TANTANGAN DAN PELUANG PEMBELAJARAN KOSAKATA (Studi di Program Studi PBI STAIN Jurai Siwo Metro) Dedi Irwansyah Abstract The concept of English vocabulary might have been overgeneralized as a list of words to note or to memorize. The concept is full of technical terms to digest such as word family, lexeme, multi-words unit, polysemy, collocation, connotation, idiom, and so forth. In teaching vocabulary, then, those terms ought to be considered in line with the effort of finding out the approach the teacher finds useful. This would be much more effective when the supports from the institution, in the form of policies, are available. The purpose of this research is to identify the challenges and opportunities of teaching English vocabulary within a specific formal education background called English Language Teaching Department of STAIN Jurai Siwo Metro. Such purposes are viewed in the perspective of the possible policies that could be implemented by the department. Therefore, a policy research consisting of four phases is used. The phases involve identifiying issues and problems, understanding key issues, setting up treatments, and monitoring and evaluating the progress. This research suggests that the department or institution pursue such policies as setting up a standardization of English-English dictionary, implementing the minimum requirement of vocabulary competency, and shifting paradigm or approach of teaching vocabulary. A lexical approach is highly recommended for it embraces the related technical terms within the concept of English vocabulary. Keywords: Vocabulary, word family, policy research, lexical approach.
A.
PENDAHULUAN Beberapa
fakta
ilmiah
mengungkap
perbandingan
lurus
antara
kompetensi kosakata dengan penguasaan keilmuan. Tahun 2008, sebuah lembaga penelitian, CRET (Center for Research on Educational Testing), berbasis di Jepang mengkaji hubungan antara pemerolehan kosakata dalam empat mata pelajaran utama (matematika, bahasa Jepang, sains, dan ilmu sosial) dengan kompetensi penerapan pengetahuan yang telah didapatkan. Penelitian ini mengembangkan dua jenis tes yaitu tes yang mengukur kompetensi kosakata dan tes yang mengukur
kompetensi penerapan pengetahuan. Salah satu
kesimpulan penelitian tersebut adalah bahwa kompetensi skolastik pembelajar
Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN
[email protected], HP: 08562860475.
Jurai
Siwo
Metro,
Lampung,
Email:
1
tidak dapat dikembangkan tanpa penguasaan kosakata yang memadai.1 Tampak bahwa kompetensi kosakata dapat menjadi pintu masuk menjelajahi ilmu pengetahuan. Istilah
kosakata
(vocabulary)
tidak
jarang
disintesiskan
sebagai
sekelompok kata yang memiliki makna dan digunakan di dalam pembelajaran bahasa Inggris.2 Pernyataan ini bisa jadi benar meskipun membuka peluang bagi generalisasi sederhana terhadap pengertian kosakata sehingga menghasilkan cara pandang dan pendekatan yang sederhana pula terhadap fenomena kosakata yang sangat mungkin relatif kompleks adanya. Tidak jarang keterkejutan terjadi karena cara pandang sederhana terhadap kosakata.
Kata match, misalnya,
memiliki arti: korek api, pertandingan, cocok, mencocokkan, menandingi, dan mengadu. Jika yang terkonstruk di dalam perbendaharaan kosakata pembelajar adalah match sebagai korek api, maka frasa mix and match akan sedikit „mengejutkan‟ ketika diartikan padu-padan. Untuk itu, pengenalan tentang pengembangan kata dan konteks penggunaannya memang perlu dilakukan. Pengalaman terbatas peneliti sebagai pengajar bahasa Inggris di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris (PS PBI) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Jurai
Siwo
Metro,
menunjukkan
masih
banyak
mahasiswa
menggunakan kamus elektronik (electric dictionary) dan kamus-kantong (pocket dictionary). Dampaknya, mahasiswa memiliki perbendaharaan kosakata yang terbatas sehingga mempengaruhi kompetensi kebahasaan lainnya seperti menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Peneliti melihat adanya hubungan erat, meskipun sangat klasik
karena kosakata adalah area penelitian yang
mapan (well-established), antara kepemilikan kamus dan kompetensi kosakata. Untuk itu, pengkajian kembali terhadap esensi pembelajaran kosakata dan variabel-variabel yang mengitarinya menjadi kontekstual bagi peneliti sendiri, mahasiswa, dan institusi tempat peneliti mengabdi.
1 Yiping Zhang, et.al., Research on Vocabulary Competency of Key Subjects and PISA-Type Knowledge Application Competency, http://www.cret.or.jp/e/research/thesis20090805e.pdf, (diunduh 7 Mei 2011). 2 Ema Darmanti Yasin, Correlation between the Students’ Vocabulary Mastery and Their Writing Ability among the Eight Grade Students of State Junior High Scool 2 Purbolinggo East Lampung, (Skripsi, tidak diterbitkan, STAIN Jurai Siwo Metro, 2010), h. 7.
2
Bertolak dari deskripsi singkat di atas, peneliti mengasumsikan bahwa definisi yang komprehensif terhadap kosakata (vocabulary) akan membuka jalan terhadap pendekatan (approach) pembelajaran yang lebih baik. Karena fenoma ini terjadi di dalam sebuah konteks institusional, di mana terdapat indikasi masif terhadap pemahaman dan pembelajaran kosakata, maka sebuah pendekatan kebijakan, melalui sebuah policy research tentang tantangan dan peluang pembelajaran kosakata di PS PBI STAIN Metro tampak layak dilakukan.
