PERBANDINGAN MODEL PEMBELAJARAN SIMAYANG TIPE II DENGAN PBL DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN METAKOGNISI DAN EFIKASI DIRI PADA LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT
(Skripsi)
Oleh OKTARI PRADINA ANGGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2016
ABSTRAK PERBANDINGAN MODEL PEMBELAJARAN SIMAYANG TIPE II DENGAN PBL DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN METAKOGNISI DAN EFIKASI DIRI PADA LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT
Oleh OKTARI PRADINA ANGGI
Penelitian kuasi eksperimen telah dilakukan di SMAN 10 Bandar Lampung yang bertujuan untuk membandingkan model pembelajaran SiMaYang tipe II dengan PBL dalam meningkatkan kemampuan metakognisi dan efikasi diri siswa. Penelitian ini menggunakan desain control group pretest-posttest dengan kelas X2 dan kelas X8 sebagai kelas sampel yang diperoleh menggunakan teknik cluster random sampling. Analisis data penelitian adalah analisis deskriptif dan hasil penelitian menunjukkan bahwak kemampuan metakognisi dan efikasi diri meningkat berdasarkan peningkatan skor n-Gain yang berkategori “sedang” dan “sedang” pada kelas SiMaYang tipe II namun pada kelas PBL peningkatan skor nGain yang berkategori “rendah” dan “sedang”, peningkatan n-Gain pada kelas SiMaYang tipe II lebih tinggi dibandingkan kelas PBL. Peningkatan kemampuan metakognisi dan efikasi diri juga didukung dengan penilaian aktivitas siswa yang berkategori “sangat tinggi” dan respon siswa yang berkategori “sangat tinggi”
Oktari Pradina Anggi pada kelas SiMaYang tipe II. Sedangkan pada kelas PBL aktivitas siswa berkategori “sedang” dan respon siswa berkategori “tinggi”. Hal ini dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran SiMaYang tipe II lebih baik dibandingkan model pembelajaran PBL dalam meningkatkan kemampuan metakognisi dan efikasi diri pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit.
Kata kunci: efikasi diri, kemampuan metakognisi, larutan elektrolit dan nonelektrolit, PBL, SiMaYang tipe II
PERBANDINGAN MODEL PEMBELAJARAN SIMAYANG TIPE II DENGAN PBL DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN METAKOGNISI DAN EFIKASI DIRI PADA LARUTAN ELEKTROLIT DAN NON-ELEKTROLIT
Oleh OKTARI PRADINA ANGGI
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN Pada Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG BANDARLAMPUNG 2016
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonosobo pada 01 Oktober 1992, sebagai putri pertama dari dua bersaudara buah hati Bapak Agus dan Ibu Amida Wati. Tahun 1999 mengawali pendidikan formal pertama di SD Negeri 1 Pasar Madang Kecamatan Kotaagung Kabupaten Tanggamus dan menyelesaikannya tahun 2005. Pada tahun yang sama, melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Kotaagung tahun 2008 dan SMA Negeri 1 Kotaagung Kecamatan Kotaagung Kabupaten Tanggamus tahun 2008 hingga 2011.
Tahun 2012 Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan Pendidikan MIPA FKIP Universitas Lampung melalui jalur PMPAP yang kemudian mendapat rekomendasi untuk mendapatkan beasiswa BIDIKMISI. Selama menjadi mahasiswa pernah aktif dalam lembaga internal kampus yaitu UKM-F Forum Pengkajian dan Pembinaan Islam (FPPI) FKIP Unila tahun 2012 hingga 2016, UKM-U BIROHMAH Unila tahun 2012-2016, Himpunan Mahasiswa Pendidikan Eksakta (Himasakta) FKIP Unila tahun 2012-2013. Selain itu juga aktif dilembaga eksternal yaitu Forum Ukhuwah Lembaga Dakwah KIP (FULDKIP) tahun 2014-2016. Tahun 2014 mengikuti Program Pengalaman Lapangan (PPL) yang terintergrasi dengan Kuliah Kerja Nyata Kependidikan Terintegrasi (KKN-KT) di SMP N Satu Atap 1 Lumbok Seminung Desa Heni Arong, Kecamatan Lumbok Seminung, Kabupaten Lampung Barat.
PERSEMBAHAN
Bismillahirrohmannirrohim …… Alhamdulillahirrobbil’alamin.. Maha Suci Allah, yang telah memberikan nikmat berfikir dan nikmat hidayah, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa hambatan yang berarti. Sehingga saya dapat mempersembahkan skripsi ini teruntuk: Ibu, ayah, adik dan kakek tercinta yang senantiasa memberikan cinta dan dukungan semangat. Semoga Allah swt senantiasa memberikan kita kebahagiaan, kenangan, kesehatan dan hidayah Murobbi, Sahabat dan saudari seiman yang senantiasa berjuang bersama, tertawa dan bercanda bersama, sedih dan senang bersama. Semoga Allah mengumpulkan kita kembali di Jannah-Nya. Almamaterku
MOTTO
“Maka nikmat Rabb-mu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. Ar-Rahman: 16) “Kamu (umat Islam) adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah...” ( Q.S. Ali ‘Imran: 110) “Allah is the One, and Only One” (Oktari Pradina Anggi) “Forget the failure and try harder to be the best” (Oktari Pradina Anggi)
SANWACANA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga dapat diselesaikan skripsi yang berjudul “Perbandingan Model SiMaYang Tipe II dengan Problem Based Learning (PBL) dalam Meningkatkan Kemampuan Metakognisi dan Efikasi Diri Siswa” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar sarjana pendidikan.
Sepenuhnya disadari atas keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak sangat membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Ucapan terimakasih disampaikan kepada: 1.
Bapak Dr. H. Muhammad Fuad, M.Hum., selaku Dekan FKIP Universitas Lampung.
2.
Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA.
3.
Ibu Dr. Noor Fadiawati, M.Si., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Kimia
4.
Bapak Dr. Sunyono, M.Si., selaku Pembimbing I atas keikhlasan, motivasi, dan kesediaannya serta kesabarannya dalam memberikan bimbingan, pengarahan, dan masukanselama proses penyusunan skripsi.
5.
Ibu Emmawaty Sofya,M.Si., selaku pembimbing II atas motivasi dan kesediaannya dalam memberikan bimbingan dalam penyusunan skripsi.
6.
Ibu Dr. Ratu Beta Rudibyani, M.Si., selaku pembahas atas kesediaannya untuk memberikan saran dan motivasi selama proses penyusunan skripsi.
7.
Ibu (Amidawati), Ayah (Agus) ,kakek (Ali Yakub) dan Adik ku (Sari Ulfa) tercinta.Terima kasih atas restu, dukungan dan doa yang selalu dipanjatkan untukku demi kelancaran proses penelitian dan menyelesaikan studi di Pendidikan Kimia.
8.
Murobbiku, Sahabat-sahabatku, Taqiya, Fadilla, Sela, Rosita dan Septi yang telah memberikan dukungan dan doanya, serta Tim Skripsi ku, Yulia R.Widari, Neng dan Inda yang senantiasa menemani dalam suka dan duka dalam pembuatan skripsi, terimakasih atas dukungan, doa, dan kesetiaannya selama ini.
9.
Keluarga Alumni pimpinan UKM F FPPI FKIP UNILA 2014/2015 (Dewi, Rena, Kartika, Linda, Nur Isti, Wahyu, Rina, Pita, Yuni, Meysi, Wida, Sun, dkk) dan Adik-adik FPPI 2013-2015 yang senantiasa memberikan kasih sayang, semangat, do’a, dan nasehat.
10. Teman-temanku Pendidikan Kimia angkatan 2012 atas kebersamaan dan semangatnya dan serta Adik-adikku, Pendidikan Kimia angkatan 2013, 2014, dan 2015. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi semoga skripsi ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca. Amin.
Bandar Lampung, 30 Juni 2016 Penulis,
Oktari Pradina Anggi
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................... i DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
ii
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
A. Latar Belakang ...........................................................................................
1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................
9
C. Tujuan Penelitian .......................................................................................
9
D. Manfaat Penelitian .....................................................................................
9
E. Ruang Lingkup ...........................................................................................
10
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
12
I.
A. Model Pembelajaran SiMaYang Tipe II ..................................................... 12 B. Konsep Multipel Representasi ................................................................... 18 C. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) ............................... 19 D. Kemampuan Metakognisi ........................................................................... 22 E. Efikasi Diri.................................................................................................. 26 F. Analisis Konsep .......................................................................................... 31 G. Kerangka Berfikir ...................................................................................... 32 H. Hipotesis Umum. ........................................................................................ 35
III. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................
36
A. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................
36
B. Desain dan Metode Penelitian ....................................................................
36
C. Variabel Penelitian .....................................................................................
37
D. Instrumen Penelitian dan Validitas Instrumen ............................................
37
E. Prosedur Pelaksanaan Penelitan .................................................................
38
F. Analisis Data Penelitian ..............................................................................
41
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .........................................
52
A. Hasil Penelitian dan Analisis Data .............................................................
52
1. Validitas dan Reliabilitas Instrumen .....................................................
52
2. Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan Pembelajaran .............................
53
3. Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran Berlangsung ............................. . 57 4. Perbandingan Model Pembelajaran Simayang Tipe II dan PBL...........
59
B. Pembahasan.................................................................................................
75
V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
96
C. Kesimpulan ................................................................................................
96
D. Saran ..........................................................................................................
96
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
98
LAMPIRAN 1. Analisis SKL-KI-KD ............................................................................. 102 2. Silabus ................................................................................................... 107 3. Analisis Konsep...................................................................................... 120 4. RPP Model Pembelajaran Simayang Tipe II ......................................... 122
5. RPP Model Pembelajaran PBL. ............................................................. 129 6. LKS SiMaYang Tipe II . ........................................................................ 136 7. LKS PBL ................................................................................................ 152 8. Aktivitas Siswa SiMaYang tipe II ......................................................... 164 9. Aktivitas Siswa PBL. ............................................................................. 165 10. Hasil Aktivitas Kedua Kelas .................................................................. 166 11. Respon Siswa SiMaYang tipe II. ........................................................... 167 12. Respon Siswa SiMaYang tipe II. ........................................................... 168 13. Respon Siwa Kedua Kelas ..................................................................... 169 14. Kisi-Kisi Angket Kemampuan Metakognisi. ......................................... 170 15. Angket Metakognisi. .............................................................................. 173 16. Analisis V dan R Angket Kemampuan Metakognisi. ............................ 176 17. Lembar Validasi Tes Kemampuan Metakognisi. ................................... 179 18. Rata-Rata Kemampuan Metakognisi Kelas X.8. ................................... 183 19. Hasil Uji Normalitas Kemampuan Metakognisi Awal Kelas X.8 ......... 184 20. Hasil Uji Normalitas n-Gain Kemampuan Metakognisi Kelas X.8....... 185 21. Rata-Rata Kemampuan Metakognisi Kelas X.2. ................................... 186 22. Hasil Uji Normalitas Kemampuan Metakognisi Awal Kelas X.2 ......... 187 23. Hasil Uji Normalitas n-Gain Kemampuan Metakognisi Kelas X.2....... 188 24. Hasil Uji Homogenitas Kemampuan Metakognisi Awal ....................... 189 25. Hasil Uji Persamaan Dua Rata-Rata Kemampuan Metakognisi Awal .. 190 26. Hasil Uji Homogenitas n-Gain Kemampuan Metakognisi .................... 191 27. Hasil Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Angket Kemampuan Metakognisi. 192 28. Kisi-Kisi Angket Efikasi Diri................................................................. 193
29. Angket Efikasi Diri. ............................................................................... 194 30. Lembar Validasi Tes Efikasi Diri........................................................... 197 31. Rata-Rata Efikasi Diri Kelas X.2. .......................................................... 200 32. Hasil Uji Normalitas Efikasi Diri Awal Kelas X.2 ................................ 201 33. Hasil Uji Normalitas n-Gain Efikasi Diri Kelas X.2 ............................. 202 34. Rata-Rata Efikasi Diri Kelas X.8. .......................................................... 203 35. Hasil Uji Normalitas Efikasi Diri Awal Kelas X.8 ................................ 204 36. Hasil Uji Normalitas n-Gain Efikasi Diri Kelas X.8 ............................. 205 37. Hasil Uji Homogenitas Efikasi Diri Awal.............................................. 206 38. Hasil Uji Persamaan Dua Rata-Rata Efikasi Diri Awal ......................... 207 39. Hasil Uji Homogenitas n-Gain Efikasi Diri........................................... 208 40. Hasil Uji Perbedaan Dua Rata-Rata Angket Efikasi Diri. ..................... 209
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1.
