SURVEI STRUKTUR DAN KINERJA PEREKONOMLAN DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL INDONESIA Struktur dan Kineria Perekonomian Indonesia Sistematika yang digunakan dalam survei ini adalah kerangka dasar yang diembangkan oleh Djojohadikusumo (1994) yaitu suatu kerangka perubahan (pergeseran) struktural perekonomiah, yang terdiri atas empat segi 1. akumulasi yaitu pengembangan sumberdaya-sumberdaya produksi secara kuantitatif dan kualitatx 2. alokasi yaitu pola penggunaan sumberdaya produksi;
3. distribusi yaitu pola pembagian pendapatan nasional;
4. institusional yaitu kelembagaan ekonomi dalam kehidupan masyarakat.
Akumulasi Sumberdaya Produksi dalam Perkonomian Nasional Dilihat dari laju pertumbuhan rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB), selama lima Pelita dalam Pembangunan Jangka Panjang I, ternyata selalu lebii besar dari 5 %. Dengan tingkat laju pertumbuhan yang demikian PDB riil pada akhir Pelita V mencapai lebii dari 15 kali PDB pada awal Pelita I (Tabel 3), sedangkan PDB per kapitanya mencapai lebii dari empat kali. Keadaan yang demikian terrnasuk suatu keberhasilan yang hanya dialami sedii negara sedang berkembang di dunia. Pertumbuhan sektor produksi primer ternyata rata-rata kurang dari 5 % sedangkan pertumbuhan sektor produksi non primer l e b i dari 5 %. Pertumbuhan setor primer non pertanian yang tinggi pada Pelita I tejadi karena dalam periode tersebut tejadi boom
minyak bumi. Hal ini menunjukkan bahwa sektor primer sulit diharapkan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Tabel 3. Akumulasi Produk Domesttik Bruto (PDB), Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Pertumbuhan Investasi Pelita
Uraian I
II
III
IV
v
I. Produk Domestik Bruto (PDB) 5 673.6 8 300.9 69 027.9 90 539.8 123 100.1 ( m i W rupiah)
II. Pertumbuhan PDB (%) 1. Primer Pertanian 2. Primer Non Pertanian 3. Non Primer Pertanian 4. Non Primer Non Pertanian
8.80 4.30 17.68 9.28 15.83
7.22 3.01 5.00 6.27 12.80
6.10 4.18 0.32 5.40 8.73
5.17 3.57 3.06 5.30 17.30
6.78 2.66 3.77 6.18 12.11
III.Pertumbuhan Investasi (%)
42.48
39.13
33.54
29.76
33.36
Sumber: Diolah dari Buletin Ringkas BPS,berbagai edisi Keterangan : Pelita I-III harga konstan 1973 Pelita IV-Vharga konstan 1983 Perhitungan pertumbuhanberdasarkan rata-rata pertumbuhantahunan
Untuk memperbesar akumulasi nilai tambah produksi ekonomi produk primer, maka tidak ada jalan lain kecuali mengubahnya menjadi produk non primer. Dengan jalan itu persoalan, baik dari sisi penawaran maupun permintaan dapat dipecahkan. Dari sisi penawaran, apabiia produk primer ditmgkatkan menjadi non primer, terjadi banyak peluang untuk meningkatkan muatan teknologi dalam produk sehingga nilai tambah juga akan lebih banyak tercipta. Dari sisi permintaan produk primer yang mengalami masalah struktural lebih mudah diurai, apabiia telah diubah menjadi produk non primer, walaupun timbul masalah permintaan lainnya. Untuk produk primer ekspor, banyak diantara negara
maju yang memasang rintangan yang besar terhadap has3 olahan produk primer dimana diegaranya terdapat industri yang sama. Pertumbuhan produksi produk pertanian baik primer maupun non primer mengalami kecenderungan yang menunm, terutama untuk primer pertanian. Hal ini berarti bahwa pengembangan produk pertanian menghadapi masalah struktural baik dari sisi penawaran maupun permintaan seperti telah diuraikan.
Untuk produk pangan yang
pengernbangannya ditujukan pada pasar dalam negeri, secara umum sebenarnya m e d i potensi yang besar, mengingat daya beli masyarakat sudah semakin baik untuk dapat menjangkau produk terolah, selain pertumbuhan penduduknya yang secara absolut juga semakin besar. Untuk produk ekspor pertanian, pengembangannya akan sernakin terbuka dengan dibukanya rintangan tarif negara pengimpor (negara maju), sehubungan dengan realisasi GATT/WTO secara efektii mulai berjalan. Merujuk pada teori pertumbuhan Harrod-Domar, pertumbuhan ekonomi sebagian bersumber dari pertumbuhan investasi yang dilakukan dari para investor (the wmranted rate of growth) dan sebagian berasal dari pertumbuhan angkatan kerja dan teknologi (the natural rate of growth). Sumber pertama melahirkan konsep incremental capital output ratio (ICOR) yaitu perbandigan antara pertumbuhan kapital (investasi) dan pertumbuhan output (PDB). ICOR dapat dijadikan sebagai indikator efektivitas dan efisiensi suatu investasi dalam perekonornian. Bila diperhatikan besarnya ICOR dalam perekonomian Indonesia boleh dikatakan masih relatif besar (Tabel 3), mengingat dalam lima Pelita, nilai ICOR masih belum dapat berkurang dari sekitar 5. Keadaan demikian mencerminkan bahwa Indonesia masih harm
melakukan banyak investasi yang lambat menghasilkan, terutama sarana dan prasarana publik. Pada dasarnya sarana dan prasarana publik hams dibangun pada tahap-tahap awal dari pembangunan ekonomi untuk menjadikan investasi pada tahap-tahap berikutnya
menjadi lebii efisien dan efektif. Selain itu keadaan yang demikian juga merupakan indikator bahwa masih terjadiiya ekonomi biaya tinggi dalam produksi, yang menurut Djojohadiisumo (1994) telah terjadi pemborosan dan kehangusan (waste and loss) dalam perekonomian, secara kasar diperkirakan berkisar 30 % dari investasi yang terlaksana. Tabel 4. Rata-rata per tahun Konsumsi, Tabungan, dan Investasi Nasional Pelita
Uraian I
m
I1
rv
v
r
I. Produk Domestik Bruto (PDB) 5 673.6 8 300.9 69 027.9 90 539.8 123 100.1 (milyarrupiah)
II.Pendapatan Nas Bruto (PNB) 5 381.3 8 738.8 65 126.9 83 880.5 114 063.4 (*rupiah)
III. Konsumsi Total
4 721.0
7 055.9 46 322.7 60 216.2
77 231.9
660.3
1 682.8
18 804.2
23 664.3
36 831.4
11.6 12.3
20.3 19.3
27.2 28.9
26.1 28.2
872.0
1 840.0
15.4 16.2
22.2 21.1
(milyarrupiah)
IV.Tabungan Dalam % dari PDB Dalam%dariPNB
V. Investasi Dalam % dari PDB Dalam % dari PNB
VI.Kesenjangan Tabungan-Invest -2 11.7 Dalam % dari PDB Dalam%dariPNB
-3.7 -3.9
29.9 32.3
18 162.6 26 145.4 41 117.1 26.3 27.9
-157.1
941.6
-1.9 -1.8
0.9 1.0
28.9 31.2
33.4 36.0
-2481.1 -4285.7 -2.7 -3 .O
-3.5 -3.8
Sumber: Centerfir Policy Studies (CPS), Jakarta Keterangan: Pelita I-Ill harga konstan 1973 Pelita IV-Vharga konstan 1983
Untuk melihat interaksi antara perekonomian dalam negeri dan perekonomian luar negeri dalam rangka mengkaji perubahan struktural akan dirujuk konsep atau model dua
kesenjangan (two gup model), yang juga merupakan adaptasi dari model Harrod-Dornar. Kesenjangan yang dimaksud adalah kesenjangan antara tabungan dan investasi pada perekonomian dalam negeri yang tercermin pula pada kesenjangan antara ekspor dan impor (neraca pembayaran luar negeri). Kesenjangan tabungan-investasi secara dan relatif absolut cenderung semakin besar dalam Pelita N dan V, yang berarti sebagian dari investasi dibiayai oleh pemasukan modal dari luar negeri, yang pada umumnya memerlukan biaya yang lebih besar (Tabel 4). Oleh
karena itu peningkatan tabungan nasional (baik masyarakat atau pemerintah) merupakan kebutuhan bagi pembiayaan investasi. Selain itu upaya untuk menurunkan ICOR hingga
kurang dari empat merupakan syarat tercapainya efisiensi dan efektivitas dari investasi.