B. KAJIAN TEORI David Wilkins (dalam Thornburry, 2002:13) menyatakan bahwa tanpa gramatika tidak banyak yang dapat disampaikan, tanpa kosakata tidak ada yang dapat disampaikan.‟3 Secara pedagogis historis, sejak akhir abad ke-20, kosakata ramai dijadikan topik pembahasan yang dikaitkan dengan ragam konteks dan tingkatan pembelajarannya. Namun berbeda dari dari paradigma dan kajian kosakata pada abad sebelumnya, saat itu kosakata tidak lagi dipandang sebagai daftar kata yang didefinisikan dan dihafalkan, melainkan lebih sebagai unsur bahasa yang diaktualisasikan secara kontekstual dan bermakna. Dalam hal ini, aktualisasi dan internalisasi kosakata sebagai unsur pembangun bahasa membutuhkan dampingan dan bimbingan yang seksama. 4 Untuk mendapatkan gambaran komprehensif tentang kosakata bahasa Inggris (vocabulary), berikut disajikan secara singkat beberapa dimensi teoretis yang terkait: 1. Dimensi Ejaan dan Pelafalan (Spelling and Pronunciation) Asumsi dasar menunjukkan bahwa semakin sukar ejaan dan pelafalan kosakata suatu bahasa asing, semakin tinggi tingkat kesulitan bahasa tersebut untuk dipelajari. Kenyataannya, bahasa Inggris memiliki bentuk pelafalan yang memiliki kompleksitas tinggi bagi pembelajar di Indonesia. Terdapat paling tidak dua faktor penyebab kesukaran pelafalan bahasa Inggris bagi pembelajar
Scott Thornbury, How to Teach Vocabulary, (Edinburg Gate: Pearson Education Limited, , 2002), h. 13. 4 H. Douglas Brown, Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (2nd Ed.), (New York: Addison Wesley Longman, Inc., 2001), h. 376-367. 3
3
Indonesia. Pertama, pengaruh pelafalan bahasa pertama, misalnya pelafalan *[kaus] untuk cause dan *[haig] untuk kata high. Kedua, pelafalan bahasa Inggris yang tidak konsisten yang menyebabkan pembelajar Indonesia kerap kali membuat analogi yang keliru, misalnya mine dan about masing-masing dibaca [maIn] dan [əbaʊt], namun determine dan bought masing-masing dilafalkan sebagai [dItȝ:mIn] dan [bɔ:t].5 Lebih jauh, kombinasi huruf yang sama di dalam bahasa Inggris dapat melahirkan pelafalan yang berbeda, atau kombinasi huruf yang berbeda dapat menghasilkan bunyi pelafalan yang sama. Contoh nyata adalah ough, dibaca atau dibunyikan secara berbeda dalam kata-kata seperti bough, cough, thorough, thought, through, dan rough. 6 Dimensi ejaan dan pelafalan yang tidak konsisten seperti contoh di atas, kerap menghasilkan kejutan bagi pembelajar pemula bahasa Inggris. 2. Dimensi Panjang dan Kompleksitas Kata (Length and Complexity) Dalam istilah teknis pembelajaran kosakata bahasa Inggris, panjang kata dan tingkat kompleksitas lebih dekat kepada konsep word family, lexeme atau multi-words unit dan collocation. Istilah word family berkenaan dengan fenomena infleksi (inflection) dan derivasi (derivation). 7 Sedang derivation berkaitan dengan proses penambahan afiks (awalan dan/atau akhiran) pada kata dasar (root atau base) sehingga membentuk arti baru. Misalnya, kata dasar like yang menghasilkan kata-kata seperti dis^like, like^able, un^likeable, unlikeable^ness, un^like, like^ness, like^ly, like^lihood, dan un^likelihood. Sementara inflection merupakan adaptasi gramatika yang disebabkan oleh perubahan kala (tense).8 Misalnya, plays, played, dan playing. Harus diakui bahwa konsep word family bahasa Inggris tidaklah sama dengan bahasa Indonesia. Perbedaan tersebut seyogyanya diperkenalkan kepada pembelajar kedua bahasa.
5 Francis Borgias Alip, “Historical Perspective in Learning English” dalam Phenomena: Journal of Language and Literature, Vol.6-N0.3, February 2003, (Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma), h. 20. 6 Redmond WA, English Language, Microsoft® Student 2009 [DVD].: Microsoft Corporation, 2008. 7 Scott Thornbury, How to Teach,... h. 4. 8 H.G. Widdowson, Linguistics, (Oxford: Oxford University Press, 2003), h. 46-467.
4
Sementara itu, istilah lexeme atau multi-words unit dipahami sebagai kata (seperti I, like) atau gugusan kata (seperti look for, well and truly, out of the blue) yang memiliki satu unit makna.
