MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang
Mengingat
: a. bahwa dalam rangka pembinaan dan menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah pada daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara efektif, meningkatnya kualitas pelayanan publik, dan pemerataan pembangunan daerah serta percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat, perlu melakukan evaluasi daerah otonom hasil pemekaran; b. bahwa efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah pada daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tersebut, perlu untuk diukur dan dievaluasi secara transparan dan akuntabel untuk memperoleh peta kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah otonom hasil pemekaran dalam rangka percepatan pencapaian tujuan otonomi daerah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; : 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355; 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 200 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4920); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4594); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4693); 10.Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4791); 11.Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815); MEMUTUSKAN: Menetapkan :
PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG PEDOMAN EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.
Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Daerah Otonom Hasil Pemekaran yang selanjutnya disingkat DOHP adalah daerah otonom yang dibentuk setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. 3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau sebutan lainnya, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
5.
6.
7.
Evaluasi adalah proses yang sistematis untuk mengukur, memberi nilai secara obyektif dan valid, mengetahui dampak dari suatu kegiatan, dan untuk membantu dalam pengambilan keputusan, dengan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap keberhasilan yang diharapkan. Peta Kapasitas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil Pemekaran adalah pengelompokkan daerah otonom hasil pemekaran berdasarkan faktor peningkatan kesejahteraan masyarakat, tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), ketersediaan pelayanan publik, dan peningkatan daya saing daerah. Tim Evaluasi adalah Tim yang dibentuk Kementerian Dalam Negeri sesuai tugas dan fungsinya untuk melakukan persiapan, memfasilitasi, melaksanakan, dan menindaklanjuti hasil evaluasi daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 2 (1) Menteri melakukan evaluasi daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. (2) Menteri dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk Tim Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 3 (1) Tim Evaluasi Daerah Otonom Daerah Otonom Hasil Pemekaran Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terdiri atas: a. Tim Pengarah; b. Tim Pelaksana; c. Tim Penilai Teknis; dan d. Tim Kesekretariatan. (2) Tim Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 4 (1) Tim Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a terdiri atas unsur: a. Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri; b. Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; c. Direktorat Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah; d. Direktorat Jenderal Bina Administrasi Pembangunan Daerah; e. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; dan f. Deputi Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. (2) Unsur Tim Pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pasal 5 (1) Tim Pengarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mempunyai tugas: a. menyusun kebijakan, strategi, dan sasaran evaluasi DOHP setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan b. memberikan arahan umum dan teknis kepada Tim Pelaksana, Tim Penilai Teknis, dan Tim Kesekretariatan dalam melakukan evaluasi DOHP setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. (2) Tim Pengarah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Menteri.
Pasal 6 (1) Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b terdiri atas unsur: a. Direktorat Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; b. Sekretariat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; c. Direktorat Penataan Daerah dan Otonomi Khusus Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; d. Direktorat Urusan Pemerintahan Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; e. Direktorat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan Hubungan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; f. Direktorat Pejabat Negara Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; g. Biro Hukum Sekretariat Jenderal; h. Sekretariat Inspektorat Jenderal; dan i. Deputi Pengawasan Penyelenggaraan Keuangan Daerah Wilayah I Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. (2) Unsur Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pasal 7 (1) Tim Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 mempunyai tugas: a. merumuskan pelaksanaan evaluasi DOHP sejak proses persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta penanganan pasca evaluasi DOHP; dan b. melakukan kerjasama dengan pihak-pihak lain yang terkait demi kelancaran kegiatan evaluasi DOHP setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. (2) Tim Pelaksana dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Tim Pengarah. Pasal 8 (1) Tim Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c terdiri atas unsur: a. perguruan tinggi/akademisi; b. perwakilan dunia usaha/asosiasi profesi; c. organisasi kemasyarakatan/peneliti/pemerhati otonomi daerah; d. lembaga swadaya masyarakat/non government organization/ lembaga donor; dan e. perwakilan media massa (cetak dan/atau elektronik). (2) Unsur Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pasal 9 (1) Tim Pelaksana Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 mempunyai tugas: a. melakukan evaluasi DOHP setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; b. melakukan analisis kebijakan pemekaran daerah dalam kerangka penanganan pasca evaluasi DOHP; c. merumuskan peta kapasitas penyelenggaraan pemerintahan DOHP; dan d. merekomendasikan penanganan DOHP. (2) Tim Pelaksana Teknis dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Tim Pelaksana. Pasal 10 (1) Tim Kesekretariatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d terdiri atas unsur: a. Sub Direktorat pada Direktorat Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; b. Bagian Perencanaan Sekretariat Direktorat Jenderal Otonomi Daerah;
c. Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN); d. Seksi dan/atau Sub Bagian pada Direktorat Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Direktorat Jenderal Otonomi Daerah; dan e. Staf pada Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. (2) Unsur Tim Kesekretariatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Pasal 11 (1) Tim Kesekretariatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 mempunyai tugas: a. membantu Tim Pengarah, Tim Pelaksana, dan Tim Penilai Teknis dalam proses persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring-evaluasi, analisis kebijakan pemekaran daerah otonom, dan penanganan pasca evaluasi DOHP; dan b. memberikan dukungan administratif, mendokumentasikan, dan mempublikasikan kegiatan Tim Pengarah, Tim Pelaksana, dan Tim Penilai Teknis. (2) Tim Kesekretariatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada Tim Pelaksana. Pasal 12 Tim Pengarah, Tim Pelaksana, Tim Pelaksana Teknis, dan Tim Kesekretariatan dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 11 berdasarkan pedoman evaluasi daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 13 Pedoman evaluasi daerah otonom hasil pemekaran setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Pasal 14 Peta Kapasitas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom Hasil Pemekaran dikategorikan menjadi 5 (lima) sebagai berikut: a. sangat mampu; b. Mampu; c. Kurang Mampu; d. Tidak Mampu; dan e. Sangat Tidak Mampu. Pasal 15 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Februari 2010 MENTERI DALAM NEGERI, ttd GAMAWAN FAUZI
LAMPIRAN
: PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR : 21 Tahun 2010 TANGGAL : 23 Februari 2010
PEDOMAN EVALUASI DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sepuluh tahun penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, telah membentuk 205 DOHP, yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Mencermati laju pertumbuhan DOHP yang relatif tinggi, pemerintah melakukan beberapa upaya pengendalian, diantaranya melalui moratorium/penghentian sementara proses pembentukan daerah otonom, serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang persyaratan dan tata cara pembentukan daerah otonom. Idealnya upaya pengendalian ini disinergikan dengan evaluasi terhadap efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Evaluasi ini bersifat umum yang difokuskan terhadap kinerja 205 DOHP. Kegiatan ini dimaksudkan Kegiatan evaluasi DOHP ini dimaksudkan untuk memetakan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, mengukur kinerja DOHP, merekomendasikan kebijakan tentang pengaturan pembentukan DOHP agar pembentukan daerah dimasa mendatang benar-benar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu, evaluasi DOHP juga dilakukan untuk mengidentifikasi isu-isu strategis dalam perumusan kebijakan untuk peningkatan kinerja DOHP. Tujuan kegiatan evaluasi ini adalah: (a) memahami, menganalisis, dan memberikan penilaian terhadap perkembangan kinerja DOHP dan daerah induk, utamanya dalam: peningkatan kemakmuran, kualitas tata pemerintahan, pelayanan publik, dan daya saing daerah; (b) memetakan kinerja pemerintahan daerah pada 205 DOHP dan daerah induknya, serta mengelompokannya ke dalam berbagai kategori sesuai dengan ukuran kinerjanya; (c) mengembangkan program dan strategi yang tepat untuk perbaikan kinerja DOHP dan daerah induk; dan (d) merumuskan kebijakan yang terkait dengan pembentukan, penghapusan, dan penggabungan suatu daerah otonom di Indonesia. Semboyan (tagline) yang digunakan dalam evaluasi DOHP ini adalah: “Menuju Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Lebih Baik (Towards Better Local Governance)”. Akselerator kegiatan evaluasi DOHP terdiri atas 4 (empat) elemen, yaitu: 1) Tim Pengarah; 2) Tim Pelaksana; 3) Tim Penilai Teknis; dan 4) Tim Kesekretariatan. Memasuki 10 (sepuluh) tahun era otonomi daerah, pemerintahan daerah dituntut dapat mewujudkan tujuan otonomi daerah (TOD) sesuai amanah Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam konteks ini, sampai saat ini telah terjadi pemekaran terhadap beberapa provinsi, kabupaten, dan kota. Landasan kebijakan yang memberi peluang bagi pembentukan daerah otonom hasil pemekaran (DOHP), atau yang lazim disebut sebagai pemekaran daerah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 129 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang kemudian direvisi menjadi PP Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, pembentukan daerah pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memeratakan pembangunan guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Proses pembentukan daerah
-2-
didasari pada 3 (tiga) persyaratan, yakni administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Dengan persyaratan dimaksud diharapkan agar daerah yang baru dibentuk dapat tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan dalam rangka memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejak 1999 hingga Februari 2009 telah dibentuk 205 daerah otonom hasil Pemekaran (DOHP), yang terdiri dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Mencermati laju pertumbuhan DOHP yang relatif tinggi ini, pemerintah telah melakukan beberapa upaya pengendalian, diantaranya melalui moratorium atau penghentian sementara proses pembentukan daerah otonom hasil pemekaran (DOHP), serta penyempurnaan peraturan perundang-undangan tentang persyaratan dan tatacara pembentukan daerah otonom. Upaya pengendalian tersebut perlu disinergikan dengan upaya untuk mencari berbagai terobosan dan inovasi dalam peningkatan kualitas pelayanan publik dan pemerataan pembangunan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan pemekaran daerah itu sendiri. Hal mendasar yang perlu segera diwujudkan adalah melakukan evaluasi daerah otonom hasil pemekaran daerah di 205 DOHP serta mencermati kembali keberadaan dan kinerja pemerintah daerah induknya. 1.2. Maksud, Tujuan, dan Sasaran Kegiatan evaluasi DOHP ini dimaksudkan untuk memetakan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, mengukur kinerja DOHP, merekomendasikan kebijakan tentang pengaturan pembentukan DOHP agar pembentukan daerah dimasa mendatang benarbenar mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu, evaluasi DOHP juga dilakukan untuk mengidentifikasi isu-isu strategis dalam perumusan kebijakan untuk peningkatan kinerja DOHP. Cakupan lokasi kegiatan evaluasi meliputi 205 (dua ratus lima) DOHP yang terdiri atas 7 (tujuh) provinsi, 164 (seratus enam puluh empat) kabupaten, dan 34 (tiga puluh empat) kota (Daftar DOHP Terlampir). Selain itu, evaluasi juga dilakukan terhadap sekitar 127 (seratus dua puluh tujuh) pemerintah daerah induk (DI) sebelum dilakukan pemekaran daerah. Dengan mengevaluasi kinerja daerah induk, pasca pemekaran daerah, kajian ini diharapkan juga dapat memberi informasi tentang efek pemekaran terhadap kinerja daerah induk. Memperhatikan hal-hal tersebut, terdapat 4 (empat) tujuan evaluasi DOHP, yaitu: a. Memahami, menganalisis, dan memberikan penilaian terhadap perkembangan kinerja DOHP dan daerah induk, utamanya dalam: peningkatan kemakmuran, kualitas tata pemerintahan, pelayanan publik, dan daya saing daerah. b. Memetakan kinerja pemerintahan daerah pada 205 DOHP dan daerah induknya, serta mengelompokannya ke dalam berbagai kategori sesuai dengan ukuran kinerjanya. c. Mengembangkan program dan strategi yang tepat untuk perbaikan kinerja DOHP dan daerah induk. d. Merumuskan kebijakan yang terkait dengan pembentukan, penghapusan, dan penggabungan suatu daerah otonom di Indonesia. Berdasarkan maksud dan tujuan tersebut, maka sasaran yang ingin dicapai dari evaluasi DOHP, yaitu: a. Tersedianya informasi tentang kinerja penyelenggaraan pemerintahan pada DOHP; b. Teridentifikasikannya faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah pada DOHP; c. Terpetakannya kebutuhan pengembangan kapasitas pada DOHP; d. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan pada DOHP.
-3-
1.3. Periodisasi Daerah Pemekaran Dalam 10 tahun pertama sejak kemerdekaan, jumlah kabupaten/kota di Indonesia terhitung baru sekitar 101 yurisdiksi. Antara tahun 1956-1959, jumlah ini cepat membesar dari 149 (1956), menjadi 177 (1958), dan berubah menjadi 254 kabupaten/kota (1959). Namun, sejak tahun 1960 hingga 33 tahun kemudian, kecepatan pertambahan jumlah kabupaten/kota praktis rendah. Tahun 1966, hanya dibentuk 6 kabupaten/kota baru, sehingga secara keseluruhan ada 260 kabupaten/kota yang mewarnai landscape administrasi Indonesia. Jumlah ini bertambah 9 daerah saja untuk menjadi 269 kabupaten/ kota di tahun 1970, lalu meningkat 6 daerah, sehingga menjadi 275 kabupaten/kota di tahun 1980-an. Diparuh akhir 1980-an terbentuk tak lebih dari 2 daerah kabupaten/kota baru untuk menjadi 277, sebelum jumlah daerah tersebut naik menjadi 280 yurisdiksi memasuki tahun 1990-an. Secara total 340 kabupaten/kota mewarnai awal reformasi pemerintahan daerah di Indonesia. Dimasa reformasi pemerintahan dan kebijakan pengguliran desentralisasi, jumlah kabupaten/kota menjadi lebih besar lagi. Tahun 2001 tak kurang dari 353 kabupaten/kota. Tahun 2002 menjadi 390, sebelum melonjak ke 440 (2003). Tahun 2007 tercatat 465 kabupaten/kota dan di tahun 2008 mencapai 498 kabupaten/kota. Pada tahun 1999, Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia dan berada di bawah PBB hingga merdeka penuh pada tahun 2002. Indonesia kembali memiliki 26 Provinsi. Sementara itu, pada era reformasi, terdapat pemekaran disejumlah Provinsi di Indonesia. Ketujuh provinsi pemekaran di Indonesia sejak tahun 1999 adalah: a. Maluku Utara dengan Ibukota Sofifi-Ternate, dimekarkan dari Provinsi Maluku, menjadi Provinsi Indonesia ke-27 pada tanggal 4 Oktober 1999; b. Banten dengan Ibukota Serang dimekarkan dari Provinsi Jawa Barat, menjadi Provinsi Indonesia ke-28 pada tanggal 17 Oktober 2000; c. Kepulauan Bangka Belitung dengan Ibukota Pangkal Pinang, menjadi Provinsi Indonesia ke-29 pada tanggal 4 Desember 2000; d. Gorontalo dengan Ibukota Gorontalo, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara, menjadi Provinsi ke-30 pada tanggal 22 Desember 2000; e. Irian Jaya Barat dengan Ibukota Manokwari, dimekarkan dari Provinsi Papua menjadi Provinsi Indonesia ke-31 pada tanggal 21 November 2001. Pada tanggal 11 November 2001, Provinsi Papua dimekarkan pula Provinsi baru Irian Jaya Tengah. Namun pemekaran ini akhirnya dibatalkan karena mendapat banyak tentangan; f. Kepulauan Riau dengan Ibukota Tanjung Pinang, dimekarkan dari Provinsi Riau, menjadi Provinsi Indonesia ke-32 pada tanggal 25 Oktober 2002; g. Sulawesi Barat dengan Ibukota Mamuju, dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Selatan, menjadi Provinsi Indonesia ke-33 pada tanggal 5 Oktober 2004. Kelahiran ratusan DOHP tersebut menambah daftar daerah sebelumnya, sehingga pada awal tahun 2009 terdapat 524 daerah otonom yang meliputi 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota. Laju perkembangan setiap tahun menunjukan kecenderungan yang fluktuatif, dengan beberapa tahun diantaranya pernah mencapai nol (zero) pemekaran sebagaimana disajikan pada tabel berikut.
-4-
Tabel 1.1. Perkembangan Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) Setelah Berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Tahun
Provinsi
Kabupaten
Kota
Sebelum 1999 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 DOHP Pasca UU No. 22/1999 Total Pemda (2009)
26 2 3 1 0 1 7
234 34 33 47 21 27 2 164
59 9 12 4 2 4 3 34
∑ Prov/Kab/Kota DOHP 319 45 3 12 38 49 1 0 0 25 30 2 205
33
398
93
524
Sumber: Data Diolah dari berbagai sumber. Data pemekaran provinsi/kabupaten/kota di Indonesia yang sudah berlangsung pasca ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah beserta daerah induknya disajikan dalam lampiran tersendiri. 1.4. Semboyan (Tagline) Menuju Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Lebih Baik (Towards Governance).
Better Local
1.5. Organisasi Evaluator Akselerator kegiatan evaluasi DOHP terdiri atas 4 (empat) elemen, yaitu: 1) Tim Pengarah, diketuai oleh Direktur Jenderal Otonomi Daerah dan beranggotakan beberapa pejabat Eselon I dan Eselon II dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Lingkup tugas Tim Pengarah adalah memberi arahan dalam proses penyusunan rencana, pelaksanaan evaluasi sampai dengan penetapan, pemetaan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan DOHP, dan penyampaian apresiasi/penghargaan serta upaya penanganan pasca evaluasi. 2)
Tim Pelaksana, diketuai oleh Direktur Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah (PK-EKD) Direktorat Jenderal Otonomi Daerah dan beranggotakan beberapa pejabat Eselon II dan Eselon III dari lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Lingkup tugas Tim Pelaksana adalah melaksanakan program evaluasi DOHP yang diawali dari proses persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pendampingan, peninjauan lapangan, serta penanganan pasca evaluasi;
3)
Tim Penilai Teknis (Pakar Independen), adalah Tim yang dibentuk dan ditetapkan dengan keputusan pejabat Eselon I. Berkedudukan di bawah koordinasi Direktur Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah (PK-EKD) Direktorat Jenderal Otonomi Daerah. Keanggotaan Tim Penilai teknis terdiri dari 9 (sembilan) orang anggota yang bersifat profesional dan mandiri meliputi unsur: a) Perguruan Tinggi/Akademisi; b) Perwakilan Dunia Usaha/Asosiasi Profesi; c) Organisasi
-5-
Kemasyarakatan/Peneliti/ Pemerhati Otonomi Daerah; d) LSM/NGO/Lembaga Donor; dan e) Perwakilan Media Massa (cetak dan/atau elektronik). Tim Penilai Teknis bertugas melakukan evaluasi, penilaian, peninjauan lapangan (fact finding mission), melakukan analisis kebijakan pemekaran, dan pemetaan kapasitas penyelenggaraan pemerintahan daerah (DOHP). 4)
Tim Kesekretariatan, diketuai oleh pejabat Eselon III dan beranggotakan beberapa pejabat Eselon IV dan Staf di lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Lingkup tugas Tim Kesekretariatan adalah membantu Tim Pengarah, Tim Pelaksana, dan Tim Penilai Teknis (Pakar Independen) dalam proses persiapan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, pendampingan/peninjauan lapangan (fact finding mission) serta membantu penanganan pasca evaluasi DOHP.
1.6. Landasan Hukum 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400); 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4614); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4663);
-6-
13. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4693); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4791); 16. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815); 17. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817); 18. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Dalam Negeri Sebagaimana Telah Diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2008. II.
