TERHAMBATNYA RPP TEMBAKAU DALAM PERSPEKTIF ILMU KEBIJAKAN Dr. Dewi Marhaeni Diah Herawati, drg, MSi1
Pendahuluan Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki prevalensi merokok yang tertinggi di dunia. Berdasar data WHO ada sekitar 46,8 persen laki-laki dan 3,1 persen perempuan diatas usia 10 tahun.1 Indonesia juga menjadi salah negara yang memiliki lahan pertanian tembakau cukup tinggi di dunia. Adapun daerah penghasil tembakau terbesar di Indonesia adalah Jatim (56%), Jateng (23%), NTB (17%) dan 4 % berada di DIY, Sumut, Jabar dan Bali.2 Daerah penghasil bahan baku pendukung rokok seperti cengkeh tertinggi di Indonesia adalah Sumbar, Lampung, Jateng, Bali, Sulsel, Sulut dan Maluku Utara. Produksi dan pasar rokok di Indonesia dikuasi oleh 4 perusahaan besar yang berada di Jawa Timur dan Jawa Tengah yaitu gudang garam (31,7% ) yang berada di Kediri, djarum (17,2%) berada di Kudus, bentoel prima (3,1%) berada di Malang dan sisanya sekitar 22,1% dikuasai oleh industri rokok kecil dan RT.
Dampak merokok terhadap kesehatan, sudah jelas memberikan
dampak yang negatif. Belum ada satupun penelitian yang menunjukkan bahwa merokok memiliki dampak postitif baik dari sisi kesehatan maupun sosial dan
1
Departemen Ilmu Gizi Medik Fakultas Kedokteran Unpad. Makalah disajikan dalam “Seminar Nasional Tantangan dan Strategi Perlindungan Rakyat Terhadap Dampak Merokok”, yang diselenggarakan oleh LPPM Universitas Siliwangi bekerjasama dengan IAKMI Cabang Tasikmalaya pada hari Sabtu Tanggal 14 Juli 2012.
ekonomi. Beberapa kasus menunjukkan bahwa efek dari merokok dapat menjadi faktor risiko terjadinya masalah sosial lainnya seperti minuman keras dan ganja. Rokok mengandung 4000 zat berbahaya bagi tubuh, adapun zat yang paling banyak terkandung dalam rokok adalah nikotin (zat adiktif), hidrogen sianida (gas yang mematikan), tar (campuran aspal), amonia (kandungan pembersih kaca), karbon monoksida (gas beracun), formalin (bahan pengawet mayat), arsen (racun yang mematikan), kadmium (kandungan batu baterai) dan lain-lain. Rokok menjadi pembunuh nomor satu didunia, dimana pada abad 21 ini terjadi peningkatan yang sangat tajam sekitar 10x terhadap kematian dibanding abad 20.3 Seseorang yang mengkonsumsi rokok pada usia sangat muda juga dapat menyebabkan terjadinya malnutrisi, efek dari merokok mneyebabkan anak menjadi kehilangan selera makan.4 Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang belum menandatangani
dan meratifikasi pengendalian tembakau yang merupakan
kesepakatan majelis kesehatan dunia tahun 2003 dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Nampak bahwa komitmen pemerintah Indonesia dalam upaya pengendalian tembakau masih rendah. Salah satu penyebab karena pajak cukai rokok memberi kontribusi cukup besar dalam APBN, sekitar Rp 48 Trilyun pada tahun 2008.5 Hal lain yang menjadi penyebab adalah karena negara Amerika Serikat telah membuat peraturan pengendalian tembakau sehingga mengurangi gerak dari para industri rokok dalam mengembangkan bisnis besarnya, akibatnya pabrik dan pasar mereka larikan ke Indonesia. Hal ini bisa dibuktikan bahwa perusahaan rokok terbesar di Amerika Serikat seperti Philip Morris International dan British American Tobacco telah membeli perusahaan rokok PT HM Sampurna dan PT Bentoel.6 Bisnis besar ini jelas
memberikan manfaat yang luar biasa besar bagi industri rokok asing, sementara kerugian besar terjadi pada masyarakat Indonesia baik secara sosial maupun ekonomi. Makalah
ini
ditujukan
untuk
melakukan
pengkajian
terhadap
terhambatnya RPP pengendalian tembakau dalam perspektif ilmu kebijakan. Metode yang dilakukan adalah melalui studi dokumen yang diperoleh penulis melalui diskusi antar anggota milis “desentralisasi kesehatan” maupun media lain seperti surat kabar, televisi baik dalam acara berita maupun debat publik.