Alokasi Penrrmaan Sumberdava Perekonomian Perubahan struktural dalam perekonomian terjadi apabila sumbangan sektor primer terhadap Produk Domestik Bruto secara relatif menjadi semakin kecil atau sektor non primer menjadi sernakin besar. Selama Pelita I-V telah terjadi perubahan struktural yang dimaksud, dimana baik sektor primer pertanian maupun non pertanian sumbangannya semakin turun terhadap PDB (Tabel 5). Perubahan yang paling kentara adalah penurunan sumbangan sektor primer pertanian dan peningkatan sektor non primer pertanian. Terlihat bahwa penurunan sektor primer pertanian lebiih cepat daripada peningkatan sektor non primer pertanian. Hal ini merupakn indikasi bahwa daya serap sektor non primer pertanian untuk meningkatkan nilai tambah mash relatif terbatas. Konsumsi ataupun ekspor produk pertanian sebagian besar masih merupakan produk primer.
Tabel 5. Sumbangan Sektor-sektor Produksi pada Produk Domestik Bruto (%) Pelita Sektor I
I. Primer Pertanian 11. Primer Non Pertanian III .Non Primer Pertanian IV. Non Primer Non Pertanian
Total
I1
m
rv
v
43.46 10.50 8.88 37.16
35.60 11.48 11.54 41.38
30.44 8.70 15.02 45.84
21.91 18.03 17.39 42.67
18.94 13.21 20.54 47.3 1
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber : Diolah Kembali dari Nota Keuangan beberapa edisi
Perkembangan sumbangan Non Primer Non Pertanian ternyata hampir selalu meningkat dengan peningkatan yang relatif tinggi, sejalan dengan Primer Non Pertanian yang juga memiliki kecenderungan yang meningkat. Hal ini menunjukkan rendahnya keterkaitan dua sektor tersebut. Apabida diperhatikan bahwa komponen terbesar dari Primer Non Pertanian adalah sektor produksi pertambangan clan Non Primer Non Pertanian adalah sektor tersier (jasa dan perdagangan), rnaka jelaslah bahwa keterkaitan produksinya relatif rendah. Peranan sektor sekunder (idustri) yang ternyata sebagian besar produknya masih memiiiki kandungan bahan impor yang tinggi, sedangkan hasil produk primernya sebagian besar menjadi produk ekspor. Situasi ini mencerminkan masih lemahnya struktur industri, terutama pada industri hulu. Jadi struktw ekonomi yang ideal, yaitu kuatnya sektor non primer yang didukung oleh sektor primer belum dapat terwujud sepenuhnya dalam kurun lirna Pelita. Agar lebih mendapatkan gambaran yang menyehuuh tentang alokasi sumbersumber produksi, perlu pula disajikan komponen-komponen Produk Domestik Bruto dari
segi penggunaannya. Penggunaan utama dari PDB adalah untuk konsumsi, yang terdiri
atas konsumsi masyarakat dan pemerintah.
Konsumsi masyarakat walaupun masih
dominan selama lima Pelita, tetapi memiliki kecenderungan yang semakin menurun. Hal Tabel 6. Komposisi Produk Domestik Bruto (PDB) menurut Penggunaannya (%) Pdita I
11
III
IV
v
I. Konsumsi 1. Masyarakat 2.Pemerintah II. Pembentukan Modal Kotor rII.Ekspor Bersih BaranglJasa
85.71 76.30 9.41 16.21 - 1.92
74.91 64.60 10.31 19.67 5.42
70.38 59.46 10.92 26.49 3.13
68.67 58.71 9.94 29.44 1.94
64.83 54.62 10.21 32.57 2.60
Produk Domestik Bruto
100.00
100.00
100.00
100.00
lW.OO/
I
I
Sumber: Diolah dari International F m c i a l Statistics Keterangan: Persen- berdasarkan harga berlaku
ini menunjukkan bahwa kecenderungan konsumsi rata-rata (average prospensity
to
consume/APC) mengalami penurunan dengan meningkatnya pendapatan (Tabel 6). Dengan kata lain perilaku konsumsinya sesuai dengan hipotesis Keynes. Penurunan APC yang demikian sebenarnya termasuk relatif cepat, untuk tingkat pendapatan perkapita kurang dari US$ 1 000. Kemungkinan ha1 ini terjadi karena adanya ketimpangan pendapatan diantara warga masyaralcat cenderung sernakin lebar, sehingga yang pendapatannya sangat tinggi APCnya sangat kecil, akhirnya secara total APCnya pun cenderung semakin kecil. Pengeluaran (konsumsi) pemerintah cenderung konstan, sekitar 10 %. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah dalam menyusun anggaran belanja cenderung
konservatif mengikuti perkembangan PDB, sesuai dengan sistem anggaran yang dianut yaitu "seimbang dan dinamis". Pembentukan modal kotor cenderung meningkat secara nyata, ha1 ini berarti potensi untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi juga meningkat.
Seperti telah
dijelaskan bahwa tingkat pertumbuhan riil yang dapat dicapai tergantung ICOR. Sebenamya rasio pembentukan modal dan output sekitar 30 %, sudah cukup ideal apabila ICORnya sekitar empat, untuk menjamin pertumbuhan ekonorni sekitar 7 %. Tetapi karena ICORnya masih sekitar lima, masih cukup berat untuk mencapai tingkat pertumbuhan tersebut. Ekspor bersih (balance of t r d ) terlihat mengalami stagnasi selarna lima Pelita, yang berarti perkembangannya jauh tertinggal dari perkembangan PDB.
Hal ini
disebabkan laju kenaikan impor rata-rata lebih besar daripada laju kenaikan ekspor. Mengingat bahwa laju kenaikan impor tersebut lebiih didominasi oleh impor barang modal Tabel 7. Struktur Ekspor Indonesia
I
t
I. Primer Pertanian 11. Primer Non Pertanian III .Non Primer Pertanian IV. Non Primer Non Pertanian
-.
