LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 163
Bab 4 Subsistem Pemasaran dan Perdagangan Internasional: Mengembangkan Sumber Pertumbuhan
o o o o o
Biar Saja Sidang WTO Gagal . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .164 Mengelak Dari Khotbah Organisasi Internasional . . . . . .166 Mengantisipasi Dampak Krisis Ekonomi Global . . . . . . .168 Manfaatkan Cairns Group dan G33 Secara Cerdas . . . . .170 Bersaing Dalam ASEAN - China FTA . . . . . . . . . . . . . . . . .172
Suara Agribisnis
163
LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 164
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
30 November – 13 Desember 2005
Biar Saja Sidang WTO Gagal AWAL DESEMBER 2005, World Trade Organisation (WTO) akan bersidang di Hongkong. Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. Menteri Pertanian periode 2000— 2004, saat diwawancarai AGRINA berpesan, “Janganlah kita menjadi anak baik yang mengorbankan kepentingan sendiri.” Seberapa penting bagi Indonesia perdagangan internasional itu? Bagi Indonesia, perdagangan hasil pertanian punya peranan penting karena kita sebagai eksportir besar sekaligus importir besar. Kita eksportir produk perkebunan dan importir produk pangan. Artinya, perdagangan internasional mempunyai peranan penting dalam pembangunan sistem agribisnis atau pembangunan pertanian kita. Oleh karena itu, harus dibuat sedemikian rupa agar perdagangan internasional itu menjadi alat untuk pembangunan sistem agribisnis kita, jangan menjadi alat untuk penghambat. Negosiasi WTO belakangan ini macet justru karena kemacetan dalam negosiasi pertanian. Produk pertanian juga sangat penting bagi negara-negara maju. Di negara maju, terdapat kekuatan petani yang demikian besarnya. Memang jumlah petaninya tidak terlalu besar tapi pengaruh politiknya besar. Mereka mampu memaksa pemerintahnya untuk memproteksi pertaniannya dari perdagangan internasional. Oleh karena itu, negara-negara maju hanya ngomong masalah free trade, tapi dalam bidang pertanian mereka sering tidak melakukan khotbahnya. Beda halnya dengan negara-negara berkembang, produk pertanian adalah produk utama perdagangan mereka. Sebab itu, bila WTO berusaha menciptakan perdagangan bebas produk pertanian tapi tidak fair, maka akan merugikan negara-negara berkembang. Alasannya, negara maju mampu memproteksi pertaniannya dengan subsidi yang besar, tarif, dan hambatan teknis. Sedangkan negara berkembang hanya tarif, sementara dalam hal subsidi dan persyaratan teknis tidak mampu. Tarif pun kesulitan karena mereka dipaksa untuk menghilangkannya oleh negara maju dan organisasi dunia, seperti bank dunia dan IMF. Jadi, ada ketidakadilan luar biasa dalam perdagangan internasional hasil-hasil pertanian. Awal Desember mendatang akan ada sidang WTO di Hongkong, apa bahasan pokoknya? Sidang WTO di Seattle, Amerika Serikat gagal karena kepentingan negara-negara berkembang tidak diperhatikan. Kemudian dilanjutkan sidang di Doha, Qatar, berhasil. Berikutnya, pertemuan di Cancun (Meksiko) tahun lalu, WTO gagal menerjemahkan Doha Rounds. Dalam Doha Rounds sudah disepakati adanya trade for development, khu-
164
Suara Agribisnis
susnya pembangunan negara berkembang. Faktor utama penyebab kegagalan negosiasi di Cancun adalah kekurangrelaan negara-negara maju untuk mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang. Dan kebetulan negara-negara berkembang sudah lebih terorganisir, saat itu ada G20 yang dipimpin India dan Brasil serta G33 dipimpin oleh Indonesia dan Filipina. Jadi, kegagalan di Cancun itu mau diperbaiki di Hongkong. Lantas bagaimana sikap kita menghadapi sidang WTO di Hongkong? Indonesia harus berjuang habis-habisan. Jangan lagi menjadi “anak yang baik” sehingga kepentingan Indonesia sendiri sering terabaikan. Negosiator kita harus lebih berani dan taktis untuk memperjuangkan kepentingan kita. Tidak ada gunanya sidang WTO sukses, tetapi hasilnya merugikan kepentingan nasional. Lebih baik WTO stagnan seperti sekarang daripada jalan tapi merugikan kita. Yang perlu diperjuangkan adalah kelanjutan dari yang telah diperjuangkan selama ini, memperjuangan ide produk strategis. Bagi kita produk strategis ada empat, yakni beras, jagung, kedelai, dan gula. Kita memilih keempat produk itu karena pada produk tersebut petani kita belum mampu bersaing dengan produk impor yang membanjiri negara kita. Sementara produk tersebut disubsidi di negara asalnya. Produk strategis itu harus diperjuangkan untuk memperoleh kebebasan dalam merumuskan kebijakan guna memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan pendapatan petani, dan menyediakan lapangan kerja. Beras dan gula sudah berhasil dirumuskan kebijakan nasionalnya dalam bentuk proteksi dan promosi. Kebijakan ini harus dipertahankan dan diperjuangkan sampai negara-negara lain menghilangkan proteksinya, dan petani kita melalui kebijakan promosi sudah siap bersaing. Kebijakan proteksi dan promosi pada beras dan gula yang diterapkan beberapa tahun terakhir sudah kelihatan hasilnya. Kita juga perlu merumuskan dan memperjuangkan untuk komoditas jagung dan kedelai. Apa yang perlu dipersiapkan negosiator kita? Harus ada persiapan yang matang dari delegasi Indonesia untuk menghadapi semua tantangan. Bahkan negosiasi jangan hanya pada sidang WTO, tapi jauh-jauh hari sebelum sidang sudah harus dilakukan. Mereka harus dilengkapi konsep yang matang dari dalam negeri. Untuk itu pemerintah perlu melakukan diskusi dengan para asosiasi petani dan asosiasi agribisnis Indonesia. Usahakan juga agar mereka bisa ikut dalam sidang WTO sebagai delegasi yang membantu pemerintah. Di sana mereka bisa bergabung dengan para petani dari negara lain untuk memperjuangkan kepentingan pertanian negara dunia ketiga. Negosiator kita juga harus lebih memperkuat G20 dan G33 karena kita tidak bisa berjuang sendiri tapi berjuang bersama-sama. Bahkan kita juga harus memobilisasi LSM lokal yang sepaham untuk memobilisasi LSM internasional agar ikut memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang. Singkatnya, lebih baik sidang WTO gagal daripada kepentingan nasional kita dirugikan.*** Suara Agribisnis
165
LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 164
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
30 November – 13 Desember 2005
