Jurnal
ISSN 1907-0799
Sumberdaya Lahan Indonesian Journal of Land Resources Vol. 1 No. 3
Pengelolaan Lahan Sawah Tadah Hujan dalam Menekan Emisi Gas NitroOksida (N 2 O)
Agustus 2007
Hal. 1
S. Wahyuni dan A. Wihardjaka (Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Pati)
Analisis Potensi Lahan Rawa untuk Pengembangan Agribisnis D.A. Suriadikarta dan M.T. Sutriadi (Balai Penelitian Tanah, Bogor)
Nilai Ekonomi Lahan Pertanian Berdasarkan Manfaat Multifungsinya Irawan (Balai Penelitian Tanah, Bogor)
Penelitian Agroklimat dalam Mendukung Perencanaan Pertanian E. Runtunuwu (Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor) dan Irsal Las (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor)
Tinjauan Pemetaan Sumberdaya Tanah di Indonesia: Strategi Penyelesaian dan Alternatif Teknologinya
Hal. 13 Hal. 21
Hal. 33
Hal. 43
Hikmatullah dan A. Hidayat (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor)
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian DEPARTEMEN PERTANIAN
Jurnal
Sumberdaya Lahan
ISSN 1907-0799
Indonesian Journal of Land Resources Diterbitkan oleh : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 Tlp. 0251 323012 Fax 0251 311256 e-mail :
[email protected] www.soil-climate.or.id
Penanggungjawab
:
Ketua Dewan Penyunting :
Anggota
:
Penyunting Pelaksana
:
Mitra Bestari
:
DEWAN PENYUNTING Irsal Las (Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian) Achmad Hidayat (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian) Undang Kurnia (Balai Penelitian Tanah) Rasti Saraswati (Balai Penelitian Tanah) Nono Sutrisno (Balai Penelitian Lingkungan Pertanian) Didi Ardi Suriadikarta (Balai Penelitian Tanah) Santun R.P. Sitorus (Institut Pertanian Bogor) Karmini Gandasasmita Suwarto Widhya Adhy Supiandi Sabiham (Institut Pertanian Bogor) Suyamto (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan) A.M. Fagi
Jurnal Sumberdaya Lahan menerima naskah yang berisi suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan. Terhadap naskah yang masuk, penyunting dapat melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan mengembalikan naskah kepada penulis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan jika diterima untuk dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal diterbitkan tepat waktu.
PEDOMAN BAGI PENULIS Ruang Lingkup: Jurnal Sumberdaya Lahan terbit satu kali dalam setahun, memuat suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, belum pernah diterbitkan atau tidak sedang dalam penyuntingan di publikasi lainnya. Bentuk Naskah: Naskah diketik pada kertas ukuran A4 (21,0 X 29,7 cm) dengan jarak ketikan dua spasi, dengan huruf Times New Roman 12 point, pada satu permukaan saja dan maksimum 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Jarak ketikan dari tepi kiri 3,0 cm, sedangkan kanan, atas dan bawah 2,5 cm. Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut: judul tulisan (dalam bahasa Indonesia dan Inggris), nama dan alamat penulis, abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris (200-300 kata) dan kata kunci, pendahuluan, pokok masalah, kesimpulan/penutup, daftar pustaka. Judul Naskah: Terdiri atas suatu ungkapan yang dengan tepat mencerminkan isi naskah. Nama serta instansi tempat kerja penulis dicantumkan di bawah judul. Bila penulis lebih dari satu orang, maka perlu menuliskan namanya sesuai aturan penulisan. Kalau dirasa perlu, judul naskah dapat dilengkapi dengan sub judul untuk mempertegas maksud tulisan. Teks Naskah: Sitasi literatur di dalam teks menggunakan nama penulis, bukan nomor, dan harus tercantum dalam daftar pustaka. Satuan ukuran dalam teks dan grafik memakai sistem metrik. Tabel: Hendaknya diberi judul yang singkat tetapi jelas, dengan catatan bawah secukupnya, termasuk sumbernya, sedemikian rupa sehingga setiap tabel mampu menjelaskan secara mandiri.
Gambar dan Grafik: Dibuat dengan garis cukup tebal, sehingga memungkinkan penciutan dalam proses cetak. Keterangan grafik dan gambar jangan pada gambar/ grafik itu, tetapi diketik dua spasi pada kertas tersendiri sebagai suatu legenda. Nama penulis serta nomor gambar/grafik dengan disertai sumbernya, ditulis dengan pensil lunak dibalik gambar itu. Seperti halnya tabel, keterangan gambar/grafik harus cukup lengkap, agar dapat disajikan secara mandiri. Foto hitam putih atau berwarna, dicetak pada kertas mengkilap, dan dipilih yang memiliki kotras yang baik. Slide berwarna atau yang berujud data digital lebih diharapkan. Daftar Pustaka: Semua pustaka yang disitir di dalam teks hendaknya disusun menurut abjad, sesuai nama penulisnya, dengan sistem nama tahun. Jangan masukkan pustaka yang tidak disitir dalam teks ke dalam daftar pustaka. Pustaka primer dari beberapa penulis diharapkan lebih banyak daripada pustaka sekunder, dan pustaka dari dalam negeri lebih banyak dari yang dari luar negeri. Penyunting melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan mengembalikan naskah kepada penu-lis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan redaksi jika diterima untuk dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal dapat diterbitkan tepat waktu. Kepada setiap penulis diberikan dua eksemplar jurnal. Surat Menyurat: Naskah tulisan dikirim rangkap dua ke alamat Redaksi Jurnal Sumberdaya Lahan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123. Tlp. 0251-323012. fax. 0251-311256. e-mail:
[email protected]. id.
PENGELOLAAN LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DALAM MENEKAN EMISI GAS NITRO-OKSIDA (N 2 O) Rainfed Lowland Rice Management to Reduce Nitrous Oxide Gas Emission S. Wahyuni dan A. Wihardjaka Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, Pati
ABSTRAK Perubahan kondisi tanah basah-kering silih berganti dalam periode lama di lahan sawah tadah hujan menentukan pola sumber-rosot emisi gas rumah kaca (GRK). Sekitar 94% emisi gas nitro-oksida (N 2 O) berasal dari lahan pertanian. Sumber utama emisi gas nitro-oksida dari lahan pertanian adalah pembakaran sisa-sisa tanaman (41%), dan penggunaan pupuk nitrogen (N) anorganik (18%). Nitro-oksida terbentuk dalam proses nitrifikasi-denitrifikasi di lahan sawah tergantung kondisi tanahnya. Pelepasan nitro-oksida melalui denitrifikasi merupakan salah satu bentuk kehilangan N dari dalam tanah sawah, sehingga pemberian pupuk N menjadi tidak efisien. Beberapa hasil penelitian di lahan sawah tadah hujan, seperti penggunaan varietas padi, pemupukan, pengairan dapat meningkatkan hasil tanaman dan menekan emisi gas nitro-oksida. Perbaikan pengelolaan pupuk dalam budidaya padi sawah tadah hujan, seperti penggunaan pupuk N lambat urai dan penggunaan pupuk yang mengandung sulfur dapat menekan emisi gas N 2 O ke atmosfer. Namun demikian, bila jumlah pupuk, baik pupuk N maupun pupuk kandang ditingkatkan, maka emisi gas N 2 O ke udara juga besar. Padi sawah yang ditanam langsung (tabela) pada lahan sawah tadah hujan yang tanahnya diolah sempurna, mampu menurunkan emisi gas N 2 O lebih banyak dibandingkan dengan tanpa olah tanah dan sistem tanam pindah. Penggunaan varietas IR-64 pada sawah tadah hujan cenderung mengemisikan gas N 2 O lebih tinggi daripada varietas Memberamo dan Maros. Kata kunci : Emisi, gas nitro-oksida, sawah tadah hujan
ABSTRACT Alternate wet and dry soil condition changes of rainfed lowland rice in long period influences source-sink pattern of greenhouse gases (GHGs) emission. The agricultural activity contributes 94 percent of nitrous oxide emission, which consist of 41 percent from plant burned residue and 18 percent from inorganic N fertilizer used, respectively. Nitrous oxide is produced through microbial nitrification-denitrification processes in rice field that depends on soil conditions. Nitrous oxide emission through denitrification is one of N losses forms from rice field hence cause low N fertilizer efficiency. Based on research results, the appropriate rice cultivars, fertilization, irrigation method could increase crop yields and reduce nitrous oxide emission. Improving fertilizer management in rainfed lowland rice culture such as controlled-release N fertilizer and N fertilizer contained sulfur also reduced nitrous oxide emission. However, the increase of N fertilizer and farmyard manure rates could enhance N 2 O emission. The direct seeded rice with maximum soil tillage reduce more N 2 O emission compared to transplanted rice with zero soil tillage. The IR64 cultivar tends to emit higher N 2 O than Memberamo and Maros cultivars. Keywords : Emission, nitrous oxide, rainfed lowland
R
evitalisasi pertanian yang mengarah pada sistem pertanian berkelanjutan di era globalisasi tidak terlepas dari komponen kualitas sumberdaya tanah, air, iklim, dan tanaman. Seiring dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan, maka penggunaan dan pengelolaan sarana produksi pertanian mutlak dibutuhkan. Namun demikian, pengelolaan atau penggunaan sarana produksi pertanian yang tidak bijaksana dapat menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi kelestarian sumberdaya lahan pertanian dan lingkungan, termasuk
dampaknya terhadap produktivitas tanah dan tanaman, serta meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer seperti karbondioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), nitrooksida (N 2 O), nitrogen dioksida (NO 2 ), sulfur dioksida (SO 2 ), khloro-fluorokarbon (CFC), ozon (O 3 ), aerosol atau partikulat, merupakan salah satu penyebab pemanasan bumi secara global, yang selanjutnya dapat menyebabkan bencana di permukaan bumi (Soenarmo, 2001). Gas nitro-
1
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
oksida (N 2 O) adalah gas rumah kaca penting setelah metana yang mempunyai waktu tinggal 166 ± 16 tahun (Prinn et al., 1990), dimana satu molekul N 2 O mempunyai potensi pemanasan global 250 kali lebih tinggi daripada satu molekul CO 2 (Watson et al., 1992). Pemanfaatan lahan sawah tadah hujan memiliki prospek dan potensi besar sebagai areal produksi padi. Luas lahan sawah tadah hujan yang ada di Indonesia sekitar 2.017.642 ha, 38,5% di antaranya ada di Pulau Jawa, dan sisanya di luar Pulau Jawa (BPS, 2005). Akan tetapi, lahan sawah tadah hujan biasanya memiliki kendala iklim, khususnya curah hujan yang relatif rendah dan periode kering yang cukup jelas dibandingkan dengan daerah iklim basah lainnya. Oleh sebab itu, lahan sawah tadah hujan sering mengalami perubahan kondisi basah dan kering secara bergantian dalam waktu yang relatif lama, sehingga berpengaruh terhadap pola pertaniannya. Akibat lebih jauh, yaitu berpengaruh terhadap pola emisi gas nitro-oksida yang keluar dari lahan sawah. Menurut Mulyadi et al. (2000), emisi gas nitro-oksida dari lahan sawah tadah hujan sebesar 474 g N 2 O/ha/ musim dengan pemberian pupuk kandang 7,5 t/ha pada tanaman kedelai. Sesungguhnya, produktivitas lahan sawah tadah hujan cukup menggembirakan, meskipun lebih rendah bila dibandingkan dengan lahan sawah irigasi, sehingga dalam upaya mengatasi emisi GRK dari lahan sawah tadah hujan, khususnya N 2 O yang berlebihan diperlukan teknologi pengelolaan lahan yang handal, dan tepat guna, sama seperti untuk lahan sawah irigasi. Berbagai hasil penelitian untuk pengendalian emisi GRK, diantaranya N 2 O sudah banyak diperoleh, namun belum diketahui
teknologi pengelolaan lahan sawah tadah hujan yang tepat dan efektif dalam mengendalikan emisi gas N 2 O, agar menghasilkan gabah tetap tinggi dan kualitas lingkungan sawah terjaga dengan baik. Tulisan ini menyajikan berbagai hasil penelitian pengelolaan lahan sawah tadah hujan dalam kaitannya dengan pengurangan emisi gas N 2 O, namun produktivitas lahan sawah tetap tinggi dan berkelanjutan.
POTENSI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN Sawah tadah hujan adalah sawah yang sumber airnya tergantung atau berasal dari curah hujan, tidak ada bangunan-bangunan irigasi permanen sebagai sarana pembagi air, sehingga musim tanamnya dipengaruhi oleh kondisi curah hujan (Ritung et al., 2004). Di Indonesia, luas sawah tadah hujan mencapai 2.017.642 ha atau 24% dari lahan basah, tersebar di Sumatera (550.940 ha), Kalimantan (339.705 ha), Sulawesi (279.295 ha), Bali dan Nusa Tenggara (70.673 ha), dan Jawa seluas 777.029 ha (BPS, 2005). Berdasarkan ketersediaan airnya, daerah sawah tadah hujan mempunyai keragaman yang cukup besar. Kekeringan relatif sering terjadi pada awal pertumbuhan tanaman atau menjelang fase pembungaan tanaman padi, terutama pada daerah fluvial (Tabel 1). Di daerah dengan curah hujan 3-4 bulan basah atau 8-9 bulan kering, peluang terjadinya kekeringan relatif sangat besar (Taslim et al., 1993) Usahatani di lahan sawah tadah hujan menghadapi risiko tinggi, dan secara umum produktivitas lahannya masih rendah. Hal ini sangat dirasakan bagi daerah-daerah dengan tipe
Tabel 1. Permasalahan daerah sawah tadah hujan berdasarkan topografinya Topografi Fluvial (dataran tinggi).
Sumber air Curah hujan.
Masalah Kekeringan pada periode akhir pertumbuhan.
Phreatic (dataran sedang, teras).
Curah hujan, limpasan air, air tanah.
Jarang kekeringan, mungkin terjadi kekurangan air di akhir pertumbuhan.
Fluxial : 1. Dataran rendah jauh dari sungai. 2. Dataran rendah dekat sungai. Sumber : Taslim et al. (1993)
2
Curah hujan, limpasan air atas dan Genangan dangkal dalam waktu singkat, bawah permukaan, air tanah. drainase kurang baik. Genangan dalam dalam waktu panjang, drainase jelek.
S. Wahyuni dan A. Wihardjaka : Pengelolaan Lahan Sawah Tadah Hujan
iklim D dan E (Oldeman) yang banyak tersebar di pantai utara Jawa ke arah timur, dengan bulan basah hanya 3-4 bulan saja. Rendahnya produktivitas lahan sawah tadah hujan tersebut disebabkan oleh : (1) rendahnya curah hujan, yang berakibat pada waktu tanam dan pola tanam terganggu, (2) tanaman sering mengalami cekaman kekeringan, (3) kandungan hara dan bahan organik di dalam tanah menjadi semakin rendah, (4) gulma tumbuh dominan dan sukar dikendalikan, dan (5) tanah mudah mengalami pemadatan (Kartaatmadja dan Soemarno, 2001). Menyiasati curah hujan yang relatif rendah, petani di lahan sawah tadah hujan seperti di Jawa Tengah dan Madura umumnya menerapkan pola tanam padi gogo rancah-padi walik jerami-palawija atau bera (Gambar 1). Padi gogo rancah ditanam langsung berupa benih pada awal musim hujan, dan lahan tergenang saat tanaman memasuki fase pertumbuhan anakan produktif dan anakan maksimum. Padi walik jerami ditanam pindah dari persemaian setelah padi gogo rancah dipanen. Padi walik jerami sering mengalami cekaman air (kekeringan) saat tanaman memasuki fase pertumbuhan generatif. Tanaman palawija atau sayuran ditanam bila kondisi tanah masih lembab. Namun, bila tanahnya kering, petani biasanya membiarkan lahannya bera. Menurut Fagi (1995), tanaman padi sawah membutuhkan 200 mm air hujan setiap bulannya, sehingga dalam satu tahun, padi sawah tadah hujan membutuhkan curah hujan 1.500 mm untuk pertumbuhannya.
Curah hujan (mm/bulan)
Hasil gabah sawah tadah hujan umumnya lebih rendah dibandingkan dengan hasil sawah irigasi, seperti di India dan Filipina mempunyai
selisih hasil rata-rata yang berkisar antara 0,5 dan 1,2 t/ha (Piggin et al., 1998). Rendahnya hasil padi sawah tadah hujan disebabkan curah hujan yang rendah, kondisi tanah berselang seling antara tergenang dan kering, tipe tanah, dan topografi yang mendukung makin kompleksnya permasalahan lingkungan pada sawah tadah hujan. Berdasarkan data BPS (2005), rata-rata hasil gabah sawah tadah hujan di Indonesia relatif lebih baik, yaitu 3,08 t/ha dibandingkan dengan rata-rata regional yang beragam, yaitu 2,71 t/ha di Sumatera, 3,22 t/ha di Sulawesi, 2,08 t/ha di Kalimantan, 3,27 t/ha di Bali dan Nusa Tenggara, dan 4,10 t/ha di Pulau Jawa. Adanya perubahan kondisi basah dan kering pada lahan sawah tadah hujan berarti terjadi proses reduktif dan oksidatif secara berselang seling, sehingga berpengaruh pada pola sourcesink gas rumah kaca. Kondisi tanah reduktif atau dalam keadaan anaerob mengun-tungkan pembentukan gas metan, sedangkan kondisi tanah oksidatif atau dalam keadaan aerob menguntungkan pembentukan nitro-oksida. Pada lahan sawah terjadi pertukaran senyawa-senyawa yang ekstensif mengikuti gradien konsentrasi source-sink. Senyawasenyawa yang mudah menyerap dapat keluar dari siklus internal di lahan sawah melalui emisi ke atmosfer. Emisi gas pada budidaya padi di lahan sawah merupakan hasil dari sistem yang kompleks dari proses fisiko-kimia dan interaksi tanamanmikroba. Eksudat akar dan akar yang mati digunakan sebagai substrat oleh mikroba untuk menghasilkan dan menggunakan gas-gas yang
300 250 Batas terendah untuk padi saw ah
200 150
Batas terendah untuk palaw ija
100 50 0 O
Pola tanam
N D J Gogo rancah
F
M
A
M
J
J A Palawija
S
Walik jerami
Gambar 1. Pola tanam introduksi di daerah sawah tadah hujan dengan dua bulan basah dan lima bulan kering periode 1973-1992 di Sampang, Madura 3
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
terbentuk (Partohardjono, 1999).
SUMBER GAS RUMAH KACA DAN PENYEBABNYA Pemanasan bumi global menjadi isu lingkungan penting dalam dekade terakhir, yaitu terjadinya peningkatan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perubahan iklim global. Gas-gas yang diklasifikasikan sebagai GRK adalah karbondioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), nitro-oksida (N 2 O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), dan sulfur heksafluorida (SF 6 ). Salah satu dampak perubahan iklim global adalah terhadap sektor pertanian (Anonymous, 1998). Budidaya padi di lahan sawah merupakan salah satu sumber terbentuknya GRK, khususnya metana (CH 4 ) dan nitro-oksida (N 2 O) sebagai gas yang aktif memancarkan panas ke atmosfer bersama-sama dengan karbondioksida. Pemanasan bumi global mengakibatkan perubahan cuaca yang begitu serius, seperti terjadinya kerusakan lingkungan, badai, banjir, erosi tanah, kepunahan tanaman dan hewan, degradasi lahan pertanian, ancaman kesehatan masyarakat akibat pencemaran udara dan air, dan mencairnya gunung es (Suprapto et al., 2001). IPCC (1995) memperkirakan atmosfer bumi akan o mengalami peningkatan panas sebesar 5,8 C pada abad mendatang, dan permukaan air laut akan naik 500 cm. Emisi gas CO 2 , CH 4 , dan N 2 O masingmasing menyumbang 55, 15, dan 6% terhadap efek rumah kaca (Mosier et al., 1994). Meskipun konsentrasi nitro-oksida terhadap efek GRK paling rendah, tetapi waktu tinggal di atmosfer sekitar 166 ± 16 tahun dan lebih stabil (Cicerone, 1989; Prinn et al., 1990). Dibanding-kan dengan CO 2 , metana dan nitro-oksida mempunyai potensi pemanasan global atau efek GRK berturut-turut 24,5 dan 320 kali lebih tinggi (Anonymous, 1998). Konsentrasi N 2 O di atmosfer adalah 310 ppb dengan laju peningkatan 0,2-0,3% setiap tahunnya (Rennenberg et al., 1992). Peningkatan konsentrasi N 2 O mempunyai implikasi terhadap penyerapan sinar infra merah pada frekuensi 520-660, 1.2001.350, dan 12.120-22.070 per cm, dan pengurangan transparansi atmosfer terhadap 4
pancaran panas dari permukaan bumi. Gas N 2 O hasil reaksi fotokimia di stratosfir dapat merusak lapisan ozon (Granli and Bockman, 1994). Nitro-oksida (N 2 O) merupakan gas rumah kaca penting yang keluar dari lahan pertanian setelah metana, serta mempunyai waktu tinggal relatif lebih lama dibandingkan dengan CO 2 dan metana (Prinn et al., 1990). Potensi pemanasan global dari satu molekul N 2 O adalah 250 kali lebih tinggi daripada satu molekul CO 2 (Watson et al., 1992). Laju emisi tahunan N 2 O setara dengan 16,4 Tg CO 2 , dan sekitar 94% emisinya berasal dari lahan pertanian. Sumber utama emisi N 2 O dari lahan pertanian adalah pembakaran sisa-sisa tanaman (41%) dan pemupukan N anorganik (18%). Budidaya padi sawah di lahan-lahan marginal seperti lahan pasang surut atau gambut memberikan kontribusi pula terhadap konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, terutama gas CO 2 , CH 4 , dan N 2 O. Hasil penelitian Hadi et al. (2005) menunjukkan bahwa emisi N 2 O pada pertanaman padi di lahan gambut tropis Kalimantan Selatan beragam atas musim. Pada tipologi lahan pasang surut B, terjadi penurunan emisi N 2 O dari 0,08 mg 2 2 N/m /jam menjadi 0,01 mg N/m /jam pada November 2000. Hasil pengamatan November 2000 menunjukkan bahwa emisi N 2 O pada tipologi lahan B, C, dan D umumnya kecil (Tabel 2). Tabel 2. Emisi N 2 O pada pertanaman padi dari lahan gambut tropis di Kalimantan Selatan, Indonesia Tipologi lahan rawa
A B C D
Emisi N 2 O ................ mg N/m2/jam ................ Des 1998 Des 1999 Nov 2000 0,03 0,08 0,04 0,01 0,01 0,02 0,00 0,14 0,00
- : tidak diukur Sumber : Hadi et al. (2005)
Emisi N 2 O dapat dipandang sebagai kebocoran produk antara dalam proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Reaksi-reaksi ini dipengaruhi oleh ketersediaan bahan organik, pasokan nitrat, ketersediaan oksigen, kandungan air, pH tanah, suhu tanah, dan kehadiran tanaman (Byrnes
S. Wahyuni dan A. Wihardjaka : Pengelolaan Lahan Sawah Tadah Hujan
Pada proses denitrifikasi, sebagian mikroba menggunakan NO 3 sebagai akseptor elektron utama untuk memperoleh energi dari senyawa organik pada saat ketersediaan O 2 rendah, yang menghambat metabolismenya pada denitrifikasi heterotrofik dengan reaksi : -
+
5 (CH 2 O) + 4 NO 3 + 4 H 5 CO 2 + 7 H 2 O + 2 N 2 + energi Beberapa mikroba memperoleh energi dengan menggunakan NO 3 untuk mengoksidasi 22+ senyawa anorganik, seperti S , Fe pada denitrifikasi autotrofik. Proses denitrifikasi heterotropik dipandang sebagai proses yang sangat penting dalam pembentukan nitro-oksida dengan tahapan sebagai berikut : -
-
NO 3 NO 2 NO N 2 O N 2 Pada proses nitrifikasi, pembentukan nitrooksida sangat tergantung pada ketersediaan nitrat dalam tanah. Pada mekanisme pembentukan N 2 O dalam proses nitrifikasi, pengoksidasi ammonium dapat menggunakan NO 2 sebagai akseptor elektron alternatif ketika O 2 terbatas dan menghasilkan N 2 O. Selain itu, pengoksidasi bahan + intermediate antara NH 4 dan NO 2 atau NO 2 sendiri dapat mendekomposisi secara kimiawi menjadi N 2 O pada kondisi aerobik. Organisme heterotropik menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon dan energi. Menurut Granli dan Bockman (1994), nitrat dihasilkan dari oksidasi + NH 4 atau senyawa N organik digunakan sebagai bahan baku N 2 O melalui tahapan sebagai berikut :
Kandungan N-NO 3 dalam tanaman padi dan denitrifikasi (NO 3 + NO 2 ) memberikan kontribusi terhadap emisi N 2 O dari lahan sawah tergenang. Hasil pengamatan Xinghai Xu et al. (2002) menunjukkan bahwa emisi gas N 2 O mempunyai korelasi positif secara nyata dengan kandungan nitrat dalam tanaman padi. Peningkat-an nitrat dalam tanaman akan meningkatkan pelepasan N 2 O ke atmosfer (Gambar 2).
Emisi N2O (µg N2O/kg tanah)
dalam Granli and Bockman, 1994). Proses-proses mikrobiologis yang penting dalam pembentukan nitro-oksida meliputi denitrifikasi, nitrifikasi kemolitotropik ataupun heterotropik. Bakteri denitrifikasi mereduksi NO 3 atau NO 2 menjadi N 2 O dan/atau N 2 pada kondisi anaerobik. Pembentukan N 2 O juga dapat terjadi pada proses nitrifikasi heterotropik yang dikatalisis jenis-jenis bakteri dan cendawan tertentu. Namun, peranan masingmasing proses dalam keseluruhan pembentukan gas N 2 O masih belum diketahui dengan pasti (Rennenberg et al., 1992).
Kandungan NO3 tanaman padi (µg NO3-N/g) -
Gambar 2. Hubungan antara kandungan NO3 UPAYA-UPAYA UNTUK MENEKAN EMISI dalam tanaman padi dan emisi NITRO-OKSIDA DI LAHAN SAWAH N2O dari perlakuan tanpa TADAH HUJAN penambahan jerami
Selama tahun 1998-2002, Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Jakenan, Pati, Jawa Tengah, telah melakukan penelitian emisi gas N 2 O pada beberapa komponen teknologi pengelolaan lahan sawah tadah hujan, meliputi pengelolaan pupuk anorganik dan organik, sistem olah tanah, sistem tanam, dan penggunaan berbagai varietas padi sawah. Analisis emisi gas N 2 O dilakukan di laboratorium GRK Balingtan, menggunakan alat gas kromatografi dengan detektor daya hantar panas. Pengambilan contoh gas N 2 O di lahan sawah dilakukan menggunakan sungkup penangkap seperti pada Gambar 3. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, emisi gas N 2 O dari lahan pertanaman padi sawah tadah hujan beragam menurut waktu dan saat pemberian pupuk, jenis dan takaran pupuk N, varietas padi yang digunakan, cara tanam, dan sistem olah tanah.
