Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
1
Tentang Draf Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi : Sebuah Tinjauan Dari Sudut Pandang Filosofis 1 “A high Civilization is pyramid; it can Stand only upon a broad base; its prerequisite is a strongly and soundly consolidated mediocitry.” -Friederich Wilhelm Nietzsche-
1. Pendahuluan Pendidikan merupakan suatu berkah dari sang Maha Pencipta terhadap ciptaan-Nya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang ditakdirkan untuk memperoleh pendidikan. Perolehan pendidikan bukanlah metrupakan ikatan terhadap manusia itu tetapi justru untuk pembebasan manusia dari hakikatnya sebagai makhluk yang bebas dan berakal budi. Sebagai Makhluk Alamiah yang dilahirkan didalam lingkungan alamiahnya. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri posisinya didalam lingkungan alamiahnya itu. Disinilah terletak kebebasan dan keterikatan manusia didalam proses pengembangan kemanusiannya. Realisasi kemanusiaan makhluk manusia merupakan suatu proses pembebasan. Itulah makna pendidikan bagi manusia.2 Jika bercermin pada pendidikan Tinggi di Indonesia dalam konteks kekinian. Belum lepas ingatan kita akan pencabutan Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena UU BHP tersebut dinilai bertentangan dengan semangat pendidikan dan amanah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). UU BHP merupakan salah satu bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap dunia pendidikan. Dan jika dilihat dari aspek Yuridis, Filosofis dan Sosiologis UU BHP sangat jelas merupakan ancaman terhadap pendidikan yang bertaraf keadilan sosial sebagaimana yang diamanahkan oleh sila ke-5 dari Pancasila. Adalah Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) khususnya dari komisi X yang sudah membuat suatu draft rancangan Undang-Undang tentang Perguruan Tinggi yang baru, yang nantinya akan disidangkan dan disahkan sebagi pengganti dari UU BHP yang telah di mandulkan oleh MK tersebut. Sebagai Mahasiswa yang memiliki tingkat intelektualitas serta sebagai objek langsung dari dampak RUU PT tersebut, sudah sewajarnya 1
Didiskusiakan sebagai bahan kajian internal Kastrat BEM FIB UI pada hari Senin tanggal 2 April 2012. Kampus FIB UI Depok 2 Lihat H.A.R Tilaar, “Manifesto Pendidikan Nasional” Penerbit buku Kompas(2005), hlm.109.
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
2
kita mengawal dari awal sampai akhir tentang pengesahan RUU tersebut. yang menjadi Pertanyaan sekarang adalah apakah Draf RUU PT yang baru ini hanya ―penjelmaan‖dari UU BHP yang sudah dimandulkan, atau Draf RUU ini merupakan sebuah kumpulan pasal-pasal yang bisa merangkul kepentingan Rakyat Indonesia serta sebagai arah pendidikan yang lebih jelas dan terarah. Sampai saat ini Draf RUU PT tersebut sudah megalami perubahan-perubahan yang sangat signifikan. Draft RUU yang kami pegang sekarang ini adalah matriks draf RUU PT tertanggal 17 maret 2012 yang merupakan penyempurnaan dari draf sebelumnya yaitu draf tertanggal 22 februari 2012. Namun menurut sumber yang kami dapatkan draf ini tidak akan mengalami perubahan lagi hingga batas penyidangan dan pengesahan. Oleh sebab itulah maka kajian ini dibuat untuk menelaah setiap pasalnya dan dibuat untuk menyelami Hakikat Filosofis dari pendidikan Tinggi di Indonesia. Serta arah sistem pendidikan yang baik bagi Negara Republik Indonesia.
2. Pendidikan Bagi Manusia Manusia, siapa dan apakah dia? Sejak manusia ada sampai hari ini, persoalan tersebut belum terjawab secara tuntas. Banyak hal secara parsial yang bersangkutan dengan manusia sudah diketahui secara jelas dan pasti. Tetapi secara menyeluruh, jauh lebih banyak persoalan yang belum dapat diketahui secara konkret, jelas, dan pasti. Hal-hal yang fisis-kuantitatif pada umumnya sudah jelas, tetapi hal-hal yang spiritual-kualitatif masih tetap tertinggal sebagai misteri. Siapa pun tahu bahwa perbuatan korupsi dapat mengakibatkan kesengsaraan banyak orang. Tetapi, jika ada kesempatan, siapa pun cenderung untuk melakukannya. Siapa pun tahu bahwa asal-mula kehidupan ini adalah Tuhan dan bertujuan untuk kembali kepada-Nya, tetapi tampaknya hampir semua orang, jika kesempatan memungkinkan, cenderung melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan. Siapa pun tahu bahwa melakukan perbuatan tertentu yang mengakibatkan banyak orang sakit dan menderita adalah merusak nilai kemanusiaan, tetapi fakta menunjukkan bahwa perilaku negatif seperti ini selalu mewarnai kehidupan sehari-hari. Hal ini berarti pengetahuan manusia belum terhubungkan secara kausalistik-fungsional dengan realitas konkret perilaku sehari-hari. Dari kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku tersebut, muncullah upaya untuk mempertemukannya, yaitu melalui pendidikan. Sepanjang eksistensinya, manusia senantiasa berusaha mendidik dirinya dengan mencari dan menemukan keselarasan antara pengetahuan
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
3
dengan perilakunya. Meski sampai hari ini belum sepenuhnya berhasil. Di dalam konteks pendidikan, manusia adalah makhluk yang selalu mencoba memerankan diri sebagai subjek dan objek. Sebagai subjek, dia selalu berusaha mendidik dirinya (sebagai objek) untuk perbaikan perilakunya. Dengan kemampuan pengetahuan yang benar, manusia berusaha menjaga dan mengembangkan kelangsungan hidupnya. Manusia berusaha mengamalkan pengetahuannya di dalam perilaku sehari-hari. Dalam perilaku sehari-hari, pengetahuan berubah menjadi moral, dan kemudian menjadi etika kehidupan, sedemikian rupa sehingga hakikat perilaku tersebut berupa kecenderungan untuk mempertanggungjawabkan kelangsungan dan perkembangan hidup dan kehidupan ini sepenuhnya. Sejak lahir, seorang manusia sudah langsung terlibat di dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Dia dirawat, dijaga, dilatih, dan dididik oleh orang tua, keluarga, dan masyarakatnya menuju tingkat kedewasaan dan kematangan, sampai kemudian terbentuk potensi kemandirian dalam mengelola kelangsungan hidupnya. Kegiatan pendidikan dan pembelajaran itu diselenggarakan mulai dengan cara-cara konvensional (alami) menurut pengalaman hidup, sampai pada cara-cara formal yang metodik dan sistematik institusional (pendidikan sekolah), menurut kemampuan konseptik-rasional. Setelah taraf kedewasaan tercapai, manusia tetap melanjutkan kegiatan pendidikan dalam rangka pematangan diri. Kematangan diri adalah kemampuan menolong diri sendiri, orang lain dan terutama menolong kelestarian alam agar tetap berlangsung dalam ekosistemnya. Dengan kata lain, pematangan diri adalah bentuk kegiatan pendidikan lanjutan, yakni upaya manusia untuk menjadi semakin arif dengan sikap dan perilaku adil terhadap apa pun dan siapa pun yang menjadi bagian integral dari eksistensi kehidupan ini. Pada esensinya, persoalan pendidikan adalah persoalan yang ruang lingkupannya seluas persoalan kehidupan manusia itu sendiri. Masalah pendidikan secara kodrati melekat pada dan tumbuh dari dalam diri manusia. Secara langsung atau tidak, setiap kegiatan hidup manusia selalu mengandung arti dan fungsi kependidikan. Dengan pendidikan, manusia melakukan kegiatan makan, minum, bekerja, beristirahat, bermasyarakat, beragama, dan sebagainya. Dapat dikatakan bahwa antara manusia dan pendidikan telah terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi dirinya sendiri sebagai manusia yang manusiawi.
