Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas SOSIOLOGI DAKWAH (Studi Tentang Obyek Forma dan Material Sosiologi Dakwah) Oleh: Faizal (e-mail:
[email protected])
Sociology of Islamic propagation is a relatively new science. It is a science that examines the issue of Islamic Propagation by using social sciences approaches. As the other sciences, Sociology of Islamic Propagation has an object of of its study, ie, material objects and formal ones. Islamic propagation sociology material is substantial element of Islamic propagation that consists of six components, namely preachers, mad'u (Islamic propagation objects), methods, materials, media, and destination While the formal object of Islamic Propagation sociology is a certain perspective studied in the major disciplines of Islamic propagation sociology that is theology, sociology and technology as sub diciplines Kata Kunci: Sosiologi Dakwah, Obyek Material, dan Obyek Forma A. Pendahuluan Sosiologi Dakwah adalah ilmu yang mengkaji persoalan dakwah dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Persoalan-persoalan atau problematika yang dihadapi dalam proses dakwah sangatlah komplek. Mulai dari persoalan subyek dakwah (da’i) dan obyek dakwah (mad’u) sampai pada persoalan penetapan media, strategi dan metode penyampaian pesan dakwah. Menurut (Amrullah Ahmad, 1985:5), dari beberapa problematika tersebut, yang paling menjadi perhatian para aktivis dakwah adalah permasalahan yang berhubungan dengan obyek dakwah (mad’u). Karena, dakwah Islam harus dilaksanakan secara teratur sebagai upaya mempengaruhi cara merasa, berfikir, dan bertindak mad’u pada tataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka mewujudkan ajaran Islam dalam semua segi kehidupan. Berdasarkan pendapat Pahlawan Kayo, Problematika atau tantangan yang kita hadapi dalam berdakwah sekarang ini semakin hebat, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan itu muncul dalam berbagai bentuk kegiatan masyarakat modern, seperti perilaku dalam mendapatkan VOL. 9 No.1 Januari 2014
201
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas hiburan (entertainment), kepariwisataan dan seni dalam arti luas, yang semakin membuka peluang munculnya kerawanan-kerawanan moral dan etika. Kerawanan moral dan etik itu muncul semakin transparan dalam bentuk kemaksiatan karena disokong oleh kemajuan alat-alat teknologi informasi mutakhir seperti siaran televisi, keping-keping VCD, jaringan Internet, dan sebagainya. Kemaksiatan itu senantiasa mengalami peningkatan kualitas dan kuantitas, seperti maraknya perjudian, minum minuman keras, dan tindakan kriminal, serta menjamurnya tempat-tempat hiburan, siang atau malam, yang semua itu diawali dengan penjualan dan pendangkalan budaya moral dan rasa malu.1 Persoalan-persoalan yang disebutkan di atas adalah persoalan-persoalan yang erat kaitannya dengan obyek dakwah (mad’u) sebagai akibat pola hubungan antar sesama manusia dan pengaruh hubungan tersebut. Oleh karena itu, pembahasan dalam tulisan ini akan difokuskan pada kajian tentang obyek material dan obyek formal sosiologi dakwah. B. Obyek Sosiologi Dakwah
Sebagaimana telah diuraikan pada pembahasan pendahuluan, bahwa Sosiologi dakwah adalah ilmu yang mengkaji persoalan dakwah dengan menggunakan pendekatan sosiologis. Maka, berbagai aspek dalam proses mentranspormasikan nilai-nilai ilahiyah kepada masyarakat dalam mencapai tatanan khairu ummah disebut obyek forma ilmu dakwah, termasuk berbagai sudut pandang tertentu yang dikaji dalam proses dakwah Islam sebagai obyek material ilmu dakwah, diamati, dianalisis dan dikonstruksi kearah perubahan yang positif dengan menggunakan ilmu kemasayarakatan (sosiologi). Permasalahanpermasalahan sosiologis yang perlu direkonstruksi sesuai dengan nilainilai Islami adalah permasalahan-permasalahan yang menjadi ruang lingkup sosiologi sebagai mana diungkapkan oleh Pitirim A. Sorokin, sebagai berikut: 1. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial, misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, dsb. 2. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non sosial (misalnya dengan gejala geografis, biologis, dsb).
1
Khotib Pahlawan Kayo, http://www.seasite.niu.edu/ trans/indonesian/, diunduh pada tgl. 22 November 2013
VOL. 9 No.1 Januari 2014
202
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas 3. Ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial.2 Oleh karena itu, obyek kajian sosiologi dakwah adalah persentuhan antara epistimologi dan ontologi ilmu dakwah. Wilayah kajian efistomologi ilmu dakwah terdiri dari unsur-unsur dakwah atau obyek forma ilmu dakwah. Sedangkan, wilayah kajian ontologi ilmu dakwah adalah berbagai ilmu, diantaranya ilmu sosial, ilmu keislaman, dan penerapan teknologi sebagai obyek material ilmu dakwah. Obyek material dan obyek forma ilmu dakwah setelah terjadi persinggunan dengan sosiologi sebagai pendekatan menjadi berubah terbalik. Obyek material dan obyek forma sosiologi dakwah menggunakan pendapat Hasan Bisri yang dikutip oleh Muhammad Sulthon, obyek material sosiologi dakwah adalah unsur substansial ilmu dakwah yang terdiri dari enam komponen, yaitu da’i, mad’u, metode, materi, media, dan tujuan. Sedangkan obyek forma sosiologi dakwah adalah sudut pandang tertentu yang dikaji dalam disiplin utama sosiologi dakwah yaitu disiplin teologis, sub disiplin sosiologis, dan sub disiplin teknologi.3 1. Obyek Material Sosiologi Dakwah
Merujuk pada pendapat Hasan Bisri yang dikutip oleh Muhammad Sulthon, bahwa obyek materi ilmu dakwah dengan pendekatan sosiologis proses mengajak umat manusia supaya kembali kepada fitrahnya sebagai muslim dalam seluruh aspek kehidupannya. 4 Maka, sesungguhnya obyek materi sosiologi dakwah adalah merupakan interaksi antar unsur dakwah yang terlibat dalam proses penyampaian pesan dakwah, yakni; da’i sebagai pelaku dakwah, masyarakat sebagai mad’u atau sasaran dakwah, materi, media, dan tujuan dakwah. Sementara itu, menurut Irawan Hadi Saputra, Objek materi dan forma sosiologi ditekankan pada manusia sebagai makhluk sosial atau masyarakat.5 Dengan demikian, objek formal sosiologi adalah hubungan antar manusia serta proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat. Maka, obyek materi sosiologi dakwah adalah interkasi antara obyek materi sosiologi dakwah (da’i, mad’u, metode, materi, media, dan tujuan) dalam upaya mengarahkan dan memberi nilai (Islami) terhadap proses atau pola hubungan, baik antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. 2
2013
http://hedisasrawan.blogspot.com., didunduh pada tanggal 5 November
3
Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah: kajian Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 58 4 Ibid., h. 58-59) 5 http://www.objek-sosiologi, diunduh pada tanggal 22 Nov. 2013
VOL. 9 No.1 Januari 2014
203
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
a. Subyek Dakwah Subyek dakwah adalah bagian dari masyarakat, baik secara individu maupun kelompok atau kelembagaan. Sebagai bahagian masyarakat, interaksi antara da’i dengan masyarakat menjadi lebih mudah. Karena, karakteristik masyarakat sebagai obyek primer dakwah akan lebih difahami. Kalaupun tidak, maka da’i harus memenuhi kompetensi propesional seorang da’i. Menurut Prof. Dr. H. Duha yang dikutip oleh Wahab dan Djosan, kompetensi da’i sebagai profesi ada 3 (tiga), yakni; kompetensi akademik, kompetensi pribadi dan kompetensi jaringan sosial.6
Pertama, kompetensi akademik. Da’i adalah seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan berkewajiban menyampaikannya kepada orang lain sesuai dengan ilmu yang ia miliki, baik ilmu pengetahuan yang bersifat pokok maupun pengetahuan pendukung. Kompetensi da’i terhadap ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pokok adalah mempelajari, memahami dan menyampaikannya kepada mad’u seebagai materi dakwahnya.