Biar Saja Sidang WTO Gagal AWAL DESEMBER 2005, World Trade Organisation (WTO) akan bersidang di Hongkong. Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec. Menteri Pertanian periode 2000— 2004, saat diwawancarai AGRINA berpesan, “Janganlah kita menjadi anak baik yang mengorbankan kepentingan sendiri.” Seberapa penting bagi Indonesia perdagangan internasional itu? Bagi Indonesia, perdagangan hasil pertanian punya peranan penting karena kita sebagai eksportir besar sekaligus importir besar. Kita eksportir produk perkebunan dan importir produk pangan. Artinya, perdagangan internasional mempunyai peranan penting dalam pembangunan sistem agribisnis atau pembangunan pertanian kita. Oleh karena itu, harus dibuat sedemikian rupa agar perdagangan internasional itu menjadi alat untuk pembangunan sistem agribisnis kita, jangan menjadi alat untuk penghambat. Negosiasi WTO belakangan ini macet justru karena kemacetan dalam negosiasi pertanian. Produk pertanian juga sangat penting bagi negara-negara maju. Di negara maju, terdapat kekuatan petani yang demikian besarnya. Memang jumlah petaninya tidak terlalu besar tapi pengaruh politiknya besar. Mereka mampu memaksa pemerintahnya untuk memproteksi pertaniannya dari perdagangan internasional. Oleh karena itu, negara-negara maju hanya ngomong masalah free trade, tapi dalam bidang pertanian mereka sering tidak melakukan khotbahnya. Beda halnya dengan negara-negara berkembang, produk pertanian adalah produk utama perdagangan mereka. Sebab itu, bila WTO berusaha menciptakan perdagangan bebas produk pertanian tapi tidak fair, maka akan merugikan negara-negara berkembang. Alasannya, negara maju mampu memproteksi pertaniannya dengan subsidi yang besar, tarif, dan hambatan teknis. Sedangkan negara berkembang hanya tarif, sementara dalam hal subsidi dan persyaratan teknis tidak mampu. Tarif pun kesulitan karena mereka dipaksa untuk menghilangkannya oleh negara maju dan organisasi dunia, seperti bank dunia dan IMF. Jadi, ada ketidakadilan luar biasa dalam perdagangan internasional hasil-hasil pertanian. Awal Desember mendatang akan ada sidang WTO di Hongkong, apa bahasan pokoknya? Sidang WTO di Seattle, Amerika Serikat gagal karena kepentingan negara-negara berkembang tidak diperhatikan. Kemudian dilanjutkan sidang di Doha, Qatar, berhasil. Berikutnya, pertemuan di Cancun (Meksiko) tahun lalu, WTO gagal menerjemahkan Doha Rounds. Dalam Doha Rounds sudah disepakati adanya trade for development, khu-
164
Suara Agribisnis
susnya pembangunan negara berkembang. Faktor utama penyebab kegagalan negosiasi di Cancun adalah kekurangrelaan negara-negara maju untuk mengakomodasi kepentingan negara-negara berkembang. Dan kebetulan negara-negara berkembang sudah lebih terorganisir, saat itu ada G20 yang dipimpin India dan Brasil serta G33 dipimpin oleh Indonesia dan Filipina. Jadi, kegagalan di Cancun itu mau diperbaiki di Hongkong. Lantas bagaimana sikap kita menghadapi sidang WTO di Hongkong? Indonesia harus berjuang habis-habisan. Jangan lagi menjadi “anak yang baik” sehingga kepentingan Indonesia sendiri sering terabaikan. Negosiator kita harus lebih berani dan taktis untuk memperjuangkan kepentingan kita. Tidak ada gunanya sidang WTO sukses, tetapi hasilnya merugikan kepentingan nasional. Lebih baik WTO stagnan seperti sekarang daripada jalan tapi merugikan kita. Yang perlu diperjuangkan adalah kelanjutan dari yang telah diperjuangkan selama ini, memperjuangan ide produk strategis. Bagi kita produk strategis ada empat, yakni beras, jagung, kedelai, dan gula. Kita memilih keempat produk itu karena pada produk tersebut petani kita belum mampu bersaing dengan produk impor yang membanjiri negara kita. Sementara produk tersebut disubsidi di negara asalnya. Produk strategis itu harus diperjuangkan untuk memperoleh kebebasan dalam merumuskan kebijakan guna memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan pendapatan petani, dan menyediakan lapangan kerja. Beras dan gula sudah berhasil dirumuskan kebijakan nasionalnya dalam bentuk proteksi dan promosi. Kebijakan ini harus dipertahankan dan diperjuangkan sampai negara-negara lain menghilangkan proteksinya, dan petani kita melalui kebijakan promosi sudah siap bersaing. Kebijakan proteksi dan promosi pada beras dan gula yang diterapkan beberapa tahun terakhir sudah kelihatan hasilnya. Kita juga perlu merumuskan dan memperjuangkan untuk komoditas jagung dan kedelai. Apa yang perlu dipersiapkan negosiator kita? Harus ada persiapan yang matang dari delegasi Indonesia untuk menghadapi semua tantangan. Bahkan negosiasi jangan hanya pada sidang WTO, tapi jauh-jauh hari sebelum sidang sudah harus dilakukan. Mereka harus dilengkapi konsep yang matang dari dalam negeri. Untuk itu pemerintah perlu melakukan diskusi dengan para asosiasi petani dan asosiasi agribisnis Indonesia. Usahakan juga agar mereka bisa ikut dalam sidang WTO sebagai delegasi yang membantu pemerintah. Di sana mereka bisa bergabung dengan para petani dari negara lain untuk memperjuangkan kepentingan pertanian negara dunia ketiga. Negosiator kita juga harus lebih memperkuat G20 dan G33 karena kita tidak bisa berjuang sendiri tapi berjuang bersama-sama. Bahkan kita juga harus memobilisasi LSM lokal yang sepaham untuk memobilisasi LSM internasional agar ikut memperjuangkan kepentingan negara-negara berkembang. Singkatnya, lebih baik sidang WTO gagal daripada kepentingan nasional kita dirugikan.*** Suara Agribisnis
165
LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 166
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
4 – 17 Oktober 2006
Mengelak dari Khotbah Organisasi Internasional “BELAKANGAN INI BANYAK KITA LIHAT KOMENTAR DI MEDIA MASSA tentang perlakuan organisasi internasional seperti World Bank, IMF, dan WTO tentang negeri kita. Dan aneka respons dari dalam negeri terhadap perlakuan itu, sehingga tidak menyelesaikan masalah,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Bagaimana pengalaman Profesor dulu berhubungan dengan organisasi tersebut? Pengalaman pertama saya sebagai pejabat berinteraksi dengan World Bank (WB) pada 2000 dalam rangka persiapan menghadapi CGI Meeting di Tokyo. Menko Perekonomian mengatakan kepada saya bahwa anggota CGI khususnya dari Eropa dan Amerika Serikat sangat concern mengenai cara-cara pengelolaan hutan kita selama ini. Jika cara pengelolaan ini tidak diperbaiki maka komitmen mereka membantu Indonesia akan sangat berpengaruh. Dengan demikian saya mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pertemuan itu dilihat dari kepentingan pihak Indonesia. Jika atau tidak bisa meyakinkan CGI mengenai pengelolaan hutan kita berarti akan menjadi penghambat untuk kerjasama dengan CGI dalam segala bidang. Beberapa minggu sebelum pertemuan itu saya dikunjungi representatif WB mengingatkan mengenai CGI Meeting dan pentingnya masalah kehutanan di dalam pertemuan itu. Saya bilang kepada mereka, WB sudah lama bekerja dan mempelajari masalah kehutanan Indonesia, tentunya mempunyai pengetahuan yang memadai tentang mengelola kehutanan secara lestari. Oleh karena itu saya minta asistensi WB untuk membantu staf saya mempersiapkan segala sesuatu agar dalam CGI Meeting dapat memuaskan dan meyakinkan anggota-anggota CJI. Saya hanya beri guide line bahwa dalam manajemen pengelolaan kehutanan Indonesia yang akan datang menganut paham suistanable developmentalist bukan conservationist. Pendek kata, saya dapat bahan pidato yang dipersiapkan dengan baik sehingga isu kehutanan tidak lagi menghambat CGI untuk membantu indonesia. Apakah ada pengalaman lain? Hasil review singkat tentang pertanian dan pangan yang saya buat menyimpulkan bahwa pertanian dan ketahanan pangan Indonesia tidak dapat ditingkatkan jika kita masih menganut paham free trade. Kenapa? Dalam realita perdagangan internasional yang terjadi bukan free trade tapi unfair trade khususnya di bidang pertanian. Oleh karena itu saya rumuskan kebijakan proteksi dan promosi. Untuk menguji kebijakan tersebut dimuat pada media massa. Ternyata WB memberikan perhatian.
