Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
LAJU EROSI TERHADAP PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN KAWASAN HUTAN LINDUNG PADA AREA PERTANIAN DESA SUMBER BRANTAS, KECAMATAN BUMIAJI, KOTA BATU Erosion Rate Toward Utility Change Of Protection Forest Area Inagricultural Of Sumber Brantas Village, Bumiaji District, Batu Tatag Muttaqin, S.Hut, M.Sc Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian - Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang Abstrak Desa Sumber Brantas merupakan salah satu desa yang menjadi daerah penyangga bagi kawasan Tahura Raden Soerjo. Pemanfaatan lahan yang tidak menyesuaikan dengan fungsinya sebagai daerah penyangga akan dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan lindung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya laju erosi dalam satu tahun di lahan pertanian wilayah Desa Sumber Brantas serta menentukan strategi untuk mengoptimalkan fungsi desa sebagai daerah penyangga. Metode analisis yang digunakan adalah metode Water Erotion Prediction Project (WEPP). Dari hasil analisis diketahui laju erosi yang terjadi sebesar 20,348 ton/ha/tahun pada lahan hutan dengan tingkat bahaya erosi ringan, sementara pada lahan pertanian sebesar 231,02 ton/ha/tahun sehingga masuk dalam kategori erosi tingkat berat, sehingga karakteristik pemanfaatan lahan kurang sesuai dengan fungsinya sebagai daerah penyangga karena dimanfaatkan untuk lahan pertanian hortikultura. Hal ini disebabkan karena masyarakat desa belum memiliki kemampuan untuk mengelola lahan di daerah penyangga dengan sistem pengolahan lahan yang baru. Oleh karena itu, diperlukan teknik konservasi tanah dan air yang baik seperti pembuatan guludan bersaluran atau dengan penerapan sistem agroforestry yaitu pertanaman lorong (alley cropping), sehingga pengaturan pemanfaatan lahan di Desa Sumber Brantas tertata dengan baik dan laju erosi dapat diminimalkan. Kata Kunci: Laju Erosi Tanah, Perubahan Tata Guna Lahan, Model WEPP, Abstract Sumber Brantas village is a village as buffer zone for Tahura Raden Soerjo area. The utilization of land improperly with its function as buffer zone will cause damage in protection area. Purpose of this study is to know the number of erosion rate during a year in agricultural area in Sumber Brantas village also to determine strategy to optimize village function as buffer zone. Analysis method used here is Water Erotion Prediction Project (WEPP) method. From the result of analysis, it is known that erosion rate occurs is 20,348 ton/ha/year in forest area with low level of erosion. In this forest area with low level of erosion, while in agricultural land is 231,02 ton/ha/year that it is in heavy level of erosion category the characteristic of land utilization is less appropriate with its function as buffer zone because it is used for horticultural agriculture land. It is because the villagers have no ability to manage the land in buffer zone with new land management system. Therefore, it is needed good technique for land and water conservation such as building access duct or by implementing agroforestry system; they are alley cropping that the management of land utilization in Sumber Brantas is in good arrangement and erosion rate can be minimized. Key words: land erosion rate, change of land utilization, WEPP model
963
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