Fase-fase pembelajaran dengan model SiMaYang tipe II ...........................15
2.
Fase-fase pembelajaran dengan model PBL ................................................20
3.
Desain Penelitian .........................................................................................37
4.
Kriteria tingkat keterlaksanaan ....................................................................42
5.
Harga koefisien validitas angket kemampuan metakognisi ........................52
6.
Analisis data angket respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran .....56
7.
Data aktivitas siswa dalam kegiatan pembelajaran .....................................58
8.
Rata-rata Pretes, postes, dan n-Gain kemampuan metakognisi. ..................60
9.
Rerata nilai pretes, postes, dan n-Gain efikasi diri siswa. ...........................68
10. Uji normalitas kemampuan metakognisi awal . ...........................................64 11. Uji homogenitas kemampuan metakognisi awal . .......................................65 12. Uji kesamaan dua rata-rata kemampuan metakognisi .................................65 13. Uji normalitas n-Gain kemampuan metakognisi. ........................................66 14. Uji homogenitas n-Gain kemampuan metakognisi .....................................66 15. Uji normalitas efikasi diri siswa. .................................................................72 16. Uji homogenitas efikasi diri siswa. ..............................................................73 17. Uji kesamaan dua rata-rata efikasi diri siswa...............................................73 18. Uji normalitas n-Gain efikasi diri siswa. .....................................................74 i
19. Uji homogenitas n-Gain efikasi diri siswa...................................................74 20. Uji perbedaan dua rata-rata efikasi diri siswa .............................................75
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.
Halaman
Fase-Fase Model Pembelajaran Si-5 Layang-Layang SiMaYang .............
14
II. Prosedur pelaksanaan penelitian .................................................................
41
III. Rerata pretes, postes, dan n-Gain kemampuan metakognisi siswa ............
61
IV. Rata-rata nilai pretes, postes, dan n-Gain efikasi diri siswa ......................
69
ii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang gejala alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya pada kehidupan sehari-hari (BSNP dalam Afdil, et al., 2015). Ilmu kimia adalah salah satu ilmu dalam rumpun IPA (sains) yang mempelajari tentang zat, meliputi struktur, komposisi, sifat, dinamika, kinetika, dan energetika yang melibatkan keterampilan dan penalaran (Fadiawati dalam Hananto, et al., 2015). Sebagian besar ilmu kimia merupakan ilmu percobaan, dan sebagian besar pengetahuannya diperoleh dari penelitian di laboratorium. Kimia dasar umumnya dianggap lebih sulit daripada pelajaran lainnya dan salah satu alasannya adalah konsep- konsep di dalam kimia yang abstrak (Chang, 2005). Pemahaman seseorang terhadap kimia ditentukan oleh kemampuannya mentransfer dan menghubungkan antara fenomena-fenomena makroskopik, submikroskopik, dan simbolik. Pada pemecahan masalah sains, sebenarnya kunci
2
pokoknya adalah pada kemampuan mempresentasikan fenomena sains pada level submikroskopik (Treagust, et al,. dalam Sunyono, 2012). Menurut Sunyono (2011) kebanyakan dari pembelajar cenderung hanya menghafalkan representasi submikroskopik dan simbolik yang bersifat abstrak (dalam bentuk deskripsi kata-kata) akibatnya tidak mampu untuk membayangkan bagaimana proses dan struktur dari suatu zat yang mengalami reaksi.
Penelitian yang dilakukan oleh Afdila et al., (2015) menyatakan bahwa keadaan di lapangan menunjukkan sebagian sekolah belum dapat membantu mengatasi kesulitan siswa dalam hal pemahaman konsep yang bersifat abstrak. Pembelajaran yang digunakan masih terbatas pada dua level fenomena sains yaitu makroskopis dan simbolik. Hal ini sesuai dengan keadaan yang ditunjukkan pada 3 sekolah yang berbeda yaitu SMA persada 1, SMA persada 2, dan SMA Negeri 10 Bandar Lampung.
Kesulitan-kesulitan siswa dalam menginterkoneksikan ketiga level fenomena kimia tersebut menandakan siswa masih kesulitan dalam membangun keterampilan metakognisi, sehingga mereka juga kesulitan dalam mengembangkan kemampuan berpikirnya (Ferrari dan Stenberg dalam Santrock, 2010).
Perkembangan kognitif dianggap sebagai penentu kecerdasan intelektual siswa, kemampuan kognitif terus berkembang seiring dengan proses pendidikan serta dipengaruhi oleh faktor perkembangan fisik terutama otak secara biologis (Ferrari dan Stenberg dalam Santrock, 2010). Menurut Suherman, et al,. (2001), metakognitif adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang
3
dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan perilakunya. Seseorang perlu menyadari kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Metakognitif adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal.
Flavell (dalam Rahman dan Phillips, 2006) mendefinisikan metakognisi sebagai ‘kognisi tentang kognisi’ atau ‘pemikiran tentang pemikiran’ dan komponen penting dalam metakognisi adalah berkaitan dengan pengetahuan tentang kognisi dan kebolehan memantau, meregulasi dan mengawal pengetahuan kognitif. Schraw dan Dennison (1994) menyatakan bahwa kemampuan metakognisi merupakan pengetahuan individu tentang tentang pengetahuan mereka mengenai keadaan dan proses pemikiran mereka sendiri serta kemampuan mereka memulai dan mengubah sesuai keadaan dan proses pemikiran tersebut yang meliputi komponen pengetahuan deklaratif, prosedural dan kondisional yang mewakili komponen pengetahuan tentang kognisi seseorang.
Salah seorang pakar pemikir anak Deanna Kuhn (dalam Santrock, 2010) percaya bahwa metakognisi harus lebih difokuskan pada usaha untuk membantu anak menjadi pemikir yang lebih kritis, terutama di sekolah menengah. Nam (2007) menyatakan bahwa siswa perlu diajarkan supaya berfikir secara kreatif dan kritis untuk menyelesaikan masalah, membuat idea dan membuat keputusan yang bijak. Mereka perlu menyadari cara bagaimana mereka berfikir dan bagaimana proses pemikiran mempengaruhi pencapaian akademik.
Penelitian yang dilakukan oleh Afdila,et al., (2015) menyimpulkan bahwa salah satu cara untuk membantu siswa dalam menyelesaikan kesulitan memahami
4
konsep-konsep kimia yang bersifat abstrak adalah dengan menggunakan model pembelajaran yang membantu dalam mengarahkan imajinasi siswa, yaitu penggunaan model pembelajaran yang dikenal dengan SiMaYang Tipe II. Model pembelajaran ini diyakini dapat mengatasi kesulitan-kesulitan siswa dalam mentransformasikan ketiga level fenomena sains yaitu makroskopis, submikroskopis, dan simbolik. Hasil penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa model pembelajaran SiMaYang Tipe II mempunyai kepraktisan yang tinggi dalam meningkatkan efikasi diri dan penguasaan konsep larutan elektrolit dan nonelektrolit.
Sunyono (2014) telah mengembangkan sebuah model pembelajaran yang penekanannya pada interkoneksi di antara ketiga level fenomena kimia tersebut, yang dinamakan model SiMaYang. Pembelajaran model SiMaYang Tipe II pada penelitian ini diterapkan pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit. Pembelajaran SiMaYang Tipe II menurut (Sunyono, et al., 2012) terdiri dari 4 (empat) fase yaitu orientasi (fase 1), eksplorasi imajinasi atau imajinasi eksplorasi (fase II), internalisasi (fase III), dan evaluasi (fase IV). Model pembelajaran SiMaYang Tipe II pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit, siswa akan diberikan beberapa abstraksi yang nantinya akan merangsang siswa untuk dapat berimajinasi dalam menghadapi representasi fenomena kimia. Abstraksi yang diberikan kepada siswa mengandung level di tingkat makro, submikro, dan simbolik.
Model pembelajaran teoritis SiMaYang Tipe II merupakan model pembelajaran sains yang mencoba menginterkoneksikan ketiga level fenomena sains, sehingga
5
topik-topik pembelajaran yang sesuai dengan model ini adalah topik-topik sains yang lebih bersifat abstrak yang mengandung level makro, submikro, dan simbolik (Sunyono,2014).
Pada penelitian ini digunakan materi larutan elektrolit dan non-elektrolit yang dapat memvisualisasikan dengan jelas kepada siswa mengapa larutan elektrolit memiliki daya hantar arus listrik sementara larutan non-elektrolit tidak memiliki daya hantar arus listrik. Model pembelajaran SiMaYang Tipe II berbasis multipel representasi mampu menjelaskan kepada siswa penyebab perbedaan kemampuan daya hantar arus listrik larutan elektrolit dan non-elektrolit melalui gambar, animasi atau simulasi dan atau analogi yang dapat membantu dan mengarahkan imajinasi siswa agar lebih mampu dalam memahami fenomena sains yang diberikan. Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian yang dilkukan oleh Izzati , et al., (2015) yang menyimpulkan bahwa model pembelajaran SiMaYang Tipe II dikatakan efektif dan praktis dalam meningkatkan efikasi diri siswa dan penguasaan konsep siswa. Model Pembelajaran SiMaYang Tipe II selain diyakini mampu membantu siswa pemahaman konsep kimia juga dapat meningkatkan kemampuan efikasi diri siswa. Siswa yang memiliki efikasi diri tinggi akan memandang kesulitan yang dialami dalam mempelajari kimia sebagai sebuah tantangan sehingga tidak mudah putus asa. Bandura (1997) menjelaskan bahwa efikasi diri atau self efficacy merupakan persepsi individu akan keyakinan kemampuannya melakukan tindakan yang diharapkan. Keyakinan efikasi diri mempengaruhi pilihan tindakan yang akan
6
dilakukan, besarnya usaha dan ketahanan ketika berhadapan dengan hambatan atau kesulitan. Individu dengan efikasi diri tinggi memilih melakukan usaha lebih besar dan pantang menyerah. Penelitian dilakukan oleh Harahap (2008) menunjukkan bahwa 9,2% prestasi belajar kimia siswa dipengaruhi oleh efikasi diri siswa, sedangkan sisanya 90,8% dipengaruhi oleh faktor lain, maka semakin tinggi efikasi diri siswa maka akan semakin tinggi pula prestasi belajar kimia siswa. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Bandura (1994) yang mengatakan bahwa manusia yang kuat efikasi dirinya akan meningkatkan prestasi pribadi dan kesejahteraannya dalam berbagai strategi. Pembelajaran yang berlangsung selama ini di sekolah juga belum mampu memberdayakan proses belajar siswa secara maksimal termasuk kesadaran metakognitif dan efikasi diri siswa. Fakta di lapangan berdasarkan observasi pendahuluan yang dilakukan di SMA Negeri 10 Bandar Lampung, menunjukkan bahwa siswa masih sedikit yang bisa memahami konsep-konsep kimia, siswa masih pasif ketika pembelajaran berlangsung dan kurang percaya diri untuk menjawab pertanyaan guru khususnya di mata pelajaran kimia. Model pembelajaran SiMaYang Tipe II yang digunakan pada penelitian yang dilakukan oleh para peneliti belum mengupayakan untuk memberdayakan kesadaran metakognitif siswa. Hal ini berimplikasi terhadap hasil belajar kognitif siswa cenderung rendah. Akibatnya siswa belum terlatih untuk menjadi peserta didik yang mandiri. Menyadari pentingnya suatu model dalam pembelajaran untuk mengembangkan kesadaran metakognitif siswa, maka mutlak diperlukan adanya
7
pembelajaran yang lebih banyak melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini dapat terwujud melalui suatu bentuk pembelajaran alternatif yang dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan keterlibatan siswa secara aktif yang menanamkan kesadaran metakognitif. Penelitian tentang model pembelajaran SiMaYang Tipe II baru terbatas pada penelitian deskriptif, sehingga belum ada bukti yang menunjukkan bahwa model pembelajaran SiMaYang Tipe II lebih baik di banding model pembelajaran lain. Karakteristik model pembelajaran SiMaYang Tipe II adalah kooperatif, kolaboratif, dan imajinatif ( Sunyono , et al.,2014). Oleh sebab itu, pada penelitian ini model pembelajaran SiMaYang Tipe II akan di bandingkan dengan salah satu model pembelajaran kooperatif yang berbasis kontruktivisme. Pembelajaran kontruktivisme merupakan dimensi belajar yang dikembangkan berdasarkan pengetahuan tentang bagaimana seseorang belajar. Dimensi belajar yang dimaksud adalah pengembangan sikap dan persepsi yang positif terhadap belajar, perolehan dan peintegrasian pengetahuan, perluasan dan penyempurnaan pengetahuan, penggunaan pengetahuan secara bermakna, dan pembiasaan mental berpikir produktif. Beberapa varian dalam pembelajaran konstruktivisme diantaranya discovery learning, scaffolding learning, cooperative learning, problem based instruction (Slavin, dalam Arends, 2008). Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model Problem Based Learning (PBL), yaitu siswa belajar memecahkan masalah. Belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti. Tujuannya ialah
