SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JURNALIS WARGA
Oleh: NURUL HASANAH B111 12 037
BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
HALAMAN JUDUL
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP JURNALIS WARGA
SKRIPSI Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana dalam Program Kekhususan Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum
Oleh: NURUL HASANAH B 111 12 037
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
i
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa: Nama
: NURUL HASANAH
Nim
: B111 12 037
Bagian
: HUKUM PIDANA
Judul
: PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
JURNALIS WARGA (CITIZEN JOURNALIST)
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi.
Makassar,
Mei 2015
Disetujui oleh, Pembimbing I,
Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H. NIP. 1962 0105 1986 011 001
Pembimbing II,
Hijrah Adhyanti, M., S.H., M.H. NIP. 1979 0326 2008 122 0002
iii
iv
ABSTRAK
Nurul Hasanah (B111 12 037). Perlindungan Hukum Terhadap Jurnalis Warga, dibimbing oleh Andi Sofyan selaku pembimbing I dan Hijrah Adhyanti selaku pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui perumusan karya jurnalistik yang dianggap melawan hukum; 2) Mengetahui bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap jurnalis warga. Penelitian dilaksanakan di Makassar dengan metode normatif empiris. Penulis memperoleh data dengan melakukan beberapa wawancara dengan narasumber dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makassar, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) serta mengambil data yang relevan dengan penelitian, yaitu literatur, karya ilmiah, jurnal, buku-buku, serta peraturan perundangan yang berkaitan dengan masalah terkait. Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) Karya jurnalistik dapat dianggap bersifat melawan hukum, dalam hal ini jika karya yang dihasilkan jurnalis itu isinya mengandung unsur tindak pidana dan dipublikasikan. Tindak pidana mempublikasikan berita dengan tulisan yang isinya bersifat melawan hukum, tersebar di KUHP maupun perundang-undangan lainnya. Kelompok tindak pidana ini dikenal dengan istilah tindak pidana pers. Tindak pidana pers adalah sekelompok tindak pidana yang dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan berita/informasi ke publik dengan menggunakan barang cetakan (tulisan). 2) Jurnalis warga dapat dipayungi UU Pers selama melakukan kegiatan jurnalistik dan karya yang dihasilkan berdasarkan prinsip etik jurnalisme dan kode etik jurnalistik. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Jurnalis Warga
v
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, segala puji Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehinga Penulis dapat menyelesaikan
penelitian
dan
penyusunan
skripsi
yang
berjudul
“Perlindungan Hukum Terhadap Jurnalis Warga”. Tak lupa shalawat serta salam juga dihaturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang menuntun kita dalam berfikir dan berbuat kebaikan. Melalui kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Ibunda Ismawati dan Ayahanda Muhammad Syakir, S.H., yang selalu memberikan doa dan dukungannya kepada Penulis. Begitu juga saudara Penulis, Muhammad Ma’ruf dan Muhammad Fathir Ma’rif yang selalu memotivasi Penulis agar tetap semangat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semuanya, dan semoga Allah SWT selalu menjaga dan melindungi mereka. Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan tenaga, dorongan semangat, bimbingan, serta doa dari berbagai pihak kepada
Penulis.
Karenanya,
pada
kesempatan
ini
Penulis
ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Hj. Dwia Aries Tina Pulubuhu, M.A selaku Rektor Universitas Hasanuddin Makassar, beserta jajarannya.
vi
2. Prof. Dr. Farida Patitingi.,S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, beserta jajarannya. 3. Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H., M.H. selaku Pembimbing I dan Ibu Hijrah Adhyanti, M., S.H., M.H. selaku Pembimbing II, yang senantiasa menyempatkan waktu, tenaga serta pikirannya untuk membimbing Penulis dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini. 4. Prof. Dr. Slamet Sampurno, S.H.,M.H. selaku Penguji I, Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H., selaku Penguji II dan Dr. Dara Indrawati,
S.H.,
M.H.,
selaku
Penguji
III,
terima
kasih
atas
kesediaannya menjadi penguji, serta segala masukan dan sarannya guna pengembangan skripsi ini. 5. Prof. Dr. Muhadar, S.H., M.S. dan Bapak Dr. Amir Ilyas, S.H., M.H. selaku Ketua dan Sekretaris Bagian Hukum Pidana,
beserta
jajarannya. 6. Prof. Dr. Ahmad Ruslan, S.H., M.H selaku Penasehat Akademik. 7. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Hasanuddin. 8. Seluruh staf akademik dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah membantu Penulis selama berada di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 9. Kepada Kak Rahmat Hardiansya selaku Wakil Koordinator Divisi Organisasi Pengembangan dan Profesi Aliansi Jurnalis Independen
vii
(AJI) Makassar dan Kak Anti yang bersedia membantu Penulis dalam melakukan penelitian di AJI Makassar. 10. Dr. Muliadi Mau, S.Sos, M.Si, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas yang juga merupakan Dewan Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang
bersedia membantu
Penulis mendapatkan pencerahan terkait skripsi ini. 11. Kepada Kak Fajriani Langgeng selaku Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makassar beserta seluruh keluarga besar LBH Pers Makassar yang turut memberikan bimbingan kepada Penulis. 12. Pak Wilson Lalengke Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) yang bertempat di Jakarta atas kesediannya untuk Penulis wawancara guna kepentingan skripsi. 13. Sahabat yang bertemu di fakultas, Fauziah Kahar, S.H., Desi Masyita, S.H., dan A.Anggy Hardiyanti, S.H.,
yang selalu membantu, selalu
ada, dan memberi dukungan tiada henti kepada Penulis. 14. Kepada sahabat sejak SMA, Lisda Pradita Wardhani S.Ked., Yulia Wulandari AMD. Keb., Melda Wati, Dewi Noor Jannah Utami yang meskipun jauh tetap memberikan doa dan dukungan kepada Penulis. 15. Keluarga besar Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH) yang memberikan keluarga, pengetahuan serta pengalaman selama Penulis berlembaga. Terkhusus kepada Kakanda Ahsan Yunus, S.H.,M.H., Kakanda Amiruddin, S.H., Kakanda Abdul Azis Dumpa, S.H., Kakanda Rezky Pratiwi, S.H., Kakanda Ainil Ma’sura, S.H.,
viii
Kakanda Ramli, dan Kakanda Muhammad Ansar terima kasih atas bimbingan dan arahan serta dorongan semangat kepada Penulis. 16. Rekan seperjuangan Penulis di LPMH-UH, Moh. Supri, Julandi J. Juni, Andi Asrul Ashari, Andi A. Fachreza Aswal, Indah Sari dan Nurjannah, S.H., yang saling memberi bantuan dan semangat serta bersamasama berjuang baik di lembaga maupun di fakultas. Serta adik-adik penulis di LPMH-UH, Muhammad Ibnu Maulana R, Kaswadi Anwar, Satriani Pandu, Puspitasari, A. Muh. Ikhsan, Arief Try D.J, Andi Muhammad Aksan, Muhammad Aldi Sido, Rachmat Setyawan, Andi Asti Sari, Andi Mutmainnah, Hutomo M. Putra, M. Farodi Alkalingga, M. Abdussalam, dan lain-lain yang tak sempat disebutkan satu persatu, terima kasih karena menjadi motivasi Penulis menyelsaikan skripsi ini. 17. Keluarga Pelajar Mahasiswa Balikpapan-Manuntung Study Club (KPMB-MSC) Makassar, keluarga perantau seperjuangan yang selalu menjadi tempat pulang ke rumah bagi Penulis. Khususnya kepada rekanku Siti Nurwahidah Sri Lestari dan adik-adikku Karya Nugra Dewi, Nur Afni Kapitalola, Sherly Ariani, Nova Yarni, dan Husna yang selalu siap sedia membantu dan mendukung Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 18. Kepada Supervisor dan teman-teman KKN Reguler Gelombang 90 Kecamatan Mandalle Kabupaten Pangkep, terkhusus teman satu posko Desa Tamarupa, Penulis sangat mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada Penulis.
ix
19. Seluruh teman-teman mahasiswa program studi Ilmu Hukum angkatan 2012 (petitum), yang selalu memberikan semangat kepada Penulis. 20. Seluruh pihak yang membantu, mendukung, dan mendoakan Penulis dalam proses menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga dukungan dan bantuannya selama ini bernilai ibadah disisi Allah SWT. Aamiin
Makassar,
Mei 2016
Penulis
x
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Judul .................................................................................. i Halaman Pengesahan.......................................................................... ii Persetujuan Pembimbing ................................................................. iii Persetujuan Menempuh Ujian Skripsi................................................ iv Abstrak.................................................................................................. v Kata Pengantar..................................................................................... vi Daftar Isi ............................................................................................ xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................. 9 C. Tujuan Penelitian ............................................................... 9 D. Manfaat Penelitian................................................................. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perlindungan Hukum........................................ 11 B. Pers dan Ruang Lingkupnya .............................................. 14 1. Pengertian Pers ............................................................. 14 2. Fungsi Pers .................................................................... 16 3. Wartawan dan Organisasi Wartawan ............................. 16 4. Berita ............................................................................. 17 5. Jurnalistik ....................................................................... 19 C. Jurnalisme Warga .............................................................. 20 BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian ................................................................... 24
xi
B. Lokasi Penelitian ................................................................ 24 C. Jenis dan Sumber Data ...................................................... 24 D. Teknik Pengumpulan Data ................................................. 25 E. Analisis Data ...................................................................... 26 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Perumusan Karya Jurnalistik yang Dianggap Melawan Hukum..................................................................................... 27 1. Tindak Pidana Pers............................................................ 28 2. Unsur Tindak Pidana Pers.................................................. 31 3. Tindak Pidana Pers dalam KUHP....................................... 38 4. Tindak Pidana Pers dalam UU ITE..................................... 49 B. Perlindungan Hukum Terhadap Jurnalis Warga..................... 55 1. Jurnalis warga dan kaitannya dengan UU Pers.................. 56 2. Jurnalis Warga dan Etika Jurnalisme.................................. 67 3. Contoh Kasus yang melibatkan Jurnalis Warga................ 70 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan............................................................................. 76 B. Saran...................................................................................... 77 DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 78 LAMPIRAN
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berkembangnya internet saat ini, memberikan dampak yang begitu besar di kalangan masyarakat. Segala sesuatunya dirasakan dapat diperoleh dengan cepat. Salah satunya yaitu informasi. Melihat dari segi pengolahannya,
informasi
menunjukkan
indikasi
paling
cepat
perkembangannya dibandingkan dengan bidang lain. 1 Informasi yang dulu hanya dapat tersebar melalui lisan, dari bisikbisik, kemudian berkembang melalui tulisan dalam dalam bentuk cetak, seperti selebaran, pamflet, majalah, koran, dan terus mengalami perkembangan dengan munculnya media elektronik seperti radio dan televisi. Kini, penyebaran informasi dapat diakses lebih cepat lagi, melalui media sosial. Revolusi teknologi menjadi penyebabnya. Adanya rasa ingin tahu serta keterbatasan manusia akan pengetahuan,
turut
mendorong
manusia
berlomba-lomba
mencari
informasi. Ditambah lagi dengan teknologi yang mendukung saat ini. Hak untuk mendapatkan informasi bahkan telah diakui secara universal. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1948 mengeluarkan Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal 1
Samsul Wahidin,2011, Hukum Pers, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 74.
1
tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Pasal 19 Deklarasi Universal tersebut berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas.
Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia itu kemudian lebih dirincikan dalam Pasal 19 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) yang mulai berlaku tanggal 23 Maret 1966. Pasal 19 ICCPR menyebutkan bahwa : 1. Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa mendapatkan campur tangan. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat; hak ini harus meliputi kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran terlepas dari pembatasan-pembatasan, secara lisan, tulisan atau cetakan, dalam bentuk karya seni, atau melalui sarana lain yang menjadi pilihannya sendiri. 3. Pelaksanaan hak-hak yang diberikan dalam ayat (2) pasal ini menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu dapat dikenai pembatasanpembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan hanya sepanjang diperlukan untuk : a. Menghormati hak dan nama baik orang lain; b. Menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum. 2
2
Adami Chazawi, Prija Djatmika, dan Ardi Ferdian, 2015, Tindak Pidana Pers, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 259-300.
2
Berdasarkan konvensi tersebut, telah jelas bahwa setiap orang berhak mencari dan mengumpulkan informasi bahkan juga bebas menyampaikan informasi yang dimiliki. Indonesia sebagai negara hukum turut menjamin hak warga negaranya dalam mengeluarkan pikiran. Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan: “Kemerdekaan berserikat, dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam amandemen kedua, bahkan lebih diperinci lagi dalam Pasal 28F, yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kemudahan mengakses informasi saat ini sebanding dengan kemudahan menyebarkan informasi. Setiap orang seakan-akan berlomba menjadi yang paling cepat memperoleh informasi. Bukan hanya itu saja, di era saat ini dengan adanya media sosial seperti Facebook, Twitter, Blog, maupun media online lainnya tidak hanya menghasilkan pencari informasi tetapi juga penyumbang informasi.
3
Jika dulu yang umum dikenal memiliki peran penting dalam penyebaran informasi atau berita3 adalah wartawan. Wartawan atau jurnalis profesional tersebut yang menyebarkan informasi dan warga hanya
sebagai
konsumen
informasi,
sekarang
telah
mengalami
perkembangan. Warga tidak sekedar penikmat informasi tetapi juga mulai berperan sebagai penyaji informasi. Seperti yang diutarakan Yossy Suparyo dan Bambang Muryanto, dalam bukunya Pewarta Warga, sebagai berikut : Kegiatan warga dalam membuat, menggunakan, dan menyebarluaskan informasi tentang pelbagai kegiatan dan isu di daerahnya merupakan perkembangan menggembirakan. Sebelumnya penyebaran informasi terpusat di tangan media massa komersial. Kini, berkat perkembangan teknologi informasi, warga juga mampu melakukan hal serupa. Warga juga dapat menjadi anjing penjaga (watchdog) saat media arus utama tidak berfungsi secara maksimal.4
Citizen Journalism (jurnalisme warga) merupakan istilah yang tidak asing lagi didengar. Jurnalisme warga mulai dikenal dari stasiun radio Elshinta pada tahun 2000, saat itu Elshinta mengizinkan pendengarnya (warga) untuk melaporkan kejadian di sekitarnya, dan saat ini Elshinta memiliki 100.000 reporter warga. 5
3
Berita (news) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat; kabar; laporan; pemberitahuan; pengumuman. Dalam Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, 2012, Jurnalistik: Teori dan Prakti, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 40. Berita adalah informasi aktual tentang fakta-fakta dan opini yang menarik perhatian orang. 4 Yossy Suparyo dan Bambang Muryanto, 2011, Pewarta Warga, Combine Resource Institution, Yogyakarta, hlm.4. 5 Moch.Nunung Kurniawan, 2007, “Jurnalisme Warga di Indonesia, Prospek dan Tantangannya”, Makara Sosial Humaniora, vol. 11, Nomor 2 2007, hlm.71-78.
4
Untuk
lebih
memahami
sejarah
jurnalisme
warga,
Penulis
menyimpulkan sejarah jurnalisme warga berdasarkan tulisan Kita Semua Wartawan oleh Pepih Nugraha, sebagai berikut: Tonggak sejarah lahirnya jurnalisme warga di dunia beberapa diantaranya yaitu berita terkait bom yang mengguncang London, Inggris, 7 Juli 2005 lalu. Warga yang saat itu juga sebagai saksi mata yang pertama kali melaporkan peristiwa tersebut melalui situs pribadi. Wartawan profesional dalam hal ini kalah cepat dengan warga biasa dalam menyampaikan informasi. Selain itu, mundur ke beberapa tahun sebelumnya, pada 1991, George Holliday tidak sengaja merekam empat Polisi kulit putih Los Angeles yang menyiksa seorang pengendara sepeda motor kult hitam. Holliday kemudian mengirim rekaman itu ke sejumlah saluran televisi nasional. Peristiwa tersebut bahkan memicu kerucuhan berbau SARA. Di Indonesia sendiri, yang terkenal adalah rekaman tsunami Aceh tahun 2004. Peristiwa tersebut direkam oleh warga biasa Cut Putri, dan kemudian disiarkan berulang-ulang oleh stasiun televisi swasta. Contoh lainnya, yaitu saat pesawat Lion Air tergelincir di bandara Juanda, Surabaya, 4 Maret 2006, Kompas memuat foto utama yang dibuat seorang penumpang, Sidik Nurbudi.6 Saat ini, selain dapat menyebarkan berita melalui situs pribadi, jurnalis warga mulai diwadahi dengan adanya situs-situs yang dibuat
6
Tonggak jurnalisme warga secara lengkap, lihat Pepih Nugraha, 2012, Citizen Journalism: Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman, Kompas, Jakarta, hlm. 10.
5
portal berita online khusus untuk menampung berita dari warga biasa. Di luar Indonesia, situs yang menjadi tonggak bagi jurnalis warga di dunia adalah OhmyNews, dibuat oleh Oh Yeon-ho, berkantor di Seoul sejak tahun 2000, pada situs itu warga biasa memiliki sumbangsih terbesar dalam pemberitaannya. Di Indonesia pun banyak situs online yang mewadahi jurnalis warga, seperti Kompasiana produk jurnalisme warga dari Kompas, Indonesiana yang merupakan produk Tempo.co, Pasang Mata yang dibuat oleh Detik.com, Ruang Publik (Rubik) situs jurnalisme warga yang lahir dari situs berita okezone.com, Suara Komunitas yang difasilitasi COMBINE Resource Institution, dll. Berita yang disampaikan oleh warga biasa tidak dapat diremehkan. Bahkan ada beberapa pemberitaan yang memiliki pengaruh luar biasa. Seperti contoh, tulisan “Rumah kaca Abraham Samad” yang ditulis salah seorang pemilik akun Kompasiana, Sawito Kartowibowo sempat menimbulkan kontroversi. Pasalnya dalam tulisan tersebut dikatakan Abraham Samad mengincar posisi wakil presiden sebagai pasangan Joko Widodo yang saat itu masih merupakan calon presiden, dan melakukan beberapa pertemuan dengan petinggi partai politik. Hal itu tentu saja
6
bertentangan
dengan
Kode
Etik
Komisi
Pemberantasan
Korupsi,
mengingat Abraham Samad saat itu adalah Ketua KPK. 7 Di luar dari drama politik yang terjadi, jurnalis warga kini telah memiliki pengaruh dalam penyebaran informasi. Namun, yang menjadi dilematis hingga saat ini, jurnalis warga yang notabene bukan seorang wartawan profesional, memiliki posisi rawan tersandung masalah hukum. Hingga saat ini, belum ada pengaturan yang secara spesifik mengatur tentang jurnalis warga. Belum ada payung hukum yang dapat melindungi jurnalis warga. Berbeda dengan wartawan, meski sama-sama dikatakan jurnalis, jurnalis warga tidak masuk dalam perlindungan hukum yang diperuntukkan untuk jurnalis profesional atau wartawan. Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers), “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”. Dalam pembuatan berita sendiri, wartawan memiliki pedoman yang salah satunya adalah setiap berita harus melalui verifikasi. Dan dalam menjalankan tugasnya, wartawan mendapat
perlindungan
hukum
(Pasal
8
UU
Pers).
Walaupun
menjalankan praktik jurnalistik, tetapi jika bukan wartawan, maka tidak
7
http://www.kompasiana.com/sawitokartowibowo/rumah-kaca-abrahamsamad_54f90f37a33311ea018b459f
7
mendapatkan perlindungan hukum sebagai wartawan atas tindakan penyebaran berita jika berita yang disebarkan dianggap melawan hukum.8 Akan menjadi masalah, jika berita yang disebar oleh jurnalis warga, dianggap pihak yang terkait dengan berita tersebut sebagai perbuatan melawan hukum, seperti pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan, maupun tindak pidana lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bahkan adanya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) turut menjadi ancaman. Selain itu, bagaimana mekanisme pertanggungjawaban pidananya juga masih menimbulkan perdebatan. Jika jurnalis warga menyebarkan berita tersebut melalui situs pribadi apakah disamakan dengan jurnalis warga yang menyebarkan beritanya melalui situs yang disediakan pihak lain. Jurnalis warga lebih berpotensi dimintai pertanggungjawaban langsung secara pribadi, padahal pihak yang memberikan wadah bagi jurnalis warga memiliki peran dalam penyebaran berita. Telah dibahas sebelumnya bahwa hak memperoleh, mengolah dan menyebarkan informasi diakui baik secara nasional maupun internasional. Akan tetapi pada realitanya, hal tersebut tidaklah cukup. Hingga perlu ada kajian mengenai perlindungan hukum terhadap jurnalis warga. Karya jurnalistik seperti apa yang dianggap melawan hukum serta perlindungan hukum seperti apa yang dapat diperoleh jurnalis warga.
8
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fd971d99ca5d/uu-yang-mengaturtentang-jurnalisme-warga-
8
Berangkat dari permasalahan-permasalahan itu, dan melihat perkembangan jurnalisme warga yang semakin pesat, Penulis kemudian tertarik untuk melakukan kajian yang lebih mendalam mengenai Perlindungan Hukum Terhadap Jurnalis Warga.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dibutuhkan guna memberikan pedoman dan mengarahkan penelitian yang akan Penulis lakukan. Karena ihwal tersebut Penulis melakukan pembatasan yang jelas dan spesifik, yaitu: 1. Bagaimanakah
bentuk
perumusan
karya
jurnalistik
yang
dianggap melawan hukum ? 2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap jurnalis warga ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan
pokok
permasalahan
di
atas,
maka
Penulis
merumuskan tujuan penelitian sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui perumusan karya jurnalistik yang dianggap melawan hukum. 2. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap jurnalis warga.
9
D. Manfaat Penelitian Sebaik-baiknya ilmu pengetahuan adalah yang memiliki manfaat. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Memberi
sumbangsih
terhadap
perkembangan
ilmu
pengetahuan khususnya dalam bidang hukum pidana. 2. Sebagai rujukan dan referensi bagi masyarakat dan akademisi dalam melihat fenomena jurnalis warga dari segi hukum pidana. 3. Guna menambah wawasan penulisan karya ilmiah. 4. Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perlindungan Hukum Berbicara
tentang
hukum,
tentunya
kita
berbicara
tentang
kumpulan peraturan dalam kehidupan bersama. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Mengenal Hukum (Suatu Pengantar) mengatakan bahwa : Dalam usahanya mengatur, hukum menyesuaikan kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat dengan sebaikbaiknya: berusaha mencari keseimbangan antara memberi kebebasan kepada individu dan melindungi masyarakat terhadap kebebasan individu.9 Lebih lanjut dijelaskan, adanya interaksi antara masyarakat, mustahil jika tidak ada konflik baik antara individu maupun antara individu dengan masyarakat. Oleh karena itu, hukum hadir untuk menampung konflik yang terjadi. 10 Mengenai pengertian perlindungan hukum itu sendiri, mari kita lihat pengertian yang diberikan oleh beberapa ahli. Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingannya tersebut. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. 11 9
Sudikno Mertokusumo, 2008, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
hlm. 41. 10
Ibid.
11
http://raypratama.blogspot.co.id/2015/04/teori-perlindungan-hukum.html 11
Menurut Muchsin perlindungan hukum merupakan kegiatan untuk melindungi individu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah-kaidah yang menjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertiban dalam pergaulan hidup antar sesama manusia.12 Perlindungan hukum (legal protection) menurut Philipus M. Hadjon lazimnya merupakan rumusan yang dihadapkan atau berhubungan dengan kekuasaan pemerintah. Namun, berbagai kekuatan secara eksistensinya dilindungi oleh hukum juga dapat melakukan hal serupa dengan kelompok lain yang lebih lemah. 13
Dalam
menjalankan
dan
memberikan
perlindungan
hukum
dibutuhkannya suatu tempat atau wadah dalam pelaksanaannya yang sering disebut dengan sarana perlindungan hukum. Philipus M. Hadzon membagi sarana perlindungan hukum menjadi dua macam, sebagai berikut:14 1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada
12 13 14
Ibid. Armansyah, 2015, Pengantar Hukum Pers, Gramata Publishing, Bekasi, hlm. 49.
http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-
para-ahli 12
diskresi.
Di
indonesia
belum
ada
pengaturan
khusus
mengenai
perlindungan hukum preventif. 2. Sarana Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Peradilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu
dan
bersumber
dari
konsep
tentang
pengakuan
dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak
asasi manusia
diarahkan kepada pembatasan-
pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip selanjutnya yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan
dan
perlindungan
terhadap
hak-hak
asasi
manusia,
pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya. Sebagai negara hukum, Indonesia menjabarkan konsep perlindungan hukum kepada warga negaranya melalui peraturan-peraturan yang ada. Konsep penjabaran perlindungan hukum terhadap HAM misalnya, diatur dalam Pasal 27, Pasal 28A-J, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31 dan 13
Pasal 34. Beberapa ketentuan itu, memberikan jaminan kepada setiap warga negara atas keamanan dan ketentraman pribadi, perlindungan dari ancaman ketakutan, bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, untuk tidak disiksa, tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Kesemuanya ini bermuara pada prinsip equality before the law. 15
B.
Pers dan Ruang Lingkupnya 1. Pengertian Pers Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang
Pers (UU Pers) menjelaskan: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya, dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pers diartikan: (1) usaha percetakan dan penerbitan; (2) usaha pengumpulan dan penyiaran berita; (3) penyiaran berita melalui surat kabar, majalah dan radio; (4)
15
O.C. Kaligis, 2006, Perlindungan hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, PT. Alumni, Bandung, hlm. 20.
14
orang yang bergerak dalam penyiaran berita; (5) medium penyiaran berita seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Hikmat
Kusumaningrat
dan Purnama Kusumaningrat
dalam
bukunya, menjelaskan bahwa pers berasal dari kata Belanda pers yang artinya menekan atau mengepres. Kata pers adalah padanan press dalam bahasa Inggris, berarti menekan atau mengepres. Dapat disimpulkan bahwa secara harfiah kata pers atau press mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantara barang cetakan. Namun, saat ini kata pers atau press penggunaannya merujuk pada semua kegiatan jurnalistik, terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun media cetak. Jadi, ada dua pengertian mengenai pers, yaitu pers dalam arti kata sempit dan pers dalam arti kata luas. Pers dalam arti kata sempit yang menyangkut
kegiatan
komunikasi
yang
hanya
dilakukan
dengan
perantaraan barang cetakan. Pers dalam arti kata luas yaitu yang menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun dengan media elektronik seperti radio, televisi maupun internet.16 Sosiolog Kanada, McLuhan menyebut pers atau media massa sebagai the extension of man, eksistensi dari manusia. Hal ini berarti bahwa komunikasi merupakan kodrati manusia. Manusia butuh menyatakan diri, berbicara, menerima dan menyampaikan pesan, berdialog, menyerap apa yang didengar dan apa yang dilihat. Dalam proses itu manusia menyatakan dan mengembangkan kehidupannya dalam bermasyarakat. Media 16
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, 2012, Jurnalistik, Teori dan Pratik, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm.17.
15
massa sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan tersebut, kemudian, menjadi produk budaya, yang terus dikembangkan masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri, maka isi pers meliputi peristiwa fisik yang membutuhkan ruang dan waktu maupun kejadian abstrak yang mengambil tempat di otak dan hati masyarakat.17
2. Fungsi Pers Pasal 3 UU Pers menentukan bahwa fungsi pers ialah sebagai berikut : 1. Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. 2. Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU ini menyatakan, perusahaan pers dikelola sesuai dengan prinsip ekonomi, agar kualitas pers dan kesejahteraan para wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya.18
3. Wartawan dan Organisasi Wartawan Pasal 1 butir (4) UU Pers mengartikan wartawan sebagai orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wartawan diartikan orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat di surat kabar, majalah, radio, dan televisi.
17
Edy Susanto, Mohammad Taufik Makarno, dan Hamid Syamsudin, 2010, Hukum Pers di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 20. 18 Ibid., hlm. 39.
16
Organisasi wartawan dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pers, yang menyatakan bahwa, wartawan bebas memilih organisasi wartawan. Saat ini terdapat berbagai organisasi wartawan yang menaungi para wartawan. Organisasi ini terlibat antara lain dalam penyusunan Kode Etik Jurnalistik. Berdasarkan data yang ada, pada masa reformasi sampai pada tahun 2008 terdapat 29 organisasi wartawan. 19
4. Berita Berita (news) merupakan sajian utama sebuah media massa di samping
views
(opini).