9
Adapun kolokasi (collocation) merupakan
fenomena kebahasaan dimana beberapa kata tertentu sering dipadukan atau digunakan secara bersamaan, misalnya adalah lazim untuk mengatakan the genuine article, dan tidak lazim pada the real article, dan rise your hand serta raise a family adalah lazim daripada lift your hand dan lift a family 10 Uraian-uraian di atas semakin memperjelas bahwa sebuah kata dalam bahasa Inggris diukur berdasarkan satuan unit maknanya. Sehingga sebuah unit makna bisa dibangun oleh satu kata atau lebih. 3. Dimensi Gramatika Beberapa perbedaan gramatika antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia adalah tatanan kalimat, konsep kala (tense), dan pronomina (pronoun). Di dalam tatanan kalimat, bahasa Inggris selalu mensyaratkan kehadiran kata kerja (verb) sementara bahasa Indonesia tidak selalu demikian. Ungkapan „Ayah sakit‟ tidak dapat dipadankan dengan „Father sick‟. Implikasinya bagi pembelajar bahasa Inggris di Indonesia adalah bahwa setiap kosakata harus diketahui word classes-nya. Di sisi lain, konsep kala (tense) dan pronomina juga mendatangkan „kejutan‟ gramatika. Kalimat bahasa Inggris: I was a teacher atau I used to be a teacher terpaksa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi saya dulu guru sebagai implikasi dari perbedaan konsep kala antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Begitu juga halnya dengan konsep pronominal dimana bahasa Inggris tidak membedakan antara
“kami” (we exclusive)dan
“kita” (we inclusive). Perbedaan realisasi pronominal pada kedua bahasa Inggris dan Indonesia telah mengakibatkan „pemiskinan‟ dalam terjemahan.11 4. Dimensi Makna Di dalam tulisan ini, diajukan lima istilah teknis yang dipandang relevan yaitu polisemi (polysemy), register, leksikalisasi, konotasi, dan idiom. Pertama, Scott Thornbury, How to Teach ...h. 6. Michael McCarthy dan Felicity O‟Dell, English Vocabulary in Use: Advanced, (Cambridge: Cambridge University Press, 2002), h. 12. 11 A. Effendi Kadarisman, “Relativitas Bahasa dan Relativitas Budaya” dalam Jurnal Linguistik Indonesia, Tahun ke 23, No.2, Agustus 2005, Jakarta, h.156-167. 9
10
5
polisemi merupakan satu kata yang memiliki banyak makna seperti fair yang berarti adil (dalam that’s not fair), dan berarti lumayan (dalam a fair number of books). 12 Kedua, register terkait dengan tingkat keformalan hubungan yang telah terjalin antara penutur (speaker) dan petutur (listener) atau antara penulis dan pembaca. Misalnya, kata glasses adalah bentuk netral, sementara bentuk formal dan informalnya adalah spectacles dan specs.13 Ketiga, leksikalisasi, utamanya leksikalisasi timpang di mana tanda dalam bahasa A tidak memiliki padanan dalam bahasa B. Contohnya, CPU, monitor, printer, printout atau sebaliknya memedis = frightening spirits, lelembuts = possessing spirits, thuyuls = familiar spirits, dhanyangs = guardian spirit.14 Keempat, konotasi yang merujuk pada asosiasi, perasaan atau pikiran, yang ditimbulkan oleh kata atau ungkapan tertentu. Ungkapan cowboy builders dan cowboy plumbers digunakan untuk menunjukkan „ketidakjujuran‟ (dishonesty) atau „tidak dapat diandalkan‟ (unreliability) dan The Iron Lady digunakan sebagai representasi sebuah ide tentang wanita yang tegar.15 Kelima, ekspresi idiomatik atau idiom merujuk pada rangkaian kata yang maknanya tidak dapat diinterpretasi secara kata-per-kata, misalnya white elephant yang berarti „unwanted object‟, dan dark horse yang berarti „competitor whose strength is unknown‟.16 5. Pembelajaran Kosakata Terdapat dua pandangan yang bertolak belakang terkait dengan pembelajaran kosakata. Pertama, Wilga Rivers (dalam Scott Thornbury), menyatakan bahwa kosakata tidak dapat diajarkan. Kosakata hanya dapat dipresentasikan dan dijelaskan melalui ragam kegiatan. Pada akhirnya, kosakata harus dipelajari sendiri oleh pembelajar. Dalam hal ini, tugas guru sebatas membangkitkan minat pembelajar melalui pemberian ide tentang cara mempelajari kosakata.17 pedoman
(guidelines)
Pandangan kedua, Brown, secara lugas menyajikan terkait
dengan
pembelajaran
kosakata
(vocabulary
12 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 230. 13 Michael McCarthy dan Felicity O‟Dell, English Vocabulary ..., h.16. 14 A. Effendi Kadarisman, Relativitas Bahasa ...., h.153. 15 Michael McCarthy dan Felicity O‟Dell, English Vocabulary ...h.18. 16 Ronald E. Feare, Practice with Idioms, (Oxford: Oxford University Press, 1980), h.xvii. 17 Scott Thornbury, How to Teach...h. 114.