Anorganik : +
-
NH 4 NH 2 OH NOH NO 2 NO 3
-
Organik : RNH 2 RNHOH RNO RNO 2 NO 3
-
5
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Takaran pupuk urea kg N/ha 0 57,5 86 115
Emisi N 2 O g/ha/musim 28,7 51,7 63,5 74,8
Sumber : Sasa (2002)
Peranan berbagai bentuk pupuk N Peningkatan efisiensi penggunaan pupuk mengandung arti bahwa tanaman lebih efisien dan efektif memanfaatkan hara yang berasal dari pupuk, sehingga kehilangan hara dari dalam tanah menjadi berkurang. Peningkatan takaran pupuk urea (N) proposional dengan peningkatan emisi gas nitro-oksida (Tabel 3). Makin tinggi takaran pupuk N pada tanaman padi sawah tadah hujan, makin besar kehilangan N (dalam bentuk N 2 O) dari dalam tanah, sehingga dapat meningkatkan konsentrasi gas N 2 O di atmosfer. Pola emisi gas N 2 O berfluktuasi menurut waktu setelah pemberian pupuk N. Puncak emisi terjadi tiga sampai lima hari setelah pemberian pupuk N hingga hari ke-17, untuk selanjutnya berkurang (Partohardjono, 1999). Pemberian pupuk nitrogen seperti urea di tanah bereaksi masam menguntungkan terbentuknya nitrat. Pupuk urea bersifat labil dan mudah terurai menjadi amonium dan nitrat (Mulyani et al., 2002) dengan reaksi : CO (NH 2 ) 2 + H 2 O → NH 4 + CO 2 + H 2 O + + NH 4 + H 2 O → NO 2 + H 2 O + 2H NO 2 + O 2 → NO 3 +
Peningkatan akumulasi nitrat dalam tanah melalui proses denitrifikasi dihasilkan gas N 2 O (Shrestha and Ladha, 1998). Namun demikian, dengan memberikan kapur pada tanah bereaksi masam maka pembentukan nitrat menjadi terhambat (Lindsay, 1979). Tabel 3. Emisi gas nitro-oksida dari lahan sawah tadah hujan pada berbagai takaran pupuk urea pril
6
Masukan (input) unsur hara N ke dalam + tanah sawah meliputi N dalam bentuk NH 4 dan NO 3 pada kondisi tanah tergenang (anaerob), hasil mineralisasi bahan organik tanah dan sisasisa tanaman, nitrogen yang ditambat oleh algae dan bakteri heterotropik, dan N yang ditambah-kan melalui pemupukan. Lebih kurang 50% unsur hara N yang diberikan pada tanaman padi sawah hilang, antara lain melalui denitrifikasi, volatilisasi ammonia, pencucian, aliran permuka-an, dan untuk sementara terjadi immobilisasi dan fiksasi ammonia (De Datta, 1981). Urea pril umumnya digunakan oleh petani sawah tadah hujan, namun efisiensinya rendah dan berpotensi tinggi terbentuknya gas N 2 O. Penggunaan pupuk N lambat urai seperti urea tablet, agrium, nutralene, dan CRM cenderung meningkatkan efisiensi pupuk N, sekaligus mengemisi gas N 2 O lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan urea pril. Di antara pupuk N lambat urai, urea tablet mengemisi nitro-oksida paling rendah dan efisiensi pupuk N tertinggi (Tabel 4). Setyanto et al. (1997) melaporkan bahwa diantara jenis pupuk N yang dikaji, polimercoated urea (CRM) merupakan jenis pupuk lambat urai terbaik yang mampu meningkatkan hasil dan efisien dalam melepaskan N bagi tanaman padi. Pupuk tersebut dapat menurunkan emisi N 2 O 416% dibandingkan dengan urea dan nyata meningkatkan hasil gabah 17-25%. Tabel 4. Emisi nitro-oksida (N 2 O) dan efisiensi pupuk nitrogen pada lahan sawah tadah hujan yang ditanami padi Bentuk pupuk N
Emisi N 2 O
kg gabah/kg N
µg/m /jam Tanpa pupuk 12,3 Urea pril 15,9 9,0 Urea tablet 11,7 14,6 Agrium 43% 14,0 12,8 Nutralene 40% 14,4 10,7 CRM 98 11,4 14,5 Sumber : Mulyadi et al. (1999b); Suharsih et al. (2000) 2
S. Wahyuni dan A. Wihardjaka : Pengelolaan Lahan Sawah Tadah Hujan
Emisi nitro-oksida pada pengamatan minggu kedua dengan pemberian (NH 4 ) 2 SO 4 lebih rendah dari pada tanpa pemberian pupuk terutama pada kedalaman tanah 0-10 cm dan 20-30 cm. cende-rung Pemberian pupuk (NH 4 ) 2 SO 4 meningkatkan konsentrasi nitrat dalam tanah pada pengamatan hari ke-7 (Tabel 5). Peningkatan konsentrasi NO 3 dalam tanah dimungkinkan dapat meningkatkan emisi N 2 O bilamana bakteri denitrifikasi tersedia melimpah dalam tanah dengan kondisi anaerobik (Rennenberg et al., 1992). Peranan pupuk S dan pupuk kandang Pupuk S dalam budidaya padi sawah tadah hujan dapat menghambat pelepasan gas N 2 O ke atmosfer, dan bila takaran pupuk S ditingkatkan dapat menurunkan emisi gas N 2 O. Hasil penelitian Balai Penelitian Lingkungan Pertanian, JakenanPati menunjukkan bahwa peningkatan takaran S dari 12 menjadi 36 kg S/ha dapat menurunkan emisi gas N 2 O sebesar 40,6 g N 2 O/ ha/musim atau 54,4% (Tabel 6). Menurut De Datta dan Nanasomsaran (1991), peningkatan takaran sulfur (S) mampu menurunkan emisi nitro-oksida. Sulfur dapat + memperlambat perubahan NH 4 menjadi N 2 O, + sehingga NH 4 lebih banyak diserap oleh tanaman. Sedangkan penelitian Partohardjono dan Fitts (1974), mendapatkan bahwa peng-gunaan urea yang berlapiskan sulfur mampu memperlambat pelepasan N, sehingga dapat meningkatkan efisiensi pupuk N pada tanaman padi sawah. Tabel 6. Emisi nitro-oksida (N 2 O) dari lahan sawah tadah hujan yang memperoleh berbagai takaran pupuk S Takaran S kg S/ha 12 24 36
Emisi N 2 O g/ha/musim 74,6 55,4 34,0
Kebalikannya dengan sulfur, pupuk kandang dapat meningkatkan emisi N 2 O ke atmosfer. Bila takaran pupuk kandang ditingkat-kan hingga 7,5 t/ha, maka emisi gas N 2 O meningkat menjadi 28,8 sampai 100,3% (Tabel 7). Dalam proses nitrifikasidenitrifikasi (tergan-tung kondisi tanah), mikroba turut berperan dalam pembentukan gas N 2 O, dan bahan organik yang ada di dalam tanah digunakan oleh mikroba sebagai substrat atau sumber energinya. Dengan demikian, bahan organik dapat merangsang aktivitas mikroba di dalam tanah dan meningkatkan konsumsi O 2 , sehingga pada kondisi tanah anaerob akan mempercepat proses reduksi N 2 O (Setyanto et al., 1997). Tabel 7. Emisi gas nitro-oksida dari lahan sawah tadah hujan pada beberapa takaran pupuk kandang Takaran pupuk kandang t/ha 0 2,5 5,0 7,5
Emisi N 2 O g/ha/musim 171,3 220,6 310,8 343,1
Sumber : Mulyadi et al. (2002)
Pupuk kandang yang diberikan bersamaan dengan pengolahan tanah untuk padi gogo rancah yang ditanam saat lahan sawah belum tergenang, akan terdekomposisi secara aerobik. Kondisi tanah aerobik ini memungkinkan terpacunya mineralisasi bahan organik menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana, antara lain nitrat dan gas N 2 O. Pengangkutan oksigen dari dalam tanaman ke akar, selanjutnya lepas dari permukaan akar, memberikan lingkungan aerobik yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroba yang mengkonsumsi gas yang dihasilkan oleh bagian tanah yang anaerobik .Tanaman padi merupakan lintasan pertukaran gas antara tanah dan atmosfer (Rennenberg et al., 1992).
Sumber : Sasa (2002)
Tabel 5. Pengaruh pupuk amonium terhadap emisi N2O dan konsentrasi NO3 di lahan padi Kalimantan Selatan Kedalaman tanah cm 0-10
Pemberian (NH4)2SO4
Emisi N2O Hari ke-2 Hari ke-14 ..... µg N2O-N/g tanah ..... 0,00 25,05 + 3,90 0,00 10-20 5,48 0,00 + 5,44 0,00 20-30 0,60 8,43 + 0,00 0,00 - : tanpa pemberian pupuk, + : dengan pemberian pupuk Sumber : Hadi et al. (2000)
-
NO3 hari ke-7 µg N/g tanah 3,09 19,15 2,71 15,91 4,35 14,90
7
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Peranan varietas padi sawah Besarnya gas N 2 O yang diemisikan dari dalam tanah yang ditanami berbagai varietas padi sawah ke atmosfer beragam. Keragaman emisi N 2 O tersebut tergantung pada karakteristik varietas padi, baik sifat morfologi dan fisiologi tanaman, maupun kondisi di sekitar perakaran tanaman. Kondisi oksidatif di daerah perakaran tanaman (rhizosfir) menentukan dinamika perubahan nitrat atau bahan organik dalam pembentukan gas N 2 O, baik melalui proses nitrifikasi maupun denitrifikasi. Tanah sawah yang ditanami padi varietas IR-64 cenderung mengemisi gas N 2 O lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Memberamo dan Maros (Tabel 8). Ketiga varietas padi tersebut berumur genjah dan sudah umum digunakan oleh petani sawah tadah hujan. Diduga kemampuan oksidasi varietas IR-64 di daerah perakarannya lebih besar, sehingga menguntungkan dalam pembentukan gas N 2 O. Varietas IR-64 jumlah anakannya lebih banyak (Djunainah et al., 1993) dibandingkan Memberamo dan Maros yang anakan produktifnya 15-20 (Sunihardi et al., 1999), sehingga emisinya lebih banyak. Tabel 8. Emisi gas nitro-oksida (N 2 O) pada lahan sawah tadah hujan yang ditanami berbagai varietas padi Varietas padi
Emisi N 2 O µg/m /jam 18,67 17,37 17,57 2
IR-64 Memberamo Maros Sumber : Mulyadi et al. (1999a)
Peranan pengolahan tanah dan cara tanam Tanpa melakukan pengolahan tanah, sering disebut juga tanpa olah tanah (TOT), menyebabkan emisi N 2 O lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan tanah sempurna (Tabel 9). Pengolahan tanah sempurna pada sistem padi sawah dilakukan dengan cara dicangkul atau dibajak sampai terbentuk lumpur yang siap ditanami. Kegiatan tersebut menyebabkan perombakan bahan organik di dalam tanah, akibat terjadinya perubahan struktur tanah. Namun, bila tidak dilakukan pengolahan tanah (TOT), yaitu 8
benih ditanam langsung seperti pada sistem gogo rancah, maka bahan organik menjadi lebih awet berada di dalam tanah, dan perombakan terjadi dalam kondisi anaerobik, memungkinkan berlangsungnya proses denitri-fikasi secara intensif. Akibatnya, gas nitro-oksida yang terbentuk menjadi lebih tinggi pada sistem tanpa olah tanah. Menurut Knight et al. (1992), kondisi tanah yang tidak diolah biasanya lebih banyak mengandung air, dan pori-pori tanah lebih kecil serta mempunyai jalur bekas cacing tanah lebih banyak, dan berakibat pada lebih tingginya konsentrasi O 2 dan microsite lebih aktif untuk denitrifikasi dan produksi N 2 O. Tabel 9. Emisi nitro-oksida (N 2 O) dari lahan sawah tadah hujan dengan sistem tanpa olah tanah dan olah tanah sempurna Sistem olah tanah Tanpa olah tanah Olah tanah sempurna
Emisi N 2 O g/ha/musim 190,2 171,0
Sumber : Mulyadi et al. (2002)
Tanaman legum selain sebagai pupuk hijau dapat menghambat pembentukan gas nitro-oksida (Granli and Bockman,1994). Menurut Shrestha dan Ladha (1998), tanah sawah tadah hujan setelah empat puluh hari ditanami jagung (Zea mays), Indigo (Indigofera tinctoria), dan Centrosoma menunjukkan penurunan nyata nitrat dalam tanah, yang pada gilirannya menurunkan pelepasan nitrooksida ke atmosfer. Cara tanam yang biasa diterapkan pada lahan sawah tadah hujan adalah tanam benih langsung (tabela) atau tanam pindah dari persemaian (tapin). Kedua cara tanam tersebut berpengaruh terhadap emisi gas rumah kaca, terutama yang berkaitan dengan kemampuan perkembangan akar tanaman padi di dalam tanah. Tanam pindah (tapin) cenderung meng-emisi N 2 O lebih tinggi daripada sistem tabela (Tabel 10). Pembentukan N 2 O pada cara tapin lebih menguntungkan dibandingkan dengan tabela. Kondisi tanah pada cara tanam pindah biasanya terganggu, sehingga ketersediaan nitrat dan aktivitas bakteri denitrifikasi relatif lebih tinggi yang berakibat lebih tingginya pelepasan N 2 O dari dalam tanah (Bouwman dalam Granli and Bockman, 1994).
S. Wahyuni dan A. Wihardjaka : Pengelolaan Lahan Sawah Tadah Hujan
Tabel 10.
Emisi nitro-oksida (N 2 O) pada dua cara tanam padi sawah tadah hujan Cara tanam
Tanam benih langsung (tabela) Tanam pindah (tapin)
Emisi N 2 O Musim Musim hujan kemarau .... g/ha/musim .... 237,5 214,8 263,4 230,1
Sumber : Mulyadi et al. (2001)
STRATEGI PENGELOLAAN LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DALAM MENEKAN EMISI N 2 O Penelitian dampak budidaya padi sawah, khususnya pada lahan sawah tadah hujan terhadap emisi N 2 O di Indonesia masih sangat terbatas dibandingkan dengan kajian di negara lain, misalnya emisi N 2 O di Australia 610 Gg NN 2 O per tahun (Galbally et al., 1992) cit (Granli and Bockman, 1994) dan di Swedia 46,3 Gg NN 2 O per tahun (Robertson, 1991). Mereka telah menggunakan bahan penghambat nitrifikasi, seperti dicyandiamide (DCD), nitrapyrin, encapsulated (wax-coated) calcium carbide (ECC) dan N-2,5-dichlorophenil succinamic acid (DCS) untuk mereduksi emisi nitro-oksida. Penghambat nitrifikasi tersebut dapat mengurangi emisi N 2 O secara nyata, selain dapat meningkatkan hasil gabah (Minami dalam IPCC, 1995). Untuk mengatasi hal tersebut di atas, beberapa strategi pengelolaan lahan sawah tadah hujan dalam pengendalian emisi gas nitro-oksida, dan diperkirakan sesuai dengan kondisi agroekosistem di Indonesia, diantaranya : (1) memberikan pupuk N sesuai dengan kebutuhan tanaman, dan menghindari pemberian pupuk N yang berlebihan, (2) menggunakan pupuk N yang berbentuk tablet dan/atau urea yang diselimuti sulfur (sulfur coated urea), (3) mem-berikan pupuk kandang pada saat dibutuhkan, (4) melakukan penanaman segera setelah dilakukan pengolahan tanah, dan menghindari memberakan lahan, (5) pengolahan tanah diupa-yakan seminimal mungkin, dan dengan cara tanam benih langsung (tabela), (6) menggunakan penghambat nitrifikasi bersamaan dengan pem-berian pupuk organik atau anorganik, (7) menanam tanaman penutup tanah setelah panen tanaman utama untuk mengurangi konsentrasi nitrat atau ammonium, dan (8) memberikan kapur pada tanah bereaksi
masam (Setyanto dan Hidayat, 2001).
KESIMPULAN 1. Produktivitas padi sawah tadah hujan lebih rendah daripada padi sawah beririgasi, diakibatkan oleh curah hujan yang tidak menentu, sering terjadi cekaman kekeringan saat fase produktif tanaman, kurang hara dan bahan organik di tanah rendah, gulma sulit dikendalikan dan pemadatan tanah. 2. Untuk menekan atau mengendalikan emisi N 2 O ke atmosfer, pengelolaan lahan sawah tadah hujan sebaiknya dilakukan secara terintegrasi/holistik, berupa kombinasi tanam benih langsung (tabela), pemupukan N dengan pupuk N lambat urai atau yang dilapisi sulfur (S) dan sesuai dengan kebutuhan tanaman, penggunaan pupuk kandang pada kondisi tanah aerob, dan penggunaan varietas padi yang sistem perakarannya jarang, seperti Memberamo dan Maros.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 1998. Mitigation assessments of climate change in Indonesia. The State Ministry of Environment. Jakarta. BPS. 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik. Jakarta. Cicerone, R.J. 1989. Analysis of sources and sinks of atmospheric nitrous oxide. J. Geophys. Res. 94:1825-1827. De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley and Sons. New York. De Datta, S.K. and P. Nanasomsaran. 1991. Status and prospects of direct seeded flooded rice in tropical Asia. Pp. 1-16 In Direct Seeded Flooded Rice in the Tropics. International Rice Research Institute. Los Banos, Philippines. Djunainah, T.W. Susanto, dan H. Kasim. 1993. Deskripsi Varietas Unggul Padi dan Palawija 1943-1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hlm 117. Fagi, A.M. 1995. Strategies for improving rained lowland rice production systems in Central 9
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Java. Pp. 189-199 In Ingram, K.T. (Ed.). Rained Lowland Rice: Agri-cultural Research for High-Risk Environ-ments. International Rice Research Institute. Los Banos, Laguna, Philippines. Granli, T. and O.C. Bockman. 1994. Nitrous oxide from agriculture. Norwegian J. Agric. Sci. Suppl. No. 12. Hadi, A., K. Inubushi, E. Purnomo, F. Razie, K. Yamakawa, and H. Tsurata. 2000. Effect of landuse changes on nitrous oxide (N 2 O) emission from tropical peatlands Chemosphere 2:347-358. Hadi, A., K. Inubushi, Y. Turukawa, E. Purnomo, M. Rasmadi, and H. Tsurata. 2005. Greenhouse gas emissions from tropical peatlands of Kalimantan, Indonesia. Nutr. Cycl. Agroeco. 71:73-80. Hafsah, M.J. dan T. Sudaryanto. 2003. Sejarah intensifikasi padi dan prospek pengembangannya. Hlm 17-29. Dalam F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Eds.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. IPCC.
1995. Greenhouse gases inventory workbook. Vol. 2. UNEP-OECD-IEA-IPCC. Bracknell, UK.
Kartaatmadja, S. dan Soemarno. 2001. Teknologi pertanian lahan sawah tadah hujan. Hlm 820. Dalam Prosiding Seminar Nasional Budidaya Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. Bogor. Kasryno, F. dan E. Pasandaran. 2003. Reposisi padi dan beras dalam perekonomian nasional. Hlm. 3-14. Dalam F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Eds.). Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Knight, D., P.W. Elliott, J.M. Anderson, and D. Scholefield. 1992. The role of earthworms in managed, permanent pastures in Devon, England. Soil Biol. Biochem 24:1511-1517.
Mulyadi, Noeriwan, I.J. Sasa, dan S. Partohardjono. 1999a. Emisi gas N 2 O dari lahan sawah dan hubungannya dengan varietas padi dan takaran pupuk nitrogen. Hlm. 12-19. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Puslitbangtan. Bogor. Mulyadi, Poniman, dan I.J. Sasa. 2002. Emisi gas N 2 O dari berbagai takaran pupuk kandang pada padi gogo rancah di lahan sawah tadah hujan. Hlm. 33-39. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sistem Produksi Pertanian Ramah Lingkungan. Puslitbangtan. Bogor. Mulyadi, Poniman, I.J. Sasa, dan S. Partohardjono. 2000. Emisi gas N 2 O dari berbagai Takaran Pupuk Kandang pada Tanaman Kedelai di Lahan Sawah Tadah Hujan. Hlm. 54-60. Dalam Prosiding Seminar Nasional Budidaya Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslit-bangtan. Bogor. Mulyadi, Prayitno, I.J. Sasa, dan S. Partohardjono. 1999b. Pola emisi gas N 2 O pada perlakuan pupuk N lambat urai di lahan sawah. Hlm. 20-26. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Puslitbangtan. Bogor. Mulyadi, P. Setyanto, I.J. Sasa, dan S. Partohardjono. 2001. Pengaruh intermitten drainage dan cara tanam padi terhadap emisi gas N 2 O di lahan sawah. Hlm. 46-53. Dalam Prosiding Seminar Nasional Budidaya Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. Bogor.
Lindsay, W.L. 1979. Chemical Equilibria in Soils. Wiley-Interscience, New York.
Mulyani, N.S., M.E. Suryadi, dan S. Dwiningsih. 2002. Pengaruh tranformasi urea terhadap ketersediaan nitrogen lahan kering masam. Hlm. 315-340. Dalam Prosiding Ilmiah Nasional Sumberdaya Lahan. Buku II. Puslitbangtanak Bogor.
Mosier, A.R., K.F. Bronso, J.R. Freny, and D.G. Keerthsinghe. 1994. Use in nitrification inhibitors to reduce nitrous oxide emission from urea fertilized soils. Pp. 122-124 In CH 4 and N 2 O, global emission and controls from rice fields and other agricultural and industrial sources. NIAES.
Partohardjono, S. 1999. Upaya peningkatan efisiensi penggunaan pupuk nitrogen untuk menekan emisi gas N 2 O dari lahan Sawah. Hlm. 1-11. Dalam Risalah Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Puslitbangtan. Bogor.
10
S. Wahyuni dan A. Wihardjaka : Pengelolaan Lahan Sawah Tadah Hujan
Partohardjono, S. and J.B. Fitts. 1974. Sulfur coated urea (SCU), effectiveness on yield of lowland rice grown under several water management regimes. Contr. Centre Res. Inst. Agric. Bogor. 11:1-14. Piggin, C., S. Bhuiyan, O. Ito, S. Kam, G.Y. Kirk, J.K. Ladha, G. McLaren, K. Moody, M. Mortimer, R. Nelson, S. Pandey, T. Paris, W. Reichardt, S. Sarkarung, T. Setter, R.K. Singh, U. Singh, V.P. Singh, G. Trebuil, T. Tuong, L. Wade, and R. Zeigler. 1998. The IRRI Rainfed Lowland Rice Research Program: Directions and Achievements. International Rice Re-search Institute. Los Banos, Philippines. Prinn,
R., D. Cunnold, R. Rasmussen, P. Simmonds, F. Alyen, A. Crawford, P. Fraser, and R. Rosen. 1990. Atmospheric emission and trends of nitrous oxide reduced from 10 years of ALE-GAGE data. J. Geophys. Res. 95:18369-18385.
Rennenberg, H., R. Wassmann, H. Papen, and W. Seiler. 1992. Trace gas exchange in rice cultivation. Ecological Bulletins 42: 164173. Ritung, S., A. Mulyani, B. Kartiwa, dan H. Suhardjo. 2004. Peluang perluasan lahan sawah. Hlm. 225-249. Dalam F. Agus, A. Adimihardja, S. Hardjowigeno, A.M. Fagi, dan W. Hartatik (Eds.). Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Robertson, K. 1991. Emissions of N 2 O in swedernatural and anthropogenic sources. AMBIO 20:151-155. Sasa, I.J. 2002. Urea tablet dan belerang padi tabela : meningkatkan daya dukung ternak dan mereduksi emisi gas N 2 O di lahan sawah. Hlm. 252-260. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sistem Produksi Pertanian Ramah Lingkungan. Puslitbangtan. Bogor. Setyanto, P. and A. Hidayat. 2001. Identifica-tion of less greenhouse gases emission technologies in agricultural sector (rice cultivation). Pp. 6.1-6.14. In Identifica-tion of Less Greenhouse Gases Emission Technologies in Indonesia. Environment Ministry of Indonesia. Jakarta.
Setyanto, P., Mulyadi, dan Z. Zaini. 1997. Emisi gas N 2 O dari beberapa sumber pupuk nitrogen di lahan sawah tadah hujan. Penelitian Pertanian 16(1):14-18. Shrestha, R.K. and J.K. Ladha. 1998. Nitrogen dynamics in intensive rainfed lowland rice based cropping systems and strate-gies to improve efficiency. Pp. 95-108. In J.K. Ladha, L. Wade, A. Dobermann, W. Reichasdt, G.J.D. Kirk, and C. Piggin (Eds.). Rainfed Lowland Rice. International Rice Research Institute. Los Banos Philippines. Soemarno. 2001. Konsep usahatani lestari dan ramah lingkungan. Hlm. 1-3. Dalam Prosiding Seminar Nasional Budidaya
Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. Bogor. Soenarmo, S.H. 2001. Model dinamika pencemaran udara, peranannya dalam studi iklim perkotaan di Indonesia. Dalam Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Bandung. Suharsih, P. Setyanto, dan T. Sopiawati. 2000. Pengaruh penggunaan pupuk N lambat urai terhadap emisi gas N 2 O pada lahan sawah tadah hujan. Hlm. 67-72. Dalam Prosiding Seminar Nasional Budidaya Tanaman Pangan Berwawasan Lingkungan. Puslitbangtan. Bogor. Sunihardi, Yunastri, dan S. Kurniasih. 1999. Deskripsi Varietas Unggul Padi dan Palawija. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Hlm 59. Suprapto, Mulyadi, dan A. Wihardjaka. 2001. Efisiensi pemupukan nitrogen pada tanaman pangan dan menekan pencemaran lingkungan. Hlm. 245-251. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sistem Produksi Pertanian Ramah Ling-kungan. Puslitbangtan. Bogor. Taslim, H., S. Partohardjono, dan D. Suardi. 1993. Teknik bercocok tanam padi gogo rancah. Hlm. 507-521. Dalam M. Ismunadji, S. Partohardjono, M. Syam, dan A. Widjono 11
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
(Eds.). Padi Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. Watson, R.T., L.G. Meira Filho, E. Sanhueza, and T. Janetos. 1992. Climate Changes 1992. The Supplementary Reports to the IPCC Scientific Assessment. Cambridge University Press. Cambridge, UK. Xingkai Xu, P. Boeclex, O. van Cleemput, and Likai Zhou. 2002. Urease and nitrification inhibitors to reduce emission of CH 4 and N 2 O in rice production. Nutr. Cycl. Agroeco. 64:203-211.