Mencari
bahan
berita
lalu
menyusunnya
merupakan tugas pokok wartawan dan bagian redaksi sebuah penerbitan pers (media massa).20 Menurut Mitchel V. Charnley, berita adalah laporan tercepat dari suatu peristiwa atau kejadian yang faktual, penting, dan menarik bagi sebagian besar pembaca, serta menyangkut kepentingan mereka. 21 Berita dapat dipublikasikan di media massa (layak muat), apabila setidaknya memenuhi empat unsur “karakteristik utama” berita. Keempat unsur ini juga dikenal dengan nilai-nilai berita (news values) atau nilai-nilai jurnalistik, yaitu: 22
19
Ibid., hlm. 56. Asep Syamsul M. Romli, 2009, Jurnalitik Praktis untuk Pemula, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, hlm. 3. 21 Ibid., hlm. 4. 22 Ibid., hlm. 5. 20
17
1. Cepat, yakni aktual atau ketepatan waktu. Dalam unsur ini terkandung makna harfiah berita (news), yakni sesuatu yang baru (new). “Tulisan jurnalistik,” kata Al Hester, adalah tulisan yang memberi pembaca pemahaman atau informasi yang tidak ia ketahui sebelumnya. 2. Nyata (faktual), yakni informasi tentang sebuah fakta (fact), yakni informasi tentang sebuah fakta (fact), bukan fiksi atau karangan. Fakta dalam dunia jurnalistik terdiri dari kejadian nyata (real event),
pendapat
(opinion),
dan pernyataan
(statement) sumber berita. Dalam unsur ini terkandung pula pengertian, sebuah berita harus merupakan informasi tentang sesuatu sesuai dengan keadaan sebenarnya atau laporan mengenai fakta sebagaimana adanya. “Seorang wartawan harus menulis apa yang benar saja,” ujar M.L. Stein (1993:26), seraya mengingatkan, “Jangan sekali-kali ia mengubah fakta untuk memuaskan hati seseorang atau suatu golongan. Jika sumber Anda dapat dipercaya, itulah yang paling penting.” 3. Penting, artinya menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya peristiwa yang akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat secara luas, atau dinilai perlu untuk diketahui dan diinformasikan kepada orang banyak, seperti kebijakan baru pemerintah, kenaikan harga, dan sebagainya.
18
4. Menarik, artinya mengundang orang untuk membaca berita yang kita tulis.
Berita yang biasanya menarik perhatian
pembaca, di samping yang aktual dan faktual serta menyangkut kepentingan orang banyak, juga berita yang bersifat menghibur (lucu), mengandung keganjilan atau keanehan, atau berita human interest (menyentuh emosi, menggugah perasaan).
5. Jurnalistik Jurnalistik atau journalisme itu sendiri berasal dari journal yang memiliki arti, catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti surat kabar. Journal berasal dari perkataan Latin diurnalis, berarti harian atau tiap hari. Kemudian lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik.23 MacDougall menyebutkan bahwa Journalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Jurnalisme sangat penting dimanapun, dan kapanpun. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis. Tak peduli apa pun perubahan-perubahan yang terjadi di masa depan, baik sosial, ekonomi, politik, maupun yang lain-lainnya. Tak dapat dibayangkan, akan pernah ada saatnya ketika tiada seorang pun yang fungsinya mencari berita tentang peristiwa yang terjadi dan menyampaikan berita tersebut kepada khalayak ramai, dibarengi dengan penjelasan tentang peristiwa itu.24
23 24
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat, op.cit., hlm. 15. Ibid.
19
C. Jurnalisme Warga Ada banyak istilah sebelum citizen journalism dikenal secara luas seperti sekarang ini, antara lain civic journalism, participatory journalism, atau public journalism. Akan tetapi, ketika sebuah situs berbasi users generated contenct bernama OhmyNews lahir di Korea Selatan pada awal tahun 2000-an, istilah citizen journalism digunakan secara meluas. 25 Citizen
journalism
(jurnalisme
warga)
dimaksudkan
sebagai
kegiatan warga biasa yang bukan wartawan profesional mengumpulkan fakta di lapangan atas sebuah peristiwa, menyusun, menulis, dan melaporkan hasil liputannya di media sosial. 26 Pepih Nugraha lebih lanjut dalam bukunya, lebih memilih istilah citizen reporter (pewarta warga) dibandingkan ctizen journalist (jurnalis warga,
pelaku dari jurnalisme
warga).
Menurutnya,
terlalu berat
menggunakan sebutan jurnalis warga. Dengan menggunakan istilah reporter atau pewarta, maka tidak akan terikat oleh etika kerja wartawan profesional yang bekerja di media arus utama dengan struktur organisasi tersendiri. Etika yang dipegang sebagai pewarta warga adalah etika keseharian tentang moral baik dan moral buruk, yaitu ethics values, yakni nilai-nilai etis berupa sanksi moral jika berbuat salah karena menyerang kehormatan
seseorang
atau
lembaga,
sebaliknya
juga
akan
penghormatan jika yang ditulis bermanfaat bagi orang banyak. Pewarta
25 26
Pepih Nugraha, op.cit., hlm. xi. Ibid.
20
warga bertanggung jawab pada diri sendiri dengan etika, moral, serta filsafat hidup yang berlaku universal. 27 Unsur- unsur dari jurnalisme warga, menurut Pepih Nugraha, yaitu:28 -
Warga biasa, Bukan wartawan profesional, Terkait fakta atau peristiwa yang terjadi, Memiliki kepekaan atas fakta atau peristiwa yang terjadi itu, Memiliki peralatan teknologi informasi, Memiliki keingintahuan yang tinggi, Memiliki kemampuan menulis atau melaporkan, Memiliki semangat berbagi informasi dengan yang lainnya, Memiliki blog pribadi atau blog sosial dan akrab dengan dunia online, Menayangkan hasil liputannya di media online seperti blog atau media sosial, Tidak berharap imbalan atas apa yang ditulisnya.
Terdapat istilah lain untuk menunjukkan kegiatan jurnalis warga di internet, yaitu Participatory Journalism, Public Journalism, Democratic Journalism, Independent Journalism, Wiki Journalism, Open-source Journalism, dan Street Journalism.29 JD Lasica dalam salah satu artikel di blog pribadinya berjudul What is Participatory Journalism, menyusun enam kategori:30 -
Partisipasi khalayak untuk media arus utama (mainstream) seperti komentar pada tulisan atau berita tertentu, Situs berita dan informasi independen seperti situs consumer reports dan drudge report, Situs atau blog sosial sepenuhnya seperti Now Public, OhmyNews, GroundReport, dan Kompasiana,
27
Ibid,. hlm. 3. Ibid., hlm. 19. 29 Ibid., hlm. 20. 30 Ibid. 28
21
-
Situs media kolaborasi dan kontribusi seperti Slash dot dan Newsvine, Bentuk lain “media kecil” seperti mailing list, Situs penyiaran pribadi seperti KenRadio.
Karena memang berlatar belakang berbeda, jurnalis warga tidak harus mengikuti persis apa yang dilakukan jurnalis profesional, akan tetapi tetap harus mengikuti etika dasar penulisan. Jurnalis warga memiliki ciri khasnya sendiri, dengan tidak mengikuti persis yang dilakukan jurnalis profesional, ciri khas jurnalisme warga sebagai sebuah laporan akan muncul dengan gaya berbeda dari laporan yang ditulis jurnalis profesional pada media arus utama. 31 Jurnalisme warga merupakan bentuk baru dalam penyebaran informasi, di mana batas antara produsen dan konsumen informasi sulit dipisahkan. Dewi (2008) berpendapat kegiatan jurnalisme warga memiliki dampak positif. Pertama, memberikan ruang bagi peran serta warga dalam pengelolaan informasi. Keterlibatan warga dalam dunia jurnalistik membuktikan adanya hubungan dinamis antara pelaku media dan pembacanya. Kedua, mampu memberikan ruang bagi warga untuk menegakkan hak-hak informasinya.32
Selama ini jurnalisme warga ini lebih dikenal dan populer melalui medium internet. Outing (2005) membuat kategori jurnalisme warga yang ada di situs internet sebagai berikut:33 1. Situs internet mengundang komentar dari masyarakat. Pembaca diperbolehkan untuk bereaksi, mengkritik, memuji atau memberi tambahan ke berita yang ditulis oleh wartawan profesional. Berita tambahan dan foto dari pembaca yang 31
Ibid., hlm. 74. Yossy Suparyo dan Bambang Muryanto, op.cit., hlm. 4 33 Moch.Nunung Kurniawan, JurnalismeWarga di Indonesia, Prospek dan Tantangannya, Makara Sosial Humaniora, vol,11, No. 2, 2007, hlm. 71-78. 32
22
disandingkan dengan berita utama dari wartawan profesional juga bisa dipakai. 2. Liputan dengan sumber terbuka di mana reporter profesional bekerja sama dengan pembaca yang tahu tentang suatu masalah. Berita tetap ditulis oleh reporter profesional. 3. Rumah blog. Situs internet yang mengundang pembaca untuk menampilkan blog-nya. 4. Situs internet publik teredit dan tidak teredit dengan berita dari publik. 5. Situs “reporter pro+warga” berita dari reporter profesional diperlakukan sama dengan berita dari publik. Ohmynews masuk dalam kategori ini. 6. Wiki-jurnalisme yang menempatkan pembaca sebagai editor.
23
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah penelitian hukum empiris.34 Penelitian mengenai “Perlindungan Hukum Terhadap Jurnalis Warga (Citizen Journalist)” ini tetap bertumpu pada premis normatif, di mana objek kajian mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk kemudian dianalisis dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.
B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makassar dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar yang terdapat di Kota Makassar. Penulis memilih lokasi penelitian tersebut karena relevan dengan rumusan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini.
C. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini ada 2 (dua) yakni:35 1. Data primer, yaitu data yang bersumber dari pihak-pihak terkait yang terlibat dalam kasus atau masalah yang menjadi objek
34 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.25 35 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 202
24
penelitian dan hasil yang diperoleh dari hasil wawancara. Dengan kata lain data yang diperoleh dari penelitian lapangan. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari berbagai macam sumber tertulis seperti buku, jurnal-jurnal ilmiah, kamus, literatur perundang-undangan, internet, majalah, dan lain-lain yang ada relevansinya dengan penelitian ini.
D. Teknik Pengumpulan Data Menurut Soerjono Soekanto,36 dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu studi pustaka (library research), pengamatan (observation), dan wawancara (interview): 1. Studi dokumen (library research), merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun yang sosiologis atau kriminologis), karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen bagi penelitian hukum dilakukan dengan mengkaji setiap dokumen hukum, mulai dari peraturan perundangundangan, yurisprudensi, buku, dan karya tulis ilmiah. 2. Pengamatan (Observation), sebagai salah satu metode yang dilakukan
peneliti
dalam
penyusunan
skripsi
ini.
Melalui
pengamatan, diharapkan dapat melengkapi temuan di lapangan secara komprehensif.
36
Ibid., hlm. 67.
25
3. Wawancara (interview), dilakukan terhadap informan dan pihakpihak yang memiliki kompetensi terkait objek penelitian. Peneliti akan menggunakan teknik wawancara berencana (standardized interview), yaitu suatu wawancara yang disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya. Secara praktis, maka wawancara yang peneliti lakukan digolongkan sebagai wawancara terbuka (open interview), yaitu pertanyaan yang diajukan sudah sedemikian rupa bentuknya, sehingga responden tidak saja terbatas pada jawaban “ya” atau “tidak”, tetapi dapat memberikan penjelasan-penjelasan mengapa ia menjawab “ya” atau “tidak”.
E. Analisis Data Data yang diperoleh dari lapangan baik data primer maupun sekunder dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif, kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif. Penjelasan secara deskriptif adalah
menjelaskan
data
yang
diperoleh
sebagaimana
adanya.
Berdasarkan identifikasi rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka analisis data diharapkan dapat menggambarkan kepada pihak lain tentang apa dan bagaimana korelasi hukum positif dengan materi penelitian ini. Kemudian ditarik suatu kesimpulan terkait Perlindungan Hukum Terhadap Jurnalis Warga.
26
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Perumusan Karya Jurnalistik yang Dianggap Melawan Hukum Karya jurnalistik adalah karya yang dihasilkan dari kegiatan atau
aktivitas yang berkaitan dengan mencari, mengolah, menulis, mengedit informasi yang bernilai berita, untuk kemudian karya itu disebarluaskan. Hal ini berdasarkan penuturan Muliadi Mau, Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unhas yang juga merupakan Dewan Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI).37 Karya jurnalistik dapat dianggap bersifat melawan hukum, dalam hal ini jika karya yang dihasilkan jurnalis itu isinya mengandung unsur tindak pidana dan dipublikasikan. Tindak pidana mempublikasikan berita dengan tulisan yang isinya bersifat melawan hukum, tersebar di KUHP maupun perundang-undangan lainnya. Kelompok tindak pidana ini dikenal dengan istilah tindak pidana pers. Oleh karena itu, guna menjawab perumusan karya jurnalistik seperti apa yang dianggap melawan hukum, Penulis akan menguraikan tentang tindak pidana pers.
37
Wawancara, 6 Maret 2016
27
1. Tindak Pidana Pers Sebelum melangkah pada istilah tindak pidana pers, akan diulas secara singkat dahulu mengenai tindak pidana. Boleh dikata bahwa intinya hukum pidana, adalah apa yang disebut dengan strafbaarfeit.38 Delik yang dalam bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri atas tiga kata, yaitu straf, baar dan feit. Yang masing-masing memiliki arti : - Straf diartikan sebagai pidana dan hukum, - Baar diartikan sebagai dapat dan boleh, - Feit diartikan sebagai tindak pidana, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.39 Strafbaarfeit menurut Simons, adalah kelakuan (handeling) yang diancam
dengan
pidana,
yang
bersifat
melawan
hukum,
yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 40 Van Hammel merumuskan straafbarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat
melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.41 Strafbaarfeit sendiri ke dalam bahasa Indonesia diterjemahkan berbeda-beda oleh beberapa sarjana hukum. 38
Adami Chazawi, Prija Djatmika, dan Ardi Ferdian, op. Cit., hlm. 11. Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Yogyakarta: Rangkang Education dan PuKAP-Indonesia, 2012, hlm. 19. 40 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015, hlm.61. 41 Ibid. 39
28
Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, karena kata “perbuatan” lazim dipergunakan dalam percakapan sehari-hari seperti kata perbuatan cabul, kata perbuatan jahat, dan kata perbuatan melawan hukum, perbuatan menunjuk ke dalam yang melakukan dan kepada akibatnya, dan kata perbuatan berarti dibuat oleh seseorang yang dapat dipidana adalah kepanjangan dari istilah yang merupakan terjemahan straafbarfeit.42
Perbuatan pidana menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. 43 Istilah lain yang digunakan yaitu, “delik”. Salah satu pengguna istilah “delik” adalah Andi Zainal Abidin. Delik yang berasal dari bahasa Latin delictum delicta lebih tepat digunakan karena: 1. Bersifat universal, semua orang di dunia ini mengenalnya; 2. Bersifat ekonomis karena singkat; 3. Tidak menimbulkan kejanggalan seperti “peristiwa pidana”, “perbuatan pidana” (bukan peristiwa perbuatan yang dipidana, tetapi pembuatnya); dan 4. Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh korporasi orang tidak dikenal menurut hukum pidana ekonomi Indonesia.44 S.R. Sianturi menggunakan delik sebagai tindak pidana. Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang bertanggung jawab).45
42
Amir Ilyas, op. cit., hlm.21. Moeljatno, op. cit., hlm.59. 44 Amir Ilyas, op. cit., hlm.24. 45 Ibid., hlm.22. 43
29
Istilah “tindak pidana” menurut Amir Ilyas, adalah setiap perbuatan yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut: 46 1. Perbuatan tersebut dilarang oleh undang-undang (mencocoki rumusan delik); 2. Memiliki sifat melawan hukum; dan 3. Tidak ada alasan pembenar. Tindak pidana pers sendiri merupakan istilah sosial, bukan suatu kualifikasi hukum.47 Istilah sosial, karena di dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lain memang tidak disebutkan istilah tindak pidana pers. Istilah ini muncul mengelompokkan tindak pidana baik di KUHP maupun di luar KUHP yang berhubungan pers atau media. Tindak pidana pers adalah sekelompok tindak pidana yang dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan berita/informasi ke publik dengan menggunakan barang cetakan (tulisan). 48 Selain istilah tindak pidana pers, juga sering disebut delik pers. Pengunaan tindak pidana atau delik di sini tidak menjadi suatu permasalahan, karena pada dasarnya pengertian yang di maksud sama. Delik pers berdasar pada kata delik dan pers. Pers yang awalnya hanya mengacu pada komunikasi melalui barang cetakan, saat ini pengertiannya lebih luas, juga mengacu pada kegiatan komunikasi yang dilakukan
46
Ibid., hlm.28 Adami Chazawi, Prija Djatmika, dan Ardi Ferdian, op. Cit., hlm. 1. 48 Ibid. 47
30
melalui media elektronik, seperti televisi dan radio, maupun media lain melalui internet seperti media sosial. Jadi, delik pers artinya semua tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan melalui media massa. 49 Delik pers yang tersebar dalam aturan tidak khusus menyasar pada insan pers profesional seperti wartawan maupun keredaksian perusahaan pers. Delik pers berlaku umum, termasuk untuk masyarakat luas yang menggunakan sarana atau infrastruktur pers dalam melakukan tindakan yang tergolong tindak pidana yang diatur dalan KUHP maupun perundang-undangan lain. 2. Unsur Tindak Pidana Pers Unsur tindak pidana secara umum yaitu adanya perbuatan mencocoki rumusan delik, adanya sifat melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar, seperti yang akan Penulis uraikan sebagai berikut : 1. Ada Perbuatan (Mencocoki Rumusan Delik) Suatu perbuatan yang tidak termasuk dalam rumusan delik tidak dapat dijatuhi pidana. Akan tetapi, hal itu juga tidak berarti bahwa perbuatan yang tercantum dalam rumusan delik selalu dapat dijatuhi pidana.
50
Diperlukan unsur lain, yang akan dijelaskan selanjutnya hingga
dapat dijatuhi pidana.
49
Irman Syahriar, op. Cit., hlm.132. D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 26. 50
31
Perbuatan manusia, bukan mempunyai keyakinan atau niat, melainkan hanya melakukan atau tidak melakukan dapat dipidana. Yang juga dianggap sebagai perbuatan manusia adalah perbuatan badan hukum. Dalam ruang lingkup rumusan delik, yaitu semua unsur rumusan delik yang tertulis harus dipenuhi. 51 Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan lahiriah itu dikenal dengan actus reus. Dalam kepustakaan hukum actus reus sering digunakan padanan conduct untuk perilaku menyimpang menurut kaca mata hukum pidana. Actus reus terdiri atas act and omission atau commission and omission (act sama dengan commission). Karena tidak hanya terdiri atas act atau commission saja, Sutan Remy Sjahdeni berpendapat lebih tepat memberikan
padanan
kata
actus
reus
dengan
“perilaku”,
yang
menurutnya merupakan padanan kata conduct. Selanjutnya actus reus menurutnya seyogyanya tidak dipadankan dengan kata “perbuatan” atau “tindakan” karena kata itu merupakan padanan kata act dalam bahasa Inggris.52 Commission adalah melakukan perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana, dan omission adalah tidak melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana untuk dilakukan. Pengertian perilaku bukan hanya terbatas pada maksa “perbuatan untuk melakukan sesuatu” tetapi juga termasuk “tidak melalukan perbuatan tertentu”. Kesimpulannya “tidak melakukan perbuatan tertentu yang 51 52
Ibid. Amir Ilyas, op. cit., hlm.50.
32
diwajibkan ketentuan pidana” tidak dapat dikatakan “perbuatan” atau “tindakan” atau “act” atau “commission”. Namun tetap termasuk perilaku melanggar hukum.53 2. Ada sifat melawan hukum (wederrechtelijk) Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum. Adapun sifat perbuatan melawan hukum suatu perbuatan ada dua macam, yaitu : 54 1. Sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijk) Menurut pendapat ini, yang dimaksud dengan perbuatan bersifat melawan hukum adalah perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-pengecualian yang telah ditentukan dalam undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang. 2. Sifat melawan hukum materil (materiale wederrechtelijk) Menurut pendapat ini belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang itu bersifat melawan hukum. Bagi pendapat ini yang dinamakan hukum itu bukan hanya undangundang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat. Perbedaan yang pokok antara kedua pendapat tersebut di atas, adalah:55 53 54
Ibid., hlm.51. Ibid., hlm.53.
33
1. Pendapat yang formil hanya mengakui adanya pengecualian (peniadaan) sifat melawan hukum dari perbuatan yang terdapat dalam undang-undang (hukum tertulis). Seperti: - Pasal 48 KUHP (daya paksa/overmacht); - Pasal 49 ayat (1) KUHP (bela paksa/noodwer); - Pasal 50 KUHP (melaksanakan ketentuan undang- undang); - Pasal 51 ayat (1) KUHP (perintah jabatan yang sah). Sedangkan pendapat material, mengakui adanya pengecualian (peniadaan) tersebut, selain daripada yang terdapat dalam undangundang (hukum tertulis) juga terdapat dalam hukum yang tidak tertulis. 2. Perbedaan selanjutnya, menurut pendapat yang formil sifat melawan hukum tidak selalu menjadi unsur tindak pidana, hanya apabila dinyatakan dengan tegas dalam rumusan tindak pidana barulah
menjadi
unsur
tindak
pidana.
Sedangkan
menurut
pendapat yang material sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari setiap tindak pidana, juga bagi tindak pidana yang dalam rumusannya tidak dinyatakan secara tegas. Selain itu, terkait sifat melawan hukum, Nico Keijzer, membagi sifat melawan hukum menjadi empat arti. Rangkuman keempat makna sari istilah sifat melawan hukum itu, sbb:56
55 56
Ibid., hlm.54 D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius, op. cit., hlm.49
34
- Sifat melawan hukum formal, yaitu berarti semua bagian (tertulis dalam undang-undang) dari rumusan delik telah dipenuhi. - Sifat melawan hukum materil, berarti bahwa karena perbuatan itu, kepentingan hukum yang dilindungi oleh rumusan delik tertentu telah dilanggar. - Sifat melawan hukum umum (sifat melawan hukum sebagai bagian dari undang-undang) berarti bertentangan dengan hukum. Ini umumnya terjadi kalau perbuatannya bersifat melawan hukum formal dan tidak ada alasan pembenar. - Sifat melawan hukum khusus (sifat melawan hukum sebagai bagian dari undang-undang) mempunyai arti khusus dalam tiap-tiap rumusan delik di mana sifat melawan hukum menjadi bagian dari undang-undang dan dapat dinamakan suatu faset dari sifat melawan hukum umum. Ini harus ditafsirkan menurut konteks sosialnya.
3. Tidak ada alasan pembenar Unsur ketiga dari tindak pidana yaitu tidak ada alasan pembenar. Yang terbagi atas: 1. Daya paksa absolut Daya paksa (overmacht) terdapat dalam Pasal 48 KUHP. Isi Pasal tersebut yaitu barang siapa melakukan perbuatan karena terpaksa
35
oleh suatu kekuasaan yang tak dapat dihindarkan tidak boleh dihukum. 2. Pembelaan terpaksa Pasal 49 ayat (1) KUHP Pembelaan terpaksa atau istilah Belanda noodweer, dalam Pasal 49 ayat (1): barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum. 3. Menjalankan ketentuan Undang-Undang Pasal 50 KUHP Pasal 50 KUHP: barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan undang-undang, tidak boleh dihukum. 4. Menjalankan perintah jabatan yang sah Pasal 51 ayat (1) KUHP Pasal itu mengatakan bahwa barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum. Lebih mengerucut, berdasarkan unsur tindak pidana secara umum, jika dirumuskan, tindak pidana pers memiliki unsur/ ciri nya yaitu : - Adanya unsur perbuatan mempublikasikan atau menyiarkan atau menyatakan pikiran atau perasaan; - Unsur objeknya yang dipublikasikan berupa tulisan; - Sifat melawan hukumnya perbuatan tindak pidana pers; 36
- Kesengajaan dalam tindak pidana pers. 1. Perbuatan mempublikasikan Syarat penyelesaian dari tindak pidana pers terletak pada publikasi berita.
Mempublikasikan
adalah
perbuatan
menyampaikan,
menyiarkan atau menyebarkan berita pada publik atau umum. Tindak pidana pers baru dikatakan selesai sebagai tindak pidana, jika karya yang dihasilkan telah tersebar dan diketahui umum. Vos menyatakan bahwa “Delik itu harus telah selesai dengan publikasinya,” (in delict moet reeds voltooid zijn door de publicate). Sementara H. Suringa menyatakan bahwa “untuk penyelesaiannya suatu publikasi yang terjadi oleh pernyataan pikiran dan perasaan” (die voor hun voltooing publicate vereisen en bestaan in strafbare uitingen van gedachten of gevoelens). 57
2. Objek yang Dipublikasikan Objek yang dipublikasikan berbentuk tulisan berupa berita atau informasi tentang pernyataan buah pikiran dan perasaan yang substansinya mengandung sifat melawan hukum. Objek yang dimaksud di sini adalah karya jurnalistik yang dihasilkan. Sifat melawan hukum perbuatan mempublikasikan adalah melekat atau terdapat pada isi karya jurnalistik yang menyerang suatu kepentingan hukum yang dilindungi, hingga akhirnya karya jurnalistik itu diketahui secara umum.
57
Adami Chazawi, Prija Djatmika, dan Ardi Ferdian, op. Cit., hlm. 108.
37
3. Sifat Melawan Hukumnya Perbuatan Tindak Pidana Pers Sifat melawan hukumnya seperti yang telah dijelaskan sebelumnya apabila isi berita menyerang kepentingan hukum yang dilindungi, yaitu memenuhi delik pers yang terdapat dalam KUHP maupun di luar KUHP. Tindak pidana selesai dengan dipublikasikannya berita atau karya jurnalistik. 4. Kesengajaan dalam Tindak Pidana Pers Kesengajaan dalam tindak pidana pers ini apabila penulis menghendaki
terpublikasinya
karya
jurnalistik
yang
bersifat
melawan hukum. Hazewinkel Suringa mengatakan, “Ia menghendaki dapatnya dikenal umum,” (Zij verlangen richtbaarheid).58 Kesengajaan dibutuhkan baik dalam perbuatannya membuat karya jurnalistik maupun dalam melakukan usaha agar karya itu
tersebar dapat
diketahui secara umum melalui media manapun. 3. Tindak Pidana Pers dalam KUHP Hazewingkel Suringa, memberikan definisi bahwa delik pers adalah pernyataan pikiran dan perasaan yang dapat dijatuhi pidana yang untuk penyelesaiannya membutuhkan publikasi pers.59 Berdasarkan pengertian itu, sifat delik pers terbagi menjadi delik yang bisa mendatangkan kerugian pada seseorang (private libel) atau bisa juga mendatangkan kerugian pada negara, masyarakat, atau pemerintah (public libel). 58 59
Adami Chazawi, Prija Djatmika, dan Ardi Ferdian, op. Cit., hlm. 108. Irman Syahriar, op. cit., hlm.132.
38
Pada dasanya tindak pidana atau delik pers dalam KUHP dapat dibagi berdasarkan klasifikasi sifat yang diutarakan Suringa, yaitu sebagai berikut: a. Public Libel Di dalam KUHP terdapat pasal-pasal yang mengatur pelanggaran atau kejahatan melalui perantara tulisan terhadap negara dan pejabat negara serta terhadap masyarakat (public libel). Beberapa pasal di dalam KUHP itu antaranya,
Pasal 112 (Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara dan Ketertiban Umum) Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan, atau mengabarkan atau menyampaikan surat, kabar dan keterangan tentang sesuatu hal kepada negara asing, sedang diketahuinya, bahwa surat, kabar atau keterangan itu harus dirahasiakan karena kepentingan negara, maka ia dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun. Pada pasal ini yang dilarang, yaitu perbuatan baik mengumumkan,
mengabarkan atau menyampaikan surat, kabar atau keterangan kepada negara asing (pemerintah asing), raja (dari daerah istimewa di Indonesia) atau rakyat (rakyat Indonesia). Karena bersifat mengumumkan, maka harus diketahui beberapa orang, bukan hanya satu orang. Kegiatan mengumumkan, mengabarkan maupun menyiarkan itu bisa dengan langsung atau melalui perantara orang lain. Perbuatan dilakukan dengan sengaja. Terkait hal yang diumumkan, berdasarkan penjelasan pasal, tidak harus semata-mata mengenai pertahanan atau perjanjian negara. 39
Melainkan selama surat, kabar atau keterangan itu karena kepentingan negara harus dirahasiakan maka tidak boleh disebarkan sesuai pasal ini.
Pasal 113 KUHP (Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara dan Ketertiban Umum) Barangsiapa dengan sengaja mengumumkan, memberitahukan atau menyampaikan kepada orang yang tidak berhak mengetahui, segenapnya atau sebagian dari surat, peta bumi, rencana, atau benda rahasia yang berhubungan dengan pertahanan atau keselamatan Indonesia terhadap serangan negeri asing, yang disimpan olehnya atau diketahui olehnya akan isi surat atau bentuk atau cara membuat benda-benda rahasia itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. Hampir sama dengan Pasal 112, yang dilarang yaitu perbuatan
mengumumkan, memberitahukan atau menyampaikan kepada yang tidak berhak mengetahui terkait seluruh atau sebagian surat, peta bumi, rencana atau benda rahasia yang berhubungan dengan pertahanan atau keselamatan Negara Indonesia. Hal itu bersifat rahasia dan bersangkutan dengan pertahanan dan keamanan Indonesia dari serangan luar. Tindak pidana ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu, yakni orang-orang yang berhak menguasai atau mengetahui objek-objek yang menjadi rahasia negara itu.
Pasal 134 (penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden) Penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden atau Wakil Presiden dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,-.” Pasal ini tentang setiap perbuatan yang menyerang nama baik,
martabat atau keagungan Presiden atau Wakil Presiden. Termasuk segala 40
macam penginaan yang terdapat dalam Pasal 310 sampai dengan Pasal 321, seperti menista, menista dengan surat, memfitnah, penghinaan ringan, dan tuduhan memfitnah. Penghinaan dilakukan dengan sengaja, dan ia mengetahui bahwa orang yang dihina ialah Presiden atau Wakil Presiden. Penghinaan ini merupakan penghinaan khusus, penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dapat dituntut tanpa ada pengaduan dari yang dihina, yaitu Presiden atau Wakil Presiden. Sejak tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menghapus Pasal 134. Namun, ada wacana bahwa pasal penghinaan presiden ini akan dihidupkan kembali dalam RUU KUHP. Hal itu menimbulkan pro kontra hingga saat ini.
