TESIS
EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUSTAENIA SAGINATAISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI
PRATIWI DEVI GM
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
i
TESIS
EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUSTAENIA SAGINATA ISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI
PRATIWI DEVI GM 1192361014
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i
EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUS TAENIA SAGINATAISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Ilmu Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana
PRATIWI DEVI GM NIM 1192361014
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii
Lembar pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL ………………..
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MSProf.Dr.Nyoman Sadra Dharmawan,MS NIP 19621231 198803 1 017
NIP 19581005 198403 1 002
Mengetahui
Ketua
Direktur
Program StudiKedokteran Hewan
Program Pascasarjana
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Universitas Udayana
Prof.Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes NIP 19621231 198903 1 315
Prof. Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal…………….
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No 3437/a/UN.14.4/HK/2013, Tanggal 21 Desember 2013
Ketua
: Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MS.
Anggota
:
1. 2. 3. 4.
Prof. Dr.drh. Nyoman Sadra Dharmawan,MS. Dr.drh. Nyoman Adi Suratma, MP. Prof.Dr.drh. I Ketut Berata, M.Si. Prof. Dr.drh. I Ketut Puja, M.Kes.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIM Program Studi Judul Tesis/Disertasi
: Pratiwi Devi GM : 1192361014 : Ilmu Kedokteran Hewan :Evaluasi uji ELISA dengan crude antigencysticercusTaenia saginataisolat lokal pada serum lapangan sapi bali.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi * ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 Tahun 2010 dan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 21 Desember 2013 Yang membuat pernyataan
Pratiwi Devi GM *Coret yang tidak perlu
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandar pasir Mandogepada tanggal 23 Juli 1989. Penulis merupakan anak kedua dari lima bersaudara, putri dari pasangan Bapak Alm. A.Ginting, S.Pd. dan ibu A.br. Tampubolon, S.Pd.Penulis memulai jenjang pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SDN
010113 Bandar pasir
Mandoge (Kelas 1 SD), kemudian pada tahun 1996-2001 di SDN 016528 Bandar pasir Mandoge (kelas 2 hingga 6 SD), Tamat Sekolah Menengah Pertama tahun 2004 dari SMP Swasta Methodist-2 Kisaran dan Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN-2
Tebing Tinggi tamat pada tahun 2007. Selanjutnyapenulis
menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) tahun 2011 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi Kedokteran Hewan tahun 2012. Pada tahun 2011 penulis menempuh Pendidikan Program Magister Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan kehendak dan kasih-Nya, tesis dengan judul”EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI”dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MS selaku pembimbing I yang telah membagi pengetahuan dan banyak memberi masukan kepada penulis; Prof. Dr.drh.Nyoman Sadra Dharmawan,MS selaku pembimbing II yang telah dengan sabar memberikan arahan, masukan, dukungan serta dorongan bagi penulis untuk menyelesaikan tulisan ini; Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi. Sp.S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana, Universitas Udayana atas segala fasilitas yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Hewan Universitas Udayana; Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kesselaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Hewan Universitas Udayana yang telah memberikan fasilitas selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Magister Ilmu Kedokteran Hewan Universitas Udayana, serta meluangkan waktu sebagai penguji dan memberikan masukan demi menyempurnakan tulisan ini; Dr.drh. Nyoman Adi Suratma, MP dan Prof. Dr.drh. I Ketut Berata, M.Si yang telah meluangkan waktu untuk menguji tesis ini dan memberikan banyak masukan untuk menyempurnakannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil,Ph.D. yang telah banyak meluangkan waktu, memberikan masukan dan arahan kepada penulis, terutama dalam pemeriksaan sampel di laboratorium.
Kepada para dosen di Laboratorium Parasitologi, Fakultas
Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, penulis ucapkan terima kasih atas masukan dan bimbingannya.Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ayahanda Alm. A. Ginting, S.Pd. yang terkasih. Terima kasih sudah membesarkan, membimbing, memberi nasehat, mendoakan, mencurahkan kasih sayang yang tiada henti; ibunda A. br Tampubolon, S.Pd. yang saya banggakan, vii
terimakasih telah menjadi ibu terhebat. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada abang Jimmi Ricardo GM, adek Sonia Sinalsal GM, Rehjorena Ivana GM dan H. Rahmadhan Samuel GM yang telah memberikan motivasi dan dukungan guna terselesaikannya studi di Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan tesis ini.Namun dengan adanya bimbingan, saran, serta dorongan dari semua pihak, maka tulisan ini dapat diselesaikan.Akhirnya penulis mengucapkan selamat membaca, semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi berbagai pihak.Segala saran dan kritik guna perbaikan tulisan di masa depan, sangat penulis harapkan.
Denpasar, 21 Desember 2013
Penulis
viii
ABSTRAK EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUS TAENIA SAGINATAISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI Tujuan penelitianini adalah untuk mengevaluasi uji ELISA dengan crude antigenisolat lokal menggunakan serum lapangan di Bali serta untuk mengetahui kejadian sistiserkosis Taenia saginata di Bali. Sampel serum diperoleh dari sapisapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) dan sapi yang dipelihara peternak. Hasil pemeriksaan menunjukkan 237 (87,7%) terdeteksi antibodi Cystisercus T.saginata. Selanjutnya, sebanyak 90 (33,33%) dari 270 sapi bali yang diambil serumnya, juga diambil fesesnya untuk pemeriksaan telur cacing. Hasil pemeriksaan feses menunjukkan sebanyak 80 (88,9%) terinfeksi trematoda dan 14 (15,5%) terinfeksi campuran trematoda dan nematoda. Dengan membandingkan hasil serologi ELISA dan hasil pemeriksaan feses pada 90 sampel menggunakan pendekatan Uji Sensitifitas dan Spesifisitas atau Tabel 2 x 2, hasil penelitian ini menunjukkan adanya reaksi silang (cross reaction) antara Cysticercus T. saginata dan cacing trematoda. Dengan demikian, masih diperlukan upaya-upaya pemurnian antigen Cysticercus T. saginata isolat lokal yang dipakai, agar uji lebih sensitif dan spesifik hanya untuk Cysticercus T. saginata. Kata Kunci: Sapi bali, ELISA, crude antigenisolat lokal, Cysticercus T. saginata
ix
ABSTRACT ELISA EVALUATION WITH TAENIA SAGINATA CYSTICERCUS CRUDE ANTIGEN (LOCAL ISOLATE)OF FIELD SERUM BALI CATTLE The purpose of this study was to evaluate the ELISA test with crude antigen local isolate using field serum in Bali as well as to determine the incidence ofCysticercosis T. saginata in Bali. Serum’s sample obtained from bali cattles that slaughtered at the abattoir and bali cattle that are raised by farmer at the field. The result of sera examination showed that 237 (87,7%) detected antibodies of Cystisercus T. saginata. Furthermore, as many as 90 (33,33%) of the 270 bali cattle, their feces were also taken for examination of worm eggs. Results of stool examination showed 80 (88,9%) infected with trematodes and 14 (15,5%) infected with a mixture of trematodes and nematodes. By comparing the results of ELISA serology and the resultsof stool examination on 90 samples using the test of sensitivity and specificity approach or Table 2 x 2, the results of this study showed a cross-reaction between Cysticercus T. saginata and trematode. Further efforts are still needed for purification of CysticercusT. saginatalocalantigen isolates for more sensitive and specific just to Cysticercus T. saginata. Keywords: Bali cattle, ELISA, crude antigen local isolate, Cysticercus T. saginata.
x
RINGKASAN EVALUASI UJI ELISA DENGAN CRUDE ANTIGENCYSTICERCUSTAENIA SAGINATAISOLAT LOKAL PADA SERUM LAPANGAN SAPI BALI Sampai saat ini data mengenai kejadian sistiserkosis pada sapi bali di Bali belum pernah dilaporkan. Hal ini disebabkan karena diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup memiliki sensitifitas yang rendah.Diagnosis sistiserkosis biasanya dilakukan dengan carapost mortem, yakni dengan pemeriksaan kesehatan daging. Dengan telah dikembangkannya metode pemeriksaan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan antigen isolat lokal oleh Lubis et al. (2013), penelitian ini dibuat untuk mengevaluasi uji ELISA tersebut, menggunakan serum lapangan di Bali. Mengingat uji serologi ini baru diperkenalkan, perlu dilakukan evaluasi terhadap sensitifitas dan spesifisitasnya dengan membandingkan hasil uji serologi dan hasil pemeriksaan feses. Sampel serum diperoleh dari sapi baliyang dipotong di RPH Pesanggaran dan dari sapi bali yang dipelihara peternak di lapangan. Pemeriksaan serum dilakukan dengan uji ELISA menggunakan antigen isolat lokal CysticercusT. saginatadari hasil penelitian sebelumnya.Feses diperiksa dengan metode apung dan sedimen. Evaluasi antigen yang digunakan dalam uji ELISA ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil uji serologi dan hasil pemeriksaan feses dengan menerapkan uji sensitifitas dan spesifisitas menggunakan Tabel 2 x 2. Dari 270 sampel serum yang diperiksa, 237 (87,7%) terdeteksi antibodi Cystisercus T.saginata. Sebanyak 90 (33,3%) dari 270 sapi bali yang diambil serumnya untuk uji ELISA, juga diambil fesesnya untuk pemeriksaan telur cacing. Dari uji sedimentasi dan uji apung yang dilakukan, ditemukan telur cacing trematoda sebanyak 80 (88,9%) sampel; telur nematoda pada 1 (1,1%) sampel; dan campuran antara telur trematoda dan nematoda pada 14 (15,5%) sampel. Dengan membandingkan hasil serologi ELISA dan hasil pemeriksaan feses pada 90 sampel menggunakan pendekatan Uji Sensitifitas dan Spesifisitas atau Tabel 2 x 2, diketahui adanya reaksi silang (cross reaction) antara Cysticercus T. saginata dan cacing trematoda. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa uji serologi ELISA dengan antigen isolat lokal yang dipakai mendeteksi antibodi Cysticercus T. saginata pada sapi bali, masih memberikan reaksi silang dengan cacing trematoda. Oleh karena itu, ke depan masih diperlukan upaya-upaya pemurnian antigen isolat lokal tersebut, agar lebih sensitif dan spesifik hanya untuk Cysticercus T. saginata.