166
Suara Agribisnis
Representatif WB bersama ahlinya minta menghadap dan saya terima. Mereka mengingatkan bahwa kebijakan mengenai proteksi melanggar Letter of Intence (LoI) dan agreement di WTO. Sehingga bisa berkonsekuensi buruk bila diteruskan. Lalu saya jawab, membangun pertanian dan meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini harus melalui proteksi. Terbukti dengan free trade kita menjadi pengimpor segalanya dalam jumlah besar. Berarti ada yang salah dengan free trade. Negara lain masih memproteksi dan mensubsidi pertaniannya, sementara Indonesia tidak mampu mensubsidi maka jalan satu-satunya melalui proteksi. Kenapa negara lain diperbolehkan sedangkan Indonesia dilarang? Akhirnya saya katakan, maaf kita berbeda dalam soal ini. Dan yang bertanggungjawab mengenai soal ini bukanlah anda tapi saya kepada rakyat Indonesia. Jika rakyat berdemo, anda bisa pergi dari sini, tapi saya tidak. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab saya dan menurut saya itulah yang terbaik buat republik ini dan akan kami lakukan. Dan saya mengharapkan anda membantu kami kendati kita berbeda, karena anda bertugas membantu kami. Bagaimana kelanjutannya? Beberapa waktu kemudian mereka mengundang konsultan terdiri dari profesor terkenal di bidang ekonomi pertanian dari Amerika. Mereka ingin meyakin saya bahwa kebijakan proteksi dan promosi itu tidak baik buat Indonesia. Saya jelaskan lagi tentang perdagangan dunia yang unfair trade dan proteksi oleh negara-negara lain. Sehingga jika kami dilarang dimana kedaulatan kami. Malah tanpa debat panjang profesor itu mengerti dengan kebijakan kita. Setelah itu tidak ada lagi diskusi mengenai proteksi dan promosi dengan WB. Saya tidak tahu mereka setuju atau tidak tapi mereka sudah tidak melarang dan menghambat untuk membantu Indonesia. Apa yang dapat Profesor simpulkan? WB dan organisasi lain yang masuk UN System dibuat untuk membantu kita bukan untuk mengkhotbahi atau mengatur kita. Kita atur saja supaya mereka membantu sesuai dengan yang kita mau. Tapi jika mereka lihat cara kita mengatur diri kurang tepat maka mereka pun berkhotbah. Kita harus mampu berdebat dengan mereka yang dilakukan sesuai dengan tatakrama internasional. Jika berhubungan dengan organisasi internasional harus menggunakan “bahasa”, “nilai”, dan “logika” mereka, tapi selalu diarahkan untuk kepentingan kita. Artinya kita harus smart, tidak perlu ngotot dan ngoyo, apalagi caci maki. Mereka sangat menghormati posisi kita kalau disampaikan secara benar dan baik. Mereka lebih hormat lagi kalau ide kita dilaksanakan dengan berhasil. Dan akan lebih baik lagi jika debat itu bukan konsumsi media massa tapi direalisasikan di meja rapat sehingga tidak menimbulkan masalah tapi menyelesaikan masalah.***
Suara Agribisnis
167
LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 166
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
4 – 17 Oktober 2006
Mengelak dari Khotbah Organisasi Internasional “BELAKANGAN INI BANYAK KITA LIHAT KOMENTAR DI MEDIA MASSA tentang perlakuan organisasi internasional seperti World Bank, IMF, dan WTO tentang negeri kita. Dan aneka respons dari dalam negeri terhadap perlakuan itu, sehingga tidak menyelesaikan masalah,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000—2004, saat diwawancarai AGRINA. Bagaimana pengalaman Profesor dulu berhubungan dengan organisasi tersebut? Pengalaman pertama saya sebagai pejabat berinteraksi dengan World Bank (WB) pada 2000 dalam rangka persiapan menghadapi CGI Meeting di Tokyo. Menko Perekonomian mengatakan kepada saya bahwa anggota CGI khususnya dari Eropa dan Amerika Serikat sangat concern mengenai cara-cara pengelolaan hutan kita selama ini. Jika cara pengelolaan ini tidak diperbaiki maka komitmen mereka membantu Indonesia akan sangat berpengaruh. Dengan demikian saya mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pertemuan itu dilihat dari kepentingan pihak Indonesia. Jika atau tidak bisa meyakinkan CGI mengenai pengelolaan hutan kita berarti akan menjadi penghambat untuk kerjasama dengan CGI dalam segala bidang. Beberapa minggu sebelum pertemuan itu saya dikunjungi representatif WB mengingatkan mengenai CGI Meeting dan pentingnya masalah kehutanan di dalam pertemuan itu. Saya bilang kepada mereka, WB sudah lama bekerja dan mempelajari masalah kehutanan Indonesia, tentunya mempunyai pengetahuan yang memadai tentang mengelola kehutanan secara lestari. Oleh karena itu saya minta asistensi WB untuk membantu staf saya mempersiapkan segala sesuatu agar dalam CGI Meeting dapat memuaskan dan meyakinkan anggota-anggota CJI. Saya hanya beri guide line bahwa dalam manajemen pengelolaan kehutanan Indonesia yang akan datang menganut paham suistanable developmentalist bukan conservationist. Pendek kata, saya dapat bahan pidato yang dipersiapkan dengan baik sehingga isu kehutanan tidak lagi menghambat CGI untuk membantu indonesia. Apakah ada pengalaman lain? Hasil review singkat tentang pertanian dan pangan yang saya buat menyimpulkan bahwa pertanian dan ketahanan pangan Indonesia tidak dapat ditingkatkan jika kita masih menganut paham free trade. Kenapa? Dalam realita perdagangan internasional yang terjadi bukan free trade tapi unfair trade khususnya di bidang pertanian. Oleh karena itu saya rumuskan kebijakan proteksi dan promosi. Untuk menguji kebijakan tersebut dimuat pada media massa. Ternyata WB memberikan perhatian.