Artinya: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (atTaubah:122) Firqoh (Golongan) yang dimaksud pada ayat diatas adalah orang-orang yang mempunyai kecenderungan mengambil spesialisasi (profesi) dalam bidang ilmu agama Islam dan kemudian berkewajiban menyebarluaskan ilmunya kepada orang lain dengan thariqoh atau bentuk penerangan, pendidikan dan peringatan-peringatan. Tujuannya adalah agar orang-orang yang menerimanya berkepribadian sesuai dengan ajaran agama yang diajarkan. Oleh karena itu, da’i profesional harus memiliki kemampuan: (1) menggunakan kajian filosofis tioritis dan yuridis dalam memecahkan masalah sosial yang dihadapi; (2) menggunakan dan menyusun satuan jenis sistem serta program kerja; (3) penerapan fungsi-fungsi manajemen; (4) menggunakan 6
Wahab Suneth dan Syarifuddin Djosan, Problema Dakwah dalam Era Indonesia Baru, (Jakarta: PT. Bima Rena Pariwara, 2000), h. 84
VOL. 9 No.1 Januari 2014
204
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas metode dan teknik pembelajaran dan kajian lingkungan; (5) penelitian dan berfikir kritis, analitis, logis dan sistimatis, dan; (6) kepemimpinan dan kemampuan dalam mengambil keputusan. Hafi Anshari berpendapat, ada tiga persyaratan yang harus dimiliki oleh da’i, yakni: persyaratan jasmani/fisik, persyaratan ilmu pengetahuan dan persyaratan kepribadian.7 Persyaratan Ilmu Pengetahuan (kompetensi akademik) erat kaitannya dengan pemahaman da’i terhadap keseluruhan unsur-unsur dakwah, yakni: pemahaman tentang obyek dakwah, dasar dakwah, tujuan dakwah, dan materi dakwah. Khusus materi dakwah, Hamzah Ya’kub berpendapat, da’i harus mengetahui al-Qur’an dan Sunnah sebagai pokok agama Islam, memiliki pengetahuan tentang tafsir, ilmu hadits, dan menguasai ilmu pendukung, seperti: teknik dakwah, ilmu jiwa, antropologi, perbandingan agama, dan ilmu-ilmu lainnya. 8 Sementara itu, Safaat Habib menjelaskan bahwa, da’i sebagai pembaharu (agent of hange) harus memiliki sifat-sifat unggul kemanusiaan. Sifat-sifat unggul kemanusiaan tersebut adalah: (1) sebagai pemimpin, da’i harus mempunyai sifat lebih (ahli) dalam bidangnya; (2) harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan yang luas, menguasai media dan metode dakwah; (3)sebagai pemuka harus memberikan energi pada mad’unya dengan membangun moralitas dan nilai-nilai kehidupan mulia; (4) sebagai panutan, harus mampu meletakkan sesuatu yang pertama pada yang pertama, menghilangkan keraguan dan mampu memberikan bimbingan; (5) sebagai sumber, harus mampu menyiapkan cara yang terbaik dalam membina kerja sama antar ummat manusia; 6) sebagai kompas leidstar atau bintang penuntun yang dinamis bagi khalayak.9 Dari beberapa pendapat tentang kompetensi akademik yang harus dimiliki oleh da’i dan terkait dengan tema pembahasan ini adalah penguasaan terhadap ilmu-ilmu pendukung yang sesuai dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi. Menurut Jalaluddin Rakhmat, manusia dikatakan sehat secara psikologi bila ia memberikan reaksi yang tepat pada lingkungannya. Kemampuan beradaptasi memberikan kesan bahwa ia mampu memahami dan mengendalikan lingkungan. Ia memiliki keterampilan menanggulangi (coping skill) yang ditandai dengan pengambilan keputusan yang tepat. Oleh karena
7
Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, (Surabaya: al-Ikhlas, 1993), h. 114 8 Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam:Teknik Dakwah dan Leadership, (Bandung: CV. Diponogoro, 1992), h. 37 9 Safaat Habib, Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982), h. 84
VOL. 9 No.1 Januari 2014
205
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas itu, da’i harus melatih para pengikutnya untuk mengembangkan kemampuan menerima, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi.10 Kedua, Kompetensi pribadi. Da’i berfungsi merubah dirinya dan orang lain, baik secara individual maupun kelompok masyarakat atau komunitas. Syauqi Bey yang dukutip oleh mengatakan: “peliharalah untuk dirimu sendiri sebutan yang baik, sebab sebutan yang baik itu umur kedua bagi manusia”.11 Sedangkan Wahab dan Djosan berbendapat bahwa, da’i harus memiliki kemampuan-kemampuan, seperti keterbukaan dalam berkomunikasi, memahami dan mengamalkan etik profesional, memiliki skil fungsional untuk mandiri dan berwirausaha, menyadari bahwa dirinya bukanlah pribadi yang sempurna, mengenal dan mengkaji serta mengkritik dirinya sendiri, secara kontinyu berusaha mengembangkan diri dan berusaha meningkatkan keahlian. Ketiga, Kompetensi jaringan sosial. Da’i adalah agent pembaharu, yakni merubah masyarakat dari keadaan yang kurang baik menjadi baik, dari keadaan yang baik menjadi lebih baik. Sikap tolong menolong dalam kebaikan sangat dianjurkan dalam Islam agar mencapai derajat khairu ummah (Ali Imran : 110). Untuk melaksanakan kompetensi sosial, hendaknya da’i memiliki beberapa kemampuan: (1) berdedikasi untuk melayani peserta binaan, lembaga dan masyarakat yang membutuhkan; (2) mengkaji dan memahami lingkungan dan situasi kehidupan dalam segala aspek; (3) mengamalkan IPTEK dan kepribadian dalam upaya memperbaharui kehidupan keluarga, masyarakat dan bangsa; (4) menjadikan hidup manusia lebih bernilai dan bermakna; (5) bekerja sama dengan pihak lain atas dasar saling pengertian; (6) menyayangi atau mencintai orang lain; (7) memilikii keunggulan kompetitif dan komperatif. Tiga kompetensi di atas memperjelas bahwa, da’i adalah pembahru yang bertanggung jawab moral dalam membentuk moral Islami sehingga terwujud khairu ummah. Da’i adalah subyek sekaligus obyek perubahan. Dilihat dari kompetensi akademik, da’i adalah pemimpin atau manejer dalam aktivitas dakwah. Dengan kemampuan akademiknya, da’i mempunyai wewenang dalam melaksanakan fungsi manajemen. Menurut Abd. Rosyad Shaleh, Manajemen dalam kepemimpianan dakwah Islam terdiri dari menetapkan dan merumuskan kebijakan dan tindakan-tindakan dakwah dalam satuan-satuan tertentu, menempatkan pelaksana (da’i) yang 10
Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), h. 68 11 Hamka, Prinsif dan Kebijakan Dakwah Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1990), h. 118)
VOL. 9 No.1 Januari 2014
206
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas berkompetent pada kesatuan-kesatuan tersebut, menggerakkan pelaksana dakwah dan berusaha untuk mencapai tujuan dakwah sesuai dengan rencana dan instruksi atau petunjuk yang telah diberikan.12 Pada tahap operasional, selain kompetensi akademik kompetensi pribadi da’i profesional sangat urgen dikedepankan. Karena, sifat-sifat seperti semangat juang tinggi, keterbukaan dalam berkomunikasi dan menyadari keterbatasan yang dimilikinya akan mempengaruhi da’i dalam berdakwah, da’i akan lebih bijak dalam menganalisis berbagai unsur dakwah yang mendukung keberhasilan. Demikian halnya bila ditinjau dari kompetensi jarigan sosial, da’i bertanggunggung jawab sosial terhadap sesama manusia sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai da’i. Oleh karena da’i mempunyai kelemahan dan kekurangan baik dari segi keilmuan, materi (dana) dan penguasaan metode, teknik dan media dakwah maupun kemampuan analisis dan ketersediaan waktu, maka da’i memerlukan bantuan orang lain (jaringan sosial) untuk mendukung kelancaran dan keberhasilan misi dakwahnya. Tiga kompetensi da’i di atas, merupakan persyaratan ideal bagi pembaharu. Tetapi, merubah masyarakat kearah yang lebih baik bukan hanya tugas orang-orang yang menjadikan dakwah sebagai profesi saja melainkan tugas semua umat yang mengaku dirinya beragama Islam (QS. An-Nahl:125). Maka, tugas mulia itu dapat dilaksanakan bagi siapa yang mempunyai kemampuan, walaupun sedikit. Apalagi kalau kita memahami konsep dakwah bil-hal, kerja dan karya nyata menjadi kata kunci. Faisal Ismail yang dikutip oleh Nasruddin Harahap, menyatakan bahwa, dakwah bil-hal merupakan model dakwah yang sesuai dikembangkan dalam pembangunan atau pengembangan masyarakat, mengingat pengembangan masyarakat menuntut adanya kerja dan karya nyata.13 Dengan demikian, pelaku dakwah tidak harus dilakukan oleh orang yang secara ideal memiliki kompetensi ideal saja. Tetapi, bisa dilakukan oleh individu-individu atau ketua kelompok-kelompok sosial dan mereka yang berada pada lapisan sosial yang mapan.