KONSEP DAN METODA EVALUASI
2.1. Kerangka Konseptual Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran Aktivitas evaluasi terhadap 205 daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) ini dilandasi semangat untuk mengetahui sejauhmana keberhasilan pencapaian tujuan otonomi daerah setelah suatu daerah mengalami pemekaran. Beberapa peraturan yang mendasari pelaksanaan evaluasi tematik ini diantaranya adalah amanat PP Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 39 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan dengan tetap memperhatikan PP Nomor 78 Tahun 2007 yang secara spesifik mengatur tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 PP Nomor 39 Tahun 2006 yang dimaksud dengan “Evaluasi” adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar. Sementara itu, menurut Pasal 1 Angka 13 PP Nomor 6 Tahun 2008, yang dimaksud dengan “Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (EPPD) adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah, kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah, dan kelengkapan aspek-aspek penyelenggaraan pemerintahan pada daerah yang baru dibentuk (DOHP). Evaluasi yang akan dilakukan ini adalah evaluasi yang bersifat khusus untuk menilai kinerja DOHP dan daerah induk dalam rangka merumuskan kebijakan untuk penataan daerah, terutama dalam pengendalian pembentukan daerah otonom baru. Evaluasi dilakukan untuk menilai apakah pembentukan DOHP mampu mewujudkan tujuan dari pembentukan daerah otonom, yaitu: peningkatan kesejahteraan rakyat, terwujudnya good governance, penyelenggaraan pelayanan publik, dan daya saing daerah. Melalui evaluasi ini maka diharapkan pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya memiliki informasi
-7-
yang memadai tentang kinerja DOHP, unsur-unsur yang membentuk kinerja DOHP, dan klasifikasi daerah menurut ukuran kinerjanya. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk merumuskan kebijakan dalam rangka pengaturan kembali persyaratan dan mekanisme pembentukan daerah, peningkatan kinerja daerah, dan penataan kembali daerah otonom. Secara visual faktor, variabel, dan indikator yang digunakan untuk melakukan evaluasi kinerja DOHP dapat dilihat dalam grafik berikut. 205 DOHP
Faktor-faktor Evaluasi Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Good Governance
Pola Analisis
Variabel & Indikator
Variabel/Indikator
Variabel/Indikator
1. Peningkatan Kemakmuran Masyarakat a. Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita b. Pengurangan Angka Kemiskinan c. Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk miskin 2. Berkurangnya Ketimpangan Gender a. Produk Hukum (Perda, Peraturan/Keputus an Kepala Daerah) Tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan b. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan (Badan/Dinas/ Kantor)
1. Efektivitas a. Ketepatan Waktu Daerah Menetapkan APBD b. Daya Serap Anggaran (APBD) Per Tahun 2. Tranparansi a. Produk Hukum Daerah Untuk Transparansi b. Publikasi APBD dan Pengadaan Barang/Jasa (Procurement) 3. Akuntabilitas a. Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat b. Pakta Integritas/Kontrak Kinerja c. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD d. Persentase Belanja DPRD dan Persentase Belanja Kepala Daerah Terhadap APBD 4. Partisipasi a. Konsultasi Publik Dalam Setiap Proses Penyusunan Perda, APBD, dll. b. Jumlah Perda Inisiatif DPRD
Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP)
Ketersediaan Pelayanan Publik
Variabel/Indikator 1. Pendidikan a. Persentase Anggaran Pendidikan Terhadap APBD b. Angka Partisipasi Kasar Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat, SMP/ Sederajat, dan SMA/ Sederajat 2. Kesehatan a. Persentase Anggaran Kesehatan Terhadap APBD b. Persentase Balita Gizi Buruk (BGB) 3. Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum a. Akses Terhadap Air Bersih dan Sanitasi b. Panjang Jalan Per Luas Wilayah (Prov/Kab/Kota) c. Inisiatif Pemda untuk Menangani Krisis Listrik 4. Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependududukan a. Persentase Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) b. Persentase Kepemilikan Akta Kelahiran
Peningkatan Daya Saing Daerah
Variabel/Indikator 1. Kebijakan Daerah a. Perda “Tata Ruang” b. Produk Hukum Daerah (Perda, Per./Kep. KDH) yang Memberikan Perlindungan Lingkungan Hidup c. Produk Hukum Daerah yang Memberikan Insentif dan/atau Kemudahan Kepada Investor untuk Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah (yang Tertera dalam Perda, Per./Kep. KDH) 2. Kelembagaan Daerah a. Tipologi Institusi Pelayanan Terpadu b. Ketersediaan Informasi Potensi Ekonomi Daerah yang Ditampilkan Dalam Situs Web Pemda 3. Fasilitasi Investasi a. Anggaran Program Pengembangan Usaha untuk UMKM b. Forum Komunikasi Reguler KDH (dan Jajaran SKPD Terkait) dengan Pelaku Usaha yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-investasi secara Konsisten 4. Realisasi Investasi a. Jumlah Realisasi Investasi b. Nilai Realisasi Investasi
Daerah Induk (DI)
Analisis Kuantitatif
Analisis Kualitatif
Metode Analisis
Kualifikasi Kinerja DOHP
Rekomendasi Kebijakan/Regulasi Pemekaran Daerah
Langkah-langkah Kualifikasi Kinerja DOHP: a. Pengumpulan Data dengan Instrumen yang sama untuk DOHP dan DI; b. Melakukan Pembobotan untuk data yang terkumpul sebagai dasar penentuan “Angka Capaian” kinerja DOHP setiap tahunnya, baik untuk DOHP maupun DI. “Angka Capaian” kinerja DOHP ini menjadi dasar penentuan kualifikasi sebagai “Daerah Mampu” atau “Daerah Belum Mampu”. Patokan angka batas kemampuan ditetapkan dari rata-rata “Angka Capaian” kinerja DI secara regional (rata-rata DI di suatu provinsi untuk kabupaten/kota, atau rata-rata DI secara nasional untuk provinsi). c. Dihitung angka perkembangan (trend) untuk DOHP dan DI. Angka tersebut kemudian diperbandingkan, dengan tujuan untuk mengidentifikasi kemajuan yang telah dicapai DOHP dibandingkan dengan DI-nya.
Pasca Evaluasi DOHP: Penyusunan Konsep Pengembangan Kapasitas Aparatur Pemda (Capacity Building Action Plans)
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP)
TOD
-8-
Evaluasi terhadap daerah induk dilakukan untuk melihat efek dari pemekaran terhadap daerah induk. Observasi terhadap beberapa daerah induk menunjukan adanya pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda antardaerah. Untuk melihat secara umum efek dari pemekaran terhadap daerah induk, maka dalam kajian ini evaluasi yang sama dilakukan pada daerah yang mengalami pemekaran. Hasil kajian ini diharapkan dapat menghasilkan informasi tentang dinamika yang terjadi di daerah sebagai akibat dari terpecahnya daerah tersebut kedalam dua atau lebih daerah otonom. 2.2. Faktor, Variabel, dan Indikator Evaluasi Kinerja DOHP dalam evaluasi ini dilihat dari 4 (empat) aspek atau faktor, yaitu: kesejahteraan masyarakat, tata pemerintahan yang baik (good governance), pelayanan publik, dan daya saing daerah. DOHP dinilai memiliki kinerja yang baik apabila daerah tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya di daerah, mewujudkan tata pemerintahan yang baik, menyelenggarakan pelayanan publik, dan meningkatkan daya saing daerah. Keempat faktor ini nantinya membentuk kinerja DOHP. Untuk menilai peningkatan kesejahteraan masyarakat, evaluasi ini akan mengukur peningkatan kemakmuran masyarakat dan berkurangnya ketimpangan gender. Dua variabel ini diharapkan dapat menggambarkan bukan hanya peningkatan kemakmuran tetapi juga bagaimana peningkatan kemakmuran itu terdistribusi secara adil, setidaktidaknya dilihat dari perspektif gender. Peningkatan tata pemerintahan yang baik (good governance) yang terjadi di DOHP akan dilihat dari perubahan pada 4 (empat) variabel, yaitu: efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. DOHP dinilai memiliki kualitas tata pemerintahan yang baik, jika daerah tersebut memiliki nilai yang tinggi pada keempat variabel tersebut. Faktor ketiga yang digunakan untuk menilai kinerja DOHP adalah ketersediaan pelayanan publik. Ketersediaan pelayanan publik akan dinilai dari 4 (empat) variable, yaitu: pelayanan pendidikan, kesehatan, penyediaan sarana dan prasarana umum, dan pelayanan administrasi kependudukan. Keempat jenis pelayanan publik ini dinilai mampu menggambarkan kebutuhan dasar masyarakat untuk dapat mewujudkan kesejahteraan sosial dan ekonominya. Pendidikan, kesehatan, prasarana umum, dan identitas kewargaaan adalah bagian dari kebutuhan dasar yang penting dari kehidupan masyarakat. Faktor yang terakhir adalah peningkatan daya saing daerah. Faktor ini akan dinilai dari berbagai variabel sebagai berikut: kebijakan daerah yang pro-investasi, kelembagaan daerah, fasilitasi investasi, dan kinerja investasi. Keempat variabel ini diharapkan mampu menggambarkan secara lengkap perbaikan daya saing daerah sebagai akibat dari terbentuknya daerah otonom baru. Perbaikan daya saing dalam evaluasi ini dilihat secara menyeluruh mencakup perubahan kebijakan, penguatan kelembagaan, implementasi, dan hasil dari perbaikan daya saing daerah yang diukur dari jumlah dan nilai realisasi investasi. Secara lengkap faktor, variabel, dan indicator dari kinerja DOHP dapat dilihat pada tabel berikut ini.
-9-
Tabel 2.1. Faktor, Variabel, dan Indikator Evaluasi DOHP FAKTOR 1.
PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Variabel 1
Peningkatan Kemakmuran Masyarakat Indikator: 1.1.1. Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita 1.1.2. Pengurangan Angka Kemiskinan 1.1.3. Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk Miskin
Variabel 2
Berkurangnya Ketimpangan Gender Indikator: 1.2.1. Produk Hukum (Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) Tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan 1.2.2. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan (Badan/Dinas/Kantor)
FAKTOR 2.
GOOD GOVERNANCE
Variabel 1
Efektivitas Indikator: 2.1.1. Ketepatan Waktu Daerah Menetapkan APBD 2.1.2. Daya Serap Anggaran (APBD) Per Tahun
Variabel 2
Transparansi Indikator: 2.2.1. Produk Hukum Daerah Untuk Transparansi 2.2.2. Publikasi APBD dan Pengadaan Barang/Jasa (Procurement)
Variabel 3
Akuntabilitas Indikator: 2.3.1. Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat 2.3.2. Pakta Integritas/Kontrak Kinerja 2.3.3. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2.3.4. Persentase Belanja DPRD dan Persentase Belanja Kepala Daerah Terhadap APBD Partisipasi Indikator: 2.4.1. Konsultasi Publik Dalam Setiap Proses Penyusunan Perda, APBD, dll. 2.4.2. Jumlah Perda Inisiatif DPRD
Variabel 4
FAKTOR 3.
KETERSEDIAAN PELAYANAN PUBLIK
Variabel 1
Pendidikan Indikator: 3.1.1. Persentase Anggaran Pendidikan Terhadap APBD 3.1.2. Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat, SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat
- 10 -
Variabel 2
Variabel 3
Variabel 4
Kesehatan Indikator: 3.2.1. Persentase Anggaran Kesehatan Terhadap APBD 3.2.2. Persentase Balita Gizi Buruk Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum Indikator: 3.3.1. Akses Terhadap Air Bersih dan Sanitasi 3.3.2. Panjang Jalan Per Luas Wilayah (Provinsi/Kabupaten/Kota) 3.3.3. Inisiatif Pemda untuk Menangani Krisis Listrik Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependudukan Indikator: 3.4.1. Persentase Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) 3.4.2. Persentase Kepemilikan Akte Kelahiran
FAKTOR 4.
PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH
Variabel 1
Kebijakan Daerah Indikator: 4.1.1. Perda Tata Ruang 4.1.2. Produk Hukum Daerah (Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) yang Memberikan Perlindungan Lingkungan Hidup 4.1.3. Produk Hukum Daerah yang Memberikan Insentif dan/atau Kemudahan Kepada Investor untuk Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah (yang Tertera dalam Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) Kelembagaan Daerah Indikator: 4.2.1. Tipologi Institusi Pelayanan Terpadu 4.2.2. Ketersediaan informasi Potensi Ekonomi Daerah yang Ditampilkan Dalam Situs Web Pemda Fasilitasi Investasi Indikator: 4.3.1. Anggaran Program Pengembangan Usaha untuk UMKM (Anggaran APBD untuk Kegiatan-kegiatan yang Terkait dengan Pengembangan Kapasitas UMKM) dalam hal: a. Produksi; b. Pemasaran; c. Akses Finansial; dan d. Administrasi Keuangan Daerah. 4.3.2. Forum Komunikasi Reguler Kepala Daerah (dan Jajaran SKPD Terkait) dengan Pelaku Usaha yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-investasi secara Konsisten Realisasi Investasi Indikator: 4.4.1. Jumlah Realisasi Investasi 4.4.2. Nilai Realisasi Investasi
Variabel 2
Variabel 3
Variabel 4
Evaluasi kinerja DOHP ini akan menggunakan data sekunder yang bersifat obyektif dari berbagai sumber, antara lain dari Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan Nasional, Kementerian Pekerjaan Umum, Bappenas, dan Pemerintah Daerah serta institusi lainnya. Penggunaan data obyektif diharapkan akan membuat evaluasi ini dapat menghasilkan informasi tentang kinerja DOHP yang reliabel. Evaluasi ini akan menggunakan data antar-
- 11 -
waktu per tahun, yang dikumpulkan sejak DOHP tersebut secara resmi dibentuk. Dengan menggunakan data antar-waktu, maka kecenderungan (trend) perubahan kinerja DOHP dapat diamati. 2.3. Definisi Operasional 2.3.1. Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Dalam Faktor TOD - 1, terdapat 2 (dua) variabel yang akan diukur, yaitu: 1) Peningkatan Kemakmuran Masyarakat; dan 2) Berkurangnya Ketimpangan Gender. Pada kedua variabel tersebut terdapat 5 (lima) indikator. Berikut ini penjelasan masing-masing variabel dan indikator tersebut. 2.3.1.1. Variabel 1 : Peningkatan Kemakmuran Masyarakat Pada Variabel 1 – Peningkatan Kemakmuran Masyarakat – terdapat 3 (tiga) indikator, yaitu: 1) Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita; 2) Pengurangan Angka Kemiskinan; dan 3) Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk Miskin. Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.1.1.1. Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita Definisi PDRB merupakan singkatan dari Produk Domestik Regional Bruto, yaitu penjumlahan nilai output bersih perekonomian yang dihasilkan dari seluruh kegiatan ekonomi (mulai kegiatan pertanian, pertambangan, industri pengolahan, sampai jasa) di suatu wilayah tertentu (provinsi, kabupaten/kota) dalam kurun waktu tertentu (biasanya dihitung dalam satu tahun kalender). PDRB per Kapita adalah angka perbandingan antara PDRB suatu daerah dengan jumlah penduduk di daerah tersebut. Kegunaan PDRB, seperti telah dijelaskan sebelumnya, digunakan sebagai salah satu ukuran untuk menjelaskan kinerja ekonomi suatu daerah selama suatu periode waktu tertentu. PDRB per kapita berguna untuk memperkirakan tingkat kinerja ekonomi rata-rata penduduk di suatu daerah. Semakin tinggi PDRB suatu daerah, semakin tinggi kemampuan rata-rata kinerja penduduk di daerah tersebut, dan semakin tinggi kemampuan kinerja ekonomi daerah tersebut. Cara Menghitung PDRB dapat dihitung dengan 2 (dua) cara, yaitu: 1) Nilai tambah barang dan jasa atas dasar harga yang berlaku setiap tahun. Angka ini berguna untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi; 2) Nilai tambah barang dan jasa atas dasar harga konstan, yaitu nilai tambah barang dan jasa tersebut dihitung dengan menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu. Angka ini berguna untuk memonitor pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Dalam kasus-kasus data dalam harga berlaku tidak tersedia, dimungkinkan untuk melakukan estimasi dengan melihat perkembangan PDRB atas dasar harga konstan. Terdapat 3 (tiga) metode yang dapat digunakan, yaitu: 1) Revaluasi, yaitu perkalian kuantum produksi tahun berjalan dengan harga tahun dasar (tahun 2000), menghasilkan langsung PDRB atas dasar harga konstan; 2) Ekstrapolasi, yaitu dengan cara mengalikan nilai tahun dasar dengan suatu indeks kuantum dibagi 100; 3) Deflasi, yaitu dengan membagi nilai pada tahun berjalan dengan suatu indeks harga di bagi 100.
- 12 -
Penghitungan PDRB per Kapita dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Penduduk Pertengahan Tahun
Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari BPS dan BAPPEDA. 2.3.1.1.2. Pengurangan Angka Kemiskinan Definisi Persentase penduduk di atas garis kemiskinan adalah proporsi penduduk yang berada di atas garis kemiskinan. Angka Kemiskinan adalah prosentase penduduk yang masuk kategori miskin terhadap jumlah penduduk. Definisi kemiskinan yang digunakan dalam konteks ini mengacu pada definisi kemiskinan BPS. Pada tahun 1994, BPS merumuskan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari. Kegunaan Indikator ini mencerminkan kemampuan suatu daerah dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi penduduk daerah tersebut. Keberadaan kebijakan pemberdayaan penduduk miskin terkait dengan sasaran penanggulangan kemiskinan, yakni menurunnya jumlah penduduk miskin laki-laki dan perempuan dan terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat miskin secara bertahap. Semakin tinggi nilai indikator ini, semakin mampu suatu daerah meningkatkan kesejahteraan penduduk daerah tersebut. Artinya, semakin tinggi kemampuan daerah tersebut dalam menyelenggarakan otonomi. Cara Menghitung Angka Kemiskinan dihitung dengan cara membandingkan persentase penduduk yang masuk kategori miskin terhadap jumlah seluruh penduduk. Nilai indikator ini diperoleh dengan menggunakan formula sebagai berikut: Jumlah Penduduk Miskin x 100 Jumlah Penduduk
Di mana: Penduduk miskin dihitung berdasarkan garis kemiskinan. Persentase penduduk di atas garis kemiskinan adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita perbulan di atas garis kemiskinan. Garis Kemiskinan itu sendiri adalah nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan–kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh individu untuk hidup layak. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari BPS yang secara periodik melakukan pengukuran kemiskinan dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).
- 13 -
2.3.1.1.3. Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk Miskin Definisi Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk Miskin adalah keberadaan Peraturan Daerah dan/atau Peraturan/Keputusan Kepala Daerah dalam upaya pemberdayaan penduduk miskin. Kebijakan pemberdayaan penduduk miskin dapat berupa perda, program, renstra, dan/atau kegiatan untuk percepatan penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan di daerah. Kebijakan ini terutama dimaksudkan untuk pencapaian kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut untuk mengatasi masalah kemiskinan. Kegunaan Kebijakan pemberdayaan penduduk miskin bermanfaat untuk penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, mengembangkan kelembagaan kerja sama antardesa serta menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat. Melalui kebijakan pemberdayaan penduduk miskin diharapkan masyarakat miskin, terutama kelompok perempuan dapat meningkatkan partisipasinya melalui pelembagaan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan menggunakan sumber daya lokal. Semakin tinggi nilai indikator ini, semakin mampu suatu daerah meningkatkan kemakmuran penduduknya. Cara Menghitung Sebutkan Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah, Renstra, Program, dan/atau Kegiatan yang mendukung upaya pemda dalam rangka memberdayakan penduduk miskin. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, pemberdayaan masyarakat, dan BAPPEDA. 2.3.1.2. Variabel 2 : Berkurangnya Ketimpangan Gender Pada Variabel 2 – Berkurangnya Ketimpangan Gender – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Produk Hukum (Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan; dan 2) Bentuk Kelembagaan yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan (Badan/Dinas/Kantor). Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.1.2.1. Produk Hukum (Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) Tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan Definisi Produk Hukum tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan adalah keberadaan peraturan daerah, peraturan/keputusan kepala daerah dan/atau kebijakan berupa renstra, program, kegiatan, dsb. yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan partisipasi perempuan dalam pembangunan, sebagai akibat dari adanya praktek diskriminasi terhadap perempuan. Keberadaan produk hukum terkait kesetaraan gender merupakan wujud perhatian pemerintahan daerah untuk membuka akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang tinggi, ketenagakerjaan, dan keterlibatan
- 14 -
perempuan dalam bidang politik serta kegiatan publik lainnya sekaligus untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development Index, GDI). Kegunaan Indikator ini mengukur keberadaan produk hukum di daerah terkait dengan keterlibatan kaum perempuan dalam ketenagakerjaan sebagai cerminan dari tingkat ketimpangan gender, baik yang disebabkan oleh adanya kebijakan diskriminatif, maupun yang dihasilkan dari budaya masyarakat. Semakin tinggi nilai indikator ini di suatu daerah, semakin kecil tingkat diskriminasi gender di daerah tersebut, dan semakin tinggi tingkat kemampuan daerah tersebut dalam mengurangi diskriminasi dan ketimpangan gender. Oleh karenanya semakin tinggi kemampuan daerah tersebut untuk menyelenggarakan otonomi. Cara Menghitung Sebutkan Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah, Renstra, Program, dan/atau Kegiatan yang mendukung kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan serta BAPPEDA. 2.3.1.2.2. Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/ atau Pemberdayaan Perempuan (Badan/Dinas/Kantor) Definisi Bentuk Kelembagaan yang Menangani Kesetaraan Gender adalah bentuk/jenis perangkat daerah yang membantu kepala daerah, khususnya sebagai pengelola kegiatan kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan. Dalam konteks ini, dibedakan menjadi perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang terdiri dari unsur staf yang membantu penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi dalam dinas daerah. Kegunaan Bentuk kelembagaan yang menangani kesetaraan gender di suatu daerah merupakan indikasi keseriusan suatu daerah untuk membuka akses perempuan terhadap pendidikan dan kesehatan, keterlibatan perempuan di bidang politik, partisipasi perempuan dalam pembangunan, dan proses pengambilan keputusan dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu, daerah yang memiliki kelembagaan yang secara spesifik menangani kesetaraan gender, dapat diidentifikasi sebagai daerah yang memiliki kemampuan untuk mengelola kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan di daerah sebagai unsur penunjang dalam pencapaian tujuan otonomi daerah. Cara Menghitung Sebutkan “Bentuk” dan “Dasar Hukum” pembentukan kelembagaan yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan.
- 15 -
Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, organisasi perangkat daerah, dan/atau mengelola kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan. 2.3.2. Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Dalam Faktor TOD - 2, terdapat 4 (empat) variabel yang akan diukur, yaitu: 1) Efektivitas; 2) Transparansi; 3) Akuntabilitas; dan 4) Partisipasi. Pada keempat variabel tersebut terdapat 10 (sepuluh) indikator. Berikut ini penjelasan masing-masing variabel dan indikator tersebut. 2.3.2.1. Variabel 1 : Efektivitas Pada Variabel 1 – Efektivitas – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Ketepatan Waktu Daerah Menetapkan APBD; dan 2) Daya Serap Anggaran (APBD) Per Tahun. Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.2.1.1. Ketepatan Waktu Daerah Menetapkan APBD Definisi Ketepatan waktu daerah menetapkan APBD merupakan amanah dari Pasal 53 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Pasal 53 menyatakan: Ayat (1) Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Ayat (2) Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya. Ayat (3) Kepala daerah menyampaikan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan gubernur bagi kabupaten/kota selambar-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. Diakui bahwa ketepatan waktu penetapan APBD bukanlah hal utama dalam menjamin keberhasilan atau keunggulan kinerja APBD, namun paling tidak hal itu harus dipenuhi terlebih dahulu oleh daerah. Apabila penetapan APBD terlambat, maka semua proses pelaksanaan anggaran daerah akan menjadi terlambat pula, mulai dari proses tender sampai dengan penyelesaian proyek-proyeknya. Kegunaan Ketepatan waktu penetapan APBD, akan memberikan kepastian bagi kepala SKPD untuk menyusun dan menyampaikan rancangan Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD). Hal ini akan berimplikasi terhadap kualitas belanja APBD dan kecepatan penyerapan belanja bagi keberhasilan Pemerintah Daerah. Melalui penetapan APBD secara tepat waktu, memotivasi SKPD untuk melakukan penyerapan anggaran secara efektif dan membantu percepatan pencapaian kinerja pemerintahan daerah. Melalui ketepatan waktu daerah menetapkan APBD, berarti pemerintahan daerah dapat menjalankan aktivitasnya, terutama stimulus fiskal serta program yang dibutuhkan masyarakat. Implikasi dari lebih awalnya penetapan APBD setiap tahun adalah agar per 1 Januari pada tahun anggaran berikutnya, APBD dapat dilaksanakan secara efektif. Selain itu, dampaknya adalah penyerapan semua anggaran yang direncanakan setiap SKPD akan lebih optimal dan efektif.
- 16 -
Cara Menghitung Sebutkan Nomor dan Tanggal ditetapkannya Perda APBD.
Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Sekretariat DPRD. 2.3.2.1.2. Daya Serap Anggaran (APBD) Per Tahun Definisi Daya serap Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan suatu ukuran atas efektivitas pengelolaan dan penggunaan belanja daerah sesuai alokasi pemanfaatannya dalam kurun waktu satu tahun anggaran. Hal ini sebagaimana diamanatkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam Pasal 18 ayat (2) Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tersebut dinyatakan bahwa belanja daerah adalah belanja yang telah dialokasikan dalam APBD secara adil dan merata agar relatif dapat dinikmati oleh seluruh kelompok masyarakat tanpa diskriminasi khususnya dalam pelayanan umum baik aparatur maupun publik. Kegunaan Daya serap anggaran secara efektif dan optimal sangat bermanfaat untuk melihat sejauhmana APBD telah dilaksanakan serta memenuhi fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi dalam pemenuhan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan kemampuan pendapatan daerah yang tersedia. Sebagai misal, apabila daya serap APBD masih belum maksimal, hal ini akan nampak dari besaran akumulasi dana APBD yang ditanamkan dalam SBI. Cara Menghitung Menetapkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) sebelumnya yang mencakup pelampauan penerimaan ”Pendapatan Asli Daerah (PAD)”, pelampauan penerimaan ”Dana Perimbangan”, pelampauan penerimaan lain-lain, pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan dan sisa dana kegiatan lanjutan. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda). 2.3.2.2. Variabel 2 : Transparansi Pada Variabel 2 – Transparansi – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Produk Hukum Daerah Untuk Transparansi; dan 2) Publikasi APBD dan Pengadaan Barang/Jasa (Procurement). Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.2.2.1. Produk Hukum Daerah Untuk Transparansi Definisi Produk Hukum Daerah untuk Transparansi adalah keberadaan peraturan daerah dan/atau peraturan/keputusan kepala daerah yang berupaya mewujudkan keterbukaan dan pertanggungjawaban sebagai salah satu pilar good governance.
- 17 -
Produk hukum untuk transparansi ini merupakan aturan dan prosedur kerja pemerintahan daerah yang bersifat transparan dan diberlakukan untuk membuat pejabat pemerintah bertanggung jawab dan untuk memerangi korupsi. Transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah jaminan kesempatan bagi masyarakat untuk mengetahui “siapa mengambil keputusan apa beserta alasannya”. Format dan konsep transparansi yang wajib diimplementasikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari salah satu azas-azas umum penyelenggaraan negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik tuntutan adanya transparansi tidak hanya kepada pemerintah daerah (eksekutif) tetapi juga kepada DPRD (legislatif). Mengingat posisi DPRD yang cukup kuat dalam mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka dalam setiap kegiatannya DPRD harus lebih transparan (terbuka) kepada masyarakat. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pada transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sudut DPRD adalah: 1) rapat-rapat DPRD yang terbuka untuk umum agar dapat diinformasikan kepada masyarakat agenda dan jadwalnya; 2) penyediaan risalah rapat-rapat terbuka bagi umum ditempat yang mudah diakses masyarakat; dan 3) keputusan yang dihasilkan DPRD hendaknya dapat dipublikasikan dan disosialisasikan kepada masyarakat. Sedangkan transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam hubungannya dengan pemerintah daerah perlu kiranya perhatian terhadap beberapa hal berikut: 1) publikasi dan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah; 2) publikasi dan sosialisasi regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah tentang berbagai perizinan dan prosedurnya; 3) publikasi dan sosialisasi tentang prosedur dan tata kerja dari pemerintah daerah; 4) transparansi dalam penawaran dan penetapan tender atau kontrak proyek-proyek pemerintah daerah kepada pihak ketiga; dan 5) kesempatan masyarakat untuk mengakses informasi yang jujur, benar, dan tidak diskriminatif dari pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kegunaan Azas keterbukaan (transparansi) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah azas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Penerapan azas transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengetahui berbagai informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah secara benar, jujur, dan tidak diskriminatif. Bila rapat pemerintah dibuka kepada umum dan media massa, bila anggaran dan laporan keuangan bisa diperiksa oleh siapa saja, bila undang-undang, aturan, dan keputusan terbuka untuk didiskusikan, semuanya akan terlihat transparan dan akan lebih kecil kemungkinan pemerintah untuk menyalahgunakannya untuk kepentingan sendiri. Dalam penyusunan peraturan daerah yang menyangkut hajat hidup orang banyak hendaknya masyarakat sebagai stakeholders dilibatkan secara proporsional. Hal ini berguna untuk mewujudkan transparansi dan akan sangat membantu pemerintah daerah dan DPRD dalam melahirkan Peraturan Daerah yang accountable dan dapat menampung aspirasi masyarakat. Semakin banyak peraturan daerah dan/atau peraturan/keputusan kepala daerah yang dapat menciptakan transparansi, semakin suatu daerah mampu menyelenggarakan otonomi.
- 18 -
Cara Menghitung Sebutkan Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah, Renstra, Program, dan/atau Kegiatan yang mendukung Transparansi. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda). 2.3.2.2.2. Publikasi APBD dan Pengadaan Barang/Jasa (Procurement) Definisi Publikasi APBD merupakan amanat Pasal 103 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dinyatakan dalam Pasal 103 Ayat (1) Rancangan peraturan daerah tentang APBD yang telah disusun oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) disampaikan kepada kepala daerah. Ayat (2) Rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum disampaikan kepada DPRD disosialisasikan kepada masyarakat. Ayat (3) Sosialisasi rancangan peraturan daerah tentang APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat memberikan informasi mengenai hak dan kewajiban pemerintah daerah serta masyarakat dalam pelaksanaan APBD tahun anggaran yang direncanakan. Ayat (4) Penyebarluasan rancangan peraturan daerah tentang APBD dilaksanakan oleh sekretaris daerah selaku coordinator pengelolaan keuangan daerah. Khusus peraturan daerah tentang APBD, rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah mencakup keuangan DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peraturan daerah dan ketentuan daerah lainnya yang bersifat mengatur, diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah. Di sisi lain, Publikasi Pengadaan Barang/Jasa (Procurement) adalah mekanisme pemberitahuan kepada publik dalam rangka pelaksanaan rangkaian kegiatan yang harus dilakukan untuk mempersiapkan pelaksanaan pengadaan barang/ jasa yang akan dilaksanakan oleh Pemda. Kegunaan Indikator ini digunakan untuk melihat sejauhmana komitmen pemerintah daerah dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip good governance (efektif, transparan, akuntabel, dan partisipatif) agar mampu mendorong iklim investasi di daerah. Semakin intens pemda melakukan publikasi “Ringkasan APBD”, “Rincian APBD”, dan “Pengadaan Barang/Jasa” akan menciptakan iklim usaha yang kondusif di daerah, sehingga daerah semakin mampu menyelenggarakan otonominya. Cara Menghitung Sebutkan media/sarana publikasi yang dipergunakan untuk mempublikasikan Ringkasan APBD, Rincian APBD, dan Pengadaan Barang/Jasa. Media tersebut dapat berupa: 1) website/situs resmi pemda; 2) surat kabar; dan/atau 3) pengumuman di SKPD terkait. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani informasi dan komunikasi (infokom), dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda).
- 19 -
2.3.2.3. Variabel 3 : Akuntabilitas Pada Variabel 3 – Akuntabilitas – terdapat 4 (empat) indikator, yaitu: 1) Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat; 2) Pakta Integritas/Kontrak Kinerja; 3) Publikasi Pelaksanaan Pertanggungjawaban APBD; dan 4) Persentase Belanja DPRD dan Persentase Belanja Kepada Daerah Terhadap APBD. Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.2.3.1. Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat Definisi Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat adalah sistem, mekanisme, dan prosedur yang dilembagakan oleh pemerintahan daerah dalam upayanya mengelola keluhan dan/atau protes-protes yang mungkin muncul dari berbagai pihak secara terstruktur, sehingga tidak menimbulkan gejolak dan mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam setiap kegiatan atau pekerjaan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang melibatkan masyarakat, kemungkinan terjadinya kesalahpahaman, salah pengertian, miskomunikasi, dan ketidakakuratan informasi antar pelaku, amatlah tinggi. Hal-hal ini mudah mengundang terjadinya kekecewaan antar pihak-pihak tersebut. Beberapa diantara kekecewaan tersebut akan didiamkan dan ditelan oleh pihak yang kecewa dengan berbagai alasan. Beberapa kekecewaan yang lain akan ditumpahkan dalam bentuk protes. Jika tidak ditangani dengan benar, protes-protes semacam ini bisa menimbulkan gejolak dan mengganggu kelancaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bentuk-bentuk pengaduan dapat berupa pengaduan melalui kotak pos dan/atau e-mail berbentuk pengaduan tertulis. Pengaduan melalui alamat kantor Pemda dan melalui staf dapat berbentuk pengaduan lisan dan dapat pula berbentuk pengaduan tertulis. Pengaduan tertulis dimungkinkan dalam bentuk surat kaleng dan dalam bentuk surat dengan keterangan jelas. Pengaduan lisan dapat disampaikan secara individual maupun ber kelompok serta dapat pula disampaikan melalui forum rapat komunitas. Kegunaan Secara umum, tujuan penanganan pengaduan (PP) adalah menyediakan sistem, prosedur, dan mekanisme yang memungkinkan segala komplain dan protes dari semua pihak dapat terkelola dengan baik, sehingga tidak menimbulkan gejolak dan mengganggu kelancaran jalannya program. Di sisi lain, keberadaan lembaga yang menangani pengaduan masyarakat merupakan sarana evaluasi internal pemda. Hal ini dimaksudkan agar pemda dapat segera melakukan pembenahan, manakala terjadi pengaduan dan/atau keluhan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh pemda. Cara Menghitung Sebutkan nama lembaga yang bertanggung jawab dan mengelola penanganan pengaduan masyarakat beserta Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda dan/atau Peraturan/Keputusan Kepala Daerah yang mendukung Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, dan institusi “Pengelola Pengaduan Masyarakat”, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda).
- 20 -
2.3.2.3.2. Pakta Integritas/Kontrak Kinerja Definisi Pakta Integritas dan/atau Kontrak Kinerja merupakan Surat Pernyataan yang ditandatangani secara bersama oleh pengguna barang/jasa/panitia pengadaan/ pejabat pengadaan/penyedia barang/jasa yang berisi ikrar untuk mencegah dan tidak melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Elemen dan karakteristik dari Pakta Integritas adalah adanya proses pengambilan keputusan yang dibuat secara sederhana dan transparan. Pakta Integritas pada hakekatnya adalah janji untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai ketentuan yang berlaku. Filosofi dasarnya adalah membuat transaksi bisnis di antara peserta lelang/kontraktor menjadi lebih fair. Kendati belum ada suatu peraturan yang spesifik mengenai penerapan Pakta Integritas di Indonesia, namun konsep dan penerapannya sangat relevan dengan amanat penegakan hukum dan tata kelola sistem kenegaraan yang bersih, berintegritas, adil, akuntabel dan transparan. Kegunaan Pakta Integritas diberlakukan untuk mencegah terjadinya korupsi di jajaran pemerintahan maupun perusahaan. Pakta Integritas bertujuan menyediakan sarana bagi pemerintah, perusahaan swasta, dan masyarakat umum dalam mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme, terutama dalam kontrak-kontrak pemerintah (public contracting). Manfaat dari Pakta Integritas, antara lain digunakan sebagai salah satu alat/ sarana untuk mencegah terjadinya korupsi, meningkatkan kredibilitas instansi/ perusahaan, menghilangkan saling curiga, meningkatkan kinerja, mencegah kebocoran keuangan, dan menciptakan iklim kerja yang sehat dan kondusif. Pakta Integritas diharapkan dapat menjadi alat kontrol dengan menekankan azas-azas sebagai berikut : 1. Tidak memikirkan diri sendiri; 2. Integritas yang tinggi; 3. Obyektifitas; 4. Akuntabilitas; 5. Keterbukaan; 6. Kejujuran; dan 7. Kepemimpinan. Penerapan “Pakta Integritas” dan/atau “Kontrak Kinerja” di Institusi Publik adalah untuk memastikan bahwa semua kegiatan dan keputusan di insitusi publik dilakukan secara transparan, karena “Pakta Integritas” dan/atau “Kontrak Kinerja” dapat digunakan sebagai salah satu dokumen untuk pengawasan. Penandatanganan Pakta Integritas bukan sekedar mengikuti tren dan tanpa maksud. Pakta Integritas diharapkan mampu mempercepat upaya mewujudkan citra birokrasi yang bersih dan baik, sehingga mendapatkan kepercayaan publik setinggi-tingginya. Cara Menghitung Sebutkan bentuk ikrar ”Pakta Integritas” dan/atau ”Kontrak Kinerja” beserta Jabatan dan Nama Pejabat yang membuat/menandatangani Dokumen. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda).
- 21 -
2.3.2.3.3. Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD Definisi Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD adalah pemberian dan/atau penyampaian informasi Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan/atau pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada masyarakat melalui media cetak dan/atau media elektronik. Laporan Keuangan adalah bentuk pertanggungjawaban sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 55 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 56 ayat (3) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 31 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyatakan: (1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir. (2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan keuangan perusahaan daerah. Dalam konteks ini, Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku Pejabat Pengelola Keuangan Daerah menyusun laporan keuangan pemerintah daerah untuk disampaikan kepada gubernur/bupati/walikota dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Selain itu, dalam Pasal 35 PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah, dinyatakan bahwa Kepala Daerah wajib mempublikasikan secara berkala informasi tentang: a. kebijakan pengelolaan Pinjaman Daerah dan rencana penerbitan Obligasi Daerah yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan; b. jumlah Obligasi Daerah yang beredar beserta komposisinya, struktur jatuh tempo dan tingkat bunga; c. laporan keuangan Pemerintah Daerah; d. laporan penggunaan dana yang diperoleh melalui penerbitan Obligasi Daerah, alokasi dana cadangan, serta laporan-laporan lain yang bersifat material; dan e. kewajiban publikasi data dan/atau informasi lainnya yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. Hal ini sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) PP Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat, yang menyatakan bahwa kepala daerah wajib memberikan informasi LPPD kepada masyarakat melalui media cetak dan/atau media elektronik. Salah satu materi LPPD adalah alokasi dan realisasi APBD dalam kurun waktu 1 (satu) tahun anggaran. Kegunaan Publikasi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD bermanfaat untuk mengukur sejauhmana transparansi dan akuntabilitas kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Hal ini penting untuk mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yang sejalan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab serta mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik.
- 22 -
Cara Menghitung Sebutkan media/sarana publikasi yang dipergunakan untuk mempublikasikan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. Media tersebut dapat berupa: 1) website/situs resmi pemda; 2) surat kabar; dan/atau 3) pengumuman di SKPD terkait. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani informasi dan komunikasi (infokom), kehumasan, dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/ Bawasda). 2.3.2.3.4. Persentase Belanja DPRD dan Persentase Belanja Kepala Daerah Terhadap APBD Definisi Dasar pengaturan belanja daerah mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam konteks ini, Pasal 1 Angka 51 menyatakan bahwa belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih. Sesuai Pasal 31 ayat (1), belanja daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Kegunaan Persentase belanja DPRD dan persentase belanja kepala daerah terhadap belanja APBD akan bermanfaat dalam pengukuran kinerja dan efektivitas penggunaan belanja kepala daerah dan DPRD terhadap APBD dalam kurun waktu 1 (satu) tahun anggaran. Cara Menghitung Nilai indikator ini dapat diperoleh dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Alokasi Anggaran Belanja DPRD Jumlah Anggaran Belanja Daerah
Alokasi Anggaran Belanja KDH Jumlah Anggaran Belanja Daerah
x 100
x 100
Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari Sekretariat DPRD, Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda). 2.3.2.4. Variabel 4 : Partisipasi Pada Variabel 4 – Partisipasi – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Konsultasi Publik Dalam Setiap Proses Penyusunan Perda, APBD, dll.; dan 2) Jumlah Perda Inisiatif DPRD. Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini.
- 23 -
2.3.2.4.1. Konsultasi Publik Dalam Setiap Proses Penyusunan Perda, APBD, dll. Definisi Konsultasi publik (KP) adalah cara, mekanisme, dan proses melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan publik, baik oleh eksekutif maupun legislatif. Bentuk konsultasi kepada masyarakat itu dapat berupa berdialog, berunding, musyawarah, meminta nasehat atau saran, atau pun melaporkan kebijakan apa yang sudah atau akan dilakukan pemerintah daerah kepada publik (masyarakat). Kegunaan Terdapat 2 (dua) alasan penting mengapa konsultasi publik perlu dilembagakan dalam praktek tata pemerintahan di Indonesia. Pertama, konsultasi publik adalah amanat peraturan perundang-undangan yang mengharuskan adanya mekanisme partisipasi dalam proses pengambilan kebijakan, selain itu juga sekaligus mengamanatkan partisipasi sebagai prinsip dan hak warganegara. Beberapa regulasi di tingkat pusat dan daerah juga telah secara eksplisit menyebutkan konsultasi publik sebagai mekanisme partisipasi dalam perumusan kebijakan. Beberapa peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum tentang partisipasi warga antara lain: a. UU No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air; b. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Tatacara Penyusunan Peraturan Perundang-undangan; c. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN); d. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; e. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; f. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; g. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum; h. PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan; i. PP No. 68 Tahun 1999 tentang Tatacara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara; j. PP No. 71 Tahun 2000 tentang Tatacara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; k. PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; l. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; dan m. PP No. 40 Tahun 2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional (RPN). Peraturan-peraturan tersebut memang telah mendorong banyak pemerintah daerah menetapkan Perda Partisipasi sebagai kerangka hukum untuk menjamin keterlibatan masyarakat dalam perumusan berbagai kebijakan. Kedua, konsultasi publik perlu terus-menerus dikembangkan sebagai upaya memperluas dan memperdalam keterlibatan warga dalam kehidupan demokrasi. Konsultasi publik perlu dilembagakan untuk menutupi kelemahan inheren demokrasi perwakilan. Pada prakteknya, konsultasi publik yang sering disebut dengar pendapat umum (public hearing) berupa kegiatan meminta atau menyampaikan informasi kepada publik. Masih perlu dikembangkan berbagai pilihan dan inovasi cara (metode), alat, dan media konsultasi publik yang beragam untuk meningkatkan mutu partisipasi masyarakat. Konsultasi publik sebaiknya meningkat dari ‘sosialisasi’ atau proses ’menampung’ aspirasi/ informasi dari masyarakat menjadi musyawarah dan dialog yang setara dalam menyepakati berbagai pokok penting kebijakan daerah. Bagi Pemerintah Daerah, secara subtansial KP bermanfaat untuk mengkonfirmasi penilaian teknokratis dengan aspirasi dan kebutuhan warga masyarakat. Secara teknokratis, KP memiliki manfaat:
- 24 -
a. Citra politik sebagai pemerintah yang transparan, tanggap, dan akuntabel; b. Meningkatkan peran serta masyarakat karena adanya kepercayaan terhadap lembaga pemerintahan daerah; dan c. Meningkatkan pencapaian tujuan pembangunan daerah dengan adanya iklim yang sehat dan dinamis. Bagi DPRD, secara subtansial, konsultasi publik (KP) bermanfaat untuk mengkonfirmasi penilaian politis dengan aspirasi dan kebutuhan warga masyarakat. Secara sosial dan politis, KP memiliki manfaat: a. Mengkonfirmasi kembali mandat dari warga (konstituen) sehingga memperkuat legitimasi keputusan. b. Meningkatkan popularitas lembaga (misalnya partai asal) dan individu-individu yang dianggap terbuka dan cerdas, dan c. Menunjukkan kepada masyarakat bahwa DPRD memahami tugas dan melakukannya dengan baik. Bagi Pemerintah Daerah, DPRD, dan Masyarakat, manfaat KP antara lain: a. Membangun suatu pemerintahan daerah yang dianggap memiliki rapor baik oleh warganya. b. Memperkuat dukungan warga (publik) masyarakat terhadap kebijakan dan program yang dikembangkan pemerintah. c. Meningkatkan efektivitas kebijakan, yaitu dengan adanya proses bersama warga yang bisa membangun dukungan dan citra positif pemerintah. d. Meningkatkan mutu keputusan yang diambil, yaitu dengan meminta masukan dan umpan balik dari masyarakat kepada pemerintah dan lembaga legislatif. e. Memperbaiki komunikasi di antara kelompok-kelompok kepentingan, meningkatkan mutu perdebatan dan saling mendidik. f. Meningkatkan kesadaran masyarakat, yaitu dengan memberikan informasi kepada publik tentang akan dibuatnya suatu peraturan daerah baru, termasuk informasi dan pendapat pakar/ahli kebijakan dan program pemerintah daerah. Menghindari atau mengurangi konflik, yaitu dengan membangun kesepahaman dan kesepakatan antar pemangku kepentingan yang kepentingannya berbeda. g. Memahami masalah-masalah kelompok dan menangani/memecahkan masalah secara bersama, menyusun strategi dan pilihan-pilihan berdasarkan informasi, pengetahuan, dan pendapat yang lebih kaya. h. Mengidentifikasi dampak atau implikasi kebijakan atau program pemerintah pada kepentingan publik atau masyarakat, dan i. Menciptakan sebuah forum untuk mempengaruhi agenda, memberi dan mendapatkan informasi dan membantu membuat keputusan. Cara Menghitung Inventarisasikan “Notulen Rapat/Nota Dinas/Risalah dan atau bukti lainnya dari kegiatan konsultasi publik sebagai wujud pelibatan partisipasi publik dalam proses penyusunan perda dan/atau peraturan/keputusan kepala daerah. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, dan Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda). 2.3.2.4.2. Jumlah Perda Inisiatif DPRD Definisi Jumlah Peraturan Daerah (Perda) Inisiatif DPRD adalah banyaknya Perda yang proses pembuatannya merupakan inisiatif anggota legislatif atau DPRD.
- 25 -
Peraturan daerah dibuat oleh DPRD bersama sama Pemerintah Daerah, artinya dapat berasal dari hak inisiatif DPRD maupun prakarsa dari Pemerintah Daerah (Eksekutif). Kegunaan Indikator ini mengukur jumlah Perda yang merupakan inisiatif DPRD. Makin tinggi nilai indikator ini di suatu daerah, semakin tinggi kemungkinan para legislator memahami tugas dan fungsi-fungsinya, dan semakin mampu daerah tersebut menjalankan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Cara Menghitung Nilai indikator ini diperoleh dengan cara menghitung langsung jumlah Perda per tahun yang proses pembuatannya merupakan usulan atau hak inisiatif DPRD. Sumber Data Elemen data jumlah Perda inisiatif DPRD dapat diperoleh dari Sekretariat DPRD, Biro/Bagian Administrasi Pemerintahan, dan Biro/Bagian Hukum atau SKPD yang menangani Bidang Administrasi dan/atau Hukum. 2.3.3. Ketersediaan Pelayanan Publik Dalam Faktor TOD - 3, terdapat 4 (empat) variabel yang akan diukur, yaitu: 1) Pendidikan; 2) Kesehatan; 3) Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum; dan 4) Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependudukan. Pada keempat variabel tersebut terdapat 9 (sembilan) indikator. Berikut ini penjelasan masing-masing variabel dan indikator tersebut. 2.3.3.1. Variabel 1 : Pendidikan Pada Variabel 1 – Pendidikan – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Persentase Anggaran Pendidikan Terhadap APBD; dan 2) Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat, SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat. Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.3.1.1. Persentase Anggaran Pendidikan Terhadap APBD Definisi Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, termasuk gaji pendidik, namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Persentase anggaran pendidikan terhadap APBD adalah perbandingan alokasi anggaran pendidikan terhadap total anggaran belanja daerah. UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Bahkan warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian pula warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Pemenuhan anggaran pendidikan sebesar 20 persen tersebut disamping untuk memenuhi amanat Pasal 31 Ayat (a) UUD 1945, juga dalam rangka memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 13 Agustus 2008 Nomor 13/PUU-VI I 2008. Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-VI I 2008, pemerintah harus menyediakan anggaran
- 26 -
pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Kegunaan Alokasi anggaran pendidikan secara proporsional berdampak pada terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Cara Menghitung Nilai indikator ini dapat diperoleh dengan menggunakan formula sebagai berikut: Alokasi Anggaran Pendidikan Jumlah Anggaran Belanja Daerah
x 100
Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani pendidikan, Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda). 2.3.3.1.2. Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat, SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat Definisi Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. Misal, APK SD sama dengan jumlah siswa yang duduk di bangku SD dibagi dengan jumlah penduduk kelompok usia 7 (tujuh) sampai 12 (dua belas) tahun. Angka Partisipasi Kasar SD/Sederajat, SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat adalah perbandingan jumlah siswa pada tingkat pendidikan SD/Sederajat, SMP/ Sederajat, dan SMA/Sederajat dibagi dengan jumlah penduduk usia 7 (tujuh) hingga 18 (delapan belas) tahun. Dengan kata lain, APK merupakan angka hasil perbandingan jumlah siswa dengan jumlah penduduk usia tertentu. Apabila dilihat dari tingkat ketuntasannya, terdapat 5 jenis ketuntasan, yaitu: a. Paripurna : bila pencapaian APK ≥ 95% b. Utama : bila pencapaian APK antara 90%-94% c. Madya : bila pencapaian APK antara 85%-89% d. Pratama : bila pencapaian APK antara 80%-84% e. Belum tuntas : bila pencapaian APK ≤ 80% Kegunaan APK menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan. APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara, mengamanatkan bahwa pencapaian target pembangunan pendidikan, yaitu meningkatkan persentase peserta didik sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah/pendidikan yang sederajat terhadap penduduk usia 13-15 tahun atau angka partisipasi kasar (APK) sekurang-kurangnya menjadi 95 % pada akhir tahun 2009.
- 27 -
Semakin tinggi nilai indikator ini, semakin tinggi akses penduduk suatu daerah terhadap pendidikan, dan semakin tinggi tingkat kemampuan daerah tersebut dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Cara Menghitung Nilai indikator ini dapat dihitung dengan formula sebagai berikut:
APK SD/MI =
Banyaknya Murid SD/MI x 100 Banyaknya Penduduk Usia 7 – 12 Tahun
APK SD/MI =
Banyaknya Murid SMP/MTs x 100 Banyaknya Penduduk Usia 13 – 15 Tahun
APK SD/MI =
Banyaknya Murid SMA/MA x 100 Banyaknya Penduduk Usia 16 – 18 Tahun
Sumber data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani pendidikan. 2.3.3.2. Variabel 2 : Kesehatan Pada Variabel 2 – Kesehatan – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Persentase Anggaran Kesehatan Terhadap APBD; dan 2) Persentase Balita Gizi Buruk. Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.3.2.1. Persentase Anggaran Kesehatan Terhadap APBD Definisi Anggaran kesehatan adalah alokasi anggaran pada fungsi kesehatan yang dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga dan alokasi anggaran kesehatan melalui transfer ke daerah, untuk membiayai penyelenggaraan kesehatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Persentase anggaran kesehatan terhadap APBD adalah perbandingan alokasi anggaran kesehatan terhadap total anggaran belanja daerah. Sasaran pembangunan kesehatan pada akhir tahun 2009 adalah meningkatnya derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang antara lain tercermin dari indikator dampak (impact) yaitu: 1. Meningkatnya umur harapan hidup dari 66,2 tahun menjadi 70,6 tahun; 2. Menurunnya angka kematian bayi dari 35 menjadi 26 per 1.000 kelahiran hidup; 3. Menurunnya angka kematian ibu melahirkan dari 307 menjadi 226 per 100.000 kelahiran hidup; dan 4. Menurunnya prevalensi gizi kurang pada anak balita dari 25,8 persen menjadi 20,0 persen. Pembangunan kesehatan memprioritaskan upaya promotif dan preventif yang dipadukan secara seimbang dengan upaya kuratif dan rehabilitatif. Perhatian khusus diberikan kepada pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin, daerah tertinggal dan daerah bencana, dengan memperhatikan kesetaraan gender.
- 28 -
Kegunaan Rasio alokasi anggaran kesehatan terhadap jumlah anggaran belanja daerah akan mempercepat pencapaian sasaran pembangunan kesehatan yang diarahkan pada : (1) Peningkatan jumlah, jaringan dan kualitas puskesmas; (2) Peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan; (3) Pengembangan sistem jaminan kesehatan terutama bagi penduduk miskin; (4) Peningkatan sosialisasi kesehatan lingkungan dan pola hidup sehat; (5) Peningkatan pendidikan kesehatan pada masyarakat sejak usia dini; dan (6) Pemerataan dan peningkatan kualitas fasilitas kesehatan dasar. Cara Menghitung Nilai indikator ini dapat diperoleh dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Alokasi Anggaran Kesehatan Jumlah Anggaran Belanja Daerah
x 100
Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani kesehatan, Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda). 2.3.3.2.2. Persentase Balita Gizi Buruk Definisi Persentase Balita Gizi Buruk adalah proporsi balita dalam kondisi gizi buruk terhadap jumlah balita. Keadaan tubuh anak atau bayi dilihat dari berat badan menurut umur. Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah suatu kecukupan rata-rata gizi setiap hari bagi semua orang menurut golongan umur, jenis kelamin, ukuran tubuh, aktivitas tubuh untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal (Keputusan Menteri Kesehatan No. 1593/MENKES/SK/XI/2005). Gizi buruk adalah keadaan kurang gizi tingkat berat yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi dalam waktu yang cukup lama. Tanda-tanda klinis dari gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan marasmus, kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor. Kegunaan Status gizi masyarakat dapat digambarkan terutama pada status anak balita dan wanita hamil. Oleh karena itu sasaran dari program perbaikan gizi makro ini berdasarkan siklus kehidupan, yaitu dimulai dari wanita usia subur, dewasa, ibu hamil, bayi baru lahir, balita, dan anak sekolah. Indikator ini berguna untuk mengukur kinerja pelayanan bidang kesehatan di masing– masing kabupaten/kota yang diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 741/MENKES/PER/VII/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di kabupaten/kota. Semakin tinggi jumlah balita dengan status gizi buruk di suatu daerah, semakin buruk kondisi kesehatan penduduk di daerah tersebut. Hal ini merupakan indikasi rendahnya kemampuan daerah tersebut menyediakan layanan dan akses kesehatan bagi penduduk. Oleh karena itu dapat dianggap sebagai rendahnya kemampuan daerah tersebut untuk menjalankan otonomi. Cara Menghitung Nilai indikator ini dapat diperoleh dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Jumlah Balita Gizi Buruk x 100 Jumlah Balita
- 29 -
Sumber Data Elemen data jumlah balita gizi buruk dan jumlah balita dapat diperoleh dari Dinas Kesehatan atau BPS. 2.3.3.3. Variabel 3 : Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum Pada Variabel 3 – Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum – terdapat 3 (tiga) indikator, yaitu: 1) Akses Terhadap Air Bersih dan Sanitasi; 2) Panjang Jalan Per Luas Wilayah (Provinsi/Kabupaten/Kota); dan 3) Inisiatif Pemda Untuk Menangani Krisis Listrik. Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.3.3.1. Akses Terhadap Air Bersih dan Sanitasi 1) Air Bersih Definisi Persentase Penduduk Berakses Air Minum adalah proporsi jumlah penduduk yang mendapatkan akses air minum terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 907 Tahun 2002, air minum (drinking water) adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum Kegunaan Persentase penduduk yang berakses air minum adalah proporsi jumlah penduduk yang mendapatkan akses air minum terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan. Yang dimaksud air bersih meliputi air minum yang berasal dari air mineral, air ledeng/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung dalam jumlah yang cukup sesuai standar kebutuhan minimal. Semakin tinggi nilai persentase penduduk yang dapat mengakses air minum sesuai dengan standar kebutuhan minimal, menunjukan semakin mampu daerah tersebut menyediakan pelayanan kesehatan. Cara Menghitung Sumber air untuk minum atau memasak dapat diidentifikasi dan meliputi: 1) Sumber air; 2) Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM); 3) Membeli air bukan dalam kemasan; Sedangkan Sumber Air Minum meliputi 1) Air dalam kemasan; 2) Air ledeng; 3) Air pompa; 4) Air sumur/perigi; 5) Mata air; dan 6) Sumber-sumber lainnya; seperti air sungai dan danau. Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal (SPM) telah menetapkan standar pelayanan 55-75% penduduk terlayani dengan tingkat pelayanan minimal sebagai berikut: 1) 60-220 liter per orang per hari untuk permukiman di kawasan perkotaan; 2) 30-50 liter per orang per hari untuk lingkungan perumahan; dan 3) Memenuhi standar air bersih. Sedangkan untuk wilayah permukiman ditetapkan standar bahwa bidang sarana pelayanan air bersih dengan indikator: penduduk terlayani, tingkat debit pelayanan per orang dan tingkat kualitas air minum dengan cakupan 55%–75% penduduk terlayani dengan tingkat pelayanan minimal: 1) 60-220 liter per orang per hari untuk permukiman perkotaan;
- 30 -
2) 30–50 liter per orang per hari untuk lingkungan perumahan; 3) Memenuhi standar air bersih. Proporsi jumlah penduduk yang mendapatkan akses air minum terhadap jumlah penduduk secara keseluruhan dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut: Penduduk Berakses Air Bersih x 100 Jumlah Penduduk Sumber Data Elemen data tentang jumlah penduduk yang berakses air minum dapat diperoleh di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), sedangkan elemen data jumlah penduduk dapat diperoleh dari data ”Sensus Kependudukan” yang dilakukan oleh BPS secara periodik. 2) Sanitasi Definisi Persentase rumah tinggal bersanitasi adalah proporsi rumah tinggal bersanitasi terhadap jumlah rumah tinggal. Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, dimana orang menggunakannya sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air bersih. Rumah tinggal bersanitasi baik harus memiliki sistem pembuangan air limbah berupa unit pengolahan kotoran manusia/tinja dengan menggunakan sistem setempat (memiliki septic tank). Rumah tidak layak huni adalah rumah yang dibuat dari bahan bekas/sampah (seperti potongan triplek, lembaran plastik sisa, dsb) yang dipertimbangkan tidak cocok untuk bertempat tinggal atau terletak pada areal yang diperuntukkan bukan untuk permukiman, termasuk rumah gubuk. Ciri-ciri rumah tidak layak huni adalah kondisi di mana rumah beserta lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial dengan kriteria antara lain: 1) Luas lantai perkapita, di kota kurang dari 4 m2, sedangkan di desa kurang dari 10 m2; 2) Jenis atap rumah terbuat dari daun dan lainnya; 3) Jenis dinding rumah terbuat dari anyaman bambu yang belum diproses; 4) Jenis lantai dari tanah; 5) Tidak mempunyai fasilitas tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK). Kegunaan Proporsi rumah tinggal bersanitasi terhadap jumlah rumah tinggal merupakan indikasi tersedianya fasilitas dan akses penduduk suatu daerah terhadap rumah layak huni bersanitasi. Semakin tinggi nilai indikator ini, semakin mampu suatu daerah menyediakan layanan yang layak bagi penduduk dan semakin tinggi kemampuan daerah tersebut untuk menyelenggarakan otonomi.
