LAPORAN PENELITIAN
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TINGKAH LAKU INTIM DARI EMPAT POLA ATTACHMENT DEWASA PADA INDIVIDU MENIKAH DENGAN USIA PERNIKAHAN DIBAWAH LIMA TAHUN DI BANDUNG
Oleh : Fredrick Dermawan Purba NIP : 132 318 263
FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS PADJADJARAN 2006
STUDI DESKRIPTIF MENGENAI TINGKAH LAKU INTIM DARI EMPAT POLA ATTACHMENT DEWASA PADA INDIVIDU MENIKAH DENGAN USIA PERNIKAHAN DIBAWAH LIMA TAHUN DI BANDUNG Oleh Fredrick Dermawan Purba Fakultas Psikologi Universitas Padjadajaran
ABSTRAK Fenomena yang terjadi adalah tingginya tingkat perceraian pasangan pada tahuntahun awal pernikahan, yang diakibatkan oleh tingkah laku intim yang kurang optimal. Hal yang menentukan tingkah laku intim yang ditampilkan oleh individu dalam pernikahannya adalah pola attachment dewasa yang terbentuk dalam dirinya. Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya Bandung. Teori pola attachment dewasa yang digunakan adalah dari Bartholomew (1990), yang membagi pola attachment dewasa menjadi empat pola, yaitu pola secure, preoccupied, dismissing, dan fearful. Sementara tingkah laku intim dikutip dari sembilan dimensi intimacy status yang dipaparkan oleh Orlofsky (1993). Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif untuk memperoleh gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa. Sampel penelitian adalah individu dengan usia pernikahan 1-5 tahun dan bertempat tinggal di kotamadya Bandung, yang didapat melalui teknik sampling purposif. Kepada 59 orang sampel diberikan alat ukur pola attachment dewasa dan tingkah laku intim. Hasil analisa didapatkan pola secure memperoleh persentase skor terbesar ada pada kategori tinggi dalam semua dimensi tingkah laku intim. Pola preoccupied menunjukkan persentase skor yang tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, serta kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi dan penghormatan terhadap integritas individu, pola preoccupied memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang. Pola dismissing menunjukkan persentase terbesar dalam kategori tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi,pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, dan kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi pola dismissing memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang. Pola fearful menunjukkan persentase terbesar dalam kategori tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, serta kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi, pola fearful memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang.
Kata kunci : Tingkah laku intim, pola attachment dewasa
1
A DESCRIPTIVE STUDY ABOUT INTIMACY BEHAVIORS OF FOUR ADULT ATTACHMENT PATTERNS IN MARRIED INDIVIDUALS IN THEIR FIRST FIVE YEARS OF MARRIAGE IN BANDUNG By Fredrick Dermawan Purba Faculty of Psychology, Universitas Padjadajaran
ABSTRACT The phenomena is increasing rate of divorces during early years of marriage, as a result of not optimal intimacy behaviors between couple. Factor that determined how an individual will show any intimacy behavior in his/her marriage is the adult attachment pattern in his/her self. This research is intended to get description of intimacy behaviors of four adult attachment patterns in married individuals in their first five years of marriage in Bandung. There are two theories that used in this research. One is theory of adult attachment patterns by Bartholomew (1990) that divided adult attachment into four different pattrens, which are secure, preoccupied, dismissing, and fearful. The other theory is from Orlofsky (1993) about intimacy behaviors. The design of this research is descriptive study to get description of intimacy behaviors of four adult attachment patterns. The sample are individuals who has been married not more than five years, and live in Bandung. The sampling technique is purposive sampling technique. All 59 subjects filled the questionnaires of adult attachment patterns and intimacy behavior. The result are: secure pattern individuals have high score in all dimensions of intimacy behaviors. Preoccupied have high scores in dimension of commitment, communication, care and affection, understanding of couple, perspective taking, decision making, and independency. They have moderate scores in dimension of personal interest and respect for individual integrity. The dismissing have high scores in dimension of commitment, communication, care and affection, understanding of couple, perspective taking, decision making, respect for individual integrity, and independency. They have moderate scores in dimension of personal interest. The fearful shows high scores in dimension of commitment, communication, care and affection, understanding of couple, perspective taking, decision making, respect for individual integrity, and independency. They have moderate scores in dimension of personal interest.
Keywords : Intimacy behaviors, adult attachment patterns.
2
KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan, karena atas berkat dan kasih-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi deskriptif mengenai tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia pernikahan dibawah lima tahun di Bandung” ini, sebagai tugas akhir untuk menempuh pendidikan Sarjana
Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas
Padjadjaran. Proses pembuatan laporan penelitian ini memakan waktu yang tidak dapat dikatakan sebentar, namun sepanjang waktu tersebut saya tetap memiliki semangat untuk menyelesaikan penelitian ini atas dorongan, dukungan dan bantuan banyak pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada setiap pihak yang sudah memberikan bantuannya selama ini. Terimakasih kepada Dekan Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran dan Ketua Bagian Psikologi Perkembangan atas dukungan dan kepercayaannya, dan para responden yang bersedia meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner penelitian dan membantu saya. Juga beberapa pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu yang ikut mendukung dan membantu pelaksanaaan penelitian ini. Akhir kata kami harap, semoga laporan ini dapat bermanfaat
Bandung, Mei 2006
Fredrick Dermawan Purba
3
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK.........……………………………………………………………….. i ABSTRACT …………..…..……………………………………………………. ii KATA PENGANTAR…………………………………………………………. iii DAFTAR ISI…………………………………………………………………... iv DAFTAR TABEL……………………………………………………………... v PENDAHULUAN……………………………………………………………... 1 TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………….. 11 TUJUAN DAN MANFAAT ………………………………………………….. 24 METODE PENELITIAN……………………………………………………… HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………... KESIMPULAN DAN SARAN ..……………………………………………… DAFTAR PUSTAKA………………...………………………………………...
25 31 40 43
4
DAFTAR TABEL
Hal Tabel 3.1
Kategorisasi pola attachment dewasa
29
Tabel 3.2
Kategorisasi tingkah laku intim
30
Tabel 4.1
Hasil kategorisasi responden menurut pola attachment dewasa
31
Tabel 4.2
Gambaran tingkah laku intim dari pola secure (dalam %)
31
Tabel 4.3
Gambaran tingkah laku intim dari pola preoccupied (dalam
33
%) Tabel 4.3
Gambaran tingkah laku intim dari pola dismissing (dalam %)
35
Tabel 4.5
Gambaran tingkah laku intim dari pola fearful (dalam %)
37
5
1.
PENDAHULUAN Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang
memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal mereka pada hubungan yang lebih intim dengan pasangannya. Jika relasi ini berkembang lebih lanjut, maka ia akan menghasilkan suatu kesepakatan untuk terlibat secara mendalam dan dalam jangka waktu yang relatif panjang, seperti halnya pernikahan. Hal ini seiring dengan salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa awal yaitu belajar mulai hidup dalam hubungan pernikahan dengan pasangan (Duvall, 1977). Pernikahan
bukanlah sesuatu
yang
mudah untuk
dijalankan.
Dal am
kehidupan pernikahan terjadi suatu penyatuan antara dua individu yang berasal dari budaya, lingkungan dan keluarga yang berbeda. Wajar jika keduanya membawa nilai-nilai yang berbeda. Banyak hal yang dihadapi pasangan yang baru dalam mengarungi kehidupan pernikahan, seperti perbedaan minat, hobi, pandangan tentang sesuatu hal. Kehadiran anak, hubungan dengan mertua atau ipar, masalah aktivitas bersama atau pekerjaan menjadi salah satu faktor yang dapat menjadi pembicaraan atau perdebatan pasangan. Karenanya, diperlukan usaha bersama dan terus-menerus untuk memahami perbedaan-perbedaan yang dibawa pasangan agar hubungan pernikahan dapat harmonis dan dinamis yang adalah harapan individu yang menikah. Namun, pada kenyataannya pernikahan tidaklah selalu mulus. Adakalanya terjadi konflik yang menyebabkan relasi terganggu. Masa awal pernikahan ini adalah masa yang paling rawan terjadi konflik. Fakta-fakta menunjukkan bahwa kemungkinan tingkat perceraian yang paling tinggi terletak antara dua sampai lima tahun. Hal ini terlihat pada hasil penelitian yang dilakukan terhadap 120 pasangan suami istri yang bercerai di Pengadilan Agama Bandung, 45% berada di bawah usia pernikahan kurang dari lima tahun (Kompas, Juli 2003). Ini menunjukkan bahwa masa-masa awal pernikahan merupakan masa yang rentan dan sangat menuntut penyesuaian yang baik dari pasangan suami istri. Timbul suatu pertanyaan yang mendasar: Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan perceraian? Majalah Femina, April 2001, menyebutkan penyebab tertinggi dari perceraian tersebut diantaranya adalah kekurangterbukaan dalam berkomunikasi, perbedaan pendapat, perlakuan tidak adil oleh pasangan seperti
6
perselingkuhan dan kekerasan ekonomi. Sementara pada tahun 2001, dari seluruh kasus perceraian yang terjadi di Kotamadya Bandung, Pengadilan Agama Kotamadya Bandung mencatat sebanyak 15,55% merupakan masalah moral (perselingkuhan, krisis akhlak, cemburu), 34,23% masalah tanggung jawab (ekonomi, penganiayaan), 42,16% disebabkan karena terus menerus berselisih dengan pasangan (politis, gangguan pihak ketiga, tidak adanya keharmonisan) dan 8,06% disebabkan oleh hal-hal lain. Hasil wawancara terhadap seorang psikolog pernikahan dan keluarga di Bandung,
Dra.