3. Landasan Filosofis Pendidikan
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
4
Seiring dengan berkembangnya suatu peradaban dan kebudayaan di suatu wilayah. Maka perkembangan pendidikan dan pola pikirpun mengalami berbagai macam perubahanperubahan yang signifikan. Jika pada zaman dahulu pendidikan hanya dimungkinkan pada interaksi manusia secara langsung, maka di zaman yang modern dan serbah canggih seperti saat ini pendidikan dapat berlangsung dengan menggunakan teknologi. Dalam hal ini ruang dan waktu seperti sudah tidak membatasi manusia dalam melakukan transfer pengetahuan. Realitas abad Ke-20 telah memperlihatkan kepada kita semua bahwa pendidikan seolah-olah telah terjatuh kedalam pola pemikiran penyelenggaraan pendidikan yang linier serta bersikap arogansi dalam memetakan masa depan. Pada saat itu pendidikan terutama diorientasikan untuk mendapat pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan dalam menjalankan tugas professional dan tugas-tugas lain dalam kehidupan. Namun, Seiring gencarnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dunia pendidikan pun mengalami perkembangan yang pesat. Sebagaimana adanya, perkembangan dalam dunia pendidikan terinspirasi melalui semakin meningkatnya kesadaran eksistensial praktisi dan pemikir pendidikan yakni hakekat diri sebagai manusia. Pada dasarnya Pendidikan sebagai suatu ilmu bersifat multidimensional baik dari segi sistematika filsafat (epistemologis, aksiologis,dan ontologis) maupun secara ilmiah. Teori yang dianut dalam sebuah praktek pendidikan sangat penting, karena pendidikan menyangkut pembentukan generasi selanjutnya dan semestinya harus dapat dipertanggungjawabkan. Proses pendidikan merupakan upaya mewujudkan nilai bagi peserta didik dan pendidik, sehingga unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan dapat menghayati nilainilai agar mampu menata perilaku serta pribadi sebagaimana mestinya, dalam konteks wacana keindonesiaan pendidikan semestinya berakar dari konteks budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia, dan untuk kebutuhan masyarakat Indonesia yang terus berubah. Menurut Kusuma (2007), hal ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Dibawah ini akan dibahas mengenai perspektif epistemologis dan aksiologis tentang penyelenggaraan pendidikan : a. Perspektif Epistemologi dalam tinjauan penyelengaraan pendidikan Secara Etiemologikal, yaitu penguraian berdasrkan kepada akar katanya, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata didalam bahasa Yunani. Episteme dan Logos . Episteme sendiri berarti pengetahuan; logos lazim dipakai untuk menunjukan adanya
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
5
pengetahuan siistematik. Sehingga secara mudah epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka epistemologi ini sangat berhubungan dengan aspek metodologi dalam pendidikan. Dan seperti yang sudah dibahas pada halaman sebelumnya, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana dalam memanusiakan manusia. Kegiatan pendidikan dilakukan dari oleh dan untuk manusia yang bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan. Langeveld (seorang Paedagog Belanda) mengemukakan hasil analisis epistemologis dengan metode fenomenologis bahwa manusia adalah animal educandum, educabile dan educans.
Analisis fenomenologis tentang manusia sebagai sasaran tindak
mendidik ini menegakkan paedagogik (ilmu pendidikan) sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang bermanfaat untuk melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah Pendidikan berlangsung tidak dalam batas usia tertentu, tetapi berlangsung sepanjang hidup (lifelong) sejak lahir (bahkan sejak awal hidup dalam kandungan) sampai mati. Selain itu, tempat berlangsungnya pendidikan tidak terbatas dalam satu jenis lingkungan hidup tertentu dalam bentuk sekolah, tetapi berlangsung dalam segala bentuk lingkungan hidup manusia. Pendidikan sebagai pengalaman belajar berlangsung baik dalam lingkungan budaya dalam masyarakat hasil rekayasa manusia, maupun dalam lingkungan alam yang terjadi dengan sendirinya tanpa rekayasa manusia. Pendidikan dapat terjadi dalam bentuk-bentuk yang terjadi dengan sendirinya dalam hidup sampai dengan bentuk-bentuk yang direkayasa secara terprogram, baik secara individu maupun kelompok. Sehingga pendidikan tidak terbatas dalam waktu, tempat dan bentuk, namun terjadi kapanpun selama hidup, di manapun dalam lingkungan hidup serta siapapun dari umat manusia. Dalam pengertian luas, tujuan pendidikan terkandung dan melekat dalam pengalaman belajar. Tujuan pendidikan yang tersirat dalam pengalaman belajar memberi hikmah tertentu bagi pertumbuhan seseorang, sehingga dengan keberanekaragaman pengalaman belajar yang memungkinkan dapat dialami maka tujuan pendidikan menjadi tidak terbatas. Dalam pengertian sempit, Mudyahardjo (2008) menyatakan bahwa pendidikan adalah sekolah di mana menjadi lembaga penyelenggara pendidikan formal sebagai hasil rekayasa peradaban manusia. Oleh karena itu, pendidikan dalam arti sempit adalah pengaruh yang diupayakan dan direkayasa sekolah terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar memiliki kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
6
hubungan dan tugas-tugas sosial mereka. Dalam arti sempit, pendidikan berlangsung dalam jangka waktu yang terbatas (age spesific) , di tempat tertentu yang telah ditentukan dan direkayasa (sekolah), bentuknya terstruktur (teacher-directed) dan berorientasi pada isi pendidikan yang terprogram dalam bentuk kurikulum mata pelajaran (content-oriented), bahkan dalam bentuk pengajaran terprogram, tersurat tujuan belajar, urutan kegiatan dalam proses belajar, evaluasi hasil belajar, serta cara perbaikan dan pengayaan belajarnya.Tujuan pendidikan dalam pengertian sempit tidak melekat bersatu dalam proses pendidikan, tetapi dirumuskan sebelum proses pendidikan berlangsung. Tujuan pendidikanpun biasanya bersifat occupation-oriented atau training for life. Di samping itu, jelas pula bahwa tujuan pendidikan terbatas pada penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu. Dalam hal ini, pendidikan tidak dalam bentuk proses pendidikan yang mengarah pada pertumbuhan yang makin sempurna, tetapi proses pendidikan yang diarahkan secara terprogram untuk mencapai penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap tertentu demi tugas-tugas profesional dan hidup. Menurut Mudyahardjo (2008), ada tiga prinsip utama yang mendasari sekolah dalam menyelenggarakan proses rekayasa pengubahan tingkah laku, yaitu (1) pembentukan pola tingkah laku seseorang sangat kuat dipengaruhi oleh lingkungan, (2) pendidikan di sekolah merupakan rekayasa perubahan pola tingkah laku yang terprogram secara cermat, dan (3) masa depan sekolah sebagai lembaga perekayasa pola tingkah laku yang terprogram adalah cerah karena mempunyai peranan yang besar dalam mencapai kemajuan. Pendidikan dalam pengertian maha luas dan pengertian sempit masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan dari aspek waktu, tempat dan bentuk pelaksanaan pendidikan. Sehingga diperlukan definisi alternative yang bersifat dialektis yang mampu memadukan kekuatan dan kelemahan pendidikan secara luas dan sempit. Dalam definisi alternative, pendidikan didefinisikan secara luas yang maknanya berisi berbagai macam pengalaman belajar dalam keseluruhan lingkungan hidup, baik di sekolah maupun di luar sekolah yang sengaja diselenggarakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Hal ini berarti bahwa, pengalaman-pengalaman belajar yang berlangsung di luar sekolah harus ditingkatkan bobotnya menjadi bentuk-bentuk pengalaman belajar yang terprogram sehingga proses pendidikannya lebih produktif, dan proses pendidikan di sekolah berupa kegiatan-kegiatan mengajar yang memberi keleluasaan berlangsungnya pengalaman belajar mencapai pertumbuhan individu yang selaras dengan cita-cita hidup yang diharapkan (Mudyahardjo, 2008).Pendidikan sebagai sebuah sistem menjembatani antara kondisi-kondisi actual dengan
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
7
kondisi-kondisi ideal. Kegiatan pendidikan berlangsung dalam satuan waktu tertentu dan berbentuk dalam berbagai proses pendidikan, yang merupakan serangkaian kegiatan atau langkah-langkah yang digunakan untuk mengubah kondisi awal peserta didik sebagai masukan menjadi kondisi ideal sebagai hasilnya. Proses tersebut berlangsung dalam bentukbentuk pendidikan yang berupa bimbingan, pengajaran dan/latihan.Bimbingan bertujuan membantu menumbuhkan kebebasan dan kemampuan untuk dapat bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Pengajaran bertujuan agar murid memperoleh pengetahuan yang dapat mengembangkan kecerdasan mereka sendiri. Latihan bertujuan membentuk kebiasaan bertingkah laku dan lebih berhubungan dengan penggunaan pengetahuan dari pada penguasaan pengetahuan. Sehingga pengajaran berorientasi pada pengetahuan/kecerdasan, bimbingan menumbuhkan kepribadian. Sedangkan latihan berorientasi pada bentuk mencapai kinerja yang standar.
b. Perspektif Aksiologi dalam penyelenggaaraan pendidikan tinggi Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat prinsip dalam pendidikan. Hal ini terjadi karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan. Menurut Drost (2005), pendidikan bukan hanya soal kemajuan otak ataupun pengetahuan kognitif. Pendidikan juga bertujuan juga mengembangkan pribadi anak didik agar menjadi manusia yang utuh dengan segala nilai dan seginya. Oleh karena itu, pendidikan juga dapat mengajari nilai-nilai kehidupan manusia yang dianggap perlu seperti nilai sosialitas, nilai demokrasi, nilai kesamaan, persaudaraan dan lain sebagainya.Di samping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan sosial, kultural dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai. Dalam masalah etika dan estetika yang mempelajari tentang hakekat keindahan, juga menjadi sasaran pendidikan, karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan melekat pada setiap makhluk. Di samping itu pendidikan tidak dapat lepas dari sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur seni, terlihat dalam pengungkapan bahasa, tutur kata dan prilaku yang baik dan indah. Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia memiliki nilai tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral.
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
8
Javons menyatakan bahwa seni mengajarkan kepada kita berbuat, dan sebuah ilmu mengajarkan kepada kita mengetahui. Horne menyatakan bahwa pendidikan adalah berbuat, oleh karena itu pendidikan adalah sebuah seni. Bahwasanya hakekat tubuh yang terdiri atas jasmani, rohani dan akal harus mendapatkan pendidikan yang proporsional. Proses mendidik ketiga unsur tersebut berkenaan dengan metode terbaik yang harus dilakukan dengan cara terbaik. Metode pendidikan tidak hanya didasarkan pada psikologi, tetapi juga sifat fisik, mental dan sosial dari bahan ajar dan anak yang dididik. Oleh karena itu, dibutuhkan jiwa seni dalam mendidik sehingga anak yang dididik dapat terbentuk jiwa seninya dalam menghadapi kehidupan mereka di masa depan Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta empiris yang syarat nilai dan interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada intinya pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari kebodohan untuk mewujudkan nilai peradaban manusiawi 3. Agenda Pendidikan di Era Globalisasi : Tinjauan dari Pedagogik Libertarian 3 Pendidikan Tinggi Modern dapat dikatakan memulai perkembangannya pada masa Aukflarung. Pada masa itu Rasionalitas manusia berkembang dengan pesat dan mempertanyakan berbagai paradigma yang telah diterima secara umum dalam masyarakat yang dikuasai oleh Gereja. Pada abad ke-18 banyak lahirnya aliran-aliran pemikiran empirisme, rasionalisme, dan liberalisme. Empirisme menghasilkan perkembangan pesat pada ilmu pengetahuan, baik ilmu pengetahuan sosial maupun pengetahuan alam. Sedangkan Rasionalisme memberikan kesempatan yang sangat luas kepada penggunaan akal manusia teutama dalam membantah paradgma dan dogma-dogma yang berdasarkan agama. Dan Liberalisme mendorong kebebasan manusia yang dianggapnya mempunyai kebebasan dan kemerdekaan yang tidak terbatas, yang kemudian menjadikan manusia sebagai pusat kehidupan semesta. Paham Liberalisme ini selain masuk kedalam ranah Filsafat juga memasuki ranah ekonomi dan politik. Menurut paham liberalisme, manusia adalah makhluk yang bebas yang menentukan nasibnya sendiri sedangkan masyarakan dan Negara telah menjadi penghalang dari kebebasan manusia tersebut. Pada abad ke-19 dan abad ke-20 pendidikan tinggi menjadi alat Negara dalam mempertahankan dan melanggengkan kekuasaanya. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh pendidikan tinggi (dalam hal ini para Ilmuwan dan mahasiswa) menghasilkan alat-alat 3
Ibid. Hlm.135
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
9
pemusnah masal dalam menyokong perang Dunia I dan Perang Dunia II. Namun memasuki awal abad ke-21, Universitas-universitas mulai mempersoalkan kembali peranannya didalam perubahan kehidupan umat manusia di era Globalisasi. Apabila dimasa sebelumnya Unversitas menjadi alat negara maka selanjutnya Universitas memainkan peran penting didalam perubahan Global berupa kelahiran Pasar Bebas serta kekuasaan-kekuasaan multinational corporation yang telah menggantikan kekuasaan Negara. Pasar bebas merupakan buah dari paham Liberalisme yang memberikan tempat tehormat bagi kemerdekaan Individu, kekuatan pasar didalam menentukan perdagangan dunia. Didalam bidang ekonomi dan pendidikan juga dikenal lahirnya paham neoliberalisme yang menjadi ajaran pokok yang dianut oleh Bank Dunia, IMF, WTO, GATT. Dalam bidang pendidikan paham Neoliberalisme tersebut berarti semakin mengecilnya peranan pemerintah dan “Public Service” semakin lama diserahkan kepada masyarakatnya sendiri. Dikenal “The Washington Consensus” yang merupakan payung dari paham neoliberaliseme tersebut. Pendidikan Tinggipun tidak terlepas dari perangkap neoliberalisme ini. Tidak jarang kampus-kampus telah berubah menjadi alat kepanjangan modal besar untuk melakukan penelitian-penelitian pesanan.4 Sehingga dengan demikian Universitas telah meninggalkan misinya sendiri. Neoliberalisme pendidikan memanifestasikan dirinya sebagai kebebasan sepenuhnya kepada Individu dan melemahkan peranan Negara dalam urusan Pendidikan khiususnya dalam hal pembiayaan. Neoliberalisme juga memberikan peranan yang sangat besar bagi mekanisme pasar, itu artinya kekuatan dan kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada pasar. Asas darwinisme sosial pun menjadi berlaku disini, siapa yang kuat dan mempunyai modal yang besar maka ia yang dapat bertahan. Sedangkan yang lemah dan tidak mempunyai modal akan semakin tersingkir dalam arus persaingan Globalisasi. Jika Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia, maka tidak akan terlepas dari sejarah masa lalunya. Pendidikan di Indonesia mempunyai latar belakang sejarah yang menjadi persemaian menentang imperialisme dan kolonialisme bangsa Asing yang pada saat itu menjajah dan merampas hak-hak asasi Rakyat Indonesia. Tepat 82 tahun yang lalu atau 2 Mei 1930 di Yogyakarta terdapat Kongres Taman Siswa I. Ada beberapa poin yang dapat direnungkan dari kongres tersebut yakni tentang asas kemandirian didalam menghadapi perjuangan Nasional pada waktu itu, maka asas kepercayaan terhadap kemampuan diri sendiri tetap merupakan pedoman yang relevan didalam mengarahkan bahkan memanfaatkan kekuatan-kekuatan global dewasa ini. Perlu dipahami juga bahwa asas kemandirian tersebut 4
Ibid. 140.