b. Obyek Dakwah Obyek dakwah adalah masyarakat dengan berbagai dimensi kehipunnya. Baik, dimensi ekonomi, pendidikan, politik, sosial, dan budaya maupun dimensi agama. Atas dasar itulah manusia sebagai 12
Abd. Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 46 13 Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), h. 191
VOL. 9 No.1 Januari 2014
207
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
individu selalu berusaha untuk berinteraksi dengan individu-individu lainnya. Bahkan, secara sengaja atau tidak sengaja mereka bergabung dan terbentuk kelompok-kelompok sosial, baik formal maupun informal yang disatukan oleh norma-norma yang disepakati dan diakui bersama. Menurut Mac Iver dan Charles H. Page yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, terjadinya hubungan sosial dalam kelompokkelompok sosial tersebut menyangkut timbal balik yang saling pengaruh mempengaruhi dan adanya kesadaran untuk saling tolong menolong.14 Hubungan sosial dengan beberapa kreteria tersebut, biasanya dimiliki oleh kelompok sosial kecil yang bersifat permanen dan terjadi saling mengenal secara pribadi (primary group), seperti keluarga, adat, dan rukun tetangga. Dan atau tergabung dalam kelompok sosial yang tidak perlu ada proses kenal-mengenal secara pribadi serta tidak bersifat lenggeng (secondary group), seperti hubungan karena satu suku, bangsa, dan agama.15 Terjadinya kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat melalui proses asosiatif, seperti kerja sama untuk mencapai suatu tujuan bersama. Bentuk-bentuk kerja sama dapat diamati dari suasana kerukunan, gotong royong, musyawarah, dan tolong menolong. Contohnya gotong royong membangun rumah, menolong korban bencana, musyawarah dalam memilih kepanitiaan suatu acara di lingkungan RT. Juga, dalam bentuk bargaining; merupakan bentuk kerja sama yang dihasilkan melalui proses tawar menawar atau kompromi antara dua pihak atau lebih untuk mencapai suatu kesepakatan. Bentuk lain dapat melalui Kooptasi; proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik suatu organisasi agar tidak terjadi keguncangan atau perpecahan di tubuh organisasi tersebut. Koalisi; yaitu kombinasi antara dua pihak atau lebih yang bertujuan sama. Joint venture yaitu kerja sama antara pihak asing dengan pihak setempat dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu. Terjadinya kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat juga terjadi melalui proses Akomodasi yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. Sebagai suatu proses, akomodasi mempunyai beberapa bentuk. Bentuk-bentuk akomodasi, seperti Koersi (coercion); suatu bentuk akomodasi yang dilaksanakan karena adanya paksaan, baik secara fisik (langsung) ataupun secara psikologis (tidak langsung).
103
14
Soerjono Suekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali,1990), h.
15
Ibid., h.113-117
VOL. 9 No.1 Januari 2014
208
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Kompromi (compromize); suatu bentuk akomodasi di antara pihakpihak yang terlibat untuk dapat saling mengurangi tuntutannya agar penyelesaian masalah yang terjadi dapat dilakukan. Arbitrasi (arbitration); suatu cara mencapai kesepakatan dalam suatu masalah, misalnya penyelesaian pertikaian antara buruh dengan pemilik perusahaan oleh Dinas Tenaga Kerja. Mediasi (mediation); menjadikan pihak ketiga sebagai penengah dan tidak memiliki wewenang dalam penyelesaian sengketa. Konsiliasi (conciliation); yaitu usaha mempertemukan keinginan dari beberapa pihak yang sedang berselisih demi tercapainya tujuan bersama. Toleransi (tolerance); suatu bentuk akomodasi yang dilandasi sikap saling menghormati kepentingan sesama sehingga perselisihan dapat dicegah atau tidak terjadi. Pengadilan (adjudication); merupakan bentuk penyelesaian perkara atau perselisihan di pengadilan oleh lembaga negara melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. Asimilasi; adalah proses sosial yang timbul apabila ada kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara interaktif dalam jangka waktu lama. Akulturasi; adalah suatu keadaan diterimanya unsur-unsur budaya asing ke dalam kebudayaan sendiri. Satu hal lagi yang tidak dapat dihindari dan mesti terjadi pada masyarakat, yakni terjadinya pelapisan sosial. Pelapisan sosial akan muncul selagi ada sesuatu yang dihargai dalam masyarakat. Misalnya, ada masyarakat yang memiliki penghasilan yang banyak dan ada yang berpenghasilan rendah (kaya-miskin), pemilik lahan dan buruh tani, jabatan adat dan orang biasa, masyarakat kota-desa, dan lain sebagainya. Dalam pendekatan agama, kelompok-kelompok sosial pelapisan-pelapisan sosial tersebut hanya dilihat dari segi ketaannya kepada aturan syari’at. Tetapi, dalam realitas hubungan sosial kemasyarakatan difahami berdasarkan tingkat otoritas seseorang dalam memberi, mengatur, mengendalikan, dan dihargai orang lain. Dengan kata lain, pelapisan sosial merupakan bentuk pembedaan masyarakat ke dalam susunan (klas) secara bertingkat.16 Demikian juga dengan obyek dakwah dalam realitas emperik, para da’i dan lembaga-lembaga dakwah berhadapan dengan realitas sosial masayarakat berupa kelompok-kelompok dan lapisan-lapisan sosial yang terkadang tidak berdiri sendiri melainkan bergabungnya frimary group dalam satu secondary group. Karena, mereka menganggap permasalahan duniawi berbeda dengan permasalahan ukhrowi. Tujuan ukhrowi menjadi tujuan bersama dengan jalan yang sama (ibadah 16
Ibid., h. 83
VOL. 9 No.1 Januari 2014
209
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