6
instruction), di antaranya adalah: (1) membuat kelas khusus untuk pembelajaran kosakata., (2) membantu pembelajar untuk mengaitkan dan menempatkan kosakata dengan konteks penggunaannya, (3) mengurangi penggunaan kamus dwi-bahasa dan kamus elektronik, (4) mendorong pembelajar untuk mencapai strategi yang memungkinkannya untuk menemukan makna yang tepat sebuah kata, dan (5) mengajarkan kosakata secara spontan atau responsif (unplanned). 18 Kedua pandangan di atas, meski berbeda satu sama lain, mengisyaratkan pentingnya penguasaan kosakata. Keduanya sepakat bahwa seorang pengajar diperlukan, meski dengan peran yang berbeda, dalam meningkatkan kompetensi kosakata pembelajar dan bahwa keaktivan pembelajar di dalam proses penguasaan kosakata, di waktu yang bersamaan, sangat diperlukan. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Salah satu kebijakan yang telah diambil terkait dengan upaya peningkatan kemampuan berbahasa asing, secara implisit termasuk kompetensi kosakata, civitas akademika STAIN Jurai Siwo Metro adalah melalui deklarasi bilingual campus yang memberikan penekanan terhadap penguasaan bahasa internasional, Arab dan Inggris, Launching Tahun Bahasa19, dan program Short Course Bahasa Inggris bagi Dosen di Pare Jawa Timur. 20 Pada tataran PS PBI STAIN Jurai Siwo Metro sendiri, kompetensi kosakata tercermin pada mata kuliah Vocabulary & Pronunciation sebagai Mata Kuliah Keilmuan dan Keterampilan dengan kredit sebesar 3 sks dan diajarkan pada semester I. 21 Dari segi kebijakan, telah terdapat komitmen terhadap kompetensi kebahasaan, termasuk kosakata, meski secara empiris tetap diperlukan upaya simultan untuk mewujudkan tataran idean dari kebijakan tersebut. 1. Tantangan: Kondisi Empiris dan Beberapa Faktor Penyebab
H. Douglas Brown, Teaching by Principles... h. 377-380. SK Ketua STAIN Jurai Siwo Metro No.14 Tahun 2009 tentang Panitia Pelaksana Launching Tahun Bahasa. 20 SK Ketua STAIN Jurai Siwo Metro No.185 Tahun 2009 tentang Pemberian Bantuan Kursus Bahasa Inggris bagi Dosen 21 Tim Penyusun, Kurikulum dan Silabus Program Studi PBI STAIN Jurai Siwo Metro. 18 19
7
Sebuah uji kompetensi (competency-test) yang dilakukan pada mahasiswa semester IV PS PBI Tahun Akademik 2010/2011 untuk mengetahui gambaran kondisi empiris kompetensi kosakata mahasiswa menghasilkan data deskriptif, ukuran kecenderungan sentral dan variabilitas, sebagai berikut: nilai terendah 640, dan nilai tertinggi 1450, nilai rata-rata 1093, median 1137,5, modus 1095, dan simpang baku sebesar 207,45 yang menunjukkan variabilitas atau penyebaran data yang relatif tinggi. Hasil perhitungan ukuran kecenderungan sentral dan variabilitas menggambarkan karakteristik, ciri, atau keadaan penguasaan kosakata yang belum ideal pada mahasiswa PS PBI STAIN Jurai Siwo Metro. Terdapat beberapa faktor penyebab fenomena kurangnya penguasaan kosakata mahasiswa PS PBI. Di dalam pengamatan dan refleksi peneliti yang sekaligus praktisi di PS PBI, di antaranya: (1) kurangnya kesadaran terhadap kamus yang komperehensif. Hasil angket menunjukkan sebagian besar mahasiswa cenderung memiliki
kamus saku (pocket dictionary) atau sekitar
87,5%, sedangkan kecenderungan terendah adalah kamus nonsaku InggrisInggris (50%), (2) kurangnya kemampuan mengakses kamus dwibahasa yang komprehensif. Termasuk di dalam hal ini adalah kemampuan memahami tanda, istilah, dan phonetic transcription sebuah kata, dan (3) kurangnya ragam teks yang tersedia berdampak pada kurangnya pajanan (exposure) terhadap contoh penggunaan
sebuah
kosakata.
Akibatnya,
peserta
didik
mengkonstruksikan kalimat bahasa Inggris sebagai terjemahan
seringkali dari bahasa
pertama dan atau bahasa Indonesia. 2. Peluang: Beberapa Alternatif Tindakan Merespon kondisi empiris kompetensi kosakata mahasiswa tersebut di atas, beberapa alternatif tindakan telah dilakukan mencakup: optimalisasi klub bahasa Inggris dan komunitas belajar, serta pendampingan belajar (vocabulary building program). a. Optimalisasi english club dan learning community Kegiatan optimalisasi dimulai dengan masa sosialisasi tentang Vocabulary Building Program secara terbuka melalui pamflet untuk masa waktu yang relatif panjang. Sasaran utama program ini adalah English Club dan kelompok belajar
8
mahasiswa yang keberadaannya tidak terstruktur secara formal. Secara kuantitatif, sekitar 4% mahasiswa yang tersebar di hampir setiap semester berjalan PS PBI tertarik untuk mengikuti seleksi. Menarik dicatat bahwa mahasiswa dengan latar semester IX memiliki persentase kelulusan yang sama dengan semester V, dan III. Fenomena ini menunjukkan bahwa, sampai pada tataran tertentu, dapat dikatakan bahwa tingkatan semester tidak terlalu mempengaruhi penguasaan kosakata seorang mahasiswa di PS PBI STAIN Jurai Siwo Metro. Selanjutnya, beberapa kendala dalam tahap awal optimalisasi English Club dan Learning Community adalah sebagai berikut: (1) Minimnya anggota English Club dan Learning Community yang berminat terhadap program peningkatan kompetensi. Padatnya jadwal kuliah dan kegiatan mahasiswa diasumsikan sebagai salah satu faktor penyebab; (2) Keterbatasan ruang dan waktu mengakibatkan adanya ujian masuk yang kemungkinan juga dapat menjadi faktor untuk tidak mencoba bersaing menjadi
peserta program
peningkatan kompetensi; (3) Hasil uji statistik deskriptif tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata terhadap kemampuan kosakata antara mahasiswa senior dan junior, sehingga tidak ada perbedaan perlakuan terhadap keduanya; dan (4) Uji Kosakata yang dilakukan bersifat tertulis dan berbentuk pilihan ganda (multiple choice), sehingga terdapat faktor keberuntungan untuk jawaban yang benar. b. Pendampingan belajar (vocabulary building program) Program pendampingan dilakukan dalam dua cara yaitu teknik antarmuka dan
adaptasi teknik mutakhir. Teknik Antarmuka
(face-to-face)
barangkali dapat disejajarkan dengan teknik sorogan yang secara historis mengakar
di
konteks
institusional
ke-Islaman.