- 31 -
Cara Menghitung Nilai indikator ini dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut: Jumlah Rumah Tinggal Berakses Sanitasi x 100 Jumlah Rumah Tinggal
Sumber Data Elemen data mengenai jumlah rumah tinggal berakses sanitasi dapat diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kesehatan. 2.3.3.3.2. Panjang Jalan Per Luas Wilayah (Provinsi/Kabupaten/Kota) Definisi Proporsi panjang jaringan jalan per luas wilayah adalah angka perbandingan antara panjang jaringan jalan dalam kondisi baik terhadap luas wilayah secara menyeluruh di masing-masing provinsi/kabupaten/kota. Mutu jalan di suatu daerah berpengaruh terhadap berbagai kegiatan penduduk, khususnya kegiatan perdagangan dan upaya untuk melakukan integrasi antar wilayah terbelakang dengan pasar yang lebih besar. Kegunaan Nilai indikator ini memiliki kegunaan untuk mengindikasikan kualitas jalan dari keseluruhan panjang jalan yang ada di suatu daerah tertentu. Hal tersebut dapat juga dibaca sebagai kemampuan daerah tersebut dalam menyediakan dan memelihara sarana dan prasarana publik. Selain itu, pembangunan jalan baru yang diupayakan sendiri oleh pemerintah daerah menjadi suatu parameter yang baik dan perlu mendapat apresiasi dalam memperhitungkan ketersediaan prasarana wilayah secara mandiri. Semakin besar nilai indikator ini, semakin tinggi kemampuan daerah tersebut dalam menyediakan dan memelihara sarana dan prasarana publik. Cara Menghitung Penghitungan nilai indikator ini mempertimbangkan 3 (tiga) jenis jalan, yaitu: 1) Jalan Nasional/Negara; adalah jalan yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah Pusat; 2) Jalan Provinsi; adalah jalan yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah Provinsi; 3) Jalan Kabupaten/Kota; adalah jalan yang pembinaannya oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Nilai indikator ini dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Panjang Jalan Baru Dalam Kondisi Baik x 100 Luas Wilayah
Seimbangnya rasio panjang jalan di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota dengan luas wilayahnya akan menunjukkan baiknya perencanaan pengembangan wilayah tersebut dan merupakan output dari upaya pemerintah daerah meningkatkan rentang kendali melalui pembangunan, peningkatan, dan pemeliharaan sarana dan prasarana jalan/jembatan yang menjangkau seluruh wilayah.
- 32 -
Sumber Data Kedua elemen data tersebut dapat diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum dan/atau Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). 2.3.3.3.3. Inisiatif Pemda Untuk Menangani Krisis Listrik Definisi Inisiatif Pemda untuk Menangani Krisis Listrik adalah upaya inovatif yang dilakukan Pemerintahan Daerah untuk memenuhi kebutuhan listrik penduduk di wilayahnya. Desa dan masyarakat yang belum menikmati listrik masih cukup banyak. Pembangunan listrik perdesaan masih sangat tergantung pada kemampuan pendanaan pemerintah pusat yang terbatas, sedangkan peranan pemerintah daerah dan masyarakat masih sangat kecil. Rendahnya kemampuan pemerintah daerah dan masyarakat disebabkan masih terbatasnya kemampuan pendanaan, terbatasnya kewenangan skala kapasitas yang diberikan dan peraturan perundangan yang belum menciptakan iklim investasi yang kondusif. Walaupun kebijakan energi nasional sudah ada, namun kebijakan tersebut perlu dilandaskan pada perencanaan energi nasional yang komprehensif. Upaya pemanfaatan energi alternatif dimaksudkan untuk mengurangi penggunaan bahan bakar minyak yang semakin mahal dan ketersediaannya semakin menipis. Sebagai alternatif dapat dipergunakan gas bumi, batubara, dan energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, tenaga nuklir, tenaga surya, tenaga angin, fuel cell (sel bahan bakar), dan biomasa. Kegunaan Sektor ketenagalistrikan selain menjadi bagian yang menyatu dari mesin pertumbuhan ekonomi, juga merupakan komponen sentral pembangunan berkelanjutan. Energi yang berkualitas tinggi, termasuk di dalamnya akses terhadap pelayanan listrik merupakan daya tarik bagi investor untuk melakukan investasi di suatu daerah. Cara Menghitung Sebutkan bentuk inisiatif dan/atau inovasi yang dilakukan pemerintah daerah sebagai upaya menangani krisis listrik di daerah. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hokum dan BAPPEDA serta Kantor PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN Persero) dan/atau Asosiasi Masyarakat Kelistrikan Indonesia (AMKI) di masing-masing daerah. 2.3.3.4. Variabel 4 : Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependudukan Pada Variabel 4 – Pelayanan Tata Kelola Administrasi Kependudukan – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Persentase Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP); dan 2) Persentase Kepemilikan Akte Kelahiran. Secara rinci, penjelasan terhadap indikatorindikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.3.4.1. Persentase Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Definisi Rasio penduduk ber-KTP per satuan penduduk adalah perbandingan jumlah penduduk usia 17 tahun ke atas yang ber-KTP terhadap jumlah penduduk usia 17 tahun ke atas atau telah menikah. Pengertian Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah identitas resmi Penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
- 33 -
Setiap Penduduk berumur di atas 17 tahun atau telah/pernah menikah wajib memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Masa berlaku Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi yang berusia 17 tahun sampai dengan usia di bawah 60 tahun adalah 5 tahun, dan bagi penduduk yang berusia di atas 60 tahun masa berlaku Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah seumur hidup. Cara-cara dan proses pembuatan Kartu Tanda Penduduk diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Kegunaan Nilai indikator ini mencerminkan kemampuan suatu daerah dalam menyelenggarakan tata administrasi kependudukan yang baik dan pelayanan daerah tersebut terhadap penduduk yang ada di daerah tersebut. Semakin tinggi nilai indikator ini, semakin tinggi kemampuan suatu daerah dalam menjamin terselenggaranya tata administrasi kependudukan dan tingkat pelayanan terhadap penduduk, dan semakin tinggi tingkat kemampuan daerah tersebut dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Cara Menghitung Nilai indikator ini dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Jumlah Penduduk Ber-KTP (NIK) x 100 Jumlah Penduduk Wajib KTP (NIK)
Sumber Data Elemen data mengenai Penduduk yang ber-KTP dapat diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. 2.3.3.4.2. Persentase Kepemilikan Akte Kelahiran Definisi Persentase Kepemilikan Akte Kelahiran dalam konteks ini adalah rasio bayi ber-akte kelahiran, yaitu perbandingan jumlah bayi lahir dalam 1 (satu) tahun yang berakte kelahiran terhadap jumlah bayi lahir pada tahun yang sama. Ada 3 jenis akta kelahiran berdasarkan jarak waktu pelaporan dengan kelahiran. yaitu: 1) Akta Kelahiran Umum, merupakan akta kelahiran yang dibuat berdasarkan laporan kelahiran yang disampaikan dalam batas waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari kerja bagi WNI dan 10 (sepuluh) hari kerja bagi WNA sejak tanggal kelahiran bayi. 2) Akta Kelahiran Istimewa merupakan akta Kelahiran yang dibuat berdasarkan laporan kelahiran yang telah melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari kerja bagi WNI dan 10 (sepuluh) hari kerja bagi WNA sejak tanggal kelahiran bayi. 3) Akta Kelahiran Dispensasi merupakan akta Kelahiran yang dibuat berdasarkan Program Pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi mereka yang lahir sampai dengan tanggal 31 Desember 1985 dan terlambat pendaftaran/ pencatatan kelahirannya. Berdasarkan Pasal 27 dan Pasal 28 Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, akta kelahiran berfungsi sebagai: Pasal 27 (1) Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya. (2) Identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran. (3) Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran.
- 34 -
(4)
Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya.
Pasal 28 (1) Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah yang dalam pelaksanaannya diselenggarakan serendah-rendahnya pada tingkat kelurahan/desa. (2) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diajukannya permohonan. (3) Pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dikenai biaya. (4) Ketentuan mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta kelahiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan peraturan perundangundangan. Kegunaan Nilai indikator ini mencerminkan kemampuan suatu daerah menyelenggarakan tata administrasi kependudukan yang baik dan pelayanan daerah tersebut terhadap penduduk yang ada di daerah tersebut. Semakin tinggi nilai indikator ini, semakin tinggi kemampuan suatu daerah dalam menjamin terselenggaranya tata administrasi kependudukan dan tingkat pelayanan terhadap penduduk, dan semakin tinggi tingkat kemampuan daerah tersebut dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Cara Menghitung Nilai indikator ini dapat dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut: Jumlah Bayi Lahir Yang Mempunyai Akte Kelahiran x 100 Jumlah Keseluruhan Bayi Lahir
Sumber Data Elemen data mengenai bayi lahir yang mempunyai “Akte Kelahiran” dapat diperoleh dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. 2.3.4. Peningkatan Daya Saing Daerah Dalam Faktor TOD - 4, terdapat 4 (empat) variabel yang akan diukur, yaitu: 1) Kebijakan Daerah; 2) Kelembagaan Daerah; 3) Fasilitasi Investasi; dan 4) Kinerja Investasi. Pada keempat variabel tersebut terdapat 9 (sembilan) indikator. Berikut ini penjelasan masingmasing variabel dan indikator tersebut. 2.3.4.1. Variabel 1 : Kebijakan Daerah Pada Variabel 1 – Kebijakan Daerah – terdapat 3 (tiga) indikator, yaitu: 1) Perda Tata Ruang; 2) Produk Hukum Daerah (Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) yang Memberikan Perlindungan Lingkungan Hidup; dan 3) Produk Hukum Daerah yang Memberikan Insentif dan/atau Kemudahan Kepada Investor untuk Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah (yang Tertera dalam Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah). Secara rinci, penjelasan terhadap indikatorindikator tersebut diuraikan berikut ini.
- 35 -
2.3.4.1.1. Perda Tata Ruang Definisi Peraturan Daerah (Perda) Tata Ruang adalah dasar hukum pengaturan tata ruang daerah yang dikeluarkan/disahkan oleh pemerintahan daerah dalam rangka penataan ruang wilayah (provinsi/kabupaten/kota), sehingga mampu memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dalam pengembangan wilayah. Perda penataan ruang merupakan landasan hukum (legal instrument) untuk mewujudkan tujuan pengembangan wilayah dan tujuan-tujuan pembangunan. Dalam rangka mewujudkan konsep pengembangan wilayah yang di dalamnya memuat tujuan dan sasaran yang bersifat kewilayahan di Indonesia, maka ditempuh upaya penataan ruang yang terdiri dari 3 (tiga) proses utama yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yakni : a) proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Di samping sebagai “guidance of future actions” RTRW pada dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras, seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability). b) proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri, c) proses pengendalian pemanfaatan ruang yang terdiri atas mekanisme perizinan dan penertiban terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan RTRW dan tujuan penataan ruang wilayahnya. Landasan hukum bagi penataan ruang di Indonesia telah ditetapkan melalui UndangUndang Nomor 24 Tahun 1992. Berdasarkan Pasal 3 UU No. 24 Tahun 1992, termuat tujuan penataan ruang, yakni terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan budidaya, sedangkan sasaran penataan ruang adalah : a) terwujudnya kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; c) terwujudnya keseimbangan kepentingan antara kesejahteraan dan keamanan; d) termanfaatkannya sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdayaguna, berhasil guna dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia; serta e) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan tercegah serta tertanggulanginya dampak negatif terhadap lingkungan. Kegunaan Keberadaan Perda Tata Ruang akan sangat membantu dalam proses penyiapan rencana pengembangan wilayah berupa Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional atau RTRWN, RTR Pulau, RTRW Provinsi, serta RTRW Kabupaten dan Kota. Selain itu, keberadaan Perda Tata Ruang bermanfaat untuk pengembangan sistem permukiman dan sebagai rencana pengembangan (spatial development plan) untuk kawasan-kawasan fungsional yang memiliki nilai strategis. Dalam konteks penataan ruang, RTRW Provinsi merupakan perencanaan makro strategis jangka menengah dengan horizon waktu 15 (lima belas) tahun pada skala ketelitian 1 : 250.000. Sementara, RTRW Kabupaten dan Kota merupakan perencanaan mikro operasional jangka menengah (5-10 tahun) dengan skala ketelitian 1 : 100.000 hingga 1:20.000, yang kemudian diikuti dengan rencana-rencana rinci yang bersifat mikrooperasional jangka pendek dengan skala ketelitian di bawah 1:5.000. Cara Menghitung Sebutkan Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda mengenai penataan ruang.
- 36 -
Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, penataan ruang, dan BAPPEDA. 2.3.4.1.2. Produk Hukum Daerah (Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) yang Memberikan Perlindungan Lingkungan Hidup Definisi Produk Hukum Daerah yang Memberikan Perlindungan Lingkungan Hidup adalah keberadaan perda, peraturan/keputusan kepala daerah, renstra, program, dan/atau kegiatan yang ditetapkan pemerintah daerah dalam rangka menumbuhkan kesadaran bersama tentang kondisi lingkungan dan sumber daya alam yang semakin buruk. Perda perlindungan lingkungan ini pada akhirnya akan mendesak seluruh pemerintahan daerah untuk segera merubah paradigma pembangunannya, dari ekonomi-konvensional menjadi ekonomi-ekologis. Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk: 1. Mengarusutamakan (mainstreaming) prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan; 2. Meningkatkan koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat nasional dan daerah; 3. Meningkatkan upaya harmonisasi pengembangan hukum lingkungan dan penegakannya secara konsisten terhadap pencemar lingkungan; 4. Meningkatkan upaya pengendalian dampak lingkungan akibat kegiatan pembangunan; 5. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup baik di tingkat nasional maupun daerah, terutama dalam menangani permasalahan yang bersifat akumulasi, fenomena alam yang bersifat musiman dan bencana; 6. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup; dan 7. Meningkatkan penyebaran data dan informasi lingkungan, termasuk informasi wilayah-wilayah rentan dan rawan bencana lingkungan dan informasi kewaspadaan dini terhadap bencana. Kegunaan Perda terkait “Perlindungan Lingkungan Hidup” sangat bermanfaat sebagai sarana pengawasan yang mampu memaksa para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pemanfaatan lingkungan dan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Dengan demikian sumber daya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system). Kehadiran Perda “Perlindungan Lingkungan” juga berguna untuk memberikan penguatan sebagai upaya pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan pengembangan hukum lingkungan di daerah. Karena, hingga saat ini, kelestarian lingkungan dan keberadaan sumber daya alam sangat berperan sebagai tulang punggung perekonomian nasional, dan masih akan diandalkan dalam jangka menengah. Cara Menghitung Sebutkan Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah, Renstra, Program, dan/atau Kegiatan yang mendukung perlindungan lingkungan.
- 37 -
Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, BAPEDALDA, dan/atau BAPPEDA. 2.3.4.1.3. Produk Hukum Daerah yang Memberikan Insentif dan/atau Kemudahan Kepada Investor untuk Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah (yang Tertera dalam Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah) Definisi Produk Hukum Daerah yang Memberikan Insentif dan/atau Kemudahan Kepada Investor untuk Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah adalah perda, peraturan/keputusan kepala daerah yang ditetapkan pemerintah daerah untuk menggairahkan iklim investasi, sehingga banyak investor yang berinvestasi di daerah. Kegunaan Produk hukum pemberian insentif ini bermanfaat untuk meningkatkan nilai dan realisasi investasi di daerah, meningkatkan produksi dan memperluas pasar lokal melalui penambahan permintaan dalam negeri yang berimplikasi pada berkurangnya produk impor. Selain itu, kebijakan keringanan/penghapusan biaya pajak dan retribusi daerah yang diberikan kepada investor akan berimplikasi pada penyediaan lapangan kerja, peningkatan produksi dan peningkatan daya beli masyarakat, sehingga pasar dalam negeri mampu menyerap produksi industri nasional. Cara Menghitung Sebutkan Nama/Judul, Nomor dan Tanggal Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah yang mendukung pemberian insentif dan/atau kemudahan kepada investor untuk keringanan/penghapusan biaya pajak dan retribusi daerah. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum, penanganan investasi, dan BAPPEDA. 2.3.4.2. Variabel 2 : Kelembagaan Daerah Pada Variabel 2 – Kelembagaan Daerah – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Tipologi Institusi Pelayanan Terpadu; dan 2) Ketersediaan Informasi Potensi Ekonomi Daerah yang Ditampilkan Dalam Situs Web Pemda. Secara rinci, penjelasan terhadap indikatorindikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.4.2.1. Tipologi Institusi Pelayanan Terpadu Definisi Mengacu pada Angka 11 Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), dijelaskan bahwa penyelenggaraan PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat. Keadaan ini sangat berbeda dengan ”Pelayanan Satu Atap” (PSA), dimana PSA tidak memberikan pelayanan paripurna karena kewenangan penerbitan/ penandatangan perizinan masih tetap berada di Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Tujuan penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah: a. Meningkatkan kualitas layanan publik; b. Memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik. Sasaran penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu adalah:
- 38 -
a. Terwujudnya pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti, dan terjangkau; b. Meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik. Penyederhanaan penyelenggaraan PTSP mencakup: a. Pelayanan atas permohonan perizinan dan non perizinan dilakukan oleh Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP). b. Percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah. c. Kepastian biaya pelayanan tidak melebihi dari ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah. d. Kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap tahapan proses pemberian perizinan dan non perizinan sesuai dengan urutan prosedurnya. e. Mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk dua atau lebih permohonan perizinan. f. Pembebasan biaya perizinan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang ingin memulai usaha baru sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan g. Pemberian hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan. Berdasarkan Pasal 11 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006, jangka waktu penyelesaian pelayanan perizinan dan non perizinan ditetapkan paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung mulai sejak diterimanya berkas permohonan beserta seluruh kelengkapannya. Kegunaan Pada prinsipnya PTSP memberikan pelayanan yang bersifat paripurna, artinya keseluruhan proses pelayanan dari awal sampai akhir dilayani di PTSP. Dalam hal perizinan, PTSP mencakup proses awal perizinan dari pengajuan permohonan, sampai dengan penandatanganan dan penyerahan perizinan. Dengan PTSP ini, proses investasi di daerah lebih disederhanakan, sehingga lebih cepat, tepat, transparan, dan akuntabel serta tidak lagi harus melalui berbagai lembaga dan instansi terkait yang berbeda-beda. Dalam lingkup evaluasi ini, secara khusus yang dicakup adalah pelayanan perizinan terpadu dalam hal perizinan usaha. Cara Menghitung Sebutkan Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda, Peraturan/Keputusan Kepala Daerah yang mengatur kelembagaan, kewenangan, tugas, fungsi, dan tanggung jawab pelayanan terpadu (satu pintu) perizinan usaha; juga identifikasi lingkup layanan pelayanan terpadu pada kolom isian yang telah disediakan. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani produk-produk hukum dan/atau institusi yang menangani perijinan/investasi. 2.3.4.2.2. Ketersediaan Informasi Potensi Ekonomi Daerah Yang Ditampilkan Dalam Situs Web Pemda Definisi Ketersediaan Informasi Potensi Ekonomi Daerah yang Ditampilkan dalam Situs Web Pemda adalah informasi potensi ekonomi daerah yang dipublikasikan melalui situs web pemda sebagai salah satu media informasi dan komunikasi kepada masyarakat/publik. Bentuk penyajian informasi memanfaatkan perkembangan teknologi informasi komunikasi (Information Comummnication Technology), yaitu perubahan dari bentuk buku (publikasi konvensional) ke bentuk publikasi elektronik (media baru) melalui internet.