xi
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM .................................................................................................. i PRASYARAT GELAR ........................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...................................................................... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT........................................................ v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vi UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................. vii ABSTRAK ............................................................................................................. ix ABSTRACT ............................................................................................................ x RINGKASAN ........................................................................................................ xi DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 3 1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 3 BAB IIKAJIAN PUSTAKA .................................................................................. 4 2.1 Sapi Bali ........................................................................................... 4 2.2 T. saginata ........................................................................................ 5 2.3 Prevalensi T. saginata ...................................................................... 8 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN .................. 10 3.1 Kerangka Berpikir ........................................................................................... 10 3.2 Konsep Penelitian............................................................................................ 12 BAB IV METODE PENELITIAN ...................................................................... 13 4.1 Rancangan Penelitian ..................................................................................... 13 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 13 4.3 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................... 13 4.4 Bahan Penelitian.............................................................................................. 14 4.5 Instrumen Penelitian....................................................................................... 14 4.6 Prosedur Penelitian.......................................................................................... 14 4.6.1 Pemilihan dan Pengambilan Sampel ................................. 14 4.6.2 Pemeriksaan Serologi ................................................................................... 15 4.6.3 Pemeriksaan Feses ....................................................................................... 16 4.6.3.1 Pemeriksaan Konsentrasi Pengendapan .................................................... 16 4.6.3.2 Pemeriksaan Konsentrasi Pengapungan…… ............................................ 16 4.7 Analisis Data ................................................................................................. ..17 xii
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 18 5.1 Uji Serologi .................................................................................... 18 5.2 Pemeriksaan Feses ......................................................................... 19 BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 22 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 26 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 27 LAMPIRAN .......................................................................................................... 33
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 5.1 Hasil Uji ELISA Serum Sapi bali di Bali terhadap Antibodi CysticercusT. saginata ............................................................................................................. 18 5.2 Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi Trematoda .................. 20 5.3 Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi Nematoda ................... 20 5.4 Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi campuran Trematodadan Nematoda .................................................................................. 21
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.2.1 Siklus Hidup T. saginata ....................................................................... 6 Gambar 3.2.1 Konsep Penelitian................................................................................ 12
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA ............................................................................ 32 Lampiran 2. Data Hasil Pemeriksaan Feses ............................................................... 44 Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Feses di Mikroskop Pembesaran Objektif 40 x ...... 48 Lampiran 4. Alat dan Bahan Penelitian ..................................................................... 49
xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penyakit hewan yang dapat menular ke manusia masih merupakan masalah besar di hampir semua negara baik pada negara berkembang maupun negara maju.Penyakit ini dikenal dengan zoonosis.Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Secara langsung kontak antara hewan dengan manusia, secara tidak langsung misalnya melalui hewan perantara. Salah satu zoonosis yang dapat ditularkan melalui pangan adalah infeksi Taenia saginata
(Suharsono, 2002;
Nichlos dan Smith, 2003). Cacing T. saginata berparasit pada usus manusia, sementara bentuk larvanya yang dikenal dengan Cysticercus T. saginata menginfeksi otot-otot sapi.Manusia terinfeksi taeniasis bila mengkonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau kurang matang yang mengandung sistiserkosis T. saginata. Sebaliknya sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata yang dikeluarkan melalui feses manusia (Dharmawan et al., 2012). Kasus sistiserkosis pada sapi di Provinsi Bali belum pernah dilaporkan oleh instansi resmi pemeriksaan daging maupun peneliti.Itu tidak berarti bahwa kasus tidak ada karena kasus taeniasis pada manusia masih sering dilaporkan. Menurut Wandra et al., (2007) kasus taeniasis dilaporkan di empat kabupaten di Bali (Gianyar, Badung, Denpasar, Karangasem) sejak tahun 2002-2005. Dari 540 orang yang disurvei, prevalensi taeniasis T. saginata berkisar antara 1,1%-27,5%. Prevalensi taeniasis T. saginata meningkat secara cepat di Gianyar, tahun 2002 (25,6%) dan tahun 2005 (23,8%), dibandingkan dengan survei sebelumnya pada tahun 1977 (2,1%) dan 1999 (1,3%) (Simanjuntak et al., 1997; Sutisna et al., 2000) sedangkan hasil survei yang dilakukan di Bali pada tahun 2002-2009 menemukan 80 kasus taeniasis T. saginata dari 660 orang yang diperiksa (Wandra et al., 2011).
1
2
Tingginya kasus taeniasis di Bali diduga karena masih banyak ditemukan keluarga yang gemar mengkonsumsi daging sapi mentah berupa lawar.Lawar merupakan makanan khas Bali yang dibuat dari daging babi atau daging sapi mentah yang dicampur bumbu, sayuran dan parutan kelapa. Di sisi lain, ternak terinfeksi saat memakan rumput yang tercemar telur cacing yang terkandung dalam kotoran manusia. Sampai saat ini data mengenai kejadian sistiserkosis pada sapi bali di Bali belum pernah dilaporkan. Hal ini disebabkan karena diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup memiliki sensitifitas yang rendah. Saat ini biasanya diagnosis sistiserkosis dilakukan dengan cara post mortem yakni dengan melakukan pemeriksaan kesehatan daging dengan menemukan parasit. Dengan adanya metode pemeriksaan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan antigen isolat lokal yang dikembangkan oleh Lubis et al. (2013), penelitian ini dibuat untuk mengevaluasi uji ELISA tersebut dengan menggunakan serum lapangan di Bali. Uji serologi terhadap kejadian sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan, karena itu dilakukan juga evaluasi terhadap sensitifitas dan spesifisitas uji dengan membandingkan hasil uji serologi dan hasil pemeriksaan feses.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang penelitian ini maka permasalahan yang diangkat adalah; a. apakah uji ELISA dengan antigen isolat lokal tersebut dapat diterapkan/ cukup valid? b. dengan menggunakan metode yang dikembangkan tersebut, berapa prevalensi sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali?
3
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: a. mengevaluasi uji ELISA yang dikembangkan oleh Lubis et al. (2013). b. mengetahui kejadian sistiserkosis T. saginata di Bali.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan ilmu tentang potensi antigen isolat lokal Cysticercus T. saginata yang dipakai uji ELISA dan sekaligus mengetahui kejadian sistiserkosis pada sapi bali di Bali.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Sapi bali termasuk Famili Bovidae, Genus Bos dan Subgenus Bibovine (Hardjosubroto dan Astuti, 1993). Sapi bali merupakan kekayaan plasma nutfah Indonesia yang perlu dipertahankan kelestariannya (Wiryosuhanto, 1996). Tempat dimulainya domestikasi sapi bali masih terdapat perbedaan pendapat, dimana Meijer (1962) berpendapat proses domestikasi terjadi di Jawa, namun Payne dan Rollinson (1973) menduga bahwa asal mula sapi bali adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi bali di Indonesia. Nozawa (1979) menduga gen asli sapi bali berasal dari Pulau Bali yang kemudian menyebar luas ke daerah Asia Tenggara, dengan kata lain bahwa pusat gen sapi bali adalah di Pulau Bali. Sapi bali memiliki beberapa keunggulan yaitu: (1) tingkat kesuburan sangat tinggi, (2) merupakan sapi pekerja yang baik dan efisien, (3) dapat memanfaatkan hijauan yang kurang bergizi, (4) persentase karkas tinggi, (5) daging rendah lemak subkutan, (6) heterosis positif tinggi pada persilangan (Pane, 1990). Menurut Wiliamson dan Payne (1993), ciri-ciri fisik sapi bali adalah berukuran sedang, berdada dalam dengan kaki yang bagus. Warna bulu merah bata dan coklat tua.Bibir, kaki, ekor berwarna hitam, kaki berwarna putih dari lutut ke bawah (white stocking), ditemukan warna putih di bawah paha dan bagian oval putih yang amat jelas pada bagian pantat.Pada punggung ditemukan garis hitam di sepanjang garis punggung yang disebut garis belut.Pada waktu lahir, baik jantan maupun betina berwarna merah bata dengan bagian warna terang yang khas pada bagian belakang kaki.Warna bulu menjadi coklat tua sampai hitam pada saat mencapai dewasa dan jantan lebih gelap daripada betina.Warna hitam menghilang dan warna bulu merah bata kembali lagi jika sapi jantan dikebiri.Bulu pendek, halus dan licin.Kulit berpigmen dan halus.Kepala lebar dan pendek dengan puncak kepala yang datar, telinga berukuran sedang dan berdiri. Sapi bali jantan 4
5
maupun betina mempunyai tanduk, yang berbeda dalam ukuran dan bentuknya dan ada beberapa variasi tipe tanduk pada kedua jenis kelamin tersebut. Panjang tanduk sapi jantan biasanya 20-25 cm, bentuk tanduk yang ideal pada sapi jantan disebut bentuk tanduk silak conglok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mulamula dari dasar sedikit keluar (tumbuh ke arah samping), lalu membengkok ke atas dan kemudian pada ujungnya membengkok sedikit ke arah luar. Pada sapi betina, bentuk tanduk yang ideal disebut
manggul gangsa yaitu jalannya
pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi mengarah ke atas dan pada ujungnya sedikit mengarah ke belakang dan kemudian melengkung ke bawah lagi mengarah ke kepala (ke dalam).