Pasal 144 (penghinaan terhadap kepala negara sahabat) (1) Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menghina raja yang memerintah atau kepala lain dari Negara yang bersahabat atau wakil Negara asing pada Pemerintah Indonesia dalam pangkatnya dengan niat supaya isinya yang menghina itu diketahui oleh orang banyak atau lebih diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selamalamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknnya Rp.4500,-. (2)Jika sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi lalu dua tahun sesudah tetap hukumannya yang dahulu sebab kejahatannya yang serupa itu juga, maka ia dapat dipecat dari jabatannya (KUHP 35, 137, 310 s, 321, 483, 488).
41
Pasal 144 ini merupakan bentuk khusus dari Pasal 142 dan 143, karena
dilakukan
dengan
cara
perbuatan
mempertunjukkan
atau
menempelkan di muka umum dalam bentuk tulisan atau lukisan. Jika pada Pasal 134 penghinaan ditujukan kepada Presiden atau Wakil Presiden ini, di pasal ini subjek yang dihina adalah raja yang memerintah atau kepala negara sahabat atau wakil negara asing di Indonesia.
Pasal 154 KUHP (Penghinaan atau Penyebaran Kebencian dengan Lisan) Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan kebencian atau penghinaan terhadap kepada Pemerintah Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4500,- (KUHP 155 s, 207) Dalam pasal ini bermaksud untuk menjaga ketentraman dan
ketertiban umum di kalangan penduduk. Pasal ini melarang perbuatan menghasut kebencian dan penghinaan tehadap pemerintah baik melalui lisan seperti berpidato, maupun tulisan, gambar, dsb.
Pasal 155 KUHP (Penghinaan atau Penyebaran Kebencian dengan Tulisan) (1)Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan surat atau gambar, yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Negara Indonesia, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui oleh orang banyak atau lebih diketahui oleh orang banyak dihukum penjara selama-lamanya empat tahun dan enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,(2)Jika sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan itu belum lagi lalu dua tahun sejak keputusan hukumannya yang dahulu lantaran kejahatan serupa itu juga telah mendapat ketetapan, maka dapat ia dipecat dari jabatan itu. (KUHP 154, 156 s, 208, 483 s) 42
Pasal 155 ini merupakan delik penyebaran dari Pasal 154, yaitu mengancam
orang
yang
menyiarkan,
mempertotonkan
atau
menempelkan pernyataan tertulis atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia. Pasal 154 dan 155 ini dikenal sebagai pasal karet, dan tidak cocok diberlakukan karena mengandung sifat kolonial Belanda.
Pasal 156a tentang (delik SARA = suku, agama, ras, antar golongan) Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan : a. Yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia : b. Dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Pasal ini masuk ke dalam klasifikasi istilah sosial tindak pidana
pers, terkait perbuatan mengeluarkan perasaan maupun melakukan perbuatan dengan sengaja di muka umum yang bersifat memusuhi, menyalahgunakan atau menodai suatu agama yang dianut di Indonesia. Hal itu dilakukan dengan tujuan agar orang tidak menganut suatu agama tertentu.
Pasal 157 (delik SARA = suku, agama, ras, antar golongan) (1)Barangsiapa menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan surat atau gambar, yang isinya menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan diantaranya atau terhadap golongangolongan penduduk Negara Indonesia, dengan maksud supaya isi surat atau gambar itu diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya dua tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,(2)Jika sitersalah melakukan kejahatan itu dalam jabatannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lagi liwat lima tahun sejak keputusan hukumannya yang dahulu lantaran kejahatan serupa itu 43
juga telah mendapat ketetapan, maka dapat ia dipecat dari jabatannya itu. (KUHP 154 s, 483 s). Jika dalam Pasal 156a objeknya terhadap agama yang dianut di Indonesia, maka dalam Pasal 157 ini merupakan perbuatan menyiarkan pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap golongan-golongan penduduk di Indonesia.
Pasal 207 (penghinaan terhadap kekuasaan) Barangsiapa dengan sengaja di muka umum, dengan lisan atau tulisan menghina sesuatu kekuasaan yang ada di Negara Indonesia atau sesuatu Majelis Umum yang ada disana, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun enam bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.4.500,- (KUHP 208, 310, 316, 488). Dalam Pasal ini menjamin alat-alat kekuasaan negara supaya tetap
dihormati. Perbuatan menghina dengan lisan atau tulisan, menyerang nama baik dan kehormatan dapat dihukum. Penghinaan harus dilakukan dengan sengaja dan di muka umum. Karena delik ini turut dimasukkan dalam delik pers, maka jika melalui tulisan harus dibaca oleh khalayak ramai. Obyek-obyek yang dihina, berdasarkan penjelasan pasal ini ialah badan kekuasaan pemerintah, seperti gubernur, bupati, camat, dsb atau suatu majelis umum (parlemen, dewan perwakilan daerah, dsb.) Perlu dicatat bahwa penghinaan ini bukan mengenai orangnya, jika yang dihina ialah orangnya sebagai pegawai negeri yang sedang melakukan kewajiban jabatannya yang sah, dikenakan pasal 316. Terkhusus pasal 154 sampai 157 dan 207 ini, disebut sebagai pasal-pasal tentang Haatzai Artikelen. Berasal dari bahasa Belanda, Haat 44
artinya (benih) kebencian, zaaien berarti menabur, menanam beinih (perselisihan, kebencian), artikel yaitu tulisan atau karangan, bentuk jamaknya adalah artikelen. Jadi haatzai artikelen yaitu karangan-karangan yang menabur benih kebencian.
Pasal 208 (penghinaan terhadap penguasa) (1) Barangsiapa menyiapkan, mempertotonkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya penghinaan bagi sesuatu kekuasaan yang ada di Negara Kesatuan Indonesia atau bagi sesuatu majelis umum yang ada di sana, dengan niat supaya isi yang menghina itu diketahui oleh orang banyak atau lebih diketahui oleh orang banyak, dihukum penjara selama-lamanya empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,(2) Kalau sitersalah melakukan kejahatan itu dalam pekerjaannya dan pada waktu melakukan kejahatan itu belum lewat 2 tahun sesudah tetap hukumannya yang dahulu sebab kejahatan yang serupa itu juga, maka ia dapat dipecat daripada menjalankan jabatannya itu. (K.U.H.P. 137 s, 144, 145, 155, 157, 282, 321, 433 s, 488). Pasal 208 merupakan delik penyebaran dari Pasal 207. Yang
dihukum
yaitu
orang
yang
menyiarkan,
mempertotonkan
atau
menempelkan tulisan atau gambar yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan yang ada di Indonesia dengan maksud diketahui orang banyak.
Pasal 282 (melanggar kesusilaan/pornografi) (1)Barangsiapa menyiarkan, mempertotonkan atau menempelkan dengan berterang-terangan suatu tulisan yang diketahui isinya, atau suatu gambar atau barang yang dikenalnya yang melanggar perasaan kesopanan, maupun membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan, gambar atau barang itu untuk disiarkan, dipertotonkan atau ditempelkan sehingga kelihatan oleh orang banyak, ataupun dengan berterang-terangan atau dengan menyiarkan suatu surat, ataupun dengan berterangterangan diminta atau menunjukkan bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh didapat, dihukum penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,-. 45
(2)Barangsiapa menyiarkan, mempertotonkan atau menempelkan dengan berterang-terangan suatu tulisan, gambar atau barang yang melanggar perasaan kesopanan, meupun membawa masuk, mengirimkan terus, membawa keluar atau menyediakan surat, gambar atau barang itu untuk disiarkan, dipertotonkan atau ditempelkan, sehingga kelihatan oleh orang banyak ataupun dengan berterang-terangan atau dengan menyiarkan sesuatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan, gambar atau barang itu boleh didapat, dihukum oenjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyakbanyaknya Rp 4500,- jika ia ada alasan yang sungguh-sungguh untuk menduga, bahwa tulisan, gambar atau barang itu melanggar perasaan kesopanan. (3)Jika melakukan kejahatan yang diterangkan dalam ayat pertama dijadikan suatu pencaharian atau kebiasaan, oleh tersangka, dapat dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 75.000. (K.U.H.P 37, 137, 144, 161, 208, 283 bis, 310, 321, 483 s, 533). Pornografi
dimasukkan
dalam
tindak
pidana
pers
karena
perbuatannya menyiarkan dan mempublikasikan tulisan yang isinya melanggar kesusilaan yang ditujukan pada umum. Perbedaan antara ayat (1) dan (2), yaitu di ayat (1) pembuat mengetahui
perbuatan
itu
melanggar
kesusilaan,
sebagai
bentuk
kesengajaan. Sedangkan pada ayat kedua, mengandung unsur kulpa, yaitu sikap batin pembuat terkait perbuatan dan akibat yang akan ditimbulkan. Si pembuat kurang melakukan pertimbangan dalam berbuat dan tidak hati-hati bahwa perbuatan yang dilakukan menyerang nilai-nilai moral
dan
kesusilaan
mempertimbangkan
masyarakat.
terhadap
Padahal
kemungkinan
semestinya
dari
pembuat
perbuatannya
itu
melanggar nilai-nilai kesusilaan masyarakat.
46
b. Private Libel Tindak pidana pers yang digolongkan dalam private libel, yaitu tindak pidana pers terhadap orang perorangan. Mulai dari Pasal 310 hingga 315 KUHP. Dalam penelitian Penulis, jurnalis warga atas karyanya paling sering tersandung pasal yang bersifat private libel ini. Pasal-pasal itu yaitu sebagai berikut:
Pasal 310 (Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik/Penghinaan) (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selamalamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500,(3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa si pembuat melakukan hal itu untuk kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri. (K.U.H.P. 134 s, 142 s, 207, 311 s, 319 s, 483, 488). Unsur perbuatan pencemaran adalah menyerang (aanranden).
Berbeda
dengan
penganiayaan,
objek
penyerangannya
adalah
kehormatan dan nama baik seseorang. Nama baik (goeden naam) adalah perasaan/harga diri atau martabat yang didasarkan pandangan atau penilaian yang baik dari orang-orang lain/masyarakat terhadap orang atau seseorang dalam pergaulan hidup dalam masyarakat.60 Kehormatan (eer) yaitu rasa/perasaan harga diri atau harkat martabat yang dimiliki orang yang disandarkan pada tata nilai (adab) kesopanan dalam pergaulan hidup sesama di masyarakat.61 Penghinaan harus dilakukan dengan cara 60 61
Adami Chazawi, Prija Djatmika, dan Ardi Ferdian, op. Cit., hlm. 119. Ibid.
47
menuduh seseorang telah melakukan perbuatan tertentu, perbuatan yang dituduhkan dapat
berupa perbuatan biasa tidak harus perbuatan yang
melawan hukum seperti mencuri,
membuunuh, dsb.
Perbuatan
pencemaran ini dilakukan dengan sengaja agar diketahui secara umum. Pasal 310 ayat (2) merupakan pencemaran yang dilakukan dengan tulisan. Jurnalis warga yang menghasilkan karya jurnalistik dalam bentuk tulisan, dapat dikenakan pasal ini. Pasal 310 ayat (2) yang memiliki syarat khusus pencemaran melalui tulisan inilah yang termasuk dalam tindak pidana pers. Karya jurnalistik dapat dianggap melawan hukum jika mengandung uncur pencemaran terhadap kehormatan atau nama baik seseorang.
Pasal 311 (Fitnah/Pencemaran Tertulis) (1) Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ini diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tiada dapat membuktikan dan tujuan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. (2) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35 No. 1-3 (KUHP 312 s, 316, 319, 488). Terdapat tiga syarat dari pasal ini, yaitu di dalam fitnah terdapat
pencemaran baik lisan maupun tertulis, perbuatan yang dituduhkan dalam pencemaran itu tidak dilakukan oleh tertuduh, dan pembuat atau yang memfitnah tahu bahwa isi tuduhan itu tidak benar. Jadi pada intinya jika orang yang menuduh orang lain melakukan suatu perbuatan (terdakwa) diizinkan oleh hakim untuk membuktikan tuduhannya, dan ternyata apa yang dituduhkan itu tidak benar, maka ia dikenakan pasal ini.
48
Pasal 315 (Penghinaan ringan dengan tulisan) Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik di tempat umum dengan lisan, atau dengan tulisan, maupun di hadapan orang itu sendiri dengan lisan atau dengan perbuatan, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500. (K.U.H.P. 134 s, 142 s, 310, 316, 319, 488). Pasal 315 merupakan penghinaan ringan. Jika pasal sebelumnya
harus
menuduh
suatu
perbuatan,
pasal
ini
dilakukan
dengan
menggunakan kata-kata hinaan. Penghinaan ini baik melalui lisan maupun tulisan harus dilakukan di tempat umum atau jika tidak harus dilihat atau didengar langsung oleh orang yang dihina. Jika melalui surat maka harus dikirimkan langsung kepada orang yang dihina. 4. Tindak Pidana Pers dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang merupakan lex specialis memuat tindak pidana pers di dalamnya. Tindak pidana pers dalam UU ini terkhusus pada penyebaran informasi elektronik. Dalam praktiknya, mengingat pertumbuhan internet yang sangat pesat saat ini, maka jurnalis warga paling sering dikenakan UU ITE. Beberapa pasal dalam UU ITE yang digolongkan tindak pidana pers yaitu sebagai berikut: a.
Pasal 27 ayat (1) Mendistribusikan dan Lain-Lain Informasi Elektronik yang Mengandung Muatan yang Melanggar Kesusilaan
49
Pasal 27 Ayat (1) : setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Terdapat dua objek tindak pidana dalam pasal ini yaitu informasi dan dokumen elektronik
yang
memiliki
muatan
yang
melanggar
kesusilaan. Informasi elektronik berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Pengertian dokumen elektronik berdasarkan Pasal 1 angka 4 adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancanga, foto atau sejenisnya, huruf, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau srti atau dapat dipahami oleh seseorang yang dapat memahaminya. Informasi
elektronik
dan/atau
dokumen
elektronik
yang
mengandung muatan melanggar kesusilaan itu tentunya dilakukan dengan sengaja untuk disebarkan dan tanpa adanya hak. Terkait arti unsur 50
“muatan yang melanggar kesusilaan” pada pasal ini, dalam UU ITE sendiri tidak ditemukan keterangan atau petunjuk mengenai arti unsur ini. Terdapat dua cara untuk memberi arti unsur tersebut. Cara sempit yaitu menghubungkan dengan jenis-jenis tindak pidana kesusilaan dalam Bab XIV Buku II KUHP. Akan tetapi jika tindak pidana dalam KUHP itu terbukti, yang diterapkan adalah pasal dalam UU ITE, jika yang memuat unsur yang melanggar kesusilaan adalah informasi elektronik atau dokumen elektronik yang termaksud dalam UU ITE. Karena UU ini bersifat lex specialis. Cara kedua, yaitu cara luas, bila suatu kasus tidak ada hubungannya dengan pasal-pasal dalam Bab XIV Buku II KUHP. Dapat dengan menafsirkannya dari sudut sosial dan menyerahkannya pada penilaian umum di tempat dan pada waktu perbuatan itu dilakukan. 62
b.