Total
32.31 49.04 10.23 8.42
19.40 61.33 11.67 7.60
15.46 62.00 13.04 9.50
8.88 64.24 15.09 11.79
8.04 42.78 20.23 28.95
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
Sumber : Diolah Kembali dari Nota Keuangan beberapa edisi
dan bahan baku, maka dapat disimpulkan bahwa struktur produk dari industri tersebut masih memiliki kandungan impor yang tinggi. Untuk lebih mendalami permasalahan pedu kiranya disajikan perkembangan struktur ekspor dan impor (Tabel 7 dan Tabel 8). Perkembangan struktur ekspor Indonesia terlihat mengalami perkembangan yang kelihatannya sangat ideal. Hal ini karena peranan produk primer secara keseluruhan semakin turun dan peranan produk non primer semakin meningkat, terutarna dalam dua
Pelita terakhir. Peranan ekspor primer pertanian, mengalami kecenderungan yang menurun dengan tajam, karena perkembangan ekspor absolutnya relatif sangat lambat dan cenderung berfluktuasi (untuk kelompok primer pertanian akan dikaji lebii rinci kemudian). Sedangkan peranan ekspor produk primer non pertanian yang dalam ha1 ini didominasi oleh ekspor produk pertambangan (migas dan mineral lainnya) mengalmi penurunan dalam dua Pelita terakhir d i i sebelurnnya meningkat dan mendominasi ekspor secara keseluruhan. Karena begitu dominannya ekspor migas ini, sehingga kecenderungan penurunan peranan produk primer lebii disebabkan oleh terjadinya penurunan harga rninyak yang begitu drastik dalam satu dasawarsa terakhir, daripada meningkatnya ekspor produk non primer. Produk non primer pertanian mengalami peningkatan peranan yang cukup berarti. Hal ini terjadi karena semakin meningkatnya peranan ekspor kayu olahan tenrtama dalam dua Pelita terakhir. Sebagian besar produk kayu olahan merupakan hasil dari eksploitasi hutan yang tingkat pemulihan kelestariannya rendah. Jadi dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan untuk dapat mempertahankannya di masa yang akan datang masih dipertanyakan (ekspor produk Non Primer Pertanian akan dikaji lebii rinci kemudian). Seperti halnya peranan ekspor produk Non Primer Pertanian, peranan ekspor produk Non Primer Non Pertanian juga mengalami perkembangan yang meningkat secara berarti. Hal ini terjadi karena meningkatnya peranan tekstil dan produk tekstil yang dominan. Seperti diietahui bahwa industri pertekstilan bukanlah industri yang m e d i kaitan ke hulu yang kuat karena sebagian besar merupakan relokasi industri dari negaranegara yang memiliki upah buruh yang mulai meningkat.
Dengan dernikian efek
pengganda yang terjadi dari industri ini sangat terbatas pada penyerapan tenaga kerja, yang
nilai tambahnya kecil. Struktur impor Indonesia dalam lima Pelita boleh dikatakan tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Hal ini karena komposisi impor barang konsumsi, bahan baku dan barang modal tidak banyak mengalami perubahan. Masih dominannya impor bahan baku dan barang modal mencerminkan masih berjalannya kebijaksanaan substitusi impor di Indonesia. Tabel 8. Struktur Impor Indonesia (%)
Pelita Sektor I
I'
m
IV
v
I. Barang Konsurnsi a. ~ a r a n g~ o d a l Ill. Bahan BaWeqolong
17.62 36.22 46.16
16.96 39.62 43.42
13.40 41.24 45.94
5.50 39.44 55.06
5.56 39.28 55.16
Total
100.00
100.00
100.00
100.00
100.00
I
Sumber :Diolah Kembali dari Nota Keuangan bebempa edisi
Turunnya pangsa impor barang konsumsi pada Pelita 111 terjadi karena swa sembada beras pada tahun 198411985, sehingga sejumlah besar penghematan devisa terjadi. Walaupun demikian, terjadi peningkatan impor bahan baku seperti pupuk dan pestisida dan barang modal seperti alat-alat pertanian.
Distribusi penda~t3ta.n Distribusi (pemerataan) pendapatan merupakan salah satu segi yang berkait erat dengan proses akumulasi dan alokasi. Hal ini karena pada umumnya di negara sedang berkembang terjadi kecenderungan polarisasi kekuasaan politik yang pada gdirannya terjadi pula polarisasi dalam proses akumulasi dan alokasi sumberdaya, akhirnya terjadi pula polarisasi distribusi pendapatan. Dengan demikian proses transformasi struktural selain terjadi dalam akumulasi dan alokasi, juga terjadi dalam distribusi. Diharapkan
semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin tinggi pula tingkat pemerataan pendapatan dalam masyarakat. Tabel 9. Pangsa Pengeluaran antar Golongan Masyarakat dan Gini Rasio Tahun
Golongan 1. 40 % terendah 2. 40 % menengah 3. 20%tinggi
Gini Rasio
1978
1981
1984
1987
1990
18.13 36.53 45.34
20.44 37.46 42.10
20.75 37.28 41.97
20.87 37.48 41.65
21.31 36.75 41.94
0.38
0.33
0.33
0.32
0.32
Surnber :BPS dan CPS
Pola distribusi pengeluaran masyarakat (sebagai indiitor dari pendapatan) menunjukkan perbaikan, yang ditunjukkan oleh penurunan Gini Rasio tersebut (Tabel 9).
Semakin kecil Gini Rasio semakin merata distribusi pendapatan dalam masyarakat (merupakan rata-rata dari daerah perkotaan clan pedesaan). Selain itu tidak terjadi ketimpangan yang mencolok, karena Gini Rasio selalu kecil dari 0.5. Indikator ini kemungkman kurang menunjukkan realitas yang sebenarnya, karena hanya pengeluaran konswnsi yang dimasukkan,
mungkin keadaan akan beriainan bila berdasarkan
pendapatan total. Berkenaan dengan distribusi pendapatan, Djojohadikusumo (1994) menilai bahwa seolah-olah terjadi paradoks. Di satu pihak, berdasarkan data empirik-statistik tak dapat disangkal bahwa dalam perjalanan waktu sampai sekarang memang telah dicapai banyak
perbaikan keadaan. Di pihak lain dalarn pandangan dan perasaan banyak kalangan masyarakat, dinilai adanya kesenjangan yang semakin memprihatinkan di bidang sosial ekonomi.
Hal tersebut menyangkut golongan produsen kecillmenengah yang sekaligus
berkedudukan sebagai konsumen (merupakan sebagian besar dari penduduk) memiliki kedudukan ekonomi yang sangat lemah dihadapkan kepada kekuatan kaum suadagar besar dan para pedagang perantara dalam jaringan mata rantai niaga dan industri. Secara de facto mereka berhadapan dengan kombinasi monopoli dan monopsoni.