- 39 -
Menampilkan informasi potensi ekonomi daerah melalui situs web Pemerintah Daerah mempunyai sasaran agar masyarakat Indonesia dapat dengan mudah memperoleh akses kepada informasi dan layanan Pemerintah Daerah, dan ikut berpartisipasi di dalam pembangunan daerah. Kegunaan Situs web Pemda merupakan “jendela” informasi dari suatu Pemerintah Daerah. Keberadaan situs web tersebut memudahkan pengaksesan potensi ekonomi maupun eksistensi pemda. Penayangan potensi ekonomi melalui situs web membuat jalannya pemerintahan daerah dapat lebih cepat dan efisien, manakala hendak mengundang para investor untuk berinvestasi di daerah. Akselerasi kecepatan pelayanan berarti juga merupakan penghematan dalam waktu, energi maupun sumber daya. Cara Menghitung Sebutkan “Nama Domain” dan “Alamat atau URL Situs Web Pemda” yang memuat potensi perekonomian daerah. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang mengelola data elektronik, informasi dan komunikasi (infokom), dan/atau BAPPEDA. 2.3.4.3. Variabel 3 : Fasilitasi Investasi Pada Variabel 3 – Fasilitasi Investasi – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Anggaran Program Pengembangan Usaha Untuk UMKM (Anggaran APBD untuk Kegiatan-kegiatan yang Terkait Peningkatan Kapasitas UMKM) dalam hal: (a) produksi; (b) pemasaran; (c) akses finansial; dan (d) administrasi keuangan usaha; dan 2) Forum Komunikasi Reguler Antara Kepala Daerah (Beserta Jajaran SKPD Terkait) dengan Pelaku Usaha yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-Investasi Secara Konsisten Mekanisme yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-Investasi secara Konsisten. Secara rinci, penjelasan terhadap indikator-indikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.4.3.1. Anggaran Program Pengembangan Usaha Untuk UMKM Definisi Anggaran Program Pengembangan Usaha Untuk UMKM adalah anggaran APBD yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan peningkatan kapasitas UMKM, terutama dalam hal: a) produksi; b) pemasaran; c) akses finansial; dan d) administrasi keuangan usaha. Perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi memiliki potensi yang besar dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Hal ini ditunjukkan oleh keberadaan UMKM dan koperasi yang telah mencerminkan wujud nyata kehidupan sosial dan ekonomi bagian terbesar dari rakyat Indonesia. Peran UMKM yang besar ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap produksi nasional, jumlah unit usaha dan pengusaha, serta penyerapan tenaga kerja. Alokasi anggaran dalam APBD yang peruntukannya secara spesifik untuk program pengembangan usaha melalui UMKM bertujuan untuk: 1) peningkatan kualitas SDM; 2) peningkatan kualitas produk/jasa; 3) promosi produk/jasa; dan 4) pengelolaan keuangan/akses pembiayaan. Program dapat berupa training, workshop, pameran, dan lain-lain. Kegunaan Koperasi dan UMKM menempati posisi strategis untuk mempercepat perubahan struktural dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Melalui penyediaan anggaran program pengembangan usaha, UMKM diharapkan dapat lebih berperan dalam meningkatkan posisi tawar dan efisiensi ekonomi rakyat, sekaligus turut memperbaiki
- 40 -
kondisi persaingan usaha di pasar melalui dampak eksternalitas positif yang ditimbulkannya. Sementara itu, UMKM berperan dalam memperluas penyediaan lapangan kerja, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, dan memeratakan peningkatan pendapatan. Bersamaan dengan itu adalah meningkatnya daya saing dan daya tahan ekonomi nasional. Pengalokasian anggaran program pengembangan usaha untuk UMKM sangat bermanfaat dalam pencapaian sasaran dan kinerja UMKM, yaitu: 1. Meningkatnya produktivitas UMKM dengan laju pertumbuhan lebih tinggi dari laju pertumbuhan produktivitas nasional; 2. Meningkatnya proporsi usaha kecil formal; 3. Meningkatnya nilai ekspor produk usaha kecil dan menengah dengan laju pertumbuhan lebih tinggi dari laju pertumbuhan nilai tambahnya; 4. Berfungsinya sistem untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi; dan 5. Meningkatnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi sesuai dengan jatidiri koperasi. Cara Menghitung Keberadaan “Program Pengembangan Usaha Untuk UMKM” atau sejenisnya yang dianggarkan dalam pembiayaannya dalam APBD dapat dilihat dari Peraturan Daerah dan/atau Peraturan/Keputusan Kepala Daerah yang telah disahkan. Selain itu, nilai indikator ini dapat juga diperoleh dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Alokasi Anggaran Program Pengembangan Usaha Untuk UMKM Jumlah Anggaran Belanja Daerah
x 100
Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani UMKM, Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), dan BAPPEDA. 2.3.4.3.2. Forum Komunikasi Reguler Kepala Daerah (Beserta Jajaran SKPD Terkait) dengan Pelaku Usaha yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-Investasi Secara Konsisten Definisi Forum Komunikasi Reguler Kepala Daerah (dan Jajaran SKPD Terkait) dengan Pelaku Usaha yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-investasi secara Konsisten adalah forum yang diselenggarakan oleh pemerintahan daerah secara reguler untuk meningkatkan kualitas hubungan pemerintah daerah dengan pelaku usaha (dapat mencakup pengembangan potensi daerah, pemecahan masalah pelaku usaha, dll.). Forum komunikasi tersebut diadakan tidak dengan suatu agenda khusus, dan tidak untuk menanggapi suatu kebijakan atau masalah tertentu, namun secara rutin (dapat bulanan, dua bulan sekali, triwulanan, dsb.) diadakan untuk tujuan tersebut di atas. Forum komunikasi dapat berupa coffee morning, forum bulanan, dll. Kegunaan Dalam konteks pembangunan regional, peran investasi pelaku usaha memegang peran penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Keberadaan mekanisme yang menjamin terlaksananya kebijakan pro-investasi secara konsisten melalui suatu forum komunikasi reguler akan menciptakan dan memperbaiki
- 41 -
iklim investasi yang kondusif dan mendorong bahkan memperkuat pertumbuhan ekonomi dengan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi. Dengan kata lain, masuknya investasi ke suatu daerah sangat bergantung pada keberadaan mekanisme yang menjamin terlaksananya kebijakan pro-investasi secara konsisten Disisi lain, kebijakan desentralisasi pemerintahan di Indonesia yang mulai diterapkan sejak tahun 2001 telah mengamanatkan kepada pemerintah daerah untuk turut berperan besar dalam upaya penciptaan iklim investasi yang kondusif di daerahnya. Oleh karena itu, dengan kewenangan di bidang pemerintahan yang telah diserahkan kepada pemerintah daerah, pemerintah daerah dituntut untuk menyiapkan mekanisme yang dapat menjamin terlaksananya kebijakan pro-investasi secara konsisten di daerah. Bagi investor, keberadaan mekanisme dan implementasi kebijakan pro-investasi secara konsisten sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan lokasi untuk investasi. Semakin banyak peraturan daerah yang dapat menciptakan iklim usaha, semakin suatu daerah mampu menyelenggarakan otonomi. Cara Menghitung Sebutkan nama dan mekanisme diselenggarakannya forum komunikasi regular; dilengkapi dengan lampiran daftar hadir dan/atau notulensi pertemuan, rencana tindak lanjut atas hasil pertemuan, dan lain-lain dokumen yang menunjukkan diselenggarakannya forum komunikasi tersebut secara reguler. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani investasi/ perekonomian daerah, Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), BAPPEDA, dan/atau Satuan Pengawas Daerah (Inspektorat/Bawasda). 2.3.4.4. Variabel 4 : Realisasi Investasi Pada Variabel 4 – Fasilitasi Daerah – terdapat 2 (dua) indikator, yaitu: 1) Jumlah Realisasi Investasi; dan 2) Nilai Realisasi Investasi. Secara rinci, penjelasan terhadap indikatorindikator tersebut diuraikan berikut ini. 2.3.4.4.1. Jumlah Realisasi Investasi Definisi Jumlah Realisasi Investasi adalah sejumlah manfaat (ekonomi, sosial, dan lainnya) yang diperoleh pemda manakala seseorang atau badan hukum menempatkan sejumlah dana dan/atau barang dalam jangka panjang sebagai suatu investasi dan telah disetujui pemerintah daerah. Jadi, jumlah investasi adalah jumlah proyek investasi yang telah terealisir, baik proyek baru maupun perluasan skala usaha. Dalam kenyataannya, realisasi investasi di daerah perkotaan cenderung pada industri, perdagangan, dan jasa (sektor sekunder) sementara di wilayah kabupaten cenderung pada sektor primer. Peningkatan investasi Daerah akan dapat terwujud jika di Daerah terdapat potensi yang dapat “dijual” kepada para investor, baik itu berupa potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusia. Selanjutnya hal yang sangat penting lagi adalah kemampuan Daerah menjual potensi yang dimilikinya tersebut. Kemampuan Daerah untuk menjual tersebut harus didukung oleh terciptanya iklim yang kondusif dan mendukung investasi di Daerah seperti adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum bagi investasi di Daerah. Pemerintah Daerah hendaknya juga mampu melahirkan regulasi yang dapat memacu pertumbuhan perekonomian yang mampu merebut investor PMA dan PMDN sekaligus memberdayakan investor lokal. Keberhasilan Pemerintah Daerah mengelola faktor-faktor tersebut akan dapat mendorong peningkatan daya saing daerah dalam merebut investor.
- 42 -
Kegunaan Jumlah realisasi investasi dunia usaha di daerah diharapkan dapat memacu pertumbuhan perekonomian daerah sekaligus pemerataan pendapatan masyarakat. Dengan banyaknya realisasi investasi dunia usaha di daerah, maka diharapkan semakin bertambahnya lapangan kerja yang dapat menampung angkatan kerja. Hal ini juga akan membawa dampak terhadap penurunan angka urbanisasi. Cara Menghitung Sebutkan jumlah realisasi investasi per tahun. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani penanaman modal/investasi/perekonomian daerah, Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), dan BAPPEDA. 2.3.4.4.2. Nilai Realisasi Investasi Definisi Nilai Realisasi Investasi adalah nilai moneter (rupiah dan/atau USD) yang ditanamkan dalam suatu proyek investasi di suatu daerah, telah disetujui, dan yang sudah direalisasi, baik proyek baru maupun perluasan skala usaha. Pemda dalam meraih investasi di daerah harus memperhatikan peningkatan nilai investasi dan sekaligus pemberdayaan investasi kalangan dunia usaha lokal. Kegunaan Kegunaannya adalah untuk mengetahui capaian kinerja pemda dalam menarik investasi. Diharapkan dengan menggaet investor ke daerah akan dapat menimbulkan dampak positif bagi pengembangan dunia usaha daerah dan memacu pertumbuhan ekonomi daerah yang akan bermuara kepada peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat di daerah. Iklim investasi yang kondusif, jaminan keamanan, dan kepastian hukum diharapkan akan turut meningkatkan nilai investasi ke daerah. Cara Menghitung Sebutkan nilai realisasi investasi per tahun. Pembobotan jumlah investasi lebih besar dibandingkan nilai investasi dengan pertimbangan semakin banyak jumlah proyek investasi (banyak investor) menunjukkan tingkat attractiveness daerah yang tinggi dan tingkat kerumitan yang lebih tinggi dalam menangani banyak investor; dibandingkan dengan sedikit jumlah proyek investasi, namun dengan nilai proyek investasi yang lebih besar. Sumber Data Elemen data tersebut dapat diperoleh dari SKPD yang menangani penanaman modal/investasi/perekonomian daerah, Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah (SKPKD), dan BAPPEDA. III.
PROSEDUR DAN TATA CARA PENILAIAN
3.1. Tahapan Evaluasi DOHP Sistem evaluasi yang digunakan pada evaluasi daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dilaksanakan melalui 4 (empat) tahap. Dalam konteks ini, keempat tahapan tersebut harus dilakukan karena sistem evaluasi DOHP merupakan satu kesatuan yang komprehensif agar diperoleh hasil evaluasi yang optimal. Keempat tahapan evaluasi DOHP tersebut meliputi: 1. Tahap I – Persiapan a. Kegiatan Penyusunan Pedoman Evaluasi DOHP Kegiatan ini dilakukan untuk merumuskan Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Pedoman Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran yang dapat dipahami
- 43 -
dan dijadikan acuan oleh seluruh unsur yang terlibat dalam Evaluasi DOHP. Aktivitas yang dilakukan dalam kegiatan ini, yaitu: 1) Perumusan Faktor, Variabel, dan Indikator Dasar perumusan ”faktor” dalam evaluasi DOHP adalah Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa tujuan otonomi daerah (TOD) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik, dan daya saing daerah. Selain itu, ditambahkan faktor ”Good Governance” sebagai wujud rasa kepedulian terhadap upaya pembenahan tata kelola pemerintahan daerah dengan mencermati dinamika yang berkembang sejak reformasi didengungkan tahun 1998. Selanjutnya, setiap “Tujuan Otonomi Daerah” (TOD) yang sekaligus merepresentasikan “Tujuan Pemekaran Daerah” (TPD) ditetapkan menjadi “Faktor” evaluasi. Setiap faktor tersebut terdiri dari beberapa “Variabel” yang hendak diukur dan pada masing-masing “Variabel” tersebut terdapat beberapa “Indikator”. Penetapan indikator tersebut memperhatikan 7 (tujuh) persyaratan utama yang harus dipenuhi oleh suatu indikator, yaitu: 1) ketersediaan data; 2) kemudahan dalam memperoleh data; 3) kemudahan dalam proses penghitungan data; 4) relevan; 5) terukur; 6) akurat dan valid; dan 7) reliabel. 2) Pembobotan Faktor, Variabel, dan Indikator ”Sistem Pembobotan” merupakan suatu sistem yang menggunakan dasar matematika dan prinsip dasar statistika sederhana dalam proses pengambilan keputusan terhadap hasil evaluasi DOHP. Setiap kriteria penilaian memiliki satu bobot sendiri yang telah didesain sedemikian rupa, sehingga memenuhi prinsipprinsip obyektivitas, validitas, reliabilitas, dan rasa keadilan serta common sense dalam upaya memperoleh hasil yang obyektif-realistis dari evaluasi DOHP. Bobot tersebut ditetapkan dalam bentuk persentase (%). Berikut ini ditetapkan “Faktor”, “Variabel”, dan “Indikator” dengan komposisi “Bobot Penilaian”, “Skor”, dan “Total Nilai” sebagaimana tabel berikut. Tabel 3.1. Komposisi Bobot Penilaian, Skor, dan Total Nilai “Faktor, Variabel, dan Indikator” Evaluasi DOHP
No
Faktor
Variabel
Indikator
1.
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Variabel 1: Peningkatan Kemakmuran 1. Masyarakat 1. 1.1.1. Laju Pertumbuhan PDRB Per Kapita 2. 1.1.2. Pengurangan Angka Kemiskinan 3. 1.1.3. Kebijakan (Perda, Program, Renstra, Kegiatan) Pemberdayaan Penduduk Miskin 2. Variabel 2: Berkurangnya Ketimpangan Gender
Bobot Skor Penilaian (1-5)*
30% 80% 30% 40% 30%
20%
Total Nilai (Bobot x Skor)
- 44 -
No
Faktor
Variabel
Bobot Skor Penilaian (1-5)*
Indikator
4. 1.2.1. Produk Hukum (Perda, Peraturan/Keputusan KDH) Tentang Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan 5. 1.2.2 Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan (Badan/Dinas/Kantor) 2.
Good Governance 3. Variabel 1: Efektivitas 6. 2.1.1. Ketepatan Waktu Menetapkan APBD
Daerah
7. 2.1.2 Daya Serap Anggaran (APBD) Per Tahun
3.
50%
50%
25% 20% 40% 60%
4. Variabel 2: Transparansi 8. 2.2.1. Produk Hukum Daerah Untuk Transparansi 9. 2.2.2 Publikasi APBD dan Pengadaan Barang/Jasa (Procurement)
20%
5. Variabel 3: Akuntabilitas 10. 2.3.1 Pelembagaan Penanganan Pengaduan Masyarakat
40%
11. 2.3.2 Pakta Integritas/Kontrak Kinerja 12. 2.3.3 Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 13. 2.3.4 Persentase Belanja DPRD dan Persentase Belanja Kepala Daerah Terhadap APBD
30%
6. Variabel 4: Partisipasi 14. 2.4.1. Konsultasi Publik Dalam Setiap Proses Penyusunan Perda, APBD, dll. 15. 2.4.2 Jumlah Perda Inisiatif DPRD
20%
30% 70%
30%
20%
20%
60%
40%
Ketersediaan Pelayanan Publik
25%
7. Variabel 1: Pendidikan
25%
Total Nilai (Bobot x Skor)
- 45 -
No
Faktor
Variabel Indikator
16. 3.1.1. Persentase Anggran Pendidikan Terhadap APBD
50%
17. 3.1.2. Angka Partisipasi Kasar (APK) Pendidikan SD/Sederajat, SMP/Sederajat, dan SMA/Sederajat
50%
8. Variabel 2: Kesehatan 18. 3.2.1. Persentase Anggaran Kesehatan Terhadap APBD 19. 3.2.2. Persentase Balita Gizi Buruk
25%
Variabel 3: Penyediaan Sarana dan Prasarana Pelayanan Umum 20. 3.3.1. Akses Terhadap Air Bersih & Sanitasi 21. 3.3.2. Panjang Jalan Per Luas Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota) 22. 3.3.3. Inisiatif Program Pemda untuk Menangani Krisis Listrik Variabel 4: Pelayanan Tata Kelola Administrasi 10. Kependudukan 23. 3.4.1. Persentase Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
25%
24. 3.4.2. Persentase Kepemilikan Akta Kelahiran
50%
9.