2.2 T. saginata Taenia saginata merupakan cacing pita pada sapi.Manusia berperan sebagai hospes definitif sedangkan sapi maupun kerbau berperan sebagai hospes perantara (Wandra et al., 2006).Skoleks T. saginata berbentuk segiempat, dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan mempunyai 4 alat isap (sucker).Tidak ada rostelum maupun kait pada skoleks. Leher T. saginata berbentuk sempit memanjang, dengan lebar sekitar 0,5 milimeter. Ruas-ruas tidak jelas dan di dalamnya tidak terlihat struktur (Handojo dan Margono, 2008).Segmen T. saginata dapat mencapai 2000 buah. Segmen mature mempunyai ukuran panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. Lubang genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid uterus berbentuk batang memanjang di pertengahan segmen, mempunyai 15–30 cabang di setiap sisi segmen.Segmen gravid dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen gravid dapat bergerak sendiri di luar anus.Segmen gravid T. saginata lebih cenderung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid cacing pita babi (CFSPH, 2005). Fase larva dari T. saginata disebut Cysticercus bovis.Cysticercus bovis terdapat di dalam tubuh hospes perantara (sapi) terdiri dari kantong tipis yang dindingnya mengandung skoleks dan rongga ditengahnya berisi sedikit cairan jernih (Iskandar, 2005).Penyakit parasitik yang disebabkan oleh Cysticercusdisebut
6
Sistiserkosis.Sistiserkosis ditandai dengan adanya kista pada otot skeletal dari hospes.Kista
juga
sering
dijumpai
pada
otot
masseter,
jantung
dan
diafragma.Kista Cysticercus bovis berukuran 6-9 mm, diameternya sekitar 5 mm ketika sudah berkembang sempurna (Pustekkom, 2005).
Gambar 2.2.1 Siklus hidup T. saginata Sumber: CDC, Center for Disease Control and Prevention, Department of Health and Human Services (http://www.cdc.gov/parasites/cysticercosis/biology.html).
Dalam usus manusia terdapat proglotid gravidyang mengandung banyak telur Bila telur atau proglotid gravid yang keluar termakan sapi, akan berkembang menjadi larva onkosfer. Larva onkofter menembus usus dan masuk kedalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot lurik dan membentuk kista Cysticercus bovis. Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang. Dinding Cysticercus bovisakan dicerna di lambung sedangkan larva dengan skoleks menempel pada
7
usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh membentuk proglotid yang dapat menghasilkan telur. Proglotid dewasa akan keluar bersama feses, kemudian termakan oleh sapi. Selanjutnya proglotid gravid dalam usus sapi akan menetas menjadi larva onkosfer. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti Gambar 2.2.1 diatas (CDC, 2011). Diagnosis sistiserkosis dilakukan dengan cara post mortem yakni dengan melakukan pemeriksaan kesehatan daging dengan menemukan parasit. Selain itu metode diagnosa yang dipakai untuk mendiagnosa sistiserkosis adalah palpasi. Diagnosa sistiserkosis dengan cara palpasi pada hewan telah dilaporkan sangat spesifik, tetapi sensitifitasnya rendah terutama pada hewan dengan infeksi sedang (Gonzales et al., 2001). Oleh sebab itu dikembangkan metode diagnosa yang mudah dan dapat dipercaya, salah satu metode yang dikembangkan adalah uji imunodiagnostik ELISA. Menurut da Silva et al. (2000) uji ELISA terhadap kasus neurocysticerkosis pada manusia memiliki tingkat sensitifitas 95%, sementara Pinto et al. (2000) mengatakan bahwa diagnosis sistiserkosis pada babi dengan menggunakan uji ELISA menggunakan sampel antigen cairan vesikel memiliki tingkat sensitifitas 80-96 % dan spesifisitas 97,5-100%. Husain et al.(2001) menggunakan ekstrak membrane cysticercus fasciolaris untuk imunodiagnostik neurocysticercosis, tes ini memiliki sensitifitas secara keseluruhan 93,54% dan spesifisitas 84,2% dengan nilai prediksi positif 93,54% dan nilai prediksi negatif 84,2%. Das et al. (2002) mengatakan bahwa ELISA memiliki tingkat sensitifitas yang baik terhadap diagnostik neurocysticercosis. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa ELISA merupakan uji yang paling banyak digunakan dan teknik ini umumnya memberi hasil yang baik. Menurut Ito et al. (2002) bahkan dewasa ini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang epidemiologi kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari pemeriksaan serologis. Sistiserkosis pada hewan dapat ditekan dengan cara mengobati induk semang definitif yang menderita Taeniasis. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi T. saginata, sapi dikandangkan sehingga kontak langsung antara sapi dengan feses manusia dapat diminimalisir. Pengobatan Taeniasis pada hewan bisa dilakukan dengan pemberian obat cacing praziquantel, epsiprantel, mebendazole,
8
febantel dan fenbendazole.Demikian juga untuk pengobatan taeniasis pada manusia, pemberian obat cacing praziquantel, niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat membunuh cacing dewasa dalam usus (OIE, 2005).
2.3 Prevalensi T. saginata Taenia saginata merupakan penyakit parasitik zoonosis di seluruh dunia dengan perkiraan sekitar 50 juta kasus infeksi (Wanzala et al., 2003).Selanjutnya Wanzala (2003) melaporkan bahwa 50.000 orang meninggal akibat infeksi T. saginata. Endemitas taeniasis dan sistiserkosis di suatu wilayah dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor yaitu: (1) pembuangan kotoran manusia yang tidak memenuhi syarat kesehatan, misalnya kebiasaan buang air besar disembarang tempat sehingga telur taenia menyebar melalui air, lalat dan mobilitas manusia; (2)
pemeliharaan
sapi
dan
babi
yang
tidak
dikandangkan,
sehingga
memungkinkan sapi dan babi memakan feses manusia; (3) hygiene-sanitasi individu yang rendah, misalkan kebiasaan tidak membersihkan tangan sebelum makan; dan (4) kebiasaan tertentu sehubungan dengan makanan, misalnya hidangan yang mengandung daging sapi atau daging babi mentah ( Batero, 1989). Infeksi T. saginata ditemukan di Afrika, Timur Tengah dan beberapa bagian dari Eropa.Infeksi jarang terjadi di negara-negara seperti Amerika Serikat, Kanada dan Australia (J, Howell dan Brown G, 2008).Prevalensi infeksi T. saginata berbeda disetiap negara, dengan prevalensi tertinggi terdapat di Asia Tengah, sekitar Asia Timur, Afrika Tengah, dan Afrika Timur (lebih dari 10%). Daerah dengan prevalensi infeksi 0,1% hingga 10% seperti negara pada daerah Asia Tenggara seperti Thailand, India, Vietnam, dan Filipina. Daerah dengan prevalensi rendah (sekitar 1% penderita) seperti beberapa negara di Asia Tenggara, Eropa, serta Amerika Tengah dan Selatan (Sheikh, et al., 2008; Del Brutto, 2005).
9
Tiga
provinsi
di
Indonesia
yang
merupakan
daerah
endemis
taeniosis/sistiserkosis adalah Bali (T. solium) dan (T. saginata), Sumatera Utara (T. asiantica), dan Papua (T. solium). Survei yang dilakukan di Bali pada empat desa diempat kecamatan (Kecamatan Gianyar, Badung, Denpasar, Karangasem) pada tahun 2002-2004, tingkat prevalensi taeniosis T. saginata 1,1%-27,5%. Tingkat prevalensi taeniosis T. saginata meningkat secara cepat di Gianyar, tahun 2002 (25,6%) dan tahun 2005 (23,8%), dibandingkan dengan survey sebelumnya pada tahun 1977(2,1%) dan tahun 1999 (1,3%) (Wandra et al., 2006, Dharmawan et al., 2009). Pada penelitian yang dilakukan Sutisna tahun 2000 di Br. Pamesan, Desa Ketewel, Gianyar (penduduk sebanyak 765 orang), dari 156 feses yang diperiksa 2 mengandung Taenia (Prevalensi1,3%). Kedua kasus tersebut ternyata disebabkan oleh T. saginata. Dari 115 serum yang diperiksa, 6 menunjukkan seropositif (5,2%). Kasus tersebut terdiri dari 3 laki-laki dan 3 perempuan, berumur 26-46 tahun.Di samping kelompok penelitian, 13 orang mengeluh mengeluarkan proglotida juga diperiksa, dan ternyata mengandung infeksi Taenia, terdiri dari T. saginata dan T. solium.Dua diantaranya menunjukkan hasil seropositif, seorang terinfeksi T. solium dan yang lainnya T. saginata.Hal tersebut menunjukkan bahwa taeniosis dan sistiserkosis memang endemis pada penduduk Pulau Bali (Sutisna et al.,2000). Kasus sistiserkosis pada sapi ditemukan hampir diseluruh dunia, dengan kategori prevalensi rendah di negara maju, moderat di negara-negara Asia selatan, dan tinggi di negara-negara sedang berkembang dan di Sub Sahara Afrika (Taresa et. al., 2011; Dharmawan et. al., 2012).Data kejadian sistiserkosis karena Cystiserkus T. saginata di beberapa negara kebanyakan diambil dari laporanlaporan pemeriksaan kesehatan daging (Dharmawan, 1995).Sementara untuk kasus Cystiserkus T. saginata di Bali belum pernah secara resmi dilaporkan.
BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir Sistiserkosis
dan
taeniasis
selain
merupakan
masalah
kesehatan
masyarakat, juga menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi.Sistiserkosis dapat menurunkan nilai jual daging karena daging yang terinfeksi harus dimusnahkan (Flisser et al., 2006).Seperti yang dilaporkan angka prevalensi penyakit ini tersebar diberbagai wilayah Indonesia dengan tingkat prevalensi yang bervariasi. Namun data tentang prevalensi sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali sampai saat ini belum tersedia. Upaya penanggulangan sistiserkosis dan taeniasis sebenarnya tidak sulit, namun di Indonesia penyakit ini masih terabaikan.Salah satu metode penanggulangan yang efisien terhadap sistiserkosis dan taeniasis adalah dengan memutus rantai daur hidup parasit tersebut.Manusia terinfeksi taeniasis bila mengkonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau kurang matang yang mengandung sisitiserkosis T. saginata. Sebaliknya, sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata yang dikeluarkan melalui feses manusia (Dharmawan et al., 2012). Kendalanya sampai saat ini adalah kurangnya data tentang keberadaan sistiserkosis tersebut pada sapi bali di Bali. Ketiadaan informasi ini, disebabkan karena kurangnya perhatian terhadap pemeriksaan kesehatan daging baik di RPH maupun di tempat-tempat pemotongan sapi tradisional.Selain itu, teknik diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis pada hewan lebih banyak menggunakan uji-uji yang dilakukan post mortem.