Sawitri Supardi, menyatakan
bahwa
ada
empat
ha l yang
menyebabkan terjadinya pertengkaran dan perceraian pada pasangan di awal pernikahannya, yaitu menurunnya komitmen terhadap pernikahan, menurunnya penghargaan terhadap pasangan, kurangnya rasa percaya (trust) terhadap pasangan, dan ketidakmampuan dalam pengelolaan ekonomi. Dari pemaparan data-data penyebab perceraian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi akar persoalan adalah ketidakmampuan individu dan pasangannya untuk menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat dalam pernikahannya, sehingga relasi yang terjadi menjadi kurang hangat. Orlofsky (1993) menjelaskan tentang tingkah laku intim dalam suatu pernikahan yang akan menentukan
kelangsungan
bentuk/dimensi
tingkah
pernikahan
laku
intim
tersebut.
tersebut,
Ia
yaitu:
menyebutkan
sembilan
komitmen, komunikasi,
kepedulian dan afeksi, pemahaman mengenai sifat pasangan, perspective taking, wewenang
dan
pengambilan
keput usan,
mempertahankan
minat
pri badi,
penghormatan integritas individu pasangan dan kemandirian. Hasil wawancara terhadap beberapa orang yang bercerai ditemukan bahwa mereka atau pasangannya kurang mampu menunjukkan tingkah laku intim yang disebutkan oleh Orlofsky. Seorang responden menyebutkan bahwa ia dan suaminya memiliki perbedaan pendapat tentang pergaulan dengan teman-teman setelah menikah. Sang istri masih ingin banyak pergi dengan teman-temannya, sementara sang suami tidak setuju. Ketidakmampuan mereka untuk menemukan cara menyelesaikan perbedaan tersebut, tidak ada yang berusaha memahami apa yang menjadi dasar pasangannya bertindak demikian, serta tidak ada yang mau mengalah menyebabkan persoalan menjadi besar dan akhirnya menyebabkan mereka bercerai. Responden lainnya menyatakan bahwa
7
ia bercerai dengan pasangannya karena tidak mempu menemukan cara dan bentuk komunikasi yang tepat bagi keduanya. Ia mengaku bahwa ia adalah tipe orang yang “blak-blakan”, sementara pasangannya tipe orang yang tertutup. Ketidaksesuaian tersebut mengakibatkan mereka sering bertengkar, dan berujung pada perceraian. Dari contoh-contoh di atas, terlihat bahwa individu akan mengalami banyak konflik dan ketidakpuasan terhadap pernikahannya jika ia kurang mampu menampilkan secara optimal tingkah laku yang intim dan hangat dalam pernikahannya. Konflik dan rasa tidak puas yang mungkin tidak terselesaikan ini mungkin saja akan berakhir ke perceraian. Atau dapat disimpulkan bahwa efek terburuk dari ketidakmampuan bertingkah laku intim adalah perceraian. Jika kita berpaling dan melihat ke sekeliling kita, ternyata masih banyak juga terdapat pasangan yang mampu mempertahankan ikatan pernikahannya sampai usia tuanya. Peneliti mewawancarai lima pasangan yang rata-rata berusia 45-50 tahun. Setengah dari mereka menyebutkan bahwa yang penting adalah mencoba berbuat yang terbaik dalam pernikahan mereka, seperti misalnya jujur dan terbuka terhadap pasangannya, selalu berusaha memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pasangannya, dan tetap mau menerima perbedaan yang ada di antara mereka. Setengah lainnya mengatakan bahwa yang terpenting adalah menganggap pasangan sama berharganya seperti diri sendiri, karena dengan itu ia akan berusaha selalu terbuka, menghormati pendapat dan tindakan pasangannya. Keseluruhan dari mereka tidak menyangkal bahwa kadang terjadi konflik, tapi mereka selalu berusaha untuk duduk bersama dan mendiskusikan masalah yang terjadi, tidak memaksakan pendapatnya pada pasangannya, serta mencari penyelesaian terbaik yang dapat diterima keduanya. Pasangan yang langgeng ini adalah contoh nyata hubungan pernikahan yang bahagia karena mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat secara optimal. Muncul suatu pertanyaan tentang faktor apakah dalam diri individu yang akan menentukan bagaimana ia bertingkah laku dalam pernikahannya. Jawabannya adalah rasa aman dan nyaman yang dirasakan individu dalam relasinya dengan pasangannya. Perasaan aman atau nyaman yang dirasakan individu ditentukan oleh bagaimana ia mempersepsikan dir inya maupun pasangannya, apakah positif atau negatif.
Saat
mewawancarai
responden-responden
yang
bercerai,
penel iti
8
menemukan bahwa kebanyakan mereka kurang merasakan rasa aman dan nyaman dalam relasi pernikahannya. Mereka menganggap pasangannya kurang dapat dipercaya, jarang ada saat mereka membutuhkan. Ini mengakibatkan tingkah laku intim yang mereka tampilkan menjadi kurang optimal. Mereka menjadi kurang terbuka dalam berkomunikasi, kurang mau berusaha memahami pasangannya, dan lainnya.
Namun
sebaliknya,
para
responden
yang
dapat
mempert ahankan
pernikahannya langgeng dan bahagia menyatakan bahwa rasa aman dan nyaman dalam relasinya dengan pasangannya tercipta dari pandangan yang positif terhadap diri sendiri maupun terhadap pasangannya. Mereka umumnya menganggap pasangannya sama berharganya dengan diri mereka, karenanya jarang sekali mereka melakukan tingkah laku yang akan menyakiti pasangannya. Rasa aman dan nyaman yang bers umber pada bagaimana
individu
memandang diri dan pasangannya dipaparkan dalam suatu teori tentang ikatan emosional antara individu dengan pasangan romantis dewasanya, yaitu teori attachment dewasa (Adult Attachment theory). Secara singkat, teori ini menjelaskan tentang bagaimana individu menjalin suatu kelekatan emosional dengan orang lain yang bermakna secara emosional baginya. Teori attachment dewasa menjadikan teori attachment masa kanak-kanak (childhood attachment theory) dari Bowlby sebagai dasarnya. Bartholomew (1990) menyempurnakan teori Bowlby dan memaparkan empat pola kelekatan emosional kepada seorang pasangan romantis dewasa yang didasari oleh bagaimana persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain, yang disebut dengan empat pola attachment dewasa. Telah banyak dilakukan penelitian tentang
pola attachment dewasa,
khususnya di Amerika Serikat, yang bertujuan memperkaya teori attachment dewasa. Penelitian-penelitian tersebut menghasilkan banyak hal, termasuk didalamnya tingkahlaku yang ditunjukkan oleh pola-pola attachment dewasa dalam relasi sosialnya, dengan teman, pasangan, orangtua dan lainnya. Tapi sayangnya, di Indonesia masih sangat minim literatur maupun penelitian tentang pola attachment dewasa tersebut. Akibatnya, pengetahuan kita tentang pola attachment dewasa dan bagaimana gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa di Indonesia pun sangat minim. Berdasarkan pemaparan tentang data-data tentang perceraian di kotamadya Bandung dan masih minimnya penelitian dan literatur
9
tentang pola-pola attachment dewasa di Indonesia, peneliti tertarik untuk meneliti tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya Bandung.
PERUMUSAN MASALAH Pernikahan adalah relasi yang mendalam antara dua individu. Pernikahan dapat berjalan dengan baik dan langgeng jika individu-individu yang menjalani pernikahan tersebut mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat. Tingkah laku yang dimaksud adalah komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman
mengenai
sifat
pasangan, perspective
taking,
wewenang
dan
pengambilan keputusan, mempertahankan minat pribadi, penghormatan integritas individu pasangan serta kemandirian (Orlofsky, 1993). Bagaimana
individu
akan
menampilkan
tingkah
laku
intim
dalam
pernikahannya sangat ditentukan oleh bagaimana ia mempersepsi dirinya sendiri dan pasangannya. Inilah yang disebut dengan pola attachment dewasa. Menurut Bartholomew (1990; dalam Feeney and Noller, 1996) terdapat m e pat pola attachment dewasa, yaitu pola Secure, Preoccupied, Dismissing, dan Fearful. Keempat pola attachment dewasa tersebut berbeda dalam mempersepsi dirinya sendiri dan mempersepsi orang lain. Telah banyak dilakukan penelitian tentang pola-pola attachment dewasa dan bagaimana tiap pola bertingkah laku dalam relasinya dengan orang lain. Tapi penelitian-penelitian tersebut hampir seluruhnya dilakukan di Amerika Serikat maupun negara barat lainnya. Sementara di Indonesia hal tersebut masih sangat minim, sehingga pengetahuan kita tentang pola-pola attachment dewasa masih sedikit dan terbatas. Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia pernikahan di bawah lima tahun di kotamadya Bandung?
10
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Masa Dewasa Awal Masa dewasa awal merupakan masa transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Menandai secara pasti kapan masa dewasa awal dimulai merupakan ha yang sulit disepakati oleh banyak ahli. Meskipun diakui sulit untuk menandai dimulainya masa dewasa awal, namun beberapa ahli mencoba memberikan ancar-ancar melalui usia
kronologis.
Hurlock
(1990 )
misalnya,
memberikan
rambu -rambu
berlangsungnya usia dewasa awal pada usia 18 tahun hingga kira-kira 40 tahun. Masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial muda (Hurlock, 1990). Lebih lanjut menurut Hurlock, orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru seperti peran suami-istri, orang tua, pencari nafkah dan pengembangan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai tugas-tugas baru ini. Masa dewasa awal merupakan masa pembuatan komitmen-komitmen. Pentingnya pembuatan komitmen pada masa dewasa awal juga ditekankan oleh Erikson. Menurut Erikson (dalam Hall & Lindzey, 178:98), salah satu tugas utama individu selama tahap perkembangan dewasa awal adalah membentuk hubungan interpersonal yang akrab dan stabil dengan orang lain. Jika individu dapat membentuk persahabatan yang sehat dan dapat membentuk hubungan yang intim dengan individu lain, intimasi akan tercapai, sebaliknya, jika individu gagal membangun persahabatan yang sehat dan hubungan yang intim, ni dividu akan menghadapi isolasi.
