……………………………………….................. Data ………………………………………………………............. Instrumentasi ………………………………………….................. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ……………………………..
56 56 56 58 59 59 60 60
METODE PENELITIAN
xii
Pengumpulan Data ………………………………………............................ Analisis Data ……………………………………………………………… Analisis Jalur ……………………………………………………….. Matriks Korelasi ……………………………………….................... Analisis Biplot ……………………………………………………. Uji Beda Vektor Nilai Tengah ……………………………………… Analisis Diskriminan …………………………………………….. Analisis Korespondensi …………………………………………… Kerangka Pendekatan Analisis Penelitian …………………….....................
62 62 63 65 66 68 69 70 72
HASIL DAN PEMBAHASAN
..…………………………………………
76
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……………………………………… Kabupaten Sukabumi ……………………………………............... Kabupaten Gunung Kidul dan Sukohardjo ………………............... Karakteristik Peternak Sapi Potong ……………………………………….. Perilaku Komunikasi Interpersonal dan Keterdedahan Media Massa Peternak Sapi Potong …………................................................................... Perilaku Komunikasi Interpersonal ................................................... Keterdedahan Media Massa ............................................................. Peran-peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan Sapi Potong .............................................................................. Peranan Individu dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong di Cisitu Peranan Individu dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong di Surade Peranan Individu dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong di Gedangsari ....................................................................................... Peranan Individu dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong di Polokarto .......................................................................................... Distorsi Pesan ................................................................................................ Pengujian Hipotesis ..................................................................................... Hubungan Karakteristik Personal dengan Perilaku Keterdedahan Media Massa ……………………………………………………… Analisis Jaringan Komunikasi Sapi Potong ………………………. Hubungan Karakteristik Personal dengan Peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong ….. Hubungan Perilaku Komunikasi Interpersonal dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong … Hubungan Perilaku Keterdedahan Media Massa dengan Peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong ………………………………………………………... Hubungan Peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong dengan Distorsi Pesan ……….................. Pola Jaringan Komunikasi Antar Anggota Kelompok Peternak Sapi Potong ……………………………………......................................
76 76 81 90
xiii
99 99 103 112 112 116 118 121 125 129 139 142 148 151
157 159 160
Pembahasan Hipotesis
……………………………………….....................
168
..………………………………………...
173
Kesimpula n ………………………………………………………... Saran ………………………………………………………….........
173 175
KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
……………………………………….......................
xiv
177
DAFTAR TABEL
Halaman 01.
Perbedaan komunikasi pembangunan dan komunikasi penunjang pembangunan …………………………..……………...................
25
02.
Perubahan lingkungan komunikasi
30
03.
Data yang diolah dengan T2 Hotelling
04.
Kerangka pendekatan analisis penelitian
05.
Distribusi penduduk Desa Jagamukti menurut umur
……………...
78
06.
Macam pekerjaan pend uduk Desa Jagamukti per kepala keluarga …
79
07.
Macam pekerjaan penduduk Desa Cisitu per kepala keluarga
……..
80
08.
Macam pekerjaan penduduk Desa Ngalang per kepala keluarga …...
82
09.
Distribusi penduduk Desa Mranggen menurut umur dan jenis kelamin …………………………………………………………………
85
10.
Macam pekerjaan pendud uk Desa Mranggen per kepala keluarga
…
86
11.
Sebaran responden berdasarkan karakteristik personal di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) …………………………….
91
Sebaran responden berdasarkan perilaku komunikasi interpersonal di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) ……………….
100
Sebaran responden berdasarkan macam saluran komunikasi interpersona l yang menerpa peternak kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) ………………………………………………
101
Sebaran responden berdasarkan keterdedahan media massa di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) ………………………...
103
Sebaran responden berdasarkan waktu mendengarkan radio di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) …………………..
105
Sebaran responden berdasarkan preferensi program radio yang didengar di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) …..
106
Sebaran responden berdasarkan frekuensi membaca suratkabar di kelompok kurang maju dan ma ju (dalam persen) ……………...
110
12. 13.
14. 15. 16. 17.
xv
………………………………... ...………………………...
68
………….……………..
73
18.
Sebaran responden berdasarkan peran komunikasi anggota kelompok jaringan komunikasi sapi potong di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) ……………………………………………….
125
Sebaran responden berdasarkan distorsi pesan di kelompok peternak kurang maju dan maju (dalam persen) …………………………….
126
20. Perbedaan tingkat pemanfaatan media massa, perilaku pemanfaatan media interpersonal dan karakteristik personal antara peternak kelompok kurang maju dan maju …………...................................
131
19.
21.
Matriks korelasi (Pearson) antar peubah karakteristik personal, perilaku pemanfaatan media interpersonal, pemanfaatan media massa, peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong dan distorsi pesan ……………………………………………………….
22. Sebaran responden berdasarkan kelas ekonomi pemeran star di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) ………………….. 23.
Sebaran responden berdasarkan kelas ekonomi anggota jaringan komunikasi sapi potong pemeran star monomorfik dan polimorfik di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) …………………..
xvi
134
161
165
DAFTAR GAMBAR
Halaman 01.
Keanggotaan pada berbagai jaringan komunikasi .…………………..
33
02.
Kerangka berpikir model hubungan berbagai peubah penelitian
…..
52
03.
Proses pembentukan jaringan komunikasi
……………..………….
53
04. Tampilan diagram jalur antar peubah yang mempengaruhi peran-peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong dan distorsi pesan ………………………………………………………................ ………………..
64 93
………………………...
95
07.
Diagram kotak garis kelas ekonomi peternak per kelompok amatan
96
08.
Diagram palang bersusun sebaran peternak berdasarkan tingkat pendapatan per bulan …………………………………...................
98
Diagram kotak garis tingkat pengeluaran per bulan peternak per kelompok amatan …………………………………………………..
99
05.
Diagram kolom macam kursus yang pernah diikuti
06.
Diagram kolom kepemilikan media massa
09. 10.
Diagram kolom kebiasaan menonton televisi
11.
Diagram kolom stasiun televisi yang paling sering ditonton peternak
108 108
12.
Diagram kolom darimana suratkabar diperoleh
……………………
111
13a. Sosiogram jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok peternak Cisitu …………………………………………………….................
115
13b. Sosiogram jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok peternak Surade ………………………………………………………………
117
13c. Sosiogram jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok peternak Gedangsari …………………………………………………………
120
13d. Sosiogram jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok peternak Polokarto …………………………………………………………...
122
14.
……………………...
Keragaan umum hasil analisis biplot keterkaitan peubah karakteristik personal, perilaku komunikasi interpersonal dan keterdedahan media massa peternak sapi potong ………………………………………..
xvii
136
15.
Bagan model jalur antar peubah yang mempengaruhi peran komunikasi anggota kelompok jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong dan distorsi pesan …………………………………………………..
141
Keragaan umum keterkaitan peubah perilaku komunikasi interpersonal dengan peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong per desa amatan ……………………………………………………..
151
17. Keragaan umum keterkaitan peubah keterdedahan media massa dengan peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong per desa amatan …………………………………………………......
157
16.
18.
Keragaan umum keterkaitan peubah perilaku komunikasi interpersonal dengan kelas ekonomi peternak anggota kelompok secara gabungan ……………………………………………………………
160
19. Keragaan hasil analisis korespondensi peubah perilaku kepemimpinan komunikasi dengan kelas ekonomi peternak anggota kelompok secara gabungan ……………………………………………………
164
20.
Keragaan hasil analisis korespondensi peubah perilaku kepemimpinan komunikasi dengan kelas ekonomi peternak berdasarkan kelompok amatan …………………………………………………..
xviii
167
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Penyuluhan ialah suatu istilah yang secara baku telah digunakan untuk menunjukkan suatu kegiatan pendidikan non-formal yang semula hanya ditujukan kepada petani ataupun peternak yang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan di sektor produksi pertanian. Maunder (1972) mengartikan penyuluhan (dari istilah extension) sebagai suatu layanan atau sistem yang membantu petani, melalui prosedur-prosedur pendidikan praktis, mengembangkan metode-metode dan teknik-teknik baru pertanian untuk meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan serta memperoleh tingkat hidup yang lebih tinggi bagi diri dan keluarga mereka. Penyuluhan sebagai pendidikan non-formal, setelah revolusi hijau kurang menghasilkan kesejahteraan bagi petani kecil.
Struktur komunikasi yang
dikembangkan cenderung diganti dari model-model yang mengikuti struktur komunikasi “guru-murid”/top down , berkembang ke arah pola komunikasi dyadic dan menjadi struktur komunikasi “petani sebagai partner.” Artinya, kegiatan penyuluha n berkembang menjadi “saling belajar” dan karena itu fungsi penyuluh lebih difokuskan pada fasilitator. Dalam hal ini, penyuluh berfungsi sebagai fasilitator bagi masyarakat yang perlu mengalami proses belajar memperbaiki dirinya sendiri (Slamet, 1992). Dengan pendidikan non-formal atau penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Masyarakat di sini hendaknya
jangan dijadikan sebagai obyek pembangunan saja, melainkan harus dilibatkan sebagai subyek pembangunan yang perlu mengalami suatu proses belajar untuk mengetahui adanya kesempatan-kesempatan untuk memperbaiki kehidupannya, memiliki kemampuan dan keterampilan untuk memanfaatkan kesempatan itu, serta mau bertindak memanfaatkan kesempatan memperbaiki
kehidupannya.
Asngari (2001) menyebutkan hal ini sebagai upaya empowerment, yakni memberdayakan
SDM-klien
sebagai
subyek
penyuluhan
yang
aktif
mendinamiskan diri dan sebagai aktor yang berupaya untuk lebih berdaya diri dan
2
mampu berprestasi prima. Untuk itu prakarsa da ri masyarakat petani harus dirangsang, demikian juga pembangunan kelembagaannya harus diarahkan dan diawasi cara mereka berkinerja dan melakukan fungsi-fungsinya dengan efektif dan efisien (Tjondronegoro, 1998). Malah, kini penyuluh di beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat petani (community development) dan penyuluhan capacity building (penguatan kapasitas kelembagaan) berubah fungsi sesuai dengan perkembangan SDM-klien. Peran penyuluh dalam hal ini menjadi konsultan, dengan sasaran meningkatkan kelem bagaan masyarakat petani maupun kapasitas SDM-klien, dimana petani diharapkan aktif mencari, mendapatkan atau meminta advis atau layanan akan informasi yang dibutuhkan dan aktif mendatangi penyuluh atau mengontak sumber informasi. Kegiatan pe nyuluhan sapi potong pun diduga mengalami perubahan struktur komunikasi. Pola komunikasi bukan lagi berupa penyuluhan “tetesan minyak”/ SSBM (swasembada bahan makanan) berpola “guru-murid”/top down atau mengandalkan penyuluhan sistem LAKU (latihan dan kunjungan) yang berpola dyadic memadukan kepentingan
top down dan bottom up dengan
pendekatan komunikasi interpersonal maupun kelompok. Penyuluhan di sini harus lebih menekankan pada capacity building kepada masyarakat. Untuk mempercepat kesiapan masyarakat (petani/pe ternak) memasuki era pasar bebas dan globalisasi di bidang ekonomi, maka pembangunan pertanian, termasuk usahaternak sapi potong secara bertahap telah melakukan transformasi rekayasa sistem agribisnis. Transformasi rekayasa sistem agribisnis di sini adalah upaya membuat perubahan (bentuk, rupa, sifat dan sebagainya) rancangan perlakuan sistem agribisnis ke arah ideal ditinjau secara ekonomis dan sosialbudaya.
Transformasi rekayasa sistem agribisnis tersebut bertujuan untuk
memicu percepatan kesiapan fisik maupun mental masyarakat petani-peternak dalam menghadapi pasar bebas dan era globalisasi di bidang ekonomi. Banyak ilmuwan sosial melihat istilah “rekayasa” terlalu mekanistik, sehingga lebih melihatnya sebagai proses yang lebih lambat atau bertahap dis ebut “akulturasi” atau “sosialisasi.”
3
Perubahan rancangan perlakuan pada sistem agribisnis, berarti proses perubahan berencana dalam pembangunan peternakan sapi potong berwawasan agribisnis. Di sini penyuluhan ikut memegang peranan penting. Untuk itu perlu dipikirkan strategi penyuluhan pembangunan peternakan sapi potong yang bagaimana, yang dapat dijadikan sebagai salah satu upaya menswadayakan petani-peternak, sehingga lebih berdaya diri dan mampu berprestasi prima. Dalam upaya ini, kegiatan aspek transformasi rekayasa tersebut lebih difokuskan sebagai suatu strategi penyuluhan agribisnis sapi potong. Transformasi rekayasa dalam pengertian tersebut meliputi upaya rekayasa sosial budaya, ekonomi, politik dan teknologi. Hal ini perlu dipertimbangkan, karena ia merupakan langkah awal pembenahan
upaya
pembangunan
menuju
masyarakat
(petani/peternak)
berkualitas dan partisipatif. Strategi sebagai desain operasional yang digunakan oleh pemerintah untuk mengimplementasikan kebijakan penyuluhan pertanian dan peternakan pada PJP I (Pembangunan Jangka Panjang tahap Pertama), lebih kepada alasan kepentingan percepatan pembangunan karena lebih banyak diorientasikan kepada strategi alih teknologi (technology delivery strategy) daripada strategi pembangunan perdesaan (rural development strategy), yang berorientasi penguatan kapasitas kelembagaan dan pemandirian individu khalayak sasaran penyuluhan.
Kenyataan, sampai
sekarang kebijakan penyuluhan masih bersifat “technology delivery system,” hanya teknologinya yang diubah. Sejak awal repelita VI, genderang pembangunan peternakan berorientasi agribisnis sebenarnya telah dikumandangkan dan kini setelah lebih dari lima tahun implementasi sistem agribisnis dalam pembangunan peternakan ini dilakukan, diharapkan reorientasi strategi penyuluhan pun sudah dilaksanakan. Yakni dari penyuluhan peternakan ke penyuluhan agribisnis yang paling tidak meliputi: (1) penyuluhan teknik budidaya sudah berubah ke total agribisnis, (2) penyuluhan teknologi ke arah bisnis, (3) penanganan sentralisasi ke desentralisasi dan (4) sasaran penyuluhan hanya petani-peternak (aspek on-farm/di tingkat infrastruktur) diperluas ke berbagai jenis sasaran strategis lainnya (aspek off-farm/di tingkat suprastruktur).
4
Melihat sasaran strategis penyuluhan yang semakin variatif, maka media penyuluhan seharusnya tidak hanya berorientasi pemanfaatan saluran komunikasi interpersonal, tetapi juga mulai intensif menggunakan saluran media massa dan memfungsikan forum-forum media (farm forum) yang ada di sistem petani (user). Hal ini terjadi, karena tidak terlepas dari globalisasi informasi yang merupakan tantangan dan peluang untuk lebih mengefektifkan dan memaksimalkan fungsi berbagai media penyuluhan (saluran komunikasi). Diharapkan masyarakat sudah berubah pola komunikasinya.
Dimana peternak sudah mampu menyerap dan
menerapkan informasi untuk meningkatkan usahaternaknya, sehingga mendapat keuntungan yang lebih besar. Kemampuan komunikasi peternak atau masyarakat perdesaan diharapkan sudah menjadi lebih baik, termasuk telah ada dialog antara sesama mereka atau antara peternak dengan pemimpin mereka, dan dengan para penyuluh/agen pembaruan atau dengan pihak-pihak terkait. Dalam hal ini telah terjadi peningkatan kebebasan atau terdedah informasi (selective exposure) dan transparansi informasi. Bukti empiris lain menunjukkan bahwa aksesibilitas sarana dan prasarana komunikasi relatif tersedia di petani, seperti hampir setiap petani di hampir seluruh wilayah perdesaan memiliki pesawat radio terutama transistor kecil (van den Ban dan Hawkins, 1999); dan stasiun pemancar radio, terutama swasta dan radio-radio lokal juga semakin banyak.
Pemanfaatan radio bagi komunikasi
pertanian di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1969 hingga kini oleh RRI (Radio Republik Indonesia) melalui “siaran pertanian/siaran perdesaan.” Setiap desa/kelurahan di era orde baru pada tahun 80an difasilitas pesawat tele visi dan dipancarkan siaran program perdesaan/pembangunan pertanian dua kali setiap minggunya melalui TVRI. Kini Indonesia telah memiliki cakupan tv yang lebih baik, sudah meningkat stasiun siaran dan jumlah stasiun penerima, termasuk bermunculannya puluhan televisi swasta (nasional dan lokal) yang turut menyemarakkan penyampaian pesan pembangunan dengan porsi beragam dan minim. Di Indonesia proporsi penduduk desa yang menonton televisi sekitar 64,77 persen (BPS, 1994). Proporsi ini terus meningkat, karena kesejahteraan masyarakat yang kian membaik telah merangsang mereka membeli pesawat tv, di
5
samping program penyebaran tv ke perdesaan yang dilancarkan pemerintah (Jahi, 1993). Dengan kemajuan teknologi informasi dan adanya teknologi satelit memungkinkan masyarakat menyaksikan siaran melintas antar stasiun tv negaranegara di dunia (Rusadi, 1991), bahkan masyarakat perdesaan yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, malah terjadi intervensi (terdedah) siaran tele visi asing dengan mudah (Harmoko, 1992 dan Rusadi, 1991). Aksesibilitas radio dan tele visi tersebut, serta adanya kebijakan koran masuk desa (KMD) tentunya memberikan kemudahan bagi petani untuk memperoleh informasi sesuai kebutuhan yang didasarkan pengalaman petani dan/atau hasil temuan penelitian. Adanya globalisasi informasi, kebebasan dan transparansi informasi, serta berkembangnya komunikasi antar pe tani dalam mengadopsi teknologi dan informasi pembangunan sesuai dengan kebutuhan, maka perlu pembenahan pola komunikasi dalam penyuluhan agar partisipasi petani dapat semakin ditingkatkan. Dengan kemampuan peternak menggunakan pengetahuan dan keterampilan dalam mencari, mendapatkan atau menerima, mengolah dan memanfaatkan peluang membangun, menyerap serta menerapkan informasi peternakan yang tepat dan relevan, diharapkan akan berpengaruh positif terhadap tingkat produktivitas. Berdasarkan hal di atas, masalah utama penelitian ini untuk melihat (1) sejauhmana telah terjadi perubahan perilaku komunikasi peternak, baik dalam penggunaan media massa (media exposure) maupun dalam pemanfaatan saluran media interpersonal; (2) sebagai akibat dari keterbukaan informasi maka partisipasi peternak dalam gerakan pembangunan juga diharapkan meningkat; dan (3) aktivitas “self supporting” menggala ng kerja membangun dalam dirinya juga meningkat melalui jaringan komunikasi sapi potong; dan (4) komunikasi sebagai gejala sos ial dipengaruhi oleh dua faktor yang dominan, yakni faktor struktural dan kultural. Salah satu faktor struktural ialah pelapisan sosial yang terbentuk atas karakteristik personal turut mempengaruhi perilaku komunikasi, baik dalam hal selective exposure atau keterdedahan (terpaan atau pajanan) terhadap media massa maupun jaringan komunikasi yang terjadi. Kalaupun hambatan struktural dapat di atasi maka kultur (kebudayaan) dapat pula menjadi penghalang proses komunikasi
6
yang berakibat tidak mau menerima informasi yang terdedah terhadap dirinya. Dengan demikian upaya mendiseminasikan informasi di kalangan masyarakat tidak dapat dilakukan dengan mudah apabila kedua faktor tersebut tidak dapat di atasi. Oleh karena itu, faktor-faktor personal peternak yang dilibatkan dalam penelitian ini penting juga untuk dikaji. Fenomena sudah terjadi perubahan penggunaan saluran komunikasi yang variatif di kalangan peternak ini, perkuat pula oleh pendapat Slamet (1995) yang menyebutkan bahwa masyarakat petani telah berubah secara nyata, yakni lebih baik tingkat pendidikannya, lebih mengenal kemajuan, kebutuhan dan keterampilannya telah jauh lebih baik, telah mampu berkomunikasi secara impersonal. Di samping, telah terjadi perubahan karakteristik personal peternak sebagai akibat pembangunan pertanian itu sendiri, dimana sudah terbentuk berbagai strata komersial pada diri petani (Jarmie, 1994; Slamet, 1999). Penelitian Sumardjo (1999) malah menyebutkan bahwa beberapa petani telah mengarah pada terbentuknya petani mandiri. Petani komersial dan mandiri ini membuat jejaring komunikasi sendiri, mencari dan memanfaatkan informasi penyuluhan sesuai kebutuhan. Masalah Penelitian Sejak awal dilaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian periode 19451959 yang berupa kegiatan mendidik masyarakat desa dengan sistem penyuluhan pertanian tetesan minyak. Kemudian, periode 1959-1963 menjadi gerakan massa SSBM (swasembada bahan makanan). Sekitar tahun 1964 tetesan minyak diganti dengan metode penyuluhan “tumpahan air,” yang ditandai dengan kampanye besar-besaran di bawah Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). Dampak negatif penyuluhan sistem komando ini adalah para petani menjauhi penyuluh. Periode 1963-1993 dikenal dengan gerakan swasembada beras karena penyuluhan pertanian diintegrasikan dengan gerakan Bimas/Inmas untuk swasembada pangan melalui sistem LAKU (latihan dan kunjungan) dan sukses swasembada berasnya dicapai tahun 1984. Menyusul periode 1993-Sekarang, yang ditandai adanya perubahan orientasi pendekatan komoditas ke pendekatan agribisnis dan otonomi daerah. Dimana di tahun 1993 urusan penyuluhan pertanian diserahkan kepada
7
pemerintah daerah yang menyebabkan dinamika penyuluhan pertanian menurun drastis. Di tahun 1998 diluncurkan program Gema Palagung 2001, Gema Protekan 2003 dan Gema Proteina 2003, ini pun menuai masalah. Memang, peningkatan produksi berhasil tetapi meninggalkan masalah utang macet, dan prinsip penyuluhan dirusak dengan pemberian insentif kepada penyuluh. Terlihat bahwa penyuluhan
hingga saat ini, intinya hanya untuk alih
teknologi dan mengejar peningkatan produksi. Sedangkan kegiatan penyuluhan pertanian untuk meningkatkan kapasitas manusia (SDM)nya belum dilakukan. Padahal, di kalangan petani telah banyak terjadi perubahan seperti tingkat pengetahuan dan pendidikan yang semakin baik, tingkat pendapatan
yang
meningkat, semakin tersedianya aksesibilitas sarana dan prasarana komunikasi, sehingga petani mencari dari sumber lain akan kebutuhan yang mereka perlukan. Fenomena ini dikuatkan oleh hasil penelitian Puspadi (2002) yang menyebutkan bahwa telah terjadi perubahan pemenuhan kebutuhan informasi dan perilaku usahatani yang semakin komersial, dimana akibat relatif tingginya tingkat pendidikan para petani, perubahan cara belajar petani, makin tingginya kapasitas inovasi dan informasi para petani, bangkitnya kesadaran petani atas hak-haknya, perubahan referensi petani, munculnya gejala -gejala relativitas nilai di perdesaan, makin tingginya otoritas petani dalam pengambilan keputusan, menuntut perubahan peran, sistem dan paradigma penyuluhan pertanian. Kalau penelitian Puspadi (2002) melihat pada perubahan pemenuhan kebutuhan informasi, maka studi ini lebih melihat (pada) perubahan penggunaan saluran komunikasi dan menentukan pola komunikasi yang paling efektif dalam penyuluhan serta mengungkapkan distorsi informasi penyuluhan teknologi sapi potong di sistem user. Seperti telah disebutkan di atas, telaah komunikasi dalam penelitian ini adalah telaah yang berkaitan dengan pembangunan. Komunikasi pembangunan yang dilakukan di Indonesia, seperti halnya di banyak negara berkembang sebenarnya bukan komunikasi pembangunan yang diungkapkan Schramm dan Lerner (1976) dari studi penelitiannya di Desa Balgat, Turki, yakni komunikasi sebagai unsur penting dalam proses pembangunan yang dengan komunikasi
8
diharapkan mampu mengubah sikap, pikiran serta kepribadian tradisional menjadi modern. Selain itu, komunikasi bukan merupakan alat untuk diseminasi, tetapi menjadi alat bagi peternak sendiri untuk menentukan saluran komunikas i yang akan digunakannya dan informasi yang akan diambil. Sehingga, seperti halnya program pengembangan sapi potong di desa-desa yang umumnya dilaksanakan dalam situasi dan keadaan mikro berbentuk kampanye dan kaji tindak yang segera akan diakhiri bila proyek pembangunan telah selesai dilaksanakan (Jayaweera, 1989), tak akan terjadi. Inilah yang mendasari perlunya komunikasi penunjang pembangunan (KPP). Pendekatan ini bertentangan dengan kondisi pembangunan selama ini. Melaksanakan KPP pada dasarnya tidak mengubah paradigma pembangunan itu sendiri. Kegagalan komunikasi dalam pembangunan di Indonesia lebih merupakan kegagalan paradigma pembangunan itu sendiri, yaitu paradigma pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pembangunan fisik. Oleh karena itu, kegagalan komunikasi dalam pembangunan di Indonesia merupakan kegagalan komunikasi linear, maka studi-studi komunikasi hendaknya mengacu pada model komunikasi konvergensi yang memandang proses komunikasi bukan secara sepihak dari komunikator kepada penerima (user), melainkan suatu proses berbagi informasi tanpa menunjukkan superioritas salah satu unsur yang terlibat dalam proses komunikasi. Salah satu penelitian yang mengacu pada model komunikasi konvergensi tersebut adalah studi mengenai jaringan komunikasi interpersonal yang menggunakan metode analisis jaringan (Rogers, 1995). Keuntungan menggunakan metode ini yang menggunakan hubunganhubungan interpersonal sebagai unit analisis dibandingkan dengan metode yang menggunakan individu sebagai unit analisis (survei) ialah dapat dihimpitkannya struktur sosial yang diambil dari pengkategorian karakteristik personal pada arus komunikasi. Hal ini memungkinkan kita memahami hubungan antara struktur sosial dengan arus pesan. Pemahaman ini sangat berguna sebagai masukan untuk perumusan strategi komunikasi pembangunan, yang sering diabaikan oleh para ekonom yang merancang pembangunan. Telaah komunikasi yang berkaitan dengan pembangunan perlu dilakukan, terlebih pada usaha -usaha pemerataan kesempatan menikmati hasil-hasil pembangunan
yang menuju sasaran berupa
9
peningkatan pendapatan warga masyarakat, peternak yang hidup di perdesaan. Untuk itu fokus penelitian ini adalah usaha pemahaman hubungan antara karakteristik personal, terpaan atau keterdedahan arus informasi (selective exposure), keterlibatan peran komunikasi peternak sapi potong dalam jaringan komunikasi dan distorsi informasi. Konsep distorsi yang dimaksud di sini adalah ketimpangan tingkat informasi antar anggota jaringan komunikasi. Dari latar belakang dan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian utama, yakni “Apakah perilaku komunikasi peternak dalam penyuluhan interpersonal?”
sudah
tidak
sepenuhnya
mengandalkan
komunikasi
Dari pertanyaan utama tersebut dan melihat kondisi profil
peternak yang sudah lebih baik (terutama pendidikan dan strata komersial/ kelas ekonomi), menimbulkan kecenderungan berperilaku komunikasi yang tidak hanya interpersonal melainkan juga berkomunikasi impersonal sebagai alternatif polapola terdahulu (tetesan minyak/SSBM, LAKU, US.Extension seperti sekolah lapangan atau kursus maupun pelatihan). Untuk itu, empat pertanyaan penelitian yang lebih operasional berikut ini coba dirumuskan sebagai masalah penelitian, yaitu: 1. Bagaimana perilaku komunikasi peternak dalam mendapatkan informasi? 2. Apa saja peran-peran komunikasi yang dilakukan peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong? 3. Sejauhmana hubungan karakteristik personal (tingkat pendidikan, kelas ekonomi, kepemilikan media massa) dengan keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal; keeratan hubungan karakteristik personal, keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal dengan peran-peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong; dan keterkaitan hubungan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi informasi? 4. Bagaimana pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong?
10
Tujuan Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk menelusuri dan menganalisis perubahan proses komunikasi penyampaian informasi penyuluhan pembangunan kepada masyarakat, berupa program pengembangan sapi potong. Secara spesifik, tujuantujuan yang ingin dicapai dengan studi ini adalah untuk: 1. Melihat perilaku komunikasi peternak dalam mendapatkan informasi. 2. Mengidentifikasi tingkat partisipasi peternak dilihat dari peran-peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong. 3. Menganalisis hubungan karakteristik personal dengan keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal; hubungan karakteristik personal, keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal dengan peran-peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong; dan hubungan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi pesan. 4. Mengetahui pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong. 5. Mendesain strategi/model komunikasi penyuluhan. Kegunaan Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang dicapai, hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna: 1. Sebagai masukan bagi para pembuat kebijakan komunikasi dan pembangunan perdesaan, bagi praktisi bidang komunikasi, penyuluhan, penerangan dan sebagainya, mengenai kemungkinan efektivitas jaringan komunikasi dapat digunakan sebagai saluran komunikasi untuk menyampaikan informasi pembangunan. Sehingga hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan dalam memperbaiki kebijakan komunikasi penyuluhan yang sekarang masih berlaku. 2. Bagi disiplin ilmu penyuluhan pembangunan, diharapkan hasil penelitian ini dapat membuka jalan bagi pengembangan ilmu di bidang pembangunan
11
masyarakat dan bidang komunikasi pembangunan pada umumnya dan ilmu penyuluhan pembangunan pertanian bagi masyarakat perdesaan pada khususnya, dengan memperhatikan beragam permasalahan yang terdapat di perdesaan.
Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
bahan masukan bagi penelitian-penelitian berikutnya terutama dalam menelaah pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan bagi masyarakat perdesaan. 3. Penelitian ini juga diharapkan untuk dapat menggugah kesadaran pihak-pihak yang berkecimpung dalam bidang kegiatan sosial, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), akan pentingnya penelitian-penelitian komunikasi manakala khalayak sasaran kegiatannya adalah warga masyarakat.
12
DEFINISI ISTILAH Karakteristik personal adalah suatu ciri atau sifat seseorang yang bersumber dari unsur keturunan dan kemudian berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan. 1. Karakteristik personal responden terpilih yang dikaji mencakup: a. Pendidikan formal adalah pendidikan tertinggi yang telah dicapai atau ditamatkan melalui jenjang sekolah oleh responden pada saat penelitian dila kukan, diukur berdasarkan skala nominal, yang dikategorikan menjadi Tidak Tamat/Tidak Lulus SD, Tamat SD dan Tamat Sekolah Lanjutan (SMP/SMA). b. Kelas ekonomi, adalah status/kedudukan seseorang di masyarakat dilihat dari kekayaan materi yang dimilikinya, diukur dengan skala rasio berdasarkan nilai rupiah kepemilikan barang atau hewan/ternak, seperti: rumah, tanah, lampu teplok, petromak, mobil (pick up), sepeda motor, sepeda, mesin jahit, kulkas, jam tangan, radio, tape recorder, tele visi, telepon/Hp, sapi/kerbau dan kambing/domba , modal usaha, tabungan atau deposito yang dimiliki saat penelitian dilakukan. Kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni rendah (< Rp. 55 juta), sedang (Rp. 55110 juta) dan kategori tinggi (di atas Rp. 110 juta). c. Kepemilikan media massa, adalah macam media massa (radio, tele visi, suratkabar, majalah, bulletin, telepon, Hp, poster/pamlet, booklet, leaflet, brosur, folders) yang dipunyai saat penelitian dilakukan, diukur dengan skala nominal dan dikelompokkan menjadi empat kategori, yakni sama sekali tidak memiliki media massa, punya satu, punya dua dan punya lebih dari dua media massa. 2. Perilaku komunikasi interpersonal informal , ialah aktivitas komunikasi interpersonal yang digunakan responden dalam berinteraksi dengan orangorang di dalam dan di luar sistem sosialnya,
diukur dengan skala rasio
berdasarkan intensitas/frekuensi kontak atau komunikasi tatap muka responden peternak dengan pembina, penyuluh, pejabat dinas peternakan dan
13
pejabat terkait lainnya, pedagang, pemodal dan pendamping, atau dengan sesama peternak, maupun dengan kontak tani di luar pertemuan kelompok atau kursus/pelatihan selama sebulan terakhir saat penelitian ini dilaksanakan. Perilaku komunikasi interpersonal informal ini dilihat berdasarkan perilaku responden peternak sapi potong dalam (a) menerima, (b) mencari,
(c)
mengklarifikasi atau mendiskusikan dan (d) menyebarkan informasi. 3. Keterdedahan media massa (mass media exposure ) yang dikaji mencakup : a. Keterdedahan pada siaran radio, adalah aktivitas peternak mendengarkan siaran radio dalam berbagai acara, yang diukur dengan skala rasio berdasar kan frekuensi mendengarkan siaran radio dalam seminggu terakhir saat penelitian dilakukan. b. Keterdedahan pada tayangan televisi, adalah aktivitas peternak menonton tayangan televisi dalam berbagai acara, yang diukur dengan skala rasio berdasarkan frekuensi menont on tayangan televisi dalam seminggu terakhir saat penelitian dilakukan. Juga diukur acara apa yang ditonton berdasarkan skala nominal. c. Keterdedahan pada suratkabar , ialah aktivitas peternak membaca berbagai media suratkabar (lokal) baik tentang sapi potong maupun masalah umum, yang diukur dengan skala rasio berdasarkan frekuensi membaca dalam satu minggu terakhir saat penelitian dilakukan. 4. Jaringan komunikasi responden yang dikaji dalam penelitian ini diukur dengan mengajukan pertanyaan sosiometris (kepada siapa peternak tersebut bertanya, dan dijadikan tempat bertanya oleh anggota kelompok atau peternak lain tentang informasi sapi potong).
Kemudian diukur peran komunikasi
anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong tersebut, yang dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: a. neglectee, adalah pemeran komunikasi yang pernah membicarakan pesan penyuluhan sapi potong, tetapi tidak pernah diajak bicara atau dijadikan tempat bertanya oleh peternak anggota kelompok lain.
14
b. mutual pairs, adalah pemeran komunikasi yang bersifat pilihan timbal balik (dyadic ) dan hubungan mutual atau saling memilih sebagai tempat bertanya informasi sapi potong. c. star, adalah pemeran komunikasi yang menjadikan diri peternak tersebut sebagai tempat be rtanya dan merupakan pemusatan jalur komunikasi dari beberapa anggota jaringan dalam klik. 4. Distorsi pesan ialah tingkat informasi yang dimiliki responden, dikumpulkan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui salah benarnya informasi yang dimiliki yang berhubungan dengan berusaha ternak sapi potong, dengan menggunakan skala rasio. Data mengenai tingkat informasi ini dikumpulkan melalui butir-butir pertanyaan yang telah diujicobakan berdasarkan pemenuhan persyaratan koefisien reprodusibilitas dan koefisien skalabilitas Guttman (Kerlinger, 1986; Nawawi dan Hadari, 1995; Siegel, 1997; Singarimbun dan Effendi, 1995). Secara garis besar butir-butir pertanyaan yang diajukan meliputi pengertian dan cara berbisnis sapi potong seperti aspek (a) bibit dan permodalan, (b) pakan konsentra t dan hijauan makanan ternak, (c) perkandangan/peralatan peternakan, (d) pemeliharaan dan manajemen, (e) kesehatan ternak dan obat- obatan, (f) reproduksi dan perkembangbiakan: kawin alam atau IB, (g) pemasaran (h) pascausaha atau pascapanen dan pemanfaatan limbah serta (i) kemitraan. 5. Pemuka pendapat, adalah tokoh masyarakat tempat orang-orang bertanya yang diambil dari kategori peran unisolate anggota kelompok peternak, dalam hal ini berupa star atau memiliki struktur komunikasi integration dalam jaringan komunikasi tersebut. Diukur berdasarkan skala nominal, dengan dua kategori, yakni pemimpin polimorfik apabila pemuka pendapat tersebut merupakan sumber informasi lebih dari satu jenis informasi dan pemimpin monomorfik, bila sebagai tempat bertanya hanya satu jenis informasi. 6. Pergeseran tingkat pemanfaatan media massa ialah perubahan yang diindikasikan oleh perbedaan penggunaan media komunikasi massa (radio, televisi dan suratkabar) oleh peternak maju dibandingkan dengan yang kurang maju untuk mendapatkan informasi.
15
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi dan Masyarakat Komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan (Berlo, 1960). Konsep komunikasi ini berasal dari bahasa latin, yaitu communicare yang secara harfiah berarti berpartisipasi atau memberitahukan; bisa juga berasal dari kata communis yang berarti milik bersama (kebersamaan). Komunikasi dianggap sebagai suatu proses berbagi informasi untuk mencapai saling pengertian atau kebersamaan (Rogers , 1986; Kincaid dan Schramm, 1987).
Hybels dan Weaver II (1998) menambahkan
bahwa komunikasi itu bukan saja proses orang-orang berbagi informasi, melainkan juga ide (gagasan) dan perasaan. Selanjutnya Rogers mengemukakan bahwa komunikasi adalah suatu proses dimana para partisipan saling mengembangkan dan membagi informasi antara satu dengan lainnya untuk mencapai suatu pemahaman bersama (Rogers, 1995). Di sini tersirat pengertian bahwa antara satu partisipan dengan partisipan lainnya masing-masing menyadari kekurangannya atas informa si-informasi yang lengkap mengenai suatu isu. Karena itu penting untuk mengkomunikasikan pengetahuan-pengetahuan antara satu dengan yang lain untuk membangun suatu pemahaman bersama yang sempurna. Effendy (2001) menambahkan bahwa komunikasi di sini merupa kan proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang (komunikator) kepada orang lain (komunikan). Pikiran bisa berupa gagasan, informasi, opini dan lain sebagainya yang muncul dari benaknya. Sedang perasaan bisa merupakan
keyakinan,
kepastian, keragu-raguan dan sebagainya yang timbul dari lubuk hati. Komunikasi mengacu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu dan ada kese mpatan untuk melakukan umpan balik (Devito, 1997). Baik Miller (1986), Hovland (Effendy, 2000) maupun Mulyana dan Rakhmat (2001) melih at komunikasi sebagai proses mengubah perilaku seseorang. Dim ana kegiatan komunikasi tersebut berupa proses penyampaian
16
pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui saluran tertentu dengan efek tertentu (Effendy, 2000; Laswell, 1976). Hal ini sejalan dengan pemikiran Slamet (2003)
yang
melihat
kegiatan
komunikasi
pembangunan
(development
communication) sebagai aktivitas penyuluhan pertanian (agricultural extension atau extension education), karena pada dasarnya tiga istilah itu semua mengacu pada disiplin ilmu yang sama. Di sini beliau menyatakan bahwa tujuan penyuluhan pertanian yang sebenarnya adalah perubahan perila ku kelompok sasaran (Slamet, 1978). Mardikanto (1993) menegaskan melalui penyuluhan pertanian ingin dicapai suatu masyarakat yang memiliki pengetahuan luas, memiliki sikap yang progresif untuk melakukan perubahan dan inovatif terhadap informasi baru, serta terampil dan mampu berswadaya untuk mewujudkan keinginan dan harapan demi perbaikan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dijelaskan bahwa proses komunikasi antara lain terdiri dari model komunikasi lin ear dan relational. Dalam model linear, informasi yang berasal dari sumber disebut pesan dan yang berasal dari penerima disebut umpan balik. Di sini penerima hanya memberikan umpan balik kepada sumber, tetapi tidak menciptakan dan meneruskan pesan-pesannya. Model komunikasi seperti ini biasanya terjadi secara vertikal. Dalam model komunikasi relational, setiap partisipan komunikasi dapat saling meneruskan atau memberikan pesan baru karena setiap pesan dapat dipakai sebagai perangsang untuk mendapat umpan balik dari pesan-pesan sebelumnya. Proses komunikasi ini tidak terhenti sesudah terdapat umpan balik, melainkan kembali ke peserta pertama kemudian peserta tersebut menyusun pesan yang baru lagi (Kincaid dan Schramm, 1987). Dengan demikian dalam model ini proses komunikasi berlangsung bolak-balik, yang menur ut Effendy (2001) dikenal sebagai two -way traffic communication atau komunikasi dua arah. Rahim (Depari dan MacAndrew s, 1998) menyebutkan bahwa arah komunikasi dalam pembangunan desa biasanya mengalir dari atas yang bersumber pada perencana pembangunan ata u pejabat daerah. Selain itu arus komunikasi bisa terjadi antar anggota masyarakat yang setara (horisontal).
17
Ruben dalam Muhammad (2000) mendefinisikan komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam
organisasi
dan
dalam
masyarakat
menciptakan,
mengirim
dan
menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain. Sendjaja et al. (1994) sepakat melihat komunikasi sebagai sebuah tindakan untuk berbagi informasi, gagasan ataupun pendapat dari setiap partisipan komunikasi yang terlibat di dalamnya guna mencapai kebersamaan makna. Tindakan komunikasi tersebut dapat dilakukan dalam beragam konteks. Konteks komunikasi tersebut menurut Tubbs dan Moss (2000) terdiri dari komunikasi dua orang, wawancara, komunikasi kelompok kecil, komunikasi publik, komunikasi organisasi, komunikasi massa dan komunikasi antarbudaya. Komunikasi yang diartikan sebagai suatu proses dimana informasi terbagi, lebih lanjut ditambahkan oleh Middleton (1980) bahwa proses ini sering disebut juga sebagai jaring-jaring masyarakat (web of society) dimana individu, kelompok dan pranata-pranata diatur bersama untuk membentuk suatu masyarakat. Middleton pun menjelaskan bahwa sebagai suatu proses yang luas, komunikasi melibatkan beberapa fungsi, seperti memberi dan menerima informasi, mempengaruhi dan dipengaruhi, belajar dan mengajar, menghibur dan dihibur. Pernyataan
Middleton ini pernah disinggung oleh Rao (1966) yang pernah
menjadi anggota Departemen Komunikasi Massa UNESCO yang mengemukakan bahwa komunikasi lebih mengacu pada proses sosial, yakni arus informasi, peredaran pengetahuan dan gagasan-gagasan dalam masyarakat, pengembangan dan internalisasi pikiran. Fungsi komunikasi menurut Laswell adalah (1) pengamatan terhadap lingkungan, (2) penghubung bagian-bagian yang ada di dalam masyarakat agar masyarakat dapat memberi respons terhadap lingkungan tersebut dan (3) pemindahan warisan sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya (Laswell, 1976).
Konsep pengamatan terhadap lingkungan mengandung arti proses
mengumpulkan dan mendistribusikan “informasi” mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam suatu lingkungan, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar masyarakat itu sendiri. Konsep penghubung bagian-bagian masyarakat
18
mengandung arti melakukan interpretasi terhadap informasi mengenai lingkungan, dan selanjutnya memberitahukan cara -cara memberikan reaksi terhadap apa yang terjadi. Sedangkan konsep pemindahan warisan sos ial dari satu generasi ke generasi yang berikutnya berfokus pada mengkomunikasikan pengetahuan, nilainilai dan norma-norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kegiatan yang terakhir ini dikenal dengan sebutan pendidikan (Wright, 1986). Ketiga fungsi komunikasi tersebut harus dijalankan seluruhnya. Bila salah satu fungsi komunikasi itu terhambat, maka perkembangan masyarakat tidak akan berjalan secara wajar, dan pada gilirannya akan menimbulkan kekacauankekacauan yang merusak masyarakat itu sendiri. Dalam melaksanakan ketiga macam fungsi komunikasi tersebut, ada perbedaan antara cara yang digunakan oleh masyarakat yang sederhana dan oleh masyarakat yang maju. Komunikasi dalam masyarakat sederhana atau primitif cenderung berlangsung secara tatap muka. Misalnya mereka merasa perlu berkomunikasi antar sesamanya, baik waktu bermain maupun waktu beristirahat, berkumpul di goa untuk melawan hawa dingin atau berlindung dari bahaya.
Kelompok
masyarakat primitif ini juga menunjuk seorang penjaga yang bertugas mengawasi keadaan sekeliling dan segera memberikan laporan bila musuh datang atau memberi tahu bila ada binatang buruan yang dapat dijadikan bahan makanan muncul. Informasi yang sampai pada masyarakat yang tinggal di goa ini, dipakai untuk membuat keputusan mengenai hal yang harus dilakukan. Pemimpin atau dewan pimpinan harus membuat keputusan setelah melakukan tukar-menukar pendapat. Pimpinan kemudian menjelaskan situasi, mengeluarkan perintah dan membagi tanggung jawab. Kebijakan yang diambil dalam masyarakat primitif dapat juga didasarkan atas kepercayaan, kebiasaan atau hukum yang berlaku di masyarakat tersebut. Jadi kewajiban penting yang harus dilakukan oleh masyarakat ini adalah mengajarkan kepercayaan, kebiasaan, hukum dan keterampilan-keterampilan baru yang dibutuhkan oleh masyarakat yang masih muda. Orang tua mengajari anak-anak mereka, orang yang lebih tua dan pemuka agama mengajari orang-orang yang sudah dewasa. Peranan komunikasi yang tampak pada masyarakat yang masih sangat sederhana ini adalah berupa: peranan
19
penjagaan (melakukan pengawasan terhadap alam sekeliling dan melaporkannya), peranan kebijaksanaan (memutuskan kebijakan yang perlu diambil, memimpin dan mengatur), dan peranan mengajar agar masyarakatnya mempunyai keterampilan dan kepercayaan yang dipandang bernilai oleh masyarakat yang bersa ngkutan. Di samping fungsi komunikasi formal tersebut, ada fungsi komunikasi yang bersifat tidak formal, yaitu percakapan antar mereka sehari-hari. Seperti mengungkapkan ekspresi cinta, persahabatan, menantang, berargumen dan bertukar pikiran, barter dan perdagangan, menari, menyanyi, bercerita dan melakukan komunikasi informal lainnya, memberi warna dan daya pengikat masyarakat tersebut (Schramm, 1964). Pada masyarakat maju atau masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi jangkauan komunikasi sangat luas. Aktivitas yang semula tidak formal dan santai telah diformalkan. Sesuatu yang semula cukup ditangani oleh seorang atau beberapa orang, sekarang diperlukan suatu lembaga sosial tersendiri untuk menanganinya dengan memasukkan pula mesin-mesin ke dalam proses komunikasi. Mesin-mesin digunakan untuk melihat, mendengar, berbicara dan menulis dengan kemampuan jangkauan kerja yang sangat tinggi. Di lingkungan mesin-mesin ini muncul pula institusi komunikasi yang sangat besar yang disebut media massa. Tetapi perlu digarisbawahi bahwa fungsi dasar komunikasi sendiri tetap sama. Pekerjaan mengawasi lingkungan sekarang ditugaskan kepada media massa. Pekerjaan yang membutuhkan konsensus, pembuatan kebijakan, dan pengarahan tindakan-tindakan terutama menjadi tugas pemerintah. Organisasi seperti partai politik dan media massa telah masuk jauh ke dalam proses pembentukan opini dan tindakan. Tugas yang semula dilakukan oleh suatu kelompok kecil dalam suatu percakapan singkat, sekarang menjadi diskusi berbulan-bulan, yang melibatkan beratus-ratus ribu atau bahkan berjuta -juta manusia dan mungkin memerlukan kampanye berskala nasional. Namun, esensi kewajiban mereka tetap sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat sederhana, yaitu memutuskan kebijakan dan memimpin. Kewajiban melakukan proses sosialisasi terhadap anggota masyarakat dibebankan kepada sekolah dan media pendidikan lainnya, seperti buku, radio, televisi pendidikan, film instruksional dan
20
ensiklopedi. Kebutuhan akan pengetahuan dan latihan tidak hanya tersedia terbatas untuk anak-anak, melainkan juga untuk orang dewasa berupa lembaga dan instruksi khusus, misalnya penyuluh pertanian, petugas peneliti dan universitas , penyalur (dealer) penyediaan sarana, perbankan maupun lembaga swadaya masyaraka t (LSM). Organisasi ini disebut “pelayanan informasi” (Lionberger dan Gwin, 1982). Seluruhnya menjadi makin kompleks dan makin canggih. Namun esensinya tetap sama, yaitu keperluan akan pelayanan informasi (Schramm, 1964). Di banyak desa di Indonesia, media komunikasi tradisional masih sering dijumpai. Ketika sewaktu-waktu akan mengumpulkan warga masyarakat, cukup dengan membunyikan kentongan yang dipukul dengan cara tertentu (kode) yang berarti ada bahaya ataupun keadaan aman. Pertunjukan kesenian, se lain sebagai alat hiburan juga merupakan sumber nilai- nilai atau petuah untuk menghadapi berbagai masalah kehidupan yang mengarus melalui dialog ataupun perilaku yang diperdengarkan dan dipertunjukan dalam kesenian seperti nyanyian rakyat, tarian rakyat, musik instrumental rakyat dan drama rakyat. Menurut Jahi (1993) media tradisional yang dekat dengan rakyat sangat efektif untuk menyampaikan pesan pembangunan. Soesanto (1985) menyebutkan bahwa seni tradisional merupakan nilainilai budaya yang dianut suatu masyarakat. Nilai budaya merupakan dasar kehidupan sehari-hari dan karenanyalah merupakan pula dasar dan titik bertolaknya komunikasi. Ungkapan ini menunjukkan bahwa seni tradisional merupakan proses komunikasi. Pertunjukan tradisional ini haruslah mengandung tiga aspek yaitu pendidikan, penerangan dan hiburan (Departemen Penerangan, 1984), atau bermaksud menghibur, menjelaskan, mengajar dan mendidik (Jahi, 1993). Jadi, komunikasi di sini didefinisikan sebagai proses penyampaian dan pemahaman pesan dari satu orang ke orang lain atau kepada kelompok, organisasi, publik maupun kepada masyarakat luas. Komunikasi mengacu tindakan oleh satu orang atau lebih yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh
21
tertentu dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik. Komunikasi dalam hal ini berupa kegiatan membagi perasaan/gagasan dan nilai-nilai melalui bahasa, visualisasi, fasilitas sarana komunikasi yang digunakan, sehingga terjadi suatu kesamaan makna tentang pesan yang disampaikan antara penyampai pesan dan penerima pesan. Kesamaan makna inilah yang menjadi tujuan komunikasi dan sekaligus menentukan efektif tidaknya suatu kegiatan komunikasi.
Dalam
melaksanakan fungsi komunikasi, ada perbedaan antara cara yang digunakan oleh masyarakat yang sederhana dan masyarakat maju. Namun, perbedaan cara tersebut tidak mengurangi makna dari ketiga fungsi proses komunikasi. Perbedaannya adalah pada masyarakat sederhana menggunakan cara yang sederhana, sedangkan masyarakat maju menggunakan cara-cara yang lebih kompleks yang menuntut dimilikinya keterampilan yang lebih tinggi.
Komunikasi Pembangunan dan Komunikasi dalam Masyarakat Desa Komunikasi Pembangunan Seperti sudah dijelaskan di sub bab di atas, secara umum dapa t dijelaskan bahwa komunikasi ialah proses penyampaian informasi/pesan dari sumber kepada penerima, dengan tujuan timbulnya respons dari penerima sehingga melahirkan kesamaan makna (Berlo, 1960, Rogers, 1995, Kincaid dan Schramm, 1987). Sedangkan pembangunan, yang bila dikaitkan dengan perubahan, dia adalah perubahan berencana . Menurut Boyle (1981) apabila perubahan atau segala sesuatu yang terlihat atau terasa berbeda dalam suatu jangka waktu tertentu, dimana perbedaan-perbedaan tersebut dengan sengaja ditimbulkan dan telah direncanakan terlebih dahulu untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diinginkan, maka dikatakanlah sebagai perubahan berencana. Pembangunan itu sendiri merupakan serangkaian usaha berencana yang secara umum ditujukan untuk menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat positif, diinginkan dan bermanfaat pada diri manusia dan lingkungan sekitarnya (Slamet, 1986). Sebagai akibat dari pembangunan, manusia yang menjadi sasaran pembangunan tersebut akan tumbuh dan berkembang, baik dalam arti badaniah
22
dan rohaniah, sehingga dapat mengambil manfaat yang lebih baik dari lingkungannya. Proses perubahan manusia itu sendiri melibatkan banyak usaha dan tenaga. Usaha -usaha pendidikan yang lazim dikenal dengan penyuluhan, ya ng di dalamnya tak lain adalah kegiatan proses komunikasi persuasif merupakan salah satu faktor yang dapat memainkan peranan penting dalam menimbulkan perubahan manusia tersebut. Menurut Slamet (1986) perubahan semacam inilah yang perlu diperhatikan, karena inti utama dari pembangunan tidak lain daripada pertumbuhan dan perkembangan manusia. Pembangunan fisik yang sering kali menarik banyak perhatian, tidak akan berarti banyak apabila tidak disertai dengan pembangunan manusianya. Kalau di tahun 50-an dan 60-an pemerhati pembangunan menekankan pada investasi, modal, teknologi, produktivitas sebagai hal yang penting bagi pembangunan.
Kemudian,
sebelum
tahun
70-an
telah
dimulai
proses
penyeimbangan. Hal ini menekankan pada kebutuhan redistribusi, kebutuhan mengejar tujuan lain seperti pendidikan, kesehatan dan kualitas umum kehidupan daripada penambahan volume barang dan jasa (Jayaweera, 1989). Dengan kata lain pembangunan jangan hanya dilihat dari Gross National Product (GNP) melainkan juga harus diukur dengan peningkatan Indeks Hidup Kualitas Fisik (IHKF) dan GNP, yang satu sama lain tidak terpisah. Dengan hal ini kualitas fisik kehidupan jauh lebih baik, jelas Jayaweera (1989). Indikatornya adalah perbaikan angka buta huruf (illiteracy), kesehatan, kematia n bayi, harapan hidup dan pendidikan. Di tahun 80-an, orang melihat pembangunan sebagai suatu paket dari konsep kebutuhan dasar, berdikari atau mandiri
dan partisipasi, yang
merupakan alternatif bentuk pembangunan yang dihasilkan dari penekanan pada pertumbuhan dan output. Pengertian kebutuhan dasar meliputi metode analisis permasalahan masyarakat desa, yaitu merupakan suatu model yang dapat digunakan untuk menganalisis masalah yang terdapat dalam masyarakat (Slamet, 1986), yang menurut Slamet (2003) bisa digali dari berbagai kebutuhan dan keinginan dalam diri warga masyarakat yang akan dapat mereka penuhi sendiri bilamana potensi dan kemampuan mereka mendapat kesempatan untuk
23
dikembangkan. Kata potensi dan kemampuan warga masyarakat merupakan kunci pengertian me-mandiri-kan masyarakat.
Hal ini sesuai dengan falsafah
penyuluhan “membantu diri sendiri” itu menunjukkan dinamika pribadi SDMklien sangat menonjol (Asngari, 2001). Kemandirian (selfhelp ) masyarakat, termasuk kemandirian pertanian (baca: tanpa subsidi) yang secara bertahap telah mulai diusahakan dari sekarang, perlu diikuti dengan pengurangan keterikatan pada program-program pemerintah (Slamet, 2003).
Pengertian partisipasi
masyarakat dalam pembangunan dikatakan oleh Slamet (2003) bermakna sebagai ikutsertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan,
dan
ikutserta
memanfaatkan
dan
menikmati
hasil-hasil
pembangunan. Perlu ditekankan di sini bahwa partisipasi dalam pembangunan bukan hanya berarti ikut menyumbangkan
sesuatu input ke dalam proses
pembangunan, tetapi termasuk ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Pembangunan
harus
dilihat
dalam
karakter
holistik.
Tidak
ada
pembangunan yang mengabaikan produktivitas dan pertumbuhan. Tetapi pertumbuhan
harus
diimbangi
dengan
reformasi
struktural
yang
tidak
menghambat daya produktif masyarakat. Pada waktu yang sama, itu harus didukung oleh keseluruhan tindakan yang menjamin keadilan, menjamin peningkatan kualitas hidup serta menjamin hak-hak asasi manusia dan kebebasan demokrasi (Jayaweera, 1989). Sebagai suatu istilah teknis Seers (Nasution, 1996) melihat pembangunan berarti membangkitkan masyarakat di Negara-negara sedang berkembang dari keadaan kemiskinan, tingkat melek huruf (literacy rate) yang rendah, pengangguran dan ketidakadilan sosial. Dalam pengertian sehari-hari pembangunan merupakan usaha yang dilakukan oleh suatu mas yarakat untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Rogers (1976) mengartikan pembangunan sebagai proses-proses yang terjadi pada tingkat sistem sosial. Sama halnya seperti diseminasi, pengembangan (development), spesialisasi, integrasi dan adaptasi (Slamet, 1986). Sedangkan modernisasi ialah proses yang terjadi pada tingkat individu, termasuk istilah difusi inovasi, adopsi inovasi, akulturasi, belajar atau sosialisasi. Untuk perubahan demikian disebut
24
perubahan mikro karena lebih memfokuskan pada perilaku perubahan individual. Pembangunan di sini diartikan Rogers (1976) sebagai proses perubahan sosial dalam suatu masyarakat yang diselenggarakan dengan jalan memberi kesempatan yang seluas-luasnya pada warga masyarakat tersebut untuk berpartisipasi, untuk mendapatkan kemajuan baik secara sosial maupun material (pemerataan, kebebasan dan berbagai kualitas lain yang diinginkan agar menjadi lebih baik). Sementara Dissayanake (1981) menggambarkan bahwa pembangunan ialah proses perubahan sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup dari seluruh atau mayoritas masyarakat, tanpa merusak lingkungan alam dan kultural tempat mereka berada dan berusaha, melibatkan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam usaha ini, dan menjadikan mereka penentu dari tujuan mereka sendiri. Rogers dan Shoemaker (1971) lebih lanjut menyebutkan bahwa besar kemungkinan sem ua analisis perubahan sosial harus memusatkan perhatiannya pada proses komunikasi, karena dilihat dari kenyataan semua penjelasan tentang perilaku manusia berpangkal pada penyelidikan mengenai bagaimana orang-orang itu memperoleh dan mengubah gagasannya (membuat keputusan) melalui komunikasi dengan orang lain, maupun dengan kemajuan teknologi komunikasi, baik radio, televisi dan media cetak. Teknologi komunikasi ini memiliki kemampuan untuk menciptakan dan menyebarkan “kesan baru” ( new images) dari apa yang seseorang ingin aspirasikan, menciptakan “mobilitas fisik” dan membangkitkan “empati” (Jayaweera dan Amunugama, 1989). Dari ilustrasi di atas, istilah Komunikasi Pembangunan diartikan sebagai suatu komitmen untuk meliput secara sistematik, problematika yang dihadapi dalam pemba ngunan suatu bangsa. Kegiatan itu kemudian diperluas mencakup segala komunikasi yang “diterapkan untuk pentransformasian secara cepat suatu negara dari kemiskinan ke suatu dinamika pertumbuhan ekonomi yang memungkinkan lebih besarnya keadilan sosial dan pemenuhan pote nsial manusiawi” (Nasution, 1996). Definisi ini sejalan dengan apa yang diungkapkan Lerner, Pye dan Schramm bahwa komunikasi pembangunan berhubungan dengan teknologi yang didasari pada jaringan komunikasi yang menimbulkan iklim yang cocok untuk
25
pembanguna n, tanpa memperhatikan pesan dan isi pesan. Di lain pihak, ada istilah komunikasi penunjang pembangunan (KPP), yang diutarakan oleh Erskine Childers dari UNDP, sebagai komunikasi yang secara khusus disusun untuk mendukung program pembangunan tersebut (Jaya weera dan Amunugawa, 1989). Komunikasi pembangunan (KP) lebih besar dibandingkan dengan KPP . Seperti halnya KPP yang merupakan bagian yang terkecil, dapat bekerja dengan efektif pada bidang terbatas, walaupun dengan ketidakhadiran komunikasi pembangunan. Tabel 1 berikut memperlihatkan bagaimana komunikasi pembangunan (KP) dibedakan dengan komunikasi penunjang pembangunan (KPP).
Tabel 1. Perbedaan komunikasi pembangunan dan komunikasi penunjang pembangunan
KP
KPP
1. Secara umum digunakan untuk 1. Secara umum digunakan untuk nasional atau makro. lokal atau mikro. 2. Berfungsi tidak langsung dan samar 2. Berfungsi langsung yang sesuai -samar. dengan efek dan tujuan. 3. Bersifat persuasif dan terbuka. 3. Dibatasi waktu dan mengambil bentuk kelompok. 4. Mengandalkan pengaruh yang kuat 4. Berorientasi pesan. Secara teliti dari karakteristik teknologi. menunjukkan kepuasan. 5. Dibatasi teknologi media massa. 5. Menggunakan semua budaya media 6. Bersifat top-down dan hierarkhi. 6. Selalu interaksi dan partisipasi. 7. Penelitian banyak masalah, jumlah 7. Penelitian mudah, peubah dapat peubah banyak, kesulitan dalam diisolasi, dikontrol dan diukur. mengontrol. Secara konsekuen Secara konsekuen masih ada kekurangan penelitian. penelitian. 8. Semakin kehilangan kredibilitas. 8. Kredibilitas sangat besar. Diadopsi oleh sistem UN dan seluruh agen pembangunan nasional dan internasional. Studi penelitian yang mengambil topik “Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan” mer upakan dasar dari kredibilitas KPP, dan ini menjadi fokus penyelidikan yang ingin dideskripsikan.
26
Komunikasi dalam Masyarakat Desa Tinjauan komunikasi pembangunan dalam penelitian ini lebih melihat pada studi komunikasi yang mendukung pembangunan/KPP (development support communication) yang melihat pelaksanaan komunikasi pembangunan dengan membatasinya atas waktu dan mengambil bentuk kelompok sebagai unit analisis. Tinjauan berdasarkan pendekatan komunikasi penunjang pembangunan (KPP) ini sebenarnya mengikuti rekomendasi Rogers (1995), dimana pada penelitian difusinya dia beranjak dari komunikasi pembangunan (KP) dan konsekuensinya kehilangan validitasnya (Jayaweera dan Amunugawa, 1989). Homan (dalam Blau, 1975) memberikan batasan tentang struktur sosial sebagai perilaku yang ajeg (enduring), yaitu suatu ekspresi yang menunjukkan konfigurasi hubungan antar orang seorang dan posisinya, yang bisa dilihat dari karakteristik personal. Kelom pok formal ai lah salah satu contoh perilaku yang ajeg tersebut, menunjukkan suatu keadaan saling terkait antara posisi dan peranan, suatu tatanan distribusi stratifikasi berdasarkan ciri personal, suatu pola interaksi dan aktivitas antar partisipan anggota suatu kelompok. Dimana hal tersebut dapat diperlakukan sebagai suatu sistem, yakni kelompok sebagai sistem sosial (Slamet, 1997) atau masyarakat sebagai suatu sistem sosial (Loomis, 1960; Slamet 1986). Tinjauan kelompok sosial yang relatif sederhana dibandingkan dengan pengamatan masyarakat sebagai sistem sosial, adalah (bagian) masyarakat desa. Deskripsi tentang pengertian masyarakat desa tidak mudah diberikan karena acuan yang dipakai untuk mendasari masih sangat beragam. Misalnya, berdasarkan luas daerahnya, teknologi yang digunakan, kepadatan penduduk, nilai-nilai sosial budaya dan sebagainya. Dengan demikian apapun dasar yang dipakai untuk mendeskripsikan pengertian desa, maka hal tersebut hanyalah merupakan suatu stereotype agar didapat gambaran tentang suatu masyarakat yang relatif sederhana. Masyarakat desa menurut Soekanto (2001) adalah wilayah kehidupan sosial di perdesaan yang masih kuat derajat hubungan sosialnya dalam bentuk ikatan kekeluargaan dan komunikasi yang dibangun di antara anggota secara
27
langsung. Gillin dan Gillin dalam Koentjaraningrat (1990) merumuskan masyarakat (society) sebagai: “… kelompok terbesar dimana secara umum adat istiadat (custom), tradisi, sikap dan perasaan tampak sebagai suatu kesatuan yang berproses.” Hal ini diperkuat oleh Soemardjan (1993) yang menyatakan bahwa masyarakat desa hidup dari persamaan profesi pertanian, peternakan atau perkebunan itu diperkuat dengan persamaan adat, persamaan bahasa dan persamaan sistem sosial. Masyarakat desa termasuk dalam kategori masyarakat modern, walaupun penggunaan teknologi dan sistem sosial serta lembaga masyarakat yang ada masih bersifat sederhana.
Masyarakat desa memiliki
karakteristik yang khas, berbeda dengan masyarakat kota. Masyarakat desa mempunyai berbagai lembaga atau pranata sosial yang digunakan sebagai ajang pertemuan untuk memelihara nilai-nilai yang merupakan faktor integratif bagi masyarakat desa yang bersangkutan. Desa juga mempunyai beragam jenis selamatan, mulai dari selamatan kelahiran sampai dengan kematian. Proses sosialisasi di desa, selain dilakukan melalui pengajaran langsung secara verbal atau melalui perilaku yang dianggap terpuji oleh orang tua kepada anak-anak mereka atau oleh tetua desa, tokoh agama dan tokoh adat kepada generasi yang lebih muda. Juga sering dilakukan melalui bentuk pertunjukan kesenian (seni tradisional atau pertunjukan rakyat) yang sarat dengan pewarisan petuah dan nilai-nilai. Di kalangan masyarakat desa, selain pemimpin formal juga sering dijumpai pemimpin/tokoh informal ya ng dijadikan sebagai pemuka pendapat (opinion leaders). Menurut Rogers (1995) mereka sering menjadi pusat informasi dan karenanya menjadi tempat bertanya dan meminta pendapat dari warga desa tentang berbagai hal, khususnya yang menyangkut kegiatan dan kebutuhan masyarakat desa sehari-hari. Dalam konteks adopsi inovasi dikemukakan bahwa pemimpin informal ini adalah orang-orang kunci (key person) yang berpengaruh di desa, terhadap siapa warga desa berpaling dalam ide -ide baru (Havelock et al., 1971). Orang-orang ini biasanya mempunyai pengaruh yang besar karena pengakuan kredibilitasnya mengenai hal-hal tertentu yang diakui oleh para anggota masyarakatnya. Mereka ini juga berfungsi sebagai penjaga gawang (gate
28
keeper) terhadap inovasi dan nilai-nilai yang masuk ke dalam masyarakat perdesaan tersebut (Rogers, 1995; Jahi, 1993; Goldberg dan Larson, 1985). Pemimpin menurut hasil penelitian Ginting (1999) bisa terdiri atas pemimpin informal tradisional seperti pemimpin atau tokoh adat, pemimpin agama dan raja di kampung (raja huta ) dan pemimpin informal kontemporer yakni seseorang yang kepemimpinannya diakui oleh warga masyarakat dalam waktu yang belum terlalu lama, seperti guru, cendekia desa, pegawai/pensiunan, pedagang, pengusaha atau petani yang berhasil. Efektivitas peranan pemimpin informal ini terutama didukung oleh sifat masyarakat desa yang relatif homogen dan dapat melakukan kontak langsung atau tatap muka. Dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan kebutuhan mutlak baik pada masyarakat yang sederhana, yang berada pada masa transisi maupun pada masyarakat modern. Studi dengan menganalisis KPP, yang melihat masyarakat desa atau lebih spesifik lagi kelompok peternak sebagai unit analisis akan dijadikan acuan pada penelitian ini, termasuk analisis jaringa n komunikasinya. Perbedaan pokok antara kegiatan komunikasi pada masyarakat yang sederhana, transisi dan masyarakat maju hanyalah terletak pada alat-alat penyampaiannya, tidak pada fungsi komunikasi. Fungsi komunikasi tetap sama, yaitu untuk pengamatan
lingkungan,
menghubungkan
bagian-bagian masyarakat agar
memberikan respons terhadap lingkungan, dan melakukan pemindahan warisan nilai-nilai termasuk difusi inovasi. Bila mensitir rekomendasi dari rencana tindak yang
diusulkan
pada
Deklarasi
Komunikasi
Pemba ngunan
ke -9
yang
diselenggarakan FAO dan UNESCO, PBB (Perserikatan Bangsa -Bangsa) pada 69 September 2004 di Roma, maka disepakati bahwa “komunikasi untuk pelaksanaan pembangunan yang dianjurkan, dilaksanakan oleh masyarakat sendiri (themselves) untuk lebih menarik perhatian para pembuat keputusan, untuk memastikan bahwa komunikasi tersebut dapat dikenali sebagai komponen sentral pada semua inisiator pembangunan.” Deane (2004) menyebutkan bahwa konteks Komunikasi Pembangunan tahun 2004 adalah: “… bila pembangunan bisa dilihat sebagai rangkaian aktivitas jutaan orang, komunikasi mewakili hal-hal pentin g yang menyatukan mereka. Komunikasi adalah dialog dan debat yang
29
terjadi secara spontanitas dalam setiap perubahan sosial. Peningkatan kebebasan berekspresi sekarang ini hampir bersamaan dengan perubahan struktur politik global. Di lain pihak, komunikasi dengan sengaja diintervensi untuk mempengaruhi perubahan sosial dan ekonomi. Strategi pembangunan yang menggunakan pendekatan komunikasi dapat mengubah sikap rakyat dan kebijakan tradisional, membantu rakyat untuk b eradaptasi, untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru, dan menyebarkan pesan -pesan sosial baru kepada khalayak yang lebih luas. Rencana yang menggunakan teknik komunikasi, aktivitas dan media memberikan kepada rakyat perangkat yang berguna untuk perubahan pengalaman dan bahkan untuk menuntunnya berubah. Untuk meningkatkan pertukaran ide dari masing-masing sek tor masyarakat dapat digunakan pemimpin yang terlibat dengan rakyat. Hal ini adalah syarat yang mendasar atau fundamental bagi pembangunan yang berkelanjutan.” Perdebatan terkini dan banyak dari catatan pertemuan “roundtable ” (meja bundar) di Roma tahun 2004 ini, telah dilengkapi dengan model komunikasi berupa difusi, advokasi dan partisipasi (Deane, 2004). Ada bukti yang semakin jelas bahwa program komunikasi yang cenderung untuk menarik sumberdaya – terutama sekali yang berjanji untuk mewujudkan sesuatu menjadi kenyataan, perubahan perilaku individu di luar batasan waktu yang menyolok – sering tidak bisa berlanjut, bera kar di dalam kultur (budaya) dimana mereka beroperasi, mempunyai dampak terbatas dan mengalami hambatan sos ial yang lebih pokok. Pada sisi lain, lebih partisipatori, model komunikasi perubahan sosial dari bawah ke atas ka dang-kadang gagal untuk menarik lebih banyak sumberdaya dikarenakan dampaknya menjadi sangat sukar untuk dievaluasi dalam jangka pendek, sebab mereka sering menemui kesulitan untuk memprogramkannya dalam skala mikro. Di lingkungan komunikasi yang semakin terhubung, para praktisi komunikasi mengurangi perhatian atas penyebaran pesan tetapi lebih fokus pada pendorongan publik dan individu untuk dapat bertindak secara kolektif dalam mengembangkan solusi-solusi bagi masalah mereka sendiri. Tabel 2 berikut ini menyajikan perubahan lingkungan komunikasi dari tradisional ke yang baru.
30
1. 2. 3. 4.
5.
Tabel 2. Perubahan lingkungan komunikasi Tradisional Baru Komunikasi vertikal – dari 1. Komunikasi horizontal (dari pemerintah ke masyarakat. seseor ang ke orang lain). Sistem komunikasi unipolar. 2. Jaringan-jaringan komunikasi. Sedikit sumber informasi. 3. Banyak sumber informasi. Mudah mengendalikan 4. Susah mengendalikan (a) Kebaikan, memunculkan (a) Kebaikan, lebih banyak informasi yang akurat bagi debat, suara-suara lantang dan banyak orang peningkatan kepercayaan (b) Kelemahan, dikendalikan (b) Kelemahan, makin kompleks pemerintah dan disensor. dan isu-isu keakuratan berita. Mengirimkan pesan. 5. Menanyakan sesuatu hal.
Jaringan Komunikasi Salah satu cara untuk memahami perilaku manusia adalah dengan mengamati atau memahami hubungan-hubungan sosial yang tercipta karena adanya proses komunikasi interpersonal. Hal ini tidak lain karena manusia selain sebagai makhluk individu adalah juga makhluk sosial yang hanya bisa mengembangkan potensi dirinya sebagai manusia melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Sebenarnya masih banyak cara-cara lain dalam memahami perilaku manusia, tetapi sesuai dengan perumusan masalah pada studi ini yang hendak berupaya memahami hubungan karakteristik personal peternak pada kelompok ternak di lokasi penelitian, perilaku keterdedahan/terpaan media massa dan perilaku menggunakan saluran komunikasi interpersonal informal dengan keterlibatan pada jaringan komunikasi penyuluhan, dengan objek amatan pada Pengembangan Usahaternak Terpadu Sapi Potong. Maka jelas lah bahwa fokus penelitian ini hanya melihat keterlibatan pada jaringan komunikasi, yang merupakan peubah antara (intervining variable ) hubungan karakteristik personal dan keterdedahan media massa dengan distorsi pesan. Pengertian Jaringan Komunikasi Jar ingan komunikasi (communication network) terdiri atas individuindividu yang saling berhubungan satu sama lain melalui pola-pola arus informasi (Rogers dan Kincaid, 1981), atau melalui arus komunikasi yang terpola (Rogers
31
dan Rogers, 1976; Rogers, 1995). Lebih lanjut didefinisikan oleh Rogers dan Kincaid bahwa jaringa n komunikasi tersebut merupakan suatu hubungan yang relatif stabil antara dua individu atau lebih yang terlibat dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan. Hanneman dan McEver (1975) menyatakan bahwa bila dua orang atau lebih ikutserta dalam proses pengiriman dan penerimaan pesan maka mereka terlibat dalam suatu jaringan komunikasi, dimana pertukaran informasi itu terjadi secara teratur. Begitu pun Muhammad (2000) sepakat menamakan kejadian saling terjadi pertukaran pesan melalui jalan tertentu di antara sejumlah orang yang menduduki posisi dan peranan tertentu dalam suatu organisasi sebagai jaringan komunikasi. Kemudian diperjelas dengan pendapat Schramm (1963) yang menyatakan bahwa jaringan komunikasi terdiri dari orangorang yang saling berhubungan satu sama lain, saling mempengaruhi dan berbagi informasi untuk mencapai tujuan bersama. Proses Pembentukan Jaringan Komunikasi Selain sebagai sekumpulan orang-orang, masyarakat juga merupakan kumpulan hubungan-hubungan. Hubungan-hubungan ini dapat berupa hubungan darah/keturunan,
hubungan
persahabatan,
pertemanan
karena
persamaan
pekerjaan, hubungan bertetangga dan masih banyak hubungan yang lain. Hubungan-hubungan ini hanya akan terjadi dan bermakna bila ada proses komunikasi. Hubungan darah atau hubungan keturunan sekali pun kurang berarti bila antar anggota seketurunan tersebut tidak terjadi kontak-kontak satu dengan yang lain melalui proses komunikasi tersebut. Hubungan dalam masyarakat ini sedemikian banyaknya, ibarat jaringan laba-laba yang berlapis-lapis, karena setiap jenis informasi akan mempunyai jaringan komunikasinya sendiri-sendiri. Keseluruhan jaringan komunikasi dalam masyarakat ini dibentuk oleh individu-individu melalui pola arus informasi (Rogers,1995). Jahi (1993) menekankan pada aspek isu-isu atau pesan komunikasi sebagai salah satu batasan (rambu-rambu) dalam analisis jaringan komunikasi. Karena setiap individu atau lembaga, untuk isu yang berbeda memiliki kedudukan dan posisi yang berbeda dalam jaringan komunikasi. Pernyataan ini mengisyarat-
32
kan, ada banyak jaringan komunikasi dalam sebuah sistem sosial, tergantung isu apa yang menjadi fokus perhatian. Jadi pada sebuah desa misalnya, bisa ditemukan jaringan komunikasi keluarga berencana (KB), kesehatan, pertanian dan sebagainya. Untuk
mendeteksi
keberadaan
suatu
jaringan
komunikasi
dalam
masyarakat digunakan metode yang mengacu kepada model konvergensi yang menjadikan hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Menurut Rogers (1995) hakekat dari suatu jaringan komunikasi adalah hubungan-hubungan yang bersifat homofili (homophilous), yakni kecenderungan manusia untuk melakukan hubungan atau kontak sosial dengan orang-orang yang memiliki atribut sama atau yang lebih tinggi sedikit dari posisi dirinya . Tetapi dapat juga terjadi antar orangorang yang memiliki atribut yang tidak sama. Sebagai contoh, A berkomunikasi dengan B yang mempunyai pendidikan lebih rendah sedikit dari A. Sebaliknya B berkomunikasi dengan C yang tingkat pendidikan lebih rendah dari B. Dengan demikian A dan C yang tingkat pendidikannya berbeda, juga melakukan komunikasi. Namun secara tidak langsung, karena komunikasinya melalui B sebagai penghubung. Dengan kata lain A dan C berada pada jalur komunikasi yang sama (Lin, 1975). Di sisi lain, masing-masing individu tidak hanya mempunyai hubungan (komunikasi) satu jenis jaringan komunikasi saja.
Seorang yang mempunyai
jabatan tertentu, misalnya guru. Dia tidak hanya akan berhubungan dengan sesama guru, tetapi juga mungkin berhubungan dengan anggota keluarga dengan kedudukan sebagai seorang kepala rumahtangga, anggota suatu organisasi klub bulutangkis dan lainnya. Seorang petani di desa misalnya, selain terlibat dalam jaringan komunikasi pertanian, juga sangat mungkin terlibat dalam jaringan komunikasi agama, kesehatan, transmigrasi dan lain -lain. Visualisasi dari posisi seseorang dalam jaringan-jaringan komunikasi tersebut adalah sebagai berikut, seperti yang tertera pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa orang nomor 1 menjadi anggota A, B, C dan D. Orang nomor 2 hanya menjadi anggota B dan C. Orang nomor 3 menjadi anggota C dan D. Orang nomor 4 dan 5 menjadi anggota A dan B. Orang nomor 6
33
menjadi anggota A dan C. Sedangkan orang nomor 7 dan 8 adalah anggota A dan D.
Ilustrasi contoh jaringan komunikasi pada Gambar 1 tersebut baru dua
dimensi. Apabila dibuat tiga dimensi dapat dibayangkan betapa kompleks hubungan-hubungan tersebut. Dalam realitasnya seorang petani di desa bukan mustahil terlibat tidak saja pada keempat macam jaringan komunikasi tersebut, tetapi juga terlibat pada jaringan komunikasi perkreditan, jaringan komunikasi KB, jaringan komunikasi pemasaran produksi pertaniannya, jaringan komunikasi peternakan, jaringan komunikasi “hobby” memelihara ayam pelung dan sebagainya yang bila disebutkan satu persatu akan banyak sekali. Sehingga tidak mudah untuk divisualisasikan seperti halnya mengenai empat jenis jaringan komunikasi tersebut.
7
5
4
A
6
2
B
1
C
3
8
D Keterangan: A = Jaringan komunikasi agama B = Jaringan komunikasi pertanian C = Jaringan komunikasi kesehat an D = Jaringan komunikasi transmigrasi.
Gambar 1. Keanggotaan pada berbagai jaringan komunikasi
34
Setiap jenis jaringan komunikasi mempunyai kecepatan perkembangan yang berbeda -beda. Semakin penting suatu jenis informasi bagi suatu anggota sistem sosial, makin cepat perkembangan dan luas jangkauan jaringan komunikasinya. Jaringan komunikasi yang berhubungan dengan informasi tentang kebutuhan primer akan mempunyai jangkauan yang tercepat dan terjauh (Rogers, 1995). Bagi seorang peternak, informasi mengenai peternakan mestinya akan merupakan informasi terpenting. Maka penelitian jaringan komunikasi peternakan di kalangan peternak di suatu desa, sangat mungkin akan mendapatkan suatu jaringan komunikasi yang sangat luas, yang menjangkau seluruh peternak di desa tersebut. Sedangkan usaha pertanian lain atau usaha off-farm yang sebagai usaha penunjang, sangat mungkin memiliki jaringan komunikasi yang kurang luasnya dibanding dengan jaringan komunikasi peternakan sebagai usaha pokok/ primer. Perkembangan jaringan komunikasi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya faktor sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama. Perbedaan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama antar masyarakat atau kelompok sosial akan sangat menentukan keberhasilan suatu proses komunikasi. Contoh pengaruh faktor sosial terhadap jaringan komunikasi, misalnya pada masyarakat yang tingkat pendidikannya sangat rendah, jaringan komunikasi kesehatan akan sulit berkembang. Seperti kampanye air masak di desa Los Malinos di Peru, ya ng berusaha memperkenalkan inovasi program peningkatan kesehatan masyarakat tetapi gagal. Hal ini dikarenakan anjuran agar air yang hendak diminum harus dimasak terlebih dahulu tidak diindahkan oleh anggota masyarakat. Penjelasan bahwa air mentah mengandung kuman, dan karenanya harus dimasak dahulu tidak masuk akal mereka. Mereka tidak percaya bahwa kuman yang sangat kecil yang tak terlihat mata mampu menimbulkan sakit pada diri mereka (Rogers, 1995). Kita dapat membayangkan kampanye larangan menanam bibit padi unggul yang tidak tahan hama wereng coklat , dimana “media mix ” yang dipakai tidak hanya terbatas pada suratkabar, majalah, radio dan televisi saja, melainkan juga saluran administrasi pemerintahan, seperti pejabat- pejabat pemerintah daerah, pemerinta h desa dan dinas pertanian bersama para penyuluh,
35
mengakibatkan petani tidak berani membicarakan apalagi menanam bibit padi tersebut. Ter lebih ketika aparat desa mengambil tindakan membakar padi para petani yang be rani melanggar larangan itu. Kasus ini, contoh keterkaitan faktor politik terhadap jaringan komunikasi. Cara ini terbukti efektif. Sekalipun hama wereng belum terbasmi, tapi pada musim tanam berikutnya serangan hama tersebut sudah dapat dikendalikan sampai ke tingkat minimal (Kompas, 1989). Studi Windarti (2000) pada kasus penerapan inovasi skim kredit Karya Usaha Mandiri (KUM) di desa Kiarapandak Bogor menyimpulkan bahwa tingkat adopsi penerapan skim kredit KUM memberikan pengaruh tidak langsung terhadap pendapatan melalui pemantapan adopsi.
Mengingat peningkatan
pendapatan dapat dicapai jika keputusan inovasi anggota kelompok akan kredit KUM semakin mantap dan kondisi usaha yang semakin berkembang, maka disarankan untuk melakukan pembinaan usaha ke pada anggota lewat pertemuan minggon rembug pusat. Paparan ini adalah fakta adanya keterkaitan faktor ekonomi dengan jaringan komunikasi kredit pola grameen bank. Sedangkan faktor budaya, terlihat dari fenomena pada masyarakat yang masih menganut paham bahwa “banyak anak banyak rezeki” akan sulit dikembangkan jaringan komunikasi KB, karena program KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) KB ini mengandung nilai yang sangat bertentangan dengan paham tersebut. Keadaan yang demikian ditemui misalnya pada awal pengenalan program KB di Indonesia di tempat-tempat masyarakat yang mempunyai paham seperti ini sebagai pandangan hidup yang kuat.
Hal ini
diperkuat hasil penelitian Sugiyanto (1996) yang menyebutkan masih kuatnya persepsi masyarakat pantai tentang nilai-nilai tradisional yang berlaku terutama di desa belum maju, seperti “anak adalah karunia Tuhan” dan “banyak anak banyak rezeki.” Gejala tersebut juga terlihat pada masyarakat pantai di desa-desa maju. Untuk faktor agama terlihat bukti empiris pada program pengembangan ternak babi, bahwa pada masya rakat Islam yang religiusitasnya tinggi, jaringan komunikasi peternakan babi tidak akan berkembang dengan baik. Penyebabnya adalah orang Islam tidak mau makan daging babi, karena ajaran agama melarangnya (Rogers, 1995).
36
Pengaruh Jaringan Komunikasi terhadap Psikologi dan Perilaku Sekali suatu aringan j terbentuk maka pada setiap hubungan komunikasi akan terjadi gerak atau perpindahan informasi dari seseorang ke orang lain. Apabila hubungan komunikasi telah terjadi sehingga pemindahan dan penerimaan informasi telah berjalan, maka informasi tersebut akan mulai berpengaruh kepada orang-orang yang terlibat pada proses komunikasi tersebut. Secara garis besar pengaruh tersebut ada dua macam, yakni pengaruh terhadap pola pikir (psikologi) dan pengaruh pada pola perilaku (Lin, 1975). Contoh pengaruh psikologi adalah perubahan persepsi, retensi dan sikap. P endapat Lin ini didukung oleh pernyataan Liliweri (2003) yang menyebutkan komunikasi merupakan pusat dari seluruh sikap dan tindakan yang terampil (communication involves both attitudes and skills) dari orang-orang yang terlibat pada proses komunikasi. Penelitian Kadusihin (dalam Burt, 1987) di tiga lokasi di Amerika Serikat menemukan adanya hubungan antara “kepadatan hubungan” (kepadatan jaringan komunikasi) dengan kesehatan mental. Penelitian ini dilakukan terhadap orangorang yang berusia antara 27-37 tahun yang pernah terlibat pada Perang Vietnam. Sedangkan studi jaringan komunikasi yang menunjukkan adanya bukti kuat bahwa jaringan komunikasi sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia, di antaranya diungkapkan oleh Katz dan Mendel, dan juga Coleman. Menurut Katz dan Mendel (Lin, 1975), mereka pernah membuktikan bahwa para dokter yang melakukan adopsi terhadap obat-obatan baru adalah para dokter yang berada pada jaringan komunikasi profesional. Coleman membuktikan pula bahwa kecepatan penggunaan gammanym, yaitu obat keras di kalangan dokter disebabkan oleh jaringan persahabatan di kalangan dokter tersebut (Rogers, 1995). Kemudian, penelitian Rogers (1995) di Korea Selatan juga
mengungkapkan
bahwa ibu-ibu yang melakukan adopsi terhadap metode kontrasepsi ialah ibu-ibu yang berada dalam jaringan komunikasi keluarga berencana. Ilustrasi-ilustrasi bentuk jaringan yang demikian banyak di masyarakat ini merupakan modal sosial yang harus disikapi secara optimal.
Modal sosial
dimaksud adalah (1) structural social capital, berupa jaringan pengelompokkan yang struktural, perkumpulan, lembaga beserta peraturan dan prosedur, dan (2)
37
coqnitive social capital, berupa sikap, norma-norma, nilai-nilai, kepercayaan dan reciprocity (Tjondronegoro, 2005). Pemuka Pendapat dan Jaringan Komunikasi Seperti pernah dijelaskan di atas, bahwa pemuka pendapat adalah orang yang mempunyai pengaruh dalam suatu masyarakat walaupun dirinya tidak menduduki jabatan formal. Adakalanya fungsi pemuka pendapat ini dirangkap oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan formal sebagai pemimpin. Studi empiris mengisyaratkan adanya petunjuk yang kuat bahwa orang yang mempunyai banyak hubungan dalam jaringan komunikasi cenderung mempunyai informasi dan pengaruh yang besar. Pola -pola sosiometris, yaitu hubungan antar anggota masyarakat juga me mbentuk secara teratur pola sentralisasi dan kompetisi kepemimpinan (Pool, 1973). Dengan demikian, orang yang banyak mempunyai informasi biasanya menjadi pemuka pendapat, karena dia menjadi tempat bertanya orang banyak. Peranan pimpinan informal atau pemuka pendapat dalam mendorong masyarakat menerima suatu pembaruan adalah sangat besar (Rogers, 1995). Pemimpin seperti ini mempunyai peranan penting dalam membantu terjadinya perubahan perilaku warga. Pemimpin tertentu, khususnya pemimpin berkharisma, juga di masyarakat yang agak besar diferensiasinya, dapat mempunyai pengaruh besar atas diterima atau ditolaknya gagasan baru di berbagai bidang kehidupan (Schoorl, 1980). Hal ini dibuktikan misalnya pada penelitian kasus yang terjadi di desa Oryuli di Korea Selatan, dimana kemajuan sosial ekonomi di desa itu dicapai berkat adanya pimpinan informal atau pemuka pendapat tersebut (Rogers , 1995). Pemuka pendapat yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap lingkungannya ini ada dua macam. Pertama, pemuka pendapat yang polimorfik, yaitu pemuka pendapat yang menjadi sumber untuk berbagai jenis informasi. Hal ini sering dijumpai di daerah perdesaan di negara yang sedang berkembang, dikarenakan pengetahuan orang-orang di perdesaan belum terspesialisasikan. Sehingga seseorang yang mampu menjelaskan suatu masalah tertentu dianggap juga mampu menjelaskan masalah-masalah yang lain. Lain halnya dengan yang
38
terjadi di negara yang sudah maju dan terspesialisasi, sehingga pemuka pendapat hanya mampu menjadi sumber bagi satu jenis infor masi saja (pemuka pendapat monomorfik ). Pemuka pendapat ini dipercayai baik karena tingkat pendidika n, kekayaan maupun usianya. Di negara berkembang, usia sering dianggap sebagai tanda memiliki pengalaman yang banyak. Beberapa studi seringkali menunjukkan bahwa pemuka pendapat adalah orang yang kelas ekonominya lebih tinggi dari rata-rata orang yang berada di sekitarnya atau para pengikutnya (Rogers, 1995). Dari hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa para pemuka pendapat cenderung berubah bila norma-norma sosialnya juga berubah. Sebaliknya apabila norma-norma sosial cenderung tidak berubah, maka para pemuka pendapat ini juga cenderung tidak inovatif (Rogers, 1995).
Pada masyarakat yang norma
sosialnya bersifat tradisional, pemuka pendapat merupakan sekelompok orang yang terpisah dari para inovator. Para inovator dipandang dengan rasa curiga dan sering kali tidak dihormati oleh para anggota masyarakatnya.
Anggota
masyarakat tersebut tidak percaya terhadap penilaian mereka mengenai inovasi. Studi Herzog et al. (Rogers , 1995) di desa di Brazilia menemukan bahwa tidak ada para pemuka pendapat maupun pengikutnya yang inovatif apa bila masyarakatnya tetap tradisional. Sebaliknya pada masyarakat yang sangat modern, dimana norma sosialnya cenderung inovatif, maka para pemuka pendapat dan pengikutnya juga cenderung inovatif. Dalam masyarakat yang baru mengenal modernisasi, para pemuka pendapatnya akan mengajak para pengikutnya untuk melaksanakan modernisasi dengan cara melaksanakan dahulu gagasan-gagasan baru tersebut (Rogers , 1995).
Bahkan kegiatan penyuluhan yang bermaksud
meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan kemauan warga dalam menerapkan berbagai pemba ruan, terlebih dahulu perlu diketahui, disyahkan dan direstui oleh pemimpin informal (Havelock et al., 1971). Kelompok Peneliti lain yang dapat dianggap sebagai pendahulu analisis jaringan komunikasi tentang informasi berlangkah adalah Lazarfelds dan Katz. Penelitian mereka menyimpulkan bahwa arus-arus informasi bergerak dalam dua langkah. Pertama, dari media massa ke pemuka pendapat sebagai pemindahan informasi, dan kedua dari pemuka pendapat ke para pengikutnya sebagai langkah
39
penyebaran informasi dan pengaruh (Katz, 1963).
Begitu juga sumber informasi
dari saluran interpersonal, seperti penyuluh sering tidak dapat bekerja sendiri dalam arti informasi pemba ruan yang mereka sampaikan cenderung kurang diterima oleh masyarakat, sehingga perlu bantuan “orang dalam” atau pemimpin mereka untuk menyampaikannya. Penyuluh perlu bekerjasama atau memanfaatkan pemimpin pendapat ini (Chambers, 1987; Rogers, 1995). Analisis Jaringan Komunikasi Gonzalez (Jahi, 1993) menegaskan, dalam jaringan komunikasi erat kaitannya dengan komunikasi interpersonal yang menekankan pada seperangkat hubungan yang mungkin ada di antara individu-individu yang terlibat dalam situasi tertentu. Hubungan yang demikian ini dikenal de ngan istilah personal network . Analisis personal network dalam sistem sosial disebut sebagai “analisis jaringan sosial.” Sistem sosial yang dimaksud mungkin sebuah desa, perusahaan, kelompok ataupun sebuah organisasi kompleks. “Analisis jaringan komunik asi merupakan suatu metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam sebuah sistem, dimana data yang berhubungan dengan alur komunikasi dianalisis dengan berbagai tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisis” (Rogers dan Kincaid, 1981). Pengertian ini menunjukkan jaringan komunikasi hanyalah alat, bukan tujuan yang ingin dicapai dalam suatu penelitian jaringan. Hasil yang diperoleh dalam analisis jaringan komunikasi berupa struktur dan pola komunikasi dalam suatu sistem. Struktur yang dimaksud adalah elemen-elemen yang berbeda, yang ditemukan pada alur komunikasi yang terpola dalam sebuah sistem, atau untuk memahami “gambaran besar” interaksi antar manusia dalam sebuah sistem (Rogers dan Kincaid, 1981). Ada tiga bentuk analisis jaringan komunikasi yang disarankan oleh Rogers dan Kincaid (1981), yaitu: (1) Identifikasi dalam keseluruhan sistem dan mengetahui struktur sub kelompok yang mempengaruhi perilaku dalam sistem. (2) Identifikasi peran-peran komunikasi tertentu yang spesifik, seperti liaisons, bridge dan isolate.
40
(3) Mengukur beragam indeks struktur komunikasi, misalnya connectedness dan integration untuk individu, dyadic, jaringan personal, “klik” dan keseluruhan sistem. Dalam suatu sistem sosial sering ditemukan individu-individu yang lebih intensif berinteraksi satu sama lain daripada dengan anggota sistem sosial lainnya, sehingga membentuk kelompok-kelompok kecil dari kelompok sosial yang lebih besar. Kelompok-kelompok kecil inilah yang disebut “klik” (Gonzales dalam Jahi, 1993). Roger dan Kincaid (1981) mendefinikan liaison sebagai seseorang yang menghubungkan dua atau lebih “klik” dalam suatu sistem, namun ia tidak menjadi anggota dari “klik” manapun. Apabila individu yang berperan sebagai penghubung sekaligus menjadi anggota “klik ” maka disebut sebagai bridge. Isolated adalah individu yang tidak menjadi anggota dalam suatu sistem sosial atau individu yang tidak terlibat dalam jaringan komunikasi. Sementara connectedness ialah derajat atau tingkat sebuah unit berhubungan dengan unit lainnya dalam suatu sistem sosial. Sedangkan integration adalah derajat atau tingkat dari anggota -anggota jaringan sebuah unit yang menjadi fokus berhubungan (linked) satu sama lainnya (Rogers dan Kincaid, 1981). Peran-peran komunikasi anggota kelompok jaringan tersebut dilihat dari derajat keterhubungan atau integration dapat berupa mutual pairs, neglectee dan star. Mutual pairs adalah individu-individu anggota kelompok jaringan komunikasi yang satu sama lain saling memilih sebagai tempat bertanya sesuatu. Adapun neglectee adalah individu anggota kelompok jaringan komunikasi yang pernah membicarakan, akan tetapi tidak pernah diajak bicara atau dijadikan tempat bertanya oleh anggota kelompok lainnya. Sedangkan star adalah orang yang merupakan pemusatan jalur komunikasi dari beberapa orang atau individu yang paling banyak dipilih oleh beberapa orang lain sebagai tempat bertanya. Menurut Gonzalez (Jahi, 1993) untuk suatu kelompok yang kecil dan sedikit interaksi, teknik sosiometri dapat digunakan untuk analisis jaringan komunikasi. Hasil yang diperoleh berupa sosiogram yang merupakan ilustrasi
41
hubungan “siapa berinteraksi dengan siapa ” atau menggambarkan interaksi dalam suatu jaringan sosial, sangat berguna untuk menelusuri aliran informasi ataupun difusi suatu inovasi. Sosiometri merupakan salah satu metode yang digunakan untuk mengukur tingkat hubungan interpersonal, yakni interaksi-interaksi sosial dari para anggota satu kelompok (Vredenbregt dalam Suparman, 1987) . Sosiometri didefinisika n oleh Best (Suparman, 1987) sebagai cara untuk mendeskripsikan hubunganhubungan sosial antar orang-orang dalam suatu kelompok. Sama seperti pendapat Gonzalez di atas, Rogers dan Kincaid (1981) pun menyatakan bahwa sosiogram merupakan hasil dari analisis data kuantitatif tentang pola komunikasi di antara orang-orang dalam sebuah sistem sosial dengan menanyakan kepada siapa mereka berhubungan. Dari pengertian-pengertian sosiometri di atas, disimpulkan bahwa sosiometri merupakan sebuah metode pengukuran hubungan-hubungan sosial yang ada di antara orang-orang dalam suatu sistem sosial. Pengukuran ini dapat diusahakan dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan sosiometri kepada responden tergantung informasi atau pesan penyuluhan pembangunan yang menjadi topik atau lingkup penelitian ini. Metode analisis sosiometri yang digunakan adalah sosiogram. Sosiogram adalah gambar yang menyajikan pilihan-pilihan responden kepada responden lainnya, baik itu memilih, dipilih, menolak dan ditolak. D ari penyajian sosiogram ini diperoleh informasi adanya “klik,” penghubung, “isolate” atau penyempilan dan lain sebagainya. Selain itu, setelah sosiogram terbentuk akan memudahkan mengetahui indeks struktur komunikasi yang ingin dicari seperti derajat koneksi, integrasi dan perbedaan individu.
Di samping itu, ada beberapa parameter lain
yang dapat digunakan untuk menganalisis keterlibatan seseorang dan mempelajari aliran informasi dalam jaringan komunikasi, misalnya sentralitas global dan sentralitas lokal. Model jaringan komunikasi dalam penelitian ini adalah konvergen yang terbentuk karena terjadinya komunikasi atau pertukaran informasi antar petani ternak anggota kelompok ternak dalam jaringan komunikasi penyuluhan sapi
42
potong.
Peran-peran komunikasi peternak yang diamati ialah peran sebagai
mutual pairs, neglectee dan star. Karakteristik Personal Karakteristik personal, yang sebagian peneliti menyebutnya sebagai karakteristik individu (individual characteristic ) merupakan sifat-sifat atau ciriciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dan lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor biologis yang mencakup genetik, sistem syaraf serta sistem hormonal, dan faktor sosiopsikologis berupa komponen-komponen konatif yang berhubungan dengan kebiasaan dan afektif (Rakhmat, 2001).
