STUDI EKOLOGI KEPITING BAKAU DAN KEPITING RANJUNGAN DI PERAIRAN BATU LICIN KECAMATAN BINTAN TIMUR KABUPATEN BINTAN ECOLOGICAL STUDIES SCYLLA SERRATA AND PORTUNUS PELAGICUS AT SLIPPERY ROCK WATER DISTRICT OF EAST BINTAN BINTAN REGENCY
Tuah Kristoval1, Ita Karlina, S,Pi, M.Sc,² Henky Irawan, S.Pi, MP, M.Sc. 2 Mahasiswa1, Dosen Pembimbing2 Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Maritim Raja Ali Haji e-mail :
[email protected] ABSTRAK Kepiting merupakan salah satu biota yang paling umum dimanfaatkan oleh masyarakat. Kepiting sendiri merupakan bentos yang memiliki peranan penting sebagai indikator perairan karena biota tersebut tidak bersifat mobile. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui mengenai kelimpahan, pola sebaran, jenis makanan, cara makan serta parameter yang mempengaruhi keberadaan kepiting bakau dan kepiting ranjungan yang ada diperairan Batu Licin Kecamatan Bintan Timur. Metode yang digunakan adalah metode survey dimana sampel yang di ambil menggunakan alat tangkap berupa bubu Thailand dengan kedalaman ±5 m pada saat pasang. Hasil penelitian menunjukkan nilai kelimpahan kepiting bakau dan kepiting ranjungan tidak jauh dengan kisaran nilai 0,004 – 0,002 ind/cm³ dan kepiting ranjungan 0,006 ind/cm³. Sedangkan pola sebaran kepiting bakau maupun kepiting ranjungan bersifat seragam. Habitat yang ditemukan beragam pada kepiting bakau ditemukan pada 3 jenis mangrove yang berbeda dan pada kepiting ranjungan ditemukan pada 2 jenis lamun. Kepiting bakau dan kepiting ranjungan umumnya mengkonsumsi plankton baik itu fitoplankton maupun zooplankton. Kata Kunci: Kepiting, Kepiting Bakau, Kepiting Ranjungan, Kelimpahan,
Pola Sebaran, Jenis Makanan, Habitat
ABSTRACT The crab is one of the most common organisms used by the community. The crab itself is bentos which has an important role as an indicator of water due to the biota are not mobile. This study was conducted to determine the abundance, distribution patterns, types of food, how to eat as well as the parameters that affect the existence of Scylla Serrata and Portunus Pelagicus the waters Slippery Rock District of East Bintan. The method used is a survey method in which samples are taken using fishing gear such as traps Thailand with a depth of ± 5 m at high tide. The results show the value of Scylla Serrata abundance does away with a range of values from 0.004 to 0.002 ind / cm³ and Portunus Pelagicus 0.006 ind / cm³. While the distribution pattern of Scylla Serrata and Portunus Pelagicus are uniform. Diverse habitats found in mangrove crabs found in 3 different types of mangrove and in crabs ranjungan found in two types of seagrass. Scylla Serrata and Portunus Pelagicus generally consume plankton both phytoplankton and zooplankton. Keywords:
Crab, Scylla Serrata, Portunus Pelagicus, abundance, distribution patterns, food type, habitat
PENDAHULUAN Menurut (Irwan, 1992 dalam Indriyanto, 2006) Ekologi adalah ilmu pengetahuan mengenai hubungan antara organisme dengan lingkungannya. Dapat juga didefinisikan bahwa ekologi adalah ilmu yang mempelajari pengaruh faktor lingkungan terhadap mahluk hidup (kepiting bakau dan kepiting ranjungan). Kepiting merupakan fauna yang habitat dan penyebarannya terdapat di air tawar, payau dan laut. Jenis-jenisnya sangat beragam dan dapat hidup di berbagai kolom di setiap perairan. Sebagian besar kepiting yang kita kenal banyak hidup di perairan payau terutama di dalam ekosistem mangrove. Beberapa jenis yang hidup dalam ekosistem
ini adalah Hermit Crab, Uca sp, Mud Lobster dan kepiting bakau. Sebagian besar kepiting merupakan fauna yang aktif mencari makan di malam hari nocturnal (Prianto, 2007 dalam Rusmadi, 2014). Menurut (Forskal, 1775 dalam Davie. P, 2015) klasifikasi dalam Genus Scylla sebagai berikut. Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Subphylum: Crustacea Class : Malacostraca Ordo : Decapoda Family : Portunidae Genus : Scylla Spesies : Scylla Serrata. Kepiting bakau menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke laut, kemudian berusaha kembali ke perairan
berhutan bakau untuk berlindung (Kanna, 2002). Genus Portunus dapat dilihat dari klasifikasi (Linnaeus, 1758 dalam Davie.P, 2015) sebagai berikut. Kingdom : Animalia Phylum : Athropoda Subphylum: Crustacea Class : Malacostraca Ordo : Decapoda Famili : Portunidae Genus : Portunus Spesies : Portunus
pelagicus
Spesies Portunus pelagicus atau dikenal dengan kepiting rajungan yang hidupnya beraneka ragam seperti pantai dengan dasar pasir, pasir lumpur, dan juga di laut terbuka (Nontji, 2007). Kepiting bakau dan ranjungan memiliki habitat hidup yang digunakan sebagai tempat pemijahan, pengasuhan, mencari makan antara lain vegetasi mangrove, dan lamun. Melihat pentingnya kepiting bakau dan ranjungan beberapa pertanyaan yang akan di jawab oleh peneliti yaitu : 1. Apa saja data pendukung yang meliputi ekologi parameter fisika-kimia perairan dengan keberadaan kepiting bakau dan ranjungan kampung batu licin 2. Bagaimana kelimpahan, pola sebaran dalam ekologi kepiting bakau dan ranjungan di perairan kampung batu licin 3. Apa saja jenis makanan yang dimakan pada
lambung kepiting bakau dan ranjungan di kampung batu licin Dalam penelitian ini dapat di simpulkan beberapa tujuan yang akan diperoleh sebagai berikut : 1. Mengetahui gambaran data pendukung ekologi yang meliputi parameter fisikakimia perairan keberadaan kepiting bakau dan ranjungan di kampung batu licin 2. Untuk mengetahui informasi data tentang kelimpahan, pola sebaran kepiting bakau dan ranjungan di perairan kampung batu licin 3. Mengetahui jenis makanan berupa biotik dan abiotik pada lambung kepiting bakau dan ranjungan di perairan kampung batu licin Dari Penelitian ini mendapatkan informasi tentang ekologi kepiting bakau dan ranjungan di kampung batu licin serta cara pengolahan data ekologi yang meliputi keberadaan kepiting bakau dan ranjungan sehingga menjadi dasar pertimbangan dalam pengelolaan kepiting bakau dan ranjungan. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2016 bertempat di Perairan Batu Licin, Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau. Identifikasi sampel akan dilakukan di Laboraturium
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang. Gambar 7. Peta Lokasi Sampling (Sumber ; Citra SPOT & Base Map Bintan) B. Alat dan Bahan No
Nama Alat
1
Multitester
2
Refraktometer
Satuan
‰
GPS
x°y´z´´
4
Secchi disk
m
Mengukur salinitas perairan Menentukan titik sampling
5
Eckman Grab
Mengambil Substrat
6
Ayakan Bertingkat
mm
Mengukur masingmasing jenis dan bentuknya
7
Bubu Thailand
Buah
Sampling kepiting
8
Kamera
9
(Mikroskop, Glass Objek, Cover Glass)
Dokumentasi
Buah
Roll Meter 10
Cawan Petri
Buah
11
Alat Bedah
Buah
12
Ice Box
Buah
13
Oven
Buah Buah
Mengamati jenis makanan (lambung kepiting) Mengukur jarak antara stasiun Tempat sampel isi lambung kepiting Alat bantu
dalam pembedahan kepiting Penyimpanan sampel kepiting Pengeringan sedimen pada masingmasing Stasiun
Kegunaan Alat
Menentukan kecerahan perairan
Sepatu Boat
Buah
Mengukur pH, Suhu, dan oksigen terlarut
3
14
15
Alat pelindung peneliti
No
Nama Bahan
Satuan
1
Kepiting
Ind
Obje
2
Lugol 4 %
ml
Me
3
Aquades & tissue
4
Es Batu
L
Pend
C. Prosedur Penelitian 1. Penentuan Titik Sampling Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode purposive sampling (Fachrul, 2007), dimana pemilihan lokasi sampling dilakukan berdasarkan pertimbangan dimana yang menjadi area pengambilan kepiting (fishing ground). Dengan 2 Stasiun yang berbeda dalam pengambilan kepiting bakau dan ranjungan berdasarkan titik koordinat yang sudah di tentukan dengan total titik sampling berjumlah 20 titik sampling terbagi 2 stasiun. Dengan lokasi tiap stasiun dan habitat yang berbeda antar stasiun. Stasiun 1 berada di mangrove dengan
jumlah 10 titik dan Stasiun 2 wilayah lamun yang berada pemukiman, dan alur kapal. Data dalam penelitian ini adalah data primer. Data primer diperoleh dengan cara observasi atau pengamatan langsung ke lapangan.
(Budi Daya Kepiting Bakau), Carpenter, K.E.; Niem, V.H., 1998. (species identification guide for
D. Metode Pengambilan Sampling Metode yang digunakan adalah metode survey yang bersifat deskriptif, dimana variabel yang diamati terdiri dari variabel utama seperti, Kelimpahan, Pola Sebaran, Identifikasi jenis habitat kepiting, dan Jenis makanan yang dimakan oleh kepiting bakau dan kepiting ranjungan. Adapun variabel pendukung yaitu parameter kualitas perairan fisika dan kimia meliputi suhu, salinitas, sedimen, kecerahan, DO (Oksigen terlarut) dan pH. Pengambilan sampling dilakukan di sepanjang area yang menjadi penangkapan kepiting oleh nelayan atau masyarakat setempat (Area Sampling). Perlakuan tiap-tiap parameter fisika dan kimia di lakukan pada saat pagi, siang, sore dengan 3 kali pengulangan.
www.marinespeciesregister.org tentang kepiting bakau dan kepiting ranjungan.Kepiting bakau dan ranjungan yang belum teridentifikasi diawetkan dengan menggunakan lugol 1 %. Pengawetan ini dimaksudkan untuk tetap menjaga keutuhan dan bentuk kepiting bakau dan ranjungan agar mudah diidentifikasi saat di identifikasi (Nontji, 2008).
E. Identifikasi Jenis Kepiting (Bakau dan Ranjungan) Jenis kepiting bakau dan ranjungan diambil untuk identifikasi dan di foto untuk dokumentasi, selanjutnya sampel yang ditemukan diteliti dengan mengamati ciri-ciri berupa bentuk morfologi serta warna tubuh dan ukuran dengan menggunakan buku referensi dari Kanna, 2002
fishery purposes.The living marine resources of the Western Central Pacific.Volume 2.Cephalopods, crustaceans, holothurians and sharks), Nontji, A. 2007 (Laut Nusantara),
F. Identifikasi Jenis Makanan Kepiting (Bakau dan Ranjungan) Dalam Pengamatan jenis makanan yang dimakan kepiting bakau dan ranjungan dapat dilihat dengan membelah lambung pada kepiting dan menggunakan alat mikroskop untuk diidentifikasi jenis makanan apa saja yang ada pada lambung kepiting bakau dan ranjungan, sesuai dengan habitatnya berupa jenis plankton atau bangkai hewan laut seperti gastropoda, bivalva, dan ikan-ikan kecil pada saat diidentifikasi makanan yang ada di lambung kepiting bakau dan ranjungan. G. Pengolahan Data Data yang telah didapat disajikan dalam bentuk tabel dan grafik, kemudian dianalisis secara
kualitatif dan kuantitatif serta dilakukan analisis kelimpahan, pola sebaran, identifikasi jenis habitat, identifikasi jenis makanan. Dengan data dukung seperti parameter fisika-kimia perairan yaitu suhu, salinitas, sedimen, kecerahan, DO (Oksigen Terlarut), pH (Derajat Keasaman) sebagai data pendukung perairan kampung batu licin. 1. Parameter Fisika-Kimia Perairan Merupakan data pendukung untuk melihat kondisi perairan serta dapat membandingkan dengan Kep-Men LH No 51 Tahun 2004 tentang pedoman baku mutu air laut untuk biota laut. Yang meliputi : Suhu, Salinitas, Kecerahan, DO dan pH. 2. Kelimpahan Kepiting Kelimpahan kepiting bakau dan ranjungan diukur dengan menggunakan rumusmodifikasi (Chairunnisa, 2004). Σni N = A Keterangan : N : Kelimpahan kepiting bakau jenis i dan ranjungan jenis i ni : Jumlah individu jenis i A : Luas alat sampling Untuk mencari A (Luas alat sampling) perlu dilakukannya penghitungan terhadap alat sampling seperti berikut. π.r² A = 2 Keterangan : Π : Rumus setengah lingkaran r² : Jari-jari alat sampling
3. Pola Sebaran Untuk mengetahui pola sebaran kepiting maka digunakan indeks penyebaran Morisita (Brower dan Zar, 1977 dalam Sari, 2004) : n( Id =
∑
s
i =1
X² ‑N)
N(N ‑1) Hasil indeks Morisita yang diperoleh dikelompokkan sebagai berikut : Id < 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat seragam Id = 1 : Pola sebaran individu bersifat acak Id > 1 : Pola sebaran individu jenis bersifat mengelompok 4. Identifikasi Jenis Habitat Tiap-tiap titik sampling diidentifikasi jenis habitatnya sehingga dapat mengetahui habitat yang ada di perairan batu licin. Berdasarkan hasil survey diketahui bahwa jenis habitat bagi kepiting bakau adalah vegetasi mangrove, sedangkan untuk kepiting ranjungan adalah padang lamun. Identifikasi mangrove dengan menggunakan buku Noor. R.Y., Khazali. M., Suryadiputra. I N.N, 2012 Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia, dan Identifikasi padang lamun dengan menggunakan buku Azkab.H.M, 1999 Pedoman Inventarisasi Lamun. 5. Identifikasi Jenis Makanan Kepiting bakau dan ranjungan yang disampling akan diidentifikasi jenis makanan yang
di lihat melalui mikroskop pada lambung kepiting mengacu pada identifikasi plankton Davis, 1955.
Marine and fresh water plankton
dan Menurut (Sukumaran dan Neelakantan, 1997, Joosileen dalam Devi. L. P., Nair. G.D., Joseph. A., 2013) Dalam isi lambung beberapa karakter kepiting, sebagian besar makanan di temukan sangat hancur dalam bentuk kecil dan hanya struktur mereka yang dapat di identifikasi untuk menentukan komposisi makanan dan evaluasi. Seperti berikut : 1. Sisa-sisa Krustasea : bagian -bagian tubuh udang, pelengkap, telson, telur kepiting dan stomatopoda 2. Sisa-sisa Ikan : sirip, sisik, tulang dan tulang belakang 3. Sisa-sisa Moluska : gastropoda dan bivalvia 4. Item Miscallaneous : filamen alga, nematoda, polikaeta, ophiuroida, dan tak di ketahui 5. Sedimen : pasir dan lumpur H. Analisis Data Data Parameter Fisika-Kimia diolah sebagai data pendukung perairan dan dengan acuan KEPMEN LH No 51 Tahun 2004 panduan Baku Mutu Air Laut Untuk Biota. Analisis data dengan tabulasi dan grafik dengan bantuan ms.excel hingga didapatkan kesimpulan ilmiah sehingga dapat menggambarkan ekologi kepiting bakau dan ranjungan di Perairan Desa Batu Licin Kabupaten Bintan. Untuk mengukur kelimpahan, dan pola
sebaran diolahnya data berdasarkan hasil dari deskriptif dimana data di dapat dengan seberapa banyak kepiting masuk ke dalam alat sampling. Identifikasi jenis habitat kepiting bakau dan kepiting ranjungan melihat jenis habitat pada titik sampling pada jenis kepiting.Dan identifikasi jenis makanan dilihat dari mikroskop dan dapat diidentifikasi dengan melihat jenis makanan pada lambung kepiting bakau dan ranjungan. HASIL PEMBAHASAN A. Parameter Fisika Perairan 1. Suhu Hasil suhu rata-rata yang di dapat pada 2 lokasi seperti kepiting bakau dan kepiting ranjungan rata-rata tiap-tiap stasiun menunjukkan bahwa lokasi kepiting bakau dan kepiting ranjungan 28 – 30,5˚C menurut (KEPMEN-LH, 2004) perairan yang baik bagi biota laut untuk suhu di kawasan mangrove adalah 28-32°C. Suhu yang baik untuk pertumbuhan kepiting bakau adalah 23°C - 32°C (Adha, 2015). Untuk kawasan kepiting ranjungan yang merupakan wilayah/lokasi padang lamun pada hasil tabel rata-rata dari hasil tersebut dengan acuan (KEPMEN-LH, 2004) suhu kawasan padang lamun berkisar antara 28-30°C. (Juwana, 1999 dalam Sunarto, 2012) menguji pengaruh suhu pada juvenil ranjungan menghasilkan kelulus hidupan (100 %) dicapai oleh juvenil
yang dipelihara dalam kisaran suhu 28,0 – 34,5°C. Untuk kehidupan kepiting bakau dan kepiting ranjungan kawasan baik dalam pertumbuhan juvenil maupun kepiting dewasa. 2. Salinitas Hasil yang di dapatkan dari rata-rata salinitas kepiting bakau dan kepiting ranjungan yaitu 23,5 ppt – 27,5 ppt di temukan adanya tingkat salinitas yang turun di lokasi yaitu kepiting bakau dimana habitat kepiting bakau dalam (KEPMEN-LH, 2004) Tingkat salinitas yang baik bagi biota laut (kepiting bakau) untuk kepiting bakau habitat mangrove berkisar (alami-34‰) Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim). Menurut (Adha, 2015) kepiting bakau dapat hidup dan berkembang baik pada kisaran 15‰ - 35‰. kepiting ranjungan di wilayah padang lamun berkisar antara 33-34‰. (Chande & Mgaya, 2003 dalam Susanto, 2007) menjelaskan pada kondisi di alam, ranjungan mempunyai toleransi dengan kisaran salinitas yang sangat lebar yaitu 9,0 ppt sampai 39,00 ppt.. Ditemukannya kualitas salinitas di habitat kepiting ranjungan (padang lamun) mengalami penurunan disebabkan oleh adanya faktor abiotik (iklim yaitu kondisi cuaca yang dominan pada
suatu lokasi) sehingga menyebabkan salinitas habitat kepiting ranjungan menurun. Salinitas merupakan salah satu faktor eksternal abiotik yang berpengaruh cukup penting bagi kehidupan biota perairan termasuk kepiting (Li et al., 2008; Paital & Chainy, 2010; Dan & Hamasaki, 2011, Paital & Chainy, 2012 dalam Hastuti, Affandi, Safrina, Faturrohman, Nurussalam, 2015). Meski salinitas pada kepiting bakau dam kepiting ranjungan mengalami penurunan tetapi dalam keadaan cukup baik. 3. Sedimen Dari tekstur sedimen dalam program gradistat rev. 8 yang sudah di modifikasi oleh (Boltt, 2010) menunjukkan bahwa substrat habitat kepiting bakau dan kepiting ranjungan di dominasi lumpur, serta pasir juga merupakan campuran dari lumpur yang ada di perairan batu licin. Karena lumpur juga merupakan substrat mangrove dan padang lamun dimana tempat habitat kepiting bakau dan kepiting ranjungan. Menurut (Dahuri, 2003) Pertumbuhan komunitas vegetasi mangrove secara umum mengikuti suatu pola zonasi. Pola zonasi berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut). Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe substrat, mulai dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri dari endapan
lumpur halus sebesar 40%. 4. TOM (Total Organic Matters) Hasil yang diperoleh dari 20 titik stasiun di 2 lokasi yang berbeda telah ditemukan jumlah kandungan bahan organik rata-rata 35,32% 66,76% tertinggi pada wilayah mangrove menghadap ke muara sungai. Dapat dijelaskan bahwa sumber sedimen berasal dari daratan dibawa oleh pergerakan massa air dalam pengaruh arus pasut. Namun hasil lokasi padang lamun wilayah menurun. Dan letak lokasi padang lamun menghadap ke laut, sedimen yang di bawa oleh arus terbawa menuju ke daratan.Sehingga jumlah kandungan bahan organik pada lokasi padang lamun menurun. 5. Kecerahan Perairan Dari hasil rata-rata kepiting bakau dan kepiting ranjungan untuk kecerahan perairannya yaitu 10 – 21 cm kecerahan perairan mengalami rendah, disebabkan oleh adanya faktor abiotik salah satunya adalah musim. Dimana musim saat itu merupakan musim hujan dan angin yang kuat sehingga, mengakibatkan gelombang cukup kuat untuk membuat sedimen dasar naik ke permukaan air dan menyebabkan kecerahan perairan cukup rendah. B. Parameter Kimia Perairan
1. pH (Derajat Keasaman) Hasil pH di dapatkan ratarata yaitu 7,26 – 7,85 memiliki perbedaan lokasi yang terdiri dari habitat kepiting bakau dan kepiting ranjungan. Disebabkan oleh adanya pengaruh pergerakan massa air dalam pasut di muara maupun laut merupakan habitat kedua jenis kepiting bakau dan kepiting ranjungan. Menurut (KEPMENLH, 2004) tingkat kualitas pH perairan yang baik untuk biota laut adalah 7-8,5. Kepiting bakau dapat tumbuh dan berkembang baik pada derajat keasaman yang relatif basa. Derajat keasaman yang sesuai untuk kepiting bakau adalah antara 7,2 – 7,8 (Adha, 2015). Serta dari penelitian (Sirait, 1997 dalam Chairunnisa, 2004) menjelaskan ditemukannya kepiting bakau kawasan mangrove dapat hidup pada kisaran 6,5-8. Menurut (Juwana dan Romimohtarto, 2000 dalam Zaidin. Z.M, Effendy. J.I, Sabilu. K, 2012) menyatakan bahwa pH yang baik untuk megalopa ranjungan adalah 7,5 – 8,5. Dari hasil tabel di atas untuk rata-rata pada derajat keasaman (pH) perairan batu licin kepiting bakau dan kepiting ranjungan dalam kondisi baik. 2. DO (Oksigen Terlarut) Hasil pengamatan DO di perairan batu licin pada kedua habitat kepiting bakau dan kepiting ranjungan menunjukkan nilai rata-rata
7,08 – 7,50 mg/l. Menurut (FAO, 2011 dalam Hastuti et.,al, 2015) standar kualitas air kepiting bakau dengan kisaran DO optimum >5 ppm. Sedangkan wilayah kepiting ranjungan (padang lamun) menurut (Effendi, 2003, KLH, 2004 dalam Agus, B.S, Zulbainarni. N, Sunuddin. A, Subarno. T, Nugraha, H.A, Rahimah. I, Alamsyah. A, Rachmi. R, Jihad, 2016) Kandungan oksigen terlarut-DO merupakan faktor pembatas yang penting bagi biota (kepiting ranjungan) kisaran nilainya adalah 5,1 – 9,2 mg/l yang tergolong baik dan mendukung kehidupan biota laut (kepiting ranjungan). Untuk kepiting bakau dan kepiting ranjungan memiliki nilai ratarata berbeda dan masih dalam kondisi baik. Kondisi oksigen terlarut (DO) di perairan batu licin dengan 2 lokasi berbeda masih dalam batas toleransi untuk kepiting bakau dan kepiting ranjungan. C. Kelimpahan Kepiting Tabel 11. Rumus Menghitung Luas Alat Sampling LUAS ALAT SAMPLING ALAS : JARI-JARI :
TINGGI :
62 cm 18 cm
R²
32 4
10,5 cm
Sumber : Data Primer, 2016 A =
3,14.18² 508,98 cm³ (Luas alat sampling) 2
Hasil kelimpahan sampel kepiting bakau yang didapat dari 10 titik stasiun khususnya bagian lokasi hutan mangrove pada pengulangan 1 didapat 0,004 ind/cm³ dan hasil dari kelimpahan sampel kepiting bakau pengulangan 2 pada kepiting bakau lebih sedikit di banding pengulangan 1. Kurangnya kelimpahan kepiting bakau pengulangan 2 Dari hasil situasi lokasi lapangan peneliti menemukan beberapa faktor yang menyebabkan kurangnya hasil penangkapan : 1. Adanya faktor hama maupun predator lainnya seperti biawak, merang. Biawak dan merang sering sekali menjadi pengganggu kepiting untuk masuk ke dalam alat tangkap nelayan khususnya kepiting bakau dan umpan pada kepiting bakau juga selalu habis/hilang di alat tangkap. 2. Banyaknya aktifitas nelayan yang sehari-harinya menangkap kepiting bakau tanpa adanya jenjang waktu dalam kelangsungan hidup pada kepiting bakau. Penangkapan pada kepiting ranjungan yang hidup di lokasi padang lamun mengalami hasil sama pengulangan 1 dan pengulangan 2 yaitu 0,006 ind/m². Di karenakan aktifitas kepiting ranjungan tidak sama dengan aktifitas kepiting bakau (nokturnal). Adapun beberapa faktor peneliti temukan di lokasi
titik stasiun kepiting ranjungan adanya biota laut yang ikut masuk ke dalam alat tangkap (sampling) kepiting ranjungan salah satunya ikan mak buntal (Arothron hispidus) menghabiskan umpan yang telah di masukkan ke dalam alat tangkap (sampling). D. Pola Sebaran Tabel 13. Pola Persebaran Kepiting Bakau dan Kepiting Ranjungan Spesies S. P.
Serrata
pelagicus
N 10 10 ∑x2 3 6 N 3 6 Id 0,00 0,00 Kategori Id<1 Id<1 Sebaran Seragam Seragam Sumber : Data Primer, 2016 Berdasarkan Tabel 13 dapat dilihat bahwa pada pola persebaran kepiting bakau dan kepiting ranjungan bersifat seragam, artinya kondisi kepiting bakau dan rajungan tidak menentu, pada suatu kondisi kepiting bakau dan ranjungan tersebar dan pada kondisi lain kepiting bakau dan kepiting ranjungan mengelompok. memungkinkan kepiting bakau dan ranjungan sering berpindahpindah tempat dari segi mencari makanan maupun faktor abiotik. E. Jenis Habitat Kepiting Bakau dan Kepiting Ranjungan Pada habitat kepiting bakau ditemukannya beberapa jenis mangrove berjumlah 5 jenis seperti Rhizophora apiculata,
Rhizophora stylossa, Sonneratia alba, Bruguiera sexangula, Bruguiera cylindrica. Dari hasil pengamatan habitat kepiting ranjungan ditemukan adanya 2 jenis padang lamun yang berada di perairan batu licin di 20 titik stasiun dengan berbeda lokasi peletakkan alat sampling kepiting ranjungan di wilayah padang lamun. Menurut (Romimohtarto dan Juwana, 2009) Lamun (seagrasses) adalah satu-satunya tumbuhtumbuhan berbung yang terdapat di lingkungan. (Den Hartog, 1970; Philips & Menez, 1988 dalam Azkab, 1999) menjelaskan tentang kunci lamun di Indonesia salah satunya di perairan batu licin yang sudah di identifikasi dengan buku panduan (Azkab, 1999) : 1. Enhallus acoroides : Rimpang berdiameter lebih 1 cm dengan rambut-rambut kaku; panjang daun 30-150 cm, lebar 13-17 mm. 2. Thalassia hemprichi : Rimpang berdiameter 2-4 tanpa rambut- rambut kaku; panjang daun 10-30, lebar 410 cm. F. Jenis Kepiting Bakau dan Kepiting Ranjungan Di dapatkan jenis kepiting bakau dan kepiting ranjungan di perairan batu licin yaitu a. (Class : Crustacea, Genus :
Decapoda, Species : Scylla Serrata(Forskal,1775)(Sumb er:www.marinespecies.org/ photogallery.php?album=71 7&pic=1958)
b. Kepiting ranjungan yang di temukan sudah klasifikasi berdasarkan Class, Genus, Species, yaitu (Class :
Crustacea, Genus : Decapoda, Species : Portunus Pelagicus (Linnaeus, 1758) (Sumber :
www.marinespecies.org/ph otogallery.php?album=717& pic=4254) G. Jenis Makanan Kepiting Bakau dan Kepiting Ranjungan Jenis makanan yang ada pada isi lambung kepiting bakau dan kepiting ranjungan berdasarkan jenis kelamin (jantan, betina) Biotik yaitu Zooplankton dan Fitoplankton.
tipe kerikil (12,8% – 28,5%), pasir (21,6% 37,3%) dan lumpur (49,9%). d. TOM
Matter)
(Total
Organik
jumlah bahan organik yang terlarut dii perairan (35,32% - 66,76%) e. Kecerahan rata-rata pada kepiting bakau dan kepiting ranjungan 10 – 21 cm f. Derajat keasaman (pH) (7,26 – 7,85) g. Oksigen terlarut (7,08 – 7,50)
(DO)
PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan dari hasil penelitian Studi Ekologi Kepiting Bakau Dan Kepiting Ranjungan Di Perairan Batu Licin Kecamatan Bintan Timur Kabupaten Bintan Ini Dapat Disimpulkan Sebagai Berikut :
2. Dari hasil data pendukung ekologi kepiting bakau dan kepiting ranjungan parameter perairan fisikakimia di perairan batu licin masih layak untuk kehidupan kepiting bakau dan kepiting ranjungan
1. Parameter perairan yang meliputi kelangsungan hidup kepiting bakau dan kepiting ranjungan di perairan yaitu
3. Kelimpahan kepiting bakau dan kepiting ranjungan tergolong rendah sedangkan untuk kondisi pola sebarannya yaitu seragam
a. Suhu 28,9°C – 30,5°C b. Salinitas 27,67‰.
23,56‰
–
c. Jenis substrat tipe-tipe tersebut memiliki tingkatan persen (%) untuk setiap kelompok tipe substrat seperti kerikil, pasir dan lumpur.
4. Jenis makanan yang ada pada isi lambung kepiting bakau dan kepiting ranjungan berdasarkan jenis kelamin (jantan, betina) Biotik yaitu Zooplankton dan Fitoplankton. B. Saran 1. Dari
hasil
penelitian
menunjukkan bahwa kelimpahan kepiting bakau dan kepiting ranjungan tergolong rendah, dikhawatirkan telah terjadinya over eksploitasi terhadap kepiting bakau dan kepiting ranjungan untuk itu, perlu dilakukan penelitian mengenai kondisi populasi (stok kepiting bakau dan kepiting ranjungan di perairan batu licin). 2. Perlu diketahui hubungan musim terhadap kelimpahan kepiting bakau dan kepiting ranjungan di perairan batu licin 3. Perlu diketahui hubungan ekosistem antara kondisi mangrove dan padang lamun terhadap distribusi kepiting bakau dan kepiting ranjungan di perairan batu licin. DAFTAR PUSTAKA
Ekosistem Terumbu Karang Di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau. Jurnal Perikanan Dan Kelautan Agus,
B.S, Zulbainarni, N., Sunuddin, A., Subarno, T., Nugraha, H.A, Rahimah, I., Alamsyah, A., Rachmi, R., Jihad. 2016. Distribusi Spasial Ranjungan (Portunus Pelagicus) Pada Musim Timur Di Perairan Pulau Lancang, Kepulauan Seribu. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI)
Anggraeni, P., D. Elfidasari, R. Pratiwi,.2015. Sebaran Kepiting (Brachyura) di Pulau Tikus, Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu.Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. Jurusan Biologi. Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Al Azhar Indonesia
Adha, M. 2015. Analisis Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla spp) Di Kawasan Mangrove Dukuh Senik, Desa Bedono, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. Skripsi. Jurusan Ilmu Pendidikan Biologi Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Walisongo.
As-Syakur, R. A., Wiyanto, B. D. 2016. Studi Kondisi Hidrologis Sebagai Lokasi Penempatan Terumbu Buatan Di Perairan Tanjung Benoa Bali. Jurnal Kelautan. Program Studi Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan. Universitas Udayana. Bali
Adriman, Purbayanto. A, Budiharso. S, Damar. A. 2012. Analisis Keberlanjutan Pengelolaan
Azkab. H. M. 1999. Pedoman Inventarisasi Lamun. Jurnal. Oseanologi-LIPI. Jakarta
Blott, J. 2010. GRADISTAT Ver 8.0
“A Grain Size Distribution and Statistics Package for the Analysis ofUnconsolidated Sediments by Sieving or Laser Granulometer”. Kenneth Pye Associates Ltd.Crowthorne Enterprise Centre. United Kingdom.
Campbell, A. N., Reece, B. J., Mitchell, G. L. 2004. Biologi. edk 5, Erlangaa. Jakarta Carpenter, K.E.; Niem, V.H., 1998. (species identification
guide for fishery purposes. The living marine resources of the Western Central Pacific.Volume 2.Cephalopods, crustaceans, holothurians and sharks). Food And Agriculture Organization Of The United Stations : Rome
Chairunnisa.R., 2004. Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla sp) Di Kawasan Hutan Mangrove KPH Batu Ampar, Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan Dan Tekhnologi Kelautan Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor : Bogor Dahuri. R. 2003. Keanekaragaman Hayati laut Aset Pembagunan Berkelanjutan Indonesia. Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama : Jakarta Davis. C. C. 1955. The Marine And Fresh Water Plankton. Michigan State University Press : Michigan Davie, P. 2015. World Register Marines Species.Website :www.marinespecies.org/S
cylla Serrata or Portunus Pelagicus. Diakses pada tanggal 22 Januari 2016
Devi. L. P., Nair. G.D., Joseph. A. 2013. Habitat Ecology And
Food And Feeding Of The Herring Bow Crab Varuna Litterata (Fabricius, 1798) Of Cochin Backwaters. Artikel Dept. of Marine Biology, Microbiology & Biochemistry, School of Marine Sciences. Cochin University of Sciences & Technology. Fine Arts Avenue. Kerala, India
Effendi. H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Dan Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius : Jakarta Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi, edk 1, Bumi Aksara : Jakarta Hastuti, P. Y., Affandi, R., Safrina, D. M., Faturrohman, K., Nurussalam. K. 2015. Salinitas Optimum Untuk Pertumbuhan Benih Kepiting Bakau Scylla
Serrata
Dalam Sistem Resirkulasi. Jurnal Akuakultur Indonesia. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Intitut Pertanian Bogor : Jawa Barat Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan, edk 1, Bumi Aksara : Jakarta Iskandar Kanna. 2002. Budi Daya Kepiting Bakau. Kanisius. Yogyakarta Jafar.
L. 2011. Perikanan Rajungan Di Desa Mattiro Bombang (Pulau Salemo, Sabangko dan Sagara) Kabupaten Pangkep.Skripsi. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hassanudin. Makassar
Junianto, D., 2014. Studi Ekologi Teripang (Holothuroidae) di Perairan Desa Pengudang Kabupaten Bintan.Skripsi. Universitas Maritim Raja Ali Haji :Tanjungpinang Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51.
2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut Kordi.
K.
Ghufran.
2011.
Ekosistem Lamun (seagrass) fungsi, potensi, pengelolaan. Rineka Cipta :
Jakarta Kordi, K. Ghufran., Tancung, B. A. 2007. Pengelolaan
Kualitas Air (Dalam Budidaya Perairan). Rineka
Cipta : Jakarta Marinespecies,
website
:www.marinespecies.org/k epiting Ningsih, N. E., Supriyadi, F., Nurdawati, S. 2013. Pengukuran Dan Analisis Nilai Hambur Balik Akustik Untuk Klasifikasi Dasar Perairan Delta Mahakam. Jurnal Lit Perikanan. Universitas Sriwijaya. Palembang Noor, R.Y., M. Khazali, dan I N. N. Suryadiputra. 2012. Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia. edk 3, PHKA/WI-IP. Bogor Nontji. A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta Nontji. A. 2008. Plankton Laut. LIPI Press : Jakarta Pratama, R. Ramadhan. 2014. Analisis Tingkat Kepadatan Dan Pola Persebaran Populasi Siput Laut Gonggong (Strombus
Cannarium)
Di Perairan Pesisir Pulau Dompak. Skripsi. Universitas Maritim Raja Ali Haji : Tanjungpinang. Putra, P. I. 2014. Kajian Kerapatan Lamun Terhadap Kepadatan Siput Gonggong (Strombus canarium) Di Perairan Pulau Penyengat Kepulauan Riau. Skripsi. Universitas Maritim Raja Ali Haji : Tanjungpinang. Rifardi. 2008. Tekstur Sedimen Sampling dan Analisis. UR Press : Pekanbaru Rifardi. 2012. Sedimen Laut Modern. UR Press : Pekanbaru Riyadi, A. Widodo, L. Wibowo, K. 2005. Kajian Kualitas Perairan Laut Kota Semarang Dan Kelayakannya Untuk Budidaya Laut.Jurnal Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan.Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Semarang Rusmadi. 2014. Studi Biologi Kepiting di Perairan Teluk Dalam Desa Malang Rapat Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Skripsi. Universitas Maritim Raja Ali Haji :Tanjungpinang Romimohtarto,
K
dan
S.
Juwana.2009. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut.Djambatan. Jakarta Rosmaniar. 2008. Kepadatan Dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) Serta Hubungannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan Sari, S. 2004. Struktur Komunitas Kepiting (Brachyura) Di Habitat Mangrove Pantai Ule Lheue, Banda Aceh, NAD. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor Septiyaningsih, R. Irnawati, A. Susanto. 2013. Penggunaan Jenis Dan Bobot Umpan Yang Berbeda Pada Bubu Lipat Kepiting Bakau. Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan. Jurusan Perikanan. Fakultas Pertanian. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Serang Banten Sunarto.2012. Karakteristik Bioekologi Rajungan (Portunus Pelagicus) Di Perairan Laut Kabupaten
Brebes. Tesis. Sekolah PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Intitut Pertanian Bogor. Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta
Suryani, M. 2006. Ekologi Kepiting Bakau (Scylla Serrata Forskal) Dalam Ekosistem Mangrove Di Pulau Enggano Provinsi Bengkulu.Tesis. Program Studi Magister Manajemen Sumberdaya Pantai. Program PascaSarjana. Universitas Diponegoro. Semarang
Zaidin, Z. M., Effendy, J. I., dan Sabilu, K. 2013. Sintasan Larva Rajungan (Portunus Pelagicus) Stadia Megalopa Melalui Kombinasi Pakan Alami Artemia salina dan Brachionus plicatilis. Jurnal Mina Laut Indonesia. FPIK UNHALU
Susanto, B. 2007. Pertumbuhan, Sintasan Dan Keragaan Zoea Sampai Megalopa Rajungan (Portunus Pelagicus) Melalui Penurunan Salinitas. Jurnal Perikanan. Balai Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Bali Wahyudi. A. 2011., Kepiting Rajungan Halal. http://arwdh.blogspot.co.id/2011/ 12/kepiting-rajunganhalal.html. (Diakses pada tanggal 22 Januari 2016. Wijaya, I. N., Yulianda, F., Boer, M., dan Juwana, S. 2010. Biologi Populasi Kepiting Bakau (Scylla Serrata F.) Di Habitat Mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Kutai. Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan