TESIS CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI
HERTATI ANRIANI LUBIS
PROGRAM PASCASARJANA KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
i
CRUDE ANTIGEN CYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana
HERTATI ANRIANI LUBIS NIM 1192361012
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
ii
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 28 AGUSTUS 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof.Dr.drh.Nyoman Sadra Dharmawan, MS MS NIP. 19581005 198403 1 002 198803 1 017
Prof.Dr.drh. I Made Damriyasa, NIP. 19621231
Mengetahui,
Ketua Program Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes S(K) NIP. 19621231 198903 1 315
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini telah Diuji pada Tanggal 28 Agustus 2013
Panitia Penguji Tesis berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.............Tanggal …………
Ketua : Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. Anggota : 1. Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MS. 2. Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. 3. Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, MP. 4. Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si.
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis Hertati Anriani Lubis dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1988 di Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara, putri dari pasangan suami istri Zufri Efendi Lubis dan Rosmaini Daulay. Penulis menempuh
pendidikan
Sekolah
Dasar di SDN 23
Padangsidimpuan dan menamatkan pendidikan tahun 2000, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 3 Padangsidimpuan, diselesaikan pada tahun 2003, Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 2 Padangsidimpuan, diselesaikan pada tahun 2006. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di kedokteran Kedokteran Hewan Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) Tahun 2011 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Dokter Hewan Tahun 2012. Penulis diterima menjadi mahasiswa Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan di Universitas Udayana Pada Tahun 2011. Selanjutnya penulis melakukan penelitian di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar berjudul “Crude Antigen Cysticercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi Sistiserkosis pada Sapi.” Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Hewan pada Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana.
v
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. selaku pembimbing I yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh.I Made Damriyasa, MS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang juga bertindak sebagai Pembimbing II yang penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD. (KHOM) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes. selaku Ketua Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana dan juga sebagai penguji tesis, atas kesempatan yang diberikan untuk belajar di Program Studi yang dipimpinnya dan kesediaannya menjadi penguji.
vi
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis
sampaikan
kepada para penguji tesis lainnya, yaitu Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P. dan Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si. yang telah memberikan masukan, saran dan sanggahan sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah membimbing penulis dalam mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Univesitas Udayana. Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil, Ph.D. yang telah meluangkan waktu memberikan bimbingan dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium. Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada orang tua penulis yaitu bapak Zufri Efendi Lubis dan Ibu Rosmaini Daulay yang telah memberikan dukungan dan perhatian dalam penulisan tesis ini. Keluarga terutama kakak dan keponakan yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan penulis kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini. Terima kasih juga kepada Mariana Kresty Ferdinandez, Wa Ode Santa Monica yang telah banyak membantu dan memberikan saran kepada penulis. Kepada drh. Pratiwi Devi GM yang menjadi rekan dalam suka dan duka selama penelitian dan penulisan tesis dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu hingga terwujudnya tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini, serta kepada penulis dan keluarga.
vii
ABSTRAK CRUDE ANTIGEN CYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengevaluasi antigen Cysticercus T. saginata untuk deteksi sistisekosis pada sapi. Antigen Cysticercus T. saginata yang digunakan adalah isolat lokal yang diperoleh dari hasil infeksi eksperimental Taenia saginata asal Bali. Penelitian dilakukan dengan optimalisasi ELISA (Enzime Linked Immunosorbent Assay) terhadap antigen dengan cara penentuan konsentrasi optimal antigen, pengenceran serum serta pengenceran konjugat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cysticercus T. saginata isolat Bali bersifat antigenik dan dapat digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi, dengan konsentrasi optimal antigen 2 µg/ml, pengenceran optimal serum 1:80 dan pengenceran konjugat 1:4000. Kata kunci: Cysticercus T. saginata, Antigen, ELISA.
viii
ABSTRACT THE USE OF TAENIA SAGINATA CYSTICERCUS CRUDE ANTIGEN (BALI ISOLATE) FOR THE DETECTION OF CATTLE CYSTICERCOSIS The purpose of this study was to evaluate Taenia saginata cystisercus antigen for the detection of cattle cysticercosis. Taenia saginata Cysticercus antigen derived from local isolates, obtained from the experimental infection of Taenia saginata tape worms from Bali. The research was done by ELISA (Enzime Linked Immunosorbent Assay) optimization by determining the optimal concentration of antigen, optimal dilutions of serum and optimal dilutions of conjugate. The results showed that Taenia saginata Cysticercus crude antigen (Bali isolate) are antigenic and can be used to detect cattle cysticercosis. Optimal concentration of antigen: 2 ug/ml, optimal dilutions of serum: 1:80 and optimal dilution of conjugate: 1:4000. Keywords: Taenia saginata cysticercus, Antigen, ELISA.
ix
RINGKASAN Cysticercus T. saginata adalah larva atau fase metacestoda dari cacing pita T. saginata. Sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses. Manusia terinfeksi taeniasis bila mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di masak kurang matang yang mengandung Cysticercus T. Saginata. Kejadian infeksi T.saginata pada manusia di Bali relatif banyak ditemukan pada keluarga yang gemar mengonsumsi daging sapi mentah berupa lawar. Data kejadian sistiserkosis pada sapi di Bali sampai sekarang belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan teknik diagnostik sistiserkosis pada sapi bali dengan menggunakan metode ELISA. Protein antigen Cystisercus T. saginata yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat lokal yang diperoleh dari hasil infeksi eksperimental T. saginata asal Bali. Prosedur awal penelitian ini dimulai dengan mengekstraksi protein, konsentrasi protein dengan menggunakan kit, diperoleh hasil 113µg/ml. Selanjutnya, untuk mengevaluasi kemampuan antigen Cystisercus T. saginata isolat lokal dirancang konsentrasi dan pengenceran dalam beberapa tingkatan sebagai ulangan. Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih optical density (OD) yang meliputi: titrasi optimal antigen, titrasi optimal serum dan titrasi optimal konjugat antara kontrol positif dan kontrol negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa crude antigen Cysticercus T. saginata mempunyai sifat antigenik yang dapat digunakan sebagai antigen dalam uji imunologis untuk mendeteksi antibodi sistiserkosis T. saginata pada sapi. Hasil optimalisasi ELISA memperlihatkan bahwa nilai optimal konsentrasi antigen adalah 2µg/ml dengan nilai optical density 0.164, pengenceran optimal serum adalah 1:80 dengan nilai optical density 0.279 dan pengenceran optimal konjugat adalah 1:4000 dengan nilai optical density 0.279. Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan tersebut dapat disimpulkan bahwa crude antigen Cysticercus T. saginata isolat lokal Bali dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya untuk mengetahui adanya reaksi silang dengan parasit lain. Selain itu, perlu dikembangkan kemungkinan penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada manusia.
x
DAFTAR ISI
Halaman SAMPUL DALAM ........................................................................................ i PRASYARAT GELAR .................................................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH..........................................................................
vii
ABSTRAK ......................................................................................................
viii
ABSTRACT ...................................................................................................
ix
RINGKASAN..................................................................................................
x
DAFTAR ISI ..................................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
xv
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1
1.1 Latar Belakang............................................................................................
1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................
3
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................
4
1.4 Manfaat Penelitian......................................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................
5
2.1 T.saginata
...............................................................................................
5
2.2 Respon Imun pada Infeksi Parasit.............................................................
7
2.2.1 Kekebalan terhadap Parasit .......................................................
8
2.2.2 Komponen Imunitas yang Berperan terhadap Parasit ...............
9
2.2.3 Faktor-Faktor Antigenitas............................................................
10
2.3 Uji Imunologis............................................................................................
12
xi
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir .....................................................................................
17
3.2 Kerangka Konsep.......................................................................................
19
BAB IV METODE PENELITIAN................................................................
21
4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................
21
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................................
21
4.3 Bahan Penelitian ........................................................................................
21
4.4 Instrumen Penelitian...................................................................................
22
4.5 Prosedur Penelitian....................................................................................
22
4.5.1 Ekstraksi Protein..........................................................................
23
4.5.2 Optimalisasi ELISA.....................................................................
24
4.5.2.1 Titrasi Protein...................................................................
24
4.5.2.2 Titrasi Serum.....................................................................
24
4.5.2.3 Titrasi Konjugat................................................................
25
4.5.3 Pemeriksaan ELISA pada Serum.................................................
25
4.6 Analisa Data ..............................................................................................
26
BAB V HASIL PENELITIAN.......................................................................
27
5.1 Hasil Titrasi Antigen..................................................................................
27
5.2 Hasil Titrasi Sampel Serum........................................................................
28
5.3 Hasil Titrasi Konjugat................................................................................
29
BAB VI PEMBAHASAN...............................................................................
31
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN............................................................
35
7.1 Simpulan ....................................................................................................
35
7.2 Saran...........................................................................................................
35
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
36
LAMPIRAN ....................................................................................................
41
xii
DAFTAR GAMBAR
1.
Halaman Siklus Hidup Taenia sp.......................................................................... 7
2.
Prinsip kerja ELISA...............................................................................
14
3.
Konsep Penelitian...................................................................................
20
4.
Prosedur Penelitian.................................................................................
23
5.
Titrasi Antigen........................................................................................
20
6.
Titrasi Serum..........................................................................................
28
7.
Titrasi Konjugat......................................................................................
29
8.
Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada berbagai pengenceran konjugat.............................................................
xiii
30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Perhitungan Konsentrasi Crude Antigen Cysticercus T. saginata..............
42
2. Tahapan Optimalisasi ELISA......................................................................
43
3.
Dokumentasi Laboratorium........................................................................
44
4.
Pengenceran pada Plate ELISA..................................................................
46
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cystisercus T. saginata merupakan bentuk larva cacing pita T. saginata. Sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses. Manusia terinfeksi taeniasis bila mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di masak kurang matang yang mengandung Cysticercus T. Saginata. Menurut Soulsby (1982), Cysticercus T. saginata berukuran 6-9 mm dengan diameter sekitar 5 mm. Kista ini paling sering dijumpai pada otot masseter, jantung dan diafragma. Kejadian sistiserkosis pada sapi kebanyakan diperoleh dari laporan pemeriksaan kesehatan daging yang biasanya tidak seluruh negara melakukannya (Dharmawan, 2009). Sementara laporan tentang kejadian taeniasis pada manusia di Bali dilaporkan secara periodik. Di Bali Kabupaten Gianyar, prevalensinya mencapai 27,5% (Wandra et al., 2006; 2007; 2011). Upaya penanggulangan sistiserkosis dan taeniasis sebenarnya tidak sulit, salah satunya dengan memutus siklus hidup parasit dengan menekan sumber infeksinya pada sapi. Permasalahannya sampai sekarang data tentang kejadian sistiserkosis pada sapi di Bali tidak ada atau belum pernah dilaporkan. Hal ini akibat dari sulitnya melakukan diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup. Pada hewan besar diagnosis harus dilakukan secara post mortem dengan pemeriksaan kesehatan daging. Sistiserkosis dapat dideteksi pada lidah sapi dengan melakukan palpasi, bila positif akan teraba benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau
1
2
intramuskular. Menurut Gonzalez et al. (2006), palpasi merupakan satu-satunya cara deteksi ante mortem pada hewan yang diduga terinfeksi sistiserkosis di negara berkembang, namun memiliki sensitifitas yang rendah. Pengembangan ujiuji imunodiagnostik untuk mendeteksi adanya agen penyakit tersebut telah dilakukan mulai puluhan tahun lalu. Teknik-teknik yang telah dikembangkan tersebut ternyata memberi kemudahan dalam penggunaan reagen dan prosedur pengerjaannya (Iskandar et al., 2005). Selama ini uji-uji diagnostik yang dikembangkan untuk mendeteksi keberadaan sistiserkosis pada hewan diantaranya adalah uji serologi dengan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pengembangkan ELISA untuk mendeteksi keberadaan Cysticercus cellulosae melalui pemeriksaan antibodi anti-Cysticercus cellulosae pada serum telah berhasil dilakukan pada tahun 1997-1998 (Sato et al., 2003). Harrison et al. (2005) menyatakan untuk menunjukkan sebaran infeksi Cysticercus bovis dalam suatu wilayah dengan wabah infeksi tinggi, metode ELISA dinilai cocok sebagai salah satu uji serodiagnosis.
Dorny et al. (2002) melaporkan perbedaan sensitifitas dan
spesifisitas beberapa uji untuk deteksi sistiserkosis. Pemeriksaan dengan teknik palpasi lidah memiliki sensitifitas 16,1% dan spesifisitas 100%, pemeriksaan post mortem memiliki sensitifitas 38,7% dan spesifisitas 100%, uji ELISA untuk deteksi antibodi memiliki sensitifitas 45,2% dan spesifisitas 88,2%, dan uji ELISA untuk deteksi antigen memiliki sensitifitas 64,5% dan spesifisitas 91,2%.
3
Dari laporan tersebut, terlihat bahwa ELISA merupakan uji dengan tingkat sensitifitas dan spesifisitas yang terbaik dibandingkan teknik metode diagnosis lainnya. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan teknik diagnostik sistiserkosis pada sapi bali dengan menggunakan metode ELISA. Tahap awal akan dicari berapa konsentrasi optimal antigen yang berasal dari protein Cysticercus T. saginata isolat lokal Bali, berapa pengenceran optimal serum dan konjugat yang efektif digunakan untuk mendeteksi keberadaan Cysticercus T. saginata pada sapi terinfeksi. 1.2 Rumusan Masalah Pada penelitian ini akan digunakan uji ELISA. Permasalahan yang diungkapkan adalah untuk mengetahui kemampuan antigen Cystisercus T. saginata dalam mendeteksi sistiserkosis. Dalam uji ini ada 3 komponen penting yang ingin diketahui, antara lain: a. berapa konsentrasi optimal protein Cysticercus T. saginata isolat Bali
untuk deteksi sistiserkosis pada sapi, b. berapa pengenceran optimal serum yang dipakai mendeteksi sistiserkosis
pada sapi, c. berapa konsentrasi optimal konjugat yang dipakai mendeteksi sistiserkosis
pada sapi.
4
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memperoleh uji diagnostik untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi dengan uji ELISA menggunakan crude antigen isolat lokal. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: a. mengetahui konsentrasi optimal protein Cysticercus T. saginata isolat Bali
yang dapat dipakai sebagai antigen untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi, b. mengetahui pengenceran optimal dari serum yang akan diperiksa untuk
tujuan deteksi sistiserkosis pada sapi, dan c. untuk mengetahui konsentrasi optimal konjugat yang dapat dipakai untuk
tujuan deteksi sistiserkosis pada sapi. 1.4 Manfaat penelitian Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah menyediakan antigen spesifik berasal dari isolat lokal Bali untuk dipakai mendeteksi antibodi Cystisercus T. saginata pada sapi Bali. Dengan kata lain, menyediakan metode diagnostik serologis yang mudah dapat diterapkan secara ante mortem untuk diagnosis sistiserkosis pada sapi.
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Taenia saginata Taenia merupakan salah satu cacing pita yang termasuk dalam kerajaan Animalia, filum Platyhelminthes, kelas Cestoda, bangsa Cyclophyllidea, famili Teniidae. Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit vertebrata penting yang menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau (Soulsby, 1982). Panjang dan tubuh taenia terdiri atas rangkaian segmen-segmen yang masing-masing disebut proglotid (Huges et al., 1993). Kepala cacing pita disebut skoleks dan memiliki alat isap (sucker) yang mempunyai tonjolan (rostelum). Larva dari cacing taenia disebut metacestoda, menyebabkan penyakit sistiserkosis pada hewan. Terdapat tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu T. solium, T. saginata, dan T. asiatica (Flisser et al., 2005). Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting karena dapat menyebabkan penyakit pada manusia, yang dikenal dengan istilah taeniasis. Hospes definitif T. saginata adalah manusia dan predileksinya dalam usus halus. Bentuk belum dewasa ditemukan pada sapi. Cacing pita T. saginata memiliki ukuran panjang 5-10 meter, pernah dilaporkan lebih dari 15 meter. Skoleks Taenia in tidak dipersenjatai. Proglotid memiliki percabangan uterus lateral berjumlah 15-35 buah. Pada setiap proglotid bunting terdapat lebih dari 100 telur. Cacing T. saginata menjadi dewasa setelah 10-12 minggu sekitar 2 bulan (Wandra et al, 2006). Bentuk belum dewasa adalah Cystisercus dan tempat predileksinya pada jantung, otot rangka, lemak, hati, maseter, diafragma, lidah (Soulsby, 1982).
5
6
Diagnosis
taeniasis
bisa
dilakukan
dengan
menemukan
dan
mengidentifikasi proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop. Telur cacing Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya (Iskandar et al., 2005). Wandra et al (2007) menyatakan cacing dewasa akan melepaskan segmen gravid yang paling ujung dan bisa pecah didalam usus, sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing yang keluar bersama feses mengkontaminasi tanaman rumput dan termakan oleh ternak sapi, telur cacing kemudian akan pecah didalam usus sapi (hospes perantara) dan mengakibatkan lepasnya onkosfer (Margono et al., 2006). Dengan bantuan kait, onkosfer mampu menembus dinding usus, masuk kedalam aliran darah, lalu menyebar ke organ-organ tubuh sapi, terutama ke otot lidah, leher, jantung dan otot-otot gerak.
Dalam waktu 12-15 minggu akan berubah menjadi bentuk
Cystisercus. Siklus hidup lengkap T. saginata tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.
7
Gambar 1. Siklus hidup Taenia sp. (http://www.asm.org/Division/c/photo/tapewrm1) 2.2 Respon Imun pada Infeksi Parasit
Kebal dalam parasitologi berarti bebas relatif dari infeksi atau infestasi parasit. Parasit biasanya menyebabkan infeksi yang bersifat kronis. Terjadinya kronisitas karena lemahnya kekebalan alami dan kemampuan parasit untuk menghindarkan diri atau mempertahankan diri terhadap respon kekebalan spesifik. Kemampuan ini dapat bersifat toksik serta dapat menimbulkan resistensi, sehingga berakibat pencegahan dengan pemberian obat dalam jangka waktu panjang tidak memuaskan (Mehlhorn, 1998). Menetapnya parasit dalam tubuh menimbulkan reaksi imunologik yang kronis mengakibatkan kerusakan jaringan dan regulasi imunitas yang abnormal. Menurut Ketobapadah (2011) mekanisme antibodi spesifik dalam mengontrol parasit antara lain: a) netralisasi, antibodi mempunyai kemampuan menetralisasi
8
parasit secara langsung setelah berikatan dengan substansi yang bersifat toksik yang dikeluarkan oleh parasit dan parasit sendiri; b) lisis, melalui komplemen dimana antibodi bereaksi dengan antigen membran parasit mengaktifkan komplemen jalur klasik. Komplemen tersebut adalah C6, C7, C8, C9 yang dapat merusak membran parasit Sprozoit dari Plasmodium, Tripanosoma dan cacing usus; dan c) peningkatan fagositosis dan antibody dependent cell cytotoxicity (ADCC). 2.2.1
Kekebalan Terhadap Parasit Infeksi cacing parasitik berjalan kronis yang diakibatkan oleh lemahnya
pertahanan alamiah dan kemampuan mengelak dari pertahanan immunologi spesifik inang definitif (Tiuria, 2004). Cacing-cacing tertentu berusaha untuk menghindar dari reaksi imunologik dengan mengubah antigen permukaannya atau melapisi permukaannya dengan protein inang definitif, misalnya dengan glikoprotein molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) dan IgG sehingga dianggap sebagai self component. Cacing parasitik dapat juga mengekspresikan ectoenzyme yang dapat merombak antibodi sehingga mencegah terjadinya ADCC. Menurut Pratama (2012) kekebalan ada dua macam, yaitu: 1. Kekebalan Bawaan (Non Sspesifik), disebabkan oleh a) spesifisitas inang; b) sifat karakteristik fisik inang; c) sifat biokimia yang khas; d) kebiasaan inang; e) genetis. 2. Kekebalan didapat (Spesifik), dibagi dua yaitu: a) didapat secara pasif; b) didapat secara aktif : kekebalan seluler dan kekebalan humoral.
9
2.2.2
Komponen Imunitas yang Berperan Terhadap Parasit Komponen-komponen yang berperan dalam parasit, menurut Tiuria (2004)
ada enam. Pertama: Antibodi IgE dan Eosinofil. Ig E memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan sel basofil. Pada saat inang terinfeksi parasit, maka level Ig E dalam serum akan meningkat. Parasit yang masuk dalam lumen usus, pertama kali akan dirusak oleh Ig G akibat adanya peradangan dan antigen spesifik. Peradangan ini terjadi diperantarai oleh peran Ig E dan mekanisme tanggap kebal sitotoksisitas seluler tergantung antibodi (ADCC). Mekanisme tersebut mengakibatkan Ig E melekat pada permukaan cacing. Selanjutnya terjadi perlekatan sel eosinofil melalui reseptor Fc yang menimbulkan teraktivasinya sel Eosinofil sehingga mensekresikan protein yang bersifat toksik untuk cacing parasitik. Pada saat berikatan tersebut, sel Eosinofil mendegranulasi dan melepaskan kandungan granulanya pada kutikula cacing. Kandungan granulanya antara lain superoksida, hidrogen peroksida, lisofosfolipase dan fosfolipase D. Kecenderungan sel Eosinofil melepaskan peroksidase ekstraseluler menunjukkan bahwa peran utamanya adalah pertahanan jaringan terhadap invasi parasit. Kedua: IgG dan Eosinofil dapat menyelimuti parasit sehingga eosinofil cepat mendekat serta Eosinofil mengeluarkan peroksidase dan enzim preoteolitik lain dari granulanya yang dapat menyebabkan parasit mati atau rusak. Ketiga: IgE dan Makrofag. IgE memperantarai magrofag sehingga bisa berikatan dengan larva. Akibatnya larva bisa dihancurkan oleh makrofag. Keempat: Antibodi dan Komplemen. Reaksi Ag dan Ab membentuk komplek Ag-Ab yang dapat mengaktivasi komplemen sehingga memudahkan eosinofil melakukan fagositosis
10
terhadap parasit. Kelima: Antibodi dan Reaksi Hipersensitifitas Tipe I. Antibodi dirangsang oleh antigen parasit yang bersifat lokal sehingga terbentuk antibodi lokal terutama IgE dan timbul reaksi lokal hipersensitifitas tipe I akibatnya permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga memudahkan IgG keluar mencapai tempat infeksi untuk menangkap dan menghilangkan parasit. Contoh: Trichomonas foetus, T. vaginalis, larva cacing pada usus, reaksi self cure pada Haemonchus dan Oestertagia. Keenam: Limfosit T dan Makrofag. 2.2.3
Faktor-Faktor Antigenitas Antigen adalah substansi yang dapat dikenali dan diikat dengan baik oleh
sistem imun. Antigen dapat berasal dari organisme (bakteri, virus, jamur dan parasit) atau molekul asing bagi tubuh. Tidak setiap bagian dari antigen dapat berinteraksi dengan molekul sistem imun. Bagian dari antigen secara langsung berikatan dengan molekul reseptor (seperti antibodi) yang dikenal dengan epitop. Hal ini menandakan bahwa antigen mempunyai beberapa epitop (Emantoko, 2001). Antigen (antigenitas) membangkitkan respon imun baik respon
imun
seluler maupun humoral yang merangsang sel B atan sel T atau keduanya. Antigen disebut juga dengan imunogen. Sifat sebagai antigenitas kecuali ditentukan oleh sifat asing dan berat molekul dari determinan antigen, masih dipengaruhi oleh beberapa faktor (Dorta, 2000). Faktor-faktor tersebut adalah: a) Spesies (misalnya zat dekstran, suatu polimer dari glukosa, bersifat antigen pada manusia dan tikus tetapi tidak bersifat antigen pada kelinci dan marmut). b) Jenis (di dalam suatu spesies binatang percobaan ditemukan perbedaan antara beberapa
11
jenis spesies itu ditinjau dari sudut kemampuan untuk mengenal suatu bahan sebagai antigen).
c) Cara dan dosis, dimana cara pemberian dosis suntikan dan
waktu yang berlalu diantara dua suntikan dapat mempengaruhi pembentukan antibodi selain jumlah antigen itu sendiri. d) Adjuvan yaitu bahan yang berupa emulsi yang mampu memperkuat antigen dalam kemampuannya merangsang terbentuknya antibodi. Sifat adjuvan memberi proteksi pada antigen terhadap eliminasi tidak spesifik dari bahan dan dapat menyebabkan pembentukan antibodi dalam jangka panjang karena pelepasan antigen secara bertahap. Contoh adjuvan: emulsi air-minyak presipitat aluminium, emulsi partikel bentonit, dan minyak mineral, air dan lanolin dan ditambahkan dengan kuman mikobakterium yang dimatikan dengan pemanasan. e) Keasingan dimana tingkat keasingan antigen akan berpengaruh terhadap daya imunogennya.
Makin asing molekul makin
tinggi daya imunogennya. f) Ukuran Molekul yaitu zat-zat yag masuk ke dalam tubuh yang memiliki berat molekul kurang dari 10.000 akan menyebabkan terjadi imunogenik lemah atau tidak imunogenik sama sekali. g) Kompleksitas. Faktorfaktor yang mempengaruhi kompleksitas imunogen meliputi baik sifat fisik maupun kimia molekul. Keadaan agregasi molekul misalnya dapat mempengaruhi imunogenitas. Larutan proten-protein monometrik dapat benar-benar merangsang terjadinya keadaan refraktair atau tolerans bila berada dalam bentuk monometrik, tetapi sangat imunogen bila berada dalam polimetrik atau keadaan agregasi. h). Bentuk-bentuk (Conformation). Tidak adanya bentuk dari molekul tertentu yang imunogen. Polipeptid linear atau bercabang, karbohidrat linear atau bercabang, serta protein globular, semuanya mampu merangsang terjadinya respon imun.
12
Meskipun demikian antibodi yang dibentuk dari aneka macam kombinasi struktur adalah sangat spesifik dan dapat dengan cepat mengenal perbedaan-perbedaan ini. Bila bentuk antigen berubah, antibodi dirangsang dalam bentuk aslinya yang tidak bergabung lagi. i) Muatan (charge) imunogenitas tidak terbatas pada molekuler tertentu, tidak terbatas pada molekuler tertentu, zat-zat yang bermuatan positif, negatif, dan netral dapat imunogen. Namun demikian imunogen tanpa muatan akan memunculkan antibodi yang tanpa kekuatan. Telah terbukti bahwa imunitas dengan beberapa imunogen bermuatan positif akan menghasilkan imunogen bermuatan negatif. j) Kemampuan masuk. Kemampuan masuk suatu kelompok determinan pada sistem pengenalan akan menentukan hasil respon imun. Perkembangan
baru-baru
ini
telah
memungkinkan
penelitian
untuk
mempersiapkan polipeptid imunogenik sintetik yang berisi sejumlah asam amino terbatas dan yang susunan kimianya dapat ditentukan. 2.3 Uji Imunologis Imunologi adalah
ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi sistem
kekebalan tubuh. Imunologi membuat kemajuan besar menjelang akhir abad ke-19, melalui perkembangan yang pesat, pada penelitian imunitas humoral dan kekebalan seluler karya Paul Ehrlich yang mengusulkan teori rantai-sisi untuk menjelaskan spesifisitas reaksi antigen-antibodi (Goldsby et al., 2000). Adapun macam-macam pemeriksaan teknik imunologi antara lain: a) Radioimmunoassay (RIA) didasarkan pada reaksi antara antibodi dengan berbagai konsentrasi antigen, digunakan untuk menentukan antigen tunggal/antibodi dalam cairan biologis. Teknik pemeriksaan untuk menentukan antibodi/antigen dengan reagen yang
13
bertanda zat radioaktif. b) Imunohistochemisty untuk medeteksi antigen seluler dengan
menggunakan
antibodi,
dimana
mempelajari
struktur/komponen
sel/jaringan yang berfungsi sebagai antigen. c) Imunoflurense merupakan metode imunologi mendeteksi atibodi dari berbagai kelas imunoglobulin dalam serum, saliva dan cairan otak. Prinsip mereaksikan antibodi dan antigen spesifik dan anti antibodi berlabel FIT (flurense isothiocyonat). d) Enzim-linked immune sorbent assay (ELISA) atau dalam bahasa indonesianya disebut sebagai uji penentuan kadar immunosorben taut-enzim, merupakan teknik pengujian serologi yang didasarkan pada prinsip interaksi antara antibodi dan antigen (Satria, 2012). Pada awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam suatu sampel seperti dalam pendeteksian antibodi IgM, IgG, dan IgA pada saat terjadi infeksi. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga diaplikasikan dalam bidang patologi tumbuhan, kedokteran, dll (Brandt et al., 1992). Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter Perlmann dan Eva Engvall. Teknik ELISA ini digunakan dalam bidang imunologi (ELISA konvensional) untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai pelopor/reporter/signal.
14
Gambar 2. Prinsip Kerja ELISA ( http://Sarmoko31.wordpress.com ) Prinsip kerja ELISA menurut Satria (2012)
seperti diilustrasikan pada
Gambar 2 diatas, adalah sebagai berikut: a) Siapkan plate ELISA dan plate layout serta coating antigen yaitu serum : coating buffer (1:1), bungkus dengan alumunium foil dan inkubasi dalam suhu 4oC selama semalam kemudian buang cuci dengan PBS-Tween. b) Coating blocking buffer (supaya menutupi antigen yang tidak diinginkan) 1% BSA-PBS 100 µl dan bungkus dengan alumunium foil serta inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan kemudian buang dan cuci dengan PBS-Tween. c) Coating antibodi primer (mengikat antigen spesifik yang sudah di coating sebelumnya) yaitu (leptin-rabbun Pab : blocking Buffer (1: 500) dan bungkus dengan alumunium foil serta inkubasikan selama 2 jam pada suhu ruangan kemudian buang dan cuci dengan PBS-Tween. d) Coating antibodi sekunder (untuk mengikat antibodi spesifik yang sudah di coating sebelumnya, dan memberikan tempat untuk molekul pewarnanya) antara lain: Anti rabbit IgG Biotin konjugat : PBS (1:1000) dan bungkus dengan alumunium foil kemudian inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan dan buang dan cuci dengan PBS-
15
Tween. e) Coating enzim yaitu SAHRP : PBS (1:1000) dan bungkus dengan alumunium foil serta inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan kemudian buang dan cuci dengan PBS-Tween. f) Substrat dan stop solution yaitu teteskan substrat Tetramethyl benzydine (TMB) 50 µl dan inkubasi selama 30 menit dalam suhu ruangan serta tambahkan H2SO4 2N @ 50 µl kemudian inkubasikan selama 10 menit pada suhu ruangan. Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer atau dengan cara menentukan jumlah penambahan atau kadar antibodi atau antigen, sehingga dapat dibuat suatu kurva standard kadar antibodi atau antigen yang tidak diketahui dapat ditentukan (Ariputuamijaya, 2011). ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan konjugat antigen–enzim atau konjugat antibodi–enzim, dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibodi. Pada ELISA noncompetitive assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut sebagai "sandwich" ELISA (Yong et al., 1993). Untuk melakukan teknik "sandwich" ELISA, diperlukan beberapa tahap yang meliputi (Satria, 2012): a) well dilapisi atau ditempeli antigen, b) sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan, c) ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti peroksidase alkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel sebelumnya, d) dimasukkan
16
substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi, e) intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA reader hingga mendapatkan hasil berupa optical density (OD). Beberapa kelebihan dari teknik ELISA, antara lain (Ariputuamijaya, 2011): a) teknik pengerjaan relatif sederhana, b) relatif ekonomis (karena jenis antibodi yang digunakan hanya satu saja, sehingga menghemat biaya untuk membeli banyak jenis antibodi), c) hasil memiliki tingkat sensitivitas yang cukup tinggi, d) dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen walaupun kadar antigen tersebut sangat rendah (hal ini disebabkan sifat interaksi antara antibodi atau antigen yang bersifat sangat spesifik). Dalam teknik ELISA terdapat juga kekurangan (Satria, 2012) antara lain: a) Jenis antibodi yang dapat digunakan pada uji dengan teknik ELISA ini hanya jenis antibodi monoklonal (antibodi yang hanya mengenali satu antigen). b) Harga antibodi monoklonal relatif lebih mahal daripada antibodi poliklonal.
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Sistiserkosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva dari cacing pita yang disebut Cystisercus. Salah satu Cystisercus yang ditemukan pada sapi adalah Cystisercus T. saginata. Hospes defenitif cacing pita T. saginata adalah manusia. Penyakitnya disebut taeniasis, merupakan zoonosis penting yang dapat menimbulkan masalah kesehatan. Parasit ini pada ternak mengakibatkan kerugian ekonomi karena daging yang terinfeksi tidak layak dikonsumsi dan harus dimusnakan (Dharmawan et al, 2013). Penyakit ini sering timbul di negara-negara berkembang yang sanitasi lingkungannya buruk serta ditemukan banyak hewan berkeliaran tidak dikandangkan. Taeniasis bersifat endemis di beberapa daerah di Indonesia. Tiga daerah endemis utama di Indonesia adalah Bali, Papua, dan Sumatra Utara. Taeniasis dan sistiserkosis juga ditemukan di beberapa wilayah, seperti Timor, Flores, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan dan Sumatra Selatan (Simanjuntak et al., 1997; Margono et al., 2006; Wandra et al., 2007; Dharmawan et al., 2012). Hasil survei yang dilakukan di Bali pada 2002-2009 menemukan 80 kasus taeniasis T. saginata dari 660 orang yang diperiksa (Wandra et al., 2011). Dalam penanganan taeniasis sistiserkosis diperlukan adanya metode yang mudah dan dapat dipercaya secara akurat.
Untuk mencegah penyebaran
sistiserkosis dan taeniasis diperlukan pengembangan uji imunodiagnostik untuk mendeteksi keberadaan agen penyakit, terutama dalam hal mendukung diagnosis klinis neurosistiserkosis pada manusia. Beberapa metode serologi yang telah
17
18
dicobakan untuk mendeteksi adanya Cystisercus adalah indirect haemaglutination test (IHA) dan double diffusion agar, immunoelectrophoresis, enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan radioimmunoassay (RIA). Diantara metode tersebut, ELISA ternyata merupakan uji yang paling banyak digunakan (da Silva et al., 2000; Pinto et al., 2000; Husain et al., 2001; Das et al., 2002). ELISA adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam bidang imunologi untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen dalam suatu sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis, patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri (Satria, 2012). ELISA dapat mengevaluasi adanya antigen dan antibodi dalam suatu sampel, karenanya merupakan metode yang sangat berguna untuk menentukan konsentrasi antibodi dalam serum dan juga untuk mendeteksi adanya antigen (Sarmoko, 2011). Metode ini merupakan metode serologi yang paling banyak digunakan mendeteksi sistiserkosis pada manusia dan ternak (Cho et al., 1992; Yong et al., 1993). Teknik tersebut umumnya memberikan hasil yang baik (Cho et al., 1992; Yong et al., 1993). Bahkan dewasa ini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang epidemiologi kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari pemeriksaan serologis (Carrique-Mas et al., 2001; Subahar et al., 2001; Bragazza et al., 2002; Dorny et al., 2002; Ito et al., 2002). Bukan berarti metode serologi ini sudah sempurna.
Diperlukan antigen yang cocok agar uji memberi nilai
sensitifitas dan spesifisitas tinggi. Penelitian ini bertujuan mengembangkan metode diagnostik yang dapat dipakai mendeteksi sistiserkosis pada hewan hidup menggunakan antigen spesifik
19
yang berasal dari isolat lokal Bali. Dengan kata lain, menyediakan metode diagnostik serologis yang mudah dapat diterapkan secara ante mortem untuk diagnosa sistiserkosis pada sapi. 3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka berpikir di atas yang dilandasi oleh kepustakaan dan dasar teori, maka dapat disusun kerangka konsep seperti tergambar pada Gambar 3 berikut.
20
Sapi Bali
Daging
Cystisercus saginata
Darah
T.
Serum
Antibodi
Antigen
ELISA Optimalisasi Protein Optimalisasi Serum Optimalisasi Konjugat
Gambar 3. Konsep Penelitian
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang untuk mengevaluasi kemampuan antigen Cystisercus T. saginata isolat lokal dalam mendeteksi sistiserkosis pada sapi menggunakan uji ELISA. Untuk mengevaluasi antigen tersebut dirancang konsentrasi dan pengenceran dalam beberapa tingkatan sebagai ulangan. Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih optical density (OD) antara kontrol positif dan kontrol negatif. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar. pada bulan Mei 2013-Juli 2013. 4.3 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah Cysticercus T. saginata yang diperoleh dari hasil eksperimental pada sapi bali yang diinfeksi dengan Taenia saginata (Dharmawan et al., 2012). Bahan lainnya adalah: serum positif, serum negatif, konjugat (IgG-Peroxidase antibody produced in rabbit (Sigma), substrat ABTS mengandung 2,2’–azino-di-(3-ethylbenzthiazoline-6sulfonic acid) hydrogen peroxydase (BIORAD), PBS, PBS-Tween, Aquades, Susu skim 5 %, Larutan stopper (oxalic acid), coating buffer (0,1M larutan karbonat pH 9,6), Alkohol 70 % dan tissue.
21
22
4.4 Instrumen Penelitian Peralatan yang digunakan pada penelitian adalah pipet (multi chanel 30-300 µl single chanel 2-20 µl), vortex, refrigarator 4oC, ELISA washer, tabung 1.5
ml,
inkubator,
komputer,
kamera,
erlenmeyer,
corong,
spuite,
spektofotometrik, sentrifus, kit (invitrogen). 4.5 Prosedur Penelitian Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini dapat dijelaskan secara singkat dalam kerangka penelitian seperti Gambar 4 di bawah ini.
23
Ekstraksi Protein
Optimalisasi ELISA
Titrasi Protein
Titrasi Serum
Titrasi Konjugat
Pemeriksaan ELISA
Penentuan Nilai Optimal Antigen, Serum, Kunjugat
Analisis Data
Gambar 4. Prosedur Penelitian 4.5.1 Ekstraksi Protein Antigen diperoleh dengan cara ekstraksi protein Cystisercus T. saginata. Ekstraksi dilakukan dengan cara menghomogenkan kista. Selanjutnya homogenat disentrifus dengan kecepatan 1500 RPM selama 15 menit. Supernatan diambil dan
24
ditampung dalam satu tabung 10 ml kemudian ditambahkan penicilin 10.000 IU dan streptomisin 10.000µg/ml. Konsentrasi protein dihitung dengan menggunakan kit invitrogen diperoleh hasil 113µg/ml. Protein antigen Cystisercus T. saginata ini disimpan pada suhu -20o C sampai akan digunakan. 4.5.2 Optimalisasi ELISA Optimalisasi ELISA dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsentrasi optimal antigen, pengenceran optimal serum dan pengenceran optimal konjugat. Dalam penelitian ini optimalisasi ELISA meliputi titrasi protein, titrasi serum kontrol positif dan negatif serta titrasi konjugat. 4.5.2.1 Titrasi Protein Larutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelapisan larutan 0.1 M karbonat pH 9.6. Titrasi protein dilakukan mulai dari konsentrasi 50 µg/ml diencerkan sampai 0.1 µg/ml dimasukkan ke dalam plate ELISA. Kemudian diinkubasi pada suhu 4o C selama 15 jam. Selanjutnya dilakukan uji ELISA sehingga diperoleh konsentrasi antigen yang optimal. 4.5.2.2 Titrasi Serum Serum positif dan serum negatif diencerkan
dengan PBS-Tween 20
dimulai dari pengenceran 1 : 10 sampai 1:100 pada plate ELISA. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 1 jam pada suhu 37o C. Proses uji ELISA dilanjutkan sampai diperoleh pengenceran serum yang optimal.
25
4.5.2.3 Titrasi Konjugat Titrasi konjugat dilakukan pada uji ELISA dengan menggunakan konsentrasi antigen yang diperoleh pada poin 4.5.2.1 dan pengenceran serum diperoleh pada poin 4.5.2.2. Titrasi Konjugat yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari pengenceran 1: 3000 sampai 1:5000. Selanjutnya dilakukan inkubasi selama 1 jam pada suhu 37o C. Proses uji ELISA dilanjutkan sampai diperoleh pengenceran konjugat yang optimal. 4.5.3 Pemeriksaan ELISA pada serum Sembilan puluh enam well polystyrene ELISA plate dilapisi dengan crude antigen dengan konsentrasi protein yang optimal, kemudian diinkubasi selama 15 jam pada suhu 4OC dengan konsentrasi sesuai dengan hasil titrasi antigen. Setelah inkubasi dicuci dengan ELISA washer 3 kali dengan PBS-Tween 20 (PBS-0,5 Tween). Sampel serum diencerkan PBS-0,5 Tween sesuai dengan hasil titrasi sampel kemudian diinkubasi selama 1 jam pada temperatur kamar, setelah inkubasi dicuci lagi sebanyak 3 kali dengan PBS-0,5 Tween. Selanjutnya ditambahkan konjugat dengan pengenceran sesuai dengan hasil titrasi dan diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 oC. Setelah dilakukan pencucian 3 kali dengan PBS-0,5 Tween maka dilakukan penambahan substrat yang mengandung 2,2’–azino-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonic acid ) dan 0,0012% hydrogen peroxydase. Setelah inkubasi pada ruang gelap selama 15 menit. Optical density kemudian dibaca pada ELISA-reader pada 405 nm. Dari hasil pembacaan tersebut kemudian ditentukan index OD.
26
4.6 Analisa Data Data yang berupa nilai optical density (OD) dari serum kontrol positif dan serum kontrol negatif dibandingkan, lalu disajikan dalam bentuk grafik. Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih masing-masing nilai OD tersebut
BAB V HASIL PENELITIAN Hasil optimalisasi ELISA pada penelitian ini dinyatakan dalam bentuk konsentrasi optimal antigen, pengenceran optimal serum dan pengenceran optimal konjugat. Untuk
menentukan konsentrasi dan pengenceran optimal ketiga
parameter tersebut telah dilakukan penghitungan titrasi menggunakan uji ELISA. 5.1 Hasil Titrasi Antigen Titrasi dimaksudkan untuk menentukan konsentrasi antigen yang optimal, dilakukan dengan pelapisan antigen. Antigen yang digunakan berasal dari crude antigen Cystisercus T. saginata isolat Bali.
Konsentrasi terakhir untuk
optimalisasi dibuat dalam empat tingkatan yaitu 1 µg/ml, 2 µg/ml, 3 µg/ml, dan 4 µg/ml. Serum kontrol positif diperoleh dari serum sapi yang terinfeksi Cystisercus T. saginata secara buatan (Dharmawan et al., 2012). Serum kontrol negatif diperoleh dari pedet yang dipotong di RPH Pesanggaran. Hasil optical density (OD) antigen dengan uji ELISA pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6. Dari hasil tersebut diketahui bahwa antigen optimal ada pada konsentrasi 2 µg/ml.
27
28
Gambar 6: Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada berbagai pengenceran antigen. 5.2 Hasil Titrasi Sampel Serum Pengenceran serum kontrol positif dan serum kontrol negatif dibuat secara seri yaitu 1:10, 1:20, 1:30, 1:40, 1:50, 1:60, 1:70, 1:80, 1:90 dan 1:100. Pengenceran dilakukan dengan menambahkan serum kontrol positif dan kontrol negatif dengan PBS-Tween 20. Pada penelitian ini, dari hasil optical density (OD) uji ELISA titrasi serum kontrol positif dan serum kontrol negatif, diketahui pengenceran optimal serum ada pada pengenceran 1:80. Selanjutnya hasil OD titrasi serum pengenceran 1:80 tersebut, dapat digambarkan seperti berikut (Gambar 7).
29
Gambar 7 : Optical density ELISA serum kontrol positif dan serum kontrol negatif pada berbagai pengenceran. 5.3 Hasil Titrasi Konjugat Mengacu pada penelitian yang sama, namun menggunakan cairan Cysticercus bovis sebagai antigen, Dharmawan et al. (2009) telah melakukan pengenceran konjugat bertingkat, yaitu 1:3000, 1:4000 dan 1:5000. Tingkatan pengenceran yang sama digunakan pada penelitian ini.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai OD titrasi konjugat seperti pada Gambar 8. Dari ketiga pengenceran konjugat tersebut diperoleh pengenceran paling optimal pada 1:400
30
Gambar 8: Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada berbagai pengenceran konjugat.
BAB VI PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk kepentingan uji diagnostik sistiserkosis pada sapi, dengan mengevaluasi kemampuan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali sebagai antigen. Langkah awal dilakukan dengan optimalisasi ELISA dengan cara menetapkan konsentrasi optimal antigen, pengenceran optimal serum dan pengenceran optimal konjugat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai optimal yang diperoleh untuk konsentrasi antigen, pengenceran serum dan pengenceran konjugat berturut-turut sebagai berikut: antigen 2 µg/ml, serum 1:80 dan konjugat 1:4000. Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Dharmawan et al., (2010) yang mendeteksi sistiserkosis pada sapi dengan menggunakan cairan kista T. saginata sebagai antigen. Dharmawan et al., (2010) melaporkan bahwa pengenceran optimal yang diperoleh untuk antigen adalah 1:60; pengenceran optimal serum 1:80 dan pengenceran konjugat 1:4000. Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Kandil et al. (2012) yang menggunakan crude antigen T. saginata untuk diagnosis sistiserkosis pada sapi, ada sedikit perbedaan.
Dari hasil checkerboard titration yang dilakukannya,
Kandil et al. (2012) menemukan konsentrasi optimal antigen adalah 5µg/ ml. Sementara, Rodriguez et al. (2009) yang melakukan penelitian deteksi antigen T. solium menggunakan ELISA dan deteksi antibodi anti T. solium menggunakan enzyme-linked immunotransfer blot (EITB) pada sampel serum dan sampel cairan cerebrospinal pasien neurosistiserkosis, melaporkan bahwa deteksi
31
32
antigen dengan ELISA lebih baik untuk cairan cerebrospinal dibandingkan sampel serum. Pengenceran optimal serum yang dilakukan untuk penelitiannya adalah 1:50 (Rodriguez et al. 2009).
Menurut Minozzo et al. (2008) yang
mengungkapkan crude antigen Cysticercus T. crassiceps efektif untuk deteksi neurosistiserkosis pada manusia di Brazil, ternyata menggunakan pengenceran optimal antigen 1:500, pengenceran optimal serum 1:800 dan pengenceran optimal konjugat 1:4000. Pada penelitian ini, rentang selisih OD dari serum kontrol positif dan serum kontrol negatif relatif rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan sampel serum kontrol negatif yang digunakan berasal dari Rumah Potong Hewan Pesanggaran Denpasar. Walaupun sapi-sapi yang diambil darahnya diyakini bebas sistiserkosis, belum tentu bebas dari infeksi parasit lainnya. Menurut Pinto et al. (2000) yang menjadi kendala utama dalam uji serologi adalah adanya reaksi silang. Huebner (2004) menyatakan reaksi silang (cross-reactivity) terjadi apabila ada dua antigen yang memiliki epitop yang identik atau antibodi yang spesifik untuk satu epitop juga mengikat epitop lain yang tidak berhubungan tetapi memiliki sifat kimia yang sama. Dharmawan (2009) melaporkan Hydatida cyst, Multiceps multiceps, Taenia spp. dan Schistosoma spp. masing-masing menunjukkan reaksi silang dengan antibodi Cystisercus. Tetapi, dengan cara pemurnian antigen, diketahui bahwa suatu antigen yaitu antigen B (Ag B), memperlihatkan reaksi imunologi yang baik (Das et al., 2002). Penggunaan Antigen ini 80% mampu mendeteksi sistiserkosis tanpa kelihatan adanya reaksi silang. Dari hasil penelitian Cheng dan
33
Ko, seperti dilaporkan oleh Dharmawan (2009) diketahui bahwa antigen-antigen yang memberi reaksi silang itu, terdistribusi terutama pada tegumen Taenia. Hal yang sama juga diungkapkan Kandil et al. (2012) yang menyebutkan bahwa dalam studi yang dilakukannya, tingginya persentase serum positif yang terinfeksi T. saginata kemungkinan karena adanya reaksi silang dengan parasit taenia lain. Sehingga hal ini membutuhkan adanya penelitian lebih lanjut. Mehlhorn (1998) menyatakan bahwa pada saat inang definitif terinfeksi parasit, inang tersebut akan terpapar materi antigenik asal parasit yang terdiri dari antigen
permukaan,
antigen
ekskretori-sekretori
dan
antigen
somatik.
Kompleksitas antigen parasit mengakibatkan interaksi antara parasit dan inang definitif. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reaksi silang tidak hanya terjadi antara genus dan famili parasit, tetapi juga dengan spesies (Mehlhorn, 1998). Sebagai peran penting dalam immunodiagnosis, Mehlhorn (1998) juga melaporkan meskipun sebagian dari antigen asal parasit bisa merangsang tanggap kebal protektif
inang
definitif,
namun
sebagian
lain
tidak
berfungsi
untuk
mengembangkan tanggap kebal tersebut. Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali mampu digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi.
Dengan tersedianya antigen isolat lokal, akan memudahkan melakukan
seroprevalensi kejadian sistiserkosis pada sapi di Bali pada khususnya, di Indonesia pada umumnya.