mahdhah) dan urusan duniawi menjadi urusan pribadi dengan jalan pribadi. Karena demikian kompleksnya permasalahan sebagai akibat dari hubungan sosial dalam masyarakat, maka aktivis-aktivis dakwah perlu mempelajari dan memahami secara mendalam adanya kelompokkelompok dan lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Tujuannya adalah untuk efektifitas dan efesiensi proses transpormasi nilai-nilai relegius (moral) dalam proses hubungan sosial, baik dalam bidang ibadah khas maupun ibadah umum. Untuk itu, Arifin, membagi obyek dakwah berdasarkan kelompok dan lapisan sosial menjadi beberapa kelompok,17 yaitu: 1) Sasaran dakwah dilihat dari segi sosiologi, diantaranya masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil, serta masyarakat marginal dari kota besar. 2) Sasaran dakwah dilihat dari segi struktur kelembagaan, dainatarnya; masyarakat, pemerintah, dan keluarga. 3) Sasaran masyarakat dilihat dari segi sosil kultural, seperti golongan priyai, abangan, santri.18 4) Sasaran dakwah dilihat dari segi tingkat usia, seperti golongan anak-anak, remaja, dewasa, dan orang tua. 5) Sasaran dakwah dilihat dari segi profesi atau pekerjaan, seperti; golongan petani, pedagang, seniman, buruh, pegawai negeri sipil, nelayan, dan lain-lain.19 6) Sasaran dakwah dilihat dari segi tingkat hidup sosio-ekonomis, seperi golongan orang kaya, menengah, dan miskin. 7) Sasaran dakwah dilihat dari segi jenis kelamin, seperti wanita dan pria. 8) Sasaran dakwah dilihat dari segi khusus, seperti golongan masyarakat tuna susila, tuna wisma, tuna karya, narapidana, dan lain sebagainya. Dalam aktifitas dakwah, baik dalam pengertian mengajak dan menyeru maupun dalam pengertian mengembangkan masyarakat (kerja dan karya nyata) tidak mesti menempatkan mereka dengan pendekatan kelompok sesuai dengan pengelompokan di atas, tetapi juga dapat didekati dengan pendekatan individu sesuai dengan efektifitas dan efesiensi pencapaian tujuan dakwah. 17 18
6
19
Arifin, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 3-4 Clifford Geertz, The Relegien of Java, (New York: The Free Press, 1960), h. Ibid., h. 4
VOL. 9 No.1 Januari 2014
210
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Yang paling penting untuk dicermati adalah hal-hal yang dapat mempermudah mentranspormasikan nilai-nilai ilahiyah kepada obyek dakwah. Karena, nilai-nilai ilahiyah akan mampu diterima, dihayati, dan dilaksanakan sesuai dengan keadaan rasa nyaman (keindahan), kepercayaan, rasionalitas, dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Manusia dalam realitas, bukanlah hanya apa yang tampak (unsur materi), melainkan juga ada unsur-unsur lain yang tidak tampak. Misalnya, unsur manusia yang menjadi eksistensi manusia sebagai sebagai hamba dan mankluk sosial. Manusia mempunyai perasaan, keyakinan, dan kemampuan membedakan yang baik dan yang benar sebagai landasan berprilaku. Menurut Muhammad Baqir al-Shadr yang dikutip oleh Muhammad Sulthon, unsur material manusia memilki kualitas-kualitas seperti berat, massa, bentuk dan volume. Kesemuanya tunduj kepada hukum-hukum alam atau fisika.20 Kompleksitas unsur material manusia meliputi eksistensi fisi, biologis, personal dan sosial, yang dalam batasbatas tertentu dapat ditemui pada tingkatan hewani. Sementara itu, unsur-unsur eksistensi manusiawai menurut The Liang Gie, yang dikutip oleh Muhammad Sulthan, berdasarkan pendapat para filosof, eksistensi manusiawi ada empat. Keempat unsur tersebut adalah seni, kepercayaan, filsafat, dan ilmu pengetahuan. 1) Kemampuan manusia menciptakan sesuatu yang baru dengan cara di luar akal manusia dan berdasarkan penglihatan serta menyajikan realita dengan kiasan. Manusia mampu menciptakan sesuatu yang indah dan berguna atau mengherankan oleh budi dengan bantuan raga manusia. Kemampuan ini merupakan unsur seni. 2) Manusia memiliki kemampuan menerima dan meyakini adanya sesuatu yang maha tinggi yang menguasai alam semesta. 3) Filsafat adalah suatu aktivitas manusiasi yang bersifat reflektif bersandar kepada akal dan tujuannya adalah mencari pengetahuan yang melahirkan kearifan, azas-azas penghabisan, berpikir sistematis, dan pandangan yang menyeluruh. 4) Kemampuan manusia untuk melakukan penyelidikan dengan menggunakan metode-metode yang diatur dan dikontrol (metode ilmiah) untuk memperoleh fakta yang spesifik. Fakta-fakta yang diperoleh menghasilakn azas-azas, sistem-sisten, teori-teori, kaedahkaedah yang dinamakan pengetahuan ilmiah.
20
Muhammad Sulthon, op. cit., h. 61
VOL. 9 No.1 Januari 2014
211
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Interaksi kempat unsur tersebut melahirkan pribadi dan prilaku yang unik dan berbeda satu dengan yang lainnya serta membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya yang ada di jagat raya ini. Dalam kontek obyek dakwah, perbedaan sifat dan perilaku manusia yang berbeda-beda itu menjadi dapat dijadikan dasar penetapan dan penggunaan metode dan strategi. c. Materi Dakwah Sebagaimana telah diuraikan di atas, dakwah adalah proses transpormasi nilai-nilai kepada sesama manusia. Nilai merupakan konsep yang berkaitan dengan hal yang penting dan tidak penting. Karena, nilai merupakan unsur psikis manusia yang berupa kepuasan dan penghayatan atas sesuatu. Dalam berbagai agama dan kepercayaan, dasar agama berupa kitab suci dan penjabaran daripadanya diyakini sebagai sumber nilai yang tertinggi. Demikian juga dengan agama Islam, penganutnya meyakini al-Qur’an merupakan sumber nilai yang tertinggi dan alHadits menjadi sumber nilai kedua yang mampu memberikan kepuasan dan kenikmatan yang hakiki bagi hamba-Nya. Oleh karena itu, al-Qur’an tetap menjadi dokumen yang disakeralkan dan tidak bermakna, apabila tidak disosialisasikan melalui aktivitas dakwah. Untuk itu, Unsur materi menjadi penting untuk dikaji. Karena, materi dakwah merupakan instrumen perubahan dalam masyarakat. Menurut Muhammad Ali Aziz, Materi dakwah harus dikaji secara kritis sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarakat sebagai sasaran dakwah. Tetapi, paling tidak materi dakwah harus disesuaikan dengan syari’at Islam, seperti; persoalan aqidah, syari’ah (ibadah dan mu’amalah), dan akhlak (akhlak manusia dengan sang khaliq dan akhlaq antar sesama manusia).21 Pengkalsifikasian materi dakwah tersebut sesungguhnya merupakan pengklasifikasi isi al-Qur’an. Kalam ilahi yang tersurat tersebut mendidik seorang hamba utama (Muhammad SAW) untuk membesarkan nama Rob, tuhan sekalian alam yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna. Dan, Rob yang telah menurunkan kalamnya untuk mendidik manusia (al-Alaq : 1-5). Dalam surat dan ayat yang lain, Allah secara tegas memerintahkan kepada Muhammad SAW untuk menyebarluaskan nilai-nilai kebenaran yang telah diwahyukan kepada beliau. Tuntunan dakwah yang wajib disampaikan sekaligus merupakan bekal bagi baginda Rosulullah dalam berdakwah adalah persoalan aqidah 21
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 84-85
VOL. 9 No.1 Januari 2014
212
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