166
Suara Agribisnis
Representatif WB bersama ahlinya minta menghadap dan saya terima. Mereka mengingatkan bahwa kebijakan mengenai proteksi melanggar Letter of Intence (LoI) dan agreement di WTO. Sehingga bisa berkonsekuensi buruk bila diteruskan. Lalu saya jawab, membangun pertanian dan meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia saat ini harus melalui proteksi. Terbukti dengan free trade kita menjadi pengimpor segalanya dalam jumlah besar. Berarti ada yang salah dengan free trade. Negara lain masih memproteksi dan mensubsidi pertaniannya, sementara Indonesia tidak mampu mensubsidi maka jalan satu-satunya melalui proteksi. Kenapa negara lain diperbolehkan sedangkan Indonesia dilarang? Akhirnya saya katakan, maaf kita berbeda dalam soal ini. Dan yang bertanggungjawab mengenai soal ini bukanlah anda tapi saya kepada rakyat Indonesia. Jika rakyat berdemo, anda bisa pergi dari sini, tapi saya tidak. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab saya dan menurut saya itulah yang terbaik buat republik ini dan akan kami lakukan. Dan saya mengharapkan anda membantu kami kendati kita berbeda, karena anda bertugas membantu kami. Bagaimana kelanjutannya? Beberapa waktu kemudian mereka mengundang konsultan terdiri dari profesor terkenal di bidang ekonomi pertanian dari Amerika. Mereka ingin meyakin saya bahwa kebijakan proteksi dan promosi itu tidak baik buat Indonesia. Saya jelaskan lagi tentang perdagangan dunia yang unfair trade dan proteksi oleh negara-negara lain. Sehingga jika kami dilarang dimana kedaulatan kami. Malah tanpa debat panjang profesor itu mengerti dengan kebijakan kita. Setelah itu tidak ada lagi diskusi mengenai proteksi dan promosi dengan WB. Saya tidak tahu mereka setuju atau tidak tapi mereka sudah tidak melarang dan menghambat untuk membantu Indonesia. Apa yang dapat Profesor simpulkan? WB dan organisasi lain yang masuk UN System dibuat untuk membantu kita bukan untuk mengkhotbahi atau mengatur kita. Kita atur saja supaya mereka membantu sesuai dengan yang kita mau. Tapi jika mereka lihat cara kita mengatur diri kurang tepat maka mereka pun berkhotbah. Kita harus mampu berdebat dengan mereka yang dilakukan sesuai dengan tatakrama internasional. Jika berhubungan dengan organisasi internasional harus menggunakan “bahasa”, “nilai”, dan “logika” mereka, tapi selalu diarahkan untuk kepentingan kita. Artinya kita harus smart, tidak perlu ngotot dan ngoyo, apalagi caci maki. Mereka sangat menghormati posisi kita kalau disampaikan secara benar dan baik. Mereka lebih hormat lagi kalau ide kita dilaksanakan dengan berhasil. Dan akan lebih baik lagi jika debat itu bukan konsumsi media massa tapi direalisasikan di meja rapat sehingga tidak menimbulkan masalah tapi menyelesaikan masalah.***
Suara Agribisnis
167
LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 168
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
29 Oktober – 11 November 2008
Mengantisipasi Dampak Krisis Ekonomi Global “KRISIS EKONOMI DI AS itu mengakibatkan dampak langsung bagi kita, yaitu kehilangan pasar pangan dan pertanian di AS. Dan dampak tidak langsung berupa kehilangan pasar di negara lain yang menjadi partner AS, seperti China, India, Jepang, dan Eropa,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 - 2004, saat diwawancarai AGRINA. Bagaimana kondisi krisis ekonomi saat ini dibandingkan 1998? Memang fenomena saat ini mengingatkan kita pada situasi 1998. Namun krisis ekonomi 1998 lebih besar dampaknya bagi kita daripada krisis ekonomi yang sekarang. Karena krisis 1998 lalu kerusakannya disebabkan dari dalam dan kita tidak siap, sedangkan sekarang ini kerusakan datang dari luar dan kita sudah lebih siap menghadapinya lantaran sudah punya pengalaman. Memang pertumbuhan ekonomi kita akan lebih sulit dengan pertumbuhan tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya. Namun tidak akan mengalami pertumbuhan negatif yang besar seperti 1998. Dampak apa saja yang mungkin akan terjadi? Krisis ekonomi yang menimpa perekonomian AS sudah merambat ke seluruh dunia. Hasil akhir dari krisis ekonomi ini sangat tergantung pada efektivitas usaha pemerintah-pemerintah di seluruh dunia secara sendiri-sendiri dan bersama-sama untuk menyelamatkan pasar modal serta sistem perbankan dan keuangan di masing-masing negara. Namun yang pasti, bagaimana pun efektif dari usaha-usaha pemerintah itu, kerusakan ekonomi sudah terjadi. Resesi pasti terjadi. Cuma intensitas dan lama dari resesi itu masih sangat sulit diprediksi sekarang ini. Yang pasti, pertumbuhan ekonomi dunia akan berkurang, pengangguran meningkat, perdagangan menurun, dan harga-harga termasuk harga energi dan pangan akan menurun. Dengan berkurangnya pertumbuhan ekonomi dunia, permintaan terhadap produk-produk pertanian, seperti kelapa sawit, karet, kopi, kakao, teh, dan rempah-rempah akan berkurang. Jumlah permintaan yang berkurang ini juga disertai dengan harga yang semakin rendah. Bagaimana dampak terhadap agribisnis Indonesia? Dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia bisa terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung, khususnya pada pangan dan pertanian Indonesia. Secara langsung, terjadi penurunan ekspor produk-produk pangan dan pertanian Indonesia ke AS yang merupakan pasar ekspor utama produk pangan dan pertanian Indonesia. Secara tidak langsung, dengan pertumbuhan ekonomi AS yang semakin kecil padahal AS merupakan pasar besar buat China dan India, maka pertumbuhan ekonomi Chi-
168
Suara Agribisnis
na dan India juga akan berkurang. Oleh karena itu, permintaan akan pangan dari China dan India akan berkurang sehingga ekspor pangan dan pertanian dari Indonesia juga akan berkurang. Hal tersebut akan berakibat buruk pada pertanian Indonesia, khususnya produk-produk pertanian Indonesia yang mengandalkan pasar ekspor. Maka sektor pertanian pada masa-masa yang akan datang di Indonesia bakal mengalami penurunan pertumbuhan, pengangguran bertambah, dan kemiskinan juga bertambah. Dan salah satu dampak lain dari krisis ekonomi dunia ini adalah pelarian modal luar negeri dari Indonesia yang berakibat pada penurunan nilai tukar rupiah. Hal itu akan mendorong ekspor pertanian dan mengurangi impornya sehingga akan membantu surplus perdagangan internasional di bidang hasil-hasil pertanian. Namun agar ekspor pertanian Indonesia tidak mengalami stagnasi, maka kontrol terhadap perubahan nilai tukar rupiah oleh Bank Indonesia jangan terlalu merugikan eksportir pertanian. Bagaimana mengatasi akibat buruk tersebut? Secara makro, krisis ini mengakibatkan pengurangan pada ekspor dan investasi, maka variabel yang dapat dimanfaatkan adalah konsumsi dalam negeri dan pembelanjaan pemerintah. Konsumsi dalam negeri terhadap produk-produk domestik harus ditingkatkan, dan harus ada insentif untuk itu. Saat ini kesempatan untuk meningkatkan konsumsi pangan dalam negeri karena harga lebih murah, khususnya konsumsi protein dan lemak yang berasal dari ternak dan ikan. Sementara itu pembelanjaan pemerintah harus ditingkatkan dan distribusinya dipercepat untuk memperbaiki infrastruktur di pedesaan dan pertanian, seperti memperbaiki jalan-jalan desa dan irigasi. Hal tersebut akan menimbulkan lapangan kerja, selanjutnya akan menimbulkan