Teknik
antarmuka
diimplementasikan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) peserta pendampingan terlebih dahulu diingatkan kembali (refresh) tentang pentingnya peran kosa kata dalam pembelajaran bahasa, (2) memperkenalkan kembali beberapa konsep penting di dalam pembelajaran kosakata seperti sinonim, antonim, polisemi, idiom, metafora, dan lain sebagainya, (3) memperkenalkan
9
buku uji kosakata bahasa Inggris, English Vocabulary Test 2000 Words, dan saran serta anjuran untuk menguasainya, (4) membagikan buku uji kosakata untuk dikuasai secara bertahap oleh para peserta pendampingan, (5) menyusun jadwal progress report atau sorogan secara individual, (6) kegiatan progress report dimulai dari level 500, 1500, dan 2000 kata, (7) kegiatan progress report difokuskan pada kemampuan penghapalan dan pelafalan (pronunciation) dan interkoneksi antar kosakata (yang berupa sinonim, antonim, polisemi, atau kemungkinan idiom atau metafora dari sebuah kosakata) yang terdapat di dalam buku uji kosakata, (8) menyusun catatan lapangan (field note) yang difokuskan pada kekuatan dan kelemahan peserta didik di dalam mengikuti program pendampingan. Hasil catatan lapangan menunjukkan bahwa secara keseluruhan peserta memiliki kemajuan yang baik dalam menghafal dan melafalkan kosakata. Beberapa kosakata, memang, g relatif sukar dihapal oleh para peserta, di antaranya:
against (melawan), burst (meletus),
damp (gas, uap), drop (tetesan)
frighten (menakuti), last (verb), luggage (bagasi), mud (lumpur), rat (tikus besar), sticky (lengket), punctual (tepat waktu), splendid (bagus) dan lain sebagainya. Kata-kata tersebut memiliki frekuensi pajanan (exposure) dan penggunaannya relatif rendah. Adapun kata-kata seperti voyage, spill, rat, port, plough, mud, dan damp bukan merupakan kata-kata yang kerap ditemukan atau digunakan dalam keseharian mahasiswa PBI STAIN Metro. Kecuali itu, mahasiswa cenderung lebih akrab dengan sinonim dari beberapa kata tersebut di atas, misalnya trip untuk voyage, car untuk van, good untuk splendid, on time untuk punctual, dan lend untuk owe. Selanjutnya hasil catatan lapangan yang disusun selama proses progress report atau „sorogan‟ didapatkan beberapa fakta menarik di antaranya: (1) sebagian besar peserta dapat mengkontekstualisasi kosakata yang dihafal. Yaitu, dapat mengkonstruksikan kosakata ke dalam kalimat yang bermakna, (2) peserta dapat menemukan „synonym‟, (3) peserta memahami morpheme „up‟ seperti pada kata speak up, wake up, listen up, (4) eserta dapat menunjukkan „antonym‟, (5) peserta tidak memiliki perbendaharaan (repertoire) yang cukup baik terkait dengan idiom dan metaphor yang terkait dengan kosakata yang telah dihapal,
10
dan (6) peserta tidak memiliki masalah serius dengan pelafalan. Barangkali karena umumnya mereka telah belajar phonetic phonology. Berdasarkan hasil refleksi terhadap Teknik Antarmuka diketahui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh para peserta adalah kurangnya informasi terhadap buku vocabulary yang komprehensif dan terhadap kamus idiomatic expression. Beberapa buku, untuk itu, dirujuk sebagai rekomendasi, di antaranya: (1) English Vocabulary in Use (Upper-Intermediate) 22, (2) English Vocabulary in Use (Advanced)23, (3) Practice With Idioms24, dan (4) Kamus Ungkapan InggrisIndonesia (Dictionary of Idioms and Idiomatic Expressions).25 Buku-buku tersebut, telah disediakan di perpustakaan PS PBI STAIN Jurai Siwo Metro. c. Adaptasi teknik mutakhir Untuk
mengimbangi
penerapan
teknik
yang
berfokus
pada
perkembangan individu, peneliti mecoba mengadaptasi teknik yang juga mengelaborasi keterlibatan individu di dalam kelompok belajar. Teknik berikut diadaptasi dari Seven Steps to Vocabulary Learning yang dirancang oleh TE Editor, British Council BBC, dengan langkah-langkah sebagai berikut26: 1. Menyusun daftar high-frequency words (HFW) dan lexis untuk konteks akademik. Pada tahap ini, peneliti secara seksama mengumpulkan beberapa kosakata atau leksis dari beberapa teks akademik, di antaranya adalah: Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (2nd Ed),27 Revising Lexis: Quality or Quantity?,28 Grammar Vs Lexis or Grammar Through
McCarthy, M & O‟Dell, F., English Vocabulary ...h.ii McCarthy, M & O‟Dell, F., English Vocabulary ... h.ii 24 Feare, R.E., Practice With Idioms, (New York: Oxford University Press, 1980), h. iii. 25 Sullivan, J.J. & Podo, H. Dictionary of Idioms and Idiomatic Expressions, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. iii. 26 Teknik 5 Steps to Vocabulary Building diadaptasi dari TE Editor, Seven Steps to Vocabulary Learning,http://www. teachingenglish.org.uk (diunduh 05 Oktober 2011) 27 H. Douglas Brown, Teaching by Principles...2001. 28 Leosel, Revising Lexis: Quality or Quantity? (http://www.teachingenglish.org.uk) last updated 05/10/2011 22 23