PENDAHULUAN Peran dan fungsi Kota Batu menurut rencana tata ruang dan wilayah yang direncanakan dari tahun 2009 hingga 2029 digunakan sebagai daerah yang memiliki kawasan lindung dan konservasi. Menjadi suatu pertimbangan utama dimana Kota Batu sebagai hulu DAS Brantas khususnya Kecamatan Bumiaji memiliki peranan penting sebagai daerah penyangga dan sumber resapan mata air yang ada di Kota Batu, yang tidak hanya digunakan oleh warga Kota Batu tapi juga daerah – daerah lain di sepanjang aliran DAS Brantas. Desa Sumber Brantas merupakan daerah penyangga bagi kawasan Tahura Raden Soerjo Kota Batu. Namun Desa Sumber Brantas tercatat sebagai salah satu titik lahan kritis di Kota Batu karena sebagian besar penggunaan lahannya adalah untuk pertanian hortikultura yang memiliki tingkat erosi yang sangat peka atau sangat tinggi karena pola tanam yang ada di lahan pertanian ini kurang tepat. Banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan oleh erosi yang disebabkan terjadinya perubahan kawasan ekosistem hutan membuat para pakar konservasi mencari suatu cara untuk mengetahui laju erosi di suatu kawasan. Kajian dibidang erosi ini dibutuhkan untuk mengetahui apakah erosi yang terjadi sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan atau belum sehingga pihak manajemen dapat melakukan tindakan penanggulangan dan pencegahan. Untuk mengetahui efektivitas kegiatan pengelolaan lingkungan terhadap laju erosi tanah, maka perlu dilakukan tindakan pemantauan. Pemantaun dilakukan secara periodik untuk mengetahui kecenderungan perubahan dampak sebagai dasar pengambilan kebijakan pengelolaan lingkungan lebih lanjut. Untuk itu perlu dilakukan penelitian, salah satunya adalah meneliti laju erosi pada area pertanian yang dipengaruhi oleh lima faktor yaitu iklim, manajemen tanaman, kelerengan, tanah, dan manusia yang berada pada areal hutan lindung yang dapat menimbulkan dampak bagi terjadinya erosi tanah. Perkembangan Kota Batu yang pesat karena prospek pariwisata, hasilperkebunan dan pertanian menyebabkan pertambahan penduduk tinggi. Desakan kebutuhan lahan, baik untuk pertanian maupun non pertanian telah mengakibatkan penduduk yang tinggal di kawasan lindung Desa Sumber Brantas memanfaatkan daerah perbukitan yang rawan longsor. Kawasan hutan lindung merupakan daerah yang setiap tahunnya terdapat alih fungsi lahan untuk digunakan sebagai lahan perkebunan dan pertanian untuk tanaman sayuran. Dari permasalahan tersebut dapat diindikasi perubahan penggunaan lahan akan mempengaruhi debit puncak banjir yang terdapat di outlet DAS Brantas Hulu. Pola-pola pemanfaatan alih fungsi lahan kawasan lindung yang ada di Desa Sumber Brantas beragam dari aspek jenis pemanfaatannnya, seperti pertanian, pemukiman, bangunan. Apabila kegiatan ini dilakukan secara terus menerus menyebabkan dampak yang lebih buruk pada suatu lahan. METODE PENELITIAN Data lapangan yang diperlukan sebagai data primer dalam penelitian adalah data sampel tanah berupa tekstur tanah, kedalaman tanah, albedo, % pasir, % liat tanah, % bahan organik, nilai kapasitas tukar kation, % batuan, % penutup tajuk, albedo. 964
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Kemudian data lapangan yang diperlukan untuk mengetahui kondisi aktual di lapangan adalah koordinat setiap segmen pada penggunaan unit lahan pertanian dan lahan kehutanan yang ditandai (marking) menggunakan GPS. Penelitian ini dilakukan di Desa Sumber Brantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, Propinsi Jawa Timur. Area penelitian merupakan kawasan lindung yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah kota Batu. Letak geografis desa terletak pada 07o 45‘ 798‖ LS dan 112o 32‘ 102‖ BT.
Gambar 1 Peta Wilayah Studi Metode Analisis Prosedur pendugaan erosi menggunakan model Water Erosion Prediction Project terdiri dari : 1. Install program WEPP versi 2012, kemudian pilih use the default WEPP project untuk memulai pendugaan erosi secara 2. Dengan tampilan umum program yang memperlihatkan kondisi lahan secara melintang yang saling bertumpukan. Tumpukan tersebut terdiri dari jenis penggunaan lahan, kemiringan lahan, dan jenis tanah.
Gambar 2. Tampilan awal WEPP 3. Membangun simulasi stasiun hujan baru dengan memasukan data klimatologi dalam format text (notepad) yaitu data curah hujan, temperatur maksimum, dan minimum terlebih dahulu.