(keyakinan) kepada sang pencipta dengan segala kebesaran-Nya, kalam, makhluk kepercayaan-Nya, serta berbagai ketetapan-Nya. Inilah yang dukenal dengan rukun iman. Allah juga membekali Rosullah dan wajib disosialisasikan kepada sesamanya untuk memiliki pakaian (akhlak/moral) yang bersih, yang merupakan landasan hubungan antara makhluk dan sang khalik serta antar sesama makhluk. Selain itu, Allah pun mengatur tentang mu’amalah yang diisyaratkan dengan memberi dan menerima dengan ikhlas tanpa mengharapkan sesuatu yang lebih dari apa yang ia usahakan. (al-Mudatsir : 1- 6) d. Media Dakwah Sepintas lalu, kita mengira bahwa penyampaian pesan kepada obyek dakwah tidak memerlukan media. Karena banyak orang memahami penggunaan lisan dalam ceramah dan nasehat tampa menggunakan alat pendukung dapat berlangsung. Pemahaman tersebut menjadi keliru, karena sesungguhnya lisan (oral) merupakan panca indara yang mampu mengolah kata-kata indah yang berkesan dan dapat memberikan materi yang sangat bermakna bagi kehidupan manusia. Berdasarkan pemahaman tersebut, Hamzah Ya’qub, membagi media dakwah menjadi lima macam, yakni media lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak.22 Masing-masing media tersebut digunakan sesuai dengan karakter motode, materi, tujuan, subyek, dan obyek sasaran. Misalnya, obyek sasaran yang terganggu pendengarannya tidak mungkin menerima pesan dakwah dengan media audio (radio dan telepon/hp). Begitu juga, obyek yang terganggu penglihatannya, tidak mungkin menerima pesan melalui media visual (TV) dan media tulisan (koran dan majalah). Sama halnya, dengan masyarakat awam yang tidak memahami makna lukisan, tidak mungkin disuguhi materi berupa gambar. Dari segi sifatnya, Muhammad Ali Aziz, membagi media dakwah menjadi media tradisional dan media modern. Media tradisional adalah berbagai macam pertunjukan seni budaya yang secara tradisional dipentaskan di depan khalayak, seperti, wayang, drama, taritarian, lagu-lagu daerah tradisional. Sedangkan, media modern dikenal dengan media elektronik, seperti, televisi, radio, pers, dan majalah. 23 Pemanfaatan media tradisional telah dicontohkan oleh para wali di pulau Jawa. Menurut Umar Hasyam yang dikutip oleh Nur Amin 22 23
Hamzah Ya’kub, op., cit., h. 47-48 Muhammad Ali Aziz, op., cit., h. 149
VOL. 9 No.1 Januari 2014
213
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Fattah,24 muatan dakwah melalui media wayang misalnya, dapat diamati dari beberapa hal, diantaranya: pertama, terletak pada bentuknya. Semula menyerupai manusia, kemudian berubah menjadi lebih panjang tangan dari kaki, hidung lebih panjang, dan kepala menyerupai binatang. Sehingga, wayang yang diharamkan karena menyerupai manusia menjadi halal hukumnya. Kedua, dapat dianalisis dari pelaku cerita. Pelaku cerita wayang yang diciptakan oleh Sunan Kali Jaga (1443 M) dikenal dengan istilah Punokawan Pandowo, yaitu suatu istilah yang mengandung falsafah yang sangat dalam. Kelima tokoh tersebut adalah (a) kata Semar berasal dari kata Seminar bersumber dari bahasa Arab “Simar” yang berarti paku. Falsafah paku melambangkan, bahwa Islam itu kokoh bagaikan kokohnya paku yang tertancap (Simaruddunya). (b) Petruk bersumber dari bahasa Arab “Fatruk” yang berarti tinggalkan. Sama dengan kata “fatruk kulluman siwallahi” yang bermakna tinggalkan segala apa yang selain Allah. (c) Gareng bersumber dari baha Arab “Naala Qoriin” (Naala Gareng) yang berarti banyak kawan. Atau, semakin banyak yang meninggalkan selain Allah (masuk Islam). (d) Bagong berasal dari bahasa Arab “Bagha” yang berarti berontak terhadap sesuatu yang dhalim. Sedangkan menurut Masruchin Yusuf, yang dikutip oleh Nur Amin Fattah, Semar adalah lambang nafsu mutmainah, Gareng lambang nafsu amarah, Petruk melambangkan nafsu lawamah, Bagong lambang nafsu sufiyah, dan Togok atau Thougut berarti iblis.25 Ketiga, falsafah kehidupan Islami dapat dianalisis dari makna pesan dalam cerita perwayangan. Misalnya, cerita tentang sang Bima (kisah mahabarata) menemui dewa ruci didasar samudra atas perintah gurunya, yaitu Pandito Durno. Dewa Ruci yang dimaksud oleh para wali adalah Nabi Hidir. Demikian juga dengan cerita tentang jimat kalimosodo (kalimat syahadat). Cerita tentang Dharmokusumo dan empat saudaranya telah memilki jimat kalimasudo akan hidup selamanya. Cerita tersebut melambangkan bahwa, seseorang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan emapt saudaranya, yaitu rukun Islam (sholat, puasa , zakat, dan naik haji) maka dia akan hidup bahagia sejak didunia sampai akhrat. Disamping melalui budaya wayang juga dapat dianalisis dari segi seni suara, seperti termuat dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Andik 24
Nur Amin Fattah, Metode Dakwah Wali Songo, (Pekalongan: CV. Bahagia, 1997), cet. ke- 6, h. 46-48 25 Ibid., h. 48
VOL. 9 No.1 Januari 2014
214
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Menone, menjelaskan bahwa makna mendalam dari tembang yang diciptakan oleh Sunan Kali Jago adalah:26 Lir-ilir, lir-ilir tembang ini diawalii dengan ilir-ilir yang artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (karena sejatinya tidur itu mati) bisa juga diartikan sebagai sadarlah. Tetapi yang perlu dikaji lagi, apa yang perlu untuk dibangunkan?Apa yang perlu dihidupkan? hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? Pikiran? terserah kita yang penting ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan untuk berdzikir. Dengan berdzikir, maka ada sesuatu yang dihidupkan. tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar. Bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Pohon di sini artinya adalah sesuatu yang memiliki banyak manfaat bagi kita. Pengantin baru ada yang mengartikan sebagai RajaRaja Jawa yang baru memeluk agama Islam. Sedemikian maraknya perkembangan masyarakat untuk masuk ke agama Islam, namun taraf penyerapan dan implementasinya masih level pemula, layaknya penganten baru dalam jenjang kehidupan pernikahannya. Cah angon cah angon penekno blimbing kuwi. Mengapa kok “Cah angon” ? Bukan “Pak Jendral” , “Pak Presiden” atau yang lain? Mengapa dipilih “Cah angon” ? Cah angon maksudnya adalah seorang yang mampu membawa makmumnya, seorang yang mampu “menggembalakan” makmumnya dalam jalan yang benar. Lalu,kenapa “Blimbing” ? Ingat sekali lagi, bahwa blimbing berwarna hijau (ciri khas Islam) dan memiliki 5 sisi. Jadi blimbing itu adalah isyarat dari agama Islam, yang dicerminkan dari 5 sisi buah blimbing yang menggambarkan rukun Islam yang merupakan Dasar dari agama Islam. Kenapa “Penekno” ? ini adalah ajakan para wali kepada Raja-Raja tanah Jawa untuk mengambil Islam dan dan mengajak masyarakat untuk mengikuti jejak para Raja itu dalam melaksanakan Islam. Lunyu lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro. Walaupun dengan bersusah payah, walupun penuh rintangan, tetaplah ambil untuk membersihkan pakaian kita. Yang dimaksud pakaian adalah taqwa. Pakaian taqwa ini yang harus dibersihkan.