Kelembagaan dalam Perekonomian Indonesia Menurut Samuelson (1990) secara garis besar sistem ekonomi dalam suatu negara dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu sistem ekonomi perencanaan terpusat (centrally planned economy), sistem ekonomi pasar bebas (Fee market economy), dan sistem ekonomi campuran (mixed economy). Indonesia menganut sistem ekonomi carnpuran yaitu ekonomi pasar sebagai tumpuan jalannya perekonomian dan pemerintah berperan
untuk mengatasi distorsi ekonomi yang munglan timbul pada pasar yang bersangkutan. Jadi jelaslah bahwa peran pemerintah tidak dapat 100 %, karena bila ha1 itu terjadi berarti bukan lagi ekonomi campuran yang dianut. Bahkan campur tangan pemerintah terhadap pasar kalau dapat seminimal mungkm,
karena secara teoritik, pada dasarnya campur
tangan pemerintah betapapun kecilnya aka.menimbulkan inefisiensi dalam ekonomi. Distorsi ekonomi yang timbul pada jalannya pasar yang paling utama adalah timbulnya pasar yang tidak sempurna (imperfect murkzt), dalam ha1 ini pasar-pasar yang menjums pada bentuk-bentuk monopoli dan monopsoni sebagai kutub.
Pemerintah
berperan untuk menghindari akibat-akibat yang timbul akibat ketidaksempumaan pasar. Sejak pemerintah Orde Baru mencanangkan Rencana Pembanguna~ya,disadari bahwa kelembagaan baik yang berupa organisasi ataupun peraturan-peraturan pemerintah sebagai alat untuk melakukan campur tangan terhadap jalannya pasar masih sangat kurang. Oleh karena itu banyak sekali kelembagaan-kelembagaan baru yang dibentuk, baik yang sama sekali baru atau penyempurnaan yang lama.
Setelah kurang lebii tiga Pelita
berjalan, terjadi arus yang d i b u s k a n terutama oleh Bank Dunia yang berlawanan dengan kelembagaan lama. Hal ini karena disadari bahwa perekonomian sudah menjurus pada keadaan over regulated yang justru menimbullcan distorsi yang lebii berat daripada distorsi yang diakibatkan oleh perkonomian pasar.
Keadaan ini diperburuk dengan
timbulnya kekuatan-kekuatan yang didasari atas kepentingan bercokol dari kelompokkelompok masyarakat yang dekat dengan otoritas pembuat peraturan, yang kernudian diienal dengan timbulnya ekonomi rente.
Realisasi untuk mengurai kembali aturan-aturan yang justru menimbulkan distorsi ekonomi yang lebih berat (deregulasi) mulai dilakukan dengan penataan kembali kelembagaan moneter yang masih menjadi tulang punggung pemerintah dalam melakukan campur tangan terhadap pasar dan juga pengaturan kembali berbagai masalah yang berkaitan dengan perdagangan luar negeri, selain juga invetasi. Pengaturan kembali kelembagaan ekonomi untuk memperbaiki kinerja perekonomian tersebut tertuang dalam Paket-paket Deregulasi. Dalam hubungan ini Djojohadikusumo (1994) mengemukakan bahwa telah terjadi kekabwan pikiran antara deregulasi dan nonintervensi. Kedua konsep ini mengandung diiensi dan ramifikasi yang berlainan satu dari yang lain, tergantung pada dimensi ruang dan waktu. Pada saat ini dan dalam keadaan yang kita hadapi deregulasi bersangkut paut denganmeniadakan segala rupa peraturan dan ketentuan yang mengganggu perkembangan ekonomi dan menambah beban ekonomi masyarakat. Namun, sistem ekonomi yang berorientasi pasar sekali-kali tidak boleh menjurus pada sistem ekonomi yang didominasi pasar. Dari seluruh Paket deregulasi yang dikeluarkan pemerintah (sejak Paket Januari 1982 hingga Paket Oktober 1993) ternyata hampir selwuhnya menyangkut, paling tidak terliput di dalamnya permasalahan perdagangan luar negeri. Hal ini mengingat peranan sektor ini semakin lama sernakin meningkat dan dalam jangka pendek Indonesia menghadapi permasalahan defisit pembayaran luar negeri yang semakin membesar. Tentu
ha1 ini banyak menghadapi berbagai permasalahan karena strategi yang ditetapkan semula dititikberatkan pada kebijaksanaan substitusi impor yang memerlukan proteksi, sehingga
kebijaksanaan deregulasi dapat menimbulkan korban yang banyak.
Beberapa aktivitas
ekonomi sampai saat ini masih mengandung proteksi yang berat, sehingga timbul ekonomi biaya tinggi yang harus ditanggung oleh masyarakat konsumen.
Perombakan orientasi
politik ekonomi dari substitusi impor menjadi promosi ekspor, bagaimanapun merupakan tuntutan, oleh karena itu perlu kebijaksanaan deregulasi yang benar-benar substansid untuk memotong aktivitas ekonomi yang memiliki biaya tinggi.
Struktur dm Kineria Eks~ordan h ~ oIndonesia r Sebagaimana telah dikemukakan dalam perumusan masalah bahwa keberhasilan perdagangan internasional salah satunya dapat dilihat dari adanya perubahan struktural yang berkelanjutan baik dari sisi ekspor maupun impor. Perubahan struktural di sisi ekspor yaitu dengan semakin meningkatnya pangsa ekspor produk non primer atau menurunnya pangsa ekspor primer dan secara absolut keduanya meningkat baik dalam volume maupun nilainya. Perubahan struktural dari sisi impor yaitu dengan semakin menurunnya pangsa impor bahan bakdpenolong dan barang modal terhadap impor total. Secara empirik di Indonesia terjadinya perubahan struktural ini telah dikaji sebelumnya ( l i t Tabel 7 dan Tabel 8). Selain faktor-faktor yang bersifat teknis ekonomi, perubahan struktural juga dipengaruhi faktor kelembagaan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, baik yang bersifat aturan ataupun organisasi. Karena perdagangan internasional melibatkan lembagalembaga di luar negeri, maka faktor kelembagaan tersebut menjadi semakin kompleks dan multi dimensional. Bahkan Todaro (1989) mengemukakan dalam proses perubahan
struktural tersebut faktor kelembagaan memiliki peranan yang sentral terutama di negaranegara berkembang. Dalam survei ini pengkajian dititikberatkan pada perdagangan internasional dari produk pertanian baik primer maupun non primer. Mengingat spektnun komoditas primer rnaupun non primer sangat luas maka akan dikaji secara umum dari tiap kelompok, kemudian pengakajian secara rinci (untuk beberapa komoditas pertanian penting) akan dilakukan secara kuantitatif karena telah diliput dalam model yaitu pada sektor pembayaran internasional. Secara umum kelembagaan adalah gugus peraturan, prosedur perijinan dan normanorma perilaku moral dan etika yang diiancang untuk membatasi perilaku individu (North, 1981 dalam Pakpahan, 1990). Kelembagaan utama yang terlibat dalam kegiatan ekspor
atau impor antara lain organisasi-organisasi pengimpor pengekspor produk-produk sejenis, peraturan-peraturan prosedur ekspor dan impor termasuk di dalam pemberlakuan halangan-halangan ekspor-impor.
Ekspor Produk Pertanian Situasi yang berpengaruh terhadap kinerja ekspor produk pertanian antara lain 1. situasi pasar internasional untuk setiap produk yang bersangkutan
2. situasi produksi dan konsumsi setiap produk di dalam negeri terutama yang berkaitan
dengan exportable supply dan kualitas produk 3. sarana dan prasarana ekspor 4. sistem dan prosedur ekspor, termasuk di dalamnya besarnya pajak dan ada atau
tidaknya hambatan dagang lainnya (tinggi atau rendahnya biaya transaksi).