12
ANALISIS POTENSI LAHAN RAWA UNTUK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS Potential Analysis of Swamp Land for Agribusiness Development D.A. Suriadikarta dan M.T. Sutriadi Balai Penelitian Tanah, Bogor
ABSTRAK Lahan yang subur di Jawa sudah semakin berkurang akibat penggunaan lahan pertanian ke non pertanian, dan di lain pihak permintaan akan hasil pertanian semakin meningkat dengan bertambahnya penduduk. Oleh sebab itu, pilihan terhadap lahan rawa pasang surut dalam rangka pembangunan pertanian semakin strategis. Lahan rawa di Indonesia cukup luas sekitar 33,4 juta ha yang terdiri atas lahan pasang surut 20 juta ha dan sisanya 13 juta ha lahan lebak. Dari luasan tersebut, sekitar 9 juta ha mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian dan baru sekitar 3,6 juta ha yang sudah direklamasi untuk lahan pertanian. Penelitian pada lahan pasang surut telah lama dilakukan sehingga teknologi pengelolaan lahan pasang surut sudah cukup banyak tersedia. Namun usahatani di lahan rawa mempunyai tingkat risiko kegagalan tinggi, karena keberhasilannya sangat tergantung pada kondisi iklim (banjir dan kekeringan) dan serangan hama penyakit. Teknologi pengolaan air dan tanah merupakan kunci keberhasilan usahatani di lahan rawa. Komoditas tanaman yang dapat dikembangkan di lahan rawa pasang surut adalah : tanaman pangan, sayuran, buah-buahan, perkebunan, dan perikanan. Pemilihan komoditas untuk lahan rawa perlu memperhatikan tipologi lahan dan tipe luapan selain memperhatikan aspek kesesuaian agroteknis juga perlu memperhatikan potensi ekonomis dan pemasaran hasil. Kata kunci : Analisis potensi lahan, lahan rawa, pengembangan agribisnis
ABSTRACT Fertile agriculture land in Java was decreased due to conversion to non agricultural purposes, such as : industries, residences, high ways. Unfortunately, because of increasing of population, we need more food availability, so that swamp land is one alternative for agriculture development outside of Java. The swamp land area is very wide and about nine millions hectare are suitable for agriculture land. However, now just about 3.6 millions hectare of it has been reclamed. The research on swampy area was done since long time ago, so the technology for reclaiming and developing of swamp area are available. The crop commodities which were suitable for swamp areas are low land rice, vegetables, horticulture, fruits, rubber and oil palm, and fishery. The selection of commodities for agribusiness on swamp land must be directed to adaptability of agriculture technique, economic potentiality, and marketing. Keywords : Potential analysis, swamp land, agribusiness development
P
ertanian merupakan sektor andalan dalam pembangunan nasional, terutama dalam menghadapi krisis ekonomi berkepanjangan saat ini. Pembangunan pertanian yang diarah-kan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan pengembangan agribisnis, di masa mendatang dihadapkan kepada berbagai tantangan yang semakin berat dan kompleks. Menyusutnya lahan subur di Jawa untuk ber-bagai keperluan non-pertanian dan meningkatnya permintaan akan hasil pertanian seiring dengan bertambahnya penduduk dan perkembangan produksi, menjadikan pilihan terhadap lahan pasang surut semakin strategis dalam pembangunan pertanian. Lahan pasang surut mempunyai potensi
yang besar untuk menghasilkan produksi pertanian dengan produktivitas tinggi, apabila dilakukan dengan menerapkan teknologi spesifik lokasi yang didukung oleh iklim agribisnis yang kondusif. Peranan lahan rawa semakin strategis dan diharapkan mampu mendukung pencapaian pembangunan pertanian mengingat potensi lahan rawa mempunyai prospek dalam penyediaan pangan, pengembangan agribisnis, maupun kesempatan kerja. Pemanfaatan lahan rawa untuk pertanian, keberhasilannya telah ditunjukkan oleh penduduk yang tinggal di daerah pesisir pantai antara lain Suku Bugis, Banjar, dan Melayu, yang dikenal dengan pengelolaan persawahan pasang 13
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
surut. Tetapi dilihat dari kondisi fisik dan lingkungannnya, tidak semua lahan rawa dapat dikembangkan untuk persawahan pasang surut. Pemanfaatan lahan rawa tanpa memperhatikan kondisi tanah dan karakteristik lingkungannya, justru akan menim-bulkan permasalahan baru antara lain munculnya lahan-lahan bongkor atau terdegradasi yang memerlukan penanganan khusus dalam rehabilitasinya.
POTENSI LAHAN RAWA UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN Berdasarkan peta sumberdaya tanah eksplorasi skala 1:1.000.000, luas lahan rawa di Indonesia mencapai 33 juta ha, terdiri atas lahan rawa pasang surut seluas lebih kurang 20 juta ha dan lahan rawa lebak lebih kurang 13 juta ha dengan penyebaran utama terdapat di pantai timur Sumatera, pantai barat dan selatan Kalimantan, pantai selatan dan utara Irian Jaya (Widjaja-Adhi et al., 1992). Pemerintah mulai memanfaatkan lahan rawa sebagai sumber pangan nasional sejak Pelita pertama melalui Proyek Pengembangan Persawahan Pasang Surut (P4S) yang dilaksanakan di Sumatera dan Kalimantan. Reklamasi yang telah dilaksanakan oleh PU di kedua pulau tersebut baru sekitar 3,6 juta ha, dari seluas 9,0 juta ha yang mempunyai potensi untuk pengembangan pertanian. Beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi telah melakukan berbagai penelitian meliputi aspek tanah, pengelolaan air, dan komo-ditas pertanian. Badan Litbang Pertanian, Deptan, secara aktif telah melakukan penelitian di lahan rawa; SWAMPS I dan II tahun 1985 yang dilaksanakan di Karang Agung dan Delta Upang serta LAWOO kerjasama dengan Pemerintah Belanda di Pulau Petak, Kalimantan Selatan dan Tengah. Program ISDP (Integrated Swamps Development Programme) yang dikoordinir oleh PU dan Badan Litbang Pertanian, Deptan mendapat tugas menyelenggarakan FSTA (Farming System Technology Adaptation), sedangkan Dinas Pertanian menyelenggarakan TDU (Technological Demonstration Unit) (Ismail et al., 1993). Widjaja-Adhi (1995) membagi lahan rawa berdasarkan tipologi lahannya, yaitu (1) lahan aluvial bersulfida, (2) lahan aluvial bersulfat, (3) lahan gambut, (4) lahan salin, dan (5) lahan lebak. 14
Penyusunan tipologi lahan didasarkan pada sifatsifat dan karakteristik tanah yang berpengaruh langsung terhadap produksi pertanian, seperti kedalaman pirit, kemasaman tanah, pengaruh garam, pengaruh pasang surut, dan ketebalan gambut. Selain tipologi lahan, dalam pengelolaan lahan rawa perlu juga diperhatikan pengaruh kekuatan arus air sungai dan air pasang (tipe luapan), yaitu : (1) tipe luapan A, yang selalu terluapi oleh air pasang baik pasang besar maupun pasang kecil; (2) tipe luapan B, lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar; (3) tipe luapan C, lahan yang tidak pernah terluapi pasang, tetapi air tanah masih dekat dengan permukaan tanah, kurang dari 50 cm; dan (4) tipe luapan D, lahan yang tidak pernah terluapi, dan air tanah lebih dalam dari 50 cm dari permukaan tanah. Di Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat pada tahun 2001 program pengembangan lahan rawa telah dilaksanakan dalam 4-5 RPTP (Rencana Penelitian Tingkat Peneliti) sesuai tipe luapan dan tipologi lahan utamanya. Hasil-hasil penelitian ini adalah suatu rekomendasi pemanfaatan lahan rawa, antara lain: tanah gambut dengan ketebalan < 2 meter diusulkan untuk tanaman perkebunan dan atau palawija, sedangkan untuk gambut dalam adalah perkebunan kelapa sawit. Gambut dengan ketebalan < 50 cm untuk sawah dengan cara pengupas-an. Lahan sulfat masam aktual (aluvial bersulfat) yang masih ditumbuhi purun masih dapat direhabilitasi dengan memberi dolomit dan kalsit dengan campuran tergantung pada perbandingan Ca dan Mg dalam tanah serta diberi pupuk fosfat alam. Rehabilitasi lahan tidur bongkor memerlukan pengaturan tata air yang ketat dengan memperhatikan kedalaman lapisan pirit dan merupakan prasyarat keberhasilan pengelolaan lahan rawa. Teknologi pengelolaan lahan rawa baik dari aspek pengelolaan air maupun aspek penataan lahannya telah dihasilkan. Dari aspek teknis maka pengelolaan lahan rawa perlu memperhatikan jaringan tata air (makro dan mikro), penataan lahan berdasarkan tipologi lahan dan tipe luapannya, pemberian amelioran antara lain kapur, dolomit, atau kalsit, pemupukan P dan K berdasarkan kadar P dan K dalam tanah, dan olah tanah hara terpadu (OTHT), yaitu pengolahan tanah disesuaikan dengan sifat dan karakteristik tanahnya di lapangan (Widjaja-Adhi et al., 2000).
D.A. Suriadikarta dan M.T. Sutriadi : Analisis Potensi Lahan Rawa untuk Pengembangan Agribisnis
Berbagai komoditas pertanian dapat dikembangkan pada lahan rawa dengan memperhatikan tipologi lahan dan tipe luapannya, baik lahan basah (padi) maupun lahan kering (tanaman tahunan/perkebunan, hortikultura buah-buahan dan sayuran, ataupun perikanan). Pemilihan komoditas yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif akan memberikan peluang besar terhadap pengembangan agroindustri yang sekaligus akan memberikan peluang terhadap kesempatan kerja dan pengembangan agribisnis.
KENDALA PENGEMBANGAN LAHAN RAWA Pengembangan lahan rawa, selain memiliki prospek untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian, juga mempunyai berbagai kendala dalam pengembangan baik aspek teknis maupun aspek sosial ekonomi. Dari aspek teknis, lahan rawa tergolong marjinal dan bersifat “fragile”, artinya kalau tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah yang sulit diatasi. Sifat dan karakteristik lahan rawa antara lain adanya genangan, lapisan gambut, terdapat-nya bahan sulfidik yang apabila teroksidasi dapat menurunkan pH tanah sampai sangat masam yang diikuti oleh munculnya zat beracun (Al dan Fe), salinitas tinggi (intrusi air laut), dan rendahnya kesuburan tanah (Subagjo dan Widjaja-Adhi, 1998). Usaha tani lahan rawa tergolong mempunyai tingkat risiko kegagalan tinggi, karena keberhasilannya sangat tergantung pada kondisi iklim (banjir dan kekeringan) dan serangan hama penyakit. Dalam kondisi kering di musim kemarau, akan terjadi proses oksidasi pirit di dalam tanah membentuk senyawa sulfat yang dapat menurunkan pH tanah sampai sangat masam. Oleh karena itu, musim kemarau yang panjang dapat merubah tanah sulfat masam potensial (aluvial bersulfida) menjadi tanah sulfat masam aktual (aluvial bersulfat). Proses ini akan berlangsung lebih cepat apabila sistem tata air di daerah tersebut dibangun tanpa memperhatikan sifat dan karakteristik tanahnya. Tipologi lahan gambut mempunyai karakteristik yang kurang menguntungkan untuk sebagian besar tanaman. Tanah gambut selain bersifat irreversible drying (kering tak balik), juga mempunyai daya sangga rendah, kesuburan fisik
dan kimia rendah, sangat sarang sehingga mudah kekeringan apabila didrainase, dan mudah terbakar. Oleh karena itu, pemanfaatan lahan gambut dalam hanya terbatas untuk lahan perkebunan antara lain kelapa sawit dengan risiko kebakaran sangat tinggi. Untuk tanaman pangan dan hortikultura, hanya gambut dangkal yang dapat dimanfaatkan dengan cara pengu-pasan, sehingga pada pengolahan tanah dapat tercampur bahan tanah organik dengan tanah mineral (Widjaja-Adhi, 1995). Visi pemerintah dalam pengembangan lahan rawa selalu difokuskan untuk tanaman pangan lahan basah atau padi sawah. Di satu pihak tanaman pangan mempunyai tingkat risiko kegagalan tinggi dan hasilnya mempunyai harga jual yang rendah, sedangkan di pihak lain harga sarana produksi antara lain pupuk dan obat-obatan tergolong tinggi. Kondisi ini tentu saja sangat tidak menguntungkan petani yang berakibat terhadap lemahnya animo masyarakat dalam mengembangkan lahan rawa karena secara ekonomis memberikan keuntungan yang rendah. Oleh karena itu, sudah selayaknya pemerintah merubah konsep pengembangan lahan rawa ini melalui diversifikasi komoditas pertanian yang mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif terhadap harga pasar, sehingga kesejahteraan petani dapat diwujudkan. Kendala aspek sosial ekonomi merupakan bagian penting dalam pengembangan lahan rawa, diantaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan atau kemampuan petani, terbatasnya tenaga, modal, serta sarana yang dapat menunjang keberhasilan pembangunan pertanian di lahan rawa. Masalah lain yang juga cukup penting adalah kurangnya kelembagaan agribisnis terutama dalam hal penyediaan sarana produksi pertanian, pengelolaan pasca panen, dan pemasaran hasil. Hal ini semua sangat terkait dengan terbatasnya asesibilitas jalan dan keterpencilan lokasi pengembangan dengan pusat-pusat kegiatan ekonomi di daerah sekitarnya (Ananto et al., 2000).
PEMILIHAN KOMODITAS Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak semua lahan rawa sesuai untuk lahan sawah. Ditunjang oleh kenyataan di lapangan, penduduk yang tinggal di lahan rawa meng-usahakan lahan pertaniannya tidak terbatas pada tanaman pangan, 15
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
tetapi juga tanaman lainnya yang mempunyai keunggulan dalam produksi dan harga pasar yang baik. Jenis komoditas yang dapat dikembangkan pada lahan rawa dapat terdiri atas tanaman tahunan/perkebunan, hortikultura buah-buahan dan sayuran, tanaman pangan lahan kering, dan perikanan. Pemilihan komoditas pertanian pada lahan rawa perlu memperhatikan tipologi lahan dan tipe luapannya (Widjaja-Adhi, 1992; 1995). Ismail (1997) mengemukakan dua aspek utama yang perlu diperhatikan dalam pemilihan komoditas, yaitu (1) kesesuaian agroteknis, dan (2) kelayakan atau potensi ekonomisnya. Selanjutnya Abdurachman dan Ananto (2000) menyarankan selain dua aspek di atas juga perlu diperhatikan satu syarat penting yaitu ramah lingkungan dan berkelanjutan. Suwarno et al. (2000), menyata-kan bahwa aspek lain yang perlu juga dipertimbangkan adalah pemasaran hasil. Tanaman pangan Padi merupakan komoditas unggulan utama yang dikembangkan di lahan rawa. Selain berfungsi sebagai bahan pangan pokok, tanaman ini relatif lebih mudah dibudidayakan pada lingkungan rawa, terutama pada lahan tipe luapan air A dan B. Selain itu, harganya pun relatif lebih stabil bila dibandingkan dengan komoditas lainnnya (Ismail et al., 1993). Hasil-hasil penelitian yang dilakukan Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian memperlihatkan beberapa varietas unggul padi sawah yang beradaptasi baik di lahan rawa adalah Kapuas, Cisanggarung, Cisadane, IR-42, Lematang, dan Sei Lilin, serta dua varietas yang baru dilepas : Sei Lalan dan Banyu Asin yang mampu memberikan hasil 4-7 t/ha (Ismail et al., 1993). Sedangkan varietas padi yang dianjurkan untuk lahan dengan tipe luapan C/D adalah Cisanggarung, Laut Tawar, Talang, dan Danau Tempe dengan potensi hasil 2-4 t/ha (Ismail, 1997). Hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Proyek ISDP (2000), Ananto et al. (1999), dan Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) (2000) memperlihatkan hasil padi pada tipe lahan potensial sebesar 3-4 t/ha, pada lahan sulfat masam 2,5-4,7 t/ha, dan lahan gambut 3,0-3,9 t/ha. Sedangkan pada lahan lebak mencapai 3,04,5 t/ha. Produkitivitas padi varietas unggul seperti 16
Cisanggarung, IR-64, Lematang, Cisadane, dan Karawe yang ditanam pada musim hujan di lahan potensial Karang Agung antara 6,2-8,0 t/ha GKG (Minsyah et al., 1994). Untuk lahan sulfat masam dan gambut dengan tipe luapan C/D, padi gogo varietas unggul lokal Talang, Rojolele, Ceko, Mesir, Jalawara, Siam, dan Pandak memberi hasil antara 2-4 t/ha (Ismail et al., 1993). Sedangkan di lahan sulfat masam pada sawah sistem surjan varietas Cisanggarung, Lematang, IR-42, Kapuas, dan IR-64 memberikan hasil antara 3,6-4,2 t/ha GKG (Sutrisna et al., 1994). Untuk lahan lebak, hasil padi pada bagian tabukan adalah 3,2-3,8 t/ha GKG dan pada varietas-varietas unggul Cisanggarung, Kapuas, IR-42, Alabio, dan B5309, serta B7003 yang ditanam pada MK 1991 menghasilkan 2,8-3,6 t/ha GKG (Waluyo et al., 1993a; 1993b). Takaran pupuk yang dianjurkan pada lahan potensial berkisar antara 45-45-50 kg/ha dan 9045-50 kg/ha (N, P 2 O 5 , dan K 2 O), sedangkan untuk lahan sawah sulfat masam dan bergambut adalah 90 kg N, 30 kg P 2 O 5 , dan 120 kg K 2 O/ha. Jagung merupakan komoditas penting di lahan rawa karena dapat berfungsi sebagai subsitusi beras pada saat-saat tertentu. Selain itu, tanaman ini juga dapat dipanen muda dan menjadi sumber pendapatan penting bagi petani. Jagung dapat ditanam secara monokultur maupun tumpang sari dengan kacang-kacangan pada lahan yang ditata sebagai tegalan atau di bagian guludan pada sistem surjan. Hasil penelitian ISDP memperlihatkan produksi jagung varietas Arjuna, Wiyasa, Abimanyu, Bisma, dan Kalingga, serta Raja Hibrida di lahan pasang surut mampu mencapai 3,5-5,5 t/ha dengan pemupukan 90 kg N, 90 kg P 2 O 5 , dan 50 kg K 2 O (Suastika dan Ismail, 1992; Alihamsyah et al., 1993). Jagung varietas Arjuna dan Kalingga yang ditanam secara tumpang sari dengan kedelai menghasilkan 3,8 t/ha pipilan kering kajian P2SLPS2, sedangkan kedelai varietas Wilis menghasilkan 1,4 t/ha biji kering (Miswan et al., 1994). Hasil kajian pada lahan pasang surut Sumatera Selatan oleh P2SLPS2, produksi jagung varietas Arjuna 4,5 t/ha (Ananto et al., 1999). Selanjutnya Ananto et al. (2000) melaporkan bahwa dengan pemberian fosfat alam, hasil jagung pada lahan potensial dapat mencapai 5,4 t/ha sedangkan pada lahan sulfat masam 2,03,5 t/ha.
D.A. Suriadikarta dan M.T. Sutriadi : Analisis Potensi Lahan Rawa untuk Pengembangan Agribisnis
Kedelai merupakan sumber protein nabati penting bagi petani di pedesaan termasuk di lahan rawa. Selain itu, kedelai dengan harga yang cukup tinggi dan relatif stabil merupakan sumber pendapatan penting dalam sistem usaha tani mereka. Kedelai varietas Wilis, Lokon, Galunggung, Rinjani, Lompo Batang, Kerinci, dan Dempo dapat menghasilkan 1,1-2,0 ton biji kering/ha dengan takaran pupuk antara 22,5-45-50 kg/ha dan 67,5-45-50 kg/ha (N, P 2 O 5 , dan K 2 O) (Alihamsyah et al., 1992 dan Sutrisna et al., 1994). Hasil kajian pada lahan pasang surut Sumatera Selatan oleh P2SLPS2, kedelai varietas Wilis mencapai 2,2 t/ha (Ananto et al., 1999). Tanaman hortikultura Tanaman hortikultura, khususnya sayursayuran dan buah-buahan, merupakan sumber vitamin dan mineral yang diperlukan untuk pemenuhan gizi keluarga tani selain untuk dipasarkan guna menambah pendapatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa tanaman, seperti cabai, kacang panjang, tomat, terong, kubis, petsai, bawang merah, semangka, pisang, nanas, nangka, dan rambutan secara teknis dapat diusahakan di lahan pasang surut apabila dikelola berdasarkan karakteristik lahannya (Ismail et al., 1993; Suwarno et al., 2000). Cabai, tomat, semangka, dan nenas mempunyai prospek untuk dikembangkan di lahan pasang surut. Cabai keriting mampu memberikan hasil 5-8 t/ha pada lahan potensial, sedangkan pada lahan sulfat masam dan bergambut diperoleh hasil rata-rata 5,3 dan 3,2 t/ha. Tomat varietas Berlian, Intan, dan Ratna dapat menghasilkan 1113 t/ha buah segar pada lahan potensial, pada lahan sulfat masam varietas Ratna dan Intan memberikan hasil 18,54 t/ha dan 13,48 t/ha, pada lahan bergambut varietas Ratna memberikan hasil rata-rata 5,15 t/ha. Semangka New Dragon dan Sugar Baby dapat memberikan hasil 15-25 ton buah/ha, dengan pemberian pupuk kandang sebanyak 10 t/ha disertai pemupukan 27 g N + 20 g P 2 O 5 , dan 6 g K 2 O/tanaman (Ismail et al., 1993). Hasil kajian P2SLPS2 menunjukkan bahwa produktivitas cabai yang ditanam pada lahan mineral bergambut di Air Sugihan Kiri mencapai 1,30 t/ha, sedangkan pada lahan potensial Delta Telang dan gambut Air Sugihan Kiri hasilnya lebih rendah, yaitu 1,16 dan 0,86 t/ha (Ananto et al., 2000).
Takaran pemupukan optimum untuk tanaman cabai pada lahan potensial adalah 90 kg N + 50 kg P 2 O 5 + 24 kg Mandozeb M-45, dan 12 kg Orthane/ha, sedangkan pada lahan bergambut adalah 60 kg N + 90 kg P 2 O 5 + 120 kg K 2 O/ha + 1 g ZnSO 4 /l air dan 0,5 g CuSO 4 /l air. Takaran optimum untuk tomat pada lahan potensial adalah 67,5 kg N + 67,5 kg P 2 O 5 /ha + pupuk daun Vagimex 1,5 cc/l, sedangkan pada lahan sulfat masam adalah 1,5 ton bahan organik + 135 kg N + 90 kg P 2 O 5 + 60 kg K 2 O/ha. Takaran pupuk untuk tanaman semangka adalah 27 g N + 20 g P 2 O 5 + 6 g K 2 O/pohon. Hasil nenas apabila ditanam monokultur di lahan pasang surut dapat mencapai 30-40 t/ha, sedangkan apabila ditumpang sarikan dengan kelapa dengan jumlah populasi 50% maka produksi per hektar dapat mencapai 15 ton pada tahun pertama panen. Tanaman industri Berbagai tanaman industri dan perkebunan mempunyai prospek untuk dikembangkan di lahan rawa dan merupakan bagian penting dalam mendukung pengembangan wilayah dan peningkatan pendapatan petani. Dari beberapa jenis tanaman industri yang telah diuji, yang berprospek baik untuk dikembangkan dalam sistem usaha tani lahan pasang surut adalah kelapa dan jahe. Kelapa dalam Riau ditanam di semua tipologi lahan dan mulai berbuah setelah berumur empat tahun. Estimasi produksi kopra kelapa di daerah pasang surut berkisar antara 2,5-4,1 t/ha/tahun. Hasil penelitian ISDP mem-perlihatkan pertumbuhan vegetatif dan generatif pohon kelapa yang baik, yaitu 13,20 buah/ pohon/bulan atau ± 160 buah/pohon/tahun dengan pemupukan 1.500 g urea + 750 g TSP + 1.500 g KCl + 800 g kaptan + 50 g CUSO 4 , dan 50 g ZnSO 4 /pohon. Hasil penelitian ISDP menunjukkan bahwa jahe merah dengan pemberian pupuk 45 kg N + 36 kg P 2 O 5 + 50 kg K 2 O + 200 kg kapur + 1,5 ton gambut/ha dan penutupan mulsa pada permukaan tanah setebal 25-30 cm, memberikan hasil 23,6 t/ha.
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS LAHAN RAWA KE DEPAN Pengembangan pertanian di lahan rawa melalui penerapan teknologi sistem usaha pertanian spesifik lokasi mempunyai prospek yang baik dalam mendukung ketahanan pangan dan 17
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
pengembangan agribisnis. Pengembangan pertanian tersebut seyogyanya dilaksanakan dengan sistem usaha pertanian terpadu dan memiliki perspektif agribisnis, dengan memilih komoditas yang prospektif dan memiliki peluang pasar. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman di lapangan pada berbagai wilayah lahan pasang surut yang telah berhasil, maka komoditas pertanian yang mempunyai peluang agribisnis yang dapat dikembangkan sesuai dengan prospeknya adalah tanaman hortikultura sayuran, buah-buahan, tanaman pangan, dan perkebunan. Kelompok tanaman sayuran yang prospektif adalah: cabai dan tomat; tanaman buahbuahan adalah: nangka, rambutan, nenas, pisang, dan jeruk; dan kelompok tanaman pangan adalah: jagung, padi, dan ubi jalar; serta untuk tanaman perkebunan adalah kelapa. Untuk meningkatkan kegiatan agribisnis dan perekonomian wilayah yang akan dikem-bangkan, maka kegiatan di sektor-sektor lainnya, terutama industri dan jasa, seperti usaha penye-diaan sarana produksi, penyewaan alsintan, dan industri pengolahan hasil pertanian perlu ditingkatkan. Selain itu, untuk memacu pengem-bangan wilayah, maka pusat-pusat pertumbuhan di lokasi yang strategis dalam wilayah rawa perlu dilakukan, agar memperpendek rantai tata niaga, sehingga dapat diperoleh jaminan harga hasil pertanian yang lebih layak bagi petani. Peningkatan nilai tambah dapat diperoleh melalui pengembangan industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri), baik oleh pihak swasta dengan skala relatif besar maupun industri rumah tangga (home industry) oleh petani. Keterpencilan lokasi yang mengakibatkan harga produksi pertanian tidak stabil dan bahkan jauh lebih rendah dari harga pasaran di kota, harus dapat diatasi antara lain dengan meningkatkan kelembagaan pertanian (KUD, kios saprotan, dan kelompok tani), kegiatan pasar, serta perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana jalan dan transportasi. Akibat positif dari kegiatan tersebut, akan membuka peluang berusaha yang juga berarti membuka lapangan kerja baru, baik bagi petani maupun buruh tani dan masyarakat di wilayah tersebut.
