FORUM KAJIAN PERTAHANAN DAN MARITIM
Vol. 5, No. 17, November 2012 Skep KASAL No. Kep/03/V/2005 tanggal 31 Mei 2005 tentang pembentukan FKPM dan S. Gas KASAL No. 5. Gas/17/VII/2011 a.n. Laksda TNI (Purn) Robert Mangindaan dkk 5 orang
Pengantar Redaksi Terorisme adalah ancaman terhadap keamanan nasional yang serius di era globalisasi ini. Kegiatan terorisme sekarang ini sudah berkembang ke generasi keempat dan kelima (cyber terrorism). Untuk itu memerangi aksi teror adalah kepentingan nasional yang mendesak. Pembentukan BNPT (jilid II) haruslah diikuti dengan konsep yang jelas, konkrit dan kokoh berbasis capacity building, sehingga counter-terrorism dapat dijalankan. Perang versus aksi teror sebaiknya ditetapkan sebagai salah satu obyektif kepentingan nasional berkategori “sangat vital”. Bagaimanakah menangani “ikannya” dan mengenali “air” sebagai ruang gerak? Serta langkah stratejik apa yang perlu dikembangkan Indonesia dalam menangani terorisme? Topik berikutnya adalah Ekonomi pertahanan. Isu Ekonomi adalah versus kelangkaan sumber daya, dan versus kelangkaan adalah problema pilihan yang ekonomik. Pilihan akan baik apabila kapabel memodelkan efektivitas atau manfaat atau apa sebenarnya yang bisa didapat dari sistem, alut atau material yang dibeli barulah berhitung berapa konsekuensi anggarannya. Daya serap bukan ukuran suksesnya proyek, mengingat variabilitas waktu penyelesaian proyek, waktu cair anggaran, “lead-time”, dll. DIB (Defense Industrial Board) sebagai “dirigen” perlu dipertajam, berasumsi hadirnya strategi pertahanan dan kebijakan militer nasional (TNI) serta strategi industri pertahanan berikut kejelasan means, ways dan ends-nya. Selamat membaca! Pembina Asrena Kasal Pemimpin Redaksi Laksda TNI (Purn) R. Mangindaan Wakil Pemimpin Redaksi Laksda TNI (Purn) Budiman D. Said Sekretaris Redaksi Kol Laut (Purn) Willy F. Sumakul Staf Redaksi Goldy Evi Grace Simatupang S.IP Alamat Redaksi FKPM Jl. dr. Sutomo No. 10, Lt. 3 Jakarta Pusat 10710 Telp./Fax. : 021-34835435 www.fkpmaritim.org E-mail :
[email protected] Redaksi menerima tulisan dari luar sesuai dengan misi FKPM. Naskah yang dimuat merupakan pandangan pribadi dan tidak mencerminkan pandangan resmi TNI AL.
T ida k d i j u al u n tu k u mu m
TERORISME DAN GERAKAN RADIKAL 1 DI ERA GLOBALISASI Oleh : Robert Mangindaan * Pendahuluan Terorisme tidak akan lenyap dari muka bumi ini, malahan akan muncul dalam berbagai bentuk, dan tidak ada pihak yang dapat menjamin bahwa, besok lusa — tidak ada lagi ancaman terorisme. Pengertian mengenai teror, secara harafiah dapat dikutip dari kamus Webster yang mengatakan bahwa teror adalah suatu keadaan, kondisi kejiwaan yang amat ketakutan, kecemasan yang tinggi. Dengan demikian, secara sederhana dapat pula dikatakan bahwa aksi terror adalah tindakan untuk menciptakan suasana ketakutan yang amat tinggi bagi seseorang, atau kelompok, atau masyarakat. Pada kondisi demikian maka perilaku seseorang, kelompok masyarakat, yang mengalami ketakutan atau kecemasan yang tinggi, sehingga dapat dimanipulasi untuk melakukan suatu tindak an, kegiatan, yang sesuai dengan keinginan para pelaku terror. Situasi yang berkembang pada waktu ini adalah munculnya gerakan radikal yang sempat menjamur, dan mereka menggunakan aksi terror sebagai alat kampanye untuk mencapai tujuan kepentingan mereka. Radikal berasal dari kata radix yang berarti akar (Latin) yang dimulai di Inggris pada akhir abad 18. 2 Pengertian yang lebih luas mengacu pada ensiklopedia dan beberapa kamus bahasa Inggris, yang mengungkapkan kata radical (adjective) adalah activist,
* ) Penulis adalah Laksda TNI (Purn), alumni AAL-XIV, pengalaman penugasan diantaranya sebagai Naval Attache pada KBRI Manila, Filipina (1988-1991), BAIS ABRI (1991-1996) dan penasehat Militer, pada PTRI untuk PBB, New York (1996199). Kini menjabat sebagai Ketua FKPM, Tenaga Profesional Tetap di Lemhanas, Jakarta dan Pengajar pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. E-mail : Robertmangindaan@ fkpmaritim.org 1 Tulisan ini sudah pernah dipublikasikan, tetapi perlu diangkat lagi oleh karena ada masukan yang konstruktif dari beberapa yang sangat layak untuk diakomodasikan. Terima kasih. 2 Wikipedia
Terorisme dan Gerakan Radikal di Era Globalisasi fundamental, extreme, militant, fanatic, revolutionary, drastic, die hard, way-out, yang diekspresikan dalam hal pendirian, sikap dan tindakan. Pada umumnya, pendirian —sikap — tindakan yang bersifat radikal, ada kaitannya dengan peng-hormatan terhadap sistem nilai yang dianut oleh pihak tersebut. Pengertian tersebut akan semakin jelas maknanya apabila disandingkan dengan kata benda (noun), misalnya — Kristen radikal, atau Islam radikal, atau penganut idiologi politik. Radikalisme, bukan suatu fenomena yang sulit untuk dimengerti, oleh karena secara alamiah sifat-sifat dasarnya ada di dalam kehidupan individu, keluarga, maupun masyarakat. Namun perlu disadari bahwa secara teoritik, gerakan radikal mempunyai mass dan velocity, dengan daya centripetal dan atau centrifugal, terhadap lingkungan sekitarnya. Singkatnya, ada daya (power) yang dapat digunakan untuk mencapai suatu tujuan (objective). Secara garis besar, tujuan dari aksi terror dapat dibagi dalam empat kategori besar, yaitu; (1) irrational terror, yaitu tindak teror yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya untuk kepentingan pribadi, untuk memuaskan keinginan sepihak, atau — tindakan-tindakan lainnya yang tidak masuk akal sehat. (2) Criminal terror, adalah tindakan yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya (crime) untuk kepentingan kelompok mereka, misalnya Yakuza, Mafia, Organizatia. Kelompok atau sekte agama tertentu dapat dimasukkan dalam katagori ini. (3) State (sponsored) terror adalah aksi terror yang dilakukan oleh penguasa suatu negara terhadap rakyatnya, yang tujuannya adalah membentuk perilaku segenap lapisan masyarakat sesuai keinginan penguasa, atau ditujukan kepada negara atau pihak lainnya, (4) Political terror, adalah kegiatan terror yang dilakukan oleh kelompok atau jaringan tertentu yang bertujuan politik. Kelompok inilah yang menjadi masalah dunia sampai sekarang, dan makalah ini akan fokus pada kelompok tersebut. Hubungan antara gerakan radikal isme
Secara teoritik mengatakan bahwa gerakan kelompok radikal akan selalu berhadapan dengan lingkungan sekitarnya yang berbeda dalam banyak hal, terutama di dalam penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku secara umum. Sangat besar kemungkinannya terjadi benturan, dan ada pula kemungkinan terjadi kerusakan, kehancuran, kehilangan, kematian (loss) bagi masing-masing pihak. Semua pihak, apakah mayoritas (baca: pemerintah) atau minoritas (baca: teroris), pasti akan memperhitungkan ancaman (imminent loss) dan penyiapan kekuatan atau daya (power) untuk menghadapi ancaman. Logikanya, adalah pihak mayoritas yang memegang kendali situasi oleh karena pihak inilah yang memiliki daya (politik/kuasa—ekonomi/logistik— militer/daya perusak) yang lebih besar. Sebaliknya, pihak minoritas tidak memiliki daya sekuat pihak mayoritas, sehingga ada asymmetric balance of power yang berlaku di lapangan. Pihak mayoritas akan mempertahankan keunggulan di dalam perimbangan kekuatan, sebaliknya di pihak minoritas, misalnya gerakan kelompok radikal, akan berusaha pula dengan segala cara dan metode untuk mencapai perimbangan kekuatan. Salah satu di antaranya ialah dengan cara-cara terorisme. Pada kelompok gerakan radikal sebagai pihak yang minoritas, maka persoalan survival, merupakan masalah mati-hidup dan untuk itu mereka memerlukan daya (power) untuk tetap eksis. Modal awalnya adalah melalui pembinaan kader (recruitment) yang fokus pada unsur fanatisme dan militansi di dalam pengormatan terhadap sistem nilai mereka. Banyak bukti dilapangan (empirical) mengungkapkan bahwa, selalu ada pihak ketiga yang menyokong, baik secara tertutup (indirectly support) ataupun terbuka (tacit support) terhadap kelompok radikal tersebut, oleh karena ada kepentingan (mutual political objectives) yang ingin dicapai. Yang dimaksud dengan pihak ketiga dapat berwujud negara, atau parpol, ormas, ikatan primordial, LSM, yang memberikan political blessing, moral support, SDM (misalnya pakar dalam bidangnya), dukungan logistik, dana, intelijen, sampai pada kirim pasukan atau sukarelawan. Ada dua contoh kelompok radikal yang sangat menonjol, yaitu yang pertama, Ku Klux Klan adalah kelompok racist yang terkenal sangat kejam terhadap kaum ”negro” (versi tahun 1866) dan terhadap kaum Katolik, Yahudi dan Komunis (versi tahun 1915).3 Lawannya adalah Black Phanter yang sempat berkembang tetapi besaran daya (power) untuk survive, nyatanya tidak
dan teror-
Sesuai dengan sifat alamiahnya (activist, fundamentalist, extreme, militant, fanatic, die-hard, way out), gerakan radikal cenderung bersikap tegas, keras dan ada unsur pemaksaan (coersive). Penghormatan terhadap sistem nilai dilaksanakan dengan keras (strictly), harus sesuai dengan norma yang dianut, ada lembaga sanksi untuk melaksanakan penghukuman (punishment).