pendapatan kepada rakyat sehingga akan menstimulir konsumsi pangan dan barang-barang industri. Indonesia harus mengusahakan ekspor pertaniannya jangan menurun drastis, kendatipun harus melalui sistem barter. Barter walaupun primitif, masih lebih bagus daripada tidak ada perdagangan sama sekali. Contohnya, barter antara minyak kelapa sawit dari Indonesia dan pupuk dari Rusia; minyak kelapa sawit dari Indonesia dan gandum dari India; karet dari Indonesia dan mesin-mesin pertanian dari China, dan lainnya. Selain itu, jika masih ada peluang untuk mengekspor, semua hambatan ekspor harus dipangkas, misalnya pajak ekspor CPO. Barangkali perlu dihidupkan kembali ide mengenai biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit. Saat ini adalah kesempatan untuk mengembangkan biodiesel dari minyak kelapa sawit karena harganya turun drastis dibandingkan harga minyak bumi kendatipun juga mengalami penurunan. Di samping itu, perdagangan antarpulau dapat juga menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kelesuan yang terjadi di bidang pertanian. Oleh karena itu, hambatan perdagangan antardaerah juga harus dipangkas, seperti aturan-aturan yang rumit di pelabuhan.***
Suara Agribisnis
169
LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 168
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
29 Oktober – 11 November 2008
Mengantisipasi Dampak Krisis Ekonomi Global “KRISIS EKONOMI DI AS itu mengakibatkan dampak langsung bagi kita, yaitu kehilangan pasar pangan dan pertanian di AS. Dan dampak tidak langsung berupa kehilangan pasar di negara lain yang menjadi partner AS, seperti China, India, Jepang, dan Eropa,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 - 2004, saat diwawancarai AGRINA. Bagaimana kondisi krisis ekonomi saat ini dibandingkan 1998? Memang fenomena saat ini mengingatkan kita pada situasi 1998. Namun krisis ekonomi 1998 lebih besar dampaknya bagi kita daripada krisis ekonomi yang sekarang. Karena krisis 1998 lalu kerusakannya disebabkan dari dalam dan kita tidak siap, sedangkan sekarang ini kerusakan datang dari luar dan kita sudah lebih siap menghadapinya lantaran sudah punya pengalaman. Memang pertumbuhan ekonomi kita akan lebih sulit dengan pertumbuhan tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya. Namun tidak akan mengalami pertumbuhan negatif yang besar seperti 1998. Dampak apa saja yang mungkin akan terjadi? Krisis ekonomi yang menimpa perekonomian AS sudah merambat ke seluruh dunia. Hasil akhir dari krisis ekonomi ini sangat tergantung pada efektivitas usaha pemerintah-pemerintah di seluruh dunia secara sendiri-sendiri dan bersama-sama untuk menyelamatkan pasar modal serta sistem perbankan dan keuangan di masing-masing negara. Namun yang pasti, bagaimana pun efektif dari usaha-usaha pemerintah itu, kerusakan ekonomi sudah terjadi. Resesi pasti terjadi. Cuma intensitas dan lama dari resesi itu masih sangat sulit diprediksi sekarang ini. Yang pasti, pertumbuhan ekonomi dunia akan berkurang, pengangguran meningkat, perdagangan menurun, dan harga-harga termasuk harga energi dan pangan akan menurun. Dengan berkurangnya pertumbuhan ekonomi dunia, permintaan terhadap produk-produk pertanian, seperti kelapa sawit, karet, kopi, kakao, teh, dan rempah-rempah akan berkurang. Jumlah permintaan yang berkurang ini juga disertai dengan harga yang semakin rendah. Bagaimana dampak terhadap agribisnis Indonesia? Dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia bisa terjadi baik secara langsung maupun tidak langsung, khususnya pada pangan dan pertanian Indonesia. Secara langsung, terjadi penurunan ekspor produk-produk pangan dan pertanian Indonesia ke AS yang merupakan pasar ekspor utama produk pangan dan pertanian Indonesia. Secara tidak langsung, dengan pertumbuhan ekonomi AS yang semakin kecil padahal AS merupakan pasar besar buat China dan India, maka pertumbuhan ekonomi Chi-
168
Suara Agribisnis
na dan India juga akan berkurang. Oleh karena itu, permintaan akan pangan dari China dan India akan berkurang sehingga ekspor pangan dan pertanian dari Indonesia juga akan berkurang. Hal tersebut akan berakibat buruk pada pertanian Indonesia, khususnya produk-produk pertanian Indonesia yang mengandalkan pasar ekspor. Maka sektor pertanian pada masa-masa yang akan datang di Indonesia bakal mengalami penurunan pertumbuhan, pengangguran bertambah, dan kemiskinan juga bertambah. Dan salah satu dampak lain dari krisis ekonomi dunia ini adalah pelarian modal luar negeri dari Indonesia yang berakibat pada penurunan nilai tukar rupiah. Hal itu akan mendorong ekspor pertanian dan mengurangi impornya sehingga akan membantu surplus perdagangan internasional di bidang hasil-hasil pertanian. Namun agar ekspor pertanian Indonesia tidak mengalami stagnasi, maka kontrol terhadap perubahan nilai tukar rupiah oleh Bank Indonesia jangan terlalu merugikan eksportir pertanian. Bagaimana mengatasi akibat buruk tersebut? Secara makro, krisis ini mengakibatkan pengurangan pada ekspor dan investasi, maka variabel yang dapat dimanfaatkan adalah konsumsi dalam negeri dan pembelanjaan pemerintah. Konsumsi dalam negeri terhadap produk-produk domestik harus ditingkatkan, dan harus ada insentif untuk itu. Saat ini kesempatan untuk meningkatkan konsumsi pangan dalam negeri karena harga lebih murah, khususnya konsumsi protein dan lemak yang berasal dari ternak dan ikan. Sementara itu pembelanjaan pemerintah harus ditingkatkan dan distribusinya dipercepat untuk memperbaiki infrastruktur di pedesaan dan pertanian, seperti memperbaiki jalan-jalan desa dan irigasi. Hal tersebut akan menimbulkan lapangan kerja, selanjutnya akan menimbulkan pendapatan kepada rakyat sehingga akan menstimulir konsumsi pangan dan barang-barang industri. Indonesia harus mengusahakan ekspor pertaniannya jangan menurun drastis, kendatipun harus melalui sistem barter. Barter walaupun primitif, masih lebih bagus daripada tidak ada perdagangan sama sekali. Contohnya, barter antara minyak kelapa sawit dari Indonesia dan pupuk dari Rusia; minyak kelapa sawit dari Indonesia dan gandum dari India; karet dari Indonesia dan mesin-mesin pertanian dari China, dan lainnya. Selain itu, jika masih ada peluang untuk mengekspor, semua hambatan ekspor harus dipangkas, misalnya pajak ekspor CPO. Barangkali perlu dihidupkan kembali ide mengenai biodiesel yang berasal dari minyak kelapa sawit. Saat ini adalah kesempatan untuk mengembangkan biodiesel dari minyak kelapa sawit karena harganya turun drastis dibandingkan harga minyak bumi kendatipun juga mengalami penurunan. Di samping itu, perdagangan antarpulau dapat juga menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kelesuan yang terjadi di bidang pertanian. Oleh karena itu, hambatan perdagangan antardaerah juga harus dipangkas, seperti aturan-aturan yang rumit di pelabuhan.***
Suara Agribisnis
169
LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 170
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
8 – 21 Juli 2009