8
untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas dan tuntas (Lawson, dalam Syah, 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih (2011), menyatakan bahwa model pembelajaran PBL dapat mempengaruhi dan meningkatkan metakognisi siswa. Arifin dan Sitti (2014) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan kesadaran metakognisi siswa SMA yang diajar menggunakan model Problem Base Learning (PBL) dengan kooperatif tipe Think Pair Share (TPS). Berdasarkan hasil wawancara peneliti kepada salah satu guru mata pelajaran kimia kelas XI SMA Negeri 10 Bandar Lampung menunjukkan bahwa proses pembelajaran selama ini belum pernah menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) ataupun Problem Solving seperti yang ada pada peraturan Kurikulum 2013, lebih sering menggunakan model pembelajaran konvensional dan belum pernah menerapkan model pembelajaran SiMaYang Tipe II.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian yang memfokuskan pada perbandingan model pembelajaran SiMaYang Tipe II dengan model pembelajaran PBL terhadap keterampilan metakognisi dan efikasi diri siswa yang belum ada yang mengkaji. Untuk itu dibutuhkan banyak kajian eksperimental untuk memeriksa potensi dua model pembelajaran ini. Berdasarkan uraian di atas, dilakukan penelitian dengan judul “Perbandingan Model Pembelajaran SiMaYang Tipe II dengan Problem Based Learning (PBL) dalam Meningkatkan Kemampuan Metakognisi dan Efikasi Diri Siswa”
9
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah pada penelitian ini adalah : 1. Apakah model pembelajaran SiMaYang Tipe II lebih baik dibandingkan model pembelajaran PBL dalam meningkatkan kemampuan metakognisi siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit? 2. Apakah model pembelajaran SiMaYang Tipe II lebih baik dibandingkan model pembelajaran PBL dalam meningkatkan efikasi diri siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1. Model pembelajaran SiMaYang Tipe II lebih baik dibandingkan model pembelajaran PBL dalam meningkatkan kemampuan metakognisi siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit. 2. Model pembelajaran SiMaYang Tipe II lebih baik dibandingkan model pembelajaran PBL dalam meningkatkan efikasi diri siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi: 1. Siswa penerapan model pembelajaran SiMaYang Tipe II dapat meningkatkan efikasi diri dan kemampuan metakognisi siswa, sehingga siswa dapat memahami materi
10
pelajaran dengan mudah khususnya pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. 2. Guru Pembelajaran melalui model SiMaYang Tipe II menjadi salah satu pengalaman baru dalam pembelajaran yang aktif, kreatif dan inovatif. 3. Sekolah Sebagai bahan referensi model pembelajaran yang daat digunakan untuk meningkatkan kualitas sekolah yang berupa model pembelajaran SiMaYang Tipe II. E. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah: 1. Model pembelajaran SiMaYang Tipe II berbasis multipel representasi terdiri dari 4 (empat) fase yaitu orientasi (fase 1), eksplorasi-imajinasi atau imajinasieksplorasi (fase II), internalisasi (fase III), dan evaluasi (fase IV) (Sunyono, et al.,2014). 2. Model pembelajaran PBL memiliki 5 (lima) tahapan pembelajaran. Fase pertama yaitu Orientasi peserta didik kepada masalah, fase kedua yaitu mengorganisasikan peserta didik, fase ketiga yaitu membimbing penyelidikan individu dan kelompok, fase keempat yaitu mengembangkan dan menyajikan hasil karya, dan fase kelima yaitu menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan Amir (dalam Wulandari dan Surjono, 2013). Model PBL ini dipilih karena model ini sudah pernah digunakan oleh guru di SMA N 10 Bandar Lampung dalam pembelajaran, sesuai saran dari kurikulum 2013.
11
3. Perbandingan model pembelajaran SiMaYang Tipe II dengan PBL diukur berdasarkan kemampuan metakognisi dan hasil efikasi diri siswa diakhir pembelajaran. 4. Kemampuan metakognisi merupakan pengetahuan individu tentang tentang pengetahuan mereka mengenai keadaan dan proses pemikiran mereka sendiri serta kemampuan mereka memulai dan mengubah sesuai keadaan dan proses pemikiran tersebut yang meliputi komponen pengetahuan deklaratif, prosedural dan kondisional yang mewakili komponen pengetahuan tentang kognisi seseorang (Schraw dan Dennison, 1994). 5. Efikasi diri merupakan persepsi individu akan keyakinan kemampuannya melakukan tindakan yang diharapkan. Keyakinan efikasi diri mempengaruhi pilihan tindakan yang akan dilakukan, besarnya usaha dan ketahanan ketika berhadapan dengan hambatan atau kesulitan. Individu dengan efikasi diri tinggi memilih melakukan usaha lebih besar dan pantang menyerah (Bandura, 1997). 6. Perbandingan model pembelajaran SiMaYng tipe II dan PBL dalam meningkatkan kemampuan metakognisi dan efikasi diri siswa di dukung dengan data respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dan data aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. 7. Kompetensi dasar yang dibahas pada penelitian ini yaitu materi larutan elektrolit dan non-elektrolit yang terdiri dari uji daya hantar arus listrik, penyebab berbedaan kemampuan daya hantar arus listrik, dan senyawa yang dapat atau tidak menghantarkan arus listrik berdasarkan jenis ikatan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Model Pembelajaran SiMaYang Tipe II Model pembelajaran SiMaYang Tipe II merupakan model pembelajaran sains berbasis multipel representasi yang dikembangkan dengan memasukkan faktor interaksi (tujuh konsep dasar) yang mempengaruhi kemampuan pembelajar untuk merepresentasikan fenomena sains ke dalam kerangka model IF-SO (Waldrip dalam Sunyono, 2012). Tujuh konsep dasar pembelajar tersebut yang telah diidentifikasi oleh Shonborn and Anderson (dalam Sunyono 2011) adalah kemampuan penalaran pembelajar (Reasoning; R), pengetahuan konseptual pembelajar (conceptual; C), dan keterampilan memilih mode representasi pembelajar (representation modes; M).
Model pembelajar SiMaYang Tipe II melibatkan diagram submikro dilibatkan sebagai alat pembelajaran topik-topik yang bersifat abstrak (misalnya stoikiometri dan struktur atom), selanjutnya dikembangkan perangkat pembelajaran yang dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan baik pada level makro, submikro, maupun simbolik untuk memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk berlatih merepresentasikan tiga level fenomena sains sepanjang sesi pembelajaran yang berfokus kepada permasalahan sains level molekuler (Sunyono dan Yulianti, 2014). Oleh sebab itu, multipel representasi yang digunakan dalam model pembelajaran SiMaYang Tipe II ini adalah representasi- representasi dari fenomena
13
sains (khususnya kimia) baik dari skala riil maupun abstrak (Park, 2006; Wang, et al., 2007, Davidowitz, et al., 2010 dalam Sunyono, 2012). Kegiatan eksplorasi ditekankan pada konseptualisasi masalah sains yang sedang dihadapi berdasarkan kegiatan diskusi, eksperimen laboratorium/demonstrasi, dan pelacakan informasi melalui jaringan internet (web blog atau web page). Imajinasi diperlukan untuk melakukan pembayangan mental terhadap representasi eksternal level submikroskopik, sehingga dapat mentransformasikan ke level maksroskopik atau simbolik atau sebaliknya. Pembelajaran yang menekankan pada proses imajinasi dapat membangkitkan kemampuan representasi pembelajar, sehingga dapat meningkatkan kemampuan kreativitas pembelajar. Kekuatan imajinasi akan membangkitkan gairah untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan konseptual pembelajar. Oleh sebab itu, imajinsi representasi dimasukkan sebagai salah satu tahap (fase) dalam sintak dari model SiMaYang Tipe II (Sunyono dan Yulianti, 2014). Model pembelajaran SiMaYang memiliki 4 fase yaitu orientasi, eksplorasiimajinasi, internalisasi, dan evaluasi (Sunyono, 2012). Keempat fase dalam model pembelajaran tersebut memiliki ciri dengan akhiran “si” sebanyak lima “si”. Fase-fase tersebut tidak selalu berurutan bergantung pada konsep yang dipelajari oleh pembelajar, terutama pada fase dua (fase eksplorasi-imajinasi). Oleh sebab itu, fase-fase model pembelajaran yang dikembangkan dan hasil revisi ini tetap disusun dalam bentuk layang-layang, sehingga tetap dinama-kan Si-5 layang-layang atau disingkat SiMaYang (Sunyono, et al., 2012):
14
Fase I
Orientasi
Fase II Eksplorasi
Imajinasi
Internalisasi
Fase III
Evaluasi
Fase IV
Gambar 2. Fase-Fase Model Pembelajaran Si-5 Layang-Layang (SiMaYang) (Sunyono, 2012). Kurikulum 2013 dengan pendekatan saintifiknya mempengaruhi adanya perubahan dari sintak model SiMaYang. Berkaitan hal tersebut, Sunyono (2014) telah mengembangkan lebih lanjut model pembelajaran SiMaYang yang dipadu dengan pendekatan saintifik dan dinamakan model Saintifik-SiMaYang atau SiMaYang Tipe II. Model pembelajaran SiMaYang Tipe II memiliki sintak yang sama dengan model SiMaYang. Perbedaannya terletak pada aktifitas guru dan siswa, di mana pada model pembelajaran SiMaYang Tipe II, aktifitas guru dan siswa disesuaikan dengan pendekatan saintifik (Sunyono dan Yulianti, 2014). Saintifik model pembelajaran SiMaYang Tipe II dapat dilihat pada Tabel 1.
15
Tabel 1. Fase (Tahapan) Dari Sintaks Model Pembelajaran SiMaYang Tipe II (Sunyono dan Yulianti, 2014; dan Sunyono, et al., 2015). Tahapan (Fase) Fase I: Orientasi
Fase II: Eksplorasi Imajinasi
Fase III: Internalisasi
Aktivitas Guru 1.
Menyampaikan tujuan pembelajaran. Memberikan motivasi dengan berbagai fenomena kimia yang terkait dengan pengalaman siswa.
Aktivitas Siswa
1. Menyimak penyampaian 2. tujuan sambil memberikan tanggapan 2. Menjawab pertanyaan dan memberikan tanggapan 1. Mengenalkan konsep kimia dengan 1. Menyimak dan memberikan beberapa abstraksi bertanya jawab yang berbeda mengenai fenomena dengan guru kimia (seperti perubahan wujud zat, tentang fenomena perubahan kimia, dan sebagainya) kimia yang secara verbal atau dengan diperkenalkan. demonstrasi dan juga menggunakan 2. Melakukan visualisasi: gambar, grafik, atau penelusuran simulasi atau animasi, dan atau informasi melalui analogi dengan melibatkan siswa webpage/ weblog untuk menyimak dan bertanya dan/atau buku jawab. teks. 2. Mendorong, membimbing, dan 3. Bekerja dalam memfasilitasi diskusi siswa untuk kelompok untuk membangun model mental dalam melakukan membuat interkoneksi diantara imajinasi terhadap level-level fenomena kimia yang fenomena kimia lain, yaitu dengan membuat yang diberikan transformasi dari level fenomena melalui LKS. kimia yang satu ke level yang lain 4. Berdiskusi dengan dengan menuangkannya ke dalam teman dalam lembar kegiatan siswa. kelompok dalam melakukan latihan imajinasi representasi. 1. Membimbing dan memfasilitasi 1. Perwakilan siswa dalam mengartikulasikan/ kelompok mengkomunikasikan hasil melakukan pemikirannya melalui presentasi presentasi hasil kerja kelompok. terhadap hasil 2. Memberikan latihan atau tugas kerja kelompok. dalam mengartikulasikan 2. Memberikan imajinasinya. tanggapan/
16
Tabel 1 (lanjutan) Latihan individu tertuang dalam lembar kegiatan siswa/LKS yang berisi pertanyaan dan/atau perintah untuk membuat interkoneksi ketiga level fenomena kimia.
Fase IV: Evaluasi
1. Mengevaluasi kemajuan belajar siswa dan reviu terhadap hasil kerja siswa. 2. Memberikan tugas latihan interkoneksi. Tiga level fenomena kimia
pertanyaan terhadap kelompok yang sedang presentasi. 3.Melakukan latihan individu melalui LKS individu. 1. Menyimak hasil reviu dari guru dan bertanya tentang pembelajaran yang akan datang.