Hal ini juga
menyebabkan upaya untuk mengetahui prevalensi kejadian sistiserkosis pada sapibali di Bali tidak optimal.
Dengan adanya teknik diagnostik yang
dipermudah, misalnya dengan menggunakan antigen isolat
10
lokal
yang
11
dikembangkan Lubis et al. (2013), dapat di deteksi keberadaan antibodi Cysticercus T. saginata. Akan tetapi, dari beberapa laporan tentang pengembangan uji diagnostik serologi untuk sistiserkosis dan taeniasis, diketahui bahwa uji serologi sering kali belum optimal, karena hasil yang diperoleh masih menunjukkan reaksi silang (cross reaction) dengan parasit lain. Kumar dan Tadesse (2011) melaporkan bahwa uji serologi dengan menggunakan crude antigen yang dipakai untuk mendeteksi antibodi cysticercus/taenia sering bermasalah dari segi spesifisitasnya, terutama bila diterapkan pada ternak yang terpapar oleh parasit lain yang mengakibatkan timbulnya reaksi silang. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Ito (2013), yang menyatakan bahwa dari hasil penelitian dan pengamatannya menemukan bahwa penggunaan crude antigen untuk uji serologi terhadap infeksi cestoda, sering memberi hasil positif palsu (false positives). Tingginya persentase kejadian sistiserkosis pada sapi yang ditunjukkan dari hasil pemeriksaan serologi, oleh Kandil et al. (2012) dilaporkan juga dapat disebabkan oleh adanya reaksi silang dengan parasit lain. Sementara itu, Oliveira et al. (2007) secara spesifik melaporkan bahwa penggunaan antigen Cysticercus T. saginata untuk uji serologi, memperlihatkan reaksi silang antara infeksi Taenia sp, Hymenolepis nana dan infeksi Echinococcus granulosus.Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya variasi dari antigenic epitopes masing-masing spesies.Reaksi silang yang terjadi di antara Taenia sp. dan Hymenolepis sp. sangat terkait dengan hubungan filogenetiknya, kedua sepesies cacing pita tersebut berasal dari Family Taeneiidae (Oliveire et al., 2007). Saat ini, ELISA sebagai uji serologi telah digunakan secara ekstensif dan universal untuk diagnosis sistiserkosis, dan tidak jarang memiliki nilai sensistifitas dan spesifisitas yang tinggi (dari 90% sampai 100%), tergantung dari antigen spesifik yang digunakan (Cai et al., 2006).
12
3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir di atas yang dilandasi kepustakaan dan dasar teori, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut. Sapi bali
RPH Pesanggaran dan daerah endemis
Daerah endemis
Serum
Feses
Pemeriksaan feses, sedimentasi dan pengapungan
ELISA, antigen isolat lokal
Hasil uji serologi, Prevalensi
Hasil pemeriksaan telur cacing
Evaluasi Antigen uji ELISA Uji sensitifitas dan spesifisitas hasil uji serologi dan pemeriksaan feses
Gambar 3.2.1: Konsep Penelitian
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian obervasional untuk mengevaluasi uji ELISA dengan crude antigen isolat lokal menggunakan serum sapi lapangan di Bali dan untuk mengetahui prevalensi sistiserkosis T. saginata di Bali. Oleh karena uji serologi dengan menggunakan antigen isolat lokal ini baru pertama kali diterapkan di lapangan, evaluasi sensitifitas dan spesifisitas uji dilakukan dengan membandingkan hasil uji serologi dan hasil pemeriksaan feses. Angka prevalensi ditetapkan menggunakan point prevalence-rate.
4.2 Lokasi dan waktu penelitian Pengambilan sampel serum sapi bali dan pengambilan sampel feses di lapangan dilakukan di beberapa daerah di Bali (Gianyar, Karangasem, Jembrana, Badung, dan Klungkung) secara purposive. Sampel serum juga diambil pada sapi-sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan Pesanggaran.Penelitian laboratorium dikerjakaan di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar dan Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana Denpasar.Penelitian dilakukan pada bulan Mei – September 2013.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah evaluasi uji ELISA dengan crude antigen isolat lokal menggunakan serum lapangan di Bali dan penetapan prevalensi sistisserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali. Sampel serum sapi bali diperoleh dari beberapa daerah dan dari sapi-sapi yang disembelih di RPH Pesanggaran dan di daerah endemis taeniasisis-sistiserkosis. Teknik diagnostik dengan uji ELISAmenggunakan antigen lokal berupa crude antigenCysticercusT. saginata hasil penelitian sebelumnya.Untuk mengevaluasi uji serologis dilakukan perbandingan hasil pemeriksaan ELISA dan hasil pemeriksaan feses.
13
14
4.4 Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: antigen Cysticercus T. saginata, konjugat (IgG-Peroxidase antibody produced in rabbit(Sigma), substrat ABTS
mengandung
2,2’–azino-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonic
acid)
hydrogen peroxydase (BIORAD), skim milk 5%, serum sapi bali, feses sapi bali, PBS, PBS-Tween, Larutan stopper (oxalic acid), coating buffer (0,1M larutan karbonat pH 9,6), Alkohol 70 %, aquadest, formalin dan NaCl.
4.5 Instrumen Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: spuit, stiker kertas,
tabung sentrifuge, sentrifugator, inkubator (37ºC), komputer, ELISA
reader (mikroplate reader Bio-Rad model 550), ELISA washer (Imunowash Biorad model 1575), shaker (Tirtex), multichannel pippet, tip, plate ELISA, kulkas 4 o
C , magnetic stirrer, rak shaker, gelas beker, saringan teh, objek gelas, gelas
penutup, mikroskop, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet Pasteur.
4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1
Pemilihan dan pengambilan sampel Target populasi dalam penelitian ini adalah sapi bali yang dipotong di
RPH Pesanggaran dan daerah endemis. Dipilihnya sapi bali yang dipotong di rumah potong hewan karena daging sapi tersebut sangat potensial dalam penularan zoonosis tersebut ke manusia, sedangkan sampel daerah endemis dipilih untuk pencegahan/pemutusan siklus hidup T. saginata. Sampel yang diambil berupa darah sapi bali dan beberapa sampel feses. Sampel darah yang diperoleh disentrifius untuk memperoleh serum. Serum yang didapat disimpan pada suhu 20oC sampai akan digunakan. Sesuai dengan Thrusfield (2007) penentuan jumlah sampel dilakukan dengan rumus:
n=1,962Pexp(1-Pexp), d
2
15
Dimana n
= Jumlah sampel
Pexp= Prevalensi yang diperkirakan d
= Selang kepercayaan
Diketahui, Pexp= 20% d
= 0,5
n
= 1,962 x 0, 2 (1 - 0,2) 0,25 = 246 sampel
4.6.2
Pemeriksaan Serologi Deteksi antibodi terhadap Cysticercus T. saginata serum sapi bali yang
diperoleh dari peternak maupun rumah potong hewan dilakukan dengan uji ELISA. Tahapan pemeriksaan antibodi dengan uji ELISA dilakukan dengan mempersiapkan 96-well polystyrene ELISA plates dilapisi dengan crude antigen, kemudian diinkubasi selama 15 jam pada suhu 4oC dengan konsentrasi sesuai dengan hasil titrasi antigen. Setelah inkubasi dicuci 3 kali dengan PBS-0,5 yang mengandung 0,1% Tween 20 (PBS-0,5 Tween). Sampel serum diencerkan PBS0,5 Tween sesuai dengan hasil titrasi sampel kemudian diinkubasikan selama 1 jam pada temperatur kamar. Setelah inkubasi dicuci lagi sebanyak 3 kali dengan PBS-0,5 Tween. Selanjutnya ditambahkan konjugat dengan pengenceran sesuai dengan hasil titrasi. Setelah dilakukan pencucian 3 kali dengan PBS-0,5 Tween maka dilakukan penambahan substrat yang mengandung o-phenylenediamine dihydrochloride (Sigma) dan 0,0012% hydrogen peroxydase. Reaksi dihentikan dengan penambahan asam sulfat 0,5 M setelah inkubasi pada ruang gelap selama 15 menit. Optical density kemudian dibaca pada ELISA-reader pada 490 nm. Dari hasil pembacaan tersebut kemudian ditentukan index OD (OD sampel-OD Kontrol negatif: OD Kontrol positif – OD Kontrol negatif).
16
4.6.3. Pemeriksaan feses 4.6.3.1 Pemeriksaan konsentrasi pengendapan (sedimentasi) Feses sebesar biji kemiri (± 3 gram) dimasukkan kedalam gelas beker, kemudian ditambahkan aquades sampai konsentrasi kira-kira 10%.Larutan kemudian diaduk sampai homogen.Lalu disaring memakai saringan teh untuk menghilangkan bagian yang berukuran besar.Hasil saringan masukkan kedalam tabung sentrifuge sampai volume ¾.Sentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-3 menit.Kemudian tabung sentrifuge dikeluarkan dari sentrifugator, sepernatan dibuang lalu sedimen yg ada didasar tabung diaduk sampai homogen. Bahan tersebut dibuat preparat dan dilakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop pembesaran objektif 40 x.