Manfaatkan Cairns Group dan G 33 Secara Cerdas “DEMI KEPENTINGAN NASIONAL, terutama petani, kita harus dapat memanfaatkan Cairns Group dan G 33 agar dapat melaksanakan kebijakan proteksi dan promosi pada produk pertanian dan pangan yang bisa diterima oleh seluruh negara anggota WTO,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancara AGRINA. Bagaimana posisi produk pertanian dan pangan kita dalam perdagangan internasional? Indonesia dilihat dari kacamata perdagangan hasil-hasil pertanian dan pangan internasional mempunyai posisi yang sangat khas atau unik. Indonesia bukan hanya menjadi importir hasil-hasil pertanian dan pangan yang besar tetapi sekaligus menjadi pengekspor besar hasil-hasil pertanian dan pangan. Namun jika dibuat balance dari segi nilai, di antara keduanya selalu ekspor pertanian dan pangan kita lebih besar daripada impornya. Oleh karena itu, dalam perdagangan internasional, khususnya diplomasi perdagangan internasional, posisi ini harus disadari oleh para negosiator kita dengan baik. Jangan karena mencegah impor produk-produk pangan dan pertanian berakibat pada hambatan ekspor produk-produk pertanian dan pangan kita. Keduanya, yaitu produk-produk pertanian dan pangan yang masih membutuhkan impor dan yang kita ekspor, sebagian besar merupakan produk-produk dari petani Indonesia. Kita tidak boleh mengorbankan petani yang menghasilkan produk ekspor karena mau memproteksi petani-petani yang masih belum mampu bersaing atau mengalahkan produk-produk impor. Untuk dapat menolong kedua kelompok petani ini, maka kebijakan perdagangan dan diplomasi pertanian dan pangan kita haruslah mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan satu sama lain. Sambil memproteksi petani-petani yang menghasilkan produk pangan dan pertanian, kita juga harus mempromosikan petani-petani yang menghasilkan produk ekspor. Kedua kelompok petani ini adalah rakyat Indonesia. Untuk ini dibutuhkan kemampuan diplomasi tingkat tinggi. Bagaimana kita memperjuangkan kepentingan dua kelompok petani tersebut? Pada Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) terdapat kelompok negara-negara pengimpor dan pengekspor produk-produk pertanian dan pangan. Oleh karena itu di dalam grouping yang ada di WTO tersebut, kita harus aktif memperjuangkan kebijakan proteksi dan promosi pangan dan pertanian. Untuk memproteksi produk pangan dan pertanian, kita telah secara aktif memimpin kelompok G 33, yakni kelompok negara-negara berkembang pengimpor besar bahan makanan.
170
Suara Agribisnis
Namun untuk menolong petani-petani yang menghasilkan produk ekspor, kita juga ikut dalam Cairns Group yang merupakan kelompok negara-negara pengekspor produk pertanian dan pangan. Misalnya, minyak kelapa sawit, karet, kakao, kopi, teh, dan lada. Semua produk pertanian untuk ekspor itu sebagian besar diproduksi oleh petani yang tersebar di seluruh Indonesia. Memang pada mulanya Cairns Group hanya memperjuangkan perdagangan bebas dan kita juga membutuhkan perdagangan bebas untuk mengekspor produk-produk pertanian dan pangan. Selain itu, kita telah berhasil meyakinkan Cairns Group pada pertemuan di Punta del Este, Uruguay pada 2001 agar grup ini bukan hanya memperhatikan perdagangan bebas tetapi juga harus memperhatikan perdagangan yang fair atau adil. Dan karena alasan inilah Indonesia tetap berada dalam kelompok Cairns Group sewaktu negosiasi di WTO karena Cairns Group sudah setuju free and fair trade. Berarti kebijakan yang kita terapkan tidak tegas? Memang kelihatannya kebijakan kita itu, memimpin G 33 dan menyetujui Cairns Group, sebagai kebijakan yang ambivalen. Tetapi yang penting adalah bagaimana menyelamatkan kepentingan nasional dalam perdagangan global. Kita tidak hanya berkepentingan untuk produk-produk strategis tetapi juga berkepentingan membuka akses seluas-luasnya terhadap produk-produk ekspor pangan dan pertanian kita. Jadi, karena kita pengekspor besar produk pertanian dan pangan, maka kita tidak perlu keluar dari Cairns Group, bahkan kita perkuat Cairns Group. Tapi di sisi lain kita memperjuangkan agar Cairns Group harus memperhatikan negara-negara pengimpor produk pertanian dan pangan, khususnya dari negara-negara ketiga di mana kita ada di dalamnya. Jika kita keluar dari Cairns Group, menurut pengalaman saya, Cairns Group akan menjadi lemah bahkan bubar. Yang berarti kita kehilangan mitra untuk memperjuangkan perdagangan sebebas-bebasnya dan seadil-adilnya untuk produk-produk pangan dan pertanian kita. Apalagi tidak ada yang melarang kita untuk berada dalam dua pengelompokan itu. Oleh karena itu kita harus cerdas dalam memanfaatkan kedua pengelompokan itu dan juga pengelompokan lainnya yang mengedepankan kepentingan nasional. Jangan hanya kebijakan atau diplomasi bebas aktif tetapi kita mau diplomasi bebas aktif yang mengedepankan kepentingan nasional.***
Suara Agribisnis
171
LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 170
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
8 – 21 Juli 2009
Manfaatkan Cairns Group dan G 33 Secara Cerdas “DEMI KEPENTINGAN NASIONAL, terutama petani, kita harus dapat memanfaatkan Cairns Group dan G 33 agar dapat melaksanakan kebijakan proteksi dan promosi pada produk pertanian dan pangan yang bisa diterima oleh seluruh negara anggota WTO,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000–2004, saat diwawancara AGRINA. Bagaimana posisi produk pertanian dan pangan kita dalam perdagangan internasional? Indonesia dilihat dari kacamata perdagangan hasil-hasil pertanian dan pangan internasional mempunyai posisi yang sangat khas atau unik. Indonesia bukan hanya menjadi importir hasil-hasil pertanian dan pangan yang besar tetapi sekaligus menjadi pengekspor besar hasil-hasil pertanian dan pangan. Namun jika dibuat balance dari segi nilai, di antara keduanya selalu ekspor pertanian dan pangan kita lebih besar daripada impornya. Oleh karena itu, dalam perdagangan internasional, khususnya diplomasi perdagangan internasional, posisi ini harus disadari oleh para negosiator kita dengan baik. Jangan karena mencegah impor produk-produk pangan dan pertanian berakibat pada hambatan ekspor produk-produk pertanian dan pangan kita. Keduanya, yaitu produk-produk pertanian dan pangan yang masih membutuhkan impor dan yang kita ekspor, sebagian besar merupakan produk-produk dari petani Indonesia. Kita tidak boleh mengorbankan petani yang menghasilkan produk ekspor karena mau memproteksi petani-petani yang masih belum mampu bersaing atau mengalahkan produk-produk impor. Untuk dapat menolong kedua kelompok petani ini, maka kebijakan perdagangan dan diplomasi pertanian dan pangan kita haruslah mempunyai dua sisi yang tidak terpisahkan satu sama lain. Sambil memproteksi petani-petani yang menghasilkan produk pangan dan pertanian, kita juga harus mempromosikan petani-petani yang menghasilkan produk ekspor. Kedua kelompok petani ini adalah rakyat Indonesia. Untuk ini dibutuhkan kemampuan diplomasi tingkat tinggi. Bagaimana kita memperjuangkan kepentingan dua kelompok petani tersebut? Pada Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) terdapat kelompok negara-negara pengimpor dan pengekspor produk-produk pertanian dan pangan. Oleh karena itu di dalam grouping yang ada di WTO tersebut, kita harus aktif memperjuangkan kebijakan proteksi dan promosi pangan dan pertanian. Untuk memproteksi produk pangan dan pertanian, kita telah secara aktif memimpin kelompok G 33, yakni kelompok negara-negara berkembang pengimpor besar bahan makanan.
