Strategi Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak Keluarga Migran Miskin melalui Perspektif Multidimensi Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita dan Eniarti Djohan1 Abstrak Isu kesehatan ibu dan anak (KIA) merupakan isu penting untuk diangkat kepermukaan karena untuk kasus Indonesia, angka kematian ibu (AKI) masih tinggi. Persoalan KIA ini semakin berat dihadapi oleh keluarga migran miskin di perkotaan karena mereka menghadapi keterbatasan akses pada beragam hal, yang pada gilirannya dapat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup. Salah satu permasalahan AKI ditengerai terkait dengan aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan yang belum secara menyeluruh dan adil dapat dinikmati oleh berbagai pihak, meskipun berbagai program pemerintah sudah banyak diimplementasikan untuk mengatasi permasalahan tersebut, antara lain Askeskin, Jamkesmas, Jamkesda, dan Jampersal maupun program jaminan kesehatan atau yang biasa disebut SJSN. Hasil penelitian P2K-LIPI yang dilakukan di Kota Bandung dan Makassar terhadap penduduk migran miskin (2009-2011, 2014) menunjukkan bahwa masih banyak penduduk migran miskin di perkotaan terkendala dalam mengakses layanan kesehatan yang pada akhirnya akan berdampak pada status kesehatan ibu dan anak yang relative rendah. Berdasarkan hasil kajian tersebut, tulisan ini mengangkat persoalan KIA dengan memfokuskan pada kelompok marjinal perkotaan, yaitu keluarga migran miskin. 1
Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 13
Mengingat kompleksitas dari permasalahan yang ada, tim P2K LIPI menganggap perlunya kebijakan integratif dalam penanganan dan kerjasama lintas sektoral. Oleh karena itu, tulisan ini juga memaparkan model kebijakan komprehensif terkait dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Kata kunci: kesehatan ibu dan anak, model kebijakan komprehensif, migran, kemiskinan, perkotaan Pendahuluan Tema kesehatan ibu dan anak pada keluarga miskin di perkotaan merupakan isu penting untuk terus diangkat, karena angka kematian ibu (AKI) yang merupakan salah satu indikator kesehatan ibu dan anak masih tetap tinggi meskipun sudah banyak intervensi yang dilakukan oleh pemerintah. Masih tingginya AKI di Indonesia, di satu sisi menunjukkan status kesehatan ibu dan anak yang kurang baik dan di sisi lain menunjukkan modal manusia yang rendah untuk mempersiapkan SDM yang berkualitas. Dengan kondisi tersebut tentunya tidak mudah memenuhi target MDGs terkait dengan tujuan ke 5 tentang penurunan AKI menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Berbagai program pemerintah pada dasarnya sudah banyak diimplementasikan, antara lain melalui pemberlakuan Askeskin, Jamkesmas, Jamkesda, dan Jampersal. Bahkan payung hukum untuk pelaksanaannya sudah ada, yakni UU No 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang di dalamnya termasuk jaminan kesehatan. Namun demikian, program-program tersebut nampaknya belum sepenuhnya menjangkau seluruh segmen penduduk miskin di perkotaan. Hasil penelitian P2K-LIPI (2009-2011) di Kota Bandung dan Makassar menunjukkan bahwa pemanfaatan layanan kesehatan di tingkat Puskesmas dan jaringan nya oleh 14 | Prosiding PKWG Seminar Series