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
10
bukan berarti melepaskan tanggungjawab dari perkembangan anak bangsa didalam menghadapi perubahan Global dewasa ini tetapi tetap memberikan arah, perlindungan, susidiaritas kepada peserta didik yang masih lemah namun bertujuan untuk dapat berdiri sendiri dan memilih sendiri didalam berbagai kekuatan yang positif maupun yang negatif dari arus globalisasi. Tut Wuri Handayani sebagai semboyan pendidikan yang telah di ucapkan oleh Ki Hajar Dewantara merupakan prinsip dari pedagogik libertarian yaitu menggugah kesadaran Mahasiswa untuk dapat memilih dan bertanggung jawab terhadap perkembangan pribadi maupun dalam mewujudkan tujuan bersama dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan Tinggi mengusung harapan yang besar untuk menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang dapat berdiri sendiri, yang tidak dapat dihanyutkan tanpa arah oleh arus Globalisasi atau kepentingan-kepentingan korporasi Internasional. Apabila kita memperhatikan asas-asas dan dasar-dasar taman siswa yang dirumuskan sebagai pancadarma tamansiswa, yaitu asas kebangsaan, asas kebudayaan, asas kemerdekaan, asas kemanusiaan, dan asas kodrat alam5 maka dapat disimpulkan bahwa kelima asas tersebut memang sangat dibutuhkan didalam menghadapi arus modernisasi. Menghadapi perubahan dalam era globalisasi pada esensinya bukan berarti menelan mentah-mentah segala sesuatu yang datang dari luar, melainkan perubahan-perubahan tersebut harus di filter sesuai dengan karakteristik Negara Indonesia yang bertujuan untuk mensejahterahkan rakyat Indonesia. Oleh sebab itu jika seandainya pemerintah Indonesia terperangkap dalam neoliberalisme dan melepaskan tanggung jawabnya dalam pembinaan perguruan tinggi maka pada akhirnya itu hanya akan mememperburuk kondisi masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk memperoleh pendidikan tinggi yang berkualitas. Akibat selanjutnya dari lepas tangan pemerintah tersebut adalah masuknya kekuatan pasar, budaya “corporation” kekuatan industri yang secara langsung ataupun tidak langsung mengarahkan misi pendidikan tinggi. Apabila kekuatan pasar diterapkan, kekuatan uang yang akan menjadi ukuran untuk mencerdaskan kehidupan rakyat maka itu pendidikan bukan untuk mencerdaskan kehidupan rakyat melainkan mencerdaskan sebagian kecil rakyat yang memiliki banyak uang. Seperti yang kita ketahui bersama saat ini kita masih banyak tergantung kepada pemerintah karena pertama, pemerintah masih menguasai dana publik yang terbesar, dan yang kedua Birokrasi pemerintah masih terlalu kuat untuk memberikan ruangan publik yang setara dengan sektor swasta. Dengan demikian apabila pemerintah ―Lepas tangan‖ pada pembinaan pendidikan 5
Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan dasar taman siswa (1964)
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
11
tinggi kita dan menyerahkannya kepada kekuatan rakyat yang relatif sangat lemah, maka implikasinya adalah pendidikan tinggi akan dikuasi oleh modal yang kuat. Padahal Mayoritas penduduk Indonesia masih memiliki taraf ekonomi menegah kebawah. Inilah Darwinisme sosial yang ―lahir‖ dari Komersialisasi pendidikan tinggi. Konsekuensi dari semua ini adalah Pendidikan tinggi akan kehilangan kekuatan moralitasnya didalam menegakkan dan meningkatkan ilmu pengetahuan karena diikat oleh sumber-sumber pembiayaan Industri. Selanjutnya pula pendidikan tinggi akan kehilangan kekuatan moralnya oleh karena fungsinya hanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja dan perkembangan Industri semata. Pengaruh pemikiran neoliberalisme dalam pendidikan tinggi dapat terlihat juga pada semakin berkembangnya program-program studi yang laku dipasaran dan semakin merosotnya bidang-bidang studi yang tidak laku dipasaran atau tidak dapat dijual. Hanya program-program studi yang laku sajalah yang akan terus hidup dan pastinya program studi tersebut akan menaikan ―harga‖ yang semakin tinggi kepada masyarakat, sehingga masyarakat menegah kebawah tidak dapat mengaksesnya dengan mudah.
4. Beberapa tinjauan pokok Berangkat dari isi dan poin-poin dari General Agreement on Trades in Services yang disepakati bersama oleh negara-negara anggota WTO (World Trade Organization), maka ada 12 sektor jasa yang sepakat untuk diliberalisasi, dan salah satunya adalah sektor pendidikan tinggi. Negara Indonesia yang saat ini sudah menjadi anggota WTO sekaligus sudah menyepakatinya, Tentulah dituntut untuk merealisasikan hal tersebut kedalam sistem pendidikan nasionalnya. Akan tetapi ini merupakan hal yang sangat dilematis, karena arah konstitusi kita adalah menjamin tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Serta salah satu tujuan Negara Indonesia yang termaktub dalam UUD ’45 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika berbicara mengenai dampak positif dalam liberalisasi pendidikan sudah sangat jelas yaitu, iklim keilmuan suatu negara akan berkembang sangat pesat. Dan dampak negatifnya adalah komersialisasi pendidikan seperti yang sudah diutarakan secara panjang lebar diatas. Memang Pada hakikatnya dunia sekarang ini adalah dunia yang sangat terbuka. Jarak antar negara-negara sudah tidak ada lagi, pertukaran informasipun terjadi begitu pesat, negara yang tidak bisa mengikuti arus globalisasi akan tersingkir dari kancah permainan
internasional.
