Tentang Dita Rositi
T
entang Dita yang mempunyai banyak cerita. Tentang Dita yang menjadikan cinta sebagai cita-cita. Alunan rasa mengalir, menjerat seluruh jiwa. Dita hanya bisa menjerit, berbisik dalam palung hati. Dia yang teramat Dita cintai, tak mampu untuk Dita miliki. Bukan salah dia ataupun Dita, melainkan waktu yang tak memihak dan membuat Dita terjabak. Inilah yang dinamakan cinta sepihak. Bibirnya tak mampu berucap, mengutarakan jerit beserta gejolak hati yang terus memberontak. Andai dia tau bahwa Dita sudah mencintainya sejak dulu. Usia enam belas tahun, Dita meyakini akan rasa cinta padanya. Dita tak bisa banyak berbuat, merasa tidak enak bahkan pantas. Dirinya hanyalah orang biasa. Sekolah SMA pun tak bisa. Terlahir dalam keluarga biasa,
kedua orangtuanya hanya seorang petani padi. Selebihnya akan bekerja serabutan menjadi buruh bangunan. Bibi, aku memanggil Dita. Bibi Dita dulunya hanya asisten rumah tangga biasa. Selama sepuluh tahun dirinya bernaung pada sabuah keluarga besar yang juga teramat menyayanginya. Dan mengenai cintanya, Bibi Dita telah mengabadikannya dalam setiap kisah yang ditulisnya pada sebuah cerita. Karya tulisnya sudah menghiasi jajaran rak buku. Baik yang laku keras, standar, juga biasa-biasa saja. Bibi Dita kerap menuai banyak senyuman di setiap kesempatan. Namun diam-diam aku juga kerap memergokinya menangis di kegelapan. Aku paham rasa itu seperti apa. Dirinya yang kini menginjak kepala empat, masih teramat
mendamba cintanya. Dikatanya, dia adalah alasan Bibi Dita bertahan, menjadi ‘orang’. Kenapa kehidupan ini begitu kejam? Kenapa kehidupan ini tak memberikan cinta lain untuk Bibi Dita sementara dia yang dicinta sudah memiliki keluarga kecil yang begitu bahagia? Puncaknya aku tak lagi mau melihat Bibi Dita. Iya, di setiap kesempatannya tak sengaja bertemu dengan dia, Bibi Dita akan sakit, demam di setiap malam dan tidak mau makan. Tubuhnya kerap hanya tinggal tulang-belulang yang terbungkus kulit kusam! Wajah cantiknya kian tirus bahkan peot! Rasa cintanya yang mendalam hanya menyiksa jiwa dan raganya. Oh Bibi Dita, andai kau tau, keputusanmu untuk melajang demi menjaga kesucian cintamu padanya tak semata menyiksa kedua orang tuamu yang teramat mendambamu untuk berumah tangga, memiliki keluarga kecil yang bahagia, atau itu yang dinamakan borok keluarga ketika anak gadis dicap sebagai perawan tua karena terus melajang! Keputusanmu menolak semua lelaki yang datang dan dibilang sebuah pantangan bagi seorang perawan yang dikata tak akan menikah selama-lamanya itu juga teramat menyiksaku! Jujur saja, dalam hatiku kerap memberontak, bergejolak dan menuntutku untuk secepatnya berucap, bahwa... aku jatuh hati dan teramat mencintaimu. * Hari ini aku terpaksa kembali bertemu dengan Bibi Dita. Mamah dan papahku sedang pergi sementara aku hanya tinggal berdua dengan adikku, Rosi. Aku tak pandai memasak, tak tega rasanya melihat Rosi yang masih duduk di kelas dua sekolah dasar hanya menjadikan mie instan sebagai santapan. Bibi Dita memiliki warung makan yang di depannya ada taman bermain dilengkapi dengan air mancur juga sebuah perpustakaan cukup besar yang isinya memajangkan deretan karya Bibi Dita dan murid didiknya. Di perpustakaan itu, Bibi Dita juga kerap mengadakan kelas menulis secara gratis tanpa pungutan biaya. Aku juga sempat bernaung menjadi salah satu peserta didiknya selama dua tahun ke belakang. Namun dari satu minggu lalu aku terpaksa berhenti karena tak mau bila rasa yang tertanam dalam hatiku untuknya, akan membuatnya semakin terluka.