Vol. 5, No. 17, November 2012
2
Terorisme dan Gerakan Radikal di Era Globalisasi dapat dikategorikan sebagai contemporary movement for liberal rights. Contoh yang lebih konkrit adalah Hizbullah di Libanon, suatu non-state actor mampu mewujudkan “pemerintahan” di Beirut Selatan, dan situasi di lapangan memperlihatkan bahwa pemerintah Libanon tidak dapat berbuat banyak. Kelompok tersebut memiliki daya (power) yang besar, bahkan memiliki paramilitary wing yang mampu berperang melawan (baca: memukul) angkatan bersenjata (Israel) yang sangat terlatih dan memiliki sistem senjata yang paling modern di dunia. Contoh lainnya adalah Macan Tamil di Sri Lanka, me reka juga memiliki daya (military power) yang dapat mengimbangi daya (military power) pemerintah Sri Lanka. Barangkali, ada perbedaan dalam hal idiologi politik perjuangan antara LTTE dengan Hizbullah, tetapi ada persamaannya yaitu menggunakan coercive approach yang oleh pihak lainnya, sudah di pandang sebagai aksi terorisme. Batasan mengenai political terror sampai saat ini, belum ada kesepakatan internasional yang dapat di bakukan. Figur Yasser Arrafat bagi Israel adalah tokoh teroris yang harus dieksekusi, tetapi bagi bangsa Palestina dia adalah freedom fighter. Begitu pula dengan founding fathers negara Israel yang pada waktu itu dicap sebagai terrorist tetapi setelah Israel merdeka, mereka dianggap sebagai pahlawan bangsa dan dihormati. Namun ada pemahaman para pakar yang mengatakan bahwa political terrorism pada dasarnya mempunyai tujuan politik. Pada prakteknya, ada perbedaan yang cukup mencolok mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh political terror di mana mereka berada. Bagi kelompok teroris yang berada di negara yang sudah mapan alam demokrasinya dengan supremasi hukum yang kuat, maka tujuan mereka adalah merubah kebijakan nasional. Contohnya, peledakan pada 13 stasiun kereta api di Madrid (2004) bertujuan merubah kebijakan pemerintah Spanyol mengenai pelibatan kontingen militernya di Irak. Sedangkan kelompok teroris yang berada di negara yang belum mapan institusi demokrasi dan supremasi hukumnya, maka tujuan mereka pada umumnya adalah merombak struktur politik dan atau pemerintahan. Contohnya banyak terjadi di Asia, Amerika Latin dan Afrika.
mampu mengatasi pihak mayoritas yang memiliki daya (power) lebih kuat. Menarik untuk dipelajari adalah contoh yang kedua, yaitu Kahane Kach adalah juga kelompok racist, menggunakan aksi terror sebagai alat untuk mencapai tujuan organisasi, dan oleh pihak pemerintah AS kelompok tersebut dimasukkan dalam daftar organisasi teroris. 4 Tetapi nyatanya mereka tetap eksis meskipun dalam tekanan yang sangat ekstrim di bumi AS, tetapi di bumi Israel mungkin ceritanya berbeda. Penggalan sejarah kontemporer mencatat, banyak kelompok radikal yang muncul diberbagai penjuru dunia dan mereka menggunakan aksi teror sebagai sarana (means) untuk mencapai tujuan politiknya. Pertanyaan yang muncul di sini ialah mengapa pilihannya terorisme? Jawabannya sederhana sekali — yaitu; biayanya sangat murah, metodanya tidak rumit, pengorganisasiannya sederhana, tetapi efektif digunakan untuk perimbangan kekuatan di lapangan. 5 Tidaklah mengherankan apabila banyak organisasi radikal, kemudian berkembang menjadi organisasi terorisme. Ada kelompok sudah terkenal, atau dikenal luas dan masuk dalam daftar (black list) yang dikeluarkan oleh berbagai pihak, misalnya pemerintah AS. Makalah ini tidak menggunakan pada daftar terroris yang dikeluarkan oleh pemerintah AS, oleh karena ada beberapa alasan, satu di antaranya adalah preferensi masyarakat Indonesia. Di dalam hal terorisme, belum tentu preferensi masyarakat Indonesia akan selalu sama dengan pihak lainnya. Memang benar bahwa terorisme adalah kejahatan luar biasa terhadap manusia, dan perlu upaya internasional untuk bahu membahu memerangi kejahatan tersebut, akan tetapi preferensi masyarakat merupakan modal dasar. Di dalam masyarakat Indonesia, kondisi faktual mengungkapkan bahwa ada juga kelompok radikal yang mengatas namakan kepentingan kelompok etnis, dan ada juga yang menggunakan atribut agama. Kelompok inilah yang sangat vokal dan (terkesan) “mewarnai” preferensi masyakat Indonesia, yang secara tidak langsung telah membentuk citra Indonesia di panggung dunia dalam hal penanganan terorisme. Apabila menggunakan pikiran Francis Fukuyama,6 maka gerakan semacam itu (barangkali) 3
wikipedia
4
Fact Sheet Office of Counterterrorism, Washington, DC. October 11, 2005
5
Doktrin George Habash mengatakan bahwa seorang teroris yang professional, harus dapat mengikat seribu aparat keamanan.
6
Fukuyama, Francis -“The End of History and the Last Man”, Free Press, New York-1992.
3
Vol. 5, No. 17, November 2012
Terorisme dan Gerakan Radikal di Era Globalisasi Munculnya aksi terror gerakan radikal tidak dapat dicegah oleh karena beberapa hal, yaitu; (i) pengikutnya memiliki motivasi yang kuat, (ii) pengorganisasian yang sangat flexible, dan (iii) menggunakan metoda dan pola operasi yang unconventional. Motivasi yang kuat. Ada ungkapan yang mengatakan bahwa frustration is the root of all kind rebellion (Boone, 1978), diwujudkan dalam berbagai bentuk dan salah satunya pemberontakan. Frustasi dapat diakibatkan oleh berbagai hal, antara lain kesenjangan kaya dan kemiskinan yang amat lebar, tidak terpenuhinya hak dasar, sistem penegakan hukum sangat lemah dan memihak kepada kepentingan tertentu, dan seterusnya. Namun penyebab yang terbesar adalah ancaman hilangnya identitas dan ketidakadilan, 7 yang dialami oleh pihak-pihak tertentu. Bagi pihak tersebut, pilihannya hanya dua yaitu hilangnya identitas dan menjadi korban ketidakadilan, atau berjuang dengan berbagai cara, agar identitas 8 mereka tidak hilang dan memperoleh keadilan. Motivasi yang paling kuat adalah yang berkaitan dengan kepercayaan (faith), berikutnya adalah yang berkaitan dengan kelangsungan identitas etnis, dan yang ketiga adalah yang berkaitan dengan idiologi politik. Apabila pendekatan tersebut dapat diterima, maka motivasi yang paling kuat adalah rangkuman ketiga unsur tersebut. Proses rekrutmen tentunya tidak sulit untuk mendapatkan calon anggota yang pada dasarnya sudah fundamentalistik dan fanatik, yang nantinya (relative) mudah ditempa untuk menjadi radikal dan militant. Ada dua contoh yang menguatkan argumen tersebut, yaitu Shining Path di Peru dan New People Army di Philippines. Apabila dicermati dengan seksama, ada perbedaan motivasi antara yang kader dan yang “ikutan”, oleh karena tidak ada pilihan lain didalam memperjuangkan distribusi keadilan. Masih banyak contoh lainnya di berbagai belahan bumi ini, muncul gerakan radikal sebagai wujud perlawanan terhadap ketidakadilan dan ancaman hilangnya identitas. Pengorganisasian yang flexible. Prinsip dasar, setiap organisasi yang tidak memiliki sumber daya yang kuat akan membentuk organisasi yang kecil, efisien, namun kenyal (flexible). Prinsip kedua adalah memelihara kerahasiaan yang tinggi dan sangat mobile, dan menganut azas komparte-
mentasi. Organisasi semacam ini tidak memerlukan kantor yang representatif, tidak juga perlu memasang berbagai atribut yang memukau, dan menghindari organisasi tipe panitia. Tujuannya adalah rentang kendali pengendalian (span of control) menjadi sangat pendek. Bentuk yang paling sederhana adalah pimpinan dan anggota yang biasanya diawali dengan model organisasi tanpa bentuk. Nantinya, organisasi tersebut akan berkembang sesuai dengan kebutuhan, misalnya memiliki jaringan intelijen (baca: informan), sayap propaganda, jaringan pendukung logistik dan sebagainya. Ada pula kelompok pendukung yang tidak direkrut, hanya dengan memanfaatkan simpati atau hasil ”penggalangan”. Unit tersebut akan digunakan hanya untuk kegiatan tertentu yang terbatas dan durasi yang sangat terbatas juga. Meskipun demikian, perlu dipahami dengan baik bahwa organisasi inti akan tetapi kecil dan sangat tertutup, dan tidak terbuka terhadap bagian lain. Prinsipnya ada tiga hal, yaitu secure, simple and flexible. Menggunakan metoda dan pola unconventional. Penggunaan metoda dan pola operasi yang unconventional disebabkan kekuatan pihak tersebut, belum dapat mengimbangi kekuatan pemerintah atau pihak mayoritas. Dalam teknis militer, pola dan metoda tersebut dikenal dengan istilah gerilya. Konsep dasarnya adalah menyerang selagi musuh lengah, arahkan pada titik rawan (efek psikologis tinggi), dan lakukan secepatnya. Banyak contoh yang sudah dipraktekkan, misalnya menyerang pihak militer yang sedang santai di bar atau diskotik, sasarannya adalah petugas komunikasi, ajudan pejabat tinggi, bagian logistik angkutan udara, dan sebagainya. Durasi serangan hanya beberapa menit, dan bisa dirancang beruntun pada beberapa tempat yang mempunyai nilai stratejik, kritis dan sensitif. Metoda dan pola tersebut sangat efektif digunakan dan hasilnya yang spectacular akan menaikkan moril pihak gerilya. Perkembangan gerakan teroris Pada mulanya kelompok-kelompok terror bekerja sendirian, beraksi dalam batas wilayah negara masing masing, akan tetapi pada tahun 1970-an mereka mengembangkan kerjasama yang meliputi pertukaran intelijen, pusat pela-
7
Harris, Peter et al—“Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator” International Institute for Democracy and Electoral Assistance. 2000
8
Identitas yang di maksud adalah berdasarkan ras, agama, kultur, bahasa, keturunan, sejarah dan seterusnya. Ketidakadilan berkaitan dengan tidak adilnya distribusi sumber daya, kekuasaan ekonomi, wilayah, peran politik, penegakan hukum dan seterusnya.
Vol. 5, No. 17, November 2012
4
Terorisme dan Gerakan Radikal di Era Globalisasi tihan (termasuk instruktur), memasok perlengkapan operasional, sampai pada menentukan sasaran operasi bersama. Yang dimaksud dengan kerjasama operasi adalah bukan dalam bentuk joint operation, tetapi pada obyektif atau sasaran yang ingin dicapai. Misalnya Japanese Red Army melakukan serbuan di pelud Lod, Israel, atas nama PLO, kemudian ETA (separatis Basque) menyerang kepentingan Italy di teritori Spanyol dengan mengatasnamakan Brigade Merah Italy (Rossa Brigade), demikian juga sebaliknya atas nama ETA maka Rossa Brigade menyerang target milik pemerintah Spanyol yang berada di wilayah Italy. Satu kasus yang paling menonjol (pada waktu itu) adalah “peran” Lybia yang mengembangkan kamp-kamp teroris di wilayah nasionalnya. Situasinya kemudian menjadi semakin kompleks oleh karena ada negara Arab yang secara tertutup “memelihara” kelompok-kelompok terror untuk memperkuat political leverage mereka, dengan memanfaatkan faksi-faksi pejuang Palestina yang jumlahnya puluhan. Modus operandi yang paling popular pada tahun 1970-an sampai mendekati akhir tahun 1980-an, adalah pembajakan pesawat penumpang komersil. Ada beberapa pihak yang mengklasifikasikan modus kegiatan terorisme sekarang ini sudah berkembang ke “generasi” yang kelima. perbedaannya diukur dari empat hal, yaitu; (i) obyektif yang ingin dicapai, (ii) area operasi, (iii) peralatan dan perlengkapan yang digunakan, dan (iv) strategi dan taktik yang digunakan. Khusus mengenai terorisme generasi keempat, perlu dicermati oleh karena ancaman tersebut yang kini sedang dihadapi oleh masyarakat dunia. Ci rinya yang menonjol, antara lain; (i) menggunakan high-tech dalam kegiatan operasionalnya, (ii) menggunakan senjata pemusnah massal (nuklir-bio-kimia-radio aktif), (iii) menyerang langsung aspek budaya, sistem nilai, core values nasional, (iv) mampu mengembangkan peperangan psikologis yang sangat canggih, utamanya dengan memanfaatkan media massa, (v) tujuan taktis adalah menimbulkan korban sebesar-besarnya, misalnya sasarannya adalah pasar, stasiun, rumah sakit, gedung opera. Perlu juga meninjau generasi kelima, yang beroperasi pada dunia maya dengan menggunakan sarana teknologi informasi, menerobos ke beberapa tempat yang sangat sensitif, misalnya (i) pusat informasi tempur dan sistem pengendalian perluru kendali, (ii) sentral data base perbankan nasional dan lembaga keuangan dunia, (iii) pusat kendali sistem keamanan nasional,
dan (iv) pusat pengambilan keputusan. Ancaman teror generasi kelima, belum mendapatkan atensi yang memadai dikalangan birokrat maupun pemangku kepentingan di bidang keamanan nasional. Era globalisasi Muatan kepentingan yang berada pada era globalisasi adalah liberalisasi perdagangan dunia, dengan menggunakan “tertib” aturan masyarakat internasional. Namun tidak sulit untuk mengatakan bahwa liberalisasi perdagangan dunia adalah kepentingan negara industri (baca: G-8) untuk “menguasai” pasar dunia dengan tertib aturan yang dirancang oleh mereka. Konon pemahaman mereka mengatakan bahwa liberalisasi perdagangan dunia dapat berkembang apabila semua negara di muka bumi ini sudah demokratis. Alam demokratis tersebut akan berkaitan dengan kebebasan untuk berpolitik, bebas untuk menyatakan pendapat, bebas pula untuk memiliki sesuatu yang diinginkan. Ada kesetaraan gender, menguatnya hak azasi manusia, sampai pada pengketatan aturan konservasi kekayaan alam. Banyak pihak mengatakan bahwa globalisasi adalah pengurasan kekayaan alam oleh negara kuat terhadap negara berkembang dan miskin (Mander and Glodsmith, 1996). Menarik untuk mengangkat pandangan yang lebih “obyektif”, mengatakan ‘Globalization today is not working for many of the world’s poor. It is not working for much of the environment. It is not working for the stability of the global economy. Biut globalization has brought better health, as well as an active global civil society fighting more democracy and greater social justice. The problem is not with the globalization, but with how it has been manage.. part of the problems lies with the international economic institutions which help set the rules of the game. They have done so in ways that, all to often, have serve the interest of more advanced industrialized countries rather than those of the developing world… (Stiglitz—2002) Pandangan Stiglitz ternyata tidak sendirian, oleh karena Kenichi Ohmae dalam bukunya The Borderless World (1991) dan The End of Nation State (1996) sudah mengingatkan bahwa batas wilayah negara, akan semakin kabur oleh karena penetrasi global corporations yang menata pola transportasi, pola komunikasi, dan seterusnya sampai
5
Vol. 5, No. 17, November 2012
Terorisme dan Gerakan Radikal di Era Globalisasi pada aturan memelihara kelestarian lingkungan. Dalam bahasa sederhana, ingin dikemukakan bahwa negara berkembang tidak lagi memiliki kebebasan mutlak untuk mengolah sumber kekayaan alam mereka. Contoh yang sangat ekstrim yaitu Irak yang kaya minyak, nyatanya di bawah kendali AS. Ironik sekali melihat negara tersebut yang kaya akan sumber kekayaan alam tetapi rakyatnya tetap miskin. Sebaliknya negara maju akan semakin kaya, dan semakin kokoh mengendalikan perekonomian global, termasuk sumber kekayaan alam yang bukan milik mereka. Situasi tersebut menimbulkan kesenjangan kesejahteraan yang luar biasa antara negara maju dengan negara berkembang dan miskin. Ada ketidakadilan yang sangat menonjol dan sistem hukum internasional tidak akan mampu (baca: berniat) merobah ketimpangan tersebut. Perlawanan sedang berkembang misalnya dari Venezuela, akan tetapi daya (power) yang mereka miliki tidak cukup kuat untuk berhadapan dengan kekuatan dunia (baca: G-8) yang dikomando oleh AS. Bentuk perlawanan yang lain adalah gerakan radikal yang bermunculan di berbagai tempat, dan tidaklah mengherankan apabila gerakan tersebut menggunakan terorisme sebagai alat untuk mencari perimbangan kekuatan. Perkembangan yang terjadi sekarang ini ialah kelompok terror gerakan radikal tidak lagi fokus pada sasaran militer, tetapi sudah melebar pada sasaran sipil, dan yang terutama center of gravity perekonomian global. Medan operasinya juga sudah tidak lagi terbatas pada satu wilayah, akan tetapi sudah multi—fronts dan mendunia. Dalam pengertian sederhana, dapat dikatakan bahwa serangan pihak teroris dapat dilakukan kapan saja, dan di wilayah mana saja. Pada sisi lainnya, muncul masalah politik dalam bentuk politisasi isu teror, yang dapat dilihat sebagai ancaman (baca: intervensi), yaitu negara maju akan menekan negara yang ”bermasalah” terorisme untuk memerangi aksi teror, sesuai dengan aturan pelibatan mereka dan menyerang kelompok yang anggap sebagai organisasi teror. Perlu dipahami bahwa, AS dan sekutunya mengeluarkan daftar organisasi teroris, berdasarkan informasi dan analis intelijen pihak mereka. Bagi negara yang memiliki kapasitas cukup untuk memerangi aksi terorisme, barangkali tidak ada masalah. Akan tetapi bagi negara yang tidak mempunyai sumber daya yang cukup, (besar kemungkinannya) harus merelakan kekuatan asing beroperasi di wilayah yurisdiksinya. Du-
Vol. 5, No. 17, November 2012
rasi operasinya tidak akan jelas, rule of law juga tidak jelas, dan ada berbagai risiko harus dipikul oleh pihak setempat. Contoh risiko adalah preferensi masyarakat yang menolak kehadiran pihak asing, akan menimbulkan implikasi politik di dalam negeri. Contoh ini sudah terjadi di Pakistan. Bagi Indonesia yang terdiri dari masyarakat yang majemuk dan sedang berbenah dengan otonomi daerah, perlu mewaspadai penetrasi global corporations yang “sangat haus” akan kekayaan alam. Skenario yang bisa terjadi ialah perusahaan (raksasa) asing masuk ke daerah, dan di daerah muncul perlawanan yang dilakukan oleh kelompok radikal yang sangat mungkin mengunakan terorisme. Tentunya pihak asing tidak akan tinggal diam, mereka akan mengamankan investasinya dengan berbagai cara. Ada dengan cara bisnis, tetapi ada pula melalui mekanisme politik, dan jangan diabaikan — dengan cara (intelijen) militer. Upaya memerangi aksi terror Doktrin Mao Zedong, mengumpamakan ikan dan air. Yang di maksud dengan ’ikan’ adalah pihak teroris, sedangkan ’air’ adalah ruang gerak bagi ikan. Doktrin tersebut mengatakan bahwa semakin luas airnya maka akan semakin baik bagi kehidupan ikan. Bertolak dari doktrin tersebut, maka upaya untuk memerangi aksi terror adalah dengan membalikkan esensi ajaran tersebut, yaitu keringkan airnya agar tidak ada ruang gerak bagi ikan. Pengertian ’air’ dalam arti sebenarnya adalah atmosfir politik, situasi perekonomian, kondisi sosial dan keadaan keamanan nasional. Ajaran Mao Zedong mengatakan bahwa semakin buruk atmosfir politik, atau semakin besar ketimpangan sosial ekonomi, dan semakin tidak menentu situasi keamanan, maka ruang gerak ikan (unit-unit teroris) akan semakin baik. Dengan demikian, upaya untuk mengeringkan air, tentunya perlu memahami semua aspek yang terkait yaitu politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan pertahanan, sehingga bisa diambil langkah langkah antisipatif dan represif yang tepat. Langkah pertama, menangani ikannya, artinya — mengenali aktornya, dan semua aspek yang terkait seperti driving factors (idiologi politik), basis kekuatan dan dukungan operasional. Perlu pula dipelajari dengan baik mengenai organisasi, yang mempunyai struktur sangat kenyal. Namun secara garis besar organisasi terse-
6
Terorisme dan Gerakan Radikal di Era Globalisasi but akan terdiri dari beberapa layers, yaitu : ( 1) The brain dan atau kelompok elite, (2) The executioner, yaitu unit-unit pelaksana tugas khusus, (3) the supporting lines atau jajaran pendukung, misalnya pembuat identitas palsu, penyandang dana, pelatih ketrampilan khusus, penyediaan tempat persembunyian atau save house, dan sebagainya yang di sesuaikan dengan kebutuhan operasional. Masalahnya ialah belum tentu jajaran pendukung mengetahui tujuan sebenarnya organisasi yang mereka bela. (4) The mass, yaitu massa simpatisan yang jumlah relatif sangat besar. Mereka ini belum tentu memahami tujuan organisasi yang mereka bela, akan tetapi organisasi tersebut berstatus legal, diakui pula oleh masyarakat dan dapat dimanipulasikan untuk mempengaruhi situasi umum. Langkah yang kedua, mengenali air sebagai ruang gerak. Ada empat aspek yang terkait erat didalam upaya memerangi aksi terror, yaitu ; (1) Aspek politik. Pada aspek ini ada tiga dimensi politik yang perlu di cermati yaitu, aspirasi politik yang melandasi kepentingan terrorist, peta politik domestik, dan peta politik regionalglobal. Dengan memahami peta besar politik, maka ada peluang untuk memotong kepentingan terroris, juga bisa mendapatkan dukungan dari kekuatan politik domestik, dan nantinya ada ruang untuk manuvra politik dalam negeri. (2) Aspek hukum. Banyak negara tidak memiliki perangkat hukum yang memadai untuk menangkal aksi terror, tetapi banyak pula negara yang sudah bersiap sedini mungkin. Jepang merupakan contoh yang baik, oleh karena mampu memperkecil ruang gerak JRA sehingga tidak mungkin mereka hidup di dalam negeri, bahkan tidak ada ruang dan peluang untuk melakukan kaderisasi. Pelajaran dari Turki menunjukkan bahwa mereka mampu menyiapkan perangkat hukum yang menjerat aksi terror dari pihak Kurdi dan bisa berkelit dari tuduhan pelanggaran hak azasi manusia. Perangkat hukum internasional yang berkembang belakangan ini sudah menyangkut jaringan perbankan, artinya apabila ada pihak bank yang diketahui menyimpan dana pihak terorist sudah pasti akan kena sanksi internasional. Sudah ada langkah nyata masyarakat dunia (baca: AS dan sekutunya) untuk membekukan asset pihak terorist termasuk negara sponsornya, dan hal ini sudah dilaksanakan. (3) Aspek Pemerintah (aslinya: the administration). Banyak praktek di luar sana, menempatkan kepala daerah/wilayah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan di
wilayahnya. Contohnya, pada insiden 11 September 2001, Walikota New York segera tampil (catatan: Kepala NYPD berdiri dibelakang) untuk mengatasi situasi. Dari persektif AS tindakan tersebut memang seharusnya demikian, oleh karena masyarakat membayar pajak kepada pemerintah (dhi Walikota New York), dan sebaliknya adalah tugas pemerintah untuk memberikan perlindungan, rasa aman dan kenyamanan kepada masyarakat. Pemerintah (cq aparat keamanan) harus mampu mengisolasi daerah kerusakan agar tidak merambat lebih luas, dan dapat segera mengisolasikan lokasi kejadian (epicenter), menetapkan zona yang kritis (perimeter), menyiagakan daerah penyangga (buffer zone), dan memelihara daerah yang aman. Pada prinsipnya, harus ada kesiapan manajemen keamanan nasional yang menjaga roda kehidupan nasional berjalan normal, dan tidak bisa dilumpuhkan oleh satu insiden teror. (4) Aspek operasional. Pada aspek ini, kesiapan satuan anti terror (baca: striking unit) akan berperan, kemudian dibantu oleh semua pihak yang terkait, misalnya satuan militer, para-militer, pemadam kebakaran, jajaran rumah sakit, liaison dari pihak lain. Masalahnya yang dihadapi adalah bagaimana membentuk satu kesatuan operasi yang terbentang dari pusat sampai ke lokasi, dari pusat yang merata menjangkau daerah. Unsur-unsur yang esensial antara lain adalah Kodal, striking team, komunikasi, lini pendukung, harus disiapkan sedini mungkin dan ada program yang membangun kewaspadaan nasional, termasuk kesiapan manajemen konflik. Penguasaan terhadap keempat aspek tersebut masih perlu di dukung dengan aspek lainnya seperti pengetahuan dalam bidang sosiokultural, sosio-ekonomi, psikologi, negosiator, media massa, perbankan (termasuk asuransi), transportasi, kimia, dan sekarang ini pakar domain komputer dan teknologi informasi sudah menjadi kebutuhan pokok. Perspektif Indonesia Seandainya — sekali lagi hanya berandaiandai, pada hari Senin terjadi ledakan di stasiun Gambir, kemudian pada hari Selasa terjadi ledakan dipasar Senen, lalu hari Rabu di Blok-M, dan hari Kamis ledakan di Mangga Dua, maka besar kemungkinan perekonomian Indonesia akan ambruk. Pada skenario tersebut, satuan-satuan anti terror tidak bisa berbuat banyak, kecuali mempelajari bekas bekas ledakan.
7
Vol. 5, No. 17, November 2012
Terorisme dan Gerakan Radikal di Era Globalisasi Skenario tersebut akan berbeda situasinya apabila “airnya” sangat kecil, artinya tidak ada ruang gerak bagi sel-sel teroris untuk bergerak. Peran masyarakat (dalam bentuk ekstrimnya adalah citizen soldiers) merupakan tulang punggung di dalam aksi massal untuk memperkecil “airnya”, dan kondisi tersebut tidak terbentuk secara alamiah, tetapi harus dibentuk. Pertanyaannya, siapa yang berwewenang untuk menangani pekerjaan tersebut ? Pertanyaan tersebut (barangkali) belum bisa dijawab secara spontan oleh karena terbentuk “kesan umum” bahwa, pekerjaan tersebut belum merupakan kebutuhan yang mendesak. Memang benar sudah ada beberapa undang-undang dan piranti hukum yang mengatur penanganan tindak terorisme, akan tetapi dalam masalah pembinaan potensi nasional untuk menghadapi tindak terorisme, sepertinya masih menunggu untuk dikerjakan. Dalam bahasa perumpamaan, siapa yang akan menangani manajemen ‘mengeringkan air’, apakah di Kementerian dalam negeri atau Kementerian Pertanian, atau di Kehakiman, atau yang di kampus? Kenyataan di lapangan sudah mendesak Indonesia untuk segera berbenah dan alasannya cukup kuat, yaitu; (1) sinyalemen komuniti internasional bahwa Indonesia tergolong soft target, (2) keberadaan segitiga mas di kawasan Asia Tenggara, (3) intensitas illicit small arms trafficking menunjukkan angka yang cukup tinggi, (4) potensi intra-state conflict sangat besar, dan besar sekali kemungkinannya terorisme sebagai alat perjuangan dijadikan sebagai alternatif utama, (5) kabarnya ada kamp kamp latihan terroris di salah satu negara tetangga. Upaya untuk memerangi aksi terror adalah kepentingan nasional yang mendesak, dan berbagai instansi, lembaga, institusi, yang ditugasi penanganan tindak terorisme, perlu satu bahasa, satu sikap dan satu pola tindak. Khusus kepada Kementerian Pertahanan yang mengemban amanah dalam bidang pertahanan tentunya perlu menyiapkan langkah-langkah antisipatif. Yang pertama, mengoptimalkan desk yang secara khusus menekuni bidang teror. Bebannya adalah mencermati semua aspek yang terkait dengan aksi terror, sehingga mampu menghasilkan masukan dalam bidang politik untuk mendukung posisi pemerintah dan posisi Indonesia di fora internasional. Berikutnya, yang kedua, adalah
9
mampu memberikan muatan kepada pihak pembuat undang-undang dan peraturan mengenai kebutuhan untuk memerangi aksi terror. Dan yang ketiga, adalah mampu mengarahkan kesiapan operasional dan menjalin kerjasama dengan pihak lainnya. Memerangi aksi terror, sudah jelas Indonesia tidak mampu berperang sendirian, sehingga opsi yang tersedia adalah menggalang kerjasama dengan pihak lain. Upaya kerjasama yang perlu dipertimbangkan adalah membangun satu sistem untuk kawasan Asia Tenggara, yang bebas dari pengaruh luar. Meskipun demikian Indonesia perlu mengembangkan kerjasama bilateral yang menguntungkan kedua belah pihak. Persoalannya sekarang ini adalah tingkat kesiapan Indonesia, yang meliputi aktor utamanya, perangkat pendukungnya, muatannya yang akan di”jual”, dan tidak kalah penting adalah kesatuan pandang dan sikap dari seluruh lapisan masyarakat. Mungkin, perlu pula dipertimbangkan untuk memulai dengan (1) merumuskan batasan mengenai terror yang dapat diterima oleh bangsa Indonesia dan membentuk sikap nasional yang baku, (2) meninjau semua produk hukum yang berkaitan dengan aksi terror, termasuk pemberdayaan semua konvensi internasional,9 (3) mengevaluasi kemampuan nasional untuk anti terror, dan (4) menjajaki kemungkinan kerjasama dengan pihak luar sesuai dengan tingkat kesiapan nasional dan kebutuhan nyata. Indonesia perlu memperlihatkan sikap dan tindakan yang jelas dan konsisten terhadap tindak terorism, dan dimengerti oleh masyarakat internasional. Sikap Indonesia yang tidak jelas dan konsisten, akan muncul pandangan atau sikap yang mencap bahwa Nusantara ini adalah ”safe heaven” bagi jaringan terorist. Padahal sudah berlaku Resolusi Dewan Keamanan PBB no 1373/2001 yang menggerakkan masyarakat internasional untuk menggalang kerjasama di dalam rangka memerangi aksi terorism. Indonesia sudah jelas akan mengikuti kesepakatan internasional, tentunya dengan sistem nilai yang berkembang di masyarakat Indonesia dan di dalam bingkai kepentingan NKRI. Penutup Bicara sejujurnya, Indonesia belum siap menghadapi teror gerakan radikal yang sudah
Dari 13 konvensi yang ada, Indonesia sudah menanda tangani 4 konvensi dan meratifikasi 4 konvensi lainnya.
Vol. 5, No. 17, November 2012
8
Terorisme dan Gerakan Radikal di Era Globalisasi berkembang pada generasi keempat dan kelima (cyber terrorism). Benar bahwa pemerintah sudah mencanangkan pembentukan BNPT (baca: jilid II), tetapi belum diikuti dengan konsep yang jelas untuk capacity building yang akan menangani manajemen ”mengeringkan air” dan ”menangkap ikan”. Kegiatannya sekarang ini, cenderung fokus pada counter-teror, padahal keinginnya adalah counter-terrorism. Ada dua langkah stratejik yang perlu dikembangkan, yaitu bersiap secara unilateral, dan bersiap pula secara multilateral. Secara unilateral, ada tiga kesiapan penting yang perlu di kembangkan yaitu kesiapan dalam bidang politik, hukum dan operasional. Kesiapan dalam bidang politik menginginkan ada dukungan penuh dari seluruh masyarakat, bahwa aksi terror adalah musuh bangsa yang harus dihadapi oleh segenap bangsa. Dalam prakteknya, dukungan politik tidak selalu diperoleh seratus persen dari masyarakat luas. Padahal dukungan yang diberikan oleh (preferensi) masyarakat luas akan sama dengan “mengecilkan air”. Kesiapan hukum merupakan agenda yang mutlak, oleh karena “pagar’ inilah yang akan memberikan kekuatan kepada semua pihak untuk menjerat “ikan”. Pada sisi lainnya, banyak pihak menilai bahwa aturan hukum untuk menghadapi aksi terror tidak sejalan dengan nafas demokrasi, dan banyak pihak pula tidak in favour untuk mendukung aturan demikian. Akan tetapi perangkat hukum tersebut mutlak diperlukan, dan banyak pelajaran yang dapat diambil dari Jerman dan Inggris. 10 Kesiapan perangkat operasional sudah jelas merupakan bagian yang penting dari upaya memerangi aksi terror, namun makalah ini tidak menyoroti secara khusus kesiapan aspek operasional oleh karena sudah banyak pihak yang menulis mengenai topik tersebut. Secara multilateral. Konflik yang berkembang pada era pasca perang dingin dapat dibagi dalam tiga bentuk yaitu inter-state conflict, intra-state conflict dan trans-national crime. Kecenderungan pada milenium ketiga memperlihatkan transnational crime masih akan berlangsung, malahan
dalam bentuk yang lebih kompleks dan berbahaya. Badan dunia seperti PBB juga memahami kecenderungan tersebut, dan sejauh ini sudah ada 13 konvensi untuk memerangi aksi terror internasional. 11 Badan yang menangani bidang ini adalah Komite-V (hukum) dan sangat proaktif mengalang kekuatan dunia untuk memerangi aksi terror internasional. Akan tetapi kondisi obyektif memperlihatkan bahwa langkah kemajuan yang dicapai, tidak menjanjikan seperti yang di harapkan oleh karena ada beberapa hal, yaitu (1) batasan mengenai international terrorism belum ada kesepakatan yang baku, (2) ada kepentingan negara barat untuk membentuk satu sistem global, tentunya dalam bingkai kepentingan nasional mereka, (3) ada kecenderungan negara maju mempolitisasi isu teror untuk menekan negara berkembang, (4) kerjasama yang terjalin antara negara maju dan berkembang cenderung menguntungkan negara maju. Pada prinsipnya, kesiapan secara unilateral diarahkan untuk menjalin kerjasama multilateral, namun disadari bahwa kerjasama tersebut akan mencakup berbagai bidang yang sangat luas. Misalnya kerjasama intelijen, hubungan database imigrasi, pertukaran kunjungan (baca: pembinaan), dan sebagainya, yang puncaknya adalah kerjasama operasional. Namun perlu disadari pula bahwa, belum tentu pihak yang lebih kuat, mau bekerjasama secara sincere, oleh karena mereka mempunyai kemampuan untuk menyembunyikan data dan kemampuan teknis mereka. Di luar sana, ada beberapa sistem besar yang bekerja secara mendunia, katakanlah sistem yang dibangun oleh AS dan sekutunya, akan tetapi penulis berpendapat ada pula sistem lainnya yang eksis dan cukup efektif. Misalnya sistem milik Francophone, atau dinas rahasia Jerman, dan tidak bisa diabaikan adalah sistem yang dibangun oleh dinas rahasia Taiwan. Setiap sistem mempunyai kelebihan di sana sini, namun satu hal yang pasti ialah bekerja sama dengan mereka tentunya ada harga yang harus di bayar. Ada ungkapan — tidak ada makan siang yang gratis. (B.o8/QD-XII/12)
10 WARDLAW Grant, “Political Terrorism”, Cambridge University Press. 1995 11 General Assembly A/51/336 “ Measures to Eliminate International Terrorism “ Report of the Secretary General. 6 September 1996.
9
Vol. 5, No. 17, November 2012
Ekonomi Pertahanan Nasional (Generik Studi Ekonomi Pertahanan)
EKONOMI PERTAHANAN NASIONAL (GENERIK STUDI EKONOMI PERTAHANAN) Oleh : Budiman Djoko Said * Latar belakang
demi kepentingan strategi keamanan nasional. Problema paling kompleks adalah mengalokasikannya, bukan membagi-bagi. Mencermati besarnya sumber daya, memaksa pengambilan keputusan memilih banyak alternatif melalui cara yang lebih transparan, efektif dan efisien.2 Memilih alternatif berorientasi pada pilihan yang ekonomik agar nilai yang diterima sebanding dengan nilai kepuasan yang didapat − analisis ekonomik.3 Analisis problema Ekonomi pertahanan menggunakan kerangka konseptual yang sistematik menginvestigasi pilihan alternatif problema ekonomi pertahanan. Contoh Ekonomi pertahanan (makro) a.l.: Memilih kapabilitas kekuatan militer cadangan dengan konsekuensi biaya yang murah, kapasitas industri pertahanan yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional atau “kebijakan” pengurangan kekuatan militer, atau transformasi unit militer dengan kelebihan kapabilitas, daya rusak (decisive), profesional, mobil dan struktur kecil (light units/small numbers), dengan konsekuensi total biaya yang lebih murah. Alokasi sumber daya pertahanan yang sangat besar menyulitkan solusinya mengingat alternatif-alternatif solusi yang tercipta biasanya merupakan himpunan obyektif (multiple - objectives criterion) yang tidak jelas, serta faktor ketidakpastian meliput hampir semua problema ekonomi pertahanan nasional.4 Makalah ini menggagas konsep generik yang berpotensi sebagai studi ekonomi pertahanan dan menghindari teknik yang lebih dalam seperti analisis sistem yang lebih mempostulasikan pencapaian obyektif yang ditetapkan dengan menginvestigasi lebih dalam “biaya” dan “efektivitas” setiap alternatif yang diajukan − konsep efektivitas dan biaya sebagai konsep yang memerlukan pemahaman mendalam bagaimana membangun
Ekonomi sangat berkepentingan dengan alokasi sumber daya − seperti memilih doktrin-doktrin dan teknik-teknik yang ada guna menghasilkan “pukulan” tempur terbaik. Mengekonomiskan sama artinya bergiat menambah sumber daya yang satunya dan mengurangi sumber daya lainnya, contoh kombinasi gun versus butter dalam kurva PPC (production possibility curve). Ekonomik atau ekonomis sama saja artinya membuat cara yang paling efisien bagi suatu kegiatan yang ditetapkan. Problema menggabungkan (alternatif) sejumlah sumber daya terbatas seperti rudal, anak buah, pangkalan, transportasi dan fasilitas pemeliharaan suatu kekuatan udara strategik yang diharapkan dapat menghasilkan efek “getar” (deterrence) harga sebesar e3 terhadap lawan “A” merupakan problema ekonomik yang sebanding dengan menggabungkan sejumlah sumber daya yang terbatas seperti bijih besi, alat angkut, tungku rebus dan pasar yang akan menghasilkan sejumlah “produk” dalam ton untuk menghasilkan “keuntungan” sebesar k6. Ekonomi dan efisiensi adalah dua cara melihat terhadap ciri yang sama dari suatu operasi. Bila produsen atau komandan satuan memiliki anggaran yang sudah ditetapkan maka usahanya adalah bagaimana memaksimumkan produksi atau memaksimumkan pencapaian obyektif militernya. Sebaliknya bila produksi atau obyektif militer sudah ditetapkan maka problemanya adalah “mengekonomiskan” penggunaan sumber daya − dua kasus yang sebenarnya relatif sama.1 Ilmu Ekonomi lazimnya berkepentingan mengatasi kelangkaan sumber daya, analog ekonomi pertahanan berusaha mengoptimalkan sumber daya yang ada (finansial dan fisikal) versus kelangkaannya
* ) Purnawirawan TNI-AL terakhir berdinas sebagai Dan Seskoal tahun 2001.Tahun 2002, ditugaskan sebagai wakil ketua CDMS (sekarang FKPM), dan pertengahan tahun 2002 bergabung dengan UPN “Veteran” Jakarta sebagai Warek bidang kemahasiswaan dan tahun 2006-2011 menjabat sebagai Rektor. Bulan Maret tahun 2011 kembali bergabung ke-FKPM sampai sekarang. E-mail :
[email protected],
[email protected]. Penulis berterimakasih kepada Dr. Sapto J, MSc (Unhan), Dr. Erna Hernawati dan Dr. JP Sitanggang (keduanya dari UPN Veteran Jakarta) atas saran perbaikan dan kiriman referensinya. 1
Hitch, Charles J, dan McKean, Roland N, RAND CORPT,March 1960, “ The Economics of Defense in the Nuclear Age ” , halaman 2.
2
From: Melese,Francois (CIV), Prof of Economics, DRMI/US NPS,Sent: Wednesday, November 28, 2012; 10:13 AM, To:
[email protected], cc: Melese, Francois(CIV), Subject: FW: substance of economics of the defense.
3
Edmonds,Jr, Edmund.W, Colonel USAF, Chairman Defense Economi Analysis Council, Defense Resources Management Institute, ”Economic Analysis Handbook”, 2nd Edition, hal 4.
4
Fisher, Gene.H, RAND Corpt, “ Cost Considerations in System Analysis ”, A Report Prepared for Office of the Assistant Secretary of Defense (SecDef), December 1970, halaman 1...isu lead-time sebagai satu penyebab faktor ketidak pastian didefinisikan sebagai waktu antara pesanan suatu item/sistem sampai item/sistem tersebut siap pakai, atau datang/diterima, dan kasus ini didunia nyata merupakan kasus yang sangat probabilistik (conditional probability ) dalam studi Inventori pengadaan (akuisisi).
Vol. 5, No. 17, November 2012
10
Ekonomi Pertahanan Nasional (Generik Studi Ekonomi Pertahanan) perang (Hartley, et-all, 1993). b). Perdagangan senjata (Levine, Sean dan Smith, 2000). c). Terorisme (Sandler, 1992). d). Studi Ekonomi konflik (Hartley dan Sandler, 2003). e). Ekonomi pemeliharaan perdamaian (Solomon dan Berkok, 2006). Studi ekonomi kontemporer yang berikut ini masih terus dikembangkan a.l: perlombaan senjata, aliansi Militer (al: Nato), permintaan dan pasokan komoditi militer, hubungan antara pertumbuhan & pertahanan dan perkembangan, personil militer (sukarelawan, wajib, cadangan versus total personil), pengadaan peralatan militer, basis industri pertahanan, alternatif potensi pertahanan, ekspor persenjataan, insentif perlucutan dan perdamaian.
model efektivitas dan membangun model biaya. Pembagian Studi dan Penyumbang Gagasan Ilmu Ekonomi pertahanan terus berkembang sebagai refleksi problema alokasi sumber daya dan tentu saja masing-masing negara memiliki perspektif masing-masing menghadapi tantangan isu Ekonomi pertahanan. Umumnya penyebaran studi ekonomi pertahanan, makro dan mikro bisa didekati dari penggal waktu terjadi konflik besar, misal di era perang dunia II, lebih banyak mengait produksi besar-besaran alut dan sistem persenjataan dan logistiknya (termasuk angkutan). Era perang dingin berperan sebagai ekonomi yang membantu Kemhan, perlucutan senjata, konversi dan perdamaian. Paska perang dingin sepertinya menggarap ekonomi antara perang dan damai, sedangkan Ekonomi kontemporer lebih berminat menggarap yang berkaitan dengan peperangan konvensional, ethnik dan konflik termasuk revolusi, peperangan saudara dan peperangan panjang (the long war).5 Pionir-pionir penyumbang bidang studi yang kebanyakan didominasi oleh AS, adalah :6 i. Model perlombaan persenjataan (Richardson, 1960, dan Intriligator dan Brito, 1989 dan Schelling, 1966). ii. Theori Ekonomi Alliansi (Olson dan Zechauser , 1966, dan Sandler ,1988). iii. Permintaan (Demand) pembelajaan (Expenditure) militer (R Smith, 1980). iv. Pertahanan, Pertumbuhan dan Perkembangan (Benoit, 1973). v. Ekonomi personil militer, khususnya militer sukarelawan (Hansen dan Weisbrod, 1967, dan Oi ditahun yang sama) − Ekonomik cadangan ternyata jauh lebih murah.7 Meski ekonom Inggris lebih dahulu menampilkan isu hangat ini dibandingkan rekannya dari AS, dari sisi frekuensi debat publik, lebih banyak dilakukan ekonom AS. vi. Pengadaan dan kontrak (Peck dan Schere, 1962). Semenjak berakhirnya perang dingin dan selama paska perang dingin, tercipta beberapa perkembangan menarik dalam ekonomi pertahanan − refleksi akhir perang dingin, dan globalisasi ditambah ancaman keamanan baru dalam format terorisme dan kriminal transnasional (Sandler dan Hartley, 2007). Perkembangan tersebut adalah : a). Studi Ekonomi perlucutan senjata dan pampasan
Problema Ekonomi pertahanan Perkembangan Ekonomi yang cukup kritik mengikat Dephan AS era Presiden Lyndon B. Jhonson dan Menhan Robert Mc Namarra dengan problema Ekonomi Pertahanan yang mereka sebut “unfinished business-nya” dengan kata-katanya yang dikenal yakni “How much is enough” − berapa sih cukupnya (kebutuhan militer riil yang diperlukan)? Belum adanya tetapan (kriteria) untuk menentukan pilihan menyulitkan para komptroller (analis efektivitas dan biaya/staf semacam Srena, pen) untuk membantu Menhan memutuskan. Isu debat internal ini bisa disebut juga sebagai isu HSM (hubungan sipil-militer) mengingat betapa seriusnya Menhan AS (sipil) saat berdikusi (dan berdebat) untuk mencoba menemukan pola alokasi anggaran pertahanan bersama mitranya para Komandan lapangan (militer). Relatif kejadian yang sama terjadi dinegeri kita saat berbicara tentang kesiapan TNI beralasan anggaran yang dinilai tidak memadai − dan anggaran disalahkan karena Ekonomi nasional yang belum dapat memenuhi harapan. Benarkah ini isu murni kebutuhan militer? Ada benarnya kata Enthoven yang mengatakan bahwa Presiden dan DPR lah yang pantas berkomentar. Di lingkungan beliau-beliau ini sudah bukan lagi menjadi isu murni kebutuhan militer tetapi sudah menjadi isu alternatif strategi pertahanan nasional yang penuh risiko (ketidakpastian, pen) berikut kalkulus konsekuensi anggarannya per setiap alternatif strateginya.8 Isu alternatif strategi pertahanan nasional
5
Hartley, Keith, Prof, Univ of York,UK, “Defense Economics : Achievement and Challenges”. Center for Defence Economics, University of York, UK,
[email protected] .The Long War atau peperangan generasi keempat (4 th Generation of war) atau peperangan lawan terrorisme (GWOT) vice-versa boleh dibolak balik sama artinya.
6
Ibid, halaman 2
7
“Seputar Cadangan, Reformasi , dst“ oleh Budiman Djoko Said, periksa www.fkpmaritim,org.
8
Enthoven, Allain.C,Smith,K.Wayne,RAND,New Edition,2005,”How much is enough? Shaping the Defense Program 1961-1969”, halaman 2.
11
Vol. 5, No. 17, November 2012
Ekonomi Pertahanan Nasional (Generik Studi Ekonomi Pertahanan) kan dengan berapa yang dibutuhkan atau “berapa sih cukupnya?”.10 Dampaknya dalam tahapan berikutnya proposal yang akan diajukan lebih menonjolkan esensi yang berkaitan dengan misi atau efektivitas alut atau sista itu sudah tidak ada lagi proposal tradisional yang hanya berorientasi nominal (angka) anggaran yang dibutuhkan. Program pengadaan meriam misalnya; mudah dicerna pengesah anggaran apabila berbentuk besaran kapabilitasnya, atau sajian outcomenya (apa yang akan diperoleh sebenarnya) misalnya berapa CER (circular error probability) per setiap jarak tembak. 11 Informasi seperti jarak tembak, kecepatan tembak, kecepatan jelajah, daya kejut, kerahasiaan, dll, sesuai rancangan pabrik − sama sekali belum menampilkan seberapa jauh dampak program tersebut terhadap musuh. Pernyataan abilitas belum menampilkan misi yang sebenarnya dari alut, atau sista atau material atau “barang jadi” (finished good) yang mau dibeli, dipelihara, dimodernisir, diujicobakan, dioperasionalkan dan akhirnya dimusnahkan sewaktu harga buku “nol” − pengadaan berbasis BSU (Biaya Sepanjang Usia pakai/total life cycle cost) berlangsung sampai alut atau sista dimusnahkan. Pengadaan bukan hanya sebatas investasi awal saja. Anggaran suatu progam atau proyek akan lebih “nyaman” apabila diperhitungkan sampai dengan harga buku “nol”, termasuk perhitungan nilai mata uang mendatang (present dan future value, pen). Konsep terakhir ini akan menjadi komponen utama biaya pendukung yang lebih dikenal sebagai total biaya berbasis BSU. Apabila dipasangkan harga “perolehan” misi dan konsekuensi biayanya serta dipertanggungjawabkan kedua-duanya (effektivitas dan biaya) maka akan jauh lebih fair. Perlakuan seperti itu akan memudahkan para pengguna anggaran untuk tidak mengais-ngais anggaran di-tahun berjalan berikutnya dari sektor lainnya guna menutup keperluan bagi proyek atau program yang sedang berjalan tersebut. Alasan lain adalah transparansi, publik menghendaki informasi berapa unit (sebenarnya) kocek negara yang telah digunakan dan berapa unit (sebenarnya) perolehan atau hasil misi, atau efek-
(strategik) yang mengait petinggi-petinggi puncak merupakan problema ekonomi pertahanan (makro). Problema Ekonomi Dephan di tingkat strategik menurun ke tingkat strategi militer nasional yang berbentuk (misalnya) alternatif pemilihan kekuatan (forces), sistem senjata, platform dan rumitnya selalu terbentur masalah perbedaan faktor waktu (life cycle/ usia ekonomi), biaya, platform, lead-time, dll, isu yang paling tradisional adalah budaya yang sepertinya lebih suka menampilkan total komponen anggaran sebagai atribut problema yang sebenarnya. Konsep Ekonomi umum biasanya diawali dari liputan makro tentang sektor penerimaan negara, alokasi dan distribusinya, menurun ke liputan mikro yang bicara tentang sistem pasar dan perilakunya, kebutuhan dan pasokan (demand dan supply) dst. Analogi problema Ekonomi pertahanan mulai dari tingkat makro tentang distribusi dan alokasi dari Dephan merujuk strategi pertahanan nasional yang bicara tentang pemilihan alternatif sumber daya sebagai means (ekonomik), ways (caranya) dan ends (sasaran fisikalnya). Berikut liputan mikro yang merujuk strategi militer nasional dan lebih operasional dengan means, ways, dan ends-nya versus problema pemilihan alternatif seperti pemilihan kekuatan militer gabungan, pembagian wilayah operasional, deploi Gugus tugas, kolaborasi dan kooperasi operasi gabungan sipil-militer dalam operasi selain perang. Merujuk kembali kasus “unfinished business”; bagi Menhan AS sepertinya lebih mengharapkan budaya penalaran yang bisa menjawab apa sebenarnya yang diperlukan dan dibutuhkan − bukannya berapa total biaya yang dibutuhkan? Berangkat dari harapan ini ditahun 1961, hadir perangkat yang berorientasi kepada kalkulus ekonomik − yang disebut “program penganggaran”. Sentra penyajian program ini lebih banyak berorientasi kepada isu output seperti: kapabilitas serangan balik nuklir, kapabilitas-kapabilitas sistem senjata, peperangan terbatas, kekuatan yang lebih rendah kualitasnya, pengawasan senjata, pertahanan sipil, berbagai pangkalan mobilisasi, angkutan laut, dsb 9 − jawaban apa sebenarnya yang dibutuhkan dilanjut-
9
Kapabilitas (capability) menurut MORS (military operations research society) selalu dirumuskan = ability (kebisaan sesuai rancang bangun pabrik) + “outcome”nya. Outcome adalah harga yang didapat setelah diuji coba dengan satuan dasar ukuran yakni ukuran effektivitasnya (MOE - berorientasi bagaimana mengalahkan musuh dan memenangkan pertempuran). Kecepatan tanjak tank,kecepatan bergerak dipadang rumput sekian km/jam, kecepatan tembak dll,baru sebatas abilitas masih belum berorientasi pada dampak terhadap musuh atau sasaran dan informasi seperti ini masih bisa dan mudah dicuri. Outcome jauh lebih penting dan sangat dirahasiakan --- parameter yang sangat menentukan kemenangan dalam pertempuran (decisiveness). Perlu persepsi bersama tentang definisi ability (sementara diterjemahkan abilitas), spy konsisten dan tidak mudah untuk bicara seperti mampu atau kapabel ini itu, padahal baru sebatas “bisa”,tidak lebih atau kurang.
10 McKean,Roland.N, RAND Corpt, July 1974, “Economics of Defense”. 11 Dalam perkembangan konsep, apa yang akan diperoleh (keberhasilannya) terdefinisi sebagai misinya dan satuan ukuran keberhasilan misi disebut ukuran effektivitas (atau MOE/measure of effectiveness).
Vol. 5, No. 17, November 2012
12
Ekonomi Pertahanan Nasional (Generik Studi Ekonomi Pertahanan) Ketiga, para analis biasanya belum menampilkan alternatif mana yang paling optimal, analis hanya merekomendasikan dalam urutan atau memberikan gambaran umum. Pengambil keputusan bisa saja menentukan pilihan dengan kriteria [1] effektivitas yang ditetapkan atau [2] biaya tertentu yang ditetapkan atau [3] dengan teknik tertentu (analisis kepekaan, pen) bisa saja ditemukan alternatif lain. Konsep seperti ini dikenal sebagai AoA (Analysis of Alternatives). Konsep lebih disempurnakan oleh Prof Melese dengan EEoA (Economic Evaluation of Alternatives) berorientasi pada tingkat keabsahan produsen/pengembang atau pihak ketiga yang menyediakan alut, sistem, dll dalam ruang keputusan (model) effektivitas − atau mempertanyakan bisakah/benarkah kapabel sesuai usia pakainya (Economics Life).13
tivitas yang didapat, tidaklah fair hanya Pj Keuangan yang mewakili kedua ukuran tersebut − esensi lain dari Ekonomi pertahanan. Untuk menampilkan solusi ekonomi yang baik dalam problema (pemilihan) ekonomi pertahanan maka output atau esensi atau misi sebenarnya masing-masing alternatif harus terukur demikian juga konsekuensi dukungannya berupa komponen-komponen anggarannya dihitung berbasis BSU. Solusi ekonomi pertahanan berorientasi untuk masa yang akan datang sebab penggunaan (utilisasinya, pen) sumber daya dan realisasinya adalah masa yang akan datang, bukan sekarang. Jantung solusi problema ekonomi pertahanan adalah proses pengambilan keputusan (MCDC/ multiple criteria decision making) dan seleksi beberapa alternatif cara bertindak (COA/ course of action, pen ) guna menetapkan harga (relatif) misi atau output atau efektivitas dan harga (relatif) biaya sebagai konsekuensi dukungan per masingmasing alternatif. Penjelasan konsep terakhir ini, membulatkan suatu perangkat analisis ekonomi pertahanan yang populer disebut rasio effektivitas biaya (REB). Makalah tidak membahas lebih dalam tentang REB mengingat memerlukan pemahaman pemodelan efektivitas dan pemodelan komponen biaya. Dalam seksi ini beberapa hal yang perlu dijadikan catatan ihwal para analis problema ekonomi pertahanan. 12 Pertama, para analis bukanlah pengambil keputusan. Mereka hanyalah bagian dari MCDM (multiple criteria decision making), perannya lebih kepada membantu pengambil keputusan memilih beberapa cara bertindak − menampilkan kepatutan harga efektivitas dan biayanya per setiap alternatif, dengan asumsi yang dapat diciptakan dan membangun model-model efektivitas serta total biaya berbasis BSU yang dinilai absah. Kedua, para analis jarang memberikan narasi yang cukup jelas bagi pengambil keputusan tentang produk analisisnya. Barangkali justru akan menyulitkan memaparkan rinci produknya, utamanya model efektivitas dan biaya yang bisa saja sangat rekayasa sekali (engineering) lebih-lebih versus isu yang strategik sekali dengan obyektif ganda (multiple objectives criterion) dan faktor ketidakpastian yang tinggi. Untuk ini perlu interaksi dan kearifan antara pengambil keputusan dan para analis sendiri sebelum diputuskan.
Ekonomi Pertahanan, Strategi, Teknologi Dan Pengambilan Keputusan Strategi Ekonomi nasional, strategi diplomasi (polugri) dan strategi pertahanan nasional dengan kapabilitas kekuatan militer nasionalnya merupakan pilar instrumen kekuatan nasional.14 Tanpa Strategi Ekonomi nasional yang kokoh, maka pendapatan negara akan menurun dan memberikan kucuran anggaran “sedikit” bagi kekuatan militernya. Sebaliknya tanpa kekuatan militer maka dukungannya terhadap strategi ekonomi nasional dan strategi /politik luar negeri akan melemah. Akibat melemahnya dukungan semua strategi tersebut terhadap pencapaian obyektif kepentingan nasional akan menurun. Oleh karena semua strategi instrumen kekuatan nasional bisa disebut (atau subordinasi) strategi keamanan nasional maka diperlukan seorang “dirigen” yang akan mengatur irama dan kekompakan semua strategi dan wakil ketua Dewan Keamanan nasional yang akan mengendalikan operasionalnya kesehariannya − dewan inilah yang menjalankan analisis keputusan untuk memilih alternatif strategi yang terbaik. Masing-masing strategi memerlukan cara yang paling effisien dan ekonomik untuk menjalankan kegiatannya − masing-masing memiliki problema Ekonomi per bidangnya. Ekonomi pertahanan menggunakan perangkat Ekonomi di dalam kasus pertahanan atau isu yang berkaitan dengan pertahanan. Para ekonom mengikuti kerangka pikir
12 “Economic Analysis Handbook Theory and Application”, volume ---II, Concepts and Techniques, General Research Corp, Prepared for DoA (Department of the Army) , USA , November 1973, halaman 4. 13 Melese, Dr. Francoise, Working Paper Series , Defense Resources Management Institute , School of International Graduate Studies, Naval Postgraduate School, Sept 2009, “ The Economic Evaluation of Alternatives ”, halaman 1-3. 14 Neu, C.R, dan Wolf Jr, Charles, RAND CORPT, 1994, “The Economic Dimensions of National Security”, halaman 1-3.
13
Vol. 5, No. 17, November 2012
Ekonomi Pertahanan Nasional (Generik Studi Ekonomi Pertahanan) Teknik yang lebih bersifat operasional tersebut tidak dibahas lebih dalam. Kasus strategik yang dicontohkan Fisher adalah “optimum force mix”. Suatu kekuatan gabungan yang dideploikan dengan dibatasi kapabilitas, kualifikasi, kekuatan dan moda angkutan (sea-lift atau air-lift), serta bentangan waktu sampai diterminasikan. Kasus strategik yang tentunya tidak gampang diselesaikan, setidak-tidaknya gambaran ekonomik, effisien dan ekonomis bisa tergambar di dalam produk para komptroler. Gabungan akan mengambarkan efisiensi bukan saja kualitas namun upayanya, moda angkutan dan batasan waktu serta medan yang ada selanjutnya akan membuat suatu pilihan selanjutnya yakni siapakah pemegang kendalinya dari Darat, Laut atau Marinir atau Udara. Definisi optimum (atau esensial, pen) menurut sistem rekayasa adalah harga yang “pas” disesuaikan dengan obyektif kekuatan gabungan bisa saja membentang antara minimum dan maksimum. Ide pelibatan perangkat Ekonomi pertahanan yang ada dengan teknik-teknik analisis ekonominya dengan MCDM bukanlah sesuatu yang baru. Para analis dengan analisisnya akan terus menerus mengulang kembali langkah-langkah kajiannya lebih operasional sebagai bagian tanggung jawabnya, dan sepatutnya diingat bahwa analisis dan para analis khususnya para komptroller bukan satu-satunya pembantu pengambilan keputusan.18 Ekonomi pertahanan atau problema Ekonomi pertahanan tidaklah sama sekali mengambil alih “kewenangan” pengambil keputusan. Bahkan sebaliknya obyektif proses penyelesaian problema ini akan menjamin basis penalaran yang lebih baik untuk membantu pelaksanakan kewenangan (judgment) pengambil keputusan melalui pernyataan problema (definisi masalah) yang lebih konkrit, kemudian menemukan dan menjabarkan lebih lanjut kemunculan alternatif-alternatifnya dan membuat perbandingan antar alternatif (seleksi) dan seterusnya. 19
dan metoda ekonomi empirik atau teoritikal dihadapkan isu pertahanan dan kebijakannya, serta mempertimbangkan keterkaitannya dengan strategi nasional lainnya. Munculnya teknik kontemporer salah satunya adalah sistem analisis15 dalam sistem bantu pengambilan keputusan problema pertahanan (MCDM) dengan melibatkan teknik ekonomi di dalamnya telah menimbulkan debat hangat para ekonom pertahanan tentang trio strategi, tehnologi dan ekonomi yang sudah tidak laik lagi dipertimbangkan sebagai materi yang “bebas”. Strategi adalah interaksi dan kejelasan means (sumber daya; termasuk biaya/anggaran), ways dan ends guna mencapai obyektif militer. Tehnologi memunculkan serangkaian kandidat alternatif strategi dan problema Ekonomi pertahanan (makro) adalah memilih strategi yang paling efisien atau ekonomis.16 Umumnya problema ekonomi pertahanan di tingkat strategik bisa disebut “optimalisasi raya (grand optimum)”.17 Optimalisasi raya ini sebagaimana lasimnya diruang strategik, akan selalu berhadapan dengan faktor ketidakpastian yang tinggi. Umumnya dua kategori ketidakpastian akan muncul, yakni [1] ketidakpastian status dunia atau kejadian di masa mendatang. Faktor besarnya adalah ketidakpastian teknologi, ketidakpastian dalam kontek strategik, dan ketidakpastian tentang “lawan” dan reaksinya. Kedua [2] adalah ketidakpastian statistika. Tipikal ini berangkat dari peluang kemunculan kejadian didunia nyata yang berbeda jauh dengan kalkulasi probabilitas kemunculannya. Ketidak pastian tipikal kedua, biasanya lebih mudah diatasi dengan studi sistem analisis, bilamana perlu teknik simulasi atau Monte Carlo dan bahkan analisis kepekaan dapat dilakukan. Sedangkan kategori pertama, lebih sering muncul, dan amat sering terjadi ditipikal problema perencanaan jangka panjang dan amat susah mengatasinya. Teknik yang dapat digunakan selain analisis kepekaan, juga analisis kontijensi dan analisis “a-fortriori”.
15 Beberapa literatur menyebutnya selain sistem analisis adalah analisis manfaat-biaya, analisis effektivitas-biaya,sistem rekayasa, operasi riset atau operasi analysis. Bagi Fisher tidak ada lagi perangkat strategik yang bisa membantu problema ekonomi pertahanan ditingkat strategi selain sistem analisis. Lebih lanjut dikatakan ... memaksimalkan teknik sistem analisis lebih dari riset strategik dibandingkan sekedar methoda atau teknik, lebih kearah seni dibandingkan ilmu. Disimpulkan bahwa sistem analisis dapat dipandang sebagai pendekatan, cara pandang atau teknik pemilihan problema yang sangat kompleks, dan biasanya diliputi dengan kondisi ketidakpastian. 16 Fisher, halaman 6-7.Hartley, K, and Sandler, T, Elsevier Science, 1995, “Handbook of Defense Economics “,volume – I, ch2.” Defense Economics and International Security ”, McGuire,Martin.C, University of California,Irvine, halaman 14-15. 17 Fisher, halaman 7 , pernyataan mantan Menhan AS , Robert MC Namarra ,... they (sistem analists dan para comptroller) provide the top level civilian and military decision makers of the DoD(DepHan) a far higher order of analytical support than has ever been the case in the past.I’m convinced that this approach leads not only to far sounder and more objective decisions over the long run, but also maximizes the amount of effective defense we obtain from each dollars expended ...ybs didepan senat Angkatan perang AS , tahun 1968. 18 Defense Economic Analysis Council, Defense Resources Management Institute, 2 halaman 2
Edition, “ Economic Analysis Handbook “,
19 Fisher, Gene H, RAND CORPT,Dec 1970, “Cost Consideration In Systems Analysis” , A Report prepared for Office of the Assistant Secretery of Defense (Systems Analysis),halaman 5 dan periksa Hitch,Charles J, dan McKean,Roland N, RAND CORPT, “The Economics of Defense in the Nuclear Age”, halaman 396
Vol. 5, No. 17, November 2012
14
Ekonomi Pertahanan Nasional (Generik Studi Ekonomi Pertahanan) effektif (dengan ide segarnya) ikut membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Banyak isu-isu Ekonomi pertahanan strategik dan kritik yang bisa segera dikaji lebih sistematik, semisal didongkraknya (leveraging) peran DIB (Defense Industrial Board) yang bekerja sebagai agen (full-agent) Ekonomik yang bisa mendorong TNI dan parnernya (industri Hannas) dengan asumsi kehadiran Strategi pertahanan dan kebijakan (policy) TNI-nya (subordinasi strategi Pertahanan Nasional) dan Strategi masing-masing aktor industri pertahanan. Mungkin saja industri pertahanan sudah mengarahkan dirinya untuk ikut merealisasikan pertumbuhan Ekonomi nasional atau regional (sekurang-kurangnya) − seberapa jauhkan strateginya? Industri tidak bisa di iming-iming begitu saja dengan nominal anggaran, namun perlu mengetahui obyektif strategi pertahanan dan militer yang konkrit untuk berhitung “biaya” Litbangnya, dll, utamanya porsi beban kerja (workload dan workforce) untuk sekian persen produk komersial dan sekian persen produk militer per tahun termasuk porsi transfer teknologi dalam tingkatan tertentu (tidak semua bagian bisa ”mutlak” ditransfer) seperti platform, atau mekanikal bisa sampai 100% --- elektronik amat bervariasi ... (tergantung kedekatan dengan negara produsen, pen). Seyogyanya Lemdik TNI, UNHAN dan UPN sudah mulai memikirkan kurikulum analisis biaya, aplikasi sistem analisis, sekurang-kurangnya sebagai bagian dari Ekonomi pertahanan. Ekspresi akuntabilitas, efisiensi dan transparansi sebagai retorika tata kelola pemerintahan yang baik akan meliput sebagian besar materi yang dibahas diatas. Upaya Menhan AS dengan “unfinished business” merupakan idea segar perbaikan sistem anggaran dari komuniti “inside-ofthe box” dan nampak efektif membangun tata kelola pemerintahan yang baik bisa dijadikan pelajaran. Berikutnya teknik modern dan konsep mempertanggungjawabkan suatu proyek atau program bukan hanya dari sisi keuangan atau anggarannya namun
Isu strategik sangatlah rumit, tidak serta merta para analis ekonomi pertahanan mendapat gambaran utuh tentang “maunya” sang pemimpin, sebaliknya sang pemimpin terkadang belum bisa menalarkan idea “padat” dalam bahasa yang sederhana. Mengingat faktor kesulitan ditingkat strategik disebabkan isu politik, sosiologi dan pertimbangan psikologi serta tidak bisa langsung ditetapkan dalam satu proses analitik khususnya dalam bahasa kuantitatif.20 Upaya analitik pemecahan problema ekonomi pertahanan sepertinya memerlukan dan mengharuskan keberanian para analis untuk berinteraksi dengan pengambil keputusan (sebaliknya kerendahan hati sang pemimpin untuk bisa menerima kenyataan ini, pen) sesering mungkin − akan semakin lebih baik. 21 Kesimpulan Bagi negara maju Ekonomi pertahanan menjadi agenda yang penting, kajian US NPS dalam empat operasi kehadirannya Gugus laut AS (forward presence) menujukkan hasil yang signifikan mendongkrak indeks saham dan PDB nya. 22 Ekonomi pertahanan sangat luas untuk dibicarakan, mudah-mudahan makalah ini bisa menggenerik teks Ekonomi pertahanan di negeri tercinta ini di masa mendatang. Setidak-tidaknya beberapa perangkat Ekonomi pertahanan sudah dapat dijadikan prototype guna perbaikan dan penyempurnaan sistem anggaran, seperti teknik pembiayaan berbasis BSU (Biaya Sepanjang Usia pakai), teknik REB (rasio effektivitas biaya), dll . Ekpresi akuntabilitas, effisiensi dan transparansi sebagai retorika tata kelola pemerintahan yang baik sudah diliput (meskipun sedikit) sebagian besar materi singkat yang dibahas di atas. Pelajaran strategik yang dapat dipetik dari Mc Namarra dan staff-nya selain isu HSM juga juga gebrakannya dalam sistem program dan anggaran, meskipun mereka (para comptroller) berada dalam “inside–of–the box” proses MCDM pemerintah namun nampak lebih leluasa dan
20 Ibid, halaman 7. Mantan pembantu Menhan AS (bidang system analisis) mengomentari sebagai berikut ... all policies are made...on the basis of judgments.There is no other way , and there never will be. The question is whether those judgments have to be made in the fog of inadequate and inaccurate data, unclear dan undefined isuuses, and a welter of conflicting personal personal opinions, or whether they can be made on the basis of adequate, reliable information , relevant experience and clearly drawn issues. In the ends , analysis is but an aids to judgment .... Judgment is supreme (Enthoven,AC). 21 Fisher,Gene H, RAND CORPT,Dec 1970, “Cost Consideration In Systems Analysis” , A Report prepared for Office of the Assistant Secretery of Defense (Systems Analysis),halaman 7. Contoh pernyataan (definisi masalah) yang lebih baik, sewaktu mendefinisikan serangan udara Jerman terhadap Konvoi Sekutu, didefinisikan mula-mula bahwa obyektifnya adalah memaksimalkan jumlah pesud Jerman yang ditembak jatuh. Solusinya membangun PSU (penangkis serangan udara) disetiap kapal angkut dan logistik, hasilnya jumlah pesud yang ditembak jatuh tidak menggambarkan effektivitas yang memadai dibandingkan biaya pemasangan dan penambahan personil serta perawatannya. Setelah dirubah obyektifnya menjadi memaksimalkan jumlah kapal yang dapat diselamatkan (tidak tenggelam) besarnya rasio effektivitas dan biaya menjadi lebih menguntungkan --- lebih sukses. 22 Looney, Robert dan Scharady, David, US Naval Postgraduate School, October 2000, “Estimating Economic Benefit of Naval Forward Presence”, halaman 1.
15
Vol. 5, No. 17, November 2012
Ekonomi Pertahanan Nasional (Generik Studi Ekonomi Pertahanan) dimonitor dari hasil konferensi Ekonomi pertahanan nasional, sepertinya Angkatan masing-masing negara sudah menjadi lembaga riset tentang Ekonomi pertahanannya masing-masing dengan agendanya yang mungkin bisa menjadi topik riset mahasiswa Ekonomi S-2 atau S-3 nya. Tidak berlebihan bila Bappenas atau Perguruan tinggi (FE, FTI) di negeri tercinta ini bisa memulai kajian tentang Ekonomi pertahanan lebih komprehensif dan sistematik dihadapkan dengan kondisi yang ada. Nampaknya kemahiran (state-craft) Ekonomi pertahanan sudah bukan lagi menjadi domain dan dominasi korps keuangan atau administrasi atau komuniti “comptroller” mengingat keterampilan memutuskan situasi yang tidak pasti dan ketrampilan memonitor tinggi rendahnya tingkat efektivitas alut atau material yang dapat dicapai dan tinggi rendahnya konsekuensi anggaran yang mampu mendukung pilihan yang telah diputuskan dan analisis kepekaannya − merupakan ruang pelibatan (decision engagement) isu ekonomi pertahanan atau lebih spesifik lagi adalah ruang analisis alternatif (AoA/analysis of alternatives) yang sudah semakin disempurnakan dengan konsep AEoA (Analysis Economics of Alternatives) dan berada di ruang besar pengambilan keputusan (decision space). Semoga bermanfaat .
lebih penting lagi adalah apa yang dapat diperoleh dari misi sistem atau alut atau materi “barang-jadi” yang konon kabarnya sudah lama dilakukan negara lain (kl semenjak tahun 1972-an). Meskipun (mungkin) sulit pada awalnya, namun lebih “fair” (tentunya, pen) bila dapat dipertanggungjawabkan didepan publik − bukan hanya PJK Keu saja, namun performa/ efektifvitas atau manfaat yang bisa didemonstrasikan kepada publik. Sekaligus mendemonstrasikan bahwa satu unit rupiah atau dollar yang sudah dikeluarkan (expense) telah mendukung sekian unit manfaat/ efektivitas atau performa. Tidaklah “fair” bila daya serap dijadikan ukuran effektivitas berjalannya program, kecuali semua proyek/program berjalan dalam waktu yang sama , pencairan turun pada hari H tahun 0 dan setiap proyek berangkat pada waktu yang sama serta semua kategori proyek sama (misal pengadaan baru), kualifikasi pihak ketiga sama, dengan laju “lead time” inventory setiap material sama. Konsep ini mendidik kita bahwa untuk setiap unit “keringat” biaya (bukan saja nominal rupiah, tetapi juga risiko, atrisi, kehilangan, dll) sebagai konsekuensi dukungan kegiatan terpilih yang diharapkan (ekpektasi) dapat memberikan “kenikmatan” atau “manfaat” atau “efektivitas” tertentu. Insentif lainnya adalah perkembangan yang bisa
Ketua beserta anggota Forum Kajian Pertahanan dan Maritim
MENGUCAPKAN SELAMAT atas pengangkatan
LAKSAMANA MADYA TNI Dr. MARSETIO, MM. menjadi
KEPALA STAF ANGKATAN LAUT
Vol. 5, No. 17, November 2012
16