18
KESIMPULAN 1. Perlu disadari bahwa lahan rawa tergolong “lahan marjinal” dan “rapuh/fragile”, sehingga aspek teknis biofisik harus dijadikan dasar dalam pemilihan lokasi dan penerapan teknologi yang spesifik lokasi. 2. Aspek sosial ekonomi tetap merupakan faktor penunjang penting yang perlu diperhatikan untuk mencapai keberhasilan pembangunan agribisnis di lahan rawa. Berbagai pengalaman di lahan rawa Sumatera dan Kalimantan menunjukkan bahwa kesalahan teknis dalam pemilihan lokasi pengembangan dan penerapan teknologi pengelolaan lahan rawa yang tidak tepat/ tidak sesuai, telah mengakibatkan munculnya lahan-lahan terdegradasi (lahan bongkor, lahan tidur) dalam skala cukup luas. 3. Bertitik tolak dari pengalaman tersebut, didukung dengan hasil-hasil penelitian yang telah dicapai, maka untuk meningkatkan keberhasilan pemanfaatan rawa produktif dan berkelanjutan, kebijaksanaan yang perlu dilaksanakan antara lain adalah : a. Identifikasi dan karakterisasi lahan rawa sebagai dasar untuk menentukan prioritas pengembangan seyogyanya didasarkan pada aspek teknis biofisik dan mempertimbangkan aspek sosial ekonomi; memilih teknologi pengelolaan tanah dan air yang sesuai dengan tipologi lahan dan tipe luapannya; pemilihan komoditas tanaman yang sesuai baik dari aspek teknis maupun aspek sosial ekonomis; menerapkan berbagai paket teknologi usaha pertanian yang spesifik lokasi; dan memperbaiki serta meningkatkan sarana dan prasarana jalan dan transportasi termasuk peningkatan SDM dan kelembagaan pertanian. Wilayah-wilayah yang tidak sesuai untuk pertanian, atau lahan yang telah mengalami degradasi karena kesalahan pengelolaan, perlu dikembalikan fungsinya sebagai hutan produksi atau konservasi. b. Aspek sosial ekonomi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam pembangunan lahan rawa, apalagi bila wilayahnya terpencil. Pembangunan pertanian
D.A. Suriadikarta dan M.T. Sutriadi : Analisis Potensi Lahan Rawa untuk Pengembangan Agribisnis
dan pengembangan agribisnis di lahan rawa pada hakekatnya perlu didasarkan pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani, serta dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Adimihardja, A. dan E.E. Ananto. 2000. Konsep pengembangan pertanian berkelanjutan di lahan rawa untuk mendukung ketahanan pangan dan pengembangan agribisnis. Hlm 23. Dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Bogor, 25-27 Juli 2000. Alihamsyah, T., Jeffri, I W. Suastika. dan D.E. Sianturi. 1993. Laporan Tahunan 1992/ 1993. Proyek Penelitian Pertanian, Lahan Pasang Surut dan Rawa SWAMPS II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Ananto, E.E., Hermanto, K. Kariyasa, Soentoro, I W. Suastika, I G.M. Subiksa, dan T. Alihamsyah. 1999. Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. P2SLPS2. Badan Litbang Pertanian. Hlm 163. Ananto, E.E., A. Supriyo, Soentoro, Hermanto, Y. Soelaeman, I W. Suastika, dan B. Nuryanto. 2000. Pengembangan Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan : Mendukung Ketahanan Pangan dan Pengembangan Agribisnis. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 166. Ismail, I.G., T. Alihamsyah, I P.G. Widjaja-Adhi, Suwarno, T. Herawati, R. Thahir, dan D.E. Sianturi. 1993. Sewindu Penelitian Pertanian di Lahan Rawa. Kontribusi dan Prospek Pengembangan. M. Syam, Soetjipto P., dan Z. Hararap (Eds.). Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa-SWAMPS II. Badan Litbang Pertanian. Minsyah, N.I., Sudrajat A.R., dan Suwalan. 1994. Penelitian pengembangan sistem usahatani terpadu pada tipologi lahan potensial Karang Agung Ulu. Hlm. 1-16. Dalam Kumpulan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Buku I. T. Alihamsyah dan I.G. Ismail (Eds.). Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Miswan, A., I W. Suastika, N. Sutrisna, dan I.G. Ismail. 1994. Prospek usahatani jagung dan kedelai yang ditanam secara tumpang sari di lahan potensial Karang Agung Tengah. Hlm. 97-102. Dalam Kumpulan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Buku I. T. Alihamsyah dan I.G. Ismail (Eds.). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia Skala 1:1.000.000. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. th
Soil Survey Staff. 1998. Keys to Soil Taxonomy. 8 Edition. United States Departement Agricultural Natural Resources Conservation Service. 326 p.
Subagjo, H. dan I P.G. Widjaja-Adhi. 1998. Peluang dan kendala penggunaan lahan rawa untuk pengembangan pertanian di Indonesia, Kasus: Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Dalam Prosiding Pertemuan Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor, 10 Februari 1998. Subagjo, H., Wahyunto, J.S. Adiningsih, I. Las, dan N. Suharta. 2000. Prospek peman-faatan lahan sawah untuk mendukung program ketahanan pangan nasional. Makalah Kebijakan Puslittanak. Badan Litbang Pertanian. Sutrisna, N., I W. Suastika, dan Solihin. 1994. Penelitian pengembangan sistem usahatani di lahan pasang surut sulfat masam Karang Agung Tengah. Hlm. 117-126. Dalam Kumpulan Hasil Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Buku I. Eds. T. Alihamsyah dan I.G. Ismail. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Suwarno, T. Alihamsyah, dan I.G. Ismail. 2000. Optimasi pemanfaatan lahan rawa pasang surut dengan penerapan teknologi sistem usahatani terpadu. Hlm 175-186. Dalam Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Cipayung, 25-27 Juli 2000. Buku I. E.E. Ananto, I.G. Ismail, Subagjo, Suwarno, A. Djajanegara, dan H. Supriadi (Eds.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 19
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Waluyo, I W. Supartha, dan D.E. Sianturi.1993a. Pola tanam pada sistem surjan di lahan lebak dangkal. Dalam Risalah Hasil Penelitian, Proyek Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa-SWAMPS-II. T. Alihamsyah, T. Herawati, dan I W. Suastika (Eds.). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Waluyo, I W. Supartha, dan D.E. Sianturi. 1993b. Verifikasi berbagai varietas/galur padi di lahan lebak. Dalam Risalah Hasil Penelitian, Proyek Penelitian Lahan Pasang Surut dan Rawa-SWAMPS-II. T. Alihamsyah, T. Herawati, dan I W. Suastika (Eds.). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Widjaja-Adhi, I P.G. 1992. Tipologi, pemanfaatan, dan pengembangan lahan pasang surut untuk kelapa. Dalam Forum Komunikasi Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Kelapa pasang Surut. Bogor, 28-29 Agustus 1992. Widjaja-Adhi, I P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya lahan rawa: potensi, keterbatasan dan pemanfaatannya. Hlm. 19-38. Dalam Partohardhono dan M. Syam (Eds.). Pengembangan Terpadu Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak. Puslitbangtan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Widajaja-Adhi, I P.G. 1995. Pengelolaan tanah dan air dalam pengembangan sumberdaya lahan rawa untuk usahatani berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Makalah disampaikan pada Pelatihan Calon Pelatih untuk Pengembangan Pertanian di Daerah Pasang Surut, 26-30 Juni 1995. Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan. Widjaja-Adhi, I P.G., A.B. Siswanto, N. Sutrisna, dan T. Alihamsyah. 2000. Karakteristik, evaluasi, pemanfaatan, dan saran pengembangan lahan rawa setiap scheme di Kalimantan Barat. Seminar Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Pontianak, 22 -23 Maret 2000.
20
NILAI EKONOMI LAHAN PERTANIAN BERDASARKAN MANFAAT MULTIFUNGSINYA Economic value of agricultural lands based on its multifunctionality Irawan Balai Penelitian Tanah, Bogor
ABSTRAK Lahan pertanian bukan hanya menghasilkan barang dan jasa yang dapat langsung dinilai harganya berdasarkan harga pasar, tetapi juga memberikan jasa lingkungan yang belum ada mekanisme pasarnya. Jenis barang dan jasa yang disebut pertama dikenal dengan istilah nilai guna langsung, sedangkan yang kedua atau jasa lingkungan dikenal dengan istilah nilai guna tidak langsung. Nilai guna langsung lahan pertanian, sebagai contoh adalah komoditas yang dihasilkannya seperti padi dan palawija, buah-buahan, kayu, penyerapan tenaga kerja, dan lainnya. Nilai guna tidak langsung lahan pertanian adalah terkait dengan fungsi ekologi seperti sebagai pemasok sumber air tanah, pengendali banjir dan erosi, mitigasi suhu udara, sumber emisi oksigen (O 2 ), penyerap karbon (CO 2 ), dan lainnya. Fungsi ekologi lahan pertanian belakangan ini sering disebut dengan multifungsi pertanian, terutama dikaitkan dengan dampak positif keberadaan lahan pertanian terhadap lingkungan. Mengingat nilai guna langsung lahan pertanian merupakan barang ekonomi yang bersifat privat, sedangkan nilai guna tidak langsung atau manfaat multifungsi lahan pertanian merupakan barang ekonomi yang bersifat umum (public goods), maka nilai ekonomi lahan pertanian harus dihitung berdasarkan mekanisme pasar dan non-pasar. Valuasi ekonomi dengan pendekatan nilai ekonomi total merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk maksud tersebut. Tulisan ini menyajikan hasil tinjauan atas beberapa hasil penelitian terkait dengan multifungsi pertanian, nilai ekonomi total, dan valuasi ekonomi lahan pertanian. Kata kunci : Multifungsi pertanian, nilai ekonomi total, valuasi ekonomi
ABSTRACT Agricultural lands not only produce goods and services which can be valued in market mechanism directly, but also generate environmental services which are not accounted for at market mechanism. The first agricultural products mentioned above are called direct use values, whereas the second products are known as indirect use values. Examples of direct use values of agricultural land are commodities such as rice and arable crops, fruits, wood, labour, etc. Indirect use values of agricultural land is related to ecological function such as ground water resource supplies, flood and erosion controlling, air temperature mitigation, oxygen (O 2 ) emission resource, carbon (CO 2 ) absorption, etc. Lately, ecological function of agricultural land is called multifunctionality of agriculture, especially when it is related to positive impact of existing agricultural land towards environment. The output of direct use values is private goods and the output of agricultural multifunctionality is public goods since the beneficiaries are not only farmers but also public at large. As such, economic value of agricultural land should be valued both in market and non-market mechanism. This paper reviews some research results related to agricultural multifunctionality, total economic values, and economic valuation on agricultural land. Keywords : Multifunctionality of agriculture, total economic values, economic valuation
S
elain sebagai media budidaya dan penghasil komoditas pertanian, lahan pertanian mempunyai fungsi lingkungan yang dise-but multifungsi pertanian. Multifungsi pertanian merupakan berbagai fungsi lahan pertanian bagi lingkungan berupa barang dan jasa yang bermanfaat bagi masyarakat. Manfaat multifungsi lahan pertanian tersebut dapat dinilai secara langsung berdasarkan mekanisme pasar maupun tidak langsung dengan pendekatan non-pasar (OECD, 2001). Beberapa multifungsi lahan pertanian adalah sebagai pengendali banjir, pencegah erosi dan sedimentasi, pemasok sumber air
tanah, pengurang tumpukan dan penyerap sampah organik, pelestari keanekaragaman hayati, pelestari budaya pedesaan, penyegar dan penyejuk udara, tempat rekreasi dan kesenangan (Yoshida, 2001). Manfaat multifungsi lahan pertanian tersebut mempunyai ciri sebagai public goods, yakni dapat dinikmati oleh banyak orang tanpa harus membayar karena pengambil manfaat multifungsi lahan pertanian tidak menyadari telah memperoleh keuntungan lain dari keberadaan lahan pertanian. Di sisi lain petani sebagai penyedia jasa multifungsi lahan pertanian tidak dapat mengontrol dan/atau membatasi manfaat 21
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
lingkungan yang dihasilkan lahan per-tanian yang dikelolanya. Dengan tidak disadarinya nilai multifungsi pertanian menyebabkan pertanian kurang mendapat perhatian masyarakat dan kebijakan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari alih fungsi lahan pertanian, khususnya sawah yang tidak terkendalikan, bahkan mengalami percepatan dalam sepuluh tahun terakhir ini. Konversi lahan sawah pada tahun 1981-1999 sebesar 90.417 ha/tahun meningkat menjadi 187.720 ha/tahun pada tahun 1999-2002 (Sutomo, 2004). Setelah cukup banyak lahan pertanian, khususnya sawah yang beralih fungsi karena dikonversi menjadi kawasan industri, perumahan, jasa dan perdagangan, serta jalan terasa ada banyak hal yang hilang, yakni bukan hanya dalam bentuk produksi pertanian, seperti padi dan palawija tetapi juga kesempatan kerja dan yang paling utama adalah kualitas lingkungan hidup. Hal tersebut karena konversi lahan pertanian lebih banyak didorong oleh orientasi ekonomi jangka pendek, tanpa memperhitungkan hilang atau rusaknya fungsi lingkungan lahan pertanian yang akan menimbulkan dampak negatif beberapa tahun kemudian. Indikasinya kehilangan potensi produksi dan kesempatan kerja semakin lama semakin besar dan kerusakan lingkungan semakin parah. Di Jepang, sebagaimana dinyatakan oleh Yoshida dan Goda (2001) nilai manfaat jasa lingkungan pertanian justru dijadikan instrumen kebijakan untuk mempertahankan lahan per-tanian. Tulisan ini menyajikan hasil tinjauan beberapa hasil penelitian terkait dengan multifungsi pertanian, nilai ekonomi total, dan valuasi ekonomi lahan pertanian. Diharapkan isi tulisan ini akan menambah wawasan pembaca, khususnya para pengambil kebijakan mengenai manfaat lahan pertanian secara holistik.
MULTIFUNGSI LAHAN PERTANIAN Terminologi multifungsi pertanian mencuat sejak tahun 1994 dalam agenda pembahasan mengenai perdagangan bebas (free trade). Dalam konteks perdagangan bebas siapa saja yang paling efisien dalam memproduksi barang dan/atau jasa, maka dialah yang menjadi pengekspor atau net-exporter. Sebagian negara menyetujui konsep tersebut, tetapi karena efisiensi produksi tersebut lebih bersifat ekonomi finansial, bukan ekonomi 22
sosial implikasi perdagangan bebas terhadap pertanian sangat besar karena pertanian mempunyai manfaat yang belum atau tidak dapat dinilai berdasarkan mekanisme pasar, yakni manfaat multifungsi pertanian. Mengingat hal itu para ahli lingkungan (ecologist) dan ekonomi lingkungan (environmen-tal economist), mengingatkan negaranya agar tidak sepenuhnya memberlakukan perdagangan bebas terhadap komoditas pertaniannya. Dalam agenda pasar bebas negara-negara di Benua Asia diharapkan membuka pasar domestiknya bagi perdagangan bebas, khususnya bahan pangan (hasil pertanian). Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan termasuk negara yang menolak penerapan pasar bebas secara penuh terhadap hasil-hasil pertanian, khususnya pangan. Konsep multifungsi pertanian juga dijadikan dasar penolakan Jepang, Korea Selatan, dan RRC terhadap gerakan global yang diprakarsai negara maju untuk melarang perluasan lahan sawah, khususnya di Asia (Yabe 2005). Negara maju berpandangan bahwa lahan sawah menjadi sumber pencemar dalam pemanasan global melalui emisi gas metana (CH 4 ). Sebaliknya, Jepang dan sekutunya berpandangan dampak multifungsi (eksternalitas positif) pertanian jauh lebih tinggi daripada dampak negatifnya. Argumentasi penolakan perdagangan bebas berdasarkan pendekatan multifungsi pertanian oleh Jepang dan sekutunya semakin solid pada KTT tingkat Menteri di Cancun (2003). Menurut Jepang dan sekutunya, kehawatiran negara maju dalam hal emisi gas metana dan pencemaran air dari lahan pertanian, khususnya lahan sawah dianggap berlebihan. Dampak pencemaran tanah dan air dari kegiatan pertanian dapat diatasi dengan sistem pertanian LEISA (Low External Input for Sustainable Agriculture), atau melalui kebijakan penetapan batas maksimum residu pestisida pada tanah (Kurnia 2006), sedangkan mitigasi emisi gas metana pada lahan sawah dapat diatasi dengan teknik pengelolaan air yang tepat dan penanaman varietas padi tertentu (Setyanto et al. 2006). Teknik pengolahan tanah sawah sempurna dan pengairannya secara ber-selang atau "macak-macak" menghasilkan gas metana sekitar 70-77 kg/ha/mt sedangkan dengan pengairan tergenang secara terus- menerus menghasilkan gas metana sekitar 164 kg/ha/mt.
Irawan : Nilai Ekonomi Lahan Pertanian Berdasarkan Manfaat Multifungsinya
Varietas padi juga mempunyai potensi emisi gas metana yang berbeda. Penanaman padi sawah varietas IR-64, Mamberamo, dan Way Opu Buru dapat menurunkan emisi gas metana secara berurutan 60, 35, dan 38% dibandingkan dengan varietas padi Cisadane. Di sisi lain hamparan padi sawah mampu meng-hasilkan (emisi) oksigen melalui fotosintesis 17,8 ton O 2 /ha dan menyerap karbondioksida 24,4 ton CO 2 /ha (Eom and HoSeong 2004). Perlindungan pasar beras domestik Jepang juga dikaitkan dengan multifungsi pertanian. Pandangan yang paling sederhana menyatakan secara nutrisi beras impor mungkin sama saja dengan beras hasil produksi dalam negeri, tetapi secara sosial-budaya dan lingkungan nilai beras impor dan beras hasil domestik sangat berbeda. Kekurangan pasokan beras sesaat dapat diatasi dengan mengimpornya, tetapi manfaat lingkung-an dari sistem persawahan, seperti sebagai penampung sumberdaya air dan pemandangan yang indah tidak dapat diimpor (Oshima, 2001). Multifungsi berkaitan dengan kegiatan ekonomi yang menghasilkan banyak output dan oleh karena itu dapat memberikan manfaat pada berbagai lapisan masyarakat dalam waktu yang bersamaan (FFTC, 2001). Berkaitan dengan konsep multifungsi pertanian tersebut, Badan Pertanian dan Pangan Dunia (FAO) telah menyusun dan melaksanakan proyek peran pertanian (ROA: Role of Agriculture) di negara-negara berkembang (FAO 2001).
Tabel 1.
Konsep multifungsi dapat ditelaah sebagai karakteristik aktivitas ekonomi. Suatu karakteris-tik yang menjadikan suatu aktivitas ekonomi bersifat multifungsi antara lain output atau hasil atau dampaknya yang banyak atau multiple output. Output tersebut dapat bermanfaat atau positif, dapat juga negatif atau merugikan masyarakat. Output tersebut juga dapat dinilai dengan harga pasar, karena ada pasarnya; tetapi mungkin juga output tersebut tidak atau belum ada pasarnya. Pendekatan penelaahan ini dikenal dengan konsep positif dari multifungsi. Pendekatan penelaahan lain adalah multifungsi sebagai konsep normatif. Multifungsi sebagai konsep normatif lebih menekankan pada "banyak-peran" atau "multiperan", seperti halnya peran lahan pertanian terhadap petani dan lingkungannya. Aspek normatif dari multi-fungsi lebih menekankan pada masalah kebijakan, yakni bagaimana mempertahankan multifungsi dari suatu obyek. Selain di Jepang dan Korea Selatan, penelitian mengenai multifungsi pertanian dilakukan juga di Norwegia dan Swiss (Tabel 1). Prioritas penelitian multifungsi pertanian di Swiss mencakup aspek pemandangan alam (lansekap) dan keanekaragaman hayati, sedangkan di Norwegia menekankan pada aspek ketahanan pangan. Penelitian multifungsi pertanian di Jepang dan Korea Selatan lebih diprioritaskan pada aspek mitigasi banjir, preservasi sumber-daya air, dan ketahanan pangan.
Prioritas penelitian multifungsi pertanian di beberapa negara
Aspek multifungsi Lansekap Biodiversitas Budaya lokal Mitigasi banjir Preservasi sumberdaya air Ketahanan pangan Penyerapan tenaga kerja lokal
Jepang X X X XXX XXX XX X
Korea Selatan X XX X XXX XXX XX X
Norwegia X X X XXX X
Swiss XXX XXX X X
Keterangan : XXX lebih diutamakan/diprioritaskan daripada XX atau X Sumber : Yabe (2005)
23
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Tabel 2.
Tingkat pemahaman masyarakat Korea Selatan mengenai multifungsi lahan sawah
No.
Fungsi lingkungan lahan sawah
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Ketahanan pangan Pencegah erosi tanah Pengendali banjir Penyegar udara Pembersih/penyaring air Preservasi sumberdaya air Penyedia tempat hidup yang sehat Pemandangan yang indah Preservasi budaya pedesaan Sumber pencemar tanah Sumber pencemar air
Tinggi 92,2 64,0 54,6 54,5 48,6 43,6 49,2 45,6 44,0 33,4 35,3
Sedang Rendah Tidak tahu Total ................................... % ................................... 6,9 0,8 0,1 100 26,7 7,3 2,0 100 33,3 8,7 3,4 100 32,6 9,4 3,5 100 31,9 14,2 5,3 100 42,1 10,3 4,0 100 34,3 12,9 3,6 100 38,9 12,5 3,0 100 37,4 15,0 3,6 100 32,1 19,8 14,7 100 30,3 20,8 13,6 100
Sumber : Suh (2001)
Multifungsi pertanian tidak mungkin dapat dijadikan instrumen kebijakan publik untuk mempertahankan lahan pertanian apabila masyarakat belum mengetahui, tidak memahami atau tidak memberikan apresiasi terhadap manfaat lingkungan lahan pertanian. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengetahui pengetahuan, persepsi dan apresiasi masyarakat terlebih dahulu mengenai hal tersebut dan meningkat-kannya melalui berbagai media dan cara-cara edukasi masyarakat.
alam, penyegar udara, preser-vasi ekosistem, dan pencegah erosi tanah.
Hasil penelitian di Korea Selatan (Suh, 2001) menunjukkan masyarakat setempat sudah mengenal multifungsi lahan pertanian dalam bentuk manfaat lingkungan dari lahan sawah, seperti sebagai penyedia bahan pangan dan stabilitas ketahanan pangan, pengendali erosi dan banjir. Selain itu masyarakat mengakui adanya pengaruh negatif lahan sawah terhadap lingkungan, seperti sebagai sumber pencemaran air dan tanah (Tabel 2).
Irawan et al. (2005) melakukan penelitian mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap multifungsi pertanian di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hasilnya menunjukkan pengetahuan responden terhadap multifungsi lahan pertanian berkisar dari tidak tahu (nol) sampai 11 konsep multifungsi lahan pertanian. Jumlah responden yang belum mengetahui multifungsi lahan pertanian ada 11,9% dan yang sudah mengetahui lebih dari empat konsep multifungsi pertanian ada 8,2% (Tabel 4). Lebih jauh dinyatakan dalam penelitian tersebut bahwa bahwa sedikit-banyaknya pengetahuan responden mengenai multifungsi lahan pertanian dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur, lokasi tempat tinggal, dan profesi responden. Ada kecenderungan tingkat pengetahuan mengenai multifungsi lahan pertanian para peneliti dan birokrat lebih tinggi daripada pengetahuan profesi lainnya.
Kemudian hasil penelitian Eom dan Kang (2001) mengenai apresiasi masyarakat Korea Selatan terhadap multifungsi pertanian menunjukkan ada delapan fungsi lingkungan lahan sawah yang mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat, yakni sebagai pemasok bahan makanan, sumberdaya air, pengikat emosi penduduk pedesaan, penyedia tempat atau media pendidikan lingkungan, tempat rekreasi dan pemandangan
24
Chen (2001) meneliti persepsi masyarakat mengenai jasa lingkungan lahan pertanian di Taiwan (Tabel 3). Hasil penelitian tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat sudah mengenal jasa lingkungan lahan pertanian, terutama yang sangat penting adalah sebagai pencegah erosi dan intrusi air laut, penyedia dan pembersih sumberdaya air, pengendali banjir, dan penyegar (pembersih) udara.
Irawan : Nilai Ekonomi Lahan Pertanian Berdasarkan Manfaat Multifungsinya
Tabel 3.
Persepsi masyarakat pertanian mengenai jasa lingkungan lahan pertanian di Taiwan, 2000
Jasa lingkungan lahan pertanian
Persepsi masyarakat
5 (6,5)
Tidak penting 3 (3,9)
Sama sekali tidak penting 1 (1,3)
31 40,4)
1 (1,3)
1 (1,3)
1 (1,3)
45 (58,4)
28 (36,4)
2 (2,6)
1 (1,3)
1 (1,3)
Konservasi sumberdaya air
45 (58,4)
28 (36,4)
2 (2,6)
1 (1,3)
1 (1,3)
Pencegah erosi dan intrusi air laut
53 (68,8)
19 (24,7)
2 (2,6)
3 (3,9)
0 (0)
Pengatur iklim mikro
39 (50,6)
35 (45,5)
2 (2,6)
1 (1,3)
0 (0)
Pembersih air
44 (58,4)
25 (32,5)
5 (6,5)
3 (3,9)
1 (1,3)
Pembersih udara
47 (61,0)
26 (33,8)
2 (2,6)
2 (2,6)
0 (0)
Habitat hewan/ tumbuhan
40 (52,0)
33 (42,9)
2 (2,6)
1 (1,3)
1 (1,3)
Sumber bahan organik
37 (35,1)
35 (45,4)
4 (5,2)
1 (1,3)
0 (0)
Sangat penting
Penting
Tidak tahu
Tempat rekreasi
23 (29,9)
45 (58,4)
Konservasi sumberdaya
43 (55,8)
Pencegah banjir
Catatan : Angka di dalam tanda ( ) adalah persentase Sumber : Chen (2001)
Tabel 4. Tingkat pengetahuan responden terhadap multifungsi lahan pertanian di Jawa Barat dan Jawa Tengah No.
Deskripsi
1.
Tidak/belum mengetahui multifungsi (MF) Mengetahui satu konsep MF Mengetahui dua konsep MF Mengetahui tiga konsep MF Mengetahui empat konsep MF Mengetahui lebih dari empat konsep MF Total
2. 3. 4. 5. 6.
Jumlah responden orang % 64 11,9 157 140 99 44 34
29,2 26,0 18,4 8,2 6,3
538
100,0
(land use), masyarakat Jawa Barat dan Jawa Tengah menilai peran sawah sangat penting (skor mendekati 5 pada skala 1-5) dalam mempertahankan ketahanan pangan nasional dan penyerapan tenaga kerja. Kemudian multifungsi pertanian sebagai pemasok sumberdaya air, pengendali banjir dan erosi relatif beragam, tetapi ada kesamaan penilaian bahwa lahan yang ditanami tanaman secara permanen, seperti perkebunan dan kayu-kayuan atau hutan merupakan tipe penggunaan lahan yang sangat penting dalam preservasi sumberdaya air, pengendali banjir dan erosi tanah.
Sumber : Irawan et al. (2005)
NILAI EKONOMI TOTAL Dikaitkan dengan tipe penggunaan lahan
25
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Nilai Ekonomi Total Sumberdaya Lahan
Nilai penggunaan
Nilai bukan penggunaan
Nilai penggunaan langsung
Nilai penggunaan tidak langsung
Nilai pilihan
Nilai keberadaan
Hasil yang langsung dapat dikonsumsi
Manfaat fungsional/ fungsi ekologi
Nilai penggunaan langsung dan tidak langsung masa depan
Nilai dari pengetahuan mengenai keberlangsungan keberadaan lahan
• Komoditas • Bahan organik • Rekreasi
• Pemasok air tanah • Pengendali banjir dan erosi • Penyegar udara
• Biodiversitas • Konservasi habitat
• Habitat dan spesies langka
Nilai bukan penggunaan lainnya
Semakin berkurang nilai atau manfaat nyata bagi individu Sumber : Munasinghe, 1993 (dimodifikasi)
Gambar 1. Kategori milai ekonomi sumberdaya lahan pertanian Lahan pertanian merupakan sumberdaya alam (SDA) yang mempunyai manfaat, baik langsung maupun tidak langsung bagi lingkungan hidup, sebagaimana tinjauan aspek multifungsi pertanian di atas. Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang yang terdiri atas unsur abiotik (tanah, air, udara), biotik (tumbuhan, hewan), dan manusia beserta aspek sosialekonomi dan sistem interaksi di antara unsur-unsur tersebut yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya. Atas dasar definisi tersebut maka Bangsa Indonesia seharusnya sudah mengenal dan mengetahui bahwa manfaat lahan pertanian bukan hanya bagi manusia tetapi juga bagi makhluk hidup lainnya, bahkan bagi keberlangsungan keberadaan jenis-jenis benda mati. Oleh karena itu, hilangnya lahan pertanian, misalnya karena dikonversi menjadi kawasan industri atau 26
perumahan seharusnya mem-perhitungkan berbagai jenis dan besaran manfaat tersebut yang berkurang atau bahkan hilang. Mengacu pada pendapat Munasinghe (1993) tentang nilai guna sumberdaya alam (SDA), secara analogi manfaat lahan pertanian dapat dikelompokkan ke dalam nilai guna (use values) dan nilai non-guna (non use values). Nilai guna ada yang bersifat langsung (direct use values) dan ada yang tidak langsung (indirect use values) serta nilai pilihan (option values). Sementara itu nilai non-guna mencakup nilai keberadaan (existence values) dan nilai warisan (bequest values). Secara skematik pemilahan nilai ekonomi total sumberdaya lahan disajikan pada Gambar 1. Nilai guna langsung (NGL) merupakan manfaat langsung dari barang atau jasa yang dihasilkan oleh SDL pertanian. Nilai guna langsung tersebut mencakup manfaat yang langsung dapat dikonsumsi dan penilaiannya dapat dilakukan berdasarkan mekanisme pasar, misalnya komoditas pertanian seperti padi, palawija, atau
Irawan : Nilai Ekonomi Lahan Pertanian Berdasarkan Manfaat Multifungsinya
jasa penyerapan tenaga kerja berupa upah kerja. Nilai guna tidak langsung (NGTL) merupakan manfaat yang diperoleh dari fungsi ekologi SDL pertanian, seperti multifungsi pertanian dalam hal pengendalian banjir, erosi dan sedimentasi, mitigasi suhu udara, sumber atau emisi gas oksigen (O 2 ), penyerap karbon (CO 2 ), pemasok sumber air tanah, penyedia pemandangan alam, dan lainnya. Selain petani sebagai penyedia jasa lingkungan, manfaat NGTL tersebut dirasakan juga oleh masyarakat luas. Konsep nilai guna pilihan dan nilai bukan penggunaan masih bersifat rancu dan tumpang tindih. Konsep nilai ini dipandang perlu sebagai petunjuk saja, sedangkan dalam prakteknya perbedaan kedua konsep tersebut tidak penting mengingat yang utama adalah bagaimana menilai atau mengukur total nilai ekonomi (Munasinghe, 1993). Nilai bukan penggunaan cenderung berkaitan dengan motif atau sifat dermawan seseorang, baik untuk lintas generasi atau warisan, atau pemberian individu, atau pandangan bahwa sesuatu mempunyai hak untuk ada. Pengertian yang disebutkan terakhir ada di luar konteks teori ekonomi konvensional. Bahkan sifat kedermawanan seseorang sulit dinilai dan dianalisis dalam teknik biaya manfaat proyek (Munasinghe 1993). Apabila nilai-nilai ekonomi SDL pertanian tersebut dijumlahkan maka akan diperoleh nilai ekonomi total (total economic values) yang secara matematis dapat diirinci sebagai berikut: NET = NG + NNG ............................................. (1) NG = NGL + NGTL + NGP ............................... (2) NNG = NK + NW ............................................... (3) dimana : NET = Nilai Ekonomi Total; NG = Nilai Guna; NNG = Nilai Non-Guna; NGL = Nilai Guna Langsung; NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung; NGP = Nilai Guna Pilihan; NK = Nilai Keberadaan; dan NW = Nilai Warisan. Pemahaman terhadap nilai guna dan nilai non-guna lahan pertanian sangat penting karena SDL pertanian mempunyai sifat tidak dapat balik (irreversible) atau sulit untuk pulih kembali, sifat kelangkaannya terus meningkat, dan adanya ketidakpastian di masa depan. Sebidang lahan pertanian yang sudah dikonversi menjadi kawasan industri atau permukiman secara teoritis masih mungkin dikembalikan menjadi lahan pertanian,
tetapi secara teknis dan ekonomi hal itu sulit atau mustahil dilakukan, antara lain karena tidak praktis dan tidak efisien. Oleh karena itu keputusan konversi lahan pertanian perlu didasarkan pada pertimbangan yang matang, berjangka panjang dan holististik, antara lain dengan memperhitungkan nilai ekonomi totalnya. Sifat kelangkaan SDL pertanian jelas semakin meningkat dari waktu ke waktu akibat tekanan jumlah penduduk dan aktivitas ekonomi yang semakin beragam. Oleh karena itu penilaian manfaat lahan pertanian seharusnya bersifat jangka panjang walaupun kejadian dan keadaan masa yang akan datang memang tidak dapat diprediksi secara sempurna. Sebagai contoh fenomena yang akan terjadi manakala ekosistem persawahan di seluruh Pulau Jawa rusak atau musnah tidak dapat diprediksi secara meyakinkan. Tetapi ada hal yang pasti bahwa akan ada biaya potensial yang harus dikeluarkan apabila ekosistem persawahan tersebut mengalami kepunahan.
VALUASI EKONOMI LAHAN PERTANIAN Valuasi ekonomi merupakan upaya untuk memberikan nilai kuantitatif ("monetasi") terhadap barang atau jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam (SDA) baik atas dasar nilai pasar (market value) maupun nilai non-pasar (non market value). Oleh karena itu valuasi ekonomi sumberdaya merupakan suatu alat eko-nomi (economic tool) yang menggunakan teknik penilaian tertentu untuk mengestimasi nilai nominal dari barang atau jasa yang dihasilkan oleh SDA. Penerapan valuasi ekonomi sangat penting dan menentukan dalam upaya untuk mengetahui nilai ekonomi total SDA, khususnya SDL pertanian seperti penggolongan manfaatnya disajikan pada Gambar 1 dan secara matematis disajikan pada Rumus 1, 2, dan 3 di atas. Pemahaman konsep valuasi ekonomi juga memungkinkan para pengambil kebijakan dapat menentukan penggunaan SDA yang efektif dan efisien. Hal tersebut karena valuasi ekonomi dapat digunakan untuk menunjukkan keterkaitan antara konservasi SDA dan pembangunan ekonomi, 27
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
sehingga dengan demikian valuasi ekonomi dapat menjadi suatu alat penting dalam upaya peningkatan apresiasi dan kesadaran masyarakat terhadap SDA. Valuasi ekonomi menggunakan satuan moneter sebagai patokan perhitungan yang dianggap sesuai. Walaupun masih terdapat keragu-raguan bahwa nilai uang belum tentu absah untuk semua atau beberapa hal, seperti nilai jiwa manusia; tetapi pada kenyataannya pilihan harus diputuskan dalam konteks kelang-kaan sumberdaya yang harus dinilai secara kuantitatif. Oleh karena itu satuan moneter sebagai patokan pengukuran merupakan salah satu ukuran terbaik untuk suatu tindakan pengambilan keputusan. Ketidakhadiran pasar tidak berarti manfaat ekonomi suatu barang atau jasa tidak ada, oleh karena itu preferensi yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat itu mau tidak mau harus meng-gunakan satuan moneter. Ketidakhadiran pasar memang akan membuat proses valuasi ekonomi SDA menjadi lebih rumit, atau harus dilakukan melalui beberapa tahap. Ada beberapa alasan mengapa satuan moneter diperlukan dalam valuasi ekonomi SDA. Tiga alasan utamanya adalah : (1) satuan moneter dapat digunakan untuk menilai tingkat kepedulian seseorang terhadap keberadaan dan fungsi SDA, (2) satuan moneter dari manfaat dan biaya SDA dapat menjadi pendukung untuk keberpihakan terhadap kualitas lingkungan, dan (3) satuan moneter dapat dijadikan sebagai bahan pembanding secara kuantitatif terhadap beberapa alternatif pilihan dalam memutuskan suatu kebijakan tertentu termasuk dalam hal pilihan melestarikan atau mengkonversi lahan pertanian (Suparmoko dan Suparmoko 2000). Ada beberapa pendekatan atau cara untuk melakukan valuasi ekonomi. Hufschmidt et al. (1983) membagi tiga pendekatan valuasi ekonomi, yakni (1) pendekatan langsung berdasarkan pada nilai pasar atau produktivitas, (2) pendekatan nilai pasar barang substitusi/ pelengkap atau komplementer, dan (3) pen-dekatan teknik survei dengan WTP (willingness to pay) atau WTA (willingness to accept). Pandangan lain menyebutkan valuasi ekonomi dapat dilakukan dengan pendekatan fungsi permintaan dan bukan fungsi permintaan (Suparmoko dan Suparmoko 2000; Fauzi, 2004). 28
Pendekatan WTP dapat digunakan untuk menilai jasa lingkungan pertanian yang dapat dirasakan oleh masyarakat hilir, misalnya terkait dengan bahaya banjir. Kondisi yang mendukung untuk menerapkan WTP itu antara lain kejadian banjir sudah bersifat rutin, masalah banjir tersebut belum dapat ditanggulangi dengan sistem penanganan banjir secara kuratif, sementara di sisi lain masyarakat korban bencana banjir menyadari kejadian banjir terkait dengan kualitas lingkungan di wilayah hulunya. Dalam kondisi seperti itu maka masyarakat akan memberikan respon positif terhadap upaya-upaya perbaikan lingkungan wilayah hulu, termasuk pertanian yang dapat mengurangi bahaya banjir. Oleh karena itu dalam kasus seperti ini pengetahuan masyarakat hilir mengenai jasa lingkungan pertanian memegang peranan penting dalam penerapan konsep pembayaran jasa lingkungan pertanian. Pendekatan WTA secara prinsip sama dengan WTP, tetapi respondennya adalah masyarakat yang menyediakan atau menghasilkan jasa lingkungan. Pendekatan WTA tepat digunakan untuk mengetahui seberapa besar petani mau dibayar (diberi insentif minimal) agar bersedia mengelola dan mempertahankan lahan pertaniannya, termasuk menerapkan teknik konservasi tanah dan air pada usahatani lahan kering. Berdasarkan uraian di atas maka dapat difahami bahwa manfaat lahan pertanian bukan hanya manfaat ekonomi sebagai penghasil komoditas pertanian dan penyedia lapangan kerja, tetapi juga manfaat sebagai penghasil jasa lingkungan. Sebagai contoh manfaat ekonomi lahan sawah bagi petani adalah nilai produksi padi dan palawija serta kesempatan kerja yang tersedia sesuai dengan pola tanamnya. Kesempatan kerja yang diciptakan oleh lahan sawah tidak terbatas pada kegiatan on-farm tetapi juga off-farm, bahkan kegiatan hulu berupa penyediaan sarana produksi dan alat mesin pertanian dan kegiatan hilir berupa perdagangan dan pengolahan komoditas beras. Kemudian manfaat lingkungannya berupa multifungsi lahan sawah dalam pengendalian banjir dan erosi tanah, konservasi sumberdaya air, dan lainnya.
Tabel 5. No. 1. 2. 3. 4. 5.
Nilai ekonomi lahan sawah dan lahan kering Sub DAS Citarik (Rp/ha/th)
Multifungsi Lahan sawah % Lahan kering Penghasil produksi pertanian 15.804.444 28,6 5.444.427 Irawan : Nilai Ekonomi Lahan Pertanian Berdasarkan Manfaat Multifungsinya Penyerap tenaga kerja 8.895.600 16,1 3.696.000 Stabilitas ketahanan pangan/beras 22.366.922 40,4 td Pengendali banjir 2.126.222 3,6 804.388 Pengendali erosi dan sedimentasi 6.247.376 11,3 td Total 55.440.564 100,0 9.944.815
% 54,7 37,2 8,1 100,0
Catatan : td = tidak dinilai Sumber : Irawan (2007)
Terkait dengan hal itu, Agus et al. (2005) telah menghitung nilai ekonomi lahan sawah di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, Jawa Barat dengan menggunakan metode biaya pengganti (RCM). Hasil penelitian tersebut menunjukkan nilai ekonomi lahan sawah mencapai Rp 13.764.000,/ha/tahun. Nilai ekonomi tersebut terdiri atas nilai barang ekonomi (49%) dan nilai jasa lingkungan (51%). Manfaat lingkungan yang dinilai meliputi fungsi lahan sawah sebagai pengendali banjir, konservasi sumberdaya air, pengendali erosi, penyerap sampah organik, penyedia tempat rekreasi, dan penyejuk udara. Hasil penelitian serupa di Sub DAS Citarik, Jawa Barat menunjukkan bahwa nilai ekonomi lahan sawah dan lahan kering masing-masing Rp 55,4 juta/ha/tahun dan Rp 9,9 juta/ha/tahun (Irawan, 2007). Metode penilaian (valuasi) ekonomi yang digunakan berupa kombinasi pendekatan nilai pasar dan non-pasar dengan tambahan kajian aspek multifungsi lahan pertanian sebagai penyedia kesempatan kerja dan stabilitas ketahanan pangan. Sebagaimana disajikan pada Tabel 5 nilai ekonomi lahan sawah terdiri atas nilai produksi hasil pertanian (28,6%), penyerap tenaga kerja (16,1%), stabilitas ketahanan pangan (40,4%), dan nilai jasa lingkungan dalam pengendalian banjir, erosi dan sedimentasi (14,9%). Kemudian nilai ekonomi lahan kering terdiri atas nilai produksi hasil pertanian (54,7%), penyerap tenaga kerja (37,2%), dan nilai jasa lingkungan dalam pengendalian banjir (8,1%). Hasil kedua studi tersebut menunjukkan bahwa lahan sawah selain memberikan manfaat ekonomi kepada petani juga menghasilkan jasa lingkungan bagi masyarakat luas dengan nilai manfaat yang lebih besar. Demikian juga lahan kering, nilai manfaat jasa lingkungannya hampir seimbang dengan nilai ekonomi privat yang langsung dirasakan oleh para petaninya. Apabila sebagian nilai jasa lingkungan lahan pertanian tersebut dapat dikembalikan dan dinikmati oleh petani, misalnya 50% saja maka
petani padi sawah berhak atas tambahan pendapatan pada tingkat harga gabah setara dengan Rp 3.721,-/kg GKG dimana harga tersebut jauh lebih tinggi daripada harga pembelian pemerintah (HPP) yang berlaku. Demikian pula petani lahan kering berhak atas tambahan pendapatan setara dengan harga jagung sebesar Rp 1.698,-/kg pipilan dimana harga tersebut lebih tinggi daripada harga jagung di tingkat pasar. Implikasi dari penilaian tersebut adalah kehilangan manfaat ekonomi lahan pertanian akibat konversi lahan yang berlangsung setiap tahun akan semakin tinggi nilainya, baik dalam bentuk kehilangan potensi hasil-hasil pertanian, kesempatan kerja, dan jasa lingkungan. Selanjutnya Irawan (2007) melakukan analisis nilai kini dari manfaat yang hilang akibat konversi lahan pertanian dan biaya usahatani yang diperlukan untuk mempertahankannya sebagaimana disajikan pada Tabel 6. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa konversi lahan sawah di wilayah Sub DAS Citarik akan menimbulkan lebih banyak kerugian berupa hilangnya nilai manfaat produksi pertanian dan jasa lingkungan dibandingkan dengan besaran biaya yang diperlukan untuk mengelola usahatani atau mempertahankan lahan pertanian tersebut. Perbandingannya mencapai 2,2:1 yang berarti satu unit biaya privat yang dikeluarkan oleh petani pada usahatani lahan sawah akan menghasilkan 2,2 unit satuan manfaat jasa lingkungan. Pada lahan kering tegalan perbandingan nilai yang serupa tersebut relatif kecil. Hasil analisis ini mendukung gagasan perlunya upaya untuk mempertahankan lahan sawah, sebaliknya lahan kering tegalan boleh menjadi pilihan pertama untuk dikonversi bagi keperluan non-pertanian. Tabel 6. Nilai kini manfaat yang hilang akibat konversi lahan pertanian dan nilai kini biaya usahatani apabila lahan tersebut tidak dikonversi, Sub DAS Citarik Deskripsi
Jenis lahan Lahan Sawah kering
29
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Luas lahan yang dikonversi selama 12 tahun (ha) Nilai kini biaya usahatani (Rp milyar) Nilai kini manfaat yang hilang (Rp milyar)
7.543
6.066
574,43
186,06
1.264,07
195,67
Sumber : Irawan (2007)
Nilai ekonomi lahan pertanian di Jepang sudah diteliti pada tahun 1990-an sebagaimana dilaporkan oleh Yoshida dan Goda (2001). Nilai ekonomi jasa lingkungan lahan pertanian dan pedesaan di seluruh Jepang, seluas 4,1 juta ha
Pencegah erosi tanah
2,85
1,75
Pencegah longsor
1,43
0,84
Penyerap sampah organik
0,06
0,03
Penyegar/pembersih udara
0,10
0,04
Penyejuk iklim/mitigasi suhu udara
0,11
0,02
Tempat rekreasi dan kesenangan
22,57
10,13
Total
68,80
30,33
Sumber : Yoshida dan Goda (2001)
KESIMPULAN DAN SARAN
9
mencapai US$ 68,80 x 10 , dan dari jumlah 9 tersebut sebesar US$ 30,33 x 10 adalah nilai ekonomi lahan kering berupa perbukitan dan gunung, seluas 2,2 juta ha (Tabel 7). Pada nilai tukar Rp 9.000/US$ nilai multifungsi lahan pertanian di Jepang mencapai Rp 151.000.000,-/ ha. Manfaat terbesar dari nilai ekonomi tersebut (90%) merupakan nilai fungsi lingkungan sebagai pengendali banjir, pemasok sumber air tanah, rekreasi, dan kesenangan. Oleh karena itu adalah hal yang sangat wajar apabila salah satu distrik di Jepang memberikan bantuan kepada petani sawah sebesar US $ 3.300 atau Rp 29,7 juta/ha/tahun (MAFF, 2001). Secara nasional aplikasi hasil penelitian valuasi ekonomi lahan pertanian di Jepang adalah dukungan “proteksi” pemerintah dan masyarakat terhadap petani dan pertaniannya, antara lain melalui kebijakan harga beras yang sangat tinggi di pasar domestik, sekitar Rp 32.000,-/kg dan menerapkan pajak impor beras yang tinggi untuk melindungi pasar beras domestik dari beras impor. Tabel 7. Nilai ekonomi multifungsi lahan pertanian dan wilayah perbukitan/ pegunungan di Jepang (US $ milyar) Multifungsi
Seluruh Wilayah wilayah perbukitan/ pertanian pegunungan
Pengendali/pencegah banjir
28,79
11,50
Pemasok dan pengawet sumber air tanah
12,89
6,02
30
1. Selain menghasilkan barang ekonomi yang bersifat privat, seperti bahan pangan, lahan pertanian juga menyediakan jasa lingkungan melalui berbagai multifungsinya seperti fungsi pengendali banjir, erosi dan sedimen-tasi, fungsi konservasi sumberdaya air, mitigasi suhu udara, keanekaragaman hayati, dan lainnya. Negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Swiss, dan Norwegia telah meneliti manfaat multifungsi lahan pertanian dan menjadikan multifungsi lahan pertanian sebagai instrumen kebijakan untuk melindungi petani dan pertaniannya. 2. Lahan pertanian mempunyai nilai guna langsung dan nilai guna tidak langsung serta nilai non-guna sebagaimana beragam multifungsinya. Penilaian manfaat ekonomi lahan pertanian perlu mempertimbangkan nilai-nilai tersebut melalui pendekakatan nilai ekonomi total. 3. Penerapan teknik valuasi ekonomi sangat penting untuk mengetahui nilai ekonomi total SDL pertanian dan pemahaman konsep valuasi ekonomi tersebut oleh para pengam-bil kebijakan dapat menentukan penggunaan SDL pertanian secara efektif dan efisien dalam horizon waktu jangka panjang. 4. Nilai ekonomi lahan pertanian, baik di Indonesia maupun di Jepang lebih tinggi daripada nilai poduksi pertanian yang dihasilkannya. Hal itu menunjukkan sistem pertanian (pada lahan sawah atau lahan
Irawan : Nilai Ekonomi Lahan Pertanian Berdasarkan Manfaat Multifungsinya
kering) menghasilkan jasa lingkungan yang jauh lebih tinggi daripada nilai ekonomi komoditas pertaniannya. 5. Diperlukan kajian mengenai nilai jasa lingkungan atau multifungsi lahan pertanian dalam skala nasional sehingga dapat dirumuskan kebijakan yang lebih komprehensif mengenai upaya-upaya pengendalian konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah, baik dengan pendekatan insentif/disinsentif maupun penegakkan hukum. Sejalan dengan itu sosialisasi mengenai multifungsi lahan pertanian perlu dilakukan agar masyarakat mengetahui lebih banyak lagi manfaat lahan pertanian, baik untuk aspek sosial, ekonomi, dan biofisik serta ketahanan nasional.
DAFTAR PUSTAKA Chen, M. 2001. Evaluation of Environmental Services of Agriculture in Taiwan. International Seminar on Multifunctionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS, Tsukuba, Ibaraki, Japan. Pp. 169-189. Eom, K.C. and Kang K.K. 2001. Assessment of Environmental Multifunctions of Rice Paddy and Upland Farming in the Rep. of Korea. International Seminar on Multifunctionality of Agriculture, 17-19 Octo-ber 2001. JIRCAS, Tsukuba, Ibaraki, Japan. Pp. 37-48. Fahmuddin, A., R.L. Watung, Wahyunto, Irawan, R. Nurmanaf, Sutono, and S.H. Tala'ohu. 2005. The multifunctionality of agriculture: environment aspects and community evaluation. Pp 93-154. In Azmi M. Akhir (Ed.) Evaluation of Multi-functionality of Paddy-farming and Its Effects in ASEAN Countries Based on Country Case Study. ASEAN-MAFF Japan Project on Multifunctionality of Agriculture.
Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 260 hlm. Hufschmidt, M.M., D.E. James, A.D. Meister, B.T. Bower, J.A. Dixon. 1983. Environment, Natural Systems and Development : An Economic Valuation Guide. The John Hopkins University Press. Baltimore and London. 337 hlm. Irawan, E. Husen, Maswar, R.L. Watung, dan F. Agus. 2005. Persepsi dan Apresiasi Masyarakat terhadap Multifungsi Pertanian: Studi Kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Irawan. 2007. Valuasi Ekonomi Lahan Pertanian: Pendekatan Nilai Manfaat Multifungsi Lahan Sawah dan Lahan Kering (Studi Kasus di Sub DAS Citarik, Kabupaten Bandung, Jawa Barat). Disertasi. Sekolah Pasca sarjana, IPB. Bogor. Kurnia, U. 2006. Pencemaran pestisida pada tanah dan pengendaliannya. Jurnal Sum-ber Daya Lahan. 1(1):10-19. Munasinghe, M. 1993. Environmental Economics and Sustainable Development. World Bank Environment Paper Number 3. The World Bank. Washington, D.C. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 2001. Multifunctionality: Towards an Analitycal Framework. Paris. 159 p. Oshima, S. 2001. Multifunctionality of agricul-ture: viewpoint of consumer's activity. International Seminar on Multifunctionali-ty of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS, Tsukuba, Ibaraki, Japan. Pp 1936. Setyanto, P., R. Boer, and R.A. Bakar. 2006. Evaluation of methane emission mitiga-tion option from rice field in Java. Pp 219-231. In Sumarno, Suparyono, A.M. Fagi, and M.O. Adnyana (Eds.). Rice Industri, Culture and Environment : Pro-
Food and Agriculture Organisation (FAO). 2001. ROA Project Publication No. 2: Expert Meeting Proceedings. Rome, Italy. 70 p. The
Food and Fertilizer Technology Center (FFTC). 2001. International Seminar on Multifunctionality of Agriculture. 17-19 October 2001. Tsukuba, Ibaraki, Japan.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan
31
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Proceeding International Rice Conference. AARD Jakarta-IRRI The Phillippines. Suh, D.K. 2001. Social and Economic Valuation of the Multifunctionality Roles of Paddy Farming. International Seminar on MultiFunctionality of Agriculture, 17-19 Octo-ber 2001. JIRCAS, Tsukuba, Ibaraki, Japan. Pp 151-168. Suparmoko, M. dan M.R. Suparmoko. 2000. Ekonomika Lingkungan (Edisi Pertama). BPPE. Yogyakarta. 365 hlm. Sutomo, S. 2004. Analisis Data Konversi dan Prediksi Kebutuhan Lahan. Makalah disampaikan pada Pertemuan Round Table II Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan Pertanian. Jakarta, 14 Desember 2004. Yabe, M. 2005. Multifunctionality from view point of economics and its related reseach activities. Pp 11-31. In Mat Akhir A. (Ed). Evaluation of Multifunctio-nality of Paddy Farming and Its Effects in ASEAN Countries. Yoshida, K. 2001. An Economic Evaluation of the Multifunctional Roles of Agriculture and Rural Areas in Japan. Technical Bulletin 154. August 2001. FFTC. Taiwan. Yoshida, K. and M. Goda. 2001. Economic evaluation of multifunctional roles of agriculture in hilly and mountanious areas in Japan. Pp. 191-200. In Proceeding Inter.Seminar on Multifunctionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS, Tsukuba, Ibaraki, Japan.
32
PENELITIAN AGROKLIMAT DALAM MENDUKUNG PERENCANAAN PERTANIAN Agroclimatology Research on Support of Agricultural Planning E. Runtunuwu1 dan Irsal Las2 1
2
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor
ABSTRAK Indonesia terdiri atas banyak pulau dengan kondisi iklim yang sangat beragam. Data dan informasi dari keragaman iklim di Indonesia perlu diinventarisasi dan direpresentasikan secara spasial dan temporal, sehingga dapat dimanfaatkan untuk mendukung perencanaan pertanian. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan pengembangan sistem basis data, model klimatologi, teknologi aplikasi, dan strategi diseminasi informasi kepada para pengguna. Tulisan ini bertujuan untuk mereview penelitian agroklimat yang telah dan sedang dilaksanakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Fokus penelitian agroklimat secara umum terdiri atas lima tahap utama, yaitu : (1) pengembangan jaringan stasiun pengamat iklim/curah hujan, (2) pengembangan sistem database iklim, (3) pengembangan model analisis sumberdaya iklim, seperti model prediksi curah hujan dan analisis neraca air, (4) pengembangan aplikasi/teknologi dan pembuatan peta sumberdaya iklim, serta (5) pengembangan sistem penyebaran informasi sumberdaya iklim dan air kepada pengguna. Gambaran fokus penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar evaluasi penelitian mana yang perlu dikembangkan pada masa mendatang. Kata kunci : Agroklimat, penelitian
ABSTRACT Indonesia consists of a lot of islands with various climate conditions. The data and information of climate variability in Indonesia is necessary to be inventarized, and then presented in spatial and temporal scale for supporting agricultural development. To achieve this goal, we need to develop the climate database system, climate modeling, application technology, and disemination strategy. This paper reviewed the agroclimatology research in the past and ongoing research which have been done by Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (AARD). In general, the focuses of agroclimatology research might be divided into five main steps, i.e. (1) climate/rainfall observation networking development, (2) climate database system development, (3) climate analysis modeling development, (4) application technology and climate resources mapping developments, and (5) climate information delivery system development. This descriptions are expected to be as an important base to evaluate which topic has to be continued and improved in the future. Keywords : Agroclimatology, research
I
klim merupakan faktor alam yang sangat menentukan tingkat kesesuaian lahan, produktivitas, jenis dan mutu produk pertanian. Setiap jenis tanaman memerlukan iklim dengan kisaran tertentu dalam setiap fase pertumbuhan-nya. Pada keadaan tertentu, fluktuasi unsur iklim yang ekstrim menjadi faktor pembatas terutama pada fase kritis yang pengaruhnya sangat besar terhadap penurunan hasil tanaman. Namun di sisi lain keragaman dan dinamika iklim dapat bermanfaat bagi pengembangan sistem dan usaha agribisnis, terutama dalam kaitannya dengan jenis dan mutu hasil serta periode panen. Indonesia terdiri atas banyak pulau dengan bentuk lahan dan topografi sangat beragam,
dengan variabilitas iklim dan air yang sangat berpotensi untuk pengembangan berbagai jenis komoditas unggulan. Kajian penelitian Agroklimat secara umum terdiri atas: (1) pengembangan jaringan stasiun pengamat iklim/curah hujan, (2) pengembangan sistem database iklim, (3) pengembangan model analisis sumberdaya iklim, seperti model prediksi curah hujan dan analisis neraca air, (4) pengembangan aplikasi/teknologi terapan dan pembuatan Peta Sumberdaya Iklim, dan (5) pengembangan sistem penyebaran informasi sumberdaya iklim kepada pengguna (Gambar 1). Tulisan ini bertujuan untuk mereview penelitian agroklimat yang telah dilakukan Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat), Departemen Pertanian sampai saat ini. Gambaran 33
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
penelitian diharapkan dapat menjadi dasar evaluasi dan pertimbangan, penelitian mana yang harus diteruskan dan dikembangkan pada masa mendatang. STASIUN PENGAMAT IKLIM
SISTEM DATABASE IKLIM
PEMODELAN/ ANALISIS
APLIKASI TEKNOLOGI
PEMBUATAN PETA IKLIM
SISTEM PENYEBARAN INFORMASI
PEMANFAATAN OLEH PENGGUNA
Gambar 1. Fokus penelitian agroklimat
berusaha mengakses data near real time iklim di stasiun tersebut dengan menggunakan fasilitas telepon (Surmaini et al., 2005; 2006; 2007). Namun demikian, beberapa kendala masih dihadapi untuk mendapatkan data aktual, yaitu rusaknya alat pengamat unsur iklim di stasiun iklim/curah hujan, keterbatasan dana untuk melakukan perawatan rutin terutama untuk lokasi stasiun yang jauh, dan kesulitan di dalam pengiriman data. Hal ini mengakibatkan terjadinya keterlambatan penerimaan data iklim, sehingga informasi aktual yang harus disampaikan kepada para pengguna juga mengalami keterlambatan. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 2007 Balitklimat mulai mengadakan kalibrasi agar kualitas data iklim makin baik dan relokasi stasiun AWS agar distribusi stasiun makin luas (Syahbuddin et al., 2007). Selain itu, pada tahun 2008 dicanangkan program pem-bangunan jaringan stasiun pengamatan iklim pertanian di seluruh Indonesia, termasuk melaku-kan perbaikan stasiun pengamat iklim manual dan otomatis. Dalam kaitannya dengan perencanaan pertanian, tahap ini sangat diperlukan terutama dalam hal penempatan stasiun-stasiun pengamatan iklim yang seharusnya memprioritaskan daerah-daerah sentra pertanian. Dengan tersedianya informasi iklim di daerah-daerah sentra pertanian, maka diharapkan perencanaan pertanian, misalnya di dalam menentukan jenis komoditas dan waktu tanam, dapat dilakukan sesuai kondisi iklim wilayah tersebut, tidak menggunakan kondisi iklim daerah yang lain.
JARINGAN STASIUN PENGAMATAN IKLIM Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian melalui Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (Balitklimat) sejak tahun 1972 telah membangun sejumlah stasiun klimatologi kelas A (manual) di beberapa lokasi sentra produksi. Hingga kini terdapat 24 stasiun manual yang masih aktif digunakan sebagai stasiun observasi iklim. Kemudian sejak tahun 1999 kapasitas observasi iklim dan hidrologi ditingkatkan dengan memasang 74 buah automatic weather station (AWS) dan 23 automatic water level recorder (AWLR) yang tersebar di tujuh provinsi yaitu Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Balitklimat 34
SISTEM DATABASE DAN INFORMASI SUMBERDAYA IKLIM Sistem database dan informasi iklim pertanian nasional bertujuan untuk menggabungkan data tabular berupa data iklim dan informasi stasiun dengan data spasial berupa batas administrasi, dengan menggunakan teknologi sistem informasi geografi (SIG). Kelebihan penggunaan pendekatan ini adalah kebebasan meramu struktur database dengan bentuk keluaran yang diinginkan, baik pada proses pembangunan sistem, updating data, analisis, maupun dalam modifikasi tampilan.
E. Runtunuwu dan Irsal Las : Penelitian Agroklimat dalam Mendukung Perencanaan Pertanian
Gambar 2. Capture window data dari sistem database iklim nasional pertanian
Keunggulan dari sistem database dan informasi iklim ini adalah dapat : (a) menampilkan data dan informasi iklim secara cepat berdasar-kan jenis parameter, periode waktu, dan stasiun yang diinginkan, (b) menampilkan distribusi stasiun pengamat iklim/curah hujan, (c) mengolah data iklim ke beberapa satuan waktu, seperti harian, dasarian, bulanan, dan tahunan, serta (d) menampilkan hasil olahan dalam beberapa bentuk seperti grafik, print out maupun file. Sistem database iklim nasional yang sedang dikembangkan Balitklimat (Runtunuwu et al., 2005a, b; 2006; 2007) bersifat terbuka sehingga berpeluang utuk dimodifikasi sesuai dengan peningkatan kebutuhan dan ketersediaan data yang dimiliki (Gambar 2). Sampai dengan Juni 2007, Balitklimat telah menginventaris sekitar 2.967 stasiun iklim/curah hujan (Runtunuwu et al., 2007). Kerjasama dengan instansi lain seperti Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sangat diperlukan untuk meningkatkan luasan cakupan dan variasi data iklim. Sistem database dan informasi iklim sangat penting di dalam penyusunan perencanaan
pertanian, karena sistem ini menjadi penghubung antara data yang dikumpulkan di lapangan dengan analisis agroklimat yang dilakukan. Dengan cepat dan mudah sistem ini dapat memberikan informasi iklim suatu wilayah, sehingga dalam penyusunan perencanaan kegiat-an pertanian, dapat lebih mempertimbangkan kondisi iklim daerah yang bersangkutan.
PEMODELAN SUMBERDAYA IKLIM Sumberdaya iklim dan air merupakan faktor determinan dalam proses produksi yang sangat besar kontribusinya terhadap kuantitas, kualitas, dan kontinyuitas hasil pertanian. Sebagian penyediaan datanya konvensional dalam bentuk hard copy, terfragmentasi, yang kecepatan, ketepatan, dan keakuratannya terbatas, sehingga menyulitkan perencana dan pengambil kebijakan dalam mendayagunakan sumberdaya iklim dan air. Untuk menjembatani senjang tersebut, Laboratorium Numerik dan Sistem Informasi Spasial Agroklimat dan Hidrologi (NSISAH) Balitklimat telah membuat beberapa perangkat lunak yang ramah pengguna (user friendly) 35
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
sebagai alat bantu dalam mengakses data dan informasi, menganalisis, dan menginterpretasi sumberdaya iklim dan air. Beberapa model sumberdaya iklim dan air yang telah dan sedang dikembangkan adalah Filter Kalman (Hakim et al., 2004; Estiningtyas et al., 2005a; 2006), WARM (Water and Agroclimate Resources Management) ver 2.0 (Runtunuwu et al., 2004; 2005a,b; 2006; 2007), MAPDAS ver 1.0 (Runtunuwu et al., 2004; 2005a; 2006), MARS model (Friedman, 1991; Estiningtyas et al., 2005b), merupakan contoh model yang mentransformasi data iklim ke informasi sumberdaya iklim dan air. Hasil analisis dapat ditampilkan ke dalam beberapa kemasan baik display di monitor komputer (secara tabular dan histogram), print out, maupun disimpan dalam bentuk file tekstual yang dapat dibaca dengan program basis data. Dua contoh analisis sumberdaya iklim yang sedang dikem-bangkan dibahas berikut ini. Model prediksi curah hujan bulanan Prediksi curah hujan merupakan suatu cara untuk mengetahui gambaran kondisi curah hujan beberapa waktu ke depan. Hal ini penting, karena dengan mengetahui gambaran curah hujan ke depan, maka dapat dilakukan berbagai perencanaan yang terkait dengan curah hujan, misal-nya penyusunan pola tanam, pengaturan irigasi, dan sebagainya. Berbagai metode prediksi telah
dikembangkan baik dengan model statistik, model deterministik maupun kombinasinya. Balitklimat telah menyusun model prediksi curah hujan dengan metode Filter Kalman berbasis data suhu permukaan laut Nino 3.4 (Hakim et al., 2004; Estiningtyas et al., 2005a, b; 2006). Gambar 3 merupakan contoh hasil validasi model dan Gambar 4 adalah hasil prediksi. Dengan mengembangkan model prediksi curah hujan yang tervalidasi dan spesifik lokasi seperti teknik Filter Kalman ini, diharapkan dapat menghasilkan data dan informasi yang lebih akurat dalam waktu yang lebih cepat serta mencakup wilayah yang lebih luas. Informasi ini sangat dibutuhkan sebagai acuan dalam menyu-sun perencanaan tanam untuk menekan risiko penurunan hasil. Untuk selanjutnya, model akan dikembangkan dengan membuat variasi input dari beberapa indikator anomali iklim, seperti indeks osilasi selatan (IOS) dan indian ocean dipole mode (IODM), time lag antara curah hujan dan suhu permukaan laut Nino 3.4, serta melakukan perbandingan dengan model lain seperti Neural Network dan Nearest Neighbours (Estiningtyas et al., 2007). Secara rutin Balitklimat melakukan prediksi dua kali setahun dan diinformasikan ke Departemen Pertanian, melalui Badan Litbang Pertanian (Surmaini et al., 2005, 2006, 2007).
Gambar 3. Validasi curah hujan 12 bulan di Tamanbogo (kiri) dan Sukamandi (kanan) 36
E. Runtunuwu dan Irsal Las : Penelitian Agroklimat dalam Mendukung Perencanaan Pertanian
Gambar 4.
Prediksi curah hujan periode November 2005-April 2006 di Tamanbogo (kiri) dan Sukamandi (kanan) (Surmaini et al., 2005) Sistem ini juga bersifat terbuka sehingga berpeluang untuk dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, ketersediaan data, dan informasi (Runtunuwu et al., 2004; 2005; 2006; 2007).
Pengembangan model analisis neraca air WARM 2.0 Perangkat
lunak
lain
yang
sedang
Sistem ini telah divalidasi dengan membandingkan hasil observasi lapangan dan simulasi evaluasi hasil tanam. Hasil simulasi WARM ver 2.0 untuk memprediksi potensi hasil tanaman padi menunjukkan ketepatan sebesar 72%. Dalam kaitannya dengan perencanaan pertanian, software ini sangat membantu di dalam penentuan tanggal tanam terbaik dan penentuan jumlah pemberian air suplementer.
APLIKASI TEKNOLOGI DAN PEMBUATAN PETA SUMBERDAYA IKLIM
Gambar 5. Capture waktu dan jumlah pemberian air irigasi dengan menggunakan software WARM ver. 2.0 (Sumber: Runtunuwu et al., 2007) dikembangkan adalah model analisis neraca air “Water and Agroclimate Resources Management (WARM) versi 2.0” (Gambar 5). Software tersebut digunakan untuk: (a) evaluasi hasil pertanaman, (b) penetapan waktu tanam terbaik untuk komoditas unggulan spesifik lokasi, dan (c) perhitungan volume dan waktu pemberian irigasi suplementer berdasarkan fenologi tanaman dan analisis neraca air tanaman yang spesifik lokasi.
Tahap ini merupakan aplikasi dari model analisis agroklimat, baik untuk penelitian teknologi maupun di dalam pembuatan peta-peta sumberdaya iklim khususnya dan lahan pertanian pada umumnya. Aplikasi teknologi berupa penelitian rumah kasa Penelitian yang sedang dikembangkan di rumah kasa Balitklimat adalah membuat suatu sistem otomatisasi untuk pemberian air secara otomatis pada tanaman yang ada di rumah kasa (Suciantini et al., 2007), berdasarkan hasil analisis kebutuhan air pada bagian pemodelan di atas. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengotomatisasi pemberian air pada tanaman rumah kasa agar pengaturan penyiraman tanaman dapat dilakukan 37
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
dengan teratur pada periode waktu yang diinginkan dengan tepat. Sistem ini dilengkapi juga dengan monitor suhu, kelembapan, dan kadar CO 2 untuk menggambar-kan kondisi unsur tersebut di dalam rumah kasa (Gambar 6). a. Sistem Irigasi otomatis
Sistem irigasi otomatis ini adalah sistem terintegrasi yang akan mengirigasi tanaman pada rumah kasa secara berkala dan terotomatisasi. Sistem ini akan mengirigasikan tanaman berdasarkan sub-sistem yang dipilih. Ada dua subsistem dalam sistem ini yaitu irigasi berkala berdasarkan set waktu (timer) yang ditentukan dan irigasi yang dilakukan berdasarkan nilai keterangan dari sensor yang mengukur volume air tanah.
A1
A2
A3
A4 mikro
perubahan di dalam (indoor) dan luar (outdoor). Sistem ini nantinya dapat dipakai sebagai pengatur suhu dan kadar CO 2 di dalam rumah kasa. Sistem irigasi otomatis sangat berkaitan dengan kebutuhan air tanaman, sedangkan sistem yang kedua adalah untuk memantau kondisi iklim mikro rumah kasa. Dalam kaitannya dengan perencanaan pertanian, hasil penelitian yang pertama dapat dijadikan model untuk perencanaan penelitian lapangan, sedangkan yang kedua diperlukan untuk mengetahui kondisi iklim mikro yang optimum suatu jenis tanaman, yang sangat diperlukan untuk evaluasi kesesuian lahan. Peta sumberdaya iklim Peta dalam bentuk atlas yang sudah dihasilkan adalah Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian dan Atlas Kalender Tanam. Peta yang sedang dikembangkan juga adalah Peta Rawan Kekeringan (Pramudia et al., 2007) dan sebaran hama penyakit di daerah sentra pertanian (Susanti et al., 2007). Atlas Sumberdaya Iklim Pertanian Indonesia
B1
B1
B1 1a
1b
3 mikro 2a
2b
Catatan : A = sensor tension meter; B = actuator valve untuk saluran irigasi; 1a = suhu di dalam; 1b = suhu di luar; 2a = kelembapan di dalam; 2b = kelembapan di luar; 3 = nilai CO 2 di dalam rumah kasa
Gambar 6. Skema sistem monitor di rumah kasa secara utuh
b. Sistem monitor suhu, kelembapan, dan kadar CO 2
Sistem monitor suhu, kelembapan, dan CO 2 adalah sistem yang mencatat nilai-nilai peubah tersebut. Ini dipasang dua, di dalam rumah kasa dan di luar rumah kasa. Dipasang di dalam dan luar, untuk mengetahui perbandingan dan 38
Atlas Sumberdaya Iklim Indonesia (Rejekiningrum et al., 2003) merupakan peta wilayah curah hujan skala 1:1.000.000. Kegiatan diawali dengan kompilasi data curah hujan runtut waktu (time series) 10-30 tahun terakhir dan dikoreksi terhadap periode 30 tahun terakhir (1971-2000) yang berasal dari stasiun iklim lingkup Badan Litbang Pertanian maupun dari BMG, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, dan institusi lainnya di seluruh Indonesia. Selanjutnya melalui analisis data dengan me-madukan analisis statistik dengan SIG dihasilkan atlas sumberdaya iklim bulanan seluruh Indonesia. Analisis pengelompokan/pewilayahan dilakukan terhadap 2.000 stasiun hujan. Hasil analisis menunjukkan bahwa di seluruh Indonesia terdapat 21 wilayah/pola curah hujan. Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa
Atlas kalender tanam merupakan peta yang menggambarkan pola dan waktu tanam tanaman pangan terutama padi berdasarkan potensi dan
E. Runtunuwu dan Irsal Las : Penelitian Agroklimat dalam Mendukung Perencanaan Pertanian
pertanian, tetapi hasil tersebut sangat sulit dimengerti. Untuk mengatasi masalah tersebut, Balitklimat bekerjasama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI) mendiseminasikan hasil penelitian ke petani (Surmaini et al., 2007).
skenario anomali dan perubahan iklim serta dinamika sumberdaya air (Syahbuddin et al., 2007). Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa skala 1:1.000.000 dan 1:250.000 (Las et al., 2007) pada dasarnya merupakan integrasi antar informasi sumberdaya iklim, sawah, dan pola tanam yang didelineasi berdasarkan zone awal tanam pada tingkat kecamatan. Atlas ini disusun selain menggambarkan kondisi eksisting yang diterapkan petani, juga berdasarkan beberapa fenomena iklim, yaitu tahun basah, tahun normal, dan tahun kering. Melalui usaha ini diharapkan risiko kegagalan panen akibat kesa-lahan penentuan waktu tanam dapat diperkecil.
Berbagai variasi media penyebaran informasi yang tersedia sekarang ini seperti media cetak (berupa koran, leaflet, newsletter) maupun media elektronik (radio, televisi, website, CD), diharapkan dapat digunakan secara maksimal untuk menyebarkan hasil penelitian kepada pengguna. Hasil penelitian agroklimat sejauh ini sudah disebarkan melalui media televisi, radio, leaflet, newsletter, website, dan CD-ROM.
SISTEM PENYEBARAN INFORMASI
PENUTUP
Hasil-hasil penelitian agroklimat diharapkan dapat digunakan pengguna, baik di tingkat pengambil keputusan, penyuluh, peneliti, maupun petani (Gambar 7). Untuk ke tingkat pengambil kebijakan, disampaikan melalui Pokja Anomali Iklim Departemen Pertanian kepada Menteri Pertanian, yaitu berupa evaluasi dan prediksi curah hujan.
Fokus penelitian Agroklimat secara umum terdiri atas lima tahap utama, yaitu : (1) pengembangan jaringan stasiun pengamat iklim/ curah hujan, (2) pengembangan sistem database iklim, (3) pengembangan model analisis sumberdaya iklim, seperti model prediksi curah hujan dan analisis neraca air, (4) pengembangan aplikasi/teknologi penerapan dan pembuatan peta sumberdaya iklim, serta (5) pengembangan sistem penyebaran informasi sumberdaya iklim dan air kepada pengguna.
Berkaitan dengan perencanaan pertanian, masalah yang sering muncul adalah kurang dimengertinya hasil analisis agroklimat oleh pengguna, terutama petani. Pertanyaan sederhananya, bagaimana petani dapat menggunakan informasi iklim di dalam merencanakan kegiatan
39
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
• Balitklimat • Balai Besar Sumberdaya Litbang Lahan pertanian Sumberdaya Lahan Pertanian • Badan Litbang pertanian
Prediksi curah hujan Konversi lahan
Kekeringan
Kalender Tanam
a am –h it l i m ak Ik eny p
Jaringan stasiun Iklim
• Departemen Pertanian
Modifikasi iklim mikro • Petani • Pemerintah daerah • Pengambil kebijakan Feed back
• Mitra
Hasil penelitian agroklimat yang dimanfaatkan pengguna
Gambar 7. Alur penyebaran sistem informasi iklim
Tahap pertama sangat berkaitan dengan instrumen dan distribusi stasiun pengamat iklim/ curah hujan, sedangkan tahap kedua berkaitan dengan pengintegrasian hasil-hasil pengamatan iklim ke dalam sistem database yang standar. Tahap ketiga, merupakan tahap pengembangan model analisis yang menggunakan data iklim sebagai salah satu input. Pemodelan dan analisis ini sangat mempermudah pengguna di dalam melakukan analisis iklim. Tahap keempat, sangat berkaitan dengan aplikasi penggunaan sumberdaya iklim melalui kegiatan lapangan dan pembuatan peta melalui karakterisktik sumberdaya lahan pertanian. Tahap kelima, sangat dibutuhkan untuk mengemas hasil-hasil peneliti-an agroklimat ke dalam beberapa bentuk dis-eminasi dan sosialisasi, agar informasi tersebut
dapat mencapai pengguna tepat waktu dan mudah dimengerti. Iklim merupakan salah satu komponen sumberdaya lahan pertanian yang sangat penting di dalam perencanaan kegiatan pertanian. Hal praktis yang dapat diterapkan di dalam perencanaan pertanian adalah pemanfaat-an : (1) informasi prediksi curah hujan di dalam penentuan awal musim hujan sebagai referensi penentuan awal masa tanam, (2) hasil analisis neraca air WARM di dalam memprediksi kebutuhan air tanaman dan menentukan tanggal tanam yang 40
terbaik, (3) informasi hasil penelitian rumah kasa mengenai faktor iklim pembatas kualitas dan kuantitas produksi tanaman sebagai input kegiatan pertanian di luar rumah kasa, (4) atlas kalender tanam pada level kecamatan diharapkan dapat menjadi masukan bagi para petani untuk menentukan waktu tanam, baik pada kondisi basah, normal, maupun kering, dan (5) peta daerah rawan kekeringan dapat menjadi bahan pertimbangan aktivitas pertanian terutama pada musim kemarau.
DAFTAR PUSTAKA Estiningtyas, W., E. Surmaini, Suciantini, dan F. Ramadhani. 2005a. Prediksi Curah Hujan dengan Metode Filter Kalman dan Validasinya pada Berbagai Kondisi Iklim. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Estiningtyas, W., B. Kartiwa, dan Suciantini. 2005b. Prediksi Curah Hujan dan Debit Aliran Sungai. Buku Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Hlm. 39-54. Estiningtyas, W., L.I. Amien, E. Surmaini, E. Susanti, F. Ramadhani, dan S.H. Adi. 2006. Penggunaan Metode Filter Kalman untuk Prakiraan Curah Hujan di Sentra Produksi Pangan. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
E. Runtunuwu dan Irsal Las : Penelitian Agroklimat dalam Mendukung Perencanaan Pertanian
Estiningtyas, W., L.I. Amien, E. Surmaini, F. Ramadhani, dan K. Sari. 2007. Pengembangan Model Prakiraan Hujan di Sentra Produksi Pangan. Laporan Tengah Tahun. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
dayagunaan Sumberdaya Iklim dan Air untuk Perencanaan Pertanian. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Friedman, J.H. 1991. Multivariate Adaptive Regression Splines (with discussion). http://www.salford-systems.com/MARS. pdf. 15 Maret 2003.
Runtunuwu, E., H. Syahbuddin, B. Kartiwa, dan K. Sari. 2007. Pemutakhiran dan Pendayagunaan Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air Nasional untuk Perencanaan Pertanian. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Hakim, L., G. Irianto, L.I. Amien, dan E. Surmaini. 2004. Prediksi Curah Hujan dengan Metode Filter Kalman dan Validasinya pada Berbagai Kondisi Iklim. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agro-klimat dan Hidrologi. Bogor.
Suciantini, L.I. Amien, H. Syahbuddin, B. Kartiwa, H. Sosiawan, dan K. Sudarman. 2007. Modifikasi Iklim Mikro untuk Pengembangan Komoditas Hortikultura. Laporan Tengah Tahun. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Las, I., A. Unadi, K. Subagyono, H. Syahbuddin, dan E. Runtunuwu. 2007. Atlas Kalender Tanam Pulau Jawa. Skala 1:1.000.000 dan 1:250.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Hlm. 96.
Surmaini, E., W. Estiningtyas, K. Sari, dan F. Ramadhani. 2005. Model Prediksi Hidrologi dan Anomali Iklim untuk Menekan Risiko Pertanian. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Pramudia, A., K. Sari, dan L.I. Amien. 2007. Delineasi Wilayah Rawan Kekeringan Pulau Jawa. Laporan Tengah Tahun. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Surmaini, E., W. Estiningtyas, K. Sari, dan F. Ramadhani. 2006. Model Prediksi Hidrologi dan Anomali Iklim untuk Menekan Risiko Pertanian. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Rejekiningrum, P., L.I. Amien, dan G. Irianto. 2003. Atlas Sumberdaya Iklim dan Pertanian Indonesia Skala 1:1.000.000. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Runtunuwu, E., B. Kartiwa, N. Pujilestari, K. Sari, dan S.H. Adi. 2004. Penyusunan Alat Bantu Pengambil Keputusan Pendayagunaan Sumberdaya Iklim dan Air untuk Perencanaan Pertanian. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Runtunuwu, E., N. Pujilestari, B. Kartiwa, dan K. Sari. 2005a. Penyusunan Alat Bantu Pengambil Keputusan Pendayagunaan Sumberdaya Iklim dan Air untuk Perencanaan Pertanian. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Surmaini, E., W. Estiningtyas, E. Runtunuwu, F. Ramadhani, E. Susanti, M.W. Trinugroho, dan L.I. Amien. 2007. Pemanfaatan Informasi Iklim Aktual untuk Menunjang Kebijakan Pertanian. Laporan Akhir. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Surmaini, E., Suciantini, W. Estiningtyas, dan K. Sudarman. 2007. Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Optimasi Sistem Usahatani. Laporan Tengah Tahun. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
Runtunuwu, E., E. Surmaini, W. Estiningtyas, dan Suciantini. 2005b. Sistem Basis Data Sumberdaya Iklim dan Air. Buku Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Hlm. 39-54. Runtunuwu, E., B. Kartiwa, Suciantini, N. Pujilestari, K. Sari, F. Ramadhani, S.H. Adi, dan Th. Tungson. 2006. Penyusunan Alat Bantu Pengambil Keputusan Pen41
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Susanti, E., A. Pramudia, L.I. Amien, dan F. Ramadhani. 2007. Variabilitas Iklim dan Pengaruhnya terhadap Penyebaran OPT di Sentra Produksi Padi. Laporan Tengan Tahun. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Syahbuddin, H., I. Las, K. Subagyono, dan E. Runtunuwu. 2007. Identifikasi dan Deliniasi Sensitivitas Kalender dan Pola Tanam Padi terhadap Anomali Iklim. Laporan Tengah Tahun. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Syahbuddin, H., K. Sari, E. Surmaini, dan E. Runtunuwu. 2007. Optimasi Sebaran dan Pemanfaatan Jaringan Stasiun Iklim untuk Mendukung Perencanaan Pertani-an. Laporan Tengah Tahun. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor.
42
TINJAUAN PEMETAAN SUMBERDAYA TANAH DI INDONESIA: Strategi Penyelesaian dan Alternatif Teknologinya Review of Soil Resources Mapping in Indonesia: Strategy for Finishing and Alternative of its Technology Hikmatullah dan A. Hidayat Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor
ABSTRAK Pemetaan sumberdaya tanah secara nasional merupakan salah satu mandat Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Tujuan utama pemetaan tanah adalah untuk menyediakan data spasial sumberdaya tanah di seluruh wilayah Indonesia, terutama pada tingkat tinjau dan semi detail untuk mendukung pembangunan pertanian. Selama 50 tahun terakhir, kegiatan pemetaan sumberdaya tanah telah mengalami kemajuan cukup pesat di bidang teknik pemetaan, pengolahan data dan kualitas hasil, serta pemanfaatannya di sektor pertanian. Penerapan teknik pemetaan tanah dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografi (SIG) melalui integrasi data penginderaan jauh, data elevasi digital (DEM), peta geologi, dan peta rupabumi mampu meningkatkan kualitas dan efisiensi pemetaan sumberdaya tanah. Wilayah Indonesia dengan luas total 188,2 juta ha, sampai dengan tahun 2007 telah diselesaikan pemetaan sumberdaya tanahnya pada tingkat tinjau seluas 115,5 juta ha (61,37%), tingkat semi detail dan detail seluas 36,8 juta ha (19,54%). Tantangan yang dihadapi di masa depan adalah : (a) menyelesaikan wilayah yang belum dipetakan pada tingkat tinjau seluas 72,7 juta ha (38,63%) yang seluruhnya termasuk Kawasan Timur Indonesia, (b) kebutuhan dan permintaan peta sumberdaya tanah terutama skala 1:50.000 cenderung meningkat sejalan dengan otonomi daerah, dan (c) tenaga di bidang pemetaan sumberdaya tanah makin berkurang. Apabila diasumsikan ada peningkatan dan kontinuitas pendanaan yang mencukupi, pemberdayaan tenaga pemetaan yang ada saat ini, dan pemanfaatan teknologi citra satelit, DEM, dan SIG, maka pemetaan sumberdaya tanah tingkat tinjau dapat diselesaikan dalam waktu tujuh tahun dengan kecepatan sekitar 10 juta ha per tahun. Kata kunci : Survei tanah, pembangunan pertanian, sistim informasi geografi, penginderaan jauh, data spasial
ABSTRACT Soil resource survey and mapping is one of the main mandate of the Center for Agricultural Land Resources Research and Development. The main objective of the soil mapping is to provide spatial data of soil resources for Indonesia archipelago, especially at reconnaissance and semi detailed level in supporting agricultural development. During the last 50 years, soil resources mapping activity has remarkable progress in mapping technique, data processing, map quality, and its uses for agricultural development. Integration of remote sensing data, digital elevation model (DEM), topographic and geologic maps with Geographic Information System (GIS) technique, can increase quality and efficiency of soil resource mapping. Up to year 2007, from the total area of Indonesia (188.2 million ha), the total surveyed and mapped area at reconnaissance level covers about 115.5 million ha (61.37%) and at semi detailed and detailed level covers 36.8 million ha (19.54%). In the future the effort will be faced on : (a) finishing the remains area to map at reconnaissance with total area of 72.7 million ha (38.63%) which covers Eastern Indonesia region, (b) the need and demand of soil resource map especially at scale of 1:50,000 tend to increase as the effect of the autonomy region, and (c) the number of soil surveyors are decreasing, because of getting retired. By the assumption there is increasing and continuing of financial support, increasing ability of existing surveyors, and application of remote sensing technology, DEM, and GIS technique, the reconnaissance soil resources for the remains area can be finished within seven years in advance with speed up of 10 million ha per year. Keywords : Soil survey, agricultural development, geographic information system, remote sensing, spatial data
S
alah satu program utama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian adalah melaksanakan inventarisasi dan karakterisasi sumberdaya tanah, yang lebih dikenal dengan survei dan pemetaan tanah (soil survey and mapping). Tujuannya adalah menyediakan data
potensi sumberdaya tanah seluruh wilayah Indonesia pada berbagai skala peta dan tujuan. Pemetaan tanah pada dasarnya mencakup penelitian identifikasi, karakterisasi, klasifikasi, delineasi, dan evaluasi potensi sumberdaya tanah yang dilakukan di lapangan dan di laboratorium (Soil Survey Division Staff, 1993). Hasil yang diperoleh berupa peta tanah dan peta-peta
43
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
interpretasinya seperti, peta kesesuaian lahan, rekomendasi penggunaan lahan, dan ketersediaan lahan. Kegiatan pemetaan tanah pada dasarnya melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti genesis dan klasifikasi tanah, kartografi, penginderaan jauh, geomorfologi, fisika dan konservasi tanah, kimia dan kesuburan tanah, serta agroklimat dan hidrologi, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan di berbagai bidang yang lebih luas (Zinck, 1990). Ruang lingkup pemetaan tanah meliputi bidang inventarisasi dan evaluasi potensi lahan untuk menunjang pembangunan pertanian dalam meningkatkan produksi dan menjaga kelestarian sumberdaya tanah dan air (Soepraptohardjo dan Muljadi, 1985). Data hasil survei dan pemetaan tanah yang lengkap dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan (multi-purpose), baik untuk sektor pertani-an maupun non-pertanian (Burrough, 1993). Manfaat di bidang pertanian antara lain, peren-canaan pengembangan komoditas pertanian, irigasi, transmigrasi, rekomendasi pemupukan, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), monitoring kualitas lahan, degradasi lahan, dan pencemaran lingkungan. Di bidang non-pertanian, seperti konstruksi jalan/bangunan, pemukiman, landslide, septik tank, dan rekreasi. Sampai saat ini, pemetaan tanah telah mengalami peningkatan cukup pesat dalam aspek metode dan teknik, proses dan penyajian hasil sejalan dengan perkembangan teknologi citra penginderaan jauh, DEM, dan SIG. Namun pemanfaatan hasil-hasil pemetaan untuk para pengguna tampaknya masih belum optimal, meskipun data hasil pemetaan tanah yang lengkap menawarkan banyak kesempatan untuk menyusun atau memobilisasi informasi tanah. Sejak berdirinya Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian tahun 1905, telah dihasilkan berbagai peta sumberdaya tanah pada berbagai skala peta dan tujuan terutama di sektor pertanian. Makalah ini membahas kemajuan pemetaan sumberdaya tanah, khususnya pada tingkat tinjau dan semi detail/detail di Indonesia yang telah dicapai dan strategi penyelesaian wilayah yang belum dipetakan, peluang dan tantangan yang dihadapi, serta alternatif pemecahannya.
STATUS KEMAJUAN PEMETAAN TANAH Berdasarkan skala peta dan intensitas pengamatan tanah di lapangan yang mencerminkan tingkat ketelitian informasi, terdapat enam tingkat pemetaan tanah berturut-turut dari yang kasar sampai detail, yaitu eksplorasi, tinjau, tinjau mendalam, semi detail, detail, dan sangat detail, yang masing-masing mempunyai tujuan yang berbeda (Subagyo dan Effendi, 1992), seperti disajikan pada Tabel 1. Dalam uraian berikut ini penekanannya pada pemetaan tanah tingkat tinjau dan semi detail, karena kedua macam pemetaan tersebut yang paling banyak dilakukan.
Pemetaan tanah tingkat eksplorasi (skala 1:1.000.000)
Pemetaan tanah tingkat eksplorasi yang pernah dilakukan adalah di Sumatera Selatan (1955) dan Jawa Madura (1960). Saat ini peta tanah eksplorasi telah selesai disusun untuk seluruh wilayah Indonesia dengan diterbitkannya Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia tahun 2000 yang berjumlah 30 lembar peta skala 1:1.000.000. Peta-peta tersebut disusun berdasarkan hasil kompilasi dari berbagai sumber data, seperti peta tanah tinjau Sumatera dari hasil proyek Land Resource Evaluation and Planning Project I, yang disingkat LREPP I (1990), peta-peta tanah tinjau dan tinjau mendalam periode sebelum tahun 2000, peta-peta land system dari proyek Regional Physical Planning Programme for Transmigration/ RePPProT (Dep. Transmigrasi, 1988), peta-peta tanah semi detail, dan lain-lain. Legenda peta tanah terdiri atas 180 satuan peta tanah. Satuan peta tanah terdiri atas grup tanah menurut Soil Taxonomy tahun 1998, bahan induk, landform, relief, dan luas. Dari peta ini dapat disusun Atlas Tata Ruang Pertanian Indonesia dan Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional skala 1:1.000.000 yang dapat dimanfaatkan sebagai informasi dasar acuan pengambilan kebijakan pada tingkat nasional. Tabel 1. Tingkat pemetaan, skala peta, intensitas pengamatan, da Skala peta
Nama dan tingkat informasi
1:1.000.0001:2.500.000
Eksplorasi (exploration), sangat kasar (indikasi awal).
1:100.0001:500.000
Tinjau (reconnaissance), kasar (indikasi kedua), lokasi pengembangan sudah jelas.
Luas per 2 cm di peta ha 10.00062.500
44 100-2.500
Manf
Pada tin • Pere • Pen • Pen • Pen
Pada tin • Das wila
Hikmatullah dan A. Hidayat : Tinjauan Pemetaan Sumberdaya Tanah di Indonesia
Pemetaan tanah tingkat tinjau (skala 1:250.000) Pemetaan tanah tingkat tinjau bertujuan menyediakan data spasial sumberdaya tanah yang dapat digunakan sebagai dasar perencana-an pembangunan pertanian di tingkat provinsi atau regional dan mendukung penyusunan tataruang wilayah provinsi sesuai dengan Undang Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pemetaan tanah tinjau merupakan screening awal untuk mengetahui sebaran wilayah-wilayah potensial untuk program intensifikasi maupun ekstensifikasi pertanian. Kebijakan pemerintah dalam mendukung program pemetaan tanah tinjau secara sistematis sudah dimulai pasca Perang Kemerdekaan (Soeprapto-hardjo dan Muljadi, 1985). Pada pemetaan tanah tingkat tinjau, pengamatan tanah di lapangan dilakukan cukup intensif dengan pendekatan transek atau topolitosekuen untuk menentukan pola sebaran dan komposisi satuan tanah dari setiap satuan peta. Delineasi satuan peta lebih banyak dibantu dari hasil interpretasi data citra penginderaan jauh (Wambeke and Forbes, 1986; Soil Survey Division Staff, 1993). Oleh karena itu, peranan data citra penginderaan jauh sangat penting dan menjadi salah satu persyaratan teknis utama untuk pelaksanaan pemetaan tanah.
Perkembangan pemetaan tanah tingkat tinjau selama 50 tahun terakhir menunjukkan telah dapat menyelesaikan pemetaan seluas 115,5 juta ha atau 61,4% dari luas total wilayah Indonesia (Tabel 2). Dalam perkembangannya, pemetaan tanah tingkat tinjau dapat digolongkan ke dalam empat periode menurut metode dan teknik pendekatannya seperti berikut : 1. Periode 1950-1972. Pada periode ini, peta dasar dan penarikan batas satuan peta dilakukan dengan menggunakan peta topografi skala 1:100.000 atau lebih besar dan dibantu dengan peta geologi. Saat itu, penggunaan foto udara belum dilakukan secara intensif. Klasifikasi tanah meng-gunakan sistem klasifikasi tanah Dudal dan Soepraptohardjo (1957) dengan pendekatan morfogenetis. Daerah yang dipetakan adalah Jawa dan Madura (1956/62), Bali (1956), Sumbawa (1963), Sulawesi Selatan (1964), Lombok (1967), Lampung (1968), Sumatera Selatan (1969/70), Delta Kapuas (1969), dan Kalimantan Selatan (1972). Pada periode sebelum tahun 1950 sudah dilakukan pemetaan tanah pada beberapa macam skala peta. Seperti untuk wilayah Papua (Irian Jaya), terdapat 37 lokasi yang telah dipetakan oleh Belanda pada skala peta tinjau, tinjau mendalam, dan semi detail pada periode 1933-
Tabel 2. Luas wilayah Indonesia yang telah dipetakan sumberdaya tanahnya pada berbagai tingkat pemetaan sampai dengan tahun 2007 Pulau Sumatera Jawa, Madura Jumlah Nusa Tenggara Kalimantan Sulawesi Maluku Papua Jumlah Total luas Indonesia
Luas * Luas** Tinjau Tinjau mendalam Semi detail dan detail ..................................................... 1.000 ha ..................................................... 44.669 47.241 47.241 (100%) 2.227 (4,71%) 4.056 (8,59%) 12.931 13.210 13.210 (100%) 2.715 (20,55%) 4.401 (33,32%) 57.600 60.451 60.451 (100%) 4.942 (8,18%) 8.457 (13,99%) 7.130 7.209 5.340 (74,07%) 12 (0,17%) 1.172 (16,26%) 50.741 52.890 33.380 (63,11%) 891 (1,68%) 9.072 (17,55%) 19.385 18.743 11.404 (60,84%) 1.003 (5,35%) 2.100 (11,20%) 7.817 800 (10,23%) 499 (6,38%) 8.731 55 (0,70%) 42.450 41.105 4.016 (9,77%) 684 (1,66%) 2.176 (5,29%) 126.437 127.764 54.940 (43,0%) 2.645 (2,07%) 15.019 (11,76%) 186.036 188.215 115.507 7.587 36.776 (19,54%) (61,37%) (4,03%)
Sumber : Subagjo (1995) dan Suwarto et al. (2000), diolah dan diperbaharui hingga 2007. * Luas menurut Buku Statistik Indonesia (BPS, 2005/2006), angka dibulatkan dalam ribuan. ** Luas menurut Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi skala 1:1.000.000 (Puslitbangtanak, 2000). Angka dalam kurung adalah persentase terhadap luas masing-masing pulau bersangkutan.
45
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
1962, dengan luasan antara 400 sampai 130.000 ha. Hasil pemetaan tersebut telah dirangkum oleh Schroo (1964). Selama periode 1972-1981 kegiatan pemetaan tinjau terhenti, karena lebih banyak diarahkan pada pemetaan tanah semi detail guna mendukung pembukaan areal transmigrasi, pasang surut, dan pengembang-an irigasi. 2. Periode 1981-1986. Pada periode ini, penggunaan foto udara untuk pemetaan tanah tinjau sudah mulai diintensifkan dengan bantuan experts dari FAO (Kips et al., 1981). Selain itu, penggunaan citra landsat sudah mulai diujicobakan antara lain landsat ERTS-1 di Sulawesi Tenggara (Marsoedi, 1982) dan landsat-TM di Kalimantan Timur (Wahyunto et al., 1986). Cakupan wilayah yang telah dipetakan tingkat tinjau pada periode tersebut adalah sebagian wilayah Kalimantan Tengah dengan bantuan ORSTOM Perancis (1981), Sumatera Barat (1981-83), Sulawesi Tenggara (1982-84), Sulawesi Tengah (1983), Seram (1983), sekitar Merauke (1983), Merauke S. Digul (1985), Kalimantan Barat (1984-85), Kalimantan Timur (1985), Aceh bagian utara (1986), dan Bengkulu (1985). Pendekatan yang digunakan adalah geomorfologi yang mengacu pada klasifikasi landform menurut Desaunettes (1977), dan delineasi satuan peta diperoleh dari interpretasi foto udara skala ≥ 1:100.000, diikuti dengan survei lapangan. Klasifikasi tanah menggunakan sistem USDA Soil Taxonomy dengan pen-dekatan morfometris (angka-angka terukur). Basis data tanah secara komputerisasi belum dibangun, karena fasilitas komputer untuk proses dan penyimpanan data dan tenaga masih terbatas. Peta tanah tingkat tinjau sebagian wilayah Kalimantan Tengah dengan bantuan ORSTOM Perancis tahun 1981, mungkin menjadi peta tanah pertama dalam format digital. Pada periode ini pula expert FAO dan peneliti Puslittan (CSR/FAO,1983) memperkenalkan cara penyajian hasil pemetaan tanah tingkat tinjau dan evaluasi lahannya dalam bentuk atlas peta-peta dan tabulasi angka-angka dengan tujuan untuk memudahkan pembacaan hasil. 3. Periode 1986-1990. Dalam periode ini, pemetaan tanah tingkat tinjau dilakukan di seluruh Pulau Sumatera melalui proyek Land 46
Resource Evaluation and Planning Project I (LREPP I) dengan bantuan dana dari Asian Development Bank (ADB). Pemetaan ini menggunakan pendekatan satuan lahan (land unit) sebagai satuan peta (Buurman and Balsem, 1990) yang dianalisis dan didelineasi dari citra Radar STAR-1 skala 1:250.000 dan yang dianggap cukup baik dan homogen kualitasnya untuk seluruh Sumatera. Penggunaan foto udara dan citra landsat pada awalnya digunakan, namun karena liputan dan kualitasnya sangat beragam untuk seluruh Sumatera, maka digantikan dengan citra radar. Sistem klasifikasi tanah menggunakan USDA Soil Taxonomy, sesuai dengan rumusan Pertemuan Teknis Pembakuan Klasifikasi Tanah di Bakosurtanal (1987). Pada periode ini, awal dibangunnya basis data sumberdaya tanah secara sistematis untuk Sumatera, menuju pem-bangunan basis data tanah secara nasional. Peta yang dihasilkan disebut Peta Satuan Lahan dan Tanah skala 1:250.000, dalam format digital. Heading pertama dalam legenda peta adalah satuan landform, diikuti oleh tingkat torehan, bahan induk, relief/ lereng, elevasi, grup tanah dan proporsinya, serta luasan. Peta-peta tersebut disajikan dalam lembar-lembar peta sesuai dengan indeks peta rupabumi yang diterbitkan oleh Bakosurtanal. Hasil-hasil pemetaan tanah tersebut tidak diikuti dengan penyusunan petapeta kesesuaian lahan, arahan peng-gunaan lahan untuk pertanian atau peta-peta tematik lainnya, karena difokuskan hanya untuk menyusun basis data. 4. Periode 1993-2002. Dalam periode ini pemetaan tanah tinjau masih tetap menggunakan metode pendekatan menurut LREPP I yaitu satuan lahan, yang dianalisis dari foto udara skala 1:50.000-1:100.000, dan didukung oleh data citra Landsat-TM dan peta-peta lainnya. Heading pertama dalam legenda petanya adalah grup tanah dan proporsinya yang dikelompokkan menurut grup landform, diikuti oleh bahan induk dan relief, dan hasilnya disebut Peta Tanah Tingkat Tinjau. Wilayah yang dipetakan merupakan wilayah prioritas, yaitu sebagian wilayah Gorontalo (1993), Banggai (1993), P. Flores (1996), Kapet Sasamba Kalimantan Timur (1998), seluruh
Hikmatullah dan A. Hidayat : Tinjauan Pemetaan Sumberdaya Tanah di Indonesia
Provinsi Kalimantan Selatan (1999; 2000), Kalimantan Timur bagian selatan (1999; 2000; 2001), dan P. Sumbawa (2002). Selain peta tanah tingkat tinjau, dilengkapi pula dengan peta-peta tematik, seperti peta kesesuaian lahan, peta penggunaan lahan, peta arahan penggunaan lahan, dan peta ketersediaan lahan untuk mendukung program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Pada akhir periode ini muncul kebutuhan data/peta ketersediaan lahan untuk perluasan areal pertanian. Melalui pengolahan data dengan teknik tumpang tepat (overlay) antara peta arahan penggunaan lahan dan peta penggunaan lahan sekarang (present landuse) dengan program ArcView/GIS dapat diperoleh peta ketersediaan lahan dalam waktu yang relatif cepat. 5. Periode 2003-sekarang. Pada periode ini metode pemetaan tanah tinjau masih tetap menggunakan pendekatan satuan lahan yang didelineasi dari data penginderaan jauh. Langkah maju yang dicapai adalah teknik analisis data melalui integrasi atau overlay berbagai data layer yang diperlukan pada tahap awal persiapan, yaitu : (a) data citra landsat ETM, (b) data elevasi/kontur digital atau digital elevation model/DEM, (c) peta dasar digital, (d) peta penggunaan lahan sekarang, (e) peta geologi/litologi dan peta agroklimat atau tipe hujan, dan (f) peta status lahan kawasan hutan atau peta paduserasi. Overlay data layer-data layer dilakukan setelah koordinat masing-masing peta diseragamkan menggunakan teknik GIS/ArcView, sehingga dari hasil overlay tersebut dapat diperoleh delineasi/poligon-poligon yang lebih efisien dan lebih akurat. Peta-peta yang dihasilkan berupa peta tanah tingkat tinjau, peta penggunaan lahan sekarang, peta kesesuaian lahan, peta arahan penggunaan lahan, peta ketersediaan lahan untuk program intensifikasi dan ekstensi-fikasi, dan peta-peta tematik lainnya, seperti peta kemiringan lereng dan peta status hara tanah yang dapat ditampilkan dengan segera. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) dengan luas total 127,76 juta ha, baru sekitar 54,94 juta ha atau 43,0% yang telah selesai dipetakan pada
tingkat tinjau sampai dengan 2007, atau secara nasional telah mencapai 115,5 juta ha atau 61,37% dari luas total wilayah Indonesia. Dari data tersebut terlihat Kalimantan dan Sulawesi yang paling luas wilayahnya yang sudah dipetakan, tetapi dari segi persentase wilayah, maka Nusa Tenggara yang paling tinggi yaitu 74,07%. Kebutuhan informasi sumberdaya tanah pada masa mendatang akan meningkat untuk mendukung pengembangan wilayah KTI dan otonomi daerah, terutama peta-peta kesesuaian dan ketersediaan lahan untuk perluasan areal pertanian, sehingga diperlukan perencanaan percepatan penyediaan data sumberdaya tanah tersebut. Ketersediaan lahan untuk perluasan areal pertanian dapat disusun dengan cara overlay antara peta penggunaan lahan sekarang (existing landuse) dan peta arahan penggunaan lahan. Namun karena data penggunaan lahan bersifat dinamis, relatif cepat berubah, maka data ketersediaan lahan yang terbaru hanya dapat diperoleh melalui pembaharuan (updating) peta penggunaan lahan, yang dapat diperoleh dari data citra landsat terbaru. Pemanfaatan peta-peta tersebut oleh para pengguna, baik di tingkat provinsi/regional atau kabupaten, sudah mulai dirasakan oleh daerah, seperti diketahuinya potensi sumberdaya lahan masing-masing wilayah dan penyusunan perencanaan pertanian yang lebih terarah dengan mempertimbangkan informasi dari peta-peta tersebut, walaupun masih belum optimal, sehingga perlu dicari cara dan strategi yang efektif dalam penyampaian hasil-hasil pemetaan tersebut kepada pengguna. Kondisi demikian banyak dihadapi oleh negara-negara berkembang (Ibanez et al., 1993). Pemetaan tanah tingkat semi detail (skala ≥ 1:50.000) Perkembangan pemetaan tanah tingkat semi detail dan detail sampai saat ini telah mencapai 19,5% dari luas wilayah Indonesia. Kegiatan ini banyak dilakukan sejak Pembangun-an Lima Tahun (Pelita) I tahun 1969-1973 sampai Pelita V tahun 1989-1994 (Subagjo, 1995). Pemetaan tanah tingkat semi detail ditujukan untuk perencanaan dan pelaksanaan operasional program pengembangan wilayah, khususnya 47
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
perluasan areal dan intensifikasi pertanian, rehabilitasi dan perluasan jaringan irigasi, perencanaan pemukiman transmigrasi, pembukaan areal perkebunan, rasionalisasi perkebunan tebu. Kegiatan ini digolongkan kedalam beberapa periode sebagai berikut.
pendokumentasian yang kurang baik mengakibatkan sebagian data/peta hilang. Data tersebut sebenarnya dapat dimanfaat-kan untuk menyusun peta tanah tinjau analisis, terutama untuk wilayah-wilayah yang belum dipetakan.
1. Periode 1970-1978. Pada periode ini pemetaan tanah semi detail terutama bertujuan untuk pembukaan pesawahan pasang surut (P4S), rasionalisasi atau perluasan perkebunan tebu/pabrik gula, perkebunan kelapa/coklat, perencanaan jaringan irigasi, rehabilitasi pengelolaan DAS, dan lain-lain. Wilayahnya tersebar di Jawa, Sumatera dan Sulawesi, antara lain, DAS Cimanuk (1974), Pabrik Gula Jatitujuh (1978), Pabrik Gula Takalar (1974), Baturaja- Martapura (1975), Baturaja-Prabumulih (1978), Lahat-Tebingtinggi (1978), Kuala Kampar (1975), dan S. Rokan (1976). Legenda peta terdiri atas satuan tanah, fisiografi, bahan induk, dan relief/lereng.
3. Periode 1992-1997. Kegiatan pemetaan tanah tingkat semi detail dilakukan di wilayah prioritas di 18 provinsi dengan luas total 3,8 juta ha di luar P. Sumatera, sebagai hasil dari kegiatan Land Resource Evaluation and Planning Project II/LREPP II. Tujuan utama proyek tersebut adalah untuk mem-perbaiki perencanaan fisik di daerah provinsi dan pengembangan sistem basis data sumberdaya lahan secara nasional (Subardja, 1994), yang berkoordinasi dengan Bakosur-tanal dan Bangda Departemen Dalam Negeri. Lokasi yang dipetakan dipilih di wilayah prioritas pengembangan berdasarkan reko-mendasi Pemerintah Daerah setempat.
2. Periode 1978-1985. Pemetaan tanah semi detail pada periode ini umumnya ditujukan untuk perencanaan pembukaan lahan pertanian untuk transmigrasi, melalui Proyek Penelitian Pertanian Menunjang Transmigrasi (P3MT). Pendekatannya adalah analisis foto udara berskala cukup besar, yaitu 1:20.000 untuk delineasi satuan fisiografi/landform dan penggunaan lahan sekarang sebagai dasar untuk menyusun satuan peta tanah. Intensitas pengamatan tanah di lapangan cukup tinggi, dan peta tanah disajikan pada skala 1:50.000. Legenda peta terdiri atas satuan tanah dengan menggunakan klasifikasi tanah Pusat Penelitian Tanah (1981) diikuti oleh satuan fisiografi, bahan induk, dan bentuk wilayah/lereng, serta luasan. Peta yang dihasilkan adalah peta tanah, peta penggunaan lahan, peta kesesuaian lahan untuk padi sawah, peta kesesuaian lahan untuk tanaman pangan lahan kering, peta kesesuaian lahan untuk tanaman tahunan, dan peta arahan/rekomendasi penggunaan lahan untuk pertanian. Lokasi yang dipetakan banyak sekali yang mencakup wilayah-wilayah potensial di seluruh Indonesia, di luar Jawa dan Bali. Pada periode ini banyak sekali diperoleh data dan peta tanah, namun cara
48
Metode pemetaan tanah menggunakan pendekatan analisis satuan landform yang didelineasi dari foto udara skala 1:20.0001:25.000, dan peta dasar skala 1:25.0001:50.000. Intensitas pengamatan tanah di lapangan cukup tinggi (25-100 ha per titik pengamatan), dan jenis analisis contoh tanah cukup lengkap dan selektif, sehingga memenuhi persyaratan standar peta tanah semi detail. Sistem klasifikasi tanah menggunakan Soil Taxonomy sampai kategori seri tanah (Soil Survey Staff, 1998), yang sebenarnya menurut hirarki pemetaan cukup sampai kategori famili saja. Basis data tanah dalam bentuk data spasial dan tabular dapat diolah untuk menyusun peta kesesuaian lahan untuk komoditas pertanian. Pada periode ini diperkenalkan program Automated Land Evaluation System/ALES (Rossiter and Van Wambeke, 1997) untuk proses evaluasi lahan secara fisik dan ekonomi secara cepat dengan jumlah data yang banyak. Dalam kaitan dengan pelaksanaan UndangUndang Otonomi Daerah dan UndangUndang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap Daerah Tingkat II Kabupaten dituntut untuk menyediakan data dan peta potensi sumberdaya lahan skala 1:50.000 sebagai dasar untuk menyusun tata ruang
Hikmatullah dan A. Hidayat : Tinjauan Pemetaan Sumberdaya Tanah di Indonesia
daerah kabupaten sesuai dengan potensi sumberdaya masing-masing. Oleh sebab itu, pada masa mendatang diprediksi akan menghadapi tantangan untuk merespon permintaan-permintaan Daerah Tingkat II maupun swasta. Selain itu, dalam kaitannya dengan pembinaan BPTP di tiap provinsi, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) berkewajiban untuk membantu tugas tersebut dengan kegiatan penelitian sumberdaya lahan untuk penyu-sunan petapeta potensi sumberdaya lahan pada skala 1:50.000 atau lebih besar. 4. Periode 2000-sekarang. Pada periode berikutnya adalah sejak digalakkannya diseminasi penelitian dan pengkajian ke BPTP dengan pengenalan peta Zone Agro Ekologi (Agro Ecology Zone/AEZ) dan pewilayahan komoditas pertanian, pemetaan tanah skala 1:50.000 seperti halnya yang dilakukan pada P3MT dan LREP II, telah bergeser pendekatan yang digunakan, yang semula orientasinya lebih banyak ke pengamatan “tanah” yang intensif di lapangan bergeser menjadi lebih banyak ke pengamatan “lahan” atau wilayah dengan pengamatan tanah, fisik lingkungan, dan pengambilan contoh tanah yang terbatas. Pertimbangannya, karena ditujukan khusus hanya untuk keperluan penilaian kesesuaian lahan dan pewilayahan komoditas pertanian. Selain itu, cakupan wilayah yang harus dipetakan sangat luas dan hasilnya harus tersedia dalam waktu yang relatif singkat. Namun demikian, dengan dukungan teknik SIG, pengolahan data/peta menjadi relatif lebih cepat. Wilayah-wilayah yang dipetakan pada skala tersebut sampai saat ini sudah cukup banyak, baik dilakukan oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), maupun BPTP yang bekerjasama dengan Pemda provinsi, kabupaten, dan swasta, yang tersebar di seluruh pulau-pulau besar Indonesia. Kebijakan Badan Litbang yang memberikan wewenang kepada BPTP untuk melaksanakan kegiatan pemetaan sumberdaya lahan skala 1:50.000 secara mandiri pada kenyataannya tidak dapat dilakukan, karena tidak
memiliki sumberdaya manusia di bidang pemetaan tersebut, sehingga harus menggunakan tenaga dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Lokasi kegiatan pemetaan sumberdaya lahan tersebut diantaranya adalah proyek Poor Farmers’ Income Improvement through Innovation Project (2003-2004), Prima Tani (2005-2007), dan penelitian analisis terrain untuk evaluasi lahan di daerah Sumedang (2001). Sedangkan pemetaan skala 1:50.000 yang dilakukan BPTP dan Pemda Tingkat I dan II dengan pendekatan tersebut, diperkirakan luas wilayah yang telah dipetakan sejak 2001 mencapai lebih dari 13 juta ha. Lokasilokasi tersebut antara lain, Kabupaten Donggala, Parigi Moutong, Temanggung, Lombok Timur, Blora, Ende, Sekadau, Maluku Utara, Bangka Belitung, Pandeglang, Morowali, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sumbawa, Flores, Sumba, Jambi, Sumbar, Bengkulu, Papua, dan Papua Barat. Selain itu, kerjasama penelitian dengan sharing dana antara BBSDLP dengan Pemda Tingkat II di Jambi dan Sumbar telah dilakukan sejak 2003. Pemetaan tanah tingkat detail (skala ≥ 1:10.000) Pemetaan tanah tingkat detail dengan skala 1:5.000 sampai 1:10.000 umumnya jarang dilakukan. Pemetaan ini ditujukan untuk perencanaan dan pelaksanaan proyek pengembangan pertanian pada tingkat kebun percobaan, lahan petani, perencanaan konservasi di daerah aliran sungai (DAS) mikro, dan pencetakan sawah irigasi. Peta dasar menggunakan peta kontur skala 1:5.000-1:10.000. Status kemajuan pemetaan detail baru sedikit sekali mencapai 0,32% dari luas total wilayah Indonesia. Beberapa lokasi terbaru pemetaan tanah detail adalah pengelolaan/rehabilitasi DAS di Jateng dan Jatim (1987-89), pencetakan sawah (PIADP) di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (1992-1993), pengembangan lahan rawa lebak di Merauke (2001), IMPHOS di Kalimantan Selatan (2002), pengembangan hutan tanaman industri (HTI) PT Riau Andalan Pulp di Riau (2004, 2006, 2007) dan Toba Pulp Lestari di Sumatera Utara (2007). Hasil yang diperoleh adalah peta tanah detail, dan peta rekomendasi penggunaan lahan.
49
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
TANTANGAN DAN STRATEGI PENYELESAIAN KE DEPAN Pelaksanaan pemetaan sumberdaya tanah pada dasarnya melibatkan berbagai aspek penelitian bidang pedologi (karakterisasi dan klasifikasi tanah, evaluasi lahan), penginderaan jauh, kesuburan tanah, konservasi tanah, agroklimat dan hidrologi, sehingga hasilnya merupakan integrasi data dari disiplin ilmu-ilmu tersebut, yang menghasilkan data cukup lengkap. Dari hasil evaluasi perkembangan pemetaan tanah tingkat tinjau selama ini, terdapat beberapa tantangan yang dihadapi seperti berikut :
1. Daerah yang belum dipetakan dalam tingkat tinjau masih cukup luas (38,63%) yang seluruhnya wilayah KTI, dengan aksesibilitas rendah, kondisi landscape sangat beragam, tidak diliput oleh foto udara atau peta rupabumi yang memadai. 2. Kebutuhan data spasial sumberdaya tanah cenderung makin meningkat terutama peta skala 1:50.000, seiring dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah dan Tata Ruang Wilayah, pemekaran wilayah administrasi, serta prioritas pembangunan wilayah kabupaten. Selain itu, hasil pemetaan tanah harus tersedia dalam waktu relatif singkat. 3. Pendekatan pemetaan tanah yang mengandalkan ketersediaan foto udara sebagai alat
50
bantu, dan pengamatan tanah yang intensif di lapangan yang harus terpenuhi, tampaknya makin ke depan sulit terpenuhi. 4. Pemetaan tanah mempunyai keahlian yang spesifik dan membutuhkan waktu untuk dapat mandiri. Tenaga peneliti dan teknisi di bidang pemetaan tanah yang ada saat ini di BBSDLP sudah makin berkurang, dan belum ada rekruitmen tenaga baru. 5. Hasil-hasil pemetaan tanah belum banyak dikenal, difahami, dan didiseminasikan secara intensif ke daerah-daerah, terutama untuk para pengambil kebijakan dan pengguna tentang manfaatnya untuk mendukung pembangunan pertanian. Program penyelesaian pemetaan sumberdaya tanah khususnya tingkat tinjau yang mencakup luas 38,63% dari total wilayah Indonesia (Gambar 1) dapat dilakukan dengan mempertimbangkan aspek-aspek : (a) metode dan teknik pemetaan, baik di laboratorium maupun di lapangan; (b) penggunaan dan ketersediaan alat bantu; (c) kondisi aksesibilitas wilayah; (d) ketersediaan data awal; dan (e) ketersediaan dana yang memadai. Langkah-langkah yang perlu diambil khususnya untuk penyelesaian pemetaan tingkat tinjau adalah sebagai berikut :
Hikmatullah dan A. Hidayat : Tinjauan Pemetaan Sumberdaya Tanah di Indonesia
Gambar 1. Indeks peta tanah tingkat tinjau
1. Pemilihan wilayah prioritas wilayah KTI yang terdiri atas Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Pada kondisi saat ini, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara dapat diprioritaskan dari segi aksesibilitas maupun kondisi keamanannya dibandingkan dengan Maluku dan Papua. 2. Pemanfaatan data citra satelit (landsat, radar) perlu diintensifkan, didukung oleh peta-peta rupabumi, geologi, dan peta kontur digital/DEM, dengan menggunakan teknik SIG. Citra landsat relatif mudah tersedia dan dapat dipilih yang kenampakannya baik, liputan wilayahnya sangat luas, dan dapat diintegrasikan dengan data lain. 3. Analisis data citra yang diintegrasikan dengan data pendukung lain (data layers) secara intensif sebagai tahap persiapan menghasilkan peta interpretasi yang lebih mantap dan teliti, sehingga memudahkan perencanaan survei lapangan. 4. Pengembangan metode dan teknik matan lapangan yang efektif menggunakan sistem transek pada area untuk memenuhi minimum
pengadengan sample dataset.
Intensitas pengamatan tanah di lapangan pada beberapa pemetaan tanah tinjau yang diperoleh selama ini ternyata lebih rendah dari persyaratan yang ditetapkan (Tabel 3). 5. Wilayah-wilayah pegunungan atau perbukitan yang sulit dijangkau dan diindikasikan tidak potensial untuk pertanian, cukup dilakukan dengan interpretasi data citra, tanpa atau dengan pengamatan lapangan yang terbatas, sesuai dengan kondisi lapangan. 6. Quality qontrol tetap diperlukan dan dipertahankan, sejak dari awal persiapan sampai finalisasi, untuk menjaga dan mempertahankan kualitas hasil peta tanah yang memenuhi persyaratan teknis. 7. Jumlah surveyor dalam satu tim pemetaan di lapangan tidak terlalu banyak (≤ 10 orang) guna memudahkan pengaturan dan mobilitas kerja di lapangan. 8. Cakupan wilayah yang dipetakan dalam satu tim pemetaan tanah tinjau tidak terlalu luas, antara 3-4 juta ha, untuk menghindari kompleksitas data, prosesing atau pengolahan data, dan kejenuhan tim yang terlalu lama di lapangan.
51
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Tabel 3. Intensitas pengamatan tanah pada beberapa pemetaan tanah tingkat tinjau Lokasi (tahun pelaksanaan) Sulteng (1983/84) Merauke (1985/86) Gorontalo (1991/92) Flores (1996/97) Kalsel (1998/99) Kaltim (1999/2000) Kaltim (2001) Kalbar (2005)
Luas
Jumlah titik pengamatan
x 1.000 ha 750 2.400 647 1.404 1.911 1.424 1.845 3.700
349 1.238 380 1.305 1.116 725 463 756
Intensitas pengamatan*
Lama di lapangan
ha/titik 2.148 1.938 1.703 1.075 1.712 1.964 3.985 4.894
hari 51 60 30 60 45 50 45 45
* intensitas pengamatan tanah menurut persyaratan: 625-1250 ha per titik pengamatan (Soil Survey Division Staff, 1993; Van Wambeke dan Forbes, 1986).
9. Diseminasi hasil perlu digalakkan ke daerahdaerah bersangkutan untuk mencari umpan balik, dengan menyajikan informasi yang menarik, seperti pengembangan komoditas pertanian unggulan tertentu dengan peluang bisnis yang menghasilkan profit tinggi guna meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
ALTERNATIF TEKNOLOGI PEMETAAN TANAH Perkembangan teknologi SIG yang cukup pesat membuka peluang besar untuk dimanfaatkan dalam teknik pemetaan tanah yang efektif dan efisien. Guna mencapai hal tersebut diperlukan dukungan : (a) sumberdaya manusia yang terampil, (b) fasilitas SIG, baik software maupun hardware, dan (c) pendanaan yang memadai. Perkembangan teknologi citra satelit, seperti Landsat (AS), SPOT (Perancis), ERS (Uni Eropa), JERS (Jepang), IKONOS (Rusia), dan citra Radar (Kanada), sudah cukup lama dikenal dan dipromosikan tentang keunggulannya dan pemanfaatannya masing-masing di berbagai bidang disiplin ilmu, termasuk inventarisasi dan monitoring sumberdaya lahan. Pemanfaatan data citra satelit pada masa lalu lebih banyak ditujukan untuk analisis penggunaan lahan dan sebaran lahan pertanian/sawah (Wahyunto et al., 1999; Hikmatullah et al., 2000). Pemanfaat-an data citra satelit untuk pemetaan tanah masih sangat kurang, karena selama ini lebih mengandalkan pada penggunaan foto udara. Untuk wilayah KTI yang mempunyai ketersediaan foto udara yang terbatas dan aksesibilitas wilayah rendah, maka 52
pemanfaatan data citra satelit sangat disarankan, seperti landsat-7 ETM, SPOT, dan citra Radar, khususnya untuk mendukung pemetaan sumberdaya tanah, yang diintegrasikan dengan DEM menggunakan teknik SIG (Klingebiel et al., 1987; Burrough, 1993; Dymond and Harmsworth, 1994; Harmsworth et al., 1995; Giantetti et al., 2001). Data citra landsat digital dapat menghasilkan konfigurasi relief/lereng tiga dimensi dan analisis spektral komponen satuan lahan. Pemilihan citra Landsat-7 ETM dengan pertimbangan liputan areal sangat luas (1 scene 2 =185 x 185 km ), resolusi spasial 20-30 m artinya luas minimum obyek yang dapat dideteksi adalah 2 400-900 m , dapat diperbesar dan dicetak sampai skala 1:50.000, harga relatif lebih murah ($ 600 per scene), dan sesuai untuk wilayah yang aksesibilitasnya rendah dan tidak tersedia foto udara. Dengan pendekatan tersebut diharapkan pemetaan tanah tingkat tinjau wilayah KTI dapat diselesaikan lebih efisien dan efektif. Otomatisasi pemetaan tanah dengan menggunakan model hubungan tanah-landscape pada analisis citra satelit yang diintegrasikan dengan DEM dan teknik SIG dapat mengurangi waktu operasional lapangan, sehingga lebih efisien dan biaya menjadi lebih efektif untuk cakupan wilayah yang luas. Selain itu, data lebih cepat dan lebih mudah untuk diperbaharui (up-dating), karena diproses dalam format raster dan teknik SIG. Menurut hasil penelitian Harmsworth et al. (1995) biaya pemetaan tanah dengan menggunakan metode tersebut dapat mereduksi sebanyak 25% dibandingkan pemetaan tanah secara konvensional untuk luasan 0,5 juta ha.
Hikmatullah dan A. Hidayat : Tinjauan Pemetaan Sumberdaya Tanah di Indonesia
Dengan tersedianya fasilitas teknologi SIG, basis data tanah yang terdiri atas data spasial dan tabular dapat dioptimalkan untuk berbagai kepentingan mendukung pembangunan pertanian, antara lain yang dikaitkan dengan isu-isu lingkungan melalui penyusunan model-model pemanfaatan data tanah (Bashar, 1997), seperti untuk prediksi bahaya banjir/longsor, degradasi lahan, daya simpan air tanah, dan polusi logam berat. Inovasi teknologi dalam bidang survei dan pemetaan tanah telah dicapai berkat kemajuan teknologi SIG dan modeling hubungan tanahlandscape (Eswaran et al., 2004). Teknik baru dalam informasi teknologi dan modeling di bidang survei tanah antara lain pemetaan tanah dengan pendekatan Soil-Land Inference Model (Zhu et al., 2001) menghasilkan peta lebih akurat, lebih cepat, dan lebih murah dibanding metode pendekatan yang ada sekarang. Pendekatan lain adalah pemodelan hubungan tanah-landscape untuk pendugaan spasial sifat-sifat tanah (Chaplot and Walter, 2004; Schmidt et al., 2004), analisis terrain dari DEM dengan teknik SIG untuk pemetaan tanah (Tsai and Chen, 2004; Ziadat, 2004), otomatisasi pemetaan sumberdaya lahan di wilayah perbukitan dengan digital terrain model/DTM (Harmsworth et al., 1995).
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Pemetaan tanah tinjau dan semi detail, sebagai dasar untuk perencanaan pertanian tingkat makro dan mikro, telah mengalami kemajuan cukup pesat dalam bidang metode, teknik pemetaan, pengolahan dan penyajian hasil, serta cakupan wilayah yang telah dipetakan. 2. Wilayah Indonesia yang telah dipetakan sumberdaya tanahnya pada tingkat tinjau telah mencapai 115,5 juta ha (61,37%) dan pada tingkat semi detail 36,8 juta ha (19,54%). Pemanfaatan data citra satelit yang diintegrasikan dengan data dukung peta kontur digital, peta rupabumi, dan peta geologi dengan teknik SIG mampu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemetaan sumberdaya tanah. 3. Dengan dukungan teknologi citra satelit dan SIG, pendanaan dan waktu operasional yang
terbatas, maka teknik pengumpulan data di lapangan dengan menggunakan minimum dataset perlu diterapkan terutama dalam pemetaan tanah tinjau di wilayah yang aksesibilitasnya rendah dan tanpa cakupan foto udara. Dengan pendekatan tersebut, pemetaan tanah tinjau wilayah sisa akan dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat. 4. Penyajian dan pemanfaatan hasil-hasil pemetaan tanah dan peta-peta interpretasinya untuk pengguna perlu ditingkatkan melalui diseminasi atau ekspose ke daerah-daerah dengan mencari mitra kerjasama penelitian. Perlu penyusunan model-model dari data tanah untuk pemecahan masalah secara lokal/spesifik lokasi, seperti pengembangan komoditas dan perbaikan kualitas lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Bashar, R.E. 1997. Is pedology dead and buried?. Australian Journal of Soil Science 35(5):127-135. Buurman, P. and T. Balsem. 1990. Land unit classification for the reconnaissance soil survey of Sumatra. TR No. 3, Version 2. LREP Project, CSAR, Bogor. Burrough, P.A. 1993. The technologic paradox in soil survey : new methods and techniques of data capture and handling. ITC Journal 1993-1:15-21. Chaplot, V. and C. Walter. 2004. Some possible ways to improve soil-landscape models for the spatial estimation of soil properties within landscapes. Case of the armorican massif (Western France). Pp. 43-55. In H. Eswaran (Eds.) Innovative Techniques in Soil Survey. Land Development Departement, Bangkok, Thailand. CSR/FAO. 1983. Reconnaissance land resource surveys 1:250,000 scale atlas format procedures. AGOF/INS/78/006, Manual 4, Version 1. Centre for Soil Research, Bogor. Dudal, R. and M. Soepraptohardjo. 1957. Soil classification in Indonesia. Contr. Gen. Agr. Res. Sta. No. 148, Bogor, Indo-nesia. Dymond, J.R. and G.R. Harmsworth. 1994. Towards automated land resource mapping using digital terrain models. ITC 53
Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 1 No. 3, Agustus 2007
Journal 2:129-138.
No. 20. Madison, USA.
Eswaran, H., P. Vijarnsorn, and T. Vearasilp. 2004. Innovative techniques in soil survey: the need for a new roadmap. Pp. 7-20. In H. Eswaran (Eds) Innovative Techniques in Soil Survey. Land Development Department, Bangkok, Thailand.
Marsoedi, Ds. 1982. Multistage sampling technique of visual landsat imagery interpretation for soil, land use and vegetation, South East Sulawesi case study. Technical Note No. 16. FAO Remote Sensing Centre, Land and Water Division. Rome, Italy.
Giantetti, F., L. Montanarella, and R. Salandin. 2001. Integrated use of satellite images, DEMs, soil and substrate data in studying mountaenous lands. Internatio-nal Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation 1:25-29.
Schmidt, J., P. Tonkim, and A. Hewitt. 2004. Quantitative soil-landscape models for the Haldon and Hurunui soil sets, New Zealand. Australian J. of Soil Res. 43 (2):127-137.
Hanggono, A. 1999. Penggunaan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam inventarisasi dan monitoring ketersediaan sumberdaya lahan. Hlm 95-128. Dalam Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. I. Las (Eds.). Puslittanak, Bogor. Harmsworth, G.R., J.R. Dymond, and M. McLead. 1995. Automated mapping of soils in hilly terrain using digital terrain models: a New Zealand example. ITC Journal 2:87-94. Hengl, T. and D.G. Rossiter. 2003. Supervised landform classification to enhance and replace photo interpretation in semi detailed soil survey. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1810-1822. Hikmatullah, Wahyunto, S. Ritung, dan I P.G. Widjaja-Adhi. 2000. Identifikasi dan karakterisasi lahan tidur sulfat masam menggunakan citra satelit. Teknologi Unggulan Pemacu Pembangunan Pertanian 3:17-25. Ibanez, J.J., J.A. Zinck, and R.J. Ballesta. 1993. Soil survey: old and new challenges. ITC Journal 1:7-14. Kips, P.A., D. Djaenudin, and N. Suharta. 1981. The land unit approach to land resources surveys for land use planning, with particular reference to the Sekampung Watershed, Lampung Province, Sumatra, Indonesia. Center for Soil Research, Bogor. AGOF/INS/78/006, Technical Note 11:1-28. Klingebiel, A.A., E.H. Horvath, D.G. Moore, and W.U. Reybold. 1987. Use of slope, aspect, and elevation maps derived from digital elevation model data in making soil survey. Soil Survey Techniques, SSSA Publication
54
Schroo, H. 1964. An inventory of soils and soil suitabilities in West Irian, IIB. Neth. J. of Agric. Sci. 12(1):1-29. Soepraptohardjo, M. dan D. Muljadi. 1985. Tinjauan perkembangan survai tanah untuk perluasan areal pertanian di luar Pulau Jawa. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 4(9):1-11. Soil Survey Divison Staff. 1993. Soil Survey Manual. USDA Handbook No. 18. Washington DC. Soil Survey Staff. 1975. Soil Taxonomy. A Basic System of Soil Classification for Making and Interpreting Soil Survey. USDA Handbook No. 436, Washington, DC. Subagjo, H. 1995. Status kemajuan dan strategi inventarisasi sumberdaya lahan di Indonesia. Hlm 129-152. Dalam D. Santoso (Eds.) Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Subardja, D. 1994. Kegiatan pemetaan proyek LREP II dalam menunjang pembangunan di Kawasan Timur Indonesia. Hlm 265269. Dalam H. Suhardjo (Eds.) Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Kawasan Timur Indonesia. Palu, 17-20 Januari 1994. Suwarto, Nyi Rochmah, dan Nuraini. 2000. Daftar Peta Sumberdaya Lahan. Puslittanak, Badan Litbang Pertanian, Bogor. Tsai, C.C. and Z.S. Chen. 2004. Soil mapping by terrain analysis and Geographic Information System: case study of the volcanic soils in Taiwan. Pp 87-102. In H. Eswaran (Eds.) Innovative Techniques in Soil Survey. Land Development Depar-
Hikmatullah dan A. Hidayat : Tinjauan Pemetaan Sumberdaya Tanah di Indonesia
tement, Bangkok, Thailand.
Van Wambeke, A. and T. Forbes. 1986. Guidelines for using soil taxonomy in the names of soil map units. SMSS Technical Monograph No. 10. Cornell University, NY. Wahyunto, Marsoedi Ds, dan D. Djaenudin. 1986. Identifikasi sistem fisiografi dan landform melalui citra landsat di daerah SesayapSembakung, Kalimantan Timur. Hlm 1729. Dalam U. Kurnia (Eds.) Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah, Puslittan, Bogor. Zhu, A.X., B. Hudson, J. Burt, K. Lubich, and D. Simonson. 2001. Soil mapping using GIS, expert knowledge, and fuzzy logic. Soil Sci. Soc. Am. J. 65:1463-1472. Ziadat, F.M. 2004. Analysing digital terrain attributes to predict soil attributes for a relatively large area. Int. J. of Applied Earth Observation and Geoinformation 3:176-183. Zinck, J.A. 1995. Soil survey: perspectives and st strategies for the 21 century. Publ. ITC Enschede, The Netherlands and FAO, Rome, 132p. Zinck, J.A. 1990. Soil survey: epistemology of a vital disipline. ITC Journal 4:335-351.
55