2.1.1 Masa Dewasa Awal: Tugas Perkembangan Pasangan Muda Menurut Duvall (1977), tugas-tugas perkembangan dari pasangan yang baru menikah (pasangan muda) berasal dari tiga sumber. Yang perta ma adalah kematangan fisik, dimana suami dan istri harus memenuhi tugas pertama mereka, yaitu mengendalikan dorongan-dorongan seksual mereka agar terjadi pemenuhan seksual yang dewasa. Yang kedua adalah ekspekstasi dan dorongan dari masyarakat yang mengharapkan mereka dapat bertingkah laku sebagai pasangan suami istri seperti yang diharapkan oleh masyarakat sekitarnya. Yang ketiga, suami dan istri harus mengarahkan aspirasi pribadi mereka menuju suatu kehidupan pernikahan
11
yang mereka impikan selama ini. Seringkali apa yang diharapkan lingkungan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan individu. Realita situasi pernikahan yang mereka hadapi mungkin tidak sesuai dengan bayangan mereka selama ini. Tujuan pribadi suami dan istri mungkin bisa sesuai, tapi mungkin saja ternyata tidak saling cocok. Beberapa tugas yang harus dipenuhi sebuah pasangan yang baru menikah antara lain: berbagi tanggung jawab dalam tugas-tugas rumahtangga, keduanya harus menjadi rekan yang setara dalam masalah ekonomi keluarga, keduanya memiliki tugas untuk saling berkomunikasi secara intim, serta keduanya harus belajar untuk berlaku sebagai tandem (pasangan) dalam kehidupan sosial mereka, tidak lagi sebagai individu-individu. Duvall juga menambahkan, pasangan harus memenuhi tugas perkembangan mereka sebagai suatu keluarga, yaitu: 1. Menemukan, melengkapi, dan merawat rumah mereka 2. Menemukan cara yang tepat untuk saling memberi dukungan 3. Mengalokasikan
tanggungjawab-tanggungjawab
yang
dapat
dan
mau
dilakukan masing-masing 4. Menemukan dan menjankan peran pribadi, emosional dan seksual yang saling menguntungkan 5. Berhubungan dengan keluarga, kerabat, dan masyarakat sekitar 6. Merencanakan kemungkinan anak 7. Memelihara motivasi pasangan.
2.2 Teori Adult Attachment 2.2.1 Attachment Attachment adalah suatu hubungan atau interaksi antara 2 individu yang merasa terikat kuat satu sama lain dan masing-masing melakukan sejumlah hal untuk melanjutkan hubungan tersebut (Bowlby, 1988) Perilaku attachment merupakan tingkah laku dimana individu berusaha untuk mencari dan memelihara kedekatan dengan individu lainnya. Dalam hal ini perkembangan attachment terjadi pada dua orang individu, yaitu antara anak dengan ibunya. Attachment awal yang berkembang pada seorang anak adalah dengan ibunya
12
karena interaksi awal yang terjadi pada anak adalah dengan ibunya. Studi Ainsworth (1963,1967) memberikan hasil bahwa perilaku attachment telah timbul sejak ia berusia 6 bulan. Interaksi sosial awal antara anak dan ibu selanjutnya menjadi dasar bagi perkembangan kepribadian anak. Ibu sebagai orang terdekat pertama bagi anak berperan dalam memberikan cara pengasuhan yang dapat memenuhi kebutuhan psikologis anak. Pemenuhan kebutuhan psikologis anak dapat diwujudkan ibu lewat kasih sayang, rasa cinta, perhatian, rasa aman, dan kooperatif serta responsif terhadap kebutuhan orang lain.
2.2.2 Dimensi Cara Perlakuan Orang tua Terhadap Anak Cara perlakuan orang tua terhadap anaknya akan memperngaruhi kualitas perkembangan attachment anak. Menurut Ainsworth, Bell, dan Stayton (1971) cara perlakuan ibu terhadap anak terdiri dari 4 dimensi: 1. Sensitivity – Insentivity Ibu yang sensitif akan selalu responsif terhadap isyarat kebutuhan dan komunikasi anak,
mampu
menginterpretasikan
isyarat
kebutuhan anak
dan
komunikasi anak dengan benar, serta mampu memandang sesuatu dari sudut pandang anak. Sedangkan pada ibu yang insensitif, ia sering tidak memberikan respon sama sekali terhadap isyarat dan komunikasi anak serta sering memandang sesuatu dari sudut pandangnya sendiri. 2. Acceptance – Rejection Ibu yang menerima anaknya dengan senang hati terikat dengan anak melalui aktivitas perawatan terhadap anak, menikmati aktivitas yang dilakukan bersama anak apada saat anak dalam keadaan suasana hati yang baik dan suasana hati yang jelek. Sedangkan ibu yang secara konsisten menolak anaknya akan mempunyai perasaan marah yang melebihi rasa kasih sayangnya terhadap anak, serta mudah menyatakan secara terbuka pada anak bahwa dirinya menjengkelkan atau mengganggunya, menciptakan suasana yang tidak enak terhadap anak, sering menolak keinginan atau harapan anak, dan sering memarahi atau mengomeli anak. 3. Cooperation – Interference Ibu yang kooperatif dan mengembangkan kerjasama dengan anak selalu
13
menaruh minat pada otonomi anak, berusaha untuk menghindari suasana yang dapat menghambat kegiatan anak melalui kontrol secara langsung. Ibu juga selalu menggunakan pengarahan pada saat anak berada dalam suasana hati yang baik. Sedangkan pada ibu yang selalu mencampuri urusan anak akan selalu memaksakan keinginan atau perasaan anak saat itu serta berusaha membentuk anak sesuai keinginan atau standar ibu. 4. Accessibility – Ignoring Ibu yang mudah didekati anak dan peduli dengan anak akan mampu menangkap isyarat kebutuhan anak walaupun sedang sibuk, mampu menangkap isyarat komunikasi anak walalu sedang sibuk, memperhatikan kebutuhan anak walaupun jauh dari anak. Sedangkan ibu yang tidak peduli pada anak sering tidak mengenali atau mempedulikan isyarat kebutuhan anak dan komunikasi anak, kurang memperhatikan
aktivitas
anak, cenderung
melupakan
anak
serta hanya
memperhatikan anak pada saat saat tertentu.
2.2.3 Pola-pola Attachment Melalui cara perlakuan ibu terhadap anak yang berbeda-beda, maka akan terbentuk pola attachment yang dapat berbeda-beda secara individual. Hal ini dibuktikan dengan penelitian-penelitian Ainsworth (1971; dalam Bowlby, 1988). Ada tiga pola attachment: 1.
Secure attachment Anak dengan pola ini percaya bahwa ibunya akan selalu ada, responsif dan mau memberikan bantuan ketika ia memerlukannya. Anak cenderung dapat bermain dengan nyaman, bereaksi positif terhadap orang lain yang asing baginya, dan tidak terlalu membutuhkan kedekatan fisik dan tidak harus selalu dekat dengan ibunya. Pola ini terbentuk dari perlakuan ibu yang selalu peka dan sensitif terhadap kebutuhan anak, baik ketika ia sedang sibuk atau tidak, menerima dan menikmati keterikatan dengan anak secara senang hati, menaruh minat pada otonomi anak, dan berusaha tidak menggunakan kontrol langsung yang dapat menghambat kegiatan anak.
14
2.
Anxious Ambivalent/Resistent attachment Anak dengan pola ini tidak yakin apakah orangtuanya akan selalu ada dan membantunya jika dibutuhkan, sehingga anak cenderung menjadi tidak dapat dilepaskan dan takut untuk berpisah dengan ibunya, serta rasa cemas dan tidak aman dalam mengeksplorasi lingkungannya. Rasa tidak aman ini menyebabkan anak menjadi ragu-ragu dalam menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain sehingga ia cenderung menjadi terisolasi dari lingkungan. Anak dengan pola ini mempunyai ibu yang cenderung tidak konsisten dalam mengasuh anak. Pada saat-saat tertentu ibu merespon kebutuhan anak, namun tidak di saat lainnya. Ibu yang terkadang menunjukkan sikap penolakan terhadap dan terlalu mencampuri keinginan anak dengan sering memaksakan keinginannya pada anak. Penemuan klinis juga menunjukkan bahwa seringkali orangtua memberikan ancaman perpisahan untuk mengontrol tingkah laku anak.
3.
Avoidant attachment Anak dengan pola ini sama sekali merasa tidak yakin dan percaya bahwa ia akan mendapat respon atau bantuan dari ibu jika ia mencari perhatian atau bantuan dari ibunya. Anak sering mempunyai prasangka ibunya akan menolak membantunya. Hal ini akan membuat anak memutuskan untuk hidup tanpa kasih sayang dan dukungan orang lain serta cenderung untuk mencukupi kebutuhan psikologisnya sendiri dengan cara menghibur dirinya sendiri yang didiagnosis sebagai narsistik. Anak cenderung tumbuh menjadi individu yang lebih mementingkan diri sendiri. Pola ini diperoleh berdasarkan perlakuan ibu yang sering menolak anak secara konsisten serta sering tidak responsif terhadap isyarat dan komunikasi anak. Kasus yang ekstrim dihasilkan dari penolakan ibu yang secara konsisten brulang dan terjadi pada tahun-tahun pertama kehidupan.