Kelebihan dari model pembelajaran SiMaYang antara lain: (1) model pembelajaran SiMaYang mampu meningkatkan kualitas proses pembelajaran yang ditunjukkan dengan munculnya berbagai aktivitas pembelajaran. Dalam pembelajaran SiMaYang perang guru sebagai fasilitator dan mediator; (2) model pembelajaran SiMaYang merupakan model yang menyenangkan. Hasil kajian empiris menunjukkan lebih dari 80% pembelajar memberikan respon positif dan senang dengan pelaksanaan menggunakan model SiMaYang; (3) mampu membangun model mental pembelajar dalam upaya memahami materi pembelajaran kearah model mental dengan kategori “baik” atau dengan karakteristik “konsensus” dan “baik sekali” dengan karakteristik “target”serta peningkatan model mental tersebut lebih tinggi dibanding pembelajaran konvensional; (4) memiliki ciri kolaboratif, kooperatif, dan imajinatif yang tertuang dalam fase eksplorasi-imajinasi dan internalisasi dapat diajdikan alternatif model pembelajaran yang mampu mensejajarkan mahasiswa/siswa berkemampuan rendah dengan mahasiswa/siswa berkemampuan sedang tinggi
17
dalam membangun model mental dan meningkatkan penguasaan konsep; (5)dapat dipandang sebagai model “terpadu” yang menggabungkan media TIK dengan berbagai fenomenan kimia dan menggabungkan media tersebut dengan berbagai aktivitas pembelajar, aktivitas dosen/guru, interaksi antar mahasiswa/siswa, dan interaksi antara dosen/guru dengan mahasiswa/siswa; (6) mampu menciptakan lingkungan belajar yang kaya akan aktivitas pembelajaran, baik yang bersifat individual maupun yang bersifat kolaboratif, sekaligus mampu mensejajarkan pada pembelajar arti pentingnya kerjasama dan menghargai hasil kerja orang lain; (7) mampu memberikan dorongan atau motivasi kepada pembelajar untuk mengasah kemampuan imajinasinya dalam memahami fenomena yang bersifat abstrak (Sunyono, 2012). Kelemahan/ keterbatasan model pembelajaran SiMaYang antara lain: (a) hanya mampu meningkatkan model mental pembelajar dengan n-Gain berkategori sedang. Mayoritas model mental yang dapat dibangun hanya sampai pada model mental dengan kategori “baik” atau model mental dengan kategori “konsensus” sedangkan model mental dengan karakteristik “sangat baik” atau model mental target hanya sedikit yang dapat ditumbuhka; (b) penerapan baru terbatas pada pencapaian tujuan membangun model mental dan meningkatkan penguasaan konsep; (c) memerlukan infrastruktur yang memadai (seperti listrik, fasilitas internet, dan komputer); (d) memerlukan kesiapan fasilitas jaringan internet dengan kapasitas yang dapat diakses dengan pembelajar dengan kecepatan yang memadai; (e) mengharuskan pengguna model memiliki kemampuan IT yang cukup baik (Sunyono, 2012).
18
B. Konsep Multipel Representasi Tantangan dalam pembelajaran yang melibatkan fenomena (sub) mikro merupakan suatu hal yang harus segera dipecahkan. Terkait hal tersebut, sebagai guru/dosen harus selalu melakukan inovasi kreatif dalam melaksanakan pembelajaran, terutama yang melibatkan interkoneksi di antara level makro, (sub) mikro, dan simbolik. Oleh sebab itu, konsep multipel representasi timbul karena kebutuhan siswa untuk mengeksplorasi dan melakukan banyak tugas yang beragam yang melibatkan sejumlah besar informasi yang bersifat abstrak (Sunyono, 2015). Konsep multipel representasi adalah salah satu pondasi praktik ilmiah, karena para ahli menggunakan representasi sebagai cara utama berkomunikasi dan memecahkan masalah (Sunyono,2015). Johnstone (dalam Sunyono, 2012) membagi fenomena kimia ke dalam tiga level, yaitu: 1.
Representasi makroskopik yaitu diperoleh melalui pengamatan nyata terhadap suatu fenomena yang dapat dilihat dan dipersepsi oleh panca indra atau dapat berupa pengalaman sehari-hari siswa. Contohnya perubahan warna, suhu, pH larutan,dan lain-lain.
2.
Representasi submikroskopik yaitu representasi yang menjelaskan mengenai struktur dan proses pada level partikel (atom/molekular) terhadap fenomena makroskopik yang diamati.
19
3.
Representasi simbolik yaitu representasi secara kuantitatif, yaitu rumus matematik, rumus sains, diagram, gambar, persamaan reaksi dan perhitungan matematik.
Ketiga level tersebut saling berhubungan dan berkontribusi pada siswa untuk dapat paham dan mengerti materi kimia yang abstrak. Hal ini didukung oleh pernyataan Tasker dan Dalton (dalam Sunyono, 2012), bahwa kimia melibatkan proses-proses perubahan yang dapat diamati dalam hal (misalnya perubahan warna, bau, gelembung) pada dimensi makroskopik atau laboratorium, namun dalam hal perubahan yang tidak dapat diamati dengan indera mata, seperti perubahan struktur atau proses di tingkat submikro atau molekul imajiner hanya bisa dilakukan melalui pemodelan. Perubahan-perubahan ditingkat molekuler ini kemudian digambarkan pada tingkat simbolik yang abstrak dalam dua cara, yaitu secara kualitatif menggunakan notasi khusus, bahasa, diagram, dan simbolis, dan secara kuantitatif dengan menggunakan matematika (persamaan dan grafik).
C. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Model Pembelajaran PBL yaitu siswa belajar memecahkan masalah. Belajar pemecahan masalah pada dasarnya adalah belajar menggunakan metode-metode ilmiah atau berpikir secara sistematis, logis, teratur, dan teliti (Lawson, dalam Syah, 2004). Tujuannya ialah untuk memperoleh kemampuan dan kecakapan kognitif untuk memecahkan masalah secara rasional, lugas dan tuntas. Dalam hal ini hampir semua bidang studi dapat dijadikan sarana belajar pemecahan masalah. Untuk keperluan ini, guru (khususnya yang mengajar eksakta, seperti IPA dan
20
matematika) sangat dianjurkan menggunakan model dan strategi mengajar yang berorientasi pada pemecahan masalah (Lawson dalam Syah, 2004). Tabel 2. Fase (Tahapan) Dari Sintaks Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) Amir (dalam Wulandari dan Surjono, 2013) Fase-Fase Fase 1 Orientasi siswa kepada masalah
Fase 2 Mengorganisasikan siswa
Fase 3 Membimbing penyelidikan individu dan kelompok
Fase 4 Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Fase 5 Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Aktivitas Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, mengajukan fenomena atau cerita untuk memunculkan masalah Memotivasi siswa untuk terlibat dalam pemecahan masalah yang dipilih Guru membantu siswa untuk mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah
Aktivitas Siswa Siswa menyimak penjelasan tentang tujuan pembelajaran dan logistik yg dibutuhkan Siswa termotivasi untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih
Siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Siswa terdorong untuk mengumpulkan informasi yang sesuai Melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah Guru membantu siswa Siswa dibimbing dalam merencanakan dan dalam merencanakan menyiapkan karya yang dan menyiapkan sesuai seperti laporan, karya yang sesuai model dan berbagi tugas seperti laporan, model dengan teman dan berbagi tugas dengan teman Guru membantu siswa Siswa mengevaluasi untuk melakukan terkait materi yang refleksi atau evaluasi telah dipelajari terhadap penyelidikan Hasil kerja kelompok mereka dan terkait kemudian materi yang telah dipresentasikan dipelajari. didepan kelas.
21
Model PBL menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Siswa diberikan permasalahan pada awal pelaksanaan pembelajaran oleh guru, selanjutnya selama pelaksanaan pembelajaran siswa memecahkan masalah yang akhirnya mengintegrasikan pengetahuannya. PBL melibatkan siswa untuk mencari pengetahuannya sendiri serta dapat meningkatkan hasil belajar kognitifnya. Adapun kelebihan dalam model PBL diantaranya: (1) siswa dapat mengembangkan kemampuan atau keterampilan berpikir, kemampuan pemecahan masalah, dan kemampuan intelektual; (2) siswa sebagai pembelajar yang otonom dan mandiri; dan (3) siswa diberikan kebebasan dalam menentukan idenya (Arifah dan Siti,2014). Menurut Sanjaya (dalam Wulandari dan Surjono, 2013) PBL merupakan suatu metode pembelajaran yang mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Kelebihan PBL adalah sebagai berikut: (a) pemecahan masalah dalam PBL cukup bagus untuk memahami isi pelajaran; (b) pemecahan masalah berlangsung selama proses pembelajaran menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan kepada siswa; (c) PBL dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran; (d) membantu proses transfer siswa untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan seharihari; (e) membantu siswa mengembangkan pengetahuannya dan membantu siswa untuk bertanggungjawab atas pembelajarannya sendiri; (f) membantu siswa untuk memahami hakekat belajar sebagai cara berfikir bukan hanya sekedar mengerti pembelajaran oleh guru berdasarkan buku teks; (g) PBL menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan disukai siswa; (h) memungkinkan aplikasi dalam dunia nyata; dan (i) merangsang siswa untuk belajar secara kontinu. Kelemahan PBL adalah sebagai berikut: (a) apabila siswa mengalami kegagalan atau kurang
22
percaya diri dengan minat yang rendah mala siswa enggan untuk mencoba lagi; (b) PBL membutuhkan waktu yang cukup untuk persiapan; dan (c) pemahaman yang kurang tentang mengapa masalah-masalah yang dipecahkan maka siswa kurang termotivasi untuk belajar. D. Kemampuan Metakognisi
Beberapa ahli mendefinisikan metakognisi sebagai ‘berpikir mengenai berpikir ’, sementara beberapa ahli lain mendefinisikan sebagai mengetahui tentang mengetahui. Kemampuan refleksi diri dari proses kognitif yang sedang berlangsung merupakan sesuatu yang unik bagi individu dan memainkan peran penting dalam kesadaran manusia. Ini menunjukkan bahwa metakognisi mengikutsertakan pemikiran seseorang (Murti, 2011).
Kuhn (dalam Murti, 2011) mendefinisikan metakognisi sebagai kesadaran dan menajemen dari proses dan produk kognitif yang dimiliki seseorang, atau secara sederhana disebut sebagai “berpikir mengenai berpikir”. Secara umum, metakognisi dianggap sebagai suatu konstruk multidimensi. Anderson dan Krathwohl (dalam Murti, 2011) mendefinisikan metakognisi sebagai rincian dari pengetahuan yang dapat dikuasi atau diajarkan pada setiap tahapan kognitif. Dalam lingkup pengetahuan tersebut, pengetahuan metakognitif menempati pada tingkat tertinggi setelah pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural. Pengetahuan metakognitif meliputi pengetahuan strategik, pengetahuan tugas-tugas berpikir dan pengetahuan pribadi. Sebagai contoh pengetahuan metakognitif, yaitu pengetahuan tentang langkahlangkah penelitian, rencana kegiatan dan program kerja; pengetahuan tentang
23
jenis metode, tes yang harus digunakan dan dikerjakan guru; dan pengetahuan tentang sikap, minat, karakteristik yang harus dikuasai untuk menjadi seorang guru yang baik. Schraw dan Dennison (1994) mendefinisikan Kemampuan metakognisi sebagai pengetahuan individu tentang tentang pengetahuan mereka mengenai keadaan dan proses pemikiran mereka sendiri serta kemampuan mereka memulai dan mengubah sesuai keadaan dan proses pemikiran tersebut yang meliputi komponen pengetahuan deklaratif, prosedural dan kondisional yang mewakili komponen pengetahuan tentang kognisi seseorang. a. Pengetahuan deklaratif merupakan informasi faktual yang diketahui oleh seseorang. b. Pengetahuan prosedural merupakan pengetahuan bagaimana seseorang melakukan sesuatu, pengetahuan bagaimana seseorang dalam menjalankan langkah-langkah dalam suatu proses belajar. c. Pengetahuan kondisional merupakan pengetahuan terkait kapan suatu prosedur, skill atau strategui itu digunakan dan kapan tidak digunakan, pada kondisi apa suatu prosedur dapat digunakan, dan mengapa suatu prosedur lebih baik dari prosedur yang lain. Salah seorang pakar pemikiran anak Deanna Kuhn (dalam Santrock, 2010) percaya bahwa metakognisi harus lebih difokuskan pada usaha untuk membantu anak menjadi pemikir yang lebih kritis, terutama di sekolah menengah. Masalah yang dimunculkan pada setiap proses pembelajaran dapat mereka uraikan dari pengalaman berpikir mereka sendiri, sehingga kesadaran metakognitif secara teoritik semakin besar, melalui pelaksanaan sintaks pembelajaran tersebut berlangsung secara berkelompok. Dengan adanya peningkatan kesadaran
24
metakognitif siswa juga dapat meningkatkan hasil belajar kognitif siswa (Santrock, 2010). Pengetahuan metakognitif membentuk subkomponen pengetahuan dari metakognisi, sementara istilah umum ‘metakognisi’ merujuk pada konsep superordinat yang terdiri dari setidaknya dua komponen, yaitu (1) pengetahuan; (2) monitoring (pengalaman) dan regulasi (ketrampilan), dan sering mengacu pada procedural metacognition. Berlawanan dengan procedural metacognition yang meliputi keterampilan-ketrampilan dan pengalaman-pengalaman yang mungkin saja merupakan sesuatu yang tidak disadari, pengetahuan metakognitif merupakan pengetahuan deklaratif yang stabil, yang diperoleh seseorang berkaitan dengan kognisi dan memori, yang disimpan dalam memori jangka panjang sehingga dapat diakses secara sadar, dan dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif (Neunhaus, et al., 2011). Flavell (dalam Rahman dan Phillips, 2006) mendefinisikan metakognisi sebagai ‘kognisi tentang kognisi’ atau ‘pemikiran tentang pemikiran’ dan komponen penting dalam metakognisi adalah berkaitan dengan pengetahuan tentang kognisi dan kebolehan memantau, meregulasi dan mengawal pengetahuan kognitif . Definisi ini mencadangkan bahwa ketika proses berfikir atau belajar berlangsung, individu itu boleh memilih kemahiran dan strategi yang sesuai mengikut keperluan tugasan pemikiran atau pembelajaran yang sedang dijalankan (Rahman dan Phillips, 2006).