Begitupun dengan
Negara
Indonesia,
yang
pada
awal
pemerintahannya menggunakan politik bebas aktif terhadap negara-negara lain, Indonesia adalah negara yang terbuka bagi bangsa-bangsa lain. Tetapi yang menjadi landasan adalah
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
12
bahwa betapapun indonesia ikut dalam pergaulan Internasioanl bukan berarti Indonesia tunduk dan patuh terhadap pengaruh modernisasi tanpa mempunyai identitas sendiri. Melainkan yang ideal adalah bahwa Indonesia mempunyai semanagat dan karakteristik yang berlandaskan pancasila dan UUD ’45. Dan jika kita melihat konsep pendidikan di indonesia, UU Sidiknas no 20 tahun 2003 telah menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujdkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa pendidikan bukan semata-mata usaha seorang warga negara untuk memastikan dirinya –secara individual— dapat memenuhi kualitas hidup yang lebih baik, melainkan juga ada dimensi etik dan transformasi sosial di dalamnya. RUU PT yang merupakan amanah dari UU Sidiknas no 20 tahun 2003 ini sudah selayaknya mengadopsi segi filosofis yang ada disini. Karena pada dasarnya pendidikan itu adalah sebagai proses. Bukan hanya output saja. Jadi Negara Indonesia adalah negara yang menghendaki sarjana-sarjana yang tidak egois yang hanya mementingkan dirinya sendiri, melainkan sarjana-sarjana tersebut bisa peka terhadap realita sosial dan bisa memecahkan permasalahan yang ada ditengah-tengah masyarakatnya. Maka konsep komersialisasi pendidikan hanyalah akan membentuk manusia-manusia yang berjiwa egois dan tidak peka terhadap lingkungan sekitar bahkan hanya memperkaya diri sendiri saja. Dengan demikian maka usaha-usaha untuk memasukan unsur komersialisasi serta liberalisasi dalam RUU PT ini harus dilawan agar nantinya tidak berdampak sistemik terhadap konsep pendidikan tinggi. Internasionalisasi pendidikan ? Dalam Draf RUU PT yang kami dapat, kami mendapati bahwa dalam Bab VI pasal 114 tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga pendidikan negara lain. Kami melihat bahwa ada usaha pemerintah untuk mempermudah peluang akses masuknya perguruan tinggi asing untuk mendirikan kampusnya di Indonesia. Bukan tidak mungkin nanti kita akan melihat ada Harvard Sawangan, Oxford Citayem, bahkan Cambridge Margonda. Esensinya masuknya perguruan tinggi asing akan menyegarkan iklim keilmuan di Indonesia. Akan tetapi hal ini akan menjadi lampu kuning jika tidak ada regulasi yang jelas. Lampu kuning yang dimaksud adalah standar pendidikan yang berbeda dengan standar pendidikan di Indonesia, maksud disini adalah bukan standar kualitasnya, melainkan standar filosofis penanaman nilai ke-Indonesia-an dalam proses pendidikan tersebut. untuk masalah
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
13
regulasi sendiri, didalam pasal-pasal draf tersebut disebutkan bahwa peraturan lebih lanjut akan diatur oleh peraturan menteri (PerMen) yang artinya harus kita awasi dan kritisi setiap saat. Dan jika boleh berandai-andai Implikasi terburuk dari proses internasionalisasi pendidikan tersebut adalah ―matinya‖ peran Perguruan tinggi swasta dalam hal melakukan penyelanggaraan pendidikan tinggi karena akan digantikan oleh perguruan tinggi asing. Dan jika ini terjadi maka darwinisme sosialpun akan benar-benar terjadi. Secara gamblang hal ini dapat terjadi karena lapangan pekerjaan akan semakin menuntut orang-orang yang lebih kompetitif padahal seperti yang sudah dijabarkan diatas bahwa pendidikan pada esensinya adalah bukan untuk berkompetisi melainkan suatu proses memanusiakan manusia. Dan secara gampangnya kita dapat melihat bahwa perguruan tinggi asing dapat menawarkan sesuatu yang tidak dimiliki oleh perguruan tinggi swasta bahkan perguruan tinggi negeri sekalipun. Hal ini disebabkan karena lapangan pekerjaan akan lebih melirik lulusan dari perguruan tinggi asing karena dinilai lebih berkompeten dibandingkan dengan lulusan PTS. Dan faktanya perguruan tinggi asing yang tingkat kemahalannya sangat mahal hanya akan dapat dinikmati oleh orang-orang dengan tingkat ekonomi atas saja. Maka honsep homo homini lupus yang pernah diutarakan oleh seorang Filsuf yang bernama Thomas Hobbes pun tidak mungkin tidak akan terjadi di Indonesia. Manusia indonesia akan memakan saudaranya sendiri untuk dapat bertahan dari tuntutan arus globalisasi. Rumpun Ilmu pengetahuan? Selanjutnya dalam Bab II pasal 11 tentang rumpun ilmu pengetahuan. Kami melihat ada sesuatu yang agak janggal dan sedikit konyol yaitu dalam paasal 11 ayat 1 disebutkan bahwa ―rumpun ilmu pengetahuan merupakan kumpulan sejumlah pohon, cabang, dan ranting ilmu pengetahuan yang berkembang secara alamiah dan disusun secara sistematis.‖ Lalu dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa rumpun pengetahuan yang dimaksud terdiri dari 5 rumpun ilmu yaitu ilmu agama, ilmu humaniora, ilmu alam, ilmu formal dan ilmu terapan. Pertanyaan yang muncul dipikiran sekaligus menggelitik kami adalah tentang rumpun ilmu formal. Sebetulnya ilmu macam apakah ini? Jika RUU ini menghendaki adanya ilmu formal, pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengapa negasi dari ilmu tersebut yaitu ilmu informal atau bahkan ilmu non formal tidak dimasukkan kedalam rumpun ilmu yang ―katanya‖ disusun secara sistematis tersebut?, tentulah pasal ini harus terus dikritisi kembali. Vokasi dan Doktor terapan?
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
14
Selanjutnya yang harus digarisbawahi adalah mengenai pendidikan Vokasi. Dalam pasal 18 draf tersebut dijelaskan mengenai pendidikan Vokasi yang dapat disetarakan dengan sarjana bahkan dapat dikembangkan menjadi magister serta Doktor. Ini pun menjadi pertanyaan kembali bagi kami. Jika seandainya Vokasi dapat dikembangkan menjadi doktor terapan. Lalu dimana esensi dari doktor itu sendiri?. Karena pada hakikatnya seorang Doktor itu adalah orang yang sudah tidak bermain dalam ranah praktis lagi, melainkan bermain kedalam ranah-ranah yang sangat teoritis. Seorang Doktor dituntut untuk dapat mengabstraksikan berbagai pengetahuan yang ia dapatkan. Sedangkan Vokasi sendiri berarti berupa pendidikan keterampilan, dan berbicara mengenai keterampilan maka dapat dipastikan akan selalu bermain kedalam ranah yang sangat konkret. Tentulah hal ini akan sangat kontradiksi, lalu jika sekiranya RUU ini menghendaki adanya magister serta doktor terapan, maka seperti apakah magister dan doktor terapan ini? Pada awalnya Pendidikan Vokasi didirikan sebagai alternatif pembelajaran di perguruan tinggi yang diyakini mampu menjadi solusi dalam mengurangi jumlah pengangguran, pembekalan keterampilan yang sangat banyak menjadi salah satu kelebihan dari pendidikan ini, Disamping itu rentang waktu pendidikan yang lebih singkatpun menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian kalangan masyarakat yang menginginkan dapat cepat kerja setelah lulus. Dapat dikatakan bahwa Program pendidikan Vokasional inipun diharapkan dapat menjembatani dunia pendidikan tinggi dengan dunia kerja dan kebutuhan pasar. Maka jika seorang Magister atau doktor terapan hanya disiapkan untuk mensuplai ―kebutuhan pasar‖ tentulah arah pendidikan tinggi kita akan menjadi semakin membingungkan. Bahkan resiko terburuknya adalah perkembangan ilmu pengetahuanpun akan terhambat karena mahasiswa-mahasiswanya akan lebih pragmatis dalam hal menuntut ilmu diperguruan tinggi.