2.2.4 Pengukuran Kualitas Attachment Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Ainsworth dan kawan-kawan dalam mengukur kualitas attachment pada bayi dan anak kecil dilakukan melalui teknik observasi. Setelah masa kanak-kanak pengukuran melalui teknik ini sulit
15
dilakukan karena kehadiran aktual ibu sebagai pengasuh kurang diperhatikan sebagai akibat dari anak yang telah mempunyai pandangan sendiri terhadap ibu sebagai figur attachment. Oleh karena itu pengukuran kualitas attachment anak lebih diperhatikan pada Internal Working model anak (Main, Kaplan, and Cassidy, 1985; dalam Bowlby, 1988)
2.2.5 Internal Working model Penjelasan bagaimana cara perlakuan ibu terhadap anak berkembang menjadi pola-pola attachment pada anak dapat dilakukan dengan menggunakan konsep internal working model dari Bowlby (1988). Internal working model adalah suatu representasi mental individu terhadap diri sendiri (self) dengan lingkungannya yang akan membantu individu tersebut merencanakan tingkah laku yang akan ditampilkan di lingkungan. Internal working model dari hubungan attachment merupakan representasi mental anak dengan figur attachment, dalam hal ini adalah dengan ibu. Internalisasi pada anak mengenai bagaimana dirinya (self) dan figur ibu, bagaimana cara perlakuan ibu terhadap dirinya selama tahun pertama kehidupannya akan menetap sebagai struktur kognitif (Main, Kaplan, and Cassidy, 1985; dalam Bowlby, 1988). Selanjutnya model ini akan mengarahkan pada bagaimana perasaan anak terhadap dirinya dan orang tuanya (ibu), bagaimana anak mengharapkan perlakuan orang lain terhadapnya serta pada perencanaan anak terhadap tingkah laku yang akan ia tampilkan di lingkungannya (Bowlby, 1988). Terdapat dua konsep penting dalam internal working model. Pertama adalah bagaimana anak memandang perlakuan figur attachment dan pengaruhnya terhadap tingkah lakunya. Kedua, bagaimana self-image anak yaitu seberapa besar anak merasa diterima atau tidak oleh figur attachment mereka. Dua konsep ini akan saling mengisi membentuk internal working model anak. Ibu sebagai figur attachment yang memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang, responsif terhadap kebutuhan dan komunikasi anak, dan mau menerima anak akan membentuk internal working model pada anak bahwa dirinya dicintai, diterima, dan dihargai. Model ini cenderung menetap dan berfungsi diluar kesadaran. Pola attachment yang terbentuk dari internal working model ini juga cenderung menetap karena perlakuan orang tua (ibu) terhadap anaknya cenderung tidak berubah.
16
2.2.6. Attachment Dewasa Beberapa peneliti mengkhususkan penelitian terhadap dunia orang dewasa dan hubungan-hubungan yang dijalin pada masa itu, sehinga keterikatan emosional yang menjadi topiknya diberi nama adult attachment. Pola-pola adult attachment pada dasarnya merupakan replikasi dari pola-pola yang terbentuk semasa bayi, namun adult attachment dengan infant-parent attachment bukanlah hal yang sama. Relasi orangtua terhadap anak berupa caregiving (memberi), sementara relasi anak pada orang tua berupa attachment (meminta), masing-masing sifatnya satu arah. Sedangkan pada pasangan suami istri, relasi yang terjadi bersifat dua arah, yaitu caregiving dan attachment. Masing-masing individu berperan sebagai figur attachment yang memberi sekaligus membutuhkan kedekatan dan responsivitas dari pasangannya. Hazan dan Shaver (1987) merupakan salah satu pelopor penelitian adult attachment dengan mengadopsi tiga pola infant-parent attachment types dari Ainsworth untuk diberlakukan pada pasangan dalam hubungan romantis dewasa, yaitu secure, avoidance dan preoccupied (anxious-ambivalent). Ini kemudian disempurnakan oleh Bartholomew dan Horowitz (1991; dalam Feeney and Noller, 1996) menjadi empat pola berdasarkan karakteristik khusus yang membedakan dua subpola avoidance, yaitu: dismissing (menolak) dan fearful (takut). Menurut Bartholomew (1990), working model of self dapat diperlakukan secara dikotomi sebagai positif dan negatif, demikian juga model of others. Kombinasi antara working model of self yang positif atau negatif dengan working model of others yang juga positif dan negatif akan menghasilkan empat variasi polapola adult attachment, yaitu: 1.
Pola Secure memiliki persepsi yang positif terhadap dirinya dan orang lain. Artinya ia memiliki keyakinan bahwa dirinya berharga, dan mengharapkan orang lain menerima dan responsif terhadap dirinya, serta merasa nyaman dengan intimacy dan otonomi. Individu secure umumnya memiliki masa kecil yang bahagia, dimana ibu cukup peka dan sensitif terhadap kebutuhan sang anak. Karena anak yakin bahwa ibu akan selalu ada saat ia membutuhkan sesuatu, serta keyakinan bahwa ia disayang dan diperhatikan oleh ibu, maka
17
anak mengembangkan persepsi yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Pola secure
menginginkan
hubungan
yang
mendalam
namun
terdapat
keseimbangan antara kelekatan dengan pasangan dan otonomi dalam hubungan tersebut. Mereka merasa nyaman dengan kedekatan, namun juga menghargai otonomi dan merasa lebih berbahagia dengan hubungan yang dijalani apabila kedua kebutuhan tersebut terpenuhi. Pola ini memiliki pandangan bahwa orang lain beritikad baik dan berhati mulia, dapat dipercaya, dapat diandalkan dan altruistik. Mereka juga memiliki orientasi terhadap hubungan interpersonal. Dalam keadaan tertekan mereka mampu mengenali distress dan memodulasi afek negatif ke dalam cara-cara konstruktif. Umumnya pola ini memiliki self esteem dan percaya diri, serta jarang meragukan diri sendiri dalam berelasi dengan orang lain (Feeney and Noller, 1990; Feeney, Noller, and Hanrahan, 1994; dalam Feeney and Noller, 1996). 2.
Pola preoccupied (Anxious-ambivalent) memiliki persepsi yang positif terhadap orang lain, tapi negatif terhadap dirinya sendiri. Dengan kata lain, mereka kurang merasa dirinya berharga, namun memiliki harapan dan pandangan positif bahwa orang lain akan menyediakan responsivitas emosional yang diperlukannya. Pola preoccupied umumnya berasal dari perlakuan ibu yang kurang konsisten dalam mengasuh anaknya. Kadang si ibu hadir saat anak membutuhkan sesuatu, kadang tidak. Ibu juga terkadang menunjukkan sikap penolakan terhadap anak dan terlalu mencampuri keinginan anak dengan sering memaksakan keinginannya pada anak. Seringkali ibu memberikan ancaman perpisahan untuk mengontrol tingkah laku anak. Karenanya, anak akan mengembangkan mengembangkan
perasaan juga
ketidak berhargaan
kepercayaan bahwa
orang
diri,
sementara
lainlah
yang
ia mamp u
menyediakan kash sayang dan perhatian yang ia butuhkan. Pola ini seperti halnya pola secure juga menginginkan hubungan mendalam, meskipun hubungan semacam ini sering menimbulkan tekanan bagi mereka. Pola ini cenderung takut akan penolakan dan takut ditinggalkan serta melewatkan sebagian besar waktunya untuk mencemaskan hubungan yang mereka jalin. Meskipun merasakan tekanan itu, pola ini tetap mencari intimacy
18
secara ekstrim dan bersedia mencampakkan kebutuhan otonomi mereka demi memenuhi kebutuhan intimacy. Mereka memandang orang lain sebagai sulit dimengerti dan sangat kompleks. Pada saat-saat penuh tekanan mereka menunjukkan distress dan sangat mendambakan respon dari orang lain untuk membantunya. 3.
Pola Dismissing memiliki persepsi positif mengenai dirinya, tapi negatif terhadap orang lain. Individu dengan pola ini memberi makna yang tinggi terhadap dirinya, dan lebih memilih mempertahankan self worth daripada menjalin hubungan intimacy dengan orang lain. Selain itu, pola ini juga memandang orang lain sebagai itdak dapat dipercaya dan tidak dapat diandalkan, sehingga dalam rangka melindungi diri, perilaku menghindar menjadi penting. Individu dengan pola dismissing umumnya berasal dari perlakuan ibu yang sering menolak anak secara konsisten serta sering tidak responsif terhadap isyarat dan komunikasi anak. Hal ini akan membuat anak memutuskan untuk hidup tanpa kasih sayang dan dukungan orang lain serta cenderung untuk mencukupi kebutuhan psikologisnya sendiri. Inilah yang membuat individu dismissing mengembangkan persepsi yang positif terhadap diri tetapi negatif terhadap orang lain. Pola dismissing memiliki tujuan utama mempertahankan jarak (emosional) dengan orang lain dan mencegah orang lain untuk menjalin hubungan yang terlalu dekat dengannya. Kecenderungan mereka adalah membatasi intimacy yang bagi pola dismissing untuk mempertahankan self reliance dan otonomi berlebihan. Pola ini memiliki prasangka terhadap motivasi orang lain menjalin hubungan dengannya. Mereka memandang orang lain tidak dapat diandalkan dan dipercaya. Dalam keadaan tertekan, pola dismissing cenderung menekan emosi negatif yang dirasakannya (Shaver, Collin, and Clark, 1995)
4.