Blakey & Spence (1990) mengemukakan strategi-startegi atau langkah-langkah untuk meningkatkan keterampilan metakognisi, yakni:
25
a)
Mengidentifikasi. “Apa yang kau ketahui” dan “apa yang kau tidak ketahui” Memulai aktivitas pengamatan, siswa perlu membuat keputusan yang disadari tentang pengetahuan mereka. Dengan menyelidiki suatu topik, siswa akan menverifikasi, mengklarifikasi dan mengembangkan, atau mengubah pernyataan awal mereka dengan informasi yang akurat.
b) Berbicara tentang berpikir (talking about thinking). Selama membuat perencanaan dan memecahkan masalah, guru boleh “menyuarakan pikiran”, sehingga siswa dapat ikut mendemonstrasikan proses berpikir. Pemecahan masalah berpasangan merupakan strategi lain yang berguna pada langkah ini. Seorang siswa membicarakan sebuah masalah, mendeskripsikan proses berpikirnya, sedangkan pasangannya mendengarkan dan bertanya untuk membantu mengklarifikasi proses berpikir. c)
Membuat jurnal berpikir (keeping thinking journal). Cara lain untuk mengembangkan metakognisi adalah melalui penggunaan jurnal atau catatan belajar. Jurnal ini berupa buku harian dimana setiap siswa merefleksi berpikir mereka, membuat catatan tentang kesadaran mereka terhadap kedwiartian (ambiguities) dan ketidakkonsistenan, dan komentar tentang bagaimana mereka berurusan/menghadapi kesulitan.
d) perencanaan dan regulasi-diri. Siswa harus mulai bekerja meningkatkan responsibilitas untuk merencanakan dan meregulasi belajar mereka. Sulit bagi pebelajar menjadi orang yang mampu mengatur diri sendiri (self directed) ketika belajar direncanakan dan dimonitori oleh orang lain. e)
Melaporkan kembali proses berpikir (debriefing thinking process). Aktivitas terakhir adalah menfokuskan diskusi siswa pada proses berpikir
26
untuk mengembangkan kesadaran tentang strategi-strategi yang dapat diaplikasikan pada situasi belajar yang lain. Metode tiga langkah dapat digunakan; Pertama: guru mengarahkan siswa untuk mereviu aktivitas, mengumpulkan data tentang proses berpikir; Kedua: kelompok mengklasifikasi ide-ide yang terkait, mengindentifikasi strategi yang digunakan; Ketiga: mereka mengevaluasi keberhasilan, membuang strategistrategi yang tidak tepat, mengidentifikasi strategi yang dapat digunakan kemudian, dan mencari pendekatan alternatif yang menjanjikan. f)
Evaluasi diri (self evaluation). Mengarahkan pengalaman-pengalaman evaluasi diri dapat diawali melalui pertemuan individual dan daftar-daftar yang berfokus pada proses berpikir. Secara bertahap, evaluasi diri akan lebih banyak diaplikasikan secara independen.
E. Efikasi Diri Self efficacy atau efikasi diri menurut Bandura (1997) merupakan persepsi individu akan keyakinan kemampuannya melakukan tindakan yang diharapkan. Keyakinan efikasi diri mempengaruhi pilihan tindakan yang akan dilakukan, besarnya usaha dan ketahanan ketika berhadapan dengan hambatan atau kesulitan. Individu dengan efikasi diri tinggi memilih melakukan usaha lebih besar dan pantang menyerah. Bandura (1986) berpendapat bahwa efikasi diri tidak berkaitan dengan kecakapan yang dimiliki melainkan berkaitan dengan keyakinan individu mengenai apa yang dapat dilakukan dengan kecakapan yang dimiliki seberapa pun besarnya. Efikasi diri menekankan pada komponen keyakinan yang dimiliki seseorang dalam meng-
27
hadapi situasi yang akan datang yang mengandung ketidakpastian, tidak dapat diramalkan, dan sering kali penuh tekanan. Sementara itu, Gist dan Mitchell (Schwoerer dan May, 1996) menyatakan bahwa efikasi diri dapat membawa pada perilaku yang berbeda diantara individu dengan kemampuan yang sama, karena efikasi diri mempengaruhi pilihan, tujuan, pengatasan masalah, dan kegigihan dalam berusaha. Semakin tinggi efikasi diri seseorang, semakin percaya ia pada kemampuannya untuk berhasil dalam suatu tugas. Efikasi diri tidak boleh dikacaukan dengan penilaian tentang konsekuensi yang akan dihasilkan dari sebuah perilaku, tetapi akan membantu menentukan hasil yang diharapkan. Kepercayaan diri pada individu akan membantu mencapai keberhasilan. Efikasi diri adalah suatu gambaran subjektif terhadap kemampuan diri yang bersifat fragmental, yaitu setiap individu mempunyai efikasi diri yang berbedabeda pada situasi yang berbeda (Bandura, 1997). Maksudnya, individu menilai kemampuan, potensi dan kecenderungan yang ada padanya dipadukan dengan tuntutan lingkungan, karena itu efikasi diri tidak mencerminkan secara nyata kemampuan individu bersangkutan. Efikasi diri berbeda dengan aspirasi (citacita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya dapat dicapai, sedang efikasi diri menggambarkan penilaian kemampuan diri. Bandura (1986) mengungkapkan bahwa perbedaan self efficacy pada setiap individu terletak pada tiga komponen, yaitu magnitude, strength dan generality. Masing-masing mempunyai implikasi penting di dalam performansi, yang secara lebih jelas dapat diuraikan menjadi tiga aspek. Pertama, magnitude (tingkat kesulitan tugas), yaitu masalah yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas individu. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan perilaku yang akan dicoba
28
individu berdasar ekspektasi efikasi pada tingkat kesulitan tugas. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang ia persepsikan dapat dilaksanakannya dan ia akan menghindari situasi dan perilaku yang ia persepsikan di luar batas kemampuannya. Komponen kedua menurut Bandura (1997) yaitu strength (kekuatan keyakinan), yaitu berkaitan dengan kekuatan pada keyakinan individu atas kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap pada individu akan mendorong untuk gigih dalam berupaya mencapai tujuan, walaupun mungkin belum memiliki pengalaman–pengalaman yang menunjang.
Komponen ketiga menurut Bandura (1997) yaitu generality (generalitas), yaitu hal yang berkaitan cakupan luas bidang tingkah laku di mana individu merasa yakin terhadap kemampuannya. Individu dapat merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, tergantung pada pemahaman kemampuan dirinya yang terbatas pada suatu aktivitas dan situasi tertentu atau pada serangkaian aktivitas dan situasi yang lebih luas dan bervariasi.
Pujiati (2010) menyatakan bahwa aspek magnitude adalah aspek yang memiliki pengaruh terbesar dalam variabel efikasi diri dibandingkan kedua aspek lainnya, namun aspek generality dan aspek stength juga ikut serta mempengaruhi efikasi diri secara keseluruhan walaupun tidak sebesar aspek magnitude. Rata-rata efikasi diri siswa ditinjau dari aspek magnitude yang berada pada kategori tinggi, artinya siswa sudah merasa mampu untuk menghadapi kesulitan-kesulitan dari tugas-tugas akademiknya serta dapat mengatur dirinya serta memperkirakan tindakan yang dirasa mampu. Siswa yang memiliki efikasi diri yang tinggi, saat
29
dihadapkan pada mata pelajaran yang sulit akan mempersepsi dirinya mampu mengerjakan atau menguasai materi pelajaran tersebut karena memiliki kepercayaan diri untuk mampu mengatasi kesulitan sendiri. Pada taraf ini siswa juga mulai mampu mengembangkan keterampilan merencanakan aktivitas belajarnya dari pengalaman sebelumnya. Tingkat efikasi diri siswa ditinjau dari aspek strength yang berada pada kategori tinggi diartikan bahwa siswa sudah memiliki tingkat daya usaha dan ketahanan diri dalam menghadapi berbagai hambatan untuk memenuhi tuntutan akademik sebagai pelajar. Hambatan-hambatan yang dihadapi siswa dapat berupa pengalaman kegagalan atau kesulitan yang dihadapinya. Ketercapaian aspek ini juga mengindikasikan siswa dapat meningkatkan usaha dengan baik dan komitmen terhadap tugas-tugas belajarnya (Pujiati, 2010). Aspek generality berkaitan dengan luas keyakinan atas kemampuan diri, artinya siswa dapat saja menilai keyakinan dirinya untuk aktivitas yang cukup luas atau aktivitas-aktivitas tetentu saja dimana siswa menampilkan kemampuan dirinya dalam situasi-situasi sosial. Ketika siswa berada pada situasi belajar di kelas, siswa yang memiliki tingkat generality yang tinggi mampu mengolah materi belajar dengan baik walaupun situasi di kelas kurang mendukung proses belajar (Pujiati, 2010). Bandura (1994) mengatakan manusia yang kuat efikasi diri akan meningkatkan prestasi pribadi dan kesejahteraannya dalam berbagai strategi. Jika siswa yang memiliki efikasi tinggi maka ia cenderung untuk memilih tugas yang menantang dan gigih dalam menghadapi suatu tantangan baru.
30
Efikasi diri mempengaruhi motivasi melalui pilihan yang dibuat dengan tujuan yang ditetapkan. Siswa yang memiliki kepercayaan dan kemampuan yang tinggi memiliki motivasi yang tinggi, mengerjakan tugas dengan lebih cepat dan meraih tujuan lebih baik (Bandura, 1994). Siswa yang rendah tingkat efikasinya akan memilih tugas yang lebih mudah dan menghindar dari tugas secara keseluruhan serta berupaya untuk tidak bekerja dan siswa seperti ini lebih mudah menyerah (Zimmerman, 1995).
Zimmerman (1995) melanjutkan bahwa hal ini menandakan bahwa siswa dengan efikasi diri rendah mudah putus asa, tidak suka menghadapi kesulitan dalam belajar, pesimis dengan pencapaian tujuan yang mengakibatkan motivasi untuk belajar kurang sehingga prestasi yang dicapai tidak memuaskan bahkan buruk. Efikasi diri akan menjadi efektif bila didukung oleh kemampuan yang memadai (ability ) dan keyakinan akan usaha serta hasil yang akan diperoleh.
(Baron dan Greenberg, 1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan atau mengatasi hambatan. Efikasi diri tidak berkaitan dengan kemampuan seseorang terhadap sesuatu yang dapat dilakukannya ataupun keterampilan dan keahlian yang dimiliki individu tersebut. Efikasi diri bukan merupakan faktor bawaan dan keturunan.