4.6.3.2 Pemeriksaan Konsentrasi Pengapungan Feses sebesar biji kemiri (± 3 gram) dimasukkan kedalam gelas beker, kemudian ditambahkan aquades sampai konsentrasi kira-kira 10%.Larutan kemudian diaduk sampai homogen, lalu disaring memakai saringan teh untuk menghilangkan
bagian
yang
berukuran
besar.Hasil
saringan
kemudian
dimasukkan kedalam tabung sentrifuge sampai volume ¾.Sentrifuge dengan kecepatan 1500 rpm selama 2-3 menit. Tabung sentrifuge dikeluarkan dari sentrifugator, sepernatan dibuang kemudian ditambahkan larutan pengapung NaCl jenuh ¾ volume, diaduk hingga homogen. Tabung dimasukkan kembali kedalam sentrifugator dan selanjutnya ditaruh pada rak tabung reaksi dengan posisi tegak lurus. Tetesi tabung reaksi dengan larutan NaCl jenuh dengan menggunakan pipet Pasteur secara perlahan sampai permukaan cairan cembung (penambahan cairan pengapung tidak boleh sampai tumpah). Ditunggu 1-2 menit, ambil gelas penutup kemudian disentuhkan pada permukaan cairan pengapung dan setelah itu ditempelkan diatas gelas obyek. Diperiksa dengan menggunakan mikroskop pembesaran objektif 40 x.
17
4.7 Analisa data Data pemeriksaan serologi berupa nilai optical density (OD) dari serum yang dinyatakan positif dicatat, lalu ditabulasi dalam bentuk tabel sesuai asal sampel.
Penetapan angka prevalensi dilakukan sesuai dengan metode point
prevalence rate dengan membagi jumlah sampel positif dengan jumlah sampel yang diperiksa, dikalikan 100% (Thrusfield, 2007).Untuk evaluasi antigen yang digunakan dalam uji ELISA, hasil uji serologi dan hasil pemeriksaan feses dianalissis dengan uji sensitifitas dan spesifisitas menggunakan Tabel 2 x 2 (Thrusfield, 2007).
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Uji Serologi Untuk mengevaluasi uji ELISA dengan crude antigen isolat lokal telah diperiksa 270 sampel serum sapi yang berasal dari beberapa kabupaten. Serum tersebut diperoleh dari sapi-sapi bali yang dipelihara oleh peternak di Kabupaten Gianyar, Karangasem, Jembrana, Badung, dan Klungkung, dengan jumlah berturut-turut: 10 (3,7%), 30 (11,1%), 52 (19,3%), 30 (11,1%), dan 25 (9,3%). Selain itu, sampel serum juga diperoleh dari sapi bali yang disembelih di Rumah Potong Hewan (RPH) Pesanggaran sebanyak 123 (45,5%). Dari hasil uji ELISA yang dilakukan terhadap semua serum, ditemukan 237 (87,7%) terdeteksi antibodi Cystisercus T. saginata. Uji ELISA dinyatakan positif, bila hasil pembacaan menunjukkan nilai yang sama atau di atas 0.468. Selengkapnya data hasil uji ELISA dapat dilihat pada Tabel 5.1 berikut.
Tabel 5.1 Hasil Uji ELISA Serum Sapi Bali di Bali Terhadap Antibodi Cysticercus T. saginata Jumlah Asal Sampel
Hasil Pemeriksaan ELISA
Sampel
Positif
(%)
Negatif
(%)
Gianyar
10
10
100
0
0
Karangasem
30
25
83,3
5
16,7
Jembrana
52
48
92,3
4
7,7
Badung
30
27
90
3
10
Klungkung
25
25
100
0
0
RPH Pesanggaran
123
102
82,9
21
17,1
Total
270
237
87,7
33
12,3
18
19
Dari Tabel 5.1, diketahui bahwa 237 (87,7%) serum postif terdeteksi antibodi Cysticercus T. saginata dan 33 (12,3%) negatif. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dinyatakan bahwa prevalensi kejadian sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali sebesar 87,7%.
5.2 Pemeriksaan Feses Sebanyak 90 (33,3%) dari 270 sapi bali yang diambil serumnya untuk uji ELISA, juga diambil fesesnya untuk pemeriksaan telur cacing. Sampel feses ini diambil bersamaan saat pengambilan sampel serum sapi-sapi tersebut di lapangan.Sampel feses tersebut berasal dari Kabupaten Gianyar, Karangasem dan Jembrana. Dari uji sedimentasi dan uji apung yang dilakukan, ditemukan telur cacing sebagai berikut: 1) hanya telur trematoda pada 80 (88,9%) sampel; hanya telur nematoda pada 1 (1,1%) sampel; dan campuran antara telur trematoda dan nematoda pada 14 (15,5%) sampel. Data lengkap hasil pemeriksaan feses dapat dilihat pada Lampiran 2. Dengan membandingkan hasil serologi ELISA dan hasil pemeriksaan feses pada 90 sampel menggunakan pendekatan Uji Sensitifitas dan Spesifisitas atau Tabel 2 x 2 (Thrusfield, 2007), diketahui bahwa kemungkinan cacing dari golongan
trematoda
mempunyai
kecenderungan
mengaburkan
tingginya
prevalensi sistiserkosis yang diperoleh.Hal ini terlihat dari hasil sensitifitas dan spesifisitas uji serologi (uji diagnostik ELISA) bila dipasangkan dengan hasil pemeriksaan feses. Secara lengkap hasil pendekatan dari masing-masing Tabel 2 x 2 tersebut, dapat dilihat pada Tabel 5.2, Tabel 5.3, dan Tabel 5.4.
Dengan
berasumsi bahwa antigen yang digunakan pada uji ELISA juga mendeteksi adanya antibodi cacing lainnya, maka hasil penelitian ini menunjukkan adanya reaksi silang (cross reaction) antara Cysticercus T. saginata dan cacing trematoda.
20
Tabel 5.2 Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi Trematoda Hasil Uji ELISA
Positif Trematoda
Negatif Trematoda
Total
Positif
80
1
81
Negatif
0
9
9
Total
80
10
90
Sensitifitas: 80/(80+0) = 80/80 = 1 (100%) Sfesifisitas: 9/(1+9) = 9/10 = 0,9 (90%)
Tabel 5.3 Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi Nematoda Hasil Uji ELISA
Positif Nematoda
Negatif Nematoda
Total
Positif
15
66
81
Negatif
0
9
9
Total
15
75
90
Sensitifitas: 15/(15+0) = 15/15 = 1 (100%) Sfesifisitas: 9/(66+9) = 9/75 = 0,12 (12%)
21
Tabel 5.4 Sensitifitas dan Sfesifisitas Uji ELISA dengan Infeksi Campuran Trematoda dan Nematoda Hasil Uji
Positif Trematoda
Negatif Trematoda
ELISA
dan Nematoda
dan Nematoda
Positif
14
67
81
Negatif
0
9
9
Total
14
76
90
Sensitifitas: 14/(14+0) = 14/14 = 1 (100%) Sfesifisitas: 9/(67+9) = 9/76 = 0,11 (11%)
Total
BAB VI PEMBAHASAN
Dari hasil evaluasi uji ELISA dengan crude antigen isolat lokal menggunakan serum lapangan di Bali, diketahui bahwa seroprevalensi sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Bali sebesar 87,7%.
Secara rinci
kejadiannya dapat dilihat pada Tabel 5.1. Pada Tabel 5.1. tersebut dapat diketahui bahwa 237 (87,7%) serum postif terdeteksi antibodi Cysticercus T. saginata dan 33 (12,3%) negatif. Tingginya angka prevalensi ini bisa dikaitkan dengan tinggi kejadian taeniasis pada penduduk di Bali. Menurut Wandra et al. (2007) dari hasil penelitian kejadian taeniasis pada masyarakat di empat kabupaten di Bali, yaitu Gianyar, Badung, Denpasar dan Karangasem, pada kurun waktu 2002-2006, diketahui di antara 540 orang yang diperiksa, prevalensi taeniasis akibat T. saginata berkisar antara 1,1% (di Badung dan di Karangasem) sampai 27,5% (di Gianyar).
Prevalensi kejadian ini
dilaporkan meningkat secara drastis di Gianyar, menjadi 25,6% (pada 2002) dan 23,8% (pada 2005), dibandingkan dengan penelitian sebelumnya 2,1 % (pada tahun1977)
dan
1,3%
(pada
tahun
1999)
(Simanjuntaket
al,
1997;
Sutisnaetal,2000; Wandra et al., 2007). Tingginya kejadian ini diduga karena meningkatnya jumlah keluarga yang mengkonsumsi daging mentah berupa lawar sapi (Wandra et al., 2006; 2007). Wandra et al (2013) kembali melaporkan hasil penelitiannya yang dilakukan pada 2002-2013, di sembilan kabupaten (Gianyar, Badung, Denpasar, Bangli, Tabanan, Jembrana, Klungkung, Buleleng dan Karangasem). Dari hasil penelitian tersebut diketahui bahwa 123 (8,24%) dari 1492 orang yang diperiksa terinfeksi cacing T. saginata. Pemeriksaan dilakukan dengan metode kuesioner, pemeriksaan feses (Kato-Katz), serologi (ELISA) dan analisis mitochondria DNA.Infeksi taeniasis T. saginata tersebut ditemukan di empat kabupaten yaitu Gianyar (107 kasus), Badung (1 kasus), Denpasar (14 kasus) dan Karangasem (1 kasus). 22
Pada
23
penelitian yang kami lakukan, prevalensi kejadian sistiserkosis T. saginata pada sapi bali di Gianyar, Badung, dan Karangasem berturut-turut adalah 100%; 90% dan 83,3%. Prevalensi sistiserkosis T. saginata pada sapi bali ini sangat tinggi bila dibandingkan dengan laporan kejadian yang sama di negara-negara lain. Garedaghi et al. (2011) yang melakukan penelitian di Rumah Potong Hewan Meshkinshahr, Iran pada September 2010 – Agustus 2011, melaporkan dari 500 ekor sapi yang diperiksa secara acak dengan pemeriksaan kesehatan daging menemukan 15 (3%) terinfeksi Cysticercus T. saginata. Kandil et al. (2012) yang melakukan penelitian dengan mengamati sapi-sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan El-Basateen, Kairo secara serologi dan pemeriksaan kesehatan daging, melaporkan bahwa prevalensi sistiserkosis T. saginata berturut-turut adalah 29,3% dan 4%. Kumar dan Tadesse (2011) melaporkan prevalensi Bovine cysticercosis (sistiserkosis T. saginata) di wilayah Ethiopia bervariasi, dengan kisaran 2,2% sampai 26,25%. Angka ini dinilai masih rendah dari perkiraan, karena metode yang digunakan hanya mengandalkan hasil pemeriksaan kesehatan daging.Di samping itu, perkiraan tadi juga diperkuat dari kebiasaan penduduk Ethopia yang sangat gemar mengkonsumsi daging sapi mentah, rendahnya tingkat penggunaan jamban, rendahnya sanitasi lingkungan, dan terbatasnya ketersediaan taenicides (Kumar dan Tadesse, 2011). Sementara itu, menurut Taeresa et al. (2011) yang melakukan penelitian cross sectional mulai Oktober 2010 hingga Maret 2011 di Kota Jimma Ethiophia, melaporkan bahwa dari 520 karkas yang diamati dengan cara pemeriksaan kesehatan daging, menemukan 19 (3,65%) terinfeksi sistiserkus. Pada penelitian yang kami lakukan, dari 270 sapi bali yang serumnya diuji ELISA, 90 (33,3%) diantaranya dilakukan pemeriksaan feses.
