Surat buat Kekasih di Surga Nadjib Kartapati Z.
D
emi kebahagiaanmu, Pran, lupakan diriku! Barangkali itulah pesanku yang paling berarti. Bukalah mata hatimu, Pran!” demikian kau pernah berkata padaku. Tatkala itu aku benar-benar tidak mengerti apa maksudmu, Lies. Dan kata-kata itu cuma lewat saja dari telingaku. Jangan kau persalahkan diriku, Lies! Kau pun mengerti bukan, kesedihanku waktu itu telah mengalahkan segalanya? Dan kau menangis ketika kuletakkan telapak tanganku di ubun-ubunmu. Nampaknya kau tak peduli akan nasehat dokter bahwa tangis adalah salah satu musuh bagi kesehatanmu.
“Kau lelaki, Pran,” katamu lagi. “Perasaan cintamu tak boleh mati. Relakan aku pergi. Lupakan dan carilah penggantiku!” Aku menggeleng. Airmatamu semakin berlinangan. Dua hari sebelum kepergianmu, aku datang lagi, Lies. Kau kelihatan kian pucat saja. Lagi-lagi kaututurkan pesan itu. Pesan bahwa aku harus bisa segera melupakanmu untuk kemudian segera pula mencari gantimu. Aduh! Kau tak mengerti bagaimana perasaanku waktu itu. Justru karena pesan itulah, aku
jadi selalu terkenang akan dirimu. Sehari berikutnya ketika aku baru makan, telepon di rumahku berdering. Aku sudah menangkap firasat buruk itu. Aku bangkit meninggalkan nasi yang baru kusendok empat suapan. Ternyata telepon itu dari mamamu. Mama bilang, keadaanmu semakin kritis. Toh demikian kau masih saja menyebut namaku agar aku datang segera untuk mendampingimu. Aku ingat persis, Lies, inilah katakatamu yang terakhir, “Hidup ini penuh misteri. Kenapa setiap pertemuan harus selalu diakhiri dengan perpisahan? Dan kenapa pula senyum manis harus diiringi dengan ratap tangis. Maafkan diriku, Pran.” Ah! Aku tidak ingin mengingat lagi tragedi itu. Persoalannya sekarang tidak harus mengenang kembali kejadian itu, kan Lies? Meskipun dengan susah-payah, toh akhirnya aku bisa melupakanmu. Mula-mula aku mulai jarang mengirimkan doa untukmu manakala menjelang tidur, untuk kemudian tidak sama sekali. Memang aku merasa berdosa, setidaknya untuk diriku sendiri. Tetapi bukankah itu merupakan pesanmu yang kauanggap berarti? Cuma, Lies, untuk pesanmu yang lain di mana aku harus segera mencari gantimu, aku merasa masih berat untuk sanggup melaksanakannya. Barangkali saja karena perasaan cintaku sudah kaurenggut! Tetapi, Lies, maafkan! Sejak di kampusku ada seorang gadis bernama Paulina, keseimbangan batinku yang sudah mulai pulih itu kembali tergoncang. Kalau aku boleh bilang, Paulina merupakan penjelmaanmu belaka. Tidak saja wajah dan penampilannya, tetapi juga hampir seluruh watak dan sifat Paulina persis dengan punyamu. Mungkinkah ini satu bentuk ujud reinkarnasi? Aku tidak tahu pasti. Yang jelas Paulina telah berhasil merampas perhatianku. Tapi aku yakin, semua bisa terjadi cuma karena apa yang pernah kaumiliki, ternyata dimiliki pula oleh Paulina. Dalam sekejap saja aku telah jatuh cinta pada Paulina. Keyakinanku bahwa Paulina adalah penjelmaanmu semakin pasti, justru karena gadis itu membalas cintaku. Satu hal yang berbeda antara kau dan Paulina, bahwa yang terakhir itu lahir dari keluarga kurang mampu. Kau tak perlu cemburu, Lies! Aku mencintai Paulina hanya karena ia mirip denganmu. Lagi pula, bukankah di sorga tak ada rasa cemburu? Demi Tuhan, Lies, cintaku kepadamu tak kan pernah padam. Karenanya, ketika hadir seorang Paulina, aku merasa berkewajiban memproyeksikan
perasaan cintaku terhadapmu, kepadanya. Aku menghadapi Paulina, seperti ketika aku menghadapimu. Kalaulah kau tidak percaya, Lies, bolehlah kuceritakan apa yang kulakukan terhadapnya. Semua bagaikan sebuah pengulangan semata. Ketika Paulina kuajak ke Borobudur, aku membawanya duduk di bawah stupa di pojok selatan, seperti aku pernah membawamu ke sana, dulu. Aku menangkap sebuah misteri ketika secara tidak sengaja Paulina mengenakan gaun merah jambu. Bukankah kau pun mengenakan gaun warna itu saat kuajak ke sana? itu pertama. Kedua, Lies, ia duduk di sebelah kananku dengan kaki terbujur, persis posisimu dulu. “Aku mengagumi pencipta Borobudur ini,” kataku pada Paulina. Jika kau masih ingat, tentu kau mengerti bahwa kata-kata ini juga sebuah pengulangan. “Orang dulu memang hebat,” jawab Paulina. Nah, bukankah jawaban itu sama artinya dengan jawabmu atas pertanyaan tersebut? Ya, sama. Hanya kalau kau dulu menjawab begini, “Mana mungkin orang sekarang mampu bikin?” “Kau juga kagum, Paulina?” tanyaku, Paulina mengangguk sambil mengedipngedipkan matanya. Persis seperti kau mengangguk dan mengedipkan matamu, “Tapi ada yang lebih kukagumi daripada ini,” kataku lagi. “Apa itu?” “Dirimu, Paulina. Aku lebih mengagumimu daripada Borobudur.” Dan Paulina mencubit lenganku seraya tersipusipu. Aduh, Lies, cubitannya selembut cubitanmu. Dan aku merasa bahwa angin yang memberikan kesejukannya pada kami, seperti angin yang dulu pernah memberikan kesejukannya kepada kita. Langit seakan termangu-mangu, menjadi teduh karena cinta kami. Bukankah dulu pun demikian? Aku masih ingat, Lies, waktu itu kuraih tanganmu dan kusandarkan kepalamu ke dadaku. Kau menurut. Matamu yang bening menatap langit lalu terpejam saat kulabuhkan ciuman pertamaku ke bibirmu. Nah, itu pun telah kulakukan terhadap diri Paulina. Gadis itu juga menatap langit sesaat sebelum kudaratkan ciumanku. Aneh, rasanya aku bukan mencium Paulina tetapi bagai menciummu saja. Kau ingat bukan? Setelah perlahan-lahan kulepaskan
rengkuhanku, kau tiba-tiba menangis. “Aku bahagia, Pran,” bisikmu lirih. Dan itu pun telah dilakukan serta diucapkan oleh Paulina. Bedanya, ia tidak mengatakan ‘aku bahagia’, namun mengatakan ‘aku senang’. Pendeknya, aku merasa seperti kembali hidup seperti tiga tahun silam. Semuanya seperti sebuah film yang tengah diputar. Dan entah kenapa, aku memang selalu ingin memutar film kita itu kembali. Karenanya selalu kulakukan apa-apa yang dulu pernah kulakukan atas dirimu. Keherananku cuma karena Paulina selalu bereaksi persis seperti reaksimu. Pernah suatu kali Paulina kuajak ke pantai Parangteritis. Sekali lagi, kau tak perlu cemburu! Toh kau pun pernah kuajak juga ke sana. Bahkan, justru karena itulah aku mengajak Paulina. Aku ingin mengulangi peristiwa kita dulu. Ingatlah dan catatlah! Semua dialog kami tidak jauh berbeda dengan dialog kita. “Deburan ombak laut kidul itu tak sedahsyat debur hatiku ketika kau tersenyum untukku, Paulina,” kataku di sela gemuruh ombak. “Ah, merayu.” “Kau cerdik. Kau sadar kalau ini rayuan. Namun kau toh tetap bahagia mendengar rayuan ini, Paulina. Kau tak perlu bohong.” “Ah, ternyata kau lebih cerdik dari padaku, Pran.” Aku tertawa dan Paulina pun tertawa. Tawa kami padu dengan debur ombak. “Ombak itu berdebur, sama seperti hatiku, Pran,” kata Paujina. “Tapi ombak-ombak itu selalu berkejaran. Sedang kita sudah tak berkejaran karena memang tak ada lagi yang perlu dikejar bukan?” “Benar seperti apa yang kau katakan.” “Dan aku bahagia bersamamu dalam ketenangan.” “Ah, kau pintar merayu.” “Tapi aku tahu, kau senang mendengar rayuan itu kan?” Kami saling tertawa. Kurengkuh tubuh Paulina kuat-kuat. “Laut ini senantiasa menggelepar setiap saat, seperti juga jiwaku,” kataku. “Tapi, Paulina, adakah gelepar itu di dadamu?” Paulina tak menjawab, tapi mengalihkan pembicaraan.
“Angin laut ini selalu menderu sejuk, seperti sejuknya jiwaku di saat berteduh dalam dekapmu. Adakah kesejukan ini di hatimu, Pran?” Demikianlah, Lies, perbincangan Kami tentang cinta seperti perbincangan kita dulu. Seakan aku mendapatimu kembali. Paulina terlampau baik seperti telah kukatakan kepadamu, bahwa kau terlampau baik padaku. Sering aku lupa, memanggil Paulina dengan namamu meski hal itu sudah kuusanakan agar tidak terjadi. Aku takut Paulina tersinggung. Oh ya, kau belum tahu, kan? Selama ini aku tidak pernah bercerita pada Paulina bahwa di dunia ini pernah turun seseorang yang mirip dengannya, yakni dirimu. Aku benar-benar khawatir kalau hal itu melukainya. Nah, itulah sebabnya, Lies, aku merasa berdosa. Aku merasa tak jujur di dalam mencintai Paulina. Sebab seakan-akan aku tidak jatuh cinta kepadanya. Meski sejauh itu hubungan kami, tapi aku merasa bahwa ini merupakan bentuk manifestasi cintaku kepadamu yang pupus itu. Terus terang kuakui
bahwa semua ini adalah bentuk usahaku dalam memproyeksikan rasa cintaku terhadapmu. Maka malanglah nasib Paulina justru karena ia mirip denganmu. Logikanya, seandainya Paulina tidak memiliki kesamaan denganmu, mustahil aku akan mencintainya. Ingin kutanyakan kepadamu, Lies, sahkah cintaku ini? Sebenarnya aku ingin pula berkata jujur kepada Paulina. Namun aku takut ia akan sakit hati sebab itu berarti malapetaka bagiku. Naluriku mengatakan, dengan berkata jujur tentulah membuat Paulina tersinggung dan luka. Dan ini bukan hanya semacam prasangka buruk. Pernah suatu kali terjadi, “Kau sering menyebutku Lies, kenapa begitu?” tanya Paulina membuatku terperangah. “Bolehkah aku tahu siapa Lies itu, Pran?” “Ah, bukan siapa-siapa,” kilahku. “Tak mungkin! Lies tentu nama pacarmu dulu, kan?” “Ah, tidak! Satu-satunya gadis yang pernah jadi pacarku cuma kamu.” Aku berbohong. “Tapi kau sering menyebut-nyebutnya dalam memanggil namaku.” Dan, Lies, manakala aku mengelak dengan berbagai alasan, Paulina kemudian merajuk. Beberapa hari ia mendiamkan aku meskipun akhirnya kami rukun kembali. Sekarang aku bingung, Lies! Aku jadi tak tenang. Mungkinkah seseorang bisa memperoleh kebahagiaan di dalam ketidakjujuran? Aku tak yakin benar. Aku ingin bersikap jujur terhadap Paulina. Dan terlebih, dengan kejujuran itu, aku ingin Paulina tetap sudi menerima kehadiranku. Dengan demikian aku tidak lagi disiksa oleh kegundahan. Terus terang, seandainya ada seorang gadis mencintaiku lantaran secara kebetulan wajah dan pribadiku mirip dengan bekas kekasihnya, aku benar-benar tidak rela! Harga diriku sebagai lelaki merasa jatuh dan tercampak! Itulah pendirianku, Lies. Tetapi repotnya, bukankah setiap pendirian harus memiliki konsekuensi? Lies, maafkanlah kalau sejenak aku mengusik ketenanganmu di sorga. Bukan berarti aku hendak membagi duka kepadamu. Bukan! Tiga hari yang lalu kau hadir dalam mimpiku, Lies. Kau menemuiku sambil menangis. Airmatamu berlinangan membasahi pipimu yang pias terpucat. Kau mengenakan gaun warna putih lengan panjang dengan renda di leher dan belahan dada. Tapi aneh, Lies, sungguh aneh. Per-
jumpaan kita dalam mimpi itu persis seperti perjumpaan kita dulu. Kau datang dan memukul-mukul dadaku, menyendal kerah bajuku hingga robek Padahal, Lies, bukankah dulu–semua itu terjadi ketika kau mengetahui ketidakjujuranku? Bukankah aku pernah membohongimu dengan mengatakan ‘sakit’ ketika kauminta aku datang ke rumahmu pada suatu malam Minggu? Padahal aku pergi nonton drama bersama Wati. Lalu kau marah begitu mengetahui hal itu. Kau datang dengan menangis, memukul-mukul dadaku dan menyendal kerah bajuku hingga robek. Kaukatakan bahwa dirimu membenci kebohongan. Kau bilang bahwa kau suka kejujuran dan terusterangan. Juga kautandaskan bahwa keterusterangan akan mampu mempersempit ruang jangkau kecemburuan. Dan mimpi itu, Lies, sungguh mengingatkan aku pada kejadian yang dulu. Adakah kehadiranmu dalam mimpiku itu sebagai isyarat peringatan agar aku tidak melakukan kebohongan? Agar aku selalu bisa bersikap juju? Kalau mungkin, alangkah baiknya dirimu, Lies. Namun itu berarti bahwa aku harus jujur terhadap Palulina. Dengan bersikap jujur, apakah kau menjamin bahwa Paulina tidak akan marah dan sakit hati? Lies, aku benar-benar membutuhkan Paulina. Ya, untuk ketenteraman dan kebahagiaan hikdupku. Setidaknya untuk memproyeksikan kasih sayangku terhadapmu. Hidupku akan kembali sepi tanpa Paulina, Lies! Tetapi dalam malam, kau datang lagi mengisi mimpiku. Kau datang justru dengan menggandeng Paulina. Ah, kalian seperti saudara kembar saja layaknya. Kusapa kau tapi diam saja. Hanya wajahmu nampak berseri-seri. Kalian berlari-lari riang bagai sepasang anak kijang. Fantastis dan surealis sekali, Lies! Kau datang cuma untuk menyerahkan Paulina kepadaku. Selebihnya, tiba-tiba engkau lenyep tak berbekas, meninggalkan Paulina dalam pelukanku. Kehadiranmu semalam benar-benar mengusik ketenanganku, Lies. Namun kau telah memberikan semangat baru dalam jiwaku. Sekonyong-konyong timbul keberaniaku untuk berterus terang terhadap Paulina. Aku berjanji, malam nanti kami akan bertemu. Akan kuungkapkan semua yang kukandung, yang terang dan yang samar, yang pasti dan yang misteri. Entah kenapa aku tiba-tiba begitu yakin bahwa Paulina akan tetap mencintaiku walau ia tahu akan segalanya.
Suatu waktu akan kuajak Paulina mengunjungi pusaramu. Aku yakin ia akan bersedia. Aku begitu berani melakukannya, Lies. Sebab aku yakin bahwa Paulina adalah gadis penuh pengertian. Akan kuukatakan padanya bahwa aku hendak belajar mencintainya bukan saja sebagai manifestasi cintaku padamu. Kalau saja kau masih hidup, tentulah kuminta doamu! Akan tetapi, Lies, aku tidak perlu menunggu Paulina hingga nanti malam, Satu jam yang lalu ia telah datang menemuiku. Dengan ksatria kuutarakan semuanya kepadanya. Jantungku bergemuruh, keringat dingin merembes sekujur tubuh. Segala daya dan kekuatan seakan luruh. Menanti jawabnya seperti menunggu eksekusi hukum tembak. Namun aneh! Aneh sekali, Lies. Paulina tidak terklejut sama sekali. Bahkan ia kemudian mengirim senyumnya, manis dan lembut. “Aku sudah mengetahui semuanya dari cerita mamamu, Pran,” kata Paulina dengan mata membola. “Kau ... kau ... kau masih mencintaiku, Pau?” tanyaku berdebar. “Kenapa tidak? Bagiku, cintamu sah, Pran! Aku justru lebih bangga sebab cintamu mengisyaratkan keabadian. Aku kira cuma akulah gadis di dunia ini yang kauanggap mirip dengan Lies. Dan itu artinya, apa yang kumiliki merupakan bentuk idealmu ......” Untuk pertama kali aku menitikkan airmata setelah kepergianmu, Lies Namun airmataku kali ini bukanlah lambang kepedihan. Itulah misteri airmata. Ia bisa menandai kesedihan dan kegembiraan, kesengsaraan dan kebahagiaan. “Pran, kau telah berhasil memenuhi pesan Lies yang kauanggap berat itu. Bukankah kini kau telah mendapatkan gantinya?” ucap Paulina menggeletar, namun serasa merdu dan tulus. Aduh, Lies, aku bahagia. Namun sekejap aku ingat kata-katamu. Bahwa pertemuan akan diakhiri oleh perpisahan dan senyum manis akan diiringi oleh ratap tangis. Perlukah itu ditakuti kalau memang sudah menjadi kodrat Tuhan?***