Pola Fearful memiliki persepsi yang negatif terhadap diri dan orang lain. Pola ini percaya bahwa orang lain tidak dapat diandalkan dan merasa dirinnya tidak berharga untuk mendapat respon emosional. Individu fearful umumnya berasal dari ibu yang sering menolak anak secara konsisten serta sering tidak responsif terhadap isyarat dan komunikasi anak. Berbeda dengan pola dismissing, anak dengan pola fearful tidak berusaha memenuhi sendiri kebutuhan dirinya,
19
melainkan menganggap dirinya sangat tidak berharga karena selalu ditinggal dan ditolak ibunya. Karenanya individu dengan pola fearful mengembangkan persepsi yang negatif terhadap diri maupun orang lain. Pola fearful memiliki tujuan utama mempertahankan jarak (emosional) dengan orang lain dan mencegah orang lain untuk menjalin hubungan yang terlalu dekat dengannya. Kecenderungan mereka adalah membatasi intimacy yang bagi pola fearful disebabkan oleh kekhawatiran ditolak oleh orang lain. Pola ini memiliki prasangka terhadap motivasi orang lain menjalin hubungan dengannya. Mereka memandang orang lain tidak dapat diandalkan dan dipercaya. Dalam keadaan tertekan pola fearful cenderung menampilkan emosi yang dirasakan namun menolak untuk meminta perlindungan dan dukungan orang lain (Shaver, Collin, and Clark, 1995)
Tingkah laku attachment akan teraktifkan terutama dalam kondisi yang tampak mengancam. Tingkah laku keempat pola adult attachment akan tampak berbeda secara lebih nyata pada kondisi-kondisi tertentu, yaitu: kondisi individu (misal; sakit atau lelah), kondisi lingkungan (bencana alam, hal-hal yang membahayakan), dan kondisi-kondisi lain yang diangap mengancam hubungan attachment (misal ketidakhadiran atau keengganan figur attachment untuk dekat) (Bowlby, 1969; dalam Feeney and Noller,1998). Jenis kondisi yang terakhir dapat membangkitkan kecemasan akan hubungan (relationship-centered anxiety) dalam diri individu yang merupakan respon umum akibat ancaman terhadap hubungan attachment. Di dalam pernikahan, ketika pasangan sebagai figur attachment tidak berada dalam jangkauan atau tidak dapat memberikan responsivitas emosional yang diinginkan, maka akan tercipta kondisi yang mungkin menimbulkan kecemasan dalam hubungan attachment.
2.3 Tingkah Laku Intim 2.3.1 Definisi Intimacy Banyak di antara para ahli yang telah mendefinisikan keintiman. Keintiman atau intimacy sendiri berasal dari kata inner atau innermost (Pearlman & Fehr, 1987;
20
Turner & Helms, 1995), yang diartikan sebagai inti atau bagian yang terdalam. Dalam bahasa Jerman, keintiman dideskripsikan sebagai kesadaran akan lingkungan internal dan realitas batin yang terdalam dari orang lain, sementara dalam lingkungan yang lebih luas keintiman berarti menjadi lebih dekat dengan seseorang (Turner & Helms, 1995). Dari sudut pandang Erikson (1963; dalam Olofsky, 1993), mengatakan bahwa intimacy adalah : “The capacity to commit (one) self to concrete affiliations an partnership and to develop the ethical strength to abide by such commitments, even though they may call for significant sacrifices and compromises” Dari pengertian-pengertian ini dapat ditarik suatu pengertian yang sama mengenai intimacy. Bahwa intimacy berkaitan erat dengan hubungan interpersonal yang mendalam dan terlibat satu sama lain. Intimacy merupakan tahap perkembangan psikososial keenam dari delapan tahap yang diajukan Erikson. Pada tahap perkembangan ini, terdapat kutub bipolar yaitu intimacy versus isolation. Keberhasilan pada tahap tugas perkembangan ini adalah terbentuknya orientasi pada keintiman. Mereka mampu untuk mengikatkan diri dalam suatu relasi jangka panjang seperti halnya perkawinan dan di dalamnya memiliki tingkat komunikasi yang tinggi disertai keterbukaan dan kedekatan yang merupakan ciri khas dari relasi ini (Olofsky, 1993). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, jelaslah bahwa keintiman diartikan sebagai suatu hubungan antar dua orang dan ditandai dengan adanya kedekatan emosional, keterbukaan pikiran, perasaan dan komitmen. Suatu relasi yang intim akan melibatkan aspek kognitif maupun afektif. Pada relasi seperti ini, masing-masing harus memiliki kemampuan untuk memahami pasangannya, baik itu mengenai pandangan-pandangan, perasaan-perasaan ataupun kebutuhan-kebutuhan. Dalam membangun relasi seperti ini, individu haruslah memiliki rasa percaya diri yang baik dan saling menghargai satu sama lain. sedangkan beberapa pendapat lain mengatakan selain kepercayaan diri yang baik dan adanya perasaan saling
menghargai,
mereka
menitikberatkan pada
masalah
komunikasi dalam pengembangan relasi ini. Roger (1972 dalam Orlofsky, 1993),
21
mengemukakan pentingnya komunikasi, komitmen, penurunan harapan-harapan dan melangsungkan
perkembangan
masing-masing
individu
sebagai
bagian dari
pengembangan pola relasi ke arah keintiman yang lebih baik.
2.3.2 Tingkah laku intim dan Dimensi-Dimensinya Penelitian ini memodifikasi sedikit istilah intimacy/keintiman. Yang diteliti dalam penelitian ini adalah tingkah laku intim, dimana peneliti menanyakan secara langsung tentang tingkah laku yang ditunjukkan oleh responden penelitian dalam berelasi intim dengan pasangannya (suami atau istri). Tingkah laku intim, sama halnya dengan intimacy, tetap menggunakan teori Erikson sebagai dasarnya. Tapi peneliti
menggunakan
pemaparan dari
Orlofsky
(1993)
yang
men jabarkan
keintiman/intimacy ke dalam sembilan dimensi, yaitu: 1. Komitmen “Membuat kesepakatan bersama tentang kehidupan pernikahan dan berusaha memelihara kesepakatan itu untuk seterusnya”
2. Komunikasi “Bagaimana individu berkomunikasi, termasuk di dalamnya keterbukaan dan kenyamanan dalam berkomunikasi” 3. Kepedulian dan afeksi “Adanya rasa peduli dan mengasihi pasangan, yang diwujudkan dalam bentuk
tingkah
laku
memperhati kan,
membantu,
dan
menghargai
pasangannya” 4. Pemahaman sifat pasangan “Berusaha mencari tahu, memahami, dan menerima sifat-sifat pasangan, baik yang positif maupun negatif” 5. Perspective taking “Berusaha memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh pasangan saat berkomunikasi, serta tidak memaksakan sudut pandang dan pemikiran sendiri” 6. Wewenang dan pengambilan keputusan “Berusaha menyeimbangkan wewenang dalam pengambilan keputusan dan
22
menghormati keputusan yang diambil bersama, serta menghargai sikap pasangannya tentang suatu keputusan” 7. Mempertahankan minat pribadi “Menghormati kebebasan pribadi dan pasangan untuk melakukan aktivitasaktivitas pribadi yang terpisah”
8. Penghormatan terhadap integritas individu “Menghormati integritas pasangan dalam segala hal, seperti pandangan hidup, relasi sosial, dan kegiatan-kegiatan individual” 9. Kemandirian “Memberikan ruang untuk kemandirian dan perbedaan antara dirinya dan pasangan”
23
3.
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai
tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa pada individu menikah dengan usia pernikahan di bawah lima tahun di Bandung.
3.2
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan:
Dalam konteks teoritis (kegunaan ilmiah): sebagai rintisan bagi penelitian-penelitian selanjutnya dan diharapkan dapat memperkaya khasanah pengetahuan psikologi khususnya dalam area perkembangan, juga dalam area keluarga.
Dalam konteks praktis (kegunaan terapan): diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi pasangan suami istri, calon pasangan, maupun konselor dalam penanganan masalah-masalah yang terjadi dalam rumah tangga.
24
4.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, dimana
penelitian akan dilakukan untuk mendapatkan gambaran tingkah laku intim dari empat pola attachment dewasa, yaitu pola secure, preoccupied, dismissing dan fearful dalam relasi pernikahan dengan pasangannya.
4.1
Sampel Penelitian Dalam penelitian ini akan digunakan sampel dengan karakteristik sebagai
berikut: 1. Individu menikah Yang diteliti dalam penelitian ini adalah tingkah laku intim yang ditampilkan individu dalam pernikahannya, sesuai dengan pola attachment dewasa apa yang terbentuk pada dirinya. Peneliti tidak mempersoalkan apakah individu tersebut lakilaki atau perempuan, yang penting adalah ia menikah. Peneliti tidak mengharuskan suami dan istri sekaligus harus diambil. 2. Usia pernikahan dibawah 5 tahun Alasan pemilihan sampel dengan usia pernikahan dibawah lima tahun (atau tahun-tahun awal perkawinan) adalah untuk mencari individu-individu yang sedang dihadapkan
kepada
tantangan
perubahan
kehidupan
secara
personal
dan
interpersonal. Tahun awal perkawinan diwarnai dengan eksplorasi dan evaluasi. Tahun-tahun awal perkawinan menentukan apakah pasangan berhasil menyesuaikan diri dengan tuntutan baru yang mereka hadapi (Elizabeth Hurlock, 1990). 3. Bertempat tinggal di Kotamadya Bandung Alasan pemilihan sampel yang bertempat tinggal di Kotamadya Bandung adalah berdasarkan fenomena yang menjadi dasar penelitian ini, yaitu tingkat perceraian di Kotamadya Bandung. Kotamadya Bandung juga adalah tempat tinggal peneliti, sehingga memudahkan dalam pencarian sampel yang sesuai.
4.2
Alat Ukur
25
Alat ukur pola attachment dewasa adalah hasil modifikasi dari alat ukur Experiences ini Close relationships (ECR) yang disusun oleh Brennan, Clark, and Shaver (1998). Alat ukur ini berupa kuesioner dan berbentuk summated ratings, yang terdiri dari tujuh jawaban, yaitu: sangat setuju, setuju, agak setuju, ragu-ragu, agak tidak setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju Alat ukur tingkah laku intim diturunkan dari pedoman interviu Intimacy Status dari Orlofsky (1993) yang terdiri dari 9 dimensi. Alat ukur ini berupa kuesioner berbentuk summated ratings, yang terdiri dari lima jawaban, yaitu; sangat setuju, setuju, agak setuju, ragu-ragu, agak tidak setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju.