Ali dan McWhirter (dalam Metheny, J.,et al., 2008) menemukan hubungan yang signifikan antara dukungan sosial guru dan efikasi diri pendidikan, harapan hasil kerja dan kemungkinan adanya hambatan dalam pendidikan menengah. Dukungan sosial guru memiliki hubungan yang kuat dengan efikasi diri
31
pendidikan dengan dukungan dari orang tua, saudara dan teman sebaya. Guru menjadi sumber dukungan yang potensial bagi siswa karena mereka menghabiskan sebagian waktu mereka di sekolah. Dukungan sosial guru memiliki hubungan dengan beberapa hasil penting, diantaranya pencapaian akademik, motivasi akademik, serta upaya akademik dan mengejar tujuan lain. Hal ini memiliki hubungan dengan efikasi diri, sebagaimana pernyataan Zimmerman, B. J. (2000) bahwa efikasi diri merupakan prediktor yang sangat efektif untuk motivasi dan belajar.
Harahap (2008) yang menyatakan bahwa adanya hubungan yang positif dan signifikan antara efikasi diri siswa terhadap prestasi belajar kimia siswa. Efikasi diri siswa sangat menentukan tingkat dan peningkatan prestasi belajar kimia siswa karena dengan efikasi diri siswa akan mampu merencanakan tindakan, menampilkan prilaku baru, merespon dengan aktif dan kreatif serta mampu memberikan solusi atau memecahkan masalah terhadap persoalan hidup yang sedang dialami siswa maupun tugas yang diberikan oleh guru. Siswa yang memiliki efikasi diri yang kuat akan mampu bertahan dalam situasi sulit dan sangat menyukai tugastugas yang menantang tidak hanya dalam pembelajaran.
F. Analisis Konsep Markle dan Tieman (dalam Fadiawati, 2011) mendefinisikan konsep sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Mungkin tidak ada satupun definisi yang dapat mengungkapkan arti dari konsep. Untuk itu diperlukan suatu analisis konsep yang memungkinkan kita dapat mendefinisikan konsep, sekaligus menghubungkan dengan konsep-konsep lain yang berhubungan.
32
Lebih lanjut lagi, Herron et al. (dalam Fadiawati, 2011) mengemukakan bahwa analisis konsep merupakan suatu prosedur yang dikembangkan untuk menolong guru dalam merencanakan urutan-urutan pengajaran bagi pencapaian konsep. Markle dan Tieman (dalam Fadiawati, 2011) menyatakan bahwa analisis konsep dilakukan melalui tujuh langkah, yaitu menentukan nama atau label konsep, definisi konsep, jenis konsep, atribut kritis, atribut variabel, posisi konsep, contoh, dan non contoh.
G. Kerangka Berpikir Prinsip dasar model pembelajaran SiMaYang Tipe II adalah guru mengenalkan konsep kimia dengan menyajikan beberapa abstraksi mengenai fenomena sains dan mentransformasikan ketiga level fenomena sains tersebut yaitu makroskopis, submikroskopis, dan simbolik serta membimbing dan memfasilitasi siswa untuk mengemukakan dan mengembangkan pemikirannya. Tahap awal atau fase I pada pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran SiMaYang Tipe II adalah guru memberikan motivasi dengan berbagai fenomena sains yang terkait dengan pengalaman siswa, tahap ini dikenal dengan fase orientasi. Pada tahap ini, dengan adanya motivasi berupa fenomena sains dari pengalaman siswa, siswa akan tertantang untuk dapat menguasai materi atau konsep yang akan dipelajari pada pertemuan tersebut. Tahap kedua atau fase II adalah fase eksplorasi. Pada tahap ini siswa akan diperkenalkan dengan konsep materi yang penyampaiannya melalui abstraksi yang berbeda mengenai fenomena sains secara verbal atau demonstrasi dan visualisasi yang dapatberupa gambar, grafik, simulasi atau animasi, dan atau analogi. Pada
33
tahap ini siswa akan merasa tertantang untuk dapat mengungkapkan berbagai macam pertanyaan atau bahkan jawaban terkait absrtaksi yang diberikan. Pada tahap ini siswa akan berimajinasi dan merepresentasikan fenomena sains yang diberikan serta bekerja keras untuk memahami dan mengembangkan pemikiran mereka. Siswa akan dilatihkan efikasi diri agar mengalami peningkatan. Peningkatan efikasi diri siswa akan meningkatkan daya tarik siswa dalam mengerjakan soal dengan tingkat kesukaran yang tinggi.
Tahapa Selanjutnya atau fase III yaitu internalisasi. Pada tahap ini siswa akan mempresentasikan hasil pemikirannya, meyampaikan komentar atau menanggapi presentasi dari kelompok lain. Siswa akan diberikan latihan untuk dapat mengartikulasikan imajinasi, setelah melalui fase II siswa dilatihkan kembali mengenai efikasi diri agar tertantang dan termotivasi mengerjakan soal atau pertanyaan yang sulit dan tidak mudah putus asa ketika mengalami kesulitan pada saat mengerjakan tugas.
Tahap terakhir atau fase IV merupakan fase evaluasi. Pada tahap ini siswa akan meriviu hasil kerjanya dan berlatih menginterkoneksikan ketiga level fenomena sains dan melakukan evaluasi diagnostik, formatif, dan sumatif. Fase evaluasi merupakan fase dimana siswa dipersilahkan untuk bertanya tentang pembelajaran yang akan datang kepada guru agar siswa lebih siap mengikuti pembelajaran selanjutnya dengan baik. Berdasarkan uraian dan langkah-langkah di atas dengan diterapkannya model pembelajaran SiMaYang Tipe II berbasis multipel representasi diyakini dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan efikasi diri siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit.
34
Model Pembelajaran PBL menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru. Prinsip pada model PBL yaitu siswa diberikan permasalahan pada awal pelaksanaan pembelajaran oleh guru, selanjutnya selama pelaksanaan pembelajaran siswa memecahkan masalah yang akhirnya mengintegrasikan pengetahuannya.
Model pembelajaran PBL memiliki 5 tahapan pembelajaran. Fase pertama yaitu Orientasi peserta didik kepada masalah. Pada fase ini, siswa akan menyimak penjelasan tentang tujuan pembelajaran dan logistik yang dibutuhkan dan siswa akan dimotivasi untuk terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih. Fase kedua yaitu mengorganisasikan peserta didik. Pada tahap ini siswa akan didorong untuk mendefinisikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan diselesaikan.
Fase ketiga yaitu membimbing penyelidikan individu dan kelompok, Pada tahap ini siswa akan didorong untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah yang akan diselesaikan. Fase selanjutnya yaitu mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Pada tahap ini siswa akan dibimbing dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, model dan berbagi tugas dengan teman. Fase terakhir yaitu menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan. Pada tahap ini, hasil belajar siswa akan dievaluasi terkait materi yang telah dipelajari dan meminta kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja.
35
Berdasarkan uraian dan langkah-langkah di atas dengan diterapkannya model pembelajaran PBL diyakini dapat meningkatkan kemampuan metakognisi dan efikasi diri siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit. H. Hipotesis Umum
1.
Model pembelajaran SiMaYang Tipe II berbasis multipel representasi lebih baik di bandingkan dengan model pembelajaran Problem Base Learning (PBL) dalam meningkatkan kemampuan metakognisi pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit.
2.
Model pembelajaran SiMaYang Tipe II berbasis multipel representasi lebih baik di bandingkan dengan model pembelajaran Problem Base Learning (PBL) dalam meningkatkan efikasi diri pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X MIA SMA Negeri 10 Bandar Lampung tahun pelajaran 2015/2016 dan tersebar dalam delapan kelas. Teknik pemilihan sampel yang digunakan yaitu teknik cluster random sampling. Pengambilan sampel ditentukan dengan cara sebagai berikut: 1.
Menentukan kelas eksperimen 1 dengan cara random untuk memilih 1 dari 8 kelas yang ada lalu diperoleh kelas X MIA 8, pada kelas eksperimen 1 ini akan diterapkan model pembelajaran SiMaYang tipe II.
2.
Menentukan kelas eksperimen 2 (sebagai kontrol) dengan cara random untuk memilih 1 dari 8 kelas yang ada lalu diperoleh kelas X MIA 2, pada kelas eksperimen 2 (sebagai kontrol) ini akan diterapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Model PBL ini dipilih sebagai kelas kontrol karena model ini sudah pernah digunakan oleh guru di SMA N 10 Bandar Lampung dalam pembelajaran, sesuai saran dari kurikulum 2013.
B. Desain dan Metode Penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah control group pretest-posttest design. Pada desain penelitian ini melihat perbedaan pretes maupun postes antara kelas
37
eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 (sebagai kontrol), sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen.
Tabel 3. Desain penelitian Kelas
Pretes
Perlakuan
Postes
Kelas eksperimen 1
O1
X1
O2
Kelas ekperimen 2 (sebagai kontrol)
O1
X2
O2
Keterangan: O1 : Kelas eksperimen 1 dan kelas eksperimen 2 (sebagai kontrol) diberi pretes. X1 : Pembelajaran kimia dengan menggunakan pembelajaran SiMaYang Tipe II. O2 : Kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2 (sebagai kontrol) diberi postes. X2 : Pembelajaran kimia dengan menggunakan pembelajaran PBL. C. Variabel Penelitian
Variabel-variabel dalam penelitian ini meliputi satu variabel bebas dan dua variabel terikat. Variabel bebas, yaitu pembelajaran menggunakan model SiMaYang tipe II berbasis multipel representasi dan model pembelajaran PBL . Variabel terikat adalah kemampuan metakognisi dan efikasi diri pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit. D. Instrumen Penelitian dan Validitasnya
Alat yang berfungsi untuk mempermudah pelaksanaan sesuatu di sebut dengan instrumen. Alat yang digunakan oleh pengumpul data untuk melaksanakan tugasnya mengumpulkan data. Instrumen biasa di sebut Instrumen pengumpulan data (Arikunto, 1997). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
38
1.
Instrumen efikasi diri yang digunakan dalam penelitian disusun dengan mengadopsi indikator dari Bandura (1997). Menggunakan angket efikasi diri yang di adobsi dari angket yang telah valid secara teoritis (validasi ahli) yang diadopsi dari Sunyono, et al., (2015).
2.
Instrumen kemampuan metakognisi yang digunakan dalam penelitian disusun dengan mengadopsi indikator dari Schraw dan Dennison (1994). Menggunakan angket kemampuan metakognisi yang di adobsi dari angket yang telah valid secara teoritis (validasi ahli) diadopsi dari Sunyono, et al., (2015).
3.
Angket respon siswa yang bertujuan untuk menjaring data respon siswa terhadap kegiatan dan komponen pembelajaran dalam pelaksanaan pembelajaran kimia. Lembar observasi ini disusun dengan mengadopsi instrumen yang dikembangkan oleh Sunyono, et al., (2015).
4.
Lembar pengamatan aktivitas siswa yang bertujuan untuk mengamati aktivitas siswa dalam kelompok selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Lembar observasi ini disusun dengan mengadopsi instrumen yang dikembangkan oleh Sunyono, et al., (2015)
E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Observasi pendahuluan Prosedur observasi pendahuluan: a. Meminta izin kepada Kepala SMA Negeri 10 Bandar Lampung untuk melaksanakan penelitian.
39
b. Mengadakan observasi sekolah tempat penelitian untuk mendapatkan informasi mengenai data siswa, karakteristik siswa, jadwal, cara mengajar guru kimia di kelas, dan sarana-prasarana yang ada di sekolah yang dapat digunakan sebagai sarana pendukung pelaksanaan penelitian. c. Menentukan model pembelajaran yang akan digunakan pada materi pokok larutan elektrolit dan non-ektrolit, yaitu model pembelajaran SiMaYang tipe II berbasis multipel representasi dan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) sebagai pembanding. d. Menentukan kelas yang digunakan sebagai subyek penelitian. 2. Pelaksanaan penelitian Prosedur pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu: a. Tahap persiapan Peneliti menyusun perangkat pembelajaran yang akan digunakan selama proses permbelajaran di kelas, antara lain Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) kelas eksperimen 1 dengan model pembelajaran SiMaYang tipe II yang diadopsi dari Afdila (2015), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) eksperimen 2 dengan model pembelajaran PBL yang dimodifikasi dari Afdila (2015), Silabus diadopsi dari Afdila (2015), Lembar Kerja Siswa (LKS) kelas eksperimen 1 yang diadopsi dari Putrizal (2015), Lembar Kerja Siswa (LKS) eksperimen 2 yang modifikasi dari Putrizal (2015), instrumen tes efikasi diri yang diadopsi dari Sunyono, et al., (2015), instrumen tes keterampilan metakognisi yang diadopsi dari Sunyono, et al., (2015), lembar pengamatan aktivitas siswa dan angket respon siswa yang diadopsi dari Sunyono, et al., (2015).