Pasal 27 ayat (3) Mendistribusikan dan Lain-Lain Informasi Elektronik
yang
Mengandung
Muatan
Penghinaan
dan/atau
Pencemaran Pasal 27 ayat (3) : setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
62
Adami Chazawi, Prija Djatmika, dan Ardi Ferdian, op. Cit., hlm. 195
51
Pasal 27 ayat (3) ini yang paling populer di antara pasal lain. Semakin luasnya dunia maya dan canggihnya elektronik, mengakibatkan pasal ini sering menjadi senjata bagi yang merasa dirugikan terkait suatu tulisan yang disebarkan melalui media elektronik. Ada dua sisi yang menarik, di satu sisi, pasal ini dapat mengendalikan kebebasan seseorang dalam berekspresi dan menuangkan pikiran agar tidak kebablasan dan merugikan orang lain. Namun, pasal ini juga sering dianggap membatasi kebebasan berpendapat seseorang, menyinggung sedikit saja sudah bisa dipermasalahkan. Sama seperti pasal sebelumnya di atas, frasa “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” tidak dijelaskan dalam UU ITE, penghinaan dan/atau pencemaran bagaimana yang dimaksud. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Pasal 27 ayat (3) ini merupakan lex specialis dari penghinaan (beleediging) Bab XVI Buku II KUHP. Namun, memisahkan penghinaan dengan pencemaran nama baik sedikit membingungkan, dalam KUHP bentuk penghinaan ada 6, yaitu: 1.pencemaran lisan dan pencemaran dengan tulisan atau gambar (Pasal 310); 2.fitnah (Pasal 311); 3.penghinaan ringan (Pasal 315); 4.pengaduan fitnah (Pasal 317), 5.menimbulkan persangkaan palsu (Pasal 318); 6.pencemaran orang mati (Pasal 320 dan 321), juga termasuk penghinaan terhadap seorang pejabat yang sedang atau karena menjalankan
52
tugasnya yang sah (pasal 316 jo 319) yang merupakan alasan pemberatan pidana Pasal 310, 311 dan 315. 63 Unsur “penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” membingungkan
karena
seakan
memisahkan
juga
penghinaan
dan
pencemaran. Padahal salah satu bagian penghinaan (beleediging) adalah pencemaran (smaad). Pencantuman nama baik di belakang juga menimbulkan masalah, karena berdasarkan konsepsi penghinaan dalam KUHP,
khususnya
pencemaran,
objek
tindak
pidananya
adalah
kehormatan (eer) dan nama baik (goede naam). Di luar ketidakjelasan di atas, untuk menerapkan Pasal 27 ayat (3) harus dibuktikannya salah satu jenis penghinaan, utamanya pencemaran dalam BAB XVI BUKU II KUHP. Kedudukan khusus dari penghinaan utamanya jenis pencemaran dalam pasal 27 ayat (3) UU ITE dilakukan dengan
mendistribusikan,
diaksesnya
informasi
mentransmisikan
atau
dokumen
atau
membuat
elketronik,
jadi
dapat dengan
memanfaatkan sarana teknologi ITE.64 c.
Pasal 28 ayat (2) Tindak Pidana Sengaja dan Tanpa Hak Menyebarkan Informasi untuk Menimbulkan Rasa Kebencian atau Permusuhan Pasal 28 ayat (2) : setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
63
Adami Chazawi, Ardi Ferdian, 2015, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik, Media Nusa Creative, Malang, hlm. 72. 64 Adami Chazawi, Prija Djatmika, dan Ardi Ferdian, op. Cit., hlm. 197.
53
masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 28 ayat (2) ini terdapat unsur sengaja, tanpa hak dan perbuatan menyebarkan di dalamnya. Objeknya berupa informasi yang bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Pada kesimpulannya karya jurnalistik adalah karya yang dihasilkan dari kegiatan atau aktivitas yang berkaitan dengan mencari, mengolah, menulis, mengedit informasi yang bernilai berita, untuk kemudian karya itu disebarluaskan. Karya jurnalistik dapat dianggap bersifat melawan hukum, dalam hal ini jika karya yang dihasilkan jurnalis itu isinya mengandung unsur tindak pidana dan dipublikasikan. Tindak pidana mempublikasikan berita dengan tulisan yang isinya bersifat melawan hukum, tersebar di KUHP maupun perundang-undangan lainnya. Kelompok tindak pidana ini dikenal dengan istilah tindak pidana pers. Tindak pidana pers adalah sekelompok tindak pidana yang dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan berita/informasi ke publik dengan menggunakan barang cetakan (tulisan). Yang termasuk tindak pidana pers di dalam KUHP dapat digolongkan menjadi dua, yaitu Public Libel yang mengatur pelanggaran atau kejahatan melalui perantara tulisan terhadap negara dan pejabat negara serta terhadap masyarakat (public libel) seperti pasal 112, 113, 134, 144, 154, 156a, 157, 207 dan Private 54
Libel yaitu tindak pidana pers terhadap orang perorangan. Mulai dari Pasal 310 hingga 315 KUHP. Serta di luar KUHP, seperti yang terdapat dalam UU ITE Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), dan Pasal 28 ayat (1).
B. Perlindungan Hukum Terhadap Jurnalis Warga Sejak era reformasi tahun 1998. Keran-keran demokrasi mulai dibuka. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) hadir guna menjamin
kemerdekaan
pers.
Perlindungan
dan
jaminan
dalam
melakukan kegiatan jurnalistik diberikan kepada jurnalis. Kemerdekaan pers tercantum dengan jelas dalam Pasal 2 UU Pers, bahwa “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.” Bentuk jaminan terhadap kemerdekaan pers dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 4. Pasal 4, ayat (1) yaitu, “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.” Yang dimaksud bunyi pasal tersebut, dalam penjelasan dijelaskan bahwa, Pers bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat untuk memperoleh informasi terjamin. Kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum yang dilaksanakan oleh pengadilan, dan tanggung jawab profesi yang dijabarkan dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers.
55
1. Jurnalis warga dan kaitannya dengan UU Pers Berdasarkan pasal-pasal dalam UU Pers yang telah diuraikan sebelumnya, jurnalis warga (citizen journalist) apakah dapat diakomodir oleh UU Pers dalam hal mencari, memperoleh, dan menyebarluskan gagasan dan informasi. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, melihat dari segi subyeknya. Jurnalis warga jelas tidak disebutkan dalam UU Pers. Mengingat UU Pers dibentuk pada tahun 1998, sementara jurnalis warga baru muncul dan berkembang sejak teknologi informasi tumbuh pesat dan munculnya era internet. Dalam UU Pers, yang dengan jelas diberikan perlindungan hukum adalah wartawan. Pasal 8 menyatakan bahwa dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Perlindungan hukum dalam penjelasan pasal, yaitu jaminan perlindungan Pemerintah dan atau masyarakat kewajiban,
kepada dan
wartawan
peranannya
dalam sesuai
melaksanakan dengan
fungsi,
ketentuan
hak,
peraturan
perundang-undangan. Pengertian wartawan sendiri dalam UU Pers, hanya dijelaskan sebagai orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik (Pasal 1 angka 4). Jika melihat pengertian ini, warga yang melakukan kegiatan jurnalistik dapat dikategorikan wartawan.
56
Namun, wartawan yang dimaksud di sini ialah jurnalis profesional yang tergabung dalam suatu perusahaan pers. Pasal 1 angka (2) UU Pers menyatakan: Perusahan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. Wartawan juga memiliki standar kompetensi wartawan dengan mengikuti uji kompetensi berdasarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan-DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan. Meskipun kenyataannya masih sedikit wartawan yang mengikuti uji kompetensi dan telah memenuhi standar kompetensi. Setidaknya beberapa ketentuan mengenai wartawan itu menjelaskan bahwa tidak serta merta setiap orang dapat menjadi wartawan. Jurnalis warga yang tidak bernaung di bawah perusahaan pers, dan kebanyakan bersifat individu, akan sulit dikatakan sebagai wartawan. Terlebih lagi jika melihat faktor pengalaman dan pegetahuan jurnalistik yang jelas berbeda. Muliadi Mau65, menurutnya jurnalis warga meskipun melakukan kerja jurnalistik tidak dapat dikatakan sebagai wartawan. Berikut pendapatnya mengenai jurnalis warga: Kini berkembang jurnalisme warga. Jurnalis warga itu statusnya adalah sebagai warga negara, yang mencoba mencari, 65
Wawancara, 6 Maret 2016
57
mengumpulkan, melaporkan semua peristiwa yang terjadi di sekitarnya, yang berkaitan dengan isu-isu publik, yang dilakukan secara independen. Pendapat serupa juga dituturkan Rahmat Hardiansya selaku Wakil Koordinator Divisi Organisasi Pengembangan dan Profesi AJI Makassar dan juga Pimpinan Redaksi media cetak dan online Makassar Terkini. Berdasarkan UU dan parktiknya menurutnya jurnalis warga berbeda dengan wartawan. Ia mengatakan, “Warga yang membuat berita atau karya jurnalistik berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik bukan wartawan.”66 Jurnalis warga yang tidak berstatus sebagai wartawan, tidak mendapat perlindungan hukum yang secara eksplisit dijelaskan dalam UU Pers tepatnya pada Pasal 8. Namun, jika wartawan yang dilindungi adalah yang tergabung dalam suatu perusahaan pers, menurut Penulis juga masih belum tepat. Berdasarkan penelusuran di situs dewanpers.or.id67, ada 1300 perusahaan pers yang tercantum di data Dewan Pers. Dengan rincian 1030 media berjenis cetak, dan 270 berbentuk siber (media online). Melalui data yang diunggah dewan pers, dapat dilihat jumlah perusahaan pers yang statusnya telah terverifikasi administrasi dan berapa yang belum memenuhi standar perusahaan pers. Dari total 1300 hanya 264 media yang telah terverifikasi administrasi. Dengan rincian 235 media cetak dan 29 media siber yang terverifikai administrasi. Sisanya berstatus “belum memenuhi standar perusahaan pers”. Jika perusahaan pers yang 66 67
Wawancara, 22 Februari 2016 http://dewanpers.or.id diakses 17 Mei 2016
58
menaungi
wartawan
perusahaan pers,
masih
berstatus
belum
memenuhi
standar
jurnalis yang bekerja di perusahaan tersebut juga
masih berada di ranah abu-abu untuk dikatakan sebagai wartawan. Jika seperti itu, menurut Penulis status wartawan tersebut tidak jauh berbeda dengan jurnalis warga yang independen. Meski jurnalis warga memang bukan wartawan yang mendapat perlindungan hukum. Namun perlindungan terhadap jurnalis warga dapat diberikan melihat dari cara pandang kedua yaitu berdasarkan kegiatan jurnalistik yang dilakukan dan karya jurnalistik yang dihasilkan. Setiap orang pada dasarnya memiliki hak mengeluarkan pendapat dan informasi. Hal itu dapat dilihat dari beberapa aturan dasar yang tak hanya berlaku lingkup nasional. Seperti dalam Pasal 19 Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) yang mulai berlaku tanggal 23 Maret 1966. Pasal 19 ICCPR menyebutkan bahwa : 1. Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa mendapatkan campur tangan. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat; hak ini harus meliputi kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua jenis pemikiran terlepas dari pembatasan-pembatasan, secara lisan, tulisan atau cetakan, dalam bentuk karya seni, atau melalui sarana lain yang menjadi pilihannya sendiri. 3. Pelaksanaan hak-hak yang diberikan dalam ayat (2) pasal ini menimbulkan kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu dapat dikenai pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi hal ini hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan hanya sepanjang diperlukan untuk : 59
a. Menghormati hak dan nama baik orang lain; b. Menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau kesusilaan umum. 68 Kebebasan mengeluarkan pendapat di Indonesia sendiri termaktub dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) menyatakan: “Kemerdekaan berserikat, dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dalam amandemen kedua, bahkan lebih dirinci lagi dalam Pasal 28F, yaitu: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Hal
di
atas
merupakan
ketentuan
mendasar
terkait
hak
mengeluarkan pendapat, memperoleh dan menyebarkan informasi. Jurnalis warga sebagai warga negara memiliki hak-hak yang telah diakui tersebut. Hak mengeluarkan pendapat dan menyebarkan informasi jelas bukan hanya milik jurnalis profesional. Berbicara lebih khusus ke ranah jurnalistik, UU Pers merupakan aturan yang mengkhususkan pada sisi “pelaksanaan kegiatan jurnalistik”, serta
mengatur
cukup
ringkas
dan
tegas
tentang
pers
dalam
68
Adami Chazawi, Prija Djatmika, dan Ardi Ferdian, 2015, Tindak Pidana Pers, CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 259-300.
60
melaksanakan kegiatan jurnalistik.69 Kegiatan jurnalistik dijelaskan pada Pasal 1 angka 1 dengan rumusan: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Karena jurnalis warga tidak dapat dipisahkan dengan karya jurnalistik yang dihasilkan. Selama karya jurnalistik yang dihasilkan sesuai dengan kegiatan jurnalistik yang dimaksud dalam undang-undang yaitu merupakan hasil proses mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang
tersedia,
maka
UU
Pers
dapat
dijadikan
rujukan
dalam
perlindungannya. Berdasarkan hasil wawancara Penulis dengan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makassar, Fajriani Langgeng 70 mengatakan bahwa: Perlindungan hukum jurnalis warga walupun tidak tertuang dengan jelas, ketika dia melakukan kerja jurnalistik harus dilindungi UU Pers, apalagi jika masuk di media pemberitaan seperti detik, tribun, dll. Maka sudah masuk kategori jurnalis. Di luar itu selama berbentuk karya jurnalistik, mengikuti kode etik jurnalistik, bisa 69
Irman Syahriar, op. cit., hlm.20.