4.3
Pengolahan Data
4.3.1. Teknik Pengolahan Data
1. Mencari median (nilai tengah) untuk dimensi model of self dan model of others berdasarkan data yang diperoleh dari alat ukur pola attachment dewasa.
2. Membagi seluruh responden menjadi empat kelompok pola attachment dewasa berdasarkan kombinasi nilai total dimensi model of self dan dimensi model of others.
3. Mencari nilai total setiap dimensi tingkah laku intim yang diperoleh setiap responden dalam semua kelompok pola attachment dewasa. Ini akan digunakan sebagai dasar kategorisasi tingkah laku intim.
4. Menentukan nilai maksimal, minimal, dan rentang dari setiap dimensi tingkah laku intim yang tergantung pada jumlah item setiap dimensi dan jumlah pilihan jawaban yang berjumlah tujuh (sangat tidak setuju sampai sangat setuju)
5. Menentukan rentang nilai kategori rendah, sedang, dan tinggi pada setiap dimensi tingkah laku intim
6. Mengkategorikan nilai total tiap dimensi tingkah laku intim semua responden dalam setiap kelompok pola attachment dewasa.
26
7. Setelah semua nilai total setiap dimensi dari seluruh responden memiliki kategori (apakah rendah, sedang, atau tinggi), kemudian disusun persentase jumlah dalam setiap kategori pada semua dimensi tingkah laku intim.
4.3.2. Kategorisasi 4.3.2.1. Kategorisasi Untuk Variabel Pola Attachment Dewasa Kategorisasi ini digunakan untuk membagi responden ke dalam empat pola attachment dewasa. Pola attachment dewasa memiliki dua dimensi, yaitu dimensi model of others dan dimensi model of self. Kedua dimensi akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu rendah dan tinggi. Kemudian kedua dimensi akan dikombinasikan hingga menjadi empat pola attachment dewasa. Langkah-langkah untuk penentuan setiap kategori adalah sebagai berikut: 1. Menghitung total skor masing-masing dimensi 2. Membuat ranking kelompok skor tersebut dari keseluruhan sampel 3. Menentukan batas tinggi dan batas rendah dari dimensi model of others dan model of self 4. Menyusun data dalam distribusi frekuensi, kemudian diambil nilai tengah dari skor yang diperoleh dalam kelompok sampel
Untuk menentukan nilai tengah, rumus yang digunakan adalah: Me = b + p ½ n – F f
Me = median b = batas bawah kelas median, yaitu kelas median terletak p = panjang kelas median n = ukuran sampel F = jumlah semua frekuensi dengan tanda kelas lebih kecil dari tanda kelas
27
median f = frekuensi kelas median
5. Membuat
norma kelompok berdasarkan nilai tengah tersebut untuk
menentukan tinggi atau rendahnya skor yang diperoleh responden pada masing-masing dimensi 6. Menentukan kategori pola attachment dewasa berdasarkan kombinasi hasil dari butir 5.
Berikut ini adalah cara penentuan kategorisasi variabel pola attachment dewasa: Dimensi model of others: Nilai tertinggi
: 57
Nilai terendah
: 16
Median
: 34
Interval kelas
: Kategori
Skor
Rendah
16 – 34
Tinggi
35 - 57
Dimensi model of self: Nilai tertinggi
: 90
Nilai terendah
: 20
Median
: 56
28
Interval kelas
: Kategori
Skor
Rendah
20 – 56
Tinggi
57 - 90
Berdasarkan kategorisasi di atas, maka pembagian empat pola attachment dewasa menjadi sebagai berikut : Tabel 3.1
Kategorisasi pola attachment dewasa Model of self
Model of others Rendah
Rendah
Tinggi
(20-56)
(57-90)
Secure
Preoccupied
Dismissing
Fearful
(16-34) Tinggi (35-57)
4.3.2.2.
Kategorisasi Tingkah Laku Intim
Kategorisasi dilakukan untuk menentukan apakah tingkah laku intim yang ditampilkan tiap responden dalam pernikahannya termasuk rendah, sedang, dan tinggi. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Mencari nilai maksimum dan minimum dari setiap dimensi yang didasarkan pada jumlah item setiap dimensi dan skor pilihan jawaban (antara 1 sampai 7)
2.
Mencari rentang nilai setiap dimensi dengan cara mengurangi nilai maksimum dengan nilai minimum
3.
Membagi rentang nilai tersebut dengan 3, karena jumlah kelompok kategori yang diinginkan adalah tiga (rendah, sedang, tinggi)
4.
Menentukan rentang nilai setiap kategori dari setiap dimensi tingkah laku intim.
29
Tabel 3.2
Kategorisasi tingkah laku intim
Dimensi Komitmen Komunikasi Kepedulian dan afeksi Pemahaman sifat pasangan Perspective taking Wewenang dan pengambilan keputusan Mempertahankan minat pribadi Penghormatan integritas individu Kemandirian
Rendah 9-27 11-33 8-24 6-18 3-9 6-18
Sedang 27-45 33-55 24-40 18-30 9-15 18-30
Tinggi 45-63 55-77 40-56 30-42 15-21 30-42
3-9 3-9 2-6
9-15 9-15 6-10
15-21 15-21 10-14
30
5. 5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL
5.1.1 Hasil kategorisasi responden menjadi empat pola attachment dewasa Seluruh responden dalam penelitian ini berjumlah 59 orang. Mereka dibagi menjadi empat kelompok pola attachment dewasa berdasarkan kombinasi skor total dimensi model of self dan model of others pada alat ukur pola attachment dewasa. Hasil kategorisasi dan jumlah responden dalam setiap pola attachment dewasa adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1
Hasil
kategorisasi
responden
m enurut
pola
attachment dewasa Model of self Model of others
Rendah Tinggi
5.2 5.2.1.
Rendah
Tinggi
Secure
Preoccupied
(16 orang)
(19 orang)
Dismissing
Fearful
(13 orang)
(11 orang)
PEMBAHASAN Gambaran tingkah laku intim yang ditampilkan pola Secure dalam
pernikahannya Tabel 4.2
Gambaran tingkah laku intim dari pola secure (dalam %) Rendah
Sedang
Tinggi
Komitmen
0
0
100
Komunikasi
0
0
100
Kepedulian
0
6,2
93,8
Paham sifat
0
6,2
93,8
Perspective taking
0
0
100
Wewenang
0
0
100
Minat pribadi
0
37,5
62,5
31
Penghormatan
0
25
75
Kemandirian
0
0
100
Tabel 4.2 diatas menunjukkan data tentang gambaran tingkah laku intim dari pola secure. Pola secure mampu menampilkan komitmen yang tinggi terhadap pernikahan (100%), ditunjukkan dengan membuat beberapa kesepakatan dan rencana masa depan bagi pernikahannya, berusaha memelihara ikatan pernikahannya, serta terus menerus meningkatkan kualitas komitmen pernikahannya. Dalam kehidupan pernikahannya, pola secure mampu berkomunikasi secara jujur, nyaman, dan terbuka dengan pasangannya (100% tinggi). Saat ia menghadapi suatu masalah, ia mau berbagi kepada pasangan, bukannya memendam sendiri permasalahannya. Pola secure menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang tinggi pada pasangannya (93,8%). Ia berusaha untuk selalu hadir saat pasangan membutuhkan, termasuk saat pasangan hendak berkeluh kesah tentang suatu masalah. Pengetahuan dan pemahamannya terhadap sifat pasangan, baik yang positif maupun negatif, tergolong tinggi (93,8%). Ia memahami benar bahwa pasangannya adalah manusia yang punya kelebihan dan kekurangan, termasuk sifat-sifatnya. Ia mampu menerima pasangan apa adanya dan tidak menyesal menikah dengannya. Komunikasi yang jujur dan terbuka serta pemahaman akan sifat pasangan dilandasi oleh kesediaannya yang tinggi untuk terbuka dan menerima sudut pandang, perasaan dan minat pasangannya (perspective taking 100% tinggi). Saat berdiskusi tentang sesuatu hal, pola secure mencoba untuk menempatkan dir i pada posisi paangan untuk memahami lebih baik bagaimana sudut pandang atau perasaan pasangannya tentang hal tersebut. Kemampuan perspective taking (pemahaman sudut pandang pasangan) yang tinggi ini juga mendasari bagaimana pembagian wewenang dan
pengambilan
keputusan.
Pola secure
mampu
dengan
baik
menjaga
keseimbangan wewenang dan pengambilan keputusan dalam pernikahannya (100% tinggi).
Ia
tidak
memaksakan
endapatnya p
sendiri,
melainkan selalu
mempertimbangkan pendapat pasangan dalam suatu pengambilan keputusan. Keterbukaan terhadap sudut pandang dan pemikiran pasangan menyebabkan ia dapat menghargai keputusan yang diambil oleh pasangan, walaupun mungkin ia kurang sependapat dengan keputusan itu.