170
Suara Agribisnis
Namun untuk menolong petani-petani yang menghasilkan produk ekspor, kita juga ikut dalam Cairns Group yang merupakan kelompok negara-negara pengekspor produk pertanian dan pangan. Misalnya, minyak kelapa sawit, karet, kakao, kopi, teh, dan lada. Semua produk pertanian untuk ekspor itu sebagian besar diproduksi oleh petani yang tersebar di seluruh Indonesia. Memang pada mulanya Cairns Group hanya memperjuangkan perdagangan bebas dan kita juga membutuhkan perdagangan bebas untuk mengekspor produk-produk pertanian dan pangan. Selain itu, kita telah berhasil meyakinkan Cairns Group pada pertemuan di Punta del Este, Uruguay pada 2001 agar grup ini bukan hanya memperhatikan perdagangan bebas tetapi juga harus memperhatikan perdagangan yang fair atau adil. Dan karena alasan inilah Indonesia tetap berada dalam kelompok Cairns Group sewaktu negosiasi di WTO karena Cairns Group sudah setuju free and fair trade. Berarti kebijakan yang kita terapkan tidak tegas? Memang kelihatannya kebijakan kita itu, memimpin G 33 dan menyetujui Cairns Group, sebagai kebijakan yang ambivalen. Tetapi yang penting adalah bagaimana menyelamatkan kepentingan nasional dalam perdagangan global. Kita tidak hanya berkepentingan untuk produk-produk strategis tetapi juga berkepentingan membuka akses seluas-luasnya terhadap produk-produk ekspor pangan dan pertanian kita. Jadi, karena kita pengekspor besar produk pertanian dan pangan, maka kita tidak perlu keluar dari Cairns Group, bahkan kita perkuat Cairns Group. Tapi di sisi lain kita memperjuangkan agar Cairns Group harus memperhatikan negara-negara pengimpor produk pertanian dan pangan, khususnya dari negara-negara ketiga di mana kita ada di dalamnya. Jika kita keluar dari Cairns Group, menurut pengalaman saya, Cairns Group akan menjadi lemah bahkan bubar. Yang berarti kita kehilangan mitra untuk memperjuangkan perdagangan sebebas-bebasnya dan seadil-adilnya untuk produk-produk pangan dan pertanian kita. Apalagi tidak ada yang melarang kita untuk berada dalam dua pengelompokan itu. Oleh karena itu kita harus cerdas dalam memanfaatkan kedua pengelompokan itu dan juga pengelompokan lainnya yang mengedepankan kepentingan nasional. Jangan hanya kebijakan atau diplomasi bebas aktif tetapi kita mau diplomasi bebas aktif yang mengedepankan kepentingan nasional.***
Suara Agribisnis
171
LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 172
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
6 – 19 Januari 2010
Bersaing dalam ASEAN-China FTA “JADIKAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA sebagai latihan menghadapi perdagangan bebas global. Kita harus memenangkan persaingan produk unggulan kita dan bersedia mengimpor produk bukan unggulan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA. Mengapa demikian? Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN–China (ASEAN-China Free Trade Agreement atau ACFTA) yang mulai berlaku 1 Januari 2010 harus dijadikan latihan permulaan bagi kita menuju perdagangan bebas secara global. Pada ACFTA kita hanya bersaing secara regional yang tingkat pembangunannya relatif sama. Jika ternyata kita tidak mampu bersaing secara regional, maka tidak ada harapan bagi kita untuk bersaing secara global dengan negara-negara yang sudah jauh lebih maju daripada kita. Bila bersaing dengan China dan negara-negara ASEAN saja kita tidak mampu, di mana lagi kepercayaan diri bangsa ini? Kita sudah cukup lama memproteksi pertanian kita. Saya ingat sewaktu saya menjadi Menteri Pertanian menerapkan kebijakan proteksi sekaligus promosi. Kita tidak biarkan produk pertanian Indonesia berhadapan dengan produk pertanian negara lain dalam perdagangan internasional secara tidak adil sehingga diterapkanlah kebijakan proteksi. Tapi bila hanya proteksi, maka proteksi ini akan terus membesar. Oleh sebab itu sekaligus diterapkan kebijakan promosi sebagai upaya meningkatkan daya saing produk pertanian kita. Dengan pemikiran, pada suatu saat bila daya saing sudah meningkat, proteksi bisa dipreteli sedikit demi sedikit. Sampai saat ini kita sudah melakukan proteksi sekitar 10 tahun, barangkali sudah masanya dipreteli dan ACFTA ini merupakan ajang latihan yang bagus buat produk pertanian kita. Dapat dikatakan dalam menghadapi ACFTA ini kita masih beruntung karena masih berada dalam situasi global excess demand dengan demikian harga produk-produk masih tinggi sehingga tidak terlalu sulit dalam persaingan. Namun harus disadari, suatu ketika akan terjadi global excess supply yang pada saat itu harga-harga akan turun dan produsen yang tidak efisien akan bangkrut. Dan dalam keadaan seperti itu hendaknya kita rela menyerahkan kepada negara lain yang mampu menghasilkan produk dengan biaya lebih murah. Siapa yang paling berperan dalam memenangkan persaingan tersebut? Perdagangan bebas ini membuat semua petani, pengusaha, pemerintah pusat sampai daerah harus bekerja keras, bekerjasama, dan bekerja cerdas. Sebenarnya dalam
172
Suara Agribisnis
perdagangan bebas yang bersaing bukan hanya produknya tetapi yang paling utama adalah orang dan organisasinya. Petani, pengusaha, pemerintah, dan scientist kita bersaing dengan petani, pengusaha, pemerintah, dan scientist negara lain. Jika produk pertanian kita kalah bersaing, maka yang kalah itu sebenarnya adalah petani, pengusaha, pemerintah, dan atau scientist kita baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamasama. Menurut pengalaman saya, para petani kita adalah petani yang tangguh, pekerja keras, sekaligus pemikir cerdas. Justru yang lemah adalah pengusaha, birokrasi, dan scientist kita. Misalnya, petani Indonesia dibandingkan petani Thailand. Petani kita bisa menang bersaing tapi pengusaha, pemerintah, dan scientist kita kalah dengan pengusaha, pemerintah, dan scientist Thailand. Hal ini yang membuat para petani kita tidak bisa berbuat apa-apa karena pihak-pihak yang lain itu tidak mampu mendukung mereka untuk bersaing. Bagaimana mengantisipasi perdagangan bebas ASEAN-China tersebut? Perdagangan bebas ASEAN-China ini membuat kita harus berpikir ulang mengenai kebijakan dan organisasi pembangunan pertanian kita. Ujung tombak pertanian itu adalah petani dan pengusaha agribisnis, petani dan pengusaha agribisnis itu harus mendapat dukungan yang kuat dari pemerintah dan scientist. Namun pemerintah kita merupakan pihak yang paling lemah dalam rangka pembangunan pertanian terutama terjadi pada level kabupaten dan kota. Karena itu, dalam rangka