Pendanaan oleh mahasiswa? Dalam draft RUU yang kami miliki saat ini yaitu matrik draf tertanggal 17 maret 2012. Kami melihat bahwa ini adalah sedikit penyempurnaan dari draf yang sudah ada sebelumnya yakni draf tertanggal 22 februari 2012. Dalam draf yang baru ini terdapat perombakan-perombakan yang cukup signifikan terhadap draf yang lama. Beberapa pasal terkait masalah pendanaan oleh mahasiwa sudah mengalami perubahan. Jika dipasal sebelumnya terdapat pasal yang menjelaskan bahwa mahasiswa harus membayar 1/3 dari biaya operasional PTN, maka dalam draf yang baru ini mahasiswa dapat membayar sesuai dengan kemampuannya terkait dengan biaya operasional PTN.
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
15
5. Status PTN di Indonesia sebelum UU BHP6 Sedikit kembali kebelakang pasca pecabutan UU BHP oleh MK, maka saat ini payung Hukum pendidikan Tinggi di Indonesia menjadi tidak jelas. Awalnya UU BHP merupakan turunan dari UU Sidiknas tentang otonomi pendidikan. UU BHP bertujuan untuk melakukan penyeragaman bentuk PTN menjadi badan hukum pendidikan pemerintah (BHPP). Sejumlah PTN BHMNpun pada saat itu sudah menyiapkan AD/ART untuk menyongsong era baru pendidikan tinggi yang lebih sempurna, termasuk UI yang sudah siap bertranformasi ke BHPP. Berikut akan dijabarkan mengenai bentuk status PTN pasca UU BHP.
a. PTN Bersatus Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) dari Ditjen Dikti Saat ini Sebagian besar PTN di Indonesia masih berstatus UPT dari Pemerintah lebih tepatnya adalah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Pengertian UPT menurut Keputusan Menteri Pendayaan Aparatur Negara Nomor 62/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Organisasi UPT di Lingkungan Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen (selanjutnya disebut Kepmenpan) adalah satuan organisasi yang yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis penunjang dari organisasi induknya Menurut Kepmenpan ini, UPT mempunyi tugas melaksanakan kegiatan teknis operasional
dan/atau
kegiatan
teknis
penunjang
dari
organisasi induknya yang pada prinsipnya tidak bersifat pembinaan serta tidak berkaitan langsung dengan perumusanan penetapan kebijakan publik. Dari ketentuan Kepmenpan tersebut jelas PTN sebagai UPT dari Pemerintah tunduk pada semua kebijakan yang ditetapkan oleh organisasi induknya, dalam hal ini Ditjen Dikti. Menurut Pasal 1 angka 9 PP Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, penyelenggara perguruan tinggi adalah departemen, departemen lain, atau pimpinan lembaga Pemerintah lain bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Bahkan pada Pasal 39 PP 60 Tahun 1999 tersebut diatur bahwa Rektor universitas/institut yang diselenggarakan oleh Pemerintah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri, Menteri lain atau pimpinan lembaga Pemerintah lain setelah mendapat pertimbangan senat universitas/institut yang bersangkutan. Kedudukan PTN yang murni sebagai UPT dari Ditjen Dikti sangat jauh dari
6
Lihat kajian tentang status perguruan tinggi setelah berlakunya UU BHP. kajian yang dilakukan oleh Universitas sumatera Utara (USU)
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
16
semangat otonomi yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas. Sulit bagi PTN yang berstatus UPT dari Ditjen Dikti untuk berkembang menjadi world class university yang dapat masuk dalam jajaran universitas terkemuka dunia. Karena untuk dapat mencapai hal itu diperlukan kemandirian, otonomi dan dana yang besar. Jika PTN dalam melakukan apa saja harus atas ’ijin’ dari organisasi induknya dalam hal ini Ditjen Dikti, tentu sulit bagi PTN untuk mengembangkan diri untuk mewujudkan tujuan tersebut. Sebagai UPT dari Ditjen Dikti, PTN terkungkung dengan model kerja birokrasi, di mana dalam memenuhi kebutuhannya mulai dari yang paling sederhana seperti kertas yang menentukan harus Bappenas, sehingga kalau mendadak kebutuhan berubah karena dinamika PTN, revisinya berlarut-larut sampai ke pusat. Dan untuk status kepegawaian di PTN UPT tersebut semuanya bersifat Pegawai Negeri Sipil.
b. PTN Berstatus Badan Hukum Milik Negara ( BHMN) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum menjadi tonggak kampus.
baru dalam sejarah otonomi
Sebagai langkah awal, pada tahun 2000 pemerintah menetapkan status
BHMN pada 4 PTN yang dipandang siap, yaitu Universitas Indonesia dengan PPNomor 152 Tahun 2000, Universitas Gajah Mada dengan PP Nomor
153 Tahun
2000, Institut Pertanian Bogor dengan PP Nomor 154 Tahun 2000, Institut Teknologi Bandung dengan PP Nomor 155 Tahun 2000. Beberapa tahun kemudian menyusul Universitas Sumatera Utara berubah statusnya menjadi BHMN dengan PP Nomor 56 Tahun 2003,
lalu Universitas Pembangunan Indonesia dengan PP Nomor 6 Tahun 2004
berubah statusnya menjadi BHMN dan terakhir dengan PP Nomor 30 Tahun 2006 Universitas Airlangga menjadi BHMN.
Kesiapan
untuk
melaksanakan
pengelolaan
perguruan tinggi secara otonom tersebut ditunjukkan melalui evaluasi diri yang menyeluruh baik dalam aspek program akademik, sumberdaya manusia (SDM), saranaprasarana,
maupun keuangan. Namun, pemberian otonomi tidak
berarti pemerintah
melepaskan diri dari tanggung jawab di bidang pendidikan. Melalui PP Nomor 61 tahun 1999 ini pemerintah membuka kemungkinan secara selektif kepada PTN yang dinilai sudah
memiliki
kemampuan pengelolaan yang
mencukupi
untuk
dapat
memiliki
kemandirian, otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar untuk diubah status hukumnya menjadi BHMN yang dapat berperan sebagai kekuatan moral dalam proses pembangunan masyarakat madani yang lebih demokratis dan mampu bersaing secara global. PTN
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
17
berstatus BHMN tetap menjadi aset negara yang berharga untuk memperbaiki citra bangsa.
Melalui
pendidikan
model
BHMN, direncanakan
bisa
menjadi
langkah
reformasi
tinggi yang sistematik, bertahap dan dilakukan dengan penuh bijaksana.
Sejak awal pembentukannya, pimpinan PTN BHMN menyadari bahwa perubahan dari pola manajemen sentralistis menjadi universitas BHMN bisa menimbulkan persoalan besar terutama dalam hal keterbatasan sumber dana, sumber daya manusia potensial yang belum ditangani dengan baik, dan soal legalitas keberadaan status BHMN sendiri. Berbicara tentang kemandirian tentulah tidak bisa lepas dari masalah keuangan PTN. Sudah merupakan hal yang umum diketahui bahwa
selama ini PTN di Indonesia
selalu diperhadapkan dengan masalah keuangan, baik dari sudut jumlahnya yang selalu dikeluhkan oleh para rektor sebagai
’jauh
dari memadai’, maupun dari sudut
sumber dan pengelolaan keuangannya. PP Nomor 61 Tahun 1999 ini
dianggap
oleh
beberapa PTN dapat menjadi ’secercah harapan’ di tengah berbagai persoalan birokrasi keuangan yang setiap
dianggap
bertele-tele
proses pencairannya,
sehingga
dan
memakan waktu
yang
lama
dalam
banyak kebutuhan PTN yang mendesak tidak
dapat segera ditanggulangi. Dalam pelaksanaannya ternyata banyak sekali kendala yang dihadapi oleh PTN dalam perjalanannya menjadi BHMN terutama dari pihak yang tidak setuju atas perubahan status PTN menjadi BHMN. BHMN dianggap
sebagian besar
masyarakat sebagai langkah komersialisasi dan privatisasi PTN. Anggapan komersialisasi ini disebabkan beberapa PTN yang berstatus BHMN menyiasati
otonominya dengan
membuka jalur khusus bagi mahasiswa yang secara finansial mampu sehingga hal ini dianggap diskriminatif serta mengurangi jatah mahasiswa lainnya yang kurang mampu. Sedangkan privatisasi diartikan sebagai minimalisasi peranan pemerintah dan maksimalisasi peranan sektor swasta, baik dalam aktivitas-aktivitas layanan publik maupun kepemilikan asetnya.
c. PTN Berstatus Badan Layanan Umum (BLU) Salah satu agenda reformasi keuangan negara adalah adanya pergeseran dari pengganggaran tradisional menjadi pengganggaran berbasis kinerja. Dengan basis kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah tidak lagi berorientasi pada input, tetapi pada output. Penganggaran yang berorientasi pada output merupakan praktik yang telah dianut luas oleh pemerintahan modern di berbagai negara. Pendekatan penganggaran yang demikian sangat diperlukan bagi satuan kerja instansi pemerintah yang
memberikan
pelayanan
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
18
kepada publik. Salah satu alternatif untuk mendorong peningkatan pelayanan publik adalah dengan mewiraswastakan pemerintah. Mewiraswastakan pemerintah (enterprising the government) adalah paradigma yang memberi arah yang tepat bagi sektor keuangan publik. Ketentuan tentang penganggaran tersebut telah dituangkan dalam UU Keuangan Negara. Selanjutnya, UU Perbendaharaan Negara membuka koridor baru bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan kepada masyarakat dapat menerapkan pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan menonjolkan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas. Menurut Pasal 1 angka 24 UU Perbendaharaan Negara, BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Walaupun BLU dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak enterprising-nya dapat dilihat pada Pasal 69 ayat (6) bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud itu dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan. Sebagaimana amanat Pasal 69 UU Perbendaharaan Negara bahwa BLU akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, pada tanggal 13 Juni 2005 pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum. Peraturan tersebut mengatur lebih rinci mengenai tujuan, asas, persyaratan, penetapan, pencabutan, standar layanan, tarif layanan, pengelolaan keuangan, dan tata kelola BLU. Status BLU dapat diberikan kepada semua instansi pemerintah yang dibentuk untuk memberi pelayanan kepada masyarakat. meningkatkan
kinerja
pelayanan
publik
BLU merupakan
melalui penerapan
manajemen
alat
untuk
keuangan
berbasis pada hasil, dan bukanlah semata-mata sarana untuk mengejar fleksibilitas dalam
pengelolaan
keuangan. Sehingga untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat/publik dengan tarif/ harga layanan yang terjangkau masyarakat dengan kualitas layanan yang baik, cepat, efisien dan efektif dapat diterapkan Pengelolaan Keuangan BLU dengan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat.
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
19
Jika melihat dan bercermin dari ketiga jenis status pendidikan tinggi tersebut, maka dapat telihat bahwa jenis status yang terbaik adalah BLU. Karena BLU berhasil mensintesiskan antara model UPT dengan model BHMN sehingga menjadi suatu kesatuan yang utuh dan hampir sempurna. Bahkan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie yang Mantan ketua MKpun pernah berkata seperti ini7 : ‖Penerapan BHMN sama dengan gejala kapitalis pendidikan yang memberatkan mahasiswa dan stakeholder. Jimly mengatakan, penerapan status BHMN lebih diorientasikan pada upaya otonomi kampus secara total, dengan bentuk pengelolaan keuangan di luar tanggungjawab negara, sehingga penerapan status itu banyak ditolak sejumlah PTN di lndonesia. Apalagi pemerintah belum sepenuhnya mengeluarkan pedoman pelaksanaan status BHMN melalui Peraturan Pemerintah (PP) ke semua perguruan tinggi, karena masih banyak pertimbangan pada sektor pendidikan. Jika diupayakan menjadi BHMN ada kekhawatiran dari masyarakat akan adanya peningkatan pembayaran Sumbangan Pendidikan dan Pembangunan (SPP). Padahal dalam UUD 1945 pendidikan tidak lepas dari tanggungjawab negara, sehingga pemerintah masih berperan dalam pemberian anggaran pendidikan. Jimly mengusulkan jalan terbaik bagi universitas, yakni perubahan status menjadi BLU dan banyak dilirik perguruan tinggi di Indonesia. BLU merupakan upaya penciptaan otonomi kampus tidak secara total, sehingga pengelolaan keuangan masih bagian negara dan pemerintah berhak memberikan subsidi kepada perguruan tinggi yang menerapkan status BLU tersebut. BLU sebuah solusi yang memiliki nilai untung cukup baik bagi sektor pendidikan di perguruan tinggi.‖ 6. BHMN = Otonom, BLU = Semi Otonom dan UPT = Otonom Terbatas? Pun dalam draf RUU ini dijelaskan mengenai status pengelolaan perguruan tinggi yang terdiri atas Otonom terbatas, semi otonom dan otonom. Pada dasarnya Otonomi pendidikan dalam hal akademik memang sangat perlu. Seperti yang sudah diutarakan di lembar sebelumnya bahwa jika perguruan tingi tidak mempunyai otonomi sama sekali dalam hal akademik dan hanya menjadi boneka dari pemerintah. Maka perkembangan ilmu pengetahuan tidak akan dapat berkembang. Perguruan tinggi hanya akan dijadikan alat dalam mempertahankan kekuasaan Negara ataupun Agama Seperti yang sama-sama kita ketahui pula bahwa ketika abad pertengahan di Eropa, pengetahuan pada saat itu benar-benar berada dalam kungkungan Gereja. Bahkan usaha untuk membuktikan bahwa Bumi mengelilingi matahari pun yang dilakukan oleh para pemikir-pemikir besar seperti Copernicus, Galileo, dan pemikir-pemikir lainnya ditentang dengan keras oleh kekuasaan Gereja pada saat itu. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa kebenaran ataupun teori yang ada pada saat ini bisa dipatahkan oleh kebenaran dan teori lain yang lebih kuat di masa mendatang. Oleh sebab itu 7
Kelola- uang- di- universitas- idealnya -blu /http://www.anggaran.depkeu.go.id/2009a/web-kontenlist.asp?id=110.
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
20
kami memandang bahwa otonomi dalam hal akademik memang sangat diperlukan bagi pendidikan tinggi. Namun ketika berbicara mengenai otonomi non akademik yang termasuk didalamnya tentang masalah pendanaan keuangan, tentulah harus ditelaah lebih dalam lagi. Namun, adalah menjadi pertanyaan bagi diri kami ketika melihat dalam draf RUU PT tersebut adanya 3 pembagian statuta yaitu otonom, semi otonom, dan otonom terbatas. Lantas pembagian macam apakah ini? Kami melihat bahwa statuta-statuta ini hanyalah pergantian nama dari yang tadinya BHMN menjadi otonom, BLU menjadi semi otonom, lalu UPT menjadi
otonom
terbatas.