5. besarnya ketergantungan pendapatan devisa dari produk yang bersangkutan, karena
kemampuan mengekspor produk pertanian berkaitan dengan sistem perekonomian nasional 6. skala ekonomi dan teknologi, baik dalam produksi maupun perdagangan, yang pada
ghannya akan berpengaruh terhadap keunggulan komparatif dan keunggulan 0
kompetitif produk yang bersangkutan. Situasi-situasi tersebut akan dapat menjadi sumber interdependensi antar lembaga sehingga pada gihannya berpengaruh terhadap kinerja ekspor. Produk primer pertanian yang memiliki pangsa ekspor yang besar merupakan kelompok produk perkebunan dan produk perikanan, sedangkan selain kedua kelompok produk tersebut terrnasuk kelompok produk primer pertanian residual. Sedangkan produk non primer pertanian didominasi oleh produk industri kehutanan, oleh karena itu produk non primer selain kelompok produk tersebut termasuk dalam non primer pertanian residu Suatu produk masih dikatakan sebagai produk primer Vila tingkat pengolahannya hanya sarnpai pada pengeringan, fermentasi, pengasapan clan sejenisnya sehingga tidak m e n g h a s i i produk turunan yang bersifat lanjutan dari produk tersebut. Misalnya, produk kopra termasuk produk primer tetapi minyak kelapa merupakan produk lanjutan dari kopra termasuk produk non primer. 1. Ekspor Produk Primer Pertanian
Kinerja ekspor produk primer pertanian mengalami pertumbuhan yang tinggi pada Pelita I dan 11, tetapi pada Pelita 111 - IV mengalami kemerosotan (Tabel 10). Diantara tiga kelompok komoditas, komoditas perkanan menunjukkan kinerja dengan tingkat
pertumbuhan yang tin&
kecuali pada Pelita III, walaugun dihat dari nilai ekspor
absolutnya, kelompok perkebunan tetap paling tinggi. Tabel 10. Nilai Ekspor (ribu US$) dan Pertumbuhannya (%) per tahun Primer Pertanian pada Pelita I-V Perkebunan
Perilcanan
Residual
Total
Pelita Nilai Pemunb
Nilai
Pertumb --
I I1
m
440.42 36.35 1 300.52 22.44 1600.52 -29.25 1 120.36 0.33 1081.73 l.%
IV V PJP I 1 111.06
2.50
Pertumb
32.78 47.80 169.86 207.56 158.53
55.61 15.82 7.47 15.04 8.17
120.24
8.26
Nilai
Pertumb
- -
27.12 59.14 129.50 20.97 221.10 1.80 391.56 29.36 927.10 18.03 288.16
Nilai
13.31
500.32 38.85 1447.82 22.09 1 991.48 -22.67 1 719.48 8.29 2 167.37 9.29 1519.46
5.01
Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan BPS krbagai edisi
Ekspor produk perkebunan dalam bentuk primer sampai saat ini masih didominasi oleh ekspor produk-produk tradisional yaitu kelompok enam besar yaitu kopi, teh, lada, kakao, tembakau dan karet. Nilai ekspor pada Pelita I dan I1 mengalami pertumbuhan yang tinggi, karena pada kurun waktu itu harga komoditas perkebunan primer ini sedang mengalami peningkatan, dan secara kebetulan hampir terjadi secara serernpak dan peran utama dalam kenaikan tersebut adalah kopi. Hal itu ternyata tidak terjadi pada waktu yang lama karena pada kurun Pelita IU, terjadi penurunan yang sangat tajam hingga pertumbuhan nilainya menjadi negatif. Jadi yang dorninan mempengaruhi pertumbuhan
nilai adalah pertumbuhan harga bukan pertumbuhan jumlah ekspor. Dengan kata lain situasi pasar internasionallah yang menentukan kinerja ekspor perkebunan. Pada umumnya pembentukan harga-harga komoditas perkebunan di asar dunia masih lebii dekat dengan sistem pembentukan haqa pasar persaingan, tetapi ada kalanya
dipengaruhi oleh keseporkatan-kesepakatan internasional komoditas sejenis maupun juga kebijaksanaan negara produsen apabila pangsa pasarnya dalam pasar internasional tinggi. Dalam pertemuan di Nairobi tahun 1976, UNCTAD (United Nations Conference
on T r d dDevelopment) atau dikenal dengan UNCTAD N,disepakati suatu Program Terpadu untuk Komoditas (Integrated Programme for CommoditieslPC). Resolusi yang dikeluarkan meliputi tiga komponen penting yaitu: tujuan, cakupan komoditas, dan satuansatuan program global (Ghatak dan Ingersent, 1984).
Dua tujuan penting yang dikemukakan adalah stabiisasi pasar komoditas global dengan meredam fluktuasi harga yang besar, dan meningkatkan pendapatan riil negara berkembang dari ekspor komoditas melaiui penjaminan harga komoditas bagi para produsen dengan memperhitungkan secara penuh idasi dunia, dan stabiisasi pendari ekspor dengan kecenderungan yang meningkat. Cakupan komoditas ditetapkan meliputi sepuluh komoditas utama yaitu kakao, kopi, tembaga, gula, kapas, jute, karet, sisal, teh, dan timah. Disamping itu ditambah dengan tujuh komoditas lainnya yaitu pisang, bauxite, daging sapi, bijih besi, beras, gandum dan woof. Sepuluh komoditas pertarna disebut utama k a r m merupakan 75-80 % dari penerimaan ekspor negara berkembang dari tujuh belas komoditas yang dicakup. Hutabarat (1993) mengemukakan bahwa wadah untuk mencapai tujuan tersebut adalah dengan Perjanjian
Komoditas
Internasional (Internutiom2 Commodity
AgreementKA) dan peningkatan konsultasi antara produsen dan konsumen komoditas yang tidak termasuk dalam ICA Beberapa perjanjian intemasional dapat disebut adalah
International C q e e Agreement (ICA), International Cocoa Agreement (ICCA),
International Sugar Agreement (ISA), International Natural Rubber Agreement (INRA), dan International Cotton Advisory Committee (ICAC).
Bentuk-bentuk perjanjian
komoditas ini dapat disarikan sebagai berikut: 1. ICA. Dalam Organisasi Kopi Internasional (International Coffee Organimtion/lCO)
melalui ICA, perdagangan kopi dunia diatur melalui sistem kuota ekspor sehingga pasaran kopi , baik dalam jumlahjenis dan waktunya dapat dikendalikan dan dengan demikian harga kopi duniapun dapat ditatpkan. Dengan penetapan kuota ekspor ini
maka perdagangan kopi dunia berlangsung dalam dua bentuk pasar: (a) pasar kuota yang mencakup negara-negara anggota perjanjian, dan (b) pasar non kuta yang mencakup negara bukan anggota pejanjian. 2. ICCA. Sama seperti ICA, ICCA mengatur perdagangan kakao dunia dengan
menciptakan dan memelihara keseimbangan yang cocok antara penawaran dan permintaan kakao pada tingkat harga yang menguntungkan bagi produsen dan adil bagi konsumen. Pada mulanya cara yang digunakan untuk mengendalikan pasar dunia adalah kuota ekspor tetapi pada waktu berikutnya cara ini tidak dipakai lagi karena dalam pelaksanaannya sulit diiendalikan.