70
Wawancara 18 Mei 2016
61
diberikan kepastian hukum ketika memenuhi kategori jurnalistik seperti cover both side, tidak berpihak, informasi yang disebarkan untuk publik. Kegiatan jurnalis warga itu adalah hak sipil dan politik yang dimilliki. Blogger menurut Direktur LBH Pers Makassar ini juga dapat dilindungi. Diakuinya bahwa UU Pers tidak meng-cover secara detail, tetapi selama isinya menganut aspek kepentingan publik, berisi edukasi untuk masyarakat, mengandung unsur 5W+1H, dan berdasarkan proses mencari, mengolah sesuai prinsip dan kode etik jurnalistik maka dapat diberikan perlindungan. Fajriani Langgeng mengatakan, “Karya jurnalistik, ketika ases informasi untuk publik, informasi apapun yang dibutuhkan publik, dapat dilindungi oleh UU Pers.” Untuk blogger, salah satu organisasi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sejak tahun 2014 mulai mengakomodir blogger dan memberikan kesempatan kepada blogger untuk bergabung dengan AJI. Rahmat Hardiansya mengatakan bahwa AJI mengakui blogger yang betul-betul tulisannya berdasarkan liputan, blogger yang berisi berita dan mereka yang melakukan penulisan dan peliputan sendiri. Terhadap jurnalis warga, senada dengan Fajriani Langgeng 71, menurutnya harus dianalisa dari karya jurnalistik yang dihasilkan warga itu. Mengandung unsur jurnalisme atau tidak, tulisan berupa fakta, minimal mengandung unsur 5W+1H dan cover both side. Jika memenuhi unsurunsur itu, AJI sebagai organisasi wartawan dapat membantu jurnalis 71
Wawancara 18 Mei 2016
62
warga yang terlibat masalah dengan pemberitaannya. Rahmat Hardiansya mengutarakan bahwa: Jurnalis warga dalam menulis berita, pertama harus melakukan konfirmasi langsung ke sumber, jika tidak bisa, masih bisa dimaklumi kalau berbasis data, jika tidak akan susah membedakan mana fitnah mana fakta. Kalau berbasis data faktanya ada tanpa konfirmasi, tapi kalau tanpa data harus ada konfirmasi. Fakta menurut Muliadi Mau72 juga merupakan syarat terpenting dalam menulis berita. Tidak semua informasi dapat menjadi berita, dan fakta yang ada harus dapat diverifikasi. Isi berita yang ditulis jurnalis warga berkaitan dengan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Seperti penuturan Muliadi Mau berikut: Harus tunduk pada prinsip-prinsip jurnalisme secara umum. Harus cover both side. Tunduk pada unsur jurnalistik. Jurnalis warga menulis sebagai warga Negara. Jadi isi yang ditulis harus berkaitan dengan hak dan kewajibannya sebagai warga negara, berkaitan dengan isu publik, atau informasi publik. Teruntuk warga yang gemar menulis opini, jika pemuatannya melalui media pribadi atau bukan produk perusahaan pers, bukan melalui pers mainstream73 masih menimbulkan perdebatan dapat digolongkan sebagai jurnalis warga atau tidak. Menurut Muliadi Mau, warga yang hanya menulis opini tidak termasuk jurnalis warga. Jurnalis warga adalah yang menyusun berita.
72
Wawancara 6 Maret 2016 Pers mainstream berdasarkan buku Penegakan Hukum Persi karya Irman Syahriar adalah koran harian dan mingguan, tabloid, dan majalah yang telah terbit dalam jangka waktu sedikitnya dua tahun, yang dikenal dan dibaca oleh publik yang luas serta jelas pertanggungjawaban pengelolaannya. 73
63
Karena jika melihat pada profesi wartawan, yang termasuk wartawan ialah yang menulis berita. Ia mengatakan: Berita itu adalah laporan tentang peristiwa, ide, gagasan, dan opini orang lain, bukan opini pribadi wartawan itu sendiri. Jurnalisme warga harus melaporkan apa yang dia lihat, dengar, dan saksikan. Bagaimana bentuk laporan beritanya tidak menjadi masalah, meski misalnya hanya satu paragrap. Merujuk kepada format berita yang bermacam-macam, ada judul, lead, tubuh berita. Biasanya hanya judul dan leadnya mungkin karena faktor kecakapan. Jadi, dia bisa saja membuat judul dan leadnya saja, breaking saja.
Pendapat
berbeda
mengenai
warga
yang
menulis
opini,
disampaikan oleh Ketua Umum Persatuan Pewarta Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke. Menurutnya penulis opini termasuk jurnalis warga. Penulis opini termasuk jurnalis warga, karena dalam menulis opini (juga bentuk tulisan lainnya yang dipublikasikan) pasti terdapat proses jurnalistik di dalamnya yakni: mengumpulkan informasi/data, menyimpan, mengolah, dan mempublikasikan informasi dan data tersebut menggunakan media massa, termasuk media sosial.”74
Menurut Penulis, opini lebih bersifat subjektif, isi opini lebih banyak mengandung pendapat pribadi dan pandangan Penulis opini, berbeda dengan berita yang murni fakta temuan dan hasil klarifikasi berbagai pihak terkait peristiwa yang diliput, dalam berita haram hukumnya memasukkan opini Penulis pribadi di dalamnya. Opini sulit bersifat berimbang karena biasanya berisi keberpihakan Penulis, tidak jarang opini yang bersifat menyudutkan.
Oleh karena itu opini yang disebarkan melalui media
pribadi, sulit mendapatkan perlindungan hukum jika berdasar UU Pers.
74
Wawancara Wilson Lalengke melalui email, jawaban diterima 8 Mei 2016.
64
Kecuali terkait hak kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, itupun harus dilihat kembali isinya mengandung unsur-unsur yang terdapat dalam delik pers atau tidak. PPWI
sendiri
merupakan
organisasi
pewarta
warga
untuk
mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan pewarta warga Indonesia baik di dalam maupun luar negeri. Anggota PPWI pemegang ID Card PPWI hingga saat ini berjumlah 2700 orang. PPWI yang dideklarasikan oleh para pewarta warga pada 11 November 2007 ini pusatnya terletak di Jakarta. Wilson Lalengke mengutarakan bahwa: PPWI adalah badan hukum berbentuk organisasi, wadah berkumpul para jurnalis warga, sama seperti PWI, AJI, KWRI dan ratusan organsiasi pers lainnya. Perusahaan pers dikelola oleh para individu maupun kelompok orang yang melakukan kegiatan jurnalistik. Di PPWI, ada Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI) dan puluhan media yang tergabung dalam PPWI Media Group, yang dikelola oleh para anggota PPWI di berbagai daerah. Di antara 42 media yang tergabung dalam PPWI Media Group tersebut, beberapa media berbadan hukum PT (perusahaan terbatas). Sementara, media KOPI bernaung di bawah badan hukum PPWI dengan Akte Notaris Nomor 17 tanggal 19 November 2007 dari Notaris Abdul Salam, S.H., yang didalamnya termaktub pasal-pasal terkait ruang lingkup usaha/kegiatan organisasi PPWI, antara lain, pendidikan, peningkatan SDM, publikasi dan media massa. Mengenai UU Pers yang tidak mengatur secara spesifik tentang jurnalis warga, Wilson mengatakan bahwa kegiatan jurnalis warga merupakan pelaksanaan ketentuan di Pasal 17 ayat (1) UU Pers. Dalam bab yang berjudul Peran Serta Masyarakat, pasal 17 ayat (1)
menyatakan,
“Masyarakat
dapat
melakukan
kegiatan
untuk
65
mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.” Selanjutnya di pasal 17 ayat (2) dijabarkan lebih rinci, bahwa kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa, a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers; b. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. Menurut
Wilson
Lalengke,
karya
jurnalis
warga
sebaiknya
memenuhi unsur berimbang. Namun, hal itu tidak menjadi keharusan yang kaku/mutlak, yang menjadi esensi pemberitaan dan publikasi karya jurnalis warga adalah informasi yang benar, jujur, dan sesuai fakta serta kecepatan. Unsur cover both side (berita berimbang dari dua-tiga bahkan semua pihak) akan terpenuhi ketika beberapa orang memberitakan obyek yang sama dari sisi dan sudut liputan yang berbeda, sehingga informasi yang terpublikasi bukan lagi both side, tetapi lebih dari itu multi side. Demikian juga pada unsur 5W+1H, unsur yang luput dari seorang jurnalis warga saat memberitakan sesuatu obyek dapat terlengkapi oleh jurnalis warga lainnya yang juga mempublikasikan obyek yang sama, sehingga bukan lagi 5W+1H, bahkan lebih dari itu menjadi 5W+3H (How, How many, dan How much). Kesimpulan
yang
dapat
diperoleh,
bahwa
siapapun
yang
melakukan kegiatan jurnalistik dan menghasilkan karya jurnalistik, dalam hal ini jurnalis warga, memungkinkan mendapat perlindungan seperti wartawan, bahkan dipayungi UU Pers, selama karya jurnalistik yang
66
dihasilkan sesuai sesuai dengan prinsip jurnalisme dan kode etik jurnalistik (KEJ). 2. Jurnalis Warga dan Etika Jurnalisme Pada intinya prinsip-prinsip utama etika jurnalisme yang semestinya dianut yaitu yang pertama akurasi, bahwa berita yang ditulis benar substansinya, fakta-faktanya dan Penulisannya, dan berasal dari sumber informasi yang otoritatif dan kompeten, serta tidak bias.
Selanjutnya
independensi, informasi yang disampaikan bukan hasil intervensi dari pihak manapun, dalam hal ini jurnalis warga menyampaikan berita karena kepentingan publik. Berikutnya objektivitas dan keberimbangan, pada prinsip ini usaha cover both side dilakukan, objektivitas mencegah jurnalis warga bersifat subjektif atau hanya berdasarkan sudut padang pribadi dalam menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi dan tidak berat sebelah, keberimbangan dimaksud bahwa jurnais warga memberikan porsi yang berimbang dalma pemberitaannya. Selanjutnya yaitu prinsip menghormati privasi, menghormati asas praduga tak bersalah serta akuntabilitas kepada publik, jurnalis warga harus meniatkan sejak awal bahwa hasil karyanya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. PPWI yang merupakan organisasi dan penyedia media bagi jurnalis warga turut menganut prinsip-prinsip tersebut bagi jurnalis warga yang ingin mempublikasikan tulisannya. Wilson Lalengke menuturkan : Di lingkungan PPWI, kegiatan jurnalisme warga dilakukan dengan sebuah cita-cita besar: "Mewujudkan komunitas warga masyarakat 67
Indonesia yang cakap-media, yakni yang cerdas, kreatif, dan bertanggung jawab dalam berbagi informasi melalui media massa serta mampu merespon dengan benar setiap informasi yang diperoleh dari media massa." Oleh karena itu, segala pemberitaan dan publikasi dilakukan dengan baik, dari proses yang baik, pengolahan yang baik, hingga kepada cara penyajian publikasi yang baik. Semua dilakukan bukan untuk menghindari jeratan hukum, tetapi adalah untuk mewujudkan cita-cita besar tadi. Bagi PPWI, kegiatan jurnalisme sesungguhnya merupakan proses interaksi belajar-mengajar alias pendidikan di luar lembaga pendidikan formal. Prinsip ini menjadi dasar berpikir dan berjurnalisme warga yang memperhatikan sungguh-sungguh beberapa poin berikut dalam pemberitaan/publikasi, yakni: 1. Pewarta warga mempublikasikan hanya info/data yang benar-benar diketahui kebenarannya, didengar secara langsung dari narasumber yang melihat/mengetahui secara langsung, dirasakan dan dialami sendiri, dan/atau hasil pemikiran sendiri. Contoh: berita tentang peristiwa kecelakaan, jika si pewarta PPWI tidak menyaksikan atau tidak mendengar informasinya dari narasumber yang melihat langsung, sebaiknya tidak dipublikasikan, cukup menjadi referensi bagi diri sendiri. 2. Pewarta warga mempublikasikan dan/atau meneruskan hanya informasi/data yang memiliki kandungan informasi positif, menginspirasi, menyemangati hidup, dan memotivasi setiap warga untuk melakukan kebaikan, kebaikan dan kebaikan sahaja. Contoh: informasi tentang kegiatan gotong-royong warga lintas agama membangun masjid, bangun gereja, pura, wihara, warga bangun sekolah, jalan, dan lain-lain. Pewarta warga bukan mencari berita ke tempat yang jauh dari lingkungan kerjanya (terkecuali anggota PPWI yang berprofesi sebagai wartawan profesional, kurang-lebih 30 persen dari jumlah anggota keseluruhan PPWI), tetapi mereka mewartakan segala kejadian, peristiwa, atau kegiatan yang mereka saksikan, bahkan mereka sendiri terlibat dalam kegiatan tersebut. 3. Pewarta warga menghindari "Kekonyolan menjadi Selebritas" dengan tidak menyebarluaskan sesuatu yang mengandung informasi negatif, provokatif-destruktif, memecah-belah publik, dan sejenisnya sehingga sesuatu tersebut menjadi fokus gunjingan publik, terkenal, dan dianggap sangat penting dimana-mana. Contoh: kaos palu-arit, yang hanya digandrungi belasan anak muda labil yang masih mencari jati dirinya di sebuah RT di Jateng, menjadi "selebriti" terkenal seantero nusantara hanya dalam hitungan hari akibat kerja jurnalis warga yang mempublikasikan dan menyebarluaskan foto/berita tentang yang bersangkutan. 68
4. Pewarta warga dituntut untuk memilah dan memilih informasi yang diperoleh ke dalam 3 kategori: informasi untuk publik, informasi untuk pribadi, dan untuk laporan ke aparat atau lembaga terkait.
Jurnalis warga harus ikut mempedomani Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ 2006 yang dikeluarkan Dewan Pers merupakan kesepakatan 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers pada 14 Maret 2006 di Jakarta. Di dalamnya telah lengkap diatur apa yang seharusnya dilakukan dan yang tidak dalam menyajikan karya jurnalistik. Pokok-pokok penting dari isi KEJ adalah sebagai berikut:75 1. Bersikap independen, menghasilkan berimbang, dan tidak beriktikad buruk.
berita
yag
akurat,
2. Menempuh cara-ara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. 3. Selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencapurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. 4. Tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. 5. Tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebuutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. 6. Tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. 7. Memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the record sesuai dengan kesepakatan. 8. Tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. 75
Zulkarimein Nasution, 2015, Etika Jurnalisme Prinsip-Prinsip Dasar, Rajawali Press, Jakarta, hlm.147.