32
Pola secure menghormati integritas dirinya dan pasangannya sebagai individu yang memiliki pandangan hidup, relasi sosial, dan aktivitas sendiri. Ia tidak melarang pasangan untuk memiliki hubungan pertemanan dengan siapa saja atau melakukan aktivitas lain, selama tidak meninggalkan kewajiban rumah tangganya (dimensi penghormatan terhadap integritas individu 75% tinggi). Pola secure juga memiliki aktivitas-aktivitas yang terpisah dengan pasangannya. Ia mengharapkan pasangannya dapat menerima aktivitas terpisah tersebut, sebagaimana ia juga memperbolehkan pasangannya untuk beraktivitas pribadi. Ia tidak merasa cemburu atau merasa ditinggalkan secara berlebihan (skor mempertahankan minat pribadi 100% tinggi). Pola secure menunjukkan kemandirian yang tinggi (100%). Untuk beberapa hal ia tetap dapat membuat beberapa keputusan sendiri, meskipun pada hal lainnya ia ia akan meminta pendapat pasangan. Dalam pernikahannya, ia tetap memberikan ruang untuk perbedaan dan kemandirian. Tingkah laku intim yang ditampilkan oleh pola secure dapat dikatakan optimal karena pada semua dimensi tingkah laku intim pola secure memiliki persentase skor terbesar dalam kategori tinggi. Ini disebabkan karena pola secure memandang dirinya dan pasangannya secara positif, sehingga relasi pernikahannya dilandasi suatu perasan aman dan nyaman. Tidak ada keraguan dalam dirinya bahwa ia tidak berharga, atau pasangan tidak akan ada saat ia membutuhkan. Dengan landasan ini, ia mampu menampilkan tingkah laku yang intim dan hangat dalam pernikahannya. 5.2.2.
Gambaran tingkah laku intim yang ditampilkan pola Preoccupied dalam pernikahannya
Tabel 4.3
Gambaran tingkah laku intim pola preoccupied (dalam %) Rendah
Sedang
Tinggi
Komitmen
0
10,5
89,5
Komunikasi
0
0
100
Kepedulian
0
10,5
89,5
Paham sifat
0
5,2
94,8
Perspective taking
0
0
100
33
Wewenang
0
10,5
89,5
Minat pribadi
5,2
68,4
26,4
Penghormatan
0
57,9
42,1
Kemandirian
0
15,8
84,2
Tabel 4.3 diatas menunjukkan data tentang gambaran tingkah laku intim dari pola preoccupied. Pola preoccupied menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap pernikahan (89,5%). Ini ditunjukkan dengan membuat beberapa kesepakatan dan rencana masa depan bagi pernikahannya, berusaha memelihara ikatan pernikahannya, serta terus menerus meningkatkan kualitas komitmen pernikahannya. Komunikasi yang terjalin antara pola preoccupied dengan pasangannya adalah komunikasi yang dilandasi kejujuran dan keterbukaan (100% tinggi). Pola preoccupied tidak segan untuk menceritakan masalah yang ia hadapi kepada pasangannya. Pola preoccupied mampu menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang tinggi pada pasangannya (89,5%). Ia mau membantu pasangan saat dibutuhkan, menunjukkan penghargaan pada pasangan, mendengarkan keluhan pasangan, serta memperhatikan minat pasangan, termasuk minat seksual pasangan. Ia juga mampu dengan baik memahami dan menerima sifat-sifat pasangannya, baik positif maupun negatif (94,8% tinggi). Ia juga tahu harus melakukan apa saat pasangan menunjukkan sifat negatifnya. Pola preoccupied menunjukkan kesediaan yang tinggi untuk menerima dan memahami sudut
pandang, perasaan, dan minat
pasangan (100%). Dalam
pengambilan keputusan, ia selalu mempertimbangkan pertimbangan pasangan, tidak memaksakan pemikirannya sendiri. Ia menjaga agar terdapat ke seimbangan wewenang dan pengambilan keputusan dalam pernikahannya (89,5% tinggi). Pola preoccupied cukup mampu mempertahankan sebagian minat pribadinya dengan tetap melakukan hobi-hobinya semasa belum menikah dulu, serta tidak menampilkan rasa cemburu yang berlebihan jika pasangan melakukan suatu aktivitas tanpa melibatkannya (68,4% sedang). Ia cukup mampu menghormati integritas dirinya dan pasangannya sebagai individu yang memiliki pandangan hidup, relasi sosial, dan aktivitas pribadi (57,9% sedang). Pola preoccupied menunjukkan
34
kemandirian yang tinggi (84,2% tinggi) dimana ia dapat membuat keputusan sendiri untuk beberapa hal, walau untuk beberapa hal lainnya ia pasti meminta pendapat pasangannya. Pola preoccupied menampilkan tingkah laku intim yang cukup baik dalam pernikahannya. Dengan dasar pandangan yang positif terhadap orang lain (dalam hal ini pasangannya), pola preoccupied mampu menunjukkan komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, dan kemandirian yang tinggi. Tapi pandangannya yang negatif terhadap diri sendiri menyebabkan ia tidak menonjol dalam mempertahankan minat
pribadi dan menghormati integritas individu
(persentase terbesar ada pada kategori sedang). Fokus pola preoccupied ada pada diri pasangannya, bukan pada dirinya sendiri. Satu hal yang menarik adalah tingkat kemandirian yang tinggi pada pola preoccupied. Ini berbeda dengan pemaparan Bartholomew yang menyebutkan bahwa pola preoccupied dicirikan dengan ketergantungan yang tinggi pada pasangannya. Hal ini bisa terjadi karena beberapa hal, antara lain karena tingkah laku intim yang ditampilkan pola preoccupied sendiri ternyata cukup baik, sehingga seharusnya relasi pernikahannya menjadi cukup intim dan hangat. Keadaan yang kondusif ini menyebabkan ia mulai mengembangkan sisi kemandirian dalam dirinya.
5.2.3.
Gambaran tingkah laku intim yang ditampilkan pola Dismissing dalam pernikahannya
Tabel 4.4
Gambaran tingkah laku intim pola dismissing (dalam %) Rendah
Sedang
Tinggi
Komitmen
0
7,7
92,3
Komunikasi
0
15,4
84,6
Kepedulian
0
30,8
69,2
Paham sifat
0
7,7
92,3
Perspective taking
0
7,7
92,3
35
Wewenang
0
7,7
92,3
Minat pribadi
0
69,2
30,8
Penghormatan
0
46,2
53,8
Kemandirian
0
15,4
84,6
Dari tabel 4.4 di atas dapat dilihat gambaran tingkah laku ni tim yang ditampilkan oleh pola attachment dewasa dismissing dalam pernikahannya. Pola secure mampu menampilkan komitmen yang tinggi terhadap pernikahan (92,3%), ditunjukkan dengan membuat beberapa kesepakatan dan rencana masa depan bagi pernikahannya, berupaya memelihara pernikahan, serta terus berusaha meningkatkan kualitas komitmen pernikahannya. Dalam kehidupan pernikahannya, pola dismissing mampu berkomunikasi secara jujur, nyaman, dan terbuka dengan pasangannya (84,6% tinggi). Saat menghadapi suatu masalah, ia mau berbagi kepada pasangan, bukan memendamnya sendiri. Pola dismissing mampu menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang tinggi pada pasangannya (69,23% tinggi). Ia berusaha menunjukkan perhatian dan penghargaan pada pasangannya, serta siap untuk membantu saat dibutuhkan. Pemahaman pola dismissing akan sifat-sifat pasangannya juga tinggi (92,3%). Ia mengenal dengan baik sifat-sifat pasangannya, baik atau buruk, serta menerima pasangan apa adanya. Pola dismissing terbuka terhadap sudut pandang dan pemikiran pasangan. Ia berusaha untuk menempatkan dirinya pada posisi pasangan untuk memahami perasaan pasangan akan suatu hal (92,3% tinggi). Kemampuan perspective taking yang tinggi membuatnya selalu mempertimbangkan pendapat pasangan saat mereka akan mengambil suatu keputusan. Pola dismissing mengusahakan terciptanya keseimbangan dalam wewenang di rumah tangganya. Tidak ada pemaksaan kehendak pada pasangan, melainkan penghargaan terhadap pertimbangan dan keputusan yang diambil pasangan (92,3% tinggi pada dimensi wewenang dan pengambilan keputusan). Pola dismissing tetap melakukan beberapa hobinya semasa belum menikah dulu, dan ia tidak keberatan akan aktivitas yang terpisah dengan pasangannya.
36
Sikapnya cukup positif terhadap aktivitas terpisah, sehingga saat pasangan melakukan suatu aktivitas tanpa mengikutsertakannya, ia mampu menerimanya dan tidak
merasa
cemburu
secara
be rlebihan
(69,2%
sedang
pada
di mensi
mempertahankan minat pribadi). Pola dismissing cukup mampu menghormati integritas dirinya dan pasangan sebagai individu yang memiliki pandangan hidup, relasi sosial, dan aktivitas sendiri (53,8% tinggi). Ia mengijinkan pasangan untuk berteman dengan siapa saja, serta melakukan aktivitas lain selama tidak mengganggu kewajiban sebagai suami/istri. Pola dismissing menunjukkan tingkat kemandirian yang tinggi (84,6%). Untuk beberapa hal ia tetap dapat membuat beberapa keputusan sendiri, meskipun pada hal lainnya ia ia akan meminta pendapat pasangan. Ia tetap memberikan ruang untuk perbedaan dan kemandirian dalam pernikahannya. Pola dismissing menampilkan tingkah laku intim yang cukup baik dalam pernikahannya. Ia mampu menunjukkan komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, dan kemandirian yang tinggi. Sementara pola dismissing tidak menonjol dalam hal mempertahankan minat pribadi (69,2% sedang).
5.2.4.