Gambar 3. Contoh data curah hujan 965
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
4. Kemudian dilanjutkan dengan langkah langkah sebagai berikut : WEPP Tools > Add Climates Memberi nama stasiun hujan baru daerah penelitian > Next
Gambar 4. Pemberian nama lokasi baru Memilih lokasi stasiun hujan di Amerika yang sudah tersedia, pilih yang hampir sesuai dengan stasiun hujan lokasi penelitian > Next
Gambar 5. Penentuan stasiun hujan Selanjutnya akan mucul pertanyaan untuk membuat data .par > Yes > Next, lalu masukan data klimatologi aktual dengan format text untuk membuat file .par > Next
966
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Gambar 6. Pembuatan data actual Pada lembar kerja selanjutnya pilih refresh data view sehingga data aktual akan ditampilkan dan ubah parameter sesuai dengan satuan yang digunakan pada data aktual > Next
Gambar 7. Pengelolaan data cuaca Koreksi data setiap parameter iklim yang tertera pada masing masing kolom dengan data primer yang diperoleh > Next
967
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Gambar 8. Penentuan parameter iklim Membangun input iklim dengan CLIGEN versi 4.3 > Finish. 5. Setelah membentuk stasiun hujan baru dengan menggunakan data lapangan untuk mendapatkan komponen iklim, selanjutnya memasukan komponen manajemen tanaman sesuai dengan tipe penggunaan lahan.
Gambar 9. Penentuan manajemen tanaman 6. Selanjutnya yaitu memasukan data kelerengan dan panjang lereng sesuai dengan data lapangan setiap segment.
Gambar 10. Penentuan Kelerengan 968
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
7. Komponen terakhir yang diperlukan untuk memperoleh hasil pengamatan aktual adalah memasukan data tanah yang ada di lapangan.
Gambar 11. Penentuan data tanah HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Sumber Brantas adalah sebuah dusun yang merupakan bagian dari wilayah Desa Tulungrejo. Desa Sumber Brantas ini merupakan salah satu desa yang menjadi daerah penyangga bagin kawasan Tahura Raden Soerjo yang merupakan daerah pegunungan dan mempunyai hamparan lahan pertanian yang memberikan kesejateraan masyarakatnya. Desa Sumber Brantas terdapat mata air sungai Brantas yang mengalir ke sembilan kabupaten di Jawa Timur. Luas Desa : 541,1364Ha Batas wilayah : Sebelah utara : Hutan / kab.Mojokerto Sebelah timur : Hutan / gunung Arjuno Sebelah selatan : Desa Tulungrejo Sebelah barat : Gunung Anjasmoro Kondisi geografis Ketinggian dari atas laut : 1.400 s/d 1.700 mdpl Curah hujan rata-rata : 2.500 mm/th Suhu rata-rata : 20o C s/d 25o C Tekanan udara : 29,92 hg Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan salah satu parameter tingkat pemanfaatan lahan yang ada di suatu wilayah. Sebenarnya terdapat beberapa perubahan penggunaan atau pemanfaatan lahan yang terjadi di wilayah hutan, diantaranya seperti bangunan dan pemukiman seperti yang terdapat pada peta penggunaan lahan Desa Sumber Brantas. 969
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Akan tetapi, pada penelitian kali ini penggunaan lahan yang diamati terfokus pada lahan hutan dan lahan yang berkaitan dengan kegiatan pertanian yang digunakan sebagai contoh pengukuran laju erosi tanah. Hal tersebut menjadi perhatian karena lahan pertanian seperti perkebunan dan ladang sangat mendominasi perubahan tata guna lahan hutan yang ada di wilayah Desa Sumber Brantas. Pada kawasan pertanian masyarakat diberi kebebasan untuk mengelola lahannya, dan pada lokasi penelitian tanaman pertanian yang dibudidayakan adalah wortel, kentang, dan gubis, namun masyarakat juga tetap diperbolehkan untuk mengaplikasikan sistem agroforestry jika mereka menginginkannya, tetapi terdapat juga lahan pertanian yang memiliki kelerengan lebih dari 15% seperti pada lahan pertanian yang diteliti kali ini, dan ini menjadi perhatian khusus sebab tidak sesuai dengan aturan penggunaan lahan yang telah ditetapkan sebelumnya, karena ancaman bahaya erosi akan terjadi jika tidak segera dilakukan usaha konservasi tanah yang sebelumnya telah diprediksi laju erosinya terlebih dahulu. Persentase pemanfaatan ruang faktual di Kecamatan Bumiaji, berdasarkan data yang bersumber dari Bappeda Kota Batu dalam dokumen rencana tata ruang wilayah Kota Batu tahun 2013, seperti tersaji dalam Gambar, Hutan Negara 7% dari luasan Kecamatan Bumiaji, sawah 13%, kebun/ladang 27%, padang rumput 25%, bangunan dan sungai 1%, pemukiman 26%. Sebaran kemampuan lahan di Kota Batu dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Diagram pembagian wilayah Luas lahan hutan Kecamatan Bumiaji yaitu 8.751,60 ha berdasarkan laporan Badan Perencanaan Daerah Kota Batu. Penurunan luas hutan pada tahun 2009 – 2014 adalah dari luas 4120,37 ha menjadi 1316,43 ha. Padahal dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa minimal luas hutan dalam satu DAS adalah 30% dari total keseluruhan luas DAS. Padahal fungsi hutan dapat mengurangi erosi yang menyebabkan pendangkalan di sungai. Penerapan Komponen WEPP Iklim Keadaan Iklim pada lokasi pengamatan dilakukan simulasi dengan mengumpulkan data curah hujan harian dan temperatur pada stasiun curah hujan yang berada paling dekat dengan lokasi penelitian, sehingga keadaan iklim dapat setara, karena iklim di setiap lokasi berbeda tergantung dari ketinggian tempat, letak bintang, permukaan tanah. Stasiun curah hujan yang digunakan adalah stasiun curah hujan Junggo yang berada di ketinggian 1240 mdpl dengan suhu minimal mencapai 20o 970
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Celsius dan maksimal mencapai 25o Celsius yang berada di Desa Tulungrejo dan lokasinya sangat dekat dengan Desa Sumber Brantas.
Gambar 13. Grafik curah hujan tahun 2014 Grafik di atas menunjukkan curah hujan harian yang terjadi selama tahun 2014, dari data tersebut terdapat dua puncak curah hujan harian tertinggi yaitu bulan November pada tanggal 11 dan 29 dengan curah hujan maksimum 76 dan 98 mm. Total hari hujan selama tahun 2014 adalah 135 hari dengan total curah hujan 1948 mm/tahun. Bulan dengan hari basah terbanyak adalah bulan Januari dengan 25 hari hujan dan pada bulan September tidak terdapat hari hujan, sehingga menjadi bulan kering. Intensitas hujan dalam satu tahun jika dikonversi menjadi satuan mm/jam maka menjadi 0,6 mm/jam dan menurut klasifikasi intensitas hujan (Arsyad, 2012) maka curah hujan termasuk dalam kategori sangat rendah, tetapi walaupun intensitas hujan sangat rendah, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi erosi, tergantung faktor vegetasi penutup yang ada dan kelerengan serta kondisi struktur dan tekstur tanah. Adanya pengaruh iklim terutama curah hujan dan angin, pergeseran dalam tanah (tektonis), serta campur tangan dari manusia menyebabkan sangat sulit untuk meniadakan dan mencegah terjadinya erosi sampai pada tingkat tanpa adanya erosi terutama pada lahan-lahan yang dimanfaatkan dan lahan-lahan yang memiliki kemiringan. Manajemen Tanaman Pada komponen manajemen tanaman terdapat beberapa parameter yang tidak dapat digunakan dalam simulasi prediksi erosi karena di Indonesia banyak parameter yang belum diketahui nilainya. Oleh karena itu, komponen manajemen tanaman disesuaikan dengan kondisi lapangan yaitu jenis penggunaan dan pengolahan lahan, serta jenis tanaman yang digunakan. Penggunaan lahan yang diteliti terfokus pada wilayah hutan lindung dan wilayah pertanian dengan budidaya tanaman sayuran seperti wortel, kobis, kentang dengan pengolahan tanah ditambah sistem teras dan guludan seperti terlihat dalam contoh gambar.
971
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Gambar 14. Contoh enggunaan lahan hutan dan pertanian Dari pengamatan di lapangan yang dapat dimasukan sebagai data manajemen tanaman pada lahan hutan sudah tersedia di dalam aplikasi WEPP yaitu sebagai forest buffer atau hutan penyangga. Sehingga setiap parameter sudah masuk secara otomatis karena parameter hutan lindung hampir sama di setiap tempat, baik kondisi tanah, kerapatan tajuk, dan kandungan bahan organik. Kelerengan Pengukuran kemiringan lereng bukit secara utuh menggunakan aplikasi clinometer dan panjang lereng mengunakan hasil marking GPS dari marking titik satu ke marking titik berikutnya sehingga terlihat jarak antar titik tersebut serta data panjang lereng. Hasil data berupa kelerengan dan panjang lereng tersebut kemudian dimasukan dalam aplikasi WEPP pada komponen slope, kemudian akan membentuk grafik kelerengan seperti pada gambar.
Gambar 15. Kelerengan lahan pertanian Dari hasil pengukuran di lapangan pada contoh lahan pertanian memiliki kelerengan yang cukup curam dengan kelerengan paling tinggi sebesar 68% dengan panjang lereng 39,19 meter dan kelerengan paling rendah adalah 12% dengan panjang lereng 40,94 meter. Sementara, pada lahan hutan kelerengan paling tinggi yaitu 93% dengan panjang lereng hanya 8 meter dan kelerengan paling rendah adalah 16% dengan panjang lereng 14,73 meter.
972
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Gambar 16. Kelerengan lahan hutan Kemiringan dan panjang lereng adalah faktor penting yang dapat menimbulkan erosi, karena faktor tersebut menentukan besarnya kecepatan larian air. Lereng dengan kemiringan yang curam akan mempercepat laju dan volume aliran permukaan, sehingga dapat meningkatkan energi kinetik aliran permukaan untuk melepaskan partikel – partikel tanah. Kecepatan larian air yang besar umumnya ditentukan oleh kemiringan lereng yang tidak terputus dan panjang serta terkonsentrasi pada saluran – saluran sempit yang mempuyai potensi besar untuk terjadinya erosi alur dan parit. Tanah Tanah merupakan salah satu faktor yang selalu diperhatikan dalam setiap model pendugaan erosi, begitu pula dengan model Water Erosion Prediction Project (WEPP) salah satu komponen yang dimasukan adalah data tanah. Model WEPP memperhitungkan tingkat infiltrasi tanah berdasarkan data kedalaman tanah dan persentase struktur tanah. Infiltrasi yang terjadi pada tanah akibat dari intesitas hujan yang berlangsung akan diperhitungkan apakah berubah menjadi aliran permukaan atau habis terinfiltrasi ke dalam tanah. Apabila terjadi aliran permukaan maka model WEPP akan menghitung besarnya kehilangan tanah sepanjang lereng. Parameter KTK penting untuk mengetahui tingkat kesuburan tanah, nilai KTK pada lahan pertanian yaitu 37,2 me/100gr, sementara pada lahan hutan lindung sebesar 24 me/100gr. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan unsur hara tinggi pada lahan pertanian. Parameter berupa struktur tanah, baik tanah pertanian, dan tanah hutan memiliki banyak perbedaan pada intensitas lempung dan debu, hal tersebut disebabkan karena pada tanah pertanian sering dilakukan pengolahan tanah sehingga struktur lempung dan debu lebih sedikit dibanding tanah hutan yang tidak terdapat pengolahan tanah. Hasil Laju Erosi Model WEPP Lahan Pertanian dan Lahan Hutan Hasil analisis menunjukan bahwa pada setiap sistem penggunaan lahan memberikan respon yang berbeda terhadap laju erosi tanah. Hal ini diduga disebabkan ada atau tidaknya pengolahan tanah pada tiap-tiap jenis penggunaan lahan. Berdasarkan hasil analisis erosi menggunakan metode WEPP, laju erosi pada lahan pertanian dalam periode satu tahun ke depan diprediksi mencapai 231,02 ton/ha/tahun dan termasuk dalam kelas bahaya erosi berat. Laju erosi tersebut menyebabkan kehilangan tanah sebesar 26,517 kg/m2/tahun.