26
Andik Menone, dalam http://menone.wordpress.com/2012/04/18/makna-dibalik-lagu-lir-ilir/ yang diunduh pada tanggal 13 desember 2013,
VOL. 9 No.1 Januari 2014
215
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Dodotiro dodotiro, kumitir bedah ing pinggir. Pakaian taqwa harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“. Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore. Pesan dari para Wali bahwa suatu ketika kamu akan mati dan akan menemui Sang Maha Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatanmu. Maka benahilah dan sempurnakanlah ke-Islamanmu agar kamu selamat pada hari pertanggungjawaban kelak. Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane. Para wali mengingatkan agar para penganut Islam melaksanakan hal tersebut ketika pintu hidayah masih terbuka lebar, ketika kesempatan itu masih ada di depan mata, ketika usia masih menempel pada hayat kita. Yo surako surak hiyo. Sambutlah seruan ini dengan sorak sorai “mari kita terapkan syariat Islam” sebagai tanda kebahagiaan. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu (Al-Anfal :25) Masing-masing wali berusaha mendirikan media dakwah berupa masjid diwilayah dakwahnya masing-masing. Bentuk dan suasana masjid didesain khas masyarakat Jawa, sehingga dengan mudah menyatu dengan budaya Jawa. Suasana serupa juga dapat diamati pada masyarakat Lampung, hampir semua karya budaya lampung, seperti pantun, suasana adat pernikahan, budaya menanam padi, memulai suatu pekerjaan besar dan penting telah bernuansa Islam, sekalipun belum sempurna. Dan begitu pula budaya-budaya masyarakat Islam dinusantara ini. e. Metode Dakwah Mentranspormasikan nilai-nilai kebenaran kepada masyarakat yang memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda, baik perbedaan dari segi budaya, ekonomi, pendidikan, politik maupun aliran kepercayaan bahkan perbedaan kelompok dan strata atau lapisan sosial tidaklah semudah kita melihat dan mendengar para juru dakwah sedang ceramah atau tausiyah. Karena, tujuan dakwah tidak hanya sekedar menyampaikan dan mengajak, tetapi lebih kepada perubahan prilaku. Dakwah yang bermaksud hanya menggugurkan kewajiban, kemudian didesain dengan menyuguhkan katakata humoris dan sedikit forno bak panggung drama yang mungundang tawa. Yang terpatri dalam pemikiran jama’ah hanyalah kalimat yang mengundang tawa. Tetapi, dakwah yang mampu membangunkan jamaah dari tidur VOL. 9 No.1 Januari 2014
216
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas panjang yang melupakan berbagai kewajiban spiritualnya, menyadarkan jamaah dari aktifitas yang mengalahkan nilai-nilai kemansiaan, dan menggugah manusia dari sifat malas dan hanya mampu menerima, itulah hakekat dakwah. Oleh karena itu, dakwah harus dilaksanakan dengan sistimatis dan menggunakan metode yang sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat sebagai mad’u. Al-Qur’an, menjelaskan, bahwa bentuk dan metode dakwah yang dapat digunakan adalah bentuk dakwah lisan dan tulisan yang termaktub dalam kata mauidzotil hasanah dan mujaddalah. (QS. AnNahl:125). Banyak metode sebagai penjabaran dari surat an-Nahl ayat 125, misalnya Kha Syamsuri Siddik, menjabarkan kata mauidzotil hasanah menjadi metode ceramah, tabligh, cerita (obrolan), nasehat, penyuluhan, dan penataran. Sedangkan, penjabaran kata mujaddalah menjadi metode diskusi, seminar, tanya jawab/dialog, simposium, lokakarya, komperensi.27 Metodemetode tersebut akan efektif digunakan sesuai dengan tujuan dan potensi masyarakat. Dakwah kepada kelompok anak-anak berbeda dengan kelompok ibuibu dan bapak-bapak. Dakwah dengan masyarakat miskin berbeda dengan masyarakat berkecukupan dan seterusnya. Bagi anak-anak, tidak mungkin diceramahi secara terus menerus, tetapi lebih tepat jika berdakwah dengan metode demonstarsi atau suri tauladan. Anak-anak cenderung mengikuti dan mencontoh prilaku orang-orang yang ada disekelilingnya. Mereka mencontoh gerak gerik orang tuanya solat, meniru orang tuanya marah, dan mempraktekkan apa yang dia tonton dari media elektronik. Bagi masyarakat tradisional, mereka cenderung mempertahankan dan menjaga budaya yang mereka miliki. Masyarakat jawa memiliki wayang, ludruk. Dan reok. Masyarakat Lampung, memiliki budaya nyambai, pantun bersawud, dan sakura. Media wayang, reok dan ludruk bukanlah media tabligh atau ceramah, tetapi media cerita yang mengisahkan prilaku seorang tokoh yang agamis, suka menolong, memberi nasehat, dan taat beribadah. Media nyambai melambangkan sopan santun dan tata kerama anatara lain jenis yang bukan muhrim, pantun bersawud melambangkan kerjakeras dan kejujuran. Keduanya merupakan media nasehat dan paksaan sosial. Demikian juga kelompok masyarakat miskin, ceramah dan tabligh bukanlah solusi. Mereka butuh makan, pakaian, dan uang. Mereka membutuhkan pekerjaan sebagai sumber penghasilan. Mereka mau melakukan sesuatu apabila ada bukti dan karya yang diamati secara emperik 27
Kha. Syamsuri Siddiq, Dakwah dan eknik Berkhutbah, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1982), h. 21-35
VOL. 9 No.1 Januari 2014
217
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas disatu sisi, sementara Allah tidak mau merubah keadaan suatu kelompok sosial kecuali kelompok itu berusaha melakukan perubahan (dakwah bil-hal). (Qs. Ar-Ro’ad : 11). Hamka menafsirkan surat ar-Ro’ad ayat 11 tersebut, bahwa akan ada perubahan apabila ada ikhtiar atau usaha merubah nasib mereka kepada yang lebih baik, mempertinggi mutu diri dan mutu amal, melepaskan diri dari perbudakan selain Allah.28 Kita harus berusaha mencapai kehidupan yang lebih bahagia dan lebih maju. Namun demikian, kita harus menyadari bahwa kita tidak boleh lupa akan adanya takdir yang telah ditetapkan Allah. Apabila kita tidak taat atau durhaka kepada Allah, maka kita tidak akan mampu mencapai tujuan hidup kepada keadaan yang lebih baik, melainkan tertimpa celaka. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Qosyani, yang dikutip oleh Hamka: “tidak dapat tidak, keadaan bisa saja berubah dari nikmat (karunia) menjadi niqmat (tertimpa celaka, baik yang nyata maupun yang tersembunyi”. 29 Dengan demikian, tujuan dakwah bil-hal adalah sama dengan tujuan pemberdayaan/pengembangan masyarakat, yakni mengedepankan keinginan, upaya dan partisipasi masyarakat untuk melakukan perubahan. Menurut M. Quraish Shihab, kedua ayat tersebut berbicara tentang perubahan.30 Pertama, kedua ayat tersebut berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Ini dapat difahami dari penggunaan kata kaum (masyarakat). Dengan kata lain, suatu perubahan tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri. Tetapi, dapat bersumber dari seseorang secara pribadi berupa ide-ide, kemudian diterima oleh masyarakat luas. Kedua, penggunaan kata “kaum” bermakna berlaku umum, tanpa membedakan agama, suku, ras tertentu. Ketiga, kedua ayat di atas berbicara tentang dua pelaku perubahan. Pelaku pertama adalah Allah dari sisi luar (lahiriah) masyarakat. Dan, pelaku kedua adalah manusia, yang melakukan perubahan dari sisi dalam. Atau istilah ma bi anfusihim dalam ayat tersebut. Perubahan yang terjadi atas ikut campur tangan Allah atas banyak hal (ma bi qoumin), seperti; kekayaan dan kemiskinan, kesehatan dan penyakit, kemulyaan dan kehinaan, dan lain-lain. Keempat, kedua ayat di atas, menegaskan bahwa, melakukan perubahan harus diawali dari perubahan sisi dalam manusia suatu masyarakat. Karena, sisi dalam manusialah yang melahirkan aktivitas.
28
Hamka, op., cit., h. 71-72 Ibid., 30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 6, (Jakarta: Lentera hati, 2002), h. 231-236 29
VOL. 9 No.1 Januari 2014
218
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas Menurut Quraish Shihab, sisi dalam manusia dalam kontek perubahan sosial adalah istilah nafs dan iradah.31 Dua hal yang dapat digaris bawahi tentang nafs, yakni: Pertama, nafs mengandung nilai-nilai positif dan negatif. Nilai negatif mengandung hawa nafsu yang membawa manusia pada kebinasaan. Sedangkan, nafs positif mengarahkan manusia pada akhlak baik dan menumbuhkan motivasi untuk beraktivitas. Kedua, iradah, yakni tekat atau kemauan keras. Menurut Ibnu Taimiyah, yang dikutip oleh Quraish Shihab, menyebutkan: Iradah adalah tekat yang kuat akan menghasilkan aktivitas apabila diserta kemampuan. Karena, iradah yang mantap dilengkapi dengan kemampuan yang sempurna, maka tujuan akan tercapai dan penghalang tersingkirkan. Sebagaimana kita maklumi, bahwa metode merupakan bagian dari unsur-unsur dakwah. Sehingga, metode dakwah menjadi wajib ada dalam proses dakwah bil-hal. Metode-metode dakwah yang dapat digunakan dalam dakwah bil-hal, diantaranya32: Proses dakwah menunjukkan adanya interaksi langsung antara da’i dengan masyarakat sebagai mad’u. Misalanya, ketika da’i menyampaikan atau menawarkan program pemberdayaan/pengembangan. Dalam perspektif pengembangan masyarakat, metode ini dikenal dengan istilah Direct Contact (face toface relation). Ayat di atas, menggambarkan kepada umat manusia, bahwasesungguhnya masyarakat mengerjakan apa yang biasa mereka kerjakan dengan keterbatasan dan pengalaman mereka. Oleh karena itu, da’i harus mampu mendemonstarsikan cara-cara baru yang lebih efektif dan efesien. Metode ini dikenal dengan metode Demontrasi Hasil. Kita wajib memahami, bahwa segala sesuatu itu terjadi melalui proses. Demikian halnya dengan dakwah bil-hal, metode yang digunakan dalam dakwah bil-hal harus menampilkan proses suatu perubahan atau dikenal dengan metode Demonstrasi Proses.
f. Tujuan Dakwah Tujuan adalah keinginan, cita-cita yang diungkapkan dalam sebuah pernyataan dan dijadikan pedoman dan barometer suatu aktivitas atau kegiatan seeeorang atau lembaga yang dilaksanakan dalam waktu tertentu. Dengan demikian, tujuan dakwah adalah merupakan harapan terukur yang dijadikan target dalam perubahan prilaku masyarakat sasaran dakwah. Dakwah merupakan bentuk 31
Ibid., h. 233-235 Nanih Machendrawaty dan Agus hmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hal 98-100. 32
VOL. 9 No.1 Januari 2014
219
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
penyajian terhadap hasil penilaian kritis terhadap nilai-nilai kebenaran, sebuah proposisi, sebuah fakta tentang metafisik dan etik serta relevansinya bagi manusia. Oleh karena itu, tujuan dakwahpun harus disesuaikan antara nilai-nilai kebenaran (doktrin agama) dengan nilainilai obyektif masyarakat. Secara umum, tujuan dakwah adalah menyebarkan Islam kepada manusia agar mereka mendapatkan rahmat Allah SWT. Dan sekaligus melestarikan nilai-nilai Islam kepada generasi berikutnya (QS. Al-Baqoroh: 257). Juga, mengajak manusia kepada jalan yang benar (QS. Al-Mukmin: 73), serta secara khusus, tujuan dakwah adalah melakukan perubahan tatanan masyarakat dalam sebuah kelompok atau komunitas, terutama menumbuhkan nafs (jiwa) dan irodah (tekat) untuk melakukan perubahan kepada nikmat bukan kepada niqmat. (QS.ar-Ro’ad: 11). Sebagai contoh, masyarakat yang tergolong pada masyarakat tidak berkecukupan sudah akrap dengan segala penderiataan dan kekurangan. Kondisi yang secara terus menrus dirasakan menjadikan mereka lelah dan malas untuk berjuang. Maka dakwah hadir untuk memberikan informasi-informasi sosusif dengan berbagai pendekatan yang bernilai ilahiyah, mereka diajak berbuat berfikir, berbuatbersamasama seolah-olah da’i merupakan bagian dari kehidupan mereka. Demikian juga dengan masyarakat yang berkarakter khusus, seperti tuna susila. Banyak orang yang mencemooh, menghina, bahkan mengisolir mereka. Padahal, mereka terjerumus pada lembah kehinaan tersebut karena tuntutan keadaan. Mereka butuh perhatian, mereka butuh kasih sayang, mereka butuh apa yang orang lain dapatkan. Untuk itu, mereka harus didekati dan didengarkan keluh kesahnya. Kita harus meyakinkan bahwa mereka adalah bagian dari hamba Allah yang dihargai penyesalannya. Mereka pasti bisa apabila mereka mau. Berdasarkan dua kasus di atas, jelas bahwa tujuan berdakwah seperti itu adalah tujuan perubahan prilaku dan keadaan. Inilah yang disebut dengan tujuan depertemen. Allah secara langsung mendakwahi Nabi Muhammad SAW dengan target yang jelas, yakni membangun keyakinan (aqidah) dan membangun moral agar menjadi manusia tangguh yang mampu meghadapi berbagai masalah (QS. Al-Mudatsir :1-5) 2. Obyek Forma Sosiologi Dakwah. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang esensi dakwah dan masalah yang menjadi obyek kajian ontologi, diantara berbagai sub disiplin ilmu dakwah, maka dibawah ini disajikan posisi dan wilayah kajian filsafat VOL. 9 No.1 Januari 2014
220
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas dakwah menurut pendapat Amrullah Ahmad dalam makalah yang disamapaikan pada seminar konsorsium keilmuan Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung tahun 2005. Bahwa, Masalah pemahaman hakekat dakwah Islam serta esensi pesan dan bagaimana yang harus disampaikan kepada masyarakat, merupakan sub disiplin ilmu dakwah yang dibutuhkan adalah: Filsafat Dakwah, Epistimologi Dakwah (Pengantar Ilmu dakwah), Esensi Ajaran Islam, Sejarah Dakwah, Metodologi Penelitian Dakwah, Studi keluarga Muslim, Sosiologi Dakwah, Ekonomi Islam, Politik Islam Interaksi antar unsur da’i dengan mad’u. Membahas masalah pengenalan da’i terhadap kondisi wilayah dan hasil dakwah, gambaran realitas emperik mad’u dalam struktur psikologis, intelektual dan kemasyarakatan dalam suatu system EPOLEKSOSBUD mad’u, serta problem rancangan penyajian informasi dan materi dakwah dalam skala global yang didasarkan kepada kecenderungan masalah yang dihadapi mad’u. Sub disiplin ilmu yang dibutuhkan adalah ilmu yang berhubungan dengan Geografis Dakwah, Kebijakan dan Strategi Informasi Dakwah, Metode Penelitian Komunikasi, Kesehatan Mental, Metode Penyuluhan Islam. Interaksi antar unsur mad’u dan tujuan dakwah, membahas masalah model (uswah) yang dapat diamati secara emperik oleh mad’u yang berkaitan dengan bentuk nyata prilaku individual (syahsiyah) dan kolektif (jama’ah) yang dikatagorikan sebagai prilaku dalam dimensi amal soleh, terutama yang terkait dengan problem pemahaman atas kondisi system akidah, social, ekonomi.dan lingkungan masyarakat yang akan diajak menyatu dengan tujuan dakwah. Problem pengembangan komunitas dan kelembagaan Islam yang akan menjadi penopang kelembagaan dalam pengembangan masyarakat Islam. Problem pengembangan potensi ekonomi umat berskala kecil sebagai tindakan nyata pengembangan kaum mustad’afin. Problem pengembangan kesehatan masyarakat dan lingkungan umat sebagai tindakan nyata penyehatan pisik kehidupan umat. Promlem dampak social, ekonomi dan lingkungan dari pelaksanaan kegiatan dakwah dan dampak pelaksanaan pembangunan terhadap system dakwah dan tata kehidupan umat Islam. Problem mencari teknolgi yang murah dan tepat guna bagi pengembangan dan perbaikan sanitasi lingkungan umat sebagai tindakan nyata dakwah dan memperbaiki pisik pemukiman umat. Problem kebijakan pembangunan di Negara-negara Islam yang sekiranya dapat mengantarkan kemandirian dan kesinambungan pembangunan yang dilaksanakan oleh komunitas umat Islam. Problem pemahaman atas potensi masyarakat, kelembagaan social, ekonomi, dan kondisi lingkungan masyarakat serta problem cara pengembangan potensi kelembagaan social-ekonomi dan kondisi lingkungan menuju tujuan dakwah Islam. Dalam mengkaji permasalahan-permasalahan tersebut, memerlukan sub disiplin keilmuan, terutama disiplin ilmu Pengantar Ilmu VOL. 9 No.1 Januari 2014