Karakteristik individu menurut
Newcomb, et a l. (1978) meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama dan lain-lain. Hasil penelitian Saleh (1984) menunjukkan bahwa karakteristik warga desa yang nyata berhubungan dengan bidang peternakan adalah mata pencaharian, jenis kelamin, tingkat pendidikan, keikutsertaan kursus, jumlah anggota usia kerja dan tingkat penghasilan. Sedang Azwar (1997) dalam bukunya menyebutkan bahwa karakteristik individu yang menentukan perilakunya meliputi berbagai peubah seperti motif, nilai, sifat kepribadian dan sikap yang saling berinteraksi satu sama lain. Adapun Lionberger dan Gwin (1982) menyebutkan ada tujuh unsur karakteristik individu, yaitu: pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan orangtua, kecakapan dalam manajemen, kesehatan, umur dan perilaku. Rogers (1995) dan Soekartawi (2005) mengemukakan lebih terinci mengenai perbedaan individu yang mempengaruhi cepat lambatnya proses adopsi inovasi, yaitu: (1) umur, (2) pendidikan, (3) status sosial ekonomi, (4) pola hubungan (lokalit atau kosmopolit), (5) keberanian mengambil resiko, (6) sikap terhadap perubahan sosial, (7) motivasi berkarya, (8) aspirasi, (9) fatalisme (tidak adanya kemampuan mengontrol masa depan sendiri) (sistem kepercayaan yang tertutup).
dan (10) dogmatisme
Warner dan Lunt (1941) melihat
karakteristik personal pada kategori sosial yang ada di masyarakat yang ditelitinya
43
meliputi: pendapatan, sumber pendapatan, pendidikan, pekerjaan, tempat tinggal dan organisasi yang diikuti. Menurut Kotler (1997) segmentasi khalayak dalam kampanye informasi publik dapat didasarkan atas persamaan mereka dalam karakteristik bersama yang dapat ditinjau secara: (1) geografik, (2) demografik, (3) behavioral dan (4) psikografik. Karakteristik geografik dapat berupa karakteristik wilayah tertentu, seperti sebuah desa, kecamatan, kabupaten dan sebagainya.
Karakteristik
demografik antara lain adalah: umur, jenis kelamin, status perkawinan, penghasilan dan pekerjaan.
Segmentasi karakteristik behavioral dalam
hubungannya dengan isu tertentu juga dapat digunakan, misalnya, petani-peternak dapat disegmentasikan atas dasar intensitas mereka mendengarkan siaran perdesaan dari radio. Segmentasi karakteristik psikografik dikembangkan atas dasar gaya hidup, bekerja dan menggunakan waktu luang. Geertz (1986) pada hasil penelitiannya tentang dinamika sosial di sebuah desa kecil di Jawa Timur yang diberi nama samaran Mojokuto melihat karakteristik personal respondennya dengan parameter nominal berdasarkan aliran agama.
Menurut
Geertz,
karakteristik
personal
dikategorikan menjadi dua, yakni kelompok santri
responden
penelitiannya
yaitu orang-orang yang
menjalankan agama dengan konsekuen serta kelompok abangan adalah orangorang yang mengaku beragama Islam tetapi masih menjalankan praktek-praktek animistik dan Islam sinkritik. Secara umum Blau (1975) dalam tulisannya yang berjudul “beberapa parameter struktur sosial” (Parameters of Social Structure) menjela skan bahwa karakteristik personal untuk struktur sosial mempunyai dua tipe parameter, yakni parameter nominal dan parameter graduate atau rasio. Contoh parameter nominal adalah jenis kelamin, agama, ras, pekerjaan dan lingkungan. Sedangkan parameter
graduate misalnya
pendidikan, umur,
pendapatan, prestise dan kekuasaan (Blau, 1975). Havelock et al. (1971) menyatakan bahwa peubah-peubah individual yang mempengaruhi penerapan informasi antara lain adalah: kompetensi dan penghargaan, kepribadian, nilai- nilai kebutuhan, pengalaman masa lalu, ancaman
44
dan pengaruh, pemenuhan harapan, distorsi informasi baru, proses perubahan sikap, pola perilaku perolehan informasi dan efek komunikasi. Rogers dan Shoemaker (1971) mengemukakan bahwa dalam penyebaran ide baru ata u difusi inovasi pada suatu sistem sosial, pelakunya paling tidak memiliki tiga karakteristik personal, yaitu: (1) status sosial ekonomi meliputi umur, pendidikan, status sosial dan skala usaha; (2) perilaku komunikasi meliputi partisipasi sosial, kontak dengan penyuluh, kekosmopolitan dan keterdedahan media massa dan (3) kepribadian, di antaranya empati, senang mengambil risiko dan lain sebagainya. Heterogenitas khalayak dapat merupakan kesulitan bagi komunikator dalam menyampaikan pesan-pesannya, hal ini disebabkan adanya perbedaan karakteristik individual khalayak yang meliputi: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pengalaman, kebudayaan, pandangan hidup, keinginan, cita-cita dan sebagainya (Effendy, 2001).
Lionberger (1960)
mengemukakan bahwa faktor-faktor individu yang mempengaruhi proses difusi dan adopsi inovasi antara lain adalah umur, tingkat pendidikan dan karakteristik psikologiknya. Dilihat dari aktivitas komunikasi, Burt (1987) menyatakan bahwa komunikasi akan lebih mudah dilakukan antara orang-orang yang mempunyai hubungan
bersifat
homofili
yaitu
hubungan
karena
adanya
persamaan
karakteristik personal seperti: usia, ras, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin dan sebagainya. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pendapat mengenai ciriciri yang mencerminkan karakteristik individu dapat berbeda-beda, tergantung pada penekanan masing-masing. Dengan kata lain, pilihan karakteristik personal tertentu tergantung pada tujuan penelitian yang hendak dilakukan. Misalnya, sejauhmana karakteristik personal yang dipilih tersebut dapat menjelaskan hubungan antara keterkaitannya dengan keterdedahan terhadap media massa, keterlibatan dalam jaringan komunikasi dan distorsi informasi tentang pesan penyuluhan sapi potong.
Karakteristik personal yang dimaksud dalam penelitian
ini meliputi: pendidikan formal, kelas ekonomi dan pemilikan media massa serta perilaku komunikasi interpersonal informal dan keterdedahan media massa (radio, tele visi dan suratkabar).
Pada penelitian ini karakterist ik personal, termasuk
45
keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal informal dijadikan peubah bebas terhadap keterlibatan anggota komunitas (kelompok ternak) dalam jaringan komunikasi sapi potong. Perilaku Komunikasi atau Ke te rdedahan Media Massa Pandangan tentang perilaku komunikasi warga masyarakat desa, sangat dipengaruhi oleh teori aliran komunikasi massa yang berlaku. Hasil penemuan studi-studi awal komunikasi menunjukkan bahwa perilaku komunikasi pemuka masyarakat tidak banyak berbeda dengan perilaku komunikasi warga masyarakat lainnya.
Mereka umumnya pasif dan tinggal menerima saja informasi yang
dihantarkan oleh media massa. Menurut studi- studi ini, aliran informasi dari sumber ke penerima , selalu bersifat langsung, segera dan sangat menentukan terhadap khalayak penerima. Studi-studi ini menghasilkan suatu model pendekatan yang sifatnya searah (Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000), yang sering dikemukakan sebagai model jarum suntik (Hypodermic Needle Model). Media massa merupakan gambaran dari jarum raksasa yang menyuntik khalayak penerima yang pasif. Model ini sering disebut dengan istilah teori peluru (Bullet Theory) atau Mechanistic Stimulus Response Theory dari De Fleur (De Fleur dan Rokeach, 1982) . Teori ini menganggap bahwa komunikasi massa memiliki kekuatan yang besar. Menurut model ini, setiap anggota khalayak menerima pesan langsung dari sumber suatu medium tertentu. Apabila suntikan tersebut cukup kuat, maka akibat yang dapat ditimbulkan suntikan tersebut pada khalayak penerima adalah terpengaruh untuk bertindak menurut isi pesan yang dikomunikasikan (Tubbs dan Moss, 2000). Jadi, komunikasi yang terjadi dapat terlihat seperti peluru yang menghantarkan gagasan, perasaan atau pengetahuan, atau motivasi hampir secara otomatis dari satu individu ke individu lain (Schramm dan Roberts, 1974). Kemudian, Lazarsfel dan Menzel (dalam Depari dan MacAndrews, 1998) melalui studi penelitiannya untuk mengetahui seberapa jauh media massa berperan dalam perubahan, membuktikan bahwa hal tersebut tidak benar. Pengaruh media massa pada khalayak yang ditujunya tidaklah sedemikian kuat, seperti apa yang kita
46
bayangkan. Seperti, keperkasaan media yang dipakai oleh Nazi antara 1930-1940 sebagai propaganda terhadap rakyat yang mampu menggiring berjuta-juta orang untuk turut dalam perjuangan mereka di Jerman Nazi. Atau penyiaran sandiwara radio tentang “invasi dari Mars oleh Orson Welles tahun 1938” yang benar-benar hidup sehingga menyebabkan ribuan orang menjadi panik di selur uh Amerika Serikat (Lane dan David dalam Schramm dan Roberts, 1974). Ternyata menurut De Fleur dan Rokeach (1982) masih ada sumber lain yang sifatnya interpersonal pada khalayak penerima, di samping media massa. Sumber pengaruh ini tak lain adalah pemuka pendapat atau pemuka masyarakat setempat (Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000). Pemuka-pemuka masyarakat itu melalui hubungan personal sehari-hari mempengaruhi orang-orang lain dalam pembuatan keputusan dan pembentukan opini (Wright dalam Tubbs dan Moss, 2000). Hasil penemuan ini kemudian digunakan oleh peneliti-peneliti komunikasi massa pada waktu itu untuk mengembangkan model aliran pesan komunikasi massa yang lain, yaitu model aliran pesan komunikasi dua tahap (two step flow of communication). Menurut model ini ada tiga kemungkinan aliran pesan sampai ke khalayak penerima. Pertama, pada banyak kesempatan, informasi diteruskan dari berbagai media massa (melalui radio, tele visi dan media cetak) dan diterima oleh pemuka pendapat. Pemuka -pemuka tersebut mempelajari dan menyaring informasi yang telah diterima dari media massa itu, kemudian diteruskan kepada orang-orang lain yang berada dalam kawasan pengaruhnya (De Fleur dan Rokeach, 1982; Rogers, 1995; Tubbs dan Moss, 2000). Rogers (1995) selanjutnya mengungkapkan bahwa tahap pertama aliran informasi dari sumber kepada pemuka-pemuka masyarakat umumnya merupakan transfer informasi, sedangkan tahap kedua, dari pemuka masyarakat kepada pengikut-pengikutnya melibatkan juga penyebaran pengaruh. Kedua, informasi yang tersebar melalui radio, televisi dan media cetak dan diterima oleh kelompok pendengar, pemirsa dan pembaca (forum media/farm forum); dan tersebar kepada orang-orang lain atau ke masyarakat.
47
Ketiga, informasi yang tersebar dari iklan melalui radio, televisi atau suratkabar dan diterima oleh pendengar, penonton atau pembaca; dan tersebar ke masyarakat atau individu-individu lainnya. Hal di atas, yaitu uraian tentang two -step -flow secara tidak langsung menunjukkan bahwa pengaruh media massa tidaklah sedemikian kuat dan selangsung apa yang pernah diperkirakan orang.
Sehingga peneliti-peneliti
komunikasi massa mulai berpikir bahwa efek-efek media diperantarai (mediated) oleh peubah-peubah lain, dan karenanya hanya sedang-sedang saja dalam kekuatannya atau kekuasaannya (L ittlejohn, 1996). Salah satu di antaranya adalah peubah keterdedahan/terpaan media massa (selective exposure dan perception exposure). Seseorang boleh saja terdedah pada suatu gagasan baru, baik melalui media massa maupun melalui saluran interpersonal, dan kemudian terlibat dalam pertukaran informasi tentang pesan tersebut dengan rekan-rekannya (Rogers, 1995). Studi berikut menyarankan agar kita lebih reseptif pada kenyataan bahwa aliran pesan komunikasi massa itu, tidak hanya terbatas pada dua tahap saja, melainkan banyak tahap. Mencakup semua model tahapan komunikasi. Model ini menunjukkan terdapat banyak variasi dari penyebaran pesan-pesan dari sumber informasi kepada khalayak penerima.
Hal ini dikemukakan karena pemuka-
pemuka masyarakat itu boleh jadi berkomunikasi dengan orang-orang lain yang mereka anggap sebagai pemuka masya rakat juga (Tubbs dan Moss, 2000), atau membandingkan isi media itu dengan isi media lainnya. Akhir -akhir ini, ahli-ahli komunikasi semakin memperkirakan bahwa khalayak komunikasi massa tidak lagi sebagai khalayak yang pasif, penurut dan terisolasi, melainkan lebih sebagai khalayak yang aktif dan tidak mudah dikontrol. Hal ini digambarkan oleh Schramm (Tubbs dan Moss, 2000) sebagai berikut: “suatu khalayak yang sangat aktif mencari apa yang ia inginkan, lebih banyak menolak daripada menerima isi komunikasi, berinteraksi baik dengan anggota -anggota kelompok yang diikutinya maupun dengan isi media yang diterimanya, dan sering menguji isi media massa yang diterimanya dengan jalan mendiskusikannya dengan orang-orang lain ataupun membandingkannya dengan isi media lainnya.”
48
Namun demikian, sampai saat ini peneliti-peneliti komunikasi masih tetap mendalami dalam hal apa khalayak tersebut aktif.
Informasi yang didapat
kemudian menunjukka n bahwa khalayak itu jelas memiliki kemampuan untuk memilih saluran komunikasi yang akan digunakan. Ia menentukan apa yang akan didengar, dilihat dan dibacanya. Misalnya, ia akan membeli suratkabar pilihannya dan akan menonton program televisi yang disenanginya (Tubbs dan Moss, 2000). Kemudian, bagaimana ia meneruskan apa yang dilihat, didengar dan dibaca tersebut kepada orang-orang lain di sekitarnya. Apa yang diuraikan di alenia di atas, kemudian dijelaskan melalui fenomena “selective exposure,” yaitu kecenderungan untuk lebih menyukai keterdedahan pada komunikasi yang sesuai dengan sikap dan opini seseorang (Sears dan Freedman dalam Schramm dan Roberts, 1974; Tubbs dan Moss, 2000; dan Rogers, 1995). Ditambah dengan kemudahan aksesibilitas dan meningkatnya kepemilikan media massa maka penelitian ini memfokus kan amatannya pada perilaku komunikasi impersonal, berupa perilaku keterdedahan responden peternak sapi potong pada media massa radio, televisi dan suratkabar.
49
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir Kemampuan masyarakat (peternak) untuk berpartisipasi dalam pembangunan harus didahului oleh suatu proses belajar untuk memperoleh dan memahami informasi,
kemudian
memprosesnya
menjadi pengetahuan
tentang
adanya
kesempatan-kesempatan bagi dirinya, melatih diri agar mampu berbuat, dan termotivasi agar mau benar-benar bertindak (Slamet, 2003). Kegiatan proses belajar tentang sesuatu program dapat mencapai hasil yang baik dalam waktu yang lebih singkat, diperlukan usaha -usaha khusus yang bersistem dan berstrategi di bidang pendidikan non -formal. Lingkup tugas tersebut merupakan kerja Penyuluhan, yang merupakan pendidikan non -formal untuk semua orang, untuk menolong dirinya sendiri, melalui belajar sambil be kerja dan dengan melihat menjadi yakin secara kontinyu untuk meningkatkan kualitas hidupnya (Lionberger dan Gwin, 1982; Dahama dan Bhatnagar, 1985). Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan tidak akan pernah berdiri sendiri. Slamet (2003) menegaskan bahwa praktek penyuluhan pembangunan di lapangan jelas sekali menuntut pendekatan interdisiplin. Menurut beliau, pembangunan pertanian di Indonesia dapat berhasil karena sejak semula menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu-ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi dan komunikasi yang dirangkum oleh ilmu penyuluhan pembangunan (Slamet, 1992; Slamet, 2003). Lebih lanjut, Slamet (2003) mensinyalir bahwa para petani Indonesia sebagai khalayak sasaran penyuluhan pembangunan telah berubah secara nyata. Pada umumnya profil populasi petani Indonesia juga telah berubah secara positif. Secara makro populasi petani telah menjadi lebih kecil jumlahnya secara persentil tetapi lebih tinggi kualitasnya, yang ditandai oleh lebih baiknya tingkat pendidikan mereka, lebih me ngenal kemajuan, kebutuhannya meningkat, harapan-harapannya juga meningkat, serta pengetahuan dan keterampilan bertaninya juga telah jauh lebih baik. Para petani kini telah memiliki pola komunikasi yang terbuka. Mereka telah lebih mampu berkomunikasi dengan orang-orang dari luar sistem sosialnya, dan
50
telah lebih mampu berkomunikasi secara impersonal melalui berbagai media massa (Slamet, 1995; Kasryno, 1995; dan Slamet, 2003). Pernyataan yang dikemukakan Slamet dan Kasryno ini sebenarnya telah diungkapkan oleh Hagen (1962), bahwa berubahnya petani dalam berusahatani disebabkan karena berubahnya pengetahuan petani, pengetahuan itu sendiri banyak dipengaruhi oleh fungsi informasi. Dalam kaitan ini pengaruh media massa seperti siaran radio, televisi, suratkabar dan berbagai terbitan lainnya, dapat mendorong lebih cepatnya penerimaan gagasan dan teknologi baru yang disampaikan dalam penyuluhan pembangunan pertanian, di samping interaksi sosial secara langsung. Dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku komunikasi petani, termasuk dalam hal ini peternak sapi potong dalam mengikuti kegiatan penyuluhan diduga telah bergeser, yang dulunya dominan memanfaatkan informasi penyuluhan melalui saluran komunikasi interpersonal lewat sistem penyuluhan “tetesan min yak” bersifat top down ke sistem penyuluhan “LAKU” (latihan dan kunjungan), dan kini diduga sudah lebih memanfaatkan atau “terdedah” informasi penyuluhan melalui media massa. Komunikasi sebagai gejala sosial yang turut membentuk perilaku dipengaruhi oleh dua faktor dominan, yaitu pertama: faktor struktural yang di dalamnya termasuk aspek karakteristik personal, pelapisan sosial, dan ketersediaan sarana-prasarana (accessibility).
yang
memberikan
kemudahan
mendapatkan
informasi
Kedua, adalah penerimaan informasi (acceptability) menyangkut
aspek kultural (kebudayaan).
Jadi keberhasilan komunikasi ditinjau dari ada
tidaknya hambatan struktural (karakteristik personal) dan penerimaan (kultural). Dari kerangka berpikir di atas dapat dilakukan eksplorasi teoritikal mengenai kasus-kasus yang menimbulkan gagasan untuk melakukan penelitian mengenai karakteristik personal dikaitkan dengan tingkat pengunaan media massa dan jaringan komunikasi di perdesaan. Pertama, mengapa penelitian komunikasi yang menjadi fokus pe ngamatan? Karena, ingin melihat bagaimana pola jaringan komunikasi di antara peternak sapi potong. Apakah benar telah terjadi perubahan perilaku pada khalayak sasaran penyuluhan ke arah perilaku komunikasi impersonal. Diduga telah terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak untuk
51
mendapatkan informasi. Dalam penelitian ini “pergeseran ” dilihat dari perbedaan penggunaan media komunikasi oleh peternak maju dibandingkan dengan peternak kurang maju. Peternak kurang maju, kurang memanfaatkan media massa dalam mendapatkan informasi dan lebih mengandalkan media interpersonal. Sebaliknya, peternak maju tingkat pemanfaatan media massanya lebih besar dibandingkan pada peternak kurang maju dalam mendapatkan informasi.
Kedu a, karena metode
penelitian ini menggunakan hubungan-hubungan interpersonal sebagai unit analisis, maka jaringan komunikasi dapat juga dijadikan peubah yang turut diamati sebagai peubah terikat. Ketiga, peubah terikat lain yang juga ingin dipelajari adalah perubahan informasi yang terjadi pada kegiatan penyuluhan sapi potong, diukur berdasarkan peubah distorsi pesan.
Mengingat obyek studi mengenai jaringan
komunikasi ini adalah seluruh partisipan kelompok peternak, maka karakteristik peternak tersebut otomatis dapat diartikan juga sebagai pelapisan sosial. Pelapisan di sini atau karakteristik personal haruslah dipandang sebagai suatu kontinum agar dapat diuji secara statistik, untuk melihat perbedaan kategori karakteristik personal mana yang menghalangi komunikasi antara anggota jaringan komunikasi dengan orang-orang yang tidak menjadi anggota jaringan komunikasi. Rogers (1995) menyatakan bahwa jaringan komunikasi akan lebih mudah terbentuk di antara orang-orang yang mempunyai persamaan atribut. Faktor karakteristik personal yang diduga mempengaruhi jaringan komunikasi tersebut adalah: pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa. Faktor tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak dilihat berdasarkan perilaku keterdedahan media massa (media exposure) meliputi: keterdedahan terhadap siaran radio, televisi dan suratkabar ) dalam mencari dan menerima informasi. Adapun faktor perilaku responden dalam memanfaatkan media interpersonal dilihat dari perilaku komunikasi interpersonal peternak sapi potong dalam mencari, menerima, mengklarifikasi dan menyebarkan terpaan pesan dari media massa atau diperoleh dari sumber interpersonal lain. Ketiga faktor ini diduga berhubungan dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong. Dimana ketiga faktor tersebut pada penelitia n ini dijadikan sebagai peubah bebas. Walaupun demikian, diduga karakteristik personal pun berhubungan dengan perilaku
52
keterdedahan media massa dan perilaku memanfaatkan media interpersonal. Keterkaitan antar peubah yang berhubungan terhadap peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi penyuluhan ini, digambarkan dalam model penelitian seperti tersaji pada Gambar 2 berikut.
Karakteristik Personal: X1 = Tingkat p endidikan X2 = Kelas ekonomi X3 = Pemilikan media massa
Perilaku komunikasi interpersonal (X 4)
Keterdedahan Media Massa:
Peran-peran komunikasi anggota kelompok dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan (Y1 )
D I S T O R S I Y2
X5 = Keterdedahan radio X6 = Keterdedahan televisi X7 = Keterdedahan suratkabar
X8 = Pemuka pendapat
Gambar 2. Kerangka berpikir model hubungan berba gai peubah penelitian Desa lokasi penelitian ini dapat dikategorikan sebagai “desa terbuka.” Artinya mudah disentuh oleh berbagai macam informasi yang berasal dari luar desa, karena adanya berbagai prasarana dan fasilitas media massa. Prasarana tersebut misalnya jalan aspal, fasilitas kesehatan, pasar dan koperasi (KUD).
Sarana
pelayanan ini juga menjadi ajang tempat pertemuan untuk saling tukar-menukar informasi bagi orang-orang yang saling berjumpa di tempat-tempat tersebut. Selain media massa, “informasi” yang sampai ke warga masyarakat di lokasi penelitian lewat saluran birokrasi desa, penyuluh lapangan, pedagang, pemodal, pendamping, ketua kelompok, melalui sesama anggota kelompok, rumah ibadah dan sebagainya. Dengan adanya berbagai prasarana, media massa dan berbagai lembaga yang mampu menyalurkan berbagai informasi tersebut, maka desa lokasi penelitian ini dapatlah dikatakan penyaluran informasinya sejalan dengan model komunikasi
53
banyak tahap. Kelemahan model ini adalah tidak mampu menggambarkan orangorang yang tidak terlibat pada jaringan komunikasi interpersonal
dan tidak
dipengaruhi oleh pemuka pendapat, tetapi selalu nampak pada hampir setiap penelitian yang menggunakan metode analisis jaringan komunikasi. Mereka ini juga perlu dikenai atau disentuh informasi, atau bahkan yang paling membutuhkan informasi untuk dapat serta memanfaatkan fasilitas dan kemudahan yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan perdesaan. Orang-orang inilah yang disebut sebagai pemencil (Rogers dan Kincaid, 1981). Untuk memperjelas proses terjadinya jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok ternak di desa penelitian, Gambar 3 berikut ini mencoba memvisualisasi proses pembentukan jaringan tersebut yang mampu menggambarkan para pemencil jaringan komunikasi yang dite liti.
TAHAP PERTAMA
(1) Sebelum terkena informasi
(2) Sesudah terkena informasi
TAHAP KEDUA
(3) Jaringan yang terbentuk setelah terkena informasi
Gambar 3. Proses pembentukan jaringan komunikasi
Ilustrasi (1) dan (2) adalah kepala keluarga belum membentuk jaringan komunikasi. Pada ilustrasi (2) kepala keluarga sudah mendapat informasi, yang kemungkinan diperoleh dari berbagai macam saluran, forum dan media. Sedangkan ilustrasi (3) terlihat sejumlah kepala keluarga peternak sapi potong membentuk jaringan komunikasi dengan cara bertanya kepada orang-orang yang dipercayainya sebagai usaha konfirmasi ata s informasi yang didapatnya.
54
Dari Gambar 3 terlihat bahwa hanya sebagian dari warga desa atau anggota kelompok peternak yang memberikan respons terhadap informasi yang diterimanya dari berbagai saluran dengan mencari tambahan informasi atau mengonfirmasikan informasi tersebut kepada jaringan sosialnya. Orang-orang inilah yang kemudian menjadi anggota jaringan komunikasi yang mendapatkan tambahan informasi melalui jaringan sosialnya. Sedangkan sebagian lagi tidak berusaha menanyakan kembali atau mengonfirmasikan informasi yang telah mereka terima. Dalam kerangka teori, studi empirik menunjukkan bahwa orang-orang yang mempunyai banyak hubungan cenderung memiliki informasi dan pengaruh yang besar. Orang-orang ini disebut sebagai pemuka pendapat. Tentu saja hal ini juga berlaku di desa lokasi penelitian, dimana masyarakat desa di Jawa umumnya menggunakan orientasi nilai paternalistik yang menyebabkan peranan pemuka pendapat sangat besar dalam derap dinamika masyarakat. Terutama dalam hal pengambilan keputusan, dimana orang-orang cenderung membentuk pola jaringan komunikasi yang memusat kepada orang-orang tertentu, yaitu mereka yang kelas ekonominya relatif lebih tinggi dan memiliki semacam kredibilitas karena dianggap mengetahui atau memang memahami hal-hal yang ingin diketahui oleh anggota masyarakatnya.
Di samping itu, karena jaringan komunikasi sapi potong yang
diteliti ini merupa kan program pemerintah, maka yang menjadi pemuka pendapat semestinya cenderung pula adalah orang-orang yang juga mempunyai status formal. Karena desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian bukan termasuk desa dengan masyarakat sudah maju, maka pemuka pendapatnya cenderung bersifat polimorfik. Artinya, seorang pemuka pendapat dapat menjadi sumber informasi lebih dari satu jenis informasi. Hal ini dimungkinkan karena pemuka pendapat ialah orang yang mobilita s dan kontak sosialnya tinggi.
Hipotesis Penelitian Hipotesis utama yang diuji dalam penelitian ini adalah “terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak sapi potong untuk mendapatkan informasi.” Dengan melihat asumsi pada kerangka berpikir di atas yang menyebutkan, peternak sapi potong dalam penelitian ini dibagi menjadi dua
55
golongan yakni “peternak kurang maju” dan “peternak maju” sebagai pengganti dimensi waktu. Dimana indikasi perbedaan pemanfaatan media massa antara peternak maju dan kurang maju, menunjukkan pergeseran tingkat pemanfaatan media massa. Termasuk perbedaan di antara masing-masing kategori berdasarkan tingkat pendidikan formal dan status ekonomi peternak sapi potong dalam memanfaatkan media massa untuk mendapatkan informasi, merupakan indikator terjadinya pergeseran pemanfaatan media massa.
Sehingga pengujian hipotesis
pertama di atas, dapat ditunjukkan oleh hipotesis kerja sebagai berikut: H1a = adanya perbedaan nyata tingkat pemanfaatan media massa mendapatkan informasi antara peternak maju dengan kurang maju. H1b = di antara masing-masing peubah personal (tingkat pendidikan, ekonomi, pemilikan media massa) dan perilaku pemanfaatan interpersonal peternak, terdapat perbedaan nyata tingkat pemanfaatan massa untuk informasi dari lokasi yang berbeda.
untuk kelas media media
Selain hipotesis utama di atas, dari kerangka berpikir tentang keterkaitan antar peubah yang berhubungan terhadap peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong, dirumuskan pula beberapa hipotesis kerja sebagai berik ut: H2 = Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan keterdedahan media massa. H3 = Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan perilaku komunikasi interpersonal informal. H4 = Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong. H5 = Terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi interpersonal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong. H6 = Terdapat hubungan nyata antara keterdedahan media massa dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong. H7 = Terdapat hubungan nyata antara peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi informasi.
56
METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi Populasi dalam penelitian ini ialah kepala keluarga peternak sapi potong yang terhimpun dalam kelompok peternak, yang berdomisili dan berusaha di tiga kabupaten yakni Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat; Kabupaten Sukohardjo, Jawa Tengah dan Kabupaten Gunung Kidul, D.I. Yogyakarta. Penentuan tiga kabupaten dan penentuan ke lompok terpilih dilakukan berdasarkan pada tingkat kemajuan kelompok peternak sapi potong.
Data tingkat kemajuan kelompok peternak
tersebut diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternak (Ditjenak) Departemen Pertanian RI. Kabupaten Sukabumi dipilih karena termasuk kategori kabupaten yang kelompok peternaknya relatif baru dan belum maju. Alasan pertimbangan lain dipilihnya Kabupaten Sukabumi adalah karena kabupaten ini memiliki motto untuk menjadikan “Kabupaten Sukabumi sebagai kabupaten peternakan,” dan telah merancang untuk mengembangkan Pembangunan Kawasan Agribisnis Terpadu Ternak Sapi Potong di wilayah Sukabumi Selatan. Kecamatan terpilih di Kabupaten Sukabumi ini adalah Kecamatan Nyalindung dan Kecamatan Surade. Sedangkan kelompok peternak terpilih di Kabupaten Sukohardjo dan Gunung Kidul termasuk kategori kelompok “utama” atau sudah maju dan pernah jadi juara lomba ternak sapi potong tingkat nasional. Baik di Kabupaten Sukohardjo maupun Gunung Kidul diambil satu kecamatan terpilih yakni Kecamatan Polokarto dan Gedangsari, dimana di masing-masing kecamatan tersebut terdapat kelompok peternak sapi potong pemenang Lomba Agribisnis Ternak Sapi Potong tingkat Nasional pada tahun 2003. Sampel Sampel berasal dari populasi yang tersebar di empat kecamatan terpilih diambil sebanyak 125 responden, yang mewakili kelompok peternak sapi potong yang sudah eksis (maju) yakni dari dua kelompok peternak sapi potong, satu dari
57
Desa Ngalang Kecamatan Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul dan satu lagi dari Desa Mranggen Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo; dan dua kelompok dari kelompok peternak sapi potong yang relatif baru, dari Desa Cisitu Kecamatan Nyalindung dan dari Desa Jagamukti Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi. Penentuan besarnya sampel yang mewakili populasi sebanyak 125 orang ditetapkan berdasarkan pertimbangan teknis dan nonteknis. Pertimbangan teknis dilihat berdasarkan (a) variabilita s atau derajat keragaman data yang dipelajari, (b) tingkat kepercayaan dalam angka estimasi yang dihasilkan, (c) presisi atau batas penyimpangan yang bisa ditolerir dalam angka estimasi, dan (d) rencana analisis data. Sedangkan pertimbangan nonteknis berupa efisiensi biaya, keterbatasan tenaga peneliti dan waktu yang tersedia (Scheaffer et al., 1992). Perhitungan Penetapan jumlah sampel dilakukan atas pertimbangan ragam (varians = σ 2) yang didapat di lapangan (diambil dari peubah yang paling besar sebagai pembatas) yakni dari data kelas ekonomi pada selang kepercayaan 90% bagi x ± a. Secara umum untuk menghitung nilai n atau penarikan jumlah sampel adalah sebagai berikut:
σ2 n = (z α / 2 )2 -----------a2 Keterangan: n = Jumlah peternak yang dijadikan contoh α = Taraf nyata σ 2 = Ragam z = Nilai peubah untuk normal baku a = Konstanta sehingga x ± a merupakan selang kepercayaan (1- α )
Untuk memperoleh akurasi yang tinggi, secara teori nilai a harus kecil sehingga diperoleh nilai n relatif besar. Berdasarkan rumus di atas, dengan menggunakan selang kepercayaan dugaan 90% (yang diambil dari tabel z =1,645) diperoleh nilai (4,04632E+15) n = (1,645)2 --------------------- = 109 orang. Agar n data cukup layak/ mewakili (10.000.000)2 (representativeness), diambillah jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 125 responden peternak, dengan mempertimbangkan kemungkinan adanya pencilan dan keragaman yang tinggi.
58
Desain Penelitian Untuk memetakan (mapping) jaringan komunikasi, diambil dua kelompok peternak sapi potong yang maju (“sedyo rukun” atau Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul dan kelompok “subur” atau Polokarto Kabupaten Sukohardjo) dan dua kelompok belum maju (Cisitu dan Surade) sebagai unit contoh. Contoh ini diambil dengan teknik “sampling intact system” (Rogers dan Kincaid, 1981). Dengan metode “intact system” ini, semua individu dalam setiap kelompok peternak sapi potong sebagai suatu sistem sosial adalah sebagai responden. Penelitian ini dirancang sebagai penelitian survei deskriptif korelasional. Sedangkan pemetaan jaringan komunikasi menggunakan kajian analisis jaringan komunikasi yang dilakukan dengan pembuatan matriks hubungan komunikasi yang berasal dari has il pertanyaan sosiometris.
Dari matriks tersebut dibuat
sosiogram jaringan komunikasi sapi potong. Dipilihnya metode analisis jaringan komunikasi, karena metode ini dapat dengan jelas mendeskripsikan jaringan komunikasi dengan sosiogram. Metode ini bertit ik tolak dari analisis konvergensi yang berlandaskan pada teori cybernetic, yakni teori yang memandang tingkah laku manusia dari perspektif sistem-sistem (Rogers dan Kincaid, 1981). Teori ini beranggapan bahwa perilaku seseorang akan lebih ditentukan oleh relasi-relasi sosialnya daripada ciri-ciri individunya. Sedangkan analisis korelasional digunakan untuk menjelaskan faktorfaktor yang diduga berhubungan dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong. Faktor yang diduga berhubunga n secara nyata dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi tersebut adalah tingkat pendidikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa, serta perilaku komunikasi interpersonal yang digunakan dan keterdedahan media massa (radio, tv dan suratkabar). Termasuk melihat keterkaitan hubungan karakteristik personal terpilih dengan pemanfaatan media massa maupun pemanfaatan media interpersonal, hubungan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi dengan tingkat informasi yang dimiliki (distorsi pesan), hubungan kelas ekonomi dengan pemusatan jaringan komunikasi, serta hubungan kelas ekonomi dengan macam kepemimpinan komunikasi pemuka pendapat.
59
Data dan Instrumentasi Data Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang diambil, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data kuantitatif, yakni data yang berkaitan dengan peubah bebas berupa karakteristik personal terpilih, saluran komunikasi interpersonal yang digunakan dan keterdedahan media massa, dan data peubah terika t berupa peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong dan distorsi; serta data kualitatif (soft data ) berupa hasil wawancara mendalam (indepth interview) kepada responden dan informan, dimana informasi dikumpulkan dengan alat tape recorder. Data sekunder meliputi kondisi umum wilayah penelitian, data ternak dan kelompok peternak serta data yang relevan dengan penelitian ini yang diperoleh dari kantor desa/kecamatan lokasi penelitian dan kantor dinas peternakan maupun KIPP (Kantor Informasi dan Penyuluhan Pertanian) Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Sukohardjo dan Kabupaten Gunung Kidul, UPP (Unit Penyuluhan Pertanian) dan KCD (Kepala Cabang Dinas) kecamatan lokasi penelitian. Di samping itu dilakukan studi literatur, diskusi dan observasi lapangan untuk memperoleh gambaran wilayah, situasi dan kondisi lokasi penelitian. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari: 1. Karakteristik personal terpilih yang meliputi: pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa. 2. Perilaku komunikasi interpersonal yang digunakan, berupa aktivitas interaksi peternak secara individu dengan pembina, penyuluh, pejabat dinas peternakan dan pejabat terkait lainnya, pedagang, pemodal dan pendamping, atau dengan sesama peternak, kontak tani da lam bentuk komunikasi tatap muka. Perilaku komunikasi interpersonal dalam hal ini meliputi: perilaku menerima, mencari, mengklarifikasi atau mendiskusikan dan menyebarkan informasi tentang sapi potong. 3. Keterdedahan media massa yang meliputi: perilaku komunikasi peternak dalam mencari atau mendapatkan informasi dari siaran radio, televisi dan suratkabar.
60
4. Data jaringan komunikasi yang terdiri atas sosiogram yang mengandung indikasi jenis jaringan, arah arus informasi, anggota jaringan, pemencil, tingkat informasi masing-masing individu baik yang menjadi anggota jaringan, orang yang mempunyai posisi sebagai pemuka pendapat, orang yang berposisi sebagai pengikut pemuka pendapat, jaringan utama dan sub-sub jaringannya. Peran-peran Komunikasi yang diamati dari sosiogram jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong ini meliputi: mutual pairs, neglectee dan star. Instrumentasi Untuk keperluan pengumpulan data diperlukan alat bantu kuestioner berupa daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah-peubah yang diamati terhadap objek penelitian.
Kuestioner terdiri atas tiga bagian yakni bagian
pertama mengidentifikasikan karakteristik personal, bagian kedua untuk memperoleh data tentang perilaku komunikasi interpersonal dan keterdedahan media massa, serta bagian ketiga untuk memperoleh data tentang jaringan komunikasi dan distorsi.
Beberapa data tambahan untuk pendalaman
dikumpulkan melalui interview dan observasi ke lokasi penelitian. Validitas dan Reliabilitas Instrumen.
Penentuan validitas dan reliabilitas
instrume n dilakukan dengan uji coba kuestioner. Uji coba kues tioner dilakukan terhadap peternak yang memiliki ciri-ciri relatif sama dengan peternak yang dijadikan sampel penelitian. Pelaksanaan uji coba dilaksanakan dari tanggal 1-10 Desember 2004 di Desa Nyalindung dan Desa Kertaangsana Kecamatan Nyalindung Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengumpulan data uji coba dilaksanakan melalui wawancara langsung dengan 30 peternak.
Validitas Instrumen. -- Validitas instrumen merupakan suatu tingkat keabsahan kuestioner sebagai alat ukur untuk menunjukkan sejauhmana instrumen tersebut benar-benar mengukur apa yang seharusnya ia ukur (Kerlinger, 1986; Rakhmat, 2005, Wimmer dan Dominick,1983). Pengukuran validitas instrumen diarahkan
61
ke validitas isi atau “content validity,” yakni sejauhmana isi alat pengukur tersebut memadai mewakili semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep, dan diarahkan ke validitas konstrak atau “construct validity,” yaitu dengan melihat faktor -faktor apa yang dapat menerangkan keragaman (varians) sesuatu yang diukur (Kerlinger, 1986). Untuk mencapai validitas instrumen, maka langkah yang biasa dilakukan adalah: (1) menentukan peubah-peubah apa yang mungkin berhubungan dengan sesuatu yang menjadi pokok pengamatan, (2) menyesuaikan dengan apa yang telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu untuk mendapatkan data yang sesuai, (3) menjadikan teori-teori dan kenyataan yang telah diungkapkan pada berbagai kepustakaan sebagai dasar membangun instrumentasi, (4) menyesuaikan isi pertanyaan/pernyataan dengan keadaan peternak dan lingkungan komunikasinya serta (5) memperhatikan nasehat-nasehat para ahli, terutama Komisi Pembimbing. Tingkat validitas suatu alat ukur bisa diketa hui dari nilai koefisien validitasnya yang memilik i rentang dari nol sampai 1,00 dengan pengertian semakin mendekati angka satu maka validitas semakin sempurna. Dengan menggunakan rumus korelasi moment product nilai koefisien validitas instrumen penelitian ini dapat diperoleh (Kerlinger, 1986; Singarimbun dan Effendi, 1995). Hasil uji korelasi produk momen, Pearson correlation menunjukkan nilai total validitas sebesar 0,4299 pada taraf nyata 5% , yang bila dibandingkan dengan nilai kritis tabel korelasi (rtabel ) = 0,361 menunjukkan nilai yang lebih besar; maka secara keseluruhan butir pertanyaan dikatakan valid. Apabila dilihat per butir pertanyaan, maka hasil hitungan uji validitas ini menunjukkan ada tiga butir pertanyaan tidak signifikan , yakni butir pertanyaan nomor 7 (P7), butir P14 dan butir P23. Koefisien validitas ketiga butir tersebut berada di bawah angka kritis, bahkan negatif.
Untuk itu, dua butir pertanyaan tak valid (P7 dan P14)
dihilangkan dari kuestioner yang diberikan kepada responden, karena pernyataan tersebut bertentangan dengan pernyataan/pertanyaan yang lain.
Sedangkan
pertanyaan nomor 23 (P23) didiversifikasi atau dipecah menjadi tiga butir pernyataan yang lebih spesifik, agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
62
Reliabilitas Instrumentasi. -- Malo dan Trinoningtias (1991) mengemukakan bahwa reliabilitas instrumen adalah tingkat kemantapan atau konsistensi suatu alat ukur atau disebut juga keterandalan alat ukur. Reliabilitas lebih mudah dimengerti dengan memperhatikan tiga aspek dari suatu alat ukur, yakni unsur kemantapan (stabilitas), unsur ketepatan (akurasi ataupun presisi) dan yang ketiga ialah unsur error ataupun kesalahan pengukuran dimana semakin kecil keragaman (variabilitas) maka semakin tinggi akurasi instrumen pengukuran tersebut, oleh karena semakin kecil eror yang terdapat (Kerlinger, 1986). Analisis reliabilitas digunakan untuk mengukur tingkat akurasi dan presisi dari jawaban yang mungkin dari beberapa pertanyaan. Dalam penelitian ini metode yang digunakan ialah metode konsistensi internal, dengan Reliability Analysis Scale Alpha (Cronbach’s Alpha). Hasil analisis uji keterandalan terhadap kuestioner penelitian ini diperoleh
nilai koefisien reliabilitas alfa Cronbach sebesar 0,6635. Karena
nilai rhasil = 0,6635 > rtabel = 0,361, dapat dikatakan bahwa kuestioner yang digunakan terandal (reliabel).
Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilaksanakan selama dua bulan, dari tanggal 14 Desember 2004 sampai 16 Februari 2005 dengan teknik wawancara memakai kuestioner dan observasi lapangan, termasuk pengumpulan data sekunder. Pengumpulan data dilakukan di kelompok peternak sapi potong Cisitu Kecamatan Nyalindung dan kelompok Surade Kabupaten Sukabumi Jawa Barat, di kelompok Gedangsari Kabupaten Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta dan di kelompok Polokarto Kabupaten Sukohardjo Jawa Tengah.
Analisis Data Data yang telah terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan dua macam
metode,
yakni
Pertama:
analisis
jaringan
komunikasi
untuk
merekonstruksikan struktur peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong yang terbentuk di empat lokasi penelitian. Analisis jaringan komunikasi dilakukan dengan menggunakan teknik sosiometri,
63
untuk mendapatkan sosiogram. Kedua, analisis statistik deskriptif yang relevan misal, tabel distribusi, frekuensi, rataan (boxplot) dan persentase , serta untuk melihat hubungan menggunakan metode tabulasi silang (cross tab), uji lintas (path analysis), uji beda vektor nilai tengah (Inferences about a mean vector) atau T2 Hotelling, uji diskriminan yang bertatar (stepwise), analisis matriks korelasi, analisis biplot, analisis korespondensi (correspondence analysis) dan uji khi- kuadrat dengan bantuan program SPSS versi 12 for Windows dan program SAS seri 8.2.
Analisis Jalur Pengujian hubungan antara peubah pemberi pengaruh kepada peran-peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong, dilakukan analisis regresi linear ganda (multiple linear regression).
Adapun bentuk umum
untuk regresi linear ganda peubah tak bebas Y atas X1, X2, …, X k ditaksir oleh: Y = b0
+
b1 X1
+
b2 X 2
+ … +
bk Xk
dengan konstanta b0 dan koefisien-koefisienb 1, b 2 ,…, bk dapat ditaksir berdasarkan n buah pasang data (X1, X 2 , …, Xk, Y) yang diperoleh dari pengamatan (Sudjana, 1996). Berdasarkan model regresi linear ganda di atas ditentukanlah koefisien lintas (path coefficient). Koefisien jalur ini pada dasarnya merupakan koefisien beta atau koefisien regresi baku. Notasi yang dipakai untuk koefisien jalur ialah pij dengan pengertian i menyatakan akibat atau peubah tak bebas dan j menyatakan penyebab/peubah bebasnya. Koefisien ini bisa dicantumkan pada garis jalur yang bersesuaian dalam diagram jalur. Dalam penelitian ini, tampilan diagram dan koefisien jalur
faktor-faktor yang mempengaruhi peran komunikasi anggota
kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong tersaji pada Gambar 4. Dalam diagram jalur tersebut, pendidikan (X1) dan kelas ekonomi (X 2) merupakan peubah eksogenus. Korelasi antara kedua eksogenus ini dilukiskan berupa garis beranak panah tunggal pada ujungnya, dengan nilai p21. Peubah pemilikan media massa (X3 ), X4 , X5 , X6 , X7, X8 dan Y adalah peubah endogenus. Jalur juga berupa garis beranak panah tunggal pada ujungnya, ditarik dari peubah-peubah bebas sebagai penyebab kepada peubah-peubah tak bebas yang diambil sebagai akibat.
64 p y1 p41
Pendidikan Z1
p y5
p31
p51
Terdedah radio Z 5
p 45
p 53 p 21
Komunikasi interpersonal
Pemilikan media massa
p 32
Z4
p y3
Z3
py4
Peran komuni kasi Zy
p 63 Terdedah tv Z 6
p 73
py6
p y2y
p 46
Dis tor si Zy2
p 62 p 47 Kelas ekonomi
Z2
Terdedah Koran Z 7
p72
py7
py2
p y8 Pemuka pendapat Z8
Gambar 4. Tampilan diagram jalur antar peubah yang mempengaruhi peran-peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong dan distorsi pesan
Dari diagram jalur ini, diturunkanlah model jalur, yang persamaannya (dinyatakan dalam angka baku z) menjadi sebagai berikut: z1 = e1 z2 = p 21 z1 + e2 z3 = p 31 z1 + p32 z2 + e3 z4 = p 41 z1 + p45 z5 + p46 z6 + p47 z7 + e 4 z5 = p 51 z1 + p53 z3 + e5 z6 = p 62 z2 + p63 z3 + e6 z7 = p 72 z2 + p 73 z3 + e7 zy = p y1 z1 + py2 z2 + py3 z3 + py4 z4 + py5 z5 + py6 z6 + py7 z7 + e y dengan persamaan ini, maka koefisien-koefisien jalur dapat dihitung dinyatakan oleh korelasi rij. Oleh karena itu harga-harga peubah dinyatakan dalam angka baku, maka untuk n buah pengamatan berlaku rumus: (Sudjana, 1996) rij =
1 ∑ zi z j n
Di samping itu, diagram jalur pada Gambar 4 menyajikan pula peubahpeubah residual untuk menunjukkan efek peubah-peubah yang tidak termasuk dalam model rekursif antara peubah-peubah bebas (karakteristik personal,
65
keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal) yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan peubah tak bebas (peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong). Peubah residual tersebut adalah X8 (pemuka pendapat) dan Y2 (distorsi pesan), dimana untuk menghitung koefisien jalur antara peubah X8 dan Y (peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong), dihitung dari model persamaan: z8 = e8 zy = p y8 z8 + ey dan menghitung koefisien jalur antara peubah Y dan Y 2 (distorsi pesan) , dihitung model jalur dari model persamaan: zy = ey zy2 = py2y zy + e y2 Perhitungan kesemua koefisien jalur di atas dapat dibantu dengan pengolahan data dan prosedur analisis regresi menggunakan piranti lunak program SPSS versi 12 for Windows.
Matriks Korelasi Untuk mendapatkan gambaran data hasil pengamatan yang terdiri dari banyak peubah dengan melihat seberapa kuat hubungan antara peubah-peubah itu terjadi, dapat ditentukan derajat hubungan antara peubah-peubah tersebut dalam bentuk matriks koefisien korelasi. Untuk menentukan koefisien-koefisien korelasi rij antara xi dan xj , dan koefisien-koefisien korelasi
dengan rumus ryi antara y dan xi, dapat dibantu
dengan jalan memanfaatkan jasa komputer. Untuk itu amatan peubah xi (i = 1, 2, …, k) da n y diubah menjadi bilangan baku zx dan zy seperti berikut:
zx =
x−x sx
dan zy =
y−y sy
kemudian menggunakan bilangan-bilangan baku ini, koefisien-koefisien korelasi sederhana rij antara xi dan xj , dan ryi antara y dan xi secara umum dihitung dengan rumus: rxy =
Σz x z y n
(Sudjana, 1996).
66
Analisis Biplot Untuk mendapatkan gambaran keragaan umum tentang objek dan gambaran tentang peubah, baik tentang keragamannya maupun korelasinya, maka digunakan analisis biplot. Dimana panjang vektor akan memberikan gambaran tentang keragaman. Semakin panjang vektor peubah tersebut, makin tinggi keragamannya. Sedangkan sudut antara vektor menunjukkan korelasi antara peubah. Bila sudut antara kedua vektor tersebut mendekati 0 maka makin besar korelasi positif antara kedua peubah tersebut. Korelasi sama dengan 1 diperoleh bila θ = 0. Bila sudut antara kedua vektor mendekati π , makin besar korelasi negatif antara kedua peubah tersebut. Korelasi sama dengan -1 akan diperoleh bila θ = π . Makin dekat θ terhadap π /2, makin kecil korelasi kedua peubah tersebut dan korelasi sama dengan 0 atau tidak ada korelasi diper oleh apabila
θ = π /2. Metode analisis ini digunakan untuk menyajikan data peubah ganda dari ruang yang berdimensi banyak ke dalam ruang yang berdimensi rendah, sehingga dimaksudkan data lebih mudah untuk ditaf sirkan. Hal ini sesuai dengan istilah bi dalam biplot dikaitkan dengan peragaan bersama atau serempak berupa penumpangtindihan antara vektor-vektor yang mewakili baris dan kolom matriks (Siswadi dan Suhardjo, 2002). Data yang digunakan untuk analisis biplot berupa matriks X berpangkat r, berukuran n x p (n = banyaknya objek dan p = banyaknya peubah) dikoreksi dengan nilai tengah. Matriks X diuraikan menggunakan konsep Penguraian Nilai Singular (PNS). Dengan menggunakan program statistik SAS seri 8.2 didapat hasil grafik Biplot, adapun bentuk persamaan dan penguraiannya sebagai berikut: X = nUrLrAp = nU rL arL 1-arAp = nGrHr Keterangan: U = matriks berukuran n x r dengan lajur saling ortonormal L = matriks diagonal berukuran r x r dengan unsur pada diagonal utamanya ialah akar kuadrat dari akar ciri matriks X’X dan unsur-unsur diagonal ini disebut nilai singular matriks X A = matriks berukuran p x r dengan lajur saling ortonormal r = pangkat dari matriks X.