4.
Bobot Penilaian
Peningkatan Daya Saing Daerah 11. Variabel 1: Kebijakan Daerah 25. 4.1.1. Perda Tata Ruang 26. 4.1.2. Produk Hukum Daerah (Perda, Peraturan/Keputusan KDH) yang Memberikan Perlindungan Lingkungan Hidup
50% 50%
40% 35% 25% 25% 50%
20% 30% 30% 30%
Skor (1-5)*
Total Nilai (Bobot x Skor)
- 46 -
No
No
Faktor
Variabel Indikator
Bobot Penilaian
27. 4.1.3. Produk Hukum Daerah yang Memberikan Intensif dan/atau Kemudahan Kepada Investor untuk Keringanan/Penghapusan Biaya Pajak dan Retribusi Daerah (yang Tertera dalam Perda, Peraturan/Keputusan KDH)
40%
12. Variabel 2: Kelembagaan Daerah 28. 4.2.1. Tipologi Institusi Pelayanan Terpadu
20%
29. 4.2.2. Ketersediaan Informasi Potensi Ekonomi Daerah Yang Ditampilkan Dalam Situs Web Pemda
40%
13. Variabel 3: Fasilitasi Investasi 30. 4.3.1. Anggran Program Pengembangan Usaha Untuk UMKM (Anggaran APBD untuk Kegiatankegiatan yang Terkait Peningkatan Kapasitas UMKM) Dalam hal: a) produksi; b) pemasaran; c) akses financial; dan d) administrasi keuangan usaha 31. 4.3.2. Forum Komunikasi Reguler Kepala Daerah (dan Jajaran SKPD Terkait) dengan Pelaku Usaha yang Menjamin Terlaksananya Kebijakan Pro-investasi secara Konsisten
25%
14. Variabel 4: Realisasi Investasi 32. 4.4.1. Jumlah Realisasi Investasi
25%
33. 4.4.2. Nilai Realisasi Investasi
Skor (1-5)*
Total Nilai (Bobot x Skor)
60%
40%
60%
60% 40%
Catatan: *) Skor 1 = Sangat Tidak Mampu; Skor 2 = Tidak Mampu; Skor 3 = Kurang Mampu; Skor 4 = Mampu; dan Skor 5 = Sangat Mampu.
- 47 -
3) Penyusunan Kuesioner Dalam upaya menghasilkan ”data colection” yang lengkap dari seluruh indikator, dirumuskanlah pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada responden dalam hal ini adalah unsur pemerintahan di DOHP. Kuesioner yang dirumuskan terdiri dari 2 jenis sebagaimana sajikan pada ”Form F-01 – Kuesioner Data Umum” dan ”Form F-02 – Kuesioner Indikator Kinerja DOHP” sebagai satu kesatuan. 4) Ujicoba Kuesioner (uji petik terhadap Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota) Mengingat keberagaman pemahaman responden (aparatur pemda) terhadap kuesioner, maka perlu melakukan ujicoba enumerasi atau pengisian kuesioner. Enumerasi ini dilakukan dengan memilih calon enumerator yang wewakili keberagaman pemahaman terhadap kuesioner, yaitu sampel pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang dipilih secara selektif. Melalui kegiatan ini diharapkan terbangun kesamaan pemahaman terhadap intrumen evaluasi DOHP, terutama ”kuesioner” sebagai media pengumpulan data baik terhadap data primer maupun data sekunder. Apabila terjadi ketidaksepahaman dalam pengisian pada tahap ujicoba tersebut, maka dilakukan wawancara mendalam terhadap kuesioner untuk mengetahui apakah rumusan kuesioner tersebut sudah tepat. Apabila tidak tepat, langkah selanjutnya adalah perumusan kembali secara bersama antara calon responden dengan tim evaluator. Melalui proses ini diharapkan dapat diperoleh kuesioner yang valid dan sahih. 5) Finalisasi Pedoman Evaluasi DOHP Mengacu pada hasil ujicoba, selanjutnya dilakukan penyempurnaan naskah pedoman evaluasi DOHP terutama terhadap kuesioner. Setelah selesai, pedoman evaluasi ini ditetapkan melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri dan disosialisasikan kepada pemerintah daerah pada Rapat Teknis. b. Kegiatan Persiapan Pengumpulan Data Kegiatan ini dilakukan untuk mempersiapkan bahan dan perlengkapan lainnya yang diperlukan oleh Tim Evaluator agar dapat memperoleh data secara lengkap dan akurat. Rangkaian kegiatan ini meliputi: 1) Penyusunan Tim Evaluasi DOHP Tim Evaluasi DOHP terdiri dari beberapa unsur, yaitu: Tim Pakar atau Tenaga Ahli, Tim Pengumpulan Data dan/atau Tim Verifikasi dan Validasi, Tim Pengolah Data (entry data dan cleaning data), Tim Pembuat Model/Sistem/Software EDOHP, dan Tim Analisis serta Penyusunan Laporan. 2) Penyusunan Rencana dan Jadwal Rapat Teknis dengan Pemerintahan DOHP dan Pemerintahan Daerah Induk (DI). Rapat Teknis (Ratek) dimaksudkan untuk menyampaikan kejelasan maksud dan tujuan EDOHP kepada pemerintah daerah sekaligus untuk memperoleh data yang dilakukan melalui pengisian kuesioner. 3) Penyiapan Bahan dan Perlengkapan (Pedoman dalam bentuk hard copy dan soft copy/CD serta chek list). Dalam upaya percepatan dan kemudahan pengumpulan data, maka pedoman dan kuesioner disiapkan dalam bentuk hardcopy maupun soft copy. 4) Persiapan Administrasi dan Undangan. 2. Tahap II – Pengumpulan Data Pengumpulan data kebutuhan EDOHP dilakukan melalui beberapa cara diantaranya melalui penyelenggaraan Rapat Teknis (Ratek). Dalam ’Ratek’ dijelaskan maksud dan tujuan evaluasi 205 DOHP, mekanisme pengumpulan dan pengolahan data serta menggugah pemda untuk aktif menyediakan data dalam rangka pembinaan dan
- 48 -
pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan cara memantau kinerja DOHP. Langkah selanjutnya setelah pengisian kuesioner oleh pemda ialah verifikasi dan validasi terhadap data, sehingga tidak dijumpai kekurangan data primer maupun data sekunder yang dikumpulkan. Apabila terjadi kekurangan, maka dilakukan konfirmasi kepada pemerintah daerah yang bersangkutan untuk segera melengkapinya, agar tidak menyebabkan distorsi atau kesalahan pada saat pengolahan data maupun analisis data. Apabila memungkinkan, dilakukan pengecekan lapang terhadap data yang tidak terkumpul. Hal ini dimaksudkan untuk melengkapi kekurangan data serta untuk melihat kondisi obyektif di daerah yang bersangkutan. 3. Tahap III – Pengolahan Data Pengolahan data dalam evaluasi ini menggunakan model/sistem/software evaluasi DOHP. Mengingat terdapat 332 field sebagai unit analisis yang terdiri dari 205 DOHP dan 127 Daerah Induk (DI) dengan 33 indikator yang akan dianalisis, pengolahan data dilakukan dalam 2 (dua) fase kegiatan, yaitu: 1) Pengolahan Data Tahap I (Manual) Fase manual ini dimaksudkan untuk memverifikasi kesalahan penulisan dan memvalidasi kebenaran data. Caranya, membandingkan kuesioner dengan data sekunder yang akurat, misalnya data hasil penelitian BPS. Data hasil verifikasi ini dapat meminimalisasi dan memperlancar proses ‘entry data’, sehingga kualitas data yang dihasilkan mendekati sempurna. 2) Pengolahan Data Tahap II (Cleaning Data) Fase ‘cleaning data’ dimaksudkan untuk proses ‘entry data’ ke dalam sistem/model/software evaluasi DOHP. Kuesioner yang telah lebih dahulu diverifikasi dan divalidasi akan lebih memudahkan dan mempercepat proses ‘entry data’. Setelah ‘entry data’ diselesaikan secara menyeluruh, dilakukan ‘cleaning data’ dengan melihat dan membandingkannya dengan data sekunder yang “time series”, sehingga hasil atau gambaran “time series” yang diperoleh dari ‘data entry’ tersebut menjadi wajar. Kegiatan inilah yang dimaksud dengan cleaning data. Fase ini memakai “Z Score” untuk merasionalkan dalam membandingkan data yang beragam, yaitu data yang bersifat kuantitatif dan kualitatif. 4. Tahap IV – Analisis dan Penyusunan Laporan Sebagai akhir dalam proses evaluasi DOHP, dilakukan kegiatan Analisis dan Penyusunan Laporan Hasil Evaluasi Daerah Otonom Hasil Pemekaran atau LHE-DOHP. Kegiatan analisis ini dimulai dengan melakukan penilaian dan kategorisasi kapasitas DOHP, pemberian rekomendasi (Kotak Rekomendasi), dan berakhir dengan penyusunan laporan (LHE-DOHP). Pemberian rekomendasi dalam konteks evaluasi DOHP ini dimaksudkan untuk memberikan solusi bagi pemda untuk meningkatkan kinerjanya. Rekomendasi tersebut merupakan acuan bagi pemda untuk selanjutnya dituangkan ke dalam Konsep “Rencana Tindak Pengembangan Kapasitas” Aparatur Pemda (CB-AP) dan ditetapkan melalui produk hukum daerah terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
- 49 -
DIREKTORAT PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN EVALUASI KINERJA DAERAH DIREKTORAT JENDERAL OTONOMI DAERAH KEMENTERIAN DALAM NEGERI KOTAK REKOMENDASI Rekomendasi Tim Penilai Teknis (Tim Pakar): ..……………………………………………………………………………………………………………………………………… ………………………………………………………………….……………………………………………………………………… …………….…………………………………………………………….…………………………………………………………… …………………….…………………………………………………………….…………………………………………………… …………………………….…………………………………………………………….…………………………………………… ………………………………….………………………………………………………….………………………………………… ……………………………………….……………………………….……………………………………………………………… ………………………….…………………………………………………………….……………………………………………… ………………………………………….………………… Ketua
:
Anggota
:
…………………………. 1.
………………………….
2.
………………………….
3.
………………………….
4.
………………………….
5.
………………………….
6.
………………………….
7.
………………………….
8.
………………………….
Gambar 3.1. Kotak Rekomendasi
- 50 -
3.2. Metode Penilaian Dalam Rangka Evaluasi DOHP 1) Semua respons (jawaban) atas setiap pertanyaan dalam Kuesioner “Indikator Kinerja DOHP” (F-02) di-‘coding’ sesuai dengan tabel ‘coding’ yang sudah disiapkan. Ada 3 (tiga) skala dalam ‘coding’ yang mungkin digunakan, yaitu: (1) skala nominal; (2) skala ordinal; dan (3) ukuran ratio. (1) Skala Nominal untuk indikator dengan nomor: 9, 11,12, 14, 22, 25, (28), 29, dan 31. (2) Skala Ordinal untuk indikator dengan nomor: 3, 4, 5, 6, 8, 10, 26, 27, (28), dan 30. (3) Bilangan Ratio untuk indikator dengan nomor: 1, 2, 7, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 24, 32, dan 33. 2) Setiap ‘coding’ pada gilirannya akan dikonversi (sesuai prosedur yang sudah ditentukan untuk masing-masing item pertanyaan) menjadi ‘score’. Catatan: ‘Score’ (langkah kedua) sama dengan “Skala Ordinal” pada langkah pertama (coding). 3) Selanjutnya, nilai dari setiap item pertanyaan distandarisasi, sehingga diperoleh nilai standar “Z-score”. Asumsi dari penggunaan pendekatan ini adalah sebaran nilai yang diperoleh secara statistik terdistribusi secara normal. Standarisasi atau normalisasi ‘score’ diterapkan terhadap seluruh indikator untuk menghilangkan satuan score/nilai masing-masing indikator yang memiliki ukuran berbeda dengan skala nominal, skala ordinal, dan rasio. Dengan asumsi bahwa semua indikator dinilai dengan skala 0 sampai dengan 100, dimana nilai 0 adalah nilai terjelek suatu daerah untuk masingmasing indikator yang dimaksud, sedangkan nilai 100 adalah nilai terbaik suatu daerah untuk masing-masing indikator yang dimaksud; maka normalisasi dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: Z = 100 x (X – Xmin) (Xmax. – Xmin.)
4) Kemudian, “Z-score” dari setiap indikator (33 indikator) dikalikan dengan bobot dari masing-masing indikator, sehingga diperoleh nilai tertimbang dari masing-masing indikator. 5) Lalu, nilai tertimbang dari setiap indikator dijumlahkan, sehingga diperoleh Nilai Total ‘Score’ untuk setiap DOHP. 6) Selanjutnya, dilakukan perhitungan rata-rata dan standar deviasi dari nilai total ‘score’ semua DOHP. 7) Terakhir, setelah angka rata-rata dan standar deviasi dari nilai total ‘score’ semua DOHP teridentifikasi, maka dapat dirumuskan angka batas ‘wajar’ untuk masingmasing kategori di bawah ini (yang akan menjadi dasar Evaluasi Kinerja DOHP): (1) Sangat Mampu, jika nilai total ‘score’ suatu DOHP mencapai: lebih dari Angka ratarata + 1,5 X Standar Deviasi. (2) Mampu, jika nilai total ‘score’ suatu DOHP berada: di atas [Angka rata-rata + 0,5 X Standar Deviasi] sampai sama dengan [Angka rata-rata + 1,5 X Standar Deviasi].
- 51 -
(3) Kurang Mampu, jika nilai total ‘score’ suatu DOHP berada: di atas [Angka rata-rata 0,5 X Standar Deviasi] sampai sama dengan [Angka rata-rata + 0,5 X Standar Deviasi]. (4) Tidak Mampu, jika nilai total ‘score’ suatu DOHP berada: di atas [Angka rata-rata 1,5 X Standar Deviasi] sampai sama dengan [Angka rata-rata - 0,5 X Standar Deviasi]. (5) Sangat Tidak Mampu, jika nilai total ‘score’ suatu DOHP di bawah [Angka rata-rata 0,5 X Standar Deviasi]. Langkah ke-5, ke-6, dan ke-7, diteruskan untuk keseluruhan indikator dengan pedoman langkah ke-1 sampai dengan langkah ke-4 sebagaimana tersebut di atas. 8) Selanjutnya, kategori hasil evaluasi DOHP ditentukan oleh “Total Nilai” seluruh indikator, sebagaimana Tabel berikut. Tabel 3.2. Kategori Hasil Evaluasi Berdasarkan Total Nilai Seluruh Indikator Kategori
Nilai Total ‘Score’
Hasil Evaluasi
Seluruh Indikator
Sangat Mampu
lebih dari Angka rata-rata + 1,5 X Standar Deviasi
Mampu
di atas [Angka rata-rata + 0,5 X Standar Deviasi] sampai sama dengan [Angka rata-rata + 1,5 X Standar Deviasi]
Kurang Mampu
di atas [Angka rata-rata - 0,5 X Standar Deviasi] sampai sama dengan [Angka rata-rata + 0,5 X Standar Deviasi]
Tidak mampu
di atas [Angka rata-rata - 1,5 X Standar Deviasi] sampai sama dengan [Angka rata-rata - 0,5 X Standar Deviasi].
Sangat Tidak Mampu
di bawah [Angka rata-rata - 0,5 X Standar Deviasi]
- 52 -
PERISTILAHAN DAN SINGKATAN AHH AMH APBD APM BAPPENAS BUMD BPK CAPEX DAK DAU DBH Depdagri DOHP DPR DPRD FGD GCG GG IPM MBR KK KTP NIK NKRI OTDA PAD Perda PDRB PDS PK-EKD PNS PNSD PP RKPD RPJMD RPJMN RTH RTRW SDM SKPD TOD UMKM
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Angka Harapan Hidup Angka Melek Huruf Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Angka Partisipasi Murni Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Badan Usaha Milik Daerah Badan Pemeriksa Keuangan Capital Expenditure Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Umum Dana Bagi Hasil Departemen Dalam Negeri Daerah Otonom Hasil Pemekaran Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Focus Group Discussion Good Corporate Governance Good Governance Indeks Pembangunan Manusia Masyarakat Berpenghasilan Rendah Kepala Keluarga/Kartu Keluarga Kartu Tanda Penduduk Nomor Induk Kependudukan Negara Kesatuan Republik Indonesia Otonomi Daerah Pendapatan Asli Daerah Peraturan Daerah Produk Domestik Regional Bruto Penerimaan Daerah Sendiri Pengembangan Kapasitas dan Evaluasi Kinerja Daerah Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil Daerah Peraturan Pemerintah Rencana Kerja Pemerintah Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Ruang Terbuka Hijau Rencana Tata Ruang Wilayah Sumber Daya Manusia Satuan Kerja Perangkat Daerah Tujuan Otonomi Daerah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
- 53 -
IV.
Bentuk Kuisioner Data Umum (Formulir F – 01)
KUESIONER DATA UMUM Provinsi
:
Kabupaten/Kota *) Waktu Pembentukan Daerah Otonom Waktu Pelantikan Penjabat Kepala Daerah Waktu Pelantikan Kepala Daerah Definitif
...................................................................... :
: : :
F-01
...................................................................... ...................................................................... (Sebutkan Nomor dan Tahun Penetapan UU Pembentukan Daerah Saudara) Tanggal ............Bulan .......................................Tahun ......................... Tanggal ............Bulan .......................................Tahun .........................
PETUNJUK SINGKAT PENGISIAN KUESIONER Setiap Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) wajib mengisi kolom yang disediakan dengan data yang otentik sesuai dengan klasifikasi data yang dibutuhkan. Catatan penting: 1. Setiap isian “Data Tahunan”, agar diisi data sejak “Tahun Pertama” DOHP dibentuk sampai dengan posisi “Akhir Tahun 2009”. 2. Setiap produk hukum/kebijakan/program yang disampaikan (oleh pejabat DOHP), harus disertai dengan “copy” bukti dokumen kebijakan/program, baik berupa soft copy (CD) dan/atau hard copy (berkas, foto, dll.). 3. Setiap “Data” dan/atau “Informasi” yang bersumber dari dokumen resmi seperti Rincian APBD/ Daerah Dalam Angka/Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)/Profil Sektoral wajib menyebutkan dan menyertakan “Sumber Dokumen” tersebut.
- 54 -
DATA UMUM
1.
Luas Wilayah
:
Ha
2.
Populasi
:
Jiwa
3.
Jumlah Kecamatan Pada Saat Pembentukan Daerah
:
Kec.
4.
Jumlah Kecamatan Pada Saat Ini
:
Kec.
5.
Struktur Ekonomi Daerah 9 Sektor, yaitu: 1) Pertanian; 2) Pertambangan dan Penggalian; 3) Industri Pengolahan; 4) Listrik, Gas, dan Air Bersih; 5) Konstruksi; 6) Perdagangan, Hotel dan Restoran; 7) Pengangkutan dan Komunikasi; 8) Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan; 9) Jasa-jasa Lainnya.
:
Rp.
6.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Pertama
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Kedua
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Ketiga
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Keempat
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Kelima
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Keenam
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Ketujuh
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Kedelapan
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Kesembilan (TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Kesepuluh
:
Rp
(TA. 200…..)
- 55 -
7.
8.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) Tahun Pertama
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Kedua
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Ketiga
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Keempat
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Kelima
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Keenam
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Ketujuh
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Kedelapan
(TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Kesembilan (TA. 200…..)
:
Rp
Tahun Kesepuluh
:
Rp
(TA. 200…..)