Hasil
pemeriksaan menunjukkan infeksi trematoda yang cukup tinggi. Sebanyak 80 (88,9%) terinfeksi trematoda dan 14 (15,5%) terinfeksi campuran trematoda dan nematoda. Dengan berasumsi bahwa antigen untuk uji ELISA yang dipakai juga
24
menimbulkan antibodi terhadap infeksi cacing lain, maka hasil penelitian ini menunjukkan adanya reaksi silang (cross reaction) antara Cysticercus T. saginata dan cacing trematoda. Menurut Dharmawan (2009) uji serologi untuk deteksi sistiserkosis memiliki kendala dalam hal terjadinya reaksi silang dengan parasit lain, seperti dengan kista hydatida, Multiceps multiceps, Taenia spp. dan Schistosoma spp. El-Moghazy dan Abdel-Rahman (2012), menyatakan bahwa reaksi silang tidak hanya terjadi pada spesies dalam satu filum, seperti antara T. solium, Hymenolepis nana, dan Echinococcus granulosus; tetapi juga dapat diperluas pada infeksi cacing dari filum yang berbeda, seperti pada infeksi Fasciola gigantica, T. spiralis, dan E. granulosus (El-Moghazy dan AbdelRahman, 2012). Pada studi yang dilakukan dalam rangka pengembangan dan evaluasi uji serologi terhadap Cysticercus bovis, Kabede (2004) melaporkan uji ELISA untuk deteksi C. bovis pada sapi menunjukkan reaksi silang dengan cacing lain. Dinyatakan bahwa lewat pemeriksaan feses yang dilakukan dengan teknik apung dan sedimentasi, sapi yang diamati terinfeksi trematoda (Fasciola sp. dan Parmphistomum
sp.).Pendapat
seperti
ini
sebelumnya
telah
dinyatakan
Lightowlers (1990), yang melaporkan bahwa penggunaan antigen cestoda pada uji serologi untuk deteksi cacing pita pada ruminansia, memperlihatkan reaksi silang antara Taenia spp. dan Fasciola hepatica.Ridwan (2008) yang juga melakukan evaluasi terhadap crude antigenCysticercus bovis yang digunakan untuk mendiagnosis Cysticercosis bovis pada sapi, melaporkan antigen ini memberi reaksi silang, diantaranya dengan Fasciola gigantica. Dengan demikian, crude antigen yang digunakan dalam penelitian ini sudah bersifat antigenik, namun masih dikenali oleh parasit lain yang bukan menjadi sasaran. Dengan kata lain, protein yang digunakan sebagai antigen dalam uji ELISA ini masih perlu dimurnikan, sehingga spesifik dan hanya dikenal oleh Cysticercus T. saginata saja.Berdasarkan pengalaman, penggunaan crude antigenCysticercus T. saginata memiliki kelemahan, karena saat ekstraksi
25
kemungkinan protein pada daging juga terikut, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya positif palsu.White (1997) menyatakan bahwa uji serologi dengan menggunakan antigen yang tidak terfraksi dapat menyebabkan terjadinya positif dan negatif palsu.Beberapa peneliti yang membandingkan penggunaan ekstrak kista, cairan kista dan ekstrak cacing pita sebagai antigen uji ELISA, menyimpulkan bahwa antigen yang berasal dari cairan kista memberi hasil yang paling baik (Dharmawan, 2009).
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
1. Uji ELISA dengan crude antigen isolat lokal yang digunakan untuk mendeteksi antibodi Cysticercus T. saginata pada sapi bali, menunjukkan adanya reaksi silang (crossreaction) antara Cysticercus T. saginatadengan cacing trematoda. 2. Dengan menggunakan crude antigen isolat lokal tersebut, diketahui prevalensi Cysticercus T. saginata pada sapi bali di Baliadalah 87,7%. 3. Diperlukan upaya-upaya pemurnian crude antigenisolat lokal agar lebih sensitif dan spesifik, hanya mendeteksi Cysticercus T. saginata.
26
DAFTAR PUSTAKA Batero, D. 1989. Cysticercosis.In Textbook of Tropical Medicine and Parasitology. Goldsmith R, Heyneman D (Eds). Appleton and Lange: pp 497502. Cai, X., Zheng, Y., Luo, X., Jing, Z., Hu, Z., Lu, C. 2006. Immunodiagnosis of cysticercosis in China. J. Appl. Res. 6 (1): 69-76. (CDC) Centers for Disease Control and Prevention. 2011. Cysticercosis. http://www.cdc.gov/parasites/cysticercosis/biology.html. Diakses Maret 2013.
16
(CFSPH) Center for Food Security and Public Health. 2005. Taenia Infections. http://www.cfsph.iastate.edu. Diakses16 Maret 2013. da Silva AD, Quagliato EM, Rossi CL. 2000. A quantitative enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for the immunodiagnosis of neurocysticercosis using a purified fraction from Taenia solium cysticerci. Diagn Microbio l Infec Dis. 37 (2): 87-92. Das S, Mahajan RC, Ganguly NK, Sawhney IM, Dhawan V, Malla N. 2002. Detection of antigen B of Cysticercus cellulosae in cerebrospinal fluid for the diagnosis of human neurocysticercosis.Trop Med Int Health. 7 (1): 5358. Del Brutto O.H., 2005. Neurocysticercosis.Semin Neurol 25(3): 243-251 (Abstract). Dharmawan N.S. 1995. Pelacakan terhadap kehadiran Taenia saginata taiwanesis di Bali melalui kajian parasitologi dan serologi. Disertasi S3. Institut Pertanian Bogor. Dharmawan N.S. 2009. Fenomena penyakit cacing pita daging babi di Bali dan peran Laboratorium klinik dalam menegakkan diagnosis. Hal.: 152-164. Dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana. Bidang Agrokomplek. Editor: Tim BPMU Unud. Vol 1.Cetakan II.Udayana University Press.Denpasar. Dharmawan, N.S., Dwinata, IM., Swastika, K., Damriyasa, IM., Oka, I.B.M., Agustina, K.K. 2012.Studi biologi perkembangan metacestoda Taenia saginata pada sapi bali. Prosiding Seminar Nasional “Peningkatan
27
28
Produksi dan Kualitas Daging Sapi Bali Nasional” Bali, 14 September 2012. El-Moghazy, F.M. and Abdel-Rahman, E.H. 2012. Cross-raction as common phenomenon among tissue parasites in farms animals. Global Vet. 8 (4): 367-373. Flisser A, Rodriguez-Canul R, Willingham AL III. 2006. Control of the taeniosis/cysticercos is complex: future developments. Vet. Parasitol. 104 (3): 211-215. Garedaghi, Y., Saber, A.P.R., Khosroshahi, M.S. 2011. Prevalence of bovine cysticercosis of slaughtered cattle in Meshkinshahr Abattoir. American J. Anim. and Vet. Sci. 6 (3): 121-124. Gonzales, A.E., C. Gavidia, N. Falcon, T. Bernal, M. Verastequi, H.H. Garcia, R.H. Gilman and V.C.W. Tsang. 2001. Protection of pigs with cysticercosis from further infections after treatment with oxfendazole. Am. J. Trop. Med. Hygiene 65: 15 – 18 Handojo, I., dan Margono, S.S., 2008. Taenia saginata.Dalam: Sutanto I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., dan Sungkar, S., ed. Buku Ajar ParasitologiKedokteran Ed 4. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.79-82. Hardjosubroto, W. dan Astuti, M. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta; PT. Gramedia Widiasarana. Indonesia. Husain N, Jyotsna, Bagchi M, Huasain M, Mishra MK, Gupta S. 2001. Evaluation of Cysticercus fasciolaris antigen for immunodiagnosis of neurocysticercosis.Neurol India. 49 (4): 375-379. Iskandar, Tolan, Subakti, D.T dan Suhardono. 2005. Isolasi Antigen Sistiserkosis Pada Babi dan sapi. Balai Penelitian Veteriner, Bogor. Ito A, Sako Y, Ishikawa Y, Nakao M, Nakaya K, Yamasaki H. 2002. Differential serodiagnosis for alveolar echinococcosisby Em18-immunoblot and Em18-ELISA in Japan and China. 147-155. In P. Craig and Z. Pawlowski (Eds.) Cestode Zoonoses: Echinococcosis and Cysticercosis – An Emergent and Global Problem. IOS Press. Amsterdam. Ito, A. 2013.Nothing is perfect. Trouble-shooting in immunological and molecular studies of cestode infections.Parasitology. Cambridge University Press.doi: 10.1017/S0031182013000966.