“Heeei, Ray?” Bibi Dita menatapku dengan wajah yang dimiringkan serta kedua mata yang disipitkan. Seperti pangling atau bahkan terkejut satu minggu ke belakang aku tidak menampakan batang hidung. Bisa ketebak, sapaan wajah cantik luar biasa berhias binaran senyum tak berukuran Bibi Dita malah aku balas dengan wajah super datar penghias keacuhan. Mungkin Bibi Dita yang senyumnya beriring surut mulai menyadari bahwa aku tidak begitu nyaman, bahkan menghindari keberadaannya. “Kamu masih sakit? Apa yang kurang dari dirimu? Baru kelas dua SMA saja sudah digadang-gadang universitas ternama. Bahkan papah sama mamah kamu saja sudah mulai ngerancang kuliahmu ke luar negeri. Seharusnya kamu seneng,” ucab Bibi Dita seraya memasukkan beberapa ayam goreng, tumisan sayur hijau, juga prekedel kentang isi kesukaan keluargaku. Keluargaku memang sudah berlangganan pesan makanan Bibi Dita. Masakan Bibi Dita sangat enak dan digandrungi setiap penikmatnya. Itu mengapa banyak yang meminangnya untuk dijadikan isteri atau sekadar mantu. Aku belum pesan, tapi Bibi Dita sudah membungkuskannya dan disodorkannya padaku. “Kalo bisa, Rosi diajak sekalian. Makan di sini kan lebih enak. Sambil main atau belajar di taman, perpustakaan?” Bibi Dita kembali memiringkan wajahnya dalam mengajakku berbicara sementara aku masih menunduk-tertekuk dengan kedua tanganku yang mengepal penuh getar. Sungguh, ketulusannya benar-benar membuatku merasa sangat bersalah. Rasanya aku ingin membunuh diriku saat ini juga. Mencekik atau menyayatkan pisau tajam pada pergelangan nadiku agar semuanya berhenti! “Ray...?” Aku tersentak, uluran sodoran kresekan kotak makanan Bibi Dita menggantung. Bibi Dita keluar dari etalase tempatnya memajang masakannya. Dia menghampiriku dan kini membuatku nyaris tak berjarak dengannya. Aliran darahku mengalir dengan sangat deras. Deru napasku tak terkendali sementara degupan jantungku bak tabuhan gendang perang! Kini dirinya ada di hadapanku; menatapku yang terus menghindar, lekat-lekat. Punggung tangan kanannya meraba keningku sementara tangan kirinya masih me-
nenteng kresekan makanan yang dimasukannya ke dalam kotak dan tadi ditujukan padaku. Aku benar-benar takut, sangat takut bila keadaanku yang terus gemetaran, ded-degan bak akan meledak ini membuatnya curiga. Apakah sampai seintens itu? “Kamu sakit? Jangan terlalu memporsis waktu buat belajar, Ray.. ya udah, sana pulang, makan, minum obat lalu istirahat..” lanjut Bibi Dita. Jemari-jemarinya menyentuh tanganku yang panas-dingin kala dirinya menaruh kantongan kotakan makanan dan tak sengaja menyentuh jemariku. “Cepat pulang..” seperti biasa, Bibi Dita tak mau mendapat bayaran. Dia selalu memberiku cuma-cuma. Tak hanya makanan juga pendidikan, tapi juga kasih sayang. Ketika orangtuaku bepergian hingga membuatku hanya berdua dengan Rosi, Bibi Dita akan datang untuk membereskan rumah, menyiapkan makanan dan mengurusku beserta Rosi tak beda layaknya seorang ibu. Bahkan perhatian yang dilakukan Bibi Dita jauh lebih besar dari perhatian mamahku yang terlalu sibuk dengan mimpi beserta pekerjaannya sebagai perancang busana handal. Itulah kenapa aku jatuh hati padanya. “Kalo ada apa-apa telepon aja yah, Ray..? mamah sama papah baru pulang satu minggu lagi, bukan?” Seru Bibi Dita dari belakang. Aku tak mampu berlama-lama. Hanya sekedar memberinya anggukan tanpa sedikitpun merubah keadaan. Tak apa bila aku disebut sebagai pecundang handal yang membuat Bibi Dita bermandi kecemasan karena perubahan sikapku. * “Aku sudah menganggapmu sebagai anakku sendiri. Lalu apalah ‘ini’? ini lucu... bahkan aku lebih pantas dipanggil ibu olehmu.. tapi kenapa kamu bilang mencintaiku? Dan kedua benda ini, coklat dan bunga kau jadikan pilihan untukku? Coklat menolak, sementara bunga berarti menerima?” Bibi Dita tersenyum geli. Buangan wajahnya dihiasi torehan air mata. Wajahnya memerah. Dia bilang, kedekatanku dengannya hingga dirinya berbagi cerita akan kisah di masalalunya yang menjadikan cinta sebagai sumber kekuatan untuk menggali jati diri, sebuah dasar tolak ukur yang membuatnya menemukan bakat hingga membuatnya layak dilihat, tak semata karena dirinya merasa dekat