penduduk miskin di perkotaan, khususnya kelompok migran masih rendah (istilah yang digunakan dalam penelitian ini untuk menyebutkan kelompok penduduk tersebut adalah ‘the unreached’). Ditengarai salah satu faktor penghambat adalah persoalan aksesibilitas pada pelayanan kesehatan. Kemampuan finansial menjadi faktor dominan yang mempengaruhi persoalan aksesibilitas penduduk migran miskin tersebut. Kelompok migran miskin belum mendapatkan manfaat dari program-program tersebut. Adanya persoalan administrasi kependudukan menyebabkan mereka luput menjadi target sasaran program jaminan kesehatan yang ditujukan untuk orang miskin. Padahal, sebagian besar dari migran miskin di perkotaan tersebut harus membiayai pengobatan dari sumber penghasilan mereka sendiri (out-of pocket) yang juga terbatas. Beberapa kasus menunjukkan adanya penghentian pengobatan karena ketidakmampuan dalam membiayai pengobatan mereka. Kemungkinan hal ini juga membawa implikasi pada kondisi kesehatan ibu dan anak dari keluarga migran miskin di perkotaan. Tulisan ini dimaksudkan untuk memaparkan model kebijakan komprehensif terkait dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak. Dengan kompleksnya persoalan yang muncul maka perlu ada kebijakan integratif dalam penanganannya dan kerjasama lintas sektoral. Tulisan ini berdasarkan hasil penelitian tim kompetitif kesehatan P2K LIPI, yang melakukan penelitian pada kurun waktu 20092011, 2014 di dua wilayah perkotaan, yaitu Kota Makassar (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kota Bandung (Provinsi Jawa Barat). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kuantitatif dan kualitatif. Sebelum masuk kepemaparan model kebijakan, beberapa isu yang dianggap menonjol akan dikemukakan terlebih dulu untuk memberikan gambaran mengapa kondisi kesehatan ibu dan anak belum menunjukkan gambaran yang menggembirakan. Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 15
Rendahnya pemanfaatan (puskesmas & jejaringnya)
layanan
kesehatan
dasar
Relatif rendahnya kondisi kesehatan ibu dan anak dari keluarga miskin terekam dari hasil penelitian P2K LIPI di Kota Bandung dan Makassar tersebut yang diindikasikan dengan rendahnya cakupan pemeriksaan kehamilan di tingkat puskesmas. Kasus kota Bandung memperlihatkan bahwa pada tahun 2010 cakupan pemeriksaan kehamilan di puskesmas hanya mencapai angka 79.55 % dari target 100 %, merosot dari tahun 2009 yang mencapai angka 92.47 %; demikian pula dengan rendahnya nilai prosentase kumulatif persalinan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (Linakes) di tingkat dasar. Berdasarkan laporan bulanan puskesmas tahun 2010, Linakes baru mencapai 38.18 % dari target 100 % (PPK LIPI, 2009). Fenomena yang sama juga ditemukan pada kasus di Makassar dimana pemanfaatan atas layanan kesehatan dasar masih relative rendah di kalangan migran miskin. Hasil kajian di Makassar misalnya menunjukkan bahwa pemanfaatan puskesmas oleh migran baru sekitar 40 %. Kasus kota Bandung dan Makassar juga memperlihatkan masih tingginya penolong persalinan dengan dukun (Dinkes Kota Bandung 2011). Beberapa faktor yang kemungkinan membuat rendah dan menurunnya angka cakupan pemeriksaan ibu hamil di puskesmas tahun 2010 tersebut, antara lain seperti yang ditemukan dari hasil FGD dengan para ibu-ibu di Makassar, ketika ditanyakan pengalaman mereka sewaktu hamil, ternyata tidak semua ibu rajin memeriksakan kehamilannya ke tenaga kesehatan (dokter maupun perawat/bidan). Ada beberapa ibu (tidak banyak) yang bahkan tidak pernah memeriksakan kehamilannya.Alasan yang dikemukakan terkait dengan keputusannya tidak memeriksakan kehamilannya, sangat ‘sepele’ yaitu malas. Alasan lain lagi “malu” karena merasa sudah tua namun masih mengandung lagi. Kasus yang sama juga ditemukan di Bandung. Meskipun 16 | Prosiding PKWG Seminar Series