Cara yang digunakan sekarang adalah
cadangan penyangga (withholding scheme). Samapai saat ini Indonesia belum menjadi anggota ICCO. 3. INR4. Merwnuskan persetujuan antara negara produsen dan n e w konsurnen
tentang penetapan harga karet dam alarn yang tidak merugikan perodusen serta layak bagi konsumen. Mekanisme penetapan pemasaran dan harga karet alam diakukan
oleh Organisasi Karet Alam Internasional (Intemtional Natural Rubber OrganizationANRO). Selain itu Indonesia juga mengikuti perjanjian untuk lada dalam Intemtionul Pepper Community (PC), walaupun organisasi ini belum secara efektif berperanan dalam mengendalikan harga yang memiliki fluktuasi yang sangat besar. Situasi lain secara umum kurang berpengaruh terhadap ekspor, tetapi untuk beberapa komoditas primer perkebunan ada pengaruh exportable supply seperti tembalcau dan lada pada waktu-waktu tertentu, baik karena hams bersaing dengan tanaman lainnya maupun karena M o r teknis seperti penyakit dan Wi.Selain itu pada Pelita I ada M o r situasi ketergantungan yang berarti pada ekspor komoditas perkebunan ini tetapi situasi itu menjadi semakin kecil dengan terjadinya boom minyak bumi, sehingga ketergantungan beralih. Ekspor produk perikanan didominasi oleh ekspor udang, yang kemudian diikuti oleh ikan tuna, cakalang dan tongkol. Kinerja ekspor produk ini boleh dikatakan sangat baik mengingat tingkat pertumbuhan yang relatif tinggi dan kontinu.
Situasi p a w
internasional sangat menunjang untuk terciptanya kinerja yang demikian, karena sejak tahun 1969 sampai 1993 harnpir tidak mengalami penurunan harga yang berarti, seperti produk primer lainnya. Walaupun demikian tingginya ketergantungan pada pasar Jepang sering menyebabkan lemahnya bargainingposition, terutama pada saat harga melemah. Situasi lain yang bersifat menghambat yaitu produksi dalam hal ini kemampuannya, sarana dan prasarana ekspor, adanya biaya transaksi yang tinggi (terutama untuk ikan hasil penangkapan), clan skala ekonomi dari perusahaan.
Berdasarkan indiiator harga produk perikanan, pada dasarnya pasar internasional masih memiliki mang pasar (market space) yang relatif besar. Dengan demikian faktor utama yang menyebabkan tidak terisinya ruang pasar yang adalah kemampuan produksi yang berkait erat dengan situasi skala usaha. Pada mulanya ada beberapa negara pemasok utama udang yaitu Taiwan, RRC, Thailand, Fipina, Malaysia dan Indonesia. Di antara ke enam negara tersebut hanya Thailand yang berhasil meningkatkan produksi secara berarti dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Kegagalan untuk meningkatkan produksi ini berkaitan erat dengan skala usaha yang dipilih. Thailand berhasil meningkatkan produksi karena skala usahanya pada umumnya relatif kecil (kurang dari 5 ha), karena skala usahanya mengikuti diseconomies of scale.
Sedangkan negara-negara lainnya pada umumnya berskala besar sehingga
produktivitasnya rendah karena kemampuan manajemen yang terbatas. Untuk produk ikan hasil penangkapan, situasi utama yang menghambat adalah masih belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Karena ikan tuna, cakalang
dan tongkol merupakan ikan yang berada di perairan dalam (samudera), dan pada saat ini penangkapan ikan tersebut masih mengandalkan nelayan-nelayan kecil dengan sarana yang terbatas maka kemampuan produksinya pun masih jauh dari dari potensi produksi yang ada.
Selain itu juga prasarana pelabuhan perilcanan yang masih sangat terbatas, untuk
dapat diiabuhi kapal-kapal berukuran besar (lebih dari 1500 GT), sehingga kadang-kadang untuk berlabuh harus menempuh jarak yang jauh, karena tidak dapat berlabuh pada pelabuhan terdekat. Situasi yang demikian mendorong pula terjadi biaya transaksi yang tinggi karena terjadinya antrian panjang di pelabuhan.
Ekspor produk primer pertanian residu yang paling besar adalah ekspor produk maniok (gaplek). Produk ini sangat fluktuatif nilai ekspomya. Situasi yang berpengaruh terhadap kinerja yang demikian adalah pasar intemasional. Hal ini karena Indonesia harus bersaing dengan Thailand yang dapat m e n g h a s i i mutu produk yang lebih baik. Sedangkan permintam produk ini hanya terbatas sebagai bahan pakan ternak. Untuk mendorong ekspor produk ini tidak ada cara lain adalah dengan perbaikan mutu dan mengolahnya menjadi produk rnakanan yang terolah, dimana potensi pasarnya sangat memadai.
Hanya mungkin untuk tujuan ini hanya menyerap sebagian kecil
dibandiigkan tingkat produksiiya yang sangat besar. Secara keseluruhan ekspor produk primer pertanian memiliki tingkat pertumbuhan yang semakin lama semakin kecil. Oleh karena itu harus diupayakan agar produk-produk
ini diubah menjadi produk non primer bila memungkinkan. Hal ini karem walau bagaimanapun produk-produk ini memiliki keterkaitan lapangan kerja yang sangat besar di daerah pedesaan. 2. E k s ~ oProduk r Non Primer Pertanian Ekspor produk non primer pertanian mulai awal Pelita IV didominasi oleh industri kehutanan hingga hampir mencapai 70 % pada akhir Pelita V. Kurang lebih 65 % dari ekspor industri kehutanan tersebut didominasi oleh ekspor kayu lapis. Hal ini terjadi karena pada awal Pelita IV diieluarkan larangan ekspor log, hingga produksi kayu lapis mengalami perkembangan yang pesat. Situasi ini bisa & i t pertumbuhan pada Pelita IV yang mencapai 34.70 %, tetapi keadaan tersebut ternyata tidak mampu bertahan lama karena pada Pelita V pertumbuhannya merosot tajam (Tabel 11).