denganku layaknya hubungan ibu dengan seorang anak. sejenis memotivasi agar orang lain juga memiliki mimpi yang kiranya harus diwujudkan karena semua orang, siapapun tak pandang status itu berhak bermimpi sekaligus mewujudkannya. Dia tidak memberikan pilihan. Yang dilakukannya hanya memelukku, mendekapku erat-erat sambil berbisik, “kau adalah anakku. Aku tau bagaimana perasanmu, dan aku sangat menghargai perasan sekaligus usahamu. Kau masih teramat muda, masa depanmu masih sangat panjang, Nak! Jahat sekali aku bila aku mengikutkanmu dalam keterpurukanku. Gapailah mimpi setinggi-tingginya, perkaya hidupmu dengan ilmu.. bahagiakanlah kedua orang tuamu dengan kekayaan yang kau miliki! Niscaya, deretan wanita akan mencoba menerobosmu dan menyodorkan deretan keistimewaan. Kau tinggal pilih..?” aku tertunduk beberapa saat, menjadi pujangga yang merana. Diriku berderai air mata bersama juga dengan Bibi Dita. Linangan air mata menjerat kebersamaan kami. “Aku sudah tau semuanya...” aku masih tertunduk kalah. Membiarkan Bibi Dita menyeka cepat setiap linangan dari kedua ujung mataku. Aku yakin, Bibi Dita tengah menunggu lanjutanku. Kutatap dia penuh keseriusan. Wajah kami hanya berjarak tak kurang dari lima senti! “Dia... laki-laki jahat sekaligus bodoh itu.. laki-laki yang membuatmu menjadi wanita kuat, hebat, bahkan jahat..... dia.. dia.. Papahku.... itu sebabnya kau begitu menyayangiku beserta Rosi?” aku membuang wajah. Rasanya langit runtuh kala itu juga. Bibi Dita terdiam bingung menatapku. Kedua bola mata indahnya bergerak liar menatapku penuh nanar. Bibirnya bergetar, bergeming tapi tak menghasilkan suara apa-apa. Kali ini aku tersadar. Ternyata aku bermimpi. Itu kejadian satu minggu lalu sebelum keputusanku menghindari Bibi Dita. Bagiku adegan tadi tak beda dengan mimpi buruk. Mimpi buruk yang selalu menyertai alunan napasku. Derasan darah yang kerap berhenti kala jantungku juga tak lagi bekerja dengan semestinya. Rasanya aku hidup tapi tidak hidup. Mati juga tidak mati. Lalu, apa yang dirasakan oleh Bibi Dita bila selama ini waktunya hanya habis untuk memendam rasa?
Kurasakan ada sebuah kain yang menindih, bersemayang pada keningku. Ku ambil itu dan ternyata sebuah handuk kompres yang sudah mengering. Ku tilik waktu pada meja kiri samping ranjangku, di situ ada wekker warna biru yang menunjuk jam setengah tiga pagi. Lalu di samping kananku, aku mendapatkan sosoknya. Sosok Bibi Dita yang terlelap dengan wajah lesu. Kedua tangannya saling menumpu sementara dagunya turut bertumpu. Ku ambil ponsel canggihku dan membidikan kamera aplikasi ponsel untuk mengabadikan sosoknya. Kelak, kepada anak dan cucuku, aku akan bercerita jika wanita ini adalah cinta pertamaku yang teramat tergila-gila pada ayahku sendiri. Lalu apa yang aku bisa? Rasanya seperti saat pertama tak sengaja mendapati deretan potret Papah yang terselip pada setiap helaian kertas catatan harian Bibi Dita. Aku sungguh mati rasa... Dalam pangkuannya kini ada Rosi. Rosi tertidur beralaskan kasur lantai. Aku dan Rosi begitu tergantung padanya. Bukan, tepatnya orangtuaku juga begitu. Dikisahkan papah ketika aku menanyakan perihal hubungannya dengan Bibi Dita. Semenjak sekolah SD dan SMP, mereka nyaris selalu satu kelas. Bibi Dita itu orangnya pendiam bahkan cenderung tertutup. Bagi papah juga teman-teman lain, Bibi Dita tidak terlalu istimewa. Biasa-biasa saja. Namun bila melihat perubahan drastis Bibi Dita sekarang yang tentunya mengalami proses sulit terbilang panjang, papah menambahkan bila wanita seperti Bibi Dita ‘lah sosok yang patut diperjuangkan. Gigih, rajin, ulet, cantik, baik, pintar memasak, serta berbakti pada orangtua. Tapi sayangnya, dari kecil papah sudah jatuh hati kepada mamah. Papah juga bilang, kala lulusan SMP dimana Bibi Dita masuk tiga besar pemilik nilai tertinggi saat lulusan, ayah Bibi Dita mengalami kecelakaan dan membuat Bibi Dita memilih merantau ke kota untuk bekerja. Selebihnya mereka tak lagi berkomunikasi. Namun ketika Bibi Dita kembali dari kota bahkan memiliki rumah makan sekaligus rumah menetap yang terbilang masih satu komplek dengan keluargaku, hubungan keluargaku dan Bibi Dita semakin dekat melebihi kedekatan keluarga. Bagiku, dia adalah bidadari yang memiliki
kekuatan super. Bibi Dita.. apakah aku termakan karma? Jari-jariku yang sekiranya akan melayangkan belaian pada wajah Bibi Dita menggantung ketika tatapan lekatku pada wajah Bibi Dita terjerat. Dia terbangun dari tidurnya. “Mmmmm...?” Samar-samar dirinya menggerakan kedua matanya dan seolah sedang mengenaliku. Punggung tangannya langsung cekatan meraba keningku. “Hmmm... syukurlah udah turun...” Kini Bibi Dita sibuk mengurus Rosi. Membenarkan baringannya pada bantal yang ada di sampingnya. Ada yang berbeda.. kudapatkan cincin emas polos bermata terpendam yang tersemat pada jari manis kirinya. Kiranya itu sebuah tanda ikatan. Benarkah kecurigaanku? “Udah kamu tidur lagi, yah... Semalam Rosi telpon nangis-nangis katanya kamu sakit, ngga mau makan, ngga mau ngomong. Rosi ketakutan. Jangan begitu..” Bibi Dita masih menyelipkan seulas senyum padaku meski dirinya terlihat sangat kelelahan. “Bibi pulang dulu. Bentar lagi harus siap-siap masak.” Dia berkemas, mengikat asal helaian rambut panjangnya yang sempat sedikit terurai, berlalu meninggalkanku setelah memastikan bahwa tubuh Rosi benarbenar terbalut selimut. “Bila aku memintamu untuk menungguku menjadi ‘orang’, maukah kamu menungguku?” pintaku sungguh-sungguh. Langkahnya terhenti, mematung tanpa reaksi. 1, 2, 3, 4, 5, bahkan hingga sepuluh menit dirinya masih sama. Aku tertunduk pasrah tak berdaya. “Aku sudah menemukan pilihan..” itu jawabannya sembari memamerkan sematan cincin emas polos bermata terpendam pada jari manis kirinya. Senyumnya kali ini benar-benar dipaksakan. Jelas-jelas dirinya sedang manangis tersedu. Lalu apa untungnya aku bila hanya diberi senyum palsu? * Aku masih mengingatnya. Kini umurku sudah melewati kepala tiga. Rosi sudah wara-wiri meminta restu untuk menikah dengan Ibnu, lelaki pilihannya. Orangtua kami memiliki peraturan kusus agar yang tua yang menikah dulu. Aku nyaris memiliki deretan kesempurnaan, dari fisik juga tingkat kemapanan. Namun masih ada satu yang dirasa kurang dan kerap
dieluhkan oleh kedua orangtuaku. Mengenai pasangan. Aku masih terpaut pada Bibi Dita yang ku jadikan sebagai duniaku. Sematan cincin emas polos pada jemarinya dulu, dilakukannya hanya untuk melabuhiku. Hingga kini dirinya masih melajang meninggalkan guliran kenangan manis yang begitu dimanfaatkan. Perpustakaan di depan rumah makannya semakin besar. Begitu juga dengan taman beserta rumah makan yang semakin menjadi pusat perhatian sekaligus tujuan yang tidak boleh dilewatkan bila bersandang ke kota kami. Terakhir ku dengar kabarnya, kini dirinya telah berada pada sebuah sanggar di pelosok Jogjakarta. Dia sudah hidup tenang di sana. Di tempat keabadian yang membuatnya benarbenar menjaga ketulusan cintanya pada papahku. Damailah dalam duniamu, Duniaku... kumohon, tunggu aku di keabadian sana. ***