221
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas peng. Masyarakat, Peta Sosial ekonomi Umat, Teknik Pengembangan Komunitas dan Lembaga Islam, Teknik Pengembangan Usaha Kecil, Teknik Pengembangan Kesehatan Masyarakat, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Teknologi Tepat Guna, Kebijakan Pembangunan di Dunia Islam, Riset dakwah Partisipatif. Interaksi antara Unsur da’i dengan tujuan dakwah. Interaksi keduanya merupakan masalah efisiensi dan efektivitas dalam menggunakan sumber daya dakwah untuk mencapai tujuan dakwah. Atau, menjadi problem organisasional dan manajerial dakwah Islam. Fokus masalah yang dikaji adalah problem system dan pengelolaan kegiatan dakwah secara efesien dan efektif. Problem pengelolaan pengembangan sumber daya manusia (da’i) dan ekonomi dakwah sebagai sumber utama pengelolaan lembaga-lembaga dakwah. Problem pengelolaan lembaga swadaya umat karena dakwah adalah kewajban semua muslim dan pembentukan lembaga dakwah adalah fardhu kifayah dalam mencapai tujuan dakwah. Problem penetapan kebijakan dan strategi dakwah bagi lembaga-lembaga dakwah dalam rangka pelaksanaan perencanaan dakwah Islam. Problem pengelolaan pusat dakwah Islam yang terpusat pada masjid. Program pengelolaan ibadah haji dan umroh serta ziarah sebagai forum silaturrahmi untuk memperkokoh ukhuwah Islamiyah. Problem perencanaan masa depan dakwah Islam dalam kontek globalisasi peradaban dan perencanaan dakwah dalam menjawab masalah kekinian. Problem pengelolaan informasi Islam melalui media massa serta media lainnya sebagai sarana dakwah Islam. Problem pemahaman atas realitas lembaga dakwah Islam. Dalam mengkaji permasalahan yang berhubungan dengan organisasi dakwah memerlukan sub disiplin ilmu, diantaranya: ilmu Pengantar Manajemen Dakwah Islam, Manajemen Pelatihan Dakwah, Sistem Ekonomi Islam, Manajemen ZIS, Manajemen Organisasi Nirlaba, Manajemen Majelis Taklim, Pengembangan Lembaga Dakwah, Manajemen BPI, Manajemen PMI. Kebijakan dan Strategi Dakwah, Manjemen kemasjidan, Manajemen Umrah, haji, dan Ziarah. Studi masa Depan Peradaban Islam, Perencanaan Dakwah, Sistem Informasi Dakwah, Manajemen Pers dakwah, Metode Penelitian Lembaga Dakwah. Berdasarkan pendapat Amrullah Ahmad di atas, berbagai disiplin ilmu yang menjadi kajian dalam keilmuan dakwah adalah keilmuan yang erat kaitannya dengan kebutuhan utama bagi masyarakat. Misalnya, hakekat kehidupan dan kehidupan setelah mati, moral, ibadah atau kepercayaan, dan ketenangan jiwa. Hal ini adalah bagian dari kajian teologi. Juga, masalah bagaimana mendapatkan hidup yang layak, yang erat kaitannya dengan pola hubungan dengan sesama manusia, merupakan kajian sosiologis. Serta, masalah perkembangan budaya masyarakat yang berkaitan erat dengan hasil karya budaya yang menghasilkan teknologi. Dalam hubungan dengan dakwah, VOL. 9 No.1 Januari 2014
222
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas ketiga keilmuan tersebut menjadi urgens, karena teologi merupakan sumber atau doktrin yang harus disampaikan kepada masyarakat. Sosologi terkait erat dengan situasi dan kondisi obyek dakwah yang menjadi bahan kajian dalam penetapan strategi, materi, media dan tujuan dakwah. Sedangkan, teknologi merupakan sarana atau media dalam penyampaian materi sekaligus menjadi tujuan dakwah, yaitu karya-karya yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. C. Kesimpulan
Para penggiat dakwah terkadang melaksanakan misinya tanpa mempertimbangkan berbagai aspek, baik terkait dengan hakekat maupun unsur-unsur dakwah yang mempengaruhi keberhasilan dakwah. Sehingga, tujuan dakwah sulit dinilainya. Permasalahan tersebut merupakan problematika yang dihadapi ilmuan dan penggiat dakwah. Mulai dari persoalan subyek dakwah (da’i) dan obyek dakwah (mad’u) sampai pada persoalan penetapan media, strategi dan metode penyampaian pesan dakwah. Maka, berbagai aspek dalam proses mentranspormasikan nilai-nilai ilahiyah kepada masyarakat dalam mencapai tatanan khairu ummah memerlukan kajian obyek forma ilmu dakwah, termasuk berbagai sudut pandang tertentu yang dikaji dalam proses dakwah Islam sebagai obyek material ilmu dakwah, diamati, dianalisis dan dikonstruksi kearah perubahan yang positif dengan menggunakan ilmu kemasayarakatan (sosiologi). Obyek material sosiologi dakwah adalah unsur substansial ilmu dakwah yang terdiri dari enam komponen, yaitu da’i, mad’u, metode, materi, media, dan tujuan. Sedangkan obyek forma sosiologi dakwah adalah sudut pandang tertentu yang dikaji dalam disiplin utama sosiologi dakwah yaitu disiplin teologis, sub disiplin sosiologis, dan sub disiplin teknologi.
VOL. 9 No.1 Januari 2014
223
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas
Daftar Bacaan
Abd. Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993) Arifin, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991) Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, (Yogyakarta: PLP2M, 1985), _____________, Epistimologi Ilmu Dakwah Sebuah pngantar Studi Ilmu dakwah, Makalah disampaikan pada Seminar Konsorsium Keilmuan Dakwah pada Fakultas Dakwah IAIN Raden Intan Lampung tahun 2005 Clifford Geertz, The Relegien of Java, (New York: The Free Press, 1960) Hafi Anshari, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, (Surabaya: alIkhlas, 1993) Hamzah Ya’kub, Publisistik Islam:Teknik akwah dan Leadership, Bandung: CV. Diponogoro, 1992) Hamka, Prinsif dan Kebijakan Dakwah Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1990) Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual: Refleksi-Sosial Seorang Cendikiawan Muslim, (Bandung: Mizan, 1996) Kha. Syamsuri Siddiq, Dakwah dan eknik Berkhutbah, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1982) Khotib Pahlawan Kayo, http://www.seasite.niu.edu/trans/ indonesian/problematika dakwah_masa_kini. htm, diunduh pada tgl. 22November 2013 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Vol. 6, (Jakarta: Lentera hati, 2002) Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2004) Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah: kajian Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) Nur Amin Fattah, Metode Dakwah Wali Songo, (Pekalongan: CV. Bahagia, 1997), cet. ke- 6. Safaat Habib, Pedoman Dakwah, (Jakarta: Wijaya, 1982) VOL. 9 No.1 Januari 2014
224
Jurnal Ilmu dakwah Dan Pengembangan Komunitas Soerjono Suekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali,1990)
Wahab Suneth dan Syarifuddin Djosan, Problema Dakwah dalam Era Indonesia Baru, (Jakarta: PT. Bima Rena Pariwara, 2000) http://kumapel.blogspot.com/2013/02/objek-kajian-sosiologi.html, diunduh pada tanggal 21 Nov. 2013 http://www.crayonpedia.org/mw/bab12._bentukbentuk_hubungan_sosial_dan_pranata _sosial_dalam_kehidupan_masyarakat. diunduh pada tanggal 1 Januari 2014
http://www.plengdut.com/2013/09/objek-sosiologi-dan-orientasisosiologi.html, diunduh pada tanggal 22 Nov. 2013
VOL. 9 No.1 Januari 2014
225