perdagangan bebas ini pemerintah daerah harus lebih dimampukan untuk melayani petani dan pengusaha agar mampu bersaing dengan petani dan pengusaha negara lain. Struktur Deptan dan programnya belum banyak berubah dibandingkan keadaan sebelum adanya otonomi daerah. Jika hal ini tidak cepat-cepat dilakukan, maka birokrasi akan selalu menjadi penghambat untuk meningkatkan daya saing produk-produk pertanian. Dengan demikian wajar negeri kita akan dibanjiri produk-produk impor lebih banyak lagi yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sudah masanya Indonesia pada tingkat nasional dan daerah menetapkan komoditaskomoditas yang menjadi unggulan didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif. Dan terhadap produk-produk unggulan Indonesia tersebut, kita harus lebih agresif untuk meningkatkan produktivitas, produksi, dan mempromosikan dalam perdagangan internasional karena agresivitas merupakan proteksi dari persaingan internasional. Seperti dalam olahraga, bentuk defensif atau proteksi yang paling kuat adalah ofensif atau promosi.***
Suara Agribisnis
173
LO Buku Bs 4
4/6/10
10:48 AM
Page 172
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
Bab 4. Subsistem Pemasaran dan Perdagangan
6 – 19 Januari 2010
Bersaing dalam ASEAN-China FTA “JADIKAN PERDAGANGAN BEBAS ASEAN-CHINA sebagai latihan menghadapi perdagangan bebas global. Kita harus memenangkan persaingan produk unggulan kita dan bersedia mengimpor produk bukan unggulan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bungaran Saragih, M.Ec., Menteri Pertanian periode 2000 – 2004, saat diwawancara AGRINA. Mengapa demikian? Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN–China (ASEAN-China Free Trade Agreement atau ACFTA) yang mulai berlaku 1 Januari 2010 harus dijadikan latihan permulaan bagi kita menuju perdagangan bebas secara global. Pada ACFTA kita hanya bersaing secara regional yang tingkat pembangunannya relatif sama. Jika ternyata kita tidak mampu bersaing secara regional, maka tidak ada harapan bagi kita untuk bersaing secara global dengan negara-negara yang sudah jauh lebih maju daripada kita. Bila bersaing dengan China dan negara-negara ASEAN saja kita tidak mampu, di mana lagi kepercayaan diri bangsa ini? Kita sudah cukup lama memproteksi pertanian kita. Saya ingat sewaktu saya menjadi Menteri Pertanian menerapkan kebijakan proteksi sekaligus promosi. Kita tidak biarkan produk pertanian Indonesia berhadapan dengan produk pertanian negara lain dalam perdagangan internasional secara tidak adil sehingga diterapkanlah kebijakan proteksi. Tapi bila hanya proteksi, maka proteksi ini akan terus membesar. Oleh sebab itu sekaligus diterapkan kebijakan promosi sebagai upaya meningkatkan daya saing produk pertanian kita. Dengan pemikiran, pada suatu saat bila daya saing sudah meningkat, proteksi bisa dipreteli sedikit demi sedikit. Sampai saat ini kita sudah melakukan proteksi sekitar 10 tahun, barangkali sudah masanya dipreteli dan ACFTA ini merupakan ajang latihan yang bagus buat produk pertanian kita. Dapat dikatakan dalam menghadapi ACFTA ini kita masih beruntung karena masih berada dalam situasi global excess demand dengan demikian harga produk-produk masih tinggi sehingga tidak terlalu sulit dalam persaingan. Namun harus disadari, suatu ketika akan terjadi global excess supply yang pada saat itu harga-harga akan turun dan produsen yang tidak efisien akan bangkrut. Dan dalam keadaan seperti itu hendaknya kita rela menyerahkan kepada negara lain yang mampu menghasilkan produk dengan biaya lebih murah. Siapa yang paling berperan dalam memenangkan persaingan tersebut? Perdagangan bebas ini membuat semua petani, pengusaha, pemerintah pusat sampai daerah harus bekerja keras, bekerjasama, dan bekerja cerdas. Sebenarnya dalam
172
Suara Agribisnis
perdagangan bebas yang bersaing bukan hanya produknya tetapi yang paling utama adalah orang dan organisasinya. Petani, pengusaha, pemerintah, dan scientist kita bersaing dengan petani, pengusaha, pemerintah, dan scientist negara lain. Jika produk pertanian kita kalah bersaing, maka yang kalah itu sebenarnya adalah petani, pengusaha, pemerintah, dan atau scientist kita baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamasama. Menurut pengalaman saya, para petani kita adalah petani yang tangguh, pekerja keras, sekaligus pemikir cerdas. Justru yang lemah adalah pengusaha, birokrasi, dan scientist kita. Misalnya, petani Indonesia dibandingkan petani Thailand. Petani kita bisa menang bersaing tapi pengusaha, pemerintah, dan scientist kita kalah dengan pengusaha, pemerintah, dan scientist Thailand. Hal ini yang membuat para petani kita tidak bisa berbuat apa-apa karena pihak-pihak yang lain itu tidak mampu mendukung mereka untuk bersaing. Bagaimana mengantisipasi perdagangan bebas ASEAN-China tersebut? Perdagangan bebas ASEAN-China ini membuat kita harus berpikir ulang mengenai kebijakan dan organisasi pembangunan pertanian kita. Ujung tombak pertanian itu adalah petani dan pengusaha agribisnis, petani dan pengusaha agribisnis itu harus mendapat dukungan yang kuat dari pemerintah dan scientist. Namun pemerintah kita merupakan pihak yang paling lemah dalam rangka pembangunan pertanian terutama terjadi pada level kabupaten dan kota. Karena itu, dalam rangka perdagangan bebas ini pemerintah daerah harus lebih dimampukan untuk melayani petani dan pengusaha agar mampu bersaing dengan petani dan pengusaha negara lain. Struktur Deptan dan programnya belum banyak berubah dibandingkan keadaan sebelum adanya otonomi daerah. Jika hal ini tidak cepat-cepat dilakukan, maka birokrasi akan selalu menjadi penghambat untuk meningkatkan daya saing produk-produk pertanian. Dengan demikian wajar negeri kita akan dibanjiri produk-produk impor lebih banyak lagi yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sudah masanya Indonesia pada tingkat nasional dan daerah menetapkan komoditaskomoditas yang menjadi unggulan didasarkan pada keunggulan komparatif dan kompetitif. Dan terhadap produk-produk unggulan Indonesia tersebut, kita harus lebih agresif untuk meningkatkan produktivitas, produksi, dan mempromosikan dalam perdagangan internasional karena agresivitas merupakan proteksi dari persaingan internasional. Seperti dalam olahraga, bentuk defensif atau proteksi yang paling kuat adalah ofensif atau promosi.***
Suara Agribisnis
173
LO Buku Bs 4
174
4/6/10
Suara Agribisnis
10:48 AM
Page 174
LO Buku Bs 4
174
4/6/10
Suara Agribisnis
10:48 AM
Page 174