40
b. Tahap penelitian
Pada tahap pelaksanaannya, penelitian dilakukan pada kelas eksperimen 1 yang akan diterapkan model pembelajaran SiMaYang tipe II berbasis multipel representasi dan eksperimen 2 yang akan diterapkan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL). Urutan prosedur pelaksanaannya sebagai berikut: 1) Memberikan tes kemampuan metakognisi dan tes efikasi diri kepada kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2 untuk mengetahui kemampuan metakognisi dan efikasi diri awal siswa. 2) Peneliti melaksanakan kegiatan belajar mengajar pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit sesuai dengan model pembelajaran yang telah ditetapkan pada kelas eksperimen 1 yaitu SiMaYang tipe II dan pada eksperimen 2 yaitu Problem Based Learning (PBL). 3) Memberikan tes kemampuan metakognisi dan tes efikasi diri setelah pembelajaran pada kelas eksperimen 1 dan eksperimen 2 untuk mengukur peningkatan kemampuan metakognisi dan efikasi diri akhir siswa. 3. Pembahasan dan kesimpulan a. Menganalisis data b. Pembahasan c. Menarik kesimpulan
41
Prosedur pelaksanaan penelitian tersebut dapat digambarkan dalam bentuk bagan berikut ini : Mengajukan permohonan izin kepada pihak sekolah
Mengadakan observasi sekolah tempat penelitian
Observasi Pendahuluan
Menentukan populasi dan sampel
Mempersiapkan Instrumen Pembelajaran
Kelas eksperimen 2 /kontrol (Pembelajaran PBL)
Pretes Postes
Kelas eksperimen 1 (Pembelajaran SiMaYang tipe II)
Pelaksanaan Penelitian (Tahap Persiapan)
Pelaksanaan Penelitian (Tahap Penelitian)
Menganalisis Data
Pembahasan dan kesimpulan
Pembahasan dan Kesimpulan
F. Analisis Data Penelitian
1. Analisis Validitas dan Reliabilitas Angket Kemampuan Metakognisi dan Efikasi Diri Data penelitian yang diperoleh di analisis secara deskriptif meliputi analisis validitas dan reliabilitas untuk angket kemampuan metakognisi. Validitas dari angket secara teoritis dilakukan oleh validator (ahli psikologi). Validitas dari angket tes dianalisis dengan Software SPSS 17.0. ditentukan dari perbandingan nilai rhitung dan rtabel (product moment) dan dikatakan valid apabila rhitung > rtabel.
42
Sedangkan reliabilitas ditentu-kan menggunakan rumus Alpha Cronbach dengan membandingkan r11 dan rtabel, instrumen angket dikatakan reliabel jika r11 > rtabel. 2. Analisis Data Respon Siswa terhadap Pelaksanaan Pembelajaran
Analisis data respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan model SiMaYang tipe II,dilakukan langkah-langkah berikut: 1. Menghitung jumlah siswa yang memberikan respon positif dan negatif terhadap pelaksanaan pembelajaran. 2. Menghitung persentase jumlah siswa yang memberikan respon positif dan negatif. 3. Menafsirkan data dengan menggunakan tafsiran harga persentase sebagaimana Tabel 4. Tabel 4. Kriteria tingkat keterlaksanaan Persentase 80,1% - 100,0% 60,1% - 80,0% 40,1% - 60,0% 20,1% - 40,0% 0,0% - 20,0%
Kriteria Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah
3. Analisis Data Aktivitas Siswa Selama Pembelajaran Berlangsung
Aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung diukur dengan menggunakan lembar observasi oleh dua orang observer. Analisis deskriptif terhadap aktivitas siswa dalam pembelajaran dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut:
43
1. Menghitung persentase aktivitas siswa untuk setiap pertemuan dengan rumus: % Pa =
x100%
Keterangan: Pa = Persentase aktivitas siswa dalam belajar di kelas. Fa = Frekuensi rata-rata aktivitas siswa yang muncul. Fb = Frekuensi rata-rata aktivitas siswa yang diamati.
2. Menghitung jumlah persentase aktivitas siswa yang relevan dan yang tidak relevan dengan pembelajaran untuk setiap pertemuan dan menghitung rata-ratanya, kemudian menafsirkan data dengan menggunakan tafsiran harga persentase sebagaimana Tabel 4. 3. Mengurutkan aktivitas siswa yang dominan dalam pembelajaran berdasarkan persentase setiap aspek aktivitas yang diamati. 2. Analisis Perbandingan Model Pembelajaran SiMaYang Tipe II dengan PBL a) Hipotesis kerja a) Hipotesis pertama ( Kemampuan metakognisi) Rata-rata n-Gain kemampuan metakognisis siswa pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit yang diterapkan pembelajaran SiMaYang tipe II lebih tinggi daripada rata-rata kemampuan metakognisis siswa dengan pembelajaran PBL. b) Hipotesis kedua (efikasi diri )
44
Rata-rata n-Gain efikasi diri siswa pada materi larutan elektrolit dan non elektrolit yang diterapkan pembelajaran SiMaYang tipe II lebih tinggi daripada rata-rata efikasi diri siswa dengan pembelajaran PBL. 5. Teknik Analisis Data Tujuan analisis data yang dikumpulkan adalah untuk memberikan makna atau arti yang digunakan untuk menarik suatu kesimpulan yang berkaitan dengan masalah, tujuan, dan hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. 1. Mengubah skor menjadi nilai Nilai pretes atau postes dirumuskan sebagai berikut: Nilai siswa= Jumlah skor jawaban yang diperoleh x 100 Jumlah skor maksimal 2. Menghitung n-Gain ternormalisasi Analisis skor gain ternormalisasi dilakukan untuk mengetahui peningkatan kemampuan metakognisi dan efikasi diri siswa antara pembelajaran SiMaYang tipe II dengan pembelajaran PBL, maka dilakukan analisis skor gain ternormalisasi. Tujuan perhitungan gain ternormalisasi ini yaitu untuk mengetahui peningkatan nilai pretes dan postes dari kedua kelas. Menurut Hake (dalam Sunyono, 2014) besarnya peningkatan dihitung dengan rumus n-Gain (normalized gain) yaitu: n-Gain = ( % Postes - % Pretes ) ( 100- % Pretes )
45
Hasil perhitungan gain ternormalisasi kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan kriteria gain sebagai berikut: g > 0,7 (pembelajaran dengan skor n-Gain tinggi) 0,3 < g < 0,7 (pembelajaran dengan skor n-Gain sedang) g < 0,3 (pembelajaran dengan skor n-Gain rendah) 6. Teknik pengujian hipotesis
Pengujian hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji kesamaan dua rata-rata dan uji perbedaan dua rata-rata. Uji ini digunakan untuk mengetahui perbandingan kedua model pembelajaran yang digunakan terhadap sampel dengan melihat gain ternormalisasi kemampuan metakognisi dan efikasi diri pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit yang lebih tinggi. Sebelum dilakukan uji kesamaan dua rata-rata pretes dan uji perbedaan dua rata-rata n-Gain, harus dilakukan uji prasyarat telebih dahulu yaitu uji normalitas dan uji homogenitas dua varians. Pengujian hipotesis dilakukan dengan uji-t (t student) dengan taraf nyata 0,05.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah kedua sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Untuk uji normalitas menggunakan uji chi-kuadrat. Hipotesis: H0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. H1 : sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal. Untuk uji normalitas, digunakan rumus sebagai berikut:
46
χ2 = ∑
keterangan:
(
)
χ2 = Normalitas Oi = frekuensi pengamatan Ei = frekuensi yang diharapkan Kriteria uji: Terima H0 jika χ2 < χ2 (1-α)(k-3) atau χ2hitung< χ2tabel dengan taraf nyata 0,05. b. Uji homogenitas dua varians
Uji homogenitas dua varians digunakan untuk mengetahui apakah dua kelompok sampel mempunyai varians yang homogen atau tidak. Uji yang digunakan untuk menguji homogenitas dua varians ini adalah uji F dengan langkah-langkah sebagai berikut: H0 = data penelitian mempunyai varians yang homogen H1 = data penelitian mempunyai varians yang tidak homogen b) Rumusan hipotesis 2 2 Ho : 1 2 = sampel mempunyai variansi yang homogen
H1 : 12 22 =sampel mempunyai variansi yang tidak homogen Keterangan : = varians nilai eksperimen 1 = varians nilai eksperimen 2 c) Rumus statistik =
47
Keterangan : = varians terbesar = varians terkecil
d) Kriteria uji Pada taraf 0.05, tolak Ho hanya jika F hitung F ½(1 , 2) dan tolak sebaliknya (Sudjana, 2005) c. Uji kesamaan dua rata-rata
Uji kesamaan dua rata-rata digunakan untuk mengetahui apakah kemampuan awal kemampuan metakognisi dan efikasi diri siswa di kelas eksperimen 1 tidak berbeda secara signifikan dengan kemampuan awal kemampuan metakognisi dan efikasi diri siswa di eksperimen 2. Uji kesamaan dua ratarata yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan uji t (Sudjana, 2005) Hipotesis 1 (kemampuan metakognisi): H0 : µ 1x = µ 2x : Rata-rata nilai pretes (x) siswa di kelas eksperimen 1 sama dengan rata-rata nilai pretes (x) siswa di kelas eksperimen 2 pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit. H1 : µ 1x ≠ µ 2x : Rata-rata nilai pretes (x) siswa di kelas eksperimen 1 tidak sama dengan rata-rata nilai pretes (x) siswa di kelas eksperimen 2 pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit.
48
Hipotesis 2 (efikasi diri): H0 : µ 1y = µ 2y : Rata-rata nilai pretes (y) siswa di kelas eksperimen 1 sama dengan rata-rata nilai pretes (y) siswa di eksperimen 2 pada pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit. H1 : µ 1y ≠ µ 2y : Rata-rata nilai pretes (y) siswa di kelas eksperimen 1 tidak sama dengan rata-rata nilai pretes (y) siswa di kelas eksperimen 2 pada materi larutan elektrolit dan nonelektrolit. Keterangan: µ 1 = Rata-rata nilai pretes (x) pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit kelas eksperimen 1. µ 2 = Rata-rata nilai pretes (y) pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit kelas eksperimen 2. X = Kemampuan metakognisi Y = Efikasi diri Jika data yang diperoleh terdistribusi normal dan homogen, maka pengujian menggunakan uji statistik parametrik, yaitu menggunakan uji-t (Sudjana, 2005) t hitung= Keterangan : t hitung= koefisien t
dan S2 =
(
)
(
)
49
X1 = rata-rata pretes kelas eksperimen 1 X2 = rata-rata pretes kelas eksperimen 2 2
S = Varians n1 = Jumlah siswa kelas eksperimen 1 n2 = Jumlah siswa kelas eksperimen 2 = Varians kelas eksperimen 1 = Varians kelas eksperimen 1 Kriteria uji : Terima H0 jika thitung < ttabel dengan derajat kebebasan d(k) = n1 + n2 – 2 dengan taraf nyata 0,05. d. Uji perbedaan dua rata-rata Uji perbedaan dua rata-rata digunakan untuk menentukan seberapa efektif perlakuan terhadap sampel dengan melihat n-Gain kemampuan metakognisi dan efikasi diri yang lebih tinggi antara pembelajaran dengan model SiMaYang tipe-II dengan model PBL. Dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik uji t, hipotesis dirumuskan dalam bentuk pasangan hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1).
Hipotesis 1 (kemampuan metakognisi) Ho : µ 1x≤ µ2x : Rata-rata n-Gain kemampuan metakognisi siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit yang diterapkan pembelajaran SiMaYang tipe II tidak sama dengan rata-rata n-
50
Gain kemampuan metakognisi siswa yang diterapkan dengan pembelajaran PBL. H1 : µ 1x> µ 2x : Rata-rata n-Gain kemampuan metakognisi siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit yang diterapkan pembelajaran SiMaYang tipe II sama dengan rata-rata n-Gain kemampuan metakognisi siswa yang diterapkan dengan pembelajaran PBL. Hipotesis 2 (efikasi diri) Ho : µ 1y≤ µ2y : Rata-rata n-Gain efikasi diri siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit yang diterapkan pembelajaran SiMaYang tipe II tidak sama dengan rata-rata n-Gain efikasi diri siswa yang diterapkan dengan pembelajaran PBL. H1 : µ 1y> µ 2y : Rata-rata n-Gain efikasi diri siswa pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit yang diterapkan pembelajaran SiMaYang tipe II sama dengan rata-rata n-Gain efikasi diri siswa yang diterapkan dengan pembelajaran PBL. Keterangan: µ 1 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit pada kelas yang diterapkan pembelajaran SiMaYang tipe II. µ 2 : Rata-rata n-Gain (x,y) pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit pada kelas dengan pembelajaran PBL. x : kemampuan metakognisi y : efikasi diri
51
Jika data yang diperoleh berdistribusi normal dan homogen (
=
),
maka pengujian menggunakan uji statistik parametrik, yaitu menggunakan uji t dalam Sudjana (2005) dengan rumus sebagai berikut: t hitung=
dan S2 =
(
)
(
)
Keterangan: thitung = Koefisien t X1
= Rata-rata n-Gain efikasi diri/ kemampuan metakognisi materi larutan elektrolit dan non-elektrolit yang diterapkan pembelajaran SiMaYang tipe II.