Tabel 11. Nilai Ekspor (US$ Juta) dan Pertumbuhannya (%) per tahun Non Primer Pertanian pada Pelita I-V Ind. Kehutamn
Total
Ind. Perkmian
Pelita
Nilai Pertumb I I1
In
TV V PJP I
7.84 101.60 68.82 63.91 454.58 33.95 1 599.88 34.70 3 676.65 4.33 1 161.55 54.64
Nilai
Pertumb
Nilai
Pertumb
328.30 684.24 1083.58 1 117.84 1 544.53 851.80
23.37 51.27 1.70 8.63 2.17 16.56
336.64 753.06 1083.58 2 717.72 5 221.18 2 022.44
62-49 57.59 17.83 21.66 1.08 35.60
-
Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan BPS berbagai edisi
Perkembangan ekspor kayu gergajian menunjukkan kecenderungan yang serupa dengan perkembangan kayu lapis, demikian pula kayu olahan lainnya. Sedangkan ekspor mebel dan anyaman juga mengalami pertumbuhan yang pesat setelah terjadi larangan ekspor rotan mentah. Jadi dapat disimpulkan bahwa ekspor industri kehutanan sangat dipengaruhi oleh situasi sistem dan prosedur ekspor. Situasi lain yang berpengaruh adalah situasi pasar internasional, yang terjadi sejak awal Pelita V, dimana Indonesia sebagai pemasok kayu lapis terbesar di dunia mengisi ruang pasar yang tersisa dengan kebijaksanaan pelarangan ekspor log hingga harga kayu lapis cenderung mengalami penurunan. Selain itu ada juga pengaruh dari surutnya perkembangan permintaan karma gerakan-gerakan para pecinta lingkungan untuk menyelmtkan hutan tropik, seperti ecolabelling.. K e m u n g h situasi ketergantungan akan kornoditas kehutanan dalam memperoleh devisa mempengaruhi perkembangan industri kehutanan. Seperti diketahui bahwa pamor migas sebagai penghasil devisa terbesar semakin turun. Industri kehutanan
diharapkan dapat menggantikan migas dan peranannya cenderung semakin meningkat sebagai penyumbang terbesar dari ekspor non migas, yaitu mencapai 26 % dalam Pelita V. Ekspor industri pertanian menunjukkan perkembangan yang kurang memuaskan sejak awal Pelita I. Hal ini karena ekspor karet dam olahan masih merupakan produk dengan pangsa yang paling besar. Karet dam olahan dalam SITC terrnasuk dalam kategori produk industri (non primer), tetapi pada dasarnya sifat dari komoditas ini sama saja dengan komoditas primer. Oleh karena itu dalam model yang dibangun dimasukkan dalam kategori produk primer. Bila pada awal Pelita I komoditas ini merniliki pangpa ekspor sebesar 89 % dari ekspor industri pertanian, pada akhir Pelita V masih mencapai 62%.
Seperti produk primer lainnya, situasi yang mempengaruhi perkembangan ekspor karet darn adalah situasi pasar internasional. Bila harga sebagai indiitor perkembangan penawaran dan permintaan karet alam, maka dalam kurun waktu analisis harga riil karet mengalami penurunan ( l i t analisis Burger dan Smith, 1993).
Dengan kata lain
pertumbuhan penawaran karet dunia lebih pesat daripada pertumbuhan permintaannya. Pertumbuhan rata-rata ekspor karet Indonesia sebesar 3.2 % pada Pelita IV dan -2.1 % pada pelita V.
Kinerja ekspor produk karet alam olahan yang demikian, sebenamya dapat dikompensasi oleh minyak kelapa sawit (CPO). Tetapi karena ekspor kelapa sawit ini dipengaruhi oleh situasi exportable supply, maka perkembangannya terhambat. Kinerja minyak kelapa sawit yang demikian berhubungan pula dengan makin turunnya peranan minyak kelapa sebagai sumber rninyak goreng
dalam negeri.
Situasi demikian
pengaruhnya sangat terlihat pada Pelita V, dimana pemerintah menarapkan pajak ekspor ad valorem dan progresif untuk CPO, hingga perkembangan ekspornya menjadi negatif. Industri pertanian tradisional lain adalah yang menunjukkan perkembangan yang memuaskan, terutama pada Pelita V adalah produk minyak atsiri, walaupun pangsa ekspornya mash lcurang dari 10 % dari total ekspor industri pertanian. Hal ini terjadi
karena makin bertambahnya kuantitasa dan keragaman produk &yak atsiri yang mulai diekspor. Selain itu produk kulit juga mengalami perkembangan ekspor yang cukup tinggi terutama dalam Pelita IV dan PeIita V. Tetapi kandungan impor dari produk ini masih cukup tin& baik bahannya maupun teknologinya. Berdasarkan kinerja produk industri pertanian yang dijelaskan di atas, dapat diambil suatu gambaran bahwa pada dasarnya sebagian besar dari produk tersebut masih membawa sifat produk primer, bahkan begitu dominan seperti karet dam. Hal ini karena sebagian besar masih berupa barang-barang setengah jadi, yang masih memerlukan pengolahan lanjutan yang relatif jauh untuk menjadi barang jadi.
Eksvor Produk Non Pertanian 1. Ekspor Produk Primer Non Pertanian
Situasi yang berpengaruh terhadap kinerja ekspor produk primer non pertanian ini pada dasarnya hampir sama dengan produk primer pertanian. Yang paling dominan mernpengaruhi adalah situasi passar internasional.
Hal ini terlihat dari tingkat
pertumbuhan ekspor dalam setiap periode Pelita sangat berfluktuasi, baik untuk produk tambang non migas maupun migas (Tabel 12). Sejak Pelita I tambang timah merupakan produk pertambangan yang memiliki sumbangan terbesar dari ekspor tambang non migas. Tetapi pada awal Pelita 111 posisi tersebut digantikan oleh biji nikel. Hal ini disebabkan harga timah mengalami kemerosotan yang sangat tinggi pada waktu tersebut, yang ditandai oleh runtuhnya kesepakatan kuota ekspor dari Organisasi T
i Internasional, hingga saat ini. Situasi yang demikian karena
pada saat harga tirnah tinggi, negara-negara industri pemakai timah banyak yang mencari subtitusi bahan timah yang harganya relatif murah dan setelah ditemukan susbtitusi yang d i u d langsung mengakibatkan permintaan timah menurun dan harga pun mengikutinya.
Kecenderungan tersebut ternyata berbalik kembali setelah harga timah
sedemikian rendahnya sehingga bahan substitusinya justru lebii mahal clan konsumen beralih kembali kepada timah, hingga pada akhir Pelita V harga timah mulai terangkat kembali walaupun diperkirakan tidak akan kembali seperti keadaan sebelum ada substitusi. Tabel 12. NiIai Ekspor (US$ Juta) dan Pertumbuhannya (%) per tahun Produk Primer Non Pertanian pada Pelita I-V Tambang Non Migas
Tambang Migas
Total
Pelita Nilai Pertumb
Nilai
Perhmb
Sumber: Diolah dari Nota Keuangan clan BPS M g a i edisi
Nilai
Pertumb
Walaupun situasi demikian, kinerja ekspor tambang non migas secara absolut menunjukkan perkembangan yang positif yang ditunjukkan oleh nilai ekspor rata-rata yang meningkat pada setiap Pelita. Keadaan demikian dapat terjadi karena produk tambang non migas ini cukup banyak jenisnya, sehingga fluktuasi harga tidak selalu bersamaan, atau saling mengisi. Ekspor migas merupakan tumpuan perekonomian Indonesia sampai saat ini, walapun perannya sudah mulai tumn sejak Pelita III. Migas mengalami boom terutama pada akhir Pelita I1 dan awal Pelita III, karena harga tertinggi yang dicapai pernah sarnpai lebih dari US$ 35 tiap barrel.