67
dengan mendefinisikan G = ULa dan H = AL1-a ;
0 < a < 1.
Fakta yang diperoleh untuk a = 0 (G = U dan H = AL) yang digunakan dalam studi ini, adalah: 1. h i h j = (n-1)sij , dengan sij = (n-1)-1 ∑ ( xik- x i ) (xjk- x j ). Artinya, penggandaan titik antara vektor h i dengan h j akan memberikan gambaran koragam antara peubah ke-i dengan peubah ke -j. 2.
hi = (n-1) -1/2 si. Artinya, panjang vektor tersebut akan memberikan gambaran tentang keragaman peubah ke -i. Makin panjang vektor h i dibandingkan dengan vektor lainnya, katakanlah h j, makin besar pulalah keragaman peubah ke -i dibandingkan dengan peubah ke -j.
3. cos θ = rij, θ merupakan sudut antara vektor h i dengan vektor h j dan rij merupakan korelasi antara peubah ke -i dengan peubah ke-j. Bila sudut antara kedua vektor tersebut mendekati 0 maka makin besar korelasi positif antara kedua peubah tersebut. Korelasi sama denga n 1 diperoleh bila θ = 0. Bila sudut antara kedua vektor tersebut mendekati π , makin besar korelasi negatif antara kedua peubah tersebut. Korelasi sama dengan -1 akan diperoleh bila θ = π . Makin dekat θ terhadap π /2, makin kecil korelasi kedua peubah itu,
dan korelasi sama dengan 0 atau tidak ada korelasi diperoleh bila θ = π /2. 4. Bila pangkat X = p, maka (xi-xj ) S-1 (xi-xj) = (n-1) (g i-g j)’ (g i-g j). Artinya, (kuadrat) jarak Mahalanobis antara xi dengan xj akan sebanding dengan (kuadrat) jarak Euclid antara g i dengan g j. Makin kecil jarak Euclid antara titik g i dan g j yang terlihat dalam plot akan memberikan gambaran makin dekatnya xi dengan xj yang diukur dengan menggunakan peubah ganda asal dengan jarak Mahalanobis. Sebaliknya, makin besar jarak Euclid antara titik g i dan g j yang terlihat dalam plot akan memberikan gambaran makin jauhnya xi dengan xj yang diukur dengan menggunakan peubah ganda asal dengan jarak Mahalanobis.
68
Uji Beda Vektor Nilai Tengah Untuk menguji hipotesis pertama “terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak sapi potong untuk mendapatkan informasi” digunakan uji beda vektor nilai tengah (Inferences about a mean vector ) dengan alat uji T2 Hotelling (Johnson dan Wichern, 2002). Uji T 2 Hotelling ini memiliki kemampuan melihat adanya perbedaan antara dua kelompok amatan. Karena amatan perubahan berdasarkan dimensi waktu tidak mungkin dilakukan, digunakanlah upaya melihat perubahan tersebut atas dasar lokasi pemilihan sampel penelitian.
Satu kelompok kurang maju
(Kecamatan Nyalindung dan Surade, Sukabumi) dan satu kelompok lagi yang maju (Kecamatan Polokarto Sukohardjo dan Kecamatan Gedangsari Gunung Kidul). Gambaran input analisis nya tersaji pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Data yang diolah dengan T 2 Hotelling Observasi (Responden)
Peubah X4-1 X4-2 X4-3 X4-4 X5 X6 X7
Status Kelompok
1 2 . . n1
K1 (Kelompok Maju)
1 2 . . n2
K2 (Kelompok Kurang Maju)
Keterangan: X4-1 X4-2 X4-3 X4-4
= = = =
Perilaku menerima informasi sapi potong (pasif) Perilaku mencari informasi sapi potong (aktif) Perilaku klarifikasi/diskusi informasi sapi potong Perilaku menyebarkan informasi sapi potong
X5 X6 X7 n1 n2
Perilaku keterdedahan radio = Perilaku keterdedahan tv = Perilaku keterdedahan koran = Banyaknya observasi K1 = Banyaknya observasi K2 =
Perhitungan rumus uji statistik T2 Hotelling adalah sebagai berikut: T2 =
n1 n2 (x 1 – x 2)T S -1 (x 1 – x 2) n1 + n 2
69
Untuk mengetahui perbedaan antar kelompok dilanjutkan Uji F dengan rumus;
F-hitung =
n1 + n2 − p − 1 2 T p(n1 + n2 − 2)
Keterangan: n1 = ukuran sampel pada kelompok 1 n2 = ukuran sampel pada kelompok 2 p = banyaknya peubah yang diamati S-1 = invers matriks koragam x1 = vektor rataan kelompok 1 x2 = vektor rataan kelompok 2
dengan derajat bebas (p, n1 + n 2 – p – 1). Bila Fhitung > Ftabel (p, n 1 + n 2 – p – 1) dimana α = 0,05, menyatakan bahwa ada perbedaan perilaku komunikasi di kalangan peternak sapi potong pada kelompok maju dan kurang maju yang memiliki perbedaan karakteristik personal yang diuji. Sedangkan untuk penguatan deskripsi analitis terjadi pergeseran tersebut, digunakan matriks korelasi antar indikator-indikator dari peubah yang diamati dan penyajian analisis biplot.
Analisis Diskriminan Analisis lainnya adalah analisis diskriminan. Analisis ini bertujuan mencari ga ris atau persamaan yang mampu membedakan antar kelompok dengan baik. Jadi, masalah yang ditelusuri dalam analisis diskriminan ialah (1) mencari cara terbaik untuk menyatakan perbedaan antar kelompok objek (masalah diskriminasi); (2) cara untuk mengalokasikan suatu objek (baru) ke dalam salah satu kelompok tersebut (masalah klasifikasi). Fungsi diskriminan merupakan fungsi atau kombinasi linear peubahpeubah asal yang akan memberikan cara terbaik dalam pemisahan kelompokkelompok tersebut. Fungsi ini akan memberikan nilai- nilai yang sedekat mungkin dalam kelompok dan sejauh mungkin antar kelompok. Fungsi ini tentunya di samping dapat digunakan untuk menerangkan perbedaan antar kelompok, juga bisa digunakan dalam masalah klasifikasi.
70
Bila matriks koragam total T = (tij ), matriks koragam dalam kelompok W = (wij), dan matriks koragam antar kelompok B = (bij ) maka T = W + B. Bila fungsi diskriminan Z 1 = a11X1 + a 12X2 + …+ a 1pXp = a 1’X yang memaksimumkan nisbah antara ragam antar kelompok dengan ragam dalam kelompok maka yang ingin dicari ialah a 1 sehingga a 1’B a 1/a 1’Wa 1 maksimum. Fungsi diskriminan lainnya yaitu Zi = a 1’X yang memaksimumkan a 1’B a 1/ a 1’Wa 1 dengan kendala tidak berkorelasi dalam kelompok dengan Z1 , Z 2, … , Zi -1. Vektor -vektor a 1, a 2, …, a i dapat diperoleh sebagai vektor ciri yang berpadanan dengan akar ciri
λ1 ≥ λ2 ≥ λ3 ≥ ⋅ ⋅ ⋅ ≥ λi dari matriks W -1B. Dari analisis diskriminan ini dapat pula digunakan untuk mencari peubahpeubah asal yang dianggap dominan untuk digunakan dalam membedakan antar kelompok.
Salah satu pendekatan yang relatif efisien dalam komputasi ialah
melalui penggunaan peubah secara bertatar (stepwise) yaitu menambahkan peubah satu per satu yang relatif dominan ke dalam fungsi sampai suatu saat dimana
penambahan
peubah
lainnya
dianggap
tidak
menambah
baik
diskriminasinya. Menurut Supranto (2004) analisis diskriminan berguna untuk menganalisis data kalau peubah kriterion atau dependen (tak bebas) berupa kategori dengan skala pengukuran nominal atau ordinal dan peubah bebasnya berskala interval atau rasio (kuantitatif, hasil penilaian/rating).
Analisis Korespondensi Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan antar peubah kelas ekonomi dengan macam kepemimpinan komunikasi ketokohan peternak yang beratribut star dalam jaringan komunikasi sapi potong, berupa analisis untuk tabel kontingensi. Tujuan dari analisis korespondensi (correspondence analysis) yaitu memperagakan baris dan kolom suatu matriks data secara serentak dari tabel kontingensi dua arah dalam ruang dimensi rendah. Matriks korespondensi didefinisikan sebagai iPj = (1/n..) N, dengan n = 1’N1. Vektor yang unsur-unsurnya merupakan jumlah unsur dari vektor -vektor baris matriks P ialah r = P1; ri > 0, i = 1, 2, ..., i. Vektor yang unsur -unsurnya
71
merupakan jumlah unsur dari vektor-vektor kolom matriks P ialah c = P’1; cj > 0, j = 1, 2, …, j. Definisikan Dr sebagai matriks diagonal yang unsur-unsur diagonal utamanya ialah unsur-unsur dari vektor r, yang dilambangkan sebagai Dr = diag (r), dan Dc = diag (c). Matriks profil baris didefinisikan sebagai R = D r-1P dan matriks profil kolom didefinisikan sebagai C = Dc-1P’.
Jadi, vektor r juga merupakan rataan
terboboti dari profil-profil kolom dan vektor c juga merupakan rataan terboboti dari profil-profil baris. Andaikan R = [r1, r 2 , .., ri] dan C = [c1, c2, .., cj], maka jarak yang digunakan untuk menggambarkan ke dekatan antar profil ialah jarak Khi-kuadrat, yaitu: (ri – rj)’Dc-1(ri – rj) untuk jarak antara profil baris ri dengan profil baris r j , dan (ci – cj)’Dr-1(ci – cj) untuk jarak antara profil kolom ci dengan profil kolom cj. Profil-profil baris dan kolom di atas ingin digambarkan dengan menumpangtindihkannya dalam ruang berdimensi rendah. Bila dengan Penguraian Nilai Singular (PNS) Umum diperoleh bahwa P – rc’ = AD µ B; A’Dr-1A = B’D c-1B = I, maka profil baris matriks R yang posisi relatifnya sama dengan profil baris matriks R – 1c’, diberikan oleh F = Dr-1AD µ Profil kolom matriks C yang posisi relatifnya sama dengan profil kolom matriks C – 1r’, diberikan oleh G = Dc-1BD µ . Bila dengan profil baris R atau profil kolom C digunakan jarak Khi-kuadrat maka dengan profil dari matriks F dan G representasinya
diperoleh
jarak
Euclid.
Seperti
halnya
dalam
biplot,
penggambaran dalam ruang berdimensi rendah, katakanlah k maka koordinat yang digunakan untuk menggambarkan profil-profil tersebut ialah k unsur pertamanya. Seperti halnya dalam analisis biplot, interpretasi kedekatan antar profil dalam kategori yang sama didasarkan pada jarak Euclidnya sedangkan hubungan profil-profil antar kategori dapat ditelusuri melalui formula transisi, yaitu F = RGD µ -1 atau G = CFD µ -1. Jarak yang jauh antar profil akan memberikan kontribusi yang relatif besar terhadap tak adanya kebebasan antar kategori yang diamati.
72
Jadi, peragaan hasil analisis korespondensi, seperti halnya dengan analisis biplot, merupakan penumpangtindihan profil-profil baris dan kolom yang dalam analisis ini diperoleh dari tabel kontingensi dengan menggunakan jarak khikuadrat. Penggunaan PNS Umum (Generalized Singular Value Decomposition) dalam penghitungan analisis ini akan memberikan keterkaitannya dengan analisis lain dalam APG atau Analisis peubah Ganda (Siswadi dan Suhardjo, 2002).
Kerangka Pendekatan Analisis Penelitian Kerangka pendekatan analisis dari penelitian “Tingkat Penggunaan Media Massa dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok Peternak dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan” disa jikan pada Tabel 4 berikut ini.
Kerangka
pendekatan analisis tersebut dikembangkan dari empat masalah penelitian dan untuk menguji tujuh butir hipotesis sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya.
Tabel 4. Kerangka pendekatan analisis penelitian MASALAH PENELITIAN
TUJUAN PENELITIAN
1. Bagaimana 1. Melihat perilaku perilaku peternak dalam komunikasi mendapatkan peternak dalam informasi. mendapatkan informasi.
HIPOTESIS
KOMPONEN YANG DIUKUR
PENDEKATAN PENGUJIAN HIPOTESIS
MODEL PENGUJIAN HIPOTESIS
DATA YANG DIPERLUKAN
Hipotesis 1. Terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak untuk mendapatkan informasi. Hipotesis kerja 1a: Terdapat perbedaan nyata tingkat pemanf aatan media massa untuk mendapatkan informasi antara peternak maju dengan peternak kurang maju.
Perbandingan Mengkaji keterdetingkat peman- dahan media massa faatan media dan perilaku massa dengan pemanfaatan media perilaku peman- interpersonal antara faatan media kelompok maju dan interpersonal kurang maju
Hipotesis kerja 1b: Di antara masing-masing Idem peubah personal dan perilaku pemanfaatan media interpersonal, terdapat perbedaan nyata penggunaan media massa untuk mendapatkan informasi dari lokasi yg berbeda. 2. Bagaimana 2. Mengidentifikasi Peran -peran partisipasi tingkat partisipasi komunikasi peternak dalam peternak dilihat peternak Jaringan kom. dari peran kom. dalam jaringan sapi potong, dalam jaringan komunikasi dilihat dari pekomunikasi sapi sapi potong ran kom.? potong
Matriks korelasi, Biplot, Uji beda vektor nilai tengah / T 2 Hotelling, Uji diskriminan
Data keterdedahan media massa dan frekuensi komunikasi interpersonal dengan unit analisis Kab. Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung Kidul
Membandingkan antara 10 peubah amatan antar kelompok.
Idem
Idem
-
-
Data peran kom. peternak dalam jaringan dengan unit analisis Kabupaten Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung kidul
73
MASALAH PENELITIAN
TUJUAN PENELITIAN
HIPOTESIS
3. Sejauhmana 3. Menganalisis Butir 2. hubungan hubungan Terdapat hubungan nyata karakteristik karakteristik antara karakteristik personal personal dgn personal dengan dengan perilaku keterdedahan keterdedahan keterdedahan media massa media massa media massa dan dan kom. komunikasi interpersonal; interpersonal; hubungan keHubungan peubah tsb karakteristik, Butir 3. dengan peran keterdedahan Terdapat hubungan nyata kom. peternak media mas sa, antara karakteristik personal dalam jaringan komunikasi dengan perilaku komunikasi komunikasi interpersonal interpersonal informal sapi potong; dengan peran dan hubungan komunikasi dlm peran kom. jaringan kom sapi peternak sapi potong; dan hub. Butir 4. potong dengan peran komunikasi Terdapat hubungan nyata antara distorsi pesan? dlm jaringan kom karakteristik personal dengan peran komunikasi anggota sapi potong dgn kelompok dalam jaringan distorsi pesan. komunikasi sapi potong Butir 5. Terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi interpersonal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong
KOMPO NEN YANG DIUKUR
PENDEKATAN PENGUJIAN HIPOTESIS
Pendidikan formal, kelas ekonomi, kepemilikan media massa, dengan keterdedahan media massa Pendi dikan formal, kelas ekonomi, kepemilikan media massa, dengan perilaku kom. interpersonal
Melihat korelasi dan keragaman antar peubah karakteristik personal dengan keterdedahan media massa
MODEL PENGUJIAN HIPOTESIS
DATA YANG DIPERLUKAN
Analisis jalur, Matriks korelasi, Analisis biplot.
Data karakteristik dan perilaku keterdedahan media massa dengan unit analisis Kabupaten Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung Kidul.
Melihat korelasi dan Matriks korelasi, keragaman antar Analisis biplot. peubah karakteristik personal dengan perilaku kom. interpersonal
Data karakteristik dan perilaku komunikasi interpersonal dengan unit analisis Kabupaten Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung Kidul.
Pendidikan, klas ekonomi, kepemilikan media massa dan peran komunikasi dalam jaringan
Melihat korelasi dan Analisis jalur, keragaman antar Matriks korelasi, peubah karakteristik Analisis biplot. personal dengan peran komunikasi dalam jaringan kom.
Data karakteristik dan peran kom. dalam jaringan dgn unit analisis Kabupaten Sukabumi, Sukohardjo dan Gunung Kidul.
Perilaku kom. interpersonal dan peran kom peternak dalam jaringan kom. sapi potong
Melihat korelasi dan keragaman antar Matriks korelasi, peubah pemanfaatan Analisis biplot kom. interpersonal dgn peran komunikasi dlm jaringan kom.
Data komunikasi interpersonal dan peran komunikasi dalam jaringan dengan unit analisis tiga kabupaten sampel.
74
MASALAH PENELITIAN
4. Bagaimana pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong?
TUJUAN PENELITIAN
4. Mengetahui pola jaringan komunikasi antar anggota kelompok peternak sapi potong
HIPOTESIS Butir 6. Terdapat hubungan nyata antara keterdedahan media massa dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong Butir 7. Terdapat hubungan nyata antara peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi pesan -
-
5. Mendesain strategi/ model komunikasi penyuluhan.
KOMPONEN YANG DIUKUR
PENDEKATAN PENGUJIAN HIPOTESIS
MODEL PENGUJIAN HIPOTESIS
Keterdedahan media massa dgn peran kom. peternak dalam jaringan kom. Peran kom. peternak dalam jaringan kom. sapi potong dan distorsi pesan Peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong, dan kelas ekonomi Karakteristik kelas ekonomi peternak star dalam jaringan komunikasi sapi potong, dan macam kepemimpinan kom.
Melihat korelasi dan Matriks korelasi, keragaman antar Analisis biplot peubah keterdedahan media massa dengan peran komunikasi Melihat korelasi dan keragaman antar Matriks korelasi, peubah peran kom. Analisis biplot dalam jaringan kom. dgn distorsi pesan Melihat korelasi dan keragaman antar Matriks korelasi peubah peran kom. Analisis biplot anggota kelompok dalam jaringan kom. sapi potong dengan kelas ekonomi Melihat hubungan peubah kelas Uji khi-kuadrat, ekonomi dan macam Analisis kepemimpinan korespondensi, komunikasi peternak beratribut star dalam jaringan komunikasi sapi potong
DATA YANG DIPERLUKAN Data keterdedahan media massa dan peran komunikasi dalam jaringan dengan unit analisis tiga kabupaten sampel. Data peran komunikasi dalam jaringan dan distorsi pesan dengan unit analisis tiga kabupaten sampel Data peran komunikasi dan kelas ekonomi dengan unit analisis tiga kabupaten sampel Data kelas ekonomi dan macam kepemimpinan kom. ketokohan peternak dalam jaringan kom. sapi potong dengan unit analisis tiga kabupaten sampel
-
75
76
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Sukabumi Kabupaten Sukabumi termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat, secara geografis terletak di antara 6o 57’ - 7 o25’ Lintang Selatan dan 106o 49’-107 o00’ Bujur Timur dengan topografi umumnya bergelombang. Pegunungan berada di bagian utara, tengah dan selatan, bergelombang sampai daerah pantai dengan ketinggian mulai 0 – 2.969 meter di atas permukaan laut. Sedangkan secara klimatologi, kabupaten ini berada pada daerah yang beriklim sedang, suhu harian berkisar antara 18-29o C dengan kelembaban rata-rata 85%, curah hujan antara 2.000 sampai dengan 4.000 mm per tahun, dengan rata -rata bulan basah enam bulan dan rata-rata bulan kering dua bulan. Luas wilayah daratan Kabupaten Sukabumi seluruhnya 4.164,0427 kilometer persegi atau 416.404,27 hektar dan berbatasan dengan Kabupaten Bogor di sebelah utara, Samudra Indonedia di sebelah selatan, Kabupaten Lebak di sebelah barat, di sebelah timur Kabupaten Cianjur dan di tengahnya berbatasan dengan Kota Sukabumi. Gunung Salak dan Gunung Gede menjadi batas alam dengan Kabupaten Bogor dan Cianjur. Secara administratif, kabupaten ini dibagi dalam 45 kecamatan dengan 341 desa/ kelurahan. Kawasan agribisnis sapi potong, khususnya untuk penggemukan sapi potong terdapat di sembilan kecamatan, meliputi Kecamatan Kebonpedes, Kadudampit, Gegerbitung, Cikembar, Parungkuda, Cicurug, Nyalindung, Purbaya dan Jampangtengah. Sedangkan kawasan perbibitan, difokuskan di tiga lokasi pengembangan,
yakni
(1) Surade,
melip uti
Kecamatan
Jampangkulon,
Kalibunder, Cibitung, Ciracap, Waluran, Surade dan Ciemas; (2) Sagaranten, meliputi Kecamatan Cidadap, Sagaranten, Curugkembar, Pabuaran, Tegalbuleud dan Cidolog; (3) Jampangtengah, meliputi Kecamatan Lengkong, Nyalindung dan Purbaya. Kawasan yang ketiga ini dikategorikan sebagai kawasan perbibitan baru, karena merupakan kawasan yang belum tersentuh program perbibitan. Dipilihnya dua kecamatan penelitian yakni Kecamatan Surade dan Nyalindung
77
adalah agar mampu mewakili kategori daerah perbibitan dan penggemukan sapi potong. Kecamatan Surade berada di wilayah Sukabumi Selatan, yang bagian selatannya berbatasan dengan Samudra Indonesia, di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Waluran dan Kecamatan Jampangkulon, di sebelah timur dengan Kecamatan Ciracap dan Kecamatan Cibitung di sebelah barat. Kelompok peternak sapi potong yang dijadikan objek penelitian di Kecamatan Surade ialah kelompok peternak Banjaran, yang berlokasi di Desa Jagamukti dengan jumlah anggota kelompok sebanyak 30 orang yang tersebar di lima dusun, yakni di Banjaran, Cisuren, Cidadap, Sinarjaya dan Dusun Kubang.
Hampir seluruh
anggota kelompok peternak sapi potong ini memelihara ternaknya secara dilepas di ladang hamparan rumput alam. Pencapaian populasi ternak sapi potong mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu, dimana terdapat penurunan jumlah populasi sebesar lima persen.
Salah satu penyebabnya adalah tingkat
keberhasilan Inseminasi Buatan (IB) yang rendah, dimana banyak sapi peternak yang belum bunting padahal sudah dua tahun dipelihara. Menurut penuturan ketua kelompok peternak Banjaran, pelaksanaan kegiatan IB baru dibangkitkan kembali awal 2003, setelah sebelumnya sempat terhenti selama empat tahun. Penyebab lain adalah faktor SDM, d imana mantri hewan yang kurang memberikan informasi kepada peternak tenta ng keadaan sapi potong peternak dan tidak ada petugas di kantor Kepala Cabang Dinas(KCD) Kecamatan Surade. Gambaran Desa Jagamukti dimana kelompok sapi potong “Banjaran” berada, memiliki luas wilayah 405 Ha dan berada 250 meter di atas permukaan laut (dpl). Termasuk daerah yang bersuhu panas karena berada diketinggian <750 dpl. Curah hujan Desa Jagamukti rata-rata 216 mm pertahun. Kemiringan lahan 8-15 derajat dan termasuk lahan kering karena berkisar 10-20%.
Lokasi
Jagamukti ini sangat berpotensi untuk pengembangan ternak ruminansia, baik sapi maupun ternak domba. Secara administratif desa tersebut berbatasan dengan Desa Citangkar di sebelah utara, di sebelah Selatan dengan Desa Gunung Sungging, di sebelah barat Desa Swakarya dan di sebelah timur dengan Desa Cidahu.
78
Usahaternak sapi potong di Desa Jagamukti sangat berpotensi untuk terus dikembangkan. Potensi SDA ( sumberdaya alam) dan SDM (sumberdaya manusia) perlu diolah dan dikembangkan. Umumnya peternak memelihara sapi dengan dilepas di lapangan dan dibiarkan mencari makan sendiri. Jumlah Penduduk yang banyak adalah salah satu faktor tenaga kerja untuk pengembangan sapi potong. Menurut Tabel 5, jumlah penduduk di Desa Jagamukti adalah sebanyak 5.032 jiwa, yang terdiri atas 2.453 orang laki- laki dan 2.579 orang perempuan. Sedangkan kepala keluarga ada sebanyak 1.444 KK, berarti setiap keluarga memiliki rataan besar keluarga sekitar 3,48. Terlihat, jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan ternyata sedikit lebih banyak dari penduduk berjenis kelamin laki-laki. Penduduk yang berjenis kelamin perempuan seharusnya dilibatkan dalam kegiatan peternakan. Perempuan mempunyai sifat yang ulet dalam melaksanakan pekerjaan dan potensi ini perlu dikembangkan. Banyak sekali potensi
yang dimiliki oleh wanita yang bernilai positif bagi pembangunan
peternakan secara luas. Mulai dari memelihara, mengolah hasil ternak sampai memasarkannya. Di lokasi penelitian semua responden berjenis kelamin laki-laki (100%). Perempuan dengan segala kemampuan dan potensi dirinya perlu dilibatkan lebih serius untuk lebih memajukan dunia peternakan Indonesia terutama peternakan sapi potong di Desa Jagamukti.
Tabel 5.
Distribusi penduduk Desa Jagamukti menurut umur
Kelompok Umur (Tahun) 0 - 5 6 – 14 15 – 45 46 – 60 Total
Jumlah (orang) 647 860 2.655 870 5.032
Persentase (%) 12,86 17,09 52,76 17,29 100,00
Sumber: Monografi Desa Jagamukti, 2005.
Dari Tabel 5 diperoleh informasi bahwa hampir dua pertiga (sekitar 70 persen) penduduk Desa Jagamukti tergolong peternak usia produktif, yakni 15-60 tahun dan ini adalah potensi yang menjadi pertimbangan dalam pembangunan agribisnis sapi potong, karena di usia produktif umumnya peternak mempunyai
79
semangat tinggi, mau bekerja keras, dinamis, kreatif, inovatif dan aktif dalam melakukan aktivitas usahaternak sapi potong yang mereka geluti. Sebagian besar (73%) mata pencaharian penduduk Desa Jagamukti adalah bertani, sedangkan macam pekerjaan lainnya sebaga i buruh, pegawai negeri sipil (PNS), pedagang dan tukang kayu atau tukang batu. Sisanya, rata-rata satu persen ke bawah adalah bermatapencaharian sebagai sopir, aparat keamanan, karyawan swasta, guru swasta, penjahit dan montir.
Kategori jenis pekerjaan lain-lain
sebanyak 70 kepala keluarga adalah bekerja sebagai nelayan, guru SD/madrasah dan pensiunan. Secara rinci macam pekerjaan atau mata penca harian penduduk Desa Jagamukti dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini. Tabel 6. Macam pekerjaan penduduk Desa Jagamukti per kepala keluarga Jenis pekerjaan PNS (Pegawai negeri sipil) TNI/Polri Guru swasta Karyawan Swasta Berdagang Buruh Petani Penjahit dan Montir Sopir Tukang Kayu dan Tukang Batu Lain-lain Total
Jumlah (KK) 70 13 5 10 68 92 1.055 6 15 40 70 1.444
Persentase (%) 4,85 0,90 0,35 0,69 4,71 6,37 73,06 0,42 1,04 2,76 4,85 100,00
Sumber: Monografi Desa Jagamukti, 2005
Kecamatan terpilih lainnya ialah Nyalindung berada di wilayah Sukabumi Tengah, yang bagian selatannya berbatasan dengan Kecamatan Purbaya , di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Kebonpedes dan Kecamatan Gunung Guruh, di sebela h timur dengan Kecamatan Gegerbitung dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cikembar dan Jampangtengah. Kelompok peternak sapi potong yang dijadikan objek penelitian di Kecamatan Nyalindung adalah kelompok peternak Cisitu, yang berlokasi di Desa Cisitu dengan jumla h anggota kelompok sebanyak 32 orang.
80
Desa Cisitu memiliki luas 1.226 Ha dan berada 700 meter dpl serta termasuk pada daerah yang bersuhu panas karena <750 meter dp l, yakni rata -rata suhu udara 20-24 o C pada siang hari dan 17-19 oC pada malam hari. Curah hujan Desa Cisitu rata-rata 2.412 mm pertahun. Secara administratif desa ini berbatasan dengan Desa Kertaangsana di sebelah utara, di sebelah Selatan dengan Desa Margaluyu, di sebelah barat Desa Cintamiang dan di sebelah timur dengan Desa Nyalindung. Usahaternak sapi potong di Desa Cisitu sangat berpotensi untuk terus dikembangkan. Potensi SDA dan SDM perlu diolah dan dimanfaatkan secara optimal. Jumlah Penduduk yang banyak adalah salah satu faktor tenaga kerja untuk pengembangan usahaternak sapi potong. Gambaran jumlah penduduk di Desa Cisitu adalah sebanyak 1.360 kepala keluarga (KK), dengan jumlah jiwa 4.305 orang yang terdiri atas 2.161 orang laki-laki dan 2.144 orang perempuan. Sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Cisitu adalah bertani, sedangkan macam pekerjaan lainnya sebagai buruh atau pekerja karyawan, pedagang dan pegawai negeri sipil (PNS). Secara rinci mata pencaharian penduduk Desa Cisitu dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Macam pekerjaan penduduk De sa Cisitu per kepala keluarga Jenis Pekerjaan PNS (Pegawai negeri sipil) Petani/Buruh Pedagang Buruh/Pekerja Karyawan Pensiunan Lain- lain Total
Jumlah (KK) 9 813 124 336 15 63 1.360
Persentase (%) 0,66 59,78 9,12 24,71 1,10 4,63 100,00
Sumber: Monografi Desa Cisitu, 2005.
Dari jumlah penduduk di atas, menunjukkan potensi tenaga kerja di Desa Cisitu cukup besar.
Kategori jenis pekerjaan lain-lain sebanyak 63 kepala
keluarga adalah bekerja sebagai sopir, guru SD /madrasah. Hal ini berarti tingkat kelahiran di Desa Cisitu masih terkendali.
81
Adapun sarana dan prasarana yang tersedia di Desa Cisitu adalah satu buah PUSTU (Puskesmas Pembantu), 17 buah masjid , tiga buah SD dan enam buah madrasah, 39 buah mushola, enam buah MCK, 12 buah sumber air bersih, sebuah wartel yang dalam kondisi rusak dan koperasi non KUD satu buah. Desa Cisitu mempunyai enam kelompoktani, lima kelompok lanjut dan satu pemula.
Kabupaten Gunung Kidul dan Sukohardjo Kabupaten Gunung Kidul termasuk wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Sukohardjo di Propinsi Jawa Tengah. Dua kabupaten ini merupakan pilihan lokasi untuk kelompok peternak sapi potong kategori maju, karena kedua kelompok ini pernah menjadi yang terbaik tingkat nasional (Juara I). Untuk Kabupaten Gunung Kidul dipilih kelompok perbibitan sapi potong “Sedyo Rukun” yang berlokasi di Desa Ngalang Kecamatan Gedangsari. Desa Ngalang ini memiliki luas wilayah 1.481,7910 Ha dan berada 300-375 meter dpl, dengan suhu udara rata-rata 19 -32 o C dan curah hujan ± 320 mm pertahun. Secara administratif desa bertopografi dataran tinggi berbukit ini berbatasan dengan Desa Hargomulyo di sebelah utara, di sebelah Selatan dengan Desa Gading Kecamatan Playen, di sebelah barat Desa Nglegi Kecamatan Patuk dan di sebelah timur dengan Desa Pengkol Kecamatan Nglipar. Usahaternak sapi potong kelompok Sedyo Rukun di Desa Ngalang adalah usaha perbibitan dengan target produksinya ia lah pedet, sehingga pemilihan bibit dalam proses reproduks i sangat diperhatikan. Kelompok Sedyo rukun dalam proses reproduksi seratus persen dilakukan dengan cara IB, sehingga kelompok tidak memerlukan adanya pejantan. Keuntungan yang diperoleh dengan proses reproduksi seperti ini adalah anggota kelompok yang akan mengawinkan induknya dapat menentukan waktu yang tepat dan dapat memilih bibit unggul yang diinginkan untuk mendapatkan hasil pedet yang bernilai jual tinggi serta dapat menghindari tertularnya penyakit yang dibawa oleh pejantan. Bibit yang telah dihasilkan oleh anggota kelompok, apabila berkelamin betina dan mutunya baik diutamakan digunakan untuk induk sendiri atau dijual dalam kelompok. Apabila bibit yang dihasilkan ad alah jantan/betina dengan mutu
82
kurang baik, maka anggota kelompok akan menjualnya ke luar kelompok atau ke pasar. Jumlah penduduk Desa Ngalang berkisar sekitar 1.688 kepala keluarga (KK) dengan jumlah jiwa 7.180 orang, terdiri atas 3.351 orang laki- laki dan 3.829 orang perempuan. Gambaran jumlah penduduk yang banyak adalah salah satu faktor tenaga kerja untuk pengembangan usahaternak sapi potong. Sama halnya dengan penduduk Desa Cisitu, sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Ngalang adalah bertani, menyusul sebagai buruh atau pertukangan, pedagang, penjual jasa/sopir, pegawai negeri sipil dan pensiunan. Lain- lain di sini adalah kepala keluarga yang masuk kategori tidak memiliki pekerjaan tetap dan umumnya
adalah
rumahtangga
muda
yang
masih
menumpang
dengan
orangtuanya. Secara rinci mata pencaharian penduduk Desa Ngalang dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Macam pekerjaan penduduk Desa Ngalang per kepala keluarga Jenis Pekerjaan PNS Petani/Buruh Pedagang Buruh/Pertukangan Pensiunan Penjual jasa/sopir Lain- lain Total
Jumlah (KK) 42 522 413 420 32 173 86 1.688
Persentase (%) 2,49 30,92 24,47 24,88 1,90 10,25 5,09 100,00
Sumber: Monografi Desa Ngalang, 2005.
Adapun sarana dan prasarana yang tersedia di Desa Ngalang adalah satu buah Puskesmas, 11 buah masjid, 17 buah mushola, dua buah taman kanakkanak, lima buah SD dan satu SLTP, 39 buah mushola, satu wartel, satu orari, 506 buah pesawat tele visi, 759 radio, 15 buah sepeda, 105 motor, 13 mobil dan tiga buah truk. Selain itu terdapat satu buah industri kecil di desa tersebut berupa selepan beras, enam buah industri rumah tangga, dua buah toko, 36 buah warung dan 200 meter saluran irigasi.
83
Populasi ternak di Desa Ngalang sendiri meliputi 32.140 ekor ayam kampung, 100 ekor itik, 500 ekor kambing dan 600 ekor sapi potong. Sedangkan kegiatan pertambangan bahan galian yang ada di Desa Ngalang, berupa batu gunung (240 m3 ), batu kali (330 m3 ) dan batu bangunan (2600 m3 ). Kelompok sendiri telah memiliki koperasi kelompok yang diberi nama “Koperasi Sedyo Rukun,” dengan nomor badan hukum 0341/BH/KDK -12-3, tertanggal 5 Mei 2000. Koperasi tersebut kini telah memiliki tiga unit usaha Simpan Pinjam, 17 buah unit usaha Bahan-bahan Kredit dan sebuah unit usaha Ekonomi Desa. Kelompok peternak sapi potong yang berdiri pada bulan Februari 1989 ini, kini berstatus kelas kelompok utama dan telah memiliki 30 anggota kelompok dengan jumlah ternak sebanyak 150 ekor. Prestasi kelompok yang telah diraih dalam mengimplementasikan pengembangan kawasan terpadu agribisnis sapi potong adalah: (a) di aspek agribisnis hulu, berupa: 1. Usaha pakan, yang dilakukan oleh kelompok dengan menyediakan pakan sapi bagi anggota kelompok dalam bentuk melakukan gerakan penanaman rumput kolonjono, gliricide, lamtoro dan turi di pematang sawah milik anggota maupun di Daerah Aliran Sungai (DAS), memanfaatkan limbah pertanian (rende ng kedela i, kacang tanah dan jerami padi), memanfaatkan hasil sampingan panen padi yaitu katul dan membuat casapro untuk pakan penguat, melayani penjualan konsentrat jadi bagi anggota kelompok. 2. Usaha perbibitan, dengan memanfaatkan seratus persen IB bagi anggota kelompok yang akan mengawinkan induk sapi potong. 3. Usaha obat/vaksin , yakni menjual obat-obatan sederhana yang dibutuhkan anggota seperti obat cacing dan membuat obat tradisional dari biji lamtoro. (b) di aspek on-farm, berupa: upaya mengembangkan dan memantapkan kelembagaan kelompok. Mulai dari merapihkan struktur kelompok, memantapkan pengurus kelompok, mendeskripsikan tugas pokok pe ngurus, membina anggota kelompok, membantu merapihkan macam administrasi kelompok dan mengefektifkan
84
pelaksanaan kerja kelompok.
Memberikan pelatihan di proses produksi,
seperti pemilihan bibit, proses reproduksi, pengelolaan pakan, sistem perkandangan, penge ndalian dan pencegahan penyakit, pembinaan aktivitas dan ragam usaha kelompok, serta meningkatkan SDM kelompok dengan mengadakan penyuluhan, studi banding, pelatihan, simposium insap (intensifikasi sapi potong) dan Pemeliharaan
mengikuti pameran (pekan nasional).
sapi potong di kelompok Sedyo Rukun dipadukan dengan
budidaya tanaman pangan, dimana kotoran sapi sebagai hasil sampingan diolah menjadi pupuk kompos sehingga kotoran sapi yang sebenarnya merupakan limbah yang dapat mencemari lingkungan dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman pangan. Sedangkan limbah dari tana man pangan berupa rendeng kedelai dan kacang maupun jerami dapat disimpan sebagai tendon pakan alternatif yang akan dimanfaatkan pada saat musim kemarau. (c) aspek agribisnis hilir, berupa: 1. Usaha penanganan pasca panen, dengan melakukan pengolahan limbah kotoran sapi menjadi pupuk fine compos yang dilaksanakan oleh masingmasing anggota. 2. Usaha pemasaran hasil, dengan mengkoordinir pemasaran sapi bakalan maupun induk afkir milik masing- masing anggota, dimana bagi anggota yang melakukan penjualan ternak dikenai iuran penjualan sebesar Rp. 10.000,00. (d) aspek penunjang, dilakukan kegiatan berupa: upaya penguatan modal kelompok melalui iuran anggota setiap menjual sapi dan mencarikan sumber bantuan modal pinjaman bergulir (misalnya bantuan dari dinas perekonomian Kabupaten Gunung Kidul, pinjaman lunak dari PT Dana Reksa). Untuk Kabupaten Sukohardjo dipilih kelompok peternak sapi potong “Subur” yang berlokasi di Desa Mranggen Kecamatan Polokarto.
Desa ini
memiliki luas wilayah 441,7840 Ha, terdiri dari 256,7230 Ha lahan sawah, 53,8750 Ha tegalan, 119,5845 Ha lahan pekarangan dan permukiman, 11,6015 Ha berupa jalan, sungai dan kuburan. Suhu udara rata-rata dan curah hujan pertahun
85
mirip dengan Desa Ngalang di Kabupaten Gunung Kidul. Secara administratif desa bertopografi datar ini berbatasan dengan Desa Wonorejo dan Desa Jatiroso di sebelah utara, di sebelah selatan dengan Desa Godog, di sebelah barat Desa Bakalan dan di sebelah timur dengan Desa Po lokarto dan Rejosari. Usahaternak sapi potong kelo mpok tani ternak Subur di Desa Mranggen adalah usaha perbibitan dan kereman/penggemukan, de ngan usaha pendukung pembuatan hijauan pakan ternak, pengolahan air kencing, pengadaan sapronak dan obat-obatan/ vaksin, pengolahan hasil ternak. Usaha lainnya berupa tani padi, tani melon, empon-empon (bahan baku jamu gendong) dengan memanfaatkan pupuk kompos (kotoran sapi). Jumlah penduduk Desa Mranggen saat ini ada sebanyak 2.189 KK dengan jumla h jiwa 8.413 orang yang terdiri atas 4.051 laki- laki dan 4.362
orang
perempuan. Gambaran jumlah penduduk berdasarkan umur dan je nis kelamin tersaji pada Tabel 9 berikut ini. Tabel 9.
Distribusi penduduk Desa Mranggen menurut umur dan jenis kelamin Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah (Tahun) (orang) (orang) (orang) 0 - 6 601 688 1.289 7 - 12 670 745 1.415 13 – 15 342 329 671 16 – 24 631 708 1.339 25 – 40 669 686 1.355 > 40 1.138 1.206 2.344 Total 4.051 4.362 8.413
Persentase (%) 15,32 16,82 7,98 15,92 16,10 27,86 100,00
Sumber: Monografi Desa Mra nggen, 2005.
Sedangkan distribusi penduduk berdasarkan jenis pekerjaan, seperti yang tersaji pada Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar (hampir 58 persen) mata pencaharian penduduk Desa Mranggen adalah bertani sebagai buruh tani, menyusul petani peternak sekitar 32 persen (624 kepala keluarga petani dan 82 kepala keluarga peternak). Sepulu h persen sisanya bermata pencaharian sebagai pedagang, pengrajin, jasa pengangkutan/montir, PNS dan pensiunan.
86
Tabel 10. Maca m pekerjaan penduduk Desa Mranggen per kepala keluarga Jenis Pekerjaan Petani Peternak Buruh tani Pedagang Jasa Pengangkutan, montir Pengrajin PNS Pensiunan Total
Jumlah (KK) 706 1.259 34 32 20 106 32 2.189
Persentase (%) 32,25 57,51 1,55 1,47 0,91 4,84 1,47 100,00
Sumber: Monografi Desa Mranggen, 2005.
Adapun sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di Desa Mranggen adalah lima buah taman kanak-kanak, tujuh unit SD dan dua SLTP, ditambah 19 unit lembaga pendidikan keagamaan. Memiliki sarana telepon umum dan layanan wartel serta tv umum. Termasuk satu televisi umum yang ditarok di kelompok, pesawat televisi hadiah dari Ibu Presiden sebagai Juara tingkat Nasional Lomba Kelompok Tani Ternak bidang Agribisnis Peternakan tahun 2003. Jumlah pesawat tele visi di Desa Mranggen ada sebanyak 756 unit, 2.157 buah radio, 62 sepeda, 105 motor, 21 mobil dan empat buah truk. Populasi ternak di Desa Mra nggen sendiri meliputi 1.029 ekor sapi potong, 15.250 ekor ayam ras, 3.396 ekor ayam kampung, 2.210 ekor bebek/itik, 489 ekor domba dan 310 ekor kambing. Ketersediaan hijauan pakan ternak (HPT) sangat mendukung, di antaranya kebon pakan ternak (rumput gajah, king grass dan setaria) yang ditanam di tanah Kas Desa seluas dua hektar dengan produksi HMT sekitar 20 ton per hektar, cukup banyak limbah pertanian yang belum termanfaatkan (jerami padi, pucuk tebu, tebon dan rendeng/daun kacang tanah, daun ketela, daun jagung), lahan sekitar sawah yang subur telah digunakan untuk penanaman rumput, lamtoro, turi dan gamal. Pada awal dibentuk kelompok dengan nama Kelompok Tani Ternak Subur pada tahun 1998 memiliki 25 orang anggota . Kini, telah berkembangan menjadi 40 orang, tetapi yang aktif dan dapat ditemui saat dilaksanakan penelitian hanya 33 orang. Jumlah pemilikan ternak juga berkembang dari 104 ekor, kini menjadi 308 ekor dengan skala kepemilikan ternak per anggota 5-9 ekor. Pertemuan rutin
87
kelompok setiap 35 hari sekali (selapanan) setiap hari Minggu Kliwon merupakan modal sosial bagi masyarakat di lokasi penelitian, termasuk aktivitas pengajian. Berkat ketekunan, keingintahuan, keuletan dan mengutamakan gotong royong dari anggota kelompok serta adanya bimbingan dari Dinas /Instansi terkait dalam hal ini Sub Dinas Peternakan Sukoharjo dan KCD Peternakan, PPL dan Mantri Hewan Polokarto, maka kelompok tani ternak Subur mengalami kemajuan dari berbagai segi antara lain kelompok telah mengelola ternaknya dengan sistem agribisnis. Kelas kelompok juga mengalami peningkatan dari kelas Pemula (11 Januari 1999) menjadi Lanjut (12 Januari 2000), lalu meningkat menjadi Madya (15 Januari 2001) dan dikukuhkan menjadi kelas Utama pada tanggal 7 Januari 2002. Semua anggota kelompok “Subur” telah menjadi anggota KUD Sukodono yang berada di Desa Wonorejo Kecamatan Polokarto. Prestasi kelompok yang telah diraih dalam mengimplementasikan pengembangan kawasan terpadu agribisnis sapi potong di antaranya adalah: (a) di aspek agribisnis hulu, berupa: 1. Usaha pakan, baik hijauan maupun konsentrat dihasilkan dari kelompok sendiri. Hijauan pakan ternak dipenuhi dari kebun bibit HPT kelompok, lahan pekarangan, lahan tegalan masing-masing anggota, lahan Kas Desa dan turus jalan.
Hijauan pakan ternak yang diberikan berupa hijauan
segar, kering maupun pakan olahan seperti: hay, silase, amoniasi jerami dan teknologi pakan UMMB (urea mollases multinutrition Block) atau permen sapi.
Formulasi yang dipakai untuk membuat UMMB adalah
sebagai berikut: mollases/tetes 5 kg, onggok 1,75 kg, bekatul 2,5 kg, bungkil kedelai 0,75 kg, kapur 1,25 kg, urea 0,6 kg, garam 1 kg dan mineral lakta t 0,125 kg. Konsentrat yang diberikan pada sapi berasal dari produksi kelompok sendiri yang diolah di pabrik pakan mini kelompok, dengan bahan baku lokal berupa bekatul, onggok/gemblong, tepung jagung, tetes, bungkil kelapa dengan komposisi sebagai berikut: bekatul 39%, bungkil kelapa 18%, tepung jagung 18%, onggok 22%, urea dan garam masing-masing satu persen, mineral/kapur dan tetes masing- masing
88
0,5%. Sedangkan bahan baku non-lokal (bungkil kelapa sawit) disuplai dari PT Sempulur dengan kerjasama kemitraan. Konsentrat yang diproduksi oleh kelompok Subur sejak November 2001 ini selain untuk mencukupi kebutuhan sendiri juga dijual kepada peternak luar anggota. 2. Usaha perbibitan, di kelompok Subur berasal dari produksi kelompok, yakni dengan memelihara induk yang dikawinkan dengan pejantan unggul (Simmental, Limousin, Brahman, Brangus) melalui inseminasi buatan/IB. Untuk meningkatkan mutu genetik ternak kelompok melakukan sistem perbibitan dengan pencatatan (recording), seleksi, pengafkiran dan peremajaan. Pemilihan bibit sapi dengan seleksi induk yang sesuai dengan kriteria bibit. Untuk meningkatkan conception rate (tingkat kebuntingan) beberapa hal telah dilakukan seperti pemahaman tanda-tanda berahi, pemahaman saat yang tepat untuk IB, pemeriksaan kebuntingan dan alat reproduksi secara rutin. Seleksi pedet hasil IB yang baik digunakan untuk bibit dan yang kurang baik diafkir untuk dijual atau digemukkan dulu baru dijual. Skala usaha per anggota di kelompok tani ternak sapi potong Subur berkisar 5-9 ekor per kepala keluarga (KK). 3. Usaha obat/vaksin, dilakukan kelompok bekerjasama dengan UPTD Poskeswan Dinas Pertanian yang menyediakan obat dan vaksin antara lain: obat cacing (piperazine, pipedon bollus), vitamin (B12 , B Compleks, B1, ADE) bioselamin, hematopan, gusanex, super killer (obat lalat), ivomex, antibiotik, antihistamin (delladryl) starbio dan lain- lain.
Pengobatan
secara rutin berupa vaksinasi massa setiap tiga bulan sekali dilakukan kelompok bekerjasama dengan dinas peternakan sekaligus dilaksanakan pesta patok ternak. (b) di aspek on-farm, berupa: upaya mengembangkan sistem budidaya dalam bentuk satu kawasan kandang kelompok, di samping masing-masing anggota juga mempunyai kandang individu di lahan pekarangan rumah. Pemeliharaan sapi potong di kelompok Subur dipadukan dengan budidaya tanaman pangan, dimana sekitar lokasi kelompok tersebut ada sawah dengan sistem pengairan teknis yang dapat
89
ditanami sepanjang tahun.
Kotoran sapi sebagai hasil sampingan diolah
menjadi pupuk kompos sehingga kotoran sapi yang sebenarnya merupakan limbah yang dapat mencemari lingkungan dapat dimanfaatkan untuk menyuburkan tanaman pangan. Sedangkan limbah dari tanaman pangan yang berasal dari penggilingan padi, sisa ampas pembuatan tepung tapioka dan penggilingan jagung juga dijadikan pakan sapi.