tidak banyak, namun masih ada ibu hamil yang lalai memeriksakan kandungannya dengan petugas kesehatan.Padahal menurut beberapa kader posyandu setiap saat sudah diinformasikan tentang waktu pemeriksaan kehamilan di Posyandu. Faktor lain penyebab terjadinya hal tersebut terkait dengan sistem pendeteksian dan pencatatan di puskesmas yang kurang terkoordinasi. Pihak Puskesmas cenderung hanya mencatat pasien-pasien yang datang ke puskesmasnya saja, sementara ada kemungkinan klien/user memanfaatkan puskesmas di luar wilayah sehingga tidak terdeteksi. Adanya jaminan kesehatan ternyata tidak secara langsung meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat miskin. Data menunjukkan masih rendahnya pemanfaatan pelayanan kesehatan terutama pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat pertama (RJTP) di Puskesmas terjadi di Kota Bandung. Berdasarkan data Laporan Tahunan Kegiatan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Miskin Kota Bandung tahun 2010 diketahui bahwa rata-rata kunjungan masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan tahun 2010 masih jauh dari target (utilisasi rate) yang harus dicapai tiap bulannya yaitu 15 persen. Hasil analisa Dinas Kesehatan Kota Bandung terhadap kurangnya tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan tersebut menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh keterbatasan sumberdaya manusia dan sarana yang ada di Puskesmas terutama dari segi pencatatan dan pelaporan. Selain itu, kegiatan Puskesmas masih terfokus pada pelayanan dalam gedung serta kekurangmampuan petugas kesehatan untuk mengakses langsung masyarakat miskin misalnya dengan melakukan kegiatan perawatan individu, keluarga, dan masyarakat lainnya yang harus dilaksanakan di luar gedung. Beban biaya kesehatan pada pemerintah Pembebasan biaya kesehatan bagi seluruh penduduk di suatu wilayah bukanlah suatu kebijakan yang efektif karena akan membebani negara terutama bagi negara-negara Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 17
berkembang. Hasil penelitian P2K LIPI tahun 2011 menunjukkan telah terjadi peningkatan anggaran kesehatan yang harus disediakan oleh pemerintah Kota Makassar untuk membiayai kesehatan seluruh penduduk. Hasil studi di lapangan menunjukkan bahwa meskipun program kesehatan gratis dari program Makassar Bebas dimaksudkan untuk penduduk tidak/kurang mampu karena hanya membiayai pelayanan kesehatan dasar dan kelas tiga, namun pada kenyataannya masih terdapat penduduk yang berasal dari golongan mampu yang menggunakan program tersebut. Apabila kondisi ini terus berlangsung, kemungkinan besar pemerintah daerah setempat tidak akan mampu menjamin keberlangsungan program kesehatan gratis tersebut. Program pelayanan kesehatan yang serba gratis akan membuat masyarakat kurang peduli terhadap aspek promotif dan preventif karena asumsinya kalau sakit semua biaya pengobatan akan ditanggung pemerintah.Terkait dengan pembiayaan kesehatan, sebaiknya pembiayaan kesehatan tidak sepenuhnya dibebankan pada pemerintah. Sesuai dengan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Naional (SJSN) No 40 tahun 2004, penduduk dapat berkontribusi dalam pembiayaan kesehatan tergantung pada kemampuan masingmasing. Pengikutsertaan penduduk dalam pembiayaan kesehatan dapat membantu pemerintah untuk mengalihkan biaya yang selama ini digunakan untuk pembiayaan kesehatan pada kegiatan pembangunan di bidang lainnya. Selain dari diri pribadi dan pemerintah, pembiayaan kesehatan juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga atau paguyuban-paguyuban yang telah ada di masyarakat. Hasil studi di Kota Makassar menunjukkan bahwa migran yang berasal dari berbagai daerah mempunyai kelompok-kelompok atau perkumpulanperkumpulan menurut daerah asalnya. Biasanya, setiap perkumpulan tersebut menarik iuran dari anggotanya. Salah satu kegunaan dari iuran tersebut adalah memberikan bantuan biaya pengobatan pada anggotanya apabila menderita sakit. Selain itu, kelembagaan sosial masyarakat lainnya 18 | Prosiding PKWG Seminar Series