973
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
Gambar 17.Hasil laju erosi lahan pertanian Laju erosi yang besar pada lahan pertanian diakibatkan oleh kadar air yang terkandung dalam tanahnya lebih sedikit. Hal ini karena proses imbuhan air ke dalam tanah ditentukan sifat fisik tanah yang menyangkut kemampuannya untuk melalukan dan menyimpan air. Pada lahan pertanian diduga telah terjadi penurunan kualitas sifat fisika tanah ditandai dengan rendahnya porositas tanah. Lahan hutan akan berpengaruh langsung terhadap proses erosi. Erosivitas hujan ke tanah akan berkurang karena sebagian besar butiran hujan diintersepsi oleh tajuk vegetasi yang umumnya lebih rapat. Butiran hujan yang jatuh ke tanah menjadi lebih kecil. Keadaan itu akan memberikan kesempatan butiran hujan masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi, sedangkan aliran permukaan akan berkurang. Terbukti hasil laju erosi diperoleh sebesar 20,348 ton/ha/tahun yang masuk dalam kategori erosi ringan, sehingga masih dapat ditoleransi. Tingginya laju erosi pada lahan hutan lindung disebabkan oleh kelerengan lahan yang curam, sehingga pengikisan tanah masih dapat terjadi, dari hasil pengamatan rata – rata kehilangan tanah pada lahan hutan sebesar 2,713 kg/m2/tahun.
Gambar 18. Hasil laju erosi lahan hutan Pada lahan hutan mempunyai kandungan bahan organik yang tinggi yaitu sebesar 8,69 %, pada lahan pertanian kandungan bahan organiknya hanya sebesar 1,43 % lebih kecil dibandingkan lahan hutan. Dari hasil pengamatan di lahan hutan, banyak bahan organik berupa daun, ranting dan sebagainya terlihat belum hancur sehingga menutupi permukaan tanah, itu merupakan pelindung tanah terhadap kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh. Bahan organik tersebut menghambat aliran air di atas permukaan tanah sehingga mengalir dengan lambat, terbukti dari hasil pengamatan aliran permukaan dalam satu tahun hanya terjadi sebesar 76,58 mm. Sementara itu, pada hasil pengamatan di lahan pertanian, hanya digunakan seresah dari bagian sayuran yang tidak terpakai sebagai bahan organik pelindung tanah, sehingga aliran air di atas permukaan mengalir dengan cepat, dan dari hasil pengamatan diketahui pada lahan pertanian aliran permukaan tanah terjadi sebesar 146,18 mm/tahun. Strategi Penanggulangan Erosi Adapun usaha konservasi tanah dan air yang sudah diterapkan secara mekanis pada lahan pertanian di lokasi pengamatan, seperti pengolahan tanah untuk menciptakan kondisi tanah yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Akan tetapi, dari segi konservasi tanah masih diragukan metode tersebut, karena justru akan memperbesar kemungkinan timbulnya erosi pada lahan – lahan yang miring yang disebabkan oleh tanah yang gembur, sehingga menjadi lebih mudah dihancurkan oleh air hujan. Disamping itu, 974
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
pengolahan tanah juga mempercepat mineralisasi bahan organik, sehingga kemantapan agregat akan menurun. Salah satu perwujudan jalur interaksi antara lahan pertanian dan lahan hutan adalah dengan sistem agroforesty, dimana masyarakat masih dapat menikmati manfaat ekonomi tanpa mengesampingkan fungsi ekologisnya. Inti pengembangan sistem agroforestry adalah mengembalikan ke bentuk penutupan seperti hutan, dengan tujuan untuk memperbaiki hara tanah, mengurangi intensitas hujan yang jatuh ke tanah secara langsung, dan meningkatkan kelembapan udara.