Menurut Allepuz et al. (2012) penentuan
seroprevalensi kejadian sistiserkosis pada sapi memberi nilai yang lebih tinggi dibandingkan hanya dengan mengandalkan pemeriksaan inspeksi visual post
34
mortem. Walaupun demikian, hasil penelitian ini masih perlu dievaluasi dan dikembangkan untuk mengetahui adanya reaksi silang. Di samping itu, crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali perlu diteliti kemungkinannya untuk dipakai mendeteksi sistiserkosis pada manusia. Karena menurut Oliveira et al. (2007) metacestoda T. saginata telah terbukti dapat digunakan sebagai alternatif antigen dalam diagnosis neurosistiserkosis pada manusia.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa crude antigen Cystisercus T. saginata isolat Bali mempunyai sifat antigenik yang dapat digunakan sebagai antigen untuk mendeteksi antibodi sistiserkosis pada sapi. Optimalisasi ELISA menunjukkan bahwa nilai optimal untuk konsentrasi antigen adalah 2 µg/ml, pengenceran optimal serum adalah 1:80 dan pengenceran optimal konjugat adalah 1:4000. 7.2 Saran Penelitian terkait penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada sapi perlu dilanjutkan, khususnya untuk mengetahui adanya reaksi silang dengan parasit lain.
Selain itu, perlu
dikembangkan kemungkinan penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada manusia.
35
DAFTAR PUSTAKA Allepuz, A., Gabriel, S., Dorny, P., Napp, J.F., Vilar, M.J., Lives, L., Picart, L., Ortuna, A. 2012. Comparison of Bovine Cystisercosis Prevalene Detected by Antigen ELISA and Visual Inspection in the North East of Spain. Research in Veterinary Science 92:393-395. Ariputuamijaya. 2011. Macam-macam Tekhnik Pelabelan Antibodi Pada ELISA. [Accessed 2013 Feb 26] Available from: URL: http://ariputuamijaya.wordpress.com/2011/12/10/macam-macam-teknikpelabelan-antibodi-pada-elisa/. Brandt, J.R., Geerts, S., Deken, D., Kumar, V., Brijs, L., and Falla, N. 1992. A Monoclonal Antibody-Based ELISA for Detection of Circulating Excretory– Secretory antigens in Taenia saginata Cysticercosis. Int. J. Parasitol. 22: 471-477. Bragazza, L.M., Vas, A.J., Passos, A.D., Takayanagui, O.M., Nakamura, P.M., Espindola, N.M., Pardini, A., Bueno, E.C. 2002. Frequency of Serum antiCysticercus Antibodies in the population of rural Brazilian community (Cassia Dos Coqueiros, SP) determined by ELISA and immunoblotting using Taenia crassiceps antigens. Rev. Inst. Med. Trop. 44 (1): 7-12. Carrique-Mas, J., Iihoshi, N., Widdowson, M.A., Roca, Y., Morales, G., Quiroga, J., Cejas, F., Caihura, M., Ibarra, R., Edelsten, M. 2001. An epidemiological study of Taenia solium cysticercuosis in a rural population in the Bolivian Chaco. Acta Trop. 80 (3): 229-235. Cho, S.Y., Kong, Y., Kim, S.I., and Kang, S.Y. 1992. Measurement of 150 kDa protein of Taenia Solium metacestoda by enzyme-linked immuno electrotranfer blot technique. Korean J. Parasitol. 30(4): 299-307. Das, S., Mahajan, R.C., Ganguly, N.K., Sawhney, I.M., Dhawan, V., Malla, N. 2002. Detection of antigen B of Cysticercus cellulosae in cerebrospinal fluid for the diagnosis of human neurocysticercosis. Trop Med Int Health. 7 (1): 53-58. Da Silva, A.D., Quagliato, E.M., Rossi, C.L. 2000. A quantitative enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) for the immunodiagnosis of neurocysticercosis using a purified fraction from Taenia solium cysticerci. Diagn Microbiol Infec Dis. 37 (2): 87-92. Dharmawan, N.S. 2009. Fenomena penyakit cacing pita daging babi di Bali dan peran laboratorium klinik dalam menegakkan diagnosis. Dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana. Bidang Agrokomplek. Tim Editor BPMU. Udayana University Press. 1(2):152-164.
36
37
Dharmawan, N.S., Dwinata, I.M., Damriyasa, I.M. 2010. Evaluasi Cairan Kista Taenia saginata untuk uji Serologi Taenia Saginata sistiserkosis. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hibah Stategis Nasional Lembaga Penelitian Universitas Udayana. 38-47. Dharmawan, N.S., Dwinata, I.M., Swastika, K., Damriyasa, I.M., Oka, I.B.M., Agustina, K.K. 2012. Studi biologi perkembangan metacestoda Taenia saginata pada sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional “Peningkatan Produksi dan Kualitas Daging Sapi Bali Nasional” Bali, 14 September 2012. Dharmawan, NS, Dwinata, IM, Swastika, K, Damriyasa, IM., Oka,I.B.M., Astawa, I.N.M. 2013. Protein Spesifik Cairan Kista Cystisercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi dengan Taenia saginata. J.vet. 14(1):78-84. Dorny, P., Gabriel, N., Speybroeck., and Vercuysse, J. 2002. A sero epidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Zambia cattle. Vet. Parasitol.104:211-215. Dorta, S. 2000. Pengenalan Molekul Antigen. [Accessed 2013 Jul 19] Available from: URL: http://www.scribd.com/ doc/ Molekul-Pengenalan-Antigen. Emantoko, S. 2001. Antibodi Rekombinan: Perkembangan terbaru dalam Tekhnologi Antibodi. Unitas. 9(2):29-43. Flisser, A., Correa, D., Avilla, G., and Marvilla, P. 2005. Biology of Taenia solium, Taenia saginata and Taenia saginata asiática. In: Murrel. K.D. (Ed.) WHO/FAO/OIE guidelines for the surveillance, prevention and control of taeniosis/cisticercosis. Paris, France. 1-8. Goldsby, R.A., Kindt, T.J., Osborne, B.A. 2000. Kuby Immunology. Ed ke-4. New York : WH Freeman & Co. 63-172. Gonzalez, L.M., N. Villalobos., Montero, E., Morales, J., Sanz, R.A., Muro, A., Harrison, L.J., Parkhouse, R.M., and Garate, T. 2006. Differential molecular identification of Taeniid spp. And Sarcocystis spp. cysts isolated from infected pigs and cattle. Vet. Parasitol. 142: 95-101. Harrison, L.J., Grate, T., Brsyce, D., Ganzalez, M., Foster, L.M., Wamae, L.W., and Onyango, J.A. 2005. Vaccination of cattle against Taenia saginata cysticercosis using an oncospheral adhesion protein (HP6). 37 (2): 103-120.
38
Huebner J. 2004. Antibody-antigen interactions and measurements of immunologic reactions. Di dalam : Pier GB, Lyczak JB, Wetzler LM, editor. Immunology, infection, and immunity. Washington, DC : ASM Press. 207-232. Huges, G., Hoque, M., Tewes, M.S., Wright, S.H., and Harrison, J.S. 1993. seroepidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Swiszerland. Res. Vet. Sci. 55: 287-291. Husain, N., Jyotsna., Bagchi, M., Huasain, M., Mishra, M.K., Gupta, S. 2001. Evaluation of Cysticercus fasciolaris antigen for immunodiagnosis of neurocysticercosis. Neurol India. 49 (4): 375-379. Iskandar, T., Subekti, D.T., dan Suhardono. 2005. Isolasi Antigen Sistiserkosis Pada Babi dan sapi. Seminar nasional tekhnologi peternakan dan veteriner. Balai Penelitian Veteriner; Bogor. Ito, A., Sako, Y., Ishikawa, Y., Nakao, M., Nakaya, K., Yamasaki, H. 2002. Differential serodiagnosis for alveolar echinococcosisby Em18-immunoblot and Em18-ELISA in Japan and China. In P. Craig and Z. Pawlowski (Eds.) Cestode Zoonoses: Echinococcosis and Cysticercosis – An Emergent and Global Problem. IOS Press. Amsterdam. 147-155. Kandil, M., Mona, S., Mahmoud., Shalaby, H.A. 2012. Value of Taenia Saginata Crude Antigen in Diagnosis of Bovine Cystisercosis With Reference ti its Characterization. Global Veterinaria. 9(4): 474-478. Ketobapadah. 2011. Respon imunitas terhadap tubuh parasit. [Accessed 2013 Feb 26] Available from: URL: http:// ketobapadah.com/2011/04/responsimunitas-tubuh-terhadap-parasit.html. Margono, S.S., Wandra, T., Swasono, M.F., Murni, S., Craig, P.S., Ito, A. 2006. Taeniasis cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. Parasitol. Intl. 55: S143-S148. Mehlhorn, H. 1998. Parasitology in Focus. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany. Miller, M. 1997. Taeniasaginata. [Accessed 2013 Nov 26] Available from: URL:.http://www.asm.org/Division/c/photo/ tapewrm1.JPG. Minozzo, C.J., Moura, de.J., Almeida, M.S., Soccol, T.V. 2008. Crude Antigen from Taenia Crassiceps Cystisercus used As Heterologous Antigen in ELISA and In EITB for Neurocysticercosis Diagnosis of Patient from ParanaBrazil. Braz.arch.biol.technol. 51(6): 1127-1137.