X2
= Rata-rata n-Gain efikasi diri/ kemampuan metakognisi materi elektrolit dan non-elektrolit yang diterapkan pembelajaran PBL.
S12
= Varians siswa yang diterapkan pembelajaran SiMaYang tipe II.
S 22
= Varians siswa yang menggunakan pembelajaran PBL.
S2
= Varians kelas eksperimen 1/kontrol.
n1
= Jumlah siswa pada kelas yang diterapkan pembelajaran SiMaYang tipe II.
n2
= Jumlah siswa yang menggunakan pembelajaran PBL.
Kriteria pengujian adalah, terima Ho jika thitung < t (1-α) dengan derajat kebebasan d(k) = n1 + n2 – 2 dan tolak H0 untuk harga t lainnya. Selanjutnya mencari harga t tabel pada tabel distribusi t dengan level signifikan 0,05 dan dk masing-masing (n1 – 1) dan (n2 – 1) lalu membandingkan harga t hitung dengan t tabel dan menarik kesimpulan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian analisis kemampuan metakognisi dan penguasaan konsep siswa menggunakan model pembelajaran SiMaYang Tipe II dan PBL pada materi larutan elektrolit dan non-elektrolit dapat disimpulkan bahwa: 1.
Model pembelajaran SiMaYang Tipe II lebih baik dibandingkan model pembelajaran PBL dalam meningkatkan kemampuan metakognisi siswa pada materi elektrolit dan non-elektrolit.
2.
Model pembelajaran SiMaYang Tipe II lebih baik dibandingkan model pembelajaran PBL dalam meningkatkan efikasi diri siswa pada materi elektrolit dan non-elektrolit.
3.
Hasil analisis data respon siswa dan aktivitas siswa menunjukkan bahwa kelas SiMaYang tipe II lebih tinggi atau lebih baik dibandingkan kelas PBL.
B. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan bahwa: 1. Penerapan model pembelajaran SiMaYang tipe II dapat meningkatkat hasil belajar siswa, khususnya pada mata pelajaran sains yang mengedepankan mulitipel representasi. Oleh karena itu peneliti merekomendasikan kepada
97
guru-guru IPA untuk mengimplementasikan dan mengembangkan model pembelajaran tersebut di kelas. 2. Bagi calon peneliti yang tertarik untuk menerapkan model pembelajaran SiMaYang Tipe II hendaknya memperhatikan alokasi waktu karena dalam pelaksanaannya kedua model pembelajaran ini membutuhkan waktu yang lebih lama pada beberapa langkah pembelajarannya khususnya fase eksplorasi dan imajinasi pada model SiMaYang tipe II dan fase membimbing penyelidikan individu dan kelompok pada model pmbelajaran PBL dan hendaknya menggunakan data keterlaksanaan sebagai bukti telah melakukan pembelajaran dengen model pembelajaran SiMaYang tipe II. 3. Bagi sekolah peneliti menyarankan agar jam mata pelajaran seperti kimia hendaknya jam belajar jangan bersambung atau dengan kata lain jangan di tunda dengan adanya jam istirahat karena waktu pembelajaran menjadi berkurang sehingga membuat pembelajaran kurang berjalan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, A. dan Sitti Saenab,S 2014. Perbandingan Kesadaran Metakognisi Siwa yang Diajar Menggunakan Model Problem-Base Instruction (PBI) dengan Kooperatif Tipe Think Pair Share (TPS). Jurnal Bionature, 2 (15): 81-89. Afdila, D. 2015. Penerapan SiMaYang Tipe II pada Materi Larutan Elektrolit dan Non-Elektrolit. Skripsi. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Afdila, D., Sunyono, & Efkar, T. 2015. Penerapan SiMaYang Tipe II pada Materi Larutan Elektrolit dan Non-Elektrolit. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Kimia, 4 (1): 9-11. Arikunto, S. 1997. Penilaian Program Pendidikan. Edisi III. Bina Aksara. Jakarta. Arikunto, S. 2004. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara. Jakarta. Bandura. 1986. Social Foundation of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. [online] tersedia: http://www.emoy.edu/EDUCATION/mfp/BanduraARP200lr.pdf [7 Agustus 2010 Bandura, A. 1994. “Self-efficacy”. Avaible (online) : Http://www.Emory.edu/EDUCAT ION/mfp/effbook4.html. (17 Nopember 2008). Bandura. 1997. Self Efficay The Exercise of Control. W.H Freeman and Company. New York. Chang, R. 2005. Kimia Dasar Konsep-Konsep Kimia Inti Edisi Ketiga Jilid 1, Alih Bahasa Departemen Kimia, Institut Teknologi Bandung. Erlangga. Jakarta. Greenberg, Jerald Baron. dan Robert,A. 1997. Behavior in Organization, Sixth Edition, Prentice-Hall International Inc, USA. Blakey, E. Dan Spence, S. 1990 . Developing metacognition. Eric Reproduction Services No. ED327218. Retrieved from http://www.eric.ed.gov/PDFS/ED327218 .pdf
99
Chittleborough, G. D. 2004. The Role of Teaching Models and Chemical Representations in Developing Mental Models of Chemical Phenomena. Thesis. Science and Mathematics Education Centre. Creswell, J.W. 1997. Research Design Qualitative, Quantitative, And Mixed Methods Approaches Second Edition. Sage Publications. New Delhi Fadiawati, N. 2011. Perkembangan Konsepsi Pembelajaran Tentang Struktur Atom Dari SMA Hingga Perguruan Tinggi. Disertasi. SPs-UPI. Bandung. Fraenkel, J. R., Wallen, N. E., & Hyun, H. H. 2012. How to Design and Evaluate Research in Education (Eigth Edition). McGrow-Hill. New York. Hananto, R. A. 2015. Lembar Kerja Siswa Berbasis Multipel Representasi dengan Model SiMaYang Tipe II untuk Menumbuhkan Model Mental dan Penguasaan Konsep Larutan Elektrolit dan Non Elektrolit. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Fauzi, M. M. 2012. Pembelajaran Materi Keseimbangan Kimia melalui Representasi Makroskopis dan Mikroskopis pada Siswa SMA Kelas XI IPA Tahun 2011-2012. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Harahap, D. 2008. Analisis Hubungan Antara Efikasi-Diri Siswa Dengan Hasil Belajar Kimianya. UMTS. Padangsidimpuan. Harrison, A.G. dan Treagust, D.F. 2000. Learning about atoms, Molecules, and Chemical Bonds: a Case Study of Multipel Model Use in Grade 11 Chemistry. Science Education, 84, p.352-381 Izzati, Sabila. 2015. Penerapan Model Pembelajaran SiMaYang Tipe II Berbasis Multipel Representasi untuk Meningkatkan Efikasi Diri dan Penguasaan Konsep Asam Basa. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. Izzati, S., Sunyono,dan Efkar, T. 2015. Penerapan Model Pembelajaran SiMaYang Tipe II Berbasis Multipel Representasi untuk Meningkatkan Efikasi Diri dan Penguasaan Konsep Asam Basa. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Kimia, 4(1): 10-11. Johnstone, A.H. 2000. Teaching of Chemistry–Logical or Psycological? Chemistry Education : Research and Practice in Europe, 1, (1), 9-15. Marzuki. 1997. Metodologi Riset. Fakultas Ekonomi UII. Yogyakarta. Metheny, J., McWhirter, E. H., dan O'Neil, M. E. 2008. Measuring perceived teacher support and its influence on adolescent career development. Journal of Career Assessment, 16 (2): 218-237. Murti, H. A. S. 2011. Metakognisi dan Theory Of Mind (ToM). Jurnal 2 (1): 1-5. Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana.
100
Nam, L. Ah. 2007. Persepsi Pelajar Berbagai Gaya Pembelajaran Terhadap Penerapan Strategi Metakognisi Guru. Disertasi. Fakultas Pendidikan Universiti Teknologi Malaysia. Malaysia. Neuenhaus, N., Artelt, C., Lingel, K., dan Schneider, W. 2011. Fifth Graders Metacognitive Knowledge: General or Domain Spesific? European Journal of Psychology and Education, 26:163–178. Pujiati, I. Nia. 2010. Hubungan Antara Efikasi Diri Dengan Kemandirian Belajar Siswa. Tesis. UPI-Bandung. Bandung Purwaningsih, H. 2011. Pengaruh Penggunaan Peta Konsep Pada Model Problem Base Learning (PBL) Terhadap Metakognisi Siswa. Skripsi. UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. Rahman, S. dan Jhon Arul Phillips. 2006. Hubungan antara Kesedaran Metakognisi, Motivasi dan Pencapaian Akademik Pelajar Universiti. Jurnal Pendidikan 31 (2): 21-39. Santrock, J. W. 2010. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Schraw, G. dan Dennison, R. 1994. Assessing metacognitive awareness. Contemporary Educational Psychology, 19 (4): 460-475. Schwoerer, C.E dan May, D.R. 1996. Age and Work Outcomes: The Moderating Effects of Self Efficacy and Tool Design Effectiveness. Journal of Organizational Behavior, 2 (17): 469-487. Slavin, R. E. 2009. Cooperative Learning. Bandung: Penerbit Nusa Media. Sudijono, A. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Sudjana, N. 2005. Metode Statistika Edisi keenam. PT. Tarsito. Bandung. Suherman, et al,. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Jurusan Pendidikan Matematika UPI. Bandung Sunyono, 2011. Kajian tentang Peran Multipel Representasi Pembelajaran Kimia dalam Pengembangan Model Mental Siswa. Prosiding Seminar Nasional Sains. 15 Januari 2011. Universitas Negeri Surabaya. Sunyono. 2012. Buku Model Pembelajaran Berbasis Multipel Representasi (Model SiMaYang). Anugrah Utama Raharja. Bandar lampung Sunyono, Leny Yuanita , dan Muslimin Ibrahim. 2012. Analisis Keterlaksaan dan Kemenarikan Model Pembelajaran SiMaYang dalam Memmbangun Model Mental Mahasiswa pada Topik Stoikiometri. Prosiding Seminar Nasional
101
Sains dan Pendidikan Sains 2012. 06 Oktober 2012. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto. Sunyono dan Dwi Yulianti. 2014. Pengembangan Model Pembelajaran Kimia SMA Berbasis Multipel Representasi dalam Menumbuhkan Model Mental dan Meningkatkan Penguasaan Konsep Kimia Siswa Kelas X. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun I. Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Sunyono. 2014. Model Pembelajaran Berbasis Multipel Representasi Dalam Membangun Model Mental Dan Penguasaan Konsep Kimia Dasar Mahasiswa. Disertasi Doktor. Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya: Tidak diterbitkan. Sunyono, Leny Yuanita , dan Muslimin Ibrahim. 2015. Supporting Students in Learning with Multiple Representation to Improve Student Mental Models on Atomic Structure Concepts. Science Education International, 26 (2): 104-125. Sunyono. 2015. Model Pembelajaran Multipel Representasi;Pembelajaran Empat Fase Dengan Lima Kegiatan:Orientasi, Eksplorasi Imajinasi, Internalisasi, Dan Evaluasi. Yogyakarta: Media Akademi. Wulandari, B. dan Herman Dwi Surjono. 2013. Pengaruh Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Ditinjau dari Motivasi Belajar PLC di SMK. Jurnal Pendidikan Vokasi, 2 (3):2-10. Syah, M. 2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Remaja Rodakarya. Bandung. Widodo, A. 2013. Pengembangan Lembar Kerja Siswa Berbasis Keterampilan Proses Sains pada Materi Asam Basa. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung Zimmerman, B. J. 1995. Self-efficacy and education development. In A. Bandura (Ed), Self-efficacy in changing societies (pp.202-231). New York: Cambridge University Press. Zimmerman, B. J. 2000. Self-Efficacy: An Essential Motive to Learn. Annual Edition: Journal Educational Psychology 25 (1): 143-147.