Gambar 19. Lahan dengan sistem Tumpangsari Pertanaman lorong (alley Cropping) merupakan salah satu bentuk agroforestry. Cara ini efektif diterapkan pada lahan dengan kemiringan lebih dari 100%. Pada alley cropping pohon atau perdu ditanam berbaris dalam larikan sepanjang 2 meter hingga 4 meter. Pohon yang digunakan memiliki perakaran kuat dan lebar, sehingga longsoran tanah dapat berkurang, kemudian pohon dengan jenis yang dapat meningkatkan kesuburan tanah dan mempunyai prospek ekonomi, diutamakan jenis pioner karena tidak meminta banyak syarat untuk tumbuh dan cocok ditanam pada lokasi sekitar. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Pada lahan pertanian laju erosi sebesar 231,02 ton/ha/tahun termasuk dalam kelas bahaya erosi berat karena telah melewati ambang batas bahaya erosi yang diperkenankan yaitu sebesar 10 ton/ha/tahun, hal disebabkan oleh cara pengolahan lahannya yang belum sesuai dengan kelerengan lahan, sementara pada lahan hutan hasil laju erosi terjadi hanya 20,348 ton/ha/tahun, karena kondisi hutan masih terdapat banyak vegetasi yang menutupi lantai hutan dan tanpa campur tangan dari manusia. 2. Penggunaan lahan di Desa Sumber Brantas didominasi oleh lahan pertanian hortikultura kurang sesuai dengan fungsinya sebagai daerah penyangga karena dapat memicu terjadinya perambahan kawasan Tahura Raden Soerjo yang dapat mengakibatkan kerusakan lingkungan. Saran 1. Adanya penelitian lanjutan mengenai pengaruh perubahan tata guna lahan pada kawasan hutan lindung bagi lingkungan, dan penggunaan sistem agroforestry terhadap laju erosi agar dapat diketahui dampaknya bagi lingkungan dan masyarakat untuk mengurangi tingkat bahaya erosi. 2. Simulasi pencegahan erosi dan sedimentasi akan memberikan alternatif yang dapat dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah setempat untuk menjalankan program konservasi tanah dan air. 975
Prosiding Seminar Nasional II Tahun 2016, Kerjasama Prodi Pendidikan Biologi FKIP dengan Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan (PSLK) Universitas Muhammadiyah Malang Malang, 26 Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya. Jakarta. Anonim. 1992. Undang – Undang Nomor 5 tahun 1990 RI Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Sekertariat Negara. Jakarta. Anonim. 1999. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 RI Tentang Kehutanan. Sekertariat Negara. Jakarta. Anonim. 2012. WEPP Soils Tutorial. West Lavayette. Arsyad, S. 2012. Konservasi Tanah dan Air. IPB press. Bogor. Fournier, F. 1972. Soil Conservation. Nature and Environtment Series. Council of Europe. Kartasapoetra, A. 2002. Klimatologi Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan Tanaman. Bumi Aksara, Jakarta. Kartasapoetra, G., Kartasapoetra, A.G., Sutedjo, M.M. 2005. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Kironoto, B.A. 2003. Diktat Kuliah Hidraulika Transpor Sedimen. PPS-Teknik Sipil. Yogyakarta. Kusumandari, A. 2011. Buku Ajar Konservasi Tanah dan Air. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Lawrence, S Hamilton., King, Peter N. 2002. Daerah Aliran Sungai Hutan Tropika. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Purwowidodo. 1999. Konservasi Tanah di Kawasan Hutan. Jurusan Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Rahim, S.E. 2012. Pengendalian Erosi Tanah. Bumi Aksara. Jakarta. Sanchez, P.A. 2005. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. ITB. Bandung. Santosa W. 1985. Aliran Permukaan dan Erosi pada Tanah yang Tertutup oleh Tanaman Teh dan Hutan Alam di Gambung, Bandung. Tesis Magister Sains (Tidak Dipublikasikan). Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Senawi. 1999. Evaluasi Kesesuaian Lahan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. Simon, H. 1988. Pengantar Ilmu Kehutanan. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sjafi‘i C.S. 1984. Penelitian Erosi dan Limpasan Permukaan di Sub DAS Ngasinan wilayah DAS Brantas di Kabupaten Trenggalek Provinsi Jawa Timur. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Soemarwoto, O. 1985. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Djambatan. Jakarta Sukirno. 1995. Teknik Konsevasi Tanah. Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Suripin, M. Eng. 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Andi. Yogyakarta.Utomo, W.H. 1994. Konservasi Tanah di Indonesia. Universitas Brawijaya Malang.
976