Gambaran tingkah laku intim yang ditampilkan pola fearful dalam pernikahannya Tabel 4.5
Gambaran tingkah laku intim pola fearful (dalam %) Rendah
Sedang
Tinggi
Komitmen
0
27,2
72,8
Komunikasi
0
36,4
63,6
Kepedulian
0
36,4
63,6
Paham sifat
0
36,4
63,6
Perspective taking
0
18,2
81,8
37
Wewenang
0
18,2
81,8
Minat pribadi
18,2
63,6
18,2
Penghormatan
0
36,4
63,6
Kemandirian
0
18,2
81,8
Tabel 4.5 di atas menampilkan gambaran tingkah laku intim dari pola attachment dewasa fearful. Pola fearful menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap pernikahan (72,8%). Ini ditunjukkan dengan membuat beberapa kesepakatan dan rencana masa depan bagi pernikahannya, berusaha memelihara ikatan pernikahannya, serta terus menerus meningkatkan kualitas komitmen pernikahannya. Komunikasi yang terjalin antara pola fearful dengan pasangannya adalah komunikasi yang dilandasi kejujuran dan keterbukaan (63,6% tinggi). Pola fearful merasa nyaman untuk menceritakan masalahnya pada pasangan. Pola fearful menunjukkan kepedulian dan kasih sayang yang cukup tinggi pada pasangannya (63,6%). Ia berusaha untuk hadir saat pasangan membutuhkan, termasuk
mendengarkan
keluhan dan
masalah
pasangan.
Pengetahuan
dan
pemahamannya terhadap sifat pasangan, baik yang positif maupun negatif, tergolong tinggi (63,6%). Pola fearful cukup tahu apa yang akan ia al kukan saat pasangan menampilkan sifat buruknya. Selain itu, ia mau menerima pasangan dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Pola fearful bersedia terbuka terhadap sudut pandang dan pemikiran pasangan (81,8% tinggi). Ia berusaha memahami sudut pandang dan perasaan pasangannya akan suatu hal, tidak mengacuhkan pendapat pasangan. Kemampuan perspective taking yang tinggi menyebabkan ia selalu mempertimbangkan pendapat pasangan saat mereka akan mengambil suatu keputusan. Dalam rumah tangganya, pola fearful mengusahakan terciptanya keseimbangan dalam tanggung jawab dan wewenang. Tidak ada pemaksaan kehendak pada pasangan, melainkan penghargaan terhadap pertimbangan dan keputusan yang diambil pasangan (81,8% tinggi pada dimensi wewenang dan pengambilan keputusan). Pola fearful cukup mampu mempertahankan sebagian minat pribadinya dengan tetap melakukan hobi-hobinya semasa belum menikah dulu, serta tidak
38
menampilkan rasa cemburu yang berlebihan jika pasangan melakukan suatu aktivitas tanpa melibatkannya (63,6% sedang). Ia menunjukkan rasa hormat yang tinggi terhadap integritas dirinya dan pasangannya sebagai individu yang memiliki pandangan hidup, relasi sosial, dan aktivitas sendiri (63,6% tinggi). Pola fearful menunjukkan kemandirian yang tinggi (81,8% tinggi) dimana ia dapat membuat keputusan sendiri untuk beberapa hal, walau untuk beberapa hal lainnya ia pasti meminta pendapat pasangannya. Pola fearful menampilkan tingkah laku intim yang cukup baik dalam pernikahannya. Ia mampu menunjukkan komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan
keputusan,
penghormatan
terhadap
integritas
indi vidu,
serta
kemandirian yang tinggi dalam pernikahannya. Tapi dalam hal mempertahankan minat pribadi, pola fearful tidak menonjol (63,6% sedang).
Dari pemaparan diatas peneliti menemukan bahwa tingkah laku intim yang ditampilkan oleh keempat pola attachment dewasa dalam pernikahannya ternyata tidak jauh berbeda. Pola secure menampilkan tingkah laku intim yang paling optimal, ditunjukkan oleh tingkah laku intim yang tinggi pada semua dimensinya. Sementara pola preoccupied, dismissing, dan fearful menunjukkan tingkah laku intim yang cukup baik dalam pernikahannya. Ini terlihat dari hampir keseluruhan dimensi tingkah laku intim mereka menunjukkan tampilan yang tinggi.
39
6.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian
tentang tingkah
laku
yang
ditampilkan pola
attachment dewasa yang secure, preoccupied, dismissing, dan fearful, dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut: 1.
Pola secure
menampilkan
tingkah
laku
inti m
yang
optimal
dalam
pernikahannya. Pada kesembilan dimensi tingkah laku intim, yaitu komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman mengenai sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, mempertahankan minat pribadi, penghormatan integritas individu pasangan dan kemandirian, pola secure memiliki persentase skor terbesar dalam kategori tinggi. 2.
Pola preoccupied menampilkan tingkah laku intim cukup baik dalam pernikahannya. Pola preoccupied menunjukkan persentase skor yang tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, serta kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat
pribadi
dan
penghormatan terhadap
integritas
individu, pola
preoccupied memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang. 3.
Pola dismissing menampilkan tingkah laku intim cukup baik dalam pernikahannya. Pola dismissing menunjukkan persentase terbesar dalam kategori tinggi pada dimensi komitmen, komunikasi, kepedulian dan afeksi, pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, serta kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi, pola dismissing memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang.
4.
Pola fearful
menampilkan
tingkah
laku
inti m
cukup
baik
dalam
pernikahannya. Pola fearful menunjukkan persentase terbesar dalam kategori tinggi pada
dimensi komitmen,
komunikasi, kepedulian
dan afeksi,
pemahaman terhadap sifat pasangan, perspective taking, wewenang dan pengambilan keputusan, penghormatan terhadap integritas individu, serta kemandirian. Sementara pada dimensi mempertahankan minat pribadi, pola fearful memiliki persentase skor terbesar pada kategori sedang.
40
6.2 1.
SARAN Sebaiknya diadakan penelitian dengan topik serupa dengan jumlah responden yang lebih banyak agar hasil yang dicapai dapat memiliki nilai validitas eksternal (kemampuan generalisasi) yang lebih tinggi.
2.
Karena sumber, baik buku maupun hasil penelitian tentang attachment dewasa di Indonesia sangat kurang, sebaiknya banyak dilakukan penelitian tentang attachment dewasa dalam kaitannya dengan konsep-konsep lain, tidak hanya dengan tingkah laku intim. Dengan ni, i diharapkan dunia psikologi Indonesia memiliki lebih banyak wawasan tentang attachment dewasa.
3.
Beberapa hasil penelitian ini berbeda dengan teori dari Bartholomew. Penelitian ini tidak memiliki data yang lebih luas dan akurat tentang kenapa terjadi perbedaan tersebut. Oleh karena itu sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan dengan topik yang sama tetapi memiliki cakupan data yang lebih luas. Misalnya tentang pola attachment dewasa pasangan (tidak hanya individu
tersebut),
sumber-sumber
pembelajaran
tentang
kehidupan
pernikahan, faktor keluarga, budaya atau faktor-faktor lain yang diperkirakan mempengaruhi bagaimana individu menampilkan tingkah laku intim dalam pernikahannya. 4.
Peneliti menemukan bahwa para responden penelitian seringkali tidak mengisi kuesioner sesuai dengan apa yang ia lakukan sebenarnya dalam pernikahannya, melainkan dengan apa yang seharusnya ia lakukan (jawabanjawaban normatif). Ketika ditanyakan kepada beberapa responden, mereka mengatakan banyak item dalam kuesioner merupakan hal yang bersifat pribadi, dan tidak seharusnya disampaikan pada orang lain. Peneliti menyarankan agar digunakan teknik pengambilan data yang lain, sehingga hasilnya dapat diperbandingkan atau saling menunjang. Beberapa teknik yang dapat digunakan antara lain interviu mendalam (depth interview) dan observasi.
5.
Pernikahan adalah relasi yang intim antara individu dengan pasangannya (suami – istri), yang berarti melibatkan dua orang. Penelitian ini hanya mengukur tingkah laku intim dari individu dalam pernikaahnnya, tidak
41
mengukur
bagaimana
interaksi antara
individu
dengan
pasangannya.
Sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan yang melibatkan suami dan istri (dua pihak), baik individu maupun interrelasi dari keduanya. Hasil yang diperoleh pasti akan lebih dalam, luas, dan komprehensif.
42
DAFTAR PUSTAKA
Bowlby, J. 1969. Attachment and loss: Vol. 1. Attachment. New York: Basic Books. Duvall, Evelyn M. 1977. Marriage and Family Development, 5th edition. Philadelphia: J.B. Lippincott Co.
Feeney, J. & Noller, P. 1996. Adult Attachment. Thousand Oaks: SAGE Publications.
Gulo, W. 2003. Metodologi Penelitian, Edisi Kedua, Jakarta: PT. Grasindo
Hall, Calvin S & Lindzey, Gardner. 1978. Introduction to Theories of Personality. New York, USA: John Wiley and Sons.
Hazan, C. & Shaver, P.R. 1987. Romantic love conceptualized as an attachment process. Journal of Personality and Social Psychology, 52, 511-524.
Hurlock, Elizabeth B. 1990. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Oltmans, Thomas F.& Emery, Robert E. 2001. Abnormal Psychology. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Orlofsky, J.L, Marcia, J.E., Waterman, A.S., Matteson, D.R., Archer, S.L. 1993. Ego Identity: A Handbook for Psychosocial Research. New York: Sprinegr-Verlag.
Shaver, Phillip R.; Collins, Nancy & Clark, Catherine. 1995. Attachment Styles and Internal Working Models of Self and Relationship Partners. In Fletcher, G.J.O. & Fitness, J. (Eds). 1995. Knowledge Structures in Close Relationships : A Social Psychological Approach. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Shaver, Phillip R.; Brennan, Kelly A. & Clark, Catherine. 1998. Self-Report
43
Measurement of Adult Attachment. In Simpson, J.A. & Rholes, W.S. (ed) (1998), Attachment Theory and Close Relationships. New York: The Guilford Press.
Siegel, Sidney & Castellan, John N Jr. (-). Nonparametric Statistic for The Behavioral Sciences 2nd Edition. United States of America: McGraw Hill Companies, Inc.
Sudjana. 1996. Metoda Statistika Edisi Keenam. Bandung: Tarsito.
Suryabrata, Sumadi. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: CV Rajawali.
44