29
J, Howell and Brown G. 2008. Gastrointestinal: beef tapeworm (Taenia saginata). Journal of Gastroenterology and Hepatology Foundation and Blackwell Publishing Asia. Kabede, N. 2004. Cysticercus bovis: Development and evaluation of serological tests and prevalence at addis ababa abattoir. http://etd.aau.edu.et/. Diakses 3 september 2013. Kandil, M., Mona, S., Mahmoud., Shalaby, H.A. 2012. Value of Taenia saginata Crude Antigen in Diagnosis of Bovine Cystisercosis With Referenceti its Characterization.Global Veterinaria. 9(4): 474-478. Kandil, O.M., Nasr, S.M., Mahmoud, M.S., Nassar, S.A., El-Metanawey, T.M., Abd El-Aziz, M.H., Abu El Ezz, N.M.T. 2012.Serological and biochemical studies on cattle naturally infested with Taenia saginata cysticercosis. Global Vet. 9 (5): 571-579. Kumar, A. and Tadesse, G. 2011. Bovine cysticercosis in Ethiopia: a review. Ethiop. Vet. J. 15 (1): 15-35. Lightowlers, M.W. 1990. Cestode infections in animals: immunological diagnosis and vaccination. Res. Sci. Tech. Off. Int. Epiz. 9 (2): 463-487. Lubis, H, Damriyasa, I.M, and Dharmawan, N.S. 2013.“Crude antigen Cysticercus Taenia saginata isolat bali untuk deteksi sistiserkosis pada sapi bali”.Veterinary Science and Medicine Journal.(Inpress). Meijer, W.C.P. 1962. Lutherstandt.
Das Balirind. A. Ziemsen Verslag, Wittenberg
Nichlos, R. and H. Smith. 2003. Parasites: Cryptosporidium, Giardia and Cyclospora as foodborne pathogens. In: Foodborne pathogens. Hazards, risk analysis and control. Blackburn, C.W. and P.J MC. Clure (Eds). Pp. 453-478.
Nozawa, K. 1979. Phylogenetic studies on the native domestic animals in East and Southeast Asia. Proceeding Workshop Animal Genetic Resources in Asia and Oceania. Tsukuba, 3-7 September 1979. Tsukuba: Society for the Advancement of Breeding Researches in Asia and Oceania (SABRAO). Hlm 23-43. OIE. 2005. Taenia Infection. http://www.cfsph.iastate.edu/ Factsheets/pdf/ taenia.pdf.Diakses 16 Maret 2013.
30
Oliveira, H., Machado, G.A., Cabral, D.D., Costa-Cruz, J.M. 2007. Application of taenia saginata metacestodes as an alternative antigen for the serological diagnosis of human neurocysticercosis. Parasitol Res. 101: 1007-1013. Pane, I. 1990.Upaya Peningkatan Mutu Genetik Sapi bali di P3 Bali. Makalah seminar Nasional Sapi Bali FAPET UNUD- Denpasar 20-22 September 1990. Payne, W.J.A. and D.H.L. Rollinson. 1973. Bali cattle. World Anim. Rev. 7: 1321. Pinto PS, Vaz AJ, Germano PM, Nakamura PM. 2000.Performance of the ELISA test for swine cysticercosis using antigens of Taenia solium and Taenia crassiceps cysticerci. Vet Parasitol. 88 (1-2): 127-130. Pustekkom.2005.Platyhelmines pipih)http://www.edukasi.net/mol/datafitur/modul_online/. Maret 2013.
(cacing Diakses 18
Ridwan, I.G.H. 2008. Evaluation of Cysticercus bovis antigen for diagnosis Cysticercus bovis in cattle. Egypt. J. Path. & Clinic Path. 21 (3): 250-262. Sheikh, M., Sheikh, I., Ali, I., and Reshi, F., 2008.Nasal Expulsion of Taenia saginata: a Rare Route of Expulsion. The Internet Journal of Surgery16 (2). Simajuntak, G.M., S.S. Margono, M. Okamoto and A. Ito. 1997. Taeniasis/cysticercosis in Indonesia as an emerging disease. Parasitol. Today 13: 321 – 323. Suharsono. 2002. Zoonosis. Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Penerbit Kanisius. Sutisna, P., Kapti, I.N., Allan, J.C., Rodriguez-Canul, R., 2000.Prevalence of taeniasis and cysticercosis in Banjar Pamesan, Ketewel Village, Gianyar, Bali.Maj.Ked Ud.31, 226-234. Taresa G, Melaku A, Bogale B, Chanie M. 2011. Cyst viability, body site distribution and public health significance of bovine cysticercosis at Jimma, South West Ethiopia. Global Veterinaria. 7(2): 164-168. Thrusfield, M. 2007. Veterinary Epidemiology 3 edition.Blackwell Science. Oxford.
31
Wandra T, Sutisna P, Dharmawan NS, Margono SS, Sudewi R, Suroso T, Craig PS, and Ito A. 2006. High prevalence of Taenia saginata taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia, 2002-2004. Trans R Soc Trop Med Hyg. 100: 346-353. Wandra T, Margono SS, Gafat MS, Saragih JM, Sutisna P, Dharmawan NS, Sudewi AAR, Depary AA, Yulfi H, Darlan DM, Samad I, Okamoto M, Sato MO, Yamasaki H, Nakaya K, Craig PS, Ito A. 2007. Taeniasis/cysticercosis in Indonesia, 1996-2006.Southeast Asia J. Trop Med Public Health 38 (supp 1): 140-143. Wandra T, Raka Sudewi AA, Swastika IK, Sutisna P, Dharmawan NS, Yulfi H, Darlan DM, Kapti IN, Samaan G, Sato OM, Okamoto M, Sako Y, Ito A. 2011. Taeniasis/ Cysticercosis in Bali, Indonesia.Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 42 (4): 793-802. Wandra, T., Ito, A., Swastika, K., Dharmawan, N.S., Sako, Y., and Okamoto, M. 2013. Taeniasis and Cysticercosis in Indonesia: Past and Present Situations. Parasitology. © Cambridge University Press. doi: 10.1017/S0031182013000863. 9 pages. Wanzala,W., J.A.A, Onyango., Kang’ethe., Zessin, K.H., Kyule,N.M., Baumann,M.P.O., H,Ochanda., L.J.S. 2003. Control of Taenia saginata by post-mortem examination of carcasses.African Health Sciences Vol 3 No 2 August 2003. Williamson dan Payne G. 1993.Pengantar Peternakan di Daerah Tropis. Diterjemahkan oleh Djiwa Darmaja.Yogyakarta : UGM Press. Wiryosuhanto, S. 1996. Bali Cattle-Their Indonesia.ACIAR Proseding.75 : 34-42
Economic
Importance
in
White Jr.,A.C. 1997. Neurocysticercosis: a major cause of neurological disease worldwide. Clincal Infectious Dis.1997;24:101–115.
32
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA No
Asal sampel
ELISA
1
Gianyar
0.959
2
Gianyar
1.07
3
Gianyar
1.089
4
Gianyar
1.231
5
Gianyar
1.019
6
Gianyar
0.902
7
Gianyar
0.638
8
Gianyar
0.744
9
Gianyar
0.899
10
Gianyar
0.571
11
Karangasem
0.285
12
Karangasem
0.334
13
Karangasem
1.149
14
Karangasem
0.942
15
Karangasem
1.081
16
Karangasem
1.144
17
Karangasem
1.229
18
Karangasem
0.905
19
Karangasem
0.947
20
Karangasem
0.891
21
Karangasem
0.634
22
Karangasem
0.622
33
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA No
Asal sampel
ELISA
23
Karangasem
0.399
24
Karangasem
0.283
25
Karangasem
1.034
26
Karangasem
1.188
27
Karangasem
0.912
28
Karangasem
1.056
29
Karangasem
1.078
30
Karangasem
0.97
31
Karangasem
1.013
32
Karangasem
0.812
33
Karangasem
0.719
34
Karangasem
0.845
35
Karangasem
0.307
36
Karangasem
1.119
37
Karangasem
1.258
38
Karangasem
1.078
39
Karangasem
1.094
40
Karangasem
0.984
41
Jembrana
1.135
42
Jembrana
0.781
43
Jembrana
1.036
44
Jembrana
0.869
34
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA No
Asal sampel
ELISA
45
Jembrana
0.663
46
Jembrana
0.424
47
Jembrana
0.86
48
Jembrana
0.931
49
Jembrana
1.273
50
Jembrana
1.007
52
Jembrana
1.142
53
Jembrana
0.986
54
Jembrana
0.848
55
Jembrana
0.743
56
Jembrana
0.915
57
Jembrana
0.946
58
Jembrana
0.125
59
Jembrana
0.788
60
Jembrana
0.908
61
Jembrana
1.2
62
Jembrana
1.085
63
Jembrana
1.264
64
Jembrana
0.888
65
Jembrana
0.931
66
Jembrana
0.52
35
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA No
Asal sampel
ELISA
67
Jembrana
0.651
68
Jembrana
0.574
69
Jembrana
0.716
70
Jembrana
1.083
71
Jembrana
1.001
72
Jembrana
0.956
73
Jembrana
1.256
74
Jembrana
1.376
75
Jembrana
1.111
76
Jembrana
1.212
78
Jembrana
1.18
79
Jembrana
0.803
80
Jembrana
0.619
81
Jembrana
1.075
82
Jembrana
0.827
83
Jembrana
1.021
84
Jembrana
0.341
85
Jembrana
0.708
86
Jembrana
0.928
87
Jembrana
0.184
88
Jembrana
0.895
36
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA No
Asal sampel
ELISA
89
Jembrana
0.512
90
Jembrana
0.365
91
Jembrana
0.606
92
Jembrana
0.604
93
Badung
0.595
94
Badung
0.597
95
Badung
0.601
96
Badung
0.627
97
Badung
0.654
98
Badung
0.635
99
Badung
0.591
100
Badung
0.949
101
Badung
0.649
102
Badung
0.097
103
Badung
0.624
104
Badung
0.673
105
Badung
0.655
106
Badung
0.638
107
Badung
0.678
108
Badung
0.657
109
Badung
0.614
110
Badung
0.635
37
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA No
Asal sampel
ELISA
111
Badung
0.654
112
Badung
0.95
113
Badung
0.654
114
Badung
0.145
115
Badung
0.648
116
Badung
0.632
117
Badung
0.647
118
Badung
0.679
119
Badung
0.636
120
Badung
0.589
121
Badung
0.285
122
Badung
0.622
123
Klungkung
0.597
124
Klungkung
0.791
125
Klungkung
0.585
126
Klungkung
0.542
127
Klungkung
0.573
128
Klungkung
0.644
129
Klungkung
0.61
130
Klungkung
0.59
131
Klungkung
0.66
132
Klungkung
0.621
38
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA
No
Asal sampel
ELISA
133
Klungkung
0.637
134
Klungkung
0.525
135
Klungkung
0.879
136
Klungkung
0.614
137
Klungkung
0.531
138
Klungkung
0.621
139
Klungkung
0.655
140
Klungkung
0.584
141
Klungkung
0.637
142
Klungkung
0.612
243
Klungkung
0.632
144
Klungkung
0.662
145
Klungkung
0.652
146
Klungkung
0.854
147
Klungkung
0.619
148
RPH Pesanggaran
0.535
149
RPH Pesanggaran
0.62
150
RPH Pesanggaran
0.621
151
RPH Pesanggaran
0.603
152
RPH Pesanggaran
0.613
153
RPH Pesanggaran
0.616
154
RPH Pesanggaran
0.565
39
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA
No
Asal sampel
ELISA
155
RPH Pesanggaran
0.6
156
RPH Pesanggaran
0.556
157
RPH Pesanggaran
0.862
158
RPH Pesanggaran
0.634
159
RPH Pesanggaran
0.593
160
RPH Pesanggaran
0.582
161
RPH Pesanggaran
0.566
162
RPH Pesanggaran
0.46
163
RPH Pesanggaran
0.668
164
RPH Pesanggaran
0.529
165
RPH Pesanggaran
0.676
166
RPH Pesanggaran
0.615
167
RPH Pesanggaran
0.601
168
RPH Pesanggaran
0.909
169
RPH Pesanggaran
0.622
170
RPH Pesanggaran
0.572
171
RPH Pesanggaran
0.321
172
RPH Pesanggaran
0.345
173
RPH Pesanggaran
0.428
174
RPH Pesanggaran
0.412
175
RPH Pesanggaran
0.376
176
RPH Pesanggaran
0.464
40
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA No
Asal sampel
ELISA
177
RPH Pesanggaran
0.436
178
RPH Pesanggaran
0.489
179
RPH Pesanggaran
0.589
180
RPH Pesanggaran
0.627
181
RPH Pesanggaran
0.584
182
RPH Pesanggaran
0.599
183
RPH Pesanggaran
0.326
184
RPH Pesanggaran
0.435
185
RPH Pesanggaran
0.504
186
RPH Pesanggaran
0.428
187
RPH Pesanggaran
0.536
188
RPH Pesanggaran
0.54
189
RPH Pesanggaran
0.567
190
RPH Pesanggaran
0.631
191
RPH Pesanggaran
0.551
192
RPH Pesanggaran
0.546
193
RPH Pesanggaran
0.564
194
RPH Pesanggaran
0.593
195
RPH Pesanggaran
0.22
196
RPH Pesanggaran
0.504
197
RPH Pesanggaran
0.338
198
RPH Pesanggaran
0.409
41
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA
No
Asal sampel
ELISA
199
RPH Pesanggaran
0.43
200
RPH Pesanggaran
0.548
201
RPH Pesanggaran
0.469
202
RPH Pesanggaran
0.535
203
RPH Pesanggaran
0.465
204
RPH Pesanggaran
0.575
205
RPH Pesanggaran
0.62
206
RPH Pesanggaran
0.546
207
RPH Pesanggaran
0.574
208
RPH Pesanggaran
0.594
209
RPH Pesanggaran
0.583
210
RPH Pesanggaran
0.568
211
RPH Pesanggaran
0.52
212
RPH Pesanggaran
0.594
213
RPH Pesanggaran
0.611
214
RPH Pesanggaran
0.499
215
RPH Pesanggaran
0.643
216
RPH Pesanggaran
0.623
217
RPH Pesanggaran
0.455
218
RPH Pesanggaran
0.553
219
RPH Pesanggaran
0.546
220
RPH Pesanggaran
0.547
42
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA
No
Asal sampel
ELISA
221
RPH Pesanggaran
0.562
222
RPH Pesanggaran
0.545
223
RPH Pesanggaran
0.543
224
RPH Pesanggaran
0.602
225
RPH Pesanggaran
0.656
226
RPH Pesanggaran
0.598
227
RPH Pesanggaran
0.576
228
RPH Pesanggaran
0.491
229
RPH Pesanggaran
0.574
230
RPH Pesanggaran
0.592
231
RPH Pesanggaran
0.55
232
RPH Pesanggaran
0.559
233
RPH Pesanggaran
0.544
234
RPH Pesanggaran
0.584
235
RPH Pesanggaran
0.606
236
RPH Pesanggaran
0.652
237
RPH Pesanggaran
0.627
238
RPH Pesanggaran
0.526
239
RPH Pesanggaran
0.491
240
RPH Pesanggaran
0.592
241
RPH Pesanggaran
0.55
242
RPH Pesanggaran
0.559
43
Lampiran 1. Data Hasil Uji ELISA
No
Asal sampel
ELISA
265
RPH Pesanggaran
0.569
266
RPH Pesanggaran
0.637
267
RPH Pesanggaran
0.611
268
RPH Pesanggaran
0.568
269
RPH Pesanggaran
0.418
270
RPH Pesanggaran
0.607
44
Lampiran 2. Data Hasil Pemeriksaan Feses No
Trematoda
Nematoda
ELISA
Asal sampel
1
+
-
Positif
Gianyar
2
+
-
Positif
Gianyar
3
+
-
Positif
Gianyar
4
+
-
Positif
Gianyar
5
+
+
Positif
Gianyar
6
+
+
Positif
Gianyar
7
+
-
Positif
Gianyar
8
+
-
Positif
Gianyar
9
+
-
Positif
Gianyar
10
+
+
Positif
Gianyar
11
-
-
Negatif
Karangasem
12
-
-
Negatif
Karangasem
13
+
-
Positif
Karangasem
14
+
-
Positif
Karangasem
15
+
-
Positif
Karangasem
16
+
+
Positif
Karangasem
17
+
-
Positif
Karangasem
18
+
-
Positif
Karangasem
19
+
-
Positif
Karangasem
20
+
-
Positif
Karangasem
21
+
-
Positif
Karangasem
22
+
-
Positif
Karangasem
23
-
-
Negatif
Karangasem
45
Lampiran 2. Data Hasil Pemeriksaan Feses No
Trematoda
Nematoda
ELISA
Asal sampel
24
-
-
Negatif
Karangasem
25
+
-
Positif
Karangasem
26
+
-
Positif
Karangasem
27
+
-
Positif
Karangasem
28
+
-
Positif
Karangasem
29
+
-
Positif
Karangasem
30
+
-
Positif
Karangasem
31
+
-
Positif
Karangasem
32
+
+
Positif
Karangasem
33
+
-
Positif
Karangasem
34
+
-
Positif
Karangasem
35
-
-
Negatif
Karangasem
36
+
-
Positif
Karangasem
37
+
-
Positif
Karangasem
38
+
-
Positif
Karangasem
39
+
-
Positif
Karangasem
40
+
-
Positif
Karangasem
41
+
-
Positif
Jembrana
42
+
-
Positif
Jembrana
43
+
-
Positif
Jembrana
44
+
-
Positif
Jembrana
45
+
+
Positif
Jembrana
46
+
-
Positif
Jembrana
46
Lampiran 2. Data Hasil Pemeriksaan Feses No
Trematoda
Nematoda
ELISA
Asal sampel
47
-
-
Negatif
Jembrana
48
+
-
Positif
Jembrana
49
+
-
Positif
Jembrana
50
+
-
Positif
Jembrana
51
+
-
Positif
Jembrana
52
+
-
Positif
Jembrana
53
+
-
Positif
Jembrana
54
+
-
Positif
Jembrana
55
+
-
Positif
Jembrana
56
+
-
Positif
Jembrana
57
+
-
Positif
Jembrana
58
+
-
Positif
Jembrana
59
+
-
Positif
Jembrana
60
+
-
Positif
Jembrana
61
+
-
Positif
Jembrana
62
+
-
Positif
Jembrana
63
+
+
Positif
Jembrana
64
+
-
Positif
Jembrana
65
+
-
Positif
Jembrana
66
+
+
Positif
Jembrana
67
+
+
Positif
Jembrana
68
+
+
Positif
Jembrana
69
-
+
Positif
Jembrana
47
Lampiran 2. Data Hasil Pemeriksaan Feses No
Trematoda
Nematoda
ELISA
Asal sampel
70
+
-
Positif
Jembrana
71
+
+
Positif
Jembrana
72
+
+
Positif
Jembrana
73
+
-
Positif
Jembrana
74
+
+
Positif
Jembrana
75
+
-
Positif
Jembrana
76
+
-
Positif
Jembrana
77
+
-
Positif
Jembrana
78
+
-
Positif
Jembrana
79
+
-
Positif
Jembrana
80
+
-
Positif
Jembrana
81
+
-
Positif
Jembrana
82
+
-
Positif
Jembrana
83
-
-
Negatif
Jembrana
84
+
-
Positif
Jembrana
85
+
-
Positif
Jembrana
86
-
-
Negatif
Jembrana
87
+
-
Positif
Jembrana
88
+
+
Positif
Jembrana
89
-
-
Negatif
Jembrana
90
+
-
Positif
Jembrana
48
Lampiran 2. Hasil Pemeriksaan Feses Pembesaran Objektif 40x
Gambar 1. Telur cacing trematoda
Gambar 2. Telur cacing nematoda
49
Lampiran 4. Alat dan Bahan Penelitian
Gambar 1. Konjugat
Gambar 2. Substrat
Gambar 3. ELISA washer
Gambar 4. ELISA reader