Jumlah PNS
:
Tahun Pertama
(TA. 200…..)
:
Orang
Tahun Kedua
(TA. 200…..)
:
Orang
Tahun Ketiga
(TA. 200…..)
:
Orang
Tahun Keempat
(TA. 200…..)
:
Orang
Tahun Kelima
(TA. 200…..)
:
Orang
Tahun Keenam
(TA. 200…..)
:
Orang
Tahun Ketujuh
(TA. 200…..)
:
Orang
Tahun Kedelapan
(TA. 200…..)
:
Orang
Tahun Kesembilan (TA. 200…..)
:
Orang
Tahun Kesepuluh
:
Orang
(TA. 200…..)
- 56 -
9.
10.
Jumlah SKPD
:
Tahun Pertama
(TA. 200…..)
:
Tahun Kedua
(TA. 200…..)
:
Tahun Ketiga
(TA. 200…..)
:
Tahun Keempat
(TA. 200…..)
:
Tahun Kelima
(TA. 200…..)
:
Tahun Keenam
(TA. 200…..)
:
Tahun Ketujuh
(TA. 200…..)
:
Tahun Kedelapan
(TA. 200…..)
:
Tahun Kesembilan (TA. 200…..)
:
Tahun Kesepuluh
:
(TA. 200…..)
Jumlah Kecamatan
Dinas
Badan
Kantor
:
Tahun Pertama
(TA. 200…..)
:
Kecamatan
Tahun Kedua
(TA. 200…..)
:
Kecamatan
Tahun Ketiga
(TA. 200…..)
:
Kecamatan
Tahun Keempat
(TA. 200…..)
:
Kecamatan
Tahun Kelima
(TA. 200…..)
:
Kecamatan
Tahun Keenam
(TA. 200…..)
:
Kecamatan
Tahun Ketujuh
(TA. 200…..)
:
Kecamatan
Tahun Kedelapan
(TA. 200…..)
:
Kecamatan
Tahun Kesembilan (TA. 200…..)
:
Kecamatan
Tahun Kesepuluh
:
Kecamatan
(TA. 200…..)
- 57 -
V.
Bentuk Kuisioner Indikator Kinerja Daerah Otonom Hasil Pemekaran (Formulir F – 02)
KUESIONER INDIKATOR KINERJA DAERAH OTONOM HASIL PEMEKARAN (DOHP)
Kabupaten/Kota *) Provinsi
: :
F-02
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
PETUNJUK SINGKAT PENGISIAN KUESIONER Setiap Daerah Otonom Hasil Pemekaran (DOHP) wajib mengisi kolom yang disediakan dengan data yang otentik sesuai dengan klasifikasi data yang dibutuhkan. Catatan penting: 4. Setiap isian “Data Tahunan”, agar diisi data sejak “Tahun Pertama” DOHP dibentuk sampai dengan posisi “Akhir Tahun 2009”. 5. Setiap produk hukum/kebijakan/program yang disampaikan (oleh pejabat DOHP), harus disertai dengan “copy” bukti dokumen kebijakan/program, baik berupa soft copy (CD) dan/atau hard copy (berkas, foto, dll.). 6. Setiap “Data” dan/atau “Informasi” yang bersumber dari dokumen resmi seperti Rincian APBD/ Daerah Dalam Angka/Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)/Profil Sektoral wajib menyebutkan dan menyertakan “Sumber Dokumen” tersebut.
- 58 -
FAKTOR I - TUJUAN OTONOMI DAERAH PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT I. VARIABEL PENINGKATAN KEMAKMURAN MASYARAKAT 1. Isilah kolom Jumlah Penduduk dan PDRB berdasarkan harga konstan per tahun sejak DOHP dibentuk! Jumlah Penduduk (Jiwa)
Tahun Tahun Pertama Tahun Kedua Tahun Ketiga Tahun Keempat Tahun Kelima Tahun Keenam Tahun Ketujuh Tahun Kedelapan Tahun Kesembilan Tahun Kesepuluh
PDRB (Rp. Juta)
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
2. Isilah kolom Angka Kemiskinan berikut!
Tahun
Angka Kemiskinan*) (Jiwa)
Persentase Angka Kemiskinan**) (%)
Tahun Pertama [200….] Tahun Kedua [200….] Tahun Ketiga [200….] Tahun Keempat [200….] Tahun Kelima [200….] Tahun Keenam [200….] Tahun Ketujuh [200….] Tahun Kedelapan [200….] Tahun Kesembilan [200….] Tahun Kesepuluh [200….] Catatan: *) Penentuan “Angka Kemiskinan” mengacu pada definisi kemiskinan menurut BPS (kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari). **) Persentase Angka Kemiskinan dihitung dari “Jumlah Penduduk Miskin” tahun bersangkutan dibagi “Total Jumlah Penduduk” pada tahun bersangkutan!
- 59 -
3. Adakah Produk Hukum/Kebijakan terkait “Pemberdayaan Penduduk Miskin” yang ditetapkan saat ini sesuai dengan tabel berikut ini? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai!
No.
Produk Hukum/Kebijakan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perda Peraturan Kepala Daerah Keputusan Kepala Daerah Renstra Program Kegiatan
Ada (Nama/Judul/Tentang, Nomor, dan Tanggal)
Tidak Ada
II. VARIABEL PENGURANGAN KETIMPANGAN GENDER 4. Adakah Produk Hukum/Kebijakan terkait “Kesetaraan Gender” dan/atau “Pemberdayaan Perempuan” yang ditetapkan sejak daerah saudara dibentuk? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! No.
Produk Hukum/Kebijakan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perda Peraturan Kepala Daerah Keputusan Kepala Daerah Renstra Program Kegiatan
Tidak Ada
Ada (Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal)
- 60 -
5. Berilah tanda √ pada kolom yang sesuai dengan Bentuk Kelembagaan Yang Menangani Kesetaraan Gender dan/atau Pemberdayaan Perempuan di daerah saudara! Badan
Dinas
Kantor
Bagian
Seksi
Unit
Sebutkan Nama Kelembagaan (Nomenklatur) yang menangani kesetaraan gender dan/atau pemberdayaan perempuan sesuai kolom di atas, lampirkan struktur organisasinya! ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- 61 -
FAKTOR II - TUJUAN OTONOMI DAERAH GOOD GOVERNANCE III. VARIABEL EFEKTIVITAS 6. Isilah kolom Waktu Penetapan APBD sejak daerah saudara dibentuk! APBD Per Tahun Anggaran Tahun Pertama Tahun Kedua Tahun Ketiga Tahun Keempat Tahun Kelima Tahun Keenam Tahun Ketujuh Tahun Kedelapan Tahun Kesembilan Tahun Kesepuluh
Waktu Penetapan APBD (Tanggal/Bulan/Tahun)
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
7. Isilah kolom APBD Per Tahun Anggaran sejak daerah saudara dibentuk! APBD Per Tahun Anggaran (Rp Juta) Tahun
Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
Total Belanja
Jumlah SILPA
Persentase SILPA (%)
(A)
(B)
(B)/(A)
- 62 -
IV. VARIABEL TRANSPARANSI 8. Adakah Produk Hukum/Kebijakan (Perda, Peraturan Kepala Daerah/Keputusan Kepala Daerah, Renstra, Program, Kegiatan) untuk menjamin transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ditetapkan sejak daerah saudara dibentuk? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! No.
Produk Hukum/Kebijakan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perda Peraturan Kepala Daerah Keputusan Kepala Daerah Renstra Program Kegiatan
Tidak Ada
Ada (Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal)
9. Isilah kolom Publikasi Ringkasan APBD, Rincian APBD, dan Pengadaan Barang dan Jasa (Procurement)! Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! (1) Website Resmi Pemda; (2) Surat Kabar; dan (3) Pengumuman di SKPD Terkait Publikasi Tahun
Ringkasan APBD (1)
Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
(2)
(3)
Rincian APBD (1)
(2)
(3)
Pengadaan Barang dan Jasa (1)
(2)
(3)
- 63 -
V. VARIABEL AKUNTABILITAS 10. Isilah kolom terkait jenis-jenis sarana yang digunakan untuk melakukan “Penanganan Pengaduan Masyarakat”! Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! No.
Jenis-jenis Sarana
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Unit Pengaduan Website Surat Kabar Talks Show Short Message Service (SMS) Kotak Pengaduan Coffee Morning
Tidak Ada
Ada (Sebutkan Dasar Pelaksanaan)
11. Apakah dilakukan ikrar/penandatanganan “Pakta Integritas” (atau sebutan lainnya untuk Anti KKN) dan “Kontrak Kinerja” pejabat/aparatur pemerintahan? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! Ya
Tidak
Pakta Integritas Kontrak Kinerja Sebutkan bentuk ikrar “Pakta Integritas” dan/atau “Kontrak Kinerja”! ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- 64 -
12. Isilah kolom Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD! Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! Publikasi Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD
Tahun
Website Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
Surat Kabar
Pengumuman di SKPD
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
13. Isilah Nilai Anggaran Belanja DPRD dan Belanja Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah pada kolom yang disediakan! Anggaran Belanja (Rp Juta) Tahun Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
DPRD
KDH dan Wakil KDH
Total Belanja APBD (Rp Juta)
- 65 -
VI. VARIABEL PARTISIPASI 14. Apakah dalam penyusunan Perda APBD Tahun Anggaran 2009 dilakukan “Konsultasi Publik”? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! Ada
[ ]
Tidak
[ ]
Lampirkan Notulen Rapat/Nota Dinas/Risalah dari Konsultasi Publik dimaksud!
15. Adakah Perda Hasil Inisiatif DPRD sejak dibentuknya daerah saudara s/d. akhir 2009? Ada
[ ]
Tidak
[ ]
Jika ada, isilah kolom berikut ini! Tahun Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal Perda
- 66 -
FAKTOR III - TUJUAN OTONOMI DAERAH KETERSEDIAAN PELAYANAN PUBLIK VII. VARIABEL PENDIDIKAN 16. Isilah kolom Belanja Pendidikan, Jumlah Belanja dalam APBD, dan per tahun, sejak dibentuknya daerah saudara! (Anggaran pendidikan dihitung tidak hanya pada “Dinas Pendidikan”, tetapi juga di Instansi lain yang memiliki pos untuk anggaran belanja pendidikan).
Belanja Pendidikan
Jumlah Belanja APBD
Persentase Anggaran Pendidikan (%)
(A)
(B)
(A)/(B)
APBD (Rp Juta) Tahun
Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
17. Isilah Angka Partisipasi Kasar (APK) berdasarkan jenjang pendidikan (SD/SMP/SMA) per tahun! Persentase APK Pendidikan (%) Tahun SD/Sederajat Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
SMP/sederajat
SMA/Sederajat
- 67 -
VIII. VARIABEL KESEHATAN 18. Isilah kolom mengenai Anggaran Kesehatan dalam APBD berikut ini! (Anggaran Kesehatan dihitung tidak hanya pada Dinas Kesehatan, tetapi juga di instansi lain yang memiliki pos untuk anggaran kesehatan, seperti RSUD, dll.)
Belanja Kesehatan
Total Belanja APBD
Persentase Anggaran Kesehatan (%)
(A)
(B)
(A)/(B)
Jumlah Balita Gizi Buruk (Jiwa)
Jumlah Balita (Jiwa)
Persentase BGB (%)
(A)
(B)
(A)/(B)
APBD (Rp Juta) Tahun
Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
19. Isilah kolom kondisi Gizi Balita berikut ini!
Tahun
Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
- 68 -
IX. VARIABEL PENYEDIAAN SARANA DAN PRASARANA PELAYANAN UMUM 20. Isilah Jumlah Kepala Keluarga (KK) yang mendapat akses terhadap air bersih dan sanitasi setiap tahunnya sejak kabupaten/kota atau provinsi anda didirikan! Akses Terhadap Air Bersih dan Sanitasi Tahun
Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
Jumlah Kepala Keluarga Terakses (KK)
Jumlah Kepala Keluarga (KK)
Persentase KK Terakses (%)
(A)
(B)
(A)/(B)
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
21. Isilah data “Luas Wilayah” dan “Panjang Jalan” yang menjadi kewenangan Pemda sejak dibentuknya daerah saudara! Panjang Jalan Per Luas Wilayah Tahun
Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
Luas Wilayah (Km2)
Panjang Jalan (Km)
Rasio
(A)
(B)
(B)/(A)
- 69 -
22. Adakah Inisiatif Pemda Untuk Menangani Krisis Listrik? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! Ada
[ ]
Tidak
[ ]
Jika ada, sebutkan bentuk inisiatif tersebut! No. 1. 2. 3. 4. 5.
Bentuk Inisiatif Penanganan
- 70 -
X. VARIABEL PELAYANAN TATA KELOLA ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN 23. Isilah kolom mengenai Kepemilikan Kartu Tanda Penduduk (KTP)! Kepemilikan KTP Tahun
Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
Jumlah Warga Ber-KTP (Orang)
Jumlah Penduduk Wajib KTP (Orang)
Persentase (%)
(A)
(B)
(A)/(B)
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
24. Isilah kolom mengenai Kepemilikan Akte Kelahiran! Kepemilikan Akte Kelahiran Tahun
Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
Jumlah Warga Memiliki Akte Kelahiran (Orang)
Jumlah Penduduk (Orang)
Persentase (%)
(A)
(B)
(A)/(B)
- 71 -
FAKTOR IV - TUJUAN OTONOMI DAERAH PENINGKATAN DAYA SAING DAERAH XI. VARIABEL KEBIJAKAN DAERAH 25. Adakah Perda atau RaPerda yang mengatur “Tata Ruang” menurut UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! Ada
[ ]
Tidak
[ ]
Jika ada, lampirkan Perda atau Rancangan Perda (RaPerda) tersebut! 26. Adakah Produk Hukum/Kebijakan terkait “Perlindungan Lingkungan”? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! No.
Produk Hukum/Kebijakan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perda Peraturan Kepala Daerah Keputusan Kepala Daerah Renstra Program Kegiatan
Tidak Ada
Ada (Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal)
27. Adakah produk hukum daerah yang memberikan insentif kepada investor untuk keringanan/ penghapusan biaya pajak dan retribusi daerah? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! No.
Produk Hukum
1. 2. 3.
Perda Peraturan Kepala Daerah Keputusan Kepala Daerah
Tidak Ada
Ada (Nama/Judul, Nomor, dan Tanggal)
- 72 -
XII. VARIABEL KELEMBAGAAN DAERAH 28. Adakah Institusi Pelayanan Terpadu Perizinan Usaha? Berilah tanda √ pada kolom yang sesuai! Ada
[ ]
Tidak
[ ]
Jika ada, apakah Institusi Pelayanan Terpadu untuk Perizinan Usaha tersebut melayani semua perizinan dasar? (Ijin Lokasi, IMB, HO atau SITU, SIUP, TDP) Ya
[ ]
Tidak
[ ]
Apakah Institusi Pelayanan Terpadu untuk Perizinan Usaha melayani perizinan usaha lainnya selain 5 (lima) perizinan dasar tersebut di atas (Ijin Lokasi, IMB, HO atau SITU, SIUP, TDP). Ya
[ ]
Tidak
[ ]
Apakah Institusi Pelayanan Terpadu untuk Perizinan Usaha memiliki kewenangan menandatangani perizinan? (Ijin Lokasi, IMB, HO atau SITU, SIUP, TDP) Ya
[ ]
Tidak
[ ]
Sebutkan Bentuk Kelembagaannya (Dinas/Badan/Kantor/Unit)! ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
29. Adakah ketersediaan informasi “Potensi Ekonomi Daerah” yang ditampilkan dalam situs web Pemda? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! Ada
[ ]
Tidak
[ ]
Jika Ada, sebutkan “Nama Domain” dan “Alamat atau URL Situs Web Pemda” selengkapnya! -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- 73 -
XIII. VARIABEL FASILITASI INVESTASI 30. Adakah Anggaran Program Pengembangan Usaha untuk UMKM (Anggaran APBD untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan peningkatan kapasitas UMKM dalam hal: a. Produksi; b. Promosi dan Pemasaran; c. Akses Finansial; dan d. Administrasi Keuangan Usaha. Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! Ada
[ ]
Tidak
[ ]
Jika ada, isilah kolom di bawah ini Tahun
Jumlah Anggaran (Rp Juta)
Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009
31. Apakah Pemda melaksanakan “Forum Komunikasi Reguler” (tidak bersifat insidental, dapat dalam format coffee morning, pertemuan bulanan, dll.) antara Kepala Daerah dengan pelaku usaha? Beri tanda √ pada kolom yang sesuai! Ada
[ ]
Tidak
[ ]
Jika Ada, sebutkan nama forum tersebut disertai dengan dokumen pendukung yang membuktikan bahwa pertemuan tersebut dilaksanakan secara regular (missal: Daftar Hadir/ Hasil Pertemuan/Rencana Tindak, dll.)! ---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
- 74 -
XIII. VARIABEL REALISASI INVESTASI 32. Isilah kolom Jumlah dan Nilai investasi yang terealisasi di daerah saudara! Tahun Tahun I Tahun II Tahun III Tahun IV Tahun V Tahun VI Tahun VII Tahun VIII Tahun IX Tahun X
Jumlah Investasi
Nilai Investasi (Rp Juta)
[200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….] [200….]
Catatan: yang dimaksud dengan “Investasi” adalah: pembentukan usaha baru dan/atau perluasan usaha.
VI.
PENUTUP
Disadari bahwa dinamika pemekaran daerah bertumbuh relatif cepat, terutama setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Disisi lain, pemekaran daerah menjadi suatu kebutuhan ketika diperhadapkan pada tujuan pemekaran daerah yang berupaya untuk mendekatkan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah serta menciptakan aksesibilitas dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Seiring perkembangan dinamika otonomi daerah, saat ini secara obyektif-rasional Pemerintah dituntut untuk segera mengukur sejauhmana efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, khususnya terhadap 205 daerah otonom hasil pemekaran (DOHP) setelah berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Diharapkan hasil evaluasi DOHP yang dilakukan secara profesional dan mandiri mampu berkontribusi dalam penataan kebijakan pemekaran daerah serta memberikan masukan berharga dalam proses pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hasil evaluasi ini pun menjadi krusial ketika pemerintah berkehendak menata daerah otonom agar benar-benar mampu mewujudkan tujuan otonomi daerah. Sebagai tolok ukur (benchmark) bagi keberlangsungan pemekaran daerah, hasil evaluasi ini pun diharapkan dapat menjadi acuan bagi aparat pemerintahan daerah untuk lebih sungguh-sungguh membenahi daerahnya. Selain itu, sangat diperlukan sinergitas antara sesama aparatur pemerintahan daerah maupun dengan masyarakatnya. Hal ini dimaksudkan agar secara realistis, tercipta kebersamaan untuk menjaga eksistensi daerah pemekaran yang memang layak dan pantas untuk dipertahankan. Dalam konteks yang lebih obyektif-realistis, rekomendasi hasil akhir evaluasi DOHP merupakan alternatif solusi untuk menata keberadaan daerah otonom hasil pemekaran. Sangat diharapkan agar ke-205 DOHP memiliki kinerja baik dan “mampu” bahkan “sangat mampu” mempertahankan eksistensinya, sehingga patut untuk dipertahankan.
- 75 -
Namun demikian, bagi DOHP yang ternyata tidak memiliki kapasitas, kepadanya perlu dipertimbangkan untuk diberikan model pengembangan kapasitas agar dapat menjadi daerah otonom yang lebih mampu dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah dan memperkokoh NKRI. MENTERI DALAM NEGERI, ttd GAMAWAN FAUZI