39
Oliveira, B.H., Machhado, A.G., Cabral, D.D., Juliana, M., Cruz, C. 2007. Application of Taenia saginata metacestodes as an alternative antigen for the Serological Diagnosis of Human Neurocysticercosis. Parasitol Res. 101:1007-1013. Pinto, P.S., Vaz, A.J., Germano, P.M., Nakamura, P.M. 2000. Performance of the ELISA test for swine cysticercosis using antigens of Taenia solium and Taenia crassiceps cysticerci. Vet Parasitol. 88 (1-2): 127-130. Pratama, S. 2012. Reaksi imun terhadap infeksi bakteri dan parasit. [Accessed 2013 Mar 26] Available from: URL: http://www.slideshare.net/SuryaPratama3/r-eaksi-imun-terhadap-infeksi-bac-danpar . Rodriquez, S., Dorny, P., Victor, C.W, Tsang, E., Pretell, J., Brandt, J., Andres, G., Lescano., Gonzalez, A.E., Gilman, H.R., Garcia, H.H. 2009. Detection of Taenia solium Antigens and Anti–T. solium Antibodies in Paired Serum and Cerebrospinal Fluid Samples from Patient With Intraparenchymal or Extraparenchymal Neurocysticercosis. JID. 199:1345-52. Sarmoko. 2011. Tinjauan tentang ELISA. [Accessed 2013 Feb 23] Available from: URL: http://sarmoko31. wordpress.com/ 2011/06/28/tinjauan-tentang-elisa. Sato, M.O., Yamasaki, H., Sako, Y., Nakao, M., Plancarte, A., Kassuku, A.A., Dorny, P., Geerts, S., Benitez-Ortis, W., Hashiguchi, Y. 2003. Evaluation of tongue inspection and serology for diagnosis of Taenia solium cysticercosis inswine: usefulness of ELISA using purified glycoproteins and recombinant antigen. Vet. Parasitol. 111, 309-322. Satria, A. 2012. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay). Program Magister Ilmu Biomedik. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; Malang. Simanjuntak, G.M., Margono, S.S., Okamoto, M., Ito, A. 1997. Taeniais/cysticercosis in Indonesia as an emerging diseases. Parasitol Today. 13: 321-323. Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoaof Domesticated Animals, Seventh Edition. Balliere, London. Subahar, R., Hamid, A., Purba, W., Wandra, T., Karma. C., Sako, Y., Margono, S.S., Craig, P.S., Ito, A. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans R Soc Trop Med Hyg. 95: 388-390.
40
Tiuria, R. 2004. Immunologi penyakit parasiter metazoa dan prospek pengembangan vaksin. Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Institut Pertanian Bogor. Wandra, T., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Margono, S.S, Sudewi, R., Suroso, T., Craig, P.S., and Ito, A. 2006. High prevalence of Taenia saginata taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia, 2002-2004. Trans R Soc Trop Med Hyg. 100: 346-353. Wandra, T., Margono, S.S., Gafar, M.S., Saragih, J.M., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Raka Sudewi, A.A., Depary, A.A., Yulfi, H., Darlan, D.M., Samad, I., Okamoto, M., Sato, M.O., Yamasaki, H., Nakaya, K., Craig, P.C., Ito, A. 2007. Taeniasis/cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 38 (1): 140-143). Wandra, T., Raka Sudewi, A.A., Swastika, I.K., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Yulfi, H., Darlan, D.M., Kapti, I.N., Samaan, G., Sato, O.M., Okamoto, M., Sako, Y., Ito, A. 2011. Taeniasis / Cysticercosis in Bali, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 42 (4): 793-802. Yong, T.S., Yeo, I.S., Seo, J.H., Chang, J.K., and Jeong, G.H. 1993. Serodiagnosis of cysticercosisby ELISA-inhibition test using monoclonal antibodies. Korean J. Parasitol. 32(2): 149-156.
LAMPIRAN
41
42
Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Crude Antigen Cystisercus T.saginata Perhitungan konsentrasi dilakukan dengan invitrogen. Adapun tahapan yang dilakukan untuk penghitungan konsentrasi antigen Cystisercus T.saginata adalah sebagai berikut: a. Pembuatan buffer working solution dengan cara mengambil 1194 µl buffer solution. b. Masukkan masing masing 190 µl ke dalam ependorf. c. Ependorf I diisi standart 0 µg/µl (P1) sebanyak 10 µg/µl, ependorf II diisi
standart 200 µg/µl (P2), ependorf III diisi standart 400 µg/µl (P3) dan ependorf IV diisi crude antigen yang diencerkan 100 x (10µl antigen + 90 µl PBS) sebanyak 10 µl+ 190 working solution d. Vortex ke empat ependorf selama 2-3 detik. e. Inkubasi ke empat ependorf pada suhu ruang selama 15 menit.
f. Step pembacaan ependorf (read tube) pada fluorometer. g. Masukkan ependorf yang diisi standart 0 µg/µl ke dalam flurometer (tanda bulatan hitam). h. Tekan “GO”. i. Setelah muncul kata “complete” lanjut dengan memasukkan ependorf yang diisi standart 200 µg/µl. j. Demikian pula untuk ependorf yang berisi standart µg/µl. k. Masukkan ependorf yang berisi sampel (crude antigen) l. Tekan”GO” m. Baca hasil kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran (100x).
43
Lampiran 2. Tahapan optimalisasi ELISA Dengan menggunakan crude antigen Cystisercus T.saginata isolat Bali yang dilakukan sebagai berikut: a. Couting buffer dan penyimpanan antigen yang telah dicouting pada suhu 4oC .
b. Pencucian dengan ELISA washer sebanyak 3 kali. c. Bloking dengan susu skim 5 %. d. Penambahan serum positif dan negatif dengan pengenceran yang telah ditentukan. e. Inkubasi 1 jam pada suhu 37oC dan pencucian 3 kali.
f. Penambahan konjugat dengan pengenceran yang telah ditentukan. g. Inkubasi 1 jam pada suhu 37oC dan pencucian 3 kali. h. Penambahan substrat dan terakhir pembacaan pada ELISA reader.
44
Lampiran 3. Dokumentasi Laboratorium
Gambar 1. Cystisercus T.saginata
Gambar 2. Ekstraksi antigen
Gambar 3. Buffer wolking solution
Gambar 4. Invitrogen
Gambar 5. Couting buffer
Gambar 6. ELISA washer
45
Gambar 7. Pengenceran serum (+)dan serum (-)
Gambar 8. Konjugat
Gambar 10. Plate ELISA
Lampiran 4. Pengenceran pada plate ELISA
Gambar 9. Substrat
Gambar 11. ELISA reader
46
Titrasi Antigen
1
2
3
4
Positif 0.524 0.631 Negatif 0.396 0.467 Selisih 0.128 0.164 Pengenceran 1 2
0.519 0.505 0.014 3
0.459 0.299 0.160 4
Titrasi Serum
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Positif Negatif Selisih Pengenceran
0.58 0.378 0.202 80
0.593 0.394 0.199 80
0.529 0.365 0.164 80
0.596 0.365 0.231 80
0.575 0.369 0.206 80
0.588 0.392 0.196 80
0.571 0.43 0.141 80
0.716 0.437 0.279 80
0.582 0.463 0.119 80
Titrasi Konjugat Positif Negatif Selisih Pengenceran
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0.596 0.365 0.231
0.575 0.369 0.206
0.616 0.348 0.266
0.579 0.400 0.179
0.716 0.437 0.279
0.572 0.347 0.225
0.464 0.315 0.149
0.444 0.502 0.292 0.295 0.152 0.207
1:3000
1:3000
1:3000
1:4000
1:4000
1:4000
1:5000
1:500
1:5000