69
9. Menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. 10. Segera mencabut, meralat, dan meperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. 11. Melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
3. Contoh Kasus yang melibatkan Jurnalis Warga
1. Kasus surat pembaca Khoe Seng Seng Kasus Khoe Seng Seng bermula dari tulisannnya di Koran Suara Pembaruan dan Kompas pada tahun 2006. Surat pembaca di dua media massa tersebut berisi keluhan status tanah yang dibelinya berupa Ruko di ITC Mangga Dua Jakarta Utara yang disebut sebagai hak guna bangunan (HGB) ternyata hanya diakui hak pengelolaan lahan (HPL) oleh Pemda DKI Jakarta.76 Pihak pengembang PT. Duta Pertiwi (Sinar Mas Group) kemudian menuntut Khoe Seng Seng atas tuduhan pencemaran nama baik ke polisi di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Pengadilan Negeri Jakarta Timur memutuskan Seng Seng bersalah dan dihukum enam bulan kurungan dengan percobaan satu tahun. Kasus ini sempat tersebar mellui pemberitaan. Dalam putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Seng Seng dianggap tidak bersalah dan dibebaskan dari hukuman. Kasus
76
https://m.tempo.co/read/news/2013/01/22/063456341/tulis-surat-pembaca-seng-sengdidenda-rp-1-miliar
70
masih bergulir hingga sekarang, karena selain pidana Seng Seng juga digugat secara perdata. Dalam kasus ini hanya Khoe Seng Seng sebagai Penulis yang dituntut. Tulisan Khoe Seng Seng yang penyebarannya melalui media koran, seharusnya masuk dalam ranah UU Pers. Sama halnya degan opini yang penyebarannya juga melalui media cetak atau siber dari sutau perusahaan
pers,
jika
opini
tersebut
bermasalah
media
yang
menyebarkannya ikut terlibat. Muliadi Mau77 menuturkan bahwa opini tetap melalui proses pengeditan redaksi, yang diedit adalah struktur bahasa. Meski tidak mengubah esensi opini Penulis, pihak keredaksian juga bertugas menilai apakah tulisannya mengandung unsur delik. Pada akhirnya keredaksian yang menentukan opini diterbitkan atau tidak. Sehingga menurut Muliadi Mau, meskipun pertanggungjawaban utamanya ada pada Penulis, media juga dapat terlibat karena media yang menentukan lolosnya tulisan ke publik. Hal serupa diutarakan Rahmat Hardiansya, ia mengatakan “Jurnalisme warga di dunia mainstream bisa dilindungi menggunakan UU Pers, kalau di koran, bisa saja dilindungi tidak mutlak, kecil kemungkinan, karena media pasti tidak mau mengambil beban besar jika ada masalah, pertanggungjawaban di media kenapa meloloskan tulisannya.”
77 77
Wawancara, 6 Maret 2016
71
Dalam hukum pidana dikenal yang namanya turut serta.
Pada
pasla 56 orang yang membantu melakukan kejahatan dapat dihukum. Pasal 56 KUHP berbunyi: (1) Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan : 1. Barangsiapa dengan kejahatan itu;
sengaja
membantu
melakukan
2. Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan melakukan kejahatan itu. Keredaksian
suatu
media
yang
menyediakan
sarana
dan
kesempatan tersebarnya tulisan yang dianggap melawan hukum dapat dikatakan sebagai medeplichtig. Mengingat delik untuk kasus pers dikatakan selesai jika telah disebarkan. Pertanggungjawaban media dalam hal pemberitaan diberikan kepada
penanggung
jawab
keredaksian.
Dalam
praktik
redaktur
(penanggung jawab redaksi atau pimpinan redaksi) hampir selalu dibebani pertanggungjawaban
pidana
terhadap
tersebarnya
tulisan
yang
mengandung sifat melawan hukum melanggar pasal tertentu dalam hukum pidana.78 Untuk tulisan yang termasuk dalam kategori berita yang dianggap mengandung unsur delik pers, jika publikasi tulisan itu melalui media pemberitaan, maka jelas menggunakan UU Pers. Karena berita yang masuk melalui proses editing terlebih dahulu di keredaksian.
78
Adami Chazawi, Prija Djatmika, dan Ardi Ferdian, op. Cit., hlm. 246.
72
Direktur LBH Pers, Fajriani Langgeng79, menurutnya ketika warga biasa
yang
menulis
berita,
melewati
proses
editing,
maka
pertanggungjawaban jika dituntut ada pada redaksi. Tentu proses penyelesaian masalah berbeda jika melalui mekanisme keredaksian. Seharusnya berita yang dianggap mengandung unsur tindak pidana, selama berkaitan dengan kode etik jurnalistik penyelesaiannya melalui hak koreksi, hak jawab atau ke Dewan Pers telebih dahulu sesuai yang diatur UU Pers. dengan
Terlebih ada nota kesepahaman antara Dewan Pers
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia.
Bertujuan
untuk
mewujudkan penegakkan hukum dan kemerdekaan pers, jika ada laporan atau pengaduan masyarakat terkait dugaan terjadi tindak pidana, maka kepolisian mengarahkan pengadu untuk melaksanakan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang terlebih dahulu, yaitu melalui mekanisme hak jawab, hak koreksi,dan pengaduan ke Deewan Pers. 2. Kasus yang pernah dialami Jurnalis Warga yang tergabung dalam PPWI Salah satu contoh kasusnya yaitu, dua jurnalis yang telah tergabung sebagai anggota PPWI, Umar Effendi Umar Effendi yang juga Pemimpin Redaksi media online Berita Atjeh.Net bersama Mawardi jurnalis di media online tersebut atas berita berjudul : "Diduga" Anggota DPR Aceh Booking Beberapa Kamar Hotel Bersama Dua Wanita Cantik” yang disebar melalui redaksi media online Berita Atjeh.Net pada tanggal 79
Wawancara 18 Mei 2016
73
27 April 2015 sekitar pukul 07.20 WIB. Atas berita itu pada tanggal 04 Mei 2015, anggota DPR yang dimaksud melaporkan pemberitaan tersebut ke Polres
Lhokseumawe,
dengan
nomor
surat
laporan/174/V/2015/aceh/reslsmw, dengan tuduhan kasus pencemaran nama baik. Polisi kemudian memanggil kedua jurnalis itu sebagai tersangka melanggar pasal 27 ayat (3) UU Informasi dan Transaksi Elektronik.80 Selain kasus terkait pemberitaan, jurnalis warga kerap mendapat ancaman. Seperti yang disampaikan Wilson Lalengke dalam hasil wawancara dengan Penulis berikut ini: Ancaman terhadap jurnalisme warga anggota PPWI juga beberapa kali terjadi, baik oleh aparat pemerintah daerah, politisi, aparat hukum, maupun masyarakat umum. Beberapa kasus yang dapat saya sampaikan, antara lain: 1. Kasus pengejaran (untuk dibunuh) Sdr. Erens Demu Hio oleh oknum Kepala Desa Ikantuanbeis, Kabupaten Belu, NTT dan para preman desa sewaan kepala desa. Saat itu, PPWI menyelamatkannya dengan menggerakkan semua jejaring PPWI di semua lini, seperti TNI dan Polri, DPD dan DPR-RI asal NTT, alumni Ford Foundation, LSM, serta pemerintah daerah (Wakil Bupati Belu) dan tokoh masyarakat. Pemicu masalah, Erens mempublikasikan penggelapan beras raskin oleh kepala desa di media lokal. 2. Kasus pengejaran Sdr. Andi Kamil di Nunukan, Kalimantan Timur (saat ini Kalimantan Utara) oleh oknum aparat polisi di Pos Polisi Pelabuhan Nunukan, karena mempublikasikan dugaan keterlibatan oknum tersebut dalam proses penyelundupan TKI ke Malaysia (Sabah) di media Kaltim Pos. PPWI mengatasi pengancaman tersebut dengan melibatkan jejaring PPWI di kalangan intelijen TNI dan Polri. 3. Kasus pengancaman Sdr. Muhammad Ali, dkk pengurus PPWI Makassar, oleh oknum Ombudsman Sulawesi Selatan akibat status di Fb yang ditulis oleh Muhammad Ali tentang buruknya perilaku oknum tersebut dalam melayani masyarakat 80
http://www.pewarta-indonesia.net/special-event/warta-ppwi/17192-pernyataansikap-ppwi-atas-kriminalisasi-dua-jurnalis-berita-atjeh.html, diakses 8 Mei 2016 74
pinggiran/miskin yang mengadukan nasibnya ke lembaga Ombudsman Sulsel. Dalam kasus ini PPWI menyampaikan surat protes resmi kepada oknum yang bersangkutan dengan tembusan ke berbagai instansi (Polda Sulselbar, Pemprov, dan Ombudsman Pusat).
Kasus-kasus di atas, menjadi contohnya rawannya posisi jurnallis warga. Jurnalis warga pada dasarnya dapat dipayungi UU Pers selama melakukan kegiatan jurnalistik dan karya yang dihasilkan berdasarkan prinsip etik jurnalisme dan kode etik jurnalistik. Hal tersebut karena UU Pers mengatur segala hal yang berkaitan dengan kegiatan jurnalistik. Pada intinya prinsip-prinsip utama etika jurnalisme yang semestinya dianut
yaitu
akurasi,
independensi,
objektivitas,
keberimbangan,
menghormati privasi, menghormati asas praduga tak berslah, akuntabilitas kepada publik. Rambu lainnya terdapat dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ) tahun 2006 yang dikeluarkan Dewan Pers Jurnalis warga yang dimaksud di sini yaitu warga warga yang mencari, mengumpulkan, melaporkan semua peristiwa yang terjadi di sekitarnya, yang berkaitan dengan isu-isu publik, yang dilakukannya secara independen. Karya jurnalistik, ketika berisi ases informasi untuk publik, atau informasi apapun yang dibutuhkan publik, dapat dilindungi oleh UU Pers. Terhadap jurnalis warga yang beritanya dipublikasi melalui media mainstream atau media pemberitaan milik perusahaan pers, dan telah melalui proses editing di keredaksian, apabila terlibat persoalan hukum, maka pertanggungjawabannya ada pada keredaksian media itu, bukan langsung pada jurnalis warga. 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari gambaran rumusan masalah dan uraian pembahasan di atas, maka kesimpulan pada skripsi ini diuraikan sebagai berikut: 1. Karya jurnalistik dapat dianggap bersifat melawan hukum, dalam hal ini jika karya yang dihasilkan jurnalis itu isinya mengandung unsur tindak pidana dan dipublikasikan. Kelompok tindak pidana ini dikenal dengan istilah tindak pidana pers. Tindak pidana pers adalah sekelompok tindak pidana yang dilakukan dengan perbuatan mempublikasikan berita/informasi ke publik dengan menggunakan barang cetakan (tulisan). terdapat
di dalam KUHP
Tindak pidana pers
maupun peraturan perundang-
undangan lain di luar KUHP, seperti UU ITE. 2. Jurnalis warga dapat dipayungi UU Pers selama melakukan kegiatan jurnalistik dan karya yang dihasilkan berdasarkan prinsip etik jurnalisme dan kode etik jurnalistik. Pada intinya prinsip-prinsip utama etika jurnalisme yang semestinya dianut yaitu
akurasi,
independensi,
objektivitas,
keberimbangan,
menghormati privasi, menghormati asas praduga tak berslah, akuntabilitas kepada publik.
76
B. Saran Berdasarkan uraian kesipulan pada penelitian ini, peneliti menarik beberapa saran sebagai berikut: 1. Perlunya perlindungan hukum yang lebih jelas bagi jurnalis warga, Pemerintah harus memberikan perlindungan hukum kepada jurnalis warga, mengingat perkembangannya yang semakin pesat di era globalisasi ini dan merupakan hak sipil dan politik warga negara. UU Pers perlu direvisi, bukan hanya untuk menaungi jurnalis warga, tetapi menyempurnakan undang-undang yang keluar pada tahun 1999 ini mengingat kehidupan masyarakat telah jauh berkembang dibanding dulu saat UU Pers muncul. 2. Perlu sosialisasi terkait etika jurnalisme serta aturan hukum kepada masyarakat. Untuk mendidik masyarakat menjadi jurnalis warga yang bertanggungjawab dalam turut serta berperan
mengembangkan
kemerdekaan
pers,
serta
pembangunan bangsa dan negara.
77
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Adami Chazawi, Prija Djatmika dan Ardi Ferdian. 2015. Tindak Pidana Pers. Bandung: CV. Mandar Maju. Adami Chazawi dan Ardi Ferdian. 2015. Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik. Malang: Media Nusa Creative. Andi Sofyan. 2013. Hukum Acara Pidana, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Rangkang Education. Amir Ilyas. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Rangkang Education dan PuKAP Indonesia. Armansyah. 2015. Pengantar Hukum Pers. Bekasi: Gramata Publishing. Asep Syamsul M omli. 2009. Jurnalistik Praktis untuk Pemula.Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Bambang Sunggono dan Aries Harianto. 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia.Bandung: CV. Mandar Maju. D. Schaffmeister, N.Keijzer dan E.PH. Sutorius. 2007. Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Edy Susanto, Muhammad Taufik Makarao dan Hamid Syamsudin. 2010. Hukum Pers di Indonesia. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat. 2012. Jurnalistik, Teori dan Praktik. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Ignatius Haryanto. 2014. Jurnalisme Era Digital. Jakarta: Kompas. Irman Syahriar. 2015. Penegakan Hukum Pers. Surabaya: Swaja Pressindo. Irman Syahriar. 2015. Hukum Pers: Telaah Teoritis atas Kepastian Hukum dan Kemerdekaan Pers di Indonesia. Yogyakarta: LaksBang Pressindo. Moch.Nunung Kurniawan, JurnalismeWarga di Indonesia, Prospek dan Tantangannya, Makara Sosial Humaniora, vol,11, No. 2, 2007, hlm.71-78. Moeljatno. 2015. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Rineka Cipta. O.C. Kaligis. 2006. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana. Bandung: PT. Alumni.
78
Pepih Nugraha. 2012. Citizen Journalism, Pandangan, Pemahaman, dan Pengalaman. Jakarta: Kompas. R. Soesilo. 1988. Kitab Undang-Undang Hukm Pidana (KUHP). Bogor: Politeia. Sedia Willing Barus. 2010. Jurnalistik: Petunjuk Teknis Menulis Berita. Erlangga. Sudikno Mertokusumo. 2008. Mengenal Hukum: Suatu Pengantari. Yogyakarta: Liberty. Samsul Wahidin. 2011. Hukum Pers. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. YLBHI. 2013. Bantuan Hukum Bukan Hak yang Diberi. Jakarta: YLBHI, Zulkarimen Nasution. 2015. Etika Jurnalisme: Prinsip-Priinsip Dasar. Jakarta: Rajawali Pers.
Media Online: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4fd971d99ca5d/uu-yangmengatur-tentang-jurnalisme-warga (diakses pada Sabtu, 12 Desember 2015) http://www.kompasiana.com/sawitokartowibowo/rumah-kaca-abrahamsamad_54f90f37a33311ea018b459f (diakses pada Sabtu, 12 Desember 2015) http://raypratama.blogspot.co.id/2015/04/teori-perlindungan-hukum.html (diakses pada Sabtu, 12 Desember 2015) http://tesishukum.com/pengertian-perlindungan-hukum-menurut-para-ahli (diakses pada Sabtu, 12 Desember 2015) http://www.pewarta-indonesia.net (diakses pada Minngu, 8 Mei 2016) http://dewanpers.or.id (diakses pada Senin, 17 Mei 2016)
79
L A M P I R A N
80