Lalu
pertanyaan
selanjutnya
adalah
apakah
dengan
mengklasifikasikan statuta-stauta PTN ini akan membawa perubahan yang lebih baik bagi pendidikan tinggi Indonesia? Yang kami curigai adalah jika RUU ini tetap disahkan tidak akan ada meaning-nya, malah RUU ini kami rasa akan semakin mempersulit PTS untuk mendidik mahasiswa-mahasiswa Indonesia karena akan diambil alih oleh perguruan tinggi asing, serta menyebabkan alah pendidikan tinggi di Indonesia semakin tidak jelas. Walaupun demikian jika seandainya kami disuruh untuk memilih statua untuk UI maka menurut kami yang terbaik dari statuta-stauta tersebut adalah semi otonom, karena dalam semi otonom, perguruan tinggi negeri dapat memiliki otonomi akademik sekaligus sedikit otonomi non akademik yang salah satunya mengenai masalah pendanaan. karena Jika berkaca pada status otonom maka perguruan tinggi dituntut untuk mencari biaya tambahan yang nantinya akan dibebankan oleh mahasiswa kembali. Adapun untuk mensiasasti hal itu pendidikan tinggi dapat membuka kelas-kelas non reguler yang sudah pasti mahal dan hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya saja. Seperti dalam Kampus UI yang saat ini memeiliki statuta BHMN atau otonom. Maka UI berupaya medapatkan sumber pendanaan dari kelaskelas non reguler atau yang biasa kita kenal dengan pararel yang notabene biayanya lebih mahal. Bahkan stigma yang berkembang di Masyarakat adalah bahwa UI sulit diakses oleh kalangan kurang mampu. Hal ini terjadi karena kursi untuk yang reguler menjadi dipecah untuk mahasiswa-mahasiswa non reguler. Disisi lain adalah hal yang sudah mutlak bahwa kita sudah mengetahui bahwa makna pendidikan adalah proses pembebasan. Bebas dari kemiskinan, bebas dari kebodohan, dan bebas dari penghisapan. Dalam UUD 45 sudah sangat terang benderang disebutkan bahwa tujuan dari negara adalah ―Mencerdaskan kehidupan bangsa‖ Hak atas pendidikanpun sudah diatur dalam batang tubuh UUD 1945, asal 28 C dan pasal 31 ayat (1). Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasionalpun juga menyatakan setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu. . Indonesia bahkan
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
21
berkomitmen dalam memajukan pendidikan melalui konvenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob). Kovenan yang diratifikasi melalui UU No. 11 Tahun 2005 menjadi sebuah dasar hukum yang mengikat, sama seperti Undang-undang lainnya di Indonesia. Kovenan ini secara jelas menunjuk Negara sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak atas pendidikan. Apabila kita tengok pasal 13 Kovenan Ekosob tersebut, jelas bahwa Negara melalui pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab dalam hak atas pendidikan. Tak hanya pendidikan dasar, Negara juga wajib menyediakan pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi secara Cuma-cuma secara bertahap. Kewajiban Negara tersebut, mencakup aspek ketersediaan, keterjangkauan, keberterimaan, dan kebersesuaian. Keempat indikator tersebut menjadi tolak ukur apakah sebuah Negara benarbenar melaksanakan tanggung jawabnya dalam hak atas pendidikan atau tidak. Dalam pasal 78 ayat 2 disebutkan bahwa ―penetapan perubahan status pengelolaan PTN dilakukan atas usul perguruan tinggi berdasarkan penilaian pemerintah.‖ Pemerintah?? Ya. Disini terlihat bahwa pemerintah berusaha melepaskan tangung jawabnya secara halus dengan alasan bahwa beberapa PTN sudah siap untuk mengotonomikan dirinya. Sisi positif dari otonomi perguruan tinggi adalah sangat mudah untuk menjadi World class University (WCU) karena dana untuk melakukan proyek-proyek ilmiah sangat besar yang didapatkan dari kantong-kantong mahasiswa non reguler.. dan Faktanya Universitas sekaliber WCU memang sangat baik untuk bersaing dengan perguruan tinggi di dunia. Tetapi pertanyaanya adalah apakah kita rela hanya sebagian orang saja yang bisa menikmati WCU ini??? Sedangkan diluar masih banyak anak Indonesia yang masih belum bisa merasakan pendidikan tinggi. Jadi Kami rasa yang terbaik untuk indonesia saat ini adalah asas pemerataan pendidikan.
6. Kesimpulan Kami melihat bahwa Asas Neoliberalisme dan kapitalisme tetap terkandung di dalam Draf RUU PT yang baru seperti halnya dengan UU BHP yang sudah dimandulkan oleh MK, namun RUU PT ini menggunaka bahasa yang lebih halus dan tidak seterang benderang UU BHP. Disisi lain akmipun melihat banyak kejanggalan-kehanggalan dalam pasal-pasal tersebut. kami merasa RUU ini belum siap untuk disahkan menjadi UU. Maka oleh karena itulah sudah sewajarnya kita sebagai civitas akademika UI menentukan sikap penolakan terhadap RUU ini. Dan Sebelum dimandulkan kembali oleh MK melalui Judicial Review. Sebagi Mahasiswa yang memiliki tingkat intelektual kita harus bertindak cepat. Jika
Riset dan Kajian BEM FIB UI 2012
22
terlambat, dan RUU ini disahkan menjadi Undang-undang lalu terbukti mengusung asas neolib yang bertentangan dengan semangat UUD ’45 dan Pancasila maka MKpun akan memandulkannya kembali, Tentulah hal ini akan sangat memboroskan anggaran Negara. Karena pada dasrnya dalam membuat Suatu Undang-undang, DPR dan pemerintah menghabiskan Uang yang tidak sedikit. Dan hanya akan memboroskan anggaran Negara yang notabene adalah Uang Rakyat disitu. Terkait masalah arah pendidikan tinggi di Indonesia kami berpendapat bawa globalisasi dan internasionalisasi pendidikan memang tidak bisa ditolak. Maka yang ideal adalah bahwa Indonesia boleh bermain kedalam pergaulan internasional dalam hal ini bidang pendidikan. Namun walau bagaimanapun adalah kita harus bisa menempatkan jiwa dan roh pendidikan di Indonesia diatas segala-galanya. Jangan sampai negara ini dijajah oleh bangsa lain lewat sektor pendidikan. Beberapa tinjauan pokok dari apa yang kami lakukan adalah bahwa kami mendapati tentang mekanisme pendidikan tinggi yang masih kurang jelas dan terarah. Dalam pasal-pasal yang agak ―rancu‖ dan bermasalah itu kami memang tidak bisa memberikan argumen yang kuat tentang hal itu. Akan tetapi kami mengetahui dan meyakini bahwa jika pasal-pasal seperti tentang pembagian rumpun
ilmu pengetahuan
serta pendidikan vokasi yang
mengizinkan adanya magister terapan dan doktor terapan. Tentulah iklim keilmuan di pendidikan tinggi di Indonesia dapat menjadi semakin tidak jelas dan akan mengalami Chaos. Pasal mengenai Internasionalisasi pendidikanpun sudah barang tentu harus dikritisi lebih lanjut. Karena kalau tidak ada regulasi yang jelas bisa mematikan perguruan tinggi swasta yang ada di Indonesia. Pun dalam hal pemberian statuta perguruan tinggi, jangan sampai kita membiarkan pemerintah lepas tangan terhadap masalah pembiayaan tersebut .
Karena pada dasarnya Pendidikan di Indonesia harus mempunyai titik berdiri yang jelas, pendidikan adalah hak dan dijamin oleh pemerintah bukan komoditas bisnis!!!