Sejarah RPP Tembakau Usulan pengendalian tembakau sebetulnya sudah sejak lama dilakukan oleh pemerhati kesehatan masyarakat, namun belum membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Adanya perubahan UU Kesehatan No 23 Tahun 1992 menjadi UU Kesehatan Nomer 36 Tahun 2009, merupakan peluang yang sangat bagus untuk memasukkan pasal pengendalian tembakau. Pasal tersebut telah dibahas cukup detil baik oleh pemerhati dan kelompok kesehatan masyarakat, akademisi maupun Kementerian Kesehatan. Namun ketika UU Nomor 36 disyahkan, terlihat bahwa pasal pengendalian tembakau dihapus. Kondisi ini menggemparkan sektor kesehatan, bagaimana mungkin draft yang diusulkan oleh Kementerian Teknis, tiba-tiba hilang tanpa ada yang tahu siapa aktor yang bermain dibalik hilangnya pasal tersebut. Siapakah kiranya yang dapat menjadi “The Ghost Writer or Gost Eraser” dalam kasus ini?. Sesungguhnya hal tersebut sudah dapat diduga siapa aktor dibalik hilangnya pasal dan ayat pengendalian tembakau dalam draft UU Kesehatan No 36 Tahun 2009. Terlihat sekali bahwa munculnya sebuah kebijakan sangat
dipengaruhi oleh kekuatan kelompok orang yang dapat memengaruhi terjadinya perubahan dan pencabutan pasal-pasal yang diusulkan oleh Kementerian Teknis. Oleh sebab itu muncul dorongan yang sangat kuat dari kubu pemerhati dan aktor kesehatan untuk mengusulkan peraturan khusus dalam pengendalian tembakau dalam bentuk PP (Peraturan Pemerintah). Usulan PP untuk pengendalian tembakau menuai pro dan kontra dari kedua kubu, bahkan demo besar-besaran dilakukan oleh kelompok kontra maupun para aktifis LSM. Nampak bahwa kegiatan tersebut bukan murni merupakan ide dari kelompok petani yang ingin mempertahankan kehidupan dengan bercocok tanam tembakau atau cengkeh, tetapi lebih disebabkan adanya “driven” dari segelintir orang yang memiliki uang besar sehingga dapat membeli orang untuk menyuarakan kepentingan mereka. Pembahasan tentang RUU pengendalian tembakau sangat alot, dipenuhi konflik kepentingan dari kelompok pemberi cukai rokok terbesar di Indonesia. Jika melihat sejarah perjalanan pengendalian tembakau di Amerika Serikat, pada awalnya pihak Philip Morris menentang pengaturan pengendalaian tembakau dalam UU FDA (Food, Drug and Administration). Namun beberapa tahun kemudian pihak Philip Morris justru terlihat getol memperjuangkan pengaturan pengendalian tembakau dalam
peraturan FDA.7 Keadaan ini jelas membuat
kebingungan para pemerhati kesehatan, mereka bertanya mengapa tiba-tiba Philip Morris menjadi merubah pandangan dan membuat dukungan terhadap perubahan peraturan FDA?
Proses Kebijakan Kegigihan para pemerhati kesehatan patut diacungi jempol, dimana mereka berjuang mati-matian tanpa pamrih agar masyarakat Indonesia dapat terhindar dari dampak negatif rokok. Para aktor pemerhati kesehatan telah mampu mengupayakan bahwa masalah rokok menjadi masalah kebijakan dan dapat masuk dalam agenda setting. Agenda setting merupakan tahapan pertama dari proses kebijakan dimana mempersoalkan kelayakan sebuah masalah dapat diangkat menjadi masalah kebijakan. Meskipun masalah rokok telah menjadi masalah kebijakan,
ternyata
masih belum dapat menghasilkan sebuah peraturan yang disyahkan oleh pihak DPR. Hal ini terjadi karena tidak adanya policy window, dimana politic stream, policy stream dan tehcnical stream belum menuju dan bertemu pada satu titik yang sama.8 Persoalan pengendalian tembakau nampak sangat sarat dengan kepentingan politik. Terlihat bahwa kepentingan perusahaan tembakau ingin melebarkan lahan bisnis serta mencari dan melipatgandakan keuntungan. Kepentingan pemerintah adalah mendapatkan pajak dari cukai tembakau yang dapat menjadi andalan APBN dari penerimaan pajak. Kepentingan petani tembakau adalah agar mereka dapat tetap hidup, karena selama ini menjadi tumpuan dari pendapatan keluarga mereka. Kepentingan kelompok kesehatan masyarakat adalah memperjuangkan agar masyarakat dapat hidup lebih sehat. Berdasarkan pengamatan selama ini ada 4 macam kelompok kepentingan, dimana masing-masing kelompok memiliki argumentasi yang mendasar agar kelompok mereka dapat menjadi pemenang. Kelompok pabrik tembakau nampak melakukan lobi politik dengan petani tembakau dengan menanamkan dan melakukan pencucian “mindset” bahwa munculnya RPP tembakau adalah dapat
menghabisi mata pencaharian petani tembakau dan buruh pabrik rokok. Kelompok pabrik rokok nampaknya juga melakukan pendekatan politik kepada pemerintah, karena ketergantungan pemerintah terhadap pajak cukai tembakau sangat tinggi. Terlihat juga kelompok pabrik tembakau banyak melakukan lobi poiltik dengan pemerintah melalui pemberian dana untuk partai politik mereka. Tampak terlihat bahwa terhambatnya RPP tembakau disebabkan karena terjadi pertarungan dan adu kekuasaan dari elite politik. Lamanya proses pengendalian tembakau menjadi sebuah PP merupakan permainan politik, yang nampaknya
sengaja
diatur
agar
terjadi
kompromi
politik
sehingga
menguntungkan pihak yang memiliki power yang tinggi. Penulis melakukan pengkajian RPP pengendalian tembakau yang banyak menimbulkan konflik kepentingan, terlihat bahwa RPP tersebut tidak mempunyai maksud untuk mendiskreditkan sebuah perusahaan ataupun mematikan mata pencaharian kelompok petani tembakau atau buruh pabrik rokok. Peraturan tersebut sesungguhnya hanya merupakan implementasi dari rekomendasi yang dibuat oleh WHO yaitu penetapan harga rokok, penetapan tarif rokok, pembatasan iklan rokok. Larangan dan pembatasan promosi dan sponsorship oleh perusahaan rokok serta pembatasan kawasan tanpa rokok. Adanya pengendalian tembakau ini diharapkan harga rokok menjadi meningkat, tidak ada lagi iklan rokok yang berlebihan disepanjang jalan-jalan baik di ibu kota negara maupun provinsi dan kabupaten/kota serta seluruh daerah menindak lanjuti melaui peraturan daerah kawasan tanpa rokok.
Kesimpulan
Dengan demikan dapat dikatakan bahwa proses masuknya masalah rokok menjadi agenda kebijakan pemerintah merupakan suatu peristiwa yang “berdosis politik tinggi”. Untuk itu dibutuhkan policy enterpreneur yang terdiri dari para akdemisi, birokrat serta media agar dapat menyurakan hak rakyat untuk dapat hidup lebih sehat. Peran media sangat dibutuhkan, karena kelompok media dapat menjadi penekan pemerintah untuk segera memutuskan hal yang benar dan terbaik untuk rakyat Indonesia.
Daftar Pustaka 1. WHO. Report on the global tobacco epidemi. 2011. 2. Barber S, Adioetomo SM, Ahsan A, Setynoaluri D. Tobacco economics in Indonesia. Paris: International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. 2008. 3. WHO. Report on the global tobacco epidemi. The man power package. 2008. 4. Cavallo DA, Smith AE, Schepis TS , Desai R, Potenza MN, Sarin SK. Smoking expectancies, weight concerns, and dietary behaviors in adolescence. Pediatrics. 2010;126. 5. Departemen Keuangan. Nota keuangan dan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun 2009.2008. 6. Rakhmat M. Pengembangan ekonomi tembakau nasional: kebijakan negara maju dan pembelajaran bagi Indonesia. Jurnal analisis kebijakan pertanian. 2010;8(1):67-83. 7. Mc Daniel PA, Malone RE. Understanding Philip Morris’s pursuit of US government regulation of tobacco. Tob.control. 2005; 14: 193-200. 8. Buse K, Mays N, Walt G. Making health policy. London School of Hygiene and Tropical Medicine. 2005.