Kinerja yang demikian terjadi karena situasi pasar
internasional, dirnana negara-negara OPEC masih merupakan pemasok yang dominan, sehingga lcuota ekspor dapat berjalan secara efektif. Situasi ini ternyata tidak berjalan lama, karena OPEC adalah kartel yang memiliki beberapa kelemahan fatal, yaitu pada saat harga tinggi negara-negara non anggota dapat memasok tanpa kuota hingga penawaran totalnya menjadi tidak terkontrol lagi. Selain itu karena terjadi perang Irak dan Iran yang membutuhkan biaya, d i i a keduanya anggota yang berperan nyata dalam penawaran, sulit untuk secara konsisten patuh pada kuota yang ditetapkan. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja ekspor primer non pertanian ini sangat labil karena ham@ selumhnya tergantung pada situasi pasar internasional.
Keadaan demikian memaksa Indonesia untuk dapat melepaskan ketergantungannya dari sektor ini, karerm selain labil kinerjanya, deposit totalnyapun juga terbatas. Beberapa pendapat mengemukakan, bahwa dalam waktu sekitar 50 tahun mendatang Indonesia
akan menjadi net importer migas (Kartasasrnita, 1993).
2. Eks-por Non Primer Non Pertaniaq
Ekspor Non Primer Non Pertanian menunjukkan kinexja yang paling baik diantara ekspor kelompok komoditas yang lain, terutama dari segi tingkat pertumbuhan nilai ekspornya.
Selain itu kelompok komoditas ini juga mengalami perkembangan jenis
komoditas yang tinggi. Komoditas yang mengalami pertumbuhan paling cepat adalah tekstil dan produk tekstii, sehingga yang pada Pelita I sumbangannya hanya 2.62 % dari total ekspor kelompok komoditas non primer non pertanian, pada Pelita V meningkat menjadi 43.65 %. Kinerja yang demikian timbul h e m situasi derasnya penanaman modal asing dalam industri tersebut yang pada Pelita V mencapai pertumbuhan rata-rata sebesar 63.20 % (Tabel 13). Situasi tersebut terjadi terutama karena relokasi perusahaan-
perusahaan Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan di negara-negara yang tingkat upahnya mulai meningkat seperti Malaysia dan Thailand disamping di negaranya sendi. Indikasi lain menunjukkan terjadinya kenailcan impor bahan baku tekstii yang mencapai rata-rata 37.32 % pada Pelita V. Dengan demikian industri tekstil merupakan industri yang kurang
merniliki landasan industri hulu (footloosei k t r y ) . Dalam jangka panjang apabila industri yang demikian digunakan sebagai industxi penghasil produk ekspor andalan akan menimbulkan kerawanan pada saat tingkat upah pekerja mulai meningkat dan investor asing akan berpindah tempat ke negara lain yang tingkat upahnya lebih rendah. Dari sudut bahan bakunya pada dasarnya tekstil ini mengandung bahan produk pertanian yaitu kapas, tetapi mengingat pangsa nilai akhir produk tektii dari kapas relatif
kecil dan kapas sendiri lebih dari 90 % merupakan produk impor maka dikelompokkan
dalam produk non primer non pertmian. Tabel 13. Nilai Ekspor (US%Juta) dan Pertumbuhannya (%) per tahun Produk Non Primer Non Pertanian pada Pelita I-V TekstiYRoduknya
Aneka FVoduk
Total
Pelita Nilai Pertumb
Nilai
Pertumb
Nilai
Perhunb I
I
I1 111
IV V
PJP I
2.28 10.38 182.00 681.08 3 315.62 838.27
37.78 66.14 33.04 37.06 35.71 41.94
84.76 493.90 %6.38 1 349.78 4 279.94 1434.95
40.10 51.53 7.63 18.38 19.35 27.40
87.04 504.28 1 148.38 2 030.86 7 595.56 2 273.22
38.94 58.83 20.33 27.72 27.53 34.67
Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan BPS berbagai edisi
Dalam kelompok aneka produk, seperti telah diiemukakan mengalami perkembangan jenis produk yang pesat, tetapi produk-produk baru yang muncul pada umumnya tidak memiliki kontinuitas ekspor. Dari kelompok ini yang menonjol adalah ekspor produk alat-alat listrik, yang perkembangannya mencapai 35.7 % tiap tahun pada Pelita V. Tetapi, lagi-lagi produk ini masih mengandalkan bahan baku impor yang tinggi. Produk-produk yang menggunakan bahan baku dalam negeri adalah produk alumunium dan timah, walaupun teknologinya masih juga menggunakan teknologi impor.
D& pemaparan ekspor non primer non pertanian ini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya kemampuan untuk mengekspor produk
industri yang mumpuni masih
belum cukup memadai, mengingat rnasih besarnya kandungan impor.
Impor Pengelompokan komoditas impor, tetap menggunakan pengelompokan baku dari Biro Pusat Statistik, mengingat dengan pengelompokan yang demikian pun masih sangat memadai untuk menjelaskan stnrktur dan kinerja impor.
Struktur impor dari tiga
pengelompokan barang telah dikaji dalam pengkajian strutur perekonomian Indonesia. Dari segi pertumbuhannya barang konsumsi lebih rendah daripada bahan baku dan barang modal (Tabel 14). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan industri masih bertumpu pada teknologi luar negeri demikian pula bahan bakunya. Situasi ini mencerminkan masih belum berjalannya proses alih teknologi secara baik. Bila dirinci lebih lanjut impor bahan baku industri non pangan dan bahan penolong/suku cadang mendominasi sekitar 60-65% dari total impor bahan baku, dan sekitar 80-85 % dari jumlah tersebut merupakan bahan baku yang terolah. Dengan demikian kemungkinan nilai tambah yang tercipta dengan
situasi tersebut sangat terbatas. Sedangkan barang-barang modal yang d i r 75-85 % merupakan mesin-mesin industri non angkutan. Jadi semakin jelaslah bahwa industri yang ada di dalam negeri sebagian merupakan industri perpanjangan tangan industri asing.
Tabel 14. Nilai Impor (US$) dan Pertumbuhannya (%) per tahun Barang Konsurnsi, Bahan BakuJPenolong, dan Barang Modal pada Pelita I-V Barang Konsumsi
Bahan Baku/Penolong
Barang Modal
Pelita Nilai Pertumb I I1 IV V
270.72 877.70 1360.24 601.00 1474.30
PJP I
916.79
III
-
39.76 20.67 2.57 10.62 31.11
19.92
Perhunb
Nilai
Pertumb
697.18 34.23 1984.94 46.23 15.78 4 876.% 7.08 6 002.78 10 683.16 11.01
573.08 2 020.48 4 514.48 4 293.08 9 54346
46.02 14.75 24.07 4.09 24.73
22.87
4 1m.W
22.73
Nilai
4 849.00
i
Sumber: Diolah dari Nota Keuangan dan BPS berbagai edisi
Kinerja impor ternyata sangat dipengaruhi oleh situasi industri dalam negeri. Kebijaksanaan substitusi impor yang bersifat protektii terhadap industri, d i i a didalamnya tidak terjadi alih teknologi dengan penjadwalan yang jelas hanya akan menyulitkan neraca pembayaran karena ketergantungan terhadap teknologi dan bahan baku impor tetap tinggi. Dengan kata lain learning by rioing pruces dalam infant
industry hams dapat berjalan dengan sistem penjadwalan. Proses yang demikian dapat berjalan apabiia industri dibangun dari hulu sampai hilir, mengingat ketergantungan akan tetap ada bila hanya industri hilir yang mendapat perhatian untuk berkembang.