11
Lexis?29, TE Editor. Seven Steps to Vocabulary Learning,30 dan Lexical Approach 1What Does Lexical Approach Look Like?31 2. Peserta mempelajari HFW dan lexis
dan konteks penggunaannya dengan
mengisi Phonetic Transcription dan contoh kalimat (sentence examples). Tahap ini dilaksanakan dengan scenario sebagai berikut: (a) masing-masing peserta mengisi tabel Phonetic Transcription dan contoh kalimat (sentence examples) secara individual; (b) peserta, di dalam kelompok kecil, melakukan diskusi tentang tabel yang telah dilengkapi secara individual, dan (c) melakukan diskusi atau pembahasan yang melibatkan segenap peserta. 3. Peneliti/Pendamping membahas makna dan penggunaan high-frequency words dan lexis secara pleno (plenary). 4. Peneliti/Pendamping berdiskusi tentang penggunaan high-frequency words dan lexis
dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan (prompts) yang
mengarah pada penggunaan words atau leksis yang telah dibahas. Hasil refleksi dalam tahapan ini menunjukkan bahwa melalui sebuah teknik adaptasi, para peserta mampu memahami isu-isu yang berkaitan dengan penguasaan kosakata. Artikel-artikel berotoritas (authoritative) dan autentik tampaknya menjadi nilai tambah tersendiri. 3. Rekomendasi tindakan/kebijakan Bertolak dari pembahasan di atas, beberapa isu terkait dengan rekomendasi tindakan/kebijakan adalah sebagai berikut: (1) Penetapan kamus standar untuk PS PBI, (2) Penetapan penguasaan kosakata minimum, (3) Pendampingan optimalisasi penggunaan kamus Inggris-Inggris, (4) Pergeseran paradigm dari kosakata (vocabulary) menjadi pendekatan leksikal (lexical approach). a. Penetapan kamus standar untuk PS PBI
29 Leosel, Grammar Vs Lexis or Grammar Through Lexis? (http://www.teachingenglish. org.uk) (06 September 2011). 30 TE Editor, Seven Steps to Vocabulary Learning. (http://www.teachingenglish.org.uk) (diunduh 05 Oktober 2011). 31 TE Editor, Lexical Approach 1-What Does Lexical Approach Look Like? (http://www. teachingenglish.org.uk) (diunduh 06 September 2011).
12
Di dalam banyak hal, standardisasi dipandang dapat meningkatkan kualitas suatu program atau kegiatan. Secara harafiah, standardisasi dimaknai sebagai penyesuaian bentuk, ukuran, kualitas, dan sebagainya dengan pedoman standar yang ditetapkan. Standardisasi bisa juga berarti pembakuan.32 Di dalam konteks PS PBI STAIN Metro, secara legal formal PS PBI diberi ruang untuk melakukan
standardisasi
minimum
mutu lulusan.33
Standardisasi
yang
dimaksud belum banyak diterjemahkan ke dalam kebijakan nyata, kecuali skor TOEFL bagi mahasiswa PS PBI sebesar 400. Diasumsikan bahwa kepemilikan dan kemampuan menggunakan kamus Inggris-Inggris yang komprehensif adalah penting bagi mahasiswa PS PBI, sehingga data berikut ini kiranya dapat menghasilkan kebijakan yang mengarah pada standardisasi kamus. Gambar 1 Kecenderungan Penggunaan Kamus Mahasiswa PS PBI
Grafik di atas terbaca bahwa terdapat kecenderungan mahasiswa PS PBI untuk tidak menggunakan kamus Inggris-Inggris. Kecuali relatif lebih mahal, ukuran kamus Inggri-Inggris juga lebih besar. Kemudian, jika secara intrinsik mahasiswa cenderung untuk tidak kerap menggunakan kamus Inggris-Inggris, maka upaya pengkondisian yang bersifat ekstrinsik sangat mungkin diperlukan. Upaya ekstrinsik tersebut dapat berupa standardisasi kamus, misalnya dengan mengeluarkan daftar kamus yang direkomendasikan bagi mahasiswanya. 32 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h.1089. 33 Statuta STAIN Jurai Siwo Metro, 2009, pasal 78, h. 56.
13
b. Penetapan penguasaan kosakata minimum Kajian teoretis banyak menunjukkan pentingnya penguasaan kosakata. Sebuah placement test, entry behavior, atau pre-test umumnya dilakukan untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui gambaran awal atau karakteristik peserta didik sehingga pengajar akan lebih mengetahui bagaimana sebaiknya melakukan kegiatan pembelajaran. Bertolak dari pentingnya keberadaan kosakata di dalam konstalasi pembelajaran bahasa Inggris, segala kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui penguasaan kosakata juga menjadi penting. Tidak hanya terkait dengan jumlah kosakata yang harus dikuasai, namun lebih pada kesadaran bahwa kosakata memang sangat penting. Adapun jumlah kosakata ideal itu sendiri bersifat tentatif disesuaikan dengan tingkat dan tujuan pembelajaran.
Jumlah kosakata
minimum yang direkomendasikan saat ini bagi mahasiswa PS PBI STAIN Jurai Siwo Metro adalah lebih dari 3000 kosakata. c. Pendampingan optimalisasi penggunaan kamus inggris-inggris Secara teoritis barangkali akan didapatkan bahwa pembelajaran di perguruan tinggi masuk ke dalam kategori andragogi, atau pembelajaran orang dewasa. Kategori ini mensyaratkan independensi
mahasiswa untuk lebih
banyak mengeksplorasi sendiri materi perkuliahan sehingga akhirnya dapat mengkonstruksikan pengetahuannya secara mandiri. Di dalam praktiknya, sikap independensi seringkali membutuhkan pendampingan awal terhadap hal-hal yang bersifat mendasar dalam proses eksplorasi keilmuan. Di dalam konteks penelitian ini terdapat kebutuhan riil terhadap pendampingan optimalisasi penggunaan kamus Inggris-Inggris. Sekilas akan terdengar „mengejutkan‟, namun justru akan semakin „mengejutkan‟ ketika mahasiswa PS PBI ternyata tidak memiliki kamus Inggris-Inggris yang komprehensif dikarenakan oleh perasaan tidak mampu mengoptimalisasi penggunaannya. Bertolak dari pemikiran semacam ini, program pendampingan tampaknya akan menjadi jawaban yang nyata terhadap kebutuhan mahasiswa yang juga nyata adanya. Di satu sisi, kemampuan untuk menggunakan kamus Inggris-Inggris bisa jadi merupakan tanggungjawab individual mahasiswa. Saat
14
ini, di PS PBI STAIN Jurai Siwo Metro, sebuah program pendampingan optimalisasi penggunaan kamus Inggris-Inggris merupakan suatu kebutuhan, terlepas dari kemungkinan munculnya asumsi bahwa pendampingan semacam itu terlalu „dasar‟. Namun demikian, pertimbangan bahwa „dasar‟ yang baik akan lebih berpeluang untuk sebuah hasil yang baik, tampaknya perlu mendapat perhatian. d. Urgensi pendekatan leksikal Kemajuan
teknologi,
terutama
komputer,
memungkinkan
orang
menyimpan banyak kalimat di dalam sebuah database. Dengan cara tertentu, sebuah kata misalnya asleep, dapat disortir dari database tersebut sehingga memunculkan kumpulan kalimat yang di dalamnya memuat penggunaan kata asleep. Kemudian didapati bahwa, misalnya, kata asleep seringkali dikombinasi dengan kata-kata seperti fall asleep, half asleep, dan was/were asleep.34 Fenomena kombinasi semacam ini dewasa ini lebih dikenal dengan Pendekatan Leksikal (lexical approach), sebuah pendekatan yang berpandangan bahwa bahasa banyak terdiri dari kombinasi kata-kata yang relatif kerap dan stabil (fixed or set phrases). Michael Lewis, penggagas Pendekatan Leksikal, meyakini bahwa pembelajar bahasa asing atau bahasa kedua sebaiknya banyak menguasai fixed or set phrases karena native speakers cenderung berkomunikasi menggunakan chunks, istilah yang lebih popular dari fixed or set phrases, tanpa melakukan banyak analisis terhadap dimensi gramatika.35 Dengan kata lain, menggunakan chunks berarti menggunakan gramatika yang baik pada waktu yang bersamaan. Secara teknis, para ahli membedakan pengertian antara kosakata (vocabulary) dan leksikal (lexis). Leosel menyatakan bahwa kosakata merupakan daftar yang menampilkan sebuah kata secara individual sedangkan leksis merupakan kombinasi kata. Leksis, kemudian, menjadi konsep yang lebih besar dari
kosakata
karena mencakup
kolokasi,
chunks,
dan
ekspresi
yang
terformulasikan secara lebih mapan. Misalnya, might adalah sebuah kosakata,
Jeremy Harmer, The Practice of English Language Teaching (4th Ed.), (Edinburg Gate: Pearson Education Limited, 2007), h. 34. 35 TE Editor, Lexical Approach 1-What Does Lexical Approach Look Like? http://www.teaching english .org.uk) (diunduh 06 September 2011). 34
15
dan it might take a while merupakan sebuah chunk. Sebuah chunk pada gilirannya mampu menghadirkan contoh penggunaan kosakata secara kontekstual, lebih alami, dan merupakan contoh penggunaan kosakata yang siap pakai (ready-made example).36 Pendekatan Leksikal tampaknya perlu diperkenalkan sejak dini untuk mereduksi proses pembuatan kalimat yang bertumpu pada penerjemahan literal dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris. Misalnya, kalimat Siapa namamu? tidak diterjemahkan menjadi Who is your name? melainkan What is your name? meskipun secara literal what berarti apa. Pendekatan leksikal juga sangat mungkin
digunakan
sebagai
respon
terhadap
„kreativitas‟
pembelajar
sebagaimana tercermin dalam contoh ekspresi berikut: ‘round-round not untiluntil’ untuk mengekspresikan ‘sudah mutar-mutar tidak sampai-sampai’; my salary not up-up’ untuk ‘gajiku tidak naik-naik’; dan „no what-what‟ untuk ‘tidak apa-apa’. Sebagai pembanding, di dalam konsep bahasa Inggris, kata anak-anak tidak diterjemahkan menjadi child-child. Sehingga ekspresi what-what dipastikan tidak pernah ditemui, karena di dalam Pendekatan Leksikal ekspresi ‘No Problem’ digunakan untuk mengekspresikan ‘No what-what’. Oleh karena itu, pengenalan dini Pendekatan Leksikal diharap mampu menjembatani perbedaan konsep kebahasaan antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Lebih lanjut dikatakan bahwa, leksis, atau penggunaan Pendekatan Leksikal, sejalan dengan Communicative Language Teaching (CLT), yaitu sebuah landasan filosofis yang berfokus tujuan komunikatif sebuah proses pembelajaran bahasa. Dengan demikian, pembelajaran kosakata akan menemukan hasil yang lebih praktis dan komunikatif jika dalam pembelajarannya menggunakan Pendekatan Leksikal. Artinya, sebuah pergeseran paradigm (paradigm shift) dari pembelajaran kosakata menuju pembelajaran leksis patut menjadi prioritas. Untuk konteks PS PBI STAIN Jurai Siwo Metro, pergeseran paradigma yang dimaksud sangat mungkin dituangkan melalui sebuah kebijakan revisi kurikulum. 36 Leosel, Grammar Vs Lexis or Grammar Through Lexis? (http://www.teachingenglish. org.uk) (diunduh 06 September 2011)
16
D. SIMPULAN Kosakata seyogyanya dipahami secara komprehensif, terutama dari berbagai dimensi seperti pelafalan, kompleksitas, gramatika, makna, dan pendekatan
pembelajarannya.
Pertimbangan
berbagai
dimensi
tersebut
diindikasikan menjadi lebih efektif jika, terutama di lingkungan pendidikan formal, didukung oleh kebijakan institusional seperti standarisasi kamus, penetapan kosakata minimum, dan peralihan paradigma pembelajaran. Terkait dengan peralihan paradigm atau pendekatan, kosakata sebaiknya dibelajarkan sebagai lexis, di mana kata-kata tidak berdiri secara individu melainkan diajarkan di dalam bentuk frasa (istilah teknis lainnya yang mengacu kepada konsep serupa: chunk, fixed or set phrases, prefabricated phrases, lexical phrases, formulaic phrases, frozen or semi-frozen phrases, atau collocation). Misalnya, sense of humor, brings good luck diajarkan di dalam konteks leksis daripada konteks kosakata seperti humor, bring, dan good. Peralihan semacam ini kiranya mungkin terjadi ketika ditopang oleh kebijakan-kebijakan yang dikemukakan, salah satunya, melalui penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA A. Effendi Kadarisman, “Relativitas Bahasa dan Relativitas Budaya” dalam Jurnal Linguistik Indonesia, Tahun ke 23, No.2, Agustus 2005, Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), Jakarta: Balai Pustaka, 2005. Ema Darmanti Yasin, Correlation between the Students’ Vocabulary Mastery and Their Writing Ability among the Eight Grade Students of State Junior High Scool 2 Purbolinggo East Lampung,Skripsi, tidak diterbitkan, STAIN Jurai Siwo Metro, 2010. Francis Borgias Alip, “Historical Perspective in Learning English” dalam Phenomena: Journal of Language and Literature, Vol.6-N0.3, February 2003, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. H. Douglas Brown, Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (2nd Ed.), New York: Addison Wesley Longman, Inc., 2001. H.G. Widdowson, Linguistics, Oxford: Oxford University Press, 2003.
17
Jeremy Harmer, The Practice of English Language Teaching (4th Ed.), Edinburg Gate: Pearson Education Limited, 2007. John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. Leosel.
Grammar Vs Lexis or Grammar Through (http://www.teachingenglish.org.uk) (06 September 2011)
Lexis?
Leosel. Revising Lexis: Quality or Quantity? (http://www.teachingenglish.org.uk) last updated 05/10/2011 Michael McCarthy dan Felicity O‟Dell, English Vocabulary in Use: Advanced, Cambridge: Cambridge University Press, 2002. Redmond, WA, English Language, Microsoft® Student 2009 [DVD].: Microsoft Corporation, 2008. Ronald E. Feare, Practice with Idioms, Oxford: Oxford University Press, 1980. Scott Thornbury, How to Teach Vocabulary, Edinburg Gate: Pearson Education Limited, , 2002. SK Ketua STAIN Jurai Siwo Metro No.14 Tahun 2009 tentang Panitia Pelaksana Launching Tahun Bahasa. SK Ketua STAIN Jurai Siwo Metro No.185 Tahun 2009 tentang Pemberian Bantuan Kursus Bahasa Inggris bagi Dosen. Statuta STAIN Jurai Siwo Metro, 2009, pasal 78, h.56. Sullivan, J.J. & Podo, H. Dictionary of Idioms and Idiomatic Expressions, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2003. TE TE
Editor. Lexical Approach 1-What Does Lexical Approach (http://www.teachingenglish.org.uk) (06 September 2011) Editor. Seven Steps to Vocabulary (http://www.teachingenglish.org.uk) (05 Oktober 2011)
Look
Like?
Learning.
Tim Penyusun, Kurikulum dan Silabus Program Studi PBI STAIN Jurai Siwo Metro. Yiping Zhang, et.al., Research on Vocabulary Competency of Key Subjects and PISAType Knowledge Application Competency, http:// www.cret.or.jp/e/research/thesis20090805e.pdf, (7 Mei 2011)
18