seperti kumpulan pengajian juga dapat digunakan sebagai salah satu wadah untuk membantu anggotanya dalam meringankan biaya pengobatan pada saat sakit. Kelembagaan sosial tersebut dapat menjadi salah satu cikal bakal untuk asuransi kesehatan. Untuk mewujudkan hal ini diperlukan suatu ‘sosial marketing’ untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya jaminan pemeliharaan kesehatan bagi diri dan keluarganya. Belum tercakupnya migran miskin dalam kepesertaan program jaminan kesehatan Sebagian rumah tangga miskin tidak dapat terdata ke dalam BPJS Kota Bandung, karena tidak memiliki identitas kependudukan Kota Bandung. hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat sedikitnya 200 anggota rumah tangga migran miskin dan hampir miskin di Kota Bandung dan 400 rumah tangga di Kota Makassar yang tidak tercakup dalam jaminan kesehatan yang diberikan oleh kedua kota tersebut. Fenomena ini antara lain juga disebabkan masih banyak warga yang tergolong berada ‘ditengah- tengah’ yaitu untuk dikatakan mampu mereka tidak termasuk tapi untuk dikatakan miskin juga tidak tepat, tapi mereka sangat butuh bantuan keringanan dalam pembiayaan kesehatan. Namun mereka luput dalam pendataan kemiskinan karena apabila berdasarkan indikator kemiskinan yang 14 indikator, mereka luput dalam pendataan karena factor kepemilikan kendaraan bermotor. Padahal kepemilikan kendaraan bermotor tersebutpun ‘sangat dipaksakan untuk kebutuhan berusaha. Ada juga kasus warga yang tidak terdata sebagai warga miskin karena berdasarkan rumah/tempat tinggal termasuk layak huni, padahal warga tersebut hanya penunggu rumah saja. Sehingga dalam pendataan perlu melibatkan warga setempat/local yang memahami kondisi wilayah. Selain itu, permasalahan yang dapat membuat warga masyarakat tidak antusias dengan skema BPJS ini adalah belum semua orang paham dengan skema BPJS Kesehatan. Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 19
Sosialisasi tentang BPJS Kesehatan pada dasarnya sudah dilaksanakan namun kendalanya adalah tidak semua sosialisasi bisa dilaksanakan karena tidak terjadwal. Kerangka Analisa Kebijakan Dari hasil analisa dapat disimpulkan adanya keterkaitan yang erat antara permasalahan akses terhadap layanan kesehatan, kemiskinan dan migrasi. Urbanisasi yang antara lain memunculkan adanya kelompok marjinal perkotaan tidak hanya menyebabkan yang bersangkutan tidak bisa memperoleh akses terhadap layanan dasar sebagai akibat stateless dan kemiskinan, tetapi juga menambah beban terhadap lingkungan pemukiman mereka yang memang sudah terbatas dengan sarana dan prasarana layanan dasar. Kondisi demikian akan menyulitkan upaya dalam memutus matarantai kemiskinan dan kejadian sakit karena selalu terjerat dengan kondisi kesehatan yang rentan terhadap penularan penyakit. Untuk meningkatkan derajat kesehatan penduduk migran miskin (termasuk ibu dan anak) yang memiliki karakteristik khusus tidak cukup hanya meningkatkan akses mereka terhadap layanan kesehatan saja, tetapi diperlukan pendekatan yang bersifat multi-dimensional dan kerjasama lintas sektoral. Ada 4 domain pokok yang perlu dibenahi dalam kaitannya dengan peningkatan akses kelompok tersebut terhadap layanan kesehatan yang berkualitas, yaitu: (a) perbaikan sistem layanan kesehatan dasar dan rujukan; (b) penataan lingkungan permukiman (c) peningkatan ekonomi keluarga untuk mendapatkan atau menopang layanan kesehatan rujukan/lanjutan dan gizi yang baik; dan (d) identitas kependudukan.