Di samping itu lahan di
sekitar rumah merupakan lahan yang sangat cocok untuk ditanami rumput dan tanaman tahunan sebagai sumber pakan sapi. Air di Desa Mranggen Kecamatan Polokarto tersedia cukup melimpah, yang berasal dari air permukaan dan air dalam tanah (sumur) yang tersedia sepanjang tahun. Air tersebut digunakan untuk kebutuhan keluarga, persawahan, peternakan dan lain-lain. (c) aspek agrib isnis hilir, berupa: 1. Usaha penanganan pasca panen, dengan melakukan penjualan hasil ternak berupa ternak sapi (lokasi kelompok dekat dengan Pasar Hewan Bekonang), penjualan daging (ada anggota yang menjadi jagal) dan mengolah hasil produksi ternak sapi antara lain pembuatan kripik paru, dendeng, kripik kulit yang dilakukan oleh Kelompok Wanita Tani Subur. Limbah kotoran ternak
dan
sisa
pakan
diolah menjadi
pupuk
kompos/organik dengan menggunakan EM4 atau Stardex menjadi bokasi dan fine compos. Mengolah air kencing menjadi pupuk berkualitas tinggi. Usaha pembuatan pupuk kompos mulai dirintis tanggal 1 Januari 2003, sedangkan fermentasi air kencing dilakukan pada tanggal 29 Januari 2003. Dengan adanya pengolahan pupuk kandang dan air kencing sangat mendukung usaha lain kelompok, yaitu berupa usahatani padi, hortikultura (seperti melon dan sayuran), rumpun tanaman empon-empon sebagai bahan baku jamu gendong. 2. Usaha pemasaran hasil, yang dikelola oleh seksi pemasaran kelompok tani ternak sapi potong Subur antara lain: (a) penjualan obat-obatan/vaksin dan sapronak melalui Kios Sapronak, (b) penjualan sapi berupa pedet, induk afkir dan bakalan, (c) penjualan sapi kereman, (d) penjualan konsentrat, (e)
90
penjualan pupuk organik dan (f) penjualan air kencing yang telah difermentasi. (d) aspek penunjang, dilakukan kegiatan berupa: Upaya penguatan modal kelompok melalui iuran anggota, keuntungan usaha kelompok, jasa pelayanan IB, jasa pelayanan kesehatan, fee penjualan ternak dan fee pembelian bahan baku. Melakukan kegiatan kemitraan dengan (1) PT Sempulur Desa Mranggen, Polokarto untuk pengadaan ba han baku non- lokal konsentrat (bungkil kepala sawit), dimana kelompok mendapat fee dari PT Sempulur sebesar Rp. 25,-/Kg setiap pengadaan bungkil kelapa sawit tersebut; (2) PT INI (suplayer peternakan) dan jagal lokal, setiap penjualan sapi kereman anggota kelompok memberikan jimpitan kepada kelompok sebesar Rp. 5.000,-/ekor sedangkan dari PT INI memberikan fee sebesar Rp. 10.000,per ekor ke kelompok, (3) PT TOA (Pabrik Pupuk Kompos) Kecamatan Polokarto dalam hal pemasaran bahan baku dan pupuk kompos. Setiap penjualan pupuk kandang peternak memberikan jimpitan ke kas kelompok sebesar Rp. 5,-/Kg, demikian pula setiap pembelian pupuk kandang PT TOA memberikan fee ke kelompok sebesar Rp. 5,-/Kg; (4) CV Lembah Hijau Multi Farm Kecamatan Mojolaban Kabupaten Sukoharjo dalam hal pengadaan Starbio, Stardex maupun penjualan pupuk kompos. Setiap pembelian produk dari CV Lembah Hijau Multi Farm, maka kelompok mendapatkan fee sebesar 10 persen. Saham kelompok tani ternak Subur di PT Sempulur pada tanggal 1 Januari 1999 sebesar 50 juta rupiah.
Karakteristik Peternak Sapi Potong Hasil analisis peubah-peubah yang dipergunakan untuk menggambarkan secara ringkas karakteristik personal peternak sapi potong disajikan dalam Tabel 11.
Sesuai dengan hipotesis sebelumnya, ada tiga peubah karakteristik yang
dianalisis derajat hubungan dengan peran-peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong, yakni tingkat pend idikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa.
91
Tabel 11. Sebaran responden berdasarkan karakteristik personal di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) Jenis Peubah Umur
Kategori
< 31 tahun 31-40 t ahun 41-50 t ahun 51-60 t ahun > 60 tahun Pendidikan T ak sekolah/ Formal tak lulus SD SD SMP/SMA Banyaknya Tidak pernah Kursus yg Sedikit (1 -2) Diikuti Banyak(> 3) Pemilikan Tidak punya Media Punya 1 Massa Punya 2 Punya > 3 Status Rp < 55 juta Ekonomi Rp 55-110 juta Rp>110 juta n
Kelompok Kurang maju Kelompok Maju Cisitu Surade Total Gedang Polo- Total sari karto 9,38 10,00 9,68 10,00 3,03 6,34 25,00 20,00 22,58 30,00 33,34 31,75 21,88 26,67 24,19 16,67 30,30 23,81 28,12 20,00 24,19 20,00 27,27 23,81 15,62 23,33 19,36 23,33 6,06 14,29 6,25 87,50 6,25 12,50 84,38 3,12 15,63 15,63 62,50 6,24 90,63 9,37 0,00 32
40,00 46,67 13,33 73,34 23,33 3,33 23,33 20,00 50,00 6,67 66,67 23,33 10,00 30
22,58 67,74 9,68 41,94 54,84 3,22 19,36 17,74 56,45 6,45 79,03 16,13 4,84 62
0,00 43,33 56,67 23,33 53,33 23,34 0,00 6,67 83,33 10,00 26,67 26,67 46,66 30
33,33 51,52 15,15 0,00 96,97 3,03 0,00 3,03 87,88 9,09 48,48 30,30 21,22 33
17,46 47,62 34,92 11,11 76,19 12,70 0,00 4,76 85,71 9,53 38,10 28,57 33,33 63
Gabun gan 8,00 27,20 24,00 24,00 16,80 20,00 57,60 22,40 26,40 65,60 8,00 9,60 11,20 71,20 8,00 58,40 22,40 19,20 125
Rataan umur responden peternak sapi potong adalah 47,43 tahun dengan kisaran antara 20-77 tahun. Proporsi terbesar dari para peternak sapi potong di kelompok maju ternyata umurnya antara 31-40 tahun atau relatif muda dan energik, sedang di kelompok kurang maju berada pada kisaran umur 41-50 tahun dan 50-60 tahun (muda sampai menjelang tua). Bahkan Tabel 11 mengungkapkan bahwa proporsi yang berumur di atas 60 tahun lebih besar pada pe ternak kelompok kurang maju (sekitar 19%) dibandingkan dengan di kelompok maju (hanya 14%). Secara keseluruhan, peternak sapi potong ini dominan berumur antara 31-40 tahun (27%), menyusul masing-masing sekitar 24 persen berumur 41-50 tahun dan 51-60 tahun. Ini berarti umur peternak tergolong masih muda dan masuk kategori usia produktif untuk melakukan aktivitas usahaternak sapi potong yang penuh dinamika, menuntut kerja keras dan keberanian mengambil resiko. Peternak sapi potong yang dilibatkan dalam pene litian ini sebagian besar (hampir 58%) berpendidikan Sekolah Dasar (SD/sederajat). Kecenderungan yang sama juga tampak pada peternak dari status kelompok kurang maju dan maju
92
(Tabel 11), hanya saja untuk peternak dari status kelompok kurang maju proporsi kedua terbesar (hampir 23%) adalah berpendidikan tidak tamat SD atau tidak pernah sekolah, baru kemudian berpendidik an formal sekolah lanjutan (hampir 10%). Sedangkan peternak dari kelompok maju proporsi kedua terbesar (hampir 35%) berpendidikan sekolah lanjutan (SMP/SMA). Bahkan di kelompok peternak “Sedyo Rukun” Desa Gedangsar i tak satupun anggota kelompok yang tidak bersekolah/tidak tamat SD, sebagian besar (hampir 57%) peternak di kelompok status maju ini berpendidikan sekolah lanjutan.
Jadi, terlihat bahwa tingkat
pendidikan formal peternak sapi potong pada kelompok maju relatif lebih tinggi dibandingkan dengan peternak sapi potong kelompok kurang maju.
Kedepan
memang dituntut peternak yang masih muda dan dengan tingkat pendidikan menengah bahkan sarjana, sehingga dapat lebih mudah mengadopsi inovasi serta mengimplementasikan teknologi dan bisnis peternakan sapi potong. Menghadapi tantangan globalisasi (pasar bebas) beberapa tahun mendatang, tentulah dituntut peternak-peternak yang mampu bersaing dan disandingkan dengan peternakpeternak bangsa asing. Untuk itu, dibutuhkan peternak yang memiliki jiwa dan sikap entrepreneurship atau wawasan bisnis yang optimal, memiliki daya juang yang tinggi, dinamis, inovatif, kreatif, tekun dan ulet. Pendidikan non-formal yang dimiliki para anggota kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini adalah berupa kegiatan yang dilakukan peternak untuk menambah wawasan dan pengalaman di luar pendidikan formal. Pada Tabel 11 diungkapkan bahwa sebagian besar (hampir 66 persen) responden
telah
mengikuti
kursus
atau
pelatihan-pelatihan
di
bidang
pertanian/peternakan maupun di luar pertanian seperti kewirausahaan dan koperasi sebanyak satu atau dua kali. Peternak kelompok maju cenderung mengikuti kursus/pe latihan maupun penyuluhan lebih banyak daripada peternakpeternak kelompok kurang maju. Malahan tidak ada satupun peternak maju kelompok tani ternak Subur di Desa Mranggen Kecamatan Polokarto yang tidak pernah ikut kursus penyuluhan. Hampir 97 persen responden anggota kelompok tani ternak Subur tersebut telah mengikuti satu sampai dua kali pelatihan dan kursus-kursus.
93
Bila diamati lebih mendalam, ternyata antara peternak kelompok maju dan kurang maju tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam banyaknya kursus yang telah diikuti selama ini. Peternak sapi potong di kedua kelompok tersebut umumnya menyatakan bahwa pernah mengikuti kursus atau pelatihan, yakni peternak kelompok kurang maju sekitar 58% dan peternak maju 89 persen. Adapun macam kursus yang cenderung dominan diikuti oleh peternak kelompok kurang maju adalah tanaman pangan (hampir 39 persen), menyusul budidaya ternak sapi (sekitar 37 persen) , SLPHT (hampir 22 persen) serta masingmasing sekitar tiga persen ikut kursus koperasi dan pelatihan pakan. Sedangkan peternak kelompok maju hampir seluruhnya (97%) sudah ikut kursus budidaya ternak sapi potong, bahkan ada yang sampai dua atau tiga kali ikut kursus lainnya. Kursus dominan berikutnya yang diikuti peternak maju seperti tersaji pada Gambar 5 ialah SLPHT (32 persen), menyusul kursus lain-lain (30 persen) seperti kursus alsintan, kehutanan dan lingkungan hidup, kelompok dan KSM, mitra cai serta beternak domba. Lalu, kursus koperasi (21 persen), membuat atau menyusun ransum pakan komplit (hampir 16%) dan kursus tanaman pangan (hampir 13%).
120,0 96,2
80,0 60,0 40,0 20,0
66,4
Maju
39,5 32,3 32,231,2 30,1 29,3 21,8 21,5 15,8 15,2 12,7 9,7 8,2 3,2 3,2 0,0
Kurang Maju Gabungan
La inlai n
Pa ka n
T.P an ga n Ko pe ra si
SL PH T
0,0 Bd dy Te rna k
Persentase
100,0
Macam kursus yang diikuti
Gambar 5. Diagram kolom macam kursus yang pernah diikuti
94
Secara Gabungan dapat dilihat pada Gambar 5, bahwa macam kursus yang dominan (sekitar 66%) diikuti responden ialah kursus budidaya beternak sapi potong termasuk yang berkaitan dengan perbibitan, produksi dan reproduksi/IB hingga pembuatan kompos, menyusul SLPHT/Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (sekitar 31 persen), pelatihan tanaman pangan (sekitar 29%), perkoperasian (hampir 10%), pakan (sekitar delapan persen) termasuk membuat silase, amoniasi jerami dan konsentrat. Ada sekitar 15 persen ikut penyuluhan lain-lain. Sama seperti peubah “banyaknya kursus yang diikuti oleh peternak,” pada peubah kepemilikan media massa pun terlibat bahwa baik peternak kurang maju maupun maju sama -sama dominan sudah memiliki media massa. Pada kelompok kurang maju hampir 80 persen peter nak yang punya media massa di rumahnya dan pada peternak maju seluruhnya pada memiliki media massa. Berarti, tidak terdapat perbedaan kepemilikan media massa di antara peternak kelompok kurang maju dan maju. Distribusi anggota kelompok peternak menurut pemilikan media massa (radio, televisi, telepon/Hp, berlangganan koran dan majalah) disajikan pada Tabel 11. Pada kelompok kurang maju baik Cisitu maupun kelompok Surade, kelompok maju Gedangsari dan Polokarto, keempat-empatnya memiliki proporsi terbesar kepemilikan media massa berada pada anggota kelompok yang mempunyai dua macam media massa. Artinya kepemilikan tersebut masih dalam kategori umum yang terjadi di masyarakat, yakni hanya memiliki radio atau tele visi saja, atau punya keduanya. Secara gabungan, terdapat sekitar 71 persen peternak yang masuk kategori memiliki dua macam media massa, 11 persen yang memiliki satu macam media massa (hanya radio atau tele visi saja) dan hanya delapan persen peternak yang memiliki tiga atau lebih media massa, yakni kombinasi radio, tele visi, Telepon/Hp, berlangganan suratkabar maupun majalah. Selebihnya, sekitar sembilan persen anggota kelompok peternak yang sama sekali tidak memiliki media massa di rumahnya. Meski demikian para peternak tersebut menyatakan, bahwa mereka tetap suka menonton tele visi atau mendengar radio
95
bersama di rumah sanak keluarga atau menumpang di tetangga.
Pada Tabel 11
lebih jauh terungkap, bahwa pada kelompok kurang maju terdapat sekitar 19 persen peternak yang tidak memiliki media massa dan yang terbesar (23%) adalah di Surade. Ini disebabkan lokasi kelompok Banjaran yang berada di dataran tinggi yang sulit mengakses siaran et levisi. Siaran televisi yang bisa ditangkap di Surade hanya tiga, yakni RCTI, SCTV dan Indosiar dan itupun memerlukan bantuan antena parabola, karena stasiun relay televisi hanya ada di Cibungur yang jaraknya hampir tujuh km dari lokasi ke lompok. Siaran dari stasiun lain, termasuk TVRI kurang jelas tertangkap. Macam media massa yang dimiliki para peternak kelompok sapi potong dapat dilihat pada Gambar 6 berikut ini.
100
95,2
90 80
87,2 78 74,676
78
Persentase
70 60 50
K.Maju Maju
40
Gabungan
30 20 10
7,9 5,6
8 7,9 8
2
7,9
5,6
2
2
6,3 4,8
0 Radio
Televisi
Telepon HP Macam Media Massa
Koran
Majalah
Gambar 6. Diagram kolom kepemilikan media massa Diagram kolom (columns diagram) pada Gambar 6 menunjukkan bahwa macam media massa yang hampir dimiliki semua peternak adalah televisi (sekitar 87%) dan radio (76%), sedangkan media massa lainnya sedikit sekali responden yang memiliki, seperti handphone (delapan persen), telepon rumah dan suratkabar (masing- masing mendekati enam persen) dan berlangganan majalah (hampir lima persen). Perbedaan yang jelas terlihat antara kelompok maju dan kurang maju dalam kepemilikan media massa adalah peternak di kelompok maju lebih banyak
96
yang mempunyai pesawat televisi, telepon, berlangganan suratkabar dan majalah, sedangkan kepemilikan pesawat radio lebih sedikit dibandingkan dengan peternak-peternak di kelompok kurang maju Kelas ekonomi anggota kelompok peternak sapi potong diukur berdasarkan tingkat kekayaan yang dimiliki keluarga peternak tersebut yang dilihat dari nilai asset benda-benda materiil dan pskologis yang seringkali sangat berpengaruh pada penguasaan ekonomi (Rossides, 1978), baik berupa tanah (sawah, kebon dan sebagainya), rumah, ternak, alsintan, modal usaha, tabungan dan deposito, sarana komunikasi dan telekomunikasi, sarana transportasi dan perabotan rumah tangga. Dari data kumulatif tentang tingkat keka yaan ini, lebih lanjut dapat dibuat kelas atau kategori, yang menurut Warner da n Lunt (1941) sebagai upaya membuat peringkat (hierarchy class) dengan komposisi mulai dari upper-upper class sampai ke lower-lower class. Dengan menggunakan statistik “the box plot” upaya menentukan peringkat dapat dilakukan, termasuk mengkategorikan peubah kelas ekonomi bagi peternak anggota kelompok ternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini.
700000000 600000000
16
500000000
X2. Status/kelas ekonomi
400000000
53 59
300000000
33 121
47
200000000 100000000
8 1 67
88
0 -1 0 0 0 0 0 0 0 0 N =
30
33
32
30
G e d a n g Sari
Polokarto
Cisitu
Surade
DKelompok esa
Amatan
Gambar 7. Diagram kotak garis kelas ekonomi peternak per kelompok amatan
97
Hasil olahan boxplot seperti yang dis ajikan pada Gambar 7 terlihat bahwa terdapat empat responden yang memiliki nilai rasio status/kelas ekonomi yang sangat tinggi yakni responden nomor 16 di Gedangsari, nomor 53 dan 59 di Polokarto serta responden nomor 81 di Cisitu adalah data pencilan, se hingga tidak diikutkan dalam penghitungan rata-rata. Pertimbangan tidak diikutkannya data pencilan tersebut, karena nilai rataan sangat dipengaruhi oleh nilai ekstrem. Kelas ekonomi anggota kelompok peternak sapi potong seperti terlihat pada Tabel 11 menunjukkan, bahwa sebagian besar (sekitar 79%) peternak kelompok kurang maju tergolong rendah, yakni yang memiliki tingkat kekayaan kurang dari 55 juta rupiah, sekitar 16% tergolong peternak berstatus ekonomi kategori sedang dengan kisaran tingkat kekaya an 55 sampai 110 juta rupiah dan hanya lima persen peternak berstatus ekonomi yang tinggi di atas 110 juta rupiah. Bahkan tidak ada satupun anggota kelompok peternak Cisitu tergolong kelas ekonomi tinggi. Hal ini kontras sekali dengan anggota kelompok peternak maju yang sebagian besar merupakan para peternak berstatus ekonomi sedang sampai tinggi (hampir 62%) dan sekitar 38 persen sisanya ai lah peternak dengan kelas ekonomi rendah. Terdapat perbedaan kelas ekonomi peternak sapi potong di kelompok maju dan kurang maju, tentunya berimplikasi pada pelapisan masyarakat yang tentunya membawa prestise tersendiri atau gengsi bagi peternak tersebut. Secara gabungan terlihat, bahwa lebih dari separuh peternak sapi potong masuk kategori kelas ekonomi rendah, sekitar 22% kategori sedang dan sekitar 19% sisanya masuk kelas ekonomi tinggi. Bila dikaitkan dengan tingkat pendapatan para peternak tersebut yang diukur berdasarkan besar pengeluaran keluarga selama sebulan terakhir, ternyata klaster kelas ekonomi di atas tidak begitu berpengaruh dengan tingkat pendapatan. Dimana terlihat secara gabungan pada diagram palang bersusun Gambar 8 mendeskripsikan, bahwa peternak sapi potong yang berpendapatan kecil hanya mencapai 34 persen, malah yang terlihat dominan (sekitar 51%) adalah peternak dengan pendapatan sedang (berkisar antara Rp 750 ribu sampai Rp 1.500.000,-),
98
sedangkan yang berpendapatan besar di atas satu setengah juta rupiah sekitar 15 persen.
33,60
Gabungan
31,75
Maju
20,97
60,00
33,33
62,50
Cisitu
28,13
21,21
66,67
10%
20%
50,00
30%
<= Rp 750.000
Gambar 8.
9,38
12,12
43,33
Gedang Sari
0%
9,52
43,55
6,67
Polokarto
15,20
58,73
35,48
Kurang Maju
Surade
51,20
40%
50%
60%
Rp 750.001-1.500.000
70%
6,67
80%
90%
100%
> Rp 1.500.000
Diagram palang bersusun sebaran peternak berdasarkan tingkat pendapatan per bulan
Rata-rata pendapatan keluarga peternak sapi potong secara gabungan adalah satu juta rupiah sebulan. Rata-rata pendapatan anggota dari dua kelompok peternak maju berada pada kategori sedang, dengan rataan pengeluaran per bulan sebesar Rp. 894.500,- untuk Gedangsari dan Rp. 1.040.200,- untuk Polokarto. Pada kelompok kurang maju rataan pendapatannya sangat variatif. Rataan pengeluaran peternak kelompok Surade masuk kategori tinggi (Rp. 1.407.370,-). Sedangkan peternak kelompok Cisitu berada pada kategori rendah, sekitar Rp. 894.500,- per bulan. Walaupun demikian ada seorang responden kelompok Cisitu yang memiliki tingkat pendapatan yang sangat tinggi (hampir 2,5 juta rupiah per bulan), yakni responden nomor 81. Responden ini adalah pencilan dan tidak diikutkan dalam penghitungan rata-rata pada analisis boxplot tingkat pengeluaran per bulan, yang dapat dilihat pada Gambar 9 berikut.
99
3000000
81
2000000
67 75
H . Pengeluaran per Bulan
12
1000000
0 N =
30
33
32
30
G e d a n g Sari
Polokarto
Cisitu
Surade
Kelompok amatan Desa
Gambar 9.
Diagram kotak garis tingkat pengeluaran per bulan peternak per kelompok amatan
Perilaku Komunikasi Interpersonal dan Keterdedahan Media Massa Peternak Sapi Potong Perilaku Ko munikasi Interpersonal Hasil penelitian tentang pemanfaatan saluran komunikasi interpersonal informal (informal interpersonal channel) yang digunakan responden peternak sapi potong dalam berinteraksi dengan orang-orang di dalam dan di luar sistem sosialnya, disajikan sebagai perilaku komunikasi interpersonal responden tersebut dalam menerima, mencari, mengklarifikasi atau mendiskusikan dan menyebarkan informasi teknologi sapi potong selama sebulan terakhir semenjak pengumpulan data. Data tersebut disajikan pada Tabel 12. Perilaku menerima informasi, adalah perilaku pasif yang hanya menerima informasi sapi potong dari sesama anggota kelompok ternak, tetangga dan dari orang-orang yang bukan anggota kelompok, secara gabungan yang tersaji pada Tabel 12 menunjukkan bahwa umumnya (hampir 61 persen) berperilaku menerima informasi kategori sedang. Hanya sekitar 18 persen responden peternak yang menyatakan tinggi perilaku komunikasi menerima informasi, dan hampir 21 persen mengaku rendah perilaku komunikasi menerima informasi sapi potong.
100
Tabel 12. Sebaran responden berdasarkan perilaku komunikasi interpersonal di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) Jenis Peubah
Kelompok kurang maju Kelompok Maju Cisitu Surade Total Gedang Polo- Total sari karto
Perilaku menerima info: Rendah (0-1 kali/bulan) Sedang (2-3 kali/bulan) Tinggi (4-6 kali/bulan) Perilaku mencari Info: Rendah s ekali (tak pernah) Rendah (1-2 saluran kom) Sedang (3-4 saluran kom) Tinggi ( > 4 saluran kom) Perilaku klarifik./diskusi: Rendah s ekali (tak pernah) Rendah (1-2 kali/bulan) Sedang (3 kali/bulan) Tinggi (tiap minggu) Perilaku menyebar Info: Tidak menyebarkan Menyebarkan n
Gabungan
31,30 37,50 31,20
30,00 66,70 3,30
30,60 51,60 17,80
10,00 63,30 26,70
12,10 75,80 12,10
11,10 69,80 19,00
20,80 60,80 18,40
12,50 46,90 31,30 9,30
53,30 33,30 10,00 3,40
32,30 40,30 21,00 6,40
10,00 63,40 23,30 3,30
6,10 54,50 33,30 6,10
7,90 58,70 28,60 4,80
20,00 49,60 24,80 5,60
12,50 43,75 40,63 3,12
30,00 53,33 6,67 10,00
20,97 48,39 24,19 6,45
6,67 11,00 83,33 0,00
15,15 39,39 45,45 0,00
11,11 25,40 63,49 0,00
16,00 36,80 44,00 3,20
6,25 93,75 32
23,33 76,67 30
14,52 85,48 62
20,00 80,00 30
45,45 54,55 33
33,33 66,67 63
24,00 76,00 125
Amatan umum menunjukkan, antara peternak kelompok kurang maju dan maju ter lihat tidak berbeda perilaku komunikasi menerima informasi, keduanya dominan berperilaku sedang-sedang saja dalam menerima informasi sapi potong. Walaupun demikian secara parsial Tabel 12 menunjukkan, bahwa peternak kelompok kurang maju yang tergolong rendah perilaku menerima informasi teknologi sapi potong hampir sepertiganya , yakni sekitar 31 persen, kategori sedang sekitar 51 persen sedangkan yang tinggi hanya 18 persen. Berbeda dengan anggota kelompok peternak maju, ternyata tendensi berperilaku menerima informasi kategori rendah lebih kecil (11%) dibandingkan dengan kategori tinggi, yakni sekitar 19 persen dan hampir 70 persen lainnya ialah peternak dengan perila ku menerima informasi teknologi sapi potong kategori sedang. Adanya perbedaan perilaku menerima informasi teknologi sapi potong di kelompok maju dan kurang maju, di antaranya tentulah karena tingginya intervensi penyuluh, pengurus kelompok dan agen-agen pembangunan lainnya, termasuk terpaan media massa di kelompok maju.
101
Aspek lain yang bisa ditangkap dari perilaku pasif menerima informasi ini, dimana perilaku menerima informasi anggota kelompok peternak maju yang lebih dominan berperilaku menerima informasi kategori sedang dan tinggi, ternyata di kelompok kurang maju para peternak sapi potong cenderung menerima informasi itu dari dalam kelompok yakni dari sesama anggota kelompok (100%) dan dari tetangga (hampir 52%). Sedangkan anggota peternak sapi potong kelompok maju bertendensi menerima informasi itu dari luar kelompok, seperti dari sesama rekan peternak se desa/luar desa, penyuluh (PPL), rekan petani/ peternak berpengalaman di desa (KTNA), pedagang atau kepala cabang dinas (KCD) peternakan. Data tentang saluran komunikasi yang menerpa perilaku menerima informasi para anggota kelompok peternak sapi potong tersebut tersaji pada Tabel 13 berikut ini.
Tabel 13. Sebaran responden berdasarkan macam saluran komunikasi interpersonal yang menerpa peternak kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) Macam Saluran Komunikasi Interpersonal Dengan anggota kelompok Dengan tetangga Dengan bukan anggota kel. n
Perilaku
Kelompok kurang maju Kelompok Maju Cisitu Surade Total Gedang PoloTotal sari karto 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 40,60 63,30 51,60 46,70 30,30 39,20 59,40 36,70 48,40 53,30 69,70 60,80 32 30 62 30 33 63
mencari
informasi,
adalah
perilaku
aktif
Gabungan 100,00 50,60 46,40 125
responden
berkomunikasi interpersonal dalam mencari informasi teknologi sapi potong yang diukur berdasarkan frekuensi kontak atau komunikasi tatap muka responden peternak dengan pembina, penyuluh (PPL, KCD atau mantri hewan) , pejabat dinas peternakan dan pejabat terkait lainnya, atau sesama peternak, maupun dengan kontak tani di luar pertemuan kelompok atau kursus/pelatihan selama sebulan terakhir saat penelitian ini dilaksanakan, umumnya rendah. Bahkan lebih dari separuh, yakni sekitar 53 persen peternak sapi potong kelompok Surade berperilaku aktif mencari informasi kategori rendah sekali (tersaji pada Tabel 12). Secara gabungan Tabel 12 menunjukkan, bahwa sekitar 20 persen responden anggota kelompok ternak memiliki perilaku komunikasi aktif mencari informasi sapi potong yang rendah sekali, hampir separuh responden menyatakan
102
perilaku komunikasi mereka mencari informasi masih rendah, hampir 25 persen mengaku sedang, dan hanya sekitar enam persen mengaku tinggi perilaku komunikasi mencari informasi berkenaan usahaternak sapi potong yang digeluti. Amatan keseluruhan terlihat, bahwa sama aktif perilaku mencari informasi sapi potong antara peternak kelompok kurang maju dan maju, yang keduanya dominan pada kategori sedang. Perilaku klarifikasi atau mendiskusikan informas i penyuluhan sapi potong yang diterima para peternak yang dilibatkan dalam penelitian ini tersaji pada Tabel 12. Menurut Tabel 12 secara gabungan responden anggota kelompok peternak sapi potong ini umumnya memiliki perilaku klarifikasi kategori cukup tinggi, sekitar 47 persen.
Sekitar hampir 37 persen
menyebutkan perilaku
komunikasi klarifikasi kategori rendah, yakni hanya 1-2 kali selama satu bulan mendiskusikan atau mengklarifikasi informasi yang mereka peroleh. Bahkan, sekitar 16 persen responden mengaku tidak pernah melakukan klarifikasi atas informasi yang mereka terima. Lebih jauh Tabel 12 pun menunjukkan, bahwa responden peternak kelompok kurang maju cenderung lebih banyak (hampir 21 persen) yang tidak melakukan perilaku komunikasi klarifikasi akan informasi teknologi sapi potong yang mereka peroleh, dibandingkan dengan anggota peternak kelompok maju, yang hanya sekitar 11 persen. Tersurat ada perbedaan perilaku klarifikasi, dimana dominasi anggota peternak kelompok maju cenderung memiliki perilaku komunikasi klarifikasi cukup tinggi (sekitar 63 persen), sedangkan pada kelompok kurang maju berperilaku komunikasi klarifikasi rendah yakni sekitar 48 persen. Perilaku menyebarkan informasi para peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini, menurut Tabel 12 menyebutkan bahwa sebagian besar (sekitar 76 persen) responden menyebarkan kembali informasi penyuluhan sapi potong yang mereka terima dan hanya 24 persen mengaku tidak pernah. Bila diperhatikan lebih lanjut, jelas terlihat bahwa baik peternak dari status kelompok kurang maju maupun peternak dari status kelompok maju, keduanya dominan menyebarkan informasi yang dimiliki kepada teman, handai taulan maupun tetangga .
103
Keterdedahan Media Massa Keterdedahan responden pada media massa (mass media exposure ) yang dikaji mencakup keterdedahan sebagian responden pada siaran radio, sebagian pada televisi saja atau pada suratkabar saja, dan sebagian yang lain lagi terdedah pada radio dan tele visi, atau kombinasi yang lainnya. Jika data pada Tabel 11 diperhatikan kembali yakni pada peubah kepemilikan media massa,
dapat diterka bahwa sekitar 71 persen responden
penelitian ini memiliki kedua macam media elektronik (radio dan tv) atau kombinasi dengan suratkabar. Hal ini memberi petunjuk bahwa responden peternak sapi potong tersebut terdedah pada kedua macam media elektronik itu. Akan tetapi, gambaran yang diberikan oleh data yang didapat tentang keterdedahan pada radio dan televisi maupun suratkabar, berbeda jauh dari gambaran tentang kepemilikan media massa. Gambaran ini dapat diikuti pada Tabel 14 berikut ini. Tabel 14. Sebaran responden berdasarkan kete rdedahan media massa di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) Jenis Peubah
Kelompok kurang maju Kelompok Maju Cisitu Surade Total Gedang Polo- Total sari karto Tidak dengar 21,87 26,67 24,19 16,67 45,45 31,75 Mendengar 78,13 73,33 75,81 83,33 54,55 68,25 Kategori
Perilaku mendengar radio Perilaku menonton T elevis i Perilaku baca koran n
Gabungan 28,00 72,00
T idak nonton Menonton
12,50 87,50
13,33 86,67
12,90 0,00 87,10 100,00
3,03 96,97
1,59 98,41
7,20 92,80
Tidak baca Membaca
90,63 9,38 32
87,88 12,12 30
88,71 11,29 62
86,67 13,33 33
68,84 31,16 63
78,20 21,80 125
50,00 50,00 30
Keterdedahan pada siaran radio, ialah perilaku komunikasi anggota kelompok peternak sapi potong dalam mendengarkan siaran radio, yang diukur berdasarkan perilaku mendengarkan atau tidak siaran radio dalam seminggu terakhir saat penelitian dilakukan. Secara gabungan Tabel 14 menyebutkan, bahwa lebih dari seperempat (sekitar 28 persen) anggota kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan dalam pe nelitian ini mengaku tidak pernah mendengarkan radio dan 72 persen mengaku terdedah pada radio.
104
Pada kelompok ternak kurang maju, umumnya (hampir 76 persen) anggota kelompok peternak tersebut mengaku berperilaku mendengarkan radio , selebihnya sekitar 24 persen mengaku tidak pernah mendengarkan radio. Pengakuan sama oleh peternak pada kelompok maju (Tabel 14) pun menyebutkan bahwa hampir 32 persen menyatakan tidak pernah mendengarkan radio dan sekitar 68 persen terdedah radio. Berarti antara peternak kelompok kurang maju dan maju, samasama dominan mendengarkan radio . Apabila dibandingkan lebih jauh, ternyata peternak pada kelompok kurang maju berperila ku mendengarkan siaran radio lebih besar dibandingkan dengan peternak anggota kelompok maju. Fenomena ini perlu disikapi secara positif. Bahkan data frekuensi mendengarkan radio merekam, bahwa sembilan
persen
peternak
anggota
kelompok
maju
yang
hanya
menyatakan
mendengarkan siaran radio setiap hari. Sedangkan peternak di kelompok kurang maju yang mengaku setiap hari mendengarkan radio jauh lebih banyak, yakni sekitar 23 persen. Secara umum, tendensi frekuensi mendengarkan siaran radio di kalangan responden peternak sapi potong ini adalah 1-3 kali seminggu. Penelitian ini pun, sedikitnya mengungkapkan bahwa di tengah maraknya kehadiran belasan televisi swasta maupun televisi lokal karena adanya otonomi daerah, radio masih tetap relevan bagi banyak orang desa. Penyebab fenomena ini tentulah di antaranya karena harga sebuah pesawat radio relatif lebih murah dan terjangkau oleh daya beli masyarakat, tidak terlalu memerlukan arus listrik karena cukup dengan menggunakan baterei yang mudah didapat di desa, jam siaran yang tersedia sepanjang hari dan karena kespesifikan dan kefleksibelan program radio. Hanya yang perlu ditingkatkan adalah peran media elektronik ini dalam menyebarkan informasi peternakan, yang sampai dengan penelitian ini dilaksanakan masih sedikit sekali informasi penyuluhan peternakan maupun pertanian diudarakan.
Seperti pernyataan peternak kelompok maju, yang
menyatakan sedikit sekali informasi peternakan terdengar di radio, yakni sekitar hampir 15 persen responden saja (Tabel 16) sedangkan peternak kelompok kurang maju hanya empat persen.
105
Informasi lain ialah tentang tempat mendengarkan radio, dima na secara gabungan menyatakan, bahwa secara umum (hampir 86%) responden mengaku mendengar siaran radio di rumah sendiri, 11 persen mengaku bersama -sama di rumah tetangga dan tiga persen menjawab lain-lain, yakni di rumah teman atau bersama orang lain di warung. Mengenai kapan waktu responden mendengarkan radio memiliki kegunaan tertentu bagi peneliti dan manajer program siaran. Mereka berkepentingan pada hal tersebut, terutama untuk menentukan kapan saat yang te pat untuk menyiarkan informasi tertentu agar diterima khalayak yang hendak dicapai. Hasil penelitian tentang kapan responden mendengarkan siaran radio dapat dilihat pada Tabel 15. Menurut Tabel 15, secara gabungan dari 90 orang anggota kelompok peternak sapi potong yang memberikan respons pada butir ini, sekitar 47 persen menyatakan bahwa mereka mendengarkan radio pada malam hari, 29 persen mendengar radio pagi hari, hampir 15 persen mendengar radio sore hari dan selebihnya hampir sembilan persen mengaku hanya mendengarkan radio pada siang hari. Bila dikaitkan dengan pengakuan responden akan pilihan waktu yang lain (pilihan kedua) setelah pilihan di atas, ternyata kombinasi yang muncul adalah pagi dan malam, pagi dan sore, lalu kombinasi pagi, siang dan malam hari.
Tabel 15. Sebaran responden berdasarkan waktu mendengarkan radio di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) Waktu Mendengar Siaran Radio Pagi Siang Sore Malam
n
Kelompok maju Surade Total Gedang Polo- Total Gabungan sari karto 31,82 31,91 29,17 22,22 26,19 29,21 4,55 6,38 20,83 0,00 11,90 8,99 13,64 8,51 13,33 5,56 21,43 14,61 49,99 53,20 36,67 75,22 40,48 47,19 22 47 25 18 43 90
K elompok k urang maju Cisitu 32,00 8,00 4,00 56,00 25
Adanya informasi tentang preferensi atau kesukaan responden pada program siaran radio tertentu merupakan suatu fenomena yang selalu menarik. Informasi tentang ini memungkinkan peneliti atau manajer program siaran mempertahankan program-program yang populer dan memperbaiki program yang
106
tingkat ratingnya masih rendah. Hasil penelitian tentang preferensi responden pada program siaran radio dapat diikuti pada Tabel 16 berikut ini.
Tabel 16. Sebaran responden berdasarkan preferensi program radio yang didengar di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) Preferensi Program Radio yang Didengar Berita Ceramah/Klh Subuh Hiburan/Kesenian Siaran Perdesaan
n
Kelompok k urang maju Cisitu 56,00 12,00 28,00 4,00 25
Surade 13,64 4,55 81,81 0,00 22
Kelompok Maju
Total Gedang sari 36,17 40,00 8,51 4,00 51,47 32,00 3,85 24,00 47 25
Polo- Total Gabungan karto 44,44 41,86 38,89 2,22 6,98 7,58 44,44 36,21 42,74 0,00 14,95 10,79 18 43 90
Tabel 16 menunjukkan bahwa dari 90 orang responden yang memberikan pendapat tentang program radio yang mereka sukai, umumnya (42,7%) menyukai hiburan atau kesenian dan menyusul berita (hampir 39%), hampir 11 persen menyukai siaran perdesaan serta tujuh persen menyukai ceramah/kuliah subuh. Acara siaran yang termasuk program berita di sini antara la in ialah berita nasional, manca negara, be rita daerah, aneka berita, desaku maju, desa membangun, dialog dan pengumuman. Sedangkan program hiburan atau kesenian yang dikenal responden antara lain mencakup wayang, sandiwara, musik, dongeng, musik melayu, musik nasyid (irama padang pasir), ludruk, ketoprak, seni tra disional, keroncong, wayang kulit, kasidah, lagu sunda, langgam jawa, olah raga dan lain sebagainya. Jika kedua kelompok ternak (maju dan kurang maju) dibandingkan, maka tampak adanya perbedaan preferensi dalam mendengarkan siaran radio antara peternak anggota kelompok maju dan kurang maju. Pada Tabel 16 menunjukkan bahwa peternak sapi potong kelompok maju, secara berurutan memiliki kecenderungan lebih menyukai berita (hampir 42% ), hiburan atau kesenian (36%), siaran perdesaan (hampir 15% ) dan yang terenda h adalah ceramah/kuliah subuh (tujuh persen). Sedangkan peternak kurang maju, tendensinya lebih menyukai sajian acara-acara hiburan/kesenian (51%), berikutnya berita (36% ), lalu ceramah/ kuliah subuh (sembilan persen), terendah siaran pe rdesaan (hampir empa t persen).
107
Keterdedahan pada tayangan televisi, adalah aktivitas peternak sapi potong menonton tayangan televisi dalam berbagai acara yang diukur berdasarkan frekuensi aktivitas menonton atau tidak menonton tayangan televisi dalam seminggu terakhir saat penelitian dilakukan. Secara gabungan Tabel 14 menunjukkan bahwa dari 125 orang responden penelitian ini, sekitar tujuh persen mengaku tidak pernah menonton televisi dan hampir 93 persen mengaku terdedah atau pernah menonton televisi. Pada kelompok ternak kurang maju, umumnya (sekitar 87 persen) anggota kelompok peternak tersebut mengaku berperilaku menonton televisi dan 13 persen mengaku tidak pernah menonton televisi. Sedangkan pada kelompok maju hampir seluruh (98 persen) peternak sapi potong mengaku menonton televisi. Berarti peternak sapi potong di kelompok kurang maju dan maju juga sama-sama dominan menonton televisi. Jika data tentang kepemilikan televisi yang ada pada diagram kolom kepemilikan media massa (Gambar 6) dibandingkan dengan data keterdedahan responden pada televisi seperti diungkap oleh Tabel 14, maka akan terlihat bahwa responden yang terdedah pada televisi jauh lebih banyak dari pada responden yang memiliki televisi. Hal ini terjadi karena responden tak punya tv ikut nonton di rumah teman/ kenalan dan tetangganya yang punya tv, menonton bersama-sama warga lainnya di pos ronda atau di saung pertemuan seperti kasus Polokarto, yang menempatkan tele visi hadiah dari Presiden Republik Indonesia sebagai juara nasional lomba Sapi potong tahun 2003 di balai pertemuan kelompok dekat kandang kolektif. Gambaran tentang waktu responden menonton televisi dapat dilihat pada Gambar 10. Menurut diagram kolom tersebut dari 116 orang peternak anggota kelompok sapi potong yang memberikan respons pada butir ini, urutan kebiasaan mereka menonton televisi yang paling sering ialah pada malam hari (sekitar 98 persen), menyusul sore hari (19 persen), pagi hari (14 persen) dan kebiasaan menonton televisi siang hari (10 persen). Dikaitkan dengan keterdedahan radio, nampaknya secara tidak langsung menunjukkan adanya sifat komplementer pada waktu memanfaatkan kedua media tersebut di daerah perdesaan.
108
Gambar 10. Diagram kolom kebiasaan menonton televisi Maksud komplementer di sini ialah bahwa responden mungkin mendengar radio ketika televisinya atau televisi tetangga sedang tidak operasional karena deposit arus listrik atau baterei yang dipakai habis, atau ketika pemilik televisi tak menghidupkan pesawat televisinya. Bisa juga mereka mendengar radio setelah siaran televisi berakhir. Keterdedahan ganda responden pada televisi dan radio itu menurut Jahi et al. (1986) terjadi karena perbedaan waktu siaran. Responden akan kembali mendengar radio ketika tidak ada siaran televisi atau ketika selesai menonton televisi. Stasiun televisi yang paling sering ditonton, menurut 116 orang responden yang terdedah siaran televisi tersaji pada Gambar 11 di bawah ini.
90,00 RCTI
80,00
Indosiar 70,00
SCTV
60,00
TPI
50,00
Lativi TVRI Pusat
40,00
TV7
30,00
TVRI Yogyakarta
20,00
TVRI Jabar dan Banten ANteve
10,00
Metro TV
0,00 Persentase Stasiun tv yang sering ditonton
Gambar 11. Diagram kolom stasiun televisi yang paling sering ditonton peternak Ada pun jenis acara yang sering ditonton, berdasarkan pendapat 116 orang peternak anggota kelompok ternak sapi potong yang terdedah siaran televisi di antaranya adalah: siaran berita (84 persen), olahraga (50 persen), film/sinetron
109
(hampir 47 persen), kesenian tradisional (28 persen), musik (pop/dangdut) sekitar 22 persen, kuis (hampir 19 persen), komedi/lawak (hampir 14 persen), keagamaan atau siraman rohani (11 persen), penyuluhan/pendidikan termasuk siaran perdesaan masuk peringkat kesembilan (hanya enam persen), sama dengan kesukaan akan acara dialog/wawancara (enam persen) dan kategori jenis acara lain nya ialah peringkat terakhir disukai (tiga persen) seperti tayangan mistik, flora dan fauna. Keseratus enambelas orang responden yang terdedah televisi tersebut umumnya menyatakan bahwa informasi tentang be rusahaternak sapi potong masih sedikit sekali.
Hal ini diperkuat oleh pengakuan enam persen (tujuh orang)
responden yang menyatakan terdedah informasi penyuluhan/pendidikan dan siaran perdesaan, bahwa yang menyatakan pernah menonton penyuluhan sapi potong di televisi hanya empat orang atau sekitar 57 persen. Selebihnya, hampir 43 persen mengaku tidak pernah menonton siaran perdesaan tentang penyuluhan sapi potong. Pada peternak kelompok maju, yang menyatakan sedikit sekali menyaksikan informasi peternakan di televisi sekitar hampir sembilan persen responden saja, sedangkan peternak kelompok kurang maju hanya tiga persen. Menyikapi fenomena ini, dengan tingkat keterdedahan terhadap siaran televisi yang belum begitu baik walaupun ada peningkatan di kalangan peternak, diharapkan perencana dan manajer program siaran televisi perlu mengadakan penyebaran informasi-informasi praktis yang berkaitkan dengan bisnis sapi potong maupun informasi penyuluhan pertanian secara umum. P erlu diagendakan atau menyediakan slot waktu khusus untuk acara tersebut, sehingga slogan beberapa stasiun televisi yang berorientasi “turut mencerdaskan bangsa” dalam hal ini peternak dapat terimplementasikan. Keterdedahan pada suratkabar, adalah perilaku komunikasi anggota kelompok peternak sapi potong dalam membaca berbagai media suratkabar (lokal) baik tentang masalah peternakan sapi potong maupun masalah umum, yang diukur berdasarkan perilaku membaca atau tidak media cetak tersebut dalam satu minggu terakhir saat penelitian dilakukan. Secara ga bungan Tabel 14 menyebutkan, bahwa hampir 22 persen anggota kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan
110
dalam penelitian ini mengaku membaca suratkabar dan sekitar 78 persen mengaku tidak pernah membaca suratkabar. Pada kelompok ternak kurang maju, umumnya (hampir 89 persen) anggota kelompok peternak tersebut mengaku berperilaku tidak membaca suratkabar, selebihnya sekitar 11 persen mengaku membaca. Pengakuan sama oleh peternak pada kelompok maju (Tabel 14) pun menyebutkan bahwa sekitar 31 persen menyatakan membaca suratkabar dan hampir 69 persen tidak terdedah suratkabar. Walaupun sama-sama dominan berperilaku tak pernah membaca suratkabar, ternyata peternak anggota kelompok kurang maju berperilaku membaca suratkabar lebih rendah dibandingkan dengan peternak anggota kelompok maju. Bahkan data frekuensi mem baca suratkabar yang terekam dari penelitian ini menunjukkan, dari 26 orang responden yang terdedah suratkabar sepe rti tersaji pada Tabel 17, sekitar 14 persen peternak kelompok kurang maju menyatakan membaca suratkabar setiap hari. Sedangkan peternak di kelompok maju yang mengaku setiap hari membaca suratkabar jauh lebih banyak, yakni hampir 32 persen. Berarti sudah ada pergeseran perilaku komunikasi impersonal di kalangan kelompok maju, dalam hal ini perilaku keterdedahan media cetak suratkabar. Secara gabungan Tabel 17 juga menyebutkan, bahwa tendensi frekuensi membaca suratkabar di kalangan responden peternak anggota kelompok peternak sapi potong ini yang terlihat dominan adalah 3-6 kali perminggu (42 persen), kemudian hampir 27 persen responden yang mengaku tiap hari, sekitar 15 persen responden mengaku hanya 1-2 kali per minggu dan 15 persen lainnya mengaku tidak terdedah suratkabar.
Tabel 17. Sebaran responden berdasarkan frekuensi membaca suratkabar di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) Frekuensi Membaca Suratkabar Tiap hari 3-6 kali /minggu 1-2 kali /minggu Tidak pernah
n
Kelompok kurang maju Kelompok maju Cisitu Surade Total Gedang Polo- Total Gabu ngan sari karto 0,00 25,00 14,29 40,00 0,00 31,58 26,92 100,00 0,00 42,86 33,34 75,00 42,11 42,30 0,00 25,00 14,29 13,33 25,00 15,79 15,38 0,00 50,00 28,56 13,33 0,00 10,52 15,38 3 4 7 15 4 19 26
111
Informasi tentang darimana suratkabar tersebut diperoleh, secara gabungan Gambar 12 menyatakan, bahwa secara umum (sekitar 42 persen) responden mengaku membelinya kalau kebetulan ke kota, hampir 27 persen mengaku memperolehnya dari sumber lain seperti meminjam dari tetangga atau diberi penyuluh, 23 persen mengaku ikut membaca di rumah teman dan hampir delapan persen ikut membaca di balai desa.
45,00
42,31
40,00 35,00
Persentase
30,00 25,00
26,92 23,09
20,00 15,00
7,69
10,00 5,00 0,00
Beli di kota Ikut baca di teman
Ikut baca Sumber lain di desa
Gambar 12. Diagram kolom darimana suratkabar diperoleh Umumnya (hampir 77 persen) suratkabar yang dibaca responden adalah koran lokal, seperti kedaulatan rakyat, meteor, pakuan, pikiran rakyat, solo pos, merapi, bernas, radar dan suara merdeka. Sekitar 23 persen sisanya mengkonsumsi suratkabar nasional seperti pikiran rakyat, kompas dan pos kota. Menurut pengakuan 26 orang peternak yang terdedah suratkabar, hampir 50 persen tertarik membaca berita Peristiwa dan Pembangunan termasuk berita daerah dan nasional, hampir 17 persen lebih senang membaca Politik, sekitar 13 persen baca Kriminal, masing-masing hampir delapan persen mengaku baca Ekonomi/Bisnis dan Olah Raga, dan hampir empat persen sisanya senang membaca Cerpen. Tidak satupun peternak yang terdedah berita sapi potong.
112
Peran-peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Penyuluhan Sapi Potong Peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong ditentukan berdasarkan matriks sosiogram struktur jaringan komunikasi interpersonal yang menggambarkan hubungan kom unikasi antar anggota tersebut. Dari sosiogram pada Gambar 13a sampai 13d terlihat bagaimana interaksi komunikasi yang terjadi antara anggota kelompok sapi potong dengan anggota lainnya, digambarkan dengan tanda panah yang menghubungkan setiap anggota kelompok. Pada sosiogram tersebut terlihat bagaimana intensitas dan arah komunikasi antar individu dalam hal penyuluhan sapi potong. Interaksi komunikasi yang dilakukan setiap anggota telah membentuk jaringan komunikasi dengan pola cenderung bersifat semi terbuka. Selain melakukan komunikasi penyuluhan sapi potong dengan sesama anggota di dalam jaringa n, mereka juga melakukan komunikasi dengan anggota masyarakat lain di luar jaringannya. Hal ini dapat dilihat dari adanya tanda panah yang mengarah ke anggota masyarakat di luar jaringan. Selain itu, di keempat gambar sosiogram tersebut tidak didapat anggota kelompok yang isolate atau masuk kategori pencilan. Sehingga peran komunikasi individu anggota kelompok yang diamati dalam jaringan komunikasi di sini hanya peran star, mutual pairs dan neglectee. Berikut adalah pengertian dari istilahistilah tersebut antara lain: Star (Bintang) adalah individu yang merupakan pemusatan jalur komunikasi dari beberapa anggota jaringan dalam klik; Mutual Pairs (Pasangan) adalah peran komunikasi yang bersifat pilihan timbal balik (dyadic) dan hubungan mutual atau saling memilih sebagai tempat bertanya; dan Neglectee, yakni hanya berperan komunikasi pernah membicarakan, tetapi tidak pernah diajak bicara atau dijadikan tempat bertanya oleh anggota kelompok lain.
Peranan Individu dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong di C isitu Struktur jaringan komunikasi yang terjalin dalam kelompok peternak Cisitu membentuk suatu struktur jaringan komunikasi dalam satu sistem. Anggota-anggota kelompok peternak bertempat tinggal dalam satu desa, yaitu Desa Cisitu. Terbagi dalam dua kampung yaitu Gandasoli dan Lembur Sawah.
113
Jumlah node dalam sistem sebanyak 32 orang dan terdapat dua buah klik. Namun hubungan komunikasi antar masing-masing anggota klik terjalin baik. Terdapat star yang mampu menjembatani hubungan antar klik. Antara anggota terjalin proses pertukaran informasi berkaitan dengan informasi teknologi sapi potong, baik dalam pertemuan resmi maupun dalam proses tatap muka sehari-hari. Dua buah klik yang tampak dari sosiogram yang disajikan pada Gambar 13a adalah #1-#12 sebagai klik I dan #13-#32 merupakan klik II. Pola komunikasi yang terjalin dalam klik I terlihat lebih dimanis dibanding klik II, karena klik II lebih dahulu berusahaternak sapi potong, sedangkan klik I memperoleh ternak sapi potong dari sistem guliran dari klik II. Proses pembelajaran dalam beternak sapi potong tidak hanya diperoleh dari petugas PPL, anggota kelompok juga aktif untuk berdiskusi dengan anggota kelompok lain, baik dalam satu klik ataupun bukan dalam satu klik. Oleh karena itu, meskipun beternak sapi potong merupakan kegiatan yang relatif baru diterapkan, anggota kelompok tidak memiliki hambatan. Dari Gambar 13a juga terungkap bahwa terdapat lima buah node yang berperan sebagai star yaitu #4, #8, #12, #18, #30, dimana mereka memiliki derajat koneksi cukup besar dalam kelompok. Hal ini disebabkan karena mereka berpengaruh dalam kelompok. Node #4 merupakan ketua kelompok dalam klik I yang disegani oleh anggota kelompok dan masyarakat desa. Selain sebagai ketua kelompok peternak, sebelumnya beliau telah menjadi ketua kelompok tani sejak tahun 1992. Beliau juga aktif dalam kegiatan organisasi baik formal maupun informal. Kedudukannya sebagai opinion’s leader dengan berperan sebagai pemimpin polimorfik serta mampu mendorong dan mempengaruhi anggota kelompok untuk beternak secara lebih baik dengan menerapkan informasi teknologi sapi potong.
Node #8 merupakan profil pemuda desa yang cukup
berhasil dalam menerapkan informasi teknologi sapi potong. Pergaulannya cukup luas dan sifatnya yang rendah hati, membuat anggota kelompok tidak merasa canggung untuk bertanya maupun bertukar informasi terutama masalah ternak sapi potong. Node #12 adalah salah satu pengurus kelompok peternak, usianya terbilang muda membuat produktivitas kerjanya lebih baik. Beliau menjadi orang
114
yang cukup disegani dan dianggap paham tentang masalah pertanian maupun peternakan. Selain aktif dalam kelompok beliau juga berperan sebagai PPL. Node #18 merupakan anggota kelompok pada klik II, pengalamannya dalam bidang pertanian cukup banyak. Sifat yang tidak pernah berhenti belajar dan selalu mempelajari hal-hal baru membuatnya sukses dalam bertani dan beternak. Perlakuan yang diberikan pada usahaternaknya telah memberikan pelajaran bagi anggota dan klik lainnya. Selain informasi penyuluhan yang diperoleh dari PPL, beliau juga mencoba sistem pemeliharaan tradisional dalam pengobatan ternak. Kedekatannya terhadap PPL maupun anggota dan kontak tani nasional andalan (KTNA), telah mampu menarik penduduk desa yang semula belum bergabung untuk ikut dalam kelompok tani/peternak. Node #30 ada lah pengurus kelompok tani/peternak dan telah menerapkan informasi penyuluhan dengan baik dan cukup disegani oleh masyarakat desa. Seperti yang tersaji pada Gambar 13a, terlihat bahwa penelitian yang melibatkan 32 orang peternak sebagai responden ini, memiliki 4 (empat) pasangan dyadic dalam sosiogram, yaitu #4-#12, #7-#12, #8-#12, #13-#18 dan 15 orang peternak yang memiliki hubungan mutual pairs yaitu Node #1, #3, #6, #7, #10, #13, #14, #15, #19, #20, #23, #26, #27, #29, #31. Bukan hanya proses komunikasi timbal balik antar anggota kelompok, namun proses komunikasi juga terjadi dengan proses bertanya dan ditanya. Peternak yang menduduki posisi ini pada umumnya menempati lokasi tempat tinggal yang berdekatan dan memiliki kesamaan kebutuhan akan informasi sapi potong, artinya interaksi yang ditimbulkan oleh masing-masing responden peternak karena memiliki kedekatan lokasi tempat tinggal dan saling bertukar informasi mengenai beternak sapi potong. Di samping itu, terdapat 12 neglectee, yaitu #2, #5, #9, #11, #16, #17, #21, #22, #24, #25, #28 dan #32. Mereka merupakan anggota yang pasif dalam komunikasi dengan kelompok. Sehingga tidak terjalin pola komunikasi timbal balik dalam komunikasi mengenai peternakan sapi potong. Sebagian besar dari peternak telah lanjut usia sehingga kurang interaksi dengan anggota kelompok lain, serta menyerahkan pemeliharaan sapi potong kepada anak laki-lakinya.
115
L1
L2
L9
11
26
PPL
25 1 7
24 2 16
5
23 6
30 12 4 8 20
KTNA
27
18
L10
10 3 9
L6
22 13 15
19 14 28 32
L3
29 21 17
Keterangan: L = tetangga PPL = penyuluh KTNA = kontak tani nasional andalan = star = mutual pairs = neglectee
L8
31
L7
L4 L5
Gambar 13a. Sosiogram jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok peternak Cisitu
115
116
peternak telah lanjut usia sehingga kurang interaksi dengan anggota kelompok lain, serta menyerahkan pemeliharaan sapi potong kepada anak laki-lakinya.
Peranan Individu dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong di Surade Sama seperti di kelompok peternak Cisitu, struktur jaringan komunikasi yang terjalin dalam kelompok peternak Surade membentuk suatu struktur jaringan komunikasi dalam satu sistem. Anggota-anggota kelompok peternak bertempat tinggal dalam satu desa, yaitu Desa Jagamukti, yang tersebar di lima dusun yakni Dusun Banjaran, Cisuren, Cidadap, Sinarjaya dan Dusun Kubang. Jumlah node dalam sistem sebanyak 30 orang dan terdapat tiga buah klik. Satu klik (Klik I) di Dusun Banjaran, klik II di Dusun Cidadap dan Klik III di Dusun Kubang. Hubungan komunikasi antar klik I, II dan klik III terjalin baik. Terdapat star yang mampu menjembatani hubungan antar klik. Total star yang tersaji dari jaringan komunikasi sapi potong di Surade ada sebanyak delapan orang, yaitu node #2, #7, #12, #21, #24, #25, #26, #27, umumnya mereka memiliki derajat koneksi cukup besar dan punya pengaruh dalam kelompok. Node #21 merupakan ketua kelompok klik I dan sekaligus sebagai bendahara kelompok sapi potong “Banjaran” Kecamatan Surade. Karena beliau tinggal di Dusun Cisuren, maka ditunjuk sebagai penanggungjawab untuk membina dan mempengaruhi anggota kelo mpok sapi potong di klik I yang berlokasi di Cisuren. Node #27 adalah ketua kelompok sapi potong “Banjaran” Surade, yang dalam ja ringan komunikasi pada Gambar 13b merupakan ketua kelompok klik II yang berlokasi di Dusun Banjaran. Node #26 adalah ketua klik III dimana beliau pun menjabat sebagai sekretaris kelompok sapi potong “Banjaran” Surade dan ditugasi memotivasi anggota kelompok peternak sapi potong yang di Dusun Cidadap, Sinarjaya dan Dusun Kubang. Node #2, #7 dan #12 merupakan profil star monomorfik, salah satu di antaranya berprofesi sebagai guru SD yang cukup berhasil dalam berusahaternak sapi potong.
117
LK
L1
13
1
11
L2
28 25
8
29
3
4 9 22 17 7 6 2
21
12 30
L3 18 26
5 27
19 15
24 23
20
10 14
Keterangan: L = tetangga LK = peternak di luar kelompok = star = mutual pairs = neglectee
16
Gambar 13b. Sosiogram jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok peternak Surade
117
118
Adapun Node #24 dan #25 adalah star yang merupakan pemuka pendapat beratribut polimorfik, yang menjadi pilihan bagi pengikutnya atau anggota kelompok untuk bertanya, mengeluarkan keluhan maupun bertukar informasi. Sedangkan peran komunikasi mutual pairs yang ditunjukkan oleh anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong di kelompok Surade (Gambar 13b) menyebutkan ada 15 orang peternak yang memiliki hubungan mutual pairs yaitu Node #3, #4, #5, #6, #8, #9, #10, #11, #15, #17, #18, #19, #22, #23, #30. Selebihnya sekitar tujuh orang peternak masuk ke dalam kelompok peran Neglectee, yaitu responden yang memilih tetapi tidak dipilih, baik sebagai pilihan pertama maupun pilihan lanjutan. Di antaranya adalah node #1, #13, #14, #16, #20, #28 dan #29.
Peranan Individu dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong di Gedangsari Star adalah individu sebagai pemusatan jalur komunikasi dari beberapa anggota jaringan dalam klik dimana terdapat lima Bintang, yaitu #6, #11, #12, #16 dan #25. Seluruh anggota kelompok yang memiliki peran Star dalam jaringan komunikasi adalah pengurus kelompok yang berkedudukan sebagai Sekretaris, Bendahara, Ketua dan Seksi Kesehatan Hewan atau mantan Ketua Kelompok yang sangat disegani oleh anggota kelompok dan masyarakat sekitar. Node #6 merupakan pengurus yang aktif dalam mempengaruhi anggota kelompok untuk berusahaternak lebih baik sampai saat ini kelompok tani “Sedyo Rukun” di Desa Ngalang Kecamatan Gedangsari telah memperoleh predikat Utama dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. Tingkat pendidikan setara SLTA dan pengalaman dalam bertani/beternak mampu mempengaruhi anggota lain dalam beternak sapi potong dengan penekanan pada kepentingan anggota kelompok untuk be ternak dengan sistem yang baik. Hal tersebut mampu diukur dengan melihat pengetahuan rata-rata yang dimiliki oleh peternak terhadap distorsi informasi teknologi sapi potong, dimana dengan penerapan sistem yang baik berarti peternak memiliki tingkat distori informasi sapi potong yang relatif rendah. Node #11 yang berkedudukan sebagai Bendahara kelompok yang cukup disegani meskipun masih
119
berusia relatif muda. Kepemilikan lahan sawah, ternak dan usaha lain membuatnya berinte raksi secara lebih intensif dengan masyarakat desa. Secara tidak langsung masyarakat desa meniru pola usahanya dengan harapan untuk memperoleh hasil yang sama. Node #12 adalah Ketua kelompok. Peran kepemimpinan yang dijalankan, baik di dalam maupun di luar ke lompok dapat menunjukkan keaktivan kelompok dalam berusaha ternak secara lebih maju. Informasi yang diperoleh dari Ketua akan disampaikan kepada forum kelompok dalam pertemuan yang diadakan setiap satu bulan sekali. Selain sebagai Ketua kelompok tani/peternak “Sedyo Rukun” beliau juga aktif dalam organisasi lain sebagai Ketua Karya Insan Mandiri (KIM), Ketua KTNA, Ketua Koperasi Tani dan Ketua Wanita Tani. Meskipun jenjang pendidikan formal yang diperoleh hanya lulusan SLTP, namun
beliau telah
memiliki banyak pengalaman. Profil wanita tani di sini membuktikan bahwa wanita mampu memimpin dengan baik, hingga membawa nama kelompoknya di Tingkat Nasional. Node #16 ialah profil anggota kelompok yang memiliki kedudukan yang cukup disegani dalam masyarakat. Profesi sebagai P egawai Negeri Sipil (PNS) menjadikannya sebagai orang yang cukup dipandang dan menjadi profil peternak yang dapat dijadikan tempat bertanya bagi masyarakat di desanya. Node #25 merupakan profil Ketua Kelompok pada awal berdirinya Kelompok tani “Sedyo Rukun” sejak 1989. Karena usianya telah lanjut beliau saat ini menjabat sebagai Seksi Keswan yang bertanggungjawab terhadap masalah kesehata n ternak. Penelitian ini melibatkan 30 orang responden yang semuanya merupakan anggota kelompok aktif. Menurut Gambar 13c terdapat 13 mutual pairs, 12 orang pemeran dyadic yaitu #3-#6, #6-#12, #6-#11, #11-#25, #12-#26, #14-#16, #14#21, #16-#21, #18-#19, #25-#28, #25-#29, #12-#27, dan #25-#27. Sedangkan satu orang anggota kelompok peternak yang terlibat dalam jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong dengan peran mutual pairs yang tak dyadic. Komunikasi timbal balik yang terjadi antara anggota kelompok peternak terjalin sebagian besar karena kedekatan lokasi tempat tinggal. Interaksi yang ditimbulkan oleh masingmasing peternak ini merupakan saling bertukar informasi beternak sapi potong.
120
L3
L10
L11
L14
L9
23 19
L13
11 16
18
29
7 22
20
5 15
1
26
L12 27 4 3
25
21 12
L5
24 8
L6
13 17 14
L7
6 10 2
L4 Keterangan: L = tetangga = star = mutual pairs = neglectee
30
L8
9 28
L1
L2
L16
Gambar 13c. Sosiogram jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok peternak Gedangsari
L15
120
121
Proses komunikasi timbal balik yang terjadi akan menimbulkan pemahaman masing-masing anggota kelompok peternak menjadi lebih baik, karena terjadi proses pertukaran informasi berusahaternak sapi potong. Sehingga terjadi anggota kelompok peternak yang memiliki pengetahuan yang luas dalam berusahatenak sapi potong, dimana ia dapat menjadi sumber informasi bagi petenak lain yang memiliki pengetahuan masih sedikit dalam beternak sapi potong. Adapun jumlah responden yang berperan komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong yang ditampilkan pada Gambar 13c menyatakan terdapat 12 Neglectee, yaitu #1, #2, #4, #7, #8, #9, #10, #20, #23, #24, #28 dan #30. Hal ini karena dalam kelompok terjadi proses komunikasi satu arah, dimana tidak terjadi proses komunikasi dua arah dalam proses komunikasi penyuluhan sapi potong. Meskipun kedudukan tersebut terjadi pada peternak yang hanya memperoleh informasi tanpa ada proses komunikasi timbal balik, dimana peternak hanya memilih untuk bertanya dan sebagai penerima informasi tanpa menjadi sumber informasi bagi anggota kelompok lain hal tersebut bukan menjadi halangan dalam memperoleh informasi teknologi sapi potong. Selain memperoleh informasi teknologi sapi potong dari anggota kelompok, mereka juga memperoleh informasi dalam berusahaternak sapi potong dari peternak yang berpengalaman di desa lain.
Peranan Individu dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong di Polokarto Struktur jaringan komunikasi yang terjalin dalam kelompok peternak “Subur” membentuk suatu jaringan komunikasi dalam suatu sistem. Anggota-anggota kelompok peternak bertempat tinggal di Desa Mranggen
Kecamatan Polokarto
Kabupaten Sukoharjo, Yogyakarta. Gambar 13d tentang sosiogram jaringan komunikasi peternak sapi potong di kelompok peternak “Subur,” dapat disimpulkan bahwa terdapat enam buah Node yang berperan sebagai star (bintang), yaitu #7, #13, #18, #20, #24 dan #32. Kemudian tujuh orang berperan komunikasi mutual pairs dalam sosiogram, yaitu
122
L1
Mnt2
Mnt1
L7
L3
1
L2
27 6
30
L4
5 17
2
18 29 14
L5
L7
26 19 32 8 3 33
L6
24
L9
12 13
L10
4 20
L7
25 15
L13 7
31
9
L14
16 28
L15 L16
PPL
21
KADIS
22 10
L11 Keterangan: LK = peternak kelompok lain, L = tetangga = star = mutual pairs = neglecte
L12
23
11
L8
L9
LK3
Gambar 13d. Sosiogram jaringan komunikasi sapi potong pada kelompok peternak Polokarto
122
123
Node #5, #8, #10, #26, #28, #31, #33 dan 20 orang pemeran komunikasi sebagai neglectee, yaitu #1, #2, #3, #4, #6, #9, #11, #12, #14, #15, #16, #17, #19, #21, #22, #23, #25, #27, #29 dan #30 mereka merupakan anggota yang pasif dalam komunikasi dengan kelompok. Anggota kelompok “Subur” yang berperan sebagai star yaitu Node #7, adalah anggota masyarakat yang disegani oleh penduduk desa lainnya. Perannya sebagai salah satu tokoh masyarakat dan pengalaman dalam beternak sapi potong sekitar 30 tahun, membuatnya memberikan pengaruh bagi masyarakat terutama tentang teknik budidaya sapi potong.
Selain itu, sejak tahun 1998, awal berdirinya kelompok
peternak “Subur,” beliau dipercaya menangani masalah pakan bagi kelompok untuk mempermudah alur distribusi antara anggota dengan kelompok dan kelompok dengan produsen pakan ternak. Node #13 merupakan sosok pemuda yang telah berhasil menerapkan usahaternak sapi potong, selain itu beliau juga dipercaya oleh masyarakat untuk menjadi ketua RT di lingkungan tempat tinggalnya. Dalam kelompok “Subur” beliau menjabat sebagai Seksi inseminator yang menangani masalah inseminasi atau IB. Tugasnya untuk membantu menjembatani hubungan antara peternak dengan PPL atau inseminator. Sehingga dalam aktivitas komunikasi anggota kelompok, beliau menjadi salah satu star yang cukup disegani. Meskipun tidak memiliki posisi atau peranan formal maupun informal dalam masyarakat, Node #18 menjadi anggota klik yang memiliki hubungan koneksi dengan anggota lain cukup tinggi, intensitasnya dalam berkomunikasi dengan anggota lain terutama membahas masalah usahaternak sapi potong. Pekerjaan sampingan sebagai tengkulak sapi dengan menjual ternak setiap hari pasaran ke pasar hewan, sehingga peluang untuk berinteraksi dengan pedagang atau peternak dari desa lain lebih besar. Pengetahuan mengenai pemasaran sangat diperlukan dalam menentukan posisi tawar ternak sapi potong sehingga keuntungan yang diperoleh akan lebih besar. Sebagai ketua ke lompok “Subur,” Node #20 memiliki karakter pemimpin yang dekat dengan anggota atau masyarakat desa. Selain itu, beliau juga menjabat sebagai Kaur Pembangunan Desa Mranggen. Sifatnya yang humoris, rendah hati,
124
ramah dan tidak segan untuk membagi ilmu dan pe ngetahuan yang dimiliki kepada anggota. Oleh karena itu, di bawah kepemimpinannya, kelompok “Subur” telah berhasil meraih peringkat I dalam Lomba Kelompok Tani atau Peternak tingkat Nasional pada tahun 2003 hubungan yang terjalin dengan baik dan sangat dekat dengan PPL, serta kemampuan dan pengetahuan yang baik dalam beternak sapi potong sehingga anggotanya menjadi peternak yang cukup berhasil. Node #24, adalah Seksi pemasaran kelompok “Subur,” sebagai pedagang sapi yang cukup berhasil untuk meningkatkan perekonomian keluarga. Sebagai anggota masyarakat beliau adalah tokoh masyarakat yang disegani dengan menjabat sebagai pembantu umum RT sejak tahun 1987 hingga sekarang. Node #32 adalah tokoh masyarakat yang disegani, dalam struktur formal perdesaan sebagai ketua RT sejak tahun 1965 dan saat ini beliau dipercaya sebagai wakil ketua kelompok “Subur.” Sebagai pemimpin yang bijaksana, rendah hati, ringan tangan membuatnya lebih dekat dengan masyarakat. Hubungan antara anggota kelompok sebagai mutual pairs karena jarak lokasi tempat tinggal yang relatif dekat, serta adanya hubungan kekerabatan. Sebagian besar anggota pe meran neglectee adalah anggota yang pasif dalam mengkomunikasikan informasi teknologi sapi potong. Mereka merupakan anggota yang memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang yang harus ke luar dari desa, sehingga waktu untuk berinteraksi dengan anggota lain relatif sedikit. Secara gabungan, dari 125 orang responden yang memberikan respons saat pengumpulan data, dapat dikelompokkan bahwa ada tiga kategori pemeran komunikasi yang dimainkan oleh anggota kelompok ternak sapi potong seperti tersaji pada Tabel 18. Pertama, peternak sapi potong pemeran star. Disebut sebagai pemeran star karena individu tersebut merupakan pemusatan jalur komunikasi dari beberapa orang. Di dalam gambar sosiogram, responden yang termasuk pemeran star ialah responden yang paling banyak ditunjuk oleh tanda panah, hal ini menunjukkan bahwa orang tersebut dipilih oleh beberapa orang lainnya untuk tempat bertanya dan dalam
125
penelitian ini terdapat sekitar 19 persen pemeran komunikasi sebagai star. Kedua, adalah pemeran mutual pairs yaitu pemeran komunikasi yang bersifat dyadic dan hubungan mutual atau saling memilih sebagai tempat bertanya, yang terdapat sebanyak 39 persen. Sedangkan hampir 42 persen responden lainnya masuk kategori neglectee, yakni pemeran komunikasi pernah membicarakan akan tetapi tidak pernah diajak bicara atau dijadikan tempat bertanya oleh anggota kelompok lain.
Tabel 18. Sebaran responden berdasarkan peran komunikasi anggota kelompok jaringan komunikasi sapi potong di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) Peran komunikasi Kelompok kurang maju peternak dalam Ja- Cisitu Surade Total ringan Komunikasi Star Mutual Pairs Neglectee
n
15,63 46,87 37,50 32
26,67 50,00 23,33 30
Kelompok maju
Gedang sari 20,97 16,67 48,38 40,00 30,65 43,33 62 30
Gabungan Polo- Total karto 18,18 17,46 19,20 21,21 30,16 39,20 60,61 52,38 41,60 33 63 125
Apabila kedua kelompok peternak dibandingkan, maka tampak adanya perbedaan macam peran-peran komunikasi yang dimainkan antara peternak anggota kelompok maju dan kurang maju. Pada peternak sapi potong kelompok maju, cenderung lebih banyak
(hampir 52 persen) anggota kelompok tersebut menjadi
pemeran komunikasi sebagai
neglectee, sedangkan anggota kelompok peternak
kurang maju dominan (sekitar 48 persen) pemeran mutual pairs. Ada-pun pemeran sebagai star, lebih banyak di kelompok kurang maju yakni hampir 21 persen, sedangkan di kelompok maju pe meran star hanya sekitar 17 persen.
Distorsi Pesan Data distorsi pesan atau tingkat informasi yang dimiliki para peternak sapi potong yang dikumpulkan dengan mengajukan 30 butir pertanyaan untuk mengetahui salah benarnya informasi teknologi sapi potong, yang meliputi pengetahuan tentang
126
(a) bibit, (b) kandang, (c) pemeliharaan dan manajemen, (d) pengendalian kesehatan dan pengobatan, (e) reproduksi dan IB , (f) pakan, (g) pemasaran hasil, (h) pasca usaha/pasca panen berupa penanganan limbah kotoran dan sisa pakan serta mengolah hasil produksi ternak sapi, (i) kemitraan. Derajat distorsi di sini diukur dari seberapa banyak informasi tentang pemahaman dan cara berbisnis atau berusahaternak sapi potong yang dilakukan secara benar dari informasi teknologi sapi potong yang disampaikan kepada mereka. Informasi teknologi sapi potong tersebut diorganisir menjadi 30 butir pertanyaan yang dibangun dalam kuestioner.
Kesimpulan yang
diambil dengan menghitung rataan skor pada setiap jawaban responden terhadap ke 30 butir pertanyaan itu. Selanjutnya dibuat kriteria, yaitu bila skor > 52 disimpulkan tingkat distorsi atau bias pesannya rendah, bila skor < 52 disimpulkan bias pesan yang dimiliki anggota kelompok
peternak sapi potong tersebut tergolong tinggi.
Data tentang distorsi pesan disajikan pada Tabel 19 berikut ini.
Tabel 19. Sebaran responden berdasarkan distorsi pesan di kelompok peternak kurang maju dan maju (dalam persen) Kelompok kurang maju Distorsi Pesan Tinggi ( < 52 ) Rendah ( > 52 ) Rata-rata n
Cisitu 43,75 56,25 51,50 32
Surade 80,00 20,00 49,20 30
Total
Kelompok maju
Gedang Sari 61,29 6,67 38,71 93,33 50,40 53,40 62 30
Gabungan Polo- Total karto 6,06 6,35 33,60 93,94 93,65 66,40 55,00 54,20 52,30 33 63 125
Secara gabungan Tabel 19 menyebutkan, hampir duapertiga (sekitar 66%) anggota kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini menga ku tingkat distorsi informasi teknologi sapi potong yang mereka terima tergolong rendah dan 34 persen lainnya menunjukkan tingkat distorsi pesan yang relatif tinggi. Tingkat distorsi pesan kategori tinggi tersebut umumnya (61 persen) terjadi pada kelompok peternak kurang maju, sedangkan pada kelompok maju hampir seluruhnya (94 persen) menunjukkan distorsi pesan yang rendah. Tetapi, bila diamati
127
lebih jauh antara ke lompok Cisitu dan Surade yang sama-sama berstatus kelompok kurang maju, ternyata tingkat distorsi pesan yang tinggi dominan (80 persen) ada di kelompok Surade, padahal peternak-peternaknya sudah lebih lama berusaha sapi potong dibanding kelompok Cisitu. Hanya 44 persen anggota kelompok Cisitu yang tingkat distorsinya tinggi dan lebih dari separohnya (56 persen) menunjukkan tingkat distorsi yang rendah, yang berarti tingkat pemahaman anggota kelompok peternak di Cisitu tentang teknologi sapi potong tergolong cukup baik. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat distorsi informasi sapi potong yang dimiliki anggota kelompok peternak Cisitu yang masih di bawah nilai rata-rata gabungan, yakni 51,5. Tingginya tingkat distorsi informasi teknologi sapi potong pada peternak kelompok Surade, ialah bias informasi sapi potong yang diterima dari radio lokal maupun dari mantri hewan setempat. Misalnya, pentingnya teknologi Inseminasi Buatan (IB) agar cepat bunting, tapi peternak tidak tahu persis bagaimana caranya. Akibat bias pengetahuan teknis tersebut, peternak
sering direkomendasikan dan
diminta biaya untuk melakukan dua kali IB oleh petugas inseminator lapangan, dengan alasan mempertinggi service per conception (S/C). Kenyataannya tingkat keberhasilan IB tetap rendah, yang ditunjukkan oleh banyak keluhan peternak tentang sapi yang belum juga bunting, padahal sudah dua tahun dipelihara. Sebenarnya penanganan reproduksi ternak sapi potong di Surade bisa juga dengan dikawinkan secara alami, karena umumnya peternak di sana memelihara sapi dengan cara dikencarkan atau dilepas di lapangan.
Lalu, peternak dibiasakan
melakukan pencatatan setiap kegiatan yang berhubungan dengan reproduksi ternak sapi potongnya (baik yang dilakukan secara kawin alam maupun dengan IB). Termasuk bila sapi sakit, peternak umumnya minta bantuan
jasa mantri hewan
setempat untuk menginjeksi sapinya yang sakit. Penyebabnya adalah peternak sapi potong kelompok Surade pernah terdedah siaran televisi Indosiar yang menayangkan pesan: “kalau ternak sakit, injeksi saja.” Menurut peternak sapi potong kelompok Surade, mantri hewan setempat kurang memberikan informasi tentang keadaan sapisapi yang dipelihara para peternak tersebut.
128
Padahal peternak sebagai pelaku utama usaha peternakan sapi potong memegang peranan utama dalam keberhasilan usaha. Karakteristik personal peternak seperti tingkat pendidikan atau pengetahuan, pengalaman berusaha, motivasi dan lainnya perlu diperhatikan, karena sangat menentukan produktivitas usaha yang dikelolanya.
Selain itu kemampuan/pengalaman berorganisasi akan sangat
menunjang dalam aktivitas kelompok. Di sisi lain, untuk dapat menunjang efektivitas dan efisiensi kegiatan peternak di lapangan dan mengurangi distorsi pesan yang diterima melalui media massa, maka diperlukan tenaga /petugas yang dapat membantu mempercepat, memperlancar dan meningkatkan semua kegiatan di lapangan yang berhubungan dengan usaha peternakan sapi potong. Khususnya yang berkaitan dengan pengembangan budidaya suatu kelompok usaha/kawasan diperlukan dokter hewan atau petugas medis veteriner, inseminator, vaksinator dan tenaga penyuluh (KCD Peternakan atau PPL) untuk membantu pemberdayaan peternak. Petugas yang disebutkan ini, selain mantri hewan tidak tersedia SDM-nya di Surade. Ditambah peran organisasi kelembagaan peternak di kelompok surade maupun Cisitu belum optimal, dibandingkan kelompok maju. Perlu pembenahan kembali tugas dan fungsi setiap kelembagaan yang ada, seperti kelompok pembibitan dan kelompok penggemukan. Termasuk melengkapi fungsi kelembagaan yang belum ada, seperti belum ada seksi yang menangani kesehatan hewan, yang bisa membantu peternak lainnya kalau sewaktu-waktu ternaknya sakit, atau belum ada seksi pakan sehingga penanganan pakan seperti di kelompok maju belum dilakukan di kelompok kurang maju. Padahal ketersediaan pakan ternak sangat fluktuatif, di musim hujan pakan berlimpah, dan sebaliknya di musim kemarau. belum termanfaatkan secara optimal.
Terkesan limbah pertanian
Pemanfaatan teknologi tepat guna bisa
dijadikan salah satu alternatif terbaik. Seperti, membuat konsentrat dari hasil sampingan panen padi (katul), sisa ampas pembuatan tepung tapioka dan penggilingan jagung, konsentrat dari bungkil kelapa sawit, membuat casapro untuk pakan penguat dan teknologi silase komplit yang sudah diimplementasikan di pabrik
129
pakan mini milik kelompok maju, dan melayani kebutuhan pakan anggota kelompok dan peternak sapi sekitarnya. Ke depan, ada baiknya ketersediaan pakan sapi potong ini bisa kontinyu sepanjang tahun, seperti halnya pakan ayam. Peternak yang membutuhan pakan tersebut tinggal membeli di poultryshop atau koperasi.
Pengujian Hipotesis Sebaga imana telah dipaparkan pada bagian akhir kerangka berpikir, hipotesis utama (mayor) yang diuji dengan data hasil penelitian ini adalah “Terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak sapi potong untuk mendapatkan informasi.” Hipotesis ini mengindikasikan upaya pengujian, apakah benar perilaku komunikasi peternak telah berubah dalam penyuluhan dari mengutamakan hubungan interpersonal ke perilaku komunikasi bermedia? atau dengan perkataan lain sudah lebih memanfaatkan media massa. Sebagai pengganti dimensi waktu, maka peternak sapi potong sebagai objek penelitian dibagi ke dalam dua kelompok, yakni “peternak kurang maju” dan “peternak maju.” Pengujian hipotesis utama yang didasarkan atas hasil analisis T2 Hotelling dengan mengkaji proporsi keterdedahan media massa, perilaku pemanfaatan saluran komunikasi interpersonal, dan karakteristik personal antara kelompok peternak sapi potong kurang maju dengan kelompok maju tersaji pada Tabel 20. Hasil pengujian dengan analisis uji beda vektor nilai tengah ( T2 Hotelling) menunjukkan terdapat perbedaan sangat nyata (p < 0,01) dalam pemanfaatan media massa untuk mendapatkan informasi antara kelompok peternak maju dengan kelompok peternak kurang maju, dengan nilai koefisien T2 = 18,38. Ini berarti, bahwa hipotesis kerja 1a diterima. Dimana terlihat bahwa tingkat pemanfaatan siaran televisi dan membaca suratkabar pada kelompok peternak maju lebih tinggi dibandingkan dengan peternak sapi potong kelompok kurang maju. Begitu pun tingkat pemanfaatan siaran radio di kelompok maju yang masih bernuansa perdesaan (Kelompok Gedangsari) terlihat meningkat dibandingkan kelompok kurang maju. Hanya pada
130
kelompok maju klasifikasi urban (desa-kota) seperti Kelompok Polokarto
yang
cenderung menurun tingkat keterdedahan akan siaran radio dibandingkan dengan kelompok peternak kurang maju. Apabila dikaitkan dengan data deskriptif pada Tabel 14, sebenarnya peterna k di kedua kelompok sapi potong cenderung telah berubah perilaku pemanfaatan media massanya (radio dan televisi). Hanya saja pergeseran masalah pemanfaatan media massa tersebut lebih banyak untuk informasi umum, berupa: hiburan, berita dan infotainment (olahraga dan film/sinetron).
Media massa sendiri tampaknya belum
menyediakan informasi kebutuhan petani, termasuk informasi teknis sapi potong. Sehingga pergeseran tingkat pemanfaatan media massa di kalangan peternak sapi potong tersebut lebih kepada untuk membuka wawasan yang lebih luas, meningkatkan keingintahuan (curiousity) dan awareness akan berbagai informasi yang disampaikan oleh media massa televisi maupun radio. Walaupun demikian, tetap ada pergeseran dalam selective exposure atau keterdedahan media massa terhadap pesan-pesan peternakan maupun sapi potong, yang lebih tinggi pada peternak kelompok maju dibandingkan peternak kurang maju. Data deskriptif sebelumnya menyebutkan bahwa sebanyak 15% peternak kelompok maju mengaku pernah mendengar pesan sapi potong di radio, sedangkan peternak kurang maju hanya empat persen. Begitu pun untuk televisi, ada sembilan persen peternak maju yang mengaku menonton penyuluhan sapi potong di televisi dan peternak kurang maju ada tiga persen. Menyikapi hal ini, perlu kiranya dicarikan solusi bagaimana media massa berperan sebagai penyedia atau penyampai informasi sesuai kebutuhan petani. Tidak dimulai dari khalayak, tetapi dari pengelola media. Di era globalisasi, dituntut peran lebih dari media massa sebagai sarana edukasi atau mendidik masyarakat (perdesaan/petani), di samping sebagai hiburan dan informasi (Mulyana, 2005; McQuail, 1994; Jahi, 1993). Kalau mulanya media massa tersebut dimanfaatkan untuk hiburan, kini untuk hiburan dan berita, maka ke depan bagaimana media massa tersebut dapat dimanfaatkan untuk hiburan, berita dan sarana pendidikan (penyuluhan pertanian). Media massa memiliki potensi untuk itu,
131
tetapi belum dimanfaatkan. Sehingga peternak sapi potong (dalam kasus penelitian ini) mencari informasi dari sumber lain, termasuk melalui jaringan komunikasi interpersonal. Hasil penelitian yang dipaparkan pada Tabel 20 pun menunjukkan, ada pergeseran pola komunikasi interpersonal antara peternak sapi potong kelompok kurang maju dan maju, yang ditunjukkan oleh nilai koefisien T2 Hotelling sebesar 28,22.
Dimana terdapat perbedaan sangat nyata (p < 0,01) tingkat pemanfaatan
saluran komunikasi interpersonal antara kelompok peternak maju dengan kelompok peternak kurang maju.
Tabel 20. Perbedaan tingkat pemanfaatan media massa, perilaku pemanfaatan media interpersonal dan karakteristik personal antara peternak kelompok kurang maju dan maju Nilai Rata-Rata
Peubah
Kelompok kurang maju
Kelompok maju
Cisitu Surade Total Gedang Polo- Total sari karto Perilaku menerima informasi 2,00 2,13 2,07 2,00 1,98 2,01
Koefisien T2 Hotelling
Perilaku mencari Informasi
2,38
1,63
2,02
2,20
2,39
2,30
Perilaku klarifikasi/diskusi
2,34
1,97
2,16
2,77
2,30
2,52 p-Value= 0,000
Perilaku menyebar informasi
1,94
1,77
1,85
1,80
1,55
1,67
Keterdedahan siaran radio
1,78
1,73
1,76
1,83
1,55
1,68
Keterdedahan siaran televisi
1,88
1,87
1,87
2,00
1,97
Keterdedahan suratkabar
1,09
1,12
1,11
1,50
1,13
T 2 = 18,38 ** 1,98 p-Value= 0,000 1,30
Pendidikan formal
2,00
1,70
1,90
2,60
1,80
2,20
Kelas ekonomi
1,10
1,40
1,13
2,20
1,70
Kepemilikan media massa
1,70
1,40
1,50
2,20
2,36
Contoh Keseluruhan/ untuk 10 peubah amatan
32
30
62
30
33
T 2 = 28,22 **
T 2 = 27,86 ** 2,00 p-Value= 0,000 2,30 63
T 2 = 51,647** p-Va lue= 0,000 df(10, 114)
132
Tabel 20 tersebut menyebutkan bahwa rata-rata peternak kelompok kurang maju berperilaku menerima informasi teknologi sapi potong sedikit lebih tinggi dibanding anggota kelompok peternak maju. Perilaku menyebarkan informasi sapi potong yang diperoleh atau dimiliki kepada anggota kelompok maupun tetangga yang berada dalam sistem sosialnya , pada peternak kelompok kurang maju juga terlihat lebih tinggi dibanding rata-rata peternak kelompok maju.
Hasil amatan ini
menguatkan dugaan Sla met (1995) yang menyebutkan bahwa petani-peternak kelompok lokalit cenderung tinggi perilaku komunikasi interpersonalnya dalam menerima pesan penyuluhan dan menyebarkannya di antara sesama petani. Petani lokalit ini menurut Rogers (1995) masuk kategori ke lompok tani belum maju atau non-cosmopolite, yakni petani yang belum/ kurang terdedah media massa dan jarang atau tidak pernah bepergian ke luar sistem sosialnya (ke luar desa atau ke kota), dan berorientasi subsisten, yakni bertipe tradisional yang berpr oduksi hanya untuk konsumsi sendiri, tidak untuk dijual (Rogers dan Shoemaker, 1971). Faktor yang menyebabkan berkembangnya komunikasi antar pribadi (di kelompok kurang maju) di perdesaan di negara-negara berkembang, khusus di Asia Tenggara menurut hasil penelitian Feliciano (dalam Depari dan MacAndrews, 1998) adalah masih tingginya tingkat solidaritas masyarakat, tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah, tingkat motivasi mencari informasi baru (inovasi) rendah, lemahnya kemampuan masyarakat desa untuk memiliki dan memanfaatkan media sebagai sumber informasi, dan jumlah media massa di perdesaan relatif sedikit. Bila diamati lebih jauh, ternyata rata-rata peternak maju yang memiliki perilaku aktif dalam mencari informasi serta mengklarifikasi dan mendiskusikan informasi sapi potong yang dibutuhkan, lebih tinggi dibandingkan rata-rata peternak anggota kelompok kurang maju. Hal ini ternyata berkaitan dengan tingginya tingkat keterdedahan peternak sapi potong tersebut terhadap televisi, suratkabar maupun radio, yakni berupa kesadaran mencari informasi lebih luas dan memperbesar wawasan. Kondisi ini membuktikan bahwa peternak sapi potong tersebut bukan tidak dapat meningkatkan kapasitasnya. Bahkan untuk meningkatkan kapasitas diri dan
133
wawasan entrepreneur-nya, peternak sapi potong kelompok maju
tidak hanya
ditunjukkan dengan meningkatnya intensitas keterdedahan pada media massa, melainkan intensitas mengklarifikasi informasi teknologi sapi potong. Perilaku klarifikasi peternak maju ini masih banyak dilakukan secara interpersonal. Ini terjadi, karena media massa kurang menyediakan informasi teknologi sapi potong. Perilaku aktif mencari informasi dan mengklarifikasi /mendiskusikan informasi yang dibutuhkan oleh peternak sapi potong, lebih tinggi pada peternak kelompok maju juga berkaitan cukup erat dengan atribut tingkat pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa.
Dari Tabel 20 terungkap bahwa
responden peternak sapi potong kelompok maju telah meningkat tingkat pendidikan dan kelas ekonominya, telah meningkat jumlah dan macam media massa yang dimiliki dibanding peternak kelompok kurang maju. Hasil uji beda vektor nilai tengah (T 2 Hotelling = 27,86) menunjukkan, terdapat perbedaan sangat signifikan antara karakteristik personal peternak maju dengan peternak kurang maju, yang cenderung bergeser ke arah peningkatan. Meningkatnya atribut karakteristik personal peternak sapi potong pada kelompok maju, menyebabkan perilaku mencari informasi dan mengklarifikasi informasi juga semakin meningkat dibanding peternak kelompok kurang maju. Hasil pengujian T2 Hotelling dengan melibatkan ketiga peubah personal tersebut dalam model, sehingga mampu membandingkan antara 10 peubah amatan (tujuh di antaranya peubah perilaku pemanfaatan media massa dan perilaku pemanfaatan media interpersonal) antara peternak sapi potong kelompok maju dan kurang maju pada Tabel 20 menghasilkan koefisien T2 Hotelling sebesar 51,647. Hal ini menyuratkan bahwa di antara masing-masing kategori 10 peubah amatan pada peternak sapi potong kelompok maju dan kurang maju “terdapat perbedaan sangat nyata (p < 0,01) tingkat pemanfaatan media massa antara kelompok peternak tersebut,” tetapi bukan sepenuhnya dalam mendapatkan informasi sapi potong. Ini membuktikan bahwa hipotesis kerja 1b diterima.
134
Tabel 21. Matriks korelasi (Pearson) antar peubah karakteristik personal, perilaku pemanfaatan media interpersonal, pemanfaatan media massa, peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong dan distorsi pesan X8 X9 X1 X2 X3 X4_1 X4_2 X4_3 X4_4 X5 X6 X7 X1. Pendidikan Formal 1,00 0,87 0,22 0,15 0,35 0,18 -0,05 0,34 0,30 0,74 0,08 0,26 (0,00) (0,02) (0,10) (0,00) (0,05) (0,58) (0,01) (0,02) (0,00) (0,39) (0,07) X2. Kelas Ekonomi X3. Kepemilikan Media Massa X4_1. Perilaku menerima informasi X4_2. Perilaku mencari informasi X4_3. Perilaku klarifikasi informasi X4_4. Perilaku menyebar informasi X5. Keterdedahan Radio X6. Keterdedahan TV X7. Keterdedahan Suratkabar X8 Peran Komunikasi
1,00
0,11 0,28 0,09 0,12 -0,01 0,05 0,22 0,55 0,15 0,30 (0,32) (0,05) (0,36) (0,29) (0,95) (0,57) (0,18) (0,00) (0,09) (0,03) 1,00
0,24 0,65 0,48 -0,12 0,11 0,65 0,24 -0,07 0,54 (0,13) (0,00) (0,08) (0,19) (0,82) (0,00) (0,13) (0,47) (0,00) 1,00
0,36 0,76 -0,16 0,25 0,84 0,31 0,03 0,38 (0,07) (0,00) (0,08) (0,10) (0,00) (0,06) (0,80) (0,01) 1,00
0,10 -0,92 -0,10 0,51 0,52 0,11 0,44 (0,25) (0,00) (0,26) (0,02) (0,02) (0,21) (0,01) 1,00
0,03 0,19 0,74 0,33 -0,06 0,10 (0,73) (0,21) (0,00) (0,04) (0,51) (0,29) 1,00
0,43 -0,01 -0,30 0,06 -0,04 (0,00) (0,90) (0,03) (0,53) (0,63) 1,00
0,27 0,48 0,07 0,03 (0,06) (0,00) (0,40) (0,73) 1,00
0,24 0,08 0,32 (0,11) (0,36) (0,02) 1,00 0,05 0,37 (0,59) (0,06) 0,39 1,00 (0,09)
X9. Distorsi Pesan
1,00
Dari matriks korelasi pada Tabel 21 di atas, terlihat bahwa tingkat pendidikan responden peternak sapi potong berhubungan sangat nyata (p < 0,01) dengan perilaku mencari informasi.
Dimana semakin tinggi tingkat pendidikan formal responden
maka semakin tinggi perilaku komunikasi mencari informasi sapi potong.
Peternak
yang berpendidikan tinggi ternyata berkorelasi sangat nyata (p < 0,01) positif dengan kelas ekonomi dan nyata (p< 0,05) dengan kepemilikan media massa yang cenderung tinggi.
Begitu pun kepemilikan media massa peternak sapi potong, juga berkorelasi
sangat nyata (p< 0,01) dengan perilaku mencari informasi, dan keterdedahan televisi.
135
Kondisi peternak kelompok maju aktif mencari dan mengklarifikasi informasi penyuluhan ini sejalan dengan hasil penelitian Jarmie (1994) dan Sumardjo (1999) yang menyebutkan, petani komersial dan mandiri (bisa disebut: petani maju ) cenderung membuat jejaring komunikasi sendiri serta aktif mencari informasi dan memanfaatkan informasi sesuai kebutuhan. Jadi petani maju cenderung tinggi tingkat klarifikasi akan informasi penyuluhan yang mereka dapatkan dan aktif mencari tambahan informasi untuk menjawab permasalahan yang dihadapi dalam bertani. Sisi lain yang mendukung cukup aktifnya perilaku peternak mencari informasi sapi potong dan mengklarifikasi pesan penyuluhan sapi potong adalah dikarenakan pada kelompok maju interaksi penyuluh, petugas keswan dan inseminator, pengurus kelompok serta agen pembangunan lainnya relatif tinggi, termasuk terpaan media massa. Matriks korelasi pada Tabel 21 menunjukkan ba hwa perilaku peternak mencari informasi berhubungan nyata (p < 0,05) dengan keterdedahan televisi dan suratkabar, dan berhubungan sangat nyata (p < 0,01) negatif dengan perilaku menyebarkan informasi. Artinya, semakin tinggi aktivitas komunikasi interpersonal para peternak dalam mencari informasi sapi potong, maka peternak memiliki tingkat keterdedahan yang tinggi terhadap tayangan televisi dan suratkabar. Tetapi dengan semakin aktif peternak tersebut mencari informasi sapi potong, semakin membuatnya tidak menyebarkan informasi yang diperoleh dan dimilikinya.
Peternak tersebut,
menurut Gambar 14 (analisis Biplot terhadap 10 peubah yang diuji T2 Hotelling), adalah peternak anggota kelompok maju, yakni kelompok Gedangsari dan Polokarto. Dari matriks korelasi pada Tabel 21 juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan nyata (p < 0,05) antara perilaku komunikasi peternak sapi potong dalam mengklarifikasi informasi yang diperoleh dengan keterdedahan media massa surat kabar, dan berhubungan sangat nyata (p < 0,01) antara perilaku klarifikasi tersebut dengan keterdedahan tayangan televisi. Peternak dengan
tingkat keterdedahan
suratkabar yang tinggi, cenderung berperilaku komunikasi klarifikasi yang tinggi pula. Rataan kedua macam perilaku komunikasi (terdedah televisi dan suratkabar) ini lebih tinggi pada peternak maju dibanding peternak kurang maju (Tabel 20).
136
Pada Gambar 14 jelas terlihat bahwa perilaku komunikasi aktif mencari informasi, perilaku klarifikasi informasi yang diperoleh, keterdedahan televisi dan suratkabar rata-rata relatif tinggi pada peternak kelompok maju, termasuk rata-rata karakteristik personalnya (tingkat pendidikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa) yang antar peubah tersebut umumnya saling berkorelasi positif dengan keragaman yang tinggi. Pada kelompok Gedangsari, hampir semua peubah di atas rata-rata, baik peubah-peubah personal peternak, perilaku mencari informasi, perilaku klarifikasi
informasi,
keterdedahan
suratkabar
dan
tayangan
televisi,
juga
keterdedahan siaran radio. Peternak Polokarto cenderung peubah perilaku mencari informasi dan kepemilikan media massa yang di atas rata-rata. Sedangkan Cisitu relatif lebih kecil.
Adapun peternak Surade bertolak belakang dengan peternak
kelompok Gedangsari, tetapi rata-rata perilaku menyebarkan informasi relatif tinggi.
1.5 X5 1.0
SURADE
X7 GEDANG SARI X4_4
X1 X2
F2:19.71%
.5 X4_3 X4_1 X6
0.0
CISITU
-.5
X3
-1.0
POLOKARTO
X4_2
-1.5 -1.5
-1.0
-.5
0.0
.5
1.0
1.5
F1: 58.56%
Keterangan: X1 = Pendidikan Formal X2 = Kelas ekonomi X3 = Kepemilikan media X4_1 = Perilaku menerima informasi X4_2 = Perilaku mencari informasi
X4_3 = Perilaku klarifikasi informasi X4_4 = Perilaku menyebarkan informasi X5 = Keterdedahan siaran radio X6 = Keterdedahan tayangan televisi X7 = Keterdedahan suratkabar
Gambar 14. Keragaan umum hasil analisis biplot keterkaitan peubah karakteristik personal, perilaku komunikasi interpersonal dan keterdedahan media massa peternak sapi potong
137
Hasil biplot yang diperlihatkan pada Gambar 14 dapat menerangkan 78.27 persen keragaman data asal. Pada Gambar 14 terlihat bahwa perilaku komunikasi interpersonal peternak sapi potong dalam menyebarkan informasi dengan perilaku keterdedahan siaran radio cenderung menunjukkan korelasi cukup erat. Malah Tabel 21 menyebutkan bahwa perilaku menyebarkan informasi berhubungan sangat nyata (p < 0,01) dengan perilaku pemanfaatan siaran radio. Gambar 14 mengindikasikan bahwa perilaku menyebarkan informasi sebagian besar dilakukan oleh peternak kurang maju, baik di peternak kelompok Cisitu maupun Surade. Sudut lancip menandakan bahwa perilaku keterdedahan siaran radio dan perilaku menyebarkan informasi tersebut cenderung di atas rata-rata, dengan keragaman yang rendah. Maksudnya ialah sebagia n besar peternak di Surade cenderung berperilaku menyebarkan informasi teknologi sapi potong dibandingkan dengan peternak kelompok lainnya. Sama seperti yang disajikan Gambar 14, Tabel 20 pun mengungkapkan bahwa rata-rata tingkat pemanfaatan radio dan perilaku mengklarifikasi
informasi pada
peternak maju kelompok Gedangsari terlihat relatif lebih tinggi dibanding dengan Surade dan Cisitu. Sebaiknya, perilaku pemanfaatan radio oleh peternak kelompok Polokarto lebih kecil atau di bawah rata-rata dibanding peternak Gedangsari, Cisitu maupun Surade. Sedangkan perilaku komunikasi menyebarkan informasi para peternak di kelompok Gedangsari relatif lebih rendah, dibanding rata-rata kelompok kurang maju. Hal yang menarik adalah terdapat hubungan nyata (p < 0,05) negatif antara perilaku menyebarkan dengan perilaku pemanfaatan media massa, yang berarti bahwa peternak berperilaku menyebarkan informasi sapi potong tinggi justru adalah peternak yang rendah perilaku membaca suratkabar.
Boleh jadi, informasi yang
dibaca di suratkabar tersebut tidak berhubungan dengan sapi potong. Berdasarkan paparan dari Tabel 20 dan 21 serta visualisasi hasil analisis biplot pada Gambar 14, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku komunikasi interpersonal informal peternak kelompok kurang majulah yang lebih tinggi
138
dibanding kelompok maju. Hal ini terlihat pada perilaku berkomunikasi interpersonal dalam menerima informasi sapi potong dan perilaku menyebarkan informasi. Bila dipertajam dengan data pada Tabel 13 tentang “macam saluran komunikasi interpersonal yang menerpa peternak sapi potong tersebut ” maka jelas terlihat bahwa saluran komunikasi interpersonal kelompok kurang maju adalah saluran lokalit, yakni kepada tetangga atau sesama anggota kelompok peternak sapi potong. Umumnya, perilaku menerima informasi para peternak tersebut berhubungan sangat nyata ( p < 0,01) dengan perilaku klarifikasi atau mendiskusikannya di kelompok, dan dengan perilaku terdedah tayangan berita di televisi. Sedangkan perilaku komunikasi interpersonal mencari dan mengklarifikasi/ mendiskusikan informasi sapi potong pada peternak maju adalah umumnya dilakukan dengan orang-orang dari luar desa atau orang-orang yang bukan anggota kelompoknya (menggunakan saluran kosmopolit). Lebih jauh, koefisien fungsi diskriminan (canonical) terhadap ke-10 peubah amatan ini menunjukkan karakteristik yang berbeda antara peternak sapi potong kelompok maju dengan kelompok kurang maju. Pada kelompok maju peubah amatan peternak sapi potong yang terlihat berbeda secara bertatar dengan kelompok kurang maju ialah dominan berpendidikan (X1 ) lebih tinggi, berperilaku aktif mencari informasi sapi potong (X4_2 ),
kelas ekonomi (X2 ) tinggi, berperilaku terdedah
tayangan televisi (X6 ) dan suratkabar (X7 ). Fungsi diskriminan kanonikal bakunya adalah Y = 0,617 X1 + 0,581 X4_2 + 0,502 X2 + 0,440 X6 + 0,372 X7 . Keterkaitan antar peubah yang ditampilkan oleh fungsi diskriminan ini menyimpulkan bahwa untuk informasi teknis peterna kan (sapi potong) diperlukan sinergi antara komunikasi penyuluhan “interpersonal” dan “impersonal,” dengan pe nekanan pada “memenuhi kebutuhan informasi masyarakat peternak.” Fenomena tersebut di atas, mengindikasikan bahwa telah terjadi pergeseran perilaku komunikasi ke perilaku bermedia, yang lebih khususnya pada keterdedahan media massa televisi dan suratkabar, dimana rata-rata peternak kelompok maju lebih tinggi terdedah kedua media massa tersebut. Sedangkan untuk radio, memang rata-
139
rata peternak pada kelompok kurang maju, lebih tinggi perilaku mendengarkan radionya dibanding peternak pada kelompok maju (Tabel 20). Bagi sebagian besar masyarakat di perdesaan radio masih populis digunakan sebagai media hiburan dan sarana mendengarkan berita atau informasi pembangunan.
Lebih-lebih sekarang
banyak bermunculan stasiun radio lokal milik pemerintah kabupaten/kota atau radio komuniti yang dikelola swasta dan LSM maupun perguruan tinggi.
Menurut
Schramm (Depari dan MacAndrews, 1998) pesawat radio sudah umum dimiliki oleh orang kaya dan orang miskin (berbagai kelas ekonomi) di negara berkembang seperti Asia (termasuk Indonesia), Afrika dan Amerika Latin. Bedanya hanyalah pada kualitas radio.
Orang kaya memiliki seperangkat radio stereo yang canggih,
sedangkan orang miskin punya sebuah radio transistor kecil. Berdasarkan pembahasan yang diuraikan di atas dan diperkuat hasil uji beda T2 Hotelling, disimpulkan bahwa ada perbedaan sangat nyata pada perilaku komunikasi di kalangan peternak sapi potong kelompok maju dengan kelompok peternak sapi potong kurang maju. Berarti hipotesis utama penelitian ini diterima (H 1 : µ 1 ≠ µ 2 ), yakni “terjadi pergeseran tingkat pemanfaatan media massa oleh peternak sapi potong untuk mendapatkan informasi.” Lebih spesifiknya pada pergeseran pola komunikasi, dari mengutamakan komunikasi interpersonal dalam menerima dan menyebarkan informasi ke perilaku komunikasi bermedia, terutama televisi dan suratkabar.
Hubungan Karakteristik Personal dengan Perilaku Keterdedahan Media Massa Untuk menguji hipotesis butir dua (H 2 ) yang menyebutkan “terdapat hubungan nyata karakteristik personal (pendidikan formal, kelas ekonomi dan pemilikan media massa) dengan perilaku keterdedahan media massa,” dilakukan dengan analisis matriks korelasi, analisis biplot dan analisis jalur.
140
Berdasarkan hasil analisis biplot yang tersaji pada Gambar 14, terlihat bahwa terdapat korelasi kuat positif antara peubah tingkat pendidikan formal peternak (X1 ) dengan perilaku keterdedahan tayangan televisi (X6 ) dan perilaku membaca suratkabar (X7) dengan tingkat keragaman tinggi.
Hubungan
tingkat pendidikan peternak dengan perilaku komunikasi terdedah siaran radio (X5 ) juga menunjukkan korelasi positif tapi dengan keragaman rendah.
Hal ini
diperkuat oleh matriks korelasi Tabel 21 yang menyatakan, tingkat pendidikan berhubungan nyata (p < 0,05) dengan perilaku keterdedahan peternak sapi potong pada siaran radio dan televisi, serta berhubungan sanyat nyata (p < 0,01) dengan perilaku membaca suratkabar. Hal ini mengindikasikan bahwa semakin tinggi pendidikan peternak anggota jaringan komunikasi sapi potong, maka semakin tinggi tingkat keterdedahan peternak tersebut pada siaran radio, televisi maupun suratkabar. Begitupun korelasi antara kelas ekonomi responden dengan perilaku komunikasi keterdedahan media massa suratkabar, menunjukkan hub ungan yang sangat nyata (p < 0,01). Dimana, semakin meningkat kelas ekono mi peternak sapi potong di komunitasnya maka semakin terdedah peternak tersebut terhadap informasi media massa suratkabar.
Kepemilikan media massa pun ternyata
berhubungan sangat nyata (p < 0,01) dengan perilaku pemanfaatkan media massa radio. Umumnya peternak sapi potong memiliki pesawat radio dan cenderung mendedahkan diri pada siaran yang dapat ditangkap oleh radio transistor mereka. Ternyata, hasil analisis biplot dan matriks korelasi ini selaras dengan hasil analisis jalur Gambar 15, yang memetakan hubungan kebermaknaan secara nyata (p< 0,05) antara tingkat pendidikan peternak dengan perilaku keterdedahan siaran radio (X5), televisi (X6 ) dan suratkabar (X7 ). Untuk perilaku keterdedahan radio dan suratkabar menunjukkan pengaruh langsung, dengan koefisien jalur 0,805 dan 0,715. Artinya, semakin tinggi pendidikan seseorang langsung membuatnya lebih terdedah siaran radio maupun membaca suratkabar. Peternak berpendidikan lebih tinggi, cenderung semakin membutuhkan informasi bagi dirinya. Untuk keterdedahan tayangan televisi menunjukkan pengaruh tidak langsung, dimana peubah pendidikan formal (X1 ) harus melewati dulu X3 (kepemilikan media massa) dengan koefisien jalur 0,788 baru dari kepemilikan media massa ke
141
X1
0,218 0.805 * 0,169*
X5
0,35*
X4_1
*
0,3*
X4_2 X4_3 X4_4
*
*
0,788 0,718
*
*
0,922 *
0,516 0,854 0,4
Y1
X3
*
0,68*
X6
Y2
0,466* 0,
537
*
0,166 * 0,393 * 0,168*
0,21*
X7
0,715*
X2
0,287*
X8
0,107* Keterangan: X1 = Pendidikan formal X 4_1 = Perilaku menerina informasi X2 = Kelas ekonomi X 4_2 = Perilaku mencari informasi X3 = Pemilikan media massa X 4_3 = Perilaku klarifikasi/diskusi * Tanda jalur yang bermakna untuk dasar perumusan model
X4_4 = Perilaku menyebarkan informasi X8 = Kepemimpinan pemuka pendapat X5 = Keterdedahan siaran radio Y1 = Peran anggota dlm jaringan komunikasi X6 = Keterdedahan televisi Y2= Distorsi/tingkat informasi yang dimiliki. X7 = Keterdedahan suratkabar
Gambar 15. Bagan model jalur antar peubah yang mempengaruhi peran komunikasi anggota kelompok jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong dan distorsi pesan
141
142
keterdedahan siaran radio (X 5) dengan koefisien jalur 0,169 dan pendidikan formal (X1 ) melalui dulu X2 (kelas ekonomi) dengan koefisien 0,718 lalu dari kelas ekonomi ke perilaku membaca suratkabar (X 7) dengan koefisien jalur 0,107. Maksud bermakna nyata secara tidak langsung di sini ialah pendidikan formal peternak ternyata juga berhubungan dengan kelas ekonomi, bila pendidikan dan kelas ekonominya tinggi maka perilaku membaca suratkabar menjadi tinggi atau berpengaruh. Begitu pun dengan pendidikan tinggi dan memiliki radio, maka peternak tersebut pasti terdedah siaran radio. Sedangkan untuk hubungan peubah tingkat pendidikan formal (X1 ) dengan keterdedahan tayangan televisi (X6 ) pengaruhnya tidak langsung tapi koefisien jalurnya bermakna nyata. Misalnya, pendidikan formal harus melewati dulu X3 (kepemilikan media massa) dengan koefisien jalur 0,788 baru dari kepemilikan media massa ke keterdedahan tayangan televisi (X6 ) dengan koefisien jalur 0,68 atau melalui X2 (kelas ekonomi) dengan koefisien 0,718 lalu dari kelas ekonomi ke keterdedahan tayangan televisi (X6 ) dengan koefisien jalur 0,287. Hal ini berarti bahwa tingkat pendidikan tidak secara langsung berpengaruh terhadap perilaku keterdedahan televisi, melainkan berkaitan dengan kepemilikan media massa televisi tersebut. Bila memiliki pesawat tv maka membuat peternak lebih terdedah tayangan televisi.
Begitu pun peternak berpendidikan lebih tinggi
dengan kelas ekonomi tinggi akan lebih terdedah tayangan televisi. Kondisi keterikatan karakteristik personal (pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa) dengan perilaku keterdedahan media massa yang diulas dengan analisis jalur, matriks korelasi dan analisis biplot di atas membuktikan, bahwa hipotesis II yang menyatakan “terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal (pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa) dengan keterdedahan media massa” diterima. Analisis Jaringan Komunikasi Sapi Potong Untuk menguji hipotesis butir tiga yang menyatakan “terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini dengan perilaku komunikasi interpersonal informalnya,” juga
143
digunakan matriks korelas i dan analisis biplot yang tersaji pada Tabel 21 dan Gambar 14. Menurut Gambar 14, terlihat bahwa hubungan peubah tingkat pendidikan formal anggota kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini dengan perilaku mereka menerima informas i penyuluhan menunjukkan korelasi yang positif dengan tingkat variabilitas yang rendah. Peternak dengan tingkat pendidikan formal yang tidak terlalu tinggi, perilaku menerima informasi penyuluhannya cenderung sedang, yakni sekitar dua sampai tiga kali setiap bulannya. Seiring dengan tingkat pendidikan yang meningkat maka perilaku menerima informasi penyuluhan sapi potong juga meningkat. Hal ini bisa dilihat dari perilaku menerima informasi peternak berpendidikan sekolah lanjutan (SLTP dan SLTA) yang cenderung tinggi, sekitar empat sampai enam kali per bulannya. Dari sekitar seperlima peternak yang mengaku tingkat perilaku komunikasi interpersonal dalam menerima pesan penyuluhan sapi potong kategori rendah (dari tidak pernah mendengar sampai hanya satu kali sebulan), umumnya memiliki tingkat pendidikan rendah yakni tidak sekolah atau tidak lulus/tamat SD. Sedangkan hubungan tingkat pendidikan formal responden peternak sapi potong dengan perilaku mereka mencari informasi penyuluhan menunjukkan korelasi yang sangat nyata dengan tingkat variabilitas yang juga cukup tinggi. Maksudnya adalah peternak dengan tingkat pendidikan formal rendah, variasi keragamannya dalam mencari secara aktif informasi penyuluhan sapi potong relatif lebih tinggi, yakni cenderung sedang (3-4 saluran komunikasi yang digunakan per bulan) dan tinggi (lebih dari empat saluran komunikasi) dalam mencari sumber informasi yang relevan dalam berusahaternak sapi potong. Adapun peternak berpendidikan sekolah lanjutan, cenderung rendah bahka n rendah sekali (tidak pernah) perilaku mencari informasi- informasi yang mereka butuhkan lewat saluran komunikasi interpersonal. Sama seperti perilaku menerima informasi, hubungan tingkat pendidikan formal responden peternak sapi potong dengan perilaku klarifikasi atau mendiskusikan informasi menunjukkan korelasi positif tapi sedikit lebih rendah
144
derajat korelasinya dibanding perilaku menerima informasi, dengan tingkat keragaman relatif tinggi.
Artinya, peternak berpendidikan formal rendah
cenderung berperilaku klarifikasi/mendiskusikan informasi penyuluhan menyebar dikategori rendah sekali (tidak pernah melakukan) dan kategori rendah, yakni sekitar satu sampai dua kali setiap bulannya. Peternak dengan tingkat pendidikan tamat SD perilaku mendiskusikan informasi cenderung terdistribusi dikategori rendah dan sedang (tiga kali setiap bulan) Adapun peternak berpendidikan sekolah lanjutan atau berpendidikan kategori tinggi, cenderung mengaku tingkat perilaku komunikasi interpersonal dalam mendiskusikan pesan penyuluhan sapi potong kategori sedang sampai tinggi (tiap minggu). Hubungan tingkat pendidikan formal peternak sapi potong dengan perilaku mereka
menyebarkan informasi menunjukkan korelasi yang negatif dengan
tingkat keeratan yang rendah. Semakin tinggi tingkat pendidikan responden maka perilaku menyebarkan informasi yang mereka miliki semakin rendah. Dilihat dari asal kelompok, ternyata peternak berpendidikan lebih baik dan rata -rata berperilaku menyebarkan informasi yang relatif tinggi adalah peternak Cisitu dan Surade (Peternak kelompok kurang maju). Peternak yang menyebarkan informasi penyuluhan di sini ternyata didominasi oleh peternak pe meran star, yakni beratribut tokoh pendidikan dan tokoh tani/pengurus kelompok. Keragaman perilaku menyebarkan informasi di kalangan peternak Gedangsari dan Polokarto (kelompok peternak maju) yang tingkat pendidikannya lebih tinggi,
umumnya masuk dikategori tidak menyebarkan informasi yang
mereka peroleh atau mereka miliki kepada peternak lain atau keluarga maupun tetangga. Lebih rinci Gambar 14 menyimpulkan bahwa kelompok Surade dan Cisitu (kelompok kurang maju) menunjukkan rata-rata perilaku menyebarkan informasi relatif tinggi dibanding kelompok maju.
Kelompok Gedangsari menunjukkan
perbedaan signifikan tentang hubungan tingkat pendidikan formal dan perilaku klarifikasi/ mendiskusikan informasi, dibanding dengan kelompok kurang maju (Cisitu dan Surade) juga kelompok Polokarto. Begitu pun kelompok Polokarto menunjukkan perbedaan antara hubungan tingkat pendid ikan formal dengan
145
perilaku menerima informasi (pasif) dan perilaku (aktif) mencari informasi di kalangan peternak, dibanding tiga kelompok lainnya. Secara gabungan menurut analisis matriks korelasi pada Tabel 21, terdapat hubungan sangat nyata (p < 0,01) antara tingkat pendidikan peternak sapi potong dengan perilaku aktif mencari informasi, dan berhubungan nyata (p < 0,05) dengan perilaku klarifikasi atau mendiskusikan informasi. Pada peubah kelas ekonomi anggota kelompok peternak sapi potong yang diliba tkan dalam penelitian ini, seperti yang ditampilkan pada Gambar 16 menunjukkan bahwa hubungan nyata positif dengan perilaku mereka menerima informasi penyuluhan sapi potong dengan tingkat variabilitas yang relatif tinggi. Hal ini diperkuat oleh hasil analisis matriks korelasi pada Tabel 21, yang menyebutkan bahwa peubah kelas ekonomi peternak sapi potong yang berhubungan nyata (p < 0,05) dengan perilaku komunikasi interpersonal, hanyalah dengan perilaku menerima informasi. Terlihat bahwa
peternak sapi potong
berstatus kelas ekonomi rendah, menunjukkan perilaku menerima informasi penyuluhan yang cenderung rendah, yakni tidak pernah atau hanya satu kali setiap bulannya. Sedangkan peternak yang kelas ekonomi sedang, umumnya keragaman perilaku menerima informasi penyuluhan menyebar di kategori rendah sampai sedang. Selanjutnya, peternak berstatus ekonomi tinggi berkorelasi
dengan
perilaku mereka yang tinggi dalam menerima informasi penyuluhan sapi potong. Adapun hubungan kelas ekonomi responden peternak sapi potong dengan perilaku mencari informasi teknologi sapi potong menunjukkan korelasi lemah (mendekati nilai koefisien korelasi nol) dengan tingkat variabilitas yang juga rendah. Maksudnya adalah peternak dengan kelas ekonomi rendah, variasi keragamannya dalam mencari secara aktif informasi sapi potong lewat saluran komunikasi interpersonal cenderung rendah dan rendah sekali (tidak pernah). Peternak dengan kelas ekonomi sedang menunjukkan keragaman perilaku mencari informasi lewat saluran komunikasi interpersonal yang tidak terlalu besar, yakni menyebar dikategori sedang (3-4 saluran komunikasi yang digunakan per bulan) dan tinggi (lebih dari empat saluran komunikasi). Begitu pun dengan kelas
146
ekonomi tinggi berkorelasi positif yang tidak kuat dalam mencari sumber informasi yang relevan dalam berusaha ternak sapi potong. Dikaitkan dengan perilaku mengklarifikasi atau mendiskusikan informasi yang mereka butuhkan lewat saluran komunikasi interpersonal, Tabel 16 menunjukkan bahwa kelas ekonomi tinggi berkorela si positif dengan perilaku mengklarifikasi informasi, dengan tingkat keragaman yang moderat. Artinya, peternak dengan kelas ekonomi rendah cenderung berperilaku klarifikasi/ mendiskusikan
informasi menyebar dikategori rendah sekali (tidak pernah
melakukan) dan kategori rendah, yakni sekitar satu sampai dua kali setiap bulannya. Peternak dengan kelas ekonomi sedang, perilaku mengklarifikasi atau mendiskusikan informasi cenderung terdistribusi di kategori sedang (tiga kali setiap bulan). Adapun peternak kategori kelas ekonomi tinggi, cenderung mengaku tingkat perilaku komunikasi interpersonal dalam mendiskusikan pesan penyuluhan sapi potong kategori sedang sampai tinggi (tiap minggu). Hubungan kelas ekonomi peternak dan perilaku menyebarkan informasi menunjukkan korelasi negatif, dengan keragaman yang rendah. Artinya, peternak dengan kelas ekonomi tinggi, cenderung rendah perilaku menyebarkan informasi. Gambar 14 juga menjelaskan bahwa hubungan peubah kepemilikan media massa anggota kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini dengan perilaku mereka menerima informasi (X4_1) menunjukkan korelasi positif dengan tingkat variabilitas yang tinggi. Peternak dengan kepemilikan media massa yang rendah (tidak punya atau memiliki satu macam media massa) perilaku menerima informasi penyuluhannya cenderung rendah, yakni nol sampai satu kali setiap bulannya. Sedangkan peternak dengan kepemilikan media massa yang sedang (mempunyai dua macam media massa), perilaku menerima informasi menyebar dikategori sedang. Peternak yang memiliki media massa tiga macam atau lebih, berkorelasi positif dengan perilaku menerima informasi yang juga tinggi, sekitar empat sampai enam kali per bulannya. Begitupun hubungan peubah kepemilikan media massa dengan perilaku komunikasi aktif mencari informasi (X4_2) dan hubungan kepemilikan media massa dengan perilaku klarifik asi/ mendiskusikan informasi (X4_3) menunjukkan
147
korelasi positif. Terlihat yang berkorelasi negatif adalah hubungan kepemilikan media massa responden dengan perilaku menyebarkan informasi (X4_4) yang diperoleh,
dengan tingkat keragaman yang rendah. Artinya, peternak dengan
kepemilikan media massa tinggi (punya tiga atau lebih media massa) cenderung rendah perilaku menyebarkan informasi. Dari matriks korelasi pada Tabel 21, terekam bahwa peubah kepemilikan media massa berhubungan sangat nyata (p < 0,01) dengan perilaku komunikasi peternak dalam mencari informasi sapi potong. Dari uraian di atas, berkaitan hubungan peubah tingkat pendidikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa dengan perilaku komunikasi interpersonal responden peternak sapi potong yang dilibatkan dalam penelitian ini mulai dengan perilaku menerima, mencari, mendiskusikan dan menyebarkan informasi sapi potong; umumnya menunjukkan korelasi positif. Hanya perilaku menyebarkan informasi (X4_4) yang berkorelasi negatif dengan karakteristik personal responden peternak sapi potong (tingkat pendidikan, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa ). Perbedaan atas dasar kelompok maju dan kurang maju pun terlihat jelas pada Gambar 14, dimana terlihat bahwa peternak kelompok maju cenderung menunjukkan korelasi negatif antara karakteristik personal peternak denga n perilaku mencari informasi dan perilaku menyebarkan informasi, sedangkan pada kelompok kurang maju (Surade dan Cisitu) umumnya berkorelasi positif. Secara keseluruhan uraian hasil analisis biplot (Gambar 14 ) dan analisis matriks korelasi (Tabel 21) yang menguji hubungan
karakteristik pendidikan
formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa responden anggota kelompok peternak sapi potong dengan perilaku komunikasi interpersonal mereka membuktikan hipotesis III, yang menyatakan bahwa “terdapat hubungan nyata antara karakteristik persona l dengan perilaku komunikasi interpersonal informal” diterima.
148
Hubungan Karakteristik Personal dengan Peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong Untuk menguji hipotesis butir empat yang menyatakan bahwa “terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan peran-peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong” digunakanlah analisis jalur (path analysis), yakni dengan melihat besarnya koefisien-koefisien lintasan (pij ) yang disajikan pada Ga mbar 15. Hasil analisis jalur pada Gambar 15 (di halaman 141) menunjukkan bahwa pendidikan formal (X1) sebagai peubah anteseden atau eksogenus, tidak memberi pengaruh langsung kepada peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong (Y1). Tetapi melalui peubah anteseden lainnya dan atau peubah intervining/endogenus, baru kemudian mempengaruhi Y1. Ini berarti, bahwa meskipun tingkat pendidikan formal tidak secara langsung memberi pengaruh kepada peran-peran komunikasi yang dimainkan oleh anggota kelompok peternak sapi potong, namun tetap dianggap penting. Karena peubah pendidikan formal tersebut ternyata secara tidak langsung turut mempengaruhi peubah terikat Y1 , dengan beberapa jalur yang bermakna di antaranya: (a) pendidikan formal mempengaruhi melalui kelas ekonomi (X2 ) dengan nilai koefisien jalur 0,718 lalu kelas ekonomi ke keterdedahan televisi (X6) dengan nilai koefisien jalur 0,287 dan keterdedahan televisi mempengaruhi peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,466. Dengan memperhatikan bagan jalur di atas, maka dapat diturunkan model yang menggambarkan bahwa peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong adalah fungsi dari keterdedahan tv (CY1 X6 ), kelas ekonomi (Cx6 x2) dan pendidikan formal (Cx2 x1), dengan nilai koefisien jalur pij > 0,05 dianggap bermakna (meaningful) untuk dasar pengujian atau perumusan model. Berarti, bila tingkat pendidikan peternak menjadi lebih baik maka kelas ekonominya cenderung meningkat, dan perubahan kedua peubah peternak sapi potong tersebut turut mempengaruhi keterdedahan peternak terhadap siaran televisi, yakni lebih terdedah pesan televisi. Alur kecenderungan ini akhirnya akan turut mempengaruhi peran
149
komunikasi yang dimainkan oleh anggota kelompok peternak sapi potong tersebut, dimana semakin peternak tersebut terdedah siaran televisi maka semakin mengarah ke pe meran komunikasi “star.” (b)
pendidikan formal berpengaruh nyata terhadap kelas ekonomi (X2) dengan nilai koefisien jalur 0,718 lalu kelas ekonomi ke keterdedahan televisi (X6) dengan nilai koefisien jalur 0,287 dan keterdedahan televisi berpengaruh nyata ke perilaku komunikasi
interpersonal informal: pasif menerima
informasi (X4_1) dengan nilai koefisien jalur 0,4 dan perilaku komunikasi interpersonal informal pasif menerima informasi berpengaruh nyata ke peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,35. (c)
pendidikan formal berpengaruh nyata terhadap kelas ekonomi (X2) dengan nilai koefisien jalur 0,718 lalu kelas ekonomi ke keterdedahan suratkabar (X7) dengan nilai koefisien jalur 0,107 dan keterdedahan suratkabar berpengaruh nyata ke perilaku komunikasi interpersonal informal: pasif menerima informasi (X4_1 ) dengan nilai koefisien jalur 0,21 dan perilaku pasif menerima informasi berpengaruh nyata ke peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,35.
(d)
pendidikan formal punya arti/bermakna terhadap pemilikan media massa (X3) dengan nilai koefisien jalur 0,788 lalu berpengaruh nyata ke keterdedahan siaran radio (X 5) dengan nilai koefisien jalur 0,169, keterdedahan siaran radio berpengaruh nyata ke perilaku komunikasi interpersonal informal: pasif menerima informasi (X 4_1) dengan nilai koefisien jalur 0,218 dan perilaku pasif menerima informasi berpengaruh nyata ke peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,35.
(e)
pendidikan formal berpengaruh nyata terhadap pemilikan media massa (X3) dengan nilai koefisien jalur 0,788 lalu pemilikan media massa berpengaruh nyata ke keterdedahan siaran televisi (X6) dengan nilai koefisien jalur 0,68 dan keterdedahan siaran televisi mempengaruhi peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,466.
(f)
pendidikan formal berpengaruh nyata terhadap pemilikan media massa (X3) dengan nilai koefisien jalur 0,788 lalu pemilik an media massa berpengaruh
150
nyata ke keterdedahan siaran televisi (X6) dengan nilai koefisien jalur 0,68, keterdedahan siaran televisi berpengaruh nyata ke perilaku komunikasi interpersonal informal pasif menerima informasi (X4_1) dengan nilai koefisien jalur 0,4 dan perilaku pasif menerima informasi berpengaruh nyata ke peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,35. (g)
pendidikan formal punya arti/bermakna terhadap keterdedahan siaran radio (X5) dengan nilai koefisien jalur 0,805, keterdedahan siaran radio berpengaruh nyata ke perilaku komunikasi interpersonal informal: pasif menerima informasi (X4_1) dengan nilai koefisien jalur 0,218 dan perilaku pasif menerima informasi berpengaruh nyata ke peran-peran komunikasi dengan nilai koefisien jalur 0,35. Jadi, ketujuh model jalur yang diungkapkan di atas menunjukkan pengaruh
yang kuat atau keterikatan kuat yang ada antara peubah-peubah melalui jalur hubungan di antara mereka . Hal ini ditandai oleh nilai koefisien-koefisien jalur yang menunjukkan kebermaknaan nyata dengan efek tidak langsung mulai dari X1 (pe ndidikan formal) sampai ke peubah endogenus Y1 (peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong). Begitu pun peubah eksogenus X2 (kelas ekonomi) menunjukkan kebermaknaan nyata dengan efek tidak langsung ke Y1 sebanyak tiga jalur , dan peubah eksogenus X3 (kepemilikan media massa) juga memiliki tiga jalur ke peran komunikasi anggota kelompok peternak
dalam
jaringan
komunikasi
sapi
potong
(Y1)
menunjukkan
kebermaknaan nyata dengan efek tidak langsung. Dari kondisi keterikatan karakteristik personal (pendidikan formal, kelas ekonomi dan kepemilikan media massa) dengan peran komunikasi
anggota
kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong yang diulas dengan analisis jalur di atas menunjukkan, hipotesis IV yang menya takan bahwa “terdapat hubungan nyata (kebermaknaan nyata) antara karakteristik personal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong” diterima.
151
Hubungan Perilaku Komunikasi Interpersonal dan Peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong Untuk menjawab hipotesis butir V yang menyatakan “terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi inte rpersonal dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong” digunakan analisis matriks korelasi dan biplot. Hasil olahan analisis biplot tersebut ditampilkan dalam Gambar 16. Gedangs ari
Polokarto AX
1.0
1.5
Star Neglectee 1.0
AW
.5
AV
Mutual Pair
AT AV .5
F2: 28.4%
0.0 AW
AX
F1:22.3% 0.0
-.5 AT
-.5
-1.0 -1.5
Mutual Pair
Star
-1.0
-1.0
-.5
0.0
.5
1.0
Neglectee
-1.5
1.5
-1.5
-1.0
-.5
F1: 71.6%
0.0
.5
1.0
1.5
F1:77.7%
Surade
Cisitu
1.5
1.5
Neglectee
Mutual Pair 1.0
AT
1.0
AT
.5
.5
AW
AV
F2: 24.3%
AV
F2: 5%
AX
0.0
-.5
Star
-.5
AX Star
0.0
Neglectee
AW
-1.0
Mutual Pair -1.0 -1.0
-1.5
-.5
0.0
.5
1.0
1.5
-1.5
-1.0
-.5
0.0
.5
1.0
F1: 95%
F1: 75.7%
Keterangan:
AT = Perilaku menerima informasi AX = Perilaku mencari informasi
AV = Perilaku mengklarifikasi informasi AW= Perilaku menyebarkan informasi
Gambar 16. Keragaan umum keterkaitan peubah perilaku komunikasi interpersonal dengan peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong per desa amatan
1.5
152
Menurut Gambar 16, hubungan peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong di kelompok Gedangsari dengan perilaku komunikasi interpersonal informal, menunjukkan kecenderungan bahwa peternak pemeran star (bintang) relatif kecil perilaku klarifikasi (AV) dan menyebarkan (AW) informasi sapi potong, dibanding peternak berperan mutual pairs. Peternak Gedangsari pemeran star lebih tinggi melakukan upaya mencari informasi
sapi
potong
untuk
kepentingan
usahanya
da n
juga
untuk
mempertahannya fungsi gate keeping. Peternak tersebut cenderung tidak menyebarkan informasi, tetapi dijadikan sebagai tempat bertanya bagi anggota peternak atau masyarakat desa lainnya. Perilaku mencari informasi (AX) peternak Gedangsari ini berkorelasi
rendah dengan perilaku klarifikasi (AV) dan
berkorelasi relatif tinggi dengan perilaku menerima informasi (AT), tetapi korelasi antar peubah tersebut cenderung negatif. Di Surade perilaku menerima informasi (AT) dan perilaku menyebarkan informasi (AW) terlihat tinggi, tapi negatif. Peternak berartibut star cenderung berperilaku menyebarkan informasi sapi potong, tapi tidak berperilaku menerima informasi tersebut. Malahan yang cenderung berperilaku menerima informasi (AT) adalah peternak Surade beratribut neglectee.
Hal ini bertolak belakang
dengan peternak sapi potong kelompok Gedangsari, yang menunjukkan tidak ada kaitan antara perilaku menerima informasi (AT) dan perilaku menyebarkan informasi (AW) sapi potong atau nilai korelasinya nol, teta pi cenderung berkorelasi tinggi antara perilaku menerima (AT) dengan klarifikasi (AV). Menurut Tabel 21, antara perilaku menerima (AT) dengan mengklarifikasi (AV) informasi di kalangan peternak sapi potong berhubungan sangat nyata (p < 0,01). Untuk peternak kelompok maju cenderung berkorelasi positif, sedangkan peternak kurang maju berkorelasi negatif antara perilaku menerima dengan klarifikasi. Sedangkan dua kelompok peternak lainnya, yaitu kelompok Polokarto dan Cisitu menunjukkan korelasi positif
antara perilaku menerima (AT) dan
menyebarkan (AW) informasi sapi potong. Kedua macam perilaku pemanfaatan media interpersonal ini rata-rata relatif tinggi di peternak sapi potong pemeran star, dibandingkan peternak pemeran neglectee maupun mutual pairs.
153
Sama seperti kelompok Gedangsari, rata -rata peternak pemeran star di kelompok Polokarto lebih tinggi perilaku mencari informasi sapi potong. Terlihat bahwa pada perilaku aktif mencari informasi (AX) lebih besar keragamannya dibandingkan dengan perilaku menerima informasi (AT) penyuluhan sapi potong. Perilaku aktif mencari informasi ini, menurut Tabel 21 berkorelasi sangat nyata (p < 0,01) negatif dengan perilaku komunikasi mengklarifikasi/ mendiskusikan informasi sapi potong yang diperoleh. Semakin peternak sapi potong tersebut aktif mencari informasi, semakin rendah perilaku klarifikasi atau mendiskusikan informasi sapi potong dengan peternak anggota kelompok lainnya. Dari Gambar 16 menyarikan bahwa makin star peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong, makin bagus komunikasi interpersonal informal yang dilakukan oleh anggota kelompok peternak tersebut. kelompok
pemeran
star,
rata-rata
berperilaku
Artinya, anggota
menerima,
mencari
dan
mengklarifikasi informasi yang tinggi serta perilaku mau menyebarkan informasi penyuluhan sapi potong lewat pertemuan kelompok seperti selapanan setiap hari Minggu Kliwon di kelompok Polokarto, maupun pertemuan yang diselenggarakan oleh koperasi “Sedyo Rukun” dan KUD “Sukodono” di kelompok maju guna mencari solusi atas masalah agribisnis sapi potong yang dihadapi. Pada kelompok kurang maju terihat terlalu variatif, peternak sapi potong pemeran star pada kelompok Surade terlihat tinggi dibandingkan dengan peternak pemeran star di Cisitu. Hal ini ditunjukkan oleh Gambar 16, yang menyatakan perilaku komunikasi interpersonal informal peternak di kelompok Surade dalam mencari, mengklarifikasi/mendiskusikan dan menyebarkan informasi sapi potong cenderung berkorelasi tinggi pada peternak pemeran star, dibanding peternak pemeran neglectee dan mutual pairs. Adapun perilaku komunikasi menerima informasi pada peternak pemeran star di Surade berkorelasi positif lemah dengan perilaku mengklarifikasi, dengan perilaku mencari informasi berkorelasi negatif, dan dengan perilaku menyebarkan informasi berkorelasi negatif cukup kuat. Korelasi antara perilaku mencari informasi sapi potong (AX) dengan perilaku menyebarkan (AW) informasi peternak sapi potong antar lokasi penelitian juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Peternak Gedangsari
154
misalnya, menunjukkan tidak ada kaitan antara peubah AX dan AW. Begitu pun Polokarto menunjukkan hubungan yang mendekati nol. menunjukkan korelasi positif
Sedangkan Surade
cukup kuat, dan peternak Cisitu menunjukkan
korelasi kuat antara perilaku mencari (AX) dan menyebarkan (AW) informasi sapi potong. Deskripsi perilaku komunikasi interpersonal yang terlihat berbeda pada Gambar 16 adalah hubungan antara perilaku menerima (AT) dan mencari (AX) informasi sapi potong, dimana pada peternak kelompok Cisitu menunjukkan korelasi positif yang tinggi. Peternak sapi potong Polokarto juga menunjukkan korelasi positif tapi rendah. Berbeda dengan peternak kelompok Gedangsari yang menunjukkan korelasi tinggi tetapi negatif. D imana peternak Gedangsari rata -rata relatif tinggi perilaku mencari informasi tentang sapi potong, tetapi
rendah
perilaku menerima informasi tersebut. Begitu pun peternak di Surade, antara peubah AT dan AX menunjukkan korelasi negatif. Peternak sapi potong pemeran sta r di Surade tergolong individu-individu yang memiliki sifat kepemimpinan opini (opinion leadership) yang terbesar dalam sistem sosialnya. Gaya ketokohan peternak pemeran star ini, cenderung paternalistik dan nuansa tradisional yang masih kental karena sifat lokal yang dimilikinya atau sebatas wawasan dan pengalaman di sistem sosialnya saja.
Orang-orang yang berpotensi untuk
mengadopsi inovasi (sapi potong) di kampungnya, dalam klik atau kelompoknya, biasanya datang kepada peternak pemeran star untuk meminta pendapat
dan
informasi tentang inovasi sapi potong tersebut. Penyebab lain ialah
tidak adanya agen-agen pembangunan (kecuali
mantri hewan, itupun jarang) yang menyampaikan informasi sapi potong. Termasuk fe nomena di lapangan yang mengungkapkan bahwa sebagian besar peternak pemeran star tidak pernah diikutserta kan dalam kursus atau pelatihan agribisnis sapi potong yang mereka butuhkan.
Rata-rata peternak sapi potong
pemeran neglectee berperilaku komunikasi interpersonal menerima informasi relatif tinggi. Sehingga jelas bahwa para peternak pemeran neglectee atau yang hanya berperan komunikasi pernah membicarakan pesan penyuluhan sapi potong, tetapi tidak pernah dijadikan tempat bertanya atau berdiskusi oleh anggota
155
kelompok lain, memang hanya berperila ku komunikasi interpersonal secara pasif, yaitu hanya menerima informasi penyuluhan saja. Padahal menurut Rogers (1995) orang-orang semacam “peternak sapi potong pemeran star” inilah yang dijadikan kliknya atau anggota kelompok dan peternak lainnya sebagai tempat untuk menentukan kebenaran/kebaikan suatu ide sebelum dicoba.
Mereka haruslah dimanfaatkan oleh para penyuluh untuk
diminta bantuannya dalam mempercepat proses difusi, karena peternak pemeran star ini tidak terlalu jauh dari anggota-anggota sistem sosial lainnya dalam hal keinovatifan (innovativeness). Peternak tersebut dihormati oleh handai taulannya. Peternak pemeran star ini menjadi kunci dari keberhasilan ataupun kekurangberhasilan penggunaan inovasi yang ditawarkan. Sisi lain, adalah peternak sapi potong pemeran star cenderung berperan sebagai “gate keeping,” karena peternak tersebut sadar bahwa mereka harus mempertahankan keadaan serupa ini dan “status quo” nya jika ingin tetap memiliki kedudukan pimpinan di masyarakatnya atau di sistem sosialnya. Sedangkan perilaku komunikasi interpersonal peternak Cisitu dengan pemeran star rata -rata relatif tinggi
perilaku dalam menerima, mencari dan
menyebarkan informasi sapi potong dibanding peternak pemeran neglectee dan mutual pairs, seba liknya yang terjadi dalam perilaku mengklarifikasi atau mendiskusikan pesan penyuluhan sapi potong. Dimana peternak pemeran star cenderung rendah perilaku mengklarifikasi pesan sapi potong. Bahkan, Gambar 16 juga menunju kkan bahwa perilaku mencari informasi sapi potong (AX) di kalangan peternak pemeran star berkorelasi negatif dengan perilaku menyebarkan pesan penyuluhan sapi potong yang diperoleh/dimilikinya (AW). Fenomena ini ternyata didukung oleh karakteristik tingkat pendidikan formal peternak beratribut pemimpin atau pemeran star yang cenderung berpendidikan cuma tamat SD dan merasa cukup menerima informasi penyuluhan lewat kursus-kursus pertanian/ peternakan di luar pendidikan formal yang satu atau dua kali diikutinya. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku komunikasi interpersonal peternak pada kelompok Cisitu, Surade dan Polokarto memiliki persamaan yang ditunjukkan oleh korelasi positif antara perilaku komunikasi
156
interpersonal pemeran star, dibanding dengan peternak pada kelompok Gedangsari, yang menunjukkan perilaku komunikasi interpersonal paling bagus pada peternak pemeran neglectee dan mutual pairs. Karena ketiga macam perilaku komunikasi interpersonal, yakni perilaku menerima informasi, mengklarifikasi dan perilaku menyebarkan informasi penyuluhan sapi potong rata -rata lebih tinggi di peternak pemeran neglectee dan mutual pairs.
Dari data yang didapat di
lapangan, umumnya peternak pemeran star di Gedangsari tidak pernah menonton tele visi, sehingga wajar kalau perilaku komunikasi interpe rsonal informal yang berkorelasi positif dengan peternak pemeran star adalah perilaku aktif mencari informasi penyuluhan sapi potong
yang umumnya dilakukan dengan saluran
kosmopolit (lebih bertanya ke peternak di luar kelompoknya, penyuluh, inseminator, dealer atau pedagang pakan dan obat-obatan atau mendedahkan diri ke suratkabar dan siaran radio). Ini dilakukan agar peternak pemeran star di kelompok Gedangsari terus mempunyai informasi yang dibutuhkan dan terkini tentang agribisnis sapi potong, dan ini akan melanggengkan peran gate keeping (penjaga gawang) di kelompok dan sistem sosialnya. Adapun rata-rata
perilaku komunikasi interpersonal yang terlihat
berkorelasi positif relatif tinggi dengan anggota kelompok pemeran mutual pairs adalah perilaku menerima informasi (AT), mencari informasi (AX) dan perilaku menyebarkan informasi penyuluhan sapi potong (AV). Penjelasan eksporasi dengan analisis biplot menunjukkan ada hubungan atau korelasi antara peubah pemanfaatan komunikasi interpersonal responden dengan peran komunikasi para peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong. Tetapi apa bila dikaitkan pengujian dengan matriks korelasi pada Tabel 21, secara menyeluruh tidak satupun perilaku komunikasi interpersonal informal peternak sapi potong yang berhubungan nyata (p > 0,05) dengan peran-peran komunikasi peternak. Hal ini menunjukkan, hipotesis V yang menyatakan bahwa “terdapat hubungan nyata antara perilaku komunikasi interpersonal informal dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong” ditolak.
157
Hubungan Perilaku Keterdedahan Media Massa dengan Peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong Untuk menjawab hipotesis VI yang menyatakan “terdapat hubungan nyata antara keterdedahan media massa dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong” juga menggunakan matriks korelasi dan analisis biplot. Hasil analisis biplot tersebut ditampilkan pada Gambar 17. Gedangsari
Polokarto
1.5
1.5 Neglectee
Surat Kabar 1.0
1.0
Star Televisi
.5
F2: 37.0%
F2: 14.9%
.5
Surat Kabar 0.0 Radio
Mutual Pair Radio
0.0 Televisi -.5
Mutual Pair -.5 -1.0
Star
-1.0 -1.5
-1.0
-.5
0.0
.5
1.0
-1.5 -1.5
1.5
Neglectee
-1.0
-.5
0.0
F1: 85.1%
.5
1.0
1.5
F1: 63.0%
Cisitu
Surade
1.5
1.5
Mutual Pair Surat Radio Kabar
1.0
1.0
Star Televisi
F2: 14.6%
F2: 2.7%
.5
.5 Radio Televisi Surat Kabar
0.0
Mutual Pair 0.0
-.5
Neglectee -.5
Neglectee
-1.0
Star -1.5
-1.0 -1.5
-1.0
-.5
0.0
F1: 97.3%
.5
1.0
1.5
-1.5
-1.0
-.5
0.0
.5
1.0
F1: 85.4%
Gambar 17. Keragaan umum keterkaitan peubah keterdedahan media massa dengan peran komunikasi dalam jaringan komunikasi sapi potong per desa amatan
1.5
158
Menurut Gambar 17, ternyata tiga kelompok peternak sapi potong: Polokarto, Cisitu dan Surade menunjukkan kesamaan tipologi
perilaku
pemanfaatan media massa. Dimana rata-rata perilaku keterdedahan media massa radio, televisi dan suratkabar relatif lebih tinggi di para peternak pemeran star dalam jaringan komunikasi sapi potong. Sedangkan peternak sapi potong pemeran star di kelompok Gedangsari rata-rata perilaku pemanfaatan media massa radio dan suratkabar saja yang relatif tinggi. Adapun perilaku pemanfaatan tayangan televisi cenderung berkorelasi dengan peternak pemeran neglectee dan sebagai mutual pairs. Peternak sapi potong kelompok maju seperti yang ditampilkan Gambar 17, menyebutkan bahwa rata -rata peternak pemeran neglectee relatif tinggi perilaku terdedah tayangan televisi dalam menerima informasi sapi potong. Data lapangan menggambarkan, bahwa hampir seluruh (98 persen) peternak sapi potong pada kelompok maju mengaku menonton televisi, bahkan peternak Gedangsari seluruhnya menyatakan terdedah tayangan televisi.
Sehingga jelas, bahwa
perilaku pemanfaatan media massa televisi pada peternak maju tidaklah monopoli peternak sapi potong pemeran star, yang tingkat pendidikannya lebih baik, berstatus ekonomi tinggi dan harus memiliki sendiri pesawat televisi; melainkan dapat menjadi media sarana diseminasi informasi penyuluhan untuk semua lapisan masyarakat, termasuk khalayak sasaran penyuluhan yang illiteracy (buta huruf). Informasi menarik lain dari Tabel 17 ialah perilaku memanfaatkan media massa oleh peternak sapi potong pemeran star di kelompok Polokarto dan Surade menunjukkan hal yang relatif sama. Dimana perilaku terdedah tayangan televisi, siaran radio dan suratkabar rata-rata relatif tinggi di peternak pemeran star. Tetapi peternak sapi potong di Gedangsari cenderung terdedah salah satu media massa saja, terdedah televisi atau hanya siaran radio. Sedangkan peternak sapi potong di Cisitu cenderung memanfaatkan dua-duanya, baik televisi maupun radio. Melihat
kecenderungan korelasi dan keragaman antara
peubah
pemanfaatan atau keterdedahan media massa peternak sapi potong dengan peran komunikasi para peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong yang dikaji dengan analisis biplot di atas, terlihat menunjukkan ada hubungan di antara
159
kedua peubah tersebut. Tetapi apabila dikaitan pengujian dengan matriks korelasi yang tersaji pada Tabel 21, tidak satupun perilaku keterdedahan media massa peternak sapi potong yang berhubungan nyata (p > 0,05) dengan peran-peran komunikasi peternak tersebut. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis VI yang menyatakan “terdapat hubungan nyata antara perilaku keterdedahan media massa (radio, televisi dan suratkabar) dengan peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong,” ditolak. Hubungan Peran Komunikasi Anggota Kelompok dalam Jaringan Komunikasi Sapi Potong dengan Distorsi Pesan Untuk menjawab hipotesis butir ketujuh yang menyatakan “terdapat hubungan nyata antara peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi pesan” juga menggunakan analisis jalur dan matriks korelasi. Hasil olahan analisis jalurnya dapat dilihat pada Gambar 15. Menurut Gambar 15 tersebut, terlihat bahwa koefisien jalur/lintasan antara peran komunikasi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong dan distorsi pesan menunjukkan nilai koefisien pij = 0,922.
Hal ini berarti, jalur
peubah endogenus peran-peran komunikasi anggota kelompok peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong (Y 1) bermakna (meaningful) nyata terhadap distorsi pesan atau tingkat bias informasi yang dimiliki para peternak (Y2) dengan nilai koefisien jalur 0,922. Walaupun secara mapping analisis jalur pada Gambar 15 menunjukkan tingkat kebermaknaan nyata pada hubungan antara peran-peran komunikasi yang berpengaruh tak langsung dengan distorsi pesan, kenyataannya hubungan tersebut tidak signifikan karena harus melalui beberapa peubah lainnya, baru memunculkan kebermaknaan yang nyata antara peubah peran komunikasi dan distorsi pesan. Sehingga apa bila dikuatkan dengan hasil analisis matriks korelasi pada Tabel 21, memang terbukti bahwa korelasi antara kedua peubah tersebut berhubungan tidak nyata (p > 0,05). O leh karena itu, hipotesis VII yang menyebutkan “terdapat hubungan nyata antara peran-peran komunikasi peternak anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi pesan penyuluhan agribisnis sapi potong,” ditolak .
160
Pola Jaringan Komunikasi Antar Anggota Kelompok Peternak Sapi Potong Untuk melih at pola “jaringan komunikasi ternak sapi potong akan lebih memusat kepada peternak dengan kelas ekonomi tinggi daripada peternak yang kelas ekonomi rendah” dilakukan dengan analisis biplot. Sebelumnya, dilakukan terlebih dahulu pengujian pola jaringan komunikasi peternak di keempat kelompok peternak sapi potong yang terlibat dalam penelitian ini
dengan
sosiogram. Sehingga didapat responden peternak yang memiliki atribut sebagai individu yang menjadi tempat rujukan atau bertanya oleh anggota kelompok yang lain, dimana panah-panah sosiogram mengarah kepadanya. Kemudian, kesemua responden beratribut sebagai pemusatan jalur komunikasi dari beberapa orang ini dianalisis biplot untuk melihat hubungan antara pola atau perilaku komunikasi tersebut dengan peubah kelas ekonomi anggota kelompok dalam jaringan komunikasi sapi potong. Hasil olahan analisis biplot tersebut, secara gabungan ditampilkan pada Gambar 18. 1.5 Rp 55-110 juta AW
F2: 39.1%
1.0
.5 AT AX
0.0
Rp > 110 juta -.5 Rp <55 juta
AV
-1.0 -1.0
-.5
0.0
.5
1.0
1.5
F1: 60.9%
Keterangan:
AT= Perilaku menerima informasi
AV = Perilaku klarifikasi/diskusi pesan
AX= Perilaku mencari informasi
A W= Perilaku menyebarkan pesan
Gambar 18. Keragaan umum keterkaitan peubah perilaku komunikasi interpersonal dengan kelas ekonomi peternak anggota kelompok secara gabungan
161
Menurut Gambar 18, secara gabungan terlihat bahwa anggota kelompok peternak sapi potong pemeran star atau yang beratribut sebagai pemusatan jalur komunikasi dari beberapa orang dengan kelas ekonomi tinggi (memiliki asset Rp 110 juta lebih), rata -rata tinggi ketiga macam perilaku komunikasi interpersonal informal, yakni perilaku menerima, mencari dan mengklarifikasi informasi yang diperoleh/dimiliki, dibanding peternak berstatus ekonomi sedang maupun rendah. Peternak pemeran star dengan kelas ekonomi sedang (memiliki asset Rp 55-110 juta) cenderung tinggi perilaku menyebarkan informasi (AW) sapi potong. Kenyataan empirik pun membuktikan bahwa dari 24 responden pemeran star, hampir 71 persen adalah berkategori kelas ekonomi sedang sampai tinggi, dan hanya 29 persen adalah orang-orang yang kelas ekonominya rendah. Star dengan kelas ekonomi rendah ini umumnya dijumpai di kelompok kurang maju, sedangkan di kelompok maju hanya seorang peternak pemeran star yang kelas ekonominya rendah yaitu di kelompok Polokarto dan ia adalah tokoh pendidikan atau seorang guru yang merangkap sebagai peternak (lihat Tabel 22). Tabel 22. Sebaran responden berdasarkan kelas ekonomi pemeran star di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) Kelompok kurang maju Kelompok maju Cisitu Surade Total Gedang Polo- Total Gabungan Kelas Ekonomi Rendah (< Rp. 55 juta) Sedang (Rp. 55-110 juta) Tinggi (> Rp. 110 juta)
n
60,00
62,50
61,54
Sari 0,00
karto 16,67
9,08
29,17
40,00
25,00
30,77
40,00
33,33
36,37
33,33
0,00
12,50
7,69
60,00
50,00
54,55
37,50
5
8
13
5
6
11
24
Berdasarkan pemaparan hasil olahan analisis biplot yang ditampilkan pada Gambar 18 dan kenyataan empirik (Tabel 22) yang diperoleh di lokasi penelitian, secara gabungan terlihat bahwa “Jaringan komunikasi sapi potong akan lebih memusat kepada peternak pemeran star yang kelas ekonominya tinggi daripada orang-orang atau peternak yang kelas ekonominya rendah.”
Untuk peternak
kurang maju maka Jaringan komunikasi sapi potong lebih memusat kepada peternak pemeran star kelas ekonomi rendah, sedangkan peternak yang lebih maju memusat pada kelas ekonomi tinggi.
162
Bila dikaji secara terpisah, terlihat bahwa pemusatan jaringan komunikasi sapi potong peternak kelompok maju lebih didominasi pemeran star yang kelas ekonomi tinggi dibanding pemeran star yang kelas ekonomi sedang maupun rendah.
Tetapi, untuk peternak kurang maju maka jaringan komunikasi sapi
potong akan lebih memusat kepada peternak atau orang-orang pemeran star dengan kelas ekonomi rendah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Rogers dan Shoemaker (1971), yang menyebutkan bahwa di kelompok kurang maju, di tengah masyarakat yang belum modern maka peran kharismatik tokoh adat dan tokoh agama yang dapat dipercaya dan berwibawa cenderung mendominasi pengaruhnya terhadap warga masyarakat atau pengikutinya. Bukan pengaruh status kekayaan yang dimiliki. Pemimpin adat dan tokoh agama ini merupakan pemimpin informal tradisional di daerah perdesaan (Soekanto, 2001), termasuk raja di kampung atau raja huta , yaitu keturunan dari si pendiri kampung yang memperlihatkan kepemimpinan dan kearifan serta sifat-sifat personal lain yang mendorong keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan (Ginting, 1999). Menurut Ginting (1999) selain istilah pemimpin informal tradisional, juga dikenal pemimpin informal kontemporer, yakni pemimpin informal yang kepemimpinannya diakui oleh warga dalam waktu yang belum terlalu lama, seperti cendekia desa atau tokoh pendidikan/ guru, pegawai atau pensiunan, petani atau pedagang yang berhasil (khususnya dalam usaha).
Ternyata tipe -tipe
pemimpin kontemporer ini cenderung lebih banyak dijumpai di kelompok maju. Untuk melihat lebih jauh hubungan perilaku kepemimpinan komunikasi peternak sapi potong pemeran star yang berkaitan dengan monomorfik dan polomorfik dengan karakteristik kelas ekonomi, diguna kan analisis korespendensi dan uji khi-kuadrat (chi-square), yakni uji pemetaan dua kategori (mapping) dan uji kebebasan antar kategori. Jadi, data macam kepemimpinan komunikasi yang dianalisis derajat hubungannya ini adalah data kategori, bukan lagi data rasio.
Data anggota
kelompok peternak sapi potong pemeran star ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya adalah figur pemuka pendapat (opinion leader’s)
untuk jaringan
komunikasi agribisnis sapi potong, lalu dipetakan menjadi dua kategori.
Karena,
163
di lokasi penelitian ternyata tidak semua star tersebut menjadi pemuka pendapat hanya untuk satu jenis jaringan komunikasi atau informasi (Monomorfik) saja. Di antaranya ada yang menjadi tempat bertanya untuk berbagai hal di luar pesan penyuluhan sapi potong, termasuk meminta advis maupun mencari solusi akan permasalahan pribadi/rumah tangga dan masalah keseharian yang dihadapi para peternak. Mereka ini disebut sebagai pemuka pendapat polimorfik. Untuk
lebih
rinci
melihat
kecenderungan
antar
profil
kategori
kepemimpinan komunikasi peternak sapi potong pemeran star tersebut dalam hubungannya dengan karakteristik kelas ekonomi dapat dilihat pada hasil analisis korespondensi Gambar 19.
Dari Gambar 19, secara gabungan terlihat bahwa
anggota kelompok peternak sapi potong pemeran star atau sebagai pemuka pendapat dengan kelas ekonomi tinggi (memiliki asset Rp 110 juta lebih) dominan terhadap perilaku kepemimpinan komunikasi polimorfik. Pemuka pendapat dengan kelas ekonomi sedang, yakni memiliki asset Rp 55-110 juta paling dominan berperilaku kepemimpinan komunikasi sebagai pemuka pendapat monomorfik. Pemuka pendapat dengan kelas ekonomi rendah dengan pemilikan asset kurang dari Rp 55 juta, umumnya dominan sebagai bukan pemimpin. Secara keseluruhan macam perilaku kepemimpinan komunikasi peternak pemeran star pada jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong mempunyai hubungan sangat nyata (p < 0,01) dengan karakteristik kelas ekonomi peternak. Hal ini ditunjukkan dengan hasil uji khi-kuadrat, dimana diperoleh nilai koefisien Pearson Chi-Square sebesar 25.179 dengan p-Value =0,000. P eternak berperilaku kepemimpinan komunikasi polimorfic dominan mengumpul di kategori kelas ekonomi
tinggi,
peternak
yang
berperilaku
kepemimpinan
komunikasi
monomorfic mengumpul di kategori kelas ekonomi sedang, dan peternak sapi potong kategori kelas ekonomi rendah cenderung bukan pemimpin. Dari pembahasan hubungan perilaku kepemimpinan komunikasi peternak sapi potong beratribut star dengan karakteristik kelas ekonomi secara gabungan di atas, maka hasil olahan analisis statistik tersebut
menunjukkan bukti kuat
bahwa “Pemuka pendapat kelas ekonomi tinggi lebih berpeluang menjadi pemuka pendapat polimorfik daripada pemuka pendapat kelas ekonomi rendah.”
164
Monomorfik Rp 55-110 juta
Rp <55 juta Bukan Pemimpin
Polymorfik Rp > 110 juta
Gamba r 19. Keragaan hasil analisis korespondensi peubah perilaku kepemimpinan komunikasi dengan kelas ekonomi peternak anggota kelompok secara gabungan Penjelasan di atas dapat diamati secara detil
nilai kuantitatifnya,
berdasarkan uji chi-square terhadap masing-masing kelompok peternak sapi potong yang dilibatkan dalam pene litian ini. Untuk memudahkan interpretasi terhadap hasil analisis chi-square tersebut, Tabel 23 berikut ini menyajikan hasil olahan statistik yang membedakan antar kelompok objek pengamatan. Menurut Tabel 23, dari respons 24 orang peternak pemeran star secara gabungan menunjukkan bahwa pemuka -pemuka pendapat dengan kelas ekonomi rendah lebih dominan merupakan pemuka penda pat monomorfik (sekitar 47 persen) sedangkan yang berperilaku kepemimpinan komunikasi polimorfik tidak ada.
Adapun pemuka pendapat dengan kelas ekonomi sedang, dominan
merupakan pemuka pendapat polimorfik, begitu pun anggota kelompok yang berperan star dengan kelas ekonomi tinggi juga dominan adalah pemuka pendapat polimorfik.
Apabila dibandingkan antara pemuka pendapat polimorfik kelas
ekonomi sedang dan tinggi, terlihat bahwa pemuka pendapat polimorfik kelas ekonomi tinggi, lebih dominan dari pemuka pendapat polimorfik kelas ekonomi menengah. Sehingga memunculkan fenomena, semakin meningkat kelas ekonomi pemuka pendapat maka semakin polimorfik kepemimpinan komunikasinya.
1 Tabel 23. Sebaran responden berdasarkan kelas ekonomi anggota jaringan komunikasi sapi potong pemeran star monomorfik dan polimorfik di kelompok kurang maju dan maju (dalam persen) Kelompok kurang maju Kelas Ekonomi
Kelompok maju Gabungan
Cisitu Bukan Monostar morfik
Polimorfik
Surade
Gedangsari
Polokarto
Bukan Mono- Polistar morfik morfik
Bukan Mono Polistar morfik morfik
Bukan Mono- Polistar morfik morfik
Bukan Mono- Polistar morfik morfik
Rendah
95,8
66,7
0,00
71,5
62,5
0,0
40,0
0,0
0,0
54,2
50,0
0,0
67,9
46,6
0,0
Sedang
4,2
33,3
50,00
19,0
25,0
66,7
20,0
66,7
0,0
29,2
25,0
50,0
17,9
26,7
44,4
Tinggi
0,0
0,00
50,00
9,5
12,5
33,3
20,0
33,3
100,0
16,7
25,0
50,0
14,2
26,7
55,6
5
3
27
4
2
101
15
n
27
3
2
22
25
3
2
χ 2 (Cisitu, df = 4, p- value = 0,015) = 12,288*
χ 2 (Gedang Sari, df = 2, p- value = 0,005) = 10,632 **
χ 2 (Surade, df = 4, p-value = o,028) = 10,848 *
χ 2 (Polokarto, df = 4, p- value = 0,619)
9
= 2,642
χ 2 (Gabungan, df = 4, p- value = 0,000) = 25,179**
165
166 Bila diama ti secara terpisah, baik Tabel 23 maupun Gambar 20 berikut ini menyimpulkan bahwa kelompok Cisitu dan Surade (kelompok kurang maju) menunjukkan perilaku kepemimpinan komunikasi pemuka pendapat kelas ekonomi rendah di dua desa tersebut adalah semua berperilaku kepemimpinan komunikasi monomorfik, tidak seorang pemuka pendapat yang berperilaku kepemimpinan komunikasi polimorfik. Untuk pemuka pendapat kelas ekonomi sedang dan tinggi malah sebaliknya, yaitu berperilaku kepemimpinan komunikasi polimorfik. Bahkan pemuka pendapat
kelompok Cisitu kelas ekonomi tinggi
tidak satupun berperilaku kepemimpinan komunikasi monomorfik.
Perbedaan
dominan perilaku kepemimpinan komunikasi antar pemuka pendapat kelas ekonomi rendah, sedang dan tinggi ini terlihat signifikan (p< 0,05) pada kelompok peternak Cisitu maupun pada kelompok peternak Surade. Pada kelompok maju, perilaku kepemimpinan komunikasi
pemuka
pendapat dengan kelas ekonomi sedang di kelompok Gedangsari yang dominan justru monomorfik, karena pemuka pendapat kelas ekonomi rendah tidak ada. Sedangkan pemuka pendapat kelas ekonomi tinggi seluruhnya adalah pemuka pendapat polimorfik, sehingga terlihat perbedaan sangat nyata (p <0,01) antara peubah kelas ekonomi peternak pemeran star tersebut.
Gejala serupa juga
dimunculkan pada fenomena perilaku kepemimpinan komunikasi pemuka pendapat kelompok Polokarto, hanya saja dominasi perbedaannya tidak signifikan (p > 0,05). Dimana peternak pemeran star di kelompok Polokarto menunjukkan, bahwa apa bila peternak tersebut beratribut kelas ekonomi rendah maka perilaku kepemimpinan komunikasinya adalah monomorfik. Apabila kelas ekonominya meningkat menjadi sedang/tinggi maka perilaku kepemimpinan komunikasi yang dimainkan cenderung polimorfik. Jadi, benar bahwa
“pemuka pendapat kelas
ekonomi tinggi lebih berpeluang menjadi pemuka penda pat polimorfik, daripada pemuka pendapat kelas ekonomi rendah. ”
167 Polokarto
Gedang Sari
Monomorfik Rp 55-110 juta Polymorfik
Rp > 110 juta
Rp 55-110 juta
Polymorfik
Bukan Pemimpin Bukan Pemimpin
Rp <55 juta Rp > 110 juta Monomorfik
Rp <55 juta
Cisitu
Surade Rp > 110 juta Bukan Pemimpin
Bukan Pemimpin
Polymorfik Monomorfik
Rp <55 juta
Rp 55-110 juta
Polymorfik Rp 55-110 juta Rp <55 juta
Monomorfik
Gambar 20. Keragaan hasil analisis korespondensi peubah perilaku kepemimpinan komunikasi dengan kelas ekonomi peternak berdasarkan kelompok amatan
168 Pembahasan Hipotesis Dari hasil pengujian hipotesis nampak bahwa pada jaringan komunikasi penyuluhan teknologi sapi potong pe rkembangan peternak anggota kelompok di keempat lokasi penelitian terhambat oleh jenis pelapisan sosial yang berbedabeda. Dalam penelitian ini yang menjadi parameter pelapisan sosial tersebut adalah karakteristik personal, perilaku keterdedahan media massa serta perilaku komunikasi interpersonal informal peternak.
Oleh sebab itu apa bila hendak
meningkatkan keterlibatan para peternak tersebut dalam jaringan komunikasi penyuluhan sapi potong maka faktor hambatan dari masing-masing jenis pelapisan sosial yang mengantarai anggota jaringan, baik sebagai star, neglectee dan mutual pairs, atau kalau ada isolate (pemencil) harus disingkirkan. Tentu saja hal ini tidak mudah, mengingat pelapisan sosial atau karakteristik yang melekat pada individu personal tersebut bersifat struktural. Sehingga untuk mengurangi hambatan-hambatan keterlibatan peternak dalam jaringan komunikasi yang bersifat struktural tersebut haruslah dilaksanakan secara tidak langsung, yaitu dengan cara membuat strategi atau perencanaan komunikasi yang sesuai dengan kondisi ciri-ciri individual peternak, di samping mengkaji pesan yang akan dikemas sebagai informasi penyuluhan sapi potong agar tidak memunculkan distorsi atau ketimpangan tingkat informasi antar anggota jaringan komunikasi sapi potong. Untuk meningkatkan pelibatan yang optimal sebagai anggota kelompok jaringan komunikasi sapi potong dalam aktivitas penyuluhan “teknologi sapi potong” yang diselenggarakan, dapat dilakukan dengan menyederhanakan pesan penyuluhan sehingga mudah dipahami oleh peternak dan warga desa di sekitar kelompok ternak tersebut yang tingkat pendidikannya relatif rendah.
Bagi
khalayak tidak bersekolah (tak tamat SD) maka perumusan pesan, tingkat bahasa dan gaya penyajian disusun agar dapat dimengerti dan sesuai dengan kondisi khalayak sasaran. Hambatan lain penyebab distrosi yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah (a) ketiadaan informasi-informasi penunjang, seperti informasi tentang potensi pasar, cara menciptakan pasar, jaringan antar pasar, cara membina pasar,
169 pengelolaan usaha sapi potong berorientasi bisnis, cara memanfaatkan dan memelihara teknologi; (b) ketiadaan informasi harga dan kestabilan pasar, (c) ketiadaan informasi mendapatkan sumber modal dan akses perbankan, (d) kurangnya informasi pengolahan, penanganan hasil dan limbah, maupun penanganan kesehatan, (e) kemampuan diversifikasi komoditas yang diusahakan belum ada, (f) kurangnya kemampuan instansi/lembaga yang menangani teknologi tepat guna yang sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas peternak, (g) peran lembaga penyuluhan yang tidak optimal dalam membina, lebih-lebih dalam mendiseminasikan pesan penyuluhan yang tepat waktu dan tepat kapasitas sasaran lewat media massa, (h) pelayanan birokrasi desa, dan (i) faktor sosial budaya. Melibatkan pemuka -pemuka pendapat (opinion leaders), baik yang ada di dalam kelompok jaringan komunikasi sapi potong maupun pemuka pendapat di kampung atau desa di mana kelompok itu berada, dalam kegiatan memotivasi dan menyampaikan pesan teknologi sapi potong. Perlu memanfaatkan media massa dalam mendiseminasikan pesan penyuluhan tersebut. Lebih -lebih pada kelompok maju yang tingkat aksesibilitas komunikasinya sudah cukup tinggi dan tingkat akseptabilitas dalam bentuk keterdedahan atau pajanan media massanya juga sudah baik serta adanya lembaga media massa (radio, televisi dan suratkabar) lokal. Maka sebaiknya informasi teknologi sapi potong tersebut diintergrasikan dengan program-program perdesaan yang relevan yang ada pada media massa tersebut, dalam bentuk kampanye penyuluhan dan pembelajaran masyarakat melalui media massa. Bagi peternak kelompok kurang maju, mengaktifkan
komunikasi
penyuluhan teknologi sapi potong melalui radio sebagai lembaga penyiaran publik adalah signifikan, karena umumnya peternak tersebut memiliki aksesibilitas yang tinggi walaupun hanya memiliki sebuah radio transistor kecil dan penerimaan informasi (acceptability) melalui media tersebut sudah sangat familiar. Penyuluhan informasi sapi potong perlu dilakukan secara regular melalui radio atau televisi, dan hendaknya disesuaikan dengan waktu luang para peternak sapi potong sebagai khalayak sasaran penyuluhan serta ketepatan materi tersebut disiarkan karena dibutuhkan saat itu. Lokalisasi pesan dan membuat materi siaran
170 beragam/bervariasi sangat penting, terutama di daerah yang terdapat perbedaan sosial dan kultur yang besar. Dalam hal ini perlu disesuaikan penyampaian informasi penyuluhan teknologi sapi potong dengan lingkungan, situasi dan waktu dimana khalayak sasaran berada. Karena siaran radio dan televisi memiliki kecenderungan komplementer dalam akseptabilitas atau penerimaannya di masyarakat perdesaan termasuk para peternak sapi potong, maka diseminasi informasi teknologi sapi potong perlu dikelola agar tidak tumpangtindih atau bersamaan waktu tayang-siarnya. Sejalan dengan sifat media siaran (radio dan televisi) yang memang harus memikat, maka program-program edukasi bagi masyarakat perdesaan, baik untuk menimbulkan minat umum pada teknologi sapi potong, membimbing dan memotivasi para peternak perlu disampaikan secara menarik. Perlu diusahakan agar program-program mendidik masyarakat perdesaan tersebut tidak bersifat satu arah dari penyiar ke khalayak media siaran saja, tetapi menjadi dua arah. Bila mungkin, khalayak perlu dilibatkan dalam suatu dialog untuk mengetahui apa yang mereka butuhkan dan bagaimana membantu mereka memenuhi kebutuhan tersebut melalui saluran komunikasi siaran ini. Bisa dengan melibatkan figur peternak seperti early majority dalam acara dialog atau menginterview opin ion leaders (pemuka pendapat) di stasiun televisi/radio tersebut untuk mempengaruhi khalayak sasaran, atau membuat siaran interaktif yang memungkinkan khalayak sasaran bisa memberikan feedback segera. Strategi lain, dengan menggunakan media komunikasi tradisional yang sejak lama memang berfungsi sebagai saluran pesan yang akrab dengan masyarakat setempat (Jahi, 1993). Seperti pertunjukan rakyat (lagu-lagu rakyat, tarian rakyat, operet, cerita rakyat, drama, wayang dan sebagainya) yang dikemas persuatif dan empatik dalam paket siaran televisi maupun radio, diharapkan bisa meningkatkan pengetahuan dan pemahaman khalayak sasaran mengenai pesan penyuluhan teknologi sapi potong. Karena peternak pada kelompok maju tingkat kemampuan baca-tulisnya dan aksesibilita s serta akseptabilitas terhadap media suratkabar sudah baik, maka media cetak berupa suratkabar perdesaan dan koran pertanian dapat dipergunakan
171 dan terus ditingkatkan perannya sebagai saluran komunikasi penyuluhan teknologi sapi potong, termasuk penyebaran bahan tertulis dari dealer (penyalur input produksi), LSM dan pemerintah berupa poster, pamflet, majalah teknologi, stiker, kalender, booklet, leaflet dan brosur. Strategi meningkatkan kepadatan jaringan komunikasi penyuluhan teknologi sapi potong melalui komunikasi interpersonal perlu dilakukan, agar stress yang dirasakan orang-orang sebagai anggota kelompok jaringan komunikasi tersebut bisa diredam dan dicarikan solusinya. Misalnya, melalui penguatan organisasi dan kelembagaan peternak dalam bentuk “media forum” atau sekolah radio atau “farm forum ” di bawah bimbingan seorang pimpinan kelompok. Termasuk di sini adalah memantapkan strategi partisipasi, yakni mengutamakan kerjasama kelompok, yang mengutamakan pengalaman keikutsertaan individuindividu peternak dalam proses berbagi pengetahuan atau keterampilan mulai dari merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan monitoring, sampai menikmati hasil kegiatan-kegiatan bersama dalam kelompoknya, di kegiatan on-farm maupun aktivitas off-farm agribusiness sapi potong. Jadi, perlu perumusan kebijakan atau strategi komunikasi pembangunan peternakan sapi potong yang bertolak dari kenyataan masih terjadi distorsi pesan dan ketiadaan informasi yang berkaitan dengan masalah pemasaran, informasi harga, teknologi tepat guna dan askes permodalan. Meningkatkan keterlibatan birokrasi atau kelembagaan sosial maupun kelembagaan penyuluhan, penyedia teknologi dan modal. Pelibatan pemuka pendapat dan sumber-sumber informasi relevan lainnya, baik melalui pendekatan interpersonal maupun media massa. Menggunakan teknik komunikasi yang mampu meningkatkan kepadatan jaringan komunikasi kelompok budaya setempat.
dan pendekatan yang akseptabel sesuai dengan sosial
Model komunikasi yang digunakan haruslah berbentuk
konvergensi yang memperhitungkan pengaruh struktur sosial, ekonomi, politik maupun budaya yang lebih memungkinkan terjadinya arus informasi bottom up. Sehingga komunikasi lebih merupakan suatu proses berbagi informasi yang memungkinkan terjadinya saling pengertian (mutual understanding) di antara komponen-komponen pembangunan peternakan.
Dengan strategi komunikasi
172 seperti yang dijelaskan di atas, diharapkan hasil-hasil pembangunan peternakan membawa perubahan struktural, yang merupakan syarat bagi suatu pembangunan.
173
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Masalah pokok pada penelitian ini adalah apakah pola komunikasi peternak dalam penyuluhan sudah tidak sepenuhnya mengandalkan komunikasi interpersonal. Berdasarkan hasil dan pembahasan serta pengujian hipotesis penelitian, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Terdapat perbedaan sangat nyata (p < 0,01) tingkat pemanfaatan media massa antara peternak kelompok maju dengan kurang maju, mengindikasikan terjadi pergeseran dari mengutamakan komunikasi interpersonal (menerima dan menyebarkan informasi) ke komunikasi bermedia.
Hanya saja yang didedah lebih
banyak berita, hiburan dan infotainment (olahraga dan film/sinetron). (2) Untuk informasi teknis peternakan diperlukan sinergi antara komunikasi penyuluhan interpersonal dan impersonal, dengan penekanan pada “memenuhi kebutuhan informasi masyarakat peternak.” (3) Tingkat pemeran komunikasi peternak yang terdapat dalam jaringan komunikasi sapi potong terdiri atas star, mutual pairs atau dyadic, neglectee. Peternak maju dominan pemeran komunikasi neglectee, sedang peternak kurang maju dominan pemeran mutual pairs. Pemeran Star lebih banyak di kelompok kurang maju. (4) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik personal dengan keterdedahan media massa, baik berpengaruh nyata secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung adalah pendidikan formal. Pendidikan peternak berhubungan nyata (p< 0,05) dengan keterdedahan radio dan tv, dan sanyat nyata (p < 0,01) dengan terdedah suratkabar. Sedang pengaruh tak langsung, peubah pendidikan harus melewati pemilikan media massa baru ke keterdedahan radio, atau melalui kelas ekonomi lalu ke perilaku membaca suratkabar. Kelas ekonomi responden berhubungan sangat nyata (p< 0,01) dengan terdedah suratkabar. Pengaruh tak langsung lainnya adalah pendidikan formal harus melewati dulu kepemilikan media massa atau kelas ekonomi lalu ke terdedah televisi.
174
(5) Terdapat hubungan sangat nyata antara karakteristik personal dengan perilaku komunikasi interpersonal peternak sapi potong mulai dari perilaku menerima, mencari, mengklarifikasi dan menyebarkan informasi; umumnya menunjukkan korelasi positif. Tingkat pendidikan peternak berkorelasi sangat nyata (p< 0,01) dengan perilaku mencari informasi, nyata (p< 0,05) dengan perilaku menerima. Kelas ekonomi berkorelasi nyata dengan perilaku menerima informasi. Kepemilikan media massa berhubungan sangat nyata dengan perilaku mencari informasi. Karakteristik personal peternak kelompok maju cenderung berkorelasi negatif dengan perilaku menyebarkan informasi, sedangkan peternak kurang maju umumnya berkorelasi positif dengan perilaku komunikasi interpersonal. (6) Ada hubungan nyata (tidak langsung) antara karakteristik personal dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong. Pendidikan formal memiliki tujuh model jalur yang menunjukkan kebermaknaan nyata tidak langsung sampai ke peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong. Kelas ekonomi dan pemilikan media massa masing- masing punya tiga jalur yang menunjukkan kebermaknaan nyata tak langsung ke peran komunikasi. (7) Tidak terdapat hubungan nyata perilaku komunikasi interpersonal dengan peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong. Walaupun demikian, peternak pemeran star rata-rata berperilaku menerima, mencari dan mengklarifikasi informasi yang tinggi serta berperilaku mau menyebarkan informasi penyuluhan sapi potong, dibanding peternak pemeran neglectee yang cenderung tinggi hanya perilaku klarifikasi maupun peternak pemeran mutual pairs yang rata-rata tinggi perilaku menerima dan menyebarkan informasi. (8) Tidak terdapat hubungan keterdedahan media massa (radio, televisi, suratkabar) dengan peran komunikasi peternak. Walaupun demikian, peternak pemeran star rata-rata tinggi perilaku terdedah radio dan televisi, juga membaca suratkabar. (9) Tingkat distorsi pesan penyuluhan peternak umumnya rendah, bila dibandingkan maka peternak kurang maju distorsi pesan dominan kategori tinggi, sedang pada kelompok maju hampir seluruhnya menunjukkan distorsi pesan yang rendah.
175
(10) Tidak terdapat hubungan nyata (p > 0,05) antara peran komunikasi peternak dalam jaringan komunikasi sapi potong dengan distorsi pesan penyuluhan. (11) Jaringan komunikasi sapi potong akan lebih memusat kepada orang-orang kelas ekonomi tinggi (me miliki asset Rp 110 juta lebih) dan rata-rata pemeran star dengan kelas ekonomi tinggi berperilaku komunikasi interpersonal relatif tinggi, diband ing kelas ekonomi sedang/rendah. Koefisien jalur antara kepemimpinan pemuka pendapat menunjukkan kebermaknaan nyata pada peran komunikasi. (12) Pemuka pendapat atau pemeran star kelas ekonomi tinggi lebih berpeluang menjadi pemuka pendapat polimorfik (memiliki banyak macam informasi) daripada pemuka pendapat yang kelas ekonominya rendah, (13) Faktor- faktor yang mendasari penyusunan strategi komunikasi penyuluhan sapi potong adalah (i) ciri-ciri individual peternak, (ii) distorsi pesan dan ketiadaan informasi (yang berkaitan masalah pemasaran, informasi harga, teknologi tepat guna yang sesuai kebutuhan, kapasitas peternak dan askes permodalan), (iii) keterlibatan birokrasi (kelembagaan sosial maupun penyuluhan, penyedia teknologi dan modal, (iv) pelibatan pemuka pendapat dan sumber informasi relevan lainnya dalam menyampaikan informasi teknologi sapi potong melalui saluran interpersonal, dan teknik komunikasi penyuluhan dengan cara: (i) memanfaatkan media tradisional dan pembelajaran masyarakat melalui media massa dengan siaran interaktif dan tidak satu arah, (ii) menggunakan teknik komunikasi yang mampu meningkatkan kepadatan jaringan komunikasi kelompok melalui penguatan kelembagaan peternak dan (iii) memantapkan partisipasi berdasarkan pendekatan yang akseptabel sesuai dengan sosial budaya setempat.
Saran Saran-saran berikut ini diformulasikan atas dasar hasil dan pembahasan serta simpulan yang dikemukakan pada bagian terdahulu. Saran-saran ini ditujukan kepada pihak-pihak yang berminat dan terlibat dalam pengembangan peternakan sapi potong di daerah perdesaan, di antaranya adalah sebagai berikut:
176
(1) Dalam menyebarkan dan mengembangkan peternakan sapi potong di daerah perdesaan perlu menggunakan media siaran, yang disesuaikan dengan kebiasaan mendedah televisi/radio dan kebutuhan spesifik lokasi. (2) Melihat potensi pemanfaatan media massa oleh peternak untuk mencari informasi maka diharapkan pengelola media massa memberikan porsi yang lebih besar untuk penyuluhan informasi teknis (peternakan). (3) Karakteristik personal yang berbeda mempengaruhi perilaku keterdedahan media massa dan perilaku komunikasi interpersonal peternak, ini menuntut penyusunan strategi atau perencanaan komunikasi penyuluhan sapi potong yang berbeda. Bagi peternak kurang maju yang perilaku komunikasi interpersonal relatif tinggi, masih menuntut penyuluhan dengan pola interpersonal dan penguatan kapasitas sasaran. (4) Petugas penyuluhan (PPL, KCD peternakan, keswan, inseminator) dan sumberinformasi interpersonal lokal lainnya perlu dikembangkan dan dijaga kecukupan informasi tentang teknis peternakan (sapi potong), sehingga dapat membantu pemuka pendapat, anggota kelompok lain dan masyarakat desa
memecahkan
masalah beternak sapi potong. (5) Perlu ada suatu lembaga yang berfungsi sebagai Pusat Informasi Pembangunan di tingkat kabupaten/kota yang bertugas menyiapkan informasi penyuluhan, tidak hanya pada informasi teknologi untuk produksi dan produktivitas, juga penguatan organisasi, kelembagaan peternak, bisnis peternakan dan aktivitas off-farm. (6) Perlu perumusan kebijakan atau strategi komunikasi pembangunan peternakan sapi potong berbentuk konvergensi yang bertolak dari kenyataan masih terjadi distorsi dan ketiadaan informasi yang berkaitan masalah pemasaran, informasi harga, teknologi tepat guna dan akses permodalan. Misal, dengan memantapkan kelembagaan PIP di atas, sebagai forum sodalitik (mempertemukan kepentingan peternak dengan kepentingan agen pembangunan peternakan).
177
DAFTAR PUSTAKA
Asngari, P.S. 2001. Peranan Agen Pembaharuan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, 15 September 2001. Bogor. Azwar, S. 1997. Sikap Manusia, Teori dan Pengukurannya. Kanisius. Yogyakarta. Berlo, D.K. 1960. The Process of Communication, An Introduction to Theory and Practice. New York: Holt, Reinhart and Winston, Inc. Blau, P.M. 1975. “Parameters of Social Structure” In Approaches to the study of Social Structure. The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co., Inc. New York. Boyle, P.G. 1981. Planning Better Programs. Company.
New York: McGraw-Hill Book
BPS. 1994. Statistik Kesejahteraan Rakyat 1993. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Burt, R.S. 1987. “A Note on Stranger, Frends and Happiness” Social Network. Volume 9 Nomor 4, Desember 1987. Chambers, R. 1987. Rural Development: Putting the Last First. Terjemahan, Pepep Sudradjat: Pembangunan Desa, Mulai dari Belakang. Jakarta: LP3ES. Dahama, O.P., and O.P. Bhatnagar. 1985. Education and Communication for Development. New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co. Deane, J. 2004. “The Context of Communication for Development.” Makalah. Pertemuan “roundtable” Komunikasi Pembangunan ke-9 PBB, 6-9 September 2004. Rome, Italia: Food Agriculture Organization (FAO) of the United Nations. DeFleur, M.L., and S.B. Rokeach. 1982. Theories of Mass Communication. 5th Ed. London: Longman Inc. Depari, E. dan C. MacAndrews. 1998. Peranan Komunikasi Massa dalam Pembangunan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Departemen Penerangan. 1984. Penerangan Terpadu, Suatu Sistem dalam mendukung Suksesnya Pembangunan Nasional. Jakarta: Departemen Penerangan Republik Indonesia. Devito, J.A. 1997. Komunikasi Antar Manusia: Kuliah Dasar. Jakarta: Professional Books.
178
Dissayanake, W. 1981. Development and Communication Four Approach. Media Asia. Singapore: The Asian Mass Communication Research and Information Centre (AMIC). Effendy, O.U. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar Maju. ___________. 2000. Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bakti. ___________. 2001. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek . Bandung: Remaja Rosdakarya. Geertz, C. 1986. Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa. Jakarta: Pustaka Grafiti Press. Ginting, R. 1999. “Peranan Pemimpin Informal dalam Menggerakkan Partisipasi Masyarakat untuk Pembangunan Desa.” Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Goldberg, A.A., dan C.E. Larson. 1985. Komunikasi Kelompok: Proses-proses Diskusi dan Penerapannya. Jakarta: UI-Press. Hagen, E.E. 1962. On the Theory of Social Change: How Economic Growth Begins. Homewood, Illinois: The Dorsey Press, Inc. Hanneman, G.J., and W.J. McEver. 1975. Communication Behavior. Massachusetts: Addison Wesley Publishing Company. Harmoko. 1992. “Promosi Inovasi Pembangunan Melalui Media Komunikasi.” Dalam, Hubeis, A.V.S., P. Tjitropranoto dan W. Ruwiyanto (Editor). Penyuluhan Pembangunan di Indonesia: Menyongsong Abad XXI. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Havelock, R.G., A. Guskin, M. Frohman, M. Havelock, M. Hill, and J. Huber. 1971. Planning for innovation: Through Dissemination and Utilization of Knowledge. Ann Arbor: The University of Michigan. Hubeis, A.V.S., P. Tjitropranoto dan W. Ruwiyanto. 1992. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia: Menyongsong Abad XXI. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Hybels, S., and R.L. Weaver II. 1998. Communicating Effectively. 5th Ed. St.Louis, Missouri: The McGraw-Hill Companies, Inc. Jahi, A., R. Lumintang, S.R. Subarna, A. Saleh dan Hadiyanto. 1986. Perilaku Komunikasi Tokoh- Tokoh Masyarakat yang Terlibat Aktif dalam Difusi Inovasi Ternak Kelinci Unggul di Beberapa Desa Di Jawa Ba rat dan Jawa Tengah. Laporan Penelitian. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. (Fotokopi)
179
______. 1993. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Jarmie, M.Y. 1994. “Sistem Penyuluhan Pembangunan Pertanian Indonesia.” Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jayaweera, N. 1989. “Rethinking Development Communication: A Holistic View.” Dalam, Jayaweera, N., and S. Amunugama (Editor). Rethinking Development Communication. Second Impression. Singapore: The Asian Mass Communication Research and Information Centre (AMIC). ___________., and S. Amunugama. 1989. Rethinking Development Communication. Second Impression. Singapore: The Asian Mass Communication Research and Information Centre (AMIC). Johnson, R.A., and D.W. Wichern. 2002. Applied Multivariate Statistical Analysis. 5th Ed. New Jersey: Prentice Hall International, Inc. Kasryno, F. 1995. “Reorientasi Penelitian dan Penyuluhan Pertanian pada PJP II.” Dalam, Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian pada Pembangunan Pertanian Jangka Panjang tahap Kedua. Prosiding Lokakarya, 4-5 Juli 1995 di Ciawi, Bogor. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Katz, E. 1963. “The Diffusion of New Ideas and Practices.” In Schramm, W. The Science of Human Communication. New York: The Free Press. Kerlinger, F.N. 1986. Foundations of Behavioral Research. 3rd Ed. Holt, Rinehart and Winston, Inc. New York. Terjemahan, Simatupang, L.R., dan H.J. Koessoemanto (Ed itor). 2003. Asas-asas Penelitian Behavioral. Cetakan ke-9. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kincaid, D.L. 1979. The Convergence Model of Communication. Paper of The EastWest Communication Institute. Hawaii, Honolulu. __________., dan W. Schramm. 1987. Asas-asas Komunikasi Antar Manusia. Jakarta: LP3ES. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Kompas. 1989. Produksi Gabah Tahun ini Naik. H.U. Kompas, 20 Februari 1989. Jakarta. Laswell, H.D. 1976. “The Structure and Function of Communication in Society.” In Berelson, B., and M. Janowitz. Reader in Public Opinion and Communication. 2nd Ed. New York: The Free Press. Lebart, L., A. Morineau and K.M. Warwick. 1984. Correspondence Analysis. New York: John Wiley and Sons, Inc.
180
Liliweri, A. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Lin, N. 1975. “Analysis of Communication Relation.” In, Hanneman, G.J., and W.J. McEver. Communication Behavior. Massachusetts: Addison Wesley Publishing Company. Lionberger, H. F. 1960. Adoption of New Ideas and Practice. Ames, Iowa: The Iowa State University Press. _____________., and H. Gwin. 1982. Communication Strategies: A Guide for Agricultural Change Agents. Danville, Illinois: The Interstate Printers and Publishers, Inc. Littlejohn, S.W. 1996. Theories of Human Communication. 5th Ed. Humboldt State University, Belmont-California: Wadsworth Publishing Company and International Thomson Publishing (ITP) Company. Loomis, C.P. 1960. Social Systems: Essays on Their Persistence and Change. Princeton, New Jersey: D.Van Nostrand Company Inc. Malo, M., and S. Trinoningtias. 1991. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Pusat Antar Universitas (PAU) Ilmu- ilmu Sosial, Universitas Indonesia. Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Cetakan kedua. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Maunder, A.H. 1972. Agricultural Extension: a Reference manual. Rome, Italia: Food and Agriculture of the United Nations. McQuail, D. 1994. Teori Komunikasi Massa. Edisi ke dua. Jakarta: Erlangga. Middleton, J. 1980. Approaches to Communication Planning. Vendome: Imprimerie des Presses Univertaires de France. Miller, G.A. 1986. Discussion and Conference. Englewood Cliffs, New York: Prentice Hall. Muhammad, A. 2000. Komunikasi Organisasi. Cetakan ketiga. Aksara.
Jakarta: Bumi
Mulyana, D., dan J. Rakhmat. 2001. Komunikasi Antar Budaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdakarya. ___________. 2005. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nasution, Z. 1996. Komunikasi Pembangunan: Pengenalan Teori dan Penerapannya. Edisi Revisi, Cetakan ketiga. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
181
Nawawi, H., dan M. Hadari. 1995. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Newcomb, T.M., R.H. Turner dan P.E. Converse. 1978. Psikologi Sosial. Bandung: Diponegoro. Pool, I. deSola. 1973. “Communication System. ” In, Pool, I. deSola and W. Schramm. Handbook of Communication. Chicago: Rand McNally College Publishing Company. Puspadi, K. 2002. “Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian. ” Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rakhmat, J. 2005. Metode Penelitian Komunikasi. Cetakan ke-12. Bandung: Remaja Rosdakarya. _________. 2001. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Rao, L. 1966. Communication and Development, A Study of Two Indian Villages. Minneapolis: Lund Press Inc. Rogers, E.M. 1976. “Communication and Development: The Passing of the Dominant Paradigm.” In, Communication and Development, Critical Perspective. Beverly Hill: Sage Publication. __________. 1986. Communication Technology: the New Media in Society. New York: The Free Press, A Division of Macmillan Publishing Co. Inc. __________. 1995. Diffusion of Innovations. New Edition. New York: The Free Press, A Division of Macmillan Publising Co. Inc. __________., and D.L. Kincaid. 1981. Communication Network: Toward A New Paradigm for Research. New York: The Free Press, A Division of MacMillan Publishing Co. Inc. __________., and F.F. Shoemaker. 1971. Communication of Innovations: A Cross Cultural Approach. Second Edition. New York: The Free Press. __________., and R.A. Rogers. 1976. Communication in Organization. New York: The Free Press. Rossides, D. 1978. The Histories and Nature of Sociological Theory. Haughton Mifflin Company.
Boston:
Rusadi, U. 1991. “Televisi dan Realitas Sosial,” Jurnal Penelitian dan Komunikasi Pembangunan 27 (Desember 1991). Saleh, A. 1984. “Persepsi Warga Masyarakat tentang Penyuluh Peternakan di Desa Kutayasa, Kabupaten Banjarnegara Jawa Tengah.” Karya Ilmiah Sarjana Peternakan. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
182
________. 1988. “Hubungan Beberapa Karakteristik dan Perilaku Pemuka-pemuka Tani dalam Diseminasi Teknologi Model Farm di DAS Citanduy, Ciamis Jawa Barat.” Tesis Magister Sain. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Scheaffer, R.L., W. Mendenhall and L. Ott. 1992. Elementary Survey Sampling. 4th Ed. Boston: PWS-Kent Publishing Company. Schoorl, J.W. 1980. Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang. Jakarta: Gramedia. Schramm, W. 1963. Communication Development and Development Process. Princeton, New Jersey: Princeton University Press. __________. 1964. Mass Media and National Development. University Press.
Stanford: Stanford
__________., and D.F. Roberts. 1974. The Process and Effect of Mass Communication. Urbana : University of Illinois Press. __________., and D.Lerner. 1976. Communication and Change, the last ten years – and the next. Honolulu: The University Press of Hawaii. Sendjaja, D., T. Rahardjo dan T. Pradekso. 1994. Teori Komunikasi. Jakarta: Universitas Terbuka. Siegel, S. 1997. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Singarimbun, M., dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. Edisi Kedua. Jakarta: LP3ES. Siswadi dan B. Suhardjo. 2002. Analisis Eksplorasi Data Peubah Ganda. Diktat Kuliah. Bogor: Jurusan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. (Fotokopi) Slamet, M. 1978. “Beberapa Catatan tentang Pengembangan Organisasi.” Dalam, Slamet, M. (Penghimpun). Kumpulan Bacaan Penyuluhan Pertanian. Edisi Ketiga. Bogor: Institut Pertanian Bogor. (Fotokopi) ________. 1986. “Peranan Mahasiswa KKN dalam Pembangunan Pedesaan dan Perubahan Sosial.” Dalam, Slamet, M., R.Kunto, A.J. Suhardjo, S. Anwar, I.G. Suyatna, F. Djauhar, S. Mangkuprawira, R. Puspawidjaja, H. Hasyim, S.B. Taneko, A. Jausal, T. Gunarto dan J. Atmadja. Mahasiswa dalam Pembangunan. Cetakan Kedua. Bandar Lampung: Universitas Lampung. ________. 1992. “Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas.” Dalam, Hubeis, A.V.S., P. Tjitropranoto dan W. Ruwiyanto. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong Abad XXI. Cetakan ke-1. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara.
183
_________. 1995. “Sumbang Saran Mengenai Pola, Strategi dan Pendekatan Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian pada PJP II.” Dalam, Dinamika dan Perspektif Penyuluhan Pertanian pada Pembangunan Pertanian Jangka Panjang tahap Kedua. Prosiding Lokakarya, 4-5 Juli 1995 di Ciawi, Bogor. Bogor: Badan Penelitian dan Penge mbangan Pertanian. _________. 1997. “Kelompok, Organisasi dan Kepemimpinan.” Bahan Kuliah PPN 617. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. (Fotokopi) _________. 2003. Membentuk Pola Perilaku Pembangunan. Yustina, I., dan A. Sudradjat (Editor). Bogor: IPB Press. Soekanto, S. 2001. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: UI Press. Soemardjan, S. 1993. Masyarakat dan Manusia dalam Pembangunan: Pokok -pokok Pemikiran Selo Soemardjan. Zuraida, D., dan J. Rizal (Editor). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Soesanto, A.S. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial. Jakarta: Binacipta. Sudjana. 1996. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi bagi Para Peneliti. Bandung: Tarsito. Sugiyanto. 1996. “Persepsi Masyarakat tentang Penyuluh Pembangunan dalam Pembangunan Masyarakat Pedesaan. ” Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sumardjo. 1999. “Transformasi Model Penyuluhan Pembangunan Menuju Pengembanga n Kemandirian Petani: Kasus di Propinsi Jawa Barat.” Disertasi Doktor. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suparman, I.A. 1987. Pengantar Sosiometri. Modul 1-5. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Universitas Terbuka. Supranto, J. 2004. Analisis Multivariat: Arti dan Interpretasi. Cetakan Pertama. Jakarta: Asdi Mahasatya. Tjondronegoro, S.M.P. 1998. “Refleksi Kebijakan di Sektor Pertanian dari Zaman ke Zaman.” Makalah. Sarasehan Alumni IPB, 7 Mei 1998 di Darmaga, Bogor. Bogor: Kerjasama Himpunan Alumni IPB Cabang Jakarta dengan Institut Pertanian Bogor. ____________________. 2005. “Pembangunan, Modal dan Modal Sosial.” Jurnal Sosiologi Indonesia. Nomor 17 Tahun 2005. Tubbs, S.L., and S. Moss. 2000. Human Communication. 8th Ed. St.Louis, Missouri: The McGraw-Hill Companies, Inc.
184
van den Ban, A.W., dan H.S. Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta. Diterjemahkan oleh, Herdiasti, A.D. 1996. Agricultural Extension. 2nd Ed. Oxford: Blackwell, Science, Osney Mead. Warner, W.L., and P.S. Lunt. 1941. The Social Life of a Modern Community. New Haven: Yale University Press Wimmer, R.D., and J.R. Dominick. 1983. Mass Media Research: An Introduction. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company. Windarti, H. 2000. “Kajian Pengaruh Jaringan Komunikasi dalam Penerapan Inovasi Kredit Pola Grameen Bank Terhadap Peningkatan Pendapatan Anggota (Kasus Skim Karya Usaha Mandiri di Kabupaten Bogor).” Tesis Magister Sain. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Wright, C.R. 1986. Mass Communication, A Sociological Perspectives. 3rd Ed. New York: Random House.