20 | Prosiding PKWG Seminar Series
Bagan 1. Strategi Peningkatan Derajat Kesehatan Ibu dan Anak melalui Program Lintas Sektor
Penyusunan model kebijakan dalam rangka peningkatan kesehatan ibu dan anak digunakan alur berpikir berdasarkan kerangka analisa kebijakan. Dalam hal ini proses pertama yang harus dilakukan adalah dengan melakukan analisa masalah untuk dapat mengetahui secara jelas masalah yang dihadapi, siapa yang terkena atau terkait dengan masalah yang dihadapi, Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 21
seberapa seriusnya masalah, penyebab masalah, serta prioritas masalah dari berbagai masalah yang dihadapi. Pemahaman yang jelas atas permasalahan yang dihadapi sangat berguna dalam menentukan strategi dan prioritas dalam pemecahan atau penuntasan masalah yang dihadapi. Hasil dari analisa masalah ini juga merupakan alat justifikasi dalam penentuan strategi kebijakan dan design proyek untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Beberapa hal yang dilakukan dalam analisa masalah ini, yaitu: (a) identifikasi semua masalah yang terkait dengan akses ibu dan anak terhadap layanan kesehatan yang memadai. Identifikasi masalah ini dilakukan berdasarkan hasil wawancara dengan responden kunci, FGD, serta workshop dengan para pemangku kepentingan di tingkat kabupaten yang dikoordinor oleh Bappeda setempat; (b) menentukan hierarki hubungan sebab-akibat dari berbagai masalah yang dihadapi; (c) visualisasi hubungan sebab akibat dalam sebuah diagram dalam bentuk pohon masalah (problem tree analysis). Setelah proses analisa masalah selesai maka dilanjutkan dengan analisa tujuan (objective tree analysis) yang merupakan transformasi dari analisa pohon masalah menjadi analisa tujuan, yaitu dengan menjadikan masalah sebagai tujuan dari kebijakan yang akan diambil untuk mengatasi masalah. Analisa tujuan ini menjadikan aspek negatif dari masalah menjadi tujuan yang positip. Misalnya, masalah “kurangnya akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak” di-transformasi menjadi “meningkatnya akses terhadap layanan kesehatan ibu dan anak yang memadai”. Sebagaimana halnya dengan analisa masalah, sebuah analisa tujuan dituangkan dalam bentuk diagram pohon tujuan (objective tree), yang berisi tujuan yang dikehendaki dan cara untuk mencapai tujuan (ends and means diagram). Dalam analisa tujuan ini akan terlihat bahwa banyak tujuan yang tidak bisa dicapai sekaligus sehingga perlu 22 | Prosiding PKWG Seminar Series
prioritas. Bisa juga kelihatan bahwa mungkin ada beberapa tujuan yang tidak realistis, terlalu ambisius dalam konteks sumberdaya yang tersedia serta mekanisme pelaksanaannya. Namun demikian dalam tahapan analisa tujuan ini semua kemungkinan tujuan atau cara untuk mencapai tujuan diidentifikasi saja atau belum ada proses pemilihan tujuan serta cara untuk mencapai tujuan. Setelah proses analisa masalah dan tujuan pemecahan masalah selesai maka dilanjutkan dengan kajian pemecahan masalah termasuk pemilihan dari tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Selanjutnya, tindakan yang terpilih untuk memecahkan masalah guna mencapai tujuan perlu dipantau dan di-evaluasi untuk memastikan bahwa tindakan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan serta membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Hasil dari evaluasi tersebut dipakai sebagai bahan perbaikan guna mencapai tujuan dengan cara yang efisien dan efektif. Bagan berikut menampilkan Kerangka Kerja Analisa Kebijakan.
Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 23
Pohon masalah
24 | Prosiding PKWG Seminar Series
Pohon tujuan
Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 25
Penutup Harus diakui bahwa mencari strategi untuk peningkatan kesehatan ibu dan anak khususnya dari rumah tangga migran miskin perkotaan bukan sesuatu yang mudah karena permasalahan yang dihadapi penduduk migran miskin di perkotaan kompleks. Pada umumnya, migran miskin di perkotaan cenderung termarjinalisasikan sehingga menyebabkan kualitas hidup penduduk semakin rendah. Hasil studi ini misalnya, mengidentifikasi adanya keterbatasan akses penduduk migran miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan dan jaminan sosial. Pembebasan biaya pelayanan di puskesmas bagi penduduk miskin nampaknya belum memperbesar akses mereka terhadap pelayanan kesehatan. Beberapa kasus yang ditemukan dari studi ini menunjukkan kehidupan penduduk miskin menjadi lebih terpuruk karena tanpa adanya jaminan sosial atau kesehatan mereka harus mengeluarkan biaya pengobatan dari kantong sendiri (out of pocket) yang bisa saja melebihi pendapatan rumah tangga (kondisi katastropik). Penduduk migran miskin sebagai kelompok marjinal perkotaan ini seringkali luput dari perhatian penyelenggara layanan kesehatan karena ketiadaan identitas serta lemahnya ‘voice’ mereka dalam penyusunan kebijakan kesehatan. Oleh karena itu model kebijakan yang diperlukan adalah kebijakan yang disusun dengan menggunakan pendekatan partisipatif. Dalam hal ini kelompok marjinal perkotaan diikutsertakan dalam proses perencanaan, paling tidak didengar ‘suara’ mereka terkait dengan kebutuhan layanan kesehatan yang diperlukan, bagaimana sebaiknya model layanan yang sesuai dengan kondisi mereka, bagaimana persepsi mereka tentang kualitas layanan yang diharapkan dan kualitas layanan yang tersedia, dan sebagainya. Kebijakan yang diusulkan adalah kebijakan yang sinergis dengan kebijakan yang sudah ada.
26 | Prosiding PKWG Seminar Series
Apabila tetap tidak ada intervensi untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan dasar maka masalah kesehatan yang akan dihadapi oleh ibu dan anak akan semakin memburuk. Demikian halnya dengan permasalahan yang menyangkut keterlambatan mendapatkan pelayanan kesehatan, apabila dibiarkan tentunya berdampak negatif pada kondisi kesehatan ibu dan anak. Dengan semakin parahnya penyakit yang diderita tentunya akan membutuhkan biaya yang cenderung besar dan apabila tanpa campur tangan pihak lain, maka kemungkinan besar akan terjadi kasus katastropik karena sebagian besar penghasilan akan digunakan untuk biaya pengobatan. Penduduk yang mampu dan sehat dihimbau agar mereka membayar iuran sehingga data yang terkumpul dapat digunakan untuk melayani penduduk yang tidak mampu ketika mereka sakit. Demikian halnya dengan tabungan persalinan, Tabulin yang pernah populer di Indonesia di bawah BKKB dua dekade yang lalu dapat direvitalisasi. Dengan demikian penduduk miskin baik yang mempunyai identitas kependudukan setempat (KTP) maupun pendatang musiman dapat mengunakan tabungan tersebut ketika mereka membutuhkannya misalnya pada saat bersalin, ’social marketing’ untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan perlunya jaminan kesehatan bagi diri dan keluarganya sudah tidak dapat ditawar lagi Referensi The Partnership for Maternal, Newborn & Child Health. 2011. A Global Review of the Key Interventions Related to Reproductive, Maternal, Newborn and Child Health (Rmnch). Geneva, Switzerland: PMNCH. Purwaningsih, Sri Sunarti, Ade Latifa, Zainal Fathoni. 2010. Akses Penduduk Miskin Terhadap Layanan Kesehatan: Kasus Kota Bandung. Yogyakarta: Penerbit Elmatera
Sri Sunarti Purwaningsih, Ade Latifa, Fitranita, Eniarti Djohan | 27
Purwaningsih, Sri Sunarti, Ade Latifa, Fitranita, Dina Bisara Lolong. 2011. Penduduk Migran Miskin The Unreach dan Akses Terhadap Layanan Kesehatan: Kasus Kota Makassar. Jakarta: Penerbit LIPI Press (dalam proses penerbitan) Romdiati, Haning, dkk. 2005. Mobilitas Penduduk Temporer di Permukiman Kumuh Kota Surabaya: Pengelolaan dan konteknya terhadap penataan lingkungan. Jakarta: PPK-LIPI Thabrany, Hasbullah, dkk. 2009. Sakit, Pemiskinan dan MDGs. Penerbit: Kompas